Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 9

Berk. Penel.

Hayati Edisi Khusus: 7A (5967), 2011

VALUASI EKONOMI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE DALAM PERENCANAAN WILAYAH PESISIR


Nuddin Harahab* Fisheries and Marine Science Faculty, Brawijaya University Malang Indonesia Phone: +62341531954; mobile phone +628123383851; *Corresponding author: marmunnuddin@yahoo.com

ABSTRACT Mangrove is a part of coastal ecosystem that provide valuable ecosystem services on coastal land stabilization, groundwater protection, sheries and bioshield (seawaves). Economical uses of coastal areas are for settlement, brackish water aquaculture, industrial and infrastructure development. The objective of this report is to design an economic modeling of the ecosystem services in order to design a coastal development in the future. The model of economic value of mangrove ecosystem includes shrimp farming performance, alternative economic coastal activities and optimization of coastal plan. The value of mangrove ecosystem services is calculated based on the Total Economic Valuation (TEV). Benet Tabulation, Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), and Net Benet Cost Ratio (Net B/C) is applied to analyze the protability and feasibility of shrimp farming. In addition, the Multiple Objective Goals Programming (MOGP) method is used to measure the optimization of coastal plan. The results clearly demonstrate the mangrove ecosystems have a signicant economic value to the local community. In order to maximize their value, the mangrove ecosystems need to be conserved for sustainable economic uses. Key words: Economic valuation, goal programming, mangrove ecosystem, planning area, shrimp farming

PENGANTAR Hutan mangrove merupakan sumberdaya pesisir yang memiliki daya dukung tinggi bagi kehidupan terutama dari fungsi yang dikandungnya (biologi, kimia, sik dan ekonomi). Oleh karena itu kawasan pesisir pantai menjadi bagian yang sangat penting dalam kegiatan pembangunan dan perekonomian. Seperti yang diperkirakan (Dahuri, 1993, 1996, 1997; Dahuri et al., 2001; Bengen, 2005) bahwa dengan adanya kecenderungan sumberdaya daratan yang semakin langka, maka sumberdaya pesisir dan laut akan menjadi sumber pertumbuhan baru dan tumpuhan harapan bagi pembangunan di Indonesia. Hutan mangrove di lokasi penelitian merupakan hutan mangrove yang cukup baik dan vegetasi sedikit beragam. Jenis mangrove yang mendominasi yaitu Rhizophora mucronata, Sonneratia alba, dan Avicennia alba. Sebagian besar hasil reboisasi tahun 1980-an dan juga dari tanaman alami yang masih terperlihara dengan baik. Luas hutan mangrove di lokasi penelitian sekitar 146,0 hektar. Saat ini sedang dilakukan reboisasi sekitar 50 hektar yang dilakukan oleh kelompok "Bentar Indah" dan "Curah Mulya" dengan dana pembiayaan oleh Yayasan OISCA-International (The Organization for Industrial, Spiritual and Cultural Advancement) dalam program TMMP (Tokio Marine Mangrove Project). Kerjasama dilakukan selama 5 tahun dimulai tahun 2004 sampai dengan 2009.

Secara normatif, kekayaan sumberdaya wilayah pesisir tersebut dikuasai oleh negara untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat (Pasal 33 ayat 3 UUD 1945), dan harus dikelola sedemikian rupa sehingga mamberikan manfaat, baik bagi generasi sekarang maupun generasi yang akan datang (Pasal 4 UU. Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 23 Tahun 1997). Keputusan Presiden No.32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, menetapkan jalur hijau (green belt) adalah 130 kali rata-rata perbedaan antara pasang tertinggi dan terendah, atau sekitar 140 meter dari garis pantai ke arah daratan. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/MENHUT/V/2004 menyebutkan bahwa, hutan mangrove merupakan jalur hijau daerah pantai yang mempunyai fungsi ekologis dan sosial ekonomi. Namun, peraturan pemerintah tersebut belum terimplentasikan dengan sempurna, sehingga banyak wilayah hutan mangrove dikonversi untuk kegunaan lain. Keadaan demikian, mungkin karena tingginya permintaan lahan di kawasan pesisir untuk berbagai macam gegunaan (pemukiman, tambak, industri, dan pembangunan infrastuktur), dan juga rendahnya koordinasi dan integrasi terhadap nilai ekosistem hutan mangrove dalam perencanaan wilayah. Pemanfaatan wilayah pesisir mempunyai banyak tujuan pada berbagai macam aktivitas ekonomi yang ada. Dampak dari suatu aktivitas ekonomi yang satu terhadap yang lain mempunyai potensi saling merugikan manakala tidak diatur keselarasannya. Di sisi lain masing-masing

60

Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove

aktivitas ekonomi selalu berusaha untuk memaksimumkan keuntungan dengan sumberdaya yang dimiliki. Oleh karena itu integritas pengelolaan dengan berbagai macam tujuan dan prioritas harus dapat ditentukan dengan baik. Dasar penentuan tersebut tentunya harus tetap memperhatikan keselarasan dari sebuah sistem lingkungan, dengan demikian analisis manfaat ekonomi dan ekologi suatu ekosistem harus tetap menjadi dasar utama dalam perumusan model kebijakan yang dilakukan. Manfaat ekonomi diartikan sebagai nilai ekonomi dari pemanfaatan sumberdaya, dalam hubungan ini nilai ekonomi hutan mangrove adalah manfaat penggunaan langsung (direct use value: DUV). Sedangkan nilai ekologi berkaitan dengan fungsi yang dikandungnya dan berkaitan dengan jasa-jasa lingkungan. Oleh karena itu nilai ekologi merupakan nilai penggunaan tidak langsung (indirect use value: IUV) terhadap ekosistem tersebut. Pengelompokan berbagai macam manfaat dan fungsi ekosistem hutan mangrove disampaikan dengan berbagai versi (Dixon, 1989; Khalil, 1999; Rawana, 2002; Arief, 2003; Gunarto, 2004; Pagoray, 2004, Hudspeth et al., 2007), yang pada intinya terdiri dari manfaat secara ekonomi dan ekologi. Sedangkan teknik penilaian sumberdaya alam banyak dijelaskan dalam Hufscmidt et al. (1987), Dixon (1989), Pearce and Turner (1990), Pomeroy (1992), Munasinghe (1993), Pearce dan Moran (1994), Fauzi (2004), The economic valuation adalah pemberian nilai ekonomi terhadap semua manfaat dan jasa yang disediakan oleh suatu sumberdaya. Nilai total valuasi ekonomi tersebut sangat penting diketahui dan diintegrasikan dalam perencanaan wilayah. Dengan kata lain, perencanaan wilayah pesisir dengan berbagai macam aktivitas penggunaan lahan harus memperhitungkan nilai ekonomi ekologi suatu sumberdaya tersebut. Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan pilihan dari berbagai alternatif skenario pengelolaan wilayah pesisir dengan berbagai alternative penggunaan lahan. Sedangkan secara khusus tujuan penelitian ini (1) untuk mengetahui nilai ekonomiekologi (total nilai ekonomi: TEV) ekosistem mangrove, (2) performance usaha yang diskenariokan, dan (3) Optimasi pemanfaatan wilayah. BAHAN DAN CARA KERJA Penentuan Sampel Penentuan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sample. Responden ditentukan yaitu: 1) pencari ikan, 2) pencari kepiting, 3) pencari udang, 4) pencari tiram, 5) pencari telur burung, 6) petani tambak, 7) stakeholders (Local Goverment

and NGO). Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari beberapa kegiatan observasi, wawancara terhadap responden. Sedangkan data sekunder diperoleh dari data dokumen dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Kelautan dan Perikanan, dan BPS Kabupaten Probolinggo. Teknik Analisa Data Metode penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif deskriptif. Analisis kuantitatif deskriptif maupun penjelasan kualitatif akan menggambarkan tentang karakteristik ekosistem hutan mangrove dan daya dukungnya terhadap perikanan. Sedangkan analisis kuantitatif berdasarkan data angka menjelaskan tentang: 1) Nilai ekonomi ekosistem hutan mangrove, 2) Performance usaha yang diskenariokan, dan 3) Optimasi pemanfaatan wilayah pesisir. Secara rinci teknik analisis yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1) Perhitungan Nilai ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove Teknik perhitungan untuk menilai ekonomi suatu sumberdaya, mengacu metode valuasi ekonomi atau total economic valuation (TEV) yang dikemukakan oleh Dixon et al., (1988 dalam Pomeroy, 1992). Secara matematis dapat dirumuskan dalam persamaan sebagai berikut: TEV = UV + NUV = (DUV + IUV + OV) + (BV + EV)................................................... (1)

Keterangan: TEV = Total Economic Value (Total Nilai Ekonomi) UV = Use Value (Nilai Penggunaan) NUV = Non Use Value (Nilai Intrinsik) DUV = Direct Use Value (Nilai Penggunaan Langsung) IUV = Inderect Use Value (Nilai Penggunaan Tidak langsung) OV = Option Value (Nilai Pilihan) EV = Exsistence Value (Nilai Keberadaan) BV = Beguest Value (Nilai Warisan/kebanggaan) 2) Analisis performance usaha yang diskenariokan Analisis performance usaha yang diskenariokan di sini meliputi: perhitungan nilai keuntungan usaha, rentabilitas, Net Present Value (NPV), Net Benet-Cost Ratio (Net B/C), dan Internal Rate of Return (IRR). 3) Model Optimasi Pemanfaatan Wilayah Model analisis yang dapat merumuskan lebih dari satu tujuan adalah Goal Programming atau Multiple Objective Goal Programing (MOGP). Model ini merupakan suatu

Harahab

61 Di mana: Pi = prioritas dari pencapaian kendala tujuan Wi = bobot sebagai nilai resiko dari kendala tujuan pengelolaan di+ = deviasi positif dari kendala tujuan untuk target minimal di- = deviasi negatif dari kendala tujuan untuk target maksimal

prosedur matematis dalam mendeterminasikan rencana alternatif aktivitas dengan cara meminimumkan deviasi agregat dari suatu tujuan kuantitatif, sehingga dicapai solusi optimal dari berbagai tujuan yang diinginkan. Dengan memasukkan lebih dari satu tujuan yang langsung berhubungan dengan fungsi tujuan dalam bentuk variabel deviasional, maka model program tujuan ganda (Xj) dapat diformulasikan sebagai berikut: Xj = X1, X2, X3, X4............................................. (2) Di mana: X1: aktivitas untuk tambak intensif X2: aktivitas tambak silvoshery X3: aktivitas penanaman mangrove dan produksi arang X4: aktivitas untuk konservasi hutan mangrove Rumusan matematis fungsi tujuannya (Z) adalah: n Z = PiWi (di+ + di-).............................................. (3) i=1 HASIL Tabel 1 merupakan rekapitulasi total nilai ekonomi.

Jika terdapat beberapa tujuan dengan beberapa rangking menurut kepentingannya, maka faktor prioritasnya Pi (i = 1, 2, 3, 4,...n). Notasi dari Pi berarti bahwa P1 lebih diutamakan daripada P2, dan seterusnya, sehingga faktorfaktor prioritas ini memiliki hubungan sebagi berikut: (P1 > P2 > P3 > P4 > Pi + 1). Hubungan prioritas tersebut menunjukkan bahwa walaupun faktor Wi digandakan sebanyak n kali (n > 0), namun faktor yang diprioritaskan akan tetap menjadi teratas. Dalam keperluan penelitian ini prioritas-prioritas tersebut akan diperlakukan sesuai skenario pengelolaan. Software pendukung yang dipakai dalam analisis ini adalah QM, 3.2.

Tabel 1. Rekapitulasi total nilai ekonomi (total economic value) ekosistem mangrove di Kecamatan Gending. No 1. Uraian Penggunaan langsung (direct use value): Penangkapan Udang, produksi 29.472 kg/tahun Penangkapan Kepiting, produksi 93.000 kg/tahun Penangkapan Burung/telur burung, produksi 64.680 butir/tahun Penangkapan Tiram, produksi 120.960 kg/tahun 2. Penggunaan tidak langsung (indirect use value): Penahan intrusi Perlindungan pantai dari abrasi, banjir Daya dukung Produksi tangkapan ikan (ikan Belanak, kakap, bawal) 3. Jumlah Nilai pilihan (obtion value): keanekaragaman hayati: 9.961.215.000 472.440.944 678.802.500 21.656.910 13.941.885.354 68.227.500 3.235.896,8 4.649.332,1 148.335 95.492.366 818.800.000 1.131.000.000 7.770.000 850.200.000 5.608.219,1 7.746.575,3 53.219,1 5.823.287,6 Luas wilayah 146 Ha (Rp/Tahun) 1Ha (Rp/Tahun)

Tabel 2 merupakan pendapatan bersih dalam pemanfaatan wilayah peisisr 559 ha yang diskenario

62

Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove

Tabel 2. Pendapatan bersih dalam pemanfaatan wilayah pesisir 559 ha yang diskenario (Rupiah) No 1. Produksi: Udang Tambak Udang Mangrov Arang Bandeng Kepiting Telur burung Tiram 2. Jasa Lingkungan: Penahan Intrusi Perlindungan Pantai Daya dukung (ikan) Keragaman hayati (stabilitas perairan) 3. Biaya-Biaya: Investasi Operasional 4. Cash Flow: NPV IRR Net B/C 57.858.162.413 51% 1,4 40.318.720.371 94% 8,6 7.785.677.376 44% 4,1 22.878.117.644 65% 6,9 105.762.800.000 147.911.400.000 5.239.902.000 2.175.790.400 2.434.950.000 144.528.000 2.254.950.000 726.700.000 (9.961.215.000) (472.440.944) (678.802.500) (21.656.910) 9.961.215.000 472.440.944 1.557.526.254 49.692.225 7.436.797.500 352.712.752 506.777.199 16.168.515 9.961.215.000 472.440.944 2.598.976.644 49.692.225 86.868.600.000 (818.800.000) (1.131.000.000) (7.770.000) (850.200.000) 4.905.600.000 1.878.753.339 1.612.800.000 2.595.102.726 17.828.396 1.950.801.346 611.295.882 540.000.000 844.376.708 5.800.882 643.738.349 1.878.753.399 2.595.102.726 17.828.399 1.950.801.346 Uraian Tambak Saja (X1) Tambak Wanamina (X2) Arang dan Mangrove (X3) Mangrove Saja (X4)

Tabel 3 merupakan matrik hasil analisis optimasi dengan beberapa skenario dalam pemanfaatan lahan 559 ha
Tabel 3. Matrik hasil analisis optimasi dengan beberapa skenario dalam pemanfaatan lahan 559 hektar Aktivitas No Skenario/Prioritas Tambak Intensive X1 4,96 hektar Tambak Silvofishery X2 554,16 hektar Produksi Arang dan Mangrove X3 0 Konservasi Mangrove X4 0

1.

Prioritas yang Sama Terhadap Semua Tujuan: Keuntungan Udang, Kepiting, Bandeng, Telur burung, Tiram; Jasa Lingkungan, Keberlanjutan, Efisiensi. Prioritas utama Keberlanjutan usaha Prioritas utama Keberlanjutan dan Jasa Lingkungan Prioritas utama Keuntungan Udang Prioritas utama Kesempatan Kerja danTanpa Target Efisiensi

2. 3. 4. 5.

0 0 4,8 hektar 12,29 hektar

559,0 hektar 0 554,1 hektar 0

0 0,03 hektar 0 0

0 558,9 hektar 0 549,04 hektar

PEMBAHASAN Total Nilai Ekonomi Ekosistem Mangrove Hasil penelitian didapatkan fungsi dan manfaat hutan mangrove di Kecamatan Gending: a) manfaat langsung, yaitu: produksi udang 29.472 kg/tahun, produksi kepiting

93.000 kg/tahun, produksi tiram 120.960 kg/tahun, dan sebagai tempat bersarangnya burung yang menghasilkan telur (pada musim penghujan terdapat komunitas burung blekok yang selalu berada di dalam hutan mangrove dengan produksi telur 64.680 butir/tahun); b) manfaat tidak langsung yaitu: sebagai groundwater protection (untuk

Harahab

63

kepentingan penduduk sekitar 33.401 jiwa atau 9.097 kepala keluarga sebagai penahan gelombang, pencegah abrasi dan sebagai perangkap sedimen maupun penahan angin badai, sebagai nursery habitat bagi berbagai macam biota perairan khususnya ikan (daya dukung produksi perikanan). Metode penilaian untuk mendapatkan total economic value (TEV) of mangrove ecosystem, mengacu pada metode yang dikembangkan oleh Dixon et al. (1988) dan Pomeroy (1992), dengan menerapkan beberapa metode yang sesuai dengan kondisi di lapang. Selanjutnya manfaat dan fungsi ekosistem mangrove tersebut di kelompokkan menjadi: nilai penggunaan langsung; nilai penggunaan tidak langsung; nilai pilihan; nilai keberadaan; dan nilai pewarisan. Hasil perhitungan nilai TEV ekosistem mangrove dapat ditunjukkan pada Tabel 1. Performance Usaha yang Diskenariokan Luas wilayah pesisir 559 hektar di Kecamatan Gending dilakukan skenario pemanfaatan wilayah dengan beberapa opsisebagai berikut. (1) Seluruh wilayah dijadikan tambak intensive udang vanname, (2) Seluruh wilayah dijadikan tambak silvoshery, (3) Seluruh wilayah untuk penanaman mangrove dan produksi arang, dan (4) Seluruh wilayah untuk konservasi hutan mangrove. Hasil analisis beberapa opsi tersebut menujukkan performance sebagai berikut. (1) Semua Wilayah untuk Tambak Intensif Udang Vanname Budidaya udang dalam tambak secara intensif membutuhkan investasi dan biaya yang cukup tinggi. Investasi lahan dan peralatan bisa mencapai Rp.189.200.000/ hektar, total biaya operasional mencapai Rp264.460.000/ hektar/tahun, meliputi kebutuhan benih 300.000 ekor/ hektar/siklus dan pakan udang sekitar 6.000 kg/hektar/ siklus. Tingginya input produksi tersebut menyebabkan beban lahan maupun lingkungan terhadap limbah yang ditimbulkan menjadi sangat berat. Keadaan demikian akan menyebabkan penurunan kualitas lingkungan dengan cepat, manakala proses pengangkatan atau pembersihan limbah tidak bisa dilakukan dengan sempurna. Pada akhirnya menyebabkan penurunan tingkat hidup udang maupun meningkatnya serangan penyakit karena kualitas air yang buruk. Data empiris menunjukkan bahwa pembangunan industri tambak di daerah pesisir Jawa maupun di luar Pulau Jawa di Indonesia mengalami kegagalan produksi pada masa setelah lima tahun dari masa awal produksi. Artinya bahwa tidak terjadi keberlajutan setelah lima tahun beroperasi, atau produktivitas selalu menurun sedangkan kebutuhan investasi ataupun biaya semakin tinggi. Keadaan demikian

berkaitan dengan kerusakan lingkungan dan menurunnya atau hilangnya hutan mangrove karena dikonversi menjadi tambak intensif, pengalaman yang sama terjadi pula di beberapa negara di Asia seperti yang dijelaskan dalam (Barbier and Ivar, 1997; Khalil, 1999). Prediksi inow-outow dalam waktu 10 tahun kedepan mengikuti trend yang terjadi pada pengalaman di beberapa daerah, bahwa produksi selalu mengalami penurunan dari tahun ke tahun dan penurunan semakin tajam setelah tahun kelima. Penurunan produksi tersebut karena tingkat hidup udang (survival rate: SR) semakin rendah. Sedangkan biaya produksi dan investasi cenderung naik. Hasil perhitungan disampaikan dalam diagram Gambar 1. Sedangkan performance usaha ditunjukkan oleh nilai NPV 57.858.162.413; IRR 51%; Net B/C 1,4. (2) Seluruh Wilayah Dijadikan Tambak Silvoshery Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa, kombinasi antara hutan mangrove dan tambak yang baik adalah 50%: 50% (JICA, 1999). Pedoman teknis silvoshery perum perhutani menetapkan perbandingan luas antara tanaman mangrove dan tambak 8: 2. Menurut Hikmawati (2000) perbandingan mangrove dan tambak yang ideal adalah 60%: 40%. Sedangkan menurut Nur (2002), bahwa perbandingan mangrove dan tambak yang baik adalah 70%: 30%. Di Philipina perbandingan antara mangrove dan tambak adalah 80%: 20%; di negara Vietnam 70% untuk mangrove, 20% untuk tambak, dan 10% untuk pemukiman (Primavera, 2000). Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka dalam skenario pengelolaan wilayah ekosistem hutan mangrove pada penelitian ini ditetapkan 40% tambak dan 60% hutan mangrove. Dengan demikian untuk opsi tambak silvoshery pada luas wilayah 559 hektar, didapatkan kombinasi luas tambak adalah 224 hektar dan luas hutan mangrove 335 hektar. Prediksi inow-outow tahunan dari tambak silvoshery ditunjukkan dalam Gambar 2. Sedangkan performance usaha ditunjukkan oleh nilai NPV 40.318.720.371; IRR 94%; Net B/C 8,6. (3) Seluruh wilayah untuk Penanaman Mangrove dan Produksi Arang Pengelolaan wilayah hutan mangrove dengan produksi arang diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif yang cukup baik. Tanaman mangrove dari famili Rhizoporaceae seperti Rhizopora apiculata dan Rhizopora mucronata memiliki karakter yang baik sebagai bahan baku arang. Arang yang terbuat dari jenis tersebut memiliki kualitas

64

Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove

yang mirip dengan arang Bincho dari Jepang, seperti berat yang spesik, keras, dan mudah terbakar. Asumsi yang digunakan dalam skenario pengelolaan ini mengacu pada hasil penelitian JICA (1999), kemudian dirumuskan sebagai berikut. (1) Produksi arang dan penanaman mangrove dilakukan dalam suatu wilayah dengan sistem tebang pilih dan dilakukan penanaman kembali atau reboisasi. (2) Ditetapkan rotasi 15 tahun, di mana plot wilayah untuk tebang dan tanam diatur agar bisa memenuhi rotasi 15 tahunan. (3) Kapasitas tungku pembuatan arang yang dipakai adalah 60 m3. (4) Rendemen diperkirakan 25%. (5) Produksi yang dihasilkan 15 ton/ siklus (6) Frekuensi pembakaran adalah 8 kali per tahun. (7) Luas hutan yang diperlukan untuk satu tungku pembakaran dengan metode tebang pilih dan sistem reboisasi adalah: a) konsumsi kayu per tahun = kapasitas tungku siklus pembakaran per tahun = 60 m3 8 kali bakar = 480 m3;. b) konsumsi untuk rotasi 15 tahun = konsumsi per tahun x 15 tahun = 480 m3 15 = 7.200 m3. (8) Berdasarkan Tabel volume tegakan dan tingkat pertumbuhan tanaman mangrove, maka dapat ditentukan rotasi dan luas hutan yang diperlukan, yaitu (a) volume efektif tegakan umur 15 tahun adalah 97,34 m3/hektar; (b) kebutuhan konsumsi kayu untuk rotasi 15 tahun adalah 7.200 m3, maka luas hutan mangrove yang diperlukan selama 15 tahun untuk satu tungku yaitu (7.200/97,34) = 73,96 hektar, dibulatkan 74 hektar. Jadi kebutuhan per tahun adalah sekitar 5 hektar. (9) Ketentuan penebangan tetap memperhatikan Keppres No. 32/1992, yaitu pengelolaan kawasan lindung; jalur hijau kawasan mangrove 130 kali perbedaan pasang tertinggi dan terendah. Dengan demikian luas wilayah mangrove 559 hektar, dapat diusahakan 6 unit tungku pembakaran. Prediksi inow-outow pembuatan arang dalam masa 10 tahun ke depan secara diagram disajikan dalam Gambar 3, sedangkan performance usaha ditunjukkan oleh nilai NPV 7.785.677.376; IRR 44%; Net B/C 4,1. (4) Semua Wilayah untuk Konservasi Hutan Mangrove Apabila dengan berbagai pertimbangan tertentu kemudian seluruh wilayah tersebut dijadikan hutan lindung, maka pemanfaatan ekosistem hutan adalah terbatas pada

pemanfaatan barang dan jasa yang dihasilkan tetapi tidak menebang tanamannya. Prediksi inflow-outflow dalam waktu 10 tahun ke depan mengikuti fakta di lapang, bahwa income atau benet diperkirakan meningkat dari tahun ke tahun, dengan asumsi keadaan hutan tidak mengalami kerusakan. Hasil prediksi inflow-outflow ditunjukkan dalam diagram Gambar 4, sedangkan performance usaha ditunjukkan oleh nilai NPV 22.878.117.644; IRR 65%; Net B/C 6,9. Fungsi tujuan menunjukkan fungsi dari aktivitas usaha yang hendak dicarikan solusi optimalnya. Untuk memudahkan analisis dan interpretasi hasil analisis, maka fungsi tujuan pada aktivitas usaha dianalisis dengan satuan hektar. Berapa solusi optimal dari berbagai alternatif aktivitas usaha (seperti: tambak intensif, tambak silvoshery, produksi arang, dan pemanfaatan jasa lingkungan hutan mangrove). Artinya, berapa hektar yang harus diusahakan pada masing-masing aktivitas tersebut. Dalam penelitian ini, koesien fungsi tujuan merupakan pendapatan bersih setiap satuan aktivitas usaha, yaitu pendapatan bersih dari udang, bandeng, arang, kepiting, telur burung, tiram, perlindungan pantai, daya dukung biota, keragaman hayati. Sedangkan fungsi pembatas atau fungsi kendala merupakan bentuk penyajian secara matematis dari batasan-batasan kapasitas tersedianya sumberdaya yang akan dialokasikan secara optimal ke berbagai kegiatan usaha. Hasil analisis pada 4 aktivitas yang diskenariokan (yaitu; X1: tambak intensif; X2: tambak silvoshery; X3: produksi arang; X4: penanaman mangrove) dapat disajikan informasi pendapatan bersih pada masing-masing aktivitas tersebut (Tabel 2). Menentukan fungsi tujuan merupakan dasar dari peneliti dalam menentukan sasaran atau target yang ditetapkan dalam penelitian. Jadi pada fungsi tujuan inilah sebenarnya yang akan dipakai sebagai dasar peneliti atau pembuat keputusan dalam mendasarkan dirinya untuk mengambil keputusan. Model matematis MOGP adalah sebagai berikut: Z = PiWi (d1- + d2- + d31+ d4- + d51+ d6- + d71+ d8- + d91+ d10 + d11++ d12- + d13-+ d14- + d15-+ d16-).

Harahab
Kendala Tujuan: Keuntungan udang Keuntungan arang Keuntungan bandeng Keuntungan kepiting Keuntungan telur brung Keuntungan tiram Jasa intrusi Perlindungan pantai Daya dukung biota Keragaman hayati Biaya Keberlanjutan IRR Efisiensi finansial (B/C) Tenaga kerja Areal lahan 264600 X1 + 6 X1 + 51 X1 + 1,4 X1 + 945 X1 + X1 + 2885 X2 4642 X2 + 32 X2 + 3490 X2 + 17820 X2 + 845 X2 + 2786 X2 + 89 X2 + 3892 X2 + 25 X2 + 94 X2 + 8,6 X2 + 315 X2 + X2 + 1511 X3 + 10 X3 + 1152 X3 + 13304 X3 + 631 X3 + 907 X3 + 29 X3 + 1559 X3 + 15 X3 + 44 X3 + 4,1 X3 + 773 X3 + X3 + 4642 X4 32 X4 3490 X4 17820 X4 845 X4 282 X4 89 X4 1300 X4 50 X4 65 X4 6,9 X4 1560 X4 X4 155400 X1 + 8776 X2 + 1094 X3 + 966 X3 3361 X4 + d1+ + d1+ d2+ + d2+ d3+ + d3+ d4+ + d4+ d5+ + d5+ d6+ + d6+ d7+ + d7+ d8+ + d8+ d9+ + d9= 4905600 = 650000 = 1500000 = 2500000 = 5800 = 1950801 = 9961217 = 472442 = 2598976

65

+ d10+ + d10- = 49698 + d11+ + d11- <= 3047018 + d12+ + d12- = 6 + d13+ + d13- = 20 + d14+ + d14- = 2 + d15+ + d15- = 65498 + d16+ + d16- <= 559

Berdasarkan hasil analisis optimasi perencanaan wilayah dengan menggunakan MOG, dapat disusun dalam sebuah matrik seperti pada Tabel 3. Opsi manajemen yang dipilih tergantung pada tujuan dalam pengelolaan. Sebagai contoh, apabila tujuan pengelolaan yang diharapkan adalah tercapainya semua tujuan (keuntungan produksi, jasa lingkungan, keberlanjutan, dan esiensi), maka pilihan yang diambil adalah pemanfaatan areal dengan 4,96 hektar untuk tambak intensif dan 554,1 hektar untuk tambak silvoshery. Berdasarkan Tabel 3 tersebut, perencanaan pemanfaatan wilayah dapat memperhatikan beberapa skenario yang ada. Andaikata perencana ingin meciptakan kesempatan kerja menjadi prioritas utama, maka solusi optimal adalah pilihan pada skenario yang ke 5, di mana ada pemanfaatan areal untuk X1 tambak intensif 12,29 hektar dan untuk hutan mangrove 549 hektar. Akan tetapi pilihan ini tanpa memperhatikan esiensi, sehingga tujuan esiensi ekonomi dalam sebuah usaha tidak menjadi pertimbangan. Dalam hal ini mungkin tidak terpenuhi konsep pembangunan berkelanjutan, di mana minimal ada tiga keberlajutan yaitu keberlanjutan ekonomi, ekologi, dan sosial. Keberlanjutan sosial dan ekologi tarjamin tetapi tidak ada keberlajutan secara ekonomi akan dapat mengancam sistem ekologi. Karena insentif ekonomi harus ada bahkan harus tinggi dengan tanpa menghilangkan sistem ekologi dan terciptanya kepentingan sosial.

Peneliti memberikan pemikiran dalam perencanaan pemanfaatan wilayah ini, bahwa pilihan pada skenario yang pertama atau yang ke-4 barangkali sangat tepat. Pada pilihan skenario tersebut, target utama keuntungan udang sangat beralasan, yaitu pasar komoditi udang di tingkat lokal maupun internasional masih sangat baik. Dasar pertimbangan yang lain adalah untuk menjawab berbagai permasalahan ekonomi, ekologi, dan sosial di masa sekarang bahkan di masa depan. Permasalahan sosial saat ini yang paling utama adalah berkaitan dengan kesempatan kerja dan apresiasi penghargaan masyarakat terhadap lingkungannya. Oleh karena itu pilihan ini dirasa mampu memenuhi kebutuhan tersebut, sehingga konik sosial tidak lagi terjadi. Karena proporsi yang tepat dalam pemanfaatan wilayah untuk tambak intensif dan silvoshery akan mampu menciptakan kesempatan kerja maupun keseimbangan lingkungan, artinya masyarakat lokal tidak kehilangan mata pencaharian dan justru semakin terbuka, karena dengan berkembangnya hutan mangrove masyarakat lokal akan mampu menderivasi kegiatan atau aktivitas perikanan tangkap maupun budidaya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ekosistem hutan mangrove mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, dan sudah seharusnya dalam perencanaan wilayah pesisir juga memperhitungkan nilai ekonomis-ekologis ekosistem hutan mangrove.

66

Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove

Gambar 1. Prediksi inflow-outflow tambak Intensive Gambar 4. Prediksi inflow-outflow Mangrove Conservation

KEPUSTAKAAN
Arief A, 2003. Hutan Mangrove: Fungsi dan Manfaatnya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Barbier EB and Strand I, 1997. Valuing Mangrove-shery: a Case Study of Campeche, Mexico. Paper Prepared for the 8th annual conference of European Association of Environ-mental and Resource Economics (EAERE), Tilburg University, The Netherlands. Bengen DG, 2005. Menuju Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu Berbasis Daerah Aliran Sungai (DAS), Interaksi Daratan dan Lautan Pengaruhnya terhadap Sumberdaya dan Lingkungan. Lembaga Pengetahuan Indonesia, LIPI Press Jakarta. Dahuri R, 1993. Model Pembangunan Sumberdaya Perikanan Secara Berkelanjutan. Simposium Perikanan Indonesia I, Jakarta. , 1996. Pengembangan Rencana Pengelolaaan Pemanfaatan Berganda Hutan Mangrove di Sumatera, Pusat Penelitian Lingkungan Hidup. Institut Pertanian Bogor. Bogor. , 1997. Pengelolaan Kawasan Laut dan Pesisir Secara Terpadu di Indonesia, Makalah kursus pengelolaan kawasan pesisir dan laut. Pusat Penelitian Kependudukan dan Lingkungan Hidup, LP-ITS. Surabaya dengan PPPSL. Surabaya. Dahuri R, Rais J, Ginting SP, dan Sitepu MJ, 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir Dan Lautan Secara Terpadu, Cetakan kedua, Penerbit Pradnya Paramita. Jakarta. Degroot RS, Wilson MA, dan Boumans RMJ, 2002. A Typology for the Clasication, Description and Valuation of Ecosystem Functions, goods and services. Ecological Economics, 41: 393408.

Gambar 2. Prediksi inflow-outflow tambak Silvofishery

Gambar 3. mangrove

Prediksi inflow-outflow produksi arang and

Harahab Dixon JA, 1989. Valuation of Mangrove: Tropical Coastal area Management. Metro Manila Philipines. 4 dan 3. Fauzi A, 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi, PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Gunarto, 2004. Konservasi Mangrove Sebagai Pendukung Sumber Hayati Perikanan Pantai. Jurnal Litbang Pertanian, 23 (1). Hikmawati DC, 2000. Tambak Berkelanjutan. http://cerd.or.id/ news/buletin/Volume206/Tambakberkelanjutan.htm. Diakses 26 Januari 2006. Hudspeth TR, Joshua F, dan Roelof B, 2007. Valuing Philippine Mangrove Forest via Ecological Economics. University of Vermon Environmental Program and Rubenstein Shool of Environmental and Natural Resources, Burlington. Thomas. Hudspeth@uvm.edu. Hufschimdt MM, James DE, Meister AD, Bower BT, dan Dixon JA, 1987. Environmental Natural System and Development, an Economic Valuation Guide. (Edisi Indonesia: Lingkungan Sistem Alami dan Pembangunan, Petunjuk Penilaian Ekonomis). Gadjah Mada University Press. Jogyakarta. JICA (Japan International Cooperation Agency), 1999. Sustainable Management Models for Mangrove Forest. Alih bahasa: Oki Hadiyati dan Ni Luh Kompyang Sri Marsheni. Departemen Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia.

67

Khalil S, 1999. The Economic Value of The Environment: Cases from South Asia. IUNC. www.iucnus.org/publication.html. Munangsihe M, 1993. Environmental Economics and Sustainable Development. World Bank Environnment Paper Number 2. Nur SH, 2002. Pemanfaatan Ekosistem Hutan Mangrove secara Lestari untuk Tambak Tumpang Sari. Disertasi Program Pascasarjana. IPB, Bogor. Pagoray H, 2004. Lingkungan Pesisir Dan Masalahnya Sebagai Daerah Aliran Buangan Limbah. Makalah Falsafah Sains (PPs 702) Program Pasca Sarjana IPB. Bogor. Pearce D dan Turner RK, 1990. Economics of Natural Resources and The Environment. Harvester Wheatsheaf. Pearce D dan Moran D, 1994. The Economic Value of Biodiversity. IUNC. Earthscan Publication, London. Primavera JH, 2000. Integrated Mangrove-Aquaculture System in Asia. Integrated Coastal Zone Management. Autumn ed. p. 121130. Pomeroy RS, 1992. Economic Valuation Available Methode. In Chua TE and Scura LF (eds.). Integrative Framwork and Methods for Coastal Area Managemant. ICLARM Conf. Proc., 37: 149162. Rawana, 2002. Problematika Rehabilitasi Mangrove Berkelanjutan. Materi Pelatihan dan Workshop Rehabilitasi Mangrove Tingkat Nasional. Jogyakarta.

You might also like