Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 7

Berk. Penel.

Hayati Edisi Khusus: 6B (3339), 2011

PENGarUH PENaMBaHaN PErasaN BUaH BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbi L) tErHaDaP KaDar rEsIDU fOrMaLIN DaN PrOfIL PrOtEIN UDaNG PUtIH (Letapenaeus vannamei) BErfOrMaLIN
Wiwi Wikanta Program Studi Pend. Biologi FKIP Unmuh Surabaya e-mail: wi2umsby@yahoo.co.id

ABSTRACT This research was conducted to determine the addition of cucumber tree fruit juice (Averrhoa bilmibi L) on levels of residual formaldehyde and protein profiles of formalin-contaminated pacific-white shrimp (Letapenaeus vannamei). Research using experimental methods with a randomized block design consisting of five treatments, namely: (1) Group I: formalin-contaminated pacific-white shrimp + aquades without cucumber tree fruit juice (BW0), (2) Group II: shrimp berformalin + cucumber tree fruit juice 20% (BW1), (3) Group III: formalin-contaminated pacific-white shrimp + cucumber tree fruit juice 40% (BW2), (4) Group IV: formalin-contaminated pacificwhite shrimp + cucumber tree fruit juice 60% (BW3), (5) Group V: formalin-contaminated pacific-white shrimp + cucumber tree fruit juice 80% (BW4). Data were collected from each treatment include: (1) residue levels of formaldehyde with Spektrophotometric Method (2) the total protein content by Kjeldahl method, and (3) molecular weight protein bands with Electrophoresis Method. Data were analyzed using descriptive and statistic one way ANOVA and least significant difference test (LSD) at 5% significant level. The results showed that there are significant differences, both residue levels of formaldehyde and total protein content in formalin-contaminated pacific-white shrimp (p <0.05). Formaldehyde levels decline to reach 99.07% of the initial levels of 1.069 mg% (10,690 ppm) to 0.009 mg% (90 ppm). Meanwhile, protein levels increased approximately 33.93% of the control group, which is from 22.277 g% to 10.978 g%. Based on LSD, there are significant differences between treatments, both residue levels of formaldehyde and total protein content in formalin-contaminated pacific-white shrimp, with treatment group BW4 (cucumber tree fruit juice concentrate 80%) gave the highest value changes. In addition, the addition of cucumber tree fruit juice can change the type of protein molecular weight bands on formalin-contaminated pacific-white shrimp. From these results it can be concluded that the addition of cucumber tree fruit juice (Averrhoa bilmibi L) significantly affect the concentration of formaldehyde residues and the protein profiles of formalin-contaminated pacific-white shrimp (Letapenaeus vannamei). Key words: fruit juice, cucumber tree (Averrhoa bilmibi L), residual formaldehyde, protein profile, formalin-contaminated pacificwhite shrimp (Letapenaeus vannamei)

PENGANTAR Formalin adalah larutan formaldehid dalam air yang dijual secara komersial dengan konsentrasi 3750%. Formalin biasanya digunakan untuk disinfektan alat-alat laboratorium dan lantai ruangan, pengawet spesimen biologi, pembalsaman mayat, dan bahan baku industri kimia lain (WHO, 1989, 2001). Tetapi akhir-akhir ini, formalin banyak ditemukan pada bahan makanan yang sering dikonsumsi manusia (Kholilah, 2006; Karo-karo dkk, 2008; Jawa Pos, 2009). Kasus bahan makanan berformalin ini, telah meresahkan masyarakat luas, terutama konsumen. Penggunaan formalin sebagai pengawet bahan makanan merupakan pelanggaran terhadap Peraturan Menteri Kesehatan RI No.722/MENKES/PER/IX/1988 dan No. 1168/MENKES/PER/X/1999 tentang Bahan Tambahan Makanan (Anonim, 2009). Formalin ataupun formaldehid, sebagaimana telah banyak dipublikasikan,

merupakan bahan kimia yang dapat menyebabkan dampak buruk terhadap kesehatan, baik akut maupun kronis (Hadi, 2009; Judarwanto, 2006). Formaldehid dalam bentuk gas di ruangan rumah sebesar 0,1 ppm dapat menyebabkan ruam kulit, iritasi mata, hidung dan tenggorokan, serta sakit kepala (Ritchie and Lehnen, 1987; Naria, 2004). Sedangkan, Nolodewo dkk, (2007) mengemukakan bahwa paparan formaldehid berbentuk uap dan asap terbukti bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap kejadian kanker nasofaring (KNF). Formaldehid, juga mempengaruhi konsentrasi hormon darah (Oldham et al., 1982), organ tyroid (Patel et al., 2003), fungsi testis (Zahra et al, 2007), gangguan mentruasi dan infertilitas wanita (Ishak, 2007). Lebih lanjut, ada bukti bahwa formaldehid merupakan karsinogenik pada manusia dan DNA-protein crosslinks (DPC) dapat digunakan sebagai metode monitoring biologis dari paparan terhadap formaldehid, sebagaimana



Pengaruh Penambahan Perasan Buah Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L)

dikemukakan oleh Shaham et al (1996). Formaldehid memiliki dampak mematikan terhadap hewan coba, dengan LD50 pada tikus besar sebesar 800 mg/kg berat badan secara oral (Othmer dalam Raihan, 2003; Smyth et al dalam WHO, 1989). Selain, dampak langsung terhadap kesehatan tubuh, formalin dalam bahan makanan juga dapat merusak gizi bahan makanan. Formalin pada sejumlah bahan makanan seperti tahu, ikan nila, udang putih, ikan asin kuniran, cumi-cumi asin, dan pindang tongkol, telah terbukti mempengaruhi nilai gizi (kandungan asam amino, nilai PER), merusak organ dalam (hati dan ginjal), dan mengganggu pertumbuhan hewan coba (Sihombing dan Sihombing, 1996; Kartikaningsih, 2008; Kurnia, 2007; Innamasari, 2007; Santy, 2007; Susanti, 2007). Nilai gizi protein, di antaranya, ditentukan oleh daya cerna dan jumlah serta kelengkapan (komposisi) asam aminonya, terutama asam amino esensial (Brody, 1994; Muchtadi, 2010). Formalin merupakan bahan kimia yang mudah bereaksi dengan senyawa kimia lain, di antaranya dengan protein dan DNA (Suntoro, 1983; Levinson dan Jawetz, 1989; Kiernan, 2000). Pada konsentrasi tinggi (40%), formalin akan mengeraskan jaringan dan mengendapkan protein (Suntoro, 1983). Pengerasan jaringan bahan makanan akan menyulitkan pencerna dan penyerapan zat gizi oleh tubuh, sehingga kebutuhan gizi tubuh akan terganggu (Hove and Lohrey, 1976). Dimana, kegagalan absorpsi (malabsorpsi) zat gizi menjadi salah satu penyebab kekurangan gizi sekunder (Chandrasoma dan Taylor, 2006). Selain itu, formalin sebagai bahan pengawet memiliki kemampuan untuk membentuk protein cross-link (Kiernan, 2000; Nadeau and Carlson, 2005). Ikatan silang yang diinduksi formaldehid akan merubah struktur protein menjadi stabil, yang selanjutnya akan menyebabkan endapan protein yang berhubungan dengan penyakit patologis kronik (Haberle et al., 2004; Brutlag et al., 1969 dalam WHO, 1989). Pemecahan ikatan formalin-protein merupakan upaya untuk merubah struktur kimia bahan makanan, sehingga kadar formalin dalam bahan makanan dapat berkurang dan nilai gizi protein menjadi tinggi. Pemecahan ikatan formalin-protein dapat dilakukan dengan hidrolisis dan tambahan asam (Wilbraham dan Matta, 1992). Aldehid, secara umum, dapat dipisakan dari campuran, diantaranya dengan hidrolisis dan asam (Riawan, 1990). Dalam hal ini, asam atau ion hidrogen dapat berperan sebagai katalisator atau sebagai reaktan maupun produk (Wilson and Goulding (Eds.), 1986). Walaupun demikian, hidrolisis dan asam dapat pula memecah rantai polipeptida protein, sehingga protein terurai menjadi asam-asam amino (Fessenden dan

Fessenden, 1986). Pengolahan bahan makanan, atau memasak, merupakan proses yang selalu dilakukan masyarakat sebelum bahan makanan dikonsumsi. Memasak merupakan langkah terakhir yang menjamin bahwa bahan makanan mengandung zat gizi yang diperlukan dan bebas dari bahan berbahaya dan beracun (WHO, 2000). Namun, sebagian besar masyarakat belum menyadari arti penting proses pengolahan terhadap keberadaan zat gizi dan zat lain yang terkandung dalam bahan makanan. Pengolahan bahan makanan dapat mempengaruhi komposisi kimia bahan makanan (Richardson dan Finley, 1985; Harris dan Karmas (Eds.), 1989; Apriyantono, 2002). Selain zat gizi, perubahan dapat pula terjadi pada bahan kimia lain, termasuk bahan racun dan berbahaya. Dalam hal ini, kandungan formalin dalam bahan makanan dapat mengalami perubahan selama pengolahan. Raihan (2003) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa perendaman bahan makanan dengan berbagai bahan yang dikombinasikan dengan penggorengan dapat menurunkan kadar formalin antara 6089%. Sedangkan, perendaman ikan segar dalam air cuka 5% selama 15 menit dapat menghilangkan formalin sampai mencapai 100% (Sukesi, 2006). Dalam pengolahan bahan makanan, biasanya menggunakan bahan tambahan makanan. Ada pun bahan tambahan yang dapat digunakan dalam pengolahan bahan makanan sangat beragam, termasuk penggunaan bahan alami. Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L) merupakan salah satu bahan alami yang sering digunakan dalam pengolahan berbagai bahan makanan (Idrus, 1994; Sufi, 2009) . Masyarakat banyak yang memanfaatkan buah Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L) sebagai bumbu masak, selain mudah diperoleh, belimbing wuluh juga memiliki rasa khas, yaitu rasa masam (van Steenis, 1992; Orwa, et al., 2009; Soedarya, 2009). Rasa masam buah Belimbing Wuluh (Averrhoa Bilimbi L) berasal dari kandungan kimia, terutama asam sitrat (Ashari, 1995). Selain asam sitrat, buah Belimbing Wuluh (Averrhoa Bilimbi L), juga mengandung banyak senyawa kimia penting, di antaranya vitamin C, saponin, tannin, glukosid, kalsium oksalat, sulfur, asam format, peroksida, kalium sitrat, flavonoid (Dzulkarnain dkk., 1996). Selama ini, belum ada data yang mengungkap pengaruh pemanfaatan Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L) dalam memasak terhadap perubahan zat-zat yang terkandung dalam bahan makanan. Udang merupakan salah satu bahan makanan penting sebagai sumber protein yang rentan menjadi sasaran pengawetan dengan formalin (Kordi,

Sulistiarini



2007). Oleh karena itu, perlu penelitian yang seksama tentang pemanfaatan belimbing wuluh dalam pengolahan bahan makanan, terutama udang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan perasan buah belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L) terhadap kadar residu formalin dan profil protein udang putih (Letapenaeus vannamei) berformalin. BAHAN DAN CARA KERJA Bahan dalam penelitian ini meliputi: udang segar jenis udang putih atau udang vanname (Letapenaeus vannamei), formalin komersial 3740%, aquades, belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L), bahan kimia uji formalin (H2SO4 98%, H3PO4 85%, garam asam natrium kromotropik/Na 1,8-dihidroksi-3,6-naftalen disuslfida), bahan kimia uji protein (asam sulfat pekat, NaOH 10%, H3BO4 3%, HCl Standar, indikator metal merah), bahan kimia pemisahan protein SDS-PAGE 10%. Cara kerja: Penelitian ini adalah penelitian eksperimen dengan rancangan acak kelompok (Gomez dan Gomez, 2007). Udang segar sebelum perlakuan dianalisis terlebih dahulu kadar formalin dan profil protein (protein total dan pita berat molekul). Kemudian, udang segar sebanyak 4 kg direndam dalam 5000 ml larutan formalin 5% selama 60 menit. Udang berformalin, sebagian dianalisis kembali kadar formalin, protein total dan berat molekul proteinnya. Sedangkan, sisa udang berformalin dibagi secara acak menjadi 5 kelompok perlakuan, yaitu: (1) Kelompok I: udang berformalin + aquades tanpa perasan buah belimbing wuluh (BW0); (2) Kelompok II: udang berformalin + perasan buah pelimbing wuluh 20% (BW1); (3) Kelompok III: udang berformalin + perasan buah belimbing wuluh 40% (BW2); (4) Kelompok IV: udang berformalin + perasan buah belimbing wuluh 60% (BW3); (5) Kelompok V: udang berformalin + perasan buah belimbing wuluh 80% (BW4). Udang berformalin dari masing-masing perlakuan dengan 4 kali ulangan, selanjutnya direbus dalam penangas air selama 30 menit (suhu 85oC). Setelah perebusan selesai, udang dianalsis kembali kadar residu formalin, protein total, dan pita berat molekul untuk semua sampel dari masingmasing perlakuan dengan metode rutin sebagai berikut: (1) kadar residu formalin dengan Metode Spektrofotometrik (Kurniawati (2004) dalam Cahyadi, 2008); (2) kadar protein total dengan Metode volumetric semi-mikro Kjeldahl (AOAC dalam Sudarmadji, dkk. 2007); dan (3) pemisahan berat molekul protein dengan Metode Elektroforesis (Davis dalam Wilson and Goulding (Eds.), 1986; Soewoto, dkk. 2001).

Data hasil penelitian dianalisis secara deskriptif dan statistik. Kadar residu formalin dan kadar protein total masing-masing dianalisis secara statistik dengan metode ANOVA satu jalan dan uji perbedaan antar perlakuan dengan metode uji beda nyata terkecil (BNT) pada taraf signifikan 5%. Pengolahan data secara statistik menggunakan pengolah data SPSS Versi 17.00 (Priyatno, 2009; Oramahi, 2009). Sedangkan, pita berat molekul protein dianalisis secara deskriptif tentang jenis pita fraksi protein berdasarkan berat molekulnya. HASIL Hasil penelitian yang terediri dari kadar residu formalin, kadar protein total, profil berat molekul protein pada udang putih (Letapenaeus vannamei) berformalin disajikan berturut-turt pada tabel dan gambar di bawah ini.
Tabel 1. Rerata Kadar Residu formalin dan Kadar Protein Udang Putih (Letapenaeus vannamei) Perlakuan* US UF BW0 BW1 BW2 BW3 BW4 *) Kadar Residu Formalin (mg%)** 1.069 0.093 0.030 0.003a 0.022 0.003b 0.018 0.001c 0.013 0.001d 0.009 0.002e Kadar Protein Total (g%)** 22.277 0.342 21.987 0.021 8.197 0.054a 9.055 0.195b 9.923 0.1223c 10.447 0.173d 10.978 0.225e = = = = =

US = udang segar; UF = udang berformalin; BW0 konsentrasi perasan buah belimbing wuluh 0%; BW1 konsentrasi perasan buah belimbing wuluh 20%; BW2 konsentrasi perasan buah belimbing wuluh 40%; BW3 konsentrasi perasan buah belimbing wuluh 60%; BW4 konsentrasi perasan buah belimbing wuluh 80%.

**)

Hasil Uji BNT, di mana rerata yang diikuti notasi huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbedaan nyata pada taraf 5%

Gambar 1. Kadar Residu Formalin pada Udang Putih (Letapenaeus vannamei) Berformalin dengan Penambahan Berbagai Konsentrasi Perasan Buah Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi)



Pengaruh Penambahan Perasan Buah Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L)


***) pita berat molekul sangat tebal

Gambar 2. Grafik Kadar Protein Udang Putih (Letapenaeus vannamei) Berformalin dengan Penambahan Berbagai Konsentrasi Perasan Buah Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi)

Secara statistik, dari hasil ANOVA menunjukkan bahwa ada perbedaan yang nyata, baik kadar residu formalin maupun kadar protein total pada udang putih berformalin (p < 0,05) setalah penambahan perasan buah belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L). Sedangkan, hasil Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf signifikan 0,05 terhadap rerata kadar residu formalin dan kadar protein total udang putih menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antar perlakuan. PEMBAHASAN Hasil penelitian ini telah membuktikan bahwa penambahan perasan buah belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L) pada udang putih (Letapenaeus vannamei) berformalin dapat menurunkan kadar residu formalin. Dimana, tingkat penurunan kadar residu formalin semakin meningkat sejalan dengan bertambahnya konsentrasi perasan buah belimbing wuluh, seperti ditunjukkan Gambar 1. Rata-rata penurunan terbesar terjadi pada perlakuan ke-5 ( BW4 = penambahan perasan buah belimbing wuluh 80% (BW4), yaitu menurun dari kadar awal 1,069 mg% (10690 ppm) menjadi 0,009 mg% (90 ppm) atau menurun sampai 99,07%. Hasil ini, sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya bahwa perendaman bahan makanan dengan berbagai bahan yang dikombinasikan dengan penggorengan dapat menurunkan kadar formalin antara 6089% (Raihan, 2003). Sedangkan, perendaman ikan segar dalam air cuka 5% selama 15 menit dapat menghilangkan formalin sampai mencapai 100% (Sukesi, 2006). Pada dasarnya, ikatan kimia suatu senyawa ada yang mudah dipecah, tetapi ada pula yang sulit dipecah dengan reaksi kimia biasa. Ada beberapa model ikatan yang terbentuk antara formaldehid dengan protein, di antaranya membentuk senyawa methyl-ol, atau membentuk cross-link-CH 2 yang disebut suatu jembatan metilen (methylene bridge) (Kiernan, 2000). Dimana, senyawa methyl-ol merupakan senyawa dengan ikatan reversibel (WHO, 1989). Ikatan methyl-ol dapat dipecah dengan penambahan asam, sebagaimana dikemukakan Riawan, 1990 bahwa aldehid dapat dipisahkan dari campuran dengan penambahan asam. Sedangkan, Ikatan silang formalinSedangkan, Ikatan silang formalinprotein adalah stabil (Brutlag et al., 1969 dalam WHO, 1989). Formaldehid menyebabkan protein berikatan silang dalam suatu pertautan, yang menstabilkan massa protein dan mengawetkan morfologi (Nadeau and Carlson, 2005). Perlakuan formaldehid atau formalin dalam bahan makanan telah merusak struktur dan nilai gizi protein. Perubahan struktur protein pada bahan makanan

Gambar 3. Profil Pita Berat Molekul (BM) Protein Udang Putih (PLetanaeus vannamei) dalam Berbagai Perlakuan Hasil Elektroforesis SDS-PAGE 10%; M = kolom protein marker; US = kolom protein udang segar; UF = kolom protein udang berformalin; BW0 = kolom protein udang putih ber-Formalin dengan perebusan tanpa perasan belimbing wuluh; BW1 = kolom protein udang putih ber-Formalin dengan perebusan dan perasan belimbing wuluh 20%; BW 2 = kolom protein udang putih ber-Formalin dengan perebusan dan perasan belimbing wuluh 40%; BW3 = kolom protein udang putih ber-Formalin dengan perebusan dan perasan belimbing wuluh 60%; BW4 = kolom protein udang putih ber-Formalin dengan perebusan tanpa perasan belimbing wuluh 80%) Tabel 2. Profil Protein Udang Putih (PLetanaeus vannamei) dalam Berbagai Perlakuan Berdasarkan Berat Molekulnya Perlakuan US UF BW0 BW1 BW2 BW3 BW4 -) *) **) Berat Molekul Fraksi Protein Udang Putih (kDa) 71,86 49,14 40,95 37,56 20,66 ** ** ** *** *** * * ** ** *** * * * * * * * * * * * * ** * * * -

tidak tampak pita berat molekul tipis pita berat molekul tebal

Sulistiarini

7

menyebabkan pengendapan protein, sehingga sulit dicerna dan diabsorpsi. Hove dan Lohrey (1976) mengemukakan bahwa pencernaan protein dari formol-casein sebesar 66% berbanding dengan 93% untuk casein tanpa perlakuan formalin. Selain itu, tingkat kelarutan, pencapaian berat badan, PER, pencernaan protein dan kandungan nitrogen yang tersimpan mengalami penurunan secara progresif. Sihombing dan Sihombing (1996) mengemukakan hal yang sama bahwa nilai biologik tahu yang direndam dalam formalin mengalami penurunan dengan nilai PER dalam formalin 8 sebesar 0,55 dibandingkan dengan PER tahu tanpa formalin sebesar 2,15. Hal ini menujukkan bahwa penggunaan formalin dalam bahan makanan telah menggangu pemenuhan kebutuhan gizi tubuh. Di sisi lain, perlakuan asam dalam pengolahan bahan makanan menjadi faktor penyebab hilangnya sejumlah protein dari bahan makanan. Dari hasil penelitian ini, kadar protein total mengalami penurunan dari nilai udang segar. Namun, setelah penambahan perasan belimbing wuluh nilai kadar protein total dapat meningkat kembali, walupun tidak mencapai nilai semula, yaitu kadar protein total awal 22,277 g% menjadi 10,978 g%. Penambahan perasan buah belimbing wuluh hanya dapat menaikan sebesar 33,93% dari kontrol. seperti ditunjukkan Gambar 2. Protein sebagai makromolekul akan mengalami penguraian menjadi unit terkecil penyusunnya sebelum masuk ke dalam tubuh. Hidrolisis dengan dikatalisis asam dan kalor akan menghasilkan asam-asam amino (Fessenden dan Fessenden, 1986). Asam-asam amino yang telah terlepas dari rantai polipeptida bersifat mudah larut dalam air (Wilbraham dan Matta, 1992). Kompleksitas suatu protein ditentukan oleh jumlah asam amino dalam rantai polipeptida dan berat molekul atau ukuran molekulnya (Soewoto dkk., 2001). Perubahan struktur molekul protein dapat digambarkan dengan profil berat molekul atau ukuran molekul (Mahdi, 2008). Perbedaan berat molekul dari protein dapat dianalisis dengan metode elektroforesis. Hasil penelitian ini, menunjukkan bahwa penambahan perasan buah belimbing wuluh telah ketebalan dan menghilangkan sebagian pita berat molekul protein tertentu. Oleh karena itu, Oleh karena itu, perlakuan dalam pengolahan bahan makanan selain harus memperhatikan kuantitas, juga kualitas bahan makanan. Kualitas dalam pengertian bernilai gizi tinggi dan aman (Apriyatono, 2002). Keamanan bahan makanan dari kadar residu formalin adalah bahan makanan harus benar-benar bebas dari formalin. Walaupun demikian, keamanan bahan makanan dapat ditentukan dengan mengetahui batas aman kandungan

dari bahan racun dan berbahaya. Salah satu ukuran keamanan bahan racun dan berbahaya adalah dosis mematikan atau lethal dose (LD). LD50 adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan dosis bahan beracun yang dapat mematikan separoh (50%) dari populasi hewan coba. Dimana, LD50 formalin pada hewan tikus adalah 800 mg/kg (Smyth et al. dalam WHO, 1989). Artinya, dosis 800 mg/kg berat badan dapat mematikan separoh dari hewan coba. Namun, LD50 formalin tidak berlaku untuk bahan makanan konsumsi manusia. Pemerintah telah menetapkan dalam Permenker RI No. 722/MENKES/PER/IX/1988 dan No. 1168/MENKES/ PER/X/1999 bahwa formalin merupakan salah satu bahan tambahan yang dilarang digunakan dalam makanan. Selain itu, formaldehid dalam dokumen lembaga-lembaga kesehatan dunia, seperti WHO (1989), IARC (2006), EPA (2008), CPSP (1997), dan DHHS (1999) termasuk kedalam bahan yang bersifat karsinogen. Dimana, dampak toksik formalin bersifat kronis, yang baru nampak gejalanya dalam waktu yang lama. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penambahan perasan buah belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L) dapat menurunkan kadar residu formalin dan memperbaiki profil protein udang putih (Letapenaeus vannamei) berformalin. Oleh karena itu, masyarakat dapat menggunakan buah belimbing wuluh sebagai bahan tambahan dalam pengolahan bahan makanan berformalin. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Prof. DR. Yusuf Abdurrajak, Prof. Dr. dr. Sumarno, DMM, Sp.Mk. dan Dr. agr. Mohamad Amin, M.Si. yang telah banyak memberikan masukan dalam penelitian ini, serta tak lupa terima kasih kepada saudari Heni Triwahyuni sebagai Laboran Lab. Biomedik UB yang telah banyak membantu dalam pengerjaan lab. KEPUSTAKAAN
Anonim, 1999. Permenkes RI No. 1168/MENKES/PER/X/1999 tentang Perubahan Atas Permenkes RI No. 722/MENKES/ PER/IX/1988. Departemen Kesehatan RI. Apriyantono A, 2002. Pengaruh Pengolahan terhadap Nilai Gizi dan Keamanan Pangan. Makalah disampaikan pada Seminar Online Kharisma ke-2 tanggal 6-22 Desember 2002, Dunia Maya. http://www.pdf-search-engine.com, Diakses 2 Oktober 2009. Ashari S, 1995. Hortikultura Aspek Budidaya.UI-Press, Jakarta. Brody T, 1994. Nutritional Biochemitry. Academic Press, Inc, San Diego California. Cahyadi W, 2008. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Bumi Aksara, Jakarta.



Pengaruh Penambahan Perasan Buah Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L) Karo-karo, Trijaya dan Fit, 2008. Cari Ikan Berformalin Petugas BBPOM Diusir. http://autos.okezone.com, Diakses 13 November 2009. Kartikaningsih H, 2008. Pengaruh Paparan Berulang Ikan Berformalin Terhadap Kerusakan Hati dan Ginjal Mencit (Mus musculus) Sebagai Media Pembelajaran Keamanan Pangan. Disertasi tidak diterbitkan. PSSJ Pendidikan Biologi Pascasarjana UM. Malang. Kholilah SN, 2006. Studi Identifikasi Ikan Asin Berformalin di Pasar Kota Malang. Skripsi tidak diterbitkan. Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya. Malang. Kiernan JA, 2000. Formaldehyde, Formalin, Paraformaldehyde, and Glutaraldehyde: What They Are and What They Do. Microscopy Today 00-1: 812. http://publish.uwo. ca/~jkiernan/formglut.htm. Diakses 20 Januari 2010). Kordi MGH, 2007. Pemeliharaan Udang Vanname. Indah. Surabaya. Kurnia TA, 2007. Pengaruh Konsumsi Udang Putih (Penaeus merquensis) Berformalin terhadap Berat Badan dan Histologis Tikus Wistar (Rattus norvegicus). Skripsi tidak diterbitkan. Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya. Malang. Levinson WE and Jawetz E, 1989. Medical Microbiology & Immunology: Examination and Board Review. : aLANGE medical book, San Francisco. Mahdi Ch, 2008. Suplementasi Yogurt pada Tikus (Rattus norvegicus) yang Terpapar Formaldehid dalam Makanan terhadap Aktivitas Antioksidan, Kerusakan Oksidatif, Profil dan Karakter Protein Jaringan. Disertasi tidak diterbitkan.. Progran Pascasarjana UB. Malang Muchtadi D, 2010. Teknik Evaluasi Nilai Gizi Protein. Alfabeta, Bandung. Nadeau OW and Carlson GM, 2005. Protocol: Protein Interaction Capture by Chemical Cross-linking: One-step Crosslinking with Formaldehyde. http://stainsfile.info/StainsFile/ prepare/fix/agents/formalin.htm. Diakses 19 Januari 2010. Naria E, 2004. Resiko Pemajanan Formaldehid sebagai Bahan Pengawet Tekstil di Lingkungan Kerja. Dizitiged by USU Digital Library. Bagian Kesehatan Lingkungan FKM USU. Nolodewo A, Yuslam, dan Muyassaroh, 2007. Paparan Formaldehid sebagai Faktor Resiko Kanker Nasofaring: Kajian pada Penderita Karsinoma Nasofaring di RS. Dr. Kariadi Semarang. Cermin Dunia Kedokteran 155: 9699. Oldham JD, Hart IC, and Bines JA, 1982. Formaldehyde-treated Protein for Dairy Cows-Effects on Blood Hormone Concentrations. Br. J.Nutr. 48: 543547. Orwa C, A Mutua, Kindt R, Jamnadass R, and S Anthony, 2009. Averrhoa bilimbi L. Agroforestree Database: a Tree Reference and Selection Version 4.0. http:// worldagroforestry.org/sites/treedbs/treedatabases.asp. Diakses 12 Desember 2009.

Chandrasoma P dan Taylor CR, 2006. Ringkasan Patologi anatomi. Ed. ke-2. Penerjemah: Roem Soedoko, Lydia I. Mander dan Vivi Sadikin. EGC, Jakarta. CPSC, 1997. An Update on Formaldehyde. Washington, DC: U.S. Consumer Product Safety Commission. http://www.cpsc. gov. Diakses 12 November 2008. DHHS, 1999. Toxicological Profil for Formaldehyde. Public Health Service, Agency for Toxic Substance and Disease Registry, U.S. Dept. of Health and Human Service. Atlanta, Georgia. Dzulkarnain B, Sundari D, dan Chozin Au, 1996. Tanaman Obat Bersifat Antibakteri di Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran. No. 110: 3544 EPA, 2008. Registration Eligibility Decision for Formaldehyde and Paraformaldehyde. Washington, D.C.: US Environmental Protection Agency. http://www.regulation.gov. Diakses 26 Januari 2010. Fessenden and Fessenden, 1986. Kimia Organik. Penerjemah: Penerjemah: Aloysius Handyana Pudjaatmaka. Erlangga, Jakarta. Gomez KA dan Gomez AA, 2007. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. Terjemahan oleh Endang Syamsuddin dan Justika S. Baharsyah. UI-Press, Jakarta. Haberle DG, Hill W, Kazachkov, Mychaylo., Richardson JS, and Peter HY, 2004. Protein Cross-Linkage Induced Formaldehyde Derived from Semicarbazide-Sensitive Amine Oxidase-Mediated Deamination of Methylamine. Journal of Pharmacology and Experimental Therapeutic Fast Forward. 310: 11251132. http://jpet.aspetjournals. org/cgi/ content/full/310/1125. Diakses 19 Februari 2009. Hadi S, 2009. Efek Karsinogenik Formaldehid pada Pajanan Kronik. http://okupasi.blogspot.com. Diakses 19 Januari 2010. Harris RS dan Karmas E (Eds.), 1989. Evaluasi Gizi pada Pengolahan Bahan Pangan. Terjemahan oleh Suminar Achmadi. ITB, Bandung. Hove EL and Lohrey E, 1976. The effect of Formaldehyde on the The effect of Formaldehyde on the Nutritive Value of Casein and Lactalbumin in the diet of Rat. J. Nutr. 106: 382387. IARC, 2006. Formaldehyde: IARC Monograph on the Evaluation of Carcinogenic Risks to Human. WHO 88: 39325. Idrus HA, 1994. Sea Food Trend Masakan Khas Hasil Laut. C.V. Bahagia, Pekalongan. Innamasari D, 2007. Pengaruh Konsumsi Ikan Asin Kuniran (Ipeneus sulphureus) Berformalin terhadap Pertumbuhan dan Organ Dalam Tikus Putih Wistar (Rattus norvegicus). Skripsi tidak diterbitkan. Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya..Malang. Ishak F, 2007. Formalin Sebabkan Gangguan Menstruasi dan Infertilitas Wanita. http://donnaisra.wordpress.com. Diakses 10 Oktober 2008. Jawa Pos, 2009. Gerebek Pabrik Tahu Berformalin. http://www. jawapost.co.id. Judarwanto W, 2006. Pengaruh Formalin Bagi Sistem Tubuh. http://puterakembara.org. Diakses 10 Oktober 2008.

Sulistiarini Patel, Kumud G, Bhatt H, Venkatakrishna, and Choudhury AR, 2003. Alteration in Thyroid after Formaldehyde (HCHO)Treatment in Rat. Industrial Health 41: 295297. Priyatno D, 2009. 5 Jam Belajar Olah Data dengan SPSS 17. Andi, Yogyakarta. Oramahi HA, 2009. Perancangan Percobaan: Aplikasi dengan SPSS dan SAS. Gava Media, Yogyakarta. Raihan CF, 2003. Pengaruh Waktu Perendaman terhadap Serapan Formalin dan Proses Deformalinisasi Ikan Asin Jambal Hasil Proses Penggaraman Kering. Skripsi tidak diterbitkan. Jurusan Kimia FMIPA ITS. Surabaya. Richardson T and Finley JW, 1985. Chemical Changes in Food during Processing. Westport, AVI Publishing Company, Inc, Conecticut. Riawan S, 1990. Kima Organik. Edisi ke-1. : Binarupa Aksara, Jakarta. Ritchie IM and Lehnen RG, 1987. Formaldehyde-realted Complain of Residents Living in Mobile anda Conventional Homes. American Journal of Public Health. 3(77): 323328. Santy M, 2007. Pengaruh Konsumsi Cumi-cumi Asin (Loligo fealei) Berformalin terhadap Pertumbuhan Berat dan Organ Dalam Tikus Putih Wistar (Rattus norvegicus). Skripsi tidak diterbitkan. Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya. Malang. Shaham J, Bomstein Y, Meltzer A, Kaufman Z, Palma E, and Ribak J, 1996. DNA-protein Crosslinks, a Biomaker of Exposure to Formaldegyde in vitro and in vivo Studies. Carcinogenesis 17(1): 121125. Sihombing M dan Sihombing G, 1996. Nilai Biologi Tahu yang Direndam dalam Formalin. Cermin Dunia Kedokteran. No. 111: 1719. http://www.kalbe.co.id. Diakses 28 Agustus 2010. Soedarya AP, 2009. Agribisbis Belimbing. Pustaka Grafika, Bandung.



Soewoto H, Sadikin M, Kurniati MMV, Wanandi SI, Physiol, Retno, Abadi, Prijanti AR, Harahap IP, Jusman SWA, 2001. Biokimia Eksperimen Laboratorium. Widya Medika, Jakarta. Suntoro SH, 1983. Metode Pewarnaan. Bhratara Karya Aksara. Jakarta. Sukesi, 2006. Cara Baru Kurangi Kadar Formalin. Kimia ITS. http://www.its.ac.id. Diakses 2 Oktober 2009. Sufi, 2009. Masakan Ikan dan Seafood Nusantara. Agromedia Pustaka, Jakarta. Susanti FD, 2007. Pengaruh Konsumsi Pindang Tongkol (Thunnus sp.) Berformalin terhadap Berat Badan dan Histologis Tikus Wistar (Rattus norvegicus). Skripsi tidak diterbitkan.. Malang: Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya. Van Steenis CGGJ, 1992. Flora. Penerjemah. Moeso suryowinoto, dkk. Pradnya Paramita, Jakarta. WHO, 1989. Environmental Health Criteria For Formaldehyde. Published Under the joint Sponsor of the United Nation Environment Program, The International Labour Organization, and The World Health Organization. Geneva: WHO. , 2005. Penyakit Bawaan Makanan: Fokus Pendidikan Kesehatan. Alih Bahasa oleh Andry Hartono. EGC. Jakarta. . 2001. Chapter 5.8 Formaldehyde. WHO Regional Office for Europe. Copenhagen Denmark. Wilbraham AC dan Matta MS, 1992. Pengantar Kimia Organik dan Hayati. Penerjemah: Suminar Achmadi. ITB, Bandung. Wilson K and Goulding KH (Eds.), 1986. Biologists Guide to principle and Techniques of Practical Biochemistry. Edward Arnold Publisher , Ltd, London. Zahra T, Parviz T, Simin F, and Mehdi T, 2007. Effect of Formaldehyde Injection in Mice on Testis Function. International Journal of Pharmacology 3(5): 421424.

You might also like