Professional Documents
Culture Documents
Pentingnya Partisipasi Masyarakat Dalam Pengembangan Kawasan Budaya Terpadu Dan Kawasan Srategis Konservasi Warisan Budaya Di Kota Makassar
Pentingnya Partisipasi Masyarakat Dalam Pengembangan Kawasan Budaya Terpadu Dan Kawasan Srategis Konservasi Warisan Budaya Di Kota Makassar
Yadi Mulyadi
Staf Pengajar Jurusan Arkeologi
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin.
email: lumiday@yahoo.com
ABSTRACT
Participations of public in the effort conservation of culture heritage is one of priority which
must be reached in every exploiting activity of culture pledge object which with vision of
conservation. Including government plan of town Makassar which will do expansion of
integrated culture area and strategic area of conservation of culture heritage need to be
supported by all component, good of academician, practitioner and culture observer,
government officer and government functionary, self-supporting private sector and institute of
public as presentation of reality from participation of public. This thing need to be done,
because rightful owner public from culture heritage.
Conservation effort done shall affect at the increasing of awareness of urban community
Makassar for the importance of existence of cultural heritage pledge so that public later which
will play more and, government ready to and observes so that doesn't go out from applicable
law corridor about conservation. Investment of public in activity of conservation of cultural
pledge object in Makassar, in harmony with government concept which in stretcher now that
is concept Good Governance.
Partisipasi masyarakat dalam upaya pelestarian warisan budaya merupakan salah satu
prioritas yang harus tercapai dalam setiap kegiatan pemanfaatan benda cagar budaya yang
berwawasan pelestarian. Termasuk rencana pemerintah kota Makassar yang akan melakukan
pengembangan kawasan budaya terpadu dan kawasan strategis konservasi warisan budaya
perlu didukung oleh seluruh komponen, baik akademisi, praktisi dan pemerhati budaya, aparat
dan pejabat pemerintahan, swasta dan lembaga swadaya masyarakat sebagai wujud nyata dari
partisipasi masyarakat. Hal ini perlu dilakukan, karena masyarakatlah pemilik syah dari
warisan budaya.
Upaya pelestarian yang dilakukan haruslah berdampak pada meningkatnya kesadaran
masyarakat kota Makassar akan pentingnya keberadaan bangunan-benda cagar budaya
sehingga masyarakatlah nanti yang akan lebih berperan serta, pemerintah tinggal mengayomi
dan mengawasi sehingga tidak keluar dari koridor hukum yang berlaku tentang pelestarian.
Penyertaan masyarakat dalam kegiatan pelestarian benda cagar budaya di Makassar, selaras
dengan konsep pemerintahan yang di usung sekarang yaitu konsep Good Governance
1
I. Pendahuluan
Dalam salah satu rubrik di harian Tribun Timur medio Februari 2006, Walikota
Makassar menyebutkan tentang rencana penataan kota Makassar tahun 2005-2015 yang
sementara ini masih dalam proses pengkajian di Bappeda kota Makassar. Salah satu poinnya
adalah berkaitan dengan pengembangan Kawasan Budaya Terpadu dan Kawasan Strategis
Konservasi Warisan Budaya. Rencana tersebut tentu saja merupakan langkah yang positif
yang diambil oleh pemerintah kota Makassar dan mencerminkan kepedulian yang sangat
tinggi pemerintah kota terhadap sejarah budaya dan eksistensi kota Makassar sebagai kota tua
bersejarah yang kini menjelang usianya yang ke 401 tahun November 2008 nanti. Langkah
tersebut tentu saja membutuhkan dukungan dari berbagai elemen masyarakat kota Makassar,
sehingga rencana pengembangan kawasan terpadu dan kawasan strategis tersebut berdampak
positif terhadap perkembangan kota Makassar dan masyarakat Makassar pun merasakan
Sebagai salah satu kota tua yang terdapat di Indonesia, kota Makassar tentu saja telah
melalui perjalanan sejarah yang begitu panjang dan menyisakan kita tinggalan-tinggalan
budaya dan sejarah yang memiliki nilai historis tinggi sebagai penanda identitas jati diri kota
Makassar. Tinggalan budaya yang ada atau yang dikenal dengan sebutan Benda Cagar Budaya
jika mengacu pada Undang-Undang No. 5 tahun 1992 tentang Cagar Budaya, tentu saja sudah
keberadaan dan kelestarian benda cagar budaya yang ada di kota Makassar. Berdasarkan data
hasil inventarisasi Benda Cagar Budaya-yang juga merupakan tinggalan arkeologi-yang telah
dilakukan oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar maupun Jurusan Arkeologi
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, kota Makassar memilki ratusan Benda Cagar
Budaya, mulai dari tinggalan dari masa kerajaan, bangunan-benda cagar budaya bearsitektur
Indis, Pecinan Town sampai komplek makam kuno yang bersejarah. Sehingga langkah
2
pemerintah kota Makassar untuk mengembangkan Kawasan Strategis Konservasi Warisan
Budaya merupakan suatu langkah yang sangat tepat untuk pelestarian benda cagar budaya
yang memang membutuhkan untuk dikonservasi dan dilestarikan. Dalam tulisan ini, benda
cagar budayanya difokuskan pada bangunan kolonial yang terdapat di kota Makassar tua.
Dalam upaya pengembangan kawasan tersebut, kita dapat merujuk pada UU RI No. 5
tahun 1992 dan PP RI No. 10 tahun 1993, yang secara jelas termaktub bahwa benda cagar
budaya dapat dimanfaatkan sebagai obyek wisata. Merujuk pada produk hukum tersebut,
sebagaimana yang tertuang dalam pasal-pasalnya, maka pemanfaatan benda cagar budaya
sebagai obyek wisata adalah sah secara hukum. Pemanfaatan benda cagar budaya sebagai
obyek wisata sebagaimana yang diatur dari kedua produk hukum tersebut, harus tetap
menjaga kelestarian dari benda cagar budaya itu sendiri. Dalam UU RI No. 5 tentang
Kepariwisataan, juga diatur secara jelas bahwa pembangunan kepariwisataan harus tetap
Selain itu, partisipasi masyarakat menjadi hal yang penting guna mencapai hasil yang
maksimal dalam pengembangan kawasan budaya tersebut. Pemetaan sebaran benda cagar
budaya yang terdapat di kota Makassar dapat menjadi langkah awal untuk memulai upaya
Budaya.
Mengacu pada hasil penelitian yang dilakukan Asmunandar tahun 2006 dalam rangka
penyelesaain tesisnya, terdapat 74 bangunan yang termasuk katagori benda cagar budaya yang
ada di kota lama Makassar (lihat Tabel 1.). Setelah mengetahui lokasi, fungsi dan gaya
3
angka tahun dibangun. (lihat Asmunandar, 2006:68). Upaya ini dilakukan untuk mengetahui
4
43 Wisma Corimac 1927 Jalan Jenderal Sudirman
44 Rumah Tinggal 1928 Jalan Lombok
45 Rumah Tinggal 1928 Jalan Balai Kota
46 Gereja Katholik Susteran 1928 Jalan Lamadukelleng
47 Aula SMU Katolik Makassar 1928 Jalan Lamadukelleng
48 Rumah tinggal 1920-an Jalan Bacan
49 Rumah tinggal 1920-an Jalan Bacan
50 Rumah tinggal 1920-an Jalan Sumba
51 Tjian Rijan & Co 1920-an Jalan Lombok
52 Gudang Beras 1920-an Jalan Ternate
53 Kantor CV. Angin Timur 1920-an Jalan Sangir
54 SMU Kartika Chandra Kirana 1920-an Jalan Sungai Tangka
54 Hotel Empress 1930 Jalan Kajaolalido
55 Rumah Tinggal 1931 Jalan Daeng Tompo
56 Rumah Jabatan Walikota 1933 Jalan Penghibur
Makassar
57 Sekolah Frater atau Menalia 1934 Jalan Thamrin
58 Kantor Polisi Militer 1935 Jalan Jenderal Sudriman
59 Rumah Tinggal 1935 Jalan Datu Museng
60 Rumah Jabatan Gubernur 1937 Jalan Jenderal Sudirman
61 Rumah Sakit Bersalin Sentosa 1938 Jalan Jenderal Sudirman
62 Kantor Walikota Makassar 1938 Jalan Jenderal Sudirman
63 Rumah Tinggal 1938 Jalan Daeng Tompo
64 Rumah Sakit Stella Maris 1938 Jalan Penghibur
65 Kompleks Perwira Kodam VII 1938 Jalan Sungai Tangka
Wirabuana
66 SMP Negeri 5 1930-an Jalan Sumba
67 Kantor Direktorat Jenderal Pajak 1940 Jalan Slamet Riyadi
68 Sekolah Frateran 1940 Jalan Kajaolalido
69 Kantor Pos dan Telegram 1940 Jalan Balai Kota
70 Bunker Jepang 1942 Jalan Amanagappa
71 Queenshead 1946 Jalan Balai Kota, Jalan
Manggis, Jalan Sungai
Tangka, Jalan Amanagappa
dan Jalan Rajawali
72 Rumah Wakil Gubernur Sul-Sel 1946 Jalan Sultan Hasanuddin
73 Fasilitas Dermaga Rekreasi Layar 1950 Jalan Ujung Pandang
74 Rumah Tinggal 1954 Jalan Arif Rate
Jika kita kaji lebih mendalam tabel di atas, terlihat bahwa Kota Makassar sebagai kota
lama yang diarsiteki oleh bangsa Belanda. Hal ini ditunjukkan dengan dipilihnya Benteng
Ujung Pandang dan sekitarnya sebagai permukiman baru menggantikan Benteng Somba Opu
sebagai ibukota Kerajaan Makassar. Benteng Ujung Pandang yang diganti namanya menjadi
menjalankan pemerintahan kolonial di Kota Makassar. Pada bagian utara Benteng Rotterdam,
berkembang menjadi kawasan hunian pedagang yang berasal dari Tionghoa atau yang
sekarang disebut Pecinan. Kawasan Pecinan ini, ditandai dengan banyaknya klenteng dan
5
vihara sebagai sarana ibadah bagi orang-orang Cina. Klenteng dan vihara tersebut berdiri pada
Di kawasan pecinan juga terdapat deretan rumah-rumah yang berpola medieval, tanpa
halaman depan. Umumnya bangunan ini berlantai dua, dimana ruang bawah sebagai tempat
usaha dagang, sedangkan bagian atas difungsikan untuk hunian. Fenomena bangunan seperti
ini didukung oleh kawasan Pecinan sejak dulu merupakan kawasan perdagangan yang
berdekatan dengan pelabuhan. Bangunan tersebut pada umumnya berupa ruang ruang terbuka
di bagian belakang atau patio, yang berfungsi memasukkan cahaya dan udara secara alami ke
dalam rumah. Kawasan Pecinan ini dikenal juga dengan sebutan Negory Vlaardingen yang
dihuni juga oleh pedagang dari Eropa. Buktinya dapat dilihat pada beberapa bangunan pada
kawasan Pecinan yang menggunakan gaya arsitektur Eropa Klasik maupun Eropa Modern.
daerah di sekitar Lapangan Karebosi dan di sekitar Benteng Rotterdam, sebagai daerah
eksklusif orang-orang Belanda. Sementara untuk sarana militer, dibangun di daerah selatan
III. Pembahasan
Sebaran benda cagar budaya yang melimpah di kawasan kota lama Makassar sangat
untuk kepentingan pariwisata. Selain itu, wilayah ini pun dapat dijadikan muatan penting
dalam pengembanan kawasan budaya terpadu dan kawasan strategis konservasi warisan
budaya di kota Makassar. Nilai historis sebagai salah satu nilai penting yang terkandung
6
dalam benda cagar budaya di kota Makassar baru sebagian kecil nilai penting yang ada.
Kasnowihardjo (2001) mengemukakan lebih spesifik beberapa potensi yang dimiliki benda
Monetary and economic gain, objek tinggalan arkeologi yang sifatnya langka dan unik
serta dapat berfungsi sebagai objek wisata budaya seperti yang telah disebutkan diatas, jelas
itu sangatlah penting, bahkan kaitannya dengan pemanfaatan benda cagar budaya, upaya
pelestarian tetap harus dikedepankan sehingga tidak menimbulkan dampak negatif yang
nantinya akan kita sesali. Namun fenomena yang terjadi sekarang, upaya pelestarian benda
7
cagar budaya khususnya banguan kuno di Makassar belumlah berjalan maksimal. Upaya
pelestarian yang dilakukan masih cenderung berada dalam koridor teoritis saja. Padahal
Sudah saatnya Makassar perlu untuk lebih menonjolkan benda-benda cagar budayanya.
Termasuk bangunan, gedung, lingkungan, dan lainnya, yang punya nilai sejarah perjuangan.
Visi dan misi pelestarian harus bisa melindungi warisan, menjamin keanekaragaman, dan
Dan motivasi adalah partisipasi kolektif. Perwujudan dari tanggung jawab bersama
pemerintah, swasta, dan masyarakat berupa pemberian ruang gerak yang kondusi bagi
kemanfaatan sosial dan ekonomi publik atau masyarakat. Penyertaan peran masyarakat dalam
upaya pelestarian benda cagar budaya harus segera dilakukan, pelestarian bukan lagi hak
mutlak kalangan terbatas saja. Langkah penyertaan masyarakat dalam upaya pelestarian sudah
pernah diterapkan oleh UNESCO dan hal tersebut merupakan hal positif yang dapat kita
adopsi untuk diterapkan di Makassar. Bila dibandingkan dengan hasil pengamatan di lapangan
di berbagai negara maka ada satu hal yang mencolok yaitu betapa besarnya kesertaan
maupun kesertaan perorangan berdasarkan manfaat yang diharapkan. Mereka cukup jelas
pemugaran cagar budaya yang dikelola oleh kota yang bersangkutan. Pendekatan berdasarkan
community based actions di dalam pelaksanaan pemugaran atau pelestarian lingkungan dan
bangunan cagar budaya, memang disarankan oleh UNESCO. Bahkan dalam rangka
meningkatkan kesadaran masyarakat secara luas dan disegala lapisan umur, UNESCO
mengadakan kampanye mengenai cinta warisan budaya dengan program melalui sekolah-
sekolah dari Taman Kanak-Kanak sampai ke Perguruan Tinggi, dengan nama : Heritage In
Young Hands.
8
Dalam kaitan ini di Indonesia, program ini pun ada namun seakan-akan hanya dengan
keterlibatan Departemen Pendidikan Nasional tanpa ada kesertaan Pemerintah Daerah secara
proaktif. Pihak UNESCO juga berpesan kepada para politisi/pemberi keputusan/Pemda, agar
dengan kegiatan tersebut dan jadikanlah sebagai kegiatan bersama dengan masyarakat kalau
kegiatan itu benar-benar ingin berhasil. Jika langkah seperti ini diterapkan pula di Makassar
dalam upaya pelestarian benda cagar budaya di Makassar, niscaya benda cagar budaya yang
membisu itu akan lebih mudah mengungkapkan kisah sejarah kota Makassar kepada kita. Hal
tersebut tentu saja akan berdampak positif pada terbangunnya identitas kultural dan sejarah
dari kota Makassar, selain dampak ekonomis yang akan semakin meningkat dengan hadirnya
benda cagar budaya sehingga masyarakatlah nanti yang akan lebih berperan serta, pemerintah
tinggal mengayomi dan mengawasi sehingga tidak keluar dari koridor hukum yang berlaku
tentang pelestarian. Penyertaan masyarakat dalam kegiatan pelestarian benda cagar budaya di
Makassar, selaras dengan konsep pemerintahan yang di usung sekarang yaitu konsep Good
Governance, dengan tiga pilar utamanya ; pemerintah, swasta, dan masyarakat yang salah
satunya meliputi partisipasi masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan usaha yang bertujuan
untuk memahami landasan hukum keberadaan benda cagar budaya serta kaidah-kaidah yang
harus dipatuhi dalam pelestarian benda cagar budaya. Maka diharapkan pemanfaatan benda
cagar budaya sebagai obyek wisata tetap dalam koridor prinsip-prinsip pelestarian. Dalam
kajian Cultural Resource Management salah satu aspek dalam pengelolaan adalah aspek
9
legalitas. Oleh karena itu produk hukum baik yang berupa undang-undang maupun peraturan
Adapun setelah upaya pelestarian, dalam pemanfaatan benda cagar budaya sebagai
obyek wisata, tentunya akan melibatkan berbagai pihak dengan berbagai kepentingan pula.
Pemerintah kota Makassar sebagai salah satu pihak yang berhak ikut memanfaatkan tentunya
bukan hanya merujuk pada undang-undang tentang otonomi daerah, tetapi harus melihat
produk perudangan yang terkait. Dalam hal ini produk perundangan yang harus menjadi
kepariwisataan, dan peraturan pemerintah No. 10 serta produk perundangan yang lainnya.
Dengan memahami kewenangan masing-masing pihak, maka dalam pemanfaatan benda cagar
budaya akan tetap menjaga kelestarian benda cagar budaya itu sendiri. Lebih penting lagi asas
Kegiatan pelestarian dewasa ini yang sering kita dengar adalah survei, ekskavasi,
pengangkatan dan konservasi. Tujuan utama yang ingin dicapai adalah penyediaan data dan
pemanfaatan benda cagar budaya yang akan dilakukan tidak merusak arti penting yang
terkandung di dalam benda cagar budaya tersebut dan dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah, otomatis dalam pelaksanaannya harus mengikuti kaidah-kaidah yang berlaku sesuai
dengan keputusan yang telah disepakati, serta tetap memperhatikan aturan atau pedoman
dasar yang berlaku yang telah ditetapkan secara Internasional dan Nasional.
10
Selain berlandaskan pada peraturan-peraturan atau pedoman yang telah dikeluarkan
atau digunakan oleh pemerintah Indonesia dalam melakukan pelestarian terhadap benda
cagar budaya, kegiatan ini juga berlandaskan pada peraturan-peraturan atau pedoman yang
terdapat pada piagam Burra dan UNESCO sebagai salah satu aturan internasional terhadap
yang berlaku, baik yang terdapat pada piagam Burra maupun Unesco yaitu :
a. Piagam Burra
- Pasal 2 :
Ayat (2) :
Ayat (4) :
- Pasal 26:
Ayat (1) :
b. UNESCO
Untuk mencegah terjadinya pemanfaatan yang salah terhadap benda cagar budaya,
maka UNESCO mencoba untuk merancang sebuah draft yang berisi tentang perlindungan
benda cagar budaya. Kelestarian benda cagar budaya sangat diperhitungkan demi kepentingan
sejarah dan ilmu pengetahuan sehingga kegiatan komersialisasi yang tentunya mengarah pada
11
penjualan sangat dibatasi untuk menjaga eksploitasi secara besar-besaran oleh investor yang
Untuk skala nasional pedoman yang perlu diperhatikan dalam proses pelaksanaan
Menteri. Adapun isi dari masing-masing pedoman yang mengatur tentang pelestarian yaitu:
Upaya pengelolaan sumberdaya arkeologi berangkat dari amanat UUD 1945 Pasal 32
serta TAP MPR Nomor II tahun 1993, khususnya dalam bidang kebudayaan dengan
menegaskan:
nilai tradisi dan peninggalan sejarah yang memberikan corak khas pada
kebudayaan bangsa serta hasil pembangunan yang mengandung nilai
kegairahan, kepeloporan, dan kebanggaan nasional perlu terus digali,
dipelihara, serta dibina untuk memupuk semangat perjuangan dan cinta
tanah air. Perencanaan tata ruang di semua tingkatan harus
memperhatikan pelestarian bangunan dan benda yang mengandung nilai
sejarah.
Selain didasarkan atas perundangan pokok diatas, upaya pengelolaan sumberdaya arkeologi
pada era otonomi daerah saat ini, juga memperhatikan atau mengakomodasi perundangan
Budaya:
1. pasal 13
Ayat (1) :
Ayat (2) :
12
2. Pasal 15
Tanpa seizin dari pemerintah setiap orang dilarang mengubah bentuk dan
atau warna serta memugar benda cagar budaya.
Pemanfaatan benda cagar budaya yang dimaksud dalam ayat (1) tidak
dilakukan dengan cara atau apabila: Bertentangan dengan upata perlindungan
benda cagar budaya sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 15 ayat (2).
3. Pasal 19
Ayat (1) :
pelaksanaan Undang-undang RI No. 5/ 1992, pasal 22, 23 ayat (1), dan pasal 36.
- Pasal 22:
- Pasal 23
Ayat (1) :
Ayat (2) :
13
4. Pasal 36
Ayat (1) :
Ayat (2) :
Ayat (3) :
pemeliharaan benda cagar budaya, pasal 10, 11, dan pasal 18.
- Pasal 10
Ayat (1) :
Setiap pemilik dan atau yang menguasai benda cagar budaya wajib
memelihara kondisi fisik benda cagar budaya yang dimiliki dan atau
dikuasai.
Ayat (2):
- Pasal 11
Ayat (1):
14
b. Menyimpan Benda Cagar Budaya pada tempat yang tidak
mengakibatkan Benda Cagar Budaya tercemar atau rusak akibat
pengaruh lingkungan.
Ayat (2):
- Pasal 18 :
maupun sumberdaya arkeologi untuk kewenangan Pemerintah Daerah telah diatur secara jelas
diatur dalam:
5. Pasal 34
Ayat (1) :
Ayat (2) :
15
IV. Kesimpulan
pemanfaatan benda cagar budaya sebagai obyek wisata bukan berarti persoalan akan menjadi
selesai. Dalam pelaksanaannya ternyata masih menyisakan beberapa persoalan yang harus
secepatnya dicarikan jalan keluar. Pengertian tentang benda cagar budaya dalam persepsi
berbagai pihak berbeda-beda. Dalam Peraturan Pemerintah N0. 10 tahun 1993 dan Keputusan
menteri yang dimaksud benda cagar budaya adalah situs atau artefak yang sudah mendapat
Surat Keputusan Penetapan sebagai benda cagar budaya dari menteri yang berwenang.
Tentunya ini mempunyai kelemahan mengingat banyaknya sumber daya arkeologis yang
mempunyai nilai tinggi untuk kepentingan akademik, ideologik dan ekonomi belum
Salah satu langkah kongkrit yang dapat dilakukan adalah membuat Model Pengelolaan
melindungi asset budaya dengan cara pelestarian bangunan atau kawasan budayanya.
Pembuatan model pengelolaan kawasan budaya tersebut, dapat dilakukan bersama dengan
melibatkan kalangan akademisi yaitu jurusan arkeologi, maupun jurusan sejarah dan
arsitektur serta instansi arkeologi terkait seperti Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala
Makassar dan Balai Arkeologi Makassar. Selain itu melibatkan pula pemerintah kota
16
Makassar yang diwakili oleh instansi terkait, serta dari masyarakat yang dapat diwakili oleh
LSM-LSM yang bergerak dibidang kebudayaan. Dari hal ini, tentu saja diharapkan rencana
pengembangan Kawasan Budaya Terpadu dan Kawasan Strategis Konservasi Warisan Budaya
yang sementara dilakukan kota pemerintah kota Makassar akan dapat terwujud tidak hanya
pada tataran konsep semata tapi menjadi nyata. Termasuk dalam hal ini pengembangan
Karebosi dan revitalisasi komplek kerajaan Tallo tetap mengacu pada model pengelolaan
kawasan budaya. Bukankah indah ketika Makassar menjadi kota metropolis yang tetap
memiliki identitas kultural yang kuat dengan bangunan-bangunan bersejarahnya yang unik
dan lestari.
17
Daftar Pustaka
Asmunandar. 2006. Laporan Pendataan Benda Cagar Budaya di kawasan Kota Lama
Makassar. ttb
Cleere, Henry F. 1989 (ed). Archaeological Heritage management in the Modern World.
Unwyn Hyman. London.
Darvill, Timothy. 1995. Value Systems in Archaeology. Malcolm A. Cooper, etc (ed).
Managing Archaeology. London and New York. Routledge
Grant, Jim. Sam Gorin and neil Fleming. 2002. The Archaeological Coursebook : An
Introduction To Study Skills, Topics and Methods. Routledge. London and New York.
Gunn, Clare A. 1994. (Third ed). Tourism Planning:Basics, Concepts, Cases. Taylor &
Francis. London.
Haryono, Timbul, 1995, Arkeologi Kawasan dan Kawasan Arkeologi: Asas keseimbangan
dalam pemanfaatan, Berkala Arkeologi, tahun XV (Edisi Khusus) Yogyakarta, Balai
Arkeologi, 139-143
Haryono, Timbul Prof. Dr. 2003, Pengembangan dan Pemanfaatan aset Budaya Dalam
Pelaksanaan Otonomi Daerah.
Mundardjito. 1995. Benda Cagar Budaya: Pengertian dan Nilai. Makalah dalam Rapat
Penyusunan Petunjuk Teknis Pelestarian, Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan
Purbakala. Cisarua, Jawa Barat, 20-23 Maret 1995.
Nuryanti, Wiendu. 1999. Tourism and Culture Global Civilization in Change?. Lester Borley.
Heritage and Environment Management : The International Perspective.
Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.
Pearsen, M. dan Sullivan S, 1995, Looking After Heritage Places, Melbourne University
Press, Carlton-Victoria, Australia.
Renfrew, Collin and Paul Bahn. 1991. Archaeology : Theories, Methods and Practice.
Thames and Hudson. London.
Soejono, RP. 2004. Arkeologi dan Pemahaman Kebudayaan, dalam Seminar Sehari
tentang Kebudayaan : Makna dan Pengelolaannya. CSIS. Jakarta.
18
Biodata Penulis
Handphone : +62811445547
Fleksi : +62411-5445547
Blog : celebesarchaeology.wordpress.com
jaringanarkeologpelestari.blogspot.com
email : arkeologpelestari@yahoo.com
19