2002 Kam

You might also like

Download as pdf
Download as pdf
You are on page 1of 116
HUBUNGAN KONDIS!I OSEANOGRAFI (SUHU PERMUKAAN LAUT, KLOROFIL-A DAN ARUS) DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN SELAT SUNDA KHAIRUL AMRI PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2002 ABSTRAK Khairul Amri. Hubungan Kondisi Oseanografi (Suhu Permukaan Laut, Klorofil-a dan Arus) dengan Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil di Perairan Selat Sunda. Dibawah bimbingan Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc dan Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mendiskripsikan kondisi oseanografi dalam bentuk sebaran suhu permukaan laut (SPL), klorofil-a dan arus perairan Selat Sunda selama satu siklus (empat musim); dan 2) menganalisa hubungan antara kondisi oseanografi dengan hasil tangkapan ikan pelagis kecil berdasarkan data hasil tangkapan selama pengamatan mulai Agustus 2000 sampai dengan Juli 2001. Data yang digunakan terdiri dari data oseanografi_ dan data hasil tangkapan ikan pelagis kecil. Data oseanografi terdiri dari dua data yaitu data hasil pengukuran in-situ dan data hasil pengukuran sensor satelit. Data hasil pengukuran in-situ yang digunakan adalah data CTD selama pelayaran Kapal Riset KAL Baruna Jaya IV BPPT 25 Oktober-10 November 2000 dan KR Baruna Jaya Vill LIPI 10-23 Juli 2001. Data hasil pengukuran satelit yang digunakan yaitu: 1) data SPL hasil pantauan sensor AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer) satelit NOAA (National Oceanic anda Atmospheric Adminsitration); 2) data sensor SeaWIFS (Seaviewing Wide Field -of-view Sensor) satelit Seastar untuk melihat sebaran klorofil-a, dan 3) data simulasi pola arus hasil Pengukuran satelit Topex/Poseidon. Data hasil tangkapan ikan pelagis diperoleh dari kapal mini purse seine berupa data hasil tangkapan ikan tongkol, kembung, banyar, bentong, tembang dan layang. Metode penelitian yang digunakan adalah secara deskriptif. Secara umum bila dibandingkan antara SPL hasil pengukuran satelit dengan hasil pengukuran in-situ, terlihat adanya sedikit perbedaan kisaran suhu perairan pada beberapa tempat, dan juga ada kesamaan di tempat lain. Berdasarkan citra satelit terlihat nilai SPL Selat Sunda secara umum sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil pengukuran in-situ, atau dengan kata lain perairannya terlihat lebih hangat. Namun pola sebaran SPL dari kedua jenis pengamatan menunjukan adanya kemiripan, dimana massa air hangat berada di sebelah timur atau utara selat dan massa air yang lebih dingin berada di bagian selatan dan barat selat. SPL pada musim barat (MB) dan awal musim peralihan | (MP |) lebih dingin dibandingkan periode lainnya. Hal yang sama juga terlihat pada hasil pengukuran salinitas, dimana pada MP | dan musim timur (MT) salinitas lebih tinggi masing-masing 32,7-33,7 %e dan 31,4-32,6 ‘%e, sementara pada MB dan MP | salinitas lebih rendah yaitu 31.0%. (rata-rata bulanan) Perbedaannya terletak pada pola sebarannya, dimana massa air yang bersalinitas tinggi telihat berada di bagian barat dan selatan selat (Samudera Hindia) sementara massa air yang bersalinitas rendah berada di bagian utara dan timur selat (Laut Jawa) Dari citra klorofil-a terlihat bahwa tinggi rendahnya kandungan klorofila di Selat Sunda sangat dipengaruhi oleh aliran massa air yang berasal dari Laut Jawa yang mengandung klorofil-a dengan konsentrasi tinggi disamping asupan unsur-unsur hara dari sungai yang bermuara di sekitar Selat Sunda dan juga proses upwelling. Musim Peralihan Il (MP Il) dan MT merupakan musim dengan tingkat kesuburan yang tinggi, MB merupakan musim yang tingkat kesuburannya rendah. Hasil tangkapan ikan pelagis perbulan tertinggi terjadi pada bulan Juni sementara hasil tangkapan tertinggi permusim terjadi pada musim timur. Hasil tangkapan terendah pada musim barat. Jumlah trip (upaya penangkapan) tertinggi terjadi pada MT sementara trip terendah pada MP. Berdasarkan sebaran kapal di lokasi fishing ground (FG) diketahui bahwa operasi penangkapan terbanyak pada MP Il dilakukan pada perairan dengan kisaran suhu 29,0-29,5 °C, salinitas 33,2-33,3 % (Oktober) dan kandungan klorofil-a tinggi sekitar 1,0-3,0 mg/m®. Pada MB operasi penangkapan terbanyak dilakukan pada perairan dengan kisaran suhu 27,0-28,0 °C dengan kandungan klorofil-a rendah sekitar 0,1-1,0 mg/ m? . Pada MP I operasi penangkapan terbanyak dilakukan di perairan dengan kisaran suhu 28,0-29,0 °C dan kandungan klorofil-a sedang 1,0-2,0 mg/m’. ‘Sementara pada MT operasi penangkapan terbanyak dilakukan pada perairan dengan kisaran suhu 29,0-30,0 °C, salinitas 31,6-31,8 %e (Juli) dan kandungan Klorofil-a tinggi sekitar 2,0-3,5 mg/m°. Dari analisa hubungan antara kondisi oseanografi dengan hasil tangkapan ikan Pelagis kecil terlihat bahwa dengan kondisi SPL optimum dan kandungan klorofika tinggi yang berarti kesuburan perairan tinggi, maka hasil tangkapan ikan pelagis juga tinggi. Disamping itu, tinggi rendahnya kadar salinitas dan pola pergerakan massa air (erah dan kuat arus) ikut mempengaruhi keberadaan ikan pelagis di Selat Sunda, ‘SURAT PERNYATAAN Dengan ini Saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul: “Hubungan Kondisi Oseanografi (Suhu Permukaan Laut, Klorofil-a dan Arus) dengan Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil di Perairan Selat Sunda “ adalah benar merupakan hasil karya Saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya Bogor, 20 Mei 2002 7 © || We ‘Khatrul Amri TKL 99599 2 HUBUNGAN KONDISI OSEANOGRAFI (SUHU PERMUKAAN LAUT, KLOROFIL-A DAN ARUS) DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN SELAT SUNDA KHAIRUL AMRI Tesis Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains Dalam Bidang Teknologi Kelautan Pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2002 Judul Tesis + Hubungan Kondisi Oseanografi (Suhu Permukaan Laut, Klorofil-a dan Arus) dengan Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil di Perairan Selat Sunda Nama Mahasiswa : Khairul Amri NomorPokok —: 99599 Program Studi —_: Teknologi Kelautan Menyetujui : 4. Komisi Pembimbing Dr. Ir. Diisman Manurung, M.Sc. Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA Ketua Anggota 2. Ketua Program Studi Teknologi Kelautan Prof. Dr.ir. Daniel R. Monintia Tanggal Lulus : 29 April 2002 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 05 Juni 1967 di Tungkar, Payakumbuh, Sumatera Barat. Anak keempat dari enam bersaudara dari pasangan Khairuddin Am. (ayah) dan ibu Syahrian (almarhumah). Pada tanggal 17 September 1999 penulis menikah dengan Nia Tini Sabrani dan dikarunia seorang putra lahir 28 Juni 2000 yang diberi nama Raihan Pujarestu Menyelesaikan pendidikan dasar pada SD Negeri Tungkar, Payakumbuh tahun 1981 dan SMP Negeri Situjuh, Payakumbuh tahun 1984. Selanjutnya penulis meneruskan pendidikan pada Sekolah Usaha Perikanan Menengah (SPP-SUPM) Negeri Bogor dan lulus tahun 1987. Setamat dari SUPM Negeri Bogor penulis bekerja sebagai “aquaculturist” pengembangan tambak udang intensif PT. Migratirta Saranindo di Lampung hingga tahun 1990. Tahun 1991 penulis melanjutkan pendidikan pada Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan, Universitas Satya Negara Indonesia (USNI) di Jakarta. Sambil melanjutkan kuliah penulis bekerja sebagai staf redaksi Majalah Agrisbisnis “Tumbuh” dan menulis pada berbagai media massa di Jakarta. Setelah meraih gelar sarjana, pada Mei 1998 penulis bergabung dengan Kompetensi Inti (kl) Inderaja (Core Competence-Remote Sensing) pada Laboratorium Remote Sensing & GIS, Direktorat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (Dit. TISDA-BPPT). Pada tahun 1999 penulis yang juga menjadi dosen luar biasa pada almamatemya ini mendapatkan beasiswa internal KI inderaja Dit.TISDA-BPPT untuk melanjutkan pendidikan S-2 pada Program Studi Teknologi Kelautan (TKL), Program Pascasarjana IPB. Pada 29 April 2002 penulis dinyatakan lulus dengan gelar Magister Sains. vii PRAKATA Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan ridha-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan Penyusunan tesis ini. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapatan terima kasih yang tulus kepada Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc dan Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA sebagai dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingannya selama perkuliahan, Penelitian sampai penulisan hingga tersusunnya tesis ini, Ir. Nani Hendiarti, M.So beserta jajaran pimpinan Dit. TISDA-BPPT yang telah memberikan beasiswa internal. Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja selaku Ketua Program Studi Teknologi Kelautan dan Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto selaku Direktur Program Pascasarjana IPB. Bapak ‘Atung Hendi staf Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Dati Il Pandeglang, Bapak Yayat Hidayat dan Bapak Djamhari selaku Kepala TP! Labuan dan Bapak Dono (Nahkoda K.M. *Sri Maju") beserta ABK yang telah memberikan kemudahan dan tumpangan selama pelayaran dan pengambilan data di Selat Sunda. Tak lupa kepada isteri terkasin Nia serta belahan jiwaku ananda Raihan Pujarestu yang banyak terabaikan selama penyelesaian studi ini. Saya hanya bisa berdoa semoga semua pengorbanan ini tercatat dalam fitrah illahi. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Mei 2002 Khairul Amri vil DAFTAR ISI Halaman PRAKATA ... DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR TABEL ...... DAFTAR LAMPIRAN xi xii xiii 1, PENDAHULUAN ... 1 1.1, Latar Belakang 1 1.2. Perumusan Masalah . 3 1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 3 2. LANDASAN TEORITIS 5 2.1. Keadaan Umum Perairan Selat Sunda .. 5 2.2, Sumberdaya Ikan Pelagis 7 2.2.1. Ikan Kembung 8 2.2.2. Ikan Banyar .. 9 2.2.3. Ikan Tembang .. 10 2.2.4. Ikan Selar Bentong 40 2.2.5. Ikan Tongkol " 2.2.6. Ikan Layang 12 2.3, Kondisi Oseanografi Perairan .. 14 23.4, Suhu. 14 2.3.2. Salinitas 16 2.33. Klorofi-a 7 2.4. Citra Satelit .. 18 2.4.4. Citra Suhu Permukaan Laut 19 2.4.2. Citra Produktifitas Primer . 20 2.5, Alat Tangkap ... 20 3, METODE PENELITIAN 22 3.1, Tempat dan Waktu Penelitian 22 3.2. Bahan dan Alat 23 3.3. Metode Pengumpulan Data ... 23 3.3.1. Data oseanografi 3.3.2. Data hasil tangkap .. 3.4. Metode Analisis Data ...... 3.4.1. Data in-sit 3.4.2. Citra satelit 3.4.2.1. Citra SPL .. 3.4.2.2. Citra Klorofil-a .. 3.4.2.3. Pola arus .. 3.4.3. Data hasil tangkapan .... 3.5. Hubungan Kondisi Oseanografi Dengan Hasil Tangkapan .... OSEANOGRAFI SELAT SUNDA 4.1. Suhu Permukaan Laut 4.1.1, SPL Pengukuran Satelit 4.1.2. SPL in-situ 4.2. Klorofil-a .. 4.3. Salinita 4.4. Curah Hujan 4.5. Pola Arus Permukaan .. DAERAH PENANGKAPAN DAN HASIL TANGKAPAN .. 5.1, Peta Daerah Penangkapan 5.2. Trip Penangkapan 5.3. Sebaran Kapal di Daerah Penangkapan 5.4, Hasil Tangkapan Ikan Pelagis 5.4.1. Ikan Tongkol 5.4.2. Ikan Kembung .. 5.4.3, Ikan Banyar 5.4.4. Ikan Tembang .. 5.4.5. Ikan Bentong 5.4.6. Ikan Layang . 5.5. Hasil Tangkapan per Unit Upaya (CPUE) 23 24 25 25 25 25 28 sss 33 33 33 62 69 14 76 86 86 87 1 95 95 96 98 99 101 103 104 6. HUBUNGAN KONDISI OSEANOGRAFI DENGAN TANGKAPAN ... 7. _KESIMPULAN DAN SARAN .. 7.4. Kesimpulan .. 7.2. Saran.. DAFTAR PUSTAKA. xi 106 114 114. 115 116 DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman 1. Peta Lokasi Penelitian .. 22 2. Jenis-jenis ikan pelagis yang menjadi objek penelitian . 26 3. Diagram alir peneitian .. 32 4. SPL bulan Agustus 34 5. SPL bulan September 36 6. SPL bulan Oktober 38 7. SPL bulan November 40 8. SPL bulan Desember 42 9. SPL bulan Januari 44 10. SPL bulan Pebruati.. 46 11. SPL bulan Maret .. 47 42. SPL bulan April 49 13, SPL bulan Mei 51 14, SPL bulan Juni 53 45. SPL bulan Juli 55 16. Sebaran mendatar SPL In-situ Musim Peralihan II 87 17. Sebaran menegak SPL In-situ Musim Peralihan I 58 18. Sebaran mendatar SPL In-situ Musim Timur .. 59 19. Sebaran menegak SPL In-situ Musim Timur . 61 20. Citra Klorofila Musim Peralihan tt. 63 21. Citra Klorofila Musim Barat 65 22, Citra Klorofila Musim Peralihan |... 66 23. Citra Klorofila Musim Timur... 68 24, Sebaran Mendatar Salinitas Musim Peralihan I 69 25. Sebaran Menegak Salinitas Musim Peralihan Il. a” 26. Sebaran Mendatar Salinitas Musim Timur 72 27. Sebaran Menegak Salinitas Musim Timur 73 28. Fluktuasi Curah Hujan di Stasiun Pengukuran Lampung . 74 29, Fluktuasi Curah Hujan di Stasiun Pengukuran Banten 74 30. Fluktuasi Curah Hujan Rata-rata Bulanan ... 76 xi 31. 32, 33. . Pola Arus data Topex/Poseidon Musim Peralihan 35. 36. 37. 38. 39. 40. M1. 42, 43. 44, 45. 46. 52, 53. . Hasil Tangkapan Sepuluh harian Layang Jan-Jul 2001 55. 56. 87. 58, . Hasil Tangkapan Bulanan Kembung Agst-Des 2000 .... 47. 48. 49. 50. 51. Pola Arus data Topex/Poseidon Musim Peralihan It .. Pola Arus Data Pengukuran In-situ Musim Peralihan II Pola Arus data Topex/Poseidon Musim Barat Pola Arus data Topex/Poseidon Musim Timur Peta Daerah Penangkapan Ikan per 10 mil? di Selat Sunda Fluktuasi Trip Mini Purse Seine Agustus 2000 s.d Juli 2001 Perbandingan Trip Sepuluhharian Purse Mini Seine 2001 .. Total Trip Penangkapan 2000-2001 .. Sebaran Kapal Mini Purse Seine Musim Peralihan 1I...... Sebaran Kapal Mini Purse Seine Musim Barat Sebaran Kapal Mini Purse Seine Musim Peralihan | Sebaran Kapal Mini Purse Seine Musim Timur Hasil Tangkapan Bulanan Tongkol Agst-Des 2000... Hasil Tangkapan Sepuluh harian Tongkol Jan-Jul 2001 .. Hasil Tangkapan Sepuluh harian Kembung Jan-Jul 2001 .. Hasil Tangkapan Bulanan Banyar Agst-Des 2000 Hasil Tangkapan Sepuluh harian Banyar Jan-Jul 2001 ... Hasil Tangkapan Bulanan Tembang Agst-Des 2000 Hasil Tangkapan Sepuluh harianTembang Jan-Jul 2001.. Hasil Tangkapan Bulanan Bentong Agst-Des 2000 ... Hasil Tangkapan Sepuluh harian Bentong Jan-Jul 2001 Fluktuasi CPUE Ikan Pelagis Agustus 2000 s.d Juli 2001 Perbandingan Tangkapan Ikan Pelagis Agst. 2000-Juli 2001... Pola Ruaya Ikan Layang Musim Barat (Hardenberg, 1937) Pola Ruaya Ikan Layang Musim Timu (Hardenberg, 1937) Xi 7 78 80 82 84 86 88 89 90 1 92 93 95, 96 97 97 98 99 100 100 101 102 103 104 107 112 113 DAFTAR TABEL Tabel Halaman 1. Citra SPL NOAA-AVHRR Terpilih 28 2. Curah Hujan Rata-rata (mm) Bulanan Perairan Selat Sunda .. 75 3. Periode Bulan Purnama Selama Januari s.d Juli 2001 .. 89 4, Jumlah Total Trip Penangkapan Permusim Kapal Mini .. 90 5. Ringkasan Kondisi Oseanografi Selat Sunda .... 108 xiv DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Halaman 1. Posisi Stasiun CTD Musim Peralihan 1 122 2. Posisi Stasiun CTD Musim Timur .. 123 3. Posisi Stasiun Pengukuran Curah Hujan 124 4. Jumlah Hasil tangkapan Ikan Pelagis Agst 2000-Juli 2001 125 5. Komposisi Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Agst 2000-Juli 2001 126 1, PENDAHULUAN 14. Latar Belakang Selat Sunda merupakan selat yang dinamis, terletak di antara Pulau Sumatera dan Pulau Jawa dimana massa air Laut Jawa bercampur dengan massa air yang berasal dari Samudera Hindia. Luas perairan lebih kurang 8.138 km?, Berbentuk seperti corong, dimana bagian utara lebih sempit (+: 24 km) dan lebih dangkal (< 80m), sedangkan bagian selatan memiliki lebar sekitar 100 km dan kedalaman mencapai 1575 m (Birowo, 1983). Pada bagian selatan Selat Sunda perairannya sangat dipengaruhi oleh kondisi perairan Samudera Hindia, Ikan pelagis kecil merupakan sumberdaya perikanan yang sangat potensial yang ditangkap nelayan mini purse seine di perairan Selat Sunda. Beberapa jenis ikan pelagis kecil yang dominan ditangkap nelayan di perairan Selat Sunda adalah ikan kembung, ikan banyar, layang, lemuru, tembang, bentong, tongkol dan tenggir. ‘Sumberdaya ikan pelagis adalah jenis-j nis ikan yang hidup atau menghuni per- airan lapisan permukaan sampai ke lapisan tengah (mid layer). Keberadaan sumber- daya ikan sangat tergantung pada faktor-faktor lingkungan, sehingga_kelimpahannya sangat berfluktuasi di suatu perairan. Laevastu dan Hayes (1980) mengatakan bahwa perubahan suhu perairan yang sangat kecil (0.02 °C) dapat menyebabkan perubahan densitas populasi ikan di perairan tersebut. ‘Suhu merupakan parameter lingkungan yang paling sering diukur di laut karena berguna dalam mempelajari proses-proses fisika, kimia dan biologi yang terjadi di laut. Pola distribusi suhu permukaan laut dapat digunakan untuk mengindentifikasi parame- ter-parameter laut seperti arus, umbalan dan front (Pralebda dan Suyuti, 1983). Proses umbalan akan membawa massa air yang kaya akan zat hara yang akan meningkatkan produktifitas perairan sehingga mendukung proses kehidupan di taut. Untuk mempelajari potensi Selat Sunda sebagai daerah penangkapan ikan, khsususnya ikan pelagik kecil diperlukan data yang meliputi suhu, kesuburan dan arus. Pengukuran suhu selain pengukuran langsung di lapangan dapat juga dilakukan secara tidak langsung dengan menggunakan sensor satelit. Sensor thermal dapat digunakan untuk mengukur suhu permukaan laut (Butler et.al, 1988). Data suhu Permukaan laut (SPL) dari satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) yang menggunakan sensor AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer) dapat diperoleh di LAPAN dan BPPT dalam bentuk data mentah (raw data) ataupun data olahan (precessing). Kesuburan perairan dapat diketahui dengan mengukur produktifitas primer dengan sensor optik Karena sifat pigmen Klorofil (dalam hal ini klorofita) yang Khas (Susilo, 1997). Data indraan sensor optik SeaWiFS (Sea-viewing Wide Field-of - view Sensor) dari satelit Seastar tersedia dalam bentuk data mentah (raw data) ataupun data olahan (processing) dalam format LAC atau GAC. Data dalam Format GAC (Global Area Coverage) dapat di-download di internet sementara data dalam format GAC (Global Area Coverage) diperoleh melalui pemesan. Selain pengukuran arus di perairan, data estimasi sensor altimeter dari Satelit TopexiPoseidon sudah tersajikan dalam pola arus yang disediakan dalam beberapa website. Ketiga parameter yang disebutkan di atas merupakan bahan pokok dalam menganalisis perairan Selat Sunda sebagai suatu daerah penangkapan dan juga dalam upaya mencari wilayah perairan potensial yang masih dapat dimanfaatkan secara optimal ditiik dari kondisi perairan dan lokasi penangkapan musiman dikunjungi nelayan setempat. 4.2 Perumusan Masalah Penelitian mengenai keterkaitan faktor lingkungan perairan seperti suhu pemukaan laut untuk menduga kelimpahan ataupun fishing ground ikan pelagis sudah sering dilakukan di beberapa perairan di Indonesia. Namun demikian, kajian terhadap hubungan sebaran suhu permukaan laut dan sebaran klorofil-a sebagai indikasi kandungan produktifitas primer dengan hasil tangkapan ikan pelagis kecil masih jarang dilakukan. Padahal keberadaan ikan pelagis di suatu perairan tidak hanya tergantung kepada kondisi suhu perairan semata tetapi juga kesuburan perairan serta sejumlah faktor oseanografi lainnya seperti arah dan kuat arus. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka perlu dilakukan pengkajian secara terintegrasi untuk mengetahui hubungan antara kondisi oseanografi (sebaran suhu permukaan laut, klorofil-a dan arus) terhadap hasil tangkapan ikan pelagis kecil di perairan Selat Sunda. Data yang digunakan adalah citra suhu permukaan laut hasil Pantavan sensor AVHRR, citra sebaran klorofi-a hasil pantauan sensor SeaWiFS,, citra pola arus hasil pengukuran Satelit Topex/Poseidon, dan data hasil pengukuran parameter oseanografi lainnya. Hipotesa yang akan dibuktikan adalah bahwa hasil tangkapan ikan pelagis kecil bergantung pada parameter-parameter oseanografi perairan dalam hal ini sebaran suhu permukaan laut dan sebaran klorofil-a serta arah dan kecepatan arus. 4.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mendiskripsikan kondisi oseanografi dalam bentuk sebaran SPL dan klorofil-a serta pola arus/TML perairan Selat Sunda selama satu siklus (empat musim). 2. Menganalisa hubungan antara kondisi oseanografi dengan hasil tangkapan ikan pelagis kecil berdasarkan data hasil tangkapan selama pengamatan. Penelitian ini diharapkan berguna sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan analisa hasil tangkapan berdasasarkan kajian sebaran SPL, klorofil-a dan pola arus/TML. 2. LANDASAN TEORITIS 2.1. Keadaan Umum Perairan Selat Sunda Perairan Selat Sunda terletak di antara Pulau Sumatera dan Pulau Jawa ‘merupakan perairan pertemuan Samudera Hindia dan Laut Jawa. Luas perairannya lebih kurang 8.138 km?. Berbentuk seperti corong, bagian utara lebih sempit (#24 km) dan lebih dangkal (<80 m). Sedang bagian selatan memiliki lebar sekitar 100 km dan kedalaman mencapai 1575 m (Birowo, 1983). Karena sempit dan dangkalnya selat di bagian utara maka, menurut Birowo dan Arief (1983) pertukaran massa air antara laut Jawa dan Samudera Hindia kecil saja. Berdasarkan pola arus di daerah perairan ini, aliran air dari Laut Jawa ke arah Samudera Hindia adalah dominan. Sementara pada bagian selatan Selat Sunda, perairannya sangat dipengaruhi oleh kondisi perairan Samudera Hindia. Menurut Birowo (1983), Selat Sunda dipengaruhi oleh angin musim tenggara dan musim barat laut. Angin musim tenggara terjadi pada bulan April sampai dengan September, sedangkan musim barat laut terjadi pada bulan Oktober sampai Maret. Bulan April sampai Mei angin cenderung bertiup dengan kecepatan 2-8 midetik dari arah utara dan timur. Angin yang bertiup dari arah barat daya cenderung ke barat pada bulan Desember, sedangkan pada bulan Januari dari arah barat, dan pada butan Pebruari dari arah barat laut cenderung ke barat dengan kecepatan bervariasi antara 5- 10 midetik. ‘Selama musim barat umumnya gelombang cukup besar, yaitu bervariasi sekitar 0,5 m dampai 1,5 m, bahkan dapat mencapai 1,5 m sampai 2 m pada bulan Desember dan Januari. Sedangkan pada musim timur ketinggian gelombang biasanya antara 0,5 m sampai 1,0 m, bahkan bisa kurang dari 0,5 m pada bulan-bulan April, Mei dan Juni. 6 Di Selat Sunda pergerakan massa aimya merupakan kombinasi arus pasang surut dan arus musiman. Pada waktu-waktu tertentu arus perairan ini terasa kuat, akan tetapi sirkulasi air antara Laut Jawa dan Samudera Hindia lemah (0,5 x 10 6 m°/detik). Sepanjang tahun arah alirannya ke barat daya (Samudera Hindia), pada bulan Nopember arahnya kadang-kadang berubah ke timur laut, kecepatannya bervariasi sekitar 0,2 sampai 0,7 m/detik (Wyrtki, 1961). Salintas pada lapisan permukaan perairan Selat Sunda umumnya berkisar antara 31,5-33,4%., Ada kecenderungan nilai ini meningkat dari perairan dekat Laut Jawa ke arah Samudera Hindia. Menurut Hardenberg (1937) selama musim timur sedang berlangsung, air dengan salinitas tinggi mengalir dari Laut Flores masuk ke Laut Jawa dan keluar melalui Selat Gaspar, Selat Karimata dan Selat Sunda. Pada musim barat, menurut Hardenberg (1937) terjadi pengenceran massa air di Selat ‘Sunda yang berasal dari air tawar dari muara-muara sungai di Sumatera bagian selatan dan Bangka. Sehingga salinitas menjadi rendah. Pada bulan Maret, pengaruh Pengenceran salinitas selama musim barat berlangsung telah mereda. Menurut Berlage (1927) dalam bulan Maret, massa air yang berasal dari Laut Cina Selatan yang terdorong ke Laut Jawa sebagian membelok ke arah selatan melalui Pulau- Pulau Seribu masuk ke Selat Sunda. Hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 1981, memperiihatkan bahwa suhu lapisan permukaan Selat Sunda bervariasi antara 28,10-29,5 °C dengan kecenderungan meningkat dari selatan ke utara. Berdasarkan hasil pantauan satelit tahun 1994, diketahui bahwa rata-rata suhu permukaan laut Selat Sunda adalah 29,32 °C pada bulan Mei; 30,01 °C pada bulan Juni; 29,19 °C pada bulan Juli; dan 27,28 °C pada bulan Agustus (Amri, 1997). Menurut Birowo dan Uktolseja (1981), suhu permukaan laut perairan Selat Sunda akan relatif tinggi pada musim peralihan dan akan lebih rendah pada musim barat dan timur. Rendahnya suhu di musim timur 7 disebabkan karena tingginya evaporasi, angin yang kuat, dan kelembaban udara yang relatif rendah, sehingga mengakibatkan energi evaporasi lebih tinggi daripada radiasi matahari yang diterima, ini menyebabkan pendinginan permukaan laut. Rendahnya suhu di musim barat disebabkan oleh masukan air hujan dan masukan massa air tawar dari timur laut yang dingin (Birowo dan Uktolseja, 1981). 2.2. Sumberdaya Ikan Pelagis ‘Sumberdaya ikan pelagis adalah jenis-jenis ikan yang hidup atau menghuni Perairan lapisan permukaan sampai lapisan tengah (mid layer). Sumberdaya perikanan pelagis kecil merupakan sumberdaya yang paling melimpah di perairan Indonesia. ‘Sumberdaya ini merupakan sumberdaya neritik, karena terutama penyebarannya adalah di perairan dekat pantai. Di daerah-daerah dimana terjadi proses penaikkan ‘massa air (upwelling), sumberdaya ini dapat membentuk biomassa yang sangat besar. Sumberdaya perikanan pelagis kecil makanan utamanya adalah plankton, sehingga kelimpahannya sangat tergantung kepada faktor-faktor lingkungan. Oleh karena itu, kelimpahan sumberdaya ini sangat berfluktuasi dan tergantung kepada lingkungan perairannya, Musim ikan pelagis di perairan Indonesia umumnya berlangsung pada akhir musim timur dan awal musim barat (sekitar bulan Agustus sampai November). Hal ini berhubungan dengan kesuburan perairan akibat adanya upwelling pada musim timur seperti yang terjadi di Laut Banda, Samudera Hindia dan Laut Jawa bagian timur (Puslibangkan, 1994). Ikan pelagis umumnya senang bergerombol baik dengan kelompoknya maupun dengan jenis ikan lainnya. Ikan-ikan ini bersifat fototaxis positif (tertarik pada cahaya) 8 dan tertarik pada benda-benda terapung. Terdapat kecenderungan ikan pelagis kecil bergerombol berdasarkan kelompok ukuran. Kebiasaan makan ikan pelagis keoil umumnya waktu matahari terbit dan saat matahari terbenam. Kebanyakan ikan pelagis termasuk pemakan plankton, baik plankton nabatt (fitoplankton) maupun plankton hewani (zoo plankton). Jenis-jenis ikan pelagis kecil yang sering tertangkap di perairan Selat Sunda adalah ikan layang, banyar, Kembung, lemuru, tembang, dan bentong. Masing-masing jenis ikan pelagis yang ditangkap di Selat Sunda tersebut mempunyai musim penangkapan tersendiri yang biasanya dikategorikan menjadi tiga musi yaitu musim puncak, musim sedang dan musim kurang. 2.2.4. Ikan Kembung Spesies ikan kembung menurut Saanin (1968) terdiri atas Rastrelliger kanagurta, Rastreliger neglectus dan Rastreliger branchysoma. Yang disebut sebagai ikan kembung di sini adalah spesies Rastrelliger branchysoma dengan nama lain sebagai kembung perempuan. Ikan kembung mempunyai bentuk tubuh pipih agak lebar. Panjang kepala sama atau sedikit lebih pendek dari tinggi badan. Panjang baku 3,7-4,3 kali tinggi badan. Warna tubuh keperakan dan pada bagian punggung hijau kebiruan. Ikan kembung yang sering tertangkap berukuran 16 cm. Makanan ikan kembung terdiri dari diatom 31%, organisme lainnya 9% dan jasad tidak teridentifikasi 60% (Puslitbangkan, 1994). Kembung melakukan migrasi untuk memijah dan mencari makan (Rounsefell dan Everhart, 1953). Susanto (1961) secara spesifik berpendapat bahwa kembung Perempuan metakukan migrasi untuk mencari makanan dan mencari daerah pemijahan. Selain itu, faktor yang mempengaruhi migrasi tersebut adalah kekuatan angin can arus. 9 Ikan kembung perempuan yang menyebar di perairan dekat pantai karena mereka hidup pada perairan dengan kadar garam rendah (Pasaribu, 1967). Ikan kembung umumnya memijah pada sekitar musim barat (Nurhakim, 1993). Kelompok ikan kembung dapat ditemukan dengan melihat tanda-tanda di laut pada siang hari. Tandatanda itu seperti perairan kelihatan lebih pekat dari sekelilingnya serta adanya percikan-percikan yang disebabkan gerakan kelompok ikan tersebut. Tanda ini adalah khas untuk kembung perempuan, Pada malam hari dalam keadaan gelap kembung perempuan berada di lapisan permukaan, Bagian punggung ikan ini kelihatan berkilau-kilau. Adanya cahaya memudahkan penemuan ikan ini. itu pula sebabnya penangkapan ikan ini umumnya dilakukan pada malam hari dalam keadaan gelap (Pasaribu, 1967). 2.2.2. Ikan Banyar Ikan banyar (Rastrelliger kanagurta) merupakan kelompok ikan kembung yang biasa disebut sebagai kembung lelaki. Ikan banyar mempunyai bentuk tubuh yang Panjang dan agak pipih. Kepala sedikit lebih panjang dari tinggi badan. Panjang baku 4,3-6.2 kali tinggi badan. Warna tubuh keperakan dan pada bagian punggung hijau kebiruan. Di bawah gurat sisi terdapat 2 buah garis memanjang berwama biru, Pada tubuh bagian samping atas memiliki deretan noda-noda hitam. Pada tubuh di dekat Sirip dada terdapat noda berwama hitam. Sirip berwama terang. Yang sering tertangkap berukuran 19 cm. Makanan ikan banyar sama dengan kembung yaitu terdiri dari Diatome 31%, organisme tainnya 9% dan jasad tidak teridentifikasi 60% (Puslitbangkan, 1994). kan banyar memiliki daerah penyebaran yang luas. Ikan banyar ini sulit dicari dan jarang muncul di permukaan. Biasanya ikan ini mempunyai kelompok yang padat, 10 dan dijumpai pada perairan yang jemnih dan agak jauh dari pantal karena menyukai kadar garam yang lebih dari 23,0 "oo. Ikan banyar memiliki dua kali masa pemijahan, pertama biasanya berlangsung pada musim barat (dari bulan Oktober sampai Pebruari) dan yang kedua pada musim timur (dari bulan Juni sampai September). Ikan ini berpijah untuk yang pertama kali pada umur sekitar 2 tahun (Puslitbangkan, 1994). 2.2.3. Ikan Tembang Tembang (Sardinella fimbriata) merupakan ikan permukaan dan hidup di Perairan pantai serta suka bergerombol pada areal yang luas sehingga sering tertangkap bersama-sama dengan ikan lemuru (Fischer dan Whitehead, 1974). Di Laut Jawa jenis tembang terpenting adalah Sardinella fimbriata (Hutomo dan Martosewojo, 1975). Tembang tersebar di perairan pantai Indonesia hingga ke utara ‘sampai ke Taiwan, ke selatan sampai ujung utara Australia dan ke barat sampai ke Laut Merah. Daerah penyebaran tembang cukup luas hampir di seluruh wilayah perairan Indonesia, terutama di daerah Kalimantan Selatan, Laut Jawa, Selat Malaka, Sulawesi Selatan, dan Arafuru (Direktorat Jenderal Perikanan, 1989). Ikan ini banyak didaratkan di pelabuhan perikanan sepanjang pantai utara Jawa terutama di Pekalongan, yang menduduki urutan kedua terbanyak tertangkap setelah ikan layang. 2.2.4, Ikan Selar Bentong Ikan selar (Selaroides spp.) termasuk dalam kelompok ikan-ikan pelagis kecil. Di Indonesia terdapat tiga jenis selar yaitu selar kuning (Selaroides leptolepis), selar tetengkek (Megalaspis cordyla) dan selar bentong (Selar crumenopthalmus). "1 Selar sebagaimana umumnya ikan-ikan dari famili Carangidae melakukan pemijanan pada malam hari. Telur ikan selar banyak ditemukan di Laut Jawa, sekitar Selat Sunda dan Madura pada bulan Juni sampai Oktober, meskipun pada bulan-bulan lainnya ditemukan pula dalam jumiah kecil. Pemijahan berlangsung pada perairan dengan salinitas 31-33 °%.. Masa inkubasi telur ikan selar ini sangat pendek yakni kurang dari 12 jam (Delsman, 1972). 2.2.5. Ikan Tongkol Ikan tongkol (Euthynnus sp.) termasuk ke dalam keluarga Scombridae. Bentuk tubuhnya seperti cerutu dengan kulit yang licin. Ikan ini termasuk perenang cepat dan terkuat di antara ikan-ikan laut yang berangka tulang, disamping ikan-ikan tenggiri (Djuhanda, 1981). Penyebaran ikan tongkol sangat luas meliputi perairan tropis dan Sub tropis, termasuk Samudera Pasifik, Samudera Hindia dan Samudera Atlantik (FAO, 1986). Menurut Saanin (1954), daerah-daerah penyebaran ikan tongkol di perairan Indonesia adalah Laut Maluku, Laut Sawu, Samudera Hindia, sebelah selatan Nusa ‘Tenggara dan di sebelah barat Sumatera. Tongkol termasuk bagian tuna pantai (coastal tuna), disamping ‘frigate tuna’ (Auxis thazard) dan ‘longtail tuna’ (Thunnus tonggo). Ikan ini merupakan jenis tuna paling kecil dengan ukuran rata-rata 2-5 kg/ekor (Saanin, 1954), Musim tongkol berbeda-beda untuk tempat yang berlainan, walaupun Spesiesnya sama. Perbedaan ini disebabkan perubahan suhu perairan, perubahan arus, dan lain-lain (FAO, 1983). Musim tongkol di Laut Jawa terjadi pada bulan Oktober ‘sampai bulan Pebruari yaitu pada musim hujan (Langkong, 1984). Pada bulan-bulan ini terdapat populasi besar dari Stolephores sp. yang merupakan ikan yang sangat disenangi tongkol sebagai makanannya. 12 Meskipun ikan-ikan yang dewasa secara seksual bertemu sepanjang tahun, ada bermacam-macam puncak musim untuk bertelur menurut tempat, misalnya bulan Maret-Mei di perairan Philipina, selama periode bulan Oktober/Nopember-April/Mei di sekitar Seychelles, dari periode Januari sampai Juli di Afrika Timur dan di perairan Indonesia terjadi dalam bulan Agustus sampai Oktober (FAO, 1983). ‘Tongkol tergolong ikan epipelagik dengan kisaran temperatur yang disenangi antara 18,0 - 29,0 °C. Dalam penyebarannya tongkol cenderung membentuk kumpulan multispecies menurut ukurannya, misalnya kumpulan Thunnus albacares, Katsuwonus pelamis, Auxis sp dan Megalopsis cardyla (Carangidae) (FAO, 1983). Berdasarkan daerah penangkapan dan besamya ikan tongkol termasuk golongan ikan pelagis berukuran besar dan hidup pada permukaan air laut (Hadiwiyoto, 1983) 2.2.6. Ikan Layang Spesies ikan layang yang ada di Indonesia adalah Decapterus russelli dan Decapterus macrosoma. D.ruselli mempunyai nama sinonim D. maruadsi dengan nama umum ikan layang atau round scad. Sedang Decapterus macrosoma mempunyai nama umum ikan layang deles atau fayang scad (Nurhakim et.al., 1987). Ikan ini hidup di Perairan lepas pantai yang berkadar garam tinggi dan membentuk gerombolan besar. Panjang tubuhnya dapat mencapai 30 cm, umumnya antara 20-30 cm, bentuk badan agak memanjang dan agak gepeng (Direktorat Jenderal Perikanan, 1989). Dalam statistik perikanan, keduanya dikelompokkan dalam satu kategori, yaitu ikan layang (Decapterus spp) (Widodo, 1988). Ikan layang termasuk jenis ikan perenang cepat, bersifat pelagik, tidak menetap dan suku bergerombol, Jenis ikan ini tergolong stenohaline, hidup di perairan yang berkadar garam relatif tinggi (32-34 °/e,) dengan kisaran yang sempit dan menyenangi Perairan yang jerih. Menurut Lussinap ef.al (1970), bahwa salinitas optimum ikan 13 layang berkisar antara 32-32,5 “fy. Ikan layang banyak terdapat di perairan yang berjarak 37-56 km dari pantai (Weber dan de Beaufort, 1931; Hardenberg, 1937). Ikan layang biasanya memijah pada perairan yang mempunyai suhu minimum, yaitu sebesar 17 °C. Suhu optimum ikan layang yang menjadi tujuan penangkapan adalah sekitar 20-30 °C. Sedang suhu selang distribusi ikan layang berkisar antara 12- 25 °C (Laevastu dan Hela, 1970). Ikan layang umumnya memiliki dua kali masa Pemijahan per tahun dengan puncak pemijahan pada bulan Maret/April (musim barat) dan Agustus/September (musim timur) (Puslitbangkan, 1994). Ikan layang deles (O.macrosoma) memijah selama beberapa bulan dengan puncaknya pada bulan ‘Agustus/September (Widodo, 1988). Menurut Asikin (1971), ikan layang muncul ke permukaan karena dipengaruhi oleh ruaya harian dari plankton hewani (zoo plankton) yang terdapat di suatu perairan. Secara spesifik, makanan ikan layang terdiri dari copepoda 39%, crustacea 31% dan organisme lainnya 30% (Puslitbangkan, 1994), Ruaya ikan layang di perairan Indonesia mempunyai hubungan dengan Pergerakan massa air laut, walaupun secara tidak langsung. Menurut _penelitian Hedenberg (1937), populasi layang yang berasal dari Samudera Hindia beruaya melalui Selat Sunda ke Laut Jawa sampai di sebelah utara Cirebon. Dari hasil pengamatan Burhanuddin et.al. (1984) temyata bahwa, pada bulan Maret di Selat ‘Sunda terdapat dua populasi yang berbeda, yaitu populasi layang yang tertangkap oleh para nelayan di Kota Agung (Teluk Semangka) dan populasi layang yang ditangkap oleh para nelayan di Labuan. Populasi layang yang tertangkap di Labuan diduga sesuai dengan hipotesa Hardenberg (1937) sebagai layang barat yang berasal dari Samudera Hindia. Populasi ini tidak beruaya, hanya terbatas di lingkungan Selat Sunda saja atau sedikit meluas ke perairan di dekatnya. Sementara Populasi layang yang terdapat di Kota Agung mungkin ada hubungannya dengan 14 Populasi layang utara karena, populasi yang tertangkap di Kota Agung sama dengan yang tertangkap di Pulau Panggang, Pulau Bawean, Masa Lembo dan Selat Bali. Hardenberg (1837) juga menyatakan bahwa layang utara yang berasal dari Laut Cina Selatan (Natuna) tidak pemah masuk ke Selat Sunda dalam musim barat karena salinitas rendah. Kondisi Oseanografi Perairan Keberadaan sumberdaya ikan sangat tergantung pada faktor-faktor lingkungan, sehingga kelimpahannya sangat berfluktuasi di suatu perairan. Selanjutnya Gunarso (1985) menyatakan bahwa perubahan kondisi lingkungan akan mempengaruhi pola kehidupan ikan-ikan baik yang menyangkut periode migrasi musiman, pertumbuhan dan keberadaannya. Secara umum diketahui bahwa sebaran kelimpahan ikan berhubungan erat dengan karakteristik lingkungannya. Sebaran pada suatu musim digambarkan melalui beberapa kategori, dimana hasilnya memperlihatkan pola yang berbeda (Nugroho et.al.,1993). Suatu laporan penelitian yang pemah dilakukan oleh ‘Amin dan Nugroho (1892) memberikan informasi lebih lanjut bahwa pada musim barat kelompok-kelompok ikan lebih banyak ditemukan pada lapisan permukaan (0-100 m). Pada lapisan tersebut kelompok-kelompok ikan terkonsentrasi pada daerah dekat Pantai terutama sekitar Pulau Enggano dan Selat Sunda. Sedangkan pada lapisan 100- 200 m terkonsentrasi di dekat Selat Sunda. Scallabrin dan Masse (1993) dalam Hamel (1999) menyatakan bahwa tingkah laku kelompok ikan dan distribusi spasialnya berhubungan secara signifikan dengan kondisi cuaca dan oseanografi. 2.3.1. Suhu Laevastu dan Hayes (1981) mengatakan bahwa perubahan suhu perairan yang ‘sangat kecil (40.02 °C) dapat menyebabkan perubahan densitas populasi ikan di suatu 15 perairan (di daerah sub tropis). Lebih lanjut dikatakan bahwa ikan-ikan pelagis akan bergerak menghindari suhu yang lebih tinggi, atau mencari daerah yang kondisi suhunya lebih rendah. Selanjutnya juga dinyatakan, kelimpahan suatu jenis ikan pada suatu daerah penangkapan dipengaruhi perubahan suhu tahunan serta berbagai keadaan lainnya. ‘Suhu perairan sangat mempengaruhi pertumbuhan ikan; aktifitas dan mobiltas gerakan; ruaya, penyebaran, dan kelimpahan; penggerombolan, maturasi, fekunditas dan pemijahan; masa inkubasi dan penetasan telur serta kelulusanhidup larva ikan. Perubahan suhu perairan menjadi dibawah suhu normal/suhu optimal menyebabkan penurunan aktivitas gerakan dan aktivitas makan serta menghambat berlangsungya proses pemijahan. Pada umumnya semakin bertambah besar ukuran dan semakin tua ikan, ada kecenderungan menyukai dan mencari perairan dengan suhu yang lebih rendah di perairan yang lebih dalam. Menurut Gunarso (1985), bahwa fluktuasi suhu dan perubahan geografis merupakan faktor penting dalam upaya merangsang dan menentukan Pengkonsentrasian gerombolan ikan. Sehingga suhu memegang peranan dalam penentuan daerah penangkapan ikan. Menurut Laevastu dan Hela (1970) untuk meramalkan berhasil tidaknya suatu Penangkapan ikan harus memperhatikan: a) Suhu optimum dari semua jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapan; b) Pengamatan hidrografi dan meteorologi untuk memberikan keterangan mengenai isotermal permukaan ; c) Perubahan keadaan hidrografi harus dapat diramalkan. Laevastu dan Hela (1970), menyatakan bahwa faktor-faktor yang Mempengaruhi suhu permukaan laut (SPL) adalah kondisi meteorologi, arus Permukaan, ombak, upwelling, divergensi, konvergensi, dan perubahan bentuk es di daerah kutub. Faktor-faktor meteorologi yang mempunyai peranan dalam hal ini adalah 16 curah hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas matahari. Dengan demikian suhu permukaaan laut biasanya mengikuti pola musiman, ‘Suhu perairan berpengaruh secara langsung terhadap kehidupan laut. Pengaruh tersebut meliputi laju fotosintesis tumbuh-tumbuhan dan proses fisiologis hewan, khususnya metabolisme dan siklus reproduksi. Ikan mempunyai kisaran suhu optimum untuk hidupnya. Pengetahuan tentang suhu optimum ini akan bermanfaat dalam peramalan keberadaan kelompok ikan, sehingga dapat dengan mudah dilakukan penangkapan. 2.3.2, Salinitas Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai (Nonfji, 1987). Sedangkan Ross (1970) mengatakan bahwa salinitas permukaah laut tergantung pada perbedaan evaporasi dan presipitasi. Salinitas permukaan di laut terbuka, bervariasi antara 33-37% dengan nilai Tata-rata 35%. Pada perairan dangkal, lapisan homogen berada hingga ke dasar, dengan salinitas dan suhu yang homogen (Nontj, 1987), Nilai salinitas air laut akan semakin besar dengan bertambahnya kedalaman. Perubehan terbesar dari salinitas terjadi di kedalaman antara 100-1000 m. Daerah dimana terjadi perubahan salinitas yang sangat cepat disebut lapisan haloklin. Berdasarkan pola distribusi salinitas secara vertikal, maka Ross (1970) membagi kolom erairan berdasarkan atas 4 zona, yaitu: a) Zona permukaan tercampur dengan baik, ketebalan 50-100 m, dan memiliki nilai salinitas yang seragam ;b) Zona dimana terjadi perubahan salinitas yang secara relatif besar, dan disebut zona haloklin; c) Zona dengan nilai salinitas yang seragam dan berada di bawah lapisan haloklin hingga ke 17 lapisan dasar laut; d) Zona pada kedalaman 600-1000 m, dimana nilai salinitas menjadi minimum. Menurut Laevastu dan Hela (1970), variasi salinitas pada daerah lepas pantai ‘elatif lebih kecil dibanding dengan daerah pantai, hal ini karena pengaruh run-off dari daratan. Variasi salinitas ini sering digunakan untuk mengindikasikan perubahan massa air. Perubahan salinitas dan suhu sangat mempengaruhi densitas suatu perairan Ross (1970) menyatakan bahwa densitas ditentukan oleh indek antara 3 variabel, yaitu salinitas, suhu dan tekanan. Secara umum densitas meningkat dengan meningkatnya salinitas, tekanan atau kedalaman Keadaan nilai salinitas di perairan di pantai utara Jawa pada bulan Desember, erat hubungannya dengan keadaan sirkulasi air laut. Keadaan nilai salinitas yang ‘semakin tinggi ke arah timur menunjukkan adanya aliran air laut dari Laut Cina Selatan masuk ke Laut Jawa, tetapi air dari Laut Cina Selatan tersebut masih belum mempengaruhi kondisi air di sekitar perairan utara Jawa. Hal ini ditunjukkan oleh masih adanya air yang bersalinitas di atas 33 %e. Isohalin 33 % merupakan indikator massa air Laut Flores yang masuk ke Laut Jawa, Massa air Laut Cina Selatan yang mengalir ke Laut Jawa pada bulan Desember mempunyai salinitas yang lebih rendah akibat terjadinya pengenceran oleh curah hujan dan aliran air sungai di sepanjang pantai timur ‘Sumatera dan pantai barat Kalimantan (Hadikusumah et.al, 1980). 2.3.3. Klorot Klorofil-a erat kaitannya dengan tingkat produktifitas primer yang ditunjukkan dengan besarya biomassa fitoplankton yang menjadi rantai pertama makanan ikan pelagis kecil. Produktifitas primer lingkungan perairan pantai umumnya lebih tinggi dari 18 produktiftas primer perairan laut terbuka. Menurut Valiela (1984) produktiftas primer perairen pantai melebihi 60% dari produktifitas yang ada di laut. LLaju produktifitas primer di lingkungan laut ditentukan oleh berbagai faktor fisika. Faktor fisika utama yang mengontrol produksi fitoplankton di perairan eutropik adalah Pencampuran vertikal, penetrasi cahaya di kolom air dan laju tenggelam sel (fitopiankton) (Gabric and Parslow, 1989). Beberapa penelitian tentang produktifitas primer dalam kaitannya dengan keberadaan massa air mendapatkan informasi bahwa kedalaman dimana konsentrasi Klorofila maksimum adalah pada bagian atas lapisan termokin. Lapisan permukaan tercampur memiliki konsentrasi klorofil-a yang hampir homogen, LLaju produktifitas primer di laut juga dipengaruhi oleh sistem angin muson. Hal ini berhubungan dengan daerah asal dimana massa air diperoleh. Dari pengamatan sebaran konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia diperoleh bahwa konsentrasi Klorofil-a tertinggi dijumpai pada muson tenggara, dimana pada saat tersebut terjadi upwelling di beberapa perairan terutama di perairan Indonesia bagian_timur. Sedangkan klorofi-a terendah dijumpai pada muson barat laut. Pada saat ini di perairan Indonesia tidak terjadi upwelling dalam skala yang besar sehingga nilai konsentrasi nutrient di perairan lebih kecil, Perbedaan konsentrasi klorofi-a pada kedua muson tersebut dikemukakan oleh beberapa peneliti. Nontji (1974) dalam Monk et.al (1997) mengatakan bahwa rata-rata konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia kira-kira 0,19 mg/m®, dan 0,16 mg/m? selama musim barat, 0,21 mg/m? selama musim timur. 2.4. Citra Satelit Pengamatan kondisi oseanografi seperti suhu permukaan laut, kandungan Klorfi-a dan pola arus serta tinggi muka laut dengan menggunakan satelit merupakan 19 suatu cara untuk mendapatkan data secara multitemporal dan multi spasial di suatu Perairan yang cukup luas pada waktu yang sama. Keadaan ini sulit dilakukan dengan cara Konvensional yaitu dengan pengukuran secara langsung di lapangan. Citra suhu permukaan laut dapat diperoleh dari hasil pengukuran sensor thermal sementara citra Klorofil-a dapat diperoleh dari pengukuran sensor optik dan pola arus (arah dan kecepatan) dapat diukur dengan sensor satelit radar. Citra Suhu Permukaan Laut Untuk menentukan SPL dari data satelit NOAA-AVHRR dilakukan peng- ukuran terhadap radiasi infra. merah pada panjang gelombang 3 um - 14 ym dengan menggunakan band 3, 4 dan 5. Pengukuran spektral infra merah yang dipancarkan oleh permukaan laut hanya dapat memberikan informasi suhu pada lapisan permukaan sampai kedalaman 0,1 mm. Walaupun demikian, pada sebagian besar permukaan laut, kecuali perairan kutub, kedalaman 0 m - 20 m merupakan lapisan pencampuran (mixed layer) dimana suhu cukup homogen (Robinson, 1985). Suhu permukaan laut (SPL) yang dapat dipantau oleh satelit merupakan Parameter oseanografi yang mempunyai pengaruh dominan bagi keberadaan sumberdaya hayati laut. Menurut Widodo (1999) pengamatan dan monitoring fenomena oseanografi dan sumberdaya hayati laut mengharuskan penggunaan banyak data dalam selang waktu observasi tertentu (harian, mingguan, bulanan atau tahunan). Citra suhu permukaan laut (SPL) dari suatu perairan yang Iuas dapat digunakan untuk mengetahui pola distribusi SPL, arus di suatu perairan, dan interaksinya dengan perairan lain serta fenomena upwelling dan front di perairan tersebut yang merupakan daerah potensi penangkapan ikan (Hasyim dan Priyanti, 1999), 20 2.4.2, Citra Produktifitas Primer Sensor ocean color dari satelit dapat menyediakan data kuantitatif tentang global ocean bio-optical properties yang dapat memberikan data atau informasi tentang adanya variasi wara perairan (ocean color) sebagai implementasi dari adanya perbedaan konsentrasi klorofil-a (produktifitas primer) dalam perairan. Apabila sebaran produktiftas primer dapat diketahui akan menjadi indikator yang lebih tepat untuk penentuan fishing ground (Susilo, 1997). Pendeteksian klorofi-a dalam suatu perairan adalah dengan pengukuran radiansi wama perairan pada spektrum 433-520 nm dari band 2, 3, dan 4 dari sensor ‘SeaWiFS. Dengan menggunakan sensor dari satelit Seastar ini maka tingkat kandungan klorofil dari suatu perairan dapat diketahui. 2.5. Alat Tangkap Kapal-kapal yang mendaratkan hasil tangkapan ikan pelagis di Selat Sunda dari Jenis pukat cincin mini (mini purse seine). Pukat cincin adalah jenis alat tangkap yang khusus digunakan untuk menangkap ikan-ikan yang bersifat pelagic shoaling species, dimana ikan-ikan tersebut membentuk gerombolan (shoal) serta berada di dekat permukaan air (Ayodhyoa, 1981). Selain itu juga diharapkan agar densitas gerombolan ikan tersebut tinggi, yang berarti jarak antara ikan yang satu dengan lainnya dekat sekali. Menurut Ayodhyoa (1981), bahwa prinsip penangkapan ikan dengan pukat cincin adalah dengan melingkari suatu gerombolan ikan dengan jaring, setelah itu jaring bagian bawah dikerucutkan, sehingga ikan-ikan terkumpul pada bagian kantong. Dengan kata lain memperkecil ruang gerak ikan yang akhimya tertangkap. Jadi mata jaring hanyalah sebagai penghadang ikan dan bukan sebagai penjerat seperti halnya pada jaring insang. 24 Kapal pukat cincin mini berukuran panjang antara 10-15 m dan hampir sebagian besar menggunakan mesin tempel (outboard angine) dengan panjang jaring maksimal 300 m. Sedangkan kapal pukat cincin besar berukuran panjang 16-30 m dengan menggunakan mesin motor diesel (inboard engine) untuk panjang jaring lebih dari 400 m. Menurut Atmadja dan Shadotomo (1985), bahwa bobot mati kapal pukat cincin mengalami evolusi dari tahun ke tahun dengan berbagai kisaran berat kotor atau gross tonnage (GT). 3. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di perairan Selat Sunda pada posisi 05:00:00 ° LS ‘sampai 07:00:00° LS dan 104:00:00° BT sampai 106:30:00 ° BT (Gambar 1). Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian Samudera Hindia Penelitian dilaksanakan selama satu siklus (4 musim) mulai Agustus 2000 sampai dengan Juli 2001 dan dibagi dalam dua tahapan kegiatan. Pertama, Pengambilan data lapangan (in-situ). Data lapangan yang diambil adalah: 1) data ‘oseanografi (suhu, salinitas, arus); 2) data hasil tangkapan ikan pelagis kecil, dan 3) data pendukung lainnya seperti data curah hujan. Kedua, pengolahan dan analisa data dilakukan di di Lab. Remote Sensing & GIS (TISDA Terpadu), Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (P3-TISDA), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Jakarta. Data yang diolah adalah data oseanografi hasil pengukuran lapangan dan hasil pengukuran sensor satelit, serta data hasil tangkapan ikan pelagis kecil 23 3.2, Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : (1) Data oseanografi hasil pengukuran lapangan, (2) Citra SPL hasil pengukuran sensor AVHRR satelit NOAA, (3) Citra klorofil-a hasil pengukuran sensor ‘SeaWiFS satelit Seastar, (4) Pola arus (arah dan kecepatan) dan tinggi muka laut (TML) satelit Topex/Poseidon, (5) Data hasil tangkapan ikan pelagis kecil (mini purse seine), (8) Data curah hujan, (7) Peta LLN Perairan Selat Sunda skala 1 :500.000. ‘tat yang digunakan terdiri dari: (1) Seperangkat komputer PC-IBM Compatible; (2) Software pengolah data satelit yaitu E.R. MAPPER 6.0 untuk pengolahan citra SPL; SEADAS untuk pengolahan citra Klorofi-a; Adobe Photoshop/Paintshop Pro 5.5 untuk mengedit data pola arus dan TML simulasi POM; Surfer 6 untuk mengolah data hasil pengukuran CTD dan current meter serta data citra SPL menjadi data kontur SPL; (3) program basic untuk mempermudah Pengolahan raw data; serta (4) GPS (Global Positioning System) untuk menentukan posisi geografis. 3.3, Metode Pengumpulan Data 3.3.1. Data oseanografi a. Pengukuran lapangan - Data hasil pengukuran selama pelayaran Pre-JIGSE (Joint Indonesia-Germany ‘Sumatera Expedition) KAL Baruna Jaya IV BPPT 25 Oktober s.d 10 November 2000 (di Selat Sunda 25-28 Oktober) sebanyak 13 stasiun (periode musim peralihan Il). Posisi stasiun pengukuran CTD pelayaran Pre-JIGSE ini dapat dilihat pada Lampiran 1. 24 Data hasil pengukuran pelayaran KR Baruna Jaya Vill LIP! 10-23 Juli sebanyak 23 stasiun pengamatan 2001 (periode musim timur). Posisi stasiun pengukuran CTD pelayaran KR Baruna Jaya VIII ini dapat dilihat pada Lampiran 2. b. Data satelit - Citra SPL dari data sensor AVHRR Satelit NOAA-12 hasil rekaman stasiun bumi BPPT Jakarta. Citra dipilih mewakili setiap 10 (sepuluh) harian selama bulan pengamatan dalam format LAC (Local Area Coverage) dengan resolusi spasial 1.4. km. = Citra klorofila merupakan data dokumentasi (hasil proses) peneliti P3 TISDA - BPPT (Ir. Nani Hendiarti, M.Sc) yang berasal dari hasil rekaman sensor SeaWiFS satelit Seastar yang diterima HRPT (High Resolution Picture Transmision) Centre Remote Imaging, Sensing and Processing (CRISP) Singapura. Format data LAC (Local Area Coverage) dengan resolusi spasial 1 km. Data yang digunakan adalah data citra permusim masing-masing 1 citra mewakili musim peralihan Il, rmusim barat, dan musim peralihan |, serta 2 citra mewakili musim timur. - Pola arus (arah dan kecepatan) serta TML hasil pengukuran Satelit ‘Topex/Poseidon di-download dari internet perbulan (tiga data per musim) berupa hasil simulasi POM (Princeton Ocean Model)-NPACNFS (North Pacific Noweast/Forecast System). Data ini di-download dari Website: http;//www.7320.nrilssc.navy.mil/npacnfs_www. 3.3.2. Data hasil tangkapan Data hasil tangkapan ikan pelagis kecil dan lokasi penangkapan (fishing ground) diperoleh dari hasil wawancara dengan nelayan mini purse seine dan data catatan ‘Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Labuan yang menjadi pangkalan utama pendaratan mini 25 purse seine yang beroperasi di Selat Sunda, Data hasil tangkapan ikan pelagis yang diperoleh adalah berupa data hasil tangkapan seluruh jenis ikan pelagis yang tertangkap kapal mini purse seine selama Agustus 2000 s.d Juli 2001. Dari keseluruhan hasil tangkapan, diambil 6 jenis ikan pelagis yang dominan tertangkap yakni ikan kembung, banyar, tongkol, bentong, tembang dan layang (Gambar 2). 3.4. Metode Analisis Data 3.4.1. Data in-situ Data oseanografi hasil pengukuran in-situ (suhu dan salinitas) diolah dan disajikan dalam bentuk sebaran mendatar dan menegak berdasarkan kedalaman perairan. Sebaran mendatar dilakukan terhadap seluruh data pada stasiun pengamatan sementara sebaran menegak dilakukan dengan meng-overlay beberapa stasiun tertentu. Dari kontur sebaran mendatar dilakukan analisa untuk melihat pola sebaran SPL dan salinitas sementara dari grafik sebaran menegak dilakukan analisa untuk melihat kedalaman lapisan tercampur dan kemungkinan adanya lapisan termoklin. 3.4.2, Citra Satelit 3.4.2.1. Citra SPL Penghitungan SPL dilakukan dengan pemrosesan citra kanal 3, 4 dan 5 dari data sensor AVHRR. Metode penghitungan menggunakan formula McMillin and Crosby (1984) dengan metode sbb : - Split window ; SPL=14+2.702 (T4-T5)-0.582-273.0 - Triple window ; SPL=1.0239 T4+(0.9936 (T3-T5)-278.46) Dimana : T3 = brightness temperature channel 3 ‘T4= brightness temperature channel 4 ‘T5= brightness temperature channel 5

You might also like