Pengertian Artikel Hoax

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 3

ARTIKEL TENTANG HOAX

Gosip adalah keseharian. Dalam taraf tertentu gosip dan rumor memberikan
kesenangan tersendiri. Gosip umumnya muncul dari berita yang belum terverifikasi.
Dibicarakan berulang, disebarkan, dan terus menggulung hingga masuk ke wilayah-wilayah
privat (WA, Line, SMS, dll).
Hal ini dipicu karena adanya kemudahan akses informasi dan kekuatan media
sosial, sayangnya kemudahan akses tersebut tak diimbangi dengan kecakapan
memverifikasi informasi. Seolah-olah ketika seseorang membagikan berita dalam media
sosial, ia bisa terbebas dari apa yang ia telah bagikan.
Media sosial seperti Facebook dan Twitter menjadi wadah paling cepat bagi
penyebaran informasi. Termasuk penyebaran berita palsu, propaganda, dan informasi yang
menyesatkan. Mereka mewadahi kita bercakap dan berinteraksi. Tak ayal mereka
menentukan cara kita berinteraksi.
Telah banyak kasus di dunia, bagaimana berita palsu menyebar dengan cepat.

Politik Manipulasi "Emosi" di Dunia Maya


Tak gampang memilah antara fakta dan tipuan di era "tsunami" informasi. Apalagi, jika
informasi palsu acap kali didesain memanipulasi "emosi" pengguna internet hingga menekan
rasionalitas dalam memilah informasi. Akibatnya, kohesi sosial dan persatuan terancam.
Beberapa bulan terakhir ada peningkatan penyebaran informasi palsu di media sosial di
Indonesia. Target serangan informasi bohong atau informasi yang "dipelintir" hingga keluar
konteks itu mulai dari tokoh agama, tokoh politik, hingga penegak hukum. Sering kali isu yang
dibicarakan atau disebarkan memainkan aspek emosi atau "perasaan" pengguna internet dengan
menggunakan sentimen primordial ataupun sentimen agama.
Judul dan isi informasi dibuat bombastis. Akibatnya, tidak jarang diskusi soal isu yang
diulas membuat pengguna internet saling bersitegang. Dalam banyak kasus, diskusi di media
sosial itu tidak mengubah sudut pandang dan posisi pihak-pihak yang berbeda pandangan.
Fenomena tersebut tidak terlepas dari polarisasi pandangan politik yang tak kunjung pulih
seusai Pemilihan Presiden RI 2014. Ketika para kandidat yang bertarung di Pilpres 2014 sudah
menjalin komunikasi, sebagian pendukungnya masih belum bisa meninggalkan atmosfer pilpres.

Penyebaran berita palsu yang begitu masif mengindikasikan terjadinya epidemiologi


informasi, yaitu penyebaran informasi dari individu ke individu dan dari media ke media sepanjang
waktu. Isu-isu yang dimainkan pun tak jauh dari SARA.
Komunikasi antar pengguna di media sosial membentuk sebuah struktur komunikasi
sendiri yang pada ujungnya dapat memberikan pengaruh terhadap penggunanya.
Kekuatan utama dari situs berita palsu selain menampilkan judul-judul yang provokatif adalah
mereka memproduksi banyak konten kreatif seperti meme dan video, hal yang tentunya terbatas
dilakukan oleh media mainstream. Padahal, secara konten tak ada bedanya dengan muatan pada
konten artikel. Palsu dan provokatif.
Ada dua hal yang bisa diamati dari hal ini: Pertama, sikap pengguna media sosial dan kedua
adalah sifat media sosial itu sendiri.
Trafik akan meningkat apabila sebuah isu memiliki kedekatan dengan penggunanya. Rumus
sederhananya, orang dengan ideologi tertutup cenderung hanya mau mendengar informasi yang
sejalan dengan pemikirannya (tell them what they want to hear, theyre probably going to react
strongly to that).
Jika orang A membenci orang B, maka informasi mengenai orang B akan selalu direspon
negatif oleh orang A. Begitulah cara berpikir dan bertindak orang-orang tertutup ketika menerima
informasi. Bukankah hal tersebut yang juga terjadi di Jakarta akhir-akhir ini?
Media sosial seperti Facebook memiliki kemampuan untuk merekomendasikan sebuah
konten kepada penggunanya berdasarkan analisis news feed algorithm.
Menurut Zuckerberg kepada Business Insider, setiap pengguna Facebook menerima 1500
rekomendasi konten setiap harinya, hanya saja rata-rata pengguna hanya dapat melihat 100
konten.
Rekomendasi atas sebuah konten berasal dari analisa algoritma yang rumit. Algoritma
dapat memprioritaskan konten yang berasal dari teman atau halaman tertentu, waktu yang kita
habiskan di sebuah konten, serta reaksi kita terhadap sebuah konten ( Like, Share, Hide, Click,
Comment, Hide, bahkan Spam).
Dalam takaran yang lebih rumit, algoritma akan mengelompokkan konten berdasarkan
relevansi skor sebelum akhirnya muncul di news feed pengguna Facebook, sehingga apabila
pengguna aktif menyebarkan, memberikan komentar, dan bereaksi terhadap berita palsu, maka
news feed pengguna tersebut hanya akan diisi oleh berita-berita palsu.
Mengatasi penyebaran berita palsu, Facebook melalui Zuckerberg akan mengambil
langkah-langkah serius untuk mengatasinya, walaupun ia sendiri mengakui akan membutuhkan
waktu lama untuk mewujudkannya. Sementara Google akan membatasi layanan iklan pada
laman-laman yang melakukan penyebaran berita palsu.
Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) juga turut
aktif melakukan pemblokiran kepada situs-situs yang menyebarkan berita palsu, propaganda, dan
yang berhubungan dengan kejahatan terorisme.
Pendekatan seperti ini tentu tidak akan menyelesaikan akar masalah, karena berita palsu
akan terus bereproduksi dalam beragam format, bahkan lebih jauh jangan sampai pemerintah
malah kebablasan dalam melakukan pemblokiran tersebut.
Diperlukan adanya pendekatan kultural untuk mengatasinya. Gerakan literasi media
seperti mengajak untuk berpikir kritis dan selalu ragu terhadap informasi yang beredar menjadi
langkah awal untuk membuat berita palsu tidak relevan lagi di masyarakat.
Media mainstream pun perlu melakukan ini, karena sebenarnya berita palsu juga menjadi
ancaman bagi eksistensi mereka.
Sebab ketika mayoritas masyarakat mengkonsumsi berita palsu, maka media mainstream
juga akan menerima imbasnya, menjadi tidak relevan, dan mati dengan sendirinya.
What is going on here is not a filtering of the fake-news and the reports that do
not correspond with reality. This is an attempt of the political class to regain
power, domination and control over political and public discourse by actively
interfering in the fundamental rights guaranteed by the Constitution, in
particular such as the freedom of the press and the freedom of speech,

You might also like