Professional Documents
Culture Documents
Blok 14 - Muskuloskeletal 2
Blok 14 - Muskuloskeletal 2
Blok 14 - Muskuloskeletal 2
Henricho Hermawan
10.2014.108 / F2
24 Maret 2016
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Alamat Korespondensi Jl.Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510
Email: henricho.hermawan@windowslive.com
Abstract
The human body can be formed due to the solid part of the bone that formed it.
Besides functioning to form the human body, bones also serves to protect the organs in it at a
time where the muscles attach to it. Muscle itself serves as the driving force for man to
indulge. However, despite this bone hard and able to form a human body, it also has its own
hardness and there will be times when this bone can fracture or break. That is when the
bones get outside pressure so intense until no longer able to hold and lead to bone fractures.
Breaking bones is not easy, requiring a very large force such as motor vehicle accidents or
falls from a height. As a result, the bones will be broken, it can be broken open or closed.
Closed fracture means it would not penetrate the skin to exit, otherwise if it's open means
that the bone would break up the bones to interact with the environment. Thus the handling of
the fracture will be different according to the type and classification, this is because the force
will result in differently, can be shaped lines, spiral or even a small fraction. Fractures can
lead to several complications such as an increasing presure in the compartement. This can
occur because the fracture caused pinching of the veins, causing edema until the end in
ischmemia. This complication that would normally be referred to as compartement syndrome
which, if not handled properly will result in necrosis and changes the function that is
irreversible.
Keywords: fracture, ischemia, necrosis, compartement syndrome
Abstrak
Tubuh manusia dapat terbentuk karena adanya bagian padat yang membentuknya
yaitu tulang. Selain berfungsi untuk membentuk tubuh manusia, tulang juga berfungsi untuk
melindungi organ tubuh yang ada di dalamnya sekaligus tempat melekatnya otot manusia.
Otot sendiri berfungsi sebagai penggerak agar manusia dapat beraktifitas. Namun demikian
walaupun tulang ini keras dan mampu membentuk tubuh manusia, ia juga memiliki
kekerasannya sendiri dan akan ada saatnya ketika tulang ini dapat patah atau pecah. Itu
1
adalah ketika tulang mendapatkan tekanan dari luar yang begitu hebat hingga tidak mampu
lagi ditahan dan mengakibatkan tulang itu patah. Mematahkan tulang tidaklah mudah,
membutuhkan gaya yang sangat besar seperti misalnya kecelakaan kendaraan bermotor atau
jatuh dari ketinggian. Akibatnya tulang akan patah, bisa patah terbuka atau tertutup. Jika
tertutup artinya patahan tulang tidak akan menembus kuliat hingga keluar, sebaliknya jika
terbuka artinya tulang akan patah hingga tulang berinteraksi dengan lingkungan luarnya.
Maka dari itu penanganan pada fraktur akan berbeda sesuai dengan jenisnya dan
klasifikasinya, hal ini karena gaya yang berbebda akan berakibat pada berbedanya klasfikasi
patahan, bisa berbentuk garis, spiral atau bahkan pecahan kecil. Fraktur juga dapat
mengakibatkan
beberapa
komplikasi
seperti
misalnya
terjadi
peningkatan
pada
compartement. Hal ini dapat terjadi karena fraktur menyebabkan terjepitnya pembuluh balik
hingga menyebabkan edema hingga berakhir pada ischmemia. Komplikasi inilah yang
biasanya akan disebut sebagai compartement syndrome yang apabila tidak tertangani dengan
baik akan mengakibatkan nekrosis serta perubahan fungsi yang bersifat irreversible.
Kata kunci : fraktur, ischemia, nekrosis, compartement syndrome
Pendahuluan
Seorang manusia dapat berdiri karena adanya kerangka yang menyusunnya. Kerangka
ini juga berfungsi untuk menjaga organ-organ di dalam tubuh seseorang. Selain itu kerangka
ini juga menjadi tempat melekatnya otot yang berguna menggerakan kerangka agar manusia
dapat beraktifitas. Kerangka ini adalah tulang-tulang di dalam tubuh manusia. Tanpa adanya
kerangka, manusia tidak akan bisa beraktivitas secara normal apalagi jika terjadi kerusakan
pada kerangka.
Tulang di dalam manusia memang keras dikarenakan kandungan-kandungan yang
dimiliki. Namun demikian tulang ini juga dapat rusak atau bahkan patah karena tekanan yang
berlebihan ataupun pengikisan. Seseorang yang mengalami kecelakaan bermotor misalnya
dapat mengalami patah atau cedera pada tulang. Patah tulang ini bisa terjadi pada bagian
tangan, kaki ataupun bagian lainnya. Dalam pembahasan kali ini, akan dibahas mengenai
patah tulang dibagian tangan (ekstremitas superior) pada region Antebrachii.
Anamnesis
Anamnesis adalah pengambilan data yang dilakukan oleh seorang dokter dengan cara
melakukan serangkaian wawancara dengan pasien (autoanamnesis), keluarga pasien atau
dalam keadaan tertentu dengan penolong pasien (aloanamnesis).1 Anamnesis harus dilakukan
dengan tenang, ramah, sabar serta menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh pasien.2
2
Ketika melakukan anamnesis perlu membedakan antara sakit (illness) dan penyakit
(disease). Sakit adalah suatu bentuk penilaian seseorang akan kondisi yang terjadi pada
dirinya sedangkan penyakit lebih menunjukkan kepada suatu bentuk reaksi yang terjadi di
dalam tubuhnya akibat suatu trauma, mikoorganisme dan sejenisnya yang menyebabkan
perubahan fungsi tubuh.2 Dalam melakukan anamnesis harus diusahakan untuk mendapatkan
data-data sebagai berikut:
a. Waktu dan lamanya keluhan
b. Sifat dan beratnya serangan
c. Lokasi dan penyebarannya
d. Hubungan dengan waktu
e. Hubungan dengan aktivitas
f. Keluhan yang menyertai serangan
g. Apakah keluhan baru pertama kali atau sudah berulang kali
h. Factor risiko dan pencetus serangan
i. Apakah ada kerabat yang menderita keluhan sama
j. Riwayat perjalan ke daerah endemis
k. Perkembangan penyakit
l. Upaya-upaya yang telah dilakukan
Hasil Pemeriksaan
1. Tanda-tanda vital
Normal
2. Inspeksi
a. Regio antebrachii dextra 1/3 tengah tampak udem, deformitas dan hiperemi
3. Palpasi
a. Nyeri tekan (+)
b. Teraba krepitasi
c. Pulsasi a. Radialis teraba lemah
4. Pergerakan
Jari tangan kanan masih bisa gerak tapi jika ekstensi terasa nyeri
5. Pemeriksaan penunjang
Rontgen : Foto pada posisi AP/Lateral, dengan hasil fraktur transversal antebrachii
dextra 1/3 tengah dengan adanya gambaran soft tissue swelling
Regio Antebrachium
Antebrachium merupakan bagian ektremitas superior yang berada di antara sendi
cubiti dan sendi radiocarpea. Kerangka tulang antebrachium terdiri dari dua tulang-tulang
pararel yaitu os radius dan os ulna.3 Os radius berada di bagian lateral dan kecl dibagian
proksimal serta tulang ini bersendi dengan os humerus dan besar pada bagian distal yang
membentuk sendi dengan radiocarpea dengan tulang-tulang manus.
a. Lapisan superlicialis
Keempat musculus di lapisan superficialis
M. palmaris longus,
M. pronator teres
Memiliki origo bersama di epicondylus medialis humeri dan, kecuali pronator
teres, meluas ke distal dari antebrachium masuk ke manus
b. Lapisan antara/intermedia
Satu-satunya
musculus
di
lapisan
antara/intermedia
kompartemen
anterior
M. pronator quadratus
Supinasi
a. Lapisan superflcialis
Tujuh musculus lapisan superficialis adalah
M. brachioradialis,
M. extensor digitorum
M. ancenous
M. supinator,
M. extensor indicis
Kecuali musculus supinator, semua musculus lapisan profundus berasal dari
facies posterior radius, ulna dan membrana interossea dan melintas ke dalam
pollex dan digiti. Tiga dari musculi ini, m. abductor pollicis longus, m. extensor
pollicis brevis, dan m. extensor pollicis longus muncul di antara tendo extensor
digitorum dan extensor carpi radialis brevis pada lapisan superficialis dan menuju
pollex.
6
Dua dari tiga musculus yang muncul kc permukaan ini (m. abductor pollicis
longus dan m. extensor pollicis brevis) membentuk pembuncitan muscular yang
khas di permukaan posterolateralis antebrachium.3
a. Infeksi
b. Compartement syndrome
c. Cedera bagian lain
d. Emboli pulmonary
e. Delayed union/Non-union
f. Mal-union
External Fixation
Metode ini umum digunakan untuk penanganan awal pada fraktur terbuka, fraktur
yang tidak stabil pada pasien yang tidak bisa mentoleransi anastesi atau pendarahan hebat,
fraktur kompleks dan juga fraktur yang mengakibatkan cederanya pembuluh darah. External
fixation memberikan stabilitisasi pada daerah cedera melalui penggunaan pin atau kawat
yang tertanam.4 Pada fraktur yang berakibat pada cederanya jaringan lunak, metode ini dapat
bermanfaat untuk mengurangi kerusakan lebih lanjut dari jaringan lunak dan mencegah
terjadinya kontaminasi.
10
Metode ini pada umumnya dikenal dengan ORIF atau open reduction and internal
fixation.4 Hal ini dikarenakan penanganan dilakukan dengan cara pengamantan langsung ke
tempat terjadinya luka melalui pembedahan (open reduction) serta melalukan stabilisasi
langsung pada tempat luka terjadi (internal fixation). Teknik ini memungkinkan untuk
melakukan berbagai macam cara pemasangan plate dan screw yang bertujuan menstabilkan.
a. Pin dan screw
Merupakan implant yang paling sederhana. Keduanya dapat digunakan diberbagai
macam area namun seringkali pada daerah percutaneously hingga menembus pada
sisinya. Teknik ini juga bisa digunakan untuk penanganan sementara ketika fiksasi
yang lebih stabil sedang dipersiapkan. Prinsip teknik ini adalah pemanfaatan dari
screw untuk menarik salah satu fragment melekat dengan fragment lainnya atau bisa
juga untuk menjaga fragment fraktur agar tidak semakin menjauh.
11
Gambar 9. Plates
c. Tension bands
Teknik ini hanya akan digunakan untuk mengatasi adanya tekanan berlebihan
pada salah satu sisi bagian yang mengalami fraktur. Secara prinsip, teknik ini akan
menyeimbangkan tekanan berlebihan yang ada. Biasanya akan digunakan kawat atau
kabel untuk membuat tension bends.
12
lapangan penyinaran mencakup semua tulang tersebut, dengan batas proksimal pada sendi
suku dan batas distal pada pergelangan tangan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui ada
tidaknya fraktur penyerta di kedua daerah tersebut.6
a. Fraktur os radius
Pada saat adanya fraktur pada tulang ini maka perlu mempertimbangkan adanya
fraktur juga pada pergelangan tangan atau siku. Penanganannya bisa menggunakan
metode penanganan tertutup apabila beberapa syarat terpenuhi seperti tidak boleh
adanya pemindahan dari radius, bentuk normal dari radius harus terjaga, dan tidak
adanya fraktur penyerta dari pergelangan tangan dan siku. Pada orang dewasa, jika
terjadi sedikit pergeseran dari os radius maka masih bisa dilakukan penanganan
tertutup karena hanya membatasi pergerakan rotasi dari os radius.6 Tapi jika terjadi
pergeseran yang cukup banyak maka sangat direkomendasikan untuk dilakukan open
reduction and internal fixation.
Fraktur Galeazzi
Hal ini merupakan fraktur yang paling sering terjadi pada os radius
serta melibatkan dislokasi dari bagian distal os ulna. Pada orang dewasa
penanganannya adalah harus melalui operasi. Caranya adalah dengan open
reduction dengan fiksasi internal pada os radius kemudian evaluasi intraoperative terhadap stabilitas dari distal radioulnar joint.6
dapat berjalan baik maka perlu dilakukan perawatan lanjutan. Bila ada
masalah pada styloid ulna maka harus dilakukan kembali internal fixation,
sebaliknya jika tidak ada masalah maka biasanya akan digunakan cara tension
bends untuk mengubah kedudukan distal ulna agar sedikit mendekat ke
radius (biasanya nyeri saat pada saat supinasi).6 Selanjutnya lengan bawah
harus di immobilization dalam posisi supinasi selama 4-6 minggu.
b. Fraktur os ulna
Hal sangat lazim terjadi ketika adanya pukulan langsung terhadap os ulna.
Secara umum sangat disarankan untuk tidak menggerakan lengan bawah hingga rasa
nyeri diatasi. Dalam menangani fraktur ini open reduction dan internal fixation
dengan pemasangan plate dan screw adalah pilihan utama.6
Fraktur Monteggia
Ketika terjadi fraktur ulna, tipe ini paling sering terjadi. Biasanya
merupakan fraktur pada proksimal ulna serta dislokasi dari caput radius.6
Fraktur Monteggia sendiri dapat diklasifikasikan menjadi 4 tipe:
a. Type I : Fraktur pada diaphysis ulna dengan angulasi pada bagian
anterior dan dislokasi caput radius pada bagian anterior
b. Type II : Fraktur pada diaphysis ulna dengan disertai dislokasi
bagian posterior atau posterolateral dari caput radius.
c. Type III : Fraktur pada metaphysis ulna dengan dislokasi pada
lateral atai anterolateral dari caput radiuds
d. Type IV : Fraktur ulna dan radius pada 1/3 proksimal serta
dislokasi pada bagian anterior caput radius.
10-14
hari
setelah
operasi.6 Namun
pemasangan
alat
bantu
tangan
ketika adanya cedera jaringan lunak tanpa disertai fraktur, ischemia, reperfusi atau kompresi
yang berkepanjangan.8
Kematian jaringan dapat terjadi sebagai akibat compartment syndrome yang tidak
tertangani dengan baik. Sebuah siklus akan terpicu ketika adanya kenaikan tekanan pada
compartement secara progresif hingga melebihi tekanan kapiler, yang akan berakibat pada
obstruksi vena secara total.8 Selanjutnya aliran darah dari arteri akan meningkatkan tekanan
intracompartemental, yang akan memperburuk keadaan. Secara bersamaan aliran darah arteri
yang terus masuk akan memperparah obstruksi vena yang berujung pada ischemia pada
jaringan. Ischemia yang terus terjadi akan memperparah edema jaringan serta lebih lanjut
akan meningkatkan tekanan pada compartement. Jika tidak segera diatasi maka siklus ini
akan terus terjadi sampai akhirnya nekrosis terjadi.
Penanganan komplikasi ini dapat dilakukan dengan cara pembedahan. Namun masih
terdapat kontroversi mengenai kapan harus dilakukan pembedahan. Mubarak dan Hargens
mengemukakan bahwa tekanan jaringan diangka 30 mm Hg merupakan angka kritis yang
menandakan bahwa harus segera dilakukan fasciotomy, hal ini dikarenakan tekanan normal
kapiler adalah 30 mm Hg, dan apabila terjadi tekanan lebih dari ini maka dapat menyebabkan
nekrosis.4 Namun, Whiteisides dan Hackman mengatakan bahwa tidak hanya tekanan kapiler
yang menjadi Patokan melainkan adanya tanda cedera jaringan yang signifikan dan telah
terjadinya ischemia lebih dari 6 jam.
Terlepas dari kontroversi yang ada tentang kapan harus dilakukan fasciotomy, ada
fakta yang perlu diperhatikan. Beberapa ahli telah menyelidiki bahwa dalam keadaan
ischemia, otot dan saraf perifer tidak memiliki waktu banyak untuk bertahan. Jika mereka
berada dalam keadaan ischemia selama 4 jam maka tidak akan mengalami suatu perubahan
yang irreversible, namun jika berada dalam waktu 6 jam maka akan menyebabkan perubahan
yang variatif yakni ada yang bersifat irreversible tapi juga ada yang reversible. Akan tetapi
jika otot dan saraf perifer berada dalam keadaan ischemia selama 8 jam atau lebih maka dapat
dipastikan akan berakibat pada perubahan yang bersifat irreversible.4
Dalam melakukan diagonosa pada pasien yang mengalami compartement syndrome
tidaklah mudah, diperlukan pengetahuan klinis yang tinggi serta, pemahaman mendalam
tentang mekanisme trauma dan pemeriksaan fisik yang lengkap. 4,8 Diagonosis biasanya yang
dikuatkan mengumpulkan beberapa gejala, pemeriksaan fisik serta pengukuran tekanan
compartement. Adanya denyut pada bagian distal dan tidak adanya kepucatan tidak bisa
dikesampingkan dari diagnosis compartemen syndrome karena perfusi jaringan dalam suatu
kompartemen bergantung pada arterial dan perfusi kapiler.
17
Selain itu nyeri otot karena ischemia juga salah satu hal yang dipercaya dapat
digunakan untuk mendiagnosis compartement syndrome.8 Hal ini karena otot yang berada
dalam keadaan ischemia pada suatu compartement akan menyebabkan rasa nyeri yang khas
ketika dicoba untuk digerakkan. Palpasi pada bagian yang diduga mengalami kompartemen
syndrome, membandingkannya dengan bagian yang normal dan juga tanda-tanda adanya
peningkatan tekanan dapat dijadikan dasar untuk meningkatkan kecurigaan bahwa telah
terjadi compartement syndrome.
Tanda yang umum digunakan untuk mendiagnosa compartement syndrome termasuk
bengkak, compartement yang tegang serta nyeri saat peregangan pasif.8 Pasien yang masih
sadar mungkin akan mengalami penurunan sensoris dan kelemahan motoric yang progresif
melibatkan struktur neuromuscular. Selain itu kehilangan fungsi bisa menjadi pertanda awal
dan hilangnya denyut perifer merupakan pertanda akhir yang dibarengi dengan perubahan
irreversible.
Melakukan evaluasi terhadap tekanan dalam compartement dapat dilakukan untuk
memperkirakan kelanjutan dari gejala yang ada. Karena alasan inilah maka pengukuran perlu
dilakukan untuk menegakkan diagnosis terutama pada pasien yang tidak sadarkan diri dan
pada pasien yang tidak mungkin untuk dilakukan pemeriksaan fisik.8 Metode yang paling
khas digunakan adalah wick catheter dan side port needle.4
keuntungan dapat mengawasi secara terus-menerus perubahan tekanan dengan teknik infus
volume rendah.
Namun alat yang paling sering digunakan untuk mengukur tekanan compartement
syndrome adalah stryker intra-compartemental pressure monitor system (STIC) yang
penggunaannya dengan teknik side port needle.4 Pengukuran tekanan dilakukan dengan cara
menusukan jarum ke dalam compartement yang berisi cairan dengan volume rendah sampai
tekanan yang seimbang tercapai.
Tekanan compartement yang berkisar antara 20-30 mm Hg berarti pasien dalam
keadaan yang berkisar antara 20-30 mm Hg berarti pasien dalam keadaan symptomatic atau
dalam keadaan menuju hipotensi yang berkepanjangan mengindikasikan harus segera
dilakukan fasciotomy.8 Sedangkan pasien yang tekanannya berada <30 mm Hg juga perlu
segera dilakukan. Penundaan dilakukannya fasciotomy hanya akan memperburuk keadaan.
Penanganan compartment syndrome pada dasarnya adalah bertujuang untuk
menormalisasi tekanan jaringan. Hal ini dapat dicapai dengan cara fasciotomy melebar untuk
menurunkan tekanan pada bagian yang mengalami gangguan. Selama melakukan fasciotomy,
debridement perlu dilakukan namun hanya untuk membersihkan jaringan yang nekrosis.8
18
Pada forearm fasciotomy atau fasciotomy pada lengan bawah, dapat dilakukan dengan
melepaskan compartement volar melalui irisan sepanjang aspek volar sepanjang lengan,
melengkung di ruang sendi untuk menghindari kontraktur dengan penyembuhan. 8 Namun
banyak ahli menyarankan untuk membuat lubang pada carpal untuk membantu pengurangan
tekanan. Pada bagian ini juga perlu dilakukan pengukuran tekanan pada bagian
compartement dorsal, dan apabila masih terjadi peningkatan maka perlu dilakukan
fasciotomy dorsal. Hal ini dilakukan dengan cara melepaskan compartement dorsal melalui
irisan tunggal panjang pada belakang lengan bawah dari epicindyle lateral hingga ke
pergelangan tangan.
Kesimpulan
Fraktur merupakan suatu cedera yang dapat terjadi pada siapapun serta mengenai
bagian tulang manapun. Asalkan ada suatu tekanan berlebihan yang tidak mampu diterima
oleh tulang maka ia dapat fraktur. Penanganan fraktur harus segera dilakukan sesuai dengan
jenis dan klasifikasinya masing-masing karena setiap fraktur berbeda penanganannya. Selain
itu diperlukan juga pengetahuan akan gejala-gejala komplikasi yang dapat terjadi pasca
fraktur seperti compartement syndrome. Karena apabila tidak ditangani dengan baik dapat
berakibat pada kecacatan karena nekrosis jaringan.
Daftar Pustaka
1. Gleadle, Jonathan. Pengambilan anamnesis. Dalam : At a glance anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Jakarta : Penerbit Erlangga; 2007. h. 1-4
2. Morton PG. Panduan pemeriksaan kesehatan dengan dokumentasi SOAPIE. Edisi 2.
Jakarta : Penerbit buku kedokteran EGC ; 2003. H. 56
3. Drake H, Vogl AW, Mitchell AWM. Gray : Dasar-dasar anatomi. Singapore :
Elsevier ; 2014. H. 385-95
4. Marshall ST, Browner BD. Emergency care of musculoskeletal injuries. Dalam :
Towsend CM, Beauchamp RD, Mark Ever D, Mattox KL. Sabiston textbook of
surgery : the biological basic of modern surgical practine. Edisi 19. Singapore :
Elsevier saunders ; 2012. H. 480-7, 491, 502-4
5. Brunker P, Khan K. Clinical sports medicine. Australia : McGraw Hill ; 2007. H. 9,
305-6,
6. K-B Tay B, Colman WW, Berven S, Fontes R, Gunther S, et all. Orthopedics. Dalam :
Way LW, Doherty GM. Current surgery diagnosis and treatmen. Edisi 11. Australia :
McGraw Hill ; 2003 h. 1116-7, 1140-5
19
7. Suhartono BP, Syarif Hidayat EP. Teknik radiografi tulang ekstremitas atas. Jakarta :
Penerbit buku kedokteran EGC ; 2004. H. 65-71
8. Watson GA, Lee JC. Compartemen syndrome. Dalam : Peitzman AB, Rhodes M,
Schwab CW, Yealy DM, Fabian TC. The trauma manual : trauma and acute care
surgery. Edisi 3. Philadelphia : Lippincott wiliams & wilkins ; 2008. H. 349-5
20