Interaksi Genotip X Lingkungan As Dan Stabilitas Hasil Dalam An Tanaman Varietas Unggul Di Indonesia

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 8

INTERAKSI GENOTIP LINGKUNGAN, ADAPTABILITAS, DAN STABILITAS HASIL, DALAM PENGEMBANGAN TANAMAN VARIETAS UNGGUL DI INDONESIA

(GENOTYPE ENVIRONMENT INTERACTION, ADAPTABILITY, AND STABILITY OF YIELD IN DEVELOPMENT OF NEW HIGH YIELDING PLANT VARIETIES IN INDONESIA)

Achmad Baihaki1) dan Noladhi Wicaksana1) Kata kunci : interaksi genotip lingkungan, adaptabilitas, dan stabilitas Key words : genotype environment interaction, adaptability, and stability

Abstract
Six soybean genotypes were multilocation tested in eight different locations scattered around the country (Indonesia) with the objectives to evaluate genotype environment interaction for yield, adaptability, and stability of yield performance in relation to the development and release of new varieties. In each location a randomized complete design with three replications was used to evaluate yield performance. A combined analysis of variance for yield was performed following a standard method. Stability and adaptability analysis were performed following Eberhart-Russell method. Result of the experiment indicated that genotype environment interaction for yield in soybean, field corn, and rice plants was a real and significant phenomena in Indonesia. Genotypes with wide adaptability performances relatively were few in number for yield compared to the total number of genotypes involved in a multilocation testing. Genotype or genotypes with good performance for yield in spesific environment (narrow adaptability) shoud be considered to be released to improve efficiency and effectivity of variety release process, and if so they will be able to perform a regional buffering for desease and pest expansion.

Sari
Enam genotip kedelai diuji multilokasi di delapan lokasi yang bervariasi dan tersebar di berbagai wilayah Indonesia dengan tujuan menduga interaksi genotip lingkungan, adaptabilitas, dan stabilitas untuk karakter hasil dalam rangka pengembangan varietas unggul di Indonesia. Di setiap lokasi sebuah percobaan dengan enam genotip dilaksanakan dalam rancangan acak kelompok, diulang tiga kali. Analisis gabungan untuk karakter hasil dilakukan mengikuti prosedur baku. Stabilitas dan adaptabilitas diestimasi mengikuti prosedur Eberhart-Russell. Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi genotip lingkungan untuk karakter hasil tanaman kedelai dan palawija pada umumnya, serta tanaman padi, merupakan fenomena yang nyata. Genotip yang mampu beradaptasi luas jumlahnya relatif sedikit dibandingkan dengan jumlah total genotip yang diuji multilokasi. Genotip unggul spesifik wilayah dianjurkan untuk dilepas dan akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses pelepasan varietas, serta akan mampu membentuk regional buffering yang akan meredam penyebaran hama dan penyakit.
1) Staf pengajar pada Program Studi Pemuliaan Tanaman, Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian UNPAD

Interaksi Genotip Lingkungan, Adaptabilitas dan Stabilitas Hasil

Pendahuluan
Pengembangan varietas unggul tanaman ditentukan oleh banyak faktor dan tujuan yang ingin dicapai dalam suatu program produksi pertanian. Faktorfaktor tersebut antara lain adalah faktor lingkungan makro tempat tumbuh varietas yang bersangkutan dan varietas unggul tanaman yang bagaimana yang akan dikembangkan. Pengambilan kebijakan dalam pengembangan varietas unggul tanaman menentukan keberhasilan pembangunan pertanian secara sinambung yang mampu memanfaatkan potensi wilayah tumbuh tanaman setempat. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Indonesia memiliki variasi lingkungan makro geofisik yang sangat besar yang memberikan lingkungan tumbuh bagi tanaman yang sangat besar pula variasinya. Kondisi tersebut memberikan petunjuk adanya variasi ciri-ciri dan potensi-potensi khusus dari suatu wilayah yang perlu dimanfaatkan secara baik. Adanya variasi lingkungan tumbuh makro tersebut tidak akan menjamin suatu genotip/varietas tanaman akan tumbuh baik dan memberikan hasil panen tinggi di semua wilayah dalam kisaran spatial yang luas, atau sebaliknya. Hal tersebut terkait dengan kemungkinan adanya atau tidak adanya interaksi antara genotip atau genotipgenotip tanaman dengan kisaran variasi lingkungan spatial yang luas. Bagi para pemulia ada atau tidak adanya interaksi antara genotip atau genotip-genotip tanaman dengan kisaran variasi lingkungan spatial yang luas, ataupun dengan variasi lingkungan pada suatu wilayah spesifik merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan pilihan kebijakan genotip tanaman yang bagaimana yang akan disebarkan atau dilepas, ataupun untuk digunakan dalam estimasi komponen varians suatu karakter tertentu. Informasi pustaka pada

umumnya menunjukkan adanya interaksi antara genotip dengan lingkungan (G E), baik informasi hasil penelitian di luar negeri, maupun hasil studi di Indonesia. Penelitian-penelitian yang antara lain dilakukan oleh Finlay dan Wilkinson (1963), Allard dan Bradshaw (1964), Eberhart dan Russell (1966), Freeman dan Perkins (1971), Baihaki et al. (1976), dan Asay et al. (2001) menunjukkan adanya interaksi G E. Penelitian-penelitian yang dilakukan di Indonesia pun menunjukkan hal yang sama, seperti antara lain yang telah dilaporkan oleh Karuniawan et al. (1998), Makulawu et al. (1999), Kanro et al. (2000), dan Djaelani et al. (2001). Interpretasi dan pemanfaatan informasi interaksi G E bervariasi antar peneliti. Eberhart dan Russell (1966) menyatakan bahwa interaksi G E dapat mempengaruhi kemajuan seleksi dan sering mengganggu dalam seleksi genotipgenotip unggul. Sedangkan Nasrullah (1981) berpendapat bahwa interaksi G E sering mempersulit pengambilan pilihan dari suatu percobaan varietas uji multilokasi yang kisaran lingkungannya luas. Informasi interaksi G E sangat penting bagi negara-negara yang variabilitas biogeofisiknya luas seperti Indonesia. Pemulia dapat memanfaatkan potensi lingkungan spesifik dalam kebijakan penentuan penerapan kebijakan wilayah sebaran suatu varietas unggul baru. Dalam hal ini ada dua alternatif pilihan, yaitu : (1) melepas varietas unggul baru dengan potensi hasil tinggi untuk kisaran spatial yang luas (wide adaptability), (2) melepas varietas unggul baru dengan potensi hasil tinggi pada wilayah tumbuh yang spesifik (spesifik lingkungan tumbuh-spesific adaptability). Pilihan pertama telah lama dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan telah banyak varietas berbagai komoditi,

Zuriat, Vol. 16, No. 1, Januari-Juni 2005

terutama tanaman semusim seperti padi, jagung, dan kedelai, dilepas melalui prosedur pelepasan berdasar konsep wide adaptability, seperti diatur dalam peraturan Menteri Pertanian. Keuntungan dengan melepas varietas unggul beradaptasi luas bagi negara yang sedang berkembang adalah mudah dalam pengadaan varietas tersebut dan pengendaliannya secara nasional. Namun prosedur ini memiliki kelemahan fundamental dalam menghadapi gangguan hama dan penyakit, serta kurang mampu memanfaatkan potensi-potensi sumberdaya alami lokal. Pilihan kedua adalah melepas varietas unggul beradaptasi sempit (spesific adaptability) yang selama ini tidak tercantum dalam peraturan yang memperbolehkannya dilepas. Varietas ini memiliki potensi hasil yang tinggi pada lingkungan tumbuh tertentu dan mampu memanfaatkan potensi-potensi sumberdaya alam lokal. Namun varietas semacam ini tersingkir dalam proses uji multilokasi dan tidak pernah termanfaatkan serta terbuang untuk selamanya, kecuali untuk koleksi para pemulia. Penelitian ini bertujuan mengkonfirmasi bahwa melepas varietas unggul spesifik

wilayah merupakan salah satu prosedur yang memberikan tambahan keuntungan dalam pelepasan varietas unggul baru. Selain itu bertujuan untuk memanfaatkan informasi hasil penelitian lain yang telah dilakukan di Indonesia yang berkaitan dengan interaksi genotip dengan lingkungan.

Bahan dan Metode


Enam galur potensial kedelai generasi sangat lanjut (lebih dari generasi ke-20) hasil pemuliaan Fakultas pertanian UNPAD di SPLPP unit Arjasari Kabupaten Bandung, diuji multilokasi di delapan wilayah tanam. Kedelapan wilayah tersebut dengan karateristik kondisinya tercantum pada Tabel 1 dan memperlihatkan variabilitas lingkungan tumbuh dan kisaran spatial yang luas. Enam galur yang digunakan memiliki potensi hasil yang tinggi dibandingkan dengan kultivar Wilis dan latar belakang genetik yang cukup luas. Pada setiap lokasi keenam genotip tersebut ditanam dalam rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan. Jarak tanam yang digunakan adalah 15 cm 40 cm dengan ukuran plot 4 m 6 m. Pengamatan dan data yang dianalisis

Tabel 1. Kondisi lingkungan delapan lokasi tanam Nama lokasi Plumbon Ketinggian tempat (m dpl) 7

No. 1.

Kabupaten Cirebon, Jabar

Keterangan Lahan irigasi teknis, dengan jenis tanah Entisol Lahan kering, dengan jenis tanah Inceptisol Lahan sawah

2. 3. 4. 5. 6.

Karakpawitan Sukaratu Pagadungan Banyumas Kota Agung

Garut, Jabar

600

7. 8.

Bernai Kumbo Oimbe

Pandeglang, 700 Banten Pandeglang, 700 Lahan sawah Banten Langkat, Sumut Lampung 50 Lahan tegalan, dengan Selatan, jenis tanah Ultisol Lampung Sorolangun, 70 Lahan tegalan, dengan Jambi jenis tanah Ultisol Interaksi Genotip Lingkungan, Adaptabilitas dan Stabilitas Hasil 3 Bima, NTB 25 Lahan sawah

adalah data hasil per hektar. Analisis gabungan dilakukan dengan prosedur baku analisis gabungan untuk karakter hasil sehingga dapat diperoleh informasi ada tidaknya interaksi antara enam galur kedelai dengan delapan lingkungan spatial. Model yang digunakan dalam analisis adalah model random. Analisis adaptabilitas dan stabilitas hasil menggunakan metode analisis Eberhart-Russell (1966), yang menerangkan kedua parameter tersebut dengan menggunakan koefisien regresi terhadap indeks lingkungan dan standar deviasi dari koefisien regresi. Menurut metode ini suatu genotip dinyatakan stabil bila koefisien regresi linier terhadap lingkungan mendekati nilai satu (1) dan standar deviasi dari koefisien regresi mendekati nilai nol (0). Pada penelitian ini suatu genotip dikatakan memiliki adaptasi yang luas apabila genotip tersebut mampu tumbuh dengan baik dan memberikan hasil yang baik pula dalam kisaran lingkungan tumbuh spatial yang luas, atau koefisien regresinya mendekati satu ( b 1) dan standar deviasi dari koefisien regresinya mendekati nol ( Sb 0). Suatu genotip dikatakan berpenampilan stabil bila genotip tersebut mampu tumbuh dengan baik dan memberikan hasil yang baik pula pada lingkungan tumbuh yang tertentu saja (spesifik) dengan fluktuasi musim pada lingkungan tumbuh yang spesifik tersebut. Pelaksanaan uji multilokasi dilakukan dan dikoordinasikan oleh Direktorat Perbenihan, Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan, Departemen Pertanian. Data untuk karakter hasil dianalisis oleh tim pemulia Program Studi Pemuliaan Tanaman Fakultas Pertanian UNPAD. Informasi mengenai interaksi G E pada beberapa komoditas lain di Indonesia juga digunakan dan diolah sebagai

data sekunder untuk menunjang dan mengkonfirmasi temuan pada penelitian ini.

Pembahasan
Analisis gabungan karakter hasil untuk delapan lokasi tanam tercantum pada Tabel 2. Pada tabel tersebut (kolom Baihaki dan Wicaksana) terlihat adanya interaksi yang nyata antara genotip kedelai yang diuji dengan lokasi (lingkungan). Hal ini menunjukkan bahwa di antara keenam genotip kedelai yang diuji, tanggapnya terhadap delapan lingkungan tumbuh (lokasi) untuk karakter hasil, tidak sama dan dapat diartikan diantara genotip tersebut terdapat genotip yang tumbuh baik pada lingkungan tertentu dan memberikan hasil yang tinggi (Tabel 3). Data yang dihasilkan dari penelitianpenelitian Djaelani et al. (2001) pada 43 galur kedelai, Harsanti et al. (2003) pada 10 galur mutan padi sawah di 20 lokasi, dan Makulawu et al. (1999) pada jagung hibrida harapan di sembilan lokasi, juga dengan jelas memperlihatkan adanya interaksi antara genotip dengan lokasi (lingkungan) yang nyata, bahkan sangat nyata seperti terlihat pada Tabel 2. Pada Tabel 2 terlihat jelas bahwa adanya keberagaman lingkungan tumbuh (lokasi) menyebabkan terjadinya penampilan yang beragam dari genotip tanaman dalam berbagai lingkungan tumbuh. Hal tersebut terungkap dari besaran nilai intraksi G E yang nyata atau sangat nyata. Penelitian yang dilakukan oleh Djaelani et al. (2001) pada 43 galur kedelai di lima lingkungan (lokasi) saja telah

Zuriat, Vol. 16, No. 1, Januari-Juni 2005

Tabel 2. Analisis varians gabungan karakter hasil kedelai Baihaki dan Wicaksana (Kedelai) Sumber variasi Lingkungan (L) Ulangan/ lingkungan Genotip (G) GL Galat db 7 16 5 35 80 MS 9.630 0.331 3.887 1.917 0.197 2.02 9.74 ** Fhitung db 4 5 43 172 215 Djaelani et al. (Kedelai) MS 12.720 0.040 0.218 0.214 0.008 1.022 28.394 ** Fhitung Harsanti et al. (Padi) Db 19 60 11 209 660 MS 65.450 0.780 5.335 8.490 2.567 ** ** Makulawu et al. (Jagung) db Fhitung 14.75 12.57 2.44 * *

Keterangan : * nyata pada taraf uji 5 % ** nyata pada taraf uji 1 % Sumber : Kompilasi oleh penulis dari penelitian Djaelani et al. (2001), Harsanti et al. (2003), dan Takdir et al. (1999)

Interaksi Genotip Lingkungan, Adaptabilitas dan Stabilitas Hasil

Tabel 3. Adaptabilitas enam genotip kedelai pada delapan lingkungan (lokasi) uji Genotip 1 2 3 4 5 6 Rata-Rata Hasil 1 (t.ha ) 2.6616 3.3265 2.5399 2.8729 2.8999 3.5920

b
0.7712 0.9012 0.9668 0.7640 1.1001 1.4966

Sb
0.0593 0.0310 0.0178 0.0488 0.0218 0.0222 * * * * * *

Keterangan : Angka yang diikuti * pada kolom terhadap nilai 0 pada taraf 5 %.

Sb

berbeda nyata

mampu memperlihatkan adanya interaksi G E yang nyata. Demikian pula penelitian Harsanti et al. (2003) pada 10 galur padi sawah yang diuji multilokasi pada 20 lingkungan, menunjukkan adanya interaksi G E. Hal yang sama yang dilakukan oleh Makulawu et al. (1999) pada 12 genotip jagung hibrida di sembilan lingkungan tumbuh, memberikan petunjuk yang sama pula. Informasi tersebut memberikan keyakinan bahwa pada dasarnya genotip tanaman akan menunjukkan penampilan sesuai dengan kondisi lingkungan tempat tumbuhnya. Padahal sangat sulit memperoleh lingkungan tumbuh yang seragam pada kisaran ruang spatial yang luas. Indonesia sendiri secara alamiah memiliki ekosistem alami sebanyak kurang lebih 43 ekosistem dan dua ekosistem buatan (Sastrapradja et al., 1991). Masing-masing ekosistem tersebut memiliki ciri-ciri tersendiri dan makhluk hidup yang tumbuh di atasnya menyesuaikan diri (adaptasi) terhadap ekosistem tersebut. Selain itu, manusia sendiri di atas ekosistem alami tersebut secara aktif mem bentuk/membuat lima basis agroekosistem (daerah sawah berpengairan konvensional, daerah tanah pertanian pasang surut, daerah

tanah lebak, daerah pertanian rawa, dan daerah pertanian tadah hujan) yang didasarkan pada keterkaitannya dengan faktor iklim, tanah, topografi, dan budaya. Apabila lima basis agroekosistem tersebut dikaitkan dengan ekosistem alami akan membentuk variasi agroekosistem yang lebih banyak lagi jumlahnya. Analisis adaptabilitas terhadap data penelitian Baihaki dan Wicaksana, selama musim tanam tahun 2003, yang didasarkan pada analisis stabilitas Eberhart-Russell (1966) untuk indeks lingkungan spatial, memperlihatkan dari enam genotip yang diuji tidak satupun yang beradaptasi luas di delapan lokasi uji (Tabel 3). Akan tetapi genotip 3 cenderung mendekati adaptasi luas dengan nilai koefisien regresi mendekati satu dan standar deviasi koefisien regresi mendekati nol. Hasil per hektar enam genotip tersebut cukup tinggi, berkisar antara 2.54 t.ha13.59 t.ha1. Berdasarkan definisi stabilitas dan adaptabilitas suatu genotip yang digunakan dalam penelitian ini (Eberhart dan Russell, 1966), maka hasil penelitian yang dilakukan oleh Djaelani et al. (2001) pada 43 genotip kedelai dan

Zuriat, Vol. 16, No. 1, Januari-Juni 2005

dilaksanakan di lima lingkungan (lokasi), ternyata hanya terdapat dua genotip yang mendekati adaptasi luas, berturut turut genotip no. 26 ( b = 0.9815, Sb = = 0.2678) dan genotip no. 29 ( b 0.9086, Sb = 0.0559). Jadi hanya 4.65 % saja yang dapat dikatakan sebagai genotip beradaptasi luas. Penelitian pada 10 galur tanaman padi yang dilakukan oleh Harsanti et al. (2003) di 20 lingkungan (lokasi), hanya terdapat dua galur yang memperlihatkan adaptabilitas yang luas, yaitu galur S 3388-Id-PN16-2 ( b = 1.03 Sb = 0.27) = 1.01, S = 0.08). dan galur IR 64 ( b b Penelitian ini dilakukan dalam kisaran wilayah lokasi yang amat luas, mulai dari Sumut, Sumbar, Jambi, Sumsel, Banten, Jabar, Jateng, DIY, Bali, NTT, NTB, Kalsel, Kalbar, dan Sulsel. Ratarata hasil 10 galur tersebut berkisar antara 5.86 t.ha1 6.62 t.ha1. Sementara itu jumlah genotip yang diuji multilokasi tahun 1995/ 1996 untuk jagung dan kedelai berturut-turut berjumlah 33 dan 77 nomor genotip (diolah dari data Diretorat Perbenihan, Dirjen Bina Produksi Tanaman Pangan, Deptan, 2003). Akan tetapi jumlah varietas unggul yang dilepas oleh Menteri Pertanian untuk tahun tersebut hanya 13 genotip jagung dan delapan genotip kedelai (termasuk di dalamnya tahun 1998, tahun 1997 tidak ada genotip yang dilepas). Dengan demikian jumlah varietas jagung yang dilepas 39.4 % dan kedelai 10.4 %. Jumlah tersebut tentu cukup rendah, sekalipun belum dapat menggambarkan keseluruhan pelepasan varietas, apabila dibandingkan dengan keragaman dan luasnya agroekosistem di Indonesia. Rendahnya jumlah varietas yang beradaptasi luas dan terabaikannya varietas yang beradaptasi sempit, serta rendahnya jumlah varietas unggul baru yang dilepas, dapat menggambarkan rendahnya tingkat efisiensi dan efektivitas

proses pelepasan varietas unggul di tanah air. Hal ini akan dapat diatasi apabila varietas unggul spesifik wilayah juga diperhitungkan dalam kebijakan pelepasan varietas, sehingga dapat menekan biaya dan waktu yang selama ini terbuang percuma. Keuntungan yang akan diperoleh apabila varietas unggul spesifik wilayah dapat dilepas, antara lain : (1) efisiensi pengggunaan dana dan waktu, (2) memperbanyak varietas unggul baru yang dilepas, (3) secara nasional produktivitas akan meningkat dan dengan sendirinya produksi akan meningkat pula, (4) akan menekan harga benih/ bibit, (5) akan terbentuk regional buffering yang sangat diperlukan untuk meredam meluasnya hama atau penyakit tanaman, (6) memberikan pilihan alternatif varietas yang cukup bagi petani, (7) memanfaatkan potensi kekayaan alam dengan baik, dan (8) mendorong terselenggaranya pembangunan pertanian yang sinambung. Ada beberapa pihak yang meragukan dilepasnya varietas unggul spesifik wilayah, dengan alasan bahwa varietas semacam ini tidak akan menarik industri perbenihan untuk memproduksinya, karena wilayah pemasarannya menjadi terbatas. Hal ini dapat diatasi dengan cara mengidentifikasi ciri-ciri wilayah yang serupa dengan wilayah pelepasan utama yang teridentifikasi dari uji multilokasi.

Kesimpulan dan Saran


Interaksi genotip dengan lingkungan untuk karakter hasil pada tanaman palawija dan padi merupakan fenomena yang nyata. Varietas adaptasi luas (wide adaptability) yang unggul dan dilepas jumlahnya sedikit dibandingkan dengan jumlah genotip yang diuji. Selain varietas adaptasi luas, varietas unggul spesifik

Interaksi Genotip Lingkungan, Adaptabilitas dan Stabilitas Hasil

wilayah dianjurkan untuk dilepas untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses pelepasan varietas unggul baru, membentuk regional buffering, serta memperbanyak jumlah varietas unggul tanaman sehingga petani akan mendapat altenatif pilihan dan menurunkan harga benih. Perlu dilakukannya pemetaan perwilayahan tanam berdasarkan biogeofisik dan sosial budaya setiap komoditas.

Djaelani, A.K., Nasrullah, dan Soemartono. 2001. Interaksi G E, adaptabilitas, dan stabilitas galur-galur kedelai dalam uji multilokasi. Zuriat 12(1): 2733. Eberhart, S.A., and W.A. Russell. 1966. Stability parameters for comparing varieties. Crop Sci. 6: 3640. Finlay, K.W., and G.N. Wilkinson. 1963. The analysis of adaptation in a plant breeding programme. Aust. J. Agric. Res. 14: 742752. Freeman, G.H., and J.M. Perkins. 1971. Environmental and genotype-environmental components of variability. VIII. Relation between genotypes grown in different environments and method of these environment. Heredity 26: 1523. Harsanti, L., Hambali, dan Mugiono. 2003. Analisis daya adaptasi 10 galur mutan padi sawah di 20 lokasi uji daya hasil pada dua musim. Zuriat 14(1): 17. Kanro, M.Z., N. Amirudin, dan M.B. Nappu. 2000. Interaksi tiga kultivar padi dengan tiga lokasi di Sulawesi Selatan. Zuriat 11(2): 7176. Karuniawan, A, H.C. Becker, W. Link, and F. Rumawas. 1998. Genotype environment interaction for selected characters from R1 to R5 reproductive stage in soybean. Zuriat 9(1) : 1-6. Makulawu, A.T., N. Iriany, B. Annas, M. Dahlan, dan F. Kasim. 1999. Stabilitas hasil beberapa genotip jagung hibrida harapan pada sembilan lokasi. Zuriat 10(2): 5461. Nasrullah. 1981. A modified procedure for identifying varietal stability. Agric. Sci. 3 (4): 153159. Sastrapadja, D.S., S. Adisoemarto, K. Kartawinata, S. Sastrapadja, dan M. A. Rivai. 1991. Keanekaragaman Hayati Untuk Kelangsungan Hidup Bangsa. Puslitbang Bioteknologi LIPI.

Ucapan Terima Kasih


Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Direktorat Perbenihan, Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan, Departemen Pertanian yang telah membantu pelaksanaan uji multilokasi.

Daftar Pustaka
Allard, R.W., and A.D. Bradshaw. 1964. Implication of genotype-environment interaction in applied plant breeding. Crop Sci. 4: 503507. Asay, K.H., H.F. Maryland, P.G. Jefferson, J.D. Berdall, J.F. Karn, and B.L. Waldron. 2001. Parent-progeny relationship and genotype environment effects for factors associated with gross assay and forage quality in Russian Wildrye. Crop Sci. 41 : 14781484. Baihaki, A., R.E. Stucker, and J.W. Lambert. 1976. Association of genotype environment interaction with performance level of soybean lines in preliminary yield test. Crop Sci. 16: 718 721. Direktorat Perbenihan. 2003. Analisis Hasil Uji Adaptasi Palawija. Dirjen Bina Produksi Tanaman Pangan. Departemen Pertanian. Jakarta.

Zuriat, Vol. 16, No. 1, Januari-Juni 2005

You might also like