This document summarizes a study that examined the subchronic toxicity of extracts from the bark of the Raru tree (Cotylelobium melanoxylon Pierre) on the kidneys of male mice when administered orally. Twenty male mice were divided into four groups, with one control group given water and three treatment groups given low, medium, and high doses of the bark extract over 28 days. Histopathological examination of the kidneys found normal kidneys in the control group but signs of damage like bleeding and necrosis in the cortex and medulla of the kidneys in the treatment groups, with greater effects at higher doses. The study concluded that administering Raru bark extract resulted in changes to the histopathology
Original Description:
uji toksisitas subkronik ekstrak kulit kayu raru terhadap ginjal mencit jantan secara oral.
This document summarizes a study that examined the subchronic toxicity of extracts from the bark of the Raru tree (Cotylelobium melanoxylon Pierre) on the kidneys of male mice when administered orally. Twenty male mice were divided into four groups, with one control group given water and three treatment groups given low, medium, and high doses of the bark extract over 28 days. Histopathological examination of the kidneys found normal kidneys in the control group but signs of damage like bleeding and necrosis in the cortex and medulla of the kidneys in the treatment groups, with greater effects at higher doses. The study concluded that administering Raru bark extract resulted in changes to the histopathology
This document summarizes a study that examined the subchronic toxicity of extracts from the bark of the Raru tree (Cotylelobium melanoxylon Pierre) on the kidneys of male mice when administered orally. Twenty male mice were divided into four groups, with one control group given water and three treatment groups given low, medium, and high doses of the bark extract over 28 days. Histopathological examination of the kidneys found normal kidneys in the control group but signs of damage like bleeding and necrosis in the cortex and medulla of the kidneys in the treatment groups, with greater effects at higher doses. The study concluded that administering Raru bark extract resulted in changes to the histopathology
UJI TOKSISITAS SUBKRONIK EKSTRAK KULIT KAYU RARU (Cotylelobium melanoxylon Pierre) TERHADAP GINJAL MENCIT JANTAN SECARA ORAL
Subchronic Toxicity Experiment From Raru Cortex (Cotylelobium melanoxylon Pierre) Towards Male Mouses Kidney Orally
Firman Abu Syahrial, Jurusan Farmasi, UTB, Lampung
Naskah diterima tanggal 26 Agustus 2014
ABSTRACT Subchronic toxicity experiment has a purpose for proofing the effect of giving raru cortex extract towards male mouses kidney in glomerulus, tubulus proximal and distal by using highrise dose. The subject of the experiment is by using twenty male mouse that divided randomly into four groups. They are K I (aquades control), K II (raru cortex extract 21,64mg/Kg BB), K III (raru cortex extract 43,29 mg/Kg BB), K IV (raru cortex extract 86,58mg/Kg BB) that was done for twenty eight days and observed the kidney damage and then data analysis descriptively. The result from the experiment showed that in K I we can see normal kidney, K II we can see that the cortex was bleeding and the medulla looked well, K III we can see that the cortex was bleeding and nekrosa in tubulus proximal and distal, and then some of the medulla got bleeding, K IV we can see that the cortex got nekrosa and bleeding whereas the medulla in the nucleus would displace and accumulate. According to the experiment we can conclude that there is meaningful relationship between giving raru cortex abstract towards the changing of hystopalogy image in males kidney and also an influence between an increasing dose raru cortex extract in group II, III, and IV, whereas in control group is did not get difference from kidney hystopatology. Keywords : subchronic toxicity, raru cortex extract, hystopatology.
ABSTRAK Penelitian uji toksisitas subkronik bertujuan untuk membuktikan pengaruh pemberian ekstrak kulit kayu raru terhadap kerusakan ginjal mencit pada bagian glomerulus, tubulus proksimal dan distal dengan dosis bertingkat. Subjek penelitian menggunakan 20 ekor mencit jantan yang dibagi menjadi 4 kelompok secara acak yaitu K I (kontrol aquades), K II (ekstrak kulit kayu raru dosis 21,64 mg/Kg BB), K III (ekstrak kulit kayu raru dosis 43,29 mg/Kg BB), K IV (ekstrak kulit kayu raru 86,58 mg/Kg BB), dilakukan selama 28 hari dan diamati kerusakan ginjal kemudian analisis data secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada K I terlihat ginjal normal, K II terlihat korteks mengalami perdarahan dan medulla terlihat baik, K III terlihat korteks mengalami perdarahan dan nekrosa pada tubulus proksimal dan distal, lalu sebagian medulla mengalami perdarahan, K IV terlihat korteks banyak mengalami nekrosa dan perdarahan sedangkan medulla pada inti sel mengalami pergeseran dan menumpuk. Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan adanya hubungan yang bermakna antara pemberian esktrak kulit kayu raru terhadap perubahan gambaran histopatologi ginjal mencit dan terdapat pengaruh antara peningkatan dosis ekstrak kulit kayu raru pada kelompok II, III dan IV, sedangkan pada kelompok kontrol tidak mengalami perubahan histopatologi ginjal. Kata Kunci : Toksisitas subkronik, ekstrak kulit kayu raru, histopatologi. Alamat Korespondensi : email : Ryan89_milano@yahoo.co.id PENDAHULUAN Obat tradisional telah lama digunakan masyarakat Indonesia dan merupakan suatu aset nasional, tetapi belum banyak dilakukan penelitian untuk mengevaluasi tingkat keamanannya, sedangkan pengetahuan tentang potensi efek toksik yang ada dalam tumbuhan obat adalah penting untuk menjamin keamanan dalam penggunaannya (Aisyah dkk, 2002). Raru sudah dikenal secara luas oleh masyarakat Tapanuli sebagai campuran dalam minuman tuak. Pencampuran ini diyakini dapat mengawetkan dan meningkatkan kadar alkohol dari nira aren yang dikonsumsi sebagai minuman tradisional. Masyarakat Tapanuli menggunakan kulit kayu raru kering sebagai bahan obat untuk menurunkan kadar glukosa darah dengan cara meminum air rebusan kulit kayu raru kering (Pasaribu, 2009). Uji toksisitas subkronik merupakan pemberian zat kimia uji secara berganda (dosis harian) bertujuan untuk mendapatkan data NOEL (no observed effect level) dari suatu bahan uji (Wirasuta, 2006). Tujuan uji toksisitas adalah untuk mengetahui spektrum efek toksik serta hubungan dosis dan toksisitas pada pemberian berulang dalam jangka waktu tertentu (Ganong, 2003). Secara farmakologik setiap bahan obat yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami proses farmakodinamik dan farmakokinetik. Begitu pula dengan kulit kayu raru yang dikonsumsi akan diekskresikan melalui ginjal dalam bentuk urin. Penelitian mengenai efek toksik kulit kayu raru terhadap ginjal merupakan suatu penelitian yang bermanfaat dan perlu dilakukan karena penggunaan kulit kayu raru sebagai bahan obat (penurun kadar gula darah) dalam jangka panjang. Belum ada penelitian yang membahas tentang efek toksiknya terhadap organ ginjal.
Dalam penelitian Triwibowo (2011), terdapat pengaruh pemberian ekstrak etanol sambiloto (Andrographis paniculata Nees) terhadap kerusakan tubulus proksimal ginjal tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley yang diinduksi gentamisin. Sedangkan hasil penelitian Alboneh (2010), membuktikan perbedaan terhadap gambaran mikroskopis ginjal antara kelompok kontrol normal yang diberi aquades dan kelompok perlakuan yang diberi ekstrak meniran (Phyllanthus niruri L) pada mencit BALB/C.
METODOLOGI
Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah gelas ukur, spatula, batang pengaduk, botol maserasi, labu ukur, erlenmeyer, beaker glass, rotary evaporator, kertas saring, kandang mencit, neraca ohaus (untuk menimbang berat badan mencit), neraca digital (untuk menimbang bahan), sonde oral, peralatan bedah minor (gunting, pinset, scalpel dan klem), wadah jaringan (pot plastik), kapas, tissue, slide, cover glass, embedding casette, Automatic Tissue Processor, Paraffin Oven, Embedding Unit, Mikrotome blade, Incubator, Water Bath, Slide Warmer, Staining Unit dan Mikroskop.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstrak kulit kayu raru (Cotylelobium melanoxylon P), kloroform, formalin 10% untuk fiksasi, alkohol, xylol, paraffin dengan titik cair 50-55 0 C, aquades, kanada balsam, pewarna Hematoxylin dan Eosin. Prosedur Penelitian
a) Mencit sebanyak 20 ekor, dikelompokkan dalam 4 kelompok yaitu: 1) Kelompok I sebagai kontrol aquades, hanya diberi aquades secara oral. 2) Kelompok II dengan dosis ekstrak kulit kayu raru 21,64 mg/Kg BB, secara oral. 3) Kelompok III dengan dosis ekstrak kulit kayu raru 43,29 mg/Kg BB secara oral. 4) Kelompok IV dengan dosis ekstrak kulit kayu raru 86,58 mg/Kg BB secara oral. b) Berikan ekstrak kulit kayu raru pada tiap mencit kelompok II, III dan IV secara oral menurut dosis yang ditentukan selama 28 hari. c) Setelah 28 hari, perlakuan dihentikan. d) 5 mencit dari tiap kelompok dinarkosis dengan kloroform. e) Dilakukan laparotomi, diambil ginjal untuk dibuat sediaan mikroskopis. Pembuatan sediaan mikroskopis dengan metode paraffin dan pewarnaan Hematoxylin Eosin. Hematoxylin mempunyai sifat pewarna basa, yaitu memulas unsur jaringan yang basofilik, eosin memulas unsur jaringan yang bersifat asidofilik (Junqueira, 2007). Metode pengujian teknik histopatologi (BPPV) : 1) Trimming a) Spesimen berupa potongan organ ginjal yang telah diambil segera difiksasi dengan larutan pengawet berupa formalin 10%. Perbandingan antara volume spesimen dengan larutan 1:10 guna mendapatkan hasil yang baik. b) Cuci dengan air mengalir. c) Potong jaringan setebal 2-4 mm. d) Masukkan potongan-potongan jaringan tersebut ke dalam embedding casette. Dalam satu embedding casette dapat diisi 1-5 buah potongan jaringan e) disesuaikan dengan ukuran dari besar kecilnya potongan. f) Cuci dengan air mengalir. 2) Dehidration a) Tuntaskan air dengan meletakkan embedding cassette pada kertas tissue. b) Berturut-turut dilakukan perlakuan sebagai berikut :
Tahap Dehidration Tahap Waktu Zat kimia Dehidration 2 jam Alkohol 80 % 2jam Alkohol 95 % 1 jam Alkohol 95% 1 jam Alkohol absolut I 1 jam Alkohol absolut II 1 jam Alkohol absolut III Clearing 1 jam Xylol I 1 jam Xylol II 1 jam Xylol III impregnation 2 jam Paraffin I 2 jam Paraffin II 2 jam Paraffin III 3) Embedding a) Bersihkan sisa-sisa paraffin yang ada pada pan dengan memanaskan beberapa saat diatas api dan usap dengan kapas. b) Siapkan paraffin cair dengan memasukkan paraffin kedalam cangkir logam dan dimasukkan dalam oven dengan suhu diatas 58 0 C. c) Tuangkan paraffin cair kedalam pan. d) Pindahkan jaringan satu persatu dari embedding casette ke dasar pan dengan mengatur jarak satu dengan lainnya. e) Masukkan/apungkan pan ke dalam air. f) Lepaskan paraffin yang berisi jaringan tersebut dari pan dengan memasukkan ke dalam suhu 4- 6 0 C beberapa saat. g) Potong-potong paraffin sesuai dengan letak jaringan yang ada dengan menggunakan scalpel/pisau hangat. h) Letakkan pada balok kayu, ratakan pinggirnya dan buat ujungnya sedikit meruncing. i) Blok paraffin siap dipotong dengan menggunakan mikrotome. 4) Cutting a) Pemotongan dilakukan pada ruangan dingin. b) Sebelum dipotong, blok terlebih dahulu di dinginkan. c) Lakukan pemotongan kasar, dilanjutkan dengan pemotongan halus dengan ketebalan 4-5 mikron. d) Setelah itu pilih lembaran potongan yang paling baik, apungkan pada air dan hilangkan kerutannya dengan cara menekan salah satu sisi lembaran jaringan tersebut dengan ujung jarum dan sisi yang lain ditarik menggunakan kuas runcing. e) Pindahkan lembaran jaringan ke dalam water bath selama beberapa detik sampai mengembang sempurna. f) Dengan gerakan menyendok ambil lembaran jaringan tersebut dengan slide bersih dan tempatkan ditengah atau pada sepertiga atas atau bawah, cegah jangan sampai ada gelembung udara di bawah jaringan. g) Tempatkan slide yang berisi jaringan pada incubator (suhu 37 0 C) selama 24 jam sampai jaringan melekat sempurna.
5) Staining (pewarnaan) dengan Harris Hematoxylin Eosin Setelah jaringan melekat sempurna pada slide, dipilih slide yang terbaik selanjutnya secara berurutan masukkan ke dalam zat kimia di bawah ini dengan waktu sebagai berikut : Tahap Staining Zat Kimia Waktu Xlol I 5 menit Xylol II 5 menit Xylol III 5 menit Alkohol absolut I 5 menit Alkohol absolut II 5 menit Aquades 1 menit Harris Hematoxylin 20 menit Aquades 1 menit Acid alkohol 2-3 celupan Aquades 1 menit Aquadest 15 menit Eosin 2 menit Alkohol 96% I 2 menit Alkohol 96% II 3 menit Alkohol absolut III 3 menit Alkohol absolut IV 3 menit Xylol IV 5 menit Xylol V 5 menit 6) Mounting Setelah pewarnaan selesai, slide ditempatkan diatas kertas tissue pada tempat datar, teteskan dengan bahan mounting yaitu kanada balsam dan tutup dengan cover glass, cegah jangan sampai terbentuk gelembung udara.
7) Membaca slide dengan mikroskop Slide diperiksa dibawah mikroskop sinar dengan pembesaran 200X dengan tujuan untuk melihat gambaran ginjal seperti glomerulus, tubulus kontortus proksimal dan tubulus distal.
HASIL DAN PEMBAHASAN Setelah dilakukan penelitian didapatkan hasil pengamatan berupa preparat ginjal kanan dan kiri pada masing-masing kelompok. Sasaran yang dibaca adalah perubahan struktur histopatologi dengan perbesaran 200X pada daerah glomerulus, tubulus kontortus proksimal dan tubulus distal dengan parameter gambaran ginjal normal, kemudian parameter tersebut dijelaskan secara naratif sesuai dengan foto hasil preparat masing-masing ginjal mencit tiap kelompok. Data hasil penelitian berupa data kerusakan histopatologi glomerulus, tubulus distal dan tubulus proksimal pada korteks dan medula ginjal. Hasil pengujian dapat dilihat pada gambar berikut.
Kelompok I : Ginjal normal. Ket : 1.Glomerulus, 2. Tubulus Proksimal, dan 3. Tubulus Distal.
Kelompok II : Korteks mengalami perdarahan dan medulla masih terlihat baik. Ket : 1. Glomerulus, 2. Tubulus Proksimal, 3. Tubulus Distal, dan 4. Perdarahan
Kelompok III : Korteks mengalami perdarahan dan nekrosa pada tubulus proksimal dan distal, sebagian medulla mengalami perdarahan. Ket : 5. Kongesti dan 6. Nekrosa
Kelompok IV : Korteks mengalami perdarahan dan nekrosa, pada medulla inti sel sudah banyak mengalami pergeseran (keluar dari sel) dan terlihat menumpuk. Ket : 6. Nekrosa dan 7. Penumpukan inti sel.
Hasil pengujian menunjukkan pada kelompok I (kontrol aquades) terlihat gambaran ginjal normal dan pada kelompok II terlihat adanya perdarahan pada bagian korteks ginjal. Hal ini disebabkan oleh pemberian ekstrak kulit kayu raru dengan dosis 21,64 mg/Kg BB. Adanya perdarahan pada perlakuan kelompok II menunjukkan bahwa pemberian ekstrak kulit kayu raru dengan dosis terkecil 21, 64 mg/Kg BB mempunyai efek terhadap ginjal (mengalami toksik) jika diberikan secara oral. Sebagaimana diketahui ginjal merupakan organ ekskresi utama yang sangat penting untuk mengeluarkan zat- 2 2 1 1 3 3 4 6 7 6 5
zat hasil sisa metabolisme tubuh termasuk zat-zat toksik yang masuk kedalam tubuh (Guyton, 2008). Toksisitas kerusakan ginjal berupa nekrosis ditemukan pada kelompok III dan kelompok IV. Masuknya suatu substansi toksik ke dalam tubuh dalam waktu yang lama akan menyebabkan nekrosis tubulus ginjal. Nekrosis diawali dengan perubahan morfologi inti sel yaitu piknosis. Tahap berikutnya inti pecah (karioreksis) dan inti sel menghilang (kariolisis). Piknosis dapat terjadi karena adanya kerusakan di dalam sel antara lain kerusakan membran yang diikuti oleh kerusakan mitokondria dan aparatus golgi sehingga sel tidak mampu mengeliminisir dan trigliserida sehingga tertimbun dalam sitoplasma sel. Pada ginjal, piknosis paling banyak terjadi pada tubulus proksimalis karena di tubulus inilah terjadi proses reabsorbsi sehingga peluang terjadinya kerusakan akibat dari toksikan paling tinggi (Robbins, 1992). Kongesti merupakan suatu keadaan yang disertai meningkatnya volume darah dalam pembuluh darah yang melebar pada suatu organ atau bagian tubuh (Himawan, 1979). Jika dilihat secara mikroskopis daerah jaringan atau organ yang mengalami kongesti berwarna lebih merah kerena bertambahnya darah di dalam jaringan. Hal ini terjadi karena pengaruh pemberian ekstrak kulit kayu raru secara oral pada mencit kelompok III dan kelompok IV. Hasil pengujian pada kelompok III dengan dosis 86,58 mg/Kg BB lebih besar daripada kelompok II dengan dosis 43,29 mg/Kg BB menunjukkan bahwa peningkatan dosis ekstrak kulit kayu raru dapat mempercepat keparahan dari kerusakan ginjal. Menurut Lu (1995), efek toksik sangat bervariasi dalam sifat, organ sasaran, maupun mekanisme kerjanya. Pada umumnya, suatu bahan toksikan yang mempengaruhi organ sasaran didasari oleh kepekaan suatu organ, atau lebih tingginya kadar bahan kimia atau metabolitnya di organ sasaran. Kadar yang lebih tinggi itu dapat meningkat pada berbagai keadaan. Pada penelitian ini tingkat kerusakan ginjal yang dialami oleh mencit jantan setelah diberikan ekstrak kulit kayu raru secara oral pada kelompok II dengan dosis (21,64 mg/Kg BB), kelompok III dengan dosis (43,29 mg/Kg BB) dan kelompok IV dengan dosis (86,58 mg/Kg BB) selama berturut-turut yaitu perbandingan tingkat kerusakan yang dialami mencit pada kelompok I (kontrol aquades) dan kelompok II dengan dosis (21,64 mg/Kg BB) memperlihatkan perbandingan yang signifikan yaitu tingkat kerusakan yang diperlihatkan pada gambaran histopatologi ginjal berupa perdarahan pada bagian korteks sedangkan kelompok I (kontrol aquades) ginjal terlihat normal. Sedangkan perbandingan kerusakan kelompok II dengan dosis (21,64 mg/Kg BB) lebih kecil daripada kelompok III dengan dosis (43,29 mg/Kg BB) dengan tingkat kerusakan yang diperlihatkan pada gambaran histopatologi berupa perdarahan dan nekrosa tubulus proksimal dan tubulus distal pada bagian korteks dan sebagian medulla sudah mengalami perdarahan, sedangkan tingkat kerusakan terparah terjadi pada kelompok IV dengan dosis (86,58 mg/Kg BB) jika dibandingkan dengan kelompok II dengan dosis (21,64 mg/Kg BB) dan kelompok III dengan dosis (43,29 mg) dengan banyaknya mengalami nekrosa dan perdarahan pada bagian korteks dan inti sel mengalami pergeseran dan terlihat menumpuk pada bagian medulla.
KESIMPULAN
Uji toksisitas subkronik ekstrak kulit kayu raru (Cotylelobium melanoxylon Pierre) terhadap ginjal mencit jantan secara oral adalah sebagai berikut : 1. Ekstrak kulit kayu raru terbukti mempunyai efek toksik terhadap ginjal mencit. Antara lain terdapat perubahan gambaran histopatologi ginjal mencit pada bagian medulla dan korteks.
2. Terdapat hubungan antara perubahan histopatologi ginjal mencit dengan pemberian ekstrak kulit kayu raru peroral dosis bertingkat, dimana semakin tinggi dosis maka semakin parah pula efek toksisitas ekstrak kulit kayu raru terhadap ginjal dengan parameter gambaran ginjal normal.
DAFTAR PUSTAKA Aisyah, C., Kumolosasi, E., dan Soemardji, A, A., (2002), Toksisitas Akut dan Penentuan DL 50 Oral Ekstrak Air Daun Gandarusa (Justicia gendarussa Burm.F.) pada Mencit Swiss Webster, Jurnal Matematika dan Sains, Volume ke-7 (Nomor 2), Departemen Farmasi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung, Bandung, Halaman 57-62. Alboneh.,(2010), Uji Toksisitas Akut Ekstrak Meniran (Phyllanthus niruri L) terhadap Ginjal Mencit BALB/C, Skripsi Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro, Semarang. Ganong.,(2003), Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi ke-20, EGC, Jakarta, Halaman 480. Guyton, C. dan Hall, E.,(2008), Fisiologi Kedokteran, EGC, Jakarta. Himawan, S., (1979), Kumpulan Kuliah Patologi, Bagian Patologi Anatomik, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta. Junqueira, L, C. dan Carneiro, J.,(2007), Histologi Dasar Teks dan Atlas, Edisi ke-10, EGC, Jakarta. Lu, F, C.,(1995), Toksikologi Dasar, Edisi ke-2, Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Pasaribu, G, T., (2009), Zat Ekstraktif Kayu Raru dan Pengaruhnya terhadap Penurunan Kadar Gula dalam Darah secara In Vitro, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Robbins, S, L., dan Kumar, V., (1992), Buku Ajar Patologi, EGC, Jakarta, Halaman 1-27. Triwibowo, A, W., (2011), Pengaruh Pemberian Ekstrak Sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.) Nees.) terhadap Kerusakan Tubulus Proksimal Ginjal Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Galur Sparague Dawley yang Diinduksi Gentamisin, Skripsi Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung. Lampung. Wirasuta, I, M, A, G dan Niruri, R., (2006), Buku Ajar Toksikologi Umum, http://id.scribd.com/doc/27116301/ Toksikologi-Umum., diakses tanggal 18 September 2011, pukul 16.53 WIB.