Professional Documents
Culture Documents
Tugas Konservasi Arsitektur
Tugas Konservasi Arsitektur
1. PENGERTIAN KONSERVASI
Secara harfiah, konservasi berasal dari bahasa Inggris yaitu Conservation yang terdiri atas kata
con dan servare yang memiliki pengertian upaya memelihara apa yang kita punya namun secara
bijaksana.
Pengertian Konservasi menurut berbagai sumber :
a. Konservasi adalah segenap proses pengelolaan suatu tempat agar makna kultural yang
dikandungnya terpelihara dengan baik (Piagam Burra, 1981).
b. Konservasi adalah pemeliharaan dan perlindungan terhadap sesuatu yang dilakukan secara
teratur untuk mencegah kerusakan dan kemusnahan dengan cara pengawetan (Peter Salim dan
Yenny Salim, 1991).
c. Konservasi itu sendiri merupakan berasal dari kata Conservation yang terdiri atas kata con
(together) dan servare (keep/save) yang memiliki pengertian mengenai upaya memelihara apa
yang kita punya (keep/save what you have), namun secara bijaksana (wise use). Ide ini
dikemukakan oleh Theodore Roosevelt (1902) yang merupakan orang Amerika pertama yang
mengemukakan tentang konsep konservasi.
d. Sedangkan menurut Rijksen (1981), konservasi merupakan suatu bentuk evolusi kultural
dimana pada saat dulu, upaya konservasi lebih buruk daripada saat sekarang.
Dalam konteks luas Konservasi merupakan proses pengelolaan suatu tempat agar makna
kultural yang terkandung dapat terjaga dengan baik meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan
sesuai kondisi lokal.
Konservasi Arsitektur adalah Upaya pelestarian / pemeliharaan hal yang bersangkutan dengan
dunia arsitektur. baik itu merupakan sebuah kawasan ,maupun didalam sebuah gedung , dengan
tujuan agar dapat melestarikan / memelihara bangunan yang utuh dapat dipertahankan.
2. SASARAN KONSERVASI
1.
2.
3. Mengarahkan perkembangan masa kini yang diselaraskan dengan perencanaan masa lalu,
tercermin dalam obyek pelestarian
4. Menampilkan sejarah pertumbuhan lingkungan kota, dalam wujud fisik tiga dimensi.
Kawasan (Districts)
5.
6. Bangunan (Buildings)
7. Benda dan Penggalan (Object and Fragments)
4. MANFAAT KONSERVASI :
1. Memperkaya pengalaman visual
2. Memberi suasana permanen yang menyegarkan
3. Memberi kemanan psikologis
4.
Mewariskan arsitektur
Bangunan-bangunan atau dari bagian kota yang dilestarikan karena mewakili prestasi
khusus dalam suatu gaya sejarah tertentu.Tolak ukur estetika ini dikaitkan dengan nilai
estetis dari arsitektonis: bentuk, tata ruang dan ornamennya.
2. KEJAMAKAN
Bangunan-bangunan atau bagian dari kota yang dilestarikan karena mewakili satu kelas
atau jenis khusus bangunan yang cukup berperan. Penekanan pada karya arsitektur yang
mewakili ragam atau jenis yang spesifik.
3. KELANGKAAN
Bangunan yang hanya satu dari jenisnya, atau merupakan contoh terakhir yang masih
ada. Karya langka atau satu-satunya di dunia atau tidak dimiliki oleh daerah lain.
4. KEISTIMEWAAN
Bangunan-bangunan ruang yang dilindungi karena memiliki keistimewaan, misalnya
yang tertinggi, tertua, terbesar pertama dan sebagainya
5. PERANAN SEJARAH
Bangunan-bangunan dari lingkungan perkotaan yang merupakan lokasi-lokasi bagi
peristiwa-peristiwa bersejarah yang penting untuk dilestarikan sebagai ikatan simbolis
antara peristiwa terdahulu dan sekarang.
6. MEMPERKUAT KAWASAN
Bangunan-bangunan dan di bagian kota yang karena investasi di dalamnya, akan
mempengaruhi kawsan-kawasan di dekatnya, atau kehadiratnya bermakna untuk
meningkatkan kualitas dan citra lingkungan sekitarnya.
7. Peran Arsitek Dalam Konservasi :
Internal :
1. Meningkatkan kesadaran di kalangan arsitek untuk mencintai dan mau memelihara
warisan budaya berupa kawasan dan bangunan bersejarah atau bernilai arsitektural tinggi.
2. Meningkatkan kemampuan serta penguasaan teknis terhadap jenis-jenis tindakan
pemugaran kawasan atau bangunan, terutama teknik adaptive reuse
3. Melakukan penelitian serta dokumentasi atas kawasan atau bangunan yang perlu
dilestarikan.
Eksternal :
1. Memberi masukan kepada Pemda mengenai kawasan-kawasan atau bangunan yang perlu
dilestarikan dari segi arsitektur.
2. Membantu Pemda dalam menyusun Rencana Tata Ruang untuk keperluan pengembangan
kawasan yang dilindungi (Urban Design Guidelines)
dan menjadikan bangunan tersebut laik fungsi dan memenuhi persyaratan teknis. (Ref.
UNESCO.PP. 36/2005).
8. Konsolidasi ialah kegiatan pemugaran yang menitikberatkan pada pekerjaan memperkuat,
memperkokoh struktur yang rusak atau melemah secara umum agar persyaratan teknis banguna
terpenuhi dan bangunan tetap laik fungsi. Konsolidasi bangunan dapat juga disebut dengan
istilah stabilisasi kalau bagian struktur yang rusak atau melemah bersifat membahayakan
terhadap kekuatan struktur.
9. Revitalisasi ialah kegiatan pemugaran yang bersasaran untuk mendapatkan nilai tambah yang
optimal secara ekonomi, sosial, dan budaya dalam pemanfaatan bangunan dan lingkungan cagar
budaya dan dapat sebagai bagian dari revitalisasi kawasan kota lama untuk mencegah hilangnya
aset-aset kota yang bernilai sejarah karena kawasan tersebut mengalami penurunan produktivitas.
10. Pemugaran adalah kegiatan memperbaiki atau memulihkan kembali bangunan gedung dan
lingkungan cagar budaya ke bentuk aslinya dan dapat mencakup pekerjaan perbaikan struktur
yang bisa dipertanggungjawabkan dari segi arkeologis, histories dan teknis. (Ref. PP.36/2005).
Kegiatan pemulihan arsietktur bangunan gedung dan lingkungan cagar budaya yang disamping
perbaikan kondisi fisiknya juga demi pemanfaatannya secara fungsional yang memenuhi
persyaratan keandalan bangunan.
1. PELESTARIAN LINGKUNGAN DAN BANGUNAN KUNO DI KAWASAN PEKOJAN
JAKARTA
Pekojan yang lahir hampir bersamaan dengan lahirnya Kota Jakarta. Kawasan Pekojan
pada era Kolonial Belanda lebih dikenal sebagai kampung Arab. Sebelum ditetapkan sebagai
kampung Arab pada abad ke-18 oleh Pemerintah Hindia Belanda, Pekojan merupakan tempat
tinggal warga Koja (Muslim India). Mayoritas penduduk yang berdagang dan bermukim di
kawasan ini adalah orang India, sehingga dinamakan Pekojan yang berarti tempat tinggal orang
Koja.
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 475 tahun 1993 tentang
Penetapan Bangunan-bangunan Bersejarah di DKI Jakarta sebagai Benda Cagar Budaya
menyebutkan bahwa di Kawasan Pekojan terdapat 16 buah bangunan yang dilindungi, berupa
masjid dan rumah tinggal berlanggam Cina yang dibangun pada abad ke-17 hingga ke-19.
Gejala penurunan kualitas dapat dengan mudah diamati pada fisik kawasan kota
bersejarah/tua, karena sebagai bagian dari perjalanan sejarah (pusat kegiatan perekonomian dan
sosial budaya), kawasan kota tua tersebut umumnya berada dalam tekanan pembangunan
(Serageldin, 2000). Menurunnya kuantitas dan kualitas ruang terbuka publik yang ada di
perkotaan, baik berupa ruang terbuka hijau (RTH) dan ruang terbuka non hijau telah
mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan perkotaan. Menurunnya kualitas dan kuantitas
ruang terbuka hijau menimbulkan dampak antara lain sering terjadinya banjir, tingginya polusi
udara, meningkatnya kriminalitas, menurunnya produktivitas masyarakat (Konsep Ruang
Terbuka Hijau Perkotaan, 2008).
Kawasan Pekojan kini termasuk ke dalam kawasan yang mengalami gejala penurunan
kualitas lingkungan. Penurunan kualitas lingkungan di Kawasan Pekojan terlihat dari
menurunnya kuantitas dan kualitas ruang terbuka hijau dan penurunan tingkat aksesibilitas.
Berdasarkan pengamatan awal, penurunan kuantitas dan kualitas ruang terbuka hijau di Kawasan
Pekojan terlihat dari luasan ruang terbuka hijau yang berkurang dari 10% (3,8 km2) pada tahun
1960-an hingga kurang dari 1% (0,3 km2) pada tahun 2008. Sebagian besar ruang terbuka hijau
yang ada dikonversi menjadi jalan raya, dan permukiman baru.
Penurunan tingkat aksesibilitas kawasan juga mengakibatkan menurunnya kualitas
lingkungan bersejarah. Hambatan sirkulasi kendaraan di Kawasan Pekojan terjadi di Jl. Pekojan
Raya, Jl. Pekojan I, Jl. Pejagalan Raya, dan Jl. Pejagalan I.
Penurunan kualitas lingkungan bersejarah juga ditandai dengan rusaknya beberapa
bangunan kuno di Kawasan Pekojan. Menurut pengamatan tahun 2007, sekitar 75% dari 16
bangunan cagar budaya yang ada di Kawasan Pekojan dalam kondisi rusak dan tidak terawat.
Bangunan-bangunan yang rusak tersebut dikhawatirkan akan segera hancur jika tidak ada upaya
pemugaran kawasan. Upaya pemugaran perlu dilakukan guna melindungi dan mempertahankan
bangunan kuno yang menjadi ciri khas dan mencerminkan karakter Kawasan Pekojan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dibutuhkan suatu kajian mengenai faktor-faktor
yang menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan dan bangunan di Kawasan Pekojan
Jakarta. Penelitian berjudul Pelestarian Lingkungan dan Bangunan Kuno di Kawasan Pekojan
Jakarta akan mencakup aspek historis kawasan, karakteristik lingkungan, karakteristik
bangunan kuno, pengukuran kualitas lingkungan dan bangunan kuno, faktor-faktor penyebab
penurunan kualitas lingkungan dan bangunan kuno, serta arahan pelestarian dalam melindungi
dan mempertahankan lingkungan dan bangunan kuno di Kawasan Pekojan.
Karakter dan Kualitas Lingkungan dan Bangunan Kuno di Kawasan Pekojan Sejarah Kawasan
Pekojan
Pekojan merupakan salah satu kampung tua di Kota Jakarta. Kampung Pekojan terletak
di sebelah barat Pusat Kota Batavia (Kawasan Kota kini), berdampingan dengan lahan pertanian
(Gambar 2.).
Kata Pekojan berasal dari kata Koja yang mengaju pada nama sebuah tempat di India.
Penduduk Koja di India pada umumnya adalah orang yang senang berdagang sekaligus
menyiarkan agama Islam ke berbagai belahan dunia, termasuk ke Batavia. Para pedagang dari
Koja yang merantau ke Batavia bermukim di kawasan ini. Kawasan ini kemudian dinamakan
Pekojan, yang berarti tempat tinggal orang-orang Koja. Selain, para pendatang dari India,
Pekojan juga dihuni oleh pendatang dari Yaman Selatan. Para pendatang yang berasal dari
Hadramaut (Yaman Selatan), oleh Pemerintah Hindia Belanda diwajibkan lebih dulu tinggal di
Kawasan Pekojan. Setelah menetap beberapa lama di Pekojan, barulah para pendatang kemudian
menyebar ke berbagai daerah di Batavia.
Pada abad ke-18, Kawasan Pekojan didominasi oleh warga keturunan Arab dan India.
Tetapi kemudian, selama masa migrasi orang-orang dari Hadramaut, populasi Mulim Arab di
Pekojan meningkat. Pemerintah Hindia Belanda pada abad ke-18 kemudian menetapkan
Kawasan Pekojan sebagai Kampung Arab.
Selama masa pemerintahan Hindia Belanda, warga Muslim Arab tidak hanya diwajibkan
untuk tinggal di Pekojan, tetapi mereka juga harus memiliki passport (surat ijin) untuk
meninggalkan kawasan ini, yang dinamakan sistem wijken-en passen stelsen. Selain itu, para
pria diwajibkan memakai pakaian yang menjadi identitas kaum Muslim Arab, seperti penutup
kepala pada kaum laki-laki
dasar negara, maka Konstituante itu dibubarkan oleh Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959.
Selanjutnya, Gedung Merdeka dijadikan tempat kegiatan Badan Perancang Nasional dan
kemudian menjadi Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang terbentuk
tahun 1960. Meskipun fungsi Gedung Merdeka berubah-ubah dari waktu ke waktu sejalan
dengan perubahan yang dialami dalam perjuangan mempertahankan, menata, dan mengisi
kemerdekaan Republik Indonesia , nama Gedung Merdeka tetap terpancang pada bagian muka
gedung tersebut.
Pada tahun 1965 di Gedung Merdeka dilangsungkan Konferensi Islam Asia Afrika. Pada
tahun 1971 kegiatan MPRS di Gedung Merdeka seluruhnya dialihkan ke Jakarta . Setelah
meletus pemberontakan G30S/ PKI, Gedung Merdeka dikuasai oleh instansi militer dan sebagian
dari gedung tersebut dijadikan sebagai tempat tahanan politik G30S/ PKI. Pada bulan Juli 1966,
pemeliharaan Gedung Merdeka diserahkan oleh pemerintah pusat kepada Pemerintah Daerah
Tingkat I Propinsi Jawa Barat, yang selanjutnya oleh Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Jawa
Barat diserahkan lagi pelaksanaannya kepada Pemerintah Daerah Tingkat II Kotamadya
Bandung. Tiga tahun kemudian, tanggal 6 Juli 1968, pimpinan MPRS di Jakarta mengubah surat
keputusan mengenai Gedung Merdeka (bekas Gedung MPRS) dengan ketentuan bahwa yang
diserahkan adalah bangunan induknya, sedangkan bangunan-bangunan lainnya yang terletak di
bagian belakang Gedung Merdeka masih tetap menjadi tanggung jawab MPRS.
Pada Maret 1980 Gedung ini kembali dipercayakan menjadi tempat peringatan
Konferensi Asia Afrika yang ke-25 dan pada Puncak peringatannya diresmikan Museum
Konferensi Asia Afrika oleh Soeharto Presiden Republik Indonesia 2.
dua arsitektur Belanda yang terkenal pada masa itu, Gedung ini kental sekali dengan nuansa art
deco dan gedung megah ini terlihat dari lantainya yang terbuat dari marmer buatan Italia yang
mengkilap, ruangan-ruangan tempat minum-minum dan bersantai terbuat dari kayu cikenhout,
sedangkan untuk penerangannya dipakai lampu-lampu bias kristal yang tergantung gemerlapan.
Gedung ini menempati areal seluas 7.500 m2.
Gambar 1. Hotel Indonesia saat renovasi 2007 Gambar 2. Hotel Indonesia 2008