Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 10

SEMINAR NASIONAL SAINS DAN TEKNOLOGI IV

Hotel Marcopolo, Bandar Lampung, 29 30 November 2011 SENSITIVITAS PEMERIKSAAN SITOLOGI PLEURITIS TUBERKULOSA Rizki Hanriko, Muhartono Fakultas Kedokteran Universitas Lampung ABSTRACT Tuberculous pleurosy is the most common manifestation of extrapulmonary tuberculosis and the most common cause of pleural effusion. But until now, clinical diagnosis is still difficult to enforce. This study aimed to determine sensitive value of citology examination in the diagnosis of tuberculous pleurosy compare with refference standar, clinical diagnose. The study was conducted at Urip Soemohardjo Hospital Bandar Lampung with period 1 Mei 31 October 2011. Design research is diagnostic test. The sample in this study was 72 samples obtained by using n samples, then searched the results of tuberculous pleurosy using citology and clinical diagnose used 2x2 table. From the research results with citology examination and clinical diagnose showed positive tuberculous pleurosy are 37 cases (51.39%), to check positive citology whereas negative clinical diagnose of tuberculous pleurosy are 12 cases (16.67%), to provide inspection citology negative results of tuberculosis and tuberculous pleurosy positive clinical diagnose there were 3 cases (4.16%), while those giving negative results on both examinations is 20 cases (27.78%). The results obtained from diagnostic tests citology examination are the Sensitivity 92.5%, Specificity 62.5%, Positive Power Value 75.51%, Value of Negative Power 86.96%, Positive Probability Ratio 2.467, Negative Probability Ratio 0.12, and Accuracy 79.17%. From the results obtained it can be concluded that citology was sensitive, this suggest that cytologic examination can be used as supporting examination to help the diagnose of tuberculous pleurosy. Key words: Tuberculous pleurosy, Citology, Clinical Diagnose, Diagnostic test

PENDAHULUAN Pleuritis tuberkulosa merupakan manifestasi tersering dari tuberkulosis ekstra paru dan merupakan penyebab tersering dari terjadinya efusi pleura (Trajman et al., 2008). Pleuritis tuberkulosa memiliki angka kejadian 9,7 sampai 46 % dari seluruh pasien tuberkulosis (Sunggoro, 2008). Keterlibatan dari jaringan pleura sering terjadi pada tuberkulosis primer dan merupakan hasil dari penetrasi basil tuberkulosis ke dalam rongga pleura. Tergantung dari lamanya reaktivitas, efusi yang terjadi bisa saja sangat sedikit, hilang tak berbekas dan sembuh secara
ISBN 978-979-8510-34-2 Prosiding : Seminar Nasional Sains & Teknologi IV Hotel Marcopolo, Bandar Lampung, 29-30 November 2011 Peran Strategis Sains & Teknologi dalam Membangun Karakter Bangsa

Prosiding : Seminar Nasional Sains & Teknologi IV Peran Strategis Sains & Teknologi dalam Membangun Karakter Bangsa

BAGIAN I

spontan atau bisa juga dalam jumlah yang besar dan menyebebkan gejala seperti demam, nyeri dada pleuritik dan sesak nafas. Dari pemeriksaan fisik ditemukan adanya dullness pada perkusi dan tidak terdengarnya suara nafas saat auskultasi. Dari pemeriksaan rontgen, menunjukan adanya cairan dalam rongga dan pada sepertiga kasus menunjukkan adanya lesi parenkim (Horrison). Saat ini, penegakkan diagnosis untuk pasien dengan tuberkulosis ekstra paru khususnya pleuritis tuberkulosa masih mengalami kesulitan. Tes diagnosis konvensional untuk pleuritis tuberkulosa antara lain adalah pemeriksaan mikroskopis dari cairan pleura untuk melihat AFB (Acid Fast Bacilli), kultur mikobakterial dari cairan pleura, sputum atau jaringan pleura dan pemeriksaan histopatologi jaringan pleura untuk melihat peradangan granulomatosa. Tes-tes tersebut diketahui memiliki keterbatasan untuk kegunaan klinis, namun, kombinasi dari tes-tes tersebut diketahui sebagai standar terbaik untuk mengevaluasi keakuratan (Trajman et al., 2008). Pada salah satu penelitian disebutkan bahwa pada pemeriksaan mikroskopis cairan pleura untuk AFB positif pada <5% kasus pleuritis tuberkulosa. Kultur mikobakterial juga memiliki sensitivitas yang rendah, yaitu sekitar 24-58%, dan terbatas oleh panjangnya waktu dalam menunggu hasil, yaitu bisa sampai 8 minggu jika media kultur yang digunakan adalah media solid. Biopsi dari jaringan pleura untuk kombinasi pemeriksaan histologi dan kultur mikobakterium cairan pleura adalah yang paling sensitive dari pemeriksaan yang ada, akan tetapi masih memiliki false positif sebesar 15-20% (Trajman et al., 2008). Di Bandar Lampung, diagnosis pleuritis tuberkulosa biasa ditegakkan oleh dokter spesialis penyakit dalam. Dalam proses penegakkannya, seorang dokter spesialis perlu melakukan beberapa pemeriksaan penunjang seperti yang disebutkan diatas. Biasanya, spesimen yang digunakan untuk dilakukan pemeriksaan penunjang adalah cairan pleura. Akan tetapi, oleh karena keterbatasan pemeriksaan tersebut, terkadang dokter masih sering menemukan kesulitan dalam menegakkan diagnosisnya. Disamping pemeriksaan yang telah disebutkan diatas, terdapat pemeriksaan sitologi yang juga dapat digunakan sebagai salah satu pemeriksaan

848

Seminar Nasional Sains & Teknologi IV Hotel Marcopolo, Bandar Lampung, 29 30 November 2011

BAGIAN I

Prosiding : Seminar Nasional Sains & Teknologi IV Peran Strategis Sains & Teknologi dalam Membangun Karakter Bangsa

penunjang lainnya yang dapat membantu dokter dalam menegakkan diagnosis pleuritis tuberkulosa. Bila dibandingkan dengan pemeriksaan yang lain, pemeriksaan ini jauh lebih mudah, lebih cepat, dan lebih tidak invasive, namun sampai sekarang belum diketahui sensitifitasnya dalam mendeteksi adanya pleuritis tuberkulosa meski sensitivitas sitologi pleura dalam mendiagnosa keganasan serosa mencapai 58-71%. Oleh karena itu, peneliti sangat tertarik untuk mengetahui seberapa besar akurasi pemeriksaan sitologi ini dalam membantu penegakkan diagnosis pleuritis tuberkulosa.

METODE PENELITIAN Desain penelitian yang digunakan ialah uji diagnostik. Penelitian dilakukan pada 1 Mei 31 Oktober 2011, di bagian Laboratorium Patologi Anatomi Rumah Sakit Urip Soemohardjo Bandar Lampung. Populasi adalah pasien dengan efusi pleura selama periode Mei Agustus 2011 yang datang ke Rumah Sakit Urip Sumoharjo Bandar Lampung, sedangkan pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan rumus Uji diagnostik (sampel uji sensitivitas):

Ingin diketahui nilai diagnostik pemeriksaan sitologi dalam mendiagnosa pleuritis tuberkulosa. Diharapkan sensitivitas sitologi adalah 70%, karena tidak diketahui prevalensi pleuritis tuberkulosa dianggap 50%, = 5% dan presisi ditetapkan 15%. Maka sesuai rumus di atas jumlah sampel yang diperlukan sebanyak 72 subjek (Dahlan, 2009). Data yang telah diperoleh dari proses pengumpulan data akan diubah ke dalam bentuk tabel 2x2, kemudian data tersebut dianalisis dengan menggunakan uji statistik untuk menilai sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif, rasio kemungkinan positif, rasio kemungkinan negatif dan akurasi. Pasien dengan efusi pleura dilakukan pemeriksaan sitologi dengan menggunakan cairan pleura eksudatif untuk mendeteksi pleuritis tuberkulosa dengan melihat adanya sel yang terlihat predominan limfosit, terdapat sel histiosit yang dapat membentuk struktur epiteloid, granuloma dan sel datia benda asing

Seminar Nasional Sains & Teknologi IV Hotel Marcopolo, Bandar Lampung, 29 30 November 2011

849

Prosiding : Seminar Nasional Sains & Teknologi IV Peran Strategis Sains & Teknologi dalam Membangun Karakter Bangsa

BAGIAN I

dengan latar belakang nekrotik kemudian di cross check dengan diagnosa klinis ahli paru sebagai refference standard.

HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil pengumpulan data yang dilakukan di Rumah Sakit Urip Sumoharjo Bandar Lampung periode 1 Mei 31 Oktober 2011 didapatkan sampel sebanyak 72 subjek. Berdasarkan distribusi usia terdapat 1 kasus yang terjadi pada usia antara 0-10 tahun, 4 kasus pada usia 11-20 tahun, 9 kasus pada usia 21-30 tahun, 8 kasus pada usia 31-40 tahun, 16 kasus pada usia 41-50 tahun, 21 kasus pada usia 51-60 tahun, dan 13 kasus pada usia diatas 60 tahun (Tabel 1). Tabel 1. Distribusi Pasien Efusi Pleura Berdasarkan Usia Karakteristik Usia (tahun) 0-10 11-20 21-30 31-40 41-50 51-60 >60 Jumlah (kasus) 1 (1,39%) 4 (5,56%) 9 (12,50%) 8 (11,11%) 16 (22,22%) 21 (29,17%) 13 (18,05%) Total

72 (100%)

Dari data yang diperoleh (Gambar 1), didapatkan jumlah pasien efusi pleura yang berjenis kelamin pria adalah sebanyak 46 kasus (63,89%), dan yang berjenis kelamin wanita adalah sebanyak 26 kasus (36,11%).

Gambar 1. Diagram distribusi pasien efusi pleura berdasarkan jenis kelamin

850

Seminar Nasional Sains & Teknologi IV Hotel Marcopolo, Bandar Lampung, 29 30 November 2011

BAGIAN I

Prosiding : Seminar Nasional Sains & Teknologi IV Peran Strategis Sains & Teknologi dalam Membangun Karakter Bangsa

Berdasarkan hasil dari pemeriksaan sitologi yang dilakukan, terdapat 49 kasus (68,06%) pasien efusi pleura yang diduga menderita tuberkulosis dan 23 kasus (31,94%) pasien efusi pleura yang diduga tidak menderita tuberculosis seperti disajikan dalam Gambar 2.

31,94% 68,06%

Tuberkulosis

Gambar 2. Diagram distribusi pasien efusi pleura berdasarkan hasil pemeriksaan sitologi Pada data yang didapatkan dari kroscek bagian paru melalui rekam medis pasien efusi pleura di Rumah Sakit Urip Sumoharjo Bandar Lampung setelah dilakukan pemeriksaan sitologi, didapatkan hasil bahwa pasien efusi pleura suspek tuberkulosis yang tediagnosis pleuritis tuberkulosa berbanding lurus dengan hasil pemeriksaan sitologi, yaitu 40 kasus (55,56%) yang terdiagnosis pleuritis tuberkulosa dan 32 kasus (44,44%) yang tidak terdiagnosis pleuritis tuberkulosa (Gambar 3).

44,44% 55,56%

Diagnosis Klinis positif tuberkulosa

Gambar 3. Diagram distribusi pasien efusi pleura berdasarkan hasil diagnosis klinis Data yang didapat dari sampel penelitian kemudian dilakukan uji diagnostik dengan menggunakan tabel 2x2. Output data dari tabulasi silang antara pemeriksaan sitologi dan diagnosis klinis pleuritis tuberkulosa dapat diketahui bahwa sampel dengan hasil pemeriksaan sitologi suspek tuberkulosis dan
Seminar Nasional Sains & Teknologi IV Hotel Marcopolo, Bandar Lampung, 29 30 November 2011 851

Prosiding : Seminar Nasional Sains & Teknologi IV Peran Strategis Sains & Teknologi dalam Membangun Karakter Bangsa

BAGIAN I

diagnosis klinis positif pleuritis tuberkulosa adalah sebanyak 37 kasus (51,39%). Untuk sampel yang hasil pemeriksaan sitologinya suspek tuberkulosis tetapi diagnosis klinisnya bukan pleuritis tuberkulosa adalah sebanyak 12 kasus (16,67%). Selain itu dapat dilihat pula untuk sampel yang hasil pemeriksaan sitologinya memberikan gambaran non-tuberkulosis akan tetapi didiagnosis pleuritis tuberkulosa adalah sebanyak 3 kasus (4,16%) dan sampel dengan hasil pemeriksaan sitologinya memberikan gambaran non-tuberkulosis dan didiagnosis bukan pleuritis tuberkulosa adalah sebanyak 20 kasus atau 27,78% (Tabel 2). Diagnosis Klinis Tuberkulosis Non-tuberkulosis 37 (51,39%) 12 (16,67%) 3 ( 4,16%) 20 (27,78%) 40 32 Total 49 23 72

Pemeriksaan Sitologi

Tuberkulosis Non-tuberkulosis Total

Dari perhitungan secara statistik didapatkan sensitivitas pemeriksaan sitologi pleuritis TB sebesar 92,5%, spesifisitas 62,5%, nilai duga positif 75,51%, nilai duga negatif 86,96%, rasio kemungkinan positif 2,467, rasio kemungkinan negatif 0,12, dan akurasi pemeriksaan sebesar 79,17%. Dari hasil pengumpulan data yang dilakukan di Rumah Sakit Urip Sumoharjo Bandar Lampung periode 1 Mei 31 Oktober 2011 didapatkan sampel sebanyak 72 subjek. Distribusi pasien efusi pleura berdasarkan usia diperoleh pasien efusi pleura terbanyak terdapat pada kelompok usia 51-60 tahun dan terbanyak kedua pada usia 31-40 tahun, hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya yang menyatakan bahwa penderita terbanyak dari pleuritis tuberkulosa berada pada kelompok usia 21-30 tahun, sedangkan pada penelitian ini kelompok usia 21-30 tahun menempati tempat keempat. Menurut Khatami (2002), insiden pleuritis tuberkulosa meningkat pada usia 5-45 tahun. Hal ini disebabkan oleh karena pleuritis tuberkulosa dapat terjadi sebagai manifestasi dari tuberkulosis primer dan postprimer (reaktivasi) tuberkulosis paru. Pada pleuritis tuberkulosa yang terjadi sebagai manifestasi dari tuberkulosis primer, banyak terjadi pada usia anak-anak, sedangkan pleuritis tuberkulosa yang terjadi akibat reaktivasi tuberkulosis biasa terjadi pada pasien dengan usia yang lebih tua. Pada suatu studi disebutkan bahwa usia rata-rata pasien dengan reaktivasi tuberkulosa adalah 44,6 tahun. Mayoritas penderita efusi pleura adalah pria, yaitu 46 orang (63,89%). Hal ini sejalan dengan

852

Seminar Nasional Sains & Teknologi IV Hotel Marcopolo, Bandar Lampung, 29 30 November 2011

BAGIAN I

Prosiding : Seminar Nasional Sains & Teknologi IV Peran Strategis Sains & Teknologi dalam Membangun Karakter Bangsa

pendapat yang diungkapkan oleh Gustafson, et al (2003) yang menunjukkan bahwa laki-laki mempunyai risiko 2,58 kali untuk menderit tuberkulosis dibandingkan dengan wanita dimana hal ini mungkin berhubungan dengan interaksi sosial laki-laki lebih tinggi dibandingkan wanita sehingga

memungkinkan transmisi tuberkulosis lebih besar. Menurut Sunggoro (2008), angka kejadian pleuritis tuberkulosa cukup tinggi, yaitu 9,7- 46% dari seluruh kejadian tuberkulosis. Namun, diagnosis dari penyakit ini masih sulit untuk ditegakkan. Beberapa macam pemeriksaan kerap dilakukan untuk menunjang diagnosis penyakit ini, salah satunya adalah pemeriksaan sitologi yang merupakan alat bantu pemeriksaan yang mudah, cepat dan tidak invasif dibanding dengan pemeriksaan lainnya untuk membantu menegakkan diagnosis pleuritis tuberkulosa. Dari hasil penelitian, didapatkan hasil

pemeriksaan sitologi sebagian besar menunjukkan hasil yang positif yang mengarah ke diagnosis pleuritis tuberkulosa. Hal ini ditentukan dengan melihat gambaran sitologi yang menunjukan adanya sel predominan limfosit, terdapat sel histiosit yang dapat membentuk struktur epiteloid, multinucleated giant cell, dan dengan latar belakang yang nekrotik. Soe (2010) juga menemukan bahwa pada suatu penelitian yang dilakukan sebelumnya menunjukan bahwa rasio limfosit sebesar 0,75 atau lebih pada efusi pleura dapat digunakan sebagai kombinasi parameter untuk mengkonfirmasi diagnosis. Berdasarkan hasil diagnosis klinisnya, sebagian besar efusi pleura disebabkan bukan oleh pleuritis tuberkulosa, yaitu sebesar 44,44% dari sampel terdignosis pleuritis tuberkulosa. Berbeda dengan pendapat Eylin (2010) yang menyatakan bahwa pada daerah-daerah dengan prevalensi tuberkulosis paru tinggi dan terutama pada pasien usia muda, sebagian besar efusi pleura disebabkan pleuritis tuberkulosa. Hal ini disebabkan sebagian besar efusi pleura non tuberkulosa yang diperiksa merupakan metastase keganasan organ lain. Pasien pleuritis tuberkulosa tidak memiliki gejala yang spesifik. Umumnya pasien pleuritis tuberkulosa memiliki gejala seperti demam, batuk, nyeri dada, penurunan berat badan, yang juga didapatkan pada pasien dengan efusi pleura eksudatif dengan etiologi yang berbeda. Diagnosis utamanya ditegakkan dengan

Seminar Nasional Sains & Teknologi IV Hotel Marcopolo, Bandar Lampung, 29 30 November 2011

853

Prosiding : Seminar Nasional Sains & Teknologi IV Peran Strategis Sains & Teknologi dalam Membangun Karakter Bangsa

BAGIAN I

menemukan kuman tuberkulosis pada cairan efusi pleura. Dan biasanya ditegakkan oleh dokter ahli penyakit dalam setelah melakukan beberapa macam pemeriksaan penunjang. Pada penelitian ini digunakan pemeriksaan sitologi sebagai salah satu pemeriksaan penunjang yang ternyata dapat digunakan dalam penegakkan diagnosis klinis pasien pleuritis tuberkulosa. Dari hasil penelitian, didapatkan sensitivitas pemeriksaan sitologi pleuritis tuberkulosa sebesar 92,5%, artinya pemeriksaan sitologi sangat sensitif dalam mendiagnosa pasien dengan efusi pleura oleh M. Tuberculosa. Tetapi spesifisitas pemeriksaaan sitologi hanya 62,5%, berarti kemampuan sitologi untuk mendiagnosa efusi pleura bukan disebabkan tuberkulosa pada pasien yang tidak menderita pleuritis tuberkulosa cukup rendah. Dengan demikian masih cukup besar negatif palsu yang ditimbulkan oleh pemeriksaan sitologi ini. Ketika seseorang datang dengan efusi pleura kemudian akan dilakukan pemeriksaan sitologi, bila orang tersebut benar menderita pleuritis tuberkulosa maka kemungkinan pemeriksaan sitologi mendiagnosa orang tersebut pleuritis tuberkulosa sebesar 92,5% , tetapi bila orang tersebut tidak menderita pleuritis tuberkulosa maka kemungkinan pemeriksan sitologi mendiagnosa bukan pleuritis tuberkulosa hanya 62,5% saja. Dari statistik didapatkan nilai duga positif 75,51% dan nilai duga negatif 86,96%, artinya ketika hasil diagnosis sudah didapat maka kemungkinan hasil positif pleuritis tuberkulosa oleh sitologi benar-benar positif diagnosanya pleuritis tuberkulosa adalah sebesar 75,51%, dan bila pemeriksaan sitologi bukan pleuritis tuberkulosa maka diagnosanya benar-benar bukan pleuritis tuberkulosa adalah sebesar 86,96%. Rasio kemungkinan positif 2,467 dan rasio kemungkinan negatif 0,12 artinya perbandingan antara hasil positif dan positif palsu pemeriksaan sitologi sebesar 2,467 dan perbandingan antara hasil negatif palsu dan negatif pada pemeriksaan sitologi pleuritis tuberkulosa sebesar 0,12. Dengan demikian pemeriksaan sitologi kurang memiliki nilai diagnostik yang tinggi terhadap pleuritis tuberkulosa, karena syarat pemeriksaan dianggap memiliki nilai diagnostik bila nilai rasio kemungkinan positif >10 dan rasio kemungkinan negatif sekitar 0,1 (Dahlan, 2009). Akurasi pemeriksaan sitologi pleuritis TB didapatkan

854

Seminar Nasional Sains & Teknologi IV Hotel Marcopolo, Bandar Lampung, 29 30 November 2011

BAGIAN I

Prosiding : Seminar Nasional Sains & Teknologi IV Peran Strategis Sains & Teknologi dalam Membangun Karakter Bangsa

sebesar 79,17%, berarti pemeriksaan ini dapat digunakan dalam menunjang penegakan diagnosa pleuritis tuberkulosa meskipun kurang memiliki nilai diagnostik.

KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan sitologi

pleuritis tuberkulosa memiliki sensitivitas yang tinggi yaitu sebesar 92,5%. Pemeriksaan sitologi pleuritis tuberkulosa cukup akurat meskipun kurang memiliki diagnostik yang tinggi karena rasio kemungkinan positif hanya 2,467 meskipun rasio kemungkinan negatif mencapai 0,12.

DAFTAR PUSTAKA Dahlan, M.S. 2009. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel Dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Salemba Medika : Jakarta. Pp 43-44. Dahlan, M.S.2009. penelitian diagnostik. Salemba Medika: Jakarta Depkes RI. 2006. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Edisi 2.Cetakan Pertama. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Eylin. 2010. Efusi Pleura. Diakses tanggal 27 Februari 2011. http://www.exomedindonesia.com/referensi-kedokteran/artikel-ilmiahkedokteran/pulmonologi-ilmu-penyakit-dalam/2010/10/29/efusi-pleura/ Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. 2007. Buku Ajar Patologi. EGC. Jakarta. K, Khatami. Pleuritis Toberculosis. Shiraz E Medical Journal. 3 Juli 2002. Shiraz University of Medical Sciences : 79-81. Diakses pada tanggal 27 februari 2011. http://semj.sums.ac.ir/vol3/jul2002/PleuralTB.htm. Sunggoro,A.J. 2008. Pleuritis TB. Interna UI. Diakses pada tanggal 27 Februari 2011. http://agusjati.blogspot.com/ Soe Z, Shwe WH, Moe S. A Study on Tuberculous Pleural Effusion. International Journal of Collaborative Research on Internal Medicine & Public Health Vol. 2 No. 3 (March 2010) ; pp. 32-48. Diakses pada tanggal 8 Maret 2011. Trajman A, Pai M, Dheda K, Smit RVZ, Zwerling AA, Joshi R, Kalantri S, Daley P, Menzies D. Novel tests for diagnosing tuberculous pleural effusion: what works and what does not?. ERS Journals. 24 Januari 2008. European Respiratory Journal ; 31: 1098-1106. Diakses pada tanggal 27 Februari 2011. http://www.ersj.org.uk/content/31/5/1098.full.pdf.

Seminar Nasional Sains & Teknologi IV Hotel Marcopolo, Bandar Lampung, 29 30 November 2011

855

Prosiding : Seminar Nasional Sains & Teknologi IV Peran Strategis Sains & Teknologi dalam Membangun Karakter Bangsa

BAGIAN I

DISKUSI SEMINAR Pertanyaan: 1. Rohmah, Phd: Bagaimana cara menetapkan sampel, kok beda-beda? 2. DR. Hendri B: Pleuritis TB paling banyak menimpa laki-laki, bagaimana caranya kita untuk menghindarinya? Jawaban : 1. Penetapan sampel tergantung jenis penelitian. Penelitian ini berupa penelitian uji diagnostik dengan sampel uji sensitivitas. Jumlah sampel tergantung kemampuan peneliti, waktu, biaya dan tenaga. Semakin tinggi sensitivitas yang diinginkan (hipotesis) dan presisi semakin kecil otomatis jumlah sampel akan semakin banyak dan waktu dan biaya akan semakin besar. 2. Pleuritis TB disebabkan BTA M Tuberculose, harus menghindari faktor risiko terkena TBC: hindari kontak dengan penderita TBC, hindari rokok, jaga sanitasi lingkungan dan hygiene perorangan, terakhir tingkatkan daya tahan tubuh dengan konsumsi makanan sehat dan olahraga.

856

Seminar Nasional Sains & Teknologi IV Hotel Marcopolo, Bandar Lampung, 29 30 November 2011

You might also like