Psychological Well-Being Pada Remaja Putus Sekolah

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 18

SENSE OF HUMOR, RESILIENCE, IDENTITY STATUS,

PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA PUTUS SEKOLAH

Andhang Budi Utomo


(13.92.0007)
Program Magister Psikologi
Fakultas Psikologi
Universitas Katolik Soegijapranata
S E M AR AN G
2015
Abstract
Dropping out of school is seen as a predicate for adolescents who are not able to
completed an educational level, by dropping out of schools can be a burden for
adolescents who experience it. Life problems are often perceived as a pressing
problem that can lead to emotional disorders which affecting on well-being in
adolescents. The purpose of the present paper is to show well-being which
conceptualized as psychological well-being in adolescent school dropout as well as
to verify the correlation to sense of humor, resilience and identity status. This study
is a population study in Barehsos Wira Adhi Karya Ungaran involving 53 subjects.
First major hypothesis results indicate theres significant correlation between sense
of humor, resilience with psychological well-being in adolescents school dropout
Ft= 3.376, p=0,042 (<0.05), which mean the first major hypothesis in this study is
proven, with the proportion of variance of psychological well-being which can be
explained by a sense of humor and resilience a number of 11.9%. First minor
hypothesis results found no significant correlation between sense of humor with
psychological well-being in adolescents school dropouts p=0,111(>0,05), which
means first minor hypothesis is not proven. While the second minor hypothesis,
results found significant and positive correlation between resilience with
psychological well-being p=0,006(>0,05) its mean second minor hypothesis is
proven. Furthermore, the second major hypothesis results indicated no significant
differences psychological well-being based on identity status Ft = 2.934, p=
0,001(<0.05), which means the second major hypothesis is proven. From post hoc
test with LSD analysis indicated, significant differences psychological well-being
between adolescents school dropouts who has identity achievement with
foreclosure (MD = 10.933) and achievement with diffusion (MD = 12.156).
Key words: Adolescents School Dropouts, Psychological well-being, Sense of
humor, Resilience, Identity statu
Abstraksi

Putus sekolah dipandang sebagai predikat bagi remaja yang tidak mampu
menyelesaikan suatu jenjang pendidikan, dengan meninggalkan sekolah sebelum
waktunya dapat menjadi beban bagi remaja yang mengalaminya. Permasalahan
hidup yang sering dirasakan sebagai permasalahan yang menekan dapat
mengakibatkan gangguan emosional dan gangguan emosional tersebut sedikit
banyak mempengaruhi remaja putus sekolah dalam merasakan kebahagiaan.
Penelitian ini dilakukan selain untuk mengetahui kebahagian yang
dikonseptualisasikan sebagai psychological well-being pada remaja putus sekolah
juga untuk menguji keterkaitannya dengan sense of humor, resilience dan identity
status. Penelitian ini merupakan studi populasi di Barehsos Wira Adhi Karya
Ungaran dengan melibatkan 53 remaja putus sekolah sebagai subjek penelitian.
Hasil uji hipotesis mayor pertama memperoleh hasil ada hubungan yang signifikan
antara sense of humor, resilience dengan psychological well-being pada remaja
putus sekolah Fh=3,376,p=0,042(<0,05), sehingga hipotesis mayor pertama
terbukti, dengan proporsi varian dari variabel psychological well-being yang
dijelaskan oleh sense of humor dan resilience sebesar 11,9%. Uji hipotesis minor
pertama memperoleh hasil tidak ada hubungan yang signifikan antara sense of
humor dengan psychological well-being pada remaja putus sekolah p=0,111(>0,05)
sehingga hipotesis minor pertama tidak terbukti. Sedangkan uji hipotesis minor
kedua, memperoleh hasil ada hubungan positif yang signifikan antara resilience
dengan psychological well-being pada remaja putus sekolah p=0,006(>0,05),
artinya hipotesis minor kedua terbukti. Selanjutnya dari uji hipotesis mayor kedua
memperoleh hasil ada perbedaan yang signifikan psychological well-being pada
remaja putus sekolah ditinjau dari identity status Fh=2,934 p= 0,001 (<0,05) yang
artinya hipotesis mayor kedua terbukti. Dari hasil uji lanjut dengan analisis LSD
memperoleh hasil, ada perbedaan yang signifikan psychological well-being antara
remaja putus sekolah yang memiliki identity status achievement, dengan
foreclosure (MD=10,933) dan achievement dengan diffusion (MD=12,156).
Kata kunci: Remaja Putus Sekolah, Psychological well-being, Sense of Humor,
Resilience, Identity Status.
A. PENDAHULUAN
B.

Putus sekolah dipandang sebagai masalah pendidikan dan sosial

yang sangat serius, sebab dengan meninggalkan sekolah sebelum lulus remaja
putus sekolah tidak mendapatkan pendidikan yang cukup sehingga kesejahteraan
ekonomi dan sosialnya menjadi terbatas sepanjang hidupnya dan sebagai orang
dewasa kelak. Sama halnya dengan remaja yang bersekolah, remaja putus
sekolah juga rentan mengalami stres dalam kehidupan sehari-harinya. Jika remaja
yang bersekolah mengalami stres yang berasal dari beban akademiknya di

sekolah maka remaja putus sekolah mengalami stres karena tidak memiliki
aktivitas yang jelas dan terarah, rendahnya kepercayaan diri, dan putus asa
karena sulitnya mendapatkan pekerjaan yang layak (Eckstein & Wolpin,1999,
h.1296). Stres tersebut berdampak negatif bagi kondisi psikologis dan tentunya
mempengaruhi remaja putus sekolah dalam merasakan kebahagiaan.
C.

Pada permasalahan remaja putus sekolah di lingkup provinsi Jawa

Tengah, Dinas sosial memiliki peran yang cukup strategis dalam upaya
pemberdayaan remaja dengan menfungsikan salah satu lembaga pelayanan
sosialnya yang sudah ada yaitu Balai Rehabilitasi Sosial (Barehsos). Dari hasil
wawancara yang peneliti lakukan dengan salah satu petugas sosial di Barehsos
Wira Adhi Karya pada hari Sabtu, 4-oktober 2014 memperoleh informasi bahwa
masalah-masalah yang kerap dihadapi PM (penerima manfaat) atau sebutan bagi
remaja binaan, pada periode ke 2 tahun 2014 yang paling dominan adalah
rendahnya motivasi PM untuk mengikuti kegiatan yang ada, hal tersebut
disebabkan karena PM yang datang ke tempat tersebut tidak memiliki tujuan untuk
memperbaiki keadaan hidupnya, karena beberapa dari mereka terpaksa atau
dipaksa oleh pihak-pihak tertentu untuk dibina di tempat tersebut dan bukan atas
kemauannya sendiri.
D.

Informasi tersebut didukung dengan hasil interview dengan dua

orang remaja putus sekolah di tempat tersebut yang menyatakan tidak


bersemangat mengikuti kegiatan-kegiatan di Barehsos karena tidak menyukai halhal akademis dan tidak memiliki tujuan setelah lulus dari tempat ini. Oleh karena
tidak memiliki tujuan tersebut diatas, berakibat pada rendahnya motivasi AM dan
BR dalam mengikuti setiap kegiatan di tempat tersebut. Hal tersebut sesuai
dengan teori yang dikemukakan oleh Santrock (2014, h.89) dimana remaja
memiliki karakteristik cenderung berorientasi pada masa sekarang atau saat ini,
bersenang-senang dan puas saat ini tanpa memikirkan masa depan. Sedangkan
salah satu dimensi yang membentuk psychological well-being adalah purpose in

life yakni individu yang bahagia adalah individu yang memiliki tujuan hidup
sehingga penelitian mengenai ini menjadi menarik untuk diteliti lebih jauh.
E.

Selain daripada permasalah tersebut, masalah yang lain yang kerap

dialami oleh remaja putus sekolah di Bahresos Wira Adhi Karya berupa masalah
emosional berkaitan dengan ketakutan dan kecemasan dalam menghadapai masa
depan. Hal tersebut disebabkan karena kondisi masa yang akan datang belum
jelas dan belum pasti sehingga menimbulkan kekhawatiran bahwa masa yang
akan datang akan lebih buruk daripada masa saat ini. Perasaan takut dan
kecemasan termasuk merupakan emosi negatif yang mempengaruhi remaja putus
sekolah dalam merasakan kebahagiaan. Menurut Creed dan Evans (2004) remaja
putus sekolah menghadapi berbagai permasalahan hidup dan remaja putus
sekolah yang terlibat dengan berbagai permasalahan hidup menunjukan bahwa
remaja tersebut mengalami masa yang tidak membahagiakan dalam hidupnya.
F.

Dari dimanika permasalahan tersebut diatas membuat remaja putus

sekolah merasa tidak betah tinggal di Barehsos dan ingin meninggalkan tempat
tersebut sebelum waktunya. Informasi tersebut di dukung dengan keterangan dari
petugas sosial yang menerangkan bahwa fenomena yang terjadi setiap tahun di
Barehsos

Wira Adhi

Karya

adalah

banyaknya

penerima

manfaat

yang

meninggalkan balai sebelum waktunya. Lebih lanjut, menurut Bradburn (dalam


Ryff dan Keyes, 1995, h.732) tingkat kebahagiaan seseorang ikut dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan dan tempat tinggalnya, melihat fenomena tersebut diatas maka
penelitian mengenai psychological well-being pada remaja putus sekolah di
Barehsos Wira Adhi Karya Ungaran menjadi penting untuk segera dilakukan.
G.

Sense of humor dikonsepsikan sebagai kemampuan seseorang

untuk menangkap hal-hal lucu dari sebuah peristiwa. Semakin mudah seseorang
menangkap hal-hal lucu, maka semakin tinggi rasa humornya begitu pula
sebaliknya. Idealnya, remaja putus sekolah memiliki sense of humor yang
memadai untuk dapat bertahan dan menghadapi masalah-masalah yang dihadapi

serta menjalani kehidupan dengan ceria. Dengan humor remaja putus sekolah
dapat melawan kepenatan dan kebosanan dalam kehidupannya sehari-hari,
bahkan

memberikan

energi

baru

dalam

menyingkapi

dan

menghadapi

permasalahan hidup yang dihadapi.


H.

Menurut,

Ballenger-Browning

dan

Johnson

(2010,

h.5)

saat

menghadapi kesulitan hidup sebagian individu gagal dan tidak mampu bertahan
yang mana individu tersebut mengembangkan pola-pola perilaku bermasalah,
sedangkan sebagian lainnya mampu bertahan serta mengembangkan perilaku
adaptif bahkan lebih baik lagi dan berhasil keluar dari kesulitan yang dialaminya.
Keberhasilan

dan

kegagalan

individu

dalam

menghadapi

kesulitan

dan

permasalahan hidup ditentukan oleh kemampuan individu tersebut untuk bangkit


dan mengatasinya, dan kemampuan tersebut disebut sebagai resiliensi. Individu
yang mampu dan berhasil mengatasi situasi yang penuh tekanan tersebut dapat
dikatakan sebagai individu yang memiliki tingkat resiliensi yang tinggi (resilient)
begitu pula sebaliknya dan lebih berkompetensi dalam meraih kebahagian.
I.

Menurut Santrock (2014, h.41) Masa remaja disebut juga masa untuk

menemukan identitas diri (self identity). Pada tahap pembentukan identitas diri ini,
remaja mulai menjajaki berbagai macam pilihan yang ada dan tersedia, serta mulai
mengarahkan pandanganya mengenai perkerjaan, karir, tujuan hidup, nilai-nilai
pribadi serta hubungan interpersonal sebagai bagian dari proses pembentukan
idenditas dirinya. Pertanyaan mengenai bagaimana identity status berpengaruh
pada kesehatan mental dan kebahagian telah menjadi perhatian bagi penelitian
mengenai identitas diri sejak awal. Marcia (dalam Warteman, 2007, h. 85)
menyebutkan koneksi antara identity status dengan psychological well-being,
Marcia mengemukakan bahwa identity achievement adalah identitas paling sehat
jika dibandingakan dengan identitas lainnya karena

identity achievement

merupakan indikasi personal capacity yang baik untuk beradaptasi dengan


lingkungan. Kemampuan untuk mengeksplorasi lingkungan dan membuat

komitmen merupakan kemampuan awal untuk beradaptasi dan merupakan cermin


dari kondisi kesehatan mental yang baik.
J. KAJIAN PUSTAKA
1. Psychological well-being
K.

Ryan dan Deci, (2001, h.143). yang mendefinisikan psychological

well-being sebagai suatu konseptual dari beberapa kombinasi perasaan positif


seperti kebahagiaan dan keberfungsian secara optimal dalam kehidupan
individual dan sosial. Artinya, individu yang psychological well-being memiliki
perasaan positif lebih dominan dari pada perasaan negatif serta sejauh mana
individu dapat berfungsi dan merealisasikan potensinya dalam kehidupan
pribadi dan sosialnya. Ryff dan Keyes (1995, h.725) menjelaskan bahwa
psychological well-being merupakan gambaran kondisi individu yang sehat
secara psikologis yang dinyatakan berdasarkan kriteria-kriteria fungsi psikologis
positif (positive psychological fungtioning) yakni penerimaan diri, hubungan
positif dengan orang lain, kemandirian, tujuan hidup, penguasaan lingkungan
dan perkembangan pribadi. Dari paparan teori tersebut diatas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa psychological well-being mengarah kepada kondisi individu
yang sehat secara psikologis dan ditandai dengan perasaan bahagia serta
mempunyai kepuasan hidup karena mampu mengembangkan fungsi psikologi
positif (positive psychological functioning) yang ada dalam dirinya.
L.

Penerimaan diri adalah penilaian remaja putus sekolah tentang

dirinya yang harus berjuang untuk merasa nyaman dengan dirinya sendiri.
Hubungan positif dengan orang lain adalah penilaian remaja putus sekolah
tentang kemampuannya untuk mempererat hubungan dan keberadaan
hubungan dengan orang lain yang hangat, intim, saling percaya, berempati,
dan bekerjasama dengan orang lain. Pertumbuhan pribadi adalah penilaian
remaja putus sekolah tentang usahanya yang berkelanjutan untuk menilai
dirinya sendiri yang telah bertumbuh serta berkembang, berubah dalam cara

yang lebih efektif, mau terbuka pada pengalaman-pengalaman baru, dan


mampu merealisasikan potensinya.
M.

Tujuan hidup merupakan penilaian remaja putus sekolah tentang

maksud dan tujuan hidupnya, yang meliputi adanya tujuan hidup dan
penghayatan bahwa hidup itu mempunyai arah. Pengusaan lingkungan adalah
penilaian remaja putus sekolah tentang kemampuannya untuk mengenali
kebutuhan personalnya, berperan aktif dalam mengatur dan mengontrol
kejadian sehari-hari, mengefektifkan kesempatan yang ada untuk menciptakan
kondisi tertentu yang sesuai dengan kebutuhannya tersebut. Kemandirian
merupakan penilaian remaja putus sekolah mengenai kemampuannya untuk
berinisiatif dan melakukan segala sesuatu sendiri tanpa bergantung dengan
orang lain, mampu mengambil suatu keputusan sendiri dan bertanggung jawab
atas apa yang dilakukannya.
N.
2. Sense of humor
O.
Istilah humor mulai muncul pada abad ke-18, seiring dengan
dimulainya masa pendekatan humanistic. Istilah humor pada mulanya
digunakan untuk membedakan perilaku tertawa yang disebabkan oleh hal-hal
yang negatif, seperti saling meledek (comedy), celaan (sarcasm), sindiran
(satire), dan keanehan yang terjadi pada orang lain (ridicule) Martin (1998, h.2).
Untuk dapat merasakan humor diperlukan sense of humor atau kepekaan
terhadap humor pada individu untuk merespon humor. Jika individu tidak cukup
peka, maka kejadian atau pelaku selucu apapun tidak akan menimbulkan kesan
lucu. Sense of humor adalah sesuatu yang bersifat universal yaitu konsep
dari berbagai bidang yang mempunyai banyak definisi. Definisi sense of
humor menurut Morreal (1982, h. 32) adalah sebagai trait kepribadian yang
memungkinkan seseorang untuk memahami, memproduksi dan megapresiasi

kelucuan untuk tujuan kesenangan dan tertawa. Dengan kata lain sense of
humor adalah sejauh mana individu dapat merasakan humor sebagai suatu
kesenangan yang dapat meningkatkan kegembiraan maupun keceriaan. Dari
beberapa uraian diatas maka ditarik kesimpulan pengertian dari sense of humor
adalah kemampuan individu untuk menangkap, mempersepsikan, merespon
humor,

dan

kentrampilan

menciptakan

humor

untuk

membangkitkan

tawa/tertawa, keceriaan maupun kegembiran.


P.
3. Resilience
Q. Dalam bahasa Inggris kata resilience memiliki arti daya lenting atau
kemampuan untuk kembali pulih dalam bentuk semula, atau dapat diartikan
sebagai bangkit atau kembali bangkit Noble dan McGrath (2005, h.750) yang
mendefinsikan resiliensi sebagai ketrampilan, sifat dan kemampuan yang
memungkinkan seseorang untuk beradaptsi atau menyesuaikan diri pada
kesukaran, kesulitan dan tantangan, atau dengan kata lain resiliensi merupakan
kemampuan seseorang untuk mengatasi kesulitan atau keterpurukan dalam
hidup. Siebert (2005, h. 5) menjelaskan bahwa individu yang resilient mampu
untuk lebih mudah menghadapai kesulitan jika dibandingkan dengan individu
yang tidak resilient. Individu yang resilient mampu membangun kembali
kehidupan mereka yang sebelumnya sempat terpuruk serta menjadikan
pengalaman tersebut sebagai sebuah kekuatan baru bagi diri mereka. Dari
definisi-definisi mengenai resiliensi diatas tersebut maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa resiliensi adalah suatu kemampuan untuk bangkit kembali,
bertahan dan menyesuaikan diri secara positif dalam menghadapi berbagai
kesulitan, tekanan, ancaman dan kemalangan (adversity) hidup.
R.
S.
T.
4. Identity Status
U. Pembentukan identity status merupakan perluasan paradigma dan
pengembangan teori psikososial Erik Homburger Erikson oleh James Marcia.
Dalam paradigma tersebut, perkembangan identity status telah menghasilkan

dua dasar dimensi, yaitu eksplorasi dan komitmen. Krisis atau disebut
eksplorasi menurut Marcia (1996) diartikan sebagai suatu masa perkembangan
identitas diri dimana remaja aktif memilih dan memilah-milah alternatif yang
berarti dan tersedia. Komitmen menurut Marcia (1996) diartikan sebagai bagian
dari perkembangan identitas diri dimana remaja menunjukkan adanya suatu
investasi pribadi berupa ketetapan pada apa yang akan dilakukan atau apa
yang

diyakininya.

Adapun

eksplorasi

dan

komitmen

digunakan

untuk

mengklasifikasikan ke-empat macam identity status menurut Marcia (1996)


sebagai berikut:
a. Achievement
V.
Remaja yang berada dalam identity status achievement telah
menyelesaikan krisis identitas mereka secara berhati-hati, mengevaluasi
sejumlah alternatif dan pilihan, dan telah menyimpulkan dan memutuskan
sendiri setiap pilihan yang akan dilakukan, karena telah melakukan
eksplorasi dan membuat komitmen sehingga telah dianggap telah
memiliki identitas diri yang ideal.
b. Foreclosure
W.
Foreclosure menggambarkan remaja yang telah membuat
suatu komitmen namun belum atau tidak mengalami krisis yang
memungkinkan mereka mengubah atau mempertimbangkan kembali
komitmen yang telah dibuatnya. Identitas ini diklasifikasikan pada remaja
yang telah membuat suatu komitmen namun tidak/belum melakukan
upaya-upaya eksplorasi.
c. Moratorium
X.
Identity status moratorium mengambarkan remaja yang
berada dalam krisis namun belum atau tidak memiliki komitmen sama
sekali atau tidak memiliki komitmen yang terlalu jelas. Identitas ini
diklasifikasikan bagi remaja yang telah melakukan eksplorasi namun
tidak/belum membuat suatu komitmen.
d. Diffusion
Y.
Identity diffusion digunakan untuk menggambarkan remaja
yang belum pernah mengalami krisis, sehingga mereka belum pernah
mengeksplorasi dan belum membuat suatu komitmen. Identity diffusion
9

atau kebinggungan identitas ini merupakankan keadaan yang bisa


berubah dan masih terbuka untuk berbagai kemungkinan dan pengaruh,
karena belum terbentuk struktur kepribadian yang kuat.
Z.
Dari keempat identity status tersebut di atas, Marcia menjelaskan
bahwa identity achievement adalah identitas tertinggi atau terbaik dari identitas
lainnya. Identity foreclosure, moratorium dan diffusion adalah serangkaian
identity status yang pada akhirnya dapat berubah menjadi identity achievement
seiring dengan ekplorasi yang dilakukan dan komitmen yang dibuat.
AA.
AB.
HIPOTESIS
1. Hipotesis Mayor I
AC.
Ada hubungan antara sense of humor, resilience dengan
psychological well-being pada remaja putus sekolah.
2. Hipotesis Minor
a. Hipotesis minor satu: Ada hubungan positif antara sense of humor dengan
psychological well-being pada remaja putus sekolah.
b. Hipotesis minor dua: Ada hubungan positif antara resilience dengan
3.

psychological well-being pada remaja putus sekolah


Hipotesis Mayor II
AD.

Ada perbedaan yang signifikan psychological well-being pada remaja

putus sekolah ditinjau dari identity status. Dimana remaja putus sekolah yang
memiliki identity status achievement memiliki psychological well-being yang lebih
baik dibandingkan dengan remaja putus sekolah dengan

identity status

foreclosure, moratorium dan diffusion.


AE.
AF.METODE PENELITIAN
AG.

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah dengan cara menyebarkan kuesioner berupa skala psikologis dengan jenis
skala likert. Penyusunan alat ukur penelitian ini melalui beberapa proses untuk
memenuhi persyaratan alat ukur yang memiliki validitas dan reliabilitas yang
baik serta tepat sasaran. Sebelum digunakan untuk mengumpulkan data, skala
terlebih dahulu telah didiskusikan dengan expert judgement yakni dosen

10

pembimbing. Melalui beberapa kali diskusi, peneliti mendapat beberapa masukan


yang sangat berarti untuk menyempurnakan skala yang siap digunakan untuk
penggalian data dilapangan. Adapun skala penelitian yang digunakan pada
penelitian ini berjumlah 4 skala 2 skala yang peneliti susun sendiri dan dua lainnya
merupakan skala adaptasi dan ke-empat skala tersebut adalah: (1) Skala
Psychological well-being (Nilai reliabilitas alpha 0,911), (2) Multidimentional sense
of humor scale (Nilai reliabilitas alpha 0,883), (3) Skala Resiliensi (Nilai reliabilitas
alpha 0,840) dan (4) Skala Identity Status (Nilai reliabilitas alpha 0,855).
AH.
AI. SUBJEK PENELITIAN
AJ.
Populasi dalam penelitian ini adalah remaja putus sekolah yang
berusia antara 14-22 tahun. Sedangkan accessible population atau populasi yang
dapat dijangkau penulis untuk sampel penelitian adalah adalah remaja putus
sekolah di Barehsos Wira Adhi Karya Kabupaten Semarang, angkatan I 2015
dengan jumlah total sebanyak 81 orang, namun karena penelitian ini dilakukan
pada bulan mei-juni 2015 yang mana merupakan bulan-bulan terakhir masa
pembinaan dan rehabilitasi di tempat tersebut maka jumlahnya berkurang hingga
tersisa 53 orang. Penelitian ini merupakan studi populasi sehingga ke 53 remaja
putus sekolah di Balai Rehabilitasi Sosial Wira Adhi Karya angkatan I tahun 2015
tersebut keseluruhannya dijadikan sebagai subjek penelitian.
AK.
AL.

HASIL DAN PEMBAHASAN


AM.
Dari hasil uji hipotesis mayor pertama pada penelitian ini menunjukan

hasil adanya korelasi antara sense of humor dan resilience dengan psychological
well-being pada remaja putus sekolah dengan nilai F h=3,376 dengan p = 042 (<
0,05) yang artinya hipotesis mayor satu pada penelitian ini yang berbunyi ada
hubungan yang signifikan antara sense of humor dan resilience dengan
psychological well-being pada remaja putus sekolah terbukti. Kemudian dari hasil
analisis, mendapatkan nilai R square sebesar 0,119 yang artinya variabel sense of
humor

dan

resilience

memberikan

kontribusi

sebesar

11,9%

terhadap

psychological well-being pada remaja putus sekolah. Dilihat dari sumbangan nilai
11

R square yakni 11,9%

maka sisanya sebesar 88,1% psychological well-being

pada remaja putus sekolah dipengaruhi oleh variabel lain di luar penelitian ini.
AN.
Berdasarkan pengujian uji hipotesis minor pertama, memperoleh
hasil tidak ada hubungan yang signifikan antara sense of humor dengan
psychological well-being pada remaja putus sekolah sehingga hipotesis minor
pertama dalam penelitian tidak terbukti. Artinya, memiliki sense of humor yang baik
belum tentu memberikan kontribusi yang baik pula bagi psychological well-being,
karena psychological well-being seseorang tidak semata-mata hanya dipengaruhi
oleh sense of humor namun demikian juga banyak dipengaruhi faktor lainnya
seperti usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, budaya, dukungan sosial dan lain
sebagainya.
AO.
Penelitian ini tidak mendapatkan korelasi yang positif antara sense of
humor dengan psychological well-being pada remaja putus sekolah. Hal tersebut,
dapat terjadi karena remaja putus sekolah dalam penelitian ini kurang memahami
manfaat dan kegunaan humor dalam konteks psikologis, seperti yang diungkapkan
Martin (2001) secara psikologis humor dapat membantu individu menjadi sehat
dan menambah semangat terutama saat mengahadapi krisis dan dalam keadaan
stres yang berat, sehingga apabila remaja putus sekolah memahami hal tersebut
akan berpengaruh pada psychological well-being-nya, namun demikian tidak
semua orang mengetahui manfaat humor bagi kesehatan psikologis. Selain dari
pada itu, sense of humor terkait dengan faktor intelegensi, dan intelegensi disini
mengacu pada intelegensi kognitif, yang artinya individu yang memiliki sense of
humor yang baik adalah individu yang memiliki intelegensi yang tinggi.
AP.
Terlihat dari hasil analisis deskriptif pada variabel sense of humor,
memperoleh hasil sebagian remaja putus sekolah memiliki sense of humor pada
tingkat sedang (88,7%), rendah (18,9%) dan tinggi (11,3%). Dari teori yang
diungkapkan oleh Thorson dan Powell (1993) individu yang memiliki skor sense of
humor tinggi terkait dengan kebahagiaan (well-being) dan kepuasan hidupnya
namun hal tersebut tidak terbukti pada penelitian ini. Seperti yang terlihat dari
prosentase di atas sebagian besar responden penelitian ini memiliki sense of
humor yang sedang dan hanya 11,3% yang memiliki sense of humor tinggi

12

sehingga angka tersebut ketika di korelasikan dengan psychological well-being


tidak mendapati adanya korelasi yang signifikan.
AQ.
Dari hasil uji hipotesis Minor kedua, diperoleh hasil ada hubungan
yang signifikan antara resilience dengan psychological well-being pada remaja
putus sekolah dengan nilai pearson correlation 0,341 p= 0,006 (<0,05) yang
artinya hipotesis minor kedua yang diajukan terbukti dengan arah hubungan positif,
dengan kata lain semakin tinggi resiliensi yang dimiliki remaja putus sekolah
semakin tinggi pula psychological well-being-nya. Bagi remaja putus sekolah,
kemampuan resiliensi dianggap penting karena dinamika kehidupan sebagai
remaja putus sekolah yang kompleks dan membutuhkan kapasitas untuk
mengatasi tuntutan dan permasalahan hidup yang semakin berat, seperti sulitnya
mencari perkerjaan, masalah finansial, masalah dengan orang tua dan teman, dan
lain

sebagainya. Akibatnya,

pengalaman

remaja

putus

sekolah

tersebut

meningkatkan tingkat stres dan bahkan berujung pada depresi. Remaja putus
sekolah yang memiliki kemampuan resiliensi yang baik, maka akan mengalami
emosi negatif yang lebih sedikit ketika menghadapi situasi sulit serta kembali pulih
ke level emosi positif, sedangkan

psychological well-being ditandai dengan

dominannya emosi positif dari pada emosi negatif yang dirasakan. Dengan kata
lain, remaja putus sekolah yang resilient dapat cepat pulih dari segala
permasalahan hidup yang dialami dan berkompetensi lebih bahagia jika
dibandingkan dengan remaja putus sekolah yang tidak resilient.
AR.
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis mayor kedua melalui uji
perbedaan One-way Anova, memperoleh hasil ada perbedaan yang signifikan
psychological well-being antara remaja putus sekolah yang memiliki identity
achievement, foreclosure, moratorium dan diffusion dengan nilai Fhitung= 4,118 p=
0,011(<0,05). Sehingga dapat ditarik kesimpulan hipotesis mayor kedua dalam
penelitian ini diterima atau terbukti. Pembentukan identitas telah lama dianggap
sebagai aspek penting dari perkembangan individu dan psychological well-being.
Banyak literatur psikologi telah difokuskan pada karakteristik istimewa yang
membedakan individu yang satu dengan lainnya. Hasil penelitian ini membuktikan
bahwa hipotesis mayor kedua terbukti, artinya ada perbedaan yang signifikan
13

psychological well-being pada remaja putus sekolah ditinjau dari identity status
sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan identity status dapat dijadikan sebagai
pembeda bagi psychological well-being pada remaja putus sekolah. Dengan kata
lain remaja putus sekolah yang bahagia dan tidak bahagia dapat dilihat dari
identity status-nya. Hal tersebut sesuai dengan yang dinyatakan oleh Waterman
(2007) bahwa identity status dapat digunakan sebagai salah satu indikator dari tiga
konsep well-being dan salah satunya adalah psychological well-being.
AS.
Dari hasil analisis statistik, diketahui nilai mean dan standart deviasi
dari masing-masing identity status antara lain achievement (M = 70,93 & SD =
10,727), foreclosure (M=60 & SD =8,672), moratorium (M=61 & SD=14,883) dan
diffusion (M=58,78 & SD=10,804), jika dilihat dari perolehan nilai mean diatas
achievement dan moratorium memiliki psychological well-being yang lebih baik dari
pada foreclosure dan diffusion. Selanjutnya dari hasil pengujian lanjut dengan post
hoc test LSD diperoleh hasil bahwa ada perbedaan yang signifikan antara remaja
putus sekolah yang memiliki identity achievement dengan foreclosure (MD
=10,933). Hasil penelitian ini juga mendapatkan hasil adanya perbedaan
psychological well-being antara remaja putus sekolah yang memiliki identity
achievement dengan diffusion (MD = 12,156/p=0,001 < 0,05). Dengan demikian,
remaja putus sekolah yang sudah mencapai pembentukan identitas diri yang ideal
dan memiliki identitas yang stabil karena telah melalui fase ekplorasi dan
komitmen (achievement) lebih psychological well-being jika dibandingkan dengan
remaja yang masih mengalami krisis idetitas (diffusion). Artinya remaja putus
sekolah yang memiliki identity achievement memiliki psychological well-being yang
lebih baik jika dibandingkan dengan remaja putus sekolah yang memiliki identity
diffusion. Menurut Adams (1998, h.360) remaja yang memiliki identity achievement
lebih memiliki penerimaan diri yang baik, mandiri, serta mampu membina
hubungan interpersonal dengan orang lain yang mana itu merupakan dimensi yang
membentuk psychological well-being seseorang.
AT.
Namun penelitian ini juga mendapatkan hasil ada perbedaan yang
signifikan psychological well-being antara remaja putus sekolah yang memiliki
identity achievement dan foreclosure (MD=10,933/p=0,045< 0,05). Dimana remaja
14

putus sekolah yang memiliki identity achievement memiliki psychological wellbeing yang lebih baik dibandingkan dengan remaja putus sekolah yang memiliki
identity foreclosure, hal tersebut dibuktikan dari nilai mean kedua. Secara umum
komitmen pada foreclosure diasosiasikan dengan pengaruh kuat dari orang tua
maupun lingkungan, selain itu Waterman (2007) berpendapat remaja yang
memiliki identity status foreclousure memiliki karakteristik norm orientation
(berorientasi pada norma), dan secara emosional tidak stabil, karena mengalami
kesulitan dalam hal ekplorasi. Dari gambaran mengenai karakteristik identity
foreclosure tersebut, remaja putus sekolah yang memiliki identity status
foreclosure akan sulit untuk mencapai kondisi psychological well-being, karena
kondisi psychological well-being tidak serta merta terjadi begitu saja tetapi
diperlukan upaya-upaya untuk mencapainya dan salah satunya adalah dengan
melakukan eksplorasi.
AU.
AV.SARAN
AW.
Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan dan kesimpulan yang
diperoleh maka dapat dikemukakan saran-saran sebagai berikut:
1. Hasil penelitian ini mendapati adanya hubungan antara sense of humor,
resilience dengan psychological well-being pada remaja putus sekolah,
melihat besarnya manfaat yang diperoleh apabila individu memiliki sense of
humor dan resilience bagi psychological well-being maka saran bagi Balai
Rehabilitasi Sosial Wira Adhi Karya untuk melibatkan aspek humor pada
pemberian layanan dan memberikan pemahaman mengenai manfaat humor
dan pentingnya memiliki karakter kepribadian yang

resilient untuk

mewujudnya kondisi yang psychological well-being pada remaja putus


sekolah.
2. Sebagian besar remaja putus sekolah pada penelitian ini memiliki identity
diffusion sehingga peneliti menyarankan untuk memberikan pemahaman
mengenai pentingnya masa perkembangan khusunya perkembangan
identitas diri dan cara-cara membentuk identitas diri yang ideal, salah
satunya adalah dengan modeling atau imitasi yakni dengan memberikan

15

contoh atau teladan yang baik sehingga patut dicontoh dan ditiru oleh para
remaja putus sekolah.
3. Bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lanjut agar
mempertimbangkan keterbatasan dalam penelitian ini maupun mengkaji
lebih banyak sumber dan referensi yang terkait dengan psychological wellbeing pada remaja putus sekolah.
AX.

16

AY.
AZ. DAFTAR PUSTAKA
BA.
BB.
BC. Adams, G.R. 1998. Identity: A Brief Critique of a Cybernetic Model. Journal
of adolescent research. Vo.12, 358-362
BD. Ballenger-Browning, K.K. & Johnson, D.C. 2010. Key Facts on Resilience.
Naval Center for Combat Operational Stress Control (NCCOSC).
BE. Creed, P.A, Muller, J. & Patton, W. 2009. Leaving high school: The
influence and consequences for psychological well-being and careerrelated confidence. School of Applied Psychology: Griffith University.
BF. Creed, P.A. & Evans, B.M. 2004. Personality,Well-Being and Deprivation
Theory. School of Applied Psychology: Griffith University.
BG. Eckstein, Z., & Wolpin, K I. 1999. Why Youths Drop Out of High School: The
Impact of Preferences, Opportunities, and Abilities. Econometrica. Vol. 67.
No.VI
BH. Marcia, J.E. 1996. Development and Validation of Ego Identity Status.
Journal of personality and social psychology. Vol.3, no.5. 551-558
BI.

Martin, R.A. 1998. Sense of Humor. Handbook of Positive Psychological


Assessment: University of Western Ontario. Canada

BJ. Morreal. G.A. 1982. Response to Humor, Journal Scientific American.


No.6, 31-35
BK. Noble, T., & McGrath, H. 2005.

Emotional growth Helping children and

families bounce-back. Australian Family Physician, Volume: 34, 749752.


BL. Ryan, R.M & Deci, E.L. 2001. On Happiness and Human Potentials: A
Review of Research on Hedonic and Eudaimonic Well-Being. Annu. Rev.
Psychol. University of Illinois. 52:141166

BM. Ryff, C.D & Keyes, C.L.M. 1995. The Structure of Psychological Well-Being
Revised. Journal of Personality and Social psychology. Vol:69, No.4.719727
BN. Santrock, John W. 2014. Adolescence, fifteenth edition. New York City:
McGraw-Hill education.
BO. Siebert, A.L. 2005. The Resiliency advantage: Master change, thrive
under pressure and bounce back from setbacks. San Francisco: BerretKoehler Publisher,Inc.
BP.Sugiyono. 2010. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta
BQ. Thorson, J.A & Powell, F.C. 1993. Sense of humor and Dimension of
Personality. Journal of Clinical Psychology. Vol.49. N.6. 798-810
BR. Waterman, A.S. 1988. Identity status theory and Eriksons theory:
Communalities and differences. Developmental review. vol:8,185-208
BS. ____________ .2007. Doing Well: The Relationship of Identity Status to
Three Conceptions of Well-Being. Lawrence Erlbaum Associates Inc.
vol:7,No.4, 289307
BT.
BU.
BV.

You might also like