Professional Documents
Culture Documents
Arkipel Grand Illusion 3rd Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival - Catalogue PDF
Arkipel Grand Illusion 3rd Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival - Catalogue PDF
Arkipel Grand Illusion 3rd Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival - Catalogue PDF
Editor / Editor
Afrian Purnama, Akbar Yumni, Amy Fung, Andrie Sasono, Benjamin Cook, Budi Irawanto,
Bunga Siagian, David Teh, Gelar A. Soemantri, Hafiz Rancajale, Hikmat Budiman,
Jangwook Lee, Jonathan Manullang, Koyo Yamashita, Mahardika Yudha, Manshur Zikri,
Mary Pansanga, May Adadol Ingawanij, Merv Espina, Otty Widasari, Philip Widmann,
Ronny Agustinus, Shai Heredia, Shireen Seno, Siew-Wai Kok, Syaiful Anwar,
Ugeng T. Moetidjo, Umi Lestari.
Penerjemah / Translator
Percetakan / Printing
Gajah Hidup
Forum Lenteng
Arkipel Grand Illusion 3rd Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival
COMMITTEE
Arkipel Grand Illusion - 3rd Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival
ORGANIZING COMMITTEE
Board of Artistic
Ugeng T. Moetidjo,
Hafiz Rancajale,
Siew-Wai Kok,
Otty Widasari,
Jonathan Manullang.
Mahardika Yudha,
Yuki Aditya.
EXECUTIVE COMMITTEE
Festival Director
Yuki Aditya.
Festival Manager
Andang Kelana.
SELECTION COMMITEE
Philip Widmann.
Coordinator
Selection Team
Curator Assistant
Ugeng T. Moetidjo.
Afrian Purnama,
Akbar Yumni,
Mahardika Yudha.
Abi Rama.
Andrie Sasono,
JUROR
Syaiful Anwar,
Hafiz Rancajale,
Bunga Siagian,
Umi Lestari.
CURATORS
Film Curators
David Teh,
Ronny Agustinus,
Ronny Agustinus,
FESTIVAL OFFICE
Otty Widasari,
Afrian Purnama,
Akbar Yumni,
David Teh,
Bunga Siagian,
Budi Irawanto,
Manshur Zikri.
General Manager
Finance
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |iii
Program
Awarding Event),
Maulana Ilham,
Okky Destryan,
Naya Salsabila,
Fauziah Sabtuanisa.
Documentation Team
Volunteer Coordinator
Yose Rizal.
Serrum.
viii
xii
xiv
2
12
34
35
36
37
38
46
53
62
69
77
83
92
102
114
129
144
154
169
183
198
241
262
212
231
278
290
298
312
322
343
World Premiere
Harimau Minahasa / Tiger of Minahasa
362
377
380
382
384
386
388
Directors Index
Film Index
Acknowledgement
390
392
395
398
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |vii
PENGANTAR
CATATAN
DIREKTUR FESTIVAL
Yuki Aditya
PREFACE
NOTES FROM
FESTIVAL DIRECTOR
Welcome to ARKIPEL 3rd Jakarta International Documentary and
Experimental Film Festival!
We are very excited to be able to share knowledge and happiness about
the programs we have compiled this year.
As a film festival we are happy that ARKIPEL is more widely known and
has more networks at national, regional, and international levels. During the
three-month open submission through our website, over 1,200 titles of film
were submitted from 80 countries for the international competition session.
No less than 130 films will be screened during ARKIPEL 2015 which will
be divided into several sessions such as International Competition Program,
Grand Illusion Curatorial Program, Special Presentation Program, Special
Screenings Program, Asian Young Curator Program, World Premiere Program,
and Cinema Culture In Exhibition. This year we also expand the spectrum of
the public program that would bring Curators Talk, a Public Lecture about
distribution of documentary and experimental films, Master Class, 1965 Talk,
and equally important is the Festival Forum. Those programs will be held from
August 19 until August 29, 2015.
ARKIPEL has been intended as a forum for producing and distributing
knowledge about cinema since the first time. Therefore, the Festival Forum
invites local and international communities/institutions to share experiences,
knowledge, and networks, as we continue to need more massive activisms to
amplify socio-cultural issues through cinema. For participants who will be
present at the Festival Forum, we thank you very much!
This year we opened an opportunity to Asian young curators to showcase
their programs at ARKIPEL. Those three curatorsJonathan Manullang
(Indonesia), Siew-wai Kok (Malaysia), Merv Espina and Shireen Seno
(Filipina)are going to unveil their perspectives on South East Asian cinema.
The public program: Master Class which for the first time will be held at
ARKIPEL, invites Jon Jost to share his experience and thoughts. Jon Jost is
one of Americas maverick filmmaker who has been directing experimental
film since 1960s, who dedicates his life and career on independent works.
The headline of Cinema Culture In Exhibition #2 will be Moving Image
Colonies: Between Fact and Fiction which will highlight cinema production
x | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
in the Dutch East Indies and will be held at Galeri Cipta III - Taman Ismail
Marzuki during ARKIPEL 2015.
There is a famous proverb, third time is a charm. In organizing the third
time of ARKIPEL, we are pleased collaborate with more communities, partners,
and institutions, more than previous editions of ARKIPEL. Guest curators
and festival partners and institutions involved among others are David Teh
(Singapore), Budi Irawanto (Indonesia), Benjamin Cook (LUX Moving Image,
UK), May Adadol Ingawanij and Mary Pansanga (Bangkok Experimental Film
Festival, Thailand), Koyo Yamashita (Image Forum, Japan), Jangwook Lee
and Rena Kim (Space Cell, South Korea), Shai Heredia (Experimenta, India),
Amy Fung (Images Festival, Canada), Philip Widmann (Germany), and Iqbal
Barkat (Macquarie University, Australia). Collaboration with our associates
above is an important step in building and maintaining the network among
film festivals, curators, audiences and filmmakers, which automatically will
also open access in terms of production and distribution of knowledge more
extensively, for Indonesian society and the world in the realm of documentary
and experimental cinema.
We would say many thank yous to our festival partners, community
partners, artists, audiences, and also to all members of Forum Lenteng who
have worked hard to make this ARKIPEL Grand Illusion happen, and last
but not least, to all volunteers. We will always welcome feedback, ideas and
suggestions. See you at the festival!
Jakarta, 4 August 2015
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |xi
PENGANTAR
SAMBUTAN DEWAN
KESENIAN JAKARTA
Irawan Karseno
Ketua Pengurus Harian Dewan Kesenian Jakarta 2013-15
Dunia yang kita tempati sekarang bukanlah dunia yang sama dengan saat
kita lahir dulu.
Pada tanggal 9 November, 1989, ketika Pemerintah Jerman Timur akhirnya
membebaskan rakyatnya melintas ke Jerman Barat, dan sebaliknya, yang
runtuh bukan hanya tembok yang membelah Berlin, Jerman, sejak tahun 1961.
Bersama dengannya, juga ikut luruh sekat-sekat di dalam otak kita sehingga
memungkinkan kita berpikir mengenai dunia dengan cara yang berbeda.
Sebelum dan sesudah peristiwa yang sangat bagus nilai simbolisnya itu,
dunia tengah bergejolak. Rakyat bersatu dalam gelombang besar perlawanan
terhadap otorianisme negara seraya menggagas isu-isu tentang dunia baru yang
demokratis dan berorientas pasar bebas. Meskipun sampai sekarang kita masih
sulit membayangkan tatanan politik dan konsep perekonomian global yang
benar-benar adilnamun, sebuah revolusi lain, sebutlah revolusi individual,
diam-diam mulai berlangsung sejak pertengahan tahun 1995.
Teknologi web ditemukan dan segera mendunia sebagai bagian penting
jaringan internet untuk publik, yang telah hadir sejak tahun 1989. Seluruh
umat manusia pun praktis terhubungkan dalam sebuah dunia baru yang datar
dan tanpa sekat.
Tidak cukup hanya untuk berkomunikasi, jaringan internet dengan cepat
berevolusi menjadi ruang yang memungkinkan kita secara mudah berkolaborasi
bersama orang lain dari pelbagai penjuru dunia. Dari sana, kemudian, muncul
gerakan urun daya (crowdsourcing), di mana setiap orang bisa berbagi konten
dengan mengunggah hampir segala hal.
Fenomena tersebut menandai era bangkitnya kekuatan masyarakat. Apalagi
setelah teknologi internet bergerak (mobile) kian canggih dan terjangkau.
Bahkan, sekat antara dunia nyata dan dunia virtual ikut luruh. Komunikasi,
kolaborasi, dan urun daya, semakin intens berlangsung dalam kenyataan atau
praktik sehari-hari.
Suka atau tidak, setuju atau menolak, sebuah budaya global telah lahir.
Menariknya, budaya baru ini memberi ruang yang besar bagi identitas lokal
dan keunikan individu, alih-alih membuat dunia menjadi homogen.
xii | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
Kita saat ini sedang menapaki perubahan besar dunia, namun sejarah
di belakang terus membebani. Selama ratusan tahun, dunia, berikut segala
persoalan di dalamnya, tersekat-sekat oleh kepentingan politik dan ambisi
penguasa atau rezim. Hak individu dan persoalan kemanusiaan digeneralisasi.
Segala usaha itu, sebagiannya, dilakukan melalui penciptaan dan pendistribusian
ilusi-ilusi dalam sinema, yang merupakan salah satu kekuatan penting budaya
dunia modern.
Begitulah, politik telah memecah belah dunia dan seluruh umat manusia.
Akan tetapi kesenian, termasuk filem, mesti bisa merajut kembali nilai-nilai
kemanusiaan yang selama ini dipinggirkan. Sebab, seni adalah energi yang
senantiasa sanggup meneropong dan menanggapi rupa-rupa situasi dan masalah
kemanusiaan dengan jernih dan jujur. Melalui sinema pula, misalnya, kita bisa
melawan wacana dominan yang menguasai dunia dengan ilusi-ilusi baru yang
lebih faktual dan akurat.
Mengangkat tema Grand Illusion, gelaran ketiga ARKIPEL Jakarta
International Documentary & Experimental Film Festival tahun ini, diniatkan
sebagai pembacaan atas bagaimana ilusi-ilusi sosial-politik dan kebudayaan di
pelbagai negara diproduksi, direproduksi, dan didistribusikan, sebagai proses
saling berbagi dan belajar. Lebih dari itu, festival ini niscaya akan membuat
kita memandang dunia secara baru, dan menyikapi persoalan-persoalan baru
dengan lebih manusiawi.
Apabila selama ini narasi sejarah dibangun oleh negara, kini masyarakat
sendiri, termasuk seniman dan pembuat filem, yang sedang menuliskannya.
Selamat menonton dan berpartisipasi!
Jakarta, Juli 2015
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |xiii
PREFACE
FOREWORD OF THE
JAKARTA ARTS COUNCIL
Irawan Karseno
Chairperson of Jakarta Arts Council 2013-15
The world we live in today is one thats different from that of we were born.
On November 9, 1989, as the government of East Germany finally freed
its people to go across the city to West Berlin, and vice versa, what was
demolished was not only the wall that had divided Berlin, Germany, since
1961. Caved in together with it were the partitions in our minds, allowing us
to think of the world in a different way.
Before and after the said event of a noble symbol, the world was in turmoil.
Peoples united in an immense wave of resistance against state authoritarianism
all the while setting forth issues about a new democratic and market-oriented
world. Although until recently its difficult for us to imagine a truly just global
political and economic order, another revolution, lets call it the individual
revolution, has quietly started since mid 1995.
The web technology was discovered and went international as an important
part of the internet for the public, which has been present since 1989. Practically
the entire mankind is connected in a new, flat, borderless world.
Not only enough for communication, the internet quickly evolved to become
a space that allows us to easily collaborate with other people from all over the
world. From there, then a movement of crowdsourcing emerged; everyone can
share contents by uploading almost everything.
The phenomenon above marked the emergence of people power, especially
since mobile internet technology became more sophisticated and affordable. Even
the line separating the real world and the virtual one collapsed. Communication,
collaboration and crowdsourcing then became intense in daily practices or
realities.
Whether you like it or not, whether you agree or not, a global culture
has been born. Interestingly, this new culture provides a bigger space for
local identities and individual uniqueness instead of making the world more
homogeneous.
xiv | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
Right now we are stepping into a big global change but the history at the
background keeps haunting us. For hundreds of years, the world, and all its
problems, are segregated based on political interests and ambitions of rulers or
regimes. Individual rights and humanity issues are generalized. The attempts
to do so, in part, are done through the creation and distribution of illusions in
cinema, one of the most powerful forces in our modern world culture.
As such, politics have divided the world and all mankind. But art, including
film, must be able to weave again the threads of humanity depreciated all this
time. Art is the energy that is continually able to scrutinize and respond to the
diverse human problems and situations in all clarity and honesty. It is through
cinema too, through its new, more accurate and factual illusions, for instance,
that we can resist the dominant discourses that rule the world.
With Grand Illusion as its theme, this year the third ARKIPEL is intended
as a reading, a process of sharing and learning, over how social-political and
cultural illusions in various countries are produced, reproduced and distributed.
Beyond that, this festival will inevitably make us see the world in a new way
and respond to new problems in a more human way.
The narration of history has been written by the state, but now its the
people, including artists and filmmakers, who are writing it.
Have a great festival and please enjoy!
Jakarta, July 2015
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |xv
Hafiz Rancajale
Artistic Director
Yuki Aditya
Festival Director
Andang Kelana
Festival Manager
KURATOR / CURATORS
Afrian Purnama
Akbar Yumni
Budi Irawanto
Bunga Siagian
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |xvii
KURATOR / CURATORS
David Teh
Manshur Zikri
Otty Widasari
Ronny Agustinus
KURATOR / CURATORS
Mahardika Yudha
Ugeng T. Moetidjo
Film Selection Coordinator
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |xix
JURI / JUROR
Jon Jost, is a veteran film and videomaker, having made his first work
in 1963 in Cassina Amata, Paderno
Dugnano (Milano), Italy. Since then
hes worked continuously, making some
38 feature length works, more than
thirty short films, several installations,
along with painting, writing, and
playing-composing music (C&W).
While his films were screened regularly
in major festivals and small ones too,
they fail almost all criteria for the
present day market economy value
system, and are more or less not shown
outside the festival circuit. In the
last few years they seem also to not
suit festivals, as the rejection list gets
longer. He is regarded as one of the
influential independent artists and the
most dedicated in the United States.
He also develop a web blog at https://
jonjost.wordpress.com/.
Hafiz Rancajale
Ronny Agustinus
David Teh
Jon Jost
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |xxi
PENYELENGGARA / ORGANIZER
www.forumlenteng.org
info@forumlenteng.org
@forumlenteng
xxii | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
Ketua / Chairperson
Hafiz Rancajale
Sekretaris Jenderal / Secretary-General
Andang Kelana
Keuangan / Finance
Yuki Aditya
Penelitian & Pengembangan / Research & Development
Mahardika Yudha & Ugeng T. Moetidjo
Produksi / Production
Syaiful Anwar
Direktur Program Pendidikan Media Berbasis Komunitas /
Director of Community Based Media Education
Otty Widasari
akumassa (www.akumassa.org)
Manshur Zikri
Jurnal Footage (www.jurnalfootage.net)
Akbar Yumni, Afrian Purnama, & Bunga Siagian
Halaman Papua (www.halamanpapua.org)
Gelar Agryano Soemantri
Arkipel (www.arkipel.org)
Yuki Aditya
Visual Jalanan / Toko Store (www.visualjalanan.org)
Umi Lestari, Dalu Kusma, Abi Rama, Rachmmadi, Hanif Alghifary, Ario Fazrien
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |xxiii
PENGANTARARTISTIK
MEMBUKA
SELUBUNG ILUSI
Hafiz Rancajale
Direktur Artistik
Pada tahun 1937, mungkin tidak pernah dibayangkan oleh Jean Renoir, filem
La Grande Illusion bisa menjadi salah satu mahakarya dalam sejarah sinema
dunia, yang merekam salah satu kepingan pahit getir peradaban manusia:
Perang Dunia I. Filem yang berangkat dari buku The Great Illusion, A Study
of the Relation of Military Power to National Advantage (1910) karya Norman
Angell ini berhasil mencabik-cabik imajinasi penonton dengan pertanyaanpertanyaan tentang kebenaran kemanusian dalam peradaban modern. Apa
yang dibayangkan sebagai sebuah tujuan yang paling hakiki, yaitu sebagai
manusia, masyarakat, anak bangsa, dan kebanggaan terhadap kebangsaan atau
pun negara, hanyalah ilusi yang dibangun kekuatan besar, tanpa bisa disentuh
oleh manusia itu sendiri.
Berangkat dari Renoir dan Angell, ARKIPEL tahun ini mengangkat
tema dengan judul yang sama, Grand Illusion. Tema ini menurut saya sangat
relevan dan penting untuk dihadirkan pada perhelatan ARKIPEL 2015. Ada
banyak pergeseran dan perubahan dalam kacamata sosial, politik, ekonomi
dan kebudayaan di dunia. Pergeseran dan perubahan itu sepertinya mengantar
2 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
kita untuk melihat kembali posisi kita dalam hubungan sosial di mana kita
hidup. Apakah ia kenyataan atau ilusi?
Sekarang, kita membaca dan melihat berbagai peristiwa yang dipapar media
massa: sungguh di luar nalar kemanusiaan yang selama ini saya percaya. Tibatiba saja rekaman video pemenggalan kepala manusia oleh kelompok Negara
Islam di Irak dan Suriah (ISIS) hadir di hadapan kita melalui media sosial.
Berbagai artefak kebudayaan peradaban dunia dihancurkan dalam sekejap.
Kepercayaan atas kebenaran yang ilusif itu telah menghancurkan apa-apa yang
dibangun oleh manusia itu sediri. Sementara di Afrika, di malam gelap gulita,
rumah-rumah digeledah oleh kelompok Boko Haram, menculik dan membunuh
siapa saja yang mereka anggap berbeda, lalu menculik anak-anak perempuan
tak berdosa. Ini merupakan tantangan terbesar dari situasi kontemporer saat
ini. Motif ekonomi, sosial, maupun politik serta infrastruktur yang tersedia,
tampaknya menempatkan kita tidak siap untuk hidup berdampingan dengan
manusia lain. Contoh yang paling mutakhir adalah peristiwa berdarah Charlie
Hebdo, yang merupakan benturan antara kepercayaan satu kelompok dengan
apa yang dipercaya dan diproduksi oleh media massa. Struktur ekonomi Barat
juga sedang diuji, bahwa kapitalisme itu juga bisa jadi salah saat ia berhadapan
dengan perubahan masyarakatnya. Yunani dengan garang melawan dikte Uni
Eropa atas penyelamatan ekonominya dari kebangkrutan. Krisis ini telah
membawa negara ini menjadi potret kegagalan dari ilusi kawasan kesatuan
Eropa yang disiapkan lebih dari 40 tahun lalu. Keterhubungan dan kesatuan
yang ilusif itu telah menggiring perbedaan menjadi diabaikan sehingga
penghancuran struktur negara pun secara perlahan-lahan terjadi.
Tahun lalu, Indonesia berhasil menghadirkan demokrasi partisipatif yang
mengantarkan seorang mantan walikota sebuah kota kecil di Jawa, menjadi
seorang presiden. Joko Widodo bukanlah seorang yang berasal dari lingkaran
elite politik Indonesia. Ia adalah seorang pengusaha mebel, yang terjun ke
politik tidak lebih dari 10 tahun lalu, menjadi Walikota Solo di Jawa Tengah
dan Gubernur Jakarta. Pesta demokrasi di Indonesia tahun lalu, memberikan
harapan kepada orang biasa, bahwa menjadi seorang presiden bukanlah citacita yang tak mungkin bagi seorang anak kampung. Namun, cita-cita itu pun
dapat saja menjadi hal ilusif, jika penguasa baru ini tidak mampu memberikan
harapan pada cita-cita partisipatif yang digalang sebagian besar masyarakat
Indonesia tahun lalu. Pada pemimpin baru ini, kalangan pegiat isu sosial dan
hak asasi manusia meletakkan harapan untuk membuka dan meluruskan
sejarah gelap yang dilakukan oleh rezim sebelumnya. Indonesia adalah salah
satu bangsa dengan sejarah sosial-politiknya yang penuh dengan ilusi. Ada
banyak luka politik yang berimbas pada korban-korban tidak berdosa. Rezim
Orde Baru yang dipimpin Soeharto telah mengambil peran yang sangat besar
dalam membelokkan fakta-fakta sejarah tentang apa-apa yang terjadi ketika
mereka mulai berkuasa (1965-1966). Dan sesudahnya, hampir lebih dari 30
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |3
tahun, rezim Orde Baru secara canggih memanfaatkan peran media (filem)
dalam membangun stigma terhadap kelompok tertentu. Media digunakan
sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan dengan jargon demi stabilatas
nasional.
ARKIPEL: Ilusi
Bagaimana sinema melihat pergeseran dan perubahan itu sekarang? Kita tahu
bahwa produksi ilusi sosial-politik, ekonomi dan kebudayaan itu telah hadir
sejak sinema muncul di dunia. Sejak kelahirannya, ilusi adalah kata kunci
dalam filem. Pertama kali pada Desember, 1895, satu adegan dipublikasikan
dan dipamerkan di Paris oleh Lumire Bersaudara, memunculkan pikiran
pada manusia bahwa ada penyeimbang dalam melihat kehidupan saat ini, yaitu
ilusi yang nyata dari gambar bergerak. Gambar-gambar yang tersusun dari
sejumlah gambar diam itu, setelah digerakan, menjadi letupan yang sangat
besar bagi peradaban manusia dalam melihat dirinya sendiri.
Dalam perkembangannya, letupan besar menjadi formula dalam menarik
simpati publik dalam tradisi sinema dunia. Ilusi tentang realitas baru itu
dikelola sedemikian rupa menjadi tujuan pembuatnya; ekonomi, sosial politik
dan budaya. Selain itu, berbagai bentuk baru muncul dalam strategi menarik
simpati publik. Hal inilah yang digunakan oleh sebagian besar kekuatankekuatan besar, seperti negara dan korporasi multinasional. Pertanyaannya,
apakah ada kebenaran mutlak di dalam sinema? Karena manusia secara tak
sadar membangun imajinasi dalam membangun hidupnya dari dulu hingga
sekarang. Dalam sinema, rekaman-rekaman kenyataan atau rekayasa disusun
sedemikian rupa untuk memukau dan memperdaya penonton agar percaya
bahwa ia adalah sebuah kenyataan.
Tentu jualan ilusi tidak selalu bermuara kepada hal yang negatif. Bagi
sinema, temuan-temuan bentuk baru memperkaya pengalaman menonton
dan interpretasi baru terhadap sejarah dan isu sosial-politik, yang sering
didominasi oleh negara. Pemilihan tema Grand Illusion menjadi salah satu
strategi bagi ARKIPEL untuk membaca bagaimana ilusi-ilusi itu diproduksi,
didistribusikan, hingga berdampak bagi perjalanan sebuah bangsa di berbagai
belahan dunia yang lain.
Pada tahun ini, melalui tema Grand Illusion, festival menghadirkan
pembacaan dari beberapa kuratorial yang menghadirkan bagaimana sinema
merekam persoalan yang dimaksud. Seperti sebelumnya, ARKIPEL akan
selalu membaca perkembangan kawasan. Untuk kawasan Asia Tengara, Budi
Irawanto dan Manshur Zikri membuka pandangan kita tentang bagaimana
sinema mampu merekam persoalan sosial-politik itu dan membingkainya menjadi
bahasa yang puitik, dan melepaskan kebiasaan kaku yang dihadirkan sinema
dokumenter selama ini. Irawanto membingkai persoalan estetika dokumenter
dengan membangunkannya dari ilusi harmoni (Irawanto, 2015). Zikri membaca
4 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
ARTISTIC STATEMENT
UNCOVERING ILLUSION
Hafiz Rancajale
Artistic Director
I considered that the world, and especially the cinema, was burdened with
false gods. My task was to overthrow them. Sword in hand, I was ready
to consecrate my life to the task. But the false gods are still there. My
perseverance during a half-century of cinema has perhaps helped to topple
a few of them. It has likewise helped me to discover that some of the gods
were real, and had no need to be toppled.
Jean Renoir, My Life and My Films, 1974.
In 1937, Jean Renoir probably never imagined his film La Grande Illusion can
be one of the masterpieces in world cinema history, which recorded one of
the most bitter pieces of human civilization: World War I. The film departed
from the book The Great Illusion, A Study of the Relation of Military Power to
National Advantage (1910) by Norman Angell, it managed to dismember the
viewers imagination with questions about the truth of humanity in modern
civilization. What is imagined as the most essential goal, that as human beings,
society, nation, and pride towards nationalism or state, are only illusion built
by great power, not being able to be touched by human themselves.
Departing from Renoir and Angell, ARKIPEL is adopting theme
taken from the title, Grand Illusion. I think this theme is very relevant and
important to be presented at ARKIPEL 2015. There were many shifts and
changes in the spectacle of social, political, economic and cultural in the
world. Those shifts and changes seem to lead us to look back at our position
amid social relations in where we live. Is it reality or illusion?
Now, we read and see how some events are exposed by mass media:
indeed, beyond humanity logic I believe all this time. All of sudden a video
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |7
ARKIPEL: Illusion
How cinema saw the shift and change nowadays? We know that the production
of illusion of socio-political, economic and cultural have been present since
the first time cinema appeared in the world. Since its birth, illusion is the key
8 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
word. The first time in December 1895, a footage was published and exhibited
in Paris by Lumiere Brothers, brought up human mind that there is balance
in looking at life today, which is a real illusion of moving images. The images
are composed of several still images that once set in motion becomes a very
large outbreak of human civilization in looking down themselves.
In the process, large burst becomes a formula in attracting public
sympathy in the tradition of world cinema. Illusion about that new reality
is managed in such way to be the authors goal; economic, socio-political
and cultural. Besides, new forms emerge as strategy to lure public sympathy.
This is used mostly by most of the major powers, such as the state and
multinational corporations. The question is, whether there is an absolute
truth in cinema? Because human beings unconsciously build imagination
in their life from the past until now. In cinema, recordings of reality or
manipulation have been designed to amaze and deceive the audience into
believing that it is a reality.
Certainly selling the illusion is not always geared towards negativity.
For cinema, inventions of new form enrich the watching experience and
new interpretation of history and socio-political issues, which are often
dominated by the state. Selection of the theme Grand Illusion became one of
the strategies for ARKIPEL to read how illusions are produced, distributed,
to affect a nations journey in various parts of the world.
This year, through the theme Grand Illusion, the festival presents readings
of some curatorial issues presenting how cinema recording such question.
As before, ARKIPEL will always read the development of region. For
Southeast Asia region, Budi Irawanto and Manshur Zikri open our view
of how cinema is capable of recording socio-political issues and framed into
a poetic language, and goes through the rigid habit presented usually by
documentary cinema. Irawanto frames the matter of documentary aesthetic
by waking it up from the illusion of harmony (Irawanto, 2015). Zikri reads
the role of camera frame in producing form which brings empathy (Zikri,
2015). David Teh brings up the issue of interdependence in different regions
in socio-political and cultural context (Teh, 2015). Like last year, Ronny
Agustinus again presents a curatorial about the Latin American region.
Through his curatorial, Agustinus tries to unload tension between illusion
and reality in cinema (Agustinus, 2015).
In reading the states role in cinema, Afrian Purnamas curatorial showcases
cinematic issue that are used by the state to provide public services. He
assembles and compares the public service announcement films produced
by the government of Denmark and directed by Carl Theodor Dreyer with
Indonesian newsreel documentaries produced by the government in 1950s
(Purnama, 2015). In order to commemorate 50 years of 1965 tragedy, where
enforced disappearances towards several society groups affiliated with the
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |9
Works Cited:
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |11
REFLEKSI
KILAS-BALIK ARKIPEL
2015 KE 2014
Ugeng T. Moetidjo
sebagai sekelompok massa dari calon penonton atau sekadar iseng. Dalaman
bioskop terdiri dari deretan berundak kursi-kursi kayu yang keras saat
diduduki. Layar proyeksi terhampar tanpa tirai penutup, dan di sebelah
bawahnya sebuah pintu bertulisan Exit neon sign di atasnya.
Nama bioskopyang langsung menunjuk daerah dari lokasi berdirinya,
di sebuah pasar untuk rakyat bawahitu, dalam inisialnya, JB Theatre
(kata akhir untuk semua nama bioskop di Indonesia selalu ditulis dengan
bahasa Inggris. Di cakapan sehari-hari, kata bioskop lebih umum diucapkan,
berseling kata theatrekami mengucapkannya teaterkala sinepleks
mengetren di tengah 80-an).
Pengalaman pertama menonton itu sama-sekali tidak spesifik milik
saya sendiri. Ada jutaan orang lain di saat dan usia yang sama, di tahun itu,
di tempat-tempat lain, di negeri-negeri yang lain, juga tengah mengalami
sebuah dunia bukan riil, namun berpengaruh emosional pada biografi
masing-masing mereka. Pada titik ini, pengalaman saya dan mereka
melebur menjadi biografi penonton sinema, baik di negara saya maupun
di negara-negara lain di dunia.
Filem yang saya tonton kali pertamasaya beri tahuialah Takdir.
Sebuah cerita tentang kemalangan nasib perempuan bersuamikan lelaki
yang sangat dikendalikan oleh ibunya yang berlaku kejam terhadap sang
menantu. Keadaan ini membuat si perempuan lari dari perkawinannya
dan mencoba bunuh diritapi urungdengan meloncat dari kereta yang
membawanya menuju Jakarta. Gagasan tentang fiksi ini jelas tidak teresepsi
dari kesan pertama usai saya melihat filem itu. Meskipun demikian,
ingatan dalam benak kanak-kanak saya akan Takdir, agaknya, tak pudarpudar. Mungkin, untuk selamanya. Memori sinematik tersebut laten dan
jadi penyokong gambaran atau narasi-narasi tentang dunia yang distimuli
oleh ruang gelap, cahaya, dan gambar-gambar yang mengilusikan hidup.
Kesan demikian muncul belakangan waktu, dipicu filem yang sama, namun
sudah di tahun 1980 kala saya menontonnya di televisi hitam-putih 14 inci
yang belum lama saja kami miliki. Dan gagasan tentang aspek-aspek yang
mengilusikan kehidupan saat saya menjadi penonton di bioskop melekat
bak rekaman tak berkesudahan dari suatu bayangan yang rapi tersimpan
dalam sebuah laci dari arsip mental subjek pertama terlibat, melalui dunia
lain dari monitor elektronis.
Kedua perempuan peran si jahat-si baik lantas menempel di kepala saya,
bagai katup pembuka dalam mengenali relasi antara sinema dan kenyataan,
meski sampai saat ini saya tak tahu akhir dari Takdir. Saya tidak ingat nama
dari peran-peran perempuan itu, dan tampaknyadalam tradisi sinema fiksi
populer di mana punnama tokoh peran tidak terlalu penting. Penonton
hanya mengidentifikasi peran-peran itu ke dalam para bintang pemerannya.
Saya ingat kemudian, perempuan putus asa itu Rima Melati, dan ibu mertua
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |13
yang kejam ialah Wolly Sutinah (Mak Wok). Sedangkan perempuan lainnya,
teman si putus asa di Jakarta, ialah Ruth Pelupessy yang bekerja sebagai
hostess di sebuah klub malam. Ia menerima Rima Melati di ruang tamu
rumahnya pada tengah malam dengan televisi hitam-putih [?] yang menyala
tanpa gambar selain rubungan semut. Dalam fiksi, persepsi kita begitu
mudah mencampurbaurkan antara yang rekaan (cerita, tokoh) dengan yang
nyata (para pemain). Tak mungkin itu dilakukan dengan anggapan yang
sama untuk dokumenter. Pada dokumenter, perasaan-perasaan kita tidak
terlibat karena persepsi kita dihentikan oleh tampilan segala sesuatu yang
nyata, yang mengandalkan kemampuan intelek atau pengetahuan tentang
hal-hal yang diperlihatkan, dan (oleh kita) dapat ditunjuk rujukannya
dengan kenyataan yang (mungkin) pernah kita lihat, atau kita bayangkan
memang ada. Fiksi dalam sinema tidak bekerja dengan cara yang berjarak
seperti itu, melainkan langsung ke jantung ketakkesadaran kita, dan oleh
karenanya, apa yang sesungguhnya tampil sebagai impian/mimpi itu
malahan terkesan diterima sebagai bagian dari kehidupan kita, penonton.
Jadi, tidak mengherankan, bahwa publik penonton lebih menganggap
nyata fiksi ketimbang dokumenter. Sebab, ia memang punya sifat mimpi,
impian, atau pelena, dan karenanya terasa lebih terhubung dengan perasaan
atau sesuatu yang bersifat psikis atau termentalkan. Masalahnya juga terletak
jauh di dasar kesadaran yang terepresi oleh sistem yang mengatur cara kita
menjalani kehidupan sehari-hari. Karena itu, filem cerita tak perlu paksaan
kekerasantapi persuasi purna-advertaising hiburan popularsebagaimana
dokumenter propaganda. Sepanjang periode sinema di negeri kami, publik
umumnya menggerutu tak sabar bila filem cerita didahului dengan tayangan
singkat penerangan. Karenanya, selama periode sinema propaganda 19421945, dengan aturan, paksaan, dan ancaman senjata atau kerja paksa, publik
digiring untuk menonton filem-filem pengobar semangat perang. Di era
tengah 1980-an dan 1990-an kasus yang serupa berlaku untuk filem-filem
ideologis yang dibiayai atau diproduksi oleh negara.
Sinema Hollywood memberi pengaruh sangat besar lewat aneka jenis
filem cerita, yang tampaknya, selalu memperlihatkan kedekatannya dengan
upaya negara untuk menegakkan sistem dengan melakukan penaklukan
atas warganya. Produksi Hollywood adalah produksi penaklukan terhadap
warga. Sejak filem-filem awal ditahbiskan sebagai sinema Amerika, hampir
boleh dipastikan tak satu pun filem dari negeri itu yang tidak menampilkan
bendera kebangsaan mereka dalam berbagai bentuknya. Kehadiran peran
publik, sebagai massa mengambang yang menanggap adegan-adegan
tertentu di dalam sebuah filem, niscaya selalu merupakan model mimikri
mengenai rakyat Amerika untuk menggiring perilaku histeria yang sama
pada publik sebagaimana yang ditampilkan di dalam filem. Terlebih, dalam
14 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
jenis superhero. Itu semacam shock teraphy terselubung dari cuci otak yang
terus-menerus sepanjang sejarah sinema arus utama Amerika.
Lebih dua puluh tahun lalu1992dalam sambutannya untuk
merayakan 100 tahun sinema di ruang bioskop Pusat Kebudayaan Prancis di
Jakarta, sebelum memutarkan filem Empire of Passion (1978) karya Nagisa
shima, Anatole Daumankira-kira, dalam bahasa saya seingat ucapan
ituberkata bahwa, apapun kisah yang akan tampil dalam filem itu, hanya
satu yang patut kita ingat sekarang, yaitu bahwa kita sedang merayakan
100 tahun sinema dengan suka cita. Inilah sinema!
Terbayang kembali kini oleh saya bahwa menonton filem, ternyata, tidak
selalu di gedung yang dinamakan bioskop. Dua atau tiga tahun sebelum
mengenal bioskop, seingat saya, suatu pertunjukan filem di satu lapangan
terbuka di kampung kami juga telah membuat saya menjadi penontonnya.
Bersama anggota keluarga, yakni kakak perempuan, pamansaya tak yakin,
seperti halnya pada bapak, ibu ikut ke acara keramaian itu. Mereka bukan
sinemanista. Keduanya memilih wayang kulit dan kethoprak, yang jika bukan
di pertunjukan langsung, pasti melalui radiodan anak-anak tetangga
yang pergi bersama kami atau dengan keluarga mereka sendiri. Jadi, para
penonton sinema terbuka itu adalah para keluarga dari anggota-anggota
warga kampung kami dan sekitarnya, yang beberapa darinya kami saling
kenal. Sebagian penonton, termasuk kami, duduk di sehampar tikar sendirisendiri yang dibawa dari rumah masing-masing. Sebagian lainnya, hanya
berdiri atau berjongkok, atau kedua-duanya. Sementara beberapa penjual
kudapan dan minuman dan rokok terkadang berlalu-lalang menawarkan
dagangan mereka. Suasananya betul-betul ramai di tengah remang malam,
karena daerah kami waktu itu belum terkena aliran listrik. Pada malam
itu, cahaya listrik hanya berada di titik tempat pemutaran yang dihidupkan
dengan sebuah generator di dekat sebuah mobil besar, mungkin pick-up.
Saya ingat, kami membawa sebuah senter sebagai penerang jalan saat kami
pergi dan pulang. Sejumlah orang, saya lihat, juga demikian.
Apa yang kami tonton, saya tidak tahu, sebab saya sendiri begitu tak
ingat pada apa yang hadir di layar sangat besar yang ditegakkan entah
dengan pancang dari bahan apa di tengah lapangan. Saya tidak terlalu hirau
dengan gambaran yang dipantulkan di atas layar entah dari alat dan arah
mana. Saya tidak terlalu menonton. Saya malahan bermain-main dengan
anak-anak tetangga yang sebaya atau terpana oleh pemandangan keramaian
yang baru kali itu saya alami. Yang samar-samar masih saya ingat ialah
warna abu-abu keburaman yang muncul di layar, sertasaya masih selalu
terbayang inigambar ayah-ibu menuntun dua anak(nya) dalam hiasan
padi dan kapas yang melingkup mereka. Ya, itu gambar Keluarga Berencana.
Dari sini, saya ingat, cukup sering layar cahaya menampilkan filem-filem
yang kira-kira seperti itu meskipun cerita atau gambar-gambarnya tidak saya
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |15
pahami dan tak teringatkan. Juga warna. Rasa saya, semua yang tersorot
di layar, berwarna hitam-putih keabu-abuan. Yang saya ingat dengan jelas
ialah sekelompok cebol, beberapa lelaki dan satu perempuan, yang dengan
berpakaian aneh dan sambil mengacung-acungkan batu batere, senter,
dan radio, menari-nari di atas kap mobil van yang bercap perusahaan batu
batere terkenal.
Itu adalah situasi Indonesia di sudut pinggiran Jakarta awal 1970-an.
Pemerintahan yang baru belum penuh setengah dekade berjalan. Filem
di lapangan terbuka itu sepertinya menjelang atau sekitar masa pemilihan
umum pertamanya. Dan sebentar lagi, saya akan tahu bahwa kata tjatjing
yang saya tuliskan di papan tulis di muka kelas sudah berganti; begitu pun
dengan kata dj tidak lagi dipakai untuk menuliskan kata djenderal.
Kemudian saya akan membaca buku-buku tipis untuk anak-anak dengan
sampul berwarna kuning dan tiap judulnya bergambarkan foto hitam-putih
kelabu dari masing-masing tujuh perwira dan seorang anak perempuan yang
gugur secara memilukan sebagai bunga-bunga bangsa. Dan bersama anakanak lain sekelas, saya akan mengunjungi tempat-tempat suci pengorbanan
mereka, juga diorama-diorama yang indah yang memuja sang pahlawan.
Lalu, bersama guru-guru dan kawan-kawan sekolah, saya akan pergi ke
bioskop-bioskop terdekat di pagi hari pukul 10.00, untuk menonton filemfilem Bandung Lautan Api, Mereka Kembali, Janur Kuning.
Filem-filem lain semacam yang berikutnya, saya tahu, kemudian
disaksikan oleh murid-murid sekolah dasar dan menengah dari angkatan
sesudah saya. Ketika masa ini, saya sudah berpaling ke filem-filem pilihan
saya sendiri. Serangan Fajar, Pengkhianatan G-30 S/PKI, Jakarta 66
adalah filem-filem semifiksi yang pada prinsipnya digarap melalui plot
yang diidealisasi atau, tepatnya, diideologisasikan. Filem-filem tersebut
jelas bukan jenis karya sinema dokumenter. Mereka dirancang setengahnya
sebagai fiksi dengan maksudjika bukan tujuan mendasarnyaselain
untuk menjangkau penonton yang luas, juga untuk memberi pengetahuan
kepada publik soal satu-satunya pilihan, yaitu kesetiaan kepada negara.
Penggunaan fiksi ke dalam konteks naratif publik merupakan siasat pokok
pada filem-filem semacam itu agar lebih dapat merasuki alam pikiran publik
dan dengan mudah diterima sebagai bagian dari wacana mereka untuk
selamanya. Naratologi mental atas publik yang terus-menerus dibangkitkan
emosi-emosinya lewat narasi-narasi historisis seperti itu dapat segera menjadi
keyakinan kolekif lantaran ditopang dengan sendirinya oleh berkembangnya
mitos-mitos di masyarakat. Meramu konsep tentang negara dan bangsa sebagai
suatu khayalan serupa mimpi, naratologi tersebut akan menjelma menjadi
narasi milik publik sendiri, di luar apakah kisah-kisah itu memerlukan atau
tidak fakta-fakta historis, kecuali elemen-elemen yang digambarkan sebagai
kenyataan. Yang lebih diutamakan dalam produksi filem-filem demikian
16 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
tentang nasib para superhero lokal dari komik era 70-an dan wiracarita
tradisi, tetapi pada konteks lebih besar, juga tentang nasionalisme dari satu
ekspresi sub-budaya dalam hegemoni para superhero global (Amerika).
Naratif satire filem ini sekaligus menyentil idealisasi pencitraan dari
produksi budaya arus utama atas sosok dan moral pahlawan mitos. Posisi
kritis ini jelas telah menjungkirbalikkan nilai-nilai sinema mapan, selain
ingatan kolektif kita tentang para superhero itu, lewat realisme-sosial ala
sinema marginal dalam konteks yang sangat Indonesia atau ranah-ranah
lokal lain dari sinema pascajajahan.
ARKIPEL Award diberikan kepada filem terbaik utama secara umum
yang, dalam penilaian dewan juri, memiliki pencapaian artistik yang
tinggi disertai kekuatan potensialnya dalam memaknai pilihan perpektif
kontekstualnya. Melalui kontennya, segenap aspek tersebut dalam bahasa
ungkap visualnya berhasil mengajukan suatu pemerian terbaru akan
pandangan dunia kontemporer kita sebagai diskursus yang menantang cara
pandang umum atas situasi tertentu yang diungkapkan subject matter-nya.
Filem terbaik dalam kategori ini, secara khusus, dapat dipandang mewakili
pernyataan ARKIPEL akan nilai-nilai yang ditawarkan oleh gairah dan
nalar dari semangat zaman yang menginspirasi penciptaan estetik terhadap
gambaran dunia yang di satu sisi telah sama-sama disepakati, namun di
sisi lain menuntut untuk selalu didefinisikan dan didefinisikan kembali.
Tahun lalu, ARKIPEL Electoral Risk 2nd Jakarta International
Documentary & Experimental Film Festival 2014 memberikan penghargaan
terbaik pada kategori ARKIPEL Award untuk Asier ETA Biok ( atau Asier
and I, 2013, Spanyol) karya Amaia & Aitor Merino. Sebuah filem yang
ekspresif, yang mampu menginspirasi tindakan melalui energi keterlibatan
politis dan kelugasan naratifnya, yang secara luar-biasa mengeksplorasi
gagasan dan argumentasi seputar politik identitas dan kemerdekaan satu
komunitas bangsa yang terdiskriminasi dan mengalami pengucilan. Humor
sarkas bagi bahasa tutur dokumenter ini telah menegaskan sebentuk kesaksian
politik yang berani, yang di bagian-bagian tertentu secara emosional begitu
menggugah dan berpotensi menarik pikiran publik ke dalam kenyataan
penuh risiko dari pilihan politik sang protagonis. Dimensi-dimensi
interpretatif dalam filem ini amat berkemungkinan untuk menjadi fokus
perdebatan perihal tantangan-tantangan artistik pada politik dokumenter
di tataran artistik.
Jury Award diberikan kepada filem terbaik versi pilihan dewan juri,
dengan pertimbangan, bahwa terdapat kesegaran dan keunikan bahasa
ungkap yang mencapai kematangan personal dalam menyingkapkan dan
mengkomunikasikan pengalaman estetis, pergulatan atas konten, serta
penjelajahan subjektif akan teks/konteks ke dalam representasi terkininya.
Sangat mungkin, tawaran nilai-nilai dalam filem terbaik untuk kategori
20 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
Prancis) karya Julie Nguyen van Qui pada 2013, dan Gundah Gundala
pada 2014. Pendekatan baru ini dilakukan karena kami berpandangan,
bahwa kategori ini juga harus merefleksikan posisi pembacaan dan sikap
kritis kami atas perkembangan karya-karya visual sinematik pada tataran
estetika dan konteks melalui filem-filem yang lolos seleksi ARKIPEL.
Sejumlah juri (tiga orang) dari pengurus Forum Lenteng menilai filem-filem
seleksi dan mengajukan unggulan terbaik kategori ini untuk diperdebatkan
dengan Dewan Juri ARKIPEL. Penghargaan untuk kategori ini diberikan
kepada filem yang dianggap paling terbuka dalam menawarkan nilai-nilai
komunikatif, baik dari segi artistik maupun konten, yang memberikan
peluang bagi pendekatan sosial seni secara berbeda dan lebih leluasa bagi
kemungkinan ekperimentasi.
REFLECTION
FLASHBACK ON
ARKIPEL 2014
Ugeng T. Moetidjo
and thus connects more with feelings or something psychological, mental. The
issue at hand lies far at the bottom of consciousness, repressed by the system
that rules the way we do our daily life. Thats why a film doesnt need a forced
violenceinstead, a post-advertising persuasion of popular entertainment
just like documentary propaganda. All of our history of cinema, audience
in general grumbles restlessly as film is preceded by a short presentation by
the Department of Information. Therefore, during the period of propaganda
cinema in 1942-1945, with authority, forces and weapon or corve threats,
the public was herded to watch films that inflamed war spirit. In mid-80s
and 1990s, similar case happened regarding ideological films sponsored or
produced by the state.
Hollywood cinema has a huge influence through its various kinds of feature
films that seem to always reveal its connection with states effort to uphold a
system that subdues its citizens. Hollywood production equals to production
of citizens subjugation. Since early films were ordained as American cinema,
there have been almost none of their films that didnt display the American
banner in its various forms. The publics presence, a floating mass responding
to scenes of films, is inevitably the mimicry of American people to elicit the
same hysterical behavior as shown in the films; especially in superhero films.
Its a sort of disguised shock therapy of perpetual brainwash along the history
of mainstream American cinema.
More than twenty years ago, 1992, in his speech to celebrate 100 years of
cinema in Centre Culturel Franaiss auditorium (at that timenow Institut
Franais dIndonsie), before the screening of Empire of Passion (1978) by Nagisa
shima, Anatole Dauman said thatmore or less, as far as I remember
whatever story was told in the film, only one thing we all must remember,
that is we were all celebrating the 100 years of cinema in joy. This is cinema!
It comes back again to me now that watching film was not necessarily
in a building called theater. Two or three years before I knew a theater, I
remember a film show in an open field in our kampong of which I was one of
the audience members. With my family, that is my sister, uncle, and perhaps
my father and mother, Im not sure, I went to the amusementmy parents
were not cinemagoers; both preferred shadow puppets and kethoprak, if not
live shows then radio shows. The children in my neighborhood went with us
or their own family. So the open cinema audience was families in my kampong
and around it whom we acquainted with. Some of the audience, including us,
sat on a mat we brought ourselves from home. Some others stood or squatted,
or both. Hawkers, selling drinks and cigarettes, passed by and offered sale. It
was a fun and merry night in the dark as our region had yet to install electricity.
That night, the electricity light only came from the screening spot thanks to
a power generator near a big car, maybe a pickup. I remember we brought a
torch to light our way there and home. A number of other people did too.
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |25
own narrative, despite the stories need for historical facts for everything other
than elements depicted as reality. What is prioritized in these films production
is not an inner structure but an outer one that has been considered as truth
in public life through other previous forms of propaganda. These films, if not
sponsored or produced by the state, were those that were approved of by it.
It is worth askingalthough now Im not surewhy does the state have
such a deep interest to create a concept of nation through fictional cinema?
Doesnt it mean, instead, that the state dreams of a narrative according to its
idealization? Doesnt it mean then that historyor historical storiesis mere
stories? Can such approach be said as a reconstruction attempt or deconstruction
of history in its ideological versions? Furthermore, also not worth asking
anymore, does the content hide other narratives, or are those narratives made
to keep something true as a secret? However, its clear that such historicist
narratology is produced as to eternalize memory thats massively exploited
through a mental internalization of the term latent. Thus, its clear enough
that the question is not whether there is any latent memory to be erased or not,
but rather how such memory functions through an idea of acute pain that lurks
throughout the citizens life. It is because all of those things above that the
state doesnt need, or doesnt have the bravery, to make political documentary
and instead sponsors information films that deal with social issues. Political
documentaries may give way to public awareness, except those produced by
the state itself. And it means not making political documentaries. Giving a
chance to political ideas to exist outside the states control, sooner or later,
will inspire the public and spur demands over the states role and power. A
documentary has a rigid approach in truth-making. Even a justification or
propaganda documentary requires verified facts. Its truth-related ambiguity
is stronger than its fabricated style.
All those questions above may not be asked anymore since the answers
can be summed up firmly that in principle those films arent produced to break
down a conception over nation, history or ideology but a version of the three
according to rulers perspective.
In such instance, the medium of documentary making and distribution by
the state is television, the only broadcasting system. In it, states ideologized
projects can be represented as the only existing discourse. In its documentaries,
there may be place for the public to appear but only as guests of power with
the role of slave, no more than that. When a propaganda project is being
made, we must predict that all the angle of ideas, concept and its application
follow a script directed and controlled by the state according to its ideological
goals. Thats why, a propaganda disguised through fiction with its fabricated
stereotypes become daily broadcast presentation.
In ideological documentary, especially shown on television as the only
information channel, theres no need to be critical and to ask whether there
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |27
the other reality world doesnt shine from behind anymore; its straight from
the front in a less tangible form.
I have thought of the moment when I was in the middle of the merriment
at the open field, as a child, free from ideological power produced by rulers.
I was wrong; why have I remembered the Family Planning logo that I didnt
understand anything of anyway?
The films in ARKIPEL Jakarta International Documentary & Experimental
Film Festival, in its third year now, raise the questions of boundaries between
fiction and documentary, whether concerning representation or message. Last
year, of four best nominees, Gundah Gundala (2013, Indonesia) by Wimar
Herdanto won Forum Lenteng Award. This film is narrated in a true setting
and situation of today. Memory doesnt come through as a filmic representation
but rather lives in the mindcinema and comicwhile still being mediated
by its narratives elements. Text in this case is a latent memory that reflects the
importance of powerful heroes presence in any cultures of their time. Behind the
humor, this film doesnt only question the fates of local superheroes from the 70s
comic books and epic tradition, but also, of a bigger context, the nationalism of
a sub-cultural expression within the (American) global superheroes hegemony.
The films satire narrative also pecks at the image idealization of mainstream
cultural production over prominent figures and mythical heroes moral. This
critical position has obviously overturned the established values of cinema, not
only our collective memory of those superheroes, through a social-realism
of marginal cinema in a very Indonesian context or any other local realms of
postcolonial cinema.
ARKIPEL Award is given to the best film in general that, based on
jurys view, has the highest artistic achievement and a potential power to give
meanings to its contextual perspective choice. By the content, all those aspects
through the films visual expression should be successful in offering a newest
representation of our contemporary world view as a challenging discourse
for the general view over a certain situation revealed by the subject matter.
The best film in this category particularly can be considered as representing
ARKIPELs statement concerning the values offered by the passion and reason
of a spirit of the time, becoming an inspiration for aesthetic creations about
the world that on the one hand is approved of and on the other hand demands
definition and re-definition.
Last year, ARKIPEL Electoral Risk 2nd Jakarta International Documentary
& Experimental Film Festival 2014 bestowed the ARKIPEL Award on
Asier ETA Biok (or Asier and I, 2013, Spain) by Amaia and Aitor Merino.
Its an expressive film that can inspire actions through its energy of political
involvement and straightforward narrative that amazingly explores the ideas
and arguments concerning the identity politics and the independence of a
discriminated and exiled nation community. Sarcasm to this documentarys
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |29
The Ghosts and The Escarlate, 2012, France) by Julie Nguyen van Qui in 2013,
dan Gundah Gundala in 2014. We have taken this approach in view of the fact
that this category must reflect our reading position or critical attitude toward
the development of cinematic visual works at an aesthetic and contextual level
through the films selected by ARKIPEL. A number of jury (three) from Forum
Lenteng organizational structure judge the films selected and submit the best
nominee for this category for the ARKIPEL Jury to argue. The award for this
category is given to the film deemed the most open in offering communicative
values, whether based on the artistry and content, providing a chance for a
different social approach on art and wider experimental possibilities.
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |31
MALAM
PEMBUKAAN
OPENING
NIGHT
KASETAN
Duo perupa lintas medium yang gemar
mengumpulkan barang antah-berantah
mengeksplorasi temuan mereka di
pinggir jalan Jendral Urip Sumoharjo,
Jatinegara. Tumpukan kaset bekas
berserakan dengan sampul menguning
dimakan usia, beberapa diantaranya
dalam kondisi sangat baik. Dengan
dua buah walkman dan audio mixer,
kasetan memutar tembang-tembang
terbaik di masanya.
K ASETAN
The cross-media artist duo Abi Rama and
Rambo, who like to collect stuff nowhere,
explore their findings on the roadside of
Jalan Jendral Urip Sumoharjo, Jatinegara.
Strewn with piles of used cassettes with
old yellowed cover, some of which are in
excellent condition. With two walkmans
and an audio mixer, Kasetan will play
some best songs of its time.
FILEM PEMBUKA /
OPENING FILMS
BEEP
Kyung-Man Kim
(Republic of Korea, 2014, 10 mins)
CINZA / ASHES
Micael Espinha
(Portugal, 2014, 10 mins)
A.D.A.M.
Vladislav Knezevic
(Croatia, 2014, 13 mins)
KILLING TIME
Rahi Shor
(Israel, 2015, 22 mins)
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |35
MALAM PENGHARGAAN
AWARDING NIGHT
matajiwa secara anggun menyelami kedalaman rasa dengan sisi kesetimbangan hidup. Kekayaan
spiritualitas. Mereka mencipta musik seolah-olah memanjatkan doa nan suci, memicu kita
untuk menerimanya dengan kesungguhan atas mata dan jiwa yang terbuka. Musik mereka
bersahaja dan terpencar menerobos pengertian nan populer belaka; menggali ke dalam akar
tanah Indonesia, meleburnya dengan nuansa karakter blus dan rock kontemporer yang mereka
miliki, dipadu dengan kettledrum, tarian dan nyanyian penuh kasihmenggoncang alam mimpi
kosmos dengan lanskap musik dunia. Kita akan dibuatnya bergetar, sunyi, tetapi pada saat
yang sama merayakan kegembiraan pada keindahan rohani, refleksi dan kontemplasi pikiran.
matajiwa would gracefully dives into it with the equilibrium sides of life. Spirituality wealth.
They write songs as their sacredly benediction, and were going to religiously embrace it upon
widely open eyes and soul. The music are primitive and sprawled, pass through the definition
of just merely popular; dug into their fatherland roots, Indonesia, fuse it contemporarily with
a blues mentality and native rock that they have, which scattered by kettledrums, dances and
compassionate chants joggle with realm cosmos dream named world music landscape. We
will be made to tremble, solitude, but at the same time celebrating mirth on the beauty of irony,
reflection and mind contemplation.
AWARDS
ARKIPEL Award is given to the best film in general that, based on jurys view,
has the highest artistic achievement and a potential power to give meanings to
its contextual perspective choice. By the content, all those aspects through the
films visual expression should be successful in offering a newest representation
of our contemporary world view as a challenging discourse for the general
view over a certain situation revealed by the subject matter. The best film
in this category particularly can be considered as representing ARKIPELs
statement concerning the values offered by the passion and reason of a spirit
of the time, becoming an inspiration for aesthetic creations about the world
that on the one hand is approved of and on the other hand demands definition
and re-definition.
The Jury Award is given to the best film of jurys choice based on the consideration
in terms of unique and fresh visual expression, personal maturity in revealing
and communicating aesthetic experience, struggle over content and subjective
exploration over text/context to its contemporary representation. It is highly
likely that the best film in this category offers values of individual nature
because the issue and its approach do not fit in many socio-cultural contexts.
Peransi Award is given to a cinematic work that in a special and fresh way
experiments on various possible approaches of the medium and social aspects.
Specifically, this category focuses on young filmmakers. The award itself is
inspired by David Albert Peransi (1939-1993), an artist, critic, teacher and
exponent of modernity in art world and documentary and experimental cinema
in Indonesia.
Forum Lenteng Award, as a category for the best film selected by Forum
Lenteng, ref lect our reading position or critical attitude toward the
development of cinematic visual works at an aesthetic and contextual
level. The award for this category is given to the film deemed the most
open in offering communicative values, whether based on the artistry
and content, providing a chance for a different social approach on art and
wider experimental possibilities. A number of jury (three) from Forum
Lenteng organizational structure judge the films selected and submit the
best nominee for this category for the ARKIPEL Jury to argue.
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |37
INTERNATIONAL COMPETITION
SINEMA, MEDIUM,
DAN PEMBUATNYA
Ugeng T. Moetidjo
Beberapa catatan seputar seleksi ARKIPEL Grand Illusion 3rd Jakarta
International Documentary & Experimental Film Festival 2015, dapat
diuraikan sebagai berikut:
Filem-filem yang kami seleksinaratif dan nonnaratifmemiliki
keindahan bahasa visual atau sinematik, terkait dengan intepretasi akan suatu
kebaruan di tingkat teks maupun konteks. Bahwa visualisasi akan subject
matter mampu mengingatkan kembali soal pentingnya gagasan-gagasan
tertentu ketimbang lainnya meskipun sekadar lewat materi-materi faktual
berupa kliping, fotografis, footage-footage, reka bentuk maupun peristiwa.
Filem-filem dalam seleksi ARKIPEL tahun ini boleh terkelompok
ke dalam beberapa fokus tematik. Salah satunya, mengungkit kembali
masalah identitas komunal atau bangsa, klan, ras, atau komunitas. Dalam
fokus tersebut terbaca keresahan akan pengucilan, diskriminasi dan
pengabaian terhadap kelompok-kelompok identitas. Konten-konten yang
mempermasalahkan berbagai perilaku di atas maupun dampak-dampaknya
kerap mempertanyakan ilusi-ilusi agung melalui narasi-narasi kecil, lokal,
atau sektarian.
Sejumlah filem seperti meyakini bahwa sinema punya kepentingan
untuk mengenali kembali masa lalu suatu negara-bangsa, signifikan terkait
perkembangan kontemporer. Di dalamnya, terdapat keberanian untuk
mengetengahkan ironi dan fatalitas dari historisisme versi resmi. Gagasan,
konsepsi, ingatan, dan fakta-fakta tentang pembayangan bangsa dinarasikan
lewat identitas personal atau komunitas yang dikodifikasi dengan hal-hal
remeh sehari-hari.
Yang juga jelas di situ, media turut berperan penting, baik dalam premis
maupun pretensinya untuk menegaskan eksistensi suatu negara-bangsa.
Rekonstruksi atau pencarian akan bangsa dalam beragam elaborasi visual
dan naratif atas segi-seginya memberi kesempatan leluasa kepada media
untuk menjadi sarana pembentuk maupun bahasa ungkap itu sendiri.
Benar bahwa, dokumenter kini cenderung makin tidak pasti dalam
menangkap realitas karena kesadaran bahwa fakta-fakta atau hal-hal aktual
38 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
dari suatu peristiwa adalah sesuatu yang bisa disimulasikan. Di situ, gagasan
untuk mempertanyakan hal-ikhwal realitas menjadi suatu permainan
ganda atau mendua dari media pada subject matter, entah secara optimistik
maupun pesimistik, untuk menemukan kembali kenyataan kendati tak
ideal, melainkan dengan sejumlah cacat atau kritik.
Adalah pendekatan yang umum bahwa sebagian filem dalam seleksi
kali ini tetap bertahan pada penggunaan footage, wawancara-wawancara
dengan publik dan narasumber dari dan tentang masa lalu maupun sekarang.
Sudah tentu, kamera adalah alat yang didekatkan kepada subjek pertama
terlibat. Sejumlah naratif berkembang serentak digunakannya kamera video
di lokasi, entah di tangan kameraman atau di tangan subjek lokal. Di sini,
perekaman secara spesifik disadari dampaknya bagi subjek-subjek setempat,
yakni kemungkinan terungkapnya identitas para pelaku di lapangan yang
menjadi latar pokok subject matter. Situasi ini terpaut masalah etika dan
tanggung jawab pembuat filem yang melibatkan diri di wilayah itu.
Di beberapa segi, konsekuensi yang demikian justru menunjukkan
kemenangan realitas atas media ketika realitas itu sendiri dapat berkelit
dan berdiam di relung suara hati yang penuh simpati. Menyisihkan
potensi politisnya dari sekadar menjadi reduktif dan melampaui euforia
demokratisasinya, kamera, yang kehadirannya tidak ditutup-tutupi, telah
menjelma subjek yang tulus bersama narasumber atau warga. Sinema media
empatik manakala kamera dikeluarkan dari ketakterlihatannya yang bergaya
alamiah kepada subjek-subjek setempat sehingga keterlibatan mereka
dalam relasi sosial dan psikologis dengan masalah-masalah yang hendak
diungkapkannya mendapat pertimbangan. Gentingnya, di titik ini narasi
dalam bingkai-bingkai bidikan tidak lagi berkukuh pada realitas sebagai
peristiwa yang melulu hanya actual, melainkan seringkali sepenuhnya
merupakan suatu kias realisme.
Elaborasi di atas telah memudarkan beragam stereotipe akan naratologi
masa lalu-masa kini, serta relasi antar keduanya dengan tradisi sinema
dokumenter. Kamera yang terlalu terikat masa lalu membuat sejarah itu
sendiri tinggal mitos-mitos yang tak lagi mengusik kehidupan kita hari ini.
Lebih jauh, sinema media samar-samar mengilaskan kembali ingataningatan yang dihancurkan oleh sejarah pada wajah, atribut, suara-suara,
atau kepasrahan dari mereka yang terkucilkan, tersingkirkan, bahkan
terpunahkan di tanah-tanah asal mereka. Simpati kepada ketragisan mereka
dapat kita berikan ketika di dalamnya kita menemui berbagai kemungkinan
dialektis dari konflik dan tantangan yang ditawarkan oleh sinema itu sendiri
terhadap subject matter-nya.
YouTube adalah fenomena mutakhir bagi sinema kontemporer. Namun,
kanal global ini berpotensi sebagai musuh sinema karena peluang besarnya
dalam menampung unggahan berbagai kemiripan tipologis segala citra
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |39
CINEMA, MEDIUM,
AND THE CREATORS
Ugeng T. Moetidjo
Several notes on the selection of ARKIPEL Grand Illusion 3rd International
Documentary & Experimental Film Festival 2015 can be described as follows:
The films we selectnarratives and non-narrativeshave certain visual
language or cinematic beauty in regard to interpretations of novelty on both
textual and contextual levels. It is about visualisation of subject matter that can
remind us about the importance of certain ideas over the others, even though
only through factual materials such as clippings, photography, footages, and
reenactments.
The films selected in ARKIPEL this year may be grouped in several
thematic focuses. One of them brings up again the problem of communal
identity, or nation, race, clan, or community. In such focus we can read some
anxiety over exclusion, discrimination and disregard toward identity groups.
The contents that raise the behaviors above, and their impacts, often question
grand illusions through small, local, or sectarian narratives.
A number of films seem to believe that cinema has an interest to re-identify
the past of a nation-state, which is significant in terms of contemporary
development. In them, theres a courage to offer an irony and fatality of official
historicism. Ideas, conceptions, memory, and facts about a nation-imagining is
narrated through personal or communal identity codified with daily, trivial stuff.
Whats also clear there is that the media has an important role, both in its
premise and pretention to affirm a nation-states existence. A reconstruction
or search of a nation in various visual and narrative elaborations provides a
vast opportunity for the media to become a means that shapes or becomes the
language of expression itself.
It is true that today documentary tends to be more uncertain in capturing
reality due to the realization that facts or actual objects of an event are things
that can be simulated. Thus, the idea to re-question reality becomes medias
double game or double stance toward a subject matter, be it optimistically or
pessimistically, to rediscover reality albeit less ideal and flawed.
It is a general approach that some of these films of selection maintain the
use of footage, interviews with the publis and sources of and about the past
42 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
and the present. Of course, camera as a tool brought near to the subjects is
involved. A number of narratives prosper at the same time with the use of
camera video on location, whether in the hands of a cameraman or local subject.
The specific recordings impact here is realized by local subjects, namely the
revelation possibility of local perpetrators identity that became the backgroud
to subject matter at hand. This situation concerns the ethics and responsibility
of the filmmaker who involves him/herself in the area.
In some ways, such consequence in fact shows the victory of reality over
media as the said reality may dodge and inhabit the depths of conscience full
of sympathy. Putting aside its political potential from mere reduction and going
beyond its democratization euphoria, camera in uncovered presence becomes a
sincere subject together with sources and citizens. Media cinema is empathic
when the camera is brought out from its natural-styled invisibility to the local
subjects so that their involvement in social and psychological relations to the
problems to be presented can gain consideration. The urgency is, at this point,
narratives in the aimed shots do not insist anymore on reality as an event thats
necessarily actual but often entirely a realism metaphore.
The elaboration above has tarnished an assorted stereotypes of past-present
narratology and the interrelation of both of them with the documentary cinema
tradition. Camera thats tied too hard to the past turns history into myths that
do not intrigue us anymore today.
Furthermore, media cinema vaguely evokes memories, crushed by history,
of faces, attributes, voices, or resignation of those who are excluded, banished,
and even extinguished in their lands. We can give sympathy to their tragedy
when we find in it various dialectical possibilities of conflict and challenge
offered by the cinema itself to its subject matter.
YouTube is the latest phenomenon of contemporary cinema. But this global
channel has the potential to become a cinemas enemy due to its huge capacity
to accommodate uploads of various image typological similarities that might
be used in cinema, only with a click. On the other side, its presence alters
as well the production of cinematic forms through visual records of a global
scale. Some films draw upon footages on this channel, whether for the sake of
pragmaticism or aesthetics. On another level, some possible approaches to it
give promise of a new style, if not new context, to documentary mode through
visual language sophistication.
The films in the next group look back at ideology as a general principle.
They primarily re-question the value system on regional and global levels by
contradicting socialism and capitalism. Some ideas of this theme are also
confronted with the search of national identity. In terms of narrative, these
kinds of films recite lamentation and protests over human exploitations based on
class, civilization, or culture that are simply scattered as old, fragile memories
that had to be raised up again. Their narrative technique of expression use
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |43
produce its visual codes and offers a series of impressions over reality. This
treatment has altered the point of view toward various informative aspects
color, sound, shadow, locationof shot representations. By the angle expansion
intensity, the picture frames become a different way of viewing through the
forms and compositions appearing unexpectedly on the narrative chain.
Experimentation, in its reduction of recorded realityas some films
try to have dialectics polemically with their mediums, or purposefully point
to the cameras presencewill always seem to deviate from the normative
presupposition as what is seen does not make up a representation of something
whole. Creativity in this position means also paying respect to a viewers attempt
to deconstruct his/her receptive system over any order of image. On the other
hand, experimentation that sticks to medium sensibility and abstraction is
successful in pouring a narrative model into a sort of lyrical prose through
juxtaposition of fragmentary images that arent just functional elements of causal
relations in cinematic visualisation; because they do not devote themselves
to the interests of the narrative information but constitute instead a series
of visual signs of personal codes among the cinema, medium, and its maker.
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |45
KESEPAKATAN LAIN
Afrian Purnama
ANOTHER CONSENSUS
Afrian Purnama
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |47
IC
1 / 24 AUGUST, GOETHEHAUS, 13.00 & 27 AUGUST, KINEFORUM, 13.00 / 13+
CINZA / ASHES
Micael Espinha (Portugal)
Country of Production Portugal
Language Portuguese
Subtitle English
10 minutes, B/W, 2014
www.roughcut.pt
micael.espina@gmail.com
Afrian Purnama
IC
2 / 24 AUGUST, GOETHEHAUS, 17.00 & 28 AUGUST, KINEFORUM, 13.00/ 13+
BEEP
Kyung-Man Kim (Republic of Korea)
Country of Production Republic of Korea
Language Korean
Subtitle English
10 minutes, Color & B/W, 2014
zadoz@hanmail.net
Afrian Purnama
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |49
IC
2 / 24 AUGUST, GOETHEHAUS, 17.00 & 28 AUGUST, KINEFORUM, 13.00 / 13+
Afrian Purnama
IC
1 / 24 AUGUST, GOETHEHAUS, 13.00 & 27 AUGUST, KINEFORUM, 13.00 / 13+
Afrian Purnama
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |51
IC
2 / 24 AUGUST, GOETHEHAUS, 17.00 & 28 AUGUST, KINEFORUM, 13.00 / 13+
Afrian Purnama
KETERBELAHAN INGATAN
Umi Lestari
atau objek yang memantik penonton untuk melihat, bisa dihadirkan melalui
permainan digital semisal dengan teknologi scanning atau stereoscopic 3D. Di
sisi lain, penggunaan logika filemis justru mampu untuk menunjukkan objek
paling subtil, yakni unsur terkecil dalam dunia digital seperti pixel maupun
titik (dot) yang memungkinkan sebuah citra hadir.
Syahdan, adakah yang disebut kebaruan jika sekarang yang ada adalah
fotokopi atas fotokopi? Keenam filem yang dihadirkan dalam program ini pada
dasarnya tidak menawarkan kebaruan baik dari segi estetis maupun tematis.
Kekuatannya sendiri terletak pada dua hal. Pertama, pada gagasannya untuk
mencomot tawaran bahasa filemis, mengolahnya menjadi pernyataan cadas:
ujaran yang mampu membawa pada aspek joy dan agoni yang sempat hilang.
Kedua, karena kemampuannya untuk menghadirkan unsur subtil pembentuk
citra, garis dan titik, sesuatu yang kadang terlewatkan saat membicarakan
Sinema. Tak lain tak bukan, keenam filem ini berusaha untuk mengembalikan
filem pada fitrahnya. Ingatan yang telah tersimpan, akan berkembang dengan
sendirinya. Walaupun dengan bentuk dan wujud yang berbeda, namun tetap
mengandung untaian DNA-nya: Sinema adalah bahasa.
MEIOTIC REMINDER
Umi Lestari
At the beginning was an object that refers to another object.
The body is a bank of archives. It saves events, ideas, and things weve seen.
The saturated memory then waits to be recalled at a certain moment, including
when we watch a film.
As a combination of various kinds of art, film has its own specialty since it
can elicit an object by itself, whether based on the cameraman-subjects awareness
or the possibilities of cameras capture over reality. The traces of it can be seen
from film images that function as statement. Those images can take us to things
ignored in historyincluding Cinemaor focus on emphasis over form as a drive
to our sensory experience, where meanings find their estuary.
The interplay of rhythm, texts and images is inevitably a trigger to evoke
memory. The belief in representation, such as in films after the First World
War, when sound-on-film technology emerged, is still on its place today. The
experimentation to frame representational object can be traced through the
selection of colors and style, rhythm and lines. As for the belief in image, it has
its place too in them who liberate images to speak for themselves. The traces can
be seen from the effort to return the nature of sound and text as part of images
that together create a narrative.
The presence of digital technology also impacts on Cinema. The process of
borrowing from each other becomes more complex with influences visible in the
images presented. The digital can move cinema away from the focus on cameras
viewpoint. The offer of the gaze, or the object, that prompts viewers to see can be
presented through a digital interplay such as through scanning or 3D stereoscopic.
On the other side, the film logic can show the most subtle object, that is the
digital worlds smallest element such as pixel or dot allowing images to be present.
As it happens then, is there anything to call new if whats present now is a
photocopy of a photocopy? The six films presented in this program basically
do not offer any novelty, be it the aesthetics or the theme. Their strength lies in
two things. First, in their idea to pick up the filmic languages offer, processing
it into a badass statement: an utterance that brings us to the joy and agony once
lost. Second, in their capability to evoke the subtle elements that make up images,
lines, dots; the things overlooked when we talk about Cinema. These six films
by and large try to return film to its nature. The memory kept will grow on its
own. Despite the different forms and shapes, they still contain the DNA that
Cinema is a language.
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |55
IC
3 / 23 AUGUST, KINEFORUM, 13.00 & 27 AUGUST, GOETHEHAUS, 13.00 / 18+
SARAH (K.)
Christophe Bisson (France)
Country of production France
Language French
Subtitle English
15 minutes, Color, 2014
triptyque.diffusion@gmail.com
Umi Lestari
IC
3 / 23 AUGUST, KINEFORUM, 13.00 & 27 AUGUST, GOETHEHAUS, 13.00 / 18+
Umi Lestari
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |57
IC
3 / 23 AUGUST, KINEFORUM, 13.00 & 27 AUGUST, GOETHEHAUS, 13.00 / 18+
Umi Lestari
IC
3 / 23 AUGUST, KINEFORUM, 13.00 & 27 AUGUST, GOETHEHAUS, 13.00 / 18+
Umi Lestari
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |59
IC
3 / 23 AUGUST, KINEFORUM, 13.00 & 27 AUGUST, GOETHEHAUS, 13.00 / 18+
A.D.A.M.
Vladislav Knezevic (Croatia)
Country of Production Croatia
Language English
Subtitle No Subtitle
13 minutes, Color, 2014
vanja@bonobostudio.hr
Umi Lestari
IC
3 / 23 AUGUST, KINEFORUM, 13.00 & 27 AUGUST, GOETHEHAUS, 13.00 / 18+
THING
Anouk de Clercq (Belgium)
Country of Production Belgium
Language English
Subtitle No Subtitle
17 minutes, B/W, 2013
theuszwakhals@li-ma.nl
Umi Lestari
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |61
PERPINDAHAN
Bunga Siagian
Apa tantangan terbesar dari situasi kontemporer saat ini ketika demokrasi, liberalisme,
serta multikulturalisme menjadi satu poyek bersama yang kita agungkan? Di dalam
situasi global dan perkembangan ekonomi, mobilitas merupakan hal yang tidak bisa
dihindari. Motif ekonomi, sosial, maupun politik, serta infrastruktur yang tersedia,
memungkinkan kita berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Namun, siapkah
kita merespon segala bentuk perpindahan tersebut tanpa rasa curiga? Siapkah kita
hidup berdampingan dengan manusia lain yang memiliki identitas berbeda dan
terasa asing itu? Pertanyaan ini muncul atas respon saya terhadap, misalnya peristiwa
Charlie Hebdo atau juga sikap diskriminatif terhadap imigran, baik secara langsung
maupun oleh media massa.
Perpindahan manusia dari satu tempat ke tempat lainnya mengandaikan
sebuah sikap toleransi yang tinggi untuk menghuni sebuah ruang baru secara
bersama-sama dengan kompleksitas identitasnya, yang kemudian kita sebut sebagai
multikulturalisme. Stanley Fish, dalam Critical Inquiry (Vol.23, No.2, hal.378,
1997) pernah mengemukakan sebuah jenis multikulturalisme yang dia sebut sebagai
Boutique Multiculturalism. Para penganut multikulturalisme jenis ini bersimpati,
mengakui, dan menikmati budaya yang lain, tetapi mereka akan sangat keras dan
intoleran terhadap nilai-nilai yang sangat berlawanan dengan nilai-nilai inti identitas
mereka. Bahwa setiap identitas cepat atau lambat akan menampakkan core value
di ruang publik, merupakan tantangan sebenarnya. Sikap intoleran ini juga akan
ditunjukkan oleh kedua belah pihak, baik penghuni ruang yang asal maupun yang
baru datang. Perbedaan nilai itu akan tenyatakan terus-menerus dan mengambil
skala yang lebih besar dan berhadapan dengan praktik sentimen yang jauh lebih
purba, seperti gender, ras, agama, kelas, dll.
Filem-filem di dalam program ini tidak secara langsung menyatakan gagasan
multikulturalisme tersebut, kecuali filem Killing Time. Program ini justru ingin
mendedah apa yang kita sebut dengan perpindahan, yang pada konteks hari
ini, memiliki berbagai elemen di dalamnya. Ia melibatkan gerak, ruang, benda,
infrastruktur, perangkat digital, situasi politik, ekonomi, budaya, dll. Elemenelemen itu yang ternyatakan di dalam lima filem ini. Sebetulnya, program ini tidak
menawarkan suatu koherensi yang dapat terbaca begitu saja di dalam susunan filemnya.
Itu menjadi tantangan untuk menyatukan beberapa filem yang, ketika disatukan,
tampak tidak koheren. Akan tetapi, lebih karena tujuannya kemudian, yakni membaca
bagaimana filem-filem yang diputar di dalam program ini dapat saling berelaborasi
untuk menggambarkan gagasan yang tertuang di dalam pengantar program ini.
62 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
TRAVELING
Bunga Siagian
What is the biggest challenge today when democracy, liberalism and
multiculturalism all merged into one common project that we all worship? In
such global economic development, mobility is something unavoidable. Political,
social and economic motives, and the available infrastructure, allow us to move
from one place to next. However, are we ready to respond to all those kinds of
traveling without any suspicion? Are we ready to live side by side with other
human beings of different identities and alienation? These questions arise
together with my response to, for example, the Charlie Hebdo shooting and
discrimination toward immigrants, directly or indirectly by the mass media.
The human traveling from one place to another presupposes a strong
tolerance in order to inhabit a new space together with identity complexity that
we later call multiculturalism. Stanley Fish, in Critical Inquiry (Vol.23, No.2,
p. 378, 1997), once posited a kind of multiculturalism he called boutique
multiculturalism. This multiculturalisms followers sympathize, recognize
and enjoy other cultures but are completely hard and and intolerant toward
opposing values of their core identity values. That every identity sooner or
later can show its core values in the public is the real challenge. This kind of
intolerance can be displayed by opposing parties, both original inhabitants
and newcomers. These value differences will be continuously asserted and take
up a larger scale in the face of much more primal sentiments such as gender,
race, religion, class, etc.
The films in this program does not explicitly assert such multiculturalism
ideas, except Killing Time. This program in fact wants to explore what we
call traveling in the context of today with all its diverse elements. It involves
movement, space, object, infrastructure, digital gadget, cultural-politicaleconomic situation, etc. These elements are pronounced in these five films. This
program does not essentially offer a readable coherence in its film selection,
which is the challenge to combine the films as they seem to be incoherent.
However, the aim is to read how the films played in this program can elaborate
each other to describe the ideas poured into the programs introduction, and
so it goes.
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |63
IC
4 / 23 AUGUST, KINEFORUM, 15.00 & 26 AUGUST, KINEFORUM, 19.00 / 18+
INFRASTRUCTURES
Aurle Ferrier (Switzerland)
Country of Production Switzerland
Language No Dialogue
Subtitle No Subtitle
23 minutes, Color, 2014
bonjour@aureleferrier.ch
Bunga Siagian
IC
4 / 23 AUGUST, KINEFORUM, 15.00 & 26 AUGUST, KINEFORUM, 19.00 / 18+
CONTINUOUS LINES
Diana Pacheco (Ecuador)
Country of Production Hungary / Ecuador
Language No Dialogue
Subtitle No Subtitle
23 minutes, Color, 2014
dilu.181@gmail.com
Bunga Siagian
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |65
IC
4 / 23 AUGUST, KINEFORUM, 15.00 & 26 AUGUST, KINEFORUM, 19.00 / 18+
BINARIO / BINARY
Giuseppe Riccardi (Italy)
Country of Production Spain
Language No Dialogue
Subtitle No Subtitle
20 minutes, B/W, 2014
giuseppericcardi.06@gmail.com
Bunga Siagian
IC
4 / 23 AUGUST, KINEFORUM, 15.00 & 26 AUGUST, KINEFORUM, 19.00 / 18+
Bunga Siagian
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |67
IC
4 / 23 AUGUST, KINEFORUM, 15.00 & 26 AUGUST, KINEFORUM, 19.00 / 18+
KILLING TIME
Rafi Shor (Israel)
Country of Production Israel
Language Hebrew
Subtitle English
22 minutes, Color, 2015
rafishorz@gmail.com
Bunga Siagian
medium paling canggih ini. Jadi, dengan siasat macam ini, diharapkan skandal,
manipulasi, intrik, dan ilusi yang dipraktikkan oleh penguasa, dapat terbaca
oleh publik. Memang bukan cara mudah, bagaimanapun, permasalahan macam
ini sudah mengakar sedemikian rupa, kecerdikan cara mereka memainkan
skema dan menutupi borok, terjalin rapi dan sistematis. Jadi, yang dinanti
adalah cara dan usaha kita dalam menyikapi makna dari realitas tersebut demi
menunjukkan bahwa kita perlu yang berbeda bila tidak ingin terus disetir
oleh penguasa.
Empat filem dalam program ini bisa merepresentasikan narasi di atas.
Dengan kemampuan estetisnya, filem-filem ini melampaui batasan naratif untuk
memunculkan kemungkinan baru yang dapat dibaca ulang: tentang gambargambar yang menjadi puitik, dan dengan siasat estetik, sekuen-sekuennya
dapat dibahasakan untuk melihat bagaimana struktur atau sistem membentuk
masyarakat, tidak dengan cara lain; juga tentang cerita-cerita aktual yang
hadir melalui ruang-ruang personal, sebagai upaya kembali mempertanyakan
identitas, nan berpeluang untuk dibaca lebih jauh ketimbang hanya masalah
naratifnya sendiri. Hubungan antara teks dan adegan menunjukkan adanya
semacam perlawanan dan eksistensi dari protagonisnya di lingkup sosial
sehingga dapat menegaskan keabsahan posisinya sendiri terhadap sebuah
sistem; dan yang terkahir, tentang usaha mencoba kembali kemungkinan
untuk mengetengahkan bagaimana praktik-praktik para penguasa, dekontruksi
politik, dan semacamnya dapat ditelaah melalui sinema. Ilusi tentang realitas
dan peristiwa revolusi di tataran politik maupun representasi media, sering
kali menyesatkan orang banyak.
Persoalannya, sekarang adalah bukan mencipta atau dicipta. Akan tetapi,
pandangan satu arahlah yang harus dihilangkan. Dalam pandangan satu arah,
kita semua harus mendukung, menerima. Bukan itu! Kita seharusnya bisa juga
menjadi bagian untuk sebuah kebijakan yang dapat membuat kita menjadi
lebih baik. Seperti dilantunkan dalam A Barca:
Oh bumiku, rumahku!
Oh tanahairku, tanah tumpah darahku!
Oh tanahairku, tanah tumpah darahku!
Bagimu kan kuserahkan mataku.
Kan kusembahkan jiwaku padamu.
Kan kusembahkan jiwaku padamu.
Demi hari penentuan, hari saat mu milikku.
show that we need something different and that those in power should not
dictate us.
Four films in this program can represent the narrative above. With their
aesthetic capabilities, these films go beyond the narrative boundaries to launch
new possibilities for a re-reading: about images that become poetic, of which,
with aesthetic strategy, the sequences can be expressed to see how a structure
or system shapes a society in a certain way; and also about actual stories coming
through personal spaces, as an effort to question identity, which is possible
to be read further than its own narrativity. The relationship between the text
and the scene shows a sort of resistance and the protagonists existence in a
social sphere so as to affirm their position toward a system; and, lastly, about
how another possibility to represent the practices of political rulers, political
deconstruction, etc can be conducted in cinema. Illusions of reality and events
on political levels and media representation indeed have misled many people.
The question now is not to create or to be created. It is the one way view
that must be eliminated. In one way view, we all must support, receive. No!
We must be able to be a part of policy to better ourselves, just like chanted
in A Barca:
O my earth, my home!
O my land, my native land!
O my land, my native land!
To you I give my eyes
I will dedicate my soul to you
I will dedicate my soul to you
For the day of reckoning, the day youre mine.
IC
6 / 25 AUGUST, IFI, 15.00 & 28 AUGUST, GOETHEHAUS, 13.00 / 18+
A BARCA
Pablo Briones (Switzerland)
Country of Production Switzerland
Language Portuguese
Subtitle English
21 minutes, Color, 2014
brionespablo@gmail.com
Syaiful Anwar
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |73
IC
5 / 23 AUGUST, KINEFORUM, 17.00 & 27 AUGUST, GOETHEHAUS, 15.00 / 18+
I AM THE PEOPLE/
JE SUIS LE PEUPLE
Anna Roussillon (France)
Country of Production France
Language Arabic
Subtitle English
111 minutes, Color, 2014
karim@hautlesmainsproductions.fr
Syaiful Anwar
IC
6 / 25 AUGUST, IFI, 15.00 & 28 AUGUST, GOETHEHAUS, 13.00 / 18+
Syaiful Anwar
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |75
IC
6 / 25 AUGUST, IFI, 15.00 & 28 AUGUST, GOETHEHAUS, 13.00 / 18+
Syaiful Anwar
FLASHBACK OF SENSES
Andrie Sasono
Cinema allows humans to do crossings, whether its disciplinary crossing
or something about to be reviewed in this program. This program explores
cinematic possibilities to take us away across time and space in an investigative
mission or, even further, to create a medium of traces of event, or someone,
or a group of people, so as to compose an archive that can be looked at again
in the future.
The said mission drives cinema as a medium to capture whats lost or long
buried and its possibility to become a new archive which contains attempts to
predict the future. It is here that cinema, as a medium, discovers its function
to not only frame an action or event but also reveal time and its effect toward
the event enveloping it. This enterprise is possible because cinema is a medium
that can process, interweave, and infiltrate archives.
It is archive that allows cinema to follow traces of the past. Archive becomes
a material for cinema to work and frame an event that experiences missing
links thanks to time. It is very possible for human beings, through cinema,
to fill up those missing links with new meanings, or even to play with our
perspectives in the process of creating new meanings, and with our sensory
experience as our eyes capture visuals appearing alternately on the screen.
Also, little, personal narratives treated similarly are empowered as another way
to recollect memory, to be reconstructed, both inventively and melancholic.
The films in this program represent a dramaturgy with a setting that
surrounds traces as the theme, through archival elaboration and narrative
concept mentioned above. These are about an old mans struggle against an
Italian fascist regime, an investigation over a fathers archives, a sad story of
a mother with an artist husband and four children, and a quiet narrative of
a prostitute who is repressed by the society and capital forces. Each film will
take us to see how little, personal narratives, or collective ones, can become
materials for us to speak of an era (in the past or even the future), to understand
a regime, a social construct, or just to be closer with our parents at home.
IC
7 / 23 AUGUST, GOETHEHAUS, 13.00 & 28 AUGUST, KINEFORUM, 15.00 / 18+
Andrie Sasono
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |79
IC
8 / 23 AUGUST, GOETHEHAUS, 15.00 & 28 AUGUST, KINEFORUM, 19.00 / 18+
GRACE PERIOD
Caroline Key, KIM Kyung-Mook
(USA/Republic of Korea)
Country of Production Republic of Korea
Language Korean
Subtitle English
62 minutes, Color, 2014
carolinejinkey@gmail.com
Andrie Sasono
IC
8 / 23 AUGUST, GOETHEHAUS, 15.00 & 28 AUGUST, KINEFORUM, 19.00 / 18+
DARK MATTER
Karel Doing (The Netherlands)
Country of Production The Netherlands
Language English
Subtitle 20 minutes, Color, 2014
karel@doingfilm.nl
Andrie Sasono
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |81
IC
7 / 23 AUGUST, GOETHEHAUS, 13.00 & 28 AUGUST, KINEFORUM, 15.00 / 18+
Andrie Sasono
KAMERA TUBUH
RELASIONAL
Ugeng T. Moetidjo
Kini, dunia, sebagaimana yang kita bayangkan dan pahami, sudah tak punya
ketinggiansebuah puncak yang lazim kita dakimeniru para perintis
pendahuludengan susah payah. Para seniman tahu itu, dan mungkin juga
khalayak awam. Dunia telah menjadi menara Babel yang runtuh. Maka,
relasi kita dengan pelbagai sesuatu yang kita anggap suatu nilai, sudah tidak
berlangsung secara vertikal melainkan hanya horisontal. Di situ, di keruntuhan
itu, dalam mekanisme produksi gambar-gambar atau jepretan-jepretan kamera,
waktu dan tempat pun punah karena semua itu dapat terjadi tanpa terikat lagi
pada saat-saat dan ruang-ruang tertentu.
Dengan kenyataan seperti itu, saat ini kamera telah menjadi bahasa. Ia
menjadi bahasa melalui organ-organ tubuhnya sendiri yang berhubungan
dengan tubuh-tubuh lain yang mendekat atau didekatinya. Hanya melalui
dan bersama dengan kelengkapan aparatusnyalah tubuh-tubuh yang lain itu
terbahasakan dan terungkapkan sebagai suatu fenomen identifikasi yang bisa
kita tanggapi. Dalam posisi kamera yang menjadi bahasa, ia mentransformasikan
seluruh relasinya dengan tubuh-tubuh yang lain demi dapat menarasikan
dirinya sendiri. Bertolak dari titik ini, selanjutnya kamera adalah narasi itu
sendiri, seiring dengan mata mekanisnya yang terfungsi sebagai reseptor, kini
lewat hukum digital.
Tetapi Kuleshov telah mengajarkan bahwa dengan kamera yang tiada pun,
pengenalan akanbaginya, sejarah-sejarah, dan bagi kita cukupnarasinarasi saja, juga bisa dibentuk selama terdapat relasi dengan materi-materi di
depannya yang menyerahkan fungsi-fungsi mereka. Dengan demikian, kamera
bukan sesuatu yang dibayangkan melainkan sesuatu yang niscaya fungsional
sekalipun wujud fisiknya tidak ada. Efek Kuleshov adalah penolakan atas
tubuh/identitas yang terproduksikan oleh kamera reduktif, yang sementara
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |83
CAMERA BODY
RELATIONAL
Ugeng T. Moetidjo
Now, the world, as we imagine and understand, has not the altitudea peak which
customarily we climbfollowing the predecessorswith difficulty. The artists know
it, and also may the audiences. The world has become the collapsed tower of Babel.
Thus, our relationships with lots of things we consider as a value is not taking place
vertically, but only horizontally. There, in those downfall, in the images production
mechanism or camera shots, time and place are extinct because it can occur without
being bound again at times and certain spaces.
By that fact, this time camera has become a language. It became a language
through its own organs associated with other bodies approaching or approached. Only
through and together with its apparatus completeness, voices are given to other bodies
and expressed as a phenomena of identification that we can respond. In the position
where camera becomes language, it transforms the entire relation with other bodies in
order to narrate its own sake. Starting from this point, next the camera is the narrative
itself, along with its mechanical eye functioned as receptors, now via the law of digital.
But Kuleshov has taught that comprehension onfor Kuleshov, histories, but for
usnarratives even could also be formed in the absence of camera as long as there is
a relation with materials in front of us giving over their functions. Thus, the camera is
not something imagined but something that is necessarily functional though without
physical manifestation. The Kuleshov effect is a rejection of the body/identity which
are produced by reductive camera, in the meantime, it is a feedback to the forms of
social camera that are part of politics of representation. However, Vertov restored the
method of how that identifying history/narrative can be placed back in quite absolute.
Recording is the decision about who and what is recorded, which determines the nature
of representation. The distance between methods of both praxis mentioned above, in
documentary cinema, is what we might call a reality.
Apparently, until this time, we are still not liberated to recognize other identifications,
except through what is captured by the camera. Renewable element to overcome the
complexity of that reductionist relation is by making the camera/apparatus itself speaks
like someone who says something. Language or words which are introduced by camera
are the words/language that continues to obliterate boundaries between identification
of the apparatus body and the body it faced.
Six films in this program deliver some principles concerning our view of newer
reality as far as camera representation provides a function to itself as language.
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |85
IC
9 / 24 AUGUST, GOETHEHAUS, 17.00 & 27 AUGUST, KINEFORUM, 19.00 / 18+
state-theatre #5 BEIRUT
Daniel Ktter & Constanze Fischbeck (Germany)
Country of Production Germany
Language English, Arabic, French
Subtitle English
65 minutes, Color, 2014
dankoet@gmail.com
Ugeng T. Moetidjo
IC
9 / 24 AUGUST, GOETHEHAUS, 17.00 & 27 AUGUST, KINEFORUM, 19.00 / 18+
Ugeng T. Moetidjo
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |87
IC
9 / 24 AUGUST, GOETHEHAUS, 17.00 & 27 AUGUST, KINEFORUM, 19.00 / 18+
Ugeng T. Moetidjo
IC
10 / 24 AUGUST, KINEFORUM, 19.00 & 26 AUGUST, GOETHEHAUS, 19.30 / 18+
MUTASALILUN / INFILTRATORS
Khaled Jarrar (Palestine)
Country of Production Palestine/United Arab Emirates/Lebanon
Language Arabic
Subtitle English
69 minutes, Color, 2015
sami@idiomsfilm.com
Ugeng T. Moetidjo
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |89
IC
10 / 24 AUGUST, KINEFORUM, 19.00 & 26 AUGUST, GOETHEHAUS, 19.30 / 18+
Ugeng T. Moetidjo
IC
10 / 24 AUGUST, KINEFORUM, 19.00 & 26 AUGUST, GOETHEHAUS, 19.30 / 18+
Ugeng T. Moetidjo
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |91
KEDEKATAN MEDIUM
SEBAGAI KEDEKATAN
REALITAS
Akbar Yumni
sinema, dalam konteks ini, bukan lagi menyibak realitas untuk menyatakan
dirinya sendiri, tetapi lebih merupakan kepanjangan dari persepsi terhadap
realitas yang dihasilkan dari bayangan-bayangan ilusi memori yang traumatis
manusia di masa lalu.
Menurut Walter Benjamin, sesuatu yang tak terlihatterutama, oleh mata
yang kurang berpengalamanoleh kamera dihadirkan melalui penguraian dan
pemisahan segmen-segmen tertentu, lantas menyambungkannya kembali secara
baru. Dengan demikian, jarak kamera (atau, pengguna kamera) dan realitas
adalah jarak yang tidak alamiah, tetapi merupakan jarak yang sanggup meresapi
jaringan situasi sedalam-dalamnya. Dalam hal ini, mata kamera merupakan
penyingkapan baru dari mata alamiah yang terdapat dalam keseharian kita.
Sinema membuat hubungan antara kita dan realitas menjadi berpotensi lebih
intim daripada kesadaran sehari-hari kita.
Dalam sinema, medium kamera sangat dimungkinkan penggunaannya
pada situasi yang paling intim. Kamera seakan jadi perayaan dari pengalaman
personal, sebagai pernyataan diri dari pembuatnya. Keintiman kamera dan
realitas bisa tak terduga sebelumnya pada objek-objek yang dipilih beserta
penyingkapannya. Akan tetapi, hal itu diurai menjadi pengalaman yang
berbeda di dalam sinema. Pada penggunaan lainnya, kamera bisa jadi adalah
medium yang tidak ajek terhadap realitas, tetapi tak lantas mengurangi nilai
informasi yang ingin disampaikannya sembari memberikan penegasan bahwa
perekaman adalah pengalaman personal dalam memandang realitas. Kedua
model penggunaan ini adalah ihwal keniscayaan jarak antara (pemegang) kamera
dan realitas yang bisa menjadi cair, bukan sesuatu yang bersifat representasional
semata. Sementara di sisi yang lain, keintiman terhadap penggunaan medium
itu sendiri, yang dimaksud program ini, adalah ihwal pengolahan visual
melalui penggunaan warna monokromatik untuk menghadirkan image untuk
menyatakan dirinya secara mandiri.
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |93
MEDIUM INTIMACY AS
REALITY INTIMACY
Akbar Yumni
According to Jacques Rancire, art has the capacity to break through all norms
and orders to create a new world. To him, cinema is an ability to highlight
the splendor of insignificant of the daily life to make it a significant reality.
Camera is able to record daily objects and details while revealing a reality
simultaneously. Here are arts revolutionary and political dimensions, especially
that of cinema, namely its capacity to present new perspectives on daily objects.
Two modes can be attached to these works of competition with Intimacy
as the theme. First, cinema as a common intimacy of human reality. Second,
cinema as intimacy to the medium itself. Both can affirm each other at the
same time. These intimacies basically aim to raise a new reality or new world
as a part that barges into the most intimate human experiences, of which the
reachability has yet to be celebrated; or as new possibilities in viewing the
reality of humans and medium.
Several works in this program, having an intimacy mode to humans
reality, apply a sort of recording practice that results in the revealed reality
where unacknowledged and forgotten human identities are hidden. Cinema
becomes a kind of fidelity to reality that reveals the reality on its own way,
making visible a human identitys life that has been hidden and forgotten.
The cinemas fidelity to human reality can also reach the realms of trauma.
When documentary resources as a testimony is absent, the cinema can still
use the memory resources of the past. The cinemas recording function in this
case is not to disclose reality to assert itself anymore but to be an extension
of a perception toward reality resulted from the illusive shadows of traumatic
human memory of the past.
According to Walter Benjamin, something unseenespecially by untrained
eyesby the camera is presented through a breakdown and separation of
94 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
certain segments which then are put together again in a new way. Therefore,
the distance between the camera (or the camera user) and reality is an unnatural
one but one that is able to penetrate into a network of situation as deep as
can be. In this case, the cameras eye is a new revelation of the natural eye in
our daily life. Cinema provides a potential of intimacy for our relations with
reality, more so than our own daily realization.
In cinema, it is very possible to use the camera medium in a most intimate
situation. Camera then becomes a celebration of personal experience, as the
filmmakers self assertion. The intimacy between camera and reality can be
unexpected based on the selected objects and their revelation. However, it is
unfolded to a different experience in cinema. In another use, camera may be a
medium which is not unfaltering toward reality. But this does not necessarily
reduce the informative value to be delivered all the while confirming that
recording is a personal experience in viewing reality. Both these models of use
are a matter of distance necessity between the camera (holder) and a reality
that can be fluid, not just something representational. Meanwhile, on the other
side, the intimacy toward the medium use itself, intended by this program,
is a matter of visual processing through the use of monochromatic colors to
present an image that asserts itself independently.
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |95
IC
11 / 24 AUGUST, KINEFORUM, 15.00 & 25 AUGUST, KINEFORUM, 13.00 / 18+
Akbar Yumni
IC
11 / 24 AUGUST, KINEFORUM, 15.00 & 25 AUGUST, KINEFORUM, 13.00 / 18+
FRACTIONS
Guillaume Mazloum
(France)
Country of Production France
Language French
Subtitle English
45 minutes, B/W, 2014
mazloum.guillaume@gmail.com
Akbar Yumni
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |97
IC
11 / 24 AUGUST, KINEFORUM, 15.00 & 25 AUGUST, KINEFORUM, 13.00 / 18+
ENDLESS, NAMELESS
Mont Tesprateep (Thailand)
Country of Production Thailand
Language No dialogue
Subtitle No Subtitle
23 minutes, B/W, 2014
ptesprateep@gmail.com
Akbar Yumni
IC
12 / 24 AUGUST, IFI, 19.00 & 26 AUGUST, GOETHEHAUS, 17.00 / 18+
FLOR AZUL
Raul Domingues (Portugal)
Country of Production Portugal
Language Portuguese
Subtitle English
70 minutes, Color, 2014
rauldsousa@gmail.com
Akbar Yumni
Raul Domingues
(Leiria - Portugal, 1991). Lulusan
Escola Superior de Artes e Design
di Caldas da Rainha jurusan gambar
dan suara.
Raul Domingues
(Leiria - Portugal, 1991)
Degree in Sound and Image at Escola
Superior de Artes e Design in Caldas
da Rainha
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |99
IC
12 / 24 AUGUST, IFI, 19.00 & 26 AUGUST, GOETHEHAUS, 17.00 / 18+
THE NATION
Pieter Geenen (Belgium)
Country of Production Belgium
Language English, Armenian, Russian
Subtitle English
50 minutes, Color, 2014
distribution@argosarts.org
Akbar Yumni
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |101
CURATORIAL PROGRAM
TERJAGA
DARI ILUSI HARMONI
Budi Irawanto
Kendati Asia Tenggara banyak dipuji sebagai kawasan yang relatif stabil,
sesungguhnya tidak pernah kebal dari ketegangan dan konf lik. Konf lik
bisa meruyak dari mana pun dan dipicu oleh beragam musabab. Mulai dari
pergesekan antaretnis atau antaragama dalam tataran lokal hingga klaim
teritorial dalam skala regional, hanyalah sekadar contoh bentangan konflik yang
terjadi di kawasan Asia Tenggara. Dampak konflik malahan telah melampaui
batas-batas negara sebagaimana bisa disimak dalam kasus pengungsi, pekerja
ilegal, penyelundupan obat terlarang dan senjata. Konflik memang sesuatu yang
endemik dalam masyarakat apa pun. Apalagi, dalam masyarakat multikultur,
konflik justru sebuah keniscayaan yang musykil ditampik. Tentu saja, di sini
konflik tak harus semata-mata dipahami secara stereotipikal sebagai kekerasan
yang berdarah-darah, sebagaimana imaji yang kerap didedahkan oleh media
massa. Konflik juga bisa dimaknai sebagai manifestasi dari tegangan yang
lahir dari relasi kuasa yang tak setara dan bersemayam dalam masyarakat.
Selama ini, konflik di kawasan Asia Tenggara kerap disembunyikan di
bawah pengagungan nilai harmoni. Para elite politik di kawasan ini, kita
tahu, senantiasa mengkhotbahkan pentingnya menjunjung harmoni yang
didaku sebagai karakter masyarakat Timur (Asia) sembari mengingkari
terjadinya ketimpangan kekuasaan dalam masyarakat. Dalam tataran relasi
antarnegara di kawasan ini, keharusan menjaga harmoni itu dikukuhkan
dalam prinsip non-intervensi yang sesungguhnya melanggengkan kondisi
tak adil yang justru menopang bekerjanya kekuasaan yang timpang.
Akibatnya, harmoni berubah menjadi ilusi yang disebarluaskan ke massa
dan menjadi topeng bagi beraneka bentuk diskriminasi, eksploitasi, serta
marginalisasi kelompok rentan (minoritas) dalam masyarakat.
Sementara itu, media massa arus utama cenderung mengemas konflik
sebagai berita yang dilambari keyakinan, bahwa bad news is a good news
(berita buruk itu berita baik) atau if it bleeds, it leads (jika berdarah-darah, ia
jadi terdepan). Akibatnya, konflik hanya dilihat dari sisinya yang spektakular
dan memiliki nilai jual. Nyaris tak ada niatan dari media untuk menggali
lebih dalam akar konflik dan dampak yang ditimbulkannya. Malahan, media
massa justru ikut mengobarkan konflik dan meluaskan eskalasinya agar
terus-menerus bisa menambang berita darinya. Kendatipun media massa
102 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
masyarakat adat serta merampas hak atas rumah mereka yang sah. Kita tahu,
senantiasa ada elite yang menangguk keuntungan politis maupun ekonomis
dari kemelut konflik yang berlangsung, sedangkan orang kebanyakan kerap
menanggung akibatnya yang pedih. Menariknya, kedua filem itu memilih
memberi lebih banyak suara pada orang kebanyakan yang jauh dari pamrih
politik ataupun niatan memoles citra di hadapan kamera. Penonton tak
hanya menemukan ekspresi yang tulus, tetapi juga gema nurani jujur yang
berangkat dari pengalaman nyata hidup di wilayah konflik. Sebagaimana
pernah dinyatakan Bill Nichols, filem dokumenter memang bergantung
sepenuhnya pada kata-kata yang diucapkan karena ujaran meluaskan
pemahaman kita tentang dunia.
Persamaan antara karya dokumenter yang dibesut oleh Hafiz dan
Adjani adalah tidak adanya pretensi menjadi dokumenter investigatif yang
mendedahkan banyak informasi demi menjelas-jelaskan konflik. Bersama
sang pembuat filem, penonton sejatinya diajak untuk menganyam kisah
konflik yang terekam dalam ingatan subjek yang diajak berbincang di filem.
Kita tahu, setiap ingatan senantiasa berwatak fragmentaris. Barangkali,
bagi penonton yang menghendaki penjelasan yang utuh, bulat dan
lengkap ihwal konflik di Bima dan Mindanao, sulit menemukan di kedua
karya itu. Laporan media massa barangkali telah banyak mendedahkan
informasi ihwal konflik tersebut. Akan tetapi, bagi penonton yang memiliki
kesabaran dan ketelatenan mendengarkan kisah dari orang-orang biasa,
serta kepekaan mencerap jejak konflik di beragam benda yang direkam
dalam kedua dokumenter ini, bakal menyadari dimensi yang subtil dari
konflik (terutama yang bermuatan kekerasan) beserta implikasi terjauhnya.
Pada akhirnya, kedua dokumenter itu bukan sebentuk selebrasi atau
estetisasi konflik, melainkan gesture tentang pentingnya mendekati konflik
secara etis dan politis di tengah masyarakat yang dirajam oleh pertarungan
kuasa. Sebagaimana dinyatakan oleh filsuf Italia, Giorgio Agamben, lebih
dari representasi image, filem mampu mengembalikan gesture yang menghilang
dalam masyarakat modern. Dengan kata lain, filem mengembalikan kita
pada perkara etik dan politik, lebih dari sekadar perkara estetik semata.
Maka, dokumenter Hafiz dan Adjani itu membuat kita terjaga dari
ilusi harmoni yang terus-menerus didengungkan para elite politik serta
dikomodifikasi oleh media massa. Ini karena konflik tidak ditampik dan
dijadikan komoditas dalam kedua dokumenter itu, tetapi justru dilihat
sebagai kenyataan yang menuntut ikhtiar kita untuk memahami akarnya,
sekaligus mengimajinasikan jalan bagi rekonsiliasi yang otentik. Dan, kita
tahu, filem dokumenter senantiasa mendekatkan kita pada kenyataan, jika
bukan kebenaran.
DISILLUSIONED WITH
HARMONY
Budi Irawanto
Although Southeast Asia has been praised as a relatively stable region, it has
never been truly free from conflicts and tensions. Conflicts can occur in any
place and can be triggered by many factors. From interethnic or interreligious
clashes at the local level to territorial claims at the regional level are examples
of disorder conditions in Southeast Asian region. The impacts of conflicts
have stretched beyond state borders as we can see from the cases of refugees,
illegal migrants, and drug and arms smuggling. Indeed, conflict is endemic in
any society. Furthermore, in a multicultural society conflict is inevitable. Of
course, conflict is not limited to the form of bloody violence as stereotypically
portrayed by the mainstream mass media. Conflict can be understood as a
manifestation of tension rooted in the unequal power relations in society.
Conflicts in Southeast Asia have usually been concealed in the ideology of
harmony. As is well known, the political elites of this region enthusiastically
preach the importance of harmony, which is claimed as a true character of the
East or Asian while denying the inequality of power in society. At the level of
Southeast Asian region, the importance to keep a harmony is sanctioned in
the principle of non-intervention that in fact perpetuates unjust and unequal
powers. As a result, harmony turns into an illusion that is propagated by elites
to the people and it becomes a mask of various forms of marginalization and
discrimination against minority groups in society.
Meanwhile, the mainstream mass media tend to depict conflict as news
based on a conviction that bad news is good news or if it bleeds, it leads.
Consequently, conflict is only viewed based on its spectacularity and news
value. The blatant economic motive of the mass media to expose the spectacular
dimension of conflict has led the impacts of conflict are untouched. In fact,
mass media often join the wagon to seed the conflict and escalate it, so they
can keep on mining news items. Mass media often manage to reveal a conflict
in society but they are entrapped into the harmony ideology since they prefer
to shortcuts in reporting the long and complex process of conflict resolution.
The idea of peace journalism often turns into a mere technical procedure in
reportage that seems to keep away from the parties involved, stand outside
the conflict zone and simply become an innocent bystander.
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |107
with conflict have to end up in armed violence? Where does the end of a trauma
that often instigates revenge and disputes? Why is familial ties not strong
enough to keep the family remains united when a huge social or political conflict
sweep it? Although the film has finished, those questions, which have long
haunted the filmmaker, are lingering in our mind. Therefore, we must wave
by ourselves the fragmentary of subjects memory (the filmmakers relatives)
in order to find out the answers of those questions.
***
Although both documentaries portray conflicts incited by different causes,
they capture contemporary problems in Indonesia and the Philippines. While
in Bima (Indonesia) land takeover for mining industry (as happened in other
places in Indonesia) has triggered the conflict, in Mindanao (the Philippines)
conflict is originally caused by the government resettlement policy which has
displaced Muslim as well as indigenous from their own land. As is well known,
elites always politically and/or economically reap profits from boiling conflicts
while common people must face the painful consequences. It is interesting
that these documentaries channel the voices of the common people who have
no political vested interests or any intention to polish their image in front of
the camera. We have a chance to watch honest expressions of common people
who have had painful experiences in a conflict area. As a documentary theorist
Bills Nichols stated, documentary films depend entirely on the spoken words
since speech expands our horizon of understanding about the world.
The similarity between Rancajales and Arumpacs documentaries is the
absence of pretension to be investigative that provides a lot of information
about the conflicts. Together with the filmmakers, we are invited to weave the
threads of the conflicts as documented in the subjects memories interviewed.
As we know, every piece of memory if always fragmentary. Perhaps those who
sought a whole, complete, and definitive explanation over Bima and Mindanao
conflicts would never find it. Media reports have provided much information
about those conflicts. But for those who have patience and persistence to listen
to ordinary peoples stories, and a sensibility to perceive the traces of conflicts
in various material objects recorded in the documentaries, they will realize
the subtle dimensions of the conflicts, particularly violent conflict, and their
furthest implications.
Finally, these two documentaries are not a celebration or aestheticization
of conflict but gestures of the importance to approach conflicts ethically and
politically within a society pierced by power struggle. As Italian philosopher
Giorgio Agamben suggested, since cinema has its centre in the gesture and not
in image, it belongs essentially to the realm of ethics and politics rather than
aesthetics. Thus, Rancajales and Arumpacs documentaries awaken us from
110 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |111
Budi Irawanto
Budi Irawanto
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |113
yang sedang berjongkok, kamera Lav Diaz tidak memiliki pretensi untuk
menginferiorkan mereka, tidak pula untuk mengesankan nuansa kesedihan
dan kesengsaraan, yang biasanya kita temui pada karya dokumenter advokatif.
Sebab, shot dari kamera yang menyorot ke bawah itu menyesuaikan logikanya
pada posisi subjek-subjek lainnya yang berlalu-lalang di sekitaran titik aktivitas
yang sedang ia rekam. Kalau kita jeli, dalam adegan tersebut kita akan melihat
adanya subjek lain yang melintas di dekat kedua anak. Karena sedari awal kita
telah merasakan konsistensi kamera yang membidik dari posisi-posisi orangorang yang hadir di lokasi (bukan sekadar dari posisi yang dikehendaki oleh
sutradara tanpa menghiraukan subjek selain dirinya), maka posisi bidikan dari
lintasan atau jalur sirkulasi si subjek yang berjalan itu, secara filemis, dapat
dimaklumi kemunculannya. Kamera yang merekam gambar dari posisi atas
dan membidik ke bawah itu justru semakin tegas menunjukkan tujuannya:
dengan setia menyimak peristiwa dan melanjutkan tatapan rasa penasarannya
terhadap proses menggali yang sedang berlangsung; kamera memanfaatkan
mata si orang yang melintas. Dalam skena ini, sensasi yang kita rasakan justru
ketertarikan Lav Diaz terhadap proses penggalian, bukan kepada dua orang
anak yang sedang melakukan penggalian tersebut. Itulah mengapa, pretensi
untuk merendahkan subjek tidak tercetus dalam sistem makna yang ditangkap
oleh penonton ketika menyaksikan filem ini.
Pola yang memanfaatkan jalur sirkulasi subjek-subjek yang terekam
ke dalam frame kamera ini, juga terlihat dalam adegan seorang anak yang
bolak-balik mengambil air dari sebuah sumur ke rumahnya. Dengan ambilan
gambar yang statis, dan beberapa shot yang arah bidikannya saling berbalas,
kamera menelusuri area gerak dari orang-orang yang melintasi jalur sirkulasi
si anak sehingga kita dapat melihat tata ruang dari lokasi tersebut. Daya
empati yang diciptakan oleh visual dari shot tersebut juga semakin kuat terasa
tatkala kita menyadari kamera dengan intim merekam dari jarak dekat dan
eye-level, saat si anak duduk kelelahan di atas jeriken yang dibawanya. Shot ini
bukan semata-mata ingin memberitahukan bahwa si pembawa kamera sedang
mengasihani kesusahpayahan si anak, melainkan lebih merupakan caranya
untuk menyelami karakter si anak dalam menjalankan aktivitas sehari-hari;
kamera seakan sedang turut merasakan suasana emosional seorang subjek di
tengah semua ketidakpastian atas wilayah yang mereka diami pascabencana.
***
Sebuah lokasi, demi memastikan keterjaminan atas kepentingan-kepentingannya,
dalam beberapa cara, menjadi bagian wilayah yang berada di bawah yurisdiksi
penguasa (misalnya, daerah-daerah dalam sebuah negara). Ia tidak lagi hanya
semata ruang antah berantah, tetapi lebih sebagai teritori, karena bernaung di
bawah hubungan kekuasaan yang memiliki arti penting bagi kesejahteraan para
118 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
layar yang kita tonton adalah mata dari pelaku-pelaku yang terekam di dalam
frame itu sendiri.
Menyinggung isu yang dibingkai oleh karya ini, kita dapat menakar
hubungan antara warga negara (penghuni teritori) dan negara (pemilik
yurisdiksi), terutama dalam hal pemenuhan kepentingan lokal. Storm Children,
Book One berulang-ulang merekam bangkai kapal raksasa di Tacloban, dan
menghadirkannya sebagai visual yang kuat, untuk menandai konflik antara
kekuatan kapital, negara, dan warga. Beberapa kapal, sebagai simbol dari
kekuatan kapital, yang telah menjadi bangkai itu, mendatangi sekaligus menerpa
satu teritori kecil dan memusnahkan sebagian besar nyawa dan segi kehidupan
di dalamnya. Kehadiran bangkai kapal raksasa yang tak diinginkan itu, kini,
telah menjadi sesuatu yang mau tak mau harus diterima; ini menjadi tegangan
yang menghidupkan konflik itu, dan oleh kamera Lav Diaz, dibingkai dan
dibenturkan pada kenyataan, bahwasebagaimana yang dapat kita lihat di
dalam filemkita tak menemukan satu pun unsur negara (yang seharusnya
berperan mengimbangi kekuatan kapital yang cenderung menindas itu)
menangani permasalahan korban. Alih-alih, kita justru melihat bagaimana
warga melanjutkan aktivitasnya sehari-hari seperti biasa, bertahan dengan
keputusan alam, atau bagaimana anak-anak di pinggiran pantai tersebut dengan
riang gembiranya mengakrabi diri dengan si kapaldi skena penghujung
filem, anak-anak bermain, memanjat kapal dan melompat menceburkan diri
ke lauttanpa beban traumatik yang banal. Pada adegan bermain di kapal
itu, khususnya, kamera Lav Diaz dengan khidmat merekam peristiwa itu,
seakan sedang menyelami spirit kelahiran kembali (rebirth; reborn) dari
sebuah lokasi yang diperhatikan oleh alam. Keceriaan anak-anak, adalah
metafor dari spirit itu.
Visi Lav Diaz ini seakan hendak menegaskan, bahwa sinema, pada
dasarnya adalah bahasa dan cara untuk berpihak. Beberapa karya Lav Diaz
yang lain juga menunjukkan bagaimana keberpihakannya terhadap sebuah
daerah dan orang-orang yang ada di dalamnya. Sebutlah di antaranya, Death
in the Land of Encantos (2007)yang mengangkat latar lokasi dan masyarakat
di sekitaran Gunung Mayon, Provinsi Albay, Filipinaatau Butterflies Have
No Memories (2009)yang mengangkat latar persoalan sosial terkait efek
aktivitas pertambangan di Marinduque, Filipina, yang menyebabkan kematian
biologis pada masyarakat di sekitar Sungai Boac. Meskipun kedua filem ini
dikemas dengan balutan fiksi, Lav Diaz tetap secara dominan menyematkan
visinya untuk menjadikan filem sebagai wadah dan alat untuk membangkitkan
perhatian penguasa terhadap kepentingan publik. Dan jelas, karya-karya
ini memiliki perhatian yang mendalam terhadap perasaan dan pengalaman
penduduk dan lokasi yang spesifik. Oleh karena itu, karya-karya Lav Diaz
menjadi penting untuk dilihat terkait ihwal bagaimana memahami satu pilihan
kerangka estetika yang ditujukan untuk melontarkan kritisisme terhadap
120 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
ARKIPEL. (24 Juni, 2015). ARKIPEL: Grand Illusion, International Competition. Dipetik
pada 7 Juli, 2015, dari situs web ARKIPEL International Documentary & Experimental
Film Festival: http://arkipel.org/arkipel-grand-illusion-international-competition/
Hall, S. (1997). Representation: Cultural Representation and Signifying Practices. London:
Sage Publication Ltd.
Prince Claus Fund. (8 Desember, 2014). Lav Diaz Q&A: Culture in Action. Dipetik pada
5 Juli, 2015, dari kanal YouTube Prince Claus Fund: https://www.youtube.com/
watch?v=ZFCC2ra1qkg
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |121
CAMERA EMPATHY,
RHYTHM OF TERRITORY
Manshur Zikri
It has been realized in ARKIPEL that the polemics between media and the
public now has demonstrated that the two entities can no longer be disintegrated.
Thus, cinema deals with the challenge to embrace both parties interests and we
must probe into the cinematic possibility of finding its most recent language
locus (ARKIPEL, 2015). In response to that, this curatorial tries to imagine
an idea about media and the public that contribute to each other to produce a
language in the context of documentary aesthetics.
Cinema that preserves the documentary tradition basically always refers to
an action or a process that emphasizes humans skill to understand and share
feelings to each other deeply. In documentary, the sensitivity to events that happen
in this world, in a way, almost always reaches the cameramans intuitive ability
level to escape from scenario burdens usually established before the camera
tracks down the subject and object of its documentary focus. The documenters
recognition and acceptation of the unpredictable possibilities of the realand
his/her understanding of it not as mere disturbanceare manifested through
the cameras flexibility in adjusting shots without intervening.
When camera, with its flexibility, is succesful in becoming a part of (or
merging with) the neighborhood it shootsof course it means that the camera
bearer is succesful to become a part of it (or is equal to it)then what emerges
is empathy. This curatorial tries to use the diction empathy as a formula of
tactical action (and result) of the (visual) language creation to fill the cinematic
linguistic loci. It is this idea that is about to be achieved, at least, by one of Lav
Diazs experiments in documentary called Storm Children, Book One (2014).
122 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
This film records Tacloban, the Philippines, ravaged by Yolanda Storm two
years ago when the government/state hadnt dealt with the situation.
Storm Children, Book One demonstrates the directors strong vision in each
of its shot. It can be seen, for example, from Lav Diazs way to decide each
shots duration which depends on his own authority as the controller of record
button unburdened by the risk of the audiences unpreparedness. In this case,
as in cinema generally, the director directs the audience as wellnot only the
camera frame. Whats distinctive about Diaz is his conviction about duration
suffiency that depends not only to the information adequacy but also to his
authorships need to give meanings to the event. This is affirmed many times
through Diazs statements as he talks about his work in some discussions, that
duration is not a cinematic burden while director is ordained since the beginning
as someone who rules over duration. Another example is his sensitivity to shoot
central objects (such as a big shipwreck or an activity that intrigues him as
someone present at a location) he meets and to make these the signs that open
vast alternative interpretations in peoples minds.
However, as we look closer, Lav Diazs cameras gesture and attitude seem to
be highly influenced by conditions and circumstances at the location. To record
the shipwreck, for example, he doesnt employ his eyes position personally
but rather the peoples eyes position that (supposedly) he shoots. His camera
plays with the mobility logic flow of the people in Tacloban disaster area and
then harmoniously builds montage to reveal human emotions of being pinned
in a shipwreck and under the ruins. At this point, Diazs individual domination
upon the camera experiences a sort of dialectical conflict in terms of his need
to follow as far as he can the circulation flow and the subjects point of view
that he treats as the footing to take pictures. In other words, while satisfying
his authorship desire as the filmmaker, Diaz becomes a facilitator too, both
for his subjects and his audience. With mostly static and long shotsthis
combination style has earned him the title ideological father of the New
Philippine Cinemacameras soundness in regard to its subjects and objects
captured feels like a way to awaken empathic force; audience is invited to
view the scenery through the subjects eyes in frame while these subjects are
allowed to offer visuals to the audience. The filmmakers egotism to build
his own narrative is curbed by his emphasis on the subjects point of view.
What Lav Diaz does in Storm Children, Book One reminds me of akumassas
technical methodakumassa, a media literacy program initiated by Forum
Lenteng in visual language studies and experimentsin their documentary
production processes. This collaboration between documenters (Forum Lenteng)
and ordinary people (local communities) in a research location tries to put
forward the peoples subjectivity (the films subjects) through two things: (1)
the course of motion circulation and peoples activities in a location/territory,
(2) those peoples viewing angle to events happening there. This methodas
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |123
records the event earnestly, as if digging into the spirit of rebirth of a location
noticed by the nature. The childrens joy is the metaphore of this spirit.
This vision of Diaz seems to assert that cinema is basically a language
and a way to be involved. Some of his other works also show his involvement
in other regions and the people there, such as Death in the Land of Encantos
(2007)exposing the people and region of Mayon Mountain, Albay Province,
the Philippinesand Butterflies Have No Memories (2009)that raises
societal problems relating to mining activities in Marinduque, the Philippines,
that cause deaths near Boac River. Despite the fictional style of these films,
Diaz essentially proclaims his vision to make film as a tool and vehicle to
direct rulers attention to public interests. And its obvious that these works
have a deep concern over peoples feelings and experiences of certain regions.
Thats why Diazs works are important to watch in terms of how an aesthetic
framework is selected to poetically offer criticism to the state while giving
emphasis to local perspectives, especially in the context of Asian cinema and
cultures of the East. Diazs consistence should be highlighted as an effort to
achieve cinematic language novelties in his struggle to re-question the social
camera concept that falls short to justly accommodate peoples interests.
The absence of any significant state role framed in this film simultaneously
strengthens the significance of people system in survival. Regarding territory,
Storm Children, Book Ones montage harmonizes footages of the location he
focuses on to a visual rhythm, allowing the audience to sense a sort of people
mechanism that sustains lives despite the absence of the state. The cameras
position, determined by the peoples bodies and circulatory courses, following
where people see, becomes a rule that defines what events will be captured.
This method as a matter of fact dissects little by little the territorial location
visited by the camera. The images resulted become visual codes to consider
what really happens without narration or explanation since the visual reveals
reality more accurately. With an empathic principle, we need not listen to
words from one another to feel the same, as long as solidarity in tuning to
each others behavior and expression is built on an equal and up-close relation.
Works Cited:
ARKIPEL. (June 24, 2015). ARKIPEL: Grand Illusion, International Competition. Retrieved
July 7, 2015, from ARKIPEL International Documentary & Experimental Film Festival:
http://arkipel.org/arkipel-grand-illusion-international-competition/
Hall, S. (1997). Representation: Cultural Representation and Signifying Practices. London:
Sage Publication Ltd.
Prince Claus Fund. (December 8, 2014). Lav Diaz Q&A: Culture in Action. Retrieved July
5, 2015, from YouTube channel of Prince Claus Fund: https://www.youtube.com/
watch?v=ZFCC2ra1qkg
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |127
Manshur Zikri
INTERDEPENDENSI
David Teh
The true war is the celebration of markets.
Bacaan:
Bowie, K. A. (1992, November). Unraveling the Myth of the Subsistence Economy. Journal
of Asian Studies, 51(4), 797-823.
Langenbach, R. (2010). subtitling apichatpong weerasthakuls thirdworld. Contemporary
Art + Culture Boradsheet, 39(4).
Wolters, O. (1982). History, Culture, and Region in Southeast Asian Perspectives. Itacha, NY:
Cornell Southeast Asia Program Publications.
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |133
ON INTERDEPENDENCE
David Teh
global capital and its various others, a promiscuous traffic in which unforeseen
surplus values are liberatedincluding those of art history. Hong is known for
investigative work, like his study of the Japanese Armys use of biological weapons
during its occupation of Zhejiang Province in China. Cutaways of Jiang Chun Gen
Forward and Back Again (2012) could be seen as a side-effect, or ontological
debrief, from the documentary process. From the rhythmic oscillation between
objective and contextual footage emerges an insoluble tension, between the looped
familiarity of daily life and the stubborn irreversibility of the Event.
These artists formal strategies open another perspective on our histories of
interdependence, revealing unseen layers of dependence and exchange. Emile Ziles
Western Digital (2013) shows how readily sound can over-determine an image.
His poised documentation of a banal ritual of documentation, the morning alms
round in Luang Prabang, is embarrassed by a lavish, cinematic soundtrack. Alms
are given; images are taken away as tokens of a more authentic performance of
faith. But is the tourists investment any less real? Just as religious images, like
the famed luang prabang itself, were once the chief index of a towns prosperity,
in post-socialist Laos another image-surplus now secures lifes continuities.
An early work by Apichatpong Weerasethakul, thirdworld (1998), reminds
us that in art, continuity is always produced. Despite the candid nature of what
is recorded, the construction of a video inevitably yields an excess of meaning,
ripe for mistranslation and slippages that can expose the dependence of one
channel or one signal on another (Langenbach, 2010). For some this is not a
quandary but an opportunity. As Ray Langenbach suggests, the third world
of Apichatpongs title will not be found on any map it is the space opened by
film itself.In Blue and Red (2014), Zhou Taodeftly exploits this very potential
of the moving image. Through the patient layering of footage from two distinct
locations, a single, shared atmosphere gradually coheres. In the process, subtle
associations emerge between two communities and their histories; between
activity and repose, between political action and leisure, disparate energies are
dissolved into the discrete time-space of the work.
Singapore, July 2015
Works Cited:
Bowie, K. A. (1992, November). Unraveling the Myth of the Subsistence Economy. Journal of
Asian Studies, 51(4), 797-823.
Langenbach, R. (2010). subtitling apichatpong weerasthakuls thirdworld. Contemporary Art +
Culture Boradsheet, 39(4).
Wolters, O. (1982). History, Culture, and Region in Southeast Asian Perspectives. Itacha, NY:
Cornell Southeast Asia Program Publications.
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |137
SUPREMATIST KAPITAL
Yin-Ju Chen & James T. Hong
(Taiwan & USA)
Country of Production USA
Language English
Subtitle English
5 minutes, Color, 2006
THE NAMELESS
Ho Tzu Nyen (Singapore)
Country of Production Singapore
Language Mandarin / Cantonese
Subtitle English /Indonesia
20 minutes, Color,2014
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |139
WESTERN DIGITAL
Emile Zile (The Netherlands)
Country of Production The Netherlands
Language Laotian
Subtitle English
11min, Color, 2013
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |141
thirdworld
Apichatpong Weerasethakul (Thailand)
Country of Production Thailand
Language Thai
Subtitle English
17min, B/W , 1998
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |143
MENYUSUN/MEMBONGKAR
ILUSI/REALITAS
Ronny Agustinus
Dalam khazanah filem cerita populer, ketika kita berbicara tentang tema
ilusi dalam filem, kebanyakan penikmat filem yang saya tanyai akan
langsung merujuk pada dua filem terkenal, yakni The Matrix (1999) karya
Andy dan Lana Wachowski, dan The Truman Show (1998) karya Peter Weir.
Bisa dipahami, kedua filem sains-fiksi dari kisaran tahun yang berdekatan
tersebutyang satu laga dan satunya lagi komedimenghunjam langsung ke
topik filosofis posmodernisme yang sedang tren di penjelang pergantian abad
waktu itu, ketika dunia nyata dianggap terselubungi oleh tabir kenyataan
yang lain, yakni kenyataan layar yang sesungguhnya ilusif (dalam The Matrix
adalah realitas virtual komputer, dalam The Truman Show adalah reality show
televisi). Maka dalam keduanya, yang dianggap sebagai ilusi sesungguhnya
adalah dunia itu sendiri secara keseluruhan, ibarat tokoh dalam cerpen Jorge
Luis Borges, Las ruinas circulares (1940), yang di akhir cerita menyadari
bahwa dirinya cuma hidup dalam impian orang lain. Karena realitas secara
keseluruhan adalah ilusi, maka medium filem itu sendiri tidak digambarkan
berperan secara politis dalam membangun maupun membongkar ilusi itu.
Dengan demikian, bukan ilusi macam itu, saya kira, yang hendak diangkat
oleh perhelatan ARKIPEL tahun ini (setidaknya, dalam sesi Amerika Latin
yang saya kurasi). Ilusi yang dimaksud di sini lebih dekat dengan tema sebuah
filem cerita lain dari kisaran waktu yang sama dengan dua filem di atasyang
di Indonesia, seingat saya tidak seterkenal dua filem tadiyakni Wag The
Dog (1997) karya Barry Levinson. Wag The Dog bercerita bagaimana seorang
produser filem Hollywood disewa oleh juru kampanye presiden petahanan AS
untuk pencitraan pemilu, bagaimana sebuah perang dan krisis kemanusiaan
direkayasa dalam kamera dan mesin editing dengan maksud-maksud politis
mengalihkan perhatian publik dari skandal seks sang presiden. Bahwa filem
ini dibuat dan beredar sebelum terkuaknya skandal seks Bill Clinton dengan
Monica Lewinsky, dan dirudalnya sebuah pabrik farmasi di Sudan oleh
pemerintahan Clinton dengan alasan yang mengada-ada (kemungkinan besar
untuk mengalihkan perhatian dari skandal tadi), hanya membuktikan kebenaran
diktum Oscar Wilde, bahwa Lifeimitates art far more thanart imitateslife (dan
buat saya, menunjukkan lebih dekatnya filem ini dengan filsafat Baudrillard
ketimbang The Matrix yang dengan pretensius memampang Simulacra and
144 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
Simulation). Ringkas kata, ilusi yang hendak diangkat di sini adalah ilusiilusi rekaan sosial-politik yang diserbarluaskan dengan satu dan lain cara,
yang lantas akan memengaruhi cara pandang banyak orang terhadap realitas
sosial-politik tersebut.
Di satu sisi, ilusi untuk membelokkan realitas macam ini lebih berpeluang
dicapai melalui filem dokumenter (di mana genre dokumenter itu sendiri
memberi semacam basis pengertian terlebih dahulu kepada penonton, bahwa
apa yang mereka saksikan itu bukan rekaan, cerita, atau fiksi, sehingga tayangan
itu menjadi kredibel dan terpercaya). Kredibilitas tersebut akan semakin
menguat apabila ditambah dengan embel-embel akademis atau ilmiah. Namun
di sisi lain, medium filem juga berpotensi untuk membongkar dan merubuhkan
ilusi yang telah terbentuk mapan dalam benak masyarakat umum.
Kedua jenis filem itu terwakili dalam kurasi Sinema Amerika Latin
ARKIPEL tahun ini, dan keduanya berasal dari (sutradara) Brasil. Kedua
filem ini mungkin tidak seberapa stilistik-artistik ataupun memukau secara
sinematik sebagaimana tradisi ARKIPEL selama inisalah satunya bahkan
terbilang sangat konvensional sebagaimana dokumenter yang lazim tayang di
televisitapi buat saya, kedua filem ini penting dalam kaitannya menelanjangi
ilusi-ilusi yang dihadirkan dalam wacana sosial-politik-kebudayaan dominan,
yang bisa dipakai untuk memikirkan ilusi-ilusi kita sendiridi Indonesia ini.
Filem Secret of the Tribe (atau Segredos da Tribo, 2010)karya Jos Padilha
membahas kontroversi seputar penelitian antropologis di kalangan suku
Yanomami di Amazon yang dipicu pertama kali oleh antropolog Napoleon
Chagnon. Nama Chagnon melejit pada sekitar 1960-an sebagai semacam
superstar intelektual akibat penelitian etnografisnya atas suku Yanomami.
Bukunya,Yanomam: The Fierce People(1968), menjadi bacaan wajib setiap
mahasiswa antropologi dan naik cetak berulang kali. Filem-filem yang dibuat
selama risetnya,yakni Yanomami: A Multidisciplinary Study(1968) karya
Timothy Asch, danThe Feast(1970) karya Timothy Asch dan Napoleon
Chagnon, meraih beberapa penghargaan pada zamannya. Chagnonlah yang
mengekalkan gambaran tentang Yanomami sebagai suku paling buas di Amazon
yang amat gemar berperang dan berkelahi, bahkan di internal mereka sendiri.
Hingga tiga dasawarsa kemudian, jurnalis investigatif Patrick Tierney
menerbitkan buku, berjudulDarkness in El Dorado(2000), sebuah gugatan
keras atas kerja Chagnon dan para peneliti lain di tengah suku Yanomami.
Tierney menuding Chagnon memberikan gambaran palsu tentang suku ini.
Yanomami sesungguhnya tidak lebih buas dibanding suku-suku lain di Amazon,
bahwa sesungguhnya perang di kalangan mereka diperparah oleh kebiasaan
Chagnon sendiri yang suka membagi-bagikan hadiah yang membangkitkan
kecemburuan antarpihak di sana. Tierney juga menuduh filem-filem yang dibuat
selama riset itu bukanlah murni dokumenter, melainkan diambil berdasarkan
skrip. Tudingan juga dialamatkan kepada rekan Chagnon, ahli genetika James
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |145
Neel, yang dibilang telah memperparah penyebaran cacar air di Amazon, serta
kepada peneliti Perancis Jacques Lizot, yang dituding telah memperkenalkan
konsep pelacuran di sana dengan memberikan hadiah untuk ditukar, yakni
hubungan seks untuk anak-anak laki-laki suku Yanomami.
Kontroversi Yanomami telah membelah dunia antropologi dan ilmu
pengetahuan. Meski pada akhirnya terbukti juga, bahwa tidak semua tudingan
Tierney sahih, filem Secret of the Tribemengulas balik seluruh kontroversi
ini dengan mewawancarai seluruh pelaku yang terlibat di dalamnya dan
menghadirkan temuan-temuannya sendiri tentang etis dan tidak etisnya riset
antropologi. Filem ini penting untuk merefleksikanGrand Illusionkita sendiri
yang dibangun puluhan tahun melalui wacana antropologis, yakni penamaan
dan pendefinisian tentang masyarakat terasing atau masyarakat tertinggal
untuk menyebut, misalnya, orang Papua, orang Dayak, dll (lihat buku-buku
Koentjaraningrat, Parsudi Suparlan dan antropolog-antropolog lainnya
semasa Orde Baru). Pandangan modernis-teknokratis khas rezim-rezim
pembangunan di Indonesia ini membawa dampak lain yang berkepanjangan
sesudahnya. Karena modernisasi berjalan paling pesat di Jawa, maka dalam
pandangan tersebut tercermin pula rasa superioritas orang pusat (Jawa)
terhadap pinggiran (Papua) yang terbawa terus sampai sekarang dalam
wujud stereotyping dan rasisme terhadap orang Indonesia Timur di kota-kota
di Jawa. Contohnya, seperti yang terjadi di Yogyakarta saat ini pasca kasus
Cebongan (lihat Wardhani, 2015) atau cueknya penyikapan banyak orang
terhadap permasalahan Papua secara umum (yang didasari persetujuan diamdiam, bahwa militer Indonesia, bahkan perusahaan multinasional Freeport,
hadir di sana untuk membawa kemajuan bagi masyarakat yang memang
perlu dimajukan).
Sementara itu, filem kedua dalam sesi Amerika Latin ini, Prisoners of
theIronBar (atau O Prisioneiro da Grade de Ferro, 2003) karya Paulo Sacramento,
merekam kehidupan tahanan dalam kompleks penjara terbesar di Amerika
Latin, Carandiru, yang terletak di Sao Paulo. Terdiri dari sembilan paviliun
yang masing-masingnya setinggi lima tingkat, penjara ini dirancang untuk
menampung empat ribu narapidana, tetapi sempat berisikan sembilan ribu
narapidana (dengan jumlah sipir hanya kurang dari seratus orang). Kerusuhan
pecah di penjara ini pada tahun 1992, ketika jumlah narapidana di dalamnya
dijejalkan dua kali lipat melebihi kapasitas seharusnya. Meski kerusuhan tidak
merembet keluar dan para narapidana di dalamnya tidak bersenjata, polisi
memberondongkan tembakan acak ke arah dalam dan membunuh 111 orang
napi. Polisi dikecam karena telah memakai kekerasan semena-mena. Pada
tahun 2013, atau berarti dua puluh tahun setelah insiden, 23 polisi dijatuhi
hukuman atas penembakan lima belas tahanan dalam kerusuhan itu (yang
berarti, pembunuh hampir seratus korban tewas lainnya belum tersentuh hukum).
146 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
Bacaan:
Wardhani, P. S. (10 Januari, 2015). Bagaimana Rasanya Takut. Dipetik pada Juli, 2015,
dari situs web Etnohistori: http://etnohistori.org/bagaimana-rasanya-takut.html
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |147
CONSTRUCTING/
DECONSTRUCTING
ILLUSION/REALITY
Ronny Agustinus
In the popular film vocabulary, when we talk about a film themed illusion,
most viewers I ask will immediately refer to two famous films, The Matrix
(1999) by Andy and Lana Wachowski, and The Truman Show (1998) by Peter
Weir. Its understandable since those science fiction flicks of a contemporary
periodone is action, another is comedypierce through the philosophical
subject of postmodernism that was the trend before the turn of the century,
when the real world was seemingly cloaked by another layer of reality, the
screen reality that was actually illusive (in The Matrix it was computerized
virtual reality while in The Truman Show it was television reality show). Thus,
in both films, what is considered as illusion is actually the real world itself as
a whole, just like the character in Jorge Luis Borges short story, Las ruinas
circulares (1940) who at the end of the story realized that he only lives in
anothers dream. Since the entire reality is illusion, the film medium then is
not ascribed to a political role in constructing or deconstructing the illusion.
Therefore its not such an illusion, I suppose, that ARKIPEL this year
is going to address (at least not in the Latin America session that I curate).
The illusion in this case is closer to the theme of another film still from the
contemporary period of the two abovewhich is not as celebrated in Indonesia
as those twoWag the Dog (1997) by Barry Levinson. Wag the Dog tells about
how a Hollywood film producer is hired by a campaign manager of the US
president for the sake of electoral imaging, how a war and humanity crisis
are fabricated in front of the camera and in editing machine with the political
purpose of distracting the public attention from the presidents sex scandal. That
this film is made and distributed before Bill Clintons sex scandal with Monica
Lewinsky is revealed and a pharmacy factory in Sudan is fired with a missile on
a baseless ground (more likely to distract attention from the said scandal) only
proves Oscar Wildes dictum: Lifeimitates artfar more thanart imitateslife
(and, to me, showes this films proximity to Baudrillards philosophy rather
than The Matrix that simply parades Simulacra and Simulation). Shortly,
the illusion that is addressed here is the illusions of social-political fabrication
148 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
thats widely transmitted in one way or another, that will influence the way
many people think toward certain social-political reality.
On one side, the illusion to refract such reality is more likely achieved
by documentary (whereas the label documentary provides a sort of basic
understanding to viewers that what they see is not a fabrication, fiction, or
tale so as to create a credible and reliable presentation). The said credibility
grows stronger as academic or scientific labels are attached as well. But on the
other side, the film medium has the potential to deconstruct and demolish the
illusion that has been established in the public mind.
The two kinds of films are represented within the Latin America curation
of ARKIPEL this year and both come from Brazil (directors). These films may
not be as stylistically-artistic or cinematically astounding as ARKIPELs
tradition of choiceone of them is even as conventional as documentary common
on televisionbut, to me, these films are important in terms of exposing the
illusions presented in the dominant social-political-cultural discourses and are
relevant to our own illusions in Indonesia.
Secret of the Tribe or Segredos da Tribo (2010) by Jos Padilha discusses the
controversy surrounding an anthropological research on Yanomami tribe in
Amazon that is first triggered by the anthropologist Napoleon Chagnon. The
name Chagnon soared in the 1960s as a sort of intellectual superstar thanks
to his etnographical research on Yanomami tribe. His book, Yanomam: The
Fierce People(1968) has become a compulsory reading for anthropology students
and reprinted for many times. The films made during his research, Yanomami:
A Multidisciplinary Study(1968) by Timothy Asch and The Feast by and
Napoleon Chagnon, achieved several awards during its time. It was Chagnon
who immortalized the image of Yanomami as the most savage tribe in Amazon
so fond of waging wars and fighting even among themselves.
Three decades later an investigative journalist Patrick Tierney published
his book, Darkness in Eldorado (2000), a harsh castigation over Chagnons and
other researchers work among the Yanomami. Tierney accused Chagnon of
giving a false image about this tribe. Yanomami is actually no more savage
than any other Amazon tribes and the wars among them are actually worsened
by Chagnons own habit to present them with gifts that trigger jealousy
among them. Tierney also accused that the films made during the research is
not purely documentary but script-based. Another allegation is addressed to
Chagnons partner, the geneticist James Neel who allegedly aggravated the
spread of chicken pox in Amazon, and the French researcher Jacques Lizot
who is accused of introducing the concept of prostitution by providing gifts
for trade that is sexual intercourse for Yanomami boys.
The Yanomami controversy divides the world of science and anthropology
into two. Although eventually not all Tierneys accusations were validated,
the film Secret of the Tribe reviews the entire controversy by interviewing
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |149
everyone involved and presents its own findings about the question of ethics
in an anthropological research. This film is important to ref lect on our
Grand Illusion built decades ago through an anthropological discourse,
namely the name and definition of alienated society (masyarakat terasing)
or underdeveloped society (masyarakat tertinggal) to refer to, for example,
the Papuans, the Dayak peoples, etc (see books by Koentjaraningrat, Parsudi
Suparlan and other anthropologists during the New Order). This typical
technocratic-modernist view of the development regimes in Indonesia has
brought an everlasting impact long after. Since modernisation advanced most
rapidly in Java, the said view reflected as well the superiority of central (Java)
people over the marginals (Papua) that lives on until today and is manifested
in stereotyping and racism toward the Eastern Indonesians in Java cities. For
example, what happened in Yogyakarta today after the case of Cebongan
(see Wardhani, 2015) or many peoples ignorance toward Papuan problems
in general (that goes with silent consent that Indonesian military, even the
multinational company Freeport, are present there to bring progress for the
people who need to be advanced).
Meanwhile, the second film of this Latin America session, Prisoners of
the Iron Bar or O Prisioneiro da Grade de Ferro (2003) by Paulo Sacramento,
records the prisoners life in the biggest prison compound of Latin America,
Carandiru, located in Sao Paulo. Comprising nine pavilions each five-story
high, this prison is designed to accommodate four thousand prisoners but
once it took in nine thousand prisoners (with wardens less than a hundred).
A riot broke in this prison in 1992 when the number of prisoners inside was
doubled more than its purported capacity. Although the riot didnt break away
and the prisoners inside werent armed, the police fired random shots inside
and killed 111 inmates. The police were criticized for their sheer brutality. In
2013, or twenty years after the incident, 23 police officers were sentenced for
the shootings of 15 inmates during the riot (which means that the murderers
of almost a hundred other victims were untouchable by law).
In 2002, the Carandiru complex was closed. Seven months previously, the
filmmaker Paulo Sacramento held a film workshop in the prison and taught
the inmates there how to operate a camera. As many as twenty DV cameras
were distributed to the inmates to record their daily lives and the social system
formed in there. The result is 170 hours of footage unmatched by any observer
outside the jail. It is the authenticity of recordings of the life within the jail
thats interesting about this film, although the meaning of authenticity is
open to debate as camera is consciously presented in social life. The recordings
obtained are nevertheless different from the the most realistic works about
the prison, including Carandiru (2003) by Hector Babenco that is based on a
non-fiction book by a doctor who worked within the prison compound and
is the most realistic of all Babencos oeuvres. The Prisoners of Iron Bar can be
150 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
useful to re-think of the illusions we have about law and punishment, especially
in the context of the State of Brazil and Indonesia, where law enforcers often
become law breakers and punishments are imposed on those who are punished
already since birth by unjust social system.
Works Cited:
Wardhani, P. S. (2015, Januari 10). "Bagaimana Rasanya Takut". Retrieved July 2015, from
http://etnohistori.org/bagaimana-rasanya-takut.html
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |151
Ronny Agustinus
Ronny Agustinus
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |153
SINEMA KEPATUHAN
Afrian Purnama
Revolusi Industri yang terjadi pada abad 18 hingga 19 mengubah arah
peradaban manusia. Banyak penemuan penting yang terjadi pada masa tersebut,
salah satunya adalah fotografi. Nama-nama seperti Nicphore Nipce, Louis
Daguerre dan William Henry Fox Talbot tercatat sebagai pioner dalam bidang
fotografi. Dan seperti penemuan-penemuan lainnya, penciptaan fotografi adalah
salah satu tahap bagi penemuan selanjutnya. Gambar diam dalam fotografi
berevolusi membentuk pergerakan hingga menciptakan penemuan baru yang
disebut sinematografi, atau singkatnya disebut sinema. Nama-nama yang
bertanggung-jawab atas hadirnya sinema adalah Louis Le Prince, Eadweard
Muybridge, George Eastman, Thomas Alva Edison dan Lumire Bersaudara.
Mereka pula yang menciptakan standardisasi, mulai dari teknis ukuran filem
hingga banyaknya frame yang bergerak selama satu detik.
Penting bagi saya untuk menyebutkan nama-nama tersebut di awal kuratorial
ini. Mereka adalah para industrialis yang sebenarnya tidak begitu peduli pada
aspek ideal dari seni. Aksi yang mereka lakukan lebih didorong oleh hasrat
menemukan bentuk teknis dan teknologi baru untuk kemudian dipatenkan
dan memperoleh royalti dari penemuannya. Namun, apa yang telah mereka
ciptakan berdampak besar bagi perkembangan seni, hingga sinema ditahbiskan
sebagai seni ketujuh oleh Ricciotto Canudo dalam esainya yang terkenal,
Reflections on the Seventh Art (Canudo, 1927). Tidak hanya demi kesenian,
tetapi sinema kemudian juga dipakai untuk kepentingan negara sebagai sarana
penginformasian publik. Sifat sinema yang mampu membaurkan fiksi dan
realita menjadi medium yang ideal untuk tugas ini.
Kesadaran terhadap informasi layanan publik sudah lama ada dengan
penggunaan medium visual, seperti poster juga teks-teks yang ditampilkan
di ruang publik. Saat filem mulai luas digunakan untuk tujuan komersial,
negara mulai melirik efektivitasnya dan digunakanlah filem sebagai saranan
penginformasian, baik itu tentang berita, tata cara berkehidupan yang sesuai
dengan nilai negara setempat, atau apapun konten yang negara ingin informasikan
ke publik. Kehadiran filem tidak serta-merta mengambil alih fungsi poster
dan teks yang disebar di ruang publik, melainkan keduanya saling mengisi
untuk tujuan dan pesan yang sama. Contohnya adalah poster Uncle Sam
yang digunakan Amerika untuk mendapatkan dukungan publik saat Perang
Dunia Kedua, namun Amerika juga membuat beberapa News Reel yang
ditayangkan rutin ke masyarakat. Di Indonesia, salah satu contoh yang paling
154 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
awal adalah poster Boeng Ajo Boeng! yang diciptakan oleh Chairil Anwar
dan Afandi. Di waktu yang berdekatan, pemerintah juga menggunakan filem
untuk mendapatkan dukungan kemerdekaan dari publik dan dunia, yaitu
dengan Berita Filem Indonesia (BFI), yang merupakan filem produksi negara
pertama di Indonesia.
Kuratorial ini menayangkan sepuluh filem produksi negara yang diciptakan
oleh Indonesia melalui Pusat Film Negara (PFN), dan Denmark melalui
Dansk Kulturfilm (DK). Masing-masing berisi lima filem dengan durasi
sama, yaitu sepuluh menit. Salah satu alasan dipilihnya filem-filem tersebut
adalah karena mereka sama-sama dibuat pada masa setelah perang, saat negara
mulai menciptakan tatanan sosial baru. Indonesia yang baru saja berdamai dan
mendapatkan pengakuan dengan Belanda melalui Perjanjian Meja Bundar, dan
Denmark yang merebut kembali negaranya setelah okupasi tentara Jerman.
Melalui filem-filem ini, kita akan melihat bagaimana struktur dan bahasa sinema
yang digunakan oleh kedua produksi filem tersebut, serta perkembangannya
terhadap keadaan politik yang terjadi pada saat itu. Kesemua unsur tersebut
adalah hal yang menarik untuk diselisik.
***
Latar belakang penggunaan sinema oleh negara di Indonesia bisa ditarik
hingga perkembangan awal sinema pada saat zaman Hindia Belanda. Beberapa
nama seperti Tan bersaudara, Wong Bersaudara, L. Heuveldorp, G. Kruger
dan Albert Balink adalah tokoh-tokoh penting dalam pembuatan filem pada
zaman tersebut. Mereka menciptakan rumah produksi yang kemudian membuat
beberapa filem panjang, antara lain Perusahaan Filem Tan, Java Pacific Film,
dan Algemeen Nederlandsch Indisch Filmsyndicaat (ANIF). Nama terakhir
mengalami pergantian nama menjadi Nippon Eigasha saat Hindia Belanda
diokupasi oleh Jepang. Gejolak politik saat itu berpengaruh penting dalam
pengambilalihan sistem produksi yang sudah dibangun oleh pihak swasta
ke pihak negara. Jepang, melalui Nippon Eigasha, membuat beberapa filem
yang produksinya dikontrol total oleh negara, seperti Gelombang (1944),
Berdjoang (1943) dan Djatoeh Berkait (1944). Sejarah kemudian berulang.
Setelah Indonesia merdeka, Nippon Eigasha diambil alih dan berubah nama
menjadi Perusahaan Pilem Negara (PPN) yang berada langsung di bawah
Kementrian Penerangan.
Di bawah PPN inilah Berita Filem Indonesia dibuat. Nama PPN diubah lagi
menjadi Perusahaan Filem Negara (PFN). Gelora Indonesia lahir dari PFN dan
mulai merekam sejak 5 Januari, 1951 (Yudha, 2013). Gelora Indonesia adalah
sebuah serial newsreel berdurasi 10 menit yang mengabarkan perkembangan
politik dan pembangunan era 50-an dan 60-an.
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |155
merawat dan menyegarkan kastil tua tersebut. The Fight Againts Cancer diawali
dengan bidikan sebuah obituari seseorang yang meninggal akibat kanker.
Promosi tentang kesehatan khususnya penyakit kangker, sedari awal harus
dirawat sebelum terlambat, begitulah pesan yang disampaikan. The Village
Church adalah filem yang mempelajari arsitektur gereja di pedesaan. Di sini,
kita bisa melihat kemajemukan sejarah Denmark dan bagaimana sebuah
konstruksi bangunan berkembang dan menghindari kematian dengan caranya
beradaptasi. Sementara itu, Storstrms Bridge adalah upaya Dreyer memfilemkan
kehebatan pencapaian teknik sipil Denmark yang mampu membuat jembatan
panjang penghubung pulau Falster dan Masned. Berbeda dengan empat filem
lainnya, Storstrms Bridge tidak menggunakan narator untuk menghubungkan
informasi ke penonton. Visual sepenuhnya dipercayakan untuk memberikan
impresi kemegahan karya manusia sementara musik disisipkan sebagai latar
belakang.
***
Baik Gelora Indonesia maupun filem produksi DK ditujukan oleh negara
untuk dikonsumsi masyarakat setempat, yaitu seluruh warga yang tinggal
di negara tersebut. Dalam sejarahnya, kelahiran sinema memang tidak lepas
dari penanyangan dan pengaruhnya kepada publik (Von Karasek, 1994);
sinema tidak bersifat esoteris seperti medium seni lainnya. Sifat inilah yang
mendorong negara untuk memproduksi sendiri filemnya dengan mengadopsi
sistem atau cara-cara yang sudah dikembangkan oleh pihak swasta, yang
perlahan-lahan menciptakan estetikanya sendiri. Kedua produksi filem
juga bekerja pada panjang durasi yang sama, yaitu sepuluh menit. Sepuluh
menit bukanlah waktu yang lama untuk memengaruhi pola pikir publik dan
menyusupkan pesan-pesan yang negara ingin publik percayai. Durasi yang
terlalu panjang juga tidak efektif, karena selain akan membengkakkan biaya
produksi, publik juga akan merasa jenuh saat menonton dan pesan yang ingin
disampaikan oleh negara menjadi terreduksi dan terurai. Namun, durasi filem
yang pendek ini sangat efektif bila digunakan dengan benar, yaitu dilakukan
dengan berulang-ulang, konsisten dan berkelanjutan kepada publik (Bernays,
1928, hal. 25). Itu sebabnya, PFN dan DK membuat filem-filem ini dalam
format serial, dengan banyak mengangkat tema yang bisa saja sudah diulang
di seri sebelumnya. Cara-cara ini juga dilakukan oleh padiwara komersial di
televisi dan di ruang-ruang publik pada masa sekarang.
Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, filem-filem Gelora Indonesia
dimulai dengan logo PFN dan latar belakang Negara Indonesia, diikuti dengan
angka-angka identifikasi pada tiap filem, yang dalam kuratorial ini, disajikan
filem bernomor 444, 445, 468, 551 dan 555. Sementara itu, filem layanan
DK menampilkan dengan lengkap nama-nama operator yang terlibat dalam
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |157
produksi filemnya. Relasi antara filem dan orang-orang yang terlibat di balik
pembuatannya adalah relasi humanis, sama seperti relasi pemahat dengan
pahatan kreasinya, atau pelukis dengan lukisannya. Kita bisa merasakan hal
ini di filem DK. Penonton yang akrab dengan karya Dreyer akan mengenali
beberapa strategi filemis dan sidik jarinya, baik dalam bentuk teknik maupun
estetik.
Ambilan awal They Caught The Ferry, contohnya, secara samar sudah
memberi tahu penonton bahwa akan ada musibah untuk pemeran utama
filem. Mereka bediri di samping mobil yang nantinya akan menjadi eksekutor
dan di belakangnya terlukis samar tulang selangka dan rusuk, sebagai simbol
kematian yang akan dekat dengan mereka. Filem ini terasa seperti sebuah
pembunuhan berencana ketimbang sebuah filem layanan cara berkendara aman.
Cara-cara serupa juga tampak di filem berdurasi panjang yang dibuat Dreyer
lebih dulu, yaitu Day of Wrath. Lisbeth Movin yang berperan sebagai Anne
Pedersdotter di dalam filem, diperlihatkan secara samar sebagai antagonis
dengan menggunakan teknik pencahayaan chiaroscuro saat bidikan di wajah.
Efek ini menimbulkan impresi ambigu, bahkan saat karakter ini tersenyum
dalam frame. Begitu pula di filem-filemnya yang berisi dokumentasi arsitektur
seperti A Castle Within A Castle, The Village Church dan Storstrms Bridge.
Dreyer melakukan banyak kombinasi bidikan partial, jarak dekat dan sedang,
pada ruang kosong, sama seperti yang dilakukannya di The Passion of Joan of
Arc dan Vampyr.
Kita tidak bisa melakukan pembacaan yang sama dengan Gelora Indonesia
karena ketiadaan figur di balik produksi. Namun, walaupun figur-figur di
balik layar tidak terlacak, agenda politik dan keberpihakan pada saat itu
bisa kita baca. Filemnya hanya dikenali dengan nomor urut, seperti cara
peternak mengindentifikasikan sapi peliharaannya. Cara ini kurang manusiawi
dibandingkan filem produksi DK. Relasi antara pencipta dan karyanya
sama-sekali direduksi oleh sistem yang blueprint-nya diturunkan langsung
oleh pemerintah. Blueprint yang turun langsung dari pemerintah bisa dibaca
langsung melalui cara filem ini mengangkat sebuah isu atau pun tokoh,
misalnya bagaimana figur Soekarno yang selalu dikultuskan oleh kamera,
montase visual, dan suara. Soekarno sering dibidik dengan cara low angle
untuk memberi kesan pemimpin kuat, tinggi dan agung ketimbang rakyat
yang terlihat hanya sebagai atribut dari keagungannya. Kehebatan Soekarno
bahkan mampu menginterupsi estetika filem dengan memotong narator yang
selalu setia menjelaskan tiap-tiap subjek dalam filem. Saat Soekarno berpidato,
narator mempersilakan microphone-nya diambil alih sehingga Soekarno tidak
membutuhkan suara narator untuk berbicara atas namanya sendiri. Pasukanpasukan saat pawai militer yang difilemkan, di dalam frame, datang dari arah
kiri ke kanan, menjadi penanda keberpihakan politik saat itu, termasuk pula
pesan-pesan Trikora dalam agenda penyatuan nusantara. Relasi montase antara
158 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
rakyat dan pemimpin negara mencerminkan apa yang pemerintah ingin rakyat
lakukan sebagai warga negara. Selain sebagai hanya sebagai atribut negara
dan pejabatnya, pemerintah menginginkan rakyat yang mendukung total
segala kebijakan negara. Rakyat menengadah ke atas dengan sikap berdiri,
mendukung dan melambai ke arah pemimpinnya.
Semua filem-filem layanan masyarakat tersebut menggunakan kata kunci
kepatuhan bagi masyarakat sehingga pemerintah menjadi mudah mengatur
negara. Sementara Dreyer menggunakan beberapa contoh dan efek bila publik
tidak patuh terhadap aturan pemerintah, Gelora Indonesia adalah contoh bila
negara menggunakan kontrol total-nya untuk menguasai informasi yang beredar
di masyarakat dan masyarakat harus patuh mendengar dan menerima. Negara,
sebagai entitas yang memproduksi, memiliki dominasi terhadap informasi apa
saja yang pantas dihidangkan ke publik. Atas dasar inilah filem-filem layanan
masyarakat sangat rentan dimanipulasi.
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |159
CINEMA OF
SUBMISSIVENESS
Afrian Purnama
The Industrial Revolution from the 18th to 19th century changed the course
of mankind civilization. Many crucial inventions happened, and one of them
is photography. Names like Nicphore Nipce, Louis Daguerre and William
Henry Fox Talbot are documented as photography pioneers. And just like the
others, the invention of photography was an initial phase of the next ones.
Silent picture in photography evolved and formed a movement that created a
new invention called cinematography, or cinema in short. Names responsible
for the presence of cinema are Louis Le Prince, Eadweard Muybridge, George
Eastman, Thomas Alva Edison and Lumire Brothers. They also set up a
standard, from film size to the number of frames that move in a single second.
It is important for me to mention those names in the beginning of this
writing. They were industrialists who did not pay much attention to ideal
aspects of art. Their actions were primarily driven by the desire to find a new
technology and technique to be patented and gain royalty. However, what they
initiated created a huge impact on arts development so that cinema was ordained
as the seventh art by Ricciotto Canudo in his illustrious essay, Reflections
on the Seventh Art (Canudo, 1927). Not only for arts, cinema has been used
then in the name of state as a means of public information. The nature of it
that can blend fiction and reality makes it ideal for such task.
The awareness about public service information has long existed with
the use of visual medium, like posters and texts displayed in public spaces.
When film started to be widely used for commercial ends, state began to eye
its effectivity and used it as a means of information, be it news, way of life
according to state-approved values, or any other content to be informed to the
public. Film did not necessarily take over poster and texts function in public
space, rather the three backs each other for the same goals and messages. For
example is Uncle Sam poster that was used the America to garner public
support during the World War II. At the same time it created news reels too
that were regularly aired. In Indonesia, one of the earliest example is Boeng
Ajo Boeng! poster created by Chairil Anwar and Affandi. In an approximate
time, the government also used film to gain support for independence from
the public and the world through Berita Film Indonesia (BFI), the first state
production film in Indonesia.
160 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
Aneka Warta containing various news about Indonesian politics at home and
abroad. Gelora Indonesia also displays the plural and harmonious Indonesia,
such as news about religious events held among peaceful mass. However, all
those reportages are full of vested interests and political agenda, making up a
stage for officials and state leaders. The problem often raised is Papua liberation
effort (called Irian Jaya in the film) that was controlled by the Dutch back then.
The information is delivered through a narrative about events happening and
explanation about them to audience. The sounds were not the original sounds
of the events but rather heroic music inserted to go with the narrators voice.
DK commissioned Carl Theodor Dreyer to create a series of short public
service films. The series presented here are They Caught The Ferry (or De nede
frgen, 1948), A Castle Within A Castle (or Et slot i et slot Krogen og Kronborg,
1954), The Fight Againts Cancer (or Kampen mod krften, 1947), The Village
Church (or Landsbykirken, 1947) dan Storstrms Bridge (or Storstrmsbroen,
1950). Dreyer at that time was considered as a great European cineast that
had created phenomenal works recognized by the public and critics alike, such
as The Passion of Joan of Arc (or La Passion de Jeanne dArc, 1928), Vampyr
(1932) and Day of Wrath (or Vredens Dag, 1943).
The first short film, They Caught the Ferry, tells about two persons who chase
a ferry to Nyborg using a Nimbus 750 motorcycle. Dreyer explores a worst
possibility if one ignores riding safety. A Castle Within A Castle is a film that
introduces an old castle using geographical and historical approaches. Some
empty shots and architectural ornaments adorned this film that promotes what
the government has done to preserve and rejuvenate the castle. The Fight Against
Cancer begins with a shot of someones obituary who dies of cancer. Health
promotion especially concerning cancer before its too late is the message to be
delivered. The Village Church is a film that studies pastoral church architectures.
We can see here the rich history of Denmark and how a building construction
evolves and adapts to prevent death. Meanwhile, Storstrms Bridge is Dreyers
effort to film the technical achievements of Danish engineering that has built
a long bridge connecting Falster and Masned Islands. Unlike the other four,
this film does not use a narrator to deliver the information to audience. The
visuals is completely trusted to display the impressive majesty of human work
while music is inserted at the background.
***
Both Gelora Indonesia and DKs films were targeted by the state as peoples
consumption, namely all citizens living in each country. In all its history,
cinema has been inextricable from screening and its influence to the public
(Von Karasek, 1994); cinema is not esoteric as other mediums. It is this nature
of cinema that drives the state to produce its own films by adopting ways or
162 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
systems developed by private sector that gradually creates its own aesthetics.
Both these state productions also run in the same duration, ten minutes. It is
indeed not enough to affect the public mind and insert messages the public must
believe; while a duration too long is ineffective either because it would raise up
the cost and make the public bored while the message delivered be reduced and
unraveled. However, short duration will be effective in the appropriate way,
that is in repetition, consistence and continuousness (Bernays, 1928, p. 25).
Thats why PFN and DK made these films in serial with repeated themes. Its
similar to what television commercial and commercial in public do nowadays.
As been discussed before, Gelora Indonesias films begin with PFN logo and
that of the Republic of Indonesia at the background, followed by identification
numbers which, in this curatorial, are 444, 445, 468, 551 and 555. Meanwhile,
DKs films present the operators names involved in the production. The relation
between the films and the people behind the making of them is a human one,
just like that of between a sculpture and its artist, or of a painting and a painter.
We can sense in in DKs films. The audience familiar to Dreyers works will
recognize his filmic strategy and signature, be it in technicality or aesthetics.
They Caught the Ferrys beginning, for example, is a shot thats vaguely tells
viewers about an upcoming disaster. The protagonists stand beside a car that
will later become the executor and at the back a clavicle and ribs are pictured
in a blur, as a symbol of death about to happen. It feels like a planned murder
rather than a public service film about driving safety. Similar ways appear as well
in a Dreyers previous feature film, Day of Wrath. Lisbeth Movin plays Anne
Pedersdotter in the film, pictured in blur as an antagonist using the chiaroscuro
lighting technic when being shot at the face. This effect elicits ambiguousness
even as the character smiles on a frame. So do in his documentary films about
architecture A Castle Within A Castle, The Village Church dan Storstrms Bridge.
Dreyer does a lot of partial combination shots, close and medium ones, of blank
spaces, just like in The Passion of Joan of Arc dan Vampyr.
We cant apply such reading to Gelora Indonesia because of the absence of
figures behind the production. However, despite the untraceable figures, the
political agenda and alignments at the time can be seen. The films can only
be recognized by its number, just like a farmer identifies his cattles. It is a less
human way than DKs films. The relation between the creators and their works
are starkly reduced to a system of which the blueprint comes directly from the
government. This can be seen from the way this film raises an issue or figure,
such as how Soekarnos cult is done by the camera, visual montage and sound.
Soekarno is frequently shot through low angle to evoke an impression of a
great, strong, elevated leader unlike his people who look like mere attributes of
his grandeur. Soekarnos greatness even interrupts the films aesthetics as the
devoted narrator, always explaining each subject, is cut. When Soekarno gives
speech, the narrator yields his microphone so that Soekarno can speak on his
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |163
own behalf. Soldiers in the military parades filmed on the frame march from
left to right, becoming a sign of the political favor of the time. This is including
Trikora messages for the agenda of archipelago unification. The montaging
relation between people and their leader reflects what the government wants
the people to do as citizens. As the subjects of the state and its officials, the
people must support all state policies too. The people stand erect, looking up,
waving and supporting their leader. All these public service films keyword
is submissiveness as governments must rule the countries. While Dreyer
uses examples and effect of unsubmissiveness to state rule, Gelora Indonesia
is an example of a state that uses its total control to dominate the circulating
information among the people as they listen and accept. State, as a producer
entity, rules over what information must be presented to the public. It is this
factor that makes public service films highly predisposed to manipulation.
GELORA INDONESIA
Negara Indonesia
Country of Production Indonesia
Language Indonesian
Subtitle No Subtitle
10 minutes, Series of 5 films
Afrian Purnama
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |165
Afrian Purnama
Pe n g g u n a a n k a s t i l s e b a g a i b e nt e n g
pertahanan sudah lewat masanya. Kastil besar
yang megah ini ternyata menyimpan rahasia
yang tidak banyak diketahui orang. Dengan
masuk ke dalam bilik-bilik dalamnya, kita
mempelajari rahasia di balik bangunan ini
Afrian Purnama
166 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
Afrian Purnama
Afrian Purnama
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |167
STORSTRMS BRIDGE /
STORSTRMSBROEN
Carl Theodor Dreyer (Denmark)
Country of Production Denmark
Language Danish
Subtitle English
7 minutes, B/W, 1950
Afrian Purnama
makna adalah sintesis yang lahir dari susunan gambar (dengan kata lain, A + B =
C, bukan A + B = AB). Maka, jika meninjau montase yang dilakukan Eisenstein
pada filem-filemnya, pencapaiannya terletak pada gambar-gambar yang saling
bertentangan satu sama lain sehingga menciptakan makna yang menggugah
kesadaran dan memengaruhi perilaku, aspirasi, pandangan, kesadaran dan sikap
massa. Pengejawantahan pemikiran Marxis secara teoretis, selain dialektika
atas editing yang menerapkan mekanisme tesis-antitesis-sintesis, juga ada pada
penekanan kekuatan massa di dalam filemnya. Sebagaimana menurut David
Botsford: Eisenstein berusaha menciptakan bentuk baru sinema yang, baik
dalam tema maupun metode-metode montasenya, akan selaras dengan nilainilai kolektif. (Botsford, 1991, hal. 6). Sementara itu, bagi Pudovkin, montase
lebih bersifat konstruktif, yakni merupakan aksi yang menghubungkan (atau
keadaan yang saling terkait dari) potongan-potongan yang disusun dalam
sebuah rangkaian tertentu. Ia menganalogikannya seperti batu bata, yang
ketika disusun akan menghasilkan sebuah dinding. Dinding itu adalah sebuah
ide besarnya (Eisenstein, 1977). Pudovkin mengkritik Eisenstein yang kurang
menekankan keindividuan. Menurutnya, gagasan Eisenstein berkonsekuensi
bahwa aktor tidak memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi karakternya;
aktor hanya menjadi seorang pekerja yang mekanistis, bukan subjek sinema.
Penekanan Pudovkin ada pada mise-en-scene, yakni pada keberanian dan
keuletan seorang individu, terlihat melalui tindakan (acting) dan plotnya yang
akan membangkitkan tanggapan emosional dari penonton untuk menangkap
ide yang ingin disampaikan.
Dengan pendekatan naratif yang konstruktif, filem Violetta yang bertema
romansa ini terasa sekali memakai pendekatan yang dipengaruhi teori montase
Pudovkin. Tidak ada penerapan dialektika Marxis pada susunan gambar di
dalam editingnya. Selain dari pengakuannya sendiri bahwa dia pernah membaca
naskah Film Art (Pudovkin) berbahasa Tiongkok (tercantum dalam catatan
pribadi Bachtiar Siagian, Bab VII, Dari Panggung Ke Film, dan telah
dimuat oleh IndoPROGRESS, 5 November, 2013), pengaruh Pudovkin pada
Bachtiar, tentunya, juga tampak melalui unsur naratif dan kontinuitas yang
linear, unsur dramatik, dan pola editing yang membangun narasi Violetta.
Perjuangan seorang ibu untuk mendidik anaknya, serta pergulatan seorang
perempuan seperti Violetta untuk menjadi otonom, merupakan bagian yang
ditekankan oleh Bachtiar. Kualitas keaktoran seseorang menjadi bagian yang
begitu penting di dalam konstruksi filem, sejalan dengan Pudovkin yang
menganggap bahwa aksi seorang aktor di dalam setiap adegan menjadi salah
satu elemen yang mampu mengarahkan respon penonton (Kepley, 1996, hal. 6).
Pemilihan tema cerita Violetta sendiri memang terkesan kurang revolusioner,
karena berkutat dengan narasi percintaan girls-meets-tractor ala Hollywood
yang klise, antara seorang tentara dan anak gadis. Namun, keputusan atas
bentuk filem seperti ini bukan hanya untuk kepentingan pasar dan tidak politis,
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |171
Bachtiar Siagian jelas membaca spektrum penonton dan situasi politik budaya
saat itu. Masuknya filem Amerika dan India secara besar-besaran di periode
itu telah membentuk selera penonton yang mengharuskan pembuat filem
bersiasat di dalam melakukan penetrasi ideologi tertentu kepada masyarakat.
Situasi seperti ini juga terjadi di Russia dan dihadapi Pudovkin pada era
kekuasaan Stalin di dalam Realisme Sosialis. Popularitas filem Hollywood
periode 30-an yang begitu besar memengaruhi selera penonton. Walaupun
masuknya filem Amerika dibatasi, masyarakat sudah terlanjur fasih akan gaya
filem model Hollywood. Di masa Realisme Sosialis, kemudian, dikembangkan
estetika filem yang berbasis narasi-narasi sederhana di bawah slogan Cinema of
Millions. Pilihan membuat filem saat itu pun mengadaptasi cara pembuatan
filem Hollywood, yang gayanya telah dikenal oleh penonton, ke dalam konteks
Rusia (Kepley, 1996, hal. 4-5). Bagi rezim Stalin, filem-filem yang berangkat
dari teori montase periode 20-an, seperti October: Ten Days that Shook the
World (1928) karya Sergei Eisenstein, dan A Man With A Movie Camera
172 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
(1929) karya Dziga Vertov, hanya dapat diapresiasi oleh kaum intelektual.
Oleh karenanya, bagi mereka, masyarakat membutuhkan bentuk filem yang
lebih konvensional (Kepley, 1996).
Miripnya situasl sosial yang dialami Bachtiar, mendorongnya merumuskan
teori Pil Kina Bandung, yang dapat terlihat dalam karyanya, Violetta. Bentuk
filem yang menekankan struktur naratif linear, presisi kontinuitas, mise-enscene, penokohan yang kuat, narasi sederhana yang kala itu populer, editing ala
Pudovkin, musik yang memengaruhi modus dan suasana adegan, merupakan
apa yang Bachtiar sebut sebagai gula-gula entertaintment, sebagaimana kina
dibungkus oleh gula yang putih.
Apakah politik estetika yang mengikuti selera pasar dengan mengadaptasi
bentuk filem Hollywood dan kemudian mengkontekskannya ke dalam
kepentingan ideologi tersebut berhasil atau tidak, itu yang menarik untuk
ditinjau melalui Violetta. Di dalam filem Violetta, ada ide emansipatoris, edukasi
dan anti imperialisme yang bisa terbaca. Sederhananya, tampak pada salah
satu adegan ibunya Violetta yang memecat seorang anak gadis dari asrama
putri karena dikunjungi oleh seorang teman laki-laki. Adegan itu merupakan
salah satu kode penolakan terhadap konten filem Hollywood kala itu yang
mempromosikan budaya Amerika, seperti kebebasan hubungan antar lawan
jenis yang masa itu dilawan oleh Lekra. Tampak di dalam visual, ketika tidak
ada satupun adegan di mana ada sepasang laki-laki dan perempuan bermesraan
baik di dalam adegan maupun kalimat-kalimat percakapan. Hal tersebut
konsisten ditunjukkan bahkan di dalam relasi antara Violetta dan Kopral.
Selalu ada gangguan di dalam adegan yang menunjukkan kehadiran Violetta
dan Kopral dalam perkara roman. Entah kehadiran orang lain atau adegan
yang tidak diniatkan untuk berkasih-kasihan. Beberapa bidikan romantis yang
tampak antara mereka hanya sampai di dunia mimpi Violetta tanpa pernah
hadir di dalam realitas relasi antara mereka berdua.
Filem bertema narasi percintaan berpotensi jatuh ke dalam sebuah klise
drama ringan berujung akhir yang bahagia. Menyisipkan sebuah konten
besar di balik sebuah drama percintaan yang sederhana membutuhkan sebuah
strategi naratif yang baik. Pada Violetta, peran penyusunan plot di dalam logika
naratif sangat besar. Mise-en-scene yang menaikkan derajat dramatik konflik
dihadirkan oleh Bachtiar melalui adegan yang menampakkan relasi antara
tokoh Violetta dan ibunya. Sementara itu, hubungan antara Violetta dan sang
kopral tidak melulu mengenai emosi percintaan, tetapi juga hadir sebagai kode
visual untuk menyampaikan suatu narasi ideologi tertentu. Misalnya, adegan
ketika Violetta memandangi sang kopral yang bersama anak buahnya sedang
bahu-membahu membantu petani, menunjukkan sebuah kondisi Turun ke
bawah (Turba). Atau di adegan lain, Violetta menggambar sosok sang kopral
yang memakai topi berbintang satu.
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |173
Penokohan karakter yang kuat juga merupakan satu unsur penting di dalam
Violetta. Tokoh ibu yang memiliki peran besar di dalam mendidik anaknya,
serta murid-muridnya di asrama putri, menunjukkan peran fundamental
seorang ibu, baik di dalam keluarga maupun di dalam konteks yang lebih
luas, yaitu sekolah yang melibatkan massa. Dengan semangat emansipatoris,
perempuan ditahbiskan memiliki peran di dalam revolusi. Karakter Violetta
pun bergulat dengan perjuangan otonomi diri. Meskipun keputusannya untuk
melawan sang ibu justru berujung dengan kematiannya di tangan sang kopral,
setidaknya Violetta memperjuangkan kebebasan dirinya dari kuasa tertentu.
Sosok kopral digambarkan sebagai seorang tentara ideal yang merakyat dan
setia pada ide revolusi. Alih-alih terjebak pada romansa cintanya yang dilarang
ibu sang gadis, ia justru pergi untuk berjuang dan meninggalkan kisahnya
dengan Violetta.
Penokohan karakter tidak semata-mata terletak di dalam plot, relasi, atau
dialog di antara ketiga tokoh. Untuk menekankan penokohannya Bachtiar
menggunakan teknik pencahayaan ruang chiaroscuro untuk membuat ruang
baru di dalam visualnya. Keterkaitan antara ruang dan narasi yang dibangun
menjadi penting untuk mengontrol persepsi penonton agar fokus terhadap
tokoh atau kode visual yang ingin disampaikan. Teknik chiaroscuro yang
mengkontraskan antara terang dan gelap, untuk menyoroti objek di dalam
frame, tampak misalnya pada adegan-adegan di dalam ruangan saat Violetta
bercakap dengan ibunya. Perbincangan dan hubungan ibu-anak antara keduanya
menjadi lebih dramatis melalui pencahayaan yang dijatuhkan ke wajah kedua
tokoh, sementara sisa ruang menjadi samar-samar. Ruang baru di dalam ruang
ini yang digunakan sebagai satu metode untuk menggarisbawahi penokohan,
baik di dalam narasi maupun bingkai kamera itu sendiri.
Hal lain di dalam Violetta yang digunakan untuk mempertegas penokohan
adalah simbol. Bahwasanya, di dalam filem itu berhamburan kode-kode visual.
Dari lukisan sebagai pembuka filem, patung salib, hingga sangkar burung
hadiah dari sang kopral untuk Violetta yang menganalogikan kondisi Violetta
di dalam kuasa sang ibu. Pada adegan lain, misalnya, bidikan khusus terhadap
buku Thus Spoke Zarathustra karya Nietzsche yang hadir persis bersamaan
dengan pengenalan karakter ibu di awal filem. Jika ibu adalah simbol revolusi,
maka sesuai dengan konsep filosofi Nietzche melalui kisah Zarathustra di buku
tersebut, revolusi haruslah memiliki tujuan kepada sebuah transformasi dari
kondisi yang buruk di masa lalu menuju sebuah keadaan ideal yang ingin dicapai.
Violetta pada akhirnya adalah sebuah drama percintaan yang tidak sederhana.
Narasi yang ingin disampaikan tersusun melalui plot yang mengalir melalui
ekspresi, perbincangan dan relasi di antara tiga tokoh tersebut, juga dikonstruk
melalui pencahayaan dan kode visual. Ia tersusun dengan kesadaran, bahwa
filem ini untuk dinikmati sebagai hiburan, meskipun di baliknya tersimpan
agenda yang besar. Jika ia adalah sebuah alat revolusi, tentu ia bukanlah filem
174 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
Achmadi, M. P. (28 Oktober, 1964). Film adalah alat Revolusi guna membentuk masjarakat
Sosialis Indonesia berdasarkan Pantjasila. Pelita.
Botsford, D. (1991). Collectivism Versus Romanticism In The Early Cinema: Sergei Eisenstein
And The Mass-Hero. Cultural Notes (25), hal. 1-14.
Eisenstein, S. (1977). Film Form: Essays in Film Theory. (J. Leyda, Ed.) New York & London:
Harcourt, Brace & World, Inc.
Kepley, J. V. (1996). Pudovkin, Socialist Realism, and The Classical Hollywood Style.
Journal of Film and Video, 47(4), hal. 3-16.
Said, S. (November, 1978). Politik Adalah Panglima Film: Perfilman Indonesia 1957-1965.
Prisma, VII(10), hal. 80-89.
Siagian, B. (5 November, 2013). Bachtiar Siagian Dan Misteri Realisme Sosialis Dalam
Film Indonesia. Dipetik Juli 14, 2015, dari IndiPROGRESS: http://indoprogress.
com/2013/11/bachtiar-siagian-dan-misteri-realisme-sosialis-dalam-film-indonesia/
Surat pribadi Bachtiar Siagian untuk Salim Said (9 Februari, 1977), diakses dari koleksi
arsip pribadi Bachtiar Siagian.
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |175
Eisenstein tried to create a new form of cinema that both the theme as well
as its montage methods would correspond with collective values. (Botsford,
1991, p. 6). On the other hand, according to Pudovkin, montage is something
more constructive, it is a connective action (or an interrelated condition) of parts
strung together in a certain fashion. He adopts an analogy of bricks that, when
arranged according to a certain pattern, eventually form a wall. The wall is the
grand idea (Eisenstein, 1977). Pudovkin criticized Eisenstein for his lack of
emphasis in individuality. To Pudovkin, Eisensteins ideas consequently implied
that there isnt any opportunity for actors to explore their characters; actors
are merely mechanistic workers, not the subject of cinema itself. Pudovkins
emphasis on mise-en-scene, which is the prowess and vigor of an individual, may
be seen through the action and plotting of film that will provoke emotional
response from the audience so that the intended message may be absorbed.
With a constructive approach to narrative, the influence of Pudovkins
montage theory in Violetta is discernible. It did not adopt Marxist dialectics
in the way its images are arranged in editing. Aside than his Bachtiar own
remark that he read Pudovkins Film Art screenplay in Chinese translation
(as mentioned in his personal journals, chapter VII, From Stage to Film,
and was put in print by IndoPROGRESS, November 5, 2013), Pudovkins
influence on Bachtiar is also shown from his narrative and linear continuity,
dramatic elements, and editing pattern that shaped Violettas narrative. The
struggle of a mother to educate her daughter and a young womans pursuit to
achieve autonomy were Bachtiars emphases in the film. The casts quality of
acting became paramount in the film construction, in accordance to Pudovkins
belief that the actors acting in each scene is a crucial element to elicit audience
response (Kepley, 1996, p. 6).
Violettas theme may not seem revolutionary at all. In fact, it was quite
similar to girl-meets-traitor cliches a la Hollywood, a romance between a
soldier and a young woman. However, Bachtiars decision on the theme was not
entirely market-oriented and apolitical. He explained his standpoint regarding
Politics is the Commander which he put into a metaphorical term Pil Kina
Bandung. As written in his letter to Salim Said:
In my personal opinion, which I believed and will always do, this is how
we need to interpret Politics is the Commander in film. Films need to be
dedicated to this nations struggle and development. Its elaboration lies in two
aspects: 1. Industrial aspect (material), in order to increase our national film
industrys capital. With such increment, it will have enough power to escalate
our film industry to a better standard. The duty to maintain, foster and
grow this national capital lies not only within the roles of film entrepreneurs,
industrialists, but also film artists. Good works, praised by the public, will
help to increase this national capital; 2. Ideal aspect (the films content and
178 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
form). A films content and form need to be balanced. By balance I refer to the
equation between public interestwhich mainly concerns entertainment
and educative, cultural elements in accord to the nations demands and
aspiration. Once I termed this notion Pil Kina Bandung: an educative
content that departs from our nations struggle and aspiration, sugar-coated
with entertainment, as a quinine pill is coated with a white, sweet layer of
sugar.
(Bachtiar Siagians letter to Salim Said, dated February 9,
1977. Excerpted from the personal archives of Bachtiar Siagian.)
the corporal, during their time together, somehow were always interrupted by
other peoples presence or simply by inopportune chances. Several romantic
shots are presented merely through Violettas dreams that were, unfortunately,
never become real.
Romantic narrative is often prone to dramatic clichs that end happily.
Embedding grand ideas in a simple romantic drama requires a clever narrative
strategy. In Violetta, plot work took a great role in the logic of the narrative.
Bachtiar presented a mise-en-scene to amplify the dramatic tension through
scenes where Violettas relationship with her mother is exposed. On the other
hand, Violettas relationship with the corporal is not always about romance.
In several shots, one can perceive the films visual codes in order to deliver a
certain ideological narrative. For example when Violetta gazed at the corporal
while he and his team were helping local farmers during a session of Turun ke
Bawah (Turba, a top-down movement with a general objective to penetrate
into the lives of common people). Also described in another scene, Violetta
drawing the corporals figure donning a one-starred beret.
Character development is also a crucial element in Violetta. The mother
had major contribution in educating her daughter and other female pupils in
her dorm, signifying the fundamental role of a mother in a family as well as
in larger scope such as mass-inclusive school. With emancipative zest, the
film put forth the female role in a revolution. On an individual scope, Violetta
herself was struggling to achieve self-autonomy. Eventhough her decision to
go against her mothers advice brought her to a tragic end in the hands of her
beloved corporal, at least she really did free herself from external authority.
The corporal himself was depicted as an ideal soldier, humble and faithful to
the revolution. Instead of getting trapped in an ill-fated romance, he chose
to flee away from the situation and to fight for his country, leaving his story
with Violetta behind.
Characterization in Violetta is richly described in so much more than just
the plot, relationships, or dialogues among the three characters. To emphasize
his characters, Bachtiar brilliantly adopted chiaroscuro lighting technique
to create a new space within the visuals. Interconnectedness between visual
space and ongoing narrative is crucial to direct audiences perception to focus
on certain characters or on the works visual codes. Dark versus light contrast
in chiaroscuro is used to feature the object in frame, for example in scenes
where Violetta conversed with her mother. Their mother-daughter relationship
became more dramatic with lighting on their faces while the rest of the room
was made dim. This new space within a space can be utilized to underline
certain characterization, both in narrative as well as in camera frame.
Violetta also incorporated many symbols to emphasize characterization.
The work is full of visual codes, such as the painting in the opening shot, a
crucifix, and a birdcage gifted by the corporal as an analogy of Violettas state
180 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
of being under her mothers watchful eyes. In another scene, the camera took
a shot of a copy of Nietzsches Thus Spoke Zarathustra simultaneously with the
mothers first appearance in the film. If a mother is a symbol of revolution, it
follows Nietzsches philosophy that revolutions ultimate goal is a transformation
from a grave past to an ideal future.
Violetta, by all means, is so much more than a simple romance. Its narrative
is constructed from a plot that flowed through the three characters expressions,
conversations and relations, as well as through lighting technique and visual
codes. It was constructed with an awareness that, eventually, film will be
enjoyed as a form of entertainment, however grand its hidden agenda is. As a
tool of revolution, Violetta was not the type of film that propagated communist
ideologies through revolutionary ways. Violetta was set off from a mundane,
everyday reality, far from the presumption of how a propaganda film should
be, free from Marxist indoctrinations.
Based on this analysis, I would like to conclude that Lekra Cinema,
initiated in 1957 as defined by Salim Said, was a political movement instead
of an aesthetic one. If all obliterated films of Lekra Cinema carried a similar
tone to Violetta, we are indeed at loss for erasing an incomparable period from
our national history, a period where entertainment and political ideology
coexisted in cinema.
Works Cited:
Achmadi, M. P. (October 28, 1964). Film adalah alat Revolusi guna membentuk masjarakat
Sosialis Indonesia berdasarkan Pantjasila. Pelita.
Botsford, D. (1991). Collectivism Versus Romaticism in the Early Cinema: Sergei Eisenstein
and the Mass-Hero. Cultural Notes (25), pp. 1-14.
Eisenstein, S. (1997). Film Form: Essays in Film Theory. (J. Leyda, Ed.) New York & London:
Harcourt, Brace & World, Inc.
Kepley, J. V. (1996). Pudovkin, Socialist Realism, and the Classical Hollywood Style. Journal
of Film and Video, 47(4), pp. 3-16.
Said, S. (November, 1978). Politik adalah Panglimsa Film: Perfilman Indonesia 1957-1965.
Prisma, VII(10), pp. 80-89.
Siagian, B. (November 5, 2013). Bachtiar Siagian dan Misteri Realisme Sosialis dalam Film
Indonesia. Retrieved July 14, 2015, from IndoPROGRESS: http://indoprogress.
com/2013/11/bachtiar-siagian-dan-misteri-realisme-sosialis-dalam-film-indonesia/
Personal letters of Bachtiar Siagian to Salim Said (February 9, 1977), excerpted from
Bachtiar Siagians personal archives.
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |181
VIOLETTA
Bachtiar Siagian (Indonesia)
Country of Production Indonesia
Language Indonesia
Subtitle English
95 minutes, B/W, 1962
Bunga Siagian
SINEMA
ANTARA KESADARAN
DAN KETAKSADARAN
Akbar Yumni
Ketahuilah, filem bisa dibuat pada persimpangan antara realitas dan
metafor, atau antara dokumenter dan fiksi.
(Jean-Luc Godard, Scenario the Film Passion, 1982)
Ilusi bisa dimaknai sebagai hal yang positif, khususnya ilusi pada sinema, yang
justru bisa memberikan harapan pada kenyataan manusia. Dalam konteks
politik, manusia sering kali dibatasi pada kepalsuan hubungan vertikal
bangsa-bangsa sehingga bisa melupakan hubungan horizontal antarmanusia
itu sendiri. Grand Illusion (1937) karya Jean Renoir, misalnya, salah satu yang
mendekonstruk konsep ilusi sebagai hal yang positif itu. Realisme dalam Grand
Illusion terlihat dari usaha Renoir untuk mengembalikan situasi manusia itu
ke keadaan hubungan yang lebih horizontal ketimbang vertikal.
Sebagaimana kata Bazin, realisme Renoir dalam Grand Illusion bukanlah
hasil duplikat naif dari kehidupan; sebaliknya, ini adalah produk dari sebuah
penciptaan-ulang nan cermat dari karakter melalui penggunaan detail yang
tak hanya akurat, tetapi juga penuh arti, dan ini dicapai tanpa bantuan kaidah
dramatik (Bazin, 1974, hal. 63). Namun, realisme menurut pengertian ini,
sesungguhnya bukan ihwal keterampilan membuat rekaan, bukan pula sebuah
reproduksi dari sesuatu yang dokumenteris. Manifestasi realisme Grand
Illusion-nya Renoir adalah bidikan panjang (long take)-nya yang mampu
secara akurat mengurai detail-detail tanpa diskrimintatif. Uraian detaildetail tentang keberagaman karakter realitas manusia dalam filem tersebut
seakan menghadirkan ilusi yang bermanfaat ketimbang membahayakan: ia
menolong manusia untuk mengatasi ujian-ujian dan memberikan keberanian
untuk bertahan (Bazin, 1974, hal. 64).
Sementara itu, menurut Jacques Rancire, sinema adalah permainan imaji;
permainan oposisi antara bentuk dan materi, subjek dan objek, kesadaran dan
ketaksadaran; antara pasivitas mata kamera dan kemampuannya menangkap
aneka gerakan tanpa batas, yang membentuk drama dengan intensitas yang
tanpa tanding (Sugiharto, 2014, hal. 334). Dalam konteks ini, sinema menjadi
semacam era yang merusak tatanan yang telah mapan pada era seni mimesis,
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |183
karena tidak ada lagi suatu hak istimewa artistik bagi seorang seniman; ia tidak
lagi memiliki dirinya sendiri untuk memaksakan sebuah visi yang dilekatkan
pada bentuk. Pasivitas mata kamera memiliki intensitas yang ganda, dari
sebuah cara pandangan yang intelektual hingga yang sentimental.
Dua karya yang disajikan dalam kuratorial ini, Scenario du Film Passion(1982)
karya Jean Luc Godard dan L-bas (2006) karya Chantal Akerman, adalah
karya yang merefleksikan makna ilusi dalam konteks sinema kekinian. Pada
karya Godard, tegangan terjadi saat penyingkapan selubung image berdasarkan
homologi dunia dan filemnya melalui modus penglihatan ketimbang penulisan.
Sementara itu, pada karya Akerman, tegangan terjadi antara mengalihkan
aktualitas peristiwa yang berlangsung pada ruang eksterior dan pergulatan
yang berlangsung di dalam diri sang pembuat sebagai ruang interior.
Perlu ditegaskan lagi, bahwa Scenario du film Passion, pada dasarnya, adalah
sebuah karya tentang skenario ketimbang tentang filem Passion itu sendiri.
Pengertian skenario pada karya ini mengacu pada bagaimana penglihatan itu,
oleh Godard, dilihat sebagai tradisi yang sesungguhnya lebih dekat dengan
sinema. Melalui praktik video, semua aturan-aturan formal tentang sinema bisa
dihapuskan, karenanya sinema bisa disikapi sebagai refleksi atas dirinya sendiri,
sebagai bagian dari karya sinema seutuhnya. Artinya, penolakan terhadap
skenario merupakan usaha untuk membebaskan sinema dari pengaruh yang
berasal dari luar dirinya sehingga semakin tegaslah bahwa sinema semata-mata
merupakan perihal gambar.
Dalam sinema, penglihatan terjadi ketika image berada di hadapan sang
sutradara. Keadaan ini membuatnya menjadi berbeda dengan tradisi televisi
(yang juga menggunakan medium video), karenamenurut Godard dengan
merujuk sebuah tayangan berita di televisi dalam salah satu skena Scenaro du
Film Passionsi pembaca berita selalu berada di posisi yang membelakangi
image. Bagi Godard, image harus berada di depan sang sutradara agar dapat
ditelaah oleh sang sutradara. Godard membayangkan image layaknya tubuh,
yang karenanya kita bisa berhubungan intim dengan image. Sebuah karya,
bagi Godard, adalah penglihatan terhadap yang limun (invisible) agar menjadi
nyata (visible).
Keberadaan layar putih di hadapan Godard itu layaknya sebuah halaman
kosong (blank space) a la Mallarm (Stphane MallarmEd.) dalam Un
Coup de Ds Jamais NAbolira Le Hasard (A Throw of the Dice will Never
Abolish Chance, 1897). Halaman kosong-nya Mallarm ini menjadi penting,
khususnya terkait dengan penggunaan medium video yang bisa menciptakan
sebuah ruang antara mana yang diprioritaskan bagi para penonton dan mana
yang berupa kehampaan dari halaman itu sendiri. Adegan-adegan berupa layar
putih pada beberapa sekuen di filem Scenario du Film Passion menjadi semacam
jeda atau ruang antara yang berpeluang diisi oleh satu image dan disusul image
yang lain. Karya puisi Mallarm sendiri adalah karya yang kompleks, karena
memuat banyak lapisan (salah satu di antaranya, ialah pentingnya sebuah suara
dari kata-kata ketimbang maknanya). Puisi Mallarm itu adalah permainan
yang membentuk semacam hypertext, yang memungkinkan pembacaan puisi
sebagai sesuatu yang non-linier dari teks. Namun, yang terpenting adalah
bagaimana menerapkan konsepsi halaman kosong Mallarm tersebut, yang
terkandung di dalam praktik puisinya, sebagai perluasan medium video yang
memperlakukan image layaknya kata-kata dalam puisi. Filem Scenario du Film
Passion sendiri, banyak memperlihatkan satu image ke image yang lain, melalui
sebuah pemotongan, sebagai jeda berupa layar yang hampa.
Prinsip-prinsip puitis dari Mallarm yang diambil oleh Godard itu
membuat proses hal-hal yang invisible menjadi visible, karena, seperti yang
telah disinggung sebelumnya, kamera memungkinkan penyingkapan itu.
186 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
Menurut Andr Bazin, batas pinggir layar pada sinema bersifat sentrifugal
terhadap realitas. Hal yang berbeda berlaku pada lukisan: bingkai pada
lukisan bersifat sentripetal terhadap realitas, atau semacam menggarisbawahi
kenyataan yang dibingkai. Tepi-tepi luar layar bukanlah bingkai dari citra
filem sebagaimana yang tampaknya dibisikkan jargon teknis. Mereka itu
tepian-tepian sebuah alas yang menunjukkan hanya sebagian porsi kenyataan.
Bingkai gambar mempertegangkan ruang ke (arah) dalam. Sebaliknya, apa
yang layar perlihatkan pada kita rasanya adalah bagian dari sesuatu yang
bersambung tanpa batas ke alam semesta. Bingkai adalah sentripetal, layar
adalah sentrifugal. (Bazin, 1967, hal. 166). Dengan kata lain, apa yang
dihadirkan pada layar filem sebenarnya selalu dipersepsikan dengan realitas
di luarnya. Sifat sentrifugal pada batas layar terhadap realitas memungkinkan
adanya saling pengaruh, atau bahkan saling menyuburkan, antara realitas di
dalam layar dan realitas di luar layar itu sendiri.
L-bas adalah karya Chantal Akerman ketika ia berada di Tel Aviv, Israel.
Namun, Akerman tampaknya memiliki latar personal terhadap keberadaan
Tel Aviv. Ia sendiri menyatakan tidak memiliki hasrat untuk merekam Israel
(Tel Aviv). Sebagaimana pengakuannya dalam wawancara dengan Franck
Nouchi pada Januari, 2006: Saya tak pernah berhasrat untuk membuat
sebuah filem tentang Israel. [Ketika produserku] menyarankannya untukku,
perasaanku seketika adalah itu ide yang buruk, bahkan sebuah ide yang tidak
mungkin (dikutip dari Lajer-Burcharth, 2010, hal. 139). Latar personal
Akerman terhadap Israel tersebut berdampak pada caranya merekam dan
merepresentasikan Israel dalam karya dokumenternya itu: ia merekam Tel
Aviv dari dalam ruang apertemennya, dan dari situ, Akerman melakukan
semacam praktik representasi yang tertunda, atau semacam gambaran ruang
interior dari sang pembuat terhadap sebuah peristiwa atau wilayah.
Di dalam karya L-bas sendiri, Akerman sama sekali tidak menyentuh
stereotipe yang telah sering dilekatkan media massa selama ini pada Tel Aviv,
yakni sebagai wilayah rawan konflik. Ia justru hanya membidik Tel Aviv dari
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |187
sesuatu yang transedentaldalam arti yang agak Kantian: dari sesuatu yang
membayang terus-menerus di balik bentuk-bentuk aktual yang kita persepsi
(Sugiharto, 2014).
Gambaran Tel Aviv melalui pergulatan interior tersebut, adalah semacam
memindahkan konflik dari ruang eksterior ke dalam ruang interior sang pembuat.
Menurut filsuf Friedrich Schiller, manusia memiliki dua hasrat dasar yang saling
berlawanan, yakni naluri akan materi dan naluri akan bentuk. Naluri materi
adalah naluri inderawi di mana manusia mengejar keanekaragaman situasi dan
pengalaman baru, sedangkan naluri bentuk adalah naluri yang mementingkan
kesatuan rupa, dan melalui hal itu, mempertahankan identitas personalnya.
Melalui naluri materil, dunia menjadi ada buatku karena ia selalu menyambut
kita; melalui naluri bentuk, dunia menjadi duniaku karena proses mencipta
(Hauskeller, 2015, hal. 41). Hubungan ideal antara dua hal tersebut memang
sulit terjadi, tetapi di dalam seni, hal itu dapat berlangsung. Pengalaman
Akerman merekam Tel Aviv merupakan tegangan dari dua naluri yang (bisa
jadi) saling bertolak belakang tersebut, karena bahasa filem memungkinkan
keduanya saling berkontradiksi sehingga menciptakan sebuah pengalaman
baru yang diwujudkan oleh kemungkinan sinematiknya.
Bacaan:
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |189
that is actually the sky of the world, while in a wider context the limit (sky)
definition in art is indeed a mystery.
Godards action is a reflection of Passion based on his seeing, that is his
own effort to refuse scenario as a new procedure in the visualization of a
cinematic work. To him, seeing veritably comes before writing. Godard even
refers to a biblical tradition in which Moses sees first before writing his bible.
Writing is in fact a kind of fixed representation, like a law stipulation, and it
can hamper the freedom to present images. Scenario, to Godard, is a writing
tradition that often limits the imaginative possibilities of image composition
in a film. Just as the belief that seeing comes before everything else, film as
a life duplication goes by the same principle. Seeing strengthens conviction
over a fact which then is written.
In Scnario du film Passion, Godard says, The script creates a probability:
the camera makes it possible. In this context, Godard reflects on scenario in
film industry where visual record is related to a probability context as image can
be generated in an industrial calculation. In other words, it is such homology of
the world and the film that subsequently produces images that, in film industry
context, are based on probabilities according to economic logics.
Meanwhile, seeing becomes cinema in the video era because the video
medium is all about an idea of a medium that can liquefy coercive things of a
writing. The video medium can turn into a sort of a scenariofying practice in
a film through seeing. According to that seeing framework, the video medium
is not only able to escape from writing but also allows image production not
to be based on the horizon of industrial works.
It should be stated again that Scnario du film Passion is basically a work
about scenario rather than about the film Passion. The scenario definition in
this work refers to how seeing, by Godard, is seen as a tradition thats essentially
closer to cinema. Through video practices, all formal rules about cinema can
be erased, and thus cinema can be treated as a reflection of itself as a part of
the entire cinema. It means that the rejection toward scenario is an effort to
free cinema from the influence coming from outside itself so as to become
clear that cinema is merely a matter of image.
In cinema, seeing happens as image lies in front of the director. This
makes it different from the television tradition (which also uses video) since
according to Godard by referring to a television news reportage in one of
Scnario du film Passions scenesthe anchorman always turns his back on
the image. To Godard, the image has to be in front of the director so that it
can be scrutinized. He imagines image as if its a body of which we can have
an intimate relationship with. A work, to him, is a seeing toward the invisible
so that it becomes visible.
The presence of the white screen in front of him is like a blank space by
Mallarm (Stphane MallarmEd) in Un Coup de Ds Jamais NAbolira le
192 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
Hasard (or A Throw of the Dice Will Never Abolish Chance, 1897). Mallarms
blank space becomes important especially in terms of the use of video medium
that can create a space between which that is prioritized for the audience
and which that is the emptiness of the space. The scenes containing white
screen in several sequences of Scnario du film Passion become pauses or inbetween spaces that are likely to be filled with one image to another. As for
Mallarms poems, they are complex works with many layers (one of which
is the importance of word sound rather than meaning). They are a play that
forges a kind of hypertext that makes poetry reading a non-linear part of text.
However, most importantly is how to apply Mallarms blank space of his
poetry practices as a video medium expansion that treats images as if words
in poems. Scnario fu film Passion shows cuttings from one image to the next
as blank space pauses.
Mallarms poetical principles taken by Godard makes the invisible visible
because, as mentioned above, camera allows such revelation. But the context
of revealing the invisible to become visible is a mythical process in cinema
since its an inevitable thing in a filmmaking process. In cinema then theres
a particular interrelation that affects each other between fiction and reality
and cinema appears to be between the finite and infinite. In other words, it is
how a metaphore is looked at through reality and how fiction is guided back
to documentary. In breaking down such tension, Godard uses seeing mode
rather than writing that he deems not liberating.
Andr Bazin says that the limit of screen edge in cinema is centrifugal to
reality. A different case applies in painting: the frame in painting is centripetal
to reality, in a way outlining reality in frame. The outer edges of the screen
are not, as the technical jargon would seem to imply, the frame of the film
image. They are the edges of a piece of masking that shows only a portion of
reality. The picture frame polarizes space inwards. On the contrary, what the
screen shows us seems to be part of something prolonged indefinitely into the
universe. A frame is centripetal, the screen centrifugal (Bazin, 1967, p. 166).
In other words, whats presented on the film screen is actually always perceived
through the outer reality. The centrifugal nature of screen edge toward reality
allows mutual influence, or even mutual nourishment, between reality on the
screen and reality outside it.
L-bas is Chantal Akermans work when she was in Tel Aviv, Israel. She
seemed to have a certain personal frame of reference concerning Tel Aviv. She
actually said that she didnt want to film Israel (Tel Aviv) in her interview with
Frank Nouchi in January 2006: I have never desired to make a film about
Israel. [When my producer] suggested it to me, [] my immediate feeling was
that it was a bad idea, even an impossible idea... (quoted in Lajer-Burcharth,
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |193
2010, p. 139). Akermans personal frame of reference influenced the way she
recorded and represented Israel in her documentary work: she recorded the city
from inside her apartment, and from there she conducted a kind of postponed
representation practice; a kind of interior depiction of a maker about an event
or region.
In this film, Akerman does not touch at all the stereotypes that media has
attached to Tel Aviv, which is a land of conflict. She only takes Tel Aviv from
her apartment, as if the camera purposefully peeks from behind the window
curtain, recording a quiet atmosphere of the city corners and her apartments
interior. Only from Akermans sound of talk that we have a clue that shes in
Tel Aviv, also from an exterior scene where a Jewish man with a traditional
outfit spends time with his family peacefully and comfortably. This shows that
Akermans intensity toward Tel Aviv is limited to her personal space in terms
of the apartment interior. By the portrayals of interior in this film, we are
invited to imagine another representation beside the conflicted citys stereotype.
Akerman has found her way to push realism boundaries in film. She makes
some creative observational, or documentary, films to view an event. She creates
a sort of oscillation between reality based on imagination and reality based
on fact from the interior representation. Her choice of the interior as a way to
view Tel-Aviv in L-bas is actually an initiative to question the documentarys
definition as cinema faces the makers pretention who refuses to represent a
region. In this context, documentary may not be about the events actuality
but a filmmakers interior representation of a region over the event.
According to Deleuzian framework, in classical cinema erathis era itself
presupposes times submissiveness to movementa reverse of movement-image
occured: time is defined by defying movement and then becomes timeimage. In the classical cinematic conception, according to Deleuzian view, it
is images movement that defines time and space geographically, historically
and sociologically; image of act coordinates consciousness motoric censor. As
for the scheme of time-image, as D.N. Rodowick has suggested, signifies
that The interval no longer disappears into the seam between movements and
actions. Rather, it becomes a ceaseless opening of timea space of becoming
where unforeseen and unpredictable events may occur (Rodowick, 1997, p.
17). The image of Tel-Aviv interior in Akermans L-bas is an example of
the definition of time that decides its image movement in cinema because
Akerman herself virtually postpones or refuses to create a representation of
(exterior) Tel Aviv reality. The interior will influence the image that is about
to be expressed because time context in the filmmakers interior situation in
terms of event or place will highly influence the movement to capture image
of Tel Aviv. Time definition in this Deleuzian time-image is actually not
the time definition empirically or metaphysically but, referring to Jean-Luc
194 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |195
Akbar Yumni
L-BAS
Chantal Akerman (Belgium)
Contry of Production Belgium
Language French
Subtitle English
78 minutes, Color, 2006
Akbar Yumni
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |197
PERGUNJINGAN
MENANDING ARUS
Otty Widasari
Saat si pesulap masih tercengang menyaksikan betapa cahaya matahari dapat
mengubah peradaban, menggerakkan bingkai diam, gambar-gambar bisu itu
sudah menghitung recehan
Bergegas si pesirkus belia membekapnya, lalu melemparkannya tinggi ke
udara, gambar-gambar bisu membumbung tinggi dan meledak keras
Orang-orang menjerit karuan
(dari puisi The Unfinished Scene, Otty Widasari, 2011)
Daulat Penguasaan
Tatanan bentuk komunikasi sudah mapan. Dan estetika pun demikian. Setelah
dia dikenali secara universal maka dia akan jadi mapan. Dalam filem fiksi, aturan
montase dan editing juga sudah mapan. Dalam pembuatan dokumenter, jelas
persepsi publik akan fakta yang disajikan lewat arsip, dokumen dan peristiwa
nyata, juga sudah mapan.
Kesadaran akan kemapaman ini jelas masuk ke dalam konsep kekuasaan, di
mana pun itu. Sebuah rezim mencengkeramkan cakarnya dengan kokoh, tentu
saja, dengan mengelola kemapanan komunikasi dan penerimaan masyarakat akan
pola komunikasi tersebut. Media adalah wadah utamanya. Melalui medialah
kekuasaan memapankan dirinya dengan cara membuat bangunan sudut pandang
bagi masyarakatnya. Dalam membangun informasi, sebuah kerja arsip dijadikan
pegangan untuk memperkokoh konstruksi bangunan informasi. Namun,
budaya yang berkembang di ranah publik, tentunya, memiliki bentuk-bentuk
komunikasi alternatifnya sendiri, yang tidak terlembagakan. Contoh yang paling
jelas terlihat dalam kehidupan sehari-hari adalah rumor.
Rumor menjadi penting di sini, karena, walau kebenarannya yang tidak
pernah terkukuhkan dengan cepat, bisa dilihat sebagai pernyataan. Dia adalah
sebuah penjelasan, serupa dongeng yang panjang tentang sirkulasi sebuah
peristiwa dari orang ke orang dan berkaitan dengan objek, peristiwa, atau isu
yang ada dalam perhatian publik.
Kalau rumor merupakan bentuk komunikasi lain yang bisa menggambarkan
masyarakat di sebuah lokasi, maka pengelolaan atas rumor bisa dilihat sebagai
bentuk arsip yang lain.
Dalam They Had It Coming, Jon Jost mengangkat sebuah isu tentang peristiwa
pembunuhan yang terjadi di Gentri County, Missouri, pada tahun 2011, yang
korbannya tidak pernah ditemukan. Isu pembunuhan ini direkonstruksi oleh
sang sutradara sebagai pisau bedah untuk menelisik kehidupan sebuah kota
kecil yang membosankan. Ketika sebuah kasus terjadi maka isu merebak tidak
hanya di media massa, tetapi juga di lingkungan masyarakat di lokasi tersebut.
Masyarakat mempergunjingkannya. Tiadanya korban yang ditemukan, atau
bisa disimpulkan bahwa kasus ini tidak terungkap, sebenarnya adalah pukulan
keras bagi sebuah sistem yang melibatkan masyarakat.
200 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
COUNTER
THE STREAM-RUMORS
Otty Widasari
As the magician was still amazed at how the sunlight could change
civilizations, moving freeze frames, those silent pictures had already count the
coins....
Hurriedly the young circusman covered it and threw it high in the air, silent
pictures soaring and exploding with a bang.
People screamed.
(of The Unfinished Scene, Otty Widasari, 2011)
So here it goes: Silent pictures are made into motion pictures. Then a record
of motion pictures about ordinary events are presented before the public. The
result is amazing. World-changing. Thus cinema becomes a culture that lives
on until today.
It is where real time becomes different as motion pictures are arranged.
Subsequently as the said motion pictures technology thrives, creators adapt
mens stories in the world into stories in film. The language of the theater, that
has been around as work of art and public entertainment, is transferred into the
technology of motion pictures. This is incredible. Cinema finds innovations as
its language thrives in a different trajectory from the art of theater and other
mediums. A collaboration between art and modern technology thus happens.
Theres a dark room through cuts in the art of processing motion pictures
that can awaken public imagination, where the real time becomes different
as motion pictures are arranged. Businessmen develop this entertainment
culture by adding economic value to it. The public consumes it to ease their
thirst of entertainment and spectacle.
Play Trial
Lets try and break it down one by one! Why are human stories imitated in and
reconstructed in films all the time? Their fragments taken and dramatized in
a frame? Is it to find essences or exploring deeper the bright and dark sides of
human life? Furthermore, this act of stimulating world experience has high,
ever-multiplying economic value. Why do the public keep on consuming it?
It is likely to find other true meanings in life. Or to reveal the dark and bright
sides of life, making it more meaningful.
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |203
In terms of presenting the bright and dark sides of life, creators keep on
developing various ways and languages to do it. They imitate life as close as
they can and dramatize it to convince the public while presenting facts through
archives, documents or records of real historical events and interviews with
witnesses to support arguments about reality to the public.
The point is that experimentation is a basic action done by humans in
leading a life. As they are in touch with a sense of beauty, experimentation
becomes a method to project (individual) identity onto the world of objects. In
other words, since its birth more than a century ago, the act of film-making
is an experimental action.
To those who love to create, who seem to do pointless things since they
only work with human fundamental aspect that loves beauty, the expertise
to process beauty is universally a query that intrigues them for all their lives.
Those people are artists, or filmmakers in the field of cinema. Back to our earlier
discussion about how experimentation is a basic human method since long
ago, art focuses on experience by dismissing ordinary life forms and makes it
dramatic. The rules of beauty, being put within composition of a known style,
becomes established in general. We call it esthetics. Its established despite its
evolution and revolutions.
If we could classify it as a revolutionary event, if the act of processing
beauty in cinematic frame went into the realm of movement, the most popular
would be when digital technology became a part of everyday lives of people
of the world. In this recent digital era, interactively people and technology fill
in and add to the experimentation in stimulating experience in the world up
to the point where they escape from the established circles. Although it then
becomes established too.
When cinema is no longer only seen as entertainment culture but also a
criticism, then it becomes an act of unfolding the intersections of location,
presence and function of materials/bodies/mediums and also social gestures.
Using video camera, Images of A Lost City (2011) and They Had It Coming
(2014), two films by the American filmmaker, Jon Jost, experiment in such
area of criticism toward media establishment. These two films are collections
of fragments about location, arranged in random montages to construct a force
of comprehension in the public mind. They provide an illustration of esthetics
alternative as a criticism toward the dominant power of film medium and the
mass media.
Each fragment is a separated note. It tells of how a location can be read by
audience based on its societal demography. The societys culture can give clues
to the public to read the location. These clues about a society in a location can
be seen from jobs, activities, mobilisation, landscapes, mass events and even
rumors spreading.
204 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
Sovereign Mastery
statement of a local inhabitant, an old woman who was once chased by a car
full of rowdy young men when she was driving to visit a relative.
This film becomes a circulation of rumors among the local inhabitants, the
story built, the landscapes, and us as the viewers. The small town location is the
circulation space. The filmmaker does not position his perspective to look at the
real murder case but as a matter of fact to see possibilities of how such a case can
happen in such a location. It is an illustration of how a murder case is brought
to light through a film, not in the usual way of a conventional documentary
which is by presenting documents, archives, or witness interviews. It is how a
case is revealed through an experimentation of the conflation between fiction
and documentary depicting human behavior, namely by reconstructing rumor
because rumor is a sort of societal reaction. And just like an archive, rumor
can be a reference in revealing a case; another door unestablished.
Rumor can also mean mis-information or dis-information and be seen
as an-other communication form. However, it can also become a strategy. They
Had It Coming is a strategy to criticize the established working system of media
as well as the dominant power of visual aesthetics and language in cinema.
The massive dominance over media results in many criticisms through various
alternative use of media. Criticism has to be done to become a counter of
information flow. Experimental film today should be born as such criticism.
It should criticize not only techniques, the medium culture, making up for the
weak points of previous (experimentation) actions, but also the reconstruction
of information itself, even perhaps the working of media and the societys
perception over a fabricated issue.
If archives can be fabricated, then rumor that can be seen as a thriving
form of communication in a society can be positioned at the same place, namely
as social archives.
The same thing is done in Images of a Lost City. A location is constructed
through random fragments of mass events. Departing from a memory of the
old city of Lisbon that he visited in 1964 and where he stayed for several years
at the end of 1990s, the filmmaker sets forth his point of view to trace a lost
history of an old city. Like a review of an incomplete personal archival note,
the citys corners tell of fragments of a location reality. The perception built is
about a location through a collection of images.
The construction in the viewers mind is built with an authoritative ability
of montages interplay of old Lisbon corners to record the events happen there.
Although the cinematic reality is ceded entirely to the location reality, the
selection of perspective (camera) placement is entirely within the filmmakers
subjective point of view. When the location is arranged, the cameras subjective
position directs the viewers step to reveal the illusion/validated truth.
206 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |207
Otty Widasari
Saya menjadi familiar dengan Blake Eckard, secara personal, tahun 2007 saat
bertemu dan datang ke kota kecilnya untuk mengambil gambar buat filem
Parable. Selanjutnya saya mengunjunginya beberapa kali, membuat filem
untuknya (dan berperan di dalam filem itu) dan mendengar banyak cerita
tentang Stanberry. Agak dengan spontan saya bertanya apakah kami bisa
membuat filem dengan dia sebagai salah aktor, menceritakan kisah-kisah yang
sebenarnya. Saya menemukan beberapa hal yang saya tulis beberapa dekade lalu
yang tampaknya cocok, baik dia dan saya lantas memolesnya sedikit, dan lebih
kurang dalam seminggu filem itu selesai. Betapa menyenangkan membuatnya.
I became familiar with Blake Eckard, personally, in 2007 when I met him and
went to his small town to shoot part of a film of mine, Parable. Subsequently
I visited a few times, shot a film for him (and acted in it) and heard his many
stories about Stanberry. Rather off-the-cuff I asked him if we could make a
film with him in it, telling these true stories. I found a few things I written
decades ago that seemed to fit, both he and I wrote a little bit more, and in a
week or so we had the film. Pure fun to make.
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |209
Sebuah lokasi dibangun melalui fragmenfragmen peristiwa massa yang acak. Berangkat
dari kenangan tentang sudut-sudut kota Lisabon,
sutradara meletakkan perspektifnya tentang
penelusuran sejarah kota tua yang hilang. Seperti
menilik ulang sebuah catatan arsip pribadi yang
tidak lengkap, sudut-sudut kota menceritakan
fragmen dari kenyataan lokasi. Persepsi
dibangun melalui kumpulan gambar-gambar
yang lepas dan tidak naratif. Konstruksi di kepala
penonton diarahkan dengan kemampuan otoritas
permainan susunan (montase) gambar beberapa
sudut bagian kota Lisabon tua, untuk merekam
peristiwa-peristiwa masa yang terjadi di sana.
Menurut sang sutradara sendiri, filem ini adalah
catatan pengalaman yang mencerminkan secara
penuh ekspresi saudade, yaitu perasaan merindu,
melankolik, atau nostalgia yang tampaknya
merupakan karakteristik temperamental
masyarakat Portugis.
Otty Widasari
TENTANG
KETIDAKABADIAN
DAN PERUBAHAN
KOK Siew-Wai
Tidak ada orang yang pernah melangkah di sungai yang sama dua kali,
karena itu bukan sungai yang sama dan dia bukan orang yang sama.
(Heraclitus, 535-475 SM)
Ketidakabadian mengacu kepada keadaan yang fana, sesaat dan singkat. Realitas
kehidupan manusia dan dunia materi kita adalah perubahan yang konstan
secara terus-menerus. Sungai mengalir, waktu berlalu, dedaunan berubah
warna dan musim datang dan pergi. Kerinduan kita akan keamanan, stabilitas
dan tempat bermukim, adalah ilusi berat sebelah yang ditanamkan manusia.
Keberadaan kita sendiri adalah manifestasi perubahan. Dimulai dengan selsel kecil yang tumbuh menjadi embrio, janin kemudian meninggalkan rahim
ibu dan memasuki dunia luar melalui tahapan bayi, anak-anak, dewasa, usia
tua dan akhirnya meninggalkan wujud tubuh manusia dan berubah menjadi
fosil dan abu. Siklus hidup kemudian akan mulai kembali.
Butterfly (2004) karya CHAN Seauhuvi yang berdurasi selama 30 detik
terdiri dari gambar yang sangat sederhana namun jelas tentang mortalitas
sesaat sebagai sesuatu yang rentan sekaligus kuat. Merenungkan subjek yang
serupa tetapi dengan estetika yang berbeda, Morning (2011) karya KOK
Siew-Wai diciptakan dari momen kejutan ketika realitas alam dan mortalitas
yang blak-blakan muncul tepat di depan mata sang seniman. Ini hampir terlalu
kejam, tapi seseorang menyadari bahwa alam tidak bertindak atau menilai
berdasarkan moralitas manusia. Menyaksikan suatu kejadian dengan penuh
kesadaran menimbulkan pemahaman dan perasaan terharu. Gambar-gambar
indah yang sulit dilupakan dari pembakaran dan peleburan pita seluloid di
Beauty Evaporates (2011) karya June Kyu Park mengambil pendekatan yang
lebih romantis tentang mortalitas sebuah bentuk seni, dalam hal ini, filem. Ini
adalah ritual ucapan selamat tinggal visual kepada media analog yang telah
menyumbang sangat banyak bagi sejarah manusia modern dalam ekspresi yang
artistik. Namun, seni sinema belum mati, ia sekarang hanya menggunakan
bentuk-bentuk yang berbeda dengan adanya perkembangan teknologi dan
kemungkinan-kemungkinan baru.
212 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
Prinsip dasar mekanisme filem tampaknya paralel dengan persepsi kita tentang
kehidupan manusia. Kita melihat seseorang sebagai orang yang sama, meskipun
ia berubah dari bayi menjadi seorang perempuan tua seiring berjalannya waktu.
Jika kita melihat berbagai gambar diam dari perempuan ini pada waktu yang
berbeda dalam hidupnya, dia sekarang terlihat sangat berbeda dari 50 tahun
yang lalu. Manusia memiliki kemampuan untuk merangkai jadi satu dan secara
linear momen-momen yang berbeda waktu dalam ingatan kita dan menganggap
mereka sebagai satu realitas yang koheren. Hal ini sangat mirip dengan cara kita
menonton filem, yang berdasarkan pada mekanisme keteguhan visi (Bordwell
& Thompson, 2013). Kita menyadari bahwa filem fisik terdiri dari serangkaian
frames atau gambar diam, tapi kita melihat mereka sebagai sebuah aliran cahaya
dan gerak, karakter, drama dan cerita yang berkelanjutan. Penonton filem, seperti
halnya memori manusia, adalah pencipta sukarela dari ilusi.
Filmmaker Wuttin Chansataboot muncul dalam karyanya 16 x 9 Capsule
(2014) sebagai filmmaker itu sendiri, membuat penonton sadar bahwa kita akan
melihat apa yang ditangkapnya, dengan cara yang telah ia konstruksi. Dia
menggunakan kamera untuk mengamati dan menangkap semua yang datang
ke dalam mata kamera, termasuk momen-momen kecil kehidupan sehari-hari
di sekeliling Bangkok dan insiden penting dalam sejarah politik Thailand. Bagi
mata netral kamera, tidak ada hierarki antara insiden-insiden ini dalam hal tingkat
makna. Chansataboot mengeksplorasi konsep Buddha yang menyatakan segala
sesuatu terus meningkat, berdiri dan kemudian berhenti. Dan perubahan, sama
sekali tak terelakkan.
Manusia mungkin adalah spesies di alam yang paling tidak wajar dan penuh
dengan konflik internal. Secara intelektual, kita memahami bahwa keberadaan
kita adalah fana dan segala sesuatu di alam memang berubah secara konstan.
Tapi secara emosional, meskipun demikian, kita tidak ingin menerima bahwa
perubahan itu adalah fakta utama. Di dalam diri, kita memiliki terlalu banyak
ketakutan dan ketidakamanan, sehingga kita mendambakan rasa stabilitas dan
bahkan keabadian sampai ke titik naif, tempat apa yang sangat kita cintai dan
pertahankan tidak boleh berubah. Kita mencoba memenuhi keinginan untuk
rasa keabadian ini melalui hubungan antarpribadi, agama dan harta benda.
Karena keterikatan dan keinginan yang berlebihan akan orang-orang dan
benda-benda, perubahan, dalam banyak kasus, menjadi negatif dan sederajat
dengan kerugian. Sangat sulit bagi kita untuk berurusan dengan kerugian, saat
kita harus membiarkan benda-benda dan orang-orang pergi. Secara emosional,
beberapa orang tidak pernah benar-benar bisa mengatasi kerugian tertentu
dalam hidup mereka.
Alat perekam seperti kamera, dalam pengertian ini, menenangkan jiwa
manusia dengan menyediakan bagi kita sarana untuk mengusahakan beberapa
jenis kekekalan. Dengan menangkap momen-momen berharga, kita dapat
membangun kembali kenangan dan menghidupkan kembali emosi pada momen3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |213
momen yang diinginkan itu, menciptakan ilusi keabadian di dalam pikiran kita.
Meskipun kita harus melepaskan benda-benda dan orang-orang secara fisik,
tapi setidaknya mereka dapat hidup dalam pikiran kita sendiri, pada dasarnya
selamanya, selama kita mengingat mereka.
Omakage (2010) karya Maki Satake menggunakan foto-foto yang diambil
olehnya dan almarhum kakeknya untuk menciptakan video animasi tentang
tempat-tempat di masa kecilnya dan bagaimana hal tersebut berhubungan dengan
posisinya saat ini sebagai seorang seniman dan fotografer. Karya ini tampaknya
didedikasikan bagi keluarga Satake dan bagi seni merekam melalui foto. Karya
lain yang dibuat untuk mengenang orang tua dalam keluarga adalah Ruins I
(2010) dari AU Sow-Yee yang menggunakan foto-foto almarhumah neneknya.
Estetika tradisi filem eksperimental terlihat dalam cara Sow-Yee menggunakan
pengeditan foto-foto yang tidak jelas secara terpisah-pisah dengan irama yang
tidak menentu. Dalam hal abstraksi dan eksperimen dalam estetika filem,
Masahiro Tsutani mengambil langkah yang lebih jauh dalam Between Regularity
and Irregularity (2012). Karya ini benar-benar merangkul konsep perubahan
sesuai judulnya. Video ini menggunakan grafis yang bergerak ke sana kemari
dan suara yang berfluktuasi untuk menciptakan pengalaman menonton yang
sensasional yang kacau dan sekaligus indah dalam cara yang berbeda, seolaholah dalam mimpi.
Perubahan terjadi secara internal dalam setiap individu dan hal itu juga terjadi
dalam masyarakat yang lebih luas dan dalam kondisi politik. Waktu berubah,
kita berubah, tetapi beberapa rezim, yang konservatif dan keras, menolak untuk
berubah dan hal ini dapat menjadi masalah. Sama seperti batin yang tidak ingin
melepaskan segala hal yang dicintainya, rezim yang usang dan tidak relevan ini
tidak bisa menerima kenyataan bahwa waktunya telah berakhir dan bahwa ia
tidak bisa lagi menyanyikan lagu lama yang sama lagi dan lagi. Orang-orang
sangat menginginkan perubahan, transformasi dan mendambakan hari yang baru.
Lulai (2014) karya LIM Chee-Yong adalah potret simpatik dari sekelompok
orang Bajau dari Pulau Mabul di lepas pantai tenggara Sabah, Malaysia. Sebagian
dari isi videonya menyerupai pengamatan dokumenter tentang keseharian, dan
sebagian lainnya tampaknya merupakan kesan utopis dari masyarakat yang
dibiarkan tak terganggu dan bebas dari modernisasi. Fakta bahwa orangorang ini tidak memiliki negara dan tidak mendapat keuntungan sebagai
warga negara membuat kita bertanya-tanya apakah sebenarnya mereka puas
untuk tetap bebas? Mereka yang menghadiri demonstrasi Bersih dalam Mist
(2012) pastinya mendambakan satu perubahan situasi politik di negara tempat
aliansi penguasa yang sama memiliki kekuasaan sejak kemerdekaannya pada
tahun 1957. WONG Eng-Leong menggunakan gambar-gambar hitam putih
yang kabur yang saling menyatu sebagai peringatan visual bagi insiden yang
signifikan dalam politik Malaysia baru-baru ini. Kontras dengan pendekatan
serius Eng-Leong dengan gambar-gambar tak berwarna, WONG Ping dari
214 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
Hong Kong mengadopsi estetika seni pop. Under The Lion Crotch (2011) adalah
video musik animasi berwarna-warni dengan lagu yang kotor dan gambar jelek
yang agak tidak senonoh yang mungkin dapat menyinggung beberapa orang.
Ini adalah sebuah karya ekspresif yang menggunakan humor gelap anak muda
untuk mengritik situasi sosial dan ketegangan politik di Hong Kong.
Apa jenis gambar yang akan ditangkap oleh seseorang dalam masyarakat
yang terus berubah dan berkembang, yang telah mengalami urbanisasi selama
bertahun-tahun dan masih dalam proses urbanisasi tersebut? Dengan visual
yang menakjubkan dan ritme yang bersifat meditasi, filmmaker asal Belgia
Jimmy Hendrickx memberikan potret sinematik yang sensitif dan simpatik
dari anak-anak perkotaan Cheras, daerah pinggiran kota di Kuala Lumpur,
Malaysia dalam filemnya Semalu (2013). Filem ini menggunakan jukstaposisi
dengan pintar. Keindahan filem ini terletak pada upayanya untuk menunjukkan
spiritualitas di tengah-tengah sampah, situs yang terbengkalai dan daerah
proyek pembangunan. Keseluruhan karakter Semalu adalah karakter positif.
Lingkungan tempat tinggal yang tampaknya tidak menyenangkan kontras
dengan kepolosan anak-anak yang menunjukkan kemurnian dan harapan, dan
perasaan selaras menghasilkan gambaran dari idiom Tiongkok yang berbunyi:
Lotus tumbuh keluar dari lumpur, tapi tidak tercemar dan keindahan dan
kemurniannya tetap ada.
Konsep ketidakkekalan dan pembentukan yang terus-menerus adalah hal pokok
bagi ajaran Buddha awal. Dengan menyadari hal itu, dengan mengamatinya
dan dengan memahaminya, barulah seseorang dapat menemukan obat yang cocok
bagi kesedihan hidup manusia dan mencapai pembebasan dari proses anicca atau
ketidakkekalan. (Konsep Ketidakkekalan Buddha)
Filmmaker, yang bekerja terutama dengan seni merekam, memiliki potensi
menjadi pengamat besar kehidupan. Mungkin, jika kita bisa menerima dan
memahami keadaan alam dengan sepenuh hati, kita akan menerima kebenaran
hakiki dari perubahan ini, menjalani hidup dengan sepenuhnya pada saat ini
dan merasakan kekekalan dan perdamaian di setiap momen kesadaran.
7 Juli 2015
Bacaan:
Classical Wisdom Weekly (17 Juli, 2013). Heraclitus (535-475 BCE). Online. Internet.
Tersedia di: http://classicalwisdom.com/heraclitus-535-475-bce/
Bordwell, David and Kristin Thompson (2013). Film Art An Introduction. New York:
McGraw-Hill
Krishnamurti, Jiddu (1987). The Awakening Of Intelligence. New York: Harper & Row.
The Buddhist Concept of Impermanence. UrbanDharma.org. Online. Internet. Tersedia
di: http://www.urbandharma.org/udharma8/imperm.html
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |215
ON IMPERMANENCE
AND CHANGE
KOK Siew-Wai
No man ever steps in the same river twice, for its not the same river and
hes not the same man.
(Heraclitus, 535-475 BCE)
and perceive them as one coherent reality. This is very similar to the way we
watch film, which is based on the mechanism of the persistence of vision
(Bordwell & Thompson, 2013). We do realize that physical film is made up
by a series of frames or still images, but we perceive them as a continuous flow
of light and motion, of characters, of drama, of stories. The audience of film,
as human memory, is a voluntary creator of illusion.
Filmmaker Wuttin Chansataboot appears in his piece 16 x 9 Capsule (2014)
as the filmmaker himself, making the audience conscious that we are about to
see what he captures, in the way he has constructed it. He uses the camera to
observe and capture all that come into the camera-eye, including small moments
of daily life around Bangkok and a crucial incident in the political history of
Thailand. To the neutral eyes of the camera, there is no hierarchy between
these incidents in terms of the degree of significance. Chansataboot explores
the Buddhist concept where it states everything keeps rising, standing, and
then cessation. And change, is simply inevitable.
Human beings might be the one species in nature that is the most unnatural
and full of internal conflicts. Intellectually, we understand that our existence
is mortal and all things in nature are indeed in a constant mode of change.
But emotionally, however, we do not want to accept that change is an ultimate
fact. We have too much fear and insecurity internally, that we crave for a sense
of stability and even eternity, to a point of being nave, where what we love
and hold dearly must not change. We try to fulfill this craving for a sense
of permanence through interpersonal relationships, religions and possessions.
Because of our excessive attachment and desire to people and objects, change,
in many cases, becomes negative and equals to loss. It is very difficult for us to
deal with loss where we have to let things and people go. Emotionally, some
people never really overcome certain loss in their lives.
The recording device such as a camera, in this sense, soothes the human soul
by providing us a means to attempt some kind of permanence. By capturing the
precious moments, we are able to rebuild memories and reenact the emotions of
these desired moments, creating the illusion of eternity in our minds. Although
we must let go the physical objects and people, but at least they can live in our
own minds, basically forever, as long as we remember them.
Omakage (2010) by Maki Satake uses photographs taken by her and her
late grandfather to create an animated video of places in her childhood, and
how that is connected to her current position as an artist and a photographer.
This piece seems to be a dedication to the Satakes family, and to the art of
recording through imagery. Another piece made in memory of an elderly in the
family is Ruins I (2010) by AU Sow-Yee, using images of her late grandmother.
The aesthetics of the tradition of experimental film is noticeable in the way
Sow-Yee uses fragmented grainy images edit to an erratic rhythm. In terms of
abstraction and experimentation in film aesthetics, Masahiro Tsutanis Between
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |217
Filmmakers, working primarily with the art of recording, have the potential
of being a great observer of life. Perhaps, if we can accept and understand the
way of nature whole-heartedly, we will embrace this ultimate truth of change,
living to fullest at the present, and experience eternity and peace in every single
moment of mindfulness.
July 7th, 2015
Works Cited:
Classical Wisdom Weekly (2013, July 17th). Heraclitus (535-475 BCE). Online. Internet.
Retrieved from http://classicalwisdom.com/heraclitus-535-475-bce/
Bordwell, David and Kristin Thompson (2013). Film Art: An Introduction. New York:
McGraw-Hill.
Krishnamurti, Jiddu (1987). The Awakening Of Intelligence. New York: Harper & Row.
The Buddhist Concept of Impermanence. UrbanDharma.org. Online. Internet. Retrieved
from http://www.urbandharma.org/udharma8/imperm.html
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |219
OMAKAGE
Maki Satake ( Japan)
Country of Production Japan
Language Japanese
Subtitle English
6 minutes, Color, 2010
KOK Siew-Wai
RUINS I
AU Sow-Yee ( Malaysia)
Country of Production Malaysia
Language English
Subtitle No Subtitle
5 minutes, Color, 2010
Gambar-gambar yang abstrak dan terbagibagi saling menjalin melalui cahaya dan suara,
dan membentuk kenangan akan almarhumah
nenek dari sang seniman.
KOK Siew-Wai
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |221
BUTTERFLY
CHAN Seauhuvi ( Malaysia)
Country of Production Malaysia
Language No Dialogue
Subtitle No Subtitle
30 sec, Color, 2004
KOK Siew-Wai
BEAUTY EVAPORATES
June Kyu Park ( Republic of Korea)
Country of Production Republic of Korea
Language No Dialogue
Subtitle No Subtitle
4 minutes, Color, 2011
KOK Siew-Wai
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |223
LULAI
LIM Chee-Yong (Malaysia)
Country of Production Malaysia
Language English
Subtitle No Subtitle
6 minutes, Color, 2014
KOK Siew-Wai
16 X 9 CAPSULE
Wuttin Chansataboot (Thailand)
Country of Production Thailand
Language Thai
Subtitle English
6 minutes, Color, 2014
KOK Siew-Wai
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |225
MORNING
KOK Siew-Wai (Malaysia)
Country of Production Malaysia
Language No Dialogue
Subtitle No Subtitle
3 minutes, Color, 2011
KOK Siew-Wai
KOK Siew-Wai
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |227
MIST
Wong Eng-Leong (Malaysia)
Country of Production Malaysia
Language No Dialogue
Subtitle No Subtitle
3 minutes, Black/White, 2012
Mist adalah video musik dengan gambargambar hitam dan putih yang bergabung
menjadi satu, sebagai peringatan untuk
mengenang demonstrasi politik penting
di negara, Bersih 3.0, saat banyak orang
mengharapkan perubahan dalam politik
Malaysia.
KOK Siew-Wai
BETWEEN REGULARITY
AND IRREGULARITY
Masahiro Tsutani (Japan)
Country of Production Japan
Language No Dialogue
Subtitle No Subtitle
7 minutes, Black/White, 2012
KOK Siew-Wai
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |229
SEMALU
Jimmy Hendrickx (Belgium)
Country of Production Malaysia
Language Malay
Subtitle English
19 minutes, Color, 2013
KOK Siew-Wai
KREATIVITAS BERCERITA
MENGENAI REPRESI HAK
ASASI
Jonathan Manullang
Selama ini kita hampir selalu membicarakan definisi, redefinisi, kompromi,
benturan, hingga pelanggaran hak asasi, baik sebagai akibat dari aplikasi
prinsip otoriter secara pragmatis maupun tarik-ulur kepentingan kekuasaan
nan kompleks dalam suasana formal, serta pembawaan serius dengan akses
sangat terbatas. Sifat yang cenderung elitis ini membuat upaya meningkatkan
kesadaran berbagai kelas masyarakat terhadap hak asasi sering kali terhambat,
tak peduli seberapa sistematisnya upaya-upaya tersebut.
Menilik sejarah Negara Indonesia, yang telanjur diselewengkan selama
beberapa dekade oleh Rezim Orde Baru yang menjalankan kontrol penuh
atas medium film lewat praktik sensor baik sebelum maupun setelah proses
produksi (Paramaditha, 2012), pengalaman-pengalaman terkait penindasan hak
asasi sudah sepatutnya menjadi pelajaran krusial bagi generasi terkini, apalagi
generasi yang akan tiba. Pada tahap ini, sinema adalah salah satu wadah paling
efektif untuk memaparkan bermacam pengalaman pahit tersebut sekaligus
mengakomodasi rasa haus mereka terhadap bentuk-bentuk estetis baru serta
gaya bertutur yang segar. Kreativitas mendedah serta mengejawantahkan secara
kritis, namun tetap santai, melalui bingkai audio-visual, sontak memegang
peranan penting guna menggugah pembacaan-pembacaan terbaru. Kapan lagi
kita bisa belajar HAM dengan rileks lantas berdiskusi sembari ngopi sesudah
acara nonton bareng selesai?
Tiga filem pilihan saya dalam kurasi ini, pada hakikatnya, merepresentasikan
segala ciri abstrak di atas. Filem pertama, Kameng Gampong N yang Keunong
Geulawa (1999)diproduksi setahun setelah Reformasi 1998karya Aryo
Danusiri, memilih mengalir melalui idiom lokal berupa seekor kambing kampung
yang dituduh bersalah atas ulah kambing gunung demi menggambarkan situasi
selama status Daerah Operasi Militer berlaku di Aceh (1989-1998). Kambing
kampung menjadi analogi bagi warga Kampung Tiro yang ditangkap, disiksa,
hingga dibunuh secara brutal di ruang publik sementara kambing gunung
merujuk pada gerak lincah gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang
gemar bersembunyi di balik hutan belantara. Kebencian tak berdasar Soeharto
yang menganggap Kampung Tiro memiliki ikatan historis nan panjang dengan
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |231
pentolan GAM, Hasan Tiro, hanya karena kesamaan nama di antara mereka,
adalah bukti sahih absennya rasionalitas dalam pengambilan keputusan subjektif
Sang Jenderal. Di luar itu, gaya wawancara Aryo yang merekam pernyataan
para saksi satu per satu mengenai hampir setiap peristiwa pembantaian massal
maupun interogasi tertutup dan serba mencekam di sekitar area kampung
tersebut, alih-alih sekadar fokus menyusuri jalan karakter tertentu, mampu
menghadirkan pemahaman yang lebih komprehensif terhadap konteks
geopolitik serta sosial ekonomi penduduk Kampung Tiro, sampai menjelang
kejatuhan Orde Baru.
Filem berikutnya, Trip To The Wound (2008)diproduksi sepuluh tahun
setelah Reformasi 1998karya Edwin, berisi perjalanan malam hari yang
dihabiskan bersama gerak repetitif bis yang cenderung ugal-ugalan. Gaya
kinetik dan akselerasi bis tersebut, tempat kedua karakter bersua, seakan
menegaskan bahwa kondisi demikian yang paling ideal guna menciptakan
luka baru. Penumpang bis itu adalah seorang perempuan pengoleksi luka yang
gemar menceritakan (atau membual?) ihwal tabungan luka miliknya, namun
bungkam tatkala mendapat giliran berbagi lukanya sendiri. Penumpang lain
adalah seorang lelaki terdakwa luka yang tak kenal menyerah mengupas lapisan
demi lapisan kebungkaman tersebut. Koneksi fisik, pengolahan inderawi, serta
permainan asumsi, kemudian, mengambil alih pemahaman seputar luka.
Apakah ia nyata atau ilusi? Apakah ia berwujud solid atau metafisik? Apakah
ia sejarah faktual atau sekadar ramalan?
Pada konteks tertentu, gerak repetitif memegang posisi krusial. Bila ia
menyebarkan kesan mimpi buruk melalui adegan pesta dansa dalam Ritual
In Transfigured Time (1946) karya Maya Deren, di sini ia membawa aroma
keengganan nan kompleks. Filem Maya Deren dan Edwin juga mempunyai
similaritas terkait representasi figur perempuan. Dalam filem eksperimental
sineas perempuan legendaris Amerika tersebut, ia mewakili perihal hidup dan
mati (Mayer, 2013). Sementara itu, di filem pendek Edwin ini, ia menyatakan
pertentangan, tumpang-tindih, hingga transisi super cepat antara perilaku
bahagia dan rona kesedihan.
Lebih jauh lagi, bila kita perhatikan, tampilan fisik si perempuan, mau
tak mau, mengarahkan penonton pada perdebatan seputar etnis tertentu.
Hal luka dan etnis minoritas ini kemudian digumulkan Edwin via sebentuk
gerakan kinetik repetitif dalam usaha saling menetralkan dua faktor terpenting:
memori gelap yang hendak dikubur jauh-jauh, serta godaan resistensi jiwa
terhadap bekas represi privasi dari suatu masa yang mungkin belum terlampau
lama berlalu. Apakah ini cerita spesifik mengenai kekerasan seksual kepada
perempuan-perempuan Tionghoa selama periode tergelap kedatangan reformasi
yang katanya membawa cahaya terang-benderang itu? Atau semata perwujudan
simbol atas ketidakberdayaan perempuan menghadapi himpitan dan tekanan
232 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
sisi kreatif yang segar dalam estetika narasi dan bentuk, demi mendobrak
kebuntuan definitif, sembari tetap mempertahankan tendensi kritis guna
merangkum konten peristiwa represi yang terjadi, sesuai tema masing-masing,
dan menyajikannya dalam konteks yang komprehensif dan solid.
Bacaan:
Mayer, S. (2013, September). If I cant dance, its not my revolution!: Tracing the Revolutions
of Maya Derens Dance in Jane Campions In The Cut. The International Journal of
Screendance, 3.
McVey, R. T. (1990, Oktober). Teaching Modernity: The PKI as an Educational Institution.
Indonesia, 50.
Paramaditha, I. (2012). Cinema, Sexuality, and Censorship. Southeast Asian Independent
Cinema.
HUMAN RIGHTS
REPRESSION, RETOLD
THROUGH CREATIVITY
Jonathan Manullang
We always seem to talk about the definition, redefinition, compromise, friction,
and violation of human rightsboth as a result of pragmatic application
of authoritarian principles or a tug-of-war between conflicting interests in
powerin such a formal and serious setting, inaccessible to most public. This
elitist attitude hinders the collective effort to raise public awareness on human
rights issues, however systematic it is.
Historically, human rights in Indonesia have been deeply abused by several
decades of New Order regime who exerted absolute control over film industry
through pre- and post-production censorship (Paramadhita, 2012). Human
rights issues in Indonesia should serve as a worthy lesson for current and future
generations. Film is one of most effective medium to depict historical trauma
while at the same time quench the aesthetic thirst for fresh, unconventional
ways of telling. To stimulate innovative renditions, it is necessary to find ways
where creativity can unfold and be manifested through audio-visual frame,
critical and also enjoyable at the same time. When was the last time you casually
discuss human rights issues with friends over coffee, after watching a movie?
The three films I pick for this curatorial program are, in essence, represent
all the abstract characteristics mentioned above. First: Kameng Gampang
N yam Keunong Geulawa (1999). This film went into production a year after
the Reformation in 1998, directed by Aryo Danusiri, adopts a local idiom
and tells the story of a common goat who is accused of a mountain goats
wrongdoing as a metaphor to the situation in Aceh during Military Operation
period (1989-1998). The common goat in the film is an analogy to the people
of Kampung Tiro who were arrested, tortured, and brutally murdered in
public, while the mountain goat refers to the agility of GAM, Aceh separatist
movement, who took hiding in the jungles of Aceh. Soehartos hatred toward
Kampung Tiro seemed to have risen from an unrealistic assumption that the
village somehow has historical connection with Hasan Tiro, the man behind
GAM, simply out of a resemblance in the names. The General must have
been absent-minded, in the literal sense of the word. Moreover, Aryo has a
distinct style of interviewing each witness one-on-one about the massacres
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |235
Marxist concepts. When military invasion strikes blow (signs of fear?) (McVey,
1990), repression appears all too real in the film.
Eventually, depth of research determines how we should assess this
academic work on the brutal repression on those deemed as the public enemy.
It might take on as new joke: a group of retarded people, cut off in the name
of elitist power.
Another similarity of the three works is the subtle hint of economic jealousy
and deliberate emphasis to ensure the minority remains inferior however they
tried to shift the countrys socio-political structure. To some groups of people,
Acehs rich natural gas deposit and the Chineses tenacity in doing business are
secretly resented. Conflicts over paddy storehouses can still easily be found,
ironically, in many regions even today, two decades post-Reformation.
My main conclusion in this curatorial program is how creative potentials
are indeed limitless in film, whether they are reconstructions, observations, or
fresh interpretations with sociological, ethnographical, or political approach
on human rights issues in Indonesia. These selected films represent fresh,
creative force in both narrative and format aesthetics in order to break free from
semantic deadlock, while at the same time maintain their critical tendencies to
condense human rights issues into visuals according to their respective themes,
and present them in a solid, comprehensive context.
Works Cited:
Mayer, S. (September, 2013). If I cant dance, its not my revolution!: Tracing the Revolutions
of Maya Derens Dance in Jane Campions In The Cut. The International Journal of
Screendance, 3.
McVey, R. T. (October, 1990). Teaching Modernity: The PKI as an Educational Institution.
Indonesia, 50.
Paramadhita, I. (2012). Cinema, Sexuality, and Censorship. Southeast Asian Independent
Cinema.
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |237
Jonathan Manullang
Jonathan Manullang
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |239
Jonathan Manullang
AGEN PELACAK
KALAMPAG1
Shireen Seno & Merv Espina
Dalam catatan kami untuk program ini mengenai asal-usul penamaan, kami
menyamakan kata kalampag dalam bahasa Tagalog dengan suara ledakan atau
letupan, yang biasanya digunakan untuk merujuk mesin atau perangkat mekanik
lain seperti mobil atau kendaraan yang bergerak. Sebuah kalampag menyiratkan
mesin yang rusak. Atau mungkin sesungguhnya tak pernah beroperasi dengan
benar. Namun mesin apa ini yang sedang kita perbincangkan?
Pada 1975, hanya tiga tahun setelah deklarasi Hukum Militer di Filipina,
rezim Marcos menyelenggarakan Thrilla di Manila, pertandingan tinju legendaris
antara Muhammad Ali dan Joe Frazier. Ferdinand Marcos ingin mendapatkan
kejayaan dari penyelenggaraan itu dan memastikan dana yang dibutuhkan
tersedia. Tak semuanya berjalan lancar. Keamanan begitu ketat karena adanya
pembangkangan politik dan perbaikan jalan pagi hari bentrok dengan jam
malam yang ditetapkan militer.
Namun gerakan Marcos memang cemerlang. Masyarakat seluruh dunia
lengket dengan kursi mereka menyaksikan liputan langsung pertandingan itu,
yang dimungkinkan oleh siaran satelit.
Ali menang, dan untuk menghormatinya, bangsa Filipina membangun mal
perbelanjaan komersial pertama, Ali Mall, sebagai tribut untuk kemenangannya.
Tak lama setelah itu, ilusi besar-besaran lain di negara itu sedang dibuat:
proyek filem Francis Ford Coppola yang tak dapat selesai, Apocalypse Now
(1979). Dari 1975 hingga 1977, seluruh proses pengambilan gambar dilakukan
di Filipina yang upah buruhnya murah dan memiliki akses terhadap peralatan
militer Amerika. Dengan mudah, Filipina bisa dibuat terlihat seperti Vietnam.
Ada saat-saat ketika proses pengambilan gambar bisa ditunda atau dibatalkan
karena kru, helikopter, dan peralatan militer dikirim ke Selatan untuk menumpas
[1] The Kalampag Tracking Agency merupakan inisiatif dan program penayangan berkelanjutan yang
menjelajahi gagasan/visi alternatif dalam praktik-praktik gambar bergerak di Filipina. Banyak dari karyakarya yang ada hanya sebagai kenangan, rumor, dan teks pada katalog dan manuskrip yang terlupakan,
bahkan yang baru-baru dalam ini lima tahun terakhir. Barangkali, gambar bergerak, pada kenyataannya,
dapat menjadi saksi ketidakstabilan atau ketiadaan jaminan dari zaman kita, menantang mahastruktur
dan dinamika yang membenarkan karya-karya ini dengan penontonnya, yang mana berbagai tindakan
dari kesaksian, partisipasi dan ingatannya adalah kuncidan untuk beberapa karya, kini hanya bisa
menjadi bentuk keberadaan.
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |241
Beberapa generasi dari seniman dan pembuat filem datang dan bertukar gagasan;
mendiskusikan sejarah, estetika, dan proses. Khususnya untuk karya-karya yang
berusia lebih tua, inilah kesempatan-kesempatan langka untuk membongkar
sejarah yang sesungguhnya. Hal sederhana yang sering disepelekan, seperti
tanggal atau media dan kesalahan pengetikan, dalam program ini disebutkan
dan didiskusikan. Detail-detail tersebut penting dan, kalau tidak begini, tidak
akan diperhatikan orang karena kesalahan demikian telah diterbitkan dan
diterbitkan kembali dalam sedikit dokumentasi yang menyebutkannya.
Pendirian Mowelfound (singkatan dari Movie Workers Welfare Foundation)
pada 1974 dan Pusat Filem Universitas Filipina pada 1976 membantu menyangga
dan membedakan perfileman independen dari industri filem arus utama, namun
kurangnya pengarsipan yang layak terus terjadi. Arsip Filem Nasional baru
didirikan pada 2011, terlambat beberapa dekade. Karya-karya luar biasa telah
benar-benar menjadi cuka dan debu. Hanya pecahan-pecahan kecil yang tersisa,
hampir tidak bisa diakses.
Lokakarya-lokakarya yang diselenggarakan secara gabungan antara
Mowelfund, Badan Informasi Filipina, dan Goethe Institut Manila pada 1980-an
membantu menetaskan orang-orang seperti Lav Diaz, Raymond Red, Roxlee,
dan banyak lainnya. Kami memiliki beberapa karya dari periode ini, khususnya
dari lokakarya pencetakan optik bersama sutradara Jerman, Christoph Janetzko,
yang dilakukan antara 1989 dan 1990: Kalawang (atau Rust, 1989), Bugtong:
Ang Sigaw N g Lalake (atau Riddle: The Shout of Man, 1989), dan Minsan Isang
Panahon (atau Once Upon a Time, 1990). Beberapa materi yang digunakan untuk
karya-karya ini konon berasal dari tempat sampah yang setengah mengapung
di sungai yang terletak di luar salah satu studio filem besar.
Menggunakan sampah industri komersial dan menjadikannya karya seni
adalah proses yang berulang dalam program ini. Class Picture (2012) karya Tito
& Tita dibidik pada rol filem yang telah kedaluwarsa dan ujung-ujung rol filem.
Pada Chop-chopped First Lady + Chop-Chopped First Daughter (2005), Yason Banal
memadukan YouTube dan potongan gambar-gambar brutal dengan teknik layar
terpisah (split screen), menggabungkan rekaman berita tentang usaha pembunuhan
Ibu Negara Imelda Marcos yang gagal, yang direkam dan disiarkan langsung
di televisi pada 1972, dan menjajarkannya dengan rekaman filem sadis tahun
1974 yang didanai sebagian besar oleh Kris Aquino, anak perempuan pertama
presiden pengganti Marcos, Cory Aquino.
Teknik Roxlee yang kasar namun memukauanimasi yang digambar tangan,
lukisan pada filem, found footage, dan kolase membuahkan pandangan baru yang
cerdas dan kuat tentang alfabet dalam ABCD (1985). Filem Raya Martin yang
berdurasi semenit, Ars Colonia (2011), direkam dalam Hi8, dibesarkan hingga
35mm, dan diwarnai dengan tangan kemudian dengan salinan penayangan baik
dalam 35mm dan video HD, memanfaatkan migrasi data dan berkurangnya
kualitas gambar sehingga menambahkan lapisan-lapisan tekstur dan makna baru
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |243
dari tiap konversi; sebuah parodi halus tentang keindahan tak putus-putus dari
majikan kolonial dan citranya.
Program ini juga mengunjukkan dokumenter sebagai esai, parodi, catatan
harian, eksperimen, dan kritik. Sebuah sosok putih bak hantu merayap melintasi
kota/layar dalam Juan Gapang karya Roxlee (1986). Inilah sebuah dokumentasi
performatif mengenai Manila yang berujung di Pusat Filem Manila dengan
matahari tenggelam di Teluk Manila yang tersohor. Anito (2012) karya Martha
Atienza adalah dokumenter yang sangat stilistik tentang festival rakyat yang
cukup eksotis di kampung halaman sang seniman di Pulau Bantayan, Cebu.
Filem ini memuaskan hasrat sekaligus mempertanyakan ekspektasi penonton.
DROGA! (2014) karya Miko Revereza mengangkat ujung lain dari sesuatu
yang eksotis, dengan mendokumentasikan bentang kota Los Angeles dan
kehidupan keluarga seniman serta imigran Filipina yang lain; menciptakan
persilangan baru antara budaya pop Amerika dan tradisi Filipina. Karya Tad
Ermitao, The Retrochronological Transfer of Information (1994), merupakan
sebuah eksperimen konseptual sekaligus lelucon pelik yang proses dan hasilnya
mempersoalkan kausalitas, fakta, dan objektivitas dalam gagasan-gagasan
tradisional ilmu pengetahuan dan sejarah. Lalu ada pula dokumentasi yang
mentah nan tampak sederhana, Very Specific Things at Night (2011) karya John
Torres, juga Hindi sa Atin ang Buwan (atau The Moon is Not Ours, 2011) oleh
John Lazam, di mana humor, emosi, dan ketakjuban diejawantahkan dalam
bentuk dan penyuntingan, yang juga sangat menyiratkan kekuatan judulnya
sebagai teks dan peta yang penting untuk menguak kartografi karya-karya
yang puitis dan abstrak ini.
Penting untuk dicatat bahwa karya-karya Tito & Tita, Yason Banal,
dan Martha Atienza juga telah muncul sebagai instalasi di galeri-galeri
seni komersial dan ruang-ruang yang terkait dengan itu. Hal ini sepertinya
menandakan cairnya bentuk dan pameran dalam praktik hari ini, tak seperti
karya-karya program ini yang lebih tua yang dimaksudkan dan ditujukan
hanya untuk sinema.
Sayangnya, masih ada praanggapan soal keiistimewaan durasi panjang,
ledakan yang lebih besar, dan pernyataan yang lebih hebat, serta perhatian pada
filem selayaknya novel atau epos alih-alih filem sebagai cerpen atau puisi. Inilah
sebabnya mengapa tidak ada yang tahu di mana filem-filem yang ditayangkan
dalam Festival Filem Pendek Nasional di Manila pada 1964 dapat ditemukan,
sementara filem-filem panjang dari periode ini masih kita miliki. Namun,
sebelum bertanya bagaimana ledakan-ledakan kecil eksentrik dari praktik
gambar bergerak ini dapat menantang dominasi sinema populer dan narasi
nasional, kita harus menyelidiki, melestarikan, dan mengedarkan ledakanledakan itu lebih dulu. Hanya dengan demikian kita dapat menggambar ulang
petanya dan melihat bagaimana karya-karya ini berkontribusi bagi wacana
kritis yang lebih besar.
244 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
THE KALAMPAG
TRACKING AGENCY1
Shireen Seno & Merv Espina
In our notes for the program regarding how the name came about, we likened
the Tagalog word kalampag to a rattling sound or a bang, usually used in
reference to machines and other mechanical devices such as a car or other
moving vehicle. A kalampag implies that the machinery is somehow damaged.
Or perhaps it never really ran smoothly. But what is this machinery we speak of?
In 1975, only three years after the declaration of Martial Law in the
Philippines, the Marcos regime orchestrated Thrilla in Manila, the legendary
boxing match between Muhammad Ali and Joe Frazier. Ferdinand Marcos
wanted the glory that would come from presiding over the bout and saw to it
that the necessary funds were made available. Not everything went smoothly.
Security was tight because of insurgent political activity and early-morning
roadwork conflicted with an overnight military curfew.
But Marcoss move was brilliant. People all over the world were glued
to their seats watching live televised coverage of the fight, made possible by
satellite broadcasting.
Ali won, and in his honor, the Philippines built the first multi-level
commercial shopping mall, Ali Mall, as a tribute to his victory.
Soon after, another grand illusion in the country was under way: Francis
Ford Coppolas Sisyphean film project, Apocalypse Now (1979). From 1975
to 1977, the film was shot entirely in the Philippines, with its cheap labor
and ready access to American military equipment, as an easy stand-in for
Vietnam. There were times when shoots would be delayed or cancelled because
crew, helicopters, and equipment were sent off to shoot and quell actual rebel
insurgents in the south. A war was still being waged in our archipelago after
[1] The Kalampag Tracking Agency is an ongoing initiative and screening program exploring alternative
notions/visions in moving image practice from the Philippines. Many of the works only exist as
memories, rumors, and text on forgotten catalogs and manuscripts, even those as recent as five years ago.
Perhaps the moving image can in fact bear witness to the instability/precarity of our times, challenging
the very structures and dynamics that constitute these works with its audience, whose various acts of
witnessing, participation and remembrance is keyand for some works, could now only be its only form
of existence.
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |245
all. The film premiered two years later in Cannes as a work in progress and
won the Palme DOr.
Arguably the greatest illusion of the time came in the form of the Manila
Film Center, which opened, to much controversy, to serve as main venue of
the inaugural Manila International Film Festival on January 1829, 1982.
It was originally designed to be a one-stop shop for anything film-related,
including a film archiving facility, with UNESCO as consultant in its design.
But because of the controversies surrounding it, the Manila Film Center
was never fully utilized. The Philippines only had a National Film Archive,
effectively, by October 2011.
To certain generations of Filipinos, the Manila Film Center, widely claimed
to be haunted, is the stuff of legend. And as legend has it, construction of the
building started in early 1981 and had just a year to be finished to meet the
deadline: the January 1982 opening of the Manila International Film Festival.
This required around 4000 laborers to work three shifts across 24 hours. In
November 1981, heavy rains caused the scaffolding to collapse, killing 169
workers, who, in Imelda Marcos hurried attempt to finish the construction of
the building, were instantly buried under quick-drying wet cement.
These grand gestures were sleight of hand tactics, an attempt to show the
world that the banana republic of the Philippines was a cultural mecca. As all
this was happening, atrocities were happening left and right: an all-out war
on Muslim and communist insurgencies and some of the brightest and most
critical artists, students and activists disappeared without a trace.
For this program, we wanted a body of works that rattled the system at
least for a brief moment in time. Many screening programs and curatorial
projects are based on themes. The Kalampag Tracking Agency aims to be
functional as well; it treats the screening program as a method, an ongoing
process of investigation and a means to not just promote these works, but more
importantly, to preserve them as well.
We use the opportunities provided by festivals, archives, museums, art
spaces and other platforms that have invited the screening program to access
equipment that we dont have in the Philippines. In this way, we have been able
to make newer and better transfers of several works. Each screening is slightly
different, as there are always slight improvements here and there.
The first times we screened the program, at the University of the Philippines
Film Institute and Green Papaya Art Projects, were important discursive
platforms. Several generations of artists and filmmakers attended and exchanged
ideas, talking history, aesthetics and process. For the older works especially,
these were rare opportunities to illuminate actual histories. Simple things
people take for granted, such as date or medium and other such clerical errors,
were pointed out. These details are important and would have otherwise gone
246 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
unnoticed for such errors have been published and republished in what little
actual documentation they were mentioned in.
The founding of Mowelfund (short for Movie Workers Welfare Foundation)
in 1974 and the University of the Philippines Film Center in 1976 did help
sustain and distance independent cinema from the mainstream film industry,
but there has been a continued lack of a decent archive. The National Film
Archive was only established in 2011, several decades too late. Groundbreaking
works have literally turned into vinegar and dust. Only a small fraction remains
and is barely accessible.
Mowelfund, Philippine Information Agency, and Goethe Institut Manilas
highly inf luential jointly-organized film workshops in the 1980s helped
incubate the likes of Lav Diaz, Raymond Red, Roxlee, and many others. We
have several works from this period, particularly from German filmmaker
Christoph Janetzkos optical printing workshops conducted between 1989 and
1990: Kalawang (or Rust, 1989), Bugtong: Ang Sigaw N g Lalake (or Riddle:
The Shout of Man, 1989), and Minsan Isang Panahon (or Once Upon a Time,
1990). Some of the materials used for these works were reportedly sourced from
a trash dump half submerged in a creek outside one of the major film studios.
Using the debris of the commercial industry and turning it into art is a
recurring process in the program. Tito & Titas Class Picture (2012) was shot
on expired rolls and short ends that would have been otherwise been destined
for the trash bin. In Chop-chopped First Lady + Chop-Chopped First Daughter
(2005), Yason Banal melds Youtube and crass cinema through split screen,
combining newsreel film footage of the failed assassination attempt on the life
of the First Lady Imelda Marcos as captured and broadcast live on television
in 1972 and juxtaposing it with footage from a gory 1974 popular film topbilled by Kris Aquino, the First Daughter to Marcos successor, Cory Aquino.
Roxlees crude yet compelling techniqueshand-drawn animation, painting
on film, found footage, and collage, make for a witty, powerful new take on the
alphabet in ABCD (1985). Raya Martins minute-long Ars Colonia (2011), shot
on Hi8, blown up to 35mm and hand-colored, then with screening copies in
both 35mm and HD video, utilizes generation loss and data migration, adding
new layers of texture and meaning from each conversion, a subtle parody on
the unrelenting beauty of the colonial master and his image.
The program also showcases documentary as essay, parody, diary, experiment
and critique. A ghostly absurd white figure crawls across the city/screen in Roxlees
Juan Gapang (1986), a performative document of Manila, culminating at the
Manila Film Center itself and the famed Manila Bay sunset. Martha Atienzas
Anito (2012) is a highly stylized document of the already quite exotic folk festival
in the artists hometown in Bantayan Island, Cebu, indulging yet at the same
time questioning viewers expectations. Miko Reverezas DROGA! (2014)
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |247
takes the other end of the exotic, documenting the Los Angeles cityscape and
the lives of the artists family and other Filipino immigrants, and creating new
intersections of American pop culture and Filipino traditions. Tad Ermitaos
The Retrochronological Transfer of Information (1994) was simultaneously
a conceptual experiment and an elaborate joke whose process and output
questioned causality, fact, and objectivity in the traditional notions of science
and history. Then theres the crude and yet deceptively simple documentation
in John Torres Very Specific Things at Night (2011) and Jon Lazams hindi sa
atin nag buwan (or the moon is not ours, 2011), where humor, emotion and a
sense of wonder is exercised in form and editing, yet also strongly suggesting
the power of the title as essential text and map to chart the cartographies of
these abstract and poetic works.
Its important to note that the works of Tito & Tita, Yason Banal, and
Martha Atienza have also appeared as installations in commercial art galleries
and related spaces, perhaps indicating a fluidity of form and exhibition in current
practice, as opposed to the older works in the program that were intentionally
designed solely for the cinema.
Unfortunately, there is still a preferred bias for length, for bigger bangs
and grander statements, and more attention for the film as akin to the novel
or epic over the film as short story or poem. This is why no one knows where
films showcased in Manilas first National Festival of Short Films in 1964 can
be found, yet we still have feature films from this period. But before asking
how these small, eccentric bangs of moving image practice can challenge the
dominance of popular cinema and the national narrative, we have to investigate,
preserve and circulate them first. Only then can we re-draw the map and see
how these works contribute to a larger critical discourse.
DROGA!
Miko Revereza (USA)
Country of Production USA
Language Filipino
Subtitle English
7 minutes, B/W, 2014
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |249
ABCD
Roxlee (Philippines)
Country of Production Philippines
Language Filipino
Subtitle English
5 minutes, Color, 1985
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |251
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |253
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |255
THE RETROCHRONOLOGICAL
TRANSFER OF INFORMATION
Tad Ermitao (Philippines)
Country of Production Philippines
Language Filipino
Subtitle English
9 minutes, Color, 1994
K u r a n g s e b a g a i s e bu a h dok u me nte r
ketimbang sebagai sebuah parodi kasar nan
menganggumkan dari filem sains-fiksi. Satu
meditasi humor atas waktu, politik, dan
sudut pandang dalam sinema. Berharap
mengirim sebuah pesan ke belakang dengan
memperalati kamera untuk membidik potret
Rizal pada uang Filipina, Ermitao bermain
pada batas-batas sudut pandang berbeda:
sudut pandang Rizal, kamera, pembuat filem,
dan kitaserta dengan hubungan temporal
di antaranya.
ARS COLONIA
Raya Martin (Philippines)
Country of Production Philippines
Language No Dialogue
Subtitle No Subtitle
1 minute, Color, 2011
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |257
CLASS PICTURE
Tito & Tita (Philippines)
Country of Production Philippines
Language No Dialogue
Subtitle No Subtitle
4 minutes, Color, 2012
ANITO
Martha Atienza (The Netherlands/Philippines)
Country of Production Netherlands/Philippines
Language No Dialogue
Subtitle No Subtitle
8 minutes, Color, 2012
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |259
KALAWANG / RUST
Cesar Hernando, Eli Guieb III
& Jimbo Albanoa (Philippines)
Country of Production Philippines
Language No Dialogue
Subtitle No Subtitle
6 minutes, Color, 1989
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |261
JAJAHAN GAMBAR
BERGERAK: ANTARA
FAKTA DAN FIKSI
Mahardika Yudha
Kutipan di atas diambil dari buku Film Indonesia Bagian I (1900-1950) yang
ditulis oleh Taufik Abdullah, Misbach Yusa Biran, dan S.M. Ardan. Buku ini
diterbitkan tahun 1993 oleh Dewan Film Nasional dan disunting oleh Salim
Said. Sejak 1 Agustus, 1988, proyek penulisan buku sejarah filem Indonesia ini
dilakukan dengan dua penulis utama: Misbach Yusa Biran menulis sejarah filem
di masa kolonial Belanda hingga masuknya tentara Jepang, sedangkan S.M.
Ardan menulis untuk masa pendudukan Jepang dan tahun-tahun permulaan
Republik Indonesia (Sani, 1993). Kutipan paragraf di atas menjadi rujukan
masuknya teknologi sinema di Indonesia selama ini. Baik yang dipakai dalam
penelitianterutama penulisan ilmiahdan penulisan tentang perkembangan
sinema di Indonesia, baik oleh penulis dari Indonesia maupun luar negeri.
Iklan yang dimuat harian Bintang Betawi pada 30 November, 1900, itu
mengabarkan, bahwa pada tanggal 5 Desember, 1900, akan diselenggarakan
sebuah Pertoendjoekan Besar Jang Pertama. Pada iklan itu, terdapat informasi
yang menunjukkan bagaimana teknologi sinema hadir di Indonesia melalui
representasi negara (Pemerintah Kolonial Belanda) yang diwakili oleh Ratu
Wilhelmina dan Raja Hertog Hendrik. Tidak ada berita mengenai peristiwa
ini pada hari-hari selanjutnya yang menjelaskan lebih jauh tentang filem yang
ditayangkan itu. Dalam katalog online Eye (dahulu dikenal sebagai Filmmuseum
262 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
masing-masing yang saling bersaing di masa itu, antara ilusi negara lewat
kehadiran Ratu Wilhelmina dan Raja Hertog Hendrik, masuk bersamaan
dengan ilusi pergi ke bulan La Voyage dans la Lune (1902) karya Georges
Mlis ataupun The Great Train Robbery (1903) karya Edwin S. Porter yang
dibawa oleh korporasi. Masa itu, sinema yang baru tiba di Hindia-Belanda dan
di perkembangan sinema dunia, gagasan pemilahan antara filem dokumenter
dan filem fiksi belumlah muncul, maka antara fakta yang dibawa oleh filem
dokumenter dan cerita fiktif yang dibawa oleh filem fiksi, hadir dalam periode
yang sama dan melebur menjadi satu.
Sejak penayangan filem yang merekam peristiwa kerajaan Belanda yang
menghadirkan sosok Ratu Wilhelmina di Batavia pada April, 1899 (Ruppin, 2015,
hal. 80), penayangan filem-filem tentang Ratu Wilhelmina sudah menjadi salah
satu progam utama bagi perusahaan-perusahaan Belanda yang ditayangkan di
beberapa ruang tontonan di Hindia Belanda, baik oleh Nederlandsche Biograafen Mutoscope Maatschappij, Herman Salzwedel Java Biorama, maupun Java
Cineograph Company (Ruppin, 2015, hal. 75-76). Masyarakat di Hindia-Belanda
yang tidak pernah bertemu langsung dengan Ratu Wilhelmina dan Raja Hertog
Hendrik atau bahkan mengunjungi negeri Belanda, yang selama ini hanya
mengetahuinya melalui buku, foto, ataupun kisah-kisah lisan, tiba-tiba melihat
secara hidup ratunya. Selain itu, dokumenter perang, tentara, dan keindahan
alam menjadi tema-tema favorit yang ditayangkan di Hindia-Belanda di masa
itu dan lambat laun menjadi budaya tontonan baru.
II
[2] Filem Onze Oost merupakan kolase footage-footage yang diproduksi sebelum 1910 oleh Koloniaal
Instituut. Filem ini direalisasikan oleh Johan Gildemeijer. Namun, pada pemutaran perdana, filem ini
mendapat tanggapan yang buruk dan hasilnya dianggap kurang baik. Beberapa tamu yang hadir merasa
kurang puas dari hasil yang diproduksi oleh lembaga pemerintah itu (lihat Taufik Abdullah, Misbach Yusa
Biran, S.M. Ardan, Film Indonesia Bagian I (1900-1950), terbitan Dewan Film Nasional, 1993, hlm. 73;
dan juga di situs web EYE, https://www.eyefilm.nl/en/collection/film-history/person/johan-gildemeijer,
diakses pada 8 Juli 2015).
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |265
membalas dendam dengan tentara KNIL. J.C. Lamster memang dikenal sebagai
operator filem yang sering mengadegankan beberapa peristiwa yang didasarkan
dari penelitian dan pandangan pemerintah Kolonial Belanda.
Produksi filem di Hindia Belanda terus berlanjut dengan menghadirkan
beberapa operator filem dari Belanda, seperti Willy Mullens, L.P. de Bussy,
Willy Rach, L. van Vuuren, Matthew W. Stirling, hingga Mannus Franken.
Sutradara terakhir ini merupakan tokoh sinema avant-garde Belanda yang
datang ke Hindia-Belanda tahun 1934 untuk membuat filem Pareh, het lied van
de rijst, berkolaborasi dengan Albert Balink. Sebuah seri filem pertama yang
dibuat khusus bagi masyarakat Jawa untuk mendorong lahirnya minat untuk
bermigrasi (transmigrasi) ke luar pulau Jawa (Sumatera). Filem yang didukung
oleh Centrale Commissie voor Emigratie en Kolonisatie van Inheemschen ini
meraih sukses di pasar komersil sehingga mendorong lembaga yang fokus pada
emigrasi dan kolonisasi penduduk asli Hindia-Belanda itu meminta sutradara
yang berkawan baik dengan tokoh-tokoh sinema dunia, seperti Joris Ivens dan
Sergei Eisenstein, itu untuk membuat seri kedua, Tanah Sabrang, het land aan
de overkant di tahun 1938. Setelah diputar perdana di Jakarta pada 31 Januari,
1939, filem ini lulus sensor pada 2 Agustus, 1940, dan ditayangkan perdana
di Koloniaal Instituut di Amsterdam pada 19 September, 1940 (Grasveld,
1988, hal. 29). Tanah Sabrang merupakan filem propaganda yang ditayangkan
berkeliling di Pulau Jawa untuk menjelaskan rencana program transmigrasi
sehingga masyarakat Jawa mau ikut program transmigrasi ke wilayah-wilayah
lain di luar Pulau Jawa. Percobaan perpindahan masyarakat dari Pulau Jawa ke
pulau-pulau lain, seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua berjalan
sejak 1905-1931. Sedangkan, rencana pemindahan besar-besaran baru akan
dilakukan pada 1932-1941 (Grasveld, 1988, hal. 10). Tanah Sabrang, het land
aan de overkant menggunakan kaum bangsawan sebagai pemain, cerita wayang
dan menampilkan tokoh-tokoh pada wayang sebagai usaha untuk memutus
jarak representasi, serta menggunakan kuasa lokal dari tokoh-tokoh bangsawan
(dicurigai berasal dari Jawa Barat) untuk mendorong migrasi dari bagian-bagian
padat penduduk di Pulau Jawa ke Sumatera, salah satunya wilayah Sumatera
Selatan. Franken juga mengajak Raden Ngabethi Pringgahardana sebagai
asisten sutradara yang membantunya menyutradarai filem yang diproduksi di
wilayah Jawa Barat ini.
III
EYE. (n.d.). Queen Wilhelmina of the Netherlands. Dipetik 26 Juli, 2015, dari situs EYE: https://
www.eyefilm.nl/en/collection/film-history/person/queen-wilhelmina-of-the-netherlands
Grasveld, F. (1988). Tanah Sabrang, land aan de overkant: landbouwkolonisatie en wayang
en een film van Mannus Franken. Amsterdam: Mannus Franken Stichting/Koninklijk
Instituut voor de Tropen/Filminstituut.
Lamster, J. (2010). Het Leven van den Inlander in de Desa. J.C. Lamster, een vroeger filmer in
Nederlands-Indi. Belanda: Koninklijk Instituut voor de Tropen.
Nieuwaal, M. v. (27 September, 1921). Indische Films. Het Vaderland, hal. 1
Ruppin, D. (2015). The Komedi Bioscoop: The Emergence of Movie-going in Colonial Indonesia,
1896-1914. Disertasi, Universitas Utrecht, Utrecht.
Sani, A. (1993). Sekedar Catatan. Dalam M. Y. Taufik Abdullah, Film Indonesia Bagian I
(1900-1950) (hal. vi vii). Dewan Film Nasional.
SUPPORTED BY HIVOS
The quote above is taken from Film Indonesia Bagian I (1900-1950) written
by Taufik Abdullah, Misbach Yusra Biran and S.M. Ardan. This book was
published in 1993 by the National Film Council and edited by Salim Said.
Since August 1, 1988, this writing project about Indonesian film history
was carried out with two main writers: Misbach Yusra Biran, tackling the
period of Dutch colonial film history until the arrival of Japanese soldiers,
and S.M. Ardan, handling the period of Japanese occupation up to the first
years of the Republic of Indonesia (Sani, 1993). The paragraph quoted above
becomes a reference to the arrival of cinema technology in Indonesia, whether
in researchesespecially scientific articlesor writings on Indonesian cinema
development by both Indonesian and foreign writers.
The advertisement published in Bintang Betawi on November 30, 1900,
announced that on December 5, 1900, there would be Pertoenjoekan Besar
yang Pertama (the First Great Spectacle). In this advertisement, there was
the information revealing how cinema technology arrived through the states
representation (the Dutch colonial administration), Queen Wilhelmina and
King Hertog Hendrik. There was no news about the event in the next days
that might have explained the film further. On Eyes online catalog (used to be
known as Filmmuseum Amsterdam), at least there are 37 film titles presenting
Queen Wilhelmina produced from 1898-1900 (EYE, n.d.).
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |269
First of all, there was a possibility to introduce the life of a nation that to
many people is still a sealed book; to introduce its glory. Secondly, to deal with
the mentality of most European and American films imported in the Dutch
Indies and to show to the Malay people another worldview, unlike most
European and American films that mostly highlighted divorce, honor code of
criminals, cocktail parties and other excessive pleasure of the white... It is not
to transfer traditional documentary to the story; the task given to me is to see
this new world through a new view.
(Quoted from an article of Sinematek Indonesias collection
by Mannus Franken, January 31, 1935, Wy Filmen in Indie in
Filmliga, translated by M.D. Aliff.)
Lamster). 1 Meanwhile, a film called Onze Oost (Our East), a collage of Dutch
Indies footages produced by Koloniaal Instituut before 1910, was made by
Johan Gildemeijer.2 Since then there have been many news telling the stories
of film operators adventures in film productions at the Dutch Indies. These
films explored beautiful sceneries, cities, farmings, plantations, factories,
transportations, Dutch schools and many more including tribes in Papua.
In line with the fate of Indonesian painting, the stunning nature known as
mooi indie became the target of camera, along with natures wealth, traditional
art and culture and daily life of Dutch Indies. Some things can be seen from
the Dutch colonials point of view of representation in seeing the Dutch Indies
at the time. First, the records of the Dutch Indies beauty became one way
of promotion by tour and travel companies to increase their the number of
European tourists in this land. Second, to mining companies, the dispatch of
film operators to colonized lands became a way to check over the potential to
explore the Dutch Indies natural wealth. Third, as a report material regarding
the true circumstances in the Dutch Indies. Fourth, as an effort to read the
character of colonial people of the Dutch Indies. This contention of point of
view of interests has happened since the early times of cinema technologys
arrival in Indonesia, namely between corporation and the state (the Dutch
colonial administration). For example, film production by Koloniaal Instituut
that served the Dutch royal kingdom was in particular about reports on the
colonized peoples development and its potential natural wealth; also an effort
to read the character of the people just as done before through textual culture.
However, not everyone in the Netherlands enjoyed the shows. A Dutch viewer
raised a protest a film screening that showed a traditional ritual of animal
castration in Toraja. It can be seen from a report of September 27, 1921, in
Her Vaderland:
All of it has wiped off our desire to wait for the next films, and we are
not alone in this disgust... so lets ask now: is such spectacle useful for the
purpose of bringing attention to the Dutch Indies? Are those shows good for
[1] Johann Christian Lamster was a Dutch filmmaker (b. August 2, 1872) who died in Den Haag
(December 26, 1954) and was once a soldier in the Dutch Indies in 1911. Since March 1912, he was in
the Dutch Indies to make films under the French Path Frres (summarized from the Dutch Wikipedia
https://nl.wikipedia.org/wiki/J.C._Lamster, accessed on July 8, 2015). Meanwhile, in Taufik Abdullah,
Misbach Yusra Biran and S.M. Ardans record, based on Geofrey N. Donaldsons letter to B.J. Bertina
(January 12, 1972), it was said that until 1913 the film operator employed by Dutch companies to
make films were French, hired from Paths company (see Taufik Abdullah, Misbach Yusa Biran, S.M.
Ardan, Film Indonesia Bagian I (1900-1950), published by the National Film Council, 1993, p. 97).
[2] Onze Oost is a collage of footages produced before 1910 by Koloniaal Instituut. This film was
realized by Johan Gildemeijer. But on its premiere, the film had some negative reaction and the
result was considered less than well. Some of the guests were not satisfied with this production of a
governments institution (Ibid, p. 73 and also EYEs website, https://www.eyefilm.nl/en/collection/filmhistory/person/johan-gildemeijer, accessed on July 8, 2015).
272 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
education (as there were many young men in the room) and are they wise?
There have been many complaints about Dutch young mens lack of will to
make a living on their own in that exquisite Insulinde (the Dutch Indies).
(Nieuwaal, 1921, p. 1.)
Outside of the documentary films production, in the compilation of Van
de kolonie niets dan goeds, Nederlands-Indie in beeld 1912-1942 published by
Filmmuseum Amsterdam (now Eye), there was a short film called Mina,
Het Dienstmeisje Gaat Inkoopen Doen. Schets uit het Indische Leven that tells
a story of an indigenous maid girl who works for a Dutch descendant. It was
made 12 years before Loetoeng Kasaroeng (1926). This film becomes a sketch of
the indigenous daily life and culture, going deeper than the Dutch colonial
viewpoint through motion pictures. Unlike documentary films that tend to
show the landscape surfaces of physical circumstances and cultural tradition
of the Dutch Indies, this film produced by Path shows the colonial societys
constructed attitude in viewing the natives. For instance, the film shows how
Mina, the maid, asks for money and, after counting it and finding it in excess,
takes away the extra.
Het Nederlandsch-Indische Leger de Infanterie made by J.C. Lamster tells
about a KNIL (Koninklijk Nederlands-Indisch Leger) soldiers who were
doing a training and practicing a combat strategy. In the middle of the film,
a battle occurs between Muslim soldiers who retaliate on the KNIL troops.
J.C. Lamster indeed was known as a film operator who reenacted events based
on the Dutch colonial administrations research and views.
Film production in the Dutch Indies kept on going with the presence of
several film operators from the Netherlands such as Willy Mullens, L.P. de
Bussy, Willy Rach, L. van Vuuren, Matthew W. Stirling and Mannus Franken.
The latter operator was a Dutch cinematic avant-garde figure who came to
the Dutch Indies in 1934 to make the film Pareh, het lied van de rijst, in his
collaboration with Albert Balink. It was the first serial film made in particular
for Javanese people to elicit the migration interest out of Java (Sumatra). This
film supported by Centrale Commissie voor Emigratie en Kolonisatie van
Inheemschen was commercially successful. This in turn encouraged this
institution focusing on emigration and colonization of the indigenous Dutch
Indies to ask the filmmaker, who befriended world cinema figures such as Joris
Ivens and Sergei Eisenstain, to make the second installment, Tanah Sabrang, het
land aan de overkant in 1938. After premiered in Jakarta on January 31, 1939,
this latter film passed the censorship on August 2, 1940, and went to screen
in another premier in Koloniaal Instituut, Amsterdam, on September 19, 1940
(Grasveld, 1988, p. 29). Tanah Sabrang is a propaganda film that was screened
around Java Island to explain the governments transmigration program so that
Javanese people would be willing to participate and moved to other islands.
The migration trial from Java to other islands such as Sumatra, Kalimantan,
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |273
Sulawesi and Papua ran from 1905-1931 while the larger scale of migration
would be conducted in 1932-1941 (Grasveld, 1988, p. 10). Tanah Sabrang,
het land aan de overkant features nobles as the actors, uses wayang (Javanese
shadow puppets) plot and shows wayang figures as an attempt to diminish
representational distance. Meanwhile, the government also employed local
powers of the noble class (presumably of West Java) to encourage migration
from dense regions in Java Island to Sumatra, for example South Sumatra.
Franken asked Raden Ngabethi Pringgahardana to sit as assistant to director
to help him with this film production in West Java.
III
Grand Illusion is ARKIPEL Jakarta International Documentary & Experimental
Film Festival this years theme. It tries to see the cinemas capability, granted
with an amazing force compared to previous arts, to seize and manipulate
reality, exerting inf luence over the audiences point of view toward daily
life. In cinemas development, the awareness of cinemas possible capability
to create illusions has emerged at its early period. The constraints of camera
frame, celluloid cutting and pasting technics and other technical possibilities
created from the media technology hardware have all opened fantastic spaces
to play with representational constructions of reality.
In last year event of ARKIPEL Electoral Risk 2nd Jakarta International
Documentary & Experimental Film Festival, the circulation of Lumires
cinematic technology in Asia, Latin America and Africa became the focus in
the Cinema Culture in Exhibition Program #1. Among others, it presented the
fantasy of Europeans of the colonial era in terms of the Dutch Indies through
a Lumires film production made by one of their film operators, Alexandre
Pomio. To proceed with the theme "Moving Image Colony" ( or "Jajahan
Gambar Bergerak"), the Cinema Culture in Exhibition Program #2 will try
to unfold the situation of knowledge migration, point of views and illusions by
cinema technology from European countries to the Dutch Indies at the early
stages of it. The films imported and screened in the Dutch Indies at the period,
whether documentary films that tell the lives of Europeans and Americans or
fantasy films of the kinds made by George Mlis and Edwin S. Porter, have
shaped the Dutch Indies perspective toward the Europeans and Americans;
and vice versa, the films about the Dutch Indies produced by corporations
or the Dutch colonial administration, both fiction and documentary, have
represented the lives of the Dutch Indies before the global society. It is at this
point that cinema played a role that shaped the European viewpoint toward
the Dutch Indies. It is a viewpoint that wasnt adopted only by Europeans,
but also by Dutch Indies in seeing themselves today.
Works Cited:
EYE. (n.d.). Queen Wilhelmina of the Netherlands. Retrieved July 26, 2015, from EYEs
website: https://www.eyefilm.nl/en/collection/film-history/person/queen-wilhelminaof-the-netherlands
Grasveld, F. (1988). Tanah Sabrang, land aan de overkant: landbouwkolonisatie en wayang
en een film van Mannus Franken. Amsterdam: Mannus Franken Stichting/Koninklijk
Instituut voor de Tropen/Filminstituut.
Lamster, J. (2010). Het Leven van den Inlander in de Desa. J.C. Lamster, een vroeger filmer
in Nederlands-Indi. Netherlands: Koninklijk Instituut voor de Tropen.
Nieuwaal, M. v. (27 September, 1921). Indische Films. Het Vaderland, hal. 1
Ruppin, D. (2015). The Komedi Bioscoop: The Emergence of Movie-going in Colonial Indonesia,
1896-1914. Dissertation, Utrecht University, Utrecht.
Sani, A. (1993). Sekedar Catatan. In M. Y. Taufik Abdullah, Film Indonesia Bagian I
(1900-1950) (hal. vi vii). National Film Council.
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |275
SPECIAL PRESENTATION
TORONTO, CANADA
Dikurasi oleh / Curated by
Amy Fung (Artistic Director)
Images Festival pertama kali diadakan pada tahun 1987 di Toronto, Kanada dan merupakan
festival eksperimental gambar bergerak terbesar di Amerika Utara. Images Festival tidak hanya
memutar filem dan seni video, tapi juga menampilkan pertunjukkan langsung dan instalasi
seni media oleh para seniman internasional dan dari Kanada sendiri. Images Festival telah
menampilkan ribuan proyek berbasis media sepanjang 28 tahun sejak pertama kali diadakan
dan terbuka untuk konsep filem dan video yang lebih luas. Selain penayangan filem dan video,
Images Festival juga mementaskan pertunjukan langsung dan instalasi seni media di galerigaleri lokal. Images Festival mempersembahkan keriaan spektakuler budaya gambar bergerak
kontemporer setiap tahunnya kepada masyarakat.
Established in 1987, the Images Festival is the largest festival in North America for experimental
and independent moving image culture, showcasing the innovative edge of international
contemporary media art both on and off the screen. Images has presented thousands of vanguard
media-based projects in its 28-year history and is committed to an expanded concept of film
and video practice: Alongside film and video screenings (ON SCREEN), the festival presents
groundbreaking live performances (LIVE IMAGES), media art installations (OFF SCREEN)
in local galleries and new media projects by many renowned Canadian and international artists.
Images provides audiences with an annual extravaganza of contemporary moving image culture.
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |279
Amy Fung
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |281
COLOR NEUTRAL
Jennifer Reeves (USA)
Country of Production USA
Languange No Dialogue
Subtitle No Subtitle
3 minutes, color, 2013
Amy Fung
Amy Fung
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |283
1221 AMOR
Julie Tremble (Canada)
Country of Production Canada
Languange English
Subtitle No Subtitle
13 minutes, Color, 2014
Amy Fung
F FOR FIBONACCI
Beatrice Gibson (England)
Country of Production UK
Languange English
Subtitle No Subtitle
16 minutes,Color,2014
Ta k i n g Wi l l i a m G a d d i s mo d e r n i s t
novel,JR(1975), as a departure point, the
unfolding hallucinatory narrative moves across
text book geometries, cartoon dreams, Wall
Street imagery, and Minecraft.
Amy Fung
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |285
PAN
Anton Ginzburg (Russia)
Country of Production USA
Languange English
Subtitle No Subtitle
6 minutes,Color,2014
Amy Fung
GERIATRICA
Peter Dudar (Canada)
Country of Production Canada
Languange English
Subtitle No Dialogue
14 minutes, Color, 2014
Amy Fung
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |287
WINTER HOF
Dan Hudson (Canada/Germany)
Country of Production Canada/germany
Languange No Dialogue
Subtitle No Subtitle
3min, color, 2014
Amy Fung
BANGKOK, THAILAND
Dikurasi oleh / Curated by
Mary Pansanga & May Adadol Ingawanij (Cloud Project)
SEBUAH ALEGORI
Apakah realitas? Apakah kebenaran mutlak? Inilah pertanyaan yang kita
jumpai sepanjang hidup. Telah diajukan pula bahwa seluruh kognisi manusia
dilandaskan pada imajinasi. Artinya, tidak ada yang dipersepsikan murni
berdasar pengamatan, semuanya bercampur dalam indra dan imajinasi. Realitas
membuat kita percaya dan membayangkan sekaligus bahwa segala sesuatu
pada akhirnya berhubungan baik melalui serangkaian aturan atau kebetulan.
Hakikat pengamatan, imajinasi, dan realitas hadir dalam pikiran dan
membuat saya bertanya-tanya tentang hubungannya. Apa yang membuat saya
tertarik sesungguhnya datang dari sebuah wawancara Sasithorn Ariyavicha,
sutradara Birth of the Seanma, di mana ia menjelaskan realitas dalam dan
realitas luar. Apakah artinya realitas dalam dan realitas luar? Bagaimana kita
mampu membedakannya? Dan pertanyaan tentang bagaimana menyajikannya
di dunia ilusidunia filem.
Kata ilusi berarti suatu contoh dari sebuah persepsi yang salah atau
kesalahan tafsir dari indra penglihatan dan persepsi manusia. Ilusi sesungguhnya
disebabkan oleh fakta bahwa apa yang ada, seperti abstraksi, pasti berasal dari
materialitas/kebendaan. Filem/sinema terdiri atas serangkaian gambar yang
dapat dikendalikan dan direkayasa oleh seniman seperlunya, dan menghasilkan
kembali momen yang hidup, yang memberikan kebebasan bagi sang seniman
untuk menyusun unsur-unsur dalam sebuah komposisi ruang dan waktu.
Filem/sinema memiliki kualitas menjadi luar biasa memukau, misterius, dan
menakjubkan serta bermaksud memperdaya penonton agar percaya bahwa
adegan-adegannya nyata. Gambar itu ada dan membiarkan kita membayangkan
gambar yang lain dengan menggunakan khayalan kita.
290 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |291
AN ALLEGORY
What is the reality? What is the absolute truth? This is the question we
encounter throughout our life. It has also been proposed that the whole of
human cognition is based upon imagination. That is, nothing that is perceived
is purely observation but all is a blend between sense and imagination. Reality
makes us believe and also make us imagine at the same time, everything is
eventually connected whether through a set of rules or coincidences.
The essence of observation, imagination and reality comes into my mind
and makes me question their relationship. What interested me actually came
from one of the interviews of Sasithorn Ariyavicha, the director of Birth of
the Seanma in which she explained about outer reality and inner reality. For
her, what she is interested in is inner reality and her work exposes that area.
What does it mean, the inner reality and the outer reality? How are we able
to differentiate between them? and the question of how to present it in the
world of illusionthe film world.
The word Illusion means an instance of a wrong or misinterpreted
perception of a sensory human eye and a humans perception. Illusion is indeed
caused by the fact that what exists, like abstraction must inevitably come from
materiality. Film/cinema consists of a set of images, which the artists can
control and manipulate as needed, reproducing a living moment giving the
artist freedom to arrange elements within a composition of space and time. It
has the quality of being powerfully and mysteriously attractive or fascinating
and intends to deceive the viewer into thinking the scene is real. The image
is there letting us think of another image, and for us to use our imagination.
The works in the two programmes are proposing various observations
of the artists/filmmakers toward their inner sense and outer awareness. To
present their observations through their imagination in order to create other
facets of their reality.
Birth of the Seanma (2004) is a work in which the artist tries to understand
herself and her inner reality. Sasithorn does not want anything with its own
identity, she wants to escape to another world where she is able to do what
she yearns for and to be able to control things without the cultural frame or
the conventional pattern of what exists in real life. Language is one of the
important elements, creating understanding and connecting us together.
Language is what creates a common interpretation in each society and even
globally. Sasithorn plays with linguistic conventions in Birth of the Seanma,
playing on multiple meanings of words throughout the film. Sasithorn invents
letters and expressions and develops new meanings for words. The work
suggests that both her surroundings and the language she uses to describe
292 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |293
NATEE CHEEWIT
Phaisit Punpruksachat (Thailand)
Country of Production Thailand
Language Thai
Subtitle English
21 min, Color, 2014
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |295
VANISHING HORIZON
OF THE SEA
Chulayarnnon Siriphol (Thailand)
Country of Production Thailand
Language Thai
Subtitle English
24min, B/W, 2014
NIGHT WATCH
Danaya Chulphuthiphong (Thailand)
Country of Production Thailand
Language Thai
Subtitle English
10 min, Color, 2014
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |297
TOKYO, JAPAN
Dikurasi oleh / Curated by
Koyo Yamashita
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |299
government claiming that the island mines employed the forced laborers of
Korea and China during WWII.
The films are shown chronologically by the year of production in the
program Behind the Walls trying to make a spot on the year 2011, year of the
earthquake and nuclear disaster.
Tomomi ISHIYAMA tries to draw a big picture of the history of postwar Japan, using the voices of the most famous architects and critics such as
Tadao ANDO, Arata ISOZAKI and Toyo ITO in the documentary Inside
Architecture a Challenge to Japanese Society. Using basically the talkingheads, it uniquely creates dramatic moments by clashing different opinions
and stories of the speakers. Japanese economy boom has made possible for the
architects to attempt to reflect their own original ideas. Post-modernism in
architecture is now regarded as kitsch and a symbol of money waste in Japan,
although the film gives a light to it, putting it in contrast to the homogeneous
architectures made by the demand of super-commercialism. The film was
made as a commission for the Venice Architecture Biennale which focused
on modernism.
What we see here is one feature documentary plus 8 short experimental
films which deal with contemporary cityscapes of Japan.
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |301
HIEROPHANIE
Mikio Okado (Japan)
Country of Production Japan
Language Japanese
Subtitle English
9 minutes, Color, 2002
Koyo Yamashita
TEXTISM
Isamu Hirabayashi (Japan)
Country of Production Japan
Language Japanese
Subtitle English
11 minutes, Color, 2003
Koyo Yamashita
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |303
Z REACTOR
Kazuhiro Goshima (Japan)
Country of Production Japan
Language Japanese
Subtitle English
11 minutes, Color, 2011
Koyo Yamashita
663114
Isamu Hirabayashi (Japan)
Country of Production Japan
Language Japanese
Subtitle English
8 minutes, Color, 2011
Koyo Yamashita
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |305
Koyo Yamashita
VANISHING CIRCUIT
Shunsuke Hasegawa (Japan)
-Country of Production Japan
Language Japanese
Subtitle English
13 minutes, B/W, 2014
Koyo Yamashita
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |307
Gambar iklan kotor ditampilkan di ganggang belakang kota. Kita bahkan melupakan
kejijikan dan hanya merasakan iritasi yang
samar. Dengan cara yang sama, email-email
sampah dan banner membentang tanpa
akhir di seluruh situs online, seperti papan
iklan pinggiran jalan di dunia Internet. Ini
adalah sebuah karya animasi yang dibuat oleh
sutradara perempuan muda, yang terampil
menggambarkan iritasi semacam itu ini
dalam durasi 5 menit. Sebuah komentar pada
lanskap Internet dengan perspektif gender.
Koyo Yamashita
WAVY
Akira Miyanaga (Japan)
Country of Production Japan
Language Japanese
Subtitle English
10 minutes, Color, 2014
Koyo Yamashita
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |309
INSIDE ARCHITECTURE
A CHALLENGE TO JAPANESE SOCIETY
Tomomi Ishiyawa (Japan)
Country of Production Japan
Language Japanese
Subtitle English
73min, 2015
Koyo Yamashita
MEMORI LANSKAP
Apakah sesungguhnya lanskap? Apakah artinya jejak-jejak? Atau apakah
serangkaian proses? Seiring aspek lanskap yang berubah, memori pun secara
alamiah bergerak. Lanskap yang termodifikasi ini terkadang membuat bingung
memori dalam arus waktu kronologis. Kemudian, memori dalam kekacauan
merakit kembali lanskap hingga menjadi lanskap yang lain. Lanskap yang
terlihat sangat keras lantas menjadi semakin lembut dan semakin lembut.
Di sini, mungkin inilah momen saat lanskap menyingkapkan dirinya sendiri
tanpa menyembunyikan tepiannya yang tajam.
Suatu hari saya kebetulan berjumpa teman saya. Kami mengobrol dan
sampai pada kisah tentang sekolah menengah kami. Bangunan sekolah itu sudah
tidak ada di lokasi di mana kami menghabiskan waktu bersama-sama. Alihalih, terdapat sebuah hotel besar di sana. Kami senang mengingat detail-detail
sekolah itu dan area di sekitarnya. Bahkan kami dapat memiliki keterikatan
emosional dengan mengetahui bahwa memori kami tentang detail ternyata
mirip. Saya berkesempatan mengunjungi lokasi sekolah tersebut setelah itu.
Dan tempat itu memaksa saya untuk berkontemplasi mengenainya selama
beberapa waktu. Setelah beberapa lama, saya mulai mencurigai perasaan yang
saya alami bersama-sama teman saya. Itulah permulaan retaknya detail-detail
yang begitu kokoh. Saya pun menjadi ingin tahu. Bagaimana detail memori
terbentuk dan begitu mirip (dapat dikatakan identik pada taraf tertentu).
Tempat-tempat itu mendekat pada saya dengan sebuah cara yang berbeda.
Belumlah seberapa lama bahwa masyarakat Korea mengalami perubahanperubahan dramatis. Lanskap yang kita ingat hampir tak ada lagi. Alih-alih,
memori tentang suatu tempat (lanskap) tertentu tampaknya tak mengalami
perubahan besar. Kita telah diedukasi mengenai bagaimana cara melakukan
tindak mengingat dengan menerapkan naratif-naratif yang tetap, dan selanjutnya
312 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
itu berakhir dengan tindak berbagi emosi yang sama sebagai hasil sampingnya.
Lanskap telah diubah dengan mudah tetapi tindakan memori yang dipandang
sebagai tindakan dalam ranah kebebasan, sebaliknya, semakin kaku sebagaimana
semen. Menurut saya, ini fenomena yang mengungkapkan gejala kurangnya
pengakuan kita terhadap dunia di sekeliling kita.
Program ini berawal dari pengalaman pribadi saya dan rasa penasaran akan
lanskap. Saya utamanya berfokus pada hubungan antara lanskap dan ingatan.
Khususnya, saya ingin berfokus pada pernyataan-pertanyaan oleh seniman yang
telah berbagi ruang dan waktu tertentu dalam konteks masyarakat Korea. Ada
lima filem dalam Program 1. Saya kira lima filem itu berhasil menunjukkan
sikap kontemplasi atas lanskap. Filem-filem ini menunjukkan cara-cara ingatan
yang berbeda. Menariknya, ruang yang dihadapi empat seniman ada di luar
Korea. Namun, memori mereka seakan tertancap pada masyarakat Korea. Di
sini saya mengasumsikan bahwa mereka tengah berhadapan dengan lanskap
yang tak hanya dalam aspek fisiknya, tetapi juga pada tataran spiritual.
Program 2 adalah pertunjukan filem dan bunyi yang menjelajahi lanskap yang
terekam, memori, dan hubungannya. Penonton akan mengalami tak hanya
hasil kontemplasi, tetapi juga prosesnya. Pertunjukan ini ditujukan sebagai
reaksi terhadap cara melihat secara terpelajar.
Program ini adalah sebuah praktik pribadi bagi saya, sekaligus sebuah cara
bercakap-cakap dengan para seniman lain. Namun, percakapan ini bukanlah
seperti berbagi detail yang sama dan mengkonsolidasikan ikatan emosional.
Lebih tepatnya, percakapan ini adalah tentang detail yang sedemikian beragam
yang dibentuk oleh para seniman yang tinggal di tengah masyarakat yang
sama. Kami dapat menjumpai kegelisahan dan kesendirian di tengah-tengah
percakapan. Jika itu aspek paling telanjang dari hidup, kami dengan siap dan
senang akan menghadapinya.
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |313
MEMORY OF/ON
LANDSCAPE
What is the landscape? Does it mean traces? Or is it a series of process? As the
aspect of the landscape changes, memory also moves naturally. This modified
landscape sometimes confuses the memory in the chronological time flow. And
then, memory in the chaos reassembles the landscape to another kind. The
landscape which looks very hard becomes softer and softer. Here, maybe this
is the very moment the landscape reveals itself without hiding its sharp edge.
One day, I met my old friend by chance. We had a chat and reached to
the story of our middle school we went together. The school building does not
exist anymore at the place we spent time together. Instead, there is a huge
residential hotel in there. We were happy to recall the details of the school and
the area near it. Even we could have an emotional tie between us by knowing
that our memories of details were surprisingly similar. I had a chance to visit
the school site afterward. And the place forced me to contemplate it for some
time. After some moments, I started to suspect the feeling that I shared with
my friend. It was a beginning of cracks on the very firm details. And I became
curious. How the details of memory formed and were very similar (It can be said
identical at some point). The places were approaching to me in a different way.
Korean society has experienced the dramatic changes in the near past.
The landscape we remember almost does not exist anymore. But instead, the
memory on the specific place(landscape) seems not to experience big changes.
We have been educated how to perform an act of memorizing by applying
fixed narratives, and then it ended up with sharing similar emotions as a byproduct. The landscape has been changed easily, but the act of memory which
regarded as a action in the realm of freedom is getting stiffer like a plaster on
the contrary. I think it is a phenomenon which reveals the symptoms of our
lack of recognition on the world surrounding us.
This program started from my personal experience and curiosity on
landscape. I focused mainly on the relationship between landscape and memory.
Particularly I wanted to focus on the statements by the artists who had been
sharing the specific time and space in the context of Korean society. There are 5
films in the Program 1. I think 5 works show the attitude of contemplation on
landscape. They show very different ways of memory. Interestingly, the spaces
which 4 artists are dealing with are all out of Korea. But their memories seem
to stick to Korean society. Here I assume that they are dealing the landscape
not only in the physical aspect, but also in the spiritual level. Program2 is a film
314 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
and sound performance exploring the recorded landscape, memory and their
relationship. Audiences will experience not only the result of contemplation,
but also the process of it. This performance aims to react to the educated way
of seeing.
The program is a personal practice for me and a way of conversation with
other artists at the same time. But, the conversation is not a kind of sharing
the same details and consolidating the emotional ties. That is rather about the
very heterogeneous details which had been formed by artists who lived in the
same society. We may find anxiety, fear, and loneliness in the conversation. If
it is a most naked aspect of life, we are happily ready to confront it.
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |315
Jangwook LEE
Jangwook LEE
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |317
Jangwook LEE
Jangwook LEE
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |319
LAZIMPAT
Jangwook Lee (Republic of Korea)
Country of Production Republic of Korea
Languange No Dialogue
Subtitle No Subtitle
12 minutes, Color, 2015
Jangwook LEE
LANDSCAPE PROJECT
(sound performance by Jangwook Lee &
Rena Kim) (Korea)
Country of Production Republic of Korea
60 minutes, (multi-projection performance)
This live film is an act for exploring multilayered memories on landscape. Institutional,
historical and personal approaches will be
applied at the same time. Personal memory
which collides with historical context may
reveal a fragment of innermost secret .
This live film is performed with multi film
projectors and improvised sound.
Jangwook LEE
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |321
BANGALORE, INDIA
Dikurasi oleh / Curated by
Shai Heredia
EXPERIMENTA INDIA
@ARKIPEL1
Sejarah filem eksperimental di India berkelindan dengan sejarah pencarian
India atas modernitas. Jawaharlal Nehru, Perdana Menteri pertama India,
mengabdikan dirinya untuk membangun kuil-kuil modern, yaitu industri
yang digerakkan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang ia yakini akan
melejitkan India pada lintasan bergaya Soviet menuju utopia sosialis. Nehru
percaya diri bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi akan memecahkan banyak
masalah sosial dan menghidupkan kembali tradisi yang mengikat masyarakat
India. Di bawah kepemimpinannya, pemerintah mendirikan laboratoriumlaboratorium sains, institut-institut teknologi, universitas-universitas, pusat-pusat
penelitian, dan lembaga-lembaga kebudayaan. Semua lembaga ini diharapkan
mengambil risiko, eksperimental, edukasional, dan kritis.
Terkesan dengan percobaan Soviet dengan propaganda kapital dan
budaya, Pemerintah India mengenali nilai filem guna menyajikan informasi
dan edukasi pada warga negaranya yang berjumlah sangat besar dan sebagian
besar tak melek huruf. Pada 1948, Pemerintah India merdeka mendirikan
Filems Division (FD) di bawah Kementerian Penerangan dan Penyiaran,
demi produksi dan distribusi berita serta filem-filem penerangan. Dengan
memungut model pembuatan filem Russia dan terinspirasi oleh eksperimen
dalam institusi-institusi filem di Cekoslowakia (secara khusus), eksperimen
radikal dengan footage temuan, montase, selang-waktu (time-lapse), dan
animasi, menjadi makanan pokok para pembuat filem FD.
[1] Versi awal tulisan ini diterbitkan dengan judul Artist in Action dalam katalog dari program India:
Visions From The Outside di Cultuurcentrum Brugge (Maret/April 2012).
322 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
Eksperimen ala Nehru dan hubungan rumit antara negara India yang baru
dan modernitas menjadi sangat terlihat dalam filem-filem yang diproduksi FD
selama revolusi kebudayaan akhir 1960-an dan awal 1970-an. Pemerintah India
dengan aspirasi sosialisnya mengemban tanggung jawab pengambilan risiko
dalam ranah kebudayaan. Umumnya, medium yang sarat kapital dan berorientasi
pada pasar, seperti sinema, selalu merasa malu mengambil risiko. Tetapi di
India, ranah institusional masyarakat menantang retorika seni populer yang
monolitik dan menariknya menyediakan ruang yang riskan ini, Amrit Gangar,
kritikus dan pengarsip filem, menjelaskan (Excavating Indian experimental
filem, t.t.). Lembaga-lembaga seperti Filem Finance Corporation (FFC),
Filem and Television Institute of India (FTII), dan National Filem Archives of
India (NFAI) didirikan pada periode ini. Berada dalam kerangka sosialis dan
wacana partisipasi komunitas, lembaga-lembaga itu mulai menghasilkan para
sutradara muda yang, seiring waktu, menjadi kritis terhadap struktur negara
dan mulai menghasilkan sekumpulan besar karya yang politis dan subversif.
Eksperimen-eksperimen artistik ini selanjutnya menjadi representasi yang
penting menganai aspirasi, visi, dan kontradiksi negara India.
Setelah beberapa tahun membuat propaganda bagi negara, FD mengalami
periodenya yang paling kreatif dan menggairahkan dengan Jean Bhownagary
(Jehangir Shapurji Bhownagary), yang ditunjuk sebagai Deputy Chief Producer
untuk periode singkat 1953-1957, kemudian Chief Producer pada 1965 atas
permintaan Perdana Menteri Indira Gandhi. Bhownagary lahir di Bombay
pada 1921 dididik di Bombay serta Paris. Bakatnya bermacam-macam dan
ia dikenal atas keterlibatannya dalam seni dalam berbagai cara. Ia tidak
hanya memproduksi dan membuat filem, ia juga berpraktik sebagai pesulap,
aktor dan produser teater, penulis, juru cetak litografi, pelukis, pemahat, dan
pematung keramik. Kariernya panjang dan luas dalam ranah media, pernah
bekerja untuk Reuters, All India Radio, Information Filems of India and the
Cartoon Filem Unit, serta UNESCO di Paris.
Selama penunjukan pertamanya di FD, Bhownagary memfokuskan pada
pengasuhan para sutradara ketimbang menciptakan doktrin yang disponsori
negara. Saya menceburkan diri ke dalam tugas berupa percobaan untuk
memperbaiki kualitas produksi kita dengan mendorong bakat-bakat baru dan
yang sudah ada guna mengulik lebih dalam subjek mereka, membuat filem
yang terstruktur, alih-alih penyebutan harta karun dan pencapaian kita seperti
yang kerap diminta oleh orang nonsutradara di kementerian-kementerian. Saya
ingin tiap sutradara menemukan dan menciptakan gaya individualnya dan
menyetempel filemnya dengan kepribadiannya sendiri, Bhownagary menjelaskan
(Narwekar, 1992). Di bawah kepemimpinannya, FD membesarkan sebuah
komunitas sineas dan teknisi muda yang amat berbakat. Ini menciptakan latar
bagi gerakan eksperimentasi kedua yang akan berkembang saat Bhownagary
kembali ke FD sebagai Chief Producer pada 1965.
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |323
Pramod Pati (1932-1975), SNS Sastry (1930-1978) Vijay B. Chandra (19352005), and S. Sukdev (1933-1979) muncul ke permukaan semasa tahun-tahun
Bhownagary sebagai Chief Producer FD. Pramod Pati dilatih dalam bidang
animasi oleh Jiri Trinka yang termasyhur, master filem boneka dari Czech.
SNS Sastry (yang belajar sinematografi di Bangalore Polytechnic) magang
untuk Paul Zils, sutradara dari Jerman era Hitler, yang ditunjuk sebagai
kepala British Indias Information Filems of India setelah menjadi tawanan
kamp perang di Bihar, India.
Untuk mengasuh para sutradara invidual ini, Bhownagary berkeras, gagasan
baru, pendekatan baru harus ditemukan, didorong, dan diberdayakan. Guna
memfasilitasi hal itu, ia menjamin agar tiap sutradara FD mendapatkan akses
pada stok mentah, ruangan laboratorium, dan perlengkapan agar mereka dapat
bereksperimen dengan gagasan politik dan estetika mereka sendiri yang subur.
Mereka bepergian ke seluruh negeri dengan kamera ringan dan perlengkapan
sinkronisasi suara, mengambil gambar dan mengumpulkan footage demi
menciptakan bank gambar untuk eksperimen mereka. Bhownagary mendesak
agar filem-filem mereka dipamerkan di bioskop-bioskop di seluruh negeri, juga
di festival-festival filem internasional (Melbourne, Berlin, Cork, dan Krakow,
misalnya) di mana filem-filem ini mendapatkan pujian kritikus. Pendekatan
mereka untuk menjelajahi kemungkinan materialitas dan proses filem sebagai
medium memiliki semangat yang sama dengan Dadasaheb Phalke, seniman
pendiri sinema India.
Pramod Pati dianggap sebagai sutradara pelopor nomor satu pada eranya.
Karya garda depannya mengguncang pengunjung bioskop India yang terbiasa
dengan voice over biasa dalam dokumenter. Gaya Pati kerap dibandingkan
dengan Norman McLaren, dan filem-filemnya, Explorer (1968), Trip (1970)
serta Abid (1972) signifikan sebagai pemicu pendefinisian ulang bentuk
dokumenter pendek dan filem etnografis di India. Saat Pati (Pramod Pati)
mulai mulai menjelajahi kemungkinan-kemungkinan naratif yang lebih
baru, sinema di seluruh dunia tengah menggelegak dalam dorongan kreatif
di mana ruang yang diperlukan untuk itu telah diberikan oleh waktu, atau
waktu untuk itu pun demikian, oleh ruang, Amrit Gangar menjelaskan. Abid
(1972) karya Pati menampilkan seni oleh pelukis Abid Surty yang pernah
bereksperimen dengan gagasan hidup dalam lukisan. Mengenang pengalaman
itu, Abid berkata: Saya tinggal di sebuah kamar waktu itu, jadi saya mulai
melukisi dinding, kipas angin, perabotan, lantai, langit-langit, lemari, bahkan
peralatan kecil-kecil, kursi, semua yang menjadi bagian dari sebuah lukisan.
Pramod Pati mengunjungi rumah saya dan berkata bahwa ia ingin membuat
filem dengan gagasan ruang yang diubah ini. Filem itu mengambil gambar
selama dua puluh hari di studio-studio FD dan produksinya menciptakan
riak di kalangan filem Bombay. Semua orang membicarakannya. Bahkan
Satyajit Ray mendengarnya! Jadi saat dia lewat di Bombay, dia datang ke set
324 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
filem cuma untuk melihat apa yang terjadi. Banyak sutradara dari kalangan
industri filem juga muncul, misalnya B.R. Chopra dan yang lain-lain, Surty
menambahkan (Surty, t.t.).
Bhownagary tidak hanya mendorong estetika kritis, ia juga menekankan
pentingnya perkembangan sintaks baru baik dalam pengambilan gambar
maupun rancang suara. Pandit Vijay Raghava Rao, penata suara di FD waktu
itu, adalah seorang pelopor lain. Soundtrack-nya yang abstrak, dengan campuran
antara kebisingan lingkungan sekitar, instrumen klasik India, dan nada yang
dihasilkan dengan peralatan elektronik analog, sepenuhnya sinkron dengan
gaya penyuntingan stakato dan montase asosiatif yang dramatis dari rekanrekan sutradaranya. Rancangan suara garda depan Pandit Vijay Raghava Rao
sangatlah penting bagi estetika yang dikembangkan oleh para sutradara FD.
Era 1960-an maka menjadi masa yang menggairahkan bagi dokumenter India,
dengan majalah-majalah seperti MARG (majalah seni India yang terkemuka),
dan Seminar (bulanan yang disegani secara politis) yang mendedikasikan
terbitan mereka bagi medium seni dan komunikasi intelektual yang baru ini.
Latar yang begitu hidup ini berubah secara dramatis pada 1975 saat Indira
Gandhi, Perdana Menteri saat itu (dan putri pendiri negara, PM Nehru),
menyatakan darurat negara di mana segala kebebasan sipil ditangguhkan dan
ia memiliki kewenangan untuk berkuasa lewat dekrit. Inilah bunyi lonceng
kematian bagi FD dan segala aktivitas kebudayaan di seluruh negeri hingga
1977. Dengan menanamkan kendali langsung atas semua lembaga, dan dengan
demikian atas kebebasan kolektif dan individual, ia bertanggung jawab atas
salah satu periode yang paling kontroversial dalam sejarah kemerdekaan India.
Walaupun darurat itu berakhir pada 1977, suasana sensor telah merasuki alam
pikir orang India.
Keterikatan FD dengan eksperimentasi filem mulai menghadapi kritik
kuat dari wilayah-wilayah konservatif, baik dalam pemerintahan maupun
komunitas filemkelayakan finansial dan dampak sosial eksperimentasi
gambar bergerak dipertanyakan. Akhirnya, politik dan rasa takut terhadap
kekuatan estetik para seniman ini memangkas gerakan radikal tersebut sebelum
ia dapat berdiri sendiri dengan kukuh sebagai sebuah bentuk atau genre baru
dalam pembuatan filem India. Banyak sutradara dari periode ini entah kembali
ke pekerjaan harian mereka sebagai staf administratif atau menyerah dan
membuat filem-filem konvensional, mati muda, atau sekadar lenyap di bumi
setelah upaya artistik radikal mereka dinafikan.
FD kemudian berfokus untuk menjadi corong pemerintah dengan membuat
filem-filem dokumenter yang lempang yang mengkampanyekan status
quo. Dokumenter-dokumenter yang tak menginspirasi dan menjauh dari
eksperimentasi artistik mulai memenuhi bioskop-bioskop kami. Di samping
sedikit intervensi para sutradara seni pada 1980-an, unit produksi FD berada
di ujung tanduk karena manajemen yang buruk dan abainya negara. Pada
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |325
1990-an, organisasi tersebut telah ompong sama sekali. Setelah hampir dua
dasawarsa menyalak tanpa taring sebagai lembaga negara satu lagi yang sekarat,
pada 2012 FD menyaksikan kebangkitan kembali yang luar biasa dengan
Chief Producer baru, V.S. Kundu, yang tampaknya mengejawantahkan energi
Bhownagary. Selama masa jabatannya yang berakhir pada 2015, ia mendanai
karya-karya baru, mendirikan klub filem, berkolaborasi dengan para sutradara
independen dalam Mumbai International Filem Festival (MIFF) untuk filem
pendek, animasi, dan dokumenter di India, serta, menariknya, mengumpulkan
sutradara seniman dan negara dalam satu platform yang sama.
Program Experimenta India @ARKIPEL berfokus pada konteks pembuatan
filem FD dari 1960-an dan 1970-an demi menyoroti bagaimana para sutradara
dokumenter India pada era tersebut berupaya merekonsiliasikan tradisi dan
modernitas di India yang baru saja merdeka. Dengan merepresentasikan
kebudayaan kaum muda yang tengah tumbuh dan menegosiasikan harihari suram pada era Darurat Negara (1975-1977), filem-filem ini akhirnya
mencerminkan perjuangan baru India untuk menyesuaikan diri dengan
kerangka budaya dunia yang lebih besar.
Bagian pertama program ini dibuka dengan Hamara Rashtragaan (atau Our
National Anthem, 1964), sebuah filem instruksional dalam bahasa Hindi yang
dibuat oleh Pramod Pati, filem propaganda yang memanfaatkan ruang sinema
untuk menciptakan pengalaman komunitas melalui keterlibatan kolektif. Ini
diikuti dengan karya eksperimental Pati yang psikedelik, Explorer (1968), dan I
Am 20 (1967) karya SNS Sastry, untuk menelusuri ideologi dan kegamangan
kaum muda India. Distrukturkan seputar wawancara dengan laki-laki dan
perempuan muda yang terlahir pada 1947 (tahun saat India memperoleh
kemerdekaannya), I Am 20 secara jujur mengkritik gagasan kebangsaan
dan mendekonstruksikan fantasi India yang termodernisasikan. Gagasangagasan ini lantas dijukstaposisikan dengan The New Wave (1976) karya
Chandrashekhar Nair, yang meninjau bagaimana negara India membayangkan
dan menggambarkan dirinya sendiri selama Darurat Negara. Akhirnya, visi
akan sebuah India baru tampak semakin rumit dengan medium filem yang
dimanfaatkan secara subversif untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan
kritis dari pemikiran sosialistik dalam Child on Chess Board (1979) karya
Vijay B. Chandrasebuah naratif yang gelap dan abstrak, yang menjelajahi
kebangsaan, kemajuan industri, dan perkembangan saintifik, sebagaimana
terlihat dari mata seorang anak.
And I Make Short Films (1968) karya SNS Sastry menentukan corak bagian
kedua program ini dengan refleksinya atas konteks keseluruhan pembuatan filem
pendek di FD dan, secara khusus, menjadi representasi pertikaian yang terus
terjadi pada waktu itu tentang apakah sutradara dokumenter haruslah seniman
atau sosiolog. Ini diikuti dengan This Bit of that India (1972), juga oleh SNS
Sastry, sebuah eksplorasi budaya kaum muda pada 1970-an yang ditingkahi
326 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
dengan penampilan The House of Bernarda Alba oleh Federico Garcia Lorca,
sebagai metafora tentang represi dan konformitas. Ini disandingkan dengan
Destination Bombay (1976) karya G.L. Bhardwaj, sebuah filem turis yang
dibuat selama Darurat Negara, yang memproyeksikan citra kaum urban dan
kosmopolitan baru India dalam upaya menempatkan modernitas India dalam
konteks global. Dan akhirnya, program ditutup dengan Transcendence (1972)
karya K. Vishwanath yang menyoroti dilema representasi dengan menawarkan
pandangan Barat mengenai penciptaan dan kebudayaan Auroville, sebuah kota
utopis beraspirasi spiritualisme yang ditetapkan UNESCO.
Meninjau sejarah sosio-politik India yang pelik sepanjang program filem
pendek yang dibuat oleh negara ini, adalah penting untuk mempertimbangkan
situasi yang kami hadapi di India hari ini. Masuknya PM sayap kanan dalam
pemilu akhir-akhir ini telah membawa India pada salah satu periode politiknya
yang terburuk seiring munculnya ancaman bagi sistem demokrasi dan kebebasan
budaya serta sosial kami. Kerap dipandang sebagai tukang gertak terbesar di Asia
Selatan, dampak pemilu ini telah mulai tumpah ke seluruh kawasan. Dengan
bercermin pada upaya India untuk mengejar modernitas, progam ini berusaha
memahami bagaimana kami bisa sampai di sini dan mengajukan pertanyaanpertanyaan penting demi mengembangkan bentuk-bentuk perlawanan baru
melalui sinema seiring langkah maju kami.
20 Juli, 2015
Bacaan:
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |327
EXPERIMENTA INDIA
@ARKIPEL1
The history of experimental film in India is tied to the history of Indias quest
for modernity. Jawaharlal Nehru, Indias first Prime Minister committed
himself to building modern temples i.e. industry powered by science &
technology, which he believed would propel Indians on a Soviet style trajectory
to socialist utopia. Nehru was confident that science and technology would
solve numerous social problems and regenerate a tradition bound Indian
society. Under his leadership, the government established science laboratories,
institutes of technology, universities, research centers and cultural institutions.
These institutions were expected to be risk taking, experimental, educational
and critical.
Impressed by the Soviet experiment with capital and cultural propaganda,
the government of India recognized the value of films in informing and
educating its vast number of mostly illiterate citizens. In 1948 the government
of free India set up Films Division (FD) under the Ministry of Information
and Broadcasting, for the production and distribution of information films
and newsreels. By adopting the Russian model of filmmaking and inspired by
the experiments in film institutions in Czechoslovakia (specifically), radical
experiments with found footage, montage, time lapse and animation became
the staple for FDs filmmakers.
The Nehruvian experiment and the new Indian states complex relationship
to modernity became particularly visible in the films produced by FD during
the cultural revolution of the late 60s and early 70s. The Indian government
with its socialist aspirations had taken the responsibility of risk taking in the
cultural domain. Generally a capital-intensive market-oriented medium such
as cinema always feels shy of taking risks. But in India, the public institutional
domain challenged the monolithic popular art rhetoric, and interestingly
provided this risqu-space explains Amrit Gangar, film critic and archivist
(Excavating Indian experimental film, n.d.). Institutions like the Film Finance
Corporation (FFC), the Film and Television Institute of India (FTII), and
the National Film Archives of India (NFAI) were founded during this
period. Keeping within the socialist framework and discourse of community
participation, these institutions began producing young film makers, who,
[1] An earlier version of this essay was published as Artists in Action in the catalogue of the India:
Visions From The Outside programme at Cultuurcentrum Brugge (March/April, 2012).
328 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
over a period of time, became critical of state structures and began to produce
a substantial body of subversive, political work. These artistic experiments
subsequently became important representations of the aspirations, visions and
contradictions of the Indian state.
After several years of making propaganda for the state, FD saw its most
creative and exciting periods with Jean Bhownagary ( Jehangir Shapurji
Bhownagary), who was appointed Deputy Chief Producer for a brief period
from 1953-57, and then Chief Producer in 1965 at the request of Prime Minister
Indira Gandhi. Bhownagary was born in Bombay in 1921 and educated in both
Bombay and Paris. He had multiple talents and was known to be involved in
the arts in many and varied ways. Not only did he produce and make films,
but he also practiced as a magician, a theatre actor and producer, a writer,
a lithographer, a painter, a ceramist and a sculptor. He had had a long and
extensive career in the media, having worked for Reuters, All India Radio, the
Information Films of India and the Cartoon Film Unit, and UNESCO in Paris.
During his first appointment at FD, Bhownagary focused on nurturing
filmmakers more than creating state sponsored doctrines. I plunged into the
task of trying to improve the quality of our productions by encouraging existing
and new talents to probe deeper into their subjects, to make structured films,
instead of enumerations of our treasures and achievements as is so often required
by non-filmmakers in the ministries. I wanted each director to find and create
his individual style and stamp the film with his own personality explained
Bhownagary (Narwekar, 1992). Under him, FD nurtured an extremely talented
community of young filmmakers and technicians. This set the stage for the
second movement of experimentation that was to develop when Bhownagary
returned to Films Division as Chief Producer in 1965.
Pramod Pati (1932-1975), SNS Sastry (1930-1978) Vijay B Chandra (19352005), and S.Sukdev (1933-1979) came into prominence during Bhownagarys
years as FD Chief Producer. Pramod Pati was trained in animation under the
celebrated Jiri Trinka, the Czech master of puppet films. SNS Sastry (who
studied cinematography at the Bangalore Polytechnic) apprenticed with Paul
Zils, a filmmaker from Hitlers Germany, who was appointed the head of
British Indias Information Films of India after being in a prisoner of war
camp in Bihar, India.
Towards nurturing individual filmmakers Bhownagary insisted, new ideas,
new approaches had to be found, encouraged and put to work. To facilitate
this he ensured that FD filmmakers had open access to raw stock, lab space
and equipment so as to experiment with their own burgeoning aesthetic and
political ideas. They traveled across the country with lightweight cameras and
sync sound equipment, shooting and collecting footage to create a bank of images
for their experiments. Bhownagary pushed for their films to be exhibited in
theatres across the country, and also at international film festivals (Melbourne,
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |329
Berlin, Cork and Krakow to name a few) where they found critical acclaim.
Their approach to exploring the possibilities of materiality and processes of
film as a medium was in the same spirit as that of Dadasaheb Phalke, the
founding artist of Indian cinema.
Pramod Pati was considered the most pioneering filmmaker of his period.
His avant garde work shocked Indian cinema goers who were used to the
conventional voice over documentary. Patis style was often compared to
Norman Mclaren, and his films Explorer (1968), Trip (1970) and Abid (1972)
were significant in initiating a redefinition of the short documentary and
ethnographic film form in India. When Pati (Pramod Pati) began to explore
newer narrative possibilities, cinema the world over was bubbling with creative
urges that time had given the necessary space for, or space its time explains
Amrit Gangar. Patis film Abid (1972) featured the art of painter Abid Surty,
who once experimented with the idea of living in a painting. Recalling the
experience, Abid says: I was living in a single room at that time, so I started
painting the walls, the fan, furniture, floor, ceiling, cupboard, even small
utensils, chairs, everything became a part of one painting. Pramod Pati visited
my house and said that he wanted to make a film with this idea of altered
space. The film was shot over 20 days at the Films Division studios and the
production created waves among film circles in Bombay. It was the talk of
the town. Even Satyajit Ray heard about it! So, when he was passing through
Bombay, he dropped into the set just to see what was happening. Many film
industry directors like B.R. Chopra and others also popped by, adds Surty
(Surty, n.d.).
Bhownagary not only encouraged a critical aesthetic, but also laid emphasis
on nurturing a new syntax of both image making and sound design. Pandit
Vijay Raghava Rao, the sound director at FD at the time, was another pioneer.
His abstract soundtracks with mixtures of ambient noise, Indian classical
instruments and tones produced with analog electronics were in complete
sync with the staccato editing style and dramatic associative montage of his
filmmaker peers. Pandit Vijay Raghava Raos avant garde sound design was
crucial to the aesthetic that FD filmmakers had developed. The 1960s therefore
became an exciting time for the Indian documentary, with magazines like
MARG (Indias leading art magazine) and Seminar (the highly respected
political monthly) devoting issues to this new intellectual medium of art and
communication.
This vibrant context changed dramatically in 1975, when Indira Gandhi,
the then Prime Minister (and daughter of the founding Prime Minster Nehru)
declared a state of Emergency in India through which all civil liberties were
suspended and she had the authority to rule by decree. This rang the death
knell for FD and all cultural activity across the country until 1977. By staking
direct control on all institutions, and thus on individual and collective freedoms,
330 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
Indira Gandhi was responsible for one of the most controversial periods in
the history of Independent India. Though the emergency ended in 1977, this
atmosphere of censorship permeated the Indian psyche.
FDs engagement with film experimentation began to face strong criticism
from conservative quarters, both in the government and amongst the filmmaking
community - the financial feasibility and social impact of moving image
experimentation was questioned. Eventually, politics and the fear of the aesthetic
power of these artists cut short this radical movement before it could establish
itself firmly as a new form or genre of Indian filmmaking. Many filmmakers
from this period either went back to their day jobs as administrative staff,
submitted to making conventional films, died young, or simply disappeared
into the world after being denied their radical artistic pursuits.
FD went on to focus on being the states mouthpiece by making straight-laced
documentary films that propagated the status quo. Uninspiring documentaries
that steered far away from artistic experimentation began to fill our cinemas.
Besides a few interventions by art filmmakers in the 80s, the FD production
unit was in dire straits due to bad management and state indifference. By the
90s, the organization had truly lost its teeth. After almost two decades of
chugging along as yet another moribund government institution, in 2012 FD
saw a remarkable revival with a new Chief Producer VS Kundu who seemed to
have channeled Bhownagarys energy. During his recently concluded (2015)
tenure he funded new work, set up a film club, collaborated with independent
filmmakers for the Mumbai International Film Festival (MIFF) for documentary,
short and animation film in India, and most interestingly brought the state
and the artist filmmaker together on the same platform.
The Experimenta India @ARKIPEL programme focuses on the FD
context of filmmaking from the 60s and 70s towards highlighting how Indian
documentary filmmakers of that period attempted to reconcile tradition
and modernity in newly independent India. By representing growing youth
culture, and negotiating the dark days of the Emergency (1975-77) these
films ultimately reflect on new Indias struggle to fit into the larger cultural
framework of the globe.
The first part of the programme opens with Hamara Rashtragaan / Our
National Anthem (1964) an instructional film in Hindi made by Pramod
Pati, a propaganda film which used the cinema space to create a community
experience through collective engagement. This is followed by Pramod Patis
psychedelic experimental piece Explorer (1968) and SNS Sastrys I Am 20
(1967) towards exploring the ideology and confusions of the youth in India.
Structured around interviews with young men and women who were born in
1947 (the year India gained its freedom), I Am 20 candidly critiques the idea
of nationhood and deconstructs the fantasies of a modernised India. These
ideas are then juxtaposed with Chandrashekhar Nairs The New Wave (1976),
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |331
which looks at how the Indian state imagined and depicted itself during the
Emergency. And finally the vision of a new India is further complicated as the
medium of film is used subversively to ask critical questions of socialist thought
in Vijay B. Chandras Child on Chess Board (1979)a dark and abstract narrative
that explores nationhood, industrial progress and scientific development, as
seen through the eyes of a child.
SNS Sastrys And I Make Short Films (1968) sets the tone for the second
part of this programme as it reflects upon the overall context of short filmmaking
at FD, and more specifically represents the ongoing dispute at the time over
whether documentary filmmakers should be artists or sociologists. This is followed
by This Bit of That India (1972) also by SNS Sastry - an exploration of youth
culture in the 1970s intercut with a performance of Federico Garcia Lorcas
The House of Bernarda Alba, as a metaphor for repression and conformity.
This is juxtaposed with Destination Bombay (1976) by G.L.Bhardwaj, a tourist
film made during the Emergency that projects an image of the new urban and
cosmopolitan India in an attempt at situating Indian modernity within the
global context. And finally the programme concludes with K.Vishwanaths
Transcendence (1972), which exposes the dilemma of representation by offering
an occidental view of the creation, and culture of Auroville, a UNESCO
sanctioned utopian town with spiritual aspirations.
On reviewing the complex socio-political history of India through this
programme of short films made by the state, it is critical to consider the situation
that we are faced with in India today. The entry of a right wing Prime Minister
in the recent General elections has brought India into one of its darkest political
periods yet, as our social and cultural freedoms and democratic systems have
come under threat. Often considered the biggest bully in South Asia, the impact
of this election has already begun to spill over into the region. By reflecting on
Indias pursuit of modernity, this programme looks to understand how we got
here, and raise critical questions towards developing new forms of resistance
through cinema as we go forward.
July 20, 2015
Works Cited:
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |333
HAMARA RASHTRAGAAN /
OUR NATIONAL ANTHEM
Pramod Pati (India)
Country of Production India
Language Hindi
Subtitle English
10 minutes, B/W,1964
Shai Heredia
I AM 20
SNS Sastry (India)
Country of Production India
Language Hindi
Subtitle English
20 minutes, B/W, 1967
Shai Heredia
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |335
EXPLORER
Pramod Pati (India)
Country of Production India
Language Hindi
Subtitle English
7 minutes, B/W, 1968
Shai Heredia
Shai Heredia
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |337
Shai Heredia
Shai Heredia
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |339
Shai Heredia
DESTINATION BOMBAY
G.L. Bhardwaj (India)
Country of Production India
Language Hindi
Subtitle English
16 minutes, Color, 1976
Shai Heredia
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |341
TRANSCENDENCE
K. Vishwanath (India)
Country of Production India
Language Hindi
Subtitle English
20 minutes, Color, 1972
Shai Heredia
LONDON, UK
Dikurasi oleh / Curated by
Benjamin Cook
LUX adalah agen seni internasional yang mendukung dan mempromosikan kerja seniman
berbasis gambar bergerak dan ide-ide seputar hal itu. Didirikan tahun 2002 sebagai dewan
derma dan lembaga non-profit, LUX berdiri di atas dasar organisasi pendahulunya (The London
Filmmakers Co-operative, London Video Arts, dan The Lux Centre) yang membentang hingga
ke era 1960-an. LUX adalah satu-satunya organisasi yang berjenis seperti ini di Inggris, mewakili
koleksi signifikan dari karya filem dan video seniman di negaranya, dan merupakan distributor
terbesar di Eropa (mewakili 4500 karya dari sekitar 1500 seniman dari tahun 1920-an hingga
sekarang). LUX bekerja dengan sejumlah lembaga-lembaga utama di Inggris, termasuk museum,
galeri, festival dan lembaga pendidikan, serta secara langsung dengan masyarakt dan seniman.
LUX menerima dana pendapatan tetap dari Dewan Kesenian Inggris.
LUX is an international arts agency for the support and promotion of artists moving image
practice and the ideas that surround it. Founded in 2002 as a charity and not-for-profit limited
company, it builds on a lineage of predecessor organisations (The London Filmmakers Cooperative, London Video Arts and The Lux Centre) which stretches back to the 1960s. LUX is
the only organisation of its kind in the UK, it represents the countrys only significant collection
of artists film and video and is the largest distributor of such work in Europe (representing
4500 works by approximately 1500 artists from 1920s to the present day). LUX works with
a large number of major institutions including museums, galleries, festivals and educational
establishments, as well as directly with the public and artists. LUX receives regular revenue
funding from Arts Council England.
Benjamin Cook adalah pendiri
dan direktur LUX, sebuah agen
berbasis di Inggris yang bekerja di
bidang promosi seniman dan gambar
bergerak. Sebelum mendirikan LUX
ia memegang beberapa posisi, antara
lain Direktur Lux Centre; Kepala
Distribusi di London Electronic Arts;
Direktur London Pan-Asian Film
Festival; Film Archivist di Anthology
Film Archives, New York. Mendapat
gelar MA di bidang Pengarsipan Filem
dari University of East Anglia dan
post-graduate Diploma di Boradcast
Journalism dari Sheffield Hallam
University.
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |343
LIYAN
Seleksi atas filem-filem karya seniman Inggris kontemporer dari koleksi LUX
ini menyoroti subjektivitas dalam tradisi dokumenter melalui serangkaian potret
tindakan, orang, dan binatang yang menjelajahi dan menggali persoalan-persoalan
mendasar tentang batas bentuk dan permainan antara fiksi dan kenyataan.
Media kontemporer kini menawarkan tingkat akses informasi dan pengetahuan
tentang dunia yang tak terbayangkan sebelumnya. Dari reality tv hingga media
sosial, kemampuan mengetahui ini dipertajam lagi dengan proyeksi kenyataan
yang tanpa perantara (unmediated), keserentakan, dan akses pada orang-orang
serta situasi riil. Namun, seberapa jauh ini semua menjadi ilusi? Untuk segala
perasaan akan akses ini, tidakkah akhirnya kita masih terbatas pada pemahaman
akan orang dan benda melalui atribut eksternalnya? Bagaimana kita dapat berharap
untuk mengetahui yang liyan saat diri interiornya, perasaan dan pikiran pribadinya
tetap tertutup bagi kita? Tidakkah bentuk kenyataan yang dipertajam dalam media
populer ini melanggengkan bahkan mendalamkan ilusi kita akan pengetahuan
dan pemahaman? Apakah kita diperdaya? Sebaik apa kita sesungguhnya tahu
tentang yang liyan?
Program ini dimulai dengan dua filem yang dikomisikan oleh LUX sebagai
bagian dari residensi yang memberikan akses bagi seniman pada sumber dan
arsip lembaga penyiaran nasional Inggris, BBC, sebagai imbalan atas pembuatan
karya sesuai konteks editorial dan panduan lembaga tersebut. Proyek ini menarik
sekaligus menantang karena menyingkapkan perbedaan mendalam dalam praktik
kerja dan ideologi antara pekerja broadcast dan seniman independen (walaupun
masing-masing mengaku berkomitmen pada kreativitas). Mungkin, tak mengejutkan
bahwa kedua filem tersebut mengambil perspektif yang kritis terhadap bentuk
televisi dengan menggunakan materi lembaga tersebut untuk menggugat dan
mempersoalkan caranya menggambarkan subjeknya. Dalam Weight (2014),
Kate Davis mempertanyakan nilai dan representasi kreativitas perempuan serta
kerja domestik melalui jukstaposisi ironis arsip filem dengan dokumenter tentang
pemahat Inggris, Barbara Hepworth. Sementara itu, filem Luke Fowler, Depositions
(2014), menjelajahi representasi komunitas pengembara yang secara tradisional
terpinggirkan di Dataran Tinggi Skotlandia dengan memanfaatkan materi-materi
dari dokumenter yang menggurui dan potongan berita guna mengartikulasikan
narratif yang lebih kompleks tentang perbedaan dan komunitas.
Terinspirasi oleh tujuan sutradara etnografis Prancis, Jean Rouch, untuk
menjelajahi sukunya sendiri, yaitu orang-orang Paris dalam filemnya, Chronique
dun t (1960), seniman sutradara AS, Margaret Salmon, mengikhtiarkan
potret etnografi mengenai komunitas angkatnya di Inggris sebelah Tenggara.
344 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |345
THE OTHERS
This selection of contemporary British artists films from the LUX Collection
looks at subjectivity in the documentary tradition through a series of portraits of
actions, people and animals that explore and raise fundamental questions about
the limits of the form and the interplay between fiction and reality.
Contemporary media now offers us previously undreamt of levels of access
to information about and knowledge the World. From reality tv to social media
this sense of knowability is heightened by a projection of unmediated reality, of
immediacy and of access to real people and real situations. But how much is this
an illusion? For all of this sense of access are we still not ultimately limited to the
making sense of people and things through their external attributes? How can we
hope to know other others when their interior selves, their private thoughts and
feelings remain fundamentally shut off to us? Do these heightened verit forms
in popular media not only perpetuate but deepen an illusion of knowledge and
understanding? Are we being manipulated? how well do really we know the others?
The programme begins with two films commissioned by LUX as part of a
residency giving artists access to the resources and archives of the UK national
broadcaster, the BBC in return for making a work within the editorial context and
guidelines of the organization. The project was both interesting and challenging,
revealing the profound differences in ideology and working practices between
a broadcaster and an independent artist (even though each would profess a
commitment to creativity). It is perhaps unsurprisingly that both of the films take
a critical perspective on televisual form by using the broadcasters own material
to subvert and question the way it portrays its subjects. In Weight (2014), Kate
Davis questions value and representations of female creativity and domestic labour
though the ironic juxtaposition of archive film with a documentary on the British
sculptor Barbara Hepworth. While Luke Fowlers film Depositions (2014) explores
the representation of traditionally marginalized traveller communities in the
Highlands of Scotland, recouping material from patronizing documentaries and
news items to articulate a more complex narrative of difference and community.
Inspired by the French ethnographic filmmaker Jean Rouchs aim to explore
his own tribe, the Parisians in his film Chronique dun t (1960), US artist
filmmaker Margaret Salmon attempts an ethnographic portrait of her adopted
community in the South East of England. Exploring the rhythms and rituals
of domestic life in the framework of psychologist Abraham Maslows theory on
the hierarchy of human need the film problematizes the ethnographic film form.
Employing a poetic affection the film subverts the traditional subject of western
ethnographic studies by turning the camera on southern English middle class life.
346 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
Ben Rivers is known for his series of portrait films that often suggest a
fundamental interior unknowability of his subjects through lack of commentary,
guiding elements or close up perspectives. Things (2014) is unique in that it is a
self-portrait of sorts, but rather than looking at himself directly, Rivers constructs
a personal history through the possessions in his London apartment. However
as we start to reach a sense of an identity behind the things he abruptly shifts to
a 3D digital rendering of the same space, now stripped of much of the personal
detail of the first half of the film, it forcefully suggesting the constructed and
manipulated nature of the image, shifted as it is to a now non-human and pure
artificial perspective.
The final film in the selection Taskafa (2013) focuses on the most other-ed of
beings, animals and specifically the street animals that live alongside humans in
many major cities. Animals are the focus for our most anthropomorphic projections
and in Andrea Luka Zimmermans film these street animals act as a cypher for the
lowest order of inhabitants within the modern city, those that face the full brunt
of the capitalist drive for development and gentrification. Zimmerman actively
challenges traditional narratives around street animals as pests and disruption to
the flow of the city, imbuing them with dignity and an interiority (with quotes
from canine narrator of John Bergers book King). The film ultimately makes a
passionate utopian proposition for the value of community, mutuality and interspecies care as powerful resistance to a voracious progress in the modern world.
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |347
WEIGHT
Kate Davis (UK)
Country of Production UK
Language English
Subtitle No Subtitle
12 minutes, B/W, 2014
distribution@lux.org.uk
Benjamin Cook
DEPOSITIONS
Luke Fowler (UK)
Country of Production UK
Language English
Subtitle No Subtitle
25 minutes, Color, 2014
distribution@lux.org.uk
Benjamin Cook
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |349
PYRAMID
Margaret Salmon (UK)
Country of Production UK
Language English
Subtitle No Subtitle
17 minutes, Color, 2014
Contact distribution@lux.org.uk
Benjamin Cook
THINGS
Ben Rivers (UK)
Country of Production UK
Language English
Subtitle No Subtitle
20 minutes, Color, 2014
distribution@lux.org.uk
Benjamin Cook
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |351
Benjamin Cook
Lubang hitam, biasanya dipahami sebagai bukaan metaforis dalam waktu dan ruang
bagi benda-benda hingga lenyap ke dalam ketiadaan. Tepian yang tergambar tajam
di sekeliling lingkaran bulat dari sesuatu yang jauh lebih baur dan samar daripada
yang dinyatakan istilah itu: benda-benda menghilang, benda-benda dilupakan,
benda-benda dianggap sebagai milik masa lalu yang telah ditutup. Tapi apakah
mereka sungguh-sungguh lenyap?
Semua filem dari program ini dengan caranya sendiri mengacu dan menghidupkan
sejarah, baik dalam bentuk materi fisik yang digunakannya, pilihan estetik yang
ditentukannya, atau wacana yang diajukannya. Dalam filem-filem ini, benda-benda
muncul kembalidan dengan adanya dua filem yang secara kiasan menampilkan
lubang hitam, filem-filem tersebut menawarkan sebuah definisi lain dari apa yang
mungkin direpresentasikan oleh lubang kiasan itu: suatu saluran terjauh antara
masa lalu dan masa kini yang memungkinkan komunikasi dan perjumpaan dengan
hal-hal di masa lalu.
Dalam A Proletarian Winters Tale karya Julian Radlmaier (2014), sebuah
lubang hitam dipasang sebagai karya seni di kastil di mana tiga protagonis asal
Georgia harus bekerja, hanya untuk menghabiskan malam mereka di sebuah
ruangan kecil di loteng, sementara di bawah tangga kaum borjuis yang kurang-lebih
sedikit membahas perjanjian jual-beli senjata, mendengarkan permainan piano,
dan menikmati hidangan prasmanan mewah.
Lubang hitam-lubang hitam dalam El Futuro (2013) karya Luis Lpez
Carrasco adalah lubang-lubang yang muncul pada awal dan akhir tiap gulungan
filem 16mm. Pada gambar beku (freeze frame), kita dapat mengamati dan melihat
tembus melaluinya, serta membayangkan lubang-lubang itu sebagai lubang hitam
kiasan yang melaluinyalah sejarah Spanyol tertumpah hingga kini di sini, hingga ke
krisis masa kini yang tak berkesudahan, yang mungkin berawal sekitar tahun 1982,
sebagaimana yang digambarkan filem ini. Sama juga, lubang hitam dalam filem
Radlmaier menjadi celah yang dilalui isu-isu yang tampaknya terbuang ke ranah
kejadian sejarah: dalam kasus ini, ialah sebuah kemunculan kembali yang abadi
dari perjuangan kelas dan kelelah-lunglaian yang ditimbulkannya. Dengan semakin
kaburnya batas-batas perbedaan kelas, upaya-upaya baik untuk mendefinisikan
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |353
Philip Widmann
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |357
Philip Widmann
Sekelompok anak muda menari dan minumminum di sebuah rumah. Suasananya suasana
pesta dan ceria. Kemenangan sosialis pada
pemilu 1982 tampak baru-baru saja terjadi.
Malam itu penuh dengan perayaan dan
euforia. Upaya kudeta yang dilakukan pada
1981 seolah jauh sekali. Kita dapat berkata
bahwa di Spanyol, pada 1982, segalanya
adalah masa depan. Namun, masa depan
itu juga tampak lebih dekat dalam kecepatan
tinggi, seperti sebuah lubang hitam yang
memangsa segala sesuatu di hadapannya.
Philip Widmann
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |359
Philip Widmann
Philip Widmann
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |361
WORLD PREMIERE
HARIMAU MINAHASA
TENTANG KEMBARA DAN
RASA AMAN WARGA
Hikmat Budiman
Direktur Yayasan Interseksi
Ad loca aromatum. November, 2013. Andang Kelana, salah satu pembuat video
Harimau Minahasa, datang memenuhi undangan saya untuk bergabung ke dalam
tim penelitian kota-kota di Sulawesi yang diorganisir Yayasan Interseksi. Ada tujuh
kota yang akan menjadi tujuan kami di enam provinsi di Sulawesi. November itu,
para peneliti sedang melakukan proses pendalaman bacaan tentang Sulawesi, dan
setiap minggu rutin bertemu di kantor kami untuk mendiskusikan hasil bacaan dan
cicilan rencana penelitian. Tema umum program Interseksi di Sulawesi (2013-2015)
adalah tentang demokrasi, politik lokal, dan kewargaan. Di samping tema umum
itu, saya juga memberi pilihan kepada para peneliti untuk mengerjakan topik yang
diminatinya sendiri di lokasinya masing-masing. Peneliti yang akan berangkat ke
Kota Baubau di pulau Buton, Sulawesi Tenggara, misalnya, berencana menulis
tentang konflik dalam lingkaran kaum bangsawan Keraton Buton. Sementara itu,
yang berangkat ke Minahasa Utara berencana meneliti rantai komoditi manusia
dalam industri kopra di sana, dan lain-lain.
Saya membebaskan Kelana memilih lokasi yang akan didatanginya, dan
ia memilih Minahasa Utara. Karena salah satu yang sering diobrolkan dalam
diskusi-diskusi para peneliti tadi adalah tentang rempah, meskipun tidak satu pun
yang menjadikannya fokus studi, Kelana berencana membuat video dokumenter
tentang salah satu rempah yang memang melimpah di kawasan Minahasa, selain
di kepulauan Maluku tentu saja, yakni pala (Myristica fragrans). Salah satu slide
presentasi Kelana, saya ingat, menampangkan ungkapan ad loca aromatum, di
mana rempah-rempah berada. Saya tidak tahu apakah ungkapan tersebut sengaja
dipotong dari navigatio ad loca aromatum atau bukan, yang pasti ia cukup kuat
memerangkap kami yang hadir ke dalam ribuan kisah masa silam; ketika rempahrempah seolah meruah para pengembara Eropa datang ke sini, mengarungi ribuan
kilometer, dan sesudahnya peta-peta ditulis, dan pahit luka bangsa-bangsa jajahan
dipahatkan. Saya baru tahu bahwa dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata jadian
merempah, antara lain, bisa juga berarti mengembara.
362 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
tiba-tiba memerih ketika ia nembang dalam langgam Jawa yang lirih, dan sedikit
sumbang. Diselingi tingkah polah seperti seekor harimau, malam itu, dalam bahasa
Jawa ngoko dan mengaku sebagai (almarhum) kakeknya, ia bercerita tentang asal-usul
si subjek (Budi). Pesannya berkali-kali tidak sampai karena kedua orang pembuat
filem ini sama sekali tidak paham Bahasa Jawa.
Di Indonesia, kita mengenal momen seperti itu dengan sebutan kesurupan
atau kemasukan arwah (leluhur atau siapa saja), sehingga apa yang dilakukan
dan diucapkan oleh orang yang mengalaminya dianggap berada di luar kontrol
kesadaran dirinya. Kesurupan sama sekali bukan perkara asing dalam kehidupan
kita. Fenomen yang sama juga dapat ditemukan pada beberapa masyarakat Asia
Tenggara. Dalam satu atau lain cara, sebagian dari kita adalah juga para kembara,
yang tidak pernah tinggal diam. Budiono adalah kita yang terus meronta dari
gravitasi kampung halaman, tanpa pernah benar-benar bisa melupakannya. Ekonomi
dan politik mendorong kita untuk selalu bergerak pindah. Demokrasi menjamin
hak-hak kita untuk bisa pindah dan menetap di mana pun. Tapi ia tidak pernah
bisa menjamin hasil dari perpindahan itu. Seperti pada kasus pemilu, demokrasi
hanya menjamin cara untuk melakukan suksesi, tetapi tidak pernah bisa menjamin
apakah hasilnya akan benar-benar sesuai harapan.
Merempah ke desa Treman, Minahasa Utara, yang permai itu, Budi masih
harus dijaga oleh seekor harimau dari Jawa. Di balik ceritanya ketika kesurupan
itu, saya menangkap hadirnya rasa tidak aman yang memang jamak terjadi pada
seorang migran di tempat barunya. Sebagian dari kita yang hidup sebagai migran
di Jakarta atau di kota-kota lain pasti membutuhkan lebih dari sekedar jaminan
penjagaan mitis seperti itu. Ada yang mencoba meraih rasa aman melalui konsumsi,
agar diperlakukan sepadan oleh orang-orang satu kalangan. Ada pula yang
menjaminkan keamanan pada agama, agar tidak dikafirkan atau bahkan diusir
oleh orang-orang sekaum. Budi tidak bisa mendapatkan itu, maka dia hanya bisa
mengandalkan harimaunya. Tapi semakin kita membutuhkan penjaga keamanan
dari hal-hal seperti itu, kita pantas bertanya di mana fungsi negara dalam menjamin
rasa aman kehidupan warganya.
Jakarta, 14 Juli 2014.
TIGER OF MINAHASA
OF WANDER AND PEACEFUL
by nutmeg fields. Like grist to the mill. But from there the plot overturned
completely as they were charmed by a young man they just knew. Nutmeg
then became a setting for the new story.
The title of this film can be confusing, but it can also be self-explanatory.
Since Minahasa is not the place known as tigers habitat, this film comes through
as a displacement (or more appropriately misplacement) by design. It tells
about joy and sadness of being a citizen who is always on the move, becoming
cultural and (especially) economical traveler. Shortly, it is about an ordinary
life. It is not a romantic depiction of a young adventurous spirit according to
Rhoma Iramas song and film series, Berkelana, neither a suspensful voyage
like Odysseys wanderings to find his hometown Ithaca after the Trojan War.
The subject of this film is a Javanese muslim young man born in Lampung,
South Sumatra, who travels places. His name is Budiono but people who know
him call him Ateng. He has worked in an oil palm plantation in Pematang
Siantar, North Sumatra, before being told to move to Aceh. After the 2005
tsunami, he quits and returns to his hometown in Lampung. Then he travels
Jakarta and wanders to Bali before staying (perhaps momentarily) in Truman
village, Airmadidi, North Minahasa, where the majority is Christian.
Budi lives in his masters nutmeg field, at a house where this film crew also
stay during their visit to Minahasa. His job is to help his master, including
bathing and feeding geese and pigs bigger than his own body. Budi is actually
a subject found incidentally by the filmmakers. What they find in Budi is
basically what they can find everyday in Jakarta or other places, i.e. travelers,
migrants whose rich life experiences brim beyond their economic capacity.
They are people who, just like some of us, are forced to migrate for the sake
of a better life.
This film is partly a record of Budis back and forth trip from daily reality
to a piece of life in the past. It is from the joy of living in a place where money
is relatively easy to get, having gibberish at day time, to certain moments when
the hometown and family he leaves strongly grip him with longing at night.
Everyday Budi speaks in Indonesian with Minahasa dialect. But one night
at the nutmeg field the darkness feels suddenly bitter as he sings a Javanese
tembang gently, a little off-note. In between behavior like a tigers that night,
in ngoko Javanese, proclaiming himself as his (late) grandfather, he tells a story
about Budis origin. His message cant come through many times since the
two filmmakers dont understand Javanese at all.
In Indonesia, people know such phenomenon as kesurupan or kemasukan
(possessed) by spirit (of an ancestor or anyone else) in which the things the
person does or says are attributed to something beyond his consciousness.
Being possessed is not a foreign thing in our life. The same phenomenon can
actually be found in several peoples of Southeast Asia. One way or another
366 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
some of us are also travelers who never stay immobile. Budiono is us, who keep
on writhing from his hometowns gravity without being able to truly forget
it. The economy and politics drive us to alway move. Democracy ensures our
rights to be able to move and stay anywhere. But it can never ensure the result
of such migration. Just like in election, democracy only ensures the way for
succession but can never guarantee whether the result is just like expected.
Spicing to the idyllic Truman village, North Minahasa, Budi still has to be
guarded by a tiger of Java. Behind his possessed story, I captured the insecurity
common in migrants in their new place. Some of us who live as migrants in
Jakarta or other cities must need more than such mythical guards assurance.
Some obtain security through consumption so that people in their circle treat
them as equal. Some others reach out to religion so that their people dont call
them infidels or banish them. Budi cant obtain such things, so he can only
rely on his tiger. But the more we need such guard for our security, the more
we should ask where the state is in providing it for its citizens.
Jakarta, 14 July 2015
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |367
Akbar Yumni
SPECIAL SCREENING
Mungkin, saat ini ada satu hal yang membuat saya penasaran, setelah kurang
lebih 175 hari menginjakkan kaki di Papua. Penasaran tersebut seolah terputar
kembali saat saya sedang makan di sebuah warung Soto khas Lamongan
di depan taman Lenteng Agung, persis di seberang kampus IISIP Jakarta.
Menjadi salah satu tempat kuliner favorit saya dari sekitar tahun 2006-an
silam, keadaan warung ini hampir tidak ada yang berubah, masih dengan
warung tenda semi permanen dengan spanduk khas bergambar ayam dan lele
pada umumnya. Yang berganti hanyalah pelanggannya, di mana akhir-akhir
ini saya sering sekali melihat mahasiswa asal Papua yang tinggal di Asrama
yang dulunya kos-kosan di Kawasan Gang Lurah, yang tidak jauh dari Taman
Lenteng Agung.
Saya pun memesan makanan, dan tidak lama setelah hidangan saya
disajikan, datang dua orang mahasiswa asal Papua yang juga hendak makan
malam. Tempat duduk warung ini seperti pola huruf L. Saya duduk dekat
letak sambal, kecap dan merica, persis di ujung simpangan huruf L tersebut,
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |369
sedangkan mahasiswa Papua tersebut duduk di ujung bidang panjang dari huruf
L yang berjarak kurang lebih satu meter dari saya. Yang seorang memesan
ayam goreng dan nasi uduk dan es jeruk, seorang lagi sama, namun ia memesan
es teh manis sebagai minumannya.
Teman, sa mau beli hp macam ko punya lagi, ni! (Teman, aku ingin
belih ponsel seperti punyamu)
Ko punya kemarin, kemana? (Punyamu yang kemarin, mana?)
Sa jual, to! (Aku jual)
Baru, kenapa ko jual? Rusak? (Lalu, mengapa kau jual? Rusak?)
Ah, tidak! Sa jual karena sa kembali ke kampung, di sana hp macam begini
(smartphone) tra bisa dapat sinyal baik. (Tidak. Aku jual karena aku pulang
ke kampung. Di sana, ponsel seperti ini tidak bida dapat sinyal)
Di sana memang hp kayu paling andalan, e...?! (Di sana memang ponsel
kayu paling andalan, ya...?!)
Itu sudah! (Ya, begitulah!)
Kawan, coba sa liat ko pu hp sebentar, sa mau cek-cek dulu. (Kawanku,
coba aku lihat sebenar ponselmu, aku ingin lihat-lihat)
Si orang yang diminta pun memberikan ponselnya.
Mendengar percakapan itu, saya kembali teringat saat saya berada di Papua
untuk melangsungkan kegiatan Program Media untuk Papua Sehat. Di sana,
memang jaringan 3G yang terkoneksi pada smartphone masih jarang dapat
ditemui sehingga tindak komunikasi menggunakan teknologi dan aplikasi
kekinian pun tidak terlalu efektif. Oleh karenanya, telepon genggam dual band
(GSM) masih menjadi alat paling favorit, selain karena baterai tahan lama,
alat tersebut juga handal dalam menangkap sinyal.
Di beberapa wilayah saya menemukan lokasi-lokasi yang umumnya dipakai
warga lokal untuk melakukan komunikasi melalui telepon genggamnya. Yang
saya ingat, ada bukit sinyal di daerah Arso. Warga di sana harus menaiki
bukit jika hendak melakukan komunikasi menggunakan koneksi melalui
ponselnya. Saat pertama kali saya melihat adegan ini, saya langsung teringat
salah satu filem Iran karya Abbas Kiarostami, yang berjudul The Wind Will
Carry Us (1999). Lalu, di daerah Depapre, saya melihat sebuah instalasi kursi
plastik berwarna hijau yang diletakan di atas pohon. Pada awalnya, itu cukup
membuat saya heran, namun salah seorang teman menjelaskan, Jika di sini ada
yang aneh-aneh macam begini, pasti ada tujuannya. Dan benar saja, ketika
teman saya menaiki kursi tersebut, sinyal dalam ponselnya muncul. Daerah
Depapre ini memang terkenal sebagai salah satu kawasan miskin sinyal di
Kabupaten Sentani.
Selain membuat tempat, banyak aksi warga Papua dalam mensiasati
keterbatasan sinyal, salah satunya Puskesmas Depapre. Banyak suster yang
menaruh telepon genggam mereka di jendela Puskesmas, dan cara itu memang
sesekali efektif untuk menerima dan mengirim pesan singkat menggunakan
370 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
teknologi. Tak heran, jika staf medis (Puskesmas) di Papua, khusunya di daerah
yang sulit sinyal telekomunikasi, masih menggunakan jadwal manual yang
pastinya untuk menginformasikan sekaligus mengobati pasien ke berbagai
wilayah pelayanannya. Jadwal tersebut biasanya disampaikan melalui mulut
ke mulut oleh kader Puskesmas kepada warga.
Jelang beberapa waktu, makanan saya pun habis dan saya masih duduk
untuk menghisap rokok. Saat saya membayar makanan, kedua mahasiawa itu
pun berbicara lagi:
Kawan, ko lihat ini? (Kawan, kau lihat ini?)
Apa? (Apa?)
Di berita ini, Papua kacau!
Ah, yang betul...?!
Iya toh?! Coba ko lihat dulu!
Bah! Betul ko? Ko baca baik itu berita di mana kacau? Jangan ko sebut
Papua, Papua itu luas, ko lupa ka? (Bah! Yang benar! Kau baca baik-baik di
berita itu, di mana yang kacau? Jangan kau sebut Papua. Papua itu luas, kan?)
Koran bodoh itu tulis Papua terus, tra bisa tulis baik tempat yang betul
ka? (Koran bodoh itu selalu tulis Papa, tapi tidak bisa menulis nama tempat
yang benar, ya?)
Oh, iya sudah! (Ya..)
Percakapan terakhir dua mahasiswa Papua yang saya dengar itu, sebelum
terlanjur meninggalkan warung soto, cukup membuat saya berpikir lagi
tentang Papua.
Saya dapat menyebut pandangan-pandangan terkait Papua, baik itu orang
Papua melihat luar maupun orang luar melihat Papua, karena adanya dosa
dari informasi yang diproduksi oleh orang asing yang membicarakan Papua
yang disebarkan melalui media, seperti filem, buku dan yang paling dahsyat
adalah media massa arus utama, sehingga menciptakan mitos-mitos yang sangat
identik terhadap Papua. Sebagaimana kata Roland Barthes: The Bastard form
of mass culture is humiliated repetition ... always new books, new programs,
new films, new items, but always same meaning.
Semua kebudayaan pun tercipta dari hasil perang, tidak terkecuali Papua
yang sangat kental dengan perang. Namun, perang tersebut bukanlah sekedar
perang yang sebagaimana di citrakan oleh media massa, yang seolah membingkai
standar terkait perilaku kemanusian, yang secara halus mengaburkan nilai
luhur perang di Papua yang menyeretnya ke wilayah istilah asing, seperti
istilah HAM. Dengan pengandaian posisi seterdidik apa pun, orang Papua
selalu dihadirkan secara rendah oleh media massa dan dengan pengandaian
yang menciptakan mitos-mitos massa sebagai efek media tadi, entah dalam
menawarkan solusi kemerdekaan atau tawaran-tawaran yang utopis bagi
masyarakat Papua itu sendiri.
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |371
Jika berbicara kemerdekaan, saya jadi sedikit teringat dialog dalam filem
Jean Renoir, yang kalau saya tidak lupa: kemerdekaan pasca perang adalah
ilusi, yang muncul justru kekuasaan baru yang dibalut oleh rakyat.
Poster Hidup
Poster hidup (2015) merupakan salah satu dari tiga filem produksi Forum
Lenteng melalui Program Media Untuk Papua Sehat (Halaman Papua) pada
tahap keduatahap pertama dilaksanakan pada tahun 2014yang masih
bekerja sama dengan jaringan komunitas Halaman Papua. Pada pelaksanaan
tahap kedua tersebut, Forum Lenteng berkolaborasi dengan tiga komunitas
lokal, yaitu Komunitas Hiloi di Sentani, Komunitas Riyana Waena di Jayapura,
dan Komunitas Yoikatra di Timika. Filem Poster Hidup yang akan diputar
perdana dalam ARKIPEL Grand Illusion Jakarta International Documentary
& Experimental Film Festival 2015, diproduksi atas kerja sama Forum Lenteng
dengan Komunitas Hiloi. Poster Hidup sendiri berkisah tentang usaha yang
dibentuk pihak puskesmas dalam menemukan model komunikasi yang efektif
untuk promosi kesehatan. Selain itu, Poster Hidup merekam kehidupan
masyarakat lokal setempat dan menyusunnya secara sinematik sebagai usaha
untuk menemukan kemungkinan dalam memecah mitos-mitos (khususnya,
terkait masalah kesehatan) yang telah diciptakan, baik oleh masyarakat Papua
sendiri, pemerintah, maupunbahkan yang utama sekali olehmedia.
PAPUA AND
MEDIA ILLUSION
It has been one year of Halaman Papua operation, a people empowerment
program of Forum Lenteng with a focus on Papuan public health. It is a
media work program, a collaboration of Forum Lenteng and Papuan local
communities, which results in texts, photographs and documentaries. The scope
of this program is public health service in Papua and its output, distributed
through the web at www.halamanpapua.org.
This program emerged from the complexity of Papuan health issues.
Seventeen years after Reformation 1998, health problems in Papua show no
improvement, and even degenerate in some regions. Forum Lenteng, through
Media Program for Healthy Papua, believes that health problems, from
grassroot to policy-making level, is a result of poor media knowledge of the
people, health officials and stake-holders.
There has been one thing that makes me curious after more or less 175 days
stepping onto Papua. This curiosity came back to me when I had my meal at a
Lamongan soto food stall in front of Lenteng Agung park, right at the opposite
of IISIP campus, Jakarta. One of my favorite culinary spots since 2006, this
food stall hasnt changed since then, still with a semi-permanent tent with a
banner featuring chicken and catfish. The customers are new, though, lately
including a Papuan student that Ive often seen, who lives in a dormitory that
used to be a boarding house on Lurah Street, not far from Lenteng Agung park.
At that time, after I ordered food and had it in front of me, two Papuan
students came for dinner too. The seating at this place is similar to letter L.
I sat near sambal, soy sauce and pepper bottles, right at the short parts tip of
the L while they sat at the longer part of it, less than a meter from me. One
ordered fried chicken, uduk rice and iced orange, the other the same dishes
but with iced tea.
Teman, sa mau beli hp macam ko punya lagi, ni! (Mate, I want to buy a
cellphone like yours!)
Ko punya kemarin, ke mana? (Where is yours, the one you had yesterday?)
Sa jual, to! (I sold it)
Baru, kenapa ko jual? Rusak? (Why did you sell it? Was it damaged?)
Ah, tidak! Sa jual karena sa kembali ke kampung, di sana hp macam begini
tra bisa dapat sinyal baik. (Oh, no. I sold it because I returned to kampong,
this kind of phone [smartphone] cant get signal coverage.)
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |373
Di sana memang hp kayu paling andalan, e?! (Wood phone is the one
there, right?)
Itu sudah! (There it is)
Kawan, coba sa liat ko pu hp sebentar, sa mau cek-cek dulu. (Mate, let me
see your phone, Ill check it over.)
The person asked showed his phone to his friend.
Listening to that conversation, I was reminded to the time when I was
in Papua to run the Media Program for Healthy Papua. The 3G connection
for smartphone there was rare to find so that communication using the latest
applications and technology was unnecessary. The GSM dual band cellphone
was a favorite choice because of its long endurance battery and reliability to
be in connection.
In some regions, I found certain sites where the people communicate through
cellphone. I remember, for instance, signal hill in Arso region. The people
there must climb up the hill to communicate with their cellphone. The first
time I saw it, I recalled immediately an Iranian film by Abbas Kiarostami, The
Wind Will Carry Us (1999). In Depapre, I saw a green plastic chair installed
up on a tree. At first I was puzzled but then a friend explained, There are
such weird things here, but there must be something behind them. It was
right. When he climbed up the chair, his cellphone received signal coverage.
This region in fact is known as one with poor signal in Sentany Regency.
Papuans go to some lengths to strategize their lack of signal coverage, like
they do in Depapre public health service center. Many nurses would put their
cellphones at the office window and it would work indeed to send and receive
short text messages. It is no wonder that medic staff in Papua, especially those
in area of poor signal coverage, still use manual schedule to inform and treat
their patients. This manual schedule means that the schedule is spread from
mouth to mouth by the service centers cadres to citizens.
After some time, I finished my meal and had some cigarette. When I was
paying for it, the two students talked again.
Kawan, ko lihat ini? (Mate, do you see this?)
Apa? (What?)
Di berita ini, Papua kacau! (Papua is chaotic in this news)
Ah, yang betul?! (Really?!)
Iya toh?! Coba ko lihat dulu! (See? Read it first)
Bah! Betul ko? Ko baca baik itu berita di mana kacau? Jangan ko sebut
Papua, Papua itu luas, ko lupa ka? (Pooh! Is that right? Where do you read
the chaos in there? Dont say Papua, Papua is vast, you forgot it?)
Koran bodoh itu tulis Papua terus, tra bisa tulis baik tempat yang betul
ka? (This stupid newspaper keeps on mentioning Papua, cant it write a region
name properly?)
Oh, iya sudah! (Right...)
374 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
This conversation I heard before leaving the food stall made me to rethink
about Papua.
I can mention views related with Papua, whether its about the Papuans
looking outside or other people looking into Papua, because of the sins
committed from the information produced by foreigners who talk about Papua
through the media, such as films, books and mass media, the most powerful
of all, creating myths identical to Papua. As Roland Barthes has said: The
bastard form of mass culture is humiliated repetition (...) always new books,
new programs, new films, news items, but always the same meaning.
All cultures are made of war, including Papua that is wrecked by war.
But this war is not just the one presented by the mass media that seems to set
a standard upon human behavior, smoothly disguising honorable values of
Papuan war and dragging it to a foreign territory of concept such as Human
Rights. From any educated presuppositions, the Papuans are always presented
as inferior by the mass media with myths sprouting as the effects around this
presupposition, as freedom solutions or utopian proposals are handed to the
Papuans.
Speaking of freedom, I remember a piece of dialogue in Jean Renoirs
film, saying, if Im not mistaken: Freedom after war is an illusion, what will
emerge is a new power shrouded by the people.
Poster Hidup
Poster Hidup (2015) is one of the three productions by Forum Lenteng through
the Media Program for Healthy Papua (Halaman Papua) phase twothe first
one was done in 2014)still in collaboration with the community network
of Halaman Papua. In this second phase, Forum Lenteng collaborated with
three local communities, namely Hiloi in Sentani, Riyana Waena in Jayapura
and Yoikatra in Timika. Poster Hidup will be premiered in ARKIPEL Grand
IllusionJakarta International Documentary & Experimental Film Festival
2015produced together by Forum Lenteng and Hiloi community. It is about
an exertion by the public health service center to discover the most effective
communication model for health promotion. Its also a cinematic record of the
local peoples life while finding a way to break down the myths (of health, in
particular) created by Papuans themselves, government and, above all, media.
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |375
POSTER HIDUP
Forum Lenteng-Komunitas Hiloi (Indonesia)
Country of Production Indonesia
Language Indonesian
Subtitle English
65 minutes, Color, 2015
D a l a m p e l a k s a n a a n ny a , p eny e ba r a n
informasi kesehatan di masyarakat sering
mengalami kendala. Dari persoalan minimnya
ragam media yang digunakan hingga cara
memastikan pemahaman masyarakat atas
informasi yang disampaikan. Tahun 2013,
Multi Stakeholder Forum dibentuk di tiga
distrik di Papua; Sentani, Sentani Barat, dan
Depapre. Forum ini beranggotakan tokoh
masyarakat, seperti; kepala adat, kepala
kampung, pemuka agama, kepala puskesmas,
kepala distrik, dan tokoh pemerintahan.
Forum ini mencoba menjembatani komunikasi
antara masyarakat dengan pemerintah,
terutama kebutuhan pelayanan kesehatan
yang baik, termasuk penyuluhan kesehatan.
Poster Hidup merekam situasi yang terjadi
terkait permasalahan kesehatan dan upayaupaya anggota MSF sebagai media hidup,
memberikan pemahaman mengenai kesehatan
kepada masyarakat melalui peran mereka
masing-masing dalam masyarakat.
GERIMIS SEPANJANG
TAHUN
Otty Widasari
THE YEARS OF
DRIZZLING LAND
Its a film of a village in Jatiwangi, West Java, where the peoples life rotates like a
machine to fulfill their needs in traditional ways while they face and live with regional
modern development.
This film is the output of a media literacy workshop held by Forum Lenteng
through akumassain collaboration with Jatiwangi Art Factory (JAF)and produced
by the people of Wates hamlet of Jatisura village, Jatiwangi Regency, through the
empowerment of their use of (video) digital technology that becomes a part of their
daily life nowadays. What is conducted during the workshop is a reading of local
phenomena missed by the mainstream mass media. akumassas movement is organized
to create a counter perspective. Educating oneself together with the people, it produces
information through their perspective and distributes it through various mediums,
including video.
Akumassa program has produced dozens of video works produced collaboratively
and participatory, promote the idea of counter mainstream media as a method of
alternative experimentation on visual language, where the camera acts as the eyes of
citizens. This work is also part of the process of collecting local narratives as archival
science.A process defines the aesthetics. People are organically capable to pave their
own way in distributing archives and knowledge through their participation in the
process, that is by putting forward the local narratives and using citizen circulatory
course in the filmmaking method.
The narrative in Gerimis Sepanjang Tahun (The Years of Drizzling Land) gives an
illustration of how a traditional roof tile factory and agricultural life struggle side by
side with a highway development that will fundamentally change the peoples future
life in social, economic and cultural terms.
Although traditional labor pattern of the people has become a part of modern work
structures, there is a local wisdom attached to this hybrid. Conversely, a modern work
structure cannot erase locality that becomes its vehicle. This film depicts a crossing of
two different patterns through the peoples point of view who control the filmmaking
technic themselves. The working of a pressing machine at the roof tile factory moved
by local people of this biggest roof tile producing region of Indonesia, according to the
camera held by these locals, is directly proportional to the regularity of agricultural
work at the rice fields during harvesting, and also to the freelance workers cooperation
that lacks a standard operating procedure at the rice mill. Meanwhile, these people,
while still surviving in traditional ways, grapple with the highway development project
that sustains the modern industrialization in progress, by strategizing economically.
378 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
Otty Widasari
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |379
PUBLIC PROGRAM
CITRA BERGERAK
DAN PENYEBARAN
PENGETAHUAN
Salah satu terpenting soal media ialah penyebaran (diseminasi) dan penyaluran
(distribusi) baik ide, alat, isi, bentuk, maupun gaya dari media itu terhadap rupa
kehidupan masyarakat kontemporer. Sinema adalah jenis media yangbahkan
pada konteks Indonesia sendirimerupakan medium penyebar-penyalur sudut
pandang dan ideologi yang memengaruhi cara pandang dan perilaku manusia
sejak seabad lalu.
Namun, sebagaimana media lainnya, sinema terus berkembang dalam
beragam eksperimentasi kepada khalayak serta kesaling-hubungan antar mereka.
Dalam hal ini, aktivisme penyebaran dan penyaluran ilmu pengetahuan secara
bebas, aksesibilitas dan egaliterianitas di antara mereka adalah persoalan amat
penting. Di Indonesia, belum banyak lembaga bagi terwujudnya keseimbangan
arus pengetahuan di ranah publik. Kita kini masih di tengah saling-sengkarut
media arus utama yang membawa kepentingan mereka sendiri. Keterbukaan
informasi dan akses bebas terhadap [alat] media, belum membuat kehidupan
kita benar-benar leluasa terhadap pengetahuan.
Di Indonesia, sulitnya para pegiat filem untuk menyentuh publik masih
menjadi beban di kalangan sineas dan bukan perbincangan yang basi. Apalagi
jika kita menyoroti bagaimana materi-materi baku pengetahuan dipilih-pilah
sesuai kebutuhan-kebutuhan yang relevan bagi masyarakat sasaran, bukannya
kedewasaan dalam aktivitas mencipta dan berwacana, gerakan-gerakan temporer
itu seringkali berlangsung membabi buta dan justru kian memerosokkan kita
ke kubang konflik horisontal: sinisme, kebencian, dan praktik kekerasan hanya
dengan satu-dua kalimat di media sosial.
Kuliah Umum oleh Benjamin Cook penting kita simak mengingat peran
guru ini dalam menggiatkan aktivitas independen untuk mempertemukan
seniman dan publiknya. LUX, tempat Cook menjalankan aktivismenya, adalah
satu lembaga internasional yang memfasilitasi penyebaran dan penyaluran
materi-materi gambar bergerak (termasuk karya-karya eksperimental) sebagai
bagian dari inisiatif untuk membuat pengetahuan sinema aksesibel bagi
masyarakat dunia.
MOVING IMAGE
AND KNOWLEDGE
DISSEMINATION
One of the most important things in media discussion concerns dissemination
and distribution; how we view the dissemination and distribution of ideas,
tools, contents, forms, and styles of media directly contributes in shaping
contemporary society. Cinema is one of many media forms thateven in
Indonesiaestablishes its stance as disseminator-distributor of perspectives and
ideology; it influences mans point of view and behavior since the past century.
However, as also other media, cinema continues to grow in diverse
experimentations towards public as well as the interconnection between them.
In this case, activism of free dissemination and distribution of knowledge,
accessibility and egalitarianism among them are the very important issues.
There isnt many institutions in Indonesia quite willfully and ably to take this
role of balancing knowledge flow in public domain. We still find ourselves
amidst conflicting interests of mainstream media. Information transparency
and open access towards media (devices) have not made us absolutely free on
knowledge.
In Indonesia, the difficulty of the film activists to touch the public is still
a burden on the filmmaker and its not a stale conversation. Moreover, if we
highlight how knowledge of raw materials have been sorted out according the
needs that are relevant for the targeted communities, rather than maturity in
creative activities and discourse, such temporary movements are often lasted
blindly and actually make us fall into a wallow of horizontal conflict: cynicism,
hatred and violent practices with only one or two sentences in social media.
Public Lecture by Benjamin Cook is thus a noteworthy address, considering
his vigorous role in promoting independent activity toward a more egalitarian
artist-audience relationship. LUX, where Cook runs his cultural endeavors,
is an international institution that facilitates dissemination and distribution
of moving images (including experimental works) as part of the initiative to
make cinematic knowledge accessible globally.
KULIAH UMUM / PUBLIC LECTURE
speakers: Benjamin Cook (LUX - Moving Image, UK)
Auditorium - Institut Kesenian Jakarta / 25 August
14.00 - 16.00 WIB / Free, Open for Public / Limited Seats
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |381
KURATOR, SINEMA,
DAN PUBLIK
Penggunaan kata kurator di medan perfileman Indonesia, belum umum.
ARKIPEL Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival
adalah salah satu lembaga yang giat mengenalkan kata iniuntuk konteks
filemsejak perhelatannya yang pertama di tahun 2013. Bagaimana kita
sekarang dapat mengandaikan praktik kurasi yang mampu mengaitjalinkan
relevansi topik-topik terkini dengan alur sejarah dan kesezamanan sinema
(termasuk ide, alat, medium, dan sistemnya) dalam budaya kontemporer
seni-seni visual?
Layak didiskusikan relevansi (serta signifikansi) istilah kurator dan
kuratorial dalam konteks sinema Indonesia, serta apa yang menjadikannya
khas. Misalnya, posisi strategis kurator (filem) di hadapan publik perfileman
Indonesia, peran khususnya dalam menggarap fokus kuratorialnya, dan
mengelaborasikan tawaran-tawaran oleh ranah visual yang lain? Berbeda
daripada sekadar kritikus, esais, konvenor, atau penyelenggara acara, kurator
f ilem memainkan perannya sebagai seorang arkitek yang mengajukan
pemahaman antara karya, pengkarya, lembaga penyelenggara, pemangku
kepentingan dan kebijakan, serta publik, untuk sama-sama menyetarakan
bukan menyamakanperspektif dalam melihat persoalan paling polemis dari
sinema, seni, media dan sosialita. Di situ, kurator adalah pelaku visioner yang
mempertautkan teori, sejarah, dan kenyataan-kenyataan yang ada sekarang;
menentukan nilai, menimbang gelagat dan kecenderungan terkini di beragam
lintas keranahan dalam upayanya mendefinisikan peta sinema dalam konteks
festival-festival di berbagai wilayah global.
Menghadirkan para pembicara kunciMay Adadol (Thailand), Jonathan
Manullang (Indonesia), dan Shireen/Merv (Filipina)yang berpengalaman
dalam topik ini, khususnya pada bidang gambar bergerak dan seni visual,
diskusi ini bertujuan untuk menemukan celah-celah taktis dalam rangka
merumuskan gagasan kurator filem bagi progresivitas wacana perfileman
di Indonesia.
CURATOR, CINEMA,
AND PUBLIC
Curator is not a word commonly used in Indonesian cinema sphere. ARKIPEL
Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival is one of
few vigorous institutions who introduced this word within cinematic context
since the festivals first run in 2013. How do we now speculate on curatorial
practices which are able to link the relevance of recent topics with history flow
and cinema contemporaneity?
Its befitting to discuss what and how relevance (and significance) the term of
curator and curatorial in the context Indonesian cinema, as well as what makes
it unique, e.g., strategic position of (film) curator in public of Indonesian cinema,
his/her special role working on curatorial focus, and elaborating suggestions
of other visual realm. Unlike critics, essayist, convenor, or programmer, film
curator seems to take a role of architect who bridge the comprehension and
understanding between the works, artists, organizers, stakeholders, policy
makers and the public, so they can equalize and synchronizeinstead of to be
conformabletheir perspectives in viewing the most polemic issue of cinema,
art, media, as well as socialite. In that respect, curators are visionary actors who
are able to correlate theories, histories, and the realities that exist right now;
who determine the values, cogitate the signs and latest trends in a variety of
cross-disciplines, in an attempt to define and specify a map of cinema in the
context of festivals in various global regions.
Presenting keynote speakersMay Adadol (Thailand), Jonathan Manullang
(Indonesia), and Shireen/Merv (Philippines)with expertise in the field
especially in moving image and visual art, this discussion aims to discover
tactical loopholes to formulate film curatorship for the progressiveness of
Indonesian cinema sphere.
BINCANG KURATOR / CURATORS' TALK
Menjadi pembuat filem dan video independen sejak tahun 1963telah membuat 38
karya filem berdurasi panjang (feature), lebih dari tiga puluh filem berdurasi pendek,
di samping karya-karya lainnya, termasuk instalasi, fotografi, dan tulisanJon
Jost dikenal sebagai seniman yang karyanya sering kali turut berpartisipasi dalam
perhelatan festival-festival berskala besar maupun kecil yang berada di luar kriteria
nilai ekonomi pasar. Bahkan, tampaknya dalam beberapa tahun terakhir ini,
filem-filemnya juga tidak sesuai dengan kriteria festival. Namun, situasi itu tidak
menghentikan daya kreatifnya, justru tampak semakin menegaskan posisinya
sebagai salah satu filmmaker independen yang cukup berpengaruh di Amerika.
Menarik kiranya untuk mengetahui pemikiran dan pengalaman yang dimiliki
Jon Jost sebagai pembuat filem yang memilih berdiri di luar lingkaran industri
perfileman Amerika. Di samping memahami politik estetika yang ia bangun menjadi
landasan dalam praktik berkaryanya, perlu pula kita ketahui bagaimana metodemetode produksi serta politik estetika filem yang ia bawa itu dapat bertahanatau,
bernegosiasidengan ranah arus utama yang mendominasi praktik-praktik sinematik
di lingkup global. Pendekatan yang diterapkan Jon Jost, tentunya, menentukan gaya
bahasa visual maupun gagasan tentang eksperimentasi di dalam sinema.
Dalam sesi Master Class bersama Jon Jost ini, sang sutradara akan memaparkan
pandangannya mengenai wacana sinema, baik konteks kesejaharan maupun
perkembangan kontemporer, melalui pendekatan-pendekatan dan eksperimentasieksperimentasi yang telah ia lakukan dalam memproduksi filem sepanjang karirnya.
Bagaimana aktivitasnya tersebut, oleh kita, dapat dilihat sebagai salah satu cara
untuk mendalami geliat perfileman independen yang dengan signifikan juga turut
menentukan budaya sinema dunia sekarang ini.
Being an independent filmmaker and video since 1963has made 38 featurelength films, more than thirty short films, in addition to other works, including
installations, photographs, and writingsJon Jost known as an artists whose
works often participate in both large and small festivals which are outside the
criteria of the commercial value. Even it seems that in recent years, his works
are also not in accordance with the criteria of some festivals. However, this
circumstance does not stop his creative power, that looks increasingly asserted
his position as one of the influential independent filmmaker in America.
Perhaps it would be interesting to know his thinking and experiences as
a filmmaker who chose to stand outside the circle of American film industry.
In addition to understanding the politics of aesthetics which he built into
a foundation in his art practices, we also need to know how the methods
of production and political aesthetics of film which he did to surviveor,
negotiateagainst toward the realm of the mainstream that dominates cinematic
practices in a global scope. Jons approaches, of course, determines both the
visual form/language and ideas of experimentation in cinema.
In this Jon Josts Master Class session, the filmmaker will present his
standpoint on cinema discourses, both in historic context and contemporary
times, through the approaches and experimentations he has done in producing
films throughout his career. How these activities, by us, may be seen as a way
to deeply explore dynamics of independent cinema that also significantly
determine todays world cinema culture.
MASTER CLASS
SEJARAH 1965
DALAM MEDIA
Menurut Andr Bazin, batas layar sinema bersifat sentrifugal terhadap realitas.
Dengan kata lain, gambar pada layar sinema seakan mengarah ke luar, ke
dunia riil kita. Pengertian dari representasi sinema, dengan demikian, adalah
sifat yang saling memengaruhi antara realitas sinematik dan realitas seharihari. Semasa Orde Baru, dua rujukan visual yang bisa dijadikan ilustrasi akan
representasi peristiwa 65, yaitu filem Penumpasan Pengkhianatan G 30 S
PKI (1985) karya Arifin C. Noer dan diorama peristiwa G 30 S di Museum
Pengkhianatan PKI di Lubang Buaya, adalah cara pandang kekuasaan terhadap
sejarah. Selain karena daya formalisme estetisnya yang memberi pengaruh besar
terhadap psikologis dan imajinasi penonton, kedua produk historis tersebut
sepenuhnya berdampak bagi lestarinya persepsi tunggal akan peristiwa 65
dalam pola kehidupan masyarakat Indonesia, hingga sekarang. Baru di era
pasca-Reformasi kita bisa melihat dengan bebas sudut pandang yang lain,
misalnya, dari kesaksian atau testimoni korban peristiwa 65.
Masa Orde Baru merupakan masa analog saat negara menjadi satu-satunya
yang memproduksi wacana politik lewat narasi-narasi epik visual (filem).
Dalam konteks medium, era analog Orde Baru adalah sebuah praktik visual
yang mempraktikkan sistem pengetahuan terpusat yang didasari politico-phobia
terkait medium itu sendiri yang dikuasai oleh segelintir pihak. Dalam konteks
sosio-politik keberadaan medium, masa analog bisa disebut masa otoritarianisme
karena pemaknaan medium terpusat pada kepemilikian sekelompok elite.
Sedangkan masa digital, persebaran medium di kalangan warga mencerminkan
situasi sosio-politik yang lebih bersifat demokratis. Asumsi ini diperkuat dari
praktik-praktik penciptaan representasi yang dihasilkan keduanya. Representasi
hasil medium analog lebih naratif, memandang visual sebagai konstruksi dari
realitas; representasi hasil medium digital bergeser pada kepercayaan akan
gambar yang tak melulu harus menjadi presisi atau mimesis artistik terhadap
realitas. Melainkan, dapat lebih berupa ekspresi personal yang lepas dari
pandangan representasionalisme di masa sebelumnya.
1965 COUPE
IN MEDIA
For Andr Bazin, the boundaries of the screen are centrifugal to reality. In other
words, images projected on cinema screen are moving outwards into our real
world. The definition of cinematic representation, therefore, is the influential
natures between cinematic reality and everyday reality. During the New Order
era, there were only two visual references that illustrated the 1965 Coupe in
Indonesia. The first is Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI (1985), directed
by Arifin C. Noer. Second, the dioramas of Communist Coupe Museum in
Lubang Buaya. They reflect the historical viewpoint of Indonesian authority
then. In addition to its aesthetic formalism force which has a strong impact
on audiences psyche and imaginations, both of them produced the-only-one
perception on interpretation of 1965 Coupe that remains within Indonesian
collective memory up until today. Only in post-Reformation era, do we see
other visual references from other point of views over victims testimonies.
New Order era may be regarded as an analog era where the State became the
only one who produce political discourse through visual epic narrations (film).
In the context of the medium, analog era New Order is a visual practice that
implement centralized system of knowledge based on politico-phobia regarding
to the medium itself which can be controlled by a handful of parties. In the
context of socio-political of its existence, analog era can be called a period of
authoritarianism due to the meaning of its medium was centered on ownership
of elite groups. Meanwhile, in the digital era, distribution of medium amongst
citizens reflects a more democratic of socio-political situation. This speculation
is reinforced by the production practices of representations produced by both
mediums. Representations derived from analog medium results more narrative,
addressing the visual as a construction of reality; representations derived from
digital one are shifted towards belief in the images that are no longer merely
have to be precise or be artistic mimesis to reality. Rather, it can be as a form of
personal expression separated from the representationalism views in the past.
DISKUSI PUBLIK / PUBLIC DISCUSSION
DIRECTORS INDEX
Adjani Arumpac (The The Philippines)
Adrian Flury (Switzerland)
Akira Miyanaga (Japan)
akumassa & Komunitas Ciranggon (Indonesia)
Alexia Bonta (Belgium)
Andang Kelana & Syaiful Anwar (Indonesia)
Andrea Luka Zimmerman (UK)
Anja Dornieden & Juan David Gonzlez Monroy (Germany-Colombia)
Anna Roussillon (France)
Anouk de Clercq (Belgium)
Anton Ginzburg (Russia)
Apichatpong Weerasethakul (Thailand)
Arifin (Indonesia)
Aryo Danusiri (Indonesia)
Aurle Ferrier (Switzerland)
AU Sow-Yee ( Malaysia)
Bachtiar Siagian (Indonesia)
Beatrice Gibson (England)
Ben Rivers (UK)
Carl Theodor Dreyer (Denmark)
Caroline Key, KIM Kyung-Mook (USA/Republic of Korea)
Cesar Hernando, Eli Guieb III & Jimbo Albanoa (The Philippines)
Chandrashekhar Nair (India)
CHAN Seauhuvi ( Malaysia)
Chantal Akerman (Belgium)
Christophe Bisson (France)
Chulayarnnon Siriphol (Thailand)
Colectivo Fotograma 24 (Portugal)
Danaya Chulphuthiphong (Thailand)
Dan Hudson (Canada/Germany)
Daniel Ktter & Constanze Fischbeck (Germany)
David Muoz (Spain)
Diana Pacheco (Ecuador)
Edwin (Indonesia)
Ekkaphob Sumsiripong (Thailand)
Emile Zile (The Netherlands)
Eva Kolcze (Canada)
Forum Lenteng-Komunitas Hiloi (Indonesia)
Gary Kibbins (Canada)
Giuseppe Riccardi (Italy)
G.L. Bhardwaj (India)
Go Eun Im (Republic of Korea)
Go Eun Im (Republic of Korea)
Guillaume Mazloum (France)
Hafiz Rancajale (Indonesia)
Hasumi Shiraki (Japan)
Hooshang Mirzaee (Iran)
Ho Tzu Nyen (Singapore)
Inhan Cho (Republic of Korea)
Isamu Hirabayashi (Japan)
Isamu Hirabayashi (Japan)
James T. Hong (USA)
Jangwook Lee (Republic of Korea)
Jean-Luc Godard (France/Switzerland)
Jennifer Reeves (USA)
390 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
113
35/67
309
379
91
368
352
360
74
61
286
142
240
238
64
221
182
285
351
166-168
80
261
337
222
197
56
296
35/50
297
288
86
87
65
239
90
140
57
376
283
66
341
318
319
97
112
96
75
139
316
303
305
141
320
196
282
230
254
208/210
260
152
361
284
223
81
348
304
89
226
357
342
35/49
128
88
224
79
359
349
280
220
350
358
259
82
229
51
250
35/48
76
302
249
98
59
58
153
287
295
52
100
334/336
68
99
257
321
308
252
251/253
294
306
307
340/335/339
256
258
310
338
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |391
35/60
228
227
225
255
138
143
FILMS INDEX
16 x 9 Capsule
1221 AMOR
663114
A Barca
ABCD
De Nede Frgen / A Castle Within A Castle
A.D.A.M.
All That is Solid
And I Make Short Films
Anito
A Place Ive Never Been
Ein Proletarisches Wintermrchen / A Proletarian Winters Tale
Ars Colonia
A Talk with My Mom
Beauty Evaporates
Because the Outside World Has Changed... (Episode 1)
Because the Outside World Has Changed... (Episode 2)
Beep
Entre Ici Et L-Bas / Between Here And There
Between Regularity And Irregularity
Binario / Binary
Birth of the Seanma
Blue and Red
Bugtong: Ang Sigaw Ni Lalake / Riddle: Shout of Man
Butterfly
Child on a Chess Board
Chop-Chopped First Lady + Chop-Chopped First Daughter
Cinza / Ashes
Class Picture
Color Neutral
Continuous Lines
Cutaways of Jiang Chun Gen / Forward and Back Again
Dark Matter
Depositions
Destination Bombay
DROGA!
El Corral y el Viento / The Corral and The Wind /
El futuro / The Future
El Juego del Escondite / Hide and Seek
Endless, Nameless
Et slot i et slot Krogen og Kronborg / They Caught The Ferry
Explorer
392 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION
225
284
305
73
251
166
35/60
57
339
259
35/67
361
257
82
223
318
319
35/49
91
229
66
294
143
252
222
338
255
35/48
258
282
65
141
81
349
341
249
76
359
87
98
166
336
F For Fibonacci
Flor Azul
Fractions
Gelora Indonesia
Geriatrica
Gerimis Sepanjang Tahun / The Years of Drizzling Land
Grace Period
Half-cut / Meio Corte
Hamara Rashtragaan / Our National Anthem
Harimau Minahasa/ Tiger of Minahasa
Hierophanie
Hindi sa Atin Ang Buwan / The Moon is Not Ours
I Am 20
Je Suis le Peuple / I Am the People
I Dance With God
Images Of a Lost City / Imagens de uma Cidade Perdida
InfrastRuctures
Inside Architecture A Challenge to Japanese Society
It Has Already Been Ended Before You See The End
Juan Gapang / Johnny Crawl
Kalawang / Rust
Kameng Gampong Nyang Keunong Geulawa
Killing Time
Krieg der Lgen / War of Lies
L-bas
Landscape Project
Landscape with Broken Dog / Paisaje con perro roto
Lazimpat
Les Tourmentes /For the Lost
Little Girl with Iron Fist / Bimba Col Pugno Chiuso
Li Wen at East Lake
Lulai
Marah Di Bumi Lambu / The Raging Soil
Masarap Na Kanta / Delicious Songs
Mga Anak ng Unos, Unang Aklat / Storm Children, Book One
Minsan Isang Panahon / Once Upon a Time
Mist
Morning
Mutasalilun / Infiltrators
Natee Cheewit
Night Watch
Omakage
One Blue Bird
Only Believe Thins
O Prisioneiro da Grade de Ferro / ThePrisoner of the Iron Bars
Pan
Poster Hidup
Pyramid
Reply; Repeat Repeated; Favorite Favorited
Return to Aeolus Street / Apistrofi Stin Odo Aloiou
Ruins I
Sarah(k.)
Scnario du Film Passion
Segredos da Tribo / Secrets of the Tribe
Semalu
state-theatre #5 BEIRUT
Storstrms Bridge / Storstrmsbroen
Suprematist Kapital
Taskafa, Stories from the Street
285
99
97
165
287
379
80
59
334
368
302
260
335
74
75
210
64
310
306
253
261
238
68
51
197
321
58
320
52
79
280
224
112
316
128
250
228
226
89
295
297
220
96
283
153
286
376
350
308
358
221
56
196
152
230
86
168
138
352
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |393
Textism
That Are Easy to Understand
The Fight Againts Cancer / Kampen mod krften
The Last Poem
The Masked Monkeys
The Nameless
The Nation
The New Wave
The Private Life of Fenfen
The Retrochronological Transfer of Information
The Village Church / Landsbykirken
They Had It Coming
Thing
Things
thirdworld
This Bit of That India
Time and Place,
Tom and Jerry
Tragedi Kali Abang
Transcendence
Trip To The Wound
Under The Lion Crotch
Unterwegs mit Maxim Gorkiy / Traveling with Maxim Gorkiy
Vanishing Circuit
Vanishing Horizon of the Sea
Very Specific Things at Night
Violetta
War is a Tender Thing
Wavy
Weight
Western Digital
What Day Is Today?
Winter Hof
Z Reactor
303
283
167
317
360
139
100
337
88
256
167
208
61
351
142
340
82
90
240
342
239
227
357
307
296
254
182
113
309
348
140
35/50
288
304
ACKNOWLEDGEMENT
Dewan Kesenian Jakarta: Irawan Karseno, Alex Sihar, Totot Indrarto, Winda Anggriani
(Program Officer)
The Ford Foundation Jakarta: Heidi Arbuckle, Adyani Widowati
Asia Center - The Japan Foundation Jakarta: Tadashi Ogawa, Yasuhiro Takehara,
Ibu Diana, Ibu Nurul, Ishariyadi
Hivos Jakarta: Tunggal Pawestri, Irene Ratih Ertiningtyas
Kedutaan Besar Amerika Serikat Jakarta: Vindiartha Pirina, Harya Bimo Bhimasena
Pusat Kebudayaan Korea di Indonesia (KCCI) Jakarta: Rezky Seokgi Kim,
Kimberly Febrianti
The British Council Jakarta: Sally Goggin, Levina Wirawan
Goethe-Institut Indonesien Jakarta: Katrin Sohns, Rizky Lazuardi
Institut Franais dIndonsie Jakarta: Bertrand de Hartingh, Didier Vuillecot,
Arnaud Miquel
Kedutaan Besar Brazil Jakarta: Rodrigo Andrade Cardoso, Leonardo Monteiro
CGV Blitz, Jakarta: Kim So-eun, Rivky Mogi
LUX Moving Image London, Inggris: Benjamin Cook
University of Macquarie Sidney, Australia: DR. Iqbal Barkat
Kineforum - Jakarta: Alexander Matius
@America Jakarta: Bruce Groening, Adeline Chitranegara
Sinematek Indonesia: Adisurya Abdy, Rusmiati
Institut Kesenian Jakarta: DR. Iwan Gunawan
Images Festival Toronto, Kanada: Amy Fung, Scott Miller Berry (Former Director)
Bangkok Experimental Film Festival Bangkok, Thailand: May Adadol, Mary Pansanga
Image Forum Jepang: Koyo Yamashita
Space Cell Seoul, Republik Korea: Jangwook Lee
Experimenta India: Shai Heredia
Camden Bar Cikini, Jakarta: Ando
Jon Jost, David Teh, Ronny Agustinus (Marjin Kiri), Budi Irawanto, Philip Widmann,
Shireen Seno, Merv Espina, Hilmar Farid, Shiraki Hasumi, Lav Diaz, Aisha Pletscher
Sudiarso, matajiwa, Indra Ameng, Meiske Taurisia, Edwin, Dimas Jayasrana,
Dag Yngvesson, Aryo Danusiri, Ade Darmawan, Vicky Rosalina, M. Sigit Budi S., DJ
Kasetan, Lilia Nursita (Gajah Hidup)
Jatiwangi Art Factory & Komunitas Ciranggon Jatiwangi, Jawa Barat
Komunitas Hiloi (Sentani)
The Interseksi Foundation Jakarta: Hikmat Budiman, Riefky Bagas Prastowo
Kinerja - USAID - Jakarta: Elke Rapp, Marcia Soumokil, Firqie Firmansyah
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |395
Keluarga Besar Serrum, ruangrupa, Yayasan Jakarta Biennale & Forum Lenteng
Cinemags Mahendradhata Aditya
Provoke Magazine Joko Suryono Nusantara & Andriansyah
Majalah Cobra Anggun Priambodo
Rolling Stone Indonesia Riandika
Majalah Gatra Bambang Sulistyo & Stefanus Septamada
Woman Radio Wiwie Hoedy
Nirwana TV Bali Komang Ramantya
JakartaBeat.net Prys
GoHitzz.com Widi Andini Shufi & Andes
Ruru Radio Hauritsa
Cinema Poetica Adrian Pasaribu
MetroNews.com Fitra Iskandar & Herfindo Satria Gading
Whiteboard Journal Muhamad Hilmi
Koran Sindo & SindoNews.com Firman Aulia & Setya Hartade
CreativeDisc.com Welly Wilianto
Kompas Abrianny Sinaga
IRockumentary Agung Hartamurti
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |397
FORUM LENTENG
MEMBERS
Abi Rama
Artist
Andrie Sasono
Publishist
Akbar Yumni
Writer/Reseacher
Andi Rahmatullah
Journalist
Afrian Purnama
Writer
Andang Kelana
Andi K. Yuwono
Graphic/Web Designer
Cultural Activist
Photographer
Artist/Lecturer
Bunga Siagian
Writer
Defina Martalisa
Employee
Andreas Meiki S.
Criminology Student
Dian Komala
Labour
Eko Yulianto
TV Producer
Bagasworo "Chomenk"
Bobby Putra S.
Dalu Kusma
Debora A. Nainggolan
Artist/Researcher
Cyclist
Communication Student
Communication Student
Firman "Kaspo" S.
Banker
Fuad Fauji
Frans Sahala P.
Gelar A. Soemantri
Gesyada Namora S.
Gunawan Wibisono
Hafiz Rancajale
Hanif Alghifary
Herman Syahrul
Intan Pertiwi
Imam Rahmadi
Jean Marais
Writer
Employee
Media Practicioner
Media Practicion
Artist/Curator
Journalist
Media Activist
Artist
Artist
Arts Student
Cameraman
Actor
Klara Pokeratu
Fashion Stylist
Manshur Zikri
Writer/Reseacher
Mohamad Fauzi
Video Artist
M. Hafiz Pasha
Journalist
Employee
Videographer/Artist
Journalist
Muhamad Sibawaihi
Nurhasan
Media Activist
Employee
Mahardika Yudha
Artist/Curator
Otty Widasari
Artist/Media Activist
Prashasti W. Putri
Putera Rizkyawan
Rachmadi "Rambo"
Renal Rinoza
Rio
Sherly Triana H.
Syaiful Anwar
Titaz Permatasari
Researcher
Writer
Entrepreneur
Graphic Designer
Journalist/Musician
Director/Cameraman
Student/Musician
Graphic Designer
Entrepreneur
Entrepreneur
Artist/Lecturer
Media Practicioner
Ugeng T. Moetidjo
Umi Lestari
Wachyu "Acong" P.
Wahyu "Tooxskull" C.
Yose Rizal
Yuki Aditya
Ario Fazrien
Adawiyah Nasution
Yoyo Wardoyo
Fauzan "Padang" C.
Rayhan Pratama
Cultural Employee
Graphic Designer
Banker
Senior Researcher
Event Organizer
Graphic Designer
Writer/Reseacher
Communication Student
Photographer
Politic Student
Criminology Student
www.britishcouncil.or.id
CREATING
OPPORTUNITY
WORLDWIDE
development
performances;
the
mentoring
Elevate.
@idBritishArts
we
support
programmes
such
as
of
the
creative
r
ak Sekada
T
kan
api gera
T
menuju
jadi
ak hanya
T
api
T
#Kompas50th
Angan
perubaha
SAKSI
AKSI
Inspirasi
Free Download
Mobile
Life&heaLth
Politik
iltek
NusaNtara
OLahraga
NasioNal
iNterNasiONaL
eNtertaiNmeNt
@Gatra_News
Gatramediagroup
SEE YOU AT
ARKIPEL - 4TH JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY &
EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL
2016