Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 113

SINTESIS METHYL ESTER SULFONIC ACID (MESA)

DARI CRUDE PALM OIL (CPO) MENGGUNAKAN


SINGLE TUBE FALLING FILM REACTOR

YENI SULASTRI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN


SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Sintesis Methyl
Ester Sulfonic Acid (MESA) dari Crude Palm Oil (CPO) menggunakan Single
Tube Falling Film Reactor adalah benar hasil karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.
Bogor, Desember 2010
Yeni Sulastri
F351080121

ABSTRACT
YENI SULASTRI. F351080121. Synthesis of Methyl Ester Sulfonic Acid
(MESA) from Methyl Ester of Crude Palm Oil (CPO) using Single Tube Falling
Film Reactor. Under direction of ERLIZA HAMBALI and ANI SURYANI.
Surfactant is a surface-active agent that can be produced by a chemical or
biochemical synthesis. The main characteristic of a surfactant is having polar and
non-polar groups at the same molecule and forming head-tail configuration. One
of the potential surfactant that can be produced from CPO is surfactant Methyl
Ester Sulfonates (MES). Production process of MES using SO 3 gas in Single Tube
Falling Film Reactor (STFR) is a common technology. This process produce
Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA) as an intermediate product before finally
becomes MES. The purpose of this research was to determine the steady state
condition of sulfonation and the best temperature of methyl ester sulfonation
process from CPO using SO3 gas in STFR, to determine the physicochemical
properties of MESA and MES. Steady state condition of sulfonation for
temperature of heating feed 100C to pH, acid value, and viscosity not yet been
reached, for steady state condition of density reached at 4 hours. While for the
parameter of iodine value and active matter for MESA and MES each reached at 3
and 4 hours. The best temperature of heating feed at temperature of 100C and
steady state condition of sulfonation reached at 4 hours. This condition can
produced MESA with pH of 0.80, acid value of 16.89 mg KOH/g sample, density
of 0.9831 g/cm3, viscosity of 85.45 cP, iodine value of 18.61 mg I/g sample, active
matter of 27.57%. For physicochemical properties of MES having difference at
same condition obtained iodine value of 21.87 mg I/g sample and active matter of
26.63%.
Keywords: methyl ester CPO, single tube falling film reactor, MESA and MES

RINGKASAN
YENI SULASTRI. F351080121. Sintesis Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA)
dari Crude Palm Oil (CPO) Menggunakan Single Tube Falling Film Reactor.
Dibimbing oleh ERLIZA HAMBALI dan ANI SURYANI.
Surfaktan merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan yang
dapat diproduksi melalui sintesis kimiawi maupun biokimiawi. Karakteristik
utama surfaktan adalah memiliki gugus polar dan non polar pada molekul yang
sama. Sifat aktif permukaan yang dimiliki surfaktan diantaranya mampu
menurunkan tegangan permukaan, tegangan antarmuka dan meningkatkan
kestabilan sistem emulsi. Hal ini membuat surfaktan banyak digunakan dalam
berbagai industri, seperti industri sabun, deterjen, produk kosmetika dan produk
perawatan diri, farmasi, pangan, cat dan pelapis, kertas, tekstil, pertambangan dan
industri perminyakan untuk Enhanced Oil Recovery (EOR).
CPO merupakan bahan yang potensial sebagai bahan dasar pembuatan
metil ester sulfonat karena Indonesia adalah produsen minyak sawit utama di
dunia. Keunggulan CPO sebagai bahan baku pembuatan surfaktan antara lain
adalah bersifat terbarukan, lebih ramah lingkungan dalam proses produksi dan
aplikasinya, kaya akan kandungan asam lemak C16 dan C18, yang memiliki tingkat
detergensi yang baik, serta toleran terhadap ion Ca.
Salah satu surfaktan yang memiliki potensi untuk dikembangkan dari
minyak kelapa sawit adalah surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES). MES
dikelompokkan sebagai surfaktan anionik. MES diproduksi dari sulfonasi metil
ester (ME) menggunakan agen pensulfonasi seperti asam sulfat, sulfit, NaHSO3,
oleum, dan gas SO3. Proses produksi MES menggunakan gas SO3 dalam Single
Tube Falling Film Reactor (STFR) merupakan teknologi yang paling umum dan
banyak digunakan. Proses ini menghasilkan Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA)
sebagai produk antara sebelum akhirnya menjadi MES. Keunggulan gas SO3
sebagai agen pensulfonasi antara lain bersifat lebih reaktif, tidak dihasilkan
limbah pada prosesnya, serta proses dapat dilakukan secara kontinyu.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kondisi steady state (tunak)
proses sulfonasi dan kondisi terbaik suhu pemanasan bahan pada sulfonasi metil
ester CPO dengan gas SO3, serta mengetahui sifat fisikokimia dari MESA dan
MES. Faktor yang dikaji suhu pemanasan bahan 80, 90, dan 100 oC dan dilakukan
pengamatan tiap jam selama 0 sampai 6 jam.
Kondisi steady state (tunak) dari proses sulfonasi pada suhu pemanasan
bahan 100C terhadap parameter pH MESA, bilangan asam, dan viskositas
MESA belum tercapai, untuk parameter densitas MESA tercapai pada lama proses
sulfonasi 4 jam, sedangkan untuk parameter bilangan iod dan kadar bahan aktif
baik untuk MESA dan MES masing-masing dicapai pada lama proses sulfonasi 3
dan 4 jam. Analisis ragam (=0,05) menunjukkan bahwa suhu pemanasan bahan
berpengaruh nyata terhadap nilai pH, bilangan asam, densitas, viskositas, dan

kadar bahan aktif MESA, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap parameter
bilangan iod.
Pada penelitian ini diperoleh perlakuan terbaik proses produksi MESA
yaitu pada suhu pemanasan bahan 100C dan karakteristik MESA mencapai
kondisi tunak pada lama proses sulfonasi 4 jam. Kondisi ini menghasilkan MESA
dengan nilai pH 0,80, bilangan asam 16,89 mg KOH/g sampel, densitas 0,9831
g/cm3, viskositas 85,45 cP, bilangan iod 18,61 mg I/g sampel, dan kadar bahan
aktif 27,57%. Sifat fisikokimia MES pada kondisi yang sama diperoleh nilai
bilangan iod sebesar 21,87 mg I/g sampel, dan kadar bahan aktif 26,63%.
Kata kunci : metil ester CPO, single tube falling film reactor, MESA dan MES

@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010


Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya:
a. pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah;
b. pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut
Pertanian Bogor.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor.

SINTESIS METHYL ESTER SULFONIC ACID (MESA)


DARI CRUDE PALM OIL (CPO) MENGGUNAKAN
SINGLE TUBE FALLING FILM REACTOR

YENI SULASTRI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCA SARJANA


INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2010

Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Meika Syahbana Rusli, MSc.Agr

Judul Tesis

: Sintesis Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA) dari


Crude Palm Oil (CPO) menggunakan Single Tube
Falling Film Reactor

Nama

: Yeni Sulastri

NIM

: F351080121

Disetujui,
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Erliza Hambali


Ketua

Prof. Dr. Ani Suryani, DEA


Anggota

Diketahui,
Ketua Program Studi
Teknologi Industri Pertanian

Dr. Ir. Machfud, MS

Tanggal Ujian : 8 November 2010

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-NYA sehingga tesis yang berjudul Sintesis
Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA) dari Crude Palm Oil (CPO) menggunakan
Single Tube Falling Film Reactor dapat diselesaikan. Karya ilmiah ini ditujukan
untuk mendapatkan gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. Erliza Hambali, selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Prof. Dr. Ani
Suryani, DEA selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan
bimbingan, arahan, saran dan dorongan moral sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis ini.
2. Dr. Ir. Meika Syahbana Rusli, MSc.Agr dan Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M.Si
selaku dosen penguji yang telah memberikan pengarahan dan masukan bagi
kesempurnaan tesis ini.
3. Dr. Ir. Machfud, MS selaku Ketua Program Studi Pasca Sarjana TIP dan
seluruh staf pengajar dan staf pegawai Departemen Teknologi Industri
Pertanian atas bantuan dan bimbingan selama penulis menempuh pendidikan
di IPB.
4. Bapak Edi Zulchaidir, selaku Plant Manager PT. Findeco Jaya, Bapak
Hermansyah, selaku Manajer Produksi PT. Mahkota Indonesia beserta staf
pegawai dan operator atas bimbingan, fasilitas, dan kerjasama yang
diberikan.
5. Bapak dan Ibu, Kakak-kakakku (Rini Friani dan Wini Widiastuti), Adikadikku (Iman Hidayat dan Linda Primasari), serta suami tercinta Rohman
Hadi yang telah memberikan doa restu, dorongan, motivasi, perhatian, serta
kasih sayangnya.
6. Tim surfaktan lababoratorium SBRC di PT Mahkota Indonesia (Mulyanto,
Khadafi, dan Hendi), rekan-rekan tim penelitian surfaktan SBRC, rekan-rekan
mahasiswa penelitian surfaktan, serta rekan-rekan Program Pasca Sarjana

Teknologi Industri Pertanian 2008 atas kerjasama dan kebersamaannya


selama menempuh pendidikan di IPB.
7. Rekan-rekan Asrama Putri dan Asrama Putra NTB atas kebersamaannya
selama ini serta kepada semua pihak yang telah membantu penulis selama
mengikuti pendidikan sampai selesainya tesis ini yang tidak bisa disebutkan
satu persatu.
Penulis menyadari tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, namun
demikian penulis mengharapkan semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Bogor, Desember 2010
Yeni Sulastri

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lombok Timur, pada tanggal 7 Januari 1983 dari


Bapak Drs. M. Jufri dan Ibu Rohani, SPd. Penulis merupakan putri ketiga dari
lima bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN No. 3 Karang
Jangkong pada tahun 1995, Sekolah Menengah Pertama di SLTPN IV Mataram
lulus pada tahun 1998, dan Sekolah Menengah Atas di SMUN I Mataram lulus
pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan tinggi di
Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dan lulus
pada bulan Februari 2006.
Pada tahun 2007 penulis diterima sebagai staf Technical Assistant di
PT. Rajawali Semesta Food, Tangerang. Tahun 2008 penulis melanjutkan
pendidikan Magister di Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Untuk menyelesaikan studi penulis
melakukan penelitian dengan judul Sintesis Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA)
dari Crude Palm Oil menggunakan Single Tube Falling Film Reactor.

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL.............................................................................................

vii

DAFTAR GAMBAR........................................................................................

viii

DAFTAR LAMPIRAN.....................................................................................

I.

PENDAHULUAN.....................................................................................
1.1 Latar Belakang....................................................................................
1.2 Tujuan Penelitian................................................................................
1.3 Ruang Lingkup...................................................................................

1
1
3
4

II. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................


2.1 Crude Palm Oil (CPO).......................................................................
2.2 Metil Ester .........................................................................................
2.3 Surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) ..............................................
2.4 Proses Sulfonasi ................................................................................

5
5
7
10
15

III. METODOLOGI PENELITIAN ...............................................................


3.1 Kerangka Pemikiran ..........................................................................
3.2 Bahan dan Alat ...................................................................................
3.3 Waktu dan Tempat Penelitian.............................................................
3.4 Metode ...............................................................................................
3.4.1 Analisis Sifat Fisikokimia Crude Palm Oil .............................
3.4.2 Pembuatan Metil Ester dari Minyak Sawit Kasar ..................
3.4.3 Proses produksi MESA dan MES.............................................
3.5 Rancangan Percobaan ........................................................................

21
21
22
24
24
25
25
25
26

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................


4.1 Sifat Fisikokimia CPO........................................................................
4.2 Sifat Fisikokimia Metil Ester CPO.....................................................
4.3 Proses Sulfonasi Metil Ester Menjadi MESA ....................................
4.4 Proses Netralisasi MESA Menjadi MES ...........................................
4.5 Pengaruh Suhu Pemanasan Bahan terhadap Sifat Fisikokimia MESA
dan MES.............................................................................................
4.5.1 Derajat Keasaman (pH) MESA .............................................
4.5.2 Bilangan Asam MESA............................................................
4.5.3 Densitas MESA ......................................................................
4.5.4 Viskositas MESA .................................................................
4.5.5 Bilangan Iod MESA dan MES ...............................................
4.5.6 Bahan Aktif MESA dan MES ................................................

29
29
31
35
38

V. SIMPULAN DAN SARAN .....................................................................


5.1 Simpulan ...................................................................................
5.2 Saran .........................................................................................

61
61
62

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................

63

LAMPIRAN ...................................................................................................

67

39
39
42
45
48
50
53

DAFTAR TABEL
Halaman
1

Komponen penyusun minyak sawit ............................................................

Sifat fisikokimia minyak sawit kasar ..........................................................

Komposisi asam lemak pada minyak sawit kasar ......................................

Sifat fisikokimia metil ester bahan baku pembuatan surfaktan MES ........

5 Karakteristik surfaktan metil ester sulfonat (MES) .................................... 14


6 Hasil analisis sifat fisikokimia CPO ........................................................... 29
7 Hasil analisis sifat fisikokimia metil ester CPO ......................................... 32

DAFTAR GAMBAR
Halaman
Reaksi transesterifikasi trigliserida dengan metanol ...............................
8
Reaksi esterifikasi antara asam lemak dengan metanol ..........................
9

1
2

3 Mekanisme reaksi sulfonasi metil ester .................................................. 16


4 Kemungkinan terikatnya pereaksi kimia dalam proses sulfonasi .......... 18
5 Sintesis metil ester sulfonat ..................................................................... 19
6 Reaksi pembentukan garam (disalt)......................................................... 20
7 Skema STFR yang digunakan pada penelitian ........................................ 23
8
9
10
11
12
13

Tata laksana penelitian.............................................................................


Reaksi esterifikasi antara asam lemak dengan metanol ..........................
Reaksi transesterifikasi trigliserida..........................................................
Tahapan reaksi transesterifikasi................................................................
Reaktor STFR yang digunakan dalam penelitian.....................................
Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA)........................................................

24
33
34
34
36
37

14 Tahapan reaksi pembentukan MESA pada sulfonasi metil ester ............. 37


15 Reaksi hidrolisis MES.............................................................................. 39
16 Kurva hubungan lama proses sulfonasi untuk mencapai kondisi tunak
pada berbagai suhu pemanasan bahan terhadap pH MESA .................. 40
17 Pengaruh suhu pemanasan bahan terhadap pH MESA............................ 41
18 Kurva hubungan lama proses sulfonasi untuk mencapai kondisi tunak
pada berbagai suhu pemanasan bahan terhadap bilangan asam MESA . . 43
19 Pengaruh suhu pemanasan bahan terhadap bilangan asam MESA ......... 44
20 Kurva hubungan lama proses sulfonasi untuk mencapai kondisi tunak
pada berbagai suhu pemanasan bahan terhadap densitas MESA............ 46
21 Pengaruh suhu pemanasan bahan terhadap densitas MESA ................... 47
22 Kurva hubungan lama proses sulfonasi untuk mencapai kondisi
tunak pada berbagai suhu pemanasan bahan terhadap viskositas
MESA ..................................................................................................... 48
23 Pengaruh suhu pemanasan bahan terhadap viskositas MESA ............... 49
24 Kurva hubungan lama proses sulfonasi untuk mencapai kondisi tunak
pada berbagai suhu pemanasan bahan terhadap bilangan iod MESA...... 51
25 Kurva hubungan lama proses sulfonasi untuk mencapai kondisi tunak
pada berbagai suhu pemanasan bahan terhadap bilangan iod MES........ 53
26 Kurva hubungan lama proses sulfonasi untuk mencapai kondisi tunak

pada berbagai suhu pemanasan bahan terhadap kadar bahan aktif


MESA ..................................................................................................... 54
27 Pengaruh suhu pemanasan bahan terhadap bahan aktif MESA .............. 55
28 Kurva hubungan lama proses sulfonasi untuk mencapai kondisi tunak
pada berbagai suhu pemanasan bahan terhadap kadar bahan aktif
MES ........................................................................................................ 57
29 Pengaruh suhu pemanasan bahan terhadap kadar bahan aktif MES ....... 58
30 Reaksi reesterifikasi senyawa anhidrida ................................................. 59

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1
2
3

Prosedur analisa sifat fisikokimia CPO ..................................................... 67


Prosedur analisis sifat fisikokimia metil ester ........................................... 70
Prosedur analisis surfaktan MESA dan MES ........................................... 77

Data hasil penelitian .................................................................................. 80

Persamaan hubungan sifat fisikokimia dan koefisien determinasi (R2) . . . 86

Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan pH MESA ............................. 89

Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan bilangan asam MESA ........... 90

Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan densitas MESA ..................... 91
9

Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan


viskositas MESA ............................. 92

10 Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan


bilangan iod MESA dan MES .........93
11 Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan
kadar bahan aktif MESA
dan MES .................................................................................................... 94

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Surfaktan atau surface active agent merupakan senyawa aktif yang dapat
menurunkan tegangan permukaan dan tegangan antarmuka yang dapat diproduksi
melalui sintesis kimiawi maupun biokimiawi. Surfaktan bersifat ampifilik yaitu
senyawa yang memiliki dua gugus yang berlainan sifat dalam satu molekulnya
yaitu gugus hidrofilik dan lipofilik sehingga mampu menyatukan dua bahan yang
berbeda kepolarannya.
Surfaktan memiliki banyak kegunaan antara lain sebagai bahan
penggumpal, pembasah, pembusaan, dan emulsifier. Aplikasi surfaktan cukup
luas dalam berbagai bidang industri antara lain industri kimia, farmasi, kosmetika,
industri pangan, dan perminyakan.

Surfaktan dikelompokkan menjadi empat

kelompok berdasarkan gugus hidrofiliknya yaitu surfaktan anionik, kationik,


amfoterik, dan nonionik. Methyl ester sulfonic acid (MESA) termasuk dalam
kelompok surfaktan anionik dan apabila dilakukan proses netralisasi dan
bleaching terhadap MESA akan diperoleh surfaktan MES.

Surfaktan MES

banyak dimanfaatkan sebagai bahan aktif pada produk-produk pembersih karena


MES memperlihatkan karakteristik dispersi dan sifat detergensi yang baik
terutama pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi (hard water), pada
konsentrasi MES yang lebih rendah daya deterjensinya sama dengan petroleum
sulfonat, toleransi yang lebih baik terhadap keberadaan kalsium, dan kandungan
garam (disalt) lebih rendah (Matheson 1996).
Jenis surfaktan yang paling banyak digunakan adalah surfaktan dari jenis
anionik dan nonionik. Menurut Badan Pusat Statistik (2008) bahwa kelompok
industri

yang menggunakan surfaktan antara lain adalah industri sabun dan

pembersih (85,93%), industri kimia dasar (4,64%), industri barang plastik


lembaran (2,26%), industri kaca lembaran (1,02%) dan 34 kelompok industri
lainnya sebanyak 4,04%. Surfaktan tersebut umumnya diproduksi dari minyak
bumi sehingga bersifat tidak dapat diperbaharui serta kurang ramah terhadap
lingkungan.

CPO merupakan bahan yang potensial sebagai bahan dasar pembuatan


metil ester sulfonat karena Indonesia adalah produsen minyak sawit utama di
dunia. Menurut Departemen Perindustrian (2009), total produksi CPO (crude
palm oil) Indonesia tahun 2009 mencapai sekitar 20,2 juta ton. Pemanfaatan
CPO untuk produksi surfaktan MES dapat meningkatkan nilai tambah CPO.
Keunggulan CPO sebagai bahan baku surfaktan MES antara lain ramah
lingkungan dan bersifat terbarukan jika dibandingkan surfaktan berbahan dasar
petroleum. Selain itu, CPO kaya akan asam lemak C 16 dan C18.

Menurut Hui

(1996), bahwa alkil ester asam lemak C14, C16, C18 baik digunakan sebagai bahan
baku surfaktan karena mampu memberikan tingkat deterjensi yang baik, mampu
mempertahankan aktivitas enzim, dan memiliki toleransi terhadap ion Ca lebih
baik.
Surfaktan MES dapat diproduksi dari metil ester minyak nabati melalui
proses sulfonasi dengan beberapa agen pensulfonasi antara lain asam sulfat, sulfit,
NaHSO3, dan gas SO3. Pada penelitian yang telah dilakukan Hambali et al.
(2005), produksi surfaktan MES dilakukan dengan sistem batch menggunakan
reaktan NaHSO3 dan H2SO4 namun proses tersebut menghasilkan limbah yang
cukup besar. Menurut Sheats dan MacArthur (2002), gas SO 3 digunakan sebagai
agen pensulfonasi metil ester pada falling film reactor. Keunggulan gas SO3
sebagai agen pensulfonasi antara lain bersifat lebih reaktif, tidak dihasilkan
limbah pada prosesnya, serta proses dapat dilakukan secara kontinyu.
Selama proses sulfonasi, reaktan gas SO3 akan berikatan dengan metil ester
CPO. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan proses sulfonasi
antara lain rasio mol, suhu sulfonasi, suhu pemanasan bahan, dan lama proses
sulfonasi. Proses sulfonasi dengan gas SO3 sebagai reaktan dapat dilakukan secara
batch maupun kontinu menggunakan reaktor tangki berpengaduk. Reaktor tangki
berpengaduk dengan sistem batch lebih efektif untuk digunakan dalam skala
laboratorium terutama untuk bahan baku alkilbenzen serta jika diaplikasikan
untuk skala komersial hanya prakstis untuk bahan baku tertentu. Reaktor tangki
berpengaduk sistem kontinu dengan satu tangki maupun paralel juga memiliki
kelemahan yaitu hanya cocok diaplikasikan untuk bahan alkilbenzen dan tidak
stabil untuk bahan baku yang lain. Selain itu, ketiga reaktor tangki ini memiliki

kelemahan yaitu transfer panas dan massa tidak efisien akibat pembentukan
produk yang semakin kental serta membutuhkan waktu tinggal cairan yang cukup
lama yaitu lebih dari 30 menit. Proses sulfonasi menggunakan falling film reactor
dapat dilakukan secara kontinu dalam skala besar, cocok untuk berbagai jenis
bahan baku, dan membutuhkan waktu tinggal cairan yang cukup singkat yaitu 30
detik (Robets, 1991). Proses sulfonasi dengan reaktan gas SO3 pada falling film
yang saat ini berkembang adalah multitube falling film reactors. Indonesia telah
mengembangkan proses sulfonasi dengan gas SO3 dengan menggunakan single
tube falling film reactor skala pilot plant dengan panjang 6 m dan diameter dalam
25 mm yang dapat digunakan untuk memproduksi surfaktan secara kontinu
dengan kapaistas produksi skala kecil maupun menengah.
Menurut Watkins (2001) dan MPOPC (2002), proses produksi metil ester
sulfonat dengan gas SO3 sebagai reaktan dapat dilakukan dalam falling film
reactor pada suhu 80-90C. Peningkatan suhu akan menurunkan viskositas dari
metil ester sehingga pembentukan lapisan film didalam tube reaktor akan semakin
tipis. Hal ini menyebabkan terjadinya reaksi antara metil ester dan gas SO 3 akan
semakin baik. Dengan semakin lama proses sulfonasi akan meningkatkan jumlah
metil ester yang bereaksi dengan gas SO3 dan pada lama tertentu akan mencapai
kondisi tunak (steady state). Penelitian ini menggunakan STFR yang telah
dikembangkan oleh Hambali et al. (2009). Pada penelitian ini akan mengkaji
kondisi steady state proses sulfonasi dan pengaruh faktor suhu pemanasan bahan
pada sulfonasi metil ester CPO.
1.2 Tujuan Penelitian
Kegiatan penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mendapatkan kondisi tunak lama proses sulfonasi pada sulfonasi metil ester
CPO dengan gas SO3 yang menghasilkan MESA dan MES dengan sifat
fisikokimia yang stabil.
2. Mendapatkan kondisi terbaik suhu pemanasan bahan pada sulfonasi metil
ester CPO
3. Mengetahui sifat fisikokimia MESA yang dihasilkan.
4. Mengetahui sifat fisikokimia MES
1.3 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah :

1.

Analisis sifat fisikokimia CPO.

2.

Proses esterifikasi-transesterifikasi dan pemurnian untuk mendapatkan metil


ester CPO serta analisis sifat fisikokimia ME CPO.

3.

Proses sulfonasi metil ester CPO menjadi MESA menggunakan gas SO 3 pada
berbagai kondisi proses suhu pemanasan bahan serta dilakukan sampling pada
selang 0 6 jam untuk mendapatkan kondisi tunak proses sulfonasi.

4.

Netralisasi surfaktan MESA yang dihasilkan dengan penambahan NaOH.

5.

Analisis sifat fisikokimia surfaktan MESA dan MES.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Crude Palm Oil (CPO)


Minyak sawit kasar merupakan hasil ekstraksi dari tubuh buah (mesokarp)
tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis JACQ). Minyak sawit digunakan untuk
kebutuhan bahan pangan, industri kosmetik, industri kimia, dan industri pakan
ternak. Kebutuhan minyak sawit sebesar 90% digunakan untuk bahan pangan
seperti minyak goreng, margarin, shortening, pengganti lemak kakao dan untuk
kebutuhan industri roti, cokelat, es krim, biskuit, dan makanan ringan. Kebutuhan
10% dari minyak sawit lainnya digunakan untuk industri oleokimia yang
menghasilkan asam lemak, fatty alcohol, gliserol, dan metil ester.
Komponen penyusun minyak sawit terdiri dari campuran trigliserida dan
komponen lainnya yang merupakan komponen minor. Trigliserida terdapat dalam
jumlah yang besar sedangkan komponen minor terdapat dalam jumlah yang relatif
kecil namun keduanya memegang peranan dalam menentukan kualitas minyak
sawit (Tabel 1). Trigliserida merupakan ester dari gliserol dan asam lemak rantai
panjang.

Trigliserida dapat berfasa padat atau cair pada temperatur kamar

tergantung pada komposisi asam lemak penyusunnya.


Tabel 1 Komponen penyusun minyak sawit
Komponen
Trigliserida

Komposisi (%)
95,62

Asam lemak bebas

4,00

Air

0,20

Phosphatida

0,07

Karoten

0,03

Aldehid
Sumber : Gunstone (1997)

0,07

CPO (Crude Palm Oil) merupakan minyak nabati (minyak yang


berasal dari tumbuhan) berwarna jingga kemerah-merahan yang diperoleh
dari

proses

pengempaan

atau

ekstraksi daging

buah tanaman

Elaeis

guineensis dan belum mengalami proses pemurnian (SNI 2006). Sifat fisikokimia
minyak sawit kasar meliputi warna, kadar air, asam lemak bebas, bilangan iod,
berat jenis, indeks refraksi, bilangan penyabunan, dan fraksi tak tersabunkan dapat
dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Sifat fisikokimia minyak sawit kasar


Kriteria uji
Warnaa)
Kadar aira)
Asam lemak bebasa)
Bilangan ioda)
Bilangan asamb)
Bilangan penyabunanb)
Bilangan iod (wijs)b)
Titik lelehb)
Indeks refraksi (40C)b)
Sumber :

a)

SNI (2006)

b)

Hui (1996)

Syarat mutu
Jingga kemerahan
0,5 %
0,5 %
50 55 g I/100 g minyak
6,9 mg KOH/g minyak
224-249 mg KOH/g minyak
44-54
21-24C
36,0-37,5

Minyak sawit terdiri dari fraksi cair yang disebut dengan olein dan fraksi
padat yang disebut stearin. Fraksinasi merupakan suatu cara untuk memisahkan
komponen cair dan padat pada minyak sawit, biasanya dengan cara kristalisasi
parsial pada suhu tertentu. Komponen penyusun trigliserida terdiri dari asam
lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh. Minyak sawit kasar berfasa semi padat
pada suhu kamar karena komposisi asam lemak yang bervariasi dengan titik leleh
yang juga bervariasi (Ketaren 2005). Komposisi asam lemak jenuh dan asam
lemak tidak jenuh pada CPO relatif sama, kandungan asam lemak jenuh sebesar
49,9 % dan asam lemak tidak jenuh sebesar 49,3 %. Asam lemak dominan pada
CPO adalah palmitat sebesar 32 59 % dan oleat sebesar 27 52 %. Komposisi
asam lemak pada minyak sawit kasar dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Komposisi asam lemak pada minyak sawit kasar


Jenis asam lemak
Laurat (C12:0)
Miristat (C14:0)
Palmitat (C16:0)
Palmitoleat (C16:1)
Stearat (18:0)
Oleat (18:1)

Komposisi (%)
< 1,2
0,5 5,9
32 59
< 0,6
1,5 8
27 52

Linoleat (C18:2)
Linolenat (C18:3)

5,0 14
< 1,5

Sumber : Godin dan Spensley (1971) dalam Salunkhe et al. (1992)

2.2 Metil Ester


Metil ester termasuk bahan oleokimia dasar, turunan dari trigliserida
(minyak

atau

lemak) yang dapat dihasilkan melalui proses esterifikasi dan

transesterifikasi. Bahan baku pembuatan metil ester antara lain minyak sawit,
minyak kelapa, minyak jarak, minyak kedelai, dan lainnya. Proses esterifikasi
berfungsi untuk mengubah asam lemak bebas menjadi alkil ester sedangkan
proses transesterifikasi berfungsi untuk mengubah trigliserida menjadi molekul
ester.
Transesterifikasi menjadi proses paling efektif untuk mengkonversi
trigliserida

(minyak

atau

lemak) menjadi

molekul

ester (Hui 1996).

Transesterifikasi berfungsi untuk menggantikan gugus alkohol gliserol dengan


alkohol sederhana seperti metanol atau etanol dengan bantuan katalis seperti
sodium metilat, NaOH atau KOH.
Molekul trigliserida pada dasarnya merupakan triester dari gliserol dan
tiga asam lemak. Transformasi kimia lemak menjadi metil ester melibatkan
transesterifikasi spesies gliserida dengan alkohol membentuk alkil ester. Diantara
alkohol yang mungkin, metanol disukai karena berharga lebih murah (Lotero et
al. 2004).

Transesterifikasi merupakan suatu reaksi kesetimbangan.

Untuk

mendorong reaksi agar bergerak ke kanan agar dihasilkan metil ester maka perlu
digunakan alkohol dalam jumlah berlebih atau salah satu produk yang dihasilkan
harus dipisahkan.

Reaksi transesterifikasi trigliserida dengan metanol untuk

menghasilkan metil ester dapat dihasilkan pada Gambar 1.


O
R1

OCH2

HOCH2
O

O
R2

katalis
OCH

+ 3 CH3OH

HOCH

+ 3R

OCH3

O
R3

HOCH2
C

OCH2

Trigliserida

Metanol

Gliserol

Metil ester

Gambar 1 Reaksi transesterifikasi trigliserida dengan metanol


Proses transesterifikasi dipengaruhi oleh berbagai faktor tergantung
kondisi reaksinya (Meher et al.

2004).

Faktor tersebut diantaranya adalah

kandungan asam lemak bebas dan kadar air minyak, jenis katalis dan
konsentrasinya, perbandingan molar antara alkohol dengan minyak dan jenis
alkoholnya, suhu dan lamanya reaksi, dan intensitas pencampuran.
Tahapan konversi minyak atau lemak menjadi metil ester bergantung pada
mutu awal minyak. Proses konversi dipengaruhi oleh kandungan asam
lemak bebas dan kandungan air. Minyak yang mengandung asam lemak bebas
rendah, dapat langsung dikonversi menjadi metil ester melalui transesterifikasi.
Minyak yang mengandung asam lemak bebas tinggi serta mengandung air lebih
dari 0,3% dapat menurunkan rendemen transesterifikasi minyak (Freedman et
al. 1984). Minyak dengan asam lemak bebas tinggi akan lebih efisien jika
melalui dua tahap reaksi.

Asam lemak bebas dalam minyak diesterifikasi

dahulu dengan melibatkan katalis asam. Reaksi esterifikasi asam lemak dan
alkohol mengkonversi asam lemak menjadi metil ester. Reaksi esterifikasi
dapat dilihat pada Gambar 2.

RCOOH
Asam lemak

ROH
Alkohol

RCOOR + H2O
Alkil ester

Air

Gambar 2 Reaksi esterifikasi antara asam lemak dengan metanol (Hui 1996)
Pada reaksi esterifikasi, bila asam lemak (asam kaboksilat) dan
alkohol (metanol) dipanaskan dengan kehadiran katalis asam, kesetimbangan
tercapai dengan ester dan air. Reaksi kesetimbangan ini dapat digeser ke
kanan dengan penambahan alkohol berlebih. Air yang terbentuk berasal dari
gugus hidroksil. Menurut Freedman et al. (1984), konsentrasi katalis alkali yang
digunakan untuk transesterifikasi bervariasi dari 0,5 1,0% berdasarkan berat

minyak. Jumlah katalis lebih banyak dapat ditambahkan untuk minyak yang
memiliki kandungan asam lemak bebas tinggi. Darnoko dan Cheryan (2000)
telah melakukan proses transesterifikasi secara kontinyu menggunakan suhu
proses 60oC, waktu proses 1 jam dengan menggunakan katalis KOH 1% (w/w)
terlarut dalam metanol dengan perbandingan rasio mol reaktan antara metanol
dengan minyak sebesar 6:1 menghasilkan rendemen sebesar 95%.

Sifat

fisikokimia metil ester yang baik digunakan sebagai bahan baku pembuatan
surfaktan MES dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Sifat fisikokimia metil ester bahan baku pembuatan surfaktan MES

Metil Ester
Karakteristik

BM (g/mol)
Bilangan iod (cg I/g ME)
Asam karboksil (% b/b)
Bahan tak tersabunkan (% b/b)
Bilangan asam (mg KOH/g ME)
Bilangan penyabunan (mg KOH/g ME)
Kadar air (% b/b)
Komposisi asam lemak (% b/b) :
< C12
C12
C13
C14
C15
C16
C17
C18
> C18
Sumber : MacArthur et al. (1998)

C12-14

C16

C18

218
0,1
0,074
0,05
0,15
252
0,13

281
0,39
0,25
0,27
0,5
197
0,18

284
0,19
1,89
0,06
3,8
191
0,19

0,85
72,59
0,00
26,90
0,00
0,51
0,00
0,00
0,00

0,00
0,28
0,00
2,56
0,43
48,36
1,40
46,24
0,74

0,00
0,28
0,00
1,55
0,00
60,18
1,31
35,68
1,01

2.3 Surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES)


Surfaktan merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan (surface
active agent) yang dapat diproduksi secara sintesis kimiawi atau biokimiawi.
Surfaktan telah digunakan sebagai bahan penggumpal, pembasah, pembusaan,
emulsifier, dan bahan penetrasi serta telah diaplikasikan dalam industri kimia,

farmasi, kosmetika, dan industri pangan. Kehadiran gugus hidrofobik

dan

hidrofilik yang berada dalam satu molekul, menyebabkan surfaktan cenderung


berada pada antar muka antara fasa yang berbeda derajat polaritas dan ikatan
hidrogen seperti minyak dan air. Pembentukan film pada antar muka ini
menurunkan energi antar muka dan menyebabkan sifat-sifat khas molekul
surfaktan (Georgiou et al. 1992).
Surfaktan atau surface active agent atau sering juga disebut emulsifier
merupakan suatu molekul ampifilik yang mengandung gugus hidrofilik dan
lipofilik dalam satu molekul yang sama. Senyawa ini akan meningkatkan
kestabilan emulsi dengan menurunkan tegangan antar muka, antara fasa minyak
dan air. Secara umum, kegunaan surfaktan adalah untuk menurunkan tegangan
antar muka, meningkatkan kestabilan partikel yang terdispersi dan mengontrol
jenis formulasi emulsi (misalnya oil in water (O/W) atau water in oil (W/O)).
Disamping itu, surfaktan akan terserap ke dalam permukaan partikel minyak atau
air sebagai penghalang yang akan mengurangi atau menghambat penggabungan
(coelscence) dari partikel yang terdispersi (Rieger 1985).
Peningkatan produksi surfaktan berbasis bahan alami saat ini sedang
dilakukan. Surfaktan berbasis bahan alami dapat dibagi ke dalam empat kelompok
dasar yaitu a) berbasis minyak-lemak, seperti monogliserida, digliserida,
poligliserol ester, fatty alcohol sulfat, dan fatty alcohol etoksilat, b) berbasis
karbohidrat, seperti alkil poliglukosida dan N-metil glukamida, c) ekstrak bahan
alami, seperti lesitin dan saponin, serta d) biosurfaktan yang diproduksi oleh
mikroorganisme, seperti rhamnolipid dan sophorolipid (Flider 2001).
Flider (2001) menambahkan bahwa jutaan ton surfaktan digunakan setiap
tahunnya pada beragam aplikasi yang berbeda. Walaupun pemakaian terbesar
surfaktan adalah untuk aplikasi pencucian dan pembersihan (washing and
cleaning applications), namun surfaktan banyak pula digunakan untuk produk
pangan, pertambangan, cat dan pelapis, kertas, tekstil, serta produk kosmetika
dan produk perawatan diri (personal care products).
Menurut Hui (1996) dan Matheson (1996) surfaktan dapat diklasifikasikan
menjadi empat kelompok besar, yaitu anionik, kationik, nonionik, dan amfoterik.
Masing-masing kelompok surfaktan tersebut memiliki struktur kimia dan perilaku

yang berbeda. Surfaktan anionik adalah bahan aktif permukaan yang bagian
hidrofobiknya berhubungan dengan gugus anion (ion negatif). Dalam media cair,
molekul surfaktan anionik terpecah menjadi gugus kation yang bermuatan positif
dan gugus anion yang bermuatan negatif. Gugus anion merupakan pembawa sifat
aktif permukaan pada surfaktan anionik. Contoh khas surfaktan anionik adalah
alkohol sulfat dan ester sulfonat.
Surfaktan berbasis minyak-lemak (oleokimia) merupakan kelompok surfaktan
berbasis bahan alami yang paling banyak dihasilkan. Minyak dan lemak yang
biasanya digunakan untuk memproduksi surfaktan diantaranya yaitu tallow, tall
oil, minyak biji bunga matahari, minyak kedelai, minyak kelapa dan minyak
sawit. Umumnya bahan baku minyak dan lemak tersebut harus diproses terlebih
dahulu menjadi senyawa oleokimia dasar sebelum digunakan untuk memproduksi
surfaktan. Oleokimia dasar yang dihasilkan dari minyak dan lemak adalah asam
lemak, gliserol, metil ester, dan fatty alkohol.

Kebutuhan untuk memproses

minyak dan lemak terlebih dahulu sebelum memproduksi surfaktan tersebut


berpengaruh nyata terhadap biaya produksi produk akhir (Flider 2001).
Sifat-sifat surfaktan dipengaruhi oleh adanya bagian hidrofilik dan hidrofobik
pada molekul surfaktan. Kehadiran gugus hidrofobik dan hidrofilik yang berada
dalam satu molekul, menyebabkan pembagian surfaktan cenderung berada pada
antarmuka antara fasa yang berbeda derajat polaritas dan ikatan hidrogen seperti
minyak/air atau udara/air.

Pembentukan film pada antar muka ini mampu

menurunkan energi antarmuka dan menyebabkan sifat-sifat khas pada molekul


surfaktan (Georgiou et al. 1992).
Karakteristik utama surfaktan adalah pada aktivitas permukaannya. Surfaktan
mampu meningkatkan kemampuan menurunkan tegangan permukaan dan
antarmuka suatu cairan, meningkatkan kemampuan pembentukan emulsi minyak
dalam air, mengubah kecepatan agregasi partikel terdispersi yaitu dengan
menghambat dan mereduksi flokulasi dan penggabungan (coalescence) partikel
yang terdispersi, sehingga kestabilan partikel yang terdispersi makin meningkat.
Surfaktan mampu mempertahankan gelembung atau busa yang terbentuk lebih
lama. Sebagai perbandingan gelembung atau busa yang terbentuk pada air yang
dikocok hanya bertahan beberapa detik. Namun dengan menambahkan surfaktan

maka gelembung atau busa tersebut bertahan lebih lama (Bergensthl 1997).
Ditambahkan oleh Hui (1996) bahwa surfaktan merupakan komponen yang paling
penting pada sistem pembersih, sehingga menjadi bahan utama pada deterjen.
Menurut Swern (1979), panjang molekul sangat kritis untuk keseimbangan
kebutuhan gugus hidrofilik dan lipofilik.

Apabila rantai hidrofobik terlalu

panjang, akan terjadi ketidakseimbangan, terlalu besarnya afinitas untuk gugus


minyak atau lemak atau terlalu kecilnya afinitas untuk gugus air. Hal ini akan
ditunjukkan oleh keterbatasan kelarutan didalam air. Demikian juga sebaliknya,
apabila rantai hidrofobiknya terlalu pendek, komponen tidak akan terlalu bersifat
aktif permukaan (surface active) karena ketidakcukupan gugus hidrofobik dan
akan memiliki keterbatasan kelarutan dalam minyak. Pada umumnya panjang
rantai terbaik untuk surfaktan adalah asam lemak dengan 10-18 atom karbon.
MES yang merupakan golongan baru dalam kelompok surfaktan anionik
telah mulai dimanfaatkan sebagai bahan aktif pada produk-produk pencuci dan
pembersih (washing and cleaning products) (Hui 1996; Matheson 1996).
Pemanfaatan surfaktan MES sebagai bahan aktif pada deterjen telah banyak
dikembangkan karena prosedur produksinya mudah, memperlihatkan karakteristik
dispersi yang baik, sifat detergensinya tinggi walaupun pada air dengan tingkat
kesadahan yang tinggi (hard water) dan tidak adanya fosfat, mempunyai asam
lemak C16 dan C18 yang mampu memberikan tingkat detergensi yang terbaik,
memiliki sifat toleransi terhadap ion Ca yang lebih baik, memiliki tingkat
pembusaan yang lebih rendah dan memiliki stabilitas yang baik terhadap pH.
Bahkan MES C16-C18 memperlihatkan aktivitas permukaan yang baik, yaitu
sekitar 90 % dibandingkan linier alkil benzen sulfonat (LABS) (de Groot 1991;
Hui 1996; Matheson 1996).
Surfaktan metil ester sulfonat (MES) termasuk golongan surfaktan anionik,
yaitu surfaktan yang bermuatan negatif pada gugus hidrofiliknya atau bagian aktif
permukaan (surface-active). Struktur kimia metil ester sulfonat (MES) adalah
sebagai berikut (Watkins 2001) :

Menurut Matheson (1996), metil ester sulfonat (MES) memperlihatkan


karakteristik dispersi yang baik, sifat detergensi yang baik terutama pada air
dengan tingkat kesadahan yang tinggi (hard water) dan tidak adanya fosfat, ester
asam lemak C14, C16 dan C18 memberikan tingkat detergensi terbaik, serta bersifat
mudah didegradasi (good biodegradability). Dibandingkan petroleum sulfonat,
surfaktan MES menunjukkan beberapa kelebihan diantaranya yaitu pada
konsentrasi MES yang lebih rendah daya deterjensinya sama dengan petroleum
sulfonat, dapat mempertahankan aktivitas enzim yang lebih baik, toleransi yang
lebih baik terhadap keberadaan kalsium, dan kandungan garam (disalt) lebih
rendah.
Menurut Hui (1996), MES dari minyak nabati yang mengandung atom
karbon C10, C12 dan C14 biasa digunakan untuk light duty dishwashing detergent,
sedangkan MES dari minyak nabati dengan atom karbon C 16-18 dan tallow biasa
digunakan untuk deterjen bubuk dan deterjen cair (liquid laundry detergent).
Karakteristik surfaktan MES dari metil ester asam lemak C 12-14, C16, dan C18 dapat
dilihat pada Tabel 5.
Menurut Sheats dan MacArthur (2002), ME memiliki beberapa kelebihan
dibandingkan dengan bahan baku pembuatan MES lainnya, antara lain yaitu,
harga ME relatif lebih rendah dibandingkan dengan bahan baku lainnya,
renewable, dan ramah lingkungan. Tiga bahan baku ME yang secara komersial
digunakan adalah kelapa, stearin sawit, dan lemak tallow. Produk sulfonasi yang
terbuat dari stearin umumnya digunakan pada formulasi bahan deterjen.

Tabel 5 Karakteristik surfaktan metil ester sulfonat (MES)

Metil Ester
Karakteristik

Rendemen MES (% b/b)


Disodium karboksi sulfonat (di-salt), (% b/b)
Metanol (% b/b)
Hidrogen peroksida (% b/b)
Air (% b/b)
Petroleum ether extractable (PEX) (% b/b)
Sodium karboksilat (% b/b)
Sodium sulfat (% b/b)
Sodium metil sulfat dan lainnya (% b/b)
pH
Warna Klett, 5% aktif (MES + di-salt)
Sumber : MacArthur et al. (1998)

C12-14

C16

C18

70,7
2,1
0,46
0,10
14,0
2,6
0,16
1,99
8,0
5,0
11

80,3
5,5
0,18
0,04
0,7
3,2
0,29
2,07
7,7
5,6
35

78,4
4,8
0,23
0,02
1,8
3,9
0,29
2,83
7,8
5,6
79

Penelitian produksi MES telah dilakukan oleh Tim Peneliti SBRC dengan
menggunakan reaktan NaHSO3 dan H2SO4. Kondisi proses sulfonasi yang diteliti
dengan menggunakan reaktan metil ester dan NaHSO 3 adalah sebagai berikut :
kecepatan agitasi 100 - 500 rpm, lama reaksi 3 6 jam, suhu reaksi 60 100 oC,
dan nisbah mol reaktan NaHSO3 dan metil ester 1:1 1:1,5.

Untuk proses

pemurnian surfaktan MES digunakan metanol 10 40 % dan H2O2 1 2 %.


Karakteristik MES yang dihasilkan adalah sebagai berikut : pH 4,1 - 4,7; memiliki
kemampuan menurunkan tegangan permukaan air dari 68,46 mN/m hingga
menjadi 28,26 32,3 mN/m (sekitar 56 %), memiliki kemampuan menurunkan
tegangan antarmuka dari 35,45 mN/m hingga menjadi 1,0 1,05 mN/m (sekitar
97 %), mampu meningkatkan stabilitas emulsi 5,3 9 menit, dan mampu
mempertahankan busa 0,4 - 14,3 jam.
Kondisi proses sulfonasi metil ester dengan H2SO4 yang digunakan adalah
nisbah reaktan 1:1,2 1:1,6 dan lama reaksi 30 60 menit, dengan proses
pemurnian menggunakan metanol 40 %, H2O2 1 %, dan NaOH 20%.
Karakteristik MES yang dihasilkan adalah sebagai berikut : bilangan iod 77,47
76,01 gr iod/100 gr sampel, bilangan asam 4,37 5,57 mg KOH/gr sampel, pH
6,88; memiliki kemampuan menurunkan tegangan permukaan 36,20 mN/m (53,08
%); memiliki kemampuan menurunkan tegangan antarmuka 37,70 mN/m (96,17

%);

mampu

meningkatkan

stabilitas

mempertahankan stabilitas busa 4,44 jam.

emulsi

73,76

%;

dan

mampu

Proses sulfonasi metil ester olein

menggunakan Absorber Reactor dengan reaktan gas SO3 sistem batch telah
dilakukan dengan hasil yang cukup menggembirakan.
Sheats dan MacArthur (2002) menggunakan ME dengan bilangan iod
(iodine value atau IV) sebesar 0,3 cg I/ g sampel atau lebih rendah. Bilangan iod
ME digunakan untuk memprediksi warna produk intermediet dan warna produk
akhir hasil pemucatan. Bahan baku ME yang memiliki bilangan iod tinggi sangat
sulit untuk dipucatkan dan warna produk tidak baik untuk dikomersialkan untuk
tujuan sebagai bahan dasar deterjen.
2.5 Proses Sulfonasi
Sadi (1994) menyatakan bahwa surfaktan dapat disintesis dari minyak nabati
melalui senyawa antara metil ester asam lemak dan fatty alkohol. Salah satu
proses untuk menghasilkan surfaktan adalah proses sulfonasi untuk menghasilkan
MES. MES termasuk golongan surfaktan anionik yaitu surfaktan yang bermuatan
negatif pada gugus hidrofiliknya atau bagian aktif permukaan (surface-active).
Proses sulfonasi menghasilkan produk turunan yang terbentuk melalui reaksi
kelompok sulfat dengan minyak, asam lemak (fatty acid), ester, dan alkohol lemak
(fatty alcohol). Jenis minyak yang biasanya disulfonasi adalah minyak yang
mengandung ikatan rangkap ataupun grup hidroksil pada molekulnya. Bahan
baku minyak yang digunakan pada industri adalah minyak berwujud cair yang
kaya akan ikatan rangkap (Bernardini 1983).
Proses produksi surfaktan MES dilakukan dengan mereaksikan metil ester
dengan agen sulfonasi. Menurut Bernardini (1983) dan Pore (1976), pereaksi
yang dapat dipakai pada proses sulfonasi antara lain asam sulfat (H 2SO4), oleum
(larutan SO3 di dalam H2SO4), sulfur trioksida (SO3), NaHSO3, dan ClSO3H.
Foster (1996) menambahkan bahwa untuk menghasilkan kualitas produk terbaik,
beberapa perlakuan penting yang harus dipertimbangkan adalah rasio mol, suhu
reaksi, konsentrasi grup sulfat yang ditambahkan, waktu netralisasi, jenis dan
konsentrasi katalis, pH, dan suhu netralisasi.
Menurut Roberts et al. (2008), jika rasio mol SO3 dengan metil ester secara
signifikan lebih rendah dari 1,2 maka konversi metil ester (ME) menjadi metil

ester sulfonat (MES) secara penuh tidak dapat dicapai. Pada Gambar 3 disajikan
mekanisme reaksi sulfonasi metil ester.

Gambar 3 Mekanisme reaksi sulfonasi metil ester


Proses sulfonasi dengan gas SO3 menghasilkan produk dengan kualitas yang
tinggi. Proses ini dilakukan secara kontinu dan volume produksi yang besar serta
bersifat zero waste yaitu tidak dihasilkan limbah pada prosesnya.

Proses ini

memerlukan kontrol yang sangat ketat karena sifat SO3 bersifat sangat reaktif.
Sulfur trioksida (SO3) adalah bahan kimia elektrofilik yang agresif dan sangat
reaktif terhadap

komponen organik

karena dapat mendonorkan

gugus

elektron. Reaksi bersifat eksotermik dan banyak komponen organik menjadi hitam
setelah reaksi terbentuk. Reaksi juga menyebabkan adanya peningkatan
kekentalan produk menjadi 15-300 kali lipat dibandingkan bahan organik itu
sendiri. Kekentalan ini sering menyulitkan pendinginan sehingga dalam
prosesnya dibutuhkan

transfer panas yang

tepat. Pengendalian

terhadap

perbandingan molar reaktan sangat diperlukan mengingat SO 3 yang berlebih


dalam reaksi dapat menyebabkan terbentuknya by product yang tidak diiginkan
(Foster 1996).
Suhu dan rasio mol reaktan merupakan faktor penting dalam proses
sulfonasi dimana peningkatan suhu dapat mempercepat laju reaksi dengan
meningkatkan jumlah fraksi molekul yang mencapai energi aktivasi, sementara
rasio mol reaktan harus dikendalikan dalam proses sulfonasi karena kelebihan
reaktan (SO3) akan menyebabkan pembentukan produk samping.
Kajian sulfonasi minyak nabati untuk menghasilkan surfaktan MES antara
lain telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Pore (1993) melakukan reaksi
sulfonasi alkil -sulfopalmitat dengan menggunakan natrium bisulfit (NaHSO 3)
pada suhu antara 60 100oC dengan waktu reaksi 3 sampai 6 jam tanpa
pemurnian menghasilkan tegangan permukaan 40,2 mN/m dan tegangan

antarmuka 9,7 mN/m.


Sheats dan MacArthur (2002) mengkaji pengaruh suhu dan rasio mol
reaktan dalam proses sulfonasi untuk menghasilkan MES dengan mereaksikan gas
SO3 dan metil ester dalam tubullar falling film reactor pada perbandingan reaktan
gas SO3 dan metil ester 1,2:1 hingga 1,3:1 pada suhu 50-60o C. Proses sulfonasi
menggunakan Falling Film Reactor (FFR) dengan laju sekitar 0,1 kg mol perjam.
Suhu masuk gas SO3 ke dalam reaktor adalah 42oC dan suhu masuk untuk metil
ester sekitar 40-56oC. Baker (1995) melakukan proses sulfonasi dengan
mereaksikan alkil ester dan gas SO3 dalam falling film reactor, dengan
perbandingan reaktan antara SO3 dan alkil ester yaitu 1,1:1 hingga 1,4:1, pada
suhu 7595 oC selama 20-90 menit.
Kremers (1971) melakukan proses sulfonasi castor oil secara langsung
dengan SO3 dalam wadah komersial baik kontinyu maupun batch. Produk
memiliki warna yang baik, larut sempurna dalam air, dan memiliki stabilitas yang
baik pada kondisi asam. Sulfonasi castor oil menggunakan rasio mol sekitar 2:1,
yaitu 2 mol untuk SO3 dan 1 mol untuk castor oil walaupun secara teori sangat
mungkin untuk mereaksikan 6 mol SO 3 dengan 1 mol castor oil. Sulfonasi
menggunakan SO3 pada konsentrasi 4%-v dalam udara kering, suhu reaksi sekitar
45 - 50oC selama 20 - 25 menit.
Tingkat sulfonasi pada rasio mol ester : SO3 sebesar 1 : 1,3 merupakan
fungsi waktu (Stein dan Baumann 1975). Sulfonasi terjadi dengan cukup baik
pada suhu 70 - 90oC. Pada suhu rendah, reaksi eksotermal terjadi secara cepat dan
hanya sedikit reaksi sulfonasi terjadi. Reaksi sulfonasi hanya dapat meningkat
dengan meningkatnya suhu sulfonasi. Reaksi sulfonasi ini diperkirakan terjadi
pada atom C-.
Agar sulfonasi dapat berjalan secara sempurna, SO 3 digunakan secara
berlebih. Jumlah SO3 yang digunakan merupakan faktor yang menentukan
pembentukan produk samping dan tergantung dari kondisi proses sulfonasi yang
digunakan. Stein dan Baumann (1975) menemukan bahwa proses sulfonasi palm
kernel oil secara batch pada skala laboratorium menggunakan SO3 sejumlah 30%mol secara berlebih selama 50-60 menit menghasilkan rendemen sekitar 95%
sedangkan proses sulfonasi menggunakan SO3 berlebih sejumlah 20%-mol pada

falling film reactor kontinyu menghasilkan rendemen sekitar 97%.


Reaksi sulfonasi molekul asam lemak dapat terjadi pada tiga sisi yaitu : (1)
gugus karboksil; (2) bagian -atom karbon; (3) rantai tidak jenuh (ikatan
rangkap). Gambar 4 menggambarkan sisi sisi yang memungkinkan terjadinya
sulfonasi. Pemilihan proses sulfonasi tergantung pada banyak faktor yaitu : (1)
karakteristik dan kualitas produk akhir yang diinginkan, (2) kapasitas produksi
yang disyaratkan, (3) biaya bahan kimia, (4) biaya peralatan proses, (5) sistem
pengamanan yang diperlukan, dan (6) biaya pembuangan limbah hasil proses.

Gambar 4 Kemungkinan terikatnya reaksi kimia dalam proses sulfonasi


(Jungermann 1979)
Reaksi sintesis MES yang mungkin terjadi tersaji pada Gambar 5. Proses
sulfonasi akan menghasilkan produk berwarna gelap, sehingga dibutuhkan proses
pemurnian meliputi pemucatan dan netralisasi (Watkins 2001). Pemurnian MES
bertujuan untuk mengurangi warna gelap akibat terbentuknya komponen warna
dan menghasilkan MES yang memiliki daya kinerja yang lebih baik perlu
dilakukan proses pemurnian. Beberapa faktor yang mempengaruhi warna MESA
antara lain adalah kandungan bahan minor ME, rasio mol SO 3 dan ME, waktu dan
suhu aging, tingkat ketidak jenuhan ME, dan berat molekul ME (Sheats dan
MacArthur 2008).

Gambar 5 Sintesis metil ester sulfonat (MacArthur et al. 1998)

Tahap pemurnian MESA dilakukan dengan menambahkan larutan H 2O2 dan


larutan metanol dan kemudian dilanjutkan dengan proses netralisasi dengan
menambahkan larutan alkali (KOH atau NaOH). Metanol berfungsi
mengurangi

pembentukan

disalt,

mengurangi

viskositas,

dan

untuk
mampu

meningkatkan transfer panas dalam proses pemutihan. Menurut Sheats dan


MacArthur (2008) dan Stein dan Baumann (1975), beberapa faktor yang
mempengaruhi warna MES hasil pemurnian adalah jumlah penambahan agent
pemucat, jumlah penambahan metanol, suhu dan lama pemucatan, dan suhu
netralisasi.
Sherry et al. (1995) melakukan proses pemurnian palm C 16-18 kalium metil
ester sulfonat (KMES) yang diteliti tanpa melalui proses pemucatan. Pemurnian
produk dilakukan dengan mencampurkan ester sulfonat dengan 10-15 % metanol
di dalam digester, dan dilanjutkan dengan proses netralisasi berupa penambahan
50 % KOH. Sementara itu, Sheats dan MacArthur (2002) memurnikan MES
menggunakan metanol 31 sampai 41% (b/b) dan hidrogen peroksida (1-4% b/b)
pada suhu 95-100oC selama 1-1,5 jam dan kemudian dinetralisasi menggunakan
NaOH 50% pada suhu 55oC. Proses ini menghasilkan MES dengan nilai pH 5,5
7,5.
Metanol berfungsi mengurangi pembentukan garam disodium karboksi
sulfonat. Pada umumnya, MES mengandung disalt sekitar 5% berdasarkan basis
bahan aktif. Kehadiran garam mampu menurunkan kelarutan MES dalam air
dingin, lebih sensitif terhadap air sadah, memiliki deterjensi 50% lebih rendah dan
menurunkan daya simpan produk. Dua kemungkinan reaksi pembentukan garam
pada tahap netralisasi MES disajikan pada Gambar 6.
O
(1) R

CH (C

O
OCH3):SO3 (III) + 3NaOH

SO3Na
Senyawa intermediet III

R CH

ONa + 2H2O + CH3OSO3Na

SO3Na
Disalt

Sodium metil sulfat

O
(2) R

CH

O
OCH3 + NaOH

SO3Na

R CH

ONa + CH3OH

SO3Na

Metil ester sulfonat

Disalt

Metanol

Gambar 6 Reaksi pembentukan garam (disalt) (1) pada tahap netralisasi dan (2)
akibat proses hidrolisis produk MES (Sheats dan MacArthur 2002)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Kerangka Pemikiran


Metil ester sulfonat (MES) merupakan salah satu jenis surfaktan anionik
yang dapat dibuat dengan menggunakan bahan baku metil ester dari CPO. MES
yang merupakan golongan baru dalam kelompok surfaktan anionik telah mulai
dimanfaatkan sebagai bahan aktif pada produk-produk pencuci dan pembersih

(washing and cleaning products) (Hui 1996; Matheson 1996).

Pemanfaatan

surfaktan MES sebagai bahan aktif pada deterjen telah banyak dikembangkan
karena prosedur produksinya mudah, memperlihatkan karakteristik dispersi yang
baik, sifat detergensinya tinggi walaupun pada air dengan tingkat kesadahan yang
tinggi (hard water) dan tidak adanya fosfat, mempunyai asam lemak C 16 dan C18
yang mampu memberikan tingkat detergensi yang terbaik, memiliki sifat toleransi
terhadap ion Ca yang lebih baik, memiliki tingkat pembusaan yang lebih rendah
dan memiliki stabilitas yang baik terhadap pH.

Bahkan MES C 16-C18

memperlihatkan aktivitas permukaan yang baik, yaitu sekitar 90 % dibandingkan


linier alkil benzen sulfonat (LABS) (de Groot 1991; Hui 1996; Matheson 1996).
Gas SO3 merupakan reaktan yang paling umum digunakan untuk proses
sulfonasi alkil ester. Kelebihan gas SO3 sebagai agen pensulfonasi antara lain
bersifat reaktif, menghasilkan konversi yang lebih sempurna, dan tidak terdapat
limbah pada prosesnya (Sheats dan MacArthur 2008).

Penelitian

sulfonasi

menggunakan gas SO3 telah banyak dilakukan oleh berbagai peneliti di dunia
antara lain adalah Pore (1993), Sheats dan MacArthur (2002), dan Baker (1995)
dengan menggunakan berbagai jenis bahan baku berupa minyak nabati antara lain
adalah olein, stearin, PKO, dan tallow. Pada penelitian menggunakan metil ester
CPO diharapkan mampu mengurangi biaya produksi karena tidak diperlukan
proses fraksinasi. Sementara kajian sulfonasi dari minyak sawit menggunakan
reaktan gas SO3 di Indonesia belum pernah dilakukan akibat teknologi sulfonasi
belum berkembang di Indonesia. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka perlu
dilakukan pengembangan penelitian untuk memperbaiki proses sulfonasi metil
ester yang telah dilakukan sebelumnya oleh Hambali et al. (2006) dengan
memanfaatkan gas SO3 sebagai reaktan dan menggunakan falling film reactor
sebagai reaktor sulfonasi.
Peningkatan suhu akan menurunkan viskositas dari metil ester sehingga
pembentukan lapisan film dalam reaktor akan semakin tipis. Hal ini menyebabkan
kontak antara metil ester dan gas SO3 dapat berlangsung optimal.

Dengan

diketahuinya lama proses sulfonasi untuk mencapai kondisi tunak diduga dapat
mengoptimalkan reaksi antara metil ester dan reaktan gas SO 3. Penelitian ini
menggunakan STFR yang telah dikembangkan oleh Hambali, et al. (2009).

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kondisi terbaik suhu pemanasan


bahan pada kondisi tunak pada proses sulfonasi metil ester CPO dengan gas SO 3
yang menghasilkan MESA dan diproses lebih lanjut sehingga menghasilkan MES.
Selain itu, bertujuan untuk mengetahui sifat fisikokimia dari MESA yang
dihasilkan dan sifat fisikokimia MES.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi
bahan-bahan untuk produksi metil ester, bahan-bahan untuk proses sulfonasi, dan
bahan-bahan untuk analisis. Bahan-bahan untuk produksi metil ester CPO
terdiri dari CPO (crude palm oil), metanol, asam sulfat, KOH, dan air. Bahan
kimia untuk proses sulfonasi metil ester menjadi MESA adalah metil ester CPO
dan gas SO3 (diperoleh dari PT Mahkota Indonesia dan dialirkan ke reaktor
sulfonasi).
Bahan bahan
adalah kloroform,

yang digunakan untuk analisis sifat fisiko kimia CPO

pereaksi hanus, KI 15%,

Na2S2O3 0,1N,

indikator pati,

alkohol netral 95%, indikator phenolptalein, dan KOH 0,1N. Bahan bahan
untuk analisis sifat fisiko kimia metil ester CPO antara lain

aquades, KOH

beralkohol, karbon tertraklorida (campuran 50% sikloheksan dan 50% asam asetat
glasial), reagen Wijs, KI, Na2S2O3 0,1N, kloroform, asam asetat glasial, asam
periodat, dan phenolptalein. Bahan bahan untuk analisis MESA dan MES
antara lain buffer pH 4,00 dan 7,00, aquades, indikator phenolptalein, NaOH 0,1
N, metilen blue, kloroform, sikloheksan, asam asetat glasial, indikator pati, KI
10%, reagen Wijs, Na2S2O3 0,1N dan larutan n-Cetylpyridium Chloride 0,002M.
Peralatan yang digunakan untuk proses produksi metil ester CPO adalah
satu unit reaktor untuk pembuatan metil ester berkapasitas 100 l terdiri dari
tangki pemanasan bahan, esterifikasi, transesetrifikasi, settling, pencucian, dan
pengeringan. Peralatan utama yang digunakan untuk proses pembuatan MESA
adalah seperangkat reaktor sulfonasi (single tube falling film reactor) dengan
tinggi 6 m dengan diameter 25 mm. Peralatan yang digunakan untuk analisis
terdiri dari pH meter, seperangkat alat
piknometer, gelas piala,

Karl Fischer, seperangkat alat GC,

erlenmeyer, labu pengenceran, pipet

tetes,

pipet

volumetrik, bulb, magnetic stirer, buret, penangas air, dan gelas ukur tutup
asah. Skema STFR yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Skema STFR yang digunakan dalam penelitian

3.3 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Februari Agustus 2010.
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Surfaktan SBRC - IPB yang terletak
di PT. Mahkota Indonesia, Jakarta dan Laboratorium SBRC Institut Pertanian
Bogor.
3.4 Metode
Tata laksana penelitian terdiri dari 8 tahap, yaitu: 1) analisis sifat
fisikokimia CPO, 2) produksi metil ester CPO skala pilot plant, 3) analisis sifat
fisikokimia metil ester CPO, 4) penentuan kondisi steady state proses sulfonasi, 5)
penentuan pengaruh suhu pemanasan bahan pada kondisi steady state proses

sulfonasi metil ester CPO, 6) analisis sifat fisikokimia produk surfaktan MESA, 7)
netralisasi surfaktan MESA, dan 8) analisis sifat fisikokimia surfaktan MES.
Secara skematis tata laksana penelitian dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Tata laksana penelitian

3.4.1 Analisis Sifat Fisikokimia Crude Palm Oil


Tahap ini adalah untuk mengetahui sifat fisikokimia CPO yang digunakan
dalam penelitian.

Pada tahapan ini dilakukan analisis sifat fisikokimia CPO

meliputi FFA, bilangan asam, bilangan iod, bilangan penyabunan, kadar air, dan
komposisi asam lemak penyusunnya. Prosedur analisis untuk mengetahui sifat
fisikokimia CPO disajikan pada Lampiran 1.

3.4.2 Pembuatan Metil Ester dari Minyak Sawit Kasar


Metil ester CPO diproduksi melalui dua tahapan reaksi yaitu tahap pertama
adalah reaksi esterifikasi kemudian dilanjutkan dengan reaksi transesterifikasi.
Pada reaksi esterifikasi, CPO yang telah diketahui nilai FFA-nya direaksikan
dengan campuran metanol dan H2SO4 sebagai katalis (metanol 225% dan 5%
H2SO4 dari %FFA CPO). Reaksi esterifikasi dilakukan selama 1 jam pada suhu
50-60C dengan kecepatan pengaduk 300-500 rpm.
Selanjutnya dilakukan proses settling (pengendapan) selama 24 jam untuk
memisahkan campuran ester asam lemak dan trigliserida dari sisa metanol. Tahap
kedua adalah proses transesterifikasi dengan cara pemanasan ester asam lemak
dan trigliserida hingga suhu 60C kemudian dimasukkan dalam tangki
transesterifikasi dan ditambahkan larutan metoksida (metanol 15% v/v, KOH 1%
b/v) dengan pengadukan selama 1 jam. Setelah 1 jam, dipindahkan ke dalam
tangki settling dan diendapkan selama 24 jam untuk memisahkan gliserol.
Gliserol dipisahkan, kemudian dilakukan pencucian menggunakan air minimal 34 kali untuk menghilangkan gliserol dan sabun yang terbentuk.

Selanjutnya

dilakukan proses pengeringan dengan pemanasan dan pengadukan hingga tidak


terlihat lagi gelembung air pada permukaan. Metil ester CPO yang telah diperoleh
dianalisis meliputi kadar air, bilangan iod, bilangan asam, bilangan penyabunan,
gliserol total, kadar ester, dan komposisi asam lemak penyusun metil ester CPO.
Prosedur analisis metil ester CPO dapat dilihat pada Lampiran 2.
3.4.3 Proses produksi MESA dan MES
Tahapan ini dilakukan untuk memperoleh surfaktan MESA berbahan dasar
metil ester CPO. Proses produksi dilakukan dengan menggunakan Single Tube
Falling Film Reactor (STFR) dan gas SO3 sebagai agen pensulfonasi. Kondisi
proses meliputi suhu pemanasan bahan 80, 90, dan 100C dan dilakukan sampling
selama periode proses untuk mencapai kondisi steady state (tunak) yaitu 0, 1, 2, 3,
4, 5, dan 6 jam. Untuk mencapai suhu yang diinginkan bahan dipanaskan selama 2
jam kemudian bahan dialirkan ke dalam reaktor. Proses sampling dilakukan untuk
mengetahui kondisi tunak proses sulfonasi. Pengukuran kondisi tunak dilakukan
sebelum penentuan pengaruh suhu pemanasan bahan. Kondisi tunak merupakan

lama proses sulfonasi yang menghasilkan surfaktan MESA dan MES dengan sifat
fisikokimia yang cenderung stabil.
Produk MESA yang dihasilkan sebagian dinetralisasi menggunakan NaOH
50% sehingga diperoleh MES (MESA netral) dengan kisaran pH 6 8. Produk
MESA dan MES yang terbentuk selanjutnya dianalisis meliputi nilai pH, bilangan
asam, densitas, viskositas, bilangan iod dan kadar bahan aktif. Prosedur analisis
sifat fisikokimia MESA dan MES dapat dilihat pada Lampiran 3.
Proses sulfonasi diawali dengan menyiapkan reaktor singletube falling film
reactor. Hal yang perlu diperhatikan antara lain keberadaan air, kebersihan reator
dan unit unit pendukungnya (tube, selang input ME dan selang sirkulasi, serta
valve pengatur besar laju umpan ME), valve pengumpan gas SO3, dan kerapatan
ring, cincin cincin, dan kunci perekat reaktor. Selama ME disirkulasi, valve
bypass dibuka sehingga laju alir ME yang diumpankan menuju tube sebesar
50 ml/menit. Setelah suhu ME mencapai suhu yang diinginkan, buka valve gas
yang terpasang pada single tube falling film reactor dan valve gas sumber gas SO3
yang terdapat pada single tube falling film reactor. Sirkulasi ME dan suhu
pemanasan bahan dipertahankan konstan selama proses sulfonasi.
3.5 Rancangan Percobaan
Penentuan kondisi tunak proses sulfonasi dilakukan dengan analisis regresi
linier dan kuadratik. Pada selang lama proses sulfonasi mencapai kondisi tunak,
sifat fisikokimia (pH, bilangan asam, densitas, viskositas, bilangan iod, dan kadar
bahan aktif) akan mengalami perubahan yang dapat digambarkan dalam bentuk
kurva dan persamaan regresi. Lama proses sulfonasi yang menghasilkan sifat
fisikokimia yang konstan, maka dapat menunjukkan kondisi tunak proses
sulfonasi.
Penelitian ini dilakukan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
Faktorial dengan 1 faktor yaitu suhu pemanasan bahan (A) dengan taraf faktor
80, 90, dan 100oC. Percobaan dilakukan 2 kali ulangan. Data yang diperoleh
dianalisis menggunakan Anova, untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan
dilakukan uji Jarak Berganda menurut Duncan pada taraf 5%. Parameter yang

diamati meliputi nilai pH, bilangan asam, viskositas, densitas, bilangan iod dan
kadar bahan aktif. Model matematika dalam percobaan ini adalah sebagai berikut:
Yij= + ti + ij
Dimana :
Yij

= hasil pengamatan pada ulangan ke-j dan suhu pemanasan bahan ke-i

= efek umum rata-rata yang sebenarnya

Ai

= efek yang sebenarnya pada faktor A, taraf ke-i (i=1,2,3)

(ij)

= efek error atau kekeliruan akibat ulangan ke-j dan suhu pemanasan ke-i

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Sifat Fisikokimia CPO

Analisis sifat fisikokimia minyak sawit kasar atau Crude Palm Oil (CPO)
bertujuan untuk mengetahui kondisi awal bahan baku yang digunakan pada
penelitian. Data sifat fisikokimia CPO dapat digunakan sebagai acuan untuk
menentukan metode proses yang akan digunakan untuk mengkonversi CPO
menjadi metil ester CPO. Beberapa parameter yang dianalisis meliputi kadar air,
bilangan asam, kadar asam lemak bebas, bilangan iod, bilangan penyabunan,
indeks bias, dan komposisi asam lemak penyusun CPO. Hasil analisis sifat
fisikokimia CPO dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Hasil analisis sifat fisikokimia CPO
Sifat fisikokimia
Kadar air (%)
Bilangan asam (mg KOH/g minyak)
Kadar asam lemak bebas (%)
Bilangan iod (mg I/g minyak)
Bilangan penyabunan (mg KOH/g
minyak)
Komposisi asam lemak (%):
Laurat (C12:0)
Miristat (C14:0)
Palmitat (C16:0)
Stearat (C18:0)
Oleat (C18:1)
Linoleat (C18:2)
Linolenat (C18:3)

Nilai
Hasil penelitian
Rujukan
0,16
Maks. 0,5 b
9,26
6,9 a
7,2
Maks. 0,5 b
51,4
44 54 b
206,44
224-249 a

Hui (1996)

SNI 01-2901-2006

Godin dan Spensley (1971) dalam Salunkhe et al. (1992)

0,17
1,97
42,08
4,13
39,02
10,65
1,48

< 1,2 c
0,5 5,9 c
32 59 c
1,5 8 c
27 52 c
5,0 14 c
< 1,5 c

Nilai kadar air CPO yang digunakan pada penelitian ini adalah sebesar
0,16 % dan telah memenuhi syarat kadar air CPO sebagai bahan baku pembuatan
metil ester yang ditetapkan pada SNI (01-2901-2006) yaitu maksimal 0,5 %. Air
merupakan salah satu faktor internal yang dapat mempengaruhi kesempurnaan
reaksi transesterifikasi.

Faktor internal merupakan kondisi yang berasal dari

minyak seperti kandungan air dan asam lemak bebas. Sementara faktor eksternal
merupakan kondisi yang tidak berasal dari minyak meliputi lama reaksi, suhu
reaksi, kecepatan pengadukan, rasio molar minyak dan metanol, dan tipe katalis
(Freedman et al. 1984).

Menurut Gerpen et al. (2004) kandungan air dalam bahan baku maksimal
sebesar 1 %. Adanya air dapat menyebabkan terjadinya hidrolisis minyak menjadi
gliserol dan asam lemak bebas. Ma dan Hanna (1999) menambahkan adanya
kandungan air dan asam lemak bebas pada minyak dapat berpengaruh terhadap
pembentukan sabun selama reaksi, menurunkan efisiensi katalis, meningkatkan
viskositas, dan menyebabkan kesulitan dalam pemisahan gliserol.
Bilangan asam maupun kadar asam lemak bebas yang diperoleh dari hasil
analisis CPO tidak memenuhi syarat mutu berdasarkan SNI (01-2901-2006).
CPO yang digunakan dalam penelitian ini memiliki nilai bilangan asam yang
cukup tinggi yaitu 9,26 mg KOH/g minyak dan kadar asam lemak bebas 7,2 %.
Nilai ini melebihi dari nilai bilangan asam menurut Hui (1996) yaitu sebesar 6,9
mg KOH/g minyak. Tingginya nilai bilangan asam kemungkinan disebabkan oleh
penyimpanan CPO dalam jangka panjang sehingga terjadi hidrolisis. Air dalam
minyak dapat menyebabkan terjadinya hidrolisis sehingga terbentuk asam lemak
bebas dan gliserol.
Penentuan nilai kadar asam lemak bebas diperlukan sebagai acuan dalam
menentukan proses yang dibutuhkan untuk mengubah minyak dan asam lemak
menjadi metil ester. Kadar asam lemak bebas diatas 2 % mengharuskan minyak
diesterifikasi terlebih dahulu dan dilanjutkan dengan proses transesterifikasi.
Proses transesterifikasi secara langsung menggunakan minyak dengan kandungan
asam lemak bebas diatas 2 % tidak cukup efektif karena akan terbentuk sabun
akibat reaksi yang terjadi antara katalis basa dengan asam lemak bebas. Hal ini
dapat mengganggu proses pemisahan antara gliserol dan metil ester sehingga
mengurangi rendemen metil ester. Dengan demikian basa yang digunakan tidak
efektif lagi berperan sebagai katalis. Menurut Formo (1954) sabun yang terbentuk
dapat menghalangi proses secara keseluruhan sehingga pada akhirnya metil ester
tidak dapat terbentuk. Semakin banyak asam lemak bebas yang dimiliki maka
semakin tinggi pula nilai bilangan asamnya.
Bilangan iod adalah jumlah (g) iod yang dapat diikat oleh 100 g minyak.
Ikatan rangkap yang terdapat pada minyak atau lemak akan diadisi oleh iod.
Minyak dengan tingkat ketidakjenuhan yang tinggi, akan mengikat iod dalam
jumlah yang lebih besar. Dengan kata lain, bilangan iod akan menunjukkan

derajat ketidakjenuhan minyak dan dapat dipergunakan untuk menggolongkan


jenis minyak. Minyak sawit kasar yang digunakan dalam penelitian ini memiliki
bilangan iod sebesar 51,4 mg I/g minyak. Nilai tersebut sesuai nilai bilangan iod
yang diperoleh Hui (1996) yaitu 44 - 54 mg I/g minyak. Berdasarkan nilai
bilangan iod, minyak sawit kasar termasuk ke dalam minyak tidak mengering.
Menurut Ketaren (2005), bilangan iod dengan nilai dibawah 100 mg I/ g minyak
termasuk jenis minyak tidak mengering.

Jenis ikatan asam lemak tidak

memberikan pengaruh terhadap pemilihan jenis proses konversi minyak menjadi


metil ester, jenis ikatan asam lemak hanya mempengaruhi kelarutan minyak dalam
air.
Bilangan penyabunan adalah jumlah miligram KOH yang diperlukan
untuk menyabunkan 1 g minyak. Apabila sejumlah contoh minyak disabunkan
dengan larutan KOH berlebih dalam alkohol maka KOH akan bereaksi dengan
trigliserida membentuk sabun dan gliserol (Ketaren 2005). Bilangan penyabunan
untuk tiap-tiap minyak memiliki nilai tertentu sehingga dapat digunakan untuk
melihat kemurnian minyak. Nilai bilangan penyabunan CPO yang digunakan
dalam penelitian ini sebesar 206,44 mg KOH/ g minyak. Nilai ini masih dibawah
kisaran bilangan penyabunan menurut Hui (1996) yaitu sebesar 224 229 mg
KOH/g minyak.
Berdasarkan hasil analisis Gas Chromatography diperoleh komposisi asam
lemak penyusun CPO dengan perbandingan persentase antara asam lemak jenuh
dan tidak jenuh yang hampir sama. Asam palmitat dan asam oleat merupakan
asam lemak dominan yang terdapat dalam CPO dengan komposisi masing-masing
sebesar 42,08 dan 39,02 %. Nilai ini masih dalam kisaran yang diperoleh Godin
dan Spensley (1971) yaitu komposisi asam palmitat berkisar antara 32 59 %
dan asam oleat 27 52 %.

4.2 Sifat Fisikokimia Metil Ester CPO


Analisis sifat fisikokimia metil ester CPO bertujuan untuk mengetahui sifatsifat fisikokimia metil ester yang dihasilkan dari proses esterifikasi dan
transesterifikasi serta menunjukkan keberhasilan dari proses tersebut. Sifat

fisikokimia yang dianalisis meliputi kadar asam lemak bebas, bilangan asam,
bilangan iod, bilangan penyabunan, kadar air, kadar gliserol, kadar ester, dan
komposisi asam lemak penyusun metil ester CPO. Hasil analisis sifat fisikokimia
metil ester CPO dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Hasil analisis sifat fisikokimia metil ester CPO
Analisis
Kadar air (%)
Bilangan asam (mg KOH/g sampel)
Kadar asam lemak bebas (%)
Bilangan iod (mg I/g sampel)
Bilangan penyabunan (mg KOH/g sampel)
Kadar gliserol total (%)
Kadar ester (%)
Laurat (C12:0)
Miristat (C14:0)
Palmitat (C16:0)
Stearat (C18:0)
Oleat (C18:1)
Linoleat (C18:2)
Linolenat (C18:3)
a

Nilai
Hasil penelitian
0,08
0,16
0,07
50,72
204,8
0,31
99,23
0,08
1,39
42,63
4,38
39,32
10,42
0,08

Rujukan a
maks. 0,05
maks. 0,8
maks. 115
maks. 0,24
min. 96,5

SNI (04-7182-2006)

Hasil analisis kadar air metil ester CPO sebesar 0,08 %, nilai ini masih
lebih tinggi dari syarat mutu berdasarkan SNI (04-7182-2006) yaitu maksimal
0,05 %. Kadar air yang cukup tinggi ini kemungkinan disebabkan oleh proses
pengeringan metil ester berlangsung kurang sempurna sehingga masih terkandung
air dalam metil ester.
Penggunaan metil ester sebagai bahan baku pembuatan Metil Ester
Sulfonat sangat memfokuskan pada tingginya hidrogenasi dan kemurnian bahan
baku yaitu tingkat ketidakjenuhan dan distribusi rantai karbon didalamnya.
Distribusi asam lemak yang beragam sebagai penyusun metil ester CPO dan
adanya ikatan rangkap dalam struktur karbon menyebabkan metil ester menjadi
tidak stabil terhadap pengaruh oksidasi. Hampir setengah bagian komponen
penyusun metil ester CPO merupakan asam lemak tidak jenuh berupa asam oleat,
asam linoleat, dan asam linolenat.

Metil ester CPO yang digunakan pada penelitian ini memiliki nilai
bilangan iod 50,72 mg I/g ME atau setara dengan 5,072 cg I/g ME. Bilangan iod
lebih tinggi dari standar bahan baku yang digunakan oleh Chemiton yaitu
0,3 cg I/g ME atau lebih rendah (Sheats dan MacArthur 2002). Bilangan iod
berpengaruh terhadap kepekatan warna hitam pada produk MES. Penggunaan
bahan baku dengan bilangan iod yang lebih tinggi akan meningkatkan intensitas
warna produk menjadi lebih gelap. Chemiton menggunakan 5 bahan baku dalam
pembuatan MES yaitu minyak kelapa, PKO, stearin sawit, tallow, dan minyak
kedelai. Bilangan iod minyak kelapa, stearin sawit, dan tallow berkisar antara
0,1 0,3 cg I/g ME dan dihasilkan produk dengan warna 30 180 Klett,
sedangkan untuk PKO dan minyak kedelai dengan bilangan iod yang lebih tinggi
dari 0,3 cg I/ g ME yaitu berkisar antara 1,1 1,4 cg I/g ME dihasilkan produk
dengan warna lebih gelap yaitu 310 410 Klett. Proses hidrogenasi dilakukan
untuk menjenuhkan ikatan rangkap pada metil ester sehingga mengurangi tingkat
oksidasi metil ester dan pembentukan carboxymethyl internal olefin sulfonate
yang mengakibatkan perubahan warna menjadi lebih gelap (Robets et al. 2008).
Produksi metil ester CPO pada penelitian ini dilakukan pada skala
produksi 100 l/batch melalui dua tahap proses yaitu esterifikasi dan
transesterifikasi. Hal ini dilakukan karena kadar asam lemak bebas pada CPO
diatas 2 % yaitu sebesar 7,2 %.

Pada proses esterifikasi, CPO yang telah

diketahui nilai FFA-nya direaksikan dengan metanol dan H 2SO4 sebagai katalis.
Diketahui bahwa nilai FFA sebesar 7,2 % maka ditambahkan metanol sebanyak
16,2 % dan H2SO4 0,36 % dari total bahan baku CPO sehingga diperoleh reaksi
yang sempurna.

Proses dilakukan selama 1 jam pada suhu 50-60C dengan

kecepatan pengaduk 300-500 rpm. Tahapan ini bertujuan untuk mengubah asam
lemak bebas menjadi alkil ester dan memisahkannya dari bahan lain seperti sisa
metanol, air, gum, serta sabun yang ada di bagian atas. Selanjutnya dilakukan
proses transesterifikasi untuk menyempurnakan konversi trigliserida menjadi alkil
ester dengan penambahan larutan metoksida. Reaksi esterifikasi dapat dilihat
pada Gambar 9.
RCOOH

ROH

RCOOR + H2O

Asam lemak

Alkohol

Alkil ester

Air

Gambar 9 Reaksi esterifikasi antara asam lemak dengan metanol (Hui 1996)
Reaksi transesterifikasi pada CPO dapat memecah rantai trigliserida
menjadi lebih pendek dengan menggunakan katalis asam atau basa. Ada tiga
tahapan reaksi tranesterifikasi yaitu pembentukan produk antara digliserida (DG)
dan monogliserida (MG) yang akhirnya membentuk 3 mol metil ester (FAME atau
fatty acid methyl ester) dan 1 mol gliserol (GL) (Darnoko 2000). Reaksi
transesterifikasi secara lengkap dan tahapannya masing-masing dapat dilihat pada
Gambar 10 dan 11.

3 FAME

Gambar 10 Reaksi transesterifikasi trigliserida (Darnoko 2000)


FAME
FAME
FAME

Gambar 11 Tahapan reaksi transesterifikasi (Darnoko 2000)


Nilai bilangan asam dan kadar asam lemak bebas metil ester CPO lebih
rendah dibandingkan dengan nilai bilangan asam dan kadar asam lemak bebas
pada CPO. Nilai bilangan asam CPO sebesar 9,26 mg KOH/g sampel menurun
menjadi 0,16 mg KOH/g sampel dan kadar asam lemak bebas 7,2 % menurun
menjadi

0,07%.

Hal

ini

menunjukkan

bahwa

proses

esterifikasi

dan

transesterifikasi telah mampu menurunkan keasaman pada metil ester CPO. Nilai
bilangan asam metil ester yang diperoleh pada penelitian memenuhi syarat mutu
berdasarkan SNI 04-7182-2006 dimana nilai bilangan asam maksimal 0,8 mg
KOH/g sampel.

Keberhasilan konversi CPO menjadi metil ester CPO dapat

dilihat dari kadar ester. Kadar ester yang diperoleh cukup tinggi yaitu sebesar

99,23 %, hal ini menunjukkan bahwa 99,23 % CPO telah terkonversi menjadi
metil ester.
4.3 Proses Sulfonasi Metil Ester Menjadi MESA (Methyl Ester Sulfonic Acid)
Pada penelitian ini proses sulfonasi metil ester dilakukan pada Single Tube
Falling Film Reactor (STFR) dengan tinggi 6 m dan diameter 25 mm. Pada
industri surfaktan menggunakan Multitube Film Sulfonation Reactor untuk
mereaksikan gas SO3 dengan berbagai macam bahan organik. Gas SO3 dialirkan
dalam pipa, dimana di dinding bagian dalam pipa dialirkan bahan organik dalam
bentuk film tipis, kedua bahan tersebut mengalir secara co-current. Diameter
tabung reaktor sangat berhubungan dengan pembentukan dan pengendalian
ketebalan film. Untuk suatu laju alir gas/liquid tertentu, diameter tabung
mempengaruhi ketebalan film dan menentukan kecepatan gas dan menghasilkan
turbulensi yang sama.
Dalam falling film reactor, penyerapan gas SO3 terjadi pada bagian puncak
reaktor sampai bagian dasar. Reaksi terbesar terjadi pada puncak reaktor sehingga
suhu tertinggi akan terjadi di bagian atas reaktor dimana film mulai terbentuk dan
absorpsi gas maksimum. Pemilihan panjang reaktor dan diameter tube yang tepat
merupakan kunci untuk disain reaktor yang memiliki tampilan mendekati model
ideal.

Dimensi geometrik tabung memiliki pengaruh terhadap distribusi dan

ketebalan film, kecepatan gas, pola liquid di sepanjang reaktor, derajat


pengendalian terhadap profil suhu reaktor, dan pembentukan produk samping
yang tidak diinginkan.

Reaktor falling film yang digunakan juga dilengkapi

dengan tangki penampung bahan organik berkapasitas 8 l dan terbuat dari


stainless steel yang dilengkapi dengan lubang pengeluaran produk dan pemanas,
sistem by pass input bahan organik, saluran gas SO3, lubang pengambilan sampel,
pompa pemasukan bahan organik, dan sistem pengatur pemasukan gas SO 3.
Proses sulfonasi ME terjadi disepanjang tabung.
Metil ester dialirkan terlebih dahulu dan setelah aliran stabil, kemudian
dialirkan gas SO3 sehingga terjadi reaksi sulfonasi yang bersifat eksotermik.
Metil ester dipompa ke head reactor atau puncak reaktor pada laju alir bahan 50
ml/menit, masuk ke liquid chamber dan mengalir turun membentuk liquid film

dengan ketebalan tertentu yang dibentuk oleh corong head yang didisain khusus
untuk keperluan ini. Untuk menjaga laju alir bahan organik konstan, maka
digunakan sistem by pass yang akan mengembalikan bahan organik pada tangki
penampung. Ini dilakukan untuk menyesuaikan kekuatan pompa pensuplai bahan
organik dan laju alir bahan organik yang diinginkan. Selama sirkulasi ME akan
terus kontak dengan gas SO3. Semua peralatan yang digunakan untuk proses
sulfonasi harus dipastikan kering, terbebas dari udara dan air. Reaktor STFR
dapat dilihat pada Gambar 12.
Saluran
steam

Reaktor
STFR
Separator gas dan cairan
Tabung pencampur SO3/udara kering

Tangki MESA
Tangki ME
Saluran sampling
Heater
Pompa

Gambar 12 Reaktor STFR yang digunakan pada penelitian


Proses sulfonasi sepanjang reaktor menghasilkan Methyl Ester Sulfonic Acid
(MESA) dan produk intermediet (MacArthur et al. 1998).

MESA memiliki

warna gelap, bersifat asam, dan memiliki viskositas yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan metil ester CPO (Gambar 13). Yamada dan Matsutani
(1996) menambahkan bahwa MESA bersifat anionik, memiliki deterjensi tinggi,
dan bersifat biodegradable. Untuk menghasilkan MES, perlu dilakukan proses
lebih lanjut berupa proses netralisasi dimana atom Na akan menggantikan atom H

pada ion SO3 yang berikatan dengan C- pada struktur MESA seperti tersaji pada
reaksi dibawah ini.

MESA

MES

Gambar 13 Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA)


Mekanisme pembentukan MESA pada sulfonasi terjadi dalam beberapa
tahap.

Pada awal sulfonasi, SO3 diserap oleh ME seperti ditunjukkan dalam

reaksi 1 dan secara cepat membentuk produk intermediet (II), biasanya dilukiskan
sebagai satu anhidrid. Anhidrid dapat bereaksi kembali dengan molekul SO 3
kedua melalui bentuk enol-nya. Molekul anhidrid yang membawa dua unit SO 3,
dapat kehilangan satu unit SO3 yang dapat bereaksi dengan molekul metil ester
lainnya. Untuk itu perlu digunakan SO3 berlebih. Intermediet (II) di dalam
keseimbangan mengaktifkan C- menuju reaksi sulfonasi seperti tergambar pada
reaksi 2 untuk membentuk produk intermediet (III). Intermediet (III) akan
mengalami penyusunan kembali seperti tergambar pada reaksi 3 untuk
melepaskan SO3 dan membentuk MESA (IV). SO3 yang dilepaskan lalu akan
mengkonversi sisa produk intermediet (II) membentuk produk intermediet (III).
Produk intermediet (III) kemudian akan dikonversi menjadi MESA (IV)
(MacArthur et al. 1998). Tahapan reaksi pembentukan MESA pada sulfonasi
metil ester dapat dilihat pada Gambar 14.

O
||
R CH2 C OCH3 (I) + SO3

O
||
R CH2 (C OCH3): SO3 (II)

.................... (1)

||
R CH2 (C OCH3): SO3 (II) + SO3

O
||
R CH (C OCH3): SO3 (III)
|
SO3H

||
R CH (C OCH3): SO3 (III) ............
|
SO3H

(2)

O
||
R CH C OCH3 (IV) + SO3 ....................
|
SO3H

(3)

Gambar 14 Tahapan reaksi pembentukan MESA pada sulfonasi metil ester


Produk MESA hasil sulfonasi kemudian dianalisis untuk mengetahui
pengaruh suhu pemanasan bahan terhadap tingkat keberhasilan proses sulfonasi.
Parameter uji yang dilakukan meliputi derajat keasaman (pH), bilangan asam,
densitas, viskositas, bilangan iod, dan kadar bahan aktif.
4.4. Proses Netralisasi MESA Menjadi MES
Proses netralisasi MESA bertujuan untuk menghasilkan MES dengan
kisaran nilai pH 6 8 sehingga diperoleh produk yang stabil. MES yang
dihasilkan dari proses sulfonasi masih mengandung produk samping berupa sabun
yang tersulfonasi (sulfonated soap) yang biasa disebut disalt. Disalt terbentuk
melalui proses hidrolisis MES. Walaupun disalt termasuk surfaktan namun
memiliki karakteristik yang tidak diinginkan sehingga mengurangi kinerja dari
MES. Titik larut disalt pada suhu 65C sedangkan untuk MES pada suhu 17C,
serta memiliki sensitivitas terhadap kesadahan air lebih tinggi daripada MES (Mac
Arthur et al. 2002).
Netralisasi dapat dilakukan dengan beberapa agen netralisasi antara lain
NaOH, KOH, Mg(OH)2, NH4OH, NH3, dan Na2CO3. Agen netralisasi yang paling
banyak dan umum digunakan adalah NaOH karena memiliki daya netralisasi yang
baik, mudah didapatkan, dan harganya relatif murah.

Proses netralisasi pada

penelitian ini menggunakan NaOH 50 %, titik akhir titrasi ditentukan dengan


adanya perubahan warna dari hitam menjadi coklat dan indikator pH paper
menunjukkan warna pH 7 (netral). Jika netralisasi pada MESA tidak dilakukan

maka MESA akan menjadi kental dan cenderung memadat tanpa dipanaskan.
Chemiton dan Ballestra mensyaratkan pH MESA pada kisaran 6 8.
Pada proses netralisasi harus dihindari pH yang ekstrim untuk
menghindari terjadinya hidrolisis MES menjadi disalt. Reaksi hidrolisis MES (VI)
menjadi disalt (V) disajikan pada Gambar 15. Menurut Roberts et al. (2008) pada
pH 3 9,5 hidrolisis berlangsung lambat, sementara pH MESA hasil penelitian
rata-rata kurang dari 2,00 sehingga memungkinkan terjadinya hidrolisis asam
yang akan mengubah gugus COOCH3 pada MES menjadi COOH. Sementara jika
pH terlalu alkali melebihi 9,5 maka hidrolisis merubah COOCH 3 pada MES
menjadi COONa.

Gambar 15 Reaksi hidrolisis MES

4.5

Pengaruh Suhu Pemanasan Bahan terhadap Sifat Fisikokimia MESA


dan MES
Penelitian ini menganalisis sifat fisiko kimia surfaktan MESA dan MES

CPO hasil proses sulfonasi pada beberapa suhu pemanasan bahan. Sifat fisiko
kimia

yang dianalisis meliputi pH MESA, bilangan asam MESA, densitas

MESA, viskositas MESA, bilangan iod MESA dan MES, dan kadar bahan
aktif MESA dan MES.
4.5.1 Derajat Keasaman (pH) MESA

Derajat keasaman atau pH merupakan ukuran tingkat keasaman suatu


larutan. Melalui nilai pH, dapat ditentukan suatu larutan bersifat asam atau
basa. Gas SO3 sebagai reaktan pada proses sulfonasi bersifat asam kuat, sehingga
produk MESA yang dihasilkan bersifat asam. Analisis pH MESA menunjukkan
terjadinya reaksi sulfonasi yaitu terikatnya SO 3 yang bersifat asam pada struktur
metil ester. Hasil analisis pH MESA menunjukkan bahwa nilai pH MESA pada
kondisi proses yang diuji bervariasi dari pH 0,57 sampai pH 1,71. Data hasil
analisis nilai pH MESA selengkapnya disajikan pada Lampiran 4a.
Untuk menentukan kondisi tunak proses sulfonasi maka dibuat persamaan
hubungan lama proses sulfonasi terhadap nilai pH MESA menggunakan regresi
linier dan kuadratik. Persamaan hubungan lama proses sulfonasi dengan pH
MESA dibuat berdasarkan data analisis yang ditampilkan pada Lampiran 4a.
Berdasarkan data tersebut, diperoleh persamaan kuadratik pada suhu 100C yang
paling sesuai dan dianggap dapat mewakili gambaran data karena memiliki
koefisien determinasi terbesar (R2) terbesar yaitu 0,95. Persamaan dan nilai
koefisien determinasi ditunjukkan pada Lampiran 5a, sedangkan kurva hubungan
lama proses sulfonasi untuk mencapai kondisi tunak terhadap pH MESA disajikan
pada Gambar 16.

Suhu
pemanasan
bahan (C) :

Lama proses sulfonasi (jam)

Gambar 16 Kurva hubungan lama proses sulfonasi untuk mencapai kondisi


tunak pada berbagai suhu pemanasan bahan terhadap pH MESA

Gambar 16 menunjukkan kurva dengan penurunan paling landai diperoleh


pada kurva kuadratik suhu pemanasan bahan 80C, sementara itu penurunan
paling tajam pada awal proses sulfonasi diperlihatkan pada pola pembentukan
kurva kuadratik suhu pemanasan bahan 100C. Kurva suhu 80C memperlihatkan
kondisi tunak telah tercapai pada lama proses sulfonasi 2 jam, sementara itu pada
suhu 90C kondisi tunak pH MESA tercapai pada kisaran lama proses sulfonasi 3
jam, sedangkan pada suhu pemanasan bahan 100C kondisi tunak belum tercapai.
Perbedaan kurva 80C dan 90C terletak pada kondisi tunak yang dicapai, dimana
kondisi tunak nilai pH MESA pada suhu 90C lebih rendah dibandingkan dengan
suhu 80C. Pola pembentukan kurva tersebut dapat membuktikan bahwa suhu
pemanasan bahan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kecepatan reaksi
dan kondisi tunaknya.
Hasil analisis ragam (=0,05) menunjukkan bahwa suhu pemanasan bahan
berpengaruh nyata terhadap pH MESA. Hasil analisis ragam suhu pemanasan
bahan terhadap pH MESA disajikan pada Lampiran 6a. Hasil uji lanjut Duncan
(Lampiran 6b) pengaruh suhu pemanasan bahan terhadap pH MESA
menunjukkan bahwa pH MESA pada suhu pemanasan bahan 80C (pH 1,38)
berbeda nyata dengan pH MESA pada suhu pemanasan bahan 90C (pH 0,94) dan
suhu pemanasan bahan 100C (pH 0,80).
pH MESA menurun seiring dengan meningkatnya suhu pemanasan bahan.
Pengaruh suhu pemanasan bahan terhadap pH MESA dapat dilihat pada Gambar
17.

Gambar 17. Pengaruh suhu pemanasan bahan terhadap pH MESA


Penurunan nilai pH ini disebabkan oleh reaksi sulfonasi yang terjadi antara
metil ester dengan SO3 yang bersifat asam. Semakin tinggi suhu pemanasan
bahan menyebabkan pH MESA semakin menurun dimana penurunan pH MESA
pada suhu 100C lebih rendah dibandingkan suhu pemanasan bahan 80 dan 90C
pada lama proses sulfonasi untuk mencapai kondisi tunak yang sama. Hal ini
diduga karena pada suhu pemanasan bahan yang semakin tinggi, viskositas metil
ester semakin rendah sehingga pembentukan lapisan film pada tube reaktor akan
semakin tipis sehingga kontak antara gas SO3 dengan metil ester semakin baik.
Menurut Petrucci (1992) dan Saeni (1989), laju reaksi berkaitan erat
dengan terjadinya reaksi kimia dari suatu zat membentuk hasil reaksi. Reaksi
kimia terjadi sebagai akibat adanya tumbukan antara molekul-molekul dari zat
yang bereaksi. Peningkatan fraksi molekul yang memiliki energi kinetik melebihi
energi aktivasi dilakukan dengan meningkatkan suhu. Rantai karbon pada metil
ester akan berikatan langsung dengan gugus sulfur dari SO3 sehingga membentuk
asam metil ester sulfonat. Reaksi sulfonasi molekul asam lemak dapat terjadi pada
tiga sisi yaitu : (1) gugus karboksil; (2) bagian -atom karbon; (3) rantai tidak
jenuh (ikatan rangkap).
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa bilangan asam MESA
berkorelasi dengan nilai pH MESA dimana keduanya berkaitan dengan

keberadaan SO3 yang bersifat asam dalam struktur molekul produk tersulfonasi.
Dengan meningkatnya SO3 di dalam MESA, maka bilangan asam yang terukur
akan meningkat dan pH semakin menurun, hal ini disebabkan oleh bertambahnya
keasaman yang disebabkan oleh SO3.
4.5.2 Bilangan Asam MESA
Bilangan asam merupakan jumlah milligram KOH/NaOH yang diperlukan
untuk menetralisasi asam lemak bebas dalam 1 gram bahan. Produk MESA
bersifat asam akibat terikatnya SO3 yang bersifat asam. Hasil analisis bilangan
asam MESA pada berbagai kondisi proses menunjukkan kisaran nilai 1,80 mg
KOH/g sampel sampai 19,06 mg KOH/g sampel. Hasil analisis bilangan asam
MESA secara lengkap disajikan pada Lampiran 4b.
Untuk menentukan kondisi tunak proses sulfonasi maka dibuat persamaan
hubungan lama proses sulfonasi terhadap nilai bilangan asam MESA
menggunakan regresi linier dan kuadratik. Persamaan hubungan lama proses
sulfonasi untuk mencapai kondisi tunak dengan bilangan asam MESA dibuat
berdasarkan data analisa yang ditampilkan pada Lampiran 4b. Berdasarkan data
tersebut, diperoleh persamaan kuadratik pada suhu 100C yang paling sesuai dan
dianggap dapat mewakili gambaran data karena memiliki koefisien determinasi
terbesar (R2) yaitu 0,95. Persamaan dan nilai koefisien determinasi ditunjukkan
pada Lampiran 5b, sedangkan kurva hubungan lama proses sulfonasi untuk
mencapai kondisi tunak terhadap bilangan asam MESA disajikan pada
Gambar 18.

Suhu
pemanasan
bahan (C) :

Lama proses sulfonasi (jam)

Gambar 18 Kurva hubungan lama proses sulfonasi untuk mencapai kondisi


tunak pada berbagai suhu pemanasan bahan terhadap bilangan asam
MESA
Secara umum, Gambar 18 memperlihatkan bahwa semakin lama proses
sulfonasi, bilangan asam MESA mengalami peningkatan.

Kurva dengan

peningkatan paling tajam pada awal proses sulfonasi diperoleh pada kurva suhu
pemanasan bahan 100C, sementara itu peningkatan paling landai diperlihatkan
pada pola pembentukan kurva suhu pemanasan bahan 80C.

Kurva suhu

pemanasan bahan 100C memperlihatkan bahwa kondisi tunak sulfonasi belum


tercapai, sedangkan pada suhu pemanasan bahan 80 dan 90C kondisi tunak
sulfonasi tercapai pada lama proses sulfonasi 4 jam.
Hasil analisis ragam (=0,05) pengaruh suhu pemanasan bahan terhadap
bilangan asam MESA menunjukkan bahwa suhu pemanasan bahan berpengaruh
nyata terhadap bilangan asam MESA. Hasil analisis ragam terhadap bilangan
asam MESA disajikan pada Lampiran 7a. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 7b)
pengaruh suhu pemanasan bahan terhadap bilangan asam MESA menunjukkan
bahwa bilangan asam MESA pada suhu pemanasan bahan 80C (9,47 mg KOH/g
sampel) tidak berbeda nyata dengan bilangan asam MESA pada suhu pemanasan
bahan 90C (10,00 mg KOH/g sampel) dan keduanya berbeda nyata dengan
bilangan asam MESA pada suhu pemanasan bahan 100C (16,89 mg KOH/g
sampel).
Perlakuan suhu pemanasan bahan yang lebih tinggi cenderung
meningkatkan bilangan asam MESA. Pengaruh suhu pemanasan bahan terhadap
bilangan asam MESA dapat dilihat pada Gambar 19.

Gambar 19 Pengaruh suhu pemanasan bahan terhadap bilangan asam MESA


Perlakuan suhu pemanasan bahan 100C menghasilkan MESA dengan
bilangan asam yang lebih tinggi jika dibandingkan suhu pemanasan bahan 80C
dan 90C. Peningkatan suhu akan menyebabkan peningkatan jumlah energi bagi
molekul reaktan sehingga tumbukan antar molekul per waktu lebih produktif
(Segel 1993). Oleh karena itu, semakin tinggi suhu reaksi maka akan
meningkatkan jumlah gugus SO3 yang terikat pada gugus karboksil, pada C-
maupun pada ikatan rangkap yang menyebabkan jumlah gugus SO3 semakin
meningkat pada produk tersulfonasi dan akan meningkatkan bilangan asam
produk sulfonasi.
Hasil penelitian menunjukkan bilangan asam MESA berkorelasi dengan
nilai pH MESA dimana keduanya berkaitan dengan keberadaan SO 3 yang bersifat
asam dalam struktur produk tersulfonasi. Dengan meningkatnya bilangan asam
MESA maka nilai pH MESA akan turun. Peningkatan bilangan asam MESA
disebabkan oleh karena keberadaan struktur molekul didalammnya yang
mengandung gugus sulfonat (SO3H). Dengan semakin meningkatnya lama proses
sulfonasi maka kandungan SO3H dalam produk tersulfonasi akan semakin
meningkat pula.
4.5.3 Densitas MESA

Densitas merupakan salah satu sifat dasar fluida yang didefinisikan massa
per satuan volume. Efek suhu pada densitas cairan tidak dapat diabaikan karena
cairan akan meregang mengikuti perubahan suhu. Densitas biasanya dikaitkan
dengan viskositas dimana cairan lebih padat maka memiliki viskositas yang lebih
tinggi, yang berhubungan dengan kandungan total pada bahan. Hasil analisis
densitas MESA pada berbagai kondisi proses menunjukkan kisaran nilai antara
0,8805 g/cm3 sampai 0,9973 g/cm3. Hasil analisis densitas MESA selengkapnya
dapat dilihat pada Lampiran 4c.
Untuk menentukan kondisi tunak proses sulfonasi maka dibuat persamaan
hubungan lama proses sulfonasi terhadap nilai densitas MESA menggunakan
regresi linier dan kuadratik. Persamaan hubungan lama proses sulfonasi dengan
densitas MESA dibuat berdasarkan data analisa yang ditampilkan pada Lampiran
4c. Berdasarkan data tersebut, diperoleh persamaan kuadratik pada suhu
pemanasan bahan 100C yang paling sesuai dan dianggap dapat mewakili
gambaran data karena memiliki koefisien determinasi (R2) terbesar yaitu 0,97.
Persamaan dan nilai koefisien determinasi ditunjukkan pada Lampiran 5c,
sedangkan kurva hubungan lama proses sulfonasi untuk mencapai kondisi tunak
terhadap densitas MESA disajikan pada Gambar 20.
Secara umum, Gambar 20 memperlihatkan bahwa kurva dengan
peningkatan paling tajam diperoleh pada kurva kuadratik untuk suhu pemanasan
bahan 100C, sementara itu peningkatan yang paling landai pada awal proses
sulfonasi diperlihatkan pada pola pembentukan kurva suhu pemanasan bahan
90C. Kurva suhu pemanasan bahan 100C memperlihatkan bahwa kondisi tunak
sulfonasi dapat tercapai pada lama proses sulfonasi 4 jam, begitu pula untuk suhu
pemanasan bahan 80C dan suhu pemanasan bahan 90C. Pola pembentukan
kurva tersebut dapat membuktikan bahwa suhu pemanasan bahan memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap kecepatan reaksi dan kondisi tunaknya.

Suhu
pemanasan
bahan (C) :

Lama proses sulfonasi (jam)

Gambar 20 Kurva hubungan lama proses sulfonasi untuk mencapai kondisi


tunak pada berbagai suhu pemanasan bahan terhadap densitas MESA
Hasil analisis ragam (=0,05) pengaruh suhu pemanasan bahan terhadap
densitas MESA menunjukkan bahwa suhu pemanasan bahan berpengaruh nyata
terhadap densitas MESA. Hasil analisis ragam disajikan pada Lampiran 8a. Hasil
uji lanjut Duncan (Lampiran 8b) suhu pemanasan bahan terhadap densitas MESA
menunjukkan bahwa densitas MESA pada suhu pemanasan bahan 80C (0,9629
g/cm3) memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata dengan suhu pemanasan
bahan 90C (0,9662 g/cm3),

namun keduanya berbeda nyata dengan suhu

pemanasan bahan 100C (0,9937 g/cm3).


Semakin tinggi suhu pemanasan bahan menyebabkan densitas MESA
semakin meningkat. Pengaruh suhu pemanasan bahan terhadap densitas MESA
disajikan pada Gambar 21. Densitas MESA pada suhu 100C pada lama proses
sulfonasi 4 jam lebih besar jika dibandingkan suhu 80C dan 90C. Hal ini
diduga bahwa semakin tinggi suhu berpengaruh terhadap laju reaksi yaitu dapat
meningkatkan laju reaksi sehingga meningkatkan pembentukan MESA.
Mekanisme reaksi bertahap akan mempengaruhi penambahan jumlah gugus
sulfonat (SO3H-) yang terbentuk. Penambahan gugus SO 3H-

yang terjadi

pada hidrokarbon dapat menambah berat molekul senyawa dan meningkatkan


nilai densitas.

Peningkatan

densitas

karakteristik yang lain yaitu viskositas.

ini

juga

dapat

mempengaruhi

Gambar 21 Pengaruh suhu pemanasan bahan terhadap densitas MESA


Sifat fisik densitas sangat erat kaitannya dengan viskositas yaitu tahanan
aliran fluida yang merupakan gesekan antara molekul-molekul cairan satu dengan
yang lain. MESA yang memiliki densitas rendah mempunyai viskositas rendah
(encer). Menurut Holmberg (2002), kenaikan viskositas disebabkan karena
meningkatnya konsentrasi partikel, demikian pula sifat alir bahan tergantung pada
viskositas dan densitas cairan. Cairan yang mudah mengalir dikatakan memiliki
viskositas yang rendah (encer), sebaliknya bahan-bahan yang sulit mengalir
memiliki viskositas yang tinggi.
Peningkatan densitas ini terjadi karena terikatnya SO3 pada struktur metil
ester semakin banyak sehingga bobot molekul meningkat.

Menurut MacArthur

et al. (1998) mekanisme pembentukan MESA dalam reaktor sulfonasi terdiri


dari beberapa tahap, salah satunya reaksi metil ester dengan gas SO 3
membentuk senyawa intermediet, pada umumnya berupa senyawa anhidrad.
Senyawa ini bukan yang diinginkan dalam sulfonasi, tetapi dalam kondisi reaksi
setimbang senyawa tersebut dapat mengaktifkan gugus alfa karbon metil
ester

sehingga membentuk

senyawa MESA yang diinginkan untuk dapat

diproses dalam tahap netralisasi selanjutnya. Mekanisme reaksi bertahap akan


mempengaruhi penambahan jumlah gugus sulfonat (SO3H-) yang terbentuk.

Penambahan gugus SO3H- yang terjadi pada hidrokarbon dapat menambah


berat molekul senyawa dan meningkatkan nilai densitas.
4.5.4 Viskositas MESA
Viskositas suatu cairan merupakan sifat fluida yang dipengaruhi oleh
ukuran molekul dan gaya antarmolekul. Proses penambahan gugus sulfonat
pada proses sulfonasi membuat MESA cenderung memiliki ukuran molekul
yang

lebih

besar sehingga

memiliki

viskositas

yang

lebih

tinggi

dibandingkan dengan metil esternya. Hasil analisis viskositas MESA pada


berbagai kondisi proses menunjukkan kisaran nilai antara 7,65 cP sampai 90,60
cP. Hasil analisis viskositas MESA selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4d.
Untuk mengetahui titik tunak dalam pembentukan MESA maka dilakukan
analisis regresi lama proses sulfonasi terhadap viskositas MESA pada berbagai
suhu pemanasan bahan. Analisis regresi yang dilakukan meliputi regresi linier dan
kuadratik. Persamaan hubungan lama proses sulfonasi untuk mencapai kondisi
tunak dengan viskositas MESA dibuat berdasarkan data analisa yang ditampilkan
pada Lampiran 4d. Berdasarkan data tersebut, diperoleh persamaan kuadratik pada
suhu pemanasan bahan 100C yang paling sesuai dan dianggap dapat mewakili
gambaran data karena memiliki koefisien determinasi (R2) terbesar yaitu 0,99.
Persamaan dan nilai koefisien determinasi ditunjukkan pada Lampiran 5d,
sedangkan kurva hubungan lama proses sulfonasi untuk mencapai kondisi tunak
terhadap viskositas MESA disajikan pada Gambar 22.

Lama proses sulfonasi (jam)

Gambar 22 Kurva hubungan lama proses sulfonasi untuk mencapai kondisi


tunak pada berbagai suhu pemanasan bahan terhadap viskositas
MESA
Secara umum, Gambar 22 memperlihatkan bahwa semakin lama proses
sulfonasi maka viskositas MESA mengalami peningkatan.

Kurva dengan

peningkatan paling tajam diperoleh pada kurva kuadratik untuk suhu pemanasan
bahan 100C, sementara itu peningkatan yang paling landai pada awal proses
sulfonasi diperlihatkan pada pola pembentukan kurva suhu pemanasan bahan
80C. Kurva suhu pemanasan bahan 100C memperlihatkan bahwa kondisi tunak
proses sulfonasi belum tercapai, sedangkan pada suhu 80 dan 90C kondisi tunak
tercapai pada lama proses sulfonasi 4 jam. Perbedaan kurva suhu pemanasan
bahan 80C dan 90C terletak pada kondisi tunak yang dicapai, dimana nilai
viskositas MESA pada kondisi tunak pada suhu pemanasan bahan 80C lebih
rendah dibandingkan suhu pemanasan bahan 90C.
Hasil analisis ragam (=0,05) viskositas MESA akibat pengaruh suhu
pemanasan bahan berpengaruh nyata terhadap viskositas MESA. Hasil analisis
ragam viskositas MESA akibat pengaruh suhu pemanasan bahan disajikan pada
Lampiran 9a. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 9b) suhu pemanasan bahan
terhadap viskositas MESA menunjukkan bahwa viskositas MESA pada suhu
pemanasan bahan 80C (34,95 cP) berbeda nyata dengan viskositas pada suhu
pemanasan bahan 90C (45,85 cP), dan keduanya berbeda nyata dengan viskositas
MESA pada suhu pemanasan bahan 100C (85,45 cP).
Semakin tinggi suhu pemanasan bahan menyebabkan viskositas MESA
meningkat. Pengaruh suhu pemanasan bahan terhadap viskositas MESA disajikan
pada Gambar 23.

Gambar 23. Pengaruh suhu pemanasan bahan terhadap viskositas MESA


Viskositas MESA pada suhu pemanasan bahan 100C lebih tinggi
dibandingkan viskositas MESA pada suhu pemanasan bahan 80 dan 90C. Hal ini
diduga karena pada suhu pemanasan bahan yang semakin tinggi pembentukan
lapisan film pada tube reaktor akan semakin tipis yang menyebabkan kontak
antara gas SO3 dengan metil ester akan semakin optimal.

Hal ini dapat

meningkatkan pembentukan MESA. Menurut Petrucci (1992) dan Saeni (1989),


laju reaksi berkaitan erat dengan terjadinya reaksi kimia dari suatu zat membentuk
hasil reaksi.

Reaksi kimia terjadi sebagai akibat adanya tumbukan antara

molekul-molekul dari zat

yang bereaksi.

Peningkatan fraksi molekul yang

memiliki energi kinetik melebihi energi aktivasi dilakukan dengan meningkatkan


suhu.
Peningkatan viskositas MESA disebabkan oleh terikatnya gugus sulfonat
pada rantai hidrokarbon metil ester yang berakibat pada peningkatan bobot
molekul. Bobot molekul yang besar dapat menyebabkan viskositas cairan
lebih tinggi dibandingkan dengan bobot molekul yang kecil. Menurut
(Takeuchi, 2008), viskositas yang tinggi disebabkan adanya gaya tarik
menarik antarmolekul yang besar dalam cairan, rantai molekul yang tidak
teratur, serta suhu, sehingga molekul menjadi lebih sukar bergerak dan cenderung
berkoagulasi. Dengan terikatnya gas SO3 pada metil ester pada posisi C- maupun
ikatan rangkap maka akan meningkatkan viskositas dari MESA.

Jungermann

(1979) menggambarkan bahwa reaksi sulfonasi untuk pembuatan MES dapat

terjadi pada tiga sisi, yaitu pada gugus karboksil, bagian -atom karbon, dan
rantai tidak jenuh (ikatan rangkap).
4.5.5 Bilangan Iod MESA dan MES
Reaksi sulfonasi molekul asam

lemak untuk pembuatan MES dapat

terjadi pada tiga sisi yaitu (1) gugus karboksil; (2) bagian -atom karbon; (3)
rantai tidak jenuh (ikatan rangkap) (Jungermann 1979). Walaupun subtansi yang
diturunkan dari ester asam monokarboksilat sulfonat pada posisi C- merupakan
jenis surfaktan yang paling banyak diinginkan. Peluang reaksi sulfonasi pada sisi
ikatan rangkap terjadi semakin besar dengan peningkatan suhu dan bertambahnya
lama proses sulfonasi.
Hasil analisis bilangan iod MESA berkisara antara 15,36 mg I/g sampel
sampai 45,21 mg I/g sampel. Hasil analisis bilangan iod MESA selengkapnya
disajikan pada Lampiran 4e.
Untuk mengetahui kondisi tunak dalam pembentukan MESA maka
dilakukan analisis regresi lama proses sulfonasi terhadap bilangan iod MESA pada
berbagai suhu pemanasan bahan. Analisis regresi yang dilakukan meliputi regresi
linier dan kuadratik. Persamaan hubungan lama proses sulfonasi untuk mencapai
kondisi tunak dengan bilangan iod MESA dibuat berdasarkan data analisa yang
ditampilkan pada Lampiran 4e. Berdasarkan data tersebut, diperoleh persamaan
kuadratik pada suhu pemanasan bahan 90C yang paling sesuai dan dianggap
dapat mewakili gambaran data karena memiliki koefisien determinasi (R2)
terbesar yaitu 0,96. Persamaan dan nilai koefisien determinasi ditunjukkan pada
Lampiran 5e, sedangkan kurva hubungan lama proses sulfonasi untuk mencapai
kondisi tunak terhadap bilangan iod MESA disajikan pada Gambar 24.

Suhu
pemanasan
bahan (C) :

Lama proses sulfonasi (jam)

Gambar 24 Kurva hubungan lama proses sulfonasi untuk mencapai kondisi


tunak pada berbagai suhu pemanasan bahan terhadap bilangan iod
MESA
Secara umum, nilai bilangan iod (Gambar 24) produk MESA menurun
dengan bertambahnya lama proses sulfonasi akibat semakin banyaknya gugus SO3
yang terikat pada ikatan rangkap metil ester CPO. Penurunan nilai bilangan iod
ini kemungkinan disebabkan oleh reaksi antara reaktan gas SO 3 dengan sisi ikatan
rangkap yang terdapat dalam struktur metil ester CPO. Menurut Jungermann
(1979) bahwa terdapat tiga lokasi terjadinya reaksi sulfonasi molekul ester dengan
basis asam lemak yaitu gugus karboksil, bagian -atom karbon, dan ikatan
rangkap. Walaupun subtansi yang diturunkan dari ester asam monokarboksilat
sulfonat pada posisi C- merupakan jenis surfaktan yang paling banyak
diinginkan. Peluang reaksi sulfonasi pada sisi ikatan rangkap terjadi semakin
besar dengan bertambahnya lama proses sulfonasi untuk mencapai kondisi tunak.
Kondisi tunak pada ketiga suhu tersebut dicapai pada lama proses sulfonasi 3 jam.
Hasil analisis ragam (=0,05) bilangan iod MESA menunjukkan bahwa
suhu pemanasan bahan tidak berpengaruh nyata terhadap bilangan iod MESA.
Hasil analisis ragam suhu pemanasan bahan terhadap bilangan iod MESA
disajikan pada Lampiran 10a.
Pengikatan molekul SO3 pada struktur metil ester pada lama proses
sulfonasi untuk mencapai kondisi tunak yang semakin meningkat mempengaruhi
terhadap parameter pH, bilangan asam, dan bilangan iod. Hal ini diindikasikan
oleh penurunan nilai pH MESA, penurunan pH menunjukkan bilangan asam
meningkat, demikian pula dengan penurunan bilangan iod. Pengukuran bilangan

iod juga dilakukan pada produk MES (MESA yang dinetralkan). Bilangan iod
untuk MES berkisar antara 19,24 mg I/g sampel sampai 45,32 mg I/g sampel.
Hasil analisis bilangan iod MES dapat dilihat pada Lampiran 4e.
Untuk mengetahui kondisi tunak dalam pembentukan MES maka
dilakukan analisis regresi lama proses sulfonasi untuk mencapai kondisi tunak
terhadap bilangan iod MES pada berbagai suhu pemanasan bahan. Analisis regresi
yang dilakukan meliputi regresi linier dan kuadratik. Persamaan hubungan lama
proses sulfonasi untuk mencapai kondisi tunak dengan bilangan iod MES dibuat
berdasarkan data analisa yang ditampilkan pada Lampiran 4e. Berdasarkan data
tersebut, diperoleh persamaan kuadratik pada suhu pemanasan bahan 90C yang
paling sesuai dan dianggap dapat mewakili gambaran data karena memiliki
koefisien determinasi (R2) terbesar yaitu 0,96. Persamaan dan nilai koefisien
determinasi ditunjukkan pada Lampiran 5f, sedangkan kurva hubungan lama
proses sulfonasi untuk mencapai kondisi tunak terhadap bilangan iod MESA
disajikan pada Gambar 25.

Suhu
pemanasan
bahan (C) :

Lama proses sulfonasi (jam)

Gambar 25 Kurva hubungan lama proses sulfonasi untuk mencapai kondisi


tunak pada berbagai suhu pemanasan bahan terhadap bilangan iod
MES
Secara umum, nilai bilangan iod produk MES menurun dengan
bertambahnya lama proses sulfonasi. Kondisi tunak pada ketiga suhu tersebut
dicapai pada lama proses sulfonasi 3 jam.

Hasil analisis ragam (=0,05) bilangan iod MES akibat pengaruh suhu
pemanasan bahan menunjukkan bahwa suhu pemanasan bahan tidak berpengaruh
nyata terhadap bilangan iod MES. Hasil analisis ragam suhu pemanasan bahan
terhadap bilangan iod MES disajikan pada Lampiran 10b.
4.5.6 Bahan Aktif MESA dan MES
Bahan aktif merupakan salah satu standar mutu untuk menunjukkan
kualitas dari surfaktan dan sudah diterapkan pada industri surfaktan. Bahan aktif
menunjukkan jumlah gugus SO3 yang terikat pada struktur metil ester membentuk
MESA. Pengujian ini dilakukan melalui teknik titrasi dua fasa dengan
menggunakan N-cetyl pyridinium chloride yang merupakan salah satu jenis
surfaktan kationik sebagai penitran. Semua titrasi surfaktan berdasarkan pada
reaksi antagonis dimana surfaktan ionik bereaksi dengan surfaktan yang memiliki
muatan yang berlawanan untuk membentuk garam yang tidak larut air (pasangan
ion) (Matesic-Puac et al. 2005).
Pada prinsipnya, metode ini didasarkan pada reaksi antara surfaktan
anionik dan kationik yang akan membentuk garam yang bersifat larut sedikit atau
bahkan tidak larut dalam air. Garam yang terbentuk menuju lapisan kloroform
sehingga membentuk warna biru pada lapisan kloroform. Setelah dilakukan titrasi
dengan N-cetyl pyridinium chloride warna biru yang semula berada pada lapisan
kloroform secara perlahan akan bergerak menuju lapisan larutan surfaktan. Titik
akhir titrasi tercapai apabila intensitas warna pada kedua lapisan memiliki
intensitas yang hampir sama.
Hasil analisis kadar bahan aktif MESA pada berbagai kondisi proses
menunjukkan kisaran nilai antara 1,88 28,80 %. Data kadar bahan aktif MESA
dapat dilihat pada Lampiran 4f.

Untuk mengetahui kondisi tunak dalam

pembentukan MESA maka dilakukan analisis regresi lama proses sulfonasi untuk
mencapai kondisi tunak terhadap kadar bahan aktif MESA pada berbagai suhu
pemanasan bahan. Analisis regresi yang dilakukan meliputi regresi linier dan
kuadratik. Persamaan hubungan lama proses sulfonasi untuk mencapai kondisi
tunak dengan kadar bahan aktif MESA dibuat berdasarkan data analisa yang
ditampilkan pada Lampiran 4f. Berdasarkan data tersebut, diperoleh persamaan

kuadratik pada suhu pemanasan bahan 100C yang paling sesuai dan dianggap
dapat mewakili gambaran data karena memiliki koefisien determinasi (R2)
terbesar yaitu 0,98. Persamaan dan nilai koefisien determinasi ditunjukkan pada
Lampiran 5f, sedangkan kurva hubungan lama proses sulfonasi untuk mencapai
kondisi tunak terhadap bilangan iod MESA disajikan pada Gambar 26.

Suhu
pemanasan
bahan (C) :

Lama proses sulfonasi (jam)

Gambar 26 Kurva hubungan lama proses sulfonasi untuk mencapai kondisi


tunak terhadap kadar bahan aktif MESA pada berbagai suhu
pemanasan bahan
Secara umum, Gambar 26 memperlihatkan bahwa semakin lama proses
sulfonasi maka kadar bahan aktif MESA mengalami peningkatan. Kurva dengan
peningkatan paling tajam diperoleh pada kurva kuadratik untuk suhu pemanasan
bahan 100C, sementara itu peningkatan yang paling landai pada awal proses
sulfonasi diperlihatkan pada pola pembentukan kurva suhu pemanasan bahan
80C dan 90C. Kadar bahan aktif pada produk MESA pada ketiga suhu
meningkat dengan bertambahnya lama proses sulfonasi dan mencapai kondisi
tunak mulai proses sulfonasi 4 jam.
Hasil analisis ragam (=0,05) menunjukkan bahwa suhu pemanasan bahan
berpengaruh nyata terhadap kadar bahan aktif MESA.

Hasil analisis ragam

pengaruh suhu pemanasan bahan terhadap bahan aktif MESA disajikan pada
Lampiran 11a. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 11c) suhu pemanasan bahan
terhadap kadar bahan aktif MESA menunjukkan bahwa kadar bahan aktif MESA
pada suhu pemanasan bahan 80C (19,53%) tidak berbeda nyata dengan kadar
bahan aktif

pada suhu pemanasan bahan 90C (20,73%), namun keduanya

berbeda nyata dengan kadar bahan aktif MESA pada suhu pemanasan bahan
100C (27,57%). Pengaruh lama proses sulfonasi untuk mencapai kondisi tunak
pada berbagai suhu pemanasan bahan terhadap kadar bahan aktif MESA dapat
dilihat pada Gambar 27.

Gambar 27 Pengaruh suhu pemanasan bahan terhadap bahan aktif MESA


Semakin tinggi suhu pemanasan bahan menyebabkan kadar bahan aktif
MESA semakin meningkat. Suhu pemanasan bahan 100C memberikan MESA
dengan bahan aktif yang lebih tinggi jika dibandingkan suhu pemanasan bahan
80C dan 90C. Hal ini diduga karena pada suhu pemanasan bahan yang semakin
tinggi, maka pengikatan gugus SO3 pada metil ester akan semakin meningkat.
Menurut Moretti et al. (2001) total bahan aktif pada MES pasta berkisar antara 30
65 %, untuk mencapainya memerlukan perbaikan proses diantaranya kontrol
yang akurat terhadap rasio mol metil ester terhadap gas SO 3, konsentrasi SO3,
kualitas bahan baku, dan kondisi reaktor.
Hal ini kemungkinan disebabkan oleh tidak dilakukannya proses aging
untuk penyempurnaan konversi senyawa intermediet dalam bentuk MESA. Pada
tahap aging, senyawa intermediet bereaksi dan konversi ME menjadi produk
sulfonasi berjalan sempurna. Tahapan aging MES lebih intensif dibandingkan
tahapan aging linier alkylbenzene (LAB) dimana memerlukan suhu sekurangkurangnya 80C. Pada proses produksi MES yang dilakukan oleh Chemiton,

MESA dilewatkan kedalam digester yang memiliki suhu konstan

( 80C)

selama kurang lebih satu jam. Hal ini bertujuan agar MESA mencapai reaksi
sulfonasi yang sempurna.
Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA) selanjutnya dinetralisasi dengan
NaOH 50% karena asam pada MESA bersifat tidak stabil. Hasil analisis kadar
bahan aktif MES berkisar antara 2,13 % sampai 28,36 %. Data kadar bahan aktif
MES selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4f.
Untuk mengetahui kondisi tunak dalam pembentukan MES maka
dilakukan analisis regresi lama proses sulfonasi untuk mencapai kondisi tunak
terhadap kadar bahan aktif MES pada berbagai suhu pemanasan bahan. Analisis
regresi yang dilakukan meliputi regresi linier dan kuadratik. Persamaan hubungan
lama proses sulfonasi untuk mencapai kondisi tunak dengan kadar bahan aktif
MES dibuat berdasarkan data analisa yang ditampilkan pada Lampiran 4f.
Berdasarkan data tersebut, diperoleh persamaan kuadratik pada suhu pemanasan
bahan 100C yang paling sesuai dan dianggap dapat mewakili gambaran data
karena memiliki koefisien determinasi (R2) terbesar yaitu 0,98. Persamaan dan
nilai koefisien determinasi ditunjukkan pada Lampiran 5g, sedangkan kurva
hubungan lama proses sulfonasi untuk mencapai kondisi tunak terhadap kadar
bahan aktif MES disajikan pada Gambar 28.

Suhu
pemanasan
bahan (C) :

Lama proses sulfonasi (jam)

Gambar 28

Kurva hubungan lama proses sulfonasi untuk mencapai kondisi


tunak pada berbagai suhu pemanasan bahan terhadap bahan aktif
MES

Secara umum, Gambar 28 memperlihatkan bahwa semakin lama proses


sulfonasi dan semakin tinggi suhu pemanasan bahan maka kadar bahan aktif
MES mengalami peningkatan. Kurva dengan peningkatan paling tajam diperoleh
pada kurva kuadratik untuk suhu pemanasan bahan 100C, sementara itu
peningkatan yang paling landai pada awal proses sulfonasi diperlihatkan pada
pola pembentukan kurva suhu pemanasan bahan 80C dan 90C. Kadar bahan
aktif

produk

MES

pada ketiga suhu pemanasan bahan meningkat dengan

bertambahnya lama proses sulfonasi dan cenderung mencapai kondisi tunak mulai
proses sulfonasi 4 jam.
Hasil analisis ragam (=0,05) menunjukkan bahwa suhu pemanasan bahan
berpengaruh nyata terhadap kadar bahan aktif MES. Hasil analisis ragam
selengkapnya disajikan pada Lampiran 11b. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran
11d) suhu pemanasan bahan terhadap kadar bahan aktif MES menunjukkan bahwa
kadar bahan aktif MES pada suhu pemanasan bahan 80C (20,93%) tidak berbeda
nyata dengan kadar bahan aktif pada suhu pemanasan bahan 90C (21,77%),
namun keduanya berbeda nyata dengan kadar bahan aktif MESA pada suhu
pemanasan bahan 100C (26,63%). Bahan aktif MES meningkat seiring dengan
meningkatnya suhu pemanasan bahan (Gambar 29).

Gambar 29 Pengaruh suhu pemanasan bahan terhadap kadar bahan aktif MES
Gambar 29 menunjukkan bahwa pada suhu pemanasan bahan 100C,
bahan aktif MES cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan suhu pemanasan
bahan 80 dan 90C.

Hal ini diduga karena proses netralisasi mampu

meningkatkan bahan aktif MES pada suhu pemanasan bahan 100C. MESA
dalam kondisi asam bersifat tidak stabil, netralisasi diperlukan untuk menghindari
hidrolisis menjadi sulfonated fatty acid, demikian pula pada produk sulfonasi pada
pH rendah dapat terkonversi menjadi asam sulfat dan unsulfonatted fatty alcohol
(Foster dan Rollock 1997).

Proses netralisasi pada MESA memerlukan

pengontrolan yang ketat terhadap pengadukan, penambahan bahan dan suhu


sehingga diperoleh MES dengan bahan aktif tinggi. Penelitian ini masih dalam
taraf penetralan hingga pH 6 8, sehingga bahan aktif yang diperoleh masih
dalam kisaran yang cukup rendah.
Sebelum proses netralisasi diperlukan proses lanjutan sulfonasi yaitu
proses aging. Proses aging berfungsi untuk mengkonversi senyawa intermediet
(sisa campuran anhidrida) menjadi MESA. Apabila senyawa campuran anhidrida
ini langsung dinetralisasi dengan NaOH akan menyebabkan terbentuknya disalt
dan sodium metil sulfat. Oleh karena itu untuk meningkatkan rendemen MES
maka campuran anhidrida (III) ini harus direaksikan dengan metanol untuk
reesterifikasi membentuk MESA (IV) sehingga jika dinetralkan dengan NaOH
akan dihasilkan MES (Gambar 30). Menurut MacArthur et al. (1998), bahwa
untuk menghindari terbentuknya disalt dilakukan proses aging pasca sulfonasi
pada reaktor falling film dan penambahan metanol sebelum netralisasi.

Gambar 30 Reaksi reesterifikasi senyawa anhidrida

Smith et al. (1967) mensulfonasi metil, etil, dan isopropil ester asam
palmitat dan stearat secara langsung melalui penambahan SO 3 cair pada rasio
molar 2,4 : 1 pada suhu 0 oC dan mereesterifikasi menggunakan metil, etil, atau
isopropil alkohol sebelum netralisasi untuk meningkatkan rendemen alpha sulfo
fatty acid hingga 70 80% dan menurunkan produk samping disodium sulfofatty
acid (disalt). Sulfonasi ester dimulai dengan pembentukan komplek SO3 dengan
ester. Pembentukan komplek ini mengaktifkan atom H pada posisi alpha. Kondisi
sulfonasi terbaik untuk menghasilkan produk sulfonat menggunakan bahan baku
metil stearat yaitu pelarut CCl4 1 g, suhu sulfonasi 60oC, lama sulfonasi 1 jam,
dan re-esterifikasi menggunakan 40 ml alkohol selama 4 jam. Produk yang
dihasilkan terdiri dari 90 % sodium alpha sulfonat dan 1 % garam disodium.
Menurut Hovda (1993) bahwa proses netralisasi sulfonic acid untuk
menghasilkan MES dengan bahan aktif tinggi cukup sulit karena ketidakstabilan
MES pada suhu dan pH tinggi. Penambahan metanol dapat mengurangi
pembentukan disalt, namun apabila pH turun dibawah 6 maka efek penambahan
metanol pun akan turun. Selain itu, penambahan metanol juga menyebabkan
penurunan suhu sehingga efek metanol dalam menurunkan disalt turut berkurang.
Pemilihan pH dan suhu yang tepat hanya akan memerlukan metanol 20 30 %
untuk netralisasi. Peningkatan bahan aktif MES juga berkorelasi dengan nilai pH,
bilangan asam, dan bilangan iod.

Bahan aktif MES yang meningkat seiring

dengan penurunan pH, kenaikan bilangan asam, serta bilangan iod MES. Hal ini
berkaitan dengan terikatnya gas SO3 pada struktur metil ester. Jumlah SO3 dalam
produk tersulfonasi yang semakin meningkat mengakibatkan keasaman produk
menurun.

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Proses sintesis surfaktan MESA berbahan baku metil ester CPO dilakukan
akibat pengaruh satu faktor dengan tiga taraf yaitu suhu pemanasan bahan 80, 90,
dan 100C serta dilakukan proses sampling tiap jam selama 0 sampai 6 jam untuk
mengetahui kondisi tunaknya pada proses sulfonasi. Kondisi tunak lama proses
sulfonasi untuk suhu pemanasan bahan 100C terhadap pH MESA, bilangan
asam, dan viskositas MESA belum tercapai, untuk parameter densitas MESA
tercapai pada lama proses sulfonasi 4 jam, sedangkan untuk parameter bilangan
iod dan kadar bahan aktif baik untuk MESA dan MES masing-masing dicapai
pada lama proses sulfonasi 3 dan 4 jam.
Hasil analisis ragam (=0,05), suhu pemanasan bahan berpengaruh nyata
terhadap parameter nilai pH, bilangan asam, densitas, viskositas, dan kadar bahan
aktif MESA, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap parameter bilangan iod
MESA. Di lain pihak hasil analisis ragam (=0,05), suhu pemanasan bahan
berpengaruh nyata terhadap parameter kadar bahan aktif MES, namun tidak
berpengaruh nyata terhadap parameter bilangan iod MES.
Pada penelitian ini diperoleh suhu pemanasan bahan terbaik proses
produksi MESA pada perlakuan suhu pemanasan bahan 100C dan kondisi tunak
dicapai pada lama proses sulfonasi 4 jam. Lama proses sulfonasi 4 jam
menghasilkan MESA dengan karakteristik yang cenderung stabil. Suhu
pemanasan bahan 100C dan proses sulfonasi 4 jam memberikan bahan aktif
MESA 27,57 persen, nilai pH 0,8, bilangan asam 16,89 mg KOH/g sampel,
densitas 0,9831 g/cm3, viskositas 85,45 cP, bilangan iod 18,61 mg I/g sampel, dan
kadar bahan aktif 27,57%.

Sifat fisikokimia MES pada kondisi yang sama

diperoleh nilai bilangan iod sebesar 21,87 mg I/g sampel, dan kadar bahan aktif
26,63 %.
Sifat fisikokimia MESA yang dihasilkan pada penelitian ini memiliki nilai
pH dengan kisaran 0,57 1,71, bilangan asam 1,80 - 19,06 mg KOH/g sampel,
densitas 0,8805 - 0,9973 g/cm3, viskositas 7,65 - 90,60 cP, bilangan iod 15,36 45,21 mg I/g sampel, dan bahan aktif 1,88 28,80 persen. Sifat fisikokimia MES
yang dihasilkan memiliki bilangan iod berkisar antara 19,24 - 45,32 mg I/g
sampel dan kadar bahan aktif 2,13 - 28,36 persen.

5.2 Saran
Dari hasil analisis bahan aktif diperoleh kadar bahan aktif MESA tertinggi
28,80 persen dan kadar bahan aktif MES 28,36 persen. Untuk meningkatkan
kadar bahan aktif

perlu dilakukan

proses aging sehingga dapat mencegah

terbentuknya garam (disalt) ketika dinetralkan.

Selain itu, untuk menghentikan

proses hidrolisis perlu penambahan metanol pada saat netralisasi (31 41% b/b)
sehingga kadar bahan aktifnya dapat ditingkatkan.

DAFTAR PUSTAKA
Bergenstahl B. 1997. Physicochemical Aspects of an Emulsifier Functionality.

In : Food Emulsifier and Their Applications. G.L. Hasenhuettl dan R.W.


Hartel (Eds.). Chapman & Hall, New York.
Bernardini E. 1983. Vegetable Oils and Fats Processing. Volume II. Rome:
Interstampa.
Darnoko D dan M Cheryan. 2000. Kinetcs of Palm Oil Transesterification in a
Batch Reactor. J of Am Oil Chem Soc 77: 1263 1267.
de Groot WH. 1991. Sulphonation Technology in the Detergent House. Kluwer
Academic Publisher, Netherland.
Departemen Perindustrian. 2009. Road Map Industri Pengolahan CPO..
http://iak.kemenperin.go.id/edocument/ROADMAP-CPO.pdf [9 Februari
2010.
Flider FJ. 2001. Commercial Considerations and Markets for Naturally Derived
Biodegradable Surfactants. Inform 12 (12) : 1161 1164.
Formo MW. 1954. Ester Reaction of Fatty Materials. dalam Mittelbach M dan C
Remschmidt. 2006. Biodiesel The Comprehensive Handbook. Martin
Mittelbach Publisher. Am Blumenhang. Austria.
Foster NC. 1996. Sulfonation and Sulfation Processes. In: Spitz, L. (Ed). Soap and
Detergents: A Theoretical and Practical Review. AOCS Press, Champaign,
Illinois.
Freedman B, EH Pryde dan TL Mounts. 1984. Variable Affecting the Yield of
Fatty Ester form Transesterified Vegetable Oil. In: Mittelbach, M dan C.
Remschmidt. 2006. Biodiesel The Comprehensive Handbook. Martin
Mittelbach Publisher. Am Blumenhang. Austria.
Georgeiou G, C Lsung dan MM Shara. 1992. Surface Active Compounds from
Microorganism. Biotech. 10:60-65.
Gerpen JV, B Shanks, R Pruszko, D Clements and G Knothe. 2004. Biodiesel
Production Technology. National Renewable Energy Laboratory.
Colorado: 106.
Gunstone FD dan FB Padley. 1997. Lipid Technologies and Applications. Marcel
Dekker Inc., New York.
Hambali E, S Mujdalipah, Armansyah HT and Abdul Waries P. 2006. Teknologi
bioenergi. Agromedia Pustaka, Jakarta.

Holmberg K, Jonssson B, Kronberg B, dan Lindman B. 2002. Surfactants and


Polymers in Aqueous Solution. England: John Wiley & Sons, Ltd.
Hovda K. 1993. Methylester Sulfonation: Process Optimization. Proceedings
Porim International Palm Oil Congress.
Hui YH. 1996. Baileys Industrial Oil and Fat Products. Edisi ke-5, volume ke2. New York: John Willey & Sons, Inc.
Jungermann E. 1979. Baileys Industrial Oil and Fat Products. Edisi ke-4, Vol.1.
New York: John Willey and Son.
Ketaren S. 2005. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI Press,
Jakarta.
Kremers FJ. 1971. The Sulfonation of Castor Oil With SO 3. Technical Service
Department, Specialty Chemicals Division, Allied Chemical Corporation,
Morristown, New Jersey. [13 April 2009]
Lotero E, Y Liu, DE Lopez, K Suwannakarn, DA Bruce and JG Goodwin Jr. 2004.
Synthesis
of
Biodiesel
via
Acid
Catalysis.
http://scienzechimiche.unipr.it/didattica/att/5dd4.5996.file.pdf
(12
February 2007).
Ma F. dan Hanna MA 1999. Biodiesel Production : A Review. J of Bio Tech. 70:
1-15.
MacArthur WB dan WB Sheats. 2002. Methyl Ester Sulphonate Products.
The Chemithon Corporation, USA.
MacArthur WB, WB Sheats, dan NC Foster. 1998. Meeting The Challenge of
Methyl Ester Sulphonate. The Chemithon Corporation, USA.
Mangoensoekarjo, Soepadiyo, dan H Semangun. 2005. Manajemen Agrobisnis
Kelapa Sawit. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Matesic-Puac R, Sak-Bosnarb M, Bilica M, dan Grabaricc BS. 2004.
Potensiometric Determination of Anionic Surfactants using a New IonPair-Based All-Solid-State Surfactant Sensitive Electrode. Elsevier B. V.
Matheson K L. 1996. Formulation of Household and Industrial Detergents. In:
Soap and Detergents : A Theoretical and Practical Review. Spitz, L.
(Ed). AOCS Press, Champaign, Illinois.
Moretti GF, dan Adami I. 2000. Production, Processing and Uses of Methyl Ester
and Derivatives. Milano, Italy: Ballestra Spa.
Petrucci RH. 1992. Kimia Dasar : Prinsip dan Terapan Modern. Jakarta: Erlangga.

Pore J. 1976. Sulfated and Sulfonated Oils. Di dalam : Karlenskind, A. (Ed.).


Oil and Fats. Manual Intercept Ltd., New York.
Rieger MM. 1985. Surfactant in Cosmetics. Surfactant Science Series. New
York: Marcel Dekker, Inc.
Roberts DW. 1998. Sulfonation Technology for Anionic Surfactant Manufacture.
Organic Process Research & Development. 2: 194 202.
Sadi S. 1994. Gliserolisis Minyak Sawit dan Inti Sawit dengan Piridin. Buletin
PPKS. 2 (3) : 155 164.
Saeni MS. 1989. Kimia Fisik I. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Salunkhe DK, JK Chvan, RN Adside, dan SS Kadam. 1992. Worlds Oilseed:
Chemistry, Technology and Utilization. Van Nostrad Reinhold, New York.
Sheats WB dan BW MacArthur. 2002. Methyl Ester Sulfonate Products.
www.chemithon.com. [22 Juli 2009].
Sherry AE, BE Chapman, MT Creedon, JM Jordan, dan RL Moese. 1995.
Nonbleach process for the purification of palm C16-18 methyl ester
sulfonates. J Am Oil Chem. Soc. 72 (7) : 835-841.
SNI. 2006. Biodiesel. SNI 04-7182-2006. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.
SNI. 2006. Minyak Kelapa Sawit Mentah (Crude Palm Oil). SNI 01-2901-2006.
Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.
Stein W. dan H Baumann. 1975. -Sulfonated Fatty Acids and Esters:
Manufacturing Process, Properties, and Applications. AOCS: 323 329
[April 1974]
Swern D. 1979. Baileys Industrial Oil and Fat Products. Vol. I 4th Edition. John
Willey and Son, New York.
Watkins C. 2001. All eyes are on Texas. Inform 12 : 1152-1159.

LAMPIRAN

Lampiran 1. Prosedur analisa sifat fisikokimia CPO


1. Kadar Air dengan Metode Karl Fisher (AOAC 1995)
Alat Karl Fisher dinyalakan, lalu botol titrasi diisi dengan larutan solvent.
Larutan kemudian dinetralkan dengan larutan titran. Blanko dicari dengan cara
menginjeksikan H2O ke dalam pipet microsyringe 50 L. Sampel ditimbang
dengan botol timbang dan dipipet sebanyak 5 ml dengan pipet tetes. Sampel yang
ditimbang tadi dimasukkan ke dalam gelas titrasi yang telah terdapat pada alat.
Sampel dititrasi dengan larutan titran. Titrasi

selesai

apabila

alarm

alat

berbunyi. Hasil titrasi dibaca di layar sehingga diperoleh kadar air sampel.
Kadar air dalam sampel dapat dinyatakan dalam % atau ppm.
2. Bilangan Iod (AOAC 1995)
Contoh minyak yang telah disaring ditimbang sebanyak 0,5 g di dalam
erlenmeyer 250 ml, lalu dilarutkankan dengan 10 ml kloroform atau tetraklorida
dan ditambahkan dengan 25 ml pereaksi hanus. Semua bahan diatas dicampur
merata dan disimpan di dalam ruangan gelap selama satu jam. Sebagian iodium
akan dibebaskan dari larutan. Setelah penyimpanan, ke dalamnya ditambahkan 10
ml larutan KI 15 %. Iod yang dibebaskan kemudian dititrasi dengan larutan
Na2S2O3 0,1 N sampai warna biru larutan tidak terlalu pekat. Selanjutnya
ditambahkan larutan kanji satu persen dan titrasi kembali sampai warna biru
hilang. Blanko dibuat dengan cara yang sama tanpa menggunakan minyak
Bilangan iod=

( BS ) N 12,69
G

Keterangan : B

= ml Na2S2O3 blanko

= ml Na2S2O3 contoh

= normalitas Na2S2O3

= berat contoh

12,69 = berat atom iod/10

3. Bilangan Asam (AOAC 1995)


Minyak yang akan diuji ditimbang sebanyak 5 g dalam labu erlenmeyer
250 ml dan ditambahkan 50 ml alkohol netral 95%, lalu dipanaskan selama 10
menit dalam penangas air sambil diaduk. Setelah ditambahkan 2 tetes indikator
penolphtalein 1%, larutan dititrasi dengan KOH 0,1 N sampai berwarna merah
jambu yang tidak hilang dalam beberapa detik. Selanjutnya dihitung jumlah
miligram KOH yang digunakan untuk menetralkan asam dalam satu gram minyak
atau lemak.
Bilangan asam=

A N 56,1
G

Keterangan : A = ml KOH untuk titrasi


N = normalitas larutan KOH
G = berat contoh (g)
4. Densitas (bobot jenis) berdasarkan SNI 01-2891-1992
Densitas merupakan perbandingan berat dari suatu volume sampel
pada suhu 25C dengan berat air pada volume dan suhu yang sama. Peralatan
yang digunakan adalah piknometer 5 ml. Piknometer dibersihkan dengan cara
dibilas dengan aseton kemudian dengan dietil eter. Piknometer kosong
diangkat, dikeringkan, dan ditimbang (W0). Piknometer yang bersih dan kering
diisi dengan air destilasi yang telah didihkan dan didinginkan pada suhu 20C
dan piknometer disimpan dalam water bath (penangas air) pada suhu
konstan 25C selama 30 menit. Piknometer berisi air diangkat, dikeringkan, dan
ditimbang (W1). Piknometer dibersihkan dan dikeringkan. Sampel dimasukkan
ke dalam piknometer hingga meluap dan pastikan tidak terbentuk gelembung
udara

lalu ditutup. Keringkan pagian luar piknometer, kemudian piknometer

berisi sampel dimasukkan ke dalam penangas pada suhu konstan 25C


selama 30 menit. Piknometer kemudian diangkat, dikeringkan, dan ditimbang
(W2).
Perhitungan:
Densitas=

W 2W 0
W 1W 0

Keterangan : W0 = bobot piknometer kosong

W1 = bobot piknometer beserta air


W2 = bobot piknometer beserta sampel

4. Komposisi Asam Lemak


Sebanyak 2 g minyak ditambahkan ke dalam labu didih, kemudian
ditambahkan 6-8 ml NaOH dalam metanol, dipanaskan sampai tersabunkan
lebih kurang 15 menit dengan pendingin balik. Selanjutnya ditambahkan 10 ml
BF3 dan dipanaskan kira-kira 2 menit.. Dalam keadaan panas ditambahkan 5
ml n-heptana atau n-heksana, kemudian dikocok dan ditambahkan larutan NaCl
jenuh. Larutan akan terpisah menjadi dua bagian. Bagian atas akan
dipindahakan ke dalam tabung reaksi yang sebelumnya telah diberi 1 g
Na2SO4. Larutan tersebut siap diinjeksikan pada suhu detektor 230C, suhu
injektor 225C, suhu awal 70C, pada suhu awal = 2 menit, menggunakan glass
coloumn dengan panjang 2 meter dan diameter 2 mm, gas pembawa adalah
helium

dan

fasa

diam

dietilen

glikol

suksinat.

digunakan adalah jenis FID (Flame Ionization Detector).

Jenis

detektor

yang

Lampiran 2. Prosedur analisis sifat fisikokimia metil ester


1. Kadar Air dengan Metode Karl Fisher (AOAC 1995)
Alat Karl Fisher dinyalakan, lalu botol titrasi diisi dengan larutan solven.
Larutan kemudian dinetralkan dengan larutan titran. Blanko dicari dengan cara
menginjeksikan H2O ke dalam pipet microsyringe 50 L. Sampel ditimbang
dengan botol timbang dan dipipet sebanyak 5 ml dengan pipet tetes. Sampel yang
ditimbang tadi dimasukkan ke dalam gelas titrasi yang telah terdapat pada alat.
Sampel dititrasi dengan larutan titran. Titrasi

selesai

apabila

alarm

alat

berbunyi. Hasil titrasi dibaca di layar sehingga diperoleh kadar air sampel.
Kadar air dalam sampel dapat dinyatakan dalam % atau ppm.
2. Uji Standar untuk Bilangan Asam (FBI-A01-03)
Sebanyak 19 21 0,05 g contoh biodiesel ester alkil dimasukkan ke
dalam sebuah labu erlenmeyer 250 ml kemudian ditambahkan 100 ml campuran
pelarut yang telah dinetralkan ke dalam labu Erlenmeyer tersebut. Dalam keadaan
teraduk kuat, titrasi larutan isi labu Erlenmeyer dengan larutan KOH dalam
alkohol sampai kembali berwarna merah jambu dengan intensitas yang sama
seperti pada campuran pelarut yang telah dinetralkan di atas. Warna merah jambu
ini harus bertahan paling sedikitnya 15 detik. Catat volume titran yang dibutuhkan
(V ml).
Perhitungan nilai bilangan asam :
Angka asam=

56,1 V N
mg KOH / g biodisel
m

Dimana :
V = volume larutan KOH dalam alkohol yang dibutuhkan pada titrasi (ml).
N = normalitas eksak larutan KOH dalam alkohol.

m = berat contoh biodiesel ester alkil (g).


Nilai bilangan asam yang dilaporkan harus dibulatkan sampai dua desimal (dua
angka di belakang koma).
3. Uji Standar untuk Bilangan Iod Biodiesel Ester Alkil (FBI-A04-03)
Sebanyak 0,13 0,15 0,001 g contoh biodiesel ester alkil dimasukkan
ke dalam labu iodium kemudian ditambahkan 15 ml larutan karbon tetrakhlorida
(atau 20 ml camp. 50 %-v sikloheksan 50 %-v asam asetat) dan kocok-putar
labu untuk menjamin contoh larut sempurna ke dalam pelarut.

Selanjutnya

ditambahkan 25 ml reagen Wijs dengan pipet seukuran dan tutup labu. Kocokputar labu agar isinya tercampur sempurna dan kemudian segera simpan di tempat
gelap bertemperatur 25 5 oC selama 1 jam. Sesudah perioda penyimpanan usai,
ambil kembali labu, dan tambahkan 20 ml larutan KI serta kemudian 150 ml
akuades. Sambil selalu diaduk baik-baik, titrasi isi labu dengan larutan natrium
tiosulfat 0,1 N yang sudah distandarkan (diketahui normalitas eksaknya) sampai
warna coklat iodium hampir hilang. Setelah ini tercapai, tambahkan 2 ml larutan
indikator pati dan teruskan titrasi sampai warna biru kompleks iodium pati
persis sirna. Catat volume titran yang dihabiskan untuk titrasi. Bersamaan dengan
analisis di atas, lakukan analisis blanko (tanpa contoh biodiesel, jadi hanya
langkah 2 s/d 4). Angka iodium dihitung dengan rumus :
Angka iodium , A I ( b )=

12,69 ( BC ) N
W

dengan :
C

= volume larutan natrium tiosulfat yang habis dalam titrasi contoh, ml.

= volume larutan natrium tiosulfat yang habis dalam titrasi blangko, ml.

= normalitas eksak larutan natrium tiosulfat.

W = berat eksak contoh biodiesel yang ditimbang untuk analisis, g.


4. Metode Analisis Standar Untuk Kadar Gliserol Total, Bebas, Dan Terikat
Di Dalam Biodiesel Ester Alkil : Metode Iodometri Asam Periodat
(FBI-A02-03)
Sebanyak 9,9 10,1 0,01 g contoh biodiesel ester alkil dimasukkan ke
dalam sebuah labu Erlenmeyer kemudian ditambahkan 100 ml larutan KOH
alkoholik, sambungkan labu dengan kondensor berpendingin udara dan didihkan

isi labu pelahan selama 30 menit untuk mensaponifikasi ester-ester. Selanjutnya


sebanyak 91 0,2 ml khloroform ditambahkan (lihat Catatan peringatan) dari
sebuah buret ke dalam labu takar 1 liter. Kemudian tambahkan 25 ml asam asetat
glasial (lihat Catatan no. 2) dengan menggunakan gelas ukur. Singkirkan labu
saponifikasi dari pelat pemanas atau bak kukus, bilas dinding dalam kondensor
dengan sedikit akuades. Lepaskan kondensor dan pindahkan isi labu saponifikasi
secara kuantitatif ke dalam labu takar pada no. 03 dengan menggunakan 500 ml
akuades sebagai pembilas. Tutup rapat labu takar dan kocok isinya kuat-kuat
selama 30 60 detik. Kemudian akuades ditambahkan sampai ke garis batas
takar, tutup lagi labu rapat-rapat dan campurkan baik-baik isinya dengan
membolak-balikkan dan, sesudah dipandang tercampur intim, biarkan tenang
sampai lapisan khloroform dan lapisan akuatik memisah sempurna. Selanjutnya
pipet masing-masing 6 ml larutan asam periodat ke dalam 2 atau 3 gelas piala 400
500 ml dan siapkan dua blanko dengan mengisi masing-masing 50 ml akuades
(sebagai pengganti larutan asam periodat). Kemudian pipet 100 ml lapisan akuatik
yang diperoleh dalam langkah no. 06 ke dalam gelas piala berisi larutan asam
periodat dan kemudian kocok gelas piala ini pelahan supaya isinya tercampur
baik. Sesudahnya, tutup gelas piala dengan kaca arloji/masir dan biarkan selama
30 menit (lihat Catatan no. 2). Jika lapisan akuatik termaksud mengandung bahan
tersuspensi, saring dahulu sebelum pemipetan dilakukan. Selanjutnya sebanyak 3
ml larutan KI ditambahkan, campurkan dengan pengocokan pelahan dan
kemudian biarkan selama sekitar 1 menit (tetapi tak boleh lebih dari 5 menit)
sebelum dititrasi. Jangan tempatkan gelas piala yang isinya akan dititrasi ini di
bawah cahaya terang atau terpaan langsung sinar matahari. Titrasi isi gelas piala
dengan

larutan

natrium

tiosulfat

yang

sudah

distandarkan

(diketahui

normalitasnya). Teruskan titrasi sampai warna coklat iodium hampir hilang.


Setelah ini tercapai, tambahkan 2 ml larutan indikator pati dan teruskan titrasi
sampai warna biru kompleks iodium pati persis sirna. Baca buret titran sampai
ke ketelitian 0,01 ml dengan bantuan pembesar meniskus. Ulangi langkah 08 s/d
11 untuk mendapatkan data duplo dan (jika mungkin) triplo. Lakukan analisis
blanko dengan menerapkan langkah 09 s/d 11 pada dua gelas piala berisi larutan
blanko (yaitu akuades) tersebut pada no. 07.

Prosedur analisis kadar gliserol bebas


Sebanyak 9,9 10,1 0,01 g contoh biodiesel ester alkil dimasukkan
dalam sebuah botol timbang kemudian contoh dibilas ke dalam labu takar 1 liter
dengan menggunakan 91 0,2 ml khloroform (lihat Catatan peringatan) yang
diukur dengan buret. Selanjutnya tambahkan kira-kira 500 ml akuades, tutup rapat
labu dan kemudian kocok kuat-kuat selama 30 60 detik kemudian tambahkan
akuades sampai ke garis batas takar, tutup lagi labu rapat-rapat dan campurkan
baik-baik isinya dengan membolak-balikkan dan, sesudah dipandang tercampur
homogen, biarkan tenang sampai lapisan khloroform dan lapisan akuatik memisah
sempurna. Sejumlah masing-masing 2 ml larutan asam periodat dipipet ke dalam
2 atau 3 gelas piala 400 500 ml dan siapkan dua blanko dengan mengisi masingmasing 100 ml akuades (sebagai pengganti larutan asam periodat). Selanjutnya
pipet 300 ml lapisan akuatik yang diperoleh dalam langkah (d) ke dalam gelas
piala berisi larutan asam periodat dan kemudian kocok gelas piala ini pelahan
supaya isinya tercampur baik. Sesudahnya, tutup gelas piala dengan kaca
arloji/masir dan biarkan selama 30 menit (lihat Catatan no. 2). Jika lapisan akuatik
termaksud mengandung bahan tersuspensi, saring dahulu sebelum pemipetan
dilakukan. Kemudian tambahkan 2 ml larutan KI, campurkan dengan pengocokan
pelahan dan kemudian biarkan selama sekitar 1 menit (tetapi tak boleh lebih dari 5
menit) sebelum dititrasi. Jangan tempatkan gelas piala yang isinya akan dititrasi
ini di bawah cahaya terang atau terpaan langsung sinar matahari. Titrasi isi gelas
piala dengan larutan natrium tiosulfat yang sudah distandarkan (diketahui
normalitasnya). Teruskan titrasi sampai warna coklat iodium hampir hilang.
Setelah ini tercapai, tambahkan 2 ml larutan indikator pati dan teruskan titrasi
sampai warna biru kompleks iodium pati persis sirna. Baca buret titran sampai
ke ketelitian 0,01 ml dengan bantuan pembesar meniskus. Ulangi langkah (f) s/d
(i) untuk mendapatkan data duplo dan (jika mungkin) triplo. Lakukan analisis
blanko dengan menerapkan langkah (g) s/d (i) pada dua gelas piala berisi larutan
blanko (yaitu akuades) tersebut pada (e). Kadar gliserol total (G ttl, %-b) dapat
dihitung dengan rumus :
Gttl ( b ) =

2, 302(BC) N
W

dengan :
C

= volume larutan natrium tiosulfat yang habis dalam titrasi contoh, ml.

= volume larutan natrium tiosulfat yang habis dalam titrasi blangko, ml.

= normalitas eksak larutan natrium tiosulfat

W=

berat sampel a ml sampel a


900
Kadar gliserol bebas (Gbbs, %-b) dihitung dengan rumus yang serupa

dengan di atas, tetapi menggunakan nilai-nilai yang diperoleh pada pelaksanaan


prosedur analisis kadar gliserol bebas. Kadar gliserol terikat (Gikt, %-b) adalah
selisih antara kadar gliserol total dengan kadar gliserol bebas : Gikt = Gttl - Gbbs
5. Uji Standar Bilangan Penyabunan dan Kadar Ester Alkil Metil Ester
(FBI-A03-03)
Sebanyak 4 5 0,005 g contoh biodiesel ester alkil dimasukkan ke
dalam sebuah labu Erlenmeyer 250 ml kemudian ditambahkan 50 ml larutan KOH
alkoholik dengan pipet yang dibiarkan terkosongkan secara alami. Siapkan dan
lakukan analisis blanko secara serempak dengan analisis contoh biodiesel.
Langkah-langkah analisisnya persis sama dengan yang tertulis untuk di dalam
prosedur analisis ini, tetapi tidak mengikut-sertakan contoh biodiesel.
Sambungkan labu Erlenmeyer dengan kondensor berpendingin udara dan
didihkan pelahan tetapi mantap, sampai contoh tersabunkan sempurna. Ini
biasanya membutuhkan waktu 1 jam. Larutan yang diperoleh pada akhir
penyabunan harus jernih dan homogen; jika tidak, perpanjang waktu
penyabunannya. Setelah labu dan kondensor cukup dingin (tetapi belum terlalu
dingin hingga membentuk jeli), bilas dinding-dalam kondensor dengan sejumlah
kecil akuades. Lepaskan kondfensor dari labu, tambahkan 1 ml larutan indikator
fenolftalein ke dalam labu, dan titrasi isi labu dengan HCl 0,5 N sampai warna
merah jambu persis sirna. Catat volume asam khlorida 0,5 N yang dihabiskan
dalam titrasi. Angka penyabunan dihitung dengan rumus :
Angka penyabunan ( A s ) =

56,1 (BC) N
mg KOH / g biodisel
m

dengan :
B = volume HCl 0,5 N yang dihabiskan pada titrasi blanko, ml.

C = volume HCl 0,5 N yang dihabiskan pada titrasi contoh, ml.


N = normalitas eksak larutan HCl 0,5 N.
m = berat contoh biodiesel ester alkil, g.
Nilai angka penyabunan yang dilaporkan harus dibulatkan sampai dua desimal
(dua angka di belakang koma).
Kadar ester biodiesel ester alkil selanjutnya dapat dihitung dengan rumus berikut :
Kadar ester ( b ) =

100 (A s A a4,57 G ttl )


As

dengan :
As = angka penyabunan yang diperoleh di atas, mg KOH/g biodiesel.
Aa = angka asam (prosedur FBI-A01-03), mg KOH/g biodiesel.
Gttl = kadar gliserin total dalam biodiesel (prosedur FBI-A02-03), %-b.
Kadar ester dapat juga dihitung sebagai selisih antara bilangan penyabunan dan
bilangan asam.
6. Distribusi Ester Asam Lemak
Sebanyak 2 g minyak ditambahkan ke dalam labu didih,
kemudian ditambahkan 6-8 ml NaOH dalam metanol, dipanaskan sampai
tersabunkan lebih kurang 15 menit dengan pendingin balik. Selanjutnya
ditambahkan 10 ml BF3 dan dipanaskan kira-kira 2 menit.. Dalam keadaan
panas

ditambahkan

5 ml n-heptana atau n-heksana, kemudian dikocok dan

ditambahkan larutan NaCl jenuh. Larutan akan terpisah menjadi dua bagian.
Bagian atas akan dipindahakan ke dalam tabung reaksi yang sebelumnya
telah diberi 1 g Na 2SO4. Larutan tersebut siap diinjeksikan pada suhu
detektor 230C, suhu injektor 225C, suhu awal 70C, pada suhu awal = 2 menit,
menggunakan glass coloumn dengan panjang 2 meter dan diameter 2 mm, gas
pembawa adalah helium dan fasa diam dietilen glikol suksinat. Jenis
detektor yang digunakan adalah jenis FID (Flame Ionization Detector).
7. Densitas (SNI 01-2891-1992)
Densitas merupakan perbandingan berat dari suatu volume sampel
pada suhu 25C dengan berat air pada volume dan suhu yang sama. Peralatan
yang digunakan adalah piknometer 5 ml. Piknometer dibersihkan dengan cara

dibilas dengan aseton kemudian dengan dietil eter. Piknometer kosong


diangkat, dikeringkan, dan ditimbang (W0). Piknometer yang bersih dan kering
diisi dengan air destilasi yang telah didihkan dan didinginkan pada suhu 20C
dan piknometer disimpan dalam water bath (penangas air) pada suhu
konstan 25C selama 30 menit. Piknometer berisi air diangkat, dikeringkan,
dan ditimbang (W1). Piknometer

dibersihkan

dan

dikeringkan.

Sampel

dimasukkan ke dalam piknometer hingga meluap dan pastikan tidak terbentuk


gelembung udara

lalu ditutup. Keringkan pagian luar piknometer, kemudian

piknometer berisi sampel dimasukkan ke dalam penangas pada suhu konstan


25C selama 30 menit. Piknometer kemudian diangkat, dikeringkan, dan
ditimbang (W2).
Perhitungan:
Densitas=

W 2W 0
W 1W 0

Keterangan : W0 = bobot piknometer kosong


W1 = bobot piknometer beserta air
W2 = bobot piknometer beserta sampel

Lampiran 3. Prosedur analisis produk surfaktan MESA dan MES


1. Densitas (SNI 01-2891-1992)
Densitas merupakan perbandingan berat dari suatu volume sampel
pada suhu 25C dengan berat air pada volume dan suhu yang sama. Peralatan
yang digunakan adalah piknometer 5 ml. Piknometer dibersihkan dengan cara
dibilas dengan aseton kemudian dengan dietil eter. Piknometer kosong
diangkat, dikeringkan, dan ditimbang (W0). Piknometer yang bersih dan kering
diisi dengan air destilasi yang telah didihkan dan didinginkan pada suhu 20C
dan piknometer disimpan dalam water bath (penangas air) pada suhu
konstan 25C selama 30 menit. Piknometer berisi air diangkat, dikeringkan,
dan ditimbang (W1). Piknometer

dibersihkan

dan

dikeringkan.

Sampel

dimasukkan ke dalam piknometer hingga meluap dan pastikan tidak terbentuk


gelembung udara

lalu ditutup. Keringkan pagian luar piknometer, kemudian

piknometer berisi sampel dimasukkan ke dalam penangas pada suhu konstan


25C selama 30 menit. Piknometer kemudian diangkat, dikeringkan, dan
ditimbang (W2).
Perhitungan:
Densitas=

W 2W 0
W 1W 0

Keterangan : W0 = bobot piknometer kosong


W1 = bobot piknometer beserta air
W2 = bobot piknometer beserta sampel
2. Penentuan nilai pH (ASTM D 1172 95)
Metode ini digunakan untuk mengAnalisis derajat keasaman (pH)
bahan yang dapat terlarut dalam air. Nilai pH dari larutan contoh ditentukan

dengan pengukuran potensiometrik menggunakan elektroda gelas dan pH-meter


komersial. Alat pH-meter disiapkan dan dikalibrasi terlebih dahulu.

Kalibrasi

dilakukan dengan menggunakan larutan buffer pH 4,0 (jika sampel yang


dikur bernilai asam). Elektroda kemudian dibilas dengan aquades yang
memiliki pH antara 6,5 sampai 7,0. Selanjutnya elektroda dicelupkan ke dalam
larutan yang akan diukur.

Nilai pH dibaca pada pH-meter, pembacaan

dilakukan setelah angka stabil. Elektroda kemudian dibilas kembali dengan


aquades. Pengukuran dilakukan dua kali. Apabila dari dua kali pengukuran nilai
yang terbaca mempunyai selisih lebih dari 0,2 maka harus dilakukan
pengulangan pengukuran termasuk kalibasi. Larutan yang akan diukur adalah
larutan 10% surfaktan, dimana 2,5 g sampel ditambahkan aquades sampai
bobotnya mencapai 25 g. Larutan diaduk dengan magnetic stirrer sampai terlarut
sempurna. Pengukuran dilakukan pada suhu 25 2C

3. Bilangan Asam (Epthon, 1948)


Surfaktan MES yang akan diuji ditimbang sebanyak 1 0,0010 g dalam
gelas piala 100 ml dan ditambahkan 30 ml akuades, lalu dipanaskan selama 7 10
menit dalam penangas.

Kemudian, larutan ditambahkan 3 tetes indikator

penolphtalein 1%, larutan dititrasi menggunakan NaOH 0,1 N dengan faktor


1,0603 sampai berwarna merah jambu atau pH 7. Selanjutnya dihitung bilangan
asam surfaktan MES dengan menggunakan persamaan seperti di bawah:
Bilangan asam=

A ml NaOH faktor NaOH


berat sampel

4. Penentuan Surfaktan Anionik Melalui Titrasi Kationik (Epthon, 1948)


Surfaktan MES hasil titrasi bilangan asam diencerkan dengan akuades
1000 ml pada labu takar 1000 ml. Sementara itu, masukan 3 ml larutan metilen
blue dalam gelas ukur asah bertutup gelas 100 ml dan kemudian tambahkan 5 ml
sampel MES hasil pengenceran. Berikutnya, tambahkan 10 ml kloroform hingga
terlihat dua fasa. Titrasi campuran menggunakan N cetylpyridium chloride.

Titrasi dihentikan hingga terbentuk warna yang sama biru diantara dua fasa. Kadar
aktif surfaktan MES dapat dihitung menggunakan persamaan di bawah:

Bahan aktif ( )=

B ml kationik 0,1 faktor kationik BM MES


berat sampel 4,95

5. Pengukuran Viskositas
Pengukuran viskositas atau kekentalan sampel dilakukan dengan
pengisian sampel ke dalam gelas piala 250 ml. Penentuan nilai viskositas
menggunakan viskometer Brookfield dengan spindel nomor 1 pada putaran 50
rpm jika menggunakan Model RV atau 30 rpm jika menggunakan Model LV
viskometer. Pastikan steker telah dipasang pada power supply. Tombol hitam
pada viskometer digunakan sebagai pengontrol on (ke kanan) untuk menyalakan,
off untuk mematikan (ke kiri), atau pause (tengah). Viskometer LV dapat diset
untuk 4 macam spindel dengan kaki penahan yang lebih sempit; viskometer RV
diset untuk 7 macam spindel dengan wadah dengan kaki penahan yang lebih
lebar; HA dan HB viskometer diset untuk 7 macam spindel tanpa kaki. Kecepatan
(dalam rpm) diatur dengan tombol di bagian atas viskometer pada kecepatan yang
diinginkan. Viskometer

yang

digunakan

adalah

viskometer

LV dengan

kecepatan 30 rpm. Jarum merah untuk membaca skala dipastikan di titik nol.
Gunakan tuas di belakangviskometer untuk mengatur kemiringan sehingga jarum
merah berhimpit pada titik nol. Spindel dipasang sesuai kekentalan sampel.
Makin kental sampel, makin kecil nomor spindel yang digunakan. Sampel
dimasukkan ke dalam gelas piala 100 ml. Kaki penahan diturunkan tetapi
tidak sampai menyentuh dasar gelas piala. Tombol kontrol
ditekan on. Saat piringan skala berputar, skala yang ditunjuk jarum merah dibaca
pada putaran pertama. Tombol kontrol off setlah pembacaan dan ditepatkan
agar jarum merah dapat terhimpit kembali ke angka nol.
Viskositas (cP atau mPa.S) = Skala terbaca x Faktor

Ukuran kekentalan diperoleh dengan perhitungan di atas dan tabel berikut.


LV Series Viscometer
Spindel 1
Spindel 2
Spindel 3
Speed Factor Speed
Factor Speed
Factor
0.3
200
0.3
1000
0.3
4000
0.6
100
0.6
500
0.6
2000
1.5
40
1.5
200
1.5
800
3
20
3
100
3
400
6
10
6
50
6
200
12
5
12
25
12
100
30
2
30
10
30
40
60
1
60
5
60
20
Lampiran 4. Data hasil penelitian

Spindel 4
Speed
Factor
0.3
20000
0.6
10000
1.5
4000
3
2000
6
1000
12
500
30
200
60
100

a. Data nilai pH MESA

T1
T1
T1
T1
T1
T1
T1

Lama proses
sulfonasi (jam)
0
1
2
3
4
5
6

T2
T2
T2
T2
T2
T2
T2

0
1
2
3
4
5
6

1,63
1,25
0,93
0,94
0,93
0,88
0,88

1,57
1,18
0,96
1,06
0,94
0,94
0,97

1,60
1,60
1,21
0,94
1,00
0,93
0,91

0,0460
0,0460
0,0460
0,0177
0,0849
0,0106
0,0424

T3
T3
T3
T3
T3
T3
T3

0
1
2
3
4
5
6

1,35
1,13
1,09
0,79
0,73
0,59
0,55

1,64
1,06
1,06
0,76
0,86
0,58
0,58

1,49
1,10
1,07
0,77
0,80
0,58
0,57

0,2051
0,0495
0,0177
0,0212
0,0919
0,0106
0,0212

Perlakuan

pH
Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
1,66
1,77
1,71
1,43
1,50
1,46
1,38
1,49
1,44
1,34
1,47
1,41
1,31
1,45
1,38
1,29
1,43
1,36
1,29
1,39
1,34

Keterangan :
T1 : Suhu pemanasan bahan 80 oC
T2 : Suhu pemanasan bahan 90 oC
T3 : Suhu pemanasan bahan 100 oC

SD
0,0813
0,0460
0,0778
0,0919
0,0990
0,0990
0,0672

b. Data bilangan asam MESA


Perlakua
n
T1
T1
T1
T1
T1
T1
T1

Lama proses
sulfonasi (jam)
0
1
2
3
4
5
6

T2
T2
T2
T2
T2
T2
T2

0
1
2
3
4
5
6

Bilangan asam (mg KOH/g sampel)


Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
SD
1,89
1,70
1,80
0,13
6,20
4,86
5,53
0,95
8,20
8,65
8,43
0,32
7,60
6,85
7,23
0,53
10,16
8,77
9,47
0,98
9,35
9,50
9,43
0,11
9,80
8,85
9,33
0,67
2,36
6,80
10,16
11,47
11,30
12,33
11,21

2,22
6,20
8,90
8,78
8,70
9,98
12,20

2,29
6,50
9,53
10,13
10,00
11,16
11,71

0,10
0,42
0,89
1,90
1,84
1,66
0,70

T3
0
2,90
T3
1
7,10
T3
2
7,90
T3
3
16,01
T3
4
15,89
T3
5
16,93
T3
6
19,97
Keterangan :
T1 : Suhu pemanasan bahan 80oC
T2 : Suhu pemanasan bahan 90oC
T3 : Suhu pemanasan bahan 100oC

2,60
8,37
6,94
13,94
17,89
19,09
18,14

2,75
7,74
7,42
14,98
16,89
18,01
19,06

0,21
0,90
0,68
1,46
1,41
1,53
1,29

c. Data densitas MESA


Densitas (g/cm3 )
Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
0,8805
0,8805
0,8805
0,9143
0,9167
0,9155
0,9694
0,9395
0,9544
0,9631
0,9384
0,9508
0.9480
0.9461
0.9471
0,9741
0,9604
0,9673
0,9661
0,9596
0,9629

Perlakua
n
T1
T1
T1
T1
T1
T1
T1

Lama proses
sulfonasi (jam)
0
1
2
3
4
5
6

T2
T2
T2
T2
T2
T2
T2

0
1
2
3
4
5
6

0,9015
0,9493
0,9566
0,9667
0,9661
0,9727
0,9671

0,8896
0,9392
0,9389
0,9405
0,9436
0,9518
0,9654

0,8956
0,9442
0,9478
0,9536
0,9548
0,9623
0,9662

0,0084
0,0072
0,0125
0,0185
0,0159
0,0148
0,0012

T3
T3
T3
T3
T3
T3
T3

0
1
2
3
4
5
6

0,8907
0,9199
0,9647
0,9942
0,9927
0,9947
0,9963

0,8878
0,9687
0,9676
0,9690
0,9735
0,9999
0,9910

0,8892
0,9443
0,9662
0,9816
0,9831
0,9973
0,9936

0,0020
0,0345
0,0021
0,0179
0,0135
0,0037
0,0037

Keterangan :
T1 : Suhu pemanasan bahan 80 oC
T2 : Suhu pemanasan bahan 90 oC
T3 : Suhu pemanasan bahan 100 oC

SD
0,0000
0,0017
0,0211
0,0175
0.0013
0,0097
0,0046

d. Data viskositas MESA


Perlakua
n
T1
T1
T1
T1
T1
T1
T1

Lama proses
sulfonasi (jam)
0
1
2
3
4
5
6

Ulangan 1
11,10
13,40
31,50
36,20
37,00
34,10
34,10

T2
T2
T2
T2
T2
T2
T2

0
1
2
3
4
5
6

10,70
25,10
38,00
56,00
45,90
57,20
47,20

8,300
27,30
35,20
53,00
45,80
58,20
45,40

9,500
26,20
36,60
54,50
45,85
57,70
46,30

1,6971
1,5556
1,9799
2,1213
0,0707
0,7071
1,2728

T3
T3
T3
T3
T3
T3
T3

0
1
2
3
4
5
6

8,100
24,30
50,00
72,00
85,00
85,00
90,00

7,200
25,20
54,20
70,00
85,90
89,10
91,20

7,650
24,75
52,10
71,00
85,45
87,05
90,60

0,6364
0,6364
2,9698
1,4142
0,6364
2,8991
0,8485

Keterangan :
T1 : Suhu pemanasan bahan 80oC
T2 : Suhu pemanasan bahan 90oC
T3 : Suhu pemanasan bahan 100oC

Viskositas (cP )
Ulangan 2 Rata-rata
9,00
10,05
14,50
13,95
28,60
30,05
32,60
34,40
32,90
34,95
38,00
36,05
36,30
35,20

SD
1,4849
0,7778
2,0506
2,5456
2,8991
2,7577
1,5556

e. Data bilangan iod MESA dan MES


Perlakua
n
T1
T1
T1
T1
T1
T1
T1

Lama proses
sulfonasi (jam)
0
1
2
3
4
5
6

MESA
Rata-rata
SD
41,75
0,2791
24,21
0,4212
23,55
1,4225
21,98
2,5605
21,65
3,7308
23,72
0,2884
19,97
0,2971

T2
T2
T2
T2
T2
T2
T2

0
1
2
3
4
5
6

42,38
31,72
21,82
22,14
20,20
17,90
20,42

0,4697
3,7440
4,5559
2,2021
3,7876
4,7035
3,3751

42,99
28,72
24,44
19,96
19,48
19,24
19,26

1,9636
2,2370
1,1963
3,9499
3,6186
2,1501
3,1094

T3
T3
T3
T3
T3
T3
T3

0
1
2
3
4
5
6

45,21
23,12
23,75
18,64
18,61
16,70
15,36

3,8925
0,1410
4,3513
3,1555
2,9996
0,6328
2,1641

45,32
23,24
24,38
20,93
21,87
19,75
19,68

2,4867
0,3746
2,1443
0,8444
0,4276
0,2820
3,1889

Keterangan :
T1 : Suhu pemanasan bahan 80 oC
T2 : Suhu pemanasan bahan 90 oC
T3 : Suhu pemanasan bahan 100 oC

MES
Rata-rata
41,46
26,50
25,41
23,55
24,09
22,87
22,12

SD
1,7229
0,5355
1,4336
2,9117
2,6459
2,7424
1,8725

f. Data kadar bahan aktif MESA dan MES


Perlakua
n
T1
T1
T1
T1
T1
T1
T1

Lama proses
sulfonasi (jam)
0
1
2
3
4
5
6

MESA
Rataan
SD
1,88
0,97
9,16
0,51
18,23
0,02
18,41
1,23
20,73
2,04
22,16
1,59
21,54
0,75

T2
T2
T2
T2
T2
T2
T2

0
1
2
3
4
5
6

4,35
7,29
18,27
20,58
19,53
22,11
21,77

0,35
0,04
0,60
0,57
0,77
1,47
0,76

4,46
18,36
18,68
20,62
20,93
22,26
24,55

0,40
0,64
1,67
1,74
1,86
2,03
1,13

T3
T3
T3
T3
T3
T3
T3

0
1
2
3
4
5
6

2,50
11,15
16,74
26,03
27,57
27,60
28,80

0,09
0,93
0,44
0,25
0,51
1,57
0,24

2,13
10,55
20,41
26,47
26,63
26,44
28,36

0,16
0,04
0,71
0,85
0.75
2,11
1,24

Keterangan :
T1 : Suhu pemanasan bahan 80 oC
T2 : Suhu pemanasan bahan 90 oC
T3 : Suhu pemanasan bahan 100 oC

MES
Rata-rata
3,74
13,91
15,93
20,97
21,77
23,92
25,10

SD
0,24
0,98
0,58
2,08
1,53
1,00
1,44

Lampiran 5. Persamaan hubungan


determinasi (R2)

sifat

fisikokimia

dan

koefisien

a. Persamaan hubungan lama proses sulfonasi terhadap pH MESA


Regresi
Linier
Kuadrati
k

Suhu
pemanasan
bahan (oC)
80
90
100
80
90
100

Model persamaan
y = -0,049x + 1,590
y = -0,094x + 1,355
y = -0.145x + 1,346
y = 0,014x2 0,134x + 1,661
y = 0,026x2 0,259x + 1,554
y = 0,019x2 0,259x + 1,441

Koefisien
determinasi
(R2)
0,71
0,64
0,91
0,89
0,94
0,95

Keterangan :
y = pH MESA
x = lama proses sulfonasi (jam)

b. Persamaan hubungan lama proses sulfonasi terhadap bilangan asam


MESA
Regresi
Linier
Kuadratik

Suhu
pemanasan
bahan (oC)
80
90
100
80
90
100

Model persamaan
y = 0.012x + 0.903
y = 1,358x + 4,683
y = 2,819x + 3,947
y = -0.003x2 + 0.033x + 0.885
y = -0,346x2 + 3,437x + 2,950
y = -0,283x2 + 4,519x + 2,530

Koefisien
determinasi
(R2)
0,73
0,79
0,92
0,90
0,94
0,95

Keterangan :
y = bilangan asam MESA
x = lama proses sulfonasi (jam)

c. Persamaan hubungan lama proses sulfonasi terhadap densitas MESA

Regresi
Linier
Kuadratik

Suhu
pemanasan
bahan (oC)
80
90
100
80
90
100

Model persamaan

Koefisien
determinasi (R2)

y = 0,012x + 0,903
y = 0,009x + 0,919
y = 0,015x + 0,918
y = -0,002x2 + 0,024x + 0,906
y = -0,004x2 + 0,036x + 0,883
y = -0,004x2 + 0,041x + 0,896

0,74
0,69
0,79
0,85
0,96
0,97

Keterangan :
y = densitas MESA
x = lama proses sulfonasi (jam)

d. Persamaan hubungan lama proses sulfonasi terhadap viskositas MESA


Regresi
Linier
Kuadrati
k

Suhu
pemanasan
bahan (oC)
80
90
100
80
90
100

Model persamaan
y = 4,448x + 14,46
y = 6,523x + 19,95
y = 14,52x + 16,21
y = -2,218x2 + 19,83x + 8,859
y = -1,266x2 + 12,04x + 8,132
y = -2,445x2 + 29,2x + 3,988

Koefisien
determinasi (R2)
0,76
0,69
0,91
0,93
0,94
0,99

Keterangan :
y = viskositas MESA
x = lama proses sulfonasi (jam)

e. Persamaan hubungan lama proses sulfonasi terhadap bilangan iod MESA


Suhu
Koefisien
Regresi
pemanasan
Model persamaan
determinasi
bahan (C)
(R2)
Linier
80
y = -2,436x + 32,57
0,50
90
y = -3,397x + 35,41
0,70
100
y = -3,839x + 34,57
0,66
2
Kuadrati
80
y = 1,012x 8,510x + 37,63
0,76
2
k
90
y = 1,182x 10,49x + 41,33
0,96
100
y = 1,204x2 11,06x + 40,59
0,85
Keterangan :
y = bilangan iod MESA
x = lama proses sulfonasi (jam)

f. Persamaan hubungan lama proses sulfonasi terhadap bilangan iod MES


Suhu
Koefisien
Regresi
pemanasan
Model persamaan
determinasi
bahan (C)
(R2)

Linier

Kuadrati
k

80
90
100
80
90
100

y = -2,379x + 33,70
y = -3,396x + 35,06
y = -3,085x + 34,27
y = 0,895x2 7,75x + 38,18
y = 1,186x2 10,51x + 40,99
y = 1,220x2 10,40x + 40,38

0,58
0,70
0,53
0,83
0,96
0,79

Keterangan :
y = bilangan iod MES
x = lama proses sulfonasi (jam)

g. Persamaan hubungan lama proses sulfonasi terhadap kadar bahan aktif


MESA
Regresi
Linier

Kuadrati
k

Suhu
pemanasan
bahan (oC)
80
90
100
80
90
100

Model persamaan
y = 3,124x + 6,640
y = 2,969x + 7,362
y = 4,379x + 6,915
y = -0,873x2 + 8,367x + 2,271
y = -0,775x2 + 7,623x + 3,483
y = -0,958x2 + 10,13x + 2,120

Koefisien
determinasi
(R2)
0,78
0,77
0,86
0,97
0,93
0,98

Keterangan :
y = bahan aktif MESA
x = lama proses sulfonasi (jam)

h. Persamaan hubungan lama proses sulfonasi terhadap kadar bahan aktif


MES
Regresi
Linier

Kuadrati
k

Suhu
pemanasan
bahan (oC)
80
90
100
80
90
100

Model persamaan
y = 3,212x + 8,268
y = 3,225x + 7,445
y = 4,149x + 7,621
y = -0,628x2 + 6,981x + 5,127
y = -0,669x2 + 7,243x + 4,098
y = -1,108x2 + 10,80x + 2,078

Keterangan :
y = bahan aktif MES
x = lama proses sulfonasi (jam)

Koefisien
determinasi
(R2)
0,87
0,84
0,80
0,97
0,95
0,98

Lampiran 6. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap pH


MESA
a. Hasil analisis ragam
Sumber Variasi
db
JK
Rata-rata
1
6,448
Suhu pemanasan
2
0,373
bahan (Ti)
Kekeliruan
3
0,018
Jumlah
6
6,840
Keterangan : * Berpengaruh nyata

KT
6,448

F-hit

F- Tabel (0,05)

0,187

30,593*

2,920

0,006

b. Hasil uji lanjut Duncan


Perlakuan

data

Rataan

Kelompok
Duncan

Suhu pemanasan bahan (C)


80
90
100

2
2
2

1,38
0,94
0,80

A
B
B

Keterangan : Kelompok Duncan dengan huruf yang sama menunjukan hasil yang tidak berbeda
nyata antar taraf perlakuan, sedangkan kelompok Duncan dengan huruf yang
berbeda menunjukan hasil yang berbeda nyata.

Lampiran 7. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan bilangan asam
MESA
a. Hasil analisis ragam
Sumber variasi db
JK
Rata-rata
1
881,124
Suhu pemanasan
2
68,593
bahan (Ti)
Kekeliruan
3
6,346
Jumlah
6
956,063
Keterangan : * Berpengaruh nyata

KT
881,124

F-hit

F- Tabel (0,05)

34,296

16,213*

2,920

2,115

b. Hasil uji lanjut Duncan


Perlakuan
Suhu pemanasan bahan (C)
80
90
100

data

Rataan

Kelompok Duncan

2
2
2

9,47
10,00
16,89

A
A
B

Keterangan : Kelompok Duncan dengan huruf yang sama menunjukan hasil yang tidak berbeda
nyata antar taraf perlakuan, sedangkan kelompok Duncan dengan huruf yang
berbeda menunjukan hasil yang berbeda nyata.

Lampiran 8. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan densitas MESA
a. Hasil anlisis ragam
Sumber Variasi db
JK
Rata-rata
1
5,587
Suhu pemanasan
2
0,001
bahan (Ti)
Kekeliruan
3
0,000
Jumlah
6
5,589
Keterangan : * Berpengaruh nyata

KT
5,587
0,001

F-hit

F- Tabel (0,05)

10,305*

2,920

6,31E-005

b. Hasil uji lanjut Duncan


Perlakuan
Suhu pemanasan bahan (C)
80
90
100

data

Rataan

Kelompok Duncan

2
2
2

0,9471
0,9648
0,9831

A
AB
B

Keterangan : Kelompok Duncan dengan huruf yang sama menunjukan hasil yang tidak berbeda
nyata antar taraf perlakuan, sedangkan kelompok Duncan dengan huruf yang
berbeda menunjukan hasil yang berbeda nyata.

Lampiran 9. Hasil analisis ragam, dan uji lanjut duncan viskositas MESA
a.

Hasil anlisis ragam

Sumber Variasi db
JK
KT
F-hit
Rata-rata
1 18426,042 18426,042
Suhu pemanasan
2
2824,813 1412,407 480,683*
bahan (Ti)
Kekeliruan
3
8,815
2,938
Jumlah
6 21259,670
Keterangan : * Berpengaruh nyata

F-Tabel (0,05)
2,920

b. Hasil uji lanjut Duncan


Perlakuan
Suhu pemanasan bahan (C)
80
90
100

data

Rataan

Kelompok Duncan

2
2
2

34,95
45,85
85,45

A
B
C

Keterangan : Kelompok Duncan dengan huruf yang sama menunjukan hasil yang tidak berbeda
nyata antar taraf perlakuan, sedangkan kelompok Duncan dengan huruf yang
berbeda menunjukan hasil yang berbeda nyata.

Lampiran 10. Hasil analisis ragam, uji lanjut duncan bilangan iod MESA
dan MES
a. Hasil analisis ragam suhu pemanasan bahan terhadap bilangan iod
MESA
Sumber Variasi db
JK
KT
F-hit
F-Tabel (0,05)
Rata-rata
1 2436,538
2436,538
Suhu pemanasan
2
9,247
4,624
0,372
2,920
bahan (Ti)
Kekeliruan
3
37,239
12,413
Jumlah
6 2483,025
Keterangan : * Berpengaruh nyata
b. Hasil analisis ragam suhu pemanasan bahan terhadap bilangan iod MES
Sumber variasi
db
JK
Rata-rata
1 2854,929
Suhu pemanasan
2
21,262
bahan (Ti)
Kekeliruan
3
20,281
Jumlah
6 2896,472
Keterangan : * Berpengaruh nyata

KT
2854,929
10,631

F-hit
1,573

F-Tabel (0,05)
2,920

6,760

c. Hasil uji lanjut Duncan lama pemanasan bahan terhadap bilangan iod
MESA
Perlakuan
Suhu pemanasan bahan (C)
80
90
100

data

Rataan

Kelompok Duncan

2
2
2

21,65
20,19
18,61

A
A
A

d. Hasil uji lanjut Duncan suhu pemanasan bahan terhadap bilangan iod
MES
Perlakuan
Suhu pemanasan bahan (C)
80
90
100

data

Rataan

Kelompok Duncan

2
2
2

24,09
19,48
21,87

A
A
A

Keterangan : Kelompok Duncan dengan huruf yang sama menunjukan hasil yang tidak berbeda
nyata antar taraf perlakuan, sedangkan kelompok Duncan dengan huruf yang
berbeda menunjukan hasil yang berbeda nyata.

Lampiran 11. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan kadar bahan aktif
MESA dan MES
a. Hasil analisis ragam suhu pemanasan bahan terhadap bahan aktif MESA
Sumber Variasi db
JK
KT
Rata-rata
1
3066,820 3066,820
Suhu pemanasan
2
75,282
37,641
bahan (Ti)
Kekeliruan
3
5,018
1,673
Jumlah
6
3147,121
Keterangan : * Berpengaruh nyata

F-hit

F- Tabel (0,05)

22,502*

2,920

b. Hasil analisis ragam suhu pemanasan bahan terhadap bahan aktif MES
Sumber Variasi db
JK
Rata-rata
1
3204,433
Suhu pemanasan
2
37,877
bahan (Ti)
Kekeliruan
3
6,379
Jumlah
6
3248,689
Keterangan : * Berpengaruh nyata

KT
3204,433
18,938

F-hit

F- Tabel (0,05)

8,906*

2,920

2,126

c. Hasil uji lanjut Duncan suhu pemanasan bahan terhadap bahan aktif
MESA
Perlakuan
data
Rataan
Kelompok
Suhu pemanasan bahan (C)
80
2
19,53
A
90
2
20,73
A
100
2
27,57
B

d. Hasil uji lanjut Duncan suhu pemanasan bahan terhadap bahan aktif
MES
Perlakuan
data
Rataan
Kelompok
Suhu pemanasan bahan (C)
80
14
20,93
A
90
14
21,77
A
100
14
26,63
B
Keterangan : Kelompok Duncan dengan huruf yang sama menunjukan hasil yang tidak berbeda
nyata antar taraf perlakuan, sedangkan kelompok Duncan dengan huruf yang
berbeda menunjukan hasil yang berbeda nyata.

You might also like