Download as pdf
Download as pdf
You are on page 1of 32
PEDOMAN| NASIONAL TUBERKULOSISIANAK Edisi Ke-2 dengan Revisi NAL UKK FESPIROLOG! PEDOMAN NASIONAL TUBERKULOSIS ANAK Edisi Ke-2 dengan Revisi Penyunting Nastiti N Rahajoe Darfioes Basir Makmuri MS Cissy B Kartasasmita UKK RESPIROLOGI PP IKATAN DOKTER ANAKINCONESIA 2008 2. Tuberkulosis otak dan saraf © meningitis TB * tuberkuloma otak 3. Tuberkulosis sistem skeletal + tulang punggung (spondilitis): gibbus © tulang panggul (koksitis): pincang * tulang lutut (gonitis): pincang dan/atau bengkak 4. Tuberkulosis kulit: skrofuloderma. 5. Tuberkulosis organ lainnya: tuberculosis mata seperti konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis) dan tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi), serta TB ginjal, TB Hepar, peritonitis TB dl 3.2 Pemeriksaan penunjang, 3.2.1 Uji tuberkulin Tuberkulin adaleh Komponen protein kuman IB yang mempunyai sifat antigenik yang kuat. Jika disuntikkan secara intrakutan kepada seseorang yang telah terinfeksi TB (telah ada kompleks primer dalam tubuhnya dan telah terbentuk imunitas selular terhadap TB), maka akan terjadi reaksi berupa indurasi di lokasi suntikan, Hal ini terjadi Karena vasodilatasi Lokal, edema, endapan fibrin dan terakunulasinya sel-sel inflamasi di daerah suntikan, Ukuran indurasi dan bentuk reaksi tuberkulin tidak dapat menentukan tingkat aktivitas dan beratnya proses penyakit. Uji tuberkulin merupakan alat diagnosis TB yang sudah sangat lama dikenal, tetapi hingga saat ini masih mempunyai nilai diagnostik yang tinggi terutama pada anak, dengan sensitivitas dan spesifisitas lebih dari 90%. Tuberkulin yang tersedia di Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2TU (Tuberculi Unit) buatan Statens Serum Institute Denmark, dan PPD (Purified Protein Derivative) dari Biofarma. Uji tuberkulin cara Mantoux dilakukan dengan menyuntikkan 0.1 ml PPD RT-23 2TU atau PPD S STU, secara intrakutan di 30 Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak 2008 bagian volar lengan bawah. Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Pengukuran dilakukan terhadap indurasi yang timbul, bukan hiperemi/eritemanya. Indurasi diperiksa dengan cara palpasi untuk menentukan tepi indurasi, ditandai dengan pulpen, kemudian diameter transversal indurasi diukur dengan alat pengukur transparan, dan hasilnya dinyatakan dalam milimeter. Jika tidak timbul indurasi sama sekali, hasilnya dilaporkan sebagai 0 mm, jangan hanya dilaporkan sebagai negatif (lihat lampiran gambar). Selain ukuran indurasi, perlu dinilai tebal tipisnya indurasi dan perlu dicatat jika ditemukan vesikel hingga bula. Secara umum, hasil uji tuberkulin dengan diameter indurasi >10 mm dinyatakan positif tanpa menghiraukan penyebabnya Hasil positif ini sebagian besar disebabkan oleh infeksi TB alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh imunisasi Bacille Calmette-Guerin (BCG) atau infeksi M. atipik. Bacille Calmette-Guerin merupaken infeksi TB buatan dengan kuman M. bovis yang dilemahkan, sehingga kemampuannya dalam menyebabkan reaksi tuberkulin menjadi positif, tidak sekuat infeksi alamiah. Pengaruh BCG terhadap reaksi_ positif tuberkulin secara bertahap akan semakin berkurang dengan berjalannya waktu, dan paling lama berlangsung hingga 5 ‘ahun setelah penyuntikan. Pada anak balita yang telah mendapat BCG, diameter indurasi 10-14 mm dinyatakan uji tuberkulin positif, kemungkinan besar karena infeksi TB alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh BCGnya. Akan tetapi, bila ukuran indurasi 215 mm, hasil positif ini sangat mungkin karena infeksi TB alamiah. Jika ‘membaca hasil tuberkulin pada anak berusia lebih dari 5 tahun, faktor BCG dapat diabaikan. Apabila diameter indurasi 0-4 mm, dinyatakan uji tuberkulin ‘negatif. Diameter 5-9 mum dinyatakan positif meragukan. Hal ini dapat disebabkan oleh kesalahan teknis (trauma dan lain- Jain), keadaan anergi, atau reaksi silang dengan M. atipik man Nasional Tuberkulosis Anak 2008 Bila mendapatkan hasil yang meragukan, uji tuberkulin dapat diulang. Untuk menghindari efek booster tuberkulin, ulangan dilakukan 2 minggu kemudian dan penyuntikan dilakukan di Tokasi yang lain, minimal berjarak 2 cm. Secara ringkas hasil pembacaan tes tuberkulin dapat dilihat pada tabel 3.5 Pada keadaan tertentu, yaitu tertekannya sistem imun (imunokompromais), maka cu! offpoint hasil_ positif yang digunakan adalah > 5 mm, Keadaan imunokompromais ini dapat dijumpai pada pasien dengan gizi buruk, infeksi HIV, Keganasan, morbili, pertusis, varisela, atau pasien-pasien yang mendapat imunosupresan jangka panjang (> 2 minggu). Pada anak yang mengalami kontakerat dengan pasien TB dewasa aktif disertai BTA positif, juga digunakan batas >5 mm. Uji tuberkulin sebaiknya tidak dilakukan dalam kurun waktu 6 minggu setelah imunisasi morbili; Measles, Mumps, Rubella (MMR); dan varisela, karena dapat terjadi anergi (negatif palsu karena terganggunya reaksi tuberkulin). 32 Pedamen Nasional Tuberkulosis Anak 2008 Pada reaksi uji tuberkulin dapat terjadi reaksi lokal yang cukup kuat bagi individu tertentu dengan derajat sensitivitas yang tinggi, berupa vesikel, bula, hingga ulkus di tempat suntikan. Juga pernah dileporkan terjadinya limfangitis, limfadenopati regional, konjungtivitis fliktenularis, bahkan efusi pleura, yang dapat disertai demam, walaupun jarang terjadi Tuberkulosis pada anak tidak selalu bermanifestasi klinis secara jelas, sehingga perlu dilakukan deteksi dini yaitu dengan uji tuberkulin. Pada anak yang tinggal di daerah endemis TB, uji tuberkulin perlu dilakukan secara rutin, bila hasilnya negatif dapat diulang setiap tahun. Uji tuberkulin positif dapat dijumpai pada tiga keadaan sebagai berikut: 1. Infeksi TB alamiah a. infeksi TB tanpa sakit TB (infeksi TB laten) b. infeksi TB dan sakit TB c. TB yang telah sembuh. 2, Imunisasi BCG (infeksi TB buatan). 3. Infeksi mikobakterium atipik, Uji tuberkulin negatif dapat dijumpai pada tiga keadaan berikut: 1. Tidak ada infeksi TB. 2. Dalam masa inkubasi infeksi TB. 3, Anergi. Anergi adalah keadaan penekanan sistem imun oleh berbagai keadaan, sehingga tubuh tidak memberikan reaksi terhadap fuberkulin walaupun sebenarnya sudah terinfcksi TB. Beberapa keadaan dapat menimbulkan anergi, misalnya giziburuk, keganasan, penggunaan steroid jangka panjang, sitostatik, penyakit morbili, pertusis, varisela, influenza, TB yang berat, serta pemberian vaksinasi dengan vaksin virus hidup. Yang dimaksud dengan influenza adalah infeksi oleh virus influenza, bukan batuk-pilek-panas biasa, yang umumnya disebabkan oleh thinovirus dan disebut sebagai selesma (connnon cold), Pedomen Nasional Tuberkulosis Anak 2008 33 = darah hanya dalam waktu singkat selama masa inkubasi, sehingga pemeriksaan PCR dengan spesimen darah tidak bermaniaat. Spesimen yang dapat digunakan adalah sputum, bilas lambung, cairan pleura, atau CSS. 3.2.6 Patologi Anatomik (PA) Pemeriksaan penunjang yang mempunyai nilai tinggi meskipun tidak setinggi mikrobiologi adalah pemeriksaan histopatologik, yang dapat memberikan gambaran yang Khas, Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran granuloma yang ukurannya kecil, terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Granuloma tersebut mempunyai_ karakteristik perkijuan atau area nekrosis kaseosa di tengah granuloma. Gambaran khas lainnya adalah ditemukannya multinucleated giant cell (sel datia Langhans). Diagnosis histopatologik dapat ditegakkan dengan menemukan_ perkijuan (kaseosa), sel epiteloid, limfosit, dan sel datia Langhans. Kadang-kadang Gapat ditemukan juga BTA. Seperti halnya pemeriksaan mikrobiologi, kendalanya adalah kesulitan mendapatkan spesimen yang representatif. Spesimen yang paling mudah dan paling sering diperiksa adalah limfadenopati kolli. Idealnya kelenjar diambil secara utuh agar gambaran histopatologi yang khas dapat terlihat. Pemeriksaan PA kelenjar limfe ini mempunyai perancu, yaitu infeksi M. atipik dan limfadenitis BCG yang secara histopatologis sulit dibedakan dengan TB. Pada kenyataannya, seringkali KGB Kolli ini diambil dengan cara biopsi jarum halus. Sebenarnya, spesimen yang diambil dengan menggunakan jarum halus Kurang representatif karena jaringan yang terambil hanya berupa sel, sehingga lebih mendekati pemeriksaan sitologi yang sulit untuk dibuat kesimpulan pasti. 3.3 Penegakan diagnosis Diagnosis kerja TB anak dibuat berdasarkan adanya Kontak terutama dengan pasien TB dewasa aktif/baru, kumpulan Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak 2008, 39 gejala_dan tanda klinis, uji tuberkulin, dan gambaran sugestif pada foto Rontgen toraks. Meskipun demikian, sumber penularan/kontak tidak selalu dapat teridentifikasi, sehingga analisis yang seksama terhadap semua data klinis sangat diperlukan. Diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB pada pemeriksaan apusan langsung (direct smear), dan/atau biakan yang merupakan pemeriksaan baku emas (gold standard), atau gambaran PA TB. Hanya saja, diagnosis pasti pada anak sulit didapatkan karena jumlah kuman yang sedikit pada TB anak (paucibacillary), dan lokasi kuman di daerah parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga hanya 10-15% pasion TB anak yang hasil pemeriksaan mikrobiologiknya positif/ditemukan kuman TB. Diagnosis TB tidak dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis. dan pemeriksaan fisis saja, atau pemeriksaan penunjang tunggal misalnya hanya dari pemeriksaan radiologis. Oleh karena itu, analisis kritis perlu dilakukan terhadap sebanyak mungkin fakta untuk menegakkan diagnosis. Dalam menegakkan diagnosis TB pada anak, semua prosedur diagnostik yang dapat dilakukan sebaiknya diperiksa selengkap mungkin, mulai dari anamnesis untuk mencari adanya gejala dan tanda yang mengarah ke tuberkulosis, baik gejala sistemik maupun lokal, Adanya kontak yang jelas harus selalu dicari. Status diagnosis sumber penularan harus diklarifikasi sejelas mungkin, apakah dilakukan pemeriksaan sputum dan bagaimana hasilnya. Apabila sumber penularan hanya didiagnosis dari foto Rontgen saja atau hanya atas dasar adanya keluhan batuk darah atau batuk lama. Bila didapatkan spesimen pemeriksaan, dari organ manapun, sedapat mungkin dilakukan pemeriksaan mikrobiologi lengkap dan atau patologi anatomik. Spesimen dapat berupa cairan LCS, cairan pleura, cairan asites, biopsi kelenjar, biopsi organ lainnya, sputum atau cairan bilas lambung. Walaupun diagnosis TB pada anak tidak dapat ditegakkan dari satu temuan klinis saja, namun ada beberapa keluhan yang sangat khas sehingga memiliki nilai diagnostik tinggi. Pada pemeriksaan fisis bila ditemukan Skrofuloderma, 40 Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak 2008 maka diagnosis TB sudah dapat ditegakkan. Demikian juga bila ditemukan gibbus, yang sangat patognomonik untuk menunjukkan adanya spondilitis TB. Pada pemeriksaan foto Rontgen, gambaran milier sangat besar kemungkinan TB, walaupun ada penyakit lain yang memiliki gambaran serupa. Pada pusat kesehatan dengan sarana yang terbatas, dalam mendiagnosis TB pada anak digunakan sistem skoring yang akan dibahas pada Bab Tata Laksana Tuberkulosis pada Sarana Terbatas. DAFTAR PUSTAKA 1. Affronti, L.F., Fife, EH. & Grow, L., 1975. Serodiagnosis test for tuberculosis. Amt Reo Respir Dis, 107, h.822-5, 2, Bassey, E.O.E,Caity, D., Kumararatne, DS. & Raykundalia, C., 1996. Candidate antigens for improved serodiagnosis of tuberculosis. Tuberc and Lung Dis, 77, b.136-45. 3, Casal, M, Gutierre: & Vaquero, M., 1997. Comparative evaluation of the mycobacterium growth indicator tube with the BACTEC 460 TB system and Lowenstein-Jensen medium for isolation of mycobacteria from clinical specimens, ut [ Tuberc Lung Dis, 1, h.81-4, 4, Chapman, A. & Lalvani, A.A., 2002 Rapid detection of active and latent tuberculosis infection in HIV-positive individuals by enumeration of Mycobacterium Tuberculosis-specific T cells. AIDS, 16, h.2285-93, 5. Charpin. D. Herbault, H.. Gevaudan, MJ., Saadjian, M., de Mico, P., Arnaud, A., Vervloet, D. & Charpin, J., 1990. Value of ELISA using A60 antigens in the diagnosis of active pulmonary tuberculosis. Am Rev Respir Dis, 142, h.380—4. 6, Chaulit,P_ Ait Khaled, N., Anane, T., Baghriche, M., Boulahbal, F. & Cermay, J., 1992. Childhood tuberculosis, still with us: children in the tropics. Paris: Internatonal Children’s Center. 7, Chow, P.Y. & Ng, DKK, 2004. Chronic Cough in Children. Singapore Med J, 45, 462-9 8. Chiang, LH. Suo, },, Bai, KJ, Lin, TP, Luh, KT, Yu, CJ. & Yang, P.C, 1997. Serodiagnosis of tuberculosis: a study comparing three specific mycobacterial antigens. Am J Respir Crit Care Med, 156, h.906-11, 9% Cohen, RA, Muzaffar, §., Schwartz, D., Bashir, S, Luke, S, Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak 2008, a Me Gartiand, LP. & Kaul, K,, 1998. Diagnosis of pulmonary tuberculosis using. assays on sputum collected within 24 hours of hospital admission, Am [ Respir Crit Care Med, 157, h.156-61. 10, Dannenberg, A.M. Jr., 1994, Pathogenesis and immunology: basic aspects. Dalam D. Schlossberg, penyunting, Tuberculosis. Edisi ke- 3. New York: Springer Verlag. h. 17-39. 11. Dannenberg, A.M. Jr, 1982. Pathogenesis of pulmonary tuberculosis. Ani Reo Respir Dis, 125, h.25-9 12, Elinga, G., Raviglione, M.C. & Maher, D., 2004, Scale up meeting targets in global tuberculosis control, Lancet, 363, h.S14-9, 13. Gamboa, F., Manterola, J.M., Lonca, J., Vinado, B, Matas, L., Gimenez, M., Manzano, J.R., Rodrigo, C, Cardona, PJ, Padilla, E., Dominguez, |, & Ausina V., 1996, Rapid detection of Mycobatertuin fuberculosis in respiratory specimens, blood, and other non- respiratory specimens by amplification of RNA. litt | Tubere Luaig Dis, 1,h542-55, 14, Houwert, K.A., Borggreven P.A,, Schaaf, HS. Nel, E,, Donald, PR. & Siolk, J., 1998. Prospective evaluation of World Health Organization criteria to assist diagnosis of tuberculosis in children Eur Respir J, 11(8), h.1116-20, 15, Imaz, MS. Comini, M.A., Zerbini, E, Sequeira, M.D., Spoletti, MJ, Etchart, A.A., Pagano, H.., Bonifasich, E., Diaz, N., |.D. & Singh, M., 2001, Evaluation of the diagnostic value of measuring IgG, IgM and IgA antibodies to the recombinant 16-kilodalton antigen of Mycobacterium tuberculosis in childhood tuberculosis. Int ] Tuberc Lung Dis, 5(11), h.1036-43. 16. Inselman, L'S. & Kendig, E.L, 1998. Tuberculosis, Dalam V. Chernick, T-F. Boat, EL. Kendig, Jn, penyunting. Kendig’s disorders of the respiratory tract in children, Edisi ke-6, Philadelphia: Saunders, h, 883-920, 17, Inselman, LS,, 1996, Tuberculosis in children: an update. Patiatr Pudmonol, 21, 101-20, 18, Jacobs, RF, Levy, J,, Wilson, C.B. & Smith, A.L,,1984. Tuberculosis, Dalam R, Nussbaum, 5.P. Gallat, penyunting, Pediatric respiratory disorders: clinical epproackes. Orlando: Grane & Stratton. h. 157-71. 19, Jaworska, H.G., Zwolska, Z., Droszcz, P., Rybus, L., Dabrowski, A. & Droszcz, W., 1997. Serum and bronchoalveolar IgG against AG) and 38 KDa antigens in the diagnosis of tuberculosis. [nt | Tuberc Lung Dis, 1, 556-62. 20. Kalish, S.B., Radin, RC., Levitz, D., Zeiss, CIR. & Phair, J.P., 1983. ‘The enzyme-linked immunosorbent assay method forlgA antibody to purified protein derivate in cerebrospinal fluid of patients with tuberculosis meningitis. Annals of Internal Medicine, 99, h.630-3. 42 Pedomen Nasional Tuberkulosis Anak 2008 21. 26. 2. a1. 32. Lalvani, A.,2004. Counting antigen-specific T-cells: new approach for monitoring response to tuberculosis treatment?, Clix Infect Dis, 38, h.757-9. Liebeschuetz, S,, Bamber, S., Ewer, K., Deek, J., Pathaan, A.A & Lalvani, A., 2004. Diagnosis of tuberculosis in South African children with a T-cell-based assay: a prospective cohort study. Lancet, 364, h.2196-203. Madkour, M.M,, 2004, Tuberculosis. Berlin: Springer. Mandariaga, L., Amurrio, C., Martin, G., Cebrian, F.G., Bicandi, J., Lardelli, P., Suarez & Cisterna, R., 1998, Detection of anti-interferon- gamma autoantibodies in subjects infected by Mycobacterium tuberculosis, Int J Tuberc Lung Dis, 2,h.62-8. Marshall, B.G, & Shaw, RJ, 1997. Diagnostic techniques: old and new. Dalam R, Wilson, penyunting. Tuberculosis: Furopean respiratory monograph, Sheffield, UK: European Respiratory Society. hh 30-50. McDonough, K.A,, Kress, Y. & Bloom, B.R,, 1993. Pathogenesis of tuberculosis: interaction of Mycobacterium tuberculosis with macrophages. [fection ad Imnaunity, 61, b.2763-73. Moss, R.B, 1993. Pulmonary defenses. Dalam B.C. Hilman, penyunting. Pediatric respiratory disease: diagnosis and treatment. Philadelphia: WB Saunders. h. 12-36 Moulding, T., 1994. Pathophysiology and immunology: clinical aspects. Dalam D. Schlossberg, penyunting, Tuberculosis. Edisi ke- 3. New York: Springer-Verlag. h. 41-50. . Munoz, FM. & Starke, J.R., 2004. Tuberculosis (Mycobacterium Dalam R.E. Berhrman, R.M. Kliegman, H.B. Jenson, penyunting, Nelsov textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders. h. 958-72. Nakamura, RM., Velmonte, M.A., Kawajeri, K,, Ang, C.R., Frias, R.A, Mendoza, M.T., Montoya J.C., Honda, 1, Saga, 5. & Toida, 1, 1998. MPB-64 mycobacterial antigen: a new skin-test reagent through patch method for rapid diagnosis of active tuberculosis. Int | Tuberc Lung Dis, 2, h541-6. Park, S.C., Lee, BI., Cho, 5.N., Kim, WJ., Lee, B.C., Kim, S.M. & Kim, J.D,, 1995. Diagnosis of tuberculosis meningitis by detection of immunoglobulin G antibodies to purified protein derivate and lipearabinomanna antigen in cerebrospinal fluid. Tubercle Lung Dis, 74, h.317-22. Prasetyo, R.V., 2004. Perin polymerase cain reaction (PCR) sebagai alat diagnostik pada TB anak: tinjawan kepustakaen, Surabaya: Lab/ SMB Iimu Keschatan Anak FK Universitas Airlangga—RS Dr. Soetomo. h. 2-3. Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak 2008 43 33. 37. 38. 39, 40. a 43. Rahajoe, N.N., Rahajoe, N. & Boediman, 1, 1977. Primary tuberculosis in children (review of 115 bacteriologically-proven cases). Pediatrica Indonesiana, 17, h.289-98, Ranatasuwan, W., Kreis, [.K., Nolan, CM, Schaeffler, B.A., Suwanagool, S,, Tunsupasawasdikul, $., Chuchottaworn, C. ‘Dejsomritrutai, W. & Foy, H.M., 1997. Evaluation of the Mycodot™ test for the diagnosis of tuberculosis in HIV seropositive and seronegative patients. Int | Tuberc Lung Dis, 1, h.259-264. Schaaf, HS,, Beyers, N., Gie, RP, Nel, E.D., Smuts, N.A,, Scott, E.E, Donald, PR & Fourie, P.B,, 1995, Respiratory tuberculosis in childhood: the diagnostic value of clinical features and special investigations. Padiatr hnpect Dis J, 14, h.189-04 Smith, K.C,, Starke, J.R., Eisenach, K,, Ong, L-T. & Denby, M., 1996. Detection of Mycobacteriun tuberculosis in clinical specimens from children using a polymerase chain reaction. Pediatrics, 97, h155- 60. Strauss, RG,, 2000. Blood and blood component transfusions, Dalam RE. Behrman, RM. Kliegman, H.B. Jenson, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-16. Philadelphia: WB Saunders. h. 1528. Streeton, [.A,, Desem, M. & Jones, SL, 1998. Sensitivity and specificity of gamma interferon blood test for tuberculosis infection. Int | Tubere Lung Dis, 2, h.443-50 Umetsu, D.T., 1998. Immunodeficiency and lung disease. Dalam B.C. Hilman, penyunting. Pediatric respiratory disease: diagnosis and treatment, Philadelphia: WB Saunders. h. 703-7. Unit Kerja Koordinasi Pulmonologi Pengufus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia, 1998. Disampaikan pada Konsensus Nasional Tuberkulosis Anak. Bandung, 13 Des 1998. Bandung, Indonesia WHO, 1994. WHO tuberculosis programme framework for effective tuberculosis control. Geneva: World Health Organization. h. 179. Wilcke, J.T.R., Nybojensen, B., Raun, P., Anderson, A.B. & Haslou, K,, 1996, Clinical evaluation of MPT-64 and MPT-59, two proteins secreted from Mycobacteriwnt tuberculosis for skin test reagents. Tuberc Lung Dis, 77, h.250-6. Zheng, YJ, Wang, R.H., Lin, ¥.Z. & Daniel, T.M,, 1994. Clinical evaluation of the diagnostic value of measuring IgG antibody to 3. mycobacterial antigen preparations in the capillary blood of children with tuberculosis and control subjects. Tuberc Lung Dis, 75, h,366-70. 44 Pedoman Nasional Tubarkulosis Anak 2008 dosis, dan tidak hanya sekedar ekstrapolasi dosis untuk pasien dewasa. Secara ringkas, dosis dan efek samping OAT dapat dilihat pada Tabel 4.1. 4.1.2 Paduan obat TB Pengobatan TB dibagi menjadi dua fase, yaitu fase intensif (2 bulan pertama) dan sisanya sebagai fase lanjutan, Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal tiga macam obat pada fase intensif (2 bulan pertama) dan dilanjutkan dengan dua macam obat pada fase lanjutan (4 bulan atau lebih). Pemberian paduan obat ini bertujuan untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraselular dan ekstraselular. Pemberian obat jangka panjang, selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan_terjacinya kekambuhan. Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak 2008 51 Berbeda dengan orang dewasa, OAT pada anak diberikan setiap hari, bukan dua atau tiga kali dalam seminggu. Hal ini bertujuan untuk mengurangi ketidakteraturan menclan obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak ditelan setiap hari. Saat ini paduan obat yang baku untuk sebagian besar asus TB pada anak adalah paduan rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid. Pada fase intensif diberikan rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid, sedangkan pada fase lanjutan hanya diberikan rifampisin dan isoniazid. Pada keadaan TB berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti TB milier, meningitis TB, TB sistem skeletal, dan lain- lain, pada fase intensif diberikan minimal empat macam obat (rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan etambutol atau streptomisin). Pada fase lanjutan diberikan rifampisin dan isoniazid selama 10 bulan. Untuk kasus TB tertentu_yaitu meningitis TB, TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB endobronkial, dan peritonitis TB, diberikan_ kortikosteroid (prednison) dengan dosis 2-4 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 3 dosis, maksimal 60 mg dalam 1 hari. Lama_pemberian Kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh, dilanjutkan tappering off selama 24 minggu. Paduan OAT ini dapat dilihat pada Tabel 4.2. 4.1.3 Fixed Dose Combination (FDC) Salah satu masalah dalam terapi TB adalah keteraturan (adherence) pasien dalam menjalani pengobatan yang relatif Jama dengan jumlah obat yang banyak. Untuk mengatasi hal tersebut, dibuat suatu sediaan obat kombinasi dengan dosis 52 Pedomen Nasional Tuberkviosis Anak 2008. yang telah ditentuken, yaitu FDC atau kombinasi desis tetap (kD?). Keuntungan penggunaan FDC dalam pengobatan TB adalah sebagai berikut. Menyederhanakan pengobatan dan mengurangi kesalahan penulisan resep. * Meningkatkan penerimaan dan keteraturan pasien. * Memungkinkan petugas Kesehatan untuk memberikan pengobatan standar dengan tepat. «© Mempermudah pengelolaan obat (mempermudah proses pengadaan, penyimpanan, dan distribusi obat pada setiap tingkat pengelola program pemberantasan TB). + Mengurangi kesalahan penggunaan obat TB [monoterapi) schingga mengurangi resistensi terhadap obat TB. * Mengurangi kemungkinan kegagalan pengobatan dan terjadinya Kekambuhan. + Mempercepat dan mempermudah pengawasan menelan obat sehingga dapat mengurangi beban kerja. + Mempermudah penentuan dosis berdasarkan BB. Saat ini masih tersedia obat panduan dalam bentuk kombipak, yaitu tablet lepas mesing-masing obat yang dimasukkan dalam satu paket Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP IDAI telah membuat rumusan mengenai FDC pada anak seperti pada Tabel 4.3. Pedoman Nasional Tuberkulasis Anak 2008 4.2.2. Sumber penularan dan case finding Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB, maka harus dicari sumber penularan yang, menyebabkan anak tersebut tertular TB. Sumber penularan adalah orang dewasa yang menderita TB aktif dan kontak erat dengan anak tersebut. Pelacakan sumber infeksi dilakukan dengan cara pemeriksaan radiologis dan BTA sputum (pelacakan sentripetal). Bila telah ditemukan sumbernya, perlu pula dilakukan pelacakan sentrifugal, yaitu mencari anak lain di sekitarnya yang mungkin juga tertular, dengan cara uji tuberkulin. Sebaliknya, jika ditemukan pasien TB dewasa aktif, maka anak di sekitarnya atau yang kontak erat harus ditelusuri ada atau tidaknya infeksi TB (pelacakan sentrifugal). Pelacakan tersebut dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang yaitu uji tuberkulin. 4.2.3 Aspek edukasi dan sosial ekonomi Pengobatan TB tidak lepas dari masalah sosioekonomi, Karena pengobatan TB memerlukan kesinambungan pengobatan dalam jangka waktu yang cukup lama, maka biaya yang diperlukan cukup besar, Selain itu, diperlukan juga penanganan gizi yang baik, meliputi kecukupan asupan makanan, vitamin, dan mikronutrien. Tanpa penanganan gizi yang baik, pengobatan dengan medikamentosa saja tidak akan mencapai hasil yang optimal. Fdukasi ditujukan kepada pasien dan keluarganya agar mengetahui mengenai TB, Pasien TB anak tidak perlu diisolasi karena sebagian besar TB pada anak tidak menular kepada orang, disekitarnya. Aktifitas fisik pasien TB anak tidak perlu dibatasi, kecuali pada TB berat. 4.2.4 Pencegahan 4.2.4.1 Imunisasi BCG Imunisasi BCG diberikan pada usia sebelum 2 bulan. Dosis untuk bayi sebesar 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml, diberikan Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak 2008 61 secara intrakutan di daerah insersi otot deltoid kanan (penyuntikan Icbih mudah dan lemak subkutis lebih tebal, ulkus tidak mengganggu struktur otot dan sebagai tanda baku). Bila BCG diberikan pada usia >3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin teriebih dahulu. Insidens TB anak yang mendapat BCG berhubungan dengan kualitas vaksin yang digunakan, pemberian vaksin, jarak pemberian vaksin, dan intensitas pemaparan infeksi. Manfaat BCG telah dilaporkan oleh beberapa peneliti, yaitu antara 0-80%. Imunisasi BCG efektif terutama untuk mencegah TB milier, meningitis TB, dan spondilitis TB pada anak. Imunisasi ini memberikan perlindungan terhadap terjadinya TB milier, meningitis TB, TB sistem skeletal, dan kavitas. Fakta di klinik, sekitar 70% TB berat dengan biakan positif telah mempunyai parut BCG, Imunisasi BCG ulangan dianjurkan di beberapa negara, tetapi umummya tidak dianjurkan di banyak negara lain termasuk Indonesia. Imunisasi BCG relatif aman, jarang, timbul efek samping yang serius, Efek samping yang sering ditemukan adalah ulserasi lokal dan limfadenitis (adenitissupuratif) dengan insidens 0,1-1%, Kontraindikasi imunisasi BCG adalah kondisi imunokompromais, misalnya defisiensi imun, infeksi berat, gizi buruk, dan gagal tumbuh. Pada bayi prematur, BCG ditunda hingga bayi mencapai BB optimal. 4.2.4.2 Kemoprofilaksis Terdapat dua macam kemoprofilaksis, yaitu kemoprofilaksis primer dan kemoprofilaksis sekunder. Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi TB, sedangkan kemoprofilaksis sekunder mencegah berkembangnya infeksi menjadi sakit TB. Pada kemoprofilaksis primer diberikan isoniazid dengan dosis 5-10 mg/kgBB/hari dengan dosis tunggal. Kemoprofilaksis ini diberikan pada anak yang kontak dengan TB menular, terutama dengan BTA sputum positif, tetapi belum terinfeksi (uji tuberkulin negatif). Pada akhir bulan ketiga pemberian profilaksis dilakukan uji tuberkulin ulang. Jika tetap negatif dan sumber penularan telah sembuh, 62 nel Tuberkulosis Anak 2008, dan tidak menular lagi (BTA sputum negatif), maka INH profilaksis dihentikan. Jika terjadi konversi_ tuberkulin menjadi positif, evaluasi status TB pasien. Jika didapatkan uji tuberkulin negatif dan INH profilaksis telah dihentikan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin ulang 3 bulan kemudian untuk evaluasi lebih lanjut. Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak yang telah terinfeksi, tetapi belum sakit, ditandai dengan uji tuberkulin positif, sedangkan klinis dan radiologis normal. Tidak semua anak diberi kemoprofilaksis sekunder, tetapi hanya anak yang termasuk dalam kelompok risiko tinggi untuk berkembang menjadi sakit TB, yaitu anak-anak pada keadaan imunokompromais. Contoh anak-anak dengan imunokompromais adalah usia balita, menderita morbili, varisela, atau pertusis, mendapat obat imunosupresif yang lama (sitostatik dan kortikosteroid), usia remaja, dan infeksi TB baru (konversi uji tuberkulin dalam waktu kurang dari 12 bulan). Lama pemberian untuk kemoprofilaksis sekuncer adalah 6-12 bulan. Baik profilaksis primer, profilaksis sekunder dan terapi TB, tetap dievaluasi tiap bulan untuk menilai respon dan efek samping obat. DAFTAR PUSTAKA 1. Chuisty, C, Puleino, RL, Lanpheas, B.P,, Miokard & Connochie, K.M,, 1996, Screening for tuberculosis infection in urban children. Arc Pediatr Adolescen Med, 150, h.722-6. Corrigan, D, é& Paton, J. Hepatic enzyme abnormalities in children on triple therapy for tuberculosis, Pediatr Pulmorl, 27, h.37—42 Depkes RI, 2002. Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis. Cetakan ke-8. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia 4, Hadinegoro, .R. Jadwal vaksinasi rekomendasi DAI. Disampaikan pada Simposium Penyakit Infeksi dan Inwnisasi. Padang, Indonesia, 02 April 2005. 5. Inselman, LS. & Kendig, EL, 1998. Tuberculosis. Dalam V. Chernick, T-F. Boat, E.L., Kendig, Jr, penyunting. Kendig’s disorders Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak 2008, 63 10. nl 13, U4. 64 of the respiratory tract in children. Edisi ke-6. Philadelphia: Saunders, 883-920. Klein, M. & Iseman, R.D., 1998, Mycobacterial infections. Dalam. LM, Taussig, Li. Landau, penyunting. Pediatrics res medicine. St Louis: Mosby. h. 702-42 Mohle-Boetam, J.C, Miller, B., Halpern, M,, Trivedi, A., Lessler, J, Solomon S.L. & Fenstersheib, M., 1995. School based screening for tuberculosis infection. JAMA, 274, h.613~9. Munoz, FM. & Starke, J.R, 2004. Tuberculosis (Mycobacterium tuberculosis). Dalam RE. Behrman, RM. Kliegman, HB. Jenson, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders. h. 958-72. O’Brien, R., Long, M.W., Cross, FS,, Lyle, M.A. & Snider, DE, 1983 Oktober. Hepatotoxicity from isoniazid and rifampicin among children treated for tuberculosis. Pediatrics, 72(4), h491-9. Scheinman, P., Refabert, L., Delacourt, C, Le Bourgeois, M., Paupe, J., de Blic, |,, 1997. Paediatric tuberculosis. Dalam R Wilson, penyunting. European Respiratory Monographt: tuberctlosis, Sheffield: European Respiratory Society Journals Ltd. h. 163. Scientific Committees of the IULTD, 1991. Tuberculosis in children, guidelines for diagnosis, prevention, and treatment. Bull Ini Union Tubere Lung Dis, 66, h61-7. Tahaoglu, K., Atac, G, Sevim, T,, Torun, T., Yazicioglu, ©, Horzum, I. Gemei, I., Ongel, L., Kapakli, N. & Aksoy, E., 2001. The management of antituberculosis drug-induced hepatotoxicity. bit ] Tuberc Lung Dis, 5(1), b.65-9. WHO, 2001. TB/HIV a clinical marncal, Edisi ke-2. Geneva: World Health Organization Wong, G.W.K. & Oddenheimer, S.J, 1994, Childhood tuberculosis. Dalam P.D.O. Davies, penyunting. Ciiricat ttibercuiosis. London: ChadrangHall Medical. h. 211-23, Pedoman Nasionel Tuberkulosis Anak 2008 Tata Laksana Tuberkulosis pada Sarana Terbatas 6.1 Sistem penilaian (scoring system) Mengingat diagnosis TB_pada anak sulit karena gejalanya tidak Khas, maka tim yang terdiri dari para pakar berupaya membuat kesepakatan untuk mempermudah penegakan diagnosis TB anak. Kesepakatan ini dibuat untuk mempermudah diagnosis ‘TB anak terutama di daerah perifer atau pada fasilitas kesehatan_ yang kurang memadai. Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP IDAI telah membuat Konsensus Nasional Diagnosis dan Tatalaksana TB pada Anak yang telah tersebar luas dan telah diadopsi oleh Depkes RI menjadi Program Penanggwlangan TB secara Nasional. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya terdapat beberapa kekurangan sehingga memerlukan revisi Untuk mengatasi hal tersebut, IDAI bekerjasama dengan Depkes RI dan didukung WHO, membentuk Kelompok Kerja TB Anak (Pokja TB Anak). Salah satu tugas pokja ini adalah mengembangkan sistem skoring yang baru untuk meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas diagnostik TB pada anak. Sistem skoring yang, telah disusun tersebut diuji coba melalui tiga tahap penelitian. Penelitian pertama berupa penerapan sistem skoring terhadap sekitar 200 pasien TB anak dengan biakan positif (confirmed TB) Penelitian kedua adalah penerapan sistem skoring,terhadap pasien TB anak di RS yang menjalani prosedur diagnostik lengkap termasuk pemeriksaan mikrobiologi. Dari kedta penelitian tersebut didapatkan sistem skoring dengan cut off point seperti yang dimuat di dalam buku ini, Penelitian tahap Ketiga adalah penerapan sistem skoring di puskesmas untuk melihat kelayakan dan kemampulaksanaan petugas kesehatan di lapangan. Revisi sistem skoring diagnosis TB anak dapat dilihat pada tabel 6.1 Pedoman Nasional Tuberkulosis Anek 2008 93 Catatan: * Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter. © Jika dijumpai skrofuloderma (lihat Bab Tuberkulosis Kulit), pasien dapat langsung didiagnosisTB 94 Pedaman Nasional Tuberculosis Anak 2008 + Berat badan dinilai saat pasien datang (onient opnarne) + Demam dan batuk tidak respons terhadap terapi sesuai baku puskesmas. + Foto toraks bukan merupakan alat diagnostik utama pada TB anak. + Semua anak dengan reaksi cepat BCG harus sistem skoring TB anak, Anak didiagnosis TB jika jumlah skor 26, (skor maksimal 13) + Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut + *Gambaran sugestif TB berupa: pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat; konsolidasi segmental /lobar; gan infiltrat; atelekta milier; kalsifikasi den a tuberkuloma jevaluasi dengan Pada sistem skoring yang baru, pembobotan tertinggi terletak pada uji tuberkulin dan adanya kontak TB dengan BTA positif, Uji tuberkulin mempunyai sensitivitas dan spesifisilas yang tinggi sehingga dapat digunakan sebagai uji tapis dan menunjang diagnosis. Demikian pula dengan adanya kontak dengan pasien TB dewasa dengan BTA positif. Pasien TB dewasa dengan BTA positif dapat menjadi sumber penularan yang utama karena berdasarkan penelitian akan menularkan sekitar 65% orang di sekitarnya Jika ditemukan gambaran milier, kavitas, atau efusi_ pleura pada foto Rontgen toraks, dan/atau terdapat tanda-tanda bahaya, seperti kejang, kaku kuduk, dan penurunan kesadaran, serta tanda kegawatan lain seperti sesak napas, pasien harus dirawat inap di RS. Bila dijumpai gibbus dan koksitis, pasien harus dikonsultasikan ke bedah ortopedi dan neurologi anak. Tatalaksana yang lebih lengkap pada keadaan-keadaan khusus di atas, dapat dilihat pada Bab Tuberkulosis dengan Keadaan Khusus, Penurinan BB merupakan gejala umum yang sering dijumpai pada TB anak. Umumnya, pasien TB anak mempunyai status gizi kurang atau bahkan gizi buruk, Dengan alasan tersebut, Kriteria penurunan BB menjadi penting, Yang dimaksud dengan penurunan BB dalam hal ini adalah apabila terjadi penurunan selama 2 bulan berturut-turut. Pevornan Nasional Tuberkulosis Anak 2008 35 Demam merupakan suatu tanda umum yang menunjukkan adanya infeksi. Demam yang menyokong diagnosis ‘TB adalah demam Jama (22 minggu) yang tidak diketahui penyebabnya, atau bukan suatu demam akibat penyakit tifoid, Infcksi Saluran Kemih (ISK), maupun malaria. Batuk yang berlangsung lebih dari 3 minggu (batuk kronik) merupakan salah satu gejala umum TB anak. Hal yang perlu diperhatikan adalah batuk kronik juga merupakan gejala utama asma yang biasanya bersifat berulang selain adanya kronisitas, Pembesaran kelenjar limfe di daerah leher, aksila, atau inguinal dapat menjadi tanda adanya TB anak. Umumnya pembesaran kelenjar bersifat multipel (lebih dari satu), tidak nyeri, tidak Panas, perabaan kenyal, pada awalnya warna sama dengan sekitarnya tetapi lama kelamaan berubah menjadi livide (merah Kebiruan). Pembesaran kelenjar ini harus dibedakan dengan pembesaran kelenjar akibat infeksi banal (bakteri) yang umumnya bersifat soliter, nyeri, dan warna yang lebih merah dari sekitarnya, ‘Yang, perlu diperhatikan adalah jika pembesaran kelenjar tersebut sudah berubah menjadi skrofuloderma, keadaan ini merupakan tanda yang, spesifik untuk TB sehingga pasien harus dirujuk ke sarana yang lebih tinggi atau langsung mendapat pengobatan TB. Pembengkakan tulang atau sendi merupakan tanda TB anak yang harus dibedakan dengan pembengkakan sendi akibat penyebab lain. Demikian pula apabila terdapat keluhan pincang, harus dibedakan dengan penyebab lain. Pada ‘TB sistem skeletal, selain dijumpai gejala umum TB pada anak, dapat dijumpai gejala spesifik berupa bengkak, kaku, nyeri pada pergerakan, dan kemerahan. Gejala atau tanda TB sistem skeletal bergantung pada lokasi kelainan. Tuberkulosis tulang belakang ditandai oleh gibbus berupa benjolan di tulang belakang yang umumnya seperti abses, tetapi tidak terdapat tanda radang. Warna benjolan sama dengan sekitarnya, tidak nyeri tekan, dan menimbulkan abses dingin. Tuberkulosis sendi panggul biasanya menimbulkan gejala berupa pincang saat berjalan dan pasien sulit berdiri. Kelainan pada sendi lutut 96 Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak 2008 dapat berupa bengkak di deerah Iutut, anak sulit berdiri dan berjalan, dan kadang-kadang ditemukan atrofi otot paha dan betis. Foto Ronigen toraks adalah pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk mendiagnosis TB anak. Berbeda dengan TB dewasa, pemeriksaan radiologis kurang banyak bermanfaat untuk mendiagnosis TB anak, kecuali pada keadaan tertentu, misalnya pada gambaran milier. Gambaran infiltrat atau pembesaran KGB hilus yang selama ini banyak digunakan sebagai dasar diagnosis TB, bukanlah suatu gambaran khas ‘TB karena hal tersebut masih dapat disebabkan oleh penyakit lain, seperti pneumonia atau IRA lain. Selain itu juga terdapat perbedaan persepsi dalam pembacaan foto Rontgen toraks. Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang, maka dilakukan pembobotan dengan sistem skoring, Pasien dengan jumlah sker yang lebih atau sama dengan 6 (6) herus ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat OAT. Alur tata laksana pasien TB anak di puskesmas dapat dilihat pada Gambar 6.1. Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak 2008 37 6.2 Paduan pengobatan Pengobatan TB dibagi menjadi dua fase, yaitu fase intensif (2 bulan pertama) dan sisanya sebagai fase lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal tiga macam cbat pada fese intensif (dua bulan pertama) dan dilanjutkan dengan dua macam obat pada fase lanjutan (empat bulan atau lebih). Pemberian paduan obat ini bertujuan untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraselular dan ekstraselular, sedangkan pemberian obat jangka panjang, selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kekambuhan, Obat antituberkulosis pada anak diberikan setiap hari, bukan tiga kali dalam seminggu. Hal ini dapat mengurangi ketidakteraturan minum obat karena berbagai hal yang lebih sering terjadi jika obat tidak diminum setiap hari, misalnya lupa. Susunan paduan OAT pada anak adalah 2RHZ/4RH, yaitu fase intensif terdiri dari rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid yang diberikan setiap hari selama 2 bulan (2RHZ), dan fase lanjutan terdiri dari rifampisin dan isoniazid yang diberikan setiap hari selama 4 bulan. Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan minum obat, paduan OAT disediakan dalam bentuk paket kombipak. Satu paket kombipak dibuat untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan. Kombipak untuk anak berisi Obat fase intensif, yaitu rifampisin 75 mg, isoniazid 50 mg, dan pitazinamid 150 mg, serta obat fase lanjutan, yaitu rifampisin 75 mg dan isoniazid 50 mg dalam satu paket. Di tempat dengan sarana kesehatan yang lebih memadai, untuk meningkatkan keteraturan pasien dalam menjalani pengobatan yang relatif lama dengan jumlah obat yang banyak, telah dibuat suatu FDC, yaitu kombinasi beberapa OAT di dalam satu tablet. Fixed Dose Combination (FDC) ini dibuat dengan komposisi rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid, masing-masing 75 mg, ss Pedomen Nasional Tuberkulosis Anak 2008 50 mg, dan 150 mg untuk 2 bulan pertama, sedangkan untuk fase 4 bulan berikutnya terdiri dari rifampisin dan isoniazid masing-masing 75 mg dan 50 mg. Dosis yang dianjurkan dapat dilihat pada Tabel 4.3 Setelah diberi OAT selama 2 bulan, respons pengobatan pasien harus dievaluasi. Respons pengobatan dikatakan baik apabila gejala klinis berkurang, nafsu makan meningkat, BB meningkat, demam menghilang, dan batuk berkurang. Apabila respons pengobatan baik maka pemberian OAT dilanjutkan sampai 6 bulan, sedangkan apabila respons pengobatan kurang atau tidak baik maka pengobatan TB te‘ap dilanjutkan tetapi pasien harus dirujuk ke sarana yang lebih lengkap. Sistem skoring hanya digunakan untuk diagnosis, bukan untuk menilai hasil pengobatan, Setelah pemberian obat sclama 6 bulan, OAT dapat dihentikan dengan melakukan evaluasi baik Klinis maupun pemeriksaan penunjang lain seperti foto Rontgen toraks. Meskipun gambaran radiologis tidak menunjukkan perubahan yang berarti, tetapi apabila dijumpai perbaikan Klinis yang nyata, maka pengobatan dapat dihentikan 6.3 Kemoprofilaksis Sekitar 50-60% anak balita, yang tinggal dengan pasien TB par. dewasa dengan BTA sputum positif, akan terinfeksi TB juga. Kira-kira 10% dari jumlah tersebut akan mengalami sakit TB. Infeksi TB pada anak balita berisiko tinggi menjadi TB diseminata yang berat (misalnya TB meningitis atau TB milier), sehingga diperlukan pemberian kemoprofilaksis untuk mencegah sakit TB, Pembahasan mengenai kemoprotilaksis sudah dibahas pada Bab Tata laksana. Profilaksis primer diberikan pada anak balita sehat, yang, memiliki kontak dengan pasien TB dewasa dengan BTA sputum positif (+), tetapi pada evaluasi dengan sistem skoring, Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak 2008 99 didapatkan skor <5, Anak balita dengan skor 5, sebaiknya dirujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih memadai untuk penegakan diagnosis. Apabila skor >6, maka harus diobati sesuai dengan paduan pengobatan. Obat yang, diberikan untuk profilaksis adalah isoniazid dengan dosis 5-10 mg/kgBB/hari selama 3 bulan. Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, perlu diberikan BCG setelah_ pengobatan profilaksis dengan isoniazid selesai DAFTAR PUSTAKA 1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2002. Pedoman nasional penarggulangan teberkulosis. Cetakan ke-8. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2. Donald, PR,, 2004. Chilhood tuberculosis. Dalam M.M. Madkoutr, penyunting, Tuberculosis, Berlin: Springer. h, 243-64. 3. Donald, PR, 2004. Childhood tuberculosis: the hidden epidemic Int ] Tuberc Lung Dis, 8, h.627-9. 4. Inselman, LS. & Kendig, E.L., 1998. Tuberculosis. Dalam V, Chernick, T.F. Boat & E.L. Kendig, Jr, penyunting. Kendig’s disorders of the respiratory tract in children. Edisi ke-6, Philadelphia: Saunders. h. $83-920. 5. Munoz, F.M.&Starke, |.R. Tuberculosis (Mycobacterium tuberculosis). Dalam RE. Behrman, RM. Kliegman, H.8. Jenson, penyunting, Nelson textbook of pediatrics, Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders. h 958-72. 100 Pedomen Nesionel Tuberkulosis Anak 2008 Calmette-Guerin sebaiknya diberikan di regio lengan kanan-atas pada deerah insersio M. deltoideus kanan, sehingga bila terjadi limfadenitis BCG akan lebih mudah terdeteksi. Vaksinasi BCG tidak perlu diulang sebagai booster, demikian juga bila tidak terbentuk parut. Tidak ada bukti bahwa vaksinasi ulangan BCG memberikan proteksi tambahan. Bila kita melakukan vaksinasi BCG, akan timbul reaksi bengkak dan merah, biasanya dalam waktu 4-6 minggu setelah penyuntikan. Akan tetapi, bila reaksi ini sudah timbul dalam kurun waktu 1 minggu, maka disebut sebagai reaksi cepat BCG, Hal ini dapat menjadi penanda kecurigaan adanya infeksi TB pada bayi tersebut, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan uji tuberkulin dan pemeriksaan lainnya. Akan tetapi, melakukan vaksinasi BCG sebagai sarana diagnostik (’BCG-test”) sebagai pengganti tuberkulin tidak dibenarkan. Pada vaksinasi BCG rutin, perlu diinformasikan kepada orangtua pasien bahwa bila ada reaksi cepat setelah penyuntikan harus segera dilaporkan untuk dievaluasi lebih lanjut. 7.1 Efektivitas BCG Pemberian vaksin BCG telah dilakukan sejak tahun 1921, dan selama ini lebih dari 3 milyar dosis vaksin BCG telah diberikan di scluruh dunia, Meskipun demikian, perdebatan mengenai efektivitas BCG dalam memproteksi bayi/anak tethadap TB masih terus berlangsung. Efek proteksi atau efektivitas BCG bervariasi dari 0-80%, dari berbagai publikasi dari berbagai negara. Efek proteksi atau efektivitas BCG adalah kemampuan BCG untuk menurunkan angka kejadian TB yang baru dalam populasi, bukan pada seorang individu Jemuan yang, berbeda-beda dari berbagai penelitian mengenai efektivitas BCG di berbagai negara disebabkan oleh banyak faktor, antara lain sebagai berikut 102 Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak 2008, + Bias metodologi, yaitu perbedaan desain dan pelaksanaan studi. * Strain dan dosis vaksin, yaitu perbedaan jenis vaksin (Tice, Danish, Pasteur, Tokyo, Merieux), perbedaan cara penyuntikan (multipwnctureAntrakutan), bentuk —vaksin (vaksin cair atau vaksin kering-bekit) Perbedaan jadwal pemberian imunisasi. 'ggi/rendahnya prevalens bakteri lingkungan (M. atipik), Virulensi strain kuman TB Faktor lain: reinfeksi eksogen vs infeksi endogen, faktor genetik, faktor pejamu (status imun dan nulrisi), paparan, dan lain-lain. cee Hingga saat ini, pemberian imunisasi BCG masih menjadi bagian dari strategi WHO dalam menanggulangi masalah TB, terutama di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, sehingga BCG termasuk dalam Program Pengembangan Imunisasi (PPI) yang wajib diberikan kepada bayi di Indonesia. Berdasarkan latar belakang kondisi negara kita, meskipun belum dibuktikan efikasinya secara_konsisten, BCG hingga saat ini masih merupakan vaksin yang masih perlu dan aman diberikan. Sebagai petugas keschatan, dokter anak sebaiknya turut memastikan bahwa setiap anak dengan risiko tinggi telah diimunisasi BCG. Akan tetapi, perlu diingat bahwa BCG hanya merupakan salah satu dari berbagai upaya penanggulangan TB. Deteksi dini anak yang terinfeksi TB dan tata laksana yang adekuat bagi pasien TB anak merupakan upaya yang juga sangat diperlukan. Saat ini juga sedang dikembangkan vaksin TB yang lebih baik daripada BCG. 7.2 Komplikasi BCG Sekitar 1-2% anak mengalami komplikasi BCG. Komplikasi tersering adalah abses lokal, infeksi bakteri sekunder, limfadenitis supuratif BCG, dan timbulnya keloid. Sebagian besar reaksi ini akan membaik dalam beberapa bulan. Akan Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak 2008 103 tetapi, anak yang mengalami penyakit BCG diseminata harus diperiksa lebih lanjut terhadap kemungkinan defisiensi imun dan diobati dengan OAT lini pertama (kecuali pirazinamid, karena M, bovis umumnya resisten tethadap obat tersebut). Limfadenitis BCG (dahulu secara salah disebut BCG-itis) merupakan efek samping yang sering dijumpai pada vaksinasi BCG meskipun jarang menimbulkan masalah yang serius. Kejadiannya berkisar 1-2 per 1000 vaksinasi. Limfadenitis BCG adalah pembesaran kelenjar limfe regional setelah vaksinasi BCG. Pembesaran kelenjar tersobut dapat hilang secara spontan atau tetap membesar, bahkan dapat timbul pus (supuratif), Setelah dilakukan penyuntikan BCG, terjadi multiplikasi secara cepat, dan melalui sistem limfatik akan menuju ke kelenjar limfe regional. Reaksi pada sisi yang sama dengan vaksinasi dan kelenjar, bersama-sama membentuk kompleks primer yang prosesnya sama dengan kompleks primer akibat infeksi TB secara alamiah. Kemudian akan diikuti reaksi patologis pada tempat suntikan, dan pembesaran kelenjar limfe regional yang tidak terlalu besar dan tidak menimbulkan penyakit (TB). Tidak ada patokan baku untuk menentukan pembesaran kelenjar itu “normal” atau “abnormal”. Beberapa ahli sepakat mengatakan “abnormal” apabila ukurannya besar, dalam arti mudah untuk diraba dan orangtua mengeluh karena pembesaran tersebut. Kelenjar limfe regional yang terlibat sebagian besar adalah kelenjar aksila ipsilateral (95%), diikuti dengan kelenjar supraklavikula dan servikal. Limfadenitis BCG terjadi setelah 2 minggu atau 2 bulan, tetapi tidak lebih dari 12 bulan, Umumnya kelenjar yang membesar adalah soliter meskipun ada yang multipel Kejadian limfadenitis BCG berhubungan dengan tipe vaksin dan pejamu, Faktor vaksin mencakup virulensi substrain BCG (veberapa strain BCG memang lebih reaktogenik), viabilitas (proporsi kuman yang hidup dan yang mati) pada produk akhir, dan dosis vaksinasi. Faktor yang berperan dari pihak pejamu adalah sebagai berikut. 104 Pedomsn Nasional Tuberkulosis Anak 2008 1. Usia vaksinasi; pemberian BCG pada neonatus memp' risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya limfadenitis BCG. 2 Respons imunologik terhadap—vaksin; —_pasien imunokompromais mempunyai risiko yang lebih tinggi 3. Karakteristik resipien; termasuk di dalamnya salah penyuntikan (keahlian menyuntik). Ada dua jenis limfadenitis BCG, yaitu nonsupuratif dan supuratif. Bentuk yang nonsupuratif biasanya muncul pada beberapa minggu setelah penyuntikan, dan menghilang dalam beberapa minggu tanpa ada sekuele yang berarti, sedangkan pada jenis supuratit timbul dalam beberapa bulan kemudian. Pada limfadenitis BCG tipe supuratif, pembesaran kelenjar dapat bersifat progresit, terdapat fluktuasi, kemerahan, edema, bahkan dapat terbentuk sinus pada tempat penyuntikan. Kadang-kadang diperlukan perawatan intensif terhadap luka yang timbul, dan perlu beberapa bulan untuk dapat hilang Secara spontan. Jenis supuratif ini terjadi pada 30-80% kasus. limfadenitis BCG. Limfadenitis BCG biasanya tidak disertai demam, tidak nyeri pada tempat edema, dan tidak didapatkan tanda-tanda yang, menyokong ke arah TB, seperti penurunan BB, demam lama, dan nafsu makan yang kurang. Pemeriksaan Laboratorium, uji tuberkulin, dan foto Rontgen toraks kurang membantu. Uji tuberkulin biasanya akan menunjukkan hasil yang positif. Pemeriksaan PA dari biopsi kelenjar kadang-kadang justru membingungkan karena gambaran patologisnya sama dengan TB. Tata laksana limfadenitis BCG masih kontroversial. Pada limfadenitis tipe nonsupuratif biasanya tidak menjadi masalah, karena dengan penjelasan yang baik orang tua akan dapat menerima. Akan tetapi, pada limfadenitis tipe supuratif terdapat beberapa perbedaan dalam penanganannya. Pemberian antibiotik eritromisin dan OAT (isoniazid dan rifampisin) pernah dilaporkanpenggunaannya, _ tetapi hasilnya tidak memuaskan. Beberapa ahli menyatakan bahwa pengobatan dengan OAT tidak diperlukan karena tidak efektif. Pedomen Nasional Tuberkulosis Anak 2008 105 Obat-obat lain yang digunakan biasanya berhubungan dengan komplikasi yang timbul, misalnya perawatan Iuka. Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP IDAI merekomendasikan untuk tidak memberikan OAT pada limfadenitis BCG, melainkan hanya melakukan pemantauan. Komplikasi limfadenitis yang tersering adalah penyembuhan luka yang kurang baik (kurang estetis), schingga yang terpenting adalah pencegahan terhadap pecahnya limfadenitis supuratif. Salah satu yang dianjurkan adalah dengan melakukan aspirasi pus, yang biasanya dilakukan sekali saja. Dengan aspirasi pus, lamanya penyembuhan dapat dipersingkat. Tindakan eksisi dilakukan apabila dengan aspirasi tidak menunjukkan hasil yang baik, sudah terbentuk sinus, atau kelenjamya multipel. Selain itu, tindakan eksisi lebih diindikasikan pada kosmetik, yaitu. mencegah pecahnya kelenjar dengan luka dan parut yang tidak beraturan. DAFTAR PUSTAKA 1. Coldwitz, G.A., Barkey, C.S., Mosteller, F., Brewer, T.F., Wilson, MLE, Burdick, E. & Fineberg, H'V., 1995. The efficacy of bacillus Calmette-Guerin vaccination of newborns and infants in the prevention of tuberculosis: meta-analyses of the published literature. Pediatrics, 96(1), h.29-35. Bannon, MJ, 1999. BCG and tuberculosis. Arch Dis Child, 80, h.80-3, Rahajoe, N.N., 2001. Tuberkulosis, Dalam|.GN. Ranuh, H. Soeyitno, S.R, Hadinegoro, C.B, Kartasamita, penyunting. Buu imunisas! di Indonesia, Edisi ke-1. Jakarta; Ikatan Dokter Anak Indonesia. h. 79-83, 4. Xing, Z, 2004, BCG and new tuberculosis vaccines. Dalam M.M. Madkour, A.A. Saif, KR. Al Moutaery, A.A, Kudwah, penyunting, Tuberculosis. Berlin; Springer. h, 881-93. 5. Gorya, JS. & Virdi, VS, 2002, Bacille Calmette-Guerin lymphadenitis. Postgrad Med J, 78, h.327-9. 6. Darmstadt, G.L., 2000. Cutaneous bacterial infections. Dalam R.E. Behrman, R.M. Kliegman, A.M. Arvin, penyunting, Nelson fexibook of pediatrics, Edisi ke-16. Philadelphia: Saunders. h. 2034-5. 106 Pedoman Nasional Tuberkullosis Anak 2008

You might also like