Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 136

B A N

22001100
RREERR
MPPOO
TTEEM
KKOONN
R NNGGAA
NN AARR
SSIITTEE
KKTTUU
RR

JURUSAN ARSITEKTUR - FAKULTAS TEKNIK


U NNCCAA
PPEERRAA
DDIIOO
SSTTUU

UNIVERSITAS TARUMANAGARA
R I L Y
G E
B A N
Y A UR
ERI L
G
B A N
Y A UR
ERI L
STU
DIO

G
PERA
NCA
NGA
N AR
SITE
KTU
R KO
NTEM
POR
ER 2
010

JURUSAN ARSITEKTUR - FAKULTAS TEKNIK


UNIVERSITAS TARUMANAGARA
GERILYA URBAN: Studio Perancangan Arsitektur Kontemporer 2010
Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Tarumanagara

MAHASISWA
Aditya Setiawan
Amelia
Andayani PW
Andy Wijaya
DOSEN TAMU Ardi Yunanto & Farid Rakun Antoni Winata
Antonius Wiradigdaya Kosasih
DOSEN Veronica Gandha, Iswanto Hartono,
Archangela E. Natalia
Mohammad Nanda Widyarta
Bernadette Adinadia
PENGULAS TAMU Agustinus Sutanto, Ade Darmawan, Chin Ronal Purnama Chandra
Paramita Atmodiwirjo, Yandi Andri Yatmo Denny Soedjito
Edwin Budiman
Fransiskus Ansis
Gabriela Velda
Semester genap, Februari - juni 2010
Gabriella Stella
Ingrid Anita Stacia Dharmawan
Irene Syona
redaktur & Jacson Andika Santoso
perancang grafis Jose Mayson Mulia
Ardi Yunanto Juanto Putratama
Farid Rakun Kristanto Hadinata
Kurniadi Lim
penulis Livia Louis
Iswanto Hartono Meidy Himawan
Mohammad Nanda Widyarta Melita Felicia
Veronica Gandha Mickhael Florence
Ardi Yunanto Phelia Felim
Ricky Goreta
Farid Rakun
Stacia Bernadette
FOTO ISI Suci Sandra Dewi
koleksi mahasiswa Tania Permata Sari
Studio Perancangan Arsitektur Tony Sunardi
Kontemporer 2010 Wilie D. Atmaja
Willyanto Hinardi
FOTO SAMPUL Xena Levina Caesarea
Kelompok 5 Yoana Linda
(Archangela E. Natalia, Yotanaga Satria
Livia Louis, Yoana Linda) Yulianti Chandra

Ardi Yunanto & Farid Rakun (ed), Gerilya Urban: Studio Perancangan Arsitektur Kontemporer 2010
(Jakarta: Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Tarumanagara, 2010)
Diterbitkan pertamakali pada Oktober 2010. Dicetak 500 eksemplar. ISBN 978-979-98615-4-2

Post-mortem: Studio Pilihan
Arsitektur Kontemporer /
Gerilya Urban
Iswanto Hartono

Guerrilla warfare is used by the side which is supported by a


majority but which possesses a much smaller numbers of arms
for use in defense against oppression.

Ernesto Che Guevara, Guerrilla Warfare, 1960

Studio Pilihan Arsitektur Kontemporer di Jurusan


Arsitektur Universitas Tarumanagara dirintis oleh Agustinus
Sutanto pada 2000, saat dia kembali bergabung di Jurusan
Arsitektur setelah menyelesaikan studi S2-nya di London,
Inggris. Saya sempat membantunya menjadi pengajar studio,
sebelum dia kembali berangkat melanjutkan studi S3-nya.
Mata kuliah yang memang dirancang sedemikian rupa sebagai
wadah bagi mahasiswa untuk mengeksplorasi arsitektur
tanpa batas itu, sempat vakum sejenak setelah ditinggalkan
oleh Agustinus Sutanto.
Pada 2004, saya ditawari untuk meneruskan mata kuliah
ini. Ada beberapa perubahan signifikan yang saya terapkan
bersama dengan mahasiswa saat memulai mata kuliah ini,
terutama dalam pola pikir, metode, dan strategi berasitektur.
Perubahan pertama saya terapkan berdasarkan
pengamatan dan pengalaman saya mendapat pendidikan
di almamater yang sama, di mana mahasiswa tidak pernah
mendapat kesempatan untuk membuat karya arsitektur
yang sebenarnya. Semua studi selama ini dibuat dalam
model berskala. Sehingga mahasiswa tidak pernah membuat

karya arsitektur dalam skala sebenarnya; di mana seorang
mahasiswa juga harus melalui sebuah proses berpikir dan
bertindak secara konstruktif, layaknya seorang tukang. Maka
pada kuliah ini, setiap mahasiswa
ditantang untuk membuat karya dalam
skala sebenarnya.
Kedua, bagi saya, pendidikan
arsitektur di Indonesia secara umum
masih terlalu hedonis-romantis,
dimana arsitektur bagai uber alles; di
atas segalanya, yang mungkin juga
bisa dibaca sebagai jargon arsitektur
nusantara yang agung. Bukankah
arsitektur seharusnya menjadi
jembatan untuk melihat, meneliti, dan
membuka peluang dalam menjawab
persoalan dan tantangan sosial terkini
di sekitarnya? Pendekatan sosial
itu kemudian saya terapkan dalam Penilaian hasil karya
kuliah ini. Sehingga isu-isu penelitian mata kuliah pilihan
di studio ini diawali dari hal-hal Arsitektur Kontemporer
Rumah Portabel (2009).
pragmatis urban di sekitar kita, yang
Bekerjasama dengan
sangat umum namun esensial dan Habitat for Humanity
krusial, seperti materi Rumah Sangat dengan juri Eko Prawoto
Sederhana Murah Sekali (2004), kaki dan Romo Sandyawan
lima (2005), dan rumah portabel (2007 Sumardi.
2009).
Kedua hal itu yang kemudian menjadi roh mata kuliah ini.
Saya pun melibatkan kalangan yang lebih luas dalam proses
penelitian dan kritik studio, dari para aktivis sosial, kurator,

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), arsitek, desainer,
peneliti, sampai penulis. Untuk menyebut sejumlah nama,
mereka adalah Romo Sandyawan Sumardi, Rifky Effendy,
10
Habitat for Humanity, Eko Prawoto, Suryono Herlambang;
mereka semua pernah terlibat aktif dalam proses studio ini.
Namun perjalanan mata kuliah ini tidaklah semulus
yang saya duga. Tidak
mudah rupanya mengubah
paradigma pendidikan
di Indonesia yang selalu
mengacu pada kurikulum
nasional yang menekankan
pada proses pembelajaran
satu arah. Sementara saya
membayangkan studio ini
layaknya proses artists in
residence bagi mahasiswa,
Karya-karya Arsitektur Kontemporer
dengan menyisakan proses
Rumah Portabel (2009) dalam kolaborasi
evaluasi sebagai satu-satunya dengan ArtLab, program proyek seni
proses formal yang masih saya ruangrupa, Jakarta, yang bertemakan
jalankan karena saya memang Lonely Market pada 15 - 17 Agustus 2009.
dituntut untuk memberikan
penilaian kumulatif bagi proses pembelajaran mahasiswa.
Selebihnya, tidak ada proses kuliah satu arah, yang ada adalah
proses lokakarya semata dengan studio tutor selama proses
studio dan pembelajaran mandiri, yang dilakukan langsung
dari proses penelitian dan pengetahuan lapangan.
Metode ini kemudian makin diperkental dengan kehadiran
kawan Veronica Gandha dan Mohammad Nanda Widyarta
yang saja ajak bergabung, sekembalinya mereka ke Jakarta
setelah menyelesaikan studi S2 di Cranbrook Academy of
Art dan Architectural Association. Sejak saat itu, saya mulai
menyerahkan tongkat estafet kepada Veronica Gandha untuk
meneruskan studio ini.
Begitulah kilas balik singkat tentang mata kuliah ini.
11

Gerilya Urban, subyek penelitian dengan judul yang cukup


heroik ini, saya mulai saat berdiskusi dengan Ardi Yunanto
dan Farid Rakun, kawan-kawan penulis dan peneliti perkotaan
yang mengelola Karbonjournal.org terbitan ruangrupa. Saya
kemudian mengajak mereka untuk ikut terlibat dalam proses
studio dengan membawa wacana baru. Sesuatu yang memang
tidak lazim karena biasanya seluruh program studio maupun
mata kuliah dibuat dan disusun oleh dosen tetap Jurusan
Arsitektur, dan saya pikir hampir semua kampus arsitektur di
Indonesia menjalankan kebijakan ini.
Saya mengusulkan kepada Veronica Gandha untuk
memberikan peluang kepada kolaborator dari luar Jurusan
Arsitektur untuk menyusun program di mata kuliah ini. Maka
bergulirlah materi Gerilya Urban ini dengan dimotori oleh
Veronica Gandha, serta Ardi Yunanto dan Farid Rakun sebagai
dosen tamu.
Catatan menarik untuk disikapi di sini adalah, bahwa
di tengah karut-marut dan kemandekan dunia pendidikan
arsitektur, ada secuil keterbukaan yang memberi ruang
gerilya bagi upaya untuk menanggapi permasalahan dan
tantangan sosial yang ada. Dan hasilnya, menurut saya lebih
dari sekadar gerilya, namun sebuah revolusi!

Jakarta, 23 Agustus 2010


DAFTAR ISI
7 Post-mortem: Studio Pilihan
Arsitektur Kontemporer / Gerilya Urban
Iswanto Hartono

15 Pendidikan Arsitektur,
Klasifikasi, dan Keseharian
Mohammad Nanda Widyarta 37 Karya Mahasiswa
Rompi-tas Koran
Seragam Biru Joki
21 Menilik kembali peran tubuh, aktivitas,
dan budaya dalam Arsitektur
Asongan Dorong
Tas Belajar Anak
Veronica Gandha Balok Warna
Naungan Bermain
29 Sebuah Seruan
Ardi Yunanto & Farid Rakun
Jembatan Pelayangan
Paviliun Kampung
Bel Bus
Zona Merokok
In.For.Wait.On
117 Suasana Penilaian Akhir Peta Jalan Pintas

126 Para Mahasiswa


127 Tentang Pengajar
Pendidikan Arsitektur,
Klasifikasi, dan Keseharian
Mohammad Nanda Widyarta

Ini hanyalah sebuah catatan kecil mengenai pendidikan


arsitektur di Indonesia.
Pendidikan arsitektur di Indonesia, sebagaimana yang
kita ketahui, berawal di akhir Perang Dunia I, sekalipun saat
itu yang ada adalah kuliah-kuliah tentang arsitektur di bawah
Jurusan Jalan dan Bangunan Air (de afdeeling der Weg en
Waterbouw) di Technische Hoogeschool te Bandung (sekarang
Institut Teknologi Bandung). Perlu diperhatikan bahwa saat itu
pemerintah kolonial merasa butuh untuk mencetak ahli teknik
di Indonesia; mereka ingin agar kepentingan kolonialisme
dapat berjalan secara lebih efisien dan efektif, serta nampak
lebih manusiawi. Kemudian, setelah 1950 barulah jurusan
arsitektur pertama di Indonesia didirikan pada institusi yang
sama. Kemudian, muncullah jurusan-jurusan arsitektur
lainnya di institusi-institusi lainnya.
Perlu juga diperhatikan bahwa sistem pendidikan
arsitektur di Indonesia muncul bukan saja dalam konteks
kolonial (dan kemudian berada dalam konteks pasca-kolonial).
Ada juga konteks lainnya. Sistem pendidikan (formal)
arsitektur yang kita kenal sekarang dibentuk oleh sebuah
paradigma yang ada di abad ke-18 dan ke-19. Seingat saya,
inilah masa yang disebut oleh Foucault sebagai masa ketika
klasifikasi menjadi penting dalam pendefinisian tentang
sesuatu. Mungkin kita ingat bahwa di masa itu, Linnaeus
mengklasifikasikan tanaman berdasarkan genus dan spesies.
Klasifikasi ini adalah sebuah metode untuk membedakan
16
sesuatu dari lainnya, sehingga kita dapat mengetahui sesuatu
itu secara lebih, katakanlah, obyektif. Adalah pada masa
itu di bidang arsitektur muncul ide tentang tipologi (oleh
Quatremre de Quincy), yang mana bangunan diklasifikasikan
berdasarkan spesies-nya masing-masing. Bahkan, di abad
ke-19, disiplin arsitektur sendiri diklasifikasikan juga agar
berbeda dari disiplin lainnya; ini terjadi ketika Gottfried
Semper mengemukakan teori Bekleidung, yang membuat
pembicaraan arsitektur menjadi pembicaraan tentang ruang.
Pada perkembangannya di kemudian hari, konteks
tersebut berkelindan dengan konteks lain. Kali ini saya
akan memfokuskan pada kasus Indonesia. Di masa awal
pendidikan arsitektur di Indonesia, ketika kuliah-kuliah
arsitektur diberikan pada Jurusan Jalan dan Bangunan Air
di masa kolonial, kebutuhan yang ada adalah kebutuhan
untuk mengelola kepulauan jajahan secara lebih efisien dan
efektif. Setelah kolonialisme berakhir di Indonesia, kebutuhan
yang ada adalah kebutuhan untuk membangun. Maka, terkait
dengan peran pendidikan arsitektur, yang dibutuhkan saat
itu bukanlah ahli sejarah arsitektur, kritikus arsitektur,
maupun arsitek avant garde. Yang dibutuhkan adalah
teknisi. Pendidikan arsitektur diberikan secara pragmatis.
Pragmatisme tersebut agaknya cocok dengan konteks
epistemologis berdasarkan klasifikasi yang disebut di atas,
karena memang ada sifat pragmatis pada sistem klasifikasi
itu sendiri.
Kemudian, datanglah masa rezim Soeharto yang punya
keterkaitan erat dengan kepentingan Blok Barat di masa
Perang Dingin. Kapital asing mulai masuk ke Indonesia.
Pengusaha-pengusaha lokal juga makin banyak. Kapitalisme
menjadi aturan main dalam ekonomi Indonesia, sekalipun saat
itu nama Pancasila yang didengungkan secara publik. Keadaan
ini masih tetap ada di Indonesia. Setelah 1998, terutama
17
saat tulisan ini dibuat (Juli 2010), Indonesia masuk di dalam
sistem neo-liberalisme (demikian istilah yang sekarang kerap
dipakai). Di satu sisi, ada kepentingan kapital, dan arsitektur
seakan-akan bertugas untuk melayani kepentingan tersebut.
Di sisi lain, masyarakat Indonesia saat ini pada umumnya
bersifat mirip sekali dengan masyarakat tontonan (La Socit
du Spectacle)nya Guy Debord. Arsitektur pun juga seakan-akan
bertugas untuk melayani kebutuhan masyarakat tontonan
itu.
Kondisi ini pun mensyaratkan sebuah pragmatisme
terhadap arsitektur. Arsitek yang baik bukanlah arsitek yang
dapat memadukan tekstur dengan cahaya. Arsitek yang
baik bukanlah arsitek yang memenuhi kebutuhan praktek
keruangan yang dituntut atau dimunculkan oleh keseharian
manusia (bahkan yang seperti ini dianggap bukan urusannya
arsitek, tetapi urusannya pedagang kaki lima yang kadang
mengubah ruang sisa kota menjadi apa yang disebut oleh
Richard Sennet sebagai ruang berpori, porous space).
Arsitek yang baik adalah arsitek yang dapat memaksimalkan
penggunaan setiap sentimeter persegisyukur-syukur setiap
millimeter persegiruang. Karena, setiap ukuran luas punya
nilai jual. Versi lain dari arsitek yang baik adalah arsitek yang
dapat menampilkan tontonan dengan efek wah! kepada
masyarakat.
Agar arsitektur dapat lebih efisien dan efektif untuk
melayani kepentingan-kepentingan seperti itu, maka
klasifikasi seperti disebutkan di atas juga dibutuhkan.
Arsitektur terklasifikasikan sebagai sebuah disiplin
yang berurusan dengan bangunan gedung, kebutuhan
pengembang, efisiensi ekonomis ruang, kegiatan untuk
memperindah tampak luar, industri konstruksi, industri citra,
dan sebangsanya.
Klasifikasi telah mendefinisikan arsitektur sebagai sebuah
18
disiplin. Selain itu, kepentingan hegemoni juga ikut menjadi
subyek pembentuk definisi-definisi tersebut. Akibatnya,
arsitektur dipandang, dengan kacamata kuda. Begitu pula
pendidikan arsitektur; ia pun dipandang dan disikapi melalui
kacamata kuda.

Pernah, di awal 1950-an, seorang filsuf Jerman yang baru saja


dituduh telah bekerjasama dengan kaum Nazi, menyampaikan
sebuah karya tulisnya di depan para arsitek. Filsuf itu adalah
Martin Heidegger. Karya tulisnya berjudulbila diterjemahkan
dalam bahasa InggrisBuilding, Dwelling, Thinking, sebuah
teks yang sudah terlalu sering dikutip dan dibahas oleh
kalangan pendidikan tinggi dan praktisi arsitektur selama
puluhan tahun terakhir. Heidegger menyebutkan bahwa makna
keberadaan seorang manusia amat terkait dengan batas-batas
(pera, demikian istilah Yunani yang ia gunakan pada karya tulis
tersebut). Batas-batas itu membatasi secuil dari ruang. Secuil
ruang yang dibatasi tersebut ia sebut sebagai tempat, locus. Di
tempat tersebut, yang ada bukan hanya si manusia dan tempat
itu sendiri, tetapi juga ada hal-hal lain. Misalnya langit yang
meliputi tempat tersebut, manusia-manusia lain di tempat
itu, kepercayaan maupun pandangan-pandangan manusia
di tempat itu, aspek topografis tempat itu, dan sebagainya.
Semua itulah yang memberikan makna pada keberadaan
si manusia. Heidegger meminta kepada para arsitek untuk
memandang arsitektur dalam konteks tersebut.
Pemikiran Heidegger ini kemudian ikut mempengaruhi
pemikiran seorang pemikir Marxis Prancis, Henri Lefebvre.
Pemikiran Lefebvre kemudian mempengaruhi orang-orang
lain, misalnya Michel de Certeau dan Iain Borden. Saya
akan coba merangkum pemikiran mereka. Kita perlu
19
membedakan antara ruang yang diproduksi oleh para arsitek
dan perencana kota dengan ruang yang diproduksi oleh
keseharian masyarakat. Ruang yang diproduksi oleh arsitek
maupun perencana kota merupakan ruang yang ditentukan
oleh abstraksi (dalam bentuk, misalnya, gambar-gambar
denah, potongan, dsb.). Abstraksi tersebut ditentukan oleh
kepentingan tertentu. Misalnya, sebuah denah digambar
sedemikian rupa setelah arsitek dan perencana berdiskusi
dengan pihak pengembang. Pertanyaannya, kepentingan
siapakah yang membentuk abstraksi tersebut? Bila saya boleh
berkomentar, nampaknya pertanyaan ini kerap diabaikan
dalam pendidikan arsitektur kita.
Di sisi lain, ada ruang yang dibentuk bukan oleh abstraksi
tersebut, namun oleh kegiatan-kegiatan sehari-hari para
manusia di tempat tertentu. Di gang-gang kampung (yang
merupakan ruang sirkulasi, menurut abstraksi para arsitek
dan perencana), kita kerap menemui orang-orang memakai
gang tersebut bukan hanya sebagai ruang sirkulasi. Gang
tersebut juga menjadi tempat berjualan, bermain, berpacaran,
bergosip, kencing, berkelahi, menjemur pakaian, dsb.
Pertanyaannya, bagaimana sistem pendidikan arsitektur dapat
mengakomodir aspek ini?
Nampaknya, pertanyaan terakhir inilah yang dicoba untuk
disikapi dalam Studio Eksperimental yang hasilnya termaktub
dalam buku ini. Sedangkan, pertanyaan kedua dari terakhir
(kepentingan siapakah yang membentuk abstraksi tersebut?)
masih perlu disikapi oleh pendidikan arsitektur di Indonesia.

Jakarta, 12 Juli 2010


20
Menilik kembali peran
tubuh, aktivitas, dan
budaya dalam Arsitektur
Veronica Gandha

Penciptaan sebuah karya arsitektur bermula ketika satu


tubuh manusia menempati ruang (Christopher K. Egan). Ada
sebuah hubungan langsung antara tubuh dan ruang-ruangan
yang membatasinya. Tarian anggota tubuh akibat aktivitas
yang dilakukan dan penempatannya memberikan citra
terhadap sebuah ruang. Proses ini harus sudah berlangsung
sebelum perancang memberi efek material, sebelum proses
penggambaran dimulai, dan bahkan sebelum kita membentuk
dan merangkainya dengan kebutuhan tubuh yang lain. Setiap
tubuh yang berada dalam suatu tempat dan mempunyai
ruang, dia akan membentuk dirinya dalam ruang sekaligus
membentuk ruang itu (Lefebvre).
Hal di atas pula yang membedakan arsitektur dengan
seni visual. Dapat dikatakan hubungan kita terhadap arsitekur
merupakan keterbalikan dari hubungan kita dengan seni
visual: sebagai perancang arsitektur, pengguna dan penikmat
hendaknya tidak memandang sebuah karya dari luar, namun
secara fisik masuk ke dalam karya tersebut, menyentuh
bagian terdalam dan mengisi kekosongan yang ada.
Sebaliknya hubungan kita dengan seni visual adalah dengan
cara memandang dan berinteraksi dengan karyanya dari luar.
Untuk mencapai keberhasilan dalam merancang, melatih
kepekaan terhadap lingkungan sekitar merupakan suatu
kebutuhan. Peka melalui hati dan indra yang dimiliki tubuh
kita sebagai manusia. Kulit merupakan permukaan pertama
yang membatasi, melapisi tubuh. Ia dapat berfungsi sebagai
pintu yang membuka kepekaan terhadap sekitar. Mata kita
merupakan jendela ke dunia luar. Tulang kita merupakan
22
struktur rangka yang menopang dan membentuk lingkungan.
Pikiran kita merupakan sarana transportasi memori guna
memberi makna dan identitas suatu tempat.
Banyak pandangan yang berpendapat bahwa hasil akhir
yang diciptakan seorang arsitek haruslah sebuah bangunan
indah. Pandangan itu tidaklah salah, karena sejak menempati
bangku kuliah arsitektur seringkali kitasebagai calon
arsitek, lulusan arsitek ataupun pengamat arsitektur
terjebak untuk menghasilkan dan menilai sebuah karya
dari bungkus terluarnya. Mungkin hal ini dipengaruhi oleh
unsur kapitalisme yang melihat suatu karya dari segi nilai
ekonominya dalam mencapai daya jual yang tinggi. Kita
terlena dengan keindahan yang dipancarkannya, namun lupa
bahwa karya tersebut mempunyai makna yang lebih dalam
yaitu sebagai naungan berbagai aktivitas manusia, baik di
dalam, maupun sebagai penyala kehidupan bagi kegiatan
sekitar. Nilai terindah dari sebuah rancangan adalah ketika
ia mampu menjangkau dan menjembatani interaksi antara
personal dan komunitas, dalam konteks sosial dan budaya.
Sudah sewajarnya jika kita berarsitektur dengan berbahasa
manusiawi, dengan nurani dan tanggung jawab, dan jika
mampu dengan puisi (YB Mangunwijaya).
Sepotong pakaian (sandang) dapat mengajarkan
bagaimana sebuah karya dapat menciptakan perilaku melalui
kapasitasnya dalam mewujudkan suatu identitas sosial. Ketika
sebuah potongan kain itu sudah dikenakan, seperti halnya
sebuah karya arsitektur, ia diharapkan untuk dapat membuat
manusia yang menghuninya merasa nyaman, sekaligus
dapat menjadi sarana pengekspresian diri, komunikasi, dalam
cerminan sosial budaya. Melalui karya seorang seniman
Perancis Lucy Orta, misalnya, kita dapat melihat peleburan
dari citra pakaian, arsitektur dan aktivitas sosial. Orta
mengembangkan pakaian sebagai alat untuk menggerakan
23
tubuh sebagai hasil dari suatu ekspresi budaya, sosial, dan
politik.
Ekspresi terhadap suatu budaya juga tak lepas dari
pengaruh unsur kapitalisme. Budaya kita mempunyai
kecenderungan untuk cepat menjadi suatu komoditas utama.
Pakaian, musik, film, televisi, maupun tubuh yang berjalan
sudah menjadi suatu bentuk komoditas. Jika sebuah budaya
sudah menjadi buah komoditas, yang dapat dilakukan
adalah mengembangkan suatu metode untuk membalik dan
mengkonfrontasi arus ini.
Ruang publik kini tidak lagi menjadi tempat untuk
kepentingan bersama. Ia telah menjadi bagian dari
komoditas ekonomi yang dapat dimiliki dan dibeli. Ruang
publik dengan fungsi awal sebagai tempat di mana setiap
pengguna (penghuni) bisa berperan secara demokratis
dan bebas semakin hilang. Sebagai bentuk tanggapan dari
tekanan tersebut banyak perancang arsitektur mulai aktif
mambawa karya mereka lebih lanjut sebagai pelayanan
publik, dengan tujuan untuk memperbaiki hidup keseharian.
Mereka mengembangkan ide konseptual dan fungsional karya,
sebagai buah dari kepekaan terhadap estetika sosial-budaya.
Jika perlu, karya tersebut dapat menghapuskan batas-batas
teritori, meloncat dari satu batas teritori ke batas yang lain.
Bergerak bukan lagi suatu kebutuhan melainkan sudah
menjadi suatu keharusan, dimana penyusunan taktik dan
strategi sangat diperlukan untuk mengambil langkah awal.
Hal ini pula yang dicoba ditangkap dan diolah oleh para
mahasiswa perancang Studio Kontemporer dalam buku ini.

Jakarta 21 Agustus 2010


24
25
26
27
Karena antara kita dan kota jang kita tinggali
Karena antara rumah dan kita sendiri, tiada lagi hubungan.

Ajip Rosidi, cukilan puisi Djembatan Dukuh, 1956


Sebuah seruan
Ardi Yunanto & Farid Rakun

Publik, khalayak, maupun umum, merujuk pada suatu


keadaan di mana kebersamaan dibangun melalui kesadaran
atas keberagaman dan kebutuhan untuk hidup, menghidupi,
dan dihidupi dalam ruang yang sama. Keberadaan publik dan
ruangnya niscaya adalah kebutuhan penting dalam sebuah
kota. Namun justru ruang publiklah yang paling tergerus
keberadaannya di Jakarta. Kurangnya ruang publik membuat
ruang yang tersisa kemudian menjadi arena pertarungan
antara warga, pemerintah, dan korporasi, dan belakangan juga
para milisi sipil atas nama agama; yang membentuk trinitas
baru bersama pemerintah dan korporasi, seraya makin
menyisihkan keberadaan warga kota. Keberagaman, sebagai
penaung perbedaanyang merupakan hak asasi manusiakini
menjadi semakin langka. Maka hidup di ruang publik Jakarta
sungguh penuh dengan taktik dan strategi.
Peraturan demi peraturan yang dibuat di ruang publik,
sudah menjadi rahasia umum, hanya menguntungkan
sejumlah pihak. Banyak peraturan dibuat tanpa sosialisasi
memadai dan fasilitas pendukung. Tak sedikit yang percaya
bahwa peraturan itu sengaja dibuat untuk dilanggar warga,
karena melalui pelanggaranlah pungutan liar aparat dapat
ditunaikan. Solusi untuk menjadikan ruang publik yang
manusiawi juga seringkali hanya laksana sumbu pendek,
kalau bukan jauh panggang dari api, dan kemudian membakar
masalah baru.
Adalah ironis ketika solusi dari masalah baru itu
30
kebanyakan justru datang dari warga. Solusi mereka pun,
seperti penyebab masalahnya, adalah solusi sementara.
Namun aksi bertahan hidup mereka yang sekaligus menambal
gali lubang tutup lubang dari sebuah sistem, adalah inovasi
tersendiri. Sebutlah beberapa di antaranya: pedagang
asongan, kaki lima, ojek, timer, penukar uang robek, penjual
kopi instan bersepeda, maupun odong-odong. Merekalah
wirausahawan sejati yang tahu betul bahwa harapan urban
ibukota hanyalah omong-kosong belaka. Jenis pekerjaan
baru yang mereka ciptakan atas dasar kebutuhan masyarakat
banyak, yang mencakup diri mereka sendiri di dalamnya,
adalah keniscayaan yang genting, tanpa perlu diembel-embeli
predikat industri kreatif yang kebanyakan hanyalah usaha
penyelamatan diri sejumlah warga kelas menengah.
Merekalah para warga sejati yang tak hanya meminta
dengan tangan di bawah, namun melawannya dengan kepalan
tangan. Kepalan yang, seperti halnya anarki, sudah ditabukan
maknanya menjadi kekerasan semata. Sekalipun mereka
tidak main hakim sendiri atas nama keyakinan yang menolak
keberagaman. Sekalipun kepalan mereka mengakar pada
kebutuhan publik, yang dengan sendirinya menjadi sebuah
kepalan yang lembut, sejuk dan mewangi. Tanpa mereka yang
informal, Jakarta tak akan bangkit setelah krisis ekonomi
1998.
Namun yang formal terus-menerus menggundahkan
ketika dunia perancangan sampai saat ini masih
mendambakan kota yang tertib, rapi, modern, dan mewah.
Ketika kota mudah sekali diterjemahkan menjadi mal,
pusat perkantoran, hotel, maupun apartemen. Ketika istilah
industri kreatif digemborkan oleh kelas menengahnya yang
baru kemarin sore mendesain untuk kelas mereka sendiri.
Ketika jalanan masihlah ditakuti sebagai sesuatu yang asing
dan berbahaya, seperti bagaimana kita diajarkan oleh Orde
31
Baru melalui buku-buku sekolah. Sejumlah kesadaran yang
seringkali melupakan di mana sampah dari modernitas semu
itu dibuang. Dan hanya yang informallah, yang publik, yang
sehari-hari, yang realistis, yang banal, yang suram, yang
kocak, juga populis, yang setiap hari harus terus berjibaku
dalam arena pertarungan yang nyata.
Maka jangan tanyakan dimana sebagian besar perancang
kini berpijak. Mungkin hanya dalam sebuah koper yang siap
dibawa terbang menuju kota berfasilitas publik lebih baik
agar hidup bisa lebih indah tanpa perlu merasa bertanggung-
jawab atas peran sosial yang memang semakin hari semakin
membebani setiap orang. Dalam dunia arsitektur, yang
tersisa adalah pilihan fungsi bangunan, tapak imajiner, dan
permasalahan standar kemacetan. Permasalahan hidup
manusia seakan lenyap dari presentasi, dibayangkan sudah
diselesaikan perizinan lahan yang kita tahu sehari-harinya
menggusur sekasar apa. Pendekatan sosial-masyarakat,
sebagai hal mendasar dimana sejatinya arsitektur dan ilmu
rancangan lain berpijak, menjadi demikian statistik.
Maka bagaimana jika mereka, para calon perancang itu,
diberikan kebebasan untuk berlarian di jalanan, mengamati
permasalahan yang mereka pikir akan sanggup mereka
tanggapi? Membuat mereka bergabung dalam proses inovasi
warga yang telah hidup sekian lama ketimbang terkungkung
dalam dunia pendidikan perancangan yang kita tahu sangat
jauh dari kenyataan itu?
Apa yang terjadi dan kemudian terekam dalam buku ini
adalah usaha-usaha untuk kembali bereksperimen, yang
seringkali diartikan utopis, tak berguna, tak berdasar, dan
niscaya akan dibunuh oleh yang adiluhung. Eksperimentasi
kali ini justru mencoba menemukan akar dari kehidupan
sehari-hari yang realistis. Sebagai usaha tandingan pada
dunia mutakhir yang ingin serba lebih, lebih cepat, lebih
32
kuat, dan lebih baik. Suatu usaha untuk menemukan kembali
arti, bentuk, dan ruang publik itu sendiri. Bahwa arsitektur
tak selamanya melulu profesi. Namun juga ilmu, yang di sini
mendapat porsi lebih besar, yang mampu membebaskan
eksperimentasi melampaui bentuk fisik bangunan yang
dipercaya sebagai selalu arsitektur. Hal itu pula yang
menjadikan ulasan dalam lembar halaman setelah ini tak
semata berupa pujian, namun juga memperhatikan konteks
sosial yang luas, sekaligus berupa kritik singkat yang tegas.
Bahwa suatu kegagalan perlu dimaknai sebagai modal
keberhasilan kelak.
Pendekatan sehari-hari yang dilakukan ini sesungguhnya
sederhana. Memercikkan kenyataan sosial sebagai
permasalahan yang nyata yang seharusnya perlu disikapi
lebih mendalam oleh para calon perancang muda sejak
dini. Para perancang yang bisa berasal dari bidang ilmu
apa saja. Apa yang terjadi di sini, adalah contoh kecil dari
penghadiran kembali konteks sosial-kota yang tersingkirkan
oleh megahnya utopia arsitektur dalam dunia pendidikan
kini. Bagaimana kita melihat kembali jalanan yang ternyata
tidak semenakutkan itu seiring terjalinnya perkenalan.
Bahwa impian kota masa depan itu tetap harus berpijak
pada apa yang telanjur ada dan hadir sebagai penyelamat-
penyelamat kecil atas masalah yang disebabkan oleh sistem
yang tak manjur. Dari titik ini, kiranya terhampar medan luas
persemaian pengetahuan yang sesungguhnya.
Jika seruan ini adalah penabuh genderang, maka buku
ini adalah penyingsing lengan baju. Kami undang Anda untuk
bergabung.

Jakarta, 3 September 2010


33
34
35
36
37

karya-karya mahasiswa
ROMPI-tas KORAN
Archangela E. Natalia
Livia Louis
Yoana Linda

Pedagang kaki lima dan pedagang asongan beserta semua


alat transaksinya terus berevolusi secara alami di ruang
publik Jakarta. Bila kita memperhitungkan alat-alat itu
sebagai artefak kebudayaan kontemporer kota, jelas tak
banyak perhatian yang diberikan pada kebudayaan inibaik
dari para akademisi, apalagi pemerintahsekalipun
kehadirannya sangat penting dalam menopang kehidupan
ekonomi dan sosial kota.
Adalah suatu keberanian tersendiri ketika Archangela E.
Natalia, Livia Louis, dan Yoana Linda justru tertarik pada isu
ini. Hasilnya adalah kejelian membaca, bahwa dari berbagai
jenis barang jualan pedagang asongan, setidaknya ada satu
dagangan yang belum memiliki alat penjualan, yaitu koran.
Selama ini, para pedagang koran selalu mengandalkan
kedua tangan mereka untuk berjualan. Satu lengan mendekap
koran, tangan lain untuk menyerahkan koran, menerima uang,
dan memberi kembalian. Yang kemudian ditawarkan kelompok
ini adalah rompi sekaligus tas untuk berdagang koran.
Dengan rompi-tas ini, koran-koran itu dapat dipajang
dengan jelas dalam tiga rak transparan di dada. Total koran
yang tertampung sama dengan rata-rata jumlah koran jualan
pedagang, yaitu 80 eksemplar. Namun dengan koran sebanyak
itu, dalam kondisi tersimpan dalam rak rompi, kecepatan
melayani pembeli tak sampai berkurang. Sebuah koran bisa
diberikan dalam 2 - 3 detik. Beban koran yang kini ditopang di
bahu dengan nyaman juga membebaskan tangan mereka yang
semula harus membawa koran.
Rompi-tas ini bisa dipakai dari samping lalu ditutup
dengan resleting. Sisi kanannya dilengkapi kantong penyimpan
uang. Punggung rompi juga berfungsi sebagai tempat
41
memajang koran, sehingga calon pembeli dari belakang
bisa tahu koran apa saja yang dijual oleh mereka. Koran dan
pedagangnya pun aman dari hujan. Tersedia tutup transparan
untuk koran dan tudung kepala untuk pedagang.
Hal menarik terjadi ketika tiba waktunya kelompok ini
melakukan simulasi. Pak Yadi, seorang pedagang koran yang
selama penelitian sangat ramah menemani merekayang
mungkin karena kebiasaanmasih menggunakan kedua
tangannya untuk berjualan koran. Ia belum terbiasa
dengan rompi-tas itu. Sekalipun, tentu saja, sebagai produk
baru, rompi-tas ini memang sudah menerima tantangan
untuk mengubah kebiasaan lama. Juga menyadari ragam
kemungkinan perlakuan baru atas produk tersebut.
Satu kekurangan rompi-tas ini adalah rendahnya posisi
koran di dada untuk bisa dilihat dari dekat oleh pengendara
mobiikarena semula, koran di tangan pedagang bisa bebas
diacungkan ke jendela pengemudi mobil. Sekalipun dari jarak
jauh, pajangan koran di dada rompi ini jauh lebih rapi dan jelas
dilihat ketimbang di tangan.
Boleh jadi, jika rompi-tas koran ini akhirnya dapat
beredar luas di pasaran, pedagang koran lain lambat-laun
bisa terbiasa untuk membiarkan tangannya leluasa dan
sepenuhnya menyerahkan tugas memajang koran pada
dada dan punggung mereka. Setidaknya, jika para pedagang
koran tetap berjualan dengan tangan, dengan rompi-tas
ini, mereka bisa menjual koran lebih banyak lagi dengan
kenyamanan baru. Rompi-tas koran ini bisa menjadi dasar
bagi pengembangan alat lain demi semakin memaksimalkan
penjualan, kenyamanan penjual dan pembeli koran di jalanan
Jakarta.
Dari atas ke bawah: Ukuran tipikal koran,
sketsa rencana awal rompi-tas.
Halaman sebelah: Pak Yadi sedang
SAAT DIBENTANGKAN
42 mengenakan rompi-tas koran.

SAAT DILIPAT Jumlah halaman: sekitar 22 halaman


Ketebalan koran terlipat: 0,5 cm - 1 cm

57,5 cm
28,75 cm

35 cm 17.5 cm 35 cm

TAMPAK DEPAN TAMPAK BELAKANG TAMPAK SAMPING


50 cm 50 cm 10 cm
40 cm 40 cm 10 cm
10 cm
12,5 cm
25 cm

47,5 cm
35 cm

Kantong
Tempat Serba Guna
Memajang Koran Resleting
Penutup Koran saat Hujan pembuka rompi
Kantong resleting Tempat Memajang Koran
Penutup Kepala
SERAGAM BIRU JOKI
Bernadette Aninadia
Gabriella Stella
Stacia Bernadette

Peraturan 3 in 1 diterapkan untuk mengurangi kemacetan


dengan melarang mobil berisi kurang dari tiga orang melintasi
jalan utama kota Jakarta pada pagi dan sore hari. Peraturan
ini tidak didukung oleh pembenahan moda transportasi
umum dan kebijakan menekan jumlah kepemilikan kendaraan
pribadi. Hasilnya adalah memindahkan kemacetan ke area
lain karena banyak kendaraan berpenumpang kurang dari tiga
yang menghindari 3 in 1.
Kehadiran joki di area 3 in 1 kemudian menjadi solusi bagi
pengendara yang harus melalui area tersebut. Para joki berdiri
di mulut area 3 in 1, menawarkan jasanya untuk disewa oleh
pengendara mobil dengan tarif Rp10,000 Rp20,000 untuk
menambah kekurangan orang di dalam mobil. Awalnya, profesi
joki dilarang. Mereka bahkan dirazia oleh aparat. Tentu saja,
keberadaan joki telah menegaskan kegagalan pemerintah atas
peraturan 3 in 1.
Cerminan kegagalan yang dikandung profesi inilah yang
menarik perhatian Bernadette Aninadia, Gabriella Stella, dan
Stacia Bernadette. Setelah memperhatikan joki, menyewa
dan mewawancarai mereka, ada sebuah slentingan yang
mengubah pola pikir mereka terhadap profesi ini. Satgas, yang
seringkali kita asumsikan bertugas menertibkan para joki,
ternyata bertugas untuk menjaga mereka. Profesi joki adalah
sesuatu yang legal dan butuh perlindungan, tutur seorang
Satgas. Pendapat tersebut memang tak dapat dibuktikan
dengan peraturan tertulis. Namun, lepas dari kebenarannya,
profesi ini telah memiliki penjaganya sendiri. Joki tidak
lagi dikejar-kejar aparat hukum, tak perlu lagi menghindari
46
apapun kecuali kejahatan dari konsumen mereka sendiri: para
pengendara; karena itu mereka perlu dijaga. Fakta tersebut
yang membuat para mahasiswa ini memilih untuk tidak lagi
47
membahas pemetaan ruang informal dan proses keberadaan
joki mengakali celah peraturan, namun pada hal-hal yang lebih
mendasar: cuaca dan identitas. Solusi yang kemudian mereka
tawarkan adalah seragam khusus bagi para joki.
Mereka mempelajari berbagai kemungkinan bentuk
seragam untuk mengatasi terik matahari dan basah karena
hujan di jalanan. Selanjutnya, mereka ingin menegaskan
identitas para joki agar dapat dibedakan dari profesi jalanan
lainnya, juga dari para pengguna jalan biasa. Seperti guna
segala seragam, seragam joki ini juga berfungsi untuk
menggarisbawahi kesamarataan di antara pada joki.
Proposal pertama mereka adalah sebuah rompi yang
memiliki tas gendongan bayi untuk para joki perempuan
yang menggendong anaknya. Namun mereka akhirnya
mengubah rompi itu menjadi ransel karena sifat tas yang lebih
demokratis. Joki perempuan tinggal memakai seragam-tas itu
menghadap depan jika ingin menggendong anak, sementara
bagi mereka yang ingin mengangkut barang, tas tinggal
dipakai di belakang layaknya tas biasa. Penggunaan ransel
sebagai seragam juga mempermudah penggunaan jaket
tudung hujan yang disisipkan sebagai lipatan di bagian bawah
ransel tersebut.
Tujuan mereka untuk memvisualisasikan identitas
joki cukup berhasil. Adanya seragam-tas joki ini memang
baru menyentuh aspek fungsi dan estetikabelum sampai
mengkritik dan memberi makna baru atas permasalahan
3 in 1 yang memicu kelahiran profesi ininamun karya
mereka yang lahir dari perhatian lebih atas profesi joki, dapat
memancing begitu banyak kreasi demi menghidupi beragam
solusi sementara ciptaan warga untuk mengatasi berbagai
peraturan resmi pemerintah yang menyusahkan masyarakat.
Deretan atas: Contoh pertama, produk serupa rompi.
Deretan bawah: Produk akhir rompi joki serupa tas gendong.
Sebelah: Pemakaian produk dalam praktek lapangan.
49
50
ASONGAN DORONG
Andayani P. W.
Chin Ronal Purnama Chandra
Willie D. Atmaja

Sudah sejak dulu jalanan tak pernah aman bagi pedagang


asongan. Pada 1990 di Jakarta, melalui Operasi Esok Penuh
Harapan dibawah komando Soedomo, Menteri Koordinator
Politik dan Keamanan saat itu, mereka diburu dan dihukum
dengan tudingan mengganggu ketertiban umum dan
menyebabkan kemacetan. Padahal dari kemacetan di lampu
merahlah pekerjaan itu memetik inspirasi. Operasi yang
tak seindah namanya itu menuai kontroversi karena tak
menyelesaikan masalah sesungguhnya yang berkelindan di
antara persoalan ekonomi, sosial, dan urbanisasi.
Sekarang, puluhan tahun kemudian, pedagang asongan
tak hanya berjualan di perempatan lampu merah. Apalagi
sejak kemacetan semakin parah melimpah-ruah nyaris
di setiap sudut ibukota. Mereka berjualan di mana-mana.
Namun, makin hari, peran mereka dalam melayani kebutuhan
masyarakat di jalanan dan menopang ekonomi negara,
bersama sektor informal lainnya, justru semakin penting.
Dari ribuan pedagang asongan di Jakarta, mereka yang
sering berjualan di daerah pintu tol Kebon Jeruk, Jakarta
Baratlah yang kemudian menjadi perhatian Andayani P. W,
Chin Ronal Purnama Chandra, dan Wilie D. Atmaja. Perhatian
mereka sebenarnya jatuh karena kebetulan lokasi. Semula
mereka mengamati fenomena terminal bayangan di sana,
bergesernya makna pagar pembatas, serta kategorisasi
ruang publik. Namun, akhirnya mereka memutuskan untuk
menangani sesuatu yang kecil dalam skala, namun besar
dalam peran.
Halaman ini: Model studi ide penambahan terhadap produk yang sudah ada.
Halaman selanjutnya: Pemakaian produk akhir dalam praktek lapangan.
Dari pengamatan atas rutinitas sehari-hari pedagang
asongan, mereka menganggap alat jualan itu masih bisa
dimodifikasi agar lebih maksimal fungsinya. Mereka lalu
53
memasang roda di bagian bawahnya, yang jika ditarik akan
bisa diseret layaknya kopor seret beroda. Awalnya, agenda
mereka lebih dari itu. Mereka juga ingin agar keranjang rokok
itu bisa berdiri dengan topangan kaki roda. Namun karena
permasalahan teknis, rencana itu dibatalkan.
Andai rancangan itu berhasil, kegunaan roda keranjang
bisa bertambah. Di saat pedagang asongan sedang berdiri
diam, mereka bisa tak perlu lagi menopang beban keranjang
dengan bahu. Mereka bahkan bisa terbebas dari keranjang,
untuk duduk-duduk di sebelahnya dengan posisi keranjang
tetap setinggi dada. Ketinggian yang nyaman bagi pejalan kaki
yang lewat untuk melihat-lihat dagangan mereka.
Dalam rancangannya, kelompok ini juga mengganti tali
penyangga keranjang dengan selang air. Sekalipun secara
estetis kurang sedap dipandang, selang jelas lebih empuk di
bahu untuk menyangga beban keranjang. Selain itu, penataan
ulang barang jualan juga mereka lakukan, plus penambahan
laci-laci baru di keranjang.
Karya ini telah menegaskan batas yang jelas dengan
berbagai inovasi canggih atas sejumlah produk elegan yang
marak dirancang para desainer produk melalui sejumlah
kompetisi nasional. Apa yang selama ini kita anggap sekadar
sebagai keseharian dari sejumlah lapisan masyarakat dalam
bertahan hidup, sungguh perlu diamati dengan jeli. Bahwa
inovasi desain yang memiliki dampak sosial yang nyata selalu
bersumber pada persoalan sehari-hari. Masalahnya tinggal
mengubah perspektif dalam memandang keseharian itu. Satu
hal yang dengan sederhana namun jitu, telah dilakukan oleh
kelompok ini.
TAS BELAJAR ANAK
Antonius Wiradigdaya Kosasih
Melita Felicia
Kurniadi Lim

Pendidikan bagi anak jalanan yang dikelola sejumlah sekolah


alternatif, selain berpusat di rumah, juga dilakukan dengan
langsung mengunjungi ruang hidup anak-anak jalanan.
Salah satunya, yang kemudian menjadi perhatian Antonius
Wiradigdaya Kosasih, Kurniadi Lim, dan Melita Felicia, adalah
di Stasiun Juanda, Jakarta Pusat. Dari kesementaraan proses
belajar-mengajarbaik para guru yang secara periodik
berpindah ke lokasi mengajar lain lalu digantikan guru baru,
atau sejumlah anak yang datang silih-bergantikelompok ini
lalu memutuskan untuk membuat tas belajar bagi para guru
dan murid.
Prinsip kedua tas ini serupa. Selain untuk membawa
alat tulis, bila tas dibuka, sisi dalamnya bisa menjadi alas
bagi kegiatan belajar yang selama ini berlangsung lesehan
di lantai stasiun. Tas besar untuk guru sebenarnya sudah
cukup untuk menjadi alas bersama guru dan murid. Adanya
tas kecil untuk murid, adalah semacam bonus, yang selain
bisa dipakai layaknya tas sekolah, bagian dalamnya dapat
menjadi alas berbaring untuk tidur di ruang luar. Sebuah alas
tulis merangkap penyimpan alat tulis yang terbuat dari papan
yang tersedia di dalam tas, melengkapi paket sederhana bagi
sarana belajar ini.
Untuk mendesain kedua tas itu, mereka melakukan
studi gerak dan dimensi dari perilaku anak-anak selama
berlangsungnya pelajaran. Studi dilanjutkan dengan pemilihan
warna dan bahan. Tas untuk anak dibuat sebagai tas
selempang, agar lebih mudah dan sesuai dengan kebiasaan
anak-anak di sana dalam menggunakan tas. Sementara
58
untuk merancang tas guru, yang berupa tas jinjing dengan
ukuran lebih besar demi menjadi alas untuk guru dan murid,
dilakukan studi lipatan, bahan, dan efesiensi pembuatan.
59
Setelah tas dihamparkan menjadi alas, tali dan velcro-nya bisa
ditempel pada tiang stasiun agar alas tidak bergeser selama
pelajaran.
Pilihan bahan dan warna tas ini, sayangnya tampak terlalu
elegan dan gaya, sehingga tak begitu serasi dengan lokasi
belajar-mengajar. Sekalipun pendapat umum untuk tidak
memberikan sesuatu yang berlebihan kepada anak jalanan
masih bisa diperdebatkan, namun melihat tampilannya, tas
belajar itu cukup pantas untuk dijual di mal. Biaya produksi
satuan tas ini juga terbilang cukup mahal. Kedua hal itu
sebenarnya bisa diatasi jika mereka lebih mengeksplorasi
bahan-bahan yang ada, meneliti bahan di sekitar lokasi
atau bahan-bahan murah-meriah seperti kain perca, dan
memanfaatkannya semaksimal mungkin untuk desain tas ini.
Namun lepas dari itu, banyak hal yang bisa kita petik dari
karya mereka. Salah satunya adalah bahwa ladang intervensi
arsitektural juga dapat meliputi tubuh dan gerak dalam
kegiatan. Pandangan ini memperluas kemungkinan intervensi
arsitektural yang selama ini hanya mengerjakan bangunan,
dapat beralih menjadi suatu produk yang bisa digunakan,
dibawa, dan dialami bersama.
Perhatian mereka kepada anak jalanan dan khususnya
untuk menanggapi kegiatan belajar-mengajar mereka di
sebuah lokasi khusus, juga suatu kejelian tersendiri, untuk
kemudian diatasi dengan sebuah tas. Dari sana, karya mereka
bisa mengawali kemungkinan inovasi lain bagi produk-produk
yang bisa dibawa dan dipakai di mana saja, yang pada tas
ini saja, bahkan sudah melampaui fungsi dasarnya sebagai
kegiatan belajar anak, karena berfungsi juga sebagai alas
tidur dan tas mereka sehari-hari.
60

Contoh modul alas


duduk untuk tas guru
dengan studi pola visual
dan bahan.
61

Produk akhir tas guru


beserta modul papan
tulis/tempat pensil.
Halaman ini (kolom kiri):
Produk akhir tas anak.
Halaman ini dan sebelah:
Pemakaian produk akhir dalam
praktek lapangan.
62
63
BALOK WARNA
Gabriela Velda
Jose Mason Mulia
Tony Sunardi

Lampu merah di Jakarta tak hanya dipenuhi oleh kendaraan


yang mengantri, namun juga pedagang yang menanti
kendaraan berhenti. Di sejumlah lampu merah, terkadang
bisa kita jumpai pengemis-pengemis cilik. Bocah-bocah
yang tak kunjung menjadi urusan negara. Mereka terpaksa
meminta-minta sepanjang durasi lampu merah yang tak lama.
Anak-anak itu yang kemudian menjadi perhatian Gabriela
Velda, Jose Mayson Mulia, dan Tony Sunardi yang lalu banyak
menghabiskan waktu bersama mereka yang sehari-harinya
meminta-minta di perempatan Grogol, Jakarta Barat itu.
Pertanyaan kelompok ini kemudian adalah apa yang
bisa dilakukan untuk menemani jeda waktu anak-anak itu
selama menunggu lampu lalu lintas kembali merah? Mereka
ingin menawarkan sebuah permainan. Namun apa yang
bisa dimainkan dalam durasi sesingkat itu, atau yang cukup
menarik untuk bisa disambung lagi di jeda lampu berikutnya?
Permainan itu pun harus mampu meladeni banyak anak
sekaligus.
Sehari-harinya, di sela waktu mengemis, anak-anak
itu terus bermain dan bercanda di pinggir jalan selama
lampu hijau. Mereka menjadikan tiang lampu maupun
pagar pembatas, sebagai area permainan mereka. Aksi
yang secara alami dilakukan sebagai keriangan bocah, hal
yang tak dilandasi semangat senang-senang sendiri namun
berdalih mengubah ruang kota menjadi arena permainan
mengasyikkan seperti aktivitas komunitas skateboard.
Kelompok ini batal membuat permainan yang perlu
dibangun secara permanen di area lampu merah. Percuma.
Jalanan tak cukup aman untuk merawatnya. Yang akhirnya
mereka tawarkan adalah suatu permainan yang menawarkan
banyak kemungkinan pengalaman bermain, sederhana, dan
67
modular dalam bentuk, serta dapat dimainkan secara cepat
mengingat jeda lampu hijau itu. Permainan yang merupakan
gabungan antara Lego, UNO Stacko, dan kartu yang dicocokkan
ini, mereka namakan Go Block. Walau dalam lafal Indonesia
terdengar aneh, namun nama itu menjelaskan balok-balok
kayu yang mereka gunakan. Dengan enam sisi warna yang
berbeda, balok-balok ini harus disusun dengan menempelkan
sisi atas balok dengan warna yang sama dengan sisi bawah
balok yang menimpanya. Siapa yang bisa menghasilkan
tumpukan tertinggi, dialah yang unggul.
Namun menurut seorang pemerhati psikologi anak, jenis
permainan ini sesungguhnya diperuntukkan bagi anak-anak
yang lebih muda dari kisaran usia 8 - 9 tahun anak-anak di
sana. Kiranya, mahasiswa arsitektur memang perlu belajar
melintasi wilayah wacananya, memperhatikan lebih jauh
faktor psikologis yang memang memperhitungkan kegunaan
mainan bagi pengembangan diri anak. Dengan kenyataan
psikologis tersebutyang sesungguhnya masih bisa diuji ini
kegembiraan anak-anak itu ketika menerima dan memainkan
mainan ini, jadi mengundang pertanyaan. Apakah keriangan
itu tercipta karena memang mainan itu sungguh menarik hati
atau hanya karena itu mainan baru, maka niscaya menarik
minat?
Namun dari permainan ini, kita bisa mulai menilik sejauh
mana suatu permainan dibutukan di suatu tempat, dengan
kondisi tertentu, dan permainan macam apa yang cocok
dengan usia tertentu. Karya ini, yang sempat menggembirakan
anak-anak kecil itu, dapat mengantarkan kita lebih jauh untuk
mencermati kebutuhan permainan bagi anak-anak jalanan.
Permainan yang bisa menemani keseharian mereka sampai
akhirnya mereka bisa kembali bersekolah.
Atas: Peta area lampu merah yang
jadi perhatian (tak berskala).
Tengah: Produk akhir dengan kotak
penyimpanan.
Bawah: Penjelasan cara bermain.
Halaman sebelah: Produk akhir yang
dimainkan dalam praktek lapangan.
70
NAUNGAN BERMAIN
Aditya Setiawan
Denny Soedjito
Kristanto Hadinata

Jakarta memang bukan kota yang ramah terhadap anak.


Mengingat pernyataan Aldo van Eyckarsitek humanis
legendaris Belanda, yang percaya jika kota tak ramah
pada anak kecil, maka sia-sia ia bagi siapapunbahkan
Jakarta bukanlah kota. Ketidakramahan kota menyebabkan
ketidakpedulian warga. Plang Jangan ngebut banyak anak
seharusnya tak perlu ada karena anak-anak tak perlu sampai
bermain di jalan.
Namun semangat bermain tentu tak kenal usia. Selalu
ada kesenangan untuk terlibat pada setiap permainan. Aditya
Setiawan, Denny Soedjito, dan Kristanto Hadinata ternyata
juga punya semangat bermain yang tinggi. Ketika berjalan-
jalan ke daerah Jembatan Tiga, Jakarta Barat, mereka
terkesima dengan banyaknya fasilitas bermain di daerah
yang terpinggirkan itu. Dari area papan catur, fasilitas bola
sodok, pasar malam kagetan yang membawa komedi putar,
sampai fenomena yang terbilang muda di kota-kota Indonesia:
odong-odong, permainan usaha swadaya masyarakat demi
mengantisipasi kurangnya arena bermain anak di ruang kota.
Awalnya, mereka tertarik pada odong-odong. Mereka ingin
menambahkan fungsi lebih pada odong-odong agar orangtua
yang menunggu anak-anaknya bermain bisa duduk santai
sambil mengobrol dan bahkan memainkan permainan lain.
Namun ide itu mentok karena dari sejumlah bangku sampai
papan catur yang mereka rencanakan, berakhir membebani
odong-odong. Ide menambahkan papan catur juga kandas
karena waktu bermain catur tentu lebih lama daripada durasi
anak-anak bermain odong-odong. Permainan akan segera
72
berakhir karena odong-odong mesti pindah. Mobilitas odong-
odong tak mungkin diintervensi demi fungsi lebih yang bukan
menjadi niat awal. Berbagai fasilitas tambahan itu juga tak
73
bisa dirakit dengan mudah sebagai kesatuan konstruksi di
badan odong-odong tanpa memberatkan kayuhan tukang
odong-odong.
Akhirnya mereka membuat sebuah konstruksi mirip
halte kecil berbahan kayu triplek dan bambu dengan atap-
atap berlubang. Anak-anak bisa bermain di dalamnya dan
melongok dari lubang itu laksana berada di terowongan kecil.
Alas konstruksi dapat diangkat dan diletakkan dalam berbagai
sudut, menawarkan kemungkinan untuk dijadikan perosotan
bagi para balita ataupun menjadi alas papan catur bagi orang
dewasa. Ruang ini juga dapat berfungsi untuk ruang jaga
Siskamling di malam hari.
Pertanyaan bagi karya ini jatuh pada konsistensi ide yang
tak terjaga. Perhatian awal mereka terhadap odong-odong tak
berbekas pada hasil karya. Sejumlah kendala teknis dan logis
tak didalami dengan analisa. Mengganti ide semula secara
tiba-tiba dengan arena bermain multi-fungsi ini jadi terlalu
instan dan sederhana. Konstruksi ini pun bisa lebih diberi
detail demi menawarkan keberagaman permainan itu sendiri.
Ketertarikan awal mereka pada permainan, tampaknya
membuat mereka melupakan esensi bermain itu sendiri
karena terlalu asyik bermain-main.
Namun lepas dari itu semua, kita bisa melihat bagaimana
kompleksitas kebutuhan ruang bermain anak, yang bahkan
di suatu kawasan pun, perlu disikapi dengan lebih penuh
perhatian dan detail. Apa saja yang dibutuhkan oleh anak?
Belum lagi jika aneka permainan itu perlu disesuaikan dengan
usia mereka, sehingga sesuai dengan perkembangannya. Satu
hal yang perlu diperhatikan bersama, demi membuat kota
ini ramah kepada anak, sekaligus warganya, dan membuat
Jakarta kembali menjadi sebuah kota.
74
75
JEMBATAN PELAYANGAN
Fransiskus Ansis
Meidy Himawan
Tania Permata Sari

Kritik pedas terhadap fasilitas umum kota Jakarta bukan


saja tak pernah habis kita dengar, namun seringkali kandas
menjadi protes usang belaka, lalu tenggelam bersama
permasalahan ruang publik yang memang tak kunjung selesai.
Apalagi solusi-solusi yang ada selama ini seringkali malah
menyumbang masalah baru.
Jembatan penyebrangan adalah salah satu fasilitas
umum yang mungkin sudah bosan dikritisi warga. Terutama
jembatan penyebrangan model lama yang berbahan beton
cor, berukuran besar, dan memiliki ramp di tengah tangganya.
Jembatan yang janggal sejak awal dan telantar sampai akhir,
namun justru menarik perhatian Fransiskus Ansis, Meidy
Himawan, dan Tania Permata Sari.
Bagi mereka, ramp itu sangat rawan. Jika standar
kemiringan adalah 4, kecuraman ramp ini 22. Bonus curam
18 yang merancukan fungsi sebenarnya karena tak mungkin
dilalui pengguna kursi roda. Bahkan jika ramp ini dilintasi
pengendara motor dan sepeda, dibutuhkan keberanian dan
keahlian yang luar biasa untuk melewatinya.
Namun ramp juga dijadikan perosotan anak-anak jalanan.
Beralaskan kardus, mereka meluncur riang. Permainan
merekalah yang mengilhami kelompok ini. Sebuah kritik tentu
bisa dilontarkan sambil bermain.
Awalnya, mereka meniru keriangan bocah-bocah itu. Di
jembatan penyebrangan di depan kampus mereka, alas kardus
digelar. Sayang, fisika tak sepakat dengan beban dan ukuran
tubuh dewasa mereka. Perosotan jadi seret. Selain itu, tak
semua orang dewasa yang akan mau merosot seperti itu kalau
78
hanya demi memfungsikan kembali ramp yang cacat. Mereka
harus mengatasi ramp agar lebih berguna bagi lebih banyak
kebutuhan dan usia warga.
79
Mereka lalu mengadopsi jenis permainan yang kita kenal
sebagai flying fox. Dengan itu, mereka tak hanya secara
gamblang memprotes rancangan fasilitas publik, tapi juga
mencapai kemudahan dan kecepatan turun. Menuruni tangga
penyebrangan itu butuh waktu sekitar 28 detik, dengan ramp
memadai seperti jembatan Transjakarta butuh sekitar 36
detik. Dengan sistem mereka, kita bisa turun dalam 13 detik.
Untuk menjamin keselamatan pengguna, mereka
menggunakan jasa manusia. Dalam bayangan mereka,
fasilitas ini akan dilayani seorang operator dari warga sekitar.
Mereka sadar bahwa inovasi mereka bisa membuka lapangan
pekerjaan baru, disewakan secara murah, dan berguna bagi
siapa saja. Tak hanya untuk meluncurkan orang dengan
senang, namun juga menurunkan barang dengan ringan.
Akhirnya, percobaan karya yang mereka lakukan
menjelang subuh agar terhindar dari aparat berlangsung
sesuai rencana. Pertanyaan baru nan menggelitik lalu muncul.
Mungkinkah karya ini diterapkan dalam skala besar? Rasanya
memang mustahil. Apalagi di kota Jakarta yang tak peduli
akan kesejahteraan warganya. Solusi formal hal ini adalah
menggantinya dengan jembatan yang baik. Menerapkan sistem
model flying fox hanya akan mempertegas kesalahan awal
pemerintah kota dalam merancang jembatan. Operatornya
pun akan menjadi resmi, bukanlah warga sekitar, sesuatu
yang sangat mengkhianati konsep semula. Namun bukan
dalam poin itukemungkinan karya untuk diterapkan dalam
skala besaryang membuat karya ini bernilai. Inovasi kreatif
mereka tak hanya membuka celah solusi baru bagi kebanalan
fasilitas publik selama ini, namun juga menerbitkan harapan,
bahwa kota Jakarta selalu bisa dihidupi dengan riang.
Halaman sebelah: Percobaan perosotan dan alat-alat yang
digunakan dalam karya bersistem flying fox.
Halaman ini: Potongan jembatan dengan keterangan alat
dan maket studi sistem flying fox yang akan digunakan. 81
2 Halaman selanjutnya: Sistem flying fox dalam praktek.

3
1

1 2 3 4
PAVILIUN KAMPUNG
Suci Sandra Dewi
Mickhael Florence
Willyanto Hinardi

Sebuah karya arsitektur baru bernilai jika ia tak menjadi


entitas tunggal, namun hidup ramah dengan lingkungannya.
Apalagi jika karya itu mampu menyelesaikan masalah sosial
dan mampu membentuk ruang publik baru. Namun dalam
proses kuliah formal, seringkali fungsi bangunan sudah
ditetapkan sesuai jenjang mata kuliah dan lokasi pilihan
mahasiswa bisa begitu saja cocok menerima fungsi tersebut.
Bagaimana jika para mahasiswa diajak menentukan lokasi
sendiri, mencermati permasalahan sosial di sana, sekaligus
menanggapinya?
Permukiman Rawa Bahagia di pinggir kali Banjir Kanal
Barat, Grogol, Jakarta Barat adalah lokasi pilihan Mickhael
Florence, Suci Sandra Dewi, dan Willyanto Hinardi sejak awal.
Berhari-hari mereka mencatat, memotret, berbincang dengan
warga di sana, sampai mereka temukan permasalahan yang
mampu mereka tanggapi.
Ada sebuah jalan di pinggir kali itu, yang berdiri lebih
tinggi daripada kawasan sebelahnya, dipagari oleh sederet
rumah-rumah semi permanen warga setempat. Jalan yang
cukup ramai terutama oleh anak-anak kecil yang bermain
kala sore. Namun ada satu deret jalan, sekitar 20 meter, yang
belum dibatasi rumah. Sisi jalan tak berpagar yang rawan bagi
anak-anak untuk terjatuh ke bagian lain permukiman yang
lebih rendah sekitar 2,4 meter.
Niat awal kelompok ini adalah memagari sisi jalan itu.
Namun hanya pagar tentu terlalu biasa. Tanpa rumah warga,
sisi jalan itu juga menjadi sepi tanpa aktivitas. Bagaimana
memagari jalan sekaligus memancing aktivitas baru di sana?
86
Jawaban mereka adalah dengan membangun paviliun
mungil. Sebuah teras sederhana mirip halte dengan tempat
duduk dan atap yang dirimbuni tanaman rambat. Selain
87
berfungsi sebagai pagar, paviliun itu juga bisa menjadi
tempat menunggu untuk orangtua yang menjaga anak mereka
bermain, juga untuk tempat bersantai bagi siapapun.
Paviliun kampung itu didirikan di tengah sisi pinggir jalan
yang terjal itu. Desain dibuat sederhana, modular, mudah
dibongkar-pasang, berbiaya cukup murah, dan menggunakan
bahan baku yang mudah dicari di pasaran.
Setelah paviliun yang dibangun bersama warga itu jadi,
tempat itu ramai didatangi warga. Anak-anak kecil bermain,
ikut duduk, bergantian dengan orangtua yang mengasuh adik-
adik mereka. Bersama keramaian baru itu, sejumlah pedagang
makanan bergerobak dorong jadi turut mangkal di sekitarnya.
Bahkan kemudian ada warga yang memasang plang jasa
khitanan lokal di tiangnya. Paviliun mungil sederhana ini
akhirnya benar-benar menjadi ruang publik baru sekaligus
penanda bahaya bagi keterjalan jalan di sekitarnya.
Rancangan paviliun ini juga dimaksudkan sebagai cetak
biru bagi warga. Modul rancangan dan biaya diserahkan
kelompok ini kepada ketua RT setempat. Sehingga kapanpun
warga ingin memperbanyak modul paviliun ini di sepanjang
jalan terjal itu, mereka dapat meneruskannya secara swadaya.
Sekalipun dari segi desain arsitektural sangatlah biasa,
paviliun ini telah menunjukkan bahwa suatu karya arsitektur
yang berangkat dari permasalahan yang nyata, dengan
perhatian yang hangat terhadap konteks sosialnyasekecil
apapun luasan dan sebiasa apapun desainnyamampu
menciptakan interaksi sosial yang ramah bagi warga, dan
karenanya, karya ini sungguh bernilai.
Keadaan tapak dan lingkungan sekitar. Banyak anak kecil
bermain dan terlihat sisi lahan yang lebih rendah dari jalan.
Halaman ini: Studi model digital 3 dimensi produk di tapak.
Halaman selanjutnya: Proses pembuatan dan hasil akhir karya di
tapak dan interaksinya dengan warga sekitar.
BEL BUS
Antoni Winata
Ingrid Anita Stacia Dharmawan
Xena Levina Caesarea

Kenek adalah salah satu profesi unik Jakarta. Selain menagih


uang sewa, ia juga menyerukan tujuan demi memancing
penumpang untuk naik bus, menyuarakan informasi yang
lebih jelas ketimbang papan keterangan trayek bus di jalanan.
Dalam perkembangan alaminya, kenek melahirkan sosiolek
tersendiri. Mereka suka berseru dengan menyingkat infomasi
harga, nomor busnya, dan nama antartujuan agar lebih mudah
diucapkan. Kalimat seperti [e]nam pat nam, [Pasar] Minggu
- Depok , [Slipi] Jaya Grogol, atau Jauh dekat tiga ribu,
sudah akrab dimengerti calon penumpang. Suatu bahasa dan
suara yang menjadi identitas pekerjaan, kegiatan, lalu meluas
menjadi pembentuk jati diri Jakarta.
Suara, di sisi lain, adalah salah satu elemen pembentuk
utama ruang. Sisi ini sering dilupakan, namun tidak oleh
Antoni Winata, Inggrid Anita Stacia Dharmawan, dan Xena
Levina Caesarea yang sejak awal memang tertarik dengan isu
suara dalam arsitektur. Awalnya mereka berkonsentrasi pada
polusi suara di ibukota ini. Perhatian mereka lalu tertambat
pada seruan kenek, yang memiliki dua tujuan, pertama untuk
memberi tahu nomor dan tujuan bus kepada calon penumpang
di luar, kedua demi memberitahu penumpang di dalam, akan
sampai di mana bus yang mereka tumpangi itu sebentar lagi.
Dari pengamatan itu, mereka ingin agar kenek tak perlu
lagi berteriak untuk penumpang di luar. Suaranya bisa
diganti dengan rekaman suara yang disiarkan lewat pengeras
suara yang bisa diaktifkan dengan menekan tombol. Dengan
itu, kenek cukup memberi tahu tujuan terdekat kepada
penumpang di dalam bus.
94
Percobaan alat mereka lakukan pada sebuah bus P46
jurusan Grogol Cawang bersama seorang kenek kenalan
mereka. Hasil karya mereka kemudian adalah rekaman suara
95
kenek yang menyuarakan kedua arah jurusan. Sampel suara
itu mereka beri latar lagu tradisional Batak Alusiau yang
mereka nyanyikan sendiri. Suara-suara itu diinstalasikan di
bus, lengkap dengan pengeras suara dan tombolnya.
Namun penyelesaian karya kelompok ini jadi terlalu
instan bagi proses berpikir yang sudah menarik sejak awal.
Semacam kegagapan yang melanda ketika teori tertumbuk
kompleksnya realitas. Suara yang dihasilkan tak jernih dan
mereka jadi menghilangkan sosiolek yang telah tercipta
secara alamiwalau bagi pendatang, ucapan kata yang
lengkap bisa memperjelas informasi. Lagu tradisional Batak
yang ditempelkan sebagai latar, alih-alih ingin memberi
nuansa budaya lokal, justru mengeneralisir etnis supir dan
kenek yang kini tak lagi didominasi etnis Batak seperti dulu.
Adanya latar lagu itu jadi semakin mengaburkan suara
kenek yang sudah keruh. Ide yang menarik ini, seharusnya
bisa dimatangkan lagi jika setiap keputusan dibuat dengan
mempertimbangkan faktor-faktor logis dari hubungan
antara kejelasan informasi, estetika suara, dan hal teknis
pemasangan.
Simulasi yang kemudian mereka lakukan berjalan cukup
lancar, sampai akhirnya bus distop polisi yang siap dengan
mobil derek, sekalipun aparat itu akhirnya bisa diatasi dengan
negosiasi singkat. Rekaman suara itu jadi lebih keras daripada
suara kenek biasanya, sehingga memancing polisi, hal yang
kiranya perlu diperhatikan agar tak menjadi polusi suara baru.
Lepas dari hasilnya, sejak awal niat mereka adalah
memberi warna baru bagi Jakarta lewat suara dan
pendengaran. Sebuah perhatian menarik. Semoga kesadaran
awal mereka tetap tak kalah lantang dalam riuh-rendahnya
wacana arsitektur dewasa ini.
96

... ayo ... ayo ... (g)rogol (s)lipi rogolipi...


. . . a l u . . . s i . . . a u . . . d i
97

Atas: Visualisasi dari sepotong karya suara yang dilengkapi lirik.


Kiri bawah: Pemasangan peralatan bel bus.
Kanan bawah: Ekspresi orang-orang di sepanjang jalan yang dilalui trayek bus.

rogolipi... tomang ... terus ... terus ... terus ...


b a h e n i . . . a l u . . . s i . . . a u . . .
ZONA MEROKOK
Jacson Andika Santoso
Juanto Putratama
Yotanaga Satria

Merokok di Jakarta sangatlah kompleks. Di satu sisi, ibukota


ini surga bagi perokok. Masih sering kita jumpai mereka yang
membumbung asap di dalam angkutan umum tanpa terbakar
protes. Namun di lain sisi, peraturan larangan merokok
pemerintah kota juga tak kalah ajaib. Larangan yang tak
selalu diimbangi penyediaan ruang merokok dalam gedung itu
bahkan mengasap ke jalanan. Orang juga dilarang merokok
di ruang terbuka, dari parkiran sampai trotoar sejumlah
kawasan utama, yang jelas-jelas tak menjanjikan udara sehat
kecuali asap knalpot dari kendaraan yang macet. Sekalipun
jika tertangkap api, kita masih bisa memberikan uang
rokok kepada aparat. Namun tampak sekali bahwa tak ada
pembatasan yang jelas antara yang publik dan privat.
Isu ini kemudian menarik hati Jacson Andika Santoso,
Juanto Putratama, dan Yotanaga Satria. Ide awal mereka
macam-macam. Dari membuat papan larangan merokok
standar, sampai menjadikan para perokok bagai tontonan
di ruang khusus dengan membuat asap-asap mereka
sebagai bagian dari permainan cerobong asap. Mereka juga
memperhatikan batas asap, sejauh apa asap mengganggu
orang lain dalam jarak tertentu. Namun yang akhirnya mereka
lakukan justru sebaliknya: memberi kuasa bagi para perokok
untuk membela tindakannya. Mereka membuat sebuah keset
tempat merokok. Dengan berdiri di atasnya, kita jadi sah untuk
merokok.
Ide untuk memberi kuasa dan mempermainkan ruang
imajiner demi mengabsahkan sebuah tindakan, yang justru
bagi perokok ini, sesungguhnya menarik karena dapat menjadi
100
semacam protes balik dari para perokok atas pemerintah yang
senang mengambil pajak rokok tapi suka melarang orang
merokok. Namun sayangnya, mereka luput melihat kepulan
101
aspek lain. Orang tentu tak akan mudah percaya dengan
tampilan keset yang kurang berwibawa untuk mengepulkan
kuasa itu. Kewibawaan kesan dari keresmian tampilan itu pula
yang membuat sejumlah seniman yang pernah melakukan
aksi serupa, akhirnya meniru persis atau bahkan mencuri
papan resmi boleh merokok untuk menciptakan sendiri
ruang khusus merokok mereka. Sehingga begitu papan
resmi itu dipindahkan ke suatu tempat, tampilannya akan
membenarkan aksi merokok di ruang itu. Persis seperti niat
mereka. Keset ini bisa dibawa, tinggal digelar di mana saja,
dan merokok jadi sah.
Sayangnya, keset ini tak terancang dengan baik. Orang
lain bisa lantas berpikir bahwa ini hanyalah kenakalan
mengada-ada si perokok saja. Dengan berdiri di atasnya,
tulisan Please Smoke Here di atasnya jadi tak terlihat. Keset
ini pun hanya mengundang satu orang. Belum lagi dalam
soal bahan. Jika dilipat, keset ini jadi terlalu besar sehingga
merepotkan untuk dibawa kemana-mana. Lagipula, satu hal
yang juga luput dipikirkan adalah, di mana saja keset ini
hendak digunakan? Tentu tidak di jalanan Jakarta karena para
perokok di ibukota ini masih bisa bebas merokok di mana saja,
tanpa bantuan alat apapun.
Jika mereka cukup memahami kompleksitas masalah
merokok di ruang publik, karya ini bisa mengantar mereka
pada kritik tegas yang inovatif atas posisi perokok di ruang
publik yang sebenarnya tak ubahnya dengan masyarakat yang
tak merokok: kenyamanan ruang publik bagi keduanya sama-
sama tak dipedulikan oleh pemerintah kota. Satu hal yang
sejatinya ingin mereka sumbangkan, dan semoga menuai hasil
memuaskan di kali lain.
IN.FOR.WAIT.ON
Amelia
Irene Syona 103
Ricky Goreta

Rata-rata warga Jakarta menghabiskan 4 6 jam sehari


di jalan. Kemacetan yang dulu hanya terjadi pada pagi dan
sore hari, kini merambat hingga siang hari. Kenyataan ini
merugikan perekonomian kota hingga milyaran setiap tahun.
Belum lagi menghitung dampak psikologisnya. Buruknya
sistem transportasi ini diperparah dengan minimnya runag
publik kota. Warga menjadi komuter abadi. Tak mengalami
ruang kotanya secara manusiawi.
Warga yang berada di jalanan adalah mereka yang sedang
menuju suatu tempat. Sepanjang itu, kerap kali mereka harus
menunggu. Entah menanti bus yang tak kunjung datang
atau kembali menunggu di dalam bus sambil mendambakan
berakhirnya kemacetan jalanan. Menunggu semacam ini, yang
lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya inilah yang
kemudian menarik perhatian Amelia, Irene Syona, dan Ricky
Goreta.
Bagi mereka, sembari menunggu, selayaknya orang juga
bisa mendapatkan informasi. Tempat yang mereka perhatikan
adalah trotoar luas di depan Plaza Indonesia, Jakarta Pusat,
yang memang ramai sepanjang hari. Area itu bahkan lebih
diramaikan orang dari beragam tempat dan tujuan ketimbang
pengunjung mal.
Mereka lalu membuat sebuah struktur kecil serupa halte
yang berisi beragam informasi. Dari majalah gratis sampai
peta rute kendaraan umum. Semula, rancangan ini hendak
dipasang di trotoar plaza, namun karena kendala perizinan,
mereka menggesernya ke trotoar dekat halte Plaza Indonesia
di sisi jalan MH. Thamrin.
Halaman ini: Studi model digital 3
dimensi pemasangan produk akhir
dan keterangan trayek bus sekitar
bundaran Hotel Indonesia yang di
tempel di atas produk akhir sebagai
pelengkap informasi.
Halaman selanjutnya: Produk akhir
yang terpasang di lokasi.
Di sini, analisa mereka atas kegiatan menunggu menjadi
sangat sederhana. Seakan orang yang menunggu niscaya
menganggur. Sementara di area itu, orang justru mengobrol
105
dan mengaso. Mereka juga bisa menggunakan telepon
genggamnya untuk mengisi waktu. Tak semua orang yang
menunggu membutuhkan informasi, dan andai ya, informasi
seperti apa yang dibutuhkan?
Menyediakan informasi gratis memang baik, namun
barang yang gratis tentu cepat habis sehingga harus terus
disuplai, sesuatu yang hanya mampu mereka lakukan selama
tiga hari. Kelompok ini juga luput melihat kemungkinan untuk
menginteraksikan materi karya mereka dengan pedagang
koran dan majalah asongan. Suatu hubungan yang mungkin
bisa melahirkan ide-ide kreatif yang terintegrasi dengan
lingkungan sosialnya.
Namun materi informasi dalam struktur portabel itu
dengan ajaibnya bisa santai berdiri tanpa izin di trotoar itu
dan aman dari gangguan aparat keamanan Plaza Indonesia
maupun polisi. Tampaknya masing-masing aparat saling
menduga kalau yang lain sudah memberikan izin.
Ketidakpedulian itu, walaupun menguntungkan
bagi mereka, tentu merupakan cerminan mutlak akan
ketidakpedulian pemerintah atas ruang publik Jakarta.
Dengan itu, perhatian kelompok ini untuk meningkatkan
kualitas menunggu, sampai akhirnya transportasi kota
membaik dan ruang publik memarak, perlu dicatat oleh
banyak perancang. Jika kondisi ruang publik Jakarta memang
begitu mengenaskan, apa yang bisa kita lakukan bersama
untuk meningkatkan kualitas hidup, sembari mengusahakan
perubahan jangka panjang di masa depan? Sebuah
pertanyaan yang layak menjadi catatan kita semua.
PETA JALAN PINTAS
Andy Wijaya
Edwin Budiman
Phelia Felim
Yulianti Chandra

Kita bisa mendefinisikan jarak dengan waktu, namun tak


pernah sebaliknya. Di Jakarta, dengan kemacetannya yang
menjanjikan, buruknya moda transportasi umum, dan
minimnya sistem penunjuk jalan, orang bahkan cukup ikhlas
untuk menempuh jarak lebih jauh asalkan bisa tiba lebih
cepat. Namun itu hanya bisa dilakukan jika kita mengenali
Jakarta, dan menganggapnya sebagai medan pertempuran
sekaligus medan permainan yang unik. Perlu seperangkat
strategi untuk bisa tiba dengan cepat dan nyaman sampai
tujuan.
Warga yang cukup berpengalaman dan lihai, biasanya
ingat kapan jalan tertentu macet dan paham jalan pintas
tersingkat. Jalan-jalan tikus itu, selain menjadi segenggam
pengetahuan, juga perlu terus disegarkan dengan info-info
terkini.
Ruwetnya perjalanan kota dan bagaimana warga
mengatasi jalan pintas itu, pada akhirnya menarik perhatian
Andy Wijaya, Edwin Budiman, Phelia Felim, dan Yulianti
Chandra. Awalnya, mereka masih tertarik pada isu-isu besar
kota. Baru setelah menyusuri Stasiun Manggarai, dan mereka
jumpai jalan pintas berupa tangga bikinan warga, pandangan
mereka berubah.
Minat baru itu kemudian mengantar mereka pada
beragam pendefinisian atas jalan pintas Jakarta. Ada
rangkaian rute yang dihubungkan secara alami. Ada jalan yang
ditembus dan diciptakan warga. Ada pula yang dihubungkan
dengan alat bantu seperti rakit dan perahu untuk menyebrangi
110
kali. Mereka juga mendata mana jalan pintas yang berbayar
dan mana yang gratis, serta mana jalan pintas bagi pejalan
kaki maupun kendaraan bermotor.
111
Sekumpulan data itu kemudian diolah menjadi sebuah
blog: petapotongpendek.blogspot.com. Di sana, orang juga
mendapat detail informasi berharga lainnya, seperti waktu
yang bisa dihemat, rawan licin, rawan terjal, atau rawan
tertubruk mobil di jalan pintas. Tak cuma itu, mereka juga
menyediakan foto panduan, agar kita bisa mengingat posisi
jalan pintas di kenyataan.
Karya ini adalah sebuah terobosan. Selain lahir sebagai
kritik atas kompleksitas transportasi kota, merekam
strategi warga dalam menyiasati kotanya yang selama ini
menyesatkan orang banyak, juga membuka interaksi baru
melalui peta yang berbeda, dan mungkin jauh lebih hidup dan
berguna, untuk melengkapi peta formal yang ada.
Blog ini akan diteruskan oleh mereka dengan informasi
baru, tampilan lebih menarik dan komunikatif, serta
sosialisasi dan publikasi yang lebih luas. Ke depan, akan
kita lihat, apakah blog ini mampu berevolusi menjadi sebuah
platform sendiri yang lebih publik? Mengajak siapapun
untuk bergabung, menyumbang dan mengoreksi data, serta
bersenang-senang atas manfaatnya. Potensi karya ini untuk
menjadi sebesar, atau bahkan lebih daripada Foursquare
sebuah fasilitas geo-tagging yang mengubah satu bumi
menjadi arena permainantak mustahil. Tantangan inilah
yang hanya dapat dijawab oleh mereka.
Sementara itu, karya ini saja telah memperjelas
bagaimana sebenarnya kita sudah melakukan intervensi ruang
yang bermakna. Bahwa sesungguhnya kita semua mampu
berarsitektur, tanggap, dan tangkas menghidupi kotanya.
Disiplin arsitektur perlu menyesuaikan kembali sikapnya atas
fenomena seperti ini. Sesuatu yang telah mereka kerjakan
dengan sangat baik.
Pemetaan dan foto hasil survei visual beberapa jalan pintas yang
ditemukan sendiri oleh kelompok ini.

Sejumlah ikon hasil pengembangan studi penanda jalan pintas.

Dapat dilalui Dapat dilalui Dapat dilalui Masuk


Naik perahu
orang motor / sepeda mobil gedung

Resiko Resiko Hemat Hemat


Lewat gang Hemat uang
tergelincir tercebur jarak waktu
Tampilan situs Peta Potong Pendek.
Tampilan situs. Tampak bagaimana alur penjelajahan pengguna dalam situs ini.
Dari peta besar, sejumlah keterangan, sampai panduan foto lokasi jalan pintas.
3 2 1

5 4

1 2

3 4 5
116
117

SUASANA PENILAIAN AKHIR


Mahasiswa Nomor Induk Mahasiswa

Aditya Setiawan 315070070


Amelia 315070056
Andayani PW 315050181
Andy Wijaya 315070150
Antoni Winata 315070096
Antonius Wiradigdaya Kosasih 315070168
Archangela E. Natalia 315070089
Bernadette Adinadia 315070170
Chin Ronal Purnama Chandra 315070113
Denny Soedjito 315070172
Edwin Budiman 315070152
Fransiskus Ansis 315070064
Gabriela Velda 315070167
Gabriella Stella 315070124
Ingrid Anita Stacia Dharmawan 315070122
Irene Syona 315070060
Jacson Andika Santoso 315070181
Jose Mayson Mulia 315070165
Juanto Putratama 315070149
Kristanto Hadinata 315070173
Kurniadi Lim 315070158
Livia Louis 315070048
Meidy Himawan 315070040
Melita Felicia 315070166
Mickhael Florence 315070178
Phelia Felim 315070140
Ricky Goreta 315070027
Stacia Bernadette 315070104
Suci Sandra Dewi 315070098
Tania Permata Sari 315070042
Tony Sunardi 315070163
Wilie D. Atmaja 315070103
Willyanto Hinardi 315070198
Xena Levina Caesarea 315070204
Yoana Linda 315070107
Yotanaga Satria 315070071
Yulianti Chandra 315070200
Dosen Tamu

Ardi Yunanto lahir di Jakarta, 21 November 1980. Setelah lulus


dari jurusan Arsitektur di Institut Teknologi Nasional Malang di
Malang, Jawa Timur, ia kembali ke Jakarta pada 2003, kota di mana
ia dibesarkan. Sejak 2004 bergabung dengan ruangrupa, organisasi
seni rupa kontemporer dan sejak 2007 menjadi redaktur untuk
Karbonjournal.org, sebuah jurnal online tentang kota, karya dan
budaya visual, yang diterbitkan oleh organisasi tersebut. Ia juga
bekerja lepas sebagai desainer grafis, peneliti, dan penyunting, sambil
terus meluangkan waktu menulis fiksi.

Farid Rakun lahir di Jakarta pada 1982. Ia belajar arsitektur di


Fakultas Teknik Universitas Indonesia pada 2000 - 2005. Setelah
terjun ke industri konstruksi selama empat tahun dan menjadi tukang
gambar di Bali, New Orleans, dan Phnom Penh, ia memutuskan untuk
rehat. Selain menjadi redaktur Karbonjournal.org, saat ini ia menjadi
asisten dosen di almamaternya.
Dosen

Iswanto hartono lahir di Purworejo, 1972. Ia seorang seniman yang


berpendidikan formal di jurusan Teknik Arsitektur di Universitas
Tarumanagara juga School of Planning and Architecture di New Delhi,
India. Karya-karya seni rupanya sering dipamerkan di dalam dan
luar negeri, baik dalam pameran bersama maupun tunggal. Ia juga
pernah mengikuti program residensi seniman di Jerman, Jepang, dan
Amerika Serikat.

Veronica Gandha lahir di Purwokerto pada 1979. Setelah lulus


dari jurusan Arsitektur Universitas Tarumanagara pada 2001, ia
sempat bekerja di konsultan arsitektur. Namun pada akhir 2002
ia memutuskan untuk mengajar di almamaternya. Pada 2004,
ia menempuh pendidikan arsitektur di Cranbrook Academy of
Art, Michigan, Amerika Serikat. Saat ini ia masih mengajar di
almamaternya dan mulai membantu jurusan Arsitektur Universitas
Indonesia pada pertengahan 2010.

Mohammad Nanda Widyarta kuliah arsitektur di University of


Oklahoma, menjadi pendengar di mata kuliah Semiotika di Universitas
Indonesia, dan kuliah sejarah & teori arsitektur di Architectural
Association School. Pernah menjadi salah satu konseptor pameran
Tegang Bentang di Erasmus Huis, Jakarta, 2007 bersama tim Pusat
Dokumentasi Arsitektur (PDA). Pernah menerbitkan sebuah buku dan
terlibat dalam penulisan beberapa buku, seperti misalnya Rumah
Silaban/Silaban House (bersama modern Asian Architecture Network),
Warisan De Javasche Bank (bersama tim PDA), serta sebuah bab untuk
sebuah buku mengenai konsep ruang dalam arsitektur Jawa (bab
tersebut ditulis bersama Josef Prijotomo). Artikelnya pernah sekali
muncul di harian The Jakarta Post, beberapa kali muncul di harian
Surabaya Post, dan dua kali muncul di sebuah jurnal kebudayaan
terbitan Paris, le Banian. Saat ini ia mengajar di Depok, Karawaci dan
Jakarta.
Pengulas Tamu

Agustinus Sutanto adalah seorang arsitek yang sempat mengenyam


pendidikan di Universitas Tarumanagara dan lulus pada 1992.
Ia kemudian melanjutkan pendidikan di The Bartlett School of
Architecture, Inggris dimana ia meraih gelar M.Arch pada 1998 dan
MSc. pada 2003, lalu kembali belajar di Sheffield University di Inggris
dan mendapatkan gelar PhD by Design pada 2009. Selain menjadi
Direktur Desain pada PT. Studio Akar Karya, ia juga menjadi dosen
tetap di almamater tanah airnya.

Ade Darmawan lahir di Jakarta pada 1974. Ia belajar di jurusan


Seni Grafis Institut Seni Indonesia di Yogyakarta (1992-1997), dan
Rijksakademie Van Beeldende Kunsten - Institute for Advance Art
Studies and Research di Amsterdam, Belanda (1998-2000). Bersama
sejumlah seniman di Jakarta, pada 2000 ia mendirikan ruangrupa,
sebuah organisasi seni rupa kontemporer di mana ia menjabat
sebagai direktur. Ia juga seorang seniman yang kini mengajar di
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Universitas Tarumanagara.

Paramita Atmodiwirjo lahir pada 1972. Setelah menyelesaikan


studinya di Departemen Arsitektur Universitas Indonesia pada 1997, ia
mendapatkan beasiswa untuk menempuh pendidikan di University of
Sheffield, Inggris Raya, dan memperoleh gelar Master of Architectural
Studies serta PhD. Sekarang ia aktif melakukan penelitian dan
mengajar di almamaternya. Ia juga mendirikan dan merupakan editor
dari jurnal arsitektur online arsitektur.net.

Yandi Andri Yatmo lahir pada 1971. Setelah menyelesaikan studinya di


Departemen Arsitektur Universitas Indonesia (1996), ia mendapatkan
beasiswa untuk menempuh pendidikan di University of Sheffield,
Inggris Raya, dan memperoleh gelar Postgraduate Diploma in
Architecture (with RIBA Part II), Master of Architecture serta PhD.
Sekarang ia aktif melakukan penelitian dan memimpin berbagai
program studio perancangan di almamaternya. Ia juga mendirikan dan
merupakan editor dari jurnal arsitektur online arsitektur.net.
Hidup di ruang publik kota Jakarta bagai berlaga di arena pertarungan.
Penuh taktik, strategi, dan keberanian. Para mahasiswa jurusan
Arsitektur Universitas Tarumanagara, yang mengikuti mata kuliah pilihan
Studio Perancangan Arsitektur Kontemporer pada semester enam 2010
ini, menawarkan beragam taktik dan strategi untuk memenangkan
kembali ruang publik yang terus-menerus tergerus di ibukota ini dengan
bergerilya. Mereka mengamati, meneliti, dan menanggapi berbagai
permasalahan warga dan ruang publiknya, serta membuat arsitektur
kembali mempermasalahkan tata bina ruang dan perilaku manusia
yang sejatinya tidak hanya mengenai bangunan. Duabelas karya mereka
menjadi karya arsitektur yang memiliki pengertian yang luas, meliputi
desain rompi, tas alas belajar, naungan bermain, paviliun kampung,
sampai sebuah situs interaktif tentang jalanan kota.
Kumpulan karya para mahasiswa ini disertai berbagai foto dan
gambar rancangan dalam halaman berwarna, diulas secara kritis, dan
dilengkapi dengan esai-esai reflektif dari para pengajar yang terlibat.
Buku ini merekam gerilya mereka, sekaligus menjadi catatan dari
pencarian jawaban arsitektur dalam menanggapi permasalahan sehari-
hari yang terus hidup berlaga secara nyata di Jakarta.

JURUSAN ARSITEKTUR - FAKULTAS TEKNIK


UNIVERSITAS TARUMANAGARA
Kampus I - Jl. S. Parman No. 1, Jakarta Barat, 11440
Telp: 021-56958723/46, Fax: 021-56958738/5604478
www.tarumanagara.ac.id

You might also like