Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 39

HUBUNGAN SOSIAL EKONOMI, POLA ASUH, POLA

MAKAN DENGAN STUNTING PADA SISWA SEKOLAH


DASAR DI KECAMATAN LUT TAWAR KABUPATEN
ACEH TENGAH
Penulis

Basri Aramico

Pembimbing: Toto Sudargo, SKM., M.Kes.

ABSTRACT: Background: High prevalence of stunted children indicates that nutrition problem
in Indonesia is a chronic problem associated with poverty, low education and lack of service and
environmental health. The high and low birth weight infant malnutrition in children under five
will have an impact on growth disorders in children new school entry age. Objective: To identify
association between social economic aspect of the family, rearing pattern, eating pattern and
stunting in elementary school children. Method: The study were analytic observational. It used
cross sectional design and qualitative method. Data were obtained through observation and
interview using questionnaire. Analysis used chi square at confidence interval 95%. number of
samples 378 of children. Result: There were association between maternal education and
nutritional status (p <0.001) OR 4.06; father education and nutritional status (p <0.001) OR 3.37;
number of underfives and nutrition status with nutritional status (p = 0.007) OR 2.71; income of
parent and nutritional status (p <0.001) OR 7.8; rearing pattern and nutritional status (p <0.001))
OR 8.07; eating pattern and nutritional status (p <0.001) OR 6.01. There were dominant
association between rearing pattern and nutritional status with OR of 8, between eating patern,
income of parent and nutritional status with OR of 6.01 There were no association between acces
and utilization of health service and nutritional status (p=0,78) OR=0,93. Conclusion: There
were significant association between social economi, rearing pattern, eating pattern and nutrition
status.

INTISARI: Latar Belakang: Masih tingginya prevalensi anak pendek yang menunjukkan
masalah gizi di Indonesia merupakan masalah kronis yang berkaitan dengan kemiskinan,
rendahnya pendidikan dan kurang memadainya pelayanan dan kesehatan lingkungan. Masalah
gizi oleh banyak faktor yang saling terikat secara langsung dapat dipengaruhi oleh penyakit
infeksi dan kurangnya asupan gizi secara kualitas maupun kuantitas, sedangkan secara tidak
langsung dipengaruhi oleh jangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan, pola asuh anak yang
kurang memadai sanitasi lingkungan serta rendahnya ketahanan pangan di tingkat rumah tangga
Tujuan: Untuk mengetahui hubungan antara aspek sosial ekonomi keluarga, pola asuh, pola
makan dan stunting pada anak sekolah dasar. Metode: Penelitian observasional analitik
menggunakan rancangan cross sectional dan metode kuantitatif, jumlah sampel 378 anak, yaitu
siswa sekolah dasar kelas I-III pada 11 sekolah dasar. Sampel diambil berdasarkan proportional
random sampling, pengumpulan data melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner,
pengolahan dan analisis data menggunakan program komputer yaitu analisis univariate, bivariate
dan multivariate. Hasil: Tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan status gizi (p=0,39) OR
1,22, tidak ada hubungan antara umur dengan status gizi (p=0,25) OR 0,73, tidak ada hubungan
antara akses pelayanan kesehatan dengan status gizi (p=0,78) OR 0,93. Ada hubungan antara
pendidikan ibu dengan status gizi (p<0,001) OR 4,06, ada hubungan antara pendidikan ayah
dengan status gizi (p<0,001) OR 3,37, ada hubungan antara jumlah balita dalam keluatga dengan
status gizi (p=0,007) OR 2,71. Ada hubungan antara pendapatan orang tua dan status gizi (p
<0,001) OR 7,8. Ada hubungan antara pola asuh dengan status gizi (p<0,001) ) OR 8,07, ada
hubungan antara pola makan dengan status gizi (p<0,001) OR 6,01.

Ada hubungan yang signifikan antara pola asuh, penghasilan orang tua dan
Kata kunci pola makan dengan status gizi. Tidak hubugan antara jenis kelamin, umur dan
akses pemanfaatan pelayanan kesehatan dengan status gizi.
Program Studi S2 Kesehatan Masyarakat/GK UGM
No Inventaris 0543-H-2011
Deskripsi xiii, 62 p., bibl., ills., 29 cm.
Bahasa Indonesia
Jenis Tesis
Penerbit [Yogyakarta] : Universitas Gadjah Mada, 2011
Lokasi Perpustakaan Pusat UGM
File Tulisan Lengkap dapat Dibaca di Ruang Tesis/Disertasi

Anda dapat mengecek ketersediaan versi cetak dari penelitian ini melalui petugas kami dengan mencatat nomor inventaris di atas
(apabila ada)
Ketentuan Layanan:
1. Pemustaka diperkenankan mengkopi cover, abstrak, daftar isi, bab pendahuluan, bab penutup/ kesimpulan, daftar pusatak
2. Tidak diperbolehkan mengkopi Bab Tinjauan Pustaka, Bab Pembahasan dan Lampiran (data perusahaan/ lembaga tempat
penelitian)
3. Mengisi surat pernyataan, menyertakakan FC kartu identitas yang berlaku

<< kembali
SKRIPSI HUBUNGAN POLA MAKAN TERHADAP STATUS GIZI BALITA DI
MTBS

HUBUNGAN POLA MAKAN TERHADAP STATUS GIZI BALITA DI


MTBS

SKRIPSI
OLEH :

XXXXXXX
NIM : XXXXXXXXXX

AKADEMI KEPERAWATAN TELANAI BHAKTI JAMBI


TAHUN 2013

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah gizi pada hakikatnya adalah masalah kesehatan masyarakat, namun
penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan
saja. Penyebab timbulnya masalah gizi adalah multifaktor, oleh karena itu pendekatan
penanggulangan harus melibatkan sektor yang terkait (Supriasa,2002).
Kesehatan dan gizi merupakan faktor yang penting, karena secara langsung
berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia. Diperlukan upaya peningkatan status gizi
masyarakat melalui perbaikan gizi, baik dalam lingkungan keluarga maupun gizi individu.
Pelayanan bermutu yang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dibidang kesehatan
(Aritonang, 2009:1).
Status gizi anak umur dibawah lima tahun (Balita) merupakan salah satu indikator yang
menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat suatu Negara. Kekurangan gizi pada balita
disebabkan oleh aspek-aspek yang multifaktor. Status gizi pada balita adalah salah satu
indikator yang digunakan untuk mengetahui kesehatan masyarakat. Pada 30 tahun terakhir
berjuta-juta anak meninggal karena malnutrisi. Hampir 16 juta anak meninggal karena lapar.
Menurut penelitian, 3.765 balita di Afrika Selatan, mengungkapkan lebih tinggi prevalensi
malnutrisi kriteria Stunting di Estern Cape dan Nothren Province yang konsentrasi
kemiskinannya lebih tinggi. Sebaran anak pendek (stunting) dan anak rendah (underweight)
tidak merata. Stunting ada hubungan dengan sosio ekonomi dan kemiskinan, sementara
gambaran anak kurus (wasting) tidak berhubungan dengan sosio ekonomi (WHO, 2011).

Angka Kematian Balita (AKABA) adalah jumlah anak yang meninggal sebelum mencapai
usia 5 tahun yang dinyatakan sebagai angka per 1.000 kelahiran hidup. AKABA
mempersentasekan peluang terjadinya kematian pada fase antara kelahiran dan sebelum umur
5 tahun. Milenium Development Gols (MDGs) menetapkan nilai normative AKABA, yaitu sangat
tinggi dengan nilai >140, tinggi dengan nilai 71-140, sedang dengan nilai 20-70 dan rendah
dengan nilai < 20. Secara nasional hasil SDKI 2007 terjadi penurunan AKABA di Indonesia.
Pada tahun 1991 AKABA nasional adalah 97 per 1.000 kelahiran hidup sedangkan pada tahun
2007 AKABA adalah 44 per 1.000 kelahiran hidup. AKABA di Provinsi Jambi pada tahun 1991
tercatat angka 102 per 1.000 kelahiran hidup sedangkan pada tahun 2007 terjadi penurunan
yaitu 47 per 1.000 kelahiran hidup, angka ini masih di atas angka nasional (Profil kesehatan
Provinsi Jambi, 2011:30).
Program perbaikan gizi masyarakat secara umum ditunjukan untuk meningkatkan
kemampuan, kesadaran dan keinginan masyarakat dalam mewujudkan kesehatan yang optimal
khususnya pada bidang gizi, terutama bagi golongan masyarakat berpenghasilan rendah baik
desa maupun kota. Kegiatan pokok kementrian kesehatan dalam mengimplementasikan
perbaikan gizi masyarakat meliputi; peningkatan pendidikan gizi, penanggulangan kurang
energi protein (KEP), anemia gizi besi, gangguan akibat kurang yodium (GAKY), kurang vitamin
A, dan kekurangan zat gizi. Adapun sasaran pokok program perbaikan gizi masyarakat yakni
menurunnya prevalensi gizi kurang pada balita, terlaksananya penanggulangan kurang energi
protein (KEP) anemia gizi besi, gangguan akibat kurang yodium GAKY, kurang vitamin (Profil
Kesehatan Provinsi Jambi, 2010 : 94).
Selain masalah gizi kurang pada balita, masalah gizi lebih atau obesitas dari segi
kesehatan merupakan salah satu penyakit salah gizi, sebagai akibat konsumsi makanan yang
jauh melebihi kebutuhannya. Dari berbagai tulisan mengenai obesitas pada anak/balita,
ternyata banyak masalah yang dihadapi anak obesitas ini. Lebih-lebih kalau obesitas pada
masa anak-anak berlanjut sampai dewasa. Angka kejadian obesitas pada anak dinegara-
negara maju terus bertambah. Menurut Weil BW (1991), angka kejadian di Amerika meningkat
40% (dari 15% menjadi 21%). Sedangkan angka kejadian di Indonesia masih belum ada data-
datanya. Tetapi dari pengamatan sehari-hari mulai banyak ditemukan kasus obesitas pada
anak/balita (Soetjiningsih, 2002 : 183).
Dalam penilaian gizi, yang diperlukan berbagai jenis parameter. Parameter tersebut
antara lain adalah umur, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar
dada, dan jaringan lunak. Penggunaan dan pemilihan parameter tersebut sangat tergantung
dari tujuan pengukuran status gizi, apakah mengukur status gizi sekarang atau mengukur status
gizi yang dihubungkan dengan masa lampau (Supriasa, 2002 : 84).
Pola makan adalah tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi
kebutuhan makan. Pola makan yang baik perlu dibentuk sebagai upaya untuk memenuhi
kebutuhan gizi. Pola makan yang tidak sesuai akan menyebabkan asupan gizi berlebih atau
sebaliknya kekurangan. Asupan berlebih menyebabkan kelebihan zat gizi. Sebaliknya, asupan
makanan yang kurang dari yang dibutuhkan akan menyebabkan tubuh menjadi kurus dan
rentan terhadap penyakit. Pola makan yang baik juga perlu dikembangkan untuk menghindari
interaksi negatif dari zat gizi yang masuk dalam tubuh (Sulistyoningsih, 2003 : 67).
Gambaran status gizi balita dengan indikator Berat Badan/umur (BB/U) berdasarkan hasil
Riskesdas tahun 2010 menunjukan bahwa propinsi dengan prevelensi balita gizi buruk tertinggi
adalah Gorontalo sebesar 11,2%. Permasalahan gizi yang bersifat akut yang dapat diketahui
melalui indikator Berat Badan/Tinggi Badan (BB/TB) menunjukan gambaran bahwa prevelensi
balita sangat kurus tertinggi terdapat di Provinsi Jambi sebesar 11,3% Bengkulu 9,7% Riau
9,2% sedangkan prevelensi balita sangat pendek terendah adalah Bangka
Belitung 1,7% kepulauan Riau 2,% dan Sulawesi Utara sebesar 2,6% (Kementrian Kesehatan
RI, 2011 : 40).
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Jambi, di Kota Jambi Tahun 2009
terdapat 82 balita yang mengalami gizi buruk, Tahun 2010 jumlah balita yang mengalami gizi
buruk mengalami peningkatan yaitu sebanyak 125 orang balita, sedangkan gizi kurang adalah
650 balita. Pada tahun 2011 juga terjadi peningkatan jumlah balita yang mengalami gizi kurang
yaitu 968 balita, 84 balita mengalami gizi lebih, dan 17 balita yang mengalami gizi buruk (Profil
Kesehatan Provinsi Jambi).
Berdasarkan dari data Dinas kesehatan Kota Jambi, Puskesmas Payo Selincah yang
merupakan puskesmas dengan jumlah balita yang cukup banyak terdapat kasus gizi kurang
yaitu 274 balita, 12 balita mengalami gizi lebih, 503 balita mengalami gizi baik, dan 6 orang
balita mengalami gizi sangat kurang (Dinas Kesehatan Kota jambi, 2012).
Berdasarkan data dari poli MTBs Puskesmas Payo Selincah, jumlah kunjungan Balita di
MTBs selama bulan Maret, April dan Mei 2013 berjumlah 499 balita. Menurut survey awal yang
dilakukan oleh peneliti di Puskesmas Payo Selincah pada tanggal 21 April 2013, observasi
pada balita diperoleh hasil, yaitu ada 5 balita yang ditimbang, 2 balita yang mengalami
peningkatan BB dan TB sesuai umur, 1 balita mengalami kanaikan BB, 1 balita mengalami
Penurunan BB, dan 1 balita tidak mengalami perubahan BB dan TB. Dan melakukan
wawancara dengan menggunakan angket sederhana pada ibu balita untuk mengetahui pola
makan dan diperoleh hasil 2 ibu mengatakan memberikan makanan yang sama dalam satu
hari, 1 ibu mengatakan memberikan makanan yang anak sukai saja, 1 ibu mengatakan
memberikan makanan yang berbeda setiap makan, dan 1 ibu mengatakan memberikan
makanan teratur dan jenis makanan yang sehat (tidak siap saji).
Berdasarkan uraian diatas peneliti akan melakukan penelitian tentang Hubungan Pola
Makan terhadap Status Gizi Balita di Poli MTBs Puskesmas Payo Selincah Kota Jambi Tahun
2013.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
Bagaimana Hubungan Pola Makan Terhadap Status Gizi Pada Balita di Poli MTBs Puskesmas
Payo Selincah Kota Jambi Tahun 2013.

C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui Hubungan Pola makan terhadap Status gizi pada Balita di Poli MTBs
Puskesmas Payo Selincah Kota Jambi Tahun 2013

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :
1. Bagi Dinas Kesehatan Kota Jambi
Peneliti berharap penelitian ini dapat memberikan masukan dalam pengembangan
kebijakan dibidang kesehatan, terutama tentang status gizi balita.
2. Bagi Puskesmas Payo Selincah
Bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran dan informasi masukan bagi tenaga
kesehatan dalam upaya perbaikan gizi balita
3. Bagi profesi Keperawatan
Sebagai masukan dan informasi untuk menentukan intervensi dalam mengatasi masalah
gizi pada balita.

4. Bagi Institusi pendidikan


Sebagai bahan masukan bagi mahasiswa untuk menambah pengetahuan dan informasi
tentang status gizi balita.
5. Bagi Peneliti Lain
Penelitian ini diharapkan dapat di jadikan sebagai bahan masukan untuk pengembangan
penelitian tentang status gizi balita dengan variabel penelitian dan di wilayah penelitian yang
berbeda.

E. Ruang Lingkup Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian analitik kuantitatif, menggunakan metode cross
sectional dengan analisis bivariat untuk mengetahui hubungan antara Pola Makan terhadap
Status Gizi Balita di Poli MTBs Puskesmas Payo Selincah Kota Jambi Tahun 2013. Populasi
pada penelitian ini adalah seluruh ibu yang berkunjung ke Poli MTBs Puskesmas Payo
Selincah Kota Jambi bulan Maret, April dan Mei tahun 2013 yang berjumlah 1494 balita.
Pengambilan sampel dalam penelitian ini dengan tekhnik Accidental Sampling. Dengan jumlah
sampel 38. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, dan pengukuran BB. Penelitian
ini di laksanakan pada 25 Juni-9 Juli 2013.

Home Makalah/Karya Ilmiah Umum SKRIPSI HUBUNGAN POLA MAKAN TERHADAP STATUS GIZI
BALITA DI MTBS ( BAB II )

By sasma lindah Sunday, 30 November 2014 Makalah/Karya Ilmiah Umum

SKRIPSI HUBUNGAN POLA MAKAN TERHADAP STATUS GIZI BALITA DI


MTBS ( BAB II )

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Gizi
1. Definisi Gizi
Istilah gizi atau ilmu gizi dikenal di Indonesia pada tahun 1950-an, sebagai terjemahan dari
kata inggris nutrition. Kata gizi sendiri berasal dari kata ghidza dalam bahasa Arab yang
berarti manan. Kata ghidza dalam dialek mesir dibaca gizi, sementara itu ada juga yang
menerjemahkan kata nutrition menjadi nutrisi (Muchtadi, 2009:1).
Ilmu gizi disebut juga sebagai ilmu pangan, zat-zat dan senyawa
lain yang terkandung dalam bahan pangan. Reaksi interaksi serta keseimbanganyayang
dihubungkan dengan kesehatan dan penyakit. Selain itu meliputi juga proses pencernaan
pangan, penyerapan, pengangkutan, pemanfaatan dan ekskresi zat-zat oleh organisme
(Muchtadi, 2009 : 1).

Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi secara
normal melalui proses digestasi, absorsipsi, transformasi, penyimpanan, metabolisme dan
pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan, tumbuhan
dan fungsi normal dari organ, serta mengahasilkan energi (Supriasa,2002 : 17-18).

Secara klasik kata gizi hanya dihubungkan dengan kesehatan tubuh, yaitu untuk
menyediakan energi, membangun dan memelihara jaringan tubuh. Sekarang kata gizi
mempunyai pengertian yang lebih luas. Disamping untuk kesehatan gizi dikaitkan dengan
potensi ekonomi seseorang karena gizi berkaitan dengan perkembangan otak, kemamapuan
belajar dan produktivitas kerja. Negara indonesia sekarang sedang membangun, faktor gizi
disamping faktor-faktor lain di anggap lebih penting untuk memacu pembangunan, khususnya
yanh berkaitan dengan perkembangan sumber daya manusia berkualitas (Almatsier, 2001 : 3-
4).

2. Zat gizi yang diperlukan oleh Tubuh


Untuk pertumbuhan dan perkembangan tubuh manusia untuk memperoleh energi agar
manusia dapat melakukan kegatan fisiknya sehari-hari, maka tubuh manusia harus dipenuhi
kebutuhan. Zat-zat makanan yang diperlukan itu dapat dikelompokan menjadi 6 macam yaitu:
air, protein, lemak, vitamin, mineral dan karbohidrat.

Secara garis besar zat-zat makanan tersebut dalam tubuh manusia berfungsi sebagai
berikut:
a. Air, berfungsi sebagai pelarut dan menjaga stabilitas temperatur tubuh. Tiroid, anak ginjal, dan
kelenjer keringat.
b. Protein, berfungsi membangun sel-sel yang telah rusak, membentuk zat-zat pengatur seperti
enzim dan hormone, membentuk zat anti energi.
c. Lemak, befungsi penghasilan kalori terbesar dalam hal ini tiap gram lemak menghasilkan 9,3
kalori sebagai pelarut Vitamin tertentu seperti, A, D, E, dan K, sebagai pelindung alat-alat tubuh
dan sebagai pelindung tubuh dari temperature rendah.
d. Karbohidrat, terdiri dari unsur C, H dan O berdasarkan gugus penyusunan gulanya dapat
dibedakan enjadi, monosakarida, disakarida dan polisakarida.
e. Vitamin, dapat dikelompokan menjadi Vitamin yang larut dalam air, meliputi B dan C, dan
vitamin yang larut dalam lemak meliputi A, D, E, dan K (Kartasapoetra, 2008 : 4-5).

3. Tujuh Bahan Pokok makanan


Menurut Irianto (2004). Ada tujuh bahan pokok sumber makanan yaitu sebagai berikut :
a. Golongan Bahan Makanan Sumber Makanan
Padi-padian dan umbi-umbian yang terutama engandung banyak karbohidrat yang
diperlukan untuk bahan bakar (energi). Bahan-bahan ini umumnya digunakan sebagai akanan
pokok. 1(satu) satun penukar mengandung 180 kalori, 40 gram protein, dan 40 gram
karbohidrat. Untuk lebih jelas lihat table berikut.

Tabel.2.1 bahan makanan sumber karbohidrat


Jenis bahan makanan Berat setiap satuan Ukuran Rumah
penukar (gram) Tangga (URT)
Nasi beras 100 3/4 gelas
Nasi tim 200 1 gelas
Bubur beras 400 1 gelas
Nasi jagung 50 gelas
Kentang rebus 200 4 buah sedang
Mie basah 250 2 gelas
Bihun 50 1 gelas
Singkong 100 1 potong sedang
Talas 200 1 biji besar
Ubi 150 1 biji sedang
Biscuit meja 50 4 buah
Roti putih 80 4 iris
Kraker 50 5 buah besar
Maizena 40 8 sendok makan
Tepung beras 50 8 sendok makan
Tepung singkong 40 8 sendok makan
Tepung sagu 40 7 sendok makan
Tepung hankwee 40 8 sendok makan
Mie kering 50 1 gelas

b. Golongan Bahan Makanan Sumber Protein hewani


Umunya digunakan sebagai lauk.
Tabel 2.2 bahan protein penukar untuk 4 gram protein bahan
Jenis bahan makanan Berat setiap satuan Ukuran rumah tangga
penukar (gram) (URT)
Daging sapi 25 1 potong sedang
Daging ayam 25 1 potong kecil
Hati sapi 25 1 potong sedang
Babat 60 2 potong sedang
Telur ayam kampung 75 2 butir
Telur bebek 60 1 butir
Ikan segar 50 1 potong sedang
Ikan asin 25 1 potong sedang
Ikan teri 25 2 sendok makan

c. Golongan Bahan Makanan Sumber Protein Nabati


Umunya digunakan sebagai lauk juga.

Tabel 2.3 bahan makanan sumber protein nabati


Jenis bahan makanan Berat setiap satuan Ukuran Rumah Tangga
penukar (gram) (URT)
Kacang hijau 25 2,5 sendok makan
Kacang kedelai 25 2,5 sendok makan
Kacang merah 25 2,5 sendok makan
Kacang tanah terkupas 20 2 sendok makan
Keju kacang tanah 20 2 sendok makan
Oncom 50 2 potong sedang
Tahu 100 1 biji
50 2 potong sedang

d. Golongan sayuran
Sayuran merupakan sumber vitamin terutama karoten, vitamin C, dan mineral (zat kapur,
zat besi, dan zat fosfor). Zat besi berguna untuk pembentukan sel darah merah.
1) Sayuran kelompok A
Sayuran dala kelompok A mengandung sedikit kali protein dan karbohidrat. Sayuran dalam
kelompok A dalam setiap 100 gram bahan mengandung Vitamin A sebanyak 1.000-5.000 UI
(Unit International), yaitu: baligo, daun bawang, daun kacang, daun koro, daun laun labu siam,
daun waluh, daun lobak, jamur segar, oyong (gambaas), kangkung, mentimun, tomat, kecipir
muda, kol, kembang kol, labu air, lobak panjang, papaya muda, pecay, rebung, sawi, saledri,
selada, toge, tebu, terong dan cabai hijau besar.
2) Sayuran kelompok B
Sayuran dalam kelompok B dalam satu satuan penukar mengandung 50 kalori, 3 gram
protein, dan 10 gram karbohidrat. Satu satuan penukar = 100 gram sayuran mentah. Setiap 100
gram bahan mengandung 500-1.000 UI vitamin A, yaitu: bayam, biet, buncis, daun beluntas,
daun ketela rambat, daun kecipir, daun leunca, daun lompong, daun mangkokan, daun
melinjau, daun pakis, daun singkong, daun papaya, jagung muda, jantung pisang, genjer,
kacang panjang, kacang kapri, katuk, kucai, labu siam, labu waluh, nangka muda, paria,
takokak dan wortel.
e. Golongan Buah-buahan
Buah-buahan merupakan sumber vitamin terutama karoten. Vitamin B1, Vitamin B6, dan
vitamin C.
Tabel 2.3 Golongan Buah-Buahan
Jenis bahan Berat setiap satuan Ukuran Rumah
makanan penukar (gram) Tangga (URT)
Alpukat 50 buah besar
Anggur 75 10 biji
Apel 75 buah sedang
Belimbing 125 1 buah besar
Jeruk 100 2 buah sedang
Mangga 50 buah sedang
Jambu biji 100 1 buah besar
Jambu bol 75 buah sedang
Duku 75 15 buah
Durian 50 3 biji
Kedondong 100 1 buah besar
Kemang 100 1 buah besar
Nenas 75 1/6 buah sedang
Nangka masak 50 3 biji
Papaya 100 1 potong sedang
Pisang ambon 50 1 buah sedang
Pisang raja sere 50 2 buah kecil
Rambutan 75 8 buah
Salak 75 1 buah besar
Sawo 50 1 buah sedang
Sirsak 75 gelas
semangka 150 1 potong besar

f. Golongan Susu
Susu merupakan sumber protein, lemak karbohidrat, vitamin (terutama vitamin A dan
niasin) serta mineral, zat kapur, dan zat fosfor).

Tabel 2.4 golongan susu


Jenis bahan makanan Berat setiap satuan Ukuran Rumah
penukar (gram) tangga (URT)
Susu sapi 200 1 gelas
Susu kabing 150 gelas
Susu kerbau 100 gelas
Susu kental tak manis 100 gelas
Yoghurt 200 1 gelas
Tepung susu lengkap 25 5 sendok makan
Tepung susu skim(*) 20 4 sendok makan
Tepung sari kedelai 25 4 sendok makan
Keterangan : yang ditandai (*) perlu ditambah 1,5 penukar minyak untuk melengkapi 45
kalori dan 5 gram lemak.

g. Golongan Minyak
Bahan makanan ini seluruhnya terdiri dari lemak. Satu satuan penukar mengandung 45
kalori dan 5 gram lemak.

Table 2.5 golongan minyak


Jenis bahan makanan Berat setiap satuan Ukuran Rumah
penukar(gram) Tangga (URT)
Minyak goreng 5 sendok makan
Minyak ikan 5 sendok makan
Margarin 5 sendok makan
Kelapa 30 1 potong kecil
Kelapa parut 30 5 sendok makan
Santan 50 gelas
Lemak sapi 5 1 potong kecil

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan Gizi


Kebutuhan gizi setiap golongan umur dapat dilihat pada angka Kecukupan Gizi yang
dianjurkan (AKG). Penentu kebutuhan dilakukan berdasaran umur, pekerjaan, jenis kelamin,
dan kondisi khusus.Kebutuhan gizi setiap orang berbeda-beda, hal ini dipengaruhi oleh:
a. Umur
Kebutuhan zat gizi pada orang dewasa berbeda dengan kebutuhan gizi pada usia balita
karena pada masa balita terjadi pertumbuhan dan perkembangan sangat pesat. Semakin
bertambah umur, kebutuhan zat gizi seseorang relatif lebih rendah untuk tiap kilogram berat
badannya.
b. Aktivitas
Kebutuhan zat gizi seseorang ditentukan oleh aktivitas yang dilakukan sehari-hari. Makin
berat aktivitas yang dilakukan kebutuhan zat gizi makin tinggi.
c. Jenis Kelamin
Kebutuhan zat gizi juga berbeda antara laki-laki dan perempuan, terutama pada usia
dewasa. Perbedaan ini terutama disebabkan oleh jaringan peyusun tubuh dan jenis
aktivitasnya. Jaringan lemak perempuan cenderung lebih tinggi dari pada laki-laki, sedangkan
laki-laki cenderung lebih banyak memiliki jaringan otot.
d. Kondisi khusus (hamil, menyusui dan sakit)
Kebutuhan pada massa hamil dan menyusui meningkat karena meningkatnya metabolisme
serta dibutuhkan untuk persiapan produksi ASI dan tumbuh kembang janin.
e. Daerah tempat tinggal
Seseorang yang tinggal didaerah pegunungan yang dingin membutuhkan kecukuapan
energi yang lebih dibandingkan yang tinggal didaerah pesisir yang panas.
B. Status gizi
1. Pengertian
Status gizi adalah ekspresi dari keadaan dalam bentuk variabel
tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu (Supriasa, 2002 : 18).

Menurut Almatsier (2001 : 301) saat ini Indonesia sedang menghadapi masalah gizi ganda
yaitu masalah gizi kurang dan masalah gizi lebih. Masalah ini mempunyai hubungan erat
dengan keadaan sosial ekonomi yang terjdi ditengah-tengah masyarakat. Status gizi
dipengaruhi oleh konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi di dalam tubuh. Bila tubuh
memperoleh cukup zat-zat gizi dan digunakan secara efisien akan tercapai status gizi optimal
kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mugkin.
Masalah gizi merupakan masalah yang multidimensi , salah satu indikator kesehatan yang
dinilai keberhasilan pencapaiannya adalah status gizi balita. Status gizi balita diukur
berdasarkan umur, berat badan (BB), tinggi badan (TB) variabel ini disajikan dalam bentuk tiga
indikator antropometri yaitu: berat badan menurut umur (BB/U) Tinggi badan menurut umur
(TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) ( Kementrian Kesehatan RI, 2011 : 40).

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi


Menurut Livinson dalam supriasi (2002:6) faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi
adalah:

a. Zat gizi dalam makanan

Makanan dikatakan bergizi jika mengandung zat makanan yang cukup dalam jumlah dan
kualitasnya sesuai dengan kebutuhan tubuh. Makanan yang kita konsumsi setiap hari dapat
dibagi dalam beberapa golongan, yaitu protein, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral, air, dan
oksigen, dan makanan berserat (Irianto, 2004 : 20).

Bila orang salah dalam mengkonsumsi makanan dapat menimbulkan dampak yang tidak
baik. Makanan yang dimakan sehari hari hendaknya merupakan makanan seimbang, terdiri
atas bahan bahan makanan yang tersusun secara seimbang baik kualitas maupun kuantitas
untuk memenuhi syarat hidup sehat (Irianto, 2004: 16)

b. Ada tidaknya program pemberian makanan diluar keluarga

Jika anak sudah mulai diperkenalkan makanan semacan fast-food yang saat ini sedang
menjamur dimana-mana, tentu saja mereka selalu ingin mendapatkan makanan seperti itu yang
menunya tidak merupakan makanan yang lengkap, karena tidak selalu dimakan dengan
sayuran.

Kegemaran ini tentu akan dibawa sampai anak meningkat remaja dan dewasa. Akibatnya,
banyak anak muda-muda sudah menderita penyakit degeneratif, tinggi kolesterol, dan
sebagainya (Irianto, 2004:71).

c. Daya beli keluarga


Status sosial ekonomi dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Hal ini
dapat terlihat anak dengan sosial ekonomi tinggi, tentunya pemenuhan kebutuhan gizi sangat
cukup baik dibandingkan dengan anak dengan sosial ekonominya rendah (Hidayat, 2012: 19).

d. Kebiasaan makan
Pada usia 1-5 tahun ini kebiasaan makan pada anak tergantung pada orang tuanya,
kadang-kadang anak malas makan dirumah karena kondisi yang tidak disukai, pada usia ini
kemampuan makan dengan menggunakan sendok, piring, dan garpu sudah baik. Pada usia
sekolah tata cara dalam makan seperti makan dengan duduk, mencuci tangan sebelum makan,
tidak mengisi mulut secara penuh dan mengambil makanan secara bersamaan dan lain lain
kebiasaan tersebut harus dilakukan. Kadang-kadang usia sekolah juga malas untuk makan
akibat stres atau sakit sehingga peru pemantauan, dan anak sekolah cenderung suka makan
secara bersamaan dengan teman sekolahnya. (Hidayat. A. A, 2012 : 96).

e. Pemeliharaan kesehatan

Sehat merupakan suatu keadaan yang terdapat selama masa tumbuh kembang manusia.
Keadaan tersebut tidak selalu berjalan lancar, kadang-kadang mengalami gangguan.
Kesehatan individu atau diri sendiri dapat terwujud apabila seseorang menjaga kesehatan
tubuh (Irianto, 2004: 84-85).

Status kesehatan anak dapat bepengaruh pada pencapaian pertumbuhan dan


perkembangan. Hal ini dapat terlihat apabila anak dengan kondisi sehat dan sejahtera maka
percepatan untuk tumbuh kembang sangat mudah, akan tetapi apabila kondisi status kesehatan
kurang maka akan terjadi perlambatan (Hidayat.A.A, 2012: 20).

f. Lingkungan fisik dan sosial

Lingkungan fisik yang dapat mempengaruhi pertumbuhan adalah cuaca, keadaan


geografis, sanitasi lingkungan, keadaan rumah dan radiasi. Cuaca dan keadaan geografis
berkaitan erat dengan pertanian dan kandungan unsure mineral dalam tanah. Daerah
kekeringan atau musim kemarau yang panjang menyebabkan kegagalan panen. Kegagalan
panen ini menyebabkan persediaan pangan di tingkat rumah tangga menurun yang berakibat
pada asupan gizi keluarga rendah. Keadaan ini dapat menyebabkan gizi kurang dan
pertumbuhan anak akan terhambat (supariasa, 2002: 31).
Status gizi anak pada dasarnya ditentukan oleh dua hal yaitu makanan yang di makan dan
keadaan kesehatan. kualitas dan kuantitas makanan seorang anak tergantung pada kandungan
zat gizi makanan tersebut, ada tidaknya pemberian makanan tambahan di keluarga, daya beli
keluarga dan karakteristik ibu tentang makanan dan kesehatan. Keadaan kesehatan anak juga
berhubungan dengan karakteristik ibu terhadap makanan dan keehatan, daya beli keluarga,
ada tidaknya penyakit infeksi dan jangkauan terhadap pelayanan kesehatan.

3. Penilaian Status Gizi


Menurut Supriasa (2002 : 18) penilaian status gizi ada 2 cara yaitu secara langsung dan
tidak langsung.

a. Penilaian Secara Langsung


Penilaian status gizi secara langsung dapat bagi menjadi empat penilaian yaitu:
1) Antropometri : digunakan untuk melihat ketidak seimbang asupan protein dan energi. Ketidak
seimbang ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak,
otot dan jumlah air dalam tubuh.
Indeks Antropometri
a) Berat Badan Menurun Umur (BB/U)
Berat badan adalah suatu parameter yang menberikan gambaran masa tubuh. Masa
tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-parubahan yang mendadakan, misalnyan terserang
penyakit infeksi, menurunya nafsu makan atau menurunya jumlah makana yang dikonsumsi
(Supriasa. 2002 : 56).

b) Tinggi badan menurut umur (TB/U)


Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan perutumbuhan
skeletal.pada keadaan normal, tinggi badan seiring dengan pertanbahan umur pertumbuhan
tinggi badan tidak seperti berat badan,relatif kurang sensitif terhadap masalah kurang gizi
dalam waktu yang pendek (Supriasa, 2002 : 57).

c) Berat Badan Menurun Tinggi Badan (BB/TB)


Indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menilai status Gizi saat ini. Indeks
TB/BB merupakan Indeks yang independen terhadap umur (Supriasa, 2002:58).
2) Klinis : digunakan untuk mendeteksi secara cepat tanda-tanda klinis umum dari kekurangan
salah satu atau lebih Zat gizi. Disamping itu digunakan untuk mengetahui tingkat status gizi
seseorang dengan melakukan pemeriksaan fisik yaitu tanda (sign) dan gejala (symptom).
3) Biokimia : digunakan untuk suatu peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi keadaan
malnutrisi yang lebih parah lagi. Banyak gejala klinis yang kurang spesifik, maka penentuan
kimia dapat lebih banyak menolong untuk kekurangan gizi yang spesifik.
4) Biofisik : digunakan dalam situasi tertentu seperti kejadian buta senja epidemik. Cara yang
digunakan adalah tas adaptasi gelap.
Menurut World Health Organization untuk mengukur status gizi balita dilakukan dengan
mengukur berat badan dan tinggi berdasarkan umur sebagai indikator status gizi anak. Ada 4
macam cara pengukuran yang sering digunakan di bidang masyarakat serta klasifikasinya
berdasarkan klasifikasi standar dengan berbagai modifikasi yaitu,

1. Berat badan per umur (BB/U), meliputi :


a) Gizi lebih (over weight)
b) Gizi baik (well nourished)
c) Gizi kurang (under weight) yang mencakup kekurangan kalori dan protein ( KKP) I dan II.
Klasfikasi standar Harvard tersebut yang sudah di modifikasikan sebagai berikut :

a) Gizi baik adalah apabila berat badan bayi/anak menurut umur nya lebih dari 89% standar
harvard
b) Gizi kurang adalah apabila berat badan bayi/anak menurut umur berada diantara 60,1% -80%
standar harvard
c) Gizi buruk adalah apabila berat badan bayi/anak menurut umurnya 60% atau kurang dari
standar harvard
2. Tinggi badan menurut umur (TB/U)
Pengukuran status gizi bayi dan anak balita berdasarkan tinggi badan menurut umur, juga
menggunakan modifikasi standar harvard, dengan klasfikasi sebagai berikut :
a) Gizi baik, yakni apabila panjang tinggi badan bayi/anak menurut umurnya lebih dari 80%
standar harvard.
b) Gizi kurang apabila,panjang/tinggi badan bayi/anak menurut umur nya berada antara
70,1%-80% standar harvard.
c) Gizi buruk, apabila panjang/tinggi badan bayi anak menurut umurnya 70% atau kurang dari
standar harvard.
3. Berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)
Pengukuran berat badan menurut tinggi badan ini diperoleh dengan mengkombinasikan
berat badan dan tinggi badan per umur menrut standar harvard. Klasfikasinya adalah sebagai
berikut:
a) Gizi baik, apabila berat badan bayi/anak menurut panjang/tinggi nya 09% dari standar Harvad.
b) Gizi kurang, apabila berat badan bayi/anak menurut panjang/tinggi nya berada di antara 70,1% -
90% dari standar harvard.
c) Gizi buruk, apabila berat badan bayi/anak menurut panjang/tinginya 70% atau kurang dari
standar harvard.
4. Lingkaran lengan atas (LILA) menurut umur.
Klasfikasi pengukuran status gizi bayi/anak berdasarkan lingkar lengan atas (LILA), yang
sering di gunakan adalah mengacu pada standar Wolanski, klasfikasinya adalah :
a) Gizi baik, apabila LILA bayi/anak menurut umur nya lebih dari 85% standar Wolanski.
b) Gizi kurang, apabila LILA bayi/anak menurut umur nya berada diantara 70,1% -85% standar
Wolanski.
c) Gizi buruk., apabila LILA bayi/anak menurut umur nya 70% atau kurang dari standar Wolanski.

Tabel 2.6

Baku Antropometri Menurut Standar WHO-NCHS

Indikator Status Gizi Keterangan

Berat badan Gizi Lebih >_ 2 SD


Menurut Umur
Gizi Baik -2 SD Sampai+ 2 SD
(BB/U)
Gizi Kurang <-2 SD sampai -3 SD

Gizi Buruk <- 3 SD

Tinggi Badan Normal -2 SD sampai+ 2 SD


Menurut
Pendek <-2 SD
Umur(TB/U)
Berat Badan Gemuk >_ SD
Menurut Tinggi
Normal -2 SD sampai+SD
Badan (BB/TB)
Kurus <-2 SD sampai 3 SD

Kurus Sekali <- 3 SD

Sumber: (Depkes RI, 2002:12).

b. Penilaian Status Gizi Secara tidak Langsung


Penilaian status gizi secara tidak langsung dibagi menjadi tiga yaitu:

1) Survei konsumsi makanan dapat memberikan gambaran tentan konsumsi berbagai zat gizi
pada masyarakat, keluarga, dan individu. Survey ini dapat mengindentifikasikan kelebihan dan
kekurangan zat gizi.
2) Statistik vital penggunanya dipertimbangkan sebagian bagian dari indikator langsung
pengukuran status gizi masyarakat.
3) Faktor ekologi, untuk mengetahui penyebab malnutrisi disuatu masyarakat sebagian dasar
untuk melakukan program intervensi gizi secara ringkas (Supriasa,2002:20-21).
4. Masalah Gizi Indonesia
Diantara sekian banyak masalah gizi yang ada, ada empat masalah gizi utama di indonesia
yaitu:

a. Kurang Kalori Protein (KKP)


Kurang Kalori protein merupakan masalah utama di indonesia, meningkatkan angka
prevalansi KKP terutama pada anak balita masih cukup tinggi. Masih ada sekitar 10,8%
anak balita yang menderita gizi kurang dan Gizi buruk. KKP merupakan akibat dari interaksi
antara berbagai faktor, tetapi yang paling utama adalah KKP merupakan akibat dari interaksi
antara berbagai faktor, tetapi yang paling utama adalah akibat konsumsi makanan yang kurang
memadai baik kuantitas maupun kualitas.
Kurang energi protein (KEP) adalah seseorang yang kurang gizi disebabkan oleh
rendahnya konsumsi energi dan protien dalam makanan sehari-hari atau gangguan penyakit
tertentu. Anak disebut KEP apabila berat badan nyakurang dari 80% indeks berat badan
menurut umur (BB/U). KEP merupakan defisiensi gizi (energi dan protein) yang paling berat
dan meluas terutama pada balita pada umumnya penderita KEP berasal dari keluarga yang
berpenghasilan rendah (Supriasa,2002:18).
Tanda-tanda klinis kekurangan energi protein. Pada pemeriksaan klinis, penderita KEP
akan memperlihatkan tanda-tanda sebagai berikut :
1) Marasmus
Suatu keadaan kekurangan protein dan kilo kalori yang kronis. Karakteristik dari marasmus
adalah berat badan sangat rendah. Gejala marasmus :
a) Anak tampa sangat kurus , tinggal tulang terbungkus kulit
b) Wajah seperti orang tua
c) Cengeng, rewel
d) kulit keriput, jaringan subkutiis sangat sedikit
e) sering di sertai diare kronik atau konstipasi,serta penyakit kronik
f) Tekanan darah, detak jantung, dan pernafasan berkurang
2) Kwashiokor
Istilah pertama kali dari Afrika. Artinya sindrom perkembangan anak dimana anak tersebut
disapih mendapatkan ASI sesudah satu tahun karena menanti kelahiran bayi berikutnya. Gejala
Kwashiokor:
1) Oedem umumnya diseluruh tubuh dan terutama pada kaki
2) Wajah membulat dan sembab
3) Otot-otot mengecil, lebih nyata apabila diperiksa pada posisi berdiri dan duduk
4) Cengeng, rewel, kadang apatis
5) Anoreksia
6) Pembesaran hati
7) Sering disertai infeksi, anemia dan diare
8) Rambut berwarna kusam dan mudah dicabut
9) Gangguan kulit berupa bercak merah yang meluas dan berubah menjadi hitam terkelupas
10) Pandangan mata tampak sayu
3) Marasmus-Kwashiokor
Tanda-tanda marasmus-kwashiokor adalah gabungan dari tanda-tanda yang ada pada
marasmus dan kwashiokor yang ada (Supriasa.I.D.N, 2002 : 131).
b. Kekurangan Vitamin A (Hipovitaminosis A)
Vitamin A berfungsi dalam pemeliharaan sel-sel ephitel, pertumbuhan, metabolisme dan
reproduksi kekurangan vitamin A dapat menyebabkan kebutaan pada anak balita sekitar 0,7%.
Kekurangan Vitamin A juga erat hubungannya dengan beberapa penyakit, antara lain
malnutrisi, diare, campak dan infeksi saluran pernafasan.
c. Anemia Gizi
Anemia adalah dimana keadaan kadar zat merah darah atau haemaglobin (HB) Lebih
rendah dari nilai normal. Sesuai dengan Temu kerja Anemia Nasional yaitu:
1) Anak presekolah : 11 gram %
2) Anak sekolah : 12 gram %
3) Wanita Dewasa : 12 gram%
4) Wanita Hamil : 11 gram %
5) Ibu Menyusui : 12 gram
6) Laki-laki Dewasa : 13 gram
Yang dinamai anemia gizi ialah keadaan dimana kadar HB dalam darah lebih rendah dan
normal, akibat kekurangan satu macam atau lebih zat-zat yang diperlukan untuk pembentukan
darah, ( Misalnya zat besi, asam folat, B12). Untuk memastikan dignosis anemia perlu
dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk kadar Hb dan Ht.

d. GAKY (Gangguan Akibat Kekurangan Iodium)


Penanggulangan Akibat Kekurangan iodium telah dilaksanakan berupa penyuntikan minyak
beriodium, dan iodisasi garam, namun masih 23,2% penduduk menderita gondok akibat
kekurangan yodium. Faktor lingkungan dan keturunan dan juga dapat membantu timbulinya
gondok endemik. Tetapi sebelum kekurangan iodium sebagai penyebab utamanya.
Pembesaran Kalenjar gondok adalah perubahan fisik pertama yang tampak pada kekurangan
iodium. Kekurangan yang lebih parah akan mengakibatkan terjadinya pada anak (Mary, 2011
: 205-214).
e. Malnutrisi
Keadaan patologis akibat kekurangan atau kelebihan secara realatif maupun absolute satu
atau lebih zat gizi. Ada empat bentuk malnutrisi:
1) Under nutrition: kekurangan konsumsi pangan secara relative atau absolute dalam keadaan
tertentu.
2) Specific deficiency: kekurangan zat gizi tertentu, misalnya kekurangan Vitamin A, Yodium, Fe,
dan Lain-lain.
3) Over nutrition : kelebihan konsumsi pangan untuk periode tertentu.
4) Imbalance: karena diproporsi Zat gizi, misalnya: kolestrol terjadi karena tidak seimbangnya LDL,
HDL, VDLD (Supriasa, 2002 : 18 )
5. Upaya Perbaikan Gizi di Indonesia
Penanggulangan masalah gizi perlu dilakukan secara terpadu antara department kelompok
profesi, melalui upaya-upaya peningkatan keadaan pangan, penganekaragam produksi dan
konsumsi pangan, peningkatan status sosial ekonomi, pendidikan, dan kesehatan masyarakat
serta peningkatan teknologi hasil pertanian dan teknologi pangan. Semuai ini bertujuan untuk
memperoleh perbaikan pola konsumsi pangan masyarakat yang beraneka ragam dan seimbang
dalam mutu gizi. Upaya ini antara lain upaya peningkatan usaha perbaikan gizi keluarga,
peningkatan kesehatan Lingkungan (Almatsier,2001:306).

C. Pola Makan
1. Pengertian
Menurut Karjati (1985 : 73) Pola makan adalah berbagai informasi yang memberikan
gambaran mengenai macam dan jumlah bahan makanan yang dimakan setiap hari oleh satu
orang dan merupakan ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu.
Menurut Hardajani (1996 : 23), Pola makan adalah tingkah laku manusia atau sekelompok
manusia dalam memenuhi kebutuhan akan makan yang meliputi sikap, kepercyaan dan pilihan
makanan.
Menurut Suhardjo (1989 : 251), Pola makan adalah sebagai cara seseorang atau
sekelompok orang untuk memilih makanan dan mengkonsumsinya sebagai reaksi terhadap
pengaruh-pengaruh fisiologis, psikologis, budaya dan sosial.
Menurut Buletin Gizi (1988 : 82), Pola makan adalah sebagai karakteristik dari kegiatan
yang berulang kali dari individu dalam memenuhi kebutuhannya akan makanan, sehingga
kebutuhan fisiologis, sosial dan emosionalnya terpenuhi (Sulistyoningsih,2003).

2. Faktor yang mempengaruhi pola makan


Menurut Sulistyoningsih (2003), Pola makan yang terbentuk sangat erat kaitannya dengan
kebiasaan makan seseorang. Secara umum faktor yang mempengaruhi terbentuknya pola
makan adalah:
a. Faktor Ekonomi
Variabel ekonomi yang cukup dominan dalam mempengaruhi konsumsi pangan adalah
pendapatan keluarga dan harga. Meningkatnya taraf hidup (kesejahteraan) masyarakat,
pengaruh promosi melalui iklan, serta kemudahan informasi, dapat menyebabkan perubahan
gaya hidup dan timbulnya kebutuhan psikogenik baru di kalangan ekonomi menengah keatas.
Tingginya pendapatan yang diimbangi pengetahuan gizi yang cukup, akan menyebabkan
seseorang menjadi sangat konsumtif dalam pola makannya sehari-hari, sehingga pemilihan
suatu bahan makanan lebih didasarka kepada pertimbangan selera makan dibandingkan aspek
gizi.
Status ekonomi dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Hal ini dapat
terlihat anak dengan social ekonomi tinggi, tentunya pemenuhan kebutuhan gizi sangat cukup
baik dibandingkan dengan anak dengan eknomi redah. Demikian juga dengan
status pendidikan keluarga. Tingkat pendidikan rendah akan sulit menerima arahan dalam
pemenuhan gizi dan mereka sering tidak mau atau tidak menyakini pentingnya pemenuhan
pemenuhan kebutuhan gizi atau pentingnya pelayanan kesehatan lain (Hidayat, 2009 : 19).
Secara umum tingkat ekonomi merupakan pendapat (penghasilan) rata-rata setiap bulan.
Menurut sumber dari Biro Pusat Statistic Provinsi jambi (2009). Berdasarkan Survei Sosial
Ekonomi (Susenas) Provinsi Jambi tingkat ekonomi dapat dibedakan atas dasar pengeluaran
per bulan yang dinyatakan dalam bentuk rupiah.

Berdasarkan keputusan Gubenur (2011) bahwa upah minimum provinsi (UMP) untuk tahun
2011 menunjukan peningkatan dari tahun sebelumnya, sehingga tingat pendapatan dibedakan
sebagai berikut:

1) Tingkat ekonomi rendah dengan pendapatan < Rp. 1.028.000,- perbulan


2) Tingkat ekonomi sedang dengan pendapatan rata-rata Rp. 1.028.000,- perbulan
3) Tingkat ekonomi tinggi dengan pendapatan >1.028.000- perbulan (Badan Pusat Statistic
Provinsi jambi Tahun 2011).
b. Faktor sosio budaya
Pantangan dalam mengkonsumsi jenis makanan tertentu dapat dipengaruhi oleh faktor
budaya/kepercayaan. Pantangan yang didasari oleh kepercayaan pada umumnya mengandung
perlambang atau nasehat yang dianggap baik ataupun tidak baik yang lambat laun akan
menjadi kebiasaan atau adat. Kebudayaan suatu masyarakat mempunyai kekuatan yang cukup
besar untuk mempengaruhi seseorang dalam memilih dan mengolah pangan yang akan
dikonsumsi.

c. Agama
Pantangan yang didasari agama, khususnya islam disebut haram dan individu yang
melanggar hukumnya berdosa. Adanya pantangan terhadap pantangan/minuman tersebut
membahayakan jasmani dan rohani bagi yang mengkonsumsinya. Konsep halal dan haram
sangat mempengaruhi pemilihan bahan makanan yang akan dikonsumsi.
d. Pendidikan
Pendidikan dalam hal ini biasanya dikaitkan dengan pengetahuan, akan berpengaruh
terhadap pemilihan bahan makanan dan pemenuhan kebutuhan gizi. Salah satu contoh, prinsip
yang dimiliki seseorang pendidikan rendah biasanya adalah yang penting mengenyangkan,
sehingga porsi bahan makanan sumber karbohidrat lebih banyak dibandingkan dengan
kelompok bahan makanan lain.
e. Lingkungan
Faktor lingkungan cukup besar pengaruhnya terhadap pembentukan perilaku makan.
Lingkungan yang dimaksud dapat berupa lingkungan keluarga, sekolah, serta adanya promosi
melalui media elektronik maupun cetak. Kebiasaan makan dalam keluarga sangat berpengaruh
besar terhadap pola makan seseorang, kesukaan seseorang terhadap makanan terbentuk dari
kebiasaan makan yang terdapat dalam keluarga.

3. Pola Gizi Seimbang


Pola makan yang seimbang dan pemilihan bahan makanan yang tepat merupakan hal yang
harus dilakukan. Jumlah dan kualitas makanan yang kita konsumsi adalah hal yang penting,
tetapi yang penting juga memperhatikan cara mengkonsumsinya. Selain untuk memenuhi
kebutuhan gizi juga untuk menghindari interaksi yang tejadi antara zat gizi masuk ke dalam
tubuh. Interaksi antar zat gizi ataupun dengan zat nongizi memang bisa berdampak positif, tapi
bisa juga negatif. Interaksi zat gizi atau non gizi dapat terjadi pada tiga tempat yaitu:Interaksi
dalam produk pangan, Interaksi dalam saluran pencernaan, Interaksi dalam metabolisme.

4. Hubungan Pola Makan Dengan Status Gizi


Pola makan yang seimbang, yaitu sesuai dengan kebutuhan disertai pemilihan bahan
makanan yang tepat akan melahirkan status gizi yang baik. Asupan makanan yang melebihi
kebutuhan tubuh akan menyebabkan kelebihan berat badan dan penyakit lain yang disebabkan
oleh kelebihan zat gizi. Sebaliknya, asupan makanan kurang dari yang dibutuhkan akan
menyebabkan tubuh menjadi kurus dan rentan terhadap penyakit. Kedua keadaan tersebut
sama tidak baiknya, sehingga disebut gizi salah.
Keadaan gizi salah akibat kurang makan dan berat badan yang kurang merupakan hal
yang banyak terjadi di berbagai daerah atau negara miskin. Sebaliknya keadaan gizi salah
akibat konsumsi gizi berlebih, merupakan fenomena baru yang semakin lama semakin meluas.
Keadaan ini terutama dialami oleh masyarakat lapisan menengah ke atas, yakni munculnya
obesitas pada anak dan remaja perkotaan dengan kategori ekonomi atas.

D. Balita
1. pengertian Balita
Balita dikenal juga dengan anak prasekolah adalah anak yang berusia antara 1 sampai 5
tahun (Sulistyoningsih, 2011 : 184).

Anak balita adalah anak yang berumur dibawah lima tahun. Tidak termasuk bayi karena
bayi mempunyai peraturan makanan khusus. Jelasnya, anak balita adalah kelompok usia 1-5
tahun. Dan kelompok ini dipisahkan antara kelompok 1-3 tahun dan kelompok usia 3-5 tahun
(Irianto dan Waluyo, 2004 : 71).

Menurut Budianto (2009 : 274) Pada anak balita sering kali dijumpai KKP dimana pada usia
ini tubuh memerlukan zat gizi tinggi, sehingga apa bila kebutuhan zat gizi itu tidak tercapai
maka tubuh akan menggunakan cadangan zat makanan yang ada. Sehingga lamakelamaan
cadangan itu akan habis dan akan menyebabkan kelainan pada jaringan, dan proses
selanjutnya dalam tubuh akan menyebabkan terjadinya perubahan yang akan menimbulkan
kelainan anatomis.

Jika dilihat dari segi umur anak TK yaitu 3-5 tahun. maka anak ini dikelompokan dalam
anak balita (Bawah lima tahun). Anak balita mengalami pertumbuhan badan yang cukup pesat
sehingga memerlukan zat-zat gizi yang tinggi setiap kg berat badanya. Anak balita itu justru
merupakan kelompok umur yang paling sering menderita akibat kekurangan gizi (Santoso,
2004 : 71).

Nutrisi merupakan kebutuhan yang sangat penting dalam membantu proses pertumbuhan
dan perkembangan pada bayi dan anak, serta mencegah terjadinya berbagi penyakit akibat
Kekuranga nutrisi dalam tubuh seperti kekurangan energi dan protein, anemia, defisiensi
yodium. Defisiensi seng (Zn) defisiensi vitamin A, defisiensi thiamin, defisiensi kalium dan lain-
lain yang dapat menghambat proses tumbuh kembang anak (Hidayat, 2009 : 87).

Anak balita juga merupakan kelompok yang menujukan pertumbuhan badan yang pesat,
sehingga memerlukan zat-zat gizi yang tinggi setiap kg badan badanya (Sediaoetama, 2004 :
239).
2. Pertumbuhan Balita
a. Pengertian
Menurut Ranti (2004 : 51-51) prose tumbuh kembang terdiri dari dua proses yang tidak
dapat dipisahkan karena saling mempengaruhi, meliputi sebagai berikut:

1) pertumbuhan ialah ditandai dengan semakin besaranya ukuran tubuh (tinggi, berat badan
lingkaran lengan atas dan yang lainnya).
2) perkembangan ialah ditandai denga semkin bertambahnya kemampuan anak (koordinasi
gerakan, bicara, kecerdasaan, perasaan, interaksi dengan orang lain, dan sebagainya).
b. Tanda-tanda tumbuh kembang
Pertumbuhan dan perkembangan merupakan proses yang terjadi pada setiap mahluk
manusia. Terutama pada masa balita dan Anak-anak mengalami prose tumbuh kembang ini
secara cepat. Pertumbuhan dan perkembangan setiap anak berlangsung menurut prinsip-
prinsip yang umum, namun demikian setiap anak memiliki ciri khas yang tersendiri.
Pertumbuhan yang terjadi pada seseorang tidak hanya meliputi yang terlihat pada pertumbuhan
fisik, tetapi juga perubahan dan perkembangan
dalam segi lain seperti: berfikir, berperasaan bertingkah laku dan lainnya ( Santoso, 2004 : 44).

3. Gizi Pada Anak Usia 1-5 Tahun ( Balita )


Makanan anak usia 1-5 tahun banyak tergantung pada orang tua atau pengasuhnya,
karena anak-anak ini belum dapat menyebutkan nama masakan yang dia inginkan. Orang
tuanyalah yang memilihkan untuk anak. Jadi, dapat dikatakan bahwa tumbuh kembang anak 1-
5 tahun sangat tergantung pada bagaimana orang tuanya mengatur makanan anaknya (Irianto
dan Waluyo, 2004 : 71)
Permasalahan gizi pada Balita dan anak merupakan maslah ganda, yaitu masih
ditemukannya masalah kelebihan zat gizi , seperti energi, lemak dan garam (Sulistyyoningsih,
2011 : 188).
Gizi yang diperoleh seorang anak melalui konsumsi makanan setap hari berperan besar
untuk pemenuhan kebutuhan balita. Untuk dapat memenuhi dengan baik dan cukuip, tenyata
ada beberapa masalah yang terkait dengan konsumsi zat gizi untuk anak. Seorang anak juga
dapat mengalami defisiensi zat gizi tersebut yang berakibat pada berbagai asfek fisik mupun
mental. Masalah ini dapat ditanggulangi secara cepat antara lain melalui pengaturan makan
yang benar (Ranti, 2004 : 40-41).
Pemberian beragam makanan terutama sayuran yang biasanyna kurang disukai anak
untuk memakan makanan yang bervariasi. Gizi seimbang perlu ditetapkan dalam makanan
keluarga. Setiap anak tumbuh dengan kecepatan berbeda. Bagi yang pertumbuhannya pelan
akan makan sedikit. Tetapi ada juga anak yang tumbuh cepat dan kemudian menjadi lambat
dan iya tumbuh cepat. Susunan makanan bergizi untuk tumbuh kembang anak denga baik
adalah susunan hidangan seimbang yang terdiri atas beberapa golongan bahan makanan, yaitu
bahan makanan sumber pembangunan. Bahan makanan sumber protein (zat pengatur tubuh),
dan bahan makanan sumber tenaga, pembagianya adalah sebagai berikut:
a. Golongan makan sumber zat pengatur contohnya berupa daging, susu, telur, ikan, keju,hati,
ayam, tahu kedelai dan tempe.
b. Golongan makana sumber zat pengatur contohnya terdiri dari sayuran hijau, bayam, katuk,
kangkung, kacang panjang, sawi,
dan sebaginya. Sayuran berwarna kuning atau jingga seperti wortel, tomat, dan labu.
c. Golongan makanan sumber tenaga contohnya berupa beras, kentang, ubi
roti, macaroni, singkong, talas, terigu, dan biscuit.
d. Buah-buahan contohnya berupa pepaya, nanas, mangga, pisang, jeruk, dan lain-lain (Widjaja,
2007 : 43-44).
Untuk menjamin pertumbuhan, perkembangan, dan kesehatan balita, maka perlu asupan
gizi yang cukup. Menurut anjuran makanan yang dianjurkan olah Department kesehatan RI
untuk anak-anak usia 1-3 tahun membutuhkan 1,5 mangkok nasi (@200 gram) atau
padanannya, 0,5 ikan (50 gram) atau padanannya 2 tempe (25 gram) atau padanannya
semangkuk sayur (100 gram), seiris buah pepaya (100 ml) atau padanannya dengan segelas
susu (200 ml). Bagi anak usia 4-6 tahun membutuhkan 2 mangkuk nasi (@200 gram) atau
padanannya, satu ikan (50 gram) atau padanannya 3 tempe (25 gram) atau padanannya 1,5
mangkuk sayur (100 gram), 2 iris buah pepaya (100 gram) atau padanannya, dan segelas susu
(200 ml). Asupan gizi tersebut akan menjamin tercukupinya kebutuhan kalori untuk balita antara
1360-1830 kalori/ anak / hari (Budianto 2009 : 120).

4. Masalah Kesehatan Gizi pada Balita


Menurut ( Sulistyoningsih, 2011 : 189-195). Beberapa masalah gizi yang sering ditemukan
pada Balita yaitu:
a. Defisiensi zat gizi
Defisiensi zat gizi dapat menyebabkan anemia karena difisiensi zat gizi besi yang ditandai
dengan kadar hemoglobin dalam darah dibawah normal. Data menurut Depkes RI tahun 2001
menunjukan bahwa prevalensi anemia gizi pada balita adalah 47.%
b. Gizi kurang
pengukuran tinggi badan anak survey nasional diperoleh gambaran prevalensi pendek (<-2
SD Baku NHCS) dan sengat pendek (<-Baku NHCS) pada anak 60-180 Bulan
c. Gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY)
Masalah gaky di identifikasikan berdasarkan angka total Goiter Rate (TG). Suvey nasional
menunjukan adanya penuruna TGR pada balita dari 30% pada tahun 1980 menjadi 9.8% pada
tahun 1998, dan meningkat pada tahun 1998, dan meningkat pada tahun 2003 menjadi 11,1% .
d. Kurang vitamin A
Indonesia dinyatakan bebas masalah xerophtimia. namun tetap perlu waspada karena 50%
balita masih menunjukan kadar vitamin dalam seruim <20 g/di sekitar 10 juta anak dibawah usia
lima tahun (balita) beresiko kurang vitamin A (KVA subklinis).

e. Kegemukan
Prevalensi kegemukan pada balita di indonesia menurut
Depkes sudah mencapai sekitar 10% (Depkes, 2005). sedangkan di US, sekitar 15% anak
usia 6-11 tahun mengalami kelebihan berat badan, dengan indeks massa tubuh 95%
ditambah dengan 30% anak diperkirakan resiko kegemukan, dengan IMT lebih besar atau
sama.
f. Karies gigi
Anak usia 1-5 tahun mengalami kerusakan pada gigi susu maupun gigi tetap, makanan
yang berisi karbohidrat seperti kismis dan permen karet merupakan penyebab karies yang kuat.
Resiko terjadi karies gigi dapat diperkecil dengan memilih makanan ringan yang merupakan
kombinasi antara karbohidrat, protein, dan lemak.
g. Balita dan anak sulit makan
sulit makan merupakan ciri khas pada balita, karena pertumbuhan mereka lebih lambat
dibandingkan pada saat mereka bayi. Anak balit tidak dipaksa makan dengan mengikuti pola
makan orang dewasa karena nafsu makannya bergantung pada aktivitas dan kondisi kesehatan
mereka.

5. Gizi Balita Dalam Keluarga


Persoalan gizi dalam keluarga tidak hanya mengenai persoalan makanan dan pengetahuan
serta keterampilan yang berhubungan dengan itu, tetapi sering merupakan jalinan dengan
persoalan-persoalan lain diluarnya. Maka penyelesaian sering harus dilakukan dalam rangka
holistik menyangkut segala aspek pelaksanaan kehidupan keluarga tersebut. Penanganan
perbaikan gizi keluarga dapat dilakukan berdasarkan rangka holistik mekanisme seluruh
kehidupan keluarga.
Dalam upaya mengusahakan perbaikan, kita dapat mulai meninjau aspek pelaksanaan tata
kehidupan keluarga tersebut. Apakah keluarga terdiri dari atas komponen-komponen yang
mendukung kesehatan gizi anak balita. Atau banyak kebutuhan lain yang menghambat faktor-
faktor pendukung kesehatan gizi balita tersebut.
Perlu mengadakan peninjauan tentang kebutuhan keluarga tersebut dan menjadwalkan
kembali kebutuhan-kebutuhan yang tidak urgen dan mendahulukan kebutuhan yang
bersangkutan dengan kesehatan gizi (Sediaoetama, 2004 : 274-275).
Perbaikan gizi balita dicoba dijangkau melalui taman balita, program PMT (pemberian
makanan tambahan) dan UPGK (usah perbaikan gizi keluarga). Ditaman balita diadakan upaya
rehabilitasi para penderita KKP dan melatih para ibu dan mereka yang bertanggung jawab atas
pengurusan balita di dalam keluarga, bagaimana mengurus dan memasak serta menyeiakan
makanan bergizi bagi anak-anak balita (Sediaoetama, 2004 : 240).
E. Kerangka Teori
Menurut Supriasa (2002 : 6) proses alamiah terjadinya penyakit dimulai dari masa pra
patogenesis (sebelum sakit), yaitu ketidakseimbangan kondisi antara pejamu, agens dan
lingkungan,sehingga menimbulkan rangsangan penyakit (stimulus).

Menurut Levinson (Supriasa, 2002 : 6) faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi


meliputi zat gizi dalam makanan, ada tidaknya program pemberian makanan diluar keluarga,
daya beli keluarga, kebiasaan makan, pemeliharaan kesehatan, lingkungan fisik dan sosial.

Berdasarkan teori tentang faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi oleh Levinson
(Supriasa 2002 : 6). Penulis mencoba membuat kerangka teori berbentuk bagan sebagai
berikut :
Bagan 2.5

Kerangka Teori

Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi

Zat gizi dalam makanan

Pengetahuan ibu tentang gizi

* Pola Makan

Daya beli keluarga

Pemeliharaan kesehatan

Lingkungan fisik dan sosial

Status Gizi

Sumber : Levinson dalam Supariasa (2002)


* Variabel yang Diteliti
F. Kerangka Konsep
Kerangka konsep dalam penelitian ini menjelaskan teori tentang faktor yang mempengaruhi
status gizi menurut Levinson, dalam Supariasa (2002). Konsep tersebut menunjukkan bahwa
ada dua faktor yang dapat mempengaruhi status gizi, tetapi peneliti tidak mengambil seluruh
variabel untuk dilakukan penelitian. Peneliti hanya mengambil kebiasaan makanan yang
termasuk dalam bagaimana cara pemenuhan asupan nutrisi dan pola makan pada anak.

Pada penelitian ini, yang berkaitan dengan status gizi anak yang diteliti adalah pola
makana yang merupakan komponen yang mendukung dalam kesehatan dan pemenuhan serta
peninjauan dalam gizi pada anak.

Berdasarkan hal tersebut diatas maka kerangka konsep penelitian ini secara skematis
dapat digambarkan sebagian dalam bagan 2.2 berikut :

Bagan 2.2

Kerangka Konsep Penelitian

Variabel Independen Variabel Dependen

Status Gizi

Pola Makan

G. Hipotesiss
Ada hubungan antara pola makan terhadap status gizi pada balita di poli MTBs Puskesmas
Payo Selincah Kota Jambi Tahun 2013.
Bab 3, 4 dan 5 menyusul di Artikel Berikutnya

http://belajarblog53.blogspot.co.id/2014/11/skripsi-hubungan-pola-makan-terhadap_30.html#more

You might also like