Efek Sitotoksik Tetrahydrozoline HCL Terhadap Viabilitas Sel Fibroblast Tri Purnami Dewi

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 80

Interdental Jurnal Kedokteran Gigi; 2007;5(1)

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar

EFEK SITOTOKSIK TETRAHYDROZOLINE HCL TERHADAP VIABILITAS SEL FIBROBLAST Tri Purnami Dewi
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar

ABSTRACT Cytotoxicity test on tissue culture (in vitro) was the initial biocompatibility test to evaluate the citotoxic effect of newly developed material. Tetrahydrozoline HCl was recently considered as a new gingival retraction agent in dentistry. The use of chemical agent as gingival retraction in the procedure of making the fixed prostodontic impression, should be effective to produce the temporary lateral and apical retraction of the free gingival tissue, without creating irreversible tissue damage and either local or systemic harmfull side effects. The aim of this study was to investigate the cytotoxic effect of tetrahydrozoline HCl toward the viability of gingival fibroblast cells at different concentration and exposure times. This study utilized 120 wells cultured human gingival fibroblast cell. All wells were divided into 3 groups, they were: positive control group was treated with 0.1% epinephrine, negative control group without treatment, and the last one was treated with tetrahydrozoline HCl at different concentrations : 0.05%, 0.1%, 1%, 10%, 20%, and 30%, with the exposure time : 1, 3, 5, 7, and 10 min. The evaluation of citotoxic effect based on OD values and viable cells number resulted from dye exclution test. The lowest mean of cell death percentage was 0.00%, resulted from 1 and 3 min treatment with 0.05%, 0.1%, and 1% tetrahydrozoline HCl. The highest mean was 39.9%, at 30% tetrahydrozoline HCl, for 10min. There was a significant difference (p<0.05) in cell viability between groups and within group. Probit analysis brought about estimation of IC50 tetrahydrozoline HCl. The result of this study showed that tetrahydrozoline HCl had no cytotoxic effect to the viability of gingival fibroblast cell, although the escalation of tetrahydrozoline HCl concentration and exposure time caused the escalation of cell death percentage. Key words: Tetrahydrozoline HCl, gingival retraction, viability, gingival fibroblast Korespondensi : Tri Purnami Dewi, drg., M.Kes., Bagian Prosthodonsia, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jl. Kamboja 11A Denpasar, Telp.(0361) 7424079, Fax. (0361) 261278

PENDAHULUAN Pada pembuatan restorasi gigi tiruan cekat, retraksi sementara jaringan gingiva bebas ke arah lateral (horisontal) dan apikal (vertikal) merupakan salah satu hal penting yang harus dilakukan untuk memperoleh hasil cetakan yang mencatat garis akhir tepi preparasi gigi penyangga secara akurat yang terletak pada daerah tepi gingiva bebas atau daerah subgingiva.1,2,3,4 Metode retraksi gingiva yang paling sering digunakan adalah metode kemo-mekanis, yaitu dengan menggunakan benang retraksi yang mengandung suatu bahan kimia.5 Benang retraksi berfungsi untuk melebarkan sulkus gingiva secara mekanis, sedangkan bahan kimiawi berfungsi untuk menginduksi pengkerutan jaringan gingiva bebas serta mengontrol perdarahan di daerah sulkus gingiva.6,7 Berdasarkan beberapa penelitian, prosedur retraksi gingiva dengan metode kemo-mekanis umumnya dilakukan dalam waktu antara 5-10 menit. Hal tersebut

untuk menghindari terjadinya trauma mekanik dan kemis yang dapat menyebabkan jejas pada jaringan gingiva bebas, namun cukup efektif menghasilkan pelebaran sulkus gingiva. Epinefrin adalah salah satu bahan kimia yang sering digunakan sebagai bahan retraksi gingiva dan dipasarkan dalam bentuk benang retraksi yang telah direndam larutan epinefrin. Epinefrin memiliki kadar keasaman tinggi dengan pH antara 2,8-3,6 sehingga dapat menyebabkan kerusakan jaringan periodontal dan diduga dapat mengiritasi pulpa gigi penyangga yang telah dipreparasi.8,9,10 Epinefrin juga memiliki efek sistemik yang merugikan antara lain: menimbulkan respon kardiovaskuler seperti peningkatan tekanan darah sistolik dan peningkatan denyut nadi, meningkatkan laju pernafasan, dan adanya rasa lemah pada ekstremitas.11 Tetrahydrozoline HCl berasal dari golongan yang sama dengan epinefrin dan merupakan bahan hemostatik-vasoaktif seperti epinefrin. Tetrahydrozoline HCl mulai

dipertimbangkan sebagai bahan retraksi gingiva karena memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan epinefrin antara lain: merupakan larutan yang kadar keasamannya rendah dengan pH antara 5,06,5 dan efek samping berupa respon kardiovaskuler yang ditimbulkan relatif minimal.12 Berdasarkan konsep biokompatibilitas di bidang biomaterial, efek toksik tetrahydrozoline HCl penting untuk diperhatikan. Salah satu uji biokompatibilitas secara in vitro yang dapat digunakan dan memenuhi standar sesuai pertimbangan faktor etis, praktis dan ekonomis yaitu uji sitotoksisitas pada kultur sel.3 Fibroblast merupakan sel utama jaringan ikat yang terletak pada lamina propria mukosa rongga mulut, termasuk gingiva. Pengamatan terhadap viabilitas sel fibrobast dalam kultur dapat digunakan sebagai salah satu indikator untuk mengetahui pengaruh konsentrasi dan waktu paparan suatu substansi, termasuk efek sitotoksiknya. Viabilitas sel fibroblast sebelum dan sesudah terpapar sitotoksin yang dinyatakan dalam bentuk persentase kematian sel merupakan parameter yang dapat diukur dengan menggunakan beberapa metode uji sitotoksisitas, sehingga efek sitotoksik suatu bahan dapat diketahui.13 Salah satu metode uji sitotoksisitas yang sering digunakan adalah metode dye-exclution test yaitu dengan mengamati perubahan permeabilitas membran sel.13,14 Penentuan IC50 (Inhibitory Concentration 50%) dalam suatu uji sitotoksisitas juga diperlukan untuk melengkapi informasi mengenai efek sitotoksik suatu bahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek sitotoksik tetrahydrozoline HCl terhadap viabilitas sel fibroblast gingiva pada konsentrasi dan waktu paparan tertentu secara in vitro. Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah dapat memberikan informasi awal bagi para klinisi yaitu: mengetahui sifat biokompatibilitas tetrahydrozoline HCl terutama efek sitotoksiknya pada konsentrasi dan waktu paparan tertentu secara in vitro, serta sebagai bahan acuan tambahan untuk penelitian lebih lanjut secara in vivo maupun uji coba klinis mengenai penggunaan tetrahydrozoline HCL sebagai bahan retraksi gingiva.

perlakuan; kelompok perlakuan diberi tetrahydrozoline HCl dengan konsentrasi dan waktu paparan yang berbeda. Kelompok kontrol positif dan kelompok kontrol negatif, masingmasing dibagi sub kelompok sesuai dengan waktu paparan, yaitu 1, 3, 5, 7, dan 10 menit. Setiap sub kelompok terdiri dari 3 sumur sampel. Kelompok perlakuan dibagi menjadi 5 sub kelompok sesuai waktu paparan, kemudian tiap sub kelompok dibagi lagi menjadi 6 sub sub-kelompok sesuai dengan konsentrasi paparan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu 0,05%; 0,1%; 1%;10%; 20%; dan 30%. Setiap sub sub-kelompok terdiri dari 3 sumur sampel. Jadi pada dye exclution test, dari 120 sumur sampel yang dipersiapkan, terdiri dari kelompok kontrol positif sebanyak 15 sumur, kelompok kontrol negatif sebanyak 15 sumur, dan kelompok perlakuan sebanyak 90 sumur. Sampel diinkubasi sesuai waktu paparan yaitu 1, 3, 5, 7, dan 10 menit, lalu diwarnai dengan trypan blue, dibiarkan selama 1 menit, kemudian dilakukan penghitungan jumlah sel yang terwarnai. Sel yang viabel (tidak menyerap warna) dan sel yang nonviabel (menyerap warna, biru) diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya dan dihitung dengan menggunakan hemositometer (Gambar 1). Jumlah sel yang terwarnai dihitung pada 4 lapang pandang hemositometer menggunakan mikroskop cahaya dengan pembesaran 10x. Perhitungan persentase kematian dilakukan berdasarkan hasil penghitungan jumlah sel yang viabel.

BAHAN DAN METODE Penelitian ini menggunakan 120 sumur kultur sel, tiap sumur berisi 100 L suspensi sel fibroblast gingiva manusia dengan kepadatan 2x104 sel/100 L media kultur sel. Seluruh sampel (120 sumur kultur sel) dibagi menjadi 3 kelompok yaitu: kelompok kontrol positif diberi epinefrin 0,1%; kelompok kontrol negatif tanpa

Gambar 1. Penghitungan sel dengan hemositometer. Sel viabel [], sel non-viabel [].13

Gambar 1

?????????????????????????????????
Rerata persentase kematian sel terendah pada kelompok perlakuan, yaitu 0,00% dihasilkan pada konsentrasi tetrahydrozoline HCl 0,05%; 0,1% dan 1% dengan waktu paparan 1 dan 3 menit, sedangkan rerata persentase kematian sel tertinggi pada kelompok perlakuan, yaitu 39,9% dihasilkan pada konsentrasi tetrahydrozoline HCl 30% dengan waktu paparan 10 (Tabel 1). Berdasarkan hasil uji Univariate ANOVA (Analysis of Variance) dapat dilihat bahwa rerata persentase kematian di antara keenam tingkat konsentrasi dan di antara kedelapan waktu paparan (Tabel 3) terdapat perbedaan yang bermakna (p<0,05), oleh karena itu harus dilakukan uji LSD (Least Significant Differrence). Hasil yang diperoleh dari uji LSD (Tabel 4) menunjukkan adanya perbedaan yang tidak bermakna antara konsentrasi 0,05% dengan 0,1% (sig.0,995); 0,05% dengan 1% (sig.0,846); 0,1% dengan 1% (sig.0,857); 10% dengan 20% (sig. 0,018), dan antara waktu paparan 1 menit dengan 3 menit (sig.0,892), sedangkan lainnya menunjukkan perbedaan yang bermakna (p<0,05).

HASIL PENELITIAN Viabilitas sel fibroblast yang dinyatakan dalam bentuk persentase kematian sel merupakan parameter yang digunakan dalam penelitian ini. Peningkatan persentase kematian sel menunjukkan penurunan viabilitas sel. Rerata persentase kematian sel untuk tiap kelompok sampel dapat dilihat pada Tabel 1. Pada kelompok kontrol positif, jika dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif, pemberian epinefrin 0,1% menyebabkan persentase kematian diatas 90%, pada hampir semua waktu paparan, kecuali waktu paparan 1 menit (Tabel 1). Jumlah sel pada kelompok kontrol negatif (tanpa perlakuan) dianggap menggambarkan sel hidup semua (100%), sehingga hasil perhitungan persentase kematian untuk semua waktu paparan adalah 0%. Pada kelompok perlakuan yang diberi tetrahydrozoline HCl dengan beberapa konsentrasi dan waktu paparan, tampak bahwa semakin tinggi konsentrasi paparan semakin meningkat persentase kematian sel, dan semakin lama waktu paparan semakin meningkat persentase kematian sel.

Tabel 1 Rerata Persentase Kematian Sel Tiap Kelompok Penelitian

Waktu 1 menit Kelompok Kontrol (+) (Epinefrin 0,1%) Kontrol (-) (tanpa perlakuan) Tetra-HCl 0,05 % Tetra-HCl 0,1% Tetra-HCl 1% Tetra-HCl 10% Tetra-HCl 20% Tetra-HCl 30%

Dye exclution test 3 menit 5 menit 7 menit 10 menit

0,042 0,000 0,000 0,000 0,000 0,010 0,000 0,000

0,9675 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000

0,9672 0,000 0,007 0,007 0,007 0,015 0,025 0,310

0,985 0,000 0,025 0,015 0,040 0,050 0,209 0,393

0,984 0,000 0,000 0,058 0,145 0,262 0,323 0,399

Tabel 2 Ringkasan Hasil Uji Univariate ANOVA : Perbedaan Pengaruh Antar Kelompok Perlakuan Variabel KONSENTRASI WAKTU KONSENTRASI * WAKTU F 1061,756 677,700 146.511 Sig. 0,001 0,001 0,001

Keterangan : * : interaksi antara konsentrasi dan waktu paparan. Tabel 3 Hasil Uji LSD antara Kelima Waktu Paparan : Perbedaan Dalam Kelompok Waktu Waktu 1 menit 3 menit 5 menit 7 menit 10 menit 1 menit 3 menit 0,892 5 menit 0,000 0,000 Sig. 7 menit 0,000 0,000 0,000 -

10 menit 0,000 0,000 0,000 0,000 -

24jam 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000

48jam 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000

72jam 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000

Tabel 4 Hasil Uji LSD antara Keenam Tingkat Konsentrasi: Perbedaan Dalam Kelompok Konsentrasi Konsentrasi 0,05 % 0,1 % 1% 10 % 20 % 30 % 0,05 % 0,1 % 0,995 Sig. 1% 10% 0,846 0,000 0,857 0,000 0,000 -

20% 0,000 0,000 0,000 0,018 -

30% 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 -

Tabel 5 Hasil Nilai IC50 dari Tiap Kelompok Perlakuan Waktu Paparan 5 menit 7 menit 10 menit IC50 (%w/v) 38,60069 34,67615 32,78785 IC50 (x 103) (g/mL) 386,01 346,76 327,88 IC50 (x 103) (M) 1630,5 1464,7 1384,9

PEMBAHASAN Hasil pada Tabel 1 menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat konsentrasi dan waktu paparan tetrahydrozoline HCl, semakin meningkat pula persentase kematian sel fibroblast. Pengaruh yang ditimbulkan terhadap viabilitas sel fibroblast berupa perubahan permeabilitas membran sel. Freshney 15 menyebutkan bahwa efek sitotoksik dari sitotoksin dapat menyebabkan terjadi perubahan permeabilitas membran sel atau kerusakan integritas membran sel sehingga membran selnya bisa ditembus oleh trypan blue. Kerusakan pada membran sel dapat menyebabkan sel menjadi non viabel, dan selanjutnya dapat menyebabkan kematian sel. Pada sel yang non-viabel membran selnya bisa ditembus oleh trypan blue sedangkan sel yang viabel memiliki membran sel yang impermiabel terhadap trypan blue. Jadi semakin besar pengaruh yang ditimbulkan akan mengakibatkan semakin banyak sel mati, yang juga berarti persentase kematian sel semakin meningkat. Cotran dkk 16 menjelaskan bahwa terdapat beberapa motif biokimiawi yang diduga memperantarai kematian sel, hal ini dapat menjelaskan terjadinya kematian sel sehubungan dengan sitotoksisitas suatu bahan. Motif biokimia tersebut antara lain: 1)Penipisan kadar ATP (Adenosin Triphosphate). Enzim dehidrogenase adalah salah satu enzim yang berperan dalam pembentukan ATP17 ,yaitu suatu bentuk energi yang sangat dibutuhkan oleh sel untuk berbagai aktivitas fungsional sel. Jika enzim dehidrogenase tidak aktif akibat efek sitotoksik suatu sitotoksin, maka ATP berkurang, aktivitas sel terganggu, sehingga dapat mengakibatkan kematian sel. 2)Defek pada membran sel. Kerusakan membran atau hilangnya permeabilitas membran selektif merupakan gambaran umum jejas sel. Defek ini bisa mempengaruhi mitokondria yang merupakan tempat untuk memproduksi ATP. Aktivitas fungsional sel fibroblast gingiva yaitu berproliferasi maupun memproduksi matriks ekstra seluler dan fibronektin, sehubungan dengan

proses perbaikan jaringan gingiva, akan terganggu jika paparan sitotoksin menyebabkan sel mengalami jejas yang ireversibel atau mengakibatkan sel non viabel. Hal tersebut disebabkan oleh karena seluruh mekanisme seluler merupakan proses yang saling berkaitan, jika salah satu komponen sel mengalami jejas, maka semua aktivitas sel akan terpengaruh, termasuk diantaranya proses perbaikan jaringan, dimana proses ini membutuhkan regenerasi sel yang mengalami jejas.18. Sel tetap viabel jika paparan tidak bersifat sitotoksik, sehingga aktivitas fungsional sel tidak akan mengalami gangguan. Jadi diharapkan paparan bahan retraksi pada saat prosedur retraksi gingiva tidak menyebabkan jejas ireversibel pada sel fibroblast gingiva, sehingga tidak terjadi gangguan terhadap aktivitas sel dalam proses perbaikan jika jaringan gingiva mengalami trauma mekanis yang tidak dapat dihindari selama prosedur retraksi. Hasil uji Univariate ANOVA dan uji LSD menunjukkan bahwa terdapat rerata persentase kematian sel yang berbeda secara bermakna di antara beberapa kelompok penelitian sesuai tingkat konsentrasi dan waktu paparan (Tabel 2, Tabel 3, Tabel 4). Cotran dkk16 dan Conway19 mengemukakan beberapa prinsip umum mengenai jejas sel yang memiliki kemungkinan sebagai penyebab adanya perbedaan pengaruh pada kelompok-kelompok penelitian tersebut, antara lain: 1)Beberapa komponen atau sistem intraseluler sel sensitif atau mudah mengalami jejas antara lain: membran sel (integritas membran sel), sistem respirasi aerob (mitokondria, enzim), komponen genetik. 2)Respon seluler terhadap stimuli jejas tergantung pada jenis jejas, lama stimuli jejas dan berat ringannya stimuli jejas. Jenis jejas dibedakan berdasarkan penyebab jejas sel, seperti bahan kimia dan obat-obatan, hipoksia, dan lainnya. Lama stimuli jejas berhubungan dengan waktu paparan, sedangkan berat ringannya stimuli berkaitan dengan dosis ataupun konsentrasi paparan. Epinefrin 0,1% jika dikonversi dalam satuan molaritas menjadi 5,5.10-3M. Tetrahydrozoline HCl 5,5.10-3M setara dengan konsentrasi

tetrahydrozoline HCl 0,13% (dapat dibulatkan menjadi 0,1%), jadi dapat dikatakan bahwa epinefrin 0,1% sebanding dengan tetrahydrozoline HCl 0,1%. Epinefrin 0,1% menyebabkan persentase kematian sel lebih dari 96% (>50%) pada waktu paparan 3 dan 5 menit, artinya hampir semua sel mati (Tabel 1), sedangkan tetrahydrozoline HCl dengan konsentrasi 0,1% dengan waktu paparan 3 dan 5 menit menunjukkan persentase kematian sel tidak lebih dari 0,7% (<50%) artinya hampir semua sel masih viabel. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pada konsentrasi yang sebanding dengan epinefrin, tetrahydrozoline HCl 0,1% tidak bersifat sitotoksik terhadap viabilitas sel fibroblast, sebaliknya epinefrin 0,1% bersifat sangat sitotoksik. Jadi, diketahui bahwa tetrahydrozoline HCl memiliki sifat yang lebih baik daripada epinefrin ditinjau dari segi sitotoksisitasnya. Analisis probit menghasilkan IC50 dari tiap waktu paparan tetrahydrozoline HCl (Tabel 5), yang berguna sebagai informasi tambahan mengenai sitotoksisitas tetrahydrozoline HCl. Hasil tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi tetrahydrozoline HCl 0,05% dan 0,1% merupakan konsentrasi terapeutik yang cukup aman karena persentase kematian yang disebabkan oleh konsentrasi paparan tersebut dengan waktu paparan 1, 3, 5, 7, dan 10 menit jauh lebih rendah dari nilai IC50. SIMPULAN

10

11 Simpulan yang diperoleh dari penelitian secara in vitro ini adalah: peningkatan konsentrasi dan waktu paparan tetrahydrozoline HCl menyebabkan peningkatan persentase kematian sel fibroblast, namun pada waktu paparan dan konsentrasi terapeutik (0,05% dan 0,1%) tidak menimbulkan efek sitotoksik terhadap viabilitas sel fibroblast gingiva. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut secara in vivo, sesuai tahapan uji biokompatibilitas, untuk mengetahui apakah interpretasi hasil yang diperoleh secara in vitro cukup akurat dan berkorelasi baik dengan penelitian in vivo.

12

13

14

DAFTAR PUSTAKA 1 Dimashkieh MR, Morgano SM. A procedure for making fixed prosthodontic impressions with the use of preformed crown shells. J Prosthet Dent 1995; 73: 95-6.

15

16

Ferrari M, Cagidiaco MC, Ercoli C. Tissue management with a new gingiva retraction material: A preliminary clinical report. J Prosthet Dent 1996; 75: 242-47. Kopa I, Batista U, Cvetko E, Marion L. Viability of fibroblast in cell culture after treatment with different chemical retraction agents. J Oral Rehabil 2002a; 29(1): 98-104. Csempesz F, Vg J, Fazekas . In vitro kinetic study of absorbency of retraction cords. J Prosthet Dent 2003; 89: 45-9. Donovan TE, Gandara BK, Nemetz H. Review and survey of medicaments used with gingiva retraction cords. J Prosthet Dent 1985; 53(4): 525-31. Shillingburg HT, Hobo S, Whitsett LD. Fundamentals of fixed prosthodontics. 2nd ed. Chicago: Quintessence Publ.Co. 1982. p. 200. Bowles WH, Tardy SJ, Vahadi. A. Evaluation of new gingival retraction agents. J Dent Res. 1991; 70(11): 1447-49. Kopa I, Sterle M, Marion L. Electron microscopic analysis of the effects of chemical retraction agent on cultured rat keratinocytes. J Prosthet Dent 2002b; 87: 51-6. Reynold JEF. Martindale : The extra pharmacopoeia. 29th ed. London: The Pharmaceutical Press; 1989. p.1453-55. Woody RD, Miller A, Staffanou RS. Review of the ph of hemostatik agents used in tissue displacement. J Prosthet Dent 1993; 70: 19192. Setiawati A, Setiabudy R. Adrenergik. Farmakologi dan Terapi. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran - Universitas Indonesia. Edisi ketiga. Jakarta: Gaya Baru; 1991. h. 4970. Budavari S. The Merck Index : An encyclopedia of chemicals, drugs, and biologicals. 12th ed. Merck & Co., Inc. 1996. h. 3657, 9360. Wyllie A, Donahue V, Fischer B, Hill D, Kesey J, Manzow S. Guide to cell proliferation and apoptosis methods. Roche Diagnostics Corporation. 2000. p. 50-67. Craig RG, Powers JM. Restorative dental material. 11th ed. St. Louis: Mosby Inc. 2002. p. 126-47. Freshney RI. Culture of Animal Cells : A manual of basic techniques. 4th ed. New York: Wiley-Liss Inc. 2000. p. 330-37. Cotran MD, Kumar V, Collins T, Robbins pathologic basis of diseases. 6th ed. Philadelphia: W.B. Saunders Company; 1999. p. 4-15, 102-110.

17 Mayes PA, Granner DK, Rodwell VW, Martin Jr. DW. Harpers review of biohemistry. Dalam: Biokimia Harper. edisi 20. Iyan Dharmawan (penterjemah) Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC; 1985. p. 150-54. 18 Conway J. Repair and wound healing handout. 2000a. Available from: URL:http//www.med.uiuc.edu/m2/Pathology/ Repair%20and%20Wound%20Healing%20Ha ndout2.htm. Accessed Juni 18, 2004. 19 Conway J. Diseases at the Cellular Level (DCL) Lecture Handout. 2000b. Available from:URL:http//www.med.uiuc.edu/m2/Pathol ogy/DCL.htm Accessed Juni 18, 2004.

Interdental Jurnal Kedokteran Gigi; 2007;5(1)

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar

PENINGKATAN KESEHATAN GIGI DAN MULUT PADA ANAK MELALUI DENTAL HEALTH EDUCATION

Soesilo Soeparmin, Putu Yetty Nugraha dan Ni Kadek Widia Arisanti


Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar

ABSTRAK Banyak orang tua menganggap bahwa gigi sulung tidak perlu dirawat. Padahal, pengaruhnya cukup besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan gigi permanen, kesehatan secara umum, kepribadian, dan psikologi anak. Upaya untuk menanggulanginya dimulai sejak dini dengan memberikan Pendidikan Kesehatan Gigi. Hal ini dapat dilakukan di rumah, sekolah, praktek dokter gigi dan masyarakat. Tujuannya adalah untuk mengubah perilaku anak dalam meningkatkan kesehatan gigi dan mulut melalui penerapan dental health education. Melalui informasi, pengetahuan dan pemahaman yang didapat anak melalui dental health education dapat mengubah perilaku dengan munculnya kesadaran anak dalam meningkatkan kesehatan gigi dan mulut. Pendidikan ini akan efektif hasilnya apabila seluruh aspek lingkungan anak terlibat khususnya peran serta orang tua terutama ibu dalam memberikan contoh, pengawasan terhadap kesehatan gigi dan mulut anaknya sehingga upaya pencegahan penyakit gigi dapat dilakukan secara dini. Kata kunci: Dental health education, kesehatan gigi dan mulut. Korespondensi : Soesilo Soeparmin, drg.,M.S., Bagian Kedokteran Gigi Anak, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jl. Kamboja 11A Denpasar, Telp.(0361) 7424079, Fax. (0361) 261278

PENDAHULUAN Masalah kesehatan gigi anak di Indonesia sangat memprihatinkan.1 Banyak orang tua mengira bahwa gigi sulung tidak perlu dirawat, tidak lama ada dalam mulut dan pada saatnya akan digantikan dengan gigi tetap yang lebih kuat dan lebih besar. Mereka tidak tahu bahwa cukup banyak akibat yang dapat terjadi bila gigi sulung tidak dirawat dengan baik.2,3 Walaupun masih memiliki gigi sulung, seorang anak harus mendapatkan perhatian serius dari orang tua yaitu cara merawat gigi anaknya dan mengajarkan anaknya cara merawat gigi yang baik.3 Apabila tidak segera dilakukan, upaya pencegahan dengan meningkatnya umur, kerusakan gigi dan jaringan pendukungnya akan menjadi lebih berat, bahkan dapat mengakibatkan terlepasnya gigi pada usia muda sehingga diperlukan biaya perawatan gigi yang semakin mahal.4

Upaya untuk menanggulangi hal tersebut dimulai sejak dini dengan memberikan pendidikan kesehatan gigi dan mulut pada anak baik di lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat maupun secara profesional (praktik dokter gigi). Pendidikan kesehatan gigi dan mulut merupakan suatu upaya untuk menyampaikan pesan mengenai kesehatan gigi dan mulut dengan harapan dapat memperoleh pengetahuan kesehatan gigi lebih baik. Konsep pendidikan kesehatan gigi ini merupakan penerapan dari konsep pendidikan dan konsep sehat sehingga diupayakan adanya perubahan pada perilaku anak dalam meningkatkan kesehatan gigi dan mulut mereka.1,5,6,7,8

KESEHATAN GIGI DAN MULUT ANAK Mulai tumbuhnya gigi merupakan proses penting pertumbuhan seorang anak.3,9

Meskipun, gigi sulung akan digantikan dengan gigi tetap, tetapi gigi sulung harus dapat dipertahankan sampai saatnya eksfoliasi normal karena untuk mempertahankan lengkung rahang, mempertahankan kesehatan mulut, mencegah dan menghilangkan rasa sakit serta mempertahankan dan meningkatkan penampilan.2 Kondisi kesehatan gigi dan mulut anak yang terjadi dalam masyarakat belum dapat dikatakan baik. Hal ini terlihat dari penelitian Damanik dan Sinaga (2002) yang dilakukan pada siswa SD Negeri 060919 (kelompok perlakuan) dan SD Negeri 064979 (kelompok kontrol) di Medan. Ternyata indeks plak ratarata sebelum penyuluhan pada kelompok perlakuan adalah 1,8154 dan pada kelompok kontrol adalah 1,8794. Data di atas menunjukkan bahwa kedua kelompok tersebut mempunyai kebiasaan awal membersihkan gigi yang sama dan dapat dikategorikan rendah tingkat kebersihan giginya. Dalam penelitian Kristianti dan Rusiawati (2002) juga mengkaji profil kesehatan gigi 1995 yang mengambil sampel rumah tangga sebanyak 65.664 orang. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa ratarata 2.21 gigi anak umur 12 tahun cacat/pernah mengalami kerusakan (DMF-T = 2.21). Tingkat keparahan ini termasuk rendah menurut kriteria WHO. Peneliti juga mengkaji target gigi sehat WHO untuk anak usia 12 tahun pada tahun 2000 dan 2010. Target gigi sehat WHO pada tahun 2000 adalah DMF-T sebesar 3 atau kurang dari 3, dan target yang diharapkan pada tahun 2010 adalah DMF-T sebesar rata-rata 1. Jadi target yang diinginkan pada tahun 2000 telah tercapai. Namun untuk target 2010 masih belum tercapai.

DENTAL HEALTH EDUCATION (PENDIDIKAN KESEHATAN GIGI) Pendidikan kesehatan gigi adalah proses pendidikan yang terencana, terarah, dan berkesinambungan untuk mengubah perilaku meliputi perubahan pengetahuan, sikap, dan tindakan yang mengarah kepada upaya hidup sehat yang diharapkan bertambah baik sehingga diperoleh derajat kesehatan gigi dan mulut yang optimal.5,6 Tujuan pendidikan kesehatan gigi adalah untuk memperkenalkan kepada anak tentang

kesehatan gigi dengan usaha preventif dan promotif, mengingatkan dan mengusahakan timbulnya kesadaran serta keyakinan untuk meningkatkan kesehatan gigi dan mulut, menjabarkan akibat yang ditimbulkan dari kelalaian menjaga kebersihan gigi dan mulut,menanamkan perilaku sehat sejak dini melalui kunjungan ke sekolah, dan menjalin kerjasama dengan masyarakat dalam memberikan penyuluhan langsung.5,8 Komponen yang harus ada dalam pendidikan kesehatan gigi adalah meliputi Sasaran didik yaitu: siswa SD (kelompok langsung yang dikenai program pendidikan), orang tua siswa SD dan guru (kelompok antara yang dapat mempengaruhi perilaku siswa); Tujuan pendidikan sebagai target yang ingin dicapai; Kurikulum meliputi cara, materi, alat dan bahan yang sesuai program; Pelaksana pendidikan yaitu semua petugas kesehatan; dan Lingkungan didik.5,6 Pendidikan kesehatan gigi (DHE) pada prinsipnya tidak dapat diberikan pada anak dalam satu kali kunjungan saja, sehingga diperlukan tahapan yang diulang secara periodik yang nantinya akan dievaluasi atas keberhasilan DHE yang selama ini telah diberikan. Tahapannya adalah:11,12,13 1. Meminta pasien agar membawa sikat giginya untuk latihan menggosok gigi. Mintalah pasien menggosok giginya dengan cara yang biasa dilakukan dirumah. 2. Oleskan disclosing agent dan tunjukkan daerah-daerah yang masih kotor. 3. Memberikan pendidikan kesehatan gigi (DHE) dengan bahasa yang dimengerti pasien dan disesuaikan dengan usia serta penerimaan pasien, yaitu dengan menjelaskan cara menggosok gigi yang baik pada sebuah model gigi dan sikat gigi yang sesuai. 4. Setelah pasien mengerti, mintalah pasien untuk melakukan hal yang telah diajarkan tadi. Bila perlu dioleskan kembali disclosing agent. 5. Berikan instruksi kepada orang tua untuk bekerja sama dalam melatih pasien (anak) untuk menggosok gigi dengan baik dan benar. 6. Kontrol dilakukan pada kunjungan berikutnya untuk mengevaluasi kemajuan anak dalam menggosok gigi. Diharapkan anak dapat memperbaiki teknik menggosok giginya secara bertahap. Kemudian buatlah

7.

penilaian kebersihan gigi dan teknik menggosok gigi seperti sebelumnya. Kontrol secara periodik dilakukan setiap enam bulan sekali untuk mengetahui kerusakan gigi secara dini.

MANFAAT DENTAL HEALTH EDUCATION DALAM KESEHATAN GIGI DAN MULUT ANAK Manfaat pendidikan kesehatan gigi secara dini pada anak yang diajukan oleh para ahli pada intinya sama yaitu memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang kesehatan gigi dan mulut, adanya perubahan perilaku anak setelah munculnya kesadaran dalam meningkatkan kesehatan gigi dan mulut, keikutsertaan orang tua memberikan pengaruh positif dalam memotivasi anak sejak dini tentang kesehatan gigi dan mulut, menghemat biaya, efisiensi waktu dan tenaga dalam perawatan gigi, dapat menurunkan tingkat penyakit gigi seperti karies gigi yang sering menyerang anak-anak sehingga upaya pencegahan dini melalui pendidikan kesehatan gigi kepada anak merupakan strategi yang paling efektif dan efisien.1,2,11,14,15

PEMBAHASAN Pendidikan kesehatan gigi sangat perlu dilaksanakan sejak usia dini karena anak yang masih kecil mudah meniru kebiasaan-kebiasaan yang diajarkan atau dicontohkan. Bimbingan dan perhatian khusus dari orang tua terutama ibu jika dilaksanakan secara terus-menerus pada akhirnya anak akan mengerti dan memahami tentang pentingnya kebersihan gigi. Pendidikan dimulai dengan memperkenalkan sikat gigi dan pasta gigi dengan mencontohkan cara membersihkan gigi. Jika hal-hal kecil seperti ini dilaksanakan secara konsisten, anak akan meniru apa yang dicontohkan. Apalagi jika contoh itu dilihat anak sebagai sesuatu yang menyenangkan dan sama sekali bukan sesuatu yang membosankan. Maka dari sini akan muncul kesadaran anak tentang kesehatan gigi dan mulut.14,16 Pendidikan kesehatan gigi (DHE) ternyata dapat juga menurunkan indeks plak, hal ini telah dibuktikan oleh penelitian Damanik dan Sinaga (2002) yang membandingkan dua

SD Negeri di Medan yang memiliki kondisi kebersihan mulut yang dianggap sama yaitu SD Negeri 060919 sebagai kelompok perlakuan yang diberikan penyuluhan kesehatan gigi dan latihan ketrampilan menyikat gigi dan SD 064979 sebagai kelompok kontrol. Dari hasil pengukuran plak yang dilakukan pada kedua kelompok, 3 minggu setelah penyuluhan disertai pelatihan diperoleh penurunan indeks plak dari 1,8154 menjadi 0,8614 (kelompok perlakuan) dan 1,8794 menjadi 1,2014 (kelompok kontrol). Hal ini menunjukkan bahwa murid-murid kelompok perlakuan termotivasi mengikuti anjuran efek penyuluhan dan pelatihan yang diberikan serta cukup efektif menurunkan indeks plak. Jelas dari penelitian ini terlihat hubungan positif antara pendidikan kesehatan gigi (DHE) terhadap kesehatan gigi dan mulut pada anak. Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Kiranawati, dkk. (2003) yang difokuskan kepada tingkat keberhasilan yang dicapai oleh UKGS biasa (SDN 02 Pejaten Barat) dan UKGS Plus (SDN 01 Pejaten Barat) dalam mengurangi DMF-T. Terlihat bahwa Indeks DMF-T dari siswa UKGS Plus sebesar 1,957 dan pada siswa UKGS biasa Indeks DMF-T nya sebesar 3,250. Terlihat jelas bahwa ada perbedaan yang sangat signifikan antara sekolah yang menggunakan UKGS Plus dengan UKGS biasa. Jadi dengan adanya peran orang tua terutama ibu akan membuat pendidikan kesehatan gigi dan mulut menjadi lebih efektif sehingga nantinya dapat mencapai sasaran dan tujuan pendidikan kesehatan gigi dan mulut pada anak. Apabila kita membandingkan hasil penelitian Kiranawati, dkk. (2003) dengan sasaran WHO terhadap kesehatan gigi anak pada tahun 2000, yaitu dengan Indeks DMF-T =<3 untuk sekolah yang menggunakan UKGS Plus telah tercapai, bahkan apabila kita membandingkan dengan sasaran WHO untuk tahun 2010 dengan Indeks DMF-T sebesar 1 hampir tercapai. UKGS biasa belum bisa mencapai sasaran yang telah dicanangkan oleh WHO. Jadi usaha terhadap pendidikan kesehatan gigi harus lebih digalakkan dan lebih memberikan peran serta orang tua, karena terlihat dari penelitian diatas bahwa pendidikan dengan melibatkan peran serta orang tua jauh lebih efektif daripada yang tidak. Rata-rata skor pengetahuan untuk siswa UKGS Plus adalah 11,1395 sedangkan pada

10

siswa UKGS biasa tingkat pengetahuan akan kesehatan gigi rata-rata sebesar 10,9167. Melihat data tersebut nilai pengetahuan tentang kesehatan gigi dan mulut pada siswa di sekolah yang menjalankan UKGS Plus lebih baik dibandingkan UKGS biasa. Meningkatnya pengetahuan mengenai kesehatan gigi dan mulut ternyata juga dapat mengubah sikap dan tingkah laku siswa mengenai kesehatan gigi dan mulut mereka. Dari penelitian-penelitian yang penulis kaji di atas, DHE yang diberikan kepada siswa, baik berupa penyuluhan maupun unit sekolah berupa UKGS dan UKGS Plus, memberikan pengaruh positif terhadap perubahan perilaku anak mengenai kesehatan gigi yang akhirnya akan berpengaruh positif juga terhadap kesehatan gigi dan mulut anak. Baik secara kuantitatif ditunjukkan dengan adanya penurunan indeks plak dan angka DMF-T dan secara kualitatif kesehatan gigi dan mulut dapat dianggap semakin baik sebagai pengaruh positif yang diberikan DHE pada anak. Jadi untuk mencapai sasaran kesehatan gigi dan mulut, langkah yang paling utama adalah tindakan pencegahan penyakit gigi dan mulut secara dini melalui DHE.

pendidikan kesehatan gigi yang lebih efektif hendaknya pendidikan kesehatan gigi diberikan lebih menarik kepada anak dengan memberikan contoh, model perawatan gigi yang benar, praktik langsung dengan pengawasan tenaga kesehatan gigi, terlibatnya seluruh aspek lingkungan anak dalam proses pendidikan kesehatan gigi terutama orang tua, serta memperbanyak program UKGS Plus di sekolahsekolah yang telah terbukti memberikan hasil yang positif terhadap kesehatan gigi dan mulut anak.

DAFTAR PUSTAKA 1. Boesro S, Sagala I. Upaya Pencegahan Dalam Perawatan Menyeluruh Untuk Mencapai Kesehatan Gigi dan Mulut Anak Yang Optimal, Majalah Ilmiah Kedokteran Gigi FKG USAKTI. Ed.Khusus Foril IV, 1993, 1: 69-78. Andajani, LT. Mengapa Gigi Sulung Harus Dirawat, Jurnal PDGI. 2000. 1(50): 52-55. ________ 2005, Gigi Bermasalah Hambat Perkembangan Anak [Homepage of Gudang Informasi Balita Anda], [Online]. Available from: http // www.balitaanda.indoglobal.com/milisbalita.html. accessed December 25, 2005. Dwiati L. 2003. Pengaruh Model Pencegahan Karies Gigi Dan Gingivitis Terhadap Status Kesehatan Gigi Anak Sekolah dan Efisiensi Sumber Daya Program UKGS di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2002, [Homepage of Pusat Data dan Informasi PERSI]. [Online], Available from : http//www.pdpersi.co.id. accessed October 30, 2005. Herijulianti E, Indriani TS, Artini S. Pendidikan Kesehatan Gigi. Jakarta : EGC Penerbit Buku Kedokteran; 2002. Hadnyanawati, H. Strategi Dalam Merencanakan Program Pendidikan Gigi dan Mulut Melalui Media Siaran Radio, Dentika Dental Journal 2003, 8(1): 6-11. Arbani F, Heriandi Y. Kiat Rencana Perawatan Yang Menyeluruh Pada Pasien Anak dan Beberapa Upaya Preventif, Majalah Ilmiah Kedokteran Gigi FKG USAKTI, Ed. Khusus Foril IV 1993, 1: 6168. Yayasan Kesehatan Gigi Indonesia. 2005, Program YKGI [Homepage of Yayasan

2. 3.

SIMPULAN 4. Pendidikan kesehatan gigi (DHE) yang diberikan kepada anak mampu mengubah perilaku anak dengan munculnya kesadaran untuk menjaga kesehatan gigi dan mulut dalam berbagai lingkungan sehingga pencegahan penyakit gigi dapat dilakukan secara dini. Hal ini dapat dibuktikan dengan penurunan tingkat karies gigi serta peningkatan kebersihan gigi dan mulut anak. Pendidikan kesehatan gigi pada anak akan lebih efektif apabila orang tua terutama ibu ikut berperan memberikan contoh, mengawasi kesehatan gigi dan mulut anaknya.

5.

6.

SARAN Banyak upaya pendidikan kesehatan gigi dan mulut kepada anak tidak memberikan perubahan yang signifikan terhadap kesehatan gigi dan mulut mereka sehingga tidak akan efektif apabila pemahaman dan kesadaran anak terhadap kesehatan gigi dan mulut masih rendah serta tidak adanya peran serta seluruh aspek dalam lingkungan anak. Untuk menciptakan

7.

8.

11

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

Kesehatan Gigi Indonesia], [Online]. Available from: http // www.ykgi.or. id/program.html. Accessed December 25, 2005. Damanik S, Sinaga ED. Efek Penyuluhan dan Pelatihan dalam Penurunan Indek Plak pada Murid-Murid Kelas IV dan V di Dua SD Negeri Medan, dentika Dental Journal 2002. 7(1): 1-5. Kristanti ChM, Rusiawati Y. Gigi Sehat Tahun 2000 dan Tinjauan Profil Kesehatan Gigi 1995, JDUI 2002. 9(2): 1-5. Houwink B, Dirk B, Cramwinckle AB, Criealaers PJA, Dermaut LR, Eijkman MAJ. Dalam: Huis Int Veld, Konig KG, Moltzer G, Helderman T, Roukema PA, Schautteet H, Tan HH. Ilmu Kedokteran Gigi Pencegahan, Sutatmi Suryo (penterjemah), Yogyakarta: Gadjah Mada University Press; 1993. Andlaw RJ, Rock WP. Perawatan Gigi Anak, edisi 2, Agus Djaya (penterjemah), Jakarta: Widya Medika; 1992. Forrest JO. Pencegahan Penyakit Mulut, edisi 2, Lilian Yuwono (penterjemah), Jakarta: Hipokrates; 1995. Blogger Magazine. 2006. Program Usaha Kesehatan Gigi Sekolah [Homepage of Blogger Magazine], [Online]. Available from: http // www.bz.blogfam.com. Accessed May 25, 2006. Kiranawati R, Setiawan A, Osmonso D. Parent Involvement In School Dental Health Program, JITEKGI 2003, 1(3): 8-12. Fajar Kesehatan. 2006. Terapkan Pendidikan Kesehatan Gigi Sejak Dini [Homepage of Fajar Kesehatan], [Online]. Available from: http// www.fajar.co.id. Accessed May 25, 2006.

12

Interdental Jurnal Kedokteran Gigi; 2007;5(1)

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar

ANALISIS MUTU PELAYANAN TERHADAP KEPUASAN PASIEN (KAJIAN DI RSGM FKG UNMAS DENPASAR)

Yohanna Lily, Yudha Rahina dan Grehastin Feby


Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar. ABSTRAK Di lingkungan rumah sakit, proses pelayanan merupakan suatu hal yang penting untuk tercapainya kepuasan pasien. Pelayanan merupakan upaya manusia yang bertujuan meningkatkan mutu dan kualitas rumah sakit yang lebih baik, guna tercapainya kepuasan pasien. Beberapa hal yang berkaitan dengan mutu pelayanan diantaranya adalah pendaftaran, waktu perawatan, biaya perawatan, keramahan petugas, serta kenyamanan ruangan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan mutu pelayanan dengan kepuasan pasien. Jenis penelitian yang dilakukan adalah survei analitik dengan pendekatan cross sectional, dengan jumlah sampel sebanyak 384 orang yang diperoleh dari pasien yang berkunjung ke RSGM FKG UNMAS Denpasar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pelayanan dengan kepuasan pasien (p<0,05), yaitu pelayanan yang ada masih kurang memuaskan bagi pasien. Kata kunci : mutu pelayanan, kepuasan pasien. Korespondensi : Yohanna Lily, drg.,M.Kes. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jln. Kamboja 11a Denpasar, Telp. (0361) 7424079, 7642701, Fax. (0361) 261278

PENDAHULUAN Bangsa Indonesia bersama bangsa bangsa lain di seluruh dunia saat sekarang ini telah memasuki era millenium ketiga. Dalam masa milenium ketiga ini, bangsa Indonesia tentu saja telah mengalami lompatan budaya dari masyarakat agraris langsung ke peradaban pasca industri. Kondisi tersebut melahirkan tuntutan baru bagi masyarakat dan lingkungannya termasuk tuntutan terhadap kesehatan yang bermutu. Dalam hal jasa pelayanan kesehatan dan kualitas pelayanan kesehatan gigi yang akan diberikan; tidak hanya dokter gigi, namun semua pemberi pelayanan kesehatan juga saling bersaing termasuk rumah sakit. Merupakan tantangan bagi pemberi pelayanan kesehatan untuk dapat memberikan pelayanan yang bermutu kepada pasien yang berkunjung. Pelayanan adalah serangkaian aktivitas yang tidak dapat diraba sebagai akibat adanya interaksi antara konsumen dengan pemberi pelayanan untuk memecahkan permasalahan konsumen atau pelanggan.1,2 Penyelenggaraan pelayan harus memenuhi beberapa prinsip, yaitu: kesederhanaan, kejelasan, kepastian waktu,

akurasi, keamanan, tanggung jawab, kelengkapan sarana dan prasarana, kemudahan akses, kedisiplinan, kesopanan dan keramahan, serta kenyamanan. 1 Strategi yang dilakukan untuk mencapai kualitas pelayanan adalah TQM (Total Quality Management). TQM didasarkan pada kemampuan individu dalam proses pelayanan, hasil dan selalu merespon keluhan pelanggan. TQM sebagai filosofi yang menentukan visi dan misi organisasi, menekankan pada komitmen terhadap proses dan keyakinan tentang kualitas serta peran manajemen dalam mengintegrasikan nilainilai keyakinan dalam budaya organisasi. Nilai keyakinan tersebut diartikan sebagai kepuasan pelanggan baik karena pengaruh faktor internal maupun eksternal 3. Beberapa faktor yang memotivasi pasien untuk berkunjung ke rumah sakit yaitu: pelayanan, petugas, fasilitas, lingkungan, lokasi dan rujukan. Pelayanan meliputi pelayanan yang lengkap, pemahaman pengguna jasa tentang jenis pelayanan yang akan diterimanya. Kepuasan pasien ditentukan oleh 4 faktor, yaitu: kemudahan (terjangkau, tersedia, waktu selalu buka), hubungan pasien-dokter (mendengarkan keluhan-keluhan, ramah,

13

aman, informasi yang jelas), pelayanan (kecepatan pelayanan, tanggapan keluhan, pelayanan yang berlanjut), fasilitas (bersih,nyaman), dan biaya perawatan4. Fasilitas meliputi reputasi rumah sakit, kecanggihan peralatan, kemudahan parkir, dan kenyamanan ruangan. Lingkungan meliputi kebersihan lingkungan, keindahan lingkungan, ketenangan lingkungan, yang dapat membuat pasien nyaman berada di rumah sakit. Lokasi, letak rumah sakit yang dekat dengan tempat tinggal pasien dapat menjadikan motivasi utama yang akan membuat pasien memilih rumah sakit tersebut5. Kepuasan pelanggan adalah respon pelanggan terhadap evaluasi ketidaksesuaian yang dirasakan antara harapan sebelumnya atau norma kinerja lainnya dan kinerja aktual produk yang dirasakan setelah pemakaian3. Kepuasan pelanggan merupakan evaluasi purna beli dimana alternatif yang dipilih sekurangkurangnya sama atau melampaui harapan pelanggan, sedangkan ketidakpuasan timbul apabila hasil outcome tidak memenuhi harapan6. Dari hasil survei awal di RSGM, didapatkan penurunan jumlah pasien yang berkunjung dari bulan juli sampai september 2005 (>4%).

HASIL PENELITIAN Tabel 1 Karakteristik Responden Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin
KETERANGAN 17-26 27-36 UMUR (th) 37-46 47-56 57-66 JENIS Laki-laki KELAMIN Perempuan JUMLAH 287 46 34 6 11 142 242 (%) 74,74 11,98 8,85 1,56 2,87 36,98 63,02

Dari Tabel 1 diketahui bahwa usia responden berkisar antara 17 hingga 66 tahun. Sebagian responden berusia diantara 17-26 tahun yakni sebesar 74,74 %. Responden perempuan lebih banyak yakni sebesar 63,02% daripada laki-laki sebanyak 36,98 %. Tabel 2 Distribusi Jawaban Responden Terhadap Kuesioner Variabel Pelayanan
JAWABAN RESPONDEN Ya Tidak tahu Tidak Jumlah JUMLAH 171 182 31 384 (%) 44,53 47,40 8,07 100

METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah survei analitik dengan pendekatan cross sectional. Sampel penelitian adalah pasien dewasa yang berkunjung ke RSGM FKG UNMAS Denpasar sebanyak 384 orang yang diperoleh secara insidental. Variabel Penelitian terdiri dari variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas adalah mutu pelayanan, meliputi: pendaftaran, pelayanan petugas, biaya perawatan, waktu perawatan, dan kenyamanan ruangan. Variabel terikat adalah kepuasan pasien. Alat ukur penelitian adalah kuesioner yang telah dinyatakan valid dan reliabel. Data dianalisis dengan menggunakan uji analisis regresi linier tunggal dan Product Moment Pearson. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan mutu pelayanan di RSGM Pendidikan dengan kepuasan pasien.

Tabel 2 menunjukkan bahwa 47,4% responden yang menyatakan tidak tahu akan pelayanan yang mereka peroleh pada klinik pendidikan RSGM FKG UNMAS Denpasar. Sebanyak 44,53% responden memberikan jawaban positif (ya) terhadap pelayanan yang diterima sedang sisanya 8,07% memberikan nilai negatif (tidak) terhadap pelayanan. Tabel 3 Distribusi Jawaban Responden Terhadap Kuesioner Variabel Kepuasan Pelayanan
JAWABAN RESPONDEN Puas Kurang puas Jumlah JUMLAH 18 366 384 (%) 4,69 95,31 100

Tabel 3 menunjukkan bahwa hanya 4,69% responden yang menyatakan puas dengan pelayanan yang diberikan oleh klinik pendidikan RSGM FKG UNMAS Denpasar. Hal ini disebabkan hampir seluruh responden atau sebesar 95,31% yang

14

menyatakan tidak puas akan pelayanan yang diberikan. Tabel 4 Distribusi Responden Berdasarkan Kriteria Pelayanan di RSGM FKG UNMAS
KRITERIA BAIK SEDANG KURANG TOTAL JUMLAH 155 187 42 384 (%) 40,36% 48,70% 10,94% 100%

Tabel 4 menunjukkan bahwa 48,7% responden yang menyatakan bahwa RSGM pendidikan FKG UNMAS termasuk dalam pelayanan dalam kriteria sedang; sedangkan 40,36% menyatakan termasuk dalam kriteria baik. Sisanya 10,94% menyatakan termasuk dalam pelayanan kriteria kurang. Tabel 5 Hasil Uji Analisis Korelasi Pearson dan Regresi Linier Tunggal Antara Variabel Pelayanan Dengan Variabel Kepuasan Pasien
Model Pelayanan R .931a R Square .867 Beta -79.829 Sig. .000

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pelayanan dengan kepuasan pasien (p = 0,000). Variabel pelayanan memberikan sumbangan pengaruh sebesar 86,7% terhadap kepuasan pasien (R2 = 0,867). Namun pelayanannya kurang memuaskan pasien (B = -79,829), sedangkan sisanya sebesar 13,3% dipengaruhi oleh faktor lain.

PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara mutu pelayanan dengan kepuasan pasien. Mutu pelayanan kurang memberikan kepuasan pada pasien. Ketidakpuasan timbul karena hasil tidak memenuhi harapan. Di RSGM, pasien-pasien yang datang dirawat dan dilayani oleh mahasiswa kepaniteraan. Pada penelitian ini diketahui sebagian besar responden menyatakan tidak tahu akan pelayanan yang mereka peroleh (47,4%). Besarnya standar deviasi pelayanan (SD=11,56), dapat diketahui adanya gap sebesar 40,7% antara pasien yang berpikir positif dan yang berpikir negatif. Hal ini disebabkan oleh karena sebagian besar

pasien yang berkunjung didatangkan dan dipersiapkan oleh mahasiswa untuk memenuhi target kepaniteraan mereka. Pasien pasrah dan tidak memilih perawatan yang dikehendaki, cenderung tidak peduli dengan pelayanan yang diberikan. Karena pasien kebanyakkan merupakan kerabat atau kenalan mahasiswa itu sendiri, sehingga mereka tidak banyak bertanya akan perawatan yang mereka dapatkan. Hal di atas menunjukkan bahwa pasien kurang mendapat informasi yang seharusnya. Dari jawaban responden diketahui bahwa 95,31 % responden menyatakan kurang puas akan pelayanan yang diberikan, dengan kriteria pelayanan sedang. Hal ini disebabkan oleh adanya ketidaksesuaian antara harapan dengan kenyataan yang diterima oleh pasien. Kepuasan pelanggan adalah respon pelanggan terhadap evaluasi ketidaksesuaian yang dirasakan antara harapan sebelumnya atau norma kinerja lainnya dan kinerja aktual produk yang dirasakan setelah pemakaian3. Beberapa hal yang menyebabkan kurangpuasnya pasien terhadap pelayanan, antara lain: 1) pada aspek pendaftaran, ternyata petugas pendaftaran sulit ditemui karena sering meninggalkan ruang kerjanya; 2) pelayanan petugas, pelayanan dilakukan oleh mahasiswa kepaniteraan sehingga pasien yang datang menganggap dirinya sebagai kelinci percobaan, sedangkan dokter gigi yang ada hanya sebatas sebagai pembimbing; 3) biaya perawatan, pasien menganggap dengan biaya perawatan yang murah kualitas pelayanan yang diperolehnya tidak memadai; 4) waktu perawatan, selama perawatan, pasien menunggu karena operator melakukan diskusi dengan dokter pembimbing, kadang hingga pasien kelelahan; 5) kenyamanan ruangan, ruang tunggu yang tidak luas menyebabkan banyak pasien yang menunggu sampai di luar ruangan. Aspek komunikasi memegang peranan penting karena pelayanan kesehatan. Kemudahan prosedur, jaminan kesehatan dan tarif yang murah juga membuat pasien termotivasi untuk datang. Penampilan fisik petugas, kualitas dokter, kualitas perawat dan keramahan perawat, juga sikap peduli yang ditunjukkan oleh petugas kesehatan yang akan menyentuh emosi pasien. Rujukan dan saran dari teman atau keluarga, atasan maupun dokter merupakan motivasi yang berasal dari luar. Biasanya berasal dari cerita mulut ke mulut

15

oleh pelanggan yang merasa puas akan pelayanan kesehatan diterimanya.5 Kepuasan pelanggan merupakan aspek yang paling menonjol dalam tingkat operasional pelayanan kesehatan gigi dan mulut. Kepuasan pasien adalah faktor terpenting yang berdampak besar terhadap keberhasilan suatu pelayanan kesehatan dalam meningkatkan kunjungan pasien. 1 Faktor faktor di atas seharusnya bisa dijadikan acuan oleh pihak rumah sakit untuk menarik pasien datang berobat dan menjadi pelanggan. Pelanggan adalah orang yang berkunjung dan mengharapkan jasa untuk memperoleh hasil yang sesuai dengan harapannya4. Kepuasan pasien selain dipengaruhi oleh pelayanan yang diberikan, juga ditentukan oleh pengalaman dan pemikiran perorangan. Perlu upaya yang jelas dari pihak rumah sakit untuk memberikan pelayanan yang konsepsional dan terpadu yang menjamin kepuasan pasien4. Kepuasan pelanggan merupakan aspek yang paling menonjol dalam tingkat operasional pelayanan kesehatan gigi dan mulut. Kepuasan pasien adalah faktor terpenting yang berdampak besar terhadap keberhasilan suatu pelayanan kesehatan dalam meningkatkan kunjungan pasien 7.

pasien (p<0,05). Pelayanan yang ada kurang memuaskan pasien. Mutu pelayanan memberikan sumbangan pengaruh yang kuat terhadap kepuasan pasien.

DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. Ratminto, Winarsih AS. Manajemen Pelayanan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar; 2005. Jasfar F. Manajemen Jasa. Bogor: Ghalia Indonesia; 2005. Tse & Wilton. Total Manajemen. Jakarta: Erlangga; 1998. Sabarguna. Pemasaran Rumah Sakit. Konsorium Rumah Sakit Islam Jateng Yogyakarta; 2004. Sukaca. Perilaku Memilih Rumah Sakit. (Tesis), Yogyakarta: Pascasarjana Universitas Gajahmada; 2000. Tjiptono. Manajemen Kesehatan, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama; 1998. Astoeti. Kepuasan Pelanggan Sebagai Tantangan Dokter Gigi di Indonesia Dalam Meningkatkan Kualitas Pelayanan Memasuki Era Milleniun Ketiga, Majalah Ilmiah FKG USAKTI 1999. 4: 104-109.

5. 6.

7.

SIMPULAN , Terdapat hubungan yang bermakna antara mutu pelayanan dengan kepuasan

16

Interdental Jurnal Kedokteran Gigi; 2007;5(1)

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar

PENGGUNAAN ALAT ORTODONSIA LEPASAN PADA FASE RETENSI Norman Hidajah


Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar

ABSTRAK Fase retensi bertujuan untuk mempertahankan gigi-gigi dalam posisinya yang baru, baik secara estetik maupun fungsional. Alat retensi sebaiknya didesain sederhana dan dapat menahan gigi untuk beberapa waktu, agar jaringan periodontal dan tulang dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan letak gigi. Pemakaian alat retensi sebaiknya tidak dihentikan seketika, tetapi dikurangi secara bertahap sampai gigi yang menempati posisi baru telah stabil. Kata kunci: fase retensi, alat ortodonsia lepasan, stabil Korespondensi: Norman Hidajah, drg., Bagian Ortodonsia, Fakultas kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jl. Kamboja 11 A, Telp/Fax. (0361) 261278

PENDAHULUAN Perawatan Ortodontik terdiri dari fase aktif dan fase pasif. Fase aktif merupakan perawatan untuk menggerakkan gigi yang akan dikoreksi letaknya, sedangkan fase pasif dalam hubungannya dengan ortodonti bertujuan mempertahankan gigi geligi pada posisi yang telah memenuhi syarat estetik dan fungsional.1 Pada tahap akhir dari perawatan aktif yang telah berhasil, struktur pendukung dari gigi-gigi masih mengalami modifikasi aktif. Tulang akan teresorbsi dan terdeposit pada soket, dan jaringan pendukung gigi-gigi masih terpengaruh tekanan dari perawatan aktif. Jika alat aktif seketika dilepaskan pada tahap ini, akan terjadi relaps.2 Keadaan ini membutuhkan adanya fase retensi dengan tujuan untuk mempertahankan gigi-gigi dalam posisinya yang baru. Fase retensi bukan merupakan masalah yang terpisah dalam perawatan ortodontik, tetapi merupakan kelanjutan dari perawatan yang telah dilakukan.

FASE RETENSI Perawatan pasif bertujuan untuk mempertahankan gigi-gigi yang telah digerakan ke posisi yang baru baik secara estetik maupun fungsional. Hal ini dilakukan karena gigi yang telah digerakkan setelah perawatan aktif selesai mempunyai tendensi untuk relaps. Kontraksi struktur jaringan fibrous setelah pergerakan gigi

adalah reaksi jaringan yang normal, yang mengakibatkan regangan pada daerah yang bebas pada sisi yang mengalami tarikan setelah pergerakan. Resorbsi tulang pada sisi tekanan dapat meningkatkan kekuatan yang memungkinkan terjadinya relaps. Perlekatan serabut transeptal gigi ke tulang, dari gigi ke gigi atau dari gigi ke jaringan subepitel yang menyebabkan terjadinya tarikan setelah pergerakan, apabila tidak mempu beradaptasi akan menghasilkan kekuatan yang menyebabkan relaps.3 Beberapa kriteria yang sebaiknya dipenuhi agar suatu perawatan orthodontia siap dilanjutkan dengan perawatan pasif adalah oklusi dan relasi sentrik yang normal, hubungan cusp klas I dengan kunci cusp yang normal, posisi kaninus rahang bawah baik, sudut interincisal mendekati normal, tumpang gigit dan tinggi gigit anterior yang normal, lengkung atas dan bawah yang baik, semua celah telah tertutup dan tidak ada rotasi, apeks gigi di dekat daerah pencabutan sejajar dan interdigitasi tonjol yang baik.3 Perencanaan penggunaan alat retensi dibagi menjadi beberapa katagori, tergantung dari jenis perawatan yang dilakukan yaitu Tanpa alat retensi, meliputi gigitan silang yang telah dikoreksi, gigi geligi yang mengalami perawatan serial ekstraksi, koreksi yang dihasilkan oleh pertumbuhan rahang atas yang terhambat (pasien tidak mengalami periode pertumbuhan), gigi-gigi rahang atas dan rahang bawah terhambat erupsi (contoh impaksi pada gigi premolar kedua

17

rahang bawah dan kaninus pada rahang atas ); Retensi terbatas, meliputi kasus klas I Angle nonekstraksi yang memiliki karakteristik protrusi dan terdapat ruang antara incisivus rahang atas, kasus klas I atau klas II Angle dengan pencabutan, koreksi gigitan dalam, koreksi gigi yang mengalami rotasi dan telah menempati posisi normal, kasus gigi ektopik ataupun adanya jumlah gigi berlebih dan koreksi maloklusi Klas II divisi 2; Retensi permanen atau semi permanen, meliputi perawatan ekspansi terutama pada rahang bawah, kasus diastema besar setelah penutupan ruang dan rotasi yang sulit diperbaiki.1 Faktor yang juga mempengaruhi retensi adalah penggunaan retainer dengan desain sederhana, tekanan otot, dan kesehatan mulut. Alat retensi tidak boleh memberikan tekanan pada gigi sama seperti alat yang digunakan untuk perawatan aktif. Alat retensi sebaiknya kaku, dengan desain yang sederhana sehingga dapat menahan gigi pada posisi baru setelah digerakkan untuk beberapa waktu, agar jaringan periodontal dan tulang menyesuaikan diri terhadap perubahan letak gigi.4

daerah palatal dan dapat mempertahankan hasil ekspansi tersebut dalam waktu lama. Sifat kekakuannya juga memudahkan operator ketika mengurangi bagian-bagian tertentu untuk menyesuaikan erupsi gigi posterior.6

Gambar 1 Hawley Retainer

LAMANYA PEMAKAIAN ALAT RETENSI Faktor-faktor yang mempengaruhi lamanya masa pemakaian alat retensi adalah usia pasien, macam oklusi, etiologi kelainan maloklusi, kesehatan pasien, bentuk anatomi gigi, hasil yang dicapai setelah perawatan aktif selesai. Kebanyakan perawatan ortodontik membutuhkan pemakai alat lepasan dengan jangka waktu tertentu hingga tercapai penyesuaian yang baik. Pemakaian alat retensi sebaiknya tidak dihentikan seketika, tetapi dikurangi secara bertahap sampai gigi yang menempati posisi baru telah stabil hingga dihentikan sama sekali, yaitu dengan urutan pemakaian sepanjang hari, pemakaian setiap malam saja dan pemakain satu atau dua kali seminggu.

Wraparaound Retainer Wraparound retainer disebut juga clip on retainer yang terdiri dari bar plastik di sepanjang permukaan labial dan lingual gigi. Keuntungannya yaitu tidak melintang pada dataran oklusi sehingga hubungan antar cusp molar dapat terjaga dengan baik, memberikan retensi dari arah transversal dan sagital. Kekurangan yaitu dari segi estetik dan kenyamannya kurang baik dibandingkan dengan Hawley retainer dan tidak efektif untuk retensi setelah koreksi tumpang gigit.7

Essix Thermoplastic Copolyester Retainer Merupakan alat retensi transparan, tipis dan bersifat termoplastik. Keuntungannya adalah nyaman, dapat diterima pasien dengan baik dan fleksibel. Kekurangannya tidak dapat digunakan sebagai retensi pada kasus pasca perawatan ekspansi.8

MACAM - MACAM ALAT RETENSI Hawley Retainer. Desainnya terdiri dari cengkeram pada gigi molar dan busur labial yang dibuat mengikuti lengkung geligi dari gigi kaninus ke kaninus dengan tambahan loop.5 Menurut Theroux (2003), bentuknya yang kaku berguna mempertahankan tempat setelah ekspansi pada

Gambar 2 Essix Thermoplastic Copolyester Retainer

18

Spring Retainer

menyebabkan rasa penuh pada mulut, kebersihan mulut lebih terjamin, tidak menyebabkan kesulitan bicara dan nyaman.9

All-Wire Retainer with Clip-on System

Gambar 3 Spring Retainer

Spring retainer merupakan kombinasi dari Hawley retainer dan Positioner. Semula spring retainer terbuat dari kawat stainless steel 0,28 inci yang dibentuk pada permukaan labial dan lingual gigi, dan ditambahkan loop vertical pada bagian distal kaninus. Akrilik dihubungkan dengan kawat mengikuti dataran oklusal dan kontur gingiva dari gigi. Kekurangannya adalah rasa kaku pada mulut, sulit menelan dan sulit bernafas. Hal tersebut menyebabkan desainnya dimodifikasi dengan pemberian sayap akrilik di sepanjang daerah lingual pada molar pertama dan ditambahkan tumpuan pada daerah oklusal. Sayap tersebut disambung dengan kawat stainless steel. 8

Gambar 4 All-Wire Retainer with Clip-on System

SIMPULAN Kebanyakan kasus-kasus yang dirawat ortodontik membutuhkan pemakai alat lepasan dengan jangka waktu tertentu hingga tercapai penyesuaian yang baik. Pemakaian alat retensi sebaiknya tidak dihentikan seketika, tetapi dikurangi secara bertahap sampai gigi yang menempati posisi baru telah stabil.

Theroux Phase I Essix Terdapat lapisan essix yang melewati gigi incisivus pertama dan molar pertama berfungsi sebagai retensi. Pada daerah palatal diberi dua lapis essix yang cukup kaku dan dapat dikurangi sesuai dengan erupsi gigi,. Dalam desainnya, tidak ada cengkeram maupun busur labial yang dapat menghalangi erupsi kaninus. Alat retensi ini kuat dan dapat mempertahankan tempat setelah perawatan ekspansi palatal. Kekurangannya tidak cukup kaku untuk dilakukan pengurangan pada bagian palatalnya dan mudah patah.6

DAFTAR PUSTAKA 1. Graber TM. Current Orthodontic Concepts and Technique. Ed. III vol 2. Philadelphia: W.B. Saunders Co; 1985. p. 857896 Foster TD. A Textbook of Orthodontics. Buku Ajar Ortodonsi, Lilian Yuwono (penterjemah), Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran, 1999: 181 83 Alexander RG. The Alexander Discipline: Contemporary Concepts and Philosophies. California; 1986: 431442 Adams CP, Kerr W, John S. The design, Construction and Use of Removable Orthodondic Appliance, London:

2.

Sarhan Retainer Desain alat retensi ini hampir sama seperti Hawley retainer yaitu terdapat busur labial yang dihubungkan dengan cengkeram Adam, namun alat retensi ini dibuat tanpa menggunakan plat akrilik, menggunakan 0,9 mm kawat bulat untuk kedua busur dan ditambahkan loop U kecil pada busur labial. Tidak adanya plat akrilik pada alat ini memberikan keuntungan yaitu tidak

3.

4.

19

5. 6.

7.

8.

9.

Buttherworth-Heinemann Ltd., 1990: 150 151 Proffit WR. Contemporary Orthodontics. Ed. 3. St. Louis: Mosby Co; 2000: 597-609. Theroux KL. A New Vacuum Formed Phase I retainer. J Clin Orthod 2002; 37: 348388 Echarri P. A Functional maxillary Wrapround Retainer. J Clin Orthod 2004; 38 (2): 9699 Adenwalla ST, Attarzadeh F. The Bonded Mandibular retainer. Br J Orthod. 1986; 13: 5963 Sarhan OA, Fones TE. A Simple Removable Acrylic-Free Retainer (The Sarhan Type). Am J Orthod Dentohop 1993; 103(1): 74- 76

20

Interdental Jurnal Kedokteran Gigi; 2007;5(1)

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar

PERSEPSI MASYARAKAT PENGUNJUNG KLINIK GIGI PUSKESMAS KUTA UTARA TERHADAP UPAYA PREVENTIF KARIES GIGI TAHUN 2006 Ni Nyoman Dewi Supariani, Ni Wayan Arini, A.A.Gede Agung
Jurusan Kesehatan Gigi Politeknik Kesehatan Denpasar

Abstract Dental caries is a dental di sease which can be prevented. This can be seen from the decreasing number of dental caries cases in the developed conntries.In the effort to prevent the dental caries, the cooperation between the health specialists and the patients are highly required. Dental caries prevention must be performed continuonshy which can be done by training the patients on the dental caries prevention at every visit. The recommended method should be the one whichh is easily done by the patients. From the report of on the job training students of JKG Poltekkes Denpasar in 2004, it is found that the number of people who request for preventive service is only 6 persons or 0,01 % of 1.117 visitors. From the intervieu during persions rescarches with one of the dental nurses of Dental Health Centre of Puskesmas Kuta Utara, it was reported that patients who visited the health centre werw those who were suffering from the aching white those who came for preventive serices such as scalling were only those who were suggested and given advice by the health specialists of the Puskesmas ( Public Health Centre ) Based on the statistical test of Spearmans Correlation, it is found that the significance was at o,942, based on the Knowledge level, Significance of 0,275 based on the toothaeche experience, Significance of 0,832 based on the level of knowledge. This shows that there is no correlation between the perception and the knowledge level, perception and the toothaeche experience, perception and the knowledge level. The effarts which can be done for the people in Kuta Utara (North Kuta) in order to improve the dental and oral diseases prevention is by regularly brushing of teeth based on the timing and rontine checks up of teeth and mounth which should be once in 6 months in Health Centre or Dentist Key word: Perception, preventif, dental caries

PENDAHULUAN Upaya kesehatan gigi dan mulut di puskesmas merupakan kesehatan gigi dasar paripurna yang ditujukan kepada individu, keluarga dan masyarakat di wilayah kerja puskesmas dengan prioritas masyarakat berpengalaman rendah terutama masyarakat yang rentan terhadap penyakit gigi dan mulut1. Karies gigi merupakan penyakit yang dapat dicegah, yang membutuhkan kerja sama antara petugas kesehatan dengan pasien 2. Pencegahan karies gigi harus dilakukan secara terus menerus, dapat dilakukan dengan melatih pasien tentang cara-cara mencegah karies gigi pada setiap kali kunjungannya. Metode pencegahan yang disarankan hendaknya metode yang mudah dilakukan oleh pasien3. Pemanfaatan puskesmas sebagai salah satu sarana pelayanan kesehatan masih merupakan pilihan bagi masyarakat untuk berobat, termasuk berobat gigi. Sebab puskesmas

merupakan salah satu unit pelayanan kesehatan termasuk pelayanan kesehatan gigi yang meliputi tiga kegiatan yaitu: Kegiatan promotif, yang bertujuan untuk meningkatkan pelihara diri diri masyarakat dibidang kesehatan gigi dan mulut; Kegiatan preventif, yang bertujuan untuk memberikan perlindungan khusus untuk mrncegah terjadinya penyakit gigi; dan Kegiatan kuratif, dengan tujuan memberikan pengobatan untuk penyembuhan penyakit gigi dan mulut4. Pasien yang datang ke klinik gigi Puskesmas Kuta Utara sebagian besar adalah mereka yang telah mengalami sakit, sedangkan pasien yang datang untuk meminta pelayanan preventif seperti membersihkan karang gigi, hanyalah mereka yang telah diberikan saran dan pengertian oleh tenaga kesehata gigi yang bertugas.

21

UPAYA PREVENTIF Upaya preventif karies gigi merupakan upaya pencegahan terjadinya karies gigi yang dimulai dari pemeriksaan plak, menyikat gigi sampai pada penggunaan fluor dan penambalan pit dan fissure gigi5. Pencegahan karies pasca erupsi gigi geligi dapat dilakukan dengan beberapa cara meliputi Pengaturan diet, yaitu dengan mengurangi frekuensi mengkonsumsi makanan yang mengandung gula, karena makanan tersebut merupakan salah satu pendukung terjadinya karies; Plak kontrol yaitu tindakan pencegahan terjadinya penumpukan dental plak dan deposit-deposit lainnya pada permukaan gigi dengan cara menyikat gigi yang teratur; serta Penggunaan fluor, merupakan metode yang paling efektif untuk mencegah karies. Fluor dapat diberikan secara lokal melalui fluoridasi air minum, garam dapur, air susu dan tablet fluor. Sedangkan secara sistemik melalui topikal aplikasi larutan fluor, kumurkumur dengan larutan fluor, menyikat gigi dengan pasta gigi6. Persepsi atau tanggapan adalah proses mental yang terjadi pada diri manusia, yang akan menunjukkan bagaimana kita melihat, mendengar, merasakan, memberi, serta meraba disekitar kita7. Persepsi seseorang terhadap keadaan sehat tidak sama, tergantung pada latar belakang pendidikan dan budayanya8. Persepsi merupakan proses pengamatan seseorang yang berasal dari komponen kognisi, Kognisi adalah pengetahuan, pendapat atau keyakinan. Faktorfaktor yang mempengaruhi persepsi adalah pengalaman, proses belajar, cakrawala, dan

pengetahuannya. Faktor pengalaman, proses belajar atau sosialisasi memberikan bentuk dan struktur terhadap apa yang dilihat. Pengetahuan dan cakrawala memberikan arti terhadap objek psikologik dan melalui komponen kognisi ini akan timbul ide, kemudian konsep mengenai apa yang dilihat9.

METODE Desain penelitian ini adalah cross sectional. Tempat penelitian alah Puskesmas Kuta Utara. Populasi penelitian adalah masyarakat pengunjung kllinik gigi Puskesmas Kuta utara pada Bulan Maret Tahun 2006 sebanyak 110 orang. Sampel penelitian adalah menggunakan total populasi yaitu pasien yang berkunjung ke klinik gigi pada Bulan Maret Tahun 2006. Pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner yaitu dengan membagikan angket yang daftar pertanyaan yang dijawab oleh responden. Hasil penelitian dianalisis secara univariat berupa frekuensi, persentase. Sedangkan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara pendidikan, pengalaman sakit gigi, pengetahuan terhadap persepsi seseorang dipergunakan analisis statistik bivariat dengan uji korelasi Spearman,s.

HASIL PENELITIAN Tabel 1. Distribusi Prekuensi Persepsi Masyarakat Pengunjung Klinik Gigi Puskesmas Kuta Utara Terhadap Upaya Preventif Karies Gigi Berdasarkan Tingkat Pendidikan
NO 1 2 3 4 PERSEPSI Baik Cukup baik Kurang baik Tidak baik TINGKAT PENDIDIKAN SD SMP SMA D/PT 16 11 0 0 3 9 3 0 23 24 2 0 10 8 0 1 TOTAL (%) 52 (47,27) 52 (47,27) 5 (4,54) 1 (0.90)

Dari tabel 1 diatas dapat dijelaskan bahwa 23 orang (20,90 %) masyarakat pengunjung klinik gigi berpendidikan SMA memiliki persepsi baik, 24 orang (21,81) cukup baik, terdapat satu orang (0,90 %) berpendidikan D / PT memiliki persepsi tidak baik.

22

Tabel 2 Distribusi Prekuensi Persepsi Masyarakat Pengunjung Klinik Gigi Puskesmas Kuta Utara Terhadap Upaya Preventif Karies Gigi Berdasarkan Pengalaman Sakit Gigi
NO 1 2 3 4 PERSEPSI Baik Cukup baik Kurang baik Tidak baik PENGALAMAN SAKIT GIGI Tidak pernah 1 kali 2 kali 3 kali 11 18 8 15 13 21 6 12 3 1 0 1 0 0 1 0 TOTAL (%) 52 (47.27) 52 (47.27) 1 (0.90) 1 (0.90)

Dari tabel 2 dapat dijelaskan, paling banyak masyarakat pengunjung klinik gigi pengalaman sakit gigi 1 kali sebanyak 40 orang (36.36 %), dengan persepsinya baik,cukup baik

dan kurang baik. Sedangkan 15 orang (13.63 %) pengalaman sakit gigi 2 kali dengan persepsi baik, cukup baik dan tidak baik.

Tabel 3 Distribusi Frekuensi Persepsi Masyarakat Pengunjung Klinik Gigi Puskesmas Kuta Utara Terhadap Upaya Preventif Karies Gigi Berdasarkan Tingkat Pengetahuan
NO 1 2 3 4 PERSEPSI Baik Cukup baik Kurang baik Tidak baik TINGKAT PENGETAHUAN TINGGI SEDANG RENDAH 43 9 0 42 4 1 9 1 0 1 0 0 TOTAL (%) 52 (47.27) 52 (47.27) 5 (4.54) 1 (0.90)

Dari tabel 3 diatas terlihat bahwa, sebanyak 90 orang (81.81 %) masyarakat pengunjung klinik gigi dengan tingkat pengetahuan tinggi memiliki persepsi baik, cukup baik, kurang baik dan tidak baik. Terdapat satu orang (0.90 %) dengan tingkat pengetahuan rendah memiliki persepsi cukup baik.

HASIL ANALISA DATA Dari tabel 1 di atas diketahui bahwa, frekuensi persepsi masyarakat pengunjung klinik gigi Puskesmas Kuta Utara pada Bulan Maret Tahun 2006 terhadap upaya preventif karies gigi berdasarkan tingkat pendidikan, berpendidikan SD 27 orang (24.54 %) dengan persepsi baik dan cukup baik. Berpendidikan SMP 15 orang (13.63 %) dengan persepsi baik,cukup baik dan kurang baik. Berpendidikan SMA 49 orang (44.54 %) dengan persepsi baik, cukup baik dan kurang baik. Berpendidikan D/PT 19 orang (17.27 %) dengan persepsi baik,cukup baik dan tidak baik. Dari tabel 2 di atas diketahui bahwa, frekuensi persepsi masyarakat pengunjung klinik gigi Puskesmas Kuta Utara pada Bulan Maret

Tahun 2006 terhadap upaya preventif karies gigi berdasarkan pengalaman sakit gigi, tidak pernah sakit gigi 27 orang (24.54 %) dengan persepsi baik, cukup baik dan kurang baik. Sakit gigi 1 kali 40 orang (36.36 %) dengan persepsi baik,cukup baik dan kurang baik. Sakit gigi 2 kali 15 orang (13.63 %) dengan persepsi baik, cukup baik dan tidak baik. Sakit gigi 3 kali 28 orang (25.45 %) dengan persepsi baik, cukup baik dan kurang baik. Dari tabel 3 di atas diketahui bahwa, frekuensi persepsi masyarakat pengunjung klinik gigi Puskesmas Kuta Utara pada Bulan Maret Tahun 2006 terhadap upaya preventif karies gigi berdasarkan tingkat pengetahuan, tingkat pengetahuan tinggi 90 orang (81,81 %) dengan persepsi baik, cukup baik. kurang baik dan tidak baik, tingkat pengetahuan sedang 19 orang (17.27 %) dengan persepsi baik, cukup baik dan kurang baik. Tingkat pengetahuan rendah satu orang (0.90 %) dengan persepsi cukup baik.

PEMBAHASAN Dari hasil analisa data diketahui bahwa jumlah masyarakat pengunjung klinik gigi

23

Puskesmas Kuta Utara pada Bulan Maret Tahun 2006 sebanyak 110 orang. Berdasarkan hasil uji korelasi bivariat antara persepsi dengan pendidikan masyarakat pengunjung klinik gigi Puskesmas Kuta Utara pada Bulan Maret Tahun 2006 terhadap upaya preventif karies gigi dengan menggunakan Korelasi Spearmens didapat nilai signifikansi 0,942. Dalam penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan antara peresepsi dengan tingkat pendidikan. Mungkin disebabkan oleh faktor budayanya. Persepsi seseorang tidak sama tergantung pada latar belakang pendidikan dan budayanya. Berdasarkan hasil uji korelasi bivariat antara persepsi dengan pengalaman sakit gigi masyarakat pengunjung klinik gigi Puskesmas Kuta Utara pada Bulan Maret Tahun 2006 terhadap upaya preventif karies gigi dengan menggunakan Korelasi Spearmens didapat nilai signifikansi 0,275. Dalam penelitian ini pengalaman sakit gigi tidak ada hubungan terhadap persepsi seseorang, mungkin disebabkan oleh faktor lingkungan. Persepsi seseorang tidak sama tergantung lingkungan dan budayanya. Berdasarkan hasil uji korelasi bivariat antara persepsi dengan tingkat pengetahuan masyarakat pengunjung klinik gigi Puskesmas Kuta Utara pada Bulan Maret Tahun 2006 terhadap upaya preventif karies gigi dengan menggunakan Korelasi Spearmens didapat nilai signifikansi 0,832. Dalam penelitian ini tingkat pengetahuan tidak ada hubungan terhadap persepsi seseorang , mungkin disebabkan oleh faktor budaya dan lingkungan. Persepsi seseorang tidak sama tergantung latar belakang pendidikan dan budayanya.

bahwa pendidikan seseorang tidak berpengaruh terhadap persepsi seseorang Persepsi masyarakat pengunjung klinik gigi Puskesmas Kuta Utara terhadap upaya preventif karies gigi berdasarkan pengalaman sakit gigi, bahwa pengalaman sakit gigi tidak berpengaruh terhadap persepsi seseorang. Persepsi masyarakat pengunjung klinik gigi Puskesmas Kuta Utara terhadap upaya preventif karies gigi berdasarkan tingkat pengetahuan, bahwa tingkat pengetahuan seseorang tidak berpengaruh terhadap persepsi seseorang. Upaya yang dilakukan untuk masyarakat supaya terus meningkatkan upaya pencegahan penyakit gigi dan mulutnya, dengan rajin menggosok gigi sesuai dengan waktu dan secara rutin memeriksakan gigi dan mulutnya minimal enam bulan sekali ke Puskesmas atau ke dokter Gigi

DAFTAR PUSTAKA 1. 2. Depkes RI. Pedoman Kerja Puskesmas. Jilid IV. Jakarta: Depkes RI, 1990. Kidd ,EAM, Joyston-Bechal S. DasarDasar Karies, Penyakit dan Penanggulangannya., Jakarta: EGC, 1992. Forrest JO. Pencegahan Penyakit Mulut, Lilian Yuwono (penterjemah), Jakarta: Hipocrates, 1995. Depkes RI. Indonesia Sehat 2010. Jakarta: Depkes RI, 1990. Depkes RI. Tata Cara Kerja Pelayanan Asuhan Kesehatan Gigi Dan Mulut. Jakarta: Depkes RI, 1995. Tarigan R. Karies Gigi. Jakarta: Hipocrates, 1987. Widayatun TR. Ilmu Prilaku. Jakarta: CV Info Medika, 1999. Depkes RI. Pola Peningkatan Peran Serta Masyarakat dalam Pembangunan Kesehatan. Jakarta: Hipocrates, 1988. Marat. Sikap Manusia Perubahan Serta Pengukurannya. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981.

3.

4. 5.

6. 7.

SIMPULAN DAN SARAN Hasil analisa data menunjukkan bahwa persepsi masyarakat pengunjung klinik gigi Puskesmas Kuta Utara terhadap upaya preventif karies gigi berdasarkan tingkat pendidikan,

8.

9.

24

Interdental Jurnal Kedokteran Gigi; 2007;5(1)

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar

OROANTRAL FISTULA Hendri Poernomo


Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar

ABSTRAK Salah satu komplikasi yang sering terjadi pada pencabutan gigi rahang atas khususnya gigigigi molar dan premolar adalah terjadinya oroantral fistula. Penulisan ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai oroantral fistula sebagai salah satu komplikasi pencabutan dan perawatannya. Oroantral fistula adalah lubang antara prosesus alveolaris dan sinus maksilaris yang tidak mengalami penutupan dan mengalami epitelisasi. Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh karena adanya oroantral fistula adalah infeksi pada antrum dan adanya sinusitis maksilaris. Perawatan yang dapat dilakukan adalah menghilangkan infeksi dan melakukan penutupan oroantral fistula dengan pembukaan flap. Ada beberapa metode yang dapat dipilih diantaranya adalah kombinasi jaringan bukal dan palatal, teknik flap bukal, teknik flap palatal dan teknik gold plate. Kata kunci : komplikasi pencabutan, oroantral fistula, perawatan oroantral fistula Korespondensi : Hendri Poernomo, drg., Bagian Bedah Mulut, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jl. Kamboja 11A Denpasar, Telp.(0361) 7424079, Fax. (0361) 261278

PENDAHULUAN Setiap tindakan dan perawatan yang dilakukan di rongga mulut dapat menyebabkan terjadinya komplikasi, salah satunya adalah terjadinya oroantral fistula. Oroantral fistula terjadi karena adanya hubungan patologis antara rongga mulut dengan antrum akibat pencabutan gigi di rahang atas khususnya gigi-gigi molar dan premolar disamping oleh karena faktorfaktor lainnya. Hubungan atau lubang dapat terbentuk setelah pembedahan, akibat trauma pada sinus, dan jarang sekali disebabkan oleh cacat perkembangan atau oleh karena infeksi 1. Secara umum, tulang dasar antrum mempunyai ukuran yang relatif tebal. Ketebalan yang dimaksud adalah jarak antara permukaan dasar antrum dengan ujung akar gigi posterior rahang atas. Pada beberapa kasus dijumpai dinding dasar antrum yang sangat tipis sehingga tidak ada batas dengan ujung akar gigi 2. Tidak semua jalan masuk atau lubang ke arah antrum menyebabkan timbulnya fistula. Terbentuknya fistula setelah penembusan sinus, apapun penyebabnya mempunyai persentase yang kecil. Fistula lebih mungkin terbentuk bila lubang yang terjadi lebih besar dari 3--4 mm, dan

melibatkan dasar antrum, adanya sinusitis, serta bila perawatan yang dilakukan tidak memadai. Pembukaaan atau lubang ke arah rongga mulut sering mengalami keradangan dan terbentuknya jaringan ikat atau jaringan granulasi. Pasien mengeluhkan adanya perpindahan cairan dari rongga mulut dan hidung atau sebaliknya 1. Sangat diperlukan adanya pemeriksaan setelah dilakukan tindakan ekstraksi atau pencabutan terutama pada gigi-gigi posterior rahang atas untuk mendeteksi apakah terjadi suatu pembukaan antrum sehingga dapat dilakukan perawatan dengan cepat dan benar dan komplikasi yang lebih parah dapat dihindari 2.

DEFINISI Secara anatomis, oral dan antrum adalah dua bagian yang dekat tapi terpisah satu dengan yang lainnya. Antrum berbentuk ruangan kosong yang terletak dibawah orbita kiri dan kanan. Bagian medial dari antrum dibatasi oleh dinding lateral dari rongga hidung dan bagian dasar dibatasi oleh tulang alveol rahang atas yaitu tempat dimana gigigigi berada 2. Oroantral fistula adalah lubang antara prosesus alveolaris dan sinus maksilaris,

25

yang tidak mengalami penutupan dan mengalami epitelisasi 1. Oroantral fistula adalah suatu keadaan terjadinya hubungan antara oral dan antrum disertai dengan infeksi, menambahkan bahwa oroantral fistula biasanya terletak antara antrum dengan vestibule 2,6.

TANDA DAN GEJALA KLINIS Tanda dan gejala klinis yang tampak dari oroantral fistula adalah adanya pembukaan atau lubang antara antrum dengan rongga mulut. Lubang yang terbentuk sering mengalami infeksi, adanya pembentukan jaringan ikat atau jaringan granulasi yang meninggi dan sering terjadi drainase mukopurulen.1 Pasien tidak mengeluh adanya rasa sakit, kecuali terjadi infeksi akut pada sinus. Pada saat minun ataupun kumur-kumur pasien mengeluhkan adanya cairan yang keluar dari hidung2. Oroantral fistula juga dapat diketahui dengan melakukan tes tiup atau nose blowing dengan cara meminta pasien meniup dengan hidung tertutup dan mulut terbuka. Pada keadaan telah terjadi oroantral fistula, akan terdengar hembusan udara melalui daerah yang mengalami kerusakan, dan pada soket gigi akan terlihat suatu gelembung udara seperti busa 3. Oroantral fistula yang disertai terjadinya infeksi pada sinus berupa sinusitis maksilaris dapat digambarkan sebagai sakit unilateral, sumbernya tidak jelas, meliputi satu atau beberapa gigi pada daerah posterior maksila yang terkena. Gejala klinisnya meliputi terdapatnya eksudat mukopurulen dari nasal atau Faring yang sangat bau, sensitivitas sinus terhadap penekanan, kulit pada sisi yang terkena tampak memerah, gigi vital sensitif terhadap perkusi, terdapat gigi non vital terutama pada gigi premolar dan molar rahang atas, terdapat hubungan antara rongga mulut dengan sinus maksilaris, serta pembentukan abses vestibulum atau palatal. Vestibulum daerah gigi molar atau premolar rahang atas terasa sakit pada palpasi dan perkusi serta tampak eritematus pembengkakan yang difus4.

terlihat hubungan gigi dengan sinus, lokasi benda asing dalam sinus, seperti gigi, akar gigi, atau fragmen tulang yang terdorong masuk karena trauma atau selama pencabutan gigi. Penggunaan foto periapikal memperlihatkan adanya saluran antara antrum dengan rongga mulut. Infeksi sinus berupa sinusitis maksilaris, pada pemeriksaan Radiografi memberikan gambaran sebagai berikut: sinusitis maksilaris akut memperlihatkan penebalan mukosa sinus yang sering digantikan oleh opasifikasi karena meningkatnya pembengkakan mukosa atau adanya timbunan cairan didalam sinus atau keduanya. Gambaran umum berupa pengkabutan dan peningkatan kepadatan pada rongga sinus. Pada sinusitis akut, tampak gambaran yang khas berupa garis batas cairan-udara (air fluid level). Gambaran radiografis sinusitis maksilaris kronis berupa penebalan mukosa sinus dan polip hidung atau polip antrum. Osifikasi penuh rongga sinus menandakan bahwa rongga sinus telah terisi penuh dengan jaringan hiperplastik, sekret, polip, atau kombinasi diantaranya. Garis batas cairanudara juga dapat terlihat pada sinusitis maksilaris kronis eksaserbasi akut 4.

PENCEGAHAN Secara umum, tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah agar tidak terjadinya oroantral fistula adalah melakukan rontgen foto terlebih dahulu sebelum pencabutan gigi dilakukan untuk mengetahui posisi dari gigi yang akan dicabut khususnya akar-akar gigi posterior rahang atas yang letaknya dekat dengan antrum dan untuk mengetahui ada atau tidaknya penyakit periapikal pada jaringan disekitar ujung akar gigi. Pengontrolan terhadap tekanan yang diberikan pada instrumen dan tindakan yang selalu berhatihati dalam setiap tindakan pencabutan gigi mutlak harus dilakukan sehingga terjadinya oroantral fistula dapat dihindari 2 .

PERAWATAN Terdapat sejumlah metode yang dapat dilakukan untuk penutupan oroantral fistula. Pemilihan metode dibuat berdasarkan cara yang telah dilakukan dalam setiap kasus

GAMBARAN RONTGENOLOGIS Pada pemeriksaan radiografi periapikal, oklusal dan panoramik dapat

26

tertentu, dengan mengobservasi prinsip dasar pembedahan yang diperlukan 5. Kecurigaan telah terjadinya pembukaan pada antrum, dapat dipastikan dengan melakukan tes tiup atau nose blowing. Tes tiup yang tidak memberikan hasil positif, perlu untuk melewatkan instrumen atau suatu silver probe ke dalam antrum yang baru terbuka dan tidak perlu untuk menyemprotkan cairan kedalam sinus untuk menegakkan diagnosa karena dapat meningkatkan resiko terjadinya kontaminasi mikroorganisme rongga mulut pada antrum. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya oroantral fistula yang bertahan lama adalah derajat kerusakan tulang dan adanya infeksi pada antrum maksila dan perawatannya harus memperhitungkan faktor-faktor tersebut 3. Daerah kerusakan dan adanya suatu oroantral fistula dapat dilakukan dengan pembukaan flap. Dalam menentukan desain flap, perlu dipertimbangkan agar suplai darah tetap memadai untuk menghindari terjadinya nekrosis dan hilangnya jaringan oleh karena hilangnya sirkulasi darah yang sempurna. Flap harus bebas dari semua pelekatan periosteal agar dapat berotasi atau berubah letak untuk menutupi kerusakan yang terjadi tanpa membuat tekanan pada jaringan. Flap harus di desain agar garis sutura tidak diletakkan di daerah perforasi dan semua margin yang diperlukan dapat diperoleh dan dipertahankan dengan cara penjahitan 5. Terdapat beberapa prosedur yang disarankan untuk menutup oroantral fistula yang terjadi, diantaranya adalah:

menggunakan jahitan mattress yaitu jahitan yang menyatukan jaringan yang lebih dalam sehingga mengurangi tegangan pada ujung luka, kemudian jahitan tersebut diperkuat dengan penjahitan ganda, dan penjahitan interrupted yaitu jahitan yang terpisah sepanjang luka dengan menggunakan benang sutra hitam ukuran 3-0. Jenis bahan sutra hitam lebih disukai berdasarkan jenis penyerapannya, misalnya : catgut, oleh karena dapat menghindari terlepasnya jahitan yang terlalu cepat, yang kemungkinan dapat mengurangi keberhasilan dari penutupan yang dilakukan. Selanjutnya benang tersebut dibiarkan pada tempatnya 5 sampai 7 hari. Diberikan resep tetes hidung untuk mengkerutkan mukosa hidung dan agar dapat terjadi drainase. Prosedur di atas dapat digambarkan dalam dua kasus seperti, gambar 1 dan gambar 2 :

C Gambar 1 Penutupan Sinus Yang Terbuka Secara Tidak Sengaja Pada Rahang Yang Bergigi Keterangan gambar : A. Dilakukan insisi disekeliling gigi dan melewati daerah yang mengalami pembukaan. Dilakukan insisi pada palatum, dengan menghindari arteri palatinus. Dinding alveolar bukal dan palatal dikurangi dengan menggunakan rongeur. B. Tepi mukosa pada ridge dibuat supaya segar dan flapnya diangkat C. Flap tersebut dijahit. Tujuan utamanya adalah supaya terjadi penyembuhan. Luka pada palatal dibiarkan terbuka

Kombinasi Jaringan Bukal Dan Palatal

Mukoperiosteum

Merupakan prosedur sederhana yang dapat memberikan hasil yang baik bagi penutupan daerah sinus yang secara tidak sengaja terbuka dengan luas. Prosedurnya adalah 7 : Mukoperiosteum diangkat pada sisi bukal dan palatal, dan selanjutnya dilakukan pengurangan tinggi tulang alveolar pada daerah yang paling banyak terjadi pembukaan sinus; Daerah pinggir jaringan lunak yang berbatasan diinsisi dan dibuat sedemikian rupa agar permukaan yang kasar tersebut dapat berkontak antara satu sama lain. Dilakukan penjahitan tanpa tekanan. Daerah tepi jaringan lunak disatukan dengan

27

C Gambar 2 Penutupan Sinus Yang Mengalami Pembukaan Yang Lebar Secara Tidak Sengaja Pada Daerah Yang Tidak Bergigi (Kehilangan Tuberositas Maksilaris)

jika tidak dapat dilakukan dengan benar, tidak akan didapatkan pemanjangan flap didaerah kerusakan yang terbuka. Flap diperpanjang dan dijahit pada daerah palatal yang di de-epitelisasi (gambar 3). Penjahitan harus dilakukan dengan hati-hati untuk memberikan dukungan yang maksimal pada flap, dan harus biarkan pada tempatnya selama 7 hingga 10 hari. Penggunaan antibiotik dan dekongestan diindikasikan setelah melakukan prosedur seperti di atas untuk mempertahankan kesehatan antrum dengan mencegah infeksi dan memberikan drainase fisiologis melalui ostium sinus yang sebenarnya.

A Keterangan gambar : a. Sinus yang terbuka setelah pencabutan. b. Dilakukan pengurangan pada dinding bukal dan palatal agar terjadi adaptasi flap jaringan lunak bukal dan palatal. Flap jaringan lunak dibentuk secara konservatif agar membentuk suatu garis. c. Flap dijahit. C

Teknik Flap Bukal Flap bukal merupakan prosedur yang sederhana. Flap bukal dapat dengan mudah dikombinasikan dengan prosedur caldwellluc yang digunakan sebagai jalan masuk ke sinus maksilaris bila diindikasikan. Prosedurnya sebagai berikut8: Jaringan yang membentuk lingkaran perifer dari fistula dieksisi dan sisa jaringan mukosa palatal di de-epitelisasi untuk memberikan vaskularisasi yang baik pada daerah yang mengalami kerusakan agar dapat memperlebar flap dan memudahkan penjahitan. Insisi yang divergen atau melebar melalui mukoperiosteum dibuat pada pembukaan oroantral ke superior sampai pada mukobukal fold, dan insisi dari flap ini diangkat untuk pembukaan alveolus lateral dibawahnya. Periosteum di insisi secara horisontal setinggi vestibulum. Melalui insisi periosteal ini dilakukan pengurangan ketebalan untuk memperpanjang dan mengendorkan flap,

E Gambar 3 Teknik Flap Bukal Keterangan Gambar A. Eksisi lingkaran perifer jaringan lunak oroantral fistula B. De-epitelisasi mukosa palatal untuk memberikan daerah pada flap; insisi divergen pada tulang melalui pembukaan untuk ketinggian dari sulkus bukal. C. Pembukaan flap mukoperiosteal; insisi horisontal dari periosteum dengan pengurangan untuk pengendoran dari flap.

28

D. dan E. adalah pemanjangan dan penjahitan flap melewati mukosa palatal yang di de-epitelisasi. Kelebihan prosedur flap bukal adalah mudah dimobilisasi, keterampilan yang minimum dan waktu yang dibutuhkan lebih singkat 3. Kekurangannya adalah penyatuan jaringan pada flap bukal buruk sehingga disarankan untuk penutupan hubungan oroantral yang kecil 6. A B C

Gambar 4 Teknik Flap Palatal Keterangan Gambar: A. Eksisi lingkaran jaringan lunak pada oroantral fistula B. Desain flap palatal dengan ketebalan penuh mengikutsertakan arteri palatine dalam flap sehingga dapat ikut terotasi: de-epitelisasi dari mukosa alveolar. C. Pemutaran dan penjahitan dari flap.(Steiner dan Thomson) Kelebihan teknik flap palatal adalah lebih mudah dibentuk untuk menutup kerusakan yang terjadi oleh karena mukosa palatal lebih tebal dan lebih padat serta penyatuan dari flap palatal lebih baik sehingga flap palatal lebih dipilih untuk fistula yang kambuh dan lebih besar. Kekurangannya adalah prosedur pembedahannya lebih sulit 3,6.

Teknik Flap Palatal Prosedur yang dilakukan adalah dengan melibatkan insisi dan pengambilan flap mukoperiosteal dan dijahit pada jaringan de-epitelisasi yang sudah disiapkan (gambar 4). Perlu diberikan perhatian yang lebih terhadap desain flap agar dapat terjadi rotasi dan posisi yang benar. Bagaimanapun, flap palatal yang didesain dengan baik adalah tebal dan memiliki suplai darah yang sempurna yang diperlukan untuk penyembuhan. Prosedur tersebut mengakibatkan terbukanya tulang palatal dimana perlu dilakukan dressing sampai terbentuknya jaringan granulasi 8 . Tulang yang terbuka akibat kerusakan pada palatal dapat ditutup dengan menggunakan pack, terdiri dari white heads varnish dan diletakkan pada posisinya dengan menggunakan benang bedah yang dimasukkan kedalam margin mukoperiosteum yang tidak bergerak. Tujuannya adalah agar benang yang melalui flap tersebut dapat menariknya dari posisinya yang baru menuju ke daerah donor. Oleh karena itu, benang tersebut hanya boleh dimasukan pada mukoperiosteum yang tidak bergerak. Metode apapun yang dilakukan untuk menutupi kerusakan tulang tersebut, selanjutnya haruslah diberikan dukungan tambahan untuk proses penyembuhan dengan menutupi daerah tersebut menggunakan basis akrilik dari gigi tiruan, shellac base-plate, lapisan gutta-percha hitam yang tipis atau campurannya, ataupun daerah luarnya dapat ditutupi dengan gulungan kapas berisi zinc oxide dan pasta minyak cengkeh. Penutupan dilakukan dengan mengikatnya pada gigi yang bersebelahan jika ada ataupun dengan dijahit pada gusi pada daerah yang tidak bergigi 3.

Teknik Gold Plate Prosedur penutupan oroantral fistula dengan teknik gold plate dapat dilakukan dengan cara 8: Eksisi lingkaran perifer fistula; Insisi dan pengambilan flap mukoperiosteal bukal dan palatal agar semua kerusakan tulang dapat terlihat; Menggunakan plat emas 24 karat, ukuran 36 gauge untuk menutup keseluruhan daerah yang mengalami kerusakan. Plat dipersiapkan dengan hati-hati agar dapat beradaptasi dengan margin tulang yang mengalami kerusakan; Flap jaringan lunak direposisi dan dijahit. Setelah beberapa minggu jaringan lunaknya diretraksi, dan plat emas yang diletakkan sebelumnya menjadi kendor. Plat tersebut kemudian diambil untuk menunjukkan jaringan dibawahnya, yang telah berproliferasi dan menutup daerah yang mengalami kerusakan. Epitel rongga mulut akan segera berproliferasi untuk menutup jaringan yang baru terbentuk di bawahnya.

29

Terlepas dari teknik penutupan yang digunakan, keberhasilan penutupan oroantral fistula tergantung pada pengontrolan infeksi sinus, pengambilan jaringan sinus yang berpenyakit dan drainase nasal yang memadai. Infeksi sinus harus dikontrol sebelum pembedahan melalui pemberian antibiotik spektrum luas, dekongestan dan tetes hidung 4. Aliran antara oroantral dapat dihindari dengan pembuatan basis akrilik yang sesuai yang dapat menutupi kerusakan yang terjadi tanpa masuk kedalamnya 3. Jaringan sinus yang berpenyakit seperti adanya polip dihilangkan melalui prosedur Caldwell-Luc dan drainase dilakukan melalui pembuatan jendela nasoantral pada meatus nasalis inferior 1 .

KEGAGALAN PERAWATAN Penyebab kegagalan dari penutupan oroantral fistula dapat sebabkan oleh 7: Eliminasi atau pembuangan yang tidak menyeluruh dari seluruh infeksi yang terdapat didalam rongga antrum sebelum penutupan oroantral fistula. Infeksi dihilangkan dengan melakukan pembersihan rongga sinus atau pemberian antibiotik yang telah dibuktikan secara efektif melawan adanya bakteri; Pasien dengan kondisi fisik umum yang tidak mendapatkan penanganan dan perawatan yang cukup seperti adanya penyakit diabetes, sifilis, dan tuberkulosis. Penyakit-penyakit tersebut dapat memberikan pengaruh merugikan bagi kesembuhan yang normal dari luka; Flap yang ditempatkan diatas pembukaan dengan ketegangan jaringan yang terlalu besar, kegagalan penyediaan suatu permukaan segar pada sisi resipien dari flap.

SIMPULAN Salah satu komplikasi yang sering terjadi pada tindakan pencabutan gigi posterior rahang atas terutama pada gigi-gigi molar dan premolar adalah terjadinya penembusan sinus oleh karena letak dasar antrum yang dekat dengan akar-akar gigi tersebut. Hubungan patologis yang terbentuk antara rongga mulut dengan sinus maksilaris tersebut dikenal dengan oroantral fistula. Fistula yang berukuran kecil setelah pencabutan, cenderung sembuh secara spontan karena terjadinya pembentukan bekuan darah yang mampu menutup fistula

yang terjadi. fistula yang berukuran lebih besar dari 3-4 mm biasanya jarang sembuh spontan. Pasien dengan oroantral fistula biasanya mengeluhkan adanya cairan yang keluar dari hidung setelah minum atau kumur-kumur dan pada tes tiup atau nose blowing yang dilakukan, dengan meminta pasien meniup dengan hidung tertutup dan mulut terbuka, akan terdengar hembusan udara yang keluar melalui daerah yang mengalami kerusakan dan pada soket gigi akan terlihat suatu gelembung udara seperti busa. Oroantral fistula yang bertahan lama dan tidak segera dirawat menyebabkan traktus akan mengalami epitelisasi, daerah rongga mulut seringkali mengalami proliferasi jaringan granulasi atau jaringan ikat dan bila terus berlanjut dapat menyebabkan terjadinya infeksi dan dipercepat bila gigi yang dicabut mengalami infeksi periapikal. Perawatan yang tidak dilakukan dengan benar, infeksi dapat menyebar ke daerah sinus melalui lubang oroantral sehingga dapat menyebakan terjadinya sinusitis maksilaris. Ada beberapa perawatan yang dapat dipilih untuk dilakukan dalam penutupan oroantral fistula. Adapun beberapa prosedur penutupan tersebut adalah : Kombinasi jaringan mukoperiosteum bukal dan palatal, Teknik flap bukal., Teknik flap palatal dan Teknik gold plate. Kelebihan prosedur flap bukal adalah mudah dimobilisasi, ketrampilan yang minimum dan waktu yang dibutuhkan lebih singkat. Sedangkan kekurangannya adalah penyatuan jaringan buruk sehingga disarankan untuk penutupan hubungan oroantral yang kecil. Keuntungan tehnik flap palatal adalah lebih mudah dibentuk untuk menutup kerusakan yang terjadi oleh karena mukosa palatal lebih tebal dan lebih padat serta penyatuan dari flap palatal lebih baik sehingga flap palatal dipilih untuk fistula yang kambuh dan lebih besar,sedangkan kekurangannya adalah prosedur pembedahan yang lebih sulit. Keberhasilan penutupan oroantral fistula tergantung pada pengontrolan infeksi sinus, pengambilan jaringan sinus yang berpenyakit dan drainase nasal yang memadai. Infeksi sinus harus dikontrol sebelum pembedahan melalui pemberian antibiotik spektrum luas, dekongestan dan tetes hidung.

30

DAFTAR PUSTAKA 1. Pedersen. Oral Surgery. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut, Purwanto dan Basoeseno (penterjemah), Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran, 1988. Surjanto. Problem dan penanganan oroantral fistula. Jurnal Kedokteran Gigi 2000, FKG Universitas Airlangga, 33(2): 68-71. Howe. Pencabutan Gigi Geligi. ed. 2, Budiman dan Lilian Yuwono (penterjemah), Jakarta: EGC Pernerbit Buku Kedokteran, 1993. Syamsudin dan Karasutisna. Penatalaksanaan sinus maksilaris yang bersumber dari gigi. Jurnal Kedokteran Gigi 2003, FKG Universitas Padjadjaran, 15(3): 254-259. McCarthy. Emergencies in Dental Practice, Philadelphia & London: Saunders Co., 1967, Yilmaz, Suslu and Gursel. Treatment of oroantral fistula: experience with 27 cases. American Journal of Otolaryngology 2003, 24(4): 221-223. Kruger. Oral and Maxillofacial Surgery. ed. 6, Toronto: Mosby Co., 1984. Steiner and Thomson. Oral Surgery and Anesthesia. Philadelphia: Saunders Co., 1977.

2.

3.

4.

5. 6.

7.

8.

31

Interdental Jurnal Kedokteran Gigi; 2007;5(1)

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA PERAWAT DALAM MELAKSANAKAN ASUHAN KEPERAWATAN DI RSGM FKG UNMAS DENPASAR Panji Triadnya P., Yudha Rahina dan Putri Krisnayanti
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar ABSTRAK Asuhan keperawatan pada rumah sakit merupakan bentuk pelayanan profesional yang diberikan kepada pasien sebagai bagian integral pelayanan kesehatan di rumah sakit. Untuk meningkatkan mutu pelayanan asuhan keperawatan, seorang perawat harus mempunyai kinerja yang bagus dan baik. Pada pelaksanaan proses asuhan keperawatan masih terdapat kendala, karena perawat belum memahami pentingnya bekerja secara profesional sebagai tim kerja, sehingga mereka bekerja sendiri dan akhirnya pelayanan asuhan keperawatan menjadi tidak efektif dan kurang bermutu. Rendahnya kinerja perawat telah menjadi issue public dikalangan RSGM-FKG UNMAS Denpasar. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan di RSGM-FKG UNMAS Denpasar. Metode penelitian yang digunakan adalah evaluative research yaitu mengukur, menilai variabel dengan indikator standar. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi kinerja perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan di RSGM-FKG UNMAS Denpasar adalah tidak termotivasinya perawat dalam bekerja, beban kerja yang dilakukan ringan dan kejenuhan perawat saat bekerja sedang. Kata kunci : asuhan keperawatan, kinerja perawat Korespondensi : Nym. Panji Triadnya P., drg., M.Kes., Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jln. Kamboja 11a Denpasar, Telp. (0361) 7424079, (0361) 261278

PENDAHULUAN Rumah sakit sebagai bagian integral sistem pelayanan kesehatan harus dapat memberikan pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Untuk itu diperlukan upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dengan cara peningkatan sumber daya pelaksana rumah sakit. Sumber daya manusia adalah sumber daya yang terpenting sebagai motor penggerak berlangsungnya proses manajemen. Asuhan keperawatan pada rumah sakit merupakan bentuk pelayanan profesional yang diberikan kepada pasien sebagai bagian integral pelayanan kesehatan di rumah sakit. Asuhan keperawatan juga sebagai faktor penentu dalam keberhasilan suatu rumah sakit, jika penataan sistemnya serta pengelolaannya dilakukan secara profesional. Asuhan keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan1. Untuk meningkatkan mutu pelayanan asuhan keperawatan, seorang perawat harus mempunyai kinerja yang bagus dan baik. Kinerja merupakan proses yang dilakukan dan hasil yang dicapai

oleh suatu organisasi dalam memberikan jasa atau produk kepada pelanggan. Menurut Rivai, dkk (2000), faktor yang berpengaruh terhadap rendahnya kinerja perawat adalah faktor internal perawat dan faktor eksternal perawat. 1 Faktor internal perawat meliputi motivasi dan kejenuhan bekerja; sedangkan faktor eksternal perawat meliputi beban kerja. Untuk menghasilkan kinerja yang bagus, seorang perawat harus mempunyai motivasi dalam dirinya. Motivasi adalah segala sesuatu yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motivasi adalah karakteristik psikologi manusia yang memberi kontribusi pada tingkat komitmen seseorang termasuk faktor yang menyebabkan, menyalurkan dan mempertahankan tingkah laku manusia dalam tekad tertentu2. Selanjutnya menurut Rivai dkk (2003), beban kerja dapat berpengaruh terhadap tingkat motivasi kerja perawat dalam melakukan pekerjaannya.1 Dalam proses manajemen, perawat bekerja sama dengan petugas lain untuk memberikan pelayanan bagi sekelompok klien. Proses manajemen keperawatan harus berjalan pararel dengan pelaksanaan proses asuhan keperawatan. Tetapi pada pelaksanaannya, proses asuhan

32

keperawatan masih mempunyai kendala. Hal ini disebabkan para perawat belum memahami pentingnya bekerja secara profesional sebagai tim kerja, sehingga mereka bekerja sendiri-sendiri dan akhirnya pelayanan asuhan keperawatan menjadi tidak efektif dan kurang bermutu. Rumah Sakit Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar merupakan rumah sakit yang menyelenggarakan pelayanan rawat jalan dan rawat inap dengan 32 dokter gigi umum, 8 dokter gigi spesialis, dan 9 perawat. Rendahnya kinerja perawat, telah menjadi issue public di kalangan RSGM-FKG UNMAS Denpasar. Penelitian ini difokuskan pada rendahnya kinerja perawat terutama faktor-faktor yang mempengaruhinya. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang dilakukan adalah evaluative research yaitu mengukur dan menilai variabel dengan indikator standar. Populasi yang MOTIVASI

diteliti pada penelitian ini adalah seluruh tenaga perawat yang bekerja di RSGM-FKG UNMAS Denpasar yang berjumlah 9 orang. Instrumen penelitian berupa lembaran kuesioner. Alat dan bahan yang diperlukan untuk penelitian ini adalah lembaran kuesioner dan bolpoint. Penelitian dilakukan dengan cara membagikan kuesioner yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan motivasi, beban kerja serta kejenuhan kerja. Data yang sudah diperoleh dianalisis secara deskriptif sehubungan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan di RSGMFKG UNMAS Denpasar.

HASIL PENELITIAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada tanggal 5 Desember 2005 terhadap 9 orang perawat yang bekerja di RSGMFKG UNMAS Denpasar didapatkan hasil sebagai berikut. :

Tabel 1 Mean Komposit Dari Motivasi No 1 2 3 4 5 6 Item Sistem Imbalan ( gaji ) Penghargaan Kesempatan berkembang Beasiswa Melanjutkan pendidikan Pemberian tanggung jawab Mean Komposit Mean 1,22 1,00 1,22 1,00 1,00 2,00 Kriteria Rendah Tidak pernah Tidak pernah Tidak pernah Tidak pernah Pernah

= 7,44 / 6 = 1,24 Kriteria : tidak termotivasi: 1,00-1,50 ; termotivasi: 1,51-2,00 Berdasarkan tabel mean komposit dari motivasi di atas, maka didapatkan bahwa perawat BEBAN KERJA Tabel 2 Mean Komposit Dari Beban Kerja No Item Mean 1 Beban Kerja Obyektif 2,11 2 Beban Kerja Subyektif a. Perasaan kelebihan kerja 2,00 b. Tekanan pekerjaan 1,78 c. Kepuasan kerja 2,00 Mean Komposit = 7,89 / 4 = 1,97 Kriteria: berat: 1,78 1,95 ; ringan : 1,96 2,11 yang bekerja di RSGM-FKG UNMAS Denpasar tidak termotivasi dalam bekerja.

Kriteria sedang senang pernah puas

33

Berdasarkan tabel mean komposit dari beban kerja di atas, maka didapatkan bahwa

beban kerja perawat di RSGM-FKG UNMAS Denpasar termasuk ringan.

KEJENUHAN BEKERJA Tabel 3 Mean Komposit Dari Kejenuhan Bekerja No. 1 2 3 4 5 6 Mean Kriteria 1,89 Pernah 1,00 Rendah 1,00 Tidak bosan 1,00 Tidak lelah 1,89 Pernah 1,67 Sedang = 8,45 / 6 = 1,41 Kriteria: tinggi: 1,00 - 1,30; sedang: 1,31 - 1,61; rendah: 1,62 1,92 bahwa kejenuhan perawat di RSGM-FKG UNMAS Denpasar saat bekerja adalah sedang. Item Pengalaman Stress Saat Bekerja Tingkatan Stress Bosan Dengan Pekerjaan Lelah Dengan Pekerjaan Pengalaman Kejenuhan Secara Emosi Tingkatan Kejenuhan Secara Emosi Mean Komposit

Berdasarkan tabel mean komposit dari kejenuhan bekerja di atas, maka didapatkan

HARAPAN PERAWAT Tabel 4 Harapan Perawat No. 1 2 3 4 5 6 Harapan Semoga gajinya naik (sesuai dengan UMR) Semoga bertambah jaya, maju, aman dan tetap disenangi masyarakat banyak Nasib karyawan lebih diperhatikan Kualitas SDM-nya lebih diutamakan Fasilitas klinik lebih ditingkatkan Dibentuknya tim marketing yang bisa mempromosikan RSGM dengan maksimal Persentase 100 % 67% 67% 56% 56% 11 %

PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian di atas, didapatkan bahwa Perawat di RSGM-FKG UNMAS Denpasar dalam bekerja tidak termotivasi. Hal ini disebabkan oleh karena tidak adanya motivator dalam melakukan pekerjaan, seperti sistem imbalan (gaji ) yang masih tidak sesuai dengan harapan yaitu masih dibawah ratarata UMR dan perusahan swasta lainnya. Selain itu, mereka juga tidak pernah mendapatkan penghargaan sama sekali atas pekerjaan yang mereka lakukan selama ini dari pihak manajemen rumah sakit. Perawat hanya diberikan tanggung jawab saja dan tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk berkembang seperti kenaikan jabatan, kesempatan mendapatkan beasiswa maupun melanjutkan pendidikan. Faktor-faktor inilah yang selama ini menyebabkan perawat

merasa tidak dihargai sehingga kinerja perawat menjadi berkurang. Menurut Rivai dkk. (2003), motivasi meliputi tingkat motivasi kerja perawat dan faktor yang mendorong perawat dalam bekerja yang disebut dengan motivator.1 Motivator meliputi sistem imbalan, penghargaan, kesempatan berkembang dan pemberian tanggungjawab. Menurut Stoner & Freeman (2004), faktor penyebab ketidakpuasan seperti gaji, kondisi kerja dan kebijakan perusahaan akan mempengaruhi pekerjaan yang dilakukan, sedangkan faktor yang menyebabkan kepuasan yang amat sangat yaitu berprestasi, pengakuan, bekerja sendiri, tanggung jawab, kemajuan dalam pekerjaan dan pertumbuhan.3 Beban kerja didapatkan dari penjumlahan beban kerja obyektif dan beban kerja subyektif. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa beban

34

kerja yang dilakukan perawat di RSGM-FKG UNMAS Denpasar termasuk ringan. Hal ini disebabkan karena keseluruhan waktu yang digunakan perawat dalam melakukan pekerjaannya adalah sedang dimana waktu tersebut tidak lebih dari 5 jam perhari. Dalam bekerja perawat pernah mengalami perasaan tertekan dikarenakan pekerjaan yang dilakukannya pernah tidak dihargai dan mereka pernah mengerjakan tugas yang seharusnya dikerjakan oleh seorang pesuruh. Tetapi perawat di RSGM-FKG UNMAS Denpasar senang dan puas dengan pekerjaan yang dilakukan karena sekarang ini pekerjaannya lebih ringan (tidak terlalu banyak). Hal inilah yang menyebabkan perawat bekerja terlalu santai sehingga kinerja mereka menjadi berkurang. Kartono (1994), menyebutkan bahwa beban kerja yang berlebihan (overload) adalah suatu kondisi yang terjadi bila lingkungan memberi tuntutan melebihi kemampuan individu.4 Seseorang dalam bekerja akan berfungsi secara optimal (moderate) dengan kondisi beban kerja yang sedang dan kurang berfungsi maksimal dengan kondisi overload dan underload. 1 Kejenuhan kerja perawat di RSGM-FKG Unmas adalah sedang. Hal ini disebabkan karena pekerjaan yang dilakukan perawat terlalu santai dan ringan dimana sedikit mengandung tantangan sehingga menyebabkan timbul kejenuhan secara emosi serta stress. Menurut Strauss dan Sayless (1990), menyebutkan bahwa ada beberapa hal yang menyebabkan timbulnya kebosanan kerja sehubungan dengan karakteristik pekerjaan dan lingkungan pekerjaan, antara lain: repetitive (sedikit macam tugas, monoton, tidak bervariasi, sedikit mengandung tantangan, dan sedikit memerlukan keterampilan), suasana kerja yang tidak menyenangkan dan karyawan dibebani pekerjaan baik fisik maupun psikis yang sangat berat serta tidak sesuai dengan kemampuan karyawan.5 Kejenuhan kerja dapat menimbulkan akibat adanya perasaan bahwa tidak ada lagi manfaat untuk berprestasi secara maksimal, sehingga dengan kata lain kejenuhan kerja akan menyebabkan turunnya motivasi kerja untuk berprestasi, sehingga persepektif individual terhadap produktivitas menurun.6 Dari tabel harapan perawat, didapatkan bahwa perawat RSGM-FKG UNMAS Denpasar berharap agar gaji mereka dinaikkan dan nasib mereka lebih diperhatikan, kualitas Sumber daya manusia lebih diutamakan dan fasilitas klinik lebih ditingkatkan serta dibentuknya tim marketing yang bisa mempromosikan RSGMFKG UNMAS Denpasar dengan maksimal sehingga bertambah jaya, maju, aman dan tetap disenangi oleh masyarakat banyak.

SIMPULAN Faktor yang mempengaruhi kinerja perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan di RSGM-FKG UNMAS Denpasar adalah tidak termotivasinya perawat dalam bekerja, beban kerja yang dilakukan perawat dalam kondisi ringan dan kejenuhan perawat saat bekerja dalam kondisi sedang.

SARAN Kepada pihak manajemen rumah sakit disarankan sebagai berikut : 1)Memberikan reward seperti kesempatan melanjutkan pendidikan, mendapatkan beasiswa, kenaikan jabatan dan penghargaan bagi perawat yang berprestasi; 2)Adanya pengakuan terhadap kinerja perawat dengan memberikan pujian, ucapan terima kasih ataupun dilakukan pemilihan perawat teladan; 3)Peningkatan kesejahteraan karyawan yang dapat dilakukan melalui pemberdayaan sumber pendapatan keuangan lain, jika kenaikan gaji sulit untuk dilakukan; 4)Memberikan kesempatan kepada perawat untuk mengikuti berbagai pelatihan, dan pendidikan yang berkelanjutan; 5)Perawat diberikan pekerjaan yang tidak terlalu ringan agar perawat tidak terlalu santai sehingga mereka menjadi lebih disiplin dan bisa lebih bertanggung jawab terhadap pekerjaannya; 6)Perlu adanya ketegasan pimpinan dalam rangka meningkatkan disiplin karyawan yaitu dengan memberikan punishment tanpa adanya diskriminasi; 7)Adanya rekreasi atau studi banding untuk mengurangi kejenuhan dan memperluas wawasan perawat; Selain hal tersebut di atas, disarankan kepada peneliti lainnya untuk melakukan penelitian lebih lanjut terhadap faktor lain yang mempengaruhi kinerja perawat. DAFTAR PUSTAKA 1. Rivai F, Hargono R, dan Pudjirahardjo JW. Faktor Dominan Yang Mempengarui Kinerja Perawat Dalam Melaksanakan Asuhan Keperawatan Di Ruang Rawat Inap RSUD Haji Surabaya. Jurnal Administrasi dan Kebijakan Kesehatan 2003; 1(3): 165-172. Nursalam MN. Manajemen Keperawatan: Aplikasi dalam Praktik Keperawatan Profesional, ed. 1. Jakarta: Salemba Medika, 2002. Emma Pesik-Adam MR., Subarniati TR, dan Poerwani SK. Pengembangan Format Asuhan Keperawatan Untuk Ruang Rawat Bayi Neonatus-Riset Operasional Di Rumah

2.

3.

35

4.

Sakit Budi Mulia Surabaya. Jurnal Administrasi dan Kebijakan Kesehatan 2004; 2(1): 42-51. Kartono K. Psikologi Sosial Untuk Manajemen Perusahaan dan Industri, ed. baru, Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1994.

5.

6.

Strauss and Sayless. Manajemen Personalia: Seri Manusia dalam Organisasi, jilid 2, Jakarta: Institut Pendidikan dan Pembinaan Manajemen, 1990. Timpe D. Kinerja, Jakarta: PT. Gramedia, 1992.

36

Interdental Jurnal Kedokteran Gigi; 2007;5(1)

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar

PERUBAHAN SIKAP KERJA DOKTER GIGI Mochammad Taha Maruf


Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar e-mail : tahaergo@yahoo.com

ABSTRACT Dentists were categorized as a high-risk profession upon musculoskeletal disorder because of an unnaturally working posture with several complaints particularly on the neck, shoulder and low back. Improvisations to an ergonomic working posture in dental professional were made continuously with an aim to reduce musculoskeletal complaints. However, the number of complaint was significantly increased recently, which was probably caused by less of movement by the presence of an assistant during dental treatment (four-handed dentistry) and increased working time without break. Besides, dentists did not receive exact ergonomics working posture training during dental treatment since as a dental students. Key words : work posture, ergonomic, dentists Korespondensi : Mochammad Taha Maruf, drg., M.Erg., Bagian Bedah Mulut, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jl. Kamboja 11A Denpasar, Telp.(0361) 7424079, Fax. (0361) 261278

PENDAHULUAN Sebagian besar dokter gigi mengalami gangguan fungsi dan rasa sakit akibat pekerjaan (work-related pain and dysfunction). Penyebab terbesarnya adalah sikap duduk yang salah dan lama (awkward prolonged seated postures), tanpa penyangga punggung, dan terjadinya kontraksi otot isometrik yang disebabkan area kerja yang terbatas yaitu rongga mulut1. Penatalaksanaan dan metode pekerjaan dokter gigi pernah dievaluasi dari aspek ergonomi oleh Szymanska (2002), khususnya tentang kelainan sistem muskuloskeletal, dengan tujuan untuk menetapkan metode perlindungan dari penyakit dan perawatan yang sesuai. Studi tersebut menunjukkan bahwa dokter gigi bekerja dalam kondisi yang dapat menyebabkan kelainan sistem muskuloskeletal. Sebagai hasilnya, bila waktu kerja selama satu hari digunakan dengan cara tidak ergonomis, maka dari tahun ke tahun terjadi peningkatan kelainan muskuloskeletal sehingga dokter gigi harus mendapatkan berbagai bentuk perawatan2. Selanjutnya menurut Milerad dan Ekenvall (1998), dokter gigi dikelompokkan dalam profesi yang beresiko tinggi terhadap kelainan muskuloskeletal dengan keluhan

terbesar pada leher dan pundak (44 51 %). Hal ini disebabkan karena dokter gigi bekerja pada sikap yang sulit yaitu terjadinya penekukan dan pemutaran leher (cervical flexion dan rotation), terangkatnya tangan (abducted arms) dan gerakan repetisi pada saat memegang instrumen tangan3.

Gambar 1 Sikap Kerja Dokter Gigi Kecelakaan kerja yang melibatkan jaringan muskuloskeletal sering dihubungkan dengan sikap kerja yang terlalu lama baik berdiri atau duduk dan gerakan berulang dari lengan atas. Walaupun angka insidensi kelainan muskuloskeletal pada dokter gigi di Indonesia masih kurang, tetapi di beberapa negara seperti di Nebraska lebih dari 29% dari 1000 dokter gigi dilaporkan

37

menderita penyakit dengan gejala peripheral neuropathy pada lengan atas dan leher. Dokter gigi yang melakukan perawatan pemotongan gigi (preparasi) untuk pembuatan gigi palsu cekat (crown and bridge), dilaporkan paling sering mengalami perubahan sensasi pada tangan atas mereka. Diperkirakan 60-80% dari orang dewasa (dari populasi secara umum) menderita kelainan sakit pinggang yang menyebabkan absen dari tempat kerjanya. Dokter gigi juga berada dalam kondisi masalah seperti ini 4

untuk bergerak dan mengakomodasi ulang pandangannya. Perubahan berlangsung terus sesuai dengan perjalanan waktu. Diharapkan bahwa masalah-masalah yang sebelumnya ada pada dokter gigi yang sudah praktek bertahun-tahun tidak terjadi lagi atau menjadi berkurang pada dokter gigi baru. Tetapi kelihatannya hanya sedikit bukti untuk mendukung hipotesis bahwa prevalensi keluhan muskuloskeletal menurun dan belum berubah sejak pertama kali diungkapkan oleh Biller tahun 1946 yaitu prevalensi sakit pinggang (low back pain) pada dokter gigi yang berkisar pada angka 65% 5.

SIKAP KERJA DOKTER GIGI Selama bertahun-tahun dokter gigi telah diketahui bekerja secara tidak alamiah yaitu dengan sikap kerja statis yang menyebabkan tegangan yang berlebihan pada sistem muskuloskeletal terutama pada pinggang. Sikap kerja yang dilakukan selama melakukan perawatan gigi di dunia mengalami perubahan sejak berpuluh tahun yang silam. Pada mulanya, dokter gigi secara umum bekerja dengan sikap berdiri. Hal ini dilakukan karena pada masa itu dokter gigi belum dibantu oleh asisten dalam melakukan perawatan gigi sehingga dengan sikap berdiri dapat dengan mudah melakukan pergerakan untuk pengambilan alat dan bahan yang diperlukan 5. Tetapi sejak tahun 1960, pada sebuah konferensi diperkenalkan sikap duduk dengan tujuan untuk mengurangi kelelahan dan kelainan muskuloskeletal dan juga diperkenalkan istilah four-handed dentistry yaitu penggunaan tenaga asisten untuk membantu dokter gigi selama perawatan gigi. Kondisi ini pertama kali dilaksanakan dan diimplementasikan pada mahasiswa Kedokteran Gigi (dental students) di Sekolah Kedokteran Gigi University Of Alabama 5. Program penggunaan tenaga asisten / perawat gigi selama perawatan gigi bertujuan di samping untuk meningkatkan efisiensi, juga untuk mengurangi stress dan kelelahan pada dokter gigi. Posisi dokter gigi terhadap pasien distandarisasi dan asisten berfungsi agar lapang pandang menjadi tampak jelas, menyediakan instruments dan bahan yang diperlukan sehingga membatasi keperluan dokter gigi KELUHAN MUSKULOSKELETAL (MUSCULOSKELETAL DISORDER ) Perbaikan secara ergonomis di bidang kedokteran gigi terus menerus dilakukan seperti perubahan sikap kerja dari sikap berdiri menjadi sikap duduk dan memposisikan pasien dengan posisi terlentang (supine) atau agak terlentang (semi-supine) di dental chair. Walaupun hal ini nampaknya dapat mengurangi pengaruhnya pada anggota gerak bawah (lower limbs) dan pinggang (lower back), tetapi kondisi membungkuk (bending), ketegangan (stretching) dan kecendrungan pada sikap yang tidak semestinya (awkward positions) yang digunakan dokter gigi sehari-hari masih menyebabkan resiko pada tulang belakang terutama pada pinggang (lumbal), dada (thorax), leher (cervical) dan pundak 6

Gambar 2 MSD di Bidang Kedokteran Gigi (An average of 9 studies conducted in Sweden, Finland, Canada, Australia, United States and Denmark)

38

Valachi dan Valachi (2003), mengemukakan bahwa mekanisme terjadinya kelainan muskuloskeletal (MSD) pada dokter gigi adalah multifaktor yaitu perubahan secara fisiologis akibat kerja duduk yang terlalu lama sehingga meningkatkan tekanan pada cakram (disk pressures). Sikap kerja seperti ini menyebabkan ketidakstabilan tulang belakang (spinal) sehingga terjadi perubahan degeneratif pada lumbal yang menimbulkan sakit pinggang (low back pain). Terdapat hubungan antara kontraksi otot yang statis (muscle contraction) yang lama dengan iskemia otot (muscle ischemia) atau nekrosis otot (muscle necrosis). Kelemahan otot-otot tulang belakang dan pundak yang membentuk sikap tubuh menyebabkan sikap tubuh yang buruk. Otot-otot beradaptasi dengan memanjang dan memendek untuk mengakomodasi sikap tubuh ini, terjadi ketidak seimbangan otot yang menyebabkan kerusakan struktur dan timbulnya rasa sakit7. Selanjutnya Valachi dan Valachi (2003), dalam penelitian yang lain menyatakan bahwa tulang belakang yang bergerak satu arah secara berulang (repeated unidirectional twisting) yang dapat menyebabkan sakit pada tulang belakang juga disebabkan pengaruh sikap kerja dengan satu sikap dalam waktu yang lama. Untuk mencapai kesehataan muskuloskeletal yang seimbang, pengetahuan tentang flexibilitas tulang belakang dan mengutamakan penggunaan peralatan yang ergonomis, perlu diketahui oleh operator (dokter gigi)7.

tekanan pada cakram tulang belakang (intervertebral discs) yang berfungsi sebagai peredam kejut pada tulang belakang. Pada sikap duduk yang lama karena gravitasi juga terjadi gangguan kembalinya darah ke jantung sehingga kaki terasa berat akibat terjadinya aliran darah pada kaki yang tinggi. Lagi pula, hal ini diperparah karena selama duduk tidak menggunakan sikap duduk yang benar sehingga dapat menyebabkan masalah kesehatan yang serius seperti: sakit pada punggung (back pain), sakit pada leher (neck pain), gangguan pada mata (eye strain), gangguan perut (abdominal pain), sakit pada kaki (leg pain) dan kelainan karena gerakan berulang (repetitive movement disorders). Duduk yang benar dengan menggunakan kursi yang ergonomis dapat mengurangi kelelahan dan ketidaknyamanan, meningkatkan aliran darah, mengurangi resiko cedera dan meningkatkan produktivitas8. SIKAP KERJA ERGONOMIS Petunjuk dan rekomendasi sikap kerja dokter gigi untuk mendapatkan sikap tubuh yang sealamiah mungkin dengan menggunakan sikap kerja duduk dikemukakan oleh Vanderstraeten (2002). Rekomendasi tersebut didasarkan atas ISO 11226 yaitu suatu standart yang mencakup suatu pendekatan untuk memeriksa kemampuan dalam mengaplikasikan sikap kerja statis. ISO 11226 juga mencakup rekomendasi ergonomi yang diperlukan bagi mereka yang terlibat dalam desain atau desain ulang suatu pekerjaan, tugas atau produk secara umum sesuai dengan konsep dasar ergonomi, terutama terhadap sikap kerja. Standar tersebut menjelaskan tentang batas yang disarankan untuk sikap kerja statis tanpa atau hanya sedikit penggunaan gaya external, dengan mempertimbangkan aspek sudut tubuh dan aspek waktu9. ISO 11226 menyatakan bahwa suatu pekerjaan harus memiliki variasi fisik dan mental yang memadai. Sejumlah pekerja yang terlibat dalam suatu pekerjaan harus mempertimbangkan faktor dimensi tubuh. Dengan memperhatikan sikap kerja, pekerjaan tersebut harus menawarkan variasi yang memadai antara duduk, berdiri dan berjalan. Sikap yang tidak benar, seperti

Gambar 3 Penyebab Keluhan Muskuloskeletal Dapat dipercaya secara umum bahwa duduk adalah sangat berat untuk punggung sebab terjadi transfer seluruh berat tubuh bagian atas ke pantat (buttocks) dan paha (thighs). Duduk dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan peningkatan

39

berlutut dan membungkuk sebisa mungkin harus dihindari. Sehubungan dengan hal tersebut, alat yang dimaksudkan untuk menghasilkan variasi sikap tidak boleh menyebabkan terjadinya suatu pekerjaan menjadi berulang-ulang dan monoton9. Petunjuk dan rekomendasi sikap kerja dokter gigi menggunakan sikap kerja duduk adalah meliputi:

Sikap Kerja Operator (Dokter Gigi) Selama melakukan perawatan gigi dengan menggunakan sikap kerja duduk, Vanderstraeten (2002) menyarankan beberapa hal seperti, yaitu : tubuh bagian atas tegak simetris, punggung dipertahankan tegak dan tulang panggul (pelvis) sedikit dimiringkan ke depan (tidak lebih dari 20 derajat); kepala condong ke depan terhadap tubuh tidak lebih dari 20 25 derajat; lengan atas bebas tergantung pada tubuh dan tidak lebih dari 10 derajat ke depan; lengan bawah (forearm) sedikit terangkat tidak lebih dari 25 derajat; sudut antara tungkai atas dan bawah adalah 105 110 derajat atau lebih, sehingga terdapat lebih banyak ruangan antara tungkai atas dan lengan bawah untuk menempatkan sandaran kursi dan kepala pasien di antara ruangan ini; tungkai atas kiri dan kanan membentuk sudut tidak lebih dari 45 derajat untuk mencegah posisi sendi pinggul (hip joint) dalam keadaan terkunci; telapak kaki sejajar terhadap lantai atau agak ke belakang dan segaris dengan tungkai atas; bila menggunakan pandangan tidak langsung dengan menggunakan kaca mulut, maka kaca mulut dipegang pada sudut sekitar 45o agar dapat melihat secara tegak lurus. Posisi ini berhubungan langsung dengan sudut tubuh bagian atas dan kepala agar terjadi sikap kerja yang benar 9.

Posisi pasien Seringkali lapang pandang rongga mulut pasien terletak tidak simetris di depan operator, yang mengakibatkan terjadinya sikap tubuh yang asimetris dan menimbulkan tekanan (strain). Menurut Vanderstraeten (2002), prinsip yang dapat diterapkan dalam menempatkan posisi pasien agar lapang pandang rongga mulut

pasien terlihat dengan jelas adalah: lapang pandang rongga mulut pasien terletak di pertengahan tubuh di antara bahu kanan dan kiri operator dengan jarak sekitar 20-25 cm, dengan menyesuaikan dengan ketinggian landasan kerja. Posisi kedua tangan operator dijaga agar tetap simetris. (di atas garis yang menghubungkan kedua telapak kaki yang diletakkan di atas lantai); operator harus mampu melihat secara tegak lurus, tapi jika tidak memungkinkan (sebagai contoh pada bagian belakang rongga mulut) maka dilakukan dengan menggunakan kaca mulut. Dengan memutar kepala pasien dapat diperoleh orientasi tegak lurus yang optimum terhadap lapang pandang daerah kerja; jarak antara mata operator terhadap lapang pandang daerah kerja adalah sekitar 35 hingga 40 cm; tubuh pasien diposisikan terlentang (supine) atau mendekati posisi horizontal (semi supine), disesuaikan dengan tinggi kerja. Sebaliknya jika tubuh pasien tidak berada dalam posisi telentang, maka posisi kepala menjadi terlalu tinggi dan lapang pandang daerah kerja terlalu ke depan, sedangkan kaki operator terhalang oleh bagian belakang kursi pasien karena posisinya yang melandai. Keadaan ini menyebabkan operator lebih condong ke depan dan lengan lebih terangkat; posisi rahang sepenuhnya tergantung pada jenis pekerjaan yang akan dilakukan, yaitu: perawatan pada bidang oklusal rahang bawah dan operator berada di samping tubuh pasien (posisi jam 9 - 10), maka bidang oklusal diposisikan horizontal dan kepala pasien memutar ke arah operator agar bidang oklusal dapat terlihat secara tegak lurus; perawatan pada bidang oklusal rahang bawah dan operator berada di belakang pasien (posisi antara jam 10.30 - jam 12), maka bidang oklusal diposisikan pada sudut 40o terhadap bidang horizontal (semi supine) agar daerah kerja dapat terlihat tegak lurus yang dikombinasikan dengan gerakan memutar kepala; perawatan pada bidang oklusal rahang atas dengan penglihatan secara indirek dari arah belakang pasien, maka bidang oklusal pada rahang atas diubah sekitar 250 ke belakang terhadap bidang vertikal; perawatan pada permukaaan bukal dan lingual/palatal gigi dengan operator dari samping pasien dengan pandangan langsung, kecuali pada gigi depan9.

40

Kursi pasien (dental chair) Menurut Visser (2002), untuk memperoleh sikap kerja yang benar dan nyaman pada pasien yang sedang mendapat perawatan gigi diperlukan beberapa persyaratan kursi pasien (dental chair) sebagai berikut, yaitu : dapat memposisikan pasien secara horizontal, sehingga dibutuhkan kursi pasien yang datar untuk menghindari terganggunya sirkulasi darah pasien ke otak; bagian belakang kursi pasien dibuat setipis mungkin agar tungkai atas operator dapat bergerak bebas di bawah sandaran kursi dan terdapat ruang yang cukup antara tungkai atas dan lengan bawah operator; bagian atas kursi pasien berbentuk bulat agar perut operator tidak terjebak di belakang sandaran kursi; lebar kursi cukup untuk menyangga bagian belakang tubuh pasien dan memungkinkan operator melakukan pendekatan ke rongga mulut pasien dengan sikap berdiri; posisi kepala pasien (head rest) harus dapat diputar dalam 3 arah untuk mendapatkan lapang pandang daerah kerja yang simetris dan dapat melihat setegak lurus mungkin; dan inklinasi bagian belakang kursi harus dapat disesuaikan dari 90o (vertikal) dan 180o (horizontal) 9.

Gambar 4 Sikap Kerja Duduk Ergonomis

PERMASALAHAN KERJA DUDUK

PADA

SIKAP

Walaupun penerapan sikap tubuh yang benar selama melakukan perawatan gigi sudah diupayakan, tetap saja deviasi sikap tubuh yang ringan tidak dapat dicegah. Hal ini menyebabkan rintangan fungsi pompa otot sehingga untuk itu penyimpangan sikap ini harus dibuat berlangsung sesingkat mungkin. Pompa otot

berfungsi melakukan pergantian kontraksi otot (darah dengan sisa produknya dikeluarkan dari otot) dan relaksasi otot (suplay darah kaya oksigen ke otot). Pompa otot hanya berfungsi optimal jika terdapat pergerakan terus menerus dari otot melalui kontraksi dan relaksasi, dan pada sikap statis keadaan ini tidak terjadi. Untuk itu setiap perbaikan sikap kerja jika terdapat strain yang kecil, semua pergerakan pendek harus dibuat terus menerus agar terjadi kontraksi dan relaksasi berbagai kelompok otot. Jika terjadi deviasi sikap tubuh, 3- 4 detik kemudian terjadi pembatasan kerja pompa otot, sehingga darah yang kaya oksigen ke otot dan pengeluaran sisa produk menjadi terbatas. Hal ini menyebabkan terhalangnya fungsi otot yang adekuat dan terjadi kelelahan (fatigue) dan ketegangan yang berlebihan (overstrain). Jika tidak ada relaksasi dan kontraksi otot yang terus menerus maka tidak terjadi recovery otot sehingga fungsi otot terganggu10. Hasil yang didapatkan dari studi terkini jelas menunjukkan bahwa perubahan sikap kerja dokter gigi dari sikap kerja berdiri ke duduk serta penerapan konsep four-handed dentistry belum sepenuhnya dapat mencegah kelainan muskuloskeletal dan syaraf. Hanya 18% subjek dari penelitian tersebut yang sudah bebas dari keluhan.5 Malah pada kenyataannya, pada saat ini terjadi peningkatan yang signifikan dari rasa sakit pada dokter gigi walaupun sudah menerapkan prinsip four-handed dentistry. Hal ini mungkin disebabkan berkurangnya pergerakan karena adanya tenaga asisten yang membantu selama perawatan gigi dan bertambah panjangnya waktu kerja tanpa disertai istirahat pendek. Lagi pula, dokter gigi yang menggunakan prinsip four-handed dentistry mungkin belum mendapat pelatihan yang tepat untuk metode tersebut sehingga tidak dapat diterapkan secara benar dalam melakukan perawatan gigi. Semakin hari, timbulnya gejala terlihat semakin lebih awal pada profesi kedokteran gigi. Rundcrantz (1991) mendapatkan bahwa sejumlah dokter gigi muda mengalami sakit dan ketidaknyamanan pada leher dan pundak dan sakit kepala yang lebih besar daripada dokter gigi yang lebih tua. Studi yang sama untuk membandingkan prevalensi keluhan

41

muskuloskeletal antara siswa kedokteran gigi dan siswa psikologi didapatkan bahwa siswa Kedokteran Gigi mengalami lebih banyak sakit pinggang (lower back pain) dari pada siswa psikologi 11. Penelitian oleh Rising, dkk (2005) yang dilansir Journal of the American Dental Association (JADA) menunjukkan bahwa 4671% mahasiswa kedokteran gigi (dental students) mengalami keluhan muskuloskeletal terutama pada leher/pundak dan pinggang, yang timbul sejak tahun pertama kepaniteraan dan mencapai puncaknya pada tahun ke tiga 12. Selanjutnya pernyataan Marshall, (1997), dapat dijadikan hipotesis bahwa tingginya angka kejadian dan keparahan keluhan muskuloskeletal pada dokter gigi berhubungan erat dengan lama kerja (duration of working) disertai tanpa adanya istirahat pendek (break) sebelum melakukan pekerjaan pada pasien berikutnya 5.

2.

3.

4.

SIMPULAN Bila mengacu pada ISO 11226 yaitu standar tentang sikap kerja statis, maka terlihat jelas bahwa dokter gigi melewati batasan ini setiap hari dan bekerja dengan sikap yang menimbulkan tekanan (overstrained). Untuk mencegah kelainan yang timbul terutama pada leher, pundak, lengan atas, pergelangan dan tangan, maka dental students sebagai calon dokter gigi wajib disadarkan dan dikondisikan untuk bekerja dengan sikap kerja yang benar dan menggunakan peralatan yang ergonomis untuk mendapatkan kondisi kerja yang lebih sehat. Timbulnya kelainan muskuloskeletal pada siswa kedokteran gigi pada awal klinik, menunjukkan bahwa sikap kerja yang ergonomis harus diberikan pada mahasiswa klinik untuk mengurangi resiko terjadinya kelainan muskuloskeletal dibelakang hari setelah menjadi dokter gigi profesional. 5.

6.

7.

DAFTAR PUSTAKA 1. Yoser AJ, Mito RS 2002. Injury prevention for the practice of dentistry.. J Calif Dent Assoc. Feb;30(2):170-6 Pacific Sports Medicine Alliance, USA. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/que

8.

ry.fcgi?cmd=Retrieve&db=pubmed&do pt=Abstract&list_uids=11881961&quer y_hl=1&itool=pubmed_docsum. Accessed Jan 26, 2004 Szymanska J. 2002. Disorders Of The Musculoskeletal System Among Dentists From The Aspect of Ergonomics and Prophylaxis. Available from: http://www.aaem.pl/pdf/aaem 0226. htm. Accessed Dec 12, 2004. Milerad E and Ekenvall L. 1998. Symptoms Of The Neck And Upper Extremities In Dentists. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ entrez/query.fcgi?cmd=Retrieve&db=P ubMed&list_uids=2353196&dopt=Abst ract&holding=f1000,holding=f1000. Accessed Dec 12, 2004. Fish DR and Morris-Allen DM. 1998. Musculoskeletal Disorders In Dentists. Available from: http://www.ncbi.nlm. nih.gov/entrez/query.fcgi?cmd=Retriev e&db=PubMed&list_uids=9613097&d opt=Abstract&holding=f1000,holding=f 1000. Accessed Dec 12, 2004. Marshall ED, Duncombe LM, Robinson RQ.. Musculoskeletal Symptoms in New South Wales Dentists. Dalam Australian Dental Journal 1997; 42(4): 240-6.. Available from: http://www.ada.org.au/media/document s/Products_Publications/Journal%20Arc hives/1997%20Archive/August/9708M ars.pdf. Accessed Jan 26, 2006 Entwistle NBA. Musculoskeletal Pain in Dentistry an Occupational Injury? Available from: http://bdhf.atalink. co.uk/ articles/50. Accessed Jan 26, 2006. Valachi B and Valachi K. Mechanisms Leading to Musculoskeletal Disorders in Dentistry. JADA 2003; 134. Available from: http://www.ncbi. nlm.nih.gov/entrez/query.fcgi?cmd=Ret rieve&db= pubme&dopt=Abstract &list _uids=15693502&query_hl=25&itool= pubmed_docsum. Accessed Dec 12, 2004. Rodts M. 2002. Ergonomic Chairs and Seat Adjustment Rush College of Nursing Chicago, IL, USA. Available from: http://www.spineuniverse.com/ displayarticle.php/article1427.html Accessed Jan 26, 2006.

42

9.

Vanderstraeten. 2002. Guidelines and Recommendations Regarding The Working Posture of the Dentist. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/que ry.fcgi?cmd=Retrieve&db=PubMe&list _uids=1830174&dopt=Abstract&holdin g=f1000. Accessed May 12, 2005. 10. Delleman, N.J. 2002. What Is the Prpose of ISO 11226 Ergonomics Evaluation of Static Working Postures? Available from : http://www.ncbi.nlm. nih.gov/entrez/query.fcgi?cmd=Retriev e&db=PubMed&list_uids=1830174&d opt=Abstract&holding=f1000. Accessed May 12, 2005. 11. Rundcrantz BL. 1991. Pain And Discomfort In The Musculoskeletal System Among Dentists. Available from: Http://Www.Ncbi.Nlm.Nih.Gov/ Entrez/Query.Fcgi?Cmd=Retrieve&Db =Pubmed&List_Uids=1830174&Dopt= Abstract&Holding=F1000. Accessed Dec 12, 2004. 12. Rising DW, Bennett BC, Hursh K and Plesh O. Reports of Body Pain in a Dental Student Population. Dalam JADA 2005; 136. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/que ry.fcgi?cmd=Retrieve&db=pubmed&do pt=Abstract&list_uids=15693502&quer y_hl=25&itool=pubmed_docsum. Accessed May 20, 2005.

43

Interdental Jurnal Kedokteran Gigi; 2007;5(1)

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar

ANALISIS PERSEPSI PASIEN TERHADAP PELAYANAN DI RSGM TERPADU FKG UNMAS DENPASAR Yudha Rahina, Yohanna Lily dan Surtiningsih
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar

ABSTRAK Seiring dengan perkembangan teknologi, banyak terjadi perubahan pada masyarakat. Perubahan yang terjadi pada masyarakat mengakibatkan orang semakin menuntut pelayanan kesehatan yang lebih baik. Hal ini juga menuntut penyedia pelayanan kesehatan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang diberikannya di tengah dunia persaingan di bidang pelayanan kesehatan yang semakin ketat. Apabila kita meninjau pelayanan kesehatan gigi dan mulut yang berlangsung di RSGM akan terjadi perbedaan pendapat tentang pelayanan kesehatan yang diberikan. Perbedaan pendapat yang terjadi tersebut timbul dari bagaimana setiap pasien mempersepsikan pelayanan yang diterimanya. Terkadang persepsi pasien inilah yang menjadi bahan pertimbangan untuk berobat serta kunjungan berikutnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui persepsi pasien terhadap pelayanan di RSGM Terpadu FKG UNMAS. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persepsi pasien terhadap pelayanan di RSGM Terpadu FKG UNMAS yang meliputi 6 aspek adalah sebagai berikut persepsi terhadap pelayanan kesehatan gigi, tenaga medis/dokter gigi yang menangani, biaya perawatan, tempat dan karyawan sudah baik, sedangkan persepsi terhadap promosi RSGM masih kurang baik. Kata kunci: persepsi pasien, pelayanan RSGM. Korespondensi : Yudha Rahina, drg., M.Kes., Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jln. Kamboja 11a Denpasar, Telp. (0361) 7424079, 7642701, Fax. (0361) 261278 memahami lingkungan sekitarnya1. Proses kognitif yang kompleks dapat memberikan gambaran yang unik tentang dunia yang sangat berbeda dengan realitasnya. Pengenalan adanya perbedaan antara dunia dalam persepsi dan dunia dalam kenyataan penting artinya dalam konsep perilaku organisasi.2 Persepsi didefinisikan sebagai proses dimana individu mengorganisasikan dan menginterpretasikan impressi sensorisnya supaya dapat memberikan arti kepada lingkungan sekitarnya. Proses persepsi melibatkan interaksi yang kompleks dari seleksi, organisasi dan interpretasi. Persepsi sebagian besar tergantung dari obyek-obyek panca indera sebagai data kasar, proses kognitif dapat memfilter, memodifikasi atau merubah data.3 Pada hakikatnya persepsi sebagai proses kognitif dialami oleh setiap orang didalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik melalui penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, dan penciuman. Kunci untuk memahami persepsi adalah terletak pada pengenalan bahwa persepsi itu merupakan suatu penafsiran yang unik

PENDAHULUAN Tujuan pembangunan kesehatan menuju Indonesia sehat 2010 mengacu pada UndangUndang RI No. 23 tahun 1992 mengenai kesehatan, yang pada intinya menyatakan tentang peningkatan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang, agar terwujud derajat kesehatan yang optimal di seluruh Indonesia. Program kesehatan gigi dan mulut merupakan salah satu program kesehatan yang telah dilaksanakan secara terintegrasi dengan program kesehatan lainnya disetiap jenjang pelayanan. Mengingat kondisi Indonesia yang sangat majemuk dengan konsentrasi sumber daya yang berbeda, maka untuk memberikan pelayanan kesehatan gigi dan mulut yang menyeluruh telah dikembangkan pola pelayanan kesehatan gigi dan mulut berupa pelayanan yang berlapis dengan sistem rujukan berjenjang. Persepsi adalah proses kognitif yang memungkinkan seseorang dapat menafsirkan dan

44

terhadap situasi, dan bukannya suatu pencatatan yang benar terhadap situasi. Dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah proses kognitif yang kompleks dan menghasilkan suatu gambar unik tentang kenyataan yang barangkali sangat berbeda dengan kenyataannya.4 Pelayanan kesehatan merupakan suatu pelayanan yang diberikan kepada penderita atau yang memerlukan suatu penyembuhan, pemulihan dan peningkatan taraf kesehatan. Yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan ini adalah rumah sakit umum, rumah sakit spesialis, klinik dan puskesmas.5 Pencapaian tujuan pelayanan kesehatan yang baik dipengaruhi oleh beberapa hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Hal-hal tersebut yaitu dengan menanyakan keinginan pasien dan pelayanan kesehatan yang dikehendaki; memberikan pelayanan kesehatan yang baik tanpa mengulang serta sikap yang ramah sehingga pasien merasa puas; menepati janji waktu pelayanan; memberikan jawaban yang tepat akan pertanyaan yang dibutuhkan pasien; orang yang menghadapi pasien harus mempunyai wewenang untuk memecahkan masalah, misalnya dokter; melakukan pelayanan yang baik pada kesempatan pertama; menetapkan sasaran yang tinggi dan terus menerus naik sekalipun hal tersebut sudah tercapai.6 Menurut Sabarguna (2004), suatu rumah sakit sebagai salah satu penyedia pelayanan kesehatan, harus mempperhatikan strategi pemasaran untuk peningkatan mutu. Strategi pemasaran rumah sakit meliputi : product (pelayanan kesehatan yang diberikan); place (tempat); price (harga); promosi; professional; people (karyawan); public (masyarakat sekitar); power (kekuasaan); presure (tekanan) dan performance (hasil kerja).7 Sedangkan menurut Notoatmodjo (2005), variabel pemasaran meliputi product (produk), price (harga), place (tempat), dan promotion (promosi).8 Pelayanan kesehatan gigi dan mulut di rumah sakit (RSGM) disediakan dan diberikan kepada masyarakat mengacu pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran gigi mutakhir yang didasari etik kedokteran gigi, dengan memanfaatkan sarana dan prasarana kedokteran gigi secara optimal. Pelayanan kesehatan gigi dan mulut dilaksanakan dengan pola pelayanan berlapis

melalui sistem rujukan berjenjang (level of care) dengan pendekatan Primary health care. Tujuan pelayanan berlapis dengan sistem rujukan berjenjang adalah untuk memberikan pelayanan yang menyeluruh dengan lapis-lapis pelayanan yang dikaitkan dengan sumber daya yang ada di masyarakat. Peranan RSGM terhadap pelayanan kesehatan gigi dan mulut sangat kompleks. Peran tersebut antara lain: dapat menyelenggarakan pelayanan kesehatan gigi dan mulut kepada masyarakat; ikut berpartisipasi sebagai tempat rujukan (rujukan pasien, tenaga ahli, model, dan ilmu/teknologi); meningkatkan pelayanan kesehatan gigi dan mulut secara optimal sesuai dengan kelas Rumah Sakit; sebagai tempat pendidikan, pelatihan dan penelitian; membuka lapangan kerja dan tempat pelayanan kesehatan gigi alternatif bagi masyarakat.9

METODE PENELITIAN Jenis penelitian adalah penelitian deskriptif.10 Penelitian dilakukan pada 105 orang pasien yang pernah menerima pelayanan yang diberikan di RSGM FKG UNMAS. Variabel penelitian dalam penelitian ini adalah persepsi pasien yang meliputi 6 aspek yaitu : pelayanan kesehatan gigi, tempat, tenaga medis yang menangani, biaya perawatan, karyawan dan promosi RSGM. Data yang diperoleh dilakukan uji validitas dan reliabilitas dan dianalisis secara deskriptif.

HASIL PENELITIAN Responden terbanyak pada kelompok umur 30 36 tahun yaitu sebanyak 32 orang (30,48 %), sedangkan yang terkecil pada kelompok umur 44 50 tahun (11,43%). Responden termuda berumur 16 tahun dan responden tertua berumur 50 tahun. Responden dengan jenis kelamin laki laki dan perempuan jumlahnya hampir berimbang. Responden laki laki berjumlah 52 orang (49,52%) dan perempuan berjumlah 53 orang (50,48 %).

45

Tabel 1 Distribusi Kriteria Persepsi Responden Terhadap Pelayanan di RSGM FKG UNMAS NO 1 2 3 4 5 6 ASPEK Pelayanan kesehatan gigi Tenaga medis/ dokter gigi yang menangani Biaya perawatan Tempat Karyawan Promosi RSGM KRITERIA Baik Kurang baik Baik Kurang baik Baik Kurang baik Baik Kurang baik Baik Kurang baik Baik Kurang baik JUMLAH (orang) 105 0 104 1 91 14 104 1 98 7 42 63 (%) 100 0 99,04 0,96 86,67 13,33 99,04 0,96 93,33 6,67 40 60 TOTAL (N=105) 100 % 100 % 100 % 100 % 100 % 100 % 100 % 100 % 100 % 100 % 100 % 100 %

Tabel 1 menunjukkan bahwa 100 % dari responden menyatakan bahwa secara umum pelayanan kesehatan gigi yang diberikan RSGM FKG UNMAS baik. Tidak ada responden yang mempunyai persepsi kurang baik tentang pelayanan di RSGM ini. Persepsi responden tentang tenaga medis/dokter gigi yang menangani yaitu 99,04% responden menyatakan baik sedangkan 0,96 % responden menyatakan kurang baik. Aspek biaya perawatan di RSGM Terpadu FKG UNMAS, 86,67% responden menyatakan baik atau sesuai dengan perawatan yang dilakukan dan terjangkau, sedangkan 13,33 % menyatakan kurang baik atau tidak sesuai dengan perawatan yang dilakukan. Persepsi terhadap tempat yang meliputi lokasi RSGM terpadu serta fasilitasfasilitas yang tersedia adalah 99,04 % responden menyatakan baik sedangkan 0,96 % responden menyatakan kurang baik. Persepsi responden terhadap aspek karyawan termasuk perawat yang bekerja di RSGM FKG UNMAS adalah 93,33 % responden menyatakan baik sedangkan 6,67 % responden menyatakan kurang baik. Persepsi pasien terhadap promosi tentang keberadaan RSGM serta pelayanan yang tersedia yaitu 40 % responden menyatakan baik atau promosi yang dilakukan sudah cukup, sedangkan 60 % responden menyatakan kurang baik atau promosi tentang RSGM masih kurang sehingga masih diperlukan promosi lebih lanjut.

PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa persepsi pasien terhadap pelayanan kesehatan gigi di RSGM Terpadu FKG UNMAS secara umum sudah baik. Pelayanan kesehatan gigi yang baik tersebut didukung oleh alat-alat yang canggih, bersih dan steril. Hal tersebut yang memotivasi sebagian besar pasien untuk berkunjung ke rumah sakit ini. Selain itu sebagian besar pasien (82,86%) menyatakan karena pelayanan kesehatan gigi yang diberikan sudah sesuai dengan keinginan pasien. Dalam pemberian pelayanan kesehatan gigi, sebagian besar pasien (94,28%) menyatakan dilibatkan dalam setiap perawatan yang dilakukan. Informasi tentang perawatan yang dilakukanpun sudah cukup memuaskan pasien. Ada beberapa pasien (25,71%) yang mengeluh harus menunggu lama untuk mendapatkan perawatan dari dokter gigi di RSGM ini. Kepuasan pasien terhadap pelayanan kesehatan gigi yang diberikan tidak lepas dari peran tenaga medis/dokter gigi yang menanganinya. Persepsi pasien terhadap tenaga medis/dokter gigi yang menanganinya di RSGM Terpadu FKG UNMAS sudah baik. Penilaian ini timbul karena dipengaruhi oleh tenaga medis/dokter gigi di rumah sakit ini yang bekerja secara professional, cepat, penuh empati dan ramah terhadap pasien. Hampir seluruh responden mempersepsikan bahwa pelayanan yang diberikan di RSGM FKG UNMAS ditangani oleh dokter gigi spesialis. Sebagian besar pasien (99,04%) menyatakan dokter gigi di RSGM

46

ini cepat tanggap dengan keluhan pasien, memberikan kebebasan kepada pasien untuk memutuskan perawatan dan memberikan informasi yang cukup tentang perawatan yang dilakukan. Namun sebagian pasien (57,15%) menyatakan bahwa tenaga medis/dokter gigi di rumah sakit ini berpenampilan tidak menarik. Hal ini sesuai dengan pendapat Kent dan Blinkhorn (2005), ada beberapa hal yang mempengaruhi persepsi serta kepuasan pasien terhadap dokter gigi yaitu keterampilan professional, keramahan, pemberian informasi, cara berinteraksi, empati, mau mendengarkan keluhan pasien. 11 Sehubungan dengan biaya perawatan di RSGM Terpadu FKG UNMAS, sebagioan besar pasien (86,67%) menyatakan biaya yang harus dikeluarkan sudah sesuai dengan perawatan yang diberikan. Dan dibandingkan dengan praktik dokter gigi swasta lainnya, biaya yang harus dikeluarkan termasuk kategori murah dan masih terjangkau. Tingginya biaya perawatan yang harus dikeluarkan dipengaruhi oleh rumitnya suatu perawatan yang diperlukan dan kualitas perawatan yang diinginkan pasien sehubungan dengan unsur estetik. Hal ini didukung oleh pendapat Notoatmodjo (2005), bahwa biaya yang dibayarkan harus dirasakan seimbang dengan manfaat yang diperoleh dari produk/jasa yang diberikan.8 Menurut Sabarguna (2004), harga/tarif merupakan hal yang komplek sehubungan dengan biaya, break even point dan strategi harga, juga berhubungan dengan peraturan pemerintah atau dan keadaan masyarakat sekitar. Harga/biaya harus dapat diatur agar rasional, artinya dimengerti dan sesuai antara pengeluaran dan pelayanan yang didapat.7 Sebagian besar pasien (99,04%), menyatakan bahwa dari segi tempat RSGM FKG UNMAS sudah baik. Hal tersebut didukung oleh lokasi RSGM yang strategis di pusat kota, mudah dijangkau, kondisi rumah sakit yang bersih dan nyaman. Walaupun sebagian pasien (62,86%) merasa tidak puas dengan fasilitas tempat parkir yang tersedia. Jika dilihat dari kondisi RSGM FKG UNMAS secara nyata, tempat parkir khusus pasien RSGM sudah tersedia. Tetapi pada kenyataannya, terjadi ketidaksesuaian fungsi oleh karena tempat parkir tersebut dimanfaatkan oleh pihak-pihak lain di lingkungan RSGM. Sesuai dengan pendapat Sabarguna (2004), dalam hal tempat perlu diperhatikan hal-hal yang terkait, memang harus diupayakan dapat dicapai, minimal dapat disubstitusikan yaitu waktu yang singkat untuk dijangkau, lokasi yang mudah dicapai, tempat parkir yang cukup, keadaan tempat pelayanan yang

memenuhi syarat, ruang tumggu yang nyaman karena akan mempengaruhi kondisi kelelahan dan kejenuhan pasien dalam menerima pelayanan.7 Menurut Kent dan Blinkhorn (2005) berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jackson (1978), tentang praktik dokter gigi didapatkan hasil bahwa sebagian besar orang menganggap dokter gigi dengan tempat praktik ultramodern (sarana perawatan yang modern dan canggih) lebih dapat dipercaya, lebih terampil, dan lebih mahir.11 Karyawan yang bekerja di RSGM FKG UNMAS baik perawat maupun non perawat juga mempengaruhi kepuasan pasien terhadap pelayanan di rumah sakit ini. Berdasarkan hasil penelitian, 93,33 % menyatakan bahwa karyawan yang bekerja di rumah sakit ini sudah bekerja dengan baik, bersikap ramah dan memberikan informasi yang diperlukan pasien. Menurut Sabarguna (2005), pada kegiatan organisasi setiap orang akan mempunyai peran yang pasti bermanfaat, besar atau kecil. Karyawan yang bekerja dengan baik akan mendukung pelayanan yang bermutu dan dapat menjamin kepuasan pasien.7 Promosi berarti mengkomunikasikan keunggulan dan membujuk konsumen atau kelompok sasaran untuk menggunakan produk/jasa yang ditawarkan.7 Promosi maupun informasi tentang RSGM FKG UNMAS, 60 % menyatakan masih kurang memuaskan. Sebagian besar dari pasien yang berkunjung ke RSGM FKG UNMAS ini mengetahui informasi tentang keberadaan rumah sakit ini dari rujukan dokter gigi praktik swasta, mahasiswa FKG, serta karena tempat tinggal atau tempat bekerja yang berdekatan dengan lokasi rumah sakit. Infomasi juga diperoleh dari kerabat atau teman yang pernah menjadi pasien di rumah sakit ini. Kepuasan pasien terhadap pelayanan yang diberikan, kelengkapan sarana dan prasarana perawatan yang tersedia mendorong hampir 100 % pasien untuk menyarankan karabat atau teman untuk berkunjung ke RSGM FKG UNMAS. Menurut Notoatmodjo (2005), promosi dapat dilakukan melalui komunikasi massa (TV, radio, koran dan media cetak) serta komunikasi interpersonal.8 Dalam hal promosi perlu dipertimbangkan hal-hal berikut yaitu: adanya komunikasi yang baik antara rumah sakit dengan calon pasien dan pasien langganan; kesadaran bahwa pelayanan setiap tahap di rumah sakit adalah promosi tidak langsung; harus dibangun kesan yang membuat ciri khas rumah sakit; publisitas yang seimbang; pelayanan yang memuaskan adalah iklan yang paling baik dan paling murah, dan pasien yang puas akan menjadi juru pemasar tidak langsung

47

yang handal; dan gunakan berbagai cara promosi seperti public relation, publisitas dan kontak perorangan dengan ramuan yang paling menguntungkan dan tepat sasaran.

SIMPULAN Persepsi pasien terhadap pelayanan di RSGM Terpadu FKG UNMAS yang meliputi 6 aspek adalah persepsi terhadap pelayanan kesehatan gigi, tenaga medis/dokter gigi yang menangani, biaya perawatan, tempat dan karyawan sudah baik, sedangkan persepsi terhadap promosi RSGM masih kurang baik.

SARAN Untuk pengembangan RSGM FKG UNMAS, kepada pihak manajemen RSGM disarankan hal-hal sebagai berikut : 1)Peningkatan kualitas pelayanan untuk kepuasan pasien; 2)Peningkatan profesionalitas tenaga medis / dokter gigi dalam penanganan pasien; 3)Adanya standar operasional penerimaan pasien di lobi dan ruang perawatan; 4)Suasana ruang tunggu yang lebih nyaman; 5)Fasilitas parkir ditata khusus disiapkan untuk pasien; 6)Promosi tentang keberadaan RSGM agar lebih ditingkatkan dan distribusi promosi diperluas, terutama melalui media cetak dan elektronik.

Lokakarya Persiapan Pendirian RSGM FKG UNMAS, Denpasar, 2003. 7. Sabarguna BS. Pemasaran Rumah Sakit, Yogyakarta: KONSORSIUM Rumah Sakit Islam Jateng DIY, 2004. 8. Notoatmodjo S. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikas. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2005. 9. Yudiasa M. Harapan Peran RSGM bagi Pelayanan Kesehatan Gigi di Bali, Lokakarya Persiapan Pembukaan RSGM FKG UNMAS, Denpasar, 2003. 10. Budiarto E. Metodologi Penelitian Kedokteran Sebuah Pengantar. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran, 2003. 11. Kent GG & Blinkhorn AS. Pengelolaan Tingkah Laku Pasien pada Praktik Dokter Gigi (terjemahan.), ed. 2. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran, 2005.

DAFTAR PUSTAKA 1. Kreitner R & Kinicki A. Perilaku Organisasi (terjemahan), Buku I. Jakarta: Penerbit PT. Salemba Emban Patria, 2003. Muchlas M. Perilaku Organisasi I. Yogyakarta: Program Pendidikan Pascasarjana Megister Manajemen Rumahsakit, Universitas Gadjah Mada, 1999. Robbins SP. Perilaku Organisasi, Ed 1. Jakarta: PT. Indeks Kelompok Gramedia, 2003. Thoha M. Perilaku Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003. Ilyas Y. Kinerja, Teori,Penilaian dan Penelitian, Jakarta: Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan FKM-UI, 2002. Siburian J. Klinik Distribusi Salah Satu Alternatif Meningkatkan Pelayanan RSGM,

2.

3.

4.

5.

6.

48

Interdental Jurnal Kedokteran Gigi; 2007;5(1)

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar

PERAN sIgA PADA KARIES GIGI ANAK Eko Sri Yuni Astuti
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar

Abstrak Karies merupakan penyakit multifaktorial yang melibatkan gigi (host), substrat, mikroorganisme dan waktu. Bakteri penyebab utama karies gigi adalah Streptococcus mutans dan Streptococcus sobrinus. Dalam rongga mulut terdapat sistem pertahanan terhadap serangan mikroorganisme golongan Streptococcus, yaitu adanya IgA sekretori (sIgA) pada saliva yang merupakan faktor pertahanan tubuh spesifik terhadap timbulnya karies. Jumlah sIgA saliva pada anak-anak lebih banyak daripada dewasa. Peran sIgA mampu mencegah kolonisasi bakteri penyebab karies dengan mencegah perlekatan bakteri tersebut pada permukaan gigi. Perlekatan streptococcus sobrinus dipengaruhi pada pembentukan glukan (dekstran), sedangkan Streptococcus mutans yang melekat pada aglutinin saliva dalam pelikel gigi diikat oleh sIgA dan dibuat tidak aktif, dengan demikian kariespun tidak terjadi. Kata kunci : Karies, sIgA. Korespodensi : Eko Sri Yuni Astuti, drg., Sp.KGA. Bagian Ilmu kesehatan Gigi Anak, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jl. Kamboja 11A Denpasar, Telp/Fax : (0361) 261278.

PENDAHULUAN Prevalensi karies gigi pada anak di negara berkembang meningkat dengan cepat sesuai dengan meningkatnya popularitas gula halus. 1 Keparahan karies gigi akan menyebabkan pulpa terbuka dan menjadi infeksi yang akan menjadi fokus infeksi bagi organ tubuh lainnya. Karies merupakan penyakit multifaktorial yang melibatkan gigi (host), substrat, mikroorganisme dan waktu. 2 Bakteri penyebab utama karies gigi adalah Streptococcus mutans dan Streptococcus sobrinus. 3 Saliva memegang peranan penting untuk terjadinya karies gigi 4 , karena salah satu fungsi saliva adalah sebagai cadangan ion terutama ion kalsium yang memfasilitasi proses remineralisasi gigi, disamping adanya sIgA yang merupakan faktor pertahanan tubuh spesifik terhadap mikroorganisme. 5 Untuk menanggulangi terjadinya serangan oleh mikroorganisme patogen, manusia mempunyai sistem imunitas yang merupakan mekanisme pertahanan dari serangan zat asing yang dapat

menimbulkan infeksi / kerusakan jaringan. Terdapat sistem pertahanan spesifik di rongga mulut terhadap serangan mikroorganisme patogen khususnya Streptococcus mutans dan Streptococcus sobrinus, berupa sIgA yang terdapat dalam saliva. 1 Dalam saliva keseluruhan konsentrasi sIgA mendekati 200 mg/1000ml 6 , dan pada anak-anak sampai umur 15 tahun volume saliva lebih besar dibanding pada umur dewasa. 5 Konsentrasi sIgA saliva pada individu bebas karies ternyata lebih tinggi dari pada penderita karies aktif. 7 Dari uraian di atas timbul suatu pertanyaan bagaimanakah peran sIgA pada karies gigi anak. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menelaah peran sIgA saliva pada karies gigi anak.

KARIES Karies gigi adalah penyakit jaringan gigi yang ditandai dengan kerusakan jaringan, dimulai dari jaringan keras gigi (pit, fissur dan daerah interproksimal) meluas ke arah pulpa. 8 Berbagai faktor

49

penyebab karies diantaranya: makanan / substrat, mikroorganisme, host / gigi (permukaan dan bentuk gigi) dan waktu. Beberapa jenis makanan karbohidrat misalnya sukrosa dan glukosa, dapat difermentasi oleh bakteri tertentu dan membentuk asam sehingga pH plak akan menurun sampai di bawah 5 dalam waktu 13 menit. Penurunan pH yang berulangulang dalam waktu tertentu akan mengakibatkan demineralisasi permukaan gigi yang rentan, dan proses karies pun dimulai. Proses demineralisasi tersebut terjadi pada bagian anorganik gigi yang diikuti kerusakan bagian organiknya. 2 Paduan keempat faktor penyebab karies di atas dapat digambarkan sebagai empat lingkaran yang saling berkaitan seperti gambar di bawah ini. 2

merupakan organisme kariogenik yang paling berperan. 3,9 Streptococcus mutans berhubungan pada inisiasi karies pada pit dan fissure serta permukaan halus dari email, sedangkan Streptococcus sobrinus pada sisi proksimal gigi posterior. 3

sIgA SALIVA Saliva adalah cairan mulut yang kompleks, terdiri atas campuran sekresi dari kelenjar saliva besar dan kecil yang ada pada mukosa mulut. Saliva yang terbentuk di rongga mulut, sebagian besar dihasilkan oleh kelenjar submaksilar (90%) dan kelenjar sublingual (5%) serta kelenjar-kelenjar saliva kecil yang lainnya (5%). Sebagian besar saliva ini dihasilkan pada saat sedang makan, sebagai reaksi atas rangsang yang berupa pengecapan dan pengunyahan makanan. saliva merupakan hal yang sangat penting walaupun pada saat tidak sedang makan. Pada individu yang sehat, gigi geligi secara terus menerus terendam dalam saliva sampai sebanyak 0,5 ml yang akan membantu melindungi gigi, lidah, membrana mukosa dan orofaring.2 Cara perlindungan yang dilakukan saliva bisa berupa antara lain dengan melakukan aktifitas antibakteri dan anti virus, selain mengandung antibodi spesifik (sIgA), juga mengandung lisosom, lactoferin dan lactoperoksidase. Molekul sIgA disekresi oleh sel-sel plasma yang terdapat di dalam kelenjar saliva, sedangkan komponen protein lainnya diproduksi dilapisan epitel luar yang menutup kelenjar. 2 Volume total saliva pada orang dewasa yang diproduksi tiap hari antara 750 1000 ml, 6 pada anak-anak sampai dengan umur 15 tahun volume saliva lebih besar dibanding pada umur yang lebih dewasa. Dengan bertambahnya umur seseorang, akan terjadi penurunan produksi saliva. 5 Di dalam saliva keseluruhan jumlah sIgA mendekati 200 mg/1000 ml, sedangkan IgG 2 mg/1000 ml dan IgM 1 mg/1000 ml.6 Dengan demikian pada anakanak jumlah sIgA saliva lebih banyak dari pada orang dewasa. sIgA saliva merupakan anti bodi terbanyak dibandingkan kelas imunoblobulin lain. 6 Kadar sIgA saliva

Gambar 1 Interaksi 4 Faktor Penyebab Karies Perkembangan karies gigi membutuhkan: 1)bakteri kariogenik yang mampu memproduksi asam dengan cepat di bawah pH kritis yang dibutuhkan untuk melarutkan email, dan 2)gula pada makanan yang memudahkan bakteri untuk berkolonisasi dan difermentasi menjadi asam. Proses ini dapat terganggu dengan adanya respon imun yang efektif. 9 Beberapa bakteri kariogenik yaitu: Streptococcus mutans, Streptococcus sanguis, Streptococcus sabrinus, Lactobacillus acidophilus dan Lactobacillus casei serta Actinomyces viscosus dapat menyebabkan karies karena mempunyai kemampuan berkolonisasi pada gigi untuk menurunkan pH, Streptococcus mutans dan Streptococcus sobrinus

50

individu tahan karies 14,2 mgdl -1 , sedangkan pada individu peka karies 9,1 mgdl -1 . 9 Saliva individu tahan karies mengandung sIgA spesifik terhadap Streptococcus mutans lebih banyak sedangkan aktifitas sIgA lebih rendah dibandingkan dengan individu peka karies. Karena itu sIgA saliva mungkin berperan dalam mengontrol karies gigi. 10 Sistem imunologis total terdiri dari terutama sIgA, disamping jumlah kecil IgG dan IgM. Pada sIgA, saliva terikat suatu secretory peace yang merupakan suatu glikoprotein yang dapat melindungi sIgA dari kerusakan. Dalam saliva tercampur, dijumpai juga sejumlah kecil IgG, sIgA dan IgM, yang berasal dari cairan krevikular dan mungkin mempunyai suatu fungsi lokal di dalam gingiva. Gambaran yang terbentuk karena pengaruh sIgA adalah jaringan oral tertutup dengan lapisan pelikel, dalam lapisan ini juga dijumpai sIgA yang mempunyai suatu aktifitas perlekatan yang kuat. Antigen dalam bentuk bakteri dan virus terpegang dalam lapisan pelikel dan dibuat tidak aktif oleh sIgA; dan oleh pengaruh pembersih mekanis saliva diangkut ke lambung untuk dihancurkan. 1 Molekul sIgA di dalam saliva dapat berikatan dengan Streptococcus mulut, sehingga mikroorganisme ini tidak menetap pada jaringan mulut. Hal ini menunjukkan bahwa sIgA ternyata terlibat langsung pada perlindungan mukosa mulut dan mukosa gingiva terhadap infeksi, serta elemen gigi geligi terhadap kolonisasi mikroorganisme. 1 Diperkirakan, zat ini berfungsi dalam mekanisme pertahanan spesifik utama di dalam rongga mulut khususnya terhadap timbulnya karies gigi. 11 Karies akan terjadi apabila terbentuk kolonisasi bakteri pada permukaan gigi, yaitu adanya perlekatan bakteri pada jaringan gigi. Perlekatan terjadi melalui adhesin bakteri yang berikatan dengan reseptor karbohidrat atau reseptor peptida pada jaringan gigi. 12 Bakteri penyebab karies yaitu Streptococcus mutans dan Streptococcus sobrinus. 3 Perlekatan Streptococcus mutans pada permukaan gigi karena adhesin Streptococcus mutans berikatan dengan komponen saliva (agglutinin saliva) pada pelikel, 12 sedangkan adhesin Streptococcus sobrinus berikatan dengan glukan (dekstran) yang

merupakan hasil sintesis sukrosa oleh enzim glukosil transferase pada pelikel. 9 sIgA pada pelikel dapat mengikat antigen yang berupa bakteri maupun virus, Streptococcus mutans yang melekat pada agglutinin saliva pada pelikel terpegang / terikat oleh sIgA dan dibuat tidak aktif, kemudian oleh pembersihan mekanis saliva diangkut ke lambung untuk dihancurkan. 1 sIgA juga mampu mencegah kolonisasi Streptococcus sobrinus yang dalam perlekatannya tergantung pada glukan (dekstran}. Diperkirakan antibodi ini mempengaruhi pembentukan glukan (dektran) sehingga dapat mencegah perlekatannya. 9

SIMPULAN Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa jumlah sIgA saliva pada anak-anak lebih banyak daripada dewasa. Peran sIgA terhadap terjadinya karies gigi pada anak adalah dengan cara mempengaruhi perlekatan bakteri pada permukaan gigi. Kolonisasi Streptococcus sobrinus dicegah oleh sIgA dengan cara mempengaruhi pembentukan glukan (dekstran), sedangkan Streptococcus mutans yang melekat pada aglutinin saliva dalam pelikel gigi diikat oleh sIgA dan dibuat tidak aktif.

DAFTAR PUSTAKA 1. Amerongen. Ludah dan Kelenjar Ludah Arti Bagi Kesehatan Gigi (terjemahan). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press., 1991: 78-94. Kidd EAM dan Sally JB. Dasar-Dasar Karies dan Penanggulangannya (terjemahan.), Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran Gigi. 1991: 12, 66 74. De Graff J and De Soet JJ. Immunological Strategies Towards Dental Caries Prevention. In: Busscher HJ and Evans LV. Oral Biofilm and Plaque Control ., Amsterdam, The Netherlands: Harwood Academic Publishers, 1998.

2.

3.

51

4.

5.

6.

7.

8.

Koch G & Poulsen S. Pediatric Dentistry A Clinical Approach . Munksgaard, Copenhagen, 2001. Supartinah S. Saliva dan Kaitannya Dengan Penyakit Rongga Mulut Anak, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada FKG UGM, Yogyakarta, 2003. Challacombe SJ. & Shirlaw PJ. Immunology of Diseases of The Oral Cavity. In: Ogra PL, Mestecky J, Lamm M, Strober W, McGhee J, Bienenstock J. Handbook of Mucosal Immunology . New York: Academic Press Inc., 1999. Roeslan BO dan Sadono M. Peranan sIgA Saliva dalam Mekanisme Pertahanan Terhadap Karies. Majalah Ilmiah Kedokteran Gigi FKG USAKTI 1987; 2(6):162. Houwink B. Ilmu Kedokteran Gigi Pencegahan (terjemahan). Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press, 1993: 5885, 125159. 9. Lehner T. Imunologi Pada Penyakit Mulut (terjemahan). Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran Gigi. 1995: 61. 10. Roeslan BO. Isolasi IgAs dari Air Ludah Tiga Individu Dengan Kondisi Karies Berbeda. Majalah Kedokteran Gigi FKG USAKTI 2001; 16(3): 105 15. 11. Gunawan JA dan Roeslan BO. Kadar sIgA Liur Individu Rentan Karies dan Individu Tahan Karies, Majalah Kedokteran Gigi Unair 2000; 33(1): 3539. 12. Widjiastuti I. Agglutinin Saliva Sebagai Media Perlekatan Streptococcus Mutans Pada Permukaan Gigi. Majalah Kedokteran Gigi FKG UNAIR 2000; 33(1): 14

52

Interdental Jurnal Kedokteran Gigi; 2007;5(1)

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar

GAMBARAN RASA TAKUT TERHADAP PERAWATAN GIGI PADA ANAK USIA SEKOLAH YANG BEROBAT KE PUSKESMAS IV DENPASAR BARAT IGAAP Swastini, Regina Tedjasulaksana, Maria Martina Nahak
Jurusan Kesehatan Gigi, Politeknik Kesehatan Denpasar

ABSTRACT The first emotion that babies have after their birth are to have fear feelings. The feeling of fear appears to be a protective mechanism to people that can protect them against danger. Fear feelings may come from parents, family members or may from their environment. The purpose of this survey is to have a picture of the fear feelings of school students between 6 to 13 years old and to know which ones of dental care treatment that have become a phantom to them. This survey has been done by the dental clinic of Puskesmas IV Denpasar Barat Kota Denpasar on March of the year 2006. Data which have been collected are primary data that have been carried out by filling out questionnaires, and accordingly, analysis have been determined as statistic univariate. The result of this survey indicated that 91 respondents which have examined where five children have no fear feelings towards all actions of dental care treatment, eight children have fear feelings towards all actions of dental care treatment, and the rest, 78 children are fearful only towards certain actions of the dental care treatment.As a whole, it shows that girls are more fearful according to this survey, it also indicates, that dental care treatment are the most fearing treatment for respondents, especially, if the dentist / nurse perform anesthetic by using injections. Key words : fear feelings, school students

PENDAHULUAN Rasa takut terhadap perawatan gigi merupakan hambatan bagi dokter gigi dalam usaha peningkatan kesehatan gigi masyarakat. Dari beberapa literatur ditemukan bahwa insidensi rasa takut terhadap perawatan gigi terjadi kurang lebih 5% dari tingkat populasi dan di antaranya ditemukan pada anak anak usia sekolah (16%). Sedangkan Kleinknecht dari hasil penelitiannya di Amerika melaporkan bahwa rasa takut terhadap perawatan gigi terjadi sebesar 74,6%. Sedangkan rasa takut terhadap perawatan gigi di negara Asia masih perlu dilakukan kajian lanjut.1 Menurut Sutadi dan Heriandi (1994), kecemasan dan rasa takut terhadap perawatan gigi menyebabkan penderita merasa enggan untuk berobat ke unit pelayanan kesehatan gigi. Beberapa ahli melaporkan bahwa pada umumnya kecemasan / rasa takut timbul akibat pengalaman perawatan gigi semasa kanak-kanak, oleh karena itu perlu diperhatikan bahwa pencegahan timbulnya kecemasan / rasa takut harus dimulai pada usia dini. Anak sudah bisa mengadakan

sintesa logis, karena munculnya pengertian, wawasan, dan akal yang sudah mencapai taraf kematangan. Selain itu, anak-anak sudah bisa menghubungkan bagian-bagian menjadi satu kesatuan atau menjadi satu struktur 1 Kecemasan / rasa takut terhadap perawatan gigi dapat dijumpai pada anak-anak di berbagai unit pelayanan kesehatan gigi misalnya di praktik dokter gigi, di rumah sakit ataupun di puskesmas. Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan masyarakat harus mampu melakukan pendekatan-pendekatan kepada masyarakat khususnya anak-anak dalam menyelenggarakan atau memberikan pelayanan kesehatan gigi yang optimal. Salah satu program Puskesmas untuk meningkatkan derajat kesehatan anak-anak adalah melalui program UKGS yang dilaksanakan di lingkungan sekolah dari tingkat pendidikan dasar sampai menengah dengan tujuan agar setiap siswa / anak usia sekolah dapat memperoleh pengetahuan dan pengobatan gigi yang memadai. Dengan demikian diharapkan dapat terwujud target nasional untuk kesehatan gigi pada tahun 2010 yaitu angka DMF 3 (DepKes RI, 2000).

53

RASA TAKUT Rasa takut adalah emosi pertama yang diperoleh bayi setelah lahir. Rasa takut merupakan suatu mekanisme protektif untuk melindungi seseorang dari bahaya dan pengrusakan diri1. Definisi lain menyebutkan takut ( fear ) merupakan suatu luapan emosi individu terhadap adanya perasaan bahaya atau ancaman yang merupakan gabungan dari faktorfaktor antara lain: perilaku yang tidak menyenangkan seperti ancaman yang menakutkan yang akan terjadi, perubahan fisiologis terutama yang mempengaruhi aktifitas saraf dari susunan saraf otonom. Reaksi rasa takut yang kuat diikuti dengan debar jantung yang keras disertai dengan tanda-tanda emosi yang lain, perubahan tingkah laku seperti gelisah, gemetar, serta berusaha menghindarkan diri dari pihak lain yang menyerangnya.1 Bakwin dan Bakwin (1960), mengatakan rasa takut adalah suatu emosi dasar manusia sesudah dilahirkan yang merupakan perlindungan untuk melawan sesuatu yang dianggap bahaya yang mengancam dirinya. Selanjutnya dikatakan bahwa anak-anak mempunyai rasa takut pada sesuatu yang didengar, dilihat, dirasakan dan dibayangkan. Menurut Behrman dan Vaughan (1988), anak usia sekolah umumnya mempunyai rasa takut terhadap orang yang masih asing seperti dokter ataupun dokter gigi, rumah sakit; dan rasa takut ini merupakan suatu hal yang normal. Sebagaimana diketahui bahwa peralatan yang digunakan ataupun tindakan yang dilakukan tenaga kesehatan gigi terlihat di depan mata, disamping bunyi bur yang memilukan, merupakan faktor penyebab timbulnya rasa takut. 1

SUMBER RASA TAKUT Rasa takut dapat bersumber dari anak sendiri, yaitu: anak yang mempunyai toleransi yang rendah terhadap rasa sakit, anak pernah mendapat pengalaman buruk, dan anak yang mempunyai masalah kesehatan, penyandang cacat dan gangguan perkembangan; orang tua/keluarga, yaitu: rasa takut orang tua/keluarga yang ditularkan ke anak, tindakan orang tua yang mengancam anak dengan menggunakan perawatan gigi untuk menakutnakuti, dan membicarakan perawatan gigi di depan anak sehingga menimbulkan ketakutan; tim kesehatan gigi, yaitu adanya sikap dari petugas yang kaku dan keras, kurang sabar, kurang menunjukkan kehangatan dan perhatian.1; dan kepribadian, yaitu anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan yang kurang aman, rawan konflik atau ditengah keluarga yang broken home memiliki rasa takut yang lebih besar daripada anak yang tumbuh dalam lingkungan yang penuh rasa aman secara emosional. Sedangkan anak yang ekstrovert, karena lebih mudah terpengaruh dan suka meniru anak lain, juga lebih mudah dihinggapi rasa takut daripada anak yang introvert 3.

NILAI RASA TAKUT Rasa takut berfungsi sebagai mekanisme pelindung diri sehingga dapat digunakan untuk menjauhkan diri dari situasi berbahaya yang bersifat fisik. Rasa takut dapat dihilangkan, dengan cara disalurkan ke bahaya yang benarbenar ada.2

CARA MENGATASI RASA TAKUT MACAM RASA TAKUT Ada dua macam rasa takut, yaitu rasa takut obyektif; yaitu rasa takut yang didapatkan karena panca indera dirangsang secara fisik, dan tidak berasal dari pembawaan. Rasa takut ini merupakan respon terhadap apa yang diraba, dirasa, dilihat, didengar, atau dicium, yang tidak enak atau tidak menyenangkan; dan rasa takut subyektif; yaitu merupakan rasa takut yang disugestikan oleh orang lain kepada anak, tanpa anak sendiri yang mengalaminya. 2 Rasa takut dapat dihilangkan dengan berbagai cara, yaitu: dengan pencegahan terhadap pengalaman negatif yang menimbulkan rasa takut di masa mendatang, membuat suasana lingkungan yang dirasakan aman dan dapat dipercaya, membangun kepercayaan pada seorang pasien serta dokter gigi bertindak sedemikian rupa sehingga menghilangkan kegelisahan pasien.

ANAK USIA SEKOLAH Anak usia sekolah adalah anak sekolah dengan masa perkembangan yang berkisar antara

54

6 - 12 tahun (masa usia sekolah dasar). Masa ini disebut juga masa suka berkelompok, karena bagi usia ini peran kelompok sebaya sangat berarti baginya. Pada usia sekolah ini umumnya, lebih mudah diasuh dibandingkan dengan masa sebelum sekolah. Kunci keberhasilan perawatan gigi pada anak usia sekolah dasar selain ditentukan oleh pengetahuan klinis dan keterampilan tenaga kesehatan gigi, juga ditentukan oleh kesanggupan anak untuk bekerja sama. Pada masa ini, rasa takut sudah menurun dan perkembangan emosinya semakin mantap dan sudah bisa diajak kerja sama, tetapi ada sebagian anak yang bersikap non kooperatif4.

RASA TAKUT ANAK USIA SEKOLAH Pada usia sekolah mulai umur 6 tahun, anak sudah dapat berpisah dengan ibunya. Rasa takut sangat menurun, walaupun masih memerlukan dukungan orang tua5. Pada umur 7 tahun anak sudah dapat menguasai emosinya dalam perawatan gigi, jarang menimbulkan kesulitan dan rasa takut lebih bersifat pribadi, maka dibutuhkan pengertian untuk bekerja sama. Pada umur 8-12 tahun seorang anak sudah dapat menerima berbagai situasi yang tidak menyenangkan. Perkembangan emosinya pun sudah semakin mantap, umumnya bersikap toleran, bisa diajak kerjasama dan senang memperagakan sesuatu.6

Kota Denpasar. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret tahun 2006. Populasi penelitian ini adalah 91orang pasien anak-anak usia sekolah yang berobat ke Poliklinik Gigi Puskesmas IV Denpasar Barat Kota Denpasar Bulan Maret tahun 2006. Sampel Penelitian pada penelitian ini tidak dilakukan lagi sampling tetapi memakai total populasi. Data yang dikumpulkan adalah data primer yaitu dengan pengisian kuisioner yang diberikan kepada pasien anak usia 6-13 tahun yang berobat ke Poliklinik Gigi Puskesmas IV Denpasar Barat Kota Denpasar bulan Maret tahun 2006. Pengolahan data dilakukan melalui beberapa tahap yaitu editing, coding, dan tabulating. Analisis data akan dilakukan secara statistik univariat yaitu berupa persentase, modus terhadap seluruh data .

HASIL PENELITIAN Dari 91 orang anak yang berobat ke Poli Gigi Puskesmas IV Denpasar Barat, 5 orang (5, 49%) anak laki laki menyatakan tidak takut terhadap semua tindakan perawatan gigi; 8 orang (8,79%) anak yang terdiri 3 orang anak laki laki dan 5 orang anak perempuan menyatakan takut terhadap semua tindakan perawatan gigi dan 78 orang anak (85,73%) yang terdiri dari 40 orang anak laki laki dan 38 orang anak perempuan menyatakan takut terhadap beberapa tindakan perawatan gigi. Gambaran rasa takut pada anak usia sekolah ( 6-13 tahun ) yang berobat ke poliklinik gigi Puskesmas IV Denpasar Barat Kota Denpasar Bulan Maret tahun 2006 berdasarkan jenis kelamin, dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini.

METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan secara deskriptif dengan desain survey. Tempat penelitian adalah di Poliklinik gigi Puskesmas IV Denpasar Barat

55

Tabel 1 Distribusi Frekuensi Rasa Takut Pada Perawatan Gigi Berdasarkan Penyebab Rasa Takut
Laki laki (48 orang) f % 5 10,4 9 8 8 9 13 8 17 21 16 15 24 36 41 35 18,75 16,6 16,6 18,75 27,1 16,6 35,4 43,75 33,3 31,2 50 75,6 85,4 72,9 Frekuensi Perempuan ( 43 orang ) f % 8 18,6 8 8 7 8 9 7 9 17 16 14 21 35 38 33 18,6 18,6 16,27 18,6 20,9 16,3 20,9 37,2 34,9 32,5 48,8 81,4 88,3 76,7

No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Penyebab Rasa Takut Mendengar cerita tentang perawatan gigi Menyaksikan anggota keluarga yang sedang berobat Berangkat ke poliklinik gigi Duduk di ruang tunggu poliklinik gigi Perawat memanggil giliran anda Duduk di kursi gigi Disuruh berkumur oleh Drg / Prg Gigi dibersihkan dengan instrument tangan Gigi dibor oleh petugas ( Drg / Prg ) Menyemprotkan udara ke lubang gigi Meletakkan gulungan kapas di dalam mulut Memasukkan bahan tambalan ke dalam lubang gigi Memegang peralatan suntik Melakukan pembiusan local dengan suntikan Melakukan tindakan pencabutan gigi

Jumlah 13 17 16 15 17 22 15 26 32 31 30 45 71 79 68

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 91 responden berusia 6 13 tahun di Puskesmas IV Denpasar Barat pada Bulan Maret tahun 2006 didapatkan hasil sebagai berikut : responden yang takut terhadap semua tindakan perawatan gigi sebanyak 8 orang (8,79 %), yang tidak takut terhadap semua tindakan perawatan gigi sebanyak 5 orang ( 5,49%) dan sisanya 78 orang ( 85,73%) takut terhadap beberapa tindakan perawatan gigi. Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa jenis perawatan gigi yang paling ditakuti oleh anakanak usia sekolah yang berobat ke poliklinik gigi Puskesmas IV Denpasar Barat Kota Denpasar bulan Maret tahun 2006 adalah ketika petugas kesehatan gigi melakukan penyuntikan untuk anestesi lokal. Pada tabel juga terlihat bahwa 41 orang anak laki laki dan 38 anak perempuan atau 79 dari 91 orang anak yang berobat selama bulan Maret tahun 2006, takut terhadap tindakan tersebut. Tindakan lain yang juga menimbulkan rasa takut pada sebagian besar anak anak adalah ketika dilakukan tindakan pencabutan gigi.

PEMBAHASAN Kecemasan / rasa takut terhadap perawatan gigi bukan merupakan hambatan bagi tenaga kesehatan gigi dalam upaya meningkatkan kesehatan gigi dan mulut. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa beberapa hal yang berhubungan dengan tindakan perawatan seperti : mendengar cerita tentang perawatan gigi, akan berangkat ke klinik gigi, duduk di kursi gigi terlihat bahwa anak perempuan lebih takut dibandingkan dengan anak lakilaki, sedangkan untuk beberapa keadaan yang lain, misalnya, menyaksikan anggota keluarga yang sedang berobat, duduk diruang tunggu poliklinik gigi, ketika perawat memanggil giliran anak, gigi dibersihkan dengan instrument tangan, disuruh berkumur, gigi dibur oleh petugas (drg / perawat gigi ), dan ketika gigi ditambal, maka terlihat bahwa anak laki laki lebih takut dibandingkan dengan anak perempuan. Tetapi secara keseluruhan, dari semua tindakan perawatan gigi, terlihat bahwa anak perempuan lebih takut dibandingkan dengan anak laki-laki. Hal ini tidak sesuai

56

dengan hasil penelitian dari Heriandi Sutadi dan Yuke Heriandi, yang menyatakan bahwa di Indonesia responden laki-laki lebih merasa takut/cemas terhadap perawatan gigi dibandingkan dengan responden perempuan. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena responden dari kedua peneliti tersebut adalah kelompok umur dewasa yaitu umur 1648 tahun. Sedangkan responden dari penelitian yang sedang dilakukan sekarang dari kelompok anak usia sekolah yaitu umur 6 13 tahun. Selain itu juga terdapat perbedaan psikologis antara anak laki-laki dan anak perempuan. Berdasarkan hasil penelitian juga didapatkan bahwa perawatan gigi yang paling ditakuti oleh anak lakilaki, maupun anak perempuan adalah ketika dokter gigi melakukan anastesi dengan menggunakan jarum suntik, dimana terlihat bahwa persentasi anak perempuan (88,3%) lebih tinggi dibandingkan dengan anak laki-laki (85,4%).

2.

3.

4.

5.

6.

Finn SB. Parent Crunseig and Child Behaviour, Clinical Pedodontics, 4 th ed, London: B. Saunders Co, 1973. Retno IGK, Trik Meminimalkan Fobia pada Anak, Denpasar : Bali Post, 5 November 2005: 13 Munandar SC dan Utami. Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah, Jakarta: Gramedia Megasarana Indonesia, 1992. Soedomo. Rasa Takut Anak Terhadap Perawatan Gigi dan Pendekatan Psikologis Untuk Menanggulangi, Majalah Ilmiah Kedokteran Usakti 1987; 2(6). Snawder KD. Behaviour Management, Handbook of Clinical Pedodontics, London: Mosby Co, 1980.

SIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa perawatan gigi yang paling ditakuti oleh responden yaitu ketika dokter gigi / perawat gigi melakukan anastesi dengan menggunakan jarum suntik. Secara keseluruhan terlihat bahwa anak perempuan lebih takut dibandingkan dengan anak laki-laki.

SARAN Rasa takut / cemas terhadap perawatan yang diberikan oleh dokter gigi masih merupakan masalah yang perlu dicarikan jalan keluarnya, terutama pada saat perawatan yang memerlukan jarum suntik. Peran dokter gigi adalah menjelaskan setiap tindakan perawatan gigi yang akan dilakukan sehingga tidak menimbulkan rasa takut. Selanjutnya menelaah apa yang menjadi penyebab atau faktor-faktor apa yang berperan terhadap timbulnya rasa takut.

DAFTAR PUSTAKA 1. Heriandi S dan Yuke H, Rasa Takut atau Cemas Terhadap Perawatan Gigi (Dalam Kajian Penelitian di Indonesia, Jepang, Brazil dan Argentina), Jakarta, 1994.

57

Interdental Jurnal Kedokteran Gigi; 2007;5(1)

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar

HUBUNGAN PERILAKU MENYIKAT GIGI DENGAN KARIES GIGI PADA ANAK SD SWASTA USIA 12 TAHUN DI KOTA DENPASAR TAHUN 2006

I G.AA Dharmawati, S A Putri Dwiastuti, Ni Ketut Ratmini


Politeknik Kesehatan Denpasar, Jurusan Kesehatan Gigi

ABSTRAK Status kesehatan gigi dan mulut siswa SD swasta di kota Denpasar masih cukup tinggi, hal ini bisa dilihat dari laporan UKGS Puskesmas di kota Denpasar tahun 2004, yaitu ditemukan 4.070 kasus penyakit gigi (termasuk karies gigi) yang membutuhkan perawatan (data tidak dipublikasikan). Dari tingginya angka karies tersebut, peneliti ingin mengetahui apakah ada hubungan antara perilaku menyikat gigi dengan karies gigi pada anak SD swasta usia 12 tahun di kota Denpasar? Desain penelitian adalah analitik dengan pendekatan cross sectional, bertempat di SD swasta di kota Denpasar yang terdiri dari tiga kecamatan yaitu SD Saraswati 5 di Denpasar Timur, SD Muhammadiyah di Denpasar Barat, SD Harapan di Denpasar Selatan. Sampel penelitian diambil dengan cara simple random sampling pada anak anak kelas VI yang berusia 12 tahun dengan jumlah sample 120 orang. Data yang dikumpulkan adalah data primer tentang karies gigi dan perilaku menyikat gigi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata karies gigi lakilaki yaitu 1,74 kali lebih besar daripada perempuan. Gigi yang paling sering terkena karies adalah gigi 36, sedangkan perilaku menyikat gigi yang benar lebih banyak pada anak anak perempuan. Dari uji korelasi Spearmans diperoleh bahwa tidak ada hubungan antara perilaku menyikat gigi dengan karies gigi pada anak SD swasta usia 12 tahun di kota Denpasar tahun 2006 Kata Kunci: perilaku menyikat gigi, karies

PENDAHULUAN Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 1995, penyakit gigi dan mulut yang ditemukan di masyarakat masih berkisar pada penyakit yang menyerang jaringan keras gigi (karies) dan penyakit periodontal. Hasil survei ini menunjukkan bahwa 63% penduduk Indonesia menderita kerusakan gigi aktif (kerusakan pada gigi yang belum ditangani). Pemicu dari perilaku adalah isyarat / stimulus dari lingkungan yang membawa seseorang berperilaku

tertentu. Sebagai contoh adalah perilaku menyikat gigi sering dikaitkan dengan mandi, yaitu setelah mencuci muka biasanya orang menyikat gigi. Pemicu perilaku bergantung pada dampak dari perilaku tersebut. Bila seseorang melakukan suatu tindakan dan pengaruhnya dirasakan menguntungkan, orang tersebut pasti akan mengulangi tindakan tadi. Bila pengaruhnya tidak menyenangkan, perilaku itu tidak akan diulangi. 1 Kelainan pada gigi yang sering dijumpai pada anak adalah karies gigi. Upaya pencegahan karies dapat dilakukan sejak dini, salah satunya

58

dengan pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut. Pertambahan umur anak usia sekolah dasar, juga akan mempengaruhi sikap dan perilaku mereka dalam memelihara kesehatan gigi. Pada umumnya, sekolah dasar swasta berada di daerah perkotaan. Anak-anak yang tinggal di perkotaan umumnya memiliki pengetahuan tentang kesehatan gigi dan mulut serta kondisi perekonomian yang lebih baik dibandingkan dengan kondisi anak-anak yang berada di pedesaan. 2 Kotamadya Denpasar mempunyai 3 kecamatan dan dimasingmasing kecamatan tersebut terdapat Sekolah Dasar swasta yang belum pernah dilakukan penelitian mengenai hubungan perilaku menyikat gigi dengan karies gigi. Perilaku manusia pada hakikatnya adalah suatu aktivitas daripada manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, perilaku manusia itu mempunyai rentangan yang sangat luas mencakup berjalan, berbicara, bereaksi, berpakaian dan lain sebagainya. Bahkan kegiatan internal seperti berpikir, persepsi dan emosi juga merupakan perilaku manusia. Perilaku dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu: faktor predosposisi, faktor-faktor yang mendukung dan faktor-faktor yang memperkuat atau mendorong. Sehubungan dengan hal tersebut, pendidikan kesehatan sebagai faktor usaha intervensi perilaku harus diarahkan kepada ketiga faktor tersebut. Dengan kata lain, pendidikan kesehatan adalah suatu usaha untuk menyediakan kondisi psikologis dari sasaran agar mereka berperilaku sesuai dengan tuntutan nilai kesehatan. 3

kemudian diikuti oleh kerusakan bahan organiknya. 4 Secara teoritis, ada tiga cara dalam mencegah karies gigi yaitu: menghilangkan substrat karbohidrat, (mengurangi frekuensi konsumsi gula dan membatasinya pada saat makan saja), meningkatkan ketahanan gigi (email dan dentin yang terbuka dapat dibuat lebih resisten terhadap karies dengan pemakaian fluor dan pemakaian resin pada fit dan fisure yang dalam), serta menghilangkan plak (menyikat gigi dan pembersihan karang gigi). Karies gigi adalah penyakit kronis yang sangat lazim pada rongga mulut. Penyakit tersebut tergantung dari mikroorganisme yang terdapat dalam plak. Oleh karena itu, mengontrol plak merupakan bagian yang sangat penting bagi pencegahan penyakit tersebut. Mengontrol plak dapat dilakukan secara mekanis dan kimiawi. Mengontrol plak secara kimiawi hanya digunakan sebagai tambahan setelah cara mekanik. Cara mengontrol plak secara mekanis meliputi menyikat gigi adalah cara yang paling baik dilakukan. 4 Menurut Be.K.N (1989), menyikat gigi adalah cara umum yang dianjurkan untuk membersihkan deposit lunak pada permukaan gigi dan gusi. 5

BAHAN DAN METODE Desain penelitian ini adalah analitik dengan pendekatan cross sectional. Penelitian dilakukan di SD swasta di kota Denpasar yang dilakukan pada bulan Februari 2006. Populasi penelitian ini adalah semua anak kelas VI di SD swasta di kota Denpasar (Denpasar Timur, Denpasar Barat, Denpasar Selatan) . Besar sampel penelitian ini adalah 97 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan cara pemeriksaan langsung dan pengisian kuisioner. Pengolahan data dilakukan mulai dari pemeriksaan lembar status pemeriksaan, pemberian kode, dan pemasukan data ke tabel

KARIES GIGI Karies merupakan suatu penyakit jaringan keras gigi, yaitu email, dentin, dan sementum, yang disebabkan oleh aktivitas suatu jasad renik dalam suatu karbohidrat yang dapat diragikan. Tanda terjadinya karies adalah adanya demineralisasi jaringan keras gigi yang

59

induk. Analisis data dilakukan secara

statistik

univariat

dan

bivariat .

HASIL PENELITIAN Berdasarkan jenis kelamin didapat distribusi frekuensi karies gigi seperti table 1. dibawah ini. Tabel 1 Distribusi Frekuensi Karies Gigi Menurut Jenis Kelamin Pada Anak SD Swasta Usia 12 Tahun Di Kota Denpasar Tahun 2006 Laki laki Jumlah Karies Responden % 16 21 18 55 10,8 7,5 7,5 25,8 Perempuan Jumlah Karies Responden % 24 19 22 65 13,0 9,16 6,6 29,2 Total Karies % 24,1 16,6 14,16 55

SD SD Densel SD Denbar SD Dentim Total

Tabel 1 menunjukkan bahwa frekuensi karies terbanyak pada anak laki-laki di SD Denpasar Selatan (10,8%), sedangkan pada anak SD Denpasar Barat dan Denpasar Timur sebanyak 7,5%. Frekuensi karies pada anak perempuan terbanyak pada SD Denpasar Selatan (13,0%) dan paling sedikit pada SD Denpasar Timur (6,6%). Rerata karies gigi tertinggi pada anak laki laki terdapat pada SD Denpasar Selatan (0,81) dan terendah pada SD Denpasar Barat (0,43). Sedangkan pada anak perempuan rerata karies gigi tertinggi pada SD Denpasar Selatan (0,66) dan terendah pada anak SD Denpasar Timur (0,36). Berdasarkan elemen gigi yang terserang karies, ditunjukkan pada gambar 1.

GRAFIK DISRIBUSI MODUS GIGI YANG TERSERANG KARIES PADA ANAK SD SWASTA USIA 12 TAHUN DI KOTA DENPASAR TAHUN 2006

1 2 3 4

Gambar 1 Grafik Distribusi Modus Gigi Yang Terserang Karies Ket : 1 : elemen 26 2 : elemen 16 3 : elemen 46 4 : elemen 36

Dari gambar di atas, urutan gigi yang terserang karies paling banyak adalah gigi 36 (30 gigi), gigi 46 (21 gigi), gigi 16 (12 gigi) dan gigi 26 (8 gigi). Berdasarkan jenis kelamin diperoleh distribusi perilaku menyikat gigi seperti tabel 2 di bawah ini.

60

Tabel 2 Distribusi Perilaku Menyikat Gigi Menurut Jenis Kelamin Pada Anak Anak SD Swasta Usia 12 Tahun Di Kota Denpasar Tahun 2006. SD SD Densel SD Denbar SD Dentim Total Laki - laki 16 21 18 55 Berperilaku Benar Salah 5 13,3 10 28,3 8,3 4,16 5 17,5 Perempuan 24 19 22 65 Berperilaku Benar Salah 11,6 13,3 10,8 35,8 8,3 2,5 7,5 18,3

Tabel 2 menunjukkan bahwa perilaku menyikat gigi yang benar terbesar ada pada anak laki - laki SD Denpasar Barat (13,3%), terendah pada anak SD Denpasar Selatan (5%). Berperilaku salah terbanyak pada anak laki laki SD Denpasar Selatan (8,3%) dan paling sedikit pada SD Denpasar Barat (4,16%). Perilaku menyikat gigi

yang benar terbesar ada pada anak perempuan SD Denpasar Barat (13,3%), sedangkan berperilaku salah terbesar pada anak perempuan terdapat pada SD Denpasar Selatan (8,3%). Berdasarkan tingkat pendidikan orang tua diperoleh distribusi perilaku menyikat gigi seperti tabel 3. dibawah ini.

Tabel 3 Distribusi Perilaku Menyikat Gigi Menurut Tingkat Pendidikan Orang Tua Pada Anak SD Swasta Usia 12 Tahun Di Kota Denpasar Tahun 2006 Tingkat Pendidikan / Perilaku Tinggi Sedang Rendah Benar Salah Benar Salah Benar Salah 7,5 11,6 13,3 32,5 13,3 1,6 10,8 25,8 8,3 11,6 7,5 27,5 3,3 4,16 1,6 9,17 0,83 3,3 0 4,16 0 0,83 0 0,83

SD SD Densel SD Denbar SD Dentim Total

Total 33,3 33,3 33,3 100

Pada Tabel 3 di atas, pada orang tua berpendidikan tinggi yang berperilaku benar terbanyak terdapat pada SD Denpasar Timur dan berperilaku salah terbanyak pada SD Denpasar Selatan. Pada orang tua berpendidikan sedang yang berperilaku benar terbanyak pada SD Denpasar Barat, begitupula untuk berperilaku salah terbanyak ada pada SD Denpasar Barat. Sedangkan untuk orang tua berpendidikan rendah yang berperilaku benar terbanyak pada SD Denpasar

Barat begitu pula untuk perilaku salah terbanyak ada pada SD tersebut. Hasil analisis frekuensi karies gigi pada anak anak SD swasta usia 12 tahun diperoleh dengan cara menjumlahkan semua siswa kelas VI yang menjadi sample penelitian yang giginya ditemukan adanya karies gigi pada masing masing SD. Pada anak perempuan diperoleh 13,0% di SD Denpasar Selatan, 6,6% di SD Denpasar Timur. Pada anak laki laki diperoleh 10,8% di SD Denpasar Selatan dan 7,5% di SD Denpasar Timur

61

Hasil analisa hubungan perilaku menyikat gigi dengan karies gigi pada anak SD swasta usia 12 tahun di kota Denpasar tahun 2006 dengan menggunakan uji Spearmens diperoleh hasil signifikansi p = 0,65 ( p 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara variabel perilaku menyikat gigi dengan karies gigi.

PEMBAHASAN Hasil analisis menunjukkan rerata karies gigi menurut jenis kelamin pada anak lakilaki lebih besar dari perempuan. Hal ini disebabkan oleh karena perilaku anak laki laki yang cenderung kurang memperhatikan kebersihan gigi dan mulutnya dibandingkan dengan anak perempuan. Grafik menunjukkan modus gigi yang terserang karies gigi paling banyak terdapat pada gigi 36 dan 46. Ini sesuai dengan pernyataan Suwelo (1992), yang menyatakan bahwa urutan gigi tetap yang paling sering terkena karies adalah gigi molar pertama tetap rahang bawah, yang memiliki pit dan fisura yang dalam. Gigi molar pertama rahang bawah juga mendapat tekanan yang lebih besar dari gigi yang lain pada saat mengunyah makanan, sehingga sisa makanan lebih mudah melekat pada gigi tersebut. 6 Perilaku menyikat gigi menurut jenis kelamin pada anak SD swasta usia 12 tahun di Denpasar, menunjukkan bahwa anak perempuan memiliki perilaku menyikat gigi dengan benar lebih besar daripada laki laki. Kemungkinan ini disebabkan karena perilaku anak perempuan cenderung lebih mengutamakan segi estetis seperti keindahan, kebersihan dan menjaga penampilan diri, sehingga mereka lebih memperhatikan kesehatan gigi dan mulutnya dibanding anak lakilaki. Perilaku menyikat gigi yang benar, tertinggi pada anak dengan orang tua berpendidikan tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Notoatmojdo (1997),

bahwa perilaku dipengaruhi oleh faktor keturunan dan lingkungan. Dan semakin tinggi pendidikan orang tuanya kemungkinan perilaku kesehatan mereka lebih baik. 7 Dari uji korelasi Spearman, menunjukkan bahwa ternyata tidak ada hubungan antara perilaku menyikat gigi dengan tingginya karies gigi pada anak SD usia 12 tahun di kota Denpasar. Hal ini mungkin sesuai dengan teori Depkes RI (1994), yaitu empat faktor penyebab karies yang saling berinteraksi yaitu plak atau bakteri, substrat, gigi dan waktu. Keempat faktor ini saling mempengaruhi sehingga terjadi demineralisasi permukaan email yang menyebabkan terjadinya karies. Sedangkan menyikat gigi hanya merupakan salah satu cara untuk membersihkan sisa sisa makanan dari gigi.

SIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah frekuensi karies gigi pada anak perempuan lebih tinggi dari anak laki laki. Sedangkan Rerata karies gigi pada anak laki laki lebih tinggi dari anak perempuan. Gigi yang paling sering terkena karies adalah gigi 36 (molar satu rahang bawah). Perilaku menyikat gigi yang benar lebih banyak pada anak perempuan dan pada anak dengan orang tua berpendidikan tinggi. Tidak ada hubungan antara perilaku menyikat gigi dengan karies gigi pada anak SD swasta usia 12 tahun di Kota Denpasar tahun 2006. Disarankan kepada petugas kesehatan terutama pemegang program di Puskesmas dan guru guru SD yang bersangkutan dapat melakukan penyuluhan secara berkesinambungan tentang karies gigi dan makanan penyebab karies, kebersihan gigi dan mulut serta cara menyikat gigi yang benar oleh tenaga kesehatan. Melakukan sikat gigi secara massal dengan

62

bimbingan petugas kesehatan dibawah pengawasan guru.

DAFTAR PUSTAKA 1. Herijulianti E, Indiriani TS, Artini. S. Pendidikan Kesehatan Gigi . Jakarta: EGC PenerbitKedokteran Gigi, 2002. 2. Utami RA, Lestari S. Keadaan Karies Gigi dan Kebersihan Mulut Muridmurid SDN Penusupan I Kecamatan Randudongkal, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. Jurnal PDGI 2004; 55(1); Jakarta. 3. Notoatmojdo S. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan . Jakarta: Rineka Cipta, 2003. 4. Kidd EAM and Bechal SJ. DasarDasar Karies, Penyakit dan Penanggulangannya . Jakarta: EGC Penerbit Kedokteran Gigi, 1991. 5. Be KN. Preventif Dentistry . Bandung: Yayasan Kesehatan Gigi Indonesia,1989. 6. Suwelo IS, Karies Gigi dan Mulut Jakarta: Prestasi Pustaka, 1992. 7. Notoatmojdo S. Ilmu Kesehatan Masyarakat . Jakarta: Rineka Cipta, 1997,

63

Interdental Jurnal Kedokteran Gigi; 2007;5(1)

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar

ANALISIS HUBUNGAN PERSEPSI PASIEN TERHADAP KONTROL INFEKSI DENGAN KEPUASAN PASIEN (Kajian di RSGM FKG UNMAS Denpasar)

G.A. Yohanna Lily, Panji Triadnya Palgunadi dan I.A. Purni Adnyani Pemaron
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar

ABSTRAK Infeksi merupakan bahaya yang sangat nyata pada lingkungan kedokteran gigi.Perlindungan bagi pasien merupakan prioritas utama namun tenaga kesehatan sendiri juga sangat rentan terhadap adanya infeksi silang. Infeksi silang yang dimaksud adalah infeksi yang dapat ditularkan dari dokter gigi kepasien, dari pasien kedokter gigi atau dari pasien kepasien. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah ada hubungan antara persepsi pasien terhadap kontrol infeksi dengan kepuasan pasien di RSGM FKG UNMAS Denpasar, jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional. Sampel diambil dengan teknik insidental sampling dengan sebanyak 384 orang yang diambil dari pasien yang berkunjung ke RSGM. Hasil penelitian ini dianalisis dengan menggunakan korelasi Product Moment Pearson dan regresi linier tunggal. Hasil penelitian R = 0,871 , R Square = 0,758 , = 0,000 , menunjukan ada hubungan antara persepsi pasien terhadap kontrol infeksi dengan kepuasan pasien, sedangkan dengan konstanta negatif menunjukan bahwa pasien tidak puas terhadap kontrol infeksi. Mean komposit menunjukan bahwa persepsi pasien terhadap kontrol infeksi tergolong baik. Kata kunci : persepsi pasien, kontrol infeksi dan kepuasan. Korespondensi : Gst. Ayu Yohanna Lily, drg., M.Kes, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jln. Kamboja 11a Denpasar, Telp. (0361) 7424079, 7642701, Fax. (0361) 261278

PENDAHULUAN Kepuasan pasien yang maksimal merupakan tujuan utama suatu pelayanan kesehatan. Ketika pasien merasa puas akan pelayanan kesehatan yang didapatkan, besar kemungkinan mereka akan kembali lagi bahkan bisa merekomendasikan kepada teman-temannya serta keluarganya tentang pelayanan tersebut. Selama perawatan kesehatan, pasien beresiko mengalami infeksi yang diperoleh secara endogen ataupun eksogen. Salah satu resiko infeksi eksogen bagi pasien dan provider perawatan kesehatan adalah akibat pencucian tangan yang kurang adekuat, pelanggaran teknik aseptik lainnya ataupun bisa juga terinfeksi melalui udara.1 Infeksi yang terjadi sebagai akibat

dari interaksi antara mikroorganisme yang relatif sangat virulen dan hospes normal yang utuh, atau antara mikroba yang relatif kurang virulen dan hospes dengan beberapa tingkat gangguan mekanisme pertahanan tubuh, baik sementara atau permanen. Adanya peningkatan virulensi mikroorganisme tergantung dari kondisi dan status pertahanan hospes.2 Infeksi merupakan bahaya yang sangat nyata dibidang kedokteran gigi. Perlindungan bagi pasien jelas merupakan prioritas namun tetap memperhatikan adanya infeksi silang pada personel perawat kesehatan gigi. Infeksi silang adalah infeksi yang dapat ditularkan dari dokter atau perawat ke pasien atau sebaliknya, dan bisa juga dari pasien ke pasien.3 Persepsi merupakan proses dimana individu mengorganisasikan / menginterpretasikan impressi sensorisnya agar dapat memberikan arti

64

kepada lingkungan sekitar. Jadi persepsi jauh lebih kompleks dan luas dari sensasi. Proses persepsi itu melibatkan interaksi yang kompleks dari seleksi, organisasi dan interpretasi. Meskipun persepsi itu sebagian besar tergantung dari obyekobyek panca indra sebagai data kasar, proses kognitif dapat memfilter, memodifikasi atau merubah sama sekali data ini.4 Persepsi timbul karena adanya dua faktor baik internal maupun eksternal. Faktor internal diantaranya tergantung pada proses pemahaman sesuatu termasuk didalamnya sistem nilai tujuan, kepercayaan dan tanggapan terhadap hasil yang dicapai. Faktor eksternal berupa lingkungan. Persepsi meliputi semua proses yang dilakukan seseorang dalam memahami informasi mengenai lingkungannya. Proses pemahaman ini diperoleh melalui penglihatan, pendengaran, perasaan dan penciuman. Kunci untuk memahami persepsi adalah terletak pada pengenalan bahwa persepsi itu merupakan suatu penafsiran yang unik terhadap situasi dan bukannya suatu pencatatan yang benar terhadap situasi.5 Infeksi didefinisikan sebagai proses dimana seorang hospes yang rentan dimasuki olah agen-agen patogen (infeksius) yang tumbuh dan memperbanyak diri, menyebabkan bahaya terhadap hospes. Agen-agen infeksius utama adalah virus, bakteri, ricketsia, jamur dan parasit. Kolonisasi terjadi bila mikroorganisme masuk kedalam hospes, tumbuh dan memperbanyak diri, tetapi tidak menyebabkan infeksi. Pasien atau tenaga kesehatan dapat mengalami kolonisasi patogen tanpa memperlihatkan gejala-gejala infeksi. Terdapat tiga faktor lain yang harus ada untuk terjadinya infeksi yaitu: patogenitas, virulensi dan dosis. Patogenitas adalah kemampuan organisme untuk masuk kedalam jaringan dan menyebabkan infeksi atau penyakit. Virulensi adalah ukuran keparahan dari infeksi atau penyakit. Dosis adalah jumlah organisme yang ada yang menyebabkan infeksi atau penyakit. Faktor-faktor ini dan kerentanan hospes harus ada untuk menimbulkan infeksi atau penyakit.1 Profesi perawat gigi secara rutin mempunyai resiko yang tinggi untuk tertular infeksi ketika sedang melakukan perawatan, yang bisa berasal dari pemajanan yang berulangkali terhadap mikroorganisme yang ada dalam darah dan saliva. Hepatitis B, tuberkulosis dan infeksi virus herves simpleks sudah dikenal dengan baik dan berfungsi sebagai dokumentasi yang menunjukan perlunya meningkatkan pemahaman

tentang rute penyebaran penyakit infeksi. Rute umum untuk penyebaran agen mikrobial pada kedokteran gigi adalah kontak langsung dengan lesi infeksi atau saliva atau darah yang terinfeksi, penyebaran tidak langsung melalui perpindahan mikroorganisme dari obyek perantara yang terkontaminasi, percikan darah, saliva atau sekresi nasofaringeal langsung pada kulit atau mukosa yang lecet atau utuh serta aerosolisasi, penyebaran mikroorganisme melalui udara.1 Kepuasan adalah tanggapan atas terpenuhinya kebutuhan. Hal ini berarti penilaian bahwa suatu bentuk keistimewaan dari suatu barang atau jasa, memberikan tingkat kenyamanan yang terkait dengan pemenuhan suatu kebutuhan, termasuk pemenuhan kebutuhan dibawah harapan atau pemenuhan kebutuhan melebihi harapan pelanggan. Hal tersebut menunjukkan bahwa terpenuhinya suatu kebutuhan menciptakan suatu kenyamanan dan kepuasaan. Sayangnya, makna pemenuhan tidak lagi sejelas makna kepuasan. Apa yang memuaskan suatu pelanggan mungkin tidak memuaskan palanggan yang lainnya. Kenyataannya, apa yang bisa memuaskan pelanggan disatu situasi mungkin tidak bisa memuaskan pelanggan dilain situasi. Kepuasan pelanggan juga dapat dikatakan sebagai suatu emosi yang dihasilkan dari penilaian-penilaian atas rangkaian pengalaman. Penilaian-panilaian ini terdiri dari berbagai proses yang berbeda-beda yang memicu respon-respon afektif.6 Penelitian ini dilakukan karena melihat pentingnya kontrol infeksi pasien dalam perawatan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara persepsi pasien terhadap kontrol infeksi dengan kepuasan pasien.

BAHAN DAN CARA Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei analitik dengan pendekatan cross sectional yang dilakukan pada pasien yang berkunjung ke RSGM FKG UNMAS Denpasar pada bulan Desember 2005 sampai dengan Januari 2006. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik insidental sampling. Pengukuran hasil penelitian berdasarkan kuesioner yang telah diuji validitas dan reliabilitas. Kuesioner penelitian berisi pertanyaan harapan dan kenyataan. Variabel penelitian terdiri dari variabel bebas dan terikat. Variabel bebas adalah persepsi pasien terhadap kontrol infeksi, meliputi 4 aspek yaitu: gelas kumur, masker,

65

sarung tangan dan sterilisasi alat; sedangkan variabel terikat adalah kepuasan pasien. Untuk nilai persepsi pasien terhadap kontrol infeksi diklasifikasikan menjadi baik (2,36 3,00); sedang (1,682,35) dan buruk (1,001,67). Nilai kepuasan pasien ditentukan yaitu bila X 0 dinyatakan tidak puas, sedangkan bila X 0 dinyatakan puas. Nilai X didasarkan pada nilai kenyataan dikurangi harapan. Data dianalisa dengan menggunakan uji analisis regresi linier tunggal dan Product Moment Pearson.

Tabel 2 Mean Komposit Dari Persepsi Pasien Terhadap Kontrol Infeksi


No 1 Item Gelas kumur a. Kebersihan gelas kumur b. Pergantian gelas kumur Sterilisasi alat a. Alat yang dipakai masih terbungkus plastik b. Alat yang jatuh tidak dipakai lagi Masker a. Operator selalu memakai masker b. Masker dipakai dari awal pasien duduk dikursi gigi c. Masker dibuka saat memberikan penjelasan Sarung tangan a. Sarung tangan dipakai di kedua tangan b. Sarung tangan dipakai segera c. Pergantian sarung tangan Mean komposit Mean 2,49 2,35 2,39 2,30 Kriteria Baik Sedang Baik Sedang

2,75 2,42

Baik Baik

HASIL PENELITIAN Tabel 1 Karakteristik Responden Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin KETERANGAN 17-26 27-36 37-46 47-56 57-66 Laki-laki Perempuan JUMLAH (Orang) 287 46 34 6 11 142 242 % 74,74 11,98 8,85 1,56 2,87 36,98 63,02

2,66

Baik

2,76 2,79 2,62 2,55

Baik Baik Baik Baik

Umur

Jenis Kelamin

Berdasarkan tabel mean komposit persepsi pasien terhadap kontrol infeksi tergolong baik (2,55)

Berdasarkan hasil penelitian persepsi pasien terhadap kontrol infeksi dengan kepuasan pasien yang dilakukan pada 384 responden yang berkunjung ke RSGM FKG UNMAS Denpasar, diketahui bahwa usia responden terbanyakadalah antara 17-26 tahun yaitu sebanyak 287 orang (74,74%) sedangkan dilihat dari jenis kelamin diketahui bahwa responden perempuan lebih banyak yaitu 242 orang (63,02%).

Tabel 3 Distribusi Jawaban Responden Pada Kuesioner Variabel Kontrol Infeksi


Pertanyaan Keterangan Harapan Jumlah (orang) Ya Tidak Tahu Tidak 375 9 0 Persentase (%) 97,66% 2,34% 0% Kenyataan Jumlah (orang) 250 128 6 Persentase (%) 65,11% 33,33% 1,56%

Dari tabel 3 dapat dilihat bahwa pada pertanyaan harapan sebagaian besar responden menjawab ya yaitu sebanyak 375 orang (97,66%) dan tidak ada yang menjawab tidak, sedangkan yang menjawab tidak tahu sebanyak 9 orang (2,34%). Pada pertanyaan kenyataan ada sebanyak 250 orang yang menjawab ya (65,11%), 128

66

orang yang menjawab tidak tahu yaitu sebesar (33,33%) dan 6 orang yang menjawab tidak (1,56%) sehingga diperoleh hasil bahwa responden yang puas sebanyak 81 orang (21,1%) dan responden yang tidak puas sebanyak 303 orang (78,9%) (tabel 4).

Tabel 4 Rekapitulasi Data Responden Yang Puas dan Tidak Puas Keterangan Puas Tidak Puas Jumlah (orang) 81 303 Persentase (%) 21,1% 78,9%

Tabel 5 Hasil Uji Analisis Korelasi Pearson dan Regresi Linier Tunggal Antara Variabel Persepsi Pasien Terhadap Kontrol Infeksi Dengan Variabel Kepuasan Pasien R Square .758

Model 1

R .871a

27.223

Sig. .000

Tabel 5 menunjukan bahwa R Square sebesar 75,8% yang artinya bahwa persepsi kontrol infeksi telah memberikan sumbangan pengaruh sebesar 75,8% terhadap kepuasan pasien sedangkan sisanya 24,2% dipengaruhi oleh faktor lain diluar kontrol infeksi. Nilai R sebesar 0,871 mendekati 1,000 menunjukan bahwa terdapat hubungan antara persepsi pasien terhadap kontrol infeksi dengan kepuasan pasien dan hubungan yang didapatkan adalah hubungan yang bermakna karena sig.nya adalah 0,000. Nilai dengan konstanta negatif membuktikan bahwa terdapat hubungan antara persepsi kontrol infeksi dengan kepuasan pasien yang ternyata tidak memuaskan.

DISKUSI Berdasarkan tabel mean komposit diperoleh hasil bahwa persepsi pasien terhadap kontrol infeksi tergolong baik sedangkan dari

tabel korelasi Produk Moment Pearson didapat bahwa pasien tidak puas terhadap kontrol infeksi, ini dapat dilihat dari hasil uji statistik dimana konstanta adalah negatif, ini menunjukan bahwa kondisi pasien dalam keadaan tidak puas meskipun memiliki persepsi kontrol infeksi yang baik. Hal ini didukung oleh pendapat dari Barnes6, yang mengatakan kepuasan itu adalah suatu hal yang sifatnya individual, bahwa apa yang memuaskan satu pelanggan mungkin tidak memuaskan pelanggan yang lain pada situasi yang sama, dan apa yang memuaskan pelanggan disatu situasi mungkin tidak memuaskan pelanggan yang sama disatu situasi yang berbeda, dari pendapat Barnes ini dapat disimpulkan bahwa kepuasan setiap orang tidaklah sama (bersifat individual). Kepuasan pelanggan adalah bila sebuah produk atau jasa memenuhi atau melampaui harapan pelanggan, dan pelanggan merasa puas.7 Kepuasan sebagai hasil penilaian pelanggan terhadap apa yang diharapkannya. Harapan itu lantas dibandingkan dengan persepsinya terhadap kenyataan yang diterima. Jika harapannya lebih tinggi daripada kenyataan, ia akan merasa tidak puas. Sebaliknya, jika harapannya sama dengan atau lebih rendah daripada kenyataan ia akan merasa puas.8 Dalam penelitian diperoleh harapan pasien lebih tinggi dari kanyataan, ini dapat dilihat dari distribusi jawaban responden, tidak ada satupun responden yang menjawab tidak pada pertanyaan harapan. Untuk memahami persepsi adalah terletak pada pengenalan bahwa persepsi itu merupakan suatu penafsiran yang unik terhadap situasi dan bukannya suatu pencatatan yang benar terhadap situasi. Persepsi timbul karena adanya dua faktor baik internal maupun eksternal. Faktor internal diantaranya tergantung pada proses pemahaman sesuatu termasuk didalamnya sistem nilai tujuan, kepercayaan dan tanggapan terhadap hasil yang dicapai sedangkan faktor eksternal berupa lingkungan, sehingga dapat dikatakan persepsi merupakan suatu penafsiran tentang situasi dan bukanlah pencatatan yang nyata dari situasi tersebut.5 Dilihat dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa meskipun persepsi pasien baik terhadap kontrol infeksi belum tentu menyebabkan pasien menjadi puas, karena masalah kepuasan lebih ditentukan dari harapan serta kenyataan.

67

SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 384 responden dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara persepsi pasien terhadap kontrol infeksi dengan kepuasan pasien (p<0,05), namun hubungan antara persepsi kontrol infeksi dengan kepuasan pasien yang ternyata tidak memuaskan ( negatif). Persepsi pasien terhadap kontrol infeksi telah memberikan sumbangan pengaruh sebesar 75,8% terhadap kepuasan pasien (R2 = 0,758).

DAFTAR PUSTAKA 1. Scaffer. Pencegahan Infeksi dan Praktik yang Aman (terjemahan). Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran Gigi, 1999. Shulman ST, Phair SP, Sommers HM. Dasar Biologis dan Klinis Penyakit Infeksi (terjemahan). Yogyakarta: Gajah Mada University Perss, 1994. Cottone JA, Terezhalamy GT, Mlinari JA. Mengendalikan Penyebab Infeksi Pada Praktik Dokter Gigi (terjemahan.), Jakarta: Widia Medika, 1992. Muchlas M. Prilaku Organisasi I, ed. 2. Yogyakarta: Program Pendidikan Pascasarjana Magister Manajemen Rumahsakit, Universitas Gajah Mada, 1999. Thoha M. Perihal Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasinya, ed. 1. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003. Barnes JG. Rahasia Manajemen Hubungan Pelanggan ( terjemahan), Yogyakarta: Gadjah Mada University Pers, 2003. Yoeti OA. Customer Service, Cara Efektif Memuaskan Pelanggan. Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2000. Amirotang RLR. Kepuasan Pelanggan Pengukuran dan Penganalisaan dengan SPSS. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

68

Interdental Jurnal Kedokteran Gigi; 2007;5(1)

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA PERAWAT DALAM MELAKSANAKAN ASUHAN KEPERAWATAN DI RSGM FKG UNMAS DENPASAR Panji Triadnya P., Yudha Rahina dan Putri Krisnayanti
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar ABSTRAK Asuhan keperawatan pada rumah sakit merupakan bentuk pelayanan profesional yang diberikan kepada pasien sebagai bagian integral pelayanan kesehatan di rumah sakit. Untuk meningkatkan mutu pelayanan asuhan keperawatan, seorang perawat harus mempunyai kinerja yang bagus dan baik. Pada pelaksanaan proses asuhan keperawatan masih terdapat kendala, karena perawat belum memahami pentingnya bekerja secara profesional sebagai tim kerja, sehingga mereka bekerja sendiri dan akhirnya pelayanan asuhan keperawatan menjadi tidak efektif dan kurang bermutu. Rendahnya kinerja perawat telah menjadi issue public dikalangan RSGM-FKG UNMAS Denpasar. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan di RSGM-FKG UNMAS Denpasar. Metode penelitian yang digunakan adalah evaluative research yaitu mengukur, menilai variabel dengan indikator standar. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi kinerja perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan di RSGM-FKG UNMAS Denpasar adalah tidak termotivasinya perawat dalam bekerja, beban kerja yang dilakukan ringan dan kejenuhan perawat saat bekerja sedang. Kata kunci : asuhan keperawatan, kinerja perawat Korespondensi : Nym. Panji Triadnya P., drg., M.Kes., Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jln. Kamboja 11a Denpasar, Telp. (0361) 7424079, (0361) 261278

PENDAHULUAN Rumah sakit sebagai bagian integral sistem pelayanan kesehatan harus dapat memberikan pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Untuk itu diperlukan upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dengan cara peningkatan sumber daya pelaksana rumah sakit. Sumber daya manusia adalah sumber daya yang terpenting sebagai motor penggerak berlangsungnya proses manajemen. Asuhan keperawatan pada rumah sakit merupakan bentuk pelayanan profesional yang diberikan kepada pasien sebagai bagian integral pelayanan kesehatan di rumah sakit. Asuhan keperawatan juga sebagai faktor penentu dalam keberhasilan suatu rumah sakit, jika penataan sistemnya serta pengelolaannya dilakukan secara profesional. Asuhan keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan1. Untuk meningkatkan mutu pelayanan asuhan keperawatan, seorang perawat harus mempunyai kinerja yang bagus dan baik. Kinerja merupakan proses yang dilakukan dan hasil yang dicapai

oleh suatu organisasi dalam memberikan jasa atau produk kepada pelanggan. Menurut Rivai, dkk (2000), faktor yang berpengaruh terhadap rendahnya kinerja perawat adalah faktor internal perawat dan faktor eksternal perawat. 1 Faktor internal perawat meliputi motivasi dan kejenuhan bekerja; sedangkan faktor eksternal perawat meliputi beban kerja. Untuk menghasilkan kinerja yang bagus, seorang perawat harus mempunyai motivasi dalam dirinya. Motivasi adalah segala sesuatu yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motivasi adalah karakteristik psikologi manusia yang memberi kontribusi pada tingkat komitmen seseorang termasuk faktor yang menyebabkan, menyalurkan dan mempertahankan tingkah laku manusia dalam tekad tertentu2. Selanjutnya menurut Rivai dkk (2003), beban kerja dapat berpengaruh terhadap tingkat motivasi kerja perawat dalam melakukan pekerjaannya.1 Dalam proses manajemen, perawat bekerja sama dengan petugas lain untuk memberikan pelayanan bagi sekelompok klien. Proses manajemen keperawatan harus berjalan pararel dengan pelaksanaan proses asuhan keperawatan. Tetapi pada pelaksanaannya, proses asuhan

32

keperawatan masih mempunyai kendala. Hal ini disebabkan para perawat belum memahami pentingnya bekerja secara profesional sebagai tim kerja, sehingga mereka bekerja sendiri-sendiri dan akhirnya pelayanan asuhan keperawatan menjadi tidak efektif dan kurang bermutu. Rumah Sakit Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar merupakan rumah sakit yang menyelenggarakan pelayanan rawat jalan dan rawat inap dengan 32 dokter gigi umum, 8 dokter gigi spesialis, dan 9 perawat. Rendahnya kinerja perawat, telah menjadi issue public di kalangan RSGM-FKG UNMAS Denpasar. Penelitian ini difokuskan pada rendahnya kinerja perawat terutama faktor-faktor yang mempengaruhinya. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang dilakukan adalah evaluative research yaitu mengukur dan menilai variabel dengan indikator standar. Populasi yang MOTIVASI

diteliti pada penelitian ini adalah seluruh tenaga perawat yang bekerja di RSGM-FKG UNMAS Denpasar yang berjumlah 9 orang. Instrumen penelitian berupa lembaran kuesioner. Alat dan bahan yang diperlukan untuk penelitian ini adalah lembaran kuesioner dan bolpoint. Penelitian dilakukan dengan cara membagikan kuesioner yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan motivasi, beban kerja serta kejenuhan kerja. Data yang sudah diperoleh dianalisis secara deskriptif sehubungan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan di RSGMFKG UNMAS Denpasar.

HASIL PENELITIAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada tanggal 5 Desember 2005 terhadap 9 orang perawat yang bekerja di RSGMFKG UNMAS Denpasar didapatkan hasil sebagai berikut. :

Tabel 1 Mean Komposit Dari Motivasi No 1 2 3 4 5 6 Item Sistem Imbalan ( gaji ) Penghargaan Kesempatan berkembang Beasiswa Melanjutkan pendidikan Pemberian tanggung jawab Mean Komposit Mean 1,22 1,00 1,22 1,00 1,00 2,00 Kriteria Rendah Tidak pernah Tidak pernah Tidak pernah Tidak pernah Pernah

= 7,44 / 6 = 1,24 Kriteria : tidak termotivasi: 1,00-1,50 ; termotivasi: 1,51-2,00 Berdasarkan tabel mean komposit dari motivasi di atas, maka didapatkan bahwa perawat BEBAN KERJA Tabel 2 Mean Komposit Dari Beban Kerja No Item Mean 1 Beban Kerja Obyektif 2,11 2 Beban Kerja Subyektif a. Perasaan kelebihan kerja 2,00 b. Tekanan pekerjaan 1,78 c. Kepuasan kerja 2,00 Mean Komposit = 7,89 / 4 = 1,97 Kriteria: berat: 1,78 1,95 ; ringan : 1,96 2,11 yang bekerja di RSGM-FKG UNMAS Denpasar tidak termotivasi dalam bekerja.

Kriteria sedang senang pernah puas

33

Berdasarkan tabel mean komposit dari beban kerja di atas, maka didapatkan bahwa

beban kerja perawat di RSGM-FKG UNMAS Denpasar termasuk ringan.

KEJENUHAN BEKERJA Tabel 3 Mean Komposit Dari Kejenuhan Bekerja No. 1 2 3 4 5 6 Mean Kriteria 1,89 Pernah 1,00 Rendah 1,00 Tidak bosan 1,00 Tidak lelah 1,89 Pernah 1,67 Sedang = 8,45 / 6 = 1,41 Kriteria: tinggi: 1,00 - 1,30; sedang: 1,31 - 1,61; rendah: 1,62 1,92 bahwa kejenuhan perawat di RSGM-FKG UNMAS Denpasar saat bekerja adalah sedang. Item Pengalaman Stress Saat Bekerja Tingkatan Stress Bosan Dengan Pekerjaan Lelah Dengan Pekerjaan Pengalaman Kejenuhan Secara Emosi Tingkatan Kejenuhan Secara Emosi Mean Komposit

Berdasarkan tabel mean komposit dari kejenuhan bekerja di atas, maka didapatkan

HARAPAN PERAWAT Tabel 4 Harapan Perawat No. 1 2 3 4 5 6 Harapan Semoga gajinya naik (sesuai dengan UMR) Semoga bertambah jaya, maju, aman dan tetap disenangi masyarakat banyak Nasib karyawan lebih diperhatikan Kualitas SDM-nya lebih diutamakan Fasilitas klinik lebih ditingkatkan Dibentuknya tim marketing yang bisa mempromosikan RSGM dengan maksimal Persentase 100 % 67% 67% 56% 56% 11 %

PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian di atas, didapatkan bahwa Perawat di RSGM-FKG UNMAS Denpasar dalam bekerja tidak termotivasi. Hal ini disebabkan oleh karena tidak adanya motivator dalam melakukan pekerjaan, seperti sistem imbalan (gaji ) yang masih tidak sesuai dengan harapan yaitu masih dibawah ratarata UMR dan perusahan swasta lainnya. Selain itu, mereka juga tidak pernah mendapatkan penghargaan sama sekali atas pekerjaan yang mereka lakukan selama ini dari pihak manajemen rumah sakit. Perawat hanya diberikan tanggung jawab saja dan tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk berkembang seperti kenaikan jabatan, kesempatan mendapatkan beasiswa maupun melanjutkan pendidikan. Faktor-faktor inilah yang selama ini menyebabkan perawat

merasa tidak dihargai sehingga kinerja perawat menjadi berkurang. Menurut Rivai dkk. (2003), motivasi meliputi tingkat motivasi kerja perawat dan faktor yang mendorong perawat dalam bekerja yang disebut dengan motivator.1 Motivator meliputi sistem imbalan, penghargaan, kesempatan berkembang dan pemberian tanggungjawab. Menurut Stoner & Freeman (2004), faktor penyebab ketidakpuasan seperti gaji, kondisi kerja dan kebijakan perusahaan akan mempengaruhi pekerjaan yang dilakukan, sedangkan faktor yang menyebabkan kepuasan yang amat sangat yaitu berprestasi, pengakuan, bekerja sendiri, tanggung jawab, kemajuan dalam pekerjaan dan pertumbuhan.3 Beban kerja didapatkan dari penjumlahan beban kerja obyektif dan beban kerja subyektif. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa beban

34

kerja yang dilakukan perawat di RSGM-FKG UNMAS Denpasar termasuk ringan. Hal ini disebabkan karena keseluruhan waktu yang digunakan perawat dalam melakukan pekerjaannya adalah sedang dimana waktu tersebut tidak lebih dari 5 jam perhari. Dalam bekerja perawat pernah mengalami perasaan tertekan dikarenakan pekerjaan yang dilakukannya pernah tidak dihargai dan mereka pernah mengerjakan tugas yang seharusnya dikerjakan oleh seorang pesuruh. Tetapi perawat di RSGM-FKG UNMAS Denpasar senang dan puas dengan pekerjaan yang dilakukan karena sekarang ini pekerjaannya lebih ringan (tidak terlalu banyak). Hal inilah yang menyebabkan perawat bekerja terlalu santai sehingga kinerja mereka menjadi berkurang. Kartono (1994), menyebutkan bahwa beban kerja yang berlebihan (overload) adalah suatu kondisi yang terjadi bila lingkungan memberi tuntutan melebihi kemampuan individu.4 Seseorang dalam bekerja akan berfungsi secara optimal (moderate) dengan kondisi beban kerja yang sedang dan kurang berfungsi maksimal dengan kondisi overload dan underload. 1 Kejenuhan kerja perawat di RSGM-FKG Unmas adalah sedang. Hal ini disebabkan karena pekerjaan yang dilakukan perawat terlalu santai dan ringan dimana sedikit mengandung tantangan sehingga menyebabkan timbul kejenuhan secara emosi serta stress. Menurut Strauss dan Sayless (1990), menyebutkan bahwa ada beberapa hal yang menyebabkan timbulnya kebosanan kerja sehubungan dengan karakteristik pekerjaan dan lingkungan pekerjaan, antara lain: repetitive (sedikit macam tugas, monoton, tidak bervariasi, sedikit mengandung tantangan, dan sedikit memerlukan keterampilan), suasana kerja yang tidak menyenangkan dan karyawan dibebani pekerjaan baik fisik maupun psikis yang sangat berat serta tidak sesuai dengan kemampuan karyawan.5 Kejenuhan kerja dapat menimbulkan akibat adanya perasaan bahwa tidak ada lagi manfaat untuk berprestasi secara maksimal, sehingga dengan kata lain kejenuhan kerja akan menyebabkan turunnya motivasi kerja untuk berprestasi, sehingga persepektif individual terhadap produktivitas menurun.6 Dari tabel harapan perawat, didapatkan bahwa perawat RSGM-FKG UNMAS Denpasar berharap agar gaji mereka dinaikkan dan nasib mereka lebih diperhatikan, kualitas Sumber daya manusia lebih diutamakan dan fasilitas klinik lebih ditingkatkan serta dibentuknya tim marketing yang bisa mempromosikan RSGMFKG UNMAS Denpasar dengan maksimal sehingga bertambah jaya, maju, aman dan tetap disenangi oleh masyarakat banyak.

SIMPULAN Faktor yang mempengaruhi kinerja perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan di RSGM-FKG UNMAS Denpasar adalah tidak termotivasinya perawat dalam bekerja, beban kerja yang dilakukan perawat dalam kondisi ringan dan kejenuhan perawat saat bekerja dalam kondisi sedang.

SARAN Kepada pihak manajemen rumah sakit disarankan sebagai berikut : 1)Memberikan reward seperti kesempatan melanjutkan pendidikan, mendapatkan beasiswa, kenaikan jabatan dan penghargaan bagi perawat yang berprestasi; 2)Adanya pengakuan terhadap kinerja perawat dengan memberikan pujian, ucapan terima kasih ataupun dilakukan pemilihan perawat teladan; 3)Peningkatan kesejahteraan karyawan yang dapat dilakukan melalui pemberdayaan sumber pendapatan keuangan lain, jika kenaikan gaji sulit untuk dilakukan; 4)Memberikan kesempatan kepada perawat untuk mengikuti berbagai pelatihan, dan pendidikan yang berkelanjutan; 5)Perawat diberikan pekerjaan yang tidak terlalu ringan agar perawat tidak terlalu santai sehingga mereka menjadi lebih disiplin dan bisa lebih bertanggung jawab terhadap pekerjaannya; 6)Perlu adanya ketegasan pimpinan dalam rangka meningkatkan disiplin karyawan yaitu dengan memberikan punishment tanpa adanya diskriminasi; 7)Adanya rekreasi atau studi banding untuk mengurangi kejenuhan dan memperluas wawasan perawat; Selain hal tersebut di atas, disarankan kepada peneliti lainnya untuk melakukan penelitian lebih lanjut terhadap faktor lain yang mempengaruhi kinerja perawat. DAFTAR PUSTAKA 1. Rivai F, Hargono R, dan Pudjirahardjo JW. Faktor Dominan Yang Mempengarui Kinerja Perawat Dalam Melaksanakan Asuhan Keperawatan Di Ruang Rawat Inap RSUD Haji Surabaya. Jurnal Administrasi dan Kebijakan Kesehatan 2003; 1(3): 165-172. Nursalam MN. Manajemen Keperawatan: Aplikasi dalam Praktik Keperawatan Profesional, ed. 1. Jakarta: Salemba Medika, 2002. Emma Pesik-Adam MR., Subarniati TR, dan Poerwani SK. Pengembangan Format Asuhan Keperawatan Untuk Ruang Rawat Bayi Neonatus-Riset Operasional Di Rumah

2.

3.

35

4.

Sakit Budi Mulia Surabaya. Jurnal Administrasi dan Kebijakan Kesehatan 2004; 2(1): 42-51. Kartono K. Psikologi Sosial Untuk Manajemen Perusahaan dan Industri, ed. baru, Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1994.

5.

6.

Strauss and Sayless. Manajemen Personalia: Seri Manusia dalam Organisasi, jilid 2, Jakarta: Institut Pendidikan dan Pembinaan Manajemen, 1990. Timpe D. Kinerja, Jakarta: PT. Gramedia, 1992.

36

Interdental Jurnal Kedokteran Gigi; 2007;5(1)

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar

EFEK SITOTOKSIK TETRAHYDROZOLINE HCL TERHADAP VIABILITAS SEL FIBROBLAST Tri Purnami Dewi
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar

ABSTRACT Cytotoxicity test on tissue culture (in vitro) was the initial biocompatibility test to evaluate the citotoxic effect of newly developed material. Tetrahydrozoline HCl was recently considered as a new gingival retraction agent in dentistry. The use of chemical agent as gingival retraction in the procedure of making the fixed prostodontic impression, should be effective to produce the temporary lateral and apical retraction of the free gingival tissue, without creating irreversible tissue damage and either local or systemic harmfull side effects. The aim of this study was to investigate the cytotoxic effect of tetrahydrozoline HCl toward the viability of gingival fibroblast cells at different concentration and exposure times. This study utilized 120 wells cultured human gingival fibroblast cell. All wells were divided into 3 groups, they were: positive control group was treated with 0.1% epinephrine, negative control group without treatment, and the last one was treated with tetrahydrozoline HCl at different concentrations : 0.05%, 0.1%, 1%, 10%, 20%, and 30%, with the exposure time : 1, 3, 5, 7, and 10 min. The evaluation of citotoxic effect based on OD values and viable cells number resulted from dye exclution test. The lowest mean of cell death percentage was 0.00%, resulted from 1 and 3 min treatment with 0.05%, 0.1%, and 1% tetrahydrozoline HCl. The highest mean was 39.9%, at 30% tetrahydrozoline HCl, for 10min. There was a significant difference (p<0.05) in cell viability between groups and within group. Probit analysis brought about estimation of IC50 tetrahydrozoline HCl. The result of this study showed that tetrahydrozoline HCl had no cytotoxic effect to the viability of gingival fibroblast cell, although the escalation of tetrahydrozoline HCl concentration and exposure time caused the escalation of cell death percentage. Key words: Tetrahydrozoline HCl, gingival retraction, viability, gingival fibroblast Korespondensi : Tri Purnami Dewi, drg., M.Kes., Bagian Prosthodonsia, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jl. Kamboja 11A Denpasar, Telp.(0361) 7424079, Fax. (0361) 261278

PENDAHULUAN Pada pembuatan restorasi gigi tiruan cekat, retraksi sementara jaringan gingiva bebas ke arah lateral (horisontal) dan apikal (vertikal) merupakan salah satu hal penting yang harus dilakukan untuk memperoleh hasil cetakan yang mencatat garis akhir tepi preparasi gigi penyangga secara akurat yang terletak pada daerah tepi gingiva bebas atau daerah subgingiva.1,2,3,4 Metode retraksi gingiva yang paling sering digunakan adalah metode kemo-mekanis, yaitu dengan menggunakan benang retraksi yang mengandung suatu bahan kimia.5 Benang retraksi berfungsi untuk melebarkan sulkus gingiva secara mekanis, sedangkan bahan kimiawi berfungsi untuk menginduksi pengkerutan jaringan gingiva bebas serta mengontrol perdarahan di daerah sulkus gingiva.6,7 Berdasarkan beberapa penelitian, prosedur retraksi gingiva dengan metode kemo-mekanis umumnya dilakukan dalam waktu antara 5-10 menit. Hal tersebut

untuk menghindari terjadinya trauma mekanik dan kemis yang dapat menyebabkan jejas pada jaringan gingiva bebas, namun cukup efektif menghasilkan pelebaran sulkus gingiva. Epinefrin adalah salah satu bahan kimia yang sering digunakan sebagai bahan retraksi gingiva dan dipasarkan dalam bentuk benang retraksi yang telah direndam larutan epinefrin. Epinefrin memiliki kadar keasaman tinggi dengan pH antara 2,8-3,6 sehingga dapat menyebabkan kerusakan jaringan periodontal dan diduga dapat mengiritasi pulpa gigi penyangga yang telah dipreparasi.8,9,10 Epinefrin juga memiliki efek sistemik yang merugikan antara lain: menimbulkan respon kardiovaskuler seperti peningkatan tekanan darah sistolik dan peningkatan denyut nadi, meningkatkan laju pernafasan, dan adanya rasa lemah pada ekstremitas.11 Tetrahydrozoline HCl berasal dari golongan yang sama dengan epinefrin dan merupakan bahan hemostatik-vasoaktif seperti epinefrin. Tetrahydrozoline HCl mulai

dipertimbangkan sebagai bahan retraksi gingiva karena memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan epinefrin antara lain: merupakan larutan yang kadar keasamannya rendah dengan pH antara 5,06,5 dan efek samping berupa respon kardiovaskuler yang ditimbulkan relatif minimal.12 Berdasarkan konsep biokompatibilitas di bidang biomaterial, efek toksik tetrahydrozoline HCl penting untuk diperhatikan. Salah satu uji biokompatibilitas secara in vitro yang dapat digunakan dan memenuhi standar sesuai pertimbangan faktor etis, praktis dan ekonomis yaitu uji sitotoksisitas pada kultur sel.3 Fibroblast merupakan sel utama jaringan ikat yang terletak pada lamina propria mukosa rongga mulut, termasuk gingiva. Pengamatan terhadap viabilitas sel fibrobast dalam kultur dapat digunakan sebagai salah satu indikator untuk mengetahui pengaruh konsentrasi dan waktu paparan suatu substansi, termasuk efek sitotoksiknya. Viabilitas sel fibroblast sebelum dan sesudah terpapar sitotoksin yang dinyatakan dalam bentuk persentase kematian sel merupakan parameter yang dapat diukur dengan menggunakan beberapa metode uji sitotoksisitas, sehingga efek sitotoksik suatu bahan dapat diketahui.13 Salah satu metode uji sitotoksisitas yang sering digunakan adalah metode dye-exclution test yaitu dengan mengamati perubahan permeabilitas membran sel.13,14 Penentuan IC50 (Inhibitory Concentration 50%) dalam suatu uji sitotoksisitas juga diperlukan untuk melengkapi informasi mengenai efek sitotoksik suatu bahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek sitotoksik tetrahydrozoline HCl terhadap viabilitas sel fibroblast gingiva pada konsentrasi dan waktu paparan tertentu secara in vitro. Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah dapat memberikan informasi awal bagi para klinisi yaitu: mengetahui sifat biokompatibilitas tetrahydrozoline HCl terutama efek sitotoksiknya pada konsentrasi dan waktu paparan tertentu secara in vitro, serta sebagai bahan acuan tambahan untuk penelitian lebih lanjut secara in vivo maupun uji coba klinis mengenai penggunaan tetrahydrozoline HCL sebagai bahan retraksi gingiva.

perlakuan; kelompok perlakuan diberi tetrahydrozoline HCl dengan konsentrasi dan waktu paparan yang berbeda. Kelompok kontrol positif dan kelompok kontrol negatif, masingmasing dibagi sub kelompok sesuai dengan waktu paparan, yaitu 1, 3, 5, 7, dan 10 menit. Setiap sub kelompok terdiri dari 3 sumur sampel. Kelompok perlakuan dibagi menjadi 5 sub kelompok sesuai waktu paparan, kemudian tiap sub kelompok dibagi lagi menjadi 6 sub sub-kelompok sesuai dengan konsentrasi paparan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu 0,05%; 0,1%; 1%;10%; 20%; dan 30%. Setiap sub sub-kelompok terdiri dari 3 sumur sampel. Jadi pada dye exclution test, dari 120 sumur sampel yang dipersiapkan, terdiri dari kelompok kontrol positif sebanyak 15 sumur, kelompok kontrol negatif sebanyak 15 sumur, dan kelompok perlakuan sebanyak 90 sumur. Sampel diinkubasi sesuai waktu paparan yaitu 1, 3, 5, 7, dan 10 menit, lalu diwarnai dengan trypan blue, dibiarkan selama 1 menit, kemudian dilakukan penghitungan jumlah sel yang terwarnai. Sel yang viabel (tidak menyerap warna) dan sel yang nonviabel (menyerap warna, biru) diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya dan dihitung dengan menggunakan hemositometer (Gambar 1). Jumlah sel yang terwarnai dihitung pada 4 lapang pandang hemositometer menggunakan mikroskop cahaya dengan pembesaran 10x. Perhitungan persentase kematian dilakukan berdasarkan hasil penghitungan jumlah sel yang viabel.

BAHAN DAN METODE Penelitian ini menggunakan 120 sumur kultur sel, tiap sumur berisi 100 L suspensi sel fibroblast gingiva manusia dengan kepadatan 2x104 sel/100 L media kultur sel. Seluruh sampel (120 sumur kultur sel) dibagi menjadi 3 kelompok yaitu: kelompok kontrol positif diberi epinefrin 0,1%; kelompok kontrol negatif tanpa

Gambar 1. Penghitungan sel dengan hemositometer. Sel viabel [], sel non-viabel [].13

Gambar 1

?????????????????????????????????
Rerata persentase kematian sel terendah pada kelompok perlakuan, yaitu 0,00% dihasilkan pada konsentrasi tetrahydrozoline HCl 0,05%; 0,1% dan 1% dengan waktu paparan 1 dan 3 menit, sedangkan rerata persentase kematian sel tertinggi pada kelompok perlakuan, yaitu 39,9% dihasilkan pada konsentrasi tetrahydrozoline HCl 30% dengan waktu paparan 10 (Tabel 1). Berdasarkan hasil uji Univariate ANOVA (Analysis of Variance) dapat dilihat bahwa rerata persentase kematian di antara keenam tingkat konsentrasi dan di antara kedelapan waktu paparan (Tabel 3) terdapat perbedaan yang bermakna (p<0,05), oleh karena itu harus dilakukan uji LSD (Least Significant Differrence). Hasil yang diperoleh dari uji LSD (Tabel 4) menunjukkan adanya perbedaan yang tidak bermakna antara konsentrasi 0,05% dengan 0,1% (sig.0,995); 0,05% dengan 1% (sig.0,846); 0,1% dengan 1% (sig.0,857); 10% dengan 20% (sig. 0,018), dan antara waktu paparan 1 menit dengan 3 menit (sig.0,892), sedangkan lainnya menunjukkan perbedaan yang bermakna (p<0,05).

HASIL PENELITIAN Viabilitas sel fibroblast yang dinyatakan dalam bentuk persentase kematian sel merupakan parameter yang digunakan dalam penelitian ini. Peningkatan persentase kematian sel menunjukkan penurunan viabilitas sel. Rerata persentase kematian sel untuk tiap kelompok sampel dapat dilihat pada Tabel 1. Pada kelompok kontrol positif, jika dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif, pemberian epinefrin 0,1% menyebabkan persentase kematian diatas 90%, pada hampir semua waktu paparan, kecuali waktu paparan 1 menit (Tabel 1). Jumlah sel pada kelompok kontrol negatif (tanpa perlakuan) dianggap menggambarkan sel hidup semua (100%), sehingga hasil perhitungan persentase kematian untuk semua waktu paparan adalah 0%. Pada kelompok perlakuan yang diberi tetrahydrozoline HCl dengan beberapa konsentrasi dan waktu paparan, tampak bahwa semakin tinggi konsentrasi paparan semakin meningkat persentase kematian sel, dan semakin lama waktu paparan semakin meningkat persentase kematian sel.

Tabel 1 Rerata Persentase Kematian Sel Tiap Kelompok Penelitian

Waktu 1 menit Kelompok Kontrol (+) (Epinefrin 0,1%) Kontrol (-) (tanpa perlakuan) Tetra-HCl 0,05 % Tetra-HCl 0,1% Tetra-HCl 1% Tetra-HCl 10% Tetra-HCl 20% Tetra-HCl 30%

Dye exclution test 3 menit 5 menit 7 menit 10 menit

0,042 0,000 0,000 0,000 0,000 0,010 0,000 0,000

0,9675 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000

0,9672 0,000 0,007 0,007 0,007 0,015 0,025 0,310

0,985 0,000 0,025 0,015 0,040 0,050 0,209 0,393

0,984 0,000 0,000 0,058 0,145 0,262 0,323 0,399

Tabel 2 Ringkasan Hasil Uji Univariate ANOVA : Perbedaan Pengaruh Antar Kelompok Perlakuan Variabel KONSENTRASI WAKTU KONSENTRASI * WAKTU F 1061,756 677,700 146.511 Sig. 0,001 0,001 0,001

Keterangan : * : interaksi antara konsentrasi dan waktu paparan. Tabel 3 Hasil Uji LSD antara Kelima Waktu Paparan : Perbedaan Dalam Kelompok Waktu Waktu 1 menit 3 menit 5 menit 7 menit 10 menit 1 menit 3 menit 0,892 5 menit 0,000 0,000 Sig. 7 menit 0,000 0,000 0,000 -

10 menit 0,000 0,000 0,000 0,000 -

24jam 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000

48jam 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000

72jam 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000

Tabel 4 Hasil Uji LSD antara Keenam Tingkat Konsentrasi: Perbedaan Dalam Kelompok Konsentrasi Konsentrasi 0,05 % 0,1 % 1% 10 % 20 % 30 % 0,05 % 0,1 % 0,995 Sig. 1% 10% 0,846 0,000 0,857 0,000 0,000 -

20% 0,000 0,000 0,000 0,018 -

30% 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 -

Tabel 5 Hasil Nilai IC50 dari Tiap Kelompok Perlakuan Waktu Paparan 5 menit 7 menit 10 menit IC50 (%w/v) 38,60069 34,67615 32,78785 IC50 (x 103) (g/mL) 386,01 346,76 327,88 IC50 (x 103) (M) 1630,5 1464,7 1384,9

PEMBAHASAN Hasil pada Tabel 1 menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat konsentrasi dan waktu paparan tetrahydrozoline HCl, semakin meningkat pula persentase kematian sel fibroblast. Pengaruh yang ditimbulkan terhadap viabilitas sel fibroblast berupa perubahan permeabilitas membran sel. Freshney 15 menyebutkan bahwa efek sitotoksik dari sitotoksin dapat menyebabkan terjadi perubahan permeabilitas membran sel atau kerusakan integritas membran sel sehingga membran selnya bisa ditembus oleh trypan blue. Kerusakan pada membran sel dapat menyebabkan sel menjadi non viabel, dan selanjutnya dapat menyebabkan kematian sel. Pada sel yang non-viabel membran selnya bisa ditembus oleh trypan blue sedangkan sel yang viabel memiliki membran sel yang impermiabel terhadap trypan blue. Jadi semakin besar pengaruh yang ditimbulkan akan mengakibatkan semakin banyak sel mati, yang juga berarti persentase kematian sel semakin meningkat. Cotran dkk 16 menjelaskan bahwa terdapat beberapa motif biokimiawi yang diduga memperantarai kematian sel, hal ini dapat menjelaskan terjadinya kematian sel sehubungan dengan sitotoksisitas suatu bahan. Motif biokimia tersebut antara lain: 1)Penipisan kadar ATP (Adenosin Triphosphate). Enzim dehidrogenase adalah salah satu enzim yang berperan dalam pembentukan ATP17 ,yaitu suatu bentuk energi yang sangat dibutuhkan oleh sel untuk berbagai aktivitas fungsional sel. Jika enzim dehidrogenase tidak aktif akibat efek sitotoksik suatu sitotoksin, maka ATP berkurang, aktivitas sel terganggu, sehingga dapat mengakibatkan kematian sel. 2)Defek pada membran sel. Kerusakan membran atau hilangnya permeabilitas membran selektif merupakan gambaran umum jejas sel. Defek ini bisa mempengaruhi mitokondria yang merupakan tempat untuk memproduksi ATP. Aktivitas fungsional sel fibroblast gingiva yaitu berproliferasi maupun memproduksi matriks ekstra seluler dan fibronektin, sehubungan dengan

proses perbaikan jaringan gingiva, akan terganggu jika paparan sitotoksin menyebabkan sel mengalami jejas yang ireversibel atau mengakibatkan sel non viabel. Hal tersebut disebabkan oleh karena seluruh mekanisme seluler merupakan proses yang saling berkaitan, jika salah satu komponen sel mengalami jejas, maka semua aktivitas sel akan terpengaruh, termasuk diantaranya proses perbaikan jaringan, dimana proses ini membutuhkan regenerasi sel yang mengalami jejas.18. Sel tetap viabel jika paparan tidak bersifat sitotoksik, sehingga aktivitas fungsional sel tidak akan mengalami gangguan. Jadi diharapkan paparan bahan retraksi pada saat prosedur retraksi gingiva tidak menyebabkan jejas ireversibel pada sel fibroblast gingiva, sehingga tidak terjadi gangguan terhadap aktivitas sel dalam proses perbaikan jika jaringan gingiva mengalami trauma mekanis yang tidak dapat dihindari selama prosedur retraksi. Hasil uji Univariate ANOVA dan uji LSD menunjukkan bahwa terdapat rerata persentase kematian sel yang berbeda secara bermakna di antara beberapa kelompok penelitian sesuai tingkat konsentrasi dan waktu paparan (Tabel 2, Tabel 3, Tabel 4). Cotran dkk16 dan Conway19 mengemukakan beberapa prinsip umum mengenai jejas sel yang memiliki kemungkinan sebagai penyebab adanya perbedaan pengaruh pada kelompok-kelompok penelitian tersebut, antara lain: 1)Beberapa komponen atau sistem intraseluler sel sensitif atau mudah mengalami jejas antara lain: membran sel (integritas membran sel), sistem respirasi aerob (mitokondria, enzim), komponen genetik. 2)Respon seluler terhadap stimuli jejas tergantung pada jenis jejas, lama stimuli jejas dan berat ringannya stimuli jejas. Jenis jejas dibedakan berdasarkan penyebab jejas sel, seperti bahan kimia dan obat-obatan, hipoksia, dan lainnya. Lama stimuli jejas berhubungan dengan waktu paparan, sedangkan berat ringannya stimuli berkaitan dengan dosis ataupun konsentrasi paparan. Epinefrin 0,1% jika dikonversi dalam satuan molaritas menjadi 5,5.10-3M. Tetrahydrozoline HCl 5,5.10-3M setara dengan konsentrasi

tetrahydrozoline HCl 0,13% (dapat dibulatkan menjadi 0,1%), jadi dapat dikatakan bahwa epinefrin 0,1% sebanding dengan tetrahydrozoline HCl 0,1%. Epinefrin 0,1% menyebabkan persentase kematian sel lebih dari 96% (>50%) pada waktu paparan 3 dan 5 menit, artinya hampir semua sel mati (Tabel 1), sedangkan tetrahydrozoline HCl dengan konsentrasi 0,1% dengan waktu paparan 3 dan 5 menit menunjukkan persentase kematian sel tidak lebih dari 0,7% (<50%) artinya hampir semua sel masih viabel. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pada konsentrasi yang sebanding dengan epinefrin, tetrahydrozoline HCl 0,1% tidak bersifat sitotoksik terhadap viabilitas sel fibroblast, sebaliknya epinefrin 0,1% bersifat sangat sitotoksik. Jadi, diketahui bahwa tetrahydrozoline HCl memiliki sifat yang lebih baik daripada epinefrin ditinjau dari segi sitotoksisitasnya. Analisis probit menghasilkan IC50 dari tiap waktu paparan tetrahydrozoline HCl (Tabel 5), yang berguna sebagai informasi tambahan mengenai sitotoksisitas tetrahydrozoline HCl. Hasil tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi tetrahydrozoline HCl 0,05% dan 0,1% merupakan konsentrasi terapeutik yang cukup aman karena persentase kematian yang disebabkan oleh konsentrasi paparan tersebut dengan waktu paparan 1, 3, 5, 7, dan 10 menit jauh lebih rendah dari nilai IC50. SIMPULAN

10

11 Simpulan yang diperoleh dari penelitian secara in vitro ini adalah: peningkatan konsentrasi dan waktu paparan tetrahydrozoline HCl menyebabkan peningkatan persentase kematian sel fibroblast, namun pada waktu paparan dan konsentrasi terapeutik (0,05% dan 0,1%) tidak menimbulkan efek sitotoksik terhadap viabilitas sel fibroblast gingiva. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut secara in vivo, sesuai tahapan uji biokompatibilitas, untuk mengetahui apakah interpretasi hasil yang diperoleh secara in vitro cukup akurat dan berkorelasi baik dengan penelitian in vivo.

12

13

14

DAFTAR PUSTAKA 1 Dimashkieh MR, Morgano SM. A procedure for making fixed prosthodontic impressions with the use of preformed crown shells. J Prosthet Dent 1995; 73: 95-6.

15

16

Ferrari M, Cagidiaco MC, Ercoli C. Tissue management with a new gingiva retraction material: A preliminary clinical report. J Prosthet Dent 1996; 75: 242-47. Kopa I, Batista U, Cvetko E, Marion L. Viability of fibroblast in cell culture after treatment with different chemical retraction agents. J Oral Rehabil 2002a; 29(1): 98-104. Csempesz F, Vg J, Fazekas . In vitro kinetic study of absorbency of retraction cords. J Prosthet Dent 2003; 89: 45-9. Donovan TE, Gandara BK, Nemetz H. Review and survey of medicaments used with gingiva retraction cords. J Prosthet Dent 1985; 53(4): 525-31. Shillingburg HT, Hobo S, Whitsett LD. Fundamentals of fixed prosthodontics. 2nd ed. Chicago: Quintessence Publ.Co. 1982. p. 200. Bowles WH, Tardy SJ, Vahadi. A. Evaluation of new gingival retraction agents. J Dent Res. 1991; 70(11): 1447-49. Kopa I, Sterle M, Marion L. Electron microscopic analysis of the effects of chemical retraction agent on cultured rat keratinocytes. J Prosthet Dent 2002b; 87: 51-6. Reynold JEF. Martindale : The extra pharmacopoeia. 29th ed. London: The Pharmaceutical Press; 1989. p.1453-55. Woody RD, Miller A, Staffanou RS. Review of the ph of hemostatik agents used in tissue displacement. J Prosthet Dent 1993; 70: 19192. Setiawati A, Setiabudy R. Adrenergik. Farmakologi dan Terapi. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran - Universitas Indonesia. Edisi ketiga. Jakarta: Gaya Baru; 1991. h. 4970. Budavari S. The Merck Index : An encyclopedia of chemicals, drugs, and biologicals. 12th ed. Merck & Co., Inc. 1996. h. 3657, 9360. Wyllie A, Donahue V, Fischer B, Hill D, Kesey J, Manzow S. Guide to cell proliferation and apoptosis methods. Roche Diagnostics Corporation. 2000. p. 50-67. Craig RG, Powers JM. Restorative dental material. 11th ed. St. Louis: Mosby Inc. 2002. p. 126-47. Freshney RI. Culture of Animal Cells : A manual of basic techniques. 4th ed. New York: Wiley-Liss Inc. 2000. p. 330-37. Cotran MD, Kumar V, Collins T, Robbins pathologic basis of diseases. 6th ed. Philadelphia: W.B. Saunders Company; 1999. p. 4-15, 102-110.

17 Mayes PA, Granner DK, Rodwell VW, Martin Jr. DW. Harpers review of biohemistry. Dalam: Biokimia Harper. edisi 20. Iyan Dharmawan (penterjemah) Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC; 1985. p. 150-54. 18 Conway J. Repair and wound healing handout. 2000a. Available from: URL:http//www.med.uiuc.edu/m2/Pathology/ Repair%20and%20Wound%20Healing%20Ha ndout2.htm. Accessed Juni 18, 2004. 19 Conway J. Diseases at the Cellular Level (DCL) Lecture Handout. 2000b. Available from:URL:http//www.med.uiuc.edu/m2/Pathol ogy/DCL.htm Accessed Juni 18, 2004.

You might also like