Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 7

AKIBAT HUKUM PERJANJIAN KERJA YANG DIBUAT SECARA LISAN

Oleh :

Fachrul Reza Siregar

Mega Ariza

Nabila Khoirunnisa

Wahyu Rizky Sihombing

Hukum Ketenagakerjaan, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah

Sumatera Utara

Abstract
Oral Labor Agreement is applied only to the Uncertain Time Labor Agreement (PKWTT). This
kind of agreement is different from a written laboragreement in which the employers should
attach the trial period, inform their employees and attach their names in the letters of
appointment. Work relationship through oral labor agreement does not have any signatures of
both parties (employersand employees); therefore, this agreement should refer to the man power
regulation. The arrangement of the right and the responsibilty of employers and employees in the
oral labor agreement should also refer to the manpower regulation.The manpower regulation
does not differentiate the arrangement of the employers and the employees right and
responsibility, both in the oral labor agreement and in the written labor agreement. Their
difference is about the form : in the written labor agreement, there are signatures of both parties,
while in the oral labor agreement, there is only a joint statement of both parties and witnessedby
at least two witnesses. Article 63, Paragraph 1, Act 13, 2003, which requires an employer to
issue a letter of appointment for each employee in the oral labor agreement is not effective.Many
employers apply this kind of agreement because they know that there is no sanction for it;
moreover, they will get advantage by the absence of a written labor agreement and a letter of
appoinment, since there is no certainty when the new employees begin working. Oral labor
agreement will cause the employees to be difficult to prove themselves as legal employees in the
process of the Arbitration of Termination of Employment in Court of Industrial Relations.

The weaknerss of oral labor agreement is that the employer does not issue a letter of appoinment
although his workers have been working in his company for more than three months.
Keywords : Agreement, Labor, Oral

1
Abstrak
Perjanjian Kerja secara lisan hanya diberlakukan terhadap perjanjian kerja waktu tidak tertentu
(PKWTT) saja. Berbeda terhadap PKWTT yang perjanjian kerjanya dibuat secara tertulis yang
mengharuskan kepada pengusaha untuk mencantumkan masa percobaan dalam surat perjanjian
kerja, namun terhadap PKWTT yang dibuat secara lisan maka syarat masa percobaan harus
diberitahukan kepada pekerja yang bersangkutan dan dicantumkan dalam surat pengangkatan.
Hubungan kerja melalui perjanjian kerja secara lisan adalah hubungan kerja tanpa adanya
penandatanganan surat perjanjian kerja, dikarenakan tidak ada perjanjian kerja yang
ditandatangani maka hubungan kerja tersebut akan mangacu kepada peraturan ketenagakerjaan
yang berlaku. Begitu halnya pengaturan hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha dalam
perjanjian kerja secara lisan juga mengacu kepada peraturan ketenagakerjaan. Peraturan
ketenagakerjaan tidak membedakan pengaturan hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha dalam
hal perjanjian kerja yang dibuat secara lisan maupun secara tertulis, yang membedakannya hanya
bentuknya saja yaitu terhadap perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis ditandai dengan adanya
perjanjian kerja antara kedua belah pihak yang dituangkan didalam suatu surat perjanjian namun
terhadap perjanjian kerja secara lisan tidak dibuat surat perjanjian yang ditandatangani kedua
belah pihak, cukup dengan pernyataan yang secara bersama disetujui oleh kedua belah pihak dan
sebaiknya disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi. Ketentuan Pasal 63 ayat (1)
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 yang mewajibkan pengusaha membuat surat
pengangkatan bagi pekerja yang perjanjian kerjanya dibuat secara lisan tidaklah efektif dan
banyak pengusaha yang tidak menjalankannya bukan hanya karena tidak ada sanksi yang
mengaturnya namun juga karena dengan tidak dibuatnya perjanjian kerja secara tertulis dan tidak
adanya surat pengangkatan akan dapat menguntungkan pengusaha yaitu diantaranya tidak
jelasnya kapan hubungan kerja kedua belah pihak dimulai.. Kelemahan perjanjian kerja yang
dibuat secara lisan adalah apabila pekerja setelah melewati 3 (tiga) bulan masa percobaan namun
pihak pengusaha tidak ada membuat surat pengangkatan. Pembuktian perjanjian kerja secara
lisan apabila tidak ada surat pengangkatan yang dibuat oleh pengusaha maka pihak pekerja harus
terlebih dahulu membuktikan adanya hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha yakni
berdasarkan Pasal Angka (15) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dinyatakan bahwa
hubungan kerja harus memenuhi 3 (tiga) unsur yakni adanya unsur pekerjaaan, adanya unsur
perintah dan adanya unsur upah.

Kata Kunci : Perjanjian Kerja ; Hubungan Kerja

2
1. PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Perjanjian merupakan suatu kegiatan yang tidak bisa lepas dari kehidupan masyarakat. Melalui
perjanjian masyarakat sangat dibantu dalam melakukan segala kegiatan yang berhubungan
dengan bisnis. Baik itu jual beli, pinjam meminjam, perjanjian kerja, dan usaha bisnis lainnya
yang membutuhkan perjanjian. Perjanjian dapat dilakukan dengan dua cara yaitu perjanjian
secara lisan dan tertulis. Perjanjian secara lisan banyak terjadi dalam pergaulan masyarakat
sederhana, serta merta sering tidak disadari namun sudah terjadi kesepakatan, misalnya dalam
kegiatan berbelanja ditoko, dipasar-pasar untuk kebutuhan sehari-hari. Perjanjian lisan menjadi
selesai dengan dilakukan penyerahan dan penerimaan suatu barang.1 Dengan kata lain perjanjian
lisan akan menjadi sah apabila hak dan kewajiban dari para pihak telah terpenuhi. Sedangkan
perjanjian tertulis lazimnya dilakukan dimasyarakat yang lebih modern, berkaitan dengan bisnis
yang hubungan hukumnya lebih kompleks, dan biasanya menggunakan akta otentik ataupun akta
dibawah tangan, serta menggunakan judul perjanjian. Oleh sebab itu didalam perjanjian tertulis
sangat mudah untuk melakukan pembuktian apabila ada salah satu pihak yang melakukan
wanprestasi karena perjanjian tertulis tersebut menggunakan akta otentik dan akta dibawah
tangan. Namun yang menjadi permasalahan adalah bagaimana dengan kekuatan mengikat dan
pelaksanaan perjanjian yang dibuat secara lisan, serta bagaimana cara membuktikan secara
hukum bahwa telah terjadi suatu perjanjian atau kesepakatan yang dibuat oleh para pihak,
mengingat perjanjian lisan tidak menggunakan akta otentik dan akta dibawah tangan. Untuk itu
melalui penulisan karya ilmiah ini diharapkan mampu menjawab dan memberikan dasar hukum
yang kuat mengenai perjanjian lisan agar tidak ada pihak-pihak yang dirugikan.

1.2 PERUMUSAN MASALAH


1. Apa itu perjanjian kerja?
2. Bagaimana perlindungan hukum ketenagakerjaan bagi pekerja yang hubungan kerjanya
didasarkan pada perjanjian kerja secara lisan?

3
1.3 TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui jawaban dari permasalahan yang dibahas.
Metode Penelitian yang dipergunakan dalam penulisan ini maka penulis mempergunakan 2
(Dua) Metode: yaitu Penelitian Kepustakaan (Library Research) dan Penelitian Lapangan (Field
Research). Penulis melakukan studipada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri Medan dengan mengambil yaitu Putusan No. 051/G/2013/PHI.Mdn. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kekuatan hukum perjanjian kerja yang dibuat secara lisan tersebut tidak
diatur secara spesifik dalam KUHPerdata maupun dalam peraturan perundang-undangan lainnya
sehinga pengaturan perjanjian lisan hanya mengikuti pengaturan perjanjian kerja pada umumnya.
Dalam KUHPerdata perjanjian kerja yang dibuat secara lisan adalah sah, selama syarat umum
perjanjian pada Pasal 1320 KUHPerdata terpenuhi. Kemudian perjanjian kerjasecaralisanjuga
diatur dalam Pasal 51 UndangUndang Ketenagakerjaan yang menyatakanperjanjian kerja secara
lisan boleh dilakukan, sehingga perjanjian kerja yang dibuat untuk pekerja UD Maju Jaya cukup
kuat dari segi perundang-undangan yang ada. Bentuk perlindungan hukum ketenagakerjaan
terhadap pekerja yang hubungan kerja didasarkan pada perjanjian kerja secara lisan adalah
pengusaha berkewajiban memberikan hak-hak normatifnya pekerja seperti hak untuk waktu
bekerja yang sesuai dengan perundang-undangan, hak cuti, hak beribadah pada saat waktu
bekerja, hak mendapatkan upah lembur dan hak mendapatkan perlindungan keselamatan dan
keamanan dalam melakukan pekerjaan, upah harus didasarkan upah minimum yang ditetapkan
pemerintah dan mengikutsertakan pekerja dalam program BPJS agar kehidupan para pekerja
layak dan terjamin kesejahteraannya, untuk mengetahui bagaimana pengaturan danlandasan
hukum mengenai perjanjian yang dibuat secara lisan oleh para pihak. Sehingga tidak ada lagi
pihak yang merasa dirugikan akibat dari perjanjian lisan ini.

1.4 METODE PENELITIAN


Yang digunakan dalam penulisan jurnal ini adalah Metode kepustakaan (Library Research),
yakni suatu metode yang digunakan dengan jalan mempelajari buku-buku literatur, perundang-
undangan, putusan pengadilan dan yurisprudensi, bahan-bahan lainya dalam majalah dan surat
kabar serta yang terdapat di website yang memiliki kaitan dengan materi pokok yang kemudian
digunakan untuk pembahasan Jurnal ini.

4
2. PEMBAHASAN

A Perjanjian Kerja

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 ayat (14) Undang-UndangNo.13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan yang dimaksud dengan perjanjian kerja merupakan perjanjian antara
pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan
kewajiban para pihak. Pada dasarnya perjanjian kerja hanya dilakukan oleh dua belah pihak
yakni pengusaha atau pemberi kerja dengan pekerja atau buruh. Mengenai hal-hal apa saja yang
diperjanjikan diserahkan sepenuhnya kepada kedua belah pihak yakni antara pengusaha atau
pemberi kerja dan pekerja atau buruh. Apabila salah satu dari para pihak tidak menyetujuinya
maka pada ketentuannya tidak akan terjadi perjanjian kerja, karena pada aturannya pelaksanaan
perjanjian kerja akan terjalin dengan baik apabila sepenuhnya kedua belah pihak setuju tanpa
adanya paksaan. Perjanjian kerja dapat dibuat baik secara tertulis maupun lisan. Perjanjian kerja
yangdibuat secara tertulis maupun lisan harus dilaksanakan sesuai denganperaturan perundang-
undangan. Secara yuridis, berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (15) Undang-Undang No.13
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan hubungan kerja merupakan hubungan antara pengusaha
dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan
perintah. Jika ditinjau berdasarkan pengertian diatas antara perjanjian kerja dengan hubungan
kerja memiliki kaitan yang saling berhubungan, hal ini akan mengakibatkan adanya hubungan
kerja yang terjadi antara pemberi kerja/pengusaha dengan pekerja/buruh.

Pengertian tersebut memiliki arti bahwa hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh
berdasarkan adanya perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerja, upah, dan perintah.
Pengertian tersebut jelaslah bahwa hubungankerja terjadi setelah adanya perjanjian kerja antara
pengusaha dengan pekerja/buruh yang memuat unsur pekerja, upah, dan perintah.Berdasarkan
ketentuan Pasal 50 Undang-Undang No.13 Tahun 2003tentang Ketenagakerjaan, yang dimaksud
dengan hubungan kerja merupakan hubungan yang terjadi karena adanya perjanjian kerja antara
pengusaha dan pekerja/buruh. Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan mengatur bahwa perjanjian kerja dapat dibuat secara tertulis maupun lisan,
hanya perbedaanya perjanjian kerja secara tertulis sebagaimana dalam ayat (2) harus sesuai
dengan peraturan perundang-udangan yang berlaku.1

5
Unsur utama yang terkandung berdasarkan Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan yakni :

a. Perjanjian
b. antara pekerja atau buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja.
c. memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.

Selain unsur-unsur diatas, ada pula empat (4) unsur lain yang harus dipenuhi dalam melakukan
perjanjian kerja yang menimbulkan terjadinya hubungan hukum antara pengusaha/pemberi kerja
dan pekerja/buruh. Berdasarkan pengertian tersebut jelas dimaksud bahwa apabila berbicara
mengenai hubungan kerja tentu tidak dapat dipisahkan dari perjanjian kerja karena syarat adanya
hubungan kerja harus ada perjanjian kerja. Adapun unsur-unsur dari hubungan kerja adalah :

a. Adanya unsur pekerjaan atau work

Dalam suatu hubungan kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjikan (obyek perjanjian),
pekerjaan tersebut haruslah dilakukan sendiri oleh pekerja, hanya dengan seizin majikan dapat
menyuruh orang lain. Pada dasarnya sifat pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja itu sangat
pribadi karena bersangkutan langsung terhadap dengan keterampilan/keahliannya, maka menurut
hukum jika pekerja meninggal dunia maka perjanjian kerja tersebut akan putus demi hukum.

b. Adanya unsur perintah atau command

Manifestasi dari pekerjaan yang diberikan kepada pekerja oleh pengusaha adalah pekerja yang
bersangkutan harus tunduk pada perintah pegusaha untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan
yang diperjanjikan. Disinilah perbedaan hubungan kerja dengan hubungan lainnya. Pada
dasarnya usur perintah memiliki peranan pokok, karena tanpa adanya perintah maka tidak
adanya perjanjian kerja. Adanya unsur perintah ini mengakibatkan kedudukan kedua belah pihak
menjadi tidak seimbang, apabila kedudukan para pihak tidak seimbang maka terdapatlah
hubungan bersubordinasi maka disitu pula terdapat perjanjian kerja.Adanya upah atau pay Upah
memengang peranan penting dalam hubungan kerja (perjanjian kerja), bahkan dapat dikatakan
bahwa tujuan utama seorang pekerja bekerja pada pengusaha adalah untuk memperoleh upah.

6
Di dalam rumusan Pasal 1313 KUHPerdata mendefinisikan bahwa perjanjian adalah perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang ataulebih. Perjanjian
dengan demikian mengikat para pihak secara hukum, untuk mendapatkan hak atau melaksanakan
kewajiban yang ditentukan di dalam perjanjian itu.4 Di dalam asas kebebasan berkontrak yang
dijelaskan melalui rumusan Pasal 1338 KUHPerdata menyebutkan bahwa semua perjanjian yang
dibuat secara sah, berlaku ssebagi Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya dan di dalam
ayat (3) disebutkan persetujuan persetujuan harus dilaksanakan dengan etikad baik. Pengertian
ini berkaitan dengan asaspacta sunt servanda yang artinya bahwa perjanjian tersebut harus
dilaksanakan di dalamrumusan Pasal 1320 KUHPerdata

Tidak jarang terjadi hubungan perdata diantara para pihak dalam bentuk perjanjian,tetapi tidak
didukung oleh bukti-bukti. Dalam persoalan seperti itu, jangankan penyelesaiannonlitigasi secara
litigasi pun sangat sulit, sebab setiap dalil yang akan dikemukakan harusdibuktikan.
Permasalahan ini sering terjadi dalam perjanjian lisan, dimana salah satu pihak melakukan wan
prestasi karena ia berdalih bahwa tidak pernah ada perjanjian. Kasus seperti itu perlu
dikonstruksikan bukti-bukti agar perbuatan hukum itu dapat diselesaikandengan dasar tuntutan
yang jelas. Di dalam rumusan Pasal 1865 KUHPerdata menyebutkanbahwa barang siapa
mendalilkan sesuatu hak harus membuktikannya. Oleh karena itu,jika peristiwa hukum yang
terjadi seperti yang disebutkan diatas, maka harus dilakukankonstruksi bukti hukum agar
perbuatan hukum tanpa bukti hukum itu mendapat dasarpenyelesaiannya. Misalnya, pinjam-
meminjam uang dari tangan ke tangan tanpa buktikuitansi, tanpa ada saksi, sedangkan perbuatan
itu oleh para pihak sama-sama diakuidilakukan. Di dalam rumusan Pasal 1866 KUHPerdata
disebutkan alat bukti yang dapatdipakai untuk membuktikan suatu dalil terdiri atas : bukti
tulisan; bukti saksi; persangkaan;pengakuan; dan sumpah. Pengakuan di luar pengadilan tidak
mengikat, maka untukmenguatkan pengakuan itu haruslah dikonstruksikan hukum dengan saksi-
saksi, yaitu para pihak pada saat membicarakan cara perbuatan pinjam-meminjam itu, dihadirkan
dua orang saksi, untuk membuktikan jika nantinya terjadi sengketa dipengadilan, walupun
pinjam meminjam uang itu tidak disertai dengan kuitansi, akan tetapi olah karena saling
pengakuanoleh para pihak sudah didengar oleh dua orang saksi (unnus testis nullus testis), maka
perbuatan hukum tersebut menjadi terbukti. Konstruksi hukum dengan saksi ini dapatdilakukan
terhadap segala perbuatan hukum tanpa bukti, termasuk perjanjian yangdilakukan secara lisan,
tetapi dengan ketentuan saksi tersebut tidak memiliki hubungan keluarga dengan para pihak
(rumusan Pasal 1910 KUHPerdata) dan saksi cakap bertindakmenurut hukum (rumusan Pasal
1330 KUHPerdata)

You might also like