Download as rtf, pdf, or txt
Download as rtf, pdf, or txt
You are on page 1of 15

PENDAHULUAN

Al-Qur'an yg kita baca setiap hari dan yg kita agungkan sebagai sebuah kitab
suci, ternyata tidak hanya mengandung ayat-ayat yang mengandung aqidah,
syari'ah dan akhlaq semata, akan tetapi juga memberikan perhatian yang sangat
besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan (sains). Jika kita perhatikan AlQur'an secara seksama, maka akan kita temukan banyak ayat-ayat yang
mengajak kepada manusia untuk bersikap ilmiah, membebaskan akal dari
takhayul dan mencerahkan akal fikir. Al-Qur'an selalu mengajak pembacanya
untuk membaca, memperhatikan, memikirkan, mengkaji serta memahami dari
setiap fenomena yang ada terlebih lagi terhadap fenomena-fenomena alam
semesta yang perlu mendapatkan perhatian khusus karena darinya bisa
dikembangkan sains dan teknologi untuk perkembangan umat manusia dan
dengan itu pula akan didapatkan pemahaman yang utuh dan lengkap.
Bukan hanya itu, ayat yang pertama kali diturunkan kepada Rasulullah SAW
merupakan perintah untuk membaca:
()
1. bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,

( ) yang menurut Quraish Shihab, kata ini terambil dari akar kata qara'a ()
yang berarti menghimpun. Dari menghimpun lahir aneka makna seperti
menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan
membaca baik teks yang tertulis maupun tidak.[ 1] Karena kata ini objeknya
bersifat umum sehingga maknanya mencakup segala sesuatu yang bisa
dijangkaunya, baik yang tersurat maupun yang tersirat, ayat-ayat qauliyyah
maupun kawniyyah. Jika demikian adanya merupakan hal yang wajar jika orangorang yang berpengetahuan mendapatkan derajat yang lebih tinggi karena
tidaklah sama antara orang-orang yang berilmu pengetahuan dengan yang
tidak.
Adapun terhadap ayat-ayat kawniyyah dari ayat-ayat al-Quran, memang tidak
ada yang secara tegas dan khusus ditujukan kepada para ilmuwan untuk
mengkaji, namun pada hakikatnya, mereka inilah yang diharapkan untuk terjun
melakukan penelitian dan mengkaji serta memahami makna-makna yang
tersurat dan yang tersirat dari ayat-ayat kawniyyah. Karena hanya orang-orang
yang ahli dan mempunyai saran serta kompetensi dalam bidangnyalah yang bisa
dan mampu untuk menggali secara lebih komprehensif dan teliti dalam
melakukan tugas tersebut sehingga hasil dari kajian dan penelitian tersebut akan
benar-benar memberikan manfaat bagi umat manusia.
Dengan demikian, besar harapan para ilmuwan-ilmuwan muslim tergerak dan
termotivasi untuk mengeksplorasi ayat-ayat al-Quran yang berdimensi ilmiah
dan berusaha menafsirkan serta menggali makna yang terkandung di dalamnya
serta menjadikannya sebagai inspirasi untuk menghasilkan penemuan-

1 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an: Tafsir Maudhu'i Atas Pelbagai Persoalan Umat, Cet.VIII. (Bandung:
Mizan, 1998) hlm 433

penemuan baru yang bermanfaat bagi umat manusia dan dengan semakin
berkembangnya sains dan teknologi ini pula mendorong munculnya corak baru
dalam bidang penafsiran yang dikenal pada saat ini sebagai penafsiran ilmiah
atau Tafsir 'Ilmy (Sciences Exegesis) yang cukup banyak menarik perhatian para
intelektual muslim dan permasalahan (Tafsir 'Ilmy) ini pula yang akan menjadi
pokok pembahasan penulis dalam makalah ini.

A.

Pengertian Tafsir 'Ilmy

Pada dasarnya al-Quran adalah kitab suci yang menetapkan masalah akidah dan
hidayah, hukum syariat dan akhlak. Bersamaan dengan hal itu, di dalamnya di
dapati juga ayat-ayat yang menunjukkan tentang berbagai hakikat (kenyataan)
ilmiah yang memberikan dorongan kepada manusia untuk mempelajari,
membahas dan menggalinya. Sejak zaman dahulu sebagian kaum muslimin
telah berusaha menciptakan hubungan seerat-eratnya antara al-Quran dan ilmu
pengetahuan. Mereka berijtihad menggali beberapa jenis ilmu pengetahuan dari
ayat-ayat al-Quran, dan di kemudian hari usaha ini semakin meluas, dan tidak
ragu lagi, hal ini telah mendatangkan hasil yang banyak faedahnya.[ 2]
Adapun pengertian tafsir ilmi atau yang dalam terminologi Jansen disebut
sebagai sejarah alam secara sederhana dapat didefinisikan sebagai usaha
memahami ayat-ayat al-Quran dengan menjadikan penemuan-penemuan sains
modern sebagai alat bantunya. Ayat al-Quran di sini lebih diorientasikan kepada
teks yang secara khusus membicarakan tentang fenomena kealaman atau yang
biasa dikenal sebagai al-ayat al-kauniyat. Jadi yang dimaksud dengan tafsir ilmi
adalah suatu ijtihad atau usaha keras seorang mufassir dalam mengungkapkan
hubungan ayat-ayat kauniyah dalam al-Quran dengan penemuan-penemuan
sains modern, yang bertujuan untuk memperlihatkan kemukjizatan al-Quran.[ 3]
Tafsir ilmi adalah penafsiran al-Quran yang pembahasannya menggunakan
pendekatan istilah-istilah (term-term) ilmiah dalam mengungkapkan al-Quran,
dan seberapa dapat berusaha melahirkan berbagai cabang ilmu pengetahuan
yang berbeda dan melibatkan pemikiran-pemikiran filsafat.[ 4]
Tafsir 'ilmy adalah
,
suatu metode penafsiran yang mengukuhkan keterangan atau istilah-istilah
ilmiah yang terkandung di dalam perumpamaan-perumpamaan yang terdapat
dalam al-Quran yang kemudian melahirkan berbagai macam pengetahuan dan
teori-teori filsafat.[5]

2 Muhammad
3 Muhammad

Nor Ichwan. Memasuki Dunia Al-Quran. (Semarang: Lubuk Raya, 2001) hlm 253

Nor Ichwan. Tafsir Ilmiy Memahami Al-Quran Melalui Pendekatan Sains Modern. (Yogyakarta:
Menara Kudus, 2004) hlm 127

4 Muhammad Amin Suma. Studi Ilmu-ilmu Al-Quran 2. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001) hlm. 135
5 M. Husain al-Zahabiy. Al-Tafsir wa al-Mufassirun, J. II (Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1961) hlm. 474
2

Tafsir 'ilmy sebagai penafsiran ayat-ayat kawniyyah yang terdapat di dalam alQuran dengan mengaitkannya dengan ilmu pengetahuan modern yang timbul
saat sekarang.[6] Dan ada juga sebagian ulama mengartikan Tafsir ilmy sebagai
sebuah penafsiran terhadap ayat-ayat kawniyyah yang sesuai dengan tuntutan
dasar-dasar bahasa, ilmu pengetahuan dan hasil-hasil penelitian alam.[ 7]
Tafsir ilmi ialah penafsiran al-Quran dalam hubungannya dengan ilmu
pengetahuan. Perintah untuk menggali pengetahuan berkenaan dengan tandatanda Allah pada alam semesta memang banyak dijumpai di dalam al-Quran.
Inilah alasan yang mendorong para mufasir corak ini untuk menulis tafsirnya.[ 8]
Kaedah pentafsiran tafsir ilmi ini lebih kepada petunjuk melalui kajian sains dan
bukannya menggunakan ijtihad melalui akal. Oleh sebab itu, ada ulama tafsir
memasukkan tafsir ilmi ini dalam tafsir isyari. Tafsir ilmi adalah berasaskan
kepada penerangan dan penjelasan melalui isyarat dari pada al-Quran sendiri
yang menunjukkan kepada kehebatan ciptaan Allah Swt
Allah berfirman yang bermaksud
()
53. Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala
wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu
adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala
sesuatu?

B.

Sejarah Perkembangan Tafsir Ilmi dan Tokoh-tokohnya

Secara historis, kecenderungan penafsiran al-Quran secara ilmiah sudah muncul


semenjak masa perkembangan ilmu pengetahuan di era dinasti Abbasiyah,
khususnya pada masa pemerintahan al-Makmun (198/813 M). Munculnya
kecenderungan ini sebagai akibat pada penerjemahan kitab-kitab ilmiah yang
pada mulanya dimaksudkan untuk mencoba mencari hubungan dan kecocokan
antara pernyataan yang diungkapkan di dalam al-Quran dengan hasil penemuan
ilmiah (sains). Gagasan ini selanjutnya ditekuni oleh imam al-Ghazali dan ulamaulama lain yang sependapat dengan dia. Rekaman akan fenomena ini antara lain
dituangkan oleh Fahru al-Razi dalam kitabnya Mafatih al-Ghaib.[ 9]
Bisa dikatakan, Fakhruddin ar-Razi (w. 606 H) patut untuk dikedepankan ketika
kita membahas munculnya penafsiran secara ilmiah. Hal ini diakui oleh seluruh
penulis Ahlusunnah dan riset lapangan juga membuktikan hal itu. Sebelum
Fakhruddin, al-Ghazali (505 H) dalam bukunya, Jawahir Al-Quran juga telah
menyebutkan penafsiran beberapa ayat al-Quran yang dipahami dengan
menggunakan beberapa disiplin ilmu, seperti: astronomi, perbintangan,
kedokteran, dan lain sebagainya. Jika upaya al-Ghazali ini kita anggap sebagai

6 Sayyid Agil Husin al-Munawwar. Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki (Jakarta: Ciputat Press, 2002)
hlm.72

7 Mursi Ibrahim al-Bayuni. Dirasat fi Tafsir al-Mudhuiy (Kairo: Dar al-Taufiqiyyah Li al-Thabaah, 1970) hlm.20
8 Quraisy Shihab, dkk. Sejarah dan Ulum Al-Quran.(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999) hlm. 183
9 Sayid Musa Husaini. Metode Penafsiran Saintis di Dalam Buku-buku Tafsir Modern.(online)(http://quran.alshia.com/id/metode/01.htm. di akses: 11 Des 2010)

langkah pertama bagi kemunculan penafsiran ilmiah, tidak diragukan lagi bahwa
al-Ghazali sendiri belum berhasil merealisasikan metode tersebut, setelah satu
abad berlalu, barulah Fakhrurrazi di dalam Mafatih al-Ghaib-nya berhasil
merealisasikan metode penafsiran yang pernah menjadi percikan pemikiran alGhazali itu.[10]
Pasca masa Fakhrurrazi, tendensi penafsiran ilmiah (ini diteruskan dan
menghasilkan buku-buku tafsir yang sedikit banyak terpengaruh oleh teori
penafsiran Fakhrurrazi dalam ruang lingkup yang agak terbatas. Di antaranya
adalah: Gharaib Al-Quran wa Raghaib al-Furqan, karya An-Nasyaburi (w. 728
H), Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Tawil, karya Al-Baidhawi (w. 791 H), dan Ruh alMaani fa Tafsir al-Quran al-Adzim wa Sabal-Matsani, karya Al-Alusi (w. 1217 H).
Melalui buku-buku tafsir itu, para pengarangnya telah melakukan penafsiran
saintis atas ayat-ayat al-Quran. Selain mereka, terdapat beberapa mufassir lagi,
seperti Ibn Abul Fadhl al-Marasi (w. 655 H), Badruddin az-Zarkasyi (w. 794 H), dan
Jalaluddin as-Suyuthi (w. 911 H). Yang termasuk dalam golongan para mufassir
yang memiliki tendensi penafsiran saintis. Meskipun demikian, sebenarnya para
mufassir ini tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori mufassirin yang memiliki
aliran saintis dalam menafsirkan al-Quran, karena mereka hanya mengklaim
bahwa al-Quran memuat semua jenis dan disiplin ilmu pengetahuan, dan hanya
klaim ini tidak dapat dijadikan bukti bahwa mereka memiliki tendensi penafsiran
saintis. Sebelum mereka pun, sebagian sahabat telah memiliki klaim yang
serupa dan hingga kini tak seorang pun yang berani memasukkan sahabat
tersebut ke dalam kategori mufassirin yang memiliki tendensi penafsiran saintis.
Pasca periode tafsir Ruh al-Maani, pada permualaan abad ke-4 Hijriyah, metode
penafsiran saintis mengalami kemajuan yang pesat. Tercatat, para mufassir
seperti: Muhammad bin Ahmad al-Iskandarani (w. 1306 H), dalam Kasyf al-Asrar
an-Nuraniyah al-Quraniyah-nya, Al-Kawakibi (w. 1320 H), dalam Thabai alIstibdad wa Mashari al-Istibad-nya, Muhammad Abduh (w.1325 H) dalam Tafsir
JuzAmma-nya, dan Ath-Thanthawi (w.1358 H) dalam Jawahir al-Quran-nya,
masing-masing menafsirkan ayat-ayat al-Quran secara saintis. Contoh
penafsiran saintis al-Quran yang paling gamblang adalah buku tafsir alIskandarani dan ath-Thanthawi di mana dengan sedikit perbedaan, mereka telah
berusaha untuk memahami ayat-ayat al-Quran melalui ilmu pengetahuan
empiris (tajribi) dan penemuan-penemuan manusia.
Pemikiran penafsiran secara ilmiah mengalami perkembangan yang lebih pesat
sampai sekarang ini, sehingga memberi dorongan yang cukup besar bagi para
ilmuan untuk menulis buku tafsir yang didasarkan atas pemikirin ilmiah secara
tematik (al-maudhui).
Pada masa sekarang inipun juga bermunculan berbagai kitab penafsiran ilmiah
yang bersifat Maudhuiy seperti Afzalurrahman dengan Quranic Sciences-nya
dimana menurutnya al-Quran dan ilmu pengetahuan itu sama-sama

10 Rohimin. Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) hlm 94
4

mengandung kebenaran, dan tidak ada pertentangan di antara keduanya.[ 11]


Ada juga Maurice Bucaille dengan The Bible, The Quran and Science-nya, Abbas
Mahmud al-Aqqad dengan Tafsir al-Falsafah al-Quraniyah-nya dan masih banyak
lagi tafsir-tafsir lainnya.
Meluasnya corak penafsiran ilmiah ini menurut Quraish Shihab setidaknya
dipengaruhi oleh dua faktor, yang pertama adalah merupakan reaksi terhadap
ketertinggalan umat Islam dalam bidang kemajuan ilmu pengetahuan dan
teklnologi dari dunia barat. Karena ketertingggalan ini mereka berusaha mencari
kompensasi sebagai sebuah shock therapy atau sebagai salah satu upaya untuk
menutupi rasa rendah diri yang berlebihan (inferiority complex) yang melanda
mereka. Salah satunya dengan mengingat kejayaan-kejayaan yang pernah diraih
umat Islam pada masa lalu yang baik secara langsung maupun tidak langsung
berpengaruh terhadap perkembangan masyarakat Islam dalam menafsirkan alQur'an. Maka tidaklah mengherankan ketika ada penemuan baru, para
cendekiawan muslim sepertinya berlomba-lomba untuk mencari ayat-ayat alQur'an yang berkesesuaian dengan penemuan tersebut dan serta merta
mengatakan bahwa apa yang ditemukan sebenarnya sudah tercantum dalam alQur'an. Faktor kedua yang menjadikan cendekiawan muslim melakukan hal ini
sebagai reaksi atas resistansi yang besar dari gereja terhadap ilmu pengetahuan
yang dikarenakan adanya pertentangan penemuan ilmiah dengan kepercayaan
atau teori-teori tertentu yang diyakini kebenarannya dan kesuciannya oleh
gereja. Pertentangan ini mengakibatkan terjadinya kekejaman dan penindasan
terhadap ilmuwan yang dianggap kafir dan berhak mendapat kutukan. Hal ini
menimbulkan keyakinan di kalangan umum bahwa ilmu pengetahuan
bertentangan dengan agama. Pertentangan antara agama dengan ilmu
pengetahuan ini memberikan pengaruh terhadap cendekiawan muslim. Mereka
khawatir kalau-kalau penyakit pertentangan ini timbul pula dalam dunia Islam
sehingga mereka senantiasa berusaha membuktikan hubungan yang sangat
erat antara ilmu pengetahuan dengan agama terutama al-Qur'an walaupun
terkadang langkah mereka terlampau jauh dalam membuktikan hal itu.[ 12]
Adapun tokoh-tokoh penafsir ilmi kontempoter selain yang di sebut di atas
menurut Ali Hasan Al-Aridl adalah:
1.
Dr. al-Kauniyah Ahmad Al-Ghamrawi dalam kitabnya Sunanullah alKauniyah dan al-Islam fi Ashr al-ilm.
2.

Dr. Abdul Aziz dalam al-Islam wa al-Thib al-Hadist.

3.

Al-Syekh Thanthawi Jauhari.

4.

Ahmad Mukhtar al-Ghozali dalam Riyadh al-Mukhtar.

5.
Al-Ustadz Hanafi Ahmad dalam al-Tafsir al-ilmi Li al-Ayat al-Kauniyah fi alQuran al-Karim.

11 Afzalur Rahman. Quranic Sciences. (London: The Muslim Schools Trust, 1981) hal 1
12 M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur,an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam kehidupan masyarakat, Cet
XIX. (Bandung: Mizan, 1999)hlm. 102

6.

Al-Alamah Wahid al-Din Khan dalam al-Islam Yatahadda.

7.

Dr. Jamal al-Din al-Fandy dalam al-Ghida wa al-Dawa dan

8.

Ustadz Abd al-Razzaq Naufal dalam al-Quran wa al-ilm al-Hadist.[ 13]

Sedangkan menurut Abdul Majid Abdussalam al-Muntasib, tokoh-tokoh penafsir


ilmi kontemporer lainnya yaitu:
1.

As-Syekh Muhammad Abduh.

2.

Muhammad Jamaluddin al-Qasimi dalam Mahaasinu at-Tawil.

3.
Mahmud Syukri al-Aluusi (w. 1992 M) dalam buku Maa Dalli Alaihi alQuranu Mimmaa yadhidu al-Haiata al-Jadiidata al-Qawiimatu al-Burhan (Dalildalil al-Quran yang meneguhkan ilmu astronomi modern, dengan argumentasi
kuat).
4.
Abdul Hamid bin Badis dalam Tafsiru Ibni Badis fii Majaalisi at-Tadzkiiri min
Kalaami al-Hakimi al-Khabiir (Tafsir Ibnu Badis mengenai Firman Dzat Yang Maha
Bijak dan Maha Tahu dalam forum-forum kajian).
5.
Musthafa Shadiq ar-Rafii dalam bukunya Ijaazu al-Qurani wa Balaghtu anNabawiyah (Mukjizat al-Quran dan Balaghah Kenabian).[ 14]

C.

Metode dalam Tafsir Ilmi

Memanfaatkan ilmu pengetahuan manusia dengan tujuan untuk menguatkan


kandungan ayat-ayat al-Quran adalah salah satu contoh dari usaha
pengejawantahan metode tafsir saintis. Dalam metode penafsiran ini, terdapat
beberapa kriteria:
1.
Lebih menekankan pada penemuan-penemuan sains dan menjadikannya
sebaga tolok ukur memahami ayat-ayat al-Quran.
2.

Penyerupaan.

3.
Tidak menghiraukan kriteria-kriteria teologis dan kondisi yang ada pada
saat ayat turun.
4.
Mempersiapkan kemunculan aliran pemikiran
material terhadap ayat-ayat al-Quran.

eklektis

dan penafsiran

Hanya saja, dua kriteria terakhir ini hanya mendominasi mayoritas metode
penafsiran saintis ini, bukan seluruhnya.[ 15]

13 Ali Hasan Al-Aridl. Sejarah dan Metodologi Tafsir, Terj. Ahmad Akram, cet. II. (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1994) hlm 62-63

14 Abdul Majid Abdussalam al-Muntasib. Visi dan Paradigma Tafsir Al-Quran Kontemporer, terj. Mohammad
Maghfur Wachid. Judul asliIttijaahat at-Tafsiir fi al-Ashri ar-Rahin. (Bangil: Al-Izzah, 1997) hlm 279.

15 Rohimin. Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran.(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) hlm 92-93
6

D.

Pendapat Para Ulama tentang Tafsir Ilmi

Sikap ulama terhadap tafsir ilmi, pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam
dua bagian, sebagai berikut:
1.
Sebagian dari mereka mendukung model tafsir ilmi dan bersikap terbuka,
sehingga mereka menjadikan al-Quran sebagai mukjizat ilmiah, oleh karena itu
mencakup segala macam penemuan dan teori-teori ilmiah modern. Mereka
berkata al-Quran itu menghimpun ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu pengetahuan
yang tidak kesemuanya dapat dijangkau oleh manusia lebih dari itu ia
mengemukakan hal-hal yang terjadi jauh sebelum ia turun dan yang akan terjadi.
Di dalamnya terdapat pula prinsip-prinsip umum tentang hukum alam, fenomena
alam dan hal-hal lain yang bisa diungkap oleh ilmu pengetahuan modern dan
biasanya diduga sebagai hal yang baru, padahal itu semua telah diisyaratkan
dalam al-Quran. Pandangan mereka ini didasarkan pada al-Quran dan al-Hadits
yang antara lain:

()
Kemudian Ibn Abbas berkata:

Seandainya aku kehilangan tali unta, niscaya aku akan menemukannya di
dalam kitab Allah (Al-Quran). (HR. Ibn Abbas)[16]
Berikut pandangan-pandangan ringkas pendapat mereka yang
mendukung mengenai tafsir ilmi:
a.
Al-Ghazali, adalah orang yang paling banyak memasarkan tafsir
ilmiah di tengah percaturan keilmuan Islam. Dalam kitabnya Ihya
ulumuddin pada pasal IV menyinggung mengenai pemahaman dan
penafsiran al-Quran secara rasional tanpa menggunakan Naqal (Al-Quran
dan Hadits). Beliau sepakat dengan pendapat beberapa ulama bahwa alQuran mengungkapkan 77.200 macam/buah ilmu, karena setiap kata
merupakan sebuah ilmu. Dengan mengutip hadist dari Ibn Masud yang
menyatakan bahwa Nabi pernah bersabda:









:



:

17




)















(



16

Ali Hasan Al-Aridl. Sejarah dan Metodologi Tafsir, Terj. Ahmad Akram, cet. II. (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1994) hlm 62-63

17 Abu abdullah bin nasr bin alhajaj al marwazi. Muhtashar qiyamu lail Cet.1 (hadits akademy pakistan 1988)
Juz 1, Hal 173

Barang siapa ingin memperoleh pengetahuan tentang beberapa


permulaan dan beberapa kesudahan, maka kajilah al-Quran dengan
seksama.
Beliau mengatakan bahwa segala sesuatu yang sulit dipahami dengan
penginderaan dan penalaran sehingga menimbulkan berbagai teori yang
berlawanan satu sama lain sebenarnya sudah dikemukakan dan
dirumuskan dalam al-Quran dan semuanya dapat diketahui oleh para
pemikir.[20] Al-Ghozali juga berpendapat dalam kitab Jawahir Al-Quran
bahwa segala macam ilmu itu termasuk dalam afal (perbuatanperbuatan Allah dan sifat-sifatnya). Pengetahuan tersebut tidak terbatas.
Dalam al-Quran terdapat isyarat-isyarat menyangkut prinsip-prinsip
pokoknya. Hal terakhir ini, antara lain dibuktikan dengan mengemukakan
ayat:

()
Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan Aku,(QS. AsySyuaraa: 80).
Obat dan penyakit menurut al-Ghozali, tidak dapat diketahui kecuali
oleh yang berkecimpung dibidang kedokteran. Dengan demikian, ayat di
atas merupakan isyarat tentang ilmu kedokteran.[18]
b.
Al-Maragi, seperti yang diungkapkan kembali oleh as-Syuyuti dalam
tafsirnya mengatakan bahwa ilmu ukur disebut dalam al-Quran:
()
Pergilah kamu mendapatkan naungan19 yang mempunyai tiga cabang (QS.
Al-Mursalat: 30)
Beliau juga menyatakan bahwa al-Jabar dan Aritmatik ditemukan dari
huruf-huruf lepas pada permulaan beberapa buah surat al-Quran, karena
dalam huruf-huruf itu mengandung keterangan tentang kurun waktu,
tahun-tahun dan hari-hari terjadi peristiwa-peristiwa sejarah bangsabangsa terdahulu dan juga keterangan kelangsungan hidup ummat
Muhammad Saw sekarang ini. Dari pernyataan itu tampak jelas al-Marasi
berpegang pada pendirian bahwa ilmu-ilmu pengetahuan bisa ditemukan
dan diformulasikan dari al-Quran.[20]

18 Al-Ghozali. Jawahir Al-Quran Cet. 1. (Mesir: Percetakan Kordistan, 1329 H) hlm. 31-32
19 Yang dimaksud dengan naungan di sini bukanlah naungan untuk berteduh akan tetapi asap api neraka yang
mempunyai tiga gejolak, Yaitu di kanan, di kiri dan di atas. ini berarti bahwa azab itu mengepung orang-orang
kafir dari segala penjuru.

20 M. Husain al-Zahabiy. Op.cit. hlm 113-114


8

c.
Hal-hal senada juga dipegangi oleh Imam al-Syuyuti dalam Al-Itqan,
Al-Baidhawi dalam kitab Anwaaru at-Tanzil wa Asraaru at-Tawil, AnNaisaburi yang lebih dikenal dengan an-Nadhdham al-Araj (penyair yang
pincang) dalam kitabnya Gharaibu Al-Quran wa Raghaibu al-Furqaani,
dan Az-Zarkasyi dalam kitabnya Al-Burhan fii Ulumul Al-Quran.[21]

d.
Fakhruddin ar-Razi, walaupun tidak sepenuhnya sependapat dengan
al-Ghozali, namun dalam tafsirnya Mafatih Al-Ghayb, dipenuhi dengan
pembahasan ilmiah menyangkut filsafat, teologi, ilmu alam, astronomi,
kedokteran, dan sebagainya.
e.
Al-Kawakibi, mengatakan bahwa ilmu-ilmu pengetahuan termasuk
penemuan teori-teori ilmiah di Eropa dan Amerika sekarang ini,
sebenarnya sejak abad 13 yang lalu telah dijelaskan dan diisyaratkan
dalam al-Quran. Hal-hal yang masih belum terungkap pada saat
ditemukannya, nanti akan menjadi bukti kemukjizata al-Quran.[ 22]

2.
Sebagian yang lain menolak tafsir ilmi. Mereka tidak melangkah
jauh untuk memberikan makna-makna yang tidak dikandung dan
dimungkinkan oleh ayat, oleh karena teori itu bersifat relative dan terbuka
pada perubahan. Mereka berpendapat, tidak perlu masuk terlalu jauh
dalam memahami dan menginterpretasikan ayat-ayat al-Quran dengan
kebenaran-kebenaran ilmiah, tetapi ia semata-mata merupakan kitab
petunjuk dan penuntun yang diturunkan oleh Allah untuk kebaikan
manusia. Oleh karena-nya, al-Quran harus dijauhkan dari pemikiranpemikiran yang mengada-ada dan tidak boleh tunduk kepada teori-teori
dan penemuan-penemuan. Berikut pandangan-pandangan ringkas
pendapat mereka yang menolak tafsir ilmi:
a.
Abu Hayyan al-Andalusi, Muhammad Rasyid Ridha, as-Syeikh
Mahmud Syaltut, as-Syeikh Muhammad Musthafa al-Maraghi, Muhammad
Izzat Darwazat, Amir al-Khauli, Syauqi Dhaif dan Muhammad Maghfur
Wachid mengatakan, .....saya tegaskan, bahwa saya menolak tendensi
tafsir al-Quran ilmiah. Saya tidak membenarkan praktik menunjukkan
ayat-ayat al-Quran pada ilmu pengetahuan alam murni....[23]
b.
Muhammad al-Ghozali, mengungkapkan ketidak setujuannya,
berangkat dari problem Ijaz al-Ilmi (mukjizat keilmuan) dalam al-Quran.
Bila kita melihat secara seksama pada sebagian isyarat ilmiah yang ada
21 Ali Hasan Al-Aridl. Op.cit. hlm 64
22
23 Abdul Majid Abdussalam al-Muntasib. Op.cit. hlm 330
Ibid. hlm 115

dalam al-Quran, lalu dibandingkan dengan ilmu-ilmu modern, masalah


Ijaz al-Ilmi di dalam al-Quran adalah pendapat yang riskan. Seandainya
yang disebut adalah Ijaz al-Ilmi berarti kekalnya ketidakmampuan
manusia untuk mencapai sesuatu yang mampu dicapai al-Quran
termasuk mencapai esensi-esensi, ketentuan-ketentuan ilmiah, dan
sebagainya maka Ijaz untuk dunia saat ini tidaklah berarti terungkap
sejumlahnya hukum ilmu pengetahuan oleh manusia sebagaimana telah
dicapai dan dibuktikan al-Quran dan apa yang diisyaratkan al-Quran
merupakan Ijaz pada kurun tertentu.[24]

c.
Quraish Shihab, beliau tegas mengatakan bahwa Saya tidak
sependapat dengan upaya sementara mufassir yang ingin mencari
pembenaran al-Quran terhadap penemuan-penemuan ilmiah yang
terbuka untuk perubahan dan kritik. Lebih lanjut ia mengatakan, kita
harus membedakan antara penafsiran dan pemahaman mufassir yang
bersifat sementara. Dengan demikian, seorang mufassir bisa saja
memahami sebuah ayat dengan pemahaman ilmiah. Tapi jangan
menamakan itu tafsir. Namakan saja pemahaman.[25]
d.
As-Syatibi (Abu Ishaq Ibrahim bin Musa as-Syatibi al-Andalusia (w.
790 H). dalam kitabnya al-Muwafaqat menyatakan sebagai ketidak
setujuannya terhadap tafsir ilmi, .....banyak yang bersikap keterlaluan
dalam memahami al-Quran sehingga mereka mengaitkannya dengan
semua ilmu pengetahuan baik yang disebut orang-orang dahulu maupun
orang-orang sekarang. Lebih lanjut seperti yang dinukilkan Al-Dzahabi,
beliau mengatakan bahwa ulama salaf yang saleh dari kalangan sahabat,
tabiin dan tabiat adalah orang-orang yang paling tahu tentang al-Quran,
tentang ilmu-ilmunya dan kandungan isinya, namun kita tidak pernah
mendengar bahwa mereka membicarakan hal-hal sebagaimana mereka
pegangi itu..... Al-Quran memang tidak dimaksudkan untuk memberikan
pengakuan atas kebenaran pendapat mufassir ilmi.[26]

Selain dua sikap ulama di atas, ada di antara ulama kontemporer yang
bersikap moderat. Mereka mengatakan: Kita sangat perlu mengetahui
cahaya-cahaya ilmu mengungkapkan kepada hikmah-hikmah dan rahasiarahasia yang dikandung oleh ayat-ayat kauniyah dan yang demikian itu
tidak ada salahnya, mengingat ayat-ayat itu tidak hanya dipahami seperti
24 Muhammad

Al-Ghozali. Berdialog dengan Al-Quran. Terj. Masykur Hakim dan Ubaidillah. (Bandung: Mizan,
1996) hlm. 174-175

25 Quraish Shihab. Biarkan Al-Quran Sendiri yang Bicara, hasil wawancara dalam UMMAT no. 24 thn 1, 27 Mei
1996 hlm 113

26 Ali Hasan Al-Aridl. Op.cit. hlm 65


10

pemahaman bangsa Arab, oleh karena al-Quran diturunkan untuk seluruh


manusia. Masing-masing orang dapat menggali sesuatu dari al-Quran
sebatas kemampuan dan kebutuhannya sepanjang hal itu tidak
bertentangan dengan tujuan pokok al-Quran, yaitu sebagai petunjuk dan
sasaran yang hendak ditujunya sebagai tuntunan. Banyak hikmah di
dalamnya yang jika dikaji oleh ahli akan jelaslah rahasia-rahasianya,
tampaklah cahayanya dan mampu menjelaskan rahasia kemukjizatan.
Maka siapakah yang mengingkari bahwa kita perlu membuktikan misalnya
ilmu botani yang dengannya akan jelas bagi kita. Firman Allah Swt:

()
Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya,
baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun
dari apa yang tidak mereka ketahui. (QS. Yaasiin : 36).

Contoh Penerapan Tafsir Ilmi


Untuk memperkuat penjelasan tentang model penafsiran secara ilmiah,
maka penulis merasa perlu untuk menghadirkan contoh penerapan model
penafsiran ini. Berkaitan dengan hal ini, kita dapat memerhatikan tafsiran
ayat al-Quran yang berbunyi:
()
Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan Sesungguhnya
Kami benar-benar berkuasa (QS. Adz-Dzariyat:47)
Al-Alamah Thabathabai menafsirkan ayat tersebut dengan ungkapan,
Dan ada kemungkinan bahwa kata musiun diambil dari ungkapan
awsaa an-nafaqah, yaitu memperbanyak nafkah. Atas dasar ini,
maksud dari ayat tersebut adalah perluasan dan penambahan ciptaan
langit, sebagaimana hal itu menjadi kecenderungan dalam pembahasanpembahasan saintis pada masa kini.[27]
Kita juga bisa mencermati penafsiran ayat :
()
Dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan
yang Maha Perkasa lagi Maha mengetahui. (QS. Yaasin: 38)
Pada masa-masa sebelumnya, para mufassir menafsirkan ayat ini dengan
gerakan lahiriah matahari yang berjalan sehari-hari atau per musim. Akan
27

Rohimin. Op.cit. hlm 97

11

tetapi, pada masa kini, berdasarkan penemuan-penemuan ilmiah dan


sains baru, para ahli tafsir menafsirkan ayat tersebut dengan gerakan
matahari menuju suatu titik tertentu yang di situ terdapat planet Vega.
Semua penafsiran itu masih disertai dengan kehati-hatian dan bersifat
moderatif. Akan tetapi, di beberapa kalangan mufassirin kita melihat
keteledoran dan keberlebihan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran
dengan rangka mendukung metode penafsiran ilmiah.
Pada bagian lain, kita dapat mencermati pula penafsiran ayat:
()

Dan kamu Lihat gunung-gunung itu, kamu sangka Dia tetap di tempatnya,
Padahal ia berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah
yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. An-Naml:88)
Sebagian ahli tafsir menafsirkan ayat tersebut dengan bergeraknya
gunung-gunung pada hari kiamat. Akan tetapi, sebagian yang lain
mengklaim bahwa ayat ini adalah salah satu mukjizat ilmiah al-Quran.
Mereka meyakini bahwa ayat ini membuktikan bahwa bumi bergerak.[28]
()
Pergilah kamu mendapatkan naungan yang mempunyai tiga cabang (QS.
Al-Mursalaat:30)
Menurut al-Marasi tentang ayat di atas, sesuai dengan hukum yang
berlaku dalam geometri bahwa bentuk segitiga tidak memiliki bayangan
(karenanya tidak dapat dijadikan bernaung).
Contoh lainnya adalah penafsiran Thanthawi Jauhari terhadap QS. AlBaqarah: 61 sebagai berikut:






()


Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: "Hai Musa, Kami tidak bisa sabar
(tahan) dengan satu macam makanan saja. sebab itu mohonkanlah untuk
Kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi Kami dari apa yang
ditumbuhkan bumi, Yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya,
kacang adasnya, dan bawang merahnya".......

28

Ibid. hlm. 97

12

Menurut penafsirannya bahwa kehidupan orang-orang pedalaman (Badui)


dengan memakan makanan satu macam akan lebih sehat dibanding
dengan makan makanan yang bermacam-macam.[29]

PENUTUP

A.

Analisis

Dengan munculnya berbagai ilmu pengetahuan dan semakin


meningkatnya ilmu pengetahuan tersebut, baik ilmu kealaman maupun
ilmu sosial menuntut kita agar memahami dan menafsirkan al-Quran
tidak hanya secara harfiah saja, tetapi haruslah dengan cara pendekatan
teoritis. Objek pengamatan yang sama bisa tampak berbeda, karena
perbedaan cara penglihatan atau perbedaan pendekatan teori yang kita
pakai. Hal ini bisa dimengerti sebab teori tersebut akan membentuk
realitas yang diamati. Demikian halnya ketika kita memahami dan
menafsirkan al-Quran yang dianggap sebagai realitas, sebagai wujud
ketentuan-ketentuan Tuhan yang pasti dan jelas tertulis.
Indikasi di atas menunjukkan bahwa penafsiran akan berbeda apabila
pendekatan dan teori yang digunakan berbeda. Hasil penafsiran
menggunakan paradigma ilmiah tidaklah sama dengan hasil penafsiran
secara harfiah. Untuk itu, penafsiran al-Quran yang banyak melibatkan
disiplin ilmu pengetahuan akan menghasilkan teori-teori baru dari realitas
al-Quran. Dengan teori ini, objek pengamatan yang yang terdapat dalam
masyarakat dapat diamati secara jelas dan ayat-ayat al-Quran dapat
dipahami secara lebih kontekstual dan menghasilkan penjelasanpenjelasan yang lebih bisa diterima, baik yang berhubungan dengan
peristiwa sejarah masa lampau maupun keadaan sekarang.
Bertitik tolah dari realitas al-Quran sebagai realitas yang dapat didekati
melalui pengalaman empiris sejalan dengan sinyalemen al-Quran tentang
ayat-ayat kauniah dan eksistensi manusia dalam masyarakat, maka
sesungguhnya tepat apabila ayat-ayat al-Quran ditafsirkan secara ilmiah
dan memadukannya secara relevansif dengan perkembangan ilmu
pengetahuan melalui pendekatan analitis interdisipliner dan kontekstual.
29

Supiana dan M. Karman.Ulumul Quran. (Bandung:Pustaka Islamika, 2002) hlm 316

13

Penafsiran terhadap ayat al-Quran tidak akan pernah berakhir. Dari masa
ke masa akan muncul tafsiran baru sesuai dengan perkembangan zaman
dan ilmu pengetahuan. Hal ini relevan dengan karakteristik al-Quran itu
sendiri yang mengandung berita masa silam dan keadaan masa depan.
Dengan melakukan penelitian dan pengamatan terhadap isyarat-isyarat
al-Quran akan membuka tabir rahasia-rahasia yang belum tersentuh
oleh generasi sebelumnya. Hakikat ayat sebagai simbol wahyu yang
tampak dan tersurat tidak dapat dipisahkan dari sesuatu yang tersirat.
Upaya penafsiran secara ilmiah akan berdampak pada petampakan fungsi
al-Quran sebagai petunjuk dan pemisah antara yang hak dan yang batil
dan akan menunjukkan sifat fleksibilitasnya al-Quran yang dipandang
pantas, cocok dan sesuai untuk dipedomani umat manusia dalam segala
waktu dan tempat.
Di samping itu, perlu disadari bahwa produk penafsiran masa lampau,
penafsiran satu generasi, individu dan kelompok tertentu tidak kosong
sama sekali dari pengaruh berbagai persoalan yang sedang menguasai
zamannya. Situasi dan kondisi yang dialaminya tidak pernah terlepas dari
pengaruh pikiran, pandangan, hukum yang sedang berlaku, kondisi politik,
sosiokultural, ilmu pengetahuan, madzhab dan berbagai kemajuan
peradaban dan kebudayaan. Padahal, kecenderungan subjektivitas yang
dialami waktu itu akan berbeda dengan perkembangan di era-era
selanjutnya.
Bertitik tolak dari latar belakang di atas serta melihat kompleksnya
permasalahan al-Quran dan ilmu pengetahuan maka sudah pada
tempatnya jika pemahaman dan penafsirannya tidak hanya dimonopoli
oleh sekelompok atau seorang ahli dalam suatu bidang tertentu saja.
Penafsiran al-Quran hendaknya merupakan usaha bersama yang
mengkolaborasikan berbagai ahli dalam berbagai bidang. Kita merasa
terdorong dan menganggap penting untuk melihat betapa urgennya
penafsiran al-Quran secara ilmiah dan relevansinya dengan
perkembangan ilmu pengetahuan. Sudah seyogyanya kita menggunakan
pendekatan interdisipliner antara beberapa ahli dengan kemahiran di
bidangnya masing-masing, yaitu berbentuk kerjasama atau team work
yang beroperasi secara kooperatif.

B.

Kesimpulan

Dari pembahasan di atas, ada beberapa hal yang dapat penulis


simpulkan, yaitu:

14

1.
Tafsir ilmi adalah tafsir yang menggunakan istilah-istilah ilmiah
dalam mendiskripsikan al-Quran dan berusaha keras untuk mengeluarkan
berbagai ilmu pengetahuan dan visi filsafat darinya.
2.
Dalam menanggapi tafsir ilmi ini, para ulama ada dua kelompok
yakni menolak dan mendukung. Bahkan banyak ulama-ulama
kontemporer yang bersikap lebih moderat seperti al-Ghamrawi.
3.
Kita tidak bisa mengklaim kebenaran bahwa teori-teori ilmiah ini
adalah sebagai bentuk final dari penafsiran ayat, dalam artian al-Quran
adalah bukan kitab ilmu pengetahuan melainkan kitab yang menjadi
petunjuk dan rahmat bagi kehidupan manusia baik spiritual maupun
material yang bisa dikembangkan melalui ilmu pengetahuan.

15

You might also like