Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 11

BAB I

PENDAHULUAN
Adanya kecenderungan dalam melakukan interaksi sosial adalah salah bukti bahwa
manusia adalah makhluk lemah yang tidak akan sempurna dalam mempertahankan
kehidupan tanpa bantuan dan peranan orang lain dalam hidupnya. Tentunya hal semacam
ini berlaku dalam segala hal, termasuk dalam pemenuhan rezeki. Banyak cara yang
dilakukan Allah Swt. dalam menyampaikan rezeki pada hamba-Nya. Diantaranya adalah
melalui disyariatkannya praktik transaksi hutang piutang sebagai salah satu aspek
pemenuh hajat hidup via interaksi sosial. Sebuah transaksi yang sarat akan keistimewaan
dan keutamaan yang dijanjikan Allah bagi pelakunya (pemberi hutang).
Praktik hutang piutang yang kita tahu, selain terdapat sisi positif melalui asas tolong
menolongnya, namun tak jarang juga menjadi titik mula perselisihan dan permusuhan
diantara manusia. Hal itu akan menjadi nyata mana kala dalam praktiknya, manusia
mengacuhkan beberapa prinsip fundamen yang menjadi rangka bangun dilegalkannya
praktik tolong menolong ini; yakni kejujuran. Seolah sudah menjadi tabiat manusia jika
bersinggungan dengan hal-hal yang bernuansa harta keduniawian mereka lupa dan mudah
terlena begitu saja hingga memunculkan sesal di kemudian hari.
Oleh karena itu diperlukannya suatu hukum untuk mengatur bagaimana cara hutang
yang benar. Salah satu cara yang digunakan adalah dengan mencari dalil-dalil yang
berkaitan dengan transaksi hutang piutang, begitu pula dengan analisa tafsir yang
digunakan untuk memperjelas tentang bagaimana transaksi hutang yang benar.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Surat Al-Baqarah Ayat 282

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah


tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah
kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara
kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis
enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya,
meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang
berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia
mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang
itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia
sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya
mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada
dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika
seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah
saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka
dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik

kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang


demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan
persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan)
keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah
itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka
tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan
persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis
dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang
demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan
pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu;
dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
B. Asbabun Nuzul
Pada waktu Rosulullah SAW datang kemadinah pertama kali, orang-orang penduduk
asli biasa menyewakan kebunnya dalamwaktu satu, dua atau tiga tahun. Oleh sebab itu
Rosul bersabda: Barang siapa menyewakan (mengutangkan) sesuatu hendaklah dengan
timbangan atau ukuran yang tertentu dan dalam jangkawaktu yang tertentu pula
sehubungan dengan itu Allah Swt menurunkan ayat 282 sebagai perintah apabila mereka
utang piutang maupun muamalah dalam jangka waktu tertentu hendaklah ditulis perjanjian
dan mendatangkan saksi. Hal mana untuk menjaga terjdinya sengketa pada waktu-waktu
yang akan datang. (Hr. Bukhori dari Sofyan Bin Uyainah dari IbnuAbi Najih dari Abdillah
bin Katsir dari Minhal dari ibnu Abbas).1
C.Tafsir Ayat
Inilah ayat terpanjang dalam al-Quran, dan yang dikenal oleh para ulama dengan
nama ayat al-mudayanah (ayat utang piutang). Ayat ini antara lain berbicara tentang
anjuran atau menurut sebagian ulama kewajiban menulis utang piutang dan
mempersaksikannya dihadapan pihak ketiga yang dipercaya (notaris), sambil menekankan
perlunya menulis utang walau sedikit, disertai dengan jumlah dan ketetapan waktunya.
Ayat ini ditempatkan setelah uraian tentang anjuran bersedekah dan berinfaq (ayat
271-274), kemudian disusul dengan larangan melakukan riba (ayat 275-279), serta anjuran
memberi tangguh kepada yang tidak mampu atau bahkan menyedekahkan sebagian atau
semua hutang itu (ayat 280). Penempatan uraian tentang anjuran atau kewajiban menulis
hutang piutang setelah anjuran dan larangan di atas, mengandung makna tersendiri.
1 Al-Imam Abu Fida Ismail Ibnu Katsir ad-Dimasyqi, Tafsr Ibnu Katsr, terjemahan
Bahrun Abu Bakar, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000), hlm. 185
3

Anjuran bersedekah dan melakukan infaq di jalan Allah, merupakan pengejawantahan rasa
kasih sayang yang murni; selanjutnya larangan riba merupakan pengejawantahan
kekejaman dan kekerasan hati, maka dengan perintah menulis hutang piutang yang
mengakibatkan terpeliharanya harta, tercermin keadilan yang mengakibatkan
terpeliharanya harta, tercermin keadilan yang didambakan al-Quran, sehingga lahir jalan
tengah antara rahmat murni yang diperankan oleh sedekah dengan kekejaman yang
diperagakan oleh pelaku riba.
Larangan mengambil keuntungan melalui riba dan perintah bersedekah, dapat
menimbulkan kesan bahwa al-Quran tidak bersimpati terhadap orang yang memiliki harta
atau mengumpulkannya. Kesan keliru itu dihapus melalui ayat ini, yang intinya
memerintahkan memelihara harta dengan menulis hutang piutang walau sedikit, serta
mempersaksikannya. Seandainya kesan itu benar, tentulah tidak akan ada tuntutan yang
sedemikian rinci menyangkut pemeliharaan dan penulisan hutang piutang.2
Ayat 282 ini dimulai dengan seruan Allah swt kepada kaum yang menyatakan beriman,
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya. Perintah ayat ini secara redaksional
ditunjukkan kepada orang-orang beriman, tetapi yang dimaksud adalah mereka yang
melakukan transaksi hutang-piutang, bahkan yang lebih khusus adalah yang berhutang. Ini
agar yang memberi piutang merasa lebih tenang dengan penulisan itu, karena menulisnya
adalah perintah atau tuntunan yang sangat dianjurkan, walau kreditor tidak memintanya.
Perintah utang piutang dipahami oleh banyak ulama sebagai anjuran, bukan kewajiban.
Demikian praktek para sahabat ketika itu. Memang sungguh sulit perintah diterapkan
diterapkan oleh kaum muslimin ketika turunnya ayat ini jika perintah menulis hutang
piutang bersifat wajib, karena kepandaian tulis menulis ketika itu sangat langka. Namun
demikian ayat ini mengisyaratkan perlunya belajar tulis menulis, karena dalam hidup ini
setiap orang mengalami pinjam dan meminjamkan.3
Menyusuli ayat-ayat sebelumnya mengenai hukum-hukum ekonomi Islam yang dimulai
dengan memacu masyarakat supaya berinfak dan memberikan pinjaman dan dilanjutkan
dengan mengharamkan riba, ayat ini menjelaskan cara yang benar bertransaksi supaya
2 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Ciputat Tangerang: Lentera Hati, 2005), hlm. 601
3 Muhammad Ar-Rifai, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Penerjemah: Syihabuddin
(Jakarta: Gema Insani, 1999), hlm. 462-463
4

transaksi masyarakat terjauhkan dari kesalahan dan kedzaliman dan kedua pihak tidak
merugi. Syarat-syarat yang ditetapkan oleh ayat ini untuk transaksi adalah sebagai berikut:
1. Untuk setiap agama, baik hutang maupun jual beli secara hutang, haruslah tertulis dan
berdokumen.
2. Harus ada penulis selain dari kedua pihak yang bertransaksi, namun berpijak pada
pengakuan orang yang berutang.
3. Orang yang berhutang dan yang memberikan pinjaman haruslah memperhatikan Tuhan
dan tidak meremehkan kebenaran dan menjaga kejujuran.
4. Sealain tertulis, harus ada dua saksi yang dipercayai oleh kedua pihak yang
menyaksikan proses transaksi.
5. Dalam transaksi tunai, tidak perlu tertulis dan adanya saksi sudah mencukupi.
Kata

berarti apabila kalian melakukan utang piutang. Melakukan

hutang piutang termasuk salah satu kegian bermuamalah. Hukum hutang piutang pada
asalnya diperbolehkan dalam syariat Islam. Bahkan orang yang memberikan hutang atau
pinjaman kepada orang lain yang sangat membutuhkan adalah hal yang disukai dan
dianjurkan, karena di dalamnya terdapat pahala yang besar. Allah memerintahkan kita,
para mukmin agar setiap mengadakan perjanjian utang piutang dilengkapi dengan
perjanjian tertulis serta wajib menyebutkan tempo dalam seluruh hutang-piutang dan
pelunasan penyewaan, karena apabila tempo itu tidak diketahui maka itu tidak dibolehkan
karena itu sangat rentan dengan tipu daya dan berbahaya, maka hal itu termasuk
perjudian.4
Kata
berarti "maka hendaklah kamu menuliskannya. Kata menuliskan
disini berarti menuliskan atau membuat surat perjanjian dalam suatu transaksi. Surat
perjanjian utang piutang adalah suatu perintah yang difardukan dengan nash, tidak
diserahkan sepenuhnya kepada yang bersangkutan. Jumhur ulama berpendapat bahwa
perintah menulis surat perjanjian utang piutang adalah nadab (imbauan) dan irsyad
(sunnah). Atha, asy-syabi, dan Ibn Jarir berpendapat perintah disini berupa perintah yang
wajib sesuai dengan hukum asal perintah yang dipegang jumhur. Penulisan transaksi
tersebut mestinya di lakukan oleh seorang juru tulis yang disebut katib. Sebagai
pemenuhan sikap hati-hati supaya mendekati kebenaran atau keadilan maka katib bisa
didatangkan sebagai pihak ketiga. Harapannya tidak mempunyai kepentingan atas
4 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Ciputat Tangerang: Lentera Hati, 2005), hlm. 601
5

transaksi sehingga bisa menuliskan secara proposional.5 Saksi harus orang yang dapat
bersikap adil dan tidak memihak pada pihak manapun, harapannya agar tidak merugikan
salah satu pihak. Selain harus adil, penulis surat perjanjian juga di syaratkan mengetahui
hukum-hukum yang bersangkut paut dengan pembuatan surat utang, karena surat utang
tidak menjadi jaminan yang kuat, kecuali penulisannya mengetahui hukum-hukum syara
yang diperlukan, baik uruf ataupun menurut undang-undang. Inilah maknanya penulis
harus menulis seperti yang ajarkan Allah.
Kata
berarti dan hendaklah membacakan. Secara praktik, orang yang

berhutang hendaklah membacakan kepada katib mengenai utang yang diakuinya meliputi
berapa besarnya, apa syaratnya dan jatuh temponya. Kenapa yang membacakan mesti
orang yang berutang ?. Karena dikhawatirkan apabila yang mendiktikan/membacakan
orang yang memberi utang, maka akan terjadi ketidakadilan karena orang yang berutang
pada posisi yang lemah. Seperti menghindari terjadinya penambahan nilau utang,
memperpendek jatuh tempo atau memberikan syarat-syarat yang hanya menguntungkan
orang yang memberi utang. Dengan membacakan sendiri hutangnya didepan penulis, maka
tidak ada alasan bagi yang berhutang untuk mengingkari isi perjanjian. Sambil
mengimlakkan segala sesuatu yang diperlukan untuk kejelasan transaksi, Allah
mengingatkan yang berhutang agar hendaklah dia bertakwa kepada Allah Tuhannya.
Kemudian ayat selanjutnya adalah menyatakan nasihat, janganlah ia mengurangi
sedikitpun dari hutangnya, baik yang berkaitan dengan kadar hutang, waktu, cara
pembayaran dan lain-lain, yang dicakup kesepakatan bersama.6

Kata

berarti lemah akal atau lemah

(keadaan) atau tidak mampu. Maknanya adalah jika yang berhutang itu orang yang lemah
akal, anak yang belum cukup umur, sudah sangat tua atau tidak sanggup membacakan
karena tunarungu atau tunawicara, hendaklah dibacakan oleh orang yang menangani
urusannya. Hendaklah dia berlaku adil dan berhati-hati dalam membacakan.

berarti "dua orang saksi". Dalam suatu pencatatan mengenai utang


Kata

piutang, maka minimal di datangkan dua orang saksi yang disetujui kesaksiannya
berdasarkan agama dan keadilannya. Ayat ini menekankan bahwa dua saksi itu adalah laki5 Ibid., hlm. 602
6 Ibid., hlm. 604
6

laki. Al-Imam Ibn Qayyin dalam Ilamul Muwaqqiin bayyinah dalam pandangan syara
lebih umum daripada kesaksian. Maka, tiap apa yang bisa dipergunakan untuk
membenarkan suatu keterangan dinamakan bayyinah seperti bukti yang tidak bisa
dibantah. Karena itu, mungkin orang yang bukan Islam dapat menjadi saksi berdasarkan
makna yang diterangkan dalam al-Quran, as-Sunnah, dan lughah yaitu apabila hakim bisa
mempercayainya dalam menentukan hak (kebenaran).7
Kata

berarti dua orang perempuan. Apabila tidak ada dua orang

laki-laki yang bisa bertindak sebagai saksi, maka bolehlah seorang laki-laki dan dua orang
permpuan. Karena di khawatirkan salah seorang perempuan yang menjadi saksi lupa
akibat kurang memperhatikan terhadap hal-hal yang disaksikan, maka dia dapat diingatkan
oleh orang yang satunya. Allah menyamakan satu orang laki-laki dan dua orang
perempuan. Karna itulah Allah menyerahkan masalah kesaksian ini kepada kerelaan
(kesepakatan) dari pihak-pihak yang membuat surat perjanjian
Kata

berarti kamu ridhoi. Setalah dihadirkannya saksi, selanjutnya
pemilihan saksi harus di sepakati sehingga saksi tersebut diridhoi, dan penentuan jumlah
yang lebih dari satu sebagai pertimbangan untuk saling mengingatkan ketika ada yang lupa
atas persaksia transaksi yang telah dilakukan. Saksi tidak boleh enggan dalam memberi
keterangan apabila mereka di panggil. Bagi seorang saksi, akan diridhoi apabila suatu
ketika harus dimintai keterangan atas persaksian apabila terjadi sengketa antara pihak yang
berkepentingan.8
Kata
berarti dan janganlah kalian jemu/bosan. Allah mengisyaratkan

kepada umat muslim agar tidak jemu menulis utang itu, karena penulisan atau pencatatan
dalam suatu transaksi utang piutang sangat penting agar tidak terjadi kesalah pahaman
pada saat jatuh tempo pembayaran.
Kata

berarti baik utang itu kecil atau besar. Firman ini

menjadi dalil bahwa surat keterangan (perjanjian) sebagai bukti yang sah jika syaratsyaratnya cukup, baik utang itu kecil atau besar dan kita tidak boleh sembarangan masalah
harta. Inilah suatu dasar dari dasar-dasar ekonomi pada masa kini yaitu tiap-tipa
muamalat (mengadakan transaksi) dan tiap-tipa muawadhah (perjanjian) harta haruslah
7 Ibid., hlm. 605
8 Ibid., hlm. 607
7

dibuat surat keterangan tertentu dan pengadilan memandangnya sebagai bukti. Kita tidak
boleh malas mencatatkan nominal utang piutang tersebut, baik itu nominal kecil atau pun
besar.


Kata
berarti "lebih adil". Maksud adil disini adalah dalam penulisan suatu
utang piutang baik kecil maupun besar sampai batas waktu pembayarannya lebih adil di
sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak menimbulkan
keraguan. Biasanya kebanyakan orang merasa malas dan jemu menuliskan transaksi utang
piutang dan mendatangkan saksi karena alasan merepotkan dan sudah saling mengenal.
Pada prinsipnya Allah telah mengajarkan tahapan tersebut sebagai prinsip keadilan.
Bagaimana mungkin norma keadilan bisa terungkap apabila pihak yang bertransaksi tidak
mempunyai bukti apapun. Tidak adanya penulisan yang yang mengikat hanya boleh
dilakukan pada transaksi tunai.9
Kata

berarti maka tidak ada atas kalian dosa. Hal ini

dapat dipahami bahwa apabila kita melakukan suatu transaksi tunai maka tidak ada dosa
apabila tidak menulisnya atau mencatatnya dalam suatu surat perjanjian. Namun apabila
kita melakukan transaksi utang piutang maka harus di tulis agar tidak terjadi kesalah
pahaman yang menyebabkan perselisihan dan berbuah dosa.
Ayat ini diakhiri dengan firman-Nya: Dan bertaqwalah kepada Allah mengajar kamu;
dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Menutup ayat ini dengan perintah bertaqwa
yang disusul dengan mengingatkan pengajaran ilahi, merupakan penutup yang amat tepat,
karena seringkali yang melakukan transaki perdagangan menggunakan pengetahuan yang
dimilikinya dengan berbagai cara terselubung untuk mencari keuntungan sebanyak
mungkin. Dari sini peringatan tentang perlunya taqwa serta mengingat pengajaran Ilahi
menjadi sangat tepat.

D. Hikmah Dikeluarkannya Hukum


Tingkatan sosial yang terjadi dalam kehidupan manusia akan menyebabkan kebaikan
bagi mereka jika satu dengan yang lain saling mengisi dan tidak saling menzalimi. Konsep

9 Ibid., hlm. 609


8

sosial seperti itulah yang diatur dalam Al-Quran untuk terjaga keharmonisan sosial sebagai
kebutuhan dasar bagi umat manusia.
Perbedaan tingkatan sosial manusia antara lain adalah terjadi dalam aspek
perekonomian. Perbedaan itulah yang melatari perbuatan utang piutang kerap terjadi dalam
kehidupan manusia. Al-Quran sebagai pedoman umat Islam menjelaskan secara rinci
tentang perbuatan tersebut yaitu pada ayat 282 dari surat Al-Baqarah.
Allah SWT. menuntun hamba-Nya yang mukmin, jika mereka bermuamalah hutang
piutang hendaknya ditulis supaya jelas jumlahnya, waktunya, dan memudahkan untuk
persaksian. Ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan hutang piutang yang terjamin, jelas
masanya dan telah dihalalkan oleh Allah SWT.
Manajemen utang piutang:10
1.Transaksi utang piutang wajib dicatat jika ke dua belah pihak (kreditor dan debitor)
merasa diperlukan untuk itu.
2. Pencatatan utang piutang dicatat oleh para ahli dibidang tersebut. Kondisi sekarang
pencatatan transaksi utang piutang dilakukan bisa dilakukan di kantor notaris.
3. Dalam pencatatan utang piutang, kedua belah pihak wajib menghadirkan dua orang
saksi laki - laki berdasarkan persetujuan. Akan tetapi, jika saksi yang dihadirkan terdiri
dari saksi laki-laki dan saksi wanita, maka para pihak wajib menghadirkan satu orang
saksi dari laki-laki dan dua orang saksi dari wanita. Karena kesaksian dua wanita adalah
sebanding dengan kesaksian satu lelaki.
4. Menghadirkan kesaksian tidak hanya diperintahkan pada transaksi utang piutang. Akan
tetapi menghadirkan kesaksian juga diperintahkan dalam jual beli tunai.

10 Al Furqan. Manajemen Utang Piutang: Tafsir QS. Al - Baqarah Ayat 282 (Sebuah
Konsep Sosial Islam). (Banda Aceh: IAIN Ar-Raniry Darusalam, 2011), hlm. 28-29.
9

BAB III
KESIMPULAN
Allah mengajarkan kepada orang-orang yang beriman tentang pentingnya pencatatan
transaksi. Caranya menunjuk seseorang untuk menjadi penulis dari setiap transaksi,
terutama yang dilakukan secara tidak tunai. Etika yang mesti dimiliki penulis tersebtu
yakni bersikap adil dengan menuliskan kebenaran transaksi yang dilakukan. Sebagai
pemenuhan prinsip kehati-hatian di perlukan juga saksi yang akan memberikan saksi
apabila terjadi masalah dikemudian hari. Jika utang piutang dilakukan dalam perjalanan,
maka yang berhutang harus memberikan barang tangguhan kepada yang berpiutang.
Pemberlakuan ini juga tetap disertai dengan sikap moral dapat dipercaya dan pemenuhan
prinsip dapat dipertanggungjawabkan.
Ayat tersebut menganjurkan kepada manusia untuk mencatat apabila melakukan
suatu hutang piutang. Hal tersebut biar tidak terjadi suatu perselisihan dikemudian hari
apabila tersjadi suatu permasalahan yang timbul selama berjalannya transaksi hutang
sampai kepada suatu pelunasan. Apabila terjadi suatu masalah, tinggal dibuka saja catatancatatan perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.

10

DAFTAR PUSTAKA
Al Furqan. Manajemen Utang Piutang: Tafsir QS. Al - Baqarah Ayat 282 (Sebuah Konsep
Sosial Islam). Banda Aceh: IAIN Ar-Raniry Darusalam, 2011
Al-Imam Abu Fida Ismail Ibnu Katsir ad-Dimasyqi, Tafsr Ibnu Katsr, terjemahan Bahrun
Abu Bakar, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Ciputat Tangerang: Lentera Hati, 2005
Muhammad Ar-Rifai, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Penerjemah: Syihabuddin, Jakarta:
Gema Insani, 1999

11

You might also like