Professional Documents
Culture Documents
Konversi Limbah Budidaya Ikan Lele PDF
Konversi Limbah Budidaya Ikan Lele PDF
Konversi Limbah Budidaya Ikan Lele PDF
DASU ROHMANA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
ABSTRACT
DASU ROHMANA. The Conversion of Waste from Catfish, Clarias sp. Culture into
Heterotrophic Bacteria Biomass for Improving the Water Quality and Freshwater
Prawn, Macrobrachium rosenbergii Food. Under direction of ENANG HARRIS and
SUKENDA.
Ammonia is highly toxic to fish and prawn and must be removed from aquaculture
system. Ammonia however can be converted into heterotrophic bacterial biomass by
increasing C/N ratio by supplying organic carbon source continuously. Fish and prawn
species can utilize heterotrophic bacteria as a high protein food. The aims of this
research were to analyze the effect of carbon addition in catfish culture water on the
abundance of heterotrophic bacteria and the water quality especially inorganic
nitrogen; to analyze the utilization of heterotrophic bacteria by freshwater prawn with
different density level; and to develop aquaculture system base on trophic level by
using biofloc technology. This research was conducted with three different treatments,
based on catfish : prawn ratio; namely 150:0 (A); 150:300 (B); 150:600
(C). On B and C treatments, organic carbon source was added to stimulate
heterotrophic bacterial growth. Formulated feed was given to the catfish reared in cage
in all treatments everyday, and there was no formulated feed given to the prawn. The
growth of catfish at media with and without carbon source supplement were similar.
The abundance of heterotrophic bacteria in water with the addition of organic carbon
source reached 100 folds higher than the control group. The inorganic nitrogen in
media with organic carbon source supplementation was lower than the control group,
indicating that the water quality in this treatments were better than the control group.
The growth of prawn fed with heterotrophic bacteria was similar to that fed with
formulated feed. With the availability of heterotrophic bacteria in -pond cage culture
2
of catfish at a density of 100 fish/m (10,290,29 g) and prawn at a density of 40
2
prawn/m (1,070,13 g) is preferable to be applied.
Keywords: catfish, waste, heterotrophic bacteria, water quality, freshwater prawn
RINGKASAN
DASU ROHMANA. Konversi Limbah Budidaya Ikan Lele, Clarias sp. menjadi
Biomassa Bakteri Heterotrof untuk Perbaikan Kualitas Air dan Makanan Udang
Galah, Macrobrachium rosenbergii. Dibimbing oleh ENANG HARRIS dan
SUKENDA.
Pemberian pakan buatan berprotein tinggi pada pembesaran ikan lele intensif
dalam keramba menghasilkan limbah yang cukup besar terutama ammonia nitrogen.
Ammonia merupakan limbah yang sangat toksik bagi hampir seluruh hewan akuatik
sehingga keberadaanya dalam media pemeliharaan harus dikurangi. Ammonia dapat
dikonversi menjadi biomassa bakteri heterotrof yang tumbuh maksimal melalui
peningkatan rasio C/N dengan menambahkan sumber karbon organik. Penelitian
bertujuan untuk menganalisa pengaruh pemberian unsur karbon pada limbah budidaya
ikan lele terhadap kelimpahan bakteri heterotrof dan kualitas air terutama nitrogen
anorganik; menganalisa pemanfaatan bakteri heterotrof oleh udang galah pada tingkat
penebaran yang berbeda; serta mengkaji sistem akuakultur berbasis trophic level
melalui teknologi biofloc. Manfaat penelitian ini adalah teknologi untuk
meningkatkan efisiensi pakan dan air, meningkatkan efektivitas wadah budidaya,
mengurangi pencemaran air dan meningkatkan produksi.
Penelitian terdiri dari 3 perlakuan, didasarkan pada rasio ikan lele dan udang
galah, yaitu 150:0 (A); 150:300 (B); 150:600 (C). Perlakuan B dan C ditambah
sumber karbon organik untuk merangsang pertumbuhan bakteri heterotrof. Pakan
formula diberikan pada ikan dalam keramba di semua perlakuan setiap hari, dan tidak
ada pakan formula yang diberikan pada udang. Parameter yang diamati berupa: laju
pertumbuhan harian (), kelangsungan hidup/survival (SR), rasio konversi pakan
(FCR), retensi nitrogen, jumlah koloni dan biomassa bakteri, kualitas air, efisiensi
nitrogen dan produksi. Data dianalisa secara statistik dengan one-way analysis of
variance (ANOVA) menggunakan software statistik SPSS (versi 13.0) pada selang
kepercayaan 95% (P<0,05).
Secara keseluruhan rata-rata kelangsungan hidup, laju pertumbuhan harian, dan
rasio konversi pakan ikan lele berturut-turut adalah 99,67%, 4,53-4,55% dan 0,810,85. Hasil analisa statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata (P>0,05)
ketiga parameter yang diamati antar perlakuan. Retensi nitrogen oleh ikan lele pada
penelitian ini berkisar 63,55-66,45% dan nitrogen yang dibuang berkisar 33,5536,45%. Hasil analisa statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata (P>0,05)
baik nitrogen yang diretensi maupun nitrogen yang dibuang oleh ikan lele antar
perlakuan. Berdasarkan pengukuran dengan menggunakan metode cawan sebar, ratarata kelimpahan bakteri heterotrof dari kolom air pada perlakuan A (150:0), B
5
7
(150:300) dan C (150:600) berturut-turut adalah 2,88x10 cfu/ml, 1,59x10 cfu/ml,
7
dan 2,79x10 cfu/ml. Sedangkan rata-rata kelimpahan bakteri heterotrof usus udang
9
galah pada perlakuan B (150:300) dan C (150:600) berturut-turut adalah 6,94x10
8
cfu/ml dan 2,88x10 cfu/ml. Konsentrasi TAN, NO2-N dan NO 3-N berfluktuasi
selama periode penelitian serta pada perlakuan A (150:0) yang tanpa penambahan
karbon secara keseluruhan mempunyai kecenderungan lebih tinggi daripada perlakuan
B (150:300) dan C (150:600) yang ditumbuhkan bakteri melalui penambahan karbon
organik. Laju pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang galah pada kepadatan 20
2
ekor/m (B) berturut-turut adalah 2,980,24% dan 88,330,58% secara nyata
(P<0,05) lebih baik daripada laju pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang galah
DASU ROHMANA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
Judul Tesis
Nama
NIM
Disetujui
Komisi Pembimbing
Diketahui
Ketua Program Mayor
Ilmu Akuakultur
Tanggal Lulus:
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Julie Ekasari, S.Pi, M.Sc.
PRAKATA
Puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Konversi Limbah
Budidaya Ikan Lele, Clarias sp. menjadi Biomassa Bakteri Heterotrof untuk
Perbaikan Kualitas Air dan Makanan Udang Galah, Macrobrachium rosenbergii.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Enang Harris, M.S. dan Bapak Dr. Ir. Sukenda, M.Sc. selaku
tim komisi pembimbing atas arahan, bimbingan dan masukan-masukannya sejak
penyusunan rencana penelitian sampai penyusunan tesis ini.
2. Ibu Julie Ekasari, S.Pi, M.Sc., selaku penguji luar komisi, atas arahan dan
masukan untuk perbaikan dalam penyusunan tesis ini.
3. Keluarga; orang tua, istriku Susi Rosellia, S.Pi, anakku Alifia Zahra, dan saudarasaudara atas doa, restu, dukungan, pengertian dan kasih sayang selama ini.
4. Bapak Ir. Maskur selaku Kepala Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar
Sukabumi atas kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk
melaksanakan tugas belajar serta memfasilitasi penelitian; Bapak Ir. Ceno
Harimurti Adi, M.Si., Bapak Ir. Adang Sujana, Bapak Ir. Ahmad Hadadi, M.Si.
atas dukungan morilnya; staf BBPBAT Sukabumi khususnya teman-teman di Sub
Unit Pembenihan Udang Galah (Nendih, Bunga dan Wa Eman) yang telah banyak
membantu selama pelaksanaan penelitian.
5. Bapak Ir. Irzal Effendi, M.Si atas ijin penggunaan fasilitas Laboratorium Sistem
dan Teknologi BDP IPB pada saat penelitian pendahuluan.
6. Teknisi Laboratorium BDP IPB; Bapak Ranta (Lab Kesehatan Ikan), Bapak
Jajang (Lab Lingkungan), Bapak Wasjan (Lab Nutrisi) dan operator laboratorium
yang telah membantu penulis selama melakukan analisa laboratorium.
7. Rekan-rekan mahasiswa Program Mayor Ilmu Akuakultur angkatan 2007 atas
kebersamaan dan kerjasama yang baik serta bantuannya dalam perkuliahan,
penelitian dan penyelesaian karya ilmiah ini.
8. Sahabatku Lideman di Kagosima University atas kiriman jurnalnya untuk
menambah perbendaharaan literatur dalam tulisan ini.
Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan di dalam tesis ini
sehingga kritik dan saran sangat diharapkan untuk perbaikan dalam penyusunan karya
ilmiah di masa yang akan datang. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi
pihak yang memerlukannya.
Bogor, Juli 2009
Dasu Rohmana
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sumedang pada tanggal 5 Mei 1972 sebagai anak ketiga
dari lima bersaudara, pasangan Suhri Rohmat dan Ocih. Menikah dengan Susi
Rosellia, S.Pi dan dikarunai seorang anak yang bernama Alifia Zahra. Pendidikan
sarjana ditempuh di Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan IPB, lulus
pada tahun 1995. Kesempatan untuk melanjutkan ke program magister pada Program
Mayor Ilmu Akuakultur diperoleh pada tahun 2007. Beasiswa pendidikan
pascasarjana diperoleh dari Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.
Pada tahun 1996-1997 penulis berkerja sebagai supervisor hatchery dan
tambak udang di PT. Enindo di Sulawesi Selatan. Pada tahun 1998-2005 penulis
bekerja sebagai perekayasa di Balai Budidaya Air Payau Takalar, Sulawesi Selatan.
Mulai tahun 2005 sampai sekarang penulis bekerja sebagai perekayasa di Balai
Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi. Bidang kerekayasaan yang
menjadi tanggung jawab penulis saat ini adalah teknologi budidaya udang galah.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .................................................................................................. xiv
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................
xv
xvi
PENDAHULUAN ...........................................................................................
1
3
3
3
4
11
11
13
13
18
19
19
20
21
24
29
31
34
37
37
37
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................38
LAMPIRAN......................................................................................................................................43
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Parameter kualitas air untuk pemeliharaan ikan lele........................................................4
2 Parameter kualitas air untuk pemeliharaan udang galah.................................................6
3 Laju pertumbuhan harian (), kelangsungan hidup (SR) dan rasio konversi
pakan (FCR) ikan lele pada setiap perlakuan selama penelitian................................19
4 Keseimbangan massa nitrogen pada pembesaran ikan lele dengan protein
pakan 32% pada setiap perlakuan........................................................................................21
5 Rata-rata kelimpahan dan biomassa bakteri heterotrof dari kolom air dan
usus udang galah pada setiap perlakuan............................................................................22
6 Nilai rataan dan kisaran kualitas air media pemeliharaan pada setiap
perlakuan selama penelitian...................................................................................................24
7 Laju pertumbuhan harian () dan kelangsungan hidup (SR) udang galah
pada setiap perlakuan selama penelitian............................................................................29
8 Efisiensi nitrogen oleh ikan lele dan udang galah pada setiap perlakuan.................31
9 Produksi ikan lele dan udang galah pada setiap perlakuan...........................................36
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Tiga proses mikroba penting yang mendominasi kualitas air dalam sistem
budidaya kolam...........................................................................................................................9
2 Benih ikan lele (a) dan benih udang galah (b)..................................................................11
3 Wadah pemeliharaan ikan lele (a) dan udang galah (b).................................................13
4 Pertambahan bobot tubuh ikan lele pada setiap perlakuan selama penelitian
20
5 Kelimpahan bakteri heterotrof dari kolom air pada setiap perlakuan ...
22
6 Phytoplankton dari bak perlakuan A (a); formasi floc dari bak perlakuan B
dan C (b); dan bakteri heterotrof (gram positif berbentuk batang) yang
diisolasi dari bak perlakuan B dan C (c) . 23
7 Suhu diurnal pada setiap perlakuan selama penelitian
25
28
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
50
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Saat ini pembangunan bidang perikanan secara global sangat bertumpu pada
sektor perikanan budidaya baik air tawar, payau maupun laut setelah produksi
perikanan tangkap mengalami penurunan. Berdasarkan FAO (2007) produksi
akuakultur dari tahun ke tahun meningkat seiring dengan pertumbuhan populasi
penduduk dan telah mensuplai kira-kira 43% dari semua ikan yang dikonsumsi oleh
seluruh penduduk di dunia. Fakta ini menunjukkan bahwa akuakultur telah menjadi
sebuah industri. Konsekuensinya akuakultur cenderung dilakukan dengan metode
produksi intensif.
Budidaya intensif umumnya dilakukan terhadap spesies ikan karnivora dan
dalam tahun-tahun terakhir terjadi kecenderungan intensifikasi budidaya yang lebih
besar. Menurut Allsopp et al. (2008) pada budidaya intensif ikan dipelihara dengan
kepadatan tinggi dan semua nutrisi diperoleh secara langsung dari pakan yang
diberikan dengan kandungan protein yang tinggi. Sementara itu ikan dan udang hanya
dapat meretensi protein pakan sekitar 16,3-40,87% (Avnimelech 1999; Hari et al.
2004; Yi et al. 2003) dan sisanya dibuang menjadi limbah budidaya dalam bentuk
produk ekskresi, residu pakan dan feses (Pillay 2004).
Menurut Stickney (2005) protein pakan yang dikonsumsi oleh ikan yang
dibudidayakan akan dikatabolisme dan ammonia yang merupakan limbah nitrogen
utama dari metabolisme protein pada ikan dan invertebrata akuatik akan
diekskresikan. Pada waktu yang sama bakteri memineralisasi nitrogen organik dalam
pakan yang tidak termakan dan feses menjadi ammonia (Gross & Boyd 2000).
Sehingga pemberian pakan yang mengandung protein tinggi akan menghasilkan
ammonia yang tinggi sebagai produk ekskresi spesies ikan yang dibudidaya dan
sebagai produk mineralisasi bakteri. Akumulasi ammonia dapat mencemari media
budidaya bahkan mematikan ikan yang dipelihara. Menurut Wedemeyer (1996)
banyak pembudidaya ikan mempertahankan konsentrasi amonia nitrogen (NH 3-N)
pada atau di bawah 0,01 mg/L, walaupun konsentrasi di atas 0,1 mg/L biasanya masih
dapat ditoleransi dengan baik oleh ikan.
2
Menurut Ebeling et al. (2006) ammonia-nitrogen dapat dikonversi menjadi
biomassa mikroba (alga, bakteri nitrifikasi dan bakteri heterotrof), dan bakteri
heterotrof merupakan mikroba yang mempunyai laju pertumbuhan lebih cepat
daripada mikroba fotosintesis autotrof atau nitrifikasi (Brune et al. 2003).
Peningkatan jumlah bakteri heterotrof dapat menurunkan ammonia-nitrogen total,
nitrit dan nitrat dalam media, baik pada skala laboratorium maupun skala lapang
(Ekasari 2008; Hari et al. 2004; De Schryver & Verstraete 2009).
Bakteri heterotrof merupakan salah satu pembentuk komunitas biofloc yang
paling dominan selain fitoplankton, kumpulan bahan organik hidup dan mati dan
pemakan bakteri (Hargreaves 2006). Bakteri heterotrof akan tumbuh maksimal
melalui peningkatan rasio C/N dengan menambahkan sumber karbon organik secara
kontinu seperti molase, tepung terigu dan tepung tapioka (Avnimelech 1999; Ebeling
et al. 2006; Hari et al. 2004). Rosenberry (2006) menyatakan bahwa teknik
menumbuhkan bakteri heterotrof dalam kolam budidaya dengan tujuan untuk
memanfaatkan limbah nitrogen menjadi pakan yang berprotein tinggi dengan
menambahkan sumber karbon untuk meningkatkan rasio C/N disebut teknologi
biofloc (BFT). Beberapa jenis ikan dan udang pada budidaya intensif dapat
memanfaatkan biofloc sebagai pakan yang mengandung protein tinggi (Avnimelech
2007; Crab et al. 2007; Ekasari 2008; Hari et al. 2004).
Sistem budidaya keramba dalam kolam merupakan salah satu teknik
intensifikasi budidaya ikan (Lazur & Britt 1997). Pada sistem ini hanya ikan dalam
keramba yang diberi pakan buatan sementara itu ikan dalam kolam tergantung pada
pakan buatan yang tidak termakan dan feses yang berasal dari keramba. Sistem ini
telah dipraktekkan melalui intensifikasi alga dengan menggunakan kombinasi catfishcarp (Wahab et al. 2005), sahar-tilapia (Yadav et al. 2007), tilapia-tilapia (Yi 1999),
catfish-tilapia (Yi et al. 2003) dan climbing perch-tilapia (Yi et al. 2005).
Pada penelitian ini digunakan ikan lele dan udang galah yang merupakan
spesies ikan yang sangat populer di Indonesia. Pembesaran ikan lele dilakukan pada
keramba dengan pemberian pakan secara intensif serta mengandung protein yang
tinggi dan pendederan udang galah dilakukan pada kolam tanpa pemberian pakan
buatan. Peningkatan rasio C/N dilakukan agar dapat menyokong pertumbuhan bakteri
heterotrof dengan cara menambahkan molase pada media budidaya.
3
1.2 Perumusan Masalah
Pemberian pakan buatan berprotein tinggi pada pembesaran ikan lele intensif
dalam keramba menghasilkan limbah yang cukup besar terutama dalam bentuk
ammonia nitrogen. Ammonia merupakan limbah yang sangat toksik bagi hampir
seluruh hewan akuatik sehingga keberadaanya dalam media pemeliharaan harus
dikurangi. Ammonia dapat dikonversi menjadi biomassa bakteri heterotrof yang dapat
tumbuh maksimal melalui peningkatan rasio C/N dengan menambahkan sumber
karbon. Bakteri heterotrof merupakan sumber protein tinggi untuk makanan jenis ikan
dan udang tertentu dan dapat memperbaiki kualitas air terutama nitrogen anorganik.
Sistem akuakultur berbasis trophic level melalui teknologi biofloc diharapkan dapat
mengakibatkan peningkatan efisiensi nitrogen pakan.
1.3 Tujuan dan Manfaat
Penelitian bertujuan untuk:
1. Menganalisa pengaruh pemberian karbon pada limbah budidaya ikan lele terhadap
kelimpahan bakteri heterotrof.
2. Menganalisa pemanfaatan bakteri heterotrof oleh udang galah pada tingkat
penebaran yang berbeda.
3. Menganalisa kualitas air terutama nitrogen anorganik.
4. Mengkaji sistem akuakultur berbasis trophic level melalui teknologi biofloc.
Manfaat penelitian ini adalah teknologi untuk meningkatkan efisiensi pakan dan
air, meningkatkan efektivitas wadah budidaya, mengurangi pencemaran air, dan
meningkatkan produksi.
1.4 Perumusan Hipotesis
Apabila penambahan unsur karbon seimbang dengan nitrogen dari limbah
budidaya ikan lele maka jumlah bakteri heterotrof akan maksimal dan kualitas air
menjadi lebih baik karena nitrogen anorganik dikonversi menjadi nitrogen bakteri.
Selanjutnya apabila sejumlah bakteri heterotrof tersebut dimanfaatkan oleh udang
galah maka akan terjadi pertumbuhan yang baik pada udang galah. Secara
keseluruhan sistem ini akan meningkatkan efisiensi pemanfaatan nitrogen.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ikan Lele
Klasifikasi ikan lele menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut: kingdom
Animalia, sub-kingdom Metazoa, filum Chordata, sub-filum Vertebrata, kelas Pisces,
sub-kelas Teleostei, ordo Ostariophysi, sub-ordo Siluroidea, famili Clariidae, genus
Clarias dan pesies Clarias sp.
Ikan lele dumbo adalah jenis ikan hibrida hasil silangan antara Clarias
gariepinus x C. Fuscus dan merupakan ikan introduksi yang pertama kali masuk ke
Indonesia pada tahun 1985 (BSN 2000). Secara biologis ikan lele dumbo mempunyai
kelebihan dibandingkan dengan jenis lele lainnya, antara lain lebih mudah
dibudidayakan dan dapat dipijahkan sepanjang tahun, fekunditas telur yang besar
serta mempunyai kecepatan tumbuh dan efisiensi pakan yang tinggi.
Ikan lele dumbo dicirikan oleh jumlah sirip punggung D.68-79, sirip dada
P.I.9-10, sirip perut V.5-6, sirip anal A.50-60 dan jumlah sungut empat pasang, satu
diantaranya lebih besar dan panjang. Perbandingan antara panjang standar terhadap
panjang kepala 1 : 3-4.
Ikan lele dumbo memiliki alat pernapasan tambahan berupa aborescen yang
merupakan kulit tipis menyerupai spon, yang dengan alat pernapasan tambahan ini,
ikan lele dumbo dapat hidup pada air dengan kondisi oksigen yang rendah. Ikan lele
2
dapat dipelihara dengan kepadatan sangat tinggi (100 ikan/m ) dan produksi bisa
mencapai 100 ton/ha (Areerat 1987 diacu dalam Yi et al. 2003). Persyaratan kualitas
air untuk budidaya ikan lele disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1
Salinitas (mg/l)
Total gas terlarut (%)
Oksigen terlarut (mg/l)
CO2 (mg/l)
Alkalinitas (CaCO3 eq)
Ammonia (mg/l)
Besi (mg/l)
H2S (mg/l)
Sumber: Peteri et al. (1992)
Nilai
100-8000
100
1,7
maks. 10
min. 20
maks. 0,05
maks. 0,05
nihil
5
2.2 Udang Galah
Klasifikasi udang galah menurut Barnes (1987) adalah sebagai berikut: filum
Arthropoda, kelas Crustacea, ordo Decapoda, famili Palaemonidae, genus
Macrobrachium, dan species Macrobrachium rosenbergii.
Udang galah memiliki ciri berupa: rostrum yang sangat panjang dan runcing,
rostrum bagian atas terdapat 11-14 gerigi, rostrum bagian bawah terdapat 8-14 gerigi
dan mempunyai capit yang besar dan panjang. Hidup di sungai air tawar dan payau,
kadang-kadang ditemukan di lingkungan air laut. Satu ekor udang galah yang paling
besar dapat mencapai ukuran 320 mm (Dore & Frimodt 1987).
Ling (1969) diacu dalam Weidenbach (1982) menyatakan bahwa M. rosenbergii
di alam memiliki kebiasaan pakan yang bersifat omnivor, makan dengan frekuensi
sering dan rakus terhadap cacing air, serangga air, larva serangga, moluska kecil,
krustase (udang jenis lain), daging dan organ dalam ikan dan binatang lain, padipadian, biji-bijian, kacang-kacangan, buah-buahan, alga, serta daun dan batang lunak
tanaman air. Penelitian Weidenbach (1982) memperlihatkan bahwa udang galah
tumbuh paling baik pada perlakuan udang yang diberi pakan alami (tanah, detritus,
kotoran ternak, fitoplankton dan bentos) dan pellet komersil dibandingkan udang
yang diberi pakan alami saja atau pellet komersil saja. Selanjutnya, udang yang diberi
pakan alami saja tumbuh lebih besar secara nyata daripada udang yang diberi pellet
komersil saja.
Menurut New (2002) udang galah dapat dipelihara pada reservoar, kolam,
saluran irigasi, keramba, pen, dan perairan alami. Penebaran post larva ukuran 0,01 g
3
sebanyak 2000 PL/m pada bak pendederan akan mencapai bobot 0,02 g setelah 20
hari pemeliharaan dan sekitar 0,2-0,4 g setelah 60 hari total pemeliharaan dengan
kelangsungan hidup sekitar 90%. Sedangkan pada pendederan tahap kedua, juvenil
akan mencapai bobot 0,8-2,0 g selama 4-10 minggu pemeliharaan tergantung pada
ukuran yang digunakan pada saat penebaran dengan kelangsungan hidup paling
sedikit 75%. Menurut Pillay dan Kutty (2005) pembesaran udang galah dengan
2
kepadatan tebar benih 4,3-6,5 ekor/m selama 5-6 bulan, dapat mencapai produksi
700-1200 kg/ha. Udang galah dapat dibudidayakan baik secara monokultur maupun
polikultur (Asaduzzaman et al. 2009; Uddin et al. 2007). Persyaratan kualitas air
untuk budidaya udang galah disajikan pada Tabel 2.
6
Tabel 2 Parameter kualitas air untuk pemeliharaan udang galah
Parameter
pH
Oksigen terlarut (mg/l)
Salinitas (mg/g)
Kecerahan (cm)
Alkalinitas (mg/l CaCO3 eq)
Total hardness (dlm mg/l CaCO3)
Ammonia tidak terionisasi (mg/l)
Kisaran
Nilai
25 30
7.0 8.0
37
< 10
25 - 40
20 -60
30 -150
< 0.3
Nitrit (mg/l)
Nitrat (mg/l)
Boron (mg/l)
Besi (mg/l)
Tembaga (mg/l)
Mangan (mg/l)
Seng (mg/l)
H2S (mg/l)
<2
< 10
< 0.75
< 1.00
< 0.02
< 0.01
< 0.20
nihil
Temperatur (oC)
Batas Lethal
(maksimum)
< 12
> 35
> 9.5
<1
> 0.5 pd pH 9.5
> 1.0 pd pH 9.0
> 2.0 pd pH 8.5
-
7
meremediasi
limbah
budidaya
atau
menambahkan
sumber
karbon
untuk
meningkatkan pertumbuhan mikroba (Liu & Han 2004; Burford et al. 2004).
2.4 Intensifikasi Bakteri
Pada umumnya budidaya udang dilakukan pada kolam luar yang tergantung
pada matahari dan komunitas alga untuk memproses limbah nitrogen dari udang dan
untuk mensuplai oksigen ke dalam kolam. Sedangkan budidaya udang biofloc
mendorong pertumbuhan komunitas bakteri dalam kolam (Rosenberry 2006). Sekali
terbentuk dan terpelihara, maka kolam yang didominasi bakteri lebih stabil daripada
kolam yang didominasi alga. Bakteri berakumulasi dalam gumpalan yang disebut
floc; memanfaatkan limbah nitrogen 10-100 kali lebih efisien daripada alga dan
merubahnya menjadi pakan yang berprotein tinggi bagi udang; bekerja siang dan
malam; dan sedikit dipengaruhi oleh cuaca.
Selanjutnya dikatakan, ada beberapa hal yang dibutuhkan pada budidaya
udang biofloc yaitu:
-
Filter untuk menahan organisme pembawa penyakit dari air yang masuk
Kolam dilapisi
Sumber karbohidrat yang bagus dan murah (molase dan tepung terigu) untuk
menstimulasi rantai makanan berbasis bakteri.
Menurut De Schryver et al. (2008) faktor-faktor yang mempengaruhi formasi
dan struktur floc dalam teknologi biofloc adalah intensitas pencampuran melalui
aerasi, oksigen terlarut, sumber karbon organik, laju muatan organik, suhu dan pH air.
Avnimelech (1999) menyatakan bahwa produksi bakteri heterotrof dapat ditingkatkan
melalui penambahan karbon ke media budidaya untuk meningkatkan rasio C/N.
8
Penambahan karbon dapat mereduksi nitrogen anorganik pada tangki percobaan
udang dan kolam tilapia skala komersil. Buford et al. (2003) menambahkan molase
sebagai sumber karbon organik pada budidaya udang Litopanaeus vannamei dengan
kepadatan tinggi dan tanpa pergantian air.
Menurut Richards (1994) klasifikasi fungsional organisme berdasarkan
sumber energi alam dan kebutuhan karbon adalah:
(a) Fotoautotrof, menggunakan cahaya sebagai sumber energi dan CO2 sebagai
sumber karbon utama. Contoh adalah tanaman tingkat tinggi, alga, cyanobacteria
serta purple dan green sulphur bacteria.
(b) Fotoheterotrof, tergantung pada cahaya sebagai sumber energi mengambil karbon
dari senyawa organik. Kategori ini diwakili oleh kelompok khusus bakteri
fotosintesis yang diketahui sebagai purple non-sulphur bacteria (PNSB).
(c) Kemoautotrof, mengambil energi dari oksidasi senyawa inorganik dan
menggunakan CO2 sebagai sumber karbon utama. Kategori ini terdiri dari
beberapa kelompok bakteri khusus, meliputi bakteri nitrifikasi dan thiobacilli.
(d) Kemoheterotrof, menggunakan senyawa organik sebagai sumber energi dan
karbon. Termasuk dalam kelompok ini adalah hewan, protozoa, fungi dan banyak
jenis bakteri seperti
9
mengandung protein 5,82% atau 40% berdasarkan bobot kering dan berpotensi
sebagai sumber pakan dalam akuakultur (Getha et al. 1998).
Menurut Hougardy et al. (2000) sel bakteri Rodopseudomonas rhenobacensis
strain Rb
berdasarkan Imhoff & Truper (1989) diacu dalam Hougardy et al. (2000), sel bakteri
Rodopseudomonas
-3
C106H152O53N16P + 106 O2 + 16 H
Y = 0.2 mg VS/mg N
= 1/hari (waktu generasi 24 jam)
kd = 0.05/hari (5% per hari)
Destruksi alkalinitas = 7.1 gm (CaCO3)/gm N
Biosintesis Bakteri (Heterotrofik)
BOD5 + NH4
C5H7NO2
10
Menurut Richards (1987) pada peristiwa nitrifikasi terjadi oksidasi ammonium
menjadi nitrit dan nitrat oleh bakteri autotrof. Nitrosomonas mengoksidasi
+
11
3 METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2008 sampai dengan Maret 2009
di Sub Unit Pembenihan Udang Galah Palabuhan Ratu, Balai Besar Pengembangan
Budidaya Air Tawar Sukabumi. Analisa bakteri dan darah, analisa protein serta
analisa kualitas air dilakukan masing-masing di Laboratorium Kesehatan Ikan,
Laboratorium Nutrisi Ikan dan Laboratorium Lingkungan Departemen Budidaya
Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
3.2 Bahan dan Alat
Ikan Uji
Ikan uji yang digunakan adalah benih ikan lele dengan bobot rata-rata
10,290,29 g dan benih udang galah dengan bobot rata-rata 1,070,13 g. Benih
diseleksi yang memiliki organ tubuh lengkap, ukuran relatif seragam dan tidak
terinfeksi penyakit.
Benih ikan lele diperoleh setelah melalui proses pemeliharaan sampai
pendederan tahap empat, berumur sekitar 75 hari sejak telur menetas. Sedangkan
benih udang galah berumur sekitar 105 hari sejak telur menetas, yaitu pemeliharaan
larva di hatchery selama 45 hari dan pentokolan tahap satu selama 60 hari.
Keberagaman benih ikan lele dan benih udang galah saat di hatchery sangat
tinggi. Sehingga pada setiap tahap pemeliharaan dilakukan pemilahan ukuran. Benih
yang digunakan untuk ikan uji dipilih yang memiliki ukuran rata-rata dalam satu
populasi.
(a)
(b)
Gambar 2 Benih ikan lele (a) dan benih udang galah (b)
12
Bakteri Heterotrof
Bakteri heterotrof yang digunakan dalam penelitian adalah kelompok bakteri
fotosintesis yang merupakan produk probiotik komersil. Kepadatan bakteri dalam
8
13
Wadah Penelitian
Wadah penelitian berupa bak untuk pendederan udang galah berukuran 5x3x1,5
3
m dan keramba untuk pembesaran ikan lele berukuran 1,5x1x1 m . Bak terbuat dari
beton dan dilengkapi dengan pipa pembuangan berdiameter 4 inchi. Keramba terbuat
dari bilahan bambu dan ditopang dengan 4 buah kayu penyangga secara vertikal dan
diberi kaki setinggi 0,2 m.
(a)
(b)
Gambar 3 Wadah pemeliharaan ikan lele (a) dan udang galah (b)
3.3 Perancangan Percobaan dan Perlakuan
Penelitian terdiri dari 3 perlakuan, masing-masing diulang sebanyak tiga kali,
menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan rasio jumlah ikan lele terhadap
udang galah sebagai faktor. Penempatan wadah penelitian dilakukan secara acak.
Perlakuan yang dicobakan adalah:
A. Perbandingan ikan lele dan udang galah; 150:0 (kontrol)
B. Perbandingan ikan lele dan udang galah; 150:300
C. Perbandingan ikan lele dan udang galah; 150:600
3.4 Prosedur Penelitian dan Parameter Pengamatan
Persiapan dan penebaran ikan uji
Pada setiap kolam ditempatkan dua buah keramba dengan ketinggian sekitar 20
cm di atas dasar kolam pada bagian tepi kolam. Kolam dibersihkan dan diisi air yang
14
3
keramba dengan kepadatan 100 ikan/m (75 ikan/keramba) pada semua perlakuan.
Seminggu kemudian benih udang galah ditebar dalam kolam perlakuan B dengan
2
pemeliharaan sebanyak 20 ml/m air, setara dengan kepadatan tebar awal bakteri 2000
sel/ml. Pada bak perlakuan B dan C diberikan molase setiap hari sebanyak 72,5%
jumlah pakan ikan lele (penentuan dosis molase berdasarkan perhitungan pada
3
Lampiran 1). Silikat diberikan sebanyak 1 g/ m air pemeliharaan setiap hari selama
satu minggu. Supaya bahan-bahan tersebut tercampur secara cepat dan homogen,
dilakukan pelarutan dengan satu ember air dan disebar merata pada bak pemeliharaan.
Pemberian pakan
Pemeliharaan ikan lele dilakukan selama 49 hari. Pakan diberikan sebanyak 53% dengan target FCR sekitar 0,82, mengikuti manajemen pemberian pakan seperti
pada Lampiran 2. Program pemberian pakan dibuat berdasarkan hasil percobaan yang
dilakukan secara berulang dengan menggunakan pakan formula yang mengandung
protein 32%. Ukuran pakan ikan lele pada empat minggu pertama adalah 2 mm, dan
minggu berikutnya sampai dengan akhir pemeliharaan adalah 3 mm. Jumlah pakan
ikan lele yang diberikan berdasarkan hasil sampling bobot dan mortalitas ikan
mingguan. Frekuensi pemberian pakan adalah 2 kali sehari, yaitu pada pukul 08.00
dan pukul 16.00. Tidak ada pemberian pakan buatan pada udang galah yang
dipelihara di kolam.
15
Parameter pengamatan
Pengumpulan data bobot ikan lele dan udang galah dilakukan setiap minggu
secara acak. Sedangkan kematian ikan diamati setiap hari. Hasil sampling bobot dan
pengamatan kelangsungan hidup ikan lele akan menjadi dasar jumlah pakan yang
akan diberikan setiap harinya.
Pemeriksaan bakteri yang meliputi kelimpahan bakteri dari air pemeliharaan
dan usus udang dilakukan setiap minggu dengan menggunakan metode cawan sebar
pada media TSA. Media TSA dibuat dengan cara mendidihkan agar TSA 4 g dalam
akuades 100 ml pada penangas air. Lalu di-autoclave dan setelah kondisi hangat
disebar pada cawan petri. Setelah agar dingin posisi cawan dibalik dan dapat
disimpan di lemari pendingin atau langsung digunakan untuk menumbuhkan bakteri.
Sampel air media pemeliharaan diambil dari kolom air dengan menggunakan botol
sampel. Sedangkan pengambilan sampel dari usus dilakukan dengan cara mengambil
sampel udang galah lalu dibedah, diambil ususnya dan ditimbang. Selanjutnya usus
tersebut diletakkan dalam wadah steril, dihancurkan, ditambah larutan fisiologis dan
di-vortex sehingga diperoleh larutan usus sebanyak 1 ml. Kemudian sampel air media
-3
-4
-5
dan
seterusnya, lalu di-plating pada media TSA, diinkubasi selama 24 jam dan dihitung
jumlah koloni yang terbentuk.
Pengukuran parameter kualitas air oksigen terlarut (DO), pH dan suhu air
dilakukan secara in situ dalam kolom air masing-masing dengan menggunakan alat
DO meter, pH meter dan thermometer. Khusus untuk parameter DO dan suhu
dilakukan setiap minggu secara diurnal setiap 2 jam. Pengambilan sampel air untuk
pemeriksaan secara ex situ dilakukan setiap minggu dari kolom air sebelum
pemberian sumber karbon. Parameter yang dianalisa meliputi ammonia nitrogen total
(TAN), nitrit (NO2), nitrat (NO3), alkalinitas dan karbondioksida menggunakan alat
spektrofotometer; BOD menggunakan DO meter; serta volatile suspended solid
(VSS). VSS merupakan selisih total suspended solid dan fixed suspended solid yang
diukur dengan dengan metoda gravimetrik.
Pengukuran kadar protein ikan dan udang galah dilakukan pada awal dan akhir
pemeliharaan yang meliputi tahapan oksidasi, destilasi dan titrasi.
16
Perhitungan beberapa parameter pengamatan:
1. Laju pertumbuhan harian ()
Laju pertumbuhan harian rata-rata ikan dihitung dengan menggunakan rumus:
wt
= { t wo
1 }x 100%
Keterangan:
= pertumbuhan harian rata-rata (%)
wo = bobot tubuh awal pemeliharaan (g)
wt = bobot tubuh akhir pemeliharaan (g)
t
= waktu pemeliharaan (t)
2. Kelangsungan hidup/survival level (SR)
Tingkat kelangsungan hidup ikan dihitung dengan menggunakan rumus:
SR = N
Nt
0 100%
Pakan
BiomassaLele
Pakan
BiomassaLele + udang
17
Retensi nitrogen (%) =
Nt N 0 100%
Np
Keterangan: Nt = jumlah nitrogen ikan pada akhir pemeliharaan (g)
N0 = jumlah nitrogen ikan pada awal pemeliharaan (g)
Np = jumlah nitogen pakan yang diberikan pada ikan (g)
Nitrogen yang terbuang (%) = 100% - nitrogen yang diretensi (%)
5. Efisiensi nitrogen
Efisiensi nitrogen dihitung dengan menggunakan rumus:
Efisiensi nitrogen (%)
Keterangan: Nlele
Nudang
Npakan
6. Jumlah koloni bakteri
Jumlah koloni bakteri dihitung dari sampel air dengan menggunakan rumus:
18
Keterangan: A = kelimpahan bakteri di bak (sel/ml)
V = volume wadah pemeliharaan (ml)
B = bobot 1 sel bakteri (10-12 g/sel)
Biomassa bakteri dalam usus udang galah dihitung dengan menggunakan
rumus:
Biomassa (g) = A x U x B
Keterangan: A = kelimpahan bakteri di usus (sel/g)
U = bobot usus udang galah (g)
B = bobot 1 sel bakteri (10-12 g/sel)
8. Produksi
Produksi dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
2
= Bt : A
= (Bt B0) : A
2
Produktivitas kotor (kg/m /tahun) = Pk x MT
2
19
Ikan lele
(%)
4,540,15
4,550,15
4,530,22
A (150:0)
B (150:300)
C (150:600)
SR (%)
98,671,15
98,670,67
98,670,67
FCR
0,850,03
0,830,02
0,810,03
penebaran 10-15 ekor/m dalam waktu 60-75 hari akan menghasilkan ikan lele
dengan bobot 100-150 gram dan tingkat kelangsungan hidup 80-90% dengan laju
pertumbuhan harian sekitar 4%.
Nilai FCR ikan lele pada penelitian ini sangat rendah dibandingkan hasil
penelitian lain. Hal ini diduga karena manajemen pemberian pakan yang tepat.
Menurut Alanara et al. (2001) manajemen pemberian pakan yang tepat dapat
meningkatkan efisiensi pakan dan mengurangi polusi lingkungan. Selanjutnya
dikatakan bahwa manajemen pemberian pakan merupakan multidisiplin antara
kebutuhan nutrisi, fisiologi, kebiasaan makan dan teknik pemberian pakan.
Berdasarkan sampling mingguan diperoleh grafik pertumbuhan ikan lele pada
setiap perlakuan selama penelitian seperti pada Gambar 4. Nampak bahwa ikan lele
pada sistem budidaya keramba dalam kolam dengan kepadatan yang tinggi (100
3
ekor/m atau 80 ekor/m ) pada setiap perlakuan tumbuh sesuai dengan grafik
20
pertumbuhan normal hingga akhir penelitian. Menurut Areerat (1987) diacu dalam Yi
et al. (2003) sebagai ikan yang memiliki kemampuan pernapasan udara, ikan lele
2
80
70
60
50
40
30
20
10
0
0
B (150:300)
C (150:600)
Gambar 4 Pertambahan bobot tubuh ikan lele pada setiap perlakuan selama penelitian
21
Tabel 4 Keseimbangan massa nitrogen pada pembesaran ikan lele dengan protein
pakan 32% pada setiap perlakuan
Perlakuan
A (150:0)
B (150:300)
C (150:600)
N pakan (%)
100,000,00
100,000,00
100,000,00
N retensi (%)
63,551,99
64,870,89
66,452,78
N buang (%)
36,451,99
35,000,89
33,552,78
Limbah turunan pakan meliputi feses, produk ekskresi dan pakan yang tidak
termakan. Menurut Pillay (2004) pakan dilepaskan ke air tergantung pada sejumlah
faktor yang meliputi kebiasaan pakan ikan, stabilitas pakan dalam air, cara pemberian
pakan dan waktu pemberian pakan. Pada penelitian yang dilakukan, faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap adanya pakan yang tidak termakan diminimisasi sehingga
limbah turunan dari pakan hanya berupa feses dan produk eskresi saja.
Jumlah limbah nitrogen yang dilepaskan ke kolom air pada penelitian dengan
menggunakan komoditas ikan lele ini adalah berkisar 33,55-36,45%. Menurut Brune
et al. (2003) pada kegiatan budidaya kira-kira 15% input nitrogen pakan dilepaskan
pada kolom air sebagai BOD dan 60% input nitrogen pakan sebagai ammonia-N.
Sehingga jumlah muatan limbah nitrogen yang dilepaskan sekitar 75% dari input
nitrogen pakan. Nilai ini mendekati hasil penelitian Avnimelech (1999) untuk
komoditi ikan tilapia yaitu sekitar 77%. Hakanson et al. (1988) diacu dalam Pillay
(2004) membuat keseimbangan massa nitrogen pada ikan laut, dimana nitrogen untuk
pertumbuhan sebesar 24,67%, dan nitrogen sebagai muatan limbah sebesar 75,33%
yang terdiri dari feses dan ekskresi ammonia berturut-turut adalah 15% dan 60,33%.
4.3 Kelimpahan Bakteri Heterotrof
Rata-rata kelimpahan dan biomassa bakteri heterotrof pada air kolam
pemeliharaan dan usus udang galah pada setiap perlakuan disajikan pada Tabel 5.
Nampak bahwa rata-rata kelimpahan bakteri heterotrof pada perlakuan yang diberi
sumber karbon organik lebih tinggi daripada perlakuan yang tidak diberi karbon
organik. Menurut Hari et al. (2004) penambahan sumber karbon organik dapat
meningkatkan populasi bakteri heterotrof pada kolam budidaya. Hasil penelitiannya
7
menunjukkan peningkatan jumlah bakteri heterotrof secara nyata dari 2,5x10 cfu/ml
7
pada perlakuan pakan 40% menjadi 6,2x10 pada perlakuan pakan 40% yang
ditambah dengan tepung kanji.
22
Tabel 5 Rata-rata kelimpahan dan biomassa bakteri heterotrof dari kolom air dan
usus udang galah pada setiap perlakuan
Perlakuan
A (150:0)
B (150:300)
C (150:600)
Kolom air
Kelimpahan
(cfu/ml)
2,52x10
Biomassa
per kolam
(g)
3,02x10
1,39x10
7
2,44x10
1,67x10
2
2,93x10
(150:300) dan C (150:600) pada saat tebar (hari ke-7) adalah 3,95x10 cfu/g; pada
9
hari ke-28 adalah berturut-turut 4,85x10 dan 4,20x10 cfu/g; dan pada hari ke-49
adalah berturut-turut 1,56x10
10
statistik, pada hari ke-49 kelimpahan bakteri heterotrof pada usus udang galah pada
perlakuan B (150:300) secara nyata (P<0,05) lebih tinggi daripada perlakuan C
(150:600), sedangkan pada hari ke-28 tidak menunjukkan perbedaan nyata (P>0,05).
Gambar 5 Kelimpahan bakteri heterotrof dari kolom air pada setiap perlakuan
23
Bakteri heterotrof merupakan bagian dari ekosistem floc selain fitoplankton,
kumpulan bahan organik hidup dan mati dan pemakan bakteri (Hargreaves 2006).
Gambar 6 (a) dan (b) menunjukkan perbedaan formasi mikroorganisme pada kolam
pemeliharaan antara yang ditumbuhkan menggunakan sumber karbon dengan yang
tidak. Pada gambar 6 (a) (perlakuan A, tanpa penambahan sumber karbon) nampak
mikroorganisme yang paling dominan adalah fitoplankton dan air pemeliharaan
berwarna hijau. Sedangkan pada Gambar 6 (b) (Perlakuan B dan C, yang ditambah
sumber karbon) banyak jenis mikroorganisme tumbuh seperti fitoplankton dan
zooplankton serta partikel bahan organik. Gambar 6 (c) merupakan bakteri hasil
isolasi dari kolam B dan C. Pada awal pemeliharaan kedua kolam perlakuan tersebut
ditebar inokulum bakteri heterotrof dari kelompok bakteri fotosintesis. Menurut
Beatty (2002) bakteri yang mengandung protein kompleks-pigmen fotosintetik ini
tidak mampu tumbuh hanya semata-mata dengan cahaya, tetapi juga membutuhkan
sumber energi utama yang lengkap. Sementara itu limbah budidaya ikan lele
menyediakan banyak sumber energi yang dapat dimanfaatkan oleh bakteri tersebut.
Pertumbuhan bakteri heterotrof pada kolam perlakuan tidak lepas dari peran
penambahan molase sebanyak 72,5% jumlah pakan per hari dan suplai oksigen
3
melalui mesin aerasi sebesar 0,88-2,38 w/m (18-50 l/menit) dalam air budidaya ikan
3
lele. Sel bakteri akan membentuk floc pada kekuatan aerasi 0,001-30 w/m , lebih dari
3
itu sel akan terdispersi. Kekuatan aerasi sebesar 0,1-10 w/m merupakan pengaerasian
yang paling baik untuk pencampuran pada sistem budidaya (De Schryver et al. 2008).
10 m
(a)
10 m
(b)
10 m
(c)
Gambar 6 Phytoplankton dari bak perlakuan A (a); formasi floc dari bak perlakuan
B dan C (b); dan bakteri heterotrof (gram positif berbentuk batang) yang
diisolasi dari bak perlakuan B dan C (c)
24
4.4 Kualitas Air
Hasil pengamatan terhadap beberapa peubah kualitas air yang meliputi suhu, pH,
oksigen terlarut, karbondioksida, alkalinitas total, total amonium nitrogen (TAN),
amoniak, nitrit, nitrat, BOD5, TSS dan VSS selama penelitian disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Nilai rataan dan kisaran kualitas air media pemeliharaan pada setiap
perlakuan selama penelitian
Parameter
Suhu (oC)
pH
Alkalinitas
(mg/L CaCO3 eq)
DO (mg/L)
CO2 (mg/L)
TAN (mg/L)
NH3 (mg/L)
NO2 (mg/L)
NO3 (mg/L)
BOD5 (mg/L)
TSS (mg/L)
VSS (mg/L)
C (150:600)
28 (27-30)
6,8 (6,1-7,7)
116 (101-140)
28 (27-30)
6,9 (6,3-7,5)
155 (122-196)
28 (27-30)
7,0 (6,4-7,6)
154 (132-173)
4,21 (2,24-8,14)
12,92 (11,88-15,94)
0,31 (0-0,81)
0,005 (0-0,023)
0,240 (0,003-0,726)
0,404 (0,128-0,860)
4,73 (3,64-7,30)
35,68 (20,80-46,00)
3,34 (0,80-6,32)
2,65 (1,48-4,79)
20,12 (16,83-23,92)
0,26 (0-0,44)
0,003 (0-0,009)
0,075 (0,025-0,223)
0,214 (0,109-0,338)
5,33 (3,87-7,60)
48,70 (43,47-53,40)
7,74 (5,76-9,52)
2,89 (1,16-5,59)
23,84 (19,80-29,89)
0,26 (0-0,50)
0,003 (0-0,011)
0,040 (0,016-0,066)
0,282 (0,150-0,368)
5,40 (4,03-7,50)
85,10 (52,40-161,40)
17,22 (9,55-11,63)
Hasil pengukuran suhu air pada semua kolam perlakuan tidak menunjukkan
perbedaan (Tabel 6) dan berada dalam batas yang layak bagi pertumbuhan ikan lele
dan udang galah. Menurut Wedemeyer (1996) suhu air yang ekstrim dan bervariasi
mempengaruhi kesehatan ikan pada budidaya intensif. Kisaran yang paling baik
o
untuk pertumbuhan udang galah adalah 25 30 C (New 2002; Pillay & Kutty 2005).
Variasi suhu pada setiap kolam perlakuan relatif kecil dengan suhu terendah terjadi
pada jam 06.00 dan dan tertinggi pada jam 16.00 (Gambar 7). Perubahan suhu yang
o
cepat sebesar 10 C atau lebih dapat mengaktifkan infeksi laten (Wedemeyer 1996).
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pH air pada setiap perlakuan berada
pada kisaran di bawah optimum akibat dari sumber air yang berasal dari sungai yang
hanya mengandung pH 6,1 akan tetapi mengalami kenaikan seiring waktu
pemeliharaan dan masih layak bagi kelangsungan hidup serta pertumbuhan udang
galah dan lele (Tabel 6). Berdasarkan New (2002) pH ekstrim bagi udang galah
berada pada kisaran di atas 9. Sedangkan pH optimum bagi udang galah berada pada
kisaran 7-8,5 (New 2002; Pillay & Kutty 2005).
25
32
31
Suhu
o(C)
30
29
28
27
26
25
24
2
10
12
14
Waktu (Jam)
16
18
20
A-M1
A-M2
A-M3
A-M4
A-M6
B-M1
B-M2
B-M4
B-M6
C-M1
CM-2
CM-3
CM-4
CM-6
22
24
B-M3
26
tumbuh dengan baik pada oksigen terlarut 1,7 mg/L. Sedangkan menurut New (2002)
kisaran optimum oksigen terlarut untuk udang galah adalah 3-7 mg/L dengan batas
lethal kurang dari 1 mg/L.
Hasil pengukuran oksigen terlarut diurnal pada setiap perlakuan disajikan pada
Gambar 8. Nampak bahwa perlakuan A (150:0) tidak mengalami kejadian penurunan
oksigen terlarut sampai level kritis hingga akhir penelitian. Sedangkan perlakuan B
(150:300) dan C (150:600) atau yang ditambahkan udang galah dan ditumbuhkan
bakteri heterotrof mengalami kejadian penurunan konsentrasi oksigen terlarut sampai
level kritis pada waktu-waktu tertentu pada malam hingga pagi hari. Pada minggu ke1 sampai ke-2 saat suplai oksigen dari mesin blower sebesar 18 liter/menit, terjadi
kondisi oksigen terlarut kritis pada hari ke-14. Dimana perlakuan B (150:300)
mengalami kejadian oksigen terlarut kritis selama sekitar 6 jam dengan konsentrasi
oksigen terlarut terendah sebesar 1,76 mg/L. Perlakuan C (150:600) mengalami
kejadian oksigen terlarut kritis selama sekitar 8 jam dengan konsentrasi oksigen
terlarut terendah sebesar 1,69 mg/L. Pada minggu ke-3 sampai ke-4 saat suplai
oksigen dari mesin blower ditingkatkan menjadi sebesar 36 liter/menit, terjadi kondisi
oksigen terlarut kritis pada hari ke-28. Dimana perlakuan B (150:300) mengalami
kejadian oksigen terlarut kritis selama sekitar 8 jam dengan konsentrasi oksigen
terlarut terendah sebesar 1,48 mg/L. Perlakuan C (150:600) mengalami kejadian
oksigen terlarut kritis dalam selang waktu yang sama yaitu sekitar 8 jam, namun
konsentrasi oksigen terlarut terendah sangat ekstrim yaitu sebesar 1,16 mg/L. Pada
minggu ke-5 sampai ke-7 suplai oksigen dari mesin blower ditingkatkan menjadi
sebesar 50 liter/menit. Pada hari ke-42 telah terjadi kondisi oksigen terlarut ektrim
pada perlakuan C (150:600) selama sekitar 6 jam dengan konsentrasi oksigen terlarut
terendah sebesar 1,72 mg/L. Perlakuan B (150:300) tidak mengalami kejadian
oksigen terlarut ekstrim rendah pada hari ke-42.
Berdasarkan data biomassa rata-rata bakteri heterotrof yang terbentuk (Tabel 5)
dan persamaan reaksi bakteri heterotrof dari Ebeling et al. (2006) diketahui rata-rata
oksigen yang digunakan untuk membetuk biomassa bakteri heterotrof adalah 1,76 g
(A), 97,45 g (B) dan 170,97 g (C), perhitungan disajikan pada Lampiran 9. Nampak
bahwa bakteri heterotrof pada perlakuan C menggunakan oksigen yang lebih besar
daripada perlakuan B dan A. Hal ini menunjukkan bahwa kelimpahan bakteri
heterotrof berperan terhadap kejadian oksigen kritis.
27
9,00
8,00
7,00
6,00
5,00
4,00
3,00
2,00
1,00
0,00
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
Waktu (jam)
AM1
BM4
AM2
BM6
AM3
CM1
AM4
CM2
AM6
CM3
BM1
CM4
BM2
CM6
BM3
28
0,05 mg/L bagi ikan lele. Sedangkan nilai NH3-N, NO2-N dan NO3-N bagi udang
galah berturut-turut adalah < 0,3 mg/L, < 2 mg/L dan < 10 mg/L (New 2002).
C (150:600
0,9
0,8
0,8
0,8
0,7
0,7
0,7
0,6
0,6
0,6
0,5
0,4
Nitrat (mg/L)
0,9
0,5
0,4
0,5
0,4
0,3
0,3
0,2
0,2
0,3
0,2
0,1
0,1
0,1
(a)
B (150:300)
0,9
Nitrit (mg/L)
TAN (mg/L)
A (150:0)
(b)
(c)
Gambar 9 Nitrogen anorganik pada setiap perlakuan selama penelitian: TAN (a);
NO2-N (b); dan NO3-N (c)
Konsentrasi CO2 terlarut pada perlakuan A, B dan C berturut-turut adalah 12,92,
20,12 dan 23,84 mg/L. Nilai CO2 pada semua perlakuan berada pada kisaran layak
bagi kelangsungan hidup serta pertumbuhan ikan dan udang. Menurut Wedemeyer
(1996) untuk memastikan kondisi kesehatan dan fisiologi yang baik, spesies ikan
warmwater hendaknya tidak dipelihara pada konsentrasi CO2 terlarut lebih dari 20-30
mg/L untuk waktu yang lama. Selanjutnya dikatakan bahwa konsentrasi CO 2 terlarut
berkorelasi dengan kebutuhan oksigen terlarut dimana kebutuhan oksigen terlarut akan
meningkat pada kondisi CO2 terlarut tinggi.
Padatan tersuspensi total (TSS) merupakan sejumlah bahan partikulat yang
berada dalam air. TSS pada teknologi akuakultur berbasis biofloc dianjurkan berkisar
200-1000 mg/L (De Schryver et al. 2008). Pada penelitian ini nilai TSS masih berada
jauh di bawah kisaran yang dianjurkan. Namun demikian rata-rata TSS pada
perlakuan dengan penumbuhan bakteri (B dan C) berturut-turut adalah 48,7 dan 85,1
mg/L, lebih tinggi dari pada perlakuan tanpa penumbuhan bakteri (A) yaitu 35,7
mg/L. Hal ini sesuai dengan penelitian tentang budidaya ikan nila berbasis biofloc
pada kolam indoor yang dilakukan Azim dan Little (2008) dimana level TSS pada
kolam biofloc sebesar 597 mg/L dan kolam kontrol tanpa biofloc sebesar 16 mg/L.
Volatile Suspeded Solid (VSS) merupakan sejumlah bahan organik dalam bentuk
partikulat dalam air. Walaupun belum ada data yang tersedia yang dapat
29
dianjurkan pada budidaya berbasis biofloc namun VSS dijadikan sebagai parameter
utama dan penting bagi keberadaan biofloc pada sistem budidaya dengan teknologi
biofloc (De Schryver et al. 2008). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata VSS
pada air kolam yang ditumbuhkan bakteri (B dan C) berturut-turut adalah 7,74 dan
17,22 mg/L, lebih tinggi daripada VSS pada air kolam yang tidak ditumbuhkan bakteri
(A) yaitu 3,34 mg/L. Pada budidaya channel catfish (Ictalurus punctatus) dengan
tanpa intensifikasi bakteri diperoleh TSS dan VSS masing-masing 30,6 dan 8,6 mg/L
(Schwartz & Boyd 1994 diacu dalam Frimpong et al. 2004). Selanjutnya dikatakan
bahwa padatan tersuspensi di kolam berasosiasi dengan biomassa fitoplankton dan
detritus turunan fitoplankton.
4.5 Kinerja Udang Galah
Kinerja udang galah yang meliputi laju pertumbuhan harian dan kelangsungan
hidup pada perlakuan B dan C disajikan pada Tabel 7. Udang galah pada kepadatan
2
20 ekor/m (B) memberikan laju pertumbuhan dan kelangsungan hidup yang secara
2
nyata (P<0,05) lebih baik daripada kepadatan 40 ekor/m (C). Perlakuan B memiliki
kelimpahan bakteri heterotrof pada air kolam lebih rendah dari perlakuan C namun
sebaliknya, pada usus kelimpahan bakteri perlakuan B lebih tinggi daripada perlakuan
A (Gambar 5). Tingginya kelimpahan bakteri heterotrof di kolom air pada perlakuan
C diduga disebabkan oleh konsumsi biomassa bakteri heterotrof yang rendah oleh
udang galah.
Tabel 7 Laju pertumbuhan harian () dan kelangsungan hidup (SR) udang galah pada
setiap perlakuan selama penelitian
Perlakuan
A (150:0)
B (150:300)
C (150:600)
Udang galah
(%)
a
2,980,24
b
2,100,21
SR (%)
a
88,330,58
b
77,225,18
Huruf superscrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)
Faktor yang paling jelas mempengaruhi kinerja udang galah pada sistem
2
keramba dalam kolam dengan kepadatan udang galah 40 ekor/m adalah konsentrasi
oksigen terlarut. Berdasarkan pengamatan harian pada perlakuan ini sering terjadi
kekurangan oksigen yang ditunjukkan dengan prilaku udang galah yang mengapung
di bagian permukaan kolom air atau menempel pada dinding bak bagian atas.
30
Kepadatan udang galah pada perlakuan C dua kali lipat lebih besar daripada
perlakuan B sehingga konsumsi oksigen menjadi lebih besar. Gambar 10
memperlihatkan keterlambatan pertumbuhan udang pada perlakuan C yang seiring
dengan konsentrasi oksigen terlarut yang rendah. Kondisi ini menyebabkan ikan
berhenti makan, dan jika terjadi setiap saat maka pertumbuhan udang akan terhambat.
Pemeliharaan udang galah di luar perlakuan dengan pemberian pakan yang
mengandung protein kasar 28% pada kepadatan 20 ekor/m
dihasilkan laju
pertumbuhan harian 3,00%, kelangsungan hidup 90,91% dan rasio konversi pakan
2
1,4. Sedangkan pada kepadatan 40 ekor/m diperoleh laju pertumbuhan harian 2,58%,
kelangsungan hidup 90,91% dan rasio konversi pakan 1,9. Perlakuan tanpa pemberian
pakan dan hanya mengintensifkan bakteri heterotrof melalui pemanfaatan limbah
nitrogen lele dan penambahan karbon serta pemberian aerasi sebagai suplai oksigen
ternyata menghasilkan kinerja pertumbuhan dan kelangsungan hidup yang hampir
sama dengan pemeliharaan udang yang diberi pakan yang mengandung protein 28%
pada tingkat kepadatan yang sama. Menurut Surawidjaya (2006) umumnya
mikroflora dapat dimanfaatkan oleh organisme ber-trophic level rendah seperti
detrivora, herbivora dan omnivora. Sedangkan Teshima et al. (2006) menyatakan
bahwa
udang
galah
membutuhkan
protein
pakan
sedikitnya
35%
untuk
36 l/mnt
50 l/mnt
31
(a)
(b)
Gambar 11 Udang galah pada perlakuan B dengan kondisi usus yang penuh (a) dan
hasil pemeliharaan selama 42 hari (b)
4.6 Efisiensi Nitrogen
Akuakultur berbasis trophic level pada prinsipnya adalah memanfaatkan semua
nutrien limbah budidaya untuk akuakultur mulai rumput laut, kerang-kerangan,
tripang, ikan detrivora, herbivora dan omnivora (Surawidjaja 2006). Menurut Allsopp
et al. (2008) sistem akuakultur multi-trophic telah dikembangkan dengan
menggunakan gagasan dari polikultur akuatik tradisional, yang didefinisikan sebagai
budidaya lebih dari satu spesies ikan secara bersama. Perbedaannya adalah akuakultur
multi-trophic mensyaratkan pengusahaan spesies dari level rantai makan yang
berbeda untuk mengurangi produk limbah budidaya sedangkan polikultur dapat
melibatkan pengusahaan secara bersama spesies apa saja.
Sistem akuakultur berbasis trophic level dalam penelitian ini melibatkan peran
bakteri heterotrof sebagai rantai makanan bagi udang galah yang mempunyai trophic
level lebih rendah daripada ikan lele yang dipelihara di keramba. Berdasarkan data
pada Tabel 8, sistem ini secara nyata (P<0,05) memberikan efisiensi nitrogen yang
lebih baik daripada budidaya ikan lele secara monokultur. Namun demikian
peningkatan kepadatan udang galah belum dapat menambah tingkat efisiensi nitrogen.
2
Nampak bahwa efisiensi nitrogen pada kepadatan udang 20 ekor/m tidak berbeda
2
Efisiensi nitrogen
oleh ikan lele (%)
63,551,99
64,870,89
66,452,78
Efisiensi nitrogen
oleh udang galah (%)
3,810,49
3,250,64
Efisiensi nitrogen
total (%)
63,551,99a
68,681,14
b
69,702,40
Huruf superscrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)
32
Secara keseluruhan aliran nitrogen pada sistem akuakultur berbasis trophic level
melalui teknologi biofloc mulai dari nitrogen pakan yang diberikan pada ikan lele
hingga nitrogen yang dibuang oleh udang galah disajikan pada Gambar 12 dan 13.
Pakan
500 g N
(100%)
Ikan lele
Dimanfaatkan ikan
324,33 g N (64,87%)
Efisiensi asimilasi
Dibuang
175,67 g N
(35,13%)
43,32%
Dimanfaatkan bakteri
Bakteri heterotrof
Dibuang
76,11 g N (15,22%)
Udang galah
99,56 g N
(19,91%)
Dibuang
Retensi N
25,03%
Dimanfaatkan
udang galah
19,04 g (3,81%)
57,07 g N
(11,41%)
Eutrofikasi
Gambar 12 Efisiensi nitrogen pada sistem akuakultur berbasis trophic level antara
ikan lele-udang galah melalui teknologi biofloc dengan kepadatan
2
tebar udang galah 20 ekor/m
Berdasarkan gambar di atas, ikan lele dapat meretensi nitrogen sebesar 64,87%
dan membuang sebesar 35,13% limbah TAN yang berasal dari ekskresi ikan lele serta
mineralisasi partikel pakan dan feses oleh bakteri. Limbah nitrogen yang dikonversi
menjadi biomassa bakteri heterotrof adalah sebesar 15,22% dari jumlah nitrogen
pakan atau sebesar 43,32% dari jumlah limbah nitrogen (contoh perhitungan pada
Lampiran 12). Nilai ini hampir sama dengan pendapat Avnimelech (1999) yang
menyatakan bahwa konversi efisiensi nitrogen bakteri heterotrof adalah sebesar 40%.
2
33
Pakan
500,57 g N
(100%)
Ikan lele
Dimanfaatkan ikan
332,63 (64,45%)
Dibuang
167,94 g N
(35,55%)
Efisiensi asimilasi
79,55%
Dimanfaatkan bakteri
Bakteri heterotrof
133,60 g N (26,70%)
Dibuang
Udang galah
34,34 g N
(6,85%)
Dibuang
Retensi N
12,92%
Dimanfaatkan
udang galah
17,26 g N (3,45%)
116,34 g N
23,25% N
Eutrofikasi
Gambar 13 Efisiensi nitrogen pada sistem akuakultur berbasis trophic level antara
ikan lele-udang galah melalui teknologi biofloc dengan kepadatan
2
tebar udang galah 40 ekor/m
Pada perlakuan C (150:600) ikan lele dapat meretensi nitrogen sebesar 66,45%
dan membuang sebesar 33,55% limbah TAN. Limbah nitrogen yang dikonversi
menjadi biomassa bakteri heterotrof adalah sebesar 26,70% dari jumlah nitrogen
pakan atau sebesar 79,58% dari jumlah limbah nitrogen (perhitungan pada Lampiran
12). Nilai ini hampir dua kali lipat konversi efisiensi nitrogen bakteri heterotrof pada
perlakuan B (150:300). Selanjutnya udang galah dengan kepadatan 40 ekor/m
meretensi nitrogen sebesar 3,45% dari jumlah nitrogen pakan atau sebesar 12,92%
dari jumlah nitrogen biomassa bakteri heterotrof. Retensi nitrogen oleh udang galah
2
pada kepadatan tebar 40 ekor/m secara nyata (P<0,05) lebih kecil dibandingkan
2
retensi nitrogen oleh udang galah pada kepadatan tebar 20 ekor/m . Kejadian ini
diduga sebagai akibat dari penambahan kepadatan udang tanpa diimbangi
penambahan suplai oksigen yang mencukupi. Nitrogen yang tidak termanfaatkan
pada sistem ini adalah sebesar 30,10% atau 0,26 mg/L. Nilai ini hampir sama dengan
hasil penjumlahan nitrogen dalam bentuk TAN, NO2 dan NO3 hasil pengukuran yaitu
0,28 mg/L (perhitungan pada Lampiran 13).
34
Sementara itu akibat tanpa peningkatan rasio C/N pada perlakuan A hanya
diperoleh biomassa bakteri heterotrof sebesar 3,02 g/hari dan fitoplankton tumbuh
dengan sangat melimpah. Jumlah biomassa bakteri ini tentunya tidak akan dapat
mendukung sistem akuakultur trophic level bagi hewan akuatik pemakan biofloc
seperti udang galah. Sistem akuakultur trophic level dengan tanpa melalui teknologi
biofloc hanya cocok bagi ikan pemakan fitoplankton seperti ikan nila. Beberapa jenis
ikan telah dicobakan pada sistem akuakultur trophic level tanpa peningkatan rasio
C/N, namun semua memakai spesies tilapia sebagai ikan trophic level yang lebih
rendah (Wahab et al. 2005; Yadav et al. 2007; Yi 1999; Yi et al. 2003; Yi et al. 2005).
Limbah nitrogen yang dikonversi menjadi biomassa bakteri heterotrof pada perlakuan
A adalah sebesar 0,28% dari jumlah nitrogen pakan atau sebesar 0,76% dari jumlah
limbah nitrogen (perhitungan pada Lampiran 12). Nitrogen yang tidak termanfaatkan
pada sistem ini adalah sebesar 36,17% atau 0,31 mg/L (perhitungan pada Lampiran
13).
4.7 Produksi
Produksi akuakultur dapat berupa ikan ukuran konsumsi atau benih ikan dengan
berbagai ukuran. Pada penelitian ini, ikan lele diproduksi untuk tujuan konsumsi
dimana ukuran untuk pasar lokal pada umumnya sekitar 80-120 g/ekor. Sedangkan
produksi udang galah ditujukan untuk mendapatkan benih tokolan 2 yang berukuran di
atas 2,5 g. Pada sistem ini diproduksi ikan konsumsi dan benih secara bersama pada
2
satu kolam. Dalam hal ini satuan produksi untuk ikan lele adalah kg/m /crop dan
2
untuk udang galah adalah ekor/m /crop dengan kapasitas produksi ikan lele dihitung
berdasarkan luas kolam, bukan luas keramba. Produksi ikan lele dan udang galah pada
sistem keramba dalam kolam pada setiap perlakuan disajikan pada Tabel 9.
Berdasarkan data produksi pada Tabel 9 tidak terdapat perbedaan yang nyata
(P>0,05) produktivitas ikan lele pada setiap perlakuan. Produktivitas ikan lele pada
penelitian ini berkisar antara 43,5-45,5 ton/ha/tahun, dengan asumsi dalam satu tahun
dilakukan produksi sebanyak lima kali. Menurut Areerat (1987) diacu dalam Yi et al.
(2003) standing crop ikan lele pada kolam budidaya dapat mencapai 100 ton/ha, atau
produktivitasnya dapat mencapai 500 ton/ha/tahun dengan padat penebaran benih 100
2
ekor/m .
35
Satuan produktivitas tokolan-2 bisa beragam tergantung pada tujuan. Jika
bertujuan untuk menghitung kapasitas jumlah produksi benih maka digunakan satuan
ekor/ha/tahun. Sedangkan untuk menghitung konversi pakan atau jumlah muatan
limbah yang dibuang oleh udang, digunakan satuan ton/ha/tahun. Pada penelitian ini,
jika dipandang dari segi jumlah, produktivitas tokolan-2 antara perlakuan B dan C
berbeda secara nyata (P<0,05). Namun berdasarkan biomassa, produktivitas tokolan2 pada kedua perlakuan tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05).
Jumlah udang pada perlakuan B lebih sedikit daripada perlakuan C. Namun pada
akhir penelitian ukurannya lebih besar sehingga biomassa antara kedua perlakuan
tersebut menjadi tidak berbeda nyata.
Efisiensi pakan ikan lele antar perlakuan tidak memperlihatkan perbedaan nyata.
Namun dengan sistem budidaya keramba dalam kolam antara ikan lele dan udang
galah melalui teknologi biofloc terjadi peningkatan efisiensi pakan secara signifikan
(P<0,05), sehingga sistem ini dapat menghemat penggunaan pakan buatan.
36
Tabel 9 Produksi ikan lele dan udang galah pada setiap perlakuan
Parameter
Pembesaran ikan lele
Penebaran
3
Kepadatan/keramba (ekor/m )
2
Kepadatan/kolam (ekor/m )
Jumlah ikan (ekor)
Rataan bobot (g/ekor)
Total biomassa (kg)
Panen
Jumlah ikan (ekor)
Rataan bobot (g/ekor)
Total biomassa (kg)
Jumlah pakan (kg)
Kelangsungan hidup (%)
Rasio konversi pakan
Pertambahan biomassa (kg)
2
Produksi bersih (kg/m /corp)
Produktivitas bersih (ton/ha/tahun)
2
Produksi kotor (kg/m /corp)
Produktivitas kotor (ton/ha/tahun)
Pentokolan udang galah
Perlakuan
A (150:0)
B (150:300)
C (150:600)
100
10
150
10,22
1,53
148
100
10
150
10,60
1,59
148
148
88,15
13,05
9,74
98,67
90,12
13,34
9,76
98,67
92,53
13,70
9,78
98,67
0,85
11,54
0,77
38,5
0,87
43,5
0,83
11,81
0,79
39,5
0,89
44,5
0,81
12,11
0,81
40,5
0,91
45,5
20
300
1,07
0,32
265
40
600
1,07
0,64
463
100
10
150
10,04
1,51
Penebaran
2
Kepadatan/kolam (ekor/m )
Jumlah udang (ekor)
Rataan bobot (g/ekor)
Total biomassa (kg)
Panen
Jumlah ikan (ekor)
Rataan bobot (g/ekor)
Total biomassa (kg)
Kelangsungan hidup (%)
Pertambahan biomassa (kg)
2
Produksi tokolan (ekor/m /corp)
Produktivitas tokolan (ekor/ha/tahun)
2
Produksi bersih (kg/m /corp)
Produktivitas bersih (ton/ha/tahun)
2
Produksi kotor (kg/m /corp)
Produktivitas kotor (ton/ha/tahun)
Efisiensi pakan ikan&udang (%)
*
3,68
0,98
2,57
1,19
a
118,20
88,33
77,22
0,66
18
a
900.000
0,044
2,20
0,065
3,25
b
128,22
0,55
31
b
1.550.000
0,037
1,85
0,079
3,95
b
129,97
Nilai rata-rata dengan huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda
secara nyata (P<0,05).
37
dengan kepadatan 100 ekor/m sebaiknya dilakukan dengan sistem keramba dalam
2
38
DAFTAR PUSTAKA
Alanara A, Kadri S, Paspatis M. 2001. Di dalam: Houlihan D, Boujard T, Jobling M,
Editor. Food Intake in Fish. Oxford: Blackwell Publishing. Hlm 332-353.
Allsopp M, Johnston P, Santillo D. 2008. Challenging the Aquaculture Industry on
Sustainability: Technical Overview. Washington: Greenpeace Research
Laboratories Technical.
Al Azad S, Chong VC, Vikineswary S. 2002. Phototrophic bacteria as feed
supplement for rearing Penaeus monodon larvae. Journal of the World
Aquaculture Society 33: 158-168.
Asaduzzaman M et al. 2009. Effect of addition of tilapia Oreochromis niloticus and
substrates for periphyton developments on pond ecology and production in C/Ncontrolled freshwater prawn Macrobrachium rosenbergii farming systems.
Aquaculture 287: 371-380.
Avnimelech Y. 1999. Carbon/nitrogen ratio as a control element in aquaculture
systems. Aquaculture 176: 227-235.
Avnimelech Y. 2007. Feeding with microbial flocs by tilapia in minimal discharge
bio-flocs technology ponds. Aquaculture 264: 140-147.
Azim ME, Little DC. 2008. The biofloc technology (BFT) in indoor tanks: water
quality, biofloc composition, and growth and welfare of Nile tilapia
(Oreochromis niloticus). Aquaculture 283: 29-35.
Barnes RD. 1987. Invertebrate Zoology. Orlondo: Saunders College Publishing.
Beatty JT. 2002. On the natural selection and evolution of the aerobic phototrophic
bacteria. Photosynthesis Research 73: 109-114.
Beveridge MCM. 2004. Cage Aquaculture. Ed ke-3. Oxford: Blackwell Publishing.
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2000. SNI 01-6484.1: Induk Ikan Lele Dumbo
(Clarias gariepinus x C. fuscus) Kelas Induk Pokok (Parent Stock). Jakarta:
BSN.
Brune DE, Schwartz G, Eversole AG, Collier JA, Schwedler TE. 2003. Intensification
of pond aquaculture and high rate photosynthetic system.
Aquaculture Engineering 28: 65-86.
Burford MA, Thomson PJ, McIntosh RP, Bauman RH, Pearson DC. 2003. Nutrient
and microbial dynamics in high-intensity, zero-exchange shrimp ponds in
Belize. Aquaculture 219: 393-411.
39
Buford MA, Thompson PJ, McIntosh RP, Bauman RH, Pearson DC. 2004. The
contribution of flocculated material to shrimp (Litopenaeus vannamei) nutrition
in a high-intensity, zero-exchange system. Aquaculture 232: 525-537.
Crab R, Avnimelech Y, Defoirdt T, Bossier P, Verstraete W. 2007. Nitrogen removal
techniques in aquaculture for a sustainable production. Aquaculture 270: 1-14.
Devaraja TN, Yusoff FM, Shariff M. 2002. Changes in bacterial populations and
shrimp production in ponds treated with commercial microbial products.
Aquaculture 206: 245-256.
De Schryver P, Crab R, Defoirdt T, Boon N, Verstraete W. 2008. The basics of bioflocs technology: The added value for aquaculture. Aquaculture 277: 125-137.
De Schryver P, Verstraete W. 2009. Nitrogen removal from aquaculture pond water by
heterotrophic nitrogen assimilation in lab-scale sequencing batch reactors.
Bioresource Technology 100: 1162-1167.
Dore I, Frimodt C. 1978. An Illustrated Guide to Shrimp of The Word. New York: Van
Nostrand Reinhold.
Ebeling JM, Timmons MB, Bisogni JJ. 2006. Engineering analysis of the
stoichiometry of photoautotrophic, autotrophic, and heterotrophic removal of
ammonia-nitrogen in aquaculture systems. Aquaculture 257: 346-358.
Ekasari J. 2008. Bio-flocs technology: the effect of different carbon source, salinity
and the addition of probiotics on the primary nutritional value of the bio-flocs
[Tesis]. Gent: Faculty of Bioscience Engineering, Ghent University.
[FAO] Food and Agricultural Organization. 2007. The State of World Fisheries and
Aquaculture 2006. Rome: Fisheries and Aquaculture Department, FAO-UN.
Frimpong EA, Lochmann SE, Bodary MJ, Stone NM. 2004. Suspendeed solid from
baitfish pond effluents in drainage ditches. Journal of the World Aquaculture
Society 35: 159-166.
Getha K, Chong VC, Vikineswary S. 1998. Potential use of the phototrophic
bacterium, Rhodopseudomonas palustris, as an aquaculture feed. Asian
Fisheries Science 10: 223-232.
Gross A, Boyd CE. 2000. Nitrogen transformations and balance in chanel catfish
ponds. Aquaculture Engineering 24: 1-14.
Hargreaves JA. 2006. Photosynthetic suspended-growth systems in aquaculture.
Aquac. Eng. 34: 344-363.
40
Hari B, Kurup BM, Varghese JT, Schrama JW, Verdegem MCJ. 2004. Effect of
carbohydrate addition on production in extensive shrimp culture systems.
Aquaculture 241: 179-194.
Hougardy A, Tindall BJ, Klemme JH. 2000. Rhodopseudomonas rhenobacensis sp.
nov., a new nitrate-reducing purple non-sulfur bacterium. International Journal
of Systematic and Evolutionary Microbiology 50: 985-992.
Irianto A. 2003. Probiotik Akuakultur. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Lazur AM, Britt DC. 1997. Pond recirculating production systems. Southern Regional
Aquaculture Center Publication No. 455.
Liu F, Han W. 2004. Reuse strategy of wastewater in prawn nursery by microbial
remediation. Aquaculture 230: 281-296.
Masser MP. 2004. Cage and in-pond raceways. Di dalam: Tucker CS, Hargreaves JA,
Editor. Biology and Culture of Channel Catfish. Amsterdam: Elseiver. Hlm 530544.
New MB. 2002. Farming Freshwater Prawns: A Manual for Cultureof The Gaint
River Prawn (Macrobrachium rosenbergii). Roma: Food and Agriculture
Organization of The United Nations.
Paturau JM. 1982. By-products of the Cane Sugar Industry. Ed ke-2. Amsterdam:
Elseivier Publishing Co.
Peteri A, Nandi S, Chowdhury SN. 1992. Manual on Seed Production of African
Catfish (Clarias gariepinus). Roma: Food and Agriculture Organization of The
United Nations.
Pillay TVR. 2004. Aquaculture and the Environment. Ed ke-2. Oxford: Blackwell
Publishing.
Pillay TVR, Kutty MN. 2005. Aquaculture Principles and Practices. Ed ke-2.
Oxford: Blackwell Publishing.
Richards BN. 1994. The Microbiology of Terrestrial Ecosystems. New York:
Longman Scientific & Technical.
Rosenberry, B. 2006. Meet the Flockers. Shrimp News International; October 1,
2006.
Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Bandung: Binacipta.
41
Singh ISB et al. 2005. Recirculation systems for organic shrimp and prawn seed
production. Di dalam: Subasinghe T, Singh T, Lem A, Editor. The Production
and Marketing of Organic Aquaculture Products. Proceedings of The Global
Technical and Trade Conference; Ho Chi Minh City, 15-17 June 2004.
Malaysia: Infofish. hlm 75-95.
Steele RGD, Torrie JH. 1980. Principles and Procedures of Statistic. Ed ke-2. New
York: McGraw-Hill.
Stickney RR. 2005. Aquculture: An Introductory Text. USA: CABI Publishing.
Surawidjaja EH. 2006. Akuakultur berbasis throphic level: revitalisasi untuk
ketahanan pangan, daya saing ekspor dan kelestarian lingkungan [orasi ilmiah].
Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Teshima S-I, Koshio S, Ishikawa M, Alam MS, Hernandez LHH. 2006. Protein
requirements of the freshwater prawn Macrobrachium rosenbergii evaluated by
the factorial method. Journal of the World Aquaculture Society 37: 145-153.
Uddin MS et al. 2007. Technical evaluation of tilapia (Oreochromis niloticus)
monoculture and tilapia-prawn (Macrobrachium rosenbergii) polyculture in
earthen ponds with or without substrates for periphyton development.
Aquaculture 269: 232-240.
Vaseeharan B, Ramasamy P. 2003. Control pathogenic Vibrio spp. By Bacillus
substilis BT 23, a possible probiotic treatment for black tiger shrimp Penaeus
monodon. Applied Microbiology 36: 83-87.
Wahab MA, Masud OA, Yi Y, Diana JS, Lin CK. 2005. Integrated cage-cum-pond
culture system with high-valued stinging catfish (Heteropneustes fossilis) in
cages and low-valued carps in open pond. Di dalam: Burright J, Flemming C,
Egna H, Editor. Twenty-Second Annual Technical Report. Oregon: Aquaculture
CRSP. hlm 81-96.
Wedemeyer, GA. 1996. Physiology of Fish in Intensive Culture Systems. New York:
Champman & Hall.
Weidenbach RP. 1982. Dietary components of freshwater prawns reared in Hawaiian
ponds. Di dalam: New MB, Editor. Giant Prawn Farming. Giant Prawn 1980,
An International Conference on Freshwater Prawn Farming; Bangkok, 15-21
June 1980. Amsterdam: Elseiver. hlm 257-267.
Yadav RK, Shresta MK, Pandit NP. 2007. Introduction of sahar (Tor putitora) in
cage-cum-pond integration system of mixed-sex nile tilapia (Oreochromis
niloticus). Our Nature 5:52-59.
Yi Y. 1999. Modeling growth of nile tilapia (Oreochromis niloticus) in a cage-cum
pond integrated culture system. Aquacultural Engineering 21:113-133.
42
Yi Y, Lin CK, Diana S. 2003. Hybrid catfish (Clarias macrocephalus x C. gariepinus)
and Nile tilapia (Oreochromis niloticus) in an integrated pen -cum pond system:
growth performance and nutrient budgets. Aquaculture 217: 395-408.
Yi Y, Phuong NT, Diana JS, Lin CK. 2005. Integrated cage-cum-pond culture system
with high-valued climbing perch (Anabas testudineus) in cage suspended in nile
tilapia (Oreochromis niloticus) pond. Di dalam: Burright J, Flemming C, Egna
H, Editor. Twenty- Second Annual Technical Report. Oregon: Aquaculture
CRSP. hlm 115-130.
43
LAMPIRAN
44
(1)
(2)
(3)
dan menggunakan nilai perkiraan %C, E dan [C/N]mik yang berturut-turut adalah
23,2%, 40% dan 4.
CH = N /(0,232 x 0,4 / 4) = N/0,0232
Keterangan:
N
CH
C/N
(4)
45
langsung melalui degradasi residu N organik oleh mikroba, kira-kira 50% dari
nitrogen pakan yang terus berubah:
N = pakan x %Npakan x %N ekskresi
(5)
(6)
46
Lampiran 2 Manajemen pemberian pakan pada pembesaran ikan lele
Minggu
keI
II
III
IV
V
VI
VII
-
Target
jumlah
(ekor)
150
147
144
141
138
137
136
135
Target
Bobot
(g)
10,3
15,0
20,0
30,0
40,0
60,0
80,0
100,0
Target
biomassa
(g)
1.545
2.205
2.880
4.230
5.520
8.220
10.880
13.500
Target
pakan
(%)
5,0
5,0
5,0
5,0
4,5
3,5
3,0
-
(g)
77,2
110,3
144,0
211,5
248,4
287,7
326,4
-
Berdasarkan manajemen pemberian pakan pada tabel di atas, jumlah pakan yang
diberikan pada ikan lele selama pemeliharaan adalah 9.838,5 g. Pertambahan
biomassa ikan lele selama pemeliharaan adalah 12.000 g.
Sehingga target FCR = 9.838,5 : 11.955 = 0,82
47
Lampiran 3 Perhitungan padatan
( A B )
1000
mlSampel
Keterangan:
A = Berat (mg) filter dan residu
B = Berat (mg) filter
FSS diukur dengan metode gravimetrik. Prosedur pemeriksaannya adalah sebagai
berikut:
1. Filter (Millipore dengan porositas 0,45 m) dan vacuum pump disiapkan.
Sebanyak 2 x 20 ml akuades disaring, penyaringan dibiarkan berlanjut sampai 2-3
menit untuk mengisap kelebihan air.
2. Kertas saring (filter) dikeringkan dalam oven selama 30 menit pada temperatur
550C, didinginkan dalam desikator, lalu ditimbang (B mg).
3. Sebanyak 100 ml air sampel diambil dengan gelas ukur, diaduk kemudian
disaring dengan menggunakan kertas saring (filter) yang telah ditimbang pada
prosedur no. 2.
48
4. Filter dan residu dikeringkan dalam pembakar suhu 550C selama 30 menit,
didinginkan dalam desikator, selanjutnya ditimbang (A mg).
FSS (mg/l) =
Keterangan:
A = Berat (mg) filter dan residu
B = Berat (mg) filter
( A B )
1000
mlSampel
49
Lampiran 4
0,8 m
2 m
2
Volume = ( x r ) x l
2
=
(3,14 x 0,4 ) x 2
3
=
1 m
3
-9
-3
1 m = 1 m x 10 mm3 x 10 3 ml x 1 g
1 m 1 mm 1 ml
-12
= 1 x 10 g
Bobot 1 sel bakteri berukuran = 1 x 10
-12
50
Lampiran 5
a.
Ulangan
2
4,66
4,67
4,75
1
4,37
4,38
4,31
3
4,59
4,60
4,52
Rataan
STDV
4,54
4,55
4,53
0,15
0,15
0,22
ANOVA
LPH
Between Groups
Within Groups
Total
b.
Sum of
Squares
0,001
0,188
0,189
Mean
Square
0,000
0,031
df
2
6
8
F
0,013
Sig.
0,987
1
97,33
98,67
98,00
Ulangan
2
99,33
98,00
99,33
3
99,33
99,33
98,67
Rataan
STDV
98,67
98,67
98,67
1,15
0,67
0,67
ANOVA
SR
Between Groups
Within Groups
Total
Sum of
Squares
0,000
4,436
4,436
df
2
6
8
Mean
Square
0,000
0,739
F
0,000
Sig.
1,000
51
c.
Ulangan
1
2
3
0,83 0,83 0,88
0,81 0,84 0,83
0,85 0,79 0,79
Rataan
STDV
0,85
0,83
0,81
0,03
0,02
0,03
ANOVA
FCR
Between Groups
Within Groups
Total
Sum of
Squares
0,001
0,004
0,005
df
2
6
8
Mean
Square
0,001
0,001
F
1,050
Sig.
0,406
52
Lampiran 6
a.
Ulangan
2
64,82
64,25
67,91
1
64,57
65,89
63,24
3
61,25
64,46
68,20
Rataan
STDV
63,55
64,87
66,45
1,99
0,89
2,78
ANOVA
Nitrogen teretensi
Between Groups
Within Groups
Total
Sum of
Squares
12,679
25,034
37,713
Mean
Square
6,339
4,172
df
2
6
8
F
1,519
Sig.
0,293
Rataan
STDV
36,45
35,00
33,55
1,99
0,89
2,78
Ulangan
2
35,18
35,75
32,09
1
35,43
34,11
36,76
3
38,75
35,13
31,80
ANOVA
Nitrogen terbuang
Sum of
Squares
Between
12,644
Groups
Within Groups 24,813
Total
37,457
df
2
6
8
Mean
Square
6,322
4,135
F
1,529
Sig.
0,291
53
Ulangan
1
2
4,08 3,81
4,86 4,50
4,76 4,98
3
3,82
4,92
4,46
Rataan
STDV
3,90
4,76
4,73
0,12
0,18
0,21
ANOVA
Log Kelimpahan bakteri H-7
Sum of
Mean
Squares df Square
Between Groups 1,423
2
0,712
Within Groups
0,286
6
0,048
Total
1,710
8
F
14,914
Sig.
0,005
Multiple Comparisons
LSD
(I)
Perlakuan
1,00
(J)
Perlakuan
Mean
Std.
Difference (I-J) Error
2,00
-0,85667(*) 0,17837
3,00
-0,83000(*) 0,17837
2,00
1,00
0,85667(*) 0,17837
3,00
0,02667 0,17837
3,00
1,00
0,83000(*) 0,17837
2,00
-0,02667 0,17837
* The mean difference is significant at the .05 level.
Sig.
0,003
0,003
0,003
0,886
0,003
0,886
95% Confidence
Interval
Lower Upper
Bound Bound
-1,2931 -0,4202
-1,2664 -0,3936
0,4202 1,2931
-0,4098 0,4631
0,3936 1,2664
-0,4631 0,4098
54
b.
Ulangan
1
2
4,93 5,26
5,70 7,69
5,92 6,49
3
4,81
7,70
6,43
Rataan
STDV
5,00
7,03
6,28
0,23
1,15
0,31
ANOVA
Log Kelimpahan bakteri H-28
Sum of
Mean
Squares df Square
Between Groups 6,322
2
3,161
Within Groups
2,958
6
0,493
Total
9,280
8
F
6,411
Sig.
0,032
Multiple Comparisons
LSD
(I)
Perlakuan
1,00
(J)
Perlakuan
Mean
Difference (I-J)
Std.
Error
2,00
-2,03000(*) 0,57331
3,00
-1,28000
0,57331
2,00
1,00
2,03000(*) 0,57331
3,00
0,75000
0,57331
3,00
1,00
1,28000
0,57331
2,00
-0,75000
0,57331
* The mean difference is significant at the .05 level.
Sig.
0,012
0,067
0,012
0,239
0,067
0,239
95% Confidence
Interval
Lower
Upper
Bound
Bound
-3,4328 -0,6272
-2,6828 0,1228
0,6272 3,4328
-0,6528 2,1528
-0,1228 2,6828
-2,1528 0,6528
55
c.
Ulangan
1
2
5,52 5,60
6,86 7,87
6,63 7,92
3
5,30
8,01
7,78
Rataan
STDV
5,47
7,58
7,44
0,16
0,63
0,71
ANOVA
Log Kelimpahan bakteri H-49
Sum of
Mean
Squares df Square
Between Groups
8,338 2
4,169
Within Groups
1,838 6
0,306
Total
10,175 8
F
13,611
Sig.
0,006
Multiple Comparisons
LSD
(I)
Perlakuan
1,00
(J)
Perlakuan
Mean
Std.
Difference (I-J) Error
2,00
-2,10667(*) 0,45188
3,00
-1,97000(*) 0,45188
2,00
1,00
2,10667(*) 0,45188
3,00
0,13667 0,45188
3,00
1,00
1,97000(*) 0,45188
2,00
-0,13667 0,45188
* The mean difference is significant at the .05 level.
Sig.
0,003
0,005
0,003
0,773
0,005
0,773
95% Confidence
Interval
Lower
Upper
Bound
Bound
-3,2124 -1,0010
-3,0757 -,08643
1,0010 3,2124
-0,9690 1,2424
0,8643 3,0757
-1,2424 0,9690
56
Lampiran 8 Analisa statistik kelimpahan bakteri pada usus udang galah
a.
Ulangan
1
2
9,91 8,98
7,85 8,72
3
9,73
8,82
Rataan
STDV
9,54
8,46
0,49
0,53
ANOVA
Log Kelimpahan bakteri H-28
Sum of
Mean
Squares df Square
Between Groups 1,739
1
1,739
Within Groups
1,056
4
0,264
Total
2,795
5
b.
F
6,587
Sig.
0,062
1
9,96
7,69
Ulangan
2
10,32
6,91
3
10,22
7,97
Rataan
STDV
10,17
7,52
0,19
0,55
ANOVA
Log Kelimpahan bakteri H-49
Sum of
Mean
Squares df Square F
Between Groups
10,481 1
10,481 62,336
Within Groups
0,673 4
0,168
Total
11,153 5
Sig.
0,001
57
Lampiran 9 Konsumsi oksigen rata-rata oleh bakteri heterotrof
Persamaan reaksi bakteri heterotrof:
+
N dalam bakteri
N/C5H7O2N
14/113
1g/C5H7O2N
14/113
C 5 H7 O2 N
113/14 g = 8,07 g
Jika N = 1 g
Mol C6H12O6
Mol HCO3
Mol O2 = 1/14
gram
= (1/14
x 2,06 ) x 32 = 4,709 g
x 3,07 gram
= ( 1/14
x 3,07) x 44 = 9,649 g
A (150:0)
O2 = 3,02/8,07
x 4,709 = 1,76 g
B (150:300)
O2 = 167/8,07
x 4,709 = 97,45 g
C (150:600)
O2 = 293/8,07
x 4,709 = 170,97 g
58
Lampiran 10
a.
Ulangan
1
2
3,10 3,13
2,34 1,97
ANOVA
A (150:0)
B (150:300)
C (150:600)
LPH
Sum of
Squares
1,144
0,200
1,344
Between Groups
Within Groups
Total
b.
df
1
4
5
3
2,70
2,00
Mean
Square
1,144
0,050
Rataan
STDV
2,98
2,10
0,24
0,21
F
Sig.
22,912 0,009
88,00
75,67
Ulangan
2
3
88,00 89,00
73,00 83,00
Rataan
STDV
88,33
77,22
0,58
5,18
ANOVA
SR
Between Groups
Within Groups
Total
Sum of
Squares
185,148
54,286
239,434
df
1
4
5
Mean
Square
F
185,148 13,642
13,571
Sig.
0,021
59
Lampiran 11 Analisa statistik efisiensi nitrogen
a.
Ulangan
1
2
3
4,04 4,14 3,24
3,78 2,54 3,44
A (150:0)
B (150:300)
C (150:600)
Rataan
STDV
3,81
3,25
0,49
0,64
ANOVA
Efisiensi
Between Groups
Within Groups
Total
b.
Sum of
Squares
0,459
1,308
1,767
Mean
Square
0,459
0,327
df
1
4
5
F
1,405
Sig.
0,302
1
64,57
69,93
67,02
Ulangan
2
64,82
68,39
70,45
3
61,25
67,70
71,64
Rataan
STDV
63,55
68,68
69,70
1,99
1,14
2,40
ANOVA
Efisiensi
Between Groups
Within Groups
Total
Sum of
Squares
65,248
22,059
87,307
df
2
6
8
Mean
Square
32,624
3,676
F
8,874
Sig.
0,016
60
Multiple Comparisons
LSD
Mean
(I)
Perlakuan
1,00
(J)Difference
Perlakuan (I-J)
Std. Error
2,00
-5,12667(*) 1,56555
3,00
-6,15667(*) 1,56555
2,00
1,00
5,12667(*) 1,56555
3,00
-1,03000
1,56555
3,00
1,00
6,15667(*) 1,56555
2,00
1,03000
1,56555
* The mean difference is significant at the 0,05 level.
Sig.
0,017
0,008
0,017
0,535
0,008
0,535
61
Lampiran 12 Perhitungan konversi nitrogen bakteri heterotrof (BH) berdasarkan
nitrogen limbah dan pakan
Jumlah N pada biomassa BH selama pemeliharaan dihitung dengan menggunakan
rumus:
N BH = BH x t x P BH x N P
Keterangan: N BH = jumlah N pada biomassa bakteri heterotrof (g)
BH
= rata-rata produksi bakteri heterotrof (g/hari)
t
= waktu pemeliharaan (hari)
P BH
= kandungan protein bakteri heterotrof (5,82%)
NP
= kandungan nitrogen pada protein (%)
Berdasarkan data pada Tabel 5 rata-rata produksi biomassa bakteri heterotrof per hari
adalah 3,02 g (A), 166,80 g (B) dan 292,80 g(C). Sehingga jumlah N pada biomassa
bakteri selama pemeliharaan adalah 1,38 g (A), 76,11 g (B) dan 133,60 (g).
Sedangkan berdasarkan data penelitian, jumlah N pakan yang digunakan selama
penelitian adalah 498,77 g (A), 500,00 g (B) dan 500,57 g (C) serta jumlah N yang
dibuang oleh ikan lele adalah 181,80 g (A), 175,67 (B) dan 167,94 g (C).
N limbah yang dikonversi menjadi N biomassa bakteri heterotrof dihitung dengan
menggunakan rumus:
K N = [N BH : N L] x 100%
Keterangan : K N
= konversi nitrogen (%)
N BH = nitrogen pada biomassa bakteri heterotrof (g)
N L = nitrogen limbah (g)
Sehingga konversi N biomassa bakteri heterotrof dari N limbah adalah 0,76% (A),
43,32% (B) dan 79,55% (C) serta konversi N biomassa bakteri heterotrof berdasarkan
N pakan adalah 0,28% (A), 15,22% (B) dan 26,70% (C).
62
Lampiran 13 Perhitungan nitrogen eutrofikasi dan penjumlahan nitrogen dalam
bentuk TAN, NO2 dan NO3 hasil pengukuran
Jumlah nitrogen untuk eutrofikasi adalah 181,52 g (A), 156,63 g (B) dan 150,68 g
(C). Rata-rata nitrogen per hari dihitung menggunakan rumus:
Rata-rata nitrogen per hari = N eutrofikasi : waktu pemeliharaan : volume kolam.
Sehingga rata-rata nitrogen per hari adalah 0,31 mg/L (A), 0,27 mg/L (B), dan 0,26
mg/L (C).
Penjumlahan nitrogen hasil pengukuran:
A
N dalam TAN
14/18 x 0,31
14/46 x 0,24
N dalam NO2
= 0,241
= 0,073
N dalam NO3
Jumlah N
N dalam TAN
14/62 x 0,404
14/18 x 0,26
= 0,091
0,405
= 0,202
N dalam NO2
14/46 x 0,075
= 0,023
N dalam NO3
Jumlah N
N dalam TAN
14/62 x 0,214
14/18 x 0,26
= 0,048
0,273
= 0,202
N dalam NO2
14/46 x 0,04
= 0,012
N dalam NO3
Jumlah N
14/62 x 0,282
= 0,064
0,278
63
Lampiran 14 Analisa statistik produksi ikan lele dan udang galah
a.
Ulangan
1
2
3
0,79 0,78 0,74
0,80 0,78 0,78
0,77 0,82 0,83
A (150:0)
B (150:300)
C (150:600)
Rataan
STDV
0,77
0,79
0,81
0,03
0,01
0,03
ANOVA
Produksi
Between Groups
Within Groups
Total
b.
Sum of
Squares
0,002
0,004
0,006
Mean
Square F
0,001 1,625
0,001
df
2
6
8
Sig.
0,273
Rataan
STDV
Ulangan
2
3
18
30
18
29
18
31
0
2
18
33
ANOVA
Produksi
Between Groups
Within Groups
Total
Sum of
Squares
240,667
8,667
249,333
df
1
4
5
Mean
Square
F
240,667 111,077
2,167
Sig.
0,000
64
c.
1
120,48
129,87
125,00
Ulangan
2
120,48
128,20
131,58
3
113,64
126,58
133,33
Rataan
STDV
118,20
128,22
129,97
3,95
1,64
4,39
ANOVA
Efisiensi pakan
Between Groups
Within Groups
Total
Sum of
Squares
241,941
75,185
317,126
df
2
6
8
Mean
Square F
120,970 9,654
12,531
Sig.
0,013
Multiple Comparison
LSD
(I)
Perlakuan
1,00
(J)
Perlakuan
Mean
Difference (I-J)
Std.
Error
2,00
-10,01667(*) 2,89032
3,00
-11,77000(*) 2,89032
2,00
1,00
10,01667(*) 2,89032
3,00
-1,75333
2,89032
3,00
1,00
11,77000(*) 2,89032
2,00
1,75333
2,89032
* The mean difference is significant at the 0,05 level.
Sig.
0,013
0,007
0,013
0,566
0,007
0,566