Penelitian Di Bidang Penerjemahan

You might also like

Download as pdf
Download as pdf
You are on page 1of 18
PENELITIAN DI BIDANG PENERJEMAHAN* Benny Hoed Guru Besar Linguistik, Fakultas IImu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia; Ketua Umum Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI) Abstrak Penerjemahan adalah suatu upaya mengungkapkan kembali pesan dari suatu bahasa ke dalam bahasa yang lain. Pada dasarnya di dalam penerjemaban tidak ada yang benar atau salah secara mutlak. Hai ini tergantung untuk apa dan untuk tujuan siapa penerjemahan itu dibuat. Di dalam penerjemahan teks sasaran (TSa) isinya harus sama dengan teks sumber (TSu) atau boleh jadi bentuknya berbeda, tetapi maknanya serupa. Dengan demikian, makna atau pesan yang dimaksud dalam bahasa sumber (BSu) dapat dipahami atau mempunyai nilai yang sama dengan bahasa sasaran (BSa). Dalam teori penerjemahan ada dua jenis kajian, yaitu (1) yang bertujuan membantu penerjemah dalam melaksanakan pekerjaannya dan (2) yang bertujuan mengembangkan teori penerjemahan sebagai landasan kajian, bukan sekedar hubungan antarbahasa, melainkan hubungan antar budaya. Di antara kedua tujuan ini timbul jenis kajian yang mempunyai fungsi ganda: teori dan kritik terjemahan, Kata Kunci: Penerjemahan, Bahasa Sasaran, Bahasa Sumber Abstract A translation is a transfer of massage from one language to another. There’s no right or wrong in one’s translation. It depends on whose the readers are and the purpose of the translation. A translator may change the forms used in the target language as long as the massage is still the same. Therefore, the meaning in the source language will still be achieved through the target language. There are two analyses used in the theory of translation, they are: (1) one meant to help a translator do his job and (2) one meant to develop analyse both the theory of translation in the two languages (Source and Target Language) and the different cultural background. There are two functions in these two analyses: the theory of translation and the critics of translation. Keywords: Translation, Target Language, Source Language *Makalah untuk Lokakarya Penelitian PPM STBA LIA, Wisma Karya Sartika, Cipanas. Jawa Barat. 3 Juni 2003. 94 LINGUA Vol, 2, Oktober 2003 $4—111 Penerjemahan adalah upaya mengalihkan pesan dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Oleh karena itu, kita tidak dapat melihat penerjemahan sebagai sekedar upaya menggantikan teks dalam satu bahasa ke dalam teks! bahasa lain. Nida dan Taber (1974: 12) mengemukakan bahwa penerjemahan “consists in reproducing in the receptor language the closest natural equivalent of the source language message, first in terms of meaning and secondly in terms of style”. Jadi, intinya penerjemahan adalah suatu upaya mengungkapkan kembali pesan dan suatu bahasa ke dalam bahasa yang lain. Kata-kata receptor language memperlihatkan bahwa penerjemahan merupakan kegiatan komunikasi, Oleh karenanya, konsep benar-salah (correctness) dalam penerjemahan, menurut mereka (opcit. : 1) didasari oleh “untuk siapa” penerjemahan itu dibuat. Dengan demikian, tidak ada terjemahan yang benar atau salah secara mutlak. Bahkan saya dapat menambahkan bahwa benar-salah dalam penerjemahan juga tergantung pada “untuk tujuan apa” penerjemahan itu dilakukan. Dalam kaitan ini, ada yang melihat penerjemahan sebagai suatu bentuk Khusus komunikasi. Hatim dan Mason (1997: 1) mendefinisikan penerjemahan sebagai “an act of communication which attempts to relay, across cultural and linguistic boundaries, another act of communication (which may have been intended for different pruposes and different readers/hearers). Penerjemah dalam hal ini adalah penerima (pesan) dalam bahasa asli (disebut bahasa sumber, disingkat BSu) dan kemudian, pada saat menerjemabkan ia bertindak juga sebagai pengirim (pesan) dalam bahasa terjemahan (disebut bahasa sasaran, disingkat BSa). "Yang dimaksud dengan teks di sini adalah produk kebahasaan fertuis atau pun lisan Penelitian di Bidang Penerjemahan (Benny Hoed) 95 Bila yang diupayakan oleh seorang penerjemah adalah pengungkapan kembali pesan BSU dalam BSa, maka secara tekstual teks sasaran (TSa) harus sepadan (isinya) dengan teks sumber (TSu)’. Dalam teori penerjemahan, dua teks (TSu dan TSa) yang sepadan adalah dua teks yang isinya dipahami secara serupa oleh penerima (pembaca atau pendengar) masing-masing dalam BSu dan BSa, Oleh karena itu, Nida dan Taber (1974: 173) mengemukakan bahwa secara tekstual terjemahan (TSa) yang benar adalah yang merupakan “dynamic equivalence” dan TSu, yakni yang bentuknya mungkin berbeda, tetapi “makna”nya serupa, yakni yang oleh penerima TSa dipahami serupa seperti TSu dipahami oleh penerimanya dalam BSu. Jadi, sepadan bukan sama, melainkan mengandung “nilai” yang sama. Orientasi dalam Penerjemahan Apa yang dikemukakan di atas belum menjelaskan secara tuntas masalah dasar dalam penerjemahan. Newmark (1988: 4) mengemukakan betapa sebuah terjemahan melibatkan TSu dan TSa pada dua kutub yang berlawanan, Di satu pihak TSu dipengaruhi oleh empat faktor, yakni pemroduksi teks (tertulis atau lisan), norma dalam BSu, kebudayaan BSu, dan format TSu. Di pihak lain, Tsa juga dipengaruhi oleh empat faktor, yakni sidang pembaca atau pendengar TSa, norma dalam BSa, kebudayaan BSu, dan format TSa. Semua itu akan mempengaruhi hasil penerjemahan. Di samping itu, masih ada dua faktor lagi yang mempengaruhi proses penerjemahan, yakni latar belakang pemikiran penerjemah dan pemahaman tentang hal yang dibicarakan dalam TSu yang mungkin berbeda atau tidak ada dalam BSa. Jadi sebuah teks atau ujaran ditentukan pemahamannya oleh konteksnya, baik di pihak BSu maupun BSa. Inilah yang oleh Newmark disebut sebagal “the dynamics of translation” 96 UNGUA Vol. 2, Oktober 2003 94—I11 Konteks juga menyangkut tujuan penerjemahan, Faktor ini mempengaruhi metode yang dipilih oleh penerjemah (Newmark 1988: 45). Yang dimaksud dengan metode adalah cara yang dipilih penerjemah sesuai dengan apakah lebih dekat dengan BSu atau BSa, Ada dua kutub yang saling menarik, yakni BSu dan BSa. Metode yang berorientasi kepada BSu adalah metode “penerjemahan semantik”, yakni yang mementingkan pengalihan makna pada tataran terendah (misalnya kata atau ungkapan). Dalam metode ini ungkapan idiomatik tidak dicarikan padanannya, tetapi dialihbahasakan saja meskipun idiom semacam itu tidak terdapat dalam BSa. Misalnya, (1) “Nobody is gonna buy that idea” diterjemahkan dengan (la)"Tak seorangpun akan membeli gagasan itu” Dalam hal tertentu, ini dapat juga disebut sebagai “penerjemahan setia” terutama apabila terjemahan itu berbunyi, (1b) “Tidak satu orangpun akan membeli gagasan itu” yang terasa lebih “kaku” dan “asing” daripada yang pertama. Dalam pada itu, apabila penerjemahan lebih berorientasi kapada BSa, maka disebut metode “penerjemahan komunikatif’. Di sini, yang penting adalah agar pesan dipahami dalam konteks BSa. Kalimat Inggris di atas akan diterjemahkan menjadi: (1c) “Tak seorangpun mau menerima gagasan itu” yang lebih menekankan pada keberterimaan dalam BSa? *Sebenamya Newmark berbicara tentang delapan metode dasar dalam — penerjemahan (Newmark 1988:45-48). Di samping dua metode yang dibicarakan di atas, tiga di antaranya lebih dekat lagi orientasinya kepada BSu (penerjemahan kata-demi-kata, harfiah, dan setia) dan tiga lagi lebih dekat lagi kepada BSa (saduran atau adaptasi, penerjemahan bebas, dan penerjemahan idiomatik). Namun. tidak relevan untuk dibicarakan di sini, Yang penting kita pahami bahwa bahwa tidak ada hanya satu metode dan bahwa metode-metode itu dibedakan berdasarkan orientasinya ke BSu ata BSa, dan dipilih berdasarkan tujuan tertentu. Penelitian di Bidang Penerjemahan (Benny Hoed) 97 Melihat adanya dua orientasi yang berbeda (BSu dan BSa), maka kita pun dapat melihat tujuan penerjemahan dan perspektif yang lebih Iuas. Venuti (1995; 17-28) berbicara mengenai “foreignizing translation” (yang berorientasi kepada BSu) dan “domesticating translation” (yang berorientasi kepada BSa)’. Dalam hal yang pertama, penerjemah sepenuhnya berada di bawah kendali penulis TSu, sehingga penerjemah menjadi tidak terlihat (invisible). Di sini yang menonjol adalah penulis teks yang diterjemahkan dan yang hadir di hadapan pembaca adalah suatu aspek kebudayaan “asing” yang diungkapkan dalam bahasa sang pembaca. Dalam hal kedua, penerjemah menentukan apa yang diperlukan agar terjemahannya tidak dirasakan sebagai karya “asing” bagi pembacanya (dalam hal ini penerjemah menjadi lebih terlihat karena karyanya dianggap sebagai “turunan” bahkan semacam “adaptasi”). Foreignization dan domestication dapat dikatakan merupakan semacam cara pandang dalam penerjemahan. Ini bergantung pada tujuan menerjemahkan. Hasil penerjemahan berdasarkan tujuan diakui sebagai terjemahan. Bahkan apabila menjadi dasar dalam pembentukan kebijakan dalam hal penerjemahan teks-teks bermuatan budaya, bisa disebut ideologi * “Lwant to suggest that in so far as foreignizing translation seeks to restrain the ethnocentric violence of translation, it is highly desirable today, a strategic cultural invention in the current state of world affairs, pitched against the hegemonic English-language nations and the unequal cultural exchanges in which they engage their global exchanges.” (Venuti 1995: 20). Nida dan Taber (1974) dalam seluruh bukunya tentang penerjemahan Kitab Injil mendorong penerjemah melakukan domesticating translation meskipun Ia tidak secara eksplisit menggunakan istilah yang- digunakan Venuli itu. Namun, kita sudah dapat menangkap pada halaman pertama bukunya bahwa “correciness must be determined by the extent to which the average reader for which a translation is intended will likely to understand it correctly. “adi, kata kunci path mereka menjadi “Anything that can be said in one language can be said in another, unless the form is an essential element of the message” dan “equivalence rather than identity”. Bagi Nida dan Taber (1964: 12) penerjemahan adalah upaya “pengungkapan kembali pesan dan suatu bahasa ke bahasa yang lain” dan bukan sekadar pengalihbahasaan, 98 LINGUA Vol. 2, Oktober 2003 94111 Kecenderungan ini dikenal dengan nama “skopos”. Salah satu contoh yang terbaru adalah “Diskusi Panel Penerjemahan Cerita Anak-Anak” yang diselenggarakan oleh Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI) di Jakarta (24 Mei 2003). Ada dua pembicara dalam panel tersebut, yaitu Listiana Srisanti* dan Murti Bunanta®. Keduanya mempunyai minat besar pada cerita anak-anak, yang pertama dalam penerjemahan, sedangkan yang kedua dalam penelitian tentang cerita anak-anak termasuk penerjemahannya. Salah satu topik pembicaraan yang menarik dikemukakan oleh Srisanti, yakni tentang sebutan Mr., Mrs., Mom, Dad, dan sebagainya yang ber”warna” asing. Kata-kata itu tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan alasan sapaan-sapaan seperti itu “tidak lagi asing bagi pembaca Indonesia”. Demikian pula kata sandwich, tidak dialihkan ke dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang sama (Srisanti 2003: 5). Dalam penerjemahan buku Harry Potter, Srisanti cenderung menerjemahkan secara setia (bukan harfiah) dan semantik, misalnya pepper-up (merica— mujarab), remember all (bola—ingat~semua), Nearly—headless Nick (Nick si kepala—nyaris—putus), cheering charms (jampi jenaka), dan Kwikypel — A Correspondence for Beginners (Mantra Kilat Kursus Sihir Tertulis untuk Pemula). Srisanti dalam penjelasan selanjutnya mengemukakan bahwa kebudayaan asing yang disajikan dalam buku cerita Harry Potter sengaja diperlihatkan agar dikenal oleh anak-anak kita, yakni agar anak-anak kita mempunyai pengetahuan tentang kebudayaan lain. Ini adalah suatu konsep penerjemahan foreignization atau transferensi, yang ingin menerjemahkan dengan mengalihkan nilai-nilai budaya bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Tentu saja tidak berarti * Listiana Srisanti adalah penerjernah dan editor buku anak pada penerbit PT Graredia. ‘Dr Murti Bunanta adalah Ketua Kelompok Pencita Bacaan Anak (KPBA) dan spesialis sastra anak. Penelitian di Bidang Penerjemahan (Benny Hoed) 99 Srisanti tidak berusaha agar terjemahannya enak dibaca, Justru ia menginginkan agar terjemahannya itu “enak dibaca”. la mengemukakan bahwa untuk menjadi penerjemah buku anak yang baik harus memenuhi tiga syarat, yakni “bisa bercerita, menguasai bahasa Inggris (atau bahasa asing lain buku yang akan diterjemahkan) dengan baik, menguasai bahasa Indonesia dengan baik dan benar.” (Srisanti 2003: 1): Di dalam diskusi terungkap antara lain pendapat Murti Bunanta yang mengatakan bahwa seharusnya kata-kata asing termasuk kata-kata sapaan seperti Mr., Mrs., Uncle, Aunt, dan sebagainya itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia agar keseluruhan terjemahan hadir sebagai bagian dari bahasa Indonesia. Di sini kita dapat melihat suatu contoh kecenderungan domestication yang dianut oleh Bunanta. Tentu domestication yang lebih tinggi kadarnya adalah pada saduran cerita binatang (fabel) di mana tokoh-tokoh hewan asing dan lingkungan alamnya diganti dengan tokoh hewan dan alam yang ada dalam bahasa sasaran. Misalnya, rubah yang di dalam kebudayaan Eropa dikenal sebagai binatang yang licik diganti dengan kancil. Namun, perlu dicatat bahwa kelicikan rubah (culas, penipu, kejam) tidak sama dengan kelicikan kancil (cerdik, menipu karena mempertahankan diri terhadap binatang yang lebih besar). Jenis flora pun digantikan dengan tetumbuhan yang ada di Indonesia seperti cabai dan mentimun, Begitu pula jenis makanan, seperti keju yang di pegang burung gagak dengan paruhnya (di Eropa) diganti dengan dendeng. Mana yang benar dan kedua kecenderungan ideologis tersebut di atas tidaklah dapat dinyatakan secara mutlak. Keduanya mempunyai fungsi dalam kehidupan budaya suatu masyarakat. Apalagi masyarakat kita termasuk masyarakat yang terbuka untuk memperoleh informasi tentang kebudayaan mana pun. Tentu saja—dalam hal buku anak—masih diperdebatkan dampaknya terhadap pendidikan anak-anak. ini tidak hanya menyangkut pemilihan salah 100 LINGUA Vol. 2, Oktober 2003 94—111 satu dan dua konsep tersebut di atas, tetapi terutama dalam pemilihan (isi) buku ceritanya. Konteks dalam Penerjemahan Newmark (1988:20) mengemukakan bahwa kerangka acuan bagi proses penerjemahan bertolak dan masalah kebahasaan dan budaya yang ditanggulangi dengan melibatkan faktor konteks yang akhirnya diikuti dengan pemilihan prosedur penerjemahan. Kerangka acuan itu yang digunakan sebagai dasar berpikir dalam proses penerjemahan, dapat digambarkan sebagai berikut ini. Masalah antar bahasa/antarbudaya — Faktor konteks > Prosedur Dari kerangka acuan tersebut di atas terlihat bahwa faktor konteks merupakan jalan ke luar dan masalah yang timbul akibat perbedaan antara dua bahasa yang terlibat dalam proses penerjemahan. Artinya bahwa unsur BSa yang merupakan padanan bagi unsur BSu bisa ditemukan melalui konteks. Jadi, yang dicari bukanlah makna formal, tetapi makna kontekstual. Perhatikan contoh berikut ini. (2) Someone is looking for you. (2a) Ada yang mencarimu. Kata someone menurut konteksnya lebih tepat diterjemahkan dengan ada (padanan kontekstual) bukan dengan seseorang (padanan formal), contoh lain adalah seperti berikut ini, (3) By the will of God (dalam konteks terjadinya suatu kerusakan yang tidak dapat diganti oleh asuransi). (Ga) Di luar kemampuan manusia. Jadi, terjemahan by the will of God dalam konteks peraturan asuransi tidak diterjemahkan dengan atas kehendak Tuhan, tetapi dengan di Ivar kemampuan manusia. Di sinilah konteks dapat memecahkan masalah perbedaan antar Penelitian di Bidang Penerjemahan (Benny Hoed) 101 bahasa untuk menemukan padanan yang tepat, yakni berterima bagi pembaca dalam BSa. Bagaimana penerjemahan itu harus dilakukan, disebut prosedur.° Penerjemahan Berdasarkan Wacana Penekanan pada konteks berkembang menjadi penekanan pada wacana (discourse-based translation). Dengan demikian, kita kembali kepada konsep “dinamika penerjemahan” (the dynamics of translation) seperti dikemukakan Newmark dan sudah dikutip di atas, Ada sepuluh faktor yang mempengaruhi pemaknaan teks yang hams diperhatikan dalam penerjemahan. Jadi, harus dipahami bahwa wacana lebih luas daripada teks. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa—dalam kaitan dengan penerjemahan—wacana adalah teks dengan seluruh faktor yang mempengambi pemaknaannya, baik sebagai TSu maupun TSa, Wacana adalah teks dengan selumh konteks dan situasi yang melingkunginya, Oleh Karena itu, konsep penerjemahan berdasar makna (meaning-based iranslation) (cf. Larson 1984) harus diperluas kerangka acuannya, Upaya itu sudah dilakukan oleh Nord (1991) dan kemudian Jabr (2001) mengemukakan bahwa dalam hal penerjemahan berdasar wacana ada dua model, yakni model Newmark (1988) dan model Hatim dan Mason (1990). Model Newmark, didasari oleh ciri-ciri khas yang mecolok dalam sebuah teks, antara lain, Koherensi, kohesi, tema, rema, enumerasi, oposisi, kelewahan, konjungsi, substitusi, komparasi, negasi inisial, tanda baca, dan retorika. Newmark juga meminta penerjemah memparhatikan nada, maksud, jenis (fungsi teks), laras, dan fitur-fitur pragmatik dalam sebuah teks, Dalam pada itu, Hatim dan Mason memandang penerjemahan sebagai penciptaan dan oleh © Tidak akan dibicarakan di sini. Lihat antara lain Newmark (1988) pada Bab 5 dan Bab & ipertuas lagi oleh Hatim dan Mason (1990) dan oich Hatim dan Mason (1997). 102 LINGUA Vol. 2, Oktober 2003 94—111 karena itu, setiap bagian teks yang diterjemahkan harus dilihat pemrosesan teks (baru) sebagai bagian dan fungsi retorik yang berada pada tataran yang lebih tinggi. Oleh karena itu, bagi mereka penerjemahan merupakan sesuatu yang dinamis. Maksudnya adalah bahwa penerjemahan merupakan suatu jenis komunikasi yang khusus, seperti yang dicerminkan dalam definisinya tentang penerjemahan yang sudah dikutip di atas. Jadi, bagaimana terjemahan (padanan) kata-kata asing berikut diperoleh, sangat ditentukan oleh tempatnya dalam wacana. Perhatikan contoh berikut ini. (4)Lost and Found (tempat kita dapat menanyakan dan mungkin memperoleh _kembali barang yang hilang misalnya—di suatu taman rekreasi.) (4a) Barang Hilang. (4b) Barang Ditemukan. Dua dan sekian banyak kemungkinan terjemahan di atas hanya dapat dipahami dalam rangka wacana papan pemberitahuan di suatu tempat rekreasi. Contoh lain ialah (5) Right lane must turn right (petunjuk di jalan raya di Amerika Serikat yang lalu lintasnya di sebelah kanan) (Sa) Belok kanan langsung Terjemahan (5a) merupakan analogi dan Belok kiri langsung yang terdapat dalam petunjuk di jalan di Indonesia yang lalu-lintasnya di sebelah kiri. Sekali lagi, pemahanan teks (5) dan (5a) hanya dapat dilakukan dalam rangka wacana sistem lalu-lintas. Sclanjutnya dapat ditambahkan bahwa dalam proses penerjemahan harus memperhatikan kaitan intertekstual yang terdapat antara teks tersebut dan Penclitian di Bidang Penerjemahan (Benny Hoed) 103 teksteks lain, baik dalam TSu maupun nantinya yang mungkin terjadi dalam TSa. Semiotik dan Penerjemahan Beranjak dari konsep penenjemahan berdasar wacana, kita dapat berlanjut pada konsep penerjemahan berdasar semiotik. Intinya adalah bahwa dalam setiap teks selalu ada unsur teks yang tidak sekadar kita lihat sebagai bagian teks dengan segala konteks dan situasi yang melingkunginya, tetapi juga sebagai tanda yang dimaknai oleh penulis dan pembaca (pendengar) TSu dan calon pembaca (pendengar) TSa. Pembicaraan tentang pendekatan semiotik dapat ditemukan dalam Hewson dan Martin (1991) di mana ia berbicara tentang “language-culture” (disingkat LC) dan bukan sekadar “/anguage” (Hewson dan Martin 199 1:8-13). Dengan demikian, penerjemahan dilakukan dalam rangka sistem budaya tempat teks yang bersangkutan terdapat. Ini berarti, teori penerjemahan akan membicarakan proses signifikasi dan komunikasi yang merupakan konsep dasar dalam semiotik, di samping konsep pengungkapan kebahasaan (linguistic expression). Oleh karena itu, dalam teori ini dibicarakan apa yang disebut “ideological representation” dalam penerjemahan. Marilah kita pethatikan contoh berikut ini: (6) Good morning, Sir (di desa di Inggris) (62) Mau kemana, Pak? (6b) Ke kantor, Pak? (6c) Selamat pagi, Tuan. Pemilihan satu di antara tiga kemungkinan terjemahan di atas tergantung dan situasi (baca: wacana “salam”) pertemuan antara dua orang itu di desa. Kalau 104 LINGUA Vol. 2, Oktober 2003 94—111 situasinya disesuaikan dengan situasi di desa Indonesia, maka yang dipilih (6a) dan (6b), karena di desa “Selamat pagi” hampir tidak dikenal dalam wacana “salam”. Akan tetapi (6c) dapat dipilih untuk tetap mempertahankan situasi “asli “nya (di desa di Inggris). Pertanyaan kita: apa yang dapat membuat kita ‘memilih (6a) dan (6b) di satu pihak atau (6c) di pihak lain? Wacana saja tidak cukup sebagai dasar. Di sini semiotik dapat berperan, yakni digunakannya konsep “representasi”: salah satu ujaran itu mewakili budaya apa? Juga kita dapat menggunakan konsep “tanda sebagai konvensi” (dalam semiotik Peirce disebut symbol (lambang): salah satu ujaran itu merupakan lambang dalam konvensi apa? Kita dapat mengatakan bahwa (6a) dan (6b) mewakili kebudayaan desa di Indonesia, sedangkan (6c) mewakili kebudayaan BSu (desa di Inggris). Setiap ujaran terjemahan itu juga dapat dilihat sebagai lambang yang bermakna “sapaan hormat antara dua orang yang saling mengenal tetapi tidak terlalu akrab”. Ujaran (6a) dan (6b) berlaku sebagai lambang di desa Indonesia, sedangkan (6c) di Inggris.’ Pendekatan semiotik ini bisa berguna untuk memecahkan masalah penerjemahan teks yang sarat dengan faktor kebudayaan, Penelitian di Bidang Penerjemahan Tujuan Kajian dan Dua Jenis Teori Para pakar pada dasamya sepakat untuk mengatakan bahwa ada dua dua jenis teori penerjemahan. Yang pertama adalah yang bertujuan membantu penerjemah melakukan tugasnya (iranslator-based theories), sedangkan yang kedua adalah yang bertujuan membuat analisis dan deskripsi teoretis atas hasil penerjemahan (text-based atau research-based theories). 7 Situasi di Indonesia yang dikemukakan di atas tidak tepat benar karena dalam kenyataan sangat tergantung dan daerahnya. Namun, prinsip dasarnya dapat kita katakana bahwa di banyak desa kita sapaan “salam” Selamat pagi sangat jarang digunaken Penelitian di Bidang Penerjemahan (Benny Hoed) 105 Berdasarkan pembedaan itu, kita dapat membedakan penelitian untuk mengembangkan teori guna membantu pekerjaan penerjemah dengan penelitian untuk melakukan analisis dan deskripsi yang dapat digunakan untuk mengembangkan teori. Di antara kedua jenis penelitian itu, ada satu jenis penelitian lagi yang bertujuan mengulas atau melakukan kritik atas suatu terjemahan (translation criticism). Ini merupakan gabungan antara analisis, deskripsi, dan evaluasi. Dalam hal melakukan evaluasi, pengkritik harus melihat dari segi penerjemah (mengapa penerjemah memilih suatu padanan) dan dari segi pengkritik sendiri (setuju atau tidak setuju dengan pilihan penerjemah apa dasarnya). Newmark (1988: 184-192) mengemukakan bahwa kritik terjemahan merupakan “jembatan” (link) antara teori dan praktik penerjemahan. Secara garis besar penelitian dibidang penerjemahan dapat ditujukan ke dua arah yang berbeda, yakni (1) untuk menghasilkan teori dan metode serta prosedur guna membantu penerjemah dalam melakukan pekerjaannya, dan (2) mengembangkan metodologi penerjemahan dan tenik analisis guna (a) mengembangkan teori penerjemahan dan (b) melakukan kritik atau ulasan atas terjemahan. Strategi dalam Penerjemahan Meskipun Catford (1965: 20) menggambarkan penerjemahan sebagai kegiatan satu arah (uni-directional), pada hakikatnya proses penerjemahan selalu dibayangi oleh daya tarik-menarik antara bahasa sumber dan bahasa sasaran. Ivir (19%) menggambarkan kajian penerjemahan sebagai kajian atas parole (bahasa dalam praktik) yang berbeda dengan kajian kontrastif yang terfokus pada /angue (sistem bahasa). Akibat dan adanya dua kutub yang saling menarik itu, penerjemah 106 LINGUA Vol. 2, Oktober 2003 94—111 selalu dihadapkan dengan masalah sirategi penerjemahan. Newmark telah menggambarkan sirategi penerjemahan yang beronientasi kepada TSu (semantik) dan yang berorientasi pada TSa (komunikatif). Dalam kaitan ini, kita dapat mengutip konsep strategi yang dikemukakan oleh Nord (1991:72-73) yang membedakan documentary translation dengan instrumental translation. Yang pertama adalah terjemahan sebagai upaya mengungkapkan kembali isi sebuah teks dalam bahasa sasaran tanpa tujuan lain bagi kelompok sasaran terjemahan kecuali hanya mengetahui apa pesan yang terkandung dalam teks sumber, sedangkan yang kedua adalah upaya mengungkapkan kembali pesan dari teks sumber dengan tujuan khusus yang berkaitan dengan kemungkinan dampaknya dalam kelompok sasaran terjemahan. Kehadiran karaktenistik bahasa sumber sangat dominan, ini sejajar dengan apa yang dikemukakan Newmark 1988: 46) sebagai penenjemahan semantic, dan Venuti (1995: 17- 28) sebagai foreignizing translation. Dalam upaya penerjemahan jenis instrumental ita, kita dapat memasukkan strategi penerjemahan komunikatif (Newmark 1988: 47) dan Venuti (1995: 17-28) sebagai domesticating translation. Jadi, penelitian di bidang penerjemahan pada masa kini tidak lagi sekedar membandingkan kata atau kalimat dalam TSu dan TSa, tetapi terfokus pada strategi penerjemahan, yakni konsep apa yang digunakan untuk melakukan penerjemahan. Dalam setiap upaya penerjemahan selalu terlibat dua bahasa yang berbeda, yang telah kita kenal sebagai BSu dan BSa. Perbedaan ini berimplikasi bahwa ada teks asli (teks sumber) yang kemudian—sebagai akibat dan kegiatan penenjemahan—menghasilkan teks tenjemahan (teks sasaran). Yang menarik adalah bahwa teks sasanan hanya ada jika ada tindakan penerjemahan. Dalam teori-teori yang terdahulu, TSa dianggap sebagai sekadar turunan (derivat) TSu, Dalam teori-teori yang mutakhir — Penelitian di Bidang Penerjemahan (Benny Hoed) 107 terutama dengan adanya konsep “skopos”* — Tsa, meskipun “lahir” dan penerjemahan, dapat dipandang sebagai mempunyai peran yang mandiri dan dinamis dilingkungan penerima dalam Bsa. Pandangan ini melahirkan adanya strategi dalam penerjemahan karena penerjemahan bukan sekadar alih bahasa, tetapi pengungkapan kembali pesan yang dilakukan berdasarkan suatusirategi tertentu berdasarkan peranan teks terjemahan.dalam masyarakat BSa.” Apa yang dikemukakan di atas dapat digambarkan dengan bagan berikut. Bagan 1: Strategi BSwTSu > penerjemahan—> BSa/TSa STRATEGI [orientasi kegiatan penerjemahan] “documentary translation” “instrumental translation” “foreignization”” “domesticatioi ® “Skopos (Greek: ‘pupose’, ‘goal *), is an appropriate name for a theory which focuses on such aspects of translation process as interactional dynamics and pragmatic purpose. The theory holds that the way the target text eventually shapes up is determined to a great extent by the funetion. or ‘skopos’. intended for it by the target context. (....) (Hatim, 2001: 74). ° Harian Kompas yang terbit Sabtu, 24 Mei 2003, memuat karangan dan ulasan tentang situasi penerjemahan di Indonesia. Harian tersebut mengajukan pertanyaan yang bersifat strategis, yakni bahwa kini Indonesia dibanjiri dengan buku terjemahan, tetapi mutunya tidak semua baik. “Siapa yang bertanggung jawab?” tanya Kompas. Bagaimana dampak suatu karya terjemahan dalam suatu masyarakat sasaran merupakan hal yang banyak diteliti orang pada akhir-akhir ii 108 LINGUA Vol. 2, Oktober 2003 94—111 Perincian Fokus dan Kelompok Topik Penelitian Fokus yang lebih terperinci bagi kajian atas terjemahan dapat dibagi dua, yakni satu yang berorientasi pada proses dan satu lagi pada produk penerjemahan. Yang berorientasi pada proses lebih banyak melihat pada proses kegiatan penerjemahan, termasuk apa yang terjadi saat penerjemah melakukan pekerjaannya. Dalam kaitan ini segi ingaian (memory) merupakan faktor yang mendapat perhatian juga yang berorientasi pada produk lebih banyak melihat teks (sumber dan terutama sasaran) sebagai objek kajian (cf. Bell 1991). Di dalam kerangka ini objek penelitiannya dapat terfokus pada penerjemahan dan segi komunikasi, semiotik, dan pragmatik. Bertolak dan perincian fokus tersebut di atas, kita dapat memperinci fokus penelitian berdasarkan kelompok topik berikut ini. Bagan 2: Rincian Fokus Penelitian RINCIAN FOKUS [kelompok topik penelitian] segi proses penerjemahan segi proses penerjemahan segi komunikasi segi semiotic segi pragmatic Dua Jenis Teori dan Tiga Jenis Kajian Akhirnya, perlu diingatkan kembali bahwa ada dua jenis kajian yang dilandasi oleh dua jenis teori yang berbeda, yakni (1) yang bertujuan membantu penerjemah dalam melaksanakan pekerjaannya dan (2) yang bertujuan mengembangkan teori penerjemahan sebagai landasan kajian, bukan Penelitian di Bidang Penerjemahan (Benny Hoed) 109 sekadar hubungan antarbahasa, melainkan terutama hubungan antarbudaya. Di antara kedua terjemahan, yang dipandang sebagai “jembatan” antara teori dan praktik penerjemahan. Perhatikan bagan berikut. Bagan 3: Tujuan Kajian TUJUAN KAJIAN [Orientasi pengembangan teori] “translator-based theories” “research-based theories” “translation critism” Penutup Demikianlah beberapa pemikiran mengenai penelitian di bidang penerjemahan, Penelitian di bidang penerjemahan, seperti dikemukakan oleh Catford (1965:20), termasuk cabang penelitian linguistic bandingan (comparative linguistics). Namun, Penelitian jenis ini mempunyai sifat khusus, yakni cara pandangnya bersifat satu arah (uni-directional). Peneliti memandang objeknya sebagai suatu proses dan/atau hasil penerjemahan yang melibatkan bahasa sumber dan bahasa sasaran, Dari sini kita melihat adanya gerakan tarik-menarik antara bahase sumber dan bahasa sasaran, yang Kemudian melahirkan strategi penerjemahan, Strategi ini secara umum, mencakupi upaya foreignization atau domestication. Karena itulah Ivir (19?) mengemukakan bahwa kajian penerjemahan adalah kajian atas parole yang berbeda dengan kajian kontrastif yang fokus utamanya adalah langue. Penelitian tentang penerjemahan adalah mengenai bahasa dalam praktik (language in use) yang tidak harus selalu bermuara pada pemerian system bahasa. Tentu saja penelitian penerjemahan dapat membantu kajian kontrasif, yang fokusnya adalah membandingkan secara timbal balik dua sistem bahasa. 110 LINGUA Vol. 2, Oktober 2003 94—111 Inilah dasar bagi penelitian di bidang penerjemaban.Perlu dicatat bahwa tulisan ini masih merupakan upaya awal yang masih memerlukan penyempurnaan, Jakarta, 27 Mei 2003 DAFTAR PUSTAKA Bell, R.T. 1991. Translation and Translating. London/New York: Longman Hatim, B. 2001. Teaching and Researching Translation. London/New York: Longman Hatim, B. dan I. Mason. 1997. The Translator as Communicator. Londor/New York: Routledge. Hewson, L. dan J. Martin. 1991. Redefining Translation. The Variational Approach. London/New York: Routledge. Ivir, V. 1979. The Communicative Model of Translation in Relation to Contrastive Analysis. Zagreb: Institute of Linguistics, Zagreb University (Preprint). Jabr, A-F. M. 2001. “Arab Translator’s Problems at the Discourse Level” dalam Babel. /nternational Journal of Translation. Vol. 47, no.4. Larson, M.L. 1984. Meaning-Based Translation. A Guide to Cross-language Equivalence. Lanham, Maryland: University Press of America. Newmark, P. 1988. A Textbook of translation. London/New York/Toronto/Sydney/Tokyo: Prentice Hall. Nida, E.A. dan Ch, R. Taber. 1974 (1969). The Theory and Practice of Translation. Helps for Translators. Den Haag: Brill. Nord, Chr. 1991. Text Analysis in Translation. Amsterdam/Atlanta, GA: Rodopi. Venuti, L. The Translator’s Invisibility. A History of Translation. London/New York: Routledge. Penelitian di Bidang Penerjemahan (Benny Hoed) U1

You might also like