Professional Documents
Culture Documents
Makalah Tafsir Ilmy
Makalah Tafsir Ilmy
Al-Qur'an yg kita baca setiap hari dan yg kita agungkan sebagai sebuah kitab
suci, ternyata tidak hanya mengandung ayat-ayat yang mengandung aqidah,
syari'ah dan akhlaq semata, akan tetapi juga memberikan perhatian yang sangat
besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan (sains). Jika kita perhatikan AlQur'an secara seksama, maka akan kita temukan banyak ayat-ayat yang
mengajak kepada manusia untuk bersikap ilmiah, membebaskan akal dari
takhayul dan mencerahkan akal fikir. Al-Qur'an selalu mengajak pembacanya
untuk membaca, memperhatikan, memikirkan, mengkaji serta memahami dari
setiap fenomena yang ada terlebih lagi terhadap fenomena-fenomena alam
semesta yang perlu mendapatkan perhatian khusus karena darinya bisa
dikembangkan sains dan teknologi untuk perkembangan umat manusia dan
dengan itu pula akan didapatkan pemahaman yang utuh dan lengkap.
Bukan hanya itu, ayat yang pertama kali diturunkan kepada Rasulullah SAW
merupakan perintah untuk membaca:
()
1. bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
( ) yang menurut Quraish Shihab, kata ini terambil dari akar kata qara'a ()
yang berarti menghimpun. Dari menghimpun lahir aneka makna seperti
menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan
membaca baik teks yang tertulis maupun tidak.[ 1] Karena kata ini objeknya
bersifat umum sehingga maknanya mencakup segala sesuatu yang bisa
dijangkaunya, baik yang tersurat maupun yang tersirat, ayat-ayat qauliyyah
maupun kawniyyah. Jika demikian adanya merupakan hal yang wajar jika orangorang yang berpengetahuan mendapatkan derajat yang lebih tinggi karena
tidaklah sama antara orang-orang yang berilmu pengetahuan dengan yang
tidak.
Adapun terhadap ayat-ayat kawniyyah dari ayat-ayat al-Quran, memang tidak
ada yang secara tegas dan khusus ditujukan kepada para ilmuwan untuk
mengkaji, namun pada hakikatnya, mereka inilah yang diharapkan untuk terjun
melakukan penelitian dan mengkaji serta memahami makna-makna yang
tersurat dan yang tersirat dari ayat-ayat kawniyyah. Karena hanya orang-orang
yang ahli dan mempunyai saran serta kompetensi dalam bidangnyalah yang bisa
dan mampu untuk menggali secara lebih komprehensif dan teliti dalam
melakukan tugas tersebut sehingga hasil dari kajian dan penelitian tersebut akan
benar-benar memberikan manfaat bagi umat manusia.
Dengan demikian, besar harapan para ilmuwan-ilmuwan muslim tergerak dan
termotivasi untuk mengeksplorasi ayat-ayat al-Quran yang berdimensi ilmiah
dan berusaha menafsirkan serta menggali makna yang terkandung di dalamnya
serta menjadikannya sebagai inspirasi untuk menghasilkan penemuan-
1 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an: Tafsir Maudhu'i Atas Pelbagai Persoalan Umat, Cet.VIII. (Bandung:
Mizan, 1998) hlm 433
penemuan baru yang bermanfaat bagi umat manusia dan dengan semakin
berkembangnya sains dan teknologi ini pula mendorong munculnya corak baru
dalam bidang penafsiran yang dikenal pada saat ini sebagai penafsiran ilmiah
atau Tafsir 'Ilmy (Sciences Exegesis) yang cukup banyak menarik perhatian para
intelektual muslim dan permasalahan (Tafsir 'Ilmy) ini pula yang akan menjadi
pokok pembahasan penulis dalam makalah ini.
A.
Pada dasarnya al-Quran adalah kitab suci yang menetapkan masalah akidah dan
hidayah, hukum syariat dan akhlak. Bersamaan dengan hal itu, di dalamnya di
dapati juga ayat-ayat yang menunjukkan tentang berbagai hakikat (kenyataan)
ilmiah yang memberikan dorongan kepada manusia untuk mempelajari,
membahas dan menggalinya. Sejak zaman dahulu sebagian kaum muslimin
telah berusaha menciptakan hubungan seerat-eratnya antara al-Quran dan ilmu
pengetahuan. Mereka berijtihad menggali beberapa jenis ilmu pengetahuan dari
ayat-ayat al-Quran, dan di kemudian hari usaha ini semakin meluas, dan tidak
ragu lagi, hal ini telah mendatangkan hasil yang banyak faedahnya.[ 2]
Adapun pengertian tafsir ilmi atau yang dalam terminologi Jansen disebut
sebagai sejarah alam secara sederhana dapat didefinisikan sebagai usaha
memahami ayat-ayat al-Quran dengan menjadikan penemuan-penemuan sains
modern sebagai alat bantunya. Ayat al-Quran di sini lebih diorientasikan kepada
teks yang secara khusus membicarakan tentang fenomena kealaman atau yang
biasa dikenal sebagai al-ayat al-kauniyat. Jadi yang dimaksud dengan tafsir ilmi
adalah suatu ijtihad atau usaha keras seorang mufassir dalam mengungkapkan
hubungan ayat-ayat kauniyah dalam al-Quran dengan penemuan-penemuan
sains modern, yang bertujuan untuk memperlihatkan kemukjizatan al-Quran.[ 3]
Tafsir ilmi adalah penafsiran al-Quran yang pembahasannya menggunakan
pendekatan istilah-istilah (term-term) ilmiah dalam mengungkapkan al-Quran,
dan seberapa dapat berusaha melahirkan berbagai cabang ilmu pengetahuan
yang berbeda dan melibatkan pemikiran-pemikiran filsafat.[ 4]
Tafsir 'ilmy adalah
,
suatu metode penafsiran yang mengukuhkan keterangan atau istilah-istilah
ilmiah yang terkandung di dalam perumpamaan-perumpamaan yang terdapat
dalam al-Quran yang kemudian melahirkan berbagai macam pengetahuan dan
teori-teori filsafat.[5]
2 Muhammad
3 Muhammad
Nor Ichwan. Memasuki Dunia Al-Quran. (Semarang: Lubuk Raya, 2001) hlm 253
Nor Ichwan. Tafsir Ilmiy Memahami Al-Quran Melalui Pendekatan Sains Modern. (Yogyakarta:
Menara Kudus, 2004) hlm 127
4 Muhammad Amin Suma. Studi Ilmu-ilmu Al-Quran 2. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001) hlm. 135
5 M. Husain al-Zahabiy. Al-Tafsir wa al-Mufassirun, J. II (Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1961) hlm. 474
2
Tafsir 'ilmy sebagai penafsiran ayat-ayat kawniyyah yang terdapat di dalam alQuran dengan mengaitkannya dengan ilmu pengetahuan modern yang timbul
saat sekarang.[6] Dan ada juga sebagian ulama mengartikan Tafsir ilmy sebagai
sebuah penafsiran terhadap ayat-ayat kawniyyah yang sesuai dengan tuntutan
dasar-dasar bahasa, ilmu pengetahuan dan hasil-hasil penelitian alam.[ 7]
Tafsir ilmi ialah penafsiran al-Quran dalam hubungannya dengan ilmu
pengetahuan. Perintah untuk menggali pengetahuan berkenaan dengan tandatanda Allah pada alam semesta memang banyak dijumpai di dalam al-Quran.
Inilah alasan yang mendorong para mufasir corak ini untuk menulis tafsirnya.[ 8]
Kaedah pentafsiran tafsir ilmi ini lebih kepada petunjuk melalui kajian sains dan
bukannya menggunakan ijtihad melalui akal. Oleh sebab itu, ada ulama tafsir
memasukkan tafsir ilmi ini dalam tafsir isyari. Tafsir ilmi adalah berasaskan
kepada penerangan dan penjelasan melalui isyarat dari pada al-Quran sendiri
yang menunjukkan kepada kehebatan ciptaan Allah Swt
Allah berfirman yang bermaksud
()
53. Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala
wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu
adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala
sesuatu?
B.
6 Sayyid Agil Husin al-Munawwar. Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki (Jakarta: Ciputat Press, 2002)
hlm.72
7 Mursi Ibrahim al-Bayuni. Dirasat fi Tafsir al-Mudhuiy (Kairo: Dar al-Taufiqiyyah Li al-Thabaah, 1970) hlm.20
8 Quraisy Shihab, dkk. Sejarah dan Ulum Al-Quran.(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999) hlm. 183
9 Sayid Musa Husaini. Metode Penafsiran Saintis di Dalam Buku-buku Tafsir Modern.(online)(http://quran.alshia.com/id/metode/01.htm. di akses: 11 Des 2010)
langkah pertama bagi kemunculan penafsiran ilmiah, tidak diragukan lagi bahwa
al-Ghazali sendiri belum berhasil merealisasikan metode tersebut, setelah satu
abad berlalu, barulah Fakhrurrazi di dalam Mafatih al-Ghaib-nya berhasil
merealisasikan metode penafsiran yang pernah menjadi percikan pemikiran alGhazali itu.[10]
Pasca masa Fakhrurrazi, tendensi penafsiran ilmiah (ini diteruskan dan
menghasilkan buku-buku tafsir yang sedikit banyak terpengaruh oleh teori
penafsiran Fakhrurrazi dalam ruang lingkup yang agak terbatas. Di antaranya
adalah: Gharaib Al-Quran wa Raghaib al-Furqan, karya An-Nasyaburi (w. 728
H), Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Tawil, karya Al-Baidhawi (w. 791 H), dan Ruh alMaani fa Tafsir al-Quran al-Adzim wa Sabal-Matsani, karya Al-Alusi (w. 1217 H).
Melalui buku-buku tafsir itu, para pengarangnya telah melakukan penafsiran
saintis atas ayat-ayat al-Quran. Selain mereka, terdapat beberapa mufassir lagi,
seperti Ibn Abul Fadhl al-Marasi (w. 655 H), Badruddin az-Zarkasyi (w. 794 H), dan
Jalaluddin as-Suyuthi (w. 911 H). Yang termasuk dalam golongan para mufassir
yang memiliki tendensi penafsiran saintis. Meskipun demikian, sebenarnya para
mufassir ini tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori mufassirin yang memiliki
aliran saintis dalam menafsirkan al-Quran, karena mereka hanya mengklaim
bahwa al-Quran memuat semua jenis dan disiplin ilmu pengetahuan, dan hanya
klaim ini tidak dapat dijadikan bukti bahwa mereka memiliki tendensi penafsiran
saintis. Sebelum mereka pun, sebagian sahabat telah memiliki klaim yang
serupa dan hingga kini tak seorang pun yang berani memasukkan sahabat
tersebut ke dalam kategori mufassirin yang memiliki tendensi penafsiran saintis.
Pasca periode tafsir Ruh al-Maani, pada permualaan abad ke-4 Hijriyah, metode
penafsiran saintis mengalami kemajuan yang pesat. Tercatat, para mufassir
seperti: Muhammad bin Ahmad al-Iskandarani (w. 1306 H), dalam Kasyf al-Asrar
an-Nuraniyah al-Quraniyah-nya, Al-Kawakibi (w. 1320 H), dalam Thabai alIstibdad wa Mashari al-Istibad-nya, Muhammad Abduh (w.1325 H) dalam Tafsir
JuzAmma-nya, dan Ath-Thanthawi (w.1358 H) dalam Jawahir al-Quran-nya,
masing-masing menafsirkan ayat-ayat al-Quran secara saintis. Contoh
penafsiran saintis al-Quran yang paling gamblang adalah buku tafsir alIskandarani dan ath-Thanthawi di mana dengan sedikit perbedaan, mereka telah
berusaha untuk memahami ayat-ayat al-Quran melalui ilmu pengetahuan
empiris (tajribi) dan penemuan-penemuan manusia.
Pemikiran penafsiran secara ilmiah mengalami perkembangan yang lebih pesat
sampai sekarang ini, sehingga memberi dorongan yang cukup besar bagi para
ilmuan untuk menulis buku tafsir yang didasarkan atas pemikirin ilmiah secara
tematik (al-maudhui).
Pada masa sekarang inipun juga bermunculan berbagai kitab penafsiran ilmiah
yang bersifat Maudhuiy seperti Afzalurrahman dengan Quranic Sciences-nya
dimana menurutnya al-Quran dan ilmu pengetahuan itu sama-sama
10 Rohimin. Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) hlm 94
4
3.
4.
5.
Al-Ustadz Hanafi Ahmad dalam al-Tafsir al-ilmi Li al-Ayat al-Kauniyah fi alQuran al-Karim.
11 Afzalur Rahman. Quranic Sciences. (London: The Muslim Schools Trust, 1981) hal 1
12 M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur,an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam kehidupan masyarakat, Cet
XIX. (Bandung: Mizan, 1999)hlm. 102
6.
7.
8.
2.
3.
Mahmud Syukri al-Aluusi (w. 1992 M) dalam buku Maa Dalli Alaihi alQuranu Mimmaa yadhidu al-Haiata al-Jadiidata al-Qawiimatu al-Burhan (Dalildalil al-Quran yang meneguhkan ilmu astronomi modern, dengan argumentasi
kuat).
4.
Abdul Hamid bin Badis dalam Tafsiru Ibni Badis fii Majaalisi at-Tadzkiiri min
Kalaami al-Hakimi al-Khabiir (Tafsir Ibnu Badis mengenai Firman Dzat Yang Maha
Bijak dan Maha Tahu dalam forum-forum kajian).
5.
Musthafa Shadiq ar-Rafii dalam bukunya Ijaazu al-Qurani wa Balaghtu anNabawiyah (Mukjizat al-Quran dan Balaghah Kenabian).[ 14]
C.
Penyerupaan.
3.
Tidak menghiraukan kriteria-kriteria teologis dan kondisi yang ada pada
saat ayat turun.
4.
Mempersiapkan kemunculan aliran pemikiran
material terhadap ayat-ayat al-Quran.
eklektis
dan penafsiran
Hanya saja, dua kriteria terakhir ini hanya mendominasi mayoritas metode
penafsiran saintis ini, bukan seluruhnya.[ 15]
13 Ali Hasan Al-Aridl. Sejarah dan Metodologi Tafsir, Terj. Ahmad Akram, cet. II. (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1994) hlm 62-63
14 Abdul Majid Abdussalam al-Muntasib. Visi dan Paradigma Tafsir Al-Quran Kontemporer, terj. Mohammad
Maghfur Wachid. Judul asliIttijaahat at-Tafsiir fi al-Ashri ar-Rahin. (Bangil: Al-Izzah, 1997) hlm 279.
15 Rohimin. Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran.(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) hlm 92-93
6
D.
Sikap ulama terhadap tafsir ilmi, pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam
dua bagian, sebagai berikut:
1.
Sebagian dari mereka mendukung model tafsir ilmi dan bersikap terbuka,
sehingga mereka menjadikan al-Quran sebagai mukjizat ilmiah, oleh karena itu
mencakup segala macam penemuan dan teori-teori ilmiah modern. Mereka
berkata al-Quran itu menghimpun ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu pengetahuan
yang tidak kesemuanya dapat dijangkau oleh manusia lebih dari itu ia
mengemukakan hal-hal yang terjadi jauh sebelum ia turun dan yang akan terjadi.
Di dalamnya terdapat pula prinsip-prinsip umum tentang hukum alam, fenomena
alam dan hal-hal lain yang bisa diungkap oleh ilmu pengetahuan modern dan
biasanya diduga sebagai hal yang baru, padahal itu semua telah diisyaratkan
dalam al-Quran. Pandangan mereka ini didasarkan pada al-Quran dan al-Hadits
yang antara lain:
()
Kemudian Ibn Abbas berkata:
Seandainya aku kehilangan tali unta, niscaya aku akan menemukannya di
dalam kitab Allah (Al-Quran). (HR. Ibn Abbas)[16]
Berikut pandangan-pandangan ringkas pendapat mereka yang
mendukung mengenai tafsir ilmi:
a.
Al-Ghazali, adalah orang yang paling banyak memasarkan tafsir
ilmiah di tengah percaturan keilmuan Islam. Dalam kitabnya Ihya
ulumuddin pada pasal IV menyinggung mengenai pemahaman dan
penafsiran al-Quran secara rasional tanpa menggunakan Naqal (Al-Quran
dan Hadits). Beliau sepakat dengan pendapat beberapa ulama bahwa alQuran mengungkapkan 77.200 macam/buah ilmu, karena setiap kata
merupakan sebuah ilmu. Dengan mengutip hadist dari Ibn Masud yang
menyatakan bahwa Nabi pernah bersabda:
:
:
17
)
(
16
Ali Hasan Al-Aridl. Sejarah dan Metodologi Tafsir, Terj. Ahmad Akram, cet. II. (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1994) hlm 62-63
17 Abu abdullah bin nasr bin alhajaj al marwazi. Muhtashar qiyamu lail Cet.1 (hadits akademy pakistan 1988)
Juz 1, Hal 173
18 Al-Ghozali. Jawahir Al-Quran Cet. 1. (Mesir: Percetakan Kordistan, 1329 H) hlm. 31-32
19 Yang dimaksud dengan naungan di sini bukanlah naungan untuk berteduh akan tetapi asap api neraka yang
mempunyai tiga gejolak, Yaitu di kanan, di kiri dan di atas. ini berarti bahwa azab itu mengepung orang-orang
kafir dari segala penjuru.
c.
Hal-hal senada juga dipegangi oleh Imam al-Syuyuti dalam Al-Itqan,
Al-Baidhawi dalam kitab Anwaaru at-Tanzil wa Asraaru at-Tawil, AnNaisaburi yang lebih dikenal dengan an-Nadhdham al-Araj (penyair yang
pincang) dalam kitabnya Gharaibu Al-Quran wa Raghaibu al-Furqaani,
dan Az-Zarkasyi dalam kitabnya Al-Burhan fii Ulumul Al-Quran.[21]
d.
Fakhruddin ar-Razi, walaupun tidak sepenuhnya sependapat dengan
al-Ghozali, namun dalam tafsirnya Mafatih Al-Ghayb, dipenuhi dengan
pembahasan ilmiah menyangkut filsafat, teologi, ilmu alam, astronomi,
kedokteran, dan sebagainya.
e.
Al-Kawakibi, mengatakan bahwa ilmu-ilmu pengetahuan termasuk
penemuan teori-teori ilmiah di Eropa dan Amerika sekarang ini,
sebenarnya sejak abad 13 yang lalu telah dijelaskan dan diisyaratkan
dalam al-Quran. Hal-hal yang masih belum terungkap pada saat
ditemukannya, nanti akan menjadi bukti kemukjizata al-Quran.[ 22]
2.
Sebagian yang lain menolak tafsir ilmi. Mereka tidak melangkah
jauh untuk memberikan makna-makna yang tidak dikandung dan
dimungkinkan oleh ayat, oleh karena teori itu bersifat relative dan terbuka
pada perubahan. Mereka berpendapat, tidak perlu masuk terlalu jauh
dalam memahami dan menginterpretasikan ayat-ayat al-Quran dengan
kebenaran-kebenaran ilmiah, tetapi ia semata-mata merupakan kitab
petunjuk dan penuntun yang diturunkan oleh Allah untuk kebaikan
manusia. Oleh karena-nya, al-Quran harus dijauhkan dari pemikiranpemikiran yang mengada-ada dan tidak boleh tunduk kepada teori-teori
dan penemuan-penemuan. Berikut pandangan-pandangan ringkas
pendapat mereka yang menolak tafsir ilmi:
a.
Abu Hayyan al-Andalusi, Muhammad Rasyid Ridha, as-Syeikh
Mahmud Syaltut, as-Syeikh Muhammad Musthafa al-Maraghi, Muhammad
Izzat Darwazat, Amir al-Khauli, Syauqi Dhaif dan Muhammad Maghfur
Wachid mengatakan, .....saya tegaskan, bahwa saya menolak tendensi
tafsir al-Quran ilmiah. Saya tidak membenarkan praktik menunjukkan
ayat-ayat al-Quran pada ilmu pengetahuan alam murni....[23]
b.
Muhammad al-Ghozali, mengungkapkan ketidak setujuannya,
berangkat dari problem Ijaz al-Ilmi (mukjizat keilmuan) dalam al-Quran.
Bila kita melihat secara seksama pada sebagian isyarat ilmiah yang ada
21 Ali Hasan Al-Aridl. Op.cit. hlm 64
22
23 Abdul Majid Abdussalam al-Muntasib. Op.cit. hlm 330
Ibid. hlm 115
c.
Quraish Shihab, beliau tegas mengatakan bahwa Saya tidak
sependapat dengan upaya sementara mufassir yang ingin mencari
pembenaran al-Quran terhadap penemuan-penemuan ilmiah yang
terbuka untuk perubahan dan kritik. Lebih lanjut ia mengatakan, kita
harus membedakan antara penafsiran dan pemahaman mufassir yang
bersifat sementara. Dengan demikian, seorang mufassir bisa saja
memahami sebuah ayat dengan pemahaman ilmiah. Tapi jangan
menamakan itu tafsir. Namakan saja pemahaman.[25]
d.
As-Syatibi (Abu Ishaq Ibrahim bin Musa as-Syatibi al-Andalusia (w.
790 H). dalam kitabnya al-Muwafaqat menyatakan sebagai ketidak
setujuannya terhadap tafsir ilmi, .....banyak yang bersikap keterlaluan
dalam memahami al-Quran sehingga mereka mengaitkannya dengan
semua ilmu pengetahuan baik yang disebut orang-orang dahulu maupun
orang-orang sekarang. Lebih lanjut seperti yang dinukilkan Al-Dzahabi,
beliau mengatakan bahwa ulama salaf yang saleh dari kalangan sahabat,
tabiin dan tabiat adalah orang-orang yang paling tahu tentang al-Quran,
tentang ilmu-ilmunya dan kandungan isinya, namun kita tidak pernah
mendengar bahwa mereka membicarakan hal-hal sebagaimana mereka
pegangi itu..... Al-Quran memang tidak dimaksudkan untuk memberikan
pengakuan atas kebenaran pendapat mufassir ilmi.[26]
Selain dua sikap ulama di atas, ada di antara ulama kontemporer yang
bersikap moderat. Mereka mengatakan: Kita sangat perlu mengetahui
cahaya-cahaya ilmu mengungkapkan kepada hikmah-hikmah dan rahasiarahasia yang dikandung oleh ayat-ayat kauniyah dan yang demikian itu
tidak ada salahnya, mengingat ayat-ayat itu tidak hanya dipahami seperti
24 Muhammad
Al-Ghozali. Berdialog dengan Al-Quran. Terj. Masykur Hakim dan Ubaidillah. (Bandung: Mizan,
1996) hlm. 174-175
25 Quraish Shihab. Biarkan Al-Quran Sendiri yang Bicara, hasil wawancara dalam UMMAT no. 24 thn 1, 27 Mei
1996 hlm 113
11
()
Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: "Hai Musa, Kami tidak bisa sabar
(tahan) dengan satu macam makanan saja. sebab itu mohonkanlah untuk
Kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi Kami dari apa yang
ditumbuhkan bumi, Yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya,
kacang adasnya, dan bawang merahnya".......
28
Ibid. hlm. 97
12
PENUTUP
A.
Analisis
13
Penafsiran terhadap ayat al-Quran tidak akan pernah berakhir. Dari masa
ke masa akan muncul tafsiran baru sesuai dengan perkembangan zaman
dan ilmu pengetahuan. Hal ini relevan dengan karakteristik al-Quran itu
sendiri yang mengandung berita masa silam dan keadaan masa depan.
Dengan melakukan penelitian dan pengamatan terhadap isyarat-isyarat
al-Quran akan membuka tabir rahasia-rahasia yang belum tersentuh
oleh generasi sebelumnya. Hakikat ayat sebagai simbol wahyu yang
tampak dan tersurat tidak dapat dipisahkan dari sesuatu yang tersirat.
Upaya penafsiran secara ilmiah akan berdampak pada petampakan fungsi
al-Quran sebagai petunjuk dan pemisah antara yang hak dan yang batil
dan akan menunjukkan sifat fleksibilitasnya al-Quran yang dipandang
pantas, cocok dan sesuai untuk dipedomani umat manusia dalam segala
waktu dan tempat.
Di samping itu, perlu disadari bahwa produk penafsiran masa lampau,
penafsiran satu generasi, individu dan kelompok tertentu tidak kosong
sama sekali dari pengaruh berbagai persoalan yang sedang menguasai
zamannya. Situasi dan kondisi yang dialaminya tidak pernah terlepas dari
pengaruh pikiran, pandangan, hukum yang sedang berlaku, kondisi politik,
sosiokultural, ilmu pengetahuan, madzhab dan berbagai kemajuan
peradaban dan kebudayaan. Padahal, kecenderungan subjektivitas yang
dialami waktu itu akan berbeda dengan perkembangan di era-era
selanjutnya.
Bertitik tolak dari latar belakang di atas serta melihat kompleksnya
permasalahan al-Quran dan ilmu pengetahuan maka sudah pada
tempatnya jika pemahaman dan penafsirannya tidak hanya dimonopoli
oleh sekelompok atau seorang ahli dalam suatu bidang tertentu saja.
Penafsiran al-Quran hendaknya merupakan usaha bersama yang
mengkolaborasikan berbagai ahli dalam berbagai bidang. Kita merasa
terdorong dan menganggap penting untuk melihat betapa urgennya
penafsiran al-Quran secara ilmiah dan relevansinya dengan
perkembangan ilmu pengetahuan. Sudah seyogyanya kita menggunakan
pendekatan interdisipliner antara beberapa ahli dengan kemahiran di
bidangnya masing-masing, yaitu berbentuk kerjasama atau team work
yang beroperasi secara kooperatif.
B.
Kesimpulan
14
1.
Tafsir ilmi adalah tafsir yang menggunakan istilah-istilah ilmiah
dalam mendiskripsikan al-Quran dan berusaha keras untuk mengeluarkan
berbagai ilmu pengetahuan dan visi filsafat darinya.
2.
Dalam menanggapi tafsir ilmi ini, para ulama ada dua kelompok
yakni menolak dan mendukung. Bahkan banyak ulama-ulama
kontemporer yang bersikap lebih moderat seperti al-Ghamrawi.
3.
Kita tidak bisa mengklaim kebenaran bahwa teori-teori ilmiah ini
adalah sebagai bentuk final dari penafsiran ayat, dalam artian al-Quran
adalah bukan kitab ilmu pengetahuan melainkan kitab yang menjadi
petunjuk dan rahmat bagi kehidupan manusia baik spiritual maupun
material yang bisa dikembangkan melalui ilmu pengetahuan.
15