Hiperealitas Liputan Perang: Tafsir Posmeodernisme Atas Filem Semi Dokumenter "911: Control Room"

You might also like

Download as pdf
Download as pdf
You are on page 1of 32
HIPEREALITAS LIPUTAN PERANG: TAFSIR POSMODERNISME ATAS FILM SEMIDOKUMENTER 911 CONTROL ROOM CB. Martin ‘Staf Pengajar Bahasa Inggris STBA LIA Jakarta Abstrak Liputan perang di dalam media massa mengandung muatan-muatan ideologis untuk tujuan-tujuan tertentu selain menyampaikan fakta dari sebuah peristiwa. Film semidokumenter 911 Control Room (CR) menjadi contoh bagaimana idealisme para jumalis terbentur kepentingan pihak-pihak yang berkuasa sehingga pemberitaan mereka terperangkap di dalam hiperealitas-konstruksi realitas yang berbeda dari realilas. yang seharusnya direpresentasikannya. Konstruksi berita ini menjadi sebuah simulakrum atau ilusi realitas yang dibangun oleh kepentingan dan fantasi pembuat berita dan, tentunya, pihak yang berkuasa, Di dalam CR konsep hiperealitas ini menjadi sangat jelas terlihat, terutama dalam pemberitaan besar, seperti CNN, BBC, dan FOX NEWS. Simulakrum yang ditawarkan media massa pihak barat di dalam film ini didekonstruksi oleh sutradara Noujaim melalui sudut pandang para pekerja berita Al Jazeera, sebuah stasiun televisi Arab yang berbasis di Quta Melalui bricolage potongan-potongan adegan dalam CR, pertarungan ideologis antara pihak barat dan pihak Arab menjadi sesuatu yang sangat kental terlihat. Hal ini menyadarkan pemirsa bahwa liputan perang selalu mengandung hiperalitas dan pertarungan ideologis pihak-pihak yang berkepentingan. Kata kunci: hiperealitas, simulakrum, ideologi, bricolage, suspension of disbelief, hegemoni, spectactorship. Abstract War coverage in mass media bear ideological content for certain purposes other than reporting the facts from an event. A semi-documentary film, 911 Control Room (CR), becomes one of the examples of how the journalist idealism collides with the interest of the ruling parties so that their news report is trapped inside the hyper-reality — a construction of reality which is different from the reality that should have been represented by the news. This construction of news has become a simulacrum or an illusion of reality built from the interests and fantasies of the news makers and, of course, the ruling parties. In CR this hyper-reality is very much obvious, especially in the coverage of some big television stations, such as CNN, BBC, and FOX NEWS. In this movie the simulacrum offered by the western media is visually deconstructed by the director, Noujaim, through the eyes of the news workers of Al Jazeera, on Arabian TV station based in Qatar. Through the bricolage of a series of scenes in CR, the ideological struggle between the western media and the Arabian media has become so obvious. This will enlighten the audience to see that war coverage always contain hyper-reality and ideological struggle among the concerning parties. Key words: hiper-reality, simulacrum, ideology, bricolage, suspension of disbelief, hegemony, spectactorship. 42 LINGUA Vol. 4 No.2, November 2005 4273. 1. Pendahuluan Media massa, sebagai produk budaya, telah menjadi salah satu bagian hidup manusia modern. Setiap hari manusia membutuhkan informasi dan hiburan yang disajikan media massa. Di sisi lain, perilaku dan tujuan hidup manusia, disadari atau tidak, selalu didominasi oleh apa yang ditawarkan oleh media massa. Dalam hal ini media massa berperan sebagai produsen budaya yang memiliki pengaruh besar karena jangkauan penyebaran atau siaran media massa yang Iuas dan mampu menembus batas-batas negara, budaya, dan waktu. Peristiwa yang terjadi di negara yang berjarak ribuan kilometer dapat dengan cepat diketahui pemirsa di negara lain. Melalui media massa, produk- produk budaya lain, seperti film, lagu, lukisan, patung, dan sebagainya, juga dapat dinikmati secara global melintasi batas daerah dan waktu. Manusia terlihat sangat dimudahkan dengan adanya media massa. Keuntungan yang didapat_ melalui. media massa _—_-hampir menenggelamkan kenyataan bahwa media massa juga berbahaya. Bahaya ini berasal dari muatan-muatan terselubung yang selalu ada dalam setiap kemasan media massa. Muatan-muatan ini bersifat ideologis yang selalu ditujukan untuk menguntungkan pihak yang berkuasa. Dengan kata lain, media massa digunakan oleh pihak yang berkuasa untuk melanggengkan hegemoninya terhadap kelompok tertentu. Dalam hal ini, kajian cultural studies, terutama media studies, ditujukan untuk membuka dan menunjukkan kepada masyarakat luas tentang pengaruh buruk media massa yang berupa berbagai kesadaran palsu (ideologi) yang ditawarkan pihak yang berkuasa di balik media massa. Media massa biasanya dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar, yaitu media cetak, seperti koran, majalah, dan sebagainya, dan media elektronik, seperti radio, televisi, internet, dan sebagainya. Di dalam tulisan ini, ada dua genre media elektronik yang ingin dicermati, yaitu televisi, knususnya Hiperealitas Liputan Perang: Tafsir Posmodernisme atas Film Semidokumenter 917 Control Room (C.B. Martin) 43 liputan berita perang, dan film. Keduanya sama-sama bermuara pada sebuah film semidokumenter, yaitu 977 Control Room (2004) yang disutradarai Jehane Noujaim dan beredar di Indonesia dalam bentuk DVD. Film ini dibuat saat Perang Teluk ke-2 (PT-2) mulai berlangsung di Irak.' 911 Control Room (CR) menyajikan sebuah dokumenter mengenai pekerjaan dan profesionalisme para jurnalis Al Jazeera (AJ) di sebuah pusat media pemberitaan PT-2 di perbatasan Qatar. Tulisan ini akan membahas 917 Control Room dan implikasi dari film ini kepada jurnalisme posmodernisme, terutama pada liputan perang. Untuk itu, teknik pembuatan filmnya tidak akan dibahas secara rinci, Fokus tulisan ini hanyalah fakta-fakia jurnalisme yang disajikan dalam CR dan implikasi dari fakta-fakta tersebut kepada keberterimaan berita dan kadar kebenaran yang dikandungnya. Jurnalisme yang dipaparkan di sini juga dibatasi pada liputan media televisi sesuai dengan isi cerita film ini yang dilihat dengan menggunakan sudut pandang hiperealitas Baudrillard. Tulisan ini dimulai dengan sedikit mengulas film sebagai salah satu genre media yang akan dilanjutkan dengan mengulus CR secara ringkas, liputan perang dalam era posmodernisme dengan teori hiperealitas Baudrillard, dan pembahasannya. 2, Film Cerita vy Film Dokumenter Film sebagai gejala budaya telah mengalami banyak perubahan sejak dipopularkannya sinekamera (cine-camera) oleh Lumiere Bersaudara pada tahun 1895 (Hayward, 1996:72). Perkembangan teknologi_sinema memungkinkan munculnya teknik-teknik pembuatan film yang sebelumnya tidak terbayangkan, terutama penggunaan teknologi komputer grafis. Teknik penyusunan narasi pun mendapat imbasnya dengan teknologi informasi yang * PT-2 yang secara ‘tesmi’ telah dinyatakan berakhir juga memunculkan film-film semidokumenter lainnya, seperti Farenheit 9/11 (2004) yang disutradarai Michael Moore. 44 LINGUA Vol. 4 No, 2, November 2005 42—73, memudahkan akses data dan sumber cerita ke berbagai belahan dunia dan dari berbagai periode waktu, Persinggungan film dengan dunia industri komersial juga mempercepat proses perkembangan teknologi sinema. Dengan persinggungan ini ideologi idealis para pembuat film dibenturkan dengan ideologi dagang para produser. Hal ini secara tidak langsung mengubah perilaku dan budaya sinema. Secara tradisional film dapat dikategorikan menjadi dua kubu besar, yaitu film dokumenter dan film cerita. Awalnya, kedua-duanya bercerita mengenai apa yang harus dianggap “benar”. Pada akhimnya, film dokumenter ditempatkan pada posisi yang lebih dekat dengan representasi realitas yang “benar” daripada film cerita. Realisme film dokumenter termotivasi secara estetik (aesthetic realism) dengan penggunaan kamera secara nonmanipulatif untuk menyampaikan suatu representasi realitas. Dalam realisme estetik ini terdapat kesadaran penuh untuk berusaha menyadarkan dan mengembalikan penonton kepada realitas. Secara teknis, film dokumenter banyak yang tidak melalui proses editing untuk menghindari manipulasi. Di sisi lain, realisme film cerita termotivasi secara “kibul” (seamless realism) dengan fungsi ideologis untuk merepresentasikan ilusi realisme. Dalam realisme kibul ini, teknik narasi dikembangkan untuk membunuh gagasan tentang ilusi dan menciptakan efek realitas (reality effect) sehingga tampil seolah-olah secara alamiah. Di sini seluruh kerja kamera, warna, suara, dan montage (editing) dikerahkan untuk menggiring persepsi penonton untuk tetap berada dalam ilusi. Pada perkembangannya kategorisasi ini menjadi kabur karena masing- masing mencoba untuk memasukkan unsur-unsur yang Jain ke dalam narasi dan teknik pembuatannya. Film cerita banyak yang mengandung narasi dan adegan dokumenter, termasuk penggunaan pilihan warna hitam-putih untuk menekankan sifat dokumenternya. Sebaliknya, sebagian besar film dokumenter Hiperealitas Liputan Perang: Tafsir Posmodernisme atas Film Semidokumenter 911 Control Room (C.B. Martin) 45 menggunakan narasi yang memanipulasi realitas yang ingin disuguhkan. Percampuran ini menjadi sebuah bricolage yang menjadi salah satu citi posmodernisme. Perhatikan film seri perang Hollywood, Band of Brothers (2001), yang menyatukan cerita dokumenter perang dengan adegan wawancara dengan para pelaku perang yang masih hidup dan kisah masing-masing dari mereka menjadi bagian narasi film itu; atau film cerita, Forest Gump (1994) yang memasukkan beberapa fakta sejarah dunia ke dalam narasi ceritanya yang membuat penonton percaya bahwa tokoh Forest Gump benar-benar ada.” Pada kesempatan lain, banyak film semidokumenter mengenai kehidupan satwa liar, seperti National Geography, menggunakan narasi yang memiliki alur dan dialog layaknya sebuah film cerita. Hal ini menyebabkan binatang pun seakan- akan dapat berbicara dan memberikan komentar dalam film ini. 3. Sekilas ‘911 Control Room’ Film 911 Control Room (CR) adalah film semidokumenter independen (indie) yang menyajikan sebuah rangkaian fragmen hiruk-pikuk produksi berita saat terjadinya Perang Teluk ke-2 (PT-2) di Irak. Noujaim memfokuskan pengambilan gambar dari sudut pandang para pekerja berita di ruang kontrol stasiun berita Al-Jazeera, sebuah stasiun televisi kecil yang berbasis di Qatar. Dengan cerdik, Noujaim berhasil ikut serta dalam berbagai kegiatan pemberitaan Al-Jazeera yang dimulai sesaat sebelum perang dimulai dan ? Gump diperlihatkan bertemu dengan beberapa tokoh dunia, seperti Elvis Presley, tiga presiden AS: JFK, Lyndon Johnson, dan Richard Nixon, John Lennon, kemudian menjadi ‘entara dalam perang Vietnam dan setelah kembali malah ikut dalam aksi damai terbesar menentang perang Vietnam di Washington, D.C. Selain Forest Gump, ciri-ciri posmodemisme juga dapat ditemui di dalam film Pulp Fiction (1994) yang disutradarai Quentin Tarantino (Rayner, et al., 2001:16). Film ini memadukan berbagai macam genre film, seperti gangster, komedi, drama, dan sebagainya 46 LINGUA Vol.4 No. 2, November 2005 42—73, berakhir saat perang dinyatakan ‘berakhir’? oleh pihak koalisi (AS dan BR‘). CR bukanlah film dokumenter serius. Film ini memperlihatkan bagaimana terjadinya dua jenis perang saat itu, yaitu perang yang sebenarnya (perang fisik) dan perang media massa yang santai walaupun sarat dengan pesan propaganda. CR tidak memiliki narasi yang kuat seperti film cerita, tetapi alur cerita diperkuat dengan penyusunan potongan-potongan adegan yang penuh dengan dialog yang alami dari orang-orang yang terlibat. Noujaim bermain- main dengan montage yang memperlihatkan bagaimana teknologi satelit dan komputer grafis mendekonstruksi semua prinsip pemberitaan media massa, terutama prinsip penyampaian kebenaran.° CR dapat ditafsirkan sebagai media perlawanan kaum minoritas, yang diwakili oleh Al-Jazeera (AJ), terhadap pihak yang dominan, yang diwakili oleh stasiun TV barat (baca: AS dan BR), seperti CNN dan BBC. CR memperlihatkan usaha AJ untuk berusaha mendobrak hegemoni pemberitaan perang yang penuh dengan propaganda pihak koalisi dengan mempermainkan realitas kebenaran. AJ sendiri sebenarnya terjepit di antara pihak koalisi dan pemerintah Irak yang sama-sama mengecam pola pemberitaan AJ yang dianggap cenderung berpihak ke salah satu pihak (counter programming, www).° Cerita diawali dengan adegan penugasan beberapa reporter senior AJ ke sebuah pusat media tentara koalisi (Coalition Media Centre) di pinggiran kota Doha, Qatar, dua minggu sebelum perang dimulai. Pihak koalisi (Amerika * Presiden Bush telah mendeklarasikan berakhimnya perang di Irak, tetapi sampai sekarang perlawanan bersenjata masih memakan banyak korban tentara koalisi di Irak. * (Baca: Amerika Serikat dan Britania Raya). * Sesuai dengan sembilan prinsip dasar jurnalisme dari Kovach dan Rosenstiel (2001). © Pemerintah AS memang sangal terganggu dengan keberanian AJ untuk meliput dan menyiarkan peristiwa yang dianggap penting bagi AJ dan masyarakat Arab. Namun, hal ini dianggap sebagai sebuah keberpihakan terhadap pihak lawan oleh militer AS, terutama saat AJ menayangkan pidato Osama bin Laden setelah peristiwa 9/11, tentara AS yang ditangkap di Irak, dan lain sebagainya. Sebaliknya, Saddam pun sudah gerah dengan penayangan kecaman- kecaman terhadap pemerintahannya yang dilakukan AJ. Hiperealitas Liputan Perang: Tafsir Posmodernisme atas Film Semidokumenter 917 Control Room (C.B. Martin) 47 Serikat dan Britania) memulai program embedded journalism (jurnalisme berperan-serta) yang memungkinkan reporter mendapat berita langsung dari lokasi pertempuran dengan ikut ditugaskan pada sebuah unit tempur tertentu dan mendapat fasilitas pusat pemberitaan yang memudahkan akses ke sumber berita militer dan akses pengiriman berita melalui satelit (embedded journalist, www). Pada perang-perang sebelumnya, pihak media massa hanya mendapat berita melalui keterangan pers dan laporan-laporan yang dikeluarkan juru bicara militer’ karena minimnya akses ke lokasi pertempuran. Pihak militer menganggap bahwa tuntutan media massa tentang akses berita ini merupakan promosi gratis untuk mendapat dukungan dari para pemirsa di seluruh dunia. Namun, perang tetaplah perang. Pihak militer ternyata tetap membatasi akses dan malah berusaha untuk mengonstruksi realitas untuk tujuan propaganda seperti yang sebelumnya dilakukan, Pengeboman yang dilakukan pihak militer ke gedung tempat kantor AJ di Baghdad dan ke Hotel Palestina tempat para jurmalis berada di Baghdad mengisyaratkan adanya usaha represif terhadap kebebasan berbicara media massa. Dari awal cerita terlihat bahwa CR memperlihatkan idealisme para pekerja AJ, yang mayoritas merupakan anggota kelompok etnis Arab, untuk melaporkan apa yang sebenarnya terjadi kepada dunia, khususnya kepada negara-negara Arab, melalui perspektif dunia Arab. Mereka sadar betul bahwa laporan berita perang yang ditayangkan media baral, terutama AS, sangat isi. Hal ini bersifat manipulatif dan sangat berpihak kepada pasukan koa terlihat dari minimnya laporan korban sipil dan militer di dalam liputan CNN dan Fox News. Mereka lebih banyak menyajikan adegan-adegan perlempuran " Laporan dari pihak militer ini dikenal dengan nama ‘war room report’ — laporan yang telah disetujui para petinggi militer untuk disiarkan. Tentunya laporan ini sarat dengan propaganda untuk kepentingan militer. Isinya telah dimanipulasi sedemikian rupa sehingga tidak lagi menyisakan realitas yang sebenarnya, 48 LINGUA Vol 4 No.2, Novenber 2005 42—73, “tanpa korban” dan kemajuan yang diperoleh pihak koalisi. AJ berusaha untuk menampilkan perang yang benar-benar nyata dengan menampilkan korban dan apa yang sebenarnya terjadi. Sangat disayangkan bahwa setelah peristiwa pengeboman ke kantor mereka di Baghdad yang menewaskan reporter senior mereka, Tarek Ayoub, AJ tidak lagi memiliki akses untuk meliput peristiwa- peristiwa di Baghdad sesaat sebelum kota ini jatuh ke tangan pihak koalis Mulai saat itu diperlihatkan bagaimana frustasinya para reporter AJ ketika menayangkan liputan-liputan yang didapat melalui program ‘embedded journalism’ stasiun televisi lain, seperti CNN dan Fox News, dan laporan pers pihak militer yang mereka nilai sarat dengan kebohongan. Di dalam CR ada beberapa adegan yang memperlihatkan diskusi dan perdebatan antara Hasan Ibrahim, reporter senior AJ, dan Letnan Marinir John Rushing, perwira penghubung media (liason officer) di pusat media koalisi. Ibrahim mewakili dunia Arab dan segala perspektifaya mengenai perang yang terjadi di Irak dan perang yang terjadi di televisi. Menurut Ibrahim, seluruh dunia bethak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Rushing, sebagai seorang petugas media, terlihat cukup berusaha untuk bersikap terbuka dan penuh pengertian mengenai tugas ulama para jurnalis untuk meliput dan menayangkan realitas. Namun sebagai seorang tentara, Rushing tetap harus melihat media sebagai bagian dari rencana perang pihak koalisi untuk memenangkan perang. Walaupun banyak perdebatan di antara keduanya, masing-masing menghargai profesionalitas pekerjaan mereka karena mereka sama-sama tahu bahwa dalam perang realitas hampir selalu harus dikorbankan demi kepentingan militer. Karakter lain dalam CR adalah Gamir Khader, produser berita AJ, yang sering kali ditayangkan sebagai seorang jurnalis yang penuh dengan kritik terhadap AS dan pemberitaan di media barat. Namun, di sisi lain dia mengakui bahwa dalam perang media adalah hiburan yang ipeteaiasLiputan Perang: Tafsir Posmoderisme atas Film Semidokumener 911 Control Room (Ci. Martin) 49 mendambakan kemenangan dan pemirsa tidak memerlukan alasan dan pembuktian bagaimana kemenangan itu didapat, Di akhir cerita, akhirnya para jumalis AJ dan media massa lainnya memperlihatkan bagaimana objektifitas ketidakberpihakan dalam pemberitaan perang tidak lagi dapat dipertahankan. Sering kali (kalau tidak dapat dikatakan selalu) situasi perang mengharuskan mereka untuk memilih salah satu pihak di dalam liputan mereka, seperti yang diujarkan Khader, “...We were told that you are either with us or against us”. AJ telah memilih rakyat Irak (rakyat Arab) dan penderitaan mereka sebagai tujuan utama liputan mereka. 4, Media Pemberitaan Perang di Era Posmodernisme Media pemberitaan tentang perang di era modern ini sangat memaksimalkan media televisi yang memiliki kombinasi bentuk audio-visual yang dianggap paling efektif dalam penyampaian berita. Menurut Hall (dalam Edginton & Montgomery, 1996:87), berita (news) adalah “hasil akhir dari serangkaian proses yang kompleks yang dimulai dari proses pemilihan dan penilaian peristiwa dan topik yang sesuai dengan kriteria nilai berita (news values)”. Kriteria nilai berita ini meliputi tujuh unsur pokok, yaitu® a. recency, sebuah peristiwa selalu menjadi berita karena kekiniannya; b. size, peristiwa yang menyangkut jumlah angka yang besar, seperti jumlah korban, jumlah uang, jumlah luas daerah beneana, dan sebagainya, dapat menjadi berita; c. proximity, peristiwa yang lebih dekat jaraknya dengan daerah tempat tinggal pemirsa (pembaca) selalu menarik untuk dijadikan berita; * Edginton & Monigomery (1996:37) awalnya mengatakan ada delapan unsur dengan memasukkan ‘clarity’, tetapi di halaman berikutnya tidak ada lagi penjelasan mengenai clarity ini. 50 LUNGUA Vol. 4 No. 2, November 2005 42—73, d. elites, peristiwa yang berhubungan dengan orang, tempat, atau pun topik lain yang terkenal selalu menjadi pilihan baik untuk dijadikan berita; e. predictability, peristiwa yang tidak diharapkan terjadi dan yang cenderung diharapkan untuk terjadi (karena pernah terjadi sebelumnya) sama-sama merupakan berita yang menarik; f. personalization, peristiwa yang terjadi dapat dikaitkan dengan orang tertentu yang menjadikan peristiwa sebagai miliknya atau terjadi pada dirinya dan dikemas secara lebih dramatis; g. negativity, peristiwa yang buruk bagi seseorang atau bagi sekelompok orang merupakan berita yang baik. Salah satu unsur tersebut telah dapat membuat sebuah peristiwa layak diberitakan. Kombinasi di antara mereka akan lebih menambah nilai beritanya. Untuk itu, jurnalis harus mencari sebanyak mungkin unsur-unsur di atas. Tentu saja ada pertimbangan lain selain nilai berita sebuah peristiwa, salah satunya adalah ideologi yang dipercayai media massa yang bersangkutan. Setiap media massa memiliki ideologi tertentu yang menjadi kerangka kerja atau batasan pemberitaannya. Untuk itu perhatikan perbedaaan ideologi pemberitaan media massa, seperti antara koran serius dan koran gosip, antara stasiun berita CNN dan stasiun berita Al-Jazeera, antara stasiun televisi Global TV dan stasiun televisi Metro TV, dan lain sebagainya. Selain itu, jurnalis juga harus mempertimbangkan selera pemirsanya (pembacanya). Media sesuai dengan namanya scharusnya adalah penyampai atau penghubung pesan atau realitas yang diliput dengan pemirsanya. Namun, dalam praktiknya media telah menjadi isi pesan itu sendiri (McLuhan dalam Piliang, 2004:189). Di dalam perang, realitas selalu memiliki celah untuk Hiperealita Liputan Perang: Tair Posmodemnismeatas Film Semidokumenter 911 Control Room (CB. Martin) 51 masuknya fantasi yang kemudian bercampur untuk menghasilkan realitas baru yang lebih mudah untuk dikonsumsi kebanyakan orang. Paling tidak itulah yang menjadi dasar ideologis liputan berita perang. Bagi kebanyakan media massa, realitas perang yang penuh fakta korban dan kehancuran infrastruktur bukanlah jenis liputan yang menghibur, Realitas fakta ini perlu dilebur dengan realitas fantasi kepahlawanan dan kemenangan salah satu pihak untuk menjadi sebuah tontonan yang dapat mendongkrak reputasi. media massa dan mendatangkan keuntungan bagi mereka. Berbagai bentuk distorsi, pemalsuan, dan simulasi menjadi perwujudan kepentingan pihak yang sedang berperang. Di dalam era teknologi komunikasi yang canggih belakangan ini, setiap perang menghadirkan dua medan perang (front) sekaligus, yaitu medan perang fisik dengan realitas fakta riil dan medan perang informasi dengan tealitas fantasinya (virtual reality). Terlepas dari masa perang atau tidak, media massa seharusnya adalah cermin realitas yang merupakan representasi objektif dari apa yang sebenarnya terjadi, Kovach dan Rosenstiel (2001) mengatakan bahwa seorang jurnalis harus mematuhi sembilan prinsip dasar jurnalisme seperti yang telah disarikan berikut ini. Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran; ve . Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada pemir: Inti jurnalisme adalah berdisiplin untuk memverifikasi fakta; ao Independensi terhadap sumber berita harus dijaga; . Jurnalisme harus berfungsi sebagai alat kontrol kekuasaan; ° £ Jumalisme harus menyediakan forum publik yang terbuka bagi kritik dan dukungan dari pemirsa; g. Jumalisme harus menyajikan peristiwa yang penting, menarik dan relevan; a LINGUA Vol. 4 No, 2, November 2005 42—73 h. Jumalisme harus menjaga isi berita agar tetap komprehensif dan proporsional; i. Jumalis harus diperbolehkan mengikuti hati nurani mereka; Akan tetapi, pada praktiknya banyak jurnalis perang yang terpaksa melanggar beberapa prinsip dasar ini. Kebenaran menjadi hal yang sangat kompleks untuk dapat dipenuhi Karena selalu sarat dengan kepentingan. Tanggung jawab pemberitaan kepada publik selalu dibenturkan dengan kekuasaan. Jurnalisme, alih-alih mengontrol pihak yang berkuasa, malah menjadi alat penguasa untuk memperkuat kekuasaannya. Hati nurani para jurnalis terkadang menjadi pembenaran untuk keberpihakan media pada salah satu pihak, entah karena empati atau karena semangat patriotisme untuk membela negaranya. Media massa, terpaksa atau tidak, selalu menjadi cermin kepentingan yang merepresentasikan realitas palsu sesuai kepentingan pihak yang dominan, Di dalam era posmodernime yang sedang popular belakangan ini, media menciptakan realitas sendiri yang melampaui realitas yang seharusnya direpresentasikannya, Piliang (2004:187) menyitir istilah Baudrillard dengan menamakan kondisi media yang seperti ini dengan nama ‘hiperealitas media’. Di dalam hiperealitas media, masyarakat dikondisikan melalui media massa untuk tidak lagi dapat membedakan yang baik dari yang buruk atau yang benar dari yang salah. Peristiwa atau realitas yang sebenamya telah disaring, difragmentasi, dan dimanipulasi (direkayasa) oleh media massa untuk menjadi sebuah komoditas industri yang menjadi berbeda dari realitas yang sebenarnya walaupun dianggap sebagai representasinya. Hiperealitas dari Baudrillard ini berangkat dari konsep ‘simulasi’ dan ‘simulakrum’. Simulasi, dalam konteks media komunikasi, adalah penciptaan realitas media yang tidak lagi mengacu kepada realitas dunia nyata sebagai Hiperealitas Liputan Perang: Tafsir Posmodernisme atas Film Semidokumenter 911 Control Room (C.B. Martin) 53 acuannya, Dengan demikian, simulasi menjadi semacam ilusi realitas (artificial reality) yang disebut dengan simulakrum yang merupakan hasil teknologi simulasi. Simulakrum ini terlihat sangat mirip atau bahkan terlihat lebih nyata dari realitas yang sesungguhnya. Di dalam bukunya, The Gulf War Did Not Take Place (dalam Piliang, 2004:188), Baudrillard melukiskan simulakrum perang (simulacrum of war) dalam bentuk penciptaan citra (image) perang, lengkap dengan peristiwa-peristiwa yang lazim terjadi di dalamnya, di dalam pemberitaan perang di media massa. Dia ‘curiga’ bahwa perang yang ditampilkan media bukan hanya terjadi di medan perang (fisik) melainkan juga terjadi di dalam studio televisi dalam bentuk simulasi. Simulakrum yang sederhana adalah pembohongan publik dengan menciptakan adegan perang di dalam studio dengan tokoh dan narasi rekaan yang kemudian ditayangkan dengan pencitraan seakan-akan terjadi di medan perang. Simulakrum yang lebih kompleks dapat menggunakan potongan-potongan adegan nyata di medan perang yang kemudian diedit dengan teknik montage digital yang akan menghasilkan sebuah adegan baru yang sebenarnya tidak terjadi. Liputan berita perang dapat ditampilkan dengan pencitraan sebagai bricolage dari meleburnya potongan-potongan adegan nyata dengan potongan- potongan yang tidak nyata (virtual) melewati batas waktu dan ruang kejadian yang sebenarnya. Peristiwa yang nyata telah terkontaminasi menjadi apa yang disebut Baudrillard sebagai ‘ketidaknyataan struktural citraan’ (she structural unreality of images). Persepsi pemirsa yang menonton hasil peleburan yang nyata dengan yang virtual ini menciptakan realitas tahap ketiga (a third order of reality) yang besar kemungkinan berbeda dengan realitas nyata yang ingin 54 LINGUA Vo. 4 No.2, Novenber 205 4273 disampaikan oleh media itu senditi. Perhatikan bagan tahapan realitas posmodernisme berikut ini.” Tahap Pertama Realitas nyata — yang sebenarnya terjadi; atau tahap denotasi. Contoh: di dalam dua kejadian yang berbeda ada konvoi palang merah internasional yang dihadang orang tak dikenal dan pasukan garda nasional Irak menembaki pasukan koalisi. Tahap Kedua Realitas (simulakrum) hasil peleburan realitas nyata dengan realitas virtual yang dihasilkan dan ditayangkan pihak media dengan tujuan tertentu (efek yang ingin dirasakan oleh pemirsa); atau tahap Konotasi. Contoh: dua kejadian yang berbeda di dalam contoh tahap pertama digabungkan melalui proses editing dan ditayangkan sebagai gambar latar belakang dari sebuah pemberitaan peristiwa pertempuran di daerah pinggiran Baghdad. Tahap Ketiga Realitas seperti yang dipersepsi oleh pemirsa saat menonton simulakrum yang ditayangkan pihak media; dan efek realitas ini sangat berbeda dengan apa yang ingin dituju oleh media dengan menayangkan simulakrum itu. Tentunya kadar perbedaan bergantung pada tingkat pemahaman dan background knowledge masing-masing peserta; atau tahap hiperealitas. Contoh: pemirsa yang menonton pemberitaan seperti yang ada di dalam contoh tahap kedua dapat dipersepsi pemirsa sebagai realitas bahwa pasukan garda nasional Irak menembaki konvoi palang merah internasional. Perhatikan bahwa pada tahap ketiga, pluralisme pemaknaan menjadi sangat penting. Tanda-tanda verbal dan nonverbal yang menjadi bagian dari simulakrum dan yang dimunculkan untuk tujuan tertentu dapat ditafsirkan (decode) oleh pemirsa secara berbeda-beda, Walaupun ada resiko pluralisme ° Bagan ini mengambil analogi dengan tahapan pemaknaan Roland Barthes untuk mencari ‘mitos-mitos yang tersembunyi (1973). Hipeteaitas Lipatan Perang: Tafsir Postmoderisme aas Film Semidokumentr 977 Conrol Room (CB. Martin) 55 pemaknaan, pesan atau informasi yang ingin disampaikan menjadi tidak penting karena media massa telah menggunakan tanda-tanda tertentu sebagai psychological guidance (petunjuk yang disamarkan) yang menggiring pemirsa kepada sebuah kesepahaman publik yang kemudian akan menjadi consensus reality (realitas yang diterima publik). Dengan demikian, pilihan pemahaman pemirsa sebenarnya juga telah dibatasi oleh adegan-adegan simbolis di dalam sebuah liputan perang. Tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa liputan perang yang demikian ini merupakan sebuah bentuk ‘kekerasan simbolik’ seperti yang dikatakan oleh Bourdieu (dalam Harker, et al., 1990). Untuk menjelaskan bagaimana timbulnya kekerasan simbolik ini, penulis akan mengambil contoh sebuah tayangan pesawat tempur pihak koalisi yang terbang rendah sambil menembakkan beberapa bom cerdik (smart bombs) yang disusul oleh tayangan lain yang memperlihatkan bangunan-bangunan rumah yang hancur. Tayangan-tayangan ini adalah actuality footage (Edginton & Montgomery, 1996:97) yang dengan sendirinya dapat bercerita banyak, salah satunya adalah bahwa bom-bom pesawat tempur tersebut telah menimbulkan kerusakan di daerah pemukiman warga sipil. Akan tetapi, dalam liputan berita televisi, tayangan ini dikombinasikan dengan tulisan atau pun voice-over dari seorang pembaca berita yang menggiring pemahaman pemirsa terhadap apa yang terjadi. Pluralitas makna yang dapat ditimbulkan actuality footage telah dibatasi oleh montage melalui proses editing dan pengunaan tulisan atau narasi voice-over yang berfungsi sebagai anchorage atau penambat.'° Pemahaman pemirsa yang beragam telah digiring secara tidak. sadar kepada sebuah pemahaman yang seragam sesuai dengan yang diinginkan pembuat berita. Pemahaman mengenai tayangan ini dapat saja digiring menjadi ™ Anchorage adalah istilah Barthes untuk teks (caption) yang menjelaskan sebuah foto (dalam Budiman, 2004:71). 56 LINGUA Vol. No, 2, November 2005 42—73, bahwa bom-bom tersebut telah menghantam sebuah instalasi militer Irak. Dengan demikian, pemirsa tidak lagi bebas berpendapat dan telah didominasi secara halus oleh tayangan berita tersebut. Artinya, pemirsa telah mengalami kekerasan simbolik. Hiperealitas ini semakin subur dengan adanya kecenderungan pemirsa (atau pembaca) untuk menerima apa yang ditawarkan olch media secara positif untuk dapat menikmati fantasi dan segala informasi yang ada sebelum melakukan kritik terhadap media tersebut. Kecenderungan ini adalah konsep Coleridge (dalam suspension of disbelief, www) yang disebut dengan istilah suspension of disbelief (SOD). SOD sangat terlihat saat penonton menyaksikan sebuah film fiksi atau saat pembaca membaca sebuah novel fiksi. Mereka membiarkan diri mereka hanyut dalam narasi fiksi yang ditawarkan dan kemudian tersadar kembali setelah filmnya selesai atau setelah novelnya selesai dibaca. Salah satu contoh klasik adalah bagaimana penonton dengan sadar mengagumi Superman yang sangat kuat, bisa terbang, kebal peluru, dan sebagainya walaupun mercka tahu ia adalah tokoh rekaan dan yang mereka tonton adalah trik kamera atau visual effect; atau contoh keseriusan yang diperlihatkan pembaca dalam mengikuti narasi yang mencekam dan fakta-fakta religius yang ada di dalam novel Da Vinci Code (2003), karangan Dan Brown, walaupun mereka tahu bahwa apa yang ditawarkan Brown hanyalah rekaan belaka. SOD dapat berlangsung sampai beberapa waktu setelah film atau novelnya selesai ditonton atau dibaca bergantung pada tingkat rasionalitas dan background knowledge yang dimiliki masing-masing penonton (pembaca). Pemirsa (atau pembaca berita) sebuah siaran berita tentunya sangat sadar bahwa yang sedang ditonton adalah liputan berita yang menyajikan tiruan realitas atau simulakrum yang harus dicurigai kesahihannya (validity) nilai kebenaran yang dikandungnya. © Namun, pada ttitik tertentu mereka HipeealiasLiputan Perang: Tair Posmodernsme ata Film Semidakumente 917 Control Room (C.B. Marti) 57 mempercayai apa yang mereka lihat atau baca karena kecenderungan SOD itu. Proses penyampaian realitas melalui media dapat dilihat melalui bagan berikut."! Realitas. La : i t Encoding Decoding @) a) y Media @) Secara sederhana dapat dikatakan bahwa realitas nyata (1) ditangkap oleh jurnalis untuk disandikan (encode) dalam (2) sebagai realitas liputan berita dalam (3) yang berbeda dengan realitas yang sebenarnya. Di sini realitas telah dikonstruksikan sesuai dengan keinginan dan ideologi jurnalis. Dengan kata ‘iain, realitas nyata telah terdistorsi oleh ideologi jumalis (ditandai dengan panah yang terputus-putus antara 1 dan 3), Pada tahap ini, jurna s yang melihat langsung peristiwa atau realitas nyata juga mengalami SOD yang kemudian diramu menjadi sebuah realitas liputan berita sesuai keinginannya, Realitas liputan berita (3) kemudian disiarkan (atau dicetak) dan ditangkap oleh pemirsa (atau penonton) dalam (4) yang menyandi-ulang (decode) realitas itu. Proses " Bagan ini disajikan oleh Manneke Budiman, MA, dalam kuliah Ideologi Kebudayaan Populer (3 Juni 2005) yang mungkin dikembangkan dari bagan encoding and decoding: production as process dari Hall (dalam Burton, 1999-63). 58 LINGUA Vol. 4 No. 2, November 2005 42—73 decoding ini dapat menghasilkan realitas baru yang cenderung berbeda dengan realitas berita yang ditawarkan jurnalis. Pemirsa dengan berbagai ragam tingkat pengetahuan sanggup untuk menafsirkan berita dengan mengaitkannya dengan background knowledge yang dimilikinya dan SOD yang dialaminya. Jadi, hasil decoding ini juga telah mengalami distorsi di dalam benak pemirsa atau pembaca (dengan panah yang terputus-putus antara 4 dan 1), Perhatikan juga bahwa secara ideologis jurnalis atau media (3) selalu menganggap diri mereka atau tepatnya dianggap oleh pemirsa sebagai pihak yang memiliki akses langsung terhadap realitas yang nyata (1). Padahal, realitas yang mereka sajikan merupakan hasil konstruksi yang terdistorsi (perhatikan panah yang terputus-putus antara 1 dan 3). Tidak dapat dipungkiri bahwa media dan para jumnalisnya telah mengonstruksi hiperealitas dengan adanya distorsi realitas. Konsep hiperealitas ini juga muncul dari tuntutan ‘logika dagang’. Perhatikan bahwa semua kemajuan teknologi yang memungkinkan simulasi realitas tidaklah muncul dengan sendirinya, Penemuan dan inovasi di bidang telekomunikasi, komputer grafis, dan sinematografis banyak yang didasari oleh kepentingan dagang. Hal yang sama berlaku juga di bisnis media massa. Dana yang telah dikeluarkan untuk riset dan pembelian alat-alat cangih harus dikompensasikan dengan keuntungan yang didapat melalui pemaksimalan pengunaan alat-alat tersebut. Selain itu, pendapatan pihak media dari sektor periklanan pun menjadi salah satu motivasi dagang yang dengan aktif menyuburkan praktik-praktik manipulasi berita melalui simulakrum yang bersifat menghibur alib-alih memberi informasi. Sekarang ini hiburan menjadi tujuan utama segala jenis liputan media massa, termasuk liputan perang. Informasi yang ada harus dikemas untuk dapat menghibur pemirsa yang nantinya dapat mendongkrak rating acara dan pemasukan iklan. iperealita Liputan Perang: Tafsir Posmodernisme tas Film Semidokumenter 911 Contr! Room (CB. Martin) 59 Selain tuntutan logika dagang, konsep hegemoni kelompok yang, berkuasa (dominan) pun menjadi isu yang tidak kalah pentingnya dalam konsep hiperealitas. Simulakrum dibuat dengan kandungan ideologi (yang tersembunyi di balik-balik tanda-tanda simbolis) yang berfungsi sebagai pendukung keberlangsungan hegemoni sebuah kelompok tethadap kelompok yang lain. Simulakrum ini menjadi kancah pertarungan ideologi pihak-pihak yang berkepentingan. Di dalam konsep hegemoni di dalam liputan perang terdapat dua macam pertarungan ideologi. Pertarungan yang pertama terjadi sesaat sebelum simulakrum dibuat atau ditayangkan, yaitu antara ideologi sang jumalis dengan ideologi sang produser atau penyandang dana. Pertarungan yang kedua terjadi saat penayangan, yaitu antara ideologi masing-masing pihak yang sedang berperang, Pertarungan yang kedua ini biasa dikenal dengan istilah ‘propaganda’. Pemirsa yang cermat dan kompeten akan dapat melihat pertarungan ideologi ini dalam liputan-liputan perang. Kepercayaan pemirsa terhadap sebuah liputan biasa timbul karena salah satu stasiun berita memiliki ‘modal simbolik’ yang lebih dibandingkan stasiun berita lainnya sesuai dengan gagasan Bourdieu. CNN dan Fox News memiliki model simbolik yang lebih dibandingkan AJ bagi sebagian besar pemirsa barat. Sebaliknya, AJ memiliki modal simbolik yang lebih besar untuk dapat diterima sebagian besar pemirsa Arab. Pertarungan ideologis ini memunculkan masalah-masalah yang bermuara pada objektivitas, netralitas, dan kredibi tas informasi yang disajikan media, Simulakrum informasi yang intens dapat menimbulkan suatu kondisi ketidakpercayaan pada informasi itu sendiri. Krisis kepercayaan terhadap informasi ini diibaratkan sebagai chaos yang tidak disadari karena memang tidak tahu atau yang disadari, tetapi pura-pura tidak tahu Karena sebagian besar pemirsa atau pembaca telah menjadi massa yang hanya diam (the silent 60 LINGUA Vol. 4 No.2, November 2005 42—73 majorities) dan tidak berusaha menyuarakan pendapat atau penilaiannya terhadap sebuah informasi. Mereka menjadi apatis. Resistensi pemirsa telah disamarkan dan dijinakkan oleh opini publik yang dibentuk oleh realitas yang disuguhkan oleh media. Mereka yang memiliki background knowledge yang cukup mungkin dapat mengidentifikasi mana yang realitas dan mana yang simulakrum. Namun, kuasa media massa tidak dapat seluruhnya mereka bendung. Hiperealitas dapat mengaburkan mana yang baik dan mana yang buruk. Perang pun dapat meletus akibat hiperealitas yang ditayangkan media massa.'? Untuk meminimalkan potensi kuasa media yang dapat merugikan orang banyak, regulasi media yang ketat harus diberlakukan. Terutama yang mengatur monopoli berita dan stasiun berita; kebebasan berbicara atau melaporkan; dan keandalan sumber informasi. Tentu saja yang benar-benar harus disadarkan adalah konsumen berita itu sendiri. Masyarakat Iuas harus memiliki pengetahuan dan kewaspadaan terhadap berita yang mereka peroleh. 5. Hiperealitas dalam 911 Control Room Di dalam CR ada dua aspek menarik yang dapat dijadikan data untuk mendukung konsep posmodernisme film ini. Aspek pertama adalah aspek CR sebagai sebuah tontonan atau film. Aspek berikutnya adalah aspek fakta-fakta yang ditayangkan melalui narasi dan gambar di dalam CR. Kedua aspek ini penting karena CR menampilkan realitas yang berlapis-lapis, seperti realitas nyata saat pembuatan CR, realitas nyata liputan berita yang ditampilkan CR, realitas nyata saat penonton menyaksikan CR, dan realitas nyata saat pemirsa menyaksikan liputan berita yang ditampilkan CR. Pada aspek pertama. CR awalnya dibuat Noujaim untuk mendapat sebuah dokumenter pengalaman "2 Ingat film James Bond, Tomorrow Never Dies (1997), yang mengisahkan bagaimana berkuasanya seorang pemilik jaringan media massa schingga hampir saja berhasil memancing terjadinya Perang Dunia II. Hipecealitas Liputan Perang: Taisir Posmodernisme atas Film Semidokumenter 911 Control Room (CB, Martin) 61 proses produksi liputan perang. Setelah mengalami proses editing, CR telah menjelma menjadi sebuah film semidokumenter dengan memasukkan unsur narasi yang cukup kental. CR telah beralih rupa menjadi film semidokumenter dengan tokoh-tokoh, tempat, dan waktu yang nyata dan telah dibumbui dengan alur cerita yang sarat dengan ideologi Noujaim yang ingin menyajikan proses produksi liputan perang melalui ruang control (control room) AJ. Dengan kata lain, perspektif dunia Arab, paling tidak yang ada di kepala Noujaim, (dicoba) diwakili oleh stasiun berita ini. CR selama kurang lebih 85 menit menyajikan potongan-potongan realitas yang terjadi saat Noujaim mengikuti kegiatan beberapa jurnalis AJ dan pekerja berita lain yang bekerja di pusat media tentara koalisi (Coalition Media Centre) dua minggu sebelum perang dimulai hingga beberapa hari setelah kejatuhan Baghdad ke dalam pasukan koalisi. Noujaim menampilkan dialog- dialog singkat dan komentar-komentar yang dilontarkan para jurnalis secara kronologis.. Dengan mengagumkan Noujaim menyusun adegan demi adegan yang terpisah-pisah menjadi sebuah rangkaian alur cerita yang seakan-akan telah dibuat sebelumnya sehingga sangat sulit untuk memisahkan peristiwa yang nyata dengan yang rekaan, Setelah beberapa menit pertama, penonton CR akan lupa bahwa mereka sedang menonton sebuah film dokumenter karena alur cerita yang mengalir mulus dengan dipandu oleh dialog antarkarakter dan komentar-komentar mereka yang ditambah dengan efek humor yang cukup kental di dalamnya. Tentu saja aspek pertama ini sangat berhubungan erat dengan aspek kedua, yaitu bagaimana fakta-fakta ditampilkan dalam CR. Tidak berlebihan bila CR merupakan bentuk perlawanan hegemoni media AS melalui penayangan fakta-fakta yang ditaburi dengan lelucon verbal dan nonverbal di dalamnya. Perhatikan bagaimana para jurnalis AJ memberi komentar saat 62 LINGUA Vol. 4 No.2, November 205 42—73, menyaksikan liputan CNN mengenai jatuhnya kota Baghdad di dalam ruang kontrol AJ. Ketika pembaca berita CNN mengatakan bahwa banyak penduduk Baghdad yang mengelu-elukan kedatangan pasukan koalisi (dengan gambar tank-tank dan penduduk Baghdad berdiri di pinggir jalan), mereka tertawa lepas Karena menurut mereka ujaran-ujaran dan teriakan penduduk Baghdad bukan merupakan seruan senang melainkan kecaman dan cacian terhadap AS dan Bush. Ini merupakan bentuk manipulasi sedethana yang akan berhasil apabila liputan ini ditampilkan di negara-negara yang sebagian besar penduduknya tidak mengerti bahasa Arab (dialek Irak).' Salah satunya telah d mengelu-elukan kedatangan pasukan koa ggung sebelumnya, yaitu ketika para penduduk Baghdad dikatakan padahal mereka mencaci mereka AS dan Bush. Dalam contoh ini terbukti betapa pentingnya pengetahuan tentang bahasa dan penggunaannya di dalam hiperealitas. Mereka yang tidak menguasai bahasa dan tidak tahu cara penggunaannya akan tersapu oleh kejamnya hiperealitas. Perhatikan juga bagaimana seorang penerjemah (interpreter) AJ yang menerjemabkan pidato Bush yang memproklamasikan kemenangan pasukan koalisi_ menerjemahkan sambil menahan tawanya mendengar pernyataan yang diberikan Bush. Contoh-contoh tayangan di atas merupakan manipulasi yang sederhana dibandingkan beberapa contoh manipulasi lain yang lebih kompleks dan menurut para jurnalis AJ sangat menggelikan. Perhatikan contoh-contoh lain berikut ini. a. tayangan tank-tank pasukan koalisi yang dikatakan telah masuk kota Baghdad — padahal dari gambar tank-tank tersebut berada masih sangat jauh dari kota; ® Penulis berpendapat bahwa inilah yang patut disebut dengan istilah ‘lost in translation’. Makna sengaja dikaburkan melalui penerjemahan yang tidak tepat untuk tujuan tertentu yang biasanya menguntungkan pihak pembuat terjemahan. Hipetelitas Lipuan Perang: Tafsir Posmoderisme atas Film Semidokumenter 91 Control Room (CB. Martin) 63 b. tayangan di tengah kota Baghdad saat penduduk kota dan pasukan koalisi menumbangkan patung Saddam — saat itu, Gamar Khader yang telah lama tinggal di kota Baghdad bahkan berani bersumpah bahwa orang-orang Arab yang ada dalam liputan ini bukanlah orang Baghdad karena dialek yang mereka gunakan bukanlah dialek penduduk Baghdad. Sebelum menonton CR, penulis secara naif menganggap bahwa apa yang terjadi di waktu perang adalah apa yang disajikan media massa, Media massa selalu menyajikan realitas apa adanya sesuai dengan fungsi mereka sebagai media penyampai berita. Berkat CR, penulis mulai menyadari bahwa apa yang dikatakan Baudrillard mengenai dunia hiperealitas sangat kental terlihat di media massa. CR memperlihatkan bagaimana sebuah fakta nyata dari liputan perang dapat dimanipulasi untuk menghasilkan efek yang diinginkan pembuat berita. Liputan-liputan yang ditayangkan AJ pada dasarnya adalah bentuk resistensi terhadap liputan-liputan stasiun televisi besar: CNN, BBC, Fox News, dan lain sebagainya. AJ mewakili perspektif dunia Arab yang menganggap apa yang dilakukan tentara koalisi merupakan usaha untuk merebut dan menduduki Irak. Sementara itu, pihak koalisi menganggap usaha mereka adalah usaha yang mulia dan patriotis untuk memerdekakan rakyat Irak dari cengkeraman Saddam dan memerangi terorisme. Perbedaan perspektif ini diakui oleh pihak media barat dan media Arab seperti yang dikatakan oleh Letnan Rushing dalam salah satu diskusinya dengan Ibrahim. Rushing mengatakan bahwa perbedaan perspektif ini disebabkan perbedaan pemirsa yang ingin dituju dengan hasil liputannya. It benefits Al-Jazeera to play to Arab nationalism because that's their audience, just like Fox plays to American patriotism, for the exact same 64 LINGUA Vol. 4 No. 2, November 2005 42—13 reason... because that's their audience... the big thing for my generation is for these two perspectives - my perspective, the Western perspective, and the Arab perspective - to understand each other better... because, truly, the two worlds are colliding at a rapid rate. (Rushing, 911 Control Room). Pengakuan Rushing bahwa dunia barat dan dunia Arab harus saling memahami merupakan satu hal yang harus dipandang sebagai perwakilan dari sebagian dunia barat." Bagi jurnalis AJ, liputan-liputan CNN (dan yang lainnya) selalu memperlihatkan bagaimana kerasnya perjuangan pasukan koalisi untuk membebaskan Irak dari cengkeraman Saddam. Untuk itu gambar-gambar yang ditayangkan diedit sedemikian rupa dengan harapan para penonton ikut merasakan patriotisme dan mendukung pasukan koalisi. Contoh-contoh liputan yang seperti ini antara lain adalah a, pemboman gedung-gedung dan sasaran lain tanpa gambar jatuhnya korban sipil maupun tentara Irak; b. saat _pertempuran dan setelahnya juga tidak pernah ditampilkan korban tewas dan terluka dari pihak Irak (yang sebagian besar adalah rakyat sipil), yang ditampilkan adalah korban tewas dan terluka dari pasukan koalisi; ¢. menampilkan keseharian pasukan koalisi, seperti saat melakukan patroli, bertempur, atau malah saat mereka melepas lelah dengan bermain kartu atau berolahraga; *Letnan Marinir John Rushing dipindah-tugaskan dari Irak karena komentar dan dialog-dialog yang dia lakukan dan terekam di dalam CR. Selang beberapa lama kemudian, John ‘memutuskan untuk bethenti menjadi marinir katena tidak tahan terhadap cemoohan rekan- rekan sekerja dan atasannya tentang ‘perannya’ dalam CR dan dianggap sebagai pengkhianat negara. (www.freerepublic.com). Hiperealitas Liputan Perang: Tafsir Posmodernisme atas Film Semidokumenter 91 Control Room (C.B. Martin) 65 d.— menampilkan kegiatan kemanusiaan pasukan koalisi, seperti saat membagikan makanan dan air bersih bagi pengungsi atau pelayanan kesehatan; dan masih banyak lagi Liputan-liputan seperti contoh di atas menampilkan perang yang ramah dan terkesan tidak brutal (bloodless news). Padahal dalam kenyataan perang adalah perang. Korban tewas dan terluka lebih banyak jatuh di kalangan sipil. Sayangnya dalam PT-2 ini, pasukan Irak tidak didukung oleh media perang yang dapat dijadikan contoh yang sebaliknya. Media massa di Irak telah lebih dahulu dibungkam oleh bom-bom pasukan koalisi. Hal ini mungkin dilakukan untuk mencegah terjadinya perang media yang dapat melemahkan posisi pasukan koalisi di hadapan dunia internasional. Dialog dan komentar para karakter dalam CR dapat dianggap sebagai upaya pendekonstruksian anggapan bahwa liputan yang ditayangkan stasiun televisi besar selalu benar. Dekonstruksi isi liputan berita menjadi sebuah ajang pertarungan pemirsa untuk memilih mana yang akan dipercayai. Pluralisme pemaknaan menjadi konsep penting dalam melihat berita atau liputan perang. Dengan semangat pluralisme ini seyogyanya pemirsa televisi lar bahwa sebagai sebuah wacana liputan berita pun pasti_memiliki ‘intertekstualitas’ dengan wacana-wacana lain yang mungkin telah menjadi bagian dari memorinya. Hal ini penting terutama saat liputan perang yang. ternyata sering juga mengambil cuplikan-cuplikan gambar dari stock-shois (atau dari koleksi gambar atau tayangan yang telah ditayangkan sebelumnya). Di dalam CR diperlihatkan bagaimana beberapa stasiun televisi menayangkan gambar tank-tank yang sama dengan gambar tank-tank yang telah ditayangkan sebelumnya, tetapi dengan narasi yang berbeda. Teknik ini merupakan simulasi 66 LINGUA Vol 4 No.2, November 2005 4273 yang sederhana, tetapi sangat merugikan pemirsa yang tidak cermat dan tertipu karenanya. CR sebagai film dokumenter scharusnya sangat monoton dan membosankan, Namun, Noujaim dengan cerdiknya meramu_ potongan- potongan adegan dan dialog menjadi bricolage adegan yang cukup memancing tawa dan juga empati. Empati dapat timbul saat melihat bagaimana salah seorang jurnalis AJ harus mengorbankan nyawanya karena alasan yang dibuat- buat. Komentar para rekan dan keluarganya ikut membumbui CR. Simpati juga timbul melihat profesionalitas para jurnalis AJ yang tetap bekerja menyiarkan berita walaupun mereka tidak menyukai isi berita tersebut. Perhatikan bagaimana mereka tetap menayangkan saat masuknya pasukan koalisi ke Baghdad dan saat tumbangnya patung Saddam walaupun mereka sangat sedih dan merasa seakan-akan seluruh dunia Arab yang kalah perang. Kesedihan mereka ini dikontraskan oleh Noujaim dengan adegan yang terjadi di kantor berita Fox News, tempat para jurnalisnya bersorak-sorai gembira menonton kejadian yang sama. Terlihat AJ dan Fox News mewakili dua perspektif seperti yang dikatakan oleh Rushing, Bumbu komedi CR banyak yang datang dari Khader, sang produser berita AJ. Walaupun Khader tetap berpihak pada dunia Arab, ia tetap berusaha untuk tidak menilai semua warga Amerika Serikat itu buruk. Yang dinilai buruknya hanyalah pemerintah AS dan kebijakan politiknya. Khader malah secara tidak langsung berani berkata bahwa secara ekonomi dan intelektual AS memang tetap sebagai yang terbaik dengan mengatakan, “...Benween us, if I'm offered a job at Fox News, I'll take it, instantly. I will send my children to go to America, I will pay for them to go. To exchange this Arab nightmare for the American dream.” (Khader, 911 Control Room). Hiperealitas Lipuian Perang: Tafsir Posmodernisme atas Film Semidokumenter 911 Control Room (CB. Martin) 67 Dari contoh-contoh di atas terlihat jelas bahwa liputan berita telah menjadi semacam pertunjukan yang sifatnya memberi informasi sekaligus menghibur melalui simulakrum. Propaganda perang telah menjadi komoditas yang dapat diperdagangkan. Batas genre CR sebagai film semidokumenter menjadi kabur dengan adanya bricolage yang disusun Noujaim menjadi sebuah simulakrum yang membawa penonton kepada sebuah realitas baru (ingat realitas tahap ke-3 dari Baudrillard). Pembuatan simulakrum di dalam CR ini juga dapat dikatakan berlapis-lapis. Paling tidak CR dapat dikatakan terdiri atas dua lapis simulasi. Lapis pertama dapat dikatakan terjadi saat para reporter yang berasal dari stasiun televisi AJ (atau yang lainnya) yang terekam oleh Noujaim memutuskan liputan mana yang ingin ditayangkan setelah melalui proses editing atau pada saat para jurnalis AJ memutuskan untuk berkomentar,' dan sebagainya. Lapis kedua terjadi saat Noujaim mengedit dan menayangkan CR. Konstruksi akhir CR ada di tangan Noujaim yang bertindak seperti Tuhan dalam mengatur realitas yang disajikan CR. Sayangnya penonton tidak diberitahu apakah proses pengambilan gambar dokumenternya berdasarkan skenario yang telah ditentukan sebelumnya atau tidak, Para penonton, termasuk penulis, harus lebih dahulu memaksimalkan suspension of disbelief yang timbul untuk dapat menikmati dan menilai isi CR. Jika terperangkap dalam kontruksi realitas CR, penonton akan terbukti mempercayai setiap informasi yang ada di dalam CR. Jika cermat, penonton akan dapat melihat ideologi yang ada di balik CR: ideologi Noujaim sebagai pembuat film, ideologi para jurnalis AJ, dan ideologi para jurnalis barat. 5 Komentar dan perdebatan yang ada di dalam CR menjadi sebuah hal yang menarik untuk dipertanyakan: apakah mereka itu benar-benar tesjadi tanpa campur tangan Noujaim untuk ‘mengaturnya; atau apakah mereka membaca sebuah skenario terlebih dahulu, 68 LINGUA Vol. 4 No.2, November 2008-4278, 6. Kesimpulan Film CR merupakan salah satu film semidokumenter yang dapat digolongkan sebagai film posmodernisme. CR adalah semacam pastiche dengan penyusunan potongan-potongan adegan menjadi bricolage yang menghasilkan bentuk baru yang walaupun mirip dengan film documenter, tetapi ternyata bukan, Selain itu CR juga tidak mengindahkan kaidah-kaidah sinematografis dengan tidak mengutamakan segi estetika sinema, Hal yang paling dikedepankan justru terletak pada efek yang dihasilkan oleh CR di dalam diri penontonnya. Salah satu efek ini dapat berarti tumbubnya kesadaran kritis mengenai berita-berita di televisi atau media elektronik lainnya (atau media cetak). Kehati-hatian dalam menyikapi berita merupakan salah satu cara dekonstruksi dengan mencoba memaknai dengan menjaga jarak dengan hiperealitas yang ditawarkan para pembuat berita. Kebenaran yang dikandung sebuah liputan tidak dapat lagi dianggap sebagai kebenaran yang absolut. Selalu saja ada kepentingan yang membenarkan (justifikasi) sebuah tindakan atau peristiwa dengan dalih-dalih tertentu yang bermuara pada pertarungan memperebutkan hegemoni kekuasaan, baik kekuasaan teritorial maupun kekuasaan intelektual. Oleh karena itu, sah-sah saja bila CR dikatakan sebagai alat propaganda dunia Arab yang membutuhkan dukungan untuk lepas dari cengkeraman AS dan para sekutunya. Persinggungan dengan hiperealitas di dunia yang semakin canggih ini merupakan hal yang tidak dapat dihindarkan, Tentu saja para penonton berita i spectatorship akan memiliki interpretasi yang beragam bergantung dari posi mereka (Storey, 1996: 54-74). Posi menjadi tiga posisi, yaitu (1) posisi menerima dan menikmati wacana dominan spectatorship ini biasanya dikelompokkan yang ditawarkan film atau berita; (2) posisi negosiasi penerimaan wacana dominan dalam film atau berita dengan berdasarkan alasan-alasan, seperti peteaitas Liputan Perang: Tafsir Posmadernisme alas Film Semidokumenter 921 Control Room (C1. Martin) 69 pengalaman, motivasi, dan pandangan tentang dunia (‘world view’) yang biasa dikaitkan dengan ideologi masing-masing individu yang menonton; dan (3) posisi menolak (resistensi) wacana yang dominan untuk tidak takluk pada hegemoni pembuat film atau pembuat berita. Oleh karena itu, setiap individu harus menempatkan diri pada posisi yang mengontrol atau dikontrol oleh wacana-wacana hiperealitas yang membuai sekaligus mematikan. Salah satu hal yang mungkin dapat dilakukan untuk meminimalkan efek hiperealitas media adalah dengan memperdalam background knowledge masing-masing dan mulai bersikap kritis dengan memperhatikan tidak hanya penggunaan bahasa verbal, tetapi juga bahasa nonverbal (gambar, kartun, gerak tubuh, dan sebagainya). Di ujung tulisan ini, penulis juga harus akui bahwa tulisan ini pun tidak lepas dari keberpihakan Karena adanya kepentingan-kepentingan yang melandasi semua pernyataan yang ditampilkan, dan tentunya intertekstualitas dengan teks-teks lain. Hal yang lebih menakutkan lagi adalah kenyataan bahwa penulis merasa seakan-akan telah terperangkap di dalam simulakrum gagasasan para dosen pengajar FIB-UI (termasuk Manneke Budiman), Baudrillard dan Piliang sehingga masuk ke dalam hiperealitas konsep teori budaya, Namun, sebuah tulisan memang harus berpihak. Apakah berpihak pada diri sendiri dan apa yang diyakininya atau berpihak pada apa yang diyakini orang lain atau yang diyakini publik. Penulis memilih untuk bernegosiasi dengan ketiganya. Sekian. 70 UNGUA Vol. 4No, 2, November 2005 4273 DAFTAR PUSTAKA Alfano, Pete. 06/25/2004. “A Question of Honour”. http:/Awww.freerepublic.com Baldwin, Elaine, Brian Longhurst, Scott McCracken, Miles Ogborn, & Greg Smith. 2004, Introducing Cultural Studies. Rev.Ed. Harlow: Pearson. Barthes, Roland. (1964) 1973. Elements of Semiology. Terj. Annete Lavers & Colin Smith. New York: Hill and Wang. Budiman, Kris. 2004. Semiotika Visual. Yogyakarta: Buku Baik. Burnett, Ron. 1995. Cultures of Vision: Images, Media, and the Imaginary. Indianapolis: Indiana UP. Burton, Graeme. 1999, Media and Popular Culture. London: Hodder & Stoughton. “Counter Programming”. hup://www.filmmakermagazine.com/winter2004/features/counter_prog. ramming.php Edginton, Beth & Martin Montgomery. 1996. The Media. Manchester: The British Counci “Embedded Journalist.” http://en.wikipedia.org/wiki/Embedded_journalism Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gadjah Mada UP. Harker, Richard, Cheelen Mahar, & Chris Wilkes. 1990. An Introduction to the Work of Pierre Bourdieu: The Practice Theory. Ter}. Pipit Maizier. Yogyakarta: Jalasutra. Hayward, Susan. 1996. Key Concepts in Cinema Studies. London: Routledge. Howells, Richard. 2003. Visual Culture. Oxford: Blackwell. Hutcheon, Linda. (2002) 2004. The Politics of Postmodernism. Terj. Apri Danarto. Yogyakarta: Jendela. ipereaitas Liputan Perang: Tafsir Posmodernisme atas Film Semidokumenter 911 Control Room (C.B. Martin) 71 Kovach, Bill & Tom Rosensthel. 2001. The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and the Public Should Expect. New York: Crown Publisher. Lubis, Akhyar Yusuf. 2003. Masih Adakah Tempat Berpijak Bagi IImuwan Setelah Kebenaran dan Kepastian Dihancurkan: Sebuah Uraian Filsafat Iimu Pengetahuan Kaum Posmodernis, Bogor: Akademia. Piliang, Yasraf Amir. 2001. Sebuah Dunia yang Menakutkan: Mesin-Mesin Kekerasan dalam Jagat Raya yang Chaos. Bandung: Mizan. - 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra, » 2004a, Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Yogyakarta: Jalasutra. - 2004b. Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika. Yogyakarta: Jalasutra, Rayner, Philip, Peter Wall, & Stephen Kruger. 2001. Media Studies: The Essential Studies. London: Routledge. Robins, Kevin. 1996. Into the Image: Culture and Politics in the Field of Vision. London: Routledge. Sarup, Madan. 2003. An Introductory Guide to Post-Structuralism and Postmodernism. Ter). Medhy A. Hidayat. Yogyakarta: Jendela. Siregar, Ashadi. 1998. Bagaimana Meliput and Menulis Berita untuk Media Massa. Yogyakarta: Kanisius. Sobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: ROSDA. Storey, John, 1993. An Introductory Guide to Cultural Theory and Popular Culture. New York: Harvester. R LINGUA Vol. $ No. 2, November 2005 4273 Strinati, Dominic. 2004. An Introduction to Theories of Popular Culture. 2° ed. London: Routledge. Sugiharto, Bambang. 1996. Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. “Suspension of Disbelief.” http://en.wikipedia.org/wiki/Suspension_of_disbelief Wahyudi, J.B. 1996. Dasar-Dasar Jurnalistik Radio dan Televisi. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Hiperealitas Liputan Perang: Tafsir Posmodernisme atas Film Semidokumenter 911 Control Room (C.B. Martin) 73

You might also like