Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 33

H T T P : / / D E K E M ATB L O G . B L O G S P O T.C O . I D / 2 0 0 8 / 1 2 / PAR A D I G M A - K R I T I K - T E K S - A L I HARB.HTML.

1692016

J U M A T, 0 5 D E S E M B E R 2 0 0 8

Paradigma Kritik Teks Ali Harb


PARADIGMA KRITIK TEKS AL HARB
(Studi Kritis-Hermeneutis)
Oleh : Rahmat Hidayatullah

ABSTRACT
The object of this research is to analyze the epistemological constructions and methodological
framework of Al Harbs critique of text paradigm. This research focused on finding epistemical
componens wich had been influenced and formed Al Harbs critique of text paradigm.
This research based on library research. Library data which being used in this research will be
classified into primary sources and secondary sources. Meanwhile, the approach which applied in
this research is hermeneutical approaches, especially refer to fenomenological hermeneutics which
developed by Heidegger, Gadamer, and Paul Ricoeur. This approach operationed to penetrate
deeply to the process of interpretation and understanding toward text which become object of this
research. In particular, i will use the concept of fusion of horison to disclousure the melting point
between Al Harbs critique of text with Derridas deconstruction.
The result of this research pointed that Al Harbs critique of text, epistemically, influenced with
post-structural and post-modern tradition. Meanwhile, in the level of methodology, Al Harbs
critique of text refer to deconstrutions methode. This conclusion based on three things; first, Al
Harb him self confess explicitly that he is a deconstructionis; second, Al Harb states that he him
self is one of arabic thinker which represents the tendention of critique over critique. This
tendention, generally, represented by arabic intelectual which had been influenced by poststructuralism discourse, Derridas deconstruction in particular; third, Al Harbs critique of text has
the same princip with deconstruction. Dus, Al Harbs critique of text can be categorized into
postmodern epistemology with deconstruction as the methodology. Both postmodern epistemology
and deconstruction methodology in one shelter under new paradigm, interpretatif paradigm, or
constructives paradigm.

PENDAHULUAN
Dalam diskursus pemikiran kontemporer, hakikat bahasa dan makna, serta hakikat interpretasi dan
subjektivitas, telah menjadi isu yang semakin banyak mendapatkan perhatian dari pelbagai disiplin
ilmu. Bagi para filsuf, ahli bahasa, kritikus sastra dan ilmuan sosial, penjernihan isu-isu tersebut

merupakan tugas yang terasa semakin mendesak dan tak dapat diabaikan. Hal yang sama juga
tengah berlangsung di belahan dunia Islam pada umumnya, dan di dunia Arab secara khusus. Isu
serupa telah menarik perhatian para pemikir Arab-Islam kontemporer yang menaruh perhatian
terhadap problematika pembacaan teks dan tradisi pemikiran Islam.[1]
Para pemikir Arab kontemporer berpendapat bahwa upaya untuk melakukan pembacaan ulang
terhadap teks keagamaan dan tradisi pemikiran Islam telah menjadi kebutuhan yang semakin
mendesak. Mereka mengajak kepada umat Islam agar dapat membangun suatu model pembacaan
terhadap teks keagamaan dan tradisi pemikiran Islam secara kritis-kontekstual untuk menggali
signifikansi yang relevan dengan kondisi saat ini. Proyek inilah yang sedang digarap oleh para
pemikir Arab-Islam kontemporer. Mereka hendak membangun sebuah metode penafsiran dengan
melakukan ikhtiar adaptasi dan akomodasi pelbagai perspektif dan metodologi yang berkembang
dalam tradisi ilmu sosial, humaniora, dan filsafat yang berasal dari tradisi keilmuan Barat, sambil
mendialogkannya secara kritis dan dinamis dengan perangkat-perangkat penafsiran yang pernah
berkembang dalam tradisi keilmuan Arab-Islam.
Persoalan tradisi memang tengah menjadi wacana yang ramai diperbincangkan dalam ranah
kebudayaan Arab-Islam kontemporer, terutama pasca-kekalahan politik oleh Israel pada Juni 1967.
[2] Persolan ini telah menarik minat kaum intelektual Arab dalam upaya pencarian identitas bangsa
pasca-kekalahan politik tersebut. Di satu sisi, mereka dihadapkan oleh problem untuk membenahi
diri demi tuntutan modernitas dalam pelbagai bidang; politik, ekonomi, pendidikan, sosial dan
budaya. Di sisi lain, mereka diterpa oleh tuntutan untuk memikirkan kembali warisan tradisi yang
selama ini menjadi akar dan identitas mereka sebagai bangsa Arab. Maka mencuatlah persoalan
apakah tradisi mereka masih sesuai dan relevan dengan modernitas ataukah tidak, yakni problem
antara orisinalitas dan modernitas.
Al Harb adalah salah satu di antara para pemikir Arab-Islam yang melibatkan diri dalam isu serupa.
[3] Dalam pandangannya, pembacaan ulang terhadap landasan-landasan tradisi, pada saat yang
sama, merupakan pengkajian ulang terhadap subjek, nalar, dan pemikiran. Untuk merealisasikan
hal tersebut, umat Islam harus kembali kepada teks dan berdialog dengannya. Pada saat itulah,
pengkajian atas seluruh karya pemikiran menjadi mungkin.[4] Sebagai pengkaji pemikiran ArabIslam, Al Harb termasuk salah satu di antara mereka yang merasakan pentingnya meninjau ulang
konsep teks sebelum proses pembacaan atas teks tersebut dilakukan. Teks seharusnya menjadi
wilayah pemikiran atau penelitian. Artinya, teks membutuhkan sebuah pembacaan yang mengubah
dirinya dari sekedar kemungkinan menjadi proses pengetahuan yang produktif.
Demi merealisasikan tujuan tersebut Al Harb kemudian mempromosikan sebuah perangkat
interpretasi yang ia sebut dengan istilah kritik teks. Istilah ini pertama kali diintroduksi di dalam
triloginya, Al-Nashsh wa al-Haqqah.[5] Istilah ini bahkan dijadikan sebagai judul untuk seri pertama
dari triloginya, yakni Naqd al-Nashsh. Kendati demikian, Al Harb juga kerap menggunakan istilah

lain dalam pelbagai kesempatan baik dalam tulisan maupun wawancara untuk menunjuk pada
pengertian yang sama. Ia kadang menggunakan istilah kritik atas kritik (naqd al-naqd), ontologi
teks (unthlji al-nashsh), atau kebenaran teks (haqqah al-nashsh).
Sebagai sebuah strategi pembacaan teks, kritik teks Al Harb acap dikaitkan dengan metode
dekonstruksi yang berkembang dalam disiplin filsafat dan ilmu sosial-humaniora Barat kontemporer.
Hal ini diakui sendiri oleh Al Harb dalam Naqd al-Nashsh. Dalam buku tersebut, ia mengafirmasi
dirinya sebagai seorang dekonstruksionis.[6] Pengakuan tersebut kemudian diamini oleh beberapa
komentator yang mengkaji pemikiran Al Harb. Muhammad al-Banak intelektual Arab asal
Libanon misalnya, menempatkan Al Harb ke dalam deretan para pemikir Arab kontemporer yang
merepresentasikan kecenderungan dekonstruksi dalam mengkaji pemikiran Arab-Islam.[7] Umar alKausy bahkan menyatakan bahwa Al Harb adalah salah seorang Derridean Arab yang secara sadar
menerima dan mengadaptasi pemikiran-pemikiran Jaqcues Derrida.[8]
Di pihak lain, dekonstruksi kerap diasosiasikan sebagai praktik nihilistik dan negatif dalam rangka
destruksi struktur. Kendati demikian, Derrida sendiri filsuf yang pertama kali mengintrodusir
istilah dekonstruksi menampik citra negatif yang lekat dengan dekonstruksi sebagai
pembongkaran, penghancuran, dan desedimentasi struktur pemikiran. Sebaliknya, menurut Derrida,
dekonstruksi bukanlah pembongkaran nihilistik dan destruksi terhadap struktur pemikiran, tetapi
pembongkaran terhadap struktur-struktur pemikiran yang mengarah pada suatu cara baru dalam
memahami peran serta fungsi konsep-konsep dan struktur filsafat tradisional.
Mengacu pada uraian di atas, penelitian ini bermaksud menganalisis bangunan epistemologis dan
kerangka metodologis dalam paradigma kritik teks Al Harb. Karena itu, tulisan ini akan
memfokuskan pada ikhtiar untuk menelusuri komponen-komponen epistemik yang turut
mempengaruhi dan membentuk paradigma kritik teks Al Harb. Dengan berangkat dari hipotesis
yang dikemukakan oleh Muhammad al-Banak dan Umar al-Kausy serta pengakuan Al Harb sendiri,
tulisan ini bermaksud menelusuri relasi konseptual antara kritik teks Al Harb dengan
dekonstruksi Derrida. Atau lebih tepatnya menemukan elemen-elemen dekonstruksif dalam
paradigma kritik teks Al Harb.
Dengan demikian, dapat dikemukakan dua persoalan utama yang hendak dijawab dalam tulisan ini,
yaitu; Bagaimana paradigma kritik teks Al Harb? Bagaimana pertautan antara kritik teks Al Harb
dengan dekonstruksi Derrida?
Penelitian ini sepenuhnya merupakan penelitian kepustakaan (library research). Sumber data dalam
penelitian ini diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu data primer dan data sekunder. Data
primer terdiri dari karya-karya Al Harb dan Jacques Derrida. Sedangkan data sekunder mencakup
buku, jurnal, dan artikel baik dari media cetak maupun media elektronik yang memiliki relevansi
dan signifikansi dengan tema penelitian ini.
Penelitian ini akan menggunakan pendekatan hermeneutik. Pendekatan ini diaplikasikan untuk

mendalami proses pemahaman dan interpretasi terhadap teks-teks yang dijadikan objek penelitian.
Dalam bingkai hermeneutik, menafsirkan adalah proses memahami. Hasil dari memahami tersebut
diwujudkan dalam bentuk penafsiran. Dengan kata lain, hasil penafsiran merupakan manifestasi
dari pemahaman, karena dasar dari tafsir adalah pemahaman. Dengan demikian, antara memahami
dan menafsirkan merupakan kesatuan yang dapat dipertukarkan, bahkan tidak dapat dipisahkan.
Hermeneutika yang hendak diterapkan dalam penelitian ini mengacu pada tradisi hermeneutika
fenomenologi sebagaimana dirumuskan oleh Heidegger, Gadamer, dan Paul Ricoeur. Teori
hermeneutika yang dikembangkan oleh Ricoeur berusaha mengintegrasikan antara penjelasan
(eksplanation) dan pemahaman (understanding) dalam suatu dialektika yang konstruktif yang
terdapat di dalam khazanah teks. Adapun masalah utama yang dipersoalkan berkaitan dengan
problem distansiasi dan apropriasi.[9] Dalam kerangka hermeneutika ini, persoalan inti yang hendak
direalisasikan adalah ikhtiar untuk menghindar dari kecenderungan menjatuhkan pilihan antara
penjarakan yang mengalienasi dan keterikatan partisipatoris.[10]
Menurut Ricoeur, tulisan membuat teks menjadi otonom dan lepas dari jangkauan intensi
pengarang. Apa yang dimaksudkan oleh teks tidak lagi berkorespondensi dengan apa yang dimaksud
dengan sang pengarang. Oleh karena itu, makna tekstual dan makna psikologis memiliki takdir dan
arah yang berbeda. Di dalam otonomi teks sudah terdapat kemungkinan bahwa apa yang disebut meminjam istilah Gadamer - sebagai substansi teks bisa lepas dari batasan cakrawala
pengarangnya. Singkat kata, dilihat dari sudut pandang sosiologis-psikologis, sebuah teks harus
mampu melepaskan dirinya dari konteks sehingga ia bisa dikontekstualisasikan ke dalam situasi
yang baru, seperti dilakukan dengan tepat oleh aktus pembacaan.[11]
Secara khusus, penulis akan memanfaatkan konsep fusi horison (the fusion of horizons) dari
Gadamer. Dalam pendirian Gadamer, pemahaman adalah an open fusion of historical horizons
(peleburan horison historis secara terbuka).[12] Dalam sudut pandang ini, konsep pemahaman
mengandaikan bahwa teks itu terbatas (limited). Oleh karena itu, kita sebagai seorang penafsir
yang hendak memahami teks tidak mungkin menambahkan satu kata pun terhadap teks. Namun
teks yang terbatas itu memperkenankan dirinya untuk diperluas horisonnya oleh sang penafsir yang
berusaha memahami konsep-konsep yang tertuang di dalamnya. Hal yang bisa kita lakukan adalah
memperluas horison teks dengan pengetahuan-pengetahuan kita yang selama ini diperoleh akibat
pengaruh sejarah; perkembangan pemikiran yang melintas dalam perjalanan historis. Ketika teks
yang terbatas itu membuka diri dan sang penafsir mencurahkan perhatiannya untuk memahami teks
tersebut, maka terjadilah apa yang disebut dengan the fusion of horizons, yakni horison yang
terdapat di dalam teks diperluas dunianya oleh sang penafsir.[13]
Pada muaranya, apa yang hendak ditampilkan dalam tulisan ini adalah sebuah jaringan
intertekstualitas. Karena itu, antara teks yang satu dengan teks lainnya akan saling mengisi,
menyelinap, dan mengintrogasi dalam sebuah tegangan yang kreatif. Alhasil, tulisan ini akan lebih

mnyerupai sebuah tenunan hermeneutis, sebagai akibat dari peleburan horison dari pelbagai
khazanah epistemik yang saling bersinggungan.

PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Intelektual Al Harb
Al Harb lahir di Libanon pada tahun 1941. Ia menyelesaikan pendidikan akademisnya di Universitas
Libanon dan meraih gelar master dalam bidang filsafat pada tahun 1978. Di universitas yang sama ia
mengajar filsafat Arab dan Yunani sejak tahun akademik 1976-1993. Pada tahun akademik 19951996, ia memperoleh kesempatan menempuh gelar agrgation dari Universitas Paris, Perancis. Ia
telah aktif menulis artikel di pelbagai surat kabar serta jurnal-jurnal kebudayaan Arab sejak tahun
1979. Ia juga aktif menyampaikan kuliah dalam pelbagai simposium dan seminar seputar isu
pemikiran dan kebudayaan di negara-negara Arab, seperti Tunisia, Maghrib, Bahrain, Suriah, Arab
Saudi, Mesir, dan Kuwait. Saat ini ia mengajar di Universitas Beirut, Libanon.[14]
Al Harb termasuk salah seorang penulis yang cukup produktif. Ia telah menghasilkan ratusan
artikel dan esai yang dipublikasikan di pelbagai jurnal dan majalah di dunia Arab. Ia juga telah
menghasilkan lebih dari dua puluh buku untuk khazanah kepustakaan Arab. Pada umumnya, bukubuku tersebut berasal dari kumpulan esai dan artikel yang pernah ditulis di pelbagai jurnal dan
majalah, termasuk makalah-makalah yang pernah dipresentasikan dalam pelbagai kesempatan.[15]
Karya-karya Al Harb kebanyakan muncul dalam bentuk komentar kritis atas gagasan para pemikir
dan intelektual lain, baik Arab maupun Barat, seperti Zak Najb Mahmd, Muhammad Imrah,
bid al-Jbir, Muhammad Arkn, Hassan Hanaf, Nashr Hmid Ab Zad, Immanuel Kant, Gilles
Delluz, Martin Heidegger, Noam Chomsky, dan lain sebagainya.[16] Dengan menempuh manhaj ini,
Al Harb rupanya hendak melepaskan ikhtiar pemikiran (baca: filsafat) untuk mencari jawab. Ia
ingin mengembalikan tugas pemikiran untuk terus-menerus mengajukan pertanyaan, mengintrogasi,
dan menggoyang posisi-posisi. Karena itu, ia senantiasa mempersoalkan teks, mempertanyakan
tulisan, menggugat subordinasi ontologis, menyoal marginalia, dan menyibak metafor. Siapa yang
hendak menuai jawab atas semua pertanyaan Al Harb akan putus asa dan kebingungan. Menanti
jawab dari Al Harb adalah naif, karena Al Harb menggugat pengandaian bahwa dalam setiap
persoalan terdapat jawaban. Karena bagi dirinya, Tidak ada kritik yang sempurna, karena kritik
adalah hasrat pemikiran untuk membuka pintu-pintu yang tertutup, menelanjangi struktur yang
dianggap mapan, dan membebaskan diri dari sistem yang membelenggu.[17]
Sebagai intelektual Arab, tentu saja Al Harb tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial-intelektual
pada masanya. Kebanyakan intelektual Arab berpendapat bahwa dunia Arab kontemporer sedang
mengalami krisis kebudayaan, yakni krisis identitas dan hilangnya memori Arab. Krisis tersebut pada
dasarnya bermula dari krisis kritik yang berujung pada krisis keratifitas.[18] Karena itu, pemikiran
Al Harb dapat dianggap sebagai se-nada resonansi kritik diri (naqd al-dzt) sebagaimana

didendangkan oleh kaum intelektual Arab-Islam kontemporer.[19]


Dengan demikian, kontribusi intelektual Al Harb dalam ranah pemikiran Arab-Islam kontemporer
dapat dianggap sebagai bagian, bahkan kesinambungan, dari mega proyek yang didesain oleh para
pemikir Arab kontemporer yang menaruh perhatian terhadap problematika pembaruan pemikiran
Arab-Islam, terutama mereka yang menggulirkan proyek-proyek kritik nalar. Tujuan dari proyek
ini adalah kritisisme, yakni sebuah ikhtiar untuk menelusuri struktur epistemologis pemikiran ArabIslam serta mendefinisikan kembali syarat-syarat kemungkinan (the condition of possibility)
pengetahuan Arab-Islam yang telah meroda dalam rentang waktu yang sangat panjang.[20]
Di sisi lain, pemikiran Al Harb hendak mempersoalkan kecenderungan kaum intelektual Arab
dalam menyikapi problematika pembaruan. Ia tak segan-segan melontarkan kritik terhadap para
pemikir Arab kontemporer yang mengkaji problematika pemikiran Arab-Islam dan menawarkan
gagasan kritis dengan menempatkan kritik nalar sebagai objek kajiannya.[21]Ia menilai bahwa
kaum intelektual Arab memiliki kecenderungan berpikir dalam kerangka ciri khas kultural, nasional,
ataupun keagamaan. Hal tersebut tercermin dari tema-tema yang mereka tawarkan, seperti
pembaruan pemikiran Arab, kritik nalar Arab, kritik nalar Islam, serta tema-tema lain yang
menyematkan atribut-atribut identitas. Hal tersebut, demikian Al Harb, mengindikasikan bahwa
para pemikir Arab kontemporer senantiasa berpikir dalam tekanan kesadaran identitas kolektifnya.
[22]
Berdasarkan alasan tersebut, Al Harb secara gamblang mengidentikkan dirinya ke dalam trend
yang paling mutakhir dalam peta pemikiran Arab-Islam kontemporer, yaitu trend kritik atas kritik.
Dalam kecenderungan terakhir ini, demikian Al Harb, penggunaan perspektif kritis bukan sekedar
reaksi atau penyangkalan dalam pengertian yang simplistis sebagaimana dipamerkan oleh beberapa
kalangan yang mengkritik prestasi para kritikus nalar. Lebih dari itu, kecenderungan ini merupakan
ekspresi dari suatu ikhtiar untuk mendekonstruksi tema-tema dan slogan-slogan modernitas, seperti
rasio, pencerahan, kemajuan, humanisme, dan proyek-proyek pembebasan.[23]

B. Kritik Teks Al Harb: Paradigma dan Metode


Konsep teks
Dalam Naqd al-Nashsh, Al Harb menyatakan bahwa teks bukan sekedar medium bagi ilmu
pengetahuan, tetapi ia juga merupakan objek ilmu pengetahuan itu sendiri.[24] Teks telah
mengalami transformasi dari sekedar alat/media menjadi lokus eksistensi itu sendiri, ia telah
bergeser menjadi dunia tanda-tanda yang otonom. Teks, dengan demikian, merupakan dunia yang
memiliki bentuk dan struktur tersendiri, medan otonom yang memiliki peta dan tingkatan, bahkan
peristiwa yang tidak pernah usai menorehkan jejak dan pengaruhnya kepada pembaca. Al Harb
menyebut kondisi semacam ini dengan istilah ontologi teks,[25] yakni teks merupakan sebuah
peristiwa ontologis yang menentukan kebenarannya sendiri. Teks adalah dunia otonom yang mampu

memproduksi makna-makna baru, sehingga memungkinkan bagi kita untuk menata kembali
kategori-ketegori kita terhadap pengetahuan dan kebenaran, pemikiran dan pembacaan, bahkan
terhadap esensi teks itu sendiri.[26]
Transformasi teks dari ruang lingkup pengetahuan tertentu menjadi disiplin tersendiri memuat
konsekuensi bahwa ia mempunyai desain dan dunia yang otonom. Ia adalah wacana yang
menetapkan kemampuannya, memperoleh ketunggalannya, dan menjadi jejak yang dikembalikan
pada dirinya. Artinya, ia senantiasa memaksa kita untuk membacanya secara terus-menerus. Kita
tidak membaca teks lantaran ia mencerminkan atau mentransformasikan realitas. Teks yang
merefleksikan realitas tidak lagi memilki signifikansi karena ia berhenti seiring dengan pudarnya
realitas yang terjadi. Teks bukanlah cermin realitas, melainkan ia berkutat di antara apa yang
sedang terjadi dan apa yang mungkin terjadi.
Dengan demikian, keterkaitan antara teks dengan realitas merupakan penghapusan realitas itu
sendiri. Ia adalah tabir penghalang yang berlapis-lapis; mengabaikan kebenaran teks di satu sisi,
dan melepaskan realitas pada sisi yang lain. Karena watak teks adalah menghalangi realitas, maka
ikhtiar untuk mentransformasikan dan mengaitkan teks dengan realitas tertentu hanya sekedar
interpretasi atas sebuah teks dengan teks lainnya, yakni menghalangi penghalang (hijb li al-hijb).
[27] Karena teks itu sendiri, meminjam ungkapan Derrida, merupakan perbedaan dan permainan
jejak dari jejak.[28]
Al Harb menggunakan istilah al-waqiiyyah[29] Untuk mengilustrasikan kerangka relasional
antara teks dengan pembaca, Dengan istilah ini ia hendak menyatakan bahwa teks, di satu sisi,
menentukan kebenarannya sendiri, dan di sisi lain, menyembunyikan kebenaran serta
menghujamkan otoritas dan pengaruhnya kepada pembaca. Teks menyembunyikan kebenaran
sebagaimana ia mengungkapkannya.[30] Oleh karena itu, Al Harb tidak percaya dengan kebenaran
teks. Baginya, teks tidak mengungkapkan kebenaran eksternal, melainkan menciptakan
kebenarannya sendiri. Kebenaran bukanlah esensi yang melampaui syarat-syarat pembentukannya,
atau terpisah dari dunia teks, tetapi ia diciptakan oleh teks itu sendiri. Dalam konteks inilah Al
Harb menyebut kritik teks dengan istilah kebenaran teks; kritik adalah transformasi dari teks
kebenaran (nashsh al-haqqah) menuju kebenaran teks (haqqah al-nashsh).[31]
Konsep teks dalam pemikiran Al Harb, dengan demikian, berbeda dengan kepercayaan realisme.
Penegasan terhadap ke-realitas-an teks (al-waqiiyyah) menunjukkan bahwa ia tidak lagi percaya
dengan adanya referensi asali sebuah bahasa. Ia menegaskan bahwa teks pada dasarnya memiliki
realitasnya sendiri dan pada saat bersamaan juga menciptakan realitas baru.[32] Padahal, dalam
pandangan realisme, istilah referens mengacu pada objek yang dibicarakan atau yang ditulis.
Dalam hal ini, referens mengacu pada isi kesadaran dan objek eksternal. Dengan demikian, referens
mendahului ekspresi linguistik; referens dianggap hadir dan sesuai dengan apa yang dimaksudkan,
serta dapat diacu kembali secara berulang-ulang. Namun bagi Al Harb, teks menentukan dirinya

sendiri dan melahirkan kebenarannya sendiri, teks bukanlah media untuk menyampaikan
kebenaran, justru sebaliknya, ia memproduksi kebenaran.
Dengan menegaskan status otonomi teks, Al Harb pada dasarnya hendak membuka kemungkinan
bagi pluralitas pembacaan dalam setiap aktifitas penafsiran. Ia percaya bahwa teks merupakan
wacana yang mengandung polivokalitas makna, pluralitas signifikansi, keragaman konteks, dan
saling berkontradiksi antara satu sama lain. Bahkan, teks merupakan wilayah yang mengandung
celah-celah dan diliputi oleh retakan dan ketegangan.[33] Teks bukanlah wilayah dangkal yang
transparan maknanya, atau kedalaman yang di dalamnya terselubung suatu makna, melainkan ia
adalah wilayah yang kedalaman dan kedangkalannya sangat berbhineka sehingga tidak dapat
dipastikan. Teks bukanlah suatu sistem yang tertutup pada dirinya, sehingga sekalipun ia memiliki
sistem dan konteks, memiliki kaidah untuk mengkonstruksi dan mengkajinya, namun ia tetap
merupakan wilayah terbuka yang membentuk suatu arena yang memungkinkan untuk diselinapi
celah-celahnya, guna menyingkap selubung perkataan dan muslihat percakapan.[34]
Konsep teks Al Harb sebagaimana dikemukakan di atas, memperlihatkan paralelitas-nya dengan
spirit dekonstruksi. Dekonstruksi hendak menanggalkan kepercayaan Kantian bahwa kesadaran
merupakan representasi akurat dunia eksternal di seberang sana kepercayaan yang terus dianut
oleh filsafat bahasa mutakhir Dekonstruksi mengintrogasi kepercayaan demikian. Derrida
mengkritik klaim filosofis representasionalisme dan referensi linguistik yang menegaskan
korespondensi antara kata dan benda. Karena itu, dekonstruksi dapat dianggap sebagai versi klasik
skeptisisme linguistik, sehingga tidaklah aneh, kalau dikatakan bahwa filsafat Derrida merupakan
sejenis imanensi linguistik; sebagai konsekuensi lepasnya hubungan langsung antara subjek dengan
dunia di luar dirinya.[35]
Ketidakpastian makna, atau juga disebut dengan istilah permainan perbedaan,[36] dalam
dekonstruksi Derrida, biasanya dianggap sebagai konsekuensi dari destruksi terhadap pijakan
referensial bahasa, karena bahasa telah diputus hubungan korespondensialnya dengan dunia
eksternal, sehingga tidak ada lagi yang internal, tidak ada privelese atas makna, atau penanda guna
menjamin stabilitas makna. Jika skeptisisme Derrida berarti melepaskan referensi, dan jika bahasa
tidak lagi stabil sebagaimana korespondensi Kantian, maka makna mendiseminasi ke segala arah.
Diseminasi tanpa batas ini terpaut erat dengan kritik Derrida terhadap representasi. Dan pada saat
yang sama, kritik terhadap representasi juga mendorong kesadaran subjek masuk ke dalam
perangkap tekstualitas, sehingga subjek yang berbicara terperangkap ke dalam imanensi ruang
tekstual. Kita semua terperangkap di dalam teks dan di dalam interpretasi kita terhadapnya. Bagi
yang percaya pada dekonstruksi, ini bukan mengarah pada halusinasi atau mimpi, melainkan masuk
ke dalam permainan bebas tanda.[37]
Penjelasan di atas, mendedahkan titik temu antara kritik teks Al Harb dengan dekonstruksi
Derrida. Konsep Al Harb mengenai ke-realitas-an teks (al-waqiiyyah) memiliki titik singgung

dengan konsep Derrida mengenai referens. Derrida mengkritik asumsi mengenai referens sebagai
kehadiran. Konsekuensinya, jika referens bukan merupakan kehadiran, maka referens tidak
mendahului ekspresi linguistik. Referens selalu diproduksi dalam proses diffrance.[38] Di dalam
sistem bahasa, referens mendahului ekspresi linguistik sebagai jejak. Tanda linguistik memproduksi
makna terlepas dari rujukan asali, atau ketidakhadiran rujukan. Setelah proses signifikasi,
hubungan dengan referens hanya tampil melalui bahasa. Ekspresi linguistik dapat menghasilkan
referens baru. Ketidakhadiran referens membuka kemungkinan permainan perbedaan dan
ketidakpastian karena tidak ada referens yang permanen dan niscaya yang dapat diacu oleh sebuah
kata atau konsep.[39]
Demikian pula, Derrida percaya bahwa konteks sebuah teks tidak pernah terkurung di dalam
wilayah dan latar belakang tertentu. Konteks selalu terbuka pada kemungkinan tafsir dan
ambiguitas. Kata dapat ditafsirkan secara tak berhingga karena konteks selalu bertemali dengan
konteks yang lain. Sebuah konteks dapat ditentukan tetapi tidak pernah bersifat absolut.
Kontekstualitas bertumpu pada pengandaian bahwa pemahaman mengandung konsekuensi etis,
dalam arti selalu terbuka pada kepentingan yang lain, hubungan dan tujuan yang lain, serta tidak
mungkin diartikan secara apriori.[40]
Jika teks merupakan dunia otonom pada dirinya, lalu bagaimana kita dapat menelusuri makna yang
dikandung oleh sebuah kata atau bahasa? Untuk memecahkan persoalan ini, Al Harb menegaskan
bahwa setiap teks mempunyai strategi untuk mempertahankan eksistensinya, yakni dengan cara
menutupi, menghalangi, dan menyembunyikan dirinya di balik pandangan-pandangan dan kategorikategori yang dilontarkan kepada pembaca. Al Harb menyebut strategi semacam ini dengan istilah
strategi hijab (istirtjiyyah al-hijb).[41]
Cara untuk menghadapi strategi teks seperti ini adalah dengan melakukan kritik, baik dari dimensi
subjek maupun teks. Pemecahan yang ia tawarkan adalah dengan menggunakan konsep
tamatstsul dan tamtsil. Kedua konsep ini mengindikasikan dua hal, yaitu: (1) subjek tidak
pernah bebas dalam mempresentasikan dunia dan benda-benda, karena di antara dirinya dan objekobjek, bahkan antara subjek dan dirinya, terdapat dunia lain berupa kecenderungan, permainan,
karakter, gambaran, dan ilusi; (2) wacana atau teks tidak pernah transparan dalam
merepresentasikan dunia makna, karena bahasa bukan hanya sekedar alat untuk berpikir.[42]
Dengan mengintrodusir konsep tamatstsul dan tamtsil, Al Harb pada dasarnya hendak membongkar
konsep representasi, yaitu keyakinan bahwa manusia adalah subjek yang hadir untuk dirinya dan
menemukan dirinya secara langsung dan utuh, baik berupa nalar murni maupun pengetahuan
apriori.[43] Bagi Al Harb, subjek bukanlah esensi yang berpikir, yang mempresentasikan dirinya
dengan dirinya sendiri secara murni dan transparan. Di antara subjek dan dirinya terdapat
perantara-perantara, praktik-praktik, dan struktur-struktur yang menghalangi seseorang dari dirinya
sehingga sulit untuk menjadi cermin bagi pikirannya. Ia adalah sehimpunan keyakinan, jaringan

metafora, atau dunia imajinasi.[44] Subjek bukan semata-mata kehadiran murni bagi aku
transenden yang berpikir, yang menghadirkan untuk dirinya makna-makna primordial dan
kebenaran-kebenaran eternal-substansial, tetapi subjek adalah alat hasrat, kehendak kekuasaan,
dan perspektif otoritatif strategik.[45]
Di sini kelihatan sekali pengaruh pemikiran post-strukturalisme dalam pemikiran Al Harb. Para
pemikir post-strukturalis, seperti Foucault, hendak mendekonstruksi konsepsi-konsepsi yang selama
ini (periode modernitas Barat) digunakan untuk memahami manusia. Dalam kamus poststrukturalisme, istilah subjek mengacu pada realitas manusia sebagai hasil konstruksi, produk
aktivitas penandaan yang secara kultural spesifik dan pada umumnya tidak disadari. Kategori subjek
mempersoalkan konsep diri yang sinonim dengan kesadaran; kategori tersebut mendesentralisasi
kesadaran.[46]
Kepercayaan akan adanya strategi teks inilah yang membuat Al Harb tidak beriman terhadap
teks. Bahkan ia menilai ucapan sebagai tipu daya dan teks sebagai muslihat yang selalu memberi
batasan di antara dimensi yang berbeda. Karena itu, ia tidak mau berinteraksi dengan apa yang
diucapkan oleh sebuah teks. Seorang pembaca tidak perlu berinteraksi dengan teks untuk
memahami apa yang dibicarakan dan diungkapkan oleh teks atau pengarang. Sebaliknya, pembaca
seharusnya berinteraksi dengan apa yang tersembunyi dan tidak tersentuh oleh teks. Di sini, kita
harus bisa mengukur kekuatan sebuah manuver yang dilancarkan setiap teks. Ukuran kekuatan
sebuah teks adalah sebesar daya hijab dan muslihatnya, tidak pada kejelasan dan koherensinya.
Oleh karena itu, pembaca harus memunculkan pemahaman yang bertolak belakang untuk
menyingkap kamuflase dan penipuan yang telah menghijab makna teks.
Pemahaman mengenai strategi hijab ini akan lebih mendalam jika kita membandingkannya
dengan dekonstruksi Derrida. Dalam dekonstruksi, suatu pembacaan atas teks salah satunya
bertujuan untuk mengidentifikasi yang lain (otherness)[47] yang dikandung oleh filsafat dan
konsep logosentris. Bagi Derrida, yang lain itu muncul di dalam pengertian dan makna yang
memanifestasikan diri sebagai jejak atau diffrance. Konsekuensinya, makna tidak dapat
sepenuhnya dipahami sebagai kehadiran penuh, tetapi selalu merucut dan terus-menerus terlepas
dari setiap upaya memastikannya. Teks tidak pernah merujuk pada referensi yang stabil, makna
selalu berubah dalam relasinya dengan pembaca dan situasi pembacaan yang beragam. Makna
dibentuk oleh wilayah ketegangan yang berbeda yang selalu dapat dirubah tanpa rujukan yang
tetap. Karena itu, yang lain dapat dimengerti sebagai karakter dasar dari teks dan semua tanda
linguistik.
Lalu bagaimana cara mengidentifikasi yang lain yang memanifestasikan diri di dalam teks? Derrida
menegaskan bahwa setiap teks memuat blind spots, yakni titik-titik yang tidak disadari oleh
pengarang. Setiap pembacaan kritis atas teks selalu melahirkan struktur penandaan teks, sehingga
setiap pembacaan memperlihatkan apa yang dimaksud oleh sang pengarang sekaligus

mengungkapkan apa yang tidak ia maksudkan dari pola-pola bahasa yang digunakan oleh sang
pengarang.[48] Istilah blind spots ini mengacu pada titik-titik tertentu di mana penulis tidak dapat
sepenuhnya mengontrol bahasa yang digunakan atau ketika ketegangan internal pemikiran turut
menghantui teks. Blind spots inilah yang mengaburkan kejelasan teks dan pada saat yang sama
membuka sudut pandang baru ke dalam teks. Dekonstruksi bermula dari pembacaan cermat atas
konflik, diskontinuitas, dan aporia[49] yang menjadi ciri argumentasi, konseptualisasi, dan diskursus
filsafat. Ketegangan, aporia, dan diskontinuitas yang memanifestasikan diri di dalam teks juga
dapat disebut sebagai tanda akan yang lain, sudut pandang berbeda dan logika yang tersembunyi
di dalam teks.[50]
Di samping itu, yang lain juga kerap muncul dalam apa yang disebut oleh Derrida dengan istilah
terma ikat-pisah (hinge term). Terma ikat pisah ini dapat diibaratkan seperti engsel yang
menghubungkan sekaligus memisahkan pintu dengan dinding. Teks selalu terdiri dari dua tingkatan;
jelas dan tersembunyi sekaligus. Pengarang teks selalu mengendalikan salah satu, tetapi
mengabaikan yang lain; menyatakan yang satu dan menyembunyikan yang lain, satu metafisika dan
yang lain bukan, yang satu bentuk dan yang lain isi, yang satu prinsipil dan yang lain praktis. Kedua
tingkatan ini terhubung satu sama lain, kejelasan salah satunya akan diikuti oleh ketersembunyian
yang lain. Teks, dengan demikian, ditandai oleh terma penghubung atau terma ikat-pisah yang
secara simultan menghubungkan dua level teks dan memainkan peran ganda. Tugas dekonstruksi
adalah menemukan terma ikat-pisah dan mengungkapkan hubungan kedua tingkatan teks. Terma
ikat-pisah tidak menyatukan tingkatan teks yang berbeda, tetapi membuka kemungkinan
interpretasi yang berbeda dan pergantian perspektif.[51]
Faktor lain yang membuat bahasa menjadi ambigu dan tidak transparan adalah watak metaforis
yang disandangnya. Menurut Al Harb, metafora merupakan karakteristik bahasa yang paling
esensial. Di dalam setiap ucapan selalu terdapat metafora. Dengan kata lain, bahasa digunakan
bukan sebagaimana asalnya. Demikianlah yang dilakukan oleh para filsuf ketika menciptakan suatu
terminologi. Mereka tidak selalu menggunakannya untuk mengungkapkan intensi-intensi dan
konsepsi-konsepsi, tetapi mereka menggunakan warisan eksplanatif dan khazanah leksikon, yakni
kosakata-kosakata yang dipenuhi oleh makna-makna, serta mengandung gaung semantis dan
resonansi simbolik.[52]
Oleh karena itu, tidak ada bahasa, bahkan satu kata pun, yang lepas dari metafora. Di dalam
metafora terdapat fantasi dan simbolisasi, imajinasi dan alegori. Sebuah tuturan bukan sekedar
ekspresi murni dari maksud-maksud pengucapnya dan bukan pula sesuatu yang menghadirkan
makna purba (makna yang mendahului ekspresi). Tuturan selalu berlandasakan pada ketidakhadiran
dan makna selalu menolak untuk hadir. Tuturan menolak untuk hadir karena ia membawa jejak
yang lain yang mendiami kita, atau melintas dengan yang lain yang tidak hadir, yakni yang lain
yang tidak pernah final, bahkan tidak memiliki identitas. Karena yang lain inilah teks menjadi

terbuka terhadap perbedaan yang memanifestasikan kelimpahan makna. Makna melimpah sekaligus
menghindar, karena keghaiban dan ketidakhadiran yang lain.[53]
Istilah kelimpahan makna tidak menunjukkan ekspresi kepenuhan, namun sebaliknya, ia
menunjukkan arti lupa; lupa akan Ada pada level ontologis, dan lupa akan metafora yang
membentuk konsepsi-konsepsi pada level epistemologis. Lupa inilah yang menjadikan pengetahuan
atas sesuatu selalu berbeda dengan Ada-nya. Artinya, selalu ada celah antara wujud dengan pikiran
yang bersumber dari celah antara Ada (wujd/Being/Sein) dan mengada (maujd/beings/seinde),
yakni lupa akan Ada, dalam arti manusia lupa akan wujudnya sendiri.[54] Celah inilah yang
menjadikan yang tak terpikirkan (al-l mufakkar fh/unthought of)[55]berkuasa atas pikiran,
yakni asal-usul di dalam jarak antara apa yang diucapkan oleh perkataan dan apa yang tidak
diucapkannya. Inilah yang memberikan otoritas pada metafora dan menjadikan ilusi sebagai
penentu bagi nalar.[56]
Senada dengan Derrida, Al Harb pada dasarnya hendak memperluas batas-batas konsep metafor
yang tidak semata dimengerti sebagai kiasan, tetapi fenomena yang melukiskan keseluruhan proses
mental dan linguistik. Menurut Derrida, semua bahasa bersifat metaforis. Dengan kata lain, ekspresi
linguistik selalu menghasilkan referens dan makna baru. Derrida menegaskan bahwa metafor sejak
lama dianggap semata-mata sebagai fenomena sintaksis bahasa dan relasi antar-kata. Metafor
dipahami sebagai kombinasi kata yang berkaitan dengan sifat kata yang lain, yang tidak dimiliki
oleh kata tersebut.[57] Dalam pembahasannya mengenai metafor, Derrida lebih menekankan
dimensi semantik metafor daripada metafor dalam arti hubungan antarkata.[58] Derrida hendak
mengungkapkan bagaimana metafor mempengaruhi peristiwa terjadinya makna. Menurutnya,
metafor adalah alat pengenalan yang bertumpu pada analogi. Pengenalan berlangsung melalui
analogi, apa yang belum dikenal atau diketahui akan didekati dengan analogi. Untuk memahami
konsep-konsep abstrak, misalnya, kita akan dapat memahami konsep abstrak tersebut melalui
analogi dengan kenyataan praktis.
Menurut Derrida, semua proses pemaknaan di dalam mimesis dan penyingkapan kebenaran
(aletheia) merupakan proses metaforis. Di dalam kebenaran sebagai aletheia kemiripan antara
pengetahuan dan objeknya dapat diidentifikasi. Sementara mimesis menghasilkan kesenangan
tertentu, karena di dalam mimesis kita melihat tindakan yang tidak dapat disebut sebagai tindakan,
melainkan hanya dapat dipahami oleh peniruan atasnya, mimemata. Apa yang ditiru tersebut tidak
akan muncul secara aktual tanpa analogi. Sementara objek pengetahuan tidak mendahului deskripsi
memungkinkan identifikasi hubungan analogis yang disebut kebenaran.
Pandangan ini sulit diterima jika kita sejenak mengikuti argumentasi Derrida mengenai mimesis dan
aletheia. Dalam kaitannya dengan konsep bahasa, bahasa selalu menciptakan objeknya. Bahasa dan
mimesis merupakan proses metaforis, yaitu dengan menambahkan sesuatu apa yang belum termuat
di dalam suatu kata. Metafor tidak lain adalah suplemen[59] yang menggantikan sekaligus

melengkapi makna asali. Dengan konsep suplemen ini pula, Derrida menampik adanya makna
literal. Pembedaan antara makna literal dan metaforis bertolak dari kepercayaan bahwa bahasa
metafor tidak lebih dari penambahan yang keliru dan non-kognitif, sementara mana literal bersifat
kognitif.[60]
Derrida menegaskan bahwa makna literal hanya akan diakui sebagai metafor bila ditransformasikan
ke dalam konsep umum kebenaran. Derrida menyebut makna literal dengan metafor mati,
metafor di bawah hapusan (under erasure). Proses metaforisnya ditemukan pada ekspresi yang
ternamai, sehingga metafor tidak lagi diakui sebagai konsep dasar di dalam filsafat.[61] Menurut
Derrida, metafor telah menjadi ciri pokok konsep filsafat - theoria, aletheia, logos, mimesis - yang
disebutnya sebagai heliotrope.[62]
Alhasil, sebagai konsekuensi dari perluasan konsep metafor, teks kesusastraan tidak dapat
dipisahkan secara tegas dengan teks ilmiah, teks filsafat tidak dapat dibedakan dengan teks
keagamaan. Teks-teks tersebut sama-sama menyingkapkan objek dan pengertian baru atas dunia.
Tidak ada kebenaran yang ajeg karena semua pengetahuan merupakan proses metaforis yang selalu
menghasilkan beragam pengertian atas dunia. Kita tidak mungkin kembali pada sesuatu yang sama
secara terus-menerus, pengetahuan akan mengarahkan kita pada kebaruan dan dimensi-dimensi
lain.
Penegasan Al Harb terhadap metaforisitas bahasa nampaknya dijadikan sebagai pintu masuk untuk
merealisasikan kemungkinan mengkaji pelbagai jenis teks secara setara. Hal ini menjadi salah satu
landasan epistemik dalam rangka memperkuat keyakinannya bahwa teks apapun - termasuk teks
keagamaan - dapat dianalisis dengan menggunakan perangkat-perangkat kritik teks yang
berkembang dalam tradisi ilmu sosial-humaniora kontemporer. Karena alasan itulah, Al Harb tidak
melakukan pembedaan antara pelbagai genre literatur. Dalam pandangannya, proses pergumulan
dengan teks harus dilakukan tanpa harus terbelenggu pada bahasa teks/pengarang, identitas,
mazhab, dan masa penulisan teks. Tidak perlu ada pembedaan antara pelbagai teks, nalar, dan
kebudayaan berdasarkan afiliasi identitas tertentu. Dengan demikian, klasifikasi identitas seperti
Barat-Timur, islami-sekular, filosofis-puitis, ilmiah-rekaan, menjadi tidak absah di mata Al Harb.
Baginya, teks sebagai sebuah realitas diskursif selalu menentukan kebenarannya dan mendorong
setiap pembaca untuk membaca dan menafsirkan. Hal yang paling penting adalah menyingkap
kaidah pembentukan, mekanisme, dan strategi teks dalam mempraktikkan tipu muslihatnya, baik
itu teks filsafat maupun teks tasawuf, teks nabawi maupun teks puisi.

Metode pembacaan kritik teks


Menurut Al Harb, pembacaan merupakan sebuah aktifitas pemikiran/kebahasaan yang melahirkan
perbedaan; pencipta perbedaan. Artinya, suatu pembacaan pada dasarnya berbeda dengan apa
yang hendak dibacanya. Syarat pembacaan, bahkan alasan utama keberadaannya, memanglah

demikian, yakni berbeda dari apa yang hendak dibaca, tetapi pada saat yang sama ia aktif dan
produktif dengan perbedaannya dan demi perbedaan itu sendiri.[63] Al Harb menyebut
pembacaan seperti ini sebagai pembacaan produktif, yakni pembacaan terhadap teks yang
menghasilkan sesuatu yang berbeda dengan teks yang dibacanya.[64]
Teks, dengan demikian, seharusnya dipahami dari sisi perbedaan dan kontradiksinya, bukan dari sisi
persamaan dan repetisinya. Semua teks bersifat homogen hanya pada tataran literal, atau pada
level fonetis-fonologis. Sedangkan dari segi makna, tidak ada teks yang homogen pada dirinya
sendiri, karena setiap teks berbeda dari dirinya, yakni dari maknanya, sesuai dengan nalar para
pembacanya. Dengan kata lain, teks itu sepadan dalam bentuk materilnya, namun ia berbeda pada
tataran mental dan pemahaman. Ia hanya berulang-ulang pada level materil karena dapat
diciptakan salinan yang sepadan dengannya hingga tak terbatas. Adapun pada tataran mentalkonseptual, teks tidaklah berulang-ulang, tetapi berbeda dalam setiap pembacaan. Setiap
pembacaan yang absah akan menolak disebut sebagai salinan dari yang asli, karena tidak ada
salinan yang menyamai aslinya, jika kita memahami salinan dalam pengertian mengganti dan
mengubah.[65]
Al Harb meyakini bahwa tidak ada univokalitas dalam suatu pembacaan. Dalam pandangannya,
univokalitas merupakan penipuan pada level epistemologis. Konsekuensi dari penipuan jenis ini
adalah despotisme politik, pemaksaan agama, serta intimidasi keyakinan dan pemikiran. Interaksi
dengan teks sebagai wilayah yang tertutup dan sistem yang ekslusif pada dirinya, menemukan
bentuknya dalam sistem totaliter, di mana segala sesuatu diidentikkan dengan yang tunggal,
kelompok mendominasi individu, dan pelbagai bentuk perbedaan dan kontradiksi dienyahkan tanpa
meninggalkan jejak. Totalitarianisme, dengan demikian, merupakan sisi lain dari monolitisme
makna, sedangkan monolitisme makna adalah seraut wajah imperialisme makna.[66]
Dalam pemahaman Al Harb, pembacaan yang baik bukanlah pembacaan yang memperbincangkan
apa yang diungkapkan oleh teks, melainkan pembacaan yang menyingkap segala yang tidak disentuh
dan dilupakan oleh teks. Teks pada dasarnya berlandaskan pada ketidakhadiran dan lupa, bukan
berlandaskan pada kehadiran dan ingatan. Karenanya, pembacaan bukanlah menafsirkan maksud
yang dikehendaki, melainkan membuka sesuatu yang terhijab oleh ucapan. Pembacaan seperti ini
tidak memperlakukan teks sebagai wacana yang jelas dan homogen, tetapi sebagai wilayah
kontradiksi, yakni teks berbeda dengan dirinya sendiri sebagaimana perbedaan pembacaan
terhadap teks.
Konsep interpretasi dalam pemahaman Al Harb, dengan demikian, bertolak belakang dengan
prinsip-prinsip hermeneutika.[67] Dalam hermeneutika, dipercaya bahwa seorang pembaca dapat
melakukan ikhtiar rekonstruksi untuk mengetahui maksud pengarang melalui konteks objektif yang
meliputinya. Dengan kata lain, tugas pembaca adalah menghadirkan ulang proses dan hasil yang
telah dicapai oleh pengarang. Dengan cara ini, dalam pembacaannya, seorang pembaca akan

terhindar dari salah mengerti pemikiran orang lain. Misalnya dalam model penafsiran reproduktif
(reproductive interpretation) Emilio Betti, yang dimaksudkan untuk mengkomunikasikan
pengalaman. Reproduksi di sini berarti internalisasi atau menerjemahkan sesuatu ke dalam bahasa
si pembaca. Ia juga berarti objektivikasi pemikiran, yaitu suatu ikhtiar untuk menghadirkan kembali
makna utuh sesuatu. Caranya adalah dengan mengarahkan segala perhatian pada semua unsur yang
diperlukan untuk mendapat pemahaman konteks awal yang utuh, mulai dari pelbagai aspek yang
ada dalam diri pembaca itu sendiri sampai dengan pemahaman pengarang awal dengan segala aspek
yang dapat membantu proses hermeneutik. Karenanya, proses penafsiran reproduktif mengarah
pada pencarian makna objektif dan memisahkannya dari makna subyektif.[68]
Sebaliknya, Al Harb memahami interpretasi sebagai ikhtiar untuk melampaui wacana yang
diungkapkan kepada wacana yang didiamkan, yakni apa yang diisolir dan dilupakan oleh sebuah
teks. Pembacaan ini bermaksud membongkar fondasi, menelanjangi dasar, dan meruntuhkan
postulat-postulat. Dalam kritik teks, perhatian dipusatkan pada struktur teks kemudian
menganalisis efektifitas teks untuk menyingkap mekanisme teks dalam memproduksi makna,
prosedur teks dalam menentukan kebenaran, dan permainan teks dalam menyembunyikan diri dan
kebenarannya. Teks dianggap sebagai sesuatu yang menyembunyikan identitas, otoritas, objek dan
syarat-syarat kemungkinannya. Karena itu, kritik teks merupakan strategi untuk membebaskan diri
dari ortoritas teks, imprealisme makna, dan totalitarianisme kebenaran.
Ketika memberikan kata pengantar untuk edisi kedua dari bukunya, Al-Tawl wa al-Haqqah, pada
tahun 1994, dan dalam buku ketiga dari triloginya, Al-Mamn wa al-Mumtani, yang dipublikasikan
pada tahun 1995, Al Harb menyatakan bahwa metode pembacaan teks yang ia aplikasikan
berlandaskan pada strategi tiga dimensi (istirtjiyyah mutsallatsah).[69] Metode ini merupakan
suatu model pembacaan teks dengan mengintegrasikan tafsir (eksegesis), takwil (hermeneutika),
dan dekonstruksi sebagai perangkat interpretasi secara simultan. Takwil, sebagai pengeluaran
signifikansi juga sudah mencakup tafsir, karena tidak ada pengeluaran signifikansi tanpa
mengetahuinya terlebih dahulu. Sedangkan takwil sebagai pembedahan teks kadang mengacu pada
makna dekonstruksi, dan pada saat itulah terjadi pelampauan makna. Bahkan, takwil merupakan
akar dari dekonstruksi, karena keduanya hendak melampaui makna lahiriah teks kepada makna
tersembunyi dari sebuah teks. Ketiga model pembacaan tersebut tidak perlu dipisahkan batasbatasnya secara kaku. Sebaliknya, ketiganya dapat diintegrasikan secara kreatif dalam suatu
pembacaan.
Menurut Al Harb, tidak ada alasan mendasar untuk memetakan pembedaan radikal antara ketiga
model pendekatan tersebut. Sebagaimana diakuinya sendiri, pembacaan yang diaplikasikan olehnya
berlandaskan pada strategi tiga dimensi, di mana tafsir, takwil, dan dekonstruksi dapat saling
berinteraksi dan berintegrasi antara satu sama lain. Ia menyatakan:
Ketika membaca sebuah teks, saya acap terpesona oleh pemikiran yang tertuang di dalamnya,

sehingga saya mengidentikkan diri dengan pemikiran tersebut, kemudian ia menguasai diri saya.
Kemudian saya berusaha keluar dari pemikiran tersebut agar dapat memperlihatkan perbedaan dan
keunikan saya sendiri. Kemudian saya berupaya melampaui pemikiran tersebut dengan cara
menyingkap apa yang disingkirkan dan didiamkan oleh teks. Bagi saya, ada dua kenikmatan ketika
membaca teks; kenikmatan membaca serta mengidentikkan diri dengan teks dan kenikmatan
menulis dan mereproduksi, yakni melampaui teks dan memproduksi sesuatu yang baru dengan cara
memahami teks dan melontarkan kritik terhadap teks tersebut.[70]
Keterangan di atas menunjukkan bahwa metode pembacaan kritik teks Al Harb pada dasarnya
merupakan resonansi hasil adaptasi kreatif dari model pembacaan dekonstruksi. Karena intensi
akhir dari suatu pembacaan adalah melampaui wacana yang diungkapkan oleh teks untuk kemudian
mendedahkan sudut pandang baru yang berbeda dari sebelumnya. Dalam dekonstruksi, model
pembacaan seperti ini disebut dengan istilah gerakan ganda (double gesture), tulisan ganda
(double-writing), dan pengertian ganda (double-science).[71]Tulisan ganda digunakan oleh
Derrida untuk menunjukkan strategi dekonstruksi terhadap apa yang ia sebut sebagai hierarki
oposisi biner yang menjadi karakteristik dari pemikiran metafisika Barat. Melalui hierarki oposisi
biner ini hendak ditunjukkan bahwa pasangan-pasangan konseptual tidak pernah berdiri sejajar satu
sama lain, melainkan menegaskan bahwa yang pertama lebih bernilai dan fundamental dibanding
yang kedua atau lawannya.
Di sisi lain, dekonstruksi sebagai gerakan ganda merujuk pada ikhtiar untuk memutarbalikkan dan
melampaui hierarki oposisi biner yang mendasari setiap pemikiran Barat dengan membongkar
pasangan-pasangan konseptual yang berlawanan dengan mengintroduksi konsep baru; sebuah
konsep yang tidak lagi dapat dimasukkan ke dalam konsep sebelumnya.[72]Konsep baru ini, disebut
oleh Derrida dengan ketidakmungkinan untuk diputuskan (undcidables). Konsep baru ini tidak
lagi dapat dimasukkan dalam skema hierarki oposisi biner meskipun konsep tersebut mendiami,
meresistensi, dan mendisorganisasikan oposisi filsafat.[73]
Derrida menyatakan bahwa tugas dekonstruksi adalah hendak memperlihatkan bahwa hubungan
antara yang asali dan sekunder, fondasi dan bukan fondasi, otentik dan artifisial, alamiah dan
suplemen pada dasarnya dikonstruksi secara arbitrer di dalam filsafat. Intensi dekonstruksi adalah
memperlihatkan ketidakmungkinan untuk diputuskannya suatu pengertian konseptual karena
dilawankan dengan yang lain. Hugh J. Silverman menyatakan bahwa dekonstruksi telah memberi
ruang bagi perbedaan di dalam teks, mengangkat apa yang terlupakan di dalam teks, sesuatu yang
diangkat itu memang sudah mendiami teks dan bukan di luar teks.[74]
Menurut Simon Crithley, pembacaan ganda dilakukan dengan dua langkah berikut; pertama,
membaca teks sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh teks secara gamblang dan terang
benderang; kedua, menyadari konflik yang terdapat di dalam teks agar pengertian yang kita
temukan terbuka terhadap yang lain. Pembacaan ganda ini merupakan sebuah pembacaan yang

berkelindan paling tidak dalam dua motif atau lapisan; di satu sisi, pembacaan ini bermaksud
menampilkan kembali apa yang oleh Derrida disebut sebagai tafsiran dominan atas sebuah teks,
pembacaan ini berbentuk semacam komentar; di sisi lain, pembacaan ini meninggalkan tatanan
komentar, memperlihatkan titik lemah dan kontradiksi dalam tafsiran dominan tersebut, lalu
menyajikan pembacaan yang berbeda.[75]
Dengan mendedahkan kemungkinan pluralitas makna yang tak terbatas dalam setiap aktivitas
interpretasi, pada dasarnya Al Harb mendengungkan kembali dekonstruksi Derrida yang hendak
meruntuhkan klaim fondasionalisme, metafisika substansi, dan metafisika kehadiran yang
bersemayam di tubuh filsafat Barat dengan cara mengintroduksi konsep diffrance. Kritik Derrida
atas metafisika kehadiran pada dasarnya merupakan kritik terhadap metafisika substansi dan
fondasionalisme. Sejak lama, tradisi pemikiran Barat memahami entitas sebagai substansi. Derrida
menampik pengetahuan dan kesadaran yang dipahami sebagai substansi, yaitu kenyataan dipahami
sebagai kehadiran di dalam kekinian. Dengan istilah diffrance, Derrida hendak melukiskan Ada
secara historis serta bagaimana Ada dipahami sebagai pengada.
Senada dengan Derrida, Al Harb pada dasarnya hendak melukiskan kemungkinan dan
ketidakmungkinan formasi makna, struktur, dan kehidupan. Karena perbedaan mempengaruhi
semua proses tersebut dengan beragam cara, sebuah proses yang memungkinkan ada, makna, dan
kesadaran, tetapi sekaligus ketidakmungkinannya. Makna, dengan demikian, hanya dimungkinkan
oleh tanda, namun pada saat yang sama makna terpisah dan terlepas dari ekspresi linguistik. Tidak
ada makna asali, makna selalu dihasilkan oleh proses ketegangan antar-tanda di dalam bahasa.
Sesungguhnya, tidak ada yang mengejutkan dari Al Harb maupun Derrida, tidak ada yang
membingungkan dari kritik teks maupun dekonstruksi; keduanya hanya hendak mengingatkan kita
pada kefanaan, kefanaan yang menjadi karakter dasar hakikat manusia (Dasein).

C. Kritik Teks Sebagai Paradigma Interpretatif


Dalam bagian ini penulis akan menganalisis kecenderungan paradigma kritik teks Al Harb di tengah
pelbagai paradigma ilmiah yang berkembang dalam wilayah ilmu pengetahuan saat ini. Namun,
sebelum pembahasan tersebut dilakukan, penulis akan mengemukakan terlebih dahulu apa yang
dimaksud dengan istilah paradigma dalam diskursus ilmu pengetahuan.
Istilah paradigma berasal dari bahasa Yunani, paradeigma, yang berarti pola atau model. Dalam
wacana ilmu pengetahuan, istilah ini merujuk pada pola, model, atau skema pemahaman aspekaspek tertentu tentang realitas. Paradigma merupakan cara pandang terhadap dunia dan modelmodel prestasi atau praktik ilmiah konkret. Paradigma ilmiah menjadi pedoman bagi kegiatan
ilmiah dalam masa ilmu pengetahuan normal (normal science). Berdasarkan paradigma itulah
ilmuan mengembangkan ilmu pengetahuan pada bidangnya masing-masing.[76]
Thomas Kuhn, seorang sejarahwan pengetahuan, dianggap sebagai tokoh yang pertama kali

memberikan makna kontemporer terhadap istilah ini. Secara umum, Kuhn mengartikan paradigma
sebagai beberapa contoh praktek ilmiah aktual yang diterima, seperti hukum, teori, aplikasi, dan
instrumen yang diterima bersama, sehingga merupakan model yang dijadikan sebagai sumber dan
tradisi-tradisi yang mantap dalam riset-riset ilmiah khusus.[77] Ia mengemukakan konsep paradigma
sebagai berikut:
A paradigm is a fundamental image of the subject matter within a science. It serves to define
what should be studied, what question should be asked, how they should be asked and what rules
should be followed in interpreting the answer obtained. The paradigm is the broadest unit of
consensus whitin a science and serves to differentiate one scientific community (or subcommunity) from another. It subsumes, defines, and interrelates the exemplares, theories,
methods, and instruments that exist within it.[78]

Jonathan A. Smith, Rom Harre, dan Luk van Lengenhove membuat pembedaan antara paradigma
lama dengan paradigma baru dalam ilmu pengetahuan. Kedua paradigma ini memiliki asumsi-asumsi
yang berbeda tentang pengetahuan sebagaimana nampak dalam ilustrasi berikut ini:[79]
Paradigma Lama: 1) Pengukuran, perhitungan, prediksi, kontrol; 2) Kausalitas, frekuensi; 3) Reduksi
pada angka (kuantitatif); 4) Atomistik; 5) Universal; 6) Bebas konteks; 7) Objektivitas .
Paradigma Baru: 1) Pemahaman, deskripsi, prediksi; 2) Makna; 3) Bahasa, wacana, simbol; 4)
Holistik; 5) Partikular; 6) Terkait konteks budaya; 7) Subjektifitas.
Di lain pihak, Sarantakos mengemukakan tiga paradigma yang dianggap dominan saat ini, yaitu;
positivistik, interpretatif, dan kritis. Masing-masing dari ketiga paradigma itu memayungi beberapa
model pendekatan yang berbeda antara satu sama lain. Paradigma positivistik mencakup
positivisme, neo-positivisme, positivisme metodologis, dan positivisme logis. Paradigma
interpretatif mencakup interaksionisme simbolik, fenomenologi, etnometodologi, hermeneutik,
psikoanalisis, etnografi, dan sosiolinguistik. Sedangkan paradigma kritis mencakup sosiologi kritis,
kritik ideologi, marxsisme, dan feminimisme.[80]
Menurut Lubis, Sarantakos tidak memaparkan paradigma posmodernis karena alasan bahwa
paradigma tersebut belum dapat diterima sepenuhnya dalam ilmu sosial-humaniora. Sebaliknya,
Lubis menyatakan bahwa paradigma posmodern dapat dibilang sudah mantap sebagai paradigma
ilmiah. Hal ini terbukti sejak teori posmodernis menjadi tema dan pendekatan yang banyak
dibicarakan/diterapkan dalam seni rupa, arsitektur, sosiologi, psikologi, antropologi, arkeologi,
sejarah, feminimisme, sastra dan lain-lain sejak tahun 1970/1980-an. Bahkan, paradigma
pospositivisme, seperti teori kritis, konstruktivis, posstrukturalis, dekonstruksi, fenomenologi,
semiotik, hermeneutik, kerap diidentikkan dengan metode-metode posmodern.[81]
Sementara Egon G. Guba dan Yvonna S. Lincoln mengidentifikasi empat paradigma utama yang
bersaing dalam ilmu pengetahuan saat ini, yaitu; positivisme, post-positivisme, teori kritis, dan

konstruktivisme.[82] Keduanya mengemukakan asumsi-asumsi yang mendasari keempat paradigma


tersebut. Paradigma postivisme dicirikan oleh realisme naif dalam ontologi, memegang teguh
dualisme Cartesian, objektivisme, dan kebenaran niscaya dalam epistemologi, dan meyakini
kesatuan metodologi serta menggunakan metode ekperimental, manipulatif, kuantitatif, dan
prinsip verifikasi pada level metodologi.
Paradigma pospositivisme ditandai oleh realisme kritis dalam ontologi, yakni kepercayaan bahwa
terdapat realitas eksternal yang menjadi objek penelitian di luar sana, namun realitas tersebut
tidak dapat dijelaskan sepenuhnya. Dalam epistemologi, paradigma ini memodifikasi asumsi
dualisme Cartesian dan objektivisme dengan mengemukakan keterkaitan antara teori dan fakta,
keterkaitan antara fakta dan nilai, dan keterkaitan antara subjek dan objek. Paradigma ini menolak
verifikasi sebagai kriteria keilmiahan dan menggantinya dengan falsifikasi. Karena itu, setiap teori
bersifat tentatif dan selalu terbuka untuk difalsifikasi. Pada level metodologi, paradigma ini
memodifikasi metode eksperimental manipulatif dengan pengembangbiakkan kritik sebagai ikhtiar
memfalsifikasi hipotesis. Paradigma ini melengkapi metode kuantitatif dengan kualitatif, namun
tetap menempatkan prediksi dan kontrol atas fenomena alam/manusia sebagai tujuan utama ilmu
pengetahuan.
Paradigma teori kritis dikarakteristikkan oleh pandangan ontologis yang menyatakan bahwa realitas
merupakan sesuatu yang dapat dipahami, bersifat plastis, dan dipengaruhi oleh faktor sosial,
kultural, ekonomi, etnik, dan gender, karenanya, realitas bersifat virtual. Pada level epistemologi,
paradigma ini mengembangkan konsep pengetahuan yang bersifat dialogis dan dialektis. Paradigma
ini meyakini adanya saling pengaruh antara peneliti dengan objek (manusia dan budaya) yang
diteliti. Objektivitas murni sulit diterapkan karena nilai-nilai tanpa disadari berperan dalam
menentukan pemilihan masalah, pemilihan paradigma/kerangka teori; sementara
paradigma/kerangka teori yang dipilih akan menentukan realitas dan bagaimana prosedur
penelitian dilakukan. Pada level metodologi, paradigma ini menggunakan hermeneutika sambil
mengakui hubungan dialogis antara subjek dan objek.
Di sisi lain, paradigma konstruktivis dicirikan oleh relativisme dalam ontologi. Realitas yang
dipahami bersifat ganda. Realitas tidak dapat dinyatakan secara objektif dan pasti (intangible). Ia
merupakan konstruksi mental yang didasarkan atas pengalaman yang bersifat sosio-kultural dan
lokal-temporal, sehingga konstruksi ilmu pengetahuan tidak bersifat objektif-universal. Dalam
epistemologi, paradigma ini mengembangkan konsep pengetahuan yang bersifat transaksionalsubjektif. Dalam penelitian diasumsikan bahwa antara peneliti dan objek yang diteliti saling terkait
dan interaktif. Paradigma ini menolak asumsi Descartes dan Husserl tentang subjek/kesadaran
murni yang bersifat apriori dan trans-historis. Dalam hal metodologi, paradigma ini
mengembangkan metodologi hermeneutis-dialektis. Penelitian tidak berhenti pada fakta material,
akan tetapi memerlukan kreativitas dan interpretasi peneliti. Karenanya, ilmu pengetahuan atau

teori merupakan hasil konstruksi dari dunia fakta (dunia I), dunia pemikiran/proses mental (dunia
II), dan hasil budaya (dunia III). Thomas A. Swandt menyatakan bahwa fenomenologi, hermeneutika,
post-strukturalisme, dan interaksionisme simbolik termasuk ke dalam paradigma ini.
Lalu di mana posisi paradigma kritik teks Al Harb di tengah pelbagai paradigma ilmiah
sebagaimana dikemukakan di atas? Bangunan epistemologi semacam apa yang membentuk
paradigma kritik teks Al Harb? Kerangka metodologi seperti apa yang digunakan oleh Al Harb
dalam memformulasikan kritik teks?
Berdasarkan pembahasan dalam bagian terdahulu, dapat dikemukakan bahwa pemikiran Al Harb,
secara epistemik, dipengaruhi oleh tradisi pemikiran post-trukturalisme dan post-modernisme. Hal
ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa Al Harb kerap menggunakan sudut pandang para pemikir
posstrukturalis dan posmodernis dalam pelbagai tulisannya. Demikian pula, konsep pengetahuan
dan kebenaran yang dikemukakan oleh Al Harb pararel dengan epistemologi posmodern. Para
tokoh epistemologi pospositivis dan posmodernis secara umum tidak mempercayai sepenuhnya
fondasionalisme (baik rasionalis maupun empirisis) dengan mengemukakan pelbagai keterbatasan
manusia. Analisa keterbatasan itu termasuk anlisis terhadap rasio, empiri, bahasa, latar belakang
sosial-budaya yang bertujuan untuk mengetahui keterbatasan manusia (subjek) dalam memahami
dunia (objek). Epistemologi posmodern menolak dualisme subjek-objek, dualisme rasional-irasional,
dan kebenaran objektif-universal.
Dalam pandangan posmodernis, ilmu pengetahuan tidak dapat dikembangkan jika subjek terpisah
dari objek, karena sifat ilmu pengetahuan adalah dialogis, partisipatif, kontektual, lokal, dan
historis. Karena itu, epistemologi posmodern menampik kesatuan paradigma/metode ilmiah dan
lebih cenderung merayakan pluralitas paradigma dan heterogenitas permainan bahasa. Pada
umumnya, para pemikir posstrukturalis dan posmodernis mengakui bahwa semua ilmu pengetahuan
dan filsafat disusun dengan menggunakan wacana bahasa. Jadi, ada ketergantungan ilmu
pengetahuan pada bahasa, karena bahasa merupakan alat untuk memahami dan menjelaskan
realitas. Sementara, bahasa itu sendiri memiliki keterbatasan karena wataknya yang kontingen dan
arbitrer. Pandangan ini pula yang kerap digaungkan oleh Al Harb dalam pelbagai tulisannya.
Karena itu, posstrukturalisme dan posmodernisme merupakan komponen epistemik yang memiliki
pengaruh besar terhadap konfigurasi pemikiran Al Harb.
Sementara pada level metodologi, kritik teks Al Harb lebih mengacu pada metode dekonstruksi.
Kesimpulan ini didasarkan pada tiga alasan; pertama, Al Harb mengakui secara eksplisit bahwa
dirinya adalah seorang dekonstruksionis; kedua, Al Harb menyatakan bahwa ia termasuk ke dalam
jajaran para pemikir Arab yang merepresentasikan kecenderungan kritik atas kritik.
Kecenderungan ini pada umumnya direpresentasikan oleh kaum intelektual Arab yang dipengaruhi
oleh pemikiran posstrukturalisme; ketiga, kritik teks Al Harb memiliki prinsip-prinsip yang sama
dengan dekonstruksi Derrida, antara lain:

Pertama, teks adalah semesta tak terbatas sehingga penafsiran dapat menghasilkan makna di dalam
jaringan yang tak berhingga; kedua, tak ada pembaca teks yang memahami maksud pengarang
secara utuh, karena teks selalu melampaui intensi pengarang; ketiga, teks yang tunduk pada
interpretasi selalu bertujuan mengubah atau mengganti, karena penafsiran merupakan aktivitas
mengubah ucapan, yakni pengeluaran signifikansi dan pembongkaran teks; keempat, teks tidak
dapat dipahami secara jelas dan transparan sehingga tidak ada korespondensi dalam suatu
pembacaan, karena setiap pemahaman pada dasarnya berada dalam wilayah imajinasi dan
irasionalitas; kelima, setiap teks yang berusaha menegaskan univokalitas akan selalu mengalami
kegagalan; keenam, tak ada pembacaan yang sanggup merengkuh kebenaran teks, karena teks
bukan arena penjelasan kebenaran, tetapi medan perbedaan dan kontradiksi; ketujuh, pembaca
hendaknya mencurigai setiap baris teks, karena teks selalu menyembunyikan apa yang tak
terkatakan; kedelapan, bahasa mencerminkan pemikiran yang tidak cukup adekuat, karena
mengada-di-dalam-dunia tidak mungkin dapat merengkuh makna transedental.

KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kritik teks Al Harb pada dasarnya merupakan
ramuan dari pelbagai khazanah keilmuan kontemporer yang berkembang di era pospositivisme dan
posmodernisme. Paradigma kritik teks Al Harb dapat dikatakan berada dalam bingkai epistemologi
posmodern dengan dekonstruksi sebagai perangkat metodologinya; keduanya bernaung di bawah
payung paradigma baru, paradigma interpretatif, atau paradigma konstruktivis. Seluruh khazanah
yang memberikan kontribusi dalam paradigma kritik teks Al Harb ini pada umumnya
merepresentasikan spirit anti-esensialisme, anti-fondasionalisme, dan anti-logosentrisme,
menampik subjek-murni, rasio-transendental, dan kebenaran objektif-universal, serta merayakan
polivokalitas, heterogenitas, dan pluralitas.

DAFTAR PUSTAKA

Ab Zad, Muhammad, Kaifa Qaraa Nuqqd al-Arab Dard: al-Ktib al-Bahrain Muhammad alBanak Yuhallilu Wijhat al-Nazhar al-Arabiyyah f
Tafkkiyyah,http://www.aawsat.com/details.asp.

Ab Zad, Nashr Hmid, Al-Nashsh wa al-Shulthah wa al-Haqqah: Irdah al-Ma'rifah wa Irdah alHaiminah, Beirut: Al-Markaz al-Tsaqf al-Arab, 2000, cet. IV.

--------, Isykliyyt al-Qirah wa liyyt al-Tawl, Beirut: Al-Markaz al-Tsaqf al-Arab, 2001.

--------, Mafhm al-Nashsh: Dirsat f Ulm al-Qurn, Beirut: Al-Markaz al-Tsaqf al-Arab, 2000,
cet. V.

Adonis, Al-Tsbit wa al-Mutahawwil: Bahts f al-Ittib wa al-Ibd inda al-Arab, Beirut: Dr alAwd, 1974-1978.

Arab, Ibn, Fushsh al-Hikam, (ed.) Ab al-Al Aff, Beirut: Dr al-Kitb al-Arab, 1946.

Aristoteles, Poetics: The Work of Aristoteles, (ed.) W.D. Ross, (terj.) I. Baywaiter, Oxford: Oxford
University Press, 1924.

Arkn, Muhammad, Trkhiyyah al-Fikr al-Arab al-Islm, Beirut: Mansyrat Markaz al-Inm alQaum, 1986.

Assyaukanie, A. Luthfi, Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer, Jurnal Pemikiran Islam
Paramadina, Vol. I, No. 1, Juli-Desember 1998.

Baym, Khlid, Al Harb: al-Arab Istaql min al-Tafsr al-Khallq, Wawancara dengan Al
Harb, http://www.jehat.com/Jehaat/ar/Ghareeb/ali_harb1.htm.

Bleicher, Josef, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique,


London: Routledge & Kegan Paul Ltd., 1980.

Boullata, Issa J., Trends and Issues in Contemporary Arab Thought, New York: State University of
New York Press, 1990.

Critchley, Simon, The Ethics of Deconstruction: Derrida & Levinas, Oxford and Cambridge, Blackwell
Publishers, 1992.

Dema, Sunarwoto, Pengantar Penerjermah, dalam Al Harb, Hermeneutika Kebenaran,


Yogyakarta: LKiS, 2003, cet. I.

Derrida, Jacques, Limited Inc., a, b, c., Baltimore: John Hopkins University Press, 1988.

--------, Margins of Philosophy, Chicago: The University of Chicago Press, 1986.

--------, Of Grammatology, (terj.) Gayatri Chakravorty Spivak, Baltimore & London: The Johns
Hopkins University Press, 1997.

--------, Positions, (terj.) Alan Bass, Chicago: The University of Chicago Press, 1998.

--------, Speech and Phenomena, (terj.) David B. Allison, Evanston: Northwestern University Press,
1996.

--------, Writing and Difference, Chicago: The University of Chicago Press, 1999.

Foucault, Michel, The Order of Things: An Archaeology of Human Sciences, New York: Random
House, 1970.

Gadamer, Hans-Georg, Kebenaran dan Metode: Pengantar Filsafat Hermeneutika, (terj.) Ahmad
Sahidah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), cet. I.

Gasch, Rudolphe, The Tain of Miror: Derrida and the Philosophy of Reflection, Cambridge: Harvard
University Press, 1986.

Guba, Egon G., The Paradigm Dialog, London-New Delhi: Sage Publication, 1990.

Harb, Al, Al-Fikr wa al-Hadats, Beirut: Dr al-Kunz al-Arabiyyah, 1997, cet. I.

--------, Al-Mamn wa al-Mumtani: Naqd al-Dzt al-Mufakkirah, Beirut: Al-Markaz al-Tsaqf


al-Arab, 1995.

--------, Azminah al-Hadtsah al-Fiqah: al-Ishlh, al-Irhb, al-Syarkah, Beirut: Al-Markaz alTsaqf al-Arab, 2005, cet. I.

--------, Hermeneutika Kebenaran, (terj.) Sunarwoto Dema, Yogyakarta: LKiS, 2003, cet. I.

--------, Naqd al-Haqqah, Beirut: Al-Markaz al-Tsaqf al-Arab, 1995, cet. II.

--------, Naqd al-Nashsh, Beirut: Al-Markaz al-Tsaqf al-Arab, 1995, cet. II.

Harvey, Irene E., The Wellsprings of Deconstruction: Kant, Nitzsche, Heidegger and Derrida,
Tracing Literary Theory, (ed.) Joseph Natoli, Urbana: University of Illionis, 1987.

Heidegger, Martin, Being and Time, (terj.) Joan Stambaugh, Albany: State University of New York,
1996.

Jbir, Muhammad bid al-, Al-Turts wa al-Hadtsah: Dirst wa Munqasyt, Beirut: Al-Markaz alTsaqf al-Arab, 1991, cet. I.

Khour, Ilys, Al-Dzkirah al-Mafqdah, Libanon: Muassasah al-Abhts al-Arabiyyah, 1982.

Kuhn, Thomas, The Stucture of Scientific Revolution, Chicago: Chicago University Press, 1970.

Levinas, Emmanuel, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, (terj.) Alphonso Lingis, Pittburg:
Duquesne Univesity Press, 1969.

Lubis, Akhyar Yusuf, Filsafat Ilmu dan Metodologi Posmodernis, Bogor: Akademia, 2004.

Norris, Christopher, Deconstruction: Theory and Practice, (terj.) Inyiak Ridwan Munir, Yogyakarta:
Ar-Ruzz, 2006, cet. II.

Palmer, Richard E., Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger and
Gadamer, Northwestern University Press, 1969.

Ricoeur, Paul, Hermeneutics and The Human Sciences, (ed.) John B. Thompson, New York:
Cambridge University Press, 1981.

Ritzer, George, Sosiological Theory, New York: McGraw Hills, 1996, cet. IV.

Rorty, Richard, Philosophy As Kind of Writing: An Essay on Derrida, Consequences of Pragmatism,


Minneapolis: University of Minnesota Press, 1982.

Sarantakos, S., Sosial Research, Melbourne: Macmillan Education, 1993.

Sarup, Madan, Poststrukturalisme dan Postmodernisme: Sebuah Pengantar Kritis, (terj.) Medhy
Aginta Hidayat, Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2003.

Silverman, Hugh J., Textualities: Between Hermeneutics and Deconstruction, New York: Routledge,
1994.

Thompson, John B., Filsafat Bahasa dan Hermeneutik, (terj.) Abdullah Khozin Afandi, Surabaya: Visi
Humanika, 2005, cet. I.

Umar Kausy, Rahala Dard wa Baqiya al-Tafkk wa alAtsar,http://www.almustaqbal.com/stories.aspx?StoryID=916000.

Zine, Mohammed Chaouki, Modernizing the Thought in the Geographic and Cultural Contemporary
Middle-East: The Contribution from the Lebanese Philosopher Al Harb,http://philozine.overblog.com/article-6821051.html.

CATATAN KAKI
[1] Pembicaraan seputar konsep teks, misalnya, telah menjadi salah satu tema yang menarik
minat para pemikir Islam kontemporer. Nashr Hmid Ab Zad menyatakan bahwa mengkaji tradisi
harus dimulai dari dasar, yaitu dari teks al-Quran sebagai sumber dan poros kebudayaan Islam.
Sebagai masyarakat beragama yang orientasinya dipusatkan pada kitab suci, Ab Zad melihat
bahwa yang pertama kali harus dijelaskan kepada masyarakat Islam adalah watak kitab suci itu
sendiri yaitu dengan cara membongkar konsep teks sehingga dapat diketahui hakikat dan sifat alQuran sebagai teks kebahasaan. Demikian pula Muhammad Arkn dan bid al-Jbir, keduanya
menyatakan bahwa problem pembacaan tradisi adalah problem pembacaan teks. Karena itu,
pembicaraan mengenai hakikat teks menjadi sentral dalam kajian tradisi. Salah satu dari tujuan
membaca teks tersebut adalah untuk mengapresiasi teks di tengah perubahan yang terus terjadi.
Lihat Nashr Hmid Ab Zad, Mafhm al-Nashsh: Dirsah fi Ulm al-Qurn, (Beirut: Al-Markaz alTsaqf al-Arab, 2000), cet. V, hal. 10; Muhammad bid al-Jbir, Al-Turts wa al-Hadtsah:
Dirst wa Munqasyt, (Beirut: Al-Markaz al-Tsaqf al-Arab, 1991), hal. 45-50; dan Muhammad
Arkn, Trkhiyyah al-Fikr al-Arab al-Islm, (Beirut: Mansyrat Markaz al-Inm al-Qaum, 1986),
hal. 14.
[2] Menurut kebanyakan intelektual Arab, momentum penting yang menyadarkan masyarakat Arab
akan krisis kebudayaan dan peradaban yang menghimpit mereka dimulai sejak peristiwa kekalahan
Arab oleh Israel dalam perang enam hari pada bulan Juni 1967. Peristiwa ini telah menimbulkan
tekanan mental yang luar biasa bagi masyarakat Arab sehingga memaksa mereka untuk menelusuri
akar-akar kekalahan tersebut. Kecenderungan umum reaksi masyarakat Arab terhadap kekalahan
tersebut akhirnya mengarah pada seruan untuk meletakkan pertanggungjawaban kekalahan itu

kepada diri mereka sendiri. Sejak saat itulah masyarakat Arab sadar akan dirinya sehingga
fenomena kritik diri (naqd al-dzt) mulai bermunculan di sana-sini. Peristiwa tersebut telah
memacu mereka untuk mencurahkan perhatiannya dalam membahas tradisi kebudayaan Arab-Islam
dengan cara melihat kembali muatan, fungsi, dan nilainya. Bahkan, sebagian intelektual Arab
berpendapat bahwa kekalahan Juni 1967 ini merupakan titik tolak perubahan yang menentukan
dalam menggeser arah pemikiran masyarakat Arab-Islam kontemporer. Lihat Issa J. Boullata, Trends
and Issues in Contemporary Arab Thought, (New York: State University of New York Press, 1990),
hal. 1-10; Nashr Hmid Ab Zad, Al-Nashsh wa al-Shulthah wa al-Haqqah: Irdah al-Marifah wa
Irdah al-Haiminah, (Beirut: Al-Markaz al-Tsaqf al-Arab, 2000), cet. IV, hal. 36; dan A. Luthfi
Assyaukanie, Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer, dalam Jurnal Pemikiran Islam
Paramadina, Vol. I, No. 1, Juli-Desember 1998, hal. 60-65.
[3] Nama Al Harb, dalam percaturan pemikiran Arab-Islam kontemporer, nampaknya tidak
sepopuler para pemikir Arab lain, seperti Hassan Hanaf, Muhammad Arkn, bid al-Jbir, dan
Nashr Hmid Ab Zad. Di tanah air sendiri, kajian mengenai pemikiran Al Harb boleh dibilang
sangat minim dan tidak memadai bila dibandingkan dengan kajian terhadap para pemikir Arab lain
sebagaimana disinggung. Tulisan ini dimaksudkan untuk memenuhi celah tersebut, sekaligus sebagai
pengantar untuk memperkenalkan pemikiran Al Harb, terutama mengenai kritik teks, ke
khalayak Indonesia.
[4] Al Harb, Hermeneutika Kebenaran, (terj.) Sunarwoto Dema, (Yogyakarta: LKiS, 2003), cet. I,
hal. 7.
[5] Buku ini terdiri dari tiga jilid, yaitu Naqd al-Nashsh, (Beirut: Al-Markaz al-Tsaqf al-Arab,
1993), Naqd al-Haqqah, (Beirut: Al-Markaz al-Tsaqf al-Arab, 1993), dan Al-Mamn wa alMumtani: Naqd al-Dzt al-Mufakkirah, (Beirut: Al-Markaz al-Tsaqf al-Arab, 1995).
[6] Dalam buku tersebut Al Harb menandaskan, Dekonstruksi menyingkapkan bahwa kategorikategori logis dan universal-rasional membelenggu jasad dan imajinasi serta mengunci
pendengaran, pengelihatan dan perasaan. Saya adalah seorang dekonstruksionis dalam bergumul
dengan wacana rasio dan kemutlakannya. Lihat Al Harb, Naqd al-Nashsh, (Beirut: Al-Markaz alTsaqf al-Arab, 1995), cet. II, hal. 9.
[7] Lihat Muhammad Ab Zad, Kaifa Qaraa Nuqqd al-Arab Dard: al-Ktib al-Bahrain
Muhammad al-Banak Yuhallilu Wijhat al-Nazhar al-Arabiyyah f
Tafkkiyyah,http://www.aawsat.com/details.asp?section=19&issue=9710&article=308584.
[8] Lihat Umar Kausy, Rahala Dard wa Baqiya al-Tafkk wa alAtsar,http://www.almustaqbal.com/stories.aspx?StoryID=916000.
[9] Penjelasan mengenai konsep distansiasi dan aprosiasi dapat dilihat dalam Paul Ricoeur,
Hermeneutics and The Human Sciences, (ed.) John B. Thompson, (New York: Cambridge University
Press, 1981), hal. 143; dan John B. Thompson, Filsafat Bahasa dan Hermeneutik, (terj.) Abdullah

Khozin Afandi, (Surabaya: Visi Humanika, 2005), cet. I, hal. 100-102.


[10] Paul Ricoeur, Hermeneutics and The Human Sciences, hal. 131.
[11] Paul Ricoeur, Hermeneutics and The Human Sciences, hal. 139.
[12] Konsep fusi horison dari Gadamer ini juga digunakan tepatnya dipinjam atau diadaptasi
oleh Ricoeur. Dalam kerangka hermeneutiknya, Ricoeur mengadopsi konsep Gadamer mengenai
peleburan horison (horizonverschemelzung) untuk memperkaya konsep apropriasi.
[13] Lihat John B. Thompson, Filsafat Bahasa dan Hermeneutik, hal. 77; Hans-Georg Gadamer,
Kebenaran dan Metode: Pengantar Filsafat Hermeneutika, (terj.) Ahmad Sahidah, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004), cet. I, hal. 361-369; Paul Ricoeur, Hermeneutics and The Human Sciences,
hal. 131-193; dan Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey,
Heidegger and Gadamer, (Northwestern University Press, 1969), hal. 162-217.
[14] Sunarwoto Dema, Pengantar Penerjermah, dalam Al Harb, Hermeneutika Kebenaran, hal.
ix-x.
[15] Informasi detail mengenai karya-karya Al Harb dapat dilihat dalam Khlid Baym, Al Harb:
al-Arab Istaql min al-Tafsr al-Khallq, Wawancara dengan Al
Harb,http://www.jehat.com/Jehaat/ar/Ghareeb/ali_harb1.htm; dan Mohammed Chaouki Zine,
Modernizing the Thought in the Geographic and Cultural Contemporary Middle-East: The
Contribution from the Lebanese Philosopher Al Harb, http://philozine.over-blog.com/article6821051.html.
[16] Pergumulan kritis Al Harb dengan tokoh-tokoh ini sudah barang tentu menorehkan pengaruh
yang signifikan dalam bangunan pemikirannya. Meski demikian, Al Harb menyatakan bahwa dirinya
lebih banyak berhutang budi pada tradisi post-strukturalisme dan post-modernisme, terutama
dekonstruksi Derrida dan arkeologi Foucault. Karena itu, ia kadang menyebut kritik teks dengan
istilah kritik arkeologis-dekonstruktif (naqd hafr-tafkk). Ini memperlihatkan bahwa
pemikirannya paling tidak pada level metodologis banyak dipengaruhi oleh Foucault dan Derrida.
Lihat Al Harb, Al-Mamn wa al-Mumtani: Naqd al-Dzt al-Mufakkirah, (Beirut: Al-Markaz alTsaqf al-Arab, 1995), hal. 25.
[17] Al Harb, Al-Mamn wa al-Mumtani, hal. 24-25.
[18] Lihat Ilys Khour, Al-Dzkirah al-Mafqdah, (Libanon: Muassasah al-Abhts al-Arabiyyah,
1982); Nashr Hmid Ab Zad, Isykliyyt al-Qirah wa liyyt al-Tawl, (Beirut: Al-Markaz alTsaqf al-Arab, 2001); dan Adonis, Al-Tsbit wa al-Mutahawwil: Bahts f al-Ittib wa al-Ibd inda
al-Arab, (Beirut: Dr al-Awd, 1974-1978).
[19] Keterangan yang cukup memadai mengenai fenomena kritik diri di dunia Arab kontemporer
dapat dilihat dalam Issa J. Boullata, Trends and Issues in Contemporary Arab Thought, (New York:
State University of New York Press, 1990).
[20] Muhammad bid al-Jbir, misalnya, telah memulai proyek semacam ini dalam waktu yang

cukup lama. Karya-karyanya dari tahun 1984, 1986, 1992, 1999 meliputi: (1) formasi historis nalar
Arab; (2) struktur internal nalar Arab, yang meliputi bahasa dan literatur (bayn), filsafat dan
teologi (burhn), dan mistisisme dan gnostisisme (irfn); (3) bentuk-bentuk institusi politik; dan (3)
praktik-praktik etika. Seirama dengan al-Jbir, Muhammad Arkn juga melakukan kritik terhadap
nalar Islam (1984) dengan berangkat dari dasar-dasar teologi dan teks-teks resmi. Intelektual
Arab lain adalah Nashr Hmid Ab Zad, yang memfokuskan perhatiannya pada nalar keagamaan
untuk memperlihatkan dimensi historis pemikiran Arab-Islam. Lihat Mohammed Chaouki Zine,
Modernizing the Thought in the Geographic and Cultural Contemporary MiddleEast, http://philozine.over-blog.com/article-6821051.html.
[21] Al Harb secara khusus melontarkan kritik terhadap wacana kritik nalar sebagaimana direkam
dalam bukunya Naqd al-Nashsh. Dalam buku ini ia mendemonstrasikan tataran aplikatif dari kritik
teks-nya. Kajian ini sengaja tidak memuat tataran aplikatif tersebut, karena pertimbangan batasan
dan tujuan penelitian sebagaimana dikemukakan dalam bagian pendahuluan, di samping alasan
keterbatasan kertas dalam artikel ini. Untuk memperoleh gambaran terperinci mengenai tataran
aplikatif kritik teks Al Harb, silahkan lihat Naqd al-Nashsh. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia oleh M. Faisol Fatawi dengan judul Kritik Nalar Al-Quran, diterbitkan oleh LKiS,
Yogyakarta, 2003.
[22]. Lihat Al Harb , Al-Mamn wa al-Mumtani, hal. 274.
[23] Al Harb, Azminah al-Hadtsah al-Fiqah: al-Ishlh, al-Irhb, al-Syarkah, (Beirut: Al-Markaz
al-Tsaqf al-Arab, 2005), cet. I, hal. 66. Dalam peta pemikiran Arab kontemporer memang tengah
terjadi perdebatan hangat antara kelompok modernis dan postmodernis Arab seputar konsepkonsep yang mereka gunakan, seperti teks, kebenaran, identitas, kebudayaan, dan lain sebagainya.
[24] Al Harb, Naqd al-Nashsh, hal. 7.
[25] Istilah ontologi teks yang digunakan Al Harb ini memperlihatkan pengaruh Heideggerian
yang sangat mencolok dalam kritik teks-nya. Frase Heidegger yang sangat terkenal language is the
house of being (bahasa sebagai rumah Ada), menegaskan bahwa bahasa merupakan tempat untuk
menjelaskan dan menerangkan pelbagai dimensi eksistensi dan lokus yang menjadi landasan bagi
pemikiran. Karena bahasa merupakan tempat bersemayam Ada, maka ia seharusnya tidak dipahami
sebagai sekedar refleksi dari realitas, media untuk memperoleh makna, dan atribut untuk
menyebut benda-benda yang diberi nama. Bahasa sebagai lokus eksistensi merupakan keterbukaan
terhadap yang ada dan kemungkinan bagi wujud, yaitu kemungkinan untuk menciptakan
kebenaran sekaligus menyingkapnya, menciptakan manusia sekaligus menuturkannya. Lihat Martin
Heidegger, Being and Time, (terj.) Joan Stambaugh, Albany: State University of New York, 1996.
[26] Al Harb, Al-Mamn wa al-Mumtani, hal. 19.
[27] Al Harb, Naqd al-Nashsh, hal. 12-13.
[28] Istilah jejak (trace) merupakan salah satu kosa kata penting dalam dekonstruksi Derrida.

Dengan istilah ini dimaksudkan bahwa pengalaman dipahami sebagai jejak, karena tidak ada
pengalaman yang utuh mengenai dunia, pengalaman sudah selalu merupakan jejak yang merujuk
pada yang sudah berlalu, bukan kehadiran. Jejak hadir sebagai jejak dalam relasinya dengan yang
lain secara tidak terbatas, sebagaimana ungkapan Derrida, Kehadiran adalah jejak dan jejak
dihapuskan oleh jejak yang lain. Derrida sendiri mengartikan jejak sebagai, Hubungan yang erat
antara kehadiran dengan sesuatu di luar dirinya, keterbukaan pada eksterioritas secara umum.
Lihat Jacques Derrida, Margins of Philosophy, (Chicago: The University of Chicago Press, 1986), hal.
24; dan Speech and Phenomena, (terj.) David B. Allison, (Evanston: Northwestern University Press),
19996, hal. 86.
[29] Al Harb membedakan antara istilah al-waqiiyyah dengan al-wqiiyyah. Istilah yang
terakhir ini biasa digunakan oleh para penganut realisme, yang berasumsi bahwa teks merupakan
produk realitas dan terbentuk dari realitas. Dalam perspektif ini, teks ditafsirkan dengan cara
mentransformasikannya kepada realitas yang telah terjadi dan berlalu. Artinya, ia diperlakukan
sebagai saksi/bukti dari kebenaran yang harus dicapai dan diteliti.
[30] Al Harb, Al-Mamn wa al-Mumtani, hal. 20.
[31] Al Harb, Naqd al-Nashsh, hal. 13.
[32] Al Harb, Naqd al-Nashsh, hal. 13.
[33] Al Harb, Naqd al-Haqqah, (Beirut: Al-Markaz al-Tsaqf al-Arab, 1995), cet. II, hal. 18.
[34] Al Harb, Naqd al-Haqqah, hal. 22.
[35] Lihat Richard Rorty, Philosophy As Kind of Writing: An Essay on Derrida, dalam Consequences
of Pragmatism, (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1982), hal. 91-95.
[36] Istilah permainan perbedaan mengacu pada sistem perbedaan di dalam bahasa, baik grafis
maupun fonetis dan permainan antara keduanya. Permainan perbedaan ini berlangsung di wilayah
pemaknaan. Istilah ini terkait dengan konsep Derrida yang lain, yakni jejak. Derida menyatakan,
Setiap proses signifikansi merupakan bentuk permainan perbedaan sebagai jejak. Dalam situasi
ini, formasi makna hanya dimungkinkan oleh pergerakan jejak yang hanya bermakna dalam
relasinya dengan jejak-jejak lain. Derrida menyebutnya dengan permainan jejak tanpa petanda
transedental. Lihat Jacques Derrida, Positions, (terj.) Alan Basss, (Chicago: The University of
Chicago Press, 1998), hal. 26.
[37] Jacques Derrida, Of Grammatology, (terj.) Gayatri Chakravorty Spivak, (Baltimore & London:
The Johns Hopkins University Press, 1997), hal. 21.
[38] Istilah diffrance merupakan konsep kunci dalam dekonstruksi Derrida. Arti kata diffrance
berada dalam posisi menggantung antara dua kata Prancis to differ (membedakan) dan to defer
(menunda). Bahasa sangat bergantung pada perbedaan karena, sebagaimana telah dibuktikan
Saussure, struktur bahasa berisi oposisi-oposisi yang menjadi dasar bagi kandungan bahasa tersebut.
Sedangkan celah baru yang dibuka oleh Derrida, dan akan menjadi tempat munculnya ilmu

gramatologi, adalah wilayah yang membentang antara differ menuju defer. Hal ini memuat ide
bahwa makna selalu ditangguhkan, barangkali sampai pada saat yang tidak bisa ditentukan, dan
akibatnya adalah adanya permainan petanda. Lihat Christopher Norris, Deconstruction: Theory and
Practice, (terj.) Inyiak Ridwan Munir, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2006), cet. II, hal. 75.
[39] Jacques Derrida, Positions, hal. 14.
[40] Lihat Jacques Derrida, Limited Inc., a, b, c., (Baltimore: John Hopkins University Press, 1988),
hal. 2-3.
[41] Al Harb, Naqd al-Nashsh, hal. 16.
[42] Al Harb, Naqd al-Nashsh, hal. 15.
[43] Konsep representasi di sini mengacu pada filsafat Descartes dengan frasa terkenalnya Aku
berpikir, maka aku ada. Aku Descartes mengandaikan bahwa diri merupakan entitas yang
sepenuhnya sadar, dan oleh karena itu dapat memahami diri sendiri. Aku Descartes juga tidak
hanya otonom, tetapi juga koheren; konsep wilayah psikis lain, yang bertentangan dengan
kesadaran, sama sekali tidak terpikirkan. Dalam konsep Cartesian ini, manusia diandaikan sebagai
agen intelektual dan agen bebas, karena itu, proses berpikir tidak dipengaruhi oleh kondisi sejarah
dan budaya. Representasi juga dapat mengacu pada rasio murni Kantian bahwa kesadaran
merupakan representasi akurat dunia eksternal di seberang sana dengan cara menegaskan
korespondensi antara kata dan benda. Lihat Madan Sarup, Poststrukturalisme dan Postmodernisme:
Sebuah Pengantar Kritis, (terj.) Medhy Aginta Hidayat, (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2003), hal.
xvii-xviii.
[44] Al Harb, Naqd al-Haqqah, hal. 133-134.
[45] Al Harb, Naqd al-Haqqah, hal. 24.
[46] Madan Sarup, Poststrukturalisme dan Postmodernisme, hal. xviii.
[47] Istilah yang lain (otherness) berasal dari filsafat Emmanuel Levinas, yang kemudian diadaptasi
oleh Derrida dalam dekonstruksi-nya. Menurut Levinas, yang lain ialah sesuatu yang tidak
mungkin dipahami dari sudut kesadaran; yang lain adalah segala sesuatu yang tidak mungkin
ditangkap oleh semua pendekatan kognitif. Lihat Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay
on Exteriority, (terj.) Alphonso Lingis, (Pittburg: Duquesne University Press, 1969), hal. 59.
[48] Jacques Derrida, Of Grammatology, hal. 24.
[49] Aporia berasal dari bahasa Yunani yang berarti jalan buntu, sebuah arti yang
memperlihatkan unsur paradoksal yang terdapat dalam perkembangan lebih lanjut penggunaan kata
ini. Di tangan Derrida, kata ini merupakan kata yang paling cocok untuk mewakili efek-efek
diffrance dan logika pembentukan deviasi. Lihat Christopher Norris, Deconstruction: Theory and
Practice, hal. 101.
[50] Rudolphe Gasch, The Tain of Mirror; Derrida and the Philosophy of Reflection, (Cambridge:
Harvard University Press, 1986), hal. 136.

[51] Irene E. Harvey, The Wellspring of Deconstruction: Kant, Nietzsche, Heidegger, and Derrida,
dalam Tracing Literary Theory, (ed.) Joseph Natoli, (Urbana: University of Illionis Press, 1987), hal.
140.
[52] Al Harb, Naqd al-Haqqah, hal. 22.
[53] Keterangan dari Al Harb ini memperlihatkan lekatnya pengaruh dekonstruksi Derrida dalam
kerangka kritik teks-nya. Dalam dekonstruksi Derrida, makna tidak dapat sepenuhnya dipahami
sebagai kehadiran penuh, tetapi selalu merucut dan terus-menerus terlepas dari setiap upaya
memastikannya. Teks tidak pernah merujuk pada referensi yang stabil, makna selalu berubah dalam
relasinya dengan pembaca dan situasi pembacaan yang beragam. Makna dibentuk oleh wilayah
ketegangan yang berbeda yang selalu dapat dirubah tanpa rujukan yang tetap. Karena itu, yang
lain dapat dimengerti sebagai karakter dasar dari teks dan semua tanda linguistik.
[54] Lupa akan Ada adalah frase Heidegger yang terkenal untuk menggambarkan kritiknya
terhadap tradisi metafisika Barat. Lihat Martin Heidegger, Being and Time, (terj.) Joan Stambaugh,
(Albany: State University of New York, 1996).
[55] Istilah yang tak terpikirkan merupakan salah satu konsep yang digunakan oleh Foucault
dalam arkeologinya. Lihat Michel Foucault, The Order of Things: An Archeology of Human Sciences,
(New York: Random House, 1970). Dalam wacana pemikiran Arab-Islam kontemporer, istilah ini
sebelumnya sudah digunakan oleh Muhammad Arkn sebagai salah satu elemen konseptual kritik
nalar Islam. Lihat Muhammad Arkn, Trkhiyyah al-Fikr al-Arab al-Islm, (Beirut: Mansyrat
Markaz al-Inm al-Qaum, 1986).
[56] Kepercayaan bahwa ilusi (wahm) merupakan penentu bagi nalar berasal dari sistem
epistemologi Ibn Arab. Dalam pandangan Ibn Arab, ilusi adalah penguasa gambaran manusia.
Sumber dari ilusi adalah penyerupaan (al-tasybh). Arti penyerupaan adalah bahwa manusia
senantiasa melepaskan sifat-sifatnya pada dunia dan benda-benda; pengetahuan tidak pernah
terlepas dari metafora, dan kebenaran tidak pernah terpisah dari majaz. Lihat Ibn Arab, Fushsh
al-Hikam, (ed.) Ab al-Al Aff, (Beirut: Dr al-Kitb al-Arab, 1946).
[57] Menurut Aristoteles, Metafor adalah ikhtiar untuk menamai sesuatu yang menjadi sifat
sesuatu yang lain, transferensi dari genus ke spesies atau dari spesies ke spesies dengan
menggunakan analogi. Lihat Aristoteles, Poetics, The Work of Aristoteles, (ed.) W.D. Ross, (terj.) I.
Baywaiter, (Oxford: Oxford University Press, 1924), 1457b, hal. 6-9.
[58] Jacques Derrida, Margins of Philosophy, hal. 225-256.
[59] Suplemen (suplemnt) berarti tambahan dan apendix, penambahan atau menambahkan
sesuatu yang baru dalam proses diffrance. Menurut Derrida, suplemen mempunyai pengertian
ganda; di satu sisi, suplemen merupakan penambahan yang memperkaya dan menambahkan sesuatu
pada makna, di sisi lain, suplemen menggantikan ketidakhadiran, ketidakutuhan kehadiran. Dengan
demikian, imaji, representasi, teknik dan konvensi merupakan sejenis suplemen. Representasi

adalah suplemen yang menggantikan atau mewakili apa yang direpresentasikan sekaligus
menambahkan sesuatu pada apa yang tidak ada pada objek asali. Objek asali terhapuskan dan
sekaligus digantikan oleh representasi (suplemen). Lihat Jacques Derrida, Of Grammatology, hal.
144-145.
[60] Jacques Derrida, Margins of Philosophy, hal. 265.
[61] Jacques Derrida, Margins of Philosophy, hal. 268.
[62] Heliotrope adalah aspek esensial dari matahari (helios) yang secara langsung menyinari apa
yang ada di sekelilingnya. Konsep dasar filsafat dikembangkan berdasarkan analogi cahaya.
[63] Al Harb, Naqd al-Haqqah, hal. 5.
[64] Al Harb membedakan antara dua karakteristik pembacaan; selektif-eklektik dan aktifproduktif. Dalam pembacaan selektif-eklektik, pembaca sejak awal sengaja memilih teks-teks
tradisi yang dianggap sesuai dengan tuntutan kriteria ilmiah modern. Pembacaan selektif-eklektik
semacam ini merupakan pembacaan yang simplistis, sebab ia tidak memunculkan pengetahuan
baru, melainkan menjustifikasi yang baru sebagai sesuatu yang pernah ada dalam tradisi.
Sebaliknya, pembacaan aktif-produktif merupakan pembacaan terhadap teks-teks secara analitis,
interpretatif, atau dekonstruktif, dengan tujuan untuk memperluas horison teks dalam suatu
kerangka yang mengarahkan pembaca pada ikhtiar untuk memperbarui bidang pengetahuan,
perangkat pemahaman, dan format pemikiran. Pembacaan seperti ini akan memberikan
kesempatan bagi seseorang untuk bersenyawa dengan kehadirannya, yakni dengan kedua dimensi
tradisi dan modernitasnya, dalam bentuk hubungan yang dinamis, agar ia mampu memformulasikan
kekiniannya dan turut andil dalam menata kembali dunia pada level pemikiran. Lihat Al Harb, AlFikr wa al-Hadats, (Beirut: Dr al-Kunz al-Arabiyyah, 1997), cet. I, hal. 32-33.
[65] Al Harb, Naqd al-Haqqah, hal. 25.
[66] Al Harb, Naqd al-Haqqah, hal. 27.
[67] Hermeneutika di sini tidak merujuk pada seluruh tradisi hermeneutika. Hermeneutika filosofis,
misalnya, memiliki kedekatan dengan dekonstruksi, meskipun antara keduanya memiliki beberapa
prinsip yang berbeda.
[68] Lihat Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and
Critique (London: Routledge & Kegan Paul Ltd., 1980), hal. 39-50.
[69] Al Harb, Hermeneutika Kebenaran, hal. xviii; dan Al-Mamn wa al-Mumtani, hal. 53.
[70] Al Harb, Al-Mamn wa al-Mumtani, hal. 23.
[71] Jacques Derrida, Positions, hal. 41.
[72] Jacques Derrida, Positions, hal. 42.
[73] Jacques Derrida, Positions, hal. 43.
[74] Hugh J. Silverman, Textualities: Between Hermeneutics and Deconstruction, (New York:
Routledge, 1994), hal. 44-46.

[75] Simon Critchley, The Ethics of Deconstruction: Derrida & Levinas, (Oxford and Cambridge:
Blackwell Publishers, 1992), hal. 23.
[76] Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu dan Metodologi Posmodernis, (Bogor: Akademia, 2004), hal.
111.
[77] Thomas Kuhn, The Stucture of Scientific Revolution, (Chicago: Chicago University Press, 1970),
hal. 10. Lihat dalam Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu dan Metodologi Posmodernis, hal. 7.
[78] Lihat George Ritzer, Sosiological Theory, (New York: McGraw Hills, 1996), cet. IV, hal. 500-501.
Lihat dalam Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu dan Metodologi Posmodernis, hal. 7.
[79] Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu dan Metodologi Posmodernis, hal. 61.
[80] S. Sarantakos, Sosial Research, (Melbourne: Macmillan Education, 1993), hal. 31. Lihat dalam
Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu dan Metodologi Posmodernis, hal. 72.
[81] Sebenarnya ada perbedaan antara istilah pospositivisme dengan posmodernisme.
Pospositivisme adalah istilah yang lazim digunakan dalam paradigma keilmuan/epistemologi,
sedangkan posmodernisme merupakan ekspresi atau paradigma kultural. Namun, antara keduanya
memiliki kesesuaian yang signifikan, seperti decentering subject, penolakan terhadap teori
objektif-universal, pengakuan terhadap kebersatuan manusia dan dunia, pluralisme perspektif,
pluralisme budaya, pengakuan terhadap pengaruh konteks sosial-historis pada subjek, dan lain
sebagainya. Lihat Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu dan Metodologi Posmodernis, hal. 73.
[82] Egon G. Guba, The Paradigm Dialog, (London-New Delhi: Sage Publication, 1990). Lihat dalam
Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu dan Metodologi Posmodernis, hal. 73-81.

You might also like