Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 15

ANALISIS EFEKTIVITAS PENGGUNAAN METODE TIME TOKEN DAN

METODE TALKING CHIPS TERHADAP KEMAMPUAN


SPATIAL THINKING PESERTA DIDIK PADA PEMBELAJARAN
GEOGRAFI KELAS XI IIS SMA NEGERI 5 SURAKARTA
TAHUN AJARAN 2015/2016
1*
Alvi Yasin Martindo
1
Mahasiswa S2 Pendidikan Kependudukan dan
Lingkungan Hidup, UNS Surakarta
*
Keperluan Korespondensi, HP: 085647350000
e-mail: yashindblaine@gmail.com

ABSTRACT
The purposes of this study are 1) to find difference effectivness between the
use of learning Methods Time Token, Talking Chips, and Expository. 2) To find
difference effectivness between the use of learning Methods Time Token, Talking
Chips and Expository. 3) To find difference effectivness between the use of Talking
Chip and Expository, and 4) to determine the effectiveness of the use of Time
Token and Talking Chips on students ability of Spatial Thinking of class XI IIS
SMA Negeri 5 Surakarta in the academic year 2015/2016.
The Method that used is the quasi-experiment (quasi-experimental
design), with using Randomized Control Group Pretest-Posttest design (pretes-
pascatest design of random control group). The population in this study is all
students of class XI IIS SMA Negeri 5 Surakarta 2015/2016. The sampling
technique using simple random sampling with the results of the first experimental
class is class XI IIS 2, the second experimental class is class XI IIS 4, and the
control class is class XI IIS 3. Data collection techniques of critical thinking skills
using test in narrative form. Technique of data analysis is using one-way anava
test and post mortem anava test with Scheffe Method on a significant level of 5%.
Based on data analysis, it can be concluded that 1) There is difference
effectivness between teaching Methods Time Token, Talking Chips, and Expository
for the students capability of Spatial Thinking in class XI IIS SMA Negeri 5
Surakarta 2015/2016, 2) Time Token learning Method is effective than Expository
learning Method for the students capability of Spatial Thinking in class XI IIS
SMA Negeri 5 Surakarta 2015/2016, 3) Talking Chips learning Method is
effective than Expository learning Method for the students capability of Spatial
Thinking in class XI IIS SMA Negeri 5 Surakarta 2015/2016, and 4) Time Token
learning Method is effective than Talking Chips learning Method for the students
capability of Spatial Thinking in class XI IIS SMA Negeri 5 Surakarta 2015/2016.
It can be concluded that the students capability of Spatial Thinking the class first
experimental (Time Token) is effective than the class second experimental (Talking
Chips) and class Expository

Keywords: Experiment Research, Time Token, Talking Chips, Spatial Thinking

1
PENDAHULUAN

Pendidikan pada dasarnya berakar pada budaya bangsa Indonesia yang


beragam, saat ini pendidikan diarahkan untuk membangun kehidupan masa kini
dan untuk membangun dasar bagi kehidupan bangsa yang lebih baik dimasa
mendatang dengan berbagai ketrampilan intelektual, ketrampilan berkomunikasi,
sikap sosial, kepedulian, dan berpartisipasi untuk membangun kehidupan
masyarakat dan bangsa yang lebih baik.
Sekolah pada era globalisasi ini merupakan salah satu tempat persaingan
dimana para penghuninya dalam hal ini adalah peserta didik berkompetisi antara
satu dengan yang lain, kondisi tersebut mengakibatkan sifat individualisme
mereka akan muncul. Salah satu falsafah yang mendasari semangat kompetisi
adalah Teori Evolusi Darwin. Teori ini mengatakan bahwa siapa yang kuat adalah
siapa yang menang dan bertahan dalam kehidupan.
Prinsip homo homini lupus atau survival of the fittest ini banyak tercermin
dalam kehidupan sehari-sehari. Disekolah maupun ditempat kerja, mulai dari
tingkat yang paling bawah sampai tingkat eksekutif. banyak terjadi ilegal
menjegal; "agar aku bisa menduduki kursi direktur, aku harus bisa menjatuhkan
direktur yang sekarang dengan cara bagaimanapun." (Fatirul, 2012; 3).
Guru seharusnya hanya menjadi fasilitator saja, sedangkan objek utama
pendidikan adalah peserta didik, namun tidak jarang pandangan gurusentris
(teacher centre approach) masih berlaku diberbagai sekolah sekolah, sehingga
ketrampilan peserta didik dalam menyerap ilmu pembelajaran hanya tergantung
pada kepintaran guru dalam menerangkan dan menyampaikan materi yang
diajarkan. Pada metode ekspositori ini guru benar benar mendominasi jalannya
pembelajaran, hal ini menyebabkan peserta didik benar benar pasif diruangan
kelas sehingga pelajaran geografi yang seharusnya menyenangkan menjadi
membosankan. Strategi pembelajaran yang baik adalah guru hanya
mempresentasikan materi 30%, dan limpahkan waktu terbanyak (70%) untuk
aktivitas peserta didik. Dengan aktivitas tersebut, secara otomatis siswa akan
belajar (Chatib, 2009 ; 122)

2
Berlandaskan permasalahan tersebut, diperlukan suatu bentuk metode
pembelajaran yang bisa mengubah pandangan peserta didik dari dua sudut
pandang, yang pertama dari sikap dan sifat mereka, diperlukan metode
pembelajaran yang dapat membuat peserta didik saling bekerja kelompok dan
menghilangkan rasa individualisme didalam diri mereka. Kedua, dari sudut
pandang pengetahuan dan keterampilan, diharapkan suatu metode pembelajaran
dapat membuat peserta didik mengerti dan paham, sekaligus mampu
memunculkan keterampilan peserta didik yang dapat menunjukkan bahwa mereka
benar benar telah paham akan pembelajaran yang disampaikan oleh guru dikelas,
tidak terlewatkan juga pengetahuan tentang pembelajaran Geografi yaitu Spatial
Thinking yang menjadi ujung dari tujuan pembelajaran geografi.
Menurut National Research Council ( 2006 : 5) Spatial thinking is a
collection of cognitive skills. The skills consist of declarative and perceptual
forms of knowledge and some cognitive operations that can be used to transform,
combine, or otherwise operate on this knowledge. The key to spatial thinking is a
constructive amalgam of three elements: concepts of space, tools of
representation, and processes of reasoning.

Metode Time Token (Kupon waktu) dan metode Talking Chips (Kancing
Gemerincing) merupakan dua dari beberapa macam metode didalam model
pembelajaran Cooperative Learning (Pembelajaran Kooperatif) yang diduga
cocok digunakan pada permasalahan pembelajaran diatas. Kooperatif yang berarti
bekerja kelompok atau gotong royong, meskipun warga Indoesia sangat
membanggakan akan ciri khas gotong royong yang dimiliki, bahkan hingga
dicantumkan dalam Pancasila sila ke-3, ironisnya model pembelajaran kooperatif
ini belum banyak diterapkan dalam pendidikan dinegara ini.
Model Cooperative Learning adalah sebuah model pembelajaran yang
dikembangkan dari teori konstruktivisme. Memang dapat dikatakan bahwa salah
satu alasan mengapa model pembelajaran ini masih jarang dipakai karena para
guru khawatir akan terjadi kegaduhan didalam kelas dan berkurangnya jam
pelajaran, padahal jam pelajaran yang sedikit masih dibagi-bagi lagi untuk
mempersiapkan proses dan cara kerja model pembelajaran kooperatif seperti
membagi kelompok, memberi soal, diskusi, permainan, dan lain sebagainya.

3
Padahal pada dasarnya model pembelajaran kooperatif berbeda dengan pembagian
kelompok yang seenaknya sendiri, model ini jika dilakukan dengan tata cara yang
benar dapat meningkatkan pengelolaan lebih efektif. Pada kedua metode ini
peserta didik digembleng untuk berani mengeluarkan pendapatnya didepan umum,
selain itu juga dapat memberikan kesempatan peserta didik untuk berdiskusi,
menganalisis permasalahan yang ada, Menurut penelitian Magnesen dari Texas
University, otak manusia lebih cepat menangkap informasi yang berasal dari
modalitas visual yang bergerak, sedangkan menurut Munif Chatib, hampir 90%
yang diingat adalah proses belajar yang dilakukan dengan modalitas kinestetis
(aktivitas) (Chatib, 2009 ;123).
Peta juga dapat digunakan untuk menunjang aspek yang diukur untuk
penelitian yang dilakukan yaitu spatial thinking, karena didalam spatial thinking,
peserta didik dinilai dalam kecakapan dasar seperti comparation yaitu
membandingkan satu tempat dengan tempat yang lain, ada juga region yaitu
menarik garis/ deliniasi tempat yang memiliki karakterisik sama atau terkait
dalam beberapa cara, misalnya wilayah yang memiliki potensi angin rendah,
sedang, maupun tinggi, dan masih banyak kecakapan lain yang dapat ditunjang
dengan menggunakan peta.
Pemilihan sub materi potensi geografis Indonesia untuk pengembangan
energi alternatif karena cocok dengan model Pembelajaran Kooperatif dengan tipe
Time token dan Talking chips, kedua metode ini sama sama menitik beratkan pada
kemampuan peserta didik untuk mengemukakan pendapatnya mengenai potensi
yang ada di Indonesia, dan materi bersifat faktual atau terjadi pada kehidupan
nyata, fleksibel dan tidak kaku, model pembelajaran kooperatif tidak lepas juga
dari kegiatan diskusi. Diskusi yang dilakukan membuat para peserta didik
bertukar pikiran dan mereka di tuntut untuk maju kedepan untuk menjawab
maupun mengemukakan pendapat mereka dalam waktu kurang lebih 10 sampai
15 detik, penggunaan waktu yang singkat ini akan memberikan pressure namun
dalam hal ini tekanan yang diberikan adalah positif, peserta didik diberi
kesempatan dalam kesempitan, sehingga apa yang ada dipikirannya akan keluar

4
semua, karena pada dasarnya pikiran, akal cemerlang manusia akan keluar saat
mereka terpojok.
Spatial Thinking merupakan komponen penting dari pembelajaran
geografi, karena geografi adalah ilmu yang mempelajari persamaan dan perbedaan
fenomena geosfer dalam sudut kelingkungan, kewilayahan dalam konteks
keruangan, juga merupakan ilmu yang berusaha mencari dan memahami
fenomena yang ada diruang muka bumi. Fenomena yang ada diruang muka bumi
antara lain : aspek fisik dan sosial yang ada dalam atmosfer, atmosfer, hidrosfer,
biosfer, dan antroposfer sebagai faktor yang menentukan dalam proses gejala
perubahan diruang muka bumi.
Kurangnya pemahaman dan pengetahuan tentang Spatial Thinking
(Spatial Thinking) peserta didik diberbagai sekolah juga menjadi tantangan
tersendiri bagi penulis untuk mengungkap mengapa banyak yang belajar tentang
keruangan namun belum mengerti apa spasial itu sendiri, seharusnya dalam
pembelajaran geografi peserta didik dituntut untuk mengerti apa itu Spatial
Thinking

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 5 Surakarta yang
berada dijalan Letjen Sutoyo 18 Surakarta, Jawa Tengah pada bulan Juli
2015 sampai bulan April 2016. Penelitian ini termasuk
Eksperimen Kuasi dengan Randomized Control Group pretest-postest
design. Dengan rancangan penelitian sebagai berikut.
Tabel 1. Rancangan Penelitian
Kelas Pretest Perlakuan Posttest
Eksperimen 1 Y1 Time Token Y2
Eksperimen 2 Y1 Talking Chips Y2
Kontrol Y1 Ekspositori Y2
Populasi yang diteliti dalam penelitian ini adalah semua peserta didik kelas
XI IIS semester gasal (I) SMA Negeri 5 Surakarta tahun pelajaran 2015 /2016
yang terdiri dari 4 kelas, jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 88 peserta
didik yang terbagi dalam tiga kelas, yaitu 29 peserta didik di XI IIS 3 sebagai

5
Kelas Kontrol, 30 peserta didik di XI IIS 2 sebagai Kelas Eksperimen I, dan 29
peserta didik di XI IIS 1 sebagai Kelas Eksperimen II. Teknik pengambilan
sampel yang digunakan adalah simple random sampling dimana sampel diambil
dari seluruh populasi.
Uji validitas menggunakan validasi ahli dan rumus korelasi Product
Moment Pearson. Kemudian uji reliabilitas instrumen menggunakan rumus
Cronbach Alpha. Teknik analisis data yang digunakan penelitian ini adalah
Analisis Varian (ANAVA) satu arah dan dilanjutkan uji pasca-anava menggunakan
metode Scheffe. Perhitungan anava satu arah dilakukan secara manual dengan
menggunakan Microsfot Excel

HASIL DAN PEMBAHASAN


kemampuan Spatial Thinking peserta didik diukur dengan
cara melakukan tes yang terdiri dari 8 butir soal dalam bentuk
uraian pada sub bab Potensi geografis Indonesia untuk pengembangan
energi alternatif. Kemampuan Spatial Thinking yang dujikan dikembangkan
dalam penelitian ini diantaranya Comparison, Aura, Region, Transition, Analogy,
Hierarchy, Pattern, dan Association. Hasil rata-rata aspek kemampuan Spatial
Thinking pada Kelas Ekspositori, Kelas Eksperimen 2 (Talking Chips) dan Kelas
Eksperimen 1 (Time Token), dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Rataan Aspek Kemampuan Berpikir Kritis
Aspek
Kelas Kelas Eksperimen
Spatial Kelas Eksperimen 1
Ekspositor 2 (Talking
Thinkin (Time Token)
i Chips)
g
Comparison 57,7575 75,86 86,665
Aura 64,655 69,8275 79,16667
Region 86,205 86,205 91,66667
Transition 74,1375 79,31 79,16667
Analogy 81,895 78,4475 81,66667
Hierarki 66,3775 82,7575 81,66667
Pattern 84,4825 86,205 90
Association 76,7225 79,31 80
Rata-rata 74,0290625 79,7403125 83,74979
Sumber: Hasil perhitungan data, 2016

6
Penjelasan lebih lanjut dari data Tabel 2. pada histogram pada Gambar 1
berikut ini.

100
91.67
90
90 86.67 86.21
86.21 86.21
84.48
81.9 81.67 82.76
81.67
79.17 79.31
79.17 78.45 79.3180
80 75.86 76.72
74.14
69.83
70 64.66
66.38

Kelas Kontrol (Ekspositori) Kelas Eksperimen 2 (Talking Chips)


57.76
60

50

40

30

Kelas Eksperimen 1 (Time Token)


20

10

Gambar 1. Histogram Rataan Aspek Kemampuan Berpikir Kritis

Tabel 2 dan Gambar 1 menunjukkan bahwa kedelapan aspek yang diposttest


dikelas eksperimen maupun kontrrol terjadi perbedaan rata-rata antara satu aspek
dengan aspek yang lainnya, 8 aspek yang paling rendah salah satunya adalah
aspek Aura dengan rata-rata 71,215, dan yang paling tinggi adalah aspek Pattern
sebesar 86,895, aspek Comparison sebesar 73,427, aspek Region sebesar 88,025,
aspek Transition sebesar 77,537, aspek Analogy sebesar 80,669, aspek Hierarky
sebesar 76,933, aspek Association sebesar 78,677. Rata-rata tertinggi pada Kelas

7
Ekspositori adalah aspek Region sebesar 86,205, pada Kelas Eksperimen 2
(Talking Chips) rata-rata tertinggi adalah aspek Pattern dan Region sebesar
86,205, dan Kelas Eksperimen 1 (Time Token) rata-rata tertinggi adalah aspek
Region sebesar 91,66667.
Dalam proses pembelajaran, aspek Region muncul pada
saat peserta didik menganalisis berbagai peta, menarik garis/deliniasi
tempat yang memiliki karakteristik sama atau terkait dalam beberapa cara.
Distribusi kemampuan Spasial Thinking disajikan pada Tabel 3 sebagai berikut.
Tabel 3. Distribusi Data Kemampuan Spatial Thinking
Kelas Kelas
Kelas Kelas Kontrol Eksperimen Eksperimen
Interval (K) (Ekspositori) 2 (Talking 1 (Time
Chips) Token)
59-63 2 3 2
64-68 4 0 0
69-73 7 3 2
74-78 8 8 2
79-83 5 3 7
84-88 2 11 5
89-93 1 0 8
94-98 0 1 4
Sumber: Hasil perhitungan data, 2016

Tabel 3. diperjelas dengan histogram pada Gambar 2 berikut ini.


11
12
10 8 8 8
7 7
8
5 5
6 4 4
3 3 3
4 2 2 2 2 2
1 1
2
0
59-63 0 0
64-68 69-73 74-78 79-83 84-88 0
89-93 094-98
Kelas Kontrol (Ekspositori) Kelas Eksperimen 2 (Talking Chips)
Kelas Eksperimen 1 (Time Token)

8
Gambar 2. Histogram Distribusi Data Kemampuan Spatial
Thinking

Tabel 3 dan Gambar 2 menggambarkan distribusi data nilai posttest sub


materi Potensi geografis Indonesia untuk pengembangan energi alternatif pada
aspek kemampuan Spatial Thinking peserta didik seluruh kelas yang telah
diberikan treatment atau perlakuan, dari ketiga kelas tersebut diketahui bahwa
kelas interval yang paling tinggi dari 88 peserta didik berada pada interval 74-78
dengan frekuensi sebanyak 18 peserta didik, kelas interval dengan frekuensi
terendah berada pada interval 64-68 sebanyak 4 peserta didik yang mendapat
jumlah nilai tersebut, hal ini menunjukkan bahwa adanya perubahan nilai rata-rata
pretest yang semula rendah menjadi cukup tinggi pada saat posttest pada
kemampuan peserta didik dalam aspek Spatial Thinking setelah diberikan
perlakuan atau treatment, jika dibandingkan dengan ketuntasan minimal sebesar
67, dari 88 peserta didik yang belum tuntas pada kemampuan Spatial Thinking
sebanyak 11 peserta didik.

83.75
84
82 79.09
80
78
74.03
76
74
72
70
68

Rata - Rata

Gambar 3. Histogram Rerata Kemampuan Spatial Thinking

9
Tabel 3 dan Gambar 3 menunjukkan bahwa Kelas Kelas Ekspositori
memiliki nilai rata-rata sebesar 74,03, Kelas Talking Chips memiliki nilai rata-rata
sebesar 79,094, dan Kelas Time Tiken memiliki nilai rata-rata sebesar 83,75.
Dapat disimpulkan bahwa rata rata kemampuan Spatial Thinking kelas
eksperimen 1 lebih efektif daripada kelas eksperimen 2 dan kelas kontrol, dan
kelas eksperimen 2 lebih efektif daripada kelas kontrol sehingga ketiga metode
tersebut memiliki perbedaan. Hal ini disebabkan oleh sintaks atau langkah metode
pembelajan yang berbeda antara satu dengan yang lain, sintaks, ciri khas, dan sifat
dari metode yang digunakan terhadap peserta didik berpengaruh terhadap
pembelajaran di kelas.
Untuk mengetahui perbedaan ketiga metode pembelajaran dilakukan uji
analisis varian (ANAVA) satu arah berdasarkan hasil tes
kemampuan Spatial Thinking peserta didik. Keputusan uji: H 0
diterima jika Fobs < Ftabel; H0 ditolak jika Fobs > Ftabel.

Tabel 4. Rangkuman Hasil Perhitungan Anava Satu Arah


Sumber JK dk RK Fobs F
142,6839 2 71,3420 9,7932 3,1038
Metode

619,2138 85 7,2849
Galat - -

761,8977 87
Total - - -

Sumber: Hasil perhitungan data, 2016

Tabel 4 menunjukkan hasil uji analisis varian satu arah dengan sel tak sama.
Untuk menentukan keputusan uji hipotesis pertama cukup melihat nilai F obs dan
nilai Ftabel. Nilai Fobs sebesar 9,7932 sedangkan nilai Ftabel sebesar 3,1038, apabila
dibandingkan maka Fobs > Ftabel (9,7932 > 3,1038). Berdasarkan perbandingan
tersebut maka keputusan yang diambil adalah H 0 ditolak. Disimpulkan bahwa
terdapat perbedaan rata-rata pada kemampuan Spatial Thinking peserta didik
antara penggunaan metode pembelajaran Time Token, Talking Chips, dan
Ekspositori. Hal ini membuktikan bahwa hipotesis pertama sesuai, yang

10
menyebutkan bahwa terdapat perbedaan antara penggunaan metode
pembelajaran Time Token, Talking Chips, dan Ekspsitori terhadap kemampuan
Spatial Thinking pada sub materi Potensi geografis Indonesia untuk
pengembangan energi alternatif peserta didik kelas XI IIS SMA Negeri 5
Surakarta Tahun Pelajaran 2015/2016
Untuk mengetahui perbedaan penggunan ketiga model secaa signifikan
perlu dilakukan uji pasca-anava dengan menggunakan metode Scheffe yang akan
disajikan pada Tabel 5 berikut.

Tabel 5. Rangkuman Uji Pasca-Anava dengan Metode Scheffe


Xi TT TC TT
Xj Ekpo Ekpo TC
26,8000 25,3103 26,8000
Rata - rata Xi

23,6897 23,6897 25,3103


Rata - rata Xj

Ni 30 29 30
Nj 29 29 29
( XiXj ) 2 9,673966 2,626344 2,219206

1 1
RKG( + )
nj 1,719 1,719 1,719

19,5823 5,2281 4,4918


F hitung

3,1038 3,1038 3,1038


F tabel

H1 diterima H1 diterima H1 diterima


Keputusan Uji
Kesimpulan Beda Beda Beda
Sumber: Hasil perhitungan data, 2016

Tabel 5 menunjukan hasil perhitungan uji pasca analisis varians dengan


metode Scheffe. Untuk menentukan keputusan uji hipotesis kedua dalam
pengujian hipotesis kedua cukup melihat nilai Fobs dan nilai F. Nilai Fobs sebesar
19,5823 sedangkan nilai F sebesar 3,1038, apabila dibandingkan maka Fobs >F

11
(19,5823 > 3,1038). Berdasarkan perbandingan tersebut maka keputusan yang
diambil adalah H1 diterima. Disimpulkan bahwa terdapat perbedaan rata-rata
kemampuan Spatial Thinking antara Kelas Time Token dan Kelas Ekspositori. Hal
ini membuktikan bahwa hipotesis kedua sesuai, yang menyebutkan bahwa
kemampuan Spatial Thinking yang menggunakan metode pembelajaran Time
Token lebih efektif dibandingkan dengan kemampuan Spatial Thinking yang
menggunakan metode pembelajaran Ekspositori pada sub materi Potensi
geografis Indonesia untuk pengembangan energi alternatif peserta didik kelas XI
IIS SMA Negeri 5 Surakarta Tahun Pelajaran 2015/2016.
Untuk menentukan keputusan uji hipotesis ketiga cukup melihat F obs dan
Ftabel. Nilai Fobs sebesar 5,2281 sedangkan Ftabel sebesar 3,1038, apabila
dibandingkan maka Fobs >F (5,2281 > 3,1038). Berdasarkan perbandingan
tersebut maka keputusan yang diambil adalah H1 diterima. Disimpulkan bahwa
terdapat perbedaan rata-rata kemampuan Spatial Thinking antara Kelas Talking
Chips dan Kelas Ekspositori. Hal ini membuktikan bahwa hipotesis ketiga sesuai,
yang menyebutkan bahwa kemampuan Spatial Thinking yang menggunakan
metode pembelajaran Talking Chips lebih efektif dibandingkan dengan
kemampuan Spatial Thinking yang menggunakan metode pembelajaran
Ekspositori pada sub materi Potensi geografis Indonesia untuk pengembangan
energi alternatif peserta didik kelas XI IIS SMA Negeri 5 Surakarta Tahun
Pelajaran 2015/2016.
Untuk menentukan keputusan uji hipotesis keempat cukup melihat F obs dan
Ftabel. Nilai Fobs sebesar 4,4918 sedangkan Ftabel sebesar 3,1038, apabila
dibandingkan maka Fobs >F (4,4918 > 3,1038). Berdasarkan perbandingan
tersebut maka keputusan yang diambil adalah H1 diterima. Disimpulkan bahwa
terdapat perbedaan rata-rata kemampuan Spatial Thinking antara Kelas Time
Token dan Talking Chips. Hal ini membuktikan bahwa hipotesis keempat sesuai,
yang menyebutkan bahwa kemampuan Spatial Thinking yang menggunakan
metode pembelajaran Time Token lebih efektif dibandingkan dengan kemampuan
Spatial Thinking yang menggunakan metode pembelajaran Talking Chips. pada

12
sub materi Potensi geografis Indonesia untuk pengembangan energi alternatif
peserta didik kelas XI IIS SMA Negeri 5 Surakarta Tahun Pelajaran 2015/2016.
Metode pembelajaran Time Token dan Talking Chips adalah dua metode
yang hampir sama akan tetapi beda pada alat dan penyajian sintaksnya, keduanya
adalah metode pembeajaran yang masuk dalam Model Cooperative Learning
(Pembelajaran Kooperatif) yang sama-sama menonjolkan bagaimana peserta didik
mampu menyampaikan pendapatnya didepan um um dan tepat untuk materi
pembelajaran faktual seperti Potensi geografis Indonesia untuk pengembangan
energi alternatif yang fluktuatif dan dinamis, sehingga pendapat peserta didik
yang beragam dapat sampaikan melalui kedua metode ini. Lain halnya ddengan
metode Ekspositori, metode ini sudah sangat umum digunakan oleh guru di setiap
sekolah, ekspositori menitik beratkan pada presentasi dan ceramah tanpa
menggunakan alat penciri dan sintaks yang kompleks, dari ketiga metode
pembelajaran yang digunakan, menurut pengujian hipotesis yang paling
berpengaruh adalah metode Time Token.

PENUTUP
Berdasarkan pada hasil penelitian yang telah diuraikan di atas, dapat
disimpulkan sebagai berikut. Pertama, sesuai dengan keputusan uji hipotesis
pertama yang menggunakan uji anava satu arah, terdapat perbedaan menggunakan
metode pembelajaran Time Token, Talking Chips, dan Ekspositori terhadap
kemampuan Spatial Thinking pada sub materi Potensi geografis Indonesia untuk
pengembangan energi alternatif peserta didik kelas XI IIS SMA Negeri 5
Surakarta Tahun Pelajaran 2015/2016. Dengan demikian, hipotesis pertama
terbukti. Kedua, sesuai dengan keputusan uji hipotesis kedua yang menggunakan
uji pasca anava satu arah dengan metode Scheffe, Kemampuan Spatial Thinking
yang menggunakan metode pembelajaran Time Token lebih efektif dibandingkan
dengan kemampuan Spatial Thinking yang menggunakan metode pembelajaran
Ekspositori pada sub materi Potensi geografis Indonesia untuk pengembangan
energi alternatif peserta didik kelas XI IIS SMA Negeri 5 Surakarta Tahun
Pelajaran 2015/2016.Dengan demikian, hipotesis kedua terbukti. Ketiga, sesuai

13
dengan keputusan uji hipotesis ketiga yang menggunakan uji pasca anava satu
arah dengan metode Scheffe, Kemampuan Spatial Thinking yang menggunakan
metode pembelajaran Talking Chips lebih efektif dibandingkan dengan
kemampuan Spatial Thinking yang menggunakan metode pembelajaran
Ekspositori pada sub materi Potensi geografis Indonesia untuk pengembangan
energi alternatif peserta didik kelas XI IIS SMA Negeri 5 Surakarta Tahun
Pelajaran 2015/2016. Dengan demikian, hipotesis ketiga terbukti. Keempat, sesuai
dengan keputusan uji hipotesis keempat yang menggunakan uji pasca anava satu
arah dengan metode Scheffe, Kemampuan Spatial Thinking yang menggunakan
metode pembelajaran Time Token lebih efektif dibandingkan dengan kemampuan
Spatial Thinking yang menggunakan metode pembelajaran Talking Chips. pada
sub materi Potensi geografis Indonesia untuk pengembangan energi alternatif
peserta didik kelas XI IIS SMA Negeri 5 Surakarta Tahun Pelajaran 2015/2016.
Dengan demikian, hipotesis keempat terbukti.

UCAPAN TERIMAKASIH
Terima kasih peneliti sampaikan kepada kepala sekolah SMA Negeri 5
Surakarta S yang telah memberi ijin dan dukungan dalam menyelesaikan
Penelitian eksperimen, serta kepada rekanan guru yang telah memotivasi peneliti.
Terima kasih peneliti sampaikan kepada pimpinan redaksi Jurnal Pendidikan dan
Pengajaran Dasar dan Menengah (JUDIKJARDASMEN) Kota Surakarta yang
telah memberikan masukan dan menyempurnakan yang akhirnya menjadi artikel
siap dipublikasikan pada jurnal ini.

DAFTAR PUSTAKA
Arends, Richard. 2012. Learning to Teach, nineth edition. New York. The
McGraw-Hill Companies.

Chatib, Munif. 2015. Sekolahnya Manusia Sekolah berbasis Multiple


Intelligences di Indonesia. Jakarta.

National Research Council. 2006. Learning to Think Spatially. Washington.


National Academy of Sciences

14
Lee, Jongwon and Robert Bednarz. Components of spatial thinking: Evidence
from a spatial thinking ability tes.Seoul. Ewha Womans University

Lee, Jongwon and Robert Bednarz. 2011. The components of spatial thinking:
empirical evidence. Texas. Sciene Direct

15

You might also like