Download as doc, pdf, or txt
Download as doc, pdf, or txt
You are on page 1of 54

OBAT GANGGUAN SARAF DAN OTOT

SAKIT KEPALA

Disusun Oleh:
Kelompok 2 - OGSO C
Adam Arditya Fajriawan

1306377096

Ahmad Erik Baskara

1206260326

Carissa Ignacia

1306413473

Cindy Fidian Indrastia

1306480502

Eka Febriani

1306397186

Elfira Amalia Deborah

1306480130

Helmy Mubarak

1306480793

Gerardo Laudus

1306411934

Hana Permatasari

1306376976

Icang Khairani

1306377436

Indah Pratiwi

1306397040

Intan Fikri

1306396971

Karla Carolina

1306377575

Letare Merry

1306480351

Rezwendy

1306480566

Riza Shabrina

1306377215

Safina Nadiyah M

1306405414

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2015

DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 3
1.1 Latar Belakang ................................................................................................. 3
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................... 4
2.1 Definisi dan Klasifikasi Sakit Kepala .............................................................. 4
2.1.1 Definisi Sakit Kepala ........................................................................ 4
2.1.2 Klasifikasi Sakit Kepala .................................................................... 4
2.2 Patofisiologi Sakit Kepala ................................................................................ 15
2.2.1 Migrain .............................................................................................. 15
2.2.2 Trigeminal Autonomic Cephalalgias ................................................. 17
2.2.3 Cluster Headache ............................................................................... 18
2.2.4 SUNCT .............................................................................................. 20
2.3 Terapi Non-Farmakologi dan Golongan Obat Sakit Kepala............................... 20
2.3.1 Analgesik ........................................................................................... 20
2.3.2 AINS ................................................................................................. 23
2.3.3 Ergotamin .......................................................................................... 26
2.3.4 Triptan ............................................................................................... 28
2.3.5 Opioid ................................................................................................ 34
2.3.6 Beta Blocker ....................................................................................... 38
2.3.7 Antidepresan ...................................................................................... 40
2.3.8 Antikonvulsan .................................................................................... 45
2.3.9 Metisergid .......................................................................................... 50
2.4 Algoritme Terapi Sakit Kepala ........................................................................

52

BAB III PENUTUP ............................................................................................................ 55


3.1 Kesimpulan ....................................................................................................... 55
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 56

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Salah

satu

penyakit

yang

sering

diabaikan

oleh

masyarakat

atau

terkesan diremehkan adalah sakit kepala. Sakit kepala adalah rasa sakit atau tidak
nyaman antara orbita dengan kepala yang berasal dari struktur sensitif terhadap rasa
sakit. Sakit kepala adalah rasa sakit atau tidak nyaman antara orbita dengan kepala
yang berasal dari struktur sensitif terhadap rasa sakit.
Sakit kepala merupakan masalah kesehatan yang paling sering terjadi.
Beberapa orang sering mengalami sakit kepala, sedangkan yang lainnya hampir tidak
pernah merasakan sakit kepala.
Sakit kepala menahun dan sakit kepala kambuhan bisa terasa sangat nyeri dan
mengganggu, tetapi jarang mencerminkan keadaan kesehatan yang serius. Suatu
perubahan dalam pola atau sumber sakit kepala (misalnya dari jarang menjadi sering,
sebelumnya ringan sekarang menjadi berat) bisa merupakan pertanda yang serius dan
memerlukan tindakan medis segera.
Salah satu jenis sakit kepala yang juga banyak dikeluhkan adalah sakit kepala
sebelah atau migrain. Serangan sakit kepala migrain terasa lebih menyiksa dan
terkadang datang tiba-tiba. Penderita migrain akan merasakan nyeri dan berdenyut
seperti dipukuli atau ditarik-tarik dan biasanya disertai dengan gangguan saluran
cerna seperti mual dan muntah. Penderitanya pun cenderung menjadi lebih sensitif
terhadap cahaya, suara dan bau-bauan. Hal itu tentu amat mengganggu dan bisa
menghambat segala aktifitas si penderita.
Pemberian obat kepada pasien yang mengalami sakit kepala harus dilakukan
secara bertahap dan dengan algoritme terapi yang sesuai. Terapi pengobatan sakit
kepala perlu dibedakan berdasarkan jenis dan tingkat keparahan sakit kepala sehingga
tidak terjadi kesalahan dalam pemberian obat dan sakit kepala dapat terobati dengan
baik.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI SAKIT KEPALA
2.1.1 Definisi Sakit Kepala
Menurut International Headache Society, sakit kepala adalah rasa sakit yang
terletak di bagian atas garis orbitomeatal. Menurut WHO, sakit kepala adalah rasa
sakit dan gangguan di kepala yang dikategorikan menjadi sakit kepala primer seperti
migrain, tension type headache, dan cluster headache. Menurut Mayo Clinic, sakit
kepala dalah rasa sakit di berbagai macam bagian dari kepala, dapat terjadi di satu
atau kedua bagian kepala, dapat terisolasi di suatu tempat di kepala, ataupun
melintang di kepala.
Pada intinya, sakit kepala adalah Rasa sakit atau ketidaknyamanan pada
kepala, kulit kepala, atau leher, baik disebabkan oleh gangguan struktural, infeksi,
penyakit lain ataupun penyebab lainnya.
2.1.2

Klasifikasi Sakit Kepala


Berdasarkan International Classification of Headache III, sakit kepala dibagi kembali
menjadi tiga kelompok, antara lain :
a. Primary headache (sakit kepala primer)
Sakit kepala primer adalah sakit kepala yang tidak disertai adanya penyebab
struktural organik ataupun suatu penyakit yang mendasarinya, beberapa bagian
dari sakit kepala golongan ini adalah migrain, tension-type headache, trigeminal
autonomic cephalalgia, dan cranial neuropathy.
b. Secondary headache (sakit kepala sekunder)
Sakit kepala sekunder adalah sakit kepala yang disebabkan oleh suatu masalah
struktural di kepala atau leher atau bisa juga karena didasari oleh suatu penyakit
lain. Beberapa di antaranya adalah sakit kepala akibat infeksi, akibat gangguan
homeostasis, dan sebagainya.
c. Painful cranial neuropathies dan sakit wajah lain
Sakit kepala jenis ini adalah golongan sakit kepala dan sakit di wajah yang
disebabkan oleh peradangan saraf di leher, kepala, atau wajah yang menyebabkan
rasa sakit.
Sakit Kepala Primer
1.

Migrain
Migrain merupakan jenis sakit kepala
primer yang umum terjadi di masyarakat.
Studi epidemiologis telah mendapatkan
4

fakta bahwa migrain memiliki prevalensi yang tinggi dan memberikan dampak
personal serta sosial-ekonomi. Dalam Global Burden of Disease Survey 2010,
migrain berada diperingk at ketiga sebagai gangguan berprevalensi tinggi dan
tujuh besar penyebab disabilitas spesifik di seluruh dunia.
Berdasarkan International Classification of Headache

III,

Migrain

dikasifikasikan kembali kedalam beberapa jenis, diantaranya:


1.1 Migrain tanpa aura
1.2 Migrain dengan aura
1.2.1 Migrain dengan aura tipikal
1.2.2 Migrain dengan aura brainstem
1.2.3 Migrain hemiplegia
1.2.4 Migrain retinal
1.3 Migrain kronis
1.4 Komplikasi migrain
1.4.1 Status migrainosus
1.4.2 Aura persisten tanpa infark
1.4.3 Migrainous infarction
1.4.4 Seizure yang dirangsang migrain aura
Berikut merupakan diagnosistik dari beberapa sakit kepala yang tergolong
migrain:
a. Migrain tanpa aura
A. Setidaknya lima gejala memenuhi kriteria B-D
B. Sakit kepala menyerang selama 4-72 jam

(tidak

diobati

atau

ketidaksuksesan pengobatan)
C. Sakit kepala dengan setidaknya dua dari 4 karakteristik berikut ini:
1. Lokasi unilateral
2. Kualitas denyutan
3. Rasa sakit dengan intensitas sedang hingga berat
4. Keparahan yang timbul akibat aktivitas fisik rutin (contoh: berjalan
kaki atau menaiki tangga)
D. Selama sakit kepala, setidaknya satu dari gejala berikut terjadi:
1. Nausea dan atau muntah
2. Photophobia dan phonophobia
b. Migrain dengan aura
A. Setidaknya 2 gejala memenuhi kriteria B dan C
B. Memenuhi satu atau lebih gejala aura reversibel berikut:
1. Visual
2. Sensorik
3. Bicara dan atau Bahasa
4. Motorik
5. Batang otak
6. Retinal
C. Setidaknya memenuhi dua dari empat karakteristik berikut:
1. Setidaknya satu gejala aura muncul selama lebih dari 5 menit, dan dua
atau lebih gejala muncul setelahnya.
5

2. Setiap gejala aura secara individu berlangsung selama 5-60 menit


3. Setidaknya satu gejala aura merupakan unilateral
4. Aura akan diikuti sakit kepala setelah 60 menit.
c. Migrain kronis
A. Sakit kepala lebih dari 15 hari dalam sebulan atau lebih dari 3 bulan dan
memenuhi kriteria B dan C
B. Muncl pada pasien yang memenuhi setidaknya 5 kriteria B-D pada
Migrain tanpa aura (1.1) dan atau kriteria B dan C pada Migrain dengan
aura (1.2)
C. Lebih dari 8 hari dalam sebulan selama lebih dari 3 bulan, memenuhi
syarat berikut:
1. Kriteria C dan D pada Migrain tanpa aura
2. Kriteria B dan C pada Migrain dengan aura
3. Diayakini oleh pasien bahwa terjadi migrain pada onset dan membaik
dengan pemberian triptan atau turunan ergot.
d. Status migrainosus
A. Sakit kepala menyerang dan memenuhi kriteria B dan C
B. Muncul pada pasien dengan 1.1 Migrain tanpa aura dan atau 1.2 Migrain
dengan aura, dan tipikal dari serangan sebelumnya kecuali durasi waktu
dan tingkat keparahan.
C. Memenuhi kedua ciri berikut:
1. Tidak berhenti atau hilang selama lebih dari 72 jam
2. Rasa sakit atau gejala terkait menyebabkan tubuh menjadi lemah.
e. Persisten aura tanpa infark
A. Aura memenuhi kriteria B
B. Muncul pada pasien dengan 1.2 migrain dengan aura dan tipikal aura
namun 1 atau lebih gejala aura bertahan selama lebih dari 1 minggu
C. Neuroimaging tidak memperlihatkan adanya infark
f. Migrainous infarction
A. Serangan migrain yang memenuhi kriteria B dan C
B. Muncul pada pasien dengan 1.2 Migrain dengan aura dan tipikal
serangannya namun gejala aura bertahan selama lebih dari 60 menit
C. Neuroimaging mendemonstrasikan adanya ischaemic infarction pada area
yang relevan.
g. Seizure yang dirangsang migraine
A. Seizure memenuhi kriteria diagnostik untuk satu tipe dari serangan
epileptik dan kriteria B dibawah ini
B. Muncul pada pasien dengan 1.2 Migrain dengan aura, dan selama, atau 1
jam setelahnya, terjadi serangan migrain dengan aura
6

2. Trigeminal autonomic cephalgia (TACs)


Berdasarkan International Classification

of

Headache

III,

TACs

dikasifikasikan kembali kedalam beberapa jenis, diantaranya:


2.1 Cluster headache
2.1.1 Episodic cluster headache
2.1.2 Chronic cluster headache
2.2 Paroxysmal hemicrania
2.2.1 Episodic paroxysmal hemicrania
2.2.2 Chronic paroxysmal hemicrania
2.3 Short-lasting unilaeral neuralgiform headache
attacks
2.3.1

Short-lasting unilateral neuralgiform


headache attacks with conjunctival

2.3.2

injection and tearing (SUNCT)


Short-lasting unilateral neuralgiform headache attacks with

cranial autonomic symptoms (SUNA)


2.4 Hemicrania continua
2.5 Probable trigemninal autonomic chepalalgia
2.5.1 Probable cluster headache
2.5.2 Probable proxysmal hemicrania
2.5.3 Probable short-lasting unilateral neuralgiform headache
2.5.4

attacks
Probable hemicrania continua

Berikut merupakan diagnosistik dari beberapa sakit kepala yang tergolong TACs:
a.

Cluster headache
A. Setidaknya memenuhi 5 dari kriteria B-D
B. Rasa sakit pada bagian unilateral orbital, supraorbital yang parah atau
sangat parah, berlangsung selama 15-180 menit (ketika tidak diobati)
C. Salah satu atau kedua gejala berikut:
1. Setidaknya 1 dari gejala atau tanda, ipsilateral pada sakit kepala:
a) Concunctival injection atau lakrimasi
b) Hidung mampat dan atau rhiorrhoea
c) Eyelid oedema
d) Berkeringat pada bagian dahi dan muka
e) Sensasi berupa rasa sesak pada telinga
f) Miosis dan atau ptosis
2. Rasa gelisah atau agitasi
D. Setidaknya 2 periode cluster berlangsung dari 7 hari hingga 1 tahun (jika
tak diobati) dan dipisahkan oleh bebas rasa sakit selama kira-kira 1 bulan.
7

b.

Paroxysmal hemicrania
A. Setidaknya 20 serangan memenuhi kriteria B-E
B. Rasa sakit pada bagian unilateral orbital, supraorbital dan temporal
dengan intesitas parah, berlangsung selama 2-30 menit
C. Setidaknya 1 dari tanda atau gejala berikut, ipsilateral pada rasa sakit:
1. Concunctival injection dan atau lakrimasi
2. Hidung mampat dan atau rhiorrhoea
3. Eyelid oedema
4. Berkeringat pada bagian dahi dan muka
5. Sensasi berupa rasa sesak pada telinga
6. Miosis dan atau ptosis
D. Serangan memiliki frekuensi diatas 5 kali per hari
E. Serangan dapat dicegah dengan terapi pemberian indomethacin.

c.

Short-lasting unilaeral neuralgiform headache attacks


A. Setidaknya 20 serangan memenuhi kriteria B-D
B. Rasa sakit pada bagian unilateral orbital, supraorbital dan temporal dan
atau distribusi trigeminal dengan intesitas sedang hingga parah,
berlangsung selama 1-600 detik
C. Setidaknya 1 dari tanda atau gejala berikut, ipsilateral pada rasa sakit:
1. Concunctival injection dan atau lakrimasi
2. Hidung mampat dan atau rhiorrhoea
3. Eyelid oedema
4. Berkeringat pada bagian dahi dan muka
5. Sensasi berupa rasa sesak pada telinga
6. Miosis dan atau ptosis
D. Serangan memiliki frekuensi setidaknya 1 kali sehari

d.

Hemicrania continua
A. Sekit kepala unilateral yang memenuhi kriteria B-D
B. Hadir selama lebih dari 3 bulan, dengan eksaserbasi sedang hingga berat
C. Memenuhi salah satu atau kedua ciri berikut:
1. Setidaknya 1 dari tanda atau gejala berikut, ipsilateral pada rasa sakit:
a) Concunctival injection dan atau lakrimasi
b) Hidung mampat dan atau rhiorrhoea
c) Eyelid oedema
d) Berkeringat pada bagian dahi dan muka
e) Sensasi berupa rasa sesak pada telinga
f) Miosis dan atau ptosis
2. Rasa gelisah atau agitasi dan diperparah dengan adanya gerakan
D. Memberikan respon terapi dengan pemberian indomethacin

e.

Probable TACs
Sakit kepala yang mungkin termasuk kedalam klasifikasi TACs, namun
tidak memiliki kriteria yang cukup untuk masuk kedalam 4 jenis TACs,
maupun kriteria jenis sakit kepala yang lain.
8

3. Tension type headache


Berdasarkan International Classification of Headache III, Tension Type
Headache dibagi kembali menjadi beberapa klasifikasi, antara lain :
3.1 Infrequent episodic tension-type headache
3.1.1 Infrequent episodic tension-type headache dengan pericranial tenderness
3.1.2 Infrequent episodic tension-type headachenot dengan pericranial
tenderness
3.2 Frequent episodic tension-type headache
3.2.1 Frequent episodic tension-type dengan pericranial tenderness
3.2.2 Frequent episodic tension-type headache tanpa pericranial tenderness
3.3 Chronic tension-type headache
3.3.1 Chronic tension-type headache dengan pericranial tenderness
3.3.2 Chronic tension-type headache tanpa pericranial tenderness
3.4 Probable tension-type headache
3.4.1 Probable infrequent episodic tension-type headache
3.4.2 Probable frequent episodic tension-type headache
3.4.3 Probable chronic tension-type headache
Tension type headache adalah sakit kepala yang terasa seperti tekanan atau
ketegangan di dalam dan disekitar kepala. Nyeri kepala karena tegang yang
menimbulkan nyeri akibat kontraksi menetap otot- otot kulit kepala, dahi, dan leher
yang disertai dengan vasokonstriksi ekstrakranium. Nyeri ditandai dengan rasa
kencang seperti pita di sekitar kepala dan nyeri tekan didaerah oksipitoservikalis
Tension type headache, atau bisa pula diartikan sakit kepala tipe tegangan,
adalah jenis sakit kepala yang sangat umum. Sakit kepala ini memiliki prevalensi
pada kalangan masyarakat umum sebesar 30% - 78% pada berbagai studi, dan
memiliki dampak yang cukup tinggi pada kehidupan sosio-ekonomik.
Sebelumnya, sakit kepala tipe tegangan ini disebut dalam berbagai istilah,
antara lain adalah sakit kepala kontraksi otot (muscle contraction headache); sakit
kepala tegangan (tension headache); sakit kepala stres (stress headache); esential
headache ; ordinary headache; idiopathic headache;dan psychogenic headache.
Berikut adalah diagnosistik dari beberapa sakit kepala kelompok tension-type
headache :
a) Infrequent episodic tension type headache
Sakit kepala tipe tegangan jenis ini merupakan sakit kepala episodik yang
tidak frekuen, kecenderungan bilateral, menekan dalam intensitas rendah
hingga sedang, rasa sakit tidak memburuk karena aktivitas fisik rutin dan tidak
berkaitan dengan nausea, namun fotopobia atau fonopobia masih memiliki
kemungkinan untuk muncul. Kriteria diagnostik dari sakit kepala ini adalah :
- Paling tidak terdapat 10 episode serangan dalam <1 hari/bulan (atau <12
-

hari/ tahun)
nyeri kepala berakhir dalam 30 menit 7 hari bilateral, menekan mengikat,
9

tidak berdenyut, mild atau moderate, tidak ada mual/ muntah, mungkin ada

fonofobia/ fotofobia,
sama sekali tidak ada hubungannya dengan penyakit nyeri kepala lain.

b) Frequent episodic tension-type headache


Sakit kepala tipe tegangan jenis ini memiliki kriteria yang sama seperti sakit
kepala infrequent episodic tension type headache, yaitu merupakan sakit
kepala episodik yang tidak frekuen, kecenderungan bilateral, menekan dalam
intensitas rendah hingga sedang, rasa sakit tidak memburuk karena aktivitas
fisik rutin dan tidak berkaitan dengan nausea, namun fotopobia atau fonopobia
masih memiliki kemungkinan untuk muncul.Kriteria diagnostik untuk sakit
kepala tipe tegangan jenis ini antara lain :
- Paling tidak terdapat 10 episode serangan dalam 1- 15 hari/bulan dalam
-

waktu
paling tidak selama 3 bulan (atau 12 -180 hari pertahunnya),
nyeri kepala berakhir dalam 30 menit 7 hari, bilateral, menekan,

mengikat, tidak berdenyut


mild or moderate, ada mual/ muntah, mungkin ada fonopobia/ fotopobia
sama sekali tidak ada hubungannya dengan penyakit nyeri kepala lain.

c) Chronic tension-type headache


Kriteria diagnostik untuk sakit kepala jenis ini antara lain :
- Nyeri kepala yang disebabkan oleh sakit kepala ETTH yang timbul >15
-

hari/bulannya dalam waktu > 3 bulan (atau >180 hari/tahun)


Sakit tidak meningkat karena aktivitas rutin
Frekuensi sakit kepala yang sangat tinggi per harinya

d) Probable chronic tension headache


Kriteria diagnostik untuk sakit kepala jenis ini antara lain :
- Dijumpai memenuhi kriteria TTH akan tetapi kurang satu kriteria untuk
-

TTH / bercampur dengan salah satu kriteria probable migrane.


Nyeri kepala berlangsung >15 hari/bulan selama > 3 bulan (atau > 180
hari/tahun), nyeri kepala berlangsung selama sekian jam atau terus menerus

kontinyu, bilateral, rasa menekan/mengikat,


intensitas mild or moderate, tidak ada severe nausea atau vomiting,
mungkin ada fotopobia/ fonopobia, tidak ada hubungannya dengan penyakit
kepala lainnya, paling tidak masa 2 bulan terakhir.

4. Other Primary Headache Disorders


Sakit kepala yang termasuk ke golongan ini adalah beberapa sakit kepala
primer yang secara klinis sangat heterogen. Patogenesis dari sakit kepala jenis ini
masih belum dimengerti secara maksimal, dan penanganan terapi untuk penyakit
10

ini didasarkan pada percobaan-percobaan yang tidak terkontrol. Sakit kepala


dengan karakteristik yang mirip dengan gangguan ini dapat menjadi gejala dari
gangguan lain, seperti sakit kepala sekunder.
Serangan dari beberapa sakit kepala golongan ini, contohnya Primary exercise
headache, Primary headache associated with sexual activity dan Primary
thunder-clap headache, dapat sangat akut, dan terkadang berefek pada pasien
yang terkadang dapat dikategorikan masuk ke bagian yang emergensi.
Sakit kepala pada golongan ini dapat dikategorikan lagi menjadi 4 kategori ;
(1) sakit kepala terasosiasi dengan penggunaan fisik, diantaranta adalah Primary
cough headache, Primary exercise headache, Primary headache attributed to
sexual activity dan Primaryhunderclap headache; (2) sakit kepala karena
rangsangan fisik langsung, diantaranya adalah Cold-stimulus headache dan
External-pressure headache; (3) sakit kepala epikranial (nyeri kepala di bagian
kulit kepala), antara lain Primary stabbing headache dan Nummular headache (4)
sakit kepala primer jenis lain, termasuk hypnic headache dan new daily persistent
headacache.
5. Sakit Kepala Sekunder
Sakit kepala sekunder, adalah sakit kepala disebabkan oleh suatu masalah
struktural di kepala atau leher atau bisa juga karena didasari oleh suatu penyakit
lain.
Sakit kepala ini bisa disebabkan oleh:
1. Trauma atau cedera pada kepala dan atau leher
2. Gangguan pembuluh darah kranial
3. Infeksi
4. Gangguan homeostasis
5. Gangguan pada tengkorak, leher, mata, telinga, hidung, sinus, gigi, mulut.
6. Gangguan jiwa
Berdasarkan International Classification of Headache III, Tension Type
Headache memiliki beberapa contoh, antara lain :
1. Headache attributed to trauma or injury to the head and/or neck
2. Headache attributed to cranial or cervical vascular disorder
3. Headache attributed to non-vascular intracranial disorder
4. Headache attributed to a substance or its withdrawal
5. Headache attributed to infection
6. Headache attributed to disorder of homoeostasis
7. Headache or facial pain attributed to disorder of cranium, neck, eyes, ears,
nose, sinuses, teeth, mouth or other facial or cranial structure
8. Headache attributed to psychiatric disorder
Ketika suatu sakit kepala terjadi untuk pertama kali dan memiliki kaitan
dengan gangguan lain yang diketahui menyebabkan sakit kepala, atau sakit kepala
11

tersebut memenui kriteria bahwa disebabkan oleh gangguan atau penyakit lain,
maka sakit kepala tersebut dikategorikan sebagai sakit kepala sekunder, yag
disebabkan oleh gangguan lain. Pengkategorian ini tetap benar meskipun sakit
kepala tersebut memiliki karakteristik sakit kepala primer (migran, tension-type
headache, cluster ataupun trigeminal autonomic cephalgias).
Ketika sakit kepala primer yang sebelumnya menjadi kronis karena
disebabkan oleh gangguan lain, maka kedua diagnosis harus diberikan, begitu
pula apabila sakit kepala tersebut menjadi lebih buruk. Dalam artian meningkat
dua kali lipat atau meningkat frekuensinya, maka kedua diagnosis harus diberikan.
6. Painful Cranial Neuropathies dan Sakit Wajah Lain
Sakit kepala di mediatori oleh serabut saraf aferen di saraf trigeminal, nervus
intermedius, glossopharyngeal nerve dan vagus nerve, dan upper cervical roots
via occipital nerves. Rangsangan dari syaraf ini berups tekanan, distorsi, rasa
dingin, atau bentuk iritasi yang lain yang akan menyebabkan rasa sakit dan tidak
nyaman.
Pada intinya, kategori sakit kepala ketiga dari International Classification of
Headache ini adalah golongan sakit kepala dan sakit di wajah yang disebabkan
oleh peradangan saraf di leher, kepala, atau wajah yang menyebabkan rasa sakit.
Beberapa anggota dari golongan painful cranial neuropathies and other facial
pains antara lain :
- Trigeminal neuralgia
- Nervus intermedius neuralgia
- Occipital neuralgia
- Optic neuritis
- Headache attributed to ischaemic ocular motor nerve palsy
- Tolosa-Hunt syndrome
- Paratrigeminal oculosympathetic (Raeders ) syndrome
- Recurrent painful ophthalmoplegic neuropathy
- Burning mouth syndrome (BMS)
2.2 PATOFISIOLOGI SAKIT KEPALA
2.2.1

Migrain
Migrain sebagai penyakit
Migrain adalah gangguan otak episodik dengan serangan yang menonaktifkan
sakit kepala/ adanya interval bebas gejala(hilang timbul) disertai dengan gejala mual,
muntah, dan hipersensitivitas terhadap cahaya, suara, dan bau. Faktor pemicu dari
migraine meliputi puasa, alkohol, kontrasepsi oral, menstruasi (faktor hormonal),
stress, gangguan tidur, cahaya terang, bau, asap, makanan tertentu seperti coklat, keju
12

tua, aspartame, sitrus, dll. Klinisnya, migrain dibagi menjadi dua subtipe utama yang
didasarkan pada tidak adanya (migrain tanpa aura, MO) atau kehadiran (migrain
dengan aura, MA) dari aura. Gejala aura biasanya memiliki durasi antara 5 dan 60
menit dan hampir selalu menyertakan gejala visual tetapi juga dapat mencakup gejala
sensorik dan afasia.
Diagnosis migren dibuat sesuai dengan kriteria International Classification of
Headache Disorders (ICHD-II) dari the International Headache Society (IHS). Secara
keseluruhan, migrain memiliki prevalensi di seluruh dunia dengan variable sedikit,
tapi tidak signifikan, perbedaan menurut ras. Ada puncaknya pada prevalensi migrain
yaitu antara usia 20 dan 50 tahun. Wanita terkena tiga kali lebih sering dibandingkan
pria. Migrain memiliki efek mendalam pada kesejahteraan dan fungsi umum, tidak
hanya selama serangan, tetapi juga dalam hal kinerja kerja, keluarga dan hubungan
sosial, dan prestasi sekolah. Beban migrain pada banyak pasien bahkan lebih besar
karena mereka juga menderita gangguan komorbid seperti epilepsi, stroke, dan
depresi.
Patofisiologi Migrain
Mekanisme neurobiologis yang mendasari migrain telah terurai hanya untuk
batas tertentu. Hal ini umumnya diterima bahwa aura migrain disebabkan oleh
Cortical Spreading Depression (CSD), gelombang neuronal dan glial depolarisasi
yang bergerak perlahan-lahan dari korteks. Meskipun CSD dapat dengan mudah
diselidiki pada hewan percobaan, bukti bahwa hal itu terjadi pada manusia masih
langka. Menggunakan functional Magnetic Resonance Imaging (fMRI), Hadjikhani
dan rekan mampu mendeteksi kenaikan kenaikan lokl dalam darah-oksigen-tingkat
tergantung sinyal (BOLD) yang menyebar melalui korteks visual pasien dengan MA
pada tingkat (3,5 mm / min) mirip dengan apa yang dilihat di eksperimen induksi
CSD pada hewan.
Sakit kepala itu sendiri disebabkan oleh aktivasi dari sistem trigeminovaskular
yang terdiri dari neuron innervating pembuluh otak pada sel tubuh yang terletak di
ganglion trigeminal. Ganglion mengandung sel bipolar dengan serat perifer membuat
koneksi sinaptik terutama pada tengkorak besar memproduksi nyeri dan dura mater
dan pusat memproyeksikan serat sinaps pada neuron di batang otak dan tinggi kabel
serviks. Persarafan trigeminus terutama adalah pada otak depan tetapi meluas ke
posterior daerah arteri basilar rostral.
13

Migrain adalah Penyakit Genetik


Migrain memiliki komponen genetik yang kuat sebagaimana dibuktikan oleh
pengamatan bahwa migrain berjalan dalam keluarga dan bahwa sekitar setengah dari
penderita migren memiliki derajat utama yang juga relatif dipengaruhi oleh kondisi
yang sama. Selain faktor-faktor penentu genetik, risiko migrain juga dapat berasal dari
faktor lingkungan. Hal ini diyakini bahwa interaksi mereka memiliki peran kausal
utama. Khususnya, bukti epidemiologi menyarankan dekat interaksi gen pada
lingkungan (endogen atau eksogen), di antaranya beberapa predisposisi atau faktor
yang hanya beberapa dapat dihindari, seperti jenis kelamin.
Dalam kasus menstruasi terkait migrain, hal ini tentunya masuk akal bahwa
lingkungan (lingkungan hormonal) mempengaruhi regulasi gen, yang mengarah ke
disregulasi dari sistem saraf dan serangan migrain berikutnya. Untuk desain studi
genetik, apakah penting MO dan MA harus dilihat sebagai penyakit yang berbeda atau
mereka mewakili ekspresi yang berbeda dari penyakit yang sama. Meskipun ada
dukungan epidemiologi untuk studi terbaru pertama tampaknya menunjukkan bahwa
MO murni untuk MA murni berada di kedua ujung spektrum klinis. Pengamatan
klinis mendukung pandangan ini karena kedua subtipe berbagi gejala sakit kepala
yang sama dan sering terjadi pada individu. Studi genetik diharapkan untuk
menjelaskan perdebatan ini dalam waktu dekat dengan menunjukkan jika gen
kerentanan migrain dibagi oleh kedua jenis migrain.
2.2.2

Trigeminal Autonomic Cephalalgias (TACs)


Menurut The International Classification of Headache Disorders edisi IIIb
(ICHD-IIIb), TACs dibagi menjadi cluster headache (CH), paroxysmal hemicrania
(PH), short-lasting unilateral neuralgiform headache attacks, dan hemicrania
continua. Masing-masing klasifikasi TACs dibedakan dengan karakteristik pola

14

serangan dan respon terhadap medikasi yang dapat dilihat pada table di bawah ini.
Patofisiologi TACs dikenali dengan tiga aspek klinik: distribusi nyeri trigeminal
unilateral; gejala terkait lateralisasi, termasuk aspek otonom kranial; dan pola
serangan yang terjadi secara episodik (Ashina & Geppetti, 2015).

Beberapa faktor telah diketahui berperan dalam patofisiologi TACs. Terdapat


aktivasi substansi grisea yang terdapat di hipotalamus bagian posterior pada cluster
headache (CH), paroxysmal hemicrania (PH), short-lasting unilateral neuralgiform
headache attacks, dan hemicrania continua (Ashina & Geppetti, 2015). Selain itu,
reflex trigeminofasial diduga berperan dalam patofisiologi CH dan PH (Leone et al,
2007). Selama serangan CH dan PH, level calcitonin gene-related peptide (CGRP)
meningkat pada vena jugular di bagian nyeri yang mengindikasikan aktifnya serat
trigeminal. Vasoactive intestinal polypeptide (VIP) juga meningkat pada bagian yang
sama. VIP dilepaskan oleh bagian terminal parasimpatis dari saraf kranial VII yang
juga mengindikasikan aktifnya serat trigeminal. Aktivasi parasimpatis menjelaskan
keberadaan manifestasi otonomik oculo-nasal ipsilateral yang mengiringi nyeri.
a. Cluster headache
b. Paroxysmal hemicrania
Paroxysmal hemicrania memiliki tingkat keparahan paroxysmal, lokasi nyeri,
dan gejala otonomik yang mirip seperti di cluster headache. Perbedaan utama PH
dengan CH adalah durasi serangan yang lebih singkat serta frekuensi yang lebih

15

tinggi (lebih dari 5 serangan dalam 1 hari). Dari segi pengobatan, PH sangat
responsif terhadap indometasin (Leone et al, 2007).
c. Short-lasting unilateral neuralgiform headache attacks with conjunctival
injection and tearing (SUNCT)
2.2.3

Cluster Headache
Cluster headache adalah nyeri kepala Trigeminal autonomic cephalgia yang
paling umum diderita oleh pria berumur antara 20 hingga 50 tahun. Keluhan nyeri
kepala dari cluster headache digambarkan sebagai nyeri kepala yang tajam, dengan
sensasi seperti ditusuk terbatas pada sekitar mata dan sisi wajah (Dipiro, 1154).
Biasanya Disertai wajah kemerahan sebelah sisi, lakrimasi, miosis, kelopak mata
menutup (ptosis), dan hidung tersumbat. Gambaran ini berbeda dengan nyeri kepala
migren. Nyeri ini biasanya mencapai puncak 10-15 menit, namun akan terus
dirasakan penderita hingga kurang lebih 1-4 jam kemudian. Selama mengalami nyeri
kepala, penderita akan kesulitan untuk beristirahat dan menunjukkan sikap gelisah
yang amat jelas. Setelah serangan, penderita akan merasa sangat kelelahan.
Cluster Headache dikelompokan kedalam Trigeminal Autonom Cephalgia
(TAC), hal ini disebabkan karena cluster headache merupakan bentuk nyeri kepala
terbanyak kedua yang sering dihadapi oleh spesialis saraf atau neurologis. Cluster
headache terdiri dari dua jenis yaitu:
a. Cluster headache episodik, yang terdapat fase bebas serangan satu bulan atau lebih
tanpa pengobatan. Cluster episodik lebih sering terjadi, sekitar 80% dari penderita
cluster. Periode berlangsung selama 4 sampai 8 minggu diikuti oleh interval bebasnyeri selama 1 tahun.
b. Cluster headache kronis, yang tidak terdapat fase penyembuhan (20% dari semua
pasien cluster headache). Berlangsung selama lebih dari 1 tahun tanpa remisi atau
dengan remisi 14 hari. Kemungkinan terjadi peningkatan frekuensi serangan dan
resistensi terhadap pengobatan.
Sindrom ini berbeda dengan migren, walaupun sama-sama ditandai dengan
nyeri kepala unilateral, dan dapat terjadi bersamaan dengan migren. Mekanisme
histaminergik dan humoral diperkirakan mendasari gejala otonom yang terjadi
bersamaan dengan nyeri kepala ini. Cluster headache sering didapatkan pada dewasa
muda, terutama laki-laki, dengan rasio jenis kelamin laki-laki dan wanita 5:1. Nyeri
dirasakan hilang timbul di daerah orbita dan wajah yang terjadi beberapa kali sehari
selama beberapa minggu, yang dipisahkan oleh interval bebas serangan. Pola ini
16

berlangsung selama berhari-hari, berminggu-minggu bahkan bulanan, kemudian


bebas serangan selama beberapa minggu, bulan bahkan tahunan, sehingga dinamakan
cluster headache (cluster: berkelompok).
Ciri ciri dari sakit kepala ini:

Memiliki onset yang sangat cepat (15 menit) dan dapat bertahan hingga 3 jam
Terutama terjadi di malam hari
Dapat timbul 1 sampai 8 kali per hari, biasanya timbul pada waktu yang sama
Pola ini berlangsung selama berhari-hari, berminggu-minggu bahkan bulanan.
Sangat jarang terjadi dibandingkan Migrain dan Tension, insidensi <1%
Umumnya terjadi pada usia 20-30 tahun
Tidak bersifat herediter
Rasio prevalensi pria : wanita adalah 5: 1

Patofisiologi
Etiologi dan mekanisme patofisiologis dari sakit kepala cluster tidak
sepenuhnya dipahami. Mirip dengan migrain, serangan sakit kepala klaster serangan
melibatkan aktivasi neuron trigeminovaskular dengan menghasilkan pelepasan
neuropeptida vasoaktif dan peradangan neurogenik. Aktivasi saraf ini menghasilkan
reaksi abnormal dari arteri yang menyuplai darah ke kepala & melepaskan
neuropeptida vasoaktif sehingga pembuluh darah akan berdilatasi dan menyebabkan
nyeri.

2.2.4

SUNCT (Short-lasting Unilateral Neuralgiform headache with Conjunctival

injection and Tearing)


Gangguan langka dengan kesamaan klinis khas untuk sakit kepala Cluster
sehingga menunjukkan patofisiologi yang hampir sama. suatu nyeri kepala yang
diduga berhubungan dengan gangguan CNS. SUNCT ditandai dengan:

Terjadi sangat singkat


Unilateral
Parah
Melibatkan saraf trigeminal terkait dengan konjungtiva dan lakrimasi.

Patofisiologi
Nyeri kepala dapat bersifat unilateral atau bilateral, di mana nyeri unilateral
akan memberikan sensasi yang lebih hebat. Nyeri kepala tipe ini berlangsung antara
5-250 detik, walaupun serangannya dapat berlangsung lebih lama pada beberapa
17

penderita. Frekuensinya sangat bervariasi, yaitu 30 serangan dalam satu hari atau 5-6
serangan dalam satu jam. Fitur otonom yang menonjol pada tipe ini adalah injeksi
konjungtiva dan air mata. Sedangkan yang lebih tidak umum adalah berkeringat pada
dahi.
2.3 Terapi Non Farmakologi dan Golonagan Obat Sakit Kepala
a) Terapi nonfarmakologi dapat dilakukan dengan :
- Beristirahat sejenak atau tidur. Diusahakan dilakukan pada ruangan yang agak
gelap dan tenang
- Mengkompres kepala dengan es
- Menghindari faktor yang dapat memicu serangan migraine
- Intervensi perilaku (terapi relaksasi, biofeedback, dan terapi kognitif)
b) Terapi farmakologi, ada 2 yaitu terapi untuk migraine akut dan terapi profilaksis
1. Akut (analgesic, ains, ergotamine, triptan, opioid)
2. Profilaksis
(b-adrenergik
antagonis,
antidepressan,
antikosulvan,
methyseragide, ca channel blocker)

2.3.1

Analgesik Sederhana
Merupakan golongan obat yang diindikasikan untuk meredakan rasa nyeri dan
sakit kepala yang ringan sampai sedang.
Mekanisme kerja analgesik :

18

Keterangan. Mekanisme Rangsangan Nyeri (a). Mekanisme Analgesik (b)


Mekanisme Kerja
Golongan analgesik non AINS ini merupakan analgesik sentral yang bekerja
dengan memblok sinyal sakit pada otak, baik di hipotalamus, talamus dan juga di
korteks

somatosensorik.

Prosesnya

adalah

obat

akan

menginhibisi

enzim

siklooksigenase dengan membloknya secara tidak langsung, yaitu COX-1, COX-2


dan COX-3 yang berperan dalam sintesis prostaglandin (PG). PG itu sendiri adalah
senyawa lipid yang dapat menyebabkan nyeri, sakit kepala dan peningkatan kepekaan
nosiseptor. Dengan adanya inhibisi enzim COX maka terjadi penurunan terhadap
PGE-2 yang berfungsi sebagai hiperalgesia dan secara otomatis menurunkan set point
hipotalamus untuk menurunkan suhu tubuh dan penurunan jalur inhibisi serotonergik
sehingga serotonin dapat dilepaskan dalam jumlah yang banyak. Serotonin atau 5Hydrotrytamine (5-HT) merupakan neurotransmiter yang diproduksi oleh otak dan
dilepaskan dari proses penurunan serat sinaps di korda spinalis. 5-HT akan berikatan
dengan reseptor spesifiknya yaitu 5-HT3 yang berperan dalam emesis dan efek
antinosiseptiv sehingga dapat mengurangi jalur rangsangan dan persepsi rasa sakit di
otak.
Perbedaan obat golongan ini dengan obat AINS ialah obat analgesik sederhana
tidak menginhibisi enzim COX di jaringan periferal, memblok secara tidak langsung
enzim COX dan tidak efeketif dengan adanya kehadiran peroksida, sehingga lemah
efeknya sebagai antiinflamasi dan antiplatelet dibandingkan dengan obat golongan
AINS.
Contoh Obat Golongan Analgesik
1. Asetaminofen
Indikasi
Meringankan rasa sakit kepala, sakit gigi dan menurunkan demam. Cocok untuk
pengganti aspirin

sebagai analgesik atau antipiretik (pasien dengan ulkus

peptikum, hipersensitivitas aspirin)


Farmakokinetika

19

Absorpsi: terabsorpsi pada jalur gastrointestinal dengan konsentrasi plasma


puncak terjadi sekitar 30 menit sampai 2 jam setelah konsumsi
Distribusi: 1L/kg
Metabolisme: terjadi di hati
Ekskresi: melalui urine sebagai glukoronat (60%), sulfat konjugat (35%) atau
sistein (sekitar 3%)
Efek Samping
Reaksi hipersensitivitas, dosis tinggi dapat merusak hati
Dosis
Dewasa: 0.5 g - 1 g setiap 4 jam, maksimum 4 g sehari (2 g/hari untuk penderita
alkoholik kronis)
Anak-anak:
3 bulan 1 tahun, 60-120mg
1-6 tahun, 120-250mg
7-12 tahun, sampai 500mg
Dan digunakan jika perlu
Kontraindikasi
Ibu hamil dan menyusui, penderita gangguan fungsi hati berat, penderita
hipersensitivitas asetaminofen.
Interaksi Obat
- Asetaminofen Warfarin : dapat meningkatkan efek warfarin
- Asetaminofen Imatinib : dapat menurunkan efek asetominofen dengan
menurunkan klirens hepatik.
- Asetaminofen Alkohol : dapat merusak hati
2. Excedrin (Analgesik Kombinasi)
Kandungan
Asetaminofen, aspirin dan kafein
Indikasi
Menghilangkan rasa sakit dan penurun demam
Efek Samping
Mual, muntah, pendarahan, kerusakan hati

2.3.2

AINS ( Anti Inflamasi Non Steroid )


Analgesik dan AINS merupakan obat yang efektif untuk mengobati serangan
migren ringan sampai sedang. AINS tampaknya mencegah inflamasi yang
20

diperantarai oleh saraf di sistem trigeminovaskular dengan cara menghambat sintesis


prostaglandin. Obat golongan ini pada umumnya memiliki sifat antiinflmasi,
analgesik, dan antipiretik.
Obat golongan AINS yang dapat digunakan sebagai terapi pada migren akut
menurut ISO Farmakoterapi antara lain aspirin, ibuprofen, naprokson natrium, dan
diklofenak kalium. Pada makalah ini, obat yang akan dibahas adalah aspirin dan
ibuprofen.
1. Aspirin
Apirin merupakan (asam asetil salisilat) obat dari golongan salisilat yang
paling banyak digunakan adalah (asam asetil salisilat). Sampai saat ini, obat ini
masih merupakan analgesikantipiretik dan antiinflamasi yang paling banyak
diresepkan dan menjadi standar untuk pembanding atau evaluasi antiinflamasi lain
(Roberts& Morrow, 2001). Aspirin berbeda dengan derivat asam salisilat lainnya
karena mempunyai gugus asetil. Gugus asetil inilah yang nantinya mampu
menginaktivasi enzim siklooksigenase, sehingga obat ini dikenal sebagai AINS
yang unik karena penghambatannya terhadap enzim siklooksigenase bersifat
ireversibel (Majeed et al., 2003).
1.1. Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja
utama aspirin adalah penghambatan sintesis
prostaglandin E2 dan tromboksan A2 . Akibat penghambatan ini, maka ada tiga
aksi utama dari aspirin, yaitu:
a) antiinflamasi, karena penurunan sintesis prostaglandin proinflamasi
b) analgesik, karena penurunan prostaglandin E2 akan menyebabkan
penurunan sensitisasi akhiran saraf nosiseptif terhadap mediator pro
inflamasi
c) antipiretik, karena penurunan prostaglandin E2 yang bertanggungjawab
terhadap peningkatan set point pengaturan suhu di hipotalamus (Roy,
2007)
1.2. Farmakokinetik
Absorbsi : terjadi di saluran pencernaan yang kemudian dihidrolisis
menjadi asam salisilat. Kadar puncak dalam plasma tercapai dalam 1-2

jam.
Distribusi : pada sirkulasi 80%-90% asam salisilat terikat dengan protein
plasma terutama albumin. Terdistribusi hampir keseluruh cairan tubuh dan
jaringan, serta mudah melalui sawar darah plasenta.
21

Metabolisme : aspirin dihidrolisis menjadi asam salisilat yang terjadi di


GIT dan sirkulasi darah. Waktu paruh pada dosis terapetik adalah 2-4,5
jam; pada dosis berlebih adalah 18-36 jam. 80% asam salisilat pada dosis

kecil dimetabolis di hepar.


Ekskresi : Melalui ginjal ( ekskresi urin ) sebanyak 5,6%-35,6%.
1.3. Indikasi
Nyeri ringan sampai sedang, demam, dan antiplatelet
1.4. Dosis
100-500 mg tiap 4-6 jam.
1.5. Kontra indikasi
Tidak digunakan pada anak usia dibawah 12 tahun dan anak sedang menyusui;
ulkus lambung; hemofilia; dan gout.
1.6. Interaksi obat
Pemberian bersama golongan AINS lain, dapat meningkatkan efek
samping.
Antikoagulan : resiko perdarahan meningkat.
Kortikosteroid : resiko perdarahan dan ulcer pada GIT meningkat.
1.7. Efek samping
Gejala GIT karena intoksisitas aspirin akut
Dosis tinggi menyebabkan stimulasi SSP diikuti depresi, dizziness
Alkalosis respiratorik atau gabungan dengan asidosis metabolik
2. Ibuprofen
Obat ini dapat meredakan rasa sakit ringan hingga menengah serta mengurangi
inflamasi atau peradangan. Contoh kondisi yang dapat diterapi dengan obat ini
adalah arthritis, keseloe, nyeri otot, serta migrain.
2.1. Mekanisme Kerja
Menghambat enzim siklooksigenase (COX 1 dan COX 2), dan

menghambat sintesis prostaglandin.


Penghambatan pada COX-2 mengakibatkan adanya aksi analgesik,

antipiretik, dan aktivitas anti-inflamasi.


Penghambatan pada COX-1 bertujuan agar tidak terjadi efek yang tidak

diingingkan pada agregasi platelet


2.2. Farmakokinetika
Diabsorbsi dengan cepat melalui saluran GIT dengan bioavailabilitas

sebesar 80%.
Puncak konsentrasi plasma dicapai setelah 1-2 jam (Anderson, 2002)
Pengikatan dengan protein plasma terjadi secara menyeluruh
90% dari dosis yang diabsorbsi diekskresikan lewat urin sebagai metabolit.
Metabolit utama hasil dari hidroksilasi dan karboksilasi (Stoelting, 2006;

Katzung, 1995; Sinatra, et al., 1992).


2.3. Indikasi
22

Demam dan nyeri pada anak; nyeri dan radang pada penyakit rematik;
nyeri ringan sampai berat
2.4. Dosis
200-800 mg tiap 6 jam. Hindari dosis > 2,4 gr/hari
2.5. Kontra indikasi
Pasien dengna tukak lambung aktif; serta

memiliki

riwayat

hipersensitivitas AINS.
2.6. Interaksi obat
Analgesik lainnya, dapat meningkatkan efek samping
Glikosida jantung, menyebabkan kambuhnya gagal jantung
Relaksan otot,menurunkan ekskresi baklofen
2.7. Efek samping
Menurunkan sekresi mukus, mengantuk, kram otot.
2.3.3

Ergotamin
Golongan obat
Ergotamin
Ergot dan Alkaloid Ergot
Mekanisme kerja/Farmakodinamik
Ergotamine menyebabkan efek vasokonstriktor dan agonis parsial atau antagonis pada
adrenergik pada reseptor serotonin . Hal ini menyebabkan penyempitan pembuluh
darah perifer dan kranial dan memiliki efek oxytocic kuat pada rahim . Hal ini juga
mengurangi hyperperfusion di wilayah arteri basilar .
Farmakokinetik

Penyerapan : diserap buruk dari saluran pencernaan ( mulut , sublingual ) ,

penurunan lebih lanjut dengan stasis lambung .


Distribusi : Memasuki ASI .
Metabolisme : metabolisme lini pertama di hati
Ekskresi : Via empedu ( sebagai metabolit ) , melalui urin ( 4 % ) ; eliminasi T1 /
2 ( biphasic ) : 2 jam ( tahap awal ) , 21 jam ( fase terminal ) .

Mencapai konsentrasi plasma puncak dalam waktu 60 90 menit


Indikasi
Merupakan terapi yang digunakan untuk menghilangkan sakit kepala seperti : migren
atau yang disebut sebagai histaminic cephalalgia
23

Dosis
Tersedia dalam sediaan sublingual tablet, nassal spray dan injeksi (dihydroergotamine
mesylate)
Dosis yang disarankan : 1 tablet (2 mg) tablet sublingual. Dapat menambahkan lagi
dosis sebanyak 2 mg apabila dibutuhkan. Tidak boleh melebihi 3 tablet (6 mg) dalam
waktu 24 jam dan tidak boleh melebihi 5 tablet (10 mg) dalam seminggu.
Injeksi dihydroergotamine mesylate dapat diberikan secara intravena, subkutan,
ataupun intramuskular. Dosis yang disarankan adalah 1 mg. Dapat diulang 1 jam
setelah apabila dibutuhkan hingga dosis total 2 mg (intravena) atau 3 mg (secara
subkutan atau intramuskular) dalam jangka waktu 24 jam atau 6 mg dalam seminggu.
Spray nasal dihydroergotamine mesylate digunakan dengan dosis 0.5 mg (1 spray) di
setiap lubang hidung. Dapat diulangi hingga total dosis 2 mg (4 tetes)
Efek Samping
Nausea dan muntah, lemah otot, mati rasa pada jari tangan dan kaki, nyeri pada dada,
takikardi atau bradikardi. Pada pasien hipersensitif dapat mengalami edema dan gatal.
Kontraindikasi
Nausea dan muntah
Ergotamine tartrate tidak boleh digunakan apabila pasien memiliki penyakit arterial
koroner, penyakit perifer, hipertensi, gangguan ginjal dan hati, kondisi infeksi, dan
malnutrisi
Ergotamine dapat menyebabkan keguguran dan reaksi hipersensitifitas.
Tidak boleh di konsumsi dalam jangka waktu 24 jam apabila sedang mengkonsumsi
triptan. Dan tidak boleh dikonsumsi dengan obat lain yang menyebabkan
vasokonstriksi.
Interaksi Obat

Terdapat 88 obat yang memiliki interaksi obat yang berbahaya (amoxicillin /

clarithromycin / lansoprazole)
Terdapat 424 obat yang memiliki interaksi obat yang sedang (Amidal
(guaifenesin / phenylephrine))
24

Terdapat 1 obat yang memiliki interaksi obat yang ringan (Altabax


(retapamulin topical))

2.3.4

Triptan

Triptan/ Serotonin Receptor Agonists


a. Triptan
Triptan adalah derivate indol dengan substituent pada posisi 3 dan 5. Triptan merupakan
senyawa yang lebih selektif daripada alkaloid ergot dalam hal berinteraksi kuat dengan
reseptor 5-HT1B dan 5-HT1D serta memiliki afinitas yang lebih rendah atau bahkan tidak
memiliki afinitas sama sekali terhadap subreseptor lainnya.

Gambar 1. Struktur triptan


Sumber : Goodman & Gilman. (2008). Manual of Pharmacology and Therapeutics.
USA: The McGraw-Hill.
Triptan merupakan pengobatan untuk lini pertama bagi pasien yang menderita
migraine yang cukup parah sebagai terapi pengobatan spesifik ketika obat sebelumnya tidak
manjur. Generasi pertama dari triptan yaitu sumatriptan, dan generasi kedua zolmitriptan,
naratriptan, rizatriptan, almotriptan, frovatriptan, dan eletriptan yang merupakan termasuk
dalam agonis selektif-reseptor 5-HT1B dan 5-HT1D.

25

Gambar 2. Algoritme terapi untuk migraine sakit kepala


Sumber Dipiro, Joseph T. dkk. (2009). Pharmacotherapy Handbook. ed. 7. USA: The
McGraw-Hill.
b. Reseptor triptan
5-Hydroxytryptamine (5-HT, serotonin) adalah regulator otot halus di system
kardiovaskular dan saluran pencernaan serta peningkat dari agregasi platelet dan
neurotransmitter dalam system saraf pusat (central nervous system /CNS). Empat
kelompok reseptor 5-HT memiliki fungsi tertentu. Reseptor 5-HT1D berfungsi sebagai
autoreseptor pada terminal akson. Badan sel utama neuron 5-HT terletak pada nuclei
raphes pada batang otak.

26

Gambar 3. Obat seretonergik : Primary actions and clinical uses


Sumber : Goodman & Gilman. (2008). Manual of Pharmacology and Therapeutics.
USA: The McGraw-Hill.
c. Mekanisme kerja Triptan
Terdapat dua hipotesis yang digunakan untuk menjelaskan efikasi agonis reseptor 5HT1B/1D pada migraine. Berdasarkan patofisiologis migraine belum diketahui terdapat
kejadian-kejadian yang menyebabkan dilatasi abnormal anastomosa arteriovena carotid di
kepala, yang mengalihkan darah dari jaringan kapiler sehingga menyebabkan iskemia
serebral dan hipoksia.

Hipotesa pertama : belum diketahui dengan pasti peristiwa yang menyebabkan


abnormal dilatasi pada anastomosa arteriovena karatoid. Dilaporkan sebanyak 80%
aliran darah karatoid dibelokkan melalui anastomosis, yang mengalirkan darah dari
jaringan kapiler hingga menyebabkan iskemik serebral. Triptan senyawa antimigran
yang efektif mampu menutup shunt dan mengalirkan darah ke otak. Sumatriptan
dapat menyebabkan kontriksi pembuluh darah intracranial termasuk anastomosa
arteriovena dan memperbaiki aliran darah ke otak. Sumatripan ( generasi pertama
triptan) memiliki kapsitas dalam menghasilkan efek vascular dengan spesifitas
farmakologis yang mirip dengan efek senyawa ini pada subtype reseptor 5-HT1B dan
5-HT1D.
Hipotesis lainnya yang berkaitan pengamatan adalah reeseptor 5-HT1B dan 5-HT1D
berperan sebagai autoreseptor prasinaps, yang memodulasi pelepasan
neurotransmitter dari terminal neuron.
Agonis 5-HT1 memblok pelepasan
neuropeptida proinflamantori pada tingkat ujung saraf diruang perivaskuler.
Sumatriptan dapat memblok peningkatan ekstravasasi plasma neurologenik di dura
meter yang mengikuti depolarisasi akson perivaskuler setelah dengan injeksi
kapsaisin atau stimulasi listrik unilateral pada saraf trigeminal. Kemampuan agonis
kuat reseptor 5-HT1 dalam menghambat pelepasan neurotransmitter endogen pada
ruang perivaskular ternyata efektif untuk pengobatan akut migraine (goodman).
Sumber : Goodman & Gilman. (2008). Manual of Pharmacology and Therapeutics.
USA: The McGraw-Hill.
27

Menurut sumber lain, terdapat tiga tahapan aksi untuk meringkan sakit kepala yaitu
1) Vasokontriksi pembuluh darah intrakranial (5-HT1B vaskular)
2) Inhibisi saraf perifer (5-HT1D )
3) Penghambatan transmisi melalui saraf orde kedua pada komolek trigeminoservikal
(5-HT1D )

Gambar 5. Tiga aksi kerja Triptan


Sumber : Dipiro, Joseph T. dkk. (2009). Pharmacotherapy Handbook. ed. 7. USA:
The McGraw-Hill.
d. Farmakokinetik

28

Gambar 6. Karakteristik farmakokinetik dari triptan


Sumber : Dipiro, Joseph T. dkk. (2009). Pharmacotherapy Handbook. ed. 7. USA: The
McGraw-Hill.

Sumber : Goodman & Gilman. (2008). Manual of Pharmacology and Therapeutics.


USA: The McGraw-Hill.
Bentuk sediaan triptan oral merupakan paling nyaman digunakan namun tidak praktis
digunakan untuk pasien migraine yang disertai mual dan muntah.
Generasi pertama yaitu sumatripan dapat digunakan melalui oral, subkutan, dan
intranasal. Penggunaan secara subkutan lebih efektif dengan waktu onset sekitar
10 menit dibandingkan dengan cara oral sekitar 60 menit.
Generasi kedua ( selain sumatriptan ) menghadirkan porfil farmakokinetik dan
farmakodinamik yang lebih bagus daripada oral sumatriptan. Sekitar 34-36 jenis,
29

memiliki bioavailibilitas oral yang tinggi dan longer half-lives dibandingkan oral
sumatriptan. Sehingga dapat meningkatkan kesembuhan dan mengurangi sakit
kepala.
e. Indikasi
Triptopan efektif untuk migraine akut (dengaan atau tanpa aura) tetapi tidak
dimaksudkan untuk digunakan dalam profilaksis migraine. Triptan tidak digunakan
sebagai terapi pencegahan dari migraine.
f. Dosis

g. Efek samping
Pusing
Flushing
Lemah
Mengantuk
Kelelahan
Mual dan muntah (dapat terjadi)
Gangguan sensorik
Parasthesias (kesemutan)
Aritmia jantung
Gangguan visual
Penggunaan secara injeksi subkutan akan menimbulkan rasa terbakar dibagian tempat
penyumtikkan. Efek samping dari penggunaan semprot hidung sumatriptan yaitu berupa
rasa pahit. Triptanmengakibatkan vasospasme arteri koroner, iskemik miokardial singkat,
aritmia ventricular, dan imfark miokardial.
h. Kontra indikasi
Tidak boleh digunakan oleh pasien yang mempunyai riwayat penyakit
kardiovaskular yang signifikan, karena dapat menyebabkan peningkatan
tekanan darah secara tiba-tiba
Pasien dengan penyakit hipertensi yang tidak terkontrol
Naratriptan kontra indiaksi untuk pasien yang gagal ginjal / penyakit hati yang
parah.

30

Rizatriptan digunakan secara hati-hati untuk pasien penderita penyakit hati


parah atau ginjal, namun tidak menjadikan hal ini sebagai kontra indikasi pada
pasien tersebut.
Sumatriptan,rizatriptan, dan zolmitriptan kontra indikasi bagi pasien yang
konsumsi inhibitor MAO
Bagi wanita hamil, sumatriptan dapat menembus plasenta bayi walaupun
sedikit.
i. Interaksi obat
Sumatriptan + ergotamin/methysergid vasospasme
Sumatriptan/rizatriptan tidak boleh digunakan dengan MAOI, MAOI dapat memetabolisme
sumatriptan/rizatriptan
2.3.5

Opioid
A. Opioid

Opioid merupakan produk alami turunan dari poppy (papaver). Opiat


merupakan obat turunan opioid. Opiat bekerja dengan mengikat reseptor opioid
yang ditemukan terutama di sistem saraf pusat dan saluran pencernaan. Obat ini
hanya boleh diberikan kepada pasien yang jarang mengalami sakit kepala sedangberat dan merupakan pertolongan darurat untuk pasien yang gagal merespon obat
konvensional (DiPiro, 2008).
B. Reseptor Opioid
Terdapat tiga tipe reseptor opioid klasik, yaitu Reseptor (Mu), Reseptor
(delta), dan reseptor (kappa) yang masing masing memiliki karakteristik
tersendiri (Katzung, 2012). Reseptor memiliki efek analgesik, depresan
pernafasan, sedasi, dan memodulasi hormon dan neurotransmitter. Reseptor juga
memiliki efek analgesik dan memodulasi hormon dan neurotransmitter.
Sedangkan reseptor memiliki efek analgesik, miosis, dan sedatif.
C. Mekanisme kerja
Secara klinis, sebagian besar opiod yang digunakan relative selektif
dengan reseptor .

31

Opiod bekerja dengan menutup kanal ion Ca2+ pada saraf prasinaps
sehingga menghambat kalsium ke dalam sel sehingga mengurangi dan
menghambat pelepasan neurotransmitter (glutamat), asetilkolin, serotonin,
dan substansi P yang menyebabkan transmisi rangsang nyeri menjadi

terhambat
Opioid juga mendorong hiperpolarisasi sehingga neuron postsinaps dengan
cara membuka kanal K+.

Berikut adalah gambar mekanisme kerja opioid:

32

D. Indikasi
Obat opioid terbagi mejadi agonis opoid dan agonis parsial opoid. Agonis
opioid diindikasikan untuk pasien dengan nyeri parah, edema paru, dan sebagai
tambahan dalam anastesi. Contoh obat yang termasuk dalam agonis opioid adalah
morfin, metadon, meperidin, dan hydromorfon. Sedangkan agonis parsial opioid
diindikasikan untuk pasien dengan nyeri ringan sedang. Contoh obatnya adalah
kodein, hidrokodon
E. Kontraindikasi
Pasien dengan cedera kepala
Retensi

karbondioksida

yang

disebabkan

oleh

depresi

pernafasan

menyebabkan vasodilatasi serebral. Pada pasien dengan peningkatan tekanan


intrakanial dapat menyebabkan perubahan letal pada fungsi otak.

Ibu hamil
Penggunaan opioid pada ibu hamil akan berpengaruh pada janin.

Pasien dengan gangguan fungsi paru


Pada pasien dengan penyakit pernafasan, sifat depresan dari opioid dapat
menyebabkan kegagalan pernafasan akut.

Pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan hati


Penggunaan opioid pada pasien dengan gangguan hati dan ginjal dapat
menyebabkan penumpukan metabolit aktif glukoronat karena metabolism
opioid terutama terjadi di hati.

Pasien dengan penyakit endokrin


Pada pasien dengan insuffisiensi adrenal (penyakit Addison) dan hipertiroid,
mungkin terjadi tanggapan yang berlebihan pada opioid.

F. Efek Samping
Penggunaan opioid dapat menimbulkan efek samping sebagai berikut:

Gelisah, Hiperaktif
Depresi Pernafasan
Mual dan Muntah
Peningkatan tekanan intrakranial
Hipotensi
Konstipasi
Retensi Urin
33

G. Interaksi Obat
Berikut merupakan table dari interaksi obat yang mungkin terjadi pada
penggunaan opiod. (Katzung, 2012)

Sedatif hipnotik: Peningkatan depresi sistem saraf pusat, depresi terutama

pernapasan.
Penenang antipsikotik: Peningkatan sedasi. Efek variabel pada depresi
pernapasan. Aksentuasi efek kardiovaskular (tindakan antimuskarinik dan -

blocking).
Inhibitor monoamine oxidase: Kontraindikasi relatif terhadap semua analgesik
opioid karena tingginya insiden koma hyperpyrexic; hipertensi juga telah
dilaporkan.

H. Farmakokinetika

(Katzung, 2012)
I. Contoh Obat dan Dosis
Meperidin
Dosis: Oral: 50-100 mg setiap 4 jam jika perlu ;
IV,IM, Subkutan: 25-100 mg setiap 4 jam jika perlu

Oksikodon
Dosis: Oral: Immediate Release: 5-15 mg setiap 4-6 jam
34

Controlled Release: 10 mg setiap 12 jam

2.3.6

Beta Adrenergic Antagonist (-Blockers)


A. Beta adrenergik antagonis (-blocker)
Merupakan kelas obat yang mempunyai efek terapi utama antagonis reseptor
berada di sistem kardiovaskular, (Goodman, L., Gilman, A., Brunton, L., Lazo, J., &
Parker, K. 2006). seperti penyakit jantung, termasuk tekanan darah tinggi, insufisiensi
aliran darah ke otot jantung (angina pectoris), detak jantung tidak teratur (aritmia),
penebalan otot jantung (hypertrophic cardiomyopathy), dan penurunan kemampuan
jantung untuk berdetak secara normal (gagal jantung). beta-blocker juga dapat digunakan
untuk glaucoma dan pencegahan migrain. (Frishman, W. 2003)
B. Mekanisme aksi profilaksis migrain
Belum ada mekanisme kerja secara pasti terhadap kerja beta blocker terhadap
pencegahan migraine,namun terdapat beberapa kemungkinan dari cara kerjanya yaitu:

Menghambat pelepasan norepinefrin melalui mediasi -1 agonis aksi, sehingga


mengurangi hiperaktivitas katekolaminergik pusat.

Merupakan Antagonis 5-HT1A dan 5-HT2B receptors, mengurangi rangsangan saraf.

Memiliki sifat stabilisasi membran (Ramadan, N. 2004).

Menghalangi reseptor beta adrenergik menghasilkan penghambatan dilatasi arteri.

Menghalangi trombosit untuk melekat bersama-sama dan dengan demikian


mengurangi penyebab pembuluh darah mengerut dan melebar. (Nbneuro.com,. 2015).

C. Obat beta-blocker
Terdapat beberapa obat beta bloker yang mana yang telah disetujui FDA yaitu
Propranolol (Inderal dan Inderal LA) dan Timolol (Blocadren). Selain itu, juga terdapat
obat lainnya yang biasanya digunakan walaupun tidak disetujui FDA, yaitu Atenolol
(Tenormin), Metoprolol (Lopressor) dan Nadalol (Corgard). (Nbneuro.com,. 2015).

Contoh Sediaan Obat:

35

Dosis:
-

80 mg / hari PO dibagi 6-8 jam


awalnya; dapat ditingkatkan dengan
20-40 mg / hari setiap 3-4 minggu;
tidak melebihi 160-240 mg / hari

dibagi 6-8 jam


Inderal LA: 80 mg / hari PO;
pemeliharaan: 160-240 mg / hari (Reference.medscape.com,. 2015).

Indikasi :
Hipertensi, Feokromositoma, Angina, Aritmia, Kardiomiopati obstruktif hipertrofik,,
Takikardi ansietas, Tirotoksikosis, Profilaksis setelah infark miokard, Tremor
esensial.dan Profilaksis migrain
Farmakokinetika :
Absorbsi
Propranolol sangat lipofilik dan hampir sepenuhnya diserap setelah
pemberian oral dalam saluran pencernaan. (Goodman, L., Gilman, A., Brunton, L.,
Lazo, J., & Parker, K. 2006).
Distribusi
Sekitar 90% dari yang beredar terikat pada protein plasma. Volume yang
terdistribusi 4 liter / kg.
Metabolisme
Metabolit mayor berupa propranolol glucuronide, naphthyloxylactic acid,
glucuronic acid and sulfate conjugates of 4-hydroxy propranolol (Drugs.com,
2015)
Ekskresi
Secara ekstensif dimetabolisme dengan sebagian besar metabolit muncul
dalam urin. (Drugbank.ca,. 2015).
Efek Samping:
Mengantuk, Kelelahan, Gangguan pola tidur, Mimpi buruk, , Gangguan ingatan,
Depresi, Intoleransi saluran cerna,, Disfungsi seksual, , Bradikardi dan Hipotensi.
(DiPiro, J. T. 2009)
Kontraindikasi:

36

Dalam pemberian obat ini sebaiknya tidak digunakan pada penderita Gagal
jantung, Penyakit pembuluh darah perifer, Gangguan konduksi atrioventrikular,
Asma, Depresi dan Diabetes. (DiPiro, J. T. 2009)
Interaksi obat:
Beberapa interaksi obat propranolol, yaitu:

Calcium channel blockers and digoxin (Lanoxin) dapat menurunkan tekanan


darah sampai tahap berbahaya menjadi hipotensi.

Propranolol mengurangi metabolisme thioridazine (Mellaril), meningkatkan


konsentrasi thioridazine in tubuh dan berpotensi menyebabkan detak jantung
abnormal. (Omudhome Ogbru, P. 2015)

Antagonis histamin, cimetidine (Tagamet), telah terbukti meningkatkan efek beta


blocker dengan menghambat kerusakan dalam hati. Dosis beta blocker harus
dikurangi (Nbneuro.com,. 2015).

2.3.7

Antidepresan
Antidepresan adalah obat yang digunakan untuk mengobati depresi. Kaitan
antara

antidepresan

dengan

pengobatan

migrain

adalah

sebagai

terapi

pencegahan/profilaksis migrain dan tension type headache, karena depresi merupakan


salah satu pemicu terjadinya penyakit tersebut.
Dalam buku Rang and Dales Pharmacology, antidepresan sendiri dibagi menjadi
3 golongan berdasarkan mekanisme kerjanya yaitu:
monoamine uptake inhibitors (tricyclic antidepressants/TCAs, selective

serotonin reuptake inhibitors/SSRIs dan lain-lain),


monoamine oxidase (MAO) inhibitors,
senyawa lain ('atypical') antidepresan, umumnya non-selective receptor

antagonists (missal: trazodon dan mirtazapin).


Biasanya TCA dapat ditoleransi pada profilaksis migren dengan dosis rendah,
tetapi efek antikolinergik menyebabkan penggunaannya menjadi terbatas, terutama
pada pasien dengan benign

prostat hyperplasia (pembesaran prostat jinak) atau

glaukoma. Golongan SSRI (selective serotonin reuptake inhibitors) kurang efektif


dibandingkan dengan golongan TCA untuk profilaksis migren sehingga tidak boleh
dijadikan terapi pilihan pertama atau kedua. Namun, SSRI dapat bermanfaat jika
depresi merupakan pemicu sakit kepala.

37

Efek TCAs menguntungkan bagi terapi profilaksis migren, karena tidak terkait
dengan efektifitas antidepresan dan mungkin berkaitan dengan downregulation pada
5-HT2 sentral dan reseptor adenergik.

Gambar 1. Struktur antidepresan trisiklik (TCAs)


Sumber: Basic of Pharmacology
a. Mekanisme Kerja Antidepresan Trisiklik (TCAs)

Antidepresan generasi pertama ini bekerja dengan menghambat ambilan kembali


(reuptake) neurotransmitter di otak (Lihat Gambar 2). TCAs meningkatkan jumlah
norepinefrin, serotonin, atau keduanya di sistem saraf pusat dengan mencegah
ambilan kembali/reuptake norepinefrin dan serotonin ke dalam penyimpanan granulgranul di saraf saraf presinaps. Akibat dari pencegahan/blok reuptake adalah setelah
neurotransmitter bekerja, beberapa kebetulan terjadi, di antaranya adalah masuknya
kembali/reentering neuron dari pertama kali keluar (atau reuptake) sangat cepat.
Pencegahan reuptake menyebabkan meningkatnya jumlah neurotransmitter di sinaps,
sehingga mencegah/mengurangi depresi. TCAs juga memblok reseptor asetilkolin dan
histamin.

38

Gambar 2. Mekanisme kerja obat antidepresan golongan trisiklik


b. Farmakokinetika
Absorpsi
Semua TCAs merupakan senyawa yang aktif secara farmakologi dan beberapa
metabolitnya pun juga aktif. TCAs dan metabolitnya diabsorpsi secara sempurna saat
dikonsumsi secara oral dan melewati metabolisme lintas pertama (first pass
metabolism).
Distribusi, metabolisme, dan ekskresi
Obat TCAs sangat lipofil sehingga kelarutan dalam lemak sangat tinggi, oleh
karenanya benar-benar terdistribusi secara luas ke seluruh tubuh, namun diekskresi
secara lambat (slow excretion), dan memiliki long half lives (waktu paruh yang
panjang).
Dengan melalui first pass metabolism, obat TCAs melewati saluran GIT ke hati/liver,
dimana

TCAs

sebagian

dimetabolisme

sebelum

masuk

ke

sirkulasi.

TCAs dimetabolisme secara ekstensif di hati dan kemudian diekskresi dalam bentuk
senyawa inaktif (hanya sedikit bentuk obat aktif yang diekskresi) dalam urin.
c. Indikasi
TCAs digunakan untuk mengobati episode depresi. TCAs secara spesial
efektif dalam mengobati depresi onset yang tersembunyi diikuti dengan berkurangnya
39

berat badan, anoreksia, atau insomnia. Obat TCAs menghasilkan respon pada tandatanda fisik dan gejala depresi setelah 1 sampai 2 minggu terapi; gejala psikologi
setelah 2 - 4 minggu. TCAs kurang efektif pada pasien hipokondriasis,
atypical depression, atau depresi dengan delusi.
TCAs juga digunakan untuk pencegahan/profilaksis migrain, mengobati fobia
(panic disorder dengan agoraphobia), urinary incontinence, attention deficit disorder,
obsessive-compulsive disorder, nyeri neuropatik (nyeri kronik yang terjadi pada saraf
perifer), infeksi herpes zoster, traumatic nerve injuries, dan beberapa tipe kanker atau
pengobatan kanker), diabetic neuropathy, and enuresis.
d. Kontraindikasi :
Penggunan TCAs memiliki kontra indikasi pada pasien infark miokardial, aritmia,
penyakit hati berat.
Peringatan Khusus : penyakit jantung (aritmia), epilepsi, hamil, menyusui, lanjut usia,
gangguan fisiologi hati, penyakit tiroid.
e. Efek Samping
Efek samping TCAs meliputi:
sedasi,
hipotensi ortostatik,
jaundice,
ruam-ruam,
reaksi fotosensitivitas,
tremor,
penurunan hasrat seksual,
menghambat ejakulasi,
transient eosinophilia,
mengurangi jumlah sel darah putih,
manic episodes (pada pasien dengan atau tanpa bipolar disorder)
eksaserbasi gejala psikotik pada beberapa pasien tak terduga.
Terapi TCAs juga dapat menyebabkan:
granulositopenia,
palpitasi,
terlambatnya konduksi,
detak jantung cepat,
kognitif terhambat, reaksi kardiovaskular yang merugikan (pada pasien lansia).
f. Interaksi Obat
TCAs berinteraksi dengan beberapa obat di antaranya:
TCAs
meningkatkan
efek
katekolamin

dari

amfetamin

dan

simpatomimetik, sehingga memicu hipertensi.

40

Barbiturat

jumlah darah.
Cimetidine menghalangi metabolisme TCAs di hati, sehingga meningkatkan

toksisitas.
Penggunaan

peningkatan temperatur tubuh , eksitasi, dan seizures.


TCAs meningkatkan efek antikolinergik, seperti mulut kering, retensi urin dan

meningkatkan

TCAs

dengan

metabolisme

MAOIs

TCAs

secara

dan

bersamaan

mengurangi

menyebabkan

konstipasi, hal ini terjadi ketika obat antikolinergik dikonsumsi bersamaan

dengan obat TCAs.


TCAs
mengurangi

guanetidin.
Alkohol : meingkatkan efek sedatif

efek

antihipertensi

dari

clonidine

dan

g. Sediaan
Amitriptilin:
- Tablet 10 dan 25 mg,
Larutan intramuskular 100mg/10ml. Dosis
permulaan 75mg sehari. Dosis di tingkatkan
sampai timbul efek terapeutik (150mg-300mg).

2.3.8

Antikonvulsan
Sejumlah agen farmakologis yang digunakan untuk mengontrol rangsangan
seluler berlebihan yang mengarah ke kejang atau aritmia jantung juga dapat
digunakan untuk mengelola gejala dari beberapa kondisi nyeri kronis. Untuk
mendapatkan obat yang dapat menghasilkan analgesia, sejumlah agen ini telah diuji
atas dasar kemampuan mereka untuk mengurangi rangsangan saraf. Diantaranya
antikonvulsan gabapentin, lamotrigin dan carbamazepine serta asam valproate.
Gabapentin baru-baru ini menjadi banyak digunakan untuk pengelolaan nyeri
kronis. Ini pada awalnya dikembangkan sebagai analog struktural GABA. Gabapentin
dapat mengikat subunit 2 tegangan tergantung saluran kalsium, tetapi masih harus
ditentukan apakah ini adalah situs yang bertanggung jawab untuk efek gabapentin
pada aktivitas neuronal dan nyeri pada pasien. uji klinis acak pada penderita diabetes
neuropati dan neuralgia trigeminal menunjukkan bahwa gabapentin lebih unggul
dengan plasebo dalam mengurangi subyektif melaporkan nyeri. gabapentin dikaitkan
dengan beberapa efek samping, terutama pusing, mengantuk, kebingungan, dan
ataksia.
41

Berikut merupakan informasi obat gabapentin :


Gabapentin
Farmakodinamik

Gabapentin

secara struktural berhubungan dengan neurotransmitter y-

aminobutyrlc acid [GABA),tetapi mekanisme kerjanya berbeda dengan


beberapa obat yang berinteraksi dengan sinaps GABA.

Identifikasi dan fungsi dari binding site gabapentin masih harus diuraikan dan
relevansi berbagai aksinya terhadap efek antikonvulsan yang dihasilkan masih
memerlukan pembuktian.

Indikasi

Terapi tambahan untuk epilepsi parsial dengan atau tanpa kejang umum, yang
tidak dapat dikendalikan dengan antiepilepsi lain

Nyeri neuropati

Farmakokinetik
(Absorpsi)

Rata-rata konsentrasl plasma gabapentin tercapai kira-kira 3 jam


Hubungan antara dosis dengan bioavailabilitas gabapentin tidak
berbanding lurus contohnya: bila dosis dinaikkan,bioavailabilltas
menurun.
Walau demikian,perbedaan biovailabilitasnya tidak besar.
Bioavailabilitasgabapentin adalah sekltar 60%.
Makanan hanya berefek sedikit pada kecepatan dan tingkat absorpsi

gabapentin meningkat 14% pada AUC dan CJ.


(Distrribusi)

Gabapentin sebagian besar tidak terikat protein plasma (<3%).


Volume distnbusi gabapentin setelah pemberlan 150 mg IV adalah 58+6

I (meon+SD).
Pada penderita epliepsi,konsentrasi awal gabapentin untuk mencapai
kondisi tunak (CJ pada cairan serebrospinal berkisar 20% dari

konsentrasi plasma}.
Setelah pemberian berulang gabapentin,kondisi tunak tercapai dalam 1
hingga 2 hori seteiah memulal pemberlan dosis berulang dan
dipertahankan sepanjang pemberian dosis regimen

(Metabolisme)

42

Gabapentin tidak dimetabolisme oleh tubuh manusia dan tidak


menginduksi sistem oksldasienzfmhepatik.

(Eksresi)

Gabapentin tidak dimetabolisme oleh tubuh manusia dan tidak


menginduksi sistem oksldasienzfmhepatik.

Kontraindikasi

pasien yang hipersensitif terhadap gabapentin; pankreatitis akut; tidak efektif


pada seizure generalisasi primer

Efek samping

Sistem saraf mengantuk, pusing atau ataksia, fatigue, nistagmus, tremor,


gugup,

disartria,

amnesia,depresi,twitching.

gangguanoordinasi,sedikit

kepala,keiang,bingung,insomnia,abnormal thinking dan gangguan emosional.


Gastrointestinal

dispepsla,
mulut
dan
tenggorokan
terasa
kering,konstipasi,kelainan pada gigi,peningkdtan nafsu makan,rnual,muntah,

nyeri abdominal,diare dan anoreksia.


Kardiovaskuiar edema periferal, vasodilatasi, hipertensi, hipotensi, angina
pektoris, gangguan vaskular perifer palpitasi takikardi heartmur-mur dan

edema umum.
Saluron nafas rinitis, batuk,pneumonia,epistaksis dan dispnea.
Jaringan otot mralgia artralgla, nyeri punggung dan fraktur.
Kulrtdanreaksi sensrtlf pruritus atau abrasi, ruam atau jerawat.
Hematologi leukopenla, purpura, anemia dan trombositopenla.
Mata dan telinga diplopia dan amblyopia

Dosis

Epilepsi, 300 mg pada hari ke-1, kemudian 300 mg 2 kali sehari pada hari ke2, dan 300 mg 3 kali sehari (kira-kira setiap 8 jam) pada hari ke-3. Selanjutnya
dinaikkan sesuai respons, bertahap 300 mg sehari (dalam 3 dosis terbagi)
sampai maksimal 2,4 gram sehari, dosis lazim 0,9-1,2 g sehari; ANAK 6-12
tahun (hanya diberikan oleh spesialis saja) : 10 mg/kg bb pada hari ke-1,
kemudian 20 mg/kg bb pada hari ke-2, kemudian 25-35 mg sehari (dalam 3
dosis terbagi, kira-kira setiap 8 jam sekali), dosis pemeliharaan 900 mg sehari

(berat badan 26-36 kg) atau 1,2 g sehari (berat badan 37-50 kg).
Nyeri neuropatik, 300 mg pada hari ke-1, kemudian 300 mg 2 kali sehari
pada hari ke-2, 300 mg 3 kali sehari (kira-kira setiap 8 jam) pada hari ke-3,

43

kemudian ditingkatkan sesuai respons bertahap 300 mg per hari (dalam dosis
terbagi 3) sampai maksimal 1,8 g sehari
Selain gabapentin, obat yang termasuk dalam antikonvulsan lainnya yang biasa
digunakan untuk obat antinyeri yaitu asam valproat. Obat ini khususnya digunakan
untuk pengobatan migrain.
Dalam

beberapa percobaan telah terbukti selama serangan migren terjadi

ketidakseimbangan konsentrasi neuron inhibisi (GABA) dan neuron eksitasi (glutamat


dan aspartat) di dalam plasma. Valproat meningkatkan konsentrasi GABA di otak
dengan jalan menghambat enzim GABA transaminase dan juga mengaktifkan enzim
glutamat dekarboksilase yang akan menurunkan kadar glutamat. Seperti yang telah
diketahui bahwa saat terjadi serangan migren kadar glutamat meningkat, sesuai
dengan teori hipereksitabilitas saat terjadinya serangan migren.
Berikut merupakan profil dari asam valproate :
Asam Valporate
Indikasi

Nyeri neuropatik perifer, terapi tambahan untuk seizure parsial dengan atau tanpa

generalisasi sekunder
Epilepsi / kejang, Mania, Migrain

Kontraindikasi

Pasien yang hipersensitif; wanita menyusui ; penyakit hati aktif, riwayat disfungsi
hati berat dalam keluarga, porfiria.

Dosis

Untuk kejang:
Dewasa dan anak usia 10 tahun atau lebih: Dosis didasarkan pada berat badan.
Pada awalnya, dosis biasa adalah 10 sampai 15 mg per kg berat badan. Dosis
dapat ditingkatkan secara bertahap setiap minggu dengan 5 sampai 10 mg per kg
berat badan jika diperlukan. Namun, dosis biasanya tidak lebih dari 60 mg per kg
berat badan sehari. Jika dosis total sehari lebih besar dari 250 mg, biasanya dibagi
menjadi dosis kecil dan diminum dua kali atau lebih pada siang hari.

Untuk mania:
Dewasa : Pada awalnya, 750 mg sekali sehari, biasanya dibagi dalam dosis yang
lebih kecil. Dosis dapat ditingkatkan bila diperlukan.
44

Untuk migrain:
Dewasa : Pada awalnya, 250 mg dua kali sehari. Dosis dapat ditingkatkan bila

diperlukan. Namun, dosis biasanya tidak lebih dari 1000 mg sehari


Efek samping
Toksisitas valproat berupa gangguan saluran cerna, sistem saraf, hati, ruam kulit,

dan alopesia.
Gangguan saluran cerna berupa anoreksia, mual dan muntah terjadi pada 16%

kasus.
Efek terhadap susunan saraf pusat berupa kantuk, ataksia, dan tremor, menghilang

dengan penurunan dosis.


Gangguan pada hati berupa peninggian aktivitas enzim-enzim hati, dan sesekali
terjadi nekrosis hati yang sering berakibat fatal. Kira-kira 60 kasus kematian telah

dilaporkan akibat penggunaan obat ini.


Dari suatu uji klinik terkendali, dosis valproat 1200 mg sehari, hanya

menyebabkan kantuk, ataksia, dan mual selintas.


Terlalu dini untuk mengatakan bahwa obat ini aman dipakai karena penggunaan

masih terbatas.
Efek samping yang kronik dapat berupa mengantuk, perubahan tingkah laku,
tremor, hiperamonemia, bertambahnya berat badan, rambut rontok, penyakit
perdarahan, gangguan lambung (formulasi bersalut non-enter
Skema mekanisme kerja antikonvulsan pada GABA

45

2.3.9

Methysergide
Metisergid merupakan alkaloid ergot semisintetik yaitu suatu antagonis
reseptor 5-HT2 yang poten. Bekerja dengan cara menstabilkan neurotransmisi
serotonin di sistem trigeminovaskular untuk mengambat timbulnya inflamasi
neurogenik.
Metisergid menghambat vasokonstriktor dan efek pressor dari 5-HT, serta
kerja reseptor 5-HT pada berbagai jenis otot polos ekstravaskular. Metisergid tidak
selektif karena dapat juga berinteraksi dengan reseptor 5-HT 1, namun efek utama
yang muncul adalah antagonis reseptor 5-HT2. Meskipun methysergide adalah turunan
ergot, methysergide hanya vasokonstriktor yang lemah.
Metisergid merupakan salah satu obat yang paling efektif dalam mencegah
migrain, tetapi tidak boleh digunakan terus menerus, karena memiliki komplikasi
berupa fibrosis peritonealis (pembentukan jaringan parut di dalam perut), yang bisa
menghalangi aliran darah ke organ vital. Karena itu penggunaan obat ini harus
dibawah pengawasan ketat.
A. Indikasi
Metisergid digunakan untuk pengobatan profilaksis migrain dan sakit kepala
vaskular lainnya.
B. Kontra Indikasi
Hipertensi

46

Gangguan hati dan ginjal

Gangguan jantung seperti angina dan serangan jantung

Infeksi serius

Wanita hamil dan menyusui

C. Efek Samping

Maag

Mual

Muntah

Insomnia

Diare

Kram otot
Efek samping dari methysergide biasanya ringan dan sementara, meskipun

penarikan obat jarang diperlukan untuk membalikkan reaksi yang lebih parah.
Efek samping yang umum termasuk gangguan pencernaan (maag, diare, kram,
mual, dan muntah), dan gejala yang berkaitan dengan vasospasme yang diinduksi
iskemia (mati rasa dan kesemutan dari ekstremitas, nyeri di ekstremitas, dan
punggung dan nyeri perut).
D. Interaksi Obat
Interaksi methysergide dengan obat lain umumnya dapat menyebabkan
vasospasme.

Obat HIV/AIDS: ritonavir, nelfinavir, indinavir, saquinavir

Obat untuk infeksi: ketoconazole, clotrimazole, erythromycin, clarithromycin

Obat gangguan mental: nefazodone, fluoxetine, fluvoxamine

Beta-blocker seperti propranolol yang digunakan untuk mencegah migrain


serta mengobati gangguan jantung dan hipertensi.

E. Contoh Produk
Deseril (Methysergide Maleate)

Sediaan : Tablet 1 mg

Dosis : 1-2 tablet, 2-3 kali sehari

47

2.4

ALGORITME TERAPI SAKIT KEPALA


Pengobatan untuk sakit kepala dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu terapi
non-farmakologi dan terapi farmakologi.
c) Terapi nonfarmakologi dapat dilakukan dengan :
- Beristirahat sejenak atau tidur. Diusahakan dilakukan pada ruangan yang agak

gelap dan tenang


- Mengkompres kepala dengan es
- Menghindari faktor yang dapat memicu serangan migraine
- Intervensi perilaku (terapi relaksasi, biofeedback, dan terapi kognitif)
d) Terapi farmakologi, ada 2 yaitu terapi untuk migraine akut dan terapi profilaksis
3. Akut (analgesic, ains, ergotamine, triptan, opioid)
4. Profilaksis
(b-adrenergik
antagonis,
antidepressan,
antikosulvan,
methyseragide, ca channel blocker)
Algoritme terapi ada dua, yaitu algoritme terapi untuk sakit kepala akut
dan untuk profilaksis.
1. Algoritme terapi sakit kepala akut
- Diagnosis penyakit pada pasien
- Memberi edukasi mengenai kesehatan umum dan menghindari faktor
-

pencetus
Menilai keparahan sakit kepala
Mempertimbangkan terapi non-farmakologi atau
Pretreatment
dengan
antiemetic
(misalnya

proklorperazin,

metoclopromide) 15-30 menit sebelum pemberian terapi migraine akut


oral atau penggunaan perawatan nonoral (nasal spray, suntikan) apabila
-

terjadi mual dan muntah yang parah.


Penggunaan obat migraine akut yang sering atau berlebihan dapat
meningkatkan pola peningkatan frekuensi sakit kepala atau yang biasa

dikenal medication-overuse headache.


Menilai gejala dari ringan sampai parah. Bila gejala ringan dapat di beri
dengan analgesic (aspirin, acetominophen), tetapi apabila efek yang
diberikan tidak adekuat, maka dapat digunakan kombinasi analgesic
(midrin, aspirin), apabila respon masih inadekuat, dapat digunakan triptan,

apabila masih inadekuat maka diberikan analgesic kombinasi opioid.


Untuk gejala yang parah dapat diberikan obat golongan ergotamine,
apabila respon inadekuat dapat diberikan analgesic yang dikombinasikan
dengan opioid.

48

Gambar. 53.1. Algoritme terapi untuk migraine akut


2. Algoritme terapi untuk profilaksis
- Untuk sakit kepala kambuh karena menstruasi dapat diberikan NSAID.
- Untuk pasien sehat atau memiliki hipertensi, angina, dan kecemasan dapat
diberikan B-adrenergik antagonis, apabila tidak efektif dapat diberikan
trisiklik antidepresan, tidak efektif juga, maka dapat diberikan antikonvulsan,
-

tidak akftif juga maka dapat diberikan methyseragide.


Untuk pasien yang memiliki insomnia atau depresi/stress dapat diberikan
trisiklik anti depresan, apabila tidak efektif dapat diberikan antikonvulsan,
tidak efektif juga, maka dapat diberikan B-adrenergik antagonis atau

methyseragide
Untuk pasien yang memiliki kejang dan penyakit bipolar dapat diberikan
antikonvulsan, apabila tidak efektif dapat diberikan B-adrenergik antagonis.

49

Untuk pasien sakit kepala yang tidak diketahui penyebabnya pastinya dapat
diberikan methyseragide, apabila tidak efektif dapat diberikan obat dari
golongan B-adrenergik antagonis (verapamil)

Terapi pencegahan dapat juga dapat diberikan sebentar- sebentar ketika sakit

kepala kambuh dalam pola yang dapat diprediksi misalnya menstruasi.


Karena khasiat berbagai agen profilaksis tampaknya serupa, maka pemilihan
obat didasarkan atas efek samping dan kondisi pasien. Tetapi obat yang
disetujui oleh FDA untu terapi pencegahan hanya propranolol, timolol, asam

valproik, dan topiramate.


Profilaksis harus dimulai dengan dosis rendah dan naik perlahan-lahan sampai

efek terapeutik dicapai atau efek sampai menjadi tidak tertahankan.


Profilaksis biasanyan dilanjutkan selama minimla 3-6 bulan setelah frekuensi
dan tingkat keparahan sakit kepala berkurang, kemudian secara bertahap
diturunkan dan dihentikan jika memungkinkan.

50

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
sakit kepala adalah rasa sakit atau ketidaknyamanan pada kepala, kulit kepala, atau leher,

baik disebabkan oleh gangguan struktural, infeksi, penyakit lain ataupun penyebab
lainnya. Sakit kepala dibagi kembali menjadi tiga kelompok, yaitu sakit kepala primer
(tidak disertai adanya penyebab struktural organik ataupun suatu penyakit yang
mendasarinya), sakit kepala sekunder (disebabkan oleh suatu masalah struktural di
kepala atau leher, bisa juga karena didasari penyakit lain), dan painful cranial
neuropathies serta sakit wajah lain. Jenis sakit kepala primer adalah migrain, tensiontype headache, trigeminal autonomic cephalalgia, dan cranial neuropathy.
Golongan obat yang digunakan untuk mengobati sakit kepala diantaranya adalah
golongan analgesik, AINS, ergotamin, triptan, opioid, beta blocker, antidepresan,
antikonvulsan dan metisergid.
Terapi sakit kepala dapat dibagi menjadi terapi non-farmakologis dan terapi
farmakologi. Terapi farmakologi sakit kepala ada 2, yaitu terapi untuk migraine akut dan
terapi profilaksis. Terapi migrain akut yaitu analgesik, AINS, ergotamine, triptan, dan
opioid. Sedangkan terapi profilaksis digunakan B-adrenergik antagonis, antidepressan,
antikovulsan, methysergide, dan Ca channel blocker.

51

DAFTAR PUSTAKA
Anderson, B. J. (2008). Paracetamol (Acetaminophen): Mechanism of Action. Pediatric
Anesthesia, 18(10), 915921. Retrieved from http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/
j.1460-9592.2008.02764.x/full
Ashina, Messoud & Geppetti, Pierangelo (ed). (2015). Pathophysiology of Headache from
Molecule to Man. New York: Springer.
Brunton, L., Lazo, J., & Parker, K. (2006). Goodman&Gilmans The Pharmalogical Basis of
THERAPEPEUTICS (11th ed.). New York: McGRAW-HILL.
Corwin, E. J. (2008). Handbook of Pathophysiology, 3rd Edition (3rd ed.). Ohio: Lippincott
Williams & Wilkins.
Department of Neurology, Harvard Medical School, and Headache Center, Massachusetts
General/Brigham& Women's Hospitals, Boston, MA 02114, USA.
DiPiro, J. T. (2008). Pharmacotherapy: A pathophysiologic approach. New York: McGrawHill Medical.
Drugbank.ca,. (2015). DrugBank: Propranolol (DB00571). Retrieved 10 September 2015,
from http://www.drugbank.ca/drugs/DB00571#pharmacology
Drugs.com,. (2015). Ergotamine Tablets: Indications, Side Effects, Warnings - Drugs.com.
Retrieved 6 September 2015, from http://www.drugs.com/cdi/ergotamine.html
Drugs.com,. (2015). Propranolol - FDA prescribing information, side effects and uses.
Retrieved 10 September 2015, from http://www.drugs.com/pro/propranolol.html
Frishman, W. (2003). Beta-Adrenergic Blockers. Circulation, 107(18), 117e-119. Retrieved
10 September 2015 from http://circ.ahajournals.org/content/107/18/e117.full
Golan, David E, Armen H Tashjian, Ehrin J Armstrong, April W Armstrong 2008, Principles
of pharmacology: The pathophysiologic basis of drug therapy, Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins, p. 602
Goodman, L., Gilman, A., Brunton, L., Lazo, J., & Parker, K. (2006). Goodman & Gilman's
the pharmacological basis of therapeutics. New York: McGraw-Hill.
Jay, Gary W. 1998. The Headache Handbook: Diagnosis and Treatment. Kanada: CRC Press.
Joseph T. DiPiro, e. (2005). Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach (Sixth Edition).
United States of America: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Katzung, B. G., Masters, S. B., & Trevor, A. J. (2012). Basic & clinical pharmacology. New
York: McGraw-Hill Medical.
Lullman, Heinz.,et al. 2000. Color Atlas of Pharmacology. Stuttgart:Thieme.
52

Leone, Massimo, et al. "Trigeminal Autonomic Cephalgias - From Pathophysiology to


Neurostimulation." EUROPEAN NEUROLOGICAL DISEASE 2007. Touch Briefings.
Web.http://www.touchneurology.com/system/files/private/articles/8192/pdf/bussone.pdf
McCance, K.L., & Huether, S. E. (2014). Pathophsysiology, The Biologic Basis for Disease
in Adults and Children, Seventh Edition. Missouri: Mosby.
McCann, Judith A. Schilling. 2009. Clinical Pharmacology made Incredibly Easy, 3rd edition.
Lippincott Williams & Wilkins.
Miladiyah, I. (2012). Therapeutic Drug Monitoring (TDM) pada Penggunaan Aspirin. 2013220.
Mims.com,. (2015). Retrieved 6 September 2015, from http://mims.com/INDONESIA/
Home/GatewaySubscription/?generic=ergotamine
Nbneuro.com,. (2015). Newport Beach Neurologists - Neurology - Newport Beach, CA - Beta
Blockers in the Treatment of Migraine. Retrieved 10 September 2015, from
http://www.nbneuro.com/betablockers.shtml
Newworldencyclopedia.org,. (2015). Ibuprofen - New World Encyclopedia. Retrieved 6
September

2015,

from

http://www.newworldencyclopedia.org/entry/Ibuprofen#

Mechanism of_action
NPS Medicinewise. (2014). Deseril Tablets. NPS MedicineWise. Retrieved 6 September
2015,

from

http://www.nps.org.au/medicines/heart-blood-and-blood-vessels/migraine-

medicines/methysergide/deseril-tablets
Omudhome Ogbru, P. (2015). propranolol, Inderal, Inderal LA, Innopran XL: Drug Facts,
Side Effects and Dosing - Page 3. MedicineNet. Retrieved 10 September 2015, from
http://www.medicinenet.com/propranolol/page3.htm
Ramadan, N. (2004). Prophylactic migraine therapy: Mechanisms and evidence. Current
Science

Inc,

8(2),

91-95.

Retrieved

10

September

2015

from

http://link.springer.com/article/10.1007%2Fs11916-004-0022-z
Rang, HP, et al. 2007. Rang and Dales Pharmacology, 6th ed. New York: Elsevier
Reference.medscape.com,. (2015). Inderal, Inderal LA (propranolol) dosing, indications,
interactions, adverse effects, and more. Retrieved 10 September 2015, from
http://reference.medscape.com/drug/inderal-inderal-la-propranolol-342364
Repository USU. (2015). Retrieved 6 September 2015, from http://repository.usu.ac.id/
bitstream/123456789/31617/4/Chapter%20II.pdf
Sherwood, L. (2009). Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem. (N. Yesdelita, Ed.) (6th ed.).
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
53

The International Classification of Headache Disorders, 3rd edition (beta version)


Wells, B. G., Dipiro, J. T., Schwinghammer, T. L., Dipiro, C. V. 2009. Pharmacoterapy
Handbook (7th ed). New York : McGraw-Hill.
http://pionas.pom.go.id/book/ioni-bab-4-sistem-saraf-pusat-48-epilepsi-481antiepilepsi/gabapentin-dan-pregabalin
http://pionas.pom.go.id/monografi/valproat-asam-valproatnatrium-valproat
www.drugs.com/pro/amitriptyline.html

54

You might also like