Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 13

Akibat Hukum Terhadap Anak Hasil Perkawinan Siri Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

AKIBAT HUKUM TERHADAP ANAK HASIL PERKAWINAN SIRI


PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Fitria Olivia
Fakultas Hukum, Universitas Esa Unggul
Jalan Arjuna Utara Tol Tomang Kebun Jeruk, Jakarta 11510
fitria.olivia@esaunggul.ac.id

Abstract
Definition of marriage siri not expressly provided in the Civil Code and the Law 1 of 1974 on
Marriage . Article 2 of Law No. 1 of 1974 on Marriage just describe the sense of legal marriage.
Therefore, legally , marriage series certainly has a position and due to the status and position of a
child . The issue of how the legal position of unregistered marriages views of Law 1 of 1974
concerning marriage and how the legal effect of the position of children unregistered marriages are
reviewed according to Law No. 1 of 1974 on Marriage after the verdict of the Constitutional Court
No. 46 / PUU - VIII / 2010? (Case Study: Determination No. 683 / Pdt.P.2011.PA.SBY). The
method used is a normative legal research, descriptive research analisitis properties, as well as
qualitative data analysis. The results show, that the legal position of unregistered marriages is
actually the same as a legal marriage as specified in Article 2 paragraph (1) of Law No. 1 of 1974
on Marriage. However, due to not do the recording of the administration of the wedding series as
provided in Article 2 paragraph (2) of Law No. 1 In 1974, the legal position of unregistered
marriages , can not be recognized. Second , that the legal consequence of the position of children
unregistered marriages when viewed according to Law No. 1 of 1974 on Marriage of which is to
make the status and position of a child is not recognized when the child was born before the
marriage of his parents registered and legally recognized and recording his own birth made one (1)
year after the child is born that has exceeded the time limit of birth registration as defined in
Article 27 of Law No. 23 Year 2006 concerning Population Administration. Therefore, in taking
notes of his birth , requires the court to make a determination of the child can be recognized status
and position so that it becomes the same as the legitimate child as defined in Article 32 paragraph
(2) of Law No. 23 Year 2006 concerning Population Administration, which reads: "birth
registration deadline beyond 1 (one) year as referred to in paragraph (1), carried out by the
determination of the district court ".
Keyword: due to the law, kawin siri, constitutional court verdict
Abstrak
Pengertian perkawinan siri tidak diatur secara jelas dalam KUH Perdata dan UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
hanya menguraikan pengertian perkawinan yang sah. Oleh karena itu secara hukum,
perkawinan siri tentunya memiliki kedudukan dan akibat terhadap status dan
kedudukan seorang anak. Permasalahan bagaimana kedudukan hukum nikah siri dilihat
dari UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan bagaimana akibat hukum nikah siri
terhadap kedudukan anak ditinjau menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
pasca putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010?. Metode penelitian yang
digunakan adalah penelitian hukum normatif, sifat penelitian bersifat deskriptif
analisitis, serta analisa data secara kualitatif. Adapun hasil penelitian menunjukkan,
bahwa kedudukan hukum nikah siri sebenarnya adalah sama dengan pernikahan yang
sah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Akan tetapi dikarenakan tidak dilakukan pencatatan dari sisi
administrasinya terhadap pernikahan siri sebagaimana ditentukan Pasal 2 ayat (2) UU
No. 1 Tahun 1974 maka secara hukum kedudukan nikah siri, tidak dapat diakui. Kedua,
bahwa secara hukum akibat nikah siri terhadap kedudukan anak apabila ditinjau
menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diantaranya adalah membuat status
dan kedudukan seorang anak menjadi tidak diakui dimana anak tersebut lahir sebelum
perkawinan kedua orangtuanya tercatat dan diakui secara hukum dan pencatatan

Lex Jurnalica Volume 11 Nomor 2, Agustus 2014

130

Akibat Hukum Terhadap Anak Hasil Perkawinan Siri Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
kelahirannya sendiri dilakukan 1 (satu) tahun setelah anak tersebut lahir sehingga telah
melampaui batas waktu pencatatan kelahiran sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 27
UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Oleh karena itu dalam
melakukan pencatatan kelahirannya, membutuhkan penetapan dari pengadilan untuk
membuat anak tersebut dapat diakui status dan kedudukannya sehingga menjadi sama
dengan anak yang sah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 32 ayat (2) UU No. 23 Tahun
2006 tentang Administrasi Kependudukan yang berbunyi: pencatatan kelahiran yang
melampaui batas waktu 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan
berdasarkan penetapan pengadilan negeri.
Kata kunci: akibat hukum, kawin siri, putusan MK

Pendahuluan
Dalam hukum perdata barat tidak
ditemukan definisi tentang perkawinan. Istilah
perkawinan (huelijk) digunakan dalam dua arti,
yaitu:
a. Sebagai suatu perbuatan, yaitu perbuatan
melangsungkan perkawinan (Pasal 104
KUHPer). Dengan demikian perkawinan
adalah suatu perbuatan hukum yang dilakukan pada suatu saat tertentu.
b. Sebagai suatu keadaan hukum yaitu
keadaan bahwa seorang pria dan seorang
wanita terikat oleh suatu hubungan perkawinan.
Ketentuan tentang perkawinan diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) yaitu Pasal 26 sampai dengan
102 KUHPer. Ketentuan umum tentang perkawinan yang terdiri atas 1 (satu) pasal yang
disebutkan dalam pasal 26 KUHPer, bahwa
undang-undang hanya mengenal perkawinan
hanya sah apabila persyaratan yang ditetapkan
dalam KUHPer sementara itu persyaratan serta
peraturan agama dikesampingkan.
Ketentuan tentang perkawinan menurut
hukum barat sangat berbeda dengan hukum
islam. Menurut Titik Triwulan Tutik ( 2006:
106), Perkawinan dalam hukum islam disebut
Nikah yaitu melakukan suatu aqad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang
laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak,
dengan dasar suka rela dan keridhoan kedua
belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan untuk hidup berkeluarga yang meliputi
rasa kasih sayang dan ketentraman dengan
cara-cara yang diridhoi Allah.
Berdasarkan pengertian nikah sebagaimana
disebut diatas, maka disimpulkan bahwa:

Lex Jurnalica Volume 11 Nomor 2, Agustus 2014

1. Nikah adalah persetujuan (perjanjian) ataupun suatu aqad antara seorang pria dengan
seorang wali pihak wanita;
2. Untuk ada (terjadinya) nikah harus ada kerelaan dan kesukaan dari kedua belah pihak
yang akan melakukan nikah;
3. Nikah dilaksanakan menurut ketentuan
yang sudah diatur oleh agama yang terdapat
dalam hukum fihq.
Dalam ketentuan pasal 1 UndangUndang No 1 Tahun 1974 (UU No. 1 Tahun
1974), disebutkan bahwa perkawinan ialah
ikatan batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang
maha esa.
Dari pengertian diatas jelas terlihat
bahwa dalam sebuah perkawinan memiliki 2
(dua) aspek, yakni:
1. Aspek formil (hukum): hal ini dinyatakan
dalam kalimat ikatan lahir batin, artinya
bahwa perkawinan disamping memiliki nilai
ikatan lahir (tampak), juga memiliki ikatan
batin yang dapat dirasakan terutama oleh
kedua belah pihak;
2. Aspek sosial keagamaan: dengan kata
membentuk keluarga dan ketuhanan
yang maha esa, artinya, bahwa perkawinan
mempunyai hubungan erat sekali dengan
kerohanian, sehingga bukan saja unsur jasmani melainkan unsur batiniah juga memiliki peran penting sebagai manifestasi dari
ajaran agama.
Jika ditelaah lebih jauh dari pengertian
perkawinan diatas, maka terdapat 4 (empat)
unsur perkawinan didalamnya, yaitu:
1. Ikatan lahir batin
2. Antara seorang pria dan seorang wanita

131

Akibat Hukum Terhadap Anak Hasil Perkawinan Siri Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

3. Dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, dan
4. Berdasarkan ketuhanan yang maha esa
Dari 4 (empat) unsur perkawinan tersebut maka akan mengarah pada Tujuan
Perkawinan.
Tujuan perkawinan dapat disebutkan sebagai
berikut:
1. Untuk membina rumah tangga yang serasi,
dan penuh dengan limpahan kasih saying.
2. Memperoleh keturunan yang soleh, yang
sah dari hasil perkawinan itu;
3. Menjaga kehormatan dan harkat martabat
manusia.
Telah berlaku anggapan kebanyakan
pemuda-pemuda dari dahulu sampai sekarang,
mereka ingin kawin lantaran beberapa sebab,
diantaranya:
1. Ingin mengharapkan harta benda
2. Karena mengharapkan gelar kebangsawanannya
3. Akan ingin melihat kecantikannya
4. Karena agama dan budi pekerti yang baik.
Perkawinan merupakan bagian hidup
yang sakral, karena harus memperhatikan norma kaidah dalam bermasyarakat. Serta dengan
berbagai macam alasan yang bisa dibenarkan
perkawinan sering dilakukan dalam berbagai
macam sebutan seperti kawin bawa lari, kawin
bawah tangan dan juga kawin kontrak
sehingga muncullah kawin yang sekarang
paling popular dimasyarakat yakni kawin siri
atau nikah siri. Perkawinan yang tidak
dicatatkan ini adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan aturan agama atau adat istiadat dan tidak dicatatkan di kantor pegawai
pencatatan nikah (KUA).
Pengertian dari nikah siri, yaitu
pernikahan yang dilakukan oleh wali pihak
perempuan dengan seorang laki-laki dan
disaksikan oleh dua orang saksi, tetapi tidak
dilaporkan atau tidak dicatatkan di Kantor
Urusan Agama (KUA).
Istilah nikah siri atau nikah yang
dirahasiakan memang sudah dikenal di kalangan para ulama. Hanya saja nikah siri yang
dikenal pada masa dahulu berbeda pengertiannya dengan nikah siri pada saat ini. Dahulu
yang dimaksud dengan nikah siri yaitu pernikahan sesuai dengan rukun-rukun perkawinan
Lex Jurnalica Volume 11 Nomor 2, Agustus 2014

dan syaratnya menurut syariat, hanya saja


saksi diminta tidak memberitahukan terjadinya
pernikahan tersebut kepada khalayak ramai,
kepada masyarakat, dan dengan sendirinya
tidak ada walimatul-ursy. Adapun nikah siri
yang dikenal oleh masyarakat Indonesia sekarang ini adalah pernikahan yang dilakukan
oleh wali atau wakil wali dan disaksikan oleh
para saksi, tetapi tidak dilakukan di hadapan
Petugas Pencatat Nikah sebagai aparat resmi
pemerintah atau tidak dicatatkan di Kantor
Urusan Agama bagi yang beragama Islam atau
di Kantor Catatan Sipil bagi yang tidak beragama Islam.
Berdasarkan latar belakang tersebut,
penelitian ini memfokuskan kajian pasa permasalahan yaitu Bagaimana kedudukan hukum nikah siri dilihat dari Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1974? dan Bagaimana akibat
hukum terhadap anak hasil perkawinan siri
ditinjau menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 ?
Metode penelitian yang dipakai adalah
dengan pendekatan normatif yaitu dengan
melakukan penelitian dari bahan pustaka dan
studi dokumen.

Pembahasan
Anak sebagai hasil dari suatu perkawinan merupakan bagian yang sangat penting kedudukannya dalam suatu keluarga menurut hukum perkawinan islam. Seorang anak
yang sah ialah anak yang dianggap lahir dari
perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya.
Dan sahnya seorang anak didalam islam adalah
menentukan apakah ada atau tidak hubungan
kebapakan (nasab) dengan seorang laki-laki.
Hukum positif di Indonesia membedakan antara keturunan yang sah dan keturunan yang tidak sah. Keturunan yang sah
didasarkan atas adanya pekawinan yang sah,
dalam arti bahwa yang satu adalah keturunan
yang lain berdasarkan kelahiran dalam atau
sebagai akibat perkawinan yang sah, anak-anak
yang demikian disebut anak sah. Sedangkan
keturunan yang tidak sah adalah keturunan
yang tidak didasarkan atas suatu perkawinan
yang sah, orang menyebut anak yang demikian
ini adalah anak luar kawin.
Tidak semua anak yang lahir diluar suatu ikatan perkawinan yang sah, boleh diakui.

132

Akibat Hukum Terhadap Anak Hasil Perkawinan Siri Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

Jadi ada anak luar kawin yang tertentu yang


tidak boleh diakui.
Menurut Undang-Undang Perkawinan
(UU No.1 Tahun 1974) dan Kompilasi Hukum
Islam, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah,
meskipun anak tersebut lahir dari perkawinan
wanita hamil yang usia kandungannya kurang
dari enam bulan lamanya sejak ia menikah
resmi. Hal ini diatur dalam Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974.
Ada perbedaan pokok aturan dan
pemahaman mengenai anak sah antara hukum
islam dan hukum perkawinan Indonesia yaitu
menurut hukum perkawinan islam anak yang
sah adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah dimana kelahiran anak dari
wanita hamil yang kandungannya minimal
berusia 6 (enam) bulan dari perkawinan yang
sah atau kemungkinan terjadinya hubungan
badan antara suami istri dari perkawinan yang
sah tersebut maka anak itu adalah anak yang
sah. Apabila anak tersebut dilahirkan kurang
dari 6 bulan masa kehamilan dari perkawinan
sah ibunya atau di mungkinkan adanya
hubungan badan maka anak tersebut dalam
hukum islam adalah anak tidak sah sehingga
anak hanya berhak terhadap ibunya.
Sesuai dengan ketentuan UndangUndang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, bahwa perkawinan bertujuan untuk
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkawinan siri atau perkawinan dibawah tangan adalah perkawinan yang tidak
dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN).
Perkawinan yang tidak berada dibawah pengawasan PPN, dianggap sah secara agama, tetapi
tidak mempunyai kekuatan hukum karena
tidak memiliki bukti-bukti perkawinan yang
sah menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pendapat lain menyebutkan bahwa
perkawinan siri atau perkawinan dibawah
tangan adalah perkawinan yang dilaksanakan
dengan tidak memenuhi syarat dan prosedur
peraturan perundangan. Terdapat perbedaan
pendapat tentang sah tidaknya perkawinan
dibawah tangan, dikarenakan adanya perbedaan penafsiran terhadap ketentuan pasal 2
ayat (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang perkawinan. Yang pasti ketentuan pasal 2
ayat (2) yang mengharuskan pencatatan perLex Jurnalica Volume 11 Nomor 2, Agustus 2014

kawinan terpisah dengan ketentuan pasal 2


ayat (1) yang mengatur tentang sahnya perkawinan yang harus dilakukan menurut
hukum agama dan kepercayaannya.
Biasanya yang menjadi korban akibat
adanya perkawinan siri ini, yang biasanya
muncul jika ada masalah, bentrokan, dan suatu
kepentingan,dalam
bentuk
pengingkaran
terjadinya perkawinan dibawah tangan yang
dilakukan dan tidak jarang pula anak yang
dilahirkan dalam perkawinan itu tidak diakui.
Adapun dampak dari perkawinan siri yaitu :
1. Terhadap Isteri
Perkawinan siri berdampak sangat merugikan bagi isteri dan perempuan pada
umumnya, baik secara hukum maupun sosial.
Secara hukum isteri tidak dianggap sebagai
isteri sah, tidak berhak atas nafkah dan warisan
dari suami jika iameninggal dunia, dan isteri
tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi
perpisahan, karena secara hukum perkawinan
tersebut dianggap tidak pernah terjadi. Sedangkan secara sosial isteri akan sulit bersosialisasi
karena perempuan yang melakukan perkawinan siri sering dianggap telah tinggal serumah
dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan (alias
kumpul kebo) ataudianggap menjadi isteri
simpanan.
2. Terhadap anak
Sementara terhadap anak, tidak sahnya
perkawinan siri menurut hukum negara memiliki dampak negatif bagi status anak yang
dilahirkan dimata hukum, yaitu status anak
yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak
sah. Konsekuensinya, anak hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibu dan keluarga
ibu. Artinya, anak tidak mempunyai hubungan
hukum terhadap ayahnya pasal 42 dan pasal 43
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam pasal
100. Didalam akta kelahirannyapun statusnya
dianggap sebagai anak luar kawin, sehingga
dicantumkan nama ibu yang melahirkannya.
Keterangan berupa status sebagai anak luar
kawin dan tidak tercantumnya nama ayah akan
berdampak sangat mendalam secara sosial dan
psikologis bagi sianak dan ibunya. Kemudian,
ketidak jelasan status si anak dimuka hukum,
mengakibatkan hubungan antara ayah dan
anak tidak kuat, sehingga bisa saja suatu waktu
ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut
bukan anak kandungnya. Yang jelas meru-

133

Akibat Hukum Terhadap Anak Hasil Perkawinan Siri Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

gikan, anak tidak berhak atas biaya kehidupan


dan pendidikan, nafkah dan warisan dan
ayahnya.

Kedudukan Hukum Nikah Siri Dilihat


Dari Undang-Undang No 1 Tahun 1974
Menurut peraturan perundang-undangan perkawinan siri memanglah tidak sah,
berbeda dengan apa yang telah diatur dalam
hukum islam, sehingganya dalam pembahasan
penulis kali ini mengupas perkawinan siri dari
segi Undang-Undang dan Hukum Islam.
Adapun nikah siri yang dikenal oleh
masyarakat Indonesia sekarang ini adalah
pernikahan yang dilakukan oleh wali atau
wakil wali yang disaksikan oleh para saksi,
tetapi tidak dilakukan dihadapan petugas
pencatat nikah sebagai aparat resmi pemerintah
atau perkawinan yang tidak dicatatkan di
Kantor Urusan Agama bagi yang beragama
Islam atau di Kantor Catatan Sipil bagi yang
tidak beragama islam, sehingga dengan sendirinya tidak mempunyai Akta Nikah yang
dikeluarkan oleh pemerintah. Perkawinan yang
demikian dikalangan masyarakat selain dikenal
dengan istilah nikah siri, dikenal juga dengan
sebutan perkawinan bawah tangan.
Munculnya nikah siri yang dipraktekkan masyarakat ialah setelah diundangkannya Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan dan dikeluarkannya Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974. Dalam kedua peraturan tersebut disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan selain
harus dilakukan menurut ketentuan agama
juga harus dicatatkan. Dalam Pasal 2 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, disebutkan :
1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agama
dan kepercayaan itu.
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan dari Pasal 2 ayat (2) UndangUndang No 1 Tahun 1974 selanjutnya diatur
lebih lanjut dalam peraturan pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975. Pasal-Pasal yang berkaitan dengan tatacara perkawinan dan pencatatannya, antara lain Pasal 10, 11, 12, dan 13.

Lex Jurnalica Volume 11 Nomor 2, Agustus 2014

Pasal 10 PP No. 9 Tahun 1975 mengatur


tatacara perkawinan. Dalam ayat (2) disebutkan: Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya. Dalam ayat (3) disebutkan:
Dengan mengindahkan tatacara perkawinan
menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan
pegawai pencatat dan dihadiri oleh kedua
orang saksi.
Dari ketentuan perundang-undangan
diatas dapat diketahui bahwa peraturan
perundang-undangan sama sekali tidak mengatur materi perkawinan, bahkan ditandaskan
bahwa perkawinan sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaan itu. Peraturan perundangan hanya
mengatur perkawinan dari formalitasnya, yaitu
perkawinan sebagai sebuah peristiwa hukum
yang harus dilaksanakan menurut peraturan
hukumnya.
Sejalan dengan kerangka teoritik maka
suatu akad nikah dapat terjadi dalam dua
bentuk. (1), akad nikah yang dilakukan itu
hanya semata-mata memenuhi ketentuan Pasal
2 ayat (1) Undang-Undang No 1 Tahun 1974,
yakni telah dilaksanakan dan telah memenuhgi
ketentuan agama yang dianut. (2), akad nikah
dilakukan menurut ketentian ayat (1) dan ayat
(2) secara simultan, yakni telah dilaksanakan
sesuai aturan agama dan telah dicatatkan pada
pegawai pencatat nikah.
Apabila bentuk akad nikah yang pertama yang dipilih, maka perkawinan tersebut
telah diakui sebagai perkawinan yang sah menurut ajaran agama, tetapi tidak diakui sebagai
perbuatan hukum yang mempunyai akibat
hukum oleh Negara. Oleh sebab itu, perkawinan semacam ini tidak mendapat pengakuan dan tidak dilindungi secara hukum.
Seharusnya,
karena
pencatatan
disini
merupakan perintah Allah SWT, maka umat
islam dalam melangsungkan perkawinan memilih bentuk kedua diatas, yakni memenuhi
ketentuan ayat (1) dan ayat (2) sekaligus. Kedua unsur pada ayat tersebut berfungsi secara
kumulatif, dan bukan alternativ. Unsur pertama berperan memberi label sah kepada
perkawinan itu, sedangkan unsur kedua memberi label bahwa perkawinan tersebut merupakan perbuatan hukum.
Oleh karena itu, perbuatan itu mendapat pengakuan dan dilindungi oleh hukum.

134

Akibat Hukum Terhadap Anak Hasil Perkawinan Siri Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

Dengan demikian, memenuhi unsur kedua


(pencatatan) dalam suatu perkawinan menjadi
sangat penting, karena walaupun keberadaannya hanya bersifat administrativ, tetapi
peran dari pada pencatatan (akta nikah) tersebut merupakan bukti otentik tentang telah
dilangsungkannya perkawinan yang sah.
Dengan demikian, melangsungkan perkawinan
hanya dengan memenuhi unsur agama saja
sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (1) di atas,
itu belum cukup, walaupun perkawinan tersebut telah dinyatakan sah oleh agama, karena
unsur yang pertama menyangkut yuridis, dan
unsur yang kedua menyangkut masalah
administrativ, meskipun akhirnya secara tidak
langsung juga akan berkaitan dengan masalah
yuridis, khususnya mengenai hal pembuktian.
Jadi, untuk dapat membuktikan bahwa suatu
perkawinan telah dilangsungkan sesuai dengan
ajaran agama adalah melalui akta nikah, karena
akta nikah merupakan bukti otentik.
Jadi, dapat ditarik satu kesimpulan
bahwa perkawinan siri atau perkawinan
dibawah tangan atau perkawinan yang tidak
memenuhi unsure ketentuan pada Pasal 2 ayat
(1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawinan sah menurut agama
namun tidak sah menurut Undang-Undang,
karena tidak memiliki kekuatan hukum yang
dapat digunakan sebagai bukti otentik telah
dilangsungkannya sebuah perkawinan.

Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang


Perkawinan No. 1 Tahun 1974
Menurut Undang-Undang No.1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan membedakan
keturunan sah dan tidak sah: (I Ketut Oka
Setiawan dan Arrisman, 2010:112)
1. Keturunan sah diatur dalam pasal 42
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan :
Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
2. Keturunan yang tidak sah diatur dalam
pasal 43 Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan :
a. Anak yang dilahirkan diluar perkawinan
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
b. Kedudukan anak tersebut angka 1 diatas
selanjutnya diatur dalam Peraturan Peme-

Lex Jurnalica Volume 11 Nomor 2, Agustus 2014

rintah (namun sampai sekarang Peraturan


Pemerintah yang dimaksud belum ada).
Penyangkalan anak oleh suami, diatur
dalam pasal 44 Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 : (I Ketut Oka Setiawan dan Arrisman,
2010:113)
a. Seorang suami dapat menyangkal sahnya
anak bilamana ia dapat membuktikan
bahwa isterinya telah berzina dan anak tersebut akibat dari pada perzinaan tersebut.
b. Pengadilan
memberikan
keputusan
tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.
Apabila melihat ketentuan dalam Pasal
43 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa
Anak yang dilahirkan diluar perkawinan
hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya sehingga bunyi
pasal diatas juga sebenarnya menimbulkan
banyak penafsiran karena kalimat dilahirkan
diluar perkawinan itu sebenarnya mengandung makna bahwa yang dimaksud dengan di
luar perkawinan itu adalah suatu kelahiran
yang sama sekali tanpa adanya proses perkawinan, misalnya anak yang lahir dari perzinahan, atau juga termasuk dalam pengertian
perkawinan yang tidak sah berdasarkan hukum agama sebagaimana yang disyaratkan
oleh ketentuan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
No. 1 Tahun Tentang Perkawinan, atau sebenarnya menunjuk pada proses perkawinan
yang tidak didaftarkan sesuai dengan pasal 2
ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan.
Tiga keadaan yang disebutkan diatas
masing-masing memiliki persoalan hukum
yang berbeda, karena jika maksudnya menunjuk pada keadaan yang sama sekali tidak
pernah ada perkawinan, maka anak yang lahir
dari perkawinan siri tidak boleh digolongkan
anak luar kawin, karena kelahiran anak
tersebut dilahirkan dalam atau sebagai akibat
dari perkawinan yang sah. Jika maksudnya
adalah perkawinan yang tidak dicatatkan maka
rumusan kalimat pasal 43 ayat (1) UndangUndang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
tersebut menjadi tidak cocok, karena antara
perkawinan dengan pencatatan merupakan
dua hal yang berbeda walaupun yang satu

135

Akibat Hukum Terhadap Anak Hasil Perkawinan Siri Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

memberikan pengaruh bagi yang lain. (D. Y .


Witanto, 2012:142-143)
Sedangkan latar belakang timbulnya
anak luar kawin disebabkan oleh : (D. Y .
Witanto, 2012:142-143)
1. Anak yang dilahirkan oleh seorang wanita
tetapi wanita itu tidak mempunyai ikatan
perkawinan
dengan
pria
yang
menyetubuhinya dan tidak mempunyai
ikatan perkawinan dengan pria atau
wanita lain.
2. Anak yang dilahirkan dari seorang wanita,
kelahiran
tersebut
diketahui
dan
dikehendaki oleh salah satu atau ibu
bapaknya, hanya saja salah satu atau kedua
orang tuanya itu masih terikat dengan
perkawinan lain.
3. Anak yang lahir dari seorang wanita dalam
masa iddah perceraian tetapi anak yang
dilahirkan itu merupakan hasil hubungan
dengan pria yang bukan suaminya ada
kemungkinan anak luar kawin ini dapat
diterima oleh keluarga kedua belah pihak
secara wajar jika wanita yang melahirkan
itu
kawin
dengan
pria
yang
menyetubuhinya.
4. Anak yang lahir dari seorang wanita yang
ditinggal suami lebih dari 300 hari anak
tersebut tidak diakui suaminya sebagai
anak yang sah.
5. Anak yang lahir dari seorang wanita
padahal agama yang mereka peluk
menentukan lain, misalnya dalam agama
katolik tidak mengenal cerai hidup tetapi
dilakukan juga kemudian ia kawin lagi dan
melahirkan anak. Anak tersebut dianggap
anak luar kawin.
6. Anak yang lahir dari seorang wanita
sedangkan pada mereka berlaku ketentuan
negara melarang mengadakan perkawinan
misalnya Warga Negara Indonesia (WNI)
dan Warga Negara Asing (WNA) tidak
mendapat ijin dari kedutaan besar untuk
mengadakan perkawinan karena salah satu
dari mereka telah mempunyai isteri tetapi
mereka tetap campur dan melahirkan anak
tersebut anak ini dinamakan juga anak luar
kawin.
7. Anak yang dilahirkan oleh seorang wanita
tetapi anak tersebut sama sekali tidak
mengetahui kedua orang tuanya.

Lex Jurnalica Volume 11 Nomor 2, Agustus 2014

8. Anak yang lahir dari perkawinan yang


tidak dicatat dikantor catatan sipil
dan/atau Kantor Urusan Agama.
9. Anak yang lahir dari perkawinan secara
adat tidak dilaksanakan menurut agama
dan kepercayaan serta tidak didaftar di
Kantor Catatan Sipil dan Kantor Urusan
Agama.
Terjadinya kelahiran seorang anak yang
tanpa didahului oleh suatu ikatan perkawinan
akan memberi status kepada si anak yang
dilahirkan sebagai anak luar kawin. Sedangkan
pengertian kawin siri yang berkembang dalam
masyarakat saat ini adalah suatu perkawinan
yang dilakukan oleh kedua mempelai dengan
memenuhi semua rukun dan syarat perkawinan menurut ketentuan hukum agama islam,
namun proses perkawinan tersebut tidak
dilakukan dihadapan pegawai pencatat perkawinan sehingga oleh karenanya perkawinan
tersebut tidak dicatat dalam daftar catatan
perkawinan di Kantor Pencatat Perkawinan
dan tidak memiliki surat nikah yang dikeluarkan oleh pemerintah. (I Ketut Oka Setiawan
dan Arrisman, 2010: 151)
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan tidak mengenal lembaga
pengakuan dan pengesahan, hal sejenis itu ada
dalam hukum adat. Karena singkatnya aturan
Undang-Undang Perkawinan ini perihal
kedudukan anak, maka bila ketentuan sebelumnya (KUH Perdata) yang diuraikan dimuka
belum mendapat pengaturan dalam UndangUndang Perkawinan dan mereka menginginkan menggunakannya maka masih dapat
diberlakukan melalui ketentuan pasal 66
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan.

Akibat Hukum Nikah Siri Terhadap Kedudukan Anak


Pembahasan mengenai anak, hak dan
kewajibannya serta hubungannya dengan
orang tuanya menurut hukum islam, UUP dan
KHI telah dijelaskan pada Bab II sebelumnya.
Dalam paparan berikut akan dikupas mengenai
kedudukan anak dari hasil perkawinan siri
dalam hubungannya dengan hukum Negara
(UUP dan KHI).

136

Akibat Hukum Terhadap Anak Hasil Perkawinan Siri Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

Sebelum Adanya
46/PUU-VIII/2010

Putusan

MK

No

Anak-anak
yang
dilahirkan
dari
perkawinan siri dianggap sebagai anak luar
kawin (dianggap tidak sah) oleh Negara sehingga akibat hukuimnya anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan
keluarganya sedang hubungan perdata dengan
ayahnya tidak ada (pasal 42 dan 43 UUP dan
pasal 100 KHI), (http://www.lbh-apik.or.id). Bunyi
dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974
mengatur kedudukan anak luar kawin dalam
pasal 43, yaitu :
1. Anak yang dilahirkan diluar perkawinan
hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya;
2. Kedudukan anak tersebut ayat (1) diatas
selanjutnya akan diatur dalam peraturan
Peraturan Pemerintah.
Akibat hukum yang lain dari nikah siri
terhadap anak adalah anak tidak dapat
mengurus akta kelahiran. hal itu bisa dilihat
dari permohonan akta kelahiran yang diajukan
kepada kantor catatan sipil. Bila tidak dapat
menunjukan akta nikah orangtua si anak
tersebut, maka didalam akta kelahiran anak itu
statusnya dianggap sebagai anak luar nikah,
tidak tertulis nama ayah kandungnya dan
hanya tertulis ibu kandungnya saja. Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah dan
tidak tercatatnya nama si ayah akan berdampak
sangat mendalam secara sosial dan psikologis
bagi si anak dan ibunya.
Ketidak jelasan status si anak di muka
hukum, mengakibatkan hubungan antara ayah
dan anak tidak kuat, sehingga bisa saja suatu
waktu ayahnya menyangkal bahwa anak
tersebut adalah anak kandungnya.
Akibat lebih jauh dari perkawinan yang
tidak tercatat adalah anak-anak yang dilahirkan
dari perkawinan tersebut tidak berhak
menuntut nafkah, biaya pendidikan, ataupun
warisan dari ayahnya.
Anak yang lahir diluar perkawinan atau
sebagai akibat hubungan suami istri yang tidak
sah, hanya mempunyai hubungan nasab, hak
dan kewajiban nafkah serta hak dan hubungan
kewarisan dengan ibunya serta keluarga ibunya saja, tidak dengan ayah/bapak alami
(genetiknya), kecuali ayahnya tetap mau
bertanggung jawab dan tetap mendasarkan hak
dan kewajibannya menurut hukum islam.
Lex Jurnalica Volume 11 Nomor 2, Agustus 2014

Perkawinan siri tidak dapat mengingkari


adanya hubungan darah dan keturunan antara
ayah biologis dan si anak itu sendiri. Begitu
juga ayah/bapak alami (genetik) tidak sah
menjadi wali untuk menikahkan anak alami
(genetiknya), jika anak tersebut kebetulan anak
perempuan. Jika anak yang lahir di luar pernikahan tersebut berjenis kelamin perempuan
dan hendak melangsungkan pernikahan maka
wali nikah yang bersangkutan adalah wali
hakim, karena termasuk kelompok yang tidak
mempunyai wali.
Hasil penelitian AcNielson menunjukkan bahwa responden di seluruh area yang
diteliti memiliki keyakinan yang sama tentang
konsekwensi kawin siri yaitu; istri dan anak
kapan saja bisa ditinggalkan suami; istri tak
dapat menuntut tunjangan financial untuk
membesarkan anak dari mantan suami; istri
sering akhirnya memikul seluruh tanggung
jawab membesarkan anak; anak tak punya hak
waris atas harta benda peninggalan ayahnya;
anak tak punya status yang jelas tentang
ayahnya, sehingga sulit ketika membuat akta
kelahiran anak. (Hasil penelitian di beberapa
daerah jawa trengah dan jawa barat oleh AcNeilson,
2006)
Menurut Rifka Kurnia, dampak hukum
yang timbul dari sebuah pernikahan siri akan
terjadi kalau ada perceraian, sering dijumpai
hak-hak anak-anak dikeluarga yang melakukan
nikah siri terabaikan. Karena pria yang melakukan nikah siri tidak mau bertanggung jawab
atas biaya pendidikan dan kebutuhan sianak.
Anak-anak yang lahir dari pernikahan siri
biasanya juga kesulitan dalam mendapat Akte
kelahiran,
sebab
orang
tuanya
tidak
mempunyai akta nikah. Dan yang paling
pokok, nikah siri tidak dapat disahkan oleh
Negara kecuali jika akan dilakukan penetapan
atau
pengesahan
(Itsbat
nikah).
(www.idlo.int/bandaacehawareness)
Harus diakui tidak semua anak lahir
dari perkawinan yang sah, bahkan ada kelompok anak yang lahir sebagai akibat dari
perbuatan zina. Anak-anak yang tidak beruntung ini kedudukan hukunya yang berkaitan
dengan hak-hak keperdataan mereka tentu saja
amat tidak menguntungkan, padahal kehadiran
mereka didunia ini atas kesalahan dan dodadosa orang yang membangkitkan mereka.
Anak-anak yang disebut anak luar nikah ini,
diasumsikan relatif banyak terdapat di

137

Akibat Hukum Terhadap Anak Hasil Perkawinan Siri Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

Indonesia dan sebagian besar dari mereka


berasal dari orang-orang yang beragama islam
termasuk anak-anak yang dilahirkan dari perkawian siri.
Salah satu masalah yang paling krusial
dalam perkawinan siri adalah bilamana rumah
tangga yang dilakoni suami isteri itu telah
melahirkan keturunan (anak). Dampak negatifnya berujung pada si anak. Paling tidak anakanak kurang mendapat perlakuan yang semestinya dibanding dengan anak-anak dari
keluarga yang resmi. Secara syariat islam, hubungan anak dengan ayah dan ibunya tidak
masalah tetapi bila dihadapkan dengan hukum
Negara hubungan keperdataan dengan ayah
biologisnya tidak diakui.
Derita sianak semakin bertambah bila
ayah dan keluarga ayahnya tidak mengakui
dan hanya diakui oleh ibu dan keluarga ibunya
sehingga fasilitas pendukung hidupnya
terputus. Apalagi bila ibunya telah ditinggalkan atau dicerai ayahnya, semua hak ibu
dan anaknya tidak didapat kecuali ada
kesadaran dari ayahnya untuk menjalankan
ketentuan agama.

Setelah Adanya Putusan MK No 46/PUUVIII/2010


Sebagaimana pada penjelasan sebelumnya, bahwa anak yang dilahirkan diluar
perkawinan yang sah hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya. Hal ini sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Pasal 43 ayat
(1).
Namun, Pasal ini dimaknai berbeda
setelah adanya Putusan MK No 46/PUUVIII/2010 yang dikeluarkan pada tanggal 17
Februari 2012, yang pada pokoknya sebagai
berikut:
1. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3019)
yang menyatakan, Anak yang dilahirkan di
luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya,
bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 sepanjang dimaknai menghilangkan
hubungan perdata dengan laki-laki yang
dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
Lex Jurnalica Volume 11 Nomor 2, Agustus 2014

pengetahuan dan teknologi dan/atau alat


bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya;
2. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3019)
yang menyatakan, Anak yang dilahirkan di
luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya,
tidak memiliki kekuatan hukum mengikat
sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang
dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat
bukti lain menurut hukum ternyata
mempunyai hubungan darah sebagai
ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya serta
dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut
hukum mempunyai hubungan darah, termasuk
hubungan perdata dengan keluarga ayahnya;
Putusan di atas, didasarkan pada pertimbangan bahwa pokok permasalahan hukum
mengenai anak yang dilahirkan di luar perkawinan adalah mengenai makna hukum (legal
meaning) frasa yang dilahirkan di luar perkawinan. Untuk memperoleh jawaban dalam
perspektif yang lebih luas perlu dijawab pula
permasalahan terkait, yaitu permasalahan tentang sahnya anak.
Secara alamiah, tidaklah mungkin
seorang perempuan hamil tanpa terjadinya
pertemuan antara ovum dan spermatozoa baik
melalui hubungan seksual (coitus) maupun
melalui cara lain berdasarkan perkembangan
teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Oleh karena itu, tidak tepat dan tidak
adil manakala hukum menetapkan bahwa anak
yang lahir dari suatu kehamilan karena
hubungan seksual di luar perkawinan hanya
memiliki hubungan dengan perempuan
tersebut sebagai ibunya. Adalah tidak tepat dan
tidak adil pula jika hukum membebaskan lakilaki yang melakukan hubungan seksual yang
menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya

138

Akibat Hukum Terhadap Anak Hasil Perkawinan Siri Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

sebagai seorang bapak dan bersamaan dengan


itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap
lelaki tersebut sebagai bapaknya. Lebih-lebih
manakala berdasarkan perkembangan teknologi yang ada memungkinkan dapat dibuktikan bahwa seorang anak itu merupakan anak
dari laki-laki tertentu.
Akibat hukum dari peristiwa hukum
kelahiran karena kehamilan, yang didahului
dengan hubungan seksual antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki, adalah
hubungan hukum yang di dalamnya terdapat
hak dan kewajiban secara bertimbal balik, yang
subjek hukumnya meliputi anak, ibu, dan
bapak.
Berdasarkan uraian di atas, hubungan
anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak
tidak semata-mata karena adanya ikatan
perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan
pada pembuktian adanya hubungan darah
antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai
bapak. Dengan demikian, terlepas dari soal
prosedur atau administrasi perkawinannya,
anak yang dilahirkan harus mendapatkan perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka
yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di
luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak
berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya. Anak yang dilahirkan tanpa memiliki
kejelasan status ayah seringkali mendapatkan
perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengahtengah masyarakat. Hukum harus memberi
perlindungan dan kepastian hukum yang adil
terhadap status seorang anak yang dilahirkan
dan hak-hak yang ada padanya, termasuk
terhadap anak yang dilahirkan meskipun
keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan.
Oleh karena itu, berdasarkan uraian
tersebut di atas maka Pasal 43 ayat (1) UndangUndang No 1 Tahun 1974 yang menyatakan,
Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya harus dibaca, Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta
dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum
mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan
perdata dengan keluarga ayahnya, dan Pasal 43
ayat (1) Undang-Undang No 1 Tahun 1974
yang menyatakan, Anak yang dilahirkan di luar
Lex Jurnalica Volume 11 Nomor 2, Agustus 2014

perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata


dengan ibunya dan keluarga ibunya adalah
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) yakni inkonstitusional sepanjang ayat
tersebut dimaknai menghilangkan hubungan
perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan/atau alat bukti lain. Secara singkat,
Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan No. 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari
2012 memutus bahwa Pasal 43 ayat (1) UU No.
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) bertentangan dengan UUD 1945 bila
tidak dibaca:
Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya serta dengan lakilaki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan/atau alat bukti lain menurut hukum
mempunyai hubungan darah, termasuk
hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.
Tujuan dari MK adalah untuk menegaskan bahwa anak luar kawin pun berhak
mendapat perlindungan hukum. Menurut pertimbangan MK, hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil
terhadap status seorang anak yang dilahirkan
dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih disengketakan.
Penting untuk dicatat bahwa putusan
MK No. 46/PUU-VIII/2010 tidak menyebut
soal akta kelahiran anak luar kawin maupun
akibat hukum putusan tersebut terhadap akta
kelahiran anak luar kawin. Implikasi putusan
MK ini berkaitan dengan status hukum dan
pembuktian asal usul anak luar kawin.
Hubungannya dengan akta kelahiran adalah
karena pembuktian asal-usul anak hanya dapat
dilakukan dengan akta kelahiran otentik yang
dikeluarkan oleh pejabat berwenang sesuai
dengan yang diatur dalam Pasal 55 ayat (1) UU
Perkawinan..
Mengenai konsekuensi hukum dengan
dikeluarkannya suatu akta kelahiran terhadap
anak luar kawin ialah di dalam akta kelahiran
anak tersebut hanya tercantum nama ibunya.
Karena pada saat pembuatan akta kelahiran,
status sang anak masih sebagai anak luar kawin

139

Akibat Hukum Terhadap Anak Hasil Perkawinan Siri Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

yang hanya diakui memiliki hubungan darah


dan hubungan perdata dengan ibu dan
keluarga ibunya saja.
Dalam akta kelahiran anak luar kawin
tercantum bahwa telah dilahirkan seorang anak
dengan tercantum nama, hari dan tanggal
kelahiran, urutan kelahiran, nama ibu dan
tanggal kelahiran ibu (menyebut nama ibu saja,
tidak menyebut nama ayah si anak). Demikian
ketentuan Pasal 55 ayat (2) huruf a PP No. 37
Tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU No. 23
Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Dengan adanya putusan MK No.
46/PUU-VIII/2010, hubungan antara anak luar
kawin dengan bapaknya adalah hubungan
darah dalam arti biologis yang dikukuhkan
berdasarkan proses hukum. Putusan MK membuka kemungkinan hukum bagi ditemukannya
subyek hukum yang harus bertanggungjawab
terhadap anak luar kawin untuk bertindak
sebagai bapaknya melalui mekanisme hukum
dengan menggunakan pembuktian berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir
dan/atau hukum.
Dengan kata lain, setidaknya ada dua
cara untuk dapat menjadikan sang anak luar
kawin memiliki hubungan darah dan juga
hubungan perdata dengan ayah biologisnya
dan keluarga ayahnya, yaitu;
1. pengakuan oleh sang ayah biologis; atau
2. pengesahan oleh sang ayah biologis
terhadap anak luar kawin tersebut.
Putusan Mahkamah Konstitusi hanya
menguatkan kedudukan ibu dari si anak luar
kawin dalam memintakan pengakuan terhadap
ayah biologis dari si anak luar kawin tersebut,
apabila si ayah tidak mau melakukan pengakuan secara sukarela terhadap anak luar kawin.
Dengan diakuinya anak luar kawin oleh ayah
biologisnya, maka pada saat itulah timbul
hubungan perdata dengan si ayah biologis dan
keluarga ayahnya. Dengan demikian, setelah
adanya proses pengakuan terhadap anak luar
kawin tersebut, maka anak luar kawin tersebut
terlahirlah hubungan perdata antara anak itu
dengan ayahnya sebagaimana diatur Pasal 280
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPer) yang berbunyi:

Lex Jurnalica Volume 11 Nomor 2, Agustus 2014

Dengan pengakuan terhadap anak di luar kawin,


terlahirlah hubungan perdata antara anak itu
dan bapak atau ibunya.
Dalam hal ini, penting untuk dicatat
bahwa anak yang dilahirkan karena perzinaan
atau penodaan darah (incest, sumbang) tidak
boleh diakui. Hal ini diatur dalam Pasal 283
KUHPer.
Akil Mochtar juga menjelaskan mengenai akibat dan Kedudukan Anak Luar
Kawin Pasca Putusan MK. Menurut beliau,
anak yang dilahirkan dalam perkawinan sirri,
seharusnya, termasuk dalam anak sah karena
dengan adanya putusan MK telah diakui
bahwa perkawinan yang dilakukan sesuai
dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh
agama masing-masing pasangan calon mempelai adalah perkawinan yang sah meskipun
perkawinan itu tidak dicatat dalam catatan
administratif negara. Akan tetapi, dalam prakteknya anak yang dilahirkan dalam perkawinan sirri justru digolongkan kedalam anak
luar kawin sehingga si anak tidak memperoleh
hak-hak keperdataan sebagaimana mestinya. Si
anak dalam akta kelahirannya tidak dicantumkan nama Bapaknya sehingga muncul stigma
negatif di masyarakat. Ditambah lagi, berkembang praktek di masyarakat bahwa perkawinan
sirri merupakan praktek poligami terselubung.
Pihak laki-laki, terutama, seringkali menyangkal adanya perkawinan tersebut sehingga hakhak anak yang lahir dalam perkawinan tersebut
tidak dipenuhi.
Proses pengakuan anak luar kawin
dalam perkawinan sirri dapat dilakukan
dengan pengakuan sukarela dari laki laki
yang menjadi ayahnya. Akan tetapi, terhadap
proses pengakuan anak yang dilahirkan dalam
perkawinan sirri yang menimbulkan sengketa
maka harus dapat dibuktikan kebenaran
mengenai laki-laki yang menjadi ayah dari si
anak melalui proses peradilan. Proses peradilan
dalam pemeriksaan dan pembuktian kebenaran
ayah dari si anak, tidak serta merta mengukuhkan perkawinan yang dilakukan secara sirri
menjadi tercatat secara administratif menurut
aturan administrasi negara. Bila peradilan
membenarkan adanya hubungan darah antara bapak dan anak dalam perkawinan siri
tersebut maka kedudukan anak adalah sebagai
anak yang sah, sehingga hak-hak keperdataan
anak menjadi layaknya hak-hak keperdataan

140

Akibat Hukum Terhadap Anak Hasil Perkawinan Siri Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

anak sah. Putusan MK ini berimbas juga pada


anak yang dilahirkan akibat perbuatan zina.
Terhadap kelompok anak luar kawin ini maka
pemberlakuan aturan hukum harus dilakukan
secara cermat, sesuai dengan konteks hukum
yang berlaku.
Akil juga menanggapi dampak yang
dapat terjadi pasca putusan MK tersebut.
Dampak yang dapat diprediksi adalah akan
banyaknya pihak-pihak yang mengajukan perkara ke Pengadilan (PA/PN) dalam kaitan
dengan gugatan hak-hak keperdataan anak
luar kawin, baik berupa Itsbat Nikah (bagi yang
telah kawin sirri ) maupun pengesahan asal usul anak (bagi yang tidak kawin sirri), nafkah
anak, waris dsb. Selain itu Kantor Pencatatan
Sipil juga akan banyak menangani permohonan
akte kelahiran dan ini akan berdampak pula
pada Instansi terkait lainnya seperti Kantor
Kelurahan dan sebagainya. yang berkaitan
dengan pembuatan Surat Keterangan pemohon, termasuk juga Pegawai Pencatat Nikah
(KUA) yang berkaitan dengan administrasi
pernikahan dan sebagainya.

Kesimpulan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan menyatakan bahwa perkawinan itu dikatakan sah jika di catatkan
sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2), oleh
karena itu nikah siri di anggap tidak sah karena
tidak memenuhi unsure pasal tersebut.
Menurut Hukum Islam Nikah siri itu
dikatakan sah jika telah memenuhi syarat
sahnya perkawinan dan dilaksanakan menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, hal ini berdasarkan Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan
Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam. Atau dengan
kata lain perkawinan sah menurut hukum
islam apabila memenuhi syarat dan rukun
nikah.
Sebelum adanya putusan MK No
46/PUU-VIII/2010, anak dari hasil nikah siri
hanya mempunyai hubungan keperdataan
dengan ibunya dan keluwarga ibunya.
Sedangkan setelah adanya putusan MK No
46/PUU-VIII/2010, anak dari hasil nikah siri
tidak hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluawarga ibunya, akan tetapi
dapat pula memiliki hubungan keperdataan
dengan ayahnya jika mendapat pengakuan dari

Lex Jurnalica Volume 11 Nomor 2, Agustus 2014

ayah biologisnya atau dapat di buktikan


dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Putusan Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan pemohon yang mengandung cacat hukum. Kasus yang didalilkan
Pemohon adalah kasus anak yang lahir sebagai
akibat dari poligami di bawah tangan yang
menurut hukum yang berlaku masih dimungkinkan mendapatkan jaminan hukum, sedangkan yang dimohonkan adalah me-review
ketentuan Pasal 2 ayat (2) juga ketentuan Pasal
43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang status hukum anak yang lahir di
luar perkawinan.
Putusan Mahkamah Konstitusi menganalogikan anak yang lahir sebagai akibat dari
poligami di bawah tangan dengan anak yang
lahir di luar perkawinan, padahal kedua status
anak ini berada pada dua substansi yang
berlainan menurut hukum.
Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang senada dengan Pasal
100 Kompilasi Hukum Islam, substansinya
tidak bertentangan dan atau sebenarnya sejalan
dengan Pasal 28 B ayat (1) dan ayat (2) UndangUndang Dasar 1945 juga sejalan dengan
Syariat Islam.
Putusan Mahkamah Konstitusi bertentangan terutama dengan Pasal 28 B ayat (1)
UUD 45 dan bertentangan dengan Syariat
Islam. Oleh karena itu putusan MK ini akan
mengundang polemik dalam masyarakat muslim yang berkepanjangan.
Putusan Mahkamah Konstitusi melahirkan ketentuan normatif yang tidak mendorong untuk terciptanya suasana masyarakat
yang tertib dan taat hukum, melainkan
berupaya melegalisasikan suatu akibat dari
perbuatan yang melanggar hukum.
Pasal 43 ayat (1) yang telah di-review
oleh putusam Makhama Konstitusi hanya
berlaku dalam hubungan hukum keperdataan
antara anak dengan ayah biologisnya, selain
hubungan keperdataan perwalian dalam perkawinan dan selain hubungan keperdataan
dalam kewarisan.

Daftar Pustaka
Anshori, Abdul Ghofur, Hukum Perkawinan
Islam Perspektif Fikih Dan Hukum
Positif, UII Press, Yogyakarta, 2011.

141

Akibat Hukum Terhadap Anak Hasil Perkawinan Siri Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

Abidin,

Handa S., Pengertian peristiwa


penting.
Tersedia
di
http://penelitihukum.org/tag/pen
gertian-peristiwa-penting/.
(14
Januari 2013)

Bahasa Indonesia, Anak Sumbang. Tersedia


di http://en.wikipedia.org/wiki/Anak
Sumbang-Kamus
Besar
Bahasa
Indonesia. (14 Desember 2013)
Djubaidah, Neng, Pencatatan Perkawinan Dan
Perkawinan Tidak Dicatat Menurut
Hukum Tertulis di Indonesia dan
Hukum Islam, Sinar Grafika, Jakarta,
2012.
Fandi, Lia Fitri Mefia, Kedudukan Hukum
Anak Tiri Sebagai Ahli Waris Dalam
Hukum Waris Islam Dan KUH
Perdata, Skripsi, Jember, 2013.
Fattah,

Nurmadiah, Peristiwa hokum.


Tersedia
di
http://nurmadiah44ft.blogspot.com/20
13/09/peristiwa-hukum.html.
(19
September 2013).

Undang-Undang Dasar Negara


Indonesia tahun 1945.

Mahdi, Sri Soesilowati, Hukum Perdata (Suatu


Pengantar), Gitama Jaya Jakarta,
Jakarta, 2005.
Mahdi, Sri Soesilowati; Surini Alan Sjarif; dan
Akhmad Budi Cahyono, Hukum
Perdata (Suatu Pengantar), Gitama
Jaya, Jakarta, 2005.
Makalah Anak Luar Kawin. Tersedia di
https://www.google.com/search?q
=makalah+anak+luar+kawin,
(18
Desember 2013).
Pengertian

Anak Angkat, tersedia di:


http://arminaven.wordpress.com/
makalah-anak-diluar-nikah-anakangkat-dan-anak-pungut/,
(17
Desember 2013).

Setiawan, I Ketut Oka dan Arrisman, Hukum


Perdata Tentang Orang Dan Benda,
Jakarta, 2010.
Soekanto, Soerjono dan Sri Harmudji,
Penelitian Hukum Normatif suatu
Tinjauan Singkat, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2000.

Republik

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang


Perkawinan
(Lembaran
Negara
Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor
1).

Subekti, Wienarsih Imam dan Sri Soesilowati


Mahdi, Hukum Perorangan dan
Kekekluargaan Perdata Barat, Gitama
Jaya, Jakarta, 2005.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Tutik, Titik Triwulan, Hukum Perdata dalam


Sistem Hukum Nasional, Kencana,
Jakarta, 2008.

Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan


Pengangkatan Anak, PP No. 54 Tahun
2007, LN No.123, TLN No. 4768

Vollmar, H.F.A, Pengantar Studi Hukum


Perdata, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2008.

Irfan, Nurul, Nasab Dan Status Anak Dalam


Hukum Islam, AMZAH, Jakarta, 2012.

Wahyuni, Sri, Kedudukan Anak Luar Kawin


Adat Di Kecamatan Boyolali Kabupaten
Boyolali, Tesis, Semarang, 2006.

Koro,

H.M. Abdi, Perlindungan Anak


Dibawah Umur Dalam Perkawinan Usia
Muda Dan Perkawinan Siri, P.T.
Alumni, Bandung, 2012.

Lex Jurnalica Volume 11 Nomor 2, Agustus 2014

Witanto, D.Y., Hukum Keluarga Hak Dan


Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca
Keluarnya Putusan MK Tentang Uji
Materiil UU Perkawinan, Prestasi
Pustaka Jakarta, Jakarta, 2012.

142

You might also like