Professional Documents
Culture Documents
Medicinus Desember 2014 PDF
Medicinus Desember 2014 PDF
Medicinus Desember 2014 PDF
3, Desember 2014
MEDICINUS
BOARD OF EDITORIAL
Chief Editor: Dr. Raymond R. Tjandrawinata,
MBA, PhD, FRSC
contents
1 CONTENTS
3 Instruction for Authors
LEADING ARTICLE
1 Ensefalopati Hepatik
Apa, Mengapa dan Bagaimana?
9 Hipertensi Krisis
ORIGINAL ARTICLE (RESEARCH)
18 Hubungan Jumlah Pemeriksaan Antenatal dengan
Hasil Kehamilan dan Persalinan di RSUP Prof. Dr.
R.D. Kandou Manado
27 Perbandingan Kejadian Stroke Hemoragik Pada
Isolated Systolic Hypertension Dengan Non Isolated
Systolic Hypertension
ORIGINAL ARTICLE (CASE REPORT)
35 Acute Limb Ischemic
MEDICAL REVIEW
40 Pemilihan Antibiotik yang Rasional
Probiotik: Problematika dan Progresivitasnya
PATIENT COMPLIANCE
58 Cegah Stroke Berulang dengan
Teratur Minum Obat
Contribution
Medicinus Editors accept participation in
form of writings, photographs and other
materials in accordance with the mission of
this journal. Editors reserve the right to edit
or modify the writings, particulary redactionally without changing the content of the
published articles, if necessary.
MEDICINUS
Leading article
Ensefalopati Hepatik:
PENDAHULUAN
Dengan memberatnya penyakit hati, risiko terjadinya ensefalopati hepatik semakin besar. Hal ini
memicu pesatnya perkembangan pengetahuan terkait masalah ensefalopati hepatik serta kemajuan
dalam diagnosis dan tata laksananya. Beragam studi terkait diagnosis, tata laksana, serta pencegahan enefalopati hepatik menjadi dasar penatalaksanaan ensefalopati hepatik di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Saat ini, Indonesia telah memiliki panduan penatalaksanaan ensefalopati hepatik
yang diterbitkan oleh Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI) pada tahun 2014.1
APA ITU ENSEFALOPATI HEPATIK?
Ensefalopati hepatik (EH) merupakan sindrom neuropsikiatri yang dapat terjadi pada penyakit hati
akut dan kronik berat dengan beragam manifestasi, mulai dari ringan hingga berat, mencakup perubahan perilaku, gangguan intelektual, serta penurunan kesadaran tanpa adanya kelainan pada
otak yang mendasarinya.2 Di Indonesia, prevalensi EH minimal (grade 0) tidak diketahui dengan pasti
karena sulitnya penegakan diagnosis, namun diperkirakan terjadi pada 30%-84% pasien sirosis hepatis.3 Data dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo mendapatkan prevalensi EH minimal sebesar
63,2% pada tahun 2009.4 Data pada tahun 1999 mencatat prevalensi EH stadium 2-4 sebesar 14,9%.5
Angka kesintasan 1 tahun dan 3 tahun berkisar 42% dan 23% pada pasien yang tidak menjalani transplantasi hati.6
EH terbagi menjadi tiga tipe terkait dengan kelainan hati yang mendasarinya; tipe A berhubungan
dengan gagal hati akut dan ditemukan pada hepatitis fulminan, tipe B berhubungan dengan jalur
pintas portal dan sistemik tanpa adanya kelainan intrinsik jaringan hati, dan tipe C yang berhubungan dengan sirosis dan hipertensi portal, sekaligus paling sering ditemukan pada pasien dengan
gangguan fungsi hati.7,8 Klasifikasi EH berdasarkan gejalanya dibagi menjadi EH minimal (EHM) dan
EH overt. EH minimal merupakan istilah yang digunakan bila ditemukan adanya defisit kognitif seperti perubahan kecepatan psikomotor dan fungsi eksekutif melalui pemeriksaan psikometrik atau
elektrofisiologi,9,11 sedangkan EH overt terbagi lagi menjadi EH episodik (terjadi dalam waktu singkat
dengan tingkat keparahan yang befluktuasi) dan EH persisten (terjadi secara progresif dengan gejala
neurologis yang kian memberat).2,9-11
PATOFISIOLOGI ENSEFALOPATI HEPATIK
Beberapa kondisi berpengaruh terhadap timbulnya EH pada pasien gangguan hati akut maupun
kronik, seperti keseimbangan nitrogen positif dalam tubuh (asupan protein yang tinggi, gangguan
MEDICINUS
leading article
ginjal, perdarahan varises esofagus dan konstipasi), gangguan elektrolit dan asam basa (hiponatremia, hipokalemia, asidosis dan alkalosis), penggunaan obat-obatan (sedasi dan narkotika), infeksi
(pneumonia, infeksi saluran kemih atau infeksi lain) dan lain-lain, seperti pembedahan dan alkohol.
Faktor tersering yang mencetuskan EH pada sirosis hati adalah infeksi, dehidrasi dan perdarahan
gastrointestinal berupa pecahnya varises esofagus.8
Terjadinya EH didasari pada akumulasi berbagai toksin dalam peredaran darah yang melewati sawar darah otak.7 Amonia merupakan molekul toksik terhadap sel yang diyakini berperan penting
dalam terjadinya EH karena kadarnya meningkat pada pasien sirosis hati.7,12 Beberapa studi lain juga
mengemukakan faktor pencetus lain penyebab EH seperti pada gambar 1 berikut.
MEDICINUS
leading article
MEDICINUS
leading article
dian, seperti apatis, iritabilitas dan disinhibisi serta perubahan kesadaran dan fungsi motorik yang
nyata. Selain itu, gangguan pola tidur semakin sering ditemukan. Pasien dapat memperlihatkan disorientasi waktu dan ruang yang progresif, tingkah laku yang tidak sesuai dan fase kebingungan akut
dengan agitasi atau somnolen, stupor, dan pada akhirnya jatuh ke dalam koma.17
Kriteria West Haven membagi EH berdasarkan derajat gejalanya (Tabel 1). Stadium EH dibagi menjadi
grade 0 hingga 4, dengan derajat 0 dan 1 masuk dalam EH covert serta derajat 2-4 masuk dalam EH
overt, seperti pada tabel 1.
Tabel 1. Stadium ensefalopati hepatik sesuai kriteria West Haven18
Pemeriksaan Mini Mental Status Examination (MMSE) dapat digunakan sebagai deteksi dini dalam
menegakkan diagnosis EH. Pemeriksaan Number Connecting Test (NCT), NCT-A dan NCT-B, maupun Critical Flicker Frequency (CFF) merupakan pemeriksaan lain untuk mendiagnosis EH. Namun,
pemeriksaan MMSE, NCT, CFF masih sulit untuk dilakukan secara merata di Indonesia. Oleh karena
itu, para klinisi diharapkan memberi penjelasan terhadap pasien beserta keluarganya mengenai
tanda-tanda EH, seperti komunikasi, perubahan pola tidur, penurunan aktivitas sehari-hari pasien
hingga tanda-tanda seperti asteriksis, klonus maupun penurunan kesadaran yang jelas. Pemeriksaan
radiologis berupa magnetic resonance imaging (MRI) serta elektroensefalografi (EEG) dapat menjadi
pilihan pemeriksaan untuk menyingkirkan kelainan lain pada otak. Elektroensefalografi akan menunjukkan perlambatan (penurunan frekuensi gelombang alfa) aktivitas otak pada pasien dengan
EH.2,8 Pemeriksaan kadar amonia tidak dapat dipakai sebagai alat diagnosis pasti EH. Peningkatan
kadar amonia dalam darah (> 100 mg/100 ml darah) dapat menjadi parameter keparahan pasien
dengan EH.18 Pemeriksaan kadar amonia darah belum menjadi pemeriksaan standar di Indonesia
mengingat pemeriksaan ini belum dapat dilakukan pada setiap rumah sakit di Indonesia. Gambar 3
menunjukkan alur diagnosis pasien dengan kecurigaan EH.
TERAPI TERKINI ENSEFALOPATI HEPATIK
Tatalaksana EH diberikan sesuai dengan derajat EH yang terjadi. Dasar penatalaksanaan EH adalah:
identifikasi dan tatalaksana faktor presipitasi EH, pengaturan keseimbangan nitrogen, pencegahan
perburukan kondisi pasien, dan penilaian rekurensi ensefalopati hepatik.
Tatalaksana Faktor Presipitasi
Beberapa faktor presipitasi dapat mencetuskan terjadinya EH, seperti dehidrasi, infeksi, obat-obatan
sedatif dan perdarahan saluran cerna. Pencegahan dan penatalaksanaan terhadap faktor-faktor
tersebut berperan penting dalam perbaikan EH. Pemberian laktulosa dan konsumsi cairan perlu
dipantau untuk mencegah terjadinya dehidrasi. Pemberian antibiotik spektrum luas diindikasikan
pada keadaan infeksi, sebagai faktor presipitasi tersering, baik pada saluran cerna maupun organ
lain. Konsumsi alkohol dan obat-obatan sedatif harus dihentikan sejak awal timbulnya manifestasi
MEDICINUS
leading article
EH. Ligasi sumber perdarahan, observasi cairan dan penurunan tekanan vena porta perlu dilakukan
dengan tepat dan cepat bila ditemukan perdarahan saluran cerna, terutama pecahnya varises esofagus. Gangguan elektrolit juga menjadi salah satu pencetus EH pada pasien sirosis sehingga membutuhkan penanganan yang adekuat.12,19
Ditemukannya faktor presipitasi EH pada pasien semakin menguatkan diagnosis EH. Faktor presipitasi dapat diidentifikasi pada hampir semua kasus EH episodik tipe C dan sebaiknya dievaluasi secara
aktif dan ditatalaksana segera saat ditemukan. Tabel 2 memperlihatkan pembagian faktor presipitasi
dengan EH yang ditimbulkan.
Tatalaksana Farmakologis
Penurunan kadar amonia merupakan salah satu strategi yang diterapkan dalam tatalaksana EH. Beberapa modalitas untuk menurunkan kadar amonia dilakukan dengan penggunaan laktulosa, antibiotik, L-Ornithine L-Aspartate, probiotik, dan berbagai terapi potensial lainnya.
- Non-absorbable Disaccharides (Laktulosa)
Laktulosa merupakan lini pertama dalam penatalaksanaan EH.7 Sifatnya yang laksatif menyebabkan
MEDICINUS
leading article
penurunan sintesis dan uptake amonia dengan menurunkan pH kolon dan juga mengurangi uptake
glutamin.12,18,20 Selain itu, laktulosa diubah menjadi monosakarida oleh flora normal yang digunakan sebagai sumber makanan sehingga pertumbuhan flora normal usus akan menekan bakteri lain
yang menghasilkan urease. Proses ini menghasilkan asam laktat dan juga memberikan ion hidrogen
pada amonia sehingga terjadi perubahan molekul dari amonia (NH3) menjadi ion amonium (NH4+).
Adanya ionisasi ini menarik amonia dari darah menuju lumen.
Dari metaanalisis yang dilakukan, terlihat bahwa laktulosa tidak lebih baik dalam mengurangi amonia dibandingkan dengan penggunaan antibiotik.12 Akan tetapi, laktulosa memiliki kemampuan
yang lebih baik dalam mencegah berulangnya EH dan secara signifikan menunjukkan perbaikan tes
psikometri pada pasien dengan EH minimal.
Dosis laktulosa yang diberikan adalah 2 x 15-30 ml sehari dan dapat diberikan 3 hingga 6 bulan. Efek
samping dari penggunaan laktulosa adalah menurunnya persepsi rasa dan kembung. Penggunaan
laktulosa secara berlebihan akan memperparah episode EH, karena akan memunculkan faktor presipitasi lainnya, yaitu dehidrasi dan hiponatremia.18
- Antibiotik
Antibiotik dapat menurunkan produksi amonia dengan menekan pertumbuhan bakteri yang bertanggung jawab menghasilkan amonia, sebagai salah satu faktor presipitasi EH.7,12,18 Selain itu, antibiotik juga memiliki efek anti-inflamasi dan downregulation aktivitas glutaminase.12 Antibiotik yang
menjadi pilihan saat ini adalah rifaximin, berspektrum luas dan diserap secara minimal.13,23 Dosis yang
diberikan adalah 2 x 550 mg dengan lama pengobatan 3-6 bulan.12,21 Rifaximin dipilih menggantikan antibiotik yang telah digunakan pada pengobatan HE sebelumnya, yaitu neomycin, metronidazole, paromomycin, dan vancomycin oral karena rifaximin memiliki efek samping yang lebih sedikit
dibandingkan antibiotik lainnya.12
- L-Ornithine L-Aspartate (LOLA)
LOLA merupakan garam stabil tersusun atas dua asam amino, bekerja sebagai substrat yang berperan dalam perubahan amonia menjadi urea dan glutamine. LOLA meningkatkan metabolisme amonia
di hati dan otot, sehingga menurunkan amonia di dalam darah.7 Selain itu, LOLA juga mengurangi
edema serebri pada pasien dengan EH.
LOLA, yang merupakan subtrat perantara pada siklus urea, menurunkan kadar amonia dengan merangsang ureagenesis. L-ornithine dan L-aspartate dapat ditransaminase dengan -ketoglutarate
menjadi glutamat, melalui ornithine aminotrasnferase (OAT) dan aspartate aminotransferase (AAT),
berurutan. Molekul glutamat yang dihasilkan dapat digunakan untuk menstimulasi glutamine synthetase, sehingga membentuk glutamin dan mengeluarkan amonia. Meskipun demikian, glutamin
dapat dimetabolisme dengan phosphate-activated glutaminase (PAG), dan menghasilkan amonia
kembali.
Suatu RCT double blind menunjukkan pemberian LOLA selama 7 hari pada pasien sirosis dengan EH
menurunkan amonia dan memperbaiki status mental. Akan tetapi, penurunan amonia pada pasien
EH yang mendapatkan LOLA diperkirakan hanya sementara.18 Beberapa penelitian RCT (Kirchets dkk,
1997 dan Ahmad dkk, 2008) menunjukkan bahwa penggunaan LOLA 20 g/hari secara intravena dapat memperbaiki kadar amonia dan EH yang ada.22,23 Studi metaanalisis terkini (Jiang Q, 2009 dan
Bai M, 2013) menunjukkan manfaat LOLA pada pasien EH overt dan EH minimal dalam perbaikan EH
dengan menurunkan konsentrasi amonia serum.24,25
MEDICINUS
leading article
- Probiotik
Probiotik didefinisikan sebagai suplementasi
diet mikrobiologis hidup yang bermanfaat untuk nutrisi pejamu. Amonia dan substansi neurotoksik telah lama dipikirkan berperan penting
dalam timbulnya EH. Amonia juga dihasilkan
oleh flora dalam usus sehingga manipulasi flora
usus menjadi salah satu strategi terapi EH. Mekanisme kerja probiotik dalam terapi EH dipercaya terkait dengan menekan substansi untuk
bakteri patogenik usus dan meningkatkan
produk akhir fermentasi yang berguna untuk
bakteri baik.26,27
MEDICINUS
leading article
daftar pustaka
1. Lesmana LA, Nusi IA, Gani RA, Hasan I, Sanityoso A, Lesmana CRA, et al.
Panduan praktik klinik penatalaksanaan ensefalopati hepatik di Indonesia
2014. Jakarta: Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia, 2014.
2. Ferenci P, Lockwood A, Mullen K, Tarter R, Weissenborn K, Blei AT. Hepatic
encephalopathyDefinition, nomenclature, diagnosis, and quantification: Final report of the Working Party at the 11th World Congresses of
Gastroenterology, Vienna, 1998. Hepatology. 2002;35(3):716-21.
3. Hartmann IJ, Groeneweg M, Quero JC, Beijeman SJ, de Man RA, Hop WC, et
al. The prognostic significance of subclinical hepatic encephalopathy. Am J
Gastroenterol. 2000;95(8):2029-34.
4. Iskandar M, Ndraha S, Hasan I. Prevalensi Ensefalopati Hepatik Minimal di
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada Bulan Mei - Agustus 2009: KOPAPDI; 2009.
5. Zubir N. Koma hepatik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Kelima. Jakarta:
Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2009.
6. Mullen KD. The Treatment of Patients With Hepatic Encephalopathy:
Review of the Latest Data from EASL 2010. Gastroenterol Hepatol.
2010;6(7):1-16.
7. Riggio O, Ridola L, Pasquale C. Hepatic encephalopathy therapy: An overview. World J Gastrointest Pharmacol Ther. 2010;1(2):54-63.
8. Wakim FJ. Hepatic encephalopathy: suspect it early in patients with cirrhosis. Cleve Clin J Med. 2011;78(9):597-605.
9. Amodio P, Montagnese S, Gatta A, Morgan M. Characteristics of Minimal
Hepatic Encephalopathy. Metab Brain Dis. 2004;19(3-4):253-67.
10. Groeneweg M, Moerland W, Quero JC, Hop WCJ, Krabbe PF, Schalm
SW. Screening of subclinical hepatic encephalopathy. J Hepatol.
2000;32(5):748-53.
11. Quero JC, Hartmann IJ, Meulstee J, Hop WC, Schalm SW. The diagnosis of
subclinical hepatic encephalopathy in patients with cirrhosis using neuropsychological tests and automated electroencephalogram analysis.
Hepatology. 1996;24(3):556-60.
12. Frederick RT. Current concepts in the pathophysiology and management
of hepatic encephalopathy. Gastroenterol Hepatol. 2011;7(4):222-33.
13. Perazzo JC, Tallis S, Delfante A, Souto PA, Lemberg A, Eizayaga FX, et al.
Hepatic encephalopathy: An approach to its multiple pathophysiological
features. World J Hepatol. 2012;4(3):50-65.
14. Cordoba J, Minguez B. Hepatic Encephalopathy. Semin Liver Dis.
2008;28(1):70-80.
15. Chatauret N, Butterworth RF. Effects of liver failure on inter-organ trafficking of ammonia: implications for the treatment of hepatic encephalopathy.J Gastroenterol Hepatol. 2004;19:S219-223.
MEDICINUS
16. Norenberg MD, Rama Rao KV, Jayakumar AR. Signaling factors in the
mechanism of ammonia neurotoxicity. Metab Brain Dis. 2009;24(1):10317.
17. Vilstrup H, Amodio P, Bajaj J, Cordoba J, Fereni P, Mullen KD, et al. Hepatic
encephalopathy in chronic liver disease: 2014 practice guideline by the
European Association for the Study of the Liver and the American Association for the Study of Liver Diseases. J Hepatol (2014), http://dx.doi.
org/10.1016/j.hep.2014.05.042
18. Zhan T, Stremmel W. The diagnosis and treatment of minimal hepatic encephalopathy. Dtsch Arztebl Int. 2012;109(10):180-7.
19. Crdoba J. New assessment of hepatic encephalopathy. J Hepatol.54(5):1030-40.
20. Sanyal A, Bass N, Mullen K, Poordad F, Shaw A, Merchant K, et al. Recent
advances in the diagnosis and treatment of hepatic encephalopathy. Gastroenterol Hepatol. 2010;6(7):5-13.
21. Wright G, Chatree A, Jalan R. Management of Hepatic Encephalopathy. Int
J Hepatol. 2011;2011.
22. Kircheis G, Nilius R, Held C, Berndt H, Buchner M, Gortelmeyer R, et al.
Therapeutic efficacy of L-ornithine-L-aspartate infusions in patients with
cirrhosis and hepatic encephalopathy: Results of a placebo-controlled,
double-blind study. Hepatology. 1997;25(6):1351-60.
23. Ahmad I, Khan AA, Alam A, Dilshad A, Butt AK, Shafqat F, et al. L-ornithineL-aspartate infusion efficacy in hepatic encephalopathy. Journal of the
College of Physicians and Surgenons--Pakistan:JCPSP. 2008;18(11):684-7.
24. Jiang Q, Jiang X-H, Zheng M-H, Chen Y-P. l-Ornithine-l-aspartate in the
management of hepatic encephalopathy: A meta-analysis. J Gastroenterol Hepatol. 2009;24(1):9-14.
25. Bai M, Yang Z, Qi X, Fan D, Han G. l-ornithine-l-aspartate for hepatic encephalopathy in patients with cirrhosis: A meta-analysis of randomized
controlled trials. J Gastroenterol Hepatol. 2013;28(5):783-92.
26. Solga, SF. Probiotics can treat hepatic encephalopathy. Med Hypothesses
2003;61:307-13.
27. Bongaerts G, Severijnen R, Timmerman H. Effect of antibiotics, prebiotics
and probiotics in the treatment for hepatic encephalopathy. Med Hypotheses 2005;64:64-8.
28. Liu Q, Duan ZP, Ha DK, et al. Synbiotic modulation of gut flora: Effect on
minimal hepatic encephalopathy in patients with cirrhosis. Hepatology
2004;39:1441-9.
29. Shukla S, Shukla A, Mehboob S, Guha S. Meta-analysis: the effects of gut
flora modulation using prebiotics, probiotics and synbiotics on minimal
hepatic encephalopathy. Aliment Pharmacol Ther. 2011;33(6):662-71.
30. Sharma V, Garg S, S A. Probiotics and Liver Disease. Perm J. 2013;17(4):62-7.
Leading article
Hipertensi Krisis
Asnelia Devicaesaria
Departemen Neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo
PENDAHULUAN
Hipertensi krisis merupakan salah satu kegawatan dibidang neurovaskular yang sering dijumpai
di instalasi gawat darurat. Hipertensi krisis ditandai dengan peningkatan tekanan darah akut dan
sering berhubungan dengan gejala sistemik yang merupakan konsekuensi dari peningkatan darah
tersebut. Ini merupakan komplikasi yang sering dari penderita dengan hipertensi dan membutuhkan penanganan segera untuk mencegah komplikasi yang mengancamjiwa.
Duapuluh persen pasien hipertensi yang datang ke UGD adalah pasien hipertensi krisis. Data di
Amerika Serikat menunjukkan peningkatan prevalensi hipertensi dari 6,7% pada penduduk berusia
20-39 tahun, menjadi 65% pada penduduk berusia diatas 60 tahun. Data ini dari total penduduk 30%
diantaranya menderita hipertensi dan hampir 1%-2% akan berlanjut menjadi hipertensi krisis disertai kerusakan organ target. Sebagian besar pasien dengan stroke perdarahan mengalami hipertensi
krisis.
Pada JNC 7 tidak menyertakan hipertensi krisis ke dalam tiga stadium klasifikasi hipertensi, namun
hipertensi krisis dikategorikan dalam pembahasan hipertensi sebagai keadaan khusus yang memerlukan tatalaksana yang lebih agresif.
DEFINISI
Terdapat perbedaan dari beberapa sumber mengenai definisi peningkatan darah akut. Definisi yang
paing sering dipakai adalah:
1. Hipertensi emergensi (darurat)
Peningkatan tekanan darah sistolik >180 mmHg atau diastoik > 120 mmHg secara mendadak disertai kerusakan organ target. Hipertensi emergensi harus ditanggulangi sesegera mungkin dalam
satu jam dengan memberikan obat-obatan anti hipertensi intravena.
2. Hipertensi urgensi (mendesak)
Peningkatan tekanan darah sepertipada hipertensi emergensi namun tanpa disertai kerusakan
organ target. Pada keadaan ini tekanan darah harus segera diturunkan dalam 24 jam dengan
memberikan obat-obatan anti hipertensi oral.
MEDICINUS
leading article
ningkatan tekanan darah secara cepat disertai peningkatan resistensi vaskular. Peningkatan tekanan darah
yang mendadak ini akan menyebabkan jejas endotel
dan nekrosis fibrinoid arteriol sehingga membuat kerusakan vaskular, deposisi platelet, fibrin dan kerusakan
fungsi autoregulasi.
2. Hipertensi akselerasi
Peningkatan tekanan darah diastolik
> 120 mmHg disertai dengan kelainan funduskopi. Bila tidak diobati dapatberlanjut ke fase maligna.
3. Hipertensi maligna
Penderita hipertensi akselerasi dengan tekanan darah diastolik > 120130 mmHg dan kelainan funduskopi
disertai papil edema, peninggian tekanan intrakranial, kerusakan yang
cepat dari vaskular, gagal ginjal akut,
ataupun kematian bila penderita
tidak mendapatkan pengobatan. Hipertensi maligna biasanya pada penderita dengan riwayat hipertensi esensial ataupun sekunder dan jarang
pada penderita yang sebelumnya
mempunyai tekanan darah normal.
4. Hipertensi ensefalopati
Kenaikan tekanan darah dengan tibatiba disertai dengan keluhan sakit
kepala yang hebat, penurunan kesadaran dan keadaan ini dapat menjadi
reversibel bila tekanan darah tersebut
diturunkan.
ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
Faktor penyebab hipertensi intinya
terdapat perubahan vascular, berupa
disfungsi endotel, remodeling, dan
arterial striffness. Namun faktor penyebab hipertensi emergensi dan
hipertensi urgensi masih belum dipahami. Diduga karena terjadinya pe-
10
MEDICINUS
MEKANISME AUTOREGULASI
Autoregulasi merupakan penyesuaian fisiologis organ
tubuh terhadap kebutuhan dan pasokan darah dengan
mengadakan perubahan pada resistensi terhadap aliran
darah dengan berbagai tingkatan perubahan kontraksi/
dilatasipembuluh darah. Bila tekanan darah turun maka
akan terjadi vasodilatasi dan jika tekanan darah naik
akan terjadi vasokonstriksi. Pada individu normotensi,
aliran darah otak masih tetap pada fluktuasi Mean Atrial
Pressure (MAP) 60-70 mmHg. Bila MAP turun di bawah
batas autoregulasi, maka otak akan mengeluarkan oksigen lebih banyak dari darah untuk kompensasi dari
aliran darah yang menurun.
leading article
Bila mekanisme ini gagal, maka akan terjadi iskemia otak dengan manifestasi klinik seperti mual,
menguap, pingsan dan sinkop.
Pada penderita hipertensi kronis, penyakit serebrovaskular dan usia tua,batas ambang autoregulasi
ini akan berubah dan bergeser ke kanan pada kurva, sehingga pengurangan aliran darah dapat terjadi pada tekanan darah yang lebih tinggi (lihat gambar 2).
Gambar
1. Patofisiologi
Gambar 1. Patofisiologi
hipertensi
emergensi. hipertensi emergensi.
Kelainan endokrin
Kehamilan
Essential hypertension
Hipertensi berat
Kelainan ginjal
Obat-obatan
Critical level atau
kenaikan dan
peningkatan resistensi
vascular secara cepat
Natriuresis spontan
Kerusakan endotel
Kekurangan volume
intravaskular
Permeabilitas endotel
Vasodilatasi, NO &
prostacyclin
Vasokontriksi,
(reninangiotensin,
catecholamines)
Tekanan darah
lebih lanjut
Peningkatan TD besar
Iskemik jaringan
MEDICINUS
11
leading article
MEKANISME AUTOREGULASI
Autoregulasi merupakan penyesuaian fisiologis organ tubuh terhadap kebutuhan dan pasokan darah dengan mengadakan perubahan pada resistensi terhadap aliran darah dengan berbagai tingkatan perubahan kontraksi/dilatasi pembuluh darah. Bila tekanan darah turun maka akan terjadi
vasodilatasi dan jika tekanan darah naik akan terjadi vasokonstriksi. Pada individu normotensi, aliran
darah otak masih tetap pada fluktuasi Mean Atrial Pressure (MAP) 60-70 mmHg. Bila MAP turun di
bawah batas autoregulasi, maka otak akan mengeluarkan oksigen lebih banyak dari darah untuk
kompensasi dari aliran darah yang menurun. Bila mekanisme ini gagal, maka akan terjadi iskemia
otak dengan manifestasi klinik seperti mual, menguap, pingsan dan sinkop.
Pada penderita hipertensi kronis, penyakit serebrovaskuar dan usia tua,batas ambang autoregulasi
ini akan berubah dan bergeser ke kanan pada kurva,sehingga pengurangan aliran darah dapat terjadi pada tekanan darah yang lebih tinggi (lihat gambar 2).
Pada penelitian Stragard, dilakukan pemgukuran MAP pada penderita hipertensi dengan yang normotensi. Didapatkan penderita hipertensi dengan pengobatan mempunyai nilai diantara grup normotensi dan hipertensi tanpa pengobatan. Orang dengan hipertensi terkontrol cenderung menggeser autoregulasi ke arah normal.
Dari penelitian didapatkan bahwa baik orang yang normotensi maupun hipertensi, diperkirakan
bahwa batas terendah dari autoregulasi otak adalah kira-kira 25% di bawah resting MAP. Oleh karena
itu dalam pengobatan hipertensi krisis, penurunan MAP sebanyak 20%-25% dalam beberapa menit
atau jam,tergantung dari apakah emergensi atau urgensi. Penurunan tekanan darah pada penderita
diseksi aorta akut ataupun edema paru akibat payah jantung kiri dilakukan dalam tempo 15-30 menit
dan bisa lebih cepat lagi dibandingkan hipertensi emergensi lainya. Penderita hipertensi ensefalopati, penurunan tekanan darah 25% dalam 2-3 jam. Untuk pasien dengan infark serebri akut ataupunperdarahan intrakranial, penurunan tekanan darah dilakukan lebih lambat (6-12jam) dan harus
dijaga agar tekanan darah tidak lebih rendah dari 170-180/100 mmHg.
12
MEDICINUS
leading article
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis hipertensi krisis berhubungan dengan kerusakan organ target yang ada. Tanda
dan gejala hipertensi krisis berbeda-beda setiap pasien. Pada pasien dengan hipertensi krisis dengan perdarahan intrakranial akan dijumpai keluhan sakit kepala, penurunan tingkat kesadaran dan
tanda neurologi fokal berupa hemiparesis atau paresis nervus cranialis. Pada hipertensi ensefalopati
didapatkan penurunan kesadaran dan atau defisit neurologi fokal.
Pada pemeriksaan fisik pasienbisa saja ditemukan retinopati dengan perubahan arteriola, perdarahan dan eksudasi maupun papiledema. Pada sebagian pasien yang lain manifestasi kardiovaskular
bisa saja muncul lebih dominan seperti; angina, akut miokardial infark atau gagal jantung kiri akut.
Dan beberapa pasien yang lain gagal ginjal akut dengan oligouria dan atau hematuria bisa saja
terjadi.
MEDICINUS
13
leading article
14
MEDICINUS
leading article
PENATALAKSANAAN
1. Hipertensi Urgensi
A. Penatalaksanaan Umum
Manajenem penurunan tekanan darah pada
pasien dengan hipertensi urgensi tidak membutuhkan obat-obatan parenteral. Pemberian
obat-obatan oral aksi cepat akan memberi manfaat untuk menurunkan tekanan darah dalam
24 jam awal Mean Arterial Pressure (MAP) dapat
diturunkan tidak lebih dari 25%. Pada fase awal
standard goal penurunan tekanan darah dapat
diturunkan sampai 160/110 mmHg.
Penggunaan obat-obatan anti-hipertensi parenteral maupun oral bukan tanpa risiko dalam
menurunkan tekanan darah. Pemberian loading
dose obat oral anti-hipertensi dapat menimbulkan efek akumulasi dan pasien akan mengalami
hipotensi saat pulang ke rumah. Optimalisasi
penggunaan kombinasi obat oral merupakan
pilihan terapi untuk pasien dengan hipertensi
urgensi.
MEDICINUS
15
leading article
Kidney Failure. Acute kidney injury bisa disebabkan oleh atau merupakan konsekuensi
dari hipertensi emergensi. Acute kidney injury ditandai dengan proteinuria, hematuria,
oligouria dan atau anuria. Terapi yang diberikan masih kontroversi, namun nitroprusside IV telah digunakan secara luas namun
nitroprusside sendiri dapat menyebabkan
keracunan sianida atau tiosianat. Pemberian
fenoldopam secara parenteral dapat menghindari potensi keracunan sianida akibat
dari pemberian nitroprussidedalam terapi
gagal ginjal.
16
MEDICINUS
leading article
KESIMPULAN
Hipertensi krisis merupakan salah satu kegawatan di bidang neuro-cardiovaskularyang sering dijumpai di instalasi gawat darurat. Hipertensi krisis terdiri dari hipertensi emergensi dan hipertensi
urgensi. Keduanya harus ditangani dengan tepat dan segera sehingga prognosisnya terhadap organ target (otak, ginjal dan jantung) dan sistemik dapat ditanggulangi.
daftar pustaka
1. Rampengan SH. Krisis Hipertensi. Hipertensi Emergensi dan HipertensiUrgensi. BIKBiomed. 2007. Vol.3, No.4 :163-8.
2. 2. Saguner AM, Dr S, Perrig M, Schiemann U, Stuck AE, et al. Risk Factors
PromotingHypertensive Crises: Evidence From a LongitudinalStudy. Am
J Hypertensi. 2010. 23:775-780.
3. Kaplan NM. Primary hypertension. In: Clinical Hypertension. 9 ed. Lippincott Williams &Wilkins; 2006: 50-104.
4. Madhur MS. Hypertension. Medscape Article. 2012. Vol.3, No.4 :163-8.
5. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, et al.Harrison's
Principles ofInternal Medicine. Seventeenth Edition. 2008.
6. Majid A. Krisis Hipertensi Aspek Klinis dan Pengobatan. USU DigitalLibrary. 2004.
MEDICINUS
17
research
5 skp
Abstrak
Abstract
Maternal and perinatal mortality rate in Indonesia is still high. The most cause of maternal
and perinatal deaths related to pregnancy and
complication of pregnancy can be prevented.
Adequate antenatal care is an important factor in reducing maternal and perinatal deaths.
This is an observasional cross-sectional study of
2268 women delivered and 2305 neonates born
at Prof.Dr.R.D.Kandou Manado hospital was
used. Data is collected from medical record. This
study shows that number of antenatal <4 times
is significantly associated with the incidence
of severe asphyxia (p=0,003; PR: 2,047; 95% CI:
1,29-3,25) and LBW (p=0,000; PR: 1,713; 95% CI:
1,32-2,23). The number of antenatal >4 times
is significantly associated with delivery mode
(p=0,001), this is due to Prof.Dr.R.D.Kandou
Manado hospital is a referral hospital in North
Sulawesi, many samples in this study are women with complicated pregnancy (26,7%). Pregnancy with complications is significantly related
to operative delivery (p=0,000; PR: 1,678; 95%
CI: 1,520-1,855). Conclusion is number of antenatal care < 4 times relates and increases the risk
of incidence of asphyxia and low birth weight,
while women with operative delivery are likely
to have history of antenatal care visit more (> 4
times) during pregnancy.
Keywords: antenatal care, delivery outcome,
pregnancy outcome
18
MEDICINUS
research
PENDAHULUAN
Angka kematian merupakan salah satu indikator status kesehatan masyarakat. WHO memperkirakan lebih dari 500.000 kematian ibu tiap
tahun karena kehamilan dan komplikasi yang
berhubungan dengan kehamilan.1 Menurut
data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
(SDKI) 2007, Angka Kematian Ibu (AKI) sebesar
228 per 100.000 kelahiran hidup. Angka tersebut
masih tinggi, sehingga ditargetkan pada tahun
2015 (MDGs) angka kematian ibu di Indonesia
turun menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup.2
tekanan darah, pemberian imunisasi TT & tablet Fe, di Indonesia hanya sebesar 19,9% dan
di Sulawesi Utara hanya sebesar 18,5%.4 Penelitian sebelumnya mengenai hubungan jumlah
kunjungan antenatal dengan hasil kehamilan
dan persalinan didapatkan hasil yang bertolak
belakang. Menurut Brown et al,5 wanita dengan
kunjungan antenatal dua kali memiliki hasil
kehamilan dan persalinan yang lebih baik daripada wanita dengan kunjungan sebanyak tiga
kali. Sebaliknya, menurut Taguchi et al,6 jumlah
kunjungan antenatal kurang dari 4 kali meningkatkan risiko kematian ibu.
Dari informasi di atas, mendorong kami untuk melakukan suatu penelitian ilmiah untuk
mengetahui hubungan antara jumlah pemeriksaan antenatal dengan hasil kehamilan dan persalinan.
Ditemukan bahwa 88%-98% dari semua kematian ibu dapat dicegah dengan penanganan
yang tepat selama kehamilan dan persalinan.
Pemeriksaan antenatal yang adekuat diketahui
sebagai suatu faktor penting dalam menurunkan
kematian ibu dan neonatus.1 Standar pemeriksaan antenatal di Indonesia adalah minimal 4
kali selama kehamilan. Namun, kenyataanya
tidak semua ibu hamil melakukan pemeriksaan
antenatal selama kehamilan, juga ada beberapa
ibu hamil yang melakukan pemeriksaan antenatal < 4 kali selama kehamilannya.2
METODE
HASIL
Data dari catatan medis di Bagian Obstetri dan
Ginekologi RSUP Prof. dr. R. D. Kandou Manado
dari bulan Januari 2012 sampai dengan bulan
Juni 2012 tercatat sebanyak 2.268 orang ibu
yang melahirkan. Ada 35 ibu dengan kehamilan gemeli dan 1 orang ibu dengan kehamilan
triplet. Total 2.305 janin yang dilahirkan dengan
sebanyak 2.291 persalinan.
Hasil ibu dikategorikan menjadi ibu tanpa
komplikasi dengan ibu dengan komplikasi.
Komplikasi yang dinilai pada penelitian ini ada-
MEDICINUS
19
research
20 MEDICINUS
research
lah perdarahan, hipertensi dan infeksi. Hasil analisis statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara jumlah pemeriksaan antenatal < 4
kali dengan kejadian perdarahan (p=0,874),
hipertensi (p=1,000) dan infeksi (p=0,596). Walaupun tidak berhubungan secara bermakna,
kejadian perdarahan lebih sering pada wanita
dengan jumlah pemeriksaan antenatal < 4 kali
daripada pada wanita dengan jumlah pemeriksaan antenatal > 4 kali.
Hasil fetus dinilai berdasarkan skor Apgar, kematian perinatal, dan kelainan kongenital. Hasil
analisis statistik menunjukkan jumlah pemeriksaan antenatal < 4 kali berhubungan dengan
kejadian asfiksia berat (p=0,003), namun tidak
berhubungan dengan kejadian asfiksia ringan
sedang (p=0,422). Wanita yang melakukan
pemeriksaan antenatal < 4 kali memiliki risiko
2,047 kali melahirkan janin dengan asfiksia berat
(PR=2,047; 95% CI =1,29-3,25). Jumlah kunjungan
antenatal < 4 kali tidak berhubungan dengan
kematian perinatal (p=0,167) dan kelainan kongenital (p=0,169).
Hasil analisis statistik menunjukkan ada hubungan antara jumlah pemeriksaan antenatal < 4
kali dengan berat badan lahir rendah (p=0,000),
namun tidak berhubungan dengan berat badan
lahir lebih. Wanita yang melakukan pemeriksaan antenatal < 4 kali memiliki risiko 1,713 kali
melahirkan janin dengan berat badan lahir jelek
(PR = 1,713; 95% CI = 1,32-2,23).
Jenis persalinan dikelompokkan menjadi dua
yakni persalinan spontan dan persalinan dengan tindakan. Hasil analisis statistik menunjukkan ada hubungan antara jumlah pemeriksaan
antenatal < 4 kali dengan persalinan dengan
tindakan (p=0,001). Ibu dengan jumlah pemeriksaan antenatal < 4 kali lebih banyak melakukan
persalinan spontan, sebaliknya ibu dengan jumlah pemeriksaan antenatal > 4 kali lebih banyak
melakukan persalinan dengan tindakan.
PEMBAHASAN
Angka kematian merupakan salah satu indikator status kesehatan masyarakat. Pada penelitian ini didapatkan kejadian kematian perinatal
MEDICINUS
21
research
22
MEDICINUS
Berat badan lahir rendah merupakan suatu indikator status kesehatan reproduksi dan kesehatan umum yang penting pada suatu populasi.
BBLR menjadi prediktor tunggal paling penting
terhadap kematian bayi, terutama kematian
dalam bulan pertama kehidupan. Kematian
neonatal 20 kali lebih banyak pada bayi dengan
BBLR.11
research
Berat badan lahir rendah berhubungan kuat dengan pemeriksaan antenatal yang tidak adekuat (<
4 kali).12 Pemeriksaan antenatal dapat memperbaiki berat bagan lahir melalui pencegahan kejadian
kecil untuk masa kehamilan (KMK), nutrisi yang lebih baik selama kehamilan dan penurunan kebiasaan merokok.11,13
Pada penelitian ini didapatkan bahwa jumlah pemeriksan antenatal berhubungan dengan berat
badan lahir. Hasil penelitian menunjukkan berat badan lahir rendah lebih banyak terjadi pada bayi
dari ibu yang melakukan pemeriksaan antenatal <4 kali. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Deshpande et al. Ibu dengan pemeriksaan antenatal <4 kali selama kehamil-an memiliki risiko 1713 kali
melahirkan bayi de-ngan berat badan lahir rendah.
Etiologi kejadian berat badan lahir rendah adalah multifaktor. Perhatian khusus dari tenaga kesehatan
professional dibutuhkan untuk melakuka identifikasi faktor-faktor risiko terjadinya berat badan lahir
rendah. Pemeriksaan antenatal memberikan kesempatan bagi ibu hamil untuk melakukan konseling
dan deteksi risiko-risiko yang mungkin ada.12,14
Pemeriksaan antenatal digunakan untuk memantau perkembangan kehamilan ibu, frekuen-si minimal 4 kali selama kehamilan. Pemeriksaan antenatal yang teratur memberikan kesempatan untuk
dapat mendiagnosis secara dini adanya ketidaknormalan atau komplikasi yang mungkin terjadi
pada ibu dan janin selama kehamilan sehingga dapat dilakukan tindakan yang tepat secepatnya.15
Pada penelitian ini jenis persalinan dikelompokkan menjadi dua yaitu persalinan spontan dan persalinan dengan tindakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah pemeriksaan antenatal berhubungan dengan jenis persalinan. Persalinan spontan lebih banyak terjadi pada kelompok ibu dengan pemeriksaan antenatal < 4 kali. Sebaliknya persalinan tindakan lebih banyak terjadi pada ibu
dengan pemeriksaan antenatal > 4 kali.
Jenis persalinan yang dilakukan dapat dipengaruhi oleh keinginan ibu. Namun disisi lain, adanya
faktor-faktor risiko tertentu juga dapat menentukan dilakukannya persalinan dengan tindakan, seperti usia ibu lebih dari 35 tahun (> 35), ibu dengan anemia, ibu dengan tekanan darah tinggi, karena
kondisi kesehatan umum akan sangat mempengaruhi kondisi kehamilan dan proses persalinan.
Adanya keluhan selama kehamilan merupakan faktor risiko terjadinya komplikasi persalinan yang
akhirnya terjadi persalinan dengan tindakan.16
RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado merupakan rumah sakit rujukan di Sulawesi Utara. Sehingga
kasus-kasus kehamilan berisiko akan banyak ditemukan pada rumah sakit ini, pada penelitian ini
diketahui selama bulan Januari 2012 hingga Juni 2012 terdapat 606 (26,7%) ibu hamil dengan kom-plikasi hipertensi, perdarahan dan infeksi, yang termasuk dalam kelompok ibu dengan kehamilan beri-siko.
Tabel 3 menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara kehamilan dengan risiko dengan persalinan tindakan, dengan risiko sebesar 1678 kali. Sehingga kehamilan dengan komplikasi meningkatkan risiko untuk persalinan dengan tindakan.
MEDICINUS
23
research
Jika seorang wanita telah mengetahui memiliki risiko tertentu terjadinya penyulit-penyulit selama
kehamilan dan persalinan, maka wanita tersebut akan lebih sering melakukan pemeriksaan akan
kesehatan kehamilannya. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Brown et al,5 dimana adanya kecenderungan wanita untuk melakukan pemeriksaan antenatal lebih sering jika mereka memiliki masalah
pada kehamilannya.
KESIMPULAN
Jumlah pemeriksaan antenatal < 4 kali selama kehamilan berhubungan dengan kejadian asfiksia berat dan berat badan lahir rendah. Kehamilan dengan komplikasi berhubungan dengan persalinan
tindakan. Wanita dengan persalinan tindakan memiliki riwayat pemeriksaan antenatal > 4 kali.
SARAN
Informasi kepada masyarakat tentang pentingnya pemeriksaan antenatal minimal empat kali untuk
mencegah kejadian asfiksia dan berat badan lahir rendah pada neonatus. Peningkatkan kualitas layanan pemeriksaan antenatal untuk meningkatkan hasil kehamilan dan persalinan menjadi lebih baik.
daftar pustaka
1. Ziyo FY, Matly FA, Mehemd GM, Dofany EM. Relation between prenatal care and pregnancy outcome at Benghazi. Sudanese Journal of Public Health. 2009;4:403-10.
2. Kementerian Kesehatan Pusat Data dan Informasi. Profil
kesehatan Indonesia 2010. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2011.
3. Departemen Kesehatan. Pusat Data dan Informasi. Profil
kesehatan Indonesia 2008. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2009.
4. Kemenkes RI. Riset kesehatan dasar (RISKESDAS) 2010.
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
RI; 2010. h. 223,229.
5. Brown CA, Sohani SB, Khan K, Lilford R, Mukhwana W.
Antenatal care and perinatal outcomes in Kwale district
Kenya. BMC Pregnancy and Childbirth. 2008;8:1-11.
6. Taguchi N, Kawabata M, Maekawa M, Maruo T, Aditiwarman, Dewata L. Influence of socio-economic background
and antenatal care programmes on maternal mortality in
Surabaya, lndonesia. Trop Med Int Health. 2003;8:847-52.
7. Salusatiano EMA, Campos JADB, Ibidi SM, Ruano R, Zugaib
M. Low apgar scores at 5 minutes in a low risk population:
maternal and obstetrical factors and postnatal outcome.
Rev Assoc Med Bras. 2012;58:587-93.
8. Haider BA, Bhutta ZA. Birth asphyxia in developing countries: current status and public health implications. Curr
Probl Pediatr Adolesc Health Care. 2006;36:180.
9. Nayeri F, Shariat M, Dalili H, Adam LB, Mehrjerdi FZ, Shakeri
24
MEDICINUS
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
research
5 SKP
Pilih Benar (B) atau Salah (S) pada pernyataan di bawah dengan membubuhkan tanda () di samping kanan.
No.
Pernyataan
Sesuai dengan visi dan misi MDGs, pemerintah menargetkan untuk menurunkan angka
kematian ibu di tahun 2015 menjadi 105 per 100.000 kelahiran hidup.
Berdasarkan standard yang ditetapkan WHO dan direkomendasikan oleh Kementerian
Kesehatan bahwa frekuensi kunjungan antenatal selama masa kehamilan adalah minimal
4 kali.
Pada tahun 2010, cakupan pelayanan antenatal kunjungan pertama (K 1) di Sulawesi
Utara tercatat 91,09%. Sedangkan pelayanan antenatal hingga kunjungan keempat (K4)
sebesar 82,14%.
Menurut Taguchi, jumlah kunjungan antenatal kurang dari 4 kali selama periode
kehamilan akan meningkatkan risiko kematian ibu.
Dari penelitian ini diperoleh hasil analisis statistik bahwa terdapat hubungan yang cukup
signifikan antara frekuensi pemeriksaan antenatal kurang dari 4 kali dengan kejadian
perdarahan, hipertensi dan infeksi.
Hasil lain dari penelitian ini adalah ibu hamil dengan frekuensi pemeriksaan antenatal <
4 kali memunyai risiko 2,047 kali melahirkan bayi dengan afiksia berat.
Hasil dari penelitian ini juga menunjukkan bahwa BBLR lebih banyak terjadi pada ibu
hamil yang melakukan pemeriksaan antenatal lebih dari 4 kali.
Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) bisa menyebabkan 10 kali lebih banyak
kematian neonatal.
Persalinan spontan lebih banyak dialami oleh ibu hamil dengan pemeriksaan antenatal <
4 kali. Sebaliknya, ibu hamil dengan pemeriksaan antenatal > 4 kali mengalami
persalinan dengan tindakan.
Selama bulan Januari-Juni 2012, tercatat ada sekitar 660 ibu hamil berisiko di RSUP
Prof. Dr. R.D. Kandou, karena disertai dengan komplikasi seperti hipertensi perdarahan
dan infeksi.
2
3
4
5
6
7
8
9
10
KETERANGAN:
- Tandai () pada jawaban yang dipilih.
- Sasaran dari artikel dan kuis CME ini adalah untuk dokter umum/dokter spesialis.
- Dokter akan memperoleh jumlah SKP yang tertera di bagian atas dan akan mendapatkan sertifikat
-
MEDICINUS
25
26
MEDICINUS
RESEARCH
3 skp
ABSTRAK
Latar Belakang
Salah satu faktor risiko yang paling berperan dalam kejadian stroke, khususnya stroke hemoragik, adalah hipertensi.
Berdasarkan systolic blood pressure (SBP) dan diastolic blood
pressure (DBP), hipertensi dapat dibedakan menjadi isolated systolic hypertension (ISH) dan non ISH, dimana non ISH
masih dapat dibedakan menjadi dua yaitu systolic diastolic
hypertension (SDH) dan isolated diastolic hypertension (IDH).
Hubungan antara kejadian stroke hemoragik pada ISH dengan non ISH masih menjadi perdebatan dan memerlukan
penelitian lebih lanjut.
ABSTRACT
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan kejadian stroke hemoragik pada ISH dengan non
ISH.
Metode
Penelitian menggunakan rancangan penelitian kasus kontrol berpasangan berdasarkan rentang usia dan jenis kelamin. Penelitian ini melibatkan 70 pasang subjek penelitian
yang didiagnosis stroke, berusia 35 tahun, serta memiliki
tekanan darah SBP 140 mmHg dan DBP < 90 mmHg; SBP <
140 mmHg dan DBP 90 mmHg; atau SBP 140 mmHg dan
DBP 90 mmHg.
Hasil dan Pembahasan
Faktor risiko yang paling sering terjadi pada kelompok kasus
maupun kelompok kontrol yaitu hipertensi khususnya non
ISH jenis SDH, sebesar 61 (87,1%) pada kelompok kasus dan
56 (80%) pada kelompok kontrol. Pada analisis bivariat,
dua faktor risiko lain yang bermakna dalam menimbulkan
kejadian stroke, yaitu HDL < 40 mg/dL (OR: 0,423; 95%, CI:
0,1910,938, p: 0,032) dan trigliserida > 150 mg/dL (OR: 0,450,
95%; CI: 0,2100,965, p: 0,038). Pada analisis multivariat diketahui bahwa HDL < 40 mg/dL (OR: 0,475; 95%, CI: 0,2101,071,
p: 0,073) dan trigliserida > 150 mg/d (OR: 0,506; 95%, CI:
0,2321,105; p: 0,087) bukan merupakan faktor prediktor independen terhadap kejadian stroke.
Kesimpulan dan Saran
Kejadian stroke hemoragik pada ISH dan non ISH tidak terdapat perbedaan yang signifikan.
Background
Hypertension is the most responsible risk factor for the incidence of stroke, especially hemorrhagic stroke. Based on
systolic blood pressure (SBP) dan diastolic blood pressure
(DBP), hypertension can be classified into isolated systolic
hypertension (ISH) and non ISH, which non ISH can be classified into systolic diastolic hypertension (SDH) and isolated
diastolic hypertension (IDH). The relationship between the
incidence of hemorrhagic stroke in ISH and non ISH are controverisal and require further research.
Objective
This study aimed to compare the incidence of hemorrhagic
stroke in ISH with non ISH.
Methode
This study used an age and sex matched case-control study.
A total of 70 pairs subject were diagnosed stroke, 35 years
of age, with a blood pressure SBP 140 mmHg and DBP <
90 mmHg; SBP < 140 mmHg and DBP 90 mmHg; or SBP
140 mmHg and DBP 90 mmHg.
Result and Disscusion
The most frequent risk factor in both group was hypertension, especially SDH type of non ISH, 61 (87,1%) in case
group and 56 (80%) in control group. In bivariate analysis,
the other significant risk factors are HDL < 40 mg/dL (OR:
0,423; 95%, CI: 0,1910,938, p: 0,032) and trigliseride > 150
mg/dL (OR: 0,450; 95% CI: 0,2100,965, : 0,038). In multivariate analysis known that HDL < 40 mg/dL (OR: 0,475; 95%, CI:
0,2101,071,
p: 0,073) and trigliseride > 150 mg/dL (OR:
0,506; 95%, CI: 0,2321,105, p: 0,087) are not an independent
predictor factors on stroke incidence.
Conclusion
There was no significant difference between incidence of
hemorrhagic stroke in ISH and non ISH.
Key Word
stroke incidence, case-control, hypertension type
MEDICINUS
27
research
I. PENDAHULUAN
Stroke terdiri dari dua jenis, yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik. Stroke hemoragik meliputi intracerebral hemorrhage (ICH) dan subarachnoid hemorrhage (SAH).1 Hipertensi merupakan faktor risiko yang paling berperan dalam kejadian stroke hemoragik.2,3,4
Berdasarkan systolic blood pressure (SBP) dan diastolic blood pressure (DBP), hipertensi dapat
dibedakan menjadi isolated systolic hypertension (ISH) dan non ISH, dimana non ISH masih dapat
dibedakan menjadi dua yaitu systolic diastolic hypertension (SDH) dan isolated diastolic hypertension (IDH). Seseorang tergolong ISH apabila memiliki SBP 140 mmHg dan DBP < 90 mmHg, tergolong SDH apabila memiliki SBP 140 mmHg dan DBP 90 mmHg, dan tergolong IDH apabila
memiliki SBP < 140 mmHg dan DBP 90 mmHg.5 Hubungan antara kejadian stroke hemoragik
pada ISH dengan non ISH masih menjadi perdebatan dan memerlukan penelitian lebih lanjut.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan kejadian stroke hemoragik
pada ISH dengan non ISH.
II. BAHAN DAN CARA
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian kasus kontrol. Kelompok kasus merupakan
subjek penelitian dengan stroke hemoragik, sedangkan kelompok kontrol merupakan subjek
penelitian dengan stroke iskemik. Kelompok kasus akan dipasangkan dengan kelompok kontrol
berdasarkan rentang usia dan jenis kelamin.
Penelitian melibatkan 70 pasang subjek penelitian yang didiagnosis stroke selama periode penelitian 6 Maret sampai 4 April 2014, yang diperoleh dari rekam medis diperoleh dari rekam medis
Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta. Subjek penelitian diambil dengan cara pengambilan sampel
secara random sistematik. Kriteria inklusi dalam penelitian ini meliputi : (i) stroke hemoragik dan
stroke iskemik, (ii) jenis kelamin laki-laki dan perempuan, (iii) usia 35 tahun, dan (iv) SBP 140
mmHg dan DBP < 90 mmHg; SBP < 140 mmHg dan DBP 90 mmHg; atau SBP 140 mmHg dan
DBP 90 mmHg. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini meliputi : (i) pasien pulang paksa dan (ii)
data rekam medis tidak lengkap. Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan Chi-Square
Tests yang diolah dengan program SPSS 16.0.
III. HASIL
Penelitian melibatkan 258 subjek penelitian yang didiagnosis stroke. Terdapat 76 (29,46%) subjek
penelitian yang dikeluarkan dari penelitian karena masuk dalam kriteria eksklusi penelitian dan
terdapat 182 (70,54%) subjek penelitian yang diambil. Dari 182 subjek penelitian, diambil 70 subjek penelitian dengan stroke hemoragik dan 70 subjek penelitian dengan stroke iskemik. Tabel
1 menampilkan karakteristik dasar dari 70 pasang subjek penelitian. Faktor risiko yang paling
sering terjadi pada kelompok kasus maupun kelompok kontrol yaitu hipertensi khususnya non
ISH jenis SDH. Faktor risiko lainnya, yaitu gula darah sewaktu 200 mg/dL, kolesterol total > 200
mg/dL, LDL > 100 mg/dL, HDL < 40 mg/dL, dan trigliserida > 150 mg/dL lebih sering terjadi pada
kelompok kontrol daripada kelompok kasus.
28
MEDICINUS
research
Tabel 2 menunjukkan rata-rata nilai faktor risiko subjek penelitian. Tampak bahwa kelompok kasus
memiliki rata-rata tekanan darah dan kadar HDL yang lebih tinggi. Kelompok kontrol memiliki ratarata gula darah sewaktu, kolesterol total, LDL, dan trigliserida yang lebih tinggi.
Tabel 3 menunjukkan bahwa kejadian non ISH lebih banyak terjadi pada laki-laki daripada perempuan, sedangkan kejadian ISH lebih banyak terjadi pada perempuan daripada laki-laki. Kejadian SDH memuncak pada rentang usia 61 sampai 65 tahun. Kejadian IDH memuncak pada
rentang usia 56 sampai 60 tahun, sedangkan kejadian ISH memuncak pada rentang usia 61 sampai 70 tahun.
MEDICINUS
29
research
Hasil analisis bivariat yang tampak pada tabel 4 menunjukkan adanya dua faktor risiko yang bermakna dalam menimbulkan kejadian stroke hemoragik, yaitu HDL < 40 mg/dL dan trigliserida
> 150 mg/dL. Kedua faktor risiko yang bermakna tersebut diolah lebih lanjut dengan analisis
multivariat.
Hasil analisis multivariat yang tampak pada tabel 5 mengindikasikan bahwa kadar HDL dan trigliserida bukan merupakan faktor prediktor independen terhadap kejadian stroke hemoragik.
PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian stroke hemoragik pada SDH paling tinggi apabila dibandingkan dengan jenis hipertensi lainnya. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil dari
penelitian Fang et al. (2006) yang menyatakan bahwa pasien dengan SDH memiliki risiko stroke
yang paling tinggi dibandingkan tipe hipertensi lainnya6. Pernyataan tersebut bertentangan
dengan beberapa penelitian terdahulu. Rashid et al. (2003) menyatakan bahwa peningkatan
DBP sebesar 10 mmHg meningkatkan risiko kejadian stroke pertama sebesar satu setengah kali,7
30
MEDICINUS
research
sedangkan Klungel et al. (2000) dan Howard
et al. (2013) menyatakan bahwa SBP memiliki
pengaruh yang lebih kuat dalam meningkatkan risiko stroke hemoragik daripada DBP.8,9
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kejadian stroke pada ISH dan IDH rendah. Hal ini
bertentangan dengan pernyataan Qureshi et
al. (2002) yang menyatakan bahwa ISH memiliki pengaruh yang lebih kuat dalam kejadian
stroke iskemik maupun stroke hemoragik
dibandingkan dengan hipertensi diastolik.10
Pernyataan tersebut didukung oleh Nielsen et
al (1997) yang menyatakan bahwa hipertensi
diastolik tidak signifikan dalam meningkatkan
risiko stroke.11
Kejadian ISH pada laki-laki memuncak seiring
pertambahan usia hingga usia 75 tahun, sedangkan pada perempuan memuncak antara
usia 65 hingga 74 tahun dan menurun setelah
usia 75 tahun.12 Dalam penelitian ini, tampak
bahwa kejadian ISH semakin meningkat seiring pertambahan usia. Kejadian ISH terdapat
pada rentang usia 46-85 tahun, dengan kejadian yang paling banyak yaitu pada rentang
usia 61 sampai 70 tahun dan kemudian akan
menurun setelah usia 71 tahun. Hipertensi
jenis ISH lebih sering terjadi pada perempuan.5
Dalam penelitian ini, menunjukkan bahwa ISH
lebih sering terjadi pada perempuan daripada
laki-laki (5,7% berbanding 4,3%). Kedua hal
tersebut menunjukkan bahwa hasil penelitian
ini menyerupai hasil penelitian terdahulu.
Kejadian IDH pada pria dan wanita memuncak
pada usia 35 hingga 49 tahun.12 Dalam penelitian ini, tampak bahwa kejadian IDH terdapat
pada rentang usia 51 sampai 70 tahun, dengan kejadian memuncak pada rentang usia 56
sampai 60 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa
hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian terdahulu. Belum diketahui faktor yang
menyebabkan perbedaan hasil penelitian ini.
Hipertensi jenis IDH lebih sering terjadi pada
laki-laki.5 Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini dimana kejadian IDH lebih sering
MEDICINUS
31
research
dengan kadar trigliserida > 150 mg/dL (35,7%
berbanding 20%) dan kadar HDL < 40 mg/
dL (32,9% berbanding 17,1%) pada kelompok
kontrol lebih tinggi daripada kelompok kasus.
Rata-rata kadar trigliserida (150,9 111,3 berbanding 115,2 51,6 mg/dL) dan HDL (46,5
12,2 berbanding 50,7 13,1 mg/dL) pada
kelompok kontrol juga lebih tinggi daripada
kelompok kasus.
Hasil dari analisis bivariat menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara kejadian
stroke hemoragik dengan kadar trigliserida
> 150 mg/dL (OR: 0,450; 95%; CI: 0,2100,965,
p: 0,038) dan kadar HDL < 40 mg/dL (OR:
0,423; 95%; CI: 0,1910,938, p: 0,032). Kadar
trigliserida > 150 mg/dL dan kadar HDL < 40
mg/dL dapat meningkatkan kejadian stroke
hemoragik. Kedua faktor risiko yang bermakna tersebut diolah lebih lanjut dengan analisis
multivariat. Hasil dari analisis multivariat menunjukkan bahwa kadar trigliserida > 150 mg/
dL (OR: 0,506; 95%; CI: 0,2321,105; p: 0,087)
dan kadar HDL < 40 mg/dL (OR: 0,475; 95%;
CI: 0,2101,071; p: 0,073) bukan merupakan faktor prediktor independen terhadap kejadian
stroke. Kadar trigliserida > 150 mg/dL dan
kadar HDL < 40 mg/dL harus disertai dengan
adanya faktor risiko lainnya agar dapat menimbulkan kejadian stroke hemoragik.
Kadar gula darah yang tinggi merupakan faktor risiko yang lebih berpengaruh pada stroke
iskemik daripada stroke hemoragik.11 Jumlah
subjek penelitian dengan kadar gula darah sewaktu 200 mg/dL lebih banyak pada kelompok kontrol daripada kelompok kasus (18,6%
berbanding 12,9%). Rata-rata kadar gula darah
pada kelompok kontrol lebih tinggi daripada
kelompok kasus (156,7 91,9 berbanding 144,5
64,4 mg/dL). Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa kadar gula darah sewaktu
200 mg/dL (OR : 0,647, 95% CI : 0,2571,629, p
: 0,353) tidak bermakna dalam meningkatkan
kejadian stroke hemoragik.
32
MEDICINUS
daftar pustaka
1. Sacco, R.L., Kasner, S.E., Broderick, J.P., et al. An Updated Definition of Stroke for the 21st
Century : A Statement for Healthcare Professionals From the American Heart Association/American Stroke Association. Stroke. 2013;44.
2. Keep, R.F., Hua, Y., & Xi, G. Intracerebral Haemorrhage: Mechanisms of Injury and Therapeutic Targets. Lancet Neurol 2012. 2012;11:72031.
3. Zia, E., Hedblad, B., Rasmussen, H.P., et al. Blood Pressure in Relation to the Incidence of
Cerebral Infarction and Intracerebral Hemorrhage : Hypertensive Hemorrhage: Debated
Nomenclature Is Still Relevant. Stroke. 2007;38: 2681-85.
4. Iadecola, C. & Gorelick, P.B. Hypertension, Angiotensin, and Stroke: Beyond Blood Pressure. Stroke. 2004;35:348-50.
5. Franklin, S.S., Pio, J.R., Wong, N.D., et al. Predictors of New-Onset Diastolic and Systolic
Hypertension : The Framingham Heart Study. Circulation. 2005;111:1121-7.
6. Fang, X.H., Zhang, X.H., Yang, Q.D., et al. Subtype Hypertension and Risk of Stroke in
Middle-Aged and Older Chinese : A 10-Year Follow-Up Study. Stroke. 2006;37:38-43.
7. Rashid, P., Bee, J.L. & Bath, P. Blood Pressure Reduction and Secondary Prevention of
Stroke and Other Vascular Events : A Systematic Review. Stroke. 2003;34:2741-8.
8. Klungel, O.H., Kaplan, R.C., Heckbert, S.R., et al. Control of Blood Pressure and Risk of
Stroke Among Pharmacologically Treated Hypertensive Patients. Stroke. 2000;31:420-4.
9. Howard, G., Cushman, M., Howard, V.J., et al. Risk Factors for Intracerebral Hemorrhage :
The REasons for Geographic And Racial Differences in Stroke (REGARDS) Study. Stroke.
2013;44:1282-7.
10. Qureshi, A.I., Suri, M.F.K., Mohammad, Y., et al. Isolated and Borderline Isolated Systolic
Hypertension Relative to Long-Term Risk and Type of Stroke : A 20-Year Follow-Up of the
National Health and Nutrition Survey. Stroke. 2002;33:2781-8.
11. Nielsen, W.B., Lindenstrm, E., Vestbo, J., et al. Is Diastolic Hypertension an Independent
Risk Factor for Stroke in the Presence of Normal Systolic Blood Pressure in the Middleaged and Elderly?. American Journal of Hypertension. 1997;10:6349.
12. Yeh, C.J., Pan, W.H., Jong, Y.S., et al. Incidence and Predictors of Isolated Systolic
Hypertension and Isolated Diastolic Hyeprtension in Taiwan. J Formos Med Assoc.
2001;100:66875.
13. Van Rossum, C.T.M., van de Mheen, H., Witteman, J.C.M., et al. Prevalence, Treatment,
and Control of Hypertension by Sociodemographic Factors Among the Dutch Eldery.
Hypertension. 2000;35:814-21.
14. Porth, C.M. & Matfin, G. Pathophysiology Concepts of Altered Health States. 8th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2009. p.512-5, 1318-21.
15. Tedgui, A. & Mallat, Z. Hypertension : A Novel Regulator of Adaptive Immunity in Atherosclerosis? Hypertension. 2004;44:257-8.
16. Soyama, Y., Miura, K., Morikawa, Y., et al. High-Density Lipoprotein Cholesterol and Risk
of Stroke in Japanese Man and Women: The Oyabe Study. Stroke. 2003;34:863-8.
17. Asia Pasific Cohort Studies Collaboration. Triglycerides as a Risk Factor for Cardiovascular Disease in the Asia-Pasific Region. Circulation. 2004;110: 2678-86.
3 SKP
Pilih Benar (B) atau Salah (S) pada pernyataan di bawah dengan membubuhkan tanda () di samping kanan.
No.
1
2
3
5
6
7
8
9
10
Pernyataan
Seseorang dengan systolic blood pressure 140 mmHg dan diastolic blood pressure
5 SKP
> 90 mmHg, tergolong ke dalam penderita Isolated Systolic Hypertension (ISH).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan kejadian stroke
dua yaitu Systolic Diastolic Hypertension (SDH) dan Isolated Diastolic Hypertension
(IDH).
Kriteria inklusi pada penelitian ini meliputi stroke hemoragik dan iskemik, jenis
kelamin (laki-laki dan perempuan), usia 35 tahun, SBP 140mmHg dan DBP < 90
mmHg, SBP < 140 mmHg dan DBP 90 mmHg, atau SBP 140 mmHg dan DBP 90
mmHg.
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa pasien dengan Isolated Systolic Hypertension
(ISH) memiliki risiko stroke tertinggi dibandingkan tipe hipertensi lainnya, sesuai
dengan hasil dari penelitian Fang et al. (2006).
Angka kejadian Isolated Systolic Hypertension (ISH) terbanyak pada penelitian ini
terdapat pada rentang usia 61 sampai 70 tahun, dan akan kembali menurun pada
usia 71 tahun.
Dari hasil penelitian ini, kejadian Isolated Diastolic Hypertension (IDH) lebih sering
terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki.
Kejadian stroke hemoragik pada ISH dan non-ISH terdapat perbedaan yang signifikan.
Kadar kolesterol serum dan kadar LDL yang tinggi beperan penting dalam
pembentukan aterosklerosis yang akan memicu terjadinya stroke, khususnya stroke
iskemik.
Kelemahan penelitian ini adalah perbandingan kejadian stroke hemoragik terhadap
jenis-jenis hipertensi, yaitu non-ISH, SDH, IDH dan ISH yang belum pernah dilakukan
pada penelitian sebelumnya.
KETERANGAN:
- Tandai () pada jawaban yang dipilih.
- Sasaran dari artikel dan kuis CME ini adalah untuk dokter umum/dokter spesialis.
- Dokter akan memperoleh jumlah SKP yang tertera di bagian atas dan akan mendapatkan
-
MEDICINUS
33
34
MEDICINUS
Case report
A 41-years-old male came to ER complaining of swelling and pain in both calves and legs since
10 days before admission to hospital. Stabbing pain was felt in the upper tip of the calves. Pain
was felt when patient was walking and relieved when resting. In the beginning the pain was only
felt like a muscleache but then it got worse as the day goes on and was accompanied by swelling.
Edinburgh claudication questionnaire result shows positive claudication. Patient was a heavy
smoker (>2 packs/day). History of previous operation was denied. Patients Body Mass Index
(BMI) was 34,60 kg/m2. His elder brother had a heart failure. Patient had already visited National
MEDICINUS
35
CASE
REPORT
Technology
Heart Center Harapan Kita to do duplex sonography femoralis, arterography, angiojet and
percutaneous intra arterial thrombolysis 2 days
after he began experiencing symptoms. But
there was bleeding with significant decrease
in hemoglobin and the lower extremity started
to necrosis, so the thrombolytic was stopped.
Echocardiography was done in national heart
center with result LV septal hyperthrophy,
normal systolic and diastolic function, normal
valve, and no thrombus. Electrocardiography
couldnt be done due to necrosis on both legs
and calves From national heart center, he was
given irbersatan 300 mg once daily, fibrat once
daily, alprazolam0,5 mg once daily, laxadine 3
times daily, pantoprazole twice daily, ceftriaxone 2 gram once daily, tramadol drip in ringer
lactat 20 drop/minute, amlodipine 10 mg once
daily, allopurinol 100 mg 3 times daily, clopidogrel 75 mg once daily, paracetamol 500 mg
3 times daily
On physical examination, he was noted to have
a normal blood pressure (on antihypertensive
drug from National Heart Center Harapan Kita),
normal heart rate, normal respiratory rate, and
slightly increased body temperature. Head and
neck exam was clear. Cardiovascular exam was
normal. Lungs were clear, and abdominal exam
was normal. Left pedis examination revealed
necrotic tissue above the knee, pus in the digiti I-V, blood, and no sensory sensation. Right
pedis examintation revealed necrotic tissue below knee, oedema and bulla, and no sensation
below knee. Laboratory studies showed anemia
(Hb: 10), leucositosis (WBC: 16,8), slight increase
of BUN (BUN: 60), and high level of transaminase (AST/ALT: 200/273). Trombosit, creatinine,
random blood glucose and lipid profile were
normal. On admission, the doctor suggested
amputation above knee on both legs but the
patient refused. He was treated with ceftriaxon
twice daily, ketorolac three times a day, flavonoid fraction three times a day, cilostazol twice
daily, warfarin once daily, amlodipin 5 mg once
daily
On 3rd day of admission patient agreed to have
first amputation on the left limb. On physical
examination he was takikardia (112 bpm), regu-
36
MEDICINUS
lar takipneu (24 bpm), and febris (39 C). Laboratory result showed anemia(Hb: 8,7), leucositosis (WBC: 22,7), and low platelet (PLT: 70000),
hipoalbumin (2,3). Bleeding time and clotting
time were normal. Gentamicin twice daily,
whole blood transfusion 1 bag were added to
his treatment. On 13rd day of admission the
second amputation was performed. Laboratory
result showed anemia (Hb: 8,4), leucositosis
(WBC: 11,1), increase trombosit (PLT 494000). On
14th day of admission, postoperation laboratory
studies showed anemia (Hb: 9,9), leucositosis
(WBC: 21,4), increase thrombosit (PLT:466000),
increase in coagulation studies (aPTT 43,5s, PT
26,2 s, INR 2,23).
On 19th day of admission, patient was out of
hospital. He was treated with cilostazol twice
daily, Amlodipin 5 mg once daily, Perindopril 5
mg once daily, Flavonoid fraction 500 mg three
times a day, paracetamol 500 mg three times
a day, mefenamic acid three times a day, cefadroxil three times a day.
DISCUSSION
In this report, the writer presented a case of
acute limb ischemia. Patients with atherosclerosis risk factors deserve special attention regarding their status for several reasons. First,
Despite urgent revascularization with thrombolytic agents or surgery, amputation occurs
in 10% to 15% of patients during hospitalization. A majority of amputations are above the
knee.2 Second, rates of death and complications
among patients who present with acute limb
ischemia are high. Approximately 15% to 20%
of patients die within 1 year after presentation,
often from coexisting conditions that predisposed them to acute limb ischemia. Two years
following a below knee amputation, 30% are
dead, 15% have an above knee amputation, 15%
have a contralateral amputation, and only 40%
have full mobility.2 Third, Since atherosclerosis
is a systemic disease, other disease can developed such as coronary artery disease and cerebrovascular disease.2
In this patient, ALI was diagnosed based on:
1. Symptoms were swelling and stabbing pain
CASE
REPORT
Technology
MEDICINUS
37
CASE
REPORT
Technology
38
MEDICINUS
with thrombolysis is not effective in this patient because of bleeding with significant decrease in hemoglobin and the lower extremity
started to necrosis.
From Rutherford classification, ALI is divided to
3 stages:2
1. Stage I: Limb viable and not immediately
threatened
2. Stage II: Limb threatened
a. Stage IIa: Marginally threatened, salvageable if promptly treated.
b. Stage IIb: Immediately threatened, salvageable with immediate revascularization
3. Stage III: Limb irreversibly damaged, major
tissue loss or permanent nerve damage inevitable.
Due to his condition with necrosis cruris with
Rutherford criteria stage III when the patient
came to writers hospital, the patient was suggested to have amputation on both limbs.2 But
he refused. Patient was given ceftriaxon twice
daily, ketorolac three times a day, flavonoid
fraction three times a day, cilostazol twice daily,
warfarin once daily.
Ceftriaxon was given to this patient because
this third generation of cephalosporins has
broad spectrum effect to gram positive and
gram negative bacteria and its bactericidal effect.8 Ketorolac was given to this patient to reduce the pain by inhibition of cyclooxygenase
(COX) pathway.9 Flavonoid fraction was given
to this patient because flavonoid fraction improves venous tone and lymphatic drainage,
and reduces capillary hyperpermeability by
CASE
REPORT
Technology
protecting the microcirculation from inflammatory processes.10 Cilostazol was given to this patient because this phosphodiesterase-3 inhibitor inhibits platelet aggregation and is a direct
arterial vasodilator so it can reduce leg pain
caused by poor circulation (intermittent claudication).11 Amlodipine was given to this patient
to reduce blood pressure and for its peripheral
arterial vasodilator effect to reduce myocardial
oxygen demand.12
On the 3rd day of admission, patient started
to develop sepsis as such patient agreed to
do amputation. Gentamicin and whole blood
transfusion was added to patients treatment.
Gentamicin was given to this patient because
gram negative bacterial infection was commonly found in leg and this aminoglycoside antibiotics sensitive to negative gram organism.13
Whole blood transfusion 1 bag was given to this
patient because low level of haemoglobin (hb:
8,7 gr/dl).
On 13rd day of admission the second amputation was performed.
On 19th day of admission, patient was out of
hospital. He was treated with cilostazol twice
daily, Amlodipin 5 mg once daily, Perindopril 5
mg once daily, Flavonoid fraction 500 mg three
times a day, paracetamol 500 mg three times
a day, mefenamic acid three times a day, cefadroxil three times a day.
Perindopril was given to this patient because
this ace inhibitor will reduced cardiovascular
events by 25% in patients with symptomatic
peripheral arterial disease without known low
ejection fraction or heart failure.14 Mefenamic
acid was given as analgetic drug.9 Cefadroxil
was given to this patient to replace cephalosporine antibiotic from intravenous to oral
drug.8
Educate patient is important to prevent other
thromboembolic disease in this patient. Risk
factors prevention such as reduce body weight,
smoking cessation are important. Leg prothesis
can be used in this patient to improve quality
of life.
SUMMARY
Diagnosis acute limb ischemic based on anamnesis, physical examination, and supporting
examination like doppler sonography. Risk factor prevention, early identification, and prompt
treatment of acute limb ischemic are important
to reduce complication.
daftar pustaka
1. Creager M.A, Kaufman J.A, Conte M.S. Acute Limb Ischemic N Engl J Med 2012;366:2198-2206.
2. European Society Of Cardiology. ESC Guideline on the
diagnosis and treatment of peripheral artery disease. European Heart Journal 2011; 32: 2851-2906
3. Leng G, Fowkes F. The Edinburgh claudication questionnaire: an improved version of the WHO/Rose questionnaire for use in epidemiological surveys. J Clin Epidemiol
1992; 45: 1101-1109
4. Lee M.S, Singh V., Wilentz J.R., Makkar R. Angiojet
thrombectomy. J Invasive Cardiol 2004; 16(10): 587-591
5. Sharma S.K. Role of Angiojet Rheolytic thrombectomy
catheter:Mount Sinai Hospital experience. J Invasive Cardiol 2010; 22(10) Supplemental issue.
6. Kashyap V.S, Gilani R, Bena J.F, Bannazadeh M., Sarah T.P.
Endovascular therapy for acute limb ischemic. Journal of
vascular surgery 2011: 53 (2): 340-346.
7. Morison H L. Catheter-directed thrombolysis for acute
limb ischemic. Semin Intervent Radiol. 2006; 23(3): 258269
8. Chambers H.F. Antibiotik beta-laktam dan antibiotic lain
yang aktif di dinding dan membrane sel. In: Katzung B.G.
Farmakologi dasar dan klinis. Jakarta 2010: EGC p.756-760
9. Furst D.E, Urich R.W.Obat anti-inflamasi nonsteroid; obat
antireumatik pemodifikasi penyakit, analgesic non opioid, dan obat yang digunakan pada gout. In: Katzung B.G.
Farmakologi dasar dan klinis. Jakarta 2010: EGC p.589-598
10. Katsenis K. Micronized purified flavonoid fraction
(MPFF): a review of its pharmacological effects, therapeutic efficacy and benefits in the management of chronic
venous insufficiency. Curr vasc pharmacol 2005; 3(1): 1-9
11. Shinohara Y, et all. Cilostazol for prevention of secondary
stroke (CSPS2): an aspirin-controlled, double blind, randomized non-inferiority trial. The Lancet Neurology 2010;
9 (10). 959-968
12. Paramita D, Hindariati E. Peran Calsium Channel Blocker
pada hipertensi. In: Pikir B. S., et all. Hipertensi manajemen komprehensif. Surabaya (2011): AUP p.252-270
13. www.wikipedia.org (homepage on the internet). New
York: Wikimedia foundation (updated 2013 April). Available from: http://en.m.wikipedia.org/wiki/gentamicin.
14. Faujiah R, Lefi A. Peran Angiotensin converting enzyme
inhibitor (ACEI) pada hipertensi. In: Pikir B. S., et all. Hipertensi manajemen komprehensif. Surabaya (2011):
AUP p.203-217.
MEDICINUS
39
Technology
MEDICAL
REVIEW
ABSTRAK
Pemilihan antibiotik merupakan suatu kunci penting dalam pengobatan kasus-kasus infeksi. Masalah
global yang saat ini dihadapi adalah tingginya angka penggunaan antibiotik yang tidak tepat indikasinya. Beragam penyebab yang menyebabkan penyalahgunaan antibiotik. Dampak pada pengobatan adalah terjadinya resistensi antibiotik. Dengan penggunaan antibiotik secara rasional akan
memberikan optimalisasi terapi antibiotik ini sehingga memberikan hasil yang optimal juga.
Kata kunci: antibiotik, rasional, aspek farmakologi, aspek penderita, aspek pejamu, pola pemilihan
antibiotik
PENDAHULUAN
Penggunaan antibiotik dalam pengobatan untuk manusia sudah dimulai sejak tahun 1940. Selama
63 tahun, penggunaan antibiotik semakin luas. Hal ini mengakibatkan meluasnya potensi resistensi
bakteri.
Antibiotik memiliki dua efek utama, secara terapeutik obat ini menyerang organisme infeksius dan
juga mengeliminasi bakteri lain yang bukan penyebab penyakit. Efek lainnya adalah menyebabkan
perubahan keseimbangan ekosistem antara strain yang peka dan yang resisten, konsekuensinya
adalah gangguan ekologi mikrobial alami. Perubahan ini menyebabkan timbulnya jenis bakteri yang
berbeda jenisnya atau varian resisten dari bakteri yang sudah ada.2
Penggunaan antibiotik dalam jumlah yang banyak dan penggunaannya yang salah diduga sebagai penyebab utama tingginya jumlah patogen dan bakteri komensal resisten di seluruh dunia. Hal
ini menyebabkan peningkatan kebutuhan akan antibiotik-antibiotik baru. Pengurangan jumlah kejadian penggunaan antibiotik yang tidak tepat merupakan cara terbaik untuk melakukan kontrol
terjadinya resistensi bakteri.3
Konsep mengontrol penggunaan obat ini sering disebut dengan pengobatan yang rasional. Atau
secara sederhana diartikan sebagai meresepkan obat yang tepat, dalam dosis yang adekuat untuk durasi yang cukup dan sesuai dengan kebutuhan klinis pasien serta dengan harga yang paling
rendah.5 Sedangkan menurut World Health Organization (WHO) Global Strategy, penggunaan anti-
40 MEDICINUS
Technology
MEDICAL
REVIEW
oral. Setelah mencapai kadar puncak dalam darah, konsentrasi obat akan menurun secara cepat
dalam fase yang disebut dengan fase alfa ().
MEDICINUS
41
Technology
MEDICAL
REVIEW
42
MEDICINUS
Technology
MEDICAL
REVIEW
gis disebabkan karena pengaruh antibiotik terhadap flora normal di kulit maupun di selaputselaput lendir tubuh. Biasanya terjadi pada
penggunaan obat antimikroba berspektrum
luas.8
Di lingkungan rumah sakit selalu dikhawatirkan
penyebaran dari jenis kuman Meticillin Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA). Enterokolitis yang berat dan yang membutuhkan pengobatan intensif dapat juga disebabkan oleh
penggunaan antibiotik seperti clindamycin, tetracycline dan obat antibiotik berspektrum luas
lainnya.8
3. Aspek Mikrobiologik Kuman
Jenis kuman patogen hendaknya diidentifikasi
sebelum dimulainya terapi. Pemeriksaan biakan dan resistensi sebaiknya dilakukan sebelum
pemberian terapi, namun karena hasilnya membutuhkan waktu lama maka terapi empirik dapat diberikan dengan panduan pemeriksaan
yang lebih sederhana seperti pewarnaan gram.7
Dalam pemilihan antibiotik untuk terapi empirik, data mikrobiologi khususnya mengenai
pola kepekaan kuman dan data patogen resisten di rumah sakit setempat merupakan hal
yang sangat penting. Pola kepekaan kuman
yang berasal dari komunitas atau kuman nosokomial terhadap tiap jenis antibiotik merupakan panduan untuk menentukan antibiotik
yang akan diberikan dalam terapi empirik. Semakin luas cakupan suatu antibiotik terhadap
patogen akan meningkatkan probabilitas keberhasilan pengobatan.7
Selain data mengenai pola kepekaan, data
surveilans patogen resisten baik yang berasal
dari komunitas (misalnya penicillin resistance
S.pneumoniae/PRSP) atau kuman nosokomial
(methicillin resistance S.aureus/MRSA), extended
spectrum beta-lactamase/ESBL juga merupakan
pertimbangan dalam menentukan pilihan antibiotik.7
MEDICINUS
43
medical review
4. Aspek Penderita
Beberapa aspek dari penderita perlu diperhatikan dalam pemberian antibiotik, antara lain
derajat infeksi, tempat infeksi, usia, berat badan,
faktor genetik, penyakit komorbid, status imunitas, adanya kehamilan atau laktasi, riwayat
alergi dan faktor sosio ekonomi.7
Dari segi derajat infeksi pada penderita, perlu
diperhatikan berat ringannya infeksi dari gejala klinik, jenis dan patogenitas mikroba, serta
status imunitas penderita. Pada infeksi ringan,
pemberian antibiotik tidak perlu diberikan
seketika. Penundaan pemberian antibiotik justru akan memberikan kesempatan kepada tubuh untuk merangsang timbulnya mekanisme
kekebalan tubuh. Namun pada infeksi yang
berat dan atau telah berlangsung lama, terapi
antibiotik dapat segera dimulai.7
Tempat infeksi juga mempengaruhi pertimbangan pemberian antibiotik seperti organ yang
memiliki vaskularisasi sedikit seperti tulang,
atau organ yang memiliki sawar khusus seperti susunan saraf pusat. Pada organ tersebut,
pemberian antibiotik harus meliputi antibiotik
yang dapat menembus lapisan tersebut sehingga obat dapat bekerja secara efektif. Selain itu adanya abses, jaringan nekrotik, mukus
yang banyak, benda asing, dan sebagainya juga
dapat mengurangi efektifitas kerja antibiotik
sehingga diperlukan tindakan seperti pembersihan luka insisi dan sebagainya sebelum antibiotik diberikan.7
Usia juga mempengaruhi pertimbangan dalam
pemberian antibiotik. Pada neonatus karena
kerja berbagai organ seperti hepar dan ginjal yang belum sempurna akan meningkatkan
risiko terjadinya toksisitas dari obat. Demikian
pula pada usia lanjut dengan adanya penurunan
berbagai fungsi organ karena proses penuaan.7
Adanya penyakit komorbid seperti kelainan hati
atau ginjal juga harus diperhatikan karena da-
44
MEDICINUS
pat menurunkan efektifitas obat dan memperberat efek toksisitas. Selain itu, kelainan genetik
seperti defisiensi enzim Glucose-6-Phospate Dehydrogenase (G6PD) juga dapat menimbulkan
anemia hemolitik pada pemberian antibiotik
tertentu seperti chloramphenicol dan sulfonamide.7
Status imunitas baik imunitas selular maupun
humoral pada penderita harus menjadi pertimbangan dalam pemilihan jenis antibiotik.
Pada penderita yang imunokompeten, antibiotik dengan efek bakteriostatik mungkin cukup
efektif untuk mengendalikan infeksi tertentu,
sedangkan pada pasien dengan penurunan
status imun, pada infeksi yang sama mungkin
diperlukan antibiotik dengan efek bakterisidal
untuk mengatasinya.7
Adanya kehamilan dan laktasi akan mempengaruhi pemilihan antibiotik karena beberapa antibiotik dapat menembus sawar darah
plasenta dan masuk ke peredaran darah janin
serta menimbulkan efek yang tidak diinginkan,
seperti efek teratogenik dan sebagainya. Ibu
hamil juga pada umumnya lebih peka terhadap
pengaruh obat obat tertentu, termasuk antibiotik. Demikian pula dengan laktasi, karena beberapa antibiotik juga dapat ditemukan dalam
air susu. Untuk itu, pertimbangan baik untuk ibu
maupun janin harus diperhatikan untuk menghindari efek yang tidak diinginkan.7
Dalam pertimbangan biaya, selain harga obat
harus pula diperhatikan lama dan interval pemberian obat, sehubungan dengan jumlah obat
yang diperlukan. Biaya pengobatan tersebut
merupakan salah satu aspek sosioekonomi dari
suatu penyakit.7
5. Pola Pemberian Antimikroba
Berdasarkan ketiga aspek tersebut maka antibiotik dapat diberikan berdasarkan beberapa
pola tertentu, antara lain : direktif, kalkulatif, interventif, omnisprektif dan profilaktif.8
medical review
Pada terapi antibiotik direktif, kuman penyebab infeksi sudah diketahui dan kepekaan terhadap antibiotik sudah ditentukan, sehingga dapat dipilih obat antibiotik efektif dengan spektrum sempit.
Kesulitan yang akan dihadapi adalah tersedianya fasilitas pemeriksaan mikrobiologis yang cepat dan
tepat.8
Terapi antibiotik kalkulatif memberikan obat secara best guess. Dalam hal ini, pemilihan harus didasarkan pada antibiotik yang diduga akan ampuh terhadap mikroba yang sedang menyebabkan infeksi
pada jaringan atau organ yang dikeluhkan. Penilaian keadaan klinis yang tepat dan kemungkinan
kuman penyebab sangat penting dalam penerapan terapi antibiotik kalkulatif.8
Pada infeksi tertentu metoda penggunaan antibiotik harus selalu berpedoman pada sebuah protokol
pemberian antibiotik dan dapat menambah kelompok obat antibiotik lainnya. Bila respon yang didapat tidak memuaskan, maka protokol-protokol ini akan menyesuaikan dengan perkembangan dan
pengalaman terkini tentang penggunaan berbagai jenis antibiotik baru. Cara pengobatan ini dikenal
sebagai terapi antimikrobial interventif.8
Terapi antibiotik omnispektrif diberikan bila hendak dijangkau spektrum antibiotik seluas-luasnya
dan dapat diberikan secara empirik. Beberapa keadaan yang membutuhkan terapi ini yaitu infeksi
pada leukemia, luka bakar, peritonitis dan syok septik.8
Sebagai terapi profilaksis, obat antibiotik dapat digunakan untuk mencegah infeksi baru pada seseorang atau untuk mencegah kekambuhan dan terutama digunakan untuk mencegah komplikasikomplikasi serius pada waktu dilakukan tindakan pembedahan.8
KESIMPULAN
Pemberian antibiotik secara rasional meliputi pemilihan tepat jenis, dosis, cara pemberian dan penghentian obat yang berkualitas baik yang manfaatnya sudah terbukti, aman pada pemakaian dan terjangkau harganya oleh pasien.7,8
daftar pustaka
1. Barbosa TM, Levy SB. The Impact of Antibiotic use on Resistance Development and Persistence. Drug Resistance
Updates 2000;3.303-311.
2. Sulastrianah, Badaruddin F, Massi N. Rasionalisasi Penggunaan Antibiotik di RSUP.DR.Wahidin Sudirohusodo
Periode November 2011 Januari 2012 dan Maret Mei
2012 [Tesis].Universitas Hasanuddin Makassar; 2012.
3. Brunton L. Parker K, Blumenthal D, Buxton I. Goodman
& Gilmans Manual of Pharmacology and Therapeutics.
International Edition. McGraw-Hill. New York 2008:707797.
4. Wax R et al. Bacterial Resistance to Antimicrobials, 2nd
edition. Boca Raton, FL:CRC Press 2008:46.
5. World Health Organization. Antibiotic resistance : syn-
thesis of recommendation by expert policy groupsAlliance for the Prudent Use of Antibiotics. WHO 2001.
6. Ambwani S, Mathur AK. Rational Drug Use. Health Administrator XIX 2006.
7. Pohan HT. Dasar-dasar Pemilihan Antibiotik pada Infeksi
Komunitas. Dalam : Setiati et al. Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta
: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam,
Fakultas kedokteran Universitas Indonesia 2005:50-55.
8. Nelwan RHH. Pemakaian Antimikroba Secara Rasional
Di Klinik. Dalam : Sudoyo AW et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Interna Publishing. Cetakan kedua
2010:2896-2900.
MEDICINUS
45
medica l review
Probiotik:
Problematika dan Progresivitasnya
Dito Anurogo
Indonesian Young Health Professional's Society (IYHPS)
www.detik.com Jakarta dan Klinikkita Semarang
ABSTRACT
ABSTRAKSI
Key words:
probiotics, sources, benefits, effects.
Kata Kunci:
probiotik, sumber-sumber, manfaat, efek.
I. PENDAHULUAN
Probiotik adalah mikroorganisme hidup di dalam bahan makanan dimana saat diambil pada kadar tertentu sebagai nutrisi, menyediakan penyeimbangan (equilibration) flora usus, dan karena
itu memiliki efek positif terhadap kesehatan tubuh. Probiotik dipilih dari strains yang paling bermanfaat untuk bakteri usus, yaitu bakteri dari genus Bifidobacterium, Lactobacillus, dan ragi.1
Menurut ILSI International Life Sciences Institute (ILSI) Europe Working Group, probiotik adalah
suplemen makanan dari mikroba hidup yang memiliki efek menguntungkan bagi kesehatan inang (host).2
Menurut WHO dan FAO (2002), mikroorganisme hidup dimana bila diberikan di dalam jumlah
yang cukup memberikan manfaat kesehatan bagi tubuh.3 Dari berbagai definisi ini, probiotik hendaklah tidak diacu sebagai agen biotherapeutic.4
46
MEDICINUS
Technology
MEDICAL
REVIEW
MEDICINUS
47
Technology
MEDICAL
REVIEW
c. Sumber Probiotik
Berbagai mikroorganisme yang dapat digunakan sebagai probiotik antara lain:10-14. Bakteri Lactobacillus species, misalnya: L. acidophilus, L. casei, L. crispatus, L. fermentum, L. gasseri, L. johnsonii,
L. lactis, L. paracasei, L. plantarum, L. reuteri, L. rhamnosus GG, Lactobacillus delbrueckii sub-species
bulgaricus.
Bifidobacterium species, misalnya: B. adolescentis, B. animalis, B. bifidum, B. breve, B. infantis, B.
lactis, B. longum. Bacillus cereus, Enterococcus faecalis, Enterococcus faecium, Escherichia coli Nissle,
Streptococcus thermophilus.
Ragi Saccharomyces boulardii.
Kultur probiotik berupa mikroorganisme jamur (fungi) yang telah disetujui dan direkomendasikan oleh State Food and Drug Administration (SFDA) antara lain: Candida utilis, Ganoderma lucidum, Ganoderma sinensis, Ganoderma tsugae, Hirsutella hepiali Chen et Shen, Kluyveromyces lactis,
Monacus anka, Monacus purpureus, Paecilomyces hepiali Chen et Dai sp.Nov, Saccharomyces cerevisiae, Saccharomyces carlsbergensis.
d. Mekanisme Kerja Probiotik
Probiotik memiliki multiperan dan multifungsi. Diantaranya: memiliki aktivitas antimikroba, yaitu: menurunkan pH luminal, mensekresikan peptida antimikroba, menghambat invasi bakteri,
menghalangi pelekatan bakteri di sel-sel epitel. Penguatan fungsi barier, berupa: peningkatan
produksi mukus dan meninggikan integritas barier. Imunomodulasi, maksudnya probiotik memiliki efek pada sel-sel epitel, sel-sel dendrit, monosit atau makrofag, limfosit (limfosit B, sel-sel
Natural Killer, sel-sel T, redistribusi sel T).15
48
MEDICINUS
Technology
MEDICAL
REVIEW
Gambar 1. Mekanisme aksi probiotik yang disederhanakan. Inhibisi bakteri enterik dan
peningkatan fungsi barrier oleh bakteri probiotik. Representasi skematis dari crosstalk antara
bakteri probiotik dan mukosa intestinal.15
Antimicrobial
Lactic acid bacteria (LAB) adalah probiotik yang setelah diobservasi; memproduksi substansi antimicrobial. Substansi anti mikrobial yang diproduksi secara luas adalah asam organik, terutama
asam laktat dan asam asetat. Hydrogen peroxide dan carbon dioxide juga secara luas oleh LAB. Jika
probiotik LAB secara metabolis aktif selama perjalanan melalui usus (intestine), sangatlah mungkin
bahwa beberapa dari substansi ini akan diproduksi. Beberapa indikasi diperlukannya LAB bermula
dari observasi bahwa konsumsi strains probiotik tertentu mengurangi pH (keasaman) tinja, kemudian menunjukkan atau menandakan produksi asam-asam organik. Produksi berbagai komponen
antimicrobial lainnya; diacetyl, reuterine, pyroglutamic acid, dan bacteriocin, belum tentu dilakukan
dalam kondisi in vivo. Bacteriocin diproduksi dan aktif di rongga mulut, bukan di usus.16
Immunemodulation
Modulasi respon imun sistemik dan sekretori17 telah dibuktikan pada tikus dan hewan coba (experimental animals) lainnya. Inhibisi translokasi bakteri;18 peningkatan proliferasi pada organ sistem
imun (Peyers patches, limpa); stimulasi fagosit atau makrofag dan sel-sel NK (natural killer cells);19-21
meningkatnya pelepasan atau pembebasan sitokin (interferon alpha, interferon gamma, dan INF-
MEDICINUS
49
Technology
MEDICAL
REVIEW
50
MEDICINUS
Technology
MEDICAL
REVIEW
MEDICINUS
51
Technology
MEDICAL
REVIEW
yang kritis atau penderita dengan immunocompromized yang berat.51 Probiotic strains Lactobacillus dilaporkan menyebabkan bacteremia pada pasien dengan short-bowel syndrome.52
Preparat Lactobacillus dikontraindikasikan pada pasien dengan hipersensitivitas terhadap laktosa atau susu. S. boulardii dikontraindikasikan pada pasien dengan alergi ragi. Pada bifidobacteria,
tidak ada kontraindikasi karena sebagian besar spesies ini nonpatogenik dan nontoksigenik.53-56
h. Dosis Probiotik
Dosis efektif probiotik dipengaruhi oleh multifaktor, seperti:57
1. Dosis harian (1071010 cfu);
2. Keberlangsungan hidup (viability);
3. Frekuensi pemberian setiap harinya (1-4 kali/hari);
4. Durasi (lama) pemberian (1 hari hingga beberapa bulan);
5. Waktu mengkonsumsi (sebelum, bersamaan, atau sesudah makan);
6. Tipe probiotik (lactobacilli, bifidobacteria, yeasts, enterococci);
7. Sediaan (berupa: suplemen, makanan terfermentasi, makanan, minuman, kapsul, tablet, atau
tepung).
Untuk kasus candidiasis vulvovaginal, digunakan Lactobacillus rhamnosus GG (109 bakteri per
suppositoria 2 x sehari selama 7 hari).58 L. rhamnosus GR-1 dan Lactobacillus fermentum RC-14
(setidaknya 109 bakteri tersuspensi di susu skim diberikan secara oral 2x sehari selama 14 hari).59
L. acidophilus dengan dosis 8 oz yogurt mengandung > 108 CFU/mL diminum setiap hari selama
6 bulan.60
Untuk pencegahan penyakit atopik, dipakai Lactobacillus rhamnosus GG, dengan dosis 1010 CFU
setiap hari selama 2-4 minggu sebelum persalinan berlangsung pada wanita hamil, diikuti dengan pemberian pada bayinya selama 6 bulan.61
Pada kasus atopic eczema, strain Lactobacillus rhamnosus yang tidak hidup (nonviable) tidak efektif untuk mengurangi gejala, sedangkan strain yang hidup (viable) efektif.62,63 Insiden atopic eczema pada bayi berusia dua dan empat tahun yang berisiko menderita atopic eczema berkurang
sekitar 50% melalui pemberian L. rhamnosus pada ibunya, satu bulan sebelum melalui enam
bulan setelah proses persalinan atau kelahiran (bayi), atau langsung ke bayinya sendiri.64-66 Riset
lain menunjukkan beberapa bukti bahwa penambahan probiotik seperti Lactobacillus bermanfaat untuk kasus atopic eczema pada mereka yang menjalani diet cows-milk-whey-hydrolysate.67,68
52
MEDICINUS
Technology
MEDICAL
REVIEW
Terapi dengan probiotik (jenis Lactobacillus GG) tidak bermanfaat pada semua bayi dengan atopic eczema/dermatitis syndrome (AEDS). Lactobacillus GG hanya bermanfaat meringankan gejala AEDS bayi yang tersensitisasi IgE, namun bukan bayi yang tidak tersensitisasi IgE. Efek lactobacilli terlihat 4 minggu setelah periode terapi, tidak segera setelah terapi. Riset lain menunjukkan
pada anak dengan AEDS menunjukkan Lactobacillus GG meningkatkan konsentrasi IL-10 di sera
4 minggu setelah terapi.69,70
Pada kasus acne, suplemen oral yang mengandung L. acidophilus dan B. bifidum (250 mg) efektif
sebagai adjuvant.71 Pilihan lain yaitu suplementasi tablet Laxtinex yang mengandung campuran
L. acidophilus dan L. bulgaricus selama 8 hari, diikuti 2 minggu membersihkan wajah (wash out)
lalu dikonsumsi lagi selama 8 hari.72 Konsumsi minuman probiotik yang mengandung Lactobacillus dan lactoferrin (protein susu antiradang) efektif mengurangi lesi inflamasi dan produksi
sebum. Mekanisme kerjanya dengan membebaskan inflammatory cytokine di dalam kulit dan
mengurangi interleukin-1 alpha.73
Dosis probiotik bervariasi tergantung produk dan indikasi penyakit. Memang belum ada konsensus atau guideline yang pasti tentang jumlah minimum organisme yang harus dikonsumsi
untuk mendapatkan khasiat yang maksimal dan optimal.74,75
III. KESIMPULAN
Probiotik adalah mikroorganisme hidup di dalam bahan (suplemen) makanan dimana saat diambil pada kadar tertentu sebagai nutrisi, menyediakan penyeimbangan flora usus, dan karena
itu berefek positif terhadap kesehatan, bila diberikan di dalam jumlah yang cukup. Istilah probiotics diciptakan pada tahun 1950-an oleh W. Kollath. Hanya mikroorganisme yang memenuhi
kriteria sebagai mikroorganisme ideal yang termasuk kelompok probiotik.
Probiotik dapat ditambahkan ke dalam makanan dan minuman dengan teknik tertentu. Berbagai mikroorganisme sebagai sumber probiotik adalah berasal dari bakteri Lactobacillus species,
Bifidobacterium species, ragi Saccharomyces boulardii, dan jamur. Probiotik memiliki multiperan,
multifungsi, dan multimanfaat, misalnya: antimikroba, imunmodulasi. Meskipun aman, namun
ada beberapa efek samping dan kontraindikasi pemakaian probiotik yang perlu diwaspadai.
Adapun dosis efektif probiotik dipengaruhi oleh multifaktor.
MEDICINUS
53
daftar pustaka
1. Tomasik PJ, Tomasik P. Probiotics and Prebiotics. Cereal Chem 2003;80(2):113-117.
2. Salminen S, Bouley MC, Boutron-Rualt MC, et al. Functional food science and gastrointestinal physiology and function. Br. J. Nutr. 1998; 80 (Suppl. 1): 147171.
3. FAO, UN, WHO. Guidelines for the evaluation of probiotics in food: report of a Joint FAO/
WHO Working Group. London, Ontario, Canada: Food and Agriculture Organization of
the United Nations and World Health Organization; 2002.
4. McFarland LV, Elmer GW. Biotherapeutic agents: past, present and future. Microecol.
Ther. 1995;23:4673.
5. Probiotische Mikroorganismenkulturen in Lebensmitteln. Abschlussbericht der Arbeitsgruppe Probiotische Mikroorganismen in Lebensmitteln am Bundesinstitut fr gesundheitlichen Verbraucherschutz und Veterinrmedizin (BgVV), Berlin. In: ErnhrungsUmschau 2000;47:191195.
6. Kollath W. The increase of the diseases of civilization and their prevention. Mnch Med
Wochenschr 1953;95:12601262.
7. Lilly DM, Stillwell RH. Probiotics growth promoting factors produced by micro-organisms. Science 1965;147:747748.
8. Crittenden R. Incorporating Probiotics into Foods. In: Lee YK. Salminen S. (ed.). Handbook
of Probiotics and Prebiotics. 2nd Edition. John Wiley & Sons, Inc.,New Jersey.2009;Chapter
1.6:p.61.
9. Lee YK. Salminen S. (ed.). Handbook of Probiotics and Prebiotics. 2nd Edition. John Wiley
& Sons, Inc.,New Jersey.2009; Chapter 1.6.1:p.60.
10. Williams NT. Probiotics. Am J Health-Syst Pharm. 2010;67:449-58.
11. Senok AC, Ismaeel AY, Botta GA. Probiotics: facts and myths. Clin Microbiol Infect.
2005;11:958-66.
12. Santosa S, Farnworth E, Jones PJ. Probiotics and their potential health claims. Nutr Rev.
2006;64:265-74.
13. Doron S, Gorbach SL. Probiotics: their role in the treatment and prevention of disease.
Expert Rev Anti Infect Ther. 2006;4:261-75.
14. Regulation on Registration and Review of Probiotic Health Foods, 2005; Ministry of
Health, PRC. Available at: http://www.sfda.gov.cn/cmsweb/webportal/W945325/
A64003018_1.html.
15. Ng SC, Hart AL, Kamm MA, Stagg AJ, Knight SC. Mechanisms of Action of Probiotics:
Recent Advances. Inflamm Bowel Dis 2009;15:300-310.
16. Ouwehand AC, Kirjavainen PV, Shortt C, Salminen S. Probiotics: mechanisms and established effects. International Dairy Journal 9 (1999);9:43-52.
17. Rechkemmer G, Holzapfel W, Haberer P, Wollowski I, Pool-Zobel BL, Watzl B. Beeinflussung der Darmflora durch Ernhrung. In: Deutsche Gesellschaft fr Ernhrung. Ernhrungsbericht 2000. Druckerei Heinrich, Frankfurt am Main, Germany, 2000;259286.
18. Yamazaki S, Tsuyuki S, Akashiba H, Kamimura H, Kimura M, Kawashima T, Ueda K. Immune response of Bifidobacterium-monoassociated mice. Bifidobact Microflora
1991;10:1931.
19. Gill SH, Rutherford J, Cross L, Gopal PK Enhancement of immunity in the elderly by dietary supplementation with the probiotic Bifidobacterium lactis HNO 19. Am J Clin Nutr
54
MEDICINUS
74:833839.
20. Jahreis G, Vogelsang H, Kiessling G, Schubert R, Bunte C, Hammes WP. Influence of
probiotic saucage (Lactobacillus paracasei) on blood lipids and immunological parameters of healthy volunteers. Food Res Int 2002;35:133138.
21. Kitazawa H, Ino T, Kawai Y, Itoh T, Saito T (2002) A novel immunostimulating aspect
of Lactobacillus gasseri: induction of Gasserokine as chemoattractants for macrophages. Int J Food Microbiol 25:2938.
22. Cross ML, Mortensen RR, Kudsk J, Gill HS. Dietary intake of Lactobacillus rhamnosus
HN001 enhances production of both Th1 and Th2 cytokines in antigenprimed mice.
Med Microbiol Immunol (Berl) 2002;191:4953.
23. Pochard P, Gosset P, Grangette C, et al Lactic acid bacteria inhibit TH2 cytokine
production by mononuclear cells from allergic patients. J Allergy Clin Immunol
2002;110:617623.
24. De Vrese M, Ghadimi D, Winkler P, Schrezenmeir J. Antiallergenes Potenzial von
Milchsure-produzierenden Bakterien. Vortrge zur Hochschultagung 2006 der
Agrar- und Ernhrungswissenschaftlichen Fakultt der CAU Kiel 2006;108:205214.
25. De Vrese M, Rautenberg P, Laue C, Koopmans M, Herreman T, Schrezenmeir J. Probiotic bacteria stimulate virus-specific neutralizing antibodies following a booster
polio vaccination. Eur J Nutr 2005;44:406413.
26. Fukushima Y, Kawata Y, Hara H, Terada A, Mitsuoka T. Effect of a probiotic formula on
intestinal immunoglobulin A production in healthy children. Int J Food Microbiol
1998;42:3944.
27. de Jongh GJ, Zeuwen PL, Kucharekova M, et al. High expression levels of keratinocyte antimicrobial proteins in psoriasis compared with atopic dermatitis. J Invest
Dermatol 2005;125:1163-73.
28. Viljnen M, Savilahti E, Haahtela. et.al. Probiotics in the treatment of atopic eczema/
dermatitis syndrome in infants: a double-blind placebo controlled trial. Allergy
2005;60:494-500.
29. Weston S, Halbert A, Rihmond P, Prescott SL. Effects of prebiotics on atopic dermatitis: a randomized controlled trial. Arch Dis Child 2005;90:892-7.
30. Gueniche A, Cathelineau AC, Bastien P, et al. Vitreoscilla filiformis biomass improves
seborrheic dermatitis. JEADV 2007;17:1468-9.
31. Gueniche A, Hennino A, Goujon C, et al. Improvement of atopic dermatitis skin
symptoms by Vitreoscilla filiformis bacterial extract. EJD 2006;16:380-4.
32. Rolfe VE, Fortun PJ, Hawkey CJ, Bath-Hextall F. Probioticos para el mantenimiento
de la remision en la enfermedad de Crohn (Cochrane Review, translated). In: La Biblioteca Cochrane Plus, number 4, 2007. Oxford, Update Software Ltd. Available at:
http://www.update-software.com (translated from the Cochrane Library, 2007 Issue
4. Chichester, UK: John Wiley & Sons, Ltd.).
33. Kaila M, Isolauri E, Soppi E, et.al. Enhancement of the circulating antibody secreting cell response in human diarrhea by a human Lactobacillus strain. Pediatr Res.
1992;32:141-4.
34. Gibson GR, Saavedra JM, MacFarlane S. 1997. Probiotics and intestinal infections.
Pages 10-39 in: Probiotics: Therapeutic and Other Beneficial Effects. R. Fuller, ed.
Chapman & Hall: London.
MEDICINUS
55
35. Saavedra JM, Abi-Hanna A, Moore N. Effect of long term consumption of infant formulas
with bifidobacteria (B) and S. thermophilus (ST) on stool patterns and diaper rash in
infants. J. Pediatr. Gastroenterol. Nutr. 1998;27:483.
36. Deeth H, Tomine A. Yogurt: Nutritive and therapeutic aspects. J. Food Protec. 1981;44:7886.
37. Buts JP, de Keyser N, de Raedemaeker L. Saccharomyces boulardii enhances rat intestinal
enzyme expression by endoluminal release of polyamines. Pediatr. Res. 1994;36:522-527.
38. Gorbach SL. Estrogens, breast cancer, and intestinal flora. Rev. Infect. Dis. 1984;6(Suppl.
1):S85-90.
39. Deguchi Y, Morishita T, and Mutai M. Comparative studies on synthesis of water-soluble
vitamins among human species of Bifidobacteria.Agric.Biol. Chem. 1985;49:1319.
40. Noda H, Akasaka N, and Ohsug M. Biotin production by Bifidobacteria. J. Nutr. Sci.Vitaminol.1994;40:181188.
41. Oda T, Kado-oka Y, and Hashiba H. Effect of Lactobacillus acidophilus on iron bioavailability in rats. J. Nutr. Sci. Vitaminol.1994;40:613616.
42. TannockGW, Dashkevicz MP, and Feighner SD. Lactobacilli and bile salt hydrolase in the
murine intestinal tract. Appl. Environ. Microbiol. 1989;55:18481851.
43. De Vres M, Stegelmann A, Richter B, Fenselau S, Laue C, and Schrezenmeir J. Probiotics
compensation for lactase insufficiency. Am. J. Clin. Nutr. 2001; 73 (Suppl.):421S429S.
44. Bengmark S. Immunnutrition: Role of biosurfactants, fiber, and probiotic bacteria. Nutrition 1998;14:585-594.
45. Rogasi P, Vigano S, Pecile P, Leoncini F. Lactobacillus casei pneumonia and sepsis in patient with AIDS. Case report and review of the literature. Ann Ital Med Int 1998;13:180182.
46. de Vrese M, Schrezenmeir J. Probiotics, Prebiotics, and Synbiotics. Adv Biochem Engin/
Biotechnol 2008;111:166.
47. Mazmanian SK, Round JL, Kasper DL. A microbial symbiosis factor prevents intestinal
inflammatory disease. Nature.2008;453:620625.
48. Tamboli CP, Neut C, Desreumaux P, et al. Dysbiosis in inflammatory bowel disease.
Gut.2004;53:14.
49. Zunic P, Lacotte J, Pegoix M, Buteux G, Leroy G, Mosquet B, Moulin M. Fongemie a Saccharomyces boulardii. Therapie 1991;45:497-501.
50. Williams NT. Probiotics. Am J Health-Syst Pharm. 2010;67:449-58.
51. Kligler B, Cohrssen A. Probiotics. Am Fam Physician. 2008;78:1073-8.
52. Natural Medicines Comprehensive Database. Bifidobacteria monograph. www.naturaldatabase.com. (accessed 2009 Mar 23).
53. Natural Medicines Comprehensive Database. Saccharomyces boulardii monograph.
www.naturaldatabase.com. (accessed 2009 Mar 23).
54. Drugdex System. Lactobacillus monograph. Greenwood Village, CO: Thomson Micromedex (accessed 2009 Mar 23).
55. Drugdex System. Saccharomyces boulardii monograph. Greenwood Village, CO: Thomson Micromedex (accessed 2009 Mar 23).
56. Lee KY. Effective Dosage for Probiotic Effects. In: Lee YK. Salminen S. (ed.). Handbook of
Probiotics and Prebiotics. 2nd Edition. John Wiley & Sons, Inc.,New Jersey.2009;Chapter
1.5:p.52.
56
MEDICINUS
MEDICINUS
57
PATIENt
COMPLIaNCE
58
MEDICINUS
PATIENt
Technology
COMPLIaNCE
pasien dalam minum obat sesuai anjuran dokter (compliance). Ada banyak alasan kenapa pasien
tidak patuh dalam minum obat. Beberapa faktor yang umumnya menyebabkan pasien tidak patuh
minum obat antara lain:
1. Faktor terkait dengan keadaan sosial/ekonomi: umur, ras, status ekonomi dan biaya pengobatan.
2. Faktor pasien: kondisi pasien yang pelupa, tidak memahami aturan pakai obat, merasa takut
tergantung dengan obat yang digunakan.
3. Faktor obat: obat digunakan dalam jangka waktu lama, jenis obat yang diberikan sangat banyak,
dan timbulnya efek samping obat yang tidak diinginkan.
MENINGKATKAN KEPATUHAN PENGOBATAN PASIEN STROKE
Obat-obat untuk mencegah berulangnya serangan stroke (terapi pemeliharaan) harus diminum secara teratur. Obat-obat yang digunakan antara lain obat pengencer darah, obat penurun tekanan
darah dan penurun kolesterol.
Selain obat-obat pengencer darah, semua kondisi yang meningkatkan risiko kekambuhan juga
harus dijaga, terutama tekanan darah. Umumnya pasien harus mengonsumi obat-obat anti hipertensi dalam waktu lama. Jika pasien juga terkena diabetes atau kolesterol, tentu harus dikontrol
dengan obat-obat antidiabetes atau antikolesterol. Kadar gula yang tinggi dalam darah dapat menyebabkan darah menjadi lebih kental. Hal ini berisiko untuk menyebabkan sumbatan pembuluh
darah, apalagi jika faktor-faktor lain tidak terjaga. Begitu juga dengan kadar kolesterol yang tinggi
dapat menimbulkan sumbatan/plak pada pembuluh darah.
Obat-obat yang umumnya digunakan oleh pasien stroke:
KELAS OBAT
Antiplatelet
(aspirin, clopidogrel, ticlopidine,
dipyridamole, ciloztazol)
Mencegah terbentuknya
gumpalan keping darah
Antihipertensi
(labetolol, nicardipine, captopril,
sodium nitropruside, dll
Antikolesterol
(golongan statin)
Menurunkan kolesterol
Neuroprotektor
(citicoline)
Obat-obat tersebut harus digunakan secara teratur, walaupun tidak ada serangan atau tidak ada
keluhan apa-apa. Seorang pasien yang pernah mengalami serangan stroke perlu meningkatkan
kepedulian dan kepatuhan minum obat.
MEDICINUS
59
PATIENt
COMPLIaNCE
Technology
Beberapa hal yang dapat dilakukan agar dapat membantu pasien untuk patuh minum obat antara
lain:
Bertanya secara aktif kepada dokter atau apoteker yang merawat mengenai obat-obatan yang
digunakan.
Jika biaya menjadi salah satu faktor yang menghambat untuk menebus resep, maka disarankan
untuk menginformasikan kepada dokter agar diresepkan obat-obat generik.
Meminum obat sesuai aturan pakai dari dokter.
Untuk memudahkan mengingat kapan harus minum obat dapat dilakukan dengan memasang
alarm pengingat pada handphone atau dengan menyiapkan pill box (kotak untuk menyimpan
obat secara harian atau mingguan).
Beritahukan kepada keluarga atau orang terdekat untuk membantu mengingatkan kapan minum
obat.
Pasien yang terkena serangan stroke ada kalanya mengalami kesulitan dan keterbatasan saat melakukan aktivitas sehari-hari. Oleh karena itu, dukungan dari keluarga dan lingkungan sangat penting
dalam keberhasilan terapi dan peningkatan kualitas hidup pasien. Berbagai faktor yang harus diperhatikan oleh pasien pasca stroke untuk mencegah kekambuhan stroke antara lain:
Menghentikan konsumsi alkohol, rokok.
Mengurangi obesitas dengan menurunkan berat badan sesuai berat badan ideal.
Jika mempunyai penyakit diabetes, harus mengonsumsi obat diabetes secara teratur dan menjaga pola makan.
Jika mempunyai penyakit hipertensi, harus mengonsumsi obat-obat hipertensi dengan teratur
sehingga dapat menjaga tekanan darah tetap stabil.
Jika mempunyai penyakit kolesterol tinggi, harus mengonsumsi obat-obat penurun kolesterol
secara teratur dan mengurangi makan makanan yang berkolesterol tinggi.
Teratur berolahraga dan mengonsumsi makanan sehat kaya nutrisi.
Rutin memeriksakan diri ke dokter.
Cegah kondisi stres.
Pengetahuan tentang kepatuhan minum obat dalam jangka panjang merupakan hal yang sangat
penting untuk mencegah terjadinya stroke berulang. Sehingga dibutuhkan kesadaran pasien dan
peran keluarga yang sangat menentukan perbaikan kualitas hidup pasien pasca stroke. (ANA-MTA)
daftar pustaka
1. Mengenali jenis-jenis stroke. Available on: www.
medicastore.com/stroke/Mengenali_Jenis_Stroke.
php
2. Stroke the silent killer. Available on: http://medicastore.com/stroke.html
3. Pengetahuan sekilas tentang stroke. Available on:
http://www.yastroki.or.id/read.php?id=340
4. 25% of stroke patients stop taking prevention medication within 3 months. Available on: http://www.
news-medical.net/news/20100812/2525-of-strokepatients-stop-taking-prevention-medication-within-3-motnhs.aspx
60 MEDICINUS
Thanks to reviewer
Prof. Arini Setiawati, Ph.D,
Jan Sudir Purba, M.D., Ph.D,
Prof. Dr. Med. Puruhito, M.D., F.I.C.S., F.C.T.S.
MEDICINUS
61
62
MEDICINUS