MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE MELALUI
PELAWANAN PUBLIK
Oleh
Achmad Hidayat Rahadian
ABSTRAK
Pelayanan publik di Indonesia seringkali dicirikan oleh inefisiensi yang tinggi,
prosedur yang berbelit-belit, serta tidak adanya kepastian waktu dan biaya yang
diperlukan dalam penyelenggaraan layananan. Pembaharuan penyelenggaraan layanan
publik dapat digunakan sebagai entry point sekaligus penggerak utama (prime mover)
dalam mendorong perubahan praktek governance di Indonesia. Pelayanan publik
dipilih sebagai penggerak utama karena upaya mewujudkan nilai-nilai yang selama ini
meneirikan praktik good governance dalam pelayanan publik dapat dilakukan secara
lebih nyata dan mudab, Nilai-nilai seperti efisiensi keadilan, transparansi, akuntabilitas,
responsivitas dan partisipasi dapat sliterjemahkan secara relatif Iebih mudah dalam
penyelenggaraan pelayanan Publik. Keberhasilan mengimplimentasikan nilai-nilai
pelayanan publik secara bertahap dapat dilembagakan di dalam setiap» aspek
pemerintehan,
PENDAHULUAN
Kualitas pelayanan publik yang dilakukan pemerintah seringkali
dianggap sebagai cermin dari kualitas birokrasi secara umum. Pelayanan
publik terkait dengan sistem, sumberdaya aparatur dan yang lebih pokok
adalah paradigma berpikir yang melatari proses pelayanan itu diberikan
kepada masyarakat.
Walaupun otonomi daerah sudah diterapkan cukup lama di
Indonesia, hal tersebut tidak serta merta berhasil meningkatkan kualitas
pelayanan publik yang diberikan kepada masyarakat. Masyarakat yang
terus-menerus mendorong pintu demokratisasi dan desentralisasi saat ini
juga belum mendapatkan respon yang seimbang dari aparat pemerintah
untuk berbenah melakukan perubahan mendasar perbaikan aspek
pelayanan publik
Perangkat birokrasi di Indonesia juga belum benar-benar
menyadari bahwa memberikan pelayanan yang, terbaik merupakan
cermin dari semangat pengabcian. Sebagian besar pola pikir aparatur
birokrasi masih didominasi pikiran dan perilaku "dilayani",
"menghambat", "mempersulit", "memperumit urusan sederhana", dan
"tertutup".
Jurnal Imiah STIAMI aeAspek itulah yang membuat proses peningkatan pelayanan
publik yang berkualitas seringkali mengalami hambatan.
Karena pelayanan publik merupakan jembatan bagaimana negara
ratur birckrasi) menjalankan fungsinya berkaitan dengan masyarakat
(rakyat), maka upaya untuk mereformasi pelayanan publik sesuai
dengan karakter sosial budaya masyarakat atau sebagaimana diinginkan
oleh publik, setidaknya harus menjadi isu pemerintahan untuk terus
dipikirkan agar mendapat solusi terbaik.
Reformasi paradigma pelayanan publik merupakan perubahan
pola penyelenggaraan pelayanan dari yang semula berorientasi pada
pemerintah Kini berubah ke arah kebutuhan masyarakat. Untuk
memulainya, pemerintah perlu mendengarkan apa suara publik itu
sendiri. Dengan demikian peningkatan partisipasi masyarakat di bidang
pelayanan publik adalah menjadi faktor penting.
Sekurang-kurangnya terdapat tiga alasan yang melatarbelakangi
bahwa pembaharuan pelayanan publik dapat mendorong pengembangan
praktik good governance di Indonesia. Pertama, perbaikan kinerja
pelayanan publik dinilai penting oleh semua stakeholders, yaitu
pemerintah, warga pengguna, dan para pelaku pasar.
Pemerintah berkepentingan dengan upaya perbaikan pelayanan
publik karena jika berhasi] memperbaiki pelayanan publik, akan dapat
memperbaiki legitimasi. Membaiknya pelayanan publik juga akan dapat
memperkecil biaya birokrasi, yang pada gilirannya dapat memperbaiki
kesejahteraan warga pengguna dan efisiensi mekanisme pasar.
Kedua, pelayanan publik adalah ranah dari ketiga unsur
governance melakukan interaksi yang sangat intensif. Melalui
penyelenggaraan layanan publik, pemerintah, warga sipil, dan para
pelaku pasar berinteraksi secara intensif sehingga apabila pemerintah
dapat memperbaiki kualitas pelayanan publik, maka manfaatnya dapat
dirasakan secara langsung oleh masyarakat dan para pelaku pasar. Hal
seperti ini penting dilakukan agar warga dan pelaku pasar semakin
percaya bahwa pernerintah memang telah serius melakukan perubahan
Adanya kepercayaan (rus) antara pemerintah dan unsur-unsur non-
pemerintah merupakan prasyarat yang sangat penting untuk menggalang
dukungan yang luas bagi pengembangan praktik good governance di
Indonesia. Trust juga sangat penting untuk meyakinkan mereka bahwa
good governance bukan hanya mitos tetapi dapat menjadi realitas
apabila pemerintah dan unsur-unsur non-pemerintah bekerja keras dari
mampu menggalang semua potensi yang dimilikinya untuk mewujudkar
good governance.
58 Jurnal Imiah STIAMIKetiga, nilai-nilai yang selama ini mencirikan praktik good
governance dapat diterjemahkan secara relatif lebih mudah dan nyata
melalui pelayanan publik. Nilai seperti etisiensi, keadilan, transparansi,
partisipasi, dan akuntabilitas dapat diukur secara mudah dalam praktik
penyelenggaraan layanan publik. Keberhasilan mengimplementasikan
nilai-nilai tersebut dalam ranah pelayanan publik menjadi entry point
dan prime mover dalam mendorong perbaikan governance di Indonesia.
KONDISI PELAYANAN PUBLIK
Pelayanan publik menjadi isu kebijakan yang semakin strategis
Karena perbaikan pelayanan publik di Indonesia cenderung “berjalan di
‘empat" sedangkan implikasinya sangatlah luas dalam kehidupan
ekonomi, politik, sosial budaya dan lain-lain. Dalam kehidupan
ekonomi, perbaikan pelayanan publik akan bisa memperbaiki iklim
‘nvestasi yang sangat diperlukan bangsa ini agar bisa segera keluar dari
‘risis ekonomi yang berkepanjangan. Buruknya pelayanan publik di
Indonesia sering menjadi variabel yang dominan mempengaruhi
Penurunan investasi yang berakibat pada pemutusan hubungan kerja.
Sayangnya, perbaikan pelayanan publik dalam berbagai studi yang
Gilakukan tidaklah berjalan linear dengan reformasi yang dilakukan
galam berbagai sektor sehingga pertumbuhan investasi malah bergcrak
ke arah negatif. Akibatnya harapan pertumbuhan ekonomi yang
diharapkan dapat menolong bangsa ini keluar dari berbagai_krisis
ekonomi belum terwujud.
Dalam kehidupan politik, perbaikan pelayanan publik juga sangat
berimplikasi luas khususnya dalam memperbaiki tingkat kepercayaan
kepada pemerintah, Buruknya pelayanan publik selama ini menjadi
salah satu variabel_penting yang mendorong munculnya_ krisis
Sepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Krisis kepercayaan
masyarakat teraktualisasi dalam bentuk protes dan unjukrasa yang
cenderung tidak sehat menunjukkan_ kefrustasian publik terhadap
pemerintahnya, Oleh karena itu, perbaikan pelayanan publik mutlak
“perlukan agar image buruk masyarakat kepada pemerintah dapat
erbaiki, karena dengan perbaikan kualitas pelayanan publik yang
semakin baik, dapat mempengaruhi kepuasan masyarakat schingea
Sepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dapat dibangun kembali
Berbagai masalah yang diidentifikasi tersebut dapat diatasi
ccara bertahap melalui pemulihan kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintah sebagai pelayan publik.
wnal Ilmiah STIAMI 59Kualitas pelayanan publik yang masih _memprihatinkan
menyebabkan produk layanan publik yang sebenarnya dapat dijual ke
masyarakat direspon secara negatif. Keadaan tersebut juga menyebabkan
keengganan masyarakat untuk taat membayar pajak dan retribusi daerah,
(Kuncoro Mudrajad, 2004: 45).
Fenomena masih memprihatinkan kualitas pelayanan publik dalam
perspektif global, ditunjukaa oleh laporan Global Competitiveness yang
dikeluarkan oleh World Economic Forum (WEF), Indonesia paca tahun
2006 berada pada peringkat 50, masih kalah dari Singapore (5),
Malaysia (26) dan Thailand (35).
Selanjutnya dikemukakan, bahwa faktor utama penghambat
bisnis di Indonesia, adalah:
. Tidak efisiennya birokrasi dalam pemberian pelayanan publ
Buruknya infrastruktur
. Regulasi perpajakan yang memberatkan
. Kualitas SDM yang burnk
Kebijakan yang tidak stabil dan konsisten
AMVbebe
Laporan Bank Dunia tahun 2006 juga mengemukakan Indonesia
bukan surga untuk investasi. Pada 2006, realisasi investasi langsung
asing mengalami penurunan signifikan, sekitar 30 persen, Persoalan
birokrasi sebagai aktor dalam layanan investasi menunjukan pelayanan
yang panjang dan berbelit-belit sehingga menjadi salah satu sebab
enggannya investor asing datang ke tanab air.
Indikator Kemudahan Bisnis 2006
(Lamanya Mari)
60 Jurnal Imiah STiAMTDari tabel kemudahan bisnis, dapat diketahui bahwa untuk
melakukan bisnis di Indonesia rata-rata memerlukan waktu 151 hari,
bandingkan dengan Singapore hanya 8 hari, Malaysia 30 hari, Thailand
33 hari, Filipina $0 hari, bahkan Bangladesh negara yang ekonominya
tdak lebih baik dari Indonesia mampu memberikan pelayanan publik
untuk investasi rata-rata 35 hari.
Di bidang pariwisata, indeks daya saing Indonesia berdasarkan
‘aporan Travel and Tourism Competitiveness Index tahun 2007 di
Kawasan ASEAN juga relatif rendah.
1 Indeks Daya Saing Pariwisata Urutan atau Posisi Negara
1 | Swiss 5| USA 9 | Luksemburg | 31 | Malaysia
2 | Austma 6 | Hongkong 10 | Inggris 42 | Korea
3 | Jerman 7_| Kanada 25 | Jepang 43 | Thailand
4 | Islandia 8 | Singapura 30_| Taiwan 6) | Indonesia
Rendahnya indeks daya saing pariwisata Indonesia antara Jain
disebabkan oleh peraturan dan kebijakan’ pemerintah dan kualitas
sumber daya manusia yang terlibat dalam pelayanan jasa
Pariwisata/pelayanan publik di bidang pariwisata, indeks daya saingnya
relatif rendah dibanding negara tetangga.
KONSEP PELAYANAN PUBLIK
Pelayanan publik adalah pemenuhan keinginan dan kebutuhan
masyarakat oleh penyelenggara negara. Negara didirikan oleh publik
‘masyarakat) dengan tujuan agar dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Pada hakikatnya negara dalam kal ini pemerintah (birokrat)
Saruslah dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Kebutuhan dalam hal
mi tidak hanya individual akan tetapi berbagai kebutuhan yang
Gharapkan masyarakat (Sinambela, L. P. 2008: 5).
Strategi mengutamakan pelanggan adalah prioritas utama dalam
pelayanan publik. Bahkan Carlzon dalam Wasistiono (2003:42), mena-
makan abad ini sebagai "abad pelanggan", abad dimana para pengguna
sa diposisikan pada tempat yang paling terhormat (putting costumers
st). Segala upaya peningkatan kualitas pelayanan dilakukan dengan
menggunakan pendekatan pelanggan.
Dari sudut pandang pelanggan, setiap dimensi penting dalam
penyampaian pelayanan berkualitas, untuk itu setiap penyedia jasa
pslayanan perlu menerapkan perspektif pelayanan _pelanggan
«nal Ilmiah STIAMI 61sebagaimana dipaparkan oleh lan Carlzon dalam Pasolong, H (2007:
131), sebagai berikut: (1) Pelanggan adalah raja, (2) Pelanggan adalah
alasan keberadaan kita, (3) Tanpa pelanggan, kita tak punya apa-apa, (4)
Pelanggan kitalah yang menentukan bisnis kita, (5) Jika kita, tidak
memahami pelanggan kita, maka berarti kita tidak memahami bisnis
kita.
Pada tingkat kompetisi yang akan semakin terbuka di era
globalisasi, maka dorongan untuk membangun pemerintahan yang
digerakkan oleh pelanggan (building a customer driven government),
semakin strategis dan menjadi variabel penentu dalam miemenangkan
kompetisi ini. Oleh karena itu, perlu adanya perubahan perspektif
manajemen pelayanan, sebagaimana dikemukakan oleh Groonros
(dalam Lovelock, 1992: 10) sebagai berikut:
a. Dari berdasarkan daya manfaat produk menjadi daya manfaat total
dalam hubungan dengan pengguna jasa (from the product based
utility in the customer relationship).
b. Dari transaksi jangka pendek menjadi hubungan jangka panjang
(from short-form to long form relationship).
¢. Dari kualitas inti (baik barang maupun jasa) kualitas. teknis dari
suatu produk pada kualitas yang diharapkan dan dipersepsikan para
Pengguna jasa dalam mempertahankan hubungan dengan pengguna
jasa (from care product, good or service, quality the technical
quality of the outcome to to.tal customer perceived quality in
enduring customer relations).
d. Dari menghasilkan solusi teknis sebagai proses kunci dalam
organisasi menjadi pengembangan daya manfaat dan kualitas
kescluruhan sebagai proses kuncinya. (from production of the
technical corellation as the key process in the organization to
developing total utility and total quality as the key process).
Kualitas pelayanan (service quality) telah hampir menjadi faktor
yang menentukan dalam menjaga keberlangsungan suatu organisasi
birokrasi pemerintah maupun organisasi perusahaan. Pelayanan yang
baik dan sesuai dengan kebutuhan pengguna jasa publik, sangat penting
dalam upaya mewujudkan kepuasan pengguna jasa publik (customer
satisfaction).
62 Jurnal Imiah STIAMIKONSEP GOOD GOVERNANCE
Pengertian governance dapat diartikan sebagai cara mengelola
urusan-urusan publik. World Bank (dalam Mardiasmo, 2004),
memberikan definisi governance sebagai "the way state power is used in
managing economic and social resources for development of society”.
Sedangkan United Nation Development — Program — (UNDP)
mendefinisikan governance sebagai "the exercise of political, economic,
and administrative authority to manage a nation's affair at all levels".
Dalam hal ini, World Bank lebih menekankan pada cara pemerintah
mengelola sumber daya sosial dan ckonomi untuk kepentingan
pembangunan masyarakat, sedangkan UNDP lebih menekankan pada
aspek politik, ekonomi, dan administratif dalam pengelolaan negara.
Political governance mengacu pada proses pembuatan kebijakan
(policy/strategy formulation). Economie governance mengacu pada
proses pembuatan keputusan di bidang ekonomi yang berimplikasi pada
masalah pemerataan, penurunan kemiskinan, dan peningkatan kualitas
hidup. Administrative governance mengacu pada sistem implementasi
kebijakan (Mardiasmo, 2004: 23).
Jika mengacu pada World Bank dan UNDP, orientasi
pembangunan sektor publik adalah untuk menciptakan good
governance. Pengertian good governance sering diartikan sebagai
kepemerintahan yang baik. Sementara itu, World Bank mendefinisikan
good governance sebagai suatu. penyelenggaraan manajemen
pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan
prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi
Sana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun
administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and
political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha (Word Bank, 1997:
24),
Good governance sebagai sebuah gerakan juga didorong oleh
Sepentingan berbagai lembaga donor dan keuangan internasional untuk
mperkuat institusi yang ada di Negara dunia ketiga dalam
claksanakan berbagai kegiatan yang dibiayai olch berbagai lembaga
tu. Mereka menilai bahwa, kegagalan-kegagalan proyek yang mereka
Sayai merupakan akibat lemahnya institusi pelaksana di negara-negara
dunia ketiga yang disebabkan oleh praktik bad gowernance seperti tidak
‘sparan, rendahnya partisipasi warga, rendahnya daya tanggap
cthadap kebutuhan warga, diskriminasi tethadap stakeholders yang
cerbeda, dan inefisiensi. Karena itu, lembaga keuangan internasional
~rnal Umiah STIAMI 63dan donor sering mengkaitkan pembiayaan proyek-proyek mereka
dengan kondisi atau ciri-ciri good governance dari lembaga pelaksana.
Dengan banyaknya perspektif yang berbeda dalam menjelaskan
konsep good governance maka tidak mengherankan jika kemudian
terdapat banyak pemahaman yang berbeda-beda mengenai good
governance. Namun secara umum ada beberapa karakteristik dan nilai
yang melekat dalam praktik good governance. Pertama, praktik good
governance harus memberi ruang kepada aktor lembaga non-pemerintah
untuk berperan serta secara optimal dalam kegiatan pemerintahan
sehingga memungkinkan adanya sinergi di antara aktor dan lembaga
pemerintah dengan non-pemerintah seperti masyarakat sipil dan
rmekanisme pasar. Kedua, dalam praktik good governance terkandung
nilai-nilai yang membuat pemerintah dapat lebih efektif bekerja untuk
mewujudkan kesejahteraan bersama. Nilai-nilai_ seperti efisiensi,
keadilan, dan daya tanggap menjadi nilai yang penting. Ketiga, praktik
good governance adalah praktik pemerintahan yang bersih dan bebas
dari praktik KKN serta berorientasi pada kepentingan publik. Karena itu,
praktik pemerintahan dinilai baik jika mampu mewujudkan transparansi,
penegakan hukum, dan akuntabilitas publik.
Karakteristik Good Governance Menurut UNDP
UNDP (1997) memberikan beberapa karakteristik pelaksanaan good
governance, meliputi:
a) Participation, keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan
baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga
perwakilan yang dapat menyalurkan aspiresinya. Partisipasi tersebut
dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta
berpartisipasi secara konstruktif.
Rule of law, kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa
pandang bulu.
) Transparency, transparansi dibangun atas dasar kebebasan mem-
peroleh informasi. Informasi yang berkaitan dengan kepentingan
publik secara langsung dapat diperoleh oleh mereka yang mem-
butuhkan.
1) Responsiveness, lembaga-lembaga publik harus cepat dan tanggap
dalam melayani stakeholder. os
2) Consensus orientation, berorientasi pada kepentingan masyarakat
yang lebih Iwas
f) Equity, setiap masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk
memperoleh kesejahteraan dan keadilan.
b
64 Jurnal Imiah STIAMT8)
h
Efficiency and Effectiveness, pengelolaan surnber daya publik
dilakukan secara berdaya guna (efisier!) dan berhasil guna (efektif).
Accountability, pertanggungjawaban kepada publik atas sctiap
aktivitas yang dilakukan.
1) Strategic vision, penyelenggara pemerintahan dan masyarakat harus
memiliki visi jauh ke depan.
Dari delapan karakteristik tersebut, paling tidak terdapat tiga hal
yang dapat diperankan oleh akuntabilitas sektor publik yaitu penciptaan
transparansi, akuntabilitas publik, dan value for money (economy,
efficiency dan effectiveness)
KONSEP GOOD GOVERNANCE DALAM
PELAYANAN PUBLIK
Pelayanan publik di Indonesia seringkali dicirikan oleh
inefisiensi yang tinggi, prosedur yang berbeli-beli, serta tidak adanya
kepastian waktu dan biaya yang diperlukan dalam penyelenggaraan
layanan, Lebih dari itu, penyelenggaraan pelayanan publik masih sangat
dipengaruhi oleh subjektivitas, baik yang dimiliki oleh penyelenggara
atau para pengguna dalam konteks ini upaya pengembangan pelayanan
publik dengan memperhatikan prinsip-prinsip good governance menjadi
sangat penting.
Prinsip-prinsip dimaksud adalah
1. Transparansi/Keterbukaan (Tranparency)
Transparansi dalam pelayanan memiliki peran yang kritis
dalam pengembangan praktik governance karena sebagian besar
permasalahan dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dan
pelayanan bersumber dari rendahnya transparansi, Ketidakpastian
pelayanan, praktik suap, dan terlalu besarnya biaya transaksi dalam
kegiatan pemerintahan dan pelayanan bersumber dari tidak adanya
transparansi.
Menurut Joko Widodo (2002:276) keterbukaan mengandung
arti prosedur/tata cara persyaratan, waktu penyelesaian, rincian
waktu/tarif serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan
wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan
dipahami oleh masyarakat baik diminta maupun tidak diminta.
Jurnal Iimiah STIAMI 652. Akuntabilitas (Accountability) Pelayanan Publik
Penyelenggaraan pelayanan publik = harus_— dapat
dipertanggungjawabkan, baik kepada publik maupun kepada
atasan/pimpinan unit pelayanan instansi pemerintah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Akuntabilitas dalam negara demokrasi (Lenvine, 1990: 188)
dari aspek akuntabilitas menunjukan seberapa besar proses
penyelenggaraan pelayanan sesuai dengan kepentingan stakeholders
dan norma-norma yang berkembang dalam masyarakat. Sedangkan
menurut Ratminto & Atik Septi Winarsih (2006:216-219)
pertanggungjawaban pelayanan publik meliputi Akuntabilitas kinerja
pelayanan publik, Akuntabilitas biaya pelayanan publik, dan
Akuntabilitas produk pelayanan publik
3. Responsivitas (Responsiveness) Pelayanan Publik
Adalah daya tanggap penyedia layanan terhadap harapan,
keinginan, aspirasi maupun tuntutan pengguna layanan menurut
Zeithaml, Parasuraman & Berry (1990:26) responsivitas diartikan
juga sebagai kerelaan untuk menolong pengguna layanan dan
menyelenggarakan pelayanan publik secara ikhlas.
Strategi yang dapat diterapkan untuk meningkatkan
responsivitas pelayanan publik adalah melalui pelembagaan citizen
charter atau kontrak pelayanan (Subarsono, A.G, 2008:135-171).
Citizen charter adalah suatu pendekatan dalam penyenggaraan
pelayanan publik dengan menempatkan pengguna layanan sebagai
perhatian. Dalam hal ini, kebutuhan dan kepentingan pengguna
layanan harus menjadi pertimbangan utama dalam keseluruhan
proses penyclenggaraan layanan.
Citizen charter mendorong penyedia dan pengguna layanan
serta sfakeholders lainnya secara bersama-sama menyepakati jenis,
prosedur, waktu, serta biaya pelayanan. Kesepakatan ini harus
mempertimbangkan keseimbangan hak dan kewajiban antara
penyedia dan pengguna layanan. Karena perumusan kesepakatan
dilakukan dengan melibatkan warga pengguna, maka citizen charter
ini dapat memudahkan penyedia layanan untuk memahami
kebutuhan dan aspirasi warga mengenai penyelenggaraan pelayanan.
Selain itu, di dalam citizen charter juga mengatur mekanisme penga-
duan keluhan dari pengguna sehingga memberikan peluang kepada
penyedia layanan untuk dapat selalu mengetahui keluhan ataupun
kebutuhan warga pengguna.
66 Jurnal Ilmiah STIAMI4. Keadilan (Fairness) Yang Merata
A level playing field (petlakuan yang adil/perlakuan
kesetaraan). Ini berlaku bagi pemerintah kepada masyarakat dalam
pelayanan publik, perusahaan kepada pelanggan dan sebagainya,
Kriteria keadilan yang merata’_-mengandung arti
cakupan/jangkauan pelayanan harus diusahakan seluas mungkin
dengan distribusi yang merata dan diberlakukan secara adil bagi
seluruh lapisan masyarakat (Joko Widedo, 2002: 276).
Hubungan antara pemerintah sebagai pelayan publik dan
mereka yang menggunakan layanan tersebut secara historis lebih
tepat didefinisikan sebagai hubungan antara pemerintah dengan
warga negara daripada kubungan antara pemberi layanan dan
customer. Lebih jauh Walsh (1994: 69) mengatakan sebagai berikut:
the fundamental relationship between citizen and government is not
one of simple exchange but one mutual commitment, and public
services are not simply a reciprocatian on taxes" ("Hubungan
fundamental antara warga negara dan pemerintah bukanlah suatu
pertukaran yang sederhana akan tetapi lebih merupakan komitmen
bersama, dan pelayanan publik buxanlah semata-mata bentuk
resiprokal dari pajak"). Karena hubungan antara pemerintah dan
warga negara yang dilayani memiliki landasan fundamental yang
ditandai oleh adanya komitmen bersama antara pihak yang
memerintah dan pihak yang diperintah untuk membangun suatu
negara, maka salah satu hal penting yang harus menjadi indikator
untuk mengukur keberhasilan pelayanan publik adalah equality
(persamaan). Dengan demikian, setiap warga negara harus
mempunyai akses yang sama untuk memperoleh pelayanan publik
yang mereka butuhkan.
5. Efesiensi dan Efektivitas (Efficiency & Effectiveness)
Menurut Savas (1987:115), ada tiga kriteria fundamental
dalam pelayanan Publik yaitu efesiensi, efektivitas dan keadilan
(equity).
Untuk meningkatkan efisiensi dan efektiviatas pelayanan
publik, serta_ prospek pelayanan publik di masa datang
mengisyaratkan perlu dilakukan reformasi mendasar terutama dalam
Kinerjanya. Beberapa alternatif yang dapaf® dilakukan untuk
meningkatkan pelayanan yang efisien, efektif dan ekonomis (Syaiful
Arif, 2008: 22), antara lain:
Jurnal Iiniah STIAMT 67a. melakukan reformasi internal dari aparat/birokrasi tentang tugas
yang diembannya. Persepsi selama ini ia dibutuhkan rakyat atau
publik harus dirubah bahwa dialah yang membutuhkan rakyat.
b. Peningkatan suasana kompetensi dengan scsama aparat dalam
memberikan layanan. Dengan kompetisi output lavanan menjadi
lebih baik namun tidak menambah biaya.
c. Mendeskripsikan dan mempublikasikan secara jelas-tegas,
kriteria efisien dan efektif suatu kegiatan layanan publik. Efisien
atau efektif tidaknya aktivitas layanan publik menjadi indikasi
kinerja dan jenjang karier aparat yang bersangkutan.
d. Adanya otonomi, demokratisasi serta keterlibatan aparat dalam
merumuskan suatu kebijakan.
e. Peningkatan mioralitas aparat, ini bersangkutpaut dengan
kesadaran masing-masing aparat/birokrasi_ sebagai aktor
pelayanan publilc.
6. Partisipasi (Participation) dalam pelayanan publik
Pada pelayanan publik, prinsip partisipasi dalam upaya
mewujudkan good governance, sejalan dengan pandangan baru yang,
berkembang di dalam upaya meningkatkan pelayanan publik dengan
cara melihat masyarakat tidak hanya sebagai pelanggan (customer)
melainkan sebagai warga negara yang memiliki negara dan sekaligus
pemerintahan yang ada di dalamnya (owner). Pergeseran pandangan
ini mengisyaratkan bahwa masyarakat sejak awal harus dilibatkan
dalam merumuskan berbagai hal yang menyangkut pelayanan
publik, misalnya mengenai jenis pelayanan publik yang mereka
butuhkan, cara terbaik untuk menyelenggarakan pelayanan publik,
mekanisme untuk mengawasi proses pelayanan, dan yang tak kalah
pentingnya adalah mekanisme untuk mengevaluasi pelayanan
(Purwanto, E. A, 2008: 190).
Pentingnya partisipasi publik dalam upaya meningkatkan
kualitas pelayanan publik juga memperoleh momentum yang tepat
seiring dengan munculnya era otonomi daerah di Indonesia yang
memberikan keleluasaan lebih besar kepaca daerah untuk merancang
dan menentukan sendiri jenis pelayanan yang paling dibutuhkan oleh
masyarakat. Posisi strategis pemerintah daerah sebagai ujung tombak
penyedia layanan publik dikemukakarf oleh Rayner (1997) sebagai
berikut: One of the critical functions of local government is to be a
forum where people can negotiate their interests, raise concerns
about matters affecting them and try to reach a consensus or
accommodate the needs of others". ("Salah satu fungsi penting yang
68 Jurnal Iiniah STIAMTharus dijalankan oleh pemerintah dacrah adalah menjadi forum
dimana masyarakat dapat menegosiasikan apa yang menjadi
kepentingan mereka, menyampaikan rasa keprihatinan mengenai
masalah-masalah yang mengganggu mereka dan mencari konsensus
atau mengakomodasi kepentingan orang lain").
Kewenangan yang dimiliki daerah tersebut tentunya dapat
mendatangkan manfaat besar bagi masyarakat apabila pemerintah
daerah mampu membangun demokrasi pada tingkat lokal (Jocal /evel
democracy), melalui peningkatan partisipasi. publik dengan
melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan yang
menyangkut pelayanan publik, pemerintah dacrah akan memperoleh
berbagai keuntungan.
PENUTUP
Nilai-nilai yang selama ini mencirikan praktik good governance
yang diterjemahkan secara relatif lebih mudah dan nyata melalui
pelayarian publik, seperti efisiensi, keadilan, transparansi, partisipasi,
dan akuntabilitas dapat diukur secara mudah dalam _ praktik
penyelenggaraan pelayanan publik, Para agen pembaruan_praktik
pemerintahan dapat memulai eksperimentasi. mereka pada ranah
pelayanan publik dengan mengembangkan system pelayanan publik
yang efisien dan berkeadilan, transparan, akuntabel, serta partisipatif.
Keberhasilan mengimplementasikan nilai-nilai tersebut dalam ranah
pelayanan publik dapat ditularkan pada ranah yang lain. Dengan cara
sepeti ini maka good governance secara bertahap dapat dilembagakan di
dalam setiap aspek kegiatan pemerintahan.
DAFTAR PUSTAKA
Joko Widodo. 2001. Good Governance, Surabaya. Ihsan Cendekia.
Kuncoro, Mudrajad. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah. Jakarta.
Erlangga.
Lovelock, H. Christopher. 1992. Managing Service, Marketing
Operation and Human Resources, New ersey. Prentice Hall
International, Inc.
Jurnal Ilmiah STIAMI 69Lenvine, Charles H. et al. 1990. Public Administration: Challenges,
Choices, Consequences. Glenview, Mlionis: Scoot Foreman/Little
Brown Higher Education.
Mardiasmo. 2004. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah,
Yogyakarta. Penerbit Andi.
Pasolong, Harbani. 2007. Teori Administrasi Publik, Bandung, Alfabeta.
Purwanto, Erwan Agus. 2008. Pelayanan yang Partisipatif, Yogyakarta.
Gajah Mada University Press.
Rayner, M. 1997. Local Government, Where Democracy is Born in
Local Government Focus, access via internet www. loc-gov-
focus, aus.net/1997/December/ where. htm.
Ratminto & Asik Septi Winarsih.2006. Manajemen Pelayanan,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Savas, E.S. 1987. Privatization “The key to better government”, New
Jersey: Chathan House Publishers, Inc, Chatam.
Syaiful Arif. 2008. Pelayanan Publik di Indonesia, Malang: Averroes
Press.
Subarno A.G. 2008. Mewujudkan Good Governance dalam Pelayanan
Publik, Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Sinambela, Lijan Poltak. 2008. Reformasi Pelayanan Publik, Jakarta’
Bumi Aksara.
UNDP. 1997, Tata Pemerintahan yang Baik Dari Kita Untuk Kita,
Jakarta: UNDP.
Walsh, K. 1994. Marketing and Public Sector, European Journal of
Marketing, V 28 (3), pp. 63-71.
Word Economic Forum (WEF). 2006. Global Competitiveness, Global
Ekonomi Report, tae World Bank.
World Bank. 1997. World Depelopment Report 1997- The State in a
Changing World, Washington: World Bank.
Wasistiono, Sadu. 2003. Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah, Bandung: Fokus Media
Zeinthaml,V. A. Parasuraman & L.L. Berry. 1990. Delivering Quality
Service, Balancing Customer Perseptions and Expectation, New
York: The Free Press.
70 Jurnal Ilmiah STIAMI