Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 10

Adaptasi akut dan Kronis terhadap Asidosis Respiratorik

Gambar 17-3 menggambarkan hubungan kondisi akut antara PCO 2, konsentrasi


bikarbonat pada plasma serta konsentrasi oksigen pada plasma selama kondisi
hiperkapnia akut. Observasi ini didapatkan dengan memaparkan orang normal
untuk meningkatkan konsentrasi karbon dioksida yang diinspirasi. Peningkatan
derajat hiperkapnia diasosiasikan dengan peningkatan kurvatik pada konsentrasi
bikarbonat plasma, dengan kadar PCO2 yang lebih tinggi sehingga menyebabkan
perubahan yang lebih sedikit pada konsentrasi bikarbonat. Peningkatan akut pada
bikarbonat terjadi karena perpindahan klorida. Efek bertambahnya bikarbonat
pada plasma menyebabkan terjadinya penPCO2 sebesar 0.75 nEq/L per mmHg
Increasing degrees of hypercapnia are associated with a curvilinear rise in plasma
bicarbonate concentration, with higher levels of PCO2 resulting in lesser
incremental changes in bicarbonate concentration. This acute rise in bicarbonate is
largely due to the chloride shift as described earlier. As a result of the modest
increment in bicarbonate, the average rise in plasma [H+] is limited to 0.75 nEq/L
per mm Hg rise in PCO2 rather than the 1 nEq/mm Hg rise that would have
occurred if the plasma bicarbonate concentration did not change.13 The
quantitative aspects of the adaptive response to acute hypercapnia are influenced
markedly by the baseline acidbase status. Acute hypercapnia induces a larger
increment in both plasma bicarbonate and H+ ion concentrations in animals with
pre-existing hypobicarbonatemia (whether from metabolic acidosis or from
chronic respiratory alkalosis) than in animals with preexisting
hyperbicarbonatemia (whether from metabolic alkalosis or from chronic
respiratory acidosis).14 This points out that the factor controlling the amount of
bicarbonate generated from an acute rise in PCO2 is not only the initial pH but
also the initial bicarbonate concentration. Although the rise in bicarbonate in
response to hypercapnia limits the fall in pH acutely, to excrete the gain of H+
produced from the rise in PCO2 requires renal compensatory mechanisms. During
the initial period of respiratory acidosis, renal compensation takes about 3 to 5
days, during which time there is enhanced reabsorption of proximal tubular
bicarbonate, enhanced secretion of H+, and increased ammonia production.15
These processes will lead to an increase of the serum bicarbonate concentration
and a rise in the systemic pH toward normal. However, when a steady state is
achieved and a stable PCO2 is present, there is no longer an increase in ammonia
production. As filtered bicarbonate is increased, there is enhanced proximal
secretion of H+ and a normalization of intracellular pH removing the stimulus for
ammonia synthesis.15

Adaptasi Ginjal terhadap Alkalosis Respiratorik.


Respon adaptif terhadap alkalosis repiratorik terjadi melalui 2 jalur yang berbeda.
Hipokapnia mengurangi konsentrasi asam karbonat dan menyebabkan penurunan
pesat pada H+. Segera, kondisi alkemia ini dapa diperbaiki dengam penurunan
adaptif pada konsentrasi bikarbonat plasma yang disebabkan oleh titrasi buffer
non bikarbonat tubuh. Pada hipokapnia berkepanjangan, mekanisme adaptif ginjal
dapat memperbesar penurunan konsentrasi bikarbonat plasma yang dapat
memperbaiki kondisi alkemia. Pada kondisi alkalosis respiratorik akut tanpa
komplikasi, konsentrasi bikarbonat plasma dapat turun sebesar 0.2 mEq/L untuk
setiap mmHg PCO2 yang berkurang. Lebih lanjut, penurunan bikarbonat plasma
hingga 3-4 mEq?l terjadi dalam hitungan menit setelah PCO2 menurun hingga 20-
25 mmHg. Perubahan konsentrasi H+ pada plasma dapat mencapai 0.75 mEq/L
untuk setiap mmHg penurunan PCO2, mirip dengan hubungan antara PCO2 dan
H+ pada hiperkapnia akut. Jika hipokapnia menetap pada seorang pasien, maka
penurunan konsentrasi plasma bikarbonat disebabkan oleh respon adaptif ginjal
dan merefleksikan penurunan sekresi ion hidrogen oleh tubulus renal. Hasilnya,
supresi sementara eksresi asam terjadi, disebabkan oleh berkurangnya eksresi
ammonium dan peningkatan eksresi bikarbonat. Perubahan ini berdampak pada
keseimbangan positif ion hidrogen dan penurunan simpanan bikarbonat. Hasil
menetap bikarbonatemia dapat dijelaskan dengan inhibisi yang terus menerus
pada sekresi ion hidrogen di tubulus ginjal dan supresi reabsorbsi bikarbonat.
Retensi adaptif asam selama hipokapnia kronis biasanya disertai oleh hilangnya
sodium ke dalam urin; penurunan volume ekstrasel memicu retensi klorida dan
memicu hiperkloremia pada alkalosis respiratorik kronis. Pada saat mencapai
sebuah tahap baru, eksresi asam kembali ke taraf normal dan perubahan
konsentrasi anionik cairan ekstraseluler, yang dinamakan hipobikarbonatemia dan
hiperkloremia, terjadi karena penurunan reabsorbsi bikarbonat dan meningkatnya
reabsorbsi klorida. Rata rata, kombinasi efek buffer sel dan kompensasi ginjal
berdampak pada tahap baru dimana konsentrasi plasma HCO3- turun hingga 4
mEq/L setiap penurunan 10 mmHg PCO 2. Adaptasi ginjal terhadap hipokapnia
persisten tampaknya dimediasi oleh beberapa efek langsung dari PCO2 itu sendiri,
dan bukannya pH sistemik. Pada hewan yang kadar plasma bikarbonatnya
dikurangi dengan menggunakan HCl sebelum mengalami hipokapnia terus
menerus, respon ginjal terhadap penurunan pertama PCO 2 sama dengan individu
normal, walaupun efek dari adaptasi ini dapat berupa penurunan pH yang
signifikan.

Penyesuaian Respiratorik terhadap Asidosis Metabolik


Asidosis metabolik menstimulasi kemoreseptor sentral dan perifer unutk
meningkatkan ventilasi alveolar dan menurunkan PCO2 untuk membatasi
penurunan pH. Walaupun reseptor perifer memiliki peran yang kecil, pada hewan
coba, derajat kompensasi respiratorik sama antara kondisi kemoreseptor utuh dan
berkurang. Peningkatan ventilasi dimulai dalam 1 hingga 2 jam dan mencapai
maksimal pada 12 hingga 24 jam. Gejala umum yang mudah ditemui berupa
pernafasan kussmaul pada akut ketoasidosis diabetikum, dimana volume
memiliiki karakteristik berupa peningkatan ventilasi hingga 35L. Rata rata,
penelitian pada orang normal dengan asidosis metabolik menunjukan PCO 2 akan
menurun hingga 1.2 mmHg setiap penurunan plasma HCO 3- sebesar 1.0mEq/L
turun hingga kadar PCO2 mencapai 10-15 mmHg. Di lain sisi, kegagalan untuk
mencapai respon ventilasi hingga asidosis metabolik merupakan indikator penting
dekompensasi respiratorik. Daniel et al menyatakan pada 140 pasien kritis dengan
asidosis metabolik mengaplikasikan formula yang berasal dari asidosis metabolik
kronis. Pasien dengan PaCO2 melebihi nilai prediksi PaCO2 hingga 2 mmHg atau
lebih memiliki kemungkinan 4.2 kali lebih besar untuk diintubasi dan status
kompensasi menjadi faktor prediksi utama intubasi selama 60 menit pertama
setelah episode hipotensi signifikan.

Penyesuaiam Respiratorik terhadap Alkalosis Metabolik


Perkembangan alkalosis metabolik dapat dirasan melalui reseptor kimia pada
sistem respirasi yang berakibat pada berentinya ventilasi alveolar dan peningkatan
PCO2. Rata rata, peningkatan PCO2 mencapai 0.7 mmHg pada setiap peningkatan
1.0 mEq/L konsentrasi plasma HCO3-. Nilai yang berbeda secara signifikan jika
dibandingkan dengan prediksi menggambarkan asidosi ataupun alkalosis
respiratorik yang parah. Namun, masih belum jelas apakah respon ini melindungi
pH dari peningkatan secara signifikan. Pada hewan ujicoba, peningkatan PCO2
pada alkalosis metabolik meningkatkan kadar eksresi H+ yang memicu
peningkatan konsentrasi HCO3-. Efek setelah beberapa hari dapat berupa pH arteri
yang tidak berubah seperti jika tidak ada kompensasi. Ventilasi dapat dipengaruhi
oleh efek selain keseimbangan asam basa. Pengaruh dapat berupa suhu tubuh,
penginkatan katekolamin, perubahan aliran darah otak, perubahan tekanan darah
sistemik dan perubahan pada aktivitas metabolik berbagai organ (contohnya
hepar), dan tentu saja kondisi fisiologis paru itu sendiri. Untuk alasan teleologis,
mungkin pertahanan terhadap ketidakseimbangan asam basa metabolik kronis
melalui kompensasi ventilatorik tidak begitu penting.

Konsep Alternatif Keseimbangan Asam Basa


Diskusi sebelumnya telah mengasumsikan bahwa pH sistemik merupakan kontrol
utama yang memengaruhi respon ginjal dan pernapasan terhadap gangguan
keseimbangan asam basa. Namun, hal ini belum dapat dipastikan. Sel-sel tubulus
proksimal ginjal seringkali memiliki efek yang lebih dapat diprediksi terhadap
PCO2 daripada pH arterial. Jika PCO2 meningkat, sel tubulus proksimal akan
mensekresikan proton dan mereabsorbsi bikarbonat meskipun disana tidak terjadi
alkalosis maupun asidosis. Hal ini dapat terjadi jika elevasi PCO 2 yang
menyebabkan asidosis intraseluler dan sel berespon dengan baik terhadap
lingkungan internalnya. Sejenis dengan hal tersebut, pada kontrol sentral respirasi,
perubahan pH CSF, pH interstisial, PCO2 atau konsentrasi bicarbonat dapat
menstimalasi perubahan pada ventilasi. Diketahui pula bahwa perubahan paa
keseimbangan garam dan cairan dapat memengarui status asam dan basa. Sebagai
contoh grup Schwartz menemukan bahwa diet rendah natrium klorida pada anjing
dengan kondisi cairan stabil dapat mengakibatkan terjadinya hipoventilasi,
peningkatan PCO2 dan peningkatan konsentrasi HCO3- . Penelitian pada anjing
mendemonstrasikan peningkatan diet NaCl dengan kondisi cairan tetap dapat
memicu peningkatan keasaman tubuh, sedangkan penurunan NaCl pada diet
sehari hari dapat menurunkan keasaman tubuh. Cara lain untuk memahami
kelainan asam basa dan mekanisme pengaturan oleh paru paru dan ginjal dapat
dilakukan dengan sebuah teori yang diajukan oleh Stewart. Berdasarkan
fisikokimia, Stewart menekankan pentingnya prinsip bahwa H + dan HCO3- serta
asam dan anionik akan membentuk asam lemah berdasarkan dengan variabel yang
terdapat pada larutan. Ketiga variabel, PCO2, perbedaan ion kuat (SID), dan
konsentrasi total anion lemah, dapat memanipulasi kondisi lingkungan eksternal
dan memengaruhi konsentrasi H+ dan HCO3-. Komponen utama dari anion lemah
dalam plasma adalah albumin dan konsentrasi fospat inorganik. Perbedaan ion
kuat merupakan perbedaan antara jumlah semua cation kuat dan jumlah semua
anion kuat : [SID] = [Na+] + [K+] + [Ca2+] + [MG2+] - [CL-] - [anion kuat lainnya].
Persamaan ini berdasarkan pada prinsip netralitas elektron, keseimbangan
disosiasi semua bahan tidakterdisosiasi sempurna, dan konversi masa. Konsep ini
muncul untuk menjelaskan dasar kerja ginjal dan respon ventilasi terhadapa
berbagai bentuk yang memengaruhi keseimbangan asam basa. Secara klinis, jika
diobservasi SID plasma diatur oleh ginjal, sedangkan PCO 2 diatur oleh ventilasi
alveolus. Konsentrasi anion lemah tidak diatur dan seringkali diasumsikan dalam
kondisi stabil. Konsep ini seringkali digunkan oleh peneliti untuk mengetahui
regulasi sentral ventilasi. Karena albumin dan protein lainnya tidak terdapat pada
CSF, SID dan PCO2 lah yang mengatur konsentrasi elektrolit disosiasi lemah,
seperti H+, OH-, dan HCO3- . pada analisis berbagai gangguan asam basa,
tampaknya perubahan SID CSF dapat memerediksi konsentrasi bikarbronat CSF.
In analyzing various acidbase disturbances, it appears that the change in CSF
SID can predict the concentration of CSF bicarbonate.7 In evaluating acidbase
balance in many species, there is a consistent inverse relationship between the pH
and body temperature, whereas the CO2 content remains stable.4,25 To explain
this relationship Reeves and his coworkers provided evidence that the imidazole
ring structure of histidine is responsible for the pHtemperature relationship.26
This is because imidazole has a pKa in the physiologic range (7.00), is relatively
ubiquitous, and has total energy of ionization (7 kcal/mol). To integrate acidbase
regulation with receptor function and control of respiration, Reeves and Rahn4
have proposed the hypothesis that it is not the arterial or intracellular pH that is
being regulated per se but rather the constancy of the fractional dissociation of the
imidazole moiety of histidine contained in proteins throughout the body. -
Imidazole is defined as the ratio of the absolute amount of unprotonated imidazole
(Im) to total imidazole (HIm + Im): -Imidazole Im HImI m = + (5) -Imidazole
regulation (alphastat regulation) would have the effect of maintaining cellular
protein charge states and enzymatic functions constant. It would also maintain the
OH/H+ ratio constant in all compartments. There is also evidence that alphastat
regulation directly influences ventilatory status. For example, application of an
imidazole blocker to the chemosensitive area of the medulla in cats blocked
increases in ventilation caused by local application of acid.27 Thus, changes in
PCO2, reflecting alveolar ventilation, may be determined by alphastat regulation,
which maintains the OH/H+ ratio constant in membranes of the cells in the
chemosensitive areas of the medulla. The difficulty with using these concepts lies
in the practical measurement of the relevant molecules. For example, although the
imidazole moiety of histidine is considered the most important of the intracellular
buffers,26 its pKa and total energy of ionization may vary widely due to the
influence of the local configuration of molecules into which they are incorporated.
Thus, even in lower animals such as fish under different temperatures,
calculations based on the alphastat model do not accurately predict the acid base
disturbance, since the pKa and enthalpy of ionization vary with temperature and
are difficult to measure. Similarly, measurement of the plasma SID is problematic
and is often replaced by the SID effective, which is roughly equal to the
bicarbonate concentration plus albumin and inorganic phosphate.23 Calculation of
the anion gap (AG) [Na+] [Cl] [HCO3] accounts for the roles of the
strong ions Na+ and Cl as well as bicarbonate but does not account for the role
of inorganic phosphate or plasma proteins. Although the bicarbonate
concentration may not be, strictly speaking, an independent variable, the AG
calculation does indicate the quantity of unmeasured anions and hence is an
indirect measure of the SID. If one considers the impact of serum proteins and
inorganic phosphate in the unmeasured anion pool, the AG gives a very useful
parameter in evaluating acidbase disturbances. Many studies have compared the
utility of SID versus corrected AG (corrected for the level of serum albumin) and
found that it was no more accurate in making a diagnosis. One study of patients in
an intensive care unit, reported that Stewarts method diagnosed underlying
metabolic acidosis in 22 patients (of the total of 152 patients in the study) with
normal plasma bicarbonate level. However, when the AG was corrected for
hypoalbuminemia, it was elevated in all of the samples with normal bicarbonate
showing the effectiveness of the traditional approach.28 In another study of 935
ICU patients, the Stewart method detected metabolic acidosis in 14% patients
with normal bicarbonate levels, whereas the traditional method made a similar
diagnosis in 13% of patients.29 A recent study in patients with septic shock and
liver transplantation found an excellent correlation between SID and corrected
AG.30 Thus, as will be described in more detail in the following section, the use
of the AG is still the most clinically useful tool to determine the contribution of
different metabolic etiologies of metabolic acidosis.

Pendekatan terhadap Pasien dengan Gangguan Asam Basa


Pada bagian ini, kita akan memeriksa pendekatan diagnostik terhadap gangguan
keseimbangan asam basa dengan tekanan partikuler pada respon ventilasi dan
perannya dalam meredakan atau memerberat gangguan asam basa. Kita juga akan
mereview mengenai pendekatan terhadap pasien dengan gangguan asam basa.
Analisis Informasi Klinis
Tabel 17-1 menyimpulkan pola abnormal parameter asam basa darah arteri pada 4
jenis gangguan klasik asam basa. Hal itu juga mengindikasikan respon fisiologis
ataupun kompensasi yang dipicu oleh paru paru ataupun ginjal sebagai respon
pada gangguan.

Catatan mengenai Kelebihan dan Defisit Basa


Kelebihan dan defisit basa merupakan istilah yang digunakan pada metode
analisis untuk mendefinisikan respon yang sesuai dengan gangguan metabolisme
asam basa. Kelebihan atau defisit basa ditentukan oleh pH darah terhadap standar
PCO2 dan terhadap PCO2 pada 40mmHg. Jika dikalkulasikan HCO 3- berada
dibawah 25 ketika PCO2 berada di 40 mmHg dan pH asli rendah, maka defisit
basa daapt diindikasikan. Tingkat defisit basa dapat diketahui melalui jumlah mEq
bikarbonat yang dibutuhkan untuk mengembalikan bikarbonat serum ke 25 mEq/L
pada PCO2 40 mmHg jika dibandingkan dengan PCO2 ambient.
If the calculated HCO3 is below 25 when the PCO2 is 40 mm Hg and the
original pH is low, a base deficit is indicated. The magnitude of the deficit is
expressed as the number of mEq of bicarbonate needed to restore the serum
bicarbonate to 25 mEq/L at a PCO2 of 40 mm Hg compared to that at the ambient
PCO2. The use of notations for base excess and deficit has been debated in the
medical literature. This notation is favored in the evaluation of acidbase status in
the operating room because acute changes in PCO2 and in HCO3 can be simply
evaluated by this approach. However, this notation can be misleading in chronic
respiratory alkalosis or acidosis, since the patient with chronic respiratory
alkalosis will be categorized as suffering from a base deficit because of the low
serum bicarbonate induced as compensation for the reduced PCO2. In fact, a
base deficit is a normal physiologic response to the chronic reduction in PCO2.
Unfortunately, lack of familiarity with the complete analytical paradigm used for
this analysis of acidbase disorders has led some to focus on the designations
base deficit and base excess as guides to bicarbonate or acid therapy in
chronic respiratory disorders. In addition, discrepancies between the buffering
characteristics of plasma, blood, and whole body have also been cited as potential
weaknesses in a system for assessing acidbase disorders which relies on in vitro
CO2 titration methods. We, therefore, recommend that the physiologic evaluation
of the patient be the mode of analysis of acidbase disorders rather than an
emphasis on derived formulae.

Penggunaan Normogram
Seperti yang telah diindikasikan sebelumnya, buffer tubuh dan respon ginjal dapat
diprediksi pada perubahan PCO2 meskipun respon ventilatorik terhadap HCO3-
juga dapat diprediksi. Perubahan bikarbonat dan pH berkaitan dengan waktu
sehingga perubahan yang lebih besar dapat terjadi setelah beberapa hari jika
dibandingkan dengan satu jam pertama. Alur perubahan PCO2 dan HCO3- terhadap
gangguan ditunjukan oleh gamabar 17-4. Deviasi dapat diinterpretasikan sebagai
refleksi proses selain respon kompensasi. Sebagai contoh, pada seorang pasien
dengan penyakit kronis saluran napas obstuktif, faktor lain yang memberikan efek
pada status asam basa adalah konsentrasi kalium pada plasma, volume ECF,
deplesi klorida, diuretik, hipoperfusi renal, dan adanya penyakit ginjal. Kasus
seperti hiperkapnik post alkalosis dapat didiskusikan pada bagian berikutnya.
Pada evaluasi gangguan asam basa, riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik sangat
berharga karena dapat mengetahui proses perjalanan penyakit. Komposisi darah,
berfokus pada elektrolit serum dan gas darah, kemudian dapat diperiksa untuk
dicek kesesuaiannya dengan hasil pemeriksaan fisik. Namun, pada penggunaan
map asam basa (gambar 17-4), ingatlah bahwa map hanya berasal dari seseorang
dengan satu penyakit saja. Map tidak akan berlaku pada seseorang dengan kondisi
lebih dari satu penyakit. Sebagai contoh, pada seorang pasien dengan penyakit
kronis saluran udara obstruktif yang sputumnya sudah berubah menjadi purulen
dan telah mengalami mual dan muntah, kedua hal ini dapat memunculkan adanya
alkalosis metabolik dan asidosis respiratorik akut. Bagaimanapun juga penerapan
nilai gas darah arteri pasien ini (ccontoh pH =7.25 dan PCO 2 = 75 mmHg)
terhadap map asam basa akan menyebakan terjadinya kesimpulan yang salah.
Dengan demikian, klinisi harus mengintegrasikan data laboratorium dengan
pemeriksaan fisik untuk menganalisis gangguan klinis pada gangguan asam basa.

You might also like