Professional Documents
Culture Documents
Analisis Pengaruh Ketimpangan Distribusi Pendapatan Terhadap Jumlah Penduduk Miskin Di Provinsi Jawa Tengah Periode 2000 - 2007
Analisis Pengaruh Ketimpangan Distribusi Pendapatan Terhadap Jumlah Penduduk Miskin Di Provinsi Jawa Tengah Periode 2000 - 2007
Analisis Pengaruh Ketimpangan Distribusi Pendapatan Terhadap Jumlah Penduduk Miskin Di Provinsi Jawa Tengah Periode 2000 - 2007
Poverty has always been a problem in every developing country, even in developed
countries too well. In Indonesia, the high number of poor people affected by various factors,
including the existence of inequality in income distribution between one province to another
province.
This study aims to analyze the effect of inequality of income distribution, measured
using the Gini Index and Index of Williamson, the number of poor people in Central Java
province from 2000 to 2007. One of the main causes of poverty in Central Java province is
due to the inequality in income distribution in each regency / city, to bring down the poverty
rate is the Central Java Provincial Government and Local Government should work together
to minimize bias differences in the level of inequality of income distribution not to be too high
between one district / city to another.
The type of data used are secondary data obtained from the Central Bureau of
Statistics of Central Java Province. The analytical tool used is multiple linear regression and
log linear with the number of Poor People in Central Java Province as the dependent
variable and two independent variables namely, the Gini Index and Index of Williamson as a
means of measuring inequality of income distribution.
After being tested deviations classical assumption of multicollinearity test, Test and
Test heterocedastity autocorrelation, the results indicate normally distributed data. The
result of data processing showed F value 16.686 (probability = 0.006) and coefficient of
determination (adjusted R2) of 0.870. Through regression can be obtained from the results
that the number of Poor People in Central Java Province is significantly influenced by the
level of income inequality of income distribution as measured using the Williamson Index
(with a value of 1.834) and the Gini index (with a value of 0.477). Then it can be concluded
that the more influential than the Williamson Index Gini Index.
Keywords: Number of Poor People, Income Distribution Inequality, Gini Index, Index
Willamson.
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Dua masalah besar yang umumnya dihadapi oleh negara-negara berkembang termasuk
Indonesia adalah kesenjangan ekonomi atau ketimpangan dalam distribusi pandapatan antara
kelompok masyarakat berpendapatan tinggi dan kelompok masyarakat berpendapatan rendah
serta tingkat kemiskinan atau jumlah orang berada di bawah garis kemiskinan (poverty line)
(Tambunan, 2001). Kesenjangan ekonomi atau ketimpangan dalam distribusi pendapatan
merupakan sebuah realita yang ada di tengah-tengah masyarakat dunia ini baik di negara
maju maupun negara berkembang, dan juga selalu menjadi isu penting untuk ditinjau. Di
negara berkembang masalah ketimpangan telah menjadi pembahasan utama dalam
menetapkan kebijakan sejak tahun tujuh puluhan yang lalu. Perhatian ini timbul karena
adanya kecenderungan bahwa kebijakan pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan
ekonomi telah menimbulkan semakin tingginya tingkat kesenjangan yang terjadi.
Permasalahan ketimpangan pendapatan tidak dapat dipisahkan dari permasalahan
kemiskinan, biasanya terjadi pada negara miskin dan berkembang. Menurut Lincolin Arsyad
(1997), banyak negara sedang berkembang yang mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi
tinggi pada tahun 1960-an mulai menyadari bahwa pertumbuhan yang semacam itu hanya
sedikit manfaatnya dalam memecahkan masalah kemiskinan. Di negara-negara miskin yang
menjadi perhatian utama adalah masalah pertumbuhan versus distribusi pendapatan. Banyak
orang merasakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi gagal untuk mengurangi bahkan
menghilangkan besarnya kemiskinan absolut di Negara Sedang Berkembang (NSB). Dengan
kata lain, pertumbuhan GNP (Gross National Product) per kapita yang cepat tidak secara
otomatis meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Bahkan, pertumbuhan GNP per kapita di
beberapa negara yang sedang berkembang (seperti India, Pakistan, Kenya) telah
menimbulkan penurunan absolut dalam tingkat hidup penduduk miskin baik di perkotaan
maupun pedesaan.
.Sebagai suatu negara yang terdiri dari ribuan pulau, perbedaan karakteristik wilayah
adalah konsekuensi yang tidak dapat dihindari oleh Indonesia. Karena karakteristik wilayah
mempunyai pengaruh kuat pada terciptanya pola pembangunan ekonomi, sehingga suatu
kewajaran bila pola pembangunan ekonomi di Indonesia tidak seragam. Ketidakseragaman
ini berpengaruh pada kemampuan untuk tumbuh yang pada gilirannya mengakibatkan
beberapa wilayah mampu tumbuh dengan cepat sementara wilayah lainnya tumbuh lambat.
Kemampuan tumbuh ini kemudian menyebabkan terjadinya ketimpangan baik pembangunan
maupun pendapatan antar daerah.
2
Kondisi ini merupakan tantangan pembangunan yang harus kita hadapai mengingat
masalah kesenjangan itu dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa serta dapat
menyulitkan kita dalam melaksanakan pembangunan ekonomi nasional yang berlandaskan
pemerataan. Ketimpangan merupakan permasalahan klasik yang dapat ditemukan dimana
saja. Oleh karena itu ketimpangan tidak dapat dimusnahkan, melainkan hanya bisa dikurangi
sampai pada tingkat yang dapat diterima oleh suatu sistem sosial tertentu agar keselarasan
dalam sistem tersebut tetap terpelihara dalam proses pertumbuhannya.
Ketidakpuasan dan kritik yang timbul dalam proses pembangunan pada dasarnya
bukanlah sehubungan dengan pertumbuhan yang telah dicapai akan tetapi karena
perkembangan pembangunan dengan pertumbuhan ekonomi tersebut kurang mampu
menciptakan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, bahkan ketimpangan pendapatan
semakin besar dan telah menimbulkan berbagai masalah seperti meningkatnya pengangguran,
kurangnya sarana kesehatan dan pendidikan, perumahan, kebutuhan pokok, rasa aman, dan
lain-lain
Ketimpangan pembangunan selama ini berlangsung dengan berwujud dalam berbagai
bentuk, aspek, dan dimensi. Seperti ketimpangan hasil pembangunan misalnya dalam hal
pendapatan perkapita atau pendapatan daerah, dan ketimpangan kegiatan atau proses
pembangunan itu sendiri. Munculnya kawasan-kawasan slumps (kumuh) di tengah beberapa
kota besar, serta sebaliknya hadirnya kantong-kantong pemukiman mewah di tepian kota atau
bahkan di pedesaan adalah suatu bukti nyata ketimpangan yang terjadi. Perbedaan gaya hidup
masyarakat merupakan bukti lain dari ketimpangan.
Secara administratif, Provinsi Jawa Tengah terdiri atas 29 kabupaten yaitu Kabupaten
Cilacap, Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen, Purworejo, Wonosobo, Magelang,
Boyolali, Klaten, Sukoharjo, Wonogiri, Karanganyar, Sragen, Grobogan, Blora, Rembang,
Pati, Kudus, Jepara, Demak, Semarang, Temanggung, Kendal, Batang, Pekalongan,
Pemalang, Tegal, dan Brebes. Serta 6 kota yaitu Kota Magelang, Surakarta, Salatiga,
Semarang, Pekalongan, dan Tegal.
Ada berbagai macam permasalahan yang dihadapi 35 kabupaten/kota di provinsi Jawa
Tengah, diantaranya kemiskinan, pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan. Aspek
yang penting untuk diperhatikan selain peningkatan pendapatan adalah pemerataan
pendapatan, karena salah satu strategi dan tujuan pembangunan nasional ialah pemerataan
pendapatan.
Menurut Kuznets (1996), pada tahap tahap awal pertumbuhan ekonomi
pendistribusian pendapatan cenderung memburuk namun pada tahap tahap berikutnya akan
3
membaik. Hipotesis ini lebih dikenal sebagai hipotesis U-terbalik Kuznets, sesuai dengan
bentuk rangkaian perubahan kecenderungan distribusi pendapatan dengan ukuran koefisien
Gini dan pertumbuhan GNP per kapita yang akan terlihat seperti kurva yang berbentuk Uterbalik. Menurut Kuznets, distribusi pendapatan akan meningkat sejalan dengan
pertumbuhan ekonomi (Todaro, 2000).
Jumlah penduduk miskin di Jawa Tengah pada tahun 1996 sebesar 6,42 juta jiwa
(21,61 persen), kemudian akibat krisis ekonomi jumlah penduduk miskin meningkat menjadi
8,76 juta jiwa (28,46 persen) pada tahun 1999. Mengalami penurunan menjadi 7,41 juta jiwa
(23,38 persen) di tahun 2002, kembali mengalami penurunan di tahun 2003 menjadi 6,78 juta
jiwa (21,15 persen). Kemudian di tahun 2004 jumlah penduduk miskin meningkat menjadi
6,80 juta jiwa (21,00 persen). Lalu hingga tahun 2005 terus mengalami peningkatan menjadi
6,93 juta jiwa (21,07 persen), di tahun 2006 kembali mengalami kenaikan jumlah penduduk
miskin menjadi 7,06 juta jiwa (21,94 persen). Selanjutnya menurun kembali menjadi 6,66
juta jiwa (20,56 persen) di tahun 2007. Batas kemiskinan selama periode 1996-2007 terus
meningkat dari Rp 32.424,00 /kapita/bulan pada tahun 1996, Rp 130.013,00 /kapita/bulan
pada tahun 2005, dan kemudian menjadi Rp 154.111,00 /kapita/bulan pada tahun 2007. Batas
kemiskinan dari tahun 1996 hingga 2007 meningkat cukup pesat disebabkan adanya inflasi
akibat krisis ekonomi yang menyebabkan nilai mata uang riil berubah dan daya beli
masyarakat menjadi turun, sehingga jumlah penduduk miskin di Jawa Tengah memiliki
angka yang tidak jauh berbeda. Kondisi kemiskinan Jawa Tengah ditunjukkan tabel 1.1
berikut.
Tabel 1.1
Kondisi Kemiskinan Jawa Tengah Tahun 1996 2007
Tahun
Batas
Kemiskinan
Jumlah
Penduduk
Jumlah
Penduduk Miskin
1996
1999
2002
2003
2004
2005
2006
2007
(/Kapita/Bulan)
Rp 32.424,00
Rp 76.579,00
Rp 106.438,00
Rp 119.403,00
Rp 126.651,00
Rp 130.013,00
Rp 142.337,00
Rp 154.111,00
(000 jiwa)
29.698,845
30.761,221
31.691,866
32.052,840
32.397,431
32.908,850
32.177,730
32.380,279
(000 jiwa)
6.417,60
8.755,40
7.408,30
6.779,80
6.803,80
6.933,50
7.060,60
6.657,20
Persentase
Penduduk
Miskin
(%)
21,61
28,46
23,38
21,15
21,00
21,07
21,94
20,56
PENGARUH
KETIMPANGAN
DISTRIBUSI
PENDAPATAN
TINJAUAN PUSTAKA
Perkepala (Head Count Index), yakni jumlah dan persentase penduduk miskin yang berada di
bawah garis kemiskinan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata
pengeluaran per kapita perbulan di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan ditetapkan
pada tingkat yang selalu konstan secara riil sehingga kita dapat mengurangi angka
kemiskinan dengan menelusuri kemajuan yang diperoleh dalam mengentaskan kemiskinan di
sepanjang waktu.
Rumus dalam penghitungan garis kemiskinan (Menurut BPS) ialah :
GK = GKM + GKBM
Keterangan :
GK
= Garis Kemiskinan
GKM
ubah. Layak bagi komunitas tertentu boleh jadi tidak layak bagi komunitas lain, demikian
juga layak pada saat sekarang boleh jadi tidak untuk mendatang.
Sedangkan kemiskinan subyektif dirumuskan berdasarkan perasaan kelompok miskin
itu sendiri. Konsep ini tidak mengenal a fixed yardstick, dan tidak memperhitungkan the idea
of relatives standard. Kelompok yang menurut ukuran kita berada di bawah garis
kemiskinan, boleh jadi tidak menganggap dirinya sendiri miskin atau sebaliknya. Dan
kelompok yang dalam perasaan kita tergolong hidup dalam kondisi tidak layak, boleh jadi
tidak menganggap seperti itu. Oleh karenanya, konsep ini dianggap lebih tepat apabila
dipergunakan untuk memahami kemiskinan dan merumuskan cara atau strategi yang efektif
untuk penanggulangannya.
2.1.5. Dimensi Kemiskinan
ada dua macam perspektif yang lazim dipergunakan untuk mendekati masalah
kemiskinan (Sunyoto Usman, 2004), yaitu perspektif kultural (cultural perspective) dan
perspektif struktural atau situsioanl (situational perspective). Perspektif kultural mendekati
masalah kemiskinan pada tiga tingkat analisis, yaitu individual, keluarga, dan masyarakat.
Pada tingkat individual, kemiskinan ditandai dengan sifat yang lazim disebut dengan a strong
feeling of marginality, seperti sikap parokial, apatisme, fatalisme, atau pasrah pada nasib,
boros, tergantung, dan inferior. Pada tingkat keluarga, kemiskinan ditandai dengan jumlah
anggota keluarga yang besar dan free union or consensual marriages. Dan pada tingkat
masyarakat, kemiskinan terutama ditunjukkan oleh tidak terintegrasinya kaum miskin dengan
institusi-institusi masyarakat secara efektif. Mereka sering kali mendapat perlakuan sebagai
obyek yang perlu digarap daripada sebagai subyek yang perlu diberi peluang untuk
berkembang.
Sedangkan menurut perspektif situasional, masalah kemiskinan dilihat sebagai dampak
dari sistem ekonomi yang mengutamakan akumulasi kapital dan produk-produk teknologi
modern. Penetrasi kapital antara lain mengejawantah dalam program-program pembangunan
yang dinilai lebih mengutamakan pertumbuhan (growth) dan kurang memperhatikan
pemerataan hasil pembangunan.
Secara sosiologis, dimensi struktural kemiskinan dapat ditelusuri melalui institutional
arrangements yang hidup dan berkembang dalam masyarakat kita. Asumsi dasarnya adalah
bahwa kemiskinan tidak semata-mata berakar pada kelemahan diri, sebagaimana dipahami
dalam perspektif kultural seperti diungkap di atas. Kemiskinan semacam itu justru merupakan
konsekuensi dari pilihan-pilihan strategi pembangunan ekonomi yang selama ini
dilaksanakan serta dari pengambilan posisi pemerintah dalam perencanaan dan implementasi
pembangunan ekonomi.
2.1.6. Distribusi Pendapatan
Distribusi pendapatan nasional adalah mencerminkan merata atau timpangnya
pembagian hasil pembangunan suatu negara di kalangan penduduknya (Dumairy, 1999).
Distribusi pendapatan dibedakan menjadi dua ukuran pokok yaitu; distribusi ukuran,
adalah besar atau kecilnya bagian pendapatan yang diterima masing-masing orang dan
distribusi fungsional atau distribusi kepemilikan faktor-faktor produksi (Todaro, 2000).
Dari dua definisi diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa distribusi pendapatan
mencerminkan ketimpangan atau meratanya hasil pembangunan suatu daerah atau negara
baik yang diterima masing-masing orang ataupun dari kepemilikan faktor-faktor produksi
dikalangan penduduknya.
Untuk mengukur ketimpangan distribusi pendapatan atau mengetahui apakah distribusi
pendapatan timpang atau tidak, dapat digunakan kategorisasi dalam kurva Lorenz atau
menggunakan koefisien Gini.
2.1.2.1. Kurva Lorenz
Kurva Lorenz menggambarkan distribusi kumulatif pendapatan nasional di kalangan
lapisan-lapisan penduduk. Kurva ini terletak di dalam sebuah bujur sangkar yang sisi
tegaknya melambangkan persentase kumulatif pendapatan nasional, sedangkan sisi datarnya
mewakili persentase kumulatif penduduk. Kurvanya sendiri ditempatkan pada diagonal utama
bujur sangkar tersebut. Kurva Lorenz yang semakin dekat ke diagonal (semakin lurus)
menyiratkan distribusi pendapatan nasional yang semakin merata. Sebaliknya, jika kurva
Lorenz semakin jauh dari diagonal (semakin lengkung), maka ia mencerminkan keadaan
yang semakin buruk, distribusi pendapatan nasional semakin timpang dan tidak merata.
(Lincolin Arsyad,1997)
Gambar 2.1
Kurva Lorenz
G = 1
i 1
Pi (Qi + Qi 1 )
10000
Keterangan :
G
= Gini Ratio
Pi
Qi
Qi-1
sempurna, dan semakin besar nilai Gini maka semakin tidak sempurna tingkat pemerataan
pendapatan.
(Y
Y)
Y
Dimana :
IW
= Indeks Williamson
Yi
fi
10
fi
Besarnya Index Williamson ini bernilai positif dan berkisar antara angka nol sampai
dengan satu. Semakin besar nilai index ini (mendekati angka satu) berarti semakin besar
tingkat ketimpangan pendapatan antar daerah dalam wilayah tersebut. Sebaliknya semakin
kecil nilai index ini (mendekati angka nol) berarti semakin merata tingkat pemerataan
pendapatan antar daerah dalam wilayah tersebut.
2.1.7. Pengaruh Ketimpangan Distribusi Pendapatan Terhadap Kemiskinan
Penghapusan kemiskinan dan berkembangnya ketidakmerataan distribusi pendapatan
merupakan salah satu inti masalah pembangunan, terutama di Negara Sedang Berkembang.
Melalui pembahasan yang mendalam mengenai masalah ketidakmerataan dan kemiskinan
dapat dijadikan dasar untuk menganalisis masalah pembangunan yang lebih khusus seperti
pertumbuhan penduduk, pengangguran, pembangunan pedesaan, pendidikan, dan sebagainya.
Menurut Lincolin Arsyad (1997), cara yang sangat sederhana untuk mendekati masalah
distribursi pendapatan dan kemiskinan adalah dengan menggunakan kerangka kemungkinan
produksi.
Menurut Todaro (2000), Pengaruh antara ketimpangan distribusi pendapatan terhadap
kemiskinan dipengaruhi oleh adanya peningkatan jumlah penduduk. Pertambahan penduduk
cenderung berdampak negatif terhadap penduduk miskin, terutama bagi mereka yang sangat
miskin. Sebagian besar keluarga miskin memiliki jumlah anggota keluarga yang banyak
sehingga kondisi perekonomian mereka yang berada di garis kemiskinan semakin memburuk
seiring dengan memburuknya ketimpangan pendapatan atau kesejahteraan.
Salah satu penyebab dari kemiskinan adalah adanya ketidaksamaan pola kepemilikan
sumber daya yang selanjutnya akan menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang.
2.2. Penelitian Terdahulu
Studi empiris mengenai kemiskinan, pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan distribusi
pendapatan telah banyak dilakukan. Berikut ini adalah beberapa penelitian terdahulu yang
berkaitan dengan topik tersebut.
1.
Atkinson Index. Hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa walaupun ketika
terjadi krisis semua metode pengukuran menunjukkan penurunan ketimpangan, namun
sebenarnya terjadi peningkatan tetapi dibawah garis kemiskinan. Penelitian ini
menunjukkan adanya penjelasan penting yaitu bahwa tingkat kemiskinan menurun
dengan cepat antara tahun 1999 dan 2002, yang disebabkan karena ketimpangan selama
krisis pada tahun 1999 berada pada tingkat paling rendah.
2.
3.
12
METODELOGI PENELITIAN
Tengah, Jumlah penduduk Jawa Tengah, PDRB perkapita Jawa Tengah, PDRB perkapita
kabupaten/kota di provinsi Jawa Tengah, angka Gini rasio di Jawa Tengah, serta data
geografis dan data-data lain yang mendukung.
Penelitian ini menggunakan data Time Series. Data yang akan digunakan meliputi data
kondisi perekonomian dalam kurun waktu delapan tahun (2000 2007), dengan wilayah
penelitian yang mencakup Provinsi Jawa Tengah.
3.3. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam suatu penelitian dimaksudkan untuk memperoleh bahanbahan yang relevan, akurat dan realistis. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data
pada penelitian ini adalah metode studi pustaka, yang diperoleh dari instansi-instansi terkait,
buku referensi, maupun jurnal-jurnal ekonomi.
14
2002
2001
2000
6,000,000
6,500,000
7,000,000
7,500,000
Berdasarkan Gambar 4.1 di atas dapat dilihat bahwa sejak tahun 2000 hingga tahun
2007, jumlah penduduk miskin tertinggi terjadi di tahun 2002, lalu yang relatif tinggi juga
terjadi di tahun 2006. Lalu jumlah penduduk terendah terjadi di tahun 2000
Perubahan tinggi rendahnya jumlah penduduk miskin di Provinsi Jawa Tengah bisa
disebabkan oleh banyak hal diantaranya adanya perubahan baik dari pemerintah pusat dan
pemerintah daerah, adanya bencana alam, dan sebagainya.
15
4.1.2 Kependudukan
Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Indonesia (Susenas) tahun 2007, jumlah penduduk
Jawa tengah tercatat sebesar 32,38 juta jiwa atau sekitar 14 persen dari jumlah penduduk
Indonesia. Ini menempatkan Jawa Tengah sebagai provinsi ketiga di Indonesia dengan
jumlah penduduk terbanyak setelah Jawa Barat dan Jawa Timur. Jumlah penduduk
perempuan lebih besar dibandingkan jumlah penduduk laki laki. Ini ditunjukkan oleh rasio
jenis kelamin (rasio jumlah penduduk laki laki terhadap perempuan) sebesar 98,53.
Penduduk Jawa Tengah belum menyebar secara merata di seluruh wilayah Jawa
Tengah. Umumnya penduduk banyak menumpuk di daerah kota dibandingkan kabupaten.
Secara rata rata kepadatan penduduk Jawa Tengah tercatat sebesar 1002 jiwa setiap
kilometer persegi, dan wilayah terpadat adalah Kota Surakarta dengan tingkat kepadatan
sekitar 12 ribu orang setiap kilometer persegi.
Jumlah rumah tangga mengalami penurunan dari 8,48 juta pada tahun 2006 menjadi
8,45 juta pada tahun 2007 atau berkurang sebesar 0,29 persen. Namun demikian rata rata
penduduk per rumahtangga sedikit mengalami peningkatan. Tahun 2007 rata rata penduduk
per rumahtangga di Jawa Tengah tercatat sebesar 3,9 jiwa.
16
Tabel 4.1
Indeks Williamson Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2000 2007
Indeks
Williamson
2000
0.6440
2001
0.6570
2002
0.6740
2003
0.6580
2004
0.6650
2005
0.6510
2006
0.6540
2007
0.6490
rata - rata
0.6565
Sumber : Data Sekunder Diolah
Tahun
17
Tabel 4.2
Nilai Tolerance dan Variance Inflation Factor (VIF)
Jumlah Penduduk
Miskin di Provinsi
Jawa Tengah
Variabel
Gini
IW
Tolerance
0.973
0.973
VIF
1.028
1.028
Dari tabel 4.2 dapat diketahui bahwa variabel Gini memiliki nilai Tolerance 0,973
(Tolerance 0,973>0,1) dan nilai VIF 1,028 (VIF 1,028<10) artinya variabel Gini bebas dari
Multikolinearitas. Variabel IW memiliki nilai Tolerance 0,973 (Tolerance 0,973>0,1) dan
nilai VIF 1,028 (VIF 1,028<10) sehingga variabel IW bebas dari Multikolinearitas.
4.3.2.2 Uji Autokorelasi
Uji Autokorelasi bertujuan menguji apakah model regresi linear ada korelasi antara
kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode t-1
(sebelumnya).
Cara yang dapat digunakan untuk mendeteksi ada tidaknya Autokorelasi adalah dengan
Uji Durbin-Watson. Uji DW hanya digunakan untuk Autokorelasi tingkat satu (first order
autocorrelation) dan mensyaratkan adanya intercept (konstanta) dalam model regresi dan
tidak ada variabel lag diantara variabel independen(Ghozali, 2001).
Hipotesis yang akan di uji adalah :
Ho : tidak ada autokorelasi (r = 0)
Ha : ada autokorelasi (r 1)
Hipotesis nol
Keputusan
Jika
Tolak
0 < d < dl
No decision
dl d du
Tolak
No decision
4-du d 4-dl
Tidak di tolak
Hasil estimasi dengan menggunakan program SPSS 13.0 adalah sebagai berikut :
18
Tabel 4.3
Nilai Durbin-Watson
Model Summaryb
Model
1
R
R Square
.933a
.870
Adjusted
R Square
.818
Std. Error of
the Estimate
.01684
DurbinWatson
1.895
Dari tabel 4.3 dapat di lihat bahwa nilai DW adalah 1,895 pada DW tabel dengan
signifikansi 0,05 untuk k=3 dan jumlah data 8 maka nilai dl=0,56 dan du=1,78 sehingga DW
terletak diantara nilai du dan 4-du yaitu 1,78 dan 2,22 sehingga data terbebas dari
Autokorelasi.
4.3.2.3 Uji Heterokedastisitas
Uji Heterokedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi
ketidaksamaan variance dan residual satu pengamatan ke pengamatan lain. Jika variance dari
residual dari pengamatan ke pengamatan lain adalah tetap, maka disebut Homoskedastisitas
dan jika berbeda disebut Heterokedastisitas. Model regresi yang baik adalah yang tidak
terjadi Heterokedastisitas. Cara untuk mendeteksi ada atau tidaknya heterokedastisitas adalah
dengan melihat ada tidaknya pola tertentu pada grafik Scaterplot antara variabel dependen
(ZPRED) dan residualnya (SRESID). Jika ada pola tertentu, seperti titik titik yang
membentuk suatu pola yang teratur, maka menunjukkan bahwa terjadi heterokedastisitas.
Namun, jika tidak ada pola yang jelas, serta titik titik yang menyebar di atas dan di bawah
angka 0 (nol) pada sumbu Y, maka mengindikasikan tidak terjadi heterokedastisitas.
Dari grafik Scaterplot yang terdapat pada output regresi terlihat adanya titik menyebar
secara acak baik di atas maupun di bawah angka 0 pada sumbu Y. hal ini mengindikasikan
bahwa tidak terjadi heterokedastisitas pada model regresi, sehingga model regresi layak untuk
digunakan.
4.3.3 Hasil Pengujian Hipotesis
4.3.3.1 Koefisien Determinasi (R2)
Nilai R2
memprediksi nilai variabel independen. Besar R2 adalah 0< R2 < 1, semakin tinggi nilai R2
maka semakin besar pula kemampuan model dalam menerangkan perubahan variabel
dependen akibat pengaruh variabel independen.
Nilai R2 statistik hasil regresi adalah :
19
Tabel 4.4
Nilai Koefiesien Determinasi (R2)
Model Summaryb
Model
1
R
.933a
Adjusted
R Square
.818
R Square
.870
Std. Error of
the Estimate
.01684
DurbinWatson
1.895
Dari tabel 4.4 dapat diketahui bahwa nilai R2 adalah 0,870, hal ini berarti bahwa 87
persen perubahan Jumlah Penduduk Miskin di Provinsi Jawa Tengah dapat dijelaskan oleh
variabel independen, sedangkan sisanya sebesar 13 persen dijelaskan oleh variabel lain diluar
model.
4.3.3.2 Uji F (Pengujian Signifikansi Secara Simultan)
Uji statistik F (F test) dilakukan untuk mengetahui apakah variabel dependen
mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel independen. Pengujian
dilakukan dengan cara membandingkan nilai F hitung dengan F tabel. Apabila F hitung lebih
besar daripada F tabel, maka Ho ditolak dan H1 diterima, yang berarti semua variabel
independen berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen, demikian pula
sebaliknya.
Tabel 4.5
Hasil Pengujian Signifikansi Secara Simultan (Uji F)
ANOVAb
Model
1
Regression
Residual
Total
Sum of
Squares
.009
.001
.011
df
2
5
7
Mean Square
.005
.000
F
16.686
Sig.
.006a
dengan tingkat
probabilitas 0,006 yang berarti lebih kecil dari derajat keyakinan alpha sebesar 5 persen,
diperoleh sebesar 2,78 dan jika kedua nilai tersebut dibandingkan, maka nilai F hitung
(16,686) lebih besar daripada nilai F tabel (2,78) sehingga Ho ditolak yang berarti semua
variable independent (Indeks Gini dan Indeks Williamson) secara simultan berpengaruh
20
secara signifikan terhadap variabel dependen yaitu Jumlah Penduduk Miskin di Provinsi Jawa
Tengah.
4.3.3.3 Uji t (Pengujian Signifikansi Parameter Individual)
Uji statistik t (t test) pada dasarnya bertujuan untuk menunjukkan seberapa jauh
pengaruh suatu variabel independen secara parsial dalam menerangkan variabel dependen.
Uji t ini dilakukan dengan membandingkan nilai t-statistik hitungnya dengan t-tabel.
Dasar pengambilan keputusan:
1. Apabila t-hitung > t-tabel, maka Ho ditolak dan H1 diterima
2. Apabila t-hitung < t-tabel, maka Ho diterima dan H1 ditolak
Dalam model penelitian ini dengan menggunakan ketentuan = 5 persen df = n k 1
(pada penelitian ini df = 8 2 1 = 5), sehingga berdasarkan tabel distribusi t untuk uji satu
arah (one - tail) diperoleh nilai t-tabel = 2,015.
Tabel 4.6
Hasil Pengujian Signifikansi Parameter Individual (Uji t)
Variabel
C
Gini
IW
Koefisien
17.156
0.477
1.834
t hitung
69.724
3.345
4.091
Signifikansi
0,000*
0,020*
0,009**
Keterangan :
*
**
Berdasarkan tabel 4.6 diketahui bahwa variabel Indeks Gini memiliki signifikansi
0,020 nilai t-hitung > t-tabel (3,345> 2,015), hal ini sesuai dengan kriteria Ho ditolak
jika t-hitung > t-tabel, sehingga dapat disimpulkan bahwa Hipotesis Ho yang
menyatakan tidak ada pengaruh positif antara Indeks Gini terhadap Jumlah Penduduk
Miskin di Provinsi Jawa Tengah adalah ditolak dan menerima Hipotesis alteratif (H1)
21
yang menyatakan bahwa ada pengaruh positif antara Indeks Gini terhadap Jumlah
Penduduk Miskin di Provinsi Jawa Tengah. Hubungan parsial antara variabel Indeks
Gini terhadap Jumlah Penduduk Miskin di Provinsi Jawa Tengah tersebut berarti
bahwa apabila Indeks Gini meningkat maka akan berakibat pada kenaikan Jumlah
Penduduk Miskin di Provinsi Jawa Tengah. Jadi, hipotesis 1 yang menyatakan
terdapat pengaruh yang positif antara variabel Indeks Gini terhadap Jumlah
Penduduk Miskin di Provinsi Jawa Tengah terbukti.
2. Indeks Williamson
Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
HO : 2 0 : tidak terdapat pengaruh positif antara Indeks Williamson terhadap
Jumlah Penduduk Miskin di Provinsi Jawa Tengah.
H1 : 2 > 0 : terdapat pengaruh positif antara Indeks Williamson terhadap Jumlah
Penduduk Miskin di Provinsi Jawa Tengah.
Berdasarkan tabel 4.6 diketahui bahwa variabel Indeks Williamson memiliki
signifikansi 0,009 nilai t-hitung > t-tabel (4,091> 2,015), hal ini sesuai dengan kriteria
Ho ditolak jika t-hitung > t-tabel, sehingga dapat disimpulkan bahwa Hipotesis Ho
yang menyatakan tidak ada pengaruh positif antara Indeks Williamson terhadap
Jumlah Penduduk Miskin di Provinsi Jawa Tengah adalah ditolak dan menerima
Hipotesis alteratif (H1) yang menyatakan bahwa ada pengaruh positif antara Indeks
Williamson terhadap Jumlah Penduduk Miskin di Provinsi Jawa Tengah. Hubungan
parsial antara variabel Indeks Williamson terhadap Jumlah Penduduk Miskin di
Provinsi Jawa Tengah tersebut berarti bahwa apabila Indeks Williamson meningkat
maka akan berakibat pada kenaikan Jumlah Penduduk Miskin di Provinsi Jawa
Tengah. Jadi, hipotesis 1 yang menyatakan terdapat pengaruh yang positif
antara variabel Indeks Williamson terhadap Jumlah Penduduk Miskin di
Provinsi Jawa Tengah terbukti.
4.4
22
(0.142)
(0.448)
R2 = 87%
Fhit = 16.686 (Signifikan = 0,006)
* = Signifikan pada = 5%
Variabel bebas (independent) yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak dua
variabel.
Persamaan yang dihasilkan mengandung arti sebagai berikut :
1. Variabel Indeks Gini
Variabel Indeks Gini memiliki hasil yang signifikan pada probabilitas 0,020
dengan koefisien sebesar 0.477. Tanda koefisien yang positif menunjukkan bahwa
semakin tinggi Indeks Gini maka akan makin tinggi Jumlah Penduduk Miskin di
Provinsi Jawa Tengah.
Variabel Indeks Gini menunjukkan pengaruh yang positif dan signifikan
terhadap Jumlah Penduduk Miskin di Provinsi Jawa Tengah.
2. Variabel Indeks Williamson
Variabel Indeks Williamson memiliki hasil yang signifikan pada probabilitas
0,009 dengan koefisien sebesar 1.834. Tanda koefisien yang positif menunjukkan
bahwa semakin tinggi Indeks Williamson maka akan makin tinggi Jumlah Penduduk
Miskin di Provinsi Jawa Tengah.
Variabel Indeks Williamson menunjukkan pengaruh yang positif dan signifikan
terhadap Jumlah Penduduk Miskin di Provinsi Jawa Tengah.
23
penelitian yang telah dilakukan sesuai dengan tujuan pnelitian, dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
1. Dari ke dua variabel yang dianalisis keduanya berpengaruh signifikan terhadap
Jumlah Penduduk Miskin di Provinsi Jawa Tengah yaitu variabel Indeks Gini dan
Indeks Williamson.
2. Untuk uji F dapat diketahui bahwa tingkat signifikansi sebesar 0,006, dengan nilai F
hitungnya 16,686 dan F tabel 2,78. Hal ini berarti bahwa secara keseluruhan variabel
independennya mampu menerangkan Jumlah Penduduk Miskin di Provinsi Jawa
Tengah.
3. Nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,87 hal ini berarti 87 persen variasi Jumlah
Penduduk Miskin di Provinsi Jawa Tengah bisa dijelaskan dari kedua variabel
independen. Sedangkan sisanya 13 persen dijelaskan oleh sebab-sebab yang lain
diluar model.
4. Dari hasil perhitungan regresi diketahui bahwa Indeks Gini dan Indeks Williamson
menunjukkan pengaruh yang positif terhadap Jumlah Penduduk Miskin di Provinsi
Jawa Tengah.
5.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian
yang
mempengaruhi Jumlah Penduduk Miskin di Provinsi Jawa Tengah, maka saran-saran yang
dapat disampaikan adalah sebagai berikut:
1. Jumlah Pertumbuhan Penduduk Miskin di Provinsi Jawa Tengah dapat ditekan
dengan memperkecil ketimpangan distribusi pendapatan yang ditunjukkan dengan
menurunnya nilai Indeks gini dan Indeks Williamson.
2. Untuk penelitian selanjutnya, karena analisis faktor-faktor yang mempengaruhi
Jumlah Penduduk Miskin di Provinsi Jawa Tengah kurang maksimal, sebaiknya studi
selanjutnya lebih menambah variabel seperti variabel Indeks Entrophy Theil dan
sebagainya. Sehingga dapat diketahui alat ukur ketimpangan mana yang paling
berpengaruh terhadap Jumlah Penduduk Miskin di Provinsi Jawa Tengah.
24
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, Lincolin, 1997, Ekonomi Pembangunan, Badan Penerbit STIE YPKN, Yogyakarta.
Arsyad, Lincolin, 1997, Pengantar Perencanaan dan Ekonomi Pembangunan Ekonomi Daerah, BPFE,
Yogyakarta.
Badan Pusat Statistik, Berbagai Tahun, Jawa Tengah Dalam Angka, Jawa Tengah.
Badan Pusat Statistik, Berbagai Tahun, PDRB Jawa Tengah, Jawa Tengah.
Badan Pusat Statistik, Berbagai Tahun, Pemerataan Pendapatan dan Pola Konsumsi Penduduk Jawa
Tengah, Jawa Tengah.
Dumairy, 1999, Perekonomian Indonesia, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Gujarati, Damodar, 1999, Ekonometri Dasar, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Imam, Ghozali, 2005, Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang.
Kuncoro, Mudrajad, 1997, Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah, dan Kebijakan, Edisi Pertama,
Unit Penerbit dan Percetakan, AMP YKPN, Yogyakarta.
Kuncoro, Mudrajad, 2004, Otonomi dan Pembangunan Daerah, Penerbit Erlangga, Yogyakarta.
Usman, Sunyoto, 2004, Diantara Harapan dan Kenyataan, Center for Indonesian Research and
Development, Yogyakarta.
Tambunan, Tulus, TH, 2001, Perekonomian Indonesia : Teori dan Temuan Empiris, Ghalia Indonesia,
Jakarta.
Tambunan, Tulus, TH, 2001, Transformasi Ekonomi di Indonesia : Teori dan Temuan Empiris,
Salemba Empat, Jakarta.
Todaro, MP, 2000, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga (Diterjemahkan oleh Haris Munandar),
Penerbit Erlangga, Jakarta.
25