Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 12

JOURNAL READING

Should Colloid Boluses be Prioritized Over


Crystalloid Boluses for the Management of Dengue
Shock Syndrome in the Presence of Ascites and
Pleural Effusions?

Disusun Oleh :
Hanifa Adani

(1102010118)

Adroew Pasca Perdana

(1102011011)

Aldora Oktaviana

(1102011019)

Pembimbing :
Dr. Henny K. Koesna, Sp.PD
Dr. Seno M. Kamil, Sp.PD
Dr. Dinny G. Prihadi, Sp.PD, M. Kes

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SOREANG
2016
ABSTRACT

Background

: Although the WHO guideline for the management of dengue


fever considers the presence of ascites or pleural effusions
in the diagnosis of DSS, it does not emphasize the
importance of their presence when selecting fluids for
resuscitation.

Case Presentation : We highlight three patients with DSS who received boluses
of crystalloids on priority basis as recommended by WHO
guidelines during resuscitation. All three patients had
varying degrees of third space fluid loss (ascites and pleural
effusions) at the time of development of DSS. Ascites and
pleural effusions were detected in all 3 patients at the time
of shock irrespective of whether iv fluids were given or not.
All three patients had documented liver involvement at the
time of shock evidenced by elevation of AST (4800 iu/L,
5000 iu/L and 1960 iu/L). One patient who had profound
shock died 6 hours after admission with evidence of acute
pulmonary oedema in the convalescence phase. All of them
needed CPAP ventilator support and potent diuretics.
Conclusions

: We therefore feel that resuscitation of patients with DSS who


already have third space fluid accumulation with crystalloid
boluses on priority basis may contribute to recovery phase
pulmonary oedema.

LATAR BELAKANG

Demam berdarah merupakan tantangan besar untuk dokter yang berpraktik


di daerah endemis infeksi. Adanya empat serotipe, kekebalan tubuh tergantung
dari derajat keparahan, kurangnya pemahaman patofisiologi infeksi berat, tidak
adanya pengobatan khusus, kepadatan di rumah sakit, fasilitas laboratorium yang
tidak memadai, terlambatnya penanganan karena ketidaktahuan pasien dan
terlambatnya diagnosis ditegakkan, semua berkontribusi terhadap angka kesakitan
dan angka kematian.
Diagnosis dan manajemen dari demam dengue yang berat (DF), dengue
shock syndrome (DSS) dan demam berdarah dengue (DBD) terutama didasarkan
pada parameter klinis dan hematologis. Pedoman WHO yang diterapkan sampai
September 2009 dan pedoman revisi yang diterbitkan kemudian, menyoroti
pentingnya packed volume cell (PCV) dan jumlah kadar hemoglobin untuk
memutuskan kuantitas dan jenis cairan pengganti. Meskipun ketiga pedoman
mempertimbangkan akumulasi cairan pada ruang ketiga, seperti efusi pleura dan
asites, dalam diagnosis DSS, mereka tampaknya tidak menekankan hal tersebut
dalam penatalaksanaannya.
Cairan yang biasa digunakan dalam penatalaksanaan demam dengue
termasuk larutan rehidrasi oral (mengandung zat terlarut), larutan intravena seperti
kristaloid (penggantian cairan isotonik) dan koloid (setara dengan plasma).
Pedoman WHO pada tahun 1997 dan 1999 merekomendasikan cairan oral dan
terapi elektrolit selama fase demam dan pada pasien dengan keringat berlebih,
muntah dan diare, dan adanya bukti kebocoran plasma yang didiagnosis dengan
kenaikan hemoglobin dan hematokrit. Pedoman merekomendasikan cairan awal
penggantinya dengan kristaloid isotonik seperti NaCl 0,9% dan Ringer laktat,
yang memiliki komposisi setara dengan cairan plasma. Namun, dalam kasus
dengan shock berat yang tidak merespon dengan pemberian awal cairan kristaloid
harus diberikan larutan koloid seperti plasma atau pengganti plasma seperti
Dextran 40 atau 5% albumin.
Wabah baru dengue di Sri Lanka menyumbang lebih yang 35000 kasus
dan hampir 350 kematian. Banyak kematian yang dianggap terjadi karena
ketidakmampuan mengatasi manajemen cairan sehingga terjadi kelebihan cairan,

sebagai pemberat untuk miokarditis yang terkait dengan gagal jantung dan gagal
hati akut. Kami menyoroti tiga pasien yang dirawat di unit kami dalam berbagai
tahap infeksi dengue yang berpotensi untuk berkembang menjadi DSS. Walaupun
tatalaksana yang diberikan sesuai dengan pedoman WHO untuk manajemen
cairan, mereka kemudian berkembang ke tahap pemulihan edema paru yang
mengakibatkan memperpanjang angka kesakitan pada dua pasien dan kematian
pada satu pasien. Kami merasa bahwa kasus ini menyoroti pentingnya untuk
menghilangkan cairan pada ruang ketiga ketika mengganti cairan pada DSS,
sehingga kelebihan cairan dan edema paru pada fase pemulihan dapat dicegah.
LAPORAN KASUS
Seorang gadis 19 tahun dengan berat badan 48 Kg, dengan demam selama
5 hari, muntah, sakit kepala, nyeri seluruh badan dan flushing (ruam wajah)
disertai penurunan tekanan darah dari 100/70 mmHg ke 80/40 dalam posisi
terlentang, tidak ditemukan denyut perifer dan badan dingin, ekstremitas
berkeringat pada sakit hari ke 6. Tidak ada manifestasi perdarahan selama periode
penyakitnya. Walaupun pasien memiliki Hb rata-rata 12,5 g/dl dan hematokrit
42,3% sebelum berkembang menjadi DSS, pada saat berkembang menjadi DSS,
hematocrit pasien meningkat menjadi 55% dengan Hb 16 g/dl. Pasien tersebut
menerima 1,5 L larutan Ringer Laktat dan 1 L larutan NaCl 0,9% selama 48 jam
sebelum berkembang menjadi DSS karena pasien sering muntah dan pasien
menolak asupan cairan oral dan terus menerus memuntahkan apapun yang
dikonsumsi, yang menunjukkan tanda dehidrasi. Meskipun penggantian cairan
tersebut tidak dianjurkan oleh pedoman WHO dalam pengelolaan demam dengue
kita dipaksa untuk melakukan interaksi murni atas dasar klinis pada nilai
hemoglobin dan nilai hematokrit. Ini adalah tambahan untuk 1,5 L cairan oral
(terutama terdiri dari zat terlarut; conjee dan sup) dibandingkan periode yang
sama "yang telah dimuntahkan". Meskipun telah dilakukan manajemen diatas,
pasien mengarah menuju tahap DSS yang akut dan pada saat berkembang menjadi
DSS tercatat bahwa pasien tersebut memiliki ascites sedang, dan sedikit efusi
pleura kanan. Pasien kemudian diresusitasi secara primer dengan 3 bolus

intermiten (10-20 ml / Kg / hr) [1 bolus (20 ml/Kg/Jam) dalam ~20 menit (~320
ml), 2 bolus (10ml/Kg/Jam) lebih dari ~20 menit (~160 ml) dan bolus 3 (10
ml/Kg/Jam) lebih ~15 menit (~120 ml); total ~600 ml] dan pada kecepatan ~2-4
ml/Kg/Jam di antara bolus (~400 ml) kristaloid intravena sebesar 1000 ml lebih
dari dua jam dan kemudian dengan koloid (4 unit plasma beku segar ~100 ml 4
= ~400 ml) diikuti oleh 5 ml/Kg/Jam untuk ~4 jam (~960 ml) sesuai dengan
pedoman WHO tahun 1999. Kami tidak melanjutkan dengan pemberian infus
kristaloid yang sama selama satu jam seperti yang direkomendasikan oleh
pedoman WHO, dan memberikan bolus durasi yang lebih singkat (15-20 menit)
karena akumulasi cairan yang cukup cepat pada ruang ketiga. Untuk alasan yang
sama larutan koloid yang diberikan, seperti yang disarankan dalam penelitian
sebelumnya, ketika hematokritnya meningkat atau >50% di antara resusitasi
cairan. Tingkat hematokritnya dipantau selama 6 jam resusitasi, dan manajemen
cairan diawasi secara ketat berdasarkan tingkat hematokrit. Tingkat elektrolit
serum, kalsium serum, serum albumin dan jumlah gula darah dalam batas normal,
terutama pada saat akan menuju shock syndrome akut. Analisis gas darah arteri
tidak dilakukan selama tahap akut (karena alasan praktis, pembuluh darah perifer
tidak dapat diraba, dan lebih banyak perhatian diberikan untuk resusitasi). Pasien
memiliki output urin minimal 8 ml / hr selama dua jam selama periode DSS, tapi
outputnya meningkat setelah itu, dan pada pasien tidak ditemukan bukti biokimia
gagal ginjal. Dia menjadi agak bingung dan mengantuk dengan meningkatnya
transaminase hati menjadi sangat tinggi (ALT tertinggi 1250 iu/L dan

AST

tertinggi 4800 iu/L) dengan INR 1,8. Dia diberi infus N-acetylcysteine intravena,
vitamin K intravena dan rezim gagal hati (laktulosa, metronidazol). Meskipun
pasien pulih dari DSS dalam resusitasi enam jam, terjadi sesak nafas progresif
saat istirahat, dan ini diamati dalam dua jam berikutnya. Saturasi oksigen kapiler
jatuh ke 80 mmHg dengan diberikan 60% O2 melalui masker wajah. Pada x-ray
toraks menunjukkan edema paru berat dengan efusi pleura kanan (Gambar 1).
Padanya

tidak ditemukan bukti miokarditis atau penyakit struktural jantung

lainnya menggunakan pemeriksaan ECHO kardiografi, dan memiliki fraksi ejeksi


60% pada saat pasien mengalami edema paru. CVP nya adalah 20 cmH2O.
Dimulai pada continuous positive airway pressure (CPAP) masker ventilasi

dengan 100% O2 dikombinasikan dengan furosemid intravena, dan menunjukkan


pemulihan bertahap selama 72 jam (gambar 2). Perhitungan retrospektif
menegaskan bahwa volume cairan yang telah diterima selama fase manajemen
DSS berada di volume (baik oral dan cairan iv) yang direkomendasikan oleh
pedoman WHO.

Pasien kedua, adalah seorang perempuan berusia 26 tahun ibu dari dua
anak dengan berat badan 62 Kg yang dirawat di rumah sakit dengan DSS lanjutan,
bersama dengan ascites moderat dan efusi pleura bilateral. Tekanan darah
sistoliknya pada saat masuk adalah 70 mmHg dimana tekanan darah diastolik
tidak tercatat. Hemoglobin pada saat masuk adalah 16 g/dl dengan hematokrit
58% dan jumlah trombosit adalah 22.000 / mm3 (hasil ini keluar setelah satu jam
dimulai resusitasi). Tidak ada bukti perdarahan. Pasien belum diobati dengan
cairan intravena sebelum masuk, tapi mengonsumsi cairan secara oral seperti yang
disarankan oleh dokter umum (volume cairan yang telah dikonsumsi tidak tersedia
karena pasien tidak mempertahankan grafik keseimbangan cairan). EKG-nya
menunjukkan sinus takikardia dan inversi gelombang T yang tersebar luas,

sugestif miokarditis. Namun, pasien memiliki fraksi ejeksi 55% dideteksi oleh
ECHO kardiografi tanpa ditemukan kelainan jantung. Pasien diberikan dua bolus
intermiten (pertama bolus 20 ml/Kg/Jam dalam ~20 menit sebesar ~400 ml dan
bolus lainnya 20 ml/Kg/Jam dalam ~15 menit berikutnya sebesar ~300 ml) dari
normal saline intravena (berat tubuhnya diasumsikan sebagai 60 kg, karena berat
tubuhnya tidak dapat diukur karena pasien mengalami shock mendalam pada saat
masuk) dan jumlah total kristaloid yang telah diterima hampir 900 ml
(Sebelumnya 700 ml + maintanence 200 ml) saat dua jam pertama (volume total
yag telah diberi dan koloid [6 unit FFP (3 ~100 ml + 3 ~150 ml) sebesar ~750
ml)] lebih dari satu jam. Pemberian cairan dititrasi berdasarkan nilai hematokrit.
Disini bolus cairan berdurasi pendek dan koloid diberikan untuk alasan yang sama
seperti pasien pertama. Meskipun tekanan darahnya meningkat menjadi 100/80
mm/Hg dua kali selama resusitasi (Setelah setiap bolus kristaloid dikombinasikan
dengan koloid), ini tidak berkelanjutan. Bersamaan dengan resusitasi, pada pasien
timbul gangguan pernapasan dengan bukti edema paru dan efusi pleura bilateral
dan diperlukan tindakan intubasi dan ventilasi. Pada saat pasien dipindahkan ke
ICU untuk ventilasi, CVP-nya adalah 22cm H2O dan secara bertahap naik
menjadi 26cm H2O saat pasien meninggal 6 jam setelah masuk rumah sakit.
Serum elektrolitnya berada dalam batas normal, tetapi analisis gas darah, yang
dilakukan 2 jam setelah masuk ke ICU, menunjukkan asidosis metabolik ringan.
Glukosa darahnya tetap normal tapi fungsi hati menunjukkan AST 5000 iu/L dan
ALT 1600 iu/L. Kematian pada pasien ini tidak terbukti akibat N-acetylcysteine
atau rezim gagal hati karena hasil tes fungsi hati baru tersedia setelah kematian.
Urin output hanya 40 ml selama 6 jam di rumah sakit, tapi serum kreatinin dan
ureum darah normal. Jumlah serum kalsium dan kolesterol tidak dapat dihitung
pada pasien ini. Kondisi post mortem menunjukkan ascites berisi darah dalam
jumlah yang banyak dan efusi pleura, serta kongesti dan pendarahan petecheal
luas di semua organ internal.
Pasien ketiga adalah seorang wanita berusia 32 tahun dengan berat badan
58 Kg pada sakit hari ke-empat. Dia tidak menerima cairan infus sebelum masuk
dan memiliki tekanan darah sistolik 90 mmHg dan tekanan darah diastolik dari 80
mmHg pada saat masuk RS, dengan sedikit efusi pleura kanan dan ascites ringan.

Pada saat masuk, Hemoglobinnya 17 g/dl dan PCVnya 55, jumlah trombosit
adalah 15.000 mm3. Pasien diresusitasi dengan intravena 0,9% garam 5-10
ml/Kg/Jam selama 4 jam untuk menjaga tekanan darah dan pasien disarankan
untuk meneruskan cairan via oral setelahnya. Pasien mempertahankan urin output
yang cukup, hampir 40-50 ml/Jam dan telah mengonsumsi hampir 1 L cairan via
oral untuk 24 jam kedepan. Namun, 24 jam setelah masuk, ia mengalami shock
yang mendalam dengan tekanan darah sistolik tidak dapat diukur dan tidak
ditemukan denyut perifer. PCVnya pada tahap ini adalah 55 dan dia sebentarsebentar diresusitasi dengan tiga bolus Ringer laktat (~300 ml) dan larutan garam
normal [1 bolus (20 ml/Kg/Jam) dalam ~15 menit (~300 ml), 2 bolus (10
ml/Kg/Jam) dalam ~ 15 menit (~ 150 ml) dan bolus 3 (20 ml/Kg/Jam) dalam ~20
menit (~350 ml); total ~600 ml] dan pada kecepatan ~2-4 ml/Kg/Jam diantara
bolus (~400 ml) selama dua jam resusitasi (masing-masing bolus cairan yang telah
diberikan 15-20 menit durasi dan diturunkan perlahan ke tingkat pemeliharaan (5
ml/Kg/Jam atau kurang) di antara bolus [jumlah total cairan yang telah diberikan
selama periode ini hampir 1.200 ml], diikuti oleh 4 unit FFP (~100 ml 1 + ~150
ml 3 = ~550 ml) dan 4 unit trombosit (~75 ml 4 = ~300 ml) (total ~850 ml).
Resusitasi cairan pada pasien ini juga didasari oleh nilai hematokritnya. Tekanan
darahnya membaik setelah resusitasi cairan. Selama dua jam tahap syok pasien
memproduksi urin output 50 ml dan pulih setelahnya. Namun, dalam waktu
singkat, muncul asites yang bermakna, dan ditemukan tahap pemulihan edema
paru secara lambat sehingga diberikan terapi furosemid intravena dengan jumlah
tertentu, untuk mengatasi tekanan darahnya. Pasien tidak pernah mengalami
pendarahan selama sakit, dan hemoglobin dan hematokritnya turun menjadi 13
g/dl dan 43% masing-masing setelah resusitasi. Glukosa darah, elektrolit serum
dan fungsi ginjal tetap normal saat sakit, dan jumlah AST dan ALT masingmasing 1960 iu/L dan 420 iu/L. Meskipun analisis gas darah pada pasien ini
menunjukkan asidosis metabolik ringan pada saat dia dikirim ke ICU untuk
ventilasi, secara bertahap menjadi normal pada pemantauan berikutnya. Fraksi
ejeksi jantungnya adalah 60% dan tidak ditemukan penyakit jantung struktural
menggunakan ECHO kardiografi. CVP nya pada saat masuk ke ICU adalah 18 cm

H2O. Serum Ca dan kadar kolesterol tidak dinilai. Pasien ditangani dengan
ventilasi CPAP sama dengan pasien pertama.
Semua pasien ini ditangani dengan pemantauan terus menerus untuk
tanda-tanda vital, produksi urin dan, bila sesuai, nilai hematokrit. Jumlah darah
lengkap dilakukan baik dua kali sehari atau saat ada peningkatan frekuensi yang
tepat. Tes fungsi hati dilakukan pada awal dan pada saat shock, dan diperlukan
untuk tindak lanjut. Gas darah dilakukan pada pasien pertama dan ketiga pada saat
shock dan bila diperlukan setelahnya. Kadar serum kalsium diukur hanya pada
pasien pertama dan tingkat serum kolesterol tidak dinilai. Pasien disarankan untuk
mengurangi air dan dianjurkan untuk mengonsumsi cairan yang mengandung
elektrolit saja. Namun, kami tidak memiliki rincian mengenai apakah pasien
kedua mengonsumsi air dalam jumlah berlebih saat pasien di rumah.
KESIMPULAN
Dua dari tiga pasien kami memiliki parameter klinis dan hematologis yang sama
ketika mereka mengalami DSS. Meskipun demikian, pada pasien yang meninggal
tidak ada penyelidikan hematologis yang tersedia pada saat presentasi dengan
DSS yang mendalam. Ketiga pasien diterapi sesuai dengan pedoman WHO. Kami
melakukan sebagian besar investigasi dengan tepat dan menggunakan algoritme
manajemen cairan. Meskipun kami menggunakan baik cairan kristaloid dan
koloid dalam resusitasi dari ketiga pasien tersebut, cairan kristaloid lebih
diprioritaskan dari koloid bahkan setelah dideteksi adanya akumulasi cairan pada
ruang ketiga. Walaupun begitu, meskipun pedoman WHO merekomendasikan
bolus cairan pada jumlah yang tinggi selama satu jam, kami terpaksa
menggunakan bolus cairan durasi yang lebih pendek dan koloid intermiten akibat
akumulasi cairan pada ruang ketiga secara cepat yang berhubungan dengan
peningkatan hematokrit, menunjukkan kebocoran cairan yang berkelanjutan.
Kebocoran cairan lanjutan dapat disebabkan oleh hipoglikemia yang tidak
dikoreksi, asidosis, serum kalsium yang rendah, penurunan serum albumin atau
karena pengaliran cairan berlebih secara iv atau oral. Pasien yang meninggal
belum menerima cairan infus sebelum masuk RS, tapi pasien tersebut telah

mengkonsumsi cairan tambahan di rumah, yang saat ini direkomendasikan untuk


manajemen Demam Dengue berbasis rumah. Namun volume dan komposisi
cairan yang dikonsumsi belum didokumentasikan oleh pasien. Dua pasien lain
tidak menerima tambahan cairan intra vena atau oral sebelum atau setelah masuk.
Pada ketiga pasien tingkat gula darah tetap normal. Pada pasien pertama, kalsium
serum yang telah dikoreksi tetap normal dan tingkat albuminnya adalah rendah
normal. Pada pasien 1 dan 3 hanya ditemukan asidosis metabolik ringan. Pada
pasien kedua, beberapa hasil penyelidikan tersebut ada yang tidak dilakukan atau
tidak tersedia sampai hampir waktu kematiannya. Selama masa pemulihan, ketiga
pasien mengalami edema paru dan saturasi oksigen arteri berkurang sehingga
memerlukan pengobatan intensif dengan ventilasi. Mengamati fitur klinis,
manajemen dan hasil dari tiga pasien ini, kami berhipotesis bahwa resusitasi
pasien yang sudah memiliki akumulasi cairan pada ruang ketiga saat DSS berat
diutamakan diberi koloid daripada kristaloid akan mencegah perkembangan
edema paru pada saat pemulihan.
Infeksi adalah penyebab utama dari kolaps sirkulasi darah pada anak-anak
atau orang dewasa. Namun kontroversi atas pilihan solusi resusitasi, apakah itu
kristaloid atau koloid belum selesai. Meskipun ada beberapa penelitian yang telah
dilakukan untuk mengatasi masalah ini pada anak-anak dan orang dewasa,
kebanyakan studi ini tampaknya bergantung kepada beberapa parameter seperti
tekanan darah, denyut nadi, waktu mengisi kapiler, tekanan nadi, urine output,
hemoglobin dan pack red cell volume dalam diagnosis dan evaluasi hasil
pengobatan. Mereka tidak menganggap kehadiran ruang ketiga kehilangan cairan
sebagai penentu penting untuk memilih cairan resusitasi. Meskipun dalam
patofisiologi sindrom syok karena sebagian besar infeksi mirip, sindrom syok di
DF adalah sementara dan kembali cepat. Oleh karena itu, pasien yang mengalami
kehilangan cairan pada ruang ketiga selama tahap syok sangat mungkin memiliki
risiko kelebihan beban sirkulasi secara cepat selama fase pemulihan. Ada satu uji
coba terkontrol secara acak yang menyoroti keuntungan dari koloid dibandingkan
kristaloid dalam pengelolaan DSS pada anak-anak.
Semua pasien tersebut dinilai dan diresusitasi sesuai dengan pedoman
WHO untuk pengelolaan demam dengue. Seperti yang ditekankan dalam

pedoman WHO, tidak ada keraguan bahwa parameter hematologis seperti


hemoglobin dan hematokrit, dan penilaian bukti untuk hilangnya cairan pada
ruang ketiga seperti adanya asites dan efusi pleura sangat penting dalam
mendiagnosis awal kebocoran cairan dan kehilangan volume intravaskular.
Namun pedoman tidak memberikan banyak perhatian pada kehadiran akumulasi
cairan ruang ketiga ketika memilih cairan infus yang tepat untuk resusitasi. Kami
bertanya-tanya apakah resusitasi volume intravaskular pada pasien yang
mengalami DSS dengan asites dan efusi pleura, mengutamakan koloid bolus
bukan bolus kristaloid akan mencegah cairan yang berlebih terkait morbiditas dan
mortalitas pada fase pemulihan. Hal ini karena, kristaloid (saline normal)
meningkatkan cairan ekstraseluler kompartemen dengan rasio 1: 1 dengan hanya
20% yang tersisa pada ruang intravaskular, sedangkan 5% albumin meningkatkan
cairan ekstraseluler lebih dari dua kali dan didistribusikan merata secara
intravaskular dan interstisial. Oleh karena itu, volume ke volume, dua sampai tiga
kali lebih banyak kristaloid yang perlu digunakan dibandingkan koloid untuk
mencapai efek hemodinamik yang sama. Selain itu, insiden edema paru yang lebih
tinggi telah dilaporkan pada pasien dengan hipovolemik dan syok septik yang
mendapatkan saline, yang dikaitkan dengan penurunan tekanan osmotik koloid.
Oleh karena itu, penggantian kristaloid dengan larutan koloid, seperti FFP, dapat
mengurangi edema paru pada fase pemulihan dengan meningkatkan tekanan
osmotik

yang

memberikan

hasil

meminimalkan

kebocoran

cairan

ke

kompartemen ekstravaskular. Selanjutnya, peningkatan seperti tekanan onkotik


juga akan membantu secara bertahap penyerapan kembali pada ascites dan efusi
pleura. Hal ini juga dapat mengurangi kebutuhan untuk kristaloid intravena dalam
pengelolaan DSS.
Sebelumnya telah dilakukan double blind randomized clinical trial yang
dilakukan pada anak dengan DSS cukup parah telah menunjukkan bahwa tidak
ada perbedaan yang signifikan dalam perkembangan manifestasi perdarahan baru,
overload cairan klinis, ukuran objektif dari keparahan keseluruhan kebocoran
vaskuler (efusi pleura kanan, ascites), atau penggunaan furosemide apabila
mereka awalnya diresusitasi dengan kristaloid atau koloid. Namun, dalam
penelitian ini, kehadiran akumulasi cairan ruang ketiga pada saat pelaksanaan

studi ini tidak disebutkan. Selanjutnya, penelitian ini tidak mengambil pasien
dengan sindrom dengue shock berat secara acak untuk pengobatan dengan
kristaloid karena kekhawatiran tentang potensi pengembangan kelebihan cairan
kritis tanpa akses ke dukungan alat bantuan pernapasan canggih. Namun, lebih
banyak pasien dengan shock berat pada presentasi memerlukan penyelamatan
menggunakan koloid daripada pasien dengan syok moderat. Artikel ini juga
menyoroti temuan bahwa efek koloid dalam mencegah kebocoran cairan
berlangsung hanya beberapa jam. Namun dapat disimpulkan bahwa bagi mereka
dengan shock berat, situasi dapat menjadi kurang jelas dan klinisi harus
bergantung pada pengalaman pribadi, kefamiliaran dengan produk-produk
tertentu, ketersediaan lokal, dan biaya. Perbaikan secara minor dalam pemulihan
awal dapat ditunjukkan dengan pati, dan reaksi merugikan secara signifikan lebih
dikaitkan dengan dekstran, sehingga jika penggunaan koloid dianggap perlu,
maka pati mungkin menjadi pilihan yang lebih disukai.
Kesimpulannya, kami merekomendasikan dari pengamatan kami, bahwa
resusitasi pasien dengan DSS yang telah memiliki akumulasi cairan pada ruang
ketiga dengan bolus kristaloid berdasarkan prioritas dapat berkontribusi untuk
tahap pemulihan edema paru, perlu diuji lebih lanjut dengan uji kontrol acak
merekrut pasien dengan berat DSS yang telah memiliki akumulasi cairan pada
ruang ketiga. Penggunaan koloid seperti FFP bisa diteliti dalam uji tersebut,
mengingat reaksi transfusi mungkin dengan FFP dan reaksi terhadap koloid
buatan saat mereka sedang diberikan.

You might also like