Professional Documents
Culture Documents
Uji Toksisitas Jamur Metarhizium Anisopliae Terhadap Larva Nyamuk Aedes Aegypti
Uji Toksisitas Jamur Metarhizium Anisopliae Terhadap Larva Nyamuk Aedes Aegypti
Uji Toksisitas Jamur Metarhizium Anisopliae Terhadap Larva Nyamuk Aedes Aegypti
Abstract
Beside being the vector for dengue fever, Aedes aegypti also disturbs human life since the female
bites and absorbs blood particularly in the morning between 08.00 12.00 and in the afternoon
between 15.00 17.00
A lot of efforts have been made to solve dengue fever problems. These include chemical method,
physical method and biological control. So far mosquito control still emphasizes chemical method,
that is by using insecticide. Repeated use of insecticide causes a new problem, namely, it kills non
target insect and vector resistance. The negative effect caused by chemical or insecticide encouraged
scientists to find an alternative method, that is biological control. One of the methods that given
priority to be developed as a controlling agent is entomophatogenic Metarhizium anisopliae fungus
because it has destruxins that has been considered to be a new generation of insecticide substance.
This study aimed at finding out the toxicity of M. anisopliae to Aedes aegypti mosquito larvae by
determining its Lethal Concentration (LC) at 50 and 90. In addition, it also aimed at finding out the
number of M. anisopliae conidiosphore at the respective concentrations.
The result of the study shows that entomophatogen kills 50% ( LC 50) larvae instar III Ae aegypti
that comes from Denpasar at the 2.955 x 10-2 dilution level in 200 ml of water and 90% (LC 90) at the
8.861 x 10-1 dilution level in 200 ml of water in laboratory condition. There is a significant difference
in the number of conidia and the entomophatogenic lethal power at each concentration.
Key words : biological control, Metarhizium anisopliae, Aedes aegypti
D
emam berdarah dengue (DBD) masih (1990) menyatakan bahwa, nyamuk Aedes aegypti
merupakan salah satu masalah kesehatan merupakan vektor utama penyakit DBD di
di Indonesia.1 Di Indonesia kota yang Indonesia. 1
pertama kali dilaporkan terjangkit DBD adalah Nyamuk Ae. aegypti di samping sebagai
Jakarta dan Surabaya pada tahun 1969. Sudana vektor penyakit DBD juga mengganggu
(2001) dalam Bisnis Bali menyatakan bahwa, kehidupan manusia karena nyamuk betina
hampir 70% desa atau kelurahan di kota Denpasar menggigit dan mengisap darah terutama pada
berpredikat endemik demam berdarah dengue.2 pagi hari antara pukul 08.00 12.00 dan sore
Dinyatakan pula dari bulan Januari sampai dengan hari pukul 15.00 sampai dengan pukul 17.00.1
Mei 2001, kasus DBD di Denpasar sekitar 160 Nyamuk ini hidup secara domestik yaitu lebih
kasus. Jika dibandingkan dengan kasus DBD pada senang tinggal di dalam rumah daripada di luar
tahun 2000, dalam satu tahunnya adalah 141 rumah .4
kasus. Denpost (15-1-2002) juga menyatakan Tempat perindukan yang paling potensial
bahwa selama 14 hari, tercatat dari tanggal 1- 14 untuk perkembangan larva nyamuk adalah tempat
Januari 2002, penderita DBD yang sempat masuk penampungan air yang dipergunakan sehari-hari
IRD Sanglah Denpasar tercatat 79 orang.3 Dicatat seperti drum, tempayan, bak mandi dan bak WC.
pula, selama tahun 2001 penderita DBD adalah Tempat perindukan tambahan adalah bukan
815 orang yang dirawat di rumah sakit, dan 8 tempat penampungan air, misalnya tempat
________________
Tabel 3. Nilai Rata-rata LC 50 dan LC 90 ( CL 95% ) terhadap Larva Instar III Aedes aegypti Linn
Nilai LC 50(95% CL) LC90(95% CL) Garis Regresi
Rata-rata 0.02955 0.8861 Y= 21.70059X - 0.64126
Suhu yang dipergunakan untuk medium. Suhu ruangan yang terukur selama
menumbuhkan jamur M. anisopliae ialah 260C. penelitian berkisar antara 27 sampai dengan 300C,
Dalam suatu Penelitian ditemukan bahwa suhu kelembaban nisbi antara 70-74%, pH medium
yang paling baik bagi pertumbuhan M. anisopliae rata-rata 7 dan suhu medium berkisar antara 27-
adalah 270C. Sedangkan Muller dalam Mc.Coy 280C; berarti kondisi udara ruangan penelitian
(1990) memberikan kisaran suhu antara 200C cukup lembab, sehingga memenuhi syarat untuk
sampai 300C.18 Diamati dari pertumbuhan jamur pertumbuhan dan perkembangan larva nyamuk.
pada penelitian, di mana pertumbuhan dan Kondisi medium ini juga memungkinkan larva
perkembangannya baik pada suhu 260C pada tumbuh normal dalam air karena suhu optimal
media PDA. larva dalam air antara 250C sampai dengan 350C.17
Koloni jamur M. anisopliae mula-mula Demikian juga pH air yang terukur adalah 7,
berwarna putih dan setelah tua berwarna hijau kondisi ini merupakan pH netral. Demikian juga
gelap. Menurut Friederich dalam Mc.Coy ( 1990 ) suhu ruangan memungkinkan hidup normal
warna hijau merpakan salah satu ciri untuk karena menurut Munif dkk ( 1994 ), nyamuk
identifikasi M. anisopliae.18 Secara mikroskopis dapat hidup baik pada ruangan yang hangat dan
konidia berbentuk oval. Dari kunci identifikasi lembab, suhu optimum bagi pertumbuhan dan
jamur menurut WHO ( 1984 ), M. anisopliae perkembangan larva nyamuk adalah 30-350C.
mempunyai ciri : miselium septat (bersekat), Secara umum, faktor-faktor luar yang teramati
reproduksi hanya dengan konidia, dan konidia tidak berpengaruh terhadap angka kematian larva,
berbentuk oval.19 dimana pada perlakuan kontrol selama penelitian
Faktor-faktor lingkungan yang diukur berlangsung adalah nol.
dalam laboratorium antara lain : suhu ruang, Mortalitas larva Ae. aegypti terjadi karena
kelembaban nisbi udara, suhu media dan pH konidia M. anisopliae mengandung destruxin A