Tanti LBM 1 Tropis

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 42

LBM 1

Shivering Fever
STEP 1

STEP 2
1. Why the patient complaining a fever?
2. Why the physical examination shows a pale palperal conjunctiva, sclera
icterus, and splenomegaly?
3. Why the patient shivering and follow by a spontaneous decreasing
temperature with profuse sweating?
4. Why the blood peripheral smear test shows an abnormal erythrocytes?
5. How to diagnose the disease?
6. DD?
7. What is the relation between the patient went to the papua with the
symptoms?
8. Pathophysiology?
9. The treatment and management fot this patient?
10.What are the complication?
11.Risk factors?
12.What kind of species that might probably bite the patient?
13.
STEP 3
1. Why the patient complaining a fever? Tipe-tipe demam?
Demam krn termoregulator di tubuh terganggu: antibody menangkap
adanya parasite atau bakteri ada faktor2 proinflamasi: IL 1 IL6
termoregulator terganggu.
Parasite masuk (pirogen eksogen) makrofag mengeluarkan pirogen
endogen sinyal di hipotalamus merangsang as arakidonat sintesis
PGE 2 peningkatan set point demam vasodilatasi berkeringat.
Tidak demam selama 12 jam. Suhu naik turun tergantung dgn patofisiologi.
Pd malaria pecahnya schizon dan keluarnya merozoit. Malaria banyak
macam: m. tertiana 48 jam. M. quartana 72 jam.
Ada macam2:
Demam septik suhu naik di malam hari dan turun kembali ke tingkat di
atas normal pd pagi hari.
Demam remiten demam yg suhu badan dpt turun setiap hari tapi tdk bs
mencapai suhu normal
Demam intermiten suhu turun ke normal stlh bbrp jam dalam 1 hari.
Demam kontinyu terjadi variasi setiap hari tapi tidak lbh dari 1dc.

Demam siklik peningkatan suhu -- bebas demam peningkatan suhu


2. Penyebab demam intermitten?
3. Why the patient shivering and follow by a spontaneous decreasing
temperature with profuse sweating?
Parasite masuk (pirogen eksogen) makrofag mengeluarkan pirogen
endogen sinyal di hipotalamus merangsang as arakidonat sintesis
PGE 2 peningkatan set point demam vasodilatasi berkeringat.
Fever temperature of outer body is normal diff temperature
contraction of muscle shivering fever
4. Why the physical examination shows a pale palperal conjunctiva,
sclera icterus, and splenomegaly?
Lien destroy the erythrocyte. Parasite like plasmodium: sporozoit on liver
mature skizone secret merozoit enter blood stream attach the
erythrocyte pecah lien eritrosit banyak rusak lien bekerja lbh keras
heme dan fe >> B1>> jar adipose sclera icterus.
Palpebral conj anemia hemolitik banyak eritrosit dilisiskan.
Lien as RES organ nyamuk memasukkan plasmodium, di lien akan
dihancurkan makrofag + sel radang splenomegaly.
5. Why the blood peripheral smear test shows an abnormal
erythrocytes?
anemia hemolitik banyak eritrosit dilisiskan.
Plasmodium memakan hb fungsi eritrosit berubah. Memasukkan protein
derivate , bentuk irregular, aneh. Ketika skizone mature eritrosit berubah.
Berkembang di hb membentuk pigmen hemozoin(px mikroskopik terlihat
berbeda wwarna. Eritrosit lonjong dan elastic. P. falciparum tonjolanknob
6. DD?
o Malaria disebabkan oleh plasmodium yg menyerang eritrosit
Trias malaria: keringat dingin, panas dan berkeringat
Periode dingin badan mulai menggigil, temp naik, badan bergetar
Periode panas muka memerah, nadi cepat, panas tinggi
berkepanjangan. Ada plasmodium Falciparum pd 12 jam. 36 jam
p.vivax dan ovale. 60jam p.Malaria
Periode berkeringat, suhu turun dan merasa sehat.
o

Demam thypoid demam > 7hr. disertai mual, mintah, diare dan gang
GIT. Mel tes widal: titer Ag dari Salmonella Thypi atau Parathypi
tanda (+).
Dengue Fever demam terus menerus 2-7hari. Disertai tanda
perdarahn spt ptekiae, Epitaksis, dan berak darah atau melena. Hasil
px lab didapatkan trombosit turun/trombositopenia. Ht meningkat. Tes
serologi ++ Ag virus Dengue.

Diagnose: Malaria.
7. Risk factors?
o Travelling or migration from an area where malaria is endemic
o Rarely: blood transfusion, mother transmission
o Young children in transmission areas who havent develop protective
immunity against the most severe form of the disease
o Non imun the pregnant woman in the area
o Segitiga epidemiologi:
Faktor Host
Faktor Environment
Faktor Agent
8. How to diagnose the disease?
Anamnesis: demam, menggigil, berkeringat, sakit kepala, mual, muntah,
diare, nyeri otot atau pegal.
Riwayat: tmpt tinggal dicurigai adanya endemic dr malaria/wabah. Tranfusi
darah.
Px fisik: demam suhu >37dc. Conj palb pucat. Splenomegaly dan
hepatomegali. Malaria berat: takikardi dan penurunan kesadaran, ikterik,
ronki, splenomegaly dan hepatomegaly.
Px lab mikros: parasite. Spesies plasmodium, kepadatan parasite.
9. What is the relation between the patient went to the papua with the
symptoms?
Papua is the one of endemic area of malaria. Risiko besar terkena malaria.
10.Pathophysiology and Pathogenesis of Malaria?
Nyamuk betina
Malaria tropika: p.falcifarum.. gajala paling berat. Panas naik turun. Fase
panas , fase menggigil, fase dingin. Terjadi diare ketika infeksi sudah berat.
Malaria kuartana
Malaria ovale: serangan prodromal 3-4hari. Muncul gejala pada malam hari.
Bias sembuh spontan.
Malaria vivax: inkubasi 12-17hari.
11.Parasit Life Cycle?
Anopeles betina menggigita manusiasporozoid masuk ke sirkulasi masuk
ke hati, ada juga yg mati di darah menginvasi scizon hati.. pecah
merozoid ke sirkulasi menyerang eritrosit, 12jam stereo head p.
metabolism pigmen hemozoid, merusak eritrosit jadi elascti dan lojong
lien RES, fagositosis ada makrofag semakin banyak yg menginvasi
Eritrosit parasite stadium pertama: 20jam pertama
Stadium kedua: stadium mature, 20jam kedua.
12.The treatment and management fot this patient?
Berdasar stage

Eritrositik skizon: untuk clinical attacknya. All species: chloroquin. Crfm:


kuinin, antifolates, sulfonamide.
Untuk menekan clinical attack: All species: chloroquin. Crfm: kuinin,
antifolates, sulfonamide.
Eritro gametosit: untuk prevent dan transmission
Relapsing: chloroquin. P.malaria:primaquin, artemicilin.
Hepatic scizon:
Relapsing:primaquin. P.falcifarum:-

Tergantung nyamuknya:
p.falcifarum.
lini i: 1-3hari, tiap umur beda. Hari 1: artesunad dosis 4mg/kgBB/hari.
Amodiakuin dosis 10mg?kgBB/hari. Primakui dosis 15mg?kgBB/hari. Hari ke2
artesunad, amodiakuinkinasiklin 3x2.
Setelah 6jam dosis diturunkan.
Hari kedua 300mg/hari. Jika p.vivax ditambah primakuin. Antibiotic:
tetrasiklin, akuinolon.
Manifeslain juga diobatin..
Lini ii: 7hari, tetrasiklin 4x1 penuh, primakuin 4x1hari pertama saja.
13.What are the complication?
Malaria otak jika eritroit mudah melekat di kapiler aliran darah ke otak
terhambat malaria otak bias menjadi kematian. krn sitoadherensi dan
rosetting
Edem paru << vol aliran darah
Kelainan darah krn hemolysis, obat malaria (antimalarial)
Kegagalan hati
Hipoglikemi
Kegagalan ginjal
14.What kind of species that might probably bite the patient? Table.
P. vivax M.Tertiana 6-8hr. besar 45mikron. 10rb. 48 jam. Retikulosit dan
normosit
P. Falciparum M. Tropiks5.5-7hari. 60 mikron. 40rb. 48 jam. Eritsot muda
dan nomosit
P. Malariae M.Quartana 12-16hr. 45 mikron. 20rb. 72 jam. normosit
P. ovale M. Ovale 9hari. 70 mikron. 15rb. 50 jam. Retikulosit dan erit muda
15. What does the endemic area vector borne disease? Buku IKM.
Endemic bukan penyakit baru. Angka kejadian stabil.
16.What are the preventive medication?

STEP 7
1.

Why the patient complaining a fever? Tipe-tipe demam?

P. vivax

P. ovale

P. malariae

P. falsiparum

6-8

14 - 16

5-7

Masa Pre-patent (hari)

11 13

10 14

15 16

9 10

Masa Inkubasi (hari)

15

17 /(16-18)

28 / (18-40)

12 / (9-14)

atau lebih

atau lebih

50

72

Stadium

Pre-

eritrosiotik (hari)

(12-17)

atau
6-12 bulan
Siklus eritrosit (jam)

48

Febris atau demam pada umumnya diartikan sebagai suhu tubuh diatas 37,2C. Demam
terjadi karena pelepasan pirogen dari dalam leukosit yang sebelumnya telah terangsang oleh
pirogen eksogen yang dapat berasal dari mikroorganisme atau merupakan hasil dari suatu reaksi
imunologik yang tidak berdasarkan suatu infeksi. Pirogen adalah suatu protein yang identik
dengan interleukin-1 (IL-1). Di dalam hipotalamus zat ini merangsang pelepasan asam
arachidonat serta mengakibatkan peningkatan sintesis prostaglandin E 2 (PG E2) yang langsung
dapat menyebabkan pireksia (Dorland, 2002; Nelwan, 2007).
Demam umumnya terjadi akibat adanya rangsangan untuk meningkatkan suhu tubuh atau
adanya gangguan pada pusat pengatur suhu, yaitu hipotalamus. Pada pasien, demam terjadi akibat
adanya rangsangan terhadap metabolisme asam arachidonat oleh pirogen endogen (IL-1) yang
dirangsang oleh pirogen eksogen yang ada pada toksin bakteri atau agen infeksius lainnya. Sifat
demam yang remiten terjadi akibat siklus agen infeksius, dalam hal ini bakteri, dan ritme aktivitas
host. Seperti misalnya, demam terjadi di sore hingga malam hari karena pada waktu tersebut
metabolisme tubuh telah menurun, sehingga suhu tubuh ikut menurun. Akibatnya, tubuh
mengkompensasi set point palsu yang di set oleh bakteri dengan mekanisme demam.
Sedangkan menggigil adalah salah satu mekanisme termogenesis dalam usaha meningkatkan
suhu. Pada umumnya menggigil terjadi pada demam yang suhunya jauh dari nilai normal.

MEKANISME DEMAM
Pirogen merupakan substansi yang menyebabkan demam dan berasal baik dari eksogen maupun
endogen. Pirogen eksogen berasal dari luar hospes, sementara pirogen endogen diproduksi oleh hospes,
umumnya sebagai respon terhadap stimulant awal yang biasanya timbul oleh karena infeksi atau
inflamasi. Pirogen endogen yang dihasilkan baik secara sistemik atau lokal, berhasil memasuki sirkulasi
dan menyebabkan demam pada tingkat pusat termoregulasi di hipotalamus (Harrison,1999).
Demam terjadi karena pelepasan pirogen dari dalam leukosit yang sebelumnya telah terangsang
oleh pirogen eksogen yang dapat berasal dari mikroorganisme atau merupakan suatu hasil reaksi
imunologik yang tidak berdasarkan suatu infeksi (Nelwan, 1987). Penyebab eksogen demam antara lain
bakteri, jamur, virus dan produk-produk yang dihasilkan oleh agen-agen tersebut (misal endotoksin).
Kerusakan jaringan oleh sebab apapun (misal cedera tergencet) dapat menyebabkan demam. Faktor-faktor

imunologik seperti kompleks imun dan limfokin menimbulkan penyakit demam pada penyakit vaskular
kolagen (misal lupus eritematosus sistemik, artritis reumatoid) dan keadaan-keadaan hipersensitivitas
(misal reaksi obat atau transfusi darah). Seluruh substansi di atas menyebabkan sel-sel fagosit
mononuklear (monosit, makrofag jaringan atau sel Kupffer) membuat pirogen endogen (EP=
endogenous pyrogen). EP adalah suatu protein kecil (berat molekul 20.000) yang mirip interleukin, yang
merupakan suatu mediator proses imun antar sel yang penting. EP telah diisolasi dari netrofil, eosinofil,
monosit, sel Kupffer, makrofag alveoli dan sinovium. EP juga ditemukan dalam sel-sel penyakit Hodgkin,
limfoma histiositik dan kanker sel ginjal (Wash,1997).
EP menginduksi demam melalui pengaruhnya pada area pre-optik di hipotalamus anterior. EP
melepaskan asam arakidonat di hipotalamus yang selanjutnya diubah menjadi prostaglandin. Hipotalamus
anterior mengandung banyak nueron termosensitif. Area ini juga kaya dengan serotonin dan
norepinefrin yang memperantarai terjadinya demam, EP meningkatkan konsentrasi mediator tersebut.
Selanjutnya kedua mono-amina ini akan meningkatkan adenosin monofosfat siklik (AMP) dan
prostaglandin di susunan saraf pusat (Wash,1997).
Bagaimana mekanisme terjadinya demam? Pirogen eksogen, kompleks imun dan 5 steroid
dikenali limfokin. Selanjutnya limfokin merangsang sel fagosit mononuklear dalam menghasilkan
pirogen endogen. Sel tumor juga dapat secara langsung menyebabkan sel fagosit mononuclear
menghasilkan pirogen endogen. Selain itu juga sel tumor dikenali limfosit yang kemudian membentuk
limfokin dan merangsang sel fagosit mononuclear menghasilkan pirogen endogen. Pirogen endogen di
dalam otak melepaskan asam arakidonat yang kemudian diubah menjadi prostaglandin. Prostaglandin
menyebabkan peningkatan kadar serotonin dan norepinefrin di area pre-optik hipotalamus anterior
sehingga terjadi penyimpanan panas (Wash,1997)

Hipotalamus mengatur seluruh mekanisme suhu tubuh. Interaksi kimiawi yang telah dijelaskan di
atas mengubah pengaturan neuron-neuron peka panas dan dingin, sehingga timbul demam. Perubahan
termoregulasi ke arah atas menyebabkan penyimpanan panas melalui aktivitas gemetar, vasokonstriksi
kulit, dan sumber-sumber produksi panas lainnya. Panas yang dihasilkan melalui vasokonstriksi dan
gemetar bersifat terbatas. Berapa banyaknya mekanisme penyimpanan panas yang diaktifkan tergantung
pada suhu udara. Pada awal demam, individu akan menggigil dan merasa dingin karena pengaturan baru
dari suhu tubuh yang lebih tinggi dari biasanya. Setelah suhu tubuh stabil pada tingkat yang baru, maka
menggigil akan berhenti; kontrol suhu tubuh dicapai dengan menyeimbangkan kehilangan dan
penyimpanan panas (Wash, 1997).
Pengaturan suhu hipotalamus meninggi pada demam akibat infeksi (missal septikemia, abses),
kanker (misal leukimia, limfoma) dan penyakit vaskular-kolagen. Gangguan proses pengeluaran panas
merupakan penyebab demam akibat obat-obatan antikolinergik dan sengatan panas. Peningkatan laju
metobolisme mendahului dan menyertai awitan demam dan kemudian menetap bersama demam.
Terdapat peninggian konsumsi oksigen sebesar 10 persen untuk tiap 1 oC peninggian suhu (Wash, 1997).
Toksin dari bakteri seperti endotoksin bekerja atas monosit, makrofag dan sel Kupffer untuk
menghasilkan interleukin-1 (IL-1), suatu polipeptida yang juga dikenal sebagai pirogen endogen. IL-1
mempunyai efek luas dalam badan. IL-1 memasuki otak dan menimbulkan demam oleh kerja langsung

atas area preoptika hipotalamus. IL-1 juga bekerja atas limfosit untuk mengaktivasi sistem kekebalan,
merangsang pelepasan neutrofil dari sumsum tulang dan menyebabkan proteolisis dalam otot (Ganong,
1997).

Demam septik
Suhu badan berangsur naik ke tingkat yg tinggi sekali pada malam hari dan turun kembali ke
tingkat di atas normal pada pagi hari. Sering disertai keluhan menggigil dan berkeringat.
Demam hektik
Suhu badan berangsur naik ke tingkat yg tinggi sekali pada malam hari dan turun kembali ke
tingkat normal pada pagi hari.
Demam remiten
Suhu badan dapat turun setiap hari tetapi tidak pernah mencapai suhu badan normal. Perbedaan
suhu yang mungkin tercatat dapat mencapai dua derajat dan tidak sebesar perbedaan suhu yg di
catat pada demam septik.
Demam intermiten
Suhu badan turun ke tingkat yang normal selama beberapa jam dalam satu hari. Bila demam
seperti ini terjadi setiap dua hari sekali di sebut tersiana dan bila terjadi dua hari bebas demam
diantara dua serangan demam disebut kuartana.
Demam kontinyu
Variasi suhu sepanjang har tidak berbeda lebh dari satu derajat. Pada tingkat demam yg terusmenerus tinggi sekali disebut hiperpireksia.
Demam siklik
Terjadi kenaikan suhu badan selama beberapa hari yg kemudian diikuti oleh periode bebas
demam utuk beberapa hari yg kemudian diikuti oleh kenaikan suhu seperti semula.
((IPD FKUI))
International Union of Physiological Sciences Commission for Thermal Physiology mendefinisikan
demam sebagai suatu keadaan peningkatan suhu inti, yang sering (tetapi tidak seharusnya) merupakan
bagian dari respons pertahanan organisme multiselular (host) terhadap invasi mikroorganisme atau benda
mati yang patogenik atau dianggap asing oleh host. El-Rahdi dan kawan-kawan mendefinisikan demam
(pireksia) dari segi patofisiologis dan klinis. Secara patofisiologis demam adalah peningkatan
thermoregulatory set point dari pusat hipotalamus yang diperantarai oleh interleukin 1 (IL-1). Sedangkan
secara klinis demam adalah peningkatan suhu tubuh 1 oC atau lebih besar di atas nilai rerata suhu normal
di tempat pencatatan. Sebagai respons terhadap perubahan set point ini, terjadi proses aktif untuk
mencapai set point yang baru. Hal ini dicapai secara fisiologis dengan meminimalkan pelepasan panas
dan memproduksi panas.1,2
Suhu tubuh normal bervariasi sesuai irama suhu circardian (variasi diurnal). Suhu terendah
dicapai pada pagi hari pukul 04.00 06.00 dan tertinggi pada awal malam hari pukul 16.00 18.00.
Kurva demam biasanya juga mengikuti pola diurnal ini. 1,2 Suhu tubuh juga dipengaruhi oleh faktor

individu dan lingkungan, meliputi usia, jenis kelamin, aktivitas fisik dan suhu udara ambien. Oleh karena
itu jelas bahwa tidak ada nilai tunggal untuk suhu tubuh normal. Hasil pengukuran suhu tubuh bervariasi
tergantung pada tempat pengukuran (Tabel 1).3,4
Tabel 1. Suhu normal pada tempat yang berbeda
Tempat
pengukuran

Jenis termometer

Rentang;

rerata

suhu normal (oC)

Demam
(oC)

Aksila

Air raksa, elektronik

34,7 37,3; 36,4

37,4

Sublingual

Air raksa, elektronik

35,5 37,5; 36,6

37,6

Rektal

Air raksa, elektronik

36,6 37,9; 37

38

Telinga

Emisi infra merah

35,7 37,5; 36,6

37,6

Suhu rektal normal 0,27o 0,38oC (0,5o 0,7oF) lebih tinggi dari suhu oral. Suhu aksila kurang lebih
0,55oC (1oF) lebih rendah dari suhu oral. 5 Untuk kepentingan klinis praktis, pasien dianggap demam bila
suhu rektal mencapai 38oC, suhu oral 37,6oC, suhu aksila 37,4oC, atau suhu membran tympani mencapai
37,6oC.1 Hiperpireksia merupakan istilah pada demam yang digunakan bila suhu tubuh melampaui 41,1 oC
(106oF).5
1.2. Pola demam
Interpretasi pola demam sulit karena berbagai alasan, di antaranya anak telah mendapat antipiretik
sehingga mengubah pola, atau pengukuran suhu secara serial dilakukan di tempat yang berbeda. Akan
tetapi bila pola demam dapat dikenali, walaupun tidak patognomonis untuk infeksi tertentu, informasi ini
dapat menjadi petunjuk diagnosis yang berguna (Tabel 2.).1

Tabel 2. Pola demam yang ditemukan pada penyakit pediatrik

Pola demam

Penyakit

Kontinyu

Demam tifoid, malaria falciparum malignan

Remitten

Sebagian besar penyakit virus dan bakteri

Intermiten

Malaria, limfoma, endokarditis

Hektik atau septik

Penyakit Kawasaki, infeksi pyogenik

Quotidian

Malaria karena P.vivax

Double quotidian

Kala azar, arthritis gonococcal, juvenile rheumathoid arthritis,


beberapa drug fever (contoh karbamazepin)

Relapsing atau periodik

Malaria tertiana atau kuartana, brucellosis

Demam rekuren

Familial Mediterranean fever

Penilaian pola demam meliputi tipe awitan (perlahan-lahan atau tiba-tiba), variasi derajat suhu selama
periode 24 jam dan selama episode kesakitan, siklus demam, dan respons terapi. Gambaran pola demam
klasik meliputi:1,2,6-8

Demam kontinyu (Gambar 1.) atau sustained fever ditandai oleh peningkatan suhu tubuh yang
menetap dengan fluktuasi maksimal 0,4oC selama periode 24 jam. Fluktuasi diurnal suhu normal
biasanya tidak terjadi atau tidak signifikan.

Gambar 1. Pola demam pada demam tifoid (memperlihatkan bradikardi relatif)

Demam remiten ditandai oleh penurunan suhu tiap hari tetapi tidak mencapai normal dengan
fluktuasi melebihi 0,5oC per 24 jam. Pola ini merupakan tipe demam yang paling sering ditemukan
dalam praktek pediatri dan tidak spesifik untuk penyakit tertentu (Gambar 2.). Variasi diurnal
biasanya terjadi, khususnya bila demam disebabkan oleh proses infeksi.

Gambar 2. Demam remiten

Pada demam intermiten suhu kembali normal setiap hari, umumnya pada pagi hari, dan puncaknya
pada siang hari (Gambar 3.). Pola ini merupakan jenis demam terbanyak kedua yang ditemukan di
praktek klinis.

Gambar 3. Demam intermiten

Demam septik atau hektik terjadi saat demam remiten atau intermiten menunjukkan perbedaan
antara puncak dan titik terendah suhu yang sangat besar.

Demam quotidian, disebabkan oleh P. Vivax, ditandai dengan paroksisme demam yang terjadi setiap
hari.

Demam quotidian ganda (Gambar 4.)memiliki dua puncak dalam 12 jam (siklus 12 jam)

Gambar 4. Demam quotidian

Undulant fever menggambarkan peningkatan suhu secara perlahan dan menetap tinggi selama
beberapa hari, kemudian secara perlahan turun menjadi normal.

Demam lama (prolonged fever) menggambarkan satu penyakit dengan lama demam melebihi yang
diharapkan untuk penyakitnya, contohnya > 10 hari untuk infeksi saluran nafas atas.

Demam rekuren adalah demam yang timbul kembali dengan interval irregular pada satu penyakit
yang melibatkan organ yang sama (contohnya traktus urinarius) atau sistem organ multipel.

Demam bifasik menunjukkan satu penyakit dengan 2 episode demam yang berbeda (camelback
fever pattern, atau saddleback fever). Poliomielitis merupakan contoh klasik dari pola demam ini.
Gambaran bifasik juga khas untuk leptospirosis, demam dengue, demam kuning, Colorado tick fever,
spirillary rat-bite fever (Spirillum minus), dan African hemorrhagic fever (Marburg, Ebola, dan
demam Lassa).

Relapsing fever dan demam periodik:


o

Demam periodik ditandai oleh episode demam berulang dengan interval regular atau
irregular. Tiap episode diikuti satu sampai beberapa hari, beberapa minggu atau beberapa
bulan suhu normal. Contoh yang dapat dilihat adalah malaria (istilah tertiana digunakan bila
demam terjadi setiap hari ke-3, kuartana bila demam terjadi setiap hari ke-4) (Gambar 5.)dan
brucellosis.

Gambar 5. Pola demam malaria


o

Relapsing fever adalah istilah yang biasa dipakai untuk demam rekuren yang disebabkan
oleh sejumlah spesies Borrelia (Gambar 6.)dan ditularkan oleh kutu (louse-borne RF) atau
tick (tick-borne RF).

Gambar 6. Pola demam Borreliosis (pola demam relapsing)

Penyakit ini ditandai oleh demam tinggi mendadak, yang berulang secara tiba-tiba
berlangsung selama 3 6 hari, diikuti oleh periode bebas demam dengan durasi yang hampir
sama. Suhu maksimal dapat mencapai 40,6 oC pada tick-borne fever dan 39,5oC pada louseborne. Gejala penyerta meliputi myalgia, sakit kepala, nyeri perut, dan perubahan kesadaran.
Resolusi tiap episode demam dapat disertai Jarish-Herxheimer reaction (JHR) selama
beberapa jam (6 8 jam), yang umumnya mengikuti pengobatan antibiotik. Reaksi ini
disebabkan oleh pelepasan endotoxin saat organisme dihancurkan oleh antibiotik. JHR sangat
sering ditemukan setelah mengobati pasien syphillis. Reaksi ini lebih jarang terlihat pada
kasus leptospirosis, Lyme disease, dan brucellosis. Gejala bervariasi dari demam ringan dan
fatigue sampai reaksi anafilaktik full-blown.
o

Contoh lain adalah rat-bite fever yang disebabkan oleh Spirillum minus dan Streptobacillus
moniliformis. Riwayat gigitan tikus 1 10 minggu sebelum awitan gejala merupakan
petunjuk diagnosis.

Demam Pel-Ebstein (Gambar 7.), digambarkan oleh Pel dan Ebstein pada 1887, pada
awalnya dipikirkan khas untuk limfoma Hodgkin (LH). Hanya sedikit pasien dengan penyakit
Hodgkin mengalami pola ini, tetapi bila ada, sugestif untuk LH. Pola terdiri dari episode
rekuren dari demam yang berlangsung 3 10 hari, diikuti oleh periode afebril dalam durasi
yang serupa. Penyebab jenis demam ini mungkin berhubungan dengan destruksi jaringan atau
berhubungan dengan anemia hemolitik.

Gambar 7. Pola demam penyakit Hodgkin (pola Pel-Ebstein).


Daftar Pustaka
1

El-Radhi AS, Carroll J, Klein N, Abbas A. Fever. Dalam: El-Radhi SA, Carroll J, Klein N, penyunting.
Clinical manual of fever in children. Edisi ke-9. Berlin: Springer-Verlag; 2009.h.1-24.

Fisher RG, Boyce TG. Fever and shock syndrome. Dalam: Fisher RG, Boyce TG, penyunting. Moffets
Pediatric infectious diseases: A problem-oriented approach. Edisi ke-4. New York: Lippincott William
& Wilkins; 2005.h.318-73.

El-Radhi AS, Barry W. Thermometry in paediatric practice. Arch Dis Child 2006;91:351-6.

Avner JR. Acute Fever. Pediatr Rev 2009;30:5-13.

Del Bene VE. Temperature. Dalam: Walker HK, Hall WD, Hurst JW, penyunting. Clinical methods:
The history, physical, and laboratory examinations. Edisi ke-3. :Butterworths;1990.h.990-3.

Powel KR. Fever. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007.h.

Cunha BA. The clinical significance of fever patterns. Inf Dis Clin North Am 1996;10:33-44

Woodward TE. The fever patterns as a diagnosis aid. Dalam: Mackowick PA, penyunting. Fever:
Basic mechanisms and management. Edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott-Raven;1997.h.215-36

2.

Penyebab demam intermitten?

3.
Why the patient shivering and follow by a spontaneous decreasing
temperature with profuse sweating?
Stadium Malaria berdasarkan gejala klinis
a. Stadium rigoris (cold stage) = menggigil dan dingin.
Stadium ini penderita merasa kedinginan hingga menggigil disertai dengan konvulsie (kejang yang
hebat), gemetar, pada kulit maupun bibir dan muka menjadi pucat kebiru-biruan (cianosis) karena
kekurangan O2, denyut nadi kecil lemah, dapat disertai muntah, dan pusing kepala merupakan gejala
yang paling dirasakan. Stadium ini berlangsung 15 menit hingga 1 jam yang terjadi karena pecahnya
eritrosit, dan hemoglobin berubah menjadi hemosoint yang bersifat toksin (zat-zat pirogen).
Keadaan ini bersifat subyektif karena akhir stadium ini suhu badan naik dengan cepat.
b. Stadium Febris (Monst Stage) = Panas.
Setelah stadium rigoris berlangsung akan diikuti oleh stadium febris penderita merasa panas (suhu badan
naik) hingga 400C atau lebih, muka kemerah-merahan, denyut nadi menjadi penuh dan kuat, pernafasan
cepat, pusing kepala bertambah hebat dan kadang disertai muntah maupun diare. Penderita gelisah hingga
delirium (mengigau/meracau) dan merasa sangat haus. Tekanan darah turun, stadium ini berlangsung 2 - 6
jam Keadaan ini terjadi karena merosoit menyerang eritrosit baru (masuknya merosoit kedalam sel
eritrosit).
c. Stadium sudoris (sweating stage) = perspirasi.
Setelah semua merosoit yang berasal dari pecahnya stadium skhisontt yang telah menginfeksi eritrosit,
maka suhu badan menurun disertai keluarnya keringat. Sakit kepala dan keluhan lainnya menurun.
Selanjutnya penderita merasa lelah sekali. Stadium ini berlangsung hingga 2 - 4 jam. Setelah keringat
banyak sekali keluar, penderita merasa lebih enak hingga timbul serangan selanjutnya (gejala menggigil).
Dari akhir gejala stadium sudoris hingga timbul serangan selanjutnya yaitu stadium rigoris (menggigil)
disebut Apyrexial Interval, dan Interval ini berbeda-beda untuk setiap spesies plasmodium antara lain :
1. Falsiparum : berkisar 12 jam.
2. Vivak / ovale : berkisar 30 jam.

3. Malariae : berkisar 60 jam.

MENGGIGIL
Set point pusat pengatur suhu hipotalamus tiba tiba berubah jadi naik (karena zat pirogen) karena suhu
darah sekarang lebih rendah dari set point pengatur suhu hipotalamus akan terjadi reaksi umum yang
menyebabkan kenaikan suhu tubuh. Selama periode ini orang akan kedinginan atau menggigil dan
gemetar walaupun mungkin suhu tubuh sudah berada diatas normal. Kulit terjadi dingin karena
vasokontriksi. Sebaliknya orang tersebut tidak lagi menggigil tetapi sebaliknya tidak mersa dingin atau
panas . sepanjang faktor penyebab masih ada.
BERKERINGAT
Rangsangan Hipotalamik terhadap Menggigil
Terletak pada bagian dorsomedial dari hipotalamus posterior dekat dinding ventrikel ketiga yang
merupakan area pusat motorik primer untuk menggigil. Area ini normalnya dihambat oleh sinyal dari
pusat panas pada area preoptik-hipotalamus anterior, tapi dirangsang oleh sinyal dingin dari kulit dan
medulla spinalis.
Ketika terjadi peningkatan yang tiba-tiba dalam produksi panas, pusat ini teraktivasi ketika suhu tubuh
turun bahkan hanya beberapa derajat dibawah nilai suhu kritis. Pusat ini kemudian meneruskan sinyal
yang menyebabkan menggigil melalui traktus bilateral turun ke batang otak, ke dalam kolumna lateralis
medulla spinalis, dan akhirnya, ke neuron motorik anterior. Sinyal ini tidak teratur, dan tidak benar-benar
menyebabkan gerakan otot yang sebenarnya. Sebaliknya, sinyal tersebut meningkatkan tonus otot rangka
diseluruh tubuh. Ketika tonus meningkat diatas tingkat kritis, proses menggigil dimulai. Selama proses
menggigil maksimum, pembentukan panas tubuh dapat meningkat sebesar 4-5 kali dari normal.
Referensi
Guyton A. C, Hall J. E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta : EGC.

Adams Diagnosis Fisik

4.
Why the physical examination shows a pale palperal conjunctiva, sclera
icterus, and splenomegaly?
Splenomegali. Pembesaran limpa merupakan gejala khas terutama pada malaria yang menahun.
Perubahan limpa biasanya disebabkan oleh kongesti, tetapi kemudian limpa berubah warna
menjadi hitam, karena pigmen yang ditimbun dalam eritsosit yang mengandung kapiler dan
sinusoid. Eritsoit yang tampaknya normal dan yang mengandung parasit dan butir-butir hemozoin
tampak dalam histiosit di pulpa dan sel epitel sinusoid. Pigmen tampak bebas atau dalam sel
fagosit raksasa. Hiperplasia, sinus melebar dan kadang-kadang trombus dalam kapiler dan fokus
nekrosis tampak dalam pulpa limpa. Pada malaria menahun jaringan ikat bertambah tebal,
sehingga limpa menjadi keras.
Sumber : Kapita selekta kedokteran
Anemia. Pada malaria dapat terjadi anemia. Derajat anemia tergantung pada spesies parasit yang
menyebabkannya. Anemia terutama tampak jelas pada malaria falsiparum dengan penghancuran
eritrosit yang cepat dan hebat dan pada malaria menahun. Jenis anemia pada malaria adalah
hemolitik, normokrom dan normositik. Pada serangan akut kadar hemoglobin turun secara
mendadak.
Anemia disebabkan beberapa faktor :
a. Penghancuran eritrosit yang mengandung parasit dan yang tidak mengandung parasit terjadi di
dalam limpa, dalam hal ini faktor auto imun memegang peran.
b. Reduced survival time, maksudnya eritrosit normal yang tidak mengandung parasit tidak dapat
hidup lama.
c. Diseritropoesis yakni gangguan dalam pembentukan eritrosit karena depresi eritropoesis dalam
sumsum tulang, retikulosit tidak dapat dilepaskan dalam peredaran darah perifer.
Penyakit hemolitik atau peningkatan kecepatan destruksi sel darah merah
merupakan penyebab utama dari pembentukan bilirubin yang berlebihan. Ikterus yang
timbul sering disebut ikterus hemolitik. Konyugasi dan transfer pigmen empedu berlangsung
normal, tetapi suplai bilirubin tak terkonyugasi melampaui kemampuan hati. Akibatnya kadar
bilirubin tak terkonyugasi dalam darah meningkat. Meskipun demikian kadar bilirubin serum
jarang melebihi 5 mg/100 ml pada penderita hemolitik berat, dan ikterus yang timbul bersifat
ringan, berwarna kuning pucat. Karena bilirubin tak terkonyugasi tidak (larut dalam air, maka
tidak dapat diekskresikan ke dalam kemih, dan bilirubinuria tidak terjadi. Tetapi pembentukan
urobilinogen menjadi meningkat (akibat.peningkatan beban bilirubin terhadap hati peningkatan
konyugasi dan ekskresi), yang lanjutnya mengakibatkan peningkatan ekskresi dalam feses dan
kemih. Kemih dan feses dapat berwarna gelap.
Sumber : Kapita selekta kedokteran
Palpebra konjungtiva pucat :
Karena anemi
Anemia. Pada malaria dapat terjadi anemia. Derajat anemia tergantung pada spesies parasit yang
menyebabkannya. Anemia terutama tampak jelas pada malaria falsiparum dengan penghancuran
eritrosit yang cepat dan hebat dan pada malaria menahun. Jenis anemia pada malaria adalah

hemolitik, normokrom dan normositik. Pada serangan akut kadar hemoglobin turun secara
mendadak.
Anemia disebabkan beberapa faktor :
a. Penghancuran eritrosit yang mengandung parasit dan yang tidak mengandung parasit terjadi di
dalam limpa, dalam hal ini faktor auto imun memegang peran.
b. Reduced survival time, maksudnya eritrosit normal yang tidak mengandung parasit tidak dapat
hidup lama.
c. Diseritropoesis yakni gangguan dalam pembentukan eritrosit karena depresi eritropoesis dalam
sumsum tulang, retikulosit tidak dapat dilepaskan dalam peredaran darah perifer.
Kapita selekta kedokteran
Makro & mikrogametosit
ookinet
Anopheles betina
oocyst

sporozoit

hipnozoit

Makro & mikrogametosit


manusia

hepar

Skizon hepar
merozoit

plasma
sirkulasi
merozoit

EP

Sel RES dilimpa


Agregat imun complex di spleen
splenomegaly
Fagositosis dan filtrasi

eritrosit

skizon
lisis

Hambatan eritropoesis

tropozoit
anemia

hemolisis

Complement mediated immune complex

eritrofagositosis

GPI
PfEMP-1
TNF-alfa dan IL-1
cytoadherence

squestrin

Rosette formation

CD36,trombospondin,ICAM-1,VCAM,ELAM-1,glycosaminoglycan
chondroitin sulfate A
demam

endotel

5.

Why the blood peripheral smear test shows an abnormal erythrocytes?


Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan darah yang menurut teknis pembuatannya dibagi menjadi
preparat darah (SDr, sediaan darah ) tebal dan perparat darah tipis, untuk menentukan ada
tidaknya parasit malaria dalam darah. Melalui pemeriksaan ini dapat dilihat jenis plasmodium dan
stadiumnya (P.falsiparum, P.vivax, P.malariae, P.ovale, tropozoit, skizon, dan gametosit) serta
kepadatan parasitnya .
Kepadatan parasit dapat dilihat melalui dua cara yaitu semi-kuantitatif dan kuantitatif. Metode
semi-kuantitatif adalah menghitung parasit dalam LPB (Lapangan pandang besar) dengan rincian
sebagai berikut :
(-) : SDr negatif (tidak ditemukan parasit dalam 100 LPB)
(+) : SDr positif 1 (ditemukan 1-10 parasit dalam 100 LPB)
(++) : SDr positif 2 (ditemukan 11-100 parasit dalam 100 LPB)
(+++) : SDr positif 3 (ditemukan 1-10 parasit dalam 1 LPB)
(++++) : SDr positif 4 (ditemukan 11-100 parasit dalam 1 LPB)
Perhitungan kepadatan parasit secara kuantitatif pada SDr tebal adalah menghitung jumlah parasit
per 200 leukosit . Pada SDr tipis, penghitungan jumlah parasit per 1000 eritrosit .
Hasil pemeriksaan darah tebal menunjukkan karakteristik dari keempat spesies seperti dibawah
ini :
1. P.falciparum
Diagnostik poin :
X Sel merah tidak diperbesar.
X Rings muncul halus dan lembut dan mungkin ada beberapa dalam satu sel.
X Beberapa Cincin dapat memiliki dua titik kromatin.
X Kehadiran bentuk marjinal atau applique.
X Hal ini biasa untuk melihat bentuk-bentuk yang berkembang di film darah perifer.
X Gametosit memiliki penampilan bentuk karakteristik bulan sabit. Namun, mereka biasanya
tidak muncul dalam darah selama empat minggu pertama infeksi.
X titik Maurer mungkin hadir.
2. P.vivax
Diagnostik Poin :
X sel-sel merah yang mengandung parasit biasanya diperbesar.
X titik Schuffner adalah sering hadir dalam sel merah seperti yang ditunjukkan di atas.
X Bentuk cincin dewasa cenderung besar dan kasar.
X Mengembangkan bentuk-bentuk yang sering hadir.
3. P.malariae
Diagnostik Poin :
X bentuk Ring mungkin memiliki penampilan squarish.
X bentuk Band adalah merupakan karakteristik dari jenis ini.
X schizonts dewasa mungkin memiliki penampilan kepala daisy khas dengan sampai sepuluh
merozoit.
X Sel-sel merah yang tidak diperbesar.
X Kromatin dot mungkin pada permukaan bagian dalam cincin.
4. P.ovale
Diagnostik Poin
X Red sel diperbesar.
X Comet umum bentuk (kanan atas).
X besar dan kasar Rings.
X titik Schuffner, saat ini, mungkin menonjol.

X Mature schizonts mirip dengan P. malariae, tetapi lebih besar dan lebih kasar.
Tes diagnostik cepat (RDT, rapid diagnostik test )
Seringkali pada KLB, diperlukan tes yang cepat untuk dapat menanggulangi malaria dilapangan
dengan cepat . Metode ini mendeteksi adanya antigen malaria dalam darah dengan
cara imunokromatografi.dibandingkan uji mikroskopis, tes ini mempunyai kelebihan yaitu hasil
pengujian dengan cepat depat diperoleh, tetapi lemah dalam hal spesifisitas dan sensitivitasnya .
Sumber : Widoyono.2005. Penyakit Tropis : Epidemiologi, Penularan, Pencegahan &
Pemberantasannya. EMS

Menurut Hanscheid T. (1999), Pewarnaan Giemsa pada sediaan tebal dan tipis merupakan standar untuk
diagnosa malaria. National Institute of Malaria Research (2009) juga mengatakan bahwa sediaan tebal
dan tipis merupakan gold standard untuk menegakkan suatu diagnosa malaria. Keuntungan dari
perwarnaan adalah ia mempunyai sensitivitas yang tinggi. Ini menunjukkan pewarnaan Giemsa mampu
mendeteksi parasit malaria walaupun pada densitas yang rendah. Selain itu, pewarnaan Giemsa juga dapat
menghitung beban parasit dan membedakan spesies malaria dan stadiumnya.
Pemeriksaan diagnostik yang lain termasuk analisa quantitative buffy coat (QBC) dan rapid diagnostic
tests (RDT). QBC merupakan suatu metode mikroskopik alternatif di mana buffy coat yang telah
disentrifuge diwarnai dengan flurokrom sehingga parasit malaria kelihatan terang apabila diperiksa di
bawah mikroskop (Finch, R.G. et al, 2005). WHO (2005) menjelaskan bahwa RDT, yang juga disebut
sebagai dip stick atau malaria rapid diagnostic devices (MRRDs), membantu menegakkan diagnosa
malaria dengan membuktikan kehadiran parasit malaria dalam darah manusia. RDT merupakan alternatif
terhadap diagnosa yang ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis, terutama pada tempat yang tidak
mempunyai sarana mikroskopis yang berkualitas. Walaupun terdapat berbagai jenis RDT, tetapi prinsip
kerjanya sama, yaitu dengan mendeteksi antigen spesifik (protein) yang dihasilkan oleh parasit malaria
dan berada dalam sirkulasi darah orang yang terinfeksi. Beberapa RDT hanya mampu mendeteksi satu
spesies Plasmodium sedangkan yang lain bisa mendeteksi beberapa spesies Plasmodium. Darah untuk
pemeriksaan RDT biasanya diambil melalui finger prick. Menurut Roe & Pasvol (2009), keuntungan
RDT adalah pemeriksaan ini tidak memerlukan kepakaran yang tinggi untuk pelaksanaannya. Walaupun
begitu, biaya RDT mahal dan pemeriksaan tidak bersifat kuantitatif.
6.

DD?
a

Definisi
Adalah penyakit yang dapat bersifat akut maupun kronis , disebabkan oleh protozoa genus
plasmodium ditandai dengan demam, anemia, dan splenomegali.
Kapita selekta kedokteran FKUI

Malaria merupakan suatu penyakit berpotensial fatal yang disebabkan oleh infeksi parasit Plasmodium.
Plasmodium ini ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Anopheles sp. betina yang telah terinfeksi
dengan parasit tersebut (Parmet S. et al, 2007). Sedangkan, Finch, R.G. et al (2005) mengatakan bahwa
malaria merupakan suatu infeksi yang menyerang pada sistem darah manusia. Berdasarkan Chew S.K.
(1992), terdapat empat spesies plasmodium yang bisa menginfeksi manusia yaitu, Plasmodium vivax,
Plasmodium ovale, Plasmodium malariae, dan Plasmodium falciparum. Walaupun begitu, studi terbaru
telah menemukan suatu spesies Plasmodium baru yang bisa menginfeksi manusia. Spesies Plasmodium

yang kelima ini dikenali sebagai Plasmodium knowlesi (Marano & Freedman, 2009).
b

Epidemiologi

Di daerah mana saja yang terdapat suhu yang sesuai, yaitu melebihi isotherm 16C, serta terdapat
koeksistensi manusia dan nyamuk Anopheles sp, maka terdapat faktor risiko untuk penularan malaria.
Kelima-lima parasit Plasmodium yang bisa menginfeksi manusia terdistribusi di tempat geografis yang
berbeda. Plasmodium falciparum paling sering ditemui di Afrika Sub-Sahara dan Melanesia; Plasmodium
vivax pula ditemui di Amerika Sentral, Amerika Selatan, Afrika Utara, Timur Tengah, dan subkontinen
India; Plasmodium Ovale ditemui hampir secara eksklusif di Afrika Barat; Plasmodium malariae bisa
ditemui di seluruh dunia walaupun terkonsentrasi di Afrika dan Plasmodium knowlesi yang sejak
kebelakangan ini didokumentasikan di beberapa kepulauan Bornea serta di beberapa daerah Asia
Tenggara (Roe & Pasvol, 2009).

Etiologi
Plasmodium sebagai penyebab malaria terdiri atas 4 spesies yaitu P.falciparum, P.vivax,
P.ovale, P.malariae. Malaria juga melibatkan hospes perantara yaitu manusia ataupunvertebra
lainnya, dan hospes definitif, yaitu nyamuk anopheles.
Kapita selekta kedokteran FKUI
Siklus hidup Plasmodium

Siklus hidup Plasmodium terjadi pada tubuh nyamuk dan manusia.Siklus seksual parasit malaria
berkembang di darah manusia yang telah terinfeksi. Nyamuk Anopheles sp. betina akan terinfeksi setelah
menggigit orang yang darahnya mengandung gametosit. Siklus perkembangan Plasmodium dalam
nyamuk berkisar 7-20 hari, dan akhirnya berkembang menjadi sporozoit yang bersifat infektif. Sporozoit
ini yang akan bermigrasi ke kelenjar ludah nyamuk dan kemudian akan ditransmisi kepada manusia
lainnya apabila digigit oleh nyamuk yang terinfeksi ini. Nyamuk Anopheles yang terinfeksi ini akan
bersifat infektif sepanjang hidupnya.
Sporozoit yang telah diinokulasi pada manusia akan bermigrasi kepada hati dan bermultiplikasi dalam
hepatosit sebagai merozoit. Setelah beberapa hari, hepatosit yang terinfeksi akan ruptur dan melepaskan
merozoit ke dalam darah di mana mereka akan menginfeksi eritrosit. Parasit akan multiplikasi dalam
eritrosit sekali lagi dan berubah dari merozoit kepada trofozoit, skizont, dan akhirnya muncul sebagai 824 merozoit yang baru. Eritrosit akan pecah, dan melepaskan merozoit untuk menginfeksi sel-sel yang
lain. Setiap siklus dari proses ini, yang dikenali sebagai skizogoni eritrositik, akan berlangsung selama 48
jam pada Plasmodium vivax, Plasmodium ovale, Plasmodium falciparum dan 72 jam pada Plasmodium
malariae. Dengan setiap siklus ini, parasit akan bertambah secara logaritmik dan setiap kali sel-sel ruptur
akan terjadi serangan klasik demam yang intermiten. (Finch, R.G. et al, 2005; Bradley, 1998)
e

patogenesis malaria

Setelah melalui jaringan hati, P. falciparum melepaskan 18-24 merozoit ke dalam sirkulasi. Merozoit yang
dilepaskan akan masuk dalam sel RES di limpa dan mengalami fagositosis serta filtrasi. Merozoit yang
lolos dari filtrasi dan fagositosis di limpa akan menginvasi eritrosit. Selanjutnya parasit berkembang biak
secara aseksual dalam eritrosit. Bentuk aseksual parasit dalam eritrosit (EP) inilah yang

bertanggungjawab dalam patogenesa terjadinya malaria pada manusia. Patogenesa malaria yang banyak
diteliti adalah malaria yang disebabkan oleh P. falciparum.
Pathogenesis malaria falciparum dipengaruhi oleh factor parasit dan factor penjamu (host). Yang
termasuk dalam factor parasit adalah intensitas transmisi, densitas parasit dan virulensi parasit.
Sedangkan yang masuk dalam factor penjamu adalah tingkat endemisitas daerah tempat tinggal, genetic,
usia, status nutrisi dan status imunologi. Parasit dalam eritrosit (EP) secara garis besar mengalami 2
stadium, yaitu stadium cincin pada 24 jam I dan stadium matur pada 24 jam II. Permukaan EP stadium
cincin akan menampilkan antigen RESA (Ring-Erythrocyte Surgace Antigen) yang menghilang setelah
parasit masuk stadium matur. Permukaan EP membrane stadium matur akan mengalami penonjolan dan
membentuk knob dengan Histidin Rich-protein-1 (HRP-1) sebagai komponen utamanya. Selanjutnya bila
EP tersebut mengalami merogoni, akan dilepaskan toksin malaria berupa GPI yaitu
glikosilfosfatidilinositol yang merangsang pelepasan TNF- dan interleukin-1 (IL-1) dari makrofag.
Daur hidup spesies malaria terdiri dari fase seksual eksogen ( sporogoni ) dalam badan nyamuk
Anopheles dan fase aseksual ( skizogoni ) dalam badan hospes vertebra termasuk manusia.
a. Fase aseksual
Fase aseksual terbagi atas fase jaringan dan fase eritrosit. Pada fase jaringan, sprozoit masuk dalam aliran
darah ke sel hati dan berkembang biak membentuk skizon hati yang mengandung ribuan merozoit, proses
ini disebut skizogoni praeritrosit. Lama fase ini berbeda untuk tiap fase. Pada akhir fase ini, skizon pecah
dan merozoit keluar dan masuk aliran darah, disebut sporulasi. Pada P.vivax dan P.ovale, sebagian
sprozoit membentuk hipnozoit dalam hati sehingga dapat mengakibatkan relaps jangka panjang dan
rekurens.
Fase eritrosit dimulai dan merozoit dalam darah menyerang eritrosit membentuk trofozoit. Proses
berlanjut menjadi trofozoit-skizon-merozoit. Setelah 2-3 generasimerozoit dibentuk, sebagian merozoit
berubah menjadi bentuk seksual. Masa antara permulaan infeksi sampai ditemukannya parasit dalam
darah tepi adalah masa prapaten, sedangkan masa tunas / inkubasi intrinsik dimulai dari masuknya
sprozoit dalam badan hospes sampai timbulnya gejala klinis demam.
b. Fase seksual
Parasit sesksual masuk dalam lambung betina nyamuk. Bentuk ini mengalami pematangan menjadi
mikrogametosit dan mikogametosit dan terjadilah pembuahan yang disebut zigot ( ookinet ). Ookinet
kemudian menembus dinding lambung nyamuk dan menjadi ookista. Bila ookista pecah, ribuan sprozoit
dilepaskan dan mencapai kelenjar liur nyamuk.
Plasmodium mempunyai masa tunas yang terdiri dari 2 :
a) Intrinsik inkubation periode (yang terjadi dalam tubuh vertebrata (hospes perantara). Masa tunas
ekstrinsik (stadium sporogoni) masuknya stadium gametosit kedalam lambung nyamuk hingga terjadinya
sporosoit dalam kelenjar ludah nyamuk dengan memakan waktu 7 - 10 hari.
b) Ekstrinsik inkubasi periode yang terjadi dalam vektor (hospes definitif).

Masa tunas instrinsik (stadium skhizogoni) dengan masuknya stadium sporosoit ke dalam tubuh manusia
(vertebrata) hingga terjadi stadium merosoit waktu dalam peredaran darah.
Gejala klinis yang muncul pada infeksi malaria disebabkan secara tunggal oleh bentuk aseksual
Plasmodium yang bersirkulasi di dalam darah. Parasit ini menginvasi serta menghancurkan sel darah
merah, menetap di organ penting dan jaringan tubuh, menghambat sirkulasi mikro, serta melepaskan
toksin yang akan menginduksi pelepasan sitokin yang bersifat proinflammatory sehingga terjadi rigor
malaria yang klasik (Roe & Pasvol, 2009). Patologi malaria berhubungan dengan anemia, pelepasan
sitokin, dan pada kasus Plasmodium falciparum, kerusakan organ multipel yang disebabkan oleh
gangguan mikrosirkulasi. Parasitemia Plasmodium falciparum adalah lebih parah berbanding yang lain
karena ia akan memparasitisasi eritrosit berbagai usia. Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale hanya
menginfeksi retikulosit dan eritrosit muda sedangkan Plasmodium malariae hanya menyerang pada
eritrosit yang lebih tua. Oleh karena seleksi ini, infeksi Plasmodium falciparum menimbulkan gejala
klinis yang hebat sekali (Finch, R.G. et al, 2005). Kakkilaya (2006) mengatakan malaria Plasmodium
falciparum ditandai oleh pembentukan sticky knob pada permukaan sel darah merah, adhesi sel darah
merah pada sel endotelial di venul post kapiler, dan pembentukan rosette dengan sel yang belum
terinfeksi. Ini akan menyebabkan adhesi pada kapilar otak, ginjal, usus, hati dan organ lain. Selain
daripada menyebabkan obstruksi mekanik, skizont yang telah ruptur ini akan merangsang pelepasan
toksin dan menstimulasi pelepasan sitokin yang lebih.
Menurut Rosenthal (2008), suatu karakteristik khas Plasmodium falciparum adalah cytoadherence, di
mana eritrosit yang terinfeksi dengan parasit matang akan melekat pada sel endotel mikrovaskular. Proses
ini dikatakan sebagai suatu kelebihan untuk parasit karena ini bisa menghambat jalur masuknya eritrosit
abnormal ke dalam limpa untuk dihancurkan. Konsentrasi tinggi eritrosit yang terinfeksi oleh
Plasmodium falciparum dalam sirkulasi darah serta interplay antara faktor penjamu dan parasit ini yang
akan menyebabkan manifestasi infeksi malaria berat seperti malaria serebral, non-cardiogenic pulmonary
edema, dan gagal ginjal.
Chotivanich, K. et al (2002) dalam suatu studinya tentang peran limpa dalam malaria parasite clearance
mengatakan bahwa sel darah merah yang telah terinfeksi oleh malaria mengandung parasit yang semakin
membesar dan bersifat kaku. Dimulai kira-kira dari 13 16 jam pertama sehingga pertengahan siklus
aseksual, sel darah merah yang terinfeksi akan melekat pada endotelial vaskular sehingga dapat mencegah
parasit masuk ke dalam limpa yang bersifat untuk membersihkan darah. Parasit pada tahap awal
berukuran kecil dan fleksibel, sehingga tidak mengganggu konfigurasi membran sel darah merah ataupun
mengekspresikan antigen parasitnya secara eksternal. Tetapi, parasit pada tahap lanjut, yaitu trofozoit dan
skizont matang, berukuran lebih besar sehingga mengubah bentuk diskoid sel darah merah yang terinfeksi
serta memasukkan neoantigen seperti ring-infected erythrocyte surface antigen (RESA) dan Plasmodium
falciparum erythrocyte membrane 1 (Pf EMP 1) pada membran sel darah merah penjamu. Adhesin
antigenik parasit Pf EMP 1 tersebut diekspresikan di permukaan luar sel darah merah, dan perubahan ini
yang menyebabkan deformitas pada sel darah merah sehingga terjadi peningkatan antigenicity.
Setelah infeksi yang berulang, akan terjadi pembentukan imunitas parsial. Ini akan membantu penjamu
untuk bertoleransi dengan parasitemia dengan penyakit minimal. Walaupun begitu, imunitas ini akan
hilang jika penjamu tidak terinfeksi lagi dalam beberapa tahun. Terdapat beberapa faktor genetik yang
memberi imunitas terhadap malaria. Orang yang tidak mempunyai antigen Duffy pada membran sel darah
merah (sering pada Afrika Barat) tidak rentan terhadap infeksi Plasmodium vivax. Beberapa
hemoglobinopati termasuk sickle cell trait juga memberi proteksi terhadap efek parah malaria. Defisiensi
besi juga bisa mengurangi keparahan infeksi malaria. Selain itu, limpa juga mempunyai peranan yang
penting dalam mengontrol infeksi dan orang yang telah menjalani operasi splenektomi mempunyai risiko
yang tinggi untuk infeksi malaria yang luar biasa (Finch, R.G. et al, 2005).

f Manifestasi klinis
Demam
Demam periodik yang berkaitan dengan pecahnya skizon matang (sporulasi). Pada malaria tertiana
(p.vivax dan p.ovale) , pematangan skizon tiap 48 jam maka periodisitasnya setiap hari ke 3.
Sedangkan malaria quartana pematangannya tiap 72 jam sehingga demamnya tiap 4 hari. Demam
khas pada malaria terdiri atas 3 stadium : menggigil (15 menit- 1 jam), puncak demam (2-6 jam),
dan berkeringat (2-4 jam). Demam akan mereda secara bertahap karena tubuh dapat beradaptasi
terhadap parasit dalam tubuh serta ada respon imun.
Splenomegali
Pembesaran limpa merupakan gejala khas terutama pada malaria yang menahun. Perubahan limpa
biasanya disebabkan oleh kongesti, tetapi kemudian limpa berubah warna menjadi hitam, karena
pigmen yang ditimbun dalam eritsosit yang mengandung kapiler dan sinusoid. Eritsoit yang
tampaknya normal dan yang mengandung parasit dan butir-butir hemozoin tampak dalam histiosit
di pulpa dan sel epitel sinusoid. Pigmen tampak bebas atau dalam sel fagosit raksasa. Hiperplasia,
sinu smelebar dan kadang-kadang trombus dalam kapiler dan fokus nekrosis tampak dalam pulpa
limpa. Pada malaria menahun jaringan ikat bertambah tebal, sehingga limpa menjadi keras.
Anemia
Pada malaria dapat terjadi anemia. Derajat anemia tergantung pada spesies parasit yang
menyebabkannya. Anemia terutama tampak jelas pada malaria falsiparum dengan penghancuran
eritrosit yang cepat dan hebat dan pada malaria menahun. Jenis anemia pada malaria adalah
hemolitik, normokrom dan normositik. Pada serangan akut kadar hemoglobin turun secara
mendadak.
Anemia disebabkan beberapa faktor :
a. Penghancuran eritrosit yang mengandung parasit dan yang tidak mengandung parasit terjadi di
dalam limpa, dalam hal ini faktor auto imun memegang peran.
b. Reduced survival time, maksudnya eritrosit normal yang tidak mengandung parasit tidak dapat
hidup lama.
c. Diseritropoesis yakni gangguan dalam pembentukan eritrosit karena depresi eritropoesis dalam
sumsum tulang, retikulosit tidak dapat dilepaskan dalam peredaran darah perifer.
Ikterus :
Disebabkan karena hemolisis dan gangguan hepar.
Kapita selekta kedokteran FKUI

Plasmodium vivax, Plasmodium ovale dan Plasmodium malariae bias menyebabkan demam tinggi yang
intermiten pada manusia, tetapi jarang mengakibatkan kematian, sedangkan Plasmodium falciparum
merupakan malignant tertian dan bersifat fatal jika tidak diobati segera, terutama pada serangan pertama
(Bradley, 1998).
Menurut Parmet S. et al (2007), gejala klinis malaria pada umumnya muncul 9-14 hari setelah gigitan
nyamuk Anopheles yang terinfeksi. Gejala yang dapat muncul termasuk menggigil yang tiba-tiba, demam
yang bersifat intermiten, keringat, kelelahan, sakit kepala, kejang, dan delirium. Roe & Pasvol (2009)
pula mengatakan bahwa waktu inkubasi malaria tergantung pada lingkungan. Kondisi yang optimal dapat
menyebabkan manifestasi gejala klinis dalam 7 hari saja. Walaupun begitu, terdapat beberapa kasus
tertentu yang gejala klinis hanya muncul setelah 20 tahun, dan ini berlaku terutama pada infeksi
Plasmodium malariae.

Gejala klinis yang paling sering ditemui pada malaria adalah demam. Pada infeksi awal, malaria bisa
bermanifestasi sebagai malaise, sakit kepala, muntah, atau diare. Demam pada awalnya mungkin
berkesinambungan atau erratic, dan classical tertian atau quartan fever hanya muncul setelah beberapa
hari. Suhu tubuh selalu mencapai 41C dan diikuti oleh menggigil dan keringat dingin. (Finch, R.G. et al,
2005).
Infeksi Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale menyebabkan penyakit yang relatif ringan. Anemia
terjadi dengan perlahan, dan mungkin terdapat hepatosplenomegali yang nyeri. Penyembuhan adalah
spontan dan terjadi dalam 2-6 minggu. Walaupun begitu, hipnozoit dalam hati dapat menyebabkan relaps
yang sering berulang sehingga terjadi penyakit kronis karena anemia dan splenomegali hiperaktif. Infeksi
Plasmodium malariae juga relatif ringan, tetapi lebih cenderung kronis. Parasitemia mungkin menetap
bertahun-tahun, dan ini bisa menunjukkan gejala atau sama sekali tidak bergejala. Infeksi Plasmodium
malariae pada anak-anak berhubungan dengan glomerulonefritis dan sindroma nefrotik. Infeksi
Plasmodium falciparum juga menyebabkan self-limiting illness yang mirip plasmodium yang lain.
Walaupun begitu, ia juga bisa menyebabkan komplikasi serius dan sebagian besar kematian malaria
adalah disebabkan Plasmodium falciparum. (Finch, R.G. et al, 2005)
Menurut Rosenthal (2008), World Health Organization (2000) telah mengklasifikasikan beberapa kondisi
tertentu sebagai tanda-tanda infeksi malaria berat. Kondisi tersebut termasuk malaria serebral, masalah
pernapasan, hipoglikemia, sirkulasi kolaps atau shok, perdarahan spontan atau disseminated intravascular
coagulation (DIC), keterlibatan ginjal atau blackwater fever, anemia berat, kejang berulang, penurunan
kesadaran, prostration, jaundis, muntah tidak henti, dan parasitemia yang melebihi 2%. Blackwater fever
merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh hemolisis intravaskular yang luas dan berlaku baik pada
sel yang terinfeksi dan yang tidak terinfeksi, sehingga menyebabkan urin berwarna hitam (Finch, R.G. et
al, 2005). Sarkar et al (2010) mengatakan sebanyak 10% dengan infeksi malaria berat akan meninggal
oleh karena disfungsi multiorgan.
g

diagnosis

Menurut Hanscheid T. (1999), Pewarnaan Giemsa pada sediaan tebal dan tipis merupakan standar untuk
diagnosa malaria. National Institute of Malaria Research (2009) juga mengatakan bahwa sediaan tebal
dan tipis merupakan gold standard untuk menegakkan suatu diagnosa malaria. Keuntungan dari
perwarnaan adalah ia mempunyai sensitivitas yang tinggi. Ini menunjukkan pewarnaan Giemsa mampu
mendeteksi parasit malaria walaupun pada densitas yang rendah. Selain itu, pewarnaan Giemsa juga dapat
menghitung beban parasit dan membedakan spesies malaria dan stadiumnya.
Pemeriksaan diagnostik yang lain termasuk analisa quantitative buffy coat (QBC) dan rapid diagnostic
tests (RDT). QBC merupakan suatu metode mikroskopik alternatif di mana buffy coat yang telah
disentrifuge diwarnai dengan flurokrom sehingga parasit malaria kelihatan terang apabila diperiksa di
bawah mikroskop (Finch, R.G. et al, 2005). WHO (2005) menjelaskan bahwa RDT, yang juga disebut
sebagai dip stick atau malaria rapid diagnostic devices (MRRDs), membantu menegakkan diagnosa
malaria dengan membuktikan kehadiran parasit malaria dalam darah manusia. RDT merupakan alternatif
terhadap diagnosa yang ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis, terutama pada tempat yang tidak
mempunyai sarana mikroskopis yang berkualitas. Walaupun terdapat berbagai jenis RDT, tetapi prinsip
kerjanya sama, yaitu dengan mendeteksi antigen spesifik (protein) yang dihasilkan oleh parasit malaria
dan berada dalam sirkulasi darah orang yang terinfeksi. Beberapa RDT hanya mampu mendeteksi satu
spesies Plasmodium sedangkan yang lain bisa mendeteksi beberapa spesies Plasmodium. Darah untuk
pemeriksaan RDT biasanya diambil melalui finger prick. Menurut Roe & Pasvol (2009), keuntungan
RDT adalah pemeriksaan ini tidak memerlukan kepakaran yang tinggi untuk pelaksanaannya. Walaupun
begitu, biaya RDT mahal dan pemeriksaan tidak bersifat kuantitatif.

Polymerase chain reaction (PCR) sangat berguna untuk menegakkan diagnosa malaria berdasarkan
spesiesnya dan mendeteksi infeksi walaupun pada kadar parasitemia yang rendah. Namun, biaya yang
mahal, waktu lama yang diperlukan serta peralatan khas yang diperlukan menyebabkan pemeriksaan
malaria dengan menggunankan tidak praktis (Roe & Pasvol, 2009). Marano & Freedman (2009)
mengatakan bahwa PCR diperlukan untuk mengidentifikasikan infeksi Plasmodium knowlesi. Ini karena
pemeriksaan dengan mikroskopi sediaan tebal dan tipis sering menimbulkan kekeliruan dengan spesies
Plasmodium malariae yang infeksinya bersifat lebih jinak berbanding Plasmodium knowlesi.
Tes serologi seperti indirect fluorescent antibody technique dan enzyme- linked-immunosorbent assays
(ELISA) tidak mempunyai nilai diagnostik untuk diagnosis malaria. Walaupun begitu, metode serologis
sangat berguna untuk skrinning pendonor darah asimptomatis (Chew S.K., 1992).
h

penatalaksanaan

Malaria diobati dengan obat yang mengganggu siklus hidup ataupun metabolisme Plasmodium (Parmet S.
et al, 2007). Roe dan Pasvol (2009) membagikan pengobatan malaria kepada dua kategori yaitu,
pengobatan malaria non-falsiparum dan pengobatan malaria falsiparum.
Pada malaria non falsiparum, yaitu malaria yang disebabkan oleh Plasmodium vivax, Plasmodium ovale,
Plasmodium malariae atau Plasmodium knowlesi, infeksi bisa diobati dengan obat standar yaitu klorokuin
(Roe & Pasvol, 2009). Harga murah dan ketersediaan klorokuin menyebabkannya sebagai antimalarial
yang paling sering digunakan. Plasmodium vivax, Plasmodium ovale, dan Plasmodium malariae hampir
selalu sensitif terhadap obat ini dan hanya beberapa strain Plasmodium vivax dari daerah Oceania yang
resistan (Finch, R.G. et al, 2005). Roe & Pasvol (2009) mengatakan bahwa vaquone dan proguanil, atau
meflokuin, ataupun kuinin tambah tetrasiklin dapat diberi pada kasus Plasmodium vivax yang resistan.
Primakuin digunakan untuk mengeradikasi hipnozoit yang menyebabkan relaps. Menurut Marano &
Freedman (2009), Plasmodium knowlesi sensitif terhadap semua obat antimalarial yang biasa digunakan
dan tidak memerlukan regimen pengobatan yang khas.
Terdapat peningkatan resistensi terhadap klorokuin dan sulfadoksin pada infeksi malaria falciparum
sehingga obat-obatan tersebut tidak bisa digunakan sebagai pengobatan infeksi tersebut. Infeksi malaria
falsiparum ringan sering diobati dengan kombinasi obat atovaquone dan proguanil, artemether dan
lumefantrin yang bisa ditoleransi lebih baik daripada penggu naan kuinin. Meflokuin juga bisa digunakan
sebagai pengobatan infeksi malaria ringan. (Roe & Pasvol, 2009).
Infeksi malaria falciparum berat merupakan suatu kondisi gawat darurat dan memerlukan penanganan
yang segera. Rosenthal (2008) mengatakan bahwa sampai tahun 2007, kuinidin secara intravena
merupakan terapi pilihan. Namun sekarang sudah terdapat sediaan artesunate secara intravena dan ini
merupakan terapi pilihan terbaru oleh karena obat ini mempunyai efektivitas yang lebih tinggi serta efek
samping yang kurang berbanding dengan kuinidin. Menurut Rosenthal (2008), WHO (2006)
merekomendasikan artesunate secara intravena sebagai pilihan pengobatan untuk orang dewasa dan
kanak-kanak yang terinfeksi dengan malaria berat di kawasan dengan kadar penularan yang rendah. Pada
daerah dengan kadar penularan yang tinggi, WHO merekomendasikan pengobatan dengan artesunate,
artemether atau kuinin.
Malaria berat ataupun hitung parasit yang melebihi 1% pada pasien non- imun merupakan suatu keadaan
gawat darurat. Kuinin harus diberikan secara intravena dengan segera. Fasilitas perawatan intensif seperti
ventilasi mekanik dan dialisis mungkin diperlukan. Anemia berat mungkin akan memerlukan transfusi
darah. Pemantauan yang teliti terhadap keseimbangan cairan merupakan hal yang penting oleh karena
edema paru dan gagal ginjal pre-renal sering berlaku pada keadaan seperti ini (Finch, R.G. et al, 2005).

pencegahan

PencegahanSeperti kebanyakan penyakit vektor, pengontrolan malaria bergantung pada kombinasi


pengobatan penyakit, eradikasi vektor, dan perlindungan terhadap gigitan nyamuk yang berupa vektor
malaria. Eradikasi vektor biasanya dicapai dengan penggunaan insektisida, menyemprot rumah-rumah
dengan DDT (dichlorodiphenyltrichloroethane) yang merupakan pestisida sintetik, ataupun dengan
pengontrolan habitat seperti drainase rawa (Finch, R.G. et al, 2005).
Menurut Chen L.H. et al (2006), pentingnya dan efektivitas upaya proteksi pribadi harus ditegaskan
terutama pada orang yang sering berpergian. Upaya ini termasuk perilaku untuk mengurangi paparan
terhadap nyamuk, misalnya tinggal di dalam pada senja sampai fajar, menggunakan barrier clothing,
penggunaan kelambu yang telah disemprot dengan insektida, dan penggunaan mosquito repellent yang
efektif. Freedman (2008) mengatakan bahwa mosquito repellent yang digunakan harus mengandung 30%50% DEET (N,N-diethyl-3- methylbenzamide) dan dioleskan pada kulit setiap 4-6 jam.
Sampai saat ini, tidak terdapat vaksin yang efektif untuk malaria (Finch, R.G. et al, 2005). Menurut Chen
L.H. et al (2006), kebanyakan chemoprophylaxis regimen memberi proteksi sebanyak 75% - 95%. Tidak
terdapat chemoprophylactic regimen yang 100% efektif, walaupun obat tersebut dikonsumsi dengan
teratur dan baik. Walaupun begitu, chemoprophylaxis antimalarial dapat mengurangkan keparahan infeksi
jika seseorang digigit oleh nyamuk yang terinfeksi. Berdasarkan itu, profilaksis malaria dianjurkan untuk
orang yang berpergian ke tempat endemis malaria. Freedman (2008) mengatakan bahwa sesiapa yang
baru pulang dari tempat endemis malaria dan menderita demam harus segera berjumpa dengan dokter
untuk pemeriksaan.
j

prognosis

PrognosisPrognosis malaria tergantung kepada jenis malaria yang menginfeksi.


Malaria tanpa komplikasi biasanya akan membaik dengan pengobatan yang tepat. Tanpa pengobatan,
infeksi Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale dapat berlanjut dan menyebabkan relaps sampai 5
tahun. Infeksi Plasmodium malariae bisa bertahan lebih lama daripada Plasmodium vivax dan
Plasmodium ovale.
Infeksi Plasmodium falciparum dapat menyebabkan malaria serebral yang selanjutnya dapat
mengakibatkan kebingungan mental, kejang dan koma. Prognosis untuk infeksi Plasmodium falciparum
lebih buruk dan dapat berakhir dengan kematian dalam 24 jam sekiranya tidak ditangani dengan cepat dan
tepat. (Medical Disability Guidelines, 2009)
7.

Risk factors?

Travelling or migration from an area where malaria is endemic

Rarely: blood transfusion, mother transmission

o
Young children in transmission areas who havent develop protective
immunity against the most severe form of the disease
o

Non imun the pregnant woman in the area

Segitiga epidemiologi:

Faktor Host
Faktor Environment
Faktor Agent

8.

How to diagnose the disease?

Sumber : http://www.britishinfection.org/drupal/sites/default/files/MalariaAlgorithm07.pdf

9.
What is the relation between the patient went to the papua with the
symptoms?
Spesies Plasmodium pada manusia adalah Plasmodium falciparum, P. vivax, P. ovale, P. malariae.
Jenis Plasmodium yang banyak ditemukan di Indonesia adalah P. falciparum dan P. vivax, sedangkan
P. malariae dapat ditemukan di beberapa provinsi antara lain: Lampung, Nusa Tenggara Timur dan
Papua. P. ovale pernah ditemukan di Nusa Tenggara Timur dan Papua.
Sumber : Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen
Kesehatan RI. Gebrak Malaria. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia. Jakarta.2008.
Hal: 1,3.

10.

Pathophysiology and Pathogenesis of Malaria?

Nyamuk betina
Malaria tropika: p.falcifarum.. gajala paling berat. Panas naik turun. Fase panas ,
fase menggigil, fase dingin. Terjadi diare ketika infeksi sudah berat.
Malaria kuartana
Malaria ovale: serangan prodromal 3-4hari. Muncul gejala pada malam hari. Bias
sembuh spontan.
Malaria vivax: inkubasi 12-17hari.

11.

Parasit Life Cycle?

Parasit malaria memerlukan dua hospes untuk siklus hidupnya, yaitu manusia dan nyamuk anopheles
betina.
1 Siklus Pada Manusia
Pada waktu nyamuk anopheles infektif mengisap darah manusia, sporozoit yang berada dalam kelenjar
liur nyamuk akan masuk ke dalam peredaran darah selama kurang lebih 30 menit. Setelah itu sporozoit
akan masuk ke dalam sel hati dan menjadi tropozoit hati. Kemudian berkembang menjadi skizon hati
yang terdiri dari 10.000 sampai 30.000 merozoit hati (tergantung spesiesnya).
Siklus ini disebut siklus eksoeritrositer yang berlangsung selama kurang lebih 2 minggu. Pada P. vivax
dan P. ovale, sebagian tropozoit hati tidak langsung berkembang menjadi skizon, tetapi ada yang
menjadi bentuk dorman yang disebut hipnozoit. Hipnozoit tersebut dapat tinggal di dalam sel hati

selama berbulan-bulan sampai bertahun - tahun. Pada suatu saat bila imunitas tubuh menurun, akan
menjadi aktif sehinggadapat menimbulkan relaps (kambuh). (3,7)
Merozoit yang berasal dari skizon hati yang pecah akan masuk ke dalam peredaran darah dan
menginfeksi sela darah merah. Di dalam sel darah merah, parasit tersebut berkembang dari stadium
tropozoit sampai skizon (8-30 merozoit, tergantung spesiesnya). Proses perkembangan aseksual ini
disebut skizogoni. Selanjutnya eritrosit yang terinfeksi (skizon) pecah dan merozoit yang keluar akan
menginfeksi sel darah merah lainnya. Siklus inilah yang disebut dengan siklus eritrositer.
Setelah 2-3 siklus skizogoni darah, sebagian merozoit yang menginfeksi sel darah merah dan
membentuk stadium seksual yaitu gametosit jantan dan betina. (2,3)
Bila EP mengalami merogoni, akan dilepaskan toksik malaria berupa GPI (glikosilfosfatidilinositol)
yng merangsang pelepasan TNF- dan interleukin-1 (IL-1) dari makrofag.
2

Siklus Pada Nyamuk Anopheles Betina


Apabila nyamuk Anopheles betina menghisap darah yang mengandung gametosit, di dalam tubuh
nyamuk, gamet jantan dan gamet betina melakukan pembuahan menjadi zigot. Zigot ini akan
berkembang menjadi ookinet kemudian menembus dinding lambung nyamuk. Pada dinding luar
lambung nyamuk ookinet akan menjadi ookista dan selanjutnya menjadi sporozoit yang nantinya
akan bersifat infektif dan siap ditularkan ke manusia. (2,3)
Masa inkubasi atau rentang waktu yang diperlukan mulai dari sporozoit masuk ke tubuh manusia
sampai timbulnya gejala klinis yang ditandai dengan demam. Masa inkubasi bervariasi, tergantung
dari spesies Plasmodium.
Tabel 1. Masa Inkubasi Penyakit Malaria
Plasmodium
P. falciparum
P. vivax
P. ovale
P. malariae

Masa inkubasi (hari)


9 14 (12)
12 17 (15)
16 18 (17)
18 40 (28)

Sedangkan masa prepaten atau rentang waktu mulai dari sporozoit masuk sampai parasit dapat
dideteksi dalam darah dengan pemeriksaan mikroskopik. (2,3)

Gambar 1. Siklus Hidup Plasmodium


Sumber :
1 Nugroho A & Tumewu WM. Siklus Hidup Plasmodium Malaria. Dalam Harijanto PN, editor.
Malaria, Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis dan Penanganan. Jakarta: EGC. 2000.
Hal: 38-52.
2 Departemen Kesehatan RI. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria diIndonesia. Jakarta, 2006;
Hal:1-12, 15-23, 67-68.
Patofisiologi pada malaria belum diketahui dengan pasti. Patofisiologi malaria adalah multifaktorial dan
mungkin berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut :
a Penghancuran eritrosit
Penghancuran eritrosit ini tidak saja dengan pecahnya eritrosit yang mengandung parasit, tetapi juga
oleh fagositosis eritrosit yang mengandung parasit dan yang tidak mengandung parasit, sehingga
menyebabkan anemia dan anoksia jaringan. Dengan hemolisis intra vaskular yang berat, dapat terjadi
hemoglobinuria (blackwater fever) dan dapat mengakibatkan gagal ginjal.
b Mediator endotoksin-makrofag
Pada saat skizogoni, eritosit yang mengandung parasit memicu makrofag yang sensitif endotoksin
untuk melepaskan berbagai mediator yang berperan dalam perubahan patofisiologi malaria.
Endotoksin tidak terdapat pada parasit malaria, mungkin berasal dari rongga saluran cerna. Parasit
malaria itu sendiri dapat melepaskan faktor neksoris tumor (TNF). TNF adalah suatu monokin,
ditemukan dalam darah hewan dan manusia yang terjangkit parasit malaria. TNF dan sitokin lain yang
berhubungan, menimbulkan demam, hipoglikemia dan sindrom penyakit pernafasan pada orang
dewasa (ARDS = adult respiratory distress syndrome) dengan sekuestrasi sel neutrofil

dalam pembuluh darah paru. TNF dapat juga menghancurkan plasmodium falciparum in vitro dan
dapat meningkatkan perlekatan eritrosit yang dihinggapi parasit pada endotelium kapiler. Konsentrasi
TNF dalam serum pada anak dengan malaria falciparum akut berhubungan langsung dengan
mortalitas, hipoglikemia, hiperparasitemia dan beratnya penyakit.
Sekuestrasi eritrosit yang terinfeksi
Eritrosit yang terinfeksi oleh Plasmodium dapat membentuk tonjolan-tonjolan (knobs) pada
permukaannya. Tonjolan tersebut mengandung antigen dan bereaksi dengan antibodi malaria dan
berhubungan dengan afinitas eritrosit yang mengandung parasit terhadap endothelium kapiler alat
dalam, sehingga skizogoni berlangsung di sirkulasi alat dalam. Eritrosit yang terinfeksi menempel
pada endothelium dan membentuk gumpalan yang mengandung kapiler yang bocor dan menimbulkan
anoksia dan edema jaringan.

Sumber : Pribadi W. Parasit Malaria. Dalam: gandahusada S, Ilahude HD, Pribadi W., editor. Parasitologi
Kedokteran. Edisi ke-3. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI. 2000. Hal: 171-97.

Selama skizogoni, sirkulasi perifer menerima pigmen malaria dan produk samping parasit, seperti
membran dan isi sel- sel eritrosit. Pigmen malaria tidak toksik, tetapi menyebabkan tubuh mengeluarkan
produk- produk asing dan respon fagosit yang intensif. Makrofag dalam sistem retikulo endotelial dalam
sirkulasi menangkap pigmen dan menyebabkan warna agak kelabu pada sebagian besar jaringan dan
organ tubuh. Pirogen dan racun lain yang masuk ke sirkulasi saat skizogoni, diduga bertanggung jawab
mengaktifkan kinin vasoaktif dan kaskade pembekuan darah.
Patogenesis malaria lebih ditekankan pada terjadinya peningkatan permeabilitas pembuluh darah
daripada koagulasi intravaskular. Oleh karena skizogoni menyebabkan kerusakan eritrosit maka akan
terjadi anemia. Beratnya anemia yang tidak sebanding dengan parasitemia menunjukkan adanya kelainan
eritrosit selain yang mengandung parasit. Diduga terdapat toksin malaria yang menyebabkan gangguan
fungsi eritrosit dan sebagian eritrosit pecah saat melalui limpa dan keluarlah parasit. Faktor lain yang
menyebabkan terjadinya anemia mungkin karena terbentuknya antibodi terhadap eritrosit. Suatu bentuk
khusus anemia hemolitik pada malaria adalah black water fever, yaitu bentuk malaria berat yang
disebabkanoleh Plasmodium falciparum, ditandai oleh hemolisis intravaskuler berat, hemoglobinuria,
kegagalan ginjal akut akibat nekrosis tubulus, disertai angka kematian yang tinggi. Sebagai tambahan,
kasus meninggal yang disebabkan malaria selalu mneunjukkan adanya perubahan yang menonjol dari
sistem retikuloendotelial dan mungkin juga melibatkan berbagai sistem organ.
Pada infeksi malaria, limpa akan membesar, mengalami pembendungan dan pigmentasi sehingga
mudah pecah. Dalam limpa dijumpai banyak parasit dalam makrofag dan sering terjadi fagositosis dari
eritrosit yang terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi. Pada malaria kronis terjadi hiperplasia dari
retikulum disertai peningkatan makrofag. Pada sindrom pembesaran limpa di daerah tropis atau penyakit
pembesaran limpa pada malaria kronis biasanya dijumpai bersama dengan peningkatan kadar IgM.
Peningkatan antibodi terhadap malaria ini mungkin menimbulkan respon imunologis yang tidak lazim
pada malaria kronis.
Pada malaria juga terjadi pembesaran hepar, sel Kupffer- seperti sel dalam sistem retikuloendotelialterlibat dalam respon fagositosis. Sebagai akibatnya hati menjadi berwarna kecoklatan agak kelabu atau

kehitaman. Pada malaria kronis terjadi infiltrasi difus oleh sel mononukleus pada periportal yang
meningkat sejalan dengan berulangnya serangan malaria. Hepatomegali dengan infiltrasi sel mononukleus
merupakan bagian dari sindrom pembesaran hati di daerah tropis. Nekrosis sentrilobulus terjadi syok.
Organ lain yang sering diserang oleh malaria adalah otak dan ginjal. Pada malaria serebral, otak
berwarna kelabu akibat pigmen malaria, sering disertai dengan edema dan hiperemis. Terserangnya
pembuluh darah oleh malaria tidak saja terbatas pada otak tetapi juga dapat dijumpai pada jantung atau
saluran cerna atau di tempat lain dari tubuh, yang berakibat pada berbagai manifestasi klinik.
Pada ginjal selain terjadi pewarnaan oleh pigmen malaria juga di jumpai salah satu atau dua proses
patologis yaitu nekrosis tubulus akut dan atau membranoproliverative glomerulonephritis. Nekrosis
tubulus akut dapat terjadi bersama dengan hemolisis masif dan hemoglobinuria pada black water fever
tetapi dapat juga terjadi tanpa hemolisis, akibatnya berkurangnya aliran darah karena hipovolemia dan
hiperviskositas darah. Plasmodium falciparum menyebabkan nefritis sedangkan Plasmodium malariae
menyebabkan glomerulonefritis kronik dan sindrom nefrotik.
Sumber :

Soedarmo,S, dkk. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis, Edisi ke-2. 2010. Jakarta:Ikatan Dokter
Anak Indonesia.
12.

The treatment and management fot this patient?

Malaria diobati dengan obat yang mengganggu siklus hidup ataupun metabolisme Plasmodium (Parmet S.
et al, 2007). Roe dan Pasvol (2009) membagikan pengobatan malaria kepada dua kategori yaitu,
pengobatan malaria non-falsiparum dan pengobatan malaria falsiparum.
Pada malaria non falsiparum, yaitu malaria yang disebabkan oleh Plasmodium vivax, Plasmodium ovale,
Plasmodium malariae atau Plasmodium knowlesi, infeksi bisa diobati dengan obat standar yaitu klorokuin
(Roe & Pasvol, 2009). Harga murah dan ketersediaan klorokuin menyebabkannya sebagai antimalarial
yang paling sering digunakan. Plasmodium vivax, Plasmodium ovale, dan Plasmodium malariae hampir
selalu sensitif terhadap obat ini dan hanya beberapa strain Plasmodium vivax dari daerah Oceania yang
resistan (Finch, R.G. et al, 2005). Roe & Pasvol (2009) mengatakan bahwa vaquone dan proguanil, atau
meflokuin, ataupun kuinin tambah tetrasiklin dapat diberi pada kasus Plasmodium vivax yang resistan.
Primakuin digunakan untuk mengeradikasi hipnozoit yang menyebabkan relaps. Menurut Marano &
Freedman (2009), Plasmodium knowlesi sensitif terhadap semua obat antimalarial yang biasa digunakan
dan tidak memerlukan regimen pengobatan yang khas.
Terdapat peningkatan resistensi terhadap klorokuin dan sulfadoksin pada infeksi malaria falciparum
sehingga obat-obatan tersebut tidak bisa digunakan sebagai pengobatan infeksi tersebut. Infeksi malaria
falsiparum ringan sering diobati dengan kombinasi obat atovaquone dan proguanil, artemether dan
lumefantrin yang bisa ditoleransi lebih baik daripada penggu naan kuinin. Meflokuin juga bisa digunakan
sebagai pengobatan infeksi malaria ringan. (Roe & Pasvol, 2009).
Infeksi malaria falciparum berat merupakan suatu kondisi gawat darurat dan memerlukan penanganan
yang segera. Rosenthal (2008) mengatakan bahwa sampai tahun 2007, kuinidin secara intravena
merupakan terapi pilihan. Namun sekarang sudah terdapat sediaan artesunate secara intravena dan ini
merupakan terapi pilihan terbaru oleh karena obat ini mempunyai efektivitas yang lebih tinggi serta efek
samping yang kurang berbanding dengan kuinidin. Menurut Rosenthal (2008), WHO (2006)
merekomendasikan artesunate secara intravena sebagai pilihan pengobatan untuk orang dewasa dan
kanak-kanak yang terinfeksi dengan malaria berat di kawasan dengan kadar penularan yang rendah. Pada

daerah dengan kadar penularan yang tinggi, WHO merekomendasikan pengobatan dengan artesunate,
artemether atau kuinin.
Malaria berat ataupun hitung parasit yang melebihi 1% pada pasien non- imun merupakan suatu keadaan
gawat darurat. Kuinin harus diberikan secara intravena dengan segera. Fasilitas perawatan intensif seperti
ventilasi mekanik dan dialisis mungkin diperlukan. Anemia berat mungkin akan memerlukan transfusi
darah. Pemantauan yang teliti terhadap keseimbangan cairan merupakan hal yang penting oleh karena
edema paru dan gagal ginjal pre-renal sering berlaku pada keadaan seperti ini (Finch, R.G. et al, 2005).

KURATIF
Secara global WHO telah menetapkan dipakainya pengobatan malaria dengan memakai obat
ACT ( Artemisin Base Combination Therapy). Golongan artemisinin (ART) telah dipilih sebagai obat
utana karena efektif dalam mengatasi plasmodium yang resisten dengan pengobatan.
Selain itu artemisinin juga bekerja membunuh plasmodium dalam semua stadium termasuk gametosit.
Juga efektif terhadap semua spesies, P, falciparum, P, vivax maupun lainnya. Laporan kegagalan ART
belum dilaporkan saat ini
Golongan Artemisinin
Berasal dari tanaman Artemisia annua, L yang disebut dalam bahasa Cina sebagaiQinghaosu. Obat ini
termasuk kelompok seskuiterpen laktos mempunyai beberapa formula seperti : artemisinin, artemeter,
arte-eter artesunat, asam artelinik dan dihidroartemisinin. Obat ini bekerja sangat cepat dengan paruh
waktu kira-kira 2 jam, larut dalam air, bekerja sebagai obat sizontocidal darah. Karena beberapa
penelitian bahwa pemakaian obat tunggal menimbulkan terjadi rekrudensi, maka di rekomondasikan
untuk dipakai dengan kombinasi obat lain. Dengan demikian juga akan memperpendek pemakaian obat.
Obat ini cepat diubah dalam bentuk aktifnya dan penyediaan ada yang oral, parenteral/injeksi dan
suppositoria.
Pengobatan ACT (Artemisinin Base Combination Therapy)
Penggunaan golongan artemisinin secara monoterapi akan mengakibatkan terjadinya rekrudensi.
Karenanya WHO memberikan petunjuk penggunaan artemisinin dengan mengkombinasikan dengan obat
anti malaria yang lain. Hal ini disebut Artemisinin base Combination Therapy (ACT). Kombinasi obat ini
dapat berupa kombinasi dosis tetap lebih memudahkan pemberian pengobatan. Contoh ialah Co-Artem
yaitu kombinasi artemeter(20 mg) + lume fantrine (120mg). Dosis Coartem 4 tablet 2 x 1 sehari selama 3
hari. Kombinasi tetap yang lain ialah dihidroartemisinin (40 mg) + piperakuin ( 320 mg) yaitu artekin .
Dosis artekin untuk dewasa : dosis awal 2 tablet, 8 jam kemudian 2 tablet, 24 jam dan 32 jam, masingmasing 2 tablet.
Kombinasi ACT yang tidak tetap misalnya:
v Artesunat + meflonkuin
v Artesunat + amodiakin

v Artesunat + klorokin
v Artesunat + Sulfadoksin-piripmetamin
v Artesunat + pironaridin
v Artesunat + chlorprogunil-dapson (CDA/Lapdap plus)
v Dihidroartemisinin + Piperakuin + Trimethorim (Artecom)
v Artecom +Primakuin (CV8)
v Dihidroartemisinin + naptokuin
Dari kombinasi diatas yang tersedia di Indonesia saat ini ialah kombinasi artesunate + Amodiakuin
dengan nama dagang ARTESDIAQUINE atau Artesumoon. Dosis untuk orang dewasa yaitu :
artesunate (50 mg/tablet) 200 mg pada hari I dan II dan 11/2 tablet hari III. Artesumoon ialah kombinasi
yang dikemas sebagai blister dengan aturan pakai tiap blister /hari (artesunate + amodiakuin) diminum
selam 3 hari. Dosis amodiakuin adalah 20-30 mg/kg BB selama 3 hari . Pengembangan terhadap
pengobatan masa depan ialah dengan tersedianya formula kombinasi yang mudah bagi penderita baik
dewasa maupun anak ( dosis tetap) dan kombinasi yang paling poten dan efektif dengan toksisitas yang
rendah. Sekarang sedang dikembangkan obat semi sinthetik artemisinin seperti artemison ataupun
trioksalon sintetik.
Catatan : untuk pemakaian obat golongan artenisinin Harus disertai/dibuktikan dengan pemeriksaan
parasit yang positifsetidak tidaknya dengan tes cepat antigen yang positif. Bila malaria klinis / tidak ada
hasil pemeriksaan parasitologik Tetap menggunakan obat non ACT.
Pengobatan Malaria dengan Obat-obat Non-ACT
Walaupun resistansi terhadap obat-obat standar golongan non ACT telah dilaporkan dari seluruh propinsi
di Indonesia, beberapa daerah masih cukup efektif baik terhadap klorokuin maupun sufakdoksin
pririmetamin (kegagalan masih kurang 25 % ). Dibeberapa daerah pengobatan menggunakan obat standar
seperti klorokuin dan sulfadoksin pirimetamin masih dapat digunakan dengan pengawasan terhadap
respon pengobatan.
Obat Non-ACT ialah :
Klorokuin Difosfat/Sulfat, 250 mg garam ( 150 mg basa ), dosis 25 mg basa /kg BB untuk 3 hari ,
terbagi 10 mg/kg BB hari I dan hari II, 5 mg/kg BB pada hari III. Pada orang dewasa biasa dipakai dosis 4
tablet hari I & II dan 2 tablet hari III. Dipakai untuk P.Falciparum maupun P Vivax.
Sulfadoksin-Pirimetamin (SP),(500 mg sulfadoksin + 25 mg primetamin), dosis orang dewasa 3
tablet dosis tunggal (1 Kali) atau dosis anak memakai takaran pirimetamin 1,25 mg/kg BB. Obat ini
hanya dipakai untuk plasmodium falciparum dan tidak efektif untuk P, vivax. Bila terjadi kegagalan
dengan obat klorokuin dapat menggunakan SP.
Kina Sulfat : (1 tablet 220 mg), dosis yang dianjurkan ialah 3 x 10 mg/kg BB selama 7 hari, dapat
dipakai untuk P. Falciparum maupun P Vivax. Kina dipakai sebagaiobat cadangan untuk mengatasi

resisstansi terhadap klorokuin dan SP pemakaian obat ini untuk waktu yang lama (7 hari menyebabkan
kegagalan untuk memakai sampai selesai.
Primakuin : ( 1 tablet 15 mg), dipakai sebagai obat pelengkap/pengobatan radical terhadap P. Falciparum
maupun P.Vivax. Pada P. Falciparum dosisnya 45 mg ( 3 tablet) dosis tunggal untuk membunuh gamet;
sedangkan untuk P.Vivax dosisnya 15 mg/hari selama 14 hari yaitu untuk membunuh gamet dan hipnozoit
(anti-relaps).
Penggunaan Obat Kombinasi Non-act
Apabila pola resistansi masih rendah dan belum terjadi multiresistensi dan belum tersedianya obat
golongan artemisinin, dapat menggunakan obat standar yang dikombinasikan. Contoh kombinasi ini
adalah sebagai berikut :
a. Kombinasi Klorokuin + Sulfadoksin-Pirimetamin
b. Kombinasi SP + Kina
c. Kombinasi Klorokuin + Doksisiklin / Tetrasiklin
d. Kombinasi SP + Doksisiklin/Tetrasiklin
e. Kina + Doksisiklin Tetrasiklin
f. Kina + Klindamisin
Pemakain obat-obat kombinasi ini juga harus dilakukan monitoring respon pengobatan sebab
perkembangan resisttensi terhadap obat malaria berlangsung cepat dan meluas.
1. Malaria serebral (malaria otak) adalah malaria dengan penurunan kesadaran. Penilaian derajat
kesadaran dilakukan berdasarkan Skala Koma Glasgow (GCS, Glasgow Coma Scale). Pada orang dewasa
GCS 15, sedangkan pada anak berdasarkan Blantyre Coma Scale 3, atau koma >30 menit setelah
serangan kejang yang tidak disebabkan oleh penyakit lain.
2. Anemia berat ( Hb < 5 gr% atau hematokrit <15%) pada keadaan hitung parasit >10.000/L.
3. Gagal ginjal akut (urin < 400 mL/24 jam pada orang dewasa atau <1 mL/kgBB/jam pada anak setelah
dilakukan rehidrasi, dengan kreatinin darah >3 mg%).
4. Edema paru atau acute respiratory distress syndrome.
5. Hipoglikemia: gula darah <40 mg/%
6. Gagal sirkulasi atau syok: tekanan sistolik <70 mmHg (pada anak tekanan nadi 20 rnmHg) disertai
keringat dingin.
7. Perdarahan spontan dari hidung, gusi, alat pencernaan dan/atau disertai kelainan laboratorik adanya
gangguan koagulasi intravaskular.
8. Kejang berulang >2 kali per 24 jam setelah pendinginan pada hipertemia.

9. Asidemia (pH <7,25) atau asidosis (bikarbonat plasma <15 mmol/L).


10. Hemoglobinuria makroskopik karena infeksi malaria akut (bukan karena obat antimalaria pada
seseorang dengan defisiensi G6-PD).
Beberapa keadaan lain yang juga digolongkan sebagai malaria berat yaitu:
1) Gangguan kesadaran ringan (GCS <15).
2) Kelemahan otot (tidak bisa duduk atau berjalan tanpa kelainan neurologik).
3) Hiperparasitemia > 5%
4) lkterus (kadar bilirubin darah >3 mg%)
5) Hiperpireksia (temperatur rektal >40C pada orang dewasa, >41C pada anak).
Pemberian obat antimalaria pada penderita malaria berat.
1) Pilihan utarna derivat artemisin parenteral adalah artesunat
intravena atauintramuskular dan artemeter intramuskular.
2) Artesunat parenteral direkomendasikan untuk digunakan di rumah sakit atau puskesmas perawatan,
3) Artesunat parenteral tersedia dalam vial berisi 60 mg serbuk kering asam artesunat dan pelarut dalam
ampul berisi 0,6 mL natrium bikarbonat 5%. Larutan artesunat dibuat dengan mencampur serbuk dan
pelarutnya, kemudian ditambah larutan dekstrosa 5% sebanyak 3-5 mL.. Larutan artesunat bisa diberikan
secara intramuskular (l.M.) dengan dosis yang sama. Bila penderita sudah bisa minum obat, dilanjutkan
dengan regimen artesunat + amodiakuin + primakuin, yaitu pengobatan (ini pertama malaria falciparum
tanpa komplikasi.
4) Artemeter I.M. tersedia dalam ampul berisi 80 mg artemeter dalam larutan minyak, diberikan dengan
loading dose 3,2 mg/kgBB I.M. Selanjutnya, artemeter diberikan 1,6 mg/kgBB I.M. satu kali sehari
sampai penderita mampu minum obat. Bila penderita sudah bisa minum obat, dilanjutkan dengan regimen
artesunat + amodiakuin + primakuin yaitu pengobatan lini pertama malaria falciparum tanpa komplikasi.
5) Obat alternatif malaria berat adalah kina dihidroklorida parenteral. Bila tidak tersedia derivat
artemisin parenteral, obat ini dapat digunakan. Kina dihidroklorida parenteral dapat diberikan kepada ibu
hamiI trimester pertama. Obat ini dikemas dalam ampul berisi 500 mg/2 mL. Obat diberikan dengan
loading dose 20 mg/kgBB dilarutkan dalam 500 mL dekstrosa 5% atau NaCl 0,9% selama 4 jam pertama.
Selama 4 jam kedua, hanya diberikan cairan dekstrosa 5% atau NaCl 0,9%. Setelah itu, diberikan kina
dengan dosis pemeliharaan 10 mg/kgBB dalam larutan 500 mL dekstrosa 5% atau NaCI 0,9%. Dosis
pemeliharaan seperti di atas diberikan sampai pasien dapat mengonsumsi kina peroral. Bila pasien sudah
sadar atau dapat minum obat, pemberian kina IV.
6) Bila tidak memungkinkan pemberian kina melalui infus, dapat diberikan kina dihidroklorida 10
mg/kgBB l.M. dengan masing-masing dosis pada paha depan kanan-kiri (jangan diberikan pada
pantat). Untuk pemakaian I.M, kina diencerkan dengan 5-6 mL NaCl 0,9% untuk mendapatkan

konsentrasi 60 - 100 mg/mL.Kina tjdak boleh diberikan secara bolus I.V. karena toksik bagi Jantung
dan dapat menimbulkan kematian.
7) Penderita gagal ginjal, tidak dapat diberi loading dose dan dosis pemeliharaan kina diturunkan 1/2-nya.
8) Pada hari pertama pemberian kina oral, diberikan primakuin dengan dosis 0,75 mg/kgBB
Kemoprofilaksis
Bertujuan untuk mengurangi risiko terinfeksi malaria, sehingga bila terinfeksi maka gejala klinisnya
tidak berat.
Ditujukan bagi orang yang bepergian ke daerah endemik malaria dalam waktu yang tidak terlalu ama
seperti turis, peneliti
Untuk kelompok atau individu yang akan bepergian atau bertugas dalam Jangka waktu lama sebaiknya
menggunakan personal protection seperti memakai kelambu, repellent, kawat kasa, dll
Kemoprofilaksis terhadap Plasmodium falciparum adalah pemberian doksisiklin setiap hari dengan dosis
2 mg/kgBB selama tidak Iebih dari 4-6 minggu.Doksisiklin tidak boleh dikonsumsi oleh ibu hamil dan
anak berusia < 8 tahun
Kemoprofilaksis terhadap Plasmodium vivax adalah pemberian klorokuin dengan dosis 5 mg/kgBS
setiap minggu. Obat tersebut diminum 1 minggu sebelum masuk ke daerah endemik sampai 4 minggu
setelah kembali. Dianjurkan tidak menggunakan klorokuin lebih dari 3-6 bulan.

13.

What are the complication?

Malaria otak jika eritroit mudah melekat di kapiler aliran darah ke otak
terhambat malaria otak bias menjadi kematian. krn sitoadherensi dan rosetting
Edem paru << vol aliran darah
Kelainan darah krn hemolysis, obat malaria (antimalarial)
Kegagalan hati
Hipoglikemi
Kegagalan ginjal

14.

What kind of species that might probably bite the patient? Table.

Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit Plasmodium yang hidup dan berkembang
biak dalam sel darah merah manusia. Penyakit ini secara alami ditularkan melalui gigitan nyamuk
anopheles betina.

Sumber : Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan
RI. Gebrak Malaria. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia. Jakarta.2008. Hal: 1,3.

15.

What does the endemic area vector borne disease? Buku IKM.

Endemic bukan penyakit baru. Angka kejadian stabil.


16.

What are the preventive medication?


1. Menggunakan kelambu (bed net) pada waktu tidur.
2. Mengolesi badan dengan obat anti gigitan nyamuk.
3. Memasang kawat nyamuk pada jendela dan ventilasi.
4. Tidak keluar rumah antara senja dan malam hari, bila terpaksa keluar sebaiknya mengenakan
kemeja dan celana panjang berwarna terang karena nyamuk lebih menyukai warna gelap.
5. Menyemprot kamar dengan obat nyamuk ataun menggunakan obat nyamuk bakar.
6. Letak tempat tinggal diusahakan jauh dari kandang ternak.
7. Mencegah penderita malaria dan gigitan nyamuk agar infeksi tidak menyebar.
8. Membersihkan tempat hinggap / istirahat nyamuk dan memberantas sarang nyamuk.
9. Hindari keadaan rumah yang lembab, gelap, kotor dan pakaian yang bergantungan serta genangan
air.
10. Membunuh jentik nyamuk dengan menyemprotkan obat anti larva (bubuk abate) pada genangan
air atau menebarkan ikan atau hewan pemakan jentik.
11. Melestarikan hutan bakau agar nyamuk tidak berkembang biak di rawa payau sepanjang pantai.
12. Menjaga kebersihan lingkungan dengan membersihkan ruang tidur, semak-semak sekitar rumah,
genangan air, dan kandang-kandang ternak.
13. Memelihara ikan pada air yang tergenang, seperti : kolam, sawah dan parit.
14. Pemberian obat chloroquine bila mengunjungi daerah endemik malaria.
PencegahanSeperti kebanyakan penyakit vektor, pengontrolan malaria bergantung pada kombinasi
pengobatan penyakit, eradikasi vektor, dan perlindungan terhadap gigitan nyamuk yang berupa
vektor malaria. Eradikasi vektor biasanya dicapai dengan penggunaan insektisida, menyemprot
rumah-rumah dengan DDT (dichlorodiphenyltrichloroethane) yang merupakan pestisida sintetik,
ataupun dengan pengontrolan habitat seperti drainase rawa (Finch, R.G. et al, 2005).
Menurut Chen L.H. et al (2006), pentingnya dan efektivitas upaya proteksi pribadi harus ditegaskan
terutama pada orang yang sering berpergian. Upaya ini termasuk perilaku untuk mengurangi paparan

terhadap nyamuk, misalnya tinggal di dalam pada senja sampai fajar, menggunakan barrier clothing,
penggunaan kelambu yang telah disemprot dengan insektida, dan penggunaan mosquito repellent
yang efektif. Freedman (2008) mengatakan bahwa mosquito repellent yang digunakan harus
mengandung 30%-50% DEET (N,N-diethyl-3- methylbenzamide) dan dioleskan pada kulit setiap 46 jam.
Sampai saat ini, tidak terdapat vaksin yang efektif untuk malaria (Finch, R.G. et al, 2005). Menurut
Chen L.H. et al (2006), kebanyakan chemoprophylaxis regimen memberi proteksi sebanyak 75% 95%. Tidak terdapat chemoprophylactic regimen yang 100% efektif, walaupun obat tersebut
dikonsumsi dengan teratur dan baik. Walaupun begitu, chemoprophylaxis antimalarial dapat
mengurangkan keparahan infeksi jika seseorang digigit oleh nyamuk yang terinfeksi. Berdasarkan
itu, profilaksis malaria dianjurkan untuk orang yang berpergian ke tempat endemis malaria.
Freedman (2008) mengatakan bahwa sesiapa yang baru pulang dari tempat endemis malaria dan
menderita demam harus segera berjumpa dengan dokter untuk pemeriksaan.

You might also like