Download as rtf, pdf, or txt
Download as rtf, pdf, or txt
You are on page 1of 123

Kitab Fathul Izar dan Terjemahannya

Posted on Saturday, 10 October 2015 | garis 00:55 Blog Title Dirasat Islami,
Fiqh, Headlines, Khazanah

Muslimedianews.com ~ Kitab Fathul Izar adalah karya ulama Nusantara, KH.


Abdullah Fauzi Pasuruan. Menerangkan tentang perihal nikah dan yang
berkaitan dengan hubungan suami-istri.


" " "
" "
"

: : :
: .

.





. :

.

: ) (
: .
:

:







.










.
.




.
.


.
) (

.







)(



: .

FATHUL IZAR

Karya: KH. Abdullah Fauzi Pasuruan


Kitab ini kecil dan ringkas, tapi high kualitas dan besar manfaatnya. Memuat beberapa
faidah penting tentang pernikahan, meliputi senggama, rahasia di balik waktu
melakukannya, tatacaranya, serta rahasia dan keunikan penciptaan seorang gadis.
Saya menyusun dan mengutip kitab ini dengan mengacu pada teks kitab karanga
nulama besar. Semoga Allah melimpahkan anugerah dengan mengaruniai mereka
keberuntungan dan keutamaan.

Saya beri judul kitab ini dengan nama Fathul Izar, mengupas rahasia di balik waktu
senggama serta rahasia di balik penciptaan seorang gadis. Kemudian hanya kepada
Allah-lah saya memohon, semoga menjadikannya sebuah kitab yang bermanfaat bagi
kami dan kaum Muslimin. Semoga Allah menjadikannya pula sebagai bekal bagi kami
serta kedua orangtua kami di hari akhirat, dimana harta dan anak tak lagi berguna
kecuali yang datang menghadap Allah dengan hati yang bersih. (QS. asy-Syuara ayat
88-89).

BAB I: ARTI SEBUAH PERNIKAHAN

Ketahuilah, nikah itu suatu kesunnahan (perbuatan) yang disukai dan pola hidup yang
dianjurkan. Karena dengan nikah terjagalah populasi keturunan dan lestarilah hubungan
antar manusia. Allah Swt. dalam firmanNya telah menganjurkan nikah:

"Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat." (QS.
an-Nisa ayat 3).

Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Ia menciptakan untukmu isteri-isteri dari


jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya. Dan
dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan sayang." (QS. ar-Rum ayat 21).

"Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang
layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba sahayamu yang
perempuan. Jika mereka miskin maka Allah akan memampukan mereka dengan
karuniaNya." (QS. an-Nur ayat 2).

Diantara bentuk 'kekayaan' yang dikaruniakan Allah kepada mereka ialah, sebelum
seorang laki-laki memasuki jalinan pernikahan dia hanya memiliki dua tangan, dua kaki,
dua mata dan sebagainya dari anggota tubuhnya yang masing-masing hanya sepasang.
Namun ketika ia telah terajut dalam sebuah pernikahan, maka jadilah anggota-anggota
tubuh tersebut menjadi berlipat ganda dengan sebab mendapat tambahan dari anggota
tubuh isterinya.

Tahukah engkau bahwa ketika pengantin wanita bertanya kepada pengantin pria: Untuk
siapakah tanganmu? Maka pengantin pria menjawab: Untukmu." Dan ketika pengantin
wanita bertanya kepadanya: "Untuk siapakah hidungmu? Maka dia menjawab:
"Untukmu." Begitupula ketika pengantin wanita bertanya kepadanya: "Untuk siapa
matamu? Dengan penuh kasih sayang dia menjawab: "Untukmu."

Nabi Saw. telah bersabda: Wahai para pemuda, siapa diantara kalian yang sudah
mampu membiayai pernikahan, hendaklah kalian menikah. Karena sesungguhnya nikah
itu lebih mampu memejamkan pandangan (dari kemaksiatan) dan lebih menjaga
kehormatan."
Yang dikehendaki dengan kata ba-ah dalam hadits di atas adalah nafkah lahir maupun
batin. Nabi Saw. juga bersabda:

"Nikahilah olehmu wanita-wanita yang produktif (beranak) dan yang banyak kasih
sayangnya kepada suami. Karena sesungguhnya aku akan berlomba-lomba dengan
kalian memperbanyak umat di hari kiamat kelak." Serta masih banyak lagi ayat dan
hadits yang lain.

BAB II: SENGGAMA DAN RAHASIA-RAHASIANYA

Ketahuilah bahwa tujuan utama dari pernikahan adalah untuk mengabdi, mendekatkan
diri kepada Allah Swt., mengikuti sunnah Rasulullah Saw., dan menghasilkan keturunan.
Karena melalui pernikahan kehidupan alam ini akan lestari dan teratur. Dan dengan
meninggalkannya berarti sebuah kehancuran dan kemusnahan alam ini.

Hal yang maklum, takkan memanen tanpa menanam benih pada bumi, kemudian
mengolah dan merawatnya melalui teori dan teknik pertanian. Dan juga perlu waktu
beberapa lama hingga buahnya menjadi siap panen. Begitupula takkan terwujud
seorang anak dan keturunan tanpa terlebih dulu memasukkan sperma suami di dalam
indung telur isterinya. Allah Swt. berfirman:

"Wanita-wanita kamu semua adalah ladang bagimu. Maka datangilah ladangmu itu
semaumu dan kerjakanlah olehmu (amal-amal yang baik) untuk dirimu sendiri." (QS. al-
Baqarah ayat 223).

Ayat ini turun ketika kaum Muslimin mengatakan bahwa mereka menggauli isteri
mereka dengan posisi berlutut, berdiri, terlentang, dari arah depan dan dari arah
belakang.

Menanggapi pernyataan kaum Muslimin tersebut kaum Yahudi menyatakan: Tidaklah


melakukan hubungan semacam itu selain menyerupai tindakan binatang, sedangkan
kami mendatangi mereka dengan satu macam posisi. Sungguh telah kami temukan
ajaran dalam Taurat bahwa setiap hubungan badan selain posisi isteri terlentang itu
kotor di hadapan Allah."

Lalu turunlah ayat di atas, Allah hendak membantah pernyataan kaum Yahudi tersebut.

Jadi dalam kandungan ayat ini menunjukkan diperbolehkannya seorang suami


menyetubuhi isterinya dengan cara apapun dan posisi bagaimanapun yang ia sukai.
Baik dengan cara berdiri, duduk atau terlentang. Dan dari arah manapun suami
berkehendak, dari arah atas, bawah, belakang ataupun dari arah depan. Dan boleh juga
menyetubuhinya pada waktu kapanpun suami menghendaki, siang ataupun malam hari.
Dengan catatan yang dimasuki adalah lubang vagina.

a. Pengaruh waktu senggama:

1. Barangsiapa menyetubuhi isterinya pada malam Jumat, maka anak yang terlahir
akan hafal al-Quran.

2. Barangsiapa menyetubuhi isterinya pada malam Sabtu, maka anak yang terlahir akan
bodoh.

3. Barangsiapa menyetubuhi isterinya pada malam Ahad, maka anak yang terlahir akan
menjadi seorang pencuri atau penganiaya.

4. Barangsiapa yang menyetubuhi isterinya pada malam Senin, maka anak yang terlahir
akan menjadi fakir atau miskin atau ridha dengan keputusan (takdir) dan ketetapan
(qadha) Allah.

5. Barangsiapa menyetubuhi isterinya pada malam Selasa, maka anak yang terlahir
akan menjadi orang yang berbakti kepada orangtua.

6. Barangsiapa menyetubuhi isterinya pada malam Rabu, maka anak yang terlahir akan
cerdas, berpengetahuan dan banyak bersyukur.

7. Barangsiapa menyetubuhi isterinya pada malam Kamis, maka anak yang terlahir akan
menjadi orang yang berhati ikhlas.

8. Barangsiapa menyetubuhi isterinya pada malam Hari Raya, maka anak yang terlahir
akan mempunyai enam jari.

9. Barangsiapa menyetubuhi isterinya sambil bercakap-cakap, maka anak yang terlahir


akan bisu.

10. Barangsiapa menyetubuhi isterinya dalam kegelapan, maka anak yang terlahir akan
menjadi seorang penyihir.

11. Barangsiapa menyetubuhi isterinya dalam terangnya lampu, maka anak yang terlahir
akan berwajah tampan atau cantik.

12. Barangsiapa menyetubuhi isterinya sambil melihat auratnya (vagina), maka anak
yang terlahir akan buta mata atau buta hatinya.

13. Barangsiapa menyetubuhi isterinya di bawah pohon yang biasa berbuah, maka anak
yang terlahir akan terbunuh karena besi, tenggelam atau keruntuhan pohon.

b. Senggama yang ideal:

Hendaknya bagi seorang suami memperhatikan 4 hal berikut:

1. Memegang kedua tangan isteri

2. Meraba dadanya

3. Mencium kedua pipinya

4. Membaca Basmalah saat hendak memasukkan penis ke dalam vagina.

Rasulullah Saw. bersabda: Siapa yang menyetubuhi isterinya saat ia menstruasi, maka
seolah-olah ia menyetubuhi ibunya sendiri sebanyak 70 kali."

c. Nikmat dunia ada di wanita


Sebagian ulama dimintai komentar tentang seberapa banyak kenikmatan dunia? Mereka
menjawab: Kenikmatan dunia itu sangat banyak hingga tak terhitung jumlahnya. Allah
Swt. berfirman:

"Jika kamu hendak menghitung nikmat Allah maka kalian takkan sanggup menghitunya."

Namun kenikmatan terhebat teringkas pada 3 macam kenikmatan; yakni mencium


wanita, menyentuhnya dan memasukkan penis ke dalam vagina."

Seorang penyair bersyair dalam bahar Rajaz-nya: Kenikmatan dunia ada 3; yakni
menyentuh, mencium dan memasukkan penis."

Penyair lain mengungkapkan: Kenikmatan dunia itu teringkas dalam 3 hal; menyentuh
kulit, mencium dan tidur bersama (senggama)."

BAB III: TATACARA DAN ETIKA SENGGAMA

Imam as-Suyuthi dalam kitab ar-Rahmah berkata: Ketahuilah bahwa senggama tidak
baik dilakukan kecuali bila seseorang telah bangkit syahwatnya dan bila keberadaan
sperma telah siap difungsikan. Maka jika demikian, hendaknya sperma segera
dikeluarkan layaknya mengeluarkan semua kotoran atau air besar yang dapat
menyebabkan sakit perut. Karena menahan sperma saat birahi sedang memuncak
dapat menyebabkan bahaya yang besar. Adapun efek samping terlalu sering melakukan
senggama ialah dapat mempercepat penuaan, melemahkan tenaga dan menyebabkan
tumbuhnya uban."

a. Tatacara senggama

Antara lain; isteri tidur terlentang dan suami berada di atasnya. Posisi ini merupakan
cara yang paling baik dalam senggama. Selanjutnya suami melakukan cumbuan ringan
(foreplay) berupa mendekap, mencium, dan lain sebagainya. Hingga saat sang isteri
bangkit birahinya, masukanlah dzakar suami dan menggesek-gesekkannya pada liang
vagina.

Ketika suami mengalami klimaks (ejakulasi), janganlah terburu mencabut dzakarnya,


melainkan menahannya beberapa saat disertai mendekap isteri dengan mesra. Setelah
kondisi tubuh suami sudah tenang, maka cabutlah dzakar dari vagina isteri dengan
mendoyongkan tubuhnya ke samping kanan. Menurut para ulama, demikian itu upaya
untuk memiliki anak laki-laki.

Selesai bersenggama hendaknya keduanya mengelap alat kelamin masing-masing


dengan dua buah kain, satu untuk suami dan yang lain untuk isteri. Jangan sampai
keduanya menggunakan satu kain karena hal itu dapat memicu pertengkaran.

Bersenggama yang paling baik adalah senggama yang diiringi dengan sifat agresif,
kerelaan hati dan masih menyisakan syahwat. Sedangkan senggama yang jelek adalah
senggama yang diiringi dengan badan gemetar, gelisah, anggota badan terasa mati,
pingsan, dan istri merasa kecewa terhadap suami walaupun ia mencintainya. Demikian
inilah keterangan yang sudah mencukupi terhadap tatacara senggama yang paling
benar.

b. Etika senggama

Ada beberapa etika senggama yang harus diperhatikan oleh suami. Meliputi 3 macam
sebelum/saat melakukannya dan 3 macam sesudahnya.

1. Etika sebelum senggama:


a). Mendahului dengan bercumbu (foreplay) agar hati isteri tidak tertekan dan mudah
melampiaskan hasratnya. Sampai ketika nafasnya naik turun serta tubuhnya menggeliat
dan ia minta dekapan suaminya, maka rapatkanlah tubuh (suami) ke tubuh isteri.

b). Menjaga etika saat hendak senggama. Maka janganlah menyutubuhi isteri dengan
posisi berlutut, karena hal demikian sangat memberatkannya. Atau dengan posisi tidur
miring karena dapat menyebabkan sakit pinggang. Dan jangan memposisikan isteri
berada di atasnya, karena dapat mengakibatkan kencing batu. Akan tetapi posisi
senggama yang paling bagus adalah meletakkan isteri dalam posisi terlentang dengan
kepala lebih rendah daripada pantatnya. Dan pantatnya diganjal dengan bantal serta
kedua pahanya diangkat dan dibuka lebar-lebar. Sementara suami mendatangi isteri
dari atas dengan bertumpu pada sikunya. Posisi inilah yang dipilih oleh para fuqaha dan
para dokter.

c). Beretika saat hendak memasukkan dzakar. Yaitu dengan membaca taawudz dan
basmalah. Disamping itu gosok-gosokkan penis di sekitar vagina, meremas payudara
dan hal lainnya yang dapat membangkitkan syahwat isteri.

2. Etika saat senggama:

a). Senggama dilakukan secara pelan-pelan dan tidak tergesa-gesa (ritmis).

b). Menahan keluarnya mani (ejakulasi) saat birahi bangkit, menunggu sampai isteri
mengalami inzal (orgasme). Yang demikian dapat menciptakan rasa cinta di hati.

c). Tidak terburu-buru mencabut dzakar ketika ia merasa isteri akan keluar mani, karena
hal itu dapat melemahkan ketegangan dzakar. Juga jangan melakukan azl
(mengeluarkan mani di luar vagina) karena hal itu merugikan pihak isteri.

3. Etika setelah senggama:

a). Meminta isteri tidur miring ke arah kanan agar anak yang dilahirkan kelak berjenis
kelamin laki-laki, insya Allah. Bila isteri tidur miring ke arah kiri maka anak yang
dilahirkan kelak berjenis kelamin perempuan. Hal ini berdasarkan hasil uji coba riset.

b). Suami membaca dzikir dalam hati sesuai yang diajarkan Nabi, yaitu:

(54 : )

Segala puji milik Allah yang telah menciptakan manusia dari air, untuk kemudian
menjadikannya keturunan dan mushaharah. Dan adalah Tuhanmu itu Mahakuasa. (QS.
al-Furqan ayat 54).

c). Berwudhu ketika hendak tidur (dihukumi sunnah) dan membasuh dzakar bila hendak
mengulangi senggama.

Dikutip dari sumber yang dapat dipercaya bahwa, barangsiapa saat menyetubuhi
isterinya didahului dengan membaca basmalah, surat al-Ikhlas, takbir, tahlil dan
membaca:

Kemudian suami menyuruh isterinya tidur miring ke arah kanan, maka jika ditakdirkan
mengandung isterinya akan melahirkan anak berjenis kelamin laki-laki dengan izin
Allah." Saya telah mengamalkan dzikir serta teori ini, dan saya pun menemukan
kebenarannya tanpa ada keraguan. Dan hanya dari Allah-lah pertolongan itu. Demikian
adalah penggalan komentar Imam as-Suyuthi.

Sebagian ulama mengatakan: Barangsiapa menyetubuhi isterinya lalu ketika merasa


akan keluar mani (ejakulasi) ia membaca dzikir:

Maka jika ditakdirkan mengandung, isterinya akan melahirkan anak yang mengungguli
kedua orangtuanya dalam hal ilmu, sikap dan amalnya, insya Allah.

Penulis kitab Hasyiah al-Bujairami 'ala al-Khathib, tepatnya dalam sebuah faidah,
menyatakan: "Saya melihat tulisan Syaikh al-Azraqi yang diriwayatkan dari Rasulullah
Saw., di sana tertulis bahwa seseorang yang menghendaki isterinya melahirkan anak
laki-laki maka hendaknya ia meletakkan tangannya pada perut isterinya di awal
kehamilannya sembari membaca doa:

.
Maka kelak anak yang dilahirkan akan berjenis kelamin laki-laki. Insya Allah mujarab.

BAB IV: DOA-DOA SENGGAMA

"Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu. (QS. al-Baqarah ayat 223).

Maksud dari ayat ini adalah, "Carilah pahala yang tersediakan untuk kamu semua
sepertihalnya membaca basmalah dan berniat mendapatkan anak ketika melakukan
senggama." Diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

Siapa membaca basmalah ketika akan melakukan senggama kemudian dari senggama
itu dia dikaruniai seorang anak maka dia memperoleh pahala sebanyak nafas anak
tersebut dan keturunannya sampai hari kiamat."

Nabi Saw. juga bersabda: Manusia yang paling baik diantara kalian adalah yang paling
baik terhadap isterinya.

Dalam masalah ini para ulama memiliki urut-urutan yang mengagumkan, yaitu:

1. Ketika suami akan menyetubuhi isteri hendaknya lebih dulu membaca salam:



Lantas isteri menjawab:

2. Selanjutnya suami meraih kedua tangan isterinya seraya membaca:

3. Kemudian ia meremas-remas kedua payudara isterinya seraya membaca dalam hati:


4. Dilanjutkan mengecup kening isterinya seraya membaca dalam hati:

5. Setelah itu suami memiringkan kepalai steri ke kiri sambil mencium dan meniup
telinga sebelah kanan, dilanjutkan memiringkan kepala isteri ke kanan sambil mencium
dan meniup telinga yang sebelah kiri, seraya membaca dalam hati:

6. Sesudah itu kecup kedua mata isteri mulai dari mata sebelah kanan hingga mata
sebelah kiri seraya membaca dalam hati:

7. Selanjutnya suami mencium kedua pipi isteri dimulai pipi sebelah kanan sampai pipi
sebelah kiri seraya membaca dalam hati:

8. Kemudian mengecup hidungnya seraya membaca dalam hati:


9. Sesudah itu kecup pundak isteri seraya membaca dalam hati:

10. Setelah itu kecup leher isteri seraya membaca dalam hati:

11. Selanjutnya kecup dagu isteri seraya membaca dalam hati:

12. Kemudian kecup kedua telapak tangan isteri dimulai sebelah kanan hingga yang
sebelah kiri seraya membaca dalam hati:

13. Berikutnya kecup bagian di antara kedua payudara isteri seraya membaca dalam
hati:

14. Dan kemudian kecup dada isteri bagian kiri tepat pada hatinya seraya membaca
dalam hati:

BAB V: RAHASIA DI BALIK PENCIPTAAN KEPERAWANAN

Para ahli firasat dan ilmuwan ahli kewanitaan mengataka bahwa:

* Bila mulut seorang perawan lebar, pertanda vaginanya juga lebar.


* Bila mulutnya kecil, pertanda vaginanya juga kecil.

Seorang penyair dalam bahar Thawil-nya menyatakan:

Bila seorang perawan sempit mulutnya, maka sempit pula vaginanya. Hal itu karena
mulut seorang perawan menjadi pertanda dari bentuk dan keadaan vaginanya.

* Bila kedua bibir perawan tebal, pertanda kedua bibir vaginanya tebal.

* Bila kedua bibirnya tipis, pertanda kedua bibir vaginanya juga tipis.

* Bila bibir mulut bagian bawah tipis, pertanda vaginanya kecil.

* Bila mulut/lidahnya sangat merah, pertanda vaginanya kering.

* Bila mancung hidungnya, pertanda tidak begitu berhasrat untuk senggama.

* Bila dagunya panjang, pertanda vaginanya menganga dan sedikit bulunya.

* Bila alisnya tipis, pertanda posisi vaginanya agak ke dalam.

* Bila raut wajahnya lebar dan lehernya besar, pertanda pantatnya kecil dan vaginanya
besar serta sempit.

* Bila telapak kaki bagian luar serta badannya berlemak (gemuk), pertanda besar
vaginanya.

* Bila kedua betisnya tebal dan keras, pertanda birahinya besar dan tidak sabaran untuk
senggama.

* Bila matanya tampak bercelak dan lebar, pertanda sempit rahimnya.

* Bila pantatnya kecil serta bahunya besar, pertanda besar vaginanya.

Para ulama bijak bestari mengatakan: Barangsiapa menjumpai 10 karakter pada diri
seorang wanita, maka janganlah menikahinya. Yaitu; 1). Wanita yang sangat pendek
tubuhnya. 2). Wanita yang berambut pendek. 3). Wanita yang sangat tinggi postur
tubuhnya. 4). Wanita yang cerewet. 5). Wanita yang tidak produktif (mandul). 6). Wanita
yang bengis (judes). 7). Wanita yang berlebihan dan boros. 8). Wanita yang bertangan
panjang (Jawa: cluthak). 9). Wanita yang suka berhias ketika keluar rumah. 10). Wanita
janda sebab dicerai suaminya."

Sampailah kita di penghujung, dimana Allah telah memberikan kemudahan kepada kami
dalam menyusunnya. Segala puji dan sanjungan tersembahkan atasNya dalam segala
kondisi. Shalawat serta salam yang teristimewa semoga tetap tercurahlimpahkan atas
junjungan kita Nabi Agung Muhammad Saw. Semoga tercurah puka kepada orang yang
mengikutinya, yakni para sahabat dan keluarganya. Semoga Allah meratakan
kemanfaatan kitab kecil ini pada kaum pria maupun wanita. Aamin.

Akhirnya kami hanya bisa berpesan sebagaimana kata seorang penyair: "Aku kan
mengalami mati, namun tulisanku kan tetap. Kuberharap kiranya orang yang membaca
tulisanku ini mau mendoakanku. (Sya'roni As-Samfuriy, Mabes Jones Cikarang Utara
Jum'at 09 Oktober 2015).

Kunjungi www.facebook.com/muslimedianews Sumber MMN:


http://www.muslimedianews.com/2015/10/kitab-fathul-izar-dan-
terjemahannya.html#ixzz4dZVU4x5J

Ini Bukti Keabsahan Shalat Aswaja sesuai dengan Tuntunan Rasulullah

Posted on Thursday, 10 September 2015 | garis 08:30 Blog Title Fiqh

Muslimedianews.com ~ Membaca Niat


)
(

Rasulullah Saw bersabda: "(Keabsahan) amal adalah dengan niat. Seseorang hanya
mendapatkan apa yang ia niatkan" (HR al-Bukhari No 1)

mengucapkan niat dalam salat bukanlah bid'ah, sebab Rasulullah dalam sebagian
ibadahnya juga melafadzkan niat, diantaranya:


(2195 )
Anas berkata: Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda (dalam niat haji dan umrah):
"Saya penuhi panggilan-Mu dengan Umrah dan Haji" (HR Muslim No 2195)




(1951 )
Aisyah berkata: Rasulullah Saw datang kepada saya lalu bertanya: "Apa ada makanan?
Kami menjawab "Tidak ada". Rasulullah berkata: Kalau begitu saya berpuasa" (HR
Muslim No 1951)

Membaca Takbir










(591 747 )

Abu Hurairah berkata: Jika Rasulullah mau melaksanakan salat beliau bertakbir ketika
berdiri, kemudian bertakbir ketika rukuk, kemudian membaca 'Sami'allahu liman
hamidahu' ketika bangun dari rukuk, kemudian dalam posisi berdiri beliau membaca
'Rabbana wa laka al-hamdu', kemudian bertakbir ketika turun ke posisi sujud, kemudian
bertakbir ketika bangun dari sujud, kemudian bertakbir ketika hendak sujud (kedua),
kemudian bertakbir ketika bangun dari sujud, dan beliau lakukan seperti itu di semua
salat hingga selesai. Dan Rasulullah bertakbir ketika berdiri dari dua rakaat setelah
duduk. Abu Hurairah berkata: "Sungguh saya yang paling sesuai diantara kalian dengan
salat Rasulullah Saw" (HR Bukhari dan Muslim)

Mengangkat Kedua Tangan




( )

"Dari Ali bin Abi Thalib: Sesungguhnya Rasulullah Saw mengangkat kedua tangannya
ketika takbir salat kea rah dua pundaknya, juga ketika hendak rukuk, bangun dari rukuk
dan ketika bangun dari rakaat kedua" (HR Bukhari dalam kitab Raf'u al-Yadain)

Tangan Bersedekap


) (234



"Rasulullah Saw menjadi imam kami kemudian beliau memegang tangan kiri dengan
tangan kanan beliau" (HR Turmudzi No 234). Turmudzi berkata: "Para ulama
mengamalkan seperti ini, baik para sahabat Nabi, Tabiin dan generasi setelahnya,
mereka meletakkan tangan kanannya diatas tangan kiri dalam salat. Mereka melatakkan
tangannya diatas pusar, dan sebagian ulama yang lain meletakkan di bawah pusar.
"Menurut mereka ini ditolerir




) (365 /2

(Bab dalam Sahih Muslim: "Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri setelah
)"takbiratul ihram, dibawah dada dan di atas pusar

Dua riwayat tentang meletakkan tangan di dada saat salat adalah dlaif

1- ) (
- -
)(26 /1

- 2-
: -
)( . :
) /1
(243

Permulaan Iftitah



.

) (943

Doa Iftitah




) (1290

Membaca Basmalah Dengan Keras


) (
) (107 /1

Imam Syafii meriwayatkan hadis dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Saw mengawali
)bacaan dengan Bismillah (al-Umm






) (292 /1

Doa I'tidal




) (754







) (725

Doa dalam Rukuk dan Sujud


} {
{ . }
)




















(736

.
.
] [ 273 .
.
.
. :
) (271 /2

Adapun tambahan 'wa bi hamdihi' terdapat dalam riwayat Abu Dawud dari Uqbah, juga
dalam riwayat Daruquthni dari Ibnu Mas'ud dan Hudzaifah, dalam riwayat Ahmad dan
Thabrani dari Abu Malik al Asy'ari, dalam riwayat al-Hakim dari Abu Juhaifah. Dalam
riwayat-riwayat tersebut ada beberapa perawi dlaif, al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: Ibnu
Shalah mengingkari tambahan tersebut, tetapi banyaknya riwayat tersebut saling
menguatkan. Dengan demikian pengingkaran tersebut dapat ditolak dengan anyaknya
)riwayat-riwayat di atas (Nailul Authar, al-Hafidz Asy-Syaukani, 2/271

Doa Qunut

. ). ( r

Diriwayatkan dari Anas Ibn Malik t. Beliau berkata, Rasulullah r senantiasa membaca
qunut ketika shalat subuh sehingga beliau wafat. (Musnad Ahmad bin Hanbal, juz III,
hal. 162 [12679], Sunan al-Daraquthni, juz II, hal. 39 [9]).

Sanad hadits ini shahih sehingga dapat dijadikan pedoman. Imam Nawawi di dalam
kitab al-Majmu menegaskan:


) 3
(504.

Hadits tersebut adalah shahih. Diriwayatkan oleh banyak ahli hadits dan mereka
kemudian menyatakan kesahihannya. Di antara orang yang menshahihkannya adalah
al-Hafizh Abu Abdillah Muhammad bin Ali al-Balkhi serta al-Hakim Abu Abdillah di dalam
beberapa tempat di dalam kitab al-Baihaqi. Al-Daraquthni juga meriwayatkannya dari
berbagai jalur sanad yang shahih. (Al-Majmu, juz III, hal. 504).

Doa Antara Dua Sujud



) (284






) (460 /5

)(281 /36

: ) ( 39305-

. ) 2/178 (2964

Bacaan Tasyahhud




) (610

Sayyidina Muhammad

Dalam bacaan salawat Rasulullah memang tidak menyebutkan lafadz 'Sayidina'. Namun
penambahan tersebut bukan berarti bid'ah terlarang. Sebab dalam beberapa hadis
disebutkan kata 'Sayid' kepada Nabi, seperti Sahal bin Hunaif yang memanggil
Rasulullah dengan 'Ya Sayidi', dan Rasulullah tidak menyalahkannya:

) 8270 )
( :
. :(

Sahabat Abdullah bin Mas'ud mengajarkan membaca doa dengan tambahan kata
'Sayid':






) ... (896
) (158 /11

Oleh karenya banyak para ulama yang menganjurkan menyebut kata 'Sayidina' dalam
salat:







) (169 /1

Hal yang utama adalah menyebut kata 'Sayid', sebab yang utama adalah menjaga etika.
"Sedangkan hadis yang artinya: "Jangan menyebut Sayid kepada saya di dalam salat
)adalah hadis yang salah (I'anatut Thalibin 1/169

Menambah Bacaan Dzikir dalam Salat




) (757
"Seorang sahabat di dalam salat menambah bacaan Rabbana wa laka al-hamdu
Selesai salat Nabi bertanya: "Siapa yang mengucapkan kalimat tadi?" Orang itu
menjawab: "Saya". Nabi bersabda: "Saya melihat ada 30 malaikat lebih yang bergegas
mencatatnya" (HR Bukari)

Dari hadis ini Amirul Mu'minin fil hadis al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:

/2 )

(287

"Hadis ini dijadikan dalil diperbolehkannya memperbaharui dzikir di dalam salat yang
tidak diajarkan oleh Rasulullah selama dzikir tersebut tidak bertentangan dengan ajaran
Rasulullah" (Fathul Bari 2/287)

Bahkan hal ini dilakukan oleh sahabat yang lain:

)


(826

"Dalam kalimat Syahadat salat, Ibnu Umar berkata: Saya tambahkan bacaan Wahdahu
la syarika lahu" (Abu Dawud 826)

Mengusap Wajah Setelah Salam





) .
(

Selesai Salat Rasulullah mengusap kepala / keningnya dengan tangan kanan dan
berdoa. (HR Thabrani)

Salam Setelah Salat


r .


(3289 ) .

Dari Abi Juhaifah ia berkata, Pada sebuah perjalanan, Rasulullah r melaksanakan


shalat Dhuhur dan Ashar dua rakaat, sedangkan di depannya terdapat tongkat dan ada
seorang perempuan yang berjalan di belakangnya. (setelah shalat) orang-orang berdiri
memegang tangan Rasulullah r dan menyentuhkannya ke wajah mereka. Akupun berdiri
dan memegang tangan beliau dan menyentuhkannya ke wajahku. Maka aku merasakan
tangan beliau lebih sejuk dari salju dan lebih harum dibandingkan minyak misik.
(Shahih al-Bukhari, [3289]).

Dzikir Keras Setelah Salat

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas:





( )

Sesungguhnya mengeraskan (bacaan) dzikir setelah para sahabat selesai melakukan
salat wajib sudah ada sejak masa Nabi Muhammad Saw. Ibnu Abbas berkata: Saya
mengetahui yang demikian setelah mereka melakukan salat wajib dan saya
mendengarnya (Bukhari)

Kunjungi www.facebook.com/muslimedianews Sumber MMN:


http://www.muslimedianews.com/2015/09/ini-bukti-keabsahan-shalat-
aswaja.html#ixzz4dZWLQjif

Inilah Dalil Membaca al-Quran di Kuburan

Posted on Thursday, 10 September 2015 | garis 12:00 Blog Title Fiqh

Muslimedianews.com ~




(449 / 4 9294 13613 )

"Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda:
Jika diantara kalian ada yang meninggal, maka janganlah diakhirkan, segeralah
dimakamkan. Dan hendaklah di dekat kepalanya dibacakan pembukaan al-Quran (Surat
al-Fatihah) dan dekat kakinya dengan penutup surat al-Baqarah di kuburnya" (HR al-
Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabir No 13613, al-Baihaqi dalam Syu'ab al-Iman No 9294,
dan Tarikh Yahya bin Maid 4/449)

Al-Hafidz Ibnu Hajar memberi penilaian pada hadis tersebut:

(184 / 3 )

"HR al-Thabrani dengan sanad yang hasan" (Fath al-Bari III/184)

Membaca al-Quran di kuburan sudah diamalkan sejak masa sahabat:

)

:
(10882 6043

Diriwayatkan dari Umar: Datangilah orang yang akan meninggal, bacakan mereka
Lailaha illallah, pejamkan matanya jika mereka meninggal, dan bacakan al-Quran di
dekatnya (Abdurrazzaq No 6043 dan Ibnu Abi Syaibah No 10882)

: )

(11

al-Khallal menyebutkan dari Syubi bahwa sahabat Anshar jika diantara mereka ada
yang meninggal, maka mereka bergantian ke kuburnya membaca al-Quran (Ibnu
Qayyim, al-Ruh: 11)

Imam al-Nawawi mengutip kesepakatan ulama Syafi'iyah tentang membaca al-Quran di


kuburan:

)
)(

(311 / 5

"Dan dianjurkan bagi peziarah untuk membaca al-Quran sesuai kemampuannya dan
mendoakan ahli kubur setelah membaca al-Quran. Hal ini dijelaskan oleh al-Syafi'i dan
disepakati oleh ulama Syafi'iyah" (al-Nawawi, al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab V/311)
Di bagian lagi Imam Nawawi juga berkata:

)

162 / 1 (294 / 5

"Imam Syafii dan ulama Syafi'iyah berkata: Disunahkan membaca sebagian dari al-
Quran di dekat kuburnya. Mereka berkata: Jika mereka mengkhatamkan al-Quran
)keseluruhan, maka hal itu dinilai bagus" (al-Adzkar I/162 dan al-Majmu' V/294

Murid Imam Syafi'i yang juga kodifikator Qaul Qadim, al-Za'farani, berkata:

) (11 / 1

"Al-Za'farani (perawi Imam Syafii dalam Qaul Qadim) bertanya kepada Imam Syafii
tentang membaca al-Quran di kuburan. Beliau menjawab: Tidak apa-apa" (al-Ruh, Ibnu
)Qoyyim, I/11

Al-Hafidz Ibnu Hajar mengomentari riwayat al-Za'farani dari Imam Syafi'i ini:



)
(85 / 1

"Ini penjelasan yang asing dari al-Syafi'i. Al-Za'farani adalah perawi Qaul Qadim, ia
orang terpercaya. Dan jika dalam Qaul Jadid tidak ada yang bertentangan dengan
penjelasan Qaul Qadim, maka Qaul Qadim inilah yang diamalkan (yaitu boleh membaca
)al-Quran di kuburan)" (al-Imta', Ibnu Hajar, I/11

) 96 : (

.
. " : " .
.
.

Al-Hafidz Ibnu al-Jauzi al-Hanbali: Sejak Maruf al-Karakhi wafat tahun 200 H, tiap hari,
mendapat kiriman hadiah pahala bacaan berjuz-juz al-Quran, minimal orang berdiri di
pinggir makamnya dan membacakan surat al-Ikhlash untuknya.

Membaca al-Quran di kuburan juga diamalkan sejak generasi ulama salaf:

(122 /1)




Tradisi membaca surat al-Ikhlash 100 kali, di makam Maruf al-Karakhi (wafat th 200 H)
berlangsung sejak generasi salaf untuk terkabulnya hajat (al-Hafidz Khatib al-Baghdadi
dalam Tarikh Baghdad)

(546 /18)

276 - .... *
:
" 317 - 316 / 8 " )
(129 / 12 " " 23 22 17 / 1 "

Ketika al-Imam Abu Jafar al-Hasyimi, guru besar madzhab Hanbali, wafat tahun 470 H,
kaum Hanabilah membaca al-Quran di makamnya sampai hatam 10.000 kali (al-Hafidz
adz-Dzahabi, al-Hafidz Ibnu Katsir Dll)

Begitu pula ketika Ibnu Taimiyah wafat, di kuburnya dibacakan al-Quran

(774 - 700) ( 156 /14) .

Ibnu Taimiyah dikhatamkan bacaan al-Quran berkali-kali baik di makamnya atau di


kota. Orang-orang mondar-mandir ke kuburnya berkali-kali selama beberapa hari yang
lama, malam atau siang. Mereka menginap di dekat kuburnya sampai Subuh. Mereka
menjumpai mimpi-mimpi yang baik tentang Ibnu Taimiyah, dan para jamaah
melantunkan kasidah yang beraneka ragam"
Dari Dalil-Dalil diatas dan amaliyah Ulama, Khususnya ahli hadis, adakah yang
menyatakan membaca al-Quran di Kuburan Sebagai Kesyirikan? Atau adakah
larangannya dari dalil agama?

Kunjungi www.facebook.com/muslimedianews Sumber MMN:


http://www.muslimedianews.com/2015/09/inilah-dalil-membaca-al-quran-di-
kuburan.html#ixzz4dZWYAJiG

Definisi Qurban dan Hukum-Hukum yang Berkaitan

Posted on Thursday, 10 September 2015 | garis 03:31 Blog Title Fiqh

Muslimedianews.com ~ Definisi hewan Qurban atau Udlhiyah adalah hewan ternak yang
disembelih untuk mendekatkan diri kepada Allah di hari raya idul Adha hingga akhir hari
Tasyriq (Syaikh Khatib asy-Syirbini, Mughni al-Muhtaj 6/122)

Qurban adalah ibadah yang selalu dilaksanakan oleh Rasulullah Saw dalam setiap
tahunnya. Dan ketika Rasulullah Saw menyembelih Qurban beliau berdoa: "Bismillah.
Allahumma taqabbal min Muhammad wa ali Muhammad wa min ummati Muhammad".
Artinya: "Dengan menyebut nama Allah. Ya Allah terimalah Qurban ini dari Muhammad,
keluarga Muhammad, dan dari umat Muhammad" (HR Muslim)

Hukum Ibadah Qurban

Imam an-Nawawi mengutip di dalam kitabnya (al-Majmu' 8/385) tentang perbedaan


pendapat mengenai hukum Qurban ini. Namun mayoritas ulama yang didukung oleh
Sayidina Abu Bakar dan Sayidina Umar serta beberapa ulama madzhab adalah sunah.
Hal ini berdasarkan hadis: "Tsalatsun Hiya 'alayya faraidl wa lakum tathawwu'n an-nahru
wa al-witru wa rak'ata ad-dluha", Artinya: "Ada 3 hal yang wajib bagi saya dan sunah
bagi kalian; Qurban, witir, dan 2 rakaat salat Dluha" (HR Ahmad dan al-Baihaqi dari Ibnu
Abbas)

Tokoh imam Madzhab terbesar, Imam Syafii berkata: "Telah sampai kepada kami bahwa
Abu Bakar dan Umar (pernah) tidak menyembelih Qurban karena khawatir akan
dianggap wajib" (Mukhtashar al-Muzani 8/283)
Sementara Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa Qurban hukumnya wajib bagi orang
kaya yang tidak dalam kondisi perjalanan. Dalil yang beliau sampaikan adalah: "Man
wajada sa'atan fa lam yudlahhi fa la yaqrubanna mushallana". Artinya: "Barangsiapa
yang memiliki kelebihan rezeki namun tidak menyembelih Qurban, maka janganlah
mendakat ke tempat salat kami" (HR Ahmad, Ibnu Majah, ad-Daruquthni, al-Baihaqi dan
al-Hakim, ia menilainya sahih dan al-Hafidz adz-Dzahabi menyetujuinya)

Waktu Menyembelih Qurban

Waktu penyembelihan hewan Qurban adalah setelah selesainya salat Idul Adlha hingga
terbenam matahari pada hari terakhir hari Tasyriq. Hal ini berdasarkan beberapa hadis:

Pertama; Rasulullah Saw bersabda: "Sesungguhnya yang kami kerjakan terlebih dahulu
di hari ini (Idul adlha) adalah salat, lalu kami pulang, lalu kami menyembelih.
Barangsiapa yang melakukan seperti telah sesuai dengan sunah kami. Dan barangsiapa
menyembelih (sebelum salat Id) maka itu adalah sekedar daging yang dihidangkan
untuk keluarganya, dan bukan bagian dari ibadah Qurban" (HR al-Bukhari dan Muslim
dari Barra' bin 'Azib)

Kedua; Rasulullah Saw bersabda: "Barangsiapa menyembelih sebelum salat maka ia


hanya menyembelih untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang menyembelih seteah
salat maka telah sempurna ibadah Qurbannya dan sesuai dengan sunat umat Islam"
(HR al-Bukhari dari Anas)

Ketiga; Rasulullah Saw bersabda: "Ayyamu at-tasyriqi ayyamu aklin wa syurbin wa


dzikrillah". Artinya: "Hari-hari Tasyriq adalah hari-hari untuk makan, minum dan berdzikir
kepada Allah" (HR Ahmad dan Nasai dari Nabisyah)

Keutamaan Menyembelih Qurban

Ibadah Qurban telah disyariatkan oleh Allah kepada umat Rasulullah Saw. Allah
berfirman yang artinya: "Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan
(Qurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah
direzekikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena
itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang
yang tunduk patuh (kepada Allah)" (QS al-Hajj: 34)

Keutamaan dari Ibadah Qurban ini sangat besar, terbukti Rasulullah Saw tidak pernah
meninggalkannya. Namun beberapa hadis tentang fadlilah Qurban memang banyak
yang dlaif, akan tetapi diantara hadis yang dapat dibuat pegangan dalam masalah ini
adalah sabda Rasulullah Saw: "Ma min amalin fi hadza al-yaumi afdlalu min damin
yuhraqu illa an yakuna rahiman tushalu". Artinya: "Tidak ada amal manusia yang lebih
utama di hari ini (Qurban) daripada menyembelih hewan kecuali menyambung
silaturrahim" (HR Thabrani, dalam sandanya terdapat Yahya bin Hasan al-Khusyani, ia
dlaif tapi dinilai terpercaya oleh banyak ulama)

Iuran / Arisan Qurban

Fenomena yang berkembang saat ini dalam masyakat untuk kemudahan dalam
berqurban adalah menggunakan system iuran ataupun arisan. Ternyata di masa
Rasulullah Saw hal semacam ini sudah terjadi, bahkan Rasulullah Saw pernah
melakukannya.

Dalam sebuah riwayat, Abu Asad as-Sulami berkata: "Saya adalah orang ketujuh
bersama Rasulullah Saw, kemudian Beliau memerintahkan agar kami mengumpulkan
uang Dirham, kemudian kami membeli hewan Qurban dengan 7 Dirham tadi. Kami
berkata: "Ya Rasulallah, kami membeli hewan Qurban termahal". Kemudian Rasulullah
Saw bersabda: "Sesungguhnya hewan Qurban yang terbaik adalah yang paling mahal
dan gemuk" (HR Ahmad no 15533, al-Hafidz al-Haitsami tidak mengomentari status
hadis tersebut dan ia memperbolehkan hal tersebut)

Niat Qurban dan Aqiqah

Bolehkah jika seseorang saat menyembelih memiliki 2 tujuan niat, yaitu Qurban dan
Aqiqah? Inilah permasalahan yang sering ditanyakan berulang-ulang dalam kesempatan
yang berbeda. Dalam masalah ini para ulama memiliki dua pendapat.

Pertama, bisa mencukupi. Artinya dua niat tersebut diperbolehkan. Pendapat ini
dikemukakan oleh Hasan al-Basri, Muhammad bin Sirin, Qatadah dan Hisyam
(kesemuanya dari kalangan Tabi'in), begitu pula Madzhab Hanafiyah (Fathil Bari 12/13)
Kedua, tidak mencukupi. Hal ini adalah pendapat Madzhab Malikiyah dan Syafiiyah.
Namun dikalangan Syafiiyah sendiri ada dua pendapat, menurut Ibnu Hajar tidak dapat
mencukupi, sementara menurut Imam Ramli diperbolehkan (Itsmid al-Ainain fi ikhtilaf
Syaikhain 77)

1 Kambing Untuk 1 Keluarga

Seorang Tabiin Atha' bin Yasar bertanya kepada seorang Sahabat Nabi, Abu Ayyu al-
Anshari: "Bagaimanakah Qurban kalian di masa Nabi Saw?". Abu Ayyub menjawab:
"Seseorang di masa Nabi Saw menyembelih 1 kambing untuk dirinya dan keluarganya.
Mereka makan dari daging kambing tersebut, dan mereka juga bersedekah dari daging
tersebut. Kemudian ini menjadi kebanggaan bagi mereka sebagaimana kau lihat"
(Riwayat Thabrani dalam al-Kabir No 3920 dan Ibnu Majah No 3138)

Bahkan secara khusus Turmudzi mencantumkan sebuah Bab "Kambing cukup untuk
sekeluarga" (meskipun keluarganya banyak), dan hal ini diamalkan oleh sebagian
ulama. Dan ini adalah pendapat Ahmad, yang diperbolehkan oleh Malik, Auzai, Syafii.
Dan dinilai makruh oleh Abu Hanifah dan ats-Tsauri (Aun al-Ma'bud Syarah Sunan Abu
Dawud 8/4)

Menjual Kulit Qurban

Problematika lainnya yang sulit dihindari adalah menjual kulit korban atau
menjadikannya sebagai upah bagi pemotong hewan (Jawa: Jagal). Bagaimana
sebenarnya hukum tersebut menurut madzhab Ahlisunnah?

Syaikh al-Mubarakfuri mengulasnya dengan rinci dalam Syarah Misykat 5/121: Imam
Ahmad berkata: "Tidak boleh menjual sesuatu pun dari hewan Qurban, baik yang wajib
maupun sunah". Imam Syafii juga sependapat dengan Imam Ahmad. Abu Hanifah
berkata: "Boleh menjual bagian apapun dari Qurban tersebut dan uang hasil
penjualannya disedekahkan. Diriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwa beliau menjual kulit
hewan kurban kemudian uangnya disedekahkan". Namun pendapat yang kuat adalah
Madzhab Syafi'i dan Ahmad berdasarkan sabda Nabi Muhammad Saw: "Man ba'a jilda
udlhiyatihi fa la udlhiyata lahu". Artinya: "Barangsiapa menjual kulit hewan kurbannya,
maka tidak ada kurban baginya" (HR al-Hakim dan al-Baihaqi)
Kunjungi www.facebook.com/muslimedianews Sumber MMN:
http://www.muslimedianews.com/2015/09/definisi-qurban-dan-hukum-hukum-
yang.html#ixzz4dZWfXmwT

Syaikh Nawawi Al-Bantani, Penghulu Ulama di Negeri Hijaz

Posted on Wednesday, 9 September 2015 | garis 08:30 Blog Title Books, Fiqh

Muslimedianews.com ~ Nama Syaikh Nawawi al-Bantani mungkin sudah tidak asing


lagi, terutama di kalangan pesantren di Indonesia. Beliau merupakan ulama Nusantara
yang multi talenta dan produktif dengan banyak karya tulis dari berbagai disiplin ilmu.
Karya-karyanya tersebar keberbagai belahan dunia islam, terlebih di Timur Tengah dan
Nuasantara. Bahkan sampai saat ini, karya-karya beliau masih eksis menjadi kajian
utama di pesantren-pesantren salaf yang ada di Indonesia. Islam Nusantara yang
dulunya masih terdengar tabu kini menjadi semakin dikenal dunia dengan tampilnya
Syaikh Nawawi al-Bantani sebagai pengajar dan imam di Masjidil Haram. Kedalaman
ilmu serta kerendahan sifatnya menjadi buah bibir banyak ulama di dunia terutama para
ulama dari Haramain. Pengajiannya selalu ramai dipenuhi pelajar dari penjuru dunia
yang ingin merasakan manisnya madu keilmuan Syaikh Nawawi al-Bantani.

Hal inilah yang membuat Amirul Ulum menulis buku yang mengupas sejarah Syaikh
Nawawi al-Bantani. Melalui buku Penghulu Ulama di Negeri Hijaz ini, dikupas secara
detail perjalanan hidup Syaikh Nawawi al-Bantani mulai dari sejarah leluhurnya yang
gagah perkasa dengan kesulatanan Banten sampai lahir keturunan dari pendiri
kesultanan itu Syaikh Nawawi al-Bantani, cahaya yang kelak akan bersinar terang
melanjutkan kegemilangan yang pernah diraih kesultanan Banten sebelum
diporakporandakan oleh kelicikan para kompeni.

Saat kesultanan Banten dilenyapkan oleh Thomas Stamford Raffles pada tahun 1813, di
tahun tahun itu pula lahir bayi dari pasangan Kiai Umar dan Nyai Zubaidah yang diberi
nama Muhammad Nawawi. Nama Nawawi yang disematkan Kiai Umar kepada putra
sulungnya ini terinspirasi dari seorang ulama yang kitabnya sering dikaji oleh Kiai Umar.
Ulama itu berasal dari daerah Nawa, Damaskus, Suriah, yang terkenal dengan sebutan
Imam an-Nawawi. Dengan menamai putra sulungnya Nawawi, Kiai Umar berharap
putranya itu akan menjadi seorang ulama yang handal seperti halnya Imam an-Nawawi
yang merupakan sosok ulama alim yang ahli dalam berbagai kajian keilmuan. (hal 50-
52)
Syaikh Nawawi al-Bantani lahir dan dibesarkan di lingkungan yang mengedepankan
sendi-sendi keislaman. Ayahnya, Kiai Umar adalah seorang ulama alim yang selalu
memantau pendidikannya bersama keenam saudaranya. Bersama dengan Nyai
Zubaidah, Kiai Umar meniupkan pelajaran-pelajaran keislaman seperti membaca Al-
Quran, Fiqih, Teologi dan Gramatika Arab. (hal 54)

Sebelum mencari ilmu dan menetap di Hijaz, Syaikh Nawawi sempat melakukan
pengembaraan dalam mencari ilmu ke tiga pesantren yang ada di tanah air.Yaitu ketika
berusia 8 tahun, beliau beserta kedua adiknya diperintahkan Kiai Umar untuk belajar
kepada Kiai Haji Sahal. Sebelum berangkat, Nyai Zubaidah menyampaikan sebuah
pesan yang cukup unik kepada ketiga putranya itu, bahwa ia akan selalu mendoakan
dan merestui dengan syarat tidak boleh pulang sebelum kelapa yang ditanam Nyai
Zubaidah berbuah. (hal 56)

Setelah mendengar kabar bahwa kelapa yang ditanam ibunya telah berbuah, Syaikh
Nawawi segera pulang. Baru setelah itu beliau melanjutkan belajar di tanah Haramain.
Tiga tahun belajar di sana, Syaikh Nawawi akhirnya pulang ke tanah kelahirannya untuk
menyebarkan ilmu yang diperolehnya dari Hijaz. Namun karena selalu diintimidasi oleh
para kompeni akhirnya Syaikh Nawawi memutuskan kembali ke Hijaz untuk menetap
dan memperdalam ilmunya sekaligus menyiapkan militan dari para penduduk pribumi
yang belajar di Hijaz yang nantinya akan mengkader para pejuang-pejuang agar bisa
mengusir para penjajah dari tanah mereka. (hal 77)

Pada bagian akhir dari buku ini dipaparkan kontribusi besar yang diberikan Syaikh
Nawawi kepada umat Islam khususnya umat Islam Nusantara, seperti banyaknya ulama
yang dilahirkan dari tangan beliau. Diantara ulama-ulama itu ada yang menetap dan
menjadi pengajar atau imam di Masjidil Haram seperti Syaikh Mafudz at-Turmusi, dan
ada juga yang kembali ke Tanah Air seperti Hadratussyaikh Hasyim Asyari. (hal 117)

Kehadiran buku ini akan menambah khazanah Islam Nusantara yang telah harum di
kancah keilmuan internasional. Membaca kisah Syaikh Nawawi dalam buku ini dapat
memberikan sebuah semangat untuk meneladani dan meniru prestasi yang telah
ditorehkan beliau untuk Islam Nusantara. Buku ini cocok dibaca untuk semua kalangan,
terutama bagi generasi muda agar bisa meniru perjuangan Syaikh Nawawi dalam
menuntut ilmu sehingga nantinya bisa melahirkan sosok-sosok seperti Beliau yang
mampu membawa Nusantara go internasional. Dengan bahasa yang ringan dan
sederhana, menambah kenikmatan untuk menyelami lautan kisah yang ada dalam buku
ini.
Data buku

Judul Buku: Penghulu Ulama di Negeri Hijaz

Penulis: Amirul Ulum

Penerbit: Pustaka Ulama

Tahun: 2015

Tebal: 134 halaman

ISBN: 978-602-14834-8-0

Peresensi: Alfan Maghfuri, mahasiswa Fakultas Syariah UIN Walisongo Semarang

sumber nu.or.id

Kunjungi www.facebook.com/muslimedianews Sumber MMN:


http://www.muslimedianews.com/2015/09/syaikh-nawawi-al-bantani-penghulu-
ulama.html#ixzz4dZWqVFdS

Berapa Besarnya Nafkah untuk Anak dan Istri ?

Posted on Wednesday, 9 September 2015 | garis 06:30 Blog Title Fiqh

Muslimedianews.com ~ Agama menaruh kewajiban nafkah istri dan anak di bahu


seorang suami sebagai kepala keluarga. Meskipun pada praktiknya kadang yang
menjadi kepala keluarga lain orang dari mereka yang selama ini berkewajiban
memberi nafkah. Besaran nafkah itu sendiri berbeda-beda. Ada kelas eksekutif, kelas
bisnis, dan ada juga kelas ekonomi.

Setidaknya begitu menurut pandangan Imam Syafii. berbeda lagi dengan pandangan
mujtahid lainnya. Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyddalam Bidayatul
Mujtahid menyebutkan sebagai berikut.


: .
.

Adapun terkait ukuran nafkah, Imam Malik berpendapat bahwa kadar nafkah tidak
ditentukan secara syari. Kadar nafkah harus merujuk pada keadaan suami dan
keadaan istri yang bersangkutan. Itu pun berbeda-beda sejalan dengan perbedaan
tempat, waktu, dan keadaan. Demikian pula pendapat Imam Abu Hanifah. Sedangkan
Imam Syafii mengatakan bahwa kadar nafkah ditentukan oleh syara.

Untuk suami dengan penghasilan tinggi, wajib menafkahi istrinya sebanyak dua mud.
Untuk kelas menengah, satu setengah mud. Sementara mereka yang berpenghasilan
rendah, hanya satu mud setiap harinya.

Satu mud seukuran 543 gram menurut Malikiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah. Sementara
menurut Hanafiyah, satu mud seukuran 815,39 gram.

Yang jelas dibutuhkan ialah kebijaksanaan antara suami dan istri dalam menentukan
besaran nafkah sesuai kebutuhan-kebutuhan keluarganya. Begitu juga terkait kebutuhan
harian lainnya seperti ongkos pendidikan dan lain sebagainya. Untuk itu, upaya mencari
nafkah yang halal memiliki keutamaan yang tinggi.

Karena pada prinsipnya kesepahaman antara pihak suami maupun pihak istri ini yang
perlu hadir. Terlebih dalam kondisi suami yang memiliki keterbatasan fisik? Saling
menerima dalam batas yang wajar menjadi perhatian utama agar tidak ada yang
dizalimi. Wallahu alam.

Kunjungi www.facebook.com/muslimedianews Sumber MMN:


http://www.muslimedianews.com/2015/09/berapa-besarnya-nafkah-untuk-anak-
dan.html#ixzz4dZWzNKr3

Menghadiahkan Bacaan Al-Fatihah untuk Orang yang Meninggal Dunia

Posted on Tuesday, 8 September 2015 | garis 08:00 Blog Title Fiqh

Muslimedianews.com ~ Salah seorang ulama Nusantara, Syekh al-Alamah Kiai Ali


Mashum al-Jokjawi, dalam kitabnya Hujjah Ahlussunnah wal Jamaah menyatakah
bahwa menghibahkan pahala bacaan Al-Quran dan sedekah kepada orang yang sudah
meninggal dunia adalah persoalan khilafiyah yang diperdebatkan di kalangan ulama.
Demikian juga apakah pahala bacaan Al-Quran dan sedekah itu sampai kepada orang
yang sudah meninggal dunia? Ini juga persoalan khlafiyah.

Namun Syekh Ali Mashum menjelaskan kepada kita bahwa pendapat ulama yang
membolehkan hibah atau hadiah pahala bacaan Al-Quran dan sedekah kepada orang
yang sudah meninggal dunia itu didasarkan atas dalil dalil yang kuat. Demikian juga
pahala bacaan Al-Quran dan sedekah itu juga akan sampai kepada orang yang telah
meninggal dunia.

Syekh Ali Mashum menukil penjelasan Ibnu Taimiyah, yang menyatakan bahwa
Sesungguhnya orang yang telah meninggal dunia mendapatkan manfaat dari bacaan
al-Quran, sebagaimana manfaat yang diperolehnya dari ibadah maliyah (yang berkaitan
dengan harta) seperti sedekah.

Penjelasan lain, Ibnu Qoyyum dalam kitab Ar-Ruh menyatakan bahwa hadiah yang
paling utama diberikan kepada mayyit atau orang yang telah meninggal dunia adalah
sedekah, bacaan istighfar dan doa, serta ibadah haji untuknya. Dinyatakan juga bahwa
bacaan surat Al-Fatihah dan ayat-ayat Al-Quran yang dihadiahkan akan sampai
pahalanya kepada orang yang sudah meninggal tersebut.

Membacakal Al-Quran kepada orang yang meninggal dunia adalah ibadah yang sangat
dianjurkan. Bahkan di dalam kitab Fathul Qadir yang menukil hadits riwayat Sahabat Ali
karramallahu wajhah, Nabi Muhammad SAW bersabda:

Barangsiapa melewati pemakaman kemudian ia membaca surat al-ikhlas sebanyak


sebelas kali yang pahalanya dihibahkan kepada semua orang yang sudah meninggal
dunia di pemakaman itu, maka ia akan mendapatkan pahala sebanyak jumlah orang
yang dmakamkan di pemakaman itu.

Demikianlah penjelasan Syekh Ali Mashum secara panjang lebar. Beliau juga mengutip
sabda Nabi Muhammad SAW dari Abu Huroiroh berikut ini.


Barangsiapa memasuki komplek pemakaman kemudian ia membaca surat al-Fatihah,


lalu surat al-ikhlas, lalu surat at-takatsur, kemudian ia mengatakan bahwa saya
memberikan pahala bacaan tersebut kepada para ahli kubur dari kalangan orang
mukmin laki-laki dan perempuan, maka mereka semua para ahli kubur akan
mendapatkan pertolongan dari Allah SWT.

Wallahu A'lam

Kunjungi www.facebook.com/muslimedianews Sumber MMN:


http://www.muslimedianews.com/2015/09/menghadiahkan-bacaan-al-fatihah-
untuk.html#ixzz4dZX7CMHy

Apa Itu Bid'ah dan Bagaimana Memahaminya ?

Posted on Friday, 28 August 2015 | garis 11:30 Blog Title Fiqh

Muslimedianews.com ~ Apa itu bid'ah? Imam al-Nawawy di dalam Tahdzib ul-asma wa


al-Lughat menjelaskan bahwa bid'ah adalah:

Sesuatu yang diadakan setelah sempurnanya syariat

Definisi syariat pun tidak sama dengan hukum dalam pengertian operasional. Bersikap
adil dan menjaga amanah masuk ke dalam makna syariat. Sehingga jika diterjemahkan
sebagai hukum yang bersifat operasional saja, syariat akan terkendala oleh waktu dan
lokalitas.

Karena itu, syariat pun dapat dimaknakan sebagai values (nilai-nilai). Nilai-nilai itu yang
mampu bertahan di tengah perubahan waktu dan tempat. Pemaknaan ini bukan berarti
hilangnya makna syariat sebagai hukum yang bersifat positif.
Dalam kaitannya dengan makna bid'ah, yang dapat dipahami dari definisi Imam al-
Nawawi adalah adanya penambahan nilai dan juga penambahan hukum yang bersifat
positif.

Oleh karena itu, sebuah amalan dapat dikategorikan bid'ah jika bertentangan dengan
nilai-nilai syariat dan menambah hukum positif yang sudah dicontohkan Nabi
Muhammad s.a.w.

Menarik jika mencermati ungkapan Umar ibnu al-Khatthab seusai sholat tarawih
berjamaah dengan hitungan 20 rakaat:

Bid'ah yang paling enak adalah ini (sholat tarawih berjamaah).

Nabi Muhammad memang tidak pernah menganjurkan sholat tarawih secara berjamaah.
Tapi bukankah Nabi Muhammad menganjurkan sholat berjamaah? Apalagi Abdullah bin
Abbas mengaku pernah sholat malam berjamaah bersama Nabi. Lalu pernahkah Nabi
anjurkan sholat sebanyak 20 rokaat? Jawabannya memang tidak, tapi ucapan Nabi
"siapa yg menghidupkan malam Romadlon...dst" dipahami oleh para sahabat sebagai
anjuran untuk beribadah sebanyak-banyaknya. Lebih-lebih Aisyah r.a menuturkan,
"jangan kalian tanya tentang lama dan bagusnya sholat beliau s.a.w."

Umar r.a tidak bisa dituduh sebagai pelaku bid'ah karena ada dalil yang mengarahkan
pemahamannya kepada perbuatan tersebut. Jadi, justru karena dalil orang melakukan
suatu perbuatan. Bukan dibalik yaitu berbuat dulu baru dicarikan dalilnya.

Sehingga menganggap bid'ah sebuah amalan memang tidaklah sederhana. Jadi, kalo
ada yang gampang menuding bid'ah, katakan saja, "muka ente juga bid'ah brow."

Kunjungi www.facebook.com/muslimedianews Sumber MMN:


http://www.muslimedianews.com/2015/08/apa-itu-bidah-dan-bagaimana-
memahaminya.html#ixzz4dZXDfO8I
Tata Cara Mandi Wajib / Mandi Besar yang Benar

Posted on Tuesday, 18 August 2015 | garis 09:00 Blog Title Fiqh

Muslimedianews.com ~ Perihal thaharah/kesucian adalah hal utama yang biasanya


dibahas oleh para ulama dalam hampir seluruh kitab fikih yang ada. Mungkin ada makna
tersiat dari sana, namun sederhananya bahwa bersuci itu adalah syarat yang harus
dipenuhi oleh banyak ibadah sehingga ibadah yang dikerjakan sah, dan yang namanya
syarat pasti dia hadirnya duluan.

Dalam fikih masalah kesucian tidaklah sama dengan bersih, ukuran suci bukanlah kasat
mata, namun dia adalah murni ritual. Tidak semua hal yang bersih bisa dikatan suci, dan
sebaliknya tidak semua hal suci bisa dinilai bersih oleh mata. Pada pokoknya urusan
bersuci ini adalah urusan ritual yang kadang tidak bisa dilogikakan, dalam bahasa
fikihnya ini dikenal dengan istilah ghair maqulah al-makna.

Jika ada yang buang angin, maka kondisi orang tersebut dalam keadaan tidak suci,
padahal yang keluar bukanlahlah benda padat yang terlihat oleh mata, itu hanya angin
yang bisa terbang dan hilang, tapi tetap saja jika sudah buang angin kondisi orang
tersebut dalam pandangan fikih berada dalam kondisi tidak suci.

Lalu orang tersebut harus melakuakn ritual wudu, mulai dari meniatkan diri untuk
menghilangkan hadats kecil, dilanjutkan dengan membasuh muka, membasuh kedua
tangan sampai siku, menyapu (sebagian) kepala, membasuh kedua kaki sampai mata
kaki, dan selesai. Lagi-lagi kita kadang kita bertanya-tanya, apa hubungannya keluar
angin dari tempat itu, lalu kemudian diminta bersuci justru bukan ditempat sumber angin
tersebut keluar. Inilah jawabannya bahwa perkara bersuci ini adalah urusan ghair
maqulah al-makna/urusan ritual yang tidak bisa dilogikan.

Hadats Besar

Hadats besar adalah kondisi yang membuat seseorang wajib mandi untuk bisa kembali
berada dalam kesucian . Sedangkan hadats kecil adalah kondisi yang membuat
seeorang wajib berwudu tanpa harus mandi agar dia kembali suci. Diantara hal yang
bisa membuat seseorang berada dalam kondisi hadats besar adalah sebagai berikut:

1. Keluar mani

Mani itu adalah benda cair yang keluar dari kemaluan dengan aroma yang khas, agak
amis, sedikit kental dan mudah mengering seperti telur bila telah mengering. Dan
biasanya keluarnya disertai dengan rasa nikmat dengan cara memancar. Bagaimanapun
cara keluarnya, disengaja (mastur basi) atau mimpi, atau dengan cara hubungan suami
istri, semua wajib mandi.

Pun begitu dengan perempuan, perkara mani bukan hanya bersumber dari laki-laki, dari
perempuan juga ada, dan bagi perempuan juga memiliki kewajiban yang sama jika mani
keluar dari mereka. Rasulullah shallallahu alaihi wasalam bersabda:

! : - -
. :

Dari Ummi Salamah radhiyallahu anha bahwa Ummu Sulaim istri Abu Thalhah bertanya:
"Ya Rasulullah sungguh Allah tidak malu bila terkait dengan kebenaran, apakah wanita
wajib mandi bila bermimpi? Rasulullah SAW menjawab: "Ya, bila dia mendapati air
mani". (HR. Bukhari dan Muslim)

Sebagian remaja kita kadang bertanya, mimpi apakah yang dimaksud? Kadang kala
seorang guru menjawab dengan jawaban aneh, bahwa mimpi yang dimaksud adalah
mimpi menaiki perahu. Penulis sendiri dulunya pernah mendapati jawaban seperti itu,
awalnya bingung tapi sekarang baru sadar. Mungkin maksudnya bagus agar tidak
terkesan fulgar, tapi yang jelas mimpi apapun itu, jika setelah bangun kita mendapati air
mani, maka pastikan bahwa kita sudah wajib mandi.

Jika ini terjadi pertama kali bagi para remaja maka pastikan bahwa semenjak itu remaja
tersebut sudah sampai umur/baligh, dalam bahasa agama baligh/sampai umur itu
adalah masa dimana seseorang sudah dianggap besar, dan sudah harus mandiri, serta
sudah harus menerima beban ibadah yang sama dengan orang dewasa.

2. Bertemunya dua kemaluan

Ini adalah bahasa lain dari aktivitas sepasang suami istri, baik keluar mani atau tidak,
yang jelas sebatas bertemunya dua kemaluan, maka kondisi itu sudah membuat
seseorang wajib mandi. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

Bila dua kemaluan bertemu atau bila kemaluan menyentuh kemaluan lainnya maka hal
itu mewajibkan mandi janabah

3. Keluarnya Haidh

Haidh adalah darah yang kelur dari seorang perempuan, ini bertanda bahwa mereka
sudah sampai umur, umumnya keluarnya diusia remaja, tapi tidak sedikit walaupun
masih umur setingkat kelas empat Sekolah Dasar sebagaia dari mereka sudah
mendapati darah haidh.

Darah ini agak berbeda dari jenis darah pada umumnya, ia agak kehitam-hitaman, dan
pastinya seorang perempuan mengerti ini hal ini, untuk itu lagi-lagi sangat penting
kiranya pendampingan dari orang tua khsusunya ibu dalam hal ini, dan tidak ketinggalan
ilmu thaharah juga wajib diajarkan segera agar ilmu ini hadir sebelum darah haidh hadir.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

Apa bila haidh tiba tingalkan shalat apabila telah selesai (dari haidh) maka mandilah
dan shalatlah (HR Bukhari dan Muslim)

4. Keluarnya Nifas

Nifas adalah darah yang keluar mengiri keluarnya bayi juga darah yang keluar
setelahnya. Keluarnya darah nifas ini mewajibkan mandi walaupun ternyata bayi yang
dilahirkan dalam keadaan meninggal dunia. Yang jelas setelah darah ini berhenti, maka
bersegeralah untuk mandi, agar bisa menjalankan aktivitas ibadah yang selama ini
tertinggal.

5. Melahirkan

Sebagian ulama menilai bahwa melahirkan juga bagian dari hal yang mewajibkan
seseorang mandi, walaupun melahirkannya tidak disertai nifas. Awalnya penulis sendiri
kaget juga, apakah ada perempuan yang melahirkan tanpa ada nifas sama sekali,
wallhu alam bisshawab ternyata menurut penuturan sebagian dari para suami yang
bercerita langsung kepada kami memang ada sebagian istri mereka yang melahirkan
tanpa nifas.
6. Meninggal dunia

Ini adalah kondisi terakhir yang membuat seseorang wajib mandi, karena sudah
meninggal dunia dan tidak mampu untuk mandi sendri, maka kewajiban memandikan
berada dipundak mereka yang masih hidup, tentunya dengan adab-adabnya yang
mungkin nanti dibahas pada tulisan yang berbeda.

Teknis Mandi Wajib

Sederhananya, ada tiga hal saja yang penting untuk diketahui dan tetntunya wajib untuk
dilakukan sehingga aktivitas mandi wajib kit sah adalah:

Niat manjdi wajib

Menghilangkan najis yang melekat di badan (jika ada)

Meratakan air keseluruh tubuh

Jika tigal hal ini dilakukan, maka mandi wajib yang dilakukan sudah sah, dan kondisi
hadats besar sudah hilang. Namun karena aktivitas mandi ini adalah termasuk dalam
ranah ibadah, maka untuk kesempurnaan ibadah mandi ini mari sedikit kita lihat teknis
detail mandi wajib ini yang penulis sarikan dari kitab Al-Majmu jilid 2, hal. 177-195.

Dengan berlandaskan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam riwayat Aisyah dan
Maimunah yang dikeluarkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim, juga hadits dari Jubair
bin Muthim yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad, Imam As-Syairozi mulai menjelaskan
yang kemudian di jalaskan oleh imam An-Nawawi bahwa teknis mandi wajib tersebut
sebagai berikut:

Dimulai dengan basmalah dan niat mandi wajib.

Mencuci kedua telapan tangan sebanyak tiga kali.

Mencuci kemaluan, untuk menghilangkan najis baik depan maupun belakang. Karena
mungkin saja masih ada bekas mani disekitar kemaluan depan, atau mungkin sebelum
mandi melakukan aktivitas BAB terlebih dahulu sehingga harus dipastikan bahwa
setelah BAB dicuci dengan bersih. Terlebih bagi perempuan yang mandi setelah haidh
atau nifas, maka sangat dianjurkan untuk membersihkan sisa-sisa najis tersebut dengan
sesutau yang harum, baik sabun mandi, minyak, dan seterusnya.

Berwudu seperti wudu shalat. Hanya saja ada sedikit perbedaan diantara para ulama,
apakah membasuh kakinya didahulukan atau diakhirkan setelah selesai mandi. Namun
pilihan mana saja yang dipilih semuanya dibenarkan, karena itu masih disebut dengan
wudu, dan wudunya tetap sah. Termasuk diantaranya pilihan untuk mengakhirkan wudu.

Mengambil air lalu meggosokkan jari-jari ke sela-sela rambut hingga mengenai kulit
kepala dan jenggot (bagi yang ada). Untuk memastikan bahwa tidak ada bagian tubuh
yang tidak terkena air. Terlebih rambut perempuan yang panjang dan tebal, atau jenggot
laki-laki yang kadang lebih tebal dan panjang dari rambutnya juga harus lebih
diperhatikan lagi.

Kemudian membasuh kepala tiga kali, agar dipastikan bahwa semua rambut dan kulit
kepala terkena air.

Lalu meratakan air keseluruh tubuh sambil menggosokkan tangan kesemua badan,
dan dimulai dari bagian badan sebelah kanan, tiga kali.

Pindah dari tempat berdiri, lalau kemudian membasuh kedua kaki. Karena
dikhawatirkan bagian dalam telapak kaki tidak terkena air.

Sudah Mandi Masih Butuh Wudu Lagi?

Masih dalam kitab Al-Majmu jilid 2 hal. 189-191, Imam An-Nawawi mejaskan bahwa
dalam permasalahan ini setidaknya ada empat pendapat:

1. Pendapat peratama yang diambil oleh para ulama madzhab As-Syafii bahwa jika
seseorang sedang junub (berhadats besar) lalu dalam waktu yang bersamaan dia juga
sedang berhadats kecil, maka dalam hal ini tidak butuh wudu lagi setelah mandi, cukup
dengan mandi itu sendiri.
Alasannya karena memang dngan mandi secara otomatis seluruh anggota wudu juga
sudah dilalui air. Hal ini dikuatkan dengan hadits Rasulullah shalallahu alaihi wasallam:

Dari Aisyah, dia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mandi, lalu shalat dua
rakaat, dan saya tidak melihat beliau berwudhu lagi setelah mandi. (Hr. Abu Daud)

Juga hadits Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dalam riwayat Jubair bin Muthim:

Adapun aku (ketika mandi besar) menuangkan air di atas kepalaku dengan tiga kali
tuangan, maka ketika itu aku suci.

Hal ini berlaku baik dalam aktivitas mandi tersebut sudah ada wudunya atau tidak ada
sama sekali.

2. Pendapat kedua menilai bahwa walaupun sudah ada mandi namun wudu tetap harus
ada, sehingga dipastikan anggota wudu terkena air minimal dua sekali. Pendapat ini
membolehkan baik wudunya diawal mandi atau atau diakhir mandi.

3. Pendapat ketiga hampir sama dengan pendapat kedua bahwa tetap harus ada
wudunya walaupun sudah mandi, namun yang membedakannya denga pendapat kedua
bahwa anggota wudu yang harus terkena air tidak harus dua kali, cukup sekali saja
disaat berwudu.

4. Pendpat ini sangat cocok bagi mereka yang kesulitan air, sehingga agak sedikit
hemat air, sebelum meratakan air keseluruh tubuh boleh memulai dengan wudu terlebih
dahulu, lalu kemudian disaat meratakan air keseluruh tubuh anggota wudu ini tidak
harus terkana air lagi.

Pendapat keempat hampir sama dengan pendapat pertama, yaitu cukup hanya dengan
meratakan air keseluruh tubuh walaupun tanpa wudu asalkan dengan dua niat
sekaligus, yaitu niat manjdi wajib dan niat wudu.

Kesimpulan

Jika sudah mandi wajib asalkan tidak diakhiri dengan buang air kecil maupun besar,
menurut pendapat madzhab Syafii hal itu sudah sah, dan boleh melaksanakan sholat
setelahnya.

Jika diawal mandi sudah dimulai dengan wudu dan tidak diakhiri dengan buang air kecil
maupun besar maka mandinya sudah sah, dan setelahnya juga boleh mengerjakan
shalat.

Jika khawatir bahwa biasanya diakhir mandi masih ada buang airnya, lalu kemudian
wudunya dilakukan diakhir saja, itu pun juga sah. Dan jika wudunya diwal lalu kemudian
setelah akhir mandi wudu lagi, itu pun juga sah.

Dan harus diingat kembali bahwa wudu dalam mandi wajib bukanlah perkara yang
wajib, khususnya dalam madzhab Syafii, yang wajib itu hanya ada tiga; niat,
menghilangkan najis dan meratakan air ke seluruh tubuh.

Wallahu Alam Bisshawab

Kunjungi www.facebook.com/muslimedianews Sumber MMN:


http://www.muslimedianews.com/2015/08/tata-cara-mandi-wajib-mandi-besar-
yang.html#ixzz4dZXJzYR5

Inilah Hukum Hormat Bendera Dalam Islam

Posted on Sunday, 16 August 2015 | garis 11:51 Blog Title Fatwa, Fiqh

Muslimedianews.com ~ Syekh Athiyah Shaqar, mantan ketua majelis Fatwa Al-Azhar


Mesir mengatakan bahwa menghormati bendera diperbolehkan.


:
"Menghormati bendera dengan lagu atau isyarat tangan dalam situasi tertentu itu
menunjukkan kesetiaan pada tanah air, berkumpul di bawah kepemimpinannya, dan
komitmen untuk mendukungnya. Sikap itu tidak masuk dalam pengertian ibadah kepada
bendera itu. Penghormatan bendera bukanlah shalat atau dzikir sampai ada yang bilang
itu bidah atau ibadah pada selain Allah.[1]

Abdurrahman Syaibanketua Majelis Ulama Al-Jazair ( ) tahun


1999-2001 mengatakan bahwa berdiri saat dinyanyikan lagu kebangsaan atau
menghormati bendera tidak bertentangan dengan syariah dan aqidah karena tidak ada
nash (dalil Quran hadits) yang mengharamkannya.

Abudurrahman Syaiban berkata:

Artinya: Pendapat tidak bolehnya mendengarkan lagu kebangsaan atau berdiri saat
dinyanyikan tidak memiliki dasar syariah. Tidak ada dalil apapun yang mengharamkan
atau memakruhkannya. Justru sebaliknya: itu perkara yang dianjurkan. Karena, agama
Islam menyatakan bahwa Cinta tanah air itu bagian dari iman. Sedangkan lagu dan
bendera itu adalah tanda dan simbol kehidupan yang tidak ada kaitannya dengan
syariah.[2]

Catatan kaki:

1. http://islamport.com/w/ftw/Web/953/4721.htm

2. http://muntada.sawtalummah.com/showthread.php?678-%E3%C7-%C7%E1%

Kunjungi www.facebook.com/muslimedianews Sumber MMN:


http://www.muslimedianews.com/2015/08/inilah-hukum-hormat-bendera-dalam-
islam.html#ixzz4dZXQ7HY6

Bolehkah Penggunaan Rebana Didalam Dakwah?

Posted on Thursday, 13 August 2015 | garis 08:45 Blog Title Fiqh


Muslimedianews.com ~ "Bolehkah Penggunaan Rebana Sebagai Media Dakwah?"

Study dan Analisa akar sejarah dan Hukum Penggunanaan Rebana di dalam Islam.

Oleh: Moh. Nasirul Haq*

Akhir-akhir ini semakin ramai dan digandrungi masyarakat yang tersebar di berbagai
daerah tentang adanya Majelis Maulid dan Shalawat, dimulai dari Habib Syeh As-Segaf
yang terkenal dengan Syekhermania, Majelis Rasulullah, Ahbabul Musthofa, Riyadlul
Jannah, Ar-Ridhwan, Syubbanul Muslimin dan banyak lagi yang lainnya.

Dalam metode dakwahnya sangat simpel sekali dengan mengajak masyarakat


melantunkan lantunan Shalawat diiringi rebana dengan variasi tabuhan yang menarik. Di
sini saya akan menjelaskan mengenai hukum menabuh rebana. Telah banyak Dalil yang
menjelaskan kebolehan menabuh Rebana atau Hadroh pada acara pernikahan, khitan,
penyambutan, Majelis dll. Karena sebenarnya Rebana itu sendiri sudah ada semenjak
zaman Nabi Muhammad s.a.w.

Dikisahkan pernah suatu ketika Rasulullah didatangi seorang wanita bernama Shobihah
'Arsy dan ia menabuh Rebana di samping Rasulullah s.a.w. lantas Rasulullah s.a.w
membiarkannya. Kisah lainnya tentang penyambutan kepada Rasulullah oleh para
wanita Bani Najjar saat datang ke Madinah dan mereka menabuh rebana sembari
menyanyikan dengan suara keras syair :

"Kami adalah wanita dari Bani Najjar, Oh beruntungnya Muhammad sebagai tetangga".

Nabi s.a.w lantas menjawab : "Allah Maha mengetahui bahwa aku mencintai kalian". Hal
ini tidak lain merupakan bentuk Ekspresi kebahagiaan dengan bisa melihat Rasulullah
s.a.w.

Sayyidi Syeikh Muhammad Ba'atiyah di dalam kitab Goitsu As-Sahabah hal. 68


mengatakan:
"Dari Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Ibnu Majah dari Qais Bin
Sa'ad Bin Ubadah bahwa Nabi s.a.w menabuh rebana dan bernyanyi pada Idul Fitri ini
diterangkan dalam Kitab Bahjatul Mahafil, hal ini tak lain karena menunjukkan rasa
kegembiraan".

Sementara pada hal. 69 disebutkan: "Bahwa para Sahabat dari kaum wanita bernadzar
jika Nabi kembali dalam kondisi selamat akan menabuh rebana di hadapan Rasulullah
sebagai bentuk kegembiraan. Kemudian Rasulullah pun menyuruh agar mereka
melaksanakan nadzarnya". Andai saja rebana itu Makruh (apalagi Haram) maka Nabi
tidak akan menyuruhnya walaupun ia bernadzar. (Al-Mufasshal hal. 71, juz 4)

Dalam Hadits lain dijelaskan:

"Syarkanlah pernikahan dan tabuhlah dengan rebana".

Tentu Ulama telah sepakat akan kebolehan menabuh rebana, sebagaimana DR.
Wahbah Az-Zuhaili menyebutkan dalam Fiqh Al-Islami juz 3 hal. 574: "Diperbolehkan
menyenandungkan lagu yang mubah dan memukul rebana pada pernikahan
berdasarkan Hadits Nabi "Syiarkan pernikahan dan mainkanlah rebana".

Rebana yang ada di Indonesia sudah sangat sesuai dengan ketentuan Syariat apa lagi
jika rebana tersebut digunakan sebagai Media Dakwah dan Pemersatu Ummat melalui
Shalawat.

Lantas Apakah kebolehan ini hanya khusus dalam acara pernikahan dan penyambutan
saja??

Suatu ketika Abu Yusuf pernah ditanya tentang rebana apakah dimakruhkan pada selain
pernikahan beliau menjawab: "Tidak dimakruhkan". (Fatawa Al-Hindiyah hal. 352).

Selanjutnya dalam kitab Zawajir karya Imam Al-Ghazali juz 2 hal. 291: "Bahwa rebana
diperbolehkan pada pernikahan, menyambut Ied (hari raya), menyambut kedatangan,
dan setiap kejadian/keadaan yang menggembirakan".

Ibnu Hajar berpendapat dalam Kitabnya Kaffu Ar-Ru'af hal. 290-291: "Pendapat yang
dijadikan pegangan pada Madzhab kita menyatakan halal (penggunaan rebbana) dalam
pernikahan dan khitan, akan tetapi afdhol (lebih utama) meninggalkannya pada selain
keduanya, sedangkan menurut pendapat yang Ashoh (lebih shahih) dalam Minhaj
dihukumi mubah dan jelas-jelas kesunahannya pada setiap perayaan".

Sementara jika ada yang mempertanyakan dengan mengatakan bahwa rebana hanya
dilakukan oleh wanita maka Imam As-Subki menjawab bahwa pendapat yang
menyatakan rebana hanya khusus bagi wanita adalah pendapat yang lemah.

Hal ini (kebolehan bermain rebana bagi laki-laki) juga dikuatkan pernyataan dari Kitab
Idloh Adh-Dhalalah hal. 44-45: "Menabuh rebana hukumnya itu mubah (boleh) secara
mutlak (tanpa syarat dan ketentuan) walaupun dengan alat Jalajil (rebana khas arab)
dan itu sudah jelas kehalalannya dari keharamannya dan tidak ada bedanya antara
yang menabuh itu laki-laki maupun perempuan".

Pendapat ini sangat bagus sekali menjawab bagi yang mengatakan kebolehan bermain
rebana hanya untuk wanita semata, sebab kita lihat dari segi bentuk jamak kata ""
kalau memang khusus wanita semestinya memakai "". Ini sesuai dengan apa yang
dikatakan Imam Al-Ghazali pada kitab iIhya Ulumuddin.

Berlanjut pada komentar Ulama dalam kitab Idloh Adh-Dhalalah hal. 55, mengatakan hal
yang sama bahwa rebana ini hukumnya mubah. Bahkan suatu ketika Syeikh Karim
Rojih bertanya pada Syeikh Mulla Romadlon Al-Buthi perihal mengapa kita tidak
mengharamkan rebana? lantas beliau menjawab: "Bagaimana bisa kita mengharamkan
sesuatu yang dihalalkan Allah s.w.t."

Habib Ali Al-Habsyi berkata:

"Tiada perkumpulan seperti Majelis Maulid yang bisa menghilangkan kesusahan, maka
ini saatnya jika kalian ingin bertaubat duhai para pendosa".

Sedangkan apa yang kita lihat dari fenomena yang ada di Indonesia, di mana rebana
menjadi sarana Dakwah yang sedang menjadi Trending Topic. Jadi pada
keseimpulannya cara dakwah ini seperti cara dakwah Wali Songo di saat Gamelan
menjadi alat musik yang digandrungi oleh masyarakat pada masa itu, maka beliau
memanfaatkannya sebagai sarana dakwah.

Kunjungi www.facebook.com/muslimedianews Sumber MMN:


http://www.muslimedianews.com/2015/08/bolehkah-penggunaan-rebana-
didalam.html#ixzz4dZXXAuhn

Hukum Mencukur Jenggot dan Memelihara Kumis

Posted on Thursday, 10 September 2015 | garis 07:30 Blog Title Fiqh

Muslimedianews.com ~ Sering kita temukan saat ini para pengikut ulama Saudi Arabia
menfatwakan haramnya mencukur jenggot dan wajibnya merawat jenggot hingga
panjang secara alami. Mereka pada umumnya secara keras mengatakan haram,
sementara masalah ini termasuk dalam ranah khilaf para ulama sejak dahulu.

Berikut ini kita tampilkan hadis dan atsar dalam masalah ini:

( 260 )

Cukurlah kumis kalian dan biarkan jenggot kalian. Berbedalah dengan Majusi (HR
Muslim No 26o dari Abu Hurairah)

8657 )

( : 673

Biarkan jenggot kalian, potong kumis kalian, rubahlah uban kalian dan janganlah kalian
menyamai dengan Yahudi dan Nashrani (HR Ahmad No 8657 dan Baihaqi No 673 dari
Abu Hurairah, sanadnya jayid)

)
(259 5892

Berbedalah kalian semua dengan Musyrikin. rawatlah jenggot kalian dan cukurlah
kumis kalian (HR Bukhari No 5892 dan Muslim No 259 dari Ibnu Umar)
Dalam riwayat ini perawi hadisnya adalah Abdullah bin Umar. Dalam riwayat Bukhari
terdapat redaksi kelanjutan hadis diatas:

(5892 )

Ibnu Umar ketika haji atau umrah memegang jenggotnya, maka apa yang melebihi
(genggamannya) ia memotongnya (HR Bukhari No 5892)

al-Hafidz Ibnu Hajar menyampaikan riwayat yang lain:

" "
(483 / 16 - )

Dan telah diriwayatkan oleh Malik dalam al-Muwatha dari Nafi dengan redaksi: Ibnu
Umar jika mencukur rambutnya saat haji atau umrah, ia juga memotong jenggot dan
kumisnya (Fath al-Baarii 16/483)

Dalam riwayat berbeda dinyatakan:

(350/10 . )

Dari Jabir bin Abdillah Kami (Para Sahabat) memanjangkan jenggot kami kecuali saat
haji dan umrah (HR Abu Dawud, dinilai hasan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar)

Ahli hadis Abdul Haq al-Adzim berkata:

(246 / 9 )

Di dalam riwayat tersebut para sahabat memotong dari jenggot mereka saat ibadah haji
atau umrah (Aun al-Mabud Syarah Sunan Abi Dawud 9/246)

Dari dua atsar ini menunjukkan bahwa mencukur jenggot tidak haram, karena Abdullah
bin Umar dan Sahabat yang lain mencukurnya saat ibadah haji atau umrah. Kalaulah
mencukur jenggot haram, maka tidak akan dilakukan oleh para sahabat, terlebih
Abdullah bin Umar adalah sahabat yang dikenal paling tekun dalam meneladani
Rasulullah Saw hingga ke tempat-tempat dimana Rasulullah pernah melakukan salat.

Imam an-Nawawi berkata:

( ) : :


. .

- -
(418 / 1 - )

Dari 5 redaksi riwayat, makna kesemuanya adalah membiarkan jenggot tumbuh sesuai
keadaannya. Ini berdasarkan teks hadisnya. Inilah pendapat sekelompok ulama
Syafiiyah dan lainnya. Qadli Iyadl berkata: Makruh untuk memotong dan mencukur
jenggot. Adapun memotong jenggot dari arah panjang dan lebarnya, maka bagus
(Syarah Muslim 1/418)

Dengan demikian, dapat disimpulkan:

:
):
......


(12894 / 2

Bab tentang mencukur jenggot. Mayoritas ulama fikih, yaitu Hanafiyyah, Malikiyah,
Hababilah dan satu pendapat dalam madzhab Syafiiyah menyatakan bahwa mencukur
jenggot hukumnya haram, karena bertentangan dengan perintah Nabi untuk
membiarkan jenggot hingga sempurna. Dan pendapa yang lebih unggul dalam madzhab
Syafiiyah bahwa mencukur jenggot adalah makruh (Mausuah al-Fiqhiyyah 2/12894)

Sayidina Umar Berkumis


) .

(200 / 5 .
Diriwayatkan dari Amir bin Abdillah bin Zubair bahwa jika Umar bin Khattab marah,
maka ia memintal kumisnya dan meniup (Riwayat Thabrani, para perawinya sahih,
selain Abdullah bin Ahmad, ia terpercaya dan dipercaya. Hanya saja Amin bin Abdullah
bin Zubair tidak menjumpai Umar)

al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:

. "
"
- ) :
(479 / 16

Malik benar-benar telah meriwayatkan dari Zaid bin Aslam bahwa jika Umar bin Khattab
marah, maka ia memintal kumisnya. Ini menunjukkan bahwa Umar memanjangkan
kumisnya. Ibnu Daqiq al-Iid mengutip dari sebagian ulama Hanafiyah, bahwa: Tidak apa-
apa merawat kumis saat perang, untuk menakuti musuh (Fath al-Baarii 16/479)

Ust. Muhammad Ma'ruf Khozin

Kunjungi www.facebook.com/muslimedianews Sumber MMN:


http://www.muslimedianews.com/2015/09/hukum-mencukur-jenggot-dan-
memelihara.html#ixzz4dZXccP33

Waktu yang baik untuk Melaksanakan Pernikahan

Posted on Sunday, 9 August 2015 | garis 09:59 Blog Title Fiqh

Muslimedianews.com ~ Pernikahan merupakan hal yang sakral dalam Islam.


Dalam beberapa kitab, terdapat penjelasan mengenai waktu yang baik untuk
pelaksanaan pernikahan. Meskipun pada dasarnya semua waktu yang
didalamnya ada amal kebaikan merupakan waktu yang baik bagi manusia.

Didalam kitab I'anatuth Thalibin (III/273) dijelaskan bahwa waktu yang paling
utama prosesi pernikahan adalah Jum'at pagi pada bulan Syawal, sekaligus
menjalani ritual dukhul (bersetubuh) didalam bulan tersebut.


( )
) (


Hendaknya akad nikah dilaksanakan di masjid, di hari jumat, di permulaan hari (dini
hari), di bulan syawal dan menjalani dukhul juga di dalamnya.

(Keterangan di hari jumat) artinya hendaknya akad nikah diselenggarakan di hari jumat
karena ia adalah lebih utama dan pimpinan semua hari. (Keterangan di permulaan hari)
artinya hendaknya akad nikah diselenggarakan di awal hari berdasarkan hadits Ya Allah
berkahilah umatku dipagi harinya (Dihasankan oleh at-Tirmidzi). (Keterangan di bulan
syawal) artinya disunahkan akad nikah diselenggarakan pada bulan syawal.

(Keterangan menjalani dukhul) artinya di sunahkan mendukhul (jima') terhadap istrinya


juga di bulan syawal, dasar adalah hadits riwayat Aisyah ra. Rasulullah shallallaahu
alaihi wa sallam menikahi dan mendukhul diriku dibulan syawal, dan mana antara istri-
istri beliau yang lebih utama ketimbang diriku ? Hal ini sekaligus menepis pendapat
orang yang membenci pelaksanaan akad nikah pada masa-masa tersebut.

Wallaahu A'lamu Bis Showaab

Kunjungi www.facebook.com/muslimedianews Sumber MMN:


http://www.muslimedianews.com/2015/08/waktu-yang-baik-untuk-
melaksanakan.html#ixzz4dZZ65xsG

Hukum terkait Hari Raya Bertepatan dengan Jum'at

Posted on Thursday, 16 July 2015 | garis 21:50 Blog Title Fiqh

Muslimedianews.com ~ Saat ini sering sekali hari raya bertepatan dengan hari Jumat,
sehingga diperlukan sebuah penjelasan yang seksama terkait berkumpulnya dua hari
raya (Jumat dan Ied Adlha / Fithri). Sebab masyarakat kadang bingung sehingga
membuat mereka meninggalkan kewajiban, padahal tidak ada halangan / udzur bagi
mereka.
Kita tahu bahwa kondisi masyarakat dahulu pada zaman Rasulullah Shallallahu alayhi
wa Sallam sangat berbeda dengan saat ini. Masyarakat dahulu yang tinggal di
pedalaman atau penduduk kampung yang jauh - didalam kitab Fiqh disebutkan Ahlul
Aliyah dan Ahlus Sawad - , mereka akan merasa letih jika harus bolak balik ke masjid
dan bisa terlambat shalat Jumat. Sebagian sahabat dahulu juga ada yang memilih
menunggu shalat Jumat baru kembali ke desa mereka dan sebagian lainnya kembali
kedesa mereka, tentunya beda dengan kondisi saat ini, kemanapun mudah dan masjid
ada dimana-mana.

Didalam madzhab Syafiiyah, ketika hari raya bersamaan hari Jumat, tetap tidak
menggugurkan shalat Jumat. Kecuali memang bagi penduduk pedalaman karena sebab
tertentu. Terkait dengan penduduk pedalaman ini, Imam Nawawi rahimahullah didalam
kitabnya Raudlatuth Thalibin mengatakan:

Ketika hari raya bersamaan dengan hari Jumat; penduduk sebuah desa ( ) yaitu
mereka yang mendengar seruan shalat Ied dan mereka tahu bahwa jika mereka
membubarkan diri (pulang ke rumah setelah shalat Ied, penj) pasti mereka akan
terlambat shalat Jumat, maka bagi mereka diperkenankan membubarkan diri
(meninggalkan masjid dan kembali ke rumah, penj) serta meninggalkan shalat Jumat
pada hari tersebut, berdasarkan pendapat yang shahih yang ter-nas dalam qaul Qadim
dan Jadid. Adapun pendapat yang menyimpang (syadz) menyatakan tetap wajib
bertahan di masjid.

Imam Al Imrani didalam kitab Al Bayan fi Madzhab al-Imam al-Syafii mengatakan: Jika
Ied bersamaan dengan Jumat, tetap wajib melaksanakan shalat Jumat bagi penduduk
kota ( ) dan shalat Jumat tidak gugur hanya karena sebab melaksanakan Ied,
inilah pendapat aktsarul Fuqaha (mayoritas ahli fiqh).

Menurut Imam Al Imrani, dalil kami (syafiiyah) adalah dalil-dalil yang menjelaskan
tentang kewajiban shalat Jumat dan tidak ada perbedaan pada dalil-dalil tersebut, baik
di hari-hari biasa maupun bertepatan dengan hari raya.

Jadi, didalam madzhab Syafiiyah yang shahih, shalat Jumat tidak gugur bagi penduduk
suatu wilayah () , sedangkan penduduk yang dari desa lain ( ; ) ada yang
mengatakan tidak ada pengecualian, namun pendapat yang rajih (dikuatkan) adalah
gugur bagi mereka sehingga jika mereka sudah shalat Ied maka boleh bagi mereka
meninggalkan Jumat, namun tetap shalat Dhuhur.
Pendapat Ulama Lain

Menurut ulama lain, seperti Abu Hanifah menyatakan wajib shalat Jumat bagi penduduk
suatu wilayah (ahlul balad), Imam Ahmad menyatakan tidak wajib shalat Jumat bagi
ahlul qura (penduduk desa) maupun ahlul balad, namun mereka tetap wajib shalat
Dhuhur. Ada juga yan berpendapat bahwa jika sudah melaksanakan shalat Ied maka
shalat Jumat dan shalat dhuhur gugur pada hari tersebut, langsung melaksanakan
shalat Ashar.

Hadits Kebolehan Meninggalkan Jumat Bagi Man Sya-a

:
:

Dari Zayd bin Arqam ra: Nabi Shallallahu alayhi wa Sallam melaksanakan shalat Ied
(pada suatu hari Jumat) kemudian beliau memberikan rukhshah dalam shalat Jumat.
Kemudian Nabi bersabda: :Barangsiapa yang berkehendak (ingin kembali shalat Jumat,
penj), hendaklah dia shalat. (HR. Abu Daud, Ibnu Majah, Ad-Darimi, Al Hakim didalam
Al Mustadrak, Al Baihaqi didalam As-Sunanul Kubro dan Marifatus Sunanil wa Atsar)

Dari Abu Huraiah ra, Rasulullah Shallallahu alayhi wa Sallam bersabda: Sungguh telah
berkumpul pada hari kalian ini dua hari raya. Maka barangsiapa berkehendak, cukuplah
baginya shalat hari raya itu, tak perlu shalat Jumat lagi. Dan sesungguhnya kami akan
mengerjakan Jumat. (HR. Abu Dawud)

Didalam hadits diatas, Rasulullah Shallallahu alayhi wa Sallam memberikan pilihan,


rukhsoh (sebuah keringanan) bagi yang sudah melaksanakan shalat Ied. Namun,
ditujukan kepada siapakah rukhsoh tersebut?. Rukhsoh tersebut hanya ditujukan
kepada penduduk diluar kota atau penduduk pedalaman, bukan penduduk setempat.

Imam al-Syafii rahimahullah didalam kitabnya yaitu Al Umm, dan disebutkan juga oleh
Imam Al Baihaqi didalam Marifatus Sunani wal Atsar, menuturkan bahwa Umar bin
Abdul Aziz ia berkata :

:

Telah berhimpun dua hari atas pada masa Rasulullah Shallallahu alayhi wa Sallam,
beliau bersabda: barangsiapa yang suka untuk duduk (tidak shalat Jumat, penj) bagi
ahlul Aliyah (penduduk desa/pedalaman, penj), maka tetaplan duduk tanpa
menanggung dosa.

:


Dari Abu Ubaid, ia berkata : Aku menyaksikan shalat Ied bersama Sayyidina Utsman
bin Affan, beliau datang kemudian shalat, lalu ia pindah dan berkhutbah, ia berkata:
Sesungguhnya telah berkumpul bagi kalian pada hari ini yaitu dua hari raya, maka
barangsiapa dari ahlul Aliyah (penduduk desa/pedalaman, penj) yang suka untuk
menunggu shalat Jumat maka menunggulah, dan barangsiapa yang ingin kembali (ke
desanya, penj), maka kembalilah, sungguh aku mengizinkannya.

Kemudian didalam Marifatus Sunani wal Atsar disebutkan juga bahwa Imam Syafii
berkata didalam satu riwayat Abu Said:

Tidak boleh ini diterapkan pada seorang penduduk kota, dan hadits harus dibawa atas
pengertian bagi orang yang hadir shalat Ied dari selain penduduk kota, mereka boleh
kembali/ pulang ke desa mereka jika mereka mau dan tidak kembali (ke kota/masjid)
untuk shalat Jumat, dan sebuah pilihan bagi mereka untuk tetap bertahan hingga shalat
Jumat jika mereka mampu.

Didalam Al Ummu, Imam Syafii juga mengatakan hal yang sama :

Tidak boleh ini bagi seorang pun dari penduduk kota tidak kembali untuk melaksanakan
shalat Jumat kecuali disebabkan ada udzur yang membolehkan meninggalkan Jumat,
meskipun hari raya.[]

Kunjungi www.facebook.com/muslimedianews Sumber MMN:


http://www.muslimedianews.com/2015/07/hukum-terkait-hari-raya-
bertepatan.html#ixzz4dZZcPQa7

Mana yang Lebih Utama Shalat Ied di Masjid atau di Lapangan ?

Posted on Thursday, 16 July 2015 | garis 15:59 Blog Title Fiqh

Muslimedianews.com ~ Pokok dalam hal ini adalah bahwa pelaksanaan shalat Ied
boleh dilakukan di masjid ataupun di al-mushalla (tempat shalat) yaitu al-shahra (tanah
lapang / lapangan). Sehingga pada dasarnya, baik masjid maupun al-mushalla, tidak
ada masalah. Imam Nawawi rahimahullah didalam kitabnya Al Majmu' mengatakan :

Ulama kami berkata, boleh shalat hari raya di al-shohra dan juga boleh shalat di jami
(masjid). Jika berada di Kota Makkah maka shalat di masjidil Haram itu lebih afdlal tanpa
ada perselisihan.

Berbeda lagi jika berada di Baitul Maqdis, maka yang lebih utama adalah shalat di
Masjid Al Aqsha, menurut pendapat Imam Al Shaidalaniy dan Al Bandanijiy.

Adapun istilah mushalla yang dimaksud disini bukan seperti langgar atau surau seperti
yang dikenal di negeri melayu, melainkan berupa sebuah tanah lapang atau al-shohra.
Didalam hadits shahih disebutkan

:



Abu Said Al Khudri, ia berkata : Rasulullah Shallallahu Alayhi wa Sallam keluar pada
Idul Fitri dan Adlha menuju Mushalla, yang pertama kali beliau lakukan adalah shalat,
lalu berpaling dan kemudian berdiri di hadapan manusia sedang mereka duduk di shaf-
shaf mereka. Kemudian beliau menasehati dan memberi wasiat kepada mereka serta
memberi perintah kepada mereka. Bila beliau ingin mengutus suatu utusan maka beliau
utus, atau ingin memerintahkan sesuatu maka beliau perintahkan, lalu beliau pergi.
[HR. Al Bukhari]

- :
-


Dari Ummu Athiyyah, ia berkata : Nabi Shallallahu Alayhi wa Sallam memerintahkan
kami untuk keluar pada hari raya (Fithri dan Adlha), gadis-gadis, wanita yang dipingit,
dan beliau memerintahkan wanita yang sedang haidl menjauh dari mushalla kaum
Muslimin. (HR. Muslim)

Dalam hadits-hadits ini, menunjukkan bahwa al-mushalla (tempat shalat) yang


disebutkan merupakan mushalla tertentu yang digunakan untuk shalat, bukan tempat
yang sembarangan, bahkan dikatakan mushalla al-muslimin (tempat shalat orang-orang
Islam), sebuah tempat yang terpelihara kehormatannya hingga wanita haidl pun
dihimbau untuk tidak mendekatinya. Masyarakat juga mengenal tempat tersebut sebagai
tempat yang memang digunakan untuk shalat ied. Menurut Imam Ibnu Hajar Al Asqalani
didalam Kitab Fathul Bari, Al-Shananiy didalam Subulus Salam, Al Syaukani didalam
Nailul Authar, Badruddin Al-Ayni didalam Umdatul Qari ;

Al-Mushalla (yang dimaksud didalam hadits) merupakan sebuah tempat di Madinah


yang sudah maruf (dikenal masyarakat), yang jaraknya antara mushalla dan pintu
masjid Nabawi kira-kira 1000 dira. Umar ibnu Syaibah telah mengatakannya didalam
Akhbarul Madinah dari Ghassan Al Kitaniy shahibu Malik.

Dari hadits Abu Said Al Khudri diatas, Imam An-Nawawi rahimahullah berkata : Sunnah
melaksanakan shalat ied di mushalla (tanah lapang) jika masjid sebuah wilayah itu
ukurannya sempit, berdasarkan riwayat bahwa Nabi shallallahu alayhi wa Sallam
{berangkat shalat ied ke mushalla} dan juga karena banyaknya kaum Muslimin yang
melakukan shalat Ied, sebab apabila keadaan masjid sempit maka akan menyakiti
(membuat tidak nyaman) mereka.

Imam Al Imraniy didalam kitab Al Bayan juga mengatakan : Apabila masjid suatu negeri
ukurannya sempit maka yang mustahab (sunnah) adalah shalat ied di mushalla, namun
jika ukuran masjidnya luas maka yang afdlal (lebih utama) adalah shalat ied di masjid.
Asal dalam hal ini adalah {bahwa Rasulullah Shallallahu alayhi wa Sallam shalat ied di
al mushalla}, keadaan yang seperti itu karena masjid Madinah (dulu) kecil tidak mampu
menampung manusia, sedangkan para imam di Makkah melaksanakan shalat ied di
masjid, karena ukurannya disana luas.

Ketika misalnya terjadi keadaan seperti diatas, sehingga shalat ied dilakukan di
mushalla, maka bukan berarti masjid harus dikosongkan begitu saja, sebaliknya
dianjurkan untuk menunjuk seseorang menjadi imam shalat di masjid agar shalat
bersama orang-orang dluafa dan orang-orang yang tidak keluar ke mushalla atau
shohra.

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan : Apabila ada yang dluafa (orang yang lemah)
maka menunjuk seorang untuk shalat bersama mereka di masjid, berdasarkan riwayat
bahwa Sayyidina Ali radliyallahu anh menunjukkan Abu Masud Al Anshoriy radliyallahu
anh untuk shalat bersama dengan orang-orang lemah (dluafa) di masjid.

Hadits tentang Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang menunjuk Abu Masud Al Anshoriy
sebagai Imam untuk shalat di masjid, diriwayatkan oleh Imam Syafii dengan sanad yang
shahih. Hal senada di tuturkan oleh Imam Al Imraniy didalam Al Bayan :

Apabila shalat ied dilakukan di al-mushalla, dan pada negeri/wilayah tersebut ada
dluafa yang tidak mampu keluar menuju al-mushalla, maka disunnahkan bagi seorang
imam menunjuk seorang untuk shalat bersama mereka di masjid pada negeri/wilayah
tersebut, berdasarkan riwayat {bahwa Ali bin Abi Thalib menunjuk Abu Mas;ud Al-
Anshariy suapaya shalat ied bersama dluafaa di masjid}.

Imam Zainuddin Zakariyya Al Anshoriy didalam Fathul Wahab : Melaksanakan shalat


ied di masjid itu lebih utama (afdlal), karena kemulyaan masjid serta karena tidak ada
udzur seperti ukuran masjid yang sempit. (Jika masjid itu sempit) maka makruh shalat
ied didalamnya karena orang-orang akan terganggu disebabkan berdesak-desakan.
Apabila terjadi hujan atau udzur lainnya sedangkan masjidnya sempit maka imam
(pemimpin) tetap shalat ied didalam masjid tersebut dan ia juga menunjuk orang
sebagai imam shalat untuk melakukan shalat ied bersama masyarakat lainnya di tempat
yang berbeda.

Apabila (imam/pemimpin) keluar ke tempat selain masjid, maka ia disunnahkan


menunjuk orang untuk shalat ied sekaligus berkhutbah di masjid bersama orang yang
tertinggal, baik dluafa dan selain mereka seperti syuyukh (orang-orang tua), orang yang
sakit, serta sebagian orang-orang yang memang mampu, sebagaimana Sayyidina Ali
radliyallahu anh menunjuk Abu Masud Al Anshoriy pada hal yang demikian, Imam Al
Syafii telah meriwayatkan hal tersebut dengan sanad yang shahih.

Selanjutnya, bila terjadi hujan, tanah lapang keadaannya becek, kotor, tidak terpelihara,
adanya kekhawatiran atau ketakukan terhadap sesuatu, turun salju, atau hal-hal lain
yang semacam ini, maka tidak ada perselihan bahwa yang bagus adalah shalat di
masjid. Demikian juga jika sebuah masjid itu luas, maka yang utama adalah shalat di
masjid karena masjid terjamin kebersihannya, masjid juga merupakan tempat yang
mulya.

Imam Nawawi rahimahullah dengan sangat detail telah menjelasan masalah-masalah


seperti ini didalam kitab Al Majmu, bahkan beliau juga secara arif dan bijak
menyampaika beberapa pendangan ulama. Disebutkan didalam kitab beliau :

Dan jika pada hari itu terjadi hujan maka shalat di masjid, berdasarkan riwayat Abu
Hurairah radliyallahu anh, ia berkata {Hujan datang pada kami pada hari raya, maka
Rasulullah Shallallahu alayhi wa Sallam shalat bersama kami di Masjid}, dan riwayat
bahwa Umar bin Khaththab dan Utsman bin Affan radliyallahu anhumaa keduanya
shalat di Masjid pada saat hujan,

Dan jika di masjidnya luas maka shalat dimasjid lebih utama daripada mushalla (tanah
lapang / shohra') karena para aimmah (imam-imam) tidak pernah meninggalkan
melaksanakan shalat ied di Makkah didalam masjid, dan karena masjid lebih mulya dan
lebih bersih.

Imam Syafii rahimahullah berkata : Jika masjidnya luas maka shalat di shahro (tanah
lapang) adalah tidak apa-apa, namun jika masjidnya sempit dan tetap shalat
didalamnya, tidak keluar ke shohro maka aku memakruhkan; karena jika meninggalkan
masjid dan shalat di shahra, tidak ada dloror / masalah bagi mereka. Namun ketika
meninggalkan shahra dan shalat di masjid yang sempit maka akan mengganggu
(menyakiti) mereka dengan kerumuman / berdesakan dan kemungkinan sebagian
mereka tidak kebagian ruang shalat, maka itu dimakruhkan.

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa jika berada di Makkah, maka shalat di Masjidil
Haram itu lebih utama, demikian juga ketika berada di Baitul Maqdis, maka shalat di
Masjid Al Aqsha itu lebih utama, menurut beberapa ulama. Namun, bagaimana dengan
tempat lainnya ?. Imam Al Nawawi juga telah memberikan perincian lanjutan tentang
masalah ini. Kata Imam Nawawi :

Jika di negeri lainnya, apabila mereka memiliki udzur (halangan) untuk keluar ke
shahra dan mushalla (tempat shalat) untuk shalat ied maka tidak ada perselisihan
bahwa mereka bagusnya shalat di masjid, diantara hal-hal yang termasuk udzur adalah
hujan, becek (kotor), takut, salju dan seumpama hal ini. Namun jika tidak ada udzur
tersebut dan masjidnya sempit, maka tidak ada perselisihan bahwa keluar shahra
(tanah lapang) itu lebih utama.

Jika masjidnya luas dan tidak ada udzur, maka dalam hal ini ada dua pandangan.
Pertama, yang lebih shahih, merupakan nas-nas dalam Al-Umm Imam Syafii, dan
mushannif (Imam Nawawi) memilahnya bahwa jumhur ulama Iraqiyyun (Irak), Imam Al
Baghawi dan yang lainnya menyatakan shalat di masjid tetap lebih utama. Pendapat
kedua, pendapat yang ashoh menurut sekelompok ulama Khurasan (Khurasaniyyun),
sebagian dari mereka memilah bahwa bahwa shalat di shahra lebih utama karena Nabi
Shallallahu alayhi wa Sallam rutin melaksanakan shalat ied dilapangan, maka
kelompok yang pertama menjawab hal ini bahwa masjid ketika itu masih sempit
disebabkan banyaknya orang yang mendatanginya, maka yang ashoh merajihkan
pendapat yang mengatakan shalat didalam masjid, dan telah mushannif tuturkan, maka
atas hal ini ; jika meninggalkan masjid yang luas dan shalat di shahra (tanah lapang)
maka itu telah menyelisihi yang lebih utama (khilaful aulaa) namun tidak makruh,
sebaliknya jika shalat di masjid yang sempit tanpa ada udzur maka makruh.

Imam Al Syairazie rahimahulah didalam kitab At Tanbih mengatakan : Dan sunnah


mendirikan shalat ied di Jami (masjid). Apabila masjidnya sempit bagi mereka maka
mereka shalat di shohra, dan Imam / pemimpin dianjurkan menunjuk seseorang untuk
tetap dilaksanakan shalat 'ied di Jami (masjid) bersama masyarakat yang lemah
(dluafa).

Imam Al Ghazali rahimahullah didalam kitab Al Wasith fil Madzhab mengatakan : Dan
shalat di shahra (tanah lapang) lebih utama kecuali di Makkah. Namun apabila
masjidnya di selain Makkah tersebut ukurannya luas, maka dalam hal ini ada 2
pandangan ; Pertama, shalat di masjid tetap lebih utama (aula) sebagaimana masjid di
Makkah. Kedua, tidak di masjid, sebab berbeda dengan Makkah, kalau Makkah
memang tempat khusus yang mulya.

Selanjutnya, mari kita sedikit melihat pendangan-pandangan ulama lainnya agar


semakin terbuka dan tertanam sikap toleran dan saling menghargai didalam setiap
adanya pandangan yang berbeda. Sebagaimana disebutkan didalam Al Fiqhu alaa
Madzahibil Arbaah karya Al Jaziriy. Didalam kitab tersebut, dijelaskan bahwa Malikiyah
menghukumi mandub (dianjurkan) melaksanakan shalat ied di shohra namun bukan
sunnah. Disini ulama Maliki membedakan antara mandub dan sunnah. Sedangkan
didalam madzhab Syafiiyah mandub, sunnah, mustahab dan al-nafl memiliki makna
yang sama. Ulama Maliki makruh melaksanakan shalat ied di masjid jika tanpa ada
udzur, kecuali di Makkah, maka kalau di Makkah melaksanakannya di Masjidil Haram
karena mulyanya tempat tersebut serta melihat langsung Baitullah.

Ulama Hanabilah menyatakan sunnah melaksanakan shalat ied di shohra dengan


syarat jaraknya dekat dengan rumah-rumah penduduk, ulama Hanabilah memakruhkan
shalat di masjid tanpa ada udzur kecuali di Makkah, sama seperti pendapatnya ulama
Malikiyah. Adapun ulama Hanafiyah tidak mengecualikan masjid Makkah.

Sedangkan pendapat ulama Syafiiyah, sebagaimana diatas bahwa melaksanakan


shalat ied di masjid itu lebih utama (afdlal) karena masjid adalah tempat mulya,
terkecuali ada udzur seperti masjidnya kecil atau sempit, maka di makruhkan shalat di
masjid yang sempit sebab akan berdesakan sehingga jika kejadiannya seperti itu maka
disunnahkan agar shalat di shohra (tanah lapang).

Kunjungi www.facebook.com/muslimedianews Sumber MMN:


http://www.muslimedianews.com/2015/07/mana-yang-lebih-utama-shalat-ied-
di.html#ixzz4dZZnGFqG

Ini Tata Cara Melaksanakan Shalat Ied (Hari Raya)

Posted on Thursday, 16 July 2015 | garis 10:20 Blog Title Fiqh

Muslimedianews.com ~ Shalat Id dilakukan sebanyak 2 rakaat, tidak ada perselisihan


atas hal ini, ulama telah sepakat. Berdasarkan riwayat Sayyidina Umar bin Khaththab
radliyallahu anh, bahwa ia berkata :

Shalat idul Adlha 2 rakaat, shalat idul Fithri 2 rakat, shalat ketika safar 2 rakaat, shalat
jumat juga 2 rakaat, sempurna tanpa qashar berdasarkan dari lisan Nabi Shallallahu
alayhi wa Sallam.

Menurut Imam Nawawi hadits tersebut hadits Hasan, telah diriwayatkan oleh Imam
Ahmad, Imam An-Nasaai dan yang lainnya.
Sunnah melaksanakan shalat ied secara berjamaah karena ulama khalaf mengambil
hal ini dari para salafush shaleh. Adapun rincian pelaksanaan shalat ied sama halnya
seperti pelaksaan shalat sunnah dua rakaat yang lainnya, hanya berbeda dalam hal niat
dan beberapa masalah kesunnahan.

Rakaat Pertama Takbir 7 Kali, Rakaat Kedua 5 Kali

Shalat ied dimulai dengan takbiratul Ihram yang disertai dengan niat, yaitu niat shalat
Ied. Kemudian membaca doa iftitah dan melakukan takbir sebanyak 7 kali dengan cara
mengangkat tangan. Untuk rakaat kedua, sebanyak 5 kali selain takbir ketika hendak
berdiri. Imam Ibnu Qasim Al Ghazi didalam kitab Fathul Qarib memberikan perincian
tatacara shalat ied sebagai berikut :

Shalat ied dilakukan sebanyak 2 rakaat, melakukan takbir dengan niat shalat idul fithri
atau niat shalat idul adlha, kemudian membaca doa iftitah, kemudian bertakbir
sebanyak 7 kali pada rakaat pertama selain takbiratul Ihram, kemudian membaca
taawudz, membaca surah Al Fatihah, kemudian membaca surah Qaf secara jahr
(dikeraskan), dan takbir pada rakaat kedua sebanyak 5 kali selain takbir qiyam (takbir
ketika hendak berdiri), kemudian membaca taawudz, surah Al Fatihah dan surah Al
Qamar secara jahr.

Imam Al Imraniy didalam kitabnya Al Bayan mengatakan : Dan ketika telah selesai
membaca doa Iftitah, maka bertakbir sebanyak 7 kali pada rakaat pertama sebelum
membaca surah Al Fatihah, dan pada rakaat kedua sebanyak 5 kali sebelum membaca
surah Al Fatihah, ini juga pendapat para sahabat Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq,
Umar bin Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Umar, Sayyidah Aisyah, dan Abu Hurairah
-radliyallahu anhum-, serta dari kalangan Fuqaha seperti Al-Awzaiy, Imam Ahmad dan
Ishaq.

Imam Al Syairaziy didalam Al Muhadzdzab mengatakan : Sunnah bertakbir 7 kali pada


rakaat pertama selain takbiratul Ihram dan takbir untuk ruku, sedangkan pada rakaat
kedua sebanyak 5 kali selain takbir qiyam (takbir untuk berdiri) dan takbir untuk ruku.

Hal ini berdasarkan riwayat :





Bahwa Rasulullah Shallallahu alayhi wa sallam bertakbir pada shalat idul Fithri dan
idul Adlha, pada rakaat pertama sebanyak 7 kali dan pada rakaat kedua sebanyak 5
kali. (HR. Abu Daud dan Imam Al Baihaqi didalam Marifatus Sunani wal Atsar )

Al Muthiiy didalam Takmilah Al-Majmu syarh Al Muhadzdzab mengatakan bahwa hadits


tersebut shahih, diriwayatkan oleh Abu Daud dan yang lainnya dengan sanadnya yang
hasan. Takbir-takbir sebagaimana disebutkan diatas, dilakukan sebelum membaca
surah Al Fatihah, didalam Takmilah Al Majmu dikatakan :

Takbir-takbir tersebut dilakukan sebelum bacaan (surah Al Fatihah dan surah lainnya),
berdasarkan riwayat Katsir bin Abdullah, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata :

"

Nabi shallallahu alayhi wa Sallam bertakbir ketika shalat dua hari raya pada rakaat
pertama 7 kali dan pada rakaat kedua sebenyak 5 kali sebelum Qiraah.

Hadits ini diriwayat oleh At-Turmidzi, Ibnu Majah dan At-Thabraniy. Imam A-Turmidzi
mengatakan bahwa hadits kakeknya Katsir bin Abdullah adalah hadits hasan, dan itu
merupakan hadits yang paling hasan yang diriwayat dari Nabi Shallallahu alayhi wa
Sallam pada bab tersebut.

Disunnahkan mengangkat tangan sebagaimana takbiratul Ihram serta meletakkan


tangan kanan diatas tangan kiri. Disebutkan didalam Takmilaj Al Majmu :

Dan mustahab (dianjurkan) mengangkat tangan sejajar bahunya pada setiap kali
melakukan takbir-takbir tambahan tersebut, dan meletakkan tangan kanannya diatas
tangan kirinya diantara dua takbir tersebut.

Dzikir Diantara Takbir-Takbir Tambahan


Diantara takbir yang satu dengan takbir yang lain (diantara dua takbir) dipisah atau
berdiam sejenak kira-kira kadar lamanya membaca 1 ayat Al-Quran, tidak panjang, juga
tidak pendek, seraya membaca dzikir. Dalam Takmilah Al Majmu disebutkan :

Imam Al Syafii dan ashhab kami berkata ; disunnahkan berdiam diantara dua takbir-
takbir tambahan kira-kira kadar lamanya membaca satu ayat, tidak panjang dan tidak
pendek, sambil bertahlil kepada Allah, mengucapkan takbir, mengucapkan hamdalah
dan memuji Allah (), Ini merupakan lafadz Imam Al-SyafiI didalam kitab Al Umm
dan juga Mukhtashar Al Muzanniy, akan tetapi didalam Al Umm tidak ada lafadz memuji
Allah (). Jumhur ulama Syafiiyah mengucapkan :

Dan jikalau menambahkannya (dengan dzikir lain) maka boleh. Imam Al-Shaidalaniy,
salah seorang ashhab Syafii berkata, (boleh) mengucapkan :

Ibnu Al-Shabbagh berkata : seandainya mengucapkan dengan apa-apa yang sudah


menjadi kebiasaan masyarakat seperti lafadz

Maka itu juga hasan (bagus). Dan Imam Abu Abdillah Muhammad bin Abdullah bin
Masud Al Masudiy, bagian dari ashhab/ulama kami, yakni ashhab al-Qaffal, ia berkata ;
(boleh) mengucapkan :

Bacaan Surah Dalam Shalat Hari Raya

Surah yang dibaca sesudah membaca surah Al Fatihah adalah surah Qaf ( )pada
rakaat pertama dan pada rakaat kedua membaca surah Al Qamar (). Dalam
sebuah riwayat disebutkan,

:
:
{ } { }

Bahwa Umat bin Khaththab bertanya kepada Abu Waqid Al-Laitsiy: Apa yang Rasulullah
Shallallahu alayhi wa Sallam baca pada shalat Idul Fithri dan Idul Adlha ?. Ia
menjawab : Nabi Shallallahu alayhi wa Sallam membaca surah Qaf {Qaf wal Qurnanil
Majid} dan surah Al Qamar {Iqtarabis Saah wan-syaqqal Qamar}. (HR. Ibnu Hibban
didalam shahihnya).

Riwayat lain menyebutkan ;

:

:

Dari Numan bin Basyir, ia berkata : Rasulullah shallallahu alayhi wa sallam membaca
surah al-Alaa dan al-Ghasyiyah pada shalat hari raya dan shalat jumat, ia berkata :
apabila shalat ied dan shalat jumat berkumpul pada hari yang sama, maka tetap
membaca kedua surat tersebut pada keduanya.[HR. Muslim]

Al-Muthii didalam Takmilah Al Majmu syarh Al Muhadzdzab mengatakan : Kemudian


setelah membaca taawudz, membaca surah Al Fatihah, kemudian surah Qaf, dan pada
rakaat kedua setelah membaca surah Al Fatihah, membaca surah Al Qamar (
). Dan juga telah tsabit didalam Shahih Muslim pada riwayat An-Numan bin Basyir
bahwa Rasulullah shallallahu alayhi wa Sallam didalam shalat Ied membaca surah Al-
Alaa dan Al-Ghasyiyah. Keduanya sama-sama sunnah, Wallahu Alam.

Adzan, Iqamah dan Nida Pada Hari Raya

Didalam shalat hari raya, tidak ada adzan dan iqamah. Disebutkan didalam Takmilah Al
Majmu :

Tidak ada adzan pada shalat ied, tidak pula iqamah, berdasarkan riwayat dari Ibnu
Abbas radliyallahu anhuma, ia berkata :

Aku menyaksikan shalat ied bersama Rasulullah Shallallahu alayhi wa Sallam, dan
juga bersama Abu bakar Ash-Shiddiq, Umar, Utsman radliyalahu anhum-, mereka
semua shalat id sebelum khutbah tanpa adzan dan tanpa iqamah.

Dan sunnah mengucapkan nida pada shalat hari raya Ash-Shalatu Jamiah,
berdasarkan riwayat dari Az-Zuhri bahwa ia mengucapkan nida seperti itu.

Hadits Ibnu Abbas diatas adalah shahih, telah diriwayatkan oleh Abu Daud dengan
sanadnya yang shahih berdasarkan kriteria Al Bukhari dan Muslim. Imam Al Bukhari dan
Imam Muslim juga meriwayat bahwa tidak ada adzan dan iqamah pada shalat ied,
didalam shahih Muslim disebutkan :



:

Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata : Aku menyaksikan shalat ied bersam Rasulullah,
shalat di mulai sebelum khutbah, tanpa adzan dan iqmah.

Disebutkan didalam Takmilah Al Majmu : Imam Syafii dan ashhab (para ulama
Syafiiyyah) berkata bahwa tidak ada adzan dan iqamah pada shalat ied, dan ini juga
pandangan jumhur ulama dari kalangan para sahabat, para tabiin dan ulama-ulama
yang datang setelah mereka, dan umat Islam telah beramal seperti ini disetiap masa,
berdasarkan hadits-hadits shahih yang telah kami sebutkan.

Namun kalau melihat dari sisi sejarah, dulu pernah ada yang melakukan adzan dan
iqamah untuk shalat ied, sebagain riwayat mengatakan Ibnu Az-Zubair melakukan
adzan dan iqamah untuk shalat ied, ada juga yang mengatakan bahwa yang pertama
kali mengada-adakan adzan untuk shalat ied adalah Ziyad, ada juga yang mengatakan
dilakukan oleh Muawiyah di negeri Syam, ada pula yang mengatakan dilakukan oleh
orang lain.
Tentang Nida sendiri, didalam kitab Al Fiqhu alaa Madzahibil Arbaah, disebutkan :
Tidak ada adzan untuk dua shalat hari raya, tidak pula ada iqamah. Akan tetapi
dianjurkan mengucapkan nida, dengan ucapkan : {Ash-Shalatu Jamiah} berdasarkan
ittifaq / kesepakatan dari imam 3 (yakni Abu Hanifah, Syafii dan Imam Ahmad), berbeda
halnya dengan Malikiyah, mereka mengatakan : Nida dengan ucapkan {Ash-Shalatu
Jamiah} atau seumpamanya hukumnya makruh atau menyelisihi yang lebih utama
(khilaful aulaa), namun sebagain dari Malikiyah mengatakan : sesungguhnya nida
dengan yang seperti itu tidaklah makruh, kecuali berkeyaqinan bahwa hal itu sebagai
sebuah anjuran, namun jika tidak, maka tidaklah makruh.

Didalam Takmilah Al Majmu disebutkan : Dianjurkan (yustahabb) mengucapkan Ash-


shalatu Jamiah sebagaimana telah disebutkan, ini diqiyaskan dengan shalat Kusuf.
Imam Syafii didalam Al Umm berkata : aku menyukai seorang imam memerintahkan
muadzdzin pada hari-hari raya dan pada perkumpulan-perkumpulan shalat supaya
mengucapkan : {Al-Shalatu Jamiah / } , atau {Ash-Shalaah / } . Jika
misalnya mengatakan {Datanglah menuju shalat / } maka tidak kami
makruhkan, Jika mengucapkan { } maka tidak apa-apa. Namun jika aku
suka untuk menghindari mengucapkan yang seperti itu karena itu bagian dari lafadz
Adzan, aku menyukai untuk menghindari semua ucapan yang mengandung lafadz-
lafadz Adzan. Dan jika seandainya dilakukan adzan dan iqamah untuk shalat ied, maka
aku memakruhkannya dan tidak menjadikan sebagai kebiasaan, inilah kalam Imam
Syafii. Shahibu al-Iddah mengatakan : seandainya mengucapkan { } pun
juga tidak apa-apa, bahkan itu mustabah (sunnah). Namun, Ad-Darimiy mengatakan :
seandainya mengucapkan { } maka makruh, karena itu bagian dari lafadz
Adzan. Dan yang showab / benar adalah sebagaimana nash Imam Syafii bahwa beliau
tidak memakruhkannya, dan sungguh yang aulaa (lebih utama) adalah menghindarinya
dan menghindari penggunaan seluruh lafadz-lafadz Adzan.

Imam Al Baihaqi didalam kitabnya Marifatus Sunani wal Atsar meriwayatkan perkataan
Imam Syafii :

: : :

Imam Syafii berkata : Az-Zuhri berkata ; Rasulullah Shallallahu alayhi wa Sallam


memerintahkan muadzdzin pada shalat dua hari raya agar mengucapkan : {Ash-Shalatu
Jamia / Nida}

Shalat Sunnah Sebelum dan Sesudah Shalat Ied


Dijelaskan didalam kitab Takmilah Al Majmu, Al Muthii : Boleh bagi selain imam
melakukan shalat al-nafl (sunnah) pada hari raya sebelum shalat ied maupun setelah
shalat ied, baik dirumahnya, di sebuah jalan dan di mushalla (tempat pelaksanan shalat
ied) sebelum hadirnya imam namun bukan dengan maksud shalat untuk shalat ied
(bukan shalat qabliyah / badiyah ied) dan tidak makruh pada yang demikian.

.... Dimakruhkan bagi imam melakukan shalat sebelum shalat ied atau pun setelahnya
di mushalla (tempat shalat) sebab jikalau melakukan shalat maka akan diduga itu
sunnah padahal bukan sunnah.

Dijelaskan pula didalam Takmilah Al Majmu mengenai pendangan-pandangan ulama


tentang shalat shunnah / al-nafl sebelum shalat ied dan sesudahnya (qabliyah dan
badiyah) : Ulama bersepakat (ijma) bahwa tidak ada shalat sebelum dan sesudah
shalat ied bukanlah sunnah, namun mereka berbeda pandangan tentang kemakruhan
shalat al-nafl sebelum dan sesudah shalat ied. Madzhab Syafi menyatakan bahwa tidak
makruh shalat al-nafl sebelum shala ied dan setelahnya, dirumah maupun di mushalla,
bagi selain imam, dengan hal ini berpendapat Anas bin Malik, Abu Hurairah, Rafi bin
Hudaij, Sahl bin Saad, Abu Burdah, Al hasan Al Bashri beserta saudaranya Said bin
Abul Hasan, Jabir bin Zaid, Urwah bin Az-Zubair, Ibnu Al Mundzir.

Ulama lainnya mengatakan makruh baik sebelum maupun setelahnya. Ada juga yang
mengatakan makruh melakukan shalat setelahnya, namun tidak makruh bila
sebelumnya. Ada juga yang berpendapat makruh shalat al-nafl sebelum shalat ied
maupun setelahnya apabila di mushalla (maksudnya shohra) namun tidak bila di tempat
lainnya.

Kunjungi www.facebook.com/muslimedianews Sumber MMN:


http://www.muslimedianews.com/2015/07/ini-tata-cara-melaksanakan-shalat-
ied.html#ixzz4dZZui6yT

Kupas Tuntas Solusi Shalat di Jalan Macet

Posted on Thursday, 16 July 2015 | garis 08:12 Blog Title Dirasat Islami, Fiqh, Headlines

Muslimedianews.com ~ KATA PENGANTAR


Masalah menjama' shalat karena macet di perjalanan adalah kemudahan untuk
menghindari seseorang dari meninggalkan Shalat di saat macet. Ini adalah pendapat
Ulama-Ulama besar khususnya di dalam Madzhab kita Imam Syafii sepeti pendapat
Imam Syafii saat beliau di Iraq juga pendapat Qoffal Asy-Syasi dan Ibnul Mundzir.

Artinya kita tidak boleh ragu dalam mengamalkan pendapat ini demi menjaga ummat
agar terhindar dari dosa besar karena meninggalkan sholat.

Cirebon, Ramadhan 1436 H

BUYA YAHYA

(Pengasuh LPD Al-Bahjah Cirebon)

SOLUSI SHALAT DI JALAN MACET

I. PENDAHULUAN

Shalat adalah kewajiban bagi setiap kaum muslimin yang mukallaf. Yaitu seorang yang;

1) Berakal.

2) Aqil baligh.

3) Bisa mendengar atau melihat.

4) Sampai kepadanya ajaran Islam.

5) Muslim.

Jika ada seorang mukallaf yang tidak melakukan Shalat maka sungguh hukumannya
adalah sangat besar di hadapan Allah SWT dan telah melakukan dosa besar.

Dalam hal ini ulama berbeda pendapat tentang hukum orang yang meninggalkan Shalat
:
1. Orang yang meninggalkan Shalat dan dia berkata serta meyakini bahwa Shalat itu
tidak wajib, maka ia telah murtad keluar dari Islam. Dosanya amat besar dan tidak akan
diampuni oleh Allah SWT. Bagi orang murtad jika ia di minta taubat tidak mau maka
hukumanya adalah di penggal lehernya.

2. Orang yang meninggalkan Shalat karena malas-malasan. Dalam hal ini Ulama
terbagi menjadi 2 pendapat:

a. Madzhab Imam Ahmad Bin Hambal : Hukumnya adalah Murtad keluar dari islam,
dan hukumannya adalah jika di suruh bertaubat tetap tidak mau maka dipenggal
lehernya dan tidak boleh dikubur di pemakaman kaum muslimin.

b. Menurut jumhur ulama (Madhab Hanafi, Maliki dan Syafi'i) Orang yang
meninggalkan Shalat karena malas-malasan maka ia telah melakukan dosa yang
sangat besar dan di dunia ia dikenai hukuman yang amat berat dengan dipenggal
lehernya setelah menolak saat disuruh bertaubat. Akan tetapi ia masih dianggap
sebagai kaum muslimin, dan dikubur di pemakaman kaum muslimin.

Bagi orang yang meninggalkan Shalat karena malas-malasan, baik menurut pendapat
Imam Ahmad atau mayoritas Ulama adalah merupakan pelanggaran yang besar dan
dosa besar. Maka jangan sampai ada di antara kita ada orang yang meninggalkan
Shalat biarpun karena malas-malasan.

Islam adalah agama yang mudah dan tidak merepotkan penganutnya. Memang amat
besar dosa orang yang meninggalkan Shalat, akan tetapi Shalat sungguh sangat
dimudahkan. Tidak bisa dengan berdiri boleh duduk, tidak bisa duduk boleh berbaring,
tidak bisa dengan berbaring boleh terlentang hingga yang terakhir adalah cukup dengan
isya'rat dengan pelupuk matanya kemudian dengan hatinya.

Intinya jangan sampai ada orang yang meninggalkan Shalat. Tidak ada orang yang
tidak bisa melakukan Shalat karena Shalat sangat mudah dan sesuai dengan
kemampuan. Maka tidak ada satu orang pun yang boleh meninggalkan Shalat dalam
keadaan apapun, termasuk disaat bepergian.

II. SHALAT JAMA' DAN QASHAR


A. Shalat Jama'

Shalat jama' adalah mengumpulkan dua Shalat dalam satu waktu. Misalnya : Shalat
Dzuhur dilakukan di waktu Ashar. Artinya saat masuk waktu Dzuhur tidak melakukan
Shalat Dzuhur, akan tetapi dilakukan di waktu Ashar. Maka setelah masuk Ashar orang
tersebut melakukan Shalat Dzuhur kemudian melakukan Shalat Ashar.

Shalat yang bisa di jama' adalah :

a. Shalat Dzuhur bisa dikumpulkan dengan Shalat Ashar.

b. Shalat Maghrib dikumpulkan dengan Shalat Isya'.

Adapun Shalat Subuh tidak bisa dijama' dengan Shalat apapun.

Shalat Jama' Ada 2 Macam :

1. Jama' Taqdim

Yaitu mengumpulkan 2 Shalat di waktu yang pertama. Seperti : Shalat Dzuhur


dikumpulkan (dijama') dengan Shalat Ashar dilakukan di waktu Dzuhur dan Shalat
Maghrib dikumpulkan (dijama') dengan Shalat Isya' dilakukan di waktu Maghrib.

2. Jama' Ta'khir

Yaitu mengumpulkan 2 Shalat di waktu yang ke-dua. Seperti : Shalat Dzuhur di jama'
dengan Shalat Ashar dilakukan di waktu Ashar. Dan Shalat Maghrib dijama' dengan
Shalat Isya' diklakukan di waktu Isya'.

B. Shalat Qashar

1. Shalat Qashar adalah menjadikan Shalat yang empat raka'at menjadi 2 raka'at.

2. Shalat yang boleh diqashar adalah Shalat Dzuhur, Ashar dan Isya'.
3. Untuk Shalat Maghrib dan Shubuh tidak bisa diqashar.

C. Shalat Bisa Dijama' Dan Diqashar

Artinya ada Shalat yang boleh untuk kita jama' dan kita Qashar sekaligus. Yaitu semua
Shalat yang memenuhi syarat untuk bisa diqashar maka Shalat tersebut pasti boleh
dijama'. Menjama' Shalat yang bisa diqashar tidaklah harus. Jadi seseorang bisa saja
hanya mengqashar tanpa menjama' biarpun boleh untuk menjama'. Karena menurut
sebagian ulama ada sedikit perbedaan syarat antara Shalat jama' dan Shalat Qashar
maka yang harus diperhatikan :

a-. Tidak Semua Shalat Yang Bisa Dijama' Itu Bisa Diqashar

Artinya mungkin seseorang menjama' Shalat tanpa mengqashar. Contoh : Melakukan


Shalat Dzuhur 4 raka'at dikumpulkan dengan Shalat Ashar 4 raka'at dengan tanpa
dikurangi raka'atnya.

b-. Semua Shalat Yang Bisa Diqashar Pasti Boleh Dijama'

Artinya: semua Shalat yang memenuhi syarat untuk boleh diQashar secara otomatis
boleh dijama'.

c-. Menjama' Shalat Tidak Harus Dengan Qashar

Artinya :

1. Seseorang bisa melakukan Shalat jama' tanpa harus mengqashar Shalat. Seperti
saat kita di perjalanan [musafir] kita bisa melakukan Shalat Dzuhur 4 raka'at
dikumpulkan dengan Shalat Ashar 4 raka'at dengan sempurna tanpa mengqashar.

2. Ada Shalat yang memenuhi syarat untuk bisa dijama' akan tetapi belum memenuhi
syarat untuk diqashar. Maka saat itu hanya boleh menjama' dan tidak boleh
mengqashar.

Ini adalah hal yang akan kami hadirkan dalam pembahasan Shalat di tol atau saat
macet kendaraan yaitu Shalat yang boleh dijama' akan tetapi tidak boleh diqashar
karena belum memenuhi syarat untuk diqashar.

d-. Shalat Qashar Tidak Harus Dijama'

Mungkin sekali seseorang melakukan Shalat Qashar tanpa menjama'. Misalnya :


seseorang bepergian setelah Shalat Dzuhur. Di tengah perjalanan ia memasuki waktu
Ashar. Karena ia sudah di perjalanan dan telah keluar dari wilayah tempat tinggalnya
maka ia bisa melakukan Shalat Ashar dengan mengqashar dari 4 raka'at menjadi 2
raka'at tanpa menjama' dengan Dzuhur karena ia telah melakukan Shalat Dzuhur.

III. SYARAT DIPERBOLEHKANNYA MENJAMA' DI TOL ATAU KETIKA JALANAN


MACET

1. Bepergian Dengan Perjalanan Jauh

Jika seseorang dalam perjalanan jauh maka ia boleh menjama' dan mengqashar shalat
biarpun dalam keadaan jalan lancar tanpa ada kemacetan. Bepergian jauh dalam
masalah ini adalah bepergian yang jarak tempuh menuju tempat tujuanya mencapai 84
km.

2. Bepergian Dengan Perjalanan Pendek

Yaitu perjalanan yang jarak tempuh menuju tempat tujuannya tidak mencapai 84 Km.
Dalam hal ini bagi seseorang yang bepergian dengan perjalanan pendek diperkenankan
menjama' dengan 2 syarat :

a) Berada di dalam bepergian atau berniat melakukan bepergian. Misal : Seseorang


tinggal di Bogor ingin pergi ke Jakarta. Maka orang tersebut disebut berniat bepergian.
Atau orang tersebut sudah meninggalkan kampungnya maka ia disebut bepergian.

b) Ada dugaan jalan macet atau tiba-tiba terkena macet yang merepotkannya untuk bisa
turun untuk melakukan Shalat.

Dalam melakukan Shalat jama' seperti ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan :
1. Tidak harus sangat repot untuk turun melakukan shalat.

2. Tidak harus macet total, akan tetapi cukup dengan tanda-tanda macet.

Contoh :

Seseorang melakukan perjalanan dari Bogor menuju Jakarta. Biasanya ia bisa


melakukan Shalat tepat waktu di Pom Bensin atau tempat yang lainnya. Akan tetapi
terlintas di dalam hatinya kekhawatiran terjebak macet karena tanda-tanda yang dilihat
di jalan atau informasi dari kawan atau media. Maka saat itu ia sudah boleh menjama'
Shalat, baik jama' Taqdim atau jama' Ta'khir.

3. Tidak harus yakin jika kita Shalat di tempat tujuan akan kehabisan waktu shalat.

Artinya : Biarpun dalam keadakan longgar namun ada dugaan jika Shalat di tempat
tujuan akan kehabisan waktu maka saat itu kita sudah boleh menjama' Shalat.

Contoh :

a. Seseorang tinggal di Bogor dalam perjalananya dari Bogor ke Jakarta. Saat itu ia
berada diwaktu Dzuhur dan biasanya akan sampai tujuan di Jakarta adalah masih di
waktu Ashar. Kebiasaanya ia bisa melakukan Shalat Ashar tepat pada waktunya. Hanya
karena satu hal, seperti : Mendapatkan berita kemacetan di jalan yang akan ia lewati
dan mungkin sekali macet sesungguhnya sehingga mungkin sekali nanti waktu Ashar
akan hilang di tengah jalan.

Maka saat itu ia boleh menjama' Taqdim saat hendak berangkat, yaitu melakukan Shalat
Dzuhur dan Ashar di waktu Dzuhur di rumahnya.

b. Seseorang bepergian sebelum masuk waktu Dzuhur. la bisa nyaman dalam


perjalanan tanpa melakukan Shalat Dzuhur pada waktunya. Akan tetapi ia bisa
melakukan Shalat Dzuhur di waktu Ashar dengan jama' Ta'khir di tempat tujuannya.

IV. PILIHAN CARA SHOLAT SAAT MACET DI JALAN


Bagi pengguna jalan tol dan jalan-jalan yang sering macet yang jarak tempuhnya belum
mencapai 84 Km maka bagi mereka ada 3 pilihan di dalam melakukan Shalat :

1. Jika perjalanannya adalah dalam jarak yang pendek kurang dari 84 km dalam kondisi
aman tanpa macet maka hendaknya ia melakukan Shalat tepat waktu.

2. Jika menduga tidak bisa melakukan shalat tepat waktu karena adanya dugaan atau
tiba-tiba terkena macet yang tak terduga maka seseorang boleh melakukan Shalat
dengan menjama'.

Dalam hal ini seseorang bisa memilih mana yang lebih nyaman baginya antara jama'
taqdim dan jama' ta'khir tanpa di qashar.

a) Jama' Taqdim Tanpa Diqashar

Dalam keadaan seperti itu seseorang boleh mengumpulkan Shalat Maghrib dengan
Isya' dengan bilangan raka'at Maghrib 3 rakaat dan Isya' 4 rakaat atau Dzuhur dan
Ashar dengan bilangan rakaat shalat Dzuhur 4 rakaat dan shalat Ashar 4 rakaat di waktu
yang pertama, yaitu waktu Maghrib dan waktu Dzuhur.

Misal :

Seseorang akan keluar dari kantor jam 14:00 kemudian dalam perkiraannya akan
sampai di rumah dalam waktu Maghrib. Aartinya waktu Ashar akan hilang di tengah
jalan. Maka ia boleh melakukan Shalat jama' Taqdim dengan melakukan Shalat Dzuhur
dan Ashar di kantornya.

b) Jama' Ta'khir Tanpa Diqashar

Seseorang keluar dari kantor jam 17:00 kemudian dalam perjalanan yang akan
ditempuh ada dugaan macet dan akan sampai di rumah sudah masuk waktu Isya'.
Artinya dalam dugaannya waktu Magrib akan hilang diperjalanan. Maka di saat ia
memasuki waktu
Maghrib ia harus berniat untuk mengumpulkan Shalat Maghrib dan Isya' di waktu Isya'
(Jama' Takhir). Cara niatnya cukup melintaskan di hati saat berada di waktu Maghrib
bahwa ia akan menunda shalat Maghrib di waku Isya atau sambil diucapkan :

"Aku berniat untuk mengakhirkan shalat Mahrib di waktu Isya ".

Kemudian setelah ia sampai di rumah ia melakukan Shalat Maghrib di waktu Isya'. Lebih
baik mendahulukan shalat Maghrib agar tertib urutanya biarpun mendahulukan shalat
Isya juga diperbolehkan.

Cara niatnya seperti shalat biasa :

"Aku niat shalat Maghrib Fardhu" tanpa ditambah dengan "Jama' dengan Isya "juga sah.
Begitu juga niat shalat Isya'nya seperti biasa.

V. MACAM - MACAM KEADAAN MENJAMAK DI PERJALANAN

1) Terlanjur Tidak Melakukan Jama' Taqdim Dan Ternyata Terjadi Macet Di Perjalanan

Misal : Seseorang pulang dari kantor jam 15:00 sudah terlanjur tidak menjama' takdim
Shalat Ashar dengan Shalat Dzuhur. Yaitu hanya melakukan Shalat Dzuhur saja tanpa
menarik Shalat Ashar ke waktu Dzuhur (jama' Taqdim) kemudian setelah keluar dari
kantor ternyata tanpa diduga- duga terjadi macet dan dalam dugaannya waktu Ashar
akan habis di tengah jalan.

Apa yang harus ia lakukan di saat seperti itu?

1. Selama ia masih bisa mampir untuk melakukan Shalat maka ia harus Shalat .

2. Jika turun tidak bisa dan akan menambah macet atau mengganggu lalu lintas, atau
jika turun biarpun bisa melakukan jika dipaksakan akan tetapi merepotkan : Maka ia bisa
melakukan Shalat di atas kendaraan dan kiblatnya adalah arah kendarannya. Bila tidak
ada air maka bertayammun dengan debu, bila tidak ada debu maka ia bisa melakukan
Shalat tanpa Wudhu dan Tayammum. Dan jika ia tidak mempunyai baju yang suci maka
ia harus tetap melakukan Shalat biarpun dengan baju yang terkena najis.

Inilah Shalat yang disebut dengan Shalat untuk menghormati waktu. Shalat dengan cara
ini hanya untuk menggugurkan dosa saja akan tetapi ketika telah sampai di tempat yang
ia bisa melakukan Shalat dengan sempurna ia harus mengulang Shalat tersebut.

2) Terlanjur Menjama' Taqdim Lalu Tidak Macet

Jika seseorang terlanjur menjama' shalat sesuai dengan syarat dan cara yang telah
dijelaskan. Kemudian tiba-tiba kemacetan yang diduga tersebut tidak terjadi. Bahkan
perjalanan sangat lancar . Karena shalat jama' yang telah ia lakukan telah dianggap sah
maka iapun tidak perlu mengulang shalat yang telah dilakukan.

Contoh :

Seseorang pulang dari Jakarta menuju Bogor jam 14:00. Karena khawatir akan
kehilangan waktu Ashar maka iapun menjama' solat Ashar di waktu Dzuhur sebelum
berangkat. Kondisi di jalan ternyata sangat lancar hingga sudah bisa sampai Bogor jam
16:00. Karena ia sudah melakukan solat Ashar di waktu Dzuhur maka iapun tidak perlu
lagi melakukan shalat Ashar saat telah sampai di tempat tujuannya. Biarpun waktu
Ashar masih ada. Karna ia telah menjama' taqdim dan dianggap sholatnya sudah sah.

3) Bermaksud Menjama' Ta'khir Ternyata Tidak Ada Kesempatan.

Jika telah niat menjama' ta'khir akan tetapi ternyata tidak ada kesempatan untuk shalat,
seperti misalnya karena macet di tol, maka cara shalatnya adalah shalat di atas
kendaraan seperti yang sudah dijelaskan.

Contoh :

Seseorang di perjalanan dari kota Jakarta menuju Bogor. Saat itu ia berada di waktu
Dzuhur sekitar jam 12:00 (siang). Karena waktu masih sangat awal maka ia pun memilih
tidak shalat dzuhur sekarang akan tetapi ia berniat untuk menjama' ta'khir dengan
melakukan shalat Dzuhur di waktu Ashar nanti saat sampai di Bogor. Ternyata di dalam
perjalanan macet total dan tidak memungkinkan baginya untuk mampir shalat.
Sementara waktu Ashar hampir habis dan sebentar lagi masuk waktu Magrib . Karena
waktu sudah sempit maka saat itu wajib baginya melakukan shalat diatas kendaraanya.

VI. TATA CARA SHALAT DI ATAS KENDARAAN

1. Jika mempunyai wudhu atau bisa berwudhu maka ia melakuakan shalat dengan
wudhu.

2. Jika tidak punya wudhu dan tidak bisa berwudhu hendaknya bertayammum dengan
debu dan melakukan shalat dengan tayammum.

3. Jika susah untuk mengambil debu maka hendaknya ia shalat tanpa wudhu dan tanpa
tayammum.

4. Jika bisa menutup aurat dalam shalatnya maka wajib menutup auratnya dalam shalat
seperti shalat biasa.

5. Dengan pakaian yang suci. Jika ternyata bajunya terkena najis dan repot untuk ganti
yang mungkin justru akan membuka auratnya di depan orang maka hendaknya
melakukan shalat di atas kendaraan dengan baju yang dikenakan biarpun najis.

6. Jika mampu untuk menghadap qiblat wajib menghadap qiblat.

7. Jika susah mengahadap kibat karena di kendaraan maka qiblatnya adalah arah
kendaraannya.

8. Cara melakukan shalatnya seperti biasa hanya saja dilakukan dengan duduk di atas
mobil. Bacaan seperti biasa dan ruku'nya cukup dengan merunduk dan sujudnya
dengan merunduk lebih rendah lagi tanpa harus menempelkan jidat di jok mobil atau
ujung lutut.
VII. SHALAT QASHAR

Syarat yang terpenting dalam Shalat Qashar ada 2 :

a. Dalam perjalanan jauh yang jarak tempuh menuju tempat tujuan tidak kurang dari 84
km.

b. Sudah keluar dari wilayah tempat tinggalnya, diperkiraan keluar dari wilayah
kecamatan.

Dalam perjalanan seperti ini seseorang boleh mengqashar Shalat yang 4 raka'at
menjadi 2 raka'at biarpun perjalanannya belum mencapai 84 asalkan ia sudah keluar
dari wilayahnya biarpun perjalanannya baru beberapa kilometer.

Ini adalah syarat yang disepakati oleh para Ulama.

VIII. CARA DAN NIAT SHALAT JAMA'

a. Cara dan Niat Jama' Taqdim

Menjama' shalat Ashar dengan shalat Dzuhur di waktu Dzuhur atau shalat Isya dengan
Maghrib di waktu Maghrib.

Jika seseorang ingin menjama' taqdim (misal : shalat Dzuhur digabung dengan shalat
Ashar yang dilakukan di waktu Dzuhur), maka yang harus dilakukan adalah :

1. Memulai dengan shalat Dzuhur dengan niat sebagaimana biasa, seperti : " Aku niat
shalat fardhu Dzuhur " . Jika dilakukan berjama'ah tinggal menambah niat berjamaah.
Kalau menjadi imam dengan tambahan : " Dan aku menjadi imam " kalau sebagai
makmum dengan tambahan : " Dan aku menjadi makmum ".
Disaat ia melakukan shalat Dzuhur ia harus melintaskan niat di hati : "Aku akan
melakukan shalat Ashar di waktu Dzuhur ". Waktu untuk niat menarik shalat Ashar ke
Dzuhur terbentang sepanjang ia melakukan shalat Dzuhur. Artinya sepanjang ia berada
di waktu Dzuhur niat bisa dilintaskan di hati asalkan belum salam. Bisa juga niat ini
dibarengkan saat melakukan niat shalat Dzuhur, seperti : " Aku melakukan shalat fardu
Dzuhur dengan Ashar di waktu Dzuhur ".

2. Kemudian setelah ia salam dari shalat Dzuhur segera berdiri lagi untuk melakukan
solat Ashar. Niatnya cukup : "Aku niat shalat fardhu Ashar ". Dengan niat seperti ini
tanpa disebutkan niat jama'nya juga sudah sah. Kalau mau di tambah : "Jama' dengan
Dzuhur " maka itu lebih baik.

3. Antara shalat Dzuhur dan Ashar harus bersegera. Artinya jangan ada jeda kesibukan
apapun kecuali urusan shalat. Dzikir, do'a, shalat Ba'diyah Dzuhur dan Qobliyah Ashar
ditunda setelah shalat Ashar.

b. Cara dan Niat Jama' Ta'khir

Jika ingin melakukan jama' ta'khir yaitu melakukan shalat Dzuhur dengan Ashar di waktu
Ashar, maka caranya sebagai berikut :

1. Disaat masih berada di waktu yang pertama (waktu Dzuhur) harus melintaskan niat
untuk menunda shalat Dzuhur di waktu Ashar : " Aku berniat untuk melakukan shalat
Dzuhur nanti di waktu Ashar ".

Waktu untuk melintaskan niat terbentang sepanjang masih berada di waktu Dzuhur.
Saat berniat tidak diwajibkan berwudhu dan menghadap qiblat karena memang belum
shalat. Sambil bekerja pun bisa melintaskan niat tersebut.

2. Setelah memasuki waktu Ashar memulai shalat jama' dan dianjurkan untuk
mendahulukan shalat Dzuhur. Kalau seandainya mendahulukan Ashar juga sah.

3. Saat melakukan solat Dzuhur cara niatnya seperti biasa yaitu : " Aku niat melakukan
shalat Dzuhur ". Dengan niat seperti ini sudah sah dan jika mau ditambah "Jama'
dengan Ashar " maka itu lebih baik.

4. Setelah selesai melakukan shalat Dzuhur, kemudian melakukan shalat Ashar dengan
niat seperti shalat biasa : " Aku niat melakukan shalat fardhu Ashar ". Dengan seperti ini
sudah sah dan jika mau ditambah : "jama' dengan Dzuhur " maka itu lebih baik.

5. Shalat jama' ta'khir antara Dzuhur dengan Ashar tidak harus menyambung seperti
shalat jama' taqdim. Dalam jama' ta'khir boleh ada jeda waktu dan sebaiknya memang di
segerakan tapi tidak harus.

IX. CARA DAN NIAT SHALAT QASHAR

Cara dan niat shalat qashar seperti niat dan shalat biasa, hanya bilangan raka'atnya
saja dikurangi dari 4 raka'at menjadi 2 raka'at.

Cara niatnya : " Aku niat shalat fardhu Dzuhur qashar 2 raka'at ". Kalau mau dijama'
tinggal menambahkan : "lama' dengan Ashar " seperti niat jama' tersebut di atas.

Sholawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW
beserta sahabat dan keluarga beliau. Mohon jangan lupa doakan kami.

Kunjungi www.facebook.com/muslimedianews Sumber MMN:


http://www.muslimedianews.com/2015/07/kupas-tuntas-solusi-shalat-di-
jalan.html#ixzz4dZa4XVTC

Hukum Takbir Hari Raya secara Berjama'ah

Posted on Wednesday, 15 July 2015 | garis 12:52 Blog Title Fiqh

Muslimedianews.com ~ Takbir di Malam Hari Raya

Bertakbir di malam hari raya adalah merupakan sunnah Nabi Muhammad


yang amat perlu untuk di lestarikan dalam menampakkan dan mengangkat
syiar Islam.Para ulama dari masa kemasa sudah biasa mengajak ummat
untuk melakukan takbir baik setelah sholat (takbir muqoyyad) atau di luar
sholat (takbir mursal).

Lebih lagi takbir dengan mengangkat suara secara kompak yang bisa
menjadikan suara semakin bergema dan berwibawa adalah yang biasa
dilakukan ulama dan ummat dari masa kemasa.

Akan tetapi ada sekelompok kecil dari orang yang hidup di akhir zaman ini
begitu berani mencaci dan membidahkan takbir bersama-sama. Dan
sungguh pembidahan ini tidak pernah keluar dari mulut para salaf (ulama
terdahulu).

Mari kita cermati riwayat-riwayat berikut ini yang menjadi sandaran para
ulama dalam mengajak bertakbir secara kompak dan bersama-sama.

Berdasarkan Hadits dalam Shohih Imam Bukhori No 971 yang diriwayatkan


oleh Ummi Athiyah, beliau berkata :



() .

Artinya : Kami diperintahkan untuk keluar pada hari raya sehingga para wanita-wanita
yang masih gadispun diperintah keluar dari rumahnya, begitu juga wanita-wanita yang
sedang haid dan mereka berjalan dibelakang para manusia (kaum pria) kemudian para
wanita tersebut mengumandangkan takbir bersama takbirnya manusia (kaum pria)dan
berdoa dengan doanya para manusia serta mereka semua mengharap keberkahan dan
kesucian hari raya tersebut.

Di sebutkan dalam hadits tersebut

para wanita tersebut mengumandangkan takbir bersama takbirnya manusia. Itu


menunjukan takbir terjadi secara berjamaah atau bersamaan.
Bahkan dalam riwayat Imam Muslim dengan kalimat para wanita bertakbir bersama-
sama orang-orang yang bertakbir /

Yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari sayyidina Umar bin Khottob dalam bab takbir
saat di mina

Artinya : Sahabat umar bertakbir di qubahnya yang berada di tanah mina lalu penduduk
masjid mendengarnya dan kemudian mereka bertakbir begitu penduduk pasar bertakbir
sehingga tanah mina bergema dengan suara takbir .

Ibnu Hajar Al Asqolani (pensyarah besar kitab shohih buhkori) mengomentari kalimat :
Dengan

"Bergoncang dan bergerak, bergetar yaitu menunjukan kuatnya suara yang bersama-
sama".

Berdasarkan apa yang dikatakan oleh Imam Syafii ra dalam kitab Alum 1/264 :

Artinya : Aku senang(maksudnya adalah sunnah) orang-orang pada bertakbir secara


bersama dan sendiri-sendiri, baik di masjid, pasar, rumah, saat bepergian atau rmukim
dan setiap keadaan dan di manapun mereka berada agar mereka menampakkan(syiar)
takbir.

Tidak pernah ada dari ulama terdahulu yang mengatakan takbir secara berjamaah
adalah bidah. Bahkan yang ada adalah justru sebaliknya anjuran dan contoh takbir
bersama-sama dari ulama terdahulu .
Kesimpulan tentang takbir bersama-sama:

Pernah terjadi takbir barsama-sama pada zaman Rasulullah dan para sahabat

Anjuran dari Imam Syafii ra mewakili ulama salaf .

Tidak pernah ada larangan takbir bersam-sama dan juga tidak ada perintah takbir
harus sendiri-sendiri.Yang ada adalah anjuran takbir dan dzikir secara mutlaq baik
secara sendirian atau berjamaah.

Adanya pembidahan dan larangan takbir bersama-sama hanya terjadi pada orang-
orang akhir zaman yang sangat bertentangan dengan salaf.

Menghidupkan malam hari raya dengan ibadah

Hukum menghidupkan malam hari raya dengan amal ibadah. Sudah disepakati oleh
para ulama 4 madzhab bahwa disunnahkan untuk kita menghidupkan malam hari raya
dengan memperbanyak ibadah. Imam nawawi dalam kitab majmu berkata sudah
disepakati oleh ulama bahwa dianjurkan untuk menghidupkan malam hari raya dengan
ibadah dan pendapat seperti ini juga yang ada dalam semua kitab fiqh 4 madzhab.
Artinya kita dianjurkan untuk menghidupkan malam hari raya dengan sholat, berdzikir,
dan membaca Al-Quran khususnya bertakbir. Karena malam hari raya adalah malam
bergembira, banyak sekali hamba-hamba yang lalai pada saat itu maka sungguh sangat
mulia yang bisa mengingat Allah di saat hamba-hamba pada lalai.

Yang dilakukan Santri dan Jamaah Al Bahjah

1. Takbir keliling dalam upaya membesarkan syiar takbir.

2. Kunjung dari masjid ke masjid untuk melakukan sholat sunnah.

3. Menyimak tausyiah di beberapa masjid yang dikunjungi.

Yang semua itu dalam upaya menjalankan sunnah yang dijelaskan oleh para ulama
tersebut di atas.

Wallahu alam Bishshowaab.


Kunjungi www.facebook.com/muslimedianews Sumber MMN:
http://www.muslimedianews.com/2015/07/hukum-takbir-hari-raya-secara-
berjamaah.html#ixzz4dZaBsBYM

Fikih Hukum dan Tata Cara Shalat Hari Raya

Posted on Saturday, 11 July 2015 | garis 15:16 Blog Title Fiqh

Muslimedianews.com ~ Penjelasan tentang shalat hari raya Idul Fitri atau Idul Adlha
berikut ini dari kitab fiqh Syafi'iyah Fathul Qaribul Mujib, pada sebuah pasal tentang
Shalatul Idaini:

(

) ( )


(Fasal) sholat dua hari raya, yaitu hari raya Idul Fitri dan Idul Adlha hukumnya adalah
sunnah muakkad.

Sholat hari raya disunnahkan untuk berjamaah bagi orang sendirian, musafir, orang
merdeka, budak, huntsa dan wanita yang tidak cantik dan tidak dzatul haiat[1].

Sedangkan untuk wanita lanjut usia, maka sunnah menghadiri sholat hari raya dengan
mengenakan pakaian keseharian tanpa memakai wewangian.



Waktu pelaksanaan sholat Ied adalah di antara terbitnya matahari dan tergelincirnya.

Cara Pelaksanaan Sholat Ied


( ) )(

Sholat ied adalah sholat dua rakaat, yaitu melakukan takbiratul ihram dua rakaat
tersebut dengan niat sholat idul Fitri atau idul Adha dan membaca doa iftitah.

(( )
)( )
Di dalam rakaat pertama membaca takbir tujuh kali selain takbiratul ihram, kemudian
membaca taawudz, membaca surat Al Fatihah, dan membaca surat setelah Al Fatihah
dengan mengeraskan suara.

( )( ) ( )

Di dalam rakaat kedua membaca takbir lima kali selain takbir untuk berdiri, kemudian
membaca taawudz, lalu membaca surat Al Fatihah dan surat Iqtarabat dengan
mengeraskan suara.

Khutbah Ied

)( ) ( )
( ( )( )( ) )
(

Setelah melaksanakan sholat dua rakaat, sunnah melakukan dua khutbah dengan
membaca takbir sembilan kali secara terus menerus di permulaan khutbah pertama, dan
membaca takbir tujuh kali secara terus menerus di permulaan khutbah kedua.



Seandainya kedua khutbah dipisah dengan bacaan tahmid, tahlil dan puji-pujian, maka
hal itu adalah baik.

Pembagian Takbir Hari Raya



Takbir terbagi menjadi dua, takbir mursal, yaitu takbir yang tidak dilaksanakan setelah
sholat. Dan takbir muqayyad, yaitu takbir yang dilakukan setelah pelaksanaan sholat.
)(


) (

Mushannif memulai dengan menjelaskan takbir yang pertama. Beliau berkata, bagi
setiap orang laki-laki, wanita, orang yang berada di rumah, dan musafir, sunnah
membaca takbir di rumah-rumah, jalan-jalan, masjid-masjid dan pasar-pasar, mulai dari
terbenamnya matahari malam hari raya, maksudnya hari raya Idul Fitri.

(
)

Kesunnahan takbir ini tetap berlangsung hingga imam mulai melaksanakan sholat ied.

Tidak disunnahkan membaca takbir setelah pelaksanaan sholat di malam hari raya Idul
Fitri. Akan tetapi di dalam kitab al Adzkar, imam an Nawawi lebih memilih bahwa takbir
tersebut hukumnya sunnah.


(
)( )( )

Kemudian mushannif beranjak menjelaskan takbir muqayyad. Beliau berkata, sunnah


membaca takbir saat hari raya Idul Adha setelah melaksanakan sholat-sholat fardlu,
ada dan qadla.

(

)
Begitu juga setelah sholat rawatib, sholat sunnah mutlak dan sholat jenazah, mulai
waktu Subuh hari Arafah hingga Ashar di akhir hari Tasyrik.

, "




".

Bentuk bacaan takbir adalah,







Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Tidak ada tuhan selain Allah.
Allah Maha Besar. Allah Maha Besar, dan segala puji hanya milik Allah. Allah Maha
Besar dengan sesungguhnya. Dan segala puji yang banyak hanyak untuk Allah. Maha
Suci Allah di waktu pagi dan sore. Tidak ada tuhan selain Allah, hanya Allah. Yang Telah
membenarkan janji-Nya, Menolong hamba-Nya, memenangkan pasukan-Nya dan
mengalahkan musuh-musuhnya hanya dengan sendirian

Kunjungi www.facebook.com/muslimedianews Sumber MMN:


http://www.muslimedianews.com/2015/07/fikih-hukum-dan-tata-cara-shalat-
hari.html#ixzz4dZakh14b

Penjelasan Tentang 8 Orang yang Berhak Menerima Zakat

Posted on Tuesday, 7 July 2015 | garis 13:56 Blog Title Fiqh

Muslimedianews.com ~ Adapun yang berhak menerima zakat adalah salah satu dari 8
golongan yang disebutkan dalam firman Allah SWT:

Sesunggguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,


pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya. dan para budak yang
memerdekakan dirinya, orang-orang yang berhutang untuk jalan Allah dan orang-orang
yang sedang dalam perjalanan sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan
Allah Maha mengetahui lagi Maha mendengar. (Q.S. At Taubah: 60)

Selain dari 8 golongan itu. tidak berhak menerima zakat bahkan tidak sah zakat
seseorang jika diberikan kepada selain mereka. Untuk lebih jelasnya 8 golongan yang
berhak menerima zakat akan dijelaskan pada uraian berikut ini.

A. Fakir Miskin

Seorang fakir adalah orang yang tidak mempunyai harta sama sekali dan juga tidak
mempunyai pekerjaan. Atau kalaupun dia menghasilkan uang tapi tidak mencukupinya
bahkan untuk separuh kebutuhannya, misalnya orang yang memerlukan uang Rp
1.000.000,00 tapi dia hanya menghasilkan Rp 400.000,00.

Sedangkan definisi miskin adalah orang yang mempunyai harta atau pekerjaan, akan
tetapi harta dan gajinya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya dan kebutuhan
orang yang ditanggungnya, dari sandang pangan dan juga papan. Misalnya seseorang
membutuhkan Rp 1.000.000,00 tapi yang ada padanya cuma Rp 600.000,00 atau Rp
700.000,00.

Berdasarkan definisi fakir miskin di atas, maka yang berhak menerima zakat atas nama
fakir miskin adalah ketiga golongan di bawah ini.

1. Mereka yang sama sekali tidak mempunyai harta dan pekerjaan.

2. Mereka yang punya harta atau pekerjaan, akan tetapi harta atau gajinya tidak
mencukupi kebutuhannya dan kebutuhan orang yang ditanggungnya. Bahkan tidak
mencukupi setengah dari kebutuhannya.

3. Mereka yang punya harta atau pekerjaan, tetapi harta tersebut atau gajinya tidak
mencukupi batas minimal kebutuhannya. Hanya mencukupi lebih dari setengah yang
dibutuhkan.

Apakah Batas dari Mencukupi atau Tidak bagi Orang Fakir Miskin dan untuk Berapa
Lama?

Banyak orang tidak faham apa maksud harta yang mencukupi atau tidak, dan untuk
berapa lama harta itu mencukupi sehingga dia itu termasuk orang fakir miskin yang
berhak menerima zakat atau tidak termasuk dari mereka.

Oleh karena itu, penjelasan tentang hal itu sangat penting sekali untuk dibahas. Yang
dimaksud dengan mencukupi kebutuhannya adalah kebutuhannya dari makan, pakaian,
dan juga rumah yang dia butuhkan untuknya dan orang yang ditanggungnya dari anak,
isteri dan lain-lain.

Sedangkan yang dimaksud mencukupi untuk berapa lama, maka jawabannya dapat
diperinci sebagai berikut: Jika dia bisa bekerja, maka yang dimaksud dengan mencukupi
adalah harta atau gaji yang mencukupi kebutuhan sehari-harinya, jika setiap harinya
butuh Rp. 20.000, tapi yang dia peroleh kurang dari itu, maka termasuk ke dalam
golongan fa-kir miskin, cuma perbedaan antara keduanya kalau fakir yang dia dapatkan
baik dari gaji atau usahanya kurang dari separuh kebutuhannya, sedangkan miskin yang
dia punya lebih dari setengah yang dia butuhkan.

Dan jika orang fakir miskin itu termasuk orang yang tidak bisa bekerja maka yang
dimaksudkan dengan mencukupi seumur hidupnya barometernya adalah usia manusia
pada umumnya yaitu 62 tahun. Jadi dilihat berapa umurnya, jika umurnya 30 tahun
apakah cukup hartanya untuk menghidupi sisa umurnya dan umur 62, yaitu 32 tahun?
Jika mencukupi, berarti dia bukan termasuk orang fakir miskin, dan jika tidak mencukupi
berarti dia termasuk golongan fakir miskin dan berhak menerima zakat.

Apakah Dinamakan Orang Kaya jika Kekayaan Seseorang adalah dari Harta yang
Haram?

Tidak dinamakan orang kaya, orang yang mendapatkan dengan haram, seperti hasil
curian, korupsi atau dengan cara yang dilarang agama Islam, dan orang seperti ini yaitu
yang menghasilkan uang secara haram berhak menerima zakat, karena dia termasuk
golongan fakir miskin tanpa menghiraukan hartanya,

Apakah Seorang Fakir Miskin yang Mempunyai Tanah dan lain-lain Tidak
Mengeluarkannya dari Kemiskinan?

Jika seseorang yang berpredikat fakir miskin mempunyai rumah, tanah dan lain-lain,
maka semuanya itu tidak dapat mengeluarkannya dari kemiskinan dengan syarat rumah
itu layak baginya, begitu pula barang lainnya seperti pakaian yang dibutuhkan dan layak
baginya beserta kitab-kitab yang dipunyai dan lain sebagainya,

Kecuali jika rumah tersebut tidak layak dengan keadaannya. dan jika rumah tersebut
dijual akan menghasilkan rumah yang layak baginya dan masih ada sisa dari itu yang
dapat digunakan untuk usahanya, jika dia bisa bekerja atau sisa harta yang ada cukup
untuk menghidupi sisa hidupnya jika dia tidak bisa bekerja, maka dia bukan termasuk
golongan fuqara dan masakin dan dia tidak berhak menerima zakat. Karena jika dia
membutuhkan uang, wajib atasnya untuk menjual rumah tersebut.

Berapa Kadar yang Diberikan kepada Fakir Miskin dari Zakat?

Jika seumpama yang membagi zakat itu pemilik harta itu sendiri maka diberikan kepada
mereka secukup uang itu, setelah diratakan harta tersebut kepada golongan yang ada di
kota itu misalnya yang ada di kota itu tiga golongan, terdiri dari fakir, miskin dan orang
yang berhutang maka zakatnya dibagi tiga. Misalnya zakatnya itu Rp 9.000.000,00
maka masing-masing golongan itu mendapatkan Rp 3.000.000,00. Jika fakir miskin
banyak di kota itu sedangkan hak mereka dari zakat itu hanya Rp 6.000.000.00. maka
boleh bagi pemilik membagikan harta itu kepada mereka semua tanpa memperdulikan
harta tersebut mencukupi bagi mereka atau tidak dan dia memberikan zakat itu paling
sedikit tiga orang dari setiap golongan seperti yang akan dibahas di bab berikutnya.

Dan jika yang membagikan badan Amil zakat yang direstui dari pemerintah seperti
BAZIS, LAZ dan lain-lain atau pemiliknya dan zakatnya banyak, sedangkan fakir miskin
itu sedikit jumlahnya, maka masing-masing dari mereka diberikan dari zakat kadar yang
mencukupi kebutuhan mereka, yaitu jika dia bisa berdagang, kita beri dia modal yang
dibutuhkan, yang sekiranya dengan modal tersebut dia dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya sehari-hari,

Dan jika dia termasuk orang yang tidak bisa usaha, maka diberikan kepadanya kadar
uang untuk menghidupi sisa umurnya ke umur 62 tahun.

Tapi bukan berarti kita memberikan uang tunai, akan tetapi misalnya kita bangunkah
untuknya toko untuk disewakan yang mana uang sewanya cukup untuk memenuhi
kehidupan sisa hidupnya dan toko tersebut menjadi miliknya yang bisa diwarisi oleh
pewarisnya jika dia meninggal. Dan jika dia termasuk seorang pekerja, maka kita
berikan apa yang dia butuhkan dalam pekerjaannya, misalnya penjahit maka kita
berikan mesin jahit dan begitu seterusnya.

Walhasil, diberikan kepadanya sekiranya dia tidak kembali lagi untuk minta zakat.

B. Amil Zakat

Yang dimaksud dengan amil zakat di sini adalah orang-orang yang dipekerjakan oleh
pemerintah atau lembaga khusus zakat yang direstui oleh pemerintah untuk mengurusi
penarikan zakat dan pembagiannya, Yang ditugasi untuk menjaga, mendata atau yang
berkeliling mengambil zakat.

Syarat Menjadi Amil Zakat


Adapun kriteria orang-orang yang berhak untuk menjadi amil zakat adalah yang
memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Seorang muslim, maka tidak boleh seorang kafir menjadi amil zakat.

b. Seseorang yang sudah akil baligh, maka tidak boleh menjadi amil seorang yang
belum baligh atau orang gila.

c. Seorang yang jujur, karena dia akan dipekerjakan untuk mengurusi harta kaum
muslimin maka di sini diperlukan kejujuran. Akan tetapi yang disyaratkan di sini adalah
kejujuran yang tampak pada kita, jadi kapan tampak pada khalayak ramai atau banyak
orang mengetahui bahwa dia orang jujur, maka dibolehkan menjadi amil zakat.

d. Mengetahui tentang hukum zakat, bagi yang disyaratkan untuk berkeliling


mengambil, juga menghitungnya akan tetapi seperti sopir penjaga dan lain-lain tidak
syaratkan hal itu.

Selain itu, boleh juga dipekerjakan menjadi amil zakat dari Bani Hasyim dan Bani
Muththalib dan mereka boleh menerima upahnya dari zakat.

Berapa Kadar yang Diberikan kepada Amil Zakat?

Kadar yang diberikan kepada amil zakat ini, adalah upah yang sesuai dengan kerjanya.
Hal itu jika dia tidak mendapatkan upah dari pemerintah. Dan jika yang membagikan
zakat tersebut bukan pemilik harta sendiri. karena jika pemilik sendiri yang membagikan,
atau amil zakat sudah mendapat upah dari pemerintah. maka dia tidak berhak untuk
mendapatkan dari zakat.

C. Orang-orang Muallaf

Orang-orang Muallaf yang dimaksudkan di sini adalah salah satu dari 4 golongan di
bawah ini:

1. Orang yang baru masuk Islam, dan niatnya masih lemah, maka diberikan kepadanya
zakat supaya hatinya mantap dengan agama Islam.

2. Orang Islam yang mempunyai pengaruh terhadap kaumnya, sehingga seandainya dia
diberikan zakat, diharapkan pengikutnya atau bawahannya memeluk agama Islam
nantinya.
3. Orang-orang Islam yang memerangi atau menakut-nakuti orang yang tidak mau
mengeluarkan zakat, sehingga mereka membawa zakat orang-orang tersebut kepada
pemerintah, mereka berhak menerima zakat.

4. Orang-orang Islam yang memerangi orang kafir pemberontak yang berada dekat kota
mereka berada, maka mereka juga berhak mendapatkan zakat.

Dua golongan yang terakhir diberikan zakat jika dengan memberi zakat kepada mereka
lebih ringan kepada pemerintah daripada mengirim tentara untuk memerangi
mereka.Akan tetapi dua golongan yang pertama diberikan dari zakat tanpa syarat dan
empat golongan tersebut boleh menerima zakat walaupun mereka itu orang-orang kaya.

Kadar Zakat Yang Diberikan Kepada Muallaf

Kadar yang diberikan kepada orang Muallaf tidak ada batas tertentu akan tetapi kembali
kepada kebijaksanaan Imam atau penggantinya, sedikit banyaknya kembali kepada
kebijaksanaannya.

Dan orang kafir, selama dalam kekafirannya tidak berhak menerima zakat dan bukan
termasuk orang Muallaf walaupun dengan memberinya ada harapan memeluk agama
Islam atau Islamnya orang simpati dengannya tetap tidak boleh kita berikan zakat
kepada mereka karena zakat haknya kaum muslimin.

D. Budak Mukatab

Budak mukatab adalah budak yang dijanjikan kebebasan oleh tuannya baik dengan
permintaannya atau penawaran dari tuannya dengan imbalan uang yang diserahkan
kepada tuannya dalam waktu yang telah disepakati.

Maka budak itu berhak mendapatkan zakat untuk mem-bebaskannya dari perbudakan.

Kadar Zakat yang Diberikan kepada Budak Mukatab

Kadar yang diberikan kepada budak mukatab adalah kadar yang membebaskannya dari
perbudakan.

E. Orang-orang yang Mempunyai HutangOrang yang berhutang berhak mendapatkan


zakat untuk membebaskan hutang mereka, dan mereka yang berhutang, kadangkala
berhutang untuk kepentingan diri sendiri dan kadangkala berhutang untuk kepentingan
orang lain atau untuk kemaslahatan umum. Selama berhutangnya mereka tidak
dilandasi maksiat, maka mereka berhak mendapatkan zakat, kesimpulannya mereka
ada empat golongan, yaitu:

1. Mereka yang berhutang untuk diri mereka, dengan maksud memakainya untuk
sesuatu yang mubah, bukan maksiat. Dan jika hutangnya untuk sesuatu yang sifatnya
maksiat seperti dipakai untuk berzina, minum beer dan lain-lain, tidak boleh menerima
zakat untuk membebaskan hutangnya.

2. Mereka yang berhutang untuk memadamkan api fitnah, antara dua golongan yang
sedang cekcok.

3. Mereka yang berhutang untuk kepentingan umum, seperti berhutang untuk


kelangsungan bangunan Masjid, Pesantren, Madrasah dan lain-lain.

4. Mereka yang berhutang karena menjamin seseorang dan yang di jaminnya tidak
mampu membayar hutangnya, atau mampu membayar tetapi dia tidak bertanggung
jawab, maka dia berhak mendapatkan zakat untuk membayar hutangnya.

Kadar yang Diberikan kepada Orang yang Berhutang dari Zakat

Kadar yang diberikan dari zakat kepada orang yang berhutang adalah kadar yang
membebaskan hutangnya.

F. Orang-orang yang Melaksanakan Jihad

Qrang-orang yang melaksanakan jihad karena Allah SWT berhak mendapatkan zakat
kaum muslimin, guna membantu mereka selama berperang. Dengan syarat tidak diupah
atau digaji pemerintah akan tetapi berperang semata-mata untuk menegakkan agama
Islam.

Kadar Zakat yang Diberikan kepada Mujahidin


Kadar zakat yang diberikan kepada orang-orang yang melaksanakan jihad adalah
kebutuhannya selama dalam peperangan, seperti pakaian, kendaraan dan lain-lain
sekalipun Mujahid tersebut adalah orang kaya.

G. Ibnu Sabil

Ibnu sabil yang dimaksudkan adalah orang yang mengadakan perjalanan ke suatu
tujuan lalu sebelum sampai ke tujuannya itu atau sebelum sampai ke rumahnya kembali,
dia kehabisan bekal atau kehilangan bekal tersebut, maka orang ini berhak untuk
mendapat zakat, jika memenuhi persyaratan di bawah ini:

1. Bepergiannya bukan untuk maksiat, jika untuk itu maka tidak ada hak mendapatkan
zakat, seperti pergi untuk membunuh dan lain-lain

2. Dia sangat membutuhkan kepada zakat itu, lain halnya jika tidak membutuhkannya,
maka tidak diberikan kepadanya.

3. Dia tidak mendapatkan orang yang mau meminjamkannya uang di kota itu, jika dia
punya uang di rumah itu untuk membayar hutangnya, kecuali jika di rumahnya pun dia
tidak punya uang, maka tidak disyaratkan syarat ini, dan dia berhak mendapatkan zakat.

Kadar Zakat yang Diberikan kepada Ibnu Sabil

Kadar yang diberikan kepadanya, adalah kadar yang menyampaikannya ke tempat


asalnya. Mulai dari tiket kendaraan sampai kepada uang makannya selama di
perjalanan.

Bagaimanakah Cara Membagikan Zakat Kepada 8 Golongan Tersebut?

Terkadang zakat itu dibagikan sendiri oleh pemiliknya, dan terkadang diberikan kepada
lembaga khusus yang mengelola zakat yang direstui pemerintah seperti BAZIS, LAZ
dan lain-lain.

Jika yang membagikan zakat adalah lembaga khusus, maka harus diperhatikan empat
hal di bawah ini:

1. Memberikan zakat tersebut kepada 8 golongan yang ada di wilayahnya, dan jika
sebagian golongan belum ada, maka disimpan bagian mereka sampai mereka ada.
2. Meratakan harta zakat tersebut kepada semua golongan. Misalnya uang yang ada
sebesar Rp 800.000.000,00 maka dibagi 8, sehingga setiap golongan berhak menerima
zakat tersebut sebesar Rp 100.000.000,00 dikecualikan dalam hal ini Amil zakat, karena
mereka berhak menerima dari zakat sekedar upah yang sesuai dengan pekerjaan
mereka, maka jika lebih dikembalikan kepada bagian golongan lainnya. Begitu pula jika
kurang maka diambil dari harta zakat lainnya atau dari Baitul Mal. Dan jika bagian untuk
satu golongan kurang dari mencukupi golongan tersebut setelah dibagikan, maka jika
ada golongan yang lebih bagiannya setelah dibagikan, maka selebihnya itu diberikan
kepada golongan yang bagiannya tidak mencukupi untuk setiap personilnya. Dan jika
bagian suatu golongan lebih, dan tidak ada golongan yang bagiannya kurang, maka
disimpan sampai ada yang berhak dari golongan tersebut. Dan jika sebagian golongan
tidak ada di kota tersebut, maka bagian golongan tersebut dikembalikan kepada
golongan yang ada, seperti kebanyakan sekarang yang ada hanya empat golongan
yaitu : fakir, miskin, orang yang berhutang, dan Amil zakat. Jika terjadi seperti itu maka
harta zakat itu dibagikan menjadi empat bagian, dan begitu seterusnya.

3. Meratakan zakat tersebut ke personil setiap golongan, hal itu jika harta itu banyak
serta cukup dibagi rata, namun jika harta itu sedikit serta tidak mencukupi kebutuhan
mereka semua,maka didahulukan yang lebih membutuhkan kepada harta tersebut atau
yang lebih maslahat, akan tetapi tidak boleh kurang dari tiga orang dari setiap golongan.

4. Memberikan kepada semua personil dari setiap golongan yang ada di kota itu, karena
hal itu mudah diketahui, Jika pembagian harta dilakukan sendiri oleh pemilik harta, maka
diwajibkan juga melaksanan empat perkara tersebut, yaitu memberikan zakatnya
kepada semua golongan yang ada di kota itu selain Amil dan juga wajib meratakan
zakat tersebut kepada semua golongan yang ada.

Selain itu diwajibkan pula membagikan harta kepada semua anggota dari setiap
golongan yang ada dan membagikannya dengan rata kepada mereka. jika waktu
wajibnya zakat tersebut jumlah mereka tidak terlalu banyak, seperti tiga orang setiap
anggota golongan yang ada, maka diwajibkan memberikan zakatnya kepada mereka
semua dengan rata. Akan tetapi jika jumlahnya tidak terhitung banyaknya dan zakatnya
tidak cukup untuk mencukupi keperluan mereka, maka tidak wajib membagikan
zakatnya kepada mereka semua. Dan tidak wajib memba-gikannya dengan rata kepada
setiap anggota yang ada.

Akan tetapi tidak boleh kurang dari tiga orang setiap anggota golongan yang ada.
misalnya dia memberikan zakatnya kepada golongan fakir sebanyak tiga orang,
golongan miskin sebanyak tiga orang. dan dari golongan orang yang berhutang tiga
orang.

Dan jika dia memberikan kepada suatu golongan kurang dari 3 orang maka wajib dia
mengganti bagiannya. Dengan memberikan uang kepada orang tersebut, walapun
sedikit asalkan berharga.

Misalnya, bagian golongan fuqara Rp 300,000,00, kemudian diberikan kepada si A


sebesar Rp 150.000,00, si B sebesar Rp 100.000,00 dan si C Rp 50.000,00, maka hal
ini dibolehkan karena tidak wajib membagikannya dengan rata, karena dibagikan sendiri
oleh pemilik harta dan anggota golongan tersebut tidak terhitung jumlahnya.

Kunjungi www.facebook.com/muslimedianews Sumber MMN:


http://www.muslimedianews.com/2015/07/penjelasan-tentang-8-orang-yang-
berhak.html#ixzz4dZb6E5Uw

Hukum dan Rukun I'tikaf

Posted on Monday, 6 July 2015 | garis 21:14 Blog Title Fiqh

Muslimedinaews.com ~ aItikaf definisinya adalah berdiam diri di dalam Masjid disertai


dengan niat.

A. Hukum Itikaf:

1. Wajib. Itikaf menjadi wajib apabila bernadzar

2. Sunnah. Sunnah merupakan hukum asalnya, terutama pada malam-malam


Ramadlan

3. Makruh. Jika seorang wanita yang beritikaf dapat menggerakkan syahwat para laki-
laki, seperti wanita muda dan aman dari fitnah. Adapun jika tidak aman dari fitnah, maka
hukumnya haram.

4. Haram dan sah itikafnya, yaitu itikafnya seorang isteri tanpa izin suaminya

5. Haram dan tidak sah itikafnya, yaitu itikaf seorang wanita yang sedang berhadats
besar atau wanita yang sedang haid atau nifas.
B. Rukun-Rukun Ibadah Itikaf

1. Niat

Maka wajib atas orang yang ingin beritikaf untuk berniat dan jika tidak berniat maka
tidak sah itikafnya, dan tidak dapat pahala, karena itikaf memerlukan niat.

Contoh niat itikaf biasa :



Yang artinya: Aku Berniat itikaf dalam masjid ini selama aku berada di dalamnya
karena Allah SWT.

Contoh niat itikaf nadzar:



Yang artinya: Saya bernadzar untuk itikaf di dalam masjid(menyebutkan berapa
lama) karena Allah SWT, aku berniat melaksanakan itikaf yang aku nadzarkan.

2. Berdiam Di Dalam Masjid Lebih Dari Tumaninah Dalam Shalat

Kadar tumaninah disini adalah kadar tumaninah dalam shalat, yaitu kadar membaca :
, maka tidak sah jika mondar mandir begitu saja tanpa berhenti sejenak atau
dengan hanya menyeberang saja, baik berdiamnya dalam keadaan duduk atau berdiri,
sah itikafnya.

3. Di Dalam Masjid

Itikaf tidak sah jika dilakukan di halaman Masjid, baik Masjid itu di pakai untuk shalat
jumat atau tidak Dan itikaf juga tidak sah jika dilakukan di Musholla, di Madrasah atau
di rumah, harus di masjid.

Habib Segaf Baharun

Kunjungi www.facebook.com/muslimedianews Sumber MMN:


http://www.muslimedianews.com/2015/07/hukum-dan-rukun-itikaf.html#ixzz4dZbEOthr

Hukum dan Syarat Zakat Fitrah

Posted on Monday, 6 July 2015 | garis 20:47 Blog Title Fiqh

Muslimedianews.com ~ Dinamakan zakat fitrah karena wajib mengeluarkannya


berbarengan dengan waktu berbuka, yang mana artinya fitri dalam bahasa Arab adalah
berbuka dan juga zakat ini dinamakan zakatnya badan, karena Rasulullah SAW
bersabda:





( )

Dari Ibnu abbas RA berkata: Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah untuk menyucikan
orang-orang yang berpuasa dari ucapan yang keji dan tidak ada gunanya, juga untuk
memberi makan kepada orang-orang miskin (H.R. Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Adapun hadits yang menunjukkan akan wajibnya zakat fitrah adalah sebagai berikut:





( )

Dari Ibnu Umar RA berkata: Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah satu sha dari
kurma atau gandum atas seseorang hamba (budak, orang yang merdeka, laki-laki.
perempuan, anak kecil, orang dewasa dan kaum muslimin dan menterintahkan supaya
dikeluarkan sebelum orang-orang pergi untuk shalat led (H.R. Muttafaqun Alaih)
A. Hukum-hukum Waktu Mengeluarkan Zakat Fitrah

Adapun hukum-hukum waktu mengeluarkan zakat fitrah adalah sebagai berikut:

1. Waktu Wajib

Waktu wajib mengeluarkan Zakat Fitrah adalah dengan terbenamnya matahari (masuk
malam hari raya).

2. Waktu Jawaz

Waktu jawaz (boleh mengeluarkannya) adalah jika sudah masuk bulan Ramadhan atau
mulai hari pertama bulan Ramadhan, boleh dipercepat pengeluarannya pada hari-hari
itu.

3. Waktu Fadhilah (Utama)

Waktu fadhilah (utama) .mengeluarkan Zakat Fitrah adalah setelah fajar sebelum
melaksanakan shalat hari Raya Idul Fitri

4. Waktu Makruh

Waktu makruh mengeluarkan zakat fitrah adalah mengakhirkannya sampai setelah


shalat hari Raya sampai terbenamnya matahari.

5. Waktu Haram

Waktu haram mengeluarkan zakat fitrah adalah mengakhirkannya dari hari raya yaitu
setelah terbenamnya matahari tanpa udzur. maka wajib atasnya untuk mengqadlanya
dan dia berdosa atas hal itu. Adapun jika dia mengakhirkannya karena udzur misalnya
tidak ada yang berhak di kotanya. atau jika menunggu seseorang yang lebih
membutuhkannya, maka hukumnya tidak haram.

B. Yang Diwajibkan Zakat Fitrah

Zakat fitrah diwajibkan atas semua orang Islam, dan orang-orang yang wajib ditanggung
nafkahnya, seperti anak, isteri dan lain-lain yang beragama Islam. karena ada qaidah
fiqh yang mengatakan setiap orang yang wajib atasnya memberi nafkah kepadanya
wajib dikeluarkan zakatnya.

C. Syarat Wajib Zakat Fitrah

Seseorang diwajibkan mengeluarkan zakat fitrah apabila memenuhi syarat berikut ini:

1. Dia mengalami terbenamnya matahari pada hari terakhir bulan Ramadhan. lain
halnya jika meninggal sebelum terbenamnya matahari. atau lahir seorang anak setelah
terbenamnya matahari, maka tidak wajib bagi mereka zakat fitrah.

2. Dia mempunyai harta untuk membeli beras lebih dari uang untuk makan pada malam
hari raya dan makan pada hari raya. dan lebih dari uang untuk membayar hutang, juga
lebih dari uang sewa pembantu yang dibutuhkan.

3. Maka jika terkumpul syarat-syarat tersebut, maka wajib atasnya mengeluarkan zakat
fitrahnya dan fitrah orang yang yang wajib dia nafkahi, seperti anak dan isteri.

Berupa Apakah Zakat Fitrah Itu?

Yang wajib dikeluarkan dalam zakat fitrah adalah makanan pokok di suatu negara, kalau
di Indonesia makanan pokoknya adalah beras yaitu sebanyak satu sha (2,5 kg). Namun
agar lebih hati-hati kita mengambil pendapat ulama yang mengatakan bahwa satu sha
itu sama dengan 3 kg karena hal ini mengambil jalan tengah dari pendapat yang
mengatakan bahwa satu sha adalah 2,25 kg, sebagaimana dijelaskan dalam kitab
Fathul Maqadir, begitu juga kita berhati-hati dalam fidyah 1 mud yang diwajibkan dengan
mengeluarkan 3/4 kilo setiap mudnya.

Apabila Seseorang Mempunyai Beberapa Kilo Beras yang Tidak Mencukupi


Kewajibannya, Maka Siapa yang Didahulukan?

Jika seseorang hanya mempunyai beberapa kilo saja, sedangkan kewajibannya lebih
dari pada itu, maka yang didahulukan adalah dirinya dahulu, kemudian isterinya,
kemudian anaknya yang kecil, kemudian ayahnya, kemudian ibunya, kemudian anaknya
yang besar, jika bisa mencukupi semuanya, maka lepas dari tanggungan, atau tidak
mencukupi maka didahulukan mereka yang sudah disebut dengan tertib dan tidak wajib
atasnya berhutang, guna memenuhi kewajibannya jika tidak mencukupi mereka.

Dan jika dia mampu membayar kurang dari satu sha, maka wajib dikeluarkan
semampunya, dan tidak boleh mengeluarkan uang sebagai ganti satu sha beras.

Habib Segaf Baharun


Kunjungi www.facebook.com/muslimedianews Sumber MMN:
http://www.muslimedianews.com/2015/07/hukum-dan-syarat-zakat-
fitrah.html#ixzz4dZbMeO2i

Apa yang Harus Dilakukan Bila Menemukan Barang? Bisakah Dimiliki ?

Posted on Monday, 6 July 2015 | garis 14:00 Blog Title Fiqh

Muslimedianews.com ~ Tanpa sengaja, kadang ada orang menemukan sesuatu yag


berharga tanpa mengetahui siapa pemiliknya. Bagaimana Islam melalui perangkat fiqh
mengurai hal ini?. Apa yang harus dilakuka bila menemuka barang? Bisakah barang
temuan menjadi hak milik penemu barang?

Berikut petikan dalam kitab Fathul Qarib mengenai pengertian barang temuan beserta
hukum-hukumnya yang perlu diketahui umat Islam. Sebab Islam sendiri sangat
mengharga hak milik orang lain.

****

)
(

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum luqathah.

Luqathah, dengan dibaca fathah huruf qafnya, adalah nama sesuatu yang ditemukan.


Makna luqathah secara syara adalah harta yang tersia-sia dari pemiliknya sebab jatuh,
lupa dan sesamanya.

( ) )

Ketika ada seseorang baik baligh atau belum, muslim atau bukan, fasiq ataupun tidak,
menemukan barang temuan di bumi mawat ataupun di jalan, maka bagi dia
diperkenankan mengambil atau membiarkannya.

(( ) ( )

Akan tetapi mengambilnya lebih utama daripada membiarkannya, jika orang yang
mengambilnya percaya bahwa dia bisa menjaganya.

Seandainya ia membiarkannya tanpa mengambil / memegangnya sama sekali, maka ia


tidak memiliki tanggungan apa-apa.



Tidak wajib mengangkat saksi atas barang temuan baik karena untuk dimiliki ataupun
hanya untuk dijaga.

#. Orang Yang Menemukan Fasiq

Bagi seorang qadli harus mengambil barang temuan dari orang yang fasiq dan
menyerahkannya pada orang yang adil.

Pengumuman orang fasiq atas barang temuan tidak bisa dibuat pegangan, bahkan qadli
harus menyertakan seorang pengawas yang adil pada orang fasiq tersebut agar bisa
mencegahnya dari berhianat pada barang temuan tersebut.

#. Anak Kecil yang Menemukan Luqathah



Seorang wali harus mengambil barang temuan dari tangan anak kecil dan
mengumumkannya.

Kemudian setelah mengumumkan, wali berhak mengambil kepemilikan barang temuan


tersebut untuk si anak kecil, jika ia melihat ada maslahah dalam mengambil kepemilikan
barang temuan tersebut untuk si anak kecil.

#. Konsekwensi Menemukan Luqathah

(( ) )
)

Ketika seseorang mengambil barang temuan, maka wajib bagi dia untuk mengetahui
enam perkara pada barang temuan tersebut setelah mengambilnya.

(

Yaitu wadahnya, apakah dari kulit atau kain semisal.

)
(

ifash-nya, yaitu yang bermakna wadah.

( )

Dan talinya. Lafadz wika dengan dibaca panjang. Wika adalah tali yang digunakan
untuk mengikat barang temuan tersebut.


( ) ( )

Dan jenisnya, dari emas atau perak. Jumlahnya dan timbangannya.


Lafadz yarifa, dengan dibaca fathah huruf awalnya dan dibaca sukun huruf yang
kedua, itu diambil dari masdar marifah (mengetahui) bukan dari masdar tarif
(Mengumumkan).

( ( ) ( )

Dan wajib untuk menjaganya ditempat penyimpan barang sesamanya.

#. Ketika Ingin Memiliki Luqathah

( ) ( ) ( )

Kemudian setelah apa yang telah dijelaskan tersebut, ketika penemu ingin memiliki
barang tersebut, maka wajib baginya mengumumkan selama setahun di pintu-pintu
masjid saat orang-orang keluar habis sholat berjamaah. Lafadz arrafa dengan
ditasydid huruf ranya, diambil dari masdar tarif (mengumumkan) tidak dari masdar
marifah (mengetahui).

(
)

Dan di tempat ia menemukan barang tersebut.

Di pasar-pasar dan sesamanya yaitu tempat-tempat berkumpulnya manusia.

#. Masa Mengumumkan

Mengumumkan itu disesuaikan dengan kebiasaan, waktu dan tempatnya.




Permulaan setahun dihitung sejak waktu mengumumkan, bukan dari waktu menemukan
barang tersebut.

Tidak wajib mengumumkan selama setahun secara penuh.

Akan tetapi pertama mengumumkan setiap hari dua kali, pagi dan sore tidak malam hari
dan tidak pada waktu qailulah (istirahat siang).

Setelah itu kemudian mengumumkan setiap minggu satu atau dua kali.

#. Praktek Pengumuman

Saat mengumumkan barang temuan, si penemu hanya boleh menyebutkan sebagian


dari ciri-ciri barang temuannya.

Sehingga, jika ia terlalu banyak menyebutkan ciri-cirinya, maka ia terkena beban untuk
menggantinya (dlaman).

Bagi si penemu tidak wajib mengeluarkan biaya pengumuman jika ia mengambil barang
temuan tersebut dengan tujuan menjaganya karena pemiliknya.



Bahkan bagi qadli mengambilkan biayanya dari baitulmal atau si penemu hutang biaya
tersebut atas nama si pemilik barang.

Jika ia mengambil barang temuan tersebut untuk dimiliki, maka wajib baginya
mengumumkan dan wajib mengeluarkan biaya pengumumannya. Baik setelah itu ia
memang memilikinya ataupun tidak.

Barang siapa menemukan barang yang remeh, maka ia tidak wajib mengumumkan
selama setahun, bahkan cukup mengumumkan dalam selang waktu yang ia sangka
bahwa pemiliknya sudah tidak memperdulikan barang tersebut setelah waktu itu.

)
( )
(

Kemudian, jika ia tidak menemukan pemiliknya setelah mengumumkannya selama


setahun, maka baginya diperkenankan untuk memiliki barang temuan tersebut dengan
syarat akan menggantinya -saat pemiliknya sudah ditemukan-.

Si penemu tidak bisa langsung memiliki barang temuan tersebut hanya dengan lewatnya
masa setahun, bahkan harus ada kata-kata yang menunjukkan pengambilan
kepemilikan seperti, saya mengambil kepemilikan barang temuan ini.

#. Jika Pemiliknya Datang

Jika ia sudah mengambil kepemilikan barang temuan tersebut dan ternyata pemiliknya
datang saat barang tersebut masih tetap seperti semula dan keduanya sepakat untuk
mengembalikan barang itu atau sepakat mengembalikan gantinya, maka urusannya
sudah jelas.

Jika keduanya berbeda pendapat, si pemilik menginginkan barang tersebut dan si


penemu ingin pindah pada gantinya, maka yang dikabulkan adalah sang pemilik
menurut pendapat al ashah.

Jika barang temuan tersebut rusak setelah diambil kepemilikan oleh si penemu, maka ia
wajib mengganti barang sesamanya jika memang barang temuan tersebut berupa
barang mitsl.

Atau mengganti harganya jika barang tersebut berupa barang yang memiliki harga,
dengan ukuran harga saat mengambil kepemilikan.




Jika barang temuan tersebut menjadi kurang sebab cacat, maka bagi si pemilik
diperkenankan mengambilnya beserta ganti rugi dari kekurangan tersebut menurut
pendapat al ashah.

#. Pembagian Barang Temuan

)
(( )
Barang temuan, dalam sebagian redaksi menggunakan jumlah barang temuan, terbagi
menjadi empat macam.

) (

Salah satunya barang yang utuh dalam jangka waktu lama seperti emas dan perak.

( )( )
Maka hal ini, maksudnya keterangan yang sudah lewat yaitu mengumumkan selama
setahun dan mengambil kepemilikkan setelah melewati setahun, adalah hukumnya,
maksudnya hukum barang yang utuh dalam jangka waktu lama.

( ) ( ) )

Macam kedua adalah barang temuan yang tidak tahan lama seperti makanan basah.

( ) (

Maka penemu barang tersebut diperkenankan memilih antara dua hal.

( ) ( )

Memakan dan menggantinya, maksudnya mengganti harganya. Atau menjualnya dan


menjaga hasil penjualannya hingga jelas siapa pemiliknya.

( )( )

Yang ketiga adalah barang yang tahan lama dengan cara diproses seperti kurma basah
dan anggur basah.

(
)

Maka si penemu melakukan hal yang maslahah, yaitu menjual dan menjaga hasil
penjualannya, atau mengeringkan dan menjaganya hingga jelas siapa pemiliknya.

)
(

Yang ke empat adalah barang temuan yang butuh nafkah seperti binatang. Dan bagian
ini ada dua macam,

) (

Salah satunya adalah binatang yang tidak bisa menjaga diri dari binatang pemburu yang
kecil, seperti kambing dan anak sapi.
( )
) . )( )( ) (
(

Maka bagi penemunya diperkenankan memilih diantara tiga perkara, memakan dan
mengganti harganya, membiarkan tidak memakannya dan dan bersedekah dengan
memberi nafkah padanya, atau menjual dan menjaga hasil penjualannya hingga jelas
siapa pemiliknya.

) (

( )

Yang kedua adalah binatang yang bisa menjaga diri dari binatang-binatang pemburu
yang kecil seperti onta dan kuda.

( ( )
)

Maka, jika si penemu menemukannya di alam bebas, maka harus membiarkannya, dan
haram mengambilnya untuk dimiliki.

Sehingga, seandainya ia mengambilnya untuk dimiliki, maka ia memiliki beban untuk


menggantinya (dlamman).


( ( ) )

Jika si penemu menemukannya di pemukiman, maka ia diperkenankan memiliki di


antara tiga hal pada binatang tersebut.

Yang dikehendaki adalah tiga hal yang telah dijelaskan dalam permasalahan binatang
yang tidak bisa menjaga diri.

Fathul Qaribul Mujib via contohdakwahislam.blogspot.com


Kunjungi www.facebook.com/muslimedianews Sumber MMN:
http://www.muslimedianews.com/2015/07/apa-yang-harus-dilakukan-bila-
menemukan.html#ixzz4dZbUDPCg

Mengupas Itikaf dan Hikmahnya Bagi Kesehatan

Posted on Sunday, 5 July 2015 | garis 10:30 Blog Title Fiqh, Healthy

Muslimedianews.com ~

Oleh : Ust. Hadi Mulyanto*

Pengertian Itikaf

Itikaf itulah kata yang sudah akrab di telinga kita sebab bagi kaum laki-laki yang
setiap jumat melakukan sholat jumat di masjid itu sudah menjadi rutinitas biasa apalagi
asyrul awaakhir di 10 hari akhir di bulan ramadhan.Karena di 10 hari akhir di bulan
ramadhan itikaf merupakan pekerjaan yang sangat di anjurkan sekali oleh baginda nabi
besar kita Nabi Muhammad SAW. Sebagaiman yang di sebutkan Ibnu Hajar Al Asqolani
dalam kitab beliau Bulughul Marom, yaitu hadits no. 699 tentang permasalahan itikaf.

, -:

,

Artinya: Dari Aisyah radhiyallahu anha, ia berkata bahwasanya Nabi shallallahu alaihi
wa sallam biasa beritikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan hingga beliau
diwafatkan oleh Allah. Lalu istri-istri beliau beritikaf setelah beliau wafat. Muttafaqun
alaih. (HR. Bukhari no. 2026 dan Muslim no. 1172).






Artinya : Itikaf secara etimologi adalah menetapi sesuatu yang baik atau jelek. Dan
secara terminologi adalah berdiam diri di masjid dengan sifat tertentu.

Dengan demikian dapat di tarik sebuah kesimpulkan bahwa itikaf pada dasarnya adalah
sebuah proses perjalanan spiritual seseorang untuk lebih mendekatkan diri dan
mengharapkan ridha Allah SWT dengan cara berdiam diri dan merenung di dalam
masjid.

Tujuan Itikaf

Tujuan itikaf adalah sebagai berikut :

Mendekatkan diri kepada Allah.

Melaksanakan Sunah Rasul.

Agar hati bersimpuh di hadapan Allah.

Berkhalwat ( menyendiri ) dengan Allah.

Memutuskan hubungan sementara dengan sesama makhluk dan berkonsentrasi


sepenuhnya kepada Allah.

Syarat Itikaf

Harus niat di dalam hati. (Niat Ingsun itikaf karena Allah Taala). Kalau itikaf nadzar,
maka dia harus niat nya juga itikaf nadzar.

Harus bertempat di dalam masjid. Menurut Kitab Taqrib itikaf akan di katakan syah
kalau di dalamnya serambi masjid. Sehingga kalau di luar serambi masjid maka tidak
syah.

Syarat Orang yang Itikaf

Syarat orang yang itikaf adalah harus Islam, berakal, suci dari haid, nifas dan jinabah.

Maka tidak syah itikaf yang dilakukan oleh orang kafir, gila, haid, nifas, dan orang
junub.

Jika orang yang melakukan itikaf murtad atau mabuk, maka itikafnya menjadi batal.

Tata Cara Itikaf


Orang yang melakukan itikaf nadzar tidak diperbolehkan keluar dari itikafnya kecuali
karena ada kebutuhan manusiawi seperti kencing, berak, dan hal-hal yang semakna
dengan keduanya seperti mandi jinabah.

Karena udzur haidl atau nifas. Maka seorang wanita harus keluar dari masjid karena
mengalami keduanya.

Karena udzur sakit yang tidak mungkin berdiam diri di dalam masjid.Semisal dia
butuh terhadap tikar, pelayan, dan dokter.

Dia khawatir mengotori masjid seperti sedang sakit diare dan beser.

Sakit yang ringan seperti demam sedikit, maka tidak diperkenankan keluar dari masjid
disebabkan sakit tersebut.

Hal-Hal Yang Membatalkan Itikaf

Itikaf menjadi batal sebab melakukan wathi atas kemauan sendiri dalam keadaan
ingat bahwa sedang melakukan itikaf dan tahu terhadap keharamannya.

Adapun bersentuhan kulit disertai birahi yang dilakukan oleh orang yang melakukan
itikaf, maka akan membatalkan itikafnya jika ia sampai mengeluarkan sperma. Jika
tidak, maka tidak sampai membatalkan.

Hikmah Itikaf bagi Kesehatan

Menurut Prof. DR. dr. H. Dadang Hawari., Sp.KJ. Guru Besar tetap Universitas
Indonesia menyatakan bahwa HIKMAH ITIKAF adalah sebagai berikut :

Meningkatkan daya tahan tubuh.

Bermanfaat bagi kesehatan jiwa dimana batin menjadi lebih tenang dan bisa
membangkitkan kekuatan baru.

Menghidupkan kembali hati dengan selalu melaksanakan ketaatan dan ibadah


kepada Allah SWT.

Untuk merenungi masa lalu dan memikirkan hal-hal yang akan dilakukan di hari esok.

Mendatangkan ketenangan, ketentraman dan cahaya yang menerangi hati yang


penuh dosa.

Mendatangkan berbagai macam kebaikan dari Allah SWT Amalan-amalan kita akan
diangkat dengan rahmat dan kasih sayang-Nya

Orang yang beritikaf pada sepuluh hari terkahir akhir bulan Ramadhan akan terbebas
dari dosa-dosa karena pada hari-hari itu salah satunya bertepatan dengan lailatul qadar.

Demikian itikaf begitu dahsyatnya hikmah yang di dapat bagi kaum muslimin dan
muslimat yang mau melaksanakan. Begitu mudah dan murahnya ajaran Islam dalam
memberikan solusi tentang kesehatan bagi umat_Nya. Beruntunglah orang yang mau
mengikuti ajaran_Nya. Mari ber itikaf guna meraih ketenangan jiwa ! . Jiwa tenang
keluarga senang ! .

*Hadi Mulyanto,A.Ma.,S.Pd.I.,M.Pd.I

Alumnus Pondok Pesantren Mahadut Tholabah Babakan Lebaksiu Tegal.

Kunjungi www.facebook.com/muslimedianews Sumber MMN:


http://www.muslimedianews.com/2015/07/mengupas-itikaf-dan-hikmahnya-
bagi.html#ixzz4dZbatKX9

Zakat Fitri Atau Zakat Fitrah, Mana yang Tepat ?

Posted on Thursday, 2 July 2015 | garis 12:48 Blog Title Fiqh

Muslimedianews.com ~ Kesalahan yang telah diterima sebagai kebenaran oleh


masyarakat umum biasa disebut dengan salah kaprah. Memang, biasanya kesalahan
semacam ini tidak terlalu subtansial. Tetapi jika berhubungan dengan masalah ibadah
hendaknya segera diluruskan. Termasuk diantaranya adalah penyebutan zakat fitri
dengan istilah zakat fitrah.

Zakat fitrah biasa digunakan dalam bahasa Indonesia untuk menunjukkan zakat bahan
makanan pokok yang wajib ditunaikan orang muslim setelah berpuasa Ramadhan
hingga pagi sahalt idul fitri. Seharusnya, istilah yang dipergunakan sesuai dengan teks
hadits Rasulullah saw adalah kata zakat fitri bukan zakat fitrah. Sebagaimana dalam tiga
hadits berikut:

Nabi saw bersabda puasa bulan Ramadhan digantungkan antara langit dan bumi, dan
tidak akan diterima (dengan sempurna oleh Allah swt) kecuali dengan zakat fitri.

Dari Ibnu Umar ra Rasulullah saw mewajibkan zakat fitri satu sha kurma, atau gandum
bagi muslim yang hamba dan muslim yang merdeka laki-laki maupun perempuan, baik
muslim anak-anak ataupun orang tua. Dan hendaklah zakat fitrah ditunaikan sebelum
orang-orang selesai mengerjakan halat id.

:
,

Dari Ibnu Abbas ra. berkata: Rasulullah saw mewajibkan zakat fitri untuk menyucikan
orang yang berpuasa dari perbuatan yang tidak berguna dan ucapan kotor, serta untuk
memberikan makanan orang miskin. Maka barang siapa mengeluarkan zakat sebelum
shalat id maka itulah zakat fitrah yang terqabul, dan barang siapa yang memberika zakat
setelah shalat id maka itu termasuk shadaqah.

Itulah tiga teks hadits Rasulullah saw yang dengan jelas menggunakan kata zakatul fitri.
Begitu juga teks-teks dalam kitab dan referensi berbahasa Arab.

Penjabaran ini menjadi penting karena perbedaan penggunaan kedua istilah ini
berimplikasi pada perbedaan pemahaman. Kata fitri dalam kalimat zakatul fitri bermakna
zakat makanan. Karena makna kata fitri dalam Bahasa Arab serumpun dengan ifthar,
futhur dan kata derifasi lainnya yaitu makan, atau berbuka. Hal ini bisa dilihat dari hadits
kedua terakhir yang menerangkan bahwa zakat fitri itu berupa satu sha kurma atau
gandum. Mengapa kurma atau gandum, karena kurma atau gandum merupakan bahan
makanan yang dapat digunakan untuk berbuka puasa atau difungsikan sebagai
makanan di hari raya idul fitri.

Hal ini diperkuat dengan keterangan hadits ke tiga bahwa zakatul fitri thumatan lil
masakin artinya zakat fitri itu bertujuan untuk memberi makan orang yang miskin.
Disinilah hakikat zakat fitri itu (yang kita kenal secara salah kaprah sebagai zakat fitrah),
yaitu zakat yang fungsinya memberi (bahan) makanan kepada orang-orang yang berhak
di hari raya. Sehingga pada 1 syawal tidak ada orang muslim yang tidak makan karena
tidak memiliki bahan makanan, dan karena pada hari itu diharamkan berpuasa.

Oleh karena itulah hari raya setelah Ramadhan di sebut dengan idul fitri yang secara
bahasa dapat diartikan dengan kembali berbuka atau kembali bisa makan pagi, setelah
satu bulan penuh umat muslim berpuasa Ramadhan.

Keterangan tersebut, sungguh berbeda dengan istilah zakat fitrah yang lazim dimaknai
sebagai zakat untuk membersihkan diri umat muslim setelah bulan Ramadhan.
Meskipun pemaknaan ini tidak salah tetapi penggunaan makna ini terlalu jauh, pasalnya
makna ini merupakan makna kedua yang melangkahi makna pertamanya sebagai zakat
makanan. Ini bisa dilihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang menghubungkan
kata fitrah dengan kesucian. Padahal dalam bahasa Arab tidak ada satu keteranganpun
yang menghubungakan fitri dengan suci.

Demikianlah adanya bahasa yang berlaku di masyarakat kita, meskipun salah tetap saja
digunakan, dan tidak masalah selama yang terjadi hanya salah kaprah bukan salah
paham. (red. Ulil H).

sumber nu.or.id via arrahmah.co.id

Kunjungi www.facebook.com/muslimedianews Sumber MMN:


http://www.muslimedianews.com/2015/07/zakat-fitri-atau-zakat-fitrah-mana-
yang.html#ixzz4dZbh8ybJ

Shalat 2 Raka'at tapi Ruku' dan Fatihah-nya 4 Kali

Posted on Thursday, 2 July 2015 | garis 07:35 Blog Title Fiqh

Muslimedianews.com ~ Shalat terdiri dari beberapa macam, diantaranya memiliki


kesamaan tatacara pelaksanaan, namun sebagian memiliki tatacara pelaksanaan yang
sedikit berbeda dengan lain.
Seperti misalnya, shalat jenazah yang hukumnya fardlu kifayah, dilaksanakan dengan
cara berdiri, tanpa ruku', sujud dan sebagainya.

Ada pula shalat sunnah yang dilakukan dengan 2 raka'at tetapi ruku' didalamnya
berjumlah 4 kali. Demikian juga pembacaan surah Al-Fatihah dibaca sebanyak 4 kali.
Itulah shalat sunnah gerhana, baik shalat gerhana bulan (khusuf) maupun gerhana
matahari (kusuf).

Shalat sunnah gerhana mirip dengan shalat sunnah 2 raka'at pada umumnya, hanya
ada tambahan pada ruku', qira'ah maupun berdirinya. Hukumnya sunnah, dantermasuk
sunnah mua'akkad berdasarkan Ijma'. Hadits yang menjadi dasar pelaksanaan shalat
gerhana adalah

"Sesungguhnya matahari dan bulan tidak akan mengalami gerhana disebabkan mati
atau hidupnya seseorang, akan tetapi keduanya adalah dua tanda dari tanda-tanda
kebesaran Allah. Maka jika kalian melihat gerhana keduanya, hendaklah shalatlah." (HR.
Al Bukhari)

Secara ringkas tatacara pelaksanaan shalat gerhana sebagai berikut :

- Disunnahkan untuk mandi, sebab shalat gerhana disyari'atkan adanya perkumpulan


dan khuthbah, sehingga dianjurkan untuk mandi seperti halnya shalat Jum'at.

- Disunnahkan adanya nida' "Ashhalatu Jami'ah / " . Disunnahkan dilakukan


secara berjama'ah.

- Shalat gerhana terdiri dari 2 raka'at, yang mana setiap raka'at ada 2 berdiri, 2 qira'ah, 2
ruku' dan 2 sujud. Berikut tata caranya:

PANDUAN SHALAT GERHANA MAHATARI DAN BULAN


1. Berniat shalat gerhana. Shalat sunnah gerhana matahari, kusufisy syamsi,
sedangkan shalat sunnah gerhana bulan, khusufil qamari.

/ /

2. Takbiratul Ihram bersamaan dengan niat didalam hati.

3. Membaca doa istiftah dan bertaawudz pada umumnya sebagai bagian daripada
sunnah shalat, kemudian membaca surat Al-Fatihah, kemudian membaca ayat/surah.
Disunnahkan membaca surah Al-Baqarah atau seumpamanya.

4. Kemudian ruku' sambil membaca tasbih, kira-kira lamanya 100 ayat. Artinya
perbanyak membaca tasbih.

5. Kemudian bangkit dari ruku'.

6. Membaca surah Al Fatihah (kembali), kemudian membaca surah.

7. Kemudian ruku' (lagi) sambil membaca tasbih, lamanya kira-kira kadar 70 ayat,
kemudian bangun dari ruku' (i'tidal).

8. Kemudian sujud sebagaimana sujud seperti shalat biasanya. Sebagian ulama


mengatakan, perlama sujudnya sebagai lamanya ruku'. Lalu duduk diantara 2 sujud,
dan sujud kembali.

9. Kemudian bangkit dari sujud untuk mengerjakan raka'at ke-2. Raka'at kedua
dikerjakan sebagaimana raka'at pertama.

10. Setelah membaca surah Al-Fatihah, kemudian membaca ayat/surah.


11. Kemudian ruku', kira-kira lamanya kadar 70 ayat.

12. Kemudian berdiri dari ruku'

13. Membaca Al-Fatihah (kembali), kemudian baca ayat/surah.

14. Kemudian ruku' (lagi), lamanya sekadar 50 ayat. dan I'tidal

16. Kemudian sujud seperti biasa, duduk diantara dua sujud, tasyahhud, shalalat dalam
tasyahhud, dan salam.

Shalat sunnah gerhana matahari disunnahka sir (lirih) dalam bacaannya, sedangkan
shalat sunah gerhana bulan disunnahkan jahar (menampakkan suara).

Penulis : Ibnu L' Rabassa

Referensi al-Majmu' syarh al-Muhadzdzhab, bacaan "Shalat Gerhana" (NU Online)

Kunjungi www.facebook.com/muslimedianews Sumber MMN:


http://www.muslimedianews.com/2015/07/shalat-2-rakaat-tapi-ruku-dan-
fatihah.html#ixzz4dZbnFUnX

You might also like