Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 9

UJI TOKSISITAS SUBKRONIK EKSTRAK KULIT KAYU RARU

(Cotylelobium melanoxylon Pierre) TERHADAP GINJAL


MENCIT JANTAN SECARA ORAL









Oleh

FIRMAN ABU SYAHRIAL
























UNIVERSITAS TULANG BAWANG
BANDAR LAMPUNG
2014

UJI TOKSISITAS SUBKRONIK EKSTRAK KULIT KAYU RARU (Cotylelobium
melanoxylon Pierre) TERHADAP GINJAL MENCIT JANTAN SECARA ORAL

Subchronic Toxicity Experiment From Raru Cortex (Cotylelobium melanoxylon
Pierre) Towards Male Mouses Kidney Orally

Firman Abu Syahrial, Jurusan Farmasi, UTB, Lampung

Naskah diterima tanggal 26 Agustus 2014

ABSTRACT
Subchronic toxicity experiment has a purpose for proofing the effect of giving raru
cortex extract towards male mouses kidney in glomerulus, tubulus proximal and distal
by using highrise dose. The subject of the experiment is by using twenty male mouse
that divided randomly into four groups. They are K I (aquades control), K II (raru cortex
extract 21,64mg/Kg BB), K III (raru cortex extract 43,29 mg/Kg BB), K IV (raru cortex
extract 86,58mg/Kg BB) that was done for twenty eight days and observed the kidney
damage and then data analysis descriptively. The result from the experiment showed
that in K I we can see normal kidney, K II we can see that the cortex was bleeding and
the medulla looked well, K III we can see that the cortex was bleeding and nekrosa in
tubulus proximal and distal, and then some of the medulla got bleeding, K IV we can
see that the cortex got nekrosa and bleeding whereas the medulla in the nucleus would
displace and accumulate. According to the experiment we can conclude that there is
meaningful relationship between giving raru cortex abstract towards the changing of
hystopalogy image in males kidney and also an influence between an increasing dose
raru cortex extract in group II, III, and IV, whereas in control group is did not get
difference from kidney hystopatology.
Keywords : subchronic toxicity, raru cortex extract, hystopatology.

ABSTRAK
Penelitian uji toksisitas subkronik bertujuan untuk membuktikan pengaruh pemberian
ekstrak kulit kayu raru terhadap kerusakan ginjal mencit pada bagian glomerulus,
tubulus proksimal dan distal dengan dosis bertingkat. Subjek penelitian menggunakan
20 ekor mencit jantan yang dibagi menjadi 4 kelompok secara acak yaitu K I (kontrol
aquades), K II (ekstrak kulit kayu raru dosis 21,64 mg/Kg BB), K III (ekstrak kulit kayu
raru dosis 43,29 mg/Kg BB), K IV (ekstrak kulit kayu raru 86,58 mg/Kg BB), dilakukan
selama 28 hari dan diamati kerusakan ginjal kemudian analisis data secara deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada K I terlihat ginjal normal, K II terlihat korteks
mengalami perdarahan dan medulla terlihat baik, K III terlihat korteks mengalami
perdarahan dan nekrosa pada tubulus proksimal dan distal, lalu sebagian medulla
mengalami perdarahan, K IV terlihat korteks banyak mengalami nekrosa dan
perdarahan sedangkan medulla pada inti sel mengalami pergeseran dan menumpuk.
Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan adanya hubungan yang bermakna antara
pemberian esktrak kulit kayu raru terhadap perubahan gambaran histopatologi ginjal
mencit dan terdapat pengaruh antara peningkatan dosis ekstrak kulit kayu raru pada
kelompok II, III dan IV, sedangkan pada kelompok kontrol tidak mengalami perubahan
histopatologi ginjal.
Kata Kunci : Toksisitas subkronik, ekstrak kulit kayu raru, histopatologi.
Alamat Korespondensi :
email : Ryan89_milano@yahoo.co.id
PENDAHULUAN
Obat tradisional telah lama
digunakan masyarakat Indonesia dan
merupakan suatu aset nasional, tetapi
belum banyak dilakukan penelitian untuk
mengevaluasi tingkat keamanannya,
sedangkan pengetahuan tentang potensi
efek toksik yang ada dalam tumbuhan
obat adalah penting untuk menjamin
keamanan dalam penggunaannya (Aisyah
dkk, 2002).
Raru sudah dikenal secara luas
oleh masyarakat Tapanuli sebagai
campuran dalam minuman tuak.
Pencampuran ini diyakini dapat
mengawetkan dan meningkatkan kadar
alkohol dari nira aren yang dikonsumsi
sebagai minuman tradisional. Masyarakat
Tapanuli menggunakan kulit kayu raru
kering sebagai bahan obat untuk
menurunkan kadar glukosa darah dengan
cara meminum air rebusan kulit kayu raru
kering (Pasaribu, 2009).
Uji toksisitas subkronik merupakan
pemberian zat kimia uji secara berganda
(dosis harian) bertujuan untuk
mendapatkan data NOEL (no observed
effect level) dari suatu bahan uji
(Wirasuta, 2006). Tujuan uji toksisitas
adalah untuk mengetahui spektrum efek
toksik serta hubungan dosis dan toksisitas
pada pemberian berulang dalam jangka
waktu tertentu (Ganong, 2003).
Secara farmakologik setiap bahan
obat yang masuk ke dalam tubuh akan
mengalami proses farmakodinamik dan
farmakokinetik. Begitu pula dengan kulit
kayu raru yang dikonsumsi akan
diekskresikan melalui ginjal dalam bentuk
urin. Penelitian mengenai efek toksik kulit
kayu raru terhadap ginjal merupakan
suatu penelitian yang bermanfaat dan
perlu dilakukan karena penggunaan kulit
kayu raru sebagai bahan obat (penurun
kadar gula darah) dalam jangka panjang.
Belum ada penelitian yang membahas
tentang efek toksiknya terhadap organ
ginjal.

Dalam penelitian Triwibowo (2011),
terdapat pengaruh pemberian ekstrak
etanol sambiloto (Andrographis
paniculata Nees) terhadap kerusakan
tubulus proksimal ginjal tikus putih (Rattus
norvegicus) jantan galur Sprague dawley
yang diinduksi gentamisin. Sedangkan
hasil penelitian Alboneh (2010),
membuktikan perbedaan terhadap
gambaran mikroskopis ginjal antara
kelompok kontrol normal yang diberi
aquades dan kelompok perlakuan yang
diberi ekstrak meniran (Phyllanthus niruri
L) pada mencit BALB/C.

METODOLOGI

Alat
Alat yang digunakan dalam
penelitian ini adalah gelas ukur, spatula,
batang pengaduk, botol maserasi, labu
ukur, erlenmeyer, beaker glass, rotary
evaporator, kertas saring, kandang
mencit, neraca ohaus (untuk menimbang
berat badan mencit), neraca digital
(untuk menimbang bahan), sonde oral,
peralatan bedah minor (gunting, pinset,
scalpel dan klem), wadah jaringan (pot
plastik), kapas, tissue, slide, cover glass,
embedding casette, Automatic Tissue
Processor, Paraffin Oven, Embedding
Unit, Mikrotome blade, Incubator, Water
Bath, Slide Warmer, Staining Unit dan
Mikroskop.

Bahan

Bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah ekstrak kulit kayu
raru (Cotylelobium melanoxylon P),
kloroform, formalin 10% untuk fiksasi,
alkohol, xylol, paraffin dengan titik cair
50-55
0
C, aquades, kanada balsam,
pewarna Hematoxylin dan Eosin.
Prosedur Penelitian

a) Mencit sebanyak 20 ekor,
dikelompokkan dalam 4 kelompok
yaitu:
1) Kelompok I sebagai kontrol aquades,
hanya diberi aquades secara oral.
2) Kelompok II dengan dosis ekstrak
kulit kayu raru 21,64 mg/Kg BB,
secara oral.
3) Kelompok III dengan dosis ekstrak
kulit kayu raru 43,29 mg/Kg BB
secara oral.
4) Kelompok IV dengan dosis ekstrak
kulit kayu raru 86,58 mg/Kg BB
secara oral.
b) Berikan ekstrak kulit kayu raru pada
tiap mencit kelompok II, III dan IV
secara oral menurut dosis yang
ditentukan selama 28 hari.
c) Setelah 28 hari, perlakuan dihentikan.
d) 5 mencit dari tiap kelompok dinarkosis
dengan kloroform.
e) Dilakukan laparotomi, diambil ginjal
untuk dibuat sediaan mikroskopis.
Pembuatan sediaan mikroskopis
dengan metode paraffin dan
pewarnaan Hematoxylin Eosin.
Hematoxylin mempunyai sifat pewarna
basa, yaitu memulas unsur jaringan
yang basofilik, eosin memulas unsur
jaringan yang bersifat asidofilik
(Junqueira, 2007). Metode pengujian
teknik histopatologi (BPPV) :
1) Trimming
a) Spesimen berupa potongan
organ ginjal yang telah diambil
segera difiksasi dengan larutan
pengawet berupa formalin 10%.
Perbandingan antara volume
spesimen dengan larutan 1:10
guna mendapatkan hasil yang
baik.
b) Cuci dengan air mengalir.
c) Potong jaringan setebal 2-4 mm.
d) Masukkan potongan-potongan
jaringan tersebut ke dalam
embedding casette. Dalam satu
embedding casette dapat diisi 1-5
buah potongan jaringan
e) disesuaikan dengan ukuran dari
besar kecilnya potongan.
f) Cuci dengan air mengalir.
2) Dehidration
a) Tuntaskan air dengan
meletakkan embedding cassette
pada kertas tissue.
b) Berturut-turut dilakukan
perlakuan sebagai berikut :

Tahap Dehidration
Tahap Waktu Zat kimia
Dehidration 2 jam Alkohol 80 %
2jam Alkohol 95 %
1 jam Alkohol 95%
1 jam
Alkohol
absolut I
1 jam
Alkohol
absolut II
1 jam
Alkohol
absolut III
Clearing 1 jam Xylol I
1 jam Xylol II
1 jam Xylol III
impregnation 2 jam Paraffin I
2 jam Paraffin II
2 jam Paraffin III
3) Embedding
a) Bersihkan sisa-sisa paraffin yang
ada pada pan dengan
memanaskan beberapa saat
diatas api dan usap dengan
kapas.
b) Siapkan paraffin cair dengan
memasukkan paraffin kedalam
cangkir logam dan dimasukkan
dalam oven dengan suhu diatas
58
0
C.
c) Tuangkan paraffin cair kedalam
pan.
d) Pindahkan jaringan satu persatu
dari embedding casette ke dasar
pan dengan mengatur jarak satu
dengan lainnya.
e) Masukkan/apungkan pan ke
dalam air.
f) Lepaskan paraffin yang berisi
jaringan tersebut dari pan dengan
memasukkan ke dalam suhu 4-
6
0
C beberapa saat.
g) Potong-potong paraffin sesuai
dengan letak jaringan yang ada
dengan menggunakan
scalpel/pisau hangat.
h) Letakkan pada balok kayu,
ratakan pinggirnya dan buat
ujungnya sedikit meruncing.
i) Blok paraffin siap dipotong
dengan menggunakan
mikrotome.
4) Cutting
a) Pemotongan dilakukan pada
ruangan dingin.
b) Sebelum dipotong, blok terlebih
dahulu di dinginkan.
c) Lakukan pemotongan kasar,
dilanjutkan dengan pemotongan
halus dengan ketebalan 4-5
mikron.
d) Setelah itu pilih lembaran
potongan yang paling baik,
apungkan pada air dan hilangkan
kerutannya dengan cara
menekan salah satu sisi
lembaran jaringan tersebut
dengan ujung jarum dan sisi yang
lain ditarik menggunakan kuas
runcing.
e) Pindahkan lembaran jaringan ke
dalam water bath selama
beberapa detik sampai
mengembang sempurna.
f) Dengan gerakan menyendok
ambil lembaran jaringan tersebut
dengan slide bersih dan
tempatkan ditengah atau pada
sepertiga atas atau bawah,
cegah jangan sampai ada
gelembung udara di bawah
jaringan.
g) Tempatkan slide yang berisi
jaringan pada incubator (suhu
37
0
C) selama 24 jam sampai
jaringan melekat sempurna.

5) Staining (pewarnaan) dengan Harris
Hematoxylin Eosin
Setelah jaringan melekat sempurna
pada slide, dipilih slide yang terbaik
selanjutnya secara berurutan
masukkan ke dalam zat kimia di
bawah ini dengan waktu sebagai
berikut :
Tahap Staining
Zat Kimia Waktu
Xlol I 5 menit
Xylol II 5 menit
Xylol III 5 menit
Alkohol absolut I 5 menit
Alkohol absolut II 5 menit
Aquades 1 menit
Harris Hematoxylin 20 menit
Aquades 1 menit
Acid alkohol 2-3 celupan
Aquades 1 menit
Aquadest 15 menit
Eosin 2 menit
Alkohol 96% I 2 menit
Alkohol 96% II 3 menit
Alkohol absolut III 3 menit
Alkohol absolut IV 3 menit
Xylol IV 5 menit
Xylol V 5 menit
6) Mounting
Setelah pewarnaan selesai, slide
ditempatkan diatas kertas tissue
pada tempat datar, teteskan
dengan bahan mounting yaitu
kanada balsam dan tutup dengan
cover glass, cegah jangan sampai
terbentuk gelembung udara.

7) Membaca slide dengan mikroskop
Slide diperiksa dibawah mikroskop
sinar dengan pembesaran 200X
dengan tujuan untuk melihat
gambaran ginjal seperti glomerulus,
tubulus kontortus proksimal dan
tubulus distal.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Setelah dilakukan penelitian
didapatkan hasil pengamatan berupa
preparat ginjal kanan dan kiri pada
masing-masing kelompok. Sasaran yang
dibaca adalah perubahan struktur
histopatologi dengan perbesaran 200X
pada daerah glomerulus, tubulus
kontortus proksimal dan tubulus distal
dengan parameter gambaran ginjal
normal, kemudian parameter tersebut
dijelaskan secara naratif sesuai dengan
foto hasil preparat masing-masing ginjal
mencit tiap kelompok.
Data hasil penelitian berupa data
kerusakan histopatologi glomerulus,
tubulus distal dan tubulus proksimal pada
korteks dan medula ginjal. Hasil pengujian
dapat dilihat pada gambar berikut.










Kelompok I : Ginjal normal.
Ket : 1.Glomerulus, 2. Tubulus Proksimal,
dan 3. Tubulus Distal.










Kelompok II : Korteks mengalami
perdarahan dan medulla masih terlihat
baik.
Ket : 1. Glomerulus, 2. Tubulus Proksimal,
3. Tubulus Distal, dan 4. Perdarahan










Kelompok III : Korteks mengalami
perdarahan dan nekrosa pada tubulus
proksimal dan distal, sebagian medulla
mengalami perdarahan.
Ket : 5. Kongesti dan 6. Nekrosa











Kelompok IV : Korteks mengalami
perdarahan dan nekrosa, pada medulla
inti sel sudah banyak mengalami
pergeseran (keluar dari sel) dan terlihat
menumpuk.
Ket : 6. Nekrosa dan 7. Penumpukan inti
sel.

Hasil pengujian menunjukkan pada
kelompok I (kontrol aquades) terlihat
gambaran ginjal normal dan pada
kelompok II terlihat adanya perdarahan
pada bagian korteks ginjal. Hal ini
disebabkan oleh pemberian ekstrak kulit
kayu raru dengan dosis 21,64 mg/Kg BB.
Adanya perdarahan pada perlakuan
kelompok II menunjukkan bahwa
pemberian ekstrak kulit kayu raru dengan
dosis terkecil 21, 64 mg/Kg BB
mempunyai efek terhadap ginjal
(mengalami toksik) jika diberikan secara
oral. Sebagaimana diketahui ginjal
merupakan organ ekskresi utama yang
sangat penting untuk mengeluarkan zat-
2
2
1
1
3
3
4
6
7
6
5

zat hasil sisa metabolisme tubuh
termasuk zat-zat toksik yang masuk
kedalam tubuh (Guyton, 2008).
Toksisitas kerusakan ginjal berupa
nekrosis ditemukan pada kelompok III dan
kelompok IV. Masuknya suatu substansi
toksik ke dalam tubuh dalam waktu yang
lama akan menyebabkan nekrosis tubulus
ginjal. Nekrosis diawali dengan perubahan
morfologi inti sel yaitu piknosis. Tahap
berikutnya inti pecah (karioreksis) dan inti
sel menghilang (kariolisis). Piknosis dapat
terjadi karena adanya kerusakan di dalam
sel antara lain kerusakan membran yang
diikuti oleh kerusakan mitokondria dan
aparatus golgi sehingga sel tidak mampu
mengeliminisir dan trigliserida sehingga
tertimbun dalam sitoplasma sel. Pada
ginjal, piknosis paling banyak terjadi pada
tubulus proksimalis karena di tubulus
inilah terjadi proses reabsorbsi sehingga
peluang terjadinya kerusakan akibat dari
toksikan paling tinggi (Robbins, 1992).
Kongesti merupakan suatu
keadaan yang disertai meningkatnya
volume darah dalam pembuluh darah
yang melebar pada suatu organ atau
bagian tubuh (Himawan, 1979). Jika
dilihat secara mikroskopis daerah jaringan
atau organ yang mengalami kongesti
berwarna lebih merah kerena
bertambahnya darah di dalam jaringan.
Hal ini terjadi karena pengaruh pemberian
ekstrak kulit kayu raru secara oral pada
mencit kelompok III dan kelompok IV.
Hasil pengujian pada kelompok III
dengan dosis 86,58 mg/Kg BB lebih besar
daripada kelompok II dengan dosis 43,29
mg/Kg BB menunjukkan bahwa
peningkatan dosis ekstrak kulit kayu raru
dapat mempercepat keparahan dari
kerusakan ginjal. Menurut Lu (1995), efek
toksik sangat bervariasi dalam sifat, organ
sasaran, maupun mekanisme kerjanya.
Pada umumnya, suatu bahan toksikan
yang mempengaruhi organ sasaran
didasari oleh kepekaan suatu organ, atau
lebih tingginya kadar bahan kimia atau
metabolitnya di organ sasaran. Kadar
yang lebih tinggi itu dapat meningkat pada
berbagai keadaan.
Pada penelitian ini tingkat kerusakan
ginjal yang dialami oleh mencit jantan
setelah diberikan ekstrak kulit kayu raru
secara oral pada kelompok II dengan
dosis (21,64 mg/Kg BB), kelompok III
dengan dosis (43,29 mg/Kg BB) dan
kelompok IV dengan dosis (86,58 mg/Kg
BB) selama berturut-turut yaitu
perbandingan tingkat kerusakan yang
dialami mencit pada kelompok I (kontrol
aquades) dan kelompok II dengan dosis
(21,64 mg/Kg BB) memperlihatkan
perbandingan yang signifikan yaitu tingkat
kerusakan yang diperlihatkan pada
gambaran histopatologi ginjal berupa
perdarahan pada bagian korteks
sedangkan kelompok I (kontrol aquades)
ginjal terlihat normal. Sedangkan
perbandingan kerusakan kelompok II
dengan dosis (21,64 mg/Kg BB) lebih
kecil daripada kelompok III dengan dosis
(43,29 mg/Kg BB) dengan tingkat
kerusakan yang diperlihatkan pada
gambaran histopatologi berupa
perdarahan dan nekrosa tubulus
proksimal dan tubulus distal pada bagian
korteks dan sebagian medulla sudah
mengalami perdarahan, sedangkan
tingkat kerusakan terparah terjadi pada
kelompok IV dengan dosis (86,58 mg/Kg
BB) jika dibandingkan dengan kelompok II
dengan dosis (21,64 mg/Kg BB) dan
kelompok III dengan dosis (43,29 mg)
dengan banyaknya mengalami nekrosa
dan perdarahan pada bagian korteks dan
inti sel mengalami pergeseran dan terlihat
menumpuk pada bagian medulla.


KESIMPULAN

Uji toksisitas subkronik ekstrak kulit kayu
raru (Cotylelobium melanoxylon Pierre)
terhadap ginjal mencit jantan secara oral
adalah sebagai berikut :
1. Ekstrak kulit kayu raru terbukti
mempunyai efek toksik terhadap
ginjal mencit. Antara lain terdapat
perubahan gambaran histopatologi
ginjal mencit pada bagian medulla
dan korteks.

2. Terdapat hubungan antara
perubahan histopatologi ginjal
mencit dengan pemberian ekstrak
kulit kayu raru peroral dosis
bertingkat, dimana semakin tinggi
dosis maka semakin parah pula
efek toksisitas ekstrak kulit kayu
raru terhadap ginjal dengan
parameter gambaran ginjal normal.

DAFTAR PUSTAKA
Aisyah, C., Kumolosasi, E., dan
Soemardji, A, A., (2002),
Toksisitas Akut dan Penentuan
DL
50
Oral Ekstrak Air Daun
Gandarusa (Justicia gendarussa
Burm.F.) pada Mencit Swiss
Webster, Jurnal Matematika dan
Sains, Volume ke-7 (Nomor 2),
Departemen Farmasi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Institut Teknologi Bandung,
Bandung, Halaman 57-62.
Alboneh.,(2010), Uji Toksisitas Akut
Ekstrak Meniran (Phyllanthus niruri
L) terhadap Ginjal Mencit BALB/C,
Skripsi Fakultas Kedokteran,
Universitas Diponegoro,
Semarang.
Ganong.,(2003), Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran, Edisi ke-20, EGC,
Jakarta, Halaman 480.
Guyton, C. dan Hall, E.,(2008), Fisiologi
Kedokteran, EGC, Jakarta.
Himawan, S., (1979), Kumpulan Kuliah
Patologi, Bagian Patologi
Anatomik, Fakultas Kedokteran,
Universitas Indonesia, Jakarta.
Junqueira, L, C. dan Carneiro, J.,(2007),
Histologi Dasar Teks dan Atlas,
Edisi ke-10, EGC, Jakarta.
Lu, F, C.,(1995), Toksikologi Dasar,
Edisi ke-2, Universitas Indonesia
Press, Jakarta.

Pasaribu, G, T., (2009), Zat Ekstraktif
Kayu Raru dan Pengaruhnya
terhadap Penurunan Kadar Gula
dalam Darah secara In Vitro,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Robbins, S, L., dan Kumar, V., (1992),
Buku Ajar Patologi, EGC,
Jakarta, Halaman 1-27.
Triwibowo, A, W., (2011), Pengaruh
Pemberian Ekstrak Sambiloto
(Andrographis paniculata (Burm.f.)
Nees.) terhadap Kerusakan
Tubulus Proksimal Ginjal Tikus
Putih (Rattus norvegicus) Jantan
Galur Sparague Dawley yang
Diinduksi Gentamisin, Skripsi
Fakultas Kedokteran, Universitas
Lampung. Lampung.
Wirasuta, I, M, A, G dan Niruri, R., (2006),
Buku Ajar Toksikologi Umum,
http://id.scribd.com/doc/27116301/
Toksikologi-Umum., diakses
tanggal 18 September 2011, pukul
16.53 WIB.

You might also like