KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 933/MENKES/SK/VII/2010
TENTANG
PEDOMAN TATA LAKSANA FLU BURUNG DI RUMAH SAKIT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa Keputusan _Menteri_ = Kesehatan Nomor
Mengingat
155/Menkes/SK/II/2007 tentang: Pedoman
Penatalaksanaan Flu Burung di Rumah Sakit sudah tidak
sesuai lagi dengan ketentuan mengenai tata laksana flu
burung berdasarkan World Health Organization (WHO);
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada butir a perlu menetapkan Pedoman Tata laksana Flu
Burung di Rumah Sakit dengan Keputusan Menteri
Kesehatan;
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah
Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1984 Nomor 20, Tambaran Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3273);
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5063);
3. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah
Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5072);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991 tentang
Penanggulangan Penyakit Menular (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3447);MENTERI KESEHATAN
JBLIK INDONESIA,
5. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang
Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan
Minimal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2005 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4585);
6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
560/Menkes/Per/VIII/1989 tentang Jenis _ Penyakit
Tertentu yang Dapat Menimbulkan Wabah, Tata Cara
Penyampaian Laporannya dan Tata Cara Penanggulangan
Seperlunya;
7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1575/Menkes/Per/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Departemen Kesehatan sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
439/Menkes/Per/VI/2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1575/Per/Menkes/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Departemen Kesehatan;
8. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
147 /Menkes/Per/I/2010 tentang Perizinan Rumah Sakit;
9. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1371/Menkes/SK/IX/2005 tentang Penetapan Flu Burung
sebagai Penyakit yang Dapat Menimbulkan Wabah serta
Pedoman Penanggulangannya;
10. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
300/Menkes/SK/1V/2009 tentang Pedoman
Penanggulangan Episenter Pandemi Influenza;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
KESATU : KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN TENTANG
PEDOMAN TATA LAKSANA FLU BURUNG DI RUMAH
SAKIT.
KEDUA : Pedoman Tata laksana Flu Burung di Rumah Sakit
sebagaimana dimaksud dalam Diktum Kesatu tercantum
dalam Lampiran Keputusan ini.KETIGA
KEEMPAT
KELIMA
KEENAM
TERI KESEHATAN
IBLIK INDONESIA
Pedoman sebagaimana dimaksud dalam Diktum Kedua agar
digunakan sebagai acuan bagi Rumah Sakit dalam
memberikan pelayanan kesehatan terhadap _ pasien
penderita flu burung.
Pembinaan dan Pengawasan pelaksanaan Keputusan ini
dilakukan oleh Dinas Kesehatan Propinsi dan Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota.
Pada saat Keputusan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 155/Menkes/SK/II/2007 __ tentang
Pedoman Penatalaksanaan Flu Burung di Rumah Sakit
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juli 2010Lampiran
Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor : 933/MENKES/SK/VI/2010
Tanggal : 21 Juli 2010
PEDOMAN TATA LAKSANA FLU BURUNG DI RUMAH SAKIT
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Flu Burung (Avian Influenza, Al) adalah infeksi yang disebabkan oleh virus
influenza A subtipe HSN1 (H-hemaglutinin, N-neuraminidase) yang pada
umumnya menyerang unggas (burung dan ayam). Pada buku ini yang dibahas
adalah Flu Burung (HSN1) yang disebabkan oleh virus influenza A subtipe HSN1
pada manusia.
Menurut para ahli penularan HSN1 dapat berubah menjadi penularan antar
manusia bila virus mengalami perubahan genetik melalui mutasi atau
percampuran materi genetik HSN1 dengan materi genetik influenza lainnya (re-
assortment) membentuk subtipe baru yang dapat menyebabkan terjadinya
pandemi.
Pada abad 20 telah terjadi 3 kali pandemi influenza yaitu Spanish flu (1918) yang
disebabkan influenza A (HIN1) menelan korban 40-50 juta jiwa, 50% diantaranya
usia muda dan kematian terjadi beberapa hari setelah terinfeksi. Asian flu (1957)
yang disebabkan oleh virus influenza A (H2N2) menimbulkan kematian 1 juta jiwa.
Hong Kong flu (1968) yang disebabkan oleh virus influenza (H3N3), menelan
korban 1 juta jiwa.
Pada tahun 1997 infeksi Flu Burung (HSN1) telah menular dari unggas ke
manusia dan sejak saat itu telah terjadi 3 kali KLB infeksi virus influenza A
subtipe HSN1. Flu Burung (HSN1) pada manusia pertama kali ditemukan di
Hongkong pada tahun 1997 yang menginfeksi 18 orang, diantaranya 6 orang
pasien meninggal dunia. Awal tahun 2003 ditemukan 2 orang pasien dengan 1
orang meninggal. Virus ini kemudian menyebar di Asia sejak pertengahan
Desember 2003 sampai sekarang. Data Flu Burung (HSN) dunia (WHO,
Desember 2009) adalah 477 kasus, 282 kasus meninggal dunia. Di Indonesia
terdapat 162 kasus terkonfirmasi dan 134 orang diantaranya meninggal (CFR
82,71 %, Kemenkes RI Desember 2009). Dalam perkembangannya telah terjadi
penurunan jumlah kasus Flu Burung (HSN1) pada manusia yaitu tahun 2008
jumlah kasus 28, menurun 42,8 % dibanding dengan tahun 2007 (45 kasus), dant
menurun 56,3 % dibanding dengan tahun 2006 (55 kasus)
Pada 11 Juni 2009, WHO mendeklarasikan pandemi (fase VI) virus influenza bara
HINI, suatu pandemi influenza yang dimulai dari Mexico.
Sampai saat ini secara epidemiologis dan virologis belum terdapat penularan
antar manusia yang efisien dan berkelanjutan. Di Indonesia, virus ini menyerang
ternak ayam sejak Oktober 2003 sampai Februari 2004 dan dilaporkan sebanyak
4,7 juta ayam mati namun belum menyerang manusia. Flu Burung (HSN1) pada
manusia di Indonesia terjadi pertama kali pada bulan Juli 2005. Indonesia
menempati urutan teratas kasus Flu Burung (HSN1) di dunia dengan jumlahTER! KESEHATAN
UUBLIK INDONESIA
kasus sampai akhir bulan Desember 2009 sebanyak 162 kasus dengan angka
kematian 82,71%.
Saat ini H5N1 di Indonesia memasuki fase Ill influenza pandemi yaitu terjadi
infeksi dari unggas ke manusia sedangkan penularan dari manusia ke manusia
tidak ada atau penularan yang sangat terbatas hanya pada kontak erat.
Pedoman Tata laksana Flu Burung (H5N1) di Rumah Sakit merupakan revisi
dari Pedoman Penatalaksanaan Flu Burung di Rumah Sakit terdahulu yang
ditetapkan dengan Keputusan - Menteri_~—-Kesehatan. —_ Nomor
155/Menkes/SK/II/2007. Pedoman ini dapat dipakai sebagai acuan oleh petugas
Kesehatan dalam memberikan pelayanan Klinis kepada pasien Flu Burung (H5N1).
Dalam pedoman ini juga dibahas tentang tata laksana sebelum dirujuk ke Rumah
Sakit rujukan Flu Burung,
Tojuan
1, Tajuan Umum
‘Sebagai acuan tata laksana Flu Burung (HSN1) di rumah sakit dalam rangka
meminimalkan kesakitan, kematian dan penyebarannya.
2. Tujuan Khusus
a. Memberi informasi tentang pengertian umum Flu Burung (HSN1) dan cara
penularannya.
b. Memberi petunjuk penegakan diagnosis di rumah sakit.
c. Memberi petunjuk pengobatan dan perawatan pasien Flu Burung (HSN1)
di rumah sakit.
d. Memberi petunjuk pencegahan dan pengendalian infeksi.
e. Memberi petunjuk pemulangan pasien Flu Burung (HSN1) yang dirawat
dan tindak lanjut.
f. Memberi petunjuk tata cara pemulasaraan jenazah pasien Flu Burung
(H5N1).
g. Memberi petunjuk tentang profilaksis bagi petugas kesehatan.
Ruang Lingkup
Ruang lingkup pelayanan dalam pedoman ini adalah pelayanan di rumah sakit
rujukan dan non rujukan.
PENYAKIT FLU BURUNG (H5N1)
Epidemiologi
WHO melaporkan sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 kasus konfirm Flu
Burung pada manusia di Indonesia sebanyak 162 terkonfirmasi dengan jumlah
kematian 134 orang. Berikut ini adalah data sebaran kasus Flu Burung di
Indonesia, sejak pertama kali ditemukan di IndonesiaTabel 1; Data sebaran kasus Flu Burung (H5N1) pada manusia di Indonesia
sampai dengan Desember 2009
2007
pra
8437
7 \40 pe 79.41 |
1 (12 {11 [ 90.90!
(20 13 55 (45 [42 (37 pis 21
Sumber: Kementerian Kesehatan RI -
Catatan:
P-Jumlah pasien, M=Jumlah kematian
CFR = Case Fatality Rate
i ae
EPI A [39
fr o 6 6 71.43 |
Pt
fo 0
fo 0
19 162 134 | 82.71
6REPUBLIK INDONESIA
Gambar 1. Gambaran geografik Flu Burung (HSN1) di Indonesia, Juni 2005 -
Desember 2009 (P = Pasien, M = Meninggal)
Sumber : Kementerian Kesehatan
Penyebaran Geografis Flu Burung Pada Manusia di Indonesia
Pemutakhiran Akhir Desember 2009
Gambar di atas menunjukkan bahwa terdapat kasus-kasus terkonfirmasi di 13
provinsi, akan tetapi dari Januari 2009 sampai dengan Desember 2009 hanya
terdapat di 7 provinsi yaitu Riau, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah,
D.1 Yogyakarta, Jawa Timur.
B. Etiologi
Virus influenza merupakan anggota keluarga Orthomyxoviridae, terdiri dari 3. tipe
A, B dan C. Virus influenza tipe A dapat menyebabkan Flu Burung (HSN1), yang
dapat menyerang manusia dan hewan, gejala ringan sampai berat, mudah
menular dan dapat menyebabkan pandemi. Virus influenza tipe B dapat
menyerang manusia tetapi gejala ringan sampai sedang. Pada permukaan virus
terdapat 2 glikoprotein, yaitu hemaglutinin (H) dan neuroaminidase (N) yang
menentukan subtipe virus influenza A. Hingga saat ini telah ditemukan H1 sampai
H16 dan N1 sampai N9. Virus influenza tipe C mempunyai gejala yang ringan dan
jarang ditemukan pada manusia.“ERI KESEHATAN
!BLIK INDONESIA
Virus influenza A subtipe Flu Burung (H5N1) mempunyai sifat_ sebagai berikut :
1. Dapat bertahan hidup di air sampai 4 hari pada suhu 22°C dan lebih dari 30
hari pada suhu 0°C
2. Di dalam tinja unggas dan dalam tubuh unggas sakit, dapat hidup lama,
tetapi mati pada pemanasan 60° C selama 30 menit, 56° C selama 3 jam dan
pemanasan 80° C selama 1 menit.
3. Mati dengan deterjen/sabun, desinfektan misalnya formalin, karbol, kaporit,
kKlorin dan cairan yang mengandung iodin atau alkohol 70%.
‘Transmisi
1. Sumber Penularan
Penularan penyakit ini kepada manusia dapat melalui
a. Binatang : Kontak langsung dengan unggas atau binatang lain yang sakit
atau produk unggas yang sakit.
b. Lingkungan : Udara atau peralatan yang tercemar virus tersebut baik
yang berasal dari tinja atau sekret unggas yang terserang Flu Burung
(HSN1).
c. Manusia : Penularan antar manusia sangat terbatas dan tidak efisien.
d. Makanan : Mengonsumsi produk unggas mentah atau yang tidak
dimasak dengan sempurna di wilayah yang dicurigai atau dipastikan
terdapat hewan atau manusia yang terinfeksi H5N1 dalam satu bulan
terakhir.
2. Cara Penularan
a. Melalui_percikan (droplet transmission), merupakan cara penularan
utama. Percik respiratori berukuran besar (>5y1m) yang dikeluarkan pada
saat pasien batuk/bersin/bicara. Jangkauan percik ini <1m.
b. Melalui kontak (contact transmission), dapat terjadi secara langsung atau
tidak langsung.
c. Melalui_udara (airborne transmission). Selain percik berukuran besar,
pasien juga menyebarkan percik renik (droplet nuclei) berukuran < 5 pm
yang dapat melayang jauh (airborne). Percik ini juga dapat timbul pada
saat tindakan yang merangsang timbulnya percik renik seperti berikut:
i, Intubasi endotrakheal
ii, Pemberian terapi dalam bentuk nebulizer atau aerosol.
Terapi ini tidak dianjurkan pada pasien Flu Burung (HSN1) jika
kewaspadaan airborne tidak dapat dijamin.
Bronkhoskopi
Pengisapan jalan napas (suction)
Trakheostomi
Fisioterapi dada
Aspirasi nasofaring
Ventilasi tekanan positif lewat masker sungkup (contoh: BiPAP,
CPAP}
ix. High Frequency Oscillatory Ventilation (Ventilasi Osilasi Frekuensi
Tinggi)x. Manuver resusitasi
Eksisi jaringan paru postmortem.
Hasil penyelidikan epidemiologi_terhadap 162 asus _terkonfirmasi
menunjukkan faktor yang berperan terjadinya penularan pada manusia
antara lain :
@ Kontak Unggas
13.6%
m Kontak
lingkungan
tercemar
OBelum diketahui
40,1 % 463%
3. Masa Inkubasi dan Masa Infeksius
Masa inkubasi rata-rata adalah 3 hari (1-7 hari). Masa infeksius pada
manusia adalah 1 hari sebelum, sampai 3-5 hari setelah gejala timbul dan
pada anak dapat sampai 21 hari.
Masa infeksius pada usia lebih dari 12 tahun dapat berlangsung sampai 7
hari bebas demam dan pada anak kurang dari 12 tahun dapat berlangsung
sampai 21 hari setelah muncul gejala pertama.
4, Faktor Risiko
Kelompok yang berisiko tinggi terinfeksi Flu Burung (HSN1) adalah mereka
yang :
a
Kontak erat (dalam jarak 1 meter), seperti merawat, melakukan tindakan
invasif, berbicara atau bersentuhan dengan pasien suspek, probabel atau
kasus H5N1 yang sudah terkonfirmasi.
Kontak langsung (misalnya memegang, menyembelih, mencabuti bulu,
memotong, mempersiapkan untuk konsumsi) dengan ternak ayam,
unggas liar, bangkai unggas.
Kontak tidak langsung yaitu berada dalam lingkungan yang tercemar
oleh sekret atau kotoran unggas (pasar, peternakan, tempat pemotongan
unggas, pengepul unggas) di wilayah yang terjangkit HSN1 dalam satu
bulan terakhir. Unggas air (bebek, itik, entok, angsa) merupakan carrier
virus HSN1.
Mengonsumsi produk unggas mentah atau yang tidak dimasak dengan
sempurna di wilayah yang dicurigai atau dipastikan terdapat hewan atau
manusia yang terinfeksi HSN1 dalam satu bulan terakhir.
Kontak erat dengan binatang lain (selain ternak unggas atau unggas liar),
misalnya kucing atau babi yang telah dikonfirmasi terinfeksi HSN1.
Memegang / menangani sampel hewan atau manusia yang dicurigai
mengandung virus HSN1 dalam suatu laboratorium atau tempat lainnya.D. Patogenesis dan Patofisiologi Pneumonia virus
Hasil pemeriksaan patologi postmortem pasien influenza A (HSN1)_menunjukkan
terjadi kerusakan jaringan paru yang berat dengan gambaran histopatologi
berupa kerusakan alveoli yang luas (diffuse alveolar damage). Pada pemeriksaan
mikroskopis umumnya ditemui pneumonitis interstitial disertai sebukan leukosit
mononuklear. Terjadi gangguan fungsi paru dan organ tubuh lain yang berat.
Proses patologis pada berbagai organ dapat berlanjut mengakibatkan Acute
Respiratory Distress Syndrome (ARDS), dan berlanjut menjadi gagal multi organ
yang berakhir dengan kematian.
E. Gejala Klinis
Pada umumnya gejala klinis Flu Burung (HSN1) mirip dengan flu biasa, yang
sering ditemukan adalah demam > 38° C, batuk dan nyeri tenggorok. Gejala lain
yang dapat ditemukan adalah pilek, sakit kepala, nyeri otot, infeksi selaput mata,
diare atau gangguan saluran cerna. Gejala sesak napas menandai kelainan
saluran napas bawah yang dapat memburuk dengan cepat.
Tabel2 : Manifestasi klinis pada Flu Burung (H5N1)
Gejala N %
Demam 140/141 99
Sesak [1337740 95
Batuk 126/140 90
Mual 34/131 26
Sakit kepala 24/128 19
Diare 20/130 16
‘Muntah 28/132 21
Nyeri otot 17/130 13
Nyeri lambung 10/128
Kejang/ Ensefalitis 4/129 3
Konstipasi 17/129
Derajat Penyakit
Pasien yang telah dikonfirmasi sebagai kasus Flu Burung (HSN1) dapat
dikategorikan menjadi :
Derajat1 : _Pasien tanpa pneumonia
Derajat2 : _Pasien dengan pneumonia tanpa gagal napas
Derajat3: ~_Pasien dengan pneumonia dan gagal napas
Derajat4 : ~Pasien dengan pneumonia dan ARDS atau dengan
kegagalan organ ganda (multiple organ failure).MENTER! KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
F. Diagnosis (sesuai kriteria WHO 2007)
Definisi Kasus
Dalam mendiagnosis kasus Flu Burung (H5N1) ada 4 kriteria yang ditetapkan
yaitu :
1. Seseorang dalam Investigasi
2. Kasus suspek
3. Kasus probabel
4. Kasus terkonfirmasi
1. Seseorang Dalam Investigasi
Seseorang yang telah diputuskan oleh petugas keschatan setempat (untuk
rumah sakit oleh dokter setempat) untuk diinvestigasi terkait kemungkinan
infeksi Flu Burung (HSN1)
Kegiatan yang dilakukan berupa surveilans semua kasus Influenza Like Miness
(ILI) dan Pneumonia di rumah sakit serta mereka yang kontak dengan pasien
Flu Burung (HSN1) di rumah sakit.
Dasar untuk memutuskan orang perlu diinvestigasi adalah bila ada kontak
erat dalam waktu kurang dari 7 hari dengan pasien suspek, probabel dan
terkonfirmasi Flu Burung (HSN1) atau di sekitar wilayahnya terdapat banyak
unggas (ayam, burung, bebek, angsa, entok) yang mati diduga atau terbulkti
Flu Burung (HSN 1)
2. Kasus Suspek Flu Burung (HSN1)
Seseorang yang menderita demam dengan suhu > 38° C disertai satu atau
lebih gejala di bawah ini :
a. batuk
b. sakit tenggorokan
c. pilek
d. sesak napas
Definisi kasus dari suspek H5N1 diatas dibagi 2 yaitu :
a, Seseorang dengan demam 2 38°C dan ILI
DAN DISERTAI
Satu atau lebih pajanan di bawah ini dalam 7 hari sebelum mulainya
gejala:
i, Kontak erat (dalam jarak + 1 meter), seperti merawat, berbicara atau
bersentuhan dengan pasien suspek, probabel atau kasus HSN1 yang
sudah terkonfirmasi
ii, Terpajan (misaInya memegang, menyembelih, mencabuti bulu,
memotong, mempersiapkan untuk konsumsi) dengan ternak ayam,
unggas liar, unggas air, bangkai unggas atau terhadap lingkungan
yang tercemar oleh kotoran unggas itu dalam wilayah terjangkit dalam
satu bulan terakhir.ERI KESEHATAN,
USLIK INDONESIA
iii, Mengonsumsi produk unggas mentah atau yang tidak dimasak dengan
sempurna dari wilayah yang dicurigai atau dipastikan terdapat hewan
atau manusia yang terkonfirmasi H5N1 dalam satu bulan terakhir.
iv. Kontak erat dengan binatang lain (selain ternak unggas atau unggas
be
Tabel 3
liar), misalnya kucing atau babi yang telah terkonfirmasi terinfeksi
HS5N1. Memegang/ menangani sampel (hewan atau manusia) yang
dicurigai mengandung virus HSN1 dalam suatu laboratorium atau
tempat lainnya.
‘Seseorang dengan demam 2 38°C dan ILI
DAN DISERTAI
Keadaan di bawah ini:
Leukopeni dan tampak gambaran pneumonia pada foto toraks.
: Gambaran laboratorium dan radiologi pada pasien Flu Burung
‘Temuan Laboratorium N %
TLeukopenia 115 82.1% (115/140)*
Limfositopenia 38 32.8% (38/116)"
Thrombositopenia 69.4% (91/ 133)"
Temuan Radiologi
Pneumonia
99.2% (132/133)*
55.% (74/133)"
“Deberapa data tidak tercatat
DAN DISERTAI
Satu atau lebih dari pajanan di bawah ini dalam 7 hari sebelum mulainya
gejala foto toraks menggambarkan pneumonia yang cepat memburuk pada
serial foto.
- Kontak erat (dalam jarak + 1 meter), seperti merawat, berbicara atau
bersentuhan dengan pasien suspek, probabel atau kasus H5N1 yang
sudah konfirmasi.
- Terpajan (misalnya memegang, menyembelih, mencabuti bulu,
memotong, mempersiapkan untuk konsumsi) dengan ternak ayam,
unggas liar, bangkai unggas atau berada di lingkungan yang tercemar
oleh kotoran unggas itu dalam wilayah di mana infeksi dengan HSN1
pada hewan atau manusia telah dicurigai atau dikonfirmasi dalam
bulan terakhir.
= Mengonsumsi produk unggas mentah atau yang tidak dimasak dengan
sempurna di wilayah yang dicurigai atau dipastikan terdapat hewan
atau manusia yang terinfeksi HSN1 dalam satu bulan terakhir.TERI KESEHATAN
IBLIK INDONESIA
- Kontak erat dengan binatang lain (selain ternak unggas atau unggas
liar), misalnya kucing atau babi yang telah dikonfirmasi terinfeksi
HSN1.
- Memegang/ menangani sampel (hewan atau manusia) yang dicurigai
mengandung virus H5NI dalam suatu laboratorium’ atau tempat
lainnya.
+ ditemukan leukopeni (nilai hitung leukosit di bawah nilai normal).
= ditemukan adanya titer antibodi terhadap H5 dengan pemeriksaan uji
HI menggunakan sel darah merah kuda atau uji ELISA untuk
influenza A tanpa subtipe.
- foto toraks menggambarkan pneumonia yang cepat memburuk pada
serial foto.
= Seseorang yang mempunyai gejala ILI secara klinis dan radiologis yang
cepat mengalami perburukan meskipun riwayat kontak tidak jelas.
3. Kasus Probabel HSN1
Kriteria kasus suspek ditambah dengan satu atau lebih keadaan di bawah ini :
a. ditemukan kenaikan titer antibodi terhadap HS pada masa akut dan
konvalesen, minimum 4 kali, dengan pemeriksaan uji HI menggunakan
eritrosit kuda atau uji ELISA.
b. hasil laboratorium terbatas untuk influenza HS (terdeteksinya antibodi
spesifik HS dalam spesimen serum tunggal) menggunakan uji netralisasi
(dikirim ke laboratorium rujukan)
Atau
Seseorang yang meninggal karena suatu penyakit saluran napas akut yang
tidak bisa dijelaskan penyebabnya yang secara epidemiologis berkaitan
dengan aspek waktu, tempat dan pajanan terhadap suatu kasus probabel
atau suatu kasus H5N1 yang terkonfirmasi.
4. Kasus HSN1 terkonfirmasi
Seseorang yang memenuhi kriteria kasus suspek atau probabel
DAN DISERTAT
Satu dari hasil positif berikut ini yang dilaksanakan dalam suatu laboratorium
influenza, yang hasil pemeriksaan HSN1-nya :
a. Hasil PCR HS positif.
b. Peningkatan >4 kali lipat titer antibodi netralisasi untuk H5N1 dari
spesimen konvalesen dibandingkan dengan spesimen akut (diambil <7
hari setelah awitan penyakit), dan titer antibodi netralisasi konvalesen
harus pula >1/80.
¢. Isolasi virus HSN1
d. Titer antibodi mikronetralisasi HSN1 >1/80 pada spesimen serum yang
diambil pada hari ke >14 setelah awitan penyakit disertai hasil positif uji
serologi lain, misalnya titer HI sel darah merah kuda >1/160 atau western
blot spesifik H5 positif,
BMENYERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
Langkah Diagnostik
Diagnosis Banding
Diagnosis banding disesuaikan dengan tanda dan gejala yang ditemukan.
Penyakit dengan gejala hampir serupa yang sering ditemukan antara lain:
-Pneumonia yang disebabkan oleh virus lain, bakteri atau jamur
- Demam Berdarah
~ Demam Typhoid
~ HIV dengan infeksi
- Leptospirosis
- Tuberkulosis Paru
Tabel4 : Diagnosis banding antara Demam Berdarah dan Flu Burung (HS5N1)
Parameter Demam Berdarah iu Burung (H5N1)
Onset demam Mendadak Perlahan-lahan
Derajat Panas Tinggi Tinggi
Batuk Jarang Sering
‘Nyeri tenggorok Jarang Sering
Sakit kepala Sering Sering
Pembesaran hati Sering Jarang
Tes torniket Positif Negatir
Leukosit Menurun Menuran
Limfosit Normal atau meningkat Menuran
Hitung trombosit Pada tahap awal penurunan|Pada tahap __awal
hitung trombosit cenderung | penurunan hitung
lebih cepat dan lebih sering| trombosit _cenderung
terjadi lebih lambat
Hemokonsentrasi Meningkat >20% dari nilai | Tidak terjadi
dasar |
Pneumonia Jarang Sering
Bfusi pleura Sering, terutama pada anak | Di Indonesia ditemukan
dengan DSS 55%
Syok Lebih sering Kadang-kadang
Edema pare
Jarang edema para
Sering, edema paru
Non kardiogenik
4MEN“ERI KESEHATAN
IK INDONESIA
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk menyingkirkan
diagnosis banding tergantung indikasi, antara lain:
Dengue blot IgM, IgG atau NS1 Dengue untuk menyingkirkan’
diagnosis demam dengue
Biakan sputum dahak, darah dan urin.
IgM Salmonella, biakan Salmonella, uji Widal untuk menyingkirkan
diagnosis demam tifoid.
Pemeriksaan anti HIV.
Pemeriksaan dahak mikroskopik Basil Tahan Asam (BTA) dan biakan
mikobakterium, untuk menyingkirkan TB Paru.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk tujuan mengarahkan diagnostik ke
arah kemungkinan Flu Burung (H5N1) dan menentukan berat ringannya
derajat penyakit. Pemeriksaan yang dilakukan adalah
A. Pemeriksaan Laboratorium non Spesifik
Pemeriksaan Hematologi
Setiap pasien yang datang dengan gejala Klinis seperti di atas
dianjurkan untuk sesegera mungkin dilakukan pengambilan sampel
darah untuk pemeriksaan darah rutin yaitu hemoglobin, hematokrit,
leukosit, trombosit, hitung jenis leukosit, limfosit total. Umumnya
ditemukan leukopeni, limfositopeni dan trombositopeni. Pada kasus
Flu Burung (HS5N1) di Indonesia ditemukan leukopenia pada 115
kasus (82,1%) trombositopenia pada 91 kasus (69,4%) dan
limfositopenia pada 38 kasus ( 32,8%).
Pemeriksaan Kimia darah
Albumin, Globulin, SGOT, SGPT, Ureum, Kreatinin, Kreatin Kinase,
Analisis Gas Darah, C-Reaktif Protein atau Prokalsitonin (bila
memungkinkan dan tersedia). Umumnya dijumpai penurunan
albumin, peningkatan SGOT dan SGPT, peningkatan ureum dan
kreatinin, peningkatan kreatin kinase, pemeriksaan laktat. Analisis
gas darah dapat normal atau abnormal. Kelainan laboratorium
sesuai dengan perjalanan penyakit dan komplikasi yang ditemukan.
Pemeriksaan Laboratorium Spesifik
Spesimen aspirasi nasofaringeal, serum. apus hidung, tenggorok atau
cairan tubuh lainnya seperti : cairan pleura, cairan ETT (Endotracheal
Tube), usap dubur pada kasus anak dan jika ada diare hal ini digunakan
untuk konfirmasi diagnostik.
Diagnosis Flu Burung (HS5N1) dibuktikan dengan
a
Uji RT-PCR (Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction) untuk
HS yang primernya spesifik untuk isolat virus HSN1 Indonesia.
Peningkatan >4 kali lipat titer antibodi netralisasi untuk HSN1 dari
spesimen konvalesen dibandingkan dengan spesimen akut (diambil <7
hari setelah awitan gejala penyakit), dan titer antibodi netralisasi
konvalesen harus pula >1/80.TERI KESEHATAN
SLIK INDONESIA
3. Titer antibodi mikronetralisasi HSN1 21/80 pada spesimen serum
yang diambil pada hari ke >14 setelah awitan (onset penyakit) disertai
hasil positif uji serologi lain, misalnya titer HI sel darah merah kuda
21/160 atau westem blot spesifik H5 positif.
4, Isolasi virus HSN1
Pemeriksaaan laboratorium lainnya untuk tata laksana pasien tergantung
gejala Klinis yang timbul. Pada umumnya pemeriksaan hematologi dan
Kimia klinik adalah pemeriksaan yang tersering yang dilakukan
pemeriksaan hemostasis seperti Protrombin Time (PT), Activated Partial
Thromboplastin Time (APTT), D-dimer dilakukan pada tersangka
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC).
Penting untuk mengetahui kapan virus dapat terdeteksi, sehingga jenis
pemeriksaan laboratorium dapat disesuaikan dengan perjalanan penyakit
sesuai dengan gambar terlampir. Pemeriksaan RT-PCR dan deteksi antigen
dapat dilakukan pada minggu pertama setelah inkubasi, dan titer antibodi
pada umumnya mulai meningkat setelah minggu pertama,
entivody detection
a ——S
igen detection /cuture
antivedy reponse:
6-43-2101 234667 6 9101112131415161718192021 22232425
Daye oiter onget oF uinese
Gambar 2. Viral Shedding dan respon antibodi pada infeksi Influenza A HSN1
a. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan foto toraks PA dan Lateral harus dilakukan pada setiap
pasien tersangka Flu Burung (H5N1)
Pemeriksaan foto toraks, dilakukan :
a. Diruang gawat darurat pada saat masuk
b. Di ruang isolasi setiap hari sebaiknya pada waktu yang sama,
pasien probabel dan konfirm, dilakukan 2 kali sehari, pagi dan
sore secara berkala dengan kondisi foto yang sama agar dapat
dibandingkan sebagai serial foto
c. Pada kondisi tertentu seperti setelah pemasangan ETT, Central
Venous Catheter (CVC), Water Sealed Drainage (WSD)
d. Sebelum pasien dipulangkan
e. Pada saat kontrol , foto dilakukan hanya bila ada keluhan
saluran pernapasan.
“6MENTERI KESEHATAN
IK INDONESIA
Semua foto sebailnya dinilai oleh spesialis radiologi dengan melampirkan foto lama
untuk perbandingan.
Foto toraks tersebut berguna antara lain :
* Mendeteksi
- Status kardiopulmoner
= Pneumonia
- Luas lesi > minimal, sedang atau berat
- Edema paru
- Abnormalitas pleura
+ Posisi ETT dan CVC
- Komplikasi penggunaan ETT dan CVC seperti pneumotoraks,
pneumomediastinum maupun atelektasis
* Penentuan derajat ARDS
* Evaluasi hasil pengobatan
GAMBARAN RADIOLOGI
- Pada fase awal foto toraks dapat normal.
- Pada fase lanjut ditemukan ground glass opacity, __konsolidasi
homogen atau heterogen pada paru, dapat unilateral atau
bilateral.
- Lokasi dapat mengenai semua lapangan, tetapi yang __tersering
di lapangan bawah.
+ Serial foto harus dilakukan karena perjalanan penyakitnya
progresif.
- Diagnosis banding :
+ Edema paru
+ 1B
+ Pneumonia lainnya
Di Indonesia, gambaran pneumonia didapatkan pada 132 kasus
(99.2%) dan efusi pleura pada 74 kasus (55%)
Pemeriksaan CT SCAN Toraks :
Pemeriksaan CT Scan dapat dipertimbangkan untuk pasien-pasien
dengan gejala klinis Flu Burung (H5N1) tapi hasil foto toraks normal.
Teknik CT Scan Toraks :
Potongan tipis tanpa kontras untuk mengidentifikasi stadium awal
sehingga dapat dilakukan penanganan lebih dini dan dapat diketahui
adanya sekuele apabila pasien sudah sembuh.KESEHATAN
JSLIK INDONESIA
Pemeriksaan CT Scan bukan merupakan pemeriksaan standar untuk kasus Flu
Burung (HSN1).
Contoh-contoh Kasus :
1. In/ 15th, demam, kontak (+) , Lab HSN1 (+) 1x, foto toraks normal(gambar 1a). CT
scan Toraks normal (gambar 1b).
Gambar la gambar Ib
2. Ar/18th, Klinis demam, kontak (+) > ibu + H5N1 (+), Lab Leukopeni, HSN1 (+)
Dari hasil foto toraks pertama, tampak konsolidasi minimal parakardial kanan
(gambar 2a), yang bertambah jelas pada foto berikutnya di hari yang sama
(gambar 2c). CT scan toraks tampak konsolidasi letaknya di anterior dan posterior
kanan bawah dengan air bronchogram (+), (gambar 2c,d,e), disertai efusi pleura
kanan minimal (gambar 21). Lesi di paru kiri_atas yang tidak terlihat pada foto
toraks pada hari yang sama terlihat jelas dengan CT scan toraks berupa ground
glass opacity segmen (gambar 21)
Setelah pasien dinyatakan sembuh, PCR (-), klinis membaik, Foto toraks normal
(2h), tetapi dari CT scan toraks tampak lesi di kedua paru (gambar 2i,j )
Gambar 2aGambar 2e Gambar 2f
Gambar 2g Gambar 2h
Gambar 2i Gambar 2jERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
3. Wanita 38 tahun dengan klinis demam, serangan sesak nafas akut, anak
perempuan dinyatakan (+) HSN1 , dari foto toraks didapat gambaran konsolidasi
homogen bilateral sesuai dengan’ ARDS (gambar 3a), pada foto serial setelah
Pemasangan ETT konsolidasi berkurang( 3b).
Hari ke 12 setelah dinyatakan sembuh dan PCR (-), foto toraks konsolidasi kanan
Kiri heterogen (gambar 3C), dari CT Scan toraks konsolidasi heterogen S6 kanan
Kiri, ground glass opacity) paru bawah bilateral (gambar 3d,e) . hari ke 22
sebelum pulang foto toraks normal (gambar 31), CT scan toraks menununjukkan
retikular opacity paru bawah bilateral (gambar 3g.)
Gambar 3a gambar 3b
Gambar 3d
Gambar 3e Gambar 3fc. Pemeriksaan Post Mortem
Pada pasien yang meninggal sebelum diagnosis Flu Burung (HSN1)
ditegakkan , dianjurkan untuk mengambil sediaan postmortem
dengan jalan biopsi pada mayat (nekropsi), spesimen dikirim untuk
pemeriksaan patologi anatomi dan PCR. Jika tidak memungkinkan
harus diambil spesimen lain misalnya : cairan pleura, cairan dari
ETT, hapus hidung, hapus tenggorok, usap dubur.
Il. TATA LAKSANA MEDIK DI RUMAH SAKIT RUJUKAN
A.
Pada dasarnya tata laksana Flu Burung (H5N1) sama dengan influenza yang
disebabkan oleh virus yang patogen pada manusia.
‘TATA LAKSANA DI POLIKLINIK DAN IGD
a, TATA LAKSANA DI POLIKLINIK
Melakukan anamnesis gejala dan kemungkinan terdapat dalam kelompok
yang beresiko tinggi. Pasien dengan risiko tinggi untuk Flu Burung, pasien
dikirim ke ruang triase Flu Burung (HSN1) untuk dievaluasi lebih lanjut oleh
tim Flu Burung (HSN1)
b. TATA LAKSANA DI IGD
Bila ada informasi rujukan p:
atau fasilitas kesehatan lainn
adalah sebagai berilcut
1, Dokter yang merujuk berkonsultasi dengan dokter jaga IGD rumah sakit
rujukan
en suspek Flu Burung (HSN1) dari rumah sakit
, maka langkah-langkah yang harus ditempuh
2. Dokter jaga IGD rumah sakit rujukan berkonsultasi dengan tim Flu
Burung (HS5N1) rumah sakit rajukan.
3. Dokter tim Flu Burung (HSN1) rumah sakit rujukan berkomunikasi
dengan dokter yang akan merujuk mengenai gejala Flu Burung (H5N1),
nilai leukosit dan gambaran foto toraks.B.
MENTERI KESEHATAN
RESUBLIK INDONESIA
4. Pasien suspek Flu Burung (HSN1) segera dikirim ke rumah sakit rujukan
terdekat bila layak transpor. Jika tidak layak transpor dilakukan
stabilisasi dan isolasi sesuai dengan buku pedoman ini sambil tetap
berkomunikasi dengan tim Flu Burung (HSN1) rumah sakit rujukan.
5. Pasien tanpa rujukan lakukan anamnesis dan pemeriksaan di tempat
terpisah / triase khusus Flu Burung (HSN1). Bila ternyata pasien suspek
dikirim ke ruang isolasi Flu Burung (H5N1).
6. Pasien anak yang didampingi orang tuanya maka orang tuanya harus
tetap memakai APD sesuai protap.
EVAKUASI KE RUANG ISOLASI
Pasien dipindahkan dengan brankar atau kursi roda dan memakai masker bedah.
Petugas kesehatan memakai APD (lihat Bab VII. Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi).
TATA LAKSANA DI RUANG ISOLASI
1. Penilaian Klinis
Perhatikan keadaan umum, kesadaran, tanda vital (tekanan darah, nadi,
frekuensi napas, suhu). Pantau saturasi oksigen dengan pulse oxymetry.
2. Pemeriksaan penunjang
Lakukan pemeriksaan penunjang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi
pasien.
‘Terapi definitif (antiviral)
‘Terapi suportif dan simptomatik: terapi oksigen, terapi cairan, nutrisi adekuat
a
Antipiretik pilihan pertama adalah parasetamol. Salisilat tidak boleh diberikan
pada anak < 18 tahun karena dapat menyebabkan Reye Syndrome, kelainan
pada hati dan otak yang ditandai dengan gejala neurologis (letargi, kejang,
penurunan kesadaran hingga koma) yang terjadi dengan cepat.
Antipiretik golongan Non-Steroidal Anti- Inflammatory Drugs (NSAID) termasuk
ibuprofen tidak boleh diberikan bila ada riwayat atau gejala perdarahan
saluran cerna.
Terapi psikologik untuk mengatasi kecemasan pasien dan stigma.
5. Terapi lainnya :
5.1 Antibiotika
Selama pneumonia akibat kuman dari luar rumah sakit (Pneumonia
Komunitas) belum dapat disingkirkan, maka antibiotik dapat diberikan.
Pemilihan antibiotika secara empirik berdasarkan dugaan kuman
penyebab tersering sesuai dengan pola kuman dan kepekaan
setempat. Seperti kita ketahui jika terdapat pneumonia kita harus mulai
memberikan antibiotika dalam waktu kurang dari 4 jam. Jika tidak
ditemukan kuman pada kultur maka antibiotik harus dihentikan.5.2
Bila tidak tersedia dianjurkan sebagai berikut:
a. Amoksisilin merupakan pilihan pertama untuk antibiotik oral pada
anak < 5 tahun karena efektif melawan sebagian besar patogen yang
menyebabkan pneumonia pada anak, ditoleransi dengan baik, dan
murah. Alternatifnya adalah ko-amoksiklav, ceflacor, eritromisin,
claritromisin, dan azitromisin
b. Karena M. pneumoniae lebih prevalen pada anak yang lebih tua,
antibiotik golongan makrolide diberikan sebagai pilihan pertama
secara empiris pada anak > 5 tahun.
c. Makrolide diberikan jika M. pneumoniae atau C. pneumonia dicurigai
sebagai penyebab
d. Amoksisilin diberikan sebagai pilihan pertama jika sangat mungkin
disebabkan oleh S. pneumoniae
e. Jika S. aureus dicurigai sebagai penyebab, diberikan makrolide atau
kombinasi flucloxacillin dengan amoksisilin
f, Antibiotik yang diberikan per oral adalah aman dan efektif untuk
anak dengan pneumonia
g. Antibiotik intravena diberikan pada pasien pneumonia yang tidak
dapat menerima obat per oral (misal karena muntah) atau termasuk
dalam derajat pneumonia berat
h, Antibiotik intravena yang dianjurkan adalah: _ co-amoxiclav,
cefuroxime, dan cefotaxime. Jika gejala klinis dan hasil kultur
mendukung S. pneumoniae sebagai penyebab, amoksisilin, ampisilin,
atau penisilin saja dapat diberikan
i, Pemberian antibiotik oral harus dipertimbangkan jika terdapat
perbaikan setelah mendapat antibiotik intravena.
Apabila diduga terjadi Hospital Acquired Pneumonia (HAP), maka
antibiotik harus disesuaikan dengan pola kuman dan uji kepekaan
rumah sakit setempat.
Pemberian antibiotika sebagai profilaksis tidak dianjurkan.
Steroid
Pemberian kortikosteroid secara rutin tidak dianjurkan karena belum
ada uji Klinis, bahkan berpotensi merugikan yaitu dapat memperpanjang
masa replikasi virus dan meningkatkan risiko infeksi oportunistik,
Kortikosteroid diberikan pada syok yang tidak responsif dengan terapi
cairan dan obat golongan vasopressor .
Pada keadaan tersebut di atas, kortikosteroid dipertimbangkan untuk
diberikan:
a. Dewasa: Hidrokortison 200-300 mg/hari atau _padanannya
metilprednisolon 0,5 - 1 mg/kgBB/hr dibagi dalam 3 - 4 dosis dalam
24 jam (dalam dosis terbagi setiap 8 - 6 jam)
b, Anak: Hidrokortison 2 mg/kgBB IV
Atau padanannya Dexamethason 0,5 mg/kg BB setiap 8 jam atau
Metilprednisolon 1-2 mg/kgBB IV setiap 6 jam,
a3ENTER! KESEHATAN
RESUBLIK INDONESIA
Catatan: Sebagai alternatif lain dapat diberikan dengan dosis awal
50 mg/kgBB/dosis, dan apabila diperlukan diulang dalam infus drip
selama 24 jam.
5.3 Immunomodulator
Hingga saat ini belum ada bukti klinis tentang manfaat imunomodulator
pada pasien Flu Burung (H5N1).
Kriteria Masuk ICU
6.1 Untuk pasien dewasa
Semua pasien yang memenuhi kriteria sepsis berat dan syok septik :
Acute Lung Injury (ALI), Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS).
Sepsis berat adalah sepsis disertai salah satu gangguan fungsi-
fungsi organ, seperti dibawah ini:
1. Hipotensi : Tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau penurunan >
40 mmHg atau mean arterial pressure (MAP) < 65 mmHg
2. Hiperlaktatemia: laktat serum 2 2 mmol/L (18 mg/dL)
3. Renal: peningkatan akut kreatinin serum > 176,8 mmol/L (2,0
mg/dL) atau pengeluaran urine < 0,5 mL/kg/jam selama > 2 jam
4. Paru: Acute Lung Injury (ALI) dengan PaO2/FIO2 < 300 mmHg
(P/F rasio)
5. Liver: peningkatan akut bilirubin > 34,2 umol/L (2 mg/dL)
6. Trombositopenia: penurunan akut dari jumlah trombosit menjadi
< 100 000
7. Koagulopati: International Normalized Ratio (INR) > 1,5 atau
partial thromboplastin time (aPTT) > 60 detik
Syok septik adalah hipotensi yang diinduksi oleh sepsis (definisi di
atas) yang tidak bisa diatasi dengan resusitasi cairan yang adekuat.
Acute Lung Injury (ALI) berdasarkan kriteria definisi dari American-
European Consensus Conference adalah, onset akut hipoksemia
(P/F rasio s 300 mmHg) dan infiltrat radiologis diffuse yang
utamanya bukan disebabkan oleh payah jantung.
Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) adalah bentuk ALI
yang berat dengan P/F rasio s 200 mmHg
Kriteria Intubasi dan Penggunaan Ventilator
Intubasi dan pernapasan buatan mengikuti kriteria Pontoppidan seperti
tabel dibawah ini :MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
Tabel 5 Gangguan fungsi napas yang memerlukan perawatan intensif
Tindakan
Fisioterapi dada Intubasi
Harga Terapi oksigen | Napas Buatan
Normal Observasi ketat (an
Mekanik
Frekuensi Napas 12-25 25-35 >35
Kapasitas Vital
(VC = ml/KgBB) 30-70 15-30 <15
Kekuatan Inspirasi
(cm #20) 50 - 100 25-50 <25
FEV] (ml/KgBB) 50 - 60 10 - 50 <10
Compliance(ml/cmHz0) | 50 - 100 + -
Oksigenasi
PaQs (torr) < 60 pada FIO2 =
dengan FIO2 = 0,21 75 - 100 <75 0,6 (dengan
Sa0z atau SpO2 (%) 95 - 98 <95 masker)
PaO2/FiO2 500 300 - 400 <90
AaDO2 (torr) < 300
dengan F102 = 1,0 50 - 200 200 - 350
QS/Qr (%) 5 > 350
> 20
Ventilasi |
PaCOz (torr) 35-45 | 45-55 > 55
vb/vT 0,25 - 0,40 0,40 - 0,60 > 0,60
a. Bila memasuki kriteria untuk tindakan observasi ketat, fisioterapi
b,
dada dan terapi oksigen sebaiknya penderita sudah dirujuk ke ICU,
Bila terjadi kecenderungan perburukan dalam waktu kurang dari 6
jam, yang menunjukkan kebutuhan oksigen yang semakin
‘meningkat untuk mendapatkan Sa02 > 95%.
6.2 Kriteria Masuk ICU untuk pasien anak :
Distress napas ditandai dengan meningkatnya upaya napas dan
pemakaian otot-otot pernapasan tambahan sehingga dapat
ditemukan napas cepat, retraksi epigastrium, _ interkostal,
suprasternal dan pernapasan cuping hidung, disertai analisis gas
awISLIK INDONESIA
darah : PaO, < 50-60 mmHg, PaCO2 > 55-60 mmHg atau peningkatan
cepat > 5 mmHg/jam
b. Gagal napas, ditandai dengan penurunan kesadaran, penurunan
respon terhadap rangsang fisik takikardia / bradikardia hebat,
kolaps perifer, merintih, takipnea, apnea, penurunan suara napas,
upaya napas melemah, hilang kemampuan untuk -menangis. Analisis
gas darah : PaO2 < 50 mmHgPaCO2 > 60 mmHg, dan Rasio
PaO2/FiO2 :< 300
c. Gangguan hemodinamik yang membutuhkan pemantauan ketat atau
tindakan invasif, Gejala awal syok pada anak adalah penurunan
perfusi organ vital yang mencakup penurunan status mental, waktu
pengisian kapiler memanjang, nadi perifer lemah, akral dingin dan
lembab serta oligouria. Jika lebih lanjut, akan terjadi penurunan
tekanan darah (hipotensi) dan penurunan tekanan rata-rata arterial
(MAP/Mean Arterial Pressure). Nilai referensi tekanan darah dan
denyut jantung anak dapat dilihat pada lampiran.
d. Nilai GCS kurang dari 12. Cara pengukuran skala koma Glasgow
pada anak dapat dilihat pada lampiran.
e. Kejang yang tidak teratasi dengan antikonvulsan lini ke dua, lama
kejang lebih dari 30 menit atau dibutuhkan infus midazolam atau
thiopental.
f. Inflamasi sistemik dan gagal organ. Batasan inflamasi sistemik dan
gagal organ pada anak dapat dilihat pada lampiran.
‘Tabel 6. Pemeriksaan Laboratorium dan Radiologi
Pemeriksaan Hari
I fi pig Iv v
Hi x T x
Hematologi x/[x[x {|x [xX
PCR x [x [x
Serologi Br x
Pemeriksaan foto toraks dan analisa gas darah (AGD) dilakukan secara berkala,
minimal satu kali setiap 24 jam.
D. Antiviral
1.
Pengobatan
Obat antiviral ada yang bekerja sebagai penghambat neuramidase seperti
oseltamivir dan zanamivir sedangkan Amantadin dan Rimantadin
menghambat M2 protein.
Antiviral harus diberikan secepat mungkin begitu pasien ditetapkan sebagai
suspek Flu Burung (HSN1). Berdasarkan data dari 141 kasus di Indonesia,
pada 35 pasien yang tidak diberi antiviral 100% meninggal dan 100 pasien
abyang diberi oseltamivir 25% hidup. Dapat dipertimbangkan pemberian dosis 2
kali lebih besar dan waktu yang diberikan lebih panjang untuk kasus
pneumonia berat dan progresif.
Hasil dari penclitian LITBANG Kementerian Kesehatan pasien Flu Burung
(H5N1) jika tidak diberikan osetalmivir angka kematian 100% dan jika
diberikan angka kematian 72%.
Antiviral diberikan secepat mungkin (memberikan efek terbaik dalam 48 jam
pertama, meskipun sudah terlambat tetap diberikan)
a. Dewasa atau Berat Badan > 40kg : Oseltamivir 2x75 mg per hari selama 5
hari.
b. Anak 2 1 tahun dosis oseltamivir 2 mg/kgBB, 2 kali sehari selama 5 hari
c. Dosis oseltamivir dapat diberikan sesuai dengan berat badan sbb :
> 40 kg 75 mg 2x/hari
> 23-40 kg 60 mg 2x/hari
> 15-23 ke 45 mg 2x/hari
s15kg 30 mg 2x/hari
b. Penggunaan oseltamivir pada perempuan hamil diberikan pada awal
pengobatan, dengan diberikan penjelasan dulu serta dipantau sampai
melahirkan.
c. Antiviral lain ; karena oseltamivir sudah terdapat laporan resistensi,
Zanamivir efektif untuk influenza musiman, dapat diberikan untuk bayi
dibawah satu tahun dan dapat diberikan pada wanita hamil atau
menyusui. Tentang Zanamivir, sudah disesuaikan dengan keputusan
badan POM.
d. Obat antiviral lainnya yang tersedia di Indonesia adalah Amantadin tidak
direkomendasikan Karena dari data LITBANG KEMENTERIAN
KESEHATAN menunjukkan bahwa 80% kasus Flu Burung (HSN1) di
Indonesia sudah resisten terhadap Amantadin.
2. Profilaksis
Perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya penularan dari manusia ke
manusia, namun penggunaan profilaksis oseltamivir sebelum terpajan tidak
dianjurkan. Rekomendasi saat ini oseltamivir diberikan pada petugas yang
terpajan pada pasien yang terkonfirmasi dengan jarak < 1 m tampa
menggunakan APD. Bagi mereka yang terpajan lebih 7 hari yang lalu,
profilaksis tidak dianjurkan.
Kelompok risiko tinggi untuk mendapat profilaksis adalah :
Petugas kesehatan yang kontak erat dengan pasien suspek atau konfirmasi
HSN1 misalnya pada saat intubasi atau melakukan suction trakea,
memberikan obat dengan menggunakan nebulisasi, atau menangani cairan
tubuh tanpa APD yang memadai. Termasuk juga petugas lab yang tidak
menggunakan APD dalam menangani sampel yang mengandung virus HSN1.
‘Anggota keluarga yang kontak erat dengan pasien konfirmasi terinfeksi HSN1.
Dasar pemikirannya adalah kemungkinan mereka juga terpajan terhadap
lingkungan atau unggas yang menularkan penyakit.
27Profilaksis 1x75 mg diberikan pada kelompok risiko tinggi terpajan sampai
7-10 hari dari pajanan terakhir. Penggunaan profilaksis jangka panjang dapat
diberikan maksimal hingga 6-8 minggu.
E. Pengobatan lain
Terapi lainnya seperti terapi simptomatik, vitamin, dan makanan bergizi.
IV. TATA LAKSANA KLINIS PASIEN FLU BURUNG (H5N1) PRA RUMAH SAKIT
RUJUKAN
Tata laksana Klinis Flu Burung (HSN1) Pra Rumah sakit Rujukan
1, Pasien sesuai kriteria suspek Flu Burung (HS5N1) langsung diberikan
oseltamivir peroral, lalu dirujuk ke RS rujukan Flu Burung (H5N1).
Tata cara rujukan :
3. Dalam tatalaksana pasien harus menerapkan prinsip kewaspadaan baku
(standard precaution)
ALUR PASIEN
Puskesmas |———»}_ RS Non Rujukan RS Rujukan
Poli/IGD [——__*| POLI/IGD/
ISOLASI
ICU Flu wal Kamar
Burung Jenazah
B. Rujukan Pasien
1, Rumah sakit atau Puskesmas yang merujuk harus menyampaikan informasi
kepada rumah sakit rujukan tentang:
a, Riwayat kontak dengan unggas : ada atau tidak