Professional Documents
Culture Documents
Sifat Fungsional Dan Reologi Tepung Jagung Nikstamal Serta Contoh Aplikasinya Pada Pembuatan Makanan Pendamping Asi
Sifat Fungsional Dan Reologi Tepung Jagung Nikstamal Serta Contoh Aplikasinya Pada Pembuatan Makanan Pendamping Asi
HERLINA MARTA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
ii
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Sifat Fungsional dan Reologi Tepung
Jagung Nikstamal serta Contoh Aplikasinya pada Pembuatan Makanan
Pendamping ASI adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Herlina Marta
NRP F251080021
iii
ABSTRACT
This study was carried out to evaluate changes in functional and rheological
properties of corn flour treated by nixtamalization and to apply the nixtamalized
corn flour for supplementary infant food production. The corn was nixtamalized
using lime at different concentrations (0%, 0,25% and 0,5%) and cooking times
(0, 5, 10, 15, and 20 min). The lime concentration and cooking time significantly
(p 0,05) affected functional and rheological properties of corn flour. Swelling
volume, solubility, water absorption capacity and gel strength decreased with
increasing lime concentration. Gel strength increased with cooking time up to 10
minutes and decreased with prolonged cooking time. Pasting studies showed that
the peak viscosity, breakdown and setback of corn flour decreased with increasing
lime concentration. Functional and rheological properties of nixtamalized corn
flour were affected by Ca-starch interactions. The increasing of water absorption
capacity increased swelling volume, solubility, gel strength and peak viscosity and
conversely decreased wettability of corn flour. The gel strength had a positive
correlation with setback. The nixtamalized supplementary infant food had macro
nutritions complied with the standard. It had lower water absorption capacity and
higher bulk density than non-nixtamalized supplementary infant food. The
nixtamalized supplementary infant food had protein digestibility of 87,36% (db)
and starch digestibility of 81,07% (db). Sensory acceptabilities of the
nixtamalized supplementary infant food were not significantly different (p 0,05)
from commercial supplementary infant food except smoothness, color and aroma.
RINGKASAN
HERLINA MARTA. Sifat Fungsional dan Reologi Tepung Jagung Nikstamal
serta Contoh Aplikasinya pada Pembuatan Makanan Pendamping ASI. Dibimbing
oleh: SUGIYONO dan BAMBANG HARYANTO.
Jagung merupakan salah satu serealia yang strategis dan bernilai ekonomis serta
mempunyai peluang untuk dikembangkan karena kedudukannya sebagai sumber
utama karbohidrat dan protein setelah beras. Berdasarkan komposisi kimia dan
kandungan gizinya, jagung mempunyai prospek sebagai bahan pangan dan bahan
baku industri. Jagung dapat diolah menjadi produk setengah jadi yaitu tepung
jagung. Terdapat berbagai metode pembuatan tepung jagung salah satunya adalah
metode nikstamalisasi yaitu pemasakan biji jagung dalam larutan kapur
(umumnya Ca(OH)2) sebelum biji jagung tersebut digiling dan dikeringkan.
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perubahan sifat
fungsional dan reologi tepung jagung yang disebabkan oleh proses nikstamalisasi.
Tujuan khusus penelitian ini adalah mengetahui pengaruh berbagai kondisi proses
nikstamalisasi terhadap sifat fungsional dan reologi tepung jagung nikstamal yang
dihasilkan serta mengetahui karakteristik kimia, fisik, biologis dan organoleptik
bubur instan MP-ASI yang dibuat dari bahan baku tepung jagung nikstamal.
Penelitian ini dilakukan dengan dua tahap yaitu: (1) pembuatan tepung jagung
instan dengan metode nikstamalisasi dengan berbagai kombinasi konsentrasi
Ca(OH)2 dan lama pemasakan yang digunakan dalam proses nikstamalisasi dan
(2) aplikasi penggunaan tepung jagung nikstamal dalam pembuatan makanan
pendamping ASI (MP-ASI) dalam bentuk bubur instan. Penelitian dilakukan
menggunakan rancangan acak lengkap faktorial dengan dua faktor yaitu
konsentrasi Ca(OH)2 (0%, 0,25% dan 0,5%) dan lama pemasakan (0, 5, 10, 15
dan 20 menit). Tepung jagung nikstamal yang diaplikasikan dalam pembuatan
bubur instan MP-ASI adalah tepung yang memiliki sifat fungsional dan reologi
yang sesuai untuk pembuatan bubur instan MP-ASI, misalnya memiliki sifat
kekambaan minimum, kekentalan rendah, kapasitas penyerapan air yang baik,
wettability cepat, kelarutan tinggi, kekuatan gel lemah, dan setback rendah.
Interaksi antara perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan
menyebabkan perbedaan yang signifikan (p 0,05) terhadap sifat fungsional dan
reologi tepung jagung. Secara umum, terdapat kecenderungan penurunan swelling
volume, kelarutan dan kapasitas penyerapan air tepung jagung dengan semakin
meningkatnya konsentrasi Ca(OH)2. Sementara densitas kamba dan wettability
tepung jagung cenderung semakin meningkat dengan meningkatnya konsentrasi
Ca(OH)2 pada lama pemasakan yang sama. Swelling volume, kapasitas
penyerapan air, dan kekuatan gel tepung jagung meningkat hingga perlakuan lama
pemasakan tertentu dan cenderung mengalami penurunan jika pemasakan
diteruskan. Hasil pengukuran reologi menggunakan Rapid Visco Analyzer (RVA)
memperlihatkan bahwa perlakuan nikstamalisasi cenderung menurunkan
viskositas pasta tepung jagung. Viskositas puncak dan breakdown tepung jagung
nikstamal cenderung semakin menurun dengan semakin meningkatnya
konsentrasi Ca(OH)2 dan semakin lamanya pemasakan. Tepung jagung dengan
perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 0,5% dan tanpa pemasakan memiliki viskositas
pasta dingin dan setback yang paling rendah. Beberapa sifat fungsional dan
v
reologi tepung jagung saling berhubungan satu sama lain. Semakin meningkat
kapasitas penyerapan air maka semakin meningkat pula swelling volume,
kelarutan dan kekuatan gel tepung jagung dan sebaliknya semakin menurun
wettability dan densitas kamba tepung jagung. Viskositas puncak semakin
meningkat dengan semakin meningkatnya swelling volume, kelarutan dan
kapasitas penyerapan air dan semakin menurunnya nilai pH. Setback berkorelasi
positif dengan kekuatan gel. Perbedaan sifat fungsional dan reologi tepung jagung
terutama disebabkan oleh interaksi antara molekul pati dengan ion Ca2+ yang
menyebabkan terjadinya ikatan silang antar molekul pati melalui pembentukan
jembatan kalsium.
Tepung jagung yang digunakan dalam pembuatan bubur instan MP-ASI adalah
tepung jagung nikstamal dengan perlakuan Ca(OH)2 0,25% dan lama pemasakan
15 menit dan tepung jagung non-nikstamal dengan tanpa perlakuan Ca(OH)2 dan
lama pemasakan 15 menit. Bubur berbahan baku tepung jagung nikstamal
memiliki densitas kamba yang lebih besar, kapasitas penyerapan air dan
kekentalan yang lebih rendah dibandingkan bubur berbahan baku tepung jagung
non-nikstamal. Kandungan zat gizi makro bubur jagung instan MP-ASI yang
dihasilkan telah sesuai dengan persyaratan SNI 01-7111.1-2005. Kandungan gizi
bubur jagung instan MP-ASI berbahan baku tepung jagung nikstamal antara lain:
energi 420,74 kkal, kadar protein 16,19% bk, kadar lemak 6,70% bk, kadar
karbohidrat 73,92% bk, kadar abu 3,18% bk, serat kasar 0,93% bk dan kadar
kalsium 0,59% bk. Bubur jagung instan berbahan baku tepung nikstamal memiliki
nilai biologis yang cukup baik yaitu daya cerna protein 87,36% dan daya cerna
pati 81,07%. Hasil uji organoleptik menunjukkan nilai rata-rata kesukaan terhadap
produk bubur jagung instan MP-ASI tidak berbeda secara signifikan dengan nilai
rata-rata kesukaan terhadap bubur MP-ASI komersial, kecuali untuk kriteria
warna, aroma dan kehalusan di dalam mulut.
Kata kunci: nikstamalisasi, tepung jagung, sifat fungsional, sifat reologi, makanan
pendamping ASI
vi
HERLINA MARTA
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
viii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Yadi Haryadi, M.Sc.
ix
Judul Tesis : Sifat Fungsional dan Reologi Tepung Jagung Nikstamal serta
Contoh Aplikasinya pada Pembuatan Makanan Pendamping ASI
Nama : Herlina Marta
NRP : F251080021
Disetujui
Komisi Pembimbing
Diketahui
Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, karunia
dan hidayah-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang
dipilih pada penelitian ini adalah Sifat Fungsional dan Reologi Tepung Jagung
Nikstamal serta Contoh Aplikasinya pada Pembuatan Makanan Pendamping ASI.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Sugiyono, M. App.Sc. dan
Dr. Ir. Bambang Haryanto, M.Si. selaku komisi pembimbing yang telah
memberikan saran dan arahan sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Yadi Haryadi, M.Sc. selaku
dosen penguji yang telah memberikan saran untuk perbaikan karya ilmiah ini.
Terima kasih kepada BPPS Ditjen Dikti dan BPPT atas bantuan dana penelitian.
Kepada ayahanda, ibunda, suami dan anak tercinta, penulis mengucapkan
terima kasih atas doa, dukungan, pengertian, pengorbanan dan kasih sayang yang
telah diberikan selama penulis menyelesaikan studi di Program Studi Ilmu Pangan
IPB. Kepada kerabat yang telah memberikan dukungan dan semangat serta doa,
penulis juga mengucapkan terima kasih.
Kepada semua teknisi di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan
Seafast Center, penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan dan kerjasama
yang baik. Kepada rekan-rekan mahasiswa Program Studi Ilmu Pangan angkatan
2008, penulis mengucapkan terima kasih atas kerjasama dan kebersamaan yang
terjalin selama ini. Semoga karya ini bermanfaat.
Herlina Marta
xi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pasaman, Sumatera Barat pada tanggal 27 Maret 1982
dari ayah Herman dan ibu Syamriati. Penulis merupakan putri pertama dari empat
bersaudara.
Pada tahun 2000 penulis diterima sebagai mahasiswi di Program Studi
Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Industri Pertanian, Universitas Padjadjaran
melalui jalur UMPTN. Penulis menyelesaikan kuliah strata 1 pada tahun 2004 dan
memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pangan. Pada tahun 2008, penulis
mendapatkan kesempatan melanjutkan studi S2 dengan bantuan beasiswa BPPS
Ditjen Dikti, Depdiknas.
Sejak tahun 2006 hingga saat ini, penulis bekerja sebagai staf pengajar di
Jurusan Teknologi Industri Pangan, Fakultas Teknologi Industri Pertanian,
Universitas Padjadjaran.
DAFTAR ISI
xii
Halaman
DAFTAR ISI ............................................................................................................ i
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
Latar Belakang ............................................................................................... 1
Tujuan Penelitian ........................................................................................... 3
Manfaat Penelitian ......................................................................................... 4
METODOLOGI .................................................................................................... 23
Waktu dan Tempat Penelitian...................................................................... 23
Bahan dan Alat Penelitian ........................................................................... 23
Metode Penelitian ........................................................................................ 23
Penelitian Tahap I Pembuatan Tepung Jagung Nikstamal ................... 23
Penelitian Tahap II Pembuatan Bubur Jagung Instan MP-ASI ............ 26
Rancangan Percobaan dan Analisis Data .................................................... 27
Prosedur Analisis ......................................................................................... 29
Swelling Volume dan Kelarutan............................................................ 29
Kapasitas Penyerapan Air ..................................................................... 29
Kapasitas Penyerapan Minyak.............................................................. 30
pH ......................................................................................................... 30
Kekuatan Gel ........................................................................................ 30
Densitas Kamba .................................................................................... 31
Wettability............................................................................................. 31
Sifat Reologi Adonan ........................................................................... 31
Kadar Kalsium ...................................................................................... 32
Kadar Air .............................................................................................. 33
Kadar Abu............................................................................................. 33
Kadar Protein ........................................................................................ 34
Kadar Lemak ........................................................................................ 34
Kadar Karbohidrat ................................................................................ 35
Viskositas.............................................................................................. 35
xiii
DAFTAR TABEL
xiv
Halaman
1 Syarat mutu tepung jagung berdasarkan standar nasional Indonesia ................ 9
2 Beberapa sifat amilosa dan amilopektin pada pati normal jagung .................. 10
3 Formulasi bubur jagung instan MP-ASI ......................................................... 26
4 Faktor pengali untuk tiap spindel dan rpm yang digunakan ........................... 35
5 Swelling volume dan kelarutan tepung jagung pada kombinasi
perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan ................................... 41
6 Kadar kalsium tepung jagung pada perlakuan lama pemasakan
20 menit dengan berbagai perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 ........................... 41
7 Kadar kalsium tepung jagung pada perlakuan konsentrasi
Ca(OH)2 0,5% dan berbagai lama pemasakan ............................................... 43
8 Kelarutan tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi
Ca(OH)2 dan lama pemasakan ....................................................................... 45
9 Kapasitas penyerapan air tepung jagung pada kombinasi perlakuan
konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan .................................................... 48
10 Kapasitas penyerapan minyak tepung jagung pada kombinasi
perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan ................................... 51
11 Nilai pH tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi
Ca(OH)2 dan lama pemasakan ....................................................................... 53
12 Kekuatan gel tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi
Ca(OH)2 dan lama pemasakan ....................................................................... 54
13 Densitas kamba tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi
Ca(OH)2 dan lama pemasakan ....................................................................... 58
14 Wettability tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi
Ca(OH)2 dan lama pemasakan ....................................................................... 60
15 Viskositas puncak tepung jagung pada kombinasi perlakuan
konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan .................................................... 63
16 Sifat reologi tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi
Ca(OH)2 dan lama pemasakan ....................................................................... 67
17 Viskositas pasta dingin dan setback tepung jagung pada kombinasi
perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan ................................... 71
18 Komposisi kimia bubur jagung instan MP-ASI dengan dua formulasi
yang berbeda .................................................................................................. 75
19 Kandungan gizi bubur jagung instan MP-ASI ............................................... 76
20 Sifat fisik bubur jagung instan MP-ASI ......................................................... 78
21 Daya cerna protein dan daya cerna pati sampel bubur jagung
instan MP-ASI.............................................................................................. 83
22 Nilai rata-rata hasil uji skoring bubur jagung MP-ASI dan bubur
MP-ASI komersial ......................................................................................... 87
xv
23 Nilai rata-rata hasil uji hedonik MP-ASI bubur jagung instan dan
bubur MP-ASI komersial ............................................................................... 89
DAFTAR GAMBAR
Halaman
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
xviii
16 Hasil analisis data terhadap hasil uji skoring MP-ASI bubur jagung
instan dengan menggunakan nonparametric tests dan uji lanjut LSD
pada program SPSS...................................................................................... 118
17 Hasil analisis data terhadap hasil uji hedonik MP-ASI bubur jagung
instan dengan menggunakan nonparametric tests dan uji lanjut LSD
pada program SPSS...................................................................................... 120
18 Analisis ekonomi bubur jagung instan MP-ASI ........................................... 122
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jagung (Zea mays) merupakan salah satu serealia yang strategis dan bernilai
ekonomis serta mempunyai peluang untuk dikembangkan karena kedudukannya
sebagai sumber utama karbohidrat dan protein setelah beras. Berdasarkan
komposisi kimia dan kandungan zat gizinya, jagung mempunyai prospek sebagai
bahan pangan dan bahan baku industri.
Kebutuhan jagung terus meningkat seiring dengan meningkatnya bahan
baku untuk pangan maupun pakan. Di Indonesia, produksi jagung sebagai bahan
pangan pokok berada di urutan ketiga setelah padi dan ubi kayu. Produksi jagung
nasional selama lima tahun terakhir cenderung meningkat yaitu sebesar
12.523.894 ton pada tahun 2005 hingga 17.041.251 ton pada tahun 2009 dengan
rata-rata kenaikan 7,21 persen per tahun (BPS 2010). Alternatif produk yang
dapat dikembangkan dari jagung mencakup produk olahan segar, produk primer
(beras jagung, tepung, dan pati), produk siap santap (marning, emping), dan
produk instan (beras jagung instan, pati jagung untuk gula, sirup glukosa, sirup
fruktosa, maltosa, sorbitol, bioetanol), sedangkan limbah jagung dapat digunakan
sebagai pakan ternak (Richana dan Suarni 2007).
Untuk memenuhi kebutuhan jagung untuk dikonsumsi langsung, masyarakat
di beberapa daerah membuat tepung jagung dengan peralatan sederhana dengan
menggunakan metode perendaman dan tanpa perendaman. Perendaman dilakukan
dengan tujuan untuk melunakkan endosperm yang bersifat keras (horny
endosperm) sehingga lebih memudahkan pada proses pengolahannya. Beberapa
pabrik pengolahan jagung menghasilkan tepung jagung (40 dan 50 mesh) sebagai
produk samping (10%) disamping grits jagung (8, 12, 16, 24 mesh) sebagai
produk utama yang digunakan sebagai bahan baku snack jagung (Pusat Teknologi
Agroindustri BPPT 2008). Tepung jagung dipilih sebagai langkah awal
diversifikasi jagung karena memiliki beberapa keunggulan antara lain: (i) tepung
jagung lebih luas penggunaannya sebagai bahan baku dalam pembuatan berbagai
macam produk olahan pangan; (ii) penyimpanan tepung lebih mudah dan umur
simpan lebih lama; (iii) adanya defisiensi beberapa zat gizi dapat lebih mudah
2
difortifikasi atau disuplementasi jika dalam bentuk tepung; dan (iv) lebih mudah
bercampur dengan bahan lain (komposit).
Salah satu metode pembuatan tepung jagung adalah melalui proses
nikstamalisasi yaitu proses pemasakan biji jagung dalam larutan kapur biasanya
Ca(OH)2, kemudian dilakukan perendaman dalam larutan yang sama selama
beberapa jam, dilanjutkan dengan pengeringan, pengecilan ukuran dan
pengayakan. Proses ini memiliki beberapa keuntungan antara lain memudahkan
proses pelepasan perikarp dan lembaga, memberikan flavor dan tekstur khas yang
diinginkan (Rooney & Serna-Saldivar 2003; Johnson 2000), meningkatkan aroma
produk olahan, memudahkan proses penggilingan, meningkatkan nilai zat gizi,
dan mengurangi kandungan mikotoksin (Wikipedia 2010).
Informasi mengenai sifat fungsional dan reologi tepung sangat bermanfaat
dalam aplikasi untuk mendisain beberapa produk pangan yang cocok dibuat
berdasarkan sifat-sifat tersebut. Beberapa penelitian mengenai sifat fungsional dan
reologi berbagai jenis tepung sudah banyak dilakukan di antaranya sifat
fungsional tepung beras (Kadan et al. 2003), sifat fungsional tepung gandum
(Graybosch et al. 2003), sifat reologi tepung gandum (Halln et al. 2004), sifat
reologi tepung ubi jalar (Chun & Yoo 2006), sifat fungsional tepung sorgum
(Elkhalifa et al. 2005). Begitu juga dengan penelitian mengenai pengaruh
nikstamalisasi terhadap biji, pati maupun tepung jagung juga sudah banyak
dilakukan di antaranya pengaruh nikstamalisasi terhadap sifat termal dan
fisikokimia tepung jagung (Ruiz-Gutirrez et al. 2010), struktur kristalin pati
jagung (Mondragn et al. 2004), difusi kalsium ke dalam biji jagung (Fernndez-
Muoz et al. 2006), kandungan aflatoksin pada biji jagung (Mendz-Albores et al.
2004). Namun, informasi mengenai sifat fungsional dan reologi tepung jagung
nikstamal yang mengalami proses pragelatinisasi menggunakan drum dryer masih
terbatas.
Tepung pragelatinisasi atau tepung instan adalah tepung yang telah
mengalami proses pemasakan atau gelatinisasi terlebih dahulu sebelum
dikeringkan agar bersifat mudah terdispersi di dalam air dingin membentuk
suspensi yang stabil. Menurut Linden & Lorient (1995), penerapan tepung
pragelatinisasi untuk produk instan sudah meluas di bidang industri makanan,
3
diantaranya pada tahap preparasi berbagai produk instan seperti saus, flake,
powder food, crackers, snack dan sebagainya. Sifat fungsional yang harus dimiliki
oleh tepung pragelatinisasi adalah kelarutan yang tinggi, sifat dispersi yang baik
dan kemudahan untuk dicerna.
Dalam penelitian ini, tepung jagung nikstamal pragelatinisasi digunakan
sebagai bahan dasar dalam pembuatan makanan pendamping air susu ibu (MP-
ASI) dalam bentuk bubur instan. Aplikasi tepung pragelatinisasi sebagai bahan
dasar pembuatan bubur instan MP-ASI bertujuan untuk memudahkan proses
preparasi bubur tersebut dan kemudahan untuk dicerna oleh bayi. Berdasarkan
studi yang dilakukan oleh Mendz-Montealvo et al. (2008), tepung jagung yang
dibuat melalui proses nikstamalisasi memiliki viskositas yang lebih rendah
dibandingkan tepung jagung tanpa proses nikstamalisasi serta menghasilkan gel
yang lebih lunak. Sifat tepung jagung nikstamal ini cocok digunakan sebagai
bahan baku dalam pembuatan bubur instan MP-ASI, dimana pada makanan bayi
tidak diinginkan viskositas yang terlalu tinggi agar makanan bayi yang dihasilkan
bebas gumpalan, mudah disuapkan dengan sendok dan mudah ditelan oleh bayi.
Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perubahan sifat
fungsional dan reologi tepung jagung yang disebabkan oleh proses nikstamalisasi.
Tujuan khusus penelitian ini adalah:
1. Mengetahui pengaruh berbagai kondisi proses nikstamalisasi terhadap sifat
fungsional dan reologi tepung jagung nikstamal yang dihasilkan.
2. Mengetahui karakteristik kimia, fisik, daya cerna dan organoleptik bubur
instan MP-ASI yang dibuat dari bahan baku tepung jagung nikstamal.
4
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menunjang optimalisasi produksi tepung
jagung dan aplikasinya pada produk-produk pangan. Selain itu dengan
mengetahui informasi mengenai sifat fungsional dan reologi tepung jagung
nikstamal diharapkan dapat dipilih produk pangan yang cocok dibuat berdasarkan
sifat-sifat tersebut serta meningkatkan nilai ekonomis jagung sebagai upaya
diversifikasi pangan.
5
TINJA
AUAN PUST
TAKA
B Jagung
Biji
Biji jaagung disebuut kariopsis,, dinding ovvari atau perrikarp menyaatu dengan
k
kulit biji ataau testa, mem
mbentuk dinnding buah. Biji
B jagung terdiri atas tiga
t bagian
u
utama, yaituu (a) perikaarp, berupa lapisan luarr yang tipiss, berfungsi mencegah
e
embrio dari organisme penggangguu dan kehilaangan air; (bb) endosperm
m, sebagai
c
cadangan makanan,
m meencapai 75%
% dari bobott biji yang m
mengandung
g 90% pati
d 10% pro
dan otein, mineraal, minyak, ddan lainnya; dan (c) embbrio (lembagga), sebagai
m
miniatur tannaman yang terdiri atas pplamule, akaar radikal, scutelum, daan koleoptil
(
(Hardman & Gunsoluss 1998). Baagian-bagiann biji jagunng dapat diilihat pada
G
Gambar 1. Selain itu biji
b jagung juga
j mengaandung tip ccap yaitu baagian yang
m
menghubung
gkan biji denngan tongkol (Rooney & Serna-Salddivar 2003).
Gam
mbar 1 Biji jagung dan bbagian-bagiaannya (Subekkti et al. 200
07)
aleuron sekitar 3% dari keseluruhan biji. Perikarp merupakan lapisan luar biji
yang dilapisi oleh testa dan lapisan aleuron. Lapisan aleuron mengandung 10%
protein (Subekti et al. 2007).
Endosperm merupakan bagian terbesar dari biji jagung, yaitu sekitar 85%
yang hampir seluruhnya terdiri atas karbohidrat dari bagian yang lunak (floury
endosperm) dan bagian yang keras (horny endosperm). Pati endosperm tersusun
dari senyawa anhidroglukosa yang sebagian besar terdiri atas dua molekul, yaitu
amilosa dan amilopektin, dan sebagian kecil bahan antara (White 2001). Namun
pada beberapa jenis jagung terdapat variasi proporsi kandungan amilosa dan
amilopektin. Sel endosperma memiliki lapisan alueron yang merupakan pembatas
antara endosperma dan bagian kulit.
Terdapat 6 tipe utama biji jagung antara lain dent corn, flint corn, flour
corn, sweet corn, pop corn dan pod corn. Perbedaan utama dari masing-masing
jenis ini berdasarkan kualitas, kuantitas dan susunan komposisi endospermnya.
Masing-masing tipe bervariasi dalam hal warna perikarpnya, yang paling umum
adalah kuning dan yang lainnya warna putih, merah atau biru. Warna biji jagung
tertentu dapat menghasilkan produk-produk khas tertentu seperti blue corn flour
atau blue tortilla chip atau red tortilla chip (Johnson 2000).
Menurut Suprapto dan Marzuki (2005) diacu dalam Hatorangan (2007),
jagung yang banyak ditanam di Indonesia adalah tipe mutiara (flint) dan semi
mutiara (semiflint), seperti jagung Arjuna (mutiara), jagung Harapan (semi
mutiara), Pioner-2 (semi-mutiara), Hibrida C-1 (setengah mutiara) dan lain-lain.
Selain jagung tipe mutiara dan semi mutiara, di Indonesia juga terdapat jagung
tipe berondong (pop corn), jagung gigi kuda (dent corn) dan jagung manis (sweet
corn).
Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1989) diacu dalam Juniawati (2008) jenis
jagung semiflint (semi mutiara) lebih mudah dibuat tepung dibandingkan tepung
mutiara. Hal ini disebabkan jagung semi mutiara mengandung endosperma lunak
yang lebih banyak dibandingkan endosperma kerasnya. Endosperma keras terdiri
dari sel-sel yang lebih kecil dan tersusun rapat, sedangkan endosperma lunak
susunan sel-selnya tidak serapat bagian keras.
7
Tepung Jagung
Jagung dapat diproses lebih lanjut menjadi produk pangan diantaranya
tepung jagung, minyak dan pati jagung. Secara umum terdapat dua metode
pembuatan tepung jagung yaitu metode basah dan metode kering. Pada metode
basah, biji jagung yang telah disosoh direndam dalam air selama 4 jam lalu dicuci,
ditiriskan dan diproses menjadi tepung menggunakan mesin penepung, sedangkan
pada metode kering biji jagung yang telah disosoh langsung ditepungkan artinya
tanpa perendaman (Suarni 2009). Berdasarkan hasil penelitian Suarni et al.
(2001), penepungan dengan metode basah (perendaman) menghasilkan rendemen
tepung yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode kering (tanpa perendaman),
namun kandungan nutrisi pada penepungan dengan metode kering lebih tinggi.
Pada prinsipnya penggilingan biji jagung menjadi tepung adalah proses
pemisahan perikarp, endosperm dan lembaga dan dilanjutkan dengan proses
pengecilan ukuran. Perikarp harus dipisahkan pada proses pembuatan tepung
karena kandungan seratnya tinggi sehingga membuat tepung bertekstur kasar.
Pada proses pembuatan tepung, dilakukan pemisahan lembaga karena tanpa
8
pemisahan lembaga akan menyebabkan tepung mudah tengik. Tip cap atau bagian
pangkal juga harus dipisahkan karena dapat membuat tepung menjadi kasar. Pada
pembuatan tepung, endosperm merupakan bagian yang digiling menjadi tepung.
Kandungan zat gizi tepung jagung cukup baik. Berdasarkan hasil penelitian
Suarni (2009), kadar protein tiga varietas jagung (Anoman-1, Srikandi Putih-1,
dan lokal) berkisar 7,54-7,89% pada metode kering dan 6,70-7,24% pada metode
basah. Kadar lemak tepung 2,05-2,38% pada metode kering lebih tinggi
dibandingkan metode basah yang hanya 1,86-2,08%. Kadar lemak yang rendah
akan menguntungkan dari segi penyimpanan karena tepung dapat disimpan lebih
lama. Kadar serat kasar tepung hasil pengolahan kering (1,29-1,89%) lebih tinggi
dibandingkan dengan metode basah (1,05-1,06%). Kadar serat mengalami
penurunan dari biji jagung menjadi tepung. Tepung jagung juga mengandung
serat makanan yang dibutuhkan tubuh, bahkan jagung kuning mengandung beta
karoten (provitamin A) dan jagung merah mengandung unsur Fe.
Mutu tepung jagung berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI)
disajikan pada Tabel 1. Kriteria fisik mutu tepung (bau, rasa, warna) harus
normal, yaitu bau spesifik jagung, rasa khas jagung, warna sesuai dengan varietas
jagung (putih, kuning), dan secara umum sesuai spesifik bahan aslinya.
Tepung jagung dapat digunakan dalam pembuatan berbagai produk pangan
antara lain roti, muffins, donat, pancake, makanan bayi, biskuit, wafer, sereal
sarapan siap saji dan juga sebagai bahan pengisi dan pengikat dalam produk
olahan daging (Kent & Evers, 1994).
9
Tabel 1 Syarat mutu tepung jagung berdasarkan standar nasional Indonesia (SNI)
Pati Jagung
Pati jagung berbeda dengan tepung jagung yang kandungan bahan kimianya
masih lengkap. Perbedaan yang signifikan terutama pada kandungan protein,
lemak, dan kadar abu. Pada tepung jagung komposisinya masih lengkap
sedangkan pada pati jagung sudah dipisahkan serta sebagian hilang pada proses
pencucian.
Pati memegang peranan penting dalam pengolahan pangan terutama karena
mensuplai kebutuhan energi manusia dengan porsi tinggi. Lebih dari 80%
tanaman pangan terdiri dari biji-bijian dan tanaman sumber pati lainnya. Dalam
bentuk aslinya, pati secara alami merupakan butiran-butiran kecil yang sering
disebut granula. Bentuk dan ukuran granula merupakan karakteristik setiap jenis
pati sehingga dapat digunakan untuk identifikasi. Selain ukuran granula,
karakteristik lain adalah bentuk, keseragaman granula, lokasi hilum serta
permukaan granulanya (Jobling 2004).
10
Pati merupakan komponen utama biji jagung yaitu sekitar 72-73% dari berat
biji. Karbohidrat lain berada sebagai gula sederhana seperti glukosa, sukrosa dan
fruktosa dengan jumlah yang bervariasi antara 1-3% dari berat biji. Pati jagung
terdiri atas dua polimer glukosa yaitu amilosa dan amilopektin. Rasio amilosa dan
amilopektin ini memengaruhi karakteristik pati jagung. Jumlah amilosa dan
amilopektin bervariasi berdasarkan jenis jagungnya (Shandu et al. 2004).
Terdapat 3 jenis pati jagung alami antara lain: (i) normal starch, (ii) waxy
starch, dan (iii) high amylose starch. Pati normal jagung tipe dent mengandung
amilosa 26-28% dan amilopektin 72-74%; tipe waxy mengandung amilopektin
99% dan amilosa 1%; dan tipe amylomaize mengandung amilopektin 20-50% dan
amilosa 50-80%. Jagung jenis waxy dan amylomaize diproduksi untuk
menghasilkan pati dengan sifat tertentu. Pati normal dan pati termodifikasi dari
jagung jenis waxy diproduksi secara luas karena memiliki viskositas pasta,
stabilitas termal dan stabilitas pH yang tinggi serta sifat-sifat lainnya (Johnson
2000).
Gabungan polimer amilosa dan amilopektin pada suhu rendah akan
menurunkan ikatan air dan secepatnya membentuk gel. Kandungan amilosa yang
tinggi akan membentuk gel yang kokoh (firm) dan gelap (opaque) sebaliknya jika
kandungan amilopektinnya yang tinggi akan menghasilkan gel yang lembut dan
pasta pati yang transparan (Mauro et al. 2003). Beberapa sifat amilosa dan
amilopektin dari pati alami jagung dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Beberapa sifat amilosa dan amilopektin pada pati normal jagung
Sifat Amilosa Amilopektin
Berat molekul (Dalton) 1-2 x 105 >2 x 107
Tingkat polimerisasi (DPN-jumlah 990 7200
residu glukosa)
Ikatan glikosida Umumnya -D-(1,4) -D-(1,4), -D-(1,6)
Bentuk molekul Linier Bercabang
Kecenderungan untuk teretrogradasi Tinggi Rendah
Lambda max of iodine complex 644 nm 554 nm
Afinitas iodin 20,1 g/100 g 1,1 g/100 g
Sumber: White (2001)
Bentuk granula juga merupakan ciri khas masing-masing pati. Pati jagung
mempunyai ukuran granula yang cukup besar dan tidak homogen, yaitu untuk
yang kecil 1-7 m dan untuk yang besar 15-20 m. Granula besar berbentuk oval
11
Proses Nikstamalisasi
Nikstamalisasi merupakan proses tradisional Meksiko yang dikembangkan
oleh peradaban Mesoamerika dan masih digunakan dalam produksi tortila dan
produk-produk pangan lain yang menggunakan jagung sebagai bahan bakunya
(Rooney & Serna-Saldivar 2003). Menurut Wikipedia (2010), nikstamalisasi
merupakan proses penyiapan jagung atau biji-bijian lain, dimana biji direndam
dan dimasak dalam larutan alkali, biasanya larutan kapur dan dilakukan pelepasan
kulit. Lebih jelasnya nikstamalisasi menurut Johnson (2000) adalah metode
pengolahan jagung secara tradisional dengan cara memasak biji jagung dalam
larutan kapur 1% dengan suhu 90-110 0C selama 10-15 menit, kemudian biji
jagung tersebut direndam dalam larutan yang sama selama semalam. Rooney dan
Serna-Saldivar (2003) menjelaskan biji jagung yang telah mengalami proses
nikstamalisasi kemudian dicuci untuk menghilangkan sisa larutan kapur dan
jaringan perikarp kemudian digiling menggunakan stone grinder untuk
menghasilkan adonan yang disebut masa. Masa merupakan bahan baku dalam
pembuatan produk tradisional Meksiko seperti tamales, pozole, atoles, tortillas,
corn chips, tortilla chips dan lain-lain.
Nikstamalisasi terdiri dari 2 tahap yaitu pertama, biji jagung dimasak dalam
larutan alkali (kalsium hidroksida) dan kedua, perendaman biji jagung tersebut
dalam larutan yang sama selama beberapa jam. Pada proses secara tradisional, biji
jagung kemudian dibilas untuk menghilangkan kelebihan kalsium hidroksida
(Fernndez-Muoz et al. 2006). Lamanya pemasakan sangat penting diperhatikan
untuk mendapatkan tekstur optimum yang diinginkan, jika terlalu banyak jumlah
pati yang tergelatinisasi akan menghasilkan tekstur yang lengket, menyebabkan
kesulitan dalam penanganan adonan (Johnson 2000).
12
dan pati), diantaranya degradasi perikarp, kehilangan protein yang larut (terutama
albumin dan globulin dengan berat molekul rendah yang terdapat pada lembaga),
gelatinisasi parsial pati (Reguera et al. 2000 diacu dalam Mendz-Motealvo et
al. 2008). Selama penggilingan, terjadi lagi gelatinisasi pati dan transformasi lain
pada komponen biji karena masa merupakan campuran yang terdiri dari polimer
pati (amilosa dan amilopektin) bercampur dengan pati yang mengalami
gelatinisasi parsial dan granula utuh, bagian endosperm dan lipid. Semua
komponen ini membentuk matrik yang heterogen dan kompleks di dalam fase
kontinyu (Gomez et al. 1987 diacu dalam Mendz-Motealvo et al. 2008).
Pengaruh penggunaan larutan alkali telah diteliti oleh Bryant & Hamaker
(1997) pada pati dan tepung jagung. Dilaporkan bahwa pada pH larutan yang
tinggi, Ca(OH)2 akan terionisasi menjadi Ca2+ dan OH-, kemudian membentuk
ikatan silang dengan pati. Interaksi Ca2+ dengan pati akan menstabilkan dinding
granula pati sehingga granula pati akan lebih kuat dan keras. Rodriguez et al.
(1996) menjelaskan lebih lanjut dengan adanya Ca2+ dalam pati akan merusak
ikatan antara pati dengan molekul air dan membentuk ikatan silang dengan
molekul amilosa dan amilopektin yang ada dalam pati yang juga dinamakan
jembatan kalsium. Fernndez-Muoz et al. (2001) menambahkan bahwa
terbentuknya ikatan silang pada rantai polimer pati ini memberi kontribusi pada
konduktivitas panas yang lebih baik, sifat-sifat fisik, struktur, reologi serta aroma
yang lebih baik.
Sifat Fungsional
Karakterisasi sifat fungsional tepung diperlukan untuk mendapatkan
informasi tentang potensi penggunaannya pada proses pengolahan komersial.
Menurut Sira (2000) karakterisasi sifat fungsional yang penting dapat dilihat
melalui profil gelatinisasinya. Menurut White (2001), sifat fungsional yang umum
dari pati jagung meliputi gelatinisasi, pasting, dan retrogradasi.
Granula pati yang dihasilkan setelah isolasi dari bagian biji jagung sebagian
memiliki sifat kristalin dan oleh karena itu tidak larut dalam air. Pada suhu ruang,
14
granula dapat menyerap air sekitar 30% dari beratnya melalui ikatan hidrogen,
prosesnya bersifat dapat balik (reversible). Perubahan yang bersifat tidak dapat
balik (irreversible) yang utama pada sifat fisik pati tidak terjadi sampai pati
dicampur air dan dipanaskan, proses ini dikenal dengan gelatinisasi. Panas
menghasilkan energi kinetik di dalam granula pati, memutuskan ikatan hidrogen
dan menyebabkan penetrasi air ke dalam granula. Amilosa cenderung lepas dari
granula dan bergabung dengan amilopektin membentuk hidrat, sehingga
menghasilkan pasta yang kental dan jernih. Dari penjelasan di atas gelatinisasi
dapat diartikan sebagai perubahan struktur molekul di dalam granula pati
menyebabkan perubahan yang bersifat tidak dapat balik (irreversible) seperti
granular swelling, native crystalline melting, kehilangan birefrinjen, dan
kelarutan pati.
Menurut Sira (2000), profil gelatinisasi didefinisikan dengan fenomena
sebagai berikut:
1. Gelatinisasi berarti pemecahan ikatan intermolekuler dengan
meningkatnya suhu, dan sisi yang mengikat H menyerap air lebih banyak
sehingga meningkatkan kekacauan struktur, menurunkan daerah
kristalisasi dan kehilangan birefrinjen. Pati dengan kadar amilosa tinggi
sulit tergelatinisasi pada suhu di atas 100 0C dan dapat membentuk film
dan serat pangan dengan kelarutan lebih tinggi serta mengalami
pengembangan pada kondisi alkali. Struktur yang heliks dapat
memerangkap asam lemak dan menghambat pengembangan granula.
2. Pembentukan adonan merupakan fenomena yang mengikuti proses
gelatinisasi pada pati yang dilarutkan. Hal ini termasuk pengembangan
granula, keluarnya komponen molekuler dari granula dan pada akhirnya
kekacauan total pada granula.
3. Ikatan H antara gugus OH pada amilosa dalam pati tergelatinisasi selama
pendinginan menghasilkan retrogradasi. Air keluar dari stuktur gel dan
pati menjadi tidak larut. Pati dengan amilopektin tinggi tidak akan
teretrogradasi saat dibekukan.
Proses gelatinisasi secara umum terjadi pada rentang suhu yang sempit,
dimana granula yang berukuran lebih besar tergelatinisasi lebih dahulu, kemudian
15
diikuti oleh granula yang berukuran lebih kecil. Suhu gelatinisasi untuk pati
jagung sekitar 61-72 0C. Karakteristik gelatinisasi pati sangat penting diketahui
dalam pemanfaatan pati. Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi gelatinisasi
pati antara lain keberadaan gula, lipid, garam, pH dan protein di dalam sistem
(White 2001).
Istilah pasting seringkali disamakan dengan gelatinisasi. Akan tetapi dua
istilah ini sebenarnya mempunyai arti yang sedikit berbeda. Pasting merupakan
proses dimana pasta pati terbentuk atau fenomena yang terjadi setelah gelatinisasi.
Hal ini melibatkan pembengkakan granula, pelepasan komponen molekular dari
granula dan pada akhirnya mengacaukan struktur granula. Selama pembentukan
pasta pada pati normal jagung, amilosa cenderung lepas ke dalam cairan di
sekitarnya; oleh karena itu pasta pati yang telah dipanaskan terdiri dari granula
yang membengkak tersuspensi dalam air panas yang mengandung molekul
amilosa yang terdispersi di dalamnya. Setelah pendinginan, pasta dapat menjadi
gel atau sol tergantung pada sifat patinya (White 2001).
Pada pasta pati normal jagung yang didinginkan, molekul amilosa
cenderung bergabung kembali. Molekul amilosa berikatan kembali dengan
molekul amilosa lain dan molekul pati pada bagian luar granula, membentuk
struktur kristalin. Proses kristalisasi kembali pati yang telah mengalami
gelatinisasi dikenal dengan istilah retrogradasi. Dengan perkataan lain
retrogradasi pati adalah proses yang terjadi ketika molekul-molekul pati
tergelatinisasi mulai bergabung kembali membentuk suatu struktur tertentu. Pada
tahap awal, dua atau lebih rantai pati membentuk ikatan sederhana yang dapat
berkembang lebih luas pada suatu bagian secara teratur. Pada akhirnya, jika
kondisi menguntungkan, akan terbentuk struktur kristalin (White 2001).
Lebih lanjut White (2001) menjelaskan bahwa tidak semua pasta pati yang
dimasak mengalami retrogradasi pada tingkat yang sama. Pati yang tidak
mengandung amilosa atau molekul amilosa terlalu pendek kurang memiliki
kecenderungan untuk mengalami kristalisasi kembali. Beberapa pati yang
dimodifikasi secara kimia termasuk pati modifikasi dengan ikatan silang dengan
berbagai bahan kimia seperti fosfat dapat menghambat proses retrogradasi. Pati
normal jagung dan pati jagung dengan kandungan amilosa tinggi memperlihatkan
16
Sifat Reologi
Reologi merupakan ilmu yang mempelajari deformasi dan aliran bahan.
Sifat reologi bahan merupakan informasi penting tentang struktur dan sifatnya
selama pengolahan dan penggunaannya. Menurut Vergnes et al. (2003), aplikasi
pendekatan reologi pada produk-produk serealia pada umumnya mengalami
kesulitan karena:
1. Produk serealia mempunyai formulasi sangat kompleks dengan beberapa
komponen (pati, protein, air, gula, lipid) yang dapat berinteraksi dan
mudah membentuk struktur yang lain, pati terdiri dari dua makromolekul,
amilosa yang linier dan amilopektin bercabang. Hal ini mengakibatkan
multifase, bahan yang secara reologi kompleks.
2. Adonan dari produk serealia mempunyai sifat non-Newtonian tinggi,
dengan tingkat elastisitas tinggi dan sangat sensitif terhadap suhu, kadar
air dan komposisi lain (pati, adanya lipida).
3. Beberapa komponen meskipun dalam jumlah kecil seperti lipida dapat
menyebabkan slip pada dinding dan secara keseluruhan mengubah daya
alir.
17
campuran untuk memenuhi kebutuhan gizi anak. Makanan ini dikenal dengan
istilah makanan pendamping ASI.
Menurut Zakaria (1999), alasan pemberian makanan pendamping ASI
antara lain yaitu: 1) ASI yang dihasilkan mulai tidak mencukupi atau mengalami
penurunan kuantitas sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan dan pertumbuhan
bayi yang semakin meningkat, 2) untuk membiasakan bayi pada berbagai macam
makanan yang bergizi, mudah dicerna dengan berbagai macam rasa, bentuk dan
nilai gizi.
Bubur instan MP-ASI merupakan makanan dengan tekstur yang lunak
sehingga mudah untuk dicerna. Bubur instan adalah salah satu jenis MP-ASI yang
telah diolah sehingga dapat diajikan seketika dengan hanya penambahan air
minum atau cairan lain yang sesuai. Bubur instan MP-ASI jika ditambahkan
cairan haruslah menghasilkan bubur yang halus, bebas gumpalan dan dapat
disuapkan dengan sendok.
Bahan utama dalam pembuatan MP-ASI biasanya dibuat dari salah satu atau
campuran bahan-bahan berikut dan atau turunannya: serealia (misal beras, jagung,
gandum, sorgum, barley, oats, rye, millet, buckwheat), umbi-umbian (misal ubi
jalar, ubi kayu, garut, kentang, gembili), bahan berpati (misal sagu, pati aren),
kacang-kacangan (misal kacang hijau, kacang tanah, kacang tunggak, kacang
merah), biji-bijian yang mengandung minyak (misal kedelai, kacang tanah,
wijen), susu, ikan, daging, unggas, buah dan atau bahan makanan lain yang sesuai.
Selain bahan utama tersebut dapat ditambahkan bahan lain dan turunannya yang
sesuai untuk bayi dan anak berusia 6 sampai 24 bulan seperti minyak, lemak, gula,
madu, sirup gula, garam, sayuran, buah dan rempah (Badan Standardisasi
Nasional 2005).
Bahan utama dalam pembuatan MP-ASI merupakan sumber energi dalam
bentuk karbohidrat sedangkan bahan-bahan lainnya ditambahkan untuk
melengkapi asam amino yang kurang dalam bahan utama dan juga berguna untuk
menaikkan kadar protein dan lemaknya. Perbandingan bahan makanan penyusun
makanan bayi harus disusun sedemikian rupa sehingga dapat menghasilkan
makanan yang memenuhi kebutuhan gizi bayi (Hermana 1977).
19
Menurut Muhilal et al. (1998), pati sebagai sumber karbohidrat harus diolah
terlebih dahulu agar memudahkan pencernaannya. Lebih lanjut Sunaryo (1985)
menjelaskan bahwa pati yang digunakan dalam pembuatan makanan bayi
berfungsi sebagai bahan pengikat agar pada saat pengeringan selama pengolahan
dapat membentuk struktur bubuk yang kompak.
Susu dikenal sebagai bahan pangan sumber protein hewani yang
mempunyai daya cerna yang tinggi dan kaya akan zat-zat gizi seperti protein,
laktosa, mineral dan vitamin (Fardiaz 1989). Susu skim merupakan produk susu
rendah lemak yang kaya akan protein dan memiliki kandungan laktosa yang
cukup tinggi yaitu 59,20%. Laktosa adalah bentuk karbohidrat utama dalam ASI
dan susu formula. Fungsi laktosa dalam usia pertumbuhan adalah sebagai bahan
pembentuk otak (Packard 1982). Laktosa mempunyai sifat dapat menyerap warna
zat makanan dan aroma sehingga dipakai sebagai pembawa aroma yang umumnya
mempunyai sifat mudah menguap. Selain itu, susu juga mengandung mineral-
mineral seperti K, Ca, Cl, P, Na, Mg dan S yang diperlukan untuk pertumbuhan
bayi. Kalsium dan fosfor diutamakan karena mempunyai nilai gizi yang penting
dan keduanya merupakan bagian dari kasein (Buckle et al. 1985).
Tepung gula yang ditambahkan pada campuran bahan berfungsi
memberikan rasa manis dan meningkatkan energi. Namun, penggunaan tepung
gula ini harus dibatasi karena kadar kemanisan yang tinggi menyebabkan bayi
menjadi cepat kenyang, sehingga konsumsi zat gizi menjadi lebih sedikit. Selain
itu, gula juga dapat berfungsi untuk membentuk susunan, komposisi dan butiran
produk menjadi lebih halus dan lembut (Winarno 2004).
Penggunaan lemak dalam formulasi MP-ASI bertujuan untuk menambah
energi dan memperbaiki rasa. Sumber lemak yang dapat digunakan pada MP-ASI
adalah minyak nabati. Penggunaan minyak nabati untuk pembuatan produk
makanan relatif lebih banyak dibandingkan minyak hewani karena mampu
memberikan efek rasa serta tekstur yang lebih lembut dan lembut (Matz & Matz
1978).
Menurut SNI 01-7111.1-2005, bahan utama dan bahan lain yang terkandung
dalam bubur instan MP-ASI tidak boleh mendapat perlakuan iradiasi dan zat gizi
yang dikandungnya harus dapat mendampingi ASI untuk mencapai kecukupan
20
gizi pada kelompok tersebut. Persyaratan mutu MP-ASI bubuk instan untuk zat
gizi makro antara lain: kandungan protein 8-22%, dan lemak 6-15%. Vitamin
yang wajib ada dalam produk MP-ASI bubuk instan adalah vitamin A, D dan C,
sedangkan mineral yang wajib ada adalah Na, Ca, Fe, Zn dan I (Badan
Standardisasi Nasional 2005).
Jumlah energi dan protein yang dianjurkan untuk bayi dihitung berdasarkan
jumlah energi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan tubuhnya.
Vitamin merupakan nutrisi penting yang dibutuhkan oleh bayi untuk
pertumbuhan. Menurut Congdon et al. (1995), kekurangan salah satu jenis
vitamin pada bayi dapat menghambat dan menggangu sistem inderawi dan
perkembangan tubuhnya. Menurut Packard (1982), makanan tambahan bayi
biasanya difortifikasi dengan campuran vitamin karena kandungan vitamin ASI
secara umum lebih besar daripada susu formula.
Sifat umum produk MP-ASI adalah padat energi dan padat gizi. Produk
MP-ASI sedapat mungkin memenuhi kebutuhan energi dan gizi bayi. Komponen
gizi yang dibutuhkan bayi antara lain karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan
mineral. Makanan bayi tidak boleh bersifat kamba karena akan cepat memberi
rasa kenyang pada bayi. Sifat kamba umumnya terdapat pada bahan sumber
karbohidrat (Astawan 2000). Sifat kamba dapat dihasilkan dari pati yang pada
bahan-bahan digunakan pada formulasi pembuatan bubur instan MP-ASI.
Menurut Zakaria (1999), pembuatan MP-ASI sebaiknya diformulasikan
secara optimum dalam bentuk bahan makanan campuran sehingga diperoleh mutu
yang baik. Penyediaan makanan ini merupakan pilihan beralasan karena mudah
untuk diolah, didistribusikan dan disimpan, lebih terjamin keamanannya dan
berpotensi untuk menjadi wahana fortifikasi zat gizi mikro (vitamin dan mineral).
Muchtadi (1994) menyatakan bahwa pembuatan makanan tambahan bayi
dengan proses pengeringan lebih mudah dan biayanya lebih murah dibandingkan
dengan pengolahan basah. Disamping itu, produk kering akan mempunyai volume
yang lebih kecil, mudah dikemas, ringan dan mudah dipindahkan. Sifat produk
demikian baik untuk produk makanan seperti MP-ASI. Alat pengering yang
digunakan adalah drum dryer.
21
silinder. Sebelum mencapai putaran penuh, bahan akan mengering dan dikikis
oleh pisau yang ada di sepanjang permukaan silinder dengan arah melintang.
Produk akhir ditampung di bawah permukaan silinder (Hariyadi et al. 2000).
Menurut Parker (2003), pengering silinder dapat digunakan untuk mengeringkan
bahan berbentuk cair, pasta, pure dan bubur. Susu, bubur kentang dan pasta tomat
merupakan contoh bahan pangan yang menggunakan pengeringan silinder dimana
suhu permukaan yang tinggi menyebabkan bahan kering.
Keuntungan menggunakan alat pengering silinder adalah kecepatan
pengeringan yang tinggi dan penggunaan panas yang ekonomis. Sedangkan
kekurangannya antara lain adalah pengeringan dengan alat ini hanya dapat
dilakukan pada bahan yang berbentuk cairan, pasta atau bubur yang memiliki
ketahanan terhadap suhu tinggi dalam waktu yang singkat yaitu 2-30 detik
(Mujumdar 2000).
23
METODOLOGI
Metode Penelitian
pengering oven, sedangkan pada penelitian ini alat pengering yang digunakan
adalah drum dryer. Tahapan pembuatan tepung jagung pada penelitian ini adalah
sebagai berikut: (i) penyortiran biji jagung untuk memisahkan biji jagung yang
cacat, busuk, dan kotoran-kotoran seperti kerikil, (ii) penyosohan biji jagung
untuk menghilangkan perikarp, lembaga dan tip cap biji jagung, (iii) pencucian
dan penirisan biji jagung sosoh sehingga didapatkan biji jagung sosoh yang
bersih, (iv) pemasakan biji jagung sosoh dalam larutan Ca(OH)2. Pemasakan
dilakukan pada suhu 106 0C selama 0, 5, 10, 15 dan 20 menit (sesuai perlakuan).
Konsentrasi Ca(OH)2 yang digunakan adalah 0%, 0,25% dan 0,5% dari berat biji
jagung sosoh (sesuai perlakuan). Volume air yang ditambahkan adalah 3 kali dari
berat biji jagung sosoh, (v) perendaman dalam larutan yang sama (nejayote)
selama 8 jam pada suhu ruang, (vi) penirisan untuk memisahkan biji jagung
nikstamal dengan larutan perendam/nejayote, (vii) pencucian biji jagung
nikstamal dengan air mengalir, (viii) penggilingan biji jagung nikstamal
menggunakan blender. Pada penggilingan ini dilakukan penambahan air sebanyak
2 kali berat awal biji jagung sosoh yang digunakan sehingga diperoleh
slurry/pasta jagung, (ix) pengeringan pasta menggunakan drum dryer. Kondisi
pengeringan yang digunakan adalah tekanan 3 atm, suhu 135 0C dan
kecepatan putar silinder 4 rpm. Hasil pengeringan berbentuk lembaran-lembaran
tipis, (x) penggilingan lembaran-lembaran tipis menggunakan disc mill yang
dilengkapi dengan saringan 60 mesh. Proses pembuatan tepung jagung nikstamal
dapat dilihat pada Gambar 2.
Tepung jagung yang dihasilkan dengan berbagai kombinasi perlakuan
konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan dianalisis sifat fungsional dan
reologinya. Analisis sifat fungsional yang dilakukan meliputi: swelling volume,
kelarutan, kapasitas penyerapan air, kapasitas penyerapan minyak, pH, kekuatan
gel, densitas kamba dan wettability, sedangkan sifat reologi yang diamati meliputi
viskositas puncak, viskositas pasta panas, breakdown, viskositas pasta dingin, dan
setback.
25
Ca(OH)2 Air
0%; 0,25% dan 0,5% dari berat (900 ml)
jagung sosoh yang digunakan
Pendidihan
(103 0C)
Pemasakan
Jagung sosoh (106 0C selama 0, 5, 10, 15,
bersih (300 g) dan 20 menit)
Perendaman
(8 jam, suhu ruang)
Air Penggilingan
(600 ml) (blender)
Slurry/pasta
Pengeringan
(drum dryer, 3 atm, 135 0C, 4 rpm )
Lembaran-lembaran tipis/flakes
waktu rehidrasi dan kapasitas penyerapan air), daya cerna (protein dan pati), serta
sifat organoleptiknya meliputi uji skoring (sifat kehalusan di dalam mulut,
kemudahan ditelan dan kelengketan di dalam mulut) serta uji hedonik (warna,
aroma, rasa, kekentalan dan penerimaan umum).
Tepung jagung
Prosedur Analisis
Swelling Volume dan Kelarutan (Collado & Corke 1999)
Prinsip pengukuran swelling volume adalah seberapa besar kemampuan
mengembang tepung jagung (ml) setelah dilakukan pemanasan pada suhu dan
waktu tertentu. Satuan dari swelling volume adalah ml/g sampel.
Sampel ditimbang sebanyak 0,35 g basis kering di dalam tabung sentrifus.
Kemudian ditambahkan 12,5 ml air destilata. Sampel divorteks hingga campuran
merata. Selanjutnya dipanaskan dalam waterbath bersuhu 92,5 oC selama 30
menit sambil sesekali diaduk. Kemudian sampel didinginkan dalam air es selama
1 menit. Diamkan campuran selama 5 menit pada suhu ruang. Selanjutnya sampel
disentrifugasi dengan kecepatan 3500 rpm selama 30 menit. Gel yang terbentuk
diukur volumenya dan dinyatakan sebagai swelling volume (ml/g bk). Sedangkan
kelarutan diperoleh dengan cara menuangkan supernatan yang dihasilkan ke
dalam cawan yang telah diketahui beratnya dan dikeringkan pada suhu 110oC
selama semalam.
volume gel
Swelling Volume (ml/g bk) =
berat sampel (bk)
Perhitungan:
Berat bahan (g)
Densitas kamba (g/ml)=
Volume bahan (ml)
Hasil pengukuran dengan alat ini diantaranya adalah viskositas puncak atau
peak viscosity, viskositas pasta panas atau trough viscosity, perubahan viskositas
selama pemanasan atau breakdown, viskositas pasta dingin atau final viscosity dan
perubahan viskositas selama pendinginan atau setback. Viskositas puncak adalah
viskositas pada puncak gelatinisasi atau menunjukkan pati tergelatinisasi.
Breakdown merupakan selisih antara viskositas puncak dengan viskositas pasta
panas atau menunjukkan kestabilan viskositas terhadap panas. Setback merupakan
selisih antara viskositas pasta dingin dengan viskositas pasta panas atau
menunjukkan kemampuan untuk meretrogradasi.
konsentrasi yang dapat dibaca dengan alat AAS dan mempunyai linieritas (R2)
diatas 0,990. Konsentrasi serial larutan standar berkisar antara 0,1-15 ppm.
Keterangan:
a = bobot cawan dan sampel akhir (g)
b = bobot cawan (g)
c = bobot sampel awal (g)
HC N HC ,
Kadar N (%)
ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 100 0C hingga beratnya konstan
kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Perhitungan kadar lemak
dilakukan dengan menggunakan rumus:
Tabel 4 Faktor pengali untuk tiap spindel dan rpm yang digunakan
No. Kecepatan putaran
Spindel 6 12 30 60
1 10 5 2 1
2 50 25 10 5
3 200 100 40 20
4 1000 500 200 100
36
Uji Seduh
Uji seduh mengacu kepada petunjuk penyajian bubur MP-ASI komersial
sebagai kontrol. Sebanyak 24 gram (takaran per saji) sampel ditambahkan dengan
air hangat sebanyak 125 ml ( 60 0C), diaduk merata sehingga terbentuk larutan
bubur yang kental. Takaran per saji setiap formulasi bubur jagung instan MP-ASI
dibuat sama (24 gram) kemudian ditambahkan dengan air hangat, diaduk hingga
kekentalan yang sama dengan bubur MP-ASI komersial. Banyaknya air yang
digunakan untuk memperoleh kekentalan yang sama dengan bubur MP-ASI
komersial merupakan jumlah air yang dibutuhkan untuk penyajiannya.
Waktu Rehidrasi
Sebanyak 24 gram sampel ditambahkan dengan air hangat sebanyak jumlah
yang telah diketahui sebelumnya dari uji seduh, diaduk merata hingga menjadi
bubur yang kental. Waktu rehidrasi dihitung saat sampel mulai diberi air hingga
menjadi bubur.
Y = 210,464 18,103x
Dimana Y = daya cerna protein (%)
x = pH suspensi sampel pada menit ke-10
Uji Organoleptik
Pengujian secara organoleptik suatu produk makanan merupakan kegiatan
penilaian dengan alat pengindera yaitu indera penglihatan, pencicip, pembau dan
pendengar. Melalui hasil pengujian organoleptik akan diketahui daya penerimaan
panelis (konsumen) terhadap produk tersebut (Soekarto 1985).
Sampel bubur jagung MP-ASI yang akan diuji organoleptik direhidrasi
terlebih dahulu. Kemudian sampel dihidangkan secara acak dihadapan panelis,
kemudian panelis tersebut diminta untuk mengisi formulir yang telah disediakan
sesuai dengan instruksi yang terdapat pada formulir tersebut. Panelis yang
39
digunakan dalam uji organoleptik ini panelis semi terlatih yang berjumlah 70
orang. Uji organoleptik terhadap bubur jagung instan MP-ASI ini meliputi uji
skoring dan uji kesukaan (hedonik). Uji skoring meliputi sifat kehalusan dalam
mulut, kemudahan ditelan dan kelengketan di dalam mulut. Skala yang digunakan
adalah 1-5. Sedangkan parameter mutu yang diujikan pada uji hedonik adalah
warna, kekentalan, aroma, rasa dan penerimaan umum (overall). Penilaian
dilakukan menggunakan skala hedonik yang menunjukkan tingkat kesukaan
panelis terhadap produk. Skala pengujian hedonik terdiri dari: (7) sangat suka, (6)
suka, (5) agak suka, (4) netral, (3) agak tidak suka, (2) tidak suka, dan (1) sangat
tidak suka. Format uji organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 2.
40
pada proses nikstamalisasi disebabkan oleh terikatnya ion-ion Ca2+ pada polimer
amilosa dan amilopektin.
merusak ikatan antara pati dengan molekul air dan membentuk ikatan silang
dengan molekul amilosa dan amilopektin yang ada dalam pati.
Swelling volume tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH)2 meningkat pada
lama pemasakan hingga 10 menit dan kemudian menurun jika pemasakan
diteruskan hingga 20 menit. Hal ini berkaitan dengan kapasitas penyerapan air
tepung jagung tersebut. Kapasitas penyerapan air tepung jagung tanpa perlakuan
Ca(OH)2 meningkat pada perlakuan lama pemasakan hingga 10 menit, kemudian
menurun jika pemasakan diteruskan hingga 20 menit. Swelling volume
dipengaruhi oleh kemampuan molekul pati untuk mengikat air melalui
pembentukan ikatan hidrogen. Setelah gelatinisasi ikatan hidrogen antara molekul
pati terputus dan digantikan oleh ikatan hidrogen dengan air. Pembengkakan
granula pati secara cepat yang disebabkan oleh putusnya ikatan hidrogen
intermolekuler pada area daerah amorf terjadi pada suhu di bawah 70 0C (De la
Torre-Gutirrez et al. 2008). Hal ini dapat menjelaskan bahwa semakin tinggi
kapasitas penyerapan air, maka semakin tinggi pula swelling volume tepung
jagung sehingga terdapat korelasi antara kapasitas penyerapan air dengan swelling
volume tepung jagung (r = 0,865; p 0,01) (Gambar 4).
8,6
Kapasitas penyerapan air (g/g
8,5
8,4
8,3
8,2
8,1
8
bk)
7,9
7,8 r = 0,865
7,7
7,6
7,5
0 50 100 150
Swelling volume (ml/g bk)
Kelarutan (Solubility)
Nilai kelarutan tepung jagung berkisar antara 25,56-38,60 % bk (Tabel 8).
Hasil analisis data yang disajikan pada Lampiran 4 menunjukkan adanya
pengaruh interaksi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan terhadap
kelarutan tepung jagung (p 0,05). Hasil uji Duncan menunjukkan interaksi
perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan menyebabkan adanya
perbedaan pola respon kelarutan pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2
dan lama pemasakan yang berbeda.
45,00
40,00
35,00
Kelarutan (%)
30,00
25,00
20,00 r = 0,765
15,00
10,00
5,00
0,00
8,00 8,50 9,00 9,50 10,00
Swelling volume (ml/g bk)
600
550
Kelarutan (% bk)
500
450
400
350 r = 0,812
300
250
200
7,4 7,6 7,8 8 8,2 8,4 8,6
Kapasitas penyerapan air (g/g bk)
berkaitan dengan kadar lemak dan kadar protein. Semakin besar kadar lemak atau
protein, semakin besar KPM. Hal ini berhubungan dengan mekanisme KPM yang
disebabkan pemerangkapan minyak secara fisik dengan gaya kapiler dan peran
hidrofobisitas protein (Voutsinas & Nakai 1983).
Nilai KPM tepung jagung berkisar antara 4,73-5,40 g/g bk (Tabel 10). Hasil
analisis ragam yang disajikan pada Lampiran 6 menunjukkan adanya pengaruh
interaksi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan terhadap KPM
tepung jagung (p 0,05). Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa interaksi
perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan menyebabkan adanya
perbedaan pola respon KPM pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan
lama pemasakan yang berbeda.
dengan KPM tepung jagung dengan konsentrasi Ca(OH)2 0,5%, namun berbeda
nyata dengan KPM tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH)2. Tingginya nilai KPM
pada tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH)2 dengan semakin lamanya
pemasakan disebabkan oleh meningkatnya jumlah protein yang terdenaturasi dan
kandungan protein yang memiliki gugus samping non-polar pada sampel tersebut
sehingga meningkatkan KPM tepung jagung.
Pengaruh lama pemasakan tidak menyebabkan perbedaan yang signifikan
terhadap KPM tepung jagung dengan perlakuan Ca(OH)2. Kapasitas penyerapan
minyak tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH)2 cenderung meningkat dengan
adanya pengaruh pemasakan. Peningkatan KPM berhubungan dengan
meningkatnya sifat hidrofobik protein dan kemampuan pengikatan minyak oleh
rantai samping asam amino non-polar. Perlakuan pemasakan menyebabkan residu
non-polar pada molekul protein terbuka dan dapat berikatan dengan minyak
(Njintang & Mbofung 2006). Pendapat ini didukung oleh Sosulski et al. (1976)
yang menyatakan KPM tergantung kepada ketersediaan gugus asam amino
hidrofobik. Selain itu, perlakuan pemasakan juga menyebabkan peningkatan
porositas tepung jagung sehingga lebih mudah mengikat minyak (Njintang &
Mbofung 2006).
Kapasitas penyerapan minyak suatu bahan diperlukan untuk pengembangan
produk pangan baru berhubungan dengan stabilitas penyimpanan bahan pangan
tersebut (terutama yang berhubungan dengan flavor binding dan ketengikan
oksidatif). Mekanisme penyerapan minyak kemungkinan melalui pemerangkapan
minyak secara fisik yang berhubungan dengan keberadaan gugus non-polar
protein. Kandungan protein dan jenis protein berkonstribusi terhadap sifat
kapasitas penyerapan minyak bahan pangan (Ravi & Sushelamma 2005).
Kapasitas penyerapan minyak tepung juga diperlukan untuk meningkatkan mouth
feel dan menahan flavor (Kinsella 1976).
pH
Nilai pH tepung jagung merupakan salah satu parameter kualitas yang
memengaruhi flavor dan umur simpan produk yang diproses secara
nisktamalisasi. Analisis ragam yang disajikan pada Lampiran 7 menunjukkan
53
Namun pengaruh lama pemasakan ini tidak terlalu besar memengaruhi pH tepung
jagung jika dibandingkan dengan pengaruh konsentrasi Ca(OH)2.
Studi lain melaporkan bahwa pH tepung jagung beserta produk-produknya
yang diproses secara nikstamalisasi berhubungan erat dengan jumlah Ca(OH)2
yang digunakan dan jumlah pengikatan Ca(OH)2 tersebut selama pemasakan dan
perendaman (Serna-Saldivar 1990). Lebih lanjut Bryant & Hamaker (1997)
menjelaskan meningkatnya nilai pH pada tepung jagung yang diberi perlakuan
Ca(OH)2 menandakan molekul pati mengikat Ca2+. Nilai pH sistem yang tinggi
pada saat pemasakan dan perendaman biji jagung menyebabkan gugus hidroksil
pati mengalami ionisasi dan berinteraksi dengan ion Ca2+ hasil ionisasi Ca(OH)2.
Nilai pH tepung jagung pada penelitian ini berkisar antara 6,47-7,91. Khusus
untuk tepung jagung yang mengalami perlakuan nikstamalisasi (pemasakan dalam
larutan Ca(OH)2) memiliki nilai pH 6,88-7,91. Hasil ini serupa dengan hasil
penelitian Sefa-Dedeh et al. (2004) yang melaporkan pH tepung jagung nikstamal
berkisar antara 7,01-7,88 dan pH tepung jagung nikstamal varietas Meksiko
berkisar antara 6,2-6,9 (Flores-Faras et al. 2000).
Kekuatan Gel
Kekuatan gel menunjukkan besarnya beban yang diberikan pada saat gel
mulai pecah. Nilai kekuatan gel tepung jagung berkisar antara 53,00-104,15 gf
(Tabel 12). Hasil analisis ragam yang disajikan pada Lampiran 8 menunjukkan
adanya pengaruh interaksi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan
terhadap kekuatan gel tepung jagung (p 0,05). Hasil uji Duncan menunjukkan
interaksi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan menyebabkan
adanya perbedaan pola respon kekuatan gel pada kombinasi perlakuan konsentrasi
Ca(OH)2 dan lama pemasakan yang berbeda.
biji jagung di atas 10 menit menyebabkan banyak padatan yang leaching ke dalam
medium pemasakan sehingga jumlah molekul pati yang akan bergabung kembali
pada saat pendinginan menjadi lebih sedikit.
Stabilisasi jaringan gel berhubungan dengan pengembangan struktur
kristalin lokal karena penggabungan kembali molekul amilosa (Mondrag n et al.
2006). Menurut Collado & Corke (1999), peningkatan leaching amilosa akan
meningkatkan kekuatan gel. Oleh karena proses nikstamalisasi dapat menghambat
leaching amilosa, maka tepung jagung yang diberi perlakuan pemasakan dalam
larutan Ca(OH)2 akan menghasilkan gel yang lemah. Lebih lanjut Takashi et al.
(1989) melaporkan bahwa terjadi penurunan kekuatan gel pada pati jagung dan
pati gandum yang dimodifikasi ikatan silang.
Nilai pH tepung jagung juga memengaruhi kekuatan gel yang dihasilkan.
Gambar 7 menunjukkan adanya korelasi negatif antara pH dengan kekuatan gel
tepung jagung (r = -0,610, p 0,01). Semakin tinggi pH tepung jagung yang
dihasilkan, maka akan semakin rendah kekuatan gel adonan jagung. Hasil ini
didukung oleh hasil penelitian Aini (2009) yang menyatakan bahwa kekuatan gel
tepung jagung yang didapat melalui proses fermentasi spontan semakin rendah
dengan meningkatnya nilai pH tepung jagung tersebut.
120
100
Kekuatan gel (gf)
80
60
40 r = -0,610
20
0
6 6,5 7 7,5 8
pH
pati, dimana bagian amorf granula pati akan dipecah terlebih dahulu sedangkan
bagian kristalin dihidrolisis pada kecepatan yang lebih rendah. Pada penelitian ini
tepung jagung yang digunakan memiliki kisaran pH 6,47 sampai 7,91 sehingga
belum terjadi hidrolisis pati. Menurut Kilara (2006), gel paling lemah terbentuk
pada pH asam yang ekstrim (pH 1-2) dan pH sangat basa (pH > 10), sedangkan
pada pH 12 tidak terbentuk gel.
Kemampuan gel dalam mengikat air dapat memengaruhi kekuatan gel.
Semakin tinggi nilai kekuatan gel berarti semakin tinggi kemampuan gel tersebut
dalam menyerap air. Hal ini dapat dilihat dengan adanya korelasi antara kekuatan
gel dengan kapasitas penyerapan air tepung jagung (r = 0,753; p 0,01) (Gambar
8).
120
100
Kekuatan gel (gf)
80
60
40
r = 0,753
20
0
7,4 7,6 7,8 8 8,2 8,4 8,6
Kapasitas penyerapan air (g/g bk)
Nilai kekuatan gel merupakan parameter tepung jagung yang penting dalam
pembuatan bubur jagung instan MP-ASI. Karakteristik tepung jagung yang
diinginkan dalam pembuatan bubur instan MP-ASI adalah tepung jagung yang
memiliki kemampuan membentuk gel yang lemah.
Densitas Kamba
Densitas kamba merupakan perbandingan antara berat bahan dengan
volume ruang yang ditempati dan dinyatakan dalam satuan g/ml. Nilai densitas
58
kamba menunjukkan porositas dari suatu bahan. Perhitungan densitas kamba ini
sangat penting, selain dalam hal konsumsi terutama juga dalam hal pengemasan
dan penyimpanan. Makanan dengan densitas kamba yang tinggi menunjukkan
kepadatan produk ruang yang kecil.
Densitas kamba tepung jagung berkisar antara 0,1375-0,2249 g/ml (Tabel
13). Hasil analisis ragam yang disajikan pada Lampiran 9 menunjukkan adanya
pengaruh interaksi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan terhadap
densitas kamba tepung jagung (p 0,05). Interaksi perlakuan konsentrasi
Ca(OH)2 dan lama pemasakan menyebabkan adanya perbedaan pola respon
densitas kamba pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama
pemasakan yang berbeda.
Nilai densitas kamba tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH)2 lebih rendah
dibandingkan nilai densitas kamba tepung jagung dengan perlakuan Ca(OH)2.
Nilai densitas kamba semakin tinggi dengan meningkatnya konsentrasi Ca(OH)2.
Hal ini diduga tingkat gelatinisasi tepung jagung dengan perlakuan Ca(OH)2 lebih
59
Wettability
Wettability adalah waktu yang dibutuhkan oleh sampel tepung dalam
menyerap air. Untuk itu kualitas tepung jagung pregelatinisasi yang dihasilkan
salah satunya adalah daya dispersi yang dimilikinya. Semakin besar daya dispersi
bahan pangan, maka bahan pangan tersebut akan semakin mudah larut tanpa harus
dilakukan pengadukan. Menurut Bahrie (2005), faktor-faktor yang memengaruhi
60
daya dispersi suatu bahan pangan adalah porositas, polaritas dan komposisi kimia
bahan.
Barbosa-Canovas & Vega-Mercado (1996) menjelaskan bahwa terdapat
beberapa sifat fungsional dari bahan yang dikeringkan, yaitu 1) wettability,
merupakan kemampuan tepung untuk menyerap air. Sifat ini dipengaruhi oleh
proses aglomerasi, jumlah yang terserap, adanya partikel non-aglomerat;
2) sinkability, merupakan kemampuan tepung untuk tenggelam setelah dibasahi.
Sifat ini dipengaruhi oleh densitas partikel; 3) kelarutan, merupakan kecepatan
untuk melarut atau disebut juga dengan total kelarutan. Sifat ini dipengaruhi oleh
daya pengembangan; 4) dispersibility, merupakan kemampuan tepung untuk
terdistribusi seluruhnya pada air tanpa membentuk gumpalan. Sifat ini
dipengaruhi oleh ukuran partikel dan keberadaan aglomerat.
Nilai wettability tepung jagung berkisar antara 13,25-135,00 detik (Tabel
14). Hasil analisis ragam yang disajikan pada Lampiran 10 menunjukkan adanya
pengaruh interaksi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan terhadap
wettability tepung jagung (p 0,05). Interaksi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan
lama pemasakan menyebabkan adanya perbedaan pola respon wettability pada
kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan yang berbeda.
Wettability tepung jagung perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 0,5% jauh lebih
besar dibandingkan wettability tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH)2 dan
wettability tepung jagung perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 0,25%. Semakin
tingginya nilai wettability dengan meningkatnya konsentrasi Ca(OH)2 dapat
disebabkan oleh interaksi ion Ca2+ dengan molekul pati. Mondrag n et al. (2006)
melaporkan pada konsentrasi Ca(OH)2 yang tinggi, ion-ion Ca2+ cenderung
menumpuk pada permukaan granula pati sehingga menghalangi penyerapan air
oleh granula pati dan menghasilkan nilai wettability yang besar.
Tabel 14 Wettability tepung jagung pada kombinasi perlakuan
konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan
Konsentrasi Wettability
Lama Pemasakan
Ca(OH)2 (detik)
0 menit 32,75 2,22 f
5 menit 15,75 1,71 h
0%
10 menit 13,25 0,96 h
15 menit 13,50 1,29 h
61
8,6
(g/g bk)
8,1
8
7,9
7,8
7,7 r = -0,869
7,6
7,5
0 25 50 75 100 125 150
Wettability (detik)
sehingga selanjutnya akan pecah. Parameter ini dapat digunakan sebagai indikator
kemudahan jika dimasak dan juga menunjukkan kekuatan adonan yang terbentuk
dari gelatinisasi selama pengolahan dalam aplikasi makanan.
Nilai viskositas puncak tepung jagung berkisar antara 372-536 cp (Tabel
15). Analisis ragam yang disajikan pada Lampiran 11 menunjukkan adanya
pengaruh interaksi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan terhadap
viskositas puncak tepung jagung (p 0,05). Interaksi antara perlakuan konsentrasi
Ca(OH)2 dan lama pemasakan menyebabkan adanya perbedaan pola respon
viskositas puncak pasta tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi
Ca(OH)2 dan lama pemasakan yang berbeda.
Viskositas puncak tepung jagung perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 0,5% lebih
rendah dibandingkan viskositas puncak tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH)2
dan tepung jagung perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 0,25%. Semakin tinggi
konsentrasi Ca(OH)2 yang digunakan dalam proses nikstamalisasi, maka semakin
rendah viskositas puncak tepung jagung yang dihasilkan. Ikatan silang yang
terbentuk antara ion Ca2+ dengan gugus hidroksil pati memungkinkan terjadinya
penurunan viskositas puncak pada tepung jagung nikstamal. Viskositas puncak
tepung jagung perlakuan Ca(OH)2 0,5% yang lebih rendah dapat dijelaskan
sebagai berikut: pada tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH)2, molekul amilosa
dan amilopektin pati hanya dipertahankan oleh ikatan hidrogen lemah, sementara
energi kinetik air semakin tinggi yang selanjutnya dapat masuk ke dalam molekul
pati dan granula menjadi membengkak. Pada tepung jagung perlakuan Ca(OH)2,
ikatan yang dimiliki pati tidak hanya ikatan hidrogen lemah, tetapi lebih diperkuat
dengan adanya ikatan silang antara molekul pati dengan ion Ca2+. Hal ini dapat
membatasi pembengkakan granula dan menghasilkan viskositas puncak yang
rendah. Namun viskositas puncak tepung jagung perlakuan konsentrasi Ca(OH)2
0,25% tidak berbeda nyata dengan viskositas puncak tepung jagung tanpa
perlakuan Ca(OH)2 kecuali pada lama pemasakan 20 menit.
hasil penelitian ini dimana viskositas puncak berkorelasi positif dengan swelling
volume (r= 0,815, p 0,01), kelarutan (r = 0,858; p 0,01) dan kapasitas
penyerapan air (r = 0,851; p 0,01 ). Korelasi positif antara viskositas puncak
dengan swelling volume, kelarutan dan kapasitas penyerapan air dapat dilihat pada
Gambar 10, 11 dan 12.
600
500
Viskositas puncak (cp)
400
r = 0,830
300
200
100
0
8,00 8,50 9,00 9,50 10,00
Swelling volume (ml/g)
600
Viskositas puncak (cp)
500
400
300 r = 0,815
200
100
0
20,00 25,00 30,00 35,00 40,00 45,00
Kelarutan (%bk)
600
400
300 r = 0,851
200
100
0
7,4 7,6 7,8 8 8,2 8,4 8,6
Kapasitas penyerapan air (g/g bk)
600
Viskositas puncak (cp)
550
500
450
400
350 r = -0,890
300
250
200
6,00 6,50 7,00 7,50 8,00
pH
Tabel 16 Viskositas pasta panas dan breakdown tepung jagung pada kombinasi
perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan
Konsentrasi Viskositas pasta
Lama Pemasakan Breakdown (cp)
Ca(OH)2 panas (cp)
0 menit 98 2,12 g 434 11,31 a
5 menit 139 8,49 cde 397 9,19 b
0% 10 menit 173 4,95 a 352 4,24 cd
15 menit 170 3,54 a 346 4,95 d
20 menit 139 5,66 cde 380 26,87 bc
0 menit 107 3,54 g 403 21,21 b
5 menit 143 7,07 cd 372 5,66 bcd
0,25% 10 menit 158 4,24 b 348 4,95 d
15 menit 139 3,54 cde 341 2,12 d
20 menit 134 0,00 de 309 2,12 e
0 menit 81 1,41 h 347 21,92 d
0,5%
5 menit 132 6,36 ef 307 18,38 e
68
500
450
Breakdown (cp)
400
350
300
250 r = -0,788
200
150
6 6,5 7 7,5 8
pH
500
450
400
Breakdown (cp)
350
300
250
200
150 r = 0,670
100
50
0
7,4 7,6 7,8 8 8,2 8,4 8,6
Kapasitas penyerapan air (g/g bk)
70
Tabel 17 Viskositas pasta dingin dan setback tepung jagung pada kombinasi
perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan
Konsentrasi Viskositas pasta Setback
Lama Pemasakan
Ca(OH)2 dingin (cp) (cp)
0 menit 224 0,71 i 126 1,41 e
5 menit 299 15,56 cde 160 7,07 ab
0% 10 menit 336 7,07 a 164 2,12 a
15 menit 323 0,71 ab 153 2,83 b
20 menit 273 14,85 fg 134 9,19 de
0 menit 246 1,41 h 140 4,95 d
5 menit 310 8,49 bcd 167 1,41 a
0,25% 10 menit 315 8,49 bc 157 4,24 ab
15 menit 290 3,54 ef 151 0,00 bc
20 menit 268 1,41 g 134 1,41 de
0 menit 170 4,24 j 89 5,66 f
5 menit 271 12,02 g 139 5,66 d
0,5% 10 menit 292 11,31 de 143 4,95 cd
15 menit 248 9,19 h 125 4,95 e
20 menit 257 1,41 gh 124 1,41 e
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom menunjukkan tidak beda
nyata pada taraf 5%
120
100
Kekuatan gel (gf)
80
60
40 r = 0,916
20
0
70 90 110 130 150 170 190
Setback (cp)
180
160
Setback (cp)
140
120
r = -0,505
100
80
6 6,5 7 7,5 8
pH
Pada saat gelatinisasi, amilosa keluar dari granula pati dan dapat
membentuk kompleks amilosa-lemak. Pembentukan kompleks ini juga dapat
mengurangi kecenderungan amilosa untuk berikatan, membentuk gel dan
teretrogradasi sehingga menghambat kecepatan pengerasan selama pemanasan
(Singh et al. 2006). Penurunan setback penting untuk karakteristik tepung yang
akan digunakan dalam pembuatan bubur MP-ASI (Muyonga et al. 2001).
penyusun yang ditambahkan. Oleh karena pada pembuatan bubur MP-ASI ini
tidak ditambahkan zat gizi mikro maka pemilihan formulasi bubur MP-ASI
mengacu kepada kandungan zat gizi makronya. Formulasi bubur jagung MP-ASI
yang akan dipilih adalah formulasi yang telah memenuhi persyaratan zat gizi
makro MP-ASI bubuk instan berdasarkan SNI 01-7111.1-2005. Kandungan zat
gizi makro (untuk 100 gram produk) MP-ASI bubuk instan berdasarkan SNI 01-
7111.1-2005 adalah protein sebesar 8-22 gram, lemak sebesar 6-15 gram dan
energi minimal 400 kilokalori.
Sumber karbohidrat utama yang digunakan dalam pembuatan bubur jagung
MP-ASI adalah tepung jagung yang diperoleh pada penelitian tahap I. Tepung
jagung yang digunakan pada pembuatan bubur MP-ASI ini adalah tepung jagung
dengan perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 0,25% dengan lama pemasakan 15 menit
dan tepung jagung tanpa perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dengan lama pemasakan
15 menit (Gambar 18). Secara visual tidak terlihat perbedaan antara kedua jenis
tepung tersebut. Pemilihan tepung jagung nikstamal dengan perlakuan konsentrasi
Ca(OH)2 0,25% dan lama pemasakan 15 menit dalam pembuatan bubur MP-ASI
dikarenakan tepung jagung tersebut memiliki kapasitas penyerapan air, kekuatan
gel dan kekentalan yang lebih rendah dibandingkan tepung jagung nikstamal pada
perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 0,25% dan lama pemasakan 5 dan 10 menit.
Tepung jagung dengan lama pemasakan 20 menit tidak sesuai digunakan di dalam
pembuatan bubur MP-ASI karena memiliki wettability yang lebih tinggi dan
menghasilkan aroma yang tidak diinginkan. Tepung jagung perlakuan konsentrasi
Ca(OH)2 0,5% sulit terdispersi di dalam air dingin ditandai dengan nilai
wettabilitynya yang tinggi yaitu berkisar antara 82-135 detik, sehingga tidak
sesuai digunakan dalam pembuatan bubur MP-ASI. Namun pada tahap penentuan
formulasi hanya digunakan tepung jagung nikstamal (konsentrasi Ca(OH)2 0,25%
dan lama pemasakan 15 menit).
Bahan-bahan lain yang digunakan dalam pembuatan bubur jagung MP-ASI
adalah susu bubuk skim sebagai sumber protein, minyak kelapa sawit sebagai
sumber lemak, dan gula bubuk untuk memberikan rasa manis. Produk bubur
jagung MP-ASI dibuat dengan mencampurkan bahan-bahan secara merata karena
bahan yang digunakan sudah dalam bentuk matang.
75
(a) (b)
Kandungan gizi kedua formulasi bubur jagung MP-ASI dapat dilihat pada
Tabel 18. Berdasarkan kandungan energi, protein, lemak, dan abu dari kedua
formulasi bubur tersebut, maka bubur jagung MP-ASI formulasi 2 telah
memenuhi persyaratan SNI 01-7111.1-2005, sedangkan bubur jagung MP-ASI
formulasi 1, kandungan lemaknya lebih rendah (4,49% bk) dari kandungan lemak
yang dipersyaratkan dalam SNI 01-7111.1-2005 (6-15%).
Tabel 18 Komposisi kimia bubur jagung instan MP-ASI dengan dua formulasi
yang berbeda
Komposisi kimia Formulasi 1 Formulasi 2
Kadar karbohidrat (%bk) 79,02 0,34 73,92 0,28
Kadar protein (%bk) 13,69 0,02 16,19 0,04
Kadar lemak (%bk) 4,49 0,05 6,70 0,21
Kadar abu (%bk) 2,81 0,31 3,18 0,04
Kadar serat kasar (%bk) 0,91 0,13 0,93 0,04
Kandungan Gizi
Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui kandungan gizi dua jenis
sampel bubur MP-ASI yang masing-masing dibuat dengan bahan baku tepung
jagung nikstamal dan tepung jagung non-nikstamal. Sebelumnya sudah ditentukan
bahwa bubur MP-ASI formulasi 2 telah memenuhi persyaratan kandungan gizi
MP-ASI bubuk instan menurut SNI 01-7111.1-2005, maka kedua jenis bubur
jagung ini dibuat menggunakan formulasi 2. Perbedaan dari kedua sampel bubur
MP-ASI ini hanyalah penggunaan bahan baku jenis tepung jagung yang berbeda
yaitu tepung jagung yang diproses tanpa perlakuan nikstamalisasi dan tepung
jagung yang diproses dengan perlakuan nikstamalisasi. Pada tahap penentuan
formulasi, tepung jagung yang digunakan dalam pembuatan bubur MP-ASI adalah
tepung jagung nikstamal, sehingga analisis proksimat untuk sampel ini tidak
dilakukan lagi karena sudah didapat data pada tahap penentuan formulasi, hanya
dilakukan analisis kadar kalsium. Pada sampel bubur MP-ASI berbahan baku
tepung jagung non-nikstamal dilakukan analisis proksimat dan kadar kalsium.
Kandungan gizi hasil analisis proksimat dan kadar kalsium bubur jagung MP-ASI
dan bubur MP-ASI komersial dapat dilihat pada Tabel 19.
Analisis proksimat yang dilakukan meliputi analisis kadar air, kadar abu,
kadar lemak, kadar protein, dan kadar karbohidrat. Produk bubur jagung MP-ASI
yang dihasilkan pada penelitian ini dibandingkan dengan bubur MP-ASI
komersial yang diperuntukkan untuk bayi berusia enam bulan ke atas.
77
Kadar protein pada kedua sampel bubur jagung MP-ASI adalah 15,53% (bk)
untuk bubur berbahan baku tepung jagung non-nisktamal dan 16,19% (bk) untuk
bubur berbahan baku tepung jagung nikstamal. Kandungan protein pada kedua
sampel bubur jagung MP-ASI ini lebih tinggi dibandingkan kandungan protein
pada bubur MP-ASI komersial yaitu 14,58% (bk). Persyaratan SNI 01-
7111.1.2005 mengenai kandungan protein MP-ASI bubuk instan adalah minimal
8% dan maksimal 22%. Oleh karena itu kandungan protein pada kedua sampel
bubur jagung MP-ASI ini telah sesuai dengan standar.
Kadar lemak pada kedua sampel bubur jagung MP-ASI adalah 6,63% (bk)
untuk bubur berbahan baku tepung jagung non-nikstamal dan 6,70% (bk) untuk
bubur berbahan baku tepung jagung nikstamal. Kandungan lemak kedua sampel
bubur jagung MP-ASI ini sudah sesuai dengan persyaratan SNI 01-7111.1.2005
mengenai kandungan lemak MP-ASI bubuk instan yaitu minimal 6% dan
maksimal 15%. Jika dibandingkan dengan kandungan lemak bubur MP-ASI
komersial, maka kandungan lemak kedua sampel bubur jagung MP-ASI lebih
tinggi.
Kadar karbohidrat pada kedua sampel bubur jagung MP-ASI adalah 74,20%
(bk) untuk bubur berbahan baku tepung jagung non-nisktamal dan 73,92% (bk)
untuk bubur berbahan baku tepung jagung nisktamal, sedangkan kandungan
karbohidrat bubur MP-ASI komersial lebih rendah yaitu 70,83% (bk). Begitu juga
dengan kandungan energi untuk kedua sampel bubur jagung MP-ASI lebih tinggi
dibandingkan kandungan energi bubur MP-ASI komersial. Bubur MP-ASI
berbahan baku tepung jagung nikstamal memiliki kandungan zat gizi yang lebih
tinggi (420,74 kkal) dibandingkan bubur berbahan baku tepung jagung non-
nikstamal (418,59).
Kadar kalsium bubur MP-ASI berbahan baku tepung jagung nikstamal
(0,59% bk) lebih tinggi dibandingkan bubur MP-ASI berbahan baku tepung
jagung non-nikstamal (0,57% bk). Lebih tingginya kadar kalsium pada sampel
bubur jagung MP-ASI berbahan baku tepung jagung nikstamal ini disebabkan
karena proses pembuatan tepung jagung nikstamal melibatkan proses
nikstamalisasi yaitu pemasakan dan perendaman biji jagung dalam larutan
Ca(OH)2. Selama proses nikstamalisasi, terjadi interaksi antara molekul pati
78
dengan ion Ca2+ dimana ion Ca2+ tersebut berikatan dengan gugus hidroksil pati.
Hal ini menyebabkan kadar kalsium sampel bubur MP-ASI berbahan baku tepung
jagung nikstamal lebih tinggi. Kalsium merupakan mineral, sehingga tingginya
kadar kalsium pada bubur jagung MP-ASI juga memengaruhi kadar abu sampel.
Semakin tinggi kadar kalsium bubur jagung MP-ASI, maka semakin tinggi pula
kadar abunya. Baik kadar kalsium maupun kadar abu kedua bubur jagung MP-
ASI telah memenuhi persyaratan kadar kalsium dan kadar abu MP-ASI pada SNI
01-7111.1.2005. Tingginya kandungan kalsium pada kedua bubur jagung MP-ASI
tersebut dikarenakan penggunaan susu skim yang memiliki kandungan kalsium
yang tinggi. Kadar kalsium dan kadar abu yang dipersyaratkan SNI 01-
7111.1.2005 untuk MP-ASI bubuk instan adalah minimal 0,2% untuk kadar
kalsium dan maksimal 3,5% untuk kadar abu.
Sifat Fisik
Sifat fisik suatu bahan pangan erat kaitannya dengan proses pengolahannya
dan merupakan faktor penentu dalam proses selanjutnya seperti pengemasan,
penyajian dan umur simpan. Sifat fisik yang dianalisis antara lain: densitas
kamba, uji seduh, waktu rehidrasi dan kapasitas penyerapan air. Data hasil analisis
sifat fisik kedua sampel bubur jagung MP-ASI dapat dilihat pada Tabel 20.
Densitas Kamba
Selain dinyatakan dengan kandungan protein, lemak dan energi, tingkat
kepadatan gizi suatu produk makanan, terutama makanan bayi dapat dinyatakan
pula dengan nilai densitas kamba. Densitas kamba yang kecil berarti bahan
tersebut membutuhkan volume yang besar untuk sejumlah kecil bahan. Menurut
Hofvander & Underwood (1987) untuk kepentingan konsumsi balita dibutuhkan
79
jenis produk pangan yang memiliki kekambaan minimum, sebab makanan yang
kamba tidak cocok untuk balita mengingat kapasitas perutnya yang masih
terbatas. Selain itu, semakin kecil nilai densitas kamba akan semakin sedikit pula
kandungan gizi yang akan diterima oleh bayi. Bahan pangan yang kamba akan
membutuhkan tempat yang lebih luas dibandingkan dengan bahan yang densitas
kambanya besar untuk berat bahan yang sama.
Nilai densitas kamba produk bubur MP-ASI dapat dilihat pada Tabel 20.
Nilai densitas kamba untuk bubur berbahan baku tepung jagung non-nikstamal
lebih kecil dibandingkan bubur MP-ASI berbahan baku tepung jagung nikstamal.
Hal ini disebabkan tepung jagung non-nikstamal memiliki nilai densitas kamba
yang lebih kecil dibandingkan nilai densitas kamba tepung jagung nikstamal,
sehingga bubur MP-ASI berbahan baku tepung jagung nikstamal lebih padat gizi
dibandingkan bubur MP-ASI berbahan baku tepung jagung non-nikstamal.
Namun jika dibandingkan dengan nilai densitas kamba bubur MP-ASI komersial,
kedua sampel bubur jagung MP-ASI ini memiliki nilai densitas kamba yang lebih
kecil.
Hasil penelitian lain menunjukkan nilai densitas kamba makanan bayi dari
campuran tepung terigu dan dekstrin pati garut sebesar 0,3-0,4 g/ml (Susanty
2002), bubur bayi dari campuran tepung kecambah dengan tepung beras 0,31-0,35
g/ml (Fatmawati 2004), sedangkan Mirdhayati (2004) menyatakan kisaran
densitas kamba sebesar 0,45-0,67 untuk makanan bayi berbahan baku tepung
garut. Jika dibandingkan dengan ketiga hasil penelitian di atas, maka nilai densitas
kamba bubur bayi yang dihasilkan tidak jauh berbeda.
Menurut Wirakartakusumah et al. (1992), adanya perbedaan nilai densitas
kamba ini sangat dipengaruhi oleh ukuran dan bentuk partikel, gaya tarik menarik
antar partikel bubuk dan penyebaran partikel. Perubahan dari sifat bulk dapat
menyebabkan perubahan pada sifat-sifat produk berbentuk bubuk. Nilai densitas
kamba dari makanan berbentuk bubuk umumnya antara 0,3-0,8 g/ml.
Apabila suatu MP-ASI memiliki nilai densitas kamba yang tinggi tetapi
daya serap airnya pun tinggi maka MP-ASI tersebut kurang baik untuk bayi
karena MP-ASI akan menyerap air banyak sehingga pada tahap penyajiannya,
80
volume MP-ASI akan meningkat setelah diberi air dan ada kemungkinan bubur
yang disajikan tidak habis termakan.
MP-ASI tidak boleh terlalu banyak karena dapat menyebabkan perut bayi menjadi
kembung dan kenyang sebelum kebutuhan energinya tercukupi.
Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Mirdhayati (2004), jumlah air
yang ditambahkan untuk merehidrasi 24 gram bubur garut instan MP-ASI tanpa
penambahan dekstrin adalah sebesar 75 ml atau lebih besar jika dibandingkan
dengan hasil penelitian ini.
Uji waktu rehidrasi dilakukan pada saat produk MP-ASI berbentuk bubuk,
kemudian dilakukan penambahan air dengan jumlah yang didapat pada uji seduh
untuk masing-masing bubur MP-ASI sehingga produk menjadi bubur dengan
kekentalan yang merata. Waktu rehidrasi yang diharapkan pada produk instan
adalah yang lebih singkat sehingga mempermudah proses penyajiannya. Namun
ukuran dan sebaran partikel bubuk, proses pencampuran bahan dan komposisi
bahan penyusun dapat memengaruhi lama penyerapan air. Waktu rehidrasi dapat
ditingkatkan dengan pengadukan. Waktu rehidrasi kedua sampel bubur jagung
MP-ASI lebih singkat dibandingkan waktu rehidrasi bubur MP-ASI komersial
(Tabel 20).
Salah satu metode pengujian daya cerna protein adalah dengan metode in
vitro. Keuntungan metode ini antara lain adalah praktis atau lebih mudah
diterapkan, biaya lebih murah dan efisien, waktu pengujiannya yang lebih singkat
dari metode in vivo. Pengujian daya cerna in vitro pada hakekatnya adalah meniru
kondisi pencernaan dalam tubuh dengan menggunakan enzim pencernaan dan
kondisi suhu dan pH yang sama dengan kondisi dalam tubuh manusia.
Dalam penelitian ini digunakan larutan multi-enzim yang terdiri dari tripsin,
kimotripsin dan peptidase yang merupakan enzim protease untuk analisis daya
cerna in vitro. Di dalam lambung, enzim pepsin akan memecah protein menjadi
asam-asam amino atau peptida dengan bantuan HCl. Proses pemecahan tersebut
berlanjut baik di dalam usus 12 jari (duodenum) maupun di dalam usus kecil.
Dimana enzim pankreatin bersama enzim-enzim lain di dalam usus kecil
memecah protein secara sempurna menjadi asam-asam amino (Muchtadi 1989).
Berdasarkan data pada Tabel 21, maka dapat diketahui bahwa protein MP-
ASI tersebut memiliki mutu yang baik. Daya cerna kedua sampel bubur jagung
MP-ASI berada di atas 80%, yaitu 86,46% (bk) untuk bubur jagung non-nikstamal
dan 87,36% (bk) untuk bubur jagung nikstamal. Namun daya cerna protein kedua
sampel bubur jagung MP-ASI ini tidak terlalu jauh berbeda dengan daya cerna
protein bubur MP-ASI komersial (88,81% bk). Perbedaan daya cerna antara kedua
sampel bubur jagung MP-ASI dengan bubur MP-ASI komersial disebabkan oleh
perbedaan bahan baku dan bahan-bahan penunjang yang digunakan serta proses
pengolahan yang berbeda.
Tabel 21 Daya cerna protein dan daya cerna pati sampel bubur jagung instan
MP-ASI
Daya cerna protein Daya cerna pati
Sampel
(%bk) (%bk)
Bubur jagung non-nikstamal 86,46 1,28 82,24 0,46
Bubur jagung nikstamal 87,36 0,00 81,07 0,81
Bubur komersial 88,81* 86,14*
Kasein 90,81*
Keterangan: *Hasil penelitian Mirdhayati (2004)
84
Hasil penelitian lain menunjukkan daya cerna protein makanan bayi dari
campuran tepung terigu dan dekstrin pati garut sebesar 86-87% dan bubur bayi
nestle sebesar 86% (Susanty 2002), sedangkan daya cerna protein makanan bayi
berbahan baku tepung garut berkisar antara 87,18-87,26% (Mirdhayati 2004). Jika
dibandingkan dengan dua hasil penelitian di atas, maka nilai daya cerna protein
kedua sampel bubur jagung MP-ASI yang dihasilkan tidak jauh berbeda.
Berdasarkan hasil penelitian Mitchell dan Grundel (1986) mengenai daya
cerna protein in vitro untuk produk makanan bayi yang berbentuk tepung berkisar
antara 85-88% untuk produk berbahan baku susu dan 88-89% untuk produk
berbahan baku kedelai. Dengan demikian daya cerna protein MP-ASI yang
diperoleh dalam penelitian ini termasuk dalam kisaran produk berbahan baku
susu. Umumnya hasil analisis secara in vitro lebih rendah daripada hasil analisis
secara in vivo.
Daya cerna pati bubur berbahan baku tepung jagung nikstamal (81,07% bk)
lebih rendah daripada daya cerna pati bubur berbahan baku tepung jagung non-
nikstamal (82,24% bk). Namun daya cerna pati kedua sampel bubur jagung MP-
ASI ini lebih rendah daripada daya cerna pati bubur MP-ASI komersial (86,14%)
(Tabel 21). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan tingkat gelatinisasi
dan kapasitas penyerapan air masing-masing sampel bubur. Dari data hasil
analisis kapasitas penyerapan air didapat kapasitas penyerapan air bubur MP-ASI
komersial lebih besar daripada kapasitas penyerapan air kedua sampel bubur
jagung MP-ASI dan kapasitas penyerapan air bubur berbahan baku tepung jagung
non-nikstamal lebih besar daripada kapasitas penyerapan air sampel bubur
berbahan baku tepung jagung nikstamal. Njintang & Mbofung (2006) melaporkan
bahwa peningkatan daya cerna pati dapat disebabkan oleh peningkatan gelatinisasi
pati dan kemampuan untuk mengikat air.
Daniel dan Whistler (1985) mengemukakan bahwa tingkat gelatinisasi suatu
produk makanan berpengaruh terhadap daya cernanya, dimana produk makanan
dengan tingkat gelatinisasi yang lebih tinggi lebih mudah dicerna daripada produk
dengan tingkat gelatinisasi yang rendah. Pengetahuan seperti ini sangat
bermanfaat dalam pembuatan produk makanan khususnya makanan bayi yang
memerlukan daya cerna yang tinggi.
Menurut Saura-Calixto et al. (1993), perlakuan panas pada biji jagung
selama proses nikstamalisasi dapat meningkatkan interaksi antara pati dengan
komponen-komponen lain (protein, lipid dan antar sesama pati) sehingga
menyebabkan pati jagung tersebut kurang dapat dihidrolisis oleh enzim. Miln-
Carillo et al. (2006) melaporkan meningkatnya pati resisten selama produksi
tepung jagung instan yang diperoleh dari biji jagung nikstamal.
Selain hal di atas, proses pencernaan pati dipengaruhi juga oleh interaksi
antara pati dengan komponen pangan lainnya seperti lipid, protein dan pati itu
sendiri dapat memengaruhi daya cerna pati (Tharanthan & Mahadevarma 2003).
Komponen pangan yang dapat menurunkan daya cerna pati adalah serat pangan.
Dalam bentuk utuh, serat dapat bertindak sebagai penghambat fisik pada
pencernaan yaitu terhalangnya granula pati oleh serat sehingga sulit dicerna oleh
86
Sifat Organoleptik
Pengujian sifat organoleptik juga merupakan pertimbangan dasar dalam
penentuan kualitas MP-ASI karena produk yang diterima oleh konsumen tidak
hanya didukung oleh sifat fisik saja, melainkan juga pengujian organoleptik.
Makanan bayi yang baik memiliki sifat halus dalam mulut, mudah ditelan dan
tidak lengket karena merupakan syarat utama untuk MP-ASI berbentuk bubur.
Pengujian sifat organoleptik dilakukan terhadap kedua sampel bubur jagung
MP-ASI dan bubur MP-ASI komersial sebagai pembanding. Pada Gambar 19
dapat dilihat bahwa bubur MP-ASI berbahan baku tepung jagung nikstamal tidak
berbeda secara visual dengan bubur MP-ASI berbahan baku tepung jagung non-
nikstamal. Panelis yang digunakan adalah panelis tidak terlatih yang berjumlah 70
orang dengan menggunakan uji skoring dan uji hedonik. Sifat yang diuji pada uji
skoring adalah kehalusan dalam mulut, kemudahan ditelan dan kelengketan.
Sedangkan pada uji hedonik warna, aroma, kekentalan, rasa, penerimaan umum
(overall). Dalam uji skoring, angka tertinggi adalah lima yang menunjukkan
tekstur sangat halus dan sangat mudah ditelan sedangkan angka satu adalah
kebalikannya yaitu tekstur kasar/berpasir dan sukar ditelan. Untuk sifat
kelengketan angka lima menunjukkan lengket dan angka satu menunjukkan encer.
Sifat kehalusan dalam mulut untuk produk MP-ASI yang berbentuk bubur
merupakan hal yang harus diperhatikan karena berhubungan dengan kenyamanan
bayi dalam mencicipinya. Jika bubur mempunyai tekstur yang kasar,
dikhawatirkan bayi tidak menyukai dan mudah untuk disemburkan. Sementara
untuk uji hedonik digunakan skala penilaian dari 1 sampai 7, dimana semakin
besar nilai skala, maka semakin besar kesukaan panelis terhadap parameter
hedonik yang diamati.
87
(a) (b)
Tabel 22 Nilai rata-rata hasil uji skoring bubur jagung MP-ASI dan bubur MP-
ASI komersial
Kriteria Kehalusan Kemudahan Kelengketan di
88
Tabel 23 Nilai rata-rata hasil uji hedonik MP-ASI bubur jagung instan dan bubur
MP-ASI komersial
Kriteria Warna Aroma Kekentalan Rasa Overall
Bubur jagung non-nikstamal 5,74 a 5,23 b 5,47 a 4,89 a 5,16 a
Bubur jagung nikstamal 5,76 a 5,01 b 5,13 a 4,53 a 5,09 a
Bubur komersial 4,53 b 5,80 a 4,99 a 4,99 a 5,16 a
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom menunjukkan tidak beda
nyata pada taraf 5%.
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1) Interaksi antara perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan
menyebabkan adanya perbedaan yang signifikan terhadap sifat fungsional dan
reologi tepung jagung.
91
11) Penggunaan tepung jagung nikstamal (perlakuan Ca(OH)2 0,25% dan lama
pemasakan 15 menit) dalam pembuatan bubur instan MP-ASI memiliki sifat
kekambaan, kapasitas penyerapan air, dan kekentalan yang lebih rendah serta
kekuatan gel yang lebih lemah dibandingkan penggunaan tepung jagung non-
nikstamal (tanpa perlakuan Ca(OH)2 dan lama pemasakan 15 menit).
12) Kandungan zat gizi makro bubur jagung instan MP-ASI yang dihasilkan telah
sesuai dengan persyaratan SNI 01-7111.1-2005.
13) Kandungan gizi bubur jagung instan MP-ASI berbahan baku tepung jagung
nikstamal antara lain: energi 420,74 kkal, kadar protein 16,19% bk, kadar
lemak 6,70% bk, kadar karbohidrat 73,92% bk, kadar abu 3,18% bk, serat
kasar 0,93% bk dan kadar kalsium 0,59% bk.
14) Bubur instan MP-ASI berbahan baku tepung nikstamal memiliki daya cerna
yang cukup baik yaitu daya cerna protein sebesar 87,36% dan daya cerna pati
sebesar 81,07%.
15) Sifat organoleptik bubur jagung instan MP-ASI tidak berbeda dengan bubur
MP-ASI komersial dalam hal sifat kemudahan ditelan, kelengketan dalam
mulut, kesukaan terhadap rasa, kekentalan dan penerimaan keseluruhan.
Saran
Saran yang dapat diberikan untuk penelitian lebih lanjut antara lain:
1) Perlu dikaji kemungkinan penggunaan tepung jagung nikstamal
pragelatinisasi sebagai bahan pencegah staling pada produk bakery beku,
untuk pengatur kekentalan pada produk sup krim, untuk mengurangi lemak
pada salad dressing dan lain-lain.
2) Perlu dilakukan penelitian scale up proses ke skala pilot dan analisis ekonomi
sebelum dimasukkan ke skala industri.
DAFTAR PUSTAKA
Collado LS, Corke H. 1999. Heat moisture treatment effect on sweet potato
starches differing in amylosa content. J Food Chem 65: 339-346.
Chun SY, Yoo B. 2006. Steady and dynamic shear rheological properties of sweet
potato flour dispersion. European Food Research and Tech 223: 313-319.
Congdon N, Somer A, Severn M, Humphrey J, Friedman D, Clement L, Wu L,
Natadisastra G. 1995. Pupilary and visual threshold in young children as an
index of population vitamin A status.
De la Torre-Gutirrez L, Chel-Guerro LA, Betancur-Ancona D. 2008. Functional
properties of square banana (Musa babisiana) starch. J Food Chem 106:
1138-1144.
Daniel JR, Weaver CM. 2000. Carbohydrates: Functional Properties. Di dalam:
Christen GL, Smith JS, editors. Food Chemistry: Principles and
Application. California: Science Technology System. Hlm 63-66.
Daniel JR, Whistler RL. 1985. Carbohydrates. Di dalam: Fennema OR, editor.
Food Chemistry. New York: Marcel Dekker.
Elkhalifa AO, Schiffler B, Bernhardt R. 2005. Effect of fermentation on the
functional properties of sorghum flour. J Food Chem 92: 1-5.
Fatmawati S. 2004. Formulasi bubur bayi berprotein tinggi dan kaya beta karoten
dari tepung kecambah kacang tunggak (Vigna unguiculata) untuk Makanan
Pendamping ASI [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Fardiaz S. 1989. Mikrobiologi Pangan. Bogor: Kerjasama Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan Dirjen Dikti dan PAU Pangan dan Gizi, Institut Pertanian
Bogor.
Fernndez-Muoz JL et al. 2007. Evaluation physicochemical changes in
nixtamalized maize flour as a function of steeping time. J Food Eng 78:
972-977.
Fernndez-Muoz JL et al. 2006. Steeping time and cooking temperature
dependence of calcium ion diffusion during microwave nixtamalization of
corn. J Food Eng 76: 568-572.
Fernndez-Muoz JL, Zelaya-Angel O, Cruz-Orea A, Snchez-Sinencio F. 2001.
Phase transitions in amylose and amylopectin under the influence of
Ca(OH)2 in aqueous solution. Analytical Sci 17: s338-s341.
Flores-Farias R et al. 2000. Physicochemical and rheological characteristics of
commercial nixtamalized Mexican maize flours for tortillas. J Sci Food
Agric 80: 657-664.
Fredriksson H, Silvero J, Andersson R, Eliasson AC, Aman P. 1998. The
influence of amulose and amylopectin characteristics on gelatinization and
retrogradation properties of different starches. Carbohydrate Polym 35: 119-
134.
Gomez MH, Aguilera JM. 1983. Change in the starch fraction during extrusion-
cooking of corn. J Food Sci 48: 378-381.
95
Graybosch et al. 2003. Functional properties of waxy wheat flour: genotypic and
environmental effect. J Cereal Sci 38: 69-76.
Greenwood DR. 1989. Dough assessment procedures at the Wheat Research
Institute. Report No. WRI 89/122. New Zealand: Department of Scientific
and Industrial Research, Wheat Research Institute.
Gunaratne A, Hoover R. 2002. Effect of heat-moisture treatment on the structure
and physicochemical properties of tuber and root starches. Carbohydrate
Polym 49: 425-437.
Gutirrez E et al. 2007. Study of calcium ion diffusion in nixtamalized quality
protein maize as a function of the cooking temperature. Cereal Chem 84:
186-194.
Hallen E et al. 2004. Effect of fermented/germinated cowpea flour addition on the
rheological dan baking properties of wheat flour. J. Food Eng 63: 177-184.
Hagenimana A, Ding X, Fang T. 2006. Evaluation of rice flour modified by
extrusion cooking. J Cereal Sci 43: 38-46.
Hamid. 2000. Pemanfaatan tepung pisang owak untuk BMC sebagai makanan
tambahan ASI [tesis]. Bogor, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Hardman, Gunsolus. 1998. Corn Growth and Development. Extension Service.
University of Minesota.
Hariyadi P, Purnomo EH, Tirtasujana D,Kusumah TD, Sudiana N. 2000.
Penuntun Praktikum Satuan Operasi Industri Pangan. Bogor: Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Hartomo AJ, Widiatmoko MC. 1993. Emulsi dan Pangan Berlesitin. Yogayakarta:
Andi Offset.
Hartoyo HD, Setiawan B, Briawan D, Yuliati LN. 2000. Pemberian makanan
tambahan pada anal balita dan pemberdayaan keluarga/masyarakat di
Kotamadya Bogor. Kerjasama Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya
Keluarga IPB dan PLAN Inter.
Hasan I. 2008. Pokok-Pokok Materi Statistik 2 (Statistik Inferensif). Jakarta:
Bumi Aksara.
Hatorangan, E.F. 2007. Pengaruh perlakuan konsentrasi NaCl, kadar air dan
passing terhadap mutu fisik mie basah jagung yang diproduksi dengan
menggunakan ekstruder ulir pemasak dan pencetak [skripsi]. Bogor:
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Henshaw FO, McWatters KH, Oguntunde AO, Phillips RD. 1996. Pasting
properties of cowpea flour: Effects of soaking and decortication method. J
Agric Food Chem 44(7): 1863-1870.
Hermana. 1977. Perkembangan pembuatan bahan makanan campuran. Kertas
kerja Lokakarya Bahan Pangan Berprotein Tinggi. Bandung: 22-24
Februari.
96
Hodge JE, Osman EM. 1976. Carbohydrates. Di dalam: Fennema OR, editor.
Principles of Food Science part I Food Chemistry. New York: Marcel
Dekker Inc.
Hofvander Y, Underwood BA. 1987. Processed suplementary foods for older
infants and young children, with special reference to developing countries.
Food Nutr Bull 9(1).
Hoover R. 2001. Composition, moleculer structure and physicochemical
properties of tuber and root starches: A review. Carbohydrate Polym 45:
253-267.
Hoover R, Sosulski F. 1986. Effect of cross linking on functional properties of
legume. Starches/Strke 38: 149155.
Hsu HW, Vavak DL, Satterlee LD, Miller GA. 1977. A multi-enzyme technique
for estimating protein digestibility. J Food Sci 42: 1269-1273.
Hutton CW, Champbell AM. 1981. Water and fat absorption. Di dalam: Cherry
JP, editor. Protein functionality in food. Washington DC: ACS Symposium
Series.
Jobling S. 2004. Improving starch for food and industrial application. Current
Opinion in Plant Biology 7: 210-218.
Johnson LA. 2000. Corn: The Major Cereal of the Americas. Di dalam: Kulp K,
Ponte Jr. JG, editor. Handbook of Cereal Science and Technology. Ed ke-2.
New York: Marcell Dekker, Inc.
Juniawati, 2008. Optimasi Proses Pengolahan Mi Jagung Instan Berdasarkan
Kajian Preferensi Konsumen [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
Jyothi AN, Moorthy SN, Rajasekharan V. 2006. Effect of cross-linking with
epichlorohydrin on the properties of cassava (Manihot esculenta Crantz)
starch. Starch/ Strke 58:292-299.
Kadan RS, Bryant RJ, Pepperman AB. 2003. Functional properties of extruded
rice flours. J Food Sci 68: 1660-1672.
Kamid. 2005. Karakterisasi pati sagu (Metroxylon Sagu Rott) hasil modifikasi
dengan perlakuan alkali: Kajian konsentrasi larutan Ca(OH)2 dan lama
perendaman [skripsi]. Malang: Jurusan Teknologi Hasil Pertanian,
Universitas Brawijaya.
Karim AA et al. 2007. Pasting and retrogradation peoperties of alkali-treated sago
(Metroxylon sagu) starch. Food Hydrocolloids 22: 1048-1053.
Kaur L, Singh J, Singh N. 2006. Effect of cross-linking on some properties of
potato starches. J Sci Food and Agric 86: 1945-1954.
Kent NL, Evers AD. 1994. Technology of Cereals; An Introduction for Student of
Food Science and Agriculture. Ed ke-4. Oxford: Elseveir Science Ltd.
97
Singh N, Singh J, Kaur L, Sodhi NS, Gill, BS. 2003. Morphological, thermal and
rheological properties of starches from different botanical sources. J Food
Chem 81: 219-231.
Sira EEP. 2000. Determination of the correlation between amylosa and phosporus
content and gelatinization profile of starches and flours obtained from edible
tropical tuber using Differential Scanning Calorymetry and Atomic
Absorption Spectroscopy [thesis] Wisconsin: University of Wisconin-Stout.
Soekarto ST. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri dan Hasil Pertanian.
Jakarta: Bharata Karya Aksara.
Sosulki FW, Garret MD, Slunkard AE. 1976. Functional properties of ten legumes
flour. Inst of Food Sci and Tech J 9: 66-69.
Srichuwong S, Sunarti TC, Mishima T, Isono N, Hisamatsu M. 2005. Starches
from different botanical sources II: Contribution of starch structure to
swelling and pasting properties. Carbohydrate Polym 62: 25-34.
Suarni. 2009. Prospek pemanfaatan tepung jagung untuk kue kering (cookies).
Jurnal Litbang Pertanian 28(2): 63-71.
Suarni, Komalasari O, Suwardi. 2001. Karakteristik tepung jagung beberapa
varietas/galur. Prosiding Seminar Regional Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Palu. hlm 157164.
Subekti NA., Syafruddin, Efendi R, Sunarti S. 2007. Morfologi tanaman dan fase
pertumbuhan jagung. available at: http://balitsereal. litbang.deptan.go.id
/ind// bjagung/duatiga.pdf [20 Maret 2010].
Susanty R. 2002. Kajian dekstrinasi pati garut dan gelatinisasi tepung terigu untuk
pengembangan makanan pendamping air susu ibu dan makanan sapihan
[tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Sunaryo E. 1985. Pengolahan produk serealia dan biji-bijian. Bogor: Fakutas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Takahashi S, Maningat CC, Seib PA. 1989. Acetylated and hidroxipropylated
wheat starch: paste and gel properties compared with modified maize and
tapioca starches. Cereal Chem 66: 499-506.
Tang H, Mitsunaga T, Kawamura Y. 2005. Functionality of starch granules in
milling fractions of normal wheat grain. Carbohydrate Polym 59: 11-17.
Tharanathan RN, Mahadevamma S. 2003. Grain legumes-a boon to human
nutrition. Trend in Food and Science Technology 14: 507-518.
Vergnes B., Valle GD, Colonna P. 2003. Rheological Properties of Biopolymers
and Application to Cereal Processing. Di dalam: Kaletunc G, Breslauer KJ,
editors. Characterization of Cereals and Flours: Properties, Analysis, and
Application, New York: Marcell Dekker. Hlm 209-266.
Voutsinas LP, Nakai S. 1983. A simple turbimmetric method for determining the
fat binding capacity of proteins. J Agric and Food Chem 31: 58-63.
[Wikipedia]. 2010. Nixtamalization. http://en.wikipedia.org/wiki/ Nixtamalization
[15 Maret 2010].
101
White PJ. 2001. Properties of Corn Starch. Di dalam: Hallauer AR, editor.
Specialty Corns. Ed ke-2. Florida: CRC Press.
Winarno, FG. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Wurzburg OB, Fergasson, Virgil L. 2006. Thickener characterized by improved
low-temperature stability. http://xrint.com/patent/us/4428972 [2 Mei 2009].
Wirakartakusumah MA, Abdullah K, Syarif AM. 1992. Sifat Fisik Bahan Pangan.
Bogor: PAU Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Zakaria RF. 1999. Produksi MP-ASI lokal sebagai terobosan untuk
menanggulangi masalah kekurangan gizi. Prosiding seminar nasional
teknologi pangan. PATPI 12-13 Oktober Jakarta.
102
LAMPIRAN
Texture Analyzer
Agak berpasir
Berpasir
Kemudahan ditelan
Sangat mudah ditelan
Mudah ditelan
Agak mudah ditelan
Agak sukar ditelan
Sukar ditelan
Kelengketan di dalam mulut
Lengket
Agak lengket
Netral
Agak encer
Encer
Petunjuk :
1. Berilah penilaian anda terhadap beberapa kriteria sampel yang telah disajikan di
antaranya: warna, aroma, kekentalan, rasa dan penampilan secara keseluruhan
(overall) berdasarkan tingkat kesukaan anda dengan peringkat no 1-7 pada kolom
yang tersedia di bawah ini
Kode Kriteria
sampel Warna Aroma Kekentalan Rasa Overall
328
526
239
Kriteria Penilaian:
1 : Sangat tidak suka 5 : Agak suka
2 : Tidak suka 6 : Suka
3 : Agak tidak suka 7 : Sangat suka
4 : Netral
A 9.6150 2 10',0%
B A 9.5050 2 15',0%
B C 9.2900 2 5',0%
B C D 9.2400 2 10',0.25%
B C D 9.2200 2 20',0%
B C D 9.2150 2 0',0%
E C D 9.1600 2 5',0.25%
E F C D 9.1150 2 15',0.25%
E F C D 9.0600 2 20',0.25%
E F D 8.9500 2 10',0.5%
E F G 8.8450 2 5',0.5%
F G 8.8300 2 0',0.25%
H G 8.5700 2 0',0.5%
H 8.4350 2 15',0.5%
I 8.1400 2 20',0.5%
A 38.600 2 10',0%
B A 38.155 2 15',0%
B A 38.135 2 20',0%
B A C 37.490 2 5',0%
B A C 36.590 2 0',0%
B A C 35.960 2 5',0.25%
B D C 34.660 2 0',0.25%
D C 34.060 2 10',0.25%
E D 32.405 2 0',0.5%
E D 31.940 2 5',0.5%
E D 31.670 2 15',0.25%
E F 30.125 2 20',0.25%
G F 27.020 2 15',0.5%
G 26.660 2 10',0.5%
G 25.565 2 20',0.5%
A 8.44000 2 10',0%
B A 8.32000 2 5',0%
B 8.29000 2 5',0.25%
B 8.27500 2 20',0%
B 8.24500 2 15',0%
B 8.24000 2 10',0.25%
B C 8.21000 2 0',0%
B C 8.17000 2 0',0.25%
D C 8.07000 2 10',0.5%
D C 8.06000 2 15',0.25%
D E 8.00500 2 5',0.5%
D E 8.00500 2 20',0.25%
F E 7.88500 2 15',0.5%
F 7.85000 2 0',0.5%
G 7.62000 2 20',0.5%
A 5.40000 2 20',0%
A 5.39500 2 10',0%
A 5.38500 2 15',0%
A 5.33000 2 5',0%
B 4.95000 2 20',0.25%
C B 4.91000 2 5',0.25%
C B 4.89500 2 15',0.25%
C B 4.88000 2 0',0.25%
C B 4.86500 2 10',0.25%
C B 4.86500 2 5',0.5%
C B 4.84000 2 0',0%
C B 4.80000 2 10',0.5%
C B 4.80000 2 0',0.5%
C B 4.76000 2 20',0.5%
C 4.73000 2 15',0.5%
A 7.91000 2 20',0.5%
A 7.88000 2 15',0.5%
B A 7.80500 2 10',0.5%
B 7.74500 2 5',0.5%
C 7.61500 2 0',0.5%
D 7.00000 2 20',0.25%
E D 6.98500 2 15',0.25%
E D F 6.93500 2 10',0.25%
E F 6.87500 2 5',0.25%
F 6.85000 2 0',0.25%
G 6.49000 2 10',0%
G 6.48500 2 20',0%
G 6.48000 2 0',0%
G 6.48000 2 15',0%
G 6.47000 2 5',0%
A 104.150 2 10',0%
A 101.950 2 5',0%
B A 97.500 2 5',0.25%
B A 96.450 2 10',0.25%
B 91.200 2 15',0%
C 81.250 2 15',0.25%
D C 77.100 2 5',0.5%
D C 77.050 2 20',0%
D C 72.400 2 10',0.5%
D C 72.250 2 20',0.25%
D 69.600 2 0',0.25%
E 60.750 2 0',0%
E 59.400 2 20',0.5%
E 53.000 2 15',0.5%
F 43.900 2 0',0.5%
A 0.224900 2 0',0.5%
A 0.223600 2 5',0.5%
B 0.216350 2 10',0.5%
C 0.208450 2 15',0.5%
D C 0.205250 2 0',0%
D C E 0.203200 2 20',0.5%
D F E 0.200100 2 0',0.25%
F E 0.198200 2 5',0.25%
G F 0.195250 2 15',0.25%
G F 0.194300 2 10',0.25%
G H 0.191500 2 5',0%
G H 0.190600 2 20',0.25%
H 0.187000 2 10',0%
I 0.153350 2 15',0%
J 0.137500 2 20',0%
A 135.00 2 20',0.5%
B 111.00 2 15',0.5%
C 96.25 2 10',0.5%
D 85.75 2 5',0.5%
D 82.00 2 0',0.5%
E 41.75 2 20',0.25%
E 38.75 2 0',0.25%
F 32.75 2 0',0%
G 25.75 2 15',0.25%
H 15.75 2 10',0.25%
H 15.75 2 5',0%
H 15.25 2 5',0.25%
H 13.50 2 15',0%
H 13.25 2 10',0%
H 13.25 2 20',0%
A 535.50 2 5',0%
A 531.50 2 0',0%
A 524.50 2 10',0%
A 519.00 2 20',0%
B A 515.00 2 15',0%
B A 515.00 2 5',0.25%
B A 509.50 2 0',0.25%
B A 505.50 2 10',0.25%
B C 478.50 2 15',0.25%
D C 452.00 2 10',0.5%
D C 442.50 2 20',0.25%
D 438.50 2 5',0.5%
D 427.50 2 0',0.5%
E 383.50 2 20',0.5%
E 371.50 2 15',0.5%
A 172.500 2 10',0%
A 169.500 2 15',0%
B 158.000 2 10',0.25%
C B 149.500 2 10',0.5%
C D 143.000 2 5',0.25%
C D E 139.000 2 5',0%
C D E 139.000 2 20',0%
C D E 138.500 2 15',0.25%
D E 134.000 2 20',0.25%
F D E 133.000 2 20',0.5%
F E 131.500 2 5',0.5%
F 123.000 2 15',0.5%
G 106.500 2 0',0.25%
G 97.500 2 0',0%
H 81.000 2 0',0.5%
A 434.00 2 0',0%
B 403.00 2 0',0.25%
B 396.50 2 5',0%
C B 380.00 2 20',0%
C B D 372.00 2 5',0.25%
C D 352.00 2 10',0%
D 347.50 2 10',0.25%
D 346.50 2 0',0.5%
D 345.50 2 15',0%
D 340.50 2 15',0.25%
E 308.50 2 20',0.25%
E 307.00 2 5',0.5%
E 302.50 2 10',0.5%
F 250.50 2 20',0.5%
F 248.50 2 15',0.5%
116
A 336.000 2 10',0%
B A 322.500 2 15',0%
B C 315.000 2 10',0.25%
B C D 310.000 2 5',0.25%
E C D 299.000 2 5',0%
E D 292.000 2 10',0.5%
E F 289.500 2 15',0.25%
G F 272.500 2 20',0%
G 270.500 2 5',0.5%
G 268.000 2 20',0.25%
G H 257.000 2 20',0.5%
H 247.500 2 15',0.5%
H 246.000 2 0',0.25%
I 223.500 2 0',0%
J 170.000 2 0',0.5%
117
A 167.000 2 5',0.25%
A 163.500 2 10',0%
B A 160.000 2 5',0%
B A 157.000 2 10',0.25%
B 153.000 2 15',0%
B C 151.000 2 15',0.25%
D C 142.500 2 10',0.5%
D 139.500 2 0',0.25%
D 139.000 2 5',0.5%
D E 134.000 2 20',0.25%
D E 133.500 2 20',0%
E 126.000 2 0',0%
E 124.500 2 15',0.5%
E 124.000 2 20',0.5%
F 89.000 2 0',0.5%
118
Lampiran 16 Hasil analisis data terhadap hasil uji skoring MP-ASI bubur jagung
instan dengan menggunakan nonparametric tests dan uji lanjut
LSD pada program SPSS
Kruskal-Wallis Test
Ranks
Perlakuan N Mean Rank
Kehalusan dalam mulut 1 70 125.03
2 70 125.70
3 70 65.77
Total 210
Kemudahan ditelan 1 70 112.14
2 70 111.86
3 70 92.51
Total 210
Kelengketan dalam mulut 1 70 111.86
2 70 105.88
3 70 98.76
Total 210
Test Statisticsa,b
Kehalusan dalam mulut Kemudahan ditelan Kelengketan dalam mulut
Chi-Square 48.762 5.690 1.837
Df 2 2 2
Asymp. Sig. .000 .058 .399
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: perlakuan
Multiple Comparisons
Kehalusan dalam mulut
LSD
(I) (J) 95% Confidence Interval
perlaku perlaku Mean
an an Difference (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
1 2 -.0429 .16377 .794 -.3657 .2800
*
3 1.0714 .16377 .000 .7486 1.3943
2 1 .0429 .16377 .794 -.2800 .3657
*
3 1.1143 .16377 .000 .7914 1.4372
*
3 1 -1.0714 .16377 .000 -1.3943 -.7486
*
2 -1.1143 .16377 .000 -1.4372 -.7914
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = ,939.
*. The mean difference is significant at the 0,05 level.
120
Lampiran 17 Hasil analisis data terhadap hasil uji hedonik MP-ASI bubur jagung
instan dengan menggunakan nonparametric tests dan uji lanjut
LSD pada program SPSS
Kruskal-Wallis Test
Ranks
perlakuan N Mean Rank
Warna 1 70 120.13
2 70 120.63
3 70 75.74
Total 210
Aroma 1 70 95.55
2 70 93.16
3 70 127.79
Total 210
kekentalan 1 70 114.92
2 70 101.93
3 70 99.65
Total 210
Rasa 1 70 107.99
2 70 95.74
3 70 112.78
Total 210
overall 1 70 106.63
2 70 103.61
3 70 106.26
Total 210
Test Statisticsa,b
warna aroma kekentalan rasa overall
Chi-Square 28.572 15.617 2.827 3.073 .110
Df 2 2 2 2 2
Asymp. Sig. .000 .000 .243 .215 .946
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: perlakuan
Multiple Comparisons
Warna
LSD
(I) (J) 95% Confidence Interval
perlaku perlaku Mean
an an Difference (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
1 2 -.0143 .21006 .946 -.4284 .3998
*
3 1.2143 .21006 .000 .8002 1.6284
2 1 .0143 .21006 .946 -.3998 .4284
*
3 1.2286 .21006 .000 .8144 1.6427
*
3 1 -1.2143 .21006 .000 -1.6284 -.8002
*
2 -1.2286 .21006 .000 -1.6427 -.8144
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 1,544.
*. The mean difference is significant at the 0,05 level.
Multiple Comparisons
Aroma
LSD
(I) (J) 95% Confidence Interval
perlaku perlaku Mean
an an Difference (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
1 2 .2143 .22183 .335 -.2231 .6516
*
3 -.5714 .22183 .011 -1.0088 -.1341
2 1 -.2143 .22183 .335 -.6516 .2231
*
3 -.7857 .22183 .000 -1.2231 -.3484
*
3 1 .5714 .22183 .011 .1341 1.0088
*
2 .7857 .22183 .000 .3484 1.2231
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 1,722.
*. The mean difference is significant at the 0,05 level.
122
I. Biaya Investasi
Alat Umur teknis (tahun) Harga (Rp)
Drum dryer 5 250.000.000
Disc mill 5 10.000.000
Peralat masak 3 1.000.000
Timbangan 3 200.000
Blender 3 500.000
Mesin sealer 3 250.000