Professional Documents
Culture Documents
Akibat Hukum Terhadap Anak Hasil Perkawinan Siri Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Akibat Hukum Terhadap Anak Hasil Perkawinan Siri Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Abstract
Definition of marriage siri not expressly provided in the Civil Code and the Law 1 of 1974 on
Marriage . Article 2 of Law No. 1 of 1974 on Marriage just describe the sense of legal marriage.
Therefore, legally , marriage series certainly has a position and due to the status and position of a
child . The issue of how the legal position of unregistered marriages views of Law 1 of 1974
concerning marriage and how the legal effect of the position of children unregistered marriages are
reviewed according to Law No. 1 of 1974 on Marriage after the verdict of the Constitutional Court
No. 46 / PUU - VIII / 2010? (Case Study: Determination No. 683 / Pdt.P.2011.PA.SBY). The
method used is a normative legal research, descriptive research analisitis properties, as well as
qualitative data analysis. The results show, that the legal position of unregistered marriages is
actually the same as a legal marriage as specified in Article 2 paragraph (1) of Law No. 1 of 1974
on Marriage. However, due to not do the recording of the administration of the wedding series as
provided in Article 2 paragraph (2) of Law No. 1 In 1974, the legal position of unregistered
marriages , can not be recognized. Second , that the legal consequence of the position of children
unregistered marriages when viewed according to Law No. 1 of 1974 on Marriage of which is to
make the status and position of a child is not recognized when the child was born before the
marriage of his parents registered and legally recognized and recording his own birth made one (1)
year after the child is born that has exceeded the time limit of birth registration as defined in
Article 27 of Law No. 23 Year 2006 concerning Population Administration. Therefore, in taking
notes of his birth , requires the court to make a determination of the child can be recognized status
and position so that it becomes the same as the legitimate child as defined in Article 32 paragraph
(2) of Law No. 23 Year 2006 concerning Population Administration, which reads: "birth
registration deadline beyond 1 (one) year as referred to in paragraph (1), carried out by the
determination of the district court ".
Keyword: due to the law, kawin siri, constitutional court verdict
Abstrak
Pengertian perkawinan siri tidak diatur secara jelas dalam KUH Perdata dan UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
hanya menguraikan pengertian perkawinan yang sah. Oleh karena itu secara hukum,
perkawinan siri tentunya memiliki kedudukan dan akibat terhadap status dan
kedudukan seorang anak. Permasalahan bagaimana kedudukan hukum nikah siri dilihat
dari UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan bagaimana akibat hukum nikah siri
terhadap kedudukan anak ditinjau menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
pasca putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010?. Metode penelitian yang
digunakan adalah penelitian hukum normatif, sifat penelitian bersifat deskriptif
analisitis, serta analisa data secara kualitatif. Adapun hasil penelitian menunjukkan,
bahwa kedudukan hukum nikah siri sebenarnya adalah sama dengan pernikahan yang
sah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Akan tetapi dikarenakan tidak dilakukan pencatatan dari sisi
administrasinya terhadap pernikahan siri sebagaimana ditentukan Pasal 2 ayat (2) UU
No. 1 Tahun 1974 maka secara hukum kedudukan nikah siri, tidak dapat diakui. Kedua,
bahwa secara hukum akibat nikah siri terhadap kedudukan anak apabila ditinjau
menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diantaranya adalah membuat status
dan kedudukan seorang anak menjadi tidak diakui dimana anak tersebut lahir sebelum
perkawinan kedua orangtuanya tercatat dan diakui secara hukum dan pencatatan
130
Akibat Hukum Terhadap Anak Hasil Perkawinan Siri Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
kelahirannya sendiri dilakukan 1 (satu) tahun setelah anak tersebut lahir sehingga telah
melampaui batas waktu pencatatan kelahiran sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 27
UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Oleh karena itu dalam
melakukan pencatatan kelahirannya, membutuhkan penetapan dari pengadilan untuk
membuat anak tersebut dapat diakui status dan kedudukannya sehingga menjadi sama
dengan anak yang sah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 32 ayat (2) UU No. 23 Tahun
2006 tentang Administrasi Kependudukan yang berbunyi: pencatatan kelahiran yang
melampaui batas waktu 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan
berdasarkan penetapan pengadilan negeri.
Kata kunci: akibat hukum, kawin siri, putusan MK
Pendahuluan
Dalam hukum perdata barat tidak
ditemukan definisi tentang perkawinan. Istilah
perkawinan (huelijk) digunakan dalam dua arti,
yaitu:
a. Sebagai suatu perbuatan, yaitu perbuatan
melangsungkan perkawinan (Pasal 104
KUHPer). Dengan demikian perkawinan
adalah suatu perbuatan hukum yang dilakukan pada suatu saat tertentu.
b. Sebagai suatu keadaan hukum yaitu
keadaan bahwa seorang pria dan seorang
wanita terikat oleh suatu hubungan perkawinan.
Ketentuan tentang perkawinan diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) yaitu Pasal 26 sampai dengan
102 KUHPer. Ketentuan umum tentang perkawinan yang terdiri atas 1 (satu) pasal yang
disebutkan dalam pasal 26 KUHPer, bahwa
undang-undang hanya mengenal perkawinan
hanya sah apabila persyaratan yang ditetapkan
dalam KUHPer sementara itu persyaratan serta
peraturan agama dikesampingkan.
Ketentuan tentang perkawinan menurut
hukum barat sangat berbeda dengan hukum
islam. Menurut Titik Triwulan Tutik ( 2006:
106), Perkawinan dalam hukum islam disebut
Nikah yaitu melakukan suatu aqad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang
laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak,
dengan dasar suka rela dan keridhoan kedua
belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan untuk hidup berkeluarga yang meliputi
rasa kasih sayang dan ketentraman dengan
cara-cara yang diridhoi Allah.
Berdasarkan pengertian nikah sebagaimana
disebut diatas, maka disimpulkan bahwa:
1. Nikah adalah persetujuan (perjanjian) ataupun suatu aqad antara seorang pria dengan
seorang wali pihak wanita;
2. Untuk ada (terjadinya) nikah harus ada kerelaan dan kesukaan dari kedua belah pihak
yang akan melakukan nikah;
3. Nikah dilaksanakan menurut ketentuan
yang sudah diatur oleh agama yang terdapat
dalam hukum fihq.
Dalam ketentuan pasal 1 UndangUndang No 1 Tahun 1974 (UU No. 1 Tahun
1974), disebutkan bahwa perkawinan ialah
ikatan batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang
maha esa.
Dari pengertian diatas jelas terlihat
bahwa dalam sebuah perkawinan memiliki 2
(dua) aspek, yakni:
1. Aspek formil (hukum): hal ini dinyatakan
dalam kalimat ikatan lahir batin, artinya
bahwa perkawinan disamping memiliki nilai
ikatan lahir (tampak), juga memiliki ikatan
batin yang dapat dirasakan terutama oleh
kedua belah pihak;
2. Aspek sosial keagamaan: dengan kata
membentuk keluarga dan ketuhanan
yang maha esa, artinya, bahwa perkawinan
mempunyai hubungan erat sekali dengan
kerohanian, sehingga bukan saja unsur jasmani melainkan unsur batiniah juga memiliki peran penting sebagai manifestasi dari
ajaran agama.
Jika ditelaah lebih jauh dari pengertian
perkawinan diatas, maka terdapat 4 (empat)
unsur perkawinan didalamnya, yaitu:
1. Ikatan lahir batin
2. Antara seorang pria dan seorang wanita
131
Akibat Hukum Terhadap Anak Hasil Perkawinan Siri Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
3. Dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, dan
4. Berdasarkan ketuhanan yang maha esa
Dari 4 (empat) unsur perkawinan tersebut maka akan mengarah pada Tujuan
Perkawinan.
Tujuan perkawinan dapat disebutkan sebagai
berikut:
1. Untuk membina rumah tangga yang serasi,
dan penuh dengan limpahan kasih saying.
2. Memperoleh keturunan yang soleh, yang
sah dari hasil perkawinan itu;
3. Menjaga kehormatan dan harkat martabat
manusia.
Telah berlaku anggapan kebanyakan
pemuda-pemuda dari dahulu sampai sekarang,
mereka ingin kawin lantaran beberapa sebab,
diantaranya:
1. Ingin mengharapkan harta benda
2. Karena mengharapkan gelar kebangsawanannya
3. Akan ingin melihat kecantikannya
4. Karena agama dan budi pekerti yang baik.
Perkawinan merupakan bagian hidup
yang sakral, karena harus memperhatikan norma kaidah dalam bermasyarakat. Serta dengan
berbagai macam alasan yang bisa dibenarkan
perkawinan sering dilakukan dalam berbagai
macam sebutan seperti kawin bawa lari, kawin
bawah tangan dan juga kawin kontrak
sehingga muncullah kawin yang sekarang
paling popular dimasyarakat yakni kawin siri
atau nikah siri. Perkawinan yang tidak
dicatatkan ini adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan aturan agama atau adat istiadat dan tidak dicatatkan di kantor pegawai
pencatatan nikah (KUA).
Pengertian dari nikah siri, yaitu
pernikahan yang dilakukan oleh wali pihak
perempuan dengan seorang laki-laki dan
disaksikan oleh dua orang saksi, tetapi tidak
dilaporkan atau tidak dicatatkan di Kantor
Urusan Agama (KUA).
Istilah nikah siri atau nikah yang
dirahasiakan memang sudah dikenal di kalangan para ulama. Hanya saja nikah siri yang
dikenal pada masa dahulu berbeda pengertiannya dengan nikah siri pada saat ini. Dahulu
yang dimaksud dengan nikah siri yaitu pernikahan sesuai dengan rukun-rukun perkawinan
Lex Jurnalica Volume 11 Nomor 2, Agustus 2014
Pembahasan
Anak sebagai hasil dari suatu perkawinan merupakan bagian yang sangat penting kedudukannya dalam suatu keluarga menurut hukum perkawinan islam. Seorang anak
yang sah ialah anak yang dianggap lahir dari
perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya.
Dan sahnya seorang anak didalam islam adalah
menentukan apakah ada atau tidak hubungan
kebapakan (nasab) dengan seorang laki-laki.
Hukum positif di Indonesia membedakan antara keturunan yang sah dan keturunan yang tidak sah. Keturunan yang sah
didasarkan atas adanya pekawinan yang sah,
dalam arti bahwa yang satu adalah keturunan
yang lain berdasarkan kelahiran dalam atau
sebagai akibat perkawinan yang sah, anak-anak
yang demikian disebut anak sah. Sedangkan
keturunan yang tidak sah adalah keturunan
yang tidak didasarkan atas suatu perkawinan
yang sah, orang menyebut anak yang demikian
ini adalah anak luar kawin.
Tidak semua anak yang lahir diluar suatu ikatan perkawinan yang sah, boleh diakui.
132
Akibat Hukum Terhadap Anak Hasil Perkawinan Siri Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
133
Akibat Hukum Terhadap Anak Hasil Perkawinan Siri Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
134
Akibat Hukum Terhadap Anak Hasil Perkawinan Siri Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
135
Akibat Hukum Terhadap Anak Hasil Perkawinan Siri Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
136
Akibat Hukum Terhadap Anak Hasil Perkawinan Siri Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Sebelum Adanya
46/PUU-VIII/2010
Putusan
MK
No
Anak-anak
yang
dilahirkan
dari
perkawinan siri dianggap sebagai anak luar
kawin (dianggap tidak sah) oleh Negara sehingga akibat hukuimnya anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan
keluarganya sedang hubungan perdata dengan
ayahnya tidak ada (pasal 42 dan 43 UUP dan
pasal 100 KHI), (http://www.lbh-apik.or.id). Bunyi
dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974
mengatur kedudukan anak luar kawin dalam
pasal 43, yaitu :
1. Anak yang dilahirkan diluar perkawinan
hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya;
2. Kedudukan anak tersebut ayat (1) diatas
selanjutnya akan diatur dalam peraturan
Peraturan Pemerintah.
Akibat hukum yang lain dari nikah siri
terhadap anak adalah anak tidak dapat
mengurus akta kelahiran. hal itu bisa dilihat
dari permohonan akta kelahiran yang diajukan
kepada kantor catatan sipil. Bila tidak dapat
menunjukan akta nikah orangtua si anak
tersebut, maka didalam akta kelahiran anak itu
statusnya dianggap sebagai anak luar nikah,
tidak tertulis nama ayah kandungnya dan
hanya tertulis ibu kandungnya saja. Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah dan
tidak tercatatnya nama si ayah akan berdampak
sangat mendalam secara sosial dan psikologis
bagi si anak dan ibunya.
Ketidak jelasan status si anak di muka
hukum, mengakibatkan hubungan antara ayah
dan anak tidak kuat, sehingga bisa saja suatu
waktu ayahnya menyangkal bahwa anak
tersebut adalah anak kandungnya.
Akibat lebih jauh dari perkawinan yang
tidak tercatat adalah anak-anak yang dilahirkan
dari perkawinan tersebut tidak berhak
menuntut nafkah, biaya pendidikan, ataupun
warisan dari ayahnya.
Anak yang lahir diluar perkawinan atau
sebagai akibat hubungan suami istri yang tidak
sah, hanya mempunyai hubungan nasab, hak
dan kewajiban nafkah serta hak dan hubungan
kewarisan dengan ibunya serta keluarga ibunya saja, tidak dengan ayah/bapak alami
(genetiknya), kecuali ayahnya tetap mau
bertanggung jawab dan tetap mendasarkan hak
dan kewajibannya menurut hukum islam.
Lex Jurnalica Volume 11 Nomor 2, Agustus 2014
137
Akibat Hukum Terhadap Anak Hasil Perkawinan Siri Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
138
Akibat Hukum Terhadap Anak Hasil Perkawinan Siri Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
139
Akibat Hukum Terhadap Anak Hasil Perkawinan Siri Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
140
Akibat Hukum Terhadap Anak Hasil Perkawinan Siri Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Kesimpulan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan menyatakan bahwa perkawinan itu dikatakan sah jika di catatkan
sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2), oleh
karena itu nikah siri di anggap tidak sah karena
tidak memenuhi unsure pasal tersebut.
Menurut Hukum Islam Nikah siri itu
dikatakan sah jika telah memenuhi syarat
sahnya perkawinan dan dilaksanakan menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, hal ini berdasarkan Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan
Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam. Atau dengan
kata lain perkawinan sah menurut hukum
islam apabila memenuhi syarat dan rukun
nikah.
Sebelum adanya putusan MK No
46/PUU-VIII/2010, anak dari hasil nikah siri
hanya mempunyai hubungan keperdataan
dengan ibunya dan keluwarga ibunya.
Sedangkan setelah adanya putusan MK No
46/PUU-VIII/2010, anak dari hasil nikah siri
tidak hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluawarga ibunya, akan tetapi
dapat pula memiliki hubungan keperdataan
dengan ayahnya jika mendapat pengakuan dari
Daftar Pustaka
Anshori, Abdul Ghofur, Hukum Perkawinan
Islam Perspektif Fikih Dan Hukum
Positif, UII Press, Yogyakarta, 2011.
141
Akibat Hukum Terhadap Anak Hasil Perkawinan Siri Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Abidin,
Republik
Koro,
142