Referat LMN

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 38

REFERAT

LOWER MOTOR NEURON










DOKTER PEMBIMBING
dr. Dini Andriani, Sp.S

DISUSUN OLEH:
JORDY GABRIEL TJAHJA
11.2016.048

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


RS BHAKTI YUDHA DEPOK

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

1

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan
rahmat, karunia, dan izin-Nya sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan tugas
referat mengenai Lower Motor Neuron dalam menjalani program Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit Saraf di Rumah Sakit Bhakti Yudha, Depok. Makalah ini disusun dengan bertujuan
untuk mengedukasi pembaca mengenai hal-hal yang berhubungan dengan Lower Motor
Neuron. Keadaan ini juga merupakan kasus dalam Ilmu Penyakit Saraf yang mungkin akan
ditemukan dalam praktek sehari-hari sehingga pembelajaran dan pemahaman perlu dilakukan.

Dalam penyusunan makalah ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Dini
Andriani, Sp.S atas segala bimbingannya, serta kepada semua pihak lain yang telah membantu
dalam penyusunan referat ini.

Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk
penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk
penyempurnaan referat selanjutnya. Akhir kata dengan kerendahan hati, penulis berharap
referat ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca sekalian. Selamat membaca dan terima
kasih.

Depok, 18 Maret 2017

Penulis

2

BAB I
PENDAHULUAN

Di era globalisasi saat ini, begitu banyak kasus-kasus penyakit saraf yang dapat

dijumpai. Hal ini erat kaitannya dengan makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat dan gaya

hidup.

Kelainan dan penyakit pada system saraf seringkali ditandai dengan adanya kelemahan

system motorik. Kondisi system motoric yang ditemui pada pasien dengan kelainan dan

penyakit saraf dapat dibedakan menjadi tipe UMN dan LMN.

Oleh sebab itu, kali ini penulis mencoba untuk menjabarkan tentang LMN atau Lower

Motor Neuron, serta differential diagnosis yang dapat dipilih pada kasus-kasus kelumpuhan

tipe LMN.

3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Susunan neuromuskular terdiri dari Upper Motor Neuron (UMN) dan Lower Motor
Neuron (LMN). Upper Motor Neuron (UMN) merupakan kumpulan saraf-saraf motorik yang
menyalurkan impuls dari area motorik di korteks motorik sampai inti-inti motorik di saraf
kranial di batang otak atau kornu anterior medulla spinalis. Sedangkan Lower Motor Neuron
(LMN), merupakan kumpulan saraf-saraf motorik yang berasal dari batang otak atau yang
keluar dari cornu anterior medulla spinallis yang kemudian menuju ke motor end plate di otot.1

Gambar 1. UMN dan LMN2

Upper Motor Neuron


Merupakan motor neuron yang bersumber dari korteks serebri primer/ gyrus
presentralis yang memiliki homonkulus motorik. Susunan saraf yang keluar dari gyrus
presentralis tersebut tersusun oleh sel yang berbentuk pyramid, oleh karena itu UMN
dinamakan juga sebagai traktur piramidalis. Traktus piramidalis merupakan jalur tercepat dan
tersingkat antara area motoric primer dan motor neuron di kornu anterior.3

4

Gambar 2. Mikroarsitektur korteks motorik3

Traktus piramidalis adalah traktus kortiko-spinalis, traktus ini berasal dari korteks
motoric primer yang terletak di girus presentralis, yang merupakan sekumpulan jaringan
kortikal yang terletak disisi yang berlawanan dengan sulkus sentralis, meluas ke atas dan
melewati tepi superomedial hemisfer serebri menuju bagian medialnya. Traktus kortikospinalis
di awali oleh korteks motoric dan berjalan melalui substansia alba serebri (korona radiate),
kornu posterior kapsula interna, bagian sentral pedunkulus serebri, pons, dan bagian anterior
medulla oblongata.3
Pada bagian bawah medulla oblongata, 80-85% serabut pyramidal menyilang ke sisi
lain sehingga dinamakan dekusasio piramidalis. Mayoritas serabut yang menyilang di
dekusasio piramidalis berjalan menuruni medulla spinalis di funiculus lateralis kontralateral
sebagai traktus kortikospinalis lateralis. Traktus ini mengecil di area potong-lintang ketika
berjalan ke bagian bawah medulla spinalis karena beberapa serabut nya berakhir di masing-
masing segmen di sepanjang perjalanan. Serabut yang tidak menyilang di dekusasio
piramidalis berjalan menuruni medulla spinalis di fasikulus anterior ipsilateral sebagai traktus
kortikospinalis anterior.3

5

Gambar 3. Perjalanan Traktus Piramidalis4

Lower Motor Neuron


Titik dimana persarafan sudah keluar dari kornu anterior medulla spinalis dan
meneruskan perjalanan sampai ke otot. LMN merupakan kelanjutan dari UMN, terdapat
sebuah neurotransmitter yang berperan untuk menyampaikan impuls saraf dari UMN ke
LMN, yaitu glutamin yang ditangkap oleh glutamin reseptor. LMN juga sering disebut
sebagai system saraf perifer, karena mempersarafi seluruh otot-otot tubuh, lengan dan
tungkai.1

Gambar 4. LMN5

6

Gangguan pada fungsi UMN maupun LMN menyebabkan kelumpuhan otot rangka.
Kelumpuhan otot rangka dapat dengan mudah dibedakan sebab masing-masing gangguan
baik UMN ataupun LMN memiliki karakteristik tersendiri. Berikut adalah perbedaan LMN
dengan UMN:1

Lower motor neuron (LMN) Upper motor neuron (UMN)

Flasid Spastik

atoni hipertoni

Refleks fisiologis (-) Refleks Fisiologis (+)

Atrofi otot disuse Atrofi (-) / minimal

Fasikulasi (+) Fasikulasi (-)

Refleks Patologis (-) Refleks Patologis (+)

Tabel 1. Karakteristik UMN dan LMN (Lumbantobing, cetakan 2016)

Kelumpuhan yang dijumpai, tipe UMN atau LMN dipengaruhi oleh letak lesinya,
berikut adalah bagan kelumpuhan LMN berdasarkan letaknya :

Gambar 5. Diagnosis banding kelumpuhan LMN berdasarkan letaknya

7

1.1 Lesi pada neuron motoric di cornu anterior medulla spinalis

1.1.1Poliomyelitis
1.1.1.1 Definisi
Poliomielitis ialah penyakit menular akut yang disebabkan oleh infeksi virus dengan
predileksi pada sel anterior masa kelabu sumsum tulang belakang dengan akibat kelumpuhan
dan atrofi otot.6
1.1.1.2 Etiologi
Virus polimielitis tergolong dalam enterovirus yang filtrabel. Terdapat 3 strain virus
yaitu tipe 1 (brunhilde), tipe 2 (lansing),dan tipe 3 (leon). Epidemi yang ganas biasanya
disebabkan virus tipe 1, ringan tipe 3, sedangkan tipe 2 kadang menyebabkan kasus sporadik.
Virus dapat bertahan berbulan-bulan dalam air dan bertahun dalam deep freeze. Virus dapat
dimusnahkan dengan pengeringan atau pemberian zat oksidator kuat seperti peroksida atau
kalium permanganat. Reservoir alamiah satu-satunya adalah manusia. Masa inkubasi antara
7-10 hari, kadang antara 3-35 hari.6

Gambar 6. Poliomyelitis7
1.1.1.3 Patofisiologi
Virus masuk lewat rongga orofaring, berkembang dalam traktus digestivus, kelenjar
getah bening regional dan sistem retikuloendotel. Dalam keadaan ini timbul : 1.perkembangan
virus 2. tubuh bereaksi dengan membentuk tipe antibodi spesifik. Bila pembentukan antibodi
cepat dan mencukupi maka virus akan ternetralisasi, sehingga timbul gejala klinis yang ringan
atau tidak sama sekali. Bila proliferasi virus tersebut lebih cepat dari pembentukan zat anti,
maka akan timbul viremia dan gejala klinis, kemudian virus akan terdapat dalam feses untuk
beberapa minggu.6,8

8

1.1.1.4 Manifestasi Klinis
Polio merupakan penyakit infeksi virus yang berbahaya, polio menginvasi system saraf
dengan cepat dan seringkali menimbulkan paralisis total dalam hitungan jam. Adapun beberapa
manifestasi klinis yang ditemukan ialah fatigue, sakit kepala, mual-muntah, kaku dibagian
leher dan nyeri tungkai. 1 dari 200 infeksi poliomyelitis menyebabkan kelumpuhan yang
irreversible. 5-10% dari mereka yang mengalami kelumpuhan, meninggal setelah mengalami
kelumpuhan otot-otot pernapasan.9
Stadium akut sejak ada gejala klinis hingga dua minggu, ditandai dengan suhu tubuh
meningkat,jarang terjadi lebih dari 10 hari,kadang disertai sakit kepala dan muntah.
Kelumpuhan itu terjadi akibat kerusakan sel-sel motor neuron di medulla spinalis dan invasi
virus. Kelumpuhan tersebut bersifat asimetris sehingga menimbulkan deformitas (gangguan
bentuk tubuh) yang cenderung menetap atau bahkan menjadi lebih berat. Sebagian besar
kelumpuhan terjadi pada tungkai (78,6%). Kelumpuhan akan memakan waktu 2 hari hingga 2
bulan.6
Stadium sub akut (2 minggu 2 bulan) ditandai dengan hilangnya demam dalam waktu
24 jam atau kadang suhu tidak terlalu tinggi. Kadang disertai kekakuan otot dan nyeri otot
ringan. Kelumpuhan anggota gerak yang layuh dan biasanya pada salah satu sisi. Stadium
konvalesent (dua bulan hingga dua tahun) ditandai dengan pulihnya kekuatan otot. Sekitar
50%-70% fungsi otot pulih dalam waktu 6-9 bulan setelah fase akut. Kemudian setelah usia
dua tahun, diperkirakan tidak terjadi lagi perbaikan otot. Stadium kronik atau dua tahun lebih
sejak gejala awal penyakit biasanya menunjukan kekuatan otot yang mencapai tingkat menetap
dan kelumpuhan otot permanen.6
1.1.1.5 Gejala Polio
Terdapat 4 pola dasar pada infeksi polio:6,8
1. Silent infection
Setalah masa inkubasi 7-10 hari ,tidak terdapat gejala klinis. Pada suatu
epidemik diperkirakan terdapat pada 90-95% penduduk dan menyebabkan
imunitas terhadap virus tersebut.
2. Poliomielitis abortif
Diperkirakan terdapat 4-8% pada penduduk didaerah epidemik. Timbul
mendadak, berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Gejala yang timbul
berupa anoreksia, nausea, muntah, nyeri kepala, nyeri tenggorok, konstipasi,
dan nyeri abdomen. Diagnosis pasti dengan menemukan virus di jaringan.

9

3. Poliomielitis non paralitik
Gejala klinik sama dengan poliomielitis abortif hanya nyeri kepala, nausea dan
muntah lebih berat yang timbul 1-2 hari. Khas untuk penyakit ini adalah nyeri
dan kaku otot belakang leher, tubuh dan tungkai dengan hypertonia, hal ini
disebabkan oleh lesi pada batang otak, ganglion spinal dan kolumna posterior.
Bila anak berusaha untuk duduk dari sikap tidur, maka ia akan menekuk kedua
lutut ke atas sedangkan kedua lengan menunjang ke belakang pada tempat tidur
(tanda tripod) dan terlihat kekakuan otot spinal oleh spasme. Kaku kuduk
terlihat secara positif dengan Kernig dan Brudzinsky yang positif .Head drop
yaitu bila tubuh penderita ditegakkan dengan menarik pada kedua ketiak akan
menyebabkan kepala terjatuh ke belakang. Refleks tendon biasanya tidak
berubah dan bila terdapat perubahan maka kemungkinan akan terdapat
poliomielitis paralitik.
4. Poliomielitis paralitik
Gejala berupa paralisis otot leher, abdomen, diafgrama, thoraks, dan terbanyak
ekstermitas bawah. Tersering otot besar pada tungkai bawah otot quadrisep
femoris, dan pada lengan otot deltoideus. Sifat paralisis asimetris. Refleks
tendon berkurang atau menghilang serta tidak terdapat gangguan sensibilitas.
1.1.1.6 Diagnosa Banding
1. Pseudoparalisis yang non-neurogen : tidak ada kaku kuduk. Disebabkan oleh trauma,
demam reumatik akut, atau osteomielitis.6,8
2. Polineuritis: gejala paraplegi dengan gangguan sensibilitas, dapat dengan paralisis
palatum mole dan gangguan otot bola mata.6,8
3. Sindrom guillain barre, bedanya :6,8
a. Sebelum paralisis pada 50% sindrom guillain barre terdapat demam tinggi.
b. Paralisis tidak akut seperti poliomielitis, tetapi perlahan-lahan.
c. Topografi paralisis berbeda dimana terjadi kelumpuhan bilateral simetris.
d. Likuor serebrospinal pada stadium permulaan polimielitis adalah pleiositosis
sedangkan pada sindrom guillain barre protein meningkat.
e. Prognosis sindrom guilain barre sembuh tanpa gejala sisa
f. Pada sindrom guillain barre terdapat gangguan sensorik.

10

1.1.1.7 Penatalaksanaan6,8,9
1. Silent infection : Bedrest
2. Poliomielitis abortif : Bedrest 7 hari,bila tidak terdapat gejala lagi dapat beraktivitas.
Sesudah 2 bulan dilakukan pemeriksaan lebih teliti terhadap kemungkinan kelainan
muskuloskletal.
3. Poliomielitis paraltik/non-paralitik : Bedrest sedikitnya 2 minggu, perlu pengawasan
yang teliti karena setiap saat dapat terjadi paralisis pernafasan. Terapi kausal tidak ada.
4. Pengobatan simptomatik bergantung pada :
a. Fase akut
Analgetika untuk rasa nyeri otot. Lokal diberi pembalut hangat. Sebaiknya
diberi papan penahan pada telapak kaki. Antipiretika untuk menurunkan suhu.
Bila terdapat retensio urine lakukan katerisasi. Pada poliomyelitis kadang-
kadang reflek menelan terganggu dengan bahaya pneumonia aspirasi. Untuk itu
kepala anak diletakkan lebih rendah dan dimiringkan ke salah satu sisi.
b. Sesudah fase akut
Kontraktur, atrofi dan antoni otot dikurangi dengan fisioterapi. Tindakan ini
dilakukan setelah 2 hari demam hilang.

Gambar 7. Fisioterapi pada Poliomyelitis10

11

Deformitas otot dapat diperbaiki dengan tindakan orthotic sebagai berikut :

Gambar 8. Tindakan orthotic pada poliomyelitis10

1.1.1.8 Prognosis
Prognosis pada poliomyelitis adalah malam, dengan alasan bahwa deformitas atau
kelainan tulang dan sendi akibat inveksi poliomyelitis bersifat irreversible. Bergantung pada
beratnya penyakit. Pada bentuk paralitik bergantung pada bagain yang terkena. Otot-otot yang
lumpuh tidak pulih kembali dan menunjukan paralisis tipe flasid dengan atonia, arefleksi dan
degenarasi. Komplikasi residual paralisis tersebut ialah kontraktur terutama sendi, subluksasi
bila otot yang terkena sekitar sendi, perubahan trofik oleh sirkulasi yang kurang sempurna
hingga mudah terjadi ulserasi. Pada keadaan ini diberikan pengobatan secara ortopedik.6,8
1.1.1.9 Pencegahan11
1. Jangan masuk daerah endemic
2. Dalam daerah endemik jangan melakukan stress yang berat seprti tonsilektomi,
suntikan dan sebagainya.
3. Mengurangi aktivitas jasmani yang berlebihan
4. Imunisasi aktif
a. Live Attenuated Vierus Vaccine (Sabin)
Vaksin yang mengandung virus polio yang dilemahkan. Diberikan secara oral.
Jenis vaksin ini digunakan di Indonesia. Imunisasi dasar diberikan ketika anak

12

berusia 2 bulan, sebanyak 2-3 kali dengan interval pemberian 4-6 minggu,
booster diberikan pada usia 1,5-2 tahun dan menjelang usia 5 dan 10 tahun.
Keuntungan vaksin sabin yaitu:
i. Lebif efektif dari vaksin Salk
ii. Memberikan imunitas local dan humoral pada dinding usus
iii. Pemberiannya mudah dan harganya murah
iv. Imunitas bertahan cukup lama (8 bulan)
v. Timbul zat anti sangat cepat
vi. Dapat dipakai di lapangan dan tidak memerlukan persyaratan suhu beku
vii. Waktu epidemic pembentukan zat anti tidak saja cepat tetapi juga
merangsang usus dan mencegah penyebaran virus
viii. Dapat dibuat dalam sel manusia dan tidak bergantung dari binatang
Kerugian vaksin sabin:
i. Karena virus hidup,suatu saat mungkin menjadi ganas
ii. Virus vaksin dapat menular sehingga penanganan feses pada anak yang
telah diberi vaksin harus diperhatikan,karena virus dapat terkandung di
dalam feses anak
iii. Daerah panas vaksin memerlukan rantai dingin yang baik
iv. Adanya kontraindikasi bagi penderita dengan defisiensi imun dan
penderita yang sedang diberi kortikosteroid

b. Formalin Inactivated virus vaccine (Salk)


Yaitu: vaksin dari jenis virus yang telah dimatikan. Diberikan secara suntikan.
Vaksinasi dasar dimulai pada usia 3 bulan,diberikan 3 kali dengan interval 4-6
minggu. Suntikan ulangan diberikan setiap 1-2 tahun.
Keuntungan:
i. Dengan dosis yang cukup,dapat memberikan imunitas humoral yang baik
ii. Karena tidak ada virus yang hidup, kemungkinan virus ganas tidak ada
iii. Dapat diberikan kepada anak-anak yang sedang mendapatkan kortikosteroid
atau kelaianan imunitas
iv. Sangat berfaedah di daerah tropis ,dimana vaksin yang mengandung virus
hidup/lemah mudah rusak
Kerugian:
i. Pembentukan zat anti kurang baik
13

ii. Memerlukan beberapa ulangan suntikan dan mahal
iii. Tidak menimbulkan imunitas local di usus
iv. Dapat terjadi kecelakaan terkontaminasi dengan virus hidup yang masih ganas.

1.2 Lesi pada radiks medulla spinallis

1.2.1 Guillain Barre Syndrome


Nama lain dari Guillain Barre Syndrome adalah: Idiopathic polyneuritis, Acute Febrile
Polyneuritis (polineuritis febril), Infective Polyneuritis, Post Infectious Polyneuritis
(polineuritis akut pasca infeksi), Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy,
Guillain Barre Strohl Syndrome, Landry Ascending paralysis, dan Landry Guillain Barre
Syndrome6,12
1.2.1.1 Definisi
Guillain Barre Syndrome (GBS) adalah sindrom klinis yang ditunjukkan oleh awitan
akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial. Proses penyakit mencakup
demielinisasi dan degenerasi selaput myelin saraf perifer dan cranial. GBS merupakan suatu
penyakit autoimun, dimana proses imunologis tersebut langsung mengenai sistem saraf perifer.
Merupakan suatu kelainan sistem saraf akut dan difus yang mengenai radiks spinalis dan saraf
perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis, yang biasanya timbul setelah suatu infeksi.
GBS adalah suatu polineuropati yang bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1
sampai 3 minggu setelah infeksi akut.6,12
1.2.1.2 Etiologi
Etiologi GBS sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti dan masih
menjadi bahan perdebatan. Teori yang dianut sekarang ialah suatu kelainan imunobiologik,
baik secara primary immune response maupun immune mediated process. Beberapa keadaan
atau penyakit yang mendahului dan mungkin adah ubungannya dengan terjadinya GBS, antara
lain:6,12
a. Infeksi virus atau bakteri
GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus
GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4
minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas
atau infeksi gastrointestinal. Infeksi akut yang berhubungandengan GBS :6
i. Virus: CMV, EBV, HIV, Varicella-zoster, Vaccinia/smallpox, Influenza,
Measles, Mumps, Rubella, hepatitis, Coxsackie, Echo

14

ii. Bakteri: Campylobacter, Jejuni, Mycoplasma, Pneumonia, Typhoid,
Borrelia B, Paratyphoid, Brucellosis, Chlamydia, Legionella, Listeria
b. Vaksinasi
c. Pembedahan, anestesi
d. Penyakit sistematik, seperti keganasan, Systemic Lupus Erythematosus, tiroiditis
Pada dasarnya guillain barre adalah self Limited atau bisa sembuh dengan sendirinya.
Namun sebelum mencapai kesembuhan bisa terjadi kelumpuhan yang meluas sehingga pada
keadaan ini penderita memerlukan respirator untuk alat bantu nafasnya.6
1.2.1.3 Patofisiologi

Gullain Barre Syndrome diduga disebabkan oleh kelainan system imun lewat
mekanisme limfosit mediated delayed hypersensivity atau lewat antibody mediated
demyelinisation. Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada GBS masih belum diketahui dengan pasti.
Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah
melalui mekanisme imunologi (proses respon antibodi terhadap virus atau bakteri) yang
menimbulkan kerusakan pada syaraf tepi hingga terjadi kelumpuhan.6,12
Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas
saraf tepi pada sindroma ini adalah:6,12
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated
immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada
pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.

Masih diduga, mekanismenya adalah limfosit yang berubah responya terhadap antigen.
Limfosit yang berubah responnya menarik makrofag ke saraf perifer, maka semua saraf perifer
dan myelin diserang sehingga selubung myelin terlepas dan menyebabkan system
penghantaran implus terganggu. Karena proses ditujukan langsung pada myelin saraf perifer,
maka semua saraf saraf dan cabangnya merupakan target potensial, dan biasannya terjadi difus.
Kelemahan atau hilangnya system sensoris terjadi karena blok konduksi atau karena axon telah
mengalami degenerasi oleh karena denervasi. Proses remyelinisasi biasannya dimulai beberapa
minggu setelah proses keradangan terjadi.6,12

15

1.2.1.4 Manifestasi Klis

Masa laten
Waktu antara terjadi infeksi atau keadaan prodromal yang mendahuluinya dan saat
timbulnya gejala neurologis. Lamanya masa laten ini berkisar antara 1sampai 28 hari,
rata-rata 9 hari. Pada masa laten ini belum ada gejala klinis yang timbul.Perjalanan
penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3 fase:6,12
1. Fase progresif.
Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai gejala
menetap. Pada fase ini akan timbul nyeri, kelemahan progresif dan gangguan
sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi tergantung seberapa berat serangan
pada penderita. Terapi secepatnya akan mempersingkat transisi menuju fase
penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen. Terapi
berfokus pada pengurangan nyeri serta gejala (Simptomatik)
2. Fase plateau.
Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati baik
perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat
kelemahan tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama
dalam memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih
ada. Perlu dilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi,
keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini.
Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus,
serta fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang
meradang serta kekakuan otot dan sendi; namun nyeri ini akan hilang begitu proses
penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien
langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pasien lain
mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum dimulainya fase
penyembuhan.
3. Fase penyembuhan
Ditandai dengan perbaikan dan penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti
memproduksi antibody yang menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-angsur
menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan
terutama pada terapi fisik, untuk membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan
dan pergerakan otot yang normal, serta mengajarkan penderita untuk menggunakan

16

otot-ototnya secara optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel
saraf yang beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps.

Gejala klinis yang ditemukan:6,12


1. Kelumpuhan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor
neurone dari otot-otot ekstremitas, badan dan kadang-kadang juga muka. Pada
sebagian besar penderita, kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah
kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf
kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak,
kemudian menyebar ke badan dansaraf kranialis. Kelumpuhan otot-otot ini simetris
dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia.
2. Gangguan sensibilitas
Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa dikenai
dengan distribusi sirkumoral. Defisit sensoris objektif biasanya minimal dan sering
dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas ekstroseptif
lebih sering dikenal dari padasensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot sering
ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik.
3. Saraf Kranialis
Saraf kranialis yang paling sering terkena adalah N.VII dengan kelumpuhan otot-
otot muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral,
sehingga bisa ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa terkena
kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila
N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia
dan pada kasus yang berat menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis
n.laringeus.
4. Gangguan fungsi otonom
Dijumpai pada 25 % penderita GBS berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus
bradikardi, muka jadi merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi yang
berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodik profuse diaphoresis. Retensi urin atau
inkontinensia urin jarang dijumpai. Gangguan otonom jarang menetap lebih dari
satu atau dua minggu.

17

5. Kegagalan pernafasan
Merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan
baik disebabkan oleh paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan.

1.2.1.5 Penatalaksanaan
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum bersifat
simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan
waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga
pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit
dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi).6,12,13
Sindrom, Guillain Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan pasien diatasi di unit
perawatan intensif untuk:6,12,13
1. Pengaturan jalan napas
Respirasi diawasi secara ketat terhadap perubahan kapasitas vital dan gas darah
yang menunjukkan permulaan kegagalan pernafasan. Setiap ada tanda kegagalan
pernafasan maka penderita harus segera dibantu dengan oksigenasi dan pernafasan
buatan. Trakheotomi harus dikerjakan atau intubasi penggunaan ventilator jika
pernafasan buatan diperlukan untuk waktu yang lama atau resiko terjadinya
aspirasi. Walaupun pasien masih bernafas spontan, monitoring fungsi respirasi
dengan mengukur kapasitas vital secara regular sangat penting untuk mengetahui
progresivitas penyakit.
2. Pemantauan EKG dan tekanan darah
Monitoring yang ketat terhadap tekanan darah dan EKG sangat penting karena
gangguan fungsi otonom dapat mengakibatkan timbulnya hipotensi atau hipertensi
yang mendadak serta gangguan irama jantung. Untuk mencegah takikardia dan
hipertensi, sebaiknya diobati dengan obat-obatan yang waktu kerjanya pendek
(short-acting), seperti : penghambat beta atau nitroprusid, propanolol. Hipotensi
yang disebabkan disotonomi biasanya membaik dengan pemberian cairan iv dan
posisi terlentang (supine). Atropin dapat diberikan untuk menghindari episode
brakikardia selama pengisapan endotrakeal dan terapi fisik. Kadang diperlukan
pacemaker sementara pada pasien dengan blok jantung derajat 2 atau 3.

18

3. Plasmaparesis
Menyebabkan reduksi antibiotik ke dalam sirkulasi sementara, dapat digunakan
pada serangan berat dan dapat membatasi keadaan yang memburuk pada pasien
demielinasi. Bermanfaat bila dikerjakan dalam waktu 3 minggu pertama dari onset
penyakit. Jumlah plasma yang dikeluarkan per exchange adalah 40-50 ml/kg.
Dalam waktu 7-14 hari dilakukan tiga sampai lima kali exchange. Plasmaparesis
atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang
beredar. Albumin : dipakai pada plasmaferesis, karena Plasma pasien harus diganti
dengan suatu substitusi plasma.
4. Pengobatan Imunoglobulin IV
Pemberian immunoglobulin atau gamaglobulin pada penderita GBS yang parah
ternyata dapat mempercepat penyembuhannya seperti halnya plasmapharesis.
Gamaglobulin (Veinoglobulin) diberikan perintravena dosis tinggi. Pengobatan
dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan
plasmaparesis karena efek samping lebih ringan tetapi harganya mahal.
Dosis dewasa adalah 0,4g/kg/hari selama 5 hari (total 2 g selama 5 hari) dan
bila perlu diulang setelah 4 minggu. Kontraindikasi IVIg adalah hipersensitivitas
terhadap regimen ini dan defisiensi IgA, antibodi anti IgE/ IgG. Harus diketahui
pula, bahwa pemberian IVIg dapat meninggikan viskositas serum dan ada
kemungkinan terjadinya kejadian tromboembolik, dan infus tersebut juga
meninggikan risiko terjadinya serangan migren, dan bisa terjadi aseptik meningitis
(10%), urtikaria, pruritus atau petechiae yang bisa terjadi 2-5 hari post-infus sampai
30 hari. Juga ada peningkatan risiko terjadinya nekrosis renal tubuler pada manula,
dan pada penderita diabetes, juga bila ada penyakit ginjal sebelumnya.

1.2.1.6 Prognosis
Prognosis GBS ialah Bonam, 70-80% sembuh secara sempurna. Peningkatan prognosis
menjadi bonam dikarenakan perkembangan teknologi ventilasi buatan, sehingga mampu
menangani komplikasi GBS yang menyebabkan kegagalan pernafasan.13

19

1.2.2 Hernia Nukleus Pulposus (HNP)
1.2.2.1 Definisi
HNP (Hernia Nukleus Pulposus) yaitu : keluarnya nucleus pulposus dari discus melalui
robekan annulus fibrosus keluar ke belakang/dorsal menekan medulla spinalis atau mengarah
ke dorsolateral menakan saraf spinalis sehingga menimbulkan gangguan.14
1.2.2.2 Epidemiologi
HNP paling sering terjadi pada pria dewasa, dengan insiden puncak pada decade ke-4
dan ke-5. Kelainan ini lebih banyak terjadi pada individu dengan pekerjaan yang banyak
membungkuk dan mengangkat. Karena ligamentum longitudinalis posterior pada daerah
lumbal lebih kuat pada bagian tengahnya, maka protrusi discus cenderung terjadi kearah
postero lateral, dengan kompresi radiks saraf. 6,14
1.2.2.3 Etiologi
Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya HNP adalah sebagai berikut:14
v Riwayat trauma
v Riwayat pekerjaan yang perlu mengangkat beban beban berat, duduk,
mengemudi dalam waktu lama
v Sering membungkuk.
v Posisi tubuh saat berjalan.
v Proses degeneratif (usia 30-50 tahun).
v Struktur tulang punggung

1.2.2.4 Anatomi
Columna vertebralis adalah pilar utama tubuh. Merupakan struktur fleksibel yang
dibentuk oleh tulang-tulang tak beraturan, disebut vertebrae. Vertebrae dikelompokkan sebagai
berikut: Cervicales (7), Thoracicae (12), Lumbales (5), Sacrales (5), menyatu membentuk
sacrum, Coccygeae (4, 3 yang bawah biasanya menyatu). Tulang vertebrae ini dihubungkan
satu sama lainnya oleh ligamentum dan tulang rawan. Bagian anterior columna vertebralis
terdiri dari corpus vertebrae yang dihubungkan satu sama lain oleh diskus fibrokartilago yang
disebut discus invertebralis dan diperkuat oleh ligamentum longitudinalis anterior dan
ligamentum longitudinalis posterior.6,14
Diskus invertebralis menyusun seperempat panjang columna vertebralis. Diskus ini
paling tebal di daerah cervical dan lumbal, tempat dimana banyak terjadi gerakan columna
vertebralis, dan berfungsi sebagai sendi dan shock absorber agar kolumna vertebralis tidak
cedera bila terjadi trauma. Discus intervertebralis terdiri dari lempeng rawan hyalin (Hyalin

20

Cartilage Plate), nucleus pulposus (gel), dan annulus fibrosus. Sifat setengah cair dari nucleus
pulposus, memungkinkannya berubah bentuk dan vertebrae dapat mengjungkit kedepan dan
kebelakang diatas yang lain, seperti pada flexi dan ekstensi columna vertebralis.6,14
Dengan bertambahnya usia, kadar air nucleus pulposus menurun dan diganti oleh
fibrokartilago. Sehingga pada usia lanjut, diskus ini tipis dan kurang lentur,dan sukar dibedakan
dari anulus.6,14
1.2.2.5 Penatalaksanaan
Perawatan utama untuk diskus hernia adalah diawali dengan istirahat dengan obat-
obatan untuk nyeri dan anti inflamasi, diikuti dengan terapi fisik. Dengan cara ini, lebih dari
95 % penderita akan sembuh dan kembali pada aktivitas normalnya. Beberapa persen dari
penderita butuh untuk terus mendapat perawatan lebih lanjut yang meliputi injeksi steroid atau
pembedahan.6,14
a. Terapi medikamentosa
Untuk penderita dengan diskus hernia yang akut yang disebabkan oleh trauma
(seperti kecelakaan mobil atau tertimpa benda yang sangat berat) dan segera diikuti
dengan nyeri hebat di punggung dan kaki, analgesik dan NSAIDS akan dianjurkan.
Jika terdapat kaku pada punggung, obat anti kejang, disebut juga pelemas otot.
Kadang-kadang, steroid mungkin diberikan dalam bentuk pil atau intravena. Pada
pasien dengan nyeri hebat berikan analgesik disertai zat antispasmodik seperti
diazepam. Adakalanya narkotika juga digunakan (jika nyeri tidak teratasi oleh
NSAID).
b. Nonmedikamentosa
Tirah baring (bed rest) 3-6 minggu dengan tujuan bila anulus fibrosus masih utuh
(intact), sel bisa kembali ke tempat semula. Simptomatis dengan menggunakan
analgetika, muscle relaxan, trankuilizer. Kompres panas pada daerah nyeri atau
sakit untuk meringankan nyeri. Bila setelah tirah baring masih nyeri, atau bila
didapatkan kelainan neurologis, indikasi operasi. Bila tidak ada kelainan
neurologis, kerjakan fisioterapi, jangan mengangkat benda berat, tidur dengan alas
keras atau landasan papan, fleksi lumbal dan pemakaian korset lumbal untuk
mencegah gerakan lumbal yang berlebihan.
c. Operatif
Tindakan operatif dilakukan pada kasus HNP baru, dengan nyeri yang tidak
tertahankan.

21

Sebelum dilakukan tindakan operatif, yang sering disebut dengn diskectomy, perlu
dilakukan mielografi untuk mengetahui lokasi pasti HNP. Namun apabila
mielografi tidak bs menentukan lokasi pasti HNP, dapat dilakukan diskrografi
dengan menggunakan kontras.

1.3Lesi pada saraf perifer


1.3.1 Neuropati Perifer
1.3.1.1 Definisi
Neuropati perifer adalah istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan gangguan
saraf perifer akibat berbagai penyebab. Polineuropati sering berkaitan dengan penyakit
sistemik, misalnya diabetes, obat, toksin lingkungan, dan beragam penyakit genetik.
Mononeuropati mengisyaratkan keterlibatan fokal satu berkas saraf dan menandakan penyebab
lokal seperti trauma, penekanan, atau penjepitan.6,15
1.3.1.2 Klasifikasi
Mewakili tingkat aktivitas sistem saraf tepi, gejala-gejalanya dapat melibatkan fungsi
sensoris, motoris atau otonom. Sindrom neuropati dasar diklasifikasi berdasarkan tipe saraf
yang dipengaruhi dan berapa lama gejala telah berkembang. Perkembangan yang akut berarti
gejala-gejala telah tampak dalam beberapa hari, dan subakut berarti gejalanya telah
berkembang selama beberapa minggu. Gejala kronik awal berkembang dalam beberapa bulan
sampai beberapa tahun, dan gejala kronik lanjut timbul setelah bertahun-tahun.6, 15,16
1. Paralisis Motoris Akut
Neuropati berkaitan dengan sindrom ini terutama disertai dengan gangguan saraf
motoris, namun saraf-saraf sensoris dan otonom dapat terlibat. Gangguan yang
berkaitan dengan sistem ini adalah Guillain Barre Sindrom, polineuropati difteri dan
neuropati porphytik.
2. Paralisis Sensoris Motoris Subakut.
Neuropati ini terutama memperlihatkan gejala-gejala sensoris namun juga mempunyai
gangguan sedikit pada komponen saraf motoris. Keracunan logam berat (timbal,
merkuri dan arsen), bahan-bahan kimia atau obat-obatan seringkali dikaitkan dengan
sindrom ini. Diabetes, penyakit Limme dan malnutrisi, juga merupakan penyebab yang
mungkin.
3. Paralisis Sensoris Motoris Kronis.
Gejala fisisk dapat menyerupai sindrom-sindrom yang telah disebutkan diatas, namun
jangka waktu gejala untuk berkembang lebih lama. Sindrom ini terjadi pada neuropati

22

yang timbul karena kanker, diabetes, kusta, gangguan metabolik kongenital atau
bawaan dan hipotiroidisme.
4. Neuropati yang berkaitan dengan penyakit-penyakit mithokhondrial.
Mithokhondrial adalah organela yang bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan
energi sel. Jika mithokhondrial rusak atau hancur, kebutuhan energi sel tidak dapat
terpenuhi dan sel dapat mati.
5. Polineuropati berulang atau timbul kembali.
Sindrom ini meliputi neuropati yang mempengaruhi beberapa saraf dan dapat hilang
timbul, seperti Sindrom Guillain Barre, porfiria dan polineuropati demyelinisasi
peradangan akut.
6. Mononeuropati atau Fleksopati.
Mononeuropati adalah jenis neuropati yang hanya mempengaruhi saraf tunggal.
Penyebab paling umum mononeuropati adalah melalui kompresi fisikal pada saraf
yang dikenal sebagai neuropati kompresi. Salah satu contoh dari neuropati kompresi
adalah Carpal tunnel syndrome. Cedera langsung ke saraf, gangguan suplai darah
(iskemia), atau peradangan juga dapat menyebabkan mononeuropati.
7. Neuropati otonom
Polineuropati yang mempengaruhi sistem involunter, sebagian besar organ internal.
Saraf-saraf ini tidak berada di bawah kendali kesadaran seseorang dan berfungsi secara
otomatis. Serabut saraf otonom membentuk koleksi besar di toraks, abdomen dan
panggul di luar medula spinalis, namun mereka memiliki hubungan baik dengan
medula spinalis dan otak.
1.3.1.3 Etiologi
1. Penyakit
Penyakit-penyakit yang menyebabkan neuropati perifer bisa kongenital atau didapat,
dalam beberapa kasus adalah sulit untuk membedakannya.6,15,16
i. Diabetes Mellitus
Bentuk khas neuropati yang berkaitan dengan diabetes gejala-gejalanya termasuk
efek-efek sensoris yang pertama bermula pada kaki. Nyeri yang terasosiasi, rasa
terbakar, sensasi seperti ditusuk-tusuk, seperti ada yang merayap dengan distribusi
khas seperti kaus kaki pada kaki dan tungkai bawah. Neuropati diabetika juga
mempengaruhi saraf otonom dan mempunyai komplikasi kardiovaskuler yang
berpotensi menjadi fatal.

23

ii. Gagal ginjal kronik
Uremia mempunyai resiko 10-90% mengembangkan gejala neuropati.
iii. Gagal hati
iv. Proses aterosklerosis yang memutus suplai darah kepada saraf perifer tertentu.
Tanpa oksigen dan nutrisi, saraf tersebut perlahan akan mati.
v. Hipotiroid menyebabkan polineuropati ringan.
vi. Akromegali akibat kelebihan growth hormone menyebabkan polineuropati ringan.
vii. Vaskulitis berat
Ketika pembuluh darah mengalami kerusakan atau peradangan, suplai darah pada
saraf dapat terganggu menyebabkan kerusakan saraf.

2. Infeksi virus atau bakteri


i. Lepra yang disebabkan oleh M. leprae, menyerang langsung pada saraf sensoris.
ii. Penyakit bakterial lainnya dapat menyebabkan tingkatan serangan yang diperantai
oleh sistem imun pada saraf. Contohnya salah satu teori tentang Guillain Barre
sindrom melibatkan komplikasi setelah infeksi oleh Campilobacter jejuni.
iii. Penyebab yang mendasari neuropati yang berkaitan dengan penyakit Limme masih
belum diketahui, bakteri tersebut dapat menyebabkan serangan yang diperantarai
imun pada saraf atau menyerang secara langsung.
iv. Infeksi virus-virus tertentu dikaitkan dengan neuropati sensoris yang sangat
menyakitkan. Contoh utama adalah yang disebabkan oleh penyakit ruam saraf.
Setelah kasus cacar air, virus penyebabnya yaitu Varisella zooster menjadi inaktif
di dalam saraf sensoris. Bertahun-tahun, virusnya bisa aktif kembali. Setelah aktif
kembali virus tersebut menyerang dan merusak axon.
v. Infeksi HIV juga berkaitan dengan neuropati perifer, namun tipe neuropati yang
berkembang dapat bervariasi. Beberapa neuropati yang berkaitan dengan HIV
diketahui lebih merusak myelin daripada axon. Infeksi HIV juga seringkali disertai
infeksi lainnya, baik bakteri maupun virus yang dapat menyebabkan neuropati.

3. Cacat bawaan
Gangguan yang diturunkan ini dapat secara langsung melibatkan sistem saraf,
atau efek sekunder dari gangguan metabolik bawaan. Neuropati bawaan dapat terbagi
menjadi beberapa sindrom utama, karena gejala-gejalanya dapat sensoris, motoris atau
otonom. Pola pewarisannya juga bervariasi tergantung dari gangguan yang spesifik.
24

Perkembangan gangguan yang diturunkan biasanya muncul dalam beberapa tahun dan
merupakan kondisi yang degeneratif, yaitu suatu kondisi yang menjadi lebih buruk
secara progresif sesuai dengan waktu. Pada penyakit Charcot-Marie-Tooth gejala
utama adalah degenerasi saraf motoris pada tangan dan kaki serta mengakibatkan atrofi
otot. Neuropati yang diwariskan lainnya mempunyai komponen metabolik yang sangat
berbeda. Contohnya pada polineuropati amiloid familial komponen protein yang
menyusun myelin tersusun dan diletakkan secara salah.6,15,16

4. Trauma Fisik
Tipe umum dari cedera ini terjadi karena meletakkan tekanan berlebihan pada
saraf, melebihi kemampuan saraf untuk meregang sehingga merobek saraf. Nyeri
mungkin tidak muncul segera, dan tanda kerusakan yang jelas butuh waktu untuk
timbul. Cedera ini biasanya mempengaruhi satu saraf atau sekelompok saraf yang
berkaitan erat. Biasanya sindrom seperti ditusuk-tusuk disebabkan oleh peregangan
berlebihan saraf utama yang terbentang dari leher menuju lengan. Gejala-gejala awal
yang timbul adalah kebas, kesemutan dan nyeri yang menjalar menelusuri lengan, yang
berlangsung satu atau dua menit. Suatu insiden tunggal tidak berbahaya namun
kejadian berulang dapat menyebabkan kehilangan sensorius dan motorius
permanen.6,15,16

5. Keracunan
Neuropati yang disebabkan oleh obat-obatan biasanya melibatkan saraf sensoris
pada kedua sisi tubuh, terutama pada tangan dan kaki dan nyeri adalah gejala yang
umum. Obat yang berkaitan dengan neuropati perifer termasuk diantaranya antibiotik
metronidazole, anti kejang phenytoin, dan suatu obat penurun kolesterol
simvastatin.6,15,16
Bahan kimia seperti acrylamide, allylchlorida dan karbon disulfida semuanya
berkaitan erat dengan neuropati perifer melalui efek neurotoksik. Senyawa-senyawa
organik seperti N-Heksana dan toluen dapat menyebabkan neuropti sensori motoris
yang parah yang berkembang dengan cepat.6,15,16
Logam berat: timbal, arsen, talium dan merkuri biasanya tidak beracun dalam
bentuk elemental namun lebih beracun dalam senyawa organik dan anorganik. Jenis-
jenis neuropati yang disebabkan oleh logam berat sangat bervariasi. Keracunan arsen
dapat menyerupai Guillain Barre sindrom, timbal lebih mempengaruhi saraf motoris
25

daripada sensoris, talium menyebabkan neuropati sensorium motoris yang nyeri dan
efek merkuri terlihat baik pada SSP maupun sistem saraf tepi.6,15,16

6. Malnutrisi dan Penyalahgunaan Alkohol


Rasa terbakar, nyeri seperti ditusuk-tusuk dan kebas pada kaki dan kadang-
kadang pada tangan, adalah tanda yang khas pada neuropati yang disebabkan oleh
alkohol. Tingkat konsumsi alkohol berkaitan dengan keragaman neuropati perifer telah
diperkirakan sekitar tiga liter bir atau 300 mL per hari selama tiga tahun.6,15,16
Malnutrisi: diperkirakan vitamin B mempunyai peranan yang sangat penting.
Contohnya defisiensi tiamin adalah penyebab beri-beri, suatu penyakit neuropati yang
ditandai oleh gagal jantung dan polineuropati dan nyeri pada saraf sensoris. Defesiensi
vitamin E mempunyai peranan pada neuropati baik pada SSP maupun saraf tepi.6,15,16
1.3.1.4 Gejala
Gejala khas dari neuropati adalah berkaitan dengan jenis saraf yang terkena. Jika saraf
sensoris yang rusak, gejala umumnya termasuk kebas, kesemutan pada daerah yang terkena,
sensasi seperti ditusuk-tusuk, atau nyeri. Nyeri yang berkaitan dengan neuropati dapat cukup
kuat dan dapat digambarkan seperti nyeri tusuk, terpotong, terasa remuk, dan rasa terbakar.
Pada beberapa kasus rangsangan tidak nyeri dapat diterjemahkan sebagai nyeri yang hebat atau
nyeri juga dapat dirasakan bahkan tanpa ada rangsangan.6,15

Kerusakan saraf motoris biasanya di indikasikan dengan kelemahan pada daerah yang
dipengaruhi. Jika masalah dengan saraf motoris berlanjut dalam suatu periode waktu, atrofi
atau berkurangnya tonus otot dapat terlihat jelas. 15,16
1.3.1.5 Pemeriksan konduksi saraf dan elektromiografi

Diindikasikan untuk menguji reaksi otot, dapat mengkonfirmasi bahwa telah terjadi
kerusakan saraf dan mungkin bisa mengakibatkan kerusakan. Contohnya, beberapa neuropati
mempunyai gambaran pada mielin. Kerusakan semacam ini ditunjukkan oleh penjalaran saraf
yang melambat. Jika axon yang menderita kerusakan, konduksi otot bisa melambat, namun
akan juga mengalami penurunan kekuatan. Elektromiografi memberikan informasi tambahan
dengan mengukur konduksi saraf dan respon otot, sehingga dapat ditentukan apakah gejala
tersebut disebabkan oleh neuropati atau gangguan otot.15,16

26

1.3.1.6 Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan adalah untuk menangani penyebab neuropati tersebut.
Sekiranyapenyebab dapat diatasi, neuropati akan sembuh dengan sendiri. Satu lagi tujuan
pengobatan adalah untuk melegakan dan mengurangkan rasa sakit yang disebabkan oleh
neuropati perifer. Diantara obat-obat yang dapat mengurangi nyeri neuropati adalah sebagai
berikut:6,15,16
i. Anti nyeri : Simptom yang ringan dapat diatasi dengan obat anti nyeri. Untuk simptom
yang berat, obat yang lebih kuat dapat digunakan. Tapi obat yang mengandung opioid
seperti kodein, dapat menyebabkan ketergantungan, efek sedatif atau konstipasi. Jadi
obat ini hanya digunakan apabila kesemua obat lain tidak berkesan.
ii. Obat anti kejang : Obat seperti gabapentin (Neurontin), topiramate (Topamax),
pregabilin (Lyrica), carbamazepine (Tegretol) dan fenitoin (Dilantin) pada asalnya
indikasinya adalah untuk epilepsi. Tetapi dapat juga digunakan untuk nyeri saraf. Efek
samping antaranya adalah mual dan pusing.
iii. Patch Lidokain : Mengandung anestesi topikal. Dipakai pada area di mana terasa sangat
nyeri dan penggunaan boleh sehingga empat patch dalam sehari. Efek sampingnya
kurang tetapi dapat terjadi rash pada tempat pemakaian.
iv. Antidepressan : Antidepressan trisiklik seperti amitriptyline dan nortriptyline pada
asalnya digunakan untuk merawat depresi. Obat ini juga dapat digunakan untuk
mengurangkan rasa nyeri saraf dengan cara mengganggu proses biokimia pada otak dan
medulla spinalis. Inhibitor reuptake Serotonin dan norepinefrin duloxetine juga terbukti
efektif untuk neuropati perifer disebabkan diabetis. Efek samping antaranya termasuk
mual, pusing, hilang nafsu makan dan konstipasi.
v. Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) : Pada prosedur ini, elektroda
diletakkan pada kulit dan arus elektrik yang kecil disalurkan pada frekuensi yang
pelbagai. Terapi ini harus sering dilakukan dan terbukti dapat meringankan gejala
neuropati.

1.4 Lesi pada Neuromuscular Junction


1.4.1 Myastenia gravis
1.4.1.1 Definisi
Myastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan
abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai
dengan kelelahan saat beraktivitas. Bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian

27

kekuatan otot akan pulih kembali. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic
transmission atau pada neuromuscular junction.6,17
1.4.1.2 Epidemiologi
Myastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui, dan dapat terjadi pada
berbagai usia. Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada usia 20-50 tahun. Wanita lebih
sering menderita penyakit ini dibandingkan pria. Rasio perbandingan wanita dan pria yang
menderita miastenia gravis adalah 6 : 4. Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih
muda, yaitu sekitar 28 tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 42
tahun.6,17
1.4.1.3 Patofisiologi
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi
miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup timbulnya kelainan
autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia gravis, misalnya autoimun
tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain.6,17
Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada serum
penderita miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada otot. Hal inilah yang
memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan miatenia gravis. Tidak
diragukan lagi, bahwa antibody pada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan penyebab utama
kelemahan otot pasien dengan miastenia gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor
(anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita acquired myasthenia
gravis generalisata.17

Gambar 7. Myastenia Gravis18

28

Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor asetilkolin
pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti. Miastenia gravis dapat
dikatakan sebagai penyakit terkait sel B, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B
justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada patogenesis miastenia. Abnormalitas
pada timus seperti hiperplasia timus atau thymoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien
dengan gejala miastenik.6,17
Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai subklas
yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area imunogenik utama pada
subunit alfa. Subunit alfa juga merupakan binding site dari asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor
asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi
neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain : ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap
antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada
neuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada membran post
sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-
reseptor asetilkolin yang baru disintesis.6,17
1.4.1.4 Gejala Klinis
Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang berfluktuasi pada
otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang beraktivitas. Penderita akan
merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan kelemahan ini akan berkurang apabila
penderita beristirahat. Gejala klinis miastenia gravis antara lain:6,17
i. Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis
Ptosis yang merupakan salah satu gejala kelumpuhan nervus okulomotorius,
sering menjadi keluhan utama penderita miastenia gravis. Walupun pada
miastenia gravis otot levator palpebra jelas lumpuh, namun ada kalanya otot-
otot okular masih bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot
okular kedua sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis. Kelemahan otot
bulbar juga sering terjadi, diikuti dengan kelemahan pada fleksi dan ekstensi
kepala.
ii. Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk.
Kelemahan tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot wajah, otot
leher, hingga ke otot ekstremitas. Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan
dari otot masseter sehingga mulut penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat
pula timbul kelemahan dari otot faring, lidah, pallatum molle, dan laring
sehingga timbullah kesukaran menelan dan berbicara. Paresis dari pallatum
29

molle akan menimbulkan suara sengau. Selain itu bila penderita minum air,
mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya.

1.4.1.5 Klasifikasi Myastenia Gravis


Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia gravis dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:19
v Kelas I : Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup
mata, dan kekuatan otot-otot lain normal.
v Kelas II : Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya
kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular.
v Kelas IIa : Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga
terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan.
v Kelas IIb : Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya.
Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan
dibandingkan klas IIa.
v Kelas III : Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-
otot lain selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang.
v Kelas IIIa : Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya
secara predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan.
v Kelas IIIb : Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya
secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial,
atau keduanya dalam derajat ringan.
v Kelas IV : Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam
derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam
berbagai derajat.
v Kelas IVa : Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan
atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan.
v Kelas IVb : Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau
keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot
anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita
menggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi.
v Kelas V :Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.

30

Biasanya gejala-gejala miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan tampak
pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas, gejala-gejala itu akan tampak
lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot tampak menurun.6,17
1.4.1.6 Penegakkan Diagnosis Myastenia Gravis
Untuk penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan sebagai
berikut:
v Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama
kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi kurang
terang. Penderita menjadi anartris dan afonis.
v Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus. Lama
kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau atau
tampak ada ptosis, maka penderita disuruh beristirahat.. Kemudian tampak
suaranya akan kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi.

Untuk memastikan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan beberapa tes antara lain
v Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak
terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena.
Segera sesudah tensilon disuntikkan hendaknya diperhatikan otot-otot yang
lemah seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan ptosis. Bila
kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu akan
segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan
seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat.
v Uji Prostigmin (neostigmin)
Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin merhylsulfat secara
intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin atau mg). Bila kelemahan
itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya
ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.
v Uji Kinin
Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3
tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu benar
disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan
lain-lain akan bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi
prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat.

31

1.4.1.7 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
v Anti-asetilkolin reseptor antibody
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia
gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. 80% dari penderita
miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular
murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada
pasien thymoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR
antibody. Rata-rata titer antibody pada pemeriksaan anti-asetilkolin reseptor
antibody, yang dilakukan oleh Tidall, di sampaikan pada tabel berikut:6,17,19

Osserman Class Mean antibody Titer Percent Positive


R 0.79 24
I 2.17 55
IIA 49.8 80
IIB 57.9 100
III 78.5 100
IV 205.3 89
Klasifikasi : R = remission, I = ocular only, IIA = mild generalized, IIB =
moderate generalized, III = acute severe, IV = chronic severe

Table 2. Prevalensi dan Titer Anti-AChR Ab pada Pasien Miastenia Gravis17,19

Pada tabel ini menunjukkan bahwa titer antibodi lebih tinggi pada penderita
miastenia gravis dalam kondisi yang parah, walaupun titer tersebut tidak dapat
digunakan untuk memprediksikan derajat penyakit miastenia gravis.17,19

v Antistriated muscle (anti-SM) antibody


Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini
menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma
dalam usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih
dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif.6,17,19

32

v Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.
Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab
negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk
anti-MuSK Ab.6,17,1917

2. Imaging6
i. Chest x-ray (foto roentgen thorak).
Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak,
thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior
mediastinum. Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan
adanya thymoma ukuran kecil.
ii. Chest Ct-scan untuk mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia
gravis, terutama pada penderita dengan usia tua.
iii. MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin.
MRI dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan
dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit
pada saraf otak.

3. Elektrodiagnostik6,17,19
i. Repetitive Nerve Stimulation (RNS)
Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin,
sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi.
ii. Single-fiber Electromyography (SFEMG)
Menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk
merekam serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter
(variabilitas pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal
pada motor unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari
serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG
mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa
peningkatan jitter dan fiber density yang normal.

1.4.1.8 Penatalaksanaan
Secara garis besar, pengobatan Miastenia gravis berdasarkan 3 prinsip, yaitu:6,17,19
1. Mempengaruhi transmisi neuromuskuler:

33

i. Istirahat
Dengan istirahat, banyaknya ACh dengan rangsangan saraf akanbertambah
sehingga serat-serat otot yang kekurangan AChR di bawahambang rangsang dapat
berkontraksi.19
ii. Memblokir pemecahan Ach
Anti kolinesterase, seperti prostigmin, piridostigmin, edroponium atau
ambenonium diberikan sesuai toleransi penderita, biasanya dimulai dosis kecil
sampai dicapai dosis optimal. Pada bayi dapat dimulai dengan dosis 10 mg
piridostigmin dan pada anak besar 30 mg , kelebihan dosis dapat menyebabkan
krisis kolinergik.6,17

2. Mempengaruhi proses imunologik


v Plasma Exchange (PE)
Jumlah pasien yang mendapat tindakan berupa hospitalisasi dan intubasi dalam
waktu yang lama serta trakeostomi, dapat diminimalisasikan karena efek dramatis dari
PE. Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-asetilkolin secara efektif. Respon
dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi. PE paling efektif digunakan pada
situasi dimana terapi jangka pendek yang menguntungkan menjadi prioritas. Terapi ini
digunakan pada pasien yang akan memasuki atau sedang mengalami masa krisis. PE
dapat memaksimalkan tenaga pasien yang akan menjalani thymektomi atau pasien yang
kesulitan menjalani periode postoperative.6
Belum ada regimen standar untuk terapi ini, tetapi banyak pusat kesehatan yang
mengganti sekitar satu volume plasma tiap kali terapi untuk 5 atau 6 kali terapi setiap
hari. Albumin (5%) dengan larutan salin yang disuplementasikan dengan kalsium dan
natrium dapat digunakan untuk replacement. Efek PE akan muncul pada 24 jam
pertama dan dapat bertahan hingga lebih dari 10 minggu.6
Efek samping utama dari terapi PE adalah terjadinya pergeseran cairan selama
pertukaran berlangsung. Terjadi retensi kalsium, magnesium, dan natrium yang dapat
menimbulkan terjadinya hipotensi. Trombositopenia dan perubahan pada berbagai
faktor pembekuan darah dapat terjadi pada terapi PE berulang. Tetapi hal itu bukan
merupakan suatu keadaan yang dapat dihubungkan dengan terjadinya perdarahan, dan
pemberian fresh-frozen plasma tidak diperlukan.6

34

v Intravenous Immunoglobulin (IVIG)
Produk tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah complement-activating
aggregates yang relatif aman untuk diberikan secara intravena. Mekanisme kerja dari
IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG diperkirakan mampu memodulasi
respon imun. Reduksi dari titer antibody tidak dapat dibuktikan secara klinis, karena
pada sebagian besar pasien tidak terdapat penurunan dari titer antibodi. Efek dari terapi
dengan IVIG dapat muncul sekitar 3-4 hari setelah memulai terapi. IVIG diindikasikan
pada pasien yang juga menggunakan terapi PE, karena kedua terapi ini memiliki onset
yang cepat dengan durasi yang hanya beberapa minggu. Tetapi berdasarkan
pengalaman dan beberapa data, tidak terdapat respon yang sama antara terapi PE
dengan IVIG, sehingga banyak pusat kesehatan yang tidak menggunakan IVIG sebagai
terapi awal untuk pasien dalam kondisi krisis.6,17
Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan
1 gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa
penurunan level anti-asetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak
dilakukan pemasangan infus.6,17
Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah nyeri kepala yang
hebat, serta rasa mual selama pemasangan infus, sehingga tetesan infus menjadi lebih
lambat. Flulike symdrome seperti demam, menggigil, mual, muntah, sakit kepala, dan
malaise dapat terjadi pada 24 jam pertama.6,17

v Kortikosteroid
Diberikan prednison dosis tunggal atau alternating untuk mencegah efek
samping. Dimulai dengan dosis kecil, dinaikkan perlahan-lahans ampai dicapai dosis
yang diinginkan. Kerja kortikosteroid untuk mencegah kerusakan jaringan oleh
pengaruh imunologik atau bekerja langsung pada transmisi neromuskuler.6

v Imunosupresif
Azathioprine, Cyclosporine, Cyclophosphamide (CPM). Namun biasanya
digunakan azathioprin (imuran) dengan dosis 2 mg/kg BB. Azathioprine merupakan
obat yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara umum
memiliki efek samping yang lebih sedikitdibandingkan dengan obat imunosupresif

35

lainnya. Perbaikan lambat sesudah 3-12 bulan. Kombinasi azathioprine dan
kortikosteroid lebih efektif yang dianjurkan terutama pada kasus-kasus berat.6
v Thymectomy (Surgical Care)
Tujuan neurologi utama dari Thymectomi ini adalah tercapainya perbaikan
signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obatyang harus dikonsumsi pasien,
serta idealnya adalah kesembuhan yang permanen dari pasien. Timektomi dianjurkan
pada MG tanpa timoma yang telah berlangsung 3-5 tahun. Dengan timektomi, setelah
3 tahun 25% penderita akan mengalami remisi klinik dan40-50% mengalami
perbaikan.6,17

Kesimpulan

Lower Motor Neuron diawali dari cornu anterior medulla spinalis, hingga motor end
plate di otot. Neurotransmitter yang bekerja untuk meneruskan impuls saraf dari UMN ke LMN
adalah Glutamin. Kelainan motorik, tipe LMN bersifat flasid, dan didapati penurunan reflex
fisiologis, tidak ditemukan adanya reflex patologis, dan sering kali terjadi atrofi disuse pada
otot.
Kelumpuhan otot yang ditemukan pada pasien, tipe UMN ataupun LMN, dipengaruhi
oleh letak lesi penyebabnya. Gangguan pada LMN dapat dikelaskan kepada beberapa bagian
berdasarkan letak lesi tersebut. Jika lesi tersebut terdapat pada cornu anterior maka gangguan
yang terdapat adalah poliomyelitis, manakala sekiranya lesi terletak pada radix medulla
spinalis adalah terjadinya Guillian Barre syndrome dan hernia nucleus pulposus. Namun
seringnya Guillian Barre syndrome terjadi kerusakkan pada serabut myelin tersebut. Jika lesi
tersebut pada neuromuscular junction akan menyebabkan penyakit myasthenia gravis.
Sekiranya terdapat lesi pada saraf tepi maka terjadinya neuropati yang dapat diakibatkan oleh
berbagai penyebab.
Namun, penatalaksanaan terhadap penyakit tersebut adalah berdasarkan penyebabnya
tersebut. Tidak ada pengobatan spesifik untuk gangguan pada LMN.

Daftar Pustaka

1. Lumbantobing, S.M , Neurologi Klinik : Pemeriksaan Fisik dan Mental. Badan


Penerbit FKUI. 2016. Jakarta
2. http://accessmedicine.mhmedical.com/data/books/waxm27/waxm27_c005f022.png.
Diunduh pada 19 Maret 2017.

36

3. Baecher.M, Frotscher.M . Diagnosis Topik Neurologi DUUS Edisi ke 5. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. 2016. Jakarta
4. www.netterimages.com . Diunduh pada 19 Maret 2017.
5. http://medchrome.com/wp-content/uploads/2010/07/UMN-and-LMN.jpg . Diunduh
Pada 19 Maret 2017
6. Longo et al. Harrisons Principles of Internal Medicine 18th Edition Volume II. Hal.
3449-88. 2012. Mc Graw Hill Companies. German.
7. http://sphweb.bumc.bu.edu/otlt/MPH-Modules/PH/Polio/15.jpg. Diunduh pada 19
Maret 2017
8. http://emedicine.medscape.com/article/1259213-treatment?src=refgatesrc1. Diakses
pada 19 Maret 2017
9. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs114/en/ Diakses pada 19 Maret 2017
10. http://emedicine.medscape.com/article/1259213-treatment#d9 Diakses pada 19 Maret
2017
11. https://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/downloads/polio.pdf Diakses pada 19
Maret 2017
12. https://www.ninds.nih.gov/Disorders/Patient-Caregiver-Education/Fact-
Sheets/Guillain-Barr-Syndrome-Fact-Sheet Diakses pada 19 Maret 2017
13. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/guillain-barre-syndrome/en/ Diakses pada
20 Maret 2017
14. http://emedicine.medscape.com/article/1263961-overview Diakses pada 21 Maret
2017
15. http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/peripheral-neuropathy/symptoms-
causes/dxc-20204947 Diakses pada 21 Maret 2017
16. http://www.medscape.com/viewarticle/510706 Diakses pada 21 Maret 2017
17. http://emedicine.medscape.com/article/1171206-overview Diakses pada 21 Maret
2017
18. https://pedclerk.bsd.uchicago.edu/sites/pedclerk.uchicago.edu/files/uploads/diagram%
20mg_0.jpg. Diunduh pada 19 Maret 2017
19. http://www.myasthenia.org Diakses pada 21 Maret 2017

37









38

You might also like