Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 117

ANALISIS EKONOMI RENCANA PENGEMBANGAN AIR BAKU BAGI

MASYARAKAT KRITIS AIR DI DESA SANGGALANGIT


KABUPATEN BULELENG

I Ketut Alit1 , IGN Alit Wiswasta2, I Nyoman Suparsa2


1
Master Programme on Regional Planning and Environmental Management Mahasaraswati
University of Denpasar.
2
Postgraduate Programs of Regional Planning and Environmental Management,
Mahasaraswati University Denpasar, Denpasar Bali, Indonesia.
*Corresponding author email: : pasca@unmas.ac.id

ABSTRACT

Tukad Barak river flows in the village of Buleleng Grokgak expected to meet
the water needs for agriculture, domestic and non-domestic through the development
plan of raw water distribution system (piping). Raw water development plan will be
analyzed according to the economic analysis, in order to determine whether the
proposed development of raw water in the village of Buleleng Sanggalangit is
feasible. The purpose of this research is to understand the feasibility of the
development plan of raw water distribution networks Sanggalangit village, and a
library for researchers specializing in the construction of the raw water pipeline
networks that exist in the source water flowed into the village of Barak Tukad
Sanggalangit The results of the study found that long-planned raw water distribution
piping network 12 km, with an area of 19.5 km2 Sanggalangit village or 1.950
hectares, divided into 4 Sanggalangit village hamlet, with a population of 1160
households with 4372 inhabitants. Development plans raw water distribution piping
network will be accommodated through a tank / reservoir capacity 4500 M3 principal
and 3 (three) pieces of each distribution reservoir for reservoir distribution Taman
Sari 150 M3 Hamlet, Hamlet Wana Sari 80 m3 and reservoir distribution 100 m3 of
Dusun Kayu Putih Village. The method used in researching the feasibility of the
project associated with the investment criteria of the current net present value
benefits and costs (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit Cost Ratio (Net
B / CR), payback period (PBP) and Inflation .Based on the results of economic
analysis in a row, the value of NPV> 0, the value of 11% IRR, B / CR of 1.0032,
PBP for 9 th and 7% inflation rate (the cash value of the investment
Rp.10.355.235.341 above the value of the initial investment Rp.4.136.64.300). The
results of this analysis indicate raw water development project is feasible because it
would benefit if the project is built.

Keywords : economic analysis, the raw water

PENDAHULUAN

Air adalah merupakan kebutuhan paling penting bagi seluruh makhluk hidup
yang ada dimuka Bumi ini untuk dapat bertahan hidup terutama bagi Manusia.
Betapa tidak manusia tidak akan dapat hidup tanpa air, manusia membutuhkan air
untuk minum, memasak, mandi dan mencuci, minum ternak dan menyiram/mengairi

1
tanaman. Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia dengan luas wilayah
5.634,40 km, mempunyai topografi yang berbukit-bukit dengan pegunungan yang
membentang dari barat sampai timur. Di Bali terdapat 401 buah sungai, 4 danau dan
500 mata air . Jumlah cadangan air di Bali sebanyak 13.523,61 juta M3/tahun yang
terdiri dari air permukaan 5.656,65 juta M3/tahun, air tanah 401,13 juta M3 dan curah
hujan 7.465,83 M3/tahun ( Rencana Aksi Daerah, 2009). Perkembangan
pembangunan di kabupaten buleleng telah memberikan konsekwensi tersendiri bagi
perkembangan sektor-sektor lain di daerah tersebut, dan penyediaan sarana/prasarana
penunjangnya. Salah satunya adalah kebutuhan akan ketersediaan sumber air baku
untuk melayani kebutuhan air bersih bagi masyarakat miskin terutama yang ada
dipedesaan dan juga untuk kegiatan pertanian, peternakan, perikanan, industri dan
rekreasi serta aktivitas sosial budaya. Pada saat ini daya dukung sumber daya air di
Kabupaten Buleleng mulai menurun, sehingga penyediaan air baku untuk memenuhi
kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat merupakan prioritas utama diatas semua
kebutuhan lainnya.
Upaya pemenuhan kebutuhan air baku telah memunculkan persoalan dalam
kaitannya dengan pembangunan prasarana dan sarana penyediaan air baku yang
memadai. Kondisi pelayanan air bersih di Kabupaten Buleleng, dimana PDAM
Kabupaten Buleleng sampai dengan tahun 2005 telah mengelola dan membina
25.650 instalasi sambungan rumah dan 175 instalasi kran umum untuk pelayanan
masyarakat perkotaan maupun masyarakat pedesaan. Instalasi pelayanan air bersih
tersebut tersebar di 8 (delapan) Kecamatan yang ada di kabupaten buleleng sampai
tahun 2005 adalah 393 liter/detik dan melayani 145.840 jiwa penduduk atau 24,43%
dari seluruh penduduk di kabupaten buleleng. Penurunan debit sumber air yang ada,
sehingga menurunnya kapasitas produksi yang dikelola saat ini, rendahnya tingkat
pelayanan air bersih pedesaan dan banyaknya desa yang belum terlayani.
Penambahan kapasitas produksi pada system yang ada berbenturan dengan subak
untuk kepentingan air irigasi, potensi sumber air cukup, tetapi keterbatasan kapasitas
sistem penyediaan air baku yang ada. Keterbatasan sumber air yang dimiliki
Kecamatan Grokgak menyebabkan tingkat pemenuhan kebutuhan air bersih sangat
rendah. Desa Sanggalangit Kecamatan Grokgak Kabupaten Buleleng yang terletak di
daerah perbukitan dengan kemiringan 30o 50o derajat sebagian masyarakatnya
berprofesi sebagai Petani Perkebunan, Peternak, sebagai Pedagang, PNS dan ABRI.
Luas wilayah Desa Sanggalangit 19,5 KM2 atau 1950 Ha yang dibagi dalam 4
Dusun, dengan jumlah penduduk tahun 2008 sebanyak 1160 KK dengan 4.372 jiwa.
Letak geografisnya Desa ini berada di daerah perbukitan maka sangat sulit bahkan
tidak ada sumber air bersih (mata air) yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi
kebutuhan air sehari-hari terutama pada saat musim kemarau. Sementara sekarang
ini masyarakat mengambil air bersih di daerah pesisir pantai atau dari desa tetangga
yang letaknya sangat jauh dari tempat tinggal mereka, sedangkan untuk pertanian
masyarakat setempat hanya mengandalkan air hujan sehingga pada musim kemarau
praktis tidak dapat bercocok tanam karena tanaman tidak dapat tumbuh dengan baik.
Kondisi saat ini desa Sanggalangit mengalami permasalah an pemenuhan
kebutuhan air baku. Berdasarkan keadaan tersebut di atas dipandang sangat perlu
dibuat sebuah Rencana Pengembangan Air Baku yang diharapkan mampu
mensuplai air dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan air baku bagi
masyarakat Desa Sanggalangit khususnya Dusun Taman Sari, Wana Sari, Kayu Putih
dan sekitarnya sampai kemarau berakhir. Lokasi Rencana Pengembangan Air Baku
ini terletak di Desa Sanggalangit Kecama tan Grokgak Kabupaten Buleleng,
sedangkan sumber airnya diambil dari Tukad Barak yang hulunya berada dikawasan
hutan lindung Desa Grokgak Kecamatan Grokgak Kabu paten Buleleng dan
bermuara di Kabupaten Jembrana. Debit aliran sumber air pada saat musim kemarau
adalah 12 liter/detik, sedangkan penggunaan air bervariasi pada saat musim hujan
hanya untuk konsumsi domestik sebesar 4,71 lt/dtk dan pada saat musim kemarau air
diperlukan untuk minum, mandi/cuci, menyiram tanaman kebutuhan airnya
meningkat menjadi 19,28 lt/dtk. Ketersediaan air tersebut perlu dibuatkan Reservoir
untuk menampung kelebihan supplay air pada musim hujan dan dialirkan pada
musim kemarau, melalui Sistem Distribusi Air Baku Desa Sanggalangit. Penelitian
ini dibatasi mulai dari Tempat Penampungan Air Baku (intake) dari Tukad Barak
Hulu kemudian dibuatkan Bak Penampung (Reservoir) selanjutmya pipa distribusi
ke Bak Penampung (Reservoir) ke Dusun Taman Sari, Dusun Wanasari dan Dusun
Kayu Putih dengan sistim pola distribusi jaringan perpipaan.
Penelitian awal dimulai dengan pemetaan desa Sanggalangit, kemudian
dilanjutkan dengan pendataan jumlah penduduk, tingkat pendidikan dan pendapatan
masyarakat dari kegiatan rutin sehari-hari untuk selanjutnya dari data-data
pemetaan desa dibuatkan rencana anggaran biaya untuk distribusi air dari Tukad
Barak (intake). Masyarakat juga mengharapkan agar angka pengangguran tidak
semakin meluas, berupaya untuk melaksanakan eko nomi kerakyatan agar benar-
benar menjadi realita serta melaksanakan konsep pemerataan, baik antar masya rakat,
antar daerah/kota maupun antar sektor. Daerah yang akan diteliti adalah Desa
Sanggalangit Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng. Melalui Rencana
Pengembangan Air Baku ini diharapkan kesadaran masyarakat untuk ikut berperan
secara aktif dalam mengamankan dan memelihara hasil-hasil pembangunan,
sehingga pemanfaatannya dapat diperoleh secara optimal.

METODE PENELITIAN

Tujuan Kajian Ekonomi adalah untuk memberikan keuntungan terma-suk


kemampuan untuk mengem-balikan nilai investasi seperti yang diinginkan. Setiap
pengambilan keputusan untuk berinvestasi biasanya mengandung resiko,dalam
rangka menekan atau memperkecil resiko, selain mempertimbangkan faktor-faktor
atau kajian non ekonomis seperti tersebut diatas diperlukan suatu perhitungan
(penilaian ekonomis) sebelum memutuskan apakah suatu rencana investasi layak
dilaksanakan (setelah hasil kajian non ekonomisnya dianggap sudah baik). Hasil
suatu Projek adalah pertambahan jumlah barang dan jasa dalam masyarakat
sehubungan dengan adanya projek tersebut, dengan kata lain hasil produksi suatu
proyek adalah perbedaan jumlah persediaan barang dan jasa termaksud dalam
masyarakat dengan adanya projek dibanding tidak ada projek. Disamping tujuan
peningkatan barang dan jasa untuk konsumsi, pendirian projek dapat mempunyai
tujuan-tujuan sosial yang bersifat khusus. Tujuan-tujuan khusus suatu projek dapat
tercermin, misalnya dalam hal penyediaan kesempatan kerja dan pemerataan
pendapatan.
Dalam perencanaan dan pelak-sanaan suatu projek diharapkan akan
memperoleh manfaat (benefit). Manfaat projek itu ada yang dihitung atau dinilai
dengan uang baik secara langsung dapat diterima dari kegiatan projek (direct benefit)
maupun manfaat yang secara tidak langsung diterima dari kegiatan proyek (indirect
benefit) dan ada pula manfaat yang sulit dihitung atau dinilai dengan uang
(intangible benefit).
Alat ukur untuk menentukan secara menyeluruh mengenai layak tidaknya
suatu projek dilaksanakan adalah dengan menggunakan kriteria investasi (Gittinger,
1997). Ada beberapa kriteria investasi yang dapat digunakan dalam evaluasi proyek
yaitu : (1) Net Present Value (NPV); (2) Internal Rate of Return (IRR); (3) Net
Benefit Cost Ratio (Net B/C), (4) Payback Period.
Adapun formula yang digunakan dalam analisis data (Menurut Clive Gray dkk)
adalah sebagai berikut :
(a) Net Present Value ( NPV ) , merupakan selisih present value penerimaan
(benefit) dengan present value pengeluaran ( cost ), Bila NPV lebih besar dari
pada 0 ( nol ) proyek jalan terus dan bila NPV lebih kecil dari pada 0 ( nol )
projek tidak jalan.
(b) Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) adalah perbandingan antara present value
net benefit dari tahun-tahun yang bersangkutan (pembilang/bersifat positif)
dengan present value arus biaya dalam tahun dimana Bt-Ct (penyebut/bersifat
negatif).
(c) Internal Rate of Return (IRR) Merupakan tingkat bunga atau nilai discount rate
(i) yang menyamakan present value pene rimaan (benefit) dengan present
value pengeluaran (cost) atau tingkat bunga yang menyebab kan NPV dari
proyek sama dengan 0.
(d). Inflasi, Inflasi terjadi karena pengaruh terlalu banyaknya uang yang beredar
dibandingkan dengan arus barang dan jasa dan pengaruh kenaikan biaya
produksi, kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), tarif angkutan,
kenaikan upah/gaji dan semua jenis komponen biaya hingga mendorong
kenaikan harga produk.
(e).Metode Payback Period (PBP) adalah bertujuan untuk mengetahui seberapa lama
(periode) investasi akan dapat dikembalikan saat terjadinya kondisi pulang
pokok break event point menurut (M Giatman 2005) lebih lanjut dijelaskan,
lamanya periode pengembalian (k) saat kondisi BEP.

Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah :


1. Rencana Anggaran Biaya-Pembangunan (Investasi Projek)
2. Biaya Operasi dan Pemeliha raan (O&P)
3. Rencana Penerimaan Projek (benefit)
4. Peningkatan pendapatan pendu duk dengan pemanfaatan air baku.

HASIL PEMBAHASAN

Hasil penelitian yang sduah dilaksanakan terutama terkait dengan analisa usaha
disajikan npada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Analisis Ekonomi

NET PRESENT VALUE


I. BIAYA INVESTASI PROYEK :
1 Total Biaya Konstruksi = 4.136.964.301 Rp
2 Biaya Operasional dan Maintenance per tahun. F = 41.369.643 Rp
3 Total Biaya Investasi (Cost). P = 4.178.333.944 Rp

II. PENDAPATAN PROYEK :


1 Jumlah penduduk yang dilayani = 5.257 Jiwa
2 Luas Areal Pertanian Lahan Kering yang dilayani = 19 Ha
3 Tingkat bunga per tahun, i = 11 %
4 Lama periode = 25 Tahun
3
5 Harga Air per m = 2.100 Rp
6 Jumlah Produksi Air Baku (Netto) per Tahun = 153.504 m3
7 Jumlah Pendapatan dari Air Baku Per Tahun = 322.358.400 Rp
8 Jumlah Produksi Air untuk Pertanian per Tahun = 81.337 m3
9 Jumlah Pendapatan dari Pertanian per Tahun = 170.807.700 Rp
10 Total pendapatan per tahun = 493.166.856 Rp

NPV = 13.315.897 Rp

3
Jadi dengan tingkat suku bunga i = 11% dan harga air Rp. 2.100/m
Nilai NPV = Positif berarti proyek layak untuk dilaksanakan
BCR = 1,0032
Nilai BCR > 1, berarti proyek layak untuk dilaksanakan

Berdasarkan Tabel analisis di atas dapat dilihat hasilnya sebagai berikut :


a. Harga air per m3 Rp. 2.100,- Melayani Penduduk 5.257 Jiwa.
b. N P V hasilnya adalah Positip > 0.
c. I R R tingkat bunga 11 % dibawah suku bunga pinjaman 15% dan di
atas SBI 6,5%.
d. Nilai B C R adalah 1,0032 atau > 1.
e. Nilai Payback Period (PBP) = 9,15 tahun atau 9 tahun..
f. Inflasi 7% nilai tunai investasi Rp. 10.355.235.341 di atas investasi awal
(layak)

Hasil analisis tersebut di atas menunjukkan projek rencana pengembangan air


baku layak untuk dilaksanakan karena dengan nilai investasi sebesar
Rp.4.136.964.300,-, biaya operasi dan pemeliharaan sebesar Rp. 41.369.643,- per
tahun dan penerimaan (pendapatan setiap tahun dari hasil penjualan air untuk rumah
tangga dan pertanian sebesar Rp.493.166.856,-. Hasil analisis ekonomi yaitu
berturut-turut hasil NPV > 0 (positif), IRR sebesar 11% masih dibawah standar
bunga kredit bank 15 % diatas bunga SBI 6,5% dan nilai B/C R sebesar 1,0032 diatas
1, nilai payback period (PBP) tingkat pengembalian investasi 9 tahun, umur proyek
25 th ini berarti menguntungkan, rekomendasi proyek layak untuk dilaksanakan.
Rencana pembangunan air baku desa sanggalangit ini juga mendapat dukungan dari
responden sebanyak 93 orang mewakili penduduk desa Sanggalangit, dari tenaga
kerja pertanian dan non pertanian, mereka menginginkan agar projek ini segera
dibangun, agar masyarakat lebih mudah mencari air dan masyarakat juga bisa ikut
berpartisipasi dalam pembangunan projek air baku ini. Hasil penelitian terhadap 93
responden dari 4 (empat) dusun sangat mendukung dan menyatakan bahwa ingin
berpartisipasi dalam pembangunan projek air baku desa sanggalangit.

Investasi
(Juta Rp)

Safety margin

4.136 BEP

Keterangan :
4000 Pengembalian investasi 9 tahun
Umur ekonomis proyek 25 tahun
Keuntungan diatas 9 tahun
3000

2000

1000 Tahun
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Gambar 1. Break Event Point (Pay Back Period)

Gambar 2. Lokasi Rencana Pengembangan Air Baku


KESIMPULAN

1. Rencana Pengembangan Air Baku Bagi Masyarakat Kritis Air akan dapat
mengatasi kekurangan air baku di Desa Sanggalangit dengan persediaan air
setahun sebesar 248.832.000 liter (248.832 M3)..
2. Hasil analisis ekonomi pengembangan air baku adalah NPV > 0 positif,
IRR 11% lebih kecil dari bunga kredit (diskonto) bank 15%, B/C R >1 yaitu
1,0032 dan tingkat pengembalian pinjaman (Payback Period) 9 dan tingkat
Inflasi 7% (Rp. 10.355.235.341,-), Rencana Pengembangan Air Baku Desa
Sanggalangit menguntungkan dan layak untuk dilaksanakan.
3. Rencana pengembangan air baku Desa Sanggalangit akan dapat
meningkatkan pendapatan, meningkatkan tingkat kesehatan masyarakat,
pengembangan pertanian, peternakan dan usaha industri rumah tangga
masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Halim, 2008, Analisis Kelayakan Investasi Bisnis, Edisi Perdana, Penerbit
Graha Ilmu. Yogyakarta.
Bappeda Kabupaten Buleleng. 2004. Revisi Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Kabupaten Buleleng tahun 2004-2014.
HM. Burhan Bungin. 2004. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Penerbit Kencana
Prenada Media Group. Jakarta.
Suad Husnan & Suwarsono Muhammad. 2000. Studi Kelayakan Proyek. Edisi ke
Empat. UPP AMP YKPN. Yogyakarta.
Kadariah. 2001. Evaluasi Proyek Analisis Ekonomi. Edisi Dua. Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.
Kuswadi. 2006. Analisis Ke Ekonomian Proyek, Penerbit Andi. Yogyakarta.
Mankiw. N. Gregory. 2000. Teori Makro Ekonomi. Edisi Keempat. Penerbit
Erlangga. Jakarta.
M. Giatman, 2005... Ekonomi Teknik, Editor H. Arsan Aliludin Penerbit PT. Raja
Grafindo Persada. Jakarta.
Peraturan Pemerintah RI No. 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem
Penyediaan Air Minum (SPAM).
Sugiyono, 2009, Statistika untuk Penelitian, Cetakan Kelima, Penerbit CV. Alfabeta.
Bandung.
Sukanto Reksohadiprodjo, 2002, Ekonomi Lingkungan Suatu Pengantar, Edisi 2.
Penerbit BPFE. Yogyakarta.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
Departemen Pekerjaan Umum RI.
EFEKTIFITAS PENGELOLAAN LIMBAH CAIR
DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR

Dewa Made Puspa1, Deden Ismail2, AA Putu Agung2


1
Master Programme on Regional Planning and Environmental Management Mahasaraswati
University of Denpasar.
2
Postgraduate Programs of Regional Planning and Environmental Management,
Mahasaraswati University Denpasar, Denpasar Bali, Indonesia.
*Corresponding author email: : pasca@unmas.ac.id.

ABSTRACT

Hospital waste can contain hazardous material because it can be poisonous,


infectious and either can be radioactive. Hospital waste as other waste, also contain
organic and anorganic substance which component can be measured by liquid waste
test such as BOD, COD, TSS, pH, microbiologic and others. The result quality of
liquid waste processed, depend on support system of the liquid waste process. Good
liquid waste processed is needed in supporting result quality of effluent therefore
liquid waste value will not over the standard that have been determined by
government and it would not pollute the environment. This research will be
observational which can be done by observing the quality of liquid waste before and
after IPAL processed. From this observation result, then it will be compared between
waste quality data before and after IPAL processed with dependent T test. For
analyzing quality of liquid waste (effluent) can be done by calculating mean of each
parameter, then it will be compared with standard value of liquid waste as in the Bali
Government Law No. 8 year 2007 (Pergub Bali No 8 Tahun 2007). From dependent
T test can be interpreted when all of the parameter of sig. (2-tailed) 0,000 value
which means there is difference quality from liquid waste before and after processed.
From the quality effluent compared with the standard value ; it found that the
majority of the parameter has fulfill the standard quality except for BOD5 and
NH3.As a conclusion, the processed of liquid waste is not yet fulfill all the parameter
of standard quality. This is due to the mechanism of liquid waste processed is not yet
optimum, biologically at aeration tank and biodetox tank. Therefore, evaluation on
the effectiveness on aeration and biodetox process need to be enhanced to ensure the
quality of liquid waste to fulfill standard quality.

Keywords : liquid waste, treatment, hospital

PENDAHULUAN
Rumah sakit merupakan institusi pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk
mengatasi segala permasalahan kesehatan masyarakat. Kegiatan tersebut nantinya
akan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, Namun disisi lain dapat
menimbulkan dampak negatif antara lain adalah limbah medis maupun non medis
yang dapat menimbulkan penyakit dan pencemaran yang perlu perhatian khusus.
Oleh karenanya perlu upaya penyehatan lingkungan rumah sakit yang bertujuan
untuk melindungi masyarakat dan karyawan akan bahaya pencemaran lingkungan
yang bersumber dari limbah rumah sakit.
Limbah rumah sakit dapat mengandung bahan berbahaya karena dapat
bersifat racun, infeksius dan juga radioaktif. Selain itu, karena kegiatan atau sifat
pelayanan yang diberikan, maka rumah sakit menjadi depot segala macam penyakit
yang ada di masyarakat, bahkan dapat pula sebagai sumber distribusi penyakit karena
selalu dihuni, dipergunakan, dan dikunjungi oleh orang-orang yang rentan dan lemah
terhadap penyakit. Di tempat ini dapat terjadi penularan baik secara langsung (cross
infection), melalui kontaminasi benda-benda ataupun melalui serangga (vector borne
infection) sehingga dapat mengancam kesehatan masyarakat umum (Dirjen PPM &
PL.2002).
Limbah rumah sakit adalah semua limbah yang dihasilkan oleh kegiatan
rumah sakit dalam bentuk padat, cair, dan gas (Menkes.2004). Apabila dibandingkan
dengan kegiatan instansi lain, maka dapat dikatakan bahwa jenis sampah dan limbah
rumah sakit dapat dikategorikan kompleks. Secara umum sampah dan limbah rumah
sakit dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu limbah klinis dan non klinis baik padat
maupun cair. Limbah klinis adalah yang berasal dari pelayanan medis, perawatan,
gigi, veterinari, farmasi atau sejenis, pengobatan, perawatan, penelitian atau
pendidikan yang menggunakan bahan-bahan beracun, infeksius berbahaya atau bisa
membahayakan kecuali jika dilakukan pengamanan tertentu.
Selain sampah klinis, dari kegiatan penunjang rumah sakit juga
menghasilkan sampah non klinis atau dapat disebut juga sampah non medis. Sampah
non medis ini bisa berasal dari kantor/administrasi kertas, unit pelayanan (berupa
karton, kaleng, botol), sampah dari ruang pasien, sisa makanan buangan; sampah
dapur (sisa pembungkus, sisa makanan/bahan makanan, sayur dan lain-lain). Limbah
rumah sakit bisa mengandung bermacam-macam mikroorganisme, tergantung pada
jenis rumah sakit, tingkat pengolahan yang dilakukan sebelum dibuang dan jenis
sarana yang ada (laboratorium, klinik dll). Tentu saja dari jenis-jenis mikroorganisme
tersebut ada yang bersifat patogen. Limbah rumah sakit seperti halnya limbah lain
akan mengandung bahan-bahan organik dan anorganik, yang tingkat kandungannya
dapat ditentukan dengan uji air kotor pada umumnya seperti BOD, COD, TTS, pH,
mikrobiologik, dan lain-lain.
Pada tahun 1992, di Perancis pernah terjadi 8 kasus pekerja kesehatan
terinfeksi HIV, 2 dianta-ranya menimpa petugas yang menangani limbah medis
(WHO. 2005). Hal ini menunjukkan bahwa perlunya pengelolaan limbah yang baik
tidak hanya pada limbah medis tajam tetapi meliputi limbah rumah sakit secara
keseluruhan. Namun, berdasarkan hasil Rapid Assessment, sebanyak 648 rumah sakit
dari 1.476 rumah sakit yang ada, yang memiliki insinerator baru 49% dan yang
memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) sebanyak 36%. Dari jumlah
tersebut kualitas limbah cair yang telah melalui proses pengolahan yang memenuhi
syarat baru mencapai 52% (Dirjen PPM & PL.2002).
Telah terjadi pencemaran posphat pada air sungai dan air sumur di sekitar
RSUP Sanglah. Sampel air sungai yang diambil dua kali yaitu pada bulan Februari
dan bulan Juli tahun 2008 menunjukan indikasi pencemaran (Status Lingkungan
Hidup.2008). Air selokan memiliki nilai BOD dan COD melebihi baku mutu limbah
sedangkan air sumur masih memenuhi baku mutu yang ditetapkan. Namun indikasi
pencema-ran amoniak terjadi baik pada air sungai maupun air sumur penduduk.
Hasil dari kualitas pengolahan limbah cair tidak terlepas dari dukungan pengelolaan
limbah cairnya. Suatu pengelolaan limbah cair yang baik sangat dibutuhkan dalam
mendukung hasil kualitas efluent, sehingga tidak melebihi syarat baku mutu yang
ditetapkan oleh pemerintah dan tidak menimbulkan pencemaran pada lingkungan
sekitar. Terkait masalah tersebut perlu dilakukan evaluasi yang berkelanjutan untuk
mengetahui efektifitas pengolahan limbah cair di RSU Sanglah Denpasar.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian observasional, yaitu dengan


mengobservasi kualitas limbah cair sebelum dan sesudah pengolahan IPAL.
Kemudian dari hasil obervasi dilakukan perbandingan antara data kualitas limbah
cair sebelum dengan sesudah mengolahan IPAL.
Pengambilan sampel dilakukan selama 7 hari dan masing-masing 7 kali
pengambilan pada bak inlet dan bak oulet air limbah RSUP Sanglah. Untuk
pemeriksaan fisika dan kimia diambil sampel sebanyak 2 liter sedangkan untuk
pemeriksaan mikro-biologi diambil sampel sebanyak 0,5 liter.
Untuk memperoleh perbandi-ngan kualitas limbah cair awal dan akhir maka
dilakukan uji t dua sampel berpasangan. Uji t dua sampel berpasangan merupakan uji
perbandingan (komparatif) yang bertujuan untuk membandingkan apakah dua varibel
tersebut sama atau berbeda. Secara umum persamaan uji t dua sampel sebagai berikut
(Suparman.1994). Lalu data dianalisa menggunakan bantuan program SPSS versi 17.
Analisa SPSS menggunakan uji t dengan tingkat signifikansi () adalah 5%
atau 0,05. Bila t hitung > 0,05 artinya tidak ada perbedaan, sedangkan bila 0,05
artinya terdapat perbedaan kualitas limbah cair sebelum dan sesudah pengolahan atau
disimpulkan pengelolaan limbah cair sudah efektif.
Sedangkan untuk menganalisa kualitas limbah cair (effluent) yakni dengan
menghitung nilai rata rata masing-masing parameter, lalu diban-dingkan dengan
nilai baku mutu limbah cair sesuai dengan Peraturan Gubernur Bali Bali No. 8 Tahun
2007. Bila kadar parameter limbah cair lebih besar dari baku mutu yang ditetapkan
artinya sistem pengolahan limbah cair belum berjalan dengan baik.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Sistem IPAL di RSUP Sanglah memiliki teknologi pengolahan yang


berbeda. IPAL Mahotama menggun-akan teknologi biodetox, merupakan bantuan
dari Austria sejak tahun 1996. Daya tampungnya adalah 240 m3 atau sekitar 240.000
liter per delapan jam (satu kali trip). Sehari bisa melakukan dua kali trip. IPAL ini
menampung seluruh limbah cair mulai dari instalasi gizi, laboratorium, ruangan
rawat inap (kecuali IRD dan Poliklinik). Sementara IPAL yang terletak di belakang
UGD menggunakan teknologi lumpur aktif (activated sludge). Menampung limbah
cair yang datang dari IRD seperti Ratna, MS, IRD dan Poliklinik. Daya tampungnya
70 m3 atau sekitar 70.000 Liter per delapan jam (satu trip). Pada tulisan ini peneliti
memfokuskan pada IPAL Mahotama karena merupakan IPAL utama RSUP Sanglah.
Air limbah dari unit-unit penghasil limbah cair sebelum masuk ke bak
penampungan (septic tank) dilakukan pretreatment berupa penyaringan dan dengan
sistem over flow kemudian air limbah mengalir melalui pipa-pipa menuju IPAL.
Namun seringkali muncul permasa-lahan penyumbatan pada perpipaan IPAL oleh
sampah-sampah yang dibuang pada saluran air. Sehingga limbah cair tersumbat dan
akhirnya mengalir keluar saluran.
Pada awalnya air limbah dialirkan ke dalam influent chamber. Dalam proses
penyaluran ke influent chamber ini, bahan padat dapat masuk ke sistem penyaluran.
Jika bahan padat masuk ke sistem penyaluran dan mencapai unit pengolahan maka
proses pengolahan limbah cair dapat terganggu. Oleh karena itu, pada influent
chamber dilakukan pengolahan pendahuluan yaitu melalui proses penyaringan
dengan basket screen. Air limbah dialirkan melalui saringan besi untuk menyaring
sampah yang berukuran besar. Sampah yang tertahan oleh saringan besi secara rutin
diangkut untuk menghindari terjadinya penyumbatan.
Kemudian air limbah dipompa-kan menuju bak equalisasi dan aerasi, guna
menstabilkan limbah yang akan masuk instalasi pengolahan. Namun sebelumnya
limbah cair melalui bak penyaring (grease trap) guna menyaring lemak atau minyak.
Kemudian lemak yang tersaring akan terapung dan diambil secara berkala.
Air limbah lalu dialirkan menuju bak equalisasi dan aerasi. Di dalam bak
equalisasi, air limbah dibuat menjadi homogen dan alirannya diatur dengan flow
regulator. Flow regulator yang terdapat pada bak equalisasi ini dapat mengendalikan
fluktuasi jumlah air limbah yang tidak merata, yaitu selama jam kerja air diperlukan
dalam jumlah banyak, dan sedikit sekali pada malam hari. Flow regulator juga dapat
mengendalikan fluktuasi kualitas air limbah yang tidak sama selama 24 jam dengan
menggunakan teknik mencam-pur dan mengencerkan. Dengan dibantu oleh diffuser,
air limbah dari berbagai sumber teraduk dan bercampur menjadi homogen dan siap
diolah. Selain itu, diffuser juga dapat menghilangkan bau busuk pada air limbah. Jadi
pada dasarnya equalisasi berguna untuk meredam fluktuasi air limbah sehingga dapat
masuk ke dalam IPAL secara konstan.
Pada bak aerasi terjadi proses oksidasi secara biologis dan biokimia. Proses
oksidasi secara biologis dan biokimia terjadi akibat penguraian bahan-bahan organik
oleh bakteri pengurai. Proses pengolahan secara biologis terjadi di dalam bak aerasi
dengan bahan-bahan organik yang terdapat dalam air limbah didekom-posisikan oleh
mikroorganisme menjadi produk yang lebih sederhana. Sehingga menyebabkan
bahan organik semakin lama semakin berkurang. Dalam hal ini bahan buangan
organik diubah dan digunakan untuk perkembangan sel baru (protoplasma) serta
diubah dalam bentuk bahan-bahan lainnya seperti karbondioksida, air, dan ammonia.
Proses ini berjalan secara aerobik dan sangat cepat akibat penambahan oksigen
secara terus-menerus ke dalam air limbah.
Kemudian air limbah beserta lumpur hasil proses biologis tadi dialirkan
kedalam bak sedimentasi (clarifier tank) agar dapat mengendap. Lumpur dialirkan
menggunakan pompa menuju bak pengering lumpur (sludge bed dryer). Sedangkan
lumpur-lumpur yang mengendap di dasar bak dibuang secara berkala ke bak lumpur
(sludge tank).
Air limbah selanjutnya dialir-kan menuju bak biodetox guna menjalani proses
pengolahan. Biode-tox merupakan seperangkat alat pengolahan air limbah buatan
Jerman dan alat ini menggunakan sistem pengolahan FBK (Fixed Bed Kascade),
bioreaktor berteknologi microbiologi aerob. Pada bak biodetox terjadi proses
biological treatment. Teknologi biodetox sendiri meng-gantikan fungsi dari lumpur
aktif.
Setelah menjalani proses biodetox air limbah mengalir menuju holding tank
dan dilakukan treatment menggunakan klorin. Pemberian klorin bertujuan untuk
mendeinfeksi bakteri seperti e.coli yang pada kadar tertentu berbahaya bagi manusia.
Pada bak klorin ini kadar klorin diatur sedemikian rupa secara otomatis
menggunakan pompa yang bertujuan mengatur jumlah klorin yang dialirkan ke
holding tank.
Selanjutnya dilakukan proses penyaringan pada tangki filtrasi (saringan
pasir). Pada tangki ini terjadi proses adsorpsi, yaitu proses penyera-pan zat-zat
pollutan yang terlewatkan pada proses koagulasi. Zat-zat polutan akan dihilangkan
oleh saringan pasir dan karbon aktif. Apabila seluruh permukaan karbon aktif ini
sudah jenuh, atau tidak mampu lagi menyerap maka proses penyerapan akan
berhenti, dan pada saat ini karbon aktif harus diganti dengan karbon aktif baru atau
didaur ulang dengan cara dicuci. Selanjutnya air limbah mengalir secara overflow
menuju bak penampungan akhir. Sebagian kecil air tesebut digunakan untuk
menyiram tanaman di sekitar IPAL dan sisanya mengalir menuju Tukad Badung
melalui saluran air got.
Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 7 kali pada inlet dan outlet IPAL
RSUP Sanglah. Setelah data hasil laboratorium didapat maka untuk mengetahui
efektifitas sistem IPAL RSUP Sanglah Denpasar dilakukanlah uji perbandingan. Dari
hasil uji t berpasangan diketahui bahwa seluruh parameter nilai sig.(2-tailed) 0,000
artinya terdapat perbedaan kualitas limbah cair antara sebelum dan sesudah
pengolahan (tabel 1). Sehingga dapat disimpulkan pengelo-laan limbah cair di RSUP
Sanglah sudah efektif. Dari hasil perhitungan prosentase efektifitas, seluruh
parameter limbah cair mengalami penurunan dan total coliform yang nilainya paling
tinggi yaitu 96,6% (tabel 2).
Dilihat antara kualitas effluent dibandingkan dengan baku mutu, sebagian besar
parameter sudah memenuhi baku mutu yang ditetapkan kecuali BOD5 dan NH3 (tabel
3).

Tabel 1 Uji t Parameter Limbah Cair di RSUP Sanglah

NO PARAMETER t df Sig. (2- Keterangan


tailed)
FISIKA
1 Temperatur 9 6 0,000 Signifikan
KIMIA
1 pH 11 6 0,000 Signifikan
2 BOD5 7 6 0,000 Signifikan
3 COD 12 6 0,000 Signifikan
4 TSS 13 6 0,000 Signifikan
5 NH3 3 6 0,021 Signifikan
6 PO4 14 6 0,000 Signifikan
MIKROBIOLOGI
1 Total coliform 107 6 0,000 Signifikan
Kadar BOD5 limbah cair hasil pengolahan IPAL sebesar 66,7 mg/l dari 30 mg/l
yang disyaratkan. Sedangkan kadar amoniak limbah cair hasil pengolahan IPAL
(effluent) masih jauh di atas baku mutu yaitu 18,7 mg/l dari 0,1 mg/l yang
disyaratkan.

Tabel 2 Efektifitas Pengelolaan Limbah Cair di RSUP Sanglah

NO PARAMETER @ Setelah Kadar


Pengolahan Maksimum
IPAL PerGub Bali No. 8 Tahun 2007
FISIKA
1 Temperatur 29 C 30
KIMIA
1 pH 6,9 6-9
2 BOD5 66,7 Mg/L 30
3 COD 19,6 Mg/L 80
4 TSS 10,2 Mg/L 30
5 NH3 18,7 Mg/L 0,1
6 PO4 1,5 Mg/L 2
MIKROBIOLOGI
1 Total coliform 815,7/100mL 10.000

Tabel 3 Perbandingan Limbah Cair di RSUP Sanglah

NO PARAMETER Rata-Rata Rata-Rata Prosentase Keterangan


Sebelum Sesudah Penurunan
Pengolahan Pengolahan (%)
FISIKA
1 Temperatur 29.5 29.0 1.4
KIMIA
1 pH 7.5 6.9 6.9
2 BOD5 85.7 66.7 22.2
3 COD 40.0 19.6 51.1
4 TSS 50.6 10.2 79.9
5 NH3 32.9 18.7 43.1
6 PO4 4.2 1.5 64.8
MIKROBIOLOGI
1 Total coliform 24000.0 815.7 96.6

RSUP Sanglah secara rutin sudah melaksanakan monitoring kualitas


limbahnya cairnya setiap 3 bulan sekali. Sedangkan setiap harinya petugas secara
rutin mengecek proses pengolahan limbah cairnya di unit IPAL nya. Kegiatan yang
dilakukan petugas antara lain mengangkat sampah, lemak yang tersaring pada inlet
dan grease trap. Selain itu juga mengontrol kadar clorin di bak clorin agar fungsi
desinfeksi effluent berjalan dengan baik.
Namun karena jumlah tenaga yang sangat terbatas yaitu sebanyak 3 orang
yang bertanggung jawab pada seluruh kegiatan sanitasi rumah sakit sehingga
terkadang fungsi ini tidak berjalan sebagaimana mestinya. Bila ini tidak segera
disikapi maka akan mempengaruhi kinerja sehingga fungsi kontrol dan monitoring
tidak berjalan dengan baik. Bila berlanjut akan berdampak pada efektifitas kerja
IPAL dan akhirnya berdampak negatif pada kualitas effluent yang akan dibuang ke
badan air (Dirjen PPM&PL.2002).
Tingginya nilai efektifitas IPAL tidak menjadi penentu bahwa IPAL telah
memiliki unit operasi dan unit proses yang baik. Keberhasilan kinerja IPAL sangat
ditentukan dengan hasil analisis kualitas outlet IPAL dengan cara membandingkan
dengan baku mutu air limbah. Apabila prosentase efektifitas IPAL tinggi, sementara
kualitas outlet berada di atas baku mutu air limbah, maka IPAL dinilai gagal
memenuhi persyaratan (kinerja buruk) dan sebaliknya (Djunaedi.H.2007).
Hasil dari kualitas pengolahan limbah cair tidak terlepas dari dukungan
pengelolaan limbah cairnya. Suatu pengelolaan limbah cair yang baik sangat
dibutuhkan dalam mendukung hasil kualitas effluent sehingga tidak melebihi syarat
baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah dan tidak menimbulkan pencemaran
pada lingkungan sekitar. Kualitas limbah yang dibuang ke sungai oleh rumah sakit
yang telah memiliki IPAL sangat ditentukan oleh kinerja IPAL yang digunakan,
Standar Operating Prosedure, dan kualitas sumberdaya manusia (SDM) sebagai
operator IPAL yang merupakan faktor penentu kinerja pengolahan limbah
(Djunaedi.H.2007).

KESIMPULAN

a. Pengelolaan limbah cair di RSUP Sanglah sudah efektif hal ini dapat dilihat dari
hasil uji t berpasangan diketahui bahwa seluruh parameter nilai sig.(2-tailed)
0,000 artinya terdapat perbedaan kualitas limbah cair antara sebelum dan sesudah
pengolahan. Dari hasil perhitungan prosentase efektifitas nampak parameter total
coliform yang nilainya paling tinggi yaitu 96,6%.
b. Perbandingan antara kualitas effluent dengan baku mutu sebagian besar
parameter sudah memenuhi baku mutu yang ditetapkan kecuali BOD5 dan NH3
atau amoniak. Hal ini disebabkan karena belum sempurnanya pengolahan limbah
cair secara biologis pada bak aerasi dan bak biodetox.

DAFTAR PUSTAKA

Djaja I. M. & D. Maniksulistya 2006, tentang Gambaran Pengelolaan Limbah Cair


Rumah Sakit X Jakarta, tersedia pada http:/ www. google. co.id. Diakses
tanggal 16 Desember 2009
Djunaedi. H. 2007. Kajian Efektivitas Pengolahan Limbah Cair Rumah Sakit, Studi
Kasus Rumah Sakit di DKI Jakarta , tersedia pada http:/ www. google.
co.id. Diakses tanggal 16 Desember 2009
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya Dan
Lingkungan. Kanisius. Yogyakarta
________, 1993. Pedoman Pemeliharaan Instalasi Pengelolaan Limbah Cair Rumah
Sakit DepKes Jakarta.
________, 2002. Pedoman Sanitasi Rumah Sakit di Indonesia, DirJen PPM & PL,
YanMed, DepKes.Jakarta
________,2008. Status Lingkungan Hidup (SLH) Kota Denpasar
Hefni.E. 2003. Telaah Kualitas Air, Kanisius, Yogyakarta
MenLH. UU No. 23 Tahun 2007 Pengelolaan Lingkungan Hidup, Republik
Indonesia.
MenLH.UU No. 18 Tahun 2008 Pengelolaan Sampah, RI
MenLH. KepMenKes No. 1204/Menkes/SK/X/2004 Persyaratan Kesehatan
Lingkungan Rumah Sakit
MenLH. KepMenLH. No. 58 TAHUN 1995 Tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi
Kegiatan Rumah Sakit
Muliartha. 2007 Efektifitas Pengelolaan Limbah Medis di RSUD Wangaya Tesis
tidak dipublikasikan Teknik Lingkungan UNUD
Nasir. 2009. Sanitasi Rumah Sakit, tersedia pada http:// www. Sanitasirumahsakitku
Blogspot.com. Diakses tanggal 16 Juli 2010.
Perdana.G. 2008. Sistem Pengolahan Lingkungan dan Limbah Industri, Yrama
Widya, Bandung
PerGub No. 8 Tahun 2007 Baku Mutu Lingkungan Hidup dan Kriteria Baku
Kerusakan Lingkungan Hidup, Propinsi Bali
Pusdiknakes. 1999. Pedoman Bidang Studi Pembuangan Tinja dan Air Limbah pada
Institusi Pendidikan Sanitasi/ Kesehatan Lingkungan, DepKes RI
Sumiati.S. 2007. Journal Analisis Pengelolaan Air Limbah di Pavililyun Kartika
RSPAD Gatot Subroto Jakarta, tersedia pada http:/ www. Google. Co.id.
Diakses tanggal 16 Desember 2009.
Sugiono. 2003. Statistika untuk Penelitian, Alfabeta, Bandung
Said. 2003.Makalah Lokakarya Pengelolaan Limbah Cair Rumah Sakit. Jakarta
Suparman, I. 1994. Makalah Rumus Statistik Induktif
Sugiharto. (1987). Dasar-dasar Pengelolaan Air Limbah. Jakarta
Salmin, 2005 Makalah Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen Biologi
(BOD) sebagai salah satu indikator untuk menentukan kualitas perairan,
Oseana, Volume XXX, Nomor 3
Utaminingsih, E. 2007 Pengaruh Luas Permukaan Media Dan Lama Aerasi
Terhadap Degradasi Kadar BOD, Amoniak, Nitrat, Nitrit, Dan Padatan
Total Tersuspensi Pada Pengolahan Limbah Cair Kantin VEDC Malang
Dengan Sistem Biofilm Media Batu Apung Skripsi FMIPA Malang
WHO. 2005 Pengelolaan Aman Limbah Layanan Kesehatan, EGC Jakarta
Wardana, A. W. 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan, Andi Yogyakarta
Wicaksono S. 2001. Karakteristik Limbah Rumah Sakit, Direktorat Jenderal
Pengawasan Obat dan Makanan, DepKes RI, Jakarta, Cermin Dunia
Kedokteran no.130.
STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM UPAYA
PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
DI OBYEK WISATA BUDAYA
(Studi Kasus tentang Desa Pakraman Penglipuran)

Dwi wahyuni1, Sang Putu Kaler Surata2, I Made Legawa2


1
Master Programme on Regional Planning and Environmental Management
Mahasaraswati University of Denpasar.
2
Postgraduate Programs of Regional Planning and Environmental Management,
Mahasaraswati University Denpasar, Denpasar Bali, Indonesia.
*Corresponding author email: : suratak@yahoo.com

ABSTRACT

Research Empowerment Strategy In Efforts To Increase Welfare Society


Object In Cultural Tourism (Case Studies on Rural Pakraman Penglipuran) has the
objective to identify potency had by Penglipuran Village as special tourism object,
studying the condition of internal environment in the form of weakness and strength
and also the condition of environment of eksternal in the form of threat and
challenge. formulating strategy development of cultural tourism. this Research
method is to use field method of research, that is direct researcher dig data in field by
observation, direct monitoring and interview in field. This research have the
character of qualitative fenomenologi that is research qualitative in giving of
meaning and look for my me esensi of society to tourist. Pursuant to result of
research, PenglipuranVillage have potency as cultural tourism object. natural
potency, culture, security and sociability represent especial for visitor to prevent the
happening of deviation in its management need governmental interference in
continuation of culture. local government require to promote more impetous so that
Peglipuran Village more knowledgeable by tourist. Stipulating of penglipuran
Village as cultural tourism object give opportunity to society to increase the quality
of life of good society, education and knowledge of society and also earnings of
society. according to statistical mountearnings per capita society of penglipuran
mount to be compared to earnings per capita society of bangli but the earnings still
less competent. Effort government to increase earnings of society of penglipuran
require to make balance to with existing regulasi .

Keyword : Penglipuran Village, Cultural Tourism

PENDAHULUAN

Lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan


Daerah mengamanat-kan tatanan perubahan dalam pemerintahan, dimana
Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota memperoleh kewenangan untuk
mengatur rumah tangganya sendiri. Implikasi dari undang-undang tersebut, setiap
daerah akan berusaha untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan
alamnya yang bersifat fundamental dan multidimensi, tidak hanya sebatas pada
bidang politik, ekonomi, tetapi juga dalam bidang pariwisata. Kesempatan ini
memacu masing-masing daerah untuk berlomba menggali potensi pariwisatanya
guna meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang diharapkan dapat
meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat.
Paradigma pembangunan pari-wisata yang telah berjalan sekian lama mampu
memberikan berbagai macam warna dan corak seiring dengan perkembangannya.
Sampai pada akhirnya pariwisata menjadi sektor andalan dalam meraih devisa dari
sektor non migas, namun disadari bersama potensi ini sangat rentan terhadap
berbagai gejolak sosial yang sering terjadi di masyarakat (Pitana, 2002). Seperti
halnya dengan berbagai musibah atau fenomena nyata yang menimpa Indonesia yang
datang silih berganti dimana kehadirannya tidak dapat diprediksi sebelumnya.
Fenomena ini membawa konsekuensi upaya untuk segera dapat memulihkan kondisi
perekonomian terutama jatuhnya pariwisata Bali sebagai salah satu andalan, baik
dengan cara promosi meningkatkan kualitas objek wisata dan sarana pendukungnya,
dan mengusahakan pengembangan objek wisata yang berbeda sehingga pariwisata
Bali mampu bersaing di tingkat internasional.
Proses perencanaan dan pengambilan keputusan dalam pro gram
pembangunan selama ini kerapkali dilakukan dengan cara top-down. Masyarakat
seringkali diikutkan tanpa diberikan pilihan dan kesempatan untuk memberi
masukan, masyarakat ditempatkan pada posisi yang membutuhkan bantuan dari luar.
Bantuan yang diberikan menciptakan ketergantungan yang pada gilirannya akan
lebih menyusahkan daripada menolongnya (Deliveri, 2004).
Terminologi pemberdayaan masyarakat kadang-kadang sangat sulit
dibedakan dengan penguatan masyarakat serta pembangunan masyarakat (community
development). Dalam prakteknya seringkali termino-logi-terminologi tersebut saling
tumpang tindih, saling menggantikan dan mengacu pada suatu pengertian yang
serupa. Cook (1994) mengungkapkan bahwa pembangunan atau secara spesifik
pembangunan masyarakat merupakan konsep yang berkaitan dengan upaya
peningkatan atau pengembangan. Ini merupakan tipe tertentu tentang perubahan
menuju kearah yang positif. Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu tipe tertentu
sebagai upaya yang disengaja untuk memacu peningkatan atau pengembangan
masyarakat. Sedangkan Giarci (2001) memandang pemberdayaan masyarakat
(community empowerment) sebagai suatu hal yang memiliki pusat perhatian dalam
membantu masyarakat pada berbagai tingkatan umur untuk tumbuh dan berkembang
melalui berbagai fasilitas dan dukungan agar mereka mampu memutuskan,
merencanakan dan mengambil tindakan untuk mengelola dan mengembangkan
lingkungan fisiknya serta kesejahteraan sosialnya.
Istilah pemberdayaan masya-rakat mengandung arti yaitu merupakan proses
dimana usaha-usaha masyarakat disatukan dengan usaha-usaha pemerintah untuk
memperbaiki keadaan ekonomi, sosial dan kultural masyarakat, menyatukan
masyarakat kedalam kehidupan bangsa dan memungkinkan masya-rakat
menyumbang secara penuh bagi kemajuan nasional (Raharjo, 1987 dalam Slamet,
1992:4-5). Bartle (2003) mendefinisikan pemberdayaan masyarakat sebagai alat
untuk menjadikan masyarakat semakin komplek dan kuat. Ini merupakan suatu
perubahan sosial dimana masyarakat menjadi lebih komplek, institusi lokal tumbuh,
kekuatan kolektifnya meningkat serta terjadi perubahan secara kualitatif pada
organisasinya.
Meskipun belum ada kesepahaman dan pengertian yang baku tentang
pemberdayaan masyarakat atau yang secara umum juga dikenal dengan community
empowerment, nampaknya cukup penting dan berguna untuk mengadopsi pengertian
pemberdayaan masyarakat yang dirilis oleh Tim Deliveri (2004) sebagai salah satu
acuan Proses pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses yang bertitik tolak
untuk memandirikan masyarakat agar dapat meningkatkan taraf hidupnya sendiri
dengan menggunakan dan mengakses sumberdaya setempat sebaik mungkin Proses
tersebut menempatkan masyarakat sebagai pihak utama atau pusat pengembangan
(people or community centered development).
Berdasarkan persinggungan dan saling menggantikannya penger-tian tentang
community development dan community empowerment, secara sederhana dapat
disarikan beberapa esensi kunci dalam upaya pemberdayaan masyarakat. Pember-
dayaan masyarakat merupakan upaya yang disengaja untuk memfasilitasi masyarakat
lokal dalam meren-canakan, memutuskan dan mengelola sumberdaya lokal yang
dimiliki melalui collective action dan networking sehingga pada akhirnya mereka
memiliki kemampuan dan kemandirian secara ekonomi, ekologi, dan sosial.
Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan seperti yang telah dijelaskan
di atas, tentunya diperlukan perumusan permasalahan sehingga penelitian menjadi
lebih terarah. Permasalahan yang cukup penting dan patut untuk di teliti adalah
1. Potensi apa saja yang mendukung serta yang dimiliki oleh Desa Pakraman
Penglipuran, Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli Kabupa-ten Bangli sebagai
wisata budaya?
2. Apakah kebijakan Pemerintah Daerah menetapkan Desa Pakra-man Penglipuran
sebagai obyek daya tarik wisata khusus mem-pengaruhi pola pikir masyarakat ?
3. Bagaimana strategi pelaksanaan kebijakan pemberdayaan masya-rakat oleh
Pemerintah Daerah Bangli terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat serta
apakah kebijakan tersebut merupakan pilihan bagi masya-rakat setempat?

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan pene-litian lapangan. Studi lapangan dilakukan


dengan memilih Desa Pakraman Penglipuran yang memper-tahankan budaya
tradisional dalam tantangan arus modernitas. Supaya penelitian yang dilakukan dapat
menjawab permasalahan penelitian yang diajukan, tentunya diperlukan penggunaan
metode penelitian yang tepat sehingga penelitian dapat menggali data-data yang
dibutuhkan sesuai dengan topik penelitian.
Desa Pakraman Penglipuran dipilih karena desa adat ini telah ditetapkan
sebagai obyek wisata tradisional oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bangli,
sehingga menjadi pertimbangan untuk melakukan pene-litian mengenai
perkembangan pendidikan, pola pikir, peningkatan kesejahteraan ditengah-tengah
deras nya arus isu kesejahteraan, modernitas dan gobalisasi digunakan metode
deskriptif (field research) dengan pendekatan kualitatif. Dengan metode field
research, peneliti terjun langsung menggali data dilapangan dengan cara observasi
terlibat, wawancara serta melakukan deskripsi di lapangan untuk memelajari
masalah-masalah dalam Desa Pakraman Penglipuran tentang perubahan nilai atau
pandangan, prilaku serta proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh
dari suatu fenomena (kebijakan Pemerintah Daerah Bangli). Wawancara kepada
tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat serta pihak-pihak lain yang terkait
dimaksudkan untuk mendengar keterangan dari mereka tentang fakta-fakta, kejadian
yang mereka alami dan mereka ketahui. Dalam memaknai penelitian ini, peneliti
melakukan studi kepustakaan dengan mengkaji berbagai literatur, dokumen dan
karya-karya lain yang berkaitan dengan permasalahan penelitian ini. Guna lebih
menyempurnakan hasilnya maka selama penelitian maupun penulisannya penulis
menggunakan metodologi penelitian sosial yang telah ada.
Penelitian ini cakupannya hanya membahas strategi pemberdayaan
masyarakat dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat di obyek wisata
budaya Desa Pakraman Penglipuran, dimana penjelasan dilakukan dengan
mengamati hal-hal apa saja dalam pokok-pokok kebijakan seperti yang sudah
diuraikan dalam bab sebelumnya, yang sudah dilaksanakan dan temuan-temuan apa
yang ditemui di lapangan baik yang menghambat maupun yang mendorong
tercapainya tingkat kesejahteraan masyarakat di Desa Pakraman Penglipuran.
Penelitian ini bersifat kualitatif-fenomenologik. Penelitian kualitatif tertarik
pada pemberian makna dan mencari esensi yang diperolehnya sendiri dari perilaku
masyarakat yang memicu daya tarik wisatawan. Peneliti memahami proses degradasi
yang terjadi ditengah-tengah masyarakat sebagai akibat isu kesejahteraan, modernitas
dan glo balisasi. Dalam pandangan fenome nologik, penelitian bermakna mema hami
peristiwa-peristiwa dalam kaitannya dengan orang dalam situasi tertentu. Dengan
karakteristik peneli tian ini maka arah penelitian secara garis besar bermuara
mempertemukan atau mendialogkan antara kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten
Bangli dengan pengaruh perkembangan modernitas dan globalisasi.
Penelitian ini juga bersifat atau termasuk dalam penelitian Discriptif
Explanatory dimana peneliti berusaha menjelaskan dari kejadian yang diteliti secara
seksama dengan memakai alat analisa SWOT yaitu suatu analisa strategi dengan
dasar pada logika dengan memaksimalkan faktor kekuatan dan peluang namun
secara bersamaan bisa meminimalkan kelemahan dan ancaman yang datang dari luar.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Berdasarkan hasil penelitian Desa Pakraman Penglipuran memiliki kekuatan
untuk ditetapkan menjadi obyek wisata budaya, kekuatan tersebut adalah panorama
alam yang indah dan udara yang sejuk, budaya yang unik. Desa Pakraman
Penglipuran memiliki kelemahan yaitu rendahnya tingkat pendidikan, pendapatan per
kapita yang masih dibawah standar kelayakan dan upah pungut yang tidak seimbang.
Peluang yang dimiliki adalah pemberdayaan masyarakat melalui penetapan sebagai
obyek wisata budaya, namun ancaman yang ada yaitu kemajuan teknologi, derasnya
arus informasi dan pengaruh era globalisasi yang menyebabkan mulai terjadi
pergeseran budaya yang terlihat pada perubahan bentuk fisik bangunan dari
tradisional ke arah bangunan modern.
Desa Pakraman Penglipuran memiliki kekuatan untuk dijadikan sebagai
obyek wisata budaya, data juga menunjukkan masih ada kelemahan yang perlu
diminimalkan. Desa Pakraman Penglipuran juga memiliki peluang untuk
pemberdayaan masyarakat melalui pariwisata budayanya, namun masih perlu adanya
dukungan dari Pemerintah Daerah melalui promosi pariwisata dan memberikan
kesem patan Desa Pakraman Penglipuran memperkenalkan budayanya baik di event
regional, nasional maupun internasional. Ancaman berupa faktor yang
mempengaruhi pariwisata terhadap tercemarnya budaya, sehingga masih perlu
strategi untuk mengatasi ancaman yaitu dengan adanya campur tangan Pemerintah
Daerah untuk memperhatikan kelestarian budaya melalui penetapan kebijakan di
bidang kebudayaan.
Melalui proses internasionalitas ini masyarakat menjadi touristic society.
Dengan demikian, masyarakat Desa Pakraman Penglipuran bukan saja mempunyai
budaya kecil, budaya besar dan budaya modern, tetapi juga budaya touristik. Proses
internasionalitas dan touristifikasi mempunyai dampak yang sangat tinggi terhadap
eksistensi kebudayaan lokal, yang mampu mentransformasikan kondisi sosial-
budaya masyarakat setempat. Dengan kehadiran pariwisata, masyarakat secara
dinamis dan kreatif telah mendialogkan antara proses internasionalisasi dan
tradisionalisasi untuk melakukan metamorfosis. Kalau dilihat dalam kurun waktu
yang panjang, jelas manusia dan kebudayaan sudah berubah, namun esensi
masyarakat Desa Pakraman Penglipuran masih tetap kuat. Perubahan sosial-budaya
yang terjadi melalaui proses dialog antara kekuatan internasionalitas dan
tradisionalisasi ini menyebabkan manusia Desa Pakraman Penglipuran seakan-akan
melakukan konversi. Namun konversi tersebut dilakukan tetap dalam Agama
Hindu dengan nuansa Bali yang kental.
Berdasarkan hasil penelitian masyarakat mash merasakan ketidak
seimbangan pembagian retribusi antara pemerintah daerah dengan masyarakat.
Menurut SK Bupati Kepala Daerah Tingkat II Bangli Nomor 116 Tahun 1993,
tentang Penunjukan Desa Pakraman Penglipuran sebagai Petugas Upah Pungut
Retribusi Obyek Wisata, pembagian retribusi terdiri dari 20% untuk ongkos pungut,
10% untuk pemeliharaan kebersihan dan 10% untuk pemeliharaan ketertiban/
keamanan. Rumusan pembagian retribusi yang demikian pada saat ditetapkan
keputusan itu mungkin sudah mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakat,
namun pada kondisi saat ini seiring dengan kebutuhan masyarakat rumusan
pembagian tersebut sudah tidak sesuai diperlakukan lagi sehingga perlu adanya
pembenahan agar lebih seimbang.
Berdasarkan hasil penelitian Desa Pakraman Penglipuran memiliki kekuatan
untuk dijadikan sebagai obyek wisata budaya, kekuatan yang dimiliki adalah
memiliki potensi alam, budaya,keramahan pendududuk dan keamanan. Data juga
menunjukkan masih ada kelemahan yang perlu diminimalkan, kelemahan tersebut
adalah pergeseran bentuk fisik bangunan. Desa Pakraman Penglipuran juga memiliki
peluang untuk pemberdayaan masyarakat melalui pariwisata budayanya, namun
masih perlu adanya dukungan dari pemerintah daerah melalui promosi pariwisata
dan memberikan kesempa tan Desa Pakraman Penglipuran memperkenalkan
budayanya baik di event regional, nasional maupun internasional. Ancaman berupa
faktor yang mempengaruhi pariwisata terhadap tercemarnya budaya, sehingga masih
perlu strategi untuk mengatasi ancaman yaitu dengan adanya campur tangan
pemerintah daerah untuk memperhatikan kelestarian budaya melalui penetapan
kebijakan di bidang kebudayaan. Penetapan Desa Pakraman Penglipuran sebagai
obyek wisata budaya telah memberikan peluang kepada masyarakat mening katkan
kualitas hidupnya yang meliputi tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan
pengetahuan masyarakat. Menurut data statistik tingkat pendapatan perkapita
masyarakat Desa Pakraman Penglipuran memang lebih tinggi dari tingkat
pendapatan perkapita Kabupaten Bangli tetapi pendapatan per kapita tersebut masih
kurang dari batas layak. Startegi Pemberdayaan masyarakat melalui Penetapan Desa
Pakraman Penglipuran sebagai Obyek Wisata Budaya dalam upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat dapat dilaksanakan namun masih perlu diimbangi dengan
regulasi yang ada.

KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan hasil penelitian, maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut :
1. Masyarakat Desa Pakraman Penglipuran memiliki potensi untuk dijadikan
obyek wisata budaya. Masyarakat Desa Pakr aman Penglipuran
merefleksikan serta mengimplementasikannya melalui tradisi/budaya,
struktur bangunan dan penataan lingku ngan. Keharmonisan tersebut
menjadikan lingkungannya tetap asri dengan penduduknya ramah tamah.
2. Meskipun budaya dan pariwisata telah menjadi budaya di Desa Pakraman
Penglipuran dan telah mengalami proses touristification, identitas budaya
masyarakat Desa Pakraman Penglipuran masih tetap, kalau boleh dikatakan
menguat. Temuan -temuan lapa ngan juga menunjukkan bahwa kebudayaan Desa
Pakraman Penglipuran sampai saat ini masih sangat kuat melekat pada identitas
orang Desa Pakraman Penglipuran dan kekhawatiran bahwa simpul-simpul
budaya telah tercerai-berai tidaklah benar. Meskipun telah lama terjadi kontak
yang intensif dengan pariwisata, identitas keasliannya ternyata menguat
walaupun arus internasionalisasi semakin derasnya.
3. Penetapan Desa Pakraman Penglipuran sebagai obyek wisata budaya telah
memberikan peluang kepada masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidupnya
yang meliputi tingkat pendapatan, tingkat pendidikan serta pengetahuan
masyarakat. Menurut data statistik tingkat pendapatan perkapita masyarakat Desa
Pakraman Penglipuran memang lebih tinggi dari rata-rata tingkat pendapatan
perkapita Kabupaten Bangli, tetapi pendapatan perkapita tersebut masih kurang
dari batas layak sebagai Daerah tujuan wisata. Strategi Pember dayaan
masyarakat melalui Pene tapan Desa Pakraman Penglipuran sebagai Obyek
Wisata Budaya dalam upaya peningkatan kesejah teraan masyarakat dapat
dilaksa nakan namun masih perlu diimbangi regulasi yang ada.

DAFTAR PUSTAKA
Pemuda TKI Bali 1991. Undang-undang Republik Indonesia No. 9 Tahun 1990
tentang Kepariwisataan Pemerintah Daerah Tingkat I Bali,1991.
Peraturan No. 3 Tahun 1991 Daerah Tingkat I Bali Tentang Pariwisata
Budaya,2000.
Undang-undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bangli. 2008. Statistik Kepariwisataan
Kab. Bangli 2008. Bangli :
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bangli. 2008. Informasi
Kepariwisataan Kab. Bangli 2008. Bangli : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Kabupaten Bangli.
ANALISIS KELAYAKAN SECARA TEKNIS, LINGKUNGAN DAN SOSIAL
EKONOMI USAHA PERTAMBANGAN BATU ANDESIT DI DESA UMA
ANYAR SERIRIT BULELENG

I Gede Kardyasa1, Sang Putu Kaler Surata2, I Made Legawa2


1
Master Programme on Regional Planning and Environmental Management Mahasaraswati
University of Denpasar.
2
Postgraduate Programs of Regional Planning and Environmental Management,
Mahasaraswati University Denpasar, Denpasar Bali, Indonesia.
*Corresponding author email: : suratak@yahoo.com

ABSTRACT

This research aims at analyzing the feasibility of andesitic mining in terms of


technical, environmental and economical; calculating the amount of capital required
and determining the perception of the society on the environmental consequences of
the mining. The research shows that technically, the mining applies open mining
method with maximum ladder height and tilt is six meters and forty-five degrees.
Primary data was collected from thirty respondents, which are local villagers who
lived in Uma Anyar, to determine the perception of the society regarding the
andesitic mining. Data processing reveals the investment required for andesitic
mining in Uma Anyar village, which includes landscaping, building, taxes,
equipments, fuels and workers, is IDR. 4,386,700,000. The production cost and
reclamation assurance is IDR. 394.869.836,- and IDR. 76,250,000,- consecutively.
The technical analysis result illustrates that the mining applies open mining
technique that use combination of shovel-truck equipment, which made it suitable for
mining business. The perception of the society regarding the environmental
consequences of the mine is positive, 96.7% of the respondents agree since it is
considered to be safe. The impact of the mining to the quality of the environment,
especially noise level is 93.3%, plant damage is 83.3% and the air quality is only
above 60% due to dust and fumes. Nevertheless, the society gives 100% of support
towards the reclamation efforts which to be conducted at the end of the mining
period and towards the initiative to participate in environmental management. In
terms of socio-economic, 96.7% of the respondents are expecting the mining since it
would create a field of work for the locals. Based on economical feasibility study, the
investment value of IDR. 4,386,700,000 is commendable with Net Present Value
(NPV) of IDR. 984.425.921,- (NPV>0), Internal Rate of return (IRR) of 21% and
Break Even Point (BEP) of 40 months (less than the period of the mine, 60 months).
Keywords: Mining, technical, economical and environmental feasibility

PENDAHULUAN

Pesatnya pembangunan di daerah Bali terutama pembangunan fisik, perlu


ditunjang oleh tersedianya bahan baku batu andesit yang memadai demi kelancaran
kegiatan pembangunan tersebut, sehingga tingkat kebutuhan akan material tersebut
cukup besar. Keadaan tersebut akan mendorong usaha pertambangan batu andesit
dalam skala besar, yang cepat atau lambat akan membawa dampak terhadap
lingkungan, sedangkan dilain pihak potensi batu andesit di Provinsi Bali sangat
terbatas/menipis, sehingga keadaan ini perlu perhatian semua pihak.
Penelitian yang pernah dilakukan terhadap kelayakan penambangan batu
andesit atau deposit bahan tambang lainnya yang ada di Provinsi Bali khususnya di
Kabupaten Buleleng belum ada yang menyusun hasil-hasil penelitian itu dalam satu
laporan Kelayakan Usaha Pertambangan, laporan seperti ini akan memudahkan
instansi terkait untuk mempromosikan potensi alam yang dimiliki.Kebijakan
pemerintah daerah Provinsi Bali khususnya ada enam sektor kegiatan yang
prospektif ditawarkan untuk penanaman modal besar. Bidang yang
direkomendasikan mencakup sektor pertanian, pertambangan (galian C), industri
serta pariwisata khususnya obyek wisata. Kegiatan yang direkomendasikan bukan
hasil dari studi kelayakan, melainkan hasil yang dapat dipakai sebagai pedoman
dalam memilih bidang usaha prospektif yang selanjutnya harus diikuti dengan
pembuatan studi kelayakan.
Usaha yang akan dijalankan diharapkan dapat memberikan penghasilan
sesuai dengan target yang telah ditetapkan. Pencapaian tujuan usaha harus memenuhi
beberapa kriteria kelayakan usaha. Artinya, jika dilihat dari segi bisnis, suatu usaha
sebelum dijalankan harus dinilai pantas atau tidak untuk dijalankan. Pantas artinya
layak atau akan memberikan keuntungan dan manfaat yang maksimal. Dapat
disimpulkan bahwa pengertian kelayakan usaha adalah suatu kegiatan yang
mempelajari secara mendalam tentang suatu kegiatan, usaha, atau bisnis yang akan
dijalankan, dalam rangka menentukan layak atau tidak usaha tersebut dijalankan.
Memperhatikan kondisi dilapangan dan konsekwensi hal tersebut diatas, kegiatan di
bidang pertambangan dipandang perlu untuk ditangani secara lebih baik, antara lain
dengan membuat perencanaan yang memadai yang mana sampai saat ini belum ada
usaha pertambangan di Provinsi Bali yang membuat analisis kelayakan sebelum
beroperasi.
Penilaian kelayakan suatu usaha tambang merupakan usaha untuk menjamin
agar pengeluaran modal yang ketersediaannya bersifat terbatas, betul-betul mencapai
tujuan seperti yang diharapkan, ditinjau dari segi manfaat ekonomi, finansial maupun
sosial. Analisis kelayakan memuat keterangan dan data kuantitatif mengenai usaha
tambang tersebut. Di sini dapat dilihat apakah penambangan bisa dilaksanakan
menurut perbandingan biaya dan hasil yang layak untuk cara kerja dan jangka waktu
tertentu.
Beberapa permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : (a)
Apakah usaha pertambangan batu andesit layak apabila di eksploitasi?, (b) Berapa
besar investasi yang diperlukan untuk usaha pertambangan batu andesit?, (c)
Bagaimana persepsi masyarakat terhadap dampak lingkungan yang terjadi apabila
dilakukan eksploitasi? Sedangkan tujuan penelitian ini: (a). Menganalisis kelayakan
usaha pertambangan batu andesit baik secara teknis, lingkungan maupun ekonomi,
(b). Menghitung besarnya modal yang diinvestasikan untuk melakukan usaha
pertambangan batu andesit (c).Mengetahui persepsi masyarakat terhadap dampak
lingkungan akibat usaha pertambangan batu andsit.
METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Desa Uma Anyar Kecamatan Seririt, Kabupaten


Buleleng dengan karakteristik fisik lapangan berbukit dengan kemiringan datar
sampai terjal. Dari peta lokasi tersebut akan ditentukan letak bangunan infrastruktur
seperti kantor, mess karyawan, bengkel, tempat pengolahan, tempat penyimpanan
material (stock file). Untuk mengetahui ketebalan lapisan batu andesit dilakukan
dengan pemboran lapisan sebanyak 3 (tiga) titik. Selanjutnya dari luasan dan
ketebalan batu andesit akan dihitung potensi batu andestit yang ada
Bahan dan Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah :a) Peta
Situasi Provinsi Bali skala 1 : 750.000, b) Bor batuan untuk mengukur kedalaman
batu andesit, c) Theodolit untuk mengukur luas daerah penelitian, d) Kompas untuk
menentukan azimut tempat penelitian dan e) Kuisioner yang disebarkan dengan
pernyataan tertutup sebanyak 30 responden. Pengukuran terhadap kuisioner tersebut
menggunakan alat ukur dengan skala likert. Data kuisioner dikatagorisasi sesuai
dengan frekuensi atau dominasi pilihan pertanyaan-pertanyaan yang memulai 3
pilihan yaitu setuju, kurang setuju dan tidak setuju. Variabel-variabel yang dikaji
adalah variabel teknis, lingkungan dan sosial-ekonomi.
Dalam Penelitian ini dilakukan perhitungan analisis kelayakan dengan
metode deskriftif kuantitatif yaitu dengan mengumpulkan data primer dan skunder.
Data Primer terdiri dari : (1) luas areal yang diukur dengan theodolit untuk
menentukan letak bangunan infrastruktur dan penempatan penyimpanan material
(stock file), (2) ketebalan lapisan batu andesit yang didapatkan dari hasil sampel
pemboran untuk menghitung potensi atau cadangan yang ada, (3) Harga bibit
tanaman untuk menghitung biaya reklamasi, (4) Harga material untuk menghitung
evaluasi ekonomi.(5) Data yang diperoleh dari responden melalui kuisioner untuk
mengetahui persepsi masyarakat terhadap dampak lingkungan apabila dilakukan
eksploitasi.
Data sekunder berupa: (1) Daerah potensi bahan tambang Kab. Buleleng, (2)
Data/ informasi menge nai bidang strategis Kab. Buleleng, (3) Peta-peta tata ruang,
penyebaran fasilitas dan kepemilikan lahan Kab. Buleleng, (4) Upah Minimum
Regional (UMR) Kabupaten Buleleng dan (5) Harga-harga alat berat yang
digunakan.

Analisis Data
Analisis menggunakan program yang disebut Mining Evaluation Software
yang dirancang berdasarkan perhitungan secara manual. Data yang diproses meliputi
: a) untuk kelayakan teknis meliputi peta rencana tambang dan penempatan bangunan
infrastruktur, b) untuk kelayakan lingkungan meliputi data jumlah dan harga tanaman
yang diperlukan untuk reklamasi, data kuisioner dianalisis dengan menggunakan
bantuan tabel-tabel dari berbagai fenomena yang akan dideskripsikan, pembahasan
dilakukan menggunakan bantuan prosentase sehingga diperoleh gambaran yang
komprehensip atas fenomena yang diamati. c) untuk kelayakan ekonomi meliputi
biaya produksi (production cost) yaitu biaya tetap dan biaya tidak tetap. Terpenting
dalam analisis ini adalah suatu data aliran uang tunai didalam perusahaan (cash flow)
dengan maksud untuk memperhitungkan tingkat pengemba lian modal yang secara
langsung dapat digunakan sebagai indikator bagi tingkat keuntungan suatu proyek.
Lebih lanjut desain penelitian dapat dilihat pada gambar berikut ini.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Kelayakan Teknis


Untuk menganalis Kelayakan teknis diperlukan data-data luas lahan, peta
rencana penambangan meliputi teknik penambangan dan penempatan bangunan
infrastruktur. Hasil pemetaan situasi diperoleh luas lahan yang dianalisis 5 Ha.
Sesuai peta rencana tambang diperoleh, metode penambangan yang dipakai adalah
metode tambang terbuka dengan tinggi jenjang maksimal 6 meter dan kemiringan
jenjang maksimal 45.
Kegiatan pertambangan dikatakan layak secara teknis apabila kegiatan
tersebut sesuai dengan peta rencana penambangan serta metode penambangan
yang digunakan yang tujuan utamanya agar tambang nantinya tidak rawan
kecelakaan (aman bagi pekerja) tetapi recovery penambangan dan pengolahannya
tinggi (optimal).
Metode penambangan yang digunakan adalah tambang terbuka dengan
sistem berjebjang. Peralatan yang digunakan adalah kombinasi antara alat
bongkar-muat excavator dengan alat angkut dump truck. Sesuai peta rencana
penambangan, teknik penambangan dimulai dari level paling atas terus ke level
bawah hal ini dilakukan untuk memudahkan pekerjaan dan keama nan para
pekerja tambang.
Penempatan bangunan infra struktur seperti kantor, mess karya wan,
bengkel, tempat pengolahan dan tempat penyimpanan material (stock file)
disesuaikan dengan kondisi lapangan sehingga tidak mengganggu kenyamanan
aktivitas penambangan.
Secara teknis, penambangan batu di Desa Uma Anyar layak dilaksanakan
karena sesuai dengan peta rencana penambangan dan peraturan-peraturan yang
ada.

Analisis Kelayakan Lingkungan


Hasil perhitungan jaminan reklamasi yang wajib diserahkan pada usaha
pertambangan batu andesit di Desa Uma Anyar adalah sebesar Rp. 76.250.000.
Selain dalam bentuk jaminan reklamasi, pengusaha juga mengeluarkan biaya tidak
tetap (variable cost) pada saat produksi untuk reklamasi tambang sebesar Rp. 7.500,-
/m atau Rp. 46.875.000,-/bulan.
Untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap dampak lingkungan yang
diakibatkan dengan adanya usaha pertambangan batu andesit, dilakukan pengambilan
data primer dari anggota masyarakat yang bertempat tinggal di kawasan Desa Uma
Anyar sebanyak 30 responden. Dari 30 responden yang ada terdiri dari 9 responden
petani, 2 responden ibu rumah tangga, 9 responden wiraswasta dan 10 responden
pegawai termasuk didalamnya Perbekel Desa Uma Anyar. Untuk mempermudah
mendiskripsikan pendapat masyarakat adat terhadap keberadaan penambangan batu
andesit, dibuat katagorisasi sesuai dengan frekuensi atau dominasi pilihan
pertanyaan-pertanyaan yang memulai 3 pilihan yaitu setuju, kurang setuju dan tidak
setuju. Hasil kuisioner dapat dilihat pada tabel berikut ini:
.

Tabel 01. Hasil Kuisioner

No Pilihan
Pertanyaan Jumlah
S KS TS
Teknis :
1 Ada investor yang melakukan
kegiatan penambangan di daerah 29 1 0 30
Uma Anyar
2 Penambangan batu andesit ini tahu
28 2 0 30
dari melihat sendiri
3 Penambangan batu andesit ini tahu
27 2 1 30
dari penjelasan orang lain
4 Secara teknis penambangan batu
andesit ini tidak berbahaya bagi 20 9 2 30
masyarakat lingkungan
5 Penambangan batu andesit ini akan
menimbulkan kebisingan karena 28 2 0 30
banyak truk pengangkut material
6 Penambangan batu andesit ini banyak
23 7 0 30
menimbulkan debu beterbangan
7 Penambangan ini akan merusak
23 7 0 30
tumbuh-tumbuhan di lokasi tambang
8 Penambangan ini menyebabkan
udara menjadi kotor karena asap alat 25 5 0 30
berat
9 Penambangan batu andesit ini akan
berpengaruh terhadap daerah aliran 18 12 0 30
sungai
10 Penambangan batu ini
19 10 1 30
mempengaruhi iklim di sekitar lokasi
11 Dalam Penambangan batu andesit ini
masyarakat agar di ikutkan dalam 14 15 1 30
proses pengelolaan lingkungan
12 Pada akhir penambangan dilakukan
30 0 0 30
reklamsi oleh perusahaan penambang
13 Reklamasi dilakukan sesuai dengan
yang tertera pada dokumen UKL- 30 0 0 30
UPL
14 Reklamasi sesuai peruntukan apabila
30 0 0 30
masyarakat menginginkannya
15 Penambangan batu andesit ini dekat
dengan perkampungan sehingga 19 11 0 30
mengganggu wilayah Banjar Adat
16 Penambangan berdampak pada 14 16 0 30
banyaknya bangunan liar/bedeng di
sekitar lokasi
17 Penambangan batu andesit ini tidak
akan mengganggu kenyamanan 13 14 3 30
penduduk
Sosial ekonomi
18 Penambangan batu andesit ini untuk
22 8 0 30
dijual ke luar lokasi tambang
19 Batu andesit yang ditambang akan
30 0 0 30
dijual sebagai bahan bangunan
20 Batu andesit yang ditambang akan
30 0 0 30
dijual untuk perbaikan jalan
21 Penambangan batu andesit ini
nantinya, akan membuka peluang 30 0 0 30
pekerjaan bagi masyarakat sekitar
22 Penambangan batu andesit ini dapat
secara langsung menguntungkan 29 1 0 30
perekonomian Desa Uma Anyar
23 Penambangan batu andesit ini
menyebabkan sarana dan prasarana
30 0 0 30
Desa bertambah seperti
pembangunan jalan
24 Penambangan batu andesit ini akan
merusak tatanan Adat, karena 29 1 0 30
banyaknya pendatang
25 Adanya penambangan ini merubah
gaya hidup masyarakat desa Uma 9 21 0 30
Anyar menjadi konsumtif
26 Lembaga Adat (Banjar Dinas, Desa
Adat) mendapat bantuan rutin dari
10 20 0 30
perusahaan penambangan batuan
andesit ini.
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, 2010
Keterangan : S = setuju, KS = kurang setuju, TS tidak setuju

Untuk meminimalisir dampak lingkungan yang diakibatkan adanya usaha


pertambangan, investor diwajibkan untuk menyetorkan jaminan reklamasi kepada
pemerintah. Jaminan tersebut akan digunakan apabila pada akhir penambangan
investor tidak melaksanakan kewajibannya untuk mereklamasi kembali sesuai
dokumen UKL-UPL yang telah disepakati bersama. Besarnya jaminan reklamasi
dihitung berdasarkan luas lahan yang direklamasi dan jumlah tanaman yang
dibutukan. Dengan adanya jaminan reklamasi yang besarnya telah ditetapkan
pemerintah tersebut diharapkan dapat meningkatkan tata guna lahan yang
sebelumnya tandus menjadi lahan perkebunan yang produktif.
Hasil penelitian lapangan diketahui bahwa semua responden (30) telah
mengetahui adanya pertambangan batu andesit, sehingga memudahkan peneliti
dalam melakukan penelitian. Berdasarkan data survai untuk mendapatkan jawaban
responden tentang analisis dampak lingkungan secara teknis usaha pertambangan
batu andesit terlihat dalam tabel 02.
Dari Tabel 09 dapat dipahami bahwa secara teknis pertambangan sebagian
besar masyarakat lokal/adat setuju (96,7 %) ada investor melakukan kegiatan usaha
pertambangan dan masyarakat betul-betul mengetahui usaha pertambangan batu
andesit didaerah tersebut tidak berbahaya karena sesuai dengan Peraturan-Peraturan
di Bidang Pertambangan Umum. Sebagai perbandingkan persepsi masyarakat
lokal/adat Desa Candikuning tentang rencana kelanjutan proyek eksploitasi
panasbumi sebagian besar berpandangan positif (53,91 %)
Tabel 02. Responden Dibedakan Berdasarkan Pendapat Tentang Dampak
Lingkungan secara Teknis

No. Pertanyaan Pendapat (%) Jumlah


S KS TS (%)

Teknis :
1. Ada investor yang melakukan kegiatan 96,7 3,3 0 100
penambangan di daerah Uma Anyar.
2. Penambangan batu andesit ini tahu dari 93,3 6,7 0 100
melihat sendiri.
3. Penambangan batu andesit ini tahu dari 90,0 6,7 3,3 100
penjelasan orang lain.
4. Secara teknis penambangan batu andesit 66,7 30,0 3,3 100
ini tidak berbahaya bagi masyarakat.
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, 2010
Keterangan : S = Setuju, KS = Kurang Setuju, TS = Tidak Setuju

Dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan usaha pertambangan batu andesit


umumnya berupa kebisingan, debu dan asap yang menyebabkan udara menjadi kotor
serta merusak tumbuh-tumbuhan yang berdampak terhadap lingkungan. Berdasarkan
data survai untuk mendapatkan jawaban responden tentang dampak lingkungan
akibat pertambangan batu andesit, seperti terlihat dalam tabel dibawah ini.
Dari Tabel 03 dapat dipahami bahwa sebagian besar masyarakat lokal/adat
berpandangan usaha pertambangan berdampak terhadap kualitas lingkungan
terutama kebisingan (93,3%), kerusakan tumbuh-tumbuhan (83,3%) dan kualitas
udara akibat debu dan asap diatas 60%. Namun demikian pada akhir penambangan
masyarakat mendukung sepenuhnya (100%) upaya reklamasi yang dilakukan oleh
investor sesuai dokumen UKL-UPL yang ada dan masyarakat setuju (100%) ikut
terlibat dalam pengelolaan lingkungan. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat
sangat memahami pertambangan berwawasan lingkungan.
Meningkatnya perekonomian masyarakat lokal dengan sendirinya kehidupan
sosial juga menjadi lebih baik. Rencana pertambangan batu andesit akan
mempergunakan tenaga kerja lokal, sehingga dapat membuka lapangan kerja bagi
penduduk lokal. Kedatangan tenaga kerja dari luar pada waktu kegiatan proyek
masih berjalan, tidak menimbulkan gangguan kamtibmas karena mereka tidak
mengganggu norma-norma/nilai-nilai budaya masyarakat lokal. terhadap dampak
sosial-ekonomi akibat pertambangan batu andesit, jawaban kuisioner responden
dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 03. Responden Dibedakan Berdasarkan Pendapat Tentang Kualitas
Lingkungan Akibat Pertambangan Batu Andesit

No. Pertanyaan Pendapat (%) Jumlah


S KS TS (%)

1. Penambangan batu andesit ini akan menim-


bulkan kebisingan karena banyak truk 93, 6,7 0 100
pengangkut material.
2. Penambangan batu andesit ini banyak 63,4 33,3 3,3 100
menimbulkan debu beterbangan
3. Penambangan ini akan merusak tumbuh- 46,7 50,0 3,3 100
tumbuhan di lokasi tambang
4. Penambangan ini menyebabkan udara 100 0 0 100
menjadi kotor karena asap alat berat
5. Penambangan batu andesit ini akan 100 0 0 100
berpengaruh terhadap daerah aliran sungai
6. Penambangan batu ini mempengaruhi iklim 100 0 0 100
di sekitar lokasi
7. Dalam Penambangan batu andesit ini 63,3 36,7 0 100
masyarakat agar di ikutkan dalam proses
pengelolaan lingkungan
8. Pada akhir penambangan dilakukan reklamsi 46,7 53,3 0 100
oleh perusahaan penambang
9. Reklamasi dilakukan sesuai dengan yang 43,3 46,7 10,0 100
tertera pada dokumen UKL-UPL
10. Reklamasi sesuai peruntukan apabila 73,3 26,7 0 100
masyarakat menginginkannya
11. Penambangan batu andesit ini dekat dengan 76,7 23,3 0 100
perkampungan sehingga mengganggu
wilayah Banjar Adat.
12. Penambangan berdampak pada banyaknya 83,3 16,7 0 100
bangunan liar/bedeng di sekitar lokasi.
13. Penambangan batu andesit ini tidak akan 60,0 40,0 0 100
mengganggu kenyamanan penduduk

Sumber : Hasil Analisis Data Primer, 2010


Keterangan : S = Setuju, KS = Kurang Setuju, TS = Tidak Setuju
Tabel 04. Responden dibedakan berdasarkan Pendapatnya tentang Dampak Sosial-
Ekonomi

No. Pertanyaan Pendapat (%) Jumlah


S KS TS (%)

1. Penambangan batu andesit ini untuk dijual ke 100 0 0 100


luar lokasi tambang
2. Batu andesit yang ditambang akan dijual 100 0 0 100
sebagai bahan bangunan
3. Batu andesit yang ditambang akan dijual 100 0 0 100
untuk perbaikan jalan
4. Penambangan batu andesit ini nantinya, akan 96,7 3,3 0 100
membuka peluang pekerjaan bagi masyarakat
sekitar.
5. Penambangan batu andesit ini dapat secara 100 0 0 100
langsung menguntungkan perekonomian
Desa Uma Anyar.
6. Penambangan batu andesit ini menyebabkan 96,7 3,3 0 100
sarana dan prasarana Desa bertambah seperti
pembangunan jalan.
7. Penambangan batu andesit ini akan merusak 30,0 70,0 0 100
tatanan Adat, karena banyaknya pendatang.
8. Adanya penambangan ini merubah gaya 33,3 66,7 0 100
hidup masyarakat desa Uma Anyar menjadi
konsumtif.
9. Lembaga Adat (Banjar Dinas, Desa Adat) 100 0 0 100
mendapat bantuan rutin dari perusahaan
penambangan batuan andesit ini

Sumber : Hasil Analisis Data Primer, 2010


Keterangan : S = Setuju, KS = Kurang Setuju, TS = Tidak Setuju

Dari Tabel 05 dapat dipahami bahwa sebagian besar masyarakat lokal/ adat
berpandangan bahwa masyarakat sangat mengharapkan adanya usaha pertambangan
batu andesit (96,7%), karena dengan adanya usaha pertambangan batu andesit ini
dapat membuka lapangan kerja bagi penduduk lokal. Disamping itu secara langsung
menguntungkan perekonomian Desa serta Lembaga Adat akan mendapat bantuan
dari perusahaan, walaupun demikian tidak akan merubah gaya hidup masyarakat
menjadi konsumtif. Kedatangan tenaga kerja dari luar pada waktu kegiatan proyek
masih berjalan, tidak menimbulkan gangguan kamtibmas karena mereka tidak
mengganggu norma-norma/nilai-nilai budaya masyarakat lokal

Analisis Kelayakan Ekonomi


Untuk memperoleh nilai ekonomi tersebut harus diketahui besarnya investasi
yang ditanamkan dan biaya produksi yang dikeluarkan sehingga perusahaan bisa
menetapkan harga jual produk batu andesit. Dari hasil pengolahan data biaya
investasi usaha pertambangan batu andesit di Desa Uma Anyar termasuk didalamnya
biaya persiapan lahan, bangunan, pajak-pajak, peralatan dan bahan bakar minyak
serta tenaga kerja sebesar Rp. 4.386.700.000,- sedangkan biaya produksinya sebesar
Rp. 394.869.836,-
Aliran Kas, yang lebih sering disebut Cash Flow merupakan produk akhir
dari perhitungan evaluasi tambang. Berdasarkan data lapangan dan data hasil
perhitungan yang lain dibuat dalam bentuk tabel yang dihitung setiap tahun (lihat
lampiran 08). Tiga indikator dari kelayakan suatu usaha pertambangan, berdasarkan
Cash Flow Analysis , diantaranya : a). NPV (Net Present Value) sebesar Rp.
984.425.921,-. b). IRR (Tingkat Pengembalian Suku Bunga) sebesar 21 %. c).
Payback Period (periode pengembalian) selama 40 bulan (3 tahun 4 bulan)
Hasil perhitungan ini menunjukan dengan IRR 21 % adalah diatas IRR kredit
pinjaman bank yang pada umumnya (16-20 %), dan periode pengembalian modal
sudah selesai dalam 3 tahun 4 bulan. Dengan umur ijin selama 5 tahun dan umur
tambang selama 5 tahun, setelah 3 tahun 4 bulan beroperasi usaha tersebut sudah
mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 753.577.674,-/tahun atau Rp. 62.798.139,-
/bulan, sehingga secara ekonomi usaha pertambangan batu andesit di Desa Uma
Anyar layak untuk diusahakan.
KESIMPULAN

Analisis kelayakan usaha pertambangan pada prinsifnya merupakan


perencanaan tambang yang berdasarkan pada indikator-indikator kelayakan. Dari
hasil analisis yang telah dilaksanakan, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai
berikut :
a. Secara Teknis pertambangan metode penambangan yang digunakan adalah
tambang terbuka yang sesuai dengan rencana penambangan dengan kombinasi
peralatan shovel-truck yang dapat bekerja dengan optimal sehingga lokasi/
lahan di Desa Uma Anyar, Kecamatan Seririt, sangat layak untuk dilakukan
kegiatan usaha pertambangan.
b. Berdasarkan Analisis Kelayakan Ekonomi, Usaha Pertambangan Batu Andesit
di Desa Uma Anyar, Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng ini, dengan nilai
investasi Rp. 4.386.700.000,- layak dilaksanakan berdasarkan indikator
kelayakan : 1). Nilai Net Present Value (NPV) sebesar Rp. 984.425.921,- (lebih
dari O / positif), 2). Tingkat Suku Bunga (IRR) sebesar 21 % (lebih dari asumsi
bunga bank : 12 % ), 3). Periode Pengembalian (BEP) selama 40 bulan
(kurang dari dari umur tambang 60 bulan)
c. Persepsi masyarakat terhadap dampak lingkungan akibat pertambangan batu
andesit di Desa Uma Anyar secara teknis pertambangan masyarakat lokal/adat
setuju (96,7 %) ada usaha pertambangan dan sesuai dengan rencana teknis
pertambangan. Secara lingkungan, berpandangan usaha pertambangan
berdampak terhadap kualitas lingkungan terutama kebisingan (93,3%), kerusakan
tumbuh-tumbuhan (83,3%) dan kualitas udara akibat debu dan asap diatas 60%.
Namun demikian pada akhir penambangan masyarakat mendukung sepenuhnya
(100%) upaya reklamasi yang dilakukan sesuai dokumen UKL-UPL yang ada
dan masyarakat setuju (100%) ikut terlibat dalam pengelolaan lingkungan. dan
secara sosial ekonomi, berpandangan bahwa masyarakat sangat mengharapkan
adanya usaha pertambangan batu andesit (96,7%), karena dapat membuka
lapangan kerja bagi penduduk lokal.

DAFTAR PUSTAKA
Adang P. Kusuma, 2008. Menambang Tanpa Merusak Lingkungan. Badan
Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Bandung.
Biro Ekonomi, 2006. Sektor Ekonomi Produktif. Master Plan Penunjang
Investasi Provinsi Bali, http://www.baliprov.go.id/index.php. diakses 31
Januari 2010.
Departemen Pertambangan dan Energi Republik Indonesia, 1991. Himpunan
Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Pertambagan Umum
Direktorat Jendral Pertambangan Umum. Jakarta.
Davis and Cornwell, 1991. Introduction to Environmental Enginering McGraw-
Hill, Inc. New York.
Giatman, M, 2006. Ekonomi Teknik PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Hartman, H.L, 1972. Surface Mining The American Institut of Mining,
Metallurgical, and Petroleum Engineers, Inc. New York.
Haryanto, D, 1987. "Teknik Evaluasi Ekonomi Universitas Pembangunan
Nasional Veteran, Yogyakarta.
Indonesianto, Y, 2000. "Pemindahan Tanah Mekanis" Jurusan Teknik
Pertambangan Universitas Pembangunan Nasional, Yogyakarta.
Kasmir. 2006. Penilaian Kelayakan Usaha. Kewirausahaan. Rajawali Pers.
Katam, S, 1983. Perencanaan Penambangan Sebuah Pedoman ITB, Bandung.
Khairul, M, Pengertian Penilaian Kelayakan Usaha, http://id.shvoong.com/
business-management/entrepreneurship/1944006.diakses 1 Maret 2010
Kusumodirdjo, K, 1994. Lingkungan Reklamasi Direktorat Jenderal
Pertambangan Umum. Pusat Pengembangan Tenaga Pertambangan, Bandung.
Maleong, L.J, 2000. Metodelogi Penelitian Kualitatif PT Remaja Rosdakarya,
Bandung.
Peurifoy, R.L, 1970. "Contruction Planning Equitment and Method
Me.Graw Hill Book Co. Inc., New York.
Pryor, E.J, 1983. Mineral Processing Formerly Reader in Mineral Dressing,
University of London.
Punia Asa, I.D.P, 2000. Persepsi Penghuni Terhadap Pemukiman Resettlement
Bencana Alam; Study Kasus Resettlement Pasca Bencana Alam Gempa Bumi
dan Tsunami Kabupaten Dati. II Sikka NTT, Thesis MPKD Universitas Gajah
Mada. Yogyakarta
Purbohadiwidjojo, M.M, 1998. Geologi Struktur Indonesia Direktorat Jendral
Geologi Sumber Daya Mineral, Jakarta.
Reedman, J.H, 1979. Techniques in Mineral Exploration Noranda Exploration
Company Ltd, Winnipeg. Canada.
Rochmanhadi, 1989. "Alat Berat dan Penggunaanya'' Departemen Pekerjaan
Umum, Badan Penerbit Pekerjaan Umum.
Salim, P. dan Y. Salim, 1991. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Edisi
Pertama, Modern English Press Jakarta.
ANALISIS MODEL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PESISIR POLA
PNPM MANDIRI KELAUTAN DAN PERIKANAN DI KECAMATAN KUBU
KABUPATEN KARANGASEM

I Komang Cenik1 , Nyoman Utari Vipriyanti2, I Made Tamba2


1
Master Programme on Regional Planning and Environmental Management Mahasaraswati
University of Denpasar.
2
Postgraduate Programs of Regional Planning and Environmental Management,
Mahasaraswati University Denpasar, Denpasar Bali, Indonesia.
*Corresponding author email: : mangtiutari@yahoo.com

ABSTRACT

The research is aim to analyze of model coastal empowerment community


design pattern of PNPM-MKP (national empowerment community program
marine and fisheries independence), to know the action of coastal empowerment
community, to know coastal community participation levels for the action of PNPM-
MKP, and to know some factors that relate with community participation in PNPM-
MKP action at Kubu District, Karangasem Regency. The research is acting at
PNPM-MKP user groups, it research use census method and snow ball method. The
action of program analyzed by descriptive qualitative, to know community
participation level analyzed by quantitative with Likert Score and to know some
factors that relate to participation community in PNPM-MKP action, analyzed with
Chi Square. The result of the research showed PNPM-MKP action at Kubu District,
Karangasem Regency in year 2009, is running well with principal of empowerment
(bottom-up), because the community engagement is already in planning, acting,
using and monitoring and evaluation of a program. Participation community level at
planning program is medium, at acting program is medium, at using program is
medium, at monitoring and evaluation is high, and participation accumulative in
general is high. Some factors that influence participation community are a group of
age, education level, a number of family, a number of fishing tools is owned, and
income from main job of community.

Keywords: coastal community, empowerment, community participation.

PENDAHULUAN

Program-program pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan telah banyak


dilakukan, seperti Inpres Desa Tertinggal (IDT), Program Bantuan Langsung Tunai
(BLT) dan program-program bergulir lainnya. Tetapi semua program itu bersifat top-
down, yaitu program yang langsung diluncurkan dari pemerintah ke masyarakat
tanpa memperhatikan partisipasi dan aspirasi masyarakat penerima. Disamping itu
ada beberapa program yang tumpang tindih ataupun banyak yang salah sasaran. Hal
ini disebabkan karena penentuan sasaran secara langsung tanpa melalui proses
perencanaan dan tidak melihat kondisi langsung di masyarakat. Banyak program
yang dibuat dengan prosedur birokrasi yang berbelit-belit sehingga pencapaian
program akan terlambat dan tidak efektif dan efesien.
Usman (1998) mengatakan diperlukan pendekatan dalam upaya penguatan
perekonomian masyarakat terutama kelompok nelayan kecil seperti :1) pendekatan
teknokratis yaitu pendekatan yang diawali dengan terlebih dahulu menetapkan
program-program dan kelompok-kelompok sasaran (target), kemudian dilanjutkan
dengan membakukan sistem penyaluran (delivery system), bagi kelompok-kelompok
sasaran, mengeluarkan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis, serta
mengeluarkan anggaran pendukung pelaksanaan teknis, dan 2) pendekatan
partisipatif yaitu dengan memperkuat kemandirian (community self-reliance).
Masyarakat dibantu didampingi dan difasilitasi untuk melakukan analisis masalah
keuangan yang dihadapi, diberikan peluang memutuskan apa yang dikehendaki dan
inisiatif mereka menjadi basis kegiatan. Peran pemerintah sebagai fasilitasi dan
memberikan dukungan inisiatif kepada masyarakat.
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-M) adalah
program nasional yang menjadi kerangka kebijakan dan acuan pelaksanaan berbagai
program penanggulangan kemiskinan yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat.
Program PNPM Mandiri adalah program untuk mencapai salah satu sasaran dalam
Millenium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015 yaitu untuk meningkatkan
kesejahteraan dan mengurangi kemiskinan.
Kerangka pemikiran PNPM Mandiri adalah: 1) penanggulangan kemiskinan
hanya akan efektif bila dilakukan secara mandiri dan berkelanjutan melalui sinergi
dan kemitraan masyarakat, pemerintah daerah dan kelompok peduli (LSM, swasta,
dan lain-lain); 2) kemandirian yang berkelanjutan akan diwujudkan dalam tiga pilar
yaitu masyarakat yang tinggi tingkat keberdayaan dan kemandiriannya, pemerintah
dan legislatif yang pro poor, dan dunia usaha dan organisasi masyarakat yang peduli
(the caring society); 3) PNPM Mandiri bukan proyek bagi-bagi uang, namun harus
dilandasi dengan pembinaan karakter masyarakat yang baik dan beradab seperti:
mempunyai cita-cita dan impian (the power of dream), mempunyai perilaku memberi
daripada meminta (the power to give), mempunyai kemantapan mental berpikir
positif, selalu mengutamakan dialog dan menghindari kekerasan (democracy at the
grass root), dan selalu berusaha dan bekerja bersama kelompok (kegotongroyongan
sosial, ekonomi dan budaya).
PENYALURAN PROGRAM -PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN
PRA PNPM MANDIRI

Program
Program Program
Program
Program
Program Program
Program
TATARAN
PENGELOLA PROSEDUR
PROGRAM YG. RIBET KEBANYAKAN
MEDIATOR

KOORDINASI
LAPANGAN

?
BANTUAN SALAH
SASARAN

??
??
TATARAN
MASY. TUMPANG TINDIH
DNG PROG LAIN ??
?? ??
?? ??
??
TERLUPAKAN?

Gambar 01. Program-Program Pengentasan Kemiskinan Sebelum Pola PNPM


Mandiri (Sumber: Royat, 2009)
Kabupaten Karangasem merupakan satu-satunya kabupaten di Bali yang masih
termasuk dalam kategori kabupaten tertinggal atau kabupaten miskin. Salah satu
kecamatan yang mewilayahi pesisir dan tergolong miskin adalah kecamatan Kubu.
Kecamatan Kubu yang memiliki luas wilayah 234,72 km2, terbagi dalam 9 desa yaitu
Ban, Dukuh, Kubu, Tulamben, Baturinggit, Sukadana, Tianyar Timur, Tianyar
Tengah dan Tianyar Barat. Dari 9 desa tersebut, 7 desa diantaranya (kecuali Ban dan
Dukuh) merupakan desa pantai dengan panjang pantai sekitar 24,4 km. Jumlah
penduduk di kecamatan Kubu tercatat 67.559 jiwa dengan rincian penduduk laki-laki
33.731 jiwa dan perempuan 33.828 jiwa. Dari jumlah penduduk tersebut kecamatan
Kubu memiliki jumlah Rumah Tangga Miskin (RTM) sebesar 7.833 KK atau 27.762
jiwa. Jumlah RTM di kabupaten Karangasem kalau dilihat dari tingkat pendidikan
tertinggi yang ditamatkan oleh kepala rumah tangganya adalah SD/MI, dan
kecamatan Kubu menempati peringkat paling tinggi yaitu sebesar 7.646 RTM
(20,71%).
Disamping faktor internal yang menjadi penyebab kemiskinan pada
masyarakat pesisir, faktor ekternal juga sangat berpengaruh. Selama lebih dari 3
dekade perhatian pemerintah relatif kurang terhadap pembangunan sektor kelautan
dan perikanan. Masyarakat di bidang kelautan dan perikanan sering kali
termajinalkan karena kurangnya keberpihakan kebijakan pemerintah dalam upaya
pengentasan kemiskinan dan pembangunan secara menyeluruh bagi masyarakat di
wilayah tersebut. Permasalahan dan pemanfaatan potensi yang belum optimal pada
nelayan meliputi aspek penangkapan, budidaya, pengolahan dan pemasaran,
pengawasan serta sumber daya manusia. Hal ini akan menambah kondisi masyarakat
kelautan dan perikanan yang cenderung miskin dan terbelakang.
Rumusan permasalahan dalam penelitian ini ini adalah: 1) bagaimanakah
pelaksanaan pemberdayaan masyarakat pesisir dengan pola PNPM-MKP di
Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem?; 2) bagaimanakah dukungan masyarakat
pesisir terhadap model pemberdayaan masyarakat dengan Pola PNPM-MKP di
Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem?; dan 3) faktor-faktor apakah yang
berhubungan dengan dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan PNPM- MKP di
Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem?
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji model pemberdayaan
masyarakat pesisir dengan pola PNPM Mandiri Kelautan dan Perikanan, sehingga
nantinya dapat dijadikan model perbaikan pelaksanaan program bagi pemerintah
pusat dan perbaikan-perbaikan yang mesti dilakukan oleh Pemda Kabupaten
Karangasem khusunya Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Karangasem, sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1)untuk
mengetahui pelaksanaan pemberdayaan masyarakat pesisir dengan pola PNPM-MKP
di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem; 2) untuk mengetahui dukungan
masyarakat pesisir terhadap model pemberdayaan masyarakat dengan Pola PNPM-
MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem; dan 3) untuk mengetahui faktor-
faktor yang berhubungan dengan dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan
PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem.
METODE PENELITIAN

Populasi dan Sampel


Penelitian ini dilaksanakan pada anggota kelompok nelayan penerima PNPM-
MKP Tahun 2009 di 3 (tiga) desa yang kelompok nelayannya ditetapkan sebagai
penerima PNPM-MKP yaitu : Desa Tianyar Timur, Baturinggit, dan Kubu di
Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem selama 2 (dua) bulan kalender yaitu pada
bulan Mei sampai dengan Juni 2010.
Populasinya adalah anggota dari 10 kelompok nelayan penerima PNPM-
MKP (99 orang) menggunakan metode sensus. Untuk mengetahui pelaksanaan
PNPM-MKP dari pihak eksternal diambil informan dengan metode snow ball.
Instrumen Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah: 1) pelaksanaan PNPM-MKP; 2) tingkat
dukungan masyarakat pesisir; dan 3) faktor-faktor yang berhubungan dengan
dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan PNPM-MKP, sedangkan indikator
tingkat dukungan masyarakat meliputi aspek perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan
dan monev program.
Variabel pelaksanaan program PNPM-MKP akan diuraikan dengan deskriptif
kualitatif. Sedangkan variabel-variabel tingkat dukungan masyarakat dan faktor-
faktor yang berhubungan dengan dukungan masyarakat akan diukur dengan
kuisioner.
Instrumen yang digunakan untuk mengukur pelaksanaan program, dan
tingkat dukungan masyarakat berbentuk kuisioner dan pedoman wawancara, dengan
menggunakan Skala Likert yang terdiri dari lima pilihan jawaban yang bergradasi (5
kategori) dan diberi skor 1-5 (satu sampai lima).
Jenis dan Bentuk Data
Data kualitatif mencakup deskripsi pelaksanaan PNPM-MKP, persepsi
masyarakat terhadap PNPM-MKP, dukungan masyarakat pesisir terhadap PNPM-
MKP, dan faktor-faktor yang berhubungan dengan dukungan masayarakat terhadap
PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, sedangkan data
kuantitatif berupa jumlah kelompok nelayan yang ada di Kecamatan Kubu, jumlah
penduduk miskin/RTM di masing masing desa kelompok penerima PNPM, jumlah
pendapatan per anggota kelompok, penilaian responden tentang pemberdayaan
masyarakat pesisir dengan PNPM-MKP.
Data primer bersumber dari hasil observasi langsung peneliti ke kelompok
penerima PNPM-MKP di Desa Kubu, Baturinggit dan Tianyar Timur, dan hasil
sensus dari kelompok nelayan penerima PNPM-MK, sedangkan data sekunder
bersumber dari Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem
tentang jumlah kelompok nelayan di Kecamatan Kubu dengan jumlah anggotanya,
jumlah dana PNPM-MKP yang disalurkan kepada kelompok penerima, jumlah dan
jenis barang yang dibelanjakan dari BLM PNPM-MKP, serta data monografi dari
masing-masing desa tempat kelompok penerima.
Teknik pengumpulan data menggunakan menggunakan metode observasi
(pengamatan langsung ke lapangan), kuesioner (dengan daftar pertanyaan dan
pedoman wawancara) dan dokumentasi (arsip data, foto-foto, dsb).
Pelaksanaan program PNPM MKP dianalisis secara deskriptif kualitatif. Sedang
tingkat dukungan masyarakat dianalisis dengan menggunakan analisis kuantitatif
dengan memberi kan skor menggunakan Skala Likert (5 kategori)

N Kategori dukungan masyarakat terhadap program


Rentang Skor
o PNPM-MKP
1 20% - 36% Sangat Rendah
2 >36%- 52% Rendah
3 >52% - 68% Sedang
4 >68% - 84% Tinggi
>84% -
5 Sangat Tinggi
100%
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan dukungan
masyarakat terhadap pelaksanaan PNPM- MKP dianalisis dengan Chi-Square,
dengan persyaratan jika X hitung X (1- ) (1) , terima H0 dan jika X hitung
X (1- ) (1), tolak H0

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pelaksanaan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dengan Pola PNPM-MKP di


Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem.
Tahapan-Tahapan Pelaksanaan Kegiatan PNPM-MKP di Kabupaten
Karangasem Tahun 2009 adalah: 1) Sosialisasi Program; 2) Penentuan Lokasi
Sasaran; 3) Perencanaan Pembangunan Wilayah; 4)Peningkatan kapasitas dan
sumber daya masyarakat; 5) Peningkatan kapasitas aparatur daerah; 6) Peningkatan
akses kredit mikro; 7) Pendampingan masyarakat; 8) Publikasi kegiatan; 9) Proses
pencairan Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) kepada kelompok masyarakat; 10)
Lokakarya PNPM-MKP; 11) Monitoring dan Evaluasi; 12) Realisasi Anggaran; dan
13) Pelaporan
Dari jawaban masyarakat penerima BLM dan pendapat pihak eksternal
(konsultan dan tenaga pendamping) dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
mendukung pelaksanaan PNPM-MKP di Kabupaten Karangasem Tahun 2009
adalah:1)kemampuan pengelolaan program yang dilakukan oleh satuan kerja; 2)
kondisi dan kemampuan kelompok penerima; 3)kondisi wilayah, sosial dan ekonomi
dari desa tempat kelompok penerima; 4)tim teknis dan tim pendamping program;
5)proses pencairan dana dan penggunaan dana; dan 6)pelaksanaan, pemanfaatan dan
monev program melibatkan kelompok penerima. Sedangkan faktor-faktor yang
dianggap menghambat pelaksanaan program adalah: 1)lokasi sasaran yang menyasar
hanya 1 kecamatan 3 desa; dan 2)menu dari barang-barang yang boleh diadakan
sangat mengikat sesuai dengan petunjuk teknis yang ada.
Dukungan Masyarakat Pesisir Terhadap Model Pemberdayaan Masyarakat
dengan Pola PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem.

Karakteristik Responden
Dari hasil tabulasi data menujukkan semua responden (100%) berjenis
kelamin laki-laki, dengan karakteristik responden sebagai berikut :
1) Umur Responden, menujukkan bahwa 44,45% berumur 21-37 tahun, 42,42%
berumur 38-54 tahun, dan 13,13% berumur 55-70 tahun (sasarannya adalah
usia muda produktif);
2) Status Perkawinan menunjukkan bahwa 15,15 % lajang (belum kawin), 80,81%
kawin dan 4,04 % bersatus duda;
3) Tingkat Pendidikan menunjukkan bahwa 5,05% buta huruf, 32,32% tidak tamat
SD, 27,27% tamat SD, 19,19% tamat SMP, 13,13% tamat SMA, dan 3,03 %
tamat Perguruan Tinggi. Dengan demikian hampir 64,64% sasaran PNPM-
MKP di kecamatan Kubu hanya berpendidikan dasar, 32,32% berpendidikan
menengah dan hanya 3,03% berpendidikan tinggi;
4) Pekerjaan Sampingan Responden, menunjukkan 18,18% tidak memiliki
pekerjaan sampingan; 51,52% petani; 6,06% peternak, 13,13% buruh
(karyawan pariwisata, tukang bangunan dan sopir); 11,11% pekerjaan lainnya
(PNS, pegawai asuransi, dan sebagainya);
5) Tanggungan Keluarga Responden, menunjukkan bahwa 39,39 % memiliki
tanggungan 0-2 orang, 54,55% memiliki tanggungan 3-4 orang, dan 6,06%
memiliki tanggungan 5-6 orang;
6) Penguasaan Tanah, menunjukkan bahwa untuk penguasaan tanah tegalan;
84,85% memiliki tanah 0-50 are, 12,12 % memiliki tanah 51-100 are, 0%
memiliki tanah 101-150 are, dan 3,03% memiliki tanah 151-200 are. Untuk
penguasaan tanah pekarangan; 65,66% memiliki 0-3 are, 31,31% memiliki 4-7
are, dan 3,03% memiliki 8-10 are. Sedangkan untuk status hak tanah tegalan:
50,51% tidak memiliki tanah tegalan, 43,43% merupakan hak milik, dan 6,06%
merupakan sebagai penggarap (nyakap);
7) Sarana Usaha Nelayan, menunjukkan bahwa untuk kepemilikan jukung : 2,02%
tidak memiliki jukung, 90,91% memiliki jukung 1 unit, 5,05% memiliki jukung
2 unit dan 2,02% memiliki jukung sebanyak 3 unit. Untuk kepemilikan mesin
(mesin motor tempel maupun mesin ketinting) menunjukkan bahwa 2,02%
tidak memiliki, 84,85% memiliki mesin sebanyak 1 unit, 11,11% memiliki
mesin sebanyak 2 unit dan 2,02% memiliki mesin sebanyak 3 unit. Sedangkan
untuk kepemilikan sarana alat tangkap seperti jaring, pancing dan sebagainya:
72,73% memiliki 0-2 set, 17,17% memiliki 3-4 set, dan 10,10 % memiliki 5-6
set;
8) Pendapatan Nelayan, menunjukkan bahwa pendapatan nelayan dari pekerjaan
utama (sebagai nelayan) menunjukkan bahwa 12,12% pendapatannya 200.000
900.000 per bulan, 44.44% pendapatannya 901.000-1.600.000 per bulan,
28,28% pendapatannya 1.601.000-2.300.000 per bulan, 6,06% pendapatannya
2.301.000-3.000.000 per bulan. Sedangkan pendapatan dari pekerjaan
sampingan menunjukkan 75,76% pendapatan sampingannya 0-500.000 per
bulan, 19,19% pendapatan sampingannya 501.000-1.000.000 per bulan, 1,01%
pendapatan sampingannya 1.001.000-1.500.000 per bulan, dan 4,04%
pendapatan sampingannya 1.501.0002.000.000 per bulan. Dengan demikian
jumlah pendapatan nelayan secara keseluruhan menunjukkan bahwa 55,56%
pendapatannya 800.000-1.850.000 per bulan, 35,35% pendapatannya 1.851.000
2.900.000 per bulan, 8,08% pendapatnnya 2.901.000 3.950.000 per bulan,
dan 1,01% pendapatannya 3.951.000-5.000.000 per bulan;
9) Pengeluaran Nelayan, menujukkan bahwa pngeluaran nelayan untuk memenuhi
kebutuhan pokok (konsumsi) per bulannya, 13,13% pengeluarannya 200.000-
450.000, 39,39% pendapatannya 451.000-700.000, 26,26% pengeluarannya
701.000-950.000, 21,21% pengeluarannya 951.000-1.200.000. Untuk
pengeluaran non konsumsi (per bulannya) menunjukkan bahwa 95,96%
pengeluarannya 100.000-825.000, 3,03% pengeluarannya 826.000-1.550.000,
0% pengelua rannya 1.551.000-2.275.000, dan 1,01% pengeluarannya
2.276.000-3.000.000, untuk pengeluaran operasional usaha nelayan (per
bulannya) menunjukkan bahwa 52,53% pengeluarannya 100.000-450.000,
42,42% pengeluarannya 451.000-800.000, 2,02% pengelua-rannya 801.000-
1.150.000, dan 3,03% pengeluarannya 1.151.000-1.500.000. Dengan demikian
kalau dilihat secara keseluruhannya, total pengeluaran nelayan (dalam rupiah
per bulan) menunjukkan bahwa 50,55% total pengeluarannya 800.000-
1.725.000, 43,43% penge-luarannya 1.726.000-2.650.000, 5,05%
pengeluarannya 2.651.000-3.575.000, dan 1,01% pengeluarannya 3.576.000-
4.500.000;
10) Kepemilikan Rumah Nelayan, menunjukkan 74,75% milik sendiri, 24,24%
milik orang tua, dan 1,01% dengan menyewa. Sedangkan jenis rumah yang
dimiliki menunjukkan 32,32% rumah permanen, 68,68 % rumah semi
permanen;
11) Kepemilikan Tabungan, menunjukkan bahwa 77,78% tidak memiliki tabungan,
sedangkan 32,32% memiliki tabungan;
12) Organisasi yang Diikuti dan Kedudukan Dalam Organisasi, menunjukkan
bahwa 62,63% ikut dalam 1-3 organisasi, 28,28% ikut dalam 4-5 organisasi,
dan 9,09% ikut dalam 6-7 organisasi, sedangkan kedudukannya dalam
organisasi menunjukkan 37,37% sebagai pengurus, 61,62 % sebagai anggota,
dan 1,01% sebagai keanggotaan lainnya (penasehat); dan
13) Partisipasi Terhadap Kegiatan Kelompok, menunjukkan, 0,0% tidak pernah
hadir, 2,02% kadang-kadang hadir, 15,15% sering dan 82,83% menyatakan
selalu hadir.

Tingkat Dukungan Masyarakat terhadap Pelaksanaan PNPM-MKP.

1) Aspek Perencanaan Program, menunjukkan bahwa 12,12 % dukungannya


rendah, 67,68% dukungannya sedang, 16,16% dukungannya tinggi dan 4,04%
dukungannya sangat tinggi. Tingkat dukungan masyarakat terhadap aspek
perencanaan dalam kategori sedang, disebabkan karena masyarakat di dalam
merencanakan suatu program masih perlu dituntun oleh pembina (pengelola
program) atau program bersifat luncuran dari pemerintah (top-bottom), sehingga
peranan masyarakat di dalam merencanakan kegiatan PNPM-MKP perlu
ditingkatkan.
16.16% 0.00%
4.04% 12.12%

67.68%

Sngt Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi

Gambar 04. Grafik Distribusi Responden Menurut Dukungannya Terhadap PNPM-


MKP pada Aspek Perencanaan Program (Sumber:Data Primer Diolah).

2) Aspek Pelaksanaan Program, menunjukkan bahwa 1,01 % dukungannya


rendah, 52,53% dukungannya sedang, 40,40% dukungannya tinggi dan 6,06%
dukungannya sangat tinggi. Tingginya dukungan masyarakat pada aspek
pelaksanaan program disebabkan karena masyarakat penerima PNPM-MKP) benar-
benar dapat melaksanakan kegiatan tersebut. Pelaksanaan program dapat berjalan
dengan baik juga disebabkan karena responden mengikuti arahan dari pembina teknis
di lapangan
.

6.06% 1.01%
0.00%

40.40%

52.53%

Sngt Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi

Gambar 05. Grafik Distribusi Responden Menurut Dukungannya Terhadap PNPM-


MKP pada Aspek Pelaksanaan Program (Sumber: Data Primer Diolah).

3) Aspek Pemanfaatan Program, menunjukkan bahwa 2,02 % dukungannya


rendah, 53,54% dukungannya sedang, 40,40% dukungannya tinggi dan 4,04%
dukungannya sangat tinggi. Sumbangan pemikiran dan tenaga pada aspek ini sudah
lumayan tinggi, tetapi dukungan berupa sumbangan materi terhadap pelaksanaaan
program masih sedang. Tingginya dukungan pada aspek pemanfaatan program
menunjukkan bahwa ada kecendrungan bahwa program tersebut benar-benar
bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan kelompok, dan program tersebut
mudah untuk diadaptasi dan dimanfaatkan oleh masyarakat.
2.02% 0.00%
4.04%

40.40%

53.54%

Sngt Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi

Gambar 06. Grafik Distribusi Responden Menurut Dukungannya Terhadap PNPM-


MKP pada Aspek Pemanfaatan Program (Sumber:Data Primer Diolah).

4) Aspek Monitoring dan Evaluasi Program, menunjukkan bahwa 2,02 %


dukungannya rendah, 43,43% dukungannya sedang, 46,47% dukungannya tinggi dan
8,08% dukungannya sangat tinggi. Tingginya dukungan masyarakat pada aspek
monev program disebabkan karena masyarakat penerima PNPM-MKP melakukan
pengawasan secara ketat, dengan aturan dalam awig-awig kelompok (Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangga). Pengawasan secara internal kelompok dan
pihak antar kelompok dalam wadah Kelompok Pengawas Masyarakat (Pokmaswas)
Bayu Segara yang ada di Kecamatan Kubu.

8.08% 2.02% 0.00%

46.47% T
43.43%

Sngt Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi

Gambar 07. Grafik Distribusi Responden Menurut Dukungannya Terhadap PNPM-


MKP pada Aspek Monev Program (Sumber: Data Primer Diolah).

5). Aspek Dukungan Masyarakat Secara Kumulatif, menunjukkan bahwa 3,03 %


dukungannya rendah, 40,40% dukungannya sedang, 55,56% dukungannya tinggi,
dan 1,01% dukungannya sangat tinggi. Tingginya dukungan masyarakat secara
kumulatif menunjukkan bahwa PNPM-MKP di Kabupaten Karangasem Tahun 2009
mendapat respon dan dukungan yang tinggi oleh kelompok masyarakat. Masyarakat
penerima program sudah mampu untuk melakukan perencanaan, melaksanakan,
memanfaatkan, dan melakukan monitoring dan evaluasi program secara baik.
Tingginya dukungan secara kumulatif ini juga disebabkan karena modal sosial
(terutama tingkat kepercayaan dan partisipasi) pada kelompok-kelompok nelayan di
kecamatan Kubu relatif masih tinggi.
3.03%
1.01% 0.00%

55.56%
40.40%

Sngt Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi

Gambar 08. Grafik Distribusi Responden Menurut Dukungannya Terhadap PNPM-


MKP pada Aspek Secara Kumulatif (Sumber: Data Primer Diolah).

Faktor - Faktor yang Berhubungan dengan Dukungan Masyarakat


Terhadap Pelaksanaan PNPM - MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten
Karangasem.

Faktor-faktor yang diduga memiliki hubungan dengan dukungan masyarakat


terhadap pelaksanaan PNPM-MKP yaitu kelompok umur, tingkat pendidikan, jumlah
tanggungan keluarga, pendapatan dari pekerjaan utama dan jumlah kepemilikan alat
tangkap.

Tabel 01. Rekapitulasi Hasil Analisis Khi Kuadrat Terhadap Faktor-Faktor yang
Ada Hubungan dengan Dukungan Masyarakat Terhadap Pelaksanaan
PNPM-MKP di Kec. Kubu, Kabupaten Karangasem Tahun 2009

No Jenis Faktor X2-hitung X2-tabel (=5%)


1. Kelompok Umur 60,48* 9,49
2. Tingkat Pendidikan 42,46* 9,49
3. Jumlah Tanggungan Keluarga 33,88* 9,49
4. Pendapatan dari Pekerjaan Utama 40,53* 9,49
5. Jumlah Kepemilikan Alat Tangkap 23,86* 9,49
Keterangan : ns) = non signifikan, *) = siginifikan
Sumber : Data Primer (diolah).

1) Kelompok Umur; kelompok umur dibagi menjadi tiga kategori, yaitu kelompok
umur 21-37 tahun, 38-54 tahun, dan 55-70 tahun. Kelompok umur mempunyai
hubungan yang signifikan dengan dukungannya terhadap pelaksanaan PNPM-MKP
di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. Hal ini menunjukkan bahwa ada suatu
kecenderungan responden pada kelompok umur yang lebih muda memiliki dukungan
yang lebih tinggi atau responden yang ada pada kelompok umur yang lebih tua
memiliki kecenderungan dukungan yang lebih rendah terhadap pelaksanaan PNPM-
MKP. Kenyataan ini memberi makna bahwa ada kecenderungan semakin muda
responden semakin tinggi dukungannnya terhadap pelaksanaan PNPM-MKP, hal ini
terjadi karena faktor umur mempengaruhi kemampuan sesorang untuk beraktivitas
dan berproduktivitas. 2) Tingkat Pendidikan; tingkat pendidikan dibagi menjadi
tiga kategori yaitu pendidikan tinggi, pendidikan menengah dan pendidikan dasar.
Tingkat pendidikan mempunyai hubungan yang signifikan dengan dukungan
responden terhadap pelaksanaan PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten
Karangasem. Hal ini menunjukkan bahwa ada suatu kecenderungan responden pada
tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki dukungan yang lebih tinggi terhadap
pelaksanaan PNPM-MKP atau responden yang ada pada pada tingkat pendidikan
yang lebih rendah memiliki kecenderungan dukungan yang lebih rendah terhadap
pelaksanaan PNPM-MKP. Kenyataan ini memberi makna bahwa ada kecenderungan
semakin tinggi tingkat pendidikan responden semakin tinggi dukungannya terhadap
pelaksanaan PNPM-MKP, hal ini terjadi karena faktor pendidikan mempengaruhi
kemampuan seseorang untuk bertindak berdasarkan logika dan bertindak lebih
rasional; 3) Jumlah Tanggungan Keluarga; Jumlah tanggungan keluarga dibagi
menjadi tiga kategori yaitu 5-6 anggota keluarga, 3-4 anggota keluarga, dan 0-2
anggota keluarga. Jumlah tanggungan keluarga mempunyai hubungan yang
signifikan dengan dukungannya terhadap pelaksanaan PNPM-MKP di Kecamatan
Kubu, Kabupaten Karangasem. Hal ini menunjukkan bahwa ada suatu
kecenderungan responden yang memiliki tanggungan keluarga yang lebih banyak
memiliki dukungan yang lebih tinggi terhadap pelaksanaan PNPM-MKP atau
responden yang memiliki jumlah tanggungan keluarga lebih sedikit memiliki
kecenderungan dukungan yang lebih rendah terhadap pelaksanaan PNPM-MKP, hal
ini terjadi karena anggota keluarga dikerahkan secara optimal untuk mendukung dan
melaksanakan PNPM-MKP. 4). Pendapatan dari Pekerjaan Utama; Pendapatan
dari pekerjaan utama dibagi menjadi tiga kategori yaitu Rp. 2.300.000-3.000.000 per
bulan, Rp. 1.600.000-<2.300.000 per bulan dan Rp. <1.600.000 per bulan.
Pendapatan dari pekerjaan utama mempunyai hubungan yang signifikan dengan
dukunganya terhadap pelaksanaan PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten
Karangasem. Hal ini menunjukkan bahwa responden yang memiliki pendapatan
yang lebih tinggi memiliki kecendrungan dukungan yang lebih tinggi terhadap
pelaksanaan PNPM-MKP atau responden yang memiliki pendapatan yang lebih
rendah memiliki kecenderungan dukungan yang lebih rendah terhadap pelaksanaan
PNPM-MKP. Kenyataan ini memberi makna bahwa ada kecenderungan semakin
tinggi tingkat pendapatan responden semakin tinggi dukungannya terhadap
pelaksanaan PNPM-MKP, hal ini terjadi karena tingkat pendapatan akan
mempengaruhi jumlah pengeluaran yang dapat dibiayai di dalam meningkatkan taraf
hidupnya nelayan. Pendapatan juga akan berpengaruh terhadap kemampuan nelayan
untuk lebih berpartisipasi di dalam memberikan sumbangan dalam bentuk material
(dana) terhadap suatu program; dan 5). Kepemilikan Alat Tangkap; Kepemilikan
alat tangkap dibagi menjadi tiga kategori yaitu kepemilikan alat tangkap 5-6 set, 3-4
set, dan 0-2 set. Kepemilikan alat tangkap mempunyai hubungan yang signifikan
dengan dukungannya terhadap pelaksanaan PNPM-MKP di Kecamatan Kubu. Hal
ini menunjukkan bahwa ada suatu kecenderungan responden yang memiliki alat
tangkap yang lebih banyak memiliki dukungan yang lebih tinggi terhadap
pelaksanaan PNPM-MKP atau responden yang memiliki alat tangkap yang lebih
sedikit memiliki kecenderungan dukungan yang lebih rendah terhadap pelaksanaan
PNPM-MKP. Jadi ada kecenderungan bahwa semakin banyak kepemilikan alat
tangkap semakin tinggi dukungannya terhadap pelaksanaan PNPM-MKP. Hal ini
terjadi karena kepemilikan alat tangkap akan berpengaruh terhadap jumlah hasil
tangkapan nelayan yang nantinya akan berpengaruh dengan tingkat pendapatan
nelayan yang merupakan faktor pendukung dalam pelaksanaan PNPM-MKP di
Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem.

KESIMPULAN

Dari hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa: 1) Pelaksanaan


pemberdayaan masyarakat pesisir dengan pola PNPM-MKP di Kecamatan Kubu,
Kabupaten Karangasem Tahun 2009 sudah berjalan sesuai dengan pedoman teknis
dan prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat (bottom up); 2) Tingkat dukungan
masyarakat terhadap pelaksanaan PNPM-MKP pada aspek perencanaan program
masuk kategori sedang, pada aspek pelaksanaan program masuk kategori sedang,
pada aspek pemanfaatan program masuk dalam kategori sedang, pada aspek
monitoring dan evaluasi program masuk kategori tinggi, dan dukungan secara
kumulatif masuk dalam kategori tinggi; dan 3) Faktor-faktor yang berhubungan
dengan dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan PNPM-MKP di Kecam atan
Kubu, Kabupaten Karangasem adalah kelompok umur, tingkat pendidikan, jumlah
tanggungan keluarga, jumlah kepemilikan alat tangkap, dan tingkat pendapatan dari
pekerjaan utama.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2009. Proses Pemberdayaan


Masyarakat Pesisir. Jakarta: Tim Design.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Karangasem. 2008. Karangasem Dalam Angka.
Amlapura:BPS
Departemen Kelautan dan Perikanan. 2009. Pedoman Teknis Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat Kelautan dan Perikanan Tahun 2009. Jakarta :
Dirjen KP3K
Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karang-asem. 2008. Potensi
Pesisir Kabupaten Karangasem Tahun 2008 : Karangasem.
Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karang-asem. 2007. Statistik
Perikanan Kabupaten Karangasem . Amlapura : DPKP.
Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karang-asem. 2009. Laporan
Akhir PNPM-MKP Tahun 2009 . Amlapura : DPKP.
Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem. 2009. Laporan
Tim Pendamping PNPM-MKP Tahun 2009 . Amlapura : DPKP.
Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem. 2009. Laporan
Akhir RTRW Pesisir Kabupaten Karangasem. Amlapura : DPKP.
Fernandes. 1984. Evaluation of Education Programs. Jakarta: Educational and
Curriculum Development.
Royat. S. 2009. Penanggulangan Kemiskinan dan Pengurangan Pengangguran
Melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-
Mandiri). Makalah yang disampaikan oleh Deputi Menko Kesra Bidang
Penanggulangan Kemiskinan/Ketua Tim Pelaksana Pengendali PNPM Mandiri
pada Launching Program PNPM-MKP di Yogyakarta, 17 Maret
Peningkatan Peran Serta Lembaga Keagamaan/Adat oleh Direktorat Pemberdayaan
Masyarakat Pesisir, Dirjen KP3K DKP di Cipayung-Bogor 22-25 Agustus.
PERAN LEMBAGA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (LPM) DALAM
PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA DI KELURAHAN UBUD
KECAMATAN UBUD KABUPATEN GIANYAR

Widiantari Ni Wayan1, Deden Ismail2 dan AA. Putu Agung2


1
Master Programme on Regional Planning and Environmental Management Mahasaraswati
University of Denpasar.
2
Postgraduate Programs of Regional Planning and Environmental Management,
Mahasaraswati University Denpasar, Denpasar Bali, Indonesia.
*Corresponding author email : ismail_den@yahoo.co.id

ABSTRACT

The study is entitled "The Role of the Community Empowerment (LPM) in


the Household Waste Management in Urban Ubud, ubud district, Gianyar regency"
To determine the role of the LPM and Entrepreneur Group. Target population in this
study were community groups and businesses located in the area of Ubud Village,
District Ubud, Gianyar, as many as 75 families. Data were collected by
questionnaires, interviews and secondary data that has been owned by the Village of
Ubud. Data were analyzed using multiple linear regression analysis with SPSS.The
results showed that the variable groups, communities (X1) and the employer (X2)
significant (real) to the level of quality of the LPM. It is evident from t count each of
2.482 and 5.266, while the t table at 22 degrees of freedom is 2.074 smaller than the
numbers. The results of multiple linear regression equations obtained Y = 20 876 +
0.332 X1 + 0.354 X2, with a coefficient of determination (R2) = 0.904, which means
90.4 percent participation variables LPM communities affected by variables and
variable groups of entrepreneurs

Keywords : Household Waste Management

PENDAHULUAN

Sampah sebagai barang yang masih mempunyai nilai tidak seharusnya


diperlakukan sebagai barang yang menjijikkan, melainkan harus dapat dimanfaatkan
sebagai bahan mentah atau yang berguna lainnya. Prinsip asal buang sampah tanpa
memilah-milah dan mengolahnya terlebih dahulu selain akan menghabiskan lahan
yang sangat luas sebagai tempat pembuangan akhir juga merupakan pemborosan
energi dan bahan baku yang sangat terbatas tersedia di alam. Sebaliknya mengolah
dan menggunakan sampah sebagai bahan baku sekunder dalam proses produksi
adalah suatu penghematan bahan baku energi dan sekaligus mengurangi pencemaran
lingkungan.
Idealnya adalah bila sama sekali tidak ada sampah. Sehingga yang terbaik adalah
menghindari atau mereduksi timbunan sampah, misalnya dengan memprioritaskan
pemakaian botol kemasan isi ulang dari pada botol sekali pakai, tidak membeli
barang dalam kemasan eceran yang kecil-kecil, barang-barang hasil produksi harus
dibuat sedemikian rupa sehingga ramah lingkungan dan dapat didaur ulang lagi.
Biaya kerusakan lingkungan yang sudah dan selalu ada ini menjadi minimal di masa
yang akan datang.
Di Bali kebanyakan sampah rumah tangga dibakar, dibuang ke sungai atau
dikubur. Praktek ini dilakukan karena kurangnya pengertian bahwa sampah modern
berbeda dengan sampah organik yang dihasilkan di Bali sepuluh tahun yang lalu.
Infrastruktur yang disediakan sampah sangat mahal (Rp. 10.000,- per bulan)
biaya ekstra yang cukup besar bagi kebanyakan keluarga yang masih harus berjuang
keras untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Faktor-faktor ini adalah dasar dari
masalah pengelolaan sampah di Bali, yang menyebabkan meningkatnya degredasi
kebersihan lingkungan pada pulau dan penduduk Bali.
Namun di Kelurahan Ubud, sampah rumah tangga sudah dikelola oleh lembaga
desa yang disebut dengan LPM (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat) dimana
lembaga ini sejak tahun 2002 sudah sangat besar perhatiannya terhadap sampah
rumah tangga yang ada di wilayahnya, sehingga LPM ini berupaya untuk mencari
jalan bagaimana caranya mengelola sampah rumah tangga yang semakin lama
volumenya semakin meningkat. Maka ditemukanlah jalan untuk mengelola sampah
rumah tangga tersebut dengan mengangkut sampah tersebut setiap hari dan dibawa
ke tempat pembuangan akhir (TPA). Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui peran serta LPM dalam pengelolaan sampah rumah tangga di
Kelurahan Ubud.
2. Untuk mengetahui peran serta Kelompok Masyarakat dan Kelompok Pengusaha
dalam pengelolaan sampah rumah tangga di Kelurahan Ubud.
3. Untuk mengetahui hubungan Kelompok Masyarakat dan Kelompok Pengusaha
terhadap Peran Serta LPM dalam pengelolaan sampah rumah tangga di
Kelurahan Ubud.
Kebijakan penentuan teknologi pengolahan sampah sebaiknya ditetapkan dengan
memperhatikan keberagaman di dalam masyarakat, misalnya pemberlakuan subsidi
silang dalam iuran retribusi kebersihan untuk membantu masyarakat yang terpaksa
dikenakan tarif retribusi lebih rendah karena tingkat pendapatan rendah. Prinsip
keseimbangan menegaskan pentingnya hubungan diantara sistem dan kebutuhan
memelihara proses yang terdapat di dalamnya. Dalam konteks analisis teknologi
pengolahan sampah, hal ini membawa implikasi harus adanya keseimbangan antara
hak dan kewajiban, baik yang ditujukan bagi masyarakat maupun lembaga desa itu
sendiri. Keseimbangan dalam kebebasan dan kerjasama, keseimbangan antara peran
serta LPM sebagai pemegang otoritas publik dengan peran masyarakat sebagai
penghasil sampah.
Dari uraian tersebut menyiratkan bahwa sesungguhnya input teknologi dalam
kegiatan pengolahan sampah hendaknya jangan dipandang sebagai satu-satunya cara
dalam mengendalikan pencemaran lingkungan oleh sampah.

BAHAN DAN METODE

Populasi yang menjadi sasaran dalam penelitian ini adalah kelompok masyarakat
dan pengusaha yang berada di wilayah Kelurahan Ubud, Kecamatan Ubud,
Kabupaten Gianyar, sebanyak 75 KK. Data dikumpulkan dengan kuesioner,
wawancara dan dari data sekunder yang telah dimiliki Kelurahan Ubud. Data
dianalisis dengan menggunakan analisis regresi linier berganda dengan bantuan
Program SPSS.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Untuk mengetahui pengaruh kelompok masyarakat dan kelompok pengusaha


terhadap peran serta LPM, baik secara parsial maupun simultan digunakan analisis
linear berganda dengan persamaan sebagai berikut.

Y = a + b1X1 + b2X2 + e

Dimana :

Y = Peran serta LPM


a = Konstanta
b1 = Koefisien Kelompok Masyarakat
X1 = Komponen Kelompok Masyarakat
b2 = Koefisien Kelompok Pengusaha
X2 = Komponen Kelompok Pengusaha
e = Standar Error

Dengan menggunakan bantuan Program SPSS, maka hasil olahan data dapat
dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rangkuman Hasil Regresi antara Kelompok Masyarakat (X1) dan


Kelompok Pengusaha (X2) terhadap Peran Serta LPM (Y)

Unstandardized Standardized
Model Coefficients Coefficients t Sig
B Std. Error Beta
20.87
(Constant) 4.630 4.509 .000
6
Kelompok
.332 .134 .315 2.482 .021
Masyarakat
Kelompok
.354 .067 .668 5.266 .000
Pengusaha
a. Dependent Variable : Peran Serta LPM

Model Summaryb
Adjusted R Std. Error of
Model R R Square
Square the Estimate
1 .951a .904 .895 .719
a. Predictors : (Constant), Kelompok Masyarakat,
Kelompok Pengusaha
b. Dependent Variable : Peran Serta LPM
ANOVAb
Sum of Mean
Model df F Sig
Squares Square
(Constant) 106.631 2 53.315 103.165 .000a
Kelompok Masyarakat 11.369 22 .517
Kelompok Pengusaha 118.000 24
a. Predictors : (Constant), Kelompok Masyarakat, Kelompok
Pengusaha
b. Dependent Variable : Peran Serta LPM

Berdasarkan rangkuman hasil analisis data di atas maka diperoleh hasil sebagai
berikut.
a = Konstanta = 20.876
b1 = Koefisien Kelompok Masyarakat = 0,332
b2 = Koefisien Kelompok Pengusaha = 0,354

Persamaan garis linearnya menjadi :


Y = 20.876 + 0,332 X1 + 0,354 X2
Persamaan garis linear berganda tersebut dapat diinterpretasikan sebagai berikut.
Nilai b1 = 0,332 menunjukkan pengaruh positif antara variabel kelompok
masyarakat (X1) terhadap peran serta LPM (Y) sebesar 0,332. Artinya jika
kelompok masyarakat naik satu satuan maka peran serta LPM akan naik 0,332
satuan dengan syarat variabel bebas lainnya konstan, meningkatnya kelompok
masyakarat mengakibatkan naiknya peran serta LPM.

KESIMPULAN

Bahwa LPM mempunyai peranan penting dalam pengolahan sampah, di


samping peran serta masyarakat dan juga para pelaku pariwisata serta kelompok
pengusaha, permasalahan dan manfaat sampah akan mempengaruhi beberapa aspek
seperti : Sosial, ekologi, teknologi, ekonomi. Pada tingkat masyarakat dan pelaku
pariwisata serta pengusaha mampu meningkatkan pengolahan sampah. Intensitas
pengolahan sampah pada dasarnya membutuhkan komitmen masyarakat, pelaku
pariwisata, dan pengusaha terutama dalam mengurangi penimbunan sampah,
memilih jenis sampah sehingga menjadikannya lebih bermanfaat.
Intensitas pembuangan sampah oleh masyarakat dan para pelaku pariwisata telah
terorganisir dengan penyuluhan serta pengetahuan terhadap aspek sosial, ekonomi,
dan tekhis pengolahan sampah dan sikap perilaku pariwisata dan masyarakat
terhadap program pengolahan sampah terutama sampah keluarga, di samping itu
terbatas lahan untuk pengolahan sampah baik oleh masyarakat maupun para pelaku
periwisata dan juga pengusaha.

DAFTAR PUSTAKA

Ali dan Snel. 1999. Lesson from Community Based Initiatives in Solid Waste.
Amirin, T.M. 1991. Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Provinsi Jawa Timur,
Analisis dan Rencana Surabaya.
Aswar, Azrul. 1990. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan, Jakarta : PT. Mutiara
Sumber Widya.
Bekin, Caroline, Marylyn Carrigan & Isabelle Szmigin. 2006. Empowerment Waste
and New Consumption Communities. http://www.Wastedisposal.htm.
Congars, Diana. 1991. Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga. Suatu Pengantar.
Yogyakarta : Gajah Mada University in Focus.
Kastaman. 2004. Pengelolaan Sampah Terpadu Berbasis Masyarakat.
http://www.28%20Tulisan%20di%Mei%20 2004.pdf.
Korten, David. 1986. Community Management USA. Marian Press.
Mulasari, SA, Haryono & Hasanbasri. 2007. Manajemen Swakelola Sampah Dusun
Sukunan dan Gondolayu Lor Provinsi DIY. http://www.seribo.com/doc/11842388/
ManajemenSwakelola-Sampah-Dusun-Sukunan-dan-Gondolayu-Lor.
Mubaiwa. 2006. Community Based Waste Management in Urban Areas.
http://www:community based-waste-mgt.pdf.
Mulyani. 2004. Studi Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah Rumah
Tangga di Pekanbaru. http://www.digilib.itb.ac.id/gdl/phpmou=browse8op=
reud8.id=jbphtbpp.gdl-mulyani-2959289=urban.
Neoloka, Amos. 2008. Kesadaran Lingkungan, Jakarta : Rineka Cipta.
Parsons, 1906. Menulis sebuah buku tentang pengelolaan sampah berjudul The
Disposal of Municipal Refuse. (APK-TS, 1987).
Pretty, John. 1995. The Many Interpretation of Participation in Focus.
Sarwono. 1997. Perilaku Organisasi. Jakarta : Bumi Aksara.
Triyadi. 2006. Tempat Sampah, Perilaku Manusia dan Pembangunan Berkelanjutan.
Jurnal Lingkungan Edisi Khusus Agustus 2006.
Tchobanoglous et,al. 1987. American Public Works Association (APK-TS),
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Widyatmoko, N.W. Menghindar, Mengolah dan Menyingkirkan Sampah
ANALISIS PENGELOLAAN LIMBAH CAIR PADA RUMAH SAKIT UMUM
DAERAH SANJIWANI GIANYAR DI KABUPATEN GIANYAR

I Putu Sukarianto1, Nyoman Utari Vipriyanti2, I Made Tamba2


1
Master Programme on Regional Planning and Environmental Management Mahasaraswati
University of Denpasar.
2
Postgraduate Programs of Regional Planning and Environmental Management,
Mahasaraswati University Denpasar, Denpasar Bali, Indonesia.
*Corresponding author email: made.tamba125@gmail.com

ABSTRACT

Liquid waste produced by RSUD Sanjiwani Gianyar is resulted by


operational process, medical and also non-medical process, which is processed in
waste water processing installation (IPAL) which uses HWWTP system. This
research aimed at analyzing the quality of waste liquid hospital based on physical
parameter, chemistry and bacteriologic, which are appropriate to Balinese Governor
Regulation No 8, 2007, and standard quality of profitability or pollution based on
Men LH No 115, 2003. It analyzes input stage factor and waste management process
that has a connection to pollution profitability and formulates hospital liquid waste
management method so that the negative impact of this liquid waste could be
minimized. Methods that could be used to analyze the quality of liquid waste are
descriptively comparative, to analyze factors that are related to pollution profitability
by using bivariate linear correlation test and formulate a method to minimize the
negative impact of liquid waste management by using distributive cumulative
analysis. The result of analysis showed that the liquid waste management produced
by RSUD Sanjiwani Gianyar is not proved optimally yet. It could be seen from the
quality of liquid waste produced still has a fluctuation, starting from fulfilling
standard quality, light dirty, dirty and heavy dirty. Input stage factor and the process
that has a good relation to pollution profitability in terms of managing waste liquid of
hospital are considered important to be optimized and also applying waste liquid
management method which has been proposed by researcher.

Keywords : waste liquid hospital, quality, negative impact

PENDAHULUAN

Pembangunan di bidang kesehatan merupakan upaya manusia


mendayagunakan sumber daya manusia dan lingkungannya untuk tujuan
meningkatkan taraf hidupnya. Pesatnya peradaban manusia yang didukung oleh
begitu cepat perkembangan teknologi, pada era globalisasi ini telah merambah
kepada sektor kesehatan. Rumah sakit merupakan organisasi kompleks maka perlu
penanganan manajerial yang khusus dan berbeda dengan organisasi jasa lainnya
(Adisasmito, 1998)
Rumah sakit sebagai institusi yang mempunyai fungsi dan tugas memberikan
pelayanan kesehatan kepada masyarakat secara paripurna. Kegiatannya tidak saja
memberikan dampak positif bagi masyarakat sekitarnya tetapi juga dapat
menimbulkan dampak negatif. Akibat proses kegiatan maupun limbah yang
dibuang tanpa pengelolaan yang benar dan sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan
lingkungan secara menyeluruh akan menimbulkan pencemaran
Berdasarkan uraian dalam latar belakang, maka yang menjadi masalah pokok dalam penelitian ini adalah : 1)
Bagaimana kualitas limbah cair Rumah Sakit Umum Daerah Sanjiwani Gianyar
berdasarkan parameter fisik, kimia dan bakteriologik dibandingkan Baku Mutu
limbah cair bagi rumah sakit berdasarkan Peraturan Gubernur Bali No 8 Tahun
2007; 2) Bagaimana status mutu atau Indek Pencemaran akibat pengelolaan limbah
cair Rumah Sakit Umum Daerah Sanjiwani Gianyar menurut Kep Men LH No 115
Tahun 2003; 3) Bagaimana upaya meminimalisir dampak negatif yang ditimbulkan
dalam kegiatan pengelolaan limbah cair rumah saki.

METODE PENELITIAN

Lokasi Penelitian di Rumah Sakit Umum Daerah Sanjiwani Gianyar dipilih


secara Purposive, dan Penelitian dilakukan dari Bulan Agustus Nopember
2009. Populasi dalam penelitian ini dibatasi sebagai keseluruhan limbah cair yang
dihasilkan pada RSUD Sanjiwani Gianyar dalam waktu lima tahun terakhir, yakni
dari tahun 2005 2009. Untuk mengkaji hubungan faktor-faktor (dari kumpulan
Input dan Proses pengelolaan limbah ) dengan kualitas limbah cair, digunakan
sampel pasangan data hasil pengelolaan limbah cair tahap Input dan tahap Proses
dalam 10 kurun waktu, yaitu: Bulan April 2005, Desember 2005, Maret 2006,
Oktober 2006, Maret 2007, Oktober 2007, Maret 2008, Oktober 2008, Juni 2009, dan
September 2009. Pengukuran kualitas limbah cair pada satu kurun waktu dilakukan
pada dua sampel limbah cair yang diambil pada inlet dan outlet
Pengumpulan data variabel dan sub variabel yang digunakan sebagai
identifikasi faktor-faktor yang mempunyai hubungan dengan hasil pengelolaan
limbah cair. Pengumpulan data ini dilakukan dengan cara Observasi,Wawancara dan
Kuisioner. Data yang dikumpulkan untuk dianalisis Pengelolaan Limbah cair
Rumah sakit adalah Data primer dan data sekunder dari RSUD Sanjiwani Gianyar.
Variabel penelitian analisis pengelolaan limbah cair rumah sakit terdiri dari :
a) Faktor Input terdiri dari : Kualitas SDM, Jumlah Anggaran, Peraturan,
Peralatan/Sarana, Material limbah cair rumah sakit, Prosedur Tetap ,
Lingkungan
b) Faktor Proses terdiri dari: Sistem Bak Pre Treatmant plant, Sistem Bak
Screen pacility, Sistem Bak Fluized Bed Biofilm Reaktor ( FBBR), Sistem
Bak Pengendap, Sistem Bak Penyimpan, Sistem Sludge Dewatering Basin,
Sistem Bak Air Terolah, Sistem pada Up Flow Filter, Sistem Desinfectan
Basin dan Sistem Effluent (Outlet )
c) Output Kualitas Limbah Cair: Indikator kualitas limbah cair antara lain :
Suhu, pH, BOD5 , COD , NH3 Bebas, PO4 ( Phospat ), TSS, dan MPN-
kuman golongan Coli/100 ml
Analisis Data
a) Analisis Kualitas Limbah Cair Rumah Sakit
Tahap awal untuk dapat mengetahui kualitas limbah cair rumah sakit dilakukan
pengambilan sampel, dari data hasil analisis di Laboratorium kemudian dianalisis
secara Deskriptif Komperatif selanjutnya dianalisis sesuai Peraturan Gubernur
Bali No 8 Tahun 2007. Langkah terakhir baru dianalisis sesuai Indek
Pencemaran ( IPj) menurut Kep. Men LH No 115 Tahun 2003 dengan
menggunakan rumus sebagai berikut :
2 2
(Ci / Lij) M (Ci / Lij) R
IPj =
2
Keterangan :
IPj = Indek Pencemaran bagi peruntukan (j) yang merupakan fungsi dari Ci/Lij
Ci = Kosentrasi parameter Kualitas Air ( i ).
Lij = Kosentrasi parameter Kualitas air yang tercantum dalam Baku Mutu
peruntukan Air ( j).
M = Nilai, Ci/Lij Maksimum.
R = Nilai, Ci/Lij rata rata
Evaluasi terhadap nilai IPj adalah sebagai berikut :
0 IPj 1,0 Memenuhi Baku Mutu / kondisi baik (4).
1,0 IPj 5,0 Cemar Ringan (3).
5,0 IPj 10 Cemar Sedang (2).
IPj > 10 Cemar Berat (1).

b) Uji Variabel yang Berhubungan dengan Kualitas Pengelolaan Limbah Cair


Uji variabel yang berhubungan dengan pengelolaan limbah cair rumah sakit
menggunakan Uji Korelasi Linier Bivariat antar Variabel bebas (Xi yang berasal
dari 4 variabel input, dan Bi yang berasal dari 12 variabel proses) dengan Variabel
terikat Y (Kualitas limbah cair rumah sakit ). Koefisien Korelasi Peringkat
Spearman digunakan untuk mengukur keeratan hubungan antar suatu Variabel
bebas Xi dan Bi dengan Variabel terikat Y. Hal ini mengingat Skala pengukuran
data untuk Variabel bebas Xi dan Bi dengan Variabel terikat Y menggunakan skala
ordinal (peringkat/skor). Koefisien Korelasi Peringkat Spearman tersebut adalah
:
6di2
Rs = 1 -
n(n2 1)

Sedangkan di adalah selisih antara peringkat bagi Xi atau Bi dan Yi dan n adalah
banyaknya pasangan data.
Signifikansi Rs diuji dengan thitung = Rs (n 1). Bila nilai p-value untuk
thitung lebih kecil dari 0,05 maka disimpulkan bahwa Rs signifikan (tidak nol).
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Analisis Kualitas Limbah Cair RSUD Sanjiwani Gianyar


Parameter fisika
Analisis kualitas parameter fisika limbah cair di RSUD Sanjiwani Gianyar
yaitu mengenai Suhu dari hasil pemeriksaan dari tahun 2005 - 2009 pada tahap
output semua hasil pengelolaan limbah cair, kualitasnya memenuhi Persyaratan
Peraturan Gubernur Bali No 8 Tahun 2007.
Parameter Kimia
1). Derajat Keasaman (pH), Analisis parameter Derajat Keasaman ( pH ) pada
IPAL RSUD Sanjiwani dapat disampaikan bahwa Analisis parameter Derajat
Keasaman ( pH) dari tahun 2005 - 2009 pada tahap output hasilnya semua telah
memenuhi persyaratan Peraturan Gubernur Bali No 8 Tahun 2007( sesuai Baku
Mutu).
2). Kebutuhan Oksigen Biologi ( Biochemical Oxygen Demand, BOD5), BOD5
(Biochemical Oxygen Demand, BOD5) menunjukan Oksigen terlarut yang
dibutuhkan oleh organisme hidup untuk memecah atau mengoksidasi bahan bahan
buangan didalam air (fardiaz, 1992). Hasil Analisis Parameter BOD5 pada IPAL
RSUD Sanjiwani sebagai berikut : Analisis kebutuhan Oksigen Biologi (Biochemical
Oxygen Demand,BOD5) dari tahun 2005 - 2009 ada yang melebihi standart kualitas
dari persyaratan Peraturan Gubernur Bali No 8 Tahun 2007. Adapun yang melebihi
standar pada bulan Oktober 2006 dan Juni tahun 2009, tingginya hasil
pemeriksaan BOD5 ini mempunyai hubungan dengan :
(1). Kurang optimalnya pengopra sian, pengawasan serta evaluasi dari sistem
kerja mesin maupun intensitas pembersihan bak Pre Treatment plant.
(2). Kurang optimalnya kerja dari proses kerja bak Screen
(3). Pada Bak FBBR pelaksanaan operasionalnya perlu ditingkatkan.
3).Chemical Oxygen Demand (COD), Kebutuhan oksigen kimiawi (COD)
merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi seluruh bahan
kimia dalam air. Hasil Analisis Parameter COD dari tahun 2005 - 2009 pada
tahap output ada yang melebihi standart kualitas persyaratan Peraturan
Gubernur Bali No 8 Tahun 2007. Terjadi bulan Maret dan Oktober 2007,
April 2008 dan Juni 2009. Tingginya hasil pemeriksaan COD ini mempunyai
hubungan dengan :
(1). Kurang optimalnya intensitas pembersihan dan pengawasan kerja pada bak
Pre Treatment plant
(2). Ada permasalahan terhadap proses kerja pada Bak Pengendapan.
(3). Kurang optimal kualitas fungsi dan perawatan pada penyimpanan Sludge.
(4). Kurang optimalnya kua litas pelaksanaan operasi onal alat alat mekanik
pada masing masing unit.
4). Total Suspendid Solid (TSS), adalah merupakan zat padat yang mempunyai
ukuran sangat kecil. Padatan ini terdiri dari senyawa anorganik dan organik yang
larut dalam air, mineral dan garam garamnya. Hasil Analisis Parameter
Total Suspendid Solid (TSS ) pada IPAL RSUD Sanjiwani tahun 2005 - 2009
ada yang melebihi standart kualitas dari persyaratan Peraturan Gubernur Bali No
8 Tahun 2007, terjadi bulan Maret 2007 dan September 2009. Tingginya
hasil pemeriksaan (TSS) ini mempunyai hubungan dengan :
(1). Kurang optimalnya operasional dan pengawasan kerja dari bak Pre Treatmen
plant.
(2). Kurang optimalnya kualitas fungsi dan intensitas perawatan bak Pengendap
(3). Ada permasalahan terhadap proses kerja pada Bak Up Flow Filter.
(4). Kurang optimalnya kualitas fungsi dan intensitas perawatan bak pengendapan.
5). Amonia (NH3) Bebas, Sumber Amonia di IPAL rumah sakit adalah hasil
pemecahan Nitrogen organik ( protein dan Urea ) hasil kegiatan rumah sakit
dan dari bagian kegiatan dapur rumah sakit oleh mikroba dan jamur (Efendi,
2005). Hasil analisis kandungan Amonia (NH3) Bebas tahun 2005 - 2009
pada tahap output ada yang melebihi standart kualitas dari persyaratan
Peraturan Gubernur Bali No 8 Tahun 2007. Terjadi pada bulan Maret dan
Oktober 2006, bulan Maret 2007, bulan April 2008 dan bulan Juni 2009.
Tingginya hasil analisis parameter Amonia (NH3) Bebas ini mempunyai
hubungan dengan : operasional dan pengawasan kerja terhadap bak Pre
Treatmen plant belum optimal., kurang Optimalnya kualitas fungsi dan
intensitas perawatan pada bak FBBR, kurang Optimalnya kualitas fungsi dan
intensitas perawatan pada bak Penyimpanan Sludge
5).Fosfat (PO4), fospat merupakan bentuk fosfor yang dimanfaatkan oleh
tumbuhan.1 Dalam air Fosfor merupakan suatu komponen yang sangat penting dan
sering menimbulkan permasalahan lingkungan. Analisis kualitas limbah cair rumah
sakit terhadap parameter Fosfat (PO4) pada kegiatan pengelolaan Limbah Cair
Rumah sakit, Analisis Fosfat (PO4) tahun 2005 - 2009 pada tahap output ada
yang melebihi standart kualitas dari persyaratan Peraturan Gubernur Bali No 8
Tahun 2007. terjadi pada bulan Maret 2007 , dan bulan Juni 2009. Tingginya
hasil Analisis Fosfat (PO4) ini mempunyai hubungan dengan :
(1). Kurang optimalnya Intensitas pembersihan dari bak Pre Treatment plant.
(2). Ada permasalahan terhadap kualitas fungsi dan intensitas perawatan pada Bak
FBBR
(3). Kurang Optimalnya kualitas fungsi dan intensitas perawatan pada bak
Penyimpanan Sludge
(4). Kurang Optimalnya kualitas fungsi dan intensitas perawatan pada bak
Pengendapan

Analisis Parameter Mikrobiologi


Parameter mikrobiologi merupakan parameter untuk mengetahui adanya
mikroorganisme yang terdapat dalam air. Hasil analisis kualitas limbah cair rumah
sakit pada RSUD Sanjiwani Gianyar ditinjau dari Parameter Bakteriologis sesuai
ketentuan Peraturan Gubernur Bali No 8 Tahun 2007 di katagorikan memenuhi
syarat. Dari keseluruhan proses analisis kualitas limbah cair di RSUD Sanjiwani
Gianyar tahun 2005 - 2009 ada beberapa parameter yang tidak memenuhi
persyaratan antara lain : BOD5, COD,TSS,NH3,PO4, hasil analisa tersebut setelah
dianalisis dengan Indek Pencemaran (IPj) menurut Kep Men LH No 115 Tahun
2003, dapat disimpulkan sebagai berikut :
(1). Kualitas limbah cair rumah sakit tahun 2005 memenuhi syarat Indek
Pencemaran ( Memenuhi Indek Baku Mutu ).
(2). Kualitas limbah cair rumah sakit tahun 2006 Semester I katagori Cemar
Ringan dan Semester II katagori Cemar Sedang.
(3). Kualitas limbah cair rumah sakit tahun 2007 semester I katagori Cemar
Sedang dan Semester II katagori memenuhi syarat Indek Pencemaran (
Memenuhi Baku Mutu ).
(4). Kualitas limbah cair rumah sakit tahun 2008 semester I katagori Cemar Berat
dan semester II katagori memenuhi syarat Indek Pencemaran ( Memenuhi Baku
Mutu ).
(5). Kualitas limbah cair rumah sakit tahun 2009 semester I katagori Cemar Berat
dan semester II katagori memenuhi syarat Indek Pencemaran (Memenuhi Baku
Mutu ).

Analisis Variabel dari Kompenen Input dan Proses yang Mempunyai


Hubungan dengan Kualitas Limbah Cair Rumah Sakit

Upaya meningkatkan kualitas limbah cair di Unit IPSRS RSUD Sanjiwani Gianyar
dari hasil Analisis data data, antara Variabel Bebas Input (Xi ) dan Variabel Bebas
Proses (Bi ) dengan Variabel Terikat Y (IPJ, dapat disampaikan penjelasannya sbb :
Analisis Variabel Bebas Tahap Input
Variabel bebas tahap Input yang mempunyai hubungan dengan Kualitas
Limbah Cair rumah sakit dianalisis dengan Koefisien Korelasi Bivariat Peringkat
Spearman, adapun hasil analisisnya dapat dilihat seperti Tabel 1.
Tabel 1: Analisis Variabel Bebas (Input Xi ) dengan Variabel Terikat Y (IPJ).
Variabel input X1 X2 X3 X4
Y Korelasi 0.920 0.769 0.810 0.329
(IPJ) p-value 0.000** 0.009** 0.005** 0.354NS
Keterangan
* Hubungan nyata pada tingkat 0.05 (dwi arah).
Hubungan nyata pada tingkat 0.01 (dwi arah ).
**
Penjelasan hubungan variabel bebas input (Xi) dengan Variabel Terikat Y (IPJ) yang
mempunyai hubungan nyata dengan kualitas limbah cair rumah sakit adalah sebagai
berikut :
1). Material limbah cair yang masuk ke Bak Screen
Material limbah cair dapat merusak kerja dari masing masing peralatan yang
digunakan pada tahap proses, mulai pada bak Screen, sistem FBBR , bak air
terolah dan sistem kerja pompa dari masing - masing bak.
2). Kualitas dan Kuantitas Peralatan Pengelolaan Limbah Cair
Hasil pemantauan parameter BOD,TSS,NH3 Bebas mulai Maret 2007 sampai
Juni 2009, salah satu dari parameter tersebut meningkat drastis. Kualitas dan
kuantitas peralatan pengelolaan pada IPAL mempunyai hubungan nyata sebesar
0,769 dengan Indek Pencemaran (IPj).
3). Anggaran Pengelolaan Limbah Cair RSUD Sanjiwani Gianyar
Analisis anggaran pengelolaan mempunyai hubungan nyata dengan Indek
Pencemaran. Katagori cemar ringan yang terjadi pada tahun 2006, 2007 dan
tahun 2008 katagori cemar sedang, ini disebabkan karena beberapa peralatan
yang ada tidak dapat difungsikan.

Analisis Variabel Bebas Tahap Proses


Analisis data - data variabel bebas Proses (Bi) dengan Variabel Terikat Y (IPJ)
yang mempunyai hubungan Indek, secara terperinci hasil analisis dapat dilihat
pada tabel 2.

Tabel 2: Analisis Variabel Bebas Proses (Bi) dengan Variabel Terikat Y (IPJ). .
V. proses B1 B2 B3 B4 B5 B6
Y Korelasi 0.935 -0.195 0.198 0.792 0.840 0.836
(IPJ p-value 0.000** 0.589NS 0.584NS 0.006** 0.002** 0.003**

V. proses B7 B8 B9 B10 B11 B12


Y Korelasi 0.759 0.990 0.235 0.946 0.857 0.846
(IPJ) p-value 0.011** 0.000** 0.513NS 0.000** 0.002** 0.002**
Keterangan
* Hubungan Nyata pada tingkat 0.05 (dwi arah).
** Hubungan Nyata pada tingkat 0.01 (dwi arah).

Penjelasan variabel proses yang mempunyai hubungan nyata dengan Indek


Pencemaran ( IPj) antara lain sebagai berikut :
1). Pada Bak Pre Treatment Plant, limbah yang mengandung material limbah cair
akan mendapat perlakuan penyaringan, kegiatan penyaringan terhadap material
limbah dilakukan 24 jam.
2). Pada Bak FBBR( Fluidized Bed Bio- film Reaktor ) merupakan bagian utama,
kira kira 27 % dari Volume reaktor diisi dengan media pengapung ( bio
Green) sehingga mikroba mengendap secara gravitasi, disamping itu juga
terjadi proses aerobic + anaerobic melalui media dan bak lumpur aktif.
Hubungan kualitas fungsi dan intensitas perawatan Bak FBBR(Fluidized Bed
Bio- film Reaktor ) dengan Indek Pencemaran ( IPj) adalah sebesar 0,792,
hubungan dwi arah ini nyata hubungannya Indek Pencemaran.
3). Pada Bak Pengendapan
Didalam bak pengendapan terjadi pemisahan antara padatan dan air. Intensitas
perawatan bak pengendapan merupakan variabel proses yang mempunyai
hubungan nyata dengan Indek Pencemaran. Hubungan kualitas fungsi dan
intensitas perawatan Bak Pengendapan dengan Indek Pencemaran ( IPj) adalah
0,840.
4). Pada Bak Penyimpanan
Analisis kualitas limbah cair terlihat masih tingginya parameter
TSS,COD,BOD5, NH3 dan PO4. Hubungan kualitas fungsi dan intensitas
perawatan Bak Penyimpanan dengan Indek Pencemaran ( IPj) adalah 0,836.
hubungan dwi arah ini nyata mempunyai hubungan dengan kualitas limbah
cair rumah sakit. Dengan demikian pelaksanaan SOP pada Bak Pengendapan
harus dijalankan dengan ketat, agar Indek Pencemaran sesuai dengan Baku
Mutu (memenuhi syarat).
5). Pada Dewatering System
Sludge memiliki kandungan air 99%. Setelah diflokulasi ( digumpalkan ) dengan
FeCl3 setelah proses dewatering kandungan airnya menjadi 75%. Selama proses
Dewatering, air terolah digunakan dalam pembersihan belt. Akhirnya sludge
yang telah di Dewatering menjadi bentuk lempengan lempengan padat yang
selanjutnya dibakar pada inchinerator. Hubungan kualitas fungsi dan
intensitas perawatan Bak Dewatering dengan Indek Pencemaran (IPj) adalah
0,759, hubungan dwi arah ini nyata mempunyai hubungan dengan Indek
Pencemaran limbah cair rumah sakit.
6). Pada Bak Air Terolah
Terjadi proses oksidasi secara biologi dan kimiawi. Hubungan kualitas fungsi
dan intensitas perawatan Bak Air Terolah dengan Indek Pencemaran (IPj) adalah
0,990, hubungan dwi arah ini nyata mempunyai hubungan dengan Indek
Pencemaran limbah cair rumah sakit
7). Pada Bak Desinfektan
Hasil Analisis kualitas fungsi dan intensitas perawatan bak Desinfektan adalah
merupakan variabel proses yang mempunyai hubungan nyata Indek
Pencemaran. Hubungan kualitas fungsi dan intensitas perawatan Bak
Desinfektan dengan Indek Pencemaran (IPj) adalah 0,946, hubungan dwi arah
ini nyata mempunyai hubungan dengan Indek Pencemaran.
8). Pada Effluent ( keluaran )
Hubungan kualitas fungsi dan intensitas perawatan Bak Efluent dengan Indek
Pencemaran (IPj) adalah 0,857, hubungan dwi arah ini nyata mempunyai
hibungan dengan Indek Pencemaran limbah cair rumah sakit.
9). Kualitas pelaksanaan operasional alat alat mekanik masing masing unit.
Pelaksanaan operasional alat alat mekanik pada masing masing unit,
tergantung dari sikap dan tindakan dari tenaga pengelola IPAL. Kualitas fungsi
dan intensitas perawatan masing masing bak mempunyai hubungan nyata
sebesar 0,846 dengan Indek Pencemaran .

Rumusan Methode Meminimalisir Dampak Negatif


Karena hasil akhir buangan pengelolaan limbah cair dalam kurun waktu 2005
2009 belum seluruh parameter limbah cair yang memenuhi Indek Baku mutu.
maka peneliti memberikan usul membantu memecahkan permasalahan tersebut
dengan Merumuskan Methode Meminimalisir Dampak Negatif sebagaimana
bagan alur Pengelolaan limbah cair rumah sakit gambar 1.

Untuk meminimalisir dampak Negatif yang ditimbulkan oleh aktivitas


pengelolaan limbah cair RSUD Sanjiwani Gianyar, maka langkah langkah yang
perlu untuk dilaksanakan, antara lain :
a. Pendekatan Teknologi
Pendekatan teknologi dilakukan untuk mengop timalkan penurunan atau
pengurangan dampak yang ditimbulkan dari kegiatan dengan menggunakan
sarana dan prasarana dengan teknologi tinggi agar sesuai dengan protap dan
SOP (Standar Operasionl Prosedur) dari masing masing peralatan tersebut.
b. Pendekatan Sosial, Ekonomi dan Budaya.
Pendekatan dilakukan dalam rangka mengurangi dampak sosial, ekonomi
dan budaya yang ditimbulkan, dilakukan kepada pasien dan penunggu pasien
dan masyarakat disekitar lokasi rumah sakit.
c. Pendekatan Institusional.
Pendekatan institusional dilakukan untuk mewujudkan koordinasi yang
berkesinam bungan baik dengan institusi kelembagaan dan pemerintah
untuk lebih meningkatkan bimbingan teknis ataupun pengawasannya.

Evaluasi

Melaksanakan fungsi-
fungsi Manajemen
Belum
Methode Pendekatan Teknologi Memenuhi
Meminimal Syarat
Dampak
Negatif Pendekatan Sosekbud
Limbah Memenuhi
Cair RS Syarat
Pendekatan Institusional

Optimalisasi tahap Input Buang ke


Lingkungan/
Optimalisasi tahap Proses Sungai

Gambar 1: Bagan Alur Rumusan Methode Meminimalisir Dampak Negatif Limbah


Cair Rumah Sakit

d. Melaksanakan fungsi fungsi manajemen penge-lolaan limbah cair

Adapun hal hal yang perlu mendapat perhatian optimal sesuai dengan
fungsi mana jemen adalah sebagai berikut:
1). Perencanaan /planning, Analisis kajian manajemen pengelolaan
limbah cair di IPSRS RSUD Sanjiwani ternyata yang telah melaksanakan
perencanaan terhadap kegiatan Pengelolaan limbah cair, hanya 7 Orang
(61,5%), yang belum yaitu 6 Orang (38,5%). Masih rendahnya kemampuan
perencanaan pengelolaan perlu diadakan pelatihan.
2). Pengorganisasian / Organizing, Hasil Analisis kajian manajemen
pengelolaan limbah cair pada RSUD Sanjiwani Gianyar yang sudah
melakukan kegiatan pengor ganisasian terhadap kegiatan pengelolaan limbah
cair rumah sakit mencapai= 56,4%, yang belum sebesar = 43,6 %. Maka dari
kegiatan pengorgani sasian dalam pengelolaan limbah cair perlu diting
katkan.
3). Penggerakkan / Actuating, Hasil kajian Analisis Actuating pengelolaan
limbah cair masih rendah yaitu 39,9%. Sisanya 60,1% belum melaksanakan.
Untuk dapat mempertahankan kualitas limbah cair sesuai ketentuan
disamping rencana, organisasi maka penggerakan organisasi diperlukan.
4). Pengawasan / Controlling, Hasil analisis kajian manajemen pengelolaan
limbah cair pegawai IPSRS yang melaksanakan kegiatan pengawasan dan
pertanggung jawaban kegiatan pengelolaan limbah cair hanya =28,6%,
sedangkan yang belum sebesar = 71,4%, maka masih perlu ditingkat kan.
5) Evaluasi ( Evalution), Analisis kajian manajemen pengelolaan limbah cair
tearhadap kegiatan evaluasi masih rendah sebesar 15,4 %, sedangkan
sisanya 84,6% belum. Hal ini merupakan penyebab kualitas limbah cair
tidak selalu memenuhi baku mutu ( Indek Pencemaran /IPj).

Optimalisasi Operasional Tahap Input, terdiri dari :


Tahap pertama kegiatan pengelolaan limbah cair yaitu tahap input sbb :

Evaluasi.1
Ambil
Optimalisasi Tahap Input sampel/
Periksa Lab
1.SDM
di Inlet
2.Alokasi Anggaran **
Limbah 3. Protap
4.Peralatan ** Parameter
Cair RS
5.Peraturan limbah cair
6. Material Limbah Cair** terlalu tinggi
7. Lingkungan IPAL
Parameter
limbah cair
Wajar

Dibuang ke Parameter Tahap proses


Lingkungan atau Sungai memenuhi Syarat
Keterangan :
(**) = Variabel input yang mempunyai hubungan nyata
Gambar 2: Bagan Alur Optimalisasi Pengelolaan Limbah Cair Tahap Input.

Variabel input yang perlu mendapat perhatian lebih dominan dari


variabel input lainnya adalah variabel yang mempunyai hubungan nyata
dengan Indek pencemaran ( IPj), antara lain sebagai berikut :
1) Material Limbah Cair.
Pengelolaan yang tepat dalam menangani material limbah cair RSUD
Sanjiwani Gianyar akan mempengaruhi proses pengelolaan, ataupun
output limbah cair yang dihasilkan.
2) Kualitas dan Kuantitas Pemanfaatan, Perawatan Mesin dan
Kelengkapannya.
Kualitas dan kuantitas pemanfaatan, perawatan mesin dan kelengkapannya
mempunyai hubungan nyata dengan Indek Pencemaran.
3) Anggaran Operasional IPAL.
Jumlah alokasi anggaran dalam pengelolaan limbah cair RSUD Sanjiwani
Gianyar mempunyai hubungan nyata dengan Indek Pencemaran.

Optimalisasi Operasional Tahap Proses Pengelolaan Limbah Cair


Baku Mutu Limbah cair rumah sakit akan dapat tetap dipertahankan apabila
variabel input dan proses mendapat perhatian, adapun variabel tahap proses yang
perlu mendapat perhatian antara lain :

Evaluasi 2
Ambil sampel/
Tahap proses Periksa Lab di
1. Pre Treatmen Plant ** outlet
2. Bak Screen Pacility
3. Bak Buffer Belum
4. Bak FBBR**
Memenuhi
Limbah 5. Bak Pengendapan**
Tahap 6. Bak Penyimpan
Syarat
Cair RS
Input Sludge **
7. Bak Dewatering** Memenuhi
8. Bak Air Terolah** Syarat
9. Bak Up Flow Filter
10. Bak Desinfeksi**
11. Effluent** Dibuang ke
Lingkungan atau
Sungai
Keterangan :
(**) = Variabel Proses yang mempunyai hubungan nyata,
pelaksanaanya perlu dioptimalkan.
Gambar 3 : Bagan Alur Optimalisasi Operasional Pengelolaan Limbah Cair
Tahap Proses

Operasional tiap langkah pada tahap proses perlu diperhatian, tetapi variabel
proses yang mempunyai hubungan nyata dengan Indek Pencemaran (IPj)
harus mendapat perhatian lebih dari variabel proses yang lainnya, Variabel
tersebut antara lain :
1) Bak Pre Treatment Basin, adalah bak yang berfungsi untuk pengolahan
awal untuk menghilangkan grease ( lemak) dan busa.
2) Bak FBBR, Sistem Fluidized Bed Bio-film Reactor merupakan bagian
utama dari HWWTP ini, kira- kira 27 % dari volume reaktor diisi dengan media
mengapung (bio green ) dimana mikroba dibiakkan.
3) Bak Pengendap, Air dan Lumpur dari FBBR mengalir ke bak pengendap
dimana terjadi proses pemisahan air dengan Lumpur yang mengendap secara
gravitasi.
4) Sludge Storage Basin( Penyimpan ), Sludge akan ditampung sementara di
sludge storage basin sebelum distransper ke system dewatering.
5) Sludge Dewatering Basin, Setelah di-flokulasi-kan (digumpalkan ) dengan
FeCL3 kandungan airnya menjadi 75%. Dan dipadatkan berupa plak
selanjutnya dibakar di Inchinerator.
6) Bak Air Terolah, sebagai penyimpanan sementara dari limbah cair.
7)Desinfektan Basin., Kegiatan optimalisasi operasional pada bagian
desinfektan adalah merupakan optimalisasi fasilitas klorinasi limbah cair untuk
mensterilkan effluent sebelum dilepaskan ke badan air.
8) Bak Effluent, Pengawasan terhadap aktivitas kegiatan pengelolaan limbah
cair pada bagian Effluent sangat diperlukan.

KESIMPULAN

1. Kualitas limbah cair RSUD Sanjiwani Gianyar dalam kurun waktu 2005 - 2009
hasilnya berfluktuasi.
2. Faktor faktor dari kompenen Input dan Proses yang mempunyai hubungan
nyata dengan kualitas limbah cair rumah sakit (Indek Pencemaran), perlu
mendapat perhatian yang lebih optimal.
3. Methode pengelolaan limbah cair rumah sakit yang dijalankan sekarang belum
optimal, sehingga perlu di optimalkan atau direvisi.
4. Hipotesa penelitian terbukti bahwa Pelaksanaan Pengelolaan Limbah Cair
Rumah Sakit Belum Sesuai Dengan Aturan, maka Indek Pencemaran Selama
Kurun Waktu 2005 - 2009 Hasilnya Berfluktuasi dari Memenuhi Syarat, Cemar
Ringan, Cemar Sedang dan Cemar Berat, sehingga Dampak Negatif Saat
Dikatagori Cemar Berat, Lingkungan Menjadi Tercemar.

DAFTAR PUSTAKA

Adisasmito, W.,1998. Program Pencegahan Pencemaran Rumah Sakit. Jakarta:


Pelangi Indonesia.
Adisasmito, W.,1998. Panduan Audit Lingkungan Rumah Sakit. Jakarta: Pelangi
Indonesia.
Depkes RI, 1996. Pedoman Teknis Pengelolaan Limbah Klinis Dan Desinfeksi dan
Sterilisasi di Rumah Sakit. Jakarta : Ditjen PPM dan PLP.
Djaja , I. M. 1996. Faktor-faktor pendukung terjadinya masalah yang meliputi :
Konstruksi bangunan dan ruangan, penyediaan air, pengelolaan tikus,
serangga, sampah, limbah dan buangan berbahaya. Jakarta : Pusat Penelitian
Kesehatan - Lembaga Penelitian UI.
Effendi, 2005. Telaah Kualitas Bagi Pengelolaan Sumber daya dan Lingkungan
Perairan, Kanisius, Yogyakarta.
Fardiaz, 1992. Polusi air dan udara, Kanisius, Yogyakarta.
Kusnoputranto, H. 1997. Air Limbah dan Ekskreta Manusia/ Aspek Kesehatan
Masyarakat. Jakarta : Dirjen Dikti Depdikbud.
ANALISIS KUALITAS AIR TANAH PADA SUMUR BOR
DI KELURAHAN KUTA KABUPATEN BADUNG

I Putu Sujana1, I Wayan Wana Pariartha2, I Gede Oka Darmayasa2


1
Master Programme on Regional Planning and Environmental Management
Mahasaraswati University of Denpasar.
2
Postgraduate Programs of Regional Planning and Environmental Management,
Mahasaraswati University Denpasar, Denpasar Bali, Indonesia.
*Corresponding author email: pasca@unmas.ac.id

ABSTRACT

This study aims to determine the quality of ground water in wells drilled in
the Village Kuta based on the parameters of physics, chemistry and biology and
compared to regulations on drinking water quality standard applicable. In this study
were selected at random points boreholes of 12 existing neighborhoods in the Village
area of Kuta and from any point sampling was done three times. Indicators were
tested from each sample are temperature, color, odor, dissolved solids, taste,
turbidity, pH, content of nitrate, nitrite, ammonia, chloride, hardness, E. coli and total
coliform. Terms water quality standard used for comparison was the Minister of
Health No. 924/Per/IV/2010.Based on the results obtained that the analysis of the
physics parameters yield: borehole water odorless and tasteless, the temperature
range between 28.6 C to 29.2 C, turbidity range is 1:06 to 1:08 NTU, the water
color has a range of 5.7 to 7.2 TCU, and dissolved solids have the range of 263.67
mg / l to 1176.67 mg / lt. Chemical parameters of measurement results: borehole
water pH range between 6:48 to 7.97, nitrate content between 0 and 0.97 mg / L,
nitrite content of between 0 and 12:35 mg / L, the content of Ammonia between 0 to
0, 28 mg / L, Chloride content of between 6:48 to 520.79 mg / L, and water hardness
range is between 25.73 to 26.37 mg / L. Measurement of biological parameters
provide results that are not found E. coli bacteria in the water but still found Total
Coliform with the range between 0 and 0.67/100ml. Compared with the Minister of
Health 492/Per/IV/2010 numbers, generally water wells drilled in the Village Kuta
has qualified drinking water quality standards. However, some indicators such as
dissolved solids (TDS), pH, Chloride and Total Coliform content at some point
observations still exceeds the threshold requirement.

Keywords: water quality, boreholes, Kuta Village

PENDAHULUAN

Air merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki fungsi sangat
penting bagi kehidupan dan perikehidupan manusia, serta untuk memajukan
kesejahteraan umum, sehingga merupakan modal dasar dan faktor utama
pembangunan (Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2010). Oleh karena itu,
Tuhan menciptakan bumi ini dengan 2/3 bagiannya adalah perairan. Hal ini dapat
diartikan bahwa pada dasarnya Tuhan telah menyediakan air yang cukup bagi untuk
semua mahluk hidup yang ada di bumi.
Dewasa ini kebutuhan akan air semakin meningkat sejalan dengan
pertambahan jumlah penduduk dengan segala aktivitasnya. Tidak terkecuali di
Kelurahan Kuta yang terletak di kawasan pesisir barat Kabupaten Badung Provinsi
Bali dan telah dikenal sebagai daerah pariwisata yang sangat digemari oleh
wisatawan baik dalam dan luar negeri. Dari tahun ke tahun Kelurahan Kuta terus
mengalami pembangunan fisik baik hotel, restoran, pertokoan, rumah tinggal dan
lain sebagainya. Meningkatnya pembangunan diikuti dengan meningkatnya jumlah
penduduk. Berdasarkan data Monografi Kelurahan Kuta per bulan September 2011
jumlah penduduk di Kelurahan Kuta tercatat 12.548 orang atau 3.464 KK.
Pesatnya perkembangan pariwisata di Kelurahan Kuta diikuti dengan
meningkatnya pemanfaatan dan kebutuhan air bersih. Air yang digunakan air
berbagai aktivitas masyarakat bersumber dari PDAM dan air tanah. Total kebutuhan
air hotel dan restoran sebanyak 1.560 s/d 2.900 m/hari, pemukiman 1.060 s/d 1.780
m/bulan, perdagangan dan jasa 950 s/d 2.000 m/bulan, industri 600 s/d 1.200
m/bulan dan nelayan 92 s/d 176 m/bulan. (Ecotropic Vol 2 No 1 Mei 2007).
Tingginya permintaan air bersih ini tentunya tidak dapat dipenuhi seluruhna oleh
pemerintah melalui Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), sehingga mereka
mencari cadangan sumber air bersih lainnya dan air tanah menjadi pilihan pertama
dalam memenuhi kebutuhan akan air bersih dengan membuat sumur, baik sumur gali
ataupun sumur bor. Pemanfaatan air tanah sumur bor di Kelurahan Kuta menurut
data Dinas Cipta Karya Kabupaten Badung yang telah berijin hingga Juli 2011
sebanyak 216 unit.
Atas dasar inilah maka menarik untuk diteliti kualitas air dari sumur bor yang
ada di wilayah Kelurahan Kuta yang selama ini telah digunakan baik oleh
masyarakat ataupun oleh unit-unit usaha. Penelitian kualitas air ini tentunya sangat
penting bagi perkembangan pariwisata di Kelurahan Kuta mengingat penggunaan air
yang tidak berkualitas akan merugikan pariwisata.

METODE PENELITIAN

Tempat pengambilan sampel terletak di Kelurahan Kuta, Kecamatan Kuta,


Kabupaten Badung dan sampel langsung diuji di tempat (insitu) dan di laboratorium.
Secara geografis Kelurahan Kuta terletak antara 08o 36 20 - 08o 50 80 Lintang
Selatan (LS) dan 115o 05 00 - 115o 14 30 Bujur Timur (BT). Termasuk daerah
pantai dengan dataran rendah. Ketinggian rata-rata 5,0 m dari permukaan laut dan
kemiringan tanahnya rata-rata 0 3 %.
Luas wilayah Kelurahan Kuta keseluruhannya mencapai 7,23 km2 / 723 Ha,
dengan batas-batas wilayah sebelah utara Kelurahan Legian, sebelah timur Desa
Pemogan, sebelah selatan Kelurahan Tuban dan sebelah barat Samudra Indonesia.
Kelurahan Kuta terdiri dari 12 Lingkungan yakni : Lingkungan Segara, Lingkungan
Anyar, Lingkungan Jaba Jero, Lingkungan Buni, Lingkungan Tegal, Lingkungan
Pande Mas, Lingkungan Pering, Lingkungan Pengabetan, Lingkungan Pemamoran,
Lingkungan Temacun, Lingkungan Pelasa, dan Lingkungan Abian Base, dengan 3
banjar adat, yakni : Banjar Adat Darma Semadi di Lingkungan Temacun, Banjar
Adat Tebe Sari di Lingkungan Buni, dan Banjar Adat Merta Jati di Lingkungan
Anyar.

K1
2
K1
K1 K5 K1
0 K1
K1
K1 K1
K6
K1 K1 K3
K1 K7 K1
K1
K1 K1 K1
K4K1 K1
K8 K1
K3 K1 K9
K1
K1 K1 K1
K1 K1 K1
K1
K1 K1 K2
K1 K1
1 K1
K1

0
K1
Gambar 1. Lokasi Penelitian Terpilih (Kantor Lurah Kelurahan Kuta, 2007).
K1
K1
Waktu pengambilan sampel dan pengujian dilakukan selama 35 (tiga puluh
lima) hari dan analisis/penyusunan laporan penelitian selama 30 (tiga puluh) hari.
Pengambilan sampel dilakukan masing-masing 1 titik di lingkungan yang ada di
Kelurahan Kuta sehingga totalnya ada 12 titik. Pada setiap titik akan dilakukan 3
kali pengambilan sampel. Titik-titik yang dijadikan sebagai tempat pengambilan
sampel seperti Gambar 1.
Jumlah keseluruhan sampel yang diamati adalah 3 x 12 titik yakni sebanyak
36 sampel. Titik pengambilan sampel air tanah berasal dari air tanah pada sumur bor
produksi dengan menggunakan pompa mesin. Sampel air/air tanah diambil dari
kran/mulut pompa tempat keluarnya air setelah air dibuang selama lebih kurang 5
(lima) menit.
Kualitas air tanah dalam penelitian ini didasarkan atas parameter fisika,
kimiawi dan biologi. Indikator-indikator yang akan diteliti disesuaikan dengan
parameter wajib baku mutu air minum terbaru yaitu Peraturan Menteri Kesehatan
nomor 492/Menkes/Per/IV/2010.
Tabel 1. Parameter wajib persyaratan kualitas air minum Menurut Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 492/Menkes/Per/IV/2010.

KADAR
RENTANGAN
NO. PARAMETER SATUAN MAKSIMUM
HASIL
YANG
PENELITIAN
DIBOLEHKAN

A. FISIKA
o
1. Suhu C 28,6 29,2 26 32
2. Kekeruhan NTU 1,06 1,08 5
3. Bau - Tidak berbau Tidak berbau
4. Warna TCU 5,7 7,2 15
5. Rasa - Tidak berasa Tidak berasa
6. Padatan terlarut mg/L 263,67 500
1176,67

B. KIMIA
7. pH - 6,48 7,97 6,5 8,5
8. Nitrat (NO3-) mg/L 0 0,97 50
9. Nitrit (NO22-) mg/L 0 0,35 3
10. Amonia (NH3-) mg/L 0 0,28 1,5
11. Khlorida mg/L 6,48 520,79 250
12. Kesadahan mg/L 25,73 26,37 500

C. BIOLOGI
13. E. coli Jml/100ml 0 0
14. Total Coliform Jml/100ml 0 0,67 0
Sumber : Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010

Terkait dengan indikator-indikator di atas, metode dan alat yang digunakan


untuk menentukan indikator-indikator tersebut disajikan pada Tabel 2.
Bahan penelitian yang diperlukan adalah air tanah hasil sumur bor pada
masing-masing titik sampel. Bahan ini diambil sebanyak tiga (3) kali yakni pada
minggu ke-2, ke-3 dan ke-4 bulan Januari 2012. Jenis penelitian yang dipergunakan
adalah penelitian kualitatif, karena data penelitian berupa angka-angka dan
permasalahannya sudah jelas.
Data yang terkumpul kemudian diolah secara deskriptif komparatif. Metode
deskriptif komparatif merupakan gabungan antara metode deskriptif dan metode
komparatif. Menurut Whitney (1960), metode deskriptif merupakan suatu metode
dalam meneliti status kelompok manusia, objek, kondisi, system pemikiran, dan
peristiwa pada masa sekarang. Dalam penelitian ini, dilakukan deskripsi terhapap
indikator-indikator kualitas air dari ketiga parameter. Mengingat untuk satu titik
sampel dilakukan tiga kali pengukuran, maka hasil yang disajikan adalah reratanya.
Selanjutnya deskripsi indikator kualitas air ini digambarkan dalam suatu
kontur dengan menggunakan software Surfer 9.0. yaitu mamasukkan titik koordinat
pada masing-masing lokasi pengambilan sample kemudian besaran masing-masing
indikator juga dimasukkan ke dalam software Surfer 9.0 sehingga dapat dihasilkan
pola kontur yang menggambarkan sebaran besaran kualitas air pada lokasi penelitian.
Sedangkan metode deskriptif komparatif yaitu metode deskriptif yang dalam
analisis datanya melakukan pembandingan. Dalam penelitian ini, besaran masing-
masing indikator dibandingkan dengan standar kualitas air yakni baku mutu air
menurut yaitu Peraturan Menteri Kesehatan nomor 492/Menkes/Per/IV/2010.

Tabel 2. Metode dan Peralatan Untuk Menentukan Kualitas Air.

NO. PARAMETER SATUAN METODE PERALATAN


ANALISIS

A. FISIKA
o
1. Suhu C Pemuaian Thermometer
2. Kekeruhan NTU Spektrofotometri Spektrofotometer
3. Bau - Organoleptik -
4. Warna TCU Spektrofotometri Spektrofotometer
5. Rasa - Organoleptik -
6. Padatan Terlarut mg/L Gravimetri Neraca Analitik

B. KIMIA
7. pH - Potensiometri pH meter
8. Nitrat (NO3-) mg/L Spektrofotometri Spektrofotometer
9. Nitrit (NO22-) mg/L Spektrofotometri Spektrofotometer
10. Amonia (NH3-) mg/L Spektrofotometri Spektrofotometer
11. Khlorida mg/L Spektrofotometri Spektrofotometer
12. Kesadahan mg/L Titrimetri Buret

C. BIOLOGI
13. E. coli Jml/100ml Most Probable Tabel Most
sampel Numbers Probable Numbers
14. Total Coliform Jml/100ml Most Probable Tabel Most
sampel Numbers Probable Numbers
Sumber : Peraturan Menteri Kesehatan nomor 492/Menkes/Per/IV/2010.

HASIL PENELITIAN

Menilik tujuannya, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas air


tanah pada sumur bor di Kelurahan Kuta berdasarkan parameter fisika, kimia dan
biologi serta untuk menganalisis kualitas air tanah pada sumur bor di Kelurahan
Kuta berdasarkan parameter fisika, kimia dan biologi bila dibandingkan dengan
peraturan tentang baku mutu air minum yang berlaku. Dengan demikian terlebih
dahulu akan dipaparkan tentang besaran indikator untuk masing-masing parameter
kualitas air, dan pada tahap selanjutnya besaran-besaran tersebut akan dibandingkan
dengan baku mutu air minum yang berlaku.
Telah diuraikan bahwa kualitas air tanah dari sumur bor yang ada di
Kelurahan Kuta dapat dikaji berdasarkan parameter fisika, kimia, dan biologi.
Indikator-indikator masing-masing parameter kualitas air tanah tersebut disesuaikan
dengan baku mutu air minum berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan nomor
492/Menkes/Per/IV/2010. Dengan cara ini terpilih 4 indikator kualitas air yang telah
diukur besarnya atau kategorinya dan melebihi ambang batas yang dipersyaratkan
dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 492/Menkes/Per/IV/2010 sebagai berikut :

Padatan Terlarut
Berdasarkan hasil pengukuran pada kedua belas titik diperoleh hasil padatan
terlarut (TDS) pada titik lokasi pengamatan sebagai berikut ( Gambar 2 ):
Grafik Padatan Terlarut Air Sumur Bor di Kelurahan Kuta
1400

1200
Padatan Terkarut (mg/l)

1000

800
)

600

400

200

0
K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 K12
Lokasi Pengamatan

Gambar 2. Grafik TDS Air Sumur Bor di Kelurahan Kuta (Sumber : hasil
analisis, 2012).

Berdasarkan grafik di atas, TDS air sumur bor yang ada di Kelurahan Kuta
berada dalam rentangan 263,67 mg/lt hingga 1176,67 mg/lt. Sebaran tingkat padatan
terarut air sumur bor di lokasi penelitian dapat digambarkan dengan kontur sebagai
berikut ( Gambar 3 ) :

Gambar 3. Kontur Padatan Terlarut Air Sumur Bor di Kelurahan Kuta


(Sumber : hasil analisis, 2012).

Jika dibandingkan dengan standar padatan terlarut air menurut Permenkes


nomor 492/Menkes/Per/IV/2010, tampak bahwa belum semua titik di lokasi
pengamatan yang memenuhi syarat, di mana masih ada beberapa titik yang nilai
TDS-nya di atas 500. Ini berarti bahwa tidak semua air sumur bor di Kelurahan Kuta
memenuhi syarat kesehatan dari segi TDS.
Dalam portable water, kebanyakan bahan padat terdapat dalam bentuk
terlarut (dissolved) yang terutama terdiri dari garam anorganik, selain gas-gas yang
terlarut. Kandungan total solid pada portable water biasanya dalam range antara 20-
1000 mg/L, dan sebagai suatu pedoman, kekerasan dari air akan meningkat dengan
meningkatnya total solids. Di samping itu, pada semua bahan cair, jumlah koloid
yang tidak terlarut dan bahan tersuspensi akan meningkat sesuai dengan derajat
pencemaran.
Penyimpangan standar kualitas air minum dalam hal total solids dapat
berpengaruh terhadap kesehatan, yaitu air akan memberi rasa yang tidak enak pada
lidah, rasa mual terutama yang disebabkan karena natrium sulfat dan terjadinya
cardiac disease serta toxaemia pada wanita-wanita hamil. Air dengan TDS tinggi
mengindikasikan kandungan zat anorganik di dalamnya yang sejatinya tidak
dibutuhkan oleh tubuh.
Berdasarkan hasil penelitian, TDS air sumur bor yang ada di Kelurahan Kuta
berada dalam rentangan 263,67 mg/lt hingga 1176,67 mg/lt. Kadar maksimum TDS
yang sesuai dengan baku mutu dari Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
492/Menker/Per/IV/2010 adalah 500 mg/L. Terdapat beberapa titik yang airnya
melebihi baku mutu air ini yaitu di lingkungan Jaba Jero, Pelasa, Pengabetan, Buni,
Pemmoran dan Segara. Kandungan TDS tertinggi ditemukan di lingkungan
Pemamoran yang kandunganya mencapai 1176,67 mg/lt. Tentunya air dengan TDS
di atas ambang batas normal ini berbahaya jika digunakan sebagai bahan baku air
minum sebelum diolah terlebih dahulu. Untuk menurunkan TDS air sumur bor ini,
dapat ditempuh beberapa cara seperti reverse osmosis, filtrasi, deionisasi dan
distilasi. Langkah lain yang perlu dilakukan juga yakni uji kandungan mineral
anorganik yang mungkin ada dalam air sumur bor tersebut sehingga dapat
diantisipasi lebih dini.

Derajat keasaman (pH)


Berdasarkan hasil pengukuran pada kedua belas titik diperoleh pH pada titik
lokasi pengamatan sebagai berikut ( Gambar 4 ):
Grafik pH Air Sumur Bor di Kelurahan Kuta
9
8
7
6
5
pH

4
3
2
1
0
K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 K12
Lokasi Pengamatan

Gambar 4. Grafik pH Air Sumur Bor di Kelurahan Kuta (Sumber : hasil


analisis, 2012).
Berdasarkan grafik di atas, pH air sumur bor yang ada di Kelurahan Kuta
berada dalam rentangan 6,48 hingga 7,97. Sebaran pH air sumur bor di lokasi
penelitian dapat digambarkan dengan kontur sebagai berikut ( Gambar 5 ):

Gambar 5. Kontur pH Air Sumur Bor di Kelurahan Kuta


(Sumber : hasil analisis, 2012).

Jika dibandingkan dengan standar pH air menurut Permenkes nomor


492/Menkes/Per/IV/2010, maka sebagian besar air sumur bor di Kelurahan Kuta
berada dalam kondisi aman dan masih diperbolehkan, namun ada satu titik yang pH-
nya masih bersifat asam.
Derajat keasaman (pH) merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan
intensitas keadaan asam atau basa sesuatu larutan. Sebagai satu faktor lingkungan
yang dapat mempengaruhi pertumbuhan atau kehidupan mikroorganisme dalam air,
secara empirik pH yang optimum untuk tiap spesifik harus ditentukan. Kebanyakan
mikroorganisme tumbuh terbaik pada pH 6,0 - 8,0 meskipun beberapa bentuk
mempunyai pH optimum rendah 2,0 (Thiobactillus thiooxidans) dan lainnya punya
pH optimum 8,5 (Alcaligenes faecalis). Pengetahuan pH ini sangat diperlukan dalam
penentuan range pH yang akan diterapkan pada usaha pengelolaan air bekas yang
menggunakan proses-proses biologis. Pengaruh yang menyangkut aspek kesehatan
dari penyimpangan standar kualitas air minum dalam pH ini yaitu bahwa pH yang
lebih kecil dari 6,5 dan lebih besar dari 9,2 akan dapat menyebabkan korosi pada
pipa-pipa air dan menyebabkan beberapa senyawa menjadi racun, sehingga
mengganggu kesehatan.
pH air sumur bor yang ada di Kelurahan Kuta berada dalam rentangan 6,48
hingga 7,97, sedangkan Kadar rentangan pH yang sesuai dengan baku mutu dari
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 492/Menker/Per/IV/2010 adalah antara 6,5-8,5.
Dengan demikian terdapat satu sampel air yang pH-nya di bawah ambang bats yaitu
di lingkungan Abianbase yang pHnya sebesar 6,48. Ini menunjukkan bahwa air
sumur pada titik ini bersifat asam sehingga agak berbahaya jika digunkan sebagai
bahan baku air minum. Untuk menaikkan pH air sumur bor ini dapat dilakukan
dengan menyemburkan air ke udara sehingga mengalami kontak dengan Oksigen dan
selanjutnya dialirkan ke bak terbuka.

Khlorida
Berdasarkan hasil pengukuran pada kedua belas titik diperoleh kandungan
Khlorida pada titik lokasi pengamatan sebagai berikut :
Grafik Kandungan Khlorida Air Sumur Bor di Kelurahan Kuta
600

500

Kandungan Khlorida
400

(mg/lt)
300

200

100

0
K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 K12
Lokasi Pengamatan

Gambar 6. Grafik kandungan Khlorida Air Sumur Bor di Kelurahan Kuta


(Sumber : hasil analisis, 2012).

Berdasarkan grafik di atas, kandungan Khlorida air sumur bor yang ada di
Kelurahan Kuta berada dalam rentangan 6,48 mg/L hingga 520,79 mg/L. Sebaran
kandungan Khlorida air sumur bor di lokasi penelitian dapat digambarkan dengan
kontur sebagai berikut :

Gambar 7. Kontur Kandungan Khlorida Air Sumur Bor di Kelurahan


Kuta (Sumber : hasil analisis, 2012).

Jika dibandingkan dengan standar kandungan Khlorida air menurut


Permenkes nomor 492/Menkes/Per/IV/2010, tampak dua titik yang kadar
Khloridanya melebihi ambang batasyang dipersyaratkan, sedangkan titik-titik
lainnya masih di bawah ambang batas.
Klorida (Cl) merupakan unsur halogen yang memiliki keelektronegatifan
tinggi yang berpengaruh pada kereaktifannya. Klorida (Cl) mudah membentuk
ikatan dengan unsur-unsur yang bermuatan positif misalnya Na+, sehingga
membentuk NaCl yang merupakan suatu senyawa yang tidak beracun. Tetapi, jika
Cl- terikat dengan senyawa organik dan membentuk senyawa halogen-hidrokarbon
(Cl-CH) toksitasnya tinggi karena dapat menimbulkan kanker, sehingga
keberadaannya sebagai senyawa halogen-hidrokarbon di dalam tubuh sangat
berbahaya bagi kesehatan. Klorida (Cl) banyak terkandung dalam air tanah, terutama
air tanah yang mengalami kontak dengan air bekas atau air limbah rumah tangga.
Batas maksimum kadar Cl dalam air minum yang sesuai nilai baku mutu dari
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 492/Menkes/Per/IV/2010 sebesar 250 mg/L.
Konsentrasi klorida yang melebihi ambang batas maksimum atau standar dapat
mengakibatkan timbulnya rasa asin pada air minum dan merusak pipa-pipa air
dengan proses penggaraman dengan Na+ apabila melebihi ambang batas persyaratan
air minum.
Kandungan Khlorida air sumur bor yang ada di Kelurahan Kuta berada dalam
rentangan 6,48 mg/L hingga 520,79 mg/L, di mana kandungan Khlorida pada dua
titik yaitu Lingkungan Buni dan Pemamoran melebihi ambang batas. Oleh karena itu
air sumur bor yang terbukti mengandung Khlorida melebihi ambang batas in perlu
diberikan tindakan sebelum digunakan, misalnya dengan reverse osmosis.
Deionisasi (demineralisasi) atau distilasi. Dari ketiga cara tersebut, metode yang
paling cocok untuk perumahan adalah reverse osmosis.

Total Koliform
Berdasarkan hasil pengukuran pada kedua belas titik diperoleh tingkat
kesadahan pada titik lokasi pengamatan sebagai berikut:
Grafik Kandungan Koliform Air Sumur Bor di Kelurahan Kuta
0,8
0,7
0,6
Total Koliform

0,5
0,4
0,3
0,2
0,1
0
K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 K12
Lokasi Pengamatan

Gambar 8. Grafik kandungan Koliform Air Sumur Bor di Kelurahan Kuta


(Sumber : hasil analisis, 2012).

Berdasarkan grafik di atas, tampak bahwa air sumur bor pada beberapa titik
masih mengandung Total Coliform, sedangkan Permenkes No.
492/Menkes/Per/IV/2010 tidak membolehkan adanya coliform dalam bahan baku air
minum. Sebaran Coliform di Kelurahan Kuta dapat digambarkan dalam kontur
sebagai berikut :

Gambar 9. Kontur Kandumham Koliform Air Sumur Bor di Kelurahan Kuta


(Sumber : hasil analisis, 2012).

Total Coliform merupakan indikator bakteri pertama yang digunakan untuk


menentukan aman tidaknya air untuk dikonsumsi. Bila coliform dalam air
ditemukan dalam jumlah yang tinggi maka kemungkinan adanya bakteri patogenik
seperti Giardiadan Cryptosporidium di dalamnya. Hasil analisis dalam penelitian ini
meunjukkan bahwa beberapa titik di Kelurahan Kuta air sumurnya terbukti
mengandung Total Coliform seperti yang ditemukan di lingkungan Jaba Jero (K2),
Pande Mas (K6), Pengabetan (K7), Buni (K8), dan Pemamoran (K9). Hal ini bisa
terjadi karena pada lokasi lokasi tersebut jarak sumur dengan pembuangan limbah
domestik dan septic tank dekat. sehingga air tanah mudah terkontaminasi oleh
kelompok bakteri Coliform.
Adanya temuan seperti ini mengindikasikan bahwa walaupun tidak
ditemukan E. Coli, ternyata air sumur bor pada beberapa titik tersebut masih
mengandung bakteri patogen lainnya sehingga tidak boleh begitu saja digunakan
sebagai bahan baku air minum, namun perlu dilakukan tindakan sebelumnya. Jika air
ini langsung dikonsumsi, akan dapat menyebabkan diare dan penyakit pencernaan
lainnya. Oleh karena itu air-air sumur yang telah terbukti mengandung Coliform
sebaiknya direbus dulu sebelum digunakan sebagai air minum.
Berdasarkan hasil penelitian ini tampak bahwa tidak semua air sumur bor di
Kelurahan Kuta memenuhi persyaratan sebagai bahan baku air minum. Beberapa
indikator seperti jumlah padatan terlarut (TDS), pH, Khlorida, Total Koliform di
beberapa titik masih melebihi ambang batas yang dipersyaratkan dalam Peraturan
Menteri Kesehatan No. 492/Menkes/Per/IV/2010. Namun secara umum air sumur
bor di Kelurahan Kuta ini telah memenuhi syarat ambang batas yang ditentukan
dalam peraturan menteri ini. Dengan demikian air yang diperoleh dari sumur bor di
Kelurahan Kuta hingga saat ini masih memadai dan memenuhi syarat untuk
digunakan sebagai sumber air. Namun pemanfaatan air tanah ini harus dikendalikan
agar tidak menghadirkan dampak negatif bagi lingkungan sekitarnya. Pembahasan
terhadap masing-masing indikator yang melebihi ambang batas sesuai persyaratan
dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 492/Menkes/Per/IV/2010 adalah sebagai
berikut :

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan sebagai


berikut :
1. Kualitas air sumur bor di Kelurahan Kuta dapat dianalisis berdasarkan parameter
fisika, kimia dan biologi. Hasil analisis pada parameter fisika memberikan hasil:
air sumur bor tidak berbau dan berasa, rentangan suhu antara 28,6 oC hingga 29,2
o
C, kekeruhan air rentangannya 1,06 NTU hingga 1,08 NTU, warna airnya
memiliki rentangan 5,7 TCU hingga 7,2 TCU, dan padatan terlrutnya memiliki
rentngan 263,67 mg/L hingga 1176,67 mg/L Pengukuran parameter kimia
memberikan hasil : rentangan pH air sumur bor antara 6,48 hingga 7,97,
kandungan nitrat antara 0 hingga 0,97 mg/L, kandungan nitrit antara 0 hingga 0,35
mg/L, kandungan Amoniak antara 0 hingga 0,28 mg/L, kandungan Khlorida
antara 6,48 mg/L hingga 520,79 mg/L, dan kesadahan air rentanganya antara
25,73 mg/L hingga 26,37 mg/L. Pengukuran parameter biologi memberikan hasil
bahwa dalam air ini tidak ditemukan bakteri E.coli namun masih ditemukan Total
Coliform dengan rentangan antara 0 hingga 0,67 jml/100 ml sampel.
2. Jika dibandingkan dengan Peraturan Menteri Kesehatan nomor
492/Menkes/Per/IV/2010, beberapa sumur (K2, K4, K6, K7, K8, K9) belum
memenuhi standar persyaratan baku mutu air minum, karena beberapa indikator
seperti padatan terlarut (TDS), pH, kandungan Khlorida dan Total Coliform pada
beberapa titik pengamatan melebihi syarat ambang batas.

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, R., 2006. Kimia Lingkungan, Andi Offset, Yogyakarta.


Anonim, 2004. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 3, Tambahan
Lembar Negara Republik Nomor 4377.
Anonim, 2001. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Anonim, 2010. Perturan Menteri Kesehataan nomor 492/Menkes/Per/IV/2010
tentang Persyaratan Kualitas Air Minum.
Asdak, Chay, 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gajahmada
University Press.
Bouwer, Herman, 1978. Groundwater Hydrology. Int. Student Ed., McGraw-Hill,
Kogakusha Ltd.
Chow, Ven Te, Maidment, David R., and Mays, Larry W., 1988. Applied Hydrology.
McGraw-Hill Book Company, New York.
Davis, Stanley, N and DeWiest, Roger,JM., 1966. Hydrogeology. John Wiley &
sons, Inc.
Effendi H., 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan, Kanisius, Yogyakarta.
Fardiaz, S., 1992. Polusi Air dan Udara. Kanisius. Yogyakarta.
Fetter, C.W., 1994. Applied Hydrogeology. 3rd ed. Prentice Hall, Engelwood Cliffs,
NewJersey.
Freeze, R. Allan and Cherry, Jhon A., 1979. Groundwater. Prentice-Hall, Inc.,
Englewood Cliffs, New Jersey.
Johnson, Edward E., 1972. Ground Water and Wells. Johnson Division, Universal
Oil Products Co.: Saint Paul, Minnesota.
Hem, J.D., 1959. Study and Interpretation of the Chemical Characteristics of
Natural Water. U.S. Geol. Survey Water Survey Paper 1475, 269 pp.
Kodoatie, Robert, J., 1996. Pengantar Hidrogeologi. Penerbit Andi Offset,
Yogyakarta.
Manik, K.E.S. 2009. Pengelolaan Lingkungan Hidup, Penerbit Djambatan, Jakarta.
Sawyer, C.N., Mc.Carty, P.L., 1994. Chemistry for Environmental Engineering. New
York: McGraw Hill.
Soemarto, CD., 1989. Hidrologi Teknik. Pusat Pendidikan Manajemen dan
Teknologi Terapan. Malang.
Sugiono. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D, Alfabeta :
Bandung.
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGENDALIAN
PENYEMBELIHAN SAPI BETINA PRODUKTIF DALAM UPAYA
KESTABILAN POPULASI SAPI BALI

Nenohay A. Maryani1, I Ketut Arnawa2, I Made Tamba2


1
Master Programme on Regional Planning and Environmental Management
Mahasaraswati University of Denpasar.
2
Postgraduate Programs of Regional Planning and Environmental Management,
Mahasaraswati University Denpasar, Denpasar Bali, Indonesia.
*Corresponding author email: arnawa_62@yahoo.co.id

ABSTRACT

Bali cattle population growth rate is determined by several factors. One of


these factors is the availability of productive cows. Productive cows slaughtering
action can be one of the factors inhibiting the development efforts of Bali cattle. This
study aims to: (1) review the implementation of control policy slaughter productive
cows from upstream to downstream, (2) To determine the factors that affect the
slaughter of productive cows, and (3) To determine areas of potential development
Bali cattle. The study was conducted at three different locations, namely Farmers
Livestock 84 respondents, 30 respondents Bringkit Livestock Market and Slaughter
House (RPH) Pesanggaran 30 respondents. The findings of this study are: (1)
sufficient knowledge of the Livestock Market traders on Bali cattle slaughter control
policy and implementation of productive cows significantly negative effect on the
control of productive cows slaughtered. (2) Level parstisipatif businessmen meat
providers service users Slaughterhouse positive effect on efforts to control the
slaughter of productive cows. 3) The level of knowledge of livestock farmers quite a
positive impact on efforts to control the slaughter of productive cows that can be
started from the initial steps do not sell or postpone selling productive cows, (4)
Based on the calculation of slaughter impact the value of losses due to slaughtering
of productive cows in the province Bali in 2010 reached Rp.161.184.000.000, - (one
hundred and sixty-one billion, one hundred and eighty four million rupiahs), and (5)
Bali province as a whole still has the capacity to accommodate 454,127.58 ST cows
scattered nine regencies / cities.

Keywords: Policy, Control Cattle slaughter Productive Females

PENDAHULUAN

Peningkatan kesadaran masyarakat akan kebutuhan protein hewani bagi


tubuh menjadikan permintaan akan daging sebagai salah satu sumber protein hewani
terus meningkat. Terkait dengan upaya mewujudkan ketahanan pangan Nasional,
Pemerintah mencanangkan Program Swasembada Daging Sapi/Kerbau (P2SDK)
Tahun 2014 sebagai salah satu program dari 21 program utama Departemen
Pertanian. Upaya pencapaian swasembada daging nasional bertitik tolak dari
pendekatan peningkatan populasi sapi dalam negeri untuk mencapai angka 90% dari
kebutuhan daging nasional (Direktorat Pangan dan Pertanian, 2010:16)
Terkait dengan program Swasembada daging pada 2014 diperlukan adanya
ketersediaan 420,3 ribu ton daging asal ternak lokal. Dengan demikian diperlukan
tambahan 85,40 ekor sapi bakalan atau setara dengan 15,4 ribu ton daging impor dan
31,2 ribu ton daging beku. Ketersediaan 90% daging lokal tersebut tercapai jika
ada 14,2 juta sapi pada 2014. (Ditjenak, t.t-23, Permentan, 2010:11)
Guna mencukupi permintaan akan daging yang terus meningkat, diperlukan
cukup tersedianya populasi sapi potong sebagai bahan baku produksi daging.
Sementara yang menjadi tulang punggung penyediaan daging sapi di Indonesia
adalah peternak bersekala kecil. Sejalan dengan hal tersebut, maka kegiatan impor
daging sapi dari negara luar masih terus dilakukan. Impor daging sapi bakalan hingga
saat ini mencapai 30 persen dari kebutuhan daging nasional. Semula impor daging
sapi bertujuan hanya untuk mendukung dan menyambung kebutuhan daging sapi
yang terus meningkat ( Ditjenak, t.t-2). .
Hasil kajian Badan Litbang Pertanian (2011:2), dikatakan bahwa
kemungkinan Indonesia melakukan Impor sapi potong terjadi disebabkan tiga hal,
pertama permintaan daging meningkat cukup besar dengan kecepatan lebih tinggi
dibandingkan laju pertambahan produksi. Kedua, permintaan didalam negeri
meningkat tetapi produksi didalam negeri tetap. Ketiga, permintaan terus meningkat
namun produksi daging dalam negeri cenderung berkurang. Melalui Program
Swasembada Daging 2014, Pemerintah akan melakukan pengurangan secara
bertahap kegiatan impor sapi bakalan maupun daging pada tahun 2014
Peningkatan populasi sapi merupakan salah satu kebijakan yang harus
ditempuh guna memperkuat ketersediaan ternak sapi lokal terkait upaya Pemerintah
mengurangi impor daging secara berkala. Permasalahan yang dihadapi dalam upaya
peningkatan populasi adalah adanya fenomena penyembelihan sapi betina produktif
yang cukup tinggi. Akibat kebutuhan daging yang meningkat, pengurasan dan
penyembelihan terhadap sapi betina lokal produktif juga terus menerus terjadi yang
diperkirakan mencapai 200 ribu ekor per tahun. Hal ini menjadi penyebabkan stok
bibit nasional semakin berkurang yang pada akhirnya pertambahan populasi sapi
lokal menjadi terhambat.
Sapi betina produktif merupakan sumber penghasil ternak. Penambahan
populasi sangat ditentukan oleh ketersediaan sapi betina produktif (Direktorat
Pangan dan Pertanian, 2010:1,38). Pada umumnya penjualan sapi betina cukup
tinggi pada musim paceklik atau saat tertentu terkait kebutuhan dana cepat.
Sapi Bali adalah sapi asli Indonesia yang berasal dari Pulau Bali dan kini
sudah menyebar dihampir seluruh Nusantara. Sebagai breed sapi asli Indonesia
dengan potensi yang besar, diharapkan sapi Bali dapat memenuhi sebagian dari
kekurangan akan kebutuhan daging sapi yang hingga kini masih di impor dari negara
lain.
Jumlah populasi sapi Bali saat ini sudah mencapai 35.000.000 ekor atau
sepertiga dari populasi sapi di Indonesia, (Disnak Bali, 2009:1). Populasi sapi Bali
di Bali pada tahun 2010 adalah sebesar 683.800 ekor. Angka ini masih berada di
bawah angka populasai sapi Bali yang ada di Sulawesi Selatan. Dalam Peta Potensi
Wilayah Sumber Bibit Sapi Potong Lokal dan Rencana Pengembangannya,
Sulawesi Selatan menduduki urutan pertama populasi sapi Bali terbanyak yaitu
703.00 ekor yang tersebar di 8 Kabupaten dengan tingkat pertumbuhan mencapai
4,1 sampai 5,1 persen. Provinsi Bali berada diurutan kedua dengan potensi populasi
sapi Bali adalah 668.000 ekor, dengan tingkat pertumbuhan 5,5 sampai 5,7 persen
melebihi tingkat pertumbuhan Sulawesi Selatan. ( Ditjenak, 2011)
Terkait tingkat pertumbuhan sapi Bali yang lebih tinggi dari Sulawesi
Selatan, maka idealnya angka populasi sapi Bali di Bali semestinya lebih tinggi dari
Sulawesi Selatan namun kenyatannya tidaklah demikian. Hal ini disinyalir bahwa
laju pertumbuhan sapi Bali di pengaruhi oleh banyak faktor yaitu, baik kelahiran,
pengeluaran sapi ke luar Pulau Bali yang dilakukan secara resmi atau dengan cara
penyelundupan maupun penyembelihan sapi betina produktif yang memberikan
kontribusi pada stabil tidaknya pertumbuhan sapi Bali.

Tabel 1.1. Perkembangan Populasi Sapi Bali Tahun 2006-2010 (Ribu ekor)
Tahun Jagiran Jantan Godel Induk Betina Godel
No Muda Jantan Muda Betina
1. 2010 94.813 101.287 89.482 215.440 96.370 86.354
2 2009 94.727 102.823 89.065 210.919 92.340 85.386
3 2008 90.947 101.752 88.418 207.360 93.837 84.499
4 2007 87.466 96.985 82.951 199.978 87.045 78.502
5 2006 85.351 94.750 76.946 196.047 82.922 76.721
Sumber : Disnak Bali 2010

Sehubungan dengan upaya menstabilkan populasi sapi Bali, berdasarkan


Peraturan Gubernur No. 54 Tahun 2009 tentang penetapan jumlah ternak potong sapi
Bali antar pulau tahun 2010, sebanyak 62.000 ekor dari tahun 2009 sebesar 55.000
ekor pertahun. Memasuki tahun 2011, berdasarkan Pergub No. 46 Tahun 2010
Pemerintah Daerah menaikan jumlah ternak sapi potong yang diantar pulaukan dari
jatah 62.000 ekor dalam tahun 2010 menjadi 64.573 ekor di tahun 2011.
Pembatasan kuota pengeluaran dimaksud untuk menjaga
keseimbangan antara yang dikeluarkan dengan kebutuhan daerah. Berikut
adalah tabel perkembangan pengeluaran ternak sapi potong antar pulau.
Tabel 1.2. Perkembangan Pengeluaran Sapi Potong ke Luar Bali Tahun 2006-2010
(Ribu ekor)

No Tahun Pengeluaran

1. 2010 66.607
2. 2009 58.993
3. 2008 74.995
4. 2007 75.000
5. 2006 67.970
Sumber: Disnak Bali, 2010
Berdasarkan Tabel 1.2, jumlah pengeluaran ternak sapi potong antar pulau
dalam lima tahun mengalami fluktuasi. Tahun 2006 ke 2007 menujukan pengeluaran
keluar pulau naik namun menurun pada tahun 2008 sampai ke 2009 dan kembali
naik pada tahun 2010. Fluktuasi pengeluaran yang naik turun jumlahnya, tentu saja
dipengaruhi oleh ketersediaan stok sapi potong yang ada di Bali. Jumlah
pengeluaran yang tinggi dapat memberikan indikasi bahwa ketersediaan sapi potong
cukup untuk memenuhi permintaan dari luar pulau Bali dan juga untuk kepentingan
daerah. Dengan mengetahui tingginya permintaan ternak sapi potong dari luar Pulau
Bali, sudah seharusnya para peternak mampu mempersiapkan diri untuk bisa
menjawab permintaan pasar, sehingga apabila ada permintaan maka petani memiliki
cukup sapi potong yang siap untuk dilepas ke pasaran guna memenuhi kebutuhan
bahan baku daging sapi untuk tingkat baik lokal maupun keluar Pulau Bali. Berikut
adalah data pemasukan dan pengeluaran daging sapi Propinsi Bali.

Tabel 1.3. Pemasukan dan Pengeluaran Daging Sapi Beku Tahun 2006-2010 di
Propinsi Bali (Kg)

No Tahun Pemasukan Pengeluaran


1. 2010 1.946.461,00 340.145,00
2. 2009 1.435.075,00 1.171.090,00
3. 2008 1.467.420,00 687.730,00
4. 2007 958.325,00 116.256,00
5. 2006 365.651,00 32.524,00
Sumber: Disnak Bali, 2010

Berdasarkan data Tabel 1.3, menujukkan selain pengeluaran sapi potong,


Propinsi Bali juga terbuka untuk memasukan daging sapi beku ke Bali dengan tujuan
untuk konsumsi tamu hotel dan restoran yang pada umumnya berasal dari manca
negara sesuai peruntukan khusus. Daging sapi Bali tetap digunakan juga oleh hotel
dan restoran yang ada di Pulau Bali namun dengan peruntukkan yang berbeda
dengan daging impor.
Tinggimya pengeluran sapi potong keluar Pulau Bali menunjukkan bahwa
peminat sapi sapi Bali cukup tinggi dan lebih menyukai daging sapi yang berasal dari
sapi bali yang asal Pulau Bali. Kondisi ini disatu sisi memberikan peluang bisnis
yang sangat bagus pagi para pelaku usaha, namum disisi lain, permintaan yang
cukup tinggi dan pengeluran yang terus-menerus dapat berdampak positif maupun
negatif. Selain mengancam populasi sapi Bali, justru memicu persoalan baru yaitu
adanya penyembelihan sapi yang belum layak sembelih (godel muda) maupun sapi
betina produktif untuk memenuhi konsumsi pasar lokal.
Menyikapi permasalahan yang muncul sehubungan dengan masih adanya
kegiatan penjualan dan penyembelihan sapi betina produkitif, kebijakan-kebijakan
lain yang dilakukan Pemerintah Propinsi Bali adalah melalui SK Gubernur Nomor 46
tahun 2011 yang memberikan kesempatan pengeluaran bibit sapi Bali keluar Pulau
Bali. Salah satu butir pertimbangan diizinkannya pengeluaran sapi bibit adalah untuk
meningkatkan harga dan mengairahkan usaha peternakan sapi Bali dan
mempertahankan populasi sapi serta mutu genetik sapi Bali ( Disnak Bali, 2011).
Tabel1.4. Penyembelihan Ternak Sapi di Propinsi Bali Tahun 2006-2010 (Ribu
ekor)
No Tahun Penyembelihan
1. 2010 38.878
2. 2009 37.048
3. 2008 36.853
4. 2007 34.640
5. 2006 36.462
Sumber: Disnak Bali, 2010

Tabel 1.4. menunjukkan bahwa angka penyembelihan sapi di Pulau Bali terus
mengalami kenaikan. Kenaikan angka penyembelihan sapi dipengaruhi jumlah
permintaan yang dapat dipicu pertambahan jumlah penduduk dan meningkatnya
kesadaran amsyarakat akan kebutuhan protein hewani bersumber dari ternak.
Menyikapi hal ini, laju pertumbuhan populasi sapi Bali perlu diawasi sehingga ada
keseimbangan antara yang lahir, disembelih dan yang dikeluarkan baik dalam
bentuk sapi potong maupun sapi bibit.
Upaya menstabilkan laju pertumbuhan sapi Bali, tidak cukup hanya dengan
mengatur kuota pengeluaran sapi antar pulau. Salah satu faktor yang memberikan
kontribusi besar terhadap pertumbuhan populasi sapi Bali adalah, tersedianya cukup
induk sapi betina produktif sebagai penghasil ternak. Namun kenyataan yang terjadi
saat ini adalah laju pemotongan sapi betina produktif akhir-akhir ini menjadi tidak
terkendali.
Fenomena penyembelihan sapi betina produktif dengan berbagai alasan
merupakan ancaman langsung terhadap populasi sapi Bali. Menyikapi kondisi
yang ada , Pemerintah tidak dapat berbuat banyak jika tidak didukung oleh seluruh
stakeholder terkait dan para pengusaha yang bergerak dalam bidang usaha
peternakan, baik itu petani ternak, para jagal dan masyarakat umum dan yang lebih
penting adalah perilaku aparat penegak hukum.
Pelarangan Penyembelihan sapi betina produktif sudah sesuai dengan dengan
UU.No.18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Secara sah,
pengawasan dan pengendalian penyembelihan sapi betina produktif dicantumkan
juga dalam peraturan perundang-undangan antara lain; Ordinasi stbl No.614 Tahun
1936, tentang Pengendalian Ternak Besar Bertanduk Yang Betina, Instruksi bersama
Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 1979 dan Menteri Pertanian Republik
Indonesia Nomor 05/Ins/Um/1979 tentang Pencegahan dan larangan penyembelihan
ternak sapi /kerbau betina bunting dan atau sapi/kerbau betina. ( Disnak Provinsi
Bali,t.t-2)
Berkenaan dengan kebijakan pengendalian penyembelihan sapi betina
produktif, telah dialokasikan dana yang bersumber dari Anggaran dan Pendapatan
Belanja Negara (APBN) sejak tahun 2010 kepada kelompok tani ternak yang
potensial di lokasi strategis dalam upaya penyelamatan sapi betina produktif dari
sektor hulu sampai ke sektor hilir.
Upaya penyelamatan sapi betina produktif diharapakan dapat meningkatkan
populasi sapi Bali yang pada akhirnya dapat mendukung Program Pemerintah
melakukan Swasembada Daging 2014 melalui ketersediaan ternak lokal sebagai
bahan baku. Ketersediaan sapi potong yang cukup sebagai bahan baku produksi
daging, nantinya diharapkan akan dapat mensuplai kebutuhan permintaan sapi keluar
Pulau Bali, tercukupinya kebutuhan daerah, dan sebagai upaya pelestarian sapi Bali
sebagai plasma nutfa sapi asli Indonesia asal Pulau Bali.
Penyembelihan sapi betina produktif secara ekonomis akan sangat
merugikan baik peternak maupun daerah. Hal ini dikarenakan fungsi sapi betina itu
sendiri sebagai penghasil ternak. Menurut perhitungan yang dilakukan Dinas
Peternakan Provinsi Bali, kerugian akibat penyembelihan sapi betina produktif
dalam lima tahun terakhir dengan menggunakan angka penyembelihan tahun 2000
sampai 2004 dengan data penyembelihan ternak sebanyak 192.261 ekor, jumlah
sapi betina produktif yang disembeli sebesar 12,31 % maka dapat dihitung ada
sekitar 23.667 ekor sapi betina produktif yang kehilangan kesempatan untuk
menghasilkan anak dan nilai kerugian mencapai 196.437 miliyar rupiah dalam
kurun waktu 4,5 tahun (Disnak Bali, 2010:7).
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka implementasi
kebijakan pengendalian penyembelihan sapi betina produktif perlu mendapat
dukungan seluruh masyarakt maupun stakeholder terkait upaya pengembangan sapi
Bali dengan laju pertumbuhan populasi yang stabil. Stabil dalam pengertian
adanya keseimbang antara yang lahir, mati, disembelih dan dikeluarkan.
Sejauh mana implementasi kebijakan ini dalam pelaksanaanya, diperlukan
adanya penelitian secara ilmiah. Implementasi Pengendalian penyembelihan sapi
betina produktif dalam upaya menstabilkan populasi sapi Bali dalam konteks
perencanaan wilayah pembangunan peternakan dan mendukung pembangunan
Provinsi Bali secara menyeluruh , maka topik ini sangatlah menarik untuk diteliti.

METODO PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan 2 metode analisis data, yaitu analisis deskriptif


dan analisis regresi logistik. Analisis deskriptif digunakan untuk memberi gambaran
mengenai responden dan populasi sapi Bali. Analisis regresi logistik (logit)
digunakan untuk menganalisis pengaruh variabel-variabel (X1) Pasar Hewan (X2),
Rumah Potong Hewan dan (X3), Petani Ternak dalam implementasi kebijakan
pengendalian penyembelihan sapi betina produktif terhadap kestabilan populasi sapi
Bali

Analisis Implementasi Kebijakan


Alat analisis yang digunakan dalam melihat bagaimana implementasi
kebijakan pengendalian penyembelihan sapi betina produktif di tingkat pelaksanaan
dilakukan secara deskriptif. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik
responden yang meliputi, Pasar Hewan, Rumah Potong dan Hewan Petani Ternak
pada implementasi kebijakan pengendalian penyembelihan sapi betina produktif.
Kestabilan populasi sapi Bali dideskripsikan aktifitasnya dengan unsur-unsur
pengatahuan dan sikap responden di Petani Tani Ternak, Pasar Hewan dan Rumah
Potong Hewan terhadap implementasi kebijakan pengendalian penyembelihan sapi
betina produktif. Interprestasi dalam analisis ini didasarkan pada ouput analisis
yang berupa tabel frekwensi jawaban responden terhadap pertanyaan-pertanyaan
yang berkaitan dengan implementasi kebijakan pengendalian penyembelihan sapi
betina produktif .
Pengumpulan data menggunakan kuesioner yang disusun secara teoritis
dalam bentuk skala likert. Penggunaan skala likert dimaksudkan untuk mengetahui
aktivitas pemahaman dan sikap petani ternak terhadap pelaksanaan kebijakan
pengendalian penyembelihan sapi betina produktif dengan pemberian skor masing-
masing adalah sebagai berikut :

Responden Pasar Hewan dan Petani Ternak adalah :


Sangat tahu (ST) = skor 5
Tahu (T) = skor 4
Cukup tahu (CT) = skor 3
Tidak tahu (TT) = skor 2
Sangat tidak tahu = skor 1

Responden Rumah Potong Hewan adalah :


Sangat Setuju (SS) = skor 5
Setuju (S) = skor 4
Cukup setuju (CS) = skor 3
Tidak setuju (TS) = skor 2
Sangat tidak setuju (STS) = skor 1

Selanjutnya untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan sikap responden


dilihat dari persentase tanggapan yang diberikan oleh responden, maka persentase
tingkat pengetahuan dan sikap responden Pasar Hewan dan Petani Ternak adalah :
0 % - 20 % : Sangat tidak tahu
20%-40% : Tidak tahu
41%-60% : Cukup tahu
61%-80% : Tahu
81%-100% : Sangat tahu
Persentase tingkat pengetahuan dan sikap responden Rumah Potong Hewan adalah :
0 % - 20 % : Sangat tidak setuju
20%-40% : Tidak setuju
41%-60% : Cukup setuju
61%-80% : Setuju
81%-100% : Sangat Setuju

Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyembelihan Sapi Betina


Produktif
Alat analisis untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi penyembelihan
sapi betina produktif adalah dengan menggunakan Analisis Regresi Logistik. Model
logit adalah model regresi yang dirancang secara khusus untuk menganalisis regresi
dengan variabel dependen berupa variabel probabilitas, yaitu variabel yang nilainya
berkisar antara 0 hingga 1. Model logit memungkinkan estimasi persamaan regresi
yang dapat menjaga agar hasil prediksi variabel dependennya tetap berada di rentang
nilai 0 hingga 1.
Analisis Dampak Ekonomis Penyembelihan Sapi Betina Produktif
Perhitungan dampak ekonomis penyembelihan sapi betina produktif dengan
umur penyembelihan sekitar 3,5-8 tahun dan tingkat kesuburan 83% menggunakan
metode perhitungan yang bersumber dari Dinas Peternakan Provinsi Bali, sebagai
berikut :
a. Perhitungan perkiraan jumlah kelahiran
b. Perhitungan perkiraan jumlah kerugian (rupiah).

Analisis Kapasitias Tampung ( Carrying Capasity).


Dalam menghitung perkiraan kapasitas tampung untuk ternak ruminansia di
Provinsi Bali, maka dapat digunakan model perhitungan sebagai berikut:
a. Menghitung Produksi Hijauan dari Luas Lahan yang Tersedia
b. Menghitung Produksi Rumput ( Rumput Gajah)
c. Menghitung Produksi Hijauan dari Pepohonan
d. Menghitung Produksi Jerami
e. Kebutuhan Ternak akan Hijauan

Kebutuhan ternak akan hijauan untuk 1 tahun adalah sebagai berikut :

Kebutuhan hijauan untuk 1 tahun Ton BK = Total ST x 365 hari x 0,0105 Ton BK

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Implementasi Kebijakan di Pasar Hewan


Implementasi kebijakan pengen dalian sapi betina produktif di Pasar Hewan
berdasarkan hasil sebar kusioner untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan
pemahaman responden Pasar Hewan memberikan gambaran bahwa responden tahu
tentang kebijakan yang berhubungan dengan pengendalian penyembelihan sapi
betina produktif.
Capaian skor dan persentase yang tinggi kemungkinan disebabkan karena
beberapa faktor, antara lain: (a) responden yang diwawancarai pada umumnya adalah
petani ternak yang sudah bergabung dalam kelompok tani ternak dan biasa menjual
ternak sapinya ke Pasar Hewan. (b) Di sekitar lokasi Pasar Hewan Bringkit sudah
terpasang Baliho besar berisikan informasi berupa ajakan untuk melestarikan Sapi
Bali. (c) Berdasarkan hasil wawancara dengan informan kunci dari Pasar Hewan
Bringkit, pedagang pasar hewan pernah membuat sebuah oragnisasi/ paguyuban hasil
bentukan sendiri yang disebut Asosiasi Pedagang Sapi Bali (APSI). Paguyuban ini
belum diresmikan Pemerintah, dan tidak memilki Anggatan Dasar /Anggaran
Rumah Tangga. Pada awal berdirinya organisasi APSI, pedagang sering mendapat
workshop. Namun, sejak tahun 2010 lalu APSI sudah tidak lagi berfungsi karena
tidak memiliki pengurus aktif .
Hasil analisis Regresi Model Logit yang digunakan untuk mengatahui faktor-
faktor yang mempengaruhi penyembelihan sapi betina produktif, memberikan hasil
bahwa Pasar Hewan berpengaruh negatif terhadap implementasi kebijakan
pengendalian penyembelihan sapi betina produktif dengan nilai 3.603 pada =
0.01. Angka ini mengambarkan bahwa walaupun tingkat pengetahuan responden
tinggi, kegiatan penjualan sapi betina produktif tetap terjadi. Responden Pasar
Hewan yang terdiri dari petani ternak dan murni pedagang sapi sudah tahu tentang
adanya pela rangan penyembelihan sapi betina produktif namun masih melakukan
penjualan sapi betina produktif dilokasi tersebut. Kemungkinan transaksi penjualan
sapi betina produktif akan tetap terjadi sepanjang ada permintaan dan penawaran.
Namun demikian, pengaruh negatif yang diperlihatkan dari lokasi Pasar Hewan,
tidak selamanya menunjukkan bahwa penjualan sapi betina produktif yang terjadi
diperuntukkan semata-mata untuk disembelih.
Pengaruh negatif yang diperli hatkan dari variable ini bisa disebabkan karena
beberap hal, yaitu pertama, kegiatan transaksi penjualan sapi betina produktif tidak
melihat siapa yang pembelinya. Selama terjadi kesepakatan harga antara pihak
penjual dan pembeli, maka setiap saat sapi tersebut bisa saja dijual. Khusus untuk
sapi betina produktif, penjual tidak melihat sisi peruntukkannya, apakah
diperuntukan untuk sapi bibit atau untuk disembelih. Kedua, tidak semua pembeli
sapi di Pasar Hewan mencari sapi semata-mata untuk disembelih. Selain dibeli oleh
para pedagang sapi antar pulau untuk dijadikan bibit, ada juga pedagang yang
khusus datang ke Pasar Hewan bertujuan mencari sapi betina yang masih produktif
untuk dijual ke petani karena permintaan petani itu sendiri.
Pengaruh negatif yang diperlihatkan secara signifikan bisa berdampak positf
pada kestabilan sapi Bali jika, pembelian sapi tersebut diperuntukkan untuk bibit
oleh petani ternak atau pengusaha peternakan lainnya. Sebaliknya jika diperuntukan
sebagai bahan baku produksi daging maka tindakan tersebut akan berdampak negatif
terhadap kestabilan populasi sapi Bali.
Kegiatan penjualan sapi dipasar hewan sulit dikontrol dikarenakan banyak
faktor. Salah satu faktor adalah para pelaku tidak tergabung dalam suatu wadah atau
paguyuban yang dapat dikumpulkan untuk mendapatkan penyuluhan dan pembinaan
sebagaimana kelompok tani ternak. Kekuatan utama dalam mengubah perilaku
individu adalah melalui proses partisipasi dalam kelompoknya dibandingkan
pengaruh melalui ceramah atau pemaksaan kepada individu untuk berubah. (
Rustiadi .dkk,2011:365). Merujuk pada pandangan ini, maka adalah baik untuk
mengumpulkan para pedagang dalam satu wadah dibawah pengawasan Pemerintah
Daerah. Dengan demikian maka sudah saatnya APSI yang pernah ada diaktifkan
kembali dengan Dasar Hukum dan AD/ART yang jelas.

Implementasi Kebijakan di Rumah Potong Hewan


Hasil survey responden Rumah Potong Hewan menunjukan para pelaku usaha
penyedia daging yang menggunakan jasa RPH pada prinsipnya setuju dengan adanya
Implementasi kebijakan pengendalian penyembelihan sapi betina produktif. Hal ini
menunjukkan bahwa para pelaku usaha penyedia daging yang menggunakan jasa
Rumah Potong Hewan masih dalam pengawasan Pemerintah yang pada dasarnya
setuju dengan kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah dengan catatan, selama masih
tersedianya sapi potong untuk kebutuhan lokal.
Tingkat persetujuan responden ini kemudian dilakukan analisisi. Dengan
menggunakan anlisis Model Regresi Logistik, maka didapatkan hasil bahwa RPH
memberikan pengaruh positf terhadap implementasi kebijakan pengendalian
penyemb elihan sapi betina produktif. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
sejauh ini, implementasi kebijakan cukup berhasil. Namun, kebijakan tersebut perlu
didukung oleh kebijakan lain khususnya dalam hal pengawasan ketat terhadap
tindakan penyembelihan sapi betina produktif diluar RPH dan tetap tersedianya stok
sapi potong untuk kebutuhan lokal.
Dalam melakukan aktifitas penyembelihan, tentu saja ada aturan-aturan hukum
yang harus diikuti oleh para pelaku usaha (jagal), yaitu tidak menyembelih sapi
betina produktif kecuali karena kecelakaan (patah tulang). Namun, dalam
pelaksanaannya tidak semudah yang dikonsepkan. Selama masih ada penawaran,
maka selama itu pula masih akan terjadi kegiatan penyembelihan baik di dalam RPH
atau di luar RPH ( penyembelihan liar).
Pengaruh positif tidak selamanya menunjukkan bahwa kedepannya tidak akan
terjadi penyembelihan sapi betina di RPH kecuali, adanya sanksi langsung yang
diberikan oleh Pemerintah kepada pihak terkait jika masih ditemukan adanya
penyembelihan sapi betina produktif. Sejauh ini, pelarangan penyembelihan sapi
betina produktif hanya bermodalkan dasar hukum UU No.18 Tahun 2009 dan
belum dikuatkan oleh Peraturan Daerah yang memungkinkan petugas dapat
mengambil tindakan tegas dan memberi sanksi kepada pelaku.
Keberhasilan untuk menghen tikan kegiatan penyembelihan sapi betina
produktif dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan: (a) Pihak Pemerintah harus
benar-benar memfungsikan petugas pemeriksa dalam hal ini Dokter Hewan
berwenang di RPH sebelum ternak disembelih (ante mortem) untuk mendapatkan
data yang transparan berapa jumlah sapi betina produktif yang masuk ke RPH dan
siap untuk disembelih. Dengan demikian tidak ada lagi praduga terhadap jagal,
bahwa jagal tidak mengindahkan kebijakan yang diterapkan. (b) Optimalisasi peran
Kelompok Tani Ternak Penyelamat Sapi Betina Produktif. (c) Kelompok penyelamat
sapi betina produktif melakukan negosiasi pertukaran sapi betina produktif dengan
sapi jantan sebelum hari penyembelihan. Hal ini perlu dipertimbangkan mengingat
penyem belihan di RPH dilakuan pada malam hari. Jika negosiasi dilakukan 1 jam
menjelang penyembelihan, maka akan sulit karena pertimbangan tingkat kesibukan
dan konsentrasi dari para jagal dan tukang potong. (d) Pemerintah untuk melakukan
pendekatan persuasif, menjadi jembatan penghubung antara jagal dan para peternak
baik dengan kelompok penyelamat maupun dengan kelompok pembibitan. Dengan
demikian, ketika jagal tidak mendapatkan cukup sapi jantan untuk disembelih, jagal
tidak perlu membeli sapi betina produktif tetapi mau bernegosiasi dengan KPSBP
untuk mendapatkan stok sapi jantan dari petani. (e) Perlu adanya suatu tindakan
nyata bukan hanya dari pihak Pemerintah saja, tetapi dimulai dari diri para pelaku
usaha. Setelah tahu bahwa sapi Bali adalah sapi asli Indonesia yang berasal dari
Pulau Bali, sudah selayaknya para Pelaku usaha di Bali memiliki beban moril, turut
bertanggungjawab terhadap kelestarian Sapi Bali sebagai produk yang memilki
keunggulan komparatif (comparative advantage).

Implementasi Kebijakan Pada Petani Ternak


Berdasarkan hasil analisis skor dan persentase pada tingkat pengetahuan
responden petani ternak, ditemukan bahwa tingkat pengetahuan petani ternak pada
implemntasi kebijakan pengendalian penyembelih an sapi betina produktif tinggi.
Hasil survey kemudian diuji dengan menggunakan Metode Regresi Logistik maka,
didapatkan hasil bahwa tingkat pengetahuan petani ternak memberikan pengaruh
positif terhadap implementasi kebijakan pengendalian penyembelihan sapi betina
produktif. Oleh karena itu, implementasi kebijakan ini ditingkat petani ternak dapat
dikatakan cukup berhasil. Keberhasilan ini dapat disebabkan petani yang bergabung
dalam kelompok tani terank, petani mendapatkan cukup informasi melalui
pembinaan yang dilakukan dikelompok. Petani tidak menjual sapi betina produktif
jika tidak karena terpaksa, karena adanya tekanan ekonomis atau kebutuhan
keuangan cepat.
Pengaruh positif pada saat survey dilakukan, perlu direspons melalui
diversifikasi usaha peternakan berupa tarnak dan pengolahan limbah ternak menjadi
gas maupun diversifikasi komoditi peternakan berupa ternak sapi potong dan ternak
ruminansia kecil lainya atau ternak ayam yang dapat berfungsi sebagai cadangan (
back up income) ketika petani membutuhkan keuangan. Penguatan permodalan
dengan bunga kecil akan mendukung petani dalam pengembangan aneka ragam
usaha peternakan bukan saja sapi potong.
Perintah-perintah implementasi mungkin sudah diteruskan secara cermat, jelas
dan konsiten (Winarno, 2012: 184). Artinya para pelaksana implementasi memiliki
sumberdaya manusia yang cukup baik kuantitas maupun kualitas dalam
menyampaikan informasi. Tetapi kembali kepada sikap para pelaku usaha dan
gejolak ekonomi yang sewaktu-waktu bisa terjadi sebagai faktor pendorongan
terjadinya pelanggaran.
Teori tentang implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh Edward III (cit
Widodo, 2006) dapat digunakan sebagai alat ukur, bahwa keberhasilan implementasi
kebijakan dipengaruhi oleh keempat faktor, yaitu: komunikasi, sumberdaya,
kemauan (disposisi) dan struktur birokrasi. Ketika informasi sudah sampai ketingkat
publik, maka faktor sumbedaya manusia, sumberdaya anggaran dan sumberdaya
peralatan berperan penting dan saling menunjang dalam proses implementasi
kebijakan tersebut. Sejauhmana input sumbedaya tersebut berperan aktif dalam
mendukung keberhasilan implementasi kebijakan ditingkat pelaksana, memerlukan
adanya sebuah kajian khusus.

Hasil Analisis Dampak Ekonomis Penyembelihan Sapi Betina Produktif


Penyembelihan sapi betina produktif secara ekonomis berdampak pada
pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Pertumbuhan ekonomi suatu wilayah adalah
pertambahan pendapatan masyarakat secara keseluruhan yang terjadi diwilayah
tersebut, yaitu kenaikan seluruh nilai yang terjadi ( Robinson Tarigan, 2009:46) .
Data Tabel 4.11 adalah data hasil sidak 1 kali oleh Dinas Peternakan Provinsi
Bali. Untuk mendapatkan data 1 tahun , jumlah penyembelihan 46 ekor dikalikan
365 hari, maka didapat perkiraan jumlah penyembelihan sapi betina produktif
sebanyak 16.790 ekor. Dengan angka ini dapat dihitung kerugian ekonomis akibat
penyembelihan sapi betina produktif adalah sebagai berikut: 16.790 ekor betina
produktif, dengan perkiraan umur penyembelihan 3,5 8 tahun, tingkat kesuburan
83% maka betina yang seharusnya bisa melahirkan anak sebanyak 83% dikalikan 4
kali beranak dikalikan dengan betina produktif yang disembelih. Dari jumlah ini bila
dikalikan harga godel betina, maka ditemukan kerugian sebesar Rp.
161.184.000.000,- (Seratus enam puluh satu miliar seratus delapan puluh empat juta
rupiah). Dengan hasil perhitungan diatas dapat dikatakan bahwa kerugian yang ada
menjadi salah satu penyebab kebocoran daerah yang timbul sebagai dampak dari
penyemblihan sapi betina produktif. Apapun alasan sapi betina produktif disembelih,
akan memberikan dampak kerugian yang sangat besar.

Tabel 4.11 Penyembelihan Sapi Betina Produktif di RPH Berdasarkan Hasil Sidak
Tahun 2010
Kabupaten/Kota Betina (ekor) Betina Produktif (ekor)
Denpasar 21 9
Badung 26 17
Gianyar 3 2
Klungkung 0 0
Bangli 0 0
Karangasam 9 8
Buleleng 17 8
Jembrana 11 2
Tabanan 0 0
Jumlah 87 46
Sumber: Disnak Provinsi Bali,2010

Hasil Analisis Kapasitas Tampung


Analisisi perkiraan kapasitas tampung untuk sapi Bali di Bali dilakukan
dengan pendekatan perhitungan produksi hijauan dari luas lahan, produksi rumput
yang dibudidayakan (Rumput Gajah), produksi hijauan dari pepohonan dan
produksi jerami (jerami padi, jagung, kedele, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah dan
kacang hijau). Kebutuhan ternak akan hijauan dihitung berdasarkan perhitungan
satuan ternak (ST). Satuan Ternak (Animal Unit) merupakan satuan ternak yang
didasarkan atas konsumsi pakan.

Tabel 4.13. Hasil Analisis Kapasitas Tampung Provinsi Bali

Provinsi Total Produksi Kebutuhan Masih Masih


Hijauan Hijauan Tersedia Menampung
(Ton BK/Th) (Ton Bk/Th) (Ton Bk/Th) (ST)

Provinsi Bali 3.476.721,66 1.736.277,72 1.740.443,94 454.127,58

Sumber: Data Sekunder diolah, 2012


Keterangan : BK=Bahan Kering, ST = Satuan Ternak
Berdasarkan hasil analisis dapat dilihat bahwa hasil analisis kapasitas
tampung (carrying capacity), secara keseluruhan Provinsi Bali masih dapat
menampung 454.127,58 ST sapi yang tersebar di 9 (sembilan) Kabupaten/Kota.
Jumlah ini meningkat dari perhitungan yang pernah dilakukan oleh Atmadja yaitu
sebesar 64.282,18 ST.
Hasil perhitungan produksi hijauan, kebutuhan hijauan dan ketersediaan
hijauan per Kabupaten (tidak termasuk Kota Denpasar) sebagaimana tercantum
pada Tabel 4.14.
Jurnal Alam Lestari : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pengelolaan Lingkungan : Nomor ISSN
Volume 01 No. 01, Oktober 2012 2302-5514

Tabel 4.14. Hasil Analisis Kapasitas Tampung Ternak Sapi Per Kabupaten di
Provinsi Bali
Kabupaten/Kota Total Kebutuhan Masih Masih
Produksi Hijauan Tersedia Menampung
Hijauan (Ton Bk/Th) (Ton Bk/Th) (ST)
(Ton BK/Th)
Jembrana 250.525,53 103.463,13 147.062,40 38.372,45
Tabanan 732.232,11 169.953,17 245.381,94 64.026,60
Badung 234.943,88 165.517.05 69.426,83 18.118,28
Gianyar 367.968,20 150.139,15 217.829,06 56.837,33
Klungkung 121.427,14 114.472,94 6.954,20 1.814,53
Bangli 484.100,39 255.887,40 228.212,99 59.546,77
Karangasam 568.883,84 383.887.15 184.996,69 48.270,50
Buleleng 989.204,19 369.645,58 619.558,61 161.659,13

Sumber: Data Sekunder diolah, 2012

Berdasarkan data hasil perhitungan produksi hijauan, kebutuhan hijauan dan


ketersedian hijauan per kabupaten, terlihat bahwa secara keseluruhan 8 (delapan)
Kabupaten yang dianalisis masih bisa menampung. Jika dilihat berdasarkan urutan
jumlah terbanyak satuan ternak yang masih dapat ditampung maka wilayah yang
masih sangat ideal untuk dilakukan pengembangan sapi Bali dari kemampuan daya
dukung hijauan adalah Kabupaten Buleleng sebanyak 161.659,13 ST; kemudian
diikuti oleh Kabupaten Tabanan 64.026,60 ST; Bangli 59.546,77 ST; Gianyar
56.837,33 ST; Karangasam 48.270,50 ST; Jembrana 38.372,45 ST; Badung
18.118,28 ST dan terakhir adalah Klungkung sebesar 1.814,53 ST.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil kajian implementasi kebijakan dari ketiga lokasi


penjaringan dan penyelamatan sapi betina produktif dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Tingkat pengetahuan responden dari pasar hewan berdasarkan hasil
perhitungan nilai skor, adalah cukup tinggi. Namun berdasarkan hasil
analisis Regresi Model Logit menunjukkan bahwa lokasi Pasar Hewan
berpengaruh negatif secara signifikan terhadap implementasi kebijakan. Hasil
analisa logit yang menunjukkan adanya pengaruh negatif sebesar 3.603
dengan nilai =0,01. yang menunjukkan bahwa, walaupun pengetahuan
responden cukup tahu namun kemungkinan penjualan sapi betina produktif
masih tetap terjadi.
2. Tingkat partisipatif pengguna jasa (jagal) RPH berdasarkan hasil perhitungan
nilai skor adalah cukup tinggi. Walaupun kenyataanya kegiatan
penyembelihan sapi betina produktif di RPH masih terus terjadi, namun hasil
analisa Regresi Model Logit menunjukkan bahwa pada prinsipnya para jagal
setuju mendukung kebijakan pemerintah dalam pengendalian penyembelihan
sapi betina produktif. Hal ini ditunjukkan oleh hasil analisa regresi model
logit yang menujukkan pengaruh postif sebesar 15,767 dengan nilai =0,01.

1
3. Tingkat pengetahuan petani ternak terhadap implementasi kebijakan
pengendalian sapi betina produktif berada pada level tinggi. Hasil analisa
Regresi Model Logit menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan petani ternak
yang tinggi memberikan pengaruh postif sebesar 29,911 dengan nilai
=0,01. Dengan pengetahuan yang tinggi diharapkan kegiatan penjualan sapi
betina produktif karena alasan ekonomi dapat ditekan, atau menunda
penjualan dan memberikan kesempatan sapi tersebut berproduksi
menghasilkan anak. Berdasarkan hasil analisis dampak dari penyembelihan
sapi betina produktif, maka secara ekonomis akan sangat merugikan petani
ternak. Dari sisi perencanaan wilayah, penyembelihan sapi betina produktif
memberikan kontribusi pada kebocoran wilayah dan sangat merugikan
secara ekonomis serta berakibat buruk terhadap pertumbuhan populasi sapi
Bali jika tidak ditangani secara serius benar.
4. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan model pendekatan untuk
menghitung kapasitas tampung dan ketersediaan hijauan, maka dapat
diperkirakan bahwa:
1. Provinsi Bali secara keseluruhan kapasitas tampung masih tersediah
sebesar 454.127,58 ST Sapi yang tersebar 9 (sembilan) Kabupaten /Kota.
2. Hasil analisis kapasitas tampung untuk 8 (delapan) Kabupaten
memberikan kesimpulan bahwa 8 (delapan) Kabupaten tersebut masih
bisa menampung ternak sapi sesuai kebutuhan hijauan dan ketersediaan
hijauan yang ada pada masing-masing Kabupaten.

DAFTAR PUSTAKA
Agustinus , Leo. 2008. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung :Alberta
Astawa, Ari I Putu. 2008. Kecernaan Nutrien dan Produk Fermentasi Rumen Pada
Sapi Penggemukan yang diberi Ransum Konsentrat Berbasis Jerami Padi
dengan Suplementasi Vitamin-Mneral Mix Unud: Denpasar
Atmadja, I.KG, 2006. Potensi dan Dinamika Populasi Sapi Bali. Dinas Peternakan
Provinsi Bali. Disampaikan pada seminar Prospek Pengembangan Agribisnis
Sapi Bali di Bali, UNUD: Denpasar. 15 Agustus 2006
Akademika, 2010. Ancaman Alih Fungsi Lahan Pertanian Bali. Pers Mahasiswa
Universitas Udayana. http:/www.persakabademika.com/ 4 Desember,2010
Bandini, Yusni. 199. Sapi Bali. Jakarta: Penebar Swadaya
Badan Litbang Pertanian. 2011. Inovasi Pendukung Ternak Rakyat. Agro
Inovasi.Edisi 30 Maret-5 April . Nomor.3399 Tahun XLI.
http:/www.litbang.deptan.go.id/ download/one/927
Badan Pusat Statistik. 2011. Bali dalam Angka. Provinsi Bali
Chulsum, Umi. 2006. Novia Windy, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Surabaya:
Khasiko
Dinas Peternakan Provinsi Bali. 2009. Keunggulan Sapi Bali Asal Bali: Denpasar
2006. Potensi dan Dinamika Populasi Sapi Bali di Bali. Disampaikan pada
Seminar Prospek Pengembangan Agribisnis Sapi Bali di Bali, 15 Agustus 2006.
Denpasar.
.Memotong Sapi Betina Produktif Berarti Anda Akan Kehilangan Godel
Bali : Bidang Kesehatan Hewan dan Kesmavet
.2010. Informasi Data Peternakan Provinsi Bali 2010: Denpasar
.2010. Laporan Inventarisir Kelas Kemampuan Kelompok Tani Ternak:
Denpasar
. 2011. Petunjuk Pelaksanaan Insentif dan Penyelamatan Sapi Betina Produktif.
Denpasar. Bali
Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Kota Denpasar. 2010. Laporan Tahunan:
Denpasar
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bali, 2010. Statistik Pertanian Tanaman
Pangan: Bali
Direktorat Pangan dan Pertanian.2010 Naskah Kebijakan (Policy Paper)-Strategi
dan Kebijakan dalam percepatan Pencapian Swasembada Daging Sapi 2014.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas: Jakarta
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan.2009. Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan
Hewan. Jakarta.
. Pembahasan Ekspor Ternak Sapi Bali oleh Komisi Bibit Ternak Nasional.
(online) http// www.ditjenak.go.id/publikasi/eksporsapibali.pdf, diakses 29
Januari 2008:Jakarta
.2010. Pedoman Pelaksanaa Penyelamatan Sapi Betina Produktif Tahun.
Jakarta: Kementerian Pertanian RI.
. Blue Print Program Swasembada Daging Sapi 2014. Jakarta: Kementerian
Pertanian.
.2011. Kebijakan dan Strategi Pengembangan Sapi Bali dalam Mendukung
Program Swasembada Daging 2014. Disampaikan dalam Workshop Sapi Bali.
UNUD: Denpasar. 25-26 November 2011
.2012 Pedoman Penanggulangan Gangguan Reproduksi .Jakarta:
Kementerian Pertanian.
.2010. Peta Potensi Wilayah Sumber Bibit Sapi Potong Rencana
Pengembangannya. http://www.ditjennak.go.id/publikasi/potensibibit.pdf,
diakses 10 Agustus 2011)
Gunawan, Ir.M.Sc. Pamungkas Dicky, Affandy Lukam S, 2004 . Sapi Bali Potensi ,
Produktivitas dan Nilai Ekonomi. Yogyakarta: Kanisius.
Guntoro, Suprio.2002. Membudi-dayakanm Sapi Bali. Yokyakarta: Kanisius
Kementerian Negara Lingkungan Hidup,2009. Pedoman Pengolahan Limbah
Kegiatan Rumah Potong Hewan. Jakarta: Republik Indonesia.
Peraturan Menteri Pertanian,2010. Tentang Pedoman Umum Swasembada Daging
Sapi 2014. Jakarta: Republik Indonesia
Rustiadi, Ernan, Sunsun Saefulhakim. Dyah R. Panuju. 2011. Perencanaan dan
Pengembangan Wilayah: Crestpern Press dan Yayasan Pustaka Obor :Jakarta
Sio, Stefanus. 2007. Penampilan Sapi Bali yang diberi Ransum Berbasis Rumput
Gajah (Pennisetum purpereum) dengan Suplementasi Multivitamin dan
Mineral. Bali: Universitas Udayana
Tarigan, Robinson. 2009. Ekonomi Regional. Teori dan Aplikasi. Edisi
Revisi.Jakarta: Bumi Aksara
Jurnal Alam Lestari : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pengelolaan Lingkungan : Nomor ISSN
Volume 01 No. 01, Oktober 2012 2302-5514

MODEL PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PELESTARIAN


DAN PENINGKATAN EKSISTENSI SUBAK JUWUK MANIS
DI KELURAHAN UBUD GIANYAR

I Gusti Made Suteja1, Wayan Maba2, I Ketut Widnyana2


1
Master Programme on Regional Planning and Environmental Management Mahasaraswati University
of Denpasar.
2
Postgraduate Programs of Regional Planning and Environmental Management, Mahasaraswati
University Denpasar, Denpasar Bali, Indonesia.
*Corresponding author email: : ketutwidnyana@yahoo.com

ABSTRACT

This research aim to study model of community participation in the


preservation and improvement of the existence of subak juwuk manis at ubud house
of village, Ubud district, Gianyar. The focus of this research are what the
participation which have done by society in preserve subak, what the activity which
have done by krama/member of subak in order to management and arrangement of
rice field irrigating at Subak Juwuk Manis Ubud house of village, and the resistances
in preserve Subak Juwuk Manis.This research use descriptive method with inductive
approach. Population of this research are apparatus of Ubud Village, manager of
Desa Pakraman (custom village), manager of subak, society of Ubud house of
village and member of Subak Juwuk Manis. Total sample are 33 people.
Determination Sample have done with technique of Purposive Sampling. Data
collecting used to technique of observation ( direct perception), interview and the
documentation. Technique of data analysis used analysis qualitative, with step of
data reduce, data tabulation, data interpretation and take conclusion. Pursuant to
result from data analysis indicate that participation society in preserve subak felt still
less, since practically society to participate only have the character of at any times. In
general participate society have done at the time of religious ceremony in subak
temple which in the form of dana punia (contribution in the form of money) and also
the offering what the in form of goods which support of ceremony execution. The
resistances in preserve Subak Juwuk Manis such as active participation of society in
supporting activity have done by subak still less , existence of switchover of farm
function from agriculture farm become the non agriculture so that the agriculture
farm become progressively narrow, quality of human resource still lower especially
in hand the agriculture technology.

Keyworld : subak, community, participation, offering

PENDAHULUAN

Bali merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki


budaya dan adat istiadat yang sampai saat ini masih melekat dalam kehidupan
masyarakatnya. Budaya dan adat istiadat Bali sudah dikenal dikalangan dunia. Hal
ini menyebabkan Bali sebagai tempat tujuan wisata bagi para wisatawan dari
mancanegara maupun domestik. Banyak hal-hal unik yang terdapat di Bali, yang
menyebabkan para wisatawan ingin mengetahui lebih dekat dan detail tentang Bali.
Wisata alam yang ada merupakan daya tarik tersendiri bagi para wisatawan untuk
berkunjung ke Bali. Disamping itu ada wisata buatan, seperti misalnya wisata agraris
di daerah Jatiluwih yang menyajikan hamparan sawah yang tersusun dengan pola
terasering yang merupakan pemandangan yang menjadi daya tarik wisatawan.
Pertanian di Bali cukup mendapatkan perhatian dari pemerintah, terlebih
semenjak terjadinya peristiwa bom di Bali yang mengakibatkan dampak yang
signifikan terhadap sektor pariwisata. Kunjungan wisatawan yang menurun
berdampak terhadap kehidupan masyarakat Bali yang bergantung dari sektor
pariwisata harus rela kehilangan mata pencahariannya. Meskipun kini kunjungan
wisatawan sudah meningkat, tetapi masih belum maksimal, masih jauh dibandingkan
sebelum peristiwa bom terjadi di Bali. Masyarakat tentunya tidak bisa hanya
bergantung pada sektor pariwisata saja. Pertanian yang merupakan sektor lain yang
masih bisa diharapkan tentunya mendapatkan perhatian dari masyarakat. Pertanian di
Bali dari dahulu sudah terkenal sampai ke mancanegara. Hal ini disebabkan adanya
keteraturan sistem pertaniannya terutama dalam masalah sistem pengairan atau
irigasi. Subak yang merupakan sistem irigasi di Bali merupakan warisan budaya
turun temurun.
Subak yang merupakan suatu wadah organisasi yang bersifat tradisional
berada dalam wilayah Desa Pakraman. Desa Pakraman adalah kesatuan masyarakat
hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama
pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan
kahyangan tiga atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta
kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.
Khayangan Tiga merupakan tempat pemujaan masyarakat Desa Pakraman
atau yang lazim disebut di Bali dengan Penyungsung Pura. Masyarakat Desa
Pakraman yang disebut dengan krama adat inilah yang bertanggung jawab terhadap
pura yang merupakan bagian dari Khayangan Tiga tersebut. Anggota subak atau
krama subak juga merupakan bagian dari krama adat. Krama subak dipimpin oleh
seorang pekaseh. Pekaseh yang menjalankan aturan-aturan dalam pembagian air atau
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan subak sehingga adanya ketertiban dan
keadilan dalam masalah pembagian air yang merupakan masalah riskan dalam
menimbulkan konflik. Terlebih saat musim-musim kemarau dimana debit air mulai
menurun.
Kehidupan masyarakat di Bali yang menerapkan prinsip Tri Hita Karana
yang bermakna tiga penyebab kebahagiaan manusia yang bagian-bagiannya antara
lain Parhyangan, Pawongan dan Palemahan, juga merupakan prinsip yang digunakan
dalam setiap kegiatan subak. Secara implisit, Tri Hita Karana mengandung makna
agar kita mengelola sumber daya alam termasuk sumber daya air secara arif untuk
menjaga kelestariaanya, senantiasa bersyukur kehadapan Ida Shang Hyang Widi, dan
selalu mengedepankan keharmonisan hubungan antar sesama manusia. Hubungan
yang harmonis antara krama subak dengan Ida Shang Hyang Widhi yang disebut
dengan Parhyangan, antara krama subak dengan sesama krama subak itu sendiri atau
Pawongan dan antara krama subak dengan lingkungannya atau Palemahan. Dalam
bidang Parhyangan, subak memiliki pura subak yang disebut dengan pura Ulun Suwi
atau pura Dugul. Pura ini sebagai tempat untuk memohon keselamatan dalam bekerja
Jurnal Alam Lestari : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pengelolaan Lingkungan : Nomor ISSN
Volume 01 No. 01, Oktober 2012 2302-5514

serta hasil panen yang baik. Pura subak merupakan tempat pemujaan bagi seluruh
krama subak. Masing-masing krama subak juga memiliki tempat upacara atau pura
pada setiap sawah yang dimilikinya. Pura ini disebut dengan Catu.
Di bidang Pawongan, krama subak biasanya mengadakan rapat-rapat tentang
masalah giliran pembagian air, upacara-upacara di pura subak, maupun masalah
lainnya yang berkaitan dengan subak. Penggiliran air dilakukan guna adanya
keadilan dalam krama subak. Gotong royong atau saling membantu merupakan
wujud dari hubungan yang baik antar krama subak. Misalnya saat menanam benih
padi ataupun saat memanen padi.
Pada bidang Palemahan, krama subak menjaga dan melestarian lingkungan
subak. Hal ini terwujud misalnya dalam pembersihan saluran-saluran air, disamping
untuk menjaga lancarnya air untuk irigasi, juga berdampak terhadap pencegahan
meluapnya saluran air yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan.
Keberadaan subak yang masih eksis sampai sekarang ini merupakan wujud bahwa
subak adalah sebuah lembaga tradisional yang tangguh dan lestari. Walaupun harus
diakui bahwa eksistensinya kini sudah mulai terancam. Ancaman terhadap
kelestarian subak bersumber dari adanya perubahan-perubahan dalam berbagai segi
kehidupan masyarakat Bali yang mengiringi derasnya pengaruh globalisasi terutama
pembangunan pariwisata Bali. Banyak lahan produktif yang beralih fungsi menjadi
bangunan-bangunan seperti untuk perumahan yang menggunakan tanah yang cukup
luas, sehingga mengurangi wilayah subak yang ada. Pembangunan tempat rekreasi
seperti yang sekarang sedang tahap pembangunan untuk Taman Safari II di Gianyar
yang menggunakan lahan sawah hektaran. Hal ini tentunya mengancam keberadan
subak yang ada disekitarnya. Tingkat kesejahteraan para petani yang rendah yang
dipengaruhi oleh biaya produksi yang tinggi dan harga gabah yang murah
menyebabkan petani enggan untuk mengolah sawahnya. Banyak yang dialih
fungsikan untuk tempat usaha yang memungkinkan untuk meningkatkan
kesejahteraannya.
Pengaruh dari mahalnya harga tanah juga mendorong para petani untuk
menjual tanahnya, dengan asumsi nilai jual tersebut dapat dipergunakan untuk
membeli tanah baru yang lebih murah dan luas, meskipun dari segi letaknya kurang
strategis. Tentunya hal ini menyebabkan kelangsungan subak terancam, karena
biasanya tanah-tanah yang dijual itu digunakan sebagai tempat usaha atau dialihkan
fungsinya.
Dewasa ini, generasi muda cenderung enggan untuk bekerja sebagi petani.
Mereka tidak mempunyai motivasi untuk mengembangkan sektor pertanian karena
dirasakan kurang menjanjikan dalam peningkatan kesejahteraan hidup. Hal ini
menyebabkan tidak terjadinya regenerasi atau penerus krama subak yang lama.
Akibat kemajuan teknologi, penggunaan tenaga manusia dan hewan dalam hal
penggarapan sawah kini tergantikan. Misalnya adanya traktor sebagai pengganti
tenaga sapi dalam membajak sawah. Selain itu penggunaan tenaga mesin lainnya
seperti mesin perontok padi dan penanam benih padi memang disatu sisi
mempermudah pekerjaan para petani. Namun jika dilihat dari sudut pandang lainnya,
hal ini dapat mengurangi rasa kebersamaan diantara para krama subak, karena dapat
mengikis budaya gotong royong antar krama subak.
Melihat kenyatan bahwa subak sebagai warisan budaya yang sangat unik dan
dikagumi di mancanegara, kelestariannya harus tetap dijaga dan diperkuat.
Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan diatas, maka dalam kesempatan
ini penulis tertarik untuk melaksanakan penelitian dengan judul: Model Partisipasi
Masyarakat Dalam Pelestarian Dan Peningkatan Eksistensi Subak Juwuk Manis Di
Kelurahan Ubud Gianyar.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pedekatan


induktif yaitu mencari jawaban dari suatu masalah yang hendak diteliti dengan jalan
menggambarkan obyek penelitian sejelas-jelasnya ssesuai dengan fakta-fakta yang
ada tersebut ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum yang merupakan jawaban
dari permasalahan.
Dalam penelitian ini populasi yang diteliti adalah Pengurus Subak dan
Anggota Subak Juwuk Manis Kelurahan Ubud Kecamatan Ubud, Kabupaten
Gianyar, Provinsi Bali sebagai responden sedangkan informan dalam penelitian ini
adalah Aparat Kelurahan Ubud, Pengurus Desa Pakraman dan Masyarakat Kelurahan
Ubud. Penelitian ini mengambil tempat di Kelurahan Ubud, Kecamatan Gianyar,
Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali Dalam hal ini yang diteliti hanya Subak Juwuk
Manis.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Model Partisipasi Masyarakat Untuk Pelestarian Subak Juwuk Manis


Partisipasi Masyarakat Berupa Pikiran (Psychological Partici pation)
Partisipasi masyarakat berupa pemikiran masih kurang, hal ini disebabkan karena
subak organisasi yang berdiri sendiri atau bersifat otonom. Masyarakat diluar
anggota subak tidak memiliki hak untuk campur tangan mengenai permasalahan
subak, kecuali diperlukan oleh subak itu sendiri. Untuk meningkatkan partisipasi
krama subak berupa pikiran Pada tahun 2010 telah dilaksanakan Sekolah Lapangan
Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT), dari kegiatan ini diharapkan krama subak
dapat memberikan partisipasi aktif dalam pemecahan masalah yang berhubungan
dengan pengelolaan tanaman. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara bersama
Pekaseh Subak Juwuk Manis I Wayan Lungsur pada hari Kamis, 19 Agustus 2010
bertempat di rumahnya banjar Ubud Kaja, Ubud yang menyebutkan bahwa pada
subak juwuk manis telah dilaksanakan Sekolah Lapangan Penyuluhan Tanaman
Terpadu (SL-PTT) untuk meningkatkan pengetahuan krama subak dalam
pengelolaan tanaman pertanian. Partisipasi masyarakat berupa pikiran ini sangat
berguna sebagai bahan masukan bagi organisasi subak baik untuk pemecahan
masalah maupun untuk perkembangan subak serta kelestarian subak dimasa yang
akan datang.

Partisipasi Masyarakat Berupa Tenaga (Physical Participation)


Dengan adanya bantuan tenaga dari masyarakat, dapat meringankan beban dari
anggota subak itu sendiri. Partisipasi ini merupakan cerminan kepedulian
masyarakat. Baik secara langsung maupun tidak langsung dapat menjaga kelestarian
subak, karena dapat memberikan motivasi atau semangat bagi anggota subak untuk
tetap eksis berdiri ditengah arus modernisasi ini. Motivasi itu muncul karena subak di
back up oleh masyarakat dalam kegiatannya apabila diperlukan. Namun disisi lain,
partisipasi masyarakat masih dirasakan kurang dan perlu ditingkatkan lagi.

Partisipasi Masyarakat Berupa Barang (Material Participation)


Adapun partisipasi masyarakat yang berwujud barang pada umumnya untuk
kepentingan upacara dan sarana irigasi. Untuk perlengkapan bercocok tanam
biasanya diusahan oleh anggota subak itu sendiri. Hal ini menunjukan partisipasi
masyarakat berupa barang masih kurang. Meskipun demikian, partisipasi masyarakat
berupa barang ini dapat menunjang kegiatan subak, tentunya secara tidak langsung
dapat ikut menjaga kelestarian subak. Karena pada dasarnya subak dikatakan masih
tetap lestari apabila kegiatan subak masih dapat berjalan dengan baik.

Partisipasi Masyarakat Berupa Uang (Money Participation)


Partisipasi masyarakat berupa uang dirasakan masih kurang. Adanya krisis
moneter yang berimbas terhadap penghasilan maupun tingginya biaya untuk
kebutuhan hidup, menyebabkan tidak semua orang dapat berpartisipasi dalam bentuk
uang. Hanya orang-orang yang mempunyai penghasilan yang memadai dapat
berpartisipasi. Dengan adanya sumbangan berupa uang dari masyarakat untuk
menunjang kegiatan subak sangat berguna untuk kelancaran kegiatan persubakan,
sumbangan uang tersebut tentunya merupakan wujud dari partisipasi masyarakat
yang harus ditingkatkan demi kelestarian subak.

Model Partisipasi Masyarakat untuk Peningkatan Eksistensi Subak Juwuk


Manis
Subak Juwuk Manis melaksanakan kegiatan organisasinya dalam rangka
pencapaian tujuan subak tersebut. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh subak
tidak terlepas dari awig-awig subak yang dijadikan sebagai pedoman dalam setiap
pelaksanaan kegiatan subak. Dalam pelaksanaannya, anggota subak terikat oleh
awig-awig subak dan bila terjadi pelanggaran akan dikenakan sanksi yang tegas.
Kepatuhan anggota subak terhadap awig-awig sangat membantu dalam pengaturan
dan pengawasan pelaksanaan kegiatan di sawah.
Pengurus subak sesuai dengan tugas pokok fungsinya, sangat berperan
penting dalam pengawasan kegiatan persubakan, sementara anggota subak
merupakan kontrol sosial dari pengurus. Dengan demikian ada suatu aksi dan reaksi
antara pengurus dengan anggota subak. Adanya suatu sikap saling kontrol ini
menimbulkan sikap saling menghargai dan menghormati satu sama lainnya. Dengan
demikian awig-awig dapat berjalan dengan baik seperti yang diharapkan. Kegiatan
Subak Juwuk Manis dapat dilihat dari beberapa aktivitas seperti: Administrasi,
Keuangan, Sistem Irigasi dan Sistem Pertanian.
a. Administrasi Subak
Administrasi merupakan hal yang penting dalam suatu organisasi, tertib atau
tidaknya administrasi suatu organisasi merupakan salah satu gambaran kinerja baik
atau buruknya dari organisasi tersebut. Dalam organisasi subak, administrasinya
meliputi: sekretariat, urusan administrasi, kekayaan subak, paruman/sangkep subak
(rapat subak), dan manajemen subak.
Jurnal Alam Lestari : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pengelolaan Lingkungan : Nomor ISSN
Volume 01 No. 01, Oktober 2012 2302-5514

1). Sekretariat
Dalam kegiatan kesekretariatan, pengurus subak memerlukan tempat sebagai
kantornya. Dalam hal ini, subak memiliki bale subak yang memiliki fungsi sebagai
kantor subak serta tempat untuk mengadakan berbagai sangkepan atau pertemuan-
pertemuan, penyuluhan dan pembinaan lainnya. Disamping itu, ada bale timbang
yaitu sebuah bangunan kecil yang hanya menggunakan dua tiang penyangga. Bale
Timbang secara filosofisnya merupakan tempat bagi pengurus subak dalam
mengadakan pertimbangan-pertimbangan yang berhubungan dengan persubakan.
2). Urusan Administrasi
Administrasi merupakan hal yang penting dalam suatu organisasi, karena dengan
melaksanakan administrasi kegiatan organisasi dapat diatur serta dapat diketahui
perkembangannya baik itu bila adanya suatu kekurangan maupun kelemahan-
kelemahan sehingga dapat dipelajari dan ditemukan solusi guna perbaikan yang akan
datang untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Administrasi sangat erat kaitannya
dengan tulis-menulis yang merupakan bagian dari kegiatan tata usaha. Administrasi
pada subak merupakan sumber informasi tentang data-data kegiatan persubakan yang
telah tersaji secara sistematis.
Dalam penataan administrasi, Subak Juwuk Manis mendapat pembinaan dari
Pemerintah Kabupaten Gianyar melalui Dinas Kebudayaan mulai dari penulisan
buku-buku sampai peraturan-peraturan dalam subak yang dalam hal ini adalah awig-
awig subak. Hal ini dilakukan karena sudah merupakan program dari Pemerintah
Daerah Provinsi Bali untuk penyeragaman administrasi dalam organisasi subak di
Bali.
3). Kekayaan Subak
Subak sebagai suatu organisasi yang merupakan kumpulan dari krama subak
memiliki kekayaan yang dijadikan sebagai sarana pendukung kegiatan persubakan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Pekaseh Subak Juwuk Manis I Wayan Lungsur
menyebutkan bahwa Subak Juwuk Manis memiliki kekayaan yang dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
a) Pura-pura subak, diantaranya: Pura Masceti Gunung Lebah, Pura Ulun
Suwi, Pura Dugul dan Pura Ulun Empelan.
b) Bangunan-bangunan subak, diantaranya: Bale Subak, Bale Jineng, Bale
Timbang dan lainnya.
c) Tanah Druwe Subak (tanah miliki subak), Pecatu, Pelabe Pura dan lainnya.
d) Uang Kas Subak.
Semua kekayaan subak tersebut harus dikelola dengan baik dan pertanggung
jawabannya harus transparan kepada anggota subak melalui rapat anggota subak.
Pengelolaan kekayaan subak diserahkan kepada pengurus subak berdasarkan hasil
musyawarah.
4). Paruman/Sangkep Subak (Rapat Subak)
Sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, musyawarah mufakat merupakan
suatu ciri khas yang selalu ada dalam setiap pengambilan keputusan untuk
kepentingan bersama. Dalam kegiatan organisasi subak, paruman atau rapat yang
dipimpin oleh Pekaseh dilaksanakan guna memecahkan suatu permasalahan yang
timbul maupun guna mengambil suatu keputusan bagi kepentingan subak. Kegiatan
rapat dilakukan secara periodik maupun secara insidentil. Menurut keterangan dari I
Wayan Lungsur selaku Pekaseh Subak Juwuk Manis pada hari Selasa 20 Juli 2010
bertempat dirumahnya Banjar Ubud Kaja, Kelurahan Ubud dikatakan bahwa rapat
subak dibedakan menjadi:
a) Paruman Subak (Rapat Anggota Subak), merupakan rapat yang dilaksanakan
oleh subak yang dihadiri oleh seluruh krama subak. Rapat ini biasanya bertujuan
untuk mengambil suatu keputusan yang dapat mengikat krama subak untuk
melaksanakannya hasil dari rapat ini. Secara umum, dalam paruman krama subak,
biasanya membahas tentang jadwal penggiliran air, denda-denda terhadap
pelanggaran, rencana kegiatan upacara keagamaan, keadaan kas subak, pola tanam,
dan lain-lainnya.
b) Paruman Prajuru Subak (Rapat Pengurus), merupakan rapat yang dilakukan
oleh para pengurus subak disamping itu juga dihadiri oleh para sesepuh subak. Rapat
ini biasanya membahas masalah penting yang sedang dihadapi oleh subak, ataupun
membahas rencana kedepan untuk meningkatkan keberadaan subak. Keputusan dari
rapat pengurus subak ini tidak dapat langsung diberlakukan pada subak, tetapi harus
melalui musyawarah untuk memperoleh persetujuan dari krama subak melalui
sangkep subak.
c) Paruman Teruna-Teruni Tani (Rapat Pemuda-Pemudi Tani), merupakan rapat
yang dilaksanakan oleh para anak-anak anggota subak. Biasa membahas tentang
kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan kedepan terkait dengan kreativitas pemuda-
pemudi subak.
d) Paruman Sekehe-Sekehe (Rapat Kelompok-Kelompok), merupakan rapat
yang dilaksanakan oleh kelompok-kelompok yang ada dalam persubakan seperti
halnya Sekehe Manyi (kelompok pemanen), Sekehe Numbeg (kelompok
pencangkul), Sekehe Memula (kelompok penanam bibit padi), Sekehe Mejukut
(kelompok menyiangi padi), Sekehe Ngulah Kedis (kelompok mengusir burung), dan
lain-lain.
Dari hasil wawancara tersebut dapat diketahui bahwa rapat subak memegang peranan
yang penting dalam pemecahan masalah yang ada. Dalam paruman atau rapat subak
tentunya ada masukan-masukan dari anggota subak, tentunya masukan-masukan
yang bersifat positif tersebut merupakan hal yang berharga guna membangun
perkembangan subak kedepannya. Rapat subak juga diatur dalam awig-awig Subak
Juwuk Manis palet II pawos 11 sampai pawos 13 (Bab II pasal 11 sampai pasal 13)
Berdasarkan pasal-pasal tersebut dapat diketahui bahwa subak mengutamakan
musyawarah dan mufakat dalam pengambilan keputusan untuk kepentingan
bersamanya. Rapat anggota memiliki kekuatan yang besar dalam setiap pengambilan
keputusan. Hasil dari rapat atau keputusan yang muncul dari rapat dijadikan
pegangan atau pedoman bagi seluruh anggota subak tanpa terkecuali, apabila terjadi
pelanggaran akan dikenakan sanksi.
5). Manajemen Subak
Sistem manajemen yang dilaksanakan oleh subak sangatlah sederhana dengan
penerapan manajemen tradisional yang merupakan manajemen berdasarkan
pengalaman saja. Meskipun demikian, subak masih tetap lestari sampai saat ini dan
menjadi suatu organisasi yang membanggakan. Keberhasilan manajemen Subak
Juwuk Manis yang dilakukan sesuai dengan hasil penelitian memenuhi persyaratan
manajemen dengan kenyataan dibawah ini:
Jurnal Alam Lestari : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pengelolaan Lingkungan : Nomor ISSN
Volume 01 No. 01, Oktober 2012 2302-5514

a) Asas dan konsep Tri Hita Karana yang menjiwai dalam pelaksanaan
manajemen subak, yaitu adanya suatu keseimbangan hubungan antara
manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan
alamnya yang senantiasa tetap terjaga.
b) Keterikatan anggota pada kelompoknya sangat tinggi dengan adanya
keseimbangan unsur manusia, alam lingkungan dan Tuhannya demi mencapai
kesejahteraan materi dan spiritual, yang menyebabkan seluruh anggota
merasa bertanggung jawab secara material dan spiritual.
c) Perencanaan dengan pola dari atas ke bawah, yang tetap memperhatikan
unsur musyawarah untuk pencapaian kata sepakat. Setiap tindakan yang
dilakukan pengurus harus mendapat persetujuan rapat anggota sehingga
terdapat asas musyawarah mufakat.
d) Kekuasaan tertingi berada pada rapat anggota. Tanggung jawab dan disiplin
tinggi dalam pelaksanaan hasil keputusan rapat. Sehingga tumbuh rasa
memiliki dan tanggung jawab penuh terhadap subak.
e) Kepemimpinan bersifat horisontal karena yang diperintah juga memerintah.
f) Pengawasan bersifat vertikal dan horisontal dengan sanksi yang ditetapkan
secara musyawarah mufakat.

b. Keuangan Subak
Masalah keuangan merupakan masalah yang sangat penting dalam suatu organisasi.
Uang merupakan suatu hal yang penting dalam menunjang kegiatan suatu organisasi.
Perencanaan kegiatan dalam suatu organisasi dilakukan dengan sebaik-
baiknya,dalam pelaksanaan kegiatannya agar dapat berhasil tentunya memerlukan
dana atau uang. Karena itu, dapat dikatakan bahwa uang sangat penting dalam
merealisasikan sebuah kegiatan.
Subak yang merupakan suatu organisasi yang berdiri sendiri, memiliki kewenangan
dalam mengatur atau mengelola keuangannya sendiri. Keuangan subak berasal dari
berbagai sumber, diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Krama Pangowot
Krama Pangowot pada Subak Juwuk Manis merupakan krama atau anggota subak
yang memiliki sawah, serta melaksanakan tugas, hak dan kewajibannya sebagai
anggota subak. Krama pangowot ini dikenakan suatu iuran wajib yang dijadikan
sebagai kas subak yang besarnya ditentukan melalui pasangkepan atau rapat anggota
subak.
2) Krama Penaung
Krama Penaung adalah krama atau anggota subak yang tidak dapat melaksanakan
tugas, hak serta kewajibannya sebagai anggota subak. Krama Penaung ini memiliki
lahan pertanian yang masih produktif namun tidak dapat menggarapnya yang
disebabkan oleh suatu alasan tertentu misalnya sudah memiliki pekerjaan yang lain,
sehingga apabila ada kegiatan subak yang bersifat insidental krama ini tidak dapat
mengikuti kegiatan tersebut. Untuk menimbulkan rasa keadilan, krama ini dikenakan
sumbangan dana diluar dari dana/iuran wajib yang telah ditentukan. Dana ini sebagai
pengganti dari tenaga wajib yang harus diberikannya saat pelaksanaan kegiatan
subak yang dimaksud. Dengan demikian tidak terjadi suatu kecemburuan sosial antar
sesama anggota subak.
3) Pawidanda/Dedosan (Denda)
Pawidanda atau dedosan ini merupakan suatu bentuk dari penerapan/pelaksanaan
awig-awig yaitu denda bagi anggota subak yang telah melanggar peraturan yang
berlaku. Adapun besar dari pawidanda ini telah diatur oleh subak melalui paruman
subak yang telah berbentuk pararem atau keputusan bersama dan disesuaikan dengan
berat atau ringannya kesalahan yang telah dibuat.
Berdasarkan Awig-Awig Subak Juwuk Manis pawos 27 dan pawos 28 pada Bab II
dapat diketahui bahwa adanya denda yang berupa harta atau uang yang dikenakan
bagi yang melanggar awig-awig. Denda yang berupa uang tersebut dapat
dilipatgandakan sesuai dengan kesalahannya. Denda berupa harta atau uang yang
telah dikenakan bagi pelanggar tersebut dijadikan sumber keuangan bagi subak.
4) Urunan Krama Subak (Iuran Anggota Subak)
Urunan Krama Subak merupakan suatu sumber dana/keuangan subak yang
bersumber dari sumbangan suka rela dari anggota subak dalam pelaksanaan
kegiatan-kegiatan subak baik itu kegiatan yang merupakan kegiatan rutin ataupun
sewaktu-waktu. Adapun besar dari urunan ini tidak ditentukan karena sesuai dengan
kemampuan anggota subak dan kerelaannya. Urunan merupakan suatu bentuk dari
partisipasi anggota subak dalam menyukseskan pelaksanaan kegiatan subak.
5). Wantuan Guru Wisesa (Bantuan Pemerintah)
Subak sebagai warisan peninggalan kebudayaan leluhur yang merupakan aset yang
sangat berharga dan perlu dilestarikan oleh segenap lapisan masyarakat begitu pula
oleh pemerintah provinsi Bali maupun pemerintah Kabupaten Gianyar yang
senantiasa memberikan bantuan berupa dana atau uang kepada subak setiap satu
tahun sekali. Dalam hal pengelolaannya, diserahkan kepada subak yang
bersangkutan.
Pemerintah Kabupaten memberikan bantuan kepada subak secara rutin setiap tahun.
Pada tahun 2008, pemerintah kabupaten mengucurkan dana bantuan kepada masing-
masing daerah irigasi sebesar dua ratus juta rupiah sedangkan pada tahun 2009
pemerintah memberikan bantuan berupa jembatan senilai delapan ratus lima puluh
juta rupiah dan bangunan berupa wantilan dan gubug. Hal tersebut menunjukan
perhatian dari pemerintah guna menunjang kegiatan subak dan demi tetap lestarinya
keberadaan subak di Bali, khususnya di Kabupaten Gianyar.

c. Sistem Irigasi
Subak sebagai suatu organisasi yang bergerak dalam bidang pengairan sawah
memiliki suatu sistem irigasi yang teratur, yang menyebabkan tetap terjaminnya
aliran air meskipun pada musim kemarau. Secara umum, pengaturan dalam
pembagian air dilakukan secara bergilir dengan menggunakan batas waktu membuka
saluran air. Subak Juwuk Manis menggunakan air irigasi yang berasal dari sungai
Yeh Wos Kajanan.
Bangunan irigasi yang telah ada dipelihara bersama-sama oleh anggota subak guna
menunjang kelancaran aliran air ke masing-masing petak sawah. Berdasarkan
wawancara dengan pekaseh subak Juwuk Manis I Wayan Lungsur pada hari Selasa
20 Juli 2010 menyebutkan bahwa Subak Juwuk Manis dalam pelaksanaan
pengaturan aliran air dilaksanakan dengan:
a) Mengadakan pemeriksaan bergilir dari anggota subak di masing-masing
saluran air, dalam pemeriksaan tersebut harus memeriksan jalannya aliran air
Jurnal Alam Lestari : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pengelolaan Lingkungan : Nomor ISSN
Volume 01 No. 01, Oktober 2012 2302-5514

jika ada saluran air yang tersumbat atau bocor ataupun rusak, sehingga aliran
air dapat mengalir dengan lancar ke masing-masing sawah.
b) Melaksanakan kegiatan gotong royong membersihkan sungai maupun saluran
air baik itu untuk pengairan itu sendiri maupun sebelum dilaksanakannya
upacara Magpag Toya.
c) Pemeriksaan juga dilaksanakan pada saluran air, sehingga besar kecilnya
saluran air tetap berdasarkan luas dari petak sawah yang akan dialiri air.
d) Mengadakan pemeriksaan aliran air berdasarkan bagian pengairan.
Pengaturan air ini dilakukan agar tetap menjamin tersedianya aliran air meskipun
saat musim kemarau. Dengan demikian pada musim kemaraupun para krama subak
tetap masih bisa menanam padi.
Sistem irigasi subak terdiri dari Empelan (bendungan) yang berfungsi untuk
pengambilan air dari sumbernya, Aungan (terowongan), Telabah (saluran primer),
Tembuku Aya (bangunan bagi primer), Tembuku Gede (bangunan bagi sekunder),
Telabah Pemaron (saluran tersier), Telabah Penyacah (saluran kuarter), Tembuku
Penyacah (bangunan bagi kuarter yang terdiri dari saluran untuk petani), Tembuku
Pengalapan (bangunan untuk memasukan air ke masing-masing petak sawah). Selain
itu, subak memiliki bangunan pelengkap seperti Penguras, Pekiuh, Petaku, Talang
serta gorong-gorong. Secara umum, subak memiliki saluran air buangan ke suatu
petak sawah yang kemudian disalurkan kembali kesaluran irigasi.

Hambatan yang dihadapi dalam melestarikan dan meningkatkan eksistensi


Subak Juwuk Manis

Dalam suatu organisasi hambatan-hambatan itu selalu ada. Demikian halnya dalam
organisasi subak di Bali yang semakin hari terancam punah. Berbagai faktor yang
mendukung terjadinya kepunahan tersebut merupakan salah satu kendala atau
hambatan yang dihadapi subak dalam melestarikan dan meningkatkan eksistensi
subak. Salah satu akibat pesatnya peralihan fungsi lahan merupakan pemicu
kepunahan subak yang paling utama. Banyak subak yang berada di sisi jalan telah
terjual/beralih fungsi sebagai dampak perkembangan pariwisata di Kelurahan Ubud
yang berakibat berkurangnya akses jalan untuk subak, baik untuk mengangkut hasil
panen maupun membawa traktor untuk mengolah tanah pertanian. Hal ini sesuai
hasil wawancara dengan Bapak Made Wijana PPL Subak Juwuk Manis yang
mengatakan bahwa tanah subak di sisi jalan lebih cendrung terjual tanpa
menyisakan akses jalan untuk subak itu sendiri sehingga menghambat kegiatan
pertanian. Disisi lain, mahalnya harga pupuk menyulitkan para petani-petani kecil
karena mengakibatkan biaya produksi yang semakin besar.
Sementara itu para generasi muda sudah tidak peduli dengan sektor pertanian.
Mereka cenderung memilih pekerjaan diluar sektor pertanian, misalnya sektor
pariwisata. Seperti dapat dilihat disepanjang jalan menuju Subak Juwuk Manis, di
kanan maupun kiri jalan rumah-rumah penduduk bagian depannya dijadikan sebagai
kios barang-barang kerajinan seperti lukisan, patung, lilin dan lain sebagainya.
Mereka cenderung memilih pekerjaan ini karena lebih menjanjikan. Bagi generasi
muda, sektor pertanian kurang dapat mensejahterakan. Pandangan seperti ini sangat
sulit dihilangkan mengingat kenyataan dilapangan memang demikian adanya. Antara
input dan output tidak adanya suatu keseimbangan. Pekerjaan pertanian bukan
merupakan pekerjaan pokok bagi sebagian masyarakat dewasa ini, karena cenderung
dijadikan sebagai pekerjaan sambilan.Selain faktor tersebut diatas, rendahnya harga
gabah dan rendahnya sumber daya manusia para petani menjadi permasalahan yang
harus segera diatasi. Harga gabah yang rendah tentunya menyulitkan para petani
karena hasil yang mereka peroleh tidak sebanding dengan biaya produksi.
Kenyataaan inilah yang mendorong rasa putus asa bagi petani.
Sumber daya manusia merupakan hal yang penting dalam kemajuan pertanian.
Rendahnya sumber daya manusia tentunya berimbas terhadap pengembangan sektor
pertanian, karena dari kualitas sumber daya manusia yang baik akan melahirkan ide-
ide kreatif dalam bidang pertanian guna peningkatan hasil pertanian. Subak yang
didukung dengan bangunan fisik sebagai faktor pendukung kegiatan persubakan
sudah tentu memerlukan pemeliharaan secara intensif. Hal ini memerlukan biaya
yang tidak sedikit, dan subak yang memiliki anggota yang sedikit tidak bisa
menanggung beban yang sedemikian berat dirasakan.

KESIMPULAN

1. Partisipasi masyarakat dalam pelestarian subak dirasakan masih kurang, karena


pada kenyataannya masyarakat berpartisipasi hanya bersifat sewaktu-waktu.
Secara umum partisipasi masyarakat dilakukan pada saat upacara keagamaan di
pura subak yang berupa dana punia (sumbangan berupa uang) maupun aturan
(persembahan) yang berbentuk barang-barang penunjang pelaksanaan upacara.
2. Kegiatan yang dilakukan oleh krama / anggota subak untuk peningkatan
eksistensi subak juwuk manis dengan cara pengelolaan dan pengaturan
pengairan sawah pada subak Juwuk Manis Kelurahan Ubud antara lain
Administrasi Subak, Keuangan, Sistem Irigasi, dan Sistem Pertanian yang
dilakukan berdasarkan Awig-Awig Subak yang berlandaskan konsep Tri Hita
Karana.
3. Hambatan-hambatan yang dihadapi dalam melestarikan subak Juwuk Manis
antara lain:
a. Masih kurangnya partisipasi aktif masyarakat dalam menunjang kegiatan
yang dilakukan oleh subak guna pelestariannya.
b. Adanya peralihan fungsi lahan dari lahan pertanian menjadi non pertanian,
sehingga lahan pertanian menjadi semakin sempit.
c. Kurangnya regenerasi dalam subak karena generasi muda cenderung
memilih pekerjaan di luar sektor pertanian seperti misalnya sektor
pariwisata yang dianggap lebih menjanjikan sehingga untuk ide-ide kreatif
dalam bidang pertanian agak kurang karena umur dari anggota subak rata-
rata diatas 35 tahun.
d. Kualitas sumber daya manusia masih rendah, terutama dalam penguasaan
teknologi pertanian seperti pengoperasian mesin traktor maupun perontok
padi.
e. Masih kurangnya bantuan dari pemerintah baik berupa materi atau dana
maupun pembinaan yang bertujuan memajukan perkembangan subak.
Jurnal Alam Lestari : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pengelolaan Lingkungan : Nomor ISSN
Volume 01 No. 01, Oktober 2012 2302-5514

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi, 2006, Prosedur Penelitian, PT Rineka Cipta, Jakarta.


Dinas kebudayaan Provinsi Bali, 2005, Pedoman Penilaian Subak, Denpasar.
Juliantara, Dadang, 2004, Pembaruan Kabupaten arah Realisasi otonomi Daerah,
Pembaruan, Yogyakarta.
Khairuddin, 1992, Pembangunan Masyarakat, Liberty, Yogyakarta.
Koentjaraningrat, 1990, Pengantar Ilmu Antropologi, PT Rineka Cipta, Jakarta.
Mandia, I Ketut, et al, 2004, Organisasi Sosial dan Adat Istiadat, Dwi Jaya
Mandiri, Denpasar.
Mansyur, Kholil, 1987, Sosiologi Masyarakat Desa dan Desa Usaha Nasional,
Rineka Cipta, Jakarta.
Mardalis, 1999, Metode Penelitian Suatu Pedekatan Proposal, Bumi Aksara,
Jakarta.
Nawawi, H. Hadari, 2003, Metode Penelitian Bidang Sosial, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Nazir, Moh, 2005, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta
Ndraha, Taliziduhu, 1990, Pembangunan Masyarakat Mempersiapkan
Masyarakat Tinggal Landas, Rineka Cipta, Jakarta.
Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 02 Tahun 1972 tentang Irigasi Daerah
Propinsi Bali.
Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman
Pitana, 1997, Subak Sistem Irigasi Tradisional di Bali, Upada Sastra, Denpasar.
Priyatmo, Soeganda, 1997, Motivasi, Partisipasi dan Pembangunan (Tinjauan
Dari Sisi Komunikasi), UK. Press, Jakarta.
Roesmidi dan Risyanti,Riza, 2006, Pemberdayaan Masyarakat, Alqaprint,
Jatinangor.
Sastropoetro, Santoso, 1988, Partisipasi Komunikasi Persuasi dan Disiplin dalam
Pembangunan, Alumni, Bandung.
Silalahi, Ulber, 2006, Metode Penelitian Sosial, Unpar Press, Bandung.
Suasthawa, I Made Darmayuda, 2001, Desa Adat Kesatuan Masyarakat Hukum
Adat di Propinsi Bali, Upada Sastra,
106 Denpasar.
Suharto, Edi, 2005, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, PT
Refika Aditama, Bandung.
Soekanto, Soejono, 2005, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Press, Jakarta.
Sugiyono, 2007, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif R & B, Alfabeta,
Bandung.
Supriatna, Tjahya, 2000, Strategi Pembangunan dan Kemiskinan, Rineka Cipta,
Jakarta.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional
Windia, Wayan, 1999, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentasi dan
Publikasi Fakultas Hukum Unud, Denpasar.
Wiana, I Ketut, 2002, Desa Pakraman Dan Pemerintahan Desa Di Bali, Yayasan
Tri Hita Karana Bali, Denpasar.
Jurnal Alam Lestari : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pengelolaan Lingkungan : Nomor ISSN
Volume 01 No. 01, Oktober 2012 2302-5514

DINAMIKAN PEMBANGUNAN DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN

Ni Gst.Ag.Gde Eka Martiningsih

Lecuture on Postgraduate Programs of Regional Planning and Environmental Management,


Mahasaraswati University Denpasar, Denpasar Bali, Indonesia.
*Corresponding author email: : ekamartini@gmail.com

ABSTRACT

Bali is a lush area and once a center of agriculture, but it is currently at a crossroads.
Since the transfer of agricultural land on a large scale due to the advancement of
tourism, so much productive land displaced turned into luxury hotels and other
tourism facilities. The reason for the transfer of land to increase the Balinese
economy through income from tourism. But the displacement of farm life most of the
people of Bali not only for the tourism sector is more promising, but much more to
the notion that being a farmer is dirty, poor and without a future. This phenomenon
led to fewer young people are getting into the agricultural sector. In addition, it is
also because of the uncertainty caused by the income of the people engaged in the
agricultural sector. There is an assumption that being a farmer is the duty of the poor.
Nowadays frequent water shortages in several subak in Bali. Subak is a rice farmer
group who have the traditional water sharing rules. Due to the reduction in water
discharge (lake Buyan) in the upstream city of Tabanan the growing season often
experience setbacks that have an impact on farmers' incomes subak members. With
the ongoing construction of tourism facilities, the use of over-exploitation of ground
water also. Luxury hotels often use excessive groundwater. This violation also
caused by the absence of many regulations and strict sanctions for the use of the
ground water. As a result, in areas such as southern Bali Jimbaran, Kuta, Nusa Dua
in the dry season, water is often difficult, due to the interruption of sea water into the
wells of the population. There are still a lot of problems for the people of Bali due to
the shift of resources from agriculture to tourism revenue

Key words : agriculture, tourism, farmers, subak, revenue

PENDAHULUAN

Dalam buku Whose Development di dalam salah satu chapternya disebutkan


bahwa budaya dikatakan sebagai salah satu penghambat dalam pembangunan.
Memang perdebatan antara pembanguan yang diingnkan oleh masyarakat Indonesia
dan pembangunan yang didambakan oleh penguasa di Indonesia masih sangat sering
terjadi dan malah merupakan salah satu faktor kegagalan dalam pembagnunan
masyarakat di Indonesia. Seperti yang dikemukakan oleh Agus Kristyanto (2009)
dalam salah satu kuliahnya bahwa isu-isu strategis yang saat ini dihadapi oleh
Indonesia adalah salah urusnya daerah dan negara yang mengakibatkan keunggulan
omparatif seperti sumberdaya alam yang melimpah yang dimiliki Indonesia tidak
mampu mensejahterakan masyarakatnya. Walaupun kondisi pada masing-masing
daerah di Indonesia memiliki cri khas yang berbeda. Hal ini disebabkan karena
negara Indonesia terdiri dari banyak kepulauan, banyak suku, agama, kepercayaan,
dan juga adat. Masing-masing daerah meimiliki kekhasan dalam menyikapai tujuan
pembangunan yang hendak dilaksanakan.
Bali sebagai salah satu daerah tujuan wisata yang sangat terkenal baik di
negari sendiri mauoun mancanegara sangat terkenal dengan kekuatan adat dan
budayanya. Sehongga banyak pengamat yang menyatakan bahwa salah satu daya
tarik Bali sebagai daerah tujuan wisata dunia adalah karena keberhasilan masyarakat
Bali memadukan antara pariwisata dan budaya masyarakatnya dengan haromonis
sehingga kelihatan oleh pandangan umum bahwa adat dan budaya Bali adalah sangat
kuat. Akan tetapi seiring dengan kemjuan jaman dan perkembangan globalisasi yang
semakin menggerus nilai-nilai tradisional, maka bali mulai terlihat kedodoran dalam
mengahdapi segala gemburan modernitas akibat dari pengaruh industri pariwisata.
Dewasa ini semakin banyak masyarakat Bali mulai merasakan beratnya kewajiban
adat dan budaya yang harus dilakukan masyarakat sehingga sebagian masyarakat
menganggap bahwa kewajian adat dan budaya serta agama semakin memberatkan
kehidupan mereka. Ha ini didukung dari pendapat pengamat budaya dan
pemangunan Bali yang sekarang menjabat sebagai Gubernur Bali yaitu bapak
Mangku Pastika bahwa masyarakat Bali sedang berada pada masa transisi, antara
melnjutkan kewajiban adat dan buday yang telah dilakukan selama bertahun-tahuan
dan mengais rejeki untuk menghidupi keluarga dan melaksanakan kewajiban adat itu
sendiri. Transisi disini dimaksudkan adalah adanya kesalah perespsi dalam
melaksanakan kewajiban agama yang terlalu ke orientasi pesta dan upacara. Padaha
menurut Pendeta Brahmana Ida Pedanda Sebali Tianyar dalam sebuah diskusi di
Denpasar bahwa kewajiban adat, budaya dan Agama sebenarnya bersifat fleksibel
dan pelaksanaannya tidak kaku. Jadi kalau masyarakat Bali khususnya mampu
mengelola dan melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut dengan nalar dan
kebijaksanaan maka budaya seperti yang dikemukan oleh Crewe (2000) bukan
merupakan penghambat pembangunan, akan tetapi sutau saat Budaya dan Agama
akan mampu menjadi pendorong tercapainya pembangunan dan sebagai perekat dari
hubungan yang timbal bailk antara masyarakat setempat. Hal ini akan membawa
dampak positif bagi kesatuan persatuan bangsa dan negara Indonesia. Lebih lanjut
dikatakan bahwa dengan pemaknaan yang benar akan makna dari upakar yang
dilakukan maka akan ditemukan suatu tindakan kolektif yang bersal dari hati nurani
masyarakat yang tentu saja akan memiliki kekuatan yang lebih besar dalam rangka
pelaksanaan pembangunan.

Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi

Masih banyak perdebatan diantara para pemikir tentang yang dimaksud


dengan pembangunan (development). Pembangunan sering hanya diartikan sebagai
cara-cara pragmatis dalam mencapai suatu tujuan. Dan dari seluruh tujuan
pemabangunan baik yang dilakukan di negara maju maupun berkembang ternyata
yang dimaksudkna dengan pembangunan adalah pertumbuhan ekonomi (economic
growth). Pada tahun 1960-an aras pembangunan ekonomi lebih menekankan pada
bagaimana pemerintah atau negara meningkatkan ekonomi rakyatnya untuk
mencapai kesejahteraan bagi masyarakatnya (Kahn, 2005). Lebih lanjut dinyatakan
Jurnal Alam Lestari : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pengelolaan Lingkungan : Nomor ISSN
Volume 01 No. 01, Oktober 2012 2302-5514

bahwa penghitungan keberhasilan pertumbuhan ekonomi suatu negara hanya


berdasarkan penghitungan GDP (Gross Domestic Product), dimana cara ini hanya
menekankan pada pembangunan ekonomi yang padat modal. Sedangkan seperti
telah diketahui bahwa kondisi di negara-negara yang sedang berkembang modal
merupakan hal yang masih sulit diperoleh, artinya negara-negara sedang berkembang
termasuk Indonesia memeiliki persediaan modal yang masih terbatas (rendah).
Indonesia merupakan suatu negara dengan keunggulan modal (sumber daya alam)
yang melimpah. Akan tetapi karena sumberdaya yang lainnya masih rendah maka
persoalan kesejahteraan di Indonesia masih jauh dari harapan. Seperti yang
dikemukakan pada Gambar Lingkaran kemiskinan pada makalah Kahn (2005) bahwa
ada lingkaran yang saling mempengaruhi pada lingkaran tersebut.

Low Current
Income consumption
needs

Low
Saving

Low Low
Productivi Investment
ty of
Labor
Low
Capital
Stock

Model ini kemudian berkembang dengan terjadinya kerusakan ligkungan (penurunan


kualitas lingkungan) akibat kemiskinan di sutu negara. Seperti yang terlihat pada
Gambar 2 berilkut ini
Low Current
Income consumption
needs

Low
Saving
Environ
mental
Degradati
Low on Low
Productivi Investment
ty of
Labor Low
Capital
Stock

Dari Gambar 2 ini terlihat bahwa kemiskinan tenyata memiliki pengaruh langsung
terhadap kerusakan lingkungan di kawasan tersebut. Dari kedua model tersebut
ternyata kemiskinan yang berlanjut yang terjadi di negara-negara yang sedang
berekmbang termasuk Indonesia selain karena sumberdaya baik sumberdaya alam,
modal, sumberdaya manusia yang masih rendah ternyata juga disebabkan karena
perusakan lingkungan (kualitas lingkungan yang menurun secara berkelanjutan). Hal
ini menurut beberapa ahli juga sedang berlangsung di Bali. Bali yang merupakan
salah satu daerah subur dan dulu merupakan sentra pertanian saat ini sedang berada
di persimpangan. Semenjak adanya pengalihan lahan pertanian secara besar-besaran
akibat kemajuan pariwisata, maka banyak lahan-lahan produktif tergusur dan
berubah manjadi hotel-hotel berbintang dan fasilitas pariwisata lainnya. Alasan
pengalihan lahan tersebut dulu memang untuk meningkatkan perekonomian
masyarakat Bali yang selain dikenal dengan daerah agrarisnya juga dapt
dikembangkan melalui pendapatan dari sektor pariwisata. Akan tetapi setelah sekian
tahun, apakah benar masyarakat Bali lebih sejahtera dengan adanaya industri
pariwisata yang maikn berkembang? Pertanyaan ini masih sulit untuk mencari
jawabannya, karena pada kenyataannya sebagian besar pelaku bisnis pariwisata di
bali adalah orang asing buakn pribumi. Hal ini disadari oleh masyarakat Bali, akan
tetapi mereka tidak mampu berbuat banyak karena memang kualitas sumberdaya
manusia Bali dianggap belum mampu utnuk menempati posisi-posisi penting di
industri pariwisata. Di samping itu masalah adat dan budaya sering dijadikan alasan
untuk menjegal masyarakat Bali menduduki posis-posisi penting di Industri
pariwisata.

Kemiskinan , Pengangguran dan Kerusakan Lingkungan


Dampak pergeseran lahan pertanian ke sektor lain dewasa ini selain
berdampak pada semakin sempitnya lahan pertanian, semakin banyaknya
Jurnal Alam Lestari : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pengelolaan Lingkungan : Nomor ISSN
Volume 01 No. 01, Oktober 2012 2302-5514

pengangguran terutama generasi muda. Karena ternyata sekotr pariwisata yang


diharapkan mampu membuka peluang kerja bagi angkatan kerja di Bali masih jauh
dari harapan. Sehingga masyarakat yang telah terlanjur menjual lahan pertaniaanya
saat ini banyak menajdi pengangguran terselubung. Hal ini tentu saja sering
menimbulakn maslah sosial seperti kecembruan anatar warga, persengketaan antar
anak muda dan malah sudah ada yang menjrus ke perbuatan yang anarkis. Untuk
semua yang terjadi ini yang disalahkan adalah pemerintah. Kebijakan pemerintah
yang dianggap terlalu longgar dalam memberikan ijin dalam pengalihan lahan dan
pendirian fasilitas pariwisata.
Walaupun sebenarnya sudah ada perncanaan untuk melakukan aturan RTRW
(Rancangan tata Ruang dan Wialayah) di Bali secara saklek, akan tetapi masih
banyak kendala yang dihadapi. Misalnya pebedaan kepentingan antara pemilik lahan
dan pemerintaha melalui aturan RTRW tersebut. Hal ini sering memicu ketegangan
anatara aparat pemerintah dengan masyarakat setempat. Masih bersyukur di Bali ada
lembaga adat yang memiliki otoritas yang cukup besar dalam penanganan-
penanganan kasus sengekta lahan anatara mayarakat dan pemerintah. Sehingga
konflik tersebut masih dapat diredam dan dihindarkan.

Pembangunan Tanpa Perkembangan


Seperti sudah dikemukakan dimuka pembangunan di Indonesia mengalami
pasang surut, namun pada akhir-akhir ini pembangunan di Indonesia sepertinya
menghadapi permasalahan yang besar. Sejumlah pembangunan yang dilaksanakan
nampaknya tidak memberikan manfaat langsung untuk rakyat namun lebih memberi
manfaat yang besar bagi para pemodal dengan meninggalkan kerusakan alam yang
luar biasa. Oleh sebab itu pembangunan di Indonesia bisa disebut sebagai
Pembangunan Tanpa Perkembangan2. Beberapa ciri dari adanya pembangunan
tanpa ada perkembangan diantaranya adalah, sebagai berikut:
(1). Ketika kondisi lingkungan alam mengalami kerusakan dan pewarisan
lingkungan lestari tidak terjadi.
Sejumlah pembangunan terutama pertambangan seringkali memunculkan
limbah yang luar biasa besar. Pertambangan yang selalu memperoleh sorotan adalah
pertambangan tembaga di Tembaga Pura, Timika Papua. Setiap orang yang
terbang ke Papua dan mendarat di Bandara Moses Kilangin, Timika akan dengan
mudah betapa luasnya limbah tailing yang muncul oleh adanya penambangan
tembaga. Demikian pula kasus Indorayon yang terbukti mencemari lingkungan dan
memperoleh protes dari masyarakat.3 Dapat pula dikemukakan pembukaan lahan
untuk perkebunan Kelapa Sawit, terutama di Kalimantan, selain menyebabkan protes
oleh masyarakat adat karena kehilangan lahan karetnya juga menyebabkan rusaknya
sumber air, hilangnya plasma nuftah asli kalimantan tertentu, dan munculnya konflik

2
Pada tahun 1973, kondisi yang sama sebenarnya sudah mulai dirasakan oleh Sayogya yang
diungkapkan dalam makalahnya Modernization Without Development in Rural Java. Paper
contribution to Study on Changes in Agrarian Structure. Organized by FAO.
3
Junus Aditjondro: Kultur Batak, Pedang Bermata Dua, Belajar dari Gerakan Anti Indorayon 2005.
IRE Press Yogyakarta. Lihat pula tulisan Victor Silaen; Gerakan Sosial Baru, Perlawanan Komunitas
Lokal pada kasus Indorayon, di Toba Samosir, 2006. IRE Press Yogyakarta.
karena persaingan untuk memperebutkan sumber daya alam. 4 Dengan kondisi alam
(lingkungan) yang semakin rusak dan semakin terbatas faktor produksi alam bagi
rakyat lokal maka hilang pula lingkungan alam yang lestari, yang dapat diwariskan
kepada generasi penerus.
(2). Ketika kondisi sosial-ekonomi (kesejahteraan transgeneration) hanya
dinikmati sebagian kecil orang (kelompok) atau sebagian kecil wilayah.
Proses pembangunan disatu pihak memang dapat meningkatkan devisa,
neraca perdagangan yang semakin berimbang, dan keuntungan lain. Namun
demikian keuntungan tersebut sering kali hanya dinikmati oleh sekelompok orang
yang mempunyai modal (para memodal). Mereka yang tertinggal adalah kaum
pekerja (buruh tani atau buruh industri), perempuan, anak-anak, atau kelompok yang
tidak menguasai faktor produksi. Dapat pula terjadi bahwa pembangunan kemudian
hanya terjadi di Jawa, di wilayah perkotaan, atau di pusat-pusat ekonomi. Wilayah
lain yang jauh dari pusat pemerintahan akan mengalami ketertinggalan dalam
pembangunan.
Dengan demikian maka keberhasilan pembangunan yang hanya dinikamti
oleh sejumlah kecil pemodal tentu akan kehilangan makna pembangunannya ketika
sebagian terbesar dari rakyat Indonesia atau wilayah Indonesia di luar Jawa tidak
menikmatinya.
(3). Ketika kondisi kelembagaan pembangunan yang ada tidak memainkan peran
kelembagaannya dengan benar.
Kelembagaan pembangunan adalah kelembagaan baik yang merencanakan,
melaksanakan, maupun mengevaluasi pelaksanaan pembangunan baik di aras
nasional, regional, maupun lokal. Di dalam hal ini kelembagaan yang seharusnya
melaksanakan pembangunan seringkali bertindak sebagai penguasa yang
mengabdikan dirinya pada para pemodal. Lebih dari itu kelembagaan ini bisa saja
bertindak secara tidak efisien dan tidak efektif. Korupsi, pemborosan, ataupun
premanisme sering menjadi cara yang pada ujungnya akan tidak memberi manfaat
bagi rakyat banyak terutama di aras lokal. Dalam kondisi semacam ini maka
pembangunan yang terjadi tentu kehilangan makna yang sebenarnya dari
pembangunan.
(4). Ketika kondisi sosial budaya (solidaritas, kemandirian, semangat dan
motivasi) melemah
Proses pembangunan selain menimbulkan dampak positif kalau tidak hati-
hati juga menimbulkan dampak negatif. Beberapa akibat negatif yang bisa muncul
oleh adanya program pembangunan yang salah urus diantaranya adalah: adanya
ketergantungan kepada pihak lain (seperti dikemukakan dimuka) karena mereka
menjadi biasa memperoleh bantuan dan menjadi selalu mengharapkan. Demikian
pula dengan begitu banyak pembangunan yang dipaksakan dari atas tanpa adanya
kebiasaan untuk ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan menyebabkan
mereka itu menjadi kehilangan semangat dan motivasi untuk melaksanakan
pembangunan.
(5). Ketika kondisi sosial-politik (civil society dan demokrasi) melemah.

4
Hasil penelitian USAID (2007) dalam; Conflict Timber: Dimensions of the problem in Asia and
Africa, Volume II, Asian Case menunjukkan bahwa pengembangan perkebunan kelapa sawit
menjadi sumber konflik karena keterbatasan sumber daya alam dan perusakan lingkungan
Jurnal Alam Lestari : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pengelolaan Lingkungan : Nomor ISSN
Volume 01 No. 01, Oktober 2012 2302-5514

Proses pembangunan yang diterapkan dengan model nonpartisipatif dan


datang dari pihak atas dapat menyebabkan kemampuan rakyat untuk
menyampaikan aspirasi atau meminta pertanggungjawaban kepada negara menjadi
melemah. Dengan demikian maka pembangunan yang dilakukan dengan cara yang
salah jelas dapat melemahkan semangat dan kemampuan berdemokrasi bagi rakyat
dan melemahnya semangat untuk menjadi masyarakat sipil yang handal.

Kondisi Terakhir Indonesia


Terlepas oleh adanya kemungkinan munculnya dampak negatif dari suatu
proses pembangunan yang menyebabkan proses pembangunan menjadi tidak berarti
seperti terurai di atas, maka kondisi sosial, ekonomi, politik, budaya, dan lingkungan
di Indonesia sebenarnya cukup memprihatinkan dipandang dari sudut rakyat kecil.
Sejumlah kondisi saat ini yang dihadapi rakyat Indonesia adalah:
(1). Adanya kerusakan lingkungan berkelanjutan yang tidak memungkinkan ada
pewarisan kesejahteraan.
Beberapa contoh kasus adanya perusakan lingkungan yang muncul oleh
adanya proses pembangunan diantaranya adalah: Bencana nasional lumpur
Lapindo yang disebabkan oleh adanya kecerobohan pengeboran minyak yang tidak
hati-hati dan tidak didahului oleh studi kelayakan. Sampai saat ini pemerintah belum
berhasil mengatasi permasalahan tersebut, bahkan ancaman kerusakan wilayah akan
semakin besar dengan adanya kemungkinan runtuhnya lapisan bagian atas dari
wilayah lumpur. Contoh lain adalah pencemaran oleh pembuangan limbah (tailing)
oleh penambangan Freeport di Timika yang sampai saat ini nampaknya dianggap
biasa; Perusakan lingkungan lain yang akan muncul di masa depan adalah adanya
perkebunan monokolture kelapa sawit yang memungkinkan rusaknya struktur,
texture, dan kandungan kimia (termasuk keasaman tanah) dari lahan kelapa sawit.

(2). Besarnya perbedaan kekayaan antara si miskin dan si kaya.


Pada saat ini semua rang sudah memahami bahwa sebagian kelompok
masyarakat mempunyai kekayaan dan sekaligus kekuasaan yang sangat besar dan
berhadapan dengan mayoritas masyarakat miskin. Gejala ini, yang apabila tidak hati-
hati jurang pemisah tersebut akan semakin lebar. Adanya perbedaan yang semakin
lebar ini kalau tidak dengan cepat ditangani akan dengan mudah memicu ketidak
puasan mayoritas yang memungkinkan gerakan-gerakan perlawanan dan bahkan
pemisahan dari NKRI. Sebagai contoh aktual dari gejala diatas adalah maraknya
gejala pembentukan daerah otonomi baru (teritorial reform) juga dipicu oleh ketidak
puasan daerah (wilayah luar Jawa) terhadap adanya ketidak merataan pembangunan.
Ide untuk memekarkan diri (membentuk daerah otonomi baru) sebenarnya sudah
diusahakan untuk ditahan oleh pemerintah pusat karena beban anggaran yang
semakin besar. Namun demikian pihak daerah yang didukung oleh DPRD dan DPR
berkeras untuk memekarkan diri dengan tujuan utama menarik Dana Alokasi Umum
sebesar-besarnya ke daerah.5

5
Hasil penelitian Suwondo yang dituangkan dalam Proses Pemekaran Daerah di Kalimatan Barat
(2008), menunjukkan bahwa pihak daerah sebenarnya menyadari bahwa pembentukan daerah
sebenarnya tidak visible namun keinginan itu dipaksakan dengan berbagai macam cara dengan tujuan
utama menarik DAU yang sebesar-besarnya ke daerah.
(3). Maraknya Korupsi dan Pemborosan Dalam Pelaksanaan Pembangunan
Hampir setiap hari, media massa TV, surat kabar, radio selalu menayangkan
sidang korupsi, penyuapan, permintaan untuk disuap (kalau tidak mau dikatakan
pemerasan), pemborosan, dan inefisiensi kebijakan baik yang dilakukan oleh anggota
DPR/DPRD maupun oleh birokrat di aras nasional, regional, dan lokal. Tayangan-
tayangan tersebut membuktikan bahwa mereka tidak hanya sebagai saksi atau
tertuduh saja namun sebagian besar juga sudah diputuskan bersalah. Gejala ini
sebenarnya sangat menyakitkan hati masyarakat banyak karena penghianatan mereka
terhadap mandat yang diberikan oleh rakyat. Namun pada kenyataannya adanya
degradasi moral pada penguasa tersebut seringkali dianggap sebagai sesuatu hal yang
biasa (bukan sesuatu yang memalukan dan tidak etis) dan akhirnya dilupakan.6
Walaupun kondisi moralitas seperti itu, apabila tidak segera diadakan perubahan,
rakyat yang sudah kehilangan kepercayaan akan dapat bertindak secara brutal yang
dapat berakibat yang sangat buruk bagi perkembangan Indonesia.

(4). Hilangnya Jati Diri Selaku Bangsa


Konflik horisontal di Kalikmantan Barat dan Tengah yang menyangkut etnis
Madura, Dayak, dan Melayu, atau konflik horisontal yang bisa dilandasi sentimen
perbedaan agama di Maluku dan Poso merupakan contoh luar biasa yang sangat
mahal karena begitu banyak korban harta dan nyawa dari semua pihak terutama
rakyat kecil
Selain konflik terbuka, sebenarnya kita bjuga bisa dengan sangat mudah
menunjukkan konflik setengah terbuka dan konflik tertutup menyangkut tidak
adanya solidaritas dan toleransi baik antar etnis dan terutama pada akhir-akhir ini
terjadi antar kelompok pemeluk agama. Pengkotak-kotakan berdasar perbedaan
agama sebenarnya sudah sangat jelas terlihat yang mencerminkan hilangnya rasa
persaudaraan, toleransi, dan solidaritas sebagai suatu bangsa. Di dalam hal ini maka
makna Kebangsaan Indonesia telah mengalami degradasi bahkan pembusukan yang
pada ujung-ujungnya akan dapat mempengaruhi keutuhan NKRI.
Pengkotak-kotakkan berdasar perbedaan agama mayoritas dan minoritas di
suatu wilayah apabila dibarengi dengan tindakan yang bersifat diskriminasi dari
pihak penguasa jelas akan menyakitkan hati pihak-pihak yang didiskriminasikan
(biasanya kaum minoritas). Kondisi semacam ini kalau tidak hati-hati dan tidak
ditangani dengan segera maka proses balkanisasi akan dapat terjadi di Indonesia.

(5). Melemahnya civil society di satu pihak dan menguatnya demokrasi


anarkisme.
Apa yang ditunjukkan oleh para penguasa dan anggota DPR di aras pusat di
dalam proses mengambil kebijakan jelas menggambarkan bahwa makna demokrasi
belum dipahami oleh para orang yang seharusnya memahami dan memberi contoh
tentang demokrasi. Saling hujat, perkelahian di ruang sidang, konspirasi, korupsi dan
penjualan kewenangan untuk memberi keuntungan pada oknum tertentu (pemilihan

6
Bahkan Ketua PSSI (persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia) yang sudah difonis bersalah karena
korupsi juga masih dipertahankan sebagai ketua. Padahal dunia internasional (termasuk FIFA) sudah
menganjurkan untuk melakukan pemilihan ketua PSSI baru. Hal ini menunjukkan bahwa orang yang
dihukum karena korupsi masih dianggap mulia dan harus dihormati, dibanding seorang yang mencuri
ayam karena lapar.
Jurnal Alam Lestari : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pengelolaan Lingkungan : Nomor ISSN
Volume 01 No. 01, Oktober 2012 2302-5514

Deputu Bank Indonesia, Alih fungsi lahan, dan lain-lain) merupakan kasus-kasus
yang menunjukkan tidak mampunya para anggota dewan yang terhormat untuk
melaksanakan makna demokrasi dengan benar.
Kalau di aras tinggi gambaran demokrasi seperti itu maka sulitlah diharapkan
adanya pelaksanaan demokrasi dengan benar di aras lokal. Mulai dengan pemukulan
wasit sepak bola, perkelahian antar pemain, unjuk rasa yang selalu diakhiri dengan
tindak kekerasan dan pelanggaran hukum, sampai pemukulan saksi di pengadilan
merupakan perwujudan demokarsai yang bersifat anarkis.
Dalam kondisi semacam ini maka penguatan civil society merupakan jawaban
yang dapat dicoba. Menurut Chandoke (1995) civil society adalah suatu public
sphere (arena publik) dimana negara dan rakyat dapat bertemu. Di dalam hal ini nilai
pertanggungjawaban negara kepada publik dan partisipasi politik publik merupakan
syarat yang harus dipenuhi.7 Masalahnya kondisi masyarakat sipil di Indonesia, yang
sering juga disebut sebagai masyarakat warga (kewargaan), masyarakat umum,
masyarakat madani atau juga disebut sebagai civil society dalam kondisi yang tidak
menentu.8 Di satu saat gerakan civil society sangat kuat dan sering berubah menjadi
anarkis yang tentu tidak dapat disebut sebagai civil society, namun dipihak lain
gerakan civil society hanya menjadi corong negara yang inipun lalu tidak dapat
digolongkan sebagai civil society.
Ciri lain dari gerakan civil society adalah harus kritis terhadap negara,
rational, bersifat counter balance, inclusive, dan non violence. Begitu salah satu dari
ciri ini dilanggar maka gerakan tersebut tidak bisa lagi dianggap sebagai gerakan
civil society. Dengan demikian maka gerakan civil society seringkali memang timbul
dan tenggelam sesuai dengan kondisi dan kehendak anggotanya.
Semua kondisi yang tidak baik diatas memang dapat disebabkan oleh
berbagai macam faktor, namun untuk tulisan ini kondisi yang tidak menguntungkan
tersebut disebabkan oleh proses pembangunan di Indonesia yang tidak
mempertimbangkan etika pembangunan. Berikut ini akan dikemukakan kesalahan-
kesalahan praktek pembangunan yang tidak memperhatikan etika pembangunan.

Kearifan Lokal sebagai Alternatif

Kearifan lokal sebenarnya merupakan kekayaan masyarakat Indonesia


umumnya termasuk juga masyarakat Bali. Sangat banyak praktek-praktek
tradisional yang dianggap sebagai kearifan lokal masih dilakukan dan praktekan oleh
masyarakat Bali khususnya masyarakat Hindu. Semua praktek-prkatek ini kalau
dikaitkan dengan pelestarian lingkungan merupakan implementasi dari penelolaan
lingkungan berkelnajutan. Misalnya saja adanya organisasi subak yang memiliki
otoritas penuh dalam pengelolaan pembagian air di wilayahnya. Di samping itu
peranan ritual-ritual keagamaan yang menyertai praktek-praktek pertanian di
kelompok subak tersebut. Salah satunya adalah adanya ritual yang memiliki makana

7
Menurut Chandoke, Neera (1995) dalam bukunya State and Society Exploration in Political
Theory. New Delhi: Sage Publication India Pvt Ltd, selain nilai diatas civil society juga harus memenuhi
adanya: representative forum, perlindungan terhadap semua kegiatan, dan kebebsan semua orang untuk
menjadi anggota.
8
Lihat Tulisannya Bandingkan pula dengan pendapat Hikam (1996), Magnis Suseno (1992), Schulte
Nordholt (1999), Sukidi (1998), Diamond (1994), atau Suwondo (1997).
pelestaraian sumber air bago kelompok subak tersebut. Ritual ini akan dilakukan
pada saat kelompok subak sudah memulai mengairi swah mereka masing-masing.
Ritual ini biasanya diikuti dengan dilakukannya gotong royong bersama dalam
mebersihkan saluran air dan membanguna saluran-saluran agar air mampu terbagi
rata pada masing-masing anggota kelompok. Dalam pemberantasan hama dan
penyakit dikenal ritual nangluk merana dimana upacara ini ditujukan untuk
menanggulangi hama dan penyakit yang menyerang tanaman mereka tanpa
menggunakan pestisida kimiawi. Keberhasilan cara-cara ini masih dipercaya dan
masih memberikan manfaat yang signifikan bagi anggota kelompok subak. Seperti
yang dikemukkan oleh Agus dalam bahan kuliah Isu-isu strategik bahwa penanganan
pertanian yang seolah-olah sudah salah urus salah satunya adalah dengan membuat
kebijkan yang memperhatikan keunggulan komparatif lokal. Lebih lanjut juga
ditambahakan oleh Arifin (2009) bahwa dewasa ini salah satu cara yang memebrikan
harapan dalam menangani kerusakan lingkungan yang terus berlanjut dalam rangka
mengatasi maslaha panagan adalah mengangkat kearifan lokal masing-masing
daerah. Misalnya saja dengan mulai memperkenalkan kembali bahan pangan asli
daerah selain padi. Seperti di NTT dan Papua mereka masih punya bahan pangan
alternatif seperti sagu, jagung, dan ketela.

KESIMPULAN

1. Pembangunan ekonomi harus dilakukan dengan tetap mempertimbangkan


kelestarian alam dan lingkungan
2. Petani harus dihargai sebagai pekerjaan yang mulia, dan dilibatkan dalam
setiap pembuatan kebijakan pertanian
3. Pemanfaatan kearifan lokal merupakan alternatif yang menjanjikan untuk
mengurangi kemiskinan di Indonesia
4. Pemerintah seharusnya tetap konsern terhadap visi dani misi dari
pembangunan berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

Aditjondro, G. Junus (2005). Kultur Batak, Pedang Bermata Dua, Belajar dari
Gerakan Anti Indorayon. IRE Press Yogyakarta.

Arifin, B (2009). Wawancara Interaktif Metro TV. 2009

Crewe, E., Elizabeth H (1998). Whose Development? An Ethnography of Aid.


Sage Publication. 107 p.

Harmaji, T (2009). Who is reponsible for poverty in papua?. Jakarta Post. 24


November 2009

Hasbullah, Jousairi (2006). Social Capital, Menuju Keunggulan Budaya Manusia


Indonesia. MR-United Press Jakarta
Jurnal Alam Lestari : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pengelolaan Lingkungan : Nomor ISSN
Volume 01 No. 01, Oktober 2012 2302-5514

Kahn, J.R (2005). The economic approach to environmental and natural resources.
Washington and Lee University and Universidade Federal do Amazones.
Thmson South Western. pp 587-614.

Kristyanto, A.I (2009). Isu-isu strategik. Bahan kuliah Lingkungan dan


Pembangunan. S3 Studi Pembangunan UKSW. Salatiga.

Suwondo, K. (2008). Forum Orasi Ilmiah pada Dies Natalis ke 10 dan Wisuda STT-
BNKP SUNDERMANN, pada tanggal 27 September 2008 di Kampus STT-
BNKP Sundermann.

You might also like