Professional Documents
Culture Documents
16 Refleksi Diri Salah Satu Upaya Mencapai Kesejahteraan Psikologis Pada Kaum Muda Maria Laksmi Anantasari PDF
16 Refleksi Diri Salah Satu Upaya Mencapai Kesejahteraan Psikologis Pada Kaum Muda Maria Laksmi Anantasari PDF
Abstract
Many adolescents have problems in their life that affect their psychologicalwellbeing. But they tend to drown themselves in the bustle and not providing
enough time to retreat themselves. This research was conducted to find out the
description and the meaning of adolescences self reflection. Self-reflection is a
process relying of thinking, reasoning and examining ones thought, feelings and
soul. The method used was descriptive-qualitative approach. There were 10
subjects of the research. They were adolescents aged 19-21 years, Subjects were
determined by purposive sampling. Data were obtained through interviews and
through documents such as a daily journal and self-report of the subjects.
Credibility of research achieved by observation or assistance length, triangulation
and member-checking techniques. Reflection activities carried out within five
months. The results were analyzed using content analysis techniques. In general,
the results showed that the subjects get Kawruh Jiwa (knowledge of self) as a result
of self-reflection toward experiences. Self-knowledge leads individuals to address
the problems of living with a new perspective. Self-reflection is a medium to find
themselves in context with others and God. Self-reflection is an important part of
the journey in reaching adolescents psychological well-being.
Keywords : Kawruh Jiwa, Self-reflection, Psychological Well-Being
LATAR BELAKANG
Remaja adalah individu yang sedang berproses menuju alam kedewasaan.
Dengan bekal yang masih terbatas, remaja harus menghadapi banyak tantangan
dalam proses perkembangannya.
Fenomena menunjukkan dewasa ini banyak terjadi kasus pornografi,
narkoba, pergaulan bebas, tawuran, dan bahkan kasus bunuh diri pada remaja. Hal
ini menunjukkan bahwa remaja tidak mampu mengambil sikap yang tepat dan
tidak dapat memecahkan persoalan kehidupan. Masalah demi masalah berlalu
dari
orangtua. Hal lain yang menjadi tantangan adalah ketika para remaja sebagai
generasi net, tenggelam dalam hiruk pikuk perputaran dunia melalui jaringan
internet (Adi, 2009). Dalam hal ini tampaknya diperlukan suatu waktu untuk
menelaah diri sendiri.
Refleksi diri
dan kemauan untuk belajar lebih dalam mengenai sifat dasar manusia, tujuan dan
esensi hidup. Dengan melakukan refleksi diri manusia dapat memperoleh
pemahaman diri yang lebih baik guna memecahkan persoalan kehidupannya
(Morin, 2002).
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap gambaran dan pemaknaan para
remaja terhadap proses refleksi diri. Refleksi diri dapat diaplikasikan ke dalam
banyak bidang, misalnya bidang organisasi maupun dalam kehidupan diri pribadi.
Oleh karenanya hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi semua
pihak untuk melihat kembali pentingnya bermawas diri.
KERANGKA BERPIKIR
Remaja
Remaja adalah individu yang sedang memasuki masa peralihan dari masa
kanak-kanak menuju masa dewasa,
tahun hingga 21 tahun. Hall menyebut masa ini sebagai masa storm and stress.
Masa remaja ditandai dengan adanya perubahan besar dari segi fisik, kognitif dan
sosioemosi (Santrock, 2006). Remaja yang tumbuh dalam dunia digital saat ini
dikenal juga dengan generasi net. Kecanduan net menyebabkan mereka tidak lagi
memiliki waktu untuk melakukan kegiatan lain yang lebih sehat (Adi, 2009).
Refleksi Diri
Refleksi diri adalah kemampuan manusia untuk melakukan introspeksi dan
kemauan untuk belajar lebih dalam mengenai sifat dasar manusia, tujuan dan
esensi hidup. Self-reflection berbeda dengan rumination. Rumination dilandasi oleh
rasa mengkhawatikan diri demi kepentingan diri, sementara self-reflection didasari
oleh niat murni untuk menganalisis diri demi peningkatan diri (Morin, 2002).
Refleksi diri meliputi proses pengujian, pengolahan terhadap nilai-nilai,
keyakinan pribadi, dan pengalaman. Refleksi diri membuat seseorang belajar halhal baru dalam diri, lebih mengetahui tentang diri. Orang yang memiliki kesadaran
diri tinggi akan membawa individu pada kesehatan mental yang lebih baik
(Trapnell, & Campbell, 1999; Morin, A, 2002).
Refleksi seharusnya diwujudkan menjadi aksi atau tindakan. Pemahaman
diri yang baik membawa diri kepada suatu tindakan nyata, di mana individu
diharapkan dapat bersikap secara lebih positif.
Kesejahteraan Psikologis
Kesejahteraan psikologis diartikan sebagai ada dan berfungsinya sifat-sifat
psikologis positif yang terdapat dalam enam dimensi (Ryff, 1989), yang pada
perkembangannya diperluas dalam ranah spiritual (Ryff, 2004).
Dimensi penerimaan diri diartikan sebagai sikap positif terhadap diri,
penerimaan terhadap aspek
mengembangkan
ajaran
Kawruh
Jiwa
(Naskah-naskah
Ki
Ageng
Suryomentaram [KAS], 2010). Ajaran ini merupakan bukti nyata dari Indigenous
Psychology, khas Jawa. Menurut tokoh ini, kebahagiaan hidup akan dicapai ketika
seseorang dapat nata rasa Rasa Jawa dalam hal ini lebih dari sekedar feeling,
emotion, sentimentality, lust, mood, atau sensation.
Manusia Jawa
Struktur Jiwa.
Kesadaran jiwa menurut Suryomentaram (Jatman, 1997; Sunarto, 2004;
Saadi, 2010) adalah : (1) Juru Cathet, kesadaran yang mengacu pada apa yang
dapat dipersepsikan melalui panca inderanya. Pada tingkatan ini jiwa manusia
masih tunduk pada tuntutan fisik biologis (2) Cathetan, kesadaran diri yang
berfungsi dengan menggunakan emosi. Jiwa manusia yang menyimpan banyak
catatan hasil kerja panca indera berupa keinginan yang bersifat emosional
(kesenangan).
kognisi. Dengan adanya dimensi ini berarti tindakan manusia juga didasari
pertimbangan rasional. Pada tahap ini muncul rasa Aku Kramadangsa.
Kramadangsa adalah istilah yang merujuk pada "rasa namanya sendiri".
Kramadangsa adalah "rasa keakuan",
dan kehidupan.
pengetahuan tentang diri pribadi. Hal ini didapatkan melalui olah rasa dengan
metode menggalih, manah manekung ing ngasepi, semusup ing telenging kalbu
hingga mencapai pambukaking wahana. Menggalih dari kata galih yaitu bagian
paling tengah pada batang kayu. Pengolahan jiwa (olah rasa) dilakukan dengan
mengidentifikasi berdasar kebenaran, hingga mencari makna terdalam. Manah, dari
kata panah yakni berpikir dengan hati sampai menembus hakekat yang terdalam.
Manekung ing batin, yakni berkonsentrasi dengan mata batin,
memusatkan
MANUSIA
Pengalaman
Orang lain
Hal/peristiwa
Aku Kramadangsa
KRAMADANGSA MENANG
---------------------------------------------------Olah rasa
Kramadangsa dimatikan
Kesadaran rasa aku sejati
Kembali ke taraf-3
Menggunakan olah pikir dalam menyikapi
pengalaman
Kurang memiliki pengetahuan diri (rasa,
jiwa)
--------------------------------------------------
Naik ke taraf-4
Mampu memahami siapa diri, tujuan dan esensi hidup
Mengetahui nilai-nilai kebenaran universal
Memiliki kesadaran penuh akan diri dan kehidupan
-----------------------------------------------------------
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian. Jenis penelitian ini adalah kualitatif.
Partisipan Penelitian. Subjek penelitian ini adalah remaja yang berstatus
sebagai mahasiswa Psikologi Semester V, dengan kisaran usia antara 19 hingga
21 tahun. Responden penelitian secara keseluruhan berjumlah 10 orang, terdiri
atas 8 wanita dan 2 pria. Subjek wawancara berjumlah 4 orang.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara
(1) Studi dokumen, yaitu berupa jurnal harian dan self-report para responden
(2) Wawancara
Data yang diteliti adalah bagian dari hasil tindakan kelas. Keabsahan data hasil
penelitian ini didukung dengan adanya kredibilitas hasil penelitian, yang dicapai
melalui lamanya pengamatan terhadap proses aktivitas refleksi, triangulasi dua
metode penelitian yakni wawancara dan studi terhadap jurnal para subjek serta
pelaksanaan member-check terhadap beberapa subjek yang ada.
Prosedur Aktivitas dan Penelitian
(1) Peneliti menentukan partisipan yang akan berpartisipasi dalam aktivitas ini.
(2) Pada bulan pertama (Februari 2010), peneliti memberikan instruksi kepada
partisipan untuk menuliskan pengalaman diri satu kali dalam satu minggu,
selama kurang lebih 4 bulan atau 16 kali penulisan.
Kisah mengenai pengalaman diakhiri dengan perenungan dan pengolahan
diri untuk menjawab pertanyaan sederhana seperti, apa yang kurasakan ?,
apa yang dapat kupelajari dari pengalaman ini?, apa yang sebaiknya
kulakukan?, apa yang kini akan kulakukan, untuk diriku dan sesamaku?
(3) Pada bulan ketiga, peneliti memberikan tugas untuk membuat self-report
berupa refleksi secara keseluruhan dan rumusan aksi.
(4) Peneliti membuat kesepakatan tentang penelitian (informent concent)
(5) Pada akhir bulan ke-4, peneliti melakukan wawancara dengan 4 partisipan.
Panduan wawancara bersifat semi terstruktur.
(6) Pada akhir bulan ke-5 (Juni 2010), seluruh dokumen berupa jurnal harian
dan self-repot dikumpulkan untuk dianalisis. Jumlah masing-masing yang
terkumpul sebanyak 10 buah, sejumlah partisipan yang direncanakan.
(7) Pelaksanaan aktivitas dan
HASIL PENELITIAN.
Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis isi. Proses analisis data
dalam penelitian ini dimulai dengan menelaah seluruh data yang terkumpul dari
berbagai sumber yakni jurnal pribadi, lembar self-report dan hasil wawancara. Data
ditelaah kemudian mengadakan reduksi data dengan jalan membuat abstraksi,
menyusun
dalam
satuan-satuan
dan
kategorisasi
dan
menafsirkan
atau
tergantung kepada orang lain, tidak berani asertif sehingga tidak dapat menjadi diri
sendiri, memiliki sifat plin-plan, dan masih sering terbawa arus.
Dimensi Penguasaan Lingkungan. Sifat partisipan yang muncul adalah
kecenderungan menyepelekan masalah, sulit menyesuaikan dengan situasi baru,
belum dapat bertanggungjawab, kurang mampu mengatur waktu dan tidak kreatif
Dimensi
Tujuan
Hidup.
Sifat
yang
muncul
adalah
kurang
dapat
Dari
mencoba berdamai dengan diri sendiri, menjadi diri sendiri, belajar menerima
menjalani hidup
Penguasaan
Lingkungan.
Niat
yang
muncul
antara
lain
merupakan media yang dipergunakan untuk melihat dan menilai diri sendiri.
Refleksi diri adalah salah satu cara untuk memahami diri dan dunia. Diri yang
dimaksud adalah diri fisik dan non fisik, dengan semua pengalaman dalam segala
ruang dan waktu.
Mekanisme refleksi menurut remaja. Refleksi dapat dilakukan melalui
permenungan atau dibantu melalui penuangan melalui tulisan. Mekanisme refleksi
dilakukan dengan cara meluangkan waktu, menyepi dari keramaian, mengingat
peristiwa yang terjadi, tindakan yang telah dilakukan, membuat penilaian terhadap
suatu peristiwa/hal, menginstropeksi, menimbang-nimbang, memilah hal baik dan
buruk, mencari hikmah dan pembelajaran darinya. Refleksi diakhiri dengan
merumuskan niat agar hal-hal yang telah positif dipertahankan, sementara sikap,
pemikiran dan tindakan yang belum tepat harus diperbaiki.
Beberapa manfaat dari refleksi diri menurut subjek adalah lebih dapat
mengenali
dan
kecenderungan
memahami
perilaku,
diri
sendiri
mendapatkan
baik
dari
pemahaman
segi
karakter
baru
maupun
tentang
suatu
mencoba sesuatu yang lebih baik. Refleksi juga menjadi stimulus yang dapat
memunculkan ide atau insight, serta mengingatkan diri pada Pencipta.
Refleksi yang dilanjutkan dengan niat akan menghasilkan perubahan dalam
diri pelaku. Beberapa hal yang didapatkan adalah adanya pengembangan diri,
penerimaan diri dan hidup seutuhnya, tidak mudah mengulangi kesalahan yang
sama, lebih mampu menghargai hidup dalam suka dan dukanya, mengalami hidup
yang lebih bermakna.
DISKUSI
Jawaban dari pertanyaan penelitian yang pertama mengenai gambaran
ketidaksejahteraan psikologis remaja tampak dalam keenam dimensi kesejahteraan
psikologis menurut Ryff (1989). Suryomentaram (Jatman, 1997) menjelaskan
bahwa
faktor
ketidakmampuan
penyebab
dalam
gangguan
menangkap
kesehatan
esensi
mental
suatu
hal.
bersumber
Sebagai
pada
contoh,
ketidakpuasan diri akan fisik disebabkan karena individu meletakkan citra fisik
sebagai hal utama dalam hidup.
Hal ini yang dapat menyebabkan diri tidak sejahtera adalah ketika para
subjek kurang memahami bahwa hidup berisi pengalaman yang menyenangkan
dan tidak menyenangkan. Sehingga mereka tidak siap menerima suatu kesulitan
dalam hidup. Pribadi sehat akan terbentuk manakala seseorang dapat menerima
pengalaman susah dan senang sebagai suatu keutuhan dalam hidup.
Beberapa gejala mental yang tidak sehat seperti yang dikemukakan oleh
Suryomentaram dialami juga oleh beberapa subjek seperti adanya rasa penyesalan
(raos getun) ketika belum mendapatkan apa yang diharapkan, rasa khawatir (raos
sumelang) dalam menghadapi masa kini dan masa depan, iri hati (raos meri
pambegan) ketika membandingkan diri dengan keadaan orang lain (Jatman, 1997;
Saadi, 2010)
Ketidakmampuan dalam menerima diri pada beberapa subjek terkait
dengan adanya peristiwa kekerasan dari orangtua sepanjang usianya. Perkataan
kasar, makian, hukuman fisik berupa tamparan, kurungan hingga diikat di pohon
menimbulkan luka batin pada subjek.
kehidupan. Dalam hal ini, ada tidaknya penghargaan tidak mempengaruhi kinerja
seseorang. Penderitaan yang sangat melukai sekalipun tidak akan mampu
mengubah seseorang atau menurunkan kualitas pribadi dengan menjadi terpuruk
atau menjadi pribadi pendendam. Kebebasan dan ketidaklekatan terhadap apapun
didukung dengan pernyataan Suryomentaram yang menegaskan bahwa di dalam
hidup tidak ada yang perlu diperjuangkan secara mati-matian karena apa yang
dicari itu tidak akan memberikan rasa senang selamanya, atau pun susah
selamanya (Naskah-naskah KAS, 2010).
Pertanyaan penelitian mengenai hasil refleksi para remaja terjawab dalam
gambaran singkat yang menunjukkan adanya pemaknaan terhadap pengalaman
yang dialami. Penelitian difokuskan pada hasil dari olah rasa para subjek.
Olah rasa membuahkan kesadaran akan eksistensi manusia dalam dimensi
horizontal dan vertikal. Dimensi horizontal terwujud dalam perwujudan tindakan
terhadap sesama seperti hasil pemaknaan para subjek. Hasrat untuk hidup
harmonis dengan sesama terungkap dalam contoh pernyataan subjek berikut ini :
Saya percaya bahwa tiap individu adalah unik dan tak tergantikan, sehingga kita
dapat hidup bersama untuk saling melengkapi (Jp, jurnal, 19 Mei, 2010)
Dimensi vertikal dalam temuan ini tampak dari pemaknaan subjek bahwa
Tuhan itu ada, bekerja untuk manusia dan memiliki rencana atas kehidupan yang
berjalan. Dalam hal ini, peneliti menegaskan bahwa dalam pendampingan selama
melakukan refleksi ini, peneliti sekaligus pendamping tidak pernah dengan sengaja
mengarahkan para responden ke arah ke-Tuhanan. Pertama-tama karena
kesadaran bahwa tidak semua orang memiliki kepercayaan penuh akan
keberadaan Pencipta. Kedua, hal ini dimaksudkan lebih membiarkan olah rasa
berjalan secara natural. Hasilnya menunjukkan ketika seseorang telah mau
memasuki
ruang
batin
dan
mengalami
pergumulan
untuk
mendapatkan
horisontal dan vertikal. Kejelian, kemampuan dan kehendak diri yang memutuskan
apakah seseorang akan melanjutkan olah rasa dalam dimensi vertikal ini.
Kawruh jiwa dan olah rasa membuahkan hasil berupa rumusan niat
tindakan. Para subjek mampu merumuskan niat tindakan dalam berbagai dimensi
yang secara kongkrit dapat dapat dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Niat yang
senantiasa ditumbuhkan dapat menjadi stimulasi bagi lahirnya suatu tindakan.
Refleksi diri dipandang para subjek sebagai media untuk memahami diri
fisik dan non fisik dengan semua pengalaman dalam segala ruang dan waktu.
Pemahaman diri dalam cara pandang Suryomentaram adalah pangawikan pribadi
yakni pengetahuan tentang rasa diri, jati diri yang sesungguhnya. Jatman (1997)
menegaskan bahwa orang Jawa memaknai rasa sebagai pengecapan, perasaan,
karakter manusia dan pernyataan dari kodrat Illahi, hati nurani.
Remaja, para subjek mengawali refleksi dengan cara meluangkan waktu,
menjauh dari keramaian. Dalam suatu blog Ignasian, yakni suatu spirit dalam
keyakinan Katolik, diungkapkan bahwa pada saat ini manusia terjebak dalam hiruk
pikuk dunia. Orang sibuk menjadi tanda kesuksesan, padahal kesibukan membuat
orang tidak dapat menghayati hidup dan melupakan esensi hidup. Berhenti sejenak
akan memberi ruang dan waktu bagi diri untuk memperbaharui hidup. Oleh
karenanya menumbuhkan kemampuan untuk berhenti dan perlu dilatihkan dan
dibiasakan (Finding God, 2007). Suryomentaram (Jatman, 1997) juga menyatakan
bahwa perhatian yang terbagi membuat orang tidak
mawas diri, mengolah jiwa dengan metode menggalih, manah manekung ing
ngasepi, semusup ing telenging kalbu, mencapai pambukaking wahana; mencoba
merasakan kembali berdasar prinsip kebenaran, mengolah dengan hati yang
terdalam, berkonsentrasi dengan mata batin, dan memusatkan kehendak untuk
mencari makna yang terdalam dan
(Saadi, 2010).
Menimbang-nimbang, memilah dan memilih merupakan tugas tidak mudah.
Seseorang harus cukup rendah hati untuk membuka defence dan mau membiarkan
hati nurani berbicara atas nama kebenaran. Suryomentaram (Sunarto, 2004;
Jatman, 2008 dan Saadi, 2010) menyatakan bahwa dalam langkah ini terjadi
peperangan antara kramadangsa dengan segala keakuan diri dengan aku bukan
kramadangsa yakni diri otonom (aku sing madeg pribadi) yang memiliki kesadaran
untuk memilih yang paling hakiki. Mawas diri dalam hal ini tidak hanya melibatkan
laku pikir seperti yang ada dalam tahap kesadaran kramadangsa, akan tetapi
melibatkan laku rasa. Pergulatan nilai-nilai adalah bagian dari diri dan dimiliki oleh
setiap manusia, hanya diaktifkan atau tidak. Pergulatan selalu terjadi dalam ruang
rasa (jiwa) manusia, keduanya selalu kalah dan menang secara bergantian.
Apabila
harus menjadi pribadi yang lebih baik dari pada sebelum menjumpai pengalaman
tersebut. Dengan demikian perjalanan hidup menjadi sungguh sangat bermakna.
Sebagai catatan tambahan, peneliti menemukan bahwa titik awal refleksi
berbeda-beda pada setiap manusia. Hal ini tergantung kepada konteks yang
melatarbelakanginya, di antaranya adalah nilai-nilai dan sikap hidup yang
melandasinya.
menyatakan bahwa pencarian pengertian tentang diri, berurutan mulai dari yang
dangkal sampai yang terdalam (Naskah-naskah KAS, 2010). Perbedaan titik awal
tidak menjadi masalah karena pada dasarnya semua akan bergerak ke titik tuju
yang sama, yakni kepenuhan diri.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa manfaat refleksi diri dalam pandangan
subjek adalah dapat lebih memahami diri sendiri, mendapatkan pemahaman baru
dari sudut yang berbeda, menemukan hambatan diri, mendapatkan wacana baru.
Berikut contoh terbukanya wacana baru sebagai hasil olah rasa :
Saya tidak akan lagi menguji janji-janji Tuhan untuk memenuhi obsesi
saya, tapi saya akan mengejar mimpi saya sesuai dengan talenta dan kapasitas
yang telah Ia berikan kepada saya (An, wawancara,25 Mei 2010)
DAFTAR PUSTAKA
Adi, K.(2009). Net Generation. Yogyakarta: Percetakan Kanisus
Anantasari, M.L. (2010). Psychological Well-Being of Parents: One Way on
Preventing Child Maltreatment. Proceedings of The International
Conference Early Childhood and Youth Development. (30-39). Surabaya:
Faculty of Psychology Widya Mandala University
Jatman, D. (1997). Psikologi Jawa.Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Naskah-naskah Ki Ageng Suyomentaram. (tanpa tahun). Dipungut 20 Juli 2010,
dari http://ilmubahagia.wordpress.com/naskah-naskah-kas/
Morin, Alain. (2002). Do you self-reflect or self-ruminate ?. Science &
Consciousness Review. No. 1. Dipungut 15 Juli 2010, dari
http://cogprints.org/3788/1/Rumination.pdf
Ryff, C.D. (1989). Happiness is everything, or is it ? Explorations on the meaning of
psychological well-being. Journal of Personality and Social Psychology, 57,
1069-1081.
________. (2004). The construct validity of Ryffs Scales of psychological well-being
and its extension with spiritual well-being. Personality and Individual
Differences, 36, 629-643
Ryff,C.D. & Keyes, C.L. (1995). The structure of psychological well-being revisited.
Journal of Personality and Social Psychology,69, 719-727
Santrock, J.W. (2006). Adolescence. North America: Tata McGraw-Hill
Trapnell, P.D & Campbell, J.D. (1999). Private self-consciousness and the FiveFactor Model of Personality: Distinguishing rumination from reflection.
Journal of Personality & Social Psychology, 76(2), 284-304
Sunarto.