Jurnal Islamophobia

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 23

REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS

REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI


PERANCIS PADA TAHUN 2011-2015

Hanan Rananta Arbi

Abstract
Islamophobia is an excessive feeling of fear towards Muslims. This tendency has been
emerged in the Europe for a long term of period which then trigger the emergence of
discrimination toward Muslim community that lived in that region. Although the contact
between European and Islam civilization has been occur even before the appearing of nation-
state concept, yet this situation is not capable to prevent the different treatment to the Muslim
imigrant in almost every sector. This Islamophobia was becoming obvious after the bombing
incident that destroy the World Trade Center Buliding in 2001. The radical incident which
behalf in the name of Islam then increase the abusive activity both physically and verbally
towards Muslim.
European Union as the regional institution, by all means, its policy is being
influenced by the political situation in the member states. The emerging of Islamophobia in
the member states, especially in France pushed the European Union to create policy alike.
This paper will give explanation regarding response of European Union towards
Islamophobia and the influence of this negative stereotype to the Muslim community.

Keywords: Islamophobia, European Union, Immigration,Terrorism

Pendahuluan

Ajaran Islam di Eropa telah masuk dan berkembang sejak berabad-abad yang lalu.
Diawali oleh penaklukan negara Andalusia pada tahun 756-1492 di Semenanjung Iberia, dan
kemudian melalui Sisilia, serta penguasaan wilayah Balkan oleh kekhalifahan Utsmaniyyah
pada tahun 1389. Kehadiran Islam di Eropa kemudian berlanjut melalui imigrasi umat Islam
dari negara-negara Islam ke Eropa pasca Perang Dunia Kedua. Walaupun masyarakat Eropa
mayoritas memeluk ajaran agama non Islam, namun perkembangan Islam di Eropa sendiri
terbilang cukup pesat. Namun demikian, hingga saat ini penduduk yang beragama Islam
masih menjadi minoritas di tanah Eropa.
Pasca Perang Dunia Kedua yang telah meluluh lantahkan sebagian besar negara-
negara di Eropa, pembangunan di Eropa membutuhkan tenaga pekerja dari luar Eropa untuk
membangun kembali infrastruktur negara mereka yang telah hancur. Negara-negara di
wilayah Eropa Barat mempekerjakan para pekerja dari negara-negara yang mayoritas
berpenduduk dan berbudaya Islam, seperti Aljazair, Maroko, India, dan juga Turki. 1 Para
pekerja asing ini semakin hari semakin besar jumlahnya, bahkan tidak jarang diantara mereka
yang hidup hingga berkeluarga di tempat mereka bekerja. Sebagian besar pekerja asing
beserta keluarga kurang bisa membaur dengan kebiasaan dan kebudayaan asli negara tempat

1
Suwito. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana. Hlm. 110. 2008.
REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS

mereka bekerja. Hal ini tidak jarang menyebabkan konflik di masyarakat yang berujung pada
kerusuhan dan kekerasan. Kejadian-kejadian seperti ini yang semakin memupuk stigma
negatif terhadap Islam. Sentimen terhadap Islam inilah yang sering disebut dengan
Islamophobia.
Istilah Islamophobia sendiri adalah perasaan ketakutan atau kebencian terhadap Islam,
orang-orang yang memeluk ajaran Islam, maupun budaya Islam. 2 Istilah Islamophobia
muncul pertama kali pada tahun 1922 dalam sebuah essai yang berjudul LOrient vu
delOccident karya Etienne Dinet, seorang tokoh orientalis asal Perancis. Seiring
berkembangnya waktu, pada sekitar tahun 1990-an Islamophobia dijadikan sebuah istilah
yang digunakan untuk mendefinisikan perlakuan diskriminatif yang diterima oleh umat Islam
di wilayah Eropa Barat. Walaupun definisi dari istilah Islamophobia masih menjadi
perdebatan, namun secara garis besar memiliki maksud dan makna yang mengarah pada
suatu keseragaman mengenai terbentuknya ideologi atau sebuah pemikiran ketakutan yang
dianggap tidak wajar terhadap Islam. Perasaan ketakutan inilah yang menjadi akar dari
pemikiran yang menganggap bahwa seluruh kaum muslim atau pemeluk agama Islam
merupakan pengikut fanatik ajarannya, yang mempunyai potensi untuk melakukan kekerasan
terhadap orang yang tidak menganut ajaran Islam dan juga meyakini bahwa ajaran Islam
menolak nilai-nilai seperti toleransi antarumat, belas kasihan, bahkan demokrasi. 3
Pada tahun 2001 di Amerika Serikat terjadi peristiwa 9/11 yang telah memberikan
dampak buruk terhadap citra Islam di dunia Barat. Tindakan radikal ini tidak hanya membuat
kerugian kepada kelompok garis keras. Lebih lanjut, terorisme dan radikalisme menyebabkan
meningkatnya Xenophobia di Eropa terhadap Islam. Hingga saat ini, Islamophobia masih
terus berkembang di Eropa. Pelarangan pembangunan menara Masjid di Swiss menjadi
pemicu berkembangnya hal serupa.4 Hal ini tentu memberikan dampak yang negatif terhadap
kebebasan beragama bagi umat muslim di benua tersebut.
Di kawasan Eropa, Islamophobia bukanlah sebuah fenomena baru. Sekitar semenjak
abad delapan masehi gejala kebencian terhadap Islam telah muncul di Eropa, dan hingga saat
ini telah berkembang dalam berbagai bentuk. Namun fenomena Islamophobia di Eropa kian
hari kian menjadi lebih kompleks semenjak tragedi 9/11 yang terjadi di Amerika Serikat,
Bom Bunuh Diri di London, Inggris pada 7 Juli 2005, Bom Bunuh Diri di Spanyol, serta
pembunuhan politikus Belanda, Pim Fortuyn oleh seorang warga Belanda keturunan Maroko.
Ketika beberapa tragedi teror mulai menyebar di Eropa, masyarakat Eropa mulai
kembali terprovokasi untuk memandang Islam dengan penuh ketakutan dan kecurigaan.
Beberapa kalangan yang tidak bertanggung jawab yang mayoritas berasal dari kelompok-
kelompok kanan konservatif seperti beberapa partai politik semisal Barisan Nasional Perancis
(French National Front), Partai Nasional Inggris (British National Party) dan Partai Pim
Fortuyn List Belanda menjadikan isu-isu teror tersebut sebagai isu politik mereka sehingga
semakin menciptakan prasangka buruk serta ketakutan terhadap orang-orang Islam. 5
Sentimen terhadap Islam kerap dijadikan sebagai alat untuk memperoleh simpati dan
dukungan dari para simpatisan partai-partai tersebut.
Indikasi mengenai penyebaran Islamophobia di Eropa, terutama di Eropa Barat, telah
diperkuat oleh adanya laporan dari The European Monitoring Centre on Racism and
Xenophobia (EUMC), sebuah LSM pemantau Uni Eropa, mengenai Laporan Islamophobia

2
Muhammad Qobidl Ainul Arif. Politik Islamophobia Eropa: Menguak Eksistensi Sentimen Anti-Islam Dalam
Isu Keanggotaan Turki. Yogyakarta: Deepublish. Hlm. 1. 2014.
3
Daniel Norman. Islam and West, the Making of an Image. Scotland: Edinburgh University Press. Vide. 1980.
4
Okezone. 20 April, 2010. Belgia Larang Penggunaan Cadar.
http://international.okezone.com/read/2010/04/01/18/318365/belgia-larang-penggunaan-cadar, diakses 17 Juni
2015 pukul 19:45 WIB, Surakarta.
5
Ainul Arif. Op. Cit. Hlm. 2.
REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS

di UE pascatragedi 9/11.6 Dalam laporan tersebut disampaikan bahwa kondisi yang kurang
menguntungkan sedang dialami oleh kaum muslim minoritas di Eropa. Bukti-bukti mengenai
merebaknya Islamophobia di Eropa serta pengucilan terhadap komunitas muslim di Eropa
yang mengarah terhadap radikalisasi semakin meningkatkan perdebatan di Uni Eropa. 7
Salah satu negara Eropa Barat yang memiliki sentimen negatif terhadap Islam ini
adalah Perancis. Meskipun Islamophobia di Perancis ini sudah tumbuh sepanjang sejarah,
namun peristiwa pengeboman World Trade Center pada 11 September 2001 menjadi salah
satu isu yang memicu munculnya Islamophobia dalam bentuk aksi. Pasca peristiwa 9/11
tersebut Islam di Perancis mengalami perlakuan rasisme hampir di semua sektor sosial. 8 Hal
ini dapat dilihat dari data, bahwa dari tahun 2001 hingga 2004, terdapat banyak sekali
penyerangan yang dilakukan terhadap tempat ibadah Islam. Lebih jauh lagi, berbagai website
yang mengumandangkan anti-Islam pun mulai bermunculan di lingkungan masyarakat
Perancis. Sejalan dengan berbagai aksi pengrusakan Masjid, jumlah penyerangan terhadap
individu pun juga semakin meningkat, terutama terhadap para perempuan yang menggunakan
hijab. Fenomena ini kemudian disebut sebagai hijabophobia. 9 Bahkan bagi masyarakat
Perancis sendiri, hijab merupakan salah satu simbol fundamentalis Islam yang terkesan
mengancam dan membahayakan nilai-nilai dasar republik dan sekular.10
Jika melihat sejarah kebelakang, Uni Eropa tentunya sudah cukup akrab dengan
kebudayaan Islam. Walaupun pada awal pembentukan Uni Eropa memang hanya berdasar
pada pertimbangan ekonomi semata. Dimulai sejak tahun 1951 dengan berdirinya European
Coal and Steel Community yang kemudian berkembang menjadi European Economic
Community pada tahun 1957, setiap aktivitas institusi maupun permasalahan perluasan
keanggotaan pada saat itu semuanya berdasarkan pada pertimbangan ekonomi semata. 11
Namun, seiring dengan perubahan dunia yang terjadi serta globalisasi yang juga mulai
meluas, isu-isu kontemporer mengenai identitas juga semakin berkembang di dalam tubuh
Uni Eropa sendiri.
Merujuk pada berbagai peristiwa sentimen terhadap agama Islam di Perancis yang
memang lebih terlihat memburuk dibandingkan dengan negara-negara Eropa Barat lainnya,
Uni Eropa sebagai organisasi kawasan induk di Eropa sudah seharusnya memiliki porsi dan
peranannya dalam merespon munculnya fenomena anti-Islam tersebut. Sebagai sebuah
organisasi kawasan yang telah berhasil mengintegrasikan banyak negara dengan latar
belakang sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan yang berbeda-beda, Uni Eropa harus
mampu membuat formulasi kebijkan yang dapat diterima oleh seluruh negara anggotanya.
Proses pembuatan kebijakan tersebut tentunya sangat penting karena mengingat Uni Eropa
menganut asas common security and foreign policy, sehingga akan mengikat seluruh negara
anggota untuk menerapkannya. Selain itu, munculnya Islamophobia di Perancis, juga
dianggap penting oleh Uni Eropa karena isu tersebut dianggap sangat sensitif dan mudah
menyebar, sehingga dikhawatirkan akan menyebar dan mengganggu stabilitas di negara-
negara lainnya. Hal ini apabila sampai terjadi tentunya akan menjadi ancaman serius bagi Uni
Eropa itu sendiri.

6
Chris Allen dan Jorgen S. Nielsen. Summary Report on Islamophobia in the EU after 11 September 2001.
http://fra.europe.eu/sites/default/files/fra_uploads/199-Synthesis-report_en.pdf, diakses 14 Juni 2015 pukul 8:21
WIB, Surakarta.
7
Stephen Castle. T.t. Islamophobia Takes a Grip Across Europe.
http://www.islamophobia.org/readarticle.php?article_id=76, diakses 14 Juni 2015 pukul 13:11 WIB, Surakarta.
8
Vincent Geisser. Islamohobia: A French Specifity in Europe?. Human Architecture: Journal of the Sociology
of Self Knowledge. Hlm. 39-46. 2010.
9
Geisser. Op. Cit.
10
Ibid.
11
Ainul Arif. Op. Cit. Hlm. 4.
REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS

Politik Luar Negeri Uni Eropa Terhadap Negara-Negara Islam

Kontak pertama Eropa dengan masyarakat Muslim pada dasarnya sudah dimulai
bahkan sebelum munculnya negara-negara berdaulat. Komunitas Islam telah lama tinggal di
wilayah Balkan dan Baltik selama berabad-abad, sehingga interaksi dalam bentuk
perdagangan ataupun pendidikan menjadi hubungan yang lazim ditemukan pada masa itu.
Menilik pada sejarah, peradaban Islam merupakan salah satu peradaban yang memberikan
pengaruh besar bagi kemajuan di Eropa. Wilayah Mediterania dan Timur Tengah bahkan
telah tumbuh menjadi kota perdagangan yang lebih tua dibandingkan dengan Italia. 12
Pemikir-pemikir modern Eropa pun sedikit banyak dipengaruhi pula oleh pemikir-pemikir
Arab. Hal ini dapat dibuktikan dengan ditemukannya berbagai karya dan buku yang
merupakan terjemahan dari Bahasa Arab. 13 Selain itu, negara-negara di Eropa juga sudah
menjalin kontak dengan lingkungan Muslim dalam bentuk negara kolonial. Hal ini
didasarkan oleh adanya fakta bahwa sebagian tanah jajahan Inggris, Perancis, dan Belanda
merupakan wilayah-wilayah dengan populasi Muslim yang memiliki jumlah cukup
signifikan.14
Keruntuhan peradaban Islam Agung yang berpusat di Turki yang diikuti dengan
kebangkitan masyarakat Eropa pasca Perjanjian Westphalia yang mengawali munculnya
konsep akan negara berdaulat menjadi titik balik bagi komunitas Islam. Interaksi yang
dulunya bersifat satu arah15 berubah menjadi komunikasi dua arah yang didominasi oleh
Eropa. Pada pertengahan abad 20, masyarakat Muslim mulai berdatangan ke Eropa yang
dipicu oleh motif ekonomi untuk mencari pekerjaan dan kesejahteraan. Kebanyakan dari
mereka merupakan pekerja yang berasal dari daerah-daerah urban, guna memenuhi
kebutuhan Eropa akan pekerja murah.16
Wilayah-wilayah yang dulunya dikolonisasi oleh negara-negara Eropa juga
memainkan peranan signifikan dalam fenomena migrasi dan persebaran demografi Muslim di
Eropa. Di Perancis misalnya, masyarakat Muslim migran didominasi oleh orang-orang yang
berasal dari daerah protektorat Perancis, seperti Aljazair, Maroko, dan Tunisia. 17 Sedangkan
di Inggris migran Muslim kebanyakan berasal dari Bangladesh dan Pakistan. Pada tahun
1980-an, gelombang migrasi kedua pun muncul yang didominasi oleh para pencari suaka.
Kemudian memasuki tahun 1990-an, migrasi dari negara-negara Muslim yang memasuki
kawasan Eropa dapat dikategorikan secara umum sebagai berikut:18
1. Di wilayah Eropa Utara, migrasi komunitas Muslim didominasi oleh para
imigran yang secara resmi melalui pengajuan aplikasi pencarian suaka dan
didorong oleh perang sipil yang berkepanjangan di daerah perbatasan Eropa.
2. Sedangkan di Eropa bagian selatan, migrasi kebanyakan terjadi secara ilegal
seperti praktek-praktek perdagangan manusia dan umumnya juga didorong
oleh motif ekonomi.
Berdasarkan pada paparan tersebut dapat dilihat bagaimana, pada dasarnya Eropa
sudah terhubung cukup kuat dengan budaya-budaya Islam. Meskipun demikian, hal ini

12
Michelin R. Ishay. The History of Human Rights: From Ancient Times to the Globalization Era. Barkeley and
Los Ageles: University of California Press. Hlm. 67. 2004.
13
Ibid.
14
EUMC. Muslim in the European Union: Discrimination and Islamophobia.
http://fra.europa.eu/sites/default/files/fra_uploads/156-Manifestations_EN.pdf, dilihat 25 Juni 2016 pukul
11:07 WIB, Surakarta.
15
Michelin R. Ishay, loc. cit.
16
EUMC, loc. cit.
17
Ibid.
18
Ibid.
REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS

ternyata tidak mampu menghindarkan berbagai tindak diskriminasi oleh warga kulit putih
terhadap minoritas Muslim yang tinggal di Eropa. Diskriminasi ini mencakup berbagai sektor
mulai dari pendidikan, pekerjaan, hingga dalam sektor perumahan. Data resmi menunjukkan
bagaimana indikator pekerjaan di berbagai negara Eropa dalam situasi normal tidak
ditargetkan untuk masyarakat Muslim. Beberapa penelitian yang dilakukan di Inggris,
Perancis, dan Belanda berhasil memberikan informasi yang cukup akurat bahwa warga yang
beragama Islam dan berlatarbelakang dari negara-negara Magribi memiliki kesempatan lebih
kecil untuk diterima dalam sebuah perusahaan. 19
Negara-negara anggota Uni Eropa yang memiliki komunitas Muslim cukup banyak,
seperti komunitas Turki di Jerman dan komunitas Afrika Utara di Perancis; masyarakat
Muslim ini memiliki aktivitas dalam sektor pekerjaan yang hanya mencapai 15 hingga 40
persen dibandingkan dengan warga asli berkulit putih. 20 Selain kesempatan kerja yang sangat
minim, diskriminasi terhadap kaum Muslim yang tinggal di Eropa juga terjadi dalam hal
aktivitas keagamaan di lingkungan kerja. Kebanyakan negara anggota Uni Eropa memang
sudah cukup toleran terhadap aktivitas keagamaan di lingkungan kerja, namun hal ini juga
tidak menutup kemungkinan adanya keterbatasan bagi kaum Muslim untuk memproleh hak
beribadah mereka. Belgia, Denmark, dan Jerman tidak memiliki kesulitan yang cukup
signifikan dalam hal pengaturan pekerja yang beragama Islam. Akan tetapi, kondisi yang
sama agaknya tidak dapat ditemukan di Perancis yang menganut tradisi sekuler republik.
Pada tahun 2005, Perancis bahkan mengeluarkan aturan yang membatasi ekspresi simbol-
simbol keagamaan di tempat kerja, yang mencakup juga pemakaian hijab. 21
Masyarakat migran di Eropa yang mana kebanyakan dari mereka juga merupakan
komunitas Muslim, pada umumnya tidak mendapatkan akses memadai terhadap fasilitas
perumahan. Hal ini didorong oleh keadaan ekonomi yang tidak baik serta adanya berbagai
aturan yang menghambat komunitas Muslim memperoleh rumah secara layak. Meskipun
terdapat banyak diskriminasi terhadap kaum minoritas Muslim di Eropa, akan tetapi pada
dasarnya marjinalisasi terhadap mereka tidak terjadi karena agama, melainkan karena situasi
mereka sebagai migran yang berstatus sosial rendah. 22 Sentimen negatif terhadap minoritas
Islam di Eropa ini kemudian dikenal sebagai Islamophobia.
Muncul pertama kali dalam sebuah esai di tahun 1992, Islamophobia kemudian
berkembang sangat cepat pasca peristiwa pengeboman gedung WTC di Washington D.C.
pada tahun 2001. Kejadian yang dikenal pula sebagai 9/11 tersebut meningkatkan aktivitas
negatif terhadap kaum Islam di Eropa, utamanya di Perancis yang memiliki populasi Islam
terbesar di Eropa. Hal ini kemudian diperparah pula oleh adanya peristiwa pengeboman di
Inggris pada 7 Juli 2005. Terorisme yang membawa nama Islam tersebut telah menciptakan
sentimen berlebihan terhadap minoritas Muslim di Eropa. Apabila sebelumnya diskriminasi
hanya terjadi di sektor layanan publik, pasca kedua peristiwa tersebut diskriminasi yang
dilakukan di beberapa negara-negara Eropa mengarah pada kekerasan secara fisik.
Segera setelah peristiwa 9/11, 80 insiden penyerangan dengan target Islam terjadi di
Belanda. Pembunuhan Theo Van Gogh pada tahun 2004, bahkan memicu dampak yang lebih
masif seperti pembakaran sekolah Islam dan penghancuran tempat peribadatan. 23 Kemudian
di Inggris, Skotlandia, dan Irlandia Utara, beberapa masjid ditutup dan berbagai bentuk

19
Ibid.
20
Ibid.
21
Ibid.
22
Jocelyne Cesari. Securitization and Religious Divides in Europe, Muslim in Western Europe After 9/11:
Why the Term Islamophobia is more Predicament than an Explanation?. http://www.euro-islam.info/wp-
content/uploads/pdfs/securitization_and_religious_divides_in_europe.pdf, dilihat 25 Juni 2016 pukul 11:09
WIB, Surakarta.
23
Ibid.
REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS

vandalisme yang merendahkan Islam pun bermunculan. Bahkan di Perancis dari tahun 2003
hingga 2004 terdapat insiden terkait dengan tindakan anti-Muslim sebanyak 182 kasus.24
Munculnya sentimen yang berlebihan terhadap kaum minoritas Muslim di Eropa utamanya di
Perancis, tentu saja memberikan dampak bagi pembentukan kebijakan luar negeri di tingkat
Uni Eropa itu sendiri. Walaupun pada dasarnya Uni Eropa pada tahun 1995-2004
memandang bahwa negara-negara Islam yang membentang dari Maroko, Tunisia, samapi
Turki di Sebelah tenggara merupakan tetangga dekat yang harus selalu diajak bekerja sama. 25
Kebijakan Uni Eropa sebagai sebuah organisasi suprapolitik sedikit banyak
dipengaruhi oleh situasi domestik negara-negara anggotanya. Dengan kemunculan sentimen
negatif terhadap minoritas Islam, kebijakan luar negeri terhadap negara-negara Islam itu
sendiri mengalami pergeseran. Meskipun demikian, pergesaran politik luar negeri Uni Eropa
terhadap negara-negara Islam tersebut tidak hanya diakibatkan oleh keberadaan sentimen
negatif kebanyakan negara anggota terhadap Islam, melainkan juga karena kemunculan
politik Islam di kawasan Mediterania dan Arab yang mayoritas berbasis Islam. 26
Uni Eropa dan negara-negara Arab Mediterania telah menjalin relasi dalam jangka
waktu yang cukup lama, yang telah dimulai sejak pembentukan European Economic
Community pada tahun 1995, dan mengalami peningkatan yang cukup signifikan pada tahun
2000 melalui European Neighboorhood Policy dan Union for Mediterranean.27 Efek krisis
pada tahun 1980-an yang menimpa negara-negara di kawasan Arab dan Mediterania serta
distribusi bantuan global yang tidak merata sebagai akibat dari berakhirnya Perang Dingin
telah menyebabkan banyak negara di wilayah tersebut mengalami degradasi ekonomi politik
yang memicu melemahnya pemerintahan otoriter.28 Adanya prospek bantuan dari Uni Eropa
serta munculnya kemungkinan akan peningkatan stabilitas politik, membuat kerjasama
dengan Eropa menjadi sebuah konteks yang diterima secara meluas oleh pemerintahan Arab
Mediterania pada masa itu.29
Madrid Peace Conference di tahun 1992 menjadi salah satu instrumen yang mampu
menghangatkan kembali hubungan antara Uni Eropa dan negara-negara Arab. Kemunculan
Uni Eropa yang secara signifikan memberikan pengaruh terhadap menyebarnya paham
demokrasi dan liberal di daratan Mediterania berjalan lebih lancar daripada yang diharapkan
dengan adanya adopsi negara-negara Arab terhadap poin-poin yang terdapat dalam Barcelona
Declaration.30 Secara umum, Uni Eropa memiliki dominasi yang kuat di kawasan Timur
Tengah dan Mediterania pada masa itu.
Awal tahun 1990-an harus dipahami pula sebagai era kemunculan politik Islam. Pada
mulanya gerakan-gerakan yang berbasis Islam ini hanya menjadi gerakan sosial tanpa adanya
agenda politik yang jelas. Namun seiring dengan berjalannya waktu, berbagai agenda politik
dan penyebaran Islamisasi mulai terlihat lebih nyata. Hal ini sedikit banyak memberi
pengaruh bagi hubungan antara Uni Eropa dan negara-negara di kawasan Arab dan
Mediterania. Kemunculan politik Islam pada akhirnya juga memberikan pengaruh terhadap

24
Ibid.
25
William Rogers Perlmutter. EUROPEAN UNION FOREIGN POLICY: QUIETLY COLLAPSING DEMOCRACY.
diterbitkan dalam Chapel Hill Journal of Political Science. Volume III. 2014. Hlm. 27.
26
Elisabeth Johansson-Nogues. The Decline of the EUs Magnetic Attraction? The European Union in the
Eyes of Neighboring Arab Countries and Russia, European Foreign Policy Unit Working Paper No 2011/1.
http://www.lse.ac.uk/internationalRelations/centresandunits/EFPU/EFPUpdfs/EFPUworkinpaper2011-1.pdf,
dilihat 25 Juni 2016 pukul 11:13 WIB, Surakarta.
27
Ibid.
28
Ibid.
29
Jon Mark. High Hopes and Low Motives: The New Euro-Mediterranean Partnership Initiative. New: York:
Mediterranean Politics. Hlm. 1-24. 1996.
30
Elisabeth Johansson-Nogues, loc. cit.
REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS

kehidupan sosial masyarakat di kawasan tersebut, yang akhirnya membuat persepsi negara-
negara Arab Mediterania terhadap Uni Eropa sendiri mengalami perubahan. Di satu sisi,
politik Islam telah membuat interaksi dengan Uni Eropa melibatkan tingkat nasionalistik
yang kuat dan cenderung anti-kolonial. Namun disisi lain, banyak kelompok-kelompok
politik Islam yang telah menerima secara pragmatis nilai-nilai barat seperti Hak Asasi
Manusia dan demokrasi. 31
Perubahan pola politik di Arab Mediterania ini telah membuat politik luar negeri Uni
Eropa terhadap negara-negara di kawasan tersebut cenderung mengalami stagnansi.
Kemunculan politik Islam membuat nilai-nilai Uni Eropa yang sempat tumbuh subur di
dekade 1980-an mulai memudar dan tidak lagi mengalami pengembangan yang signifikan di
daratan Mediterania.32 Ketakutan negara-negara ini akan nilai-nilai Islam yang terpolarisasi
menjadi Barat, membuat kebanyakan negara menutup diri terhadap Barat pada umumnya dan
Uni Eropa pada khususnya. Pada akhirnya Uni Eropa sendiri pun tidak menjalin interaksi
yang signifikan dengan kawasan Arab Mediterania. Bahkan dengan kemunculan berbagai
aktivitas radikalisme seperti Taliban dan ISIS membuat Uni Eropa cenderung menempatkan
kawasan Timur Tengah dan Mediterania sebagai bagian dari kontra politik.
Munculnya Islamophobia di Perancis akibat adanya berbagai tindak terorisme yang
mengatasnamakan Islam telah berhasil menciptakan kekacauan dan sentimen negatif terhadap
masyarakat Muslim itu sendiri. Keberadaan politik domestik yang kemudian mengedepankan
prasangka buruk ketika berinteraksi dengan Muslim berdampak pula pada kebijakan di
tingkat regional. Politik luar negeri Uni Eropa yang cenderung stagnan dengan adanya
keberadaan politik Islam, dalam titik tertentu bergeser ke sifat yang lebih tegas. Secara
umum, Uni Eropa melihat kawasan Timur Tengah dan Mediterania sebagai kawasan yang
tidak stabil, sehingga tujuan interaksi dalam wilayah tersebut adalah peace building dan
stabilitas. Hal ini tentu saja sejalan dengan upaya kontra terorisme sebagai reaksi terhadap
munculnya Islamophobia.
Beberapa pendekatan yang dijalankan di kawasan negara Islam ini antara lain
dilakukan terhadap Iran dan konflik Israel-Palestina. Uni Eropa memberikan sanksi embargo
pada Iran pada pertengahan tahun 2012 sebagai respon atas pengembangan nuklir sebagai
senjata di negara tersebut.33 Uni Eropa merupakan salah satu konsumen minyak terbesar bagi
Iran dengan jumlah permintaan yang mampu mencapai 600.000 barel setiap harinya. 34 Sanksi
embargo yang dikenakan terhadap Iran ini juga meliputi larangan penggunaan teknologi
nuklir; embargo gas alam dan larangan aktivitas bisnis yang berhubungan dengan sektor
energi; embargo senjata; larangan transaksi finansial dengan pemerintah Iran, Bank Iran,
serta lembaga finansial lainnya. 35 Sanksi yang tidak hanya diberikan oleh Uni Eropa akan
tetapi juga Amerika Serikat ini telah berhasil membuat Iran terisolasi dan akhirnya bersedia
untuk melakukan perundingan. Ketika Iran mengalami pergantian kursi jabatan, pemilihan
umum yang menempatkan Hassan Rouhani sebagai Presiden Iran sejak tahun 2013, agaknya
tensi hubungan antara Iran dengan Uni Eropa maupun Amerika Serikat sedikit mereda dan
kedua pihak bersedia melaksanakan Joint Plan of Action (JPA).36
JPA merupakan sebuah pendekatan untuk menciptakan kerjasama komprehensif yang
bersifat jangka panjang terkait dengan program nuklir yang tengah dikembangkan oleh Iran.
JPA juga memaksa Iran untuk menghentikan sementara program nuklirnya dan meminta Iran

31
Ibid.
32
Ibid.
33
Derek A. Mix. The United States and Europe: Current Issues, Congressional Research Service.
https://www.fas.org/sgp/crs/row/RS22163.pdf, dilihat 26 Juni 2016 pukul 11:19 WIB, Surakarta.
34
Ibid.
35
Ibid.
36
Ibid.
REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS

untuk bersifat lebih kooperatif terhadap program monitoring yang dilakukan oleh
International Atomic Energy Agency (IAEA). Pada pertengahan tahun 2015, JPA berhasil
mencapai kesepakatan akhir. Meskipun dinilai tidak efektif untuk mengurangi potensi Iran
dalam mengembangkan nuklir sebagai senjata, akan tetapi dalam hal ini, situasi yang
demikian tersebut menunjukkan bagaimana Uni Eropa memiliki komitmen yang tinggi untuk
menciptakan stabilitas di kawasan Arab dan Mediterania. Upaya peace building ini dapat
dilihat pula sebagai upaya untuk mencegah penyebaran radikalisme sehingga terorisme dalam
kadar tertentu dapat dicegah.
Kerjasama yang terjalin antara Uni Eropa dengan Amerika Serikat yang terjalin dalam
bentuk JPA tersebut tentunya dapat terwujud karena kedua negara menghadapi dilema dan
permasalahan yang sama. Di satu sisi ke dua aktor tersebt membutuhkan negara-negara Islam
baik dalam bidang ekonomi maupun dukungan politisnya. Namun, di sisi lain mereka juga
menghadapi tekanan berupa aksi-aksi terorisme yang mengatas namakan Islam, yang hal ini
tentunya secara langsung maupun tidak langsung akan semakin meningkatkan tensi
Islamophobia di kedua kawasan tersebut.37
Selain terhadap Iran, politik luar negeri Uni Eropa di kawasan Arab yang berfungsi
untuk meningkatkan stabilitas di regional tersebut juga ditujukan kepada Israel utamanya
dalam konflik Israel-Palestina. Uni Eropa bersama dengan Amerika Serikat, Rusia, dan
Perserikatan Bangsa-Bangsa aktif melakukan dialog yang diharapkan dapat menciptakan
Palestina yang berkelanjutan dan Irak yang lebih aman. 38 Beberapa negosiasi yang dilakukan
pada tahun 2014 tidak menemui hasil yang baik, dan diperparah oleh adanya konflik antara
Israel dan Hamas yang semakin memanas. Upaya mendamaikan kedua belah pihak ini juga
disertai pula oleh adanya ancaman ekonomi terhadap Israel.39
Terlepas dari kurang efektifnya platform kerjasama yang dicanangkan oleh Uni
Eropa, akan tetapi pendekatan yang dilakukan oleh Uni Eropa terhadap negara-negara Islam
tersebut diatas, menunjukkan bagaimana fokus politik luar negeri Uni Eropa memang
ditujukan untuk menciptakan stabilitas politik kawasan. Uni Eropa menyadari bahwa
keamanan di tingkat regionalisme Eropa memiliki keterkaitan dengan regionalisme
tetangganya. Apalagi dengan munculnya sentimen negatif terhadap kaum Muslim, persepsi
dan tujuan Uni Eropa terhadap negara Islam pun mengalami pergeseran. Peace building dan
penciptaan stabilitas kemudian dirasa perlu untuk mencegah meluasnya radikalisme yang
merupakan akar dari terorisme.

Kebijakan Pengetatan Imigrasi Uni Eropa Terhadap Imigran Muslim

Fenomena migrasi menjadi salah satu fokus problematika yang harus dihadapi oleh
Eropa hingga saat ini. Perpindahan penduduk dari satu negara ke negara lainnya memang
telah terjadi sejak berabad-abad yang lalu. Meskipun demikian perubahan dalam perihal rute,
kuantitas, dan aturan mewarnai gelombang migrasi yang terjadi pada era modern saat ini,
sehingga dirasa sangat perlu untuk diterapkannya kebijakan pengetatan kedatangan daripada
para imigran itu sendiri. 40 Dengan kemunculan konsep negara bangsa serta sekularisasi antara
agama dengan pemerintahan pada abad ke-19 migrasi ke kawasan Eropa menjadi lebih

37
L Carl Brown. Middle East; Crescent of Crisis: U.S.-European Strategy for the Greater Middle East,
dipublikasikan dalam Council on Foreign Relations Journal. Volume 85. Hlm. 170. 2012.
38
Ibid.
39
Ibid.
40
S. Peers. EU Justice and Home Affairs Law. Oxford: Oxord University Publishing. Hlm.24. 2011.
REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS

bureaucratised, directed, limited, and defined through passports, visas,


border control, institution, and sharp distinction between the rights of the citizen and
those of non-member.41

Pernyataan tersebut memberikan penekanan bagaimana di era modern saat ini,


migrasi ke wilayah Eropa menjadi isu yang lebih diperhatikan dengan adanya upaya
pembuatan aturan terkait dengan migrasi itu sendiri.
Gelombang migrasi ke Eropa yang didominasi oleh komunitas Muslim telah dimulai
sejak pertengahan abad ke-20. Meskipun pada akhir dekade tersebut, laju migrasi mulai
mengalami penurunan, akan tetapi perpindahan penduduk utamanya dari wilayah Mediterania
ke kawasan Eropa tidak menemui titik henti hingga di era modern saat ini. Bahkan memasuki
tahun 2010-an gelombang migrasi dari regional Arab ke Eropa mengalami peningkatan yang
cukup signifikan. Situasi ini didorong oleh adanya ketidakstabilan politik di negara asal
karena konflik internal yang sering terjadi.
Mengatasi gejolak perpindahan penduduk dalam jumlah masif, Uni Eropa pun mulai
mengeluarkan berbagai kebijakan dan berupaya untuk menyeragamkan kebijakan terkait
migrasi di semua negara anggota. Terdapat setidaknya tiga negara yang memiliki peranan
besar dalam proses pembentukan kebijakan migrasi di Uni Eropa, salah satunya adalah
Perancis. Sebagai negara penerima migrasi terbesar di Eropa, Perancis berhasil menempatkan
fokus kebijakan nasionalnya dalam tingkatan Uni Eropa, terutama ketika Nicholas Sarkozy
menjabat sebagai Presiden.
Mayoritas masyarakat migran yang berada di Perancis berasal dari negara-negara
Islam, utamanya bekas negara protektorat Perancis, seperti Maroko dan Tunisia. Sebagai
negara yang menganut paham sekuler republik, Perancis merupakan salah satu negara yang
cenderung terbuka terhadap keberadaan imigran. Melalui para pendatang yang banyak
berasal dari Afrika Utara, Islam pun mengalami perkembangan cukup signifikan di negara
tersebut, terbukti dengan tumbuhnya Perancis sebagai negara Eropa dengan populasi Muslim
terbanyak. Walaupun cenderung terbuka, bukan berarti stereotype tidak muncul diantara
negara Perancis. Imigran Muslim yang seringkali berstatus sosial rendah, membuat mereka
pun akhirnya termarjinalkan secara sosial dan politik.
Peristiwa 9/11 yang terjadi di Amerika Serikat telah memicu tumbuhnya prasangka
yang kian memburuk dari masyarakat asli terhadap kaum minoritas Muslim di Perancis.
Diskriminasi pun berubah menjadi Islamophobia sebuah ketakutan berlebihan terhadap
kaum Muslim yang kemudian mendorong berbagai tindak kekerasan terhadap penganut
Islam. Selain itu, Islamophobia yang terjadi di Perancis telah mendorong negara ini membuat
berbagai legislasi yang cenderung kontroversial. Pada tahun 2003, Presiden Perancis pada
saat itu, Jaques Chiraq, membuat sebuah rancangan Undang-Undang yang melarang
penggunaan simbol-simbol agama seperti hijab untuk kaum Muslim dan kippa untuk kaum
Yahudi. Kemunculan aturan ini sekaligus memberikan secara tegas bahwa Perancis adalah
negara tempat lahirnya ide-ide besar dan negara yang memiliki sejarah dan warisan budaya
dengan pluralitas budaya, suku serta agama tidak boleh mengkotak-kotakan masyarakatnya
dalam berbagai komunitas. 42 Rancangan Undang-Undang yang kemudian disahkan pada
tahun 2004 tersebut, diharapkan mampu mengembalikan dan menegakkan kembali tradisi
Perancis yang sekuler dengan memberikan garis pemisahan secara tegas antara agama dengan
pemerintahan negara.

41
Adrian Favell dan Randal Hansen. Markets Againts Politics: Migration, EU Enlargement and the Idea of
Europe, Journal of Ethnic and Migration Studies. Volume 28. Nomor 4. Hlm. 584. 2002.
42
Roosi Rahmawati. Undang-Undang Laicite, Jurnal Kajian Wilayah Eropa. Volume V. Nomor 1. Hlm. 132.
2009.
REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS

Pengesahan rancangan Undang-Undang tersebut kemudian diikuti berbagai aktivitas


yang cenderung merugikan komunitas Muslim, seperti penutupan sekolah Islam dan
keharusan penggunaan bahasa Perancis ketika melakukan khotbah. Lebih jauh lagi, tindak
kekerasan baik dalam bentuk fisik maupun verbal terhadap kaum minoritas Muslim pun
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Puncaknya di tahun 2012, ketika Nicholas
Sarkozy menjabat, Perancis akan memberlakukan kebijakan pengurangan setengah dari
jumlah penduduk imigran Muslim. 43 Berbagai kebijakan Nicholas Sarkozy terkait dengan
pengetatan imigran Muslim di tataran nasional ini mampu dibawa ke lingkungan regional
ketika Sarkozy menjabat sebagai Pemimpin Dewan Uni Eropa periode Juli-Desember tahun
2008.
Sejak saat itu, Perancis memainkan peranan yang lebih signifikan untuk membentuk
kebijakan imigrasi di Uni Eropa. Diawali pada tahun 2008 dengan dimunculkannya The
European Act on Immigration and Asylum yang berisikan seperangkat aturan dan pedoman
terkait dengan pengembangan kebijakan imigrasi suaka di Eropa. Pembentukan dokumen ini
didasari oleh adanya tekanan migrasi dan kesenjangan pembangunan di berbagai wilayah di
Eropa, yang akhirnya membuat keberadaan migrasi berdampak buruk bagi negara penerima.
Dalam The European Act on Immigration and Asylum, negara-negara anggota Uni Eropa
berkomitmen penuh pada lima hal, yaitu sebagai berikut:44

a. Mengatur hukum imigrasi dengan mempertimbangkan prioritas kebutuhan dan


kemampuan penerimaan yang ditentukan oleh masing-masing negara anggota dan
mendorong adanya integrasi;
b. Mengontrol imigrasi ilegal dengan memastikan kembalinya imigran ilegal ke
negara asal mereka atau negara transit;
c. Mengefektifkan kontrol terhadap perbatasan;
d. Membangun sebuah suaka Eropa;
e. Menciptakan kemitraan yang komprehensif dengan negara asal dan transit agar
mendorong sinergi antara migrasi dan pembangunan.

Pakta Imigrasi yang dicanangkan oleh Nicholas Sarkozy dan diimplementasikan oleh
seluruh negara-negara anggota Uni Eropa merupakan salah satu kebijakan pengetatan yang
secara tidak langsung bertujuan pula untuk mengurangi jumlah imigran Muslim di wilayah
Eropa. Hal ini tentu saja berkaitan dengan munculnya Islamophobia pasca insiden
pengeboman yang terjadi di tahun 2001, terulang kembali pada tahun 2005, dan kemudian
mulai muncul secara tidak teratur dan terus menerus di beberapa negara Eropa. Intisari dari
The European Act on Immigration and Asylum tersebut adalah untuk mengatur lima prioritas
yaitu; imigrasi legal dan integrasi; pengaturan imigrasi ilegal; pengaturan batas wilayah yang
lebih efektif; sistem pemberian suaka Eropa; serta migrasi dan pembangunan. 45 Dalam
kesepakatan bersama terkait dengan imigrasi ini terdapat dua poin pokok kebijakan yang
gencar dipromosikan oleh Uni Eropa yaitu: 46

43
BBC. Imigran di Perancis. http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2012/03/120307_prancis.shtml, diakses
27 Juni 2016 pukul 11:23 WIB, Surakarta.
44
Sabir E. Bab I Pendahuluan.
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/7681/SABIR%20E%2013108278%20(%20BAB%201%20
-%20DAFTAR%20PUSTAKA%20).pdf?sequence=2, dilihat 27 Juni 2016 pukul 11:24 WIB, Surakarta.
45
Elizabeth Collet. The EU Immigration Pact From Hague to Stockholm.
http://www.epc.eu/TEWN/pdf/304970248_EU%20Immigration%20Pact.pdf, dilihat 27 Juni 2016 pukul 11:26
WIB, Surakarta.
46
Sabir E., loc. cit.
REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS

1. Return Directive
Kebijakan ini merupakan salah satu kebijakan Uni Eropa yang dinilai
sangat kontroversial dan mendapatkan banyak kritik dari berbagai Non-
Governmental Organization (NGO) karena dianggap melanggar Hak Asasi
Manusia (HAM). Kebijakan Return Directive ini merupakan bentuk kebijakan
pengembalian langsung imigran ilegal ke negara asalnya seperti yang tercantum
dalam Immigration Pact sebagai berikut; irregular aliens on member states
territory must leave that territory. Kebijakan ini sudah ditandatangani sejak
tahun 2008, namun baru mulai berlaku pada tahun 2010 dan telah diterapkan di
beberapa negara anggota, salah satunya adalah Perancis. Adapun pelaksanaan
kebijakan Return Directive yang berlaku di Uni Eropa sendiri memiliki teknis
pelaksanaan yang mirip dengan kebijakan Return Directive di Perancis, yang
mana dilakukan dengan dua cara yaitu secara sukarela dari imigran itu sendiri
atau dengan menggunakan campur tangan pemerintah negara masing-masing.

2. Blue Card Scheme


Skema Kartu Biru merupakan kebijakan yang dimaksudkan untuk
mengatur masuknya tenaga kerja di Eropa. Kebijakan ini pada dasarnya
mengadopsi kebijakan greencard di Amerika Serikat yang difungsikan untuk
menarik masuknya tenaga kerja ahli ke Uni Eropa. Skema Kartu Biru ini
kemudian akan memberikan kemudahan bagi pemegangnya untuk
memperoleh tempat tinggal serta untuk membawa anggota keluarganya
berpindah ke wilayah Eropa. Blue Card Scheme merupakan salah satu cara
Uni Eropa untuk memperoleh imigran yang berkompeten sehingga tidak
menjadi tanggungan bagi negara penerima. Dengan adanya kebijakan ini,
maka komitmen utama dalam The European Pact yaitu menyelaraskan
migrasi dan pembangunan dapat dilaksanakan. Blue Card Scheme juga
merupakan bukti keberhasilan Perancis untuk membawa kebijakan domestik
ke tingkat internasional. Dalam tingkatan kebijakan nasional, Perancis telah
menerapkan undang-undang yang membatasi pekerja imigran yang tidak
terlatih ataupun terdidik untuk memasuki Eropa dengan adanya pembedaan
antara visa dan stay document. Kebijakan ini mengindikasikan bahwa
pemerintah Perancis hanya akan memberikan hak tinggal kepada migran yang
tidak mengurangi produktivitas rata-rata di Perancis. 47 Blue Card Scheme
memungkinkan kebijakan ini diterapkan secara menyeluruh di antara negara-
negara anggota Uni Eropa.

Kebijakan Uni Eropa yang demikian tersebut, menunjukkan bagaimana situasi politik
dalam negeri di negara anggota dapat mempengaruhi kebijakan terhadap Uni Eropa secara
keseluruhan. Didasarkan pada Decision Making Process oleh David Easton, maka sentimen
negatif terhadap kaum minoritas muslim yang sudah terdapat di Perancis menjadi salah satu
input bagi pembentukan kebijakan pengetatan imigrasi. Pemerintahan Nicholas Sarkozy yang
secara intensif mengembangkan kebijakan yang kontra terhadap imigran terutama imigran
muslim seperti dengan pembatasan jumlah imigran, serta munculnya tuntutan masyarakat
akan situasi yang aman dari gangguan terorisme akhirnya berhasil dibawa ke lingkup
kawasan ketika Sarkozy menduduki jabatan tertinggi dalam Uni Eropa. Munculnya kebijakan
The European Act on Immigration and Asylum menjadi reaksi terhadap input dari Perancis

47
Ibid.
REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS

yang didorong oleh keinginan akan peningkatan human security. Akhirnya, pengetatan
kebijakan di tingkat Uni Eropa pun secara tidak langsung berhasil memenuhi tujuan yang
ingin dicapai Perancis. Dengan demikian adanya pelanggaran terhadap aturan tersebut
tentunya akan dipandang sebagai sebuah aksi kejahatan kriminal transnasional. 48

Upaya Peningkatan Kontra Terorisme

Sama halnya dengan kemunculan Islamophobia yang meningkat secara signifikan


pasca pengeboman gedung World Trade Center pada tahun 2001, kebijakan kontra terorisme
pun muncul sejalan dengan adanya propaganda besar-besaran Amerika Serikat akan Global
War on Terrorism. Selain menyampaikan kabar duka yang diwakili oleh Javier Solana, Uni
Eropa menanggapi insiden berdarah tersebut dengan memberikan reaksi terhadap terorisme
sebagai sebuah kejahatan luar biasa sehingga perlu adanya penguatan badan-badan hukum,
penegakan hukum dan perundangan, serta penghormatan terhadap HAM sesuai Resolusi PBB
1373.49 Reaksi tersebut kemudian mendasari organisasi ini untuk mengembangkan platform
kerjasama terkait dengan penumpasan terorisme dengan berbagai negara, utamanya dengan
Amerika Serikat. Dengan demikian sudah sangat jelas bahwa Uni Eropa memiliki keinginan
yang kuat untuk menjadi salah satu aktor dalam hal usaha melawan terorisme. 50 Hal ini
diimplementasikan pada berbagai kebijakan luar negerinya yang telah terlebih dahulu
dikoordinasinakan negara-negara anggotanya.51
Peranan utama Uni Eropa dalam agenda kontra terorisme di atas terkait dengan segala
bentuk kebijakan melawan terorisme yang dapat berupa tiga cara yakni pencegahan
penyebaran teorisme, perlawanan terhadap aksi terorisme, dan penggagalan aksi teorisme
yang telah direncanakan. Ketiga cara tersebut ditujukan untuk menjaga ketertiban umum,
melindungi masyarakat dari rasa takut, dan mencegah digunakannya senjata kimia dan
biologis oleh kelompok teroris. Selain itu, tujuan lain dari diterapkannya ketiga cara tersebut
ialah untuk meyakinkan bahwa batas-batas negara Uni Eropa aman dan tidak disusupi oleh
kelompok-kelompok terorisme.52
Menghadapi penyebaran terorisme, Uni Eropa membangun kerjasama dengan
regional ASEAN yang mana kerjasama tersebut mencerminkan makna strategis dan
keseimbangan antara kepentingan ekonomi serta keamanan. 53 Dalam kerjasama antarregional
ini pula terlihat preferensi Uni Eropa yang lebih memfokuskan kerjasama kontra teror dengan
menghormati HAM, good governance, memperkuat badan penegak hukum, dan memandang
upaya kontra teror sebagai bagian dari konsep keamanan komprehensif atau comprehensive
security. 54 Dengan demikian Uni Eropa berusaha mengkonstruksikan atau menjaga citra

48
N Boister. Illegal Migration on Transnational Criminal Law, dipublikasikan dalam European Journal of
International Law. Volume 14. Hlm. 953. 2011.
49
Vitri Mayastuti. Analisis Budaya Strategis dalam Kerjasam Kontra Teror AS-Uni Eropa. Jakarta: Universitas
Indonesia.
50
C. de Vries. EU Counter-Terrorism Coordinator, Terrorism, Islam and Democracy. Basingstoke: Macmillan.
Hlm. 167. 2011.
51
Marianne L. Wade. The European Union As A CounterTerrorism Actor: Right
Path, Wrong Direction?, diterbitkan dalam Springer Science and Business Media Journal. Volume X.
Hlm.360. 2013.
52
Wojciech J. Janik. The threat of Islamic terrorism in Europe, dipublikasikan dalam Elbalg World Scientific
Journal. Hlm. 53. 2016.
53
Frank Umbach. EU-ASEAN Political and Security Dialogue at the Begining of 21 Century: Prospect of
Interregional Cooperation on International Terrorism, Panorama: Insight into Southeast Asian and European
Affairs. Hlm. 11. 2004
54
Ibid.
REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS

dirinya sebagai sebuah entitas yang tetap berlandaskan pada demokrasi dalam setiap
pembuatan kebijakannya. 55
Pendekatan yang dilakukan terhadap kawasan ASEAN ini pada kenyataannya juga
dilakukan terhadap kawasan negara Arab Mediterania. Melalui kerjasama di bidang reformasi
peradilan, kepolisian, sistem penjara, dan keamanan perbatasan, Uni Eropa berinisiatif untuk
melakukan pencegahan terhadap penyebaran paham radikalisme di negara-negara Magribi,
yang meliputi Aljazair, Tunisia, dan Maroko.56
Kerjasama kontra teror yang dijalankan oleh Uni Eropa dengan kawasan negara Arab
merupakan bagian dari European Neighborhood Policy, yang mana lebih bersifat legal
konstitusional. Dalam wadah kerjasama ini pula, Uni Eropa memiliki peranan yang besar
untuk membantu negara-negara Afrika Utara agar menerapkan Resolusi PBB 1267 (1999)
dan 1373 (2001). Secara umum, kedua Resolusi tersebut meminta negara-negara anggota
PBB untuk melakukan langkah-langkah demi meningkatkan kemampuan di bidang
penegakan hukum dalam melawan terorisme di tingkat nasional, regional, maupun global. 57
Kontra terorisme di daratan Eropa pada dasarnya merupakan salah satu kebijakan
yang sudah cukup lama. Kebijakan pertahanan untuk melawan berbagai aksi teror sudah
tumbuh di lingkungan Uni Eropa bahkan jauh sebelum munculnya War on Terrorism pada
pemerintahan Geroge W. Bush, Jr. di Amerika Serikat. Hal ini menunjukkan bagaimana Uni
Eropa telah lama menyadari dirinya sebagai sebuah target yang potensial bagi berabagai aksi
teror.58 Beberapa negara seperti Jerman, Italia, Spanyol, dan Perancis merupakan beberapa
contoh negara anggota Uni Eropa yang telah mengalami berbagai aksi terorisme domestik. 59
Tentunya segala macam pendekatan terhadap usaha kontra terorisme tersebut dirancang
dengan mempertimbangkan aspek komunikasi strategis yang ditujukan baik untuk target
eksternal maupun domestik.60
Spanyol mengalami serangan dari kelompok teror Euskadi Ta Askatasuna (ETA)
yang berasal dari Bosque sampai kelompok tersebut akhirnya mengalami kemunduran dan
berubah menjadi aksi kekerasan secara sporadis pada tahun 1990-an.61 Perancis yang
memberikan dukungan terhadap pemerintahan Aljazair mendapatkan banyak serangan
terorisme domestik utamanya pada tahun 1995 hingga 1996, sementara itu Jerman
memperoleh ancaman terorisme akibat dari besarnya komunitas Kurdi dan Turki di negara
tersebut.62 Meskipun negara-negara anggota Uni Eropa mengalami ancaman terorisme yang
berbeda-beda akan tetapi kebijakan kontra teror yang dikeluarkan oleh Uni Eropa sudah
dibentuk pada tahun 1970-an. Kemudian pada tahun 1980-an, seiring dengan munculnya
European Common Market, organisasi regional ini memiliki sebuah wadah yang bernama
kelompok Terrorism, Radicalism, Extremisme et Violence Internationale (TREVI) yang
dibentuk pada tahun 1976 sebagai forum diskusi dan kerjasama antarkepolisian serta
intelijen.63 Kerangka TREVI ini kemudian dijadikan dasar pembentukan Justice and Home
Affairs pada tahun 1993.

55
H.Fenwick. Civil Liberties & Human Rights. Oxon: Cavendlish Publishing. Hlm. 52. 2013.
56
Vitri Mayastuti, loc. cit.
57
Lisa Watanabe. EU-Maghreb Counter-terrorism Cooperation: The Need for More Comprehensive Approach.
Jenewa: GCSP. Hlm. 2. 2011.
58
Vitri Mayastuti, loc. cit.
59
Ibid.
60
Darya Yu. Bazarkina, Strategic Communication of the EU: The CounterTerrorist Aspect, diterbitkan dalam
Sholokov Moscow Journal of Humanitarian Affairs. Volume VI. Hlm. 31. 2014.
61
Peter Chalk. West European and Counter-terrorism: The Evolving Dynamic. Basingstoke: Macmillan. Hlm.
66. 1996.
62
Vitri Mayastuti, loc. cit.
63
Ibid.
REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS

Sebelum adanya peristiwa 9/11, Uni Eropa pada dasarnya memiliki keengganan untuk
bekerjasama dengan Amerika Serikat terkait dengan upaya kontra terorisme. Hal ini
didasarkan pada pandangan Uni Eropa bahwa, ancaman terorisme yang dialami oleh Amerika
Serikat merupakan harga yang harus dibayar oleh negara tersebut karena aktivitasnya yang
begitu ekstrem di Timur Tengah serta pemberian dukungan secara terbuka kepada Israel. 64
Namun, serangan terorisme yang mampu menghancurkan Gedung World Trade Center di
tahun 2001, akhirnya berhasil merubah persepsi Uni Eropa bahwasanya mereka pun rapuh
terhadap terorisme dengan modus operandi yang radikal oleh kelompok Islam semacam itu. 65
Persepsi ini kemudian diperkuat dengan serangan terorisme di Madrid pada tahun 2004 yang
menewaskan 200 jiwa. 66
Munculnya aktivitas terorisme yang merupakan bagian dari gerakan Islam radikal,
memunculkan sentimen negatif terhadap imigran Muslim yang tinggal di Eropa. Berbagai
peristiwa pengeboman yang mengatasnamakan Islam, membuat banyak warga Muslim Eropa
memperoleh diskriminasi dan kekerasan baik secara fisik maupun verbal. Ketakutan warga
Eropa memunculkan tuntutan akan peningkatan keamanan, yang kemudian direspon oleh Uni
Eropa dengan melakukan pengetatan terhadap kebijakan kontra terorisme.67
Perlawanan terhadap terorisme itu sendiri oleh Uni Eropa tidak dilihat sebagai perang,
melainkan sebagai tantangan jangka panjang yang membutuhkan penanganan secara
komprehensif. 68 Dengan pandangan yang demikian, maka dalam penumpasan terorisme, Uni
Eropa cenderung menggunakan berbagai instrumen soft politic dengan menempatkan
terorisme sebagai sebuah kejahatan. Hal ini dapat dilihat dalam berbagai dokumen legislasi
Uni Eropa, yaitu European Union Action Plan on Combating Terrorism dan European Union
Counterterrorism Strategy yangmana lebih menekankan upaya untuk mengkriminalkan
terorisme.69 Kemajuan dalam bidang kontra terorisme di Uni Eropa ini baru terlihat lebih
nyata setelah adanya serangan 9/11 di Washington D.C. pada tahun 2001, yang disusul
dengan insiden Madrid tahun 2004. Keengganan untuk bekerjasama dengan Amerika Serikat
mengalami perubahan dengan mulai mengikutsertakan pemerintahan George W. Bush, Jr.
pada masa, itu ke dalam berbagai pembahasan European Security Strategy (ESS).70
Meskipun upaya kontra terorisme mulai terlihat lebih nyata, akan tetapi upaya Uni Eropa
tersebut masihlah bersifat defensif.
Situasi yang demikian ini dipengaruhi oleh pandangan Uni Eropa, yang memiliki
persepsi bahwa terorisme merupakan sebuah problematika internal, sehingga dalam berbagai
kebijakan kontra terorisme-nya, organisasi ini lebih menekankan pilar pencegahan. 71
Aktivitas defensif ditujukan untuk mencegah serangan teroris dengan cara mengidentifikasi
dan menangkap teroris saat menuju sasaran, mencegah akses untuk menyerang target, dan
meminimalkan kerusakan dari serangan, serta berupaya untuk menangkap pelaku tindak
terorisme tersebut untuk kemudian dihadirkan ke hadapan pengadilan. 72 Uni Eropa juga lebih
menekankan aktivitas defensif yang berpusat pada sipil serta melibatkan kepolisian dan

64
Ibid.
65
M.ONeil. The Evolving EU Counter-terrorism Legal Framework. Oxon: Routledge. Hlm. 156. 2011.
66
Wyn Rees. Transatlantic Counter-terrorism Cooperation: The New Imperative. Oxon: Routledge. Hlm. 60.
2006.
67
N.Kaizer & Van Sliedregt. The European Arrest Warrant in Practice. The Hague: TMC Asser Press. Hlm. 88.
2014.
68
Ibid. Wyn Rees, hal. 72.
69
Vitri Mayastuti, loc. cit.
70
Ibid.
71
Ibid.
72
Ibid.
REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS

departemen terkait. Council of European Union menetapkan empat pilar dalam aktivitas
counter-terrorism, yaitu:73

1. Pencegahan (Prevention)
Berdasarkan dokumen formal EU Counter-Terrorism Strategy, prevention
merupakan tindak pencegahan agar orang tidak mengambil jalan terorisme
dengan menangani berbagai faktor atau akar penyebab yang memicu munculnya
radikalisme. Dengan demikian, pilar prevent ini ditujukan untuk melawan
radikalisasi dan perekrutan kelompok teror seperti Al-Qaeda ataupun Taliban.
Selanjutnya prioritas utama dalam pilar ini dijabarkan antara lain sebagai
berikut:74
1) Mengembangkan pendekatan bersama untuk mengetahui dan menangani
masalah perilaku, terutama penyalahgunaan internet;
2) Menangani masalah penyebaran kebencian dan perekrutan, terutama di
tempat-tempat penting, misalnya penjara, tempat pelatihan keagamaan, atau
tempat ibadah dengan menerapkan UU yang membuat perilaku ini sebagai
pelanggaran;
3) Mengembangkan strategi media dan komunikasi untuk menjelaskan kebijakan
Uni Eropa dengan lebih baik;
4) Memajukan pemerintahan yang baik, demokrasi, pendidikan, dan kemakmuran
ekonomi melalui program bantuan Komunitas dan Negara Anggota;
5) Mengembangkan dialog antarbudaya di dalam dan di luar Uni Eropa;
6) Mengembangkan kosak kata yang non-emosional untuk membahas masalah
tersebut;
7) Terus melakukan riset, berbagi analisis dan pengalaman dalam upaya untuk
memajukan pemahaman mengenai masalah terorisme dan kemudian
mengembangkan respon kebijakan.
Prevention atau pencegahan merupakan salah satu strategi utama Uni Eropa
dalam usahanya untuk meningkatkan upaya kontraterorisme. Berbagai macam
bentuk pencegahan berkembangnya bibit-bibit terorisme dan usaha untuk terus
mencari solusi terbaik dalam memerangi terorisme juga dilakukan melalui
pendekatan ilmiah dan akademis. Bentuk nyata dari usaha kontraterorisme yang
dilakukan oleh Uni Eropa melalui pendekatan ilmiah dan akademik tersebut ialah
sering diselenggarakannya konferensi atau pertemuan yang membahas mengenai
pencegahan terorisme maupun mencari solusi terbaik dalam melawan terorisme
global. Berbagai macam konferensi dan pertemuan tersebut dapat berupa acara
internal Uni Eropa maupun acara bersama antara Uni Eropa dengan pihak
eksternal lainnya. Adapun contoh dari konferensi dan pertemuan tersebut antara
lain: The Hague Conference Center for International Counter Terrorism yang
diselenggarakan di Den Hag, Belanda 75, International Conference on Engaging
Partners for Capacity-Building: United Nations Collaboration with Counter-
Terrorism Centres yang merupakan kolaborasi antara Uni Eropa dan PBB
diselenggarakan di Brussel, Belgia 76, ASEM Counter-Terrorism yang merupakan
73
Ibid.
74
Council of European Union. The European Union Counter Terrorisme Strategy. Brussel. 2005.
75
ICCT. The Hague Conference Center for International Counter Terrorism.
https://icct.nl/, dilihat 5 Oktober 2016 pukul 10:31 WIB, Bekasi.
76
UNCCT. EU and UNCCT convene Global Network of Counter-Terrorism Centres in Brussels.
https://www.un.org/counterterrorism/ctitf/en/uncct/eu-and-uncct-convene-global-network-counter-
terrorism-centres-brussels, dilihat 5 Oktober 2016 pukul 10:32 WIB, Bekasi.
REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS

pertemuan besar antara Uni Eropa dan negara-negara Asia diselenggarakan di


Brussel77, The EU Security, Migration and Borders Conference yang
diselenggarakan di Cardiff, Inggris 78, The Global Counterterrorism Forum
merupakan forum kajian bersama Uni Eropa dan 29 negara lainnya
diselenggarakan secara bergantian oleh Belanda dan Maroko, serta masih banyak
lagi. Berbagai macam konferensi dan pertemuan tadi diselenggarakan setiap
tahunnya bahkan dapat diselenggarakan secara mendadak apabila ada sesuatu
yang mendesak.

2. Perlindungan (Protection)
Sementara pilar kedua yaitu protection dimaksudkan sebagai upaya untuk
melindungi warga negara dan infrastruktur, serta mengurangi kerapuhan Uni
Eropa terhadap serangan dengan memperbaiki keamanan di perbatasan,
transportasi, dan infrastruktur vital. Salah satu bentuk realisasi dari pilar ini
adalah keberadaan European Borders Agency atau Frontex yang berperan dalam
menyediakan penilaian resiko sebagai upaya untuk memperketat pengendalian
dan pengawasan perbatasan eksternal Uni Eropa.79 Uni Eropa juga memiliki Visa
Information System dan Schengen Information System yang akan memastikan
pejabat berwenang dapat berbagi dan mengakses berbagai informasi yang
dibutuhkan serta menghentikan individu yang ingin masuk ke wilayah Schengen.
Beberapa prioritas utama dalam pilar protect ini adalah sebagai berikut:80
1) Melakukan perbaikan keamanan dalam pembuatan paspor Uni Eropa dengan
memperkenalkan biometrik;
2) Mengembangkan analisis resiko melalui Frontex terhadap perbatasan
eksternal Uni Eropa;
3) Menerapkan standar bersama yang disepakati di bidang penerbangan, sipil,
pelabuhan, dan keamanan maritim;
4) Menyepakati program Uni Eropa di bidang perlindungan infrastruktur;
5) Memanfaatkan aktivitas riset di Uni Eropa.

3. Pengejaran (Pursuit)
Pilar ketiga dalam kebijakan kontra terorisme yang digalakkan oleh Uni Eropa
yaitu pursuit merupakan upaya untuk mengejar dan menyelidiki teroris di wilayah
Uni Eropa dan secara global; menghambat perencanaan, perjalanan, dan
komunikasi; mengganggu jaringan pendukung mereka; menghentikan pendanaan
dan akses ke bahan peledak, serta membawa pelaku tindak terorisme ke muka
hukum. Salah satu langkah penting dalam realisasi pilar ini adalah
pemberlakukan European Arrest Warrant yang menjadi instrumen penting dalam
mengejar dan menyelidiki teroris. Beberapa prioritas utama dalam pilar ini
dijabarkan antara lain sebagai berikut:81

77
ASEM8. ASEM Conference on Counter-Terrorism.
http://www.asem8.be/event/8th-asem-conference-counter-terrorism.html, dilihat 5 Oktober 2016 pukul
10:33 WIB, Bekasi.
78
Eu-EMS. The EU Security, Migration and Borders Conference.
https://www.eu-ems.com/summary.asp?event_id=2287&page_id=4660, dilihat 5 Oktober 2016 pukul 10:33
WIB, Bekasi.
79
Vitri Mayastuti, loc. cit.
80
Council of European Union, loc. cit.
81
Ibid.
REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS

1) Memperkuat kapabilitas nasional untuk melawan terorisme;


2) Memanfaatkan sepenuhnya Europol dan Eurojust untuk memudahkan
kerjasama antarbadan kepolisian dan yudisial serta terus mengintegrasikan
ancaman dari Joint Situation Center ke dalam pembuatan kebijakan
kontrateror di tingkat nasional;
3) Mengembangkan pengakuan putusan yudisal lebih jauh, termasuk
mengadopsi European Evidence Warrant;
4) Memastikan penerapan dan evaluasi sepenuhnya perundangan yang ada serta
melakukan ratifikasi berbagai perjanjian dan konvensi internasional yang
berhubungan dengan kontraterorisme;
5) Mengembangkan ketersediaan informasi penegakan hukum;
6) Mencegah akses teroris terhadap senjata dan bahan peledak, dari komponen
bahan peledak rakitan hingga peledak dari kimia, biologi, radiologi, dan
nuklir.
7) Mencegah pendanaan teror, termasuk menerapkan perundang-undangan yang
disepakati untuk mencegah penyelewengan dana di sektor nirlaba dan
mengkaji kinerja Uni Eropa secara keseluruhan di bidang ini;
8) Memberikan bantuan teknis untuk memperkuat kapabilitas negara-negara di
luar Uni Eropa.

4. Respon (Response)
Sementara itu, yang dimaksud dengan respon dalam hal ini adalah
mempersiapkan Uni Eropa dalam semangat solidaritas untuk mengelola dan
memimalisir konsekuensi serangan teroris dengan meningkatkan kapabilitas
untuk menghadapi kondisi pascaserangan, koordinasi respon, dan kebutuhan
korban. Untuk merespon keadaan darurat yang disebabkan oleh serangan
terorisme, Uni Eropa lebih mengandalkan peranan negara-negara anggota di
wilayah bersangkutan. Prioritas utama dalam pilar respon ini antara lain sebagai
berikut:82
1) Menyepakati European Union Crisis Coordination Agreements dan
mendukung prosedur operasionalnya;
2) Merevisi peraturan perundangan tentang Community Mechanism untuk
perlindungan warga sipil;
3) Mengembangkan penilaian resiko sebagai instrumen untuk meningkatkan
kapabilitas dalam merespon serangan;
4) Meningkatkan koordinasi dengan organisasi internasional dalam mengelola
respon serangan teroris dan bencana lainnya;
5) Berbagi latihan terbaik dan mengembangkan pendekatan untuk memberikan
bantuan kepada korban terorisme beserta keluarga mereka.

Komitmen Uni Eropa untuk memerangi terorisme dapat dilihat sebagai akibat
munculnya Islamophobia yang meningkat secara signifikan pascatragedi pengeboman World
Trade Center. Tindakan terorisme yang mengatasnamakan Islam membuat masyarakat
Muslim menjadi target stereotype negatif. Masyarakat Eropa mengalami penurunan tingkat
human security serta adanya degradasi terhadap perdamaian sebagai akibat munculnya
pandangan buruk yang memicu tindak kekerasan terhadap Muslim, terutama di Perancis
dengan tingkat populasi Muslim terbesar di Eropa. Kebijakan kontraterorisme yang
dijalankan oleh Uni Eropa merupakan salah satu respon terhadap Islamophobia yang

82
Ibid.
REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS

sekaligus ditujukan untuk mengembalikan situasi damai di kawasan tersebut. Hingga saat ini,
kontraterorisme masih menjadi agenda politik dan isu yang penting di Eropa. Terlebih lagi
setelah kemunculan kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS).
Tumbuhnya ISIS sebagai organisasi teroris radikal yang menguasai sebagaian wilayah
Irak dan Suriah, bahkan telah membuat kebijakan defensif Uni Eropa berubah menjadi
ofensif. Hal ini dapat dilihat dengan keikutsertaan sebagian anggota Uni Eropa, yang antara
lain adalah; Belgia, Denmark, Perancis, dan Belanda, dalam sebuah serangan udara gabungan
bersama dengan NATO di Irak.83 Meskipun demikian Uni Eropa pun juga tidak
meninggalkan pendekatan secara defensif dalam isu yang terjadi di Timur Tengah ini. Uni
Eropa meningkatkan kerjasama dengan Amerika Serikat untuk aktif melakukan dialog dalam
level internasional yang bertujuan untuk mendorong pemerintahan Assad di Suriah agar
bersedia ke meja perundingan.84 Dalam hal ini, Uni Eropa pun ikut memberikan sanksi
embargo kepada pemerintahan Bashar al-Assad pada tahun 2012.
Insiden terakhir di tahun 2015, yaitu serangan secara sporadis di Paris telah
meningkatkan kekhawatiran Uni Eropa terkait dengan serangan terorisme. Sebagai akibat
dari serangan yang diyakini berasal dari kelompok ISIS, Islamophobia di Perancis mengalami
peningkatan yang sangat signifikan sehingga mendorong adanya kebijakan pengetatan
imigrasi terutama bagi imigran yang berasal dari Suriah serta penguatan kebijakan kontra
terorisme. Secara umum, berbagai respon yang diberikan oleh Uni Eropa terhadap munculnya
Islamophobia yang mulai berkembang secara signifikan merupakan seperangkat kebijakan
yang saling berhubungan.
Islamophobia telah membuat tingkat human security dan perdamaian di Eropa
terutama di wilayah Perancis mengalami penurunan. Sebagai komitmen Uni Eropa untuk
melindungi warga negaranya, dengan menciptakan keamanan, organisasi ini mengeluarkan
seperangkat kebijakan untuk mengurangi tingkat stereotype terhadap Muslim dengan
pengetatan kebijakan imigran terutama yang berasal dari negara-negara Islam. Secara tidak
langsung pengetatan kebijakan imigrasi tersebut juga bagian dari upaya kontra terorisme,
yaitu pada pilar prevent. Mengingat bagaimana sumber-sumber terorisme utamanya berasal
dari negara Islam, pergerakan imigran Islam yang dipersempit melalui kebijakan imigrasi
yang lebih ketat difungsikan untuk mengurangi potensi sumber-sumber terorisme itu sendiri.
Sehingga kemungkinan akan terjadi serangan terorisme di lingkup domestik dapat dikurangi.
Memasuki tahun 2012, kebijakan kontra terorisme yang digalakkan oleh Uni Eropa ini
pun juga mulai mengalami pergeseran. Kebijakan awal yang bertumpu pada pilar defensif
telah meningkat menjadi ofensif dengan keterlibatan Uni Eropa dalam serangan udara untuk
memberantas terorisme dari sumbernya. Kebijakan ini sejalan dengan politik luar negeri yang
diusung oleh Uni Eropa terhadap negara-negara Arab Mediterania. Uni Eropa memandang
kawasan Timur Tengah sebagai wilayah yang tidak stabil, sehingga politik luar negeri
terhadap kawasan ini seringkali ditujukan untuk menciptakan stabilitas dan peace building.
Melalui tujuan yang demikian ini diharapkan radikalisme dapat dikurangi sehingga, akar
terorisme itu sendiri sedikit demi sedikit dapat diberantas.
Pada akhirnya berbagai kebijakan yang digalakkan oleh Uni Eropa ini sendiri
membawa dampak bagi komunitas Muslim yang tinggal di Eropa, utamanya Muslim di
Perancis yang memegang proporsi terbesar komunitas Muslim di Eropa. Kebijakan yang
sifatnya internasional dan meluas seperti kontra terorisme dan politik luar negeri Uni Eropa
memang tidak begitu memberikan dampak secara langsung, akan tetapi kebijakan pengetatan
imigrasi dengan mengeluarkan Skema Kartu Biru dan pengembalian secara langsung imigran
yang tidak memiliki dokumen lengkap memberikan dampak cukup signifikan bagi komunitas

83
Derek A. Mix, loc. cit.
84
Ibid.
REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS

Muslim. Pengaruh ini dapat dilihat dari berbagai segi, seperti sosial, politik, dan bahkan
hukum.

Kesimpulan

Islamophobia telah membuat tingkat human security dan perdamaian di Eropa


terutama di wilayah Perancis mengalami penurunan. Sebagai komitmen Uni Eropa untuk
melindungi warga negaranya, dengan menciptakan keamanan, organisasi ini mengeluarkan
seperangkat kebijakan untuk mengurangi tingkat stereotype terhadap Muslim dengan
pengetatan kebijakan imigran terutama yang berasal dari negara-negara Islam. Secara tidak
langsung pengetatan kebijakan imigrasi tersebut juga bagian dari upaya kontra terorisme,
yaitu pada pilar prevent. Mengingat bagaimana sumber-sumber terorisme utamanya berasal
dari negara Islam, pergerakan imigran Islam yang dipersempit melalui kebijakan imigrasi
yang lebih ketat difungsikan untuk mengurangi potensi sumber-sumber terorisme itu sendiri.
Sehingga kemungkinan akan terjadi serangan terorisme di lingkup domestik dapat dikurangi.
Pada akhirnya berbagai kebijakan yang digalakkan oleh Uni Eropa ini sendiri
membawa dampak bagi komunitas Muslim yang tinggal di Eropa, utamanya Muslim di
Perancis yang memegang proporsi terbesar komunitas Muslim di Eropa. Kebijakan yang
sifatnya internasional dan meluas seperti kontra terorisme dan politik luar negeri Uni Eropa
memang tidak begitu berdampak langsung, akan tetapi kebijakan pengetatan imigrasi dengan
mengeluarkan Skema Kartu Biru dan pengembalian secara langsung imigran yang tidak
memiliki dokumen lengkap memberikan dampak cukup signifikan bagi komunitas Muslim.
Pengaruh ini dapat dilihat dari berbagai segi, seperti sosial, politik, dan bahkan hukum.
REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Arif, Muhammad Qobidl Ainul. Politik Islamophobia Eropa: Menguak Eksistensi Sentimen
Anti-Islam Dalam Isu Keanggotaan Turki. Yogyakarta: Deepublish. 2014.
Chalk, Peter. West European and Counter-terrorism: The Evolving Dynamic. Basingstoke:
Macmillan. 1996.
Council of European Union. The European Union Counter Terrorisme Strategy. Brussel.
2005.
Fenwick, H. Civil Liberties & Human Rights. Oxon: Cavendlish Publishing. 2013.
Ishay, Michelin R. The History of Human Rights: From Ancient Times to the Globalization
Era. Barkeley and Los Ageles: University of California Press. 2004.
Kaizer, N & Van Sliedregt. The European Arrest Warrant in practice. The Hague: TMC
Asser Press. 2014.
Norman, Daniel. Islam and West, the Making of an Image. Scotland: Edinburgh University
Press. Vide. 1980.
ONeil, M. The Evolving EU Counter-terrorism Legal Framework. Oxon: Routledge. 2011.
Peers, S. EU Justice and Home Affairs Law. Oxford: Oxord University Publishing. 2011.
Rees, Wyn. Transatlantic Counter-terrorism Cooperation:The New Imperative. Oxon:
Routledge. 2006.
Suwito. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana. 2008.
Vries, C. de. EU Counter-Terrorism Coordinator, Terrorism, Islam and Democracy.
Basingstoke: Macmillan. 2011.
Watanabe, Lisa. EU-Maghreb Counter-terrorism Cooperation: The Need for More
Comprehensive Approach. Jenewa: GCSP. 2011.

Artikel Jurnal
Boister, N. Illegal Migration on Transnational Criminal Law. European Journal of
International Law, Volume 14. 2011.
Brown, L. Carl. Middle East; Crescent of Crisis: U.S.-European Strategy for the Greater
Middle East. Council on Foreign Relations Journal, Volume 85. 2012.
Favell, Adrian dan Randal Hansen. Markets Againts Politics: Migration, EU Enlargement
and the Idea of Europe. Journal of Ethnic and Migration Studies. Volume 28.
Nomor 4. 2002.
REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS

Geisser, Vincent. Intellectual and Ideological Debates on Islamophobia: A French Specifity


in Europe, Institute of Researches and Studies on the Arabic and Muslim World.
____________. Islamohobia: A French Specifity in Europe? Human Architecture: Journal
of the Sociology of Self Knowledge. Hlm. 39-46. 2010.
Janik, Wojciech J. The threat of Islamic terrorism in Europe. Elbalg World Scientific
Journal, 2016.
Mark, Jon. High Hopes and Low Motives: The New Euro-Mediterranean Partnership
Initiative. Mediterranean Politics . Hlm. 1-24. 1996.
Perlmutter, William Rogers. EUROPEAN UNION FOREIGN POLICY: QUIETLY
COLLAPSING DEMOCRACY. Chapel Hill Journal of Political Science, Volume
III. 2014.
Rahmawati, Roosi. Undang-Undang Laicite. Jurnal Kajian Wilayah Eropa. Volume V.
Nomor 1. 2009.
Umbach, Frank. EU-ASEAN Political and Security Dialogue at the Begining of 21 Century:
Prospect of Interregional Cooperation on International Terrorism. Panorama:
Insight into Southeast Asian and European Affairs. 2004.
Wade, Marianne L. The European union as a counterterrorism actor: right path, wrong
direction?. Springer Science and Business Media Journal. Volume X. 2013.
Yu. Darya. Strategic Communication of the EU: The CounterTerrorist Aspect. Sholokov
Moscow Journal of Humanitarian Affairs. Volume VI. 2014.

Internet
Allen, Chris dan Jorgen S. Nielsen. Summary Report on Islamophobia in the EU after 11
September 2001. http://fra.europe.eu/sites/default/files/fra_uploads/199-Synthesis-
report_en.pdf, diakses 14 Juni 2015 pukul 8:21 WIB, Surakarta.
BBC. Imigran di Perancis.
http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2012/03/120307_prancis.shtml, diakses pada
27 Juni 2016 pukul 15:16 WIB, Surakarta.
Castle, Stephen T.t. Islamophobia Takes a Grip Across Europe.
http://www.islamophobia.org/readarticle.php?article_id=76, diakses 14 Juni 2015
pukul 13:11 WIB, Surakarta.
Cesari, Jocelyne. Securitization and Religious Divides in Europe, Muslim in Western
Europe After 9/11: Why the Term Islamophobia is more Predicament than an
REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS

Explanation?. http://www.euro-islam.info/wp-
content/uploads/pdfs/securitization_and_religious_divides_in_europe.pdf, dilihat 25
Juni 2016 pukul 15:21 WIB, Surakarta.

Collet, Elizabeth. The EU Immigration Pact From Hague to Stockholm.


http://www.epc.eu/TEWN/pdf/304970248_EU%20Immigration%20Pact.pdf,
diakses 27 Juni 2016 pukul 15:24, Surakarta.
E., Sabir. Bab I Pendahuluan.
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/7681/SABIR%20E%2013
108278%20(%20BAB%201%20-
%20DAFTAR%20PUSTAKA%20).pdf?sequence=2, diakses 27 Juni 2016 pukul
15:28 WIB, Surakarta.
European Comission.
http://ec.europa.eu/public_opinion/archives/ebs/ebs_225_report_en.pdf, diakses 9
April 2016 pukul 15:36 WIB, Surakarta.
European Monitoring Centre on Racism and Xenophobia. Muslim in the European Union:
Discrimination and Islamophobia..
http://fra.europa.eu/sites/default/files/fra_uploads/156-Manifestations_EN.pdf,
diakses 25 Juni 2016 pukul 15:38 WIB, Surakarta.

Johansson-Nogues, Elisabeth. The Decline of the EUs Magnetic Attraction? The European
Union in the Eyes of Neighboring Arab Countries and Russia European Foreign
Policy Unit Working Paper No 2011/1.
http://www.lse.ac.uk/internationalRelations/centresandunits/EFPU/EFPUpdfs/EFPU
workinpaper2011-1.pdf, diakses 25 Juni 2016 pukul 15:46 WIB, Surakarta.
Mansfiled, Edward D. dan Etel Solingen, Regionalism, Annual Reviews Political Science.
http://www.waseda.jp/gsaps/eaui/educational_program/PDF_2/KU_KIM%20DongH
un_Reading2_Regionalism.pdf, dilihat pada 20 Juni 2016 18:02 WIB, Surakarta
Mix, Derek A. 2015. The United States and Europe: Current Issues, Congressional
Research Service. https://www.fas.org/sgp/crs/row/RS22163.pdf, diakses 26 Juni
2015 pukul 15:44 WIB, Surakarta.
Okezone. 20 April, 2010. Belgia Larang Penggunaan Cadar.
http://international.okezone.com/read/2010/04/01/18/318365/belgia-larang-
penggunaan-cadar, diakses 17 Juni 2015 pukul 19:45 WIB, Surakarta.
REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS

Skripsi dan Tesis


Mayastuti, Vitri. Analisis Budaya Strategis dalam Kerjasam Kontra Teror AS-Uni Eropa.
Tesis. Universitas Indonesia. Jakarta.

You might also like