Download as doc, pdf, or txt
Download as doc, pdf, or txt
You are on page 1of 57

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Chronic Kidney Disease (CKD) atau bisa disebut Gagal Ginjal Kronis

(GGK) adalah gangguan fungsi ginjal yang progresif dan tidak dapat pulih

kembali, dimana tubuh tidak mampu memelihara metabolisme, gagal

memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit yang berakibat pada

peningkatan ureum. Pada pasien gagal ginjal kronis mempunyai karakteristik

bersifat menetap, tidak bisa disembuhkan dan memerlukan pengobatan

berupa hemodialisa, dialisis peritoneal, transplantasi ginjal dan rawat jalan

dalam jangka waktu yang lama (Black, 2014).

Menurut WHO (2016) penyakit ginjal stadium akhir memerlukan terapi

dialisis atau transplantasi ginjal. Di seluruh dunia, jumlah yang menerima

terapi pengganti ginjal diperkirakan lebih dari 1,4 juta dengan kejadian

tumbuh sekitar 8%. Prevalensi CKD pada tahun 2013 sebanyak 2.997.680

orang, namun pada tahun 2014 meningkat sebanyak 3.091.240 orang (United

State Renal Data System [USRDS], 2016).

Gagal ginjal kronik menjadi salah satu penyakit yang masuk dalam 10

besar penyakit kronik tidak ditularkan di Indonesia (RISKESDAS, 2013).

Sedangkan menurut Persatuan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) tahun 2012,

persentase penyakit gagal ginjal ini semakin meningkat. Penatalaksanaan

gagal ginjal yang digunakan di Indonesia yaitu dengan hemodialisa sebesar

78 %, transplantasi sebesar 16 %, Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis


2

(CAPD) sebesar 3 %, dan Continous Renal Replacement Therapies (CRRT)

sebesar 3 %.

Hemodialisa (HD) adalah proses pengambilan zat-zat nitrogen yang toksik

dengan mengalirkan darah dari tubuh pasien ke dialyzer tempat darah tersebut

dibersihkan kemudian dikembalikan lagi ke tubuh pasien setelah dikeluarkan air,

elektrolit dan zat sisa yang berlebihan dari dalam tubuh (Smeltzer & Bare, 2013).

Penatalaksanaan terapi hemodialisa di Indonesia menurut PERNEFRI

(2012) , prevalensi kejadiannya semakin meningkat dimana jumlah pasien

baru yang menjalani terapi hemodialisa meningkat dari 15.353 orang pada

tahun 2011 menjadi 19.621 orang pada tahun 2012. Sedangkan jumlah pasien

aktif dari 6.951 orang pada tahun 2011 meningkat menjadi 9.161 orang pada

tahun 2012. Didaerah Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) jumlah pasien yang

menjalani terapi hemodialisa sebanyak 238 orang (PERNEFRI, 2012).

Frekuensi tindakan hemodialisa tergantung banyaknya persentase ginjal yang

berfungsi,rata-rata pasien hemodialisa menjalani HD dua kali dalam seminggu. Lama

pelaksanaan hemodialisa paling sedikit tiga sampai empat jam tiap melakukan terapi

(Melo, Ribeiro & Costa, 2015). Hemodialisa sebagai terapi utama dalam penanganan

gangguan ginjal kronik, memiliki dampak yang bervariasi, diantaranya efek hemodialisis

kronik berupa fatigue. Kurangnya energi atau kelemahan disebabkan karena

peningkatan jumlah sisa metabolisme di dalam tubuh yang dapat menyebabkan

uremia. Uremia pada pasien hemodialisis dapat menyebabkan pasien kehilangan nafsu

makan, mual, muntah, kehilangan energi dan protein, dan penurunan produksi karnitin

yang menyebabkan penurunan produksi energy untuk skeletal dan mengakibatkan

fatigue (OSullivan & McCarthy, 2009).


3

Fatigue merupakan perasaan subjektif terhadap kondisi tubuh yang digambarkan

dengan kelelahan, kelemahan atau kekurangan energi yang mengganggu aktivitas

normal dan fungsi kehidupan (Ferrell,Coyle & Paice, 2015). Kelelahan adalah gejala

umum pada pasien penyakit ginjal yang menjadi sebuah fenomena kompleks,

multidimensi, dan multifaktorial, yang telah didefinisikan sebagai kelemahan mental,

kelemahan fisik atau keduanya. Gejala umum juga mencakup motivasi dan aktivitas fisik

berkurang, kelesuan umum. Prevalensi kelelahan berkisar dari 42% sampai dengan 89%

sesuai dengan modalitas pengobatan dan instrumen pengukuran yang digunakan

(Artom, 2014). Sedangkan menurut Joshwa (2012), lebih dari 70 % pasien hemodialisa

mengalami kelelahan / fatigue.

Dampak lanjut fatigue pada pasien yang menjalani hemodialisis

diantaranya terganggunya fungsi fisik dalam melakukan aktivitas seharihari,

perubahan hubungan dengan orang lain, isolasi sosial, perubahan fungsi

sexual, perubahan spiritual dan kualitas hidup (Lukbin & Larsen, 2006). Pada

pasien yang menjalani hemodialisa akan memiliki kadar ureum dan kreatinin

yang tinggi. Ureum yang tinggi akan mengganggu produksi hormon

erytropoietin. Sehingga jumlah sel darah merah menurun atau yang disebut

anemia (Thomas, 2003). Akibatnya pasien akan mengalami lelah, letih, lesu

yang merupakan gejala fatigue (Sullivan, 2009).

Faktor yang mempengaruhi fatigue diantaranya ada faktor

sosidemografi, faktor klinis, faktor regimen pengobatan, faktor biokimia

hematologi, dan faktor psikososial dan kognitif. Faktor psikososial dan

kognitif menjadi faktor yang sangat berperan penting dalam memprediksi

pasien hemodialisa pada resiko kelelahan (Horigan,2012).


4

Menurut Teori Erik H Erikson, psikososial ditinjau dari perspektif

psikologis dan sosial, sehingga disebutnya sebagai psikososial. Sedangkan

kognitif adalah suatu proses pembentukan berpikir untuk memperoleh

pengetahuan melalui ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, penyimpulan

serta penilaian. Psikososial dan kognitif merupakan suatu kondisi yang

terjadi pada individu yang mencakup aspek psikis,sosial, dan kognitif. Oleh

karena itu perawat harus mampu mengkaji respon pasien sehingga mampu mengatasi

permasalahan yang menyertai penyakitnya (Chaplin, 2011). Beberapa faktor

psikososial dan kognitif yang berhubungan dengan kelelahan pada pasien CKD yang

menjalani hemodialisa, diantaranya kecemasan, depresi, kualitas tidur, dukungan

sosial, dan prilaku kognitif (Picariello et al, 2016).

Ansietas merupakan suatu perasaan cemas yang terus berkepanjangan

(maladaptif). Menurut Tagay (2007) dalam Luana (2012) disebutkan bahwa ansietas

sering dialami oleh pasien hemodialisa dengan jenis ansietas stres tipe pasca trauma

(PTSD). Sementara itu pada penelitian lain diketahui adanya korelasi antara ansietas

dan depresi dengan hemodialisa kronik.

Depresi merupakan gangguan psikologis yang paling umum pada pasien

hemodialisa. Menurut Chilcot (2017), depresi mempengaruhi kira - kira sepertiga

pasien dan berhubungan dengan hasil klinis yang buruk termasuk peningkatan resiko

rawat inap dan kematian. Tiga puluh delapan study telah dilakukan identifikasi untuk

melihat hubungan antara cemas, depresi dan kelelahan terdapat hubungan yang

signifikan antara cemas, depresi, dengan kelelahan pasien CKD yang menjalani HD

(Picariello et al, 2016).

Pada pasien CKD yang menjalani HD mengalami kualitas tidur subjektif yang

buruk dengan gejala insomnia, sleep apnea atau sindrom gelisah kaki/RLS (Picariello et
5

al, 2016). Menurut Jhamb (2011), pasien CKD yang menjalani HD dengan kelelahan

yang lebih tinggi memiliki kualitas tidur yang buruk disebabkan karena terjadinya

peningkatan kadar sitokin inflamasi. Beberapa penelitian juga mengatakan bahwa

kurang tidur merupakan penyebab kelelahan pada pasien hemodialisa.

Menurut Theodoritsi (2016), pasien hemodialisa mengalami beban psikososial

yang luar biasa, terutama dikaitkan dengan keterbatasan yang ditetapkan oleh

penyakit. Meskipun beberapa kemajuan telah dibuat dalam memahami pengobatan

hemodialisa, namun peran menguntungkan dukungan sosial kepada pasien hemodialisa

secara bertahap telah diakui dapat meningkatkan partisipasi pasien hemodialisa dalam

terapi pengobatan. Beberapa penelitian yang menemukan bahwa tingkat kesepian

pasien CKD yang menjalani HD meningkat dan kemampuan perawatan diri menurun,

sehingga dukungan sosial yang lebih rendah dapat memiliki pengaruh yang merugikan

pada fungsi dan kesejahteraan pasien CKD yang menjalani hemodialisa.

Prilaku kognitif juga berpengaruh terhadap kelelahan pasien CKD. Prilaku kognitif

yang merupakan persepsi sakit terlihat pada keyakinan tentang kondisi tertentu yang

kemudian dapat menentukan prilaku untuk mengatasi persepsi tersebut. Penelitian

mengungkapkan bahwa persepsi negatif menjadi salah satu penyebab dari kelelahan

yang lebih besar, di atas dan di luar peran faktor demografi dan klinis, serta faktor stres

(Picariello et al, 2016).

RSUP DR.M Djamil Padang menjadi rumah sakit pusat rujukan untuk wilayah

Sumatera Bagian Tengah, termasuk pusat rujukan urology. Berdasarkan data yang

diperoleh dari unit hemodialisa RSUP DR.M.Djamil Padang tahun 2016 terdapat 26 bed

dengan mesin dialyzer, sementara itu perawat di unit hemodialisa berjumlah 15 orang.

Unit hemodialisa melayani tindakan hemodialisa dengan dua shift setiap harinya.

Jumlah kunjungan pasien hemodialisa perbulan rata-rata 102 orang.


6

Hasil survey awal yang dilakukan di unit hemodialisa,bahwa 6 dari 10 orang

pasien hemodialisa yang telah dilakukan wawancara mengatakan bahwa mereka

merasa sangat lelah baik saat maupun setelah menjalani hemodialisa. Selain itu 2 dari

10 orang pasien hemodialisa tersebut mengatakan bahwa sering mengalami mual-

mual,pusing,sesak nafas dan sakit yang berkepanjangan sebelum ataupun setelah

menjalani hemodialisa yang merupakan gejala dari fatigue. Pada 2 dari 10 orang pasien

hemodialisa tersebut mengeluh susah tidur dan sering terbangun dimalam hari.

Selanjutnya 5 dari 10 orang pasien hemodialisa mengatakan bahwa kadang-kadang

mereka merasakan khawatir dan depresi dengan hidupnya yang bergantung dengan

alat. Sementara itu, 9 dari 10 orang pasien hemodialisa terlihat bahwa mereka sangat

diperhatikan oleh keluarganya, tampak saat keluarga menunggu pasien hemodialisa

melakukan terapi. Saat di wawancarai 7 dari 10 orang pasien hemodialisa mampu

menjawab pertanyaan terkait orientasi waktu dan tempat.

Dari uraian diatas terlihat bahwa banyak pasien hemodialisa yang mengalami

fatigue dan terlihat juga bahwa faktor psikososial dan kognitif memiliki pengaruh

terhadap kelelahan pasien hemodialisa. Oleh karena itu penulis telah melakukan

penelitian Hubungan faktor psikososial dan kognitif dengan fatigue pada pasien

Chronic Kidney Disease yang menjalani hemodialisa di Unit Hemodialisa

RSUP.DR.M.Djamil Padang tahun 2017.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan fenomena diatas didapatkan rumusan masalah Bagaimana

hubungan faktor psikososial dan kognitif dengan fatigue pada pasien Chronic Kidney

Disease yang menjalani hemodialisa di Unit Hemodialisa RSUP.DR.M.Djamil Padang

tahun 2017?.
7

C. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Diketahui hubungan faktor psikososial dan kognitif dengan fatigue pada pasien

Chronic Kidney Disease yang menjalani hemodialisa di Unit Hemodialisa

RSUP.DR.M.Djamil Padang tahun 2017.

2. Tujuan Khusus

a. Identifikasi ansietas pada pasien Chronic Kidney Disease yang menjalani

hemodialisa di Unit Hemodialisa RSUP.DR.M.Djamil Padang tahun 2017.

b. Identifikasi depresi pada pasien Chronic Kidney Disease yang menjalani

hemodialisa di Unit Hemodialisa RSUP.DR.M.Djamil Padang tahun 2017.

c. Identifikasi kualitas tidur pada pasien Chronic Kidney Disease yang

menjalani hemodialisa di Unit Hemodialisa RSUP.DR.M.Djamil Padang tahun 2017.

d. Identifikasi dukungan sosial pada pasien Chronic Kidney Disease yang

menjalani hemodialisa di Unit Hemodialisa RSUP.DR.M.Djamil Padang tahun 2017.

e. Identifikasi prilaku kognitif pada pasien Chronic Kidney Disease yang

menjalani hemodialisa di Unit Hemodialisa RSUP.DR.M.Djamil Padang tahun 2017.

f. Identifikasi fatigue pada pada pasien Chronic Kidney Disease yang

menjalani hemodialisa di Unit Hemodialisa RSUP.DR.M.Djamil Padang tahun 2017.

g. Diketahui hubungan antara ansietas dan fatigue pada pasien Chronic Kidney

Disease yang menjalani hemodialisa di Unit Hemodialisa RSUP.DR.M.Djamil Padang

tahun 2017.
8

h. Diketahui hubungan antara depresi dan fatigue pada pasien Chronic Kidney

Disease yang menjalani hemodialisa di Unit Hemodialisa RSUP.DR.M.Djamil Padang

tahun 2017.

i. Diketahui hubungan antara kualitas tidur dan fatigue pada pasien Chronic Kidney

Disease yang menjalani hemodialisa di Unit Hemodialisa RSUP.DR.M.Djamil Padang

tahun 2017.

j. Diketahui hubungan antara dukungan sosial dan fatigue pada pasien Chronic Kidney

Disease yang menjalani hemodialisa di Unit Hemodialisa RSUP.DR.M.Djamil Padang

tahun 2017.

k. Diketahui hubungan antara prilaku kognitif dan fatigue pada pasien Chronic Kidney

Disease yang menjalani hemodialisa di Unit Hemodialisa RSUP.DR.M.Djamil Padang

tahun 2017.

D. Manfaat Penulisan

1. Bagi Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi informasi bagi fakultas

keperawatan untuk pengembangan ilmu pengetahuan di bidang pendidikan

kesehatan. Selain itu juga dapat digunakan sebagai acuan di perpustakaan

sehingga bermanfaat bagi mahasiswa untuk penelitian selanjutnya.

2. Bagi Unit Hemodialisa

Penelitian ini hendaknya dapat memberikan masukan bagi petugas

kesehatan di unit hemodialisa agar lebih memperhatikan pasien selama

menjalani hemodialisa.
9

3. Bagi Profesi Keperawatan

Penelitian ini dapat memberikan informasi bagi profesi keperawatan

tentang faktor psikososial dan kognitif dengan kelelahan pasien CKD yang

menjalani hemodialisa serta bermanfaat untuk riset keperawatan yang

lainnya.

BAB II

TINJAUAN TEORITIS
10

A. Gagal Ginjal Kronik (Chronic Kidney Disease)

1. Defenisi

Gagal Ginjal Kronis adalah gangguan fungsi ginjal yang progresif dan

tidak dapat pulih kembali, dimana tubuh tidak mampu memelihara

metabolisme, gagal memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit yang

berakibat pada peningkatan ureum. Pada pasien gagal ginjal kronis

mempunyai karakteristik bersifat menetap, tidak bisa disembuhkan dan

memerlukan pengobatan berupa hemodialisa, dialisis peritoneal, transplantasi

ginjal dan rawat jalan dalam jangka waktu yang lama (Black, 2014).

Penderita gagal ginjal kronik akan mengalami penurunan fungsi ginjal,

produk akhir metabolisme protein yang normalnya dieksresikan ke dalam urin

mengalami penimbunan di dalam darah. Sehingga terjadi uremia dan

mempengaruhi setiap sistem di dalam tubuh. Semakin banyak penimbunan

produk sampah didalam darah makan gejala dari penyakit ini akan semakin

berat (Smeltzer & Bare, 2002).

2. Etiologi dan Faktor Resiko

Gagal ginjal kronik dapat disebabkan oleh penyakit sistemik seperti

diabetes mellitus, glomerulonefritis kronis, pielonefritis, hipertensi yang tidak

terkontrol, lesi dan gangguan pada vaskuler, infeksi, medikasi atau agen toksik

(Brunner & Suddarth, 2013). Menurut Perhimpuanan Nefrologi Indonesia

(PERNEFRI) tahun 2012, penyebab penyakit gagal ginjal kronik antara lain:

hipertensi 35 %, nefropati diabetika 26 %, glomerulopati primer 12 %,

nefropati obstruksi 8 %, pielonefritis kronik 7 %, nefropati asam urat 2 %,


11

nefropati lupus 1 %. Faktor resiko terjadinya gagal ginjal adalah ; diabetes

mellitus, infeksi, adanya riwayat penyakit ginjal pada keluarga dan usial

lanjut.

3. Patofisiologi

Proses terjadinya gagal ginjal dimulai dengan penurunan fungsi ginjal,

dimana produk akhir dari metabolisme adalah protein (yang normalnya

diekskresikan melalui urin) tetapi tertimbun didalam darah sehingga terjadi

anemia dan dapat mempengaruhi sistem tubuh. Semakin banyak timbunan

produk yang tidak berguna, maka setiap gejala akan semakin meningkat

sehingga menyebabkan:

a. Gangguan klirens renal. Banyaknya masalah yang terjadi pada ginjal

sebagai akibat dari penurunan jumlah glomerolus yang menyebabkan

penurunan klirens substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal.

b. Penurunan laju filtrasi glomerolus (GFR). Menurunnya filtrasi glomerolus

akibat tidak berfugsinya glomerolus), kliren kreatinin akan menurun dan

kadar kreatinin serum akan meningkat. Selain itu kadar nitrogen urea darah

(BUN) biasanya juga meningkat.

c. Retensi cairan dan natrium. Pada penyakit gagal ginjal kronik, ginjal tidak

mampu mengencerkan urin secara normal. Respon ginjal sesuai terhadap

perubahan masukan cairan dan elektrolit sehari-hari namun tidak terjadi

pada pasien yang sering menahan natrium dan cairan sehingga

meningkatkan resiko terjadinya edema, gagal jantung kongestif dan

hipertensi.
12

d. Asidosis. Terjadi akibat ketidakmampuan ginjal untuk mengekskresikan

asam (H+) yang berlebihan. Sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan

tubulus ginjal untuk mengekskresikan amonia (NH3) dan mengabsorbsi

natrium bikarbonat (HCO3).

e. Anemia. Terjadi akibat erytroprotein yang tidak adekuat, memendeknya

usia sel darah merah, defisiensi nutrisi serta kecendrungan untuk mengalami

perdarahan akibat status uremik, terutama dari saluran gastrointestinal.

Erytroprotein adalah substansi normal yang di produksi ginjal untuk

menstimulasi sum-sum tulang untuk menghasilkan sel darah merah.

f. Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat. Adanya gangguan metabolisme

kalsium dan fosfat tubuh dimana berhubungan saling timbal balik. Dengan

menurunnya filtrasi melalui glomerolus ginjal terdapat peningkatan kadar

fosfat serum dan sebaliknya penurunan kadar serum menyebabkan sekresi

parathormon dari kelenjer paratiroid. Namun pada gagal ginjal kronik,

tubuh tidak berespons secara normal terhadap peningkatan sekresi

parathormon dan akibatnya kalsium di tulang menurun, sehingga

menyebabkan perubahan pada tulang. Selain itu metabolik aktif vitamin D

yang secara normal dibuat oleh ginjal mengalami penurunan seiring dengan

berkembangnya penyakit ginjal.

g. Penyakit tulang uremik. Terjadi perubahan kompleks kalsium, fosfat dan

keseimbangan parathormon. Laju penurunan fungsi ginjal kronis berkaitan

dengan gangguan yang mendasari ekskresi protein dan urin, serta adanya

hipertensi (Smeltzer & Bare, 2013).


13

4. Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala klinis pada gagal ginjal kronis dikarenakan gangguan

yang bersifat sistemik. Menurut Robinson (2013), tanda dan gejala yang

ditunjukkan oleh gagal ginjal kronis adalah:

a. Ginjal dan gastrointestinal : hipotensi, mulut kering, penurunan turgor kulit,

kelemahan / fatigue, mual, pusing, penurunan urine output dengan

sedimentasi yang tinggi.

b. Kardiovaskuler : hipertensi, aritmia, kardiomyopati, uremic, percarditis,

effusi perkardial, gagal jantung, edema periorbital dan edema perifer.

c. Respiratory System : edema pulmonal, nyeri pleura, efusi pleura, crackles,

sputum yang kental, uremic pleuritis / lung dan sesak nafas.

d. Gastrointestinal : inflamasi dan ulserasi pada mukosa gastrointestinal karena

stoamtitis, ulserasi dan perdarahan gusi, gastritis, anoreksia, nausea, dan

vomiting.

e. Integumen : kulit pucat, kekuning-kuningan, kecoklatan, kering dan ada

scalp, adanya purpura, ekimosis, petechiae, dan timbunan urea pada kulit.

f. Neurologis : neuropathy perifer, nyeri gatal pada lengan dan kaki, adanya

kram pada otot, daya memori menurun, apatis, rasa kantuk meningkat,

iritabilitas, pusing, koma dan kejang.

g. Endokrin : infertilitas, penurunan libido, amenorrhea, gangguan siklus

menstruasi pada wanita, impotens, penurunan sekresi sperma, peningkatan

sekresi aldosteron, dan kerusakan metabolisme karbohidrat.


14

h. Hematopoitiec : anemia, penurunan waktu hidup sel darah merah,

trombositopenia dan kerusakan platelet.

i. Muskuloskeletal : nyeri pada sendi dan tulang, demineralisasi tulang, fraktur

patologis dan kalsifikasi (otak,m ata,gusi,sendi,miokard).

5. Komplikasi

Komplikasi pada pasien gagal ginjal kronik menurut Smeltzer & Bare

(2013) : Saputra (2014) sebagai berikut : hiperkalemia, hipertensi, anemia,

gangguan kardiovaskuler, aritmia, malnutrisi, gangguan gastrointestinal,

gangguan pada tulang, dilipidemia, dan disfungsi seksual.

6. Penatalaksanaan

Menurut Smeltzer & Bare (2013), penatalaksanaan pasien gagal ginjal

kronik antara lain : penatalaksanaan konservatif (meliputi pengaturan diet cairan

dan garam, memperbaiki ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa,

mengendalikan hipertensi, penanggulangan asidosis, pengobatan neuropati,

deteksi, dan mengatasi komplikasi). Dan penatalaksanaan pengganti diantaranya

dialisa (hemodialisa,peritonela dyalisis) dan transplantasi ginjal.

B. Hemodialisa

1. Defenisi
15

Hemodialisa merupakan suatu proses yang dilakukan pada pasien gagal

ginjal stadium akhir yang membutuhkan terapi jangka panjang atau permanen

(Smeltzer & Bare, 2013). Menurut Haryono (2013), hemodialisa adalah suatu

teknologi tinggi sebagai terapi pengganti fungsi ginjal untuk mengeluarkan sisa-

sisa metabolisme atau racun tertentu dari darah seperti air, natrium, kalium,

hidrogen, urea, kreatinin, asam urat dan zat-zat lain melalui membran semi

permiabel sebagai pemisah darah dan cairan dialisat dimana terjadi proses

difusi, osmosis dan ultrafiltrasi.

Pada pasien GGK yang menjalani tindakan hemodialisa akan menurunkan

resiko kerusakan organ-organ vital lainnya akibat akumulasi zat toksik dalam

sirkulasi, tetapi tindakan hemodialisa tidak menyembuhkan atau

mengembalikan fungsi ginjal secara permanen. Biasanya terapi dialisis

dilakukan sepanjang hidup, tiga kali seminggu selama paling sedikit 3 atau 4

jam per kali terapi (Muttaqin, 2011).

2. Indikasi

Menurut Daurgirdas (2007) indikasi hemodialisa antara lain :

a. Indikasi Hemodialisa Segera (emergency)

Merupakan hemodialisa yang harus segera dilakukan.

1) Kegawatan ginjal : keadaan uremik berat, overhidrasi, oliguria ( produksi

urine <200 ml/12 jam), anuria (produksi urine <50 ml/12 jam), hiperkalemia,

asidosi berat, uremia, ensefalopati uremikum, neuropati / miopati uremikum,

perikarditis uremikum, disnatremia berat, dan hipertermia.

2) Keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membran dialisis.


16

b. Indikasi Hemodialisa Kronik

Hemodialisa kronik adalah hemodialisa yang dikerjakan berkelanjutan

seumur hiudp dengan menggunakan mesin hemodialisa. Menurut (KDIGO,

2013) dialisis dimulai jika GFR <15 ml/menit. Keadaan pasien yang

mempunyai GFR <15 ml/menit tidak selalu sama,sehingga dialisis dianggap

baru perlu dimulai jika dijumpai : GFR < 15 ml/menit (tergantung gejala klinis),

gejala uremia, adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot, hipertensi yang

sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan serta komplikasi metabolik yang

refrakter.

3. Prinsip

Menurut Smeltzer & Bare (2013), prinsip hemodialisa terdiri atas; difusi,

osmosis dan ultrafiltrasi. Difusi merupakan pergerakan dari darah yang

memiliki konsentrasi tinggi menuju ke konsentrasi rendah. Osmosis merupakan

pengeluaran caira yang berlebihan dari dalam tubuh dengan cara menciptakan

gradient tekanan, dimana cairan mengalir dari tekanan yang tinggi ke tekanan

yang lebih rendah. Ultrafiltrasi merupakan penambahan tekanan negatif pada

mesin dialisis, tekanan negatif dapat diterapkan pada alat sebagai kekuatan

penghisap pada membrane dan memfasilitasi pengeluaran air.

4. Komplikasi

Komplikasi yang sering terjadi selama hemodialisa berlangsung adalah

hipotensi, kram otot, mual, muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung,
17

gatal, demam dan menggigil (Daugirdas, et al., 2007). Komplikasi hemodialisa

menurut Katanko dan Levin (2008) yang sering muncul dan berbeda-beda untuk

setiap pasien adalah:

a. Intradialytic Hypotension (IDH)

Intradialytic Hypotension adalah tekanan darah rendah yang terjadi

ketika proses hemodialisa berlangsung. Dapat terjadi karena penyakit

diabetes mellitus, left ventricular hypertrophy (LVH), status gizi kurang

baik, albumin rendah, kandungan natrium dialisate rendah, target penarikan

cairan atau target ultrafiltrasi yang terlalu tinggi, berat badan kering yang

terlalu rendah dan usia diatas 65 tahun.

b. Kram Otot

Kram otot terjadi selama hemodialisa karena target ultrafiltrasi yang

terlalu tinggi dan kandungan Na dialisat yang rendah.

c. Mual dan Muntah

Komplikasi mual dan muntah jarang berdiri,sering menyertai hipotensi

dan merupakan salah satu presensi klinik disequilibrium.

d. Sakit Kepala

Penyebabnya tidak jelas namun bisa berhubungan dengan

disequilibrium syok syndrom.

e. Emboli Udara

Emboli udara dalam proses hemodialisa adalah masuknya udara ke

dalam pembuluh darah selama proses hemodialisa.


18

f. Hipertensi

Keadaan hipertensi selama proses hemodialisa bisa diakibatkan karena

kelebihan cairan, aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron, kelebihan

natrium dan kalsium, serta karena pengurangan obat anti hipertensi.

C. Kelelahan atau Fatigue

Kelelahan merupakan gejala yang sering dialami pasien yang menjalani

hemodialisa, dan kelelahan bisa juga disebut dengan keletihan, lesu, dan

perasaan kehilangan energi (Haviland, 2008). Kelelahan merupakan gejala yang

sering mengganggu pasien hemodialisa dengan efek yang merugikan dan

dikaitkan dengan peningkatan resiko kematian (Horigan, 2012).

1. Defenisi

Menurut The European Assoaciation for Palliative Care (EAPC), fatigue

adalah perasaan subjektif terhadap kondisi tubuh yang digambarkan dengan

kelelahan, kelemahan atau kekurangan energi yang mengganggu aktivitas

normal dan fungsi kehidupan (Fereel, Coyle & Paice, 2015). Fatigue juga

didefenisikan sebagai suatu keadaan yang tidak pulih dengan tidur dan istirahat

yang cukup (Ancoli et al .,2001, dalam Jenkin et al.,2006).

Kelelahan memiliki domain fisik dan mental. Kelelahan fisik digambarkan

sebagai ketidakmampuan untuk mengerahkan atau mempertahankan kekuatan

otot atau output daya untuk tugas yang diberikan. Sementara itu kelelahan

mental digambarkan sebagai keadaan psychobiological yang disebabkan oleh

aktivitas kognitif yang berkepanjangan dan intensif, dinyatakan oleh kurangnya

konsentrasi dan ketidakmampuan tetap fokus dalam kondisi tertentu. Gejala


19

kelelahan berhubungan dengan dua domain tersebut; fisik yang meliputi

kekurangan energi dan kelemahan otot dan mental yang meliputi kualitas

emosional dan kognitif (Sakkas, 2012).

Pengukuran kelelahan penting dilakukan oleh tenaga kesehatan klinik

sehingga dapat menentukan intervensi yang efektif dalam mengurangi tingkat

kelelahan pada pasien. Pengukuran kelelahan dapat dilakukan dengan berbagai

instrumen yang dikembangkan diantaranya adalah Fatigue Assessment Scale

(FAS) yang terdiri atas 10 pertanyaan yang menanyakan aspek kelelahan fisik

serta mental dan implikasinya pada motivasi dalam melakukan aktivitas. FAS

ini tidak mengukur kelelahan yang dirasakan pada saat pengukuran dilakukan

tetapi mengukur kelelahan yang umumnya dirasakan oleh seseorang. Kuesioner

ini menggunakan lima skala likert yaitu : Tidak pernah (1), Kadang-kadang (2),

Dialami secara teratur (3), Sering dialami (4), Selalu dialami (5). Penilaian pada

kuesioner ini adalah non fatigue jika total skor > 20 dan fatigue jika total skor <

20 (Michielseon, 2003).

2. Etiologi

Kelelahan biasanya terjadi pada penyakit yang menyebabkan nyeri,

demam, infeksi, diare, bedrest, stres, gangguan tidur, cemas, depresi kurang

melakukan aktivitas lebih lanjut. Kelelahan dapat disebabkan oleh patofisiologi

penyakit, treatment dan maturasi. Penyakit yang mempengaruhi terjadinya

kelelahan diantaranya hipotiroid, chronic renal failure, maglinansi, congestive

heart failure, anemia, gangguan nutrisi, penyakit paru, AIDS, parkinson,

multiple sklerosis (Lubkin & Larsen, 2006).


20

Kelelahan yang dialami oleh pasien dapat dijelaskan dengan berbagai

teori diantaranya menurut unpleasant symptom Middle Range Theory (Liehr,

2005) dan a multi dimensional fatigue experience (Lee, et al., 2007).

a. Unpleasant Symptom

Unpleasant symptom theory termasuk ke dalam Middle Range Theory

merupakan pengalaman subjektif yang mempengaruhi performance,

dideskripsikan dengan waktu, kualitas, intensitas, dan distress yang dipengaruhi

oleh faktor psikologi, fisiologi dan situasional. Asumsi teori ini adalah

seseorang dalam siatusi berbeda mengalami symptom yang bervariasi dan

merupakan fenomena subjektif yang berbeda terjadi dalam keluarga maupun

komunitas.

b. Multidimensional Factor Teory

Teori multidimensional ini merupakan hasil dari studi kualitatif yang

dilakukan Lee (2007) pada pasien yang menjalani hemodialisa di Taiwan. Dari

hasil studi didapatkan 10 tema hasil wawancara pengalaman kelelahan pada

pasien yang menjalani hemodialisa. Dari tema tersebut didapatkan 3 domain

yaitu domain pertama physical fatigue termasuk di dalamnya tema kebiasaan,

symptom uremik, gangguan tidur, insufisensi energi fisik. Domain kedua adalah

affective fatigue yang terdiri dari tiga tema yaitu lama pengobatan, depresi

dan perasaan kelelahan. Selanjutnya domain ketiga adalah cognitife fatigue

yang terdiri dari 3 tema yaitu kehilangan kognitif, isolasi dan koping (Lee,

2007).

c. Peripheral and Central Fatigue


21

Peripheral and Central model of Fatigue (Jhamb, 2008) menyatakan

malfungsi dari susunan saraf pusat dan saraf perifer atau disfungsi dari

hipotalamus berhubungan dengan kelelahan. Model periferal menyatakan

disfungsi dari hipotalamus berhubungan dengan kelelahan. Model periferal

menyatakan disfungsi susunan saraf perifer seperti kegagalan transmisi pada

motor sehingga dalam model ini digambarkan central fatigue sebagai kegagalan

berinisiatif dan berkonsentrasi (mental fatigue) dan aktivitas fisik (physical

fatigue) yang membutuhkan motivasi diri sedangkan peripheral atau motor

fatigue merupakan kelelahan otot itu sendiri dan kemampuan otak untuk

mengontrol otot tersebut.

3. Patofisiologi

Pasien dengan gagal ginjal memiliki kapasitas fosfolirasi oxidatif otot

skletal yang lebih rendah (Davis & Walsh, 2010). Menurut Jhamb,et al (2009),

pasien yang menjalani hemodialisa, lingkungan, rutinitas tindakan yang dijalani

dan karakteristik individu sangat berkaitan dengan kelelahan yang dialaminya.

a. Sitokin dan Inflamasi

Inflamasi merupakan peradangan yang ditandai dengan peningkatan

sirkulasi sitokin pro inflamasi. Pasien gagal ginjal kronik memiliki kadar sitokin

yang tinggi. Peningkatan kadar sitokin pro inflamasi telah dihubungkan dengan

peningkatan pengeluaran energi, mortalitas dan status fungsional yang lebih

rendah pada pasien hemodialisa. Sitokin mempunyai efek langsung pada otot dan

sistem saraf pusat, sitokin juga terkait dengan gangguan tidur, depresi, kecemasan

dan penurunan aktivitas fisik. Interleukin (IL)-6, C-Reactive Protein (CRP) dan
22

Tumor Necrosis Factor (TNF)- berkaitan dengan kematian, penurunan kekuatan

otot dan kelelahan. Sitokin berkontribusi terhadap kelelahan dengan langsung

mengaktifkan sistem saraf pusat, hipofisis, hipotalamus dan adrenal; atau tidak

langsung memicu multisistem regulasi karena peradangan kronis yang dapat

menyebabkan ansietas. Terjadinya perubahan imunitas seluler, penurunan limfosit

T, aktivasi sel NK serta peningkatan produksi IL-1, IL-6 dan IFN Gamma yang

berkaitan dengan depresi. Pada gangguan tidur terjadi peningkatan kadar sitokin

inflamasi, TNF dan IL-18.

b. Anemia

Anemia pada pasien CKD disebabkan oleh berbagai faktor antara lain : 1)

berkurangnya produksi eritropoetin sehingga rangsangan eritropoesis pada sum-

sum tulang menurun, 2) hemolisis, akibat berkurangnya masa hidup eritrosit

dalam suasana uremik toksik, 3) defisiensi besi, asam folat, dan lain-lain akibat

nafsu makan yang berkurang, 4) perdarahan, paling sering pada saluran cerna dan

kulit, 5) fibrosis sumsum tulang akibat hipertiroidisme sekunder. Penggunaan

ESA untuk memperbaiki anemia pada pasien dialysis telah ditujukan untuk

meningkatkan kualitas hidup, kelelehan, toleransi aktivitas dan kelelahan dalam

studi terbaru mungkin berhubungan dengan tingkat yang relatif tinggi dengan

target hemoglobin untuk pasien hemodialisa pasca eritropoetin telah dikutip

sebagai kontributor penting kelelahan pada pasien dialysis. Target hemoglobin

yang optimal masih belum jelas dan dapat bervariasi antara individu - individu

tergantung pada tingkat keparahan kelelahan yang dialami. Biasanya pasien


23

dengan anemia akan mulai merasakan kelelahan jika kadar Hb berada pada 10

gram per L.

c. Uremia

Sindrom uremik dapat bermanifestasi sebagai kelelahan dan kelemahan.

Uremia dapat menyebabkan protein dan gizi buruk, energi, mual dan kehilangan

nafsu makan yang semuanya berkontribus terhadap kelelahan. Namun penelitian

telah menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara variabel kelelahan

dan biokimia termasuk kadar albumin serum. Pengobatan uremia dengan dialysis

dapat juga mempengaruhi kelelahan sebagai modus dan frekuensi dialysis

berhubungan dengan kelelahan. Kelelahan adalah hasil dari akibat frekuensi

dialysis yang berulang. Dialysis secara signifikan meningkatkan tingkat persepsi

energi yang berkurang.

d. Post Dialysis

Kelelahan pasca dialysis adalah gejala umum yang sering melumpuhkan

dan dapat diperbaiki dengan pengobatan yang lebih sering. Ultrafiltrasi, difusi,

ketidakseimbangan osmotik, perubahan tekanan darah, interksi membran darah

dan faktor psikologis seperti depresi sangat berpengaruh terhadap kelelahan

sesudah hemodialisa. Kelelahan pasca dialysis telah dikaitkan dengan

kelangsungan hidup yang lebih pendek. Hal ini menujukkan bahwa pasien dengan

waktu pemulihan lebih lama memiliki tingkat yang lebih besar dari peradangan

yang mendasari, yang dapat bekontribusi terhadap insiden penyakit arteri koroner

dan kematian. Menurut Lindsay, et al pasien hemodialisa setiap hari secara

signifikan lebih sedikit waktu untuk pulih sepenuhnya setelah dialysis. Waktu
24

pemulihan kelelahan tergantung dari tingkat kelelahan yang dialami pasien,

biasanya sekitar 1 - 3 jam post dialysis dibutuhkan waktu pemulihan namun

beberapa pasien membutuhkan waktu pemulihan dengan tidur selama 24 jam.

Selain itu aktivitas fisik juga dikaitkan dengan tingkat kelelahan yang

tinggi pada pasien dialysis. Olahraga teratur memiliki efek anti inflamasi dan

mengurangi tingkat sitokin pro inflamasi. Katabolisme otot meningkat pada

pasien hemodialisa yang disebabkan salah satunya oleh resistensi insulin, asidosis,

atau peradangan. Hal ini menyebabkan kelelahan otot sehingga pada pasien

hemodialisa memiliki keterbatasan latihan berat yang dikaitkan dengan atrofi dan

kelemahan otot.

Menurut Davis (2010), kelelahan berasal dari korteks otak (adanya

penurunan fungsi atau kurangnya motivasi) dan dapat juga berkembang ke

sumsum tulang belakang. Adanya penurunan tersebut dapat memicu terjadinya

gangguan pada fungsi prilaku kognitif pasien yang menjalani hemodialisa.

4. Faktor - faktor yang Mempengaruhi Kelelahan pada Pasien dengan

Hemodialisa

Menurut Artom (2014) faktor yang mempengaruhi kelelahan antara lain:

a. Faktor Sosiodemografi

Kelelahan memiliki etiologi multifaktorial yang kompleks. Beberapa studi

menunjukkan bahwa wanita memiliki tingkat kelelahan yang signifikan lebih tinggi

dibandingkan laki-laki. Perbedaan gender bisa mencerminkan gejala yang lebih besar pada

wanita dibandingkan dengan laki-laki. Usia juga cukup konsisten terkait dengan tingkat
25

kelelahan yang lebih tinggi pada pasien hemodialisa, usia lebih dari 60 tahun memiliki

tingkat kelelahan yang lebih tinggi. Hubungan usia dengan kelelahan dapat dijelaskan oleh

perbedaan dalam dialisis vintage, aktivitas fisik, kurang gizi dan peradangan, dan lebih

besar terkait usia multi-morbiditas.

Faktor-faktor sosial dan situasional termasuk pendidikan, perkawinan dan status

pekerjaan juga telah dieksplorasi dalam kaitannya dengan kelelahan. Karadag., et al (2013)

menemukan bahwa pendidikan dikaitkan dengan tingkat kelelahan pada pasien yang

memiliki skor kelelahan lebih tinggi dari kelompok lain. Selain itu status perkawinan juga

dapat berdampak pada kelelahan. Pada pasien tunggal umumnya melaporkan merasa

lebih energik dibandingkan dengan pasien menikah meskipun juga ini bisa dikarenakan

usia yang lebih tua atau faktor pembaur.

b. Faktor Klinis

Beberapa studi telah menunjukkan bahwa multi-morbiditas pasien hemodialisa

secara signifikan lebih tinggi untuk lelah. Multi-morbiditas menyebabkan beban yang lebih

besar dan stres, lebih banyak waktu dihabiskan di rumah sakit untuk terapi tambahan, dan

semua faktor yang dapat berkontribusi untuk kelelahan meningkat. Sehingga terdapat

hubungan antara kelelahan dan fungsi fisik yang buruk.

Pada pasien gagal ginjal kronik, efek samping yang berkaitan dengan terapi

penggantian ginjal yaitu memburuknya morbiditas sehingga dilakukan pencegahan untuk

melakukan aktivitas fisik (Kosmadakis,.et al, 2010). Penelitian secara konsisten

menjelaskan bahwa ada hubungan dua arah antara aktivitas fisik dan kelelahan pada

pasien yang menjalani hemodialisa. Nutrisi dan tidur juga telah dieksplorasi oleh sejumlah

penelitian. Sebuah penelitian baru menunjukkan bahwa anoreksia dan kelelahan sangat

terkait, dengan frekuensi kelelahan yang secara signifikan lebih tinggi. Joshwa et al (2012),

mengatakan bahwa pasien HD umumnya mengalami kantuk di siang hari, kurangnya tidur
26

dimalam hari, dan kelelahan yang menerus. Selain itu, Sanner,.et al. (2002) juga

menemukan bahwa tingkat keparahan gangguan pernapasan terkait tidur dikaitkan

dengan tingkat vitalitas.

c. Faktor Regimen pengobatan

Hemodialisa dikaitkan dengan sejumlah efek samping, termasuk kelelahan. Sekitar

86% pasien mengalami kelelahan postdialysis mulai dari yang ringan sampai berat.

Perasaan kelelahan baik selama periode interdialysis maupun sampai akhir sesi dialysis.

Kelelahan cukup terkait dengan waktu pemulihan dialysis. Sekitar seperempat pasien

kembali pulih dalam beberapa menit dari berakhir dialisis, sekitar sepertiga pulih pada saat

mereka sampai di rumah, dan hampir seperempat hanya pulih dengan pagi hari

berikutnya. Waktu pemulihan dialysis juga dikaitkan dengan kematian, mungkin sebagai

akibat dari peradangan yang lebih tinggi.

Karadag,.et al (2013) mengatakan skor kelelahan yang lebih tinggi bagi pasien yang

baru memulai dialysis. Mungkin dari waktu ke waktu pasien juga mulai menerima dan

beradaptasi dengan regimen pengobatan, yang mungkin akan berdampak positif pada

kelelahan. Sebaliknya, Letchmi,.et al (2011) menemukan hubungan yang signifikan antara

kelelahan dan dialisis vintage, pada pasien yang menjalani hemodialisa selama lebih dari 2

tahun akan mengalami kelelahan tingkat tinggi.

d. Faktor Biokimia dan Hematologi

Faktor biokimia dan hematologi berkaitan dengan kelelahan termasuk faktor-faktor

seperti anemia, sitokin inflamasi, hemoglobin (Hb), dan serum albumin. Sebagian besar

pasien dengan CKD mengalami anemia karena beberapa faktor, termasuk

ketidakmampuan untuk memproduksi erythropoietin. Hubungan antara anemia dan

kelelahan dapat mempengaruhi fungsi fisiologis normal dan juga menyebabkan orang
27

untuk mengalami peningkatan kelelahan dan mengurangi kemampuan untuk melakukan

aktivitas sehari-hari.

Dalam sebuah penelitian retrospektif, tingkat Hb yang konsisten secara signifikan

lebih rendah pada pasien dengan kelelahan. Bonner,. et al (2013) menemukan

peningkatan yang signifikan dalam tingkat kelelahan setelah 12 bulan dilakukan

erythropoietin-stimulating (ESA). Dampak dari ESA pada pasien dialisis yang ditemukan

bahwa koreksi parsial anemia dengan ESA menunjukkan perbaikan terbesar pada

kelelahan untuk pasien dengan kadar Hb<10 g / dl. Peradangan kronis memiliki peran

penting dalam terjadinya kelelahan pada pasien ginjal. Inflamasi sitokin dapat

mengakibatkan kelelahan langsung melalui sistem saraf pusat, kelenjar pituitari,

hipotalamus, dan kelenjar adrenal atau tidak langsung melalui tidur dan gangguan

psikologis.

e. Faktor Psikososial dan Kognitif

Psikososial dan kognitif merupakan suatu kondisi yang terjadi pada

individu yang mencakup aspek psikis, sosial dan kognitif. Pasien dengan gagal

ginjal kronik sering mengalami masalah dalam psikososial dan kognitif. Masalah psikososial

dan kognitif berkaitan dengan terjadinya fatigue pada pasien CKD yang menjalani HD.

Fatigue terjadi karena adanya peningkatan dari IL-1, IL-6, IFN Gamma serta berkaitan

dengan C-Reactive Protein (CRP) dan Tumor Necrosis Factor (TNF)-. Sehingga

menyebabkan terjadinya penurunan kekuatan otot dan kematian otot (Jhamb,2008).

Ansietas disebabkan karena adanya peningkatan sitokin pada hipotalamus-pituitary-

adrenal (HPA) axsis. Ansietas berkaitan dengan sistem saraf otonom, neurotransmiter,

aksis hipotalamus hipofise adrenal, hormon pelepas kortikotropin, neuropeptida Y, galanin,

pencitraan otak dan galanin. Akibat keterkaitan sistem tersebut maka muncul reaksi fisik

yang berakitan dengan cemas seperti diare, gelisah, gangguan berkemih. Depresi berkaitan
28

dengan perubahan imunitas seluler dan hurmonal termasuk penurunan proliferasi limfosit

T, aktivitas sel NK serta peningkatan produksi IL-1, IL-6 dan IFN-Gamma yang menyebabkan

terjadinya depresi (Jhamb, 2008).

Seseorang yang mengalami gangguan tidur akan terjadi peningkatan kadar sitokin

inflamasi pada IL-1, IL-6, IL-18 dan highsensitive protein C-reaktif (hs-CRP). Peningkatan

kadar sitokin inflamasi tersebut menyebabkan kualitas tidur yang buruk (Jhamb,2014).

Selain itu menurut Theodoritsi (2016), beban psikososial yang dirasakan pasien

hemodialisa sangat berat, peran menguntungkan dukungan sosial dari keluarga, teman

atau orang terdekat membuat manajemen penyakit atau terapi pengobatan pasien lebih

efektif.

Beberapa faktor yang diperkirakan sebagai pernyebab gangguan kognitif

global adalah (1) gangguan neurotransmiter, (2) gangguan cerebral blood flow,

(3) gangguan metabolisme neuron, (4) patologi neuron dan (5) gangguan

homeostasis ion kalsium (Ca2+). Pada proses penuaan otak, terjadi penurunan

jumlah neuron secara bertahap yang meliputi area girus temporal superior

(merupakan area yang paling cepat kehilangan neuron), girus presentralis dan

area striata. Secara patologis penurunan jumlah neuron kolinergik akan

menyebabkan berkurangnya neurotransmiter asetilklolin sehingga menimbulkan

gangguan kognitif dan perilaku (Kusumoputro, 2003 cit Soetedjo, 2006).

Perawat harus mampu mengkaji masalah yang berkaitan dengan faktor psikososial

dan kognitifnya agar dapat mengatasi permasalahan yang menyertai penyakitnya namun

jika masalah tidak teratasi maka akan berakibat lanjut pada keadaan pasien (Chaplin,

2011). Ada sejumlah faktor psikososial dan kognitif pada pasien CKD yang menjalani
29

hemodialisa diantaranya masalah ansietas, depresi, kualitas tidur, dukungan sosial, dan

faktor prilaku kognitif Picariello,.et al (2016).

1. Ansietas / Kecemasan

a. Pengertian

Ansietas (kecemasan) merupakan timbulnya rasa takut yang tidak jelas dan disertai

dengan perasaan ketidakpastian, ketidakberdayaan, isolasi dan ketidakamanan (Stuart,

2013). Menurut Hawari (2013), kecemasan adalah gangguan alam perasaan (afektif) yang

ditandai dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan

berkelanjutan, tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas, perilaku dapat terganggu

namun masih dalam batas normal. Individu yang mengalami kecemasan dapat

memperlihatkan perilaku yang tidak seperti biasanya, seperti panik tanpa alasan, rasa

takut yang tidak beralasan terhadap suatu objek, melakukan tindakan berulang-ulang,

mondar-mandir, serta rasa khawatir yang berlebihan.

b. Tanda dan Gejala Kecemasan

Gejala kecemasan menurut Hawari (2013) ; Townsend (2011) antara lain: cemas,

khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri, dan mudah tersinggung,Merasa

tegang, tidak senang, gelisah, mudah terkejut, takut sendirian, takut pada keramaian dan

banyak orang, gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan, gangguan

konsentrasi dan daya ingat, keluhan-keluhan somatik, misalnya rasa sakit pada otot dan

tulang, pendengaran berdenging (tinitus), berdebar-debar, sesak nafas, gangguan

pencernaan, gangguan perkemihan, sakit kepala dan mudah lelah.

c. Tingkatan Kecemasan

Menurut Stuart (2013) ; Hogan,.et al (2012) tedapat 4 tingkat kecemasan yaitu:


30

1. Kecemasan ringan, terjadi pada saat ketegangan dalam kehidupan sehari-hari. Pada

tahap ini, seseorang lebih waspada dan lapang persepsi meningkat. Kemampuan

seseorang untuk melihat, mendengar dan menangkap lebih dari sebelumnya.

2. Kecemasan sedang, dimana seseorang hanya berfokus pada hal yang penting saja.

Lapang persepsi menyempit sehingga kurang melihat, mendengar dan menangkap.

3. Kecemasan berat, ditandai adanya penurunan lapang persepsi yang signifikan. Dimana

seseorang cenderung lebih memfokuskan pada hal yang spesifik dan tidak berfikir pada

hal lain.

4. Panik, keadaan ini dikaitkan dengan rasa takut dan ancaman. Pada sebagian orang yang

mengalami kepanikan tidak dapat melakukan hal-hal bahkan dengan arahan. Gejala

panik antara lain; peningkatan aktivitas motorik, penurunan kemampuan untuk

berhubungan dengan orang lain, perspesi yang menyempit dan kehilangan pemikiran

rasional.

d. Pengukuran Kecemasan

Untuk mengukur tingkat kecemasan pada penelitian ini menggunakan pengukuran

tingkat kecemasan pada penelitian ini dengan Hamilton Anxiety Rating Scale. Dimana

masing-masing kelompok gejala diberi penilaian skor dengan rentang penilaian derajat

kecemasan yaitu : Kecemasan ringan : skor 6 - 14, Kecemasan sedang : Score 15 - 27,

Kecemasan berat : Score > 27.

2. Depresi

a. Pengertian

Menurut Stuart (2007), depresi adalah perasaan sedih dan berduka yang

berkepanjangan. Depresi merupakan suatu kondisi dimana terganggunya fungsi manusia

yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termsuk
31

perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia,

kelelahan rasa putus asa dan tidak berdaya serta bunuh diri (Kaplan, 2010).

b. Tanda dan Gejala Depresi

Menurut Hawari (2013); Patel (2012), depresi merupakan salah satu bentuk gangguan

kejiwaan alam perasaan yang ditandai dengan: afek diforik, yaitu perasaan murung, sedih,

kurang bergairah, tidak bersemangat, serta merasa tidak berdaya; merasa bersalah,

berdosa dan penyesalan; nafsu makan menurun, berat badan menurun; penurunan

konsentrasi dan daya ingat; mengalami gangguan tidur (insomnia / hipersomnia); tidak

mampu mengambil keputusan; agitasi; hilangnya perasaan senang, kurang semangat dan

berminat, tidak menyukai lagi melakukan hobi, kreativitas dan produktivitas menurun;

gangguan seksual / disfungsi seksual; memiliki pikiran tentang kematian, bunuh diri.

c. Tingkatan Depresi

Tingkatan depresi menurut PPDGJ - III ada 3 yaitu:

1. Depresi ringan, karakteristiknya antara lain : lamanya periode berlangsung sekurangnya

sekitar 2 minggu, terdapat tanda dan gejala utama dari depresi minimal 2 atau 3 gejala,

dan tidak ada atau sedikit kesulitan dalam melakukan kegiatan.

2. Depresi sedang , karakteristiknya yaitu : terdapat 2 atau 3 gejala utama depresi seperti

pada episode depresi ringan, lamanya seluruh periode berlangsung sekitar 2 minggu,

terdapat kesulitan nyata untuk melakukan kegiatan.

3. Depresi berat , terdapat karakteristik : semua gejala depresi terjadi, terdapat agitas atau

retardasi psikomotorik yang mencolok, episode depresi biasanya berlangsung sekurang-

kurangnya 2 minggu, tidak mampu melakukan kegiatan.

d. Pengukuran Depresi

Depresi dapat diukur dengan berbagai skala pengukuran, yaitu: Beck Depression

Inventory (BDI). Dirancang oleh Beck (1960) yang dapat digunakan sebagai penyaring
32

depresi. Skala BDI merupakan cara pengukuran dengan 21 item pertanyaan. Alat ini dapat

dengan mudah dinilai, dirancang untuk digunakan dalam pertanyaan dengan sejumlah

jawaban yang telah ditentukan. Penilaian untuk kuesioner depresi, jika skor 10 -16 :

ringan , jika skor 17 -29 : sedang, dan jika skor 30 - 63 : berat.

3. Kualitas Tidur

a. Pengertian Kualitas Tidur

Kualitas tidur adalah kemampuan setiap orang untuk mempertahankan keadaan tidur

dan untuk mendapatkan tahap tidur REM dan NREM yang sesuai (Khasanah, 2012).

Kualitas tidur merupakan suatu keadaan yang dijalani seorang individu untuk

mendapatkan kesegaran dan kebugaran saat terbangun dari tidurnya (Buysee, 2008).

b. Ciri - Ciri Tidur yang Berkualitas

Kualitas tidur yang baik dapat memberikan perasaan tenang di pagi hari, perasaan

energik dan tidak mengeluh gangguan tidur. Dengan kata lain, memiliki kualitas tidur baik

sangat penting dan vital untuk hidup sehat (Asmadi, 2008). Menurut Ertekin & Dogan

(1999, dalam Eser,.et al , 2007) bahwa kualitas tidur mencakup lamanya waktu yang

dibutuhkan untuk tidur, frekuensi bangun dalam tidur malam, kedalaman tidur dan

restfulness. Tidur dikatakan berkualitas baik apabila siklus NREM dan REM terjadi

berselang-seling empat sampai enam kali. Durasi tidur dapat dihitung dari waktu

seseorang tidur sampai terbangun di pagi hari tanpa menyebutkan terbangun

pada tengah malam. Orang dewasa yang dapat tidur selama lebih dari 7 jam

setiap malam dapat dikatakan memiliki kualitas tidur yang baik (Buysse, 2008).

c. Tanda dan Gejala Kualitas Tidur

Kualitas tidur dikatakan baik apabila tidak menunjukkan tanda kekurangan tidur dan

tidak mengalami masalah tidur. Tanda kekurangan tidur dapat dibagi menjadi tanda fisik

dan tanda psikologis. Tanda fisik meliputi ekspresi wajah (area gelap disekitar mata,
33

bengkak di kelopak mata, konjungtiva berwarna kemerahan dan mata cekung), kantuk

yang berlebihan di tandai dengan seringkali mangeuap, tidak mampu untuk berkonsentrasi

dan adanya tanda keletihan seperti penglihatan kabur, pusing dan mual. Tanda psikologis

meliputi menarik diri, apatis dan respon menurun, bingung, daya ingat berkurang,

halusinasi, ilusi penglihatan atau pendengaran dan kemampuan memberikan petimbangan

atau keputusan menurun (Hidayat, 2006).

d. Pengukuran Kualitas Tidur

Pengkajian tentang kualitas tidur dapat dilakukan dengan kuisioner Pittsburgh Sleep

Quality Index (PSQI) yang terdiri dari 7 komponen meliputi waktu yang diperlukan untuk

dapat mulai tidur (Sleep Latency), lamanya waktu tidur (Sleep Duration), persentase antara

waktu tidur dengan waktu yang dihabiskan pasien diatas tempat tidur (Habitual Sleep

Efficiency), gangguan tidur yang sering dialami sewaktu malam hari (Sleep Disturbance),

kebiasaan penggunaan obat-obatan untuk membantu tidur, gangguan yang sering dialami

saat tidur siang hari dan kualitas tidur secara subjektif. Setiap komponen memiliki nilai 0 -

3, jumlahkan nilai dari komponen 1 - 7 sehingga didapatkan hasil keseluruhan. Jika hasil

keseluruhan 5 kualitas tidur baik dan jika > 5 maka kualitas tidur buruk (Busyee, 1998).

4. Dukungan Sosial

a. Pengertian

Dukungan sosial merupakan dukungan emosional yang berasal dari keluarga, teman

bahkan pemberi perawatan kesehatan yang membantu individu ketika suatu masalah

muncul. Dukungan sosial terdiri dari informasi atau nasihat verbal atau non-verbal,

bantuan nyata atau tindakan yang diberikan oleh keakraban sosial atau didapat karena

kehadiran mereka dan mempunyai manfaat emosional atau efek prilaku bagi pihak

penerima (Videbeck, 2008).


34

b. Jenis dan Sumber Dukungan Sosial

Menurut House (dalam Depkes, 2002), jenis dukungan sosial dibedakan menjadi

empat jenis meliputi : dukungan emosional (empati, kepedulian dan perhatian), dukungan

penghargaan, dukungan instrumental (bantuan langsung), dan dukungan informatif

(pemberian nasihat, saran, pengetahuan, informasi serta petunjuk).

Sumber dukungan sosial menurut WHO dalam Ratna (2010) terbagi ke dalam tiga

level meliputi level primer (terdapat anggota keluarga dan sahabat), level sekunder

(terdapat teman, kenalan, tetangga, dan rekan kerja) dan level tersier (terdapat instansi

dan petugas kesehatan).

c. Faktor yang Mempengaruhi Dukungan Sosial

Menurut Ratna (2010), faktor yang mempengaruhi efektifitas dukungan sosial yaitu:

pemberi dukungan sosial, jenis dukungan sosial, penerima dukungan sosial, waktu

pemberi dukungan, dan lamanya pemberian dukungan.

d. Pengukuran Dukungan Sosial

Cara yang digunakan untuk mengukur dukungan sosial adalah dengan menggunakan

kuesioner Multidimensional Scale of Perceived Sosial Support (Zimet, 1998). Yang terdiri

dari tiga aspek, yaitu family subscale, friends subscale, significant other subscale, serta

memiliki 12 item dimana masing- masing aspek terdiri dari 4 item. Penilaian pada

kuesioner ini jika skor 12 - 28 : rendah, jika skor 29 - 44 : sedang dan jika skor 45 - 60 :

tinggi.

5. Prilaku Kognitif

a. Defenisi
35

Menurut Chaplin (2011) dalam Dictionary of Psycologhy, prilaku kognitif

adalah konsep umum yang mencakup seluruh bentuk pengenalan, termasuk

didalamnya mengamati, menilai, memerhatikan, menyangka, membayangkan,

menduga, dan menilai. Sedangkan menurut Mayers (1996) menjelaskan bahwa

faktor kognitif merupakan kemampuan membayangkan dan menggambarkan

benda atau peristiwa dalam ingatan dan bertindak berdasarkan penggambaran

ini.

b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Kognitif

Setiap manusia memiliki karakteristik yang berbeda-beda, perkembangan

kognitif tidak sama pada setiap individu. Perbedaan perkembangan ini tidak

lepas dari beberapa faktor. Terdapat empat faktor yang mempengaruhi

perkembangan kognitif.

1. Perkembangan organik dan kematangan sistem syaraf.

Hal ini erat kaitannya dengan pertumbuhan fisik dan perkembangan organ

tubuh. Seseorang yang memiliki kelainan fisik belum tentu mengalami

perkembangan kognitif yang lambat. Begitu juga sebaliknya, seseorang yang

pertumbuhan fisiknya sempurna bukan merupakan jaminan pula perkembangan

kognitifnya cepat. Sistem syaraf turut mempengaruhi proses perkembangan

kognitif.

2. Latihan dan Pengalaman


36

Hal ini berkaitan dengan pengembangan diri melalui serangkaian latihan-

latihan dan pengalaman. Perkembangan kognitif seseorang sangat dipengaruhi

oleh latihan-latihan dan pengalaman.

3. Interaksi Sosial

Perkembangan kognitif juga dipengaruhi oleh hubungan dengan lingkungan

sekitar, terutama situasi sosial, baik itu interaksi antara teman sebaya maupun

orang-orang terdekat.

4. Ekuilibrasi

Ekuilibrasi merupakan proses terjadinya keseimbangan yang mengacu

pada keempat tahap perkembangan kognitif menurut Jean Piaget.

Keseimbangan tahapan yang dilalui tentu menjadi faktor penentu bagi

perkembangan kognitif (Djaali, 2011).

c. Kriteria Terjadinya Gangguan Kognitif

- Menurunnya kejelasan kesadaran akan lingkungan

- Terganggunya kemampuan memfokuskan, membenarkan atau mengalihkan

perhatian (pertanyaan harus diulang-ulang)

- Mudah terdistraksi dengan stimulus yang tidak berkaitan

- Terdapat perubahan kognisi yang menyertai (kerusakan memori, disorientasi,

atau gangguan bahasa)

- Banyak menyerang memori baru

- Disorientasi yang biasanya terlihat pada pasien adalah disorientasi waktu dan tempat

- Gangguan bahasa dapat melibatkan gangguan kemampuan menyebutkan benda atau

kemampuan untuk menulis, berbicara kadang melantur


37

- Gangguan persepsi dapat mencakup kesalahan interpretasi, ilusi atau halusinasi

d. Pengukuran Fungsi Kognitif

Pada faktor prilaku kognitif ini dilakukan tes dengan kuesioner Mini Mental Status

Examination (MMSE). MMSE merupakan suatu skala terstruktur yang terdiri dari

30 poin yang dikelompokkan menjadi tujuh kategori : orientasi terhadap tempat,

orientasi terhadap waktu, registrasi, atensi dan konsentrasi, mengingat kembali,

bahasa, dan kontruksi visual. Penilaian kuesioner terbagi atas; normal jika skor

nilai 30 - 24, kemungkinan gangguan kognitif jika skor nilai : 23 - 17 dan pasti

mengalami gangguan kognitif jika skor nilai : 16 - 0.

BAB III

KERANGKA KONSEP
38

A. Kerangka Teori

Chronic Kidney Disease (CKD) atau bisa disebut Gagal Ginjal Kronis

(GGK) merupakan kerusakan ginjal atau tingkat penurunan laju filtrasi

glomerolus (GFR) < dari 60 mL/min/1.73 m dalam waktu 3 bulan yang

disertai dengan kerusakan struktur ginjal (K/DOQI, 2002). Pada pasien gagal

ginjal kronis mempunyai karakteristik bersifat menetap, tidak bisa disembuhkan

dan memerlukan pengobatan dalam jangka waktu yang lama (Black, 2014).

Gagal ginjal kronik dapat disebabkan oleh penyakit sistemik seperti

diabetes mellitus, glomerulonefritis kronis, pielonefritis, hipertensi yang tidak

terkontrol, lesi dan gangguan pada vaskuler, infeksi, medikasi atau agen toksik

(Smeltzer & Bare, 2013). Sedangkan menurut Perhimpuanan Nefrologi

Indonesia (PERNEFRI) tahun 2012, penyebab penyakit gagal ginjal kronik

antara lain: hipertensi, nefropati diabetika, glomerulopati primer, nefropati

obstruksi, pielonefritis kronik, nefropati asam urat, nefropati lupus.

Penatalaksanaan pasien dengan gagal ginjal kronik, salah satunya adalah

dengan terapi hemodialisa. Hemodialisa merupakan suatu teknologi tinggi

sebagai terapi pengganti fungsi ginjal untuk mengeluarkan sisa-sisa

metabolisme atau racun tertentu dari darah seperti air, natrium, kalium,

hidrogen, urea, kreatinin, asam urat dan zat-zat lain memlaui membran semi

permiabel sebagai pemisah darah dan cairan dialisat dimana terjadi proses

difusi, osmosis dan ultrafiltrasi (Haryono, 2013).

Hemodialisa sebagai terapi utama dalam penanganan gangguan ginjal kronik,

memiliki dampak yang bervariasi, diantaranya efek hemodialisis kronik berupa fatigue atau
39

kelelahan. Terjadinya peningkatan produksi sitokin dan inflamasi yang dihubungkan

dengan peningkatan pengeluaran energi, mortalitas dan status fungsional yang lebih

rendah sehingga terjadi penurunan energi. Kurangnya energi atau kelelahan disebabkan

karena peningkatan jumlah sisa metabolisme di dalam tubuh yang dapat menyebabkan

uremia. Uremia pada pasien hemodialisis dapat menyebabkan pasien kehilangan nafsu

makan, mual, muntah, kehilangan energi dan protein, dan penurunan produksi karnitin

yang menyebabkan penurunan produksi energy untuk skeletal dan mengakibatkan fatigue

(OSullivan & McCarthy, 2009). Menurut Jhamb (2008), pada pasien hemodialisa

akan terjadi beberapa hal yang berkaitan dengan fatigue diantaranya inflamasi, anemia,

uremia, dan post dialysis.

Fatigue merupakan perasaan subjektif terhadap kondisi tubuh yang digambarkan

dengan kelelahan, kelemahan atau kekurangan energi yang mengganggu aktivitas

normal dan fungsi kehidupan (Ferrell,Coyle & Paice, 2015). Gejala umum mencakup

motivasi dan aktivitas fisik berkurang , kelesuan umum. Dampak fatigue pada pasien

yang menjalani hemodialisis diantaranya terganggunya fungsi fisik dalam

melakukan aktivitas seharihari, perubahan hubungan dengan orang lain,

isolasi sosial, perubahan fungsi sexual, perubahan spiritual dan kualitas hidup

(Lukbin & Larsen, 2006). Pada pasien yang menjalani hemodialisa akan

memiliki kadar ureum dan kreatinin yang tinggi. Ureum yang tinggi akan

mengganggu produksi hormon erytropoietin. Sehingga jumlah sel darah

merah menurun atau yang disebut anemia (Thomas, 2003). Akibatnya pasien

akan mengalami lelah, letih, lesu yang merupakan gejala fatigue (Sullivan,

2009).
40

Faktor yang mempengaruhi fatigue diantaranya ada faktor sosidemografi,

faktor klinis, faktor regimen pengobatan, fakotr biokimia hematologi, dan faktor

psikososial dan kognitif. Faktor psikososial dan kognitif menjadi faktor yang

sangat berperan penting dalam memprediksi pasien hemodialisa pada resiko

kelelahan (Horigan,2012). Psikososial dan kognitif merupakan suatu kondisi

yang terjadi pada individu yang mencakup aspek psikis, sosial dan kognitif.

Menurut Picariello,.et al (2016), faktor psikososial dan kognitif pada pasien CKD yang

menjalani hemodialisa diantaranya ; ansietas, depresi, kualitas tidur, dukungan sosial, dan

faktor prilaku kognitif.

Gagal Ginjal Kronik


(Chronic Kidney
Disease) :

- Penurunan laju
filtrasi glomerolus
(GFR) < 60
mL/min/1.73 m
- Kerusakan struktur
ginjal.
(K/DOQI, 2002)
41

Hemodialisa : Faktor Psikososial Fatigue / Kelelahan


dan Kognitif
Terapi pengganti Perasaan subjektif
fungsi ginjal untuk Terdiri atas: terhadap kondisi tubuh
mengeluarkan sisa - -Ansietas yang digambarkan
sisa metabolisme -Depresi dengan kelelahan,
atau racun tertentu -Kualitas Tidur kelemahan atau
dari darah (Haryono, -Dukungan Sosial kekurangan energi
2013). -Prilaku Kognitif yang mengganggu
(Picariello, 2016 ; aktivitas normal dan
Terjadi: Artom, 2014) fungsi kehidupan
Peningkatan (Fereel, Coyle &
produksi sitokin, Paice, 2015)
Inflamasi, Anemia,
Uremia,Post Dialysis
(Jhamb, 2008)

Bagan 3.1 Kerangka Teori

B. Kerangka Konsep

Variabel adalah suatu ukuran atau ciri yang dimiliki oleh anggota suatu

kelompok. Dalam penelitian ini terdapat variabel independen dan variabel

dependen. Variabel independen adalah variabel yang nilainya menentukan

variabel yang lain. Variabel independen dalam penelitian ini yaitu faktor

psikososial dan kognitif (ansietas, depresi, kualitas tidur, dukungan sosial dan
42

prilaku kognitif) pada pasien Chronic Kidney Disease yang menjalani hemodialisa

di RSUP DR.M.Djamil Padang. Sedangkan variabel dependen adalah variabel

yang dipengaruhi atau menjadi akibat dari variabel independen. Variabel

dependen dalam penelitian ini yaitu fatigue pada pasien Chronic Kidney Disease

yang menjalani hemodialisa (Nursalam, 2008).

Variabel Independen Variabel Dependen

Ansietas

Depresi

Fatigue pada Pasien CKD


Kualitas Tidur
yang menjalani HD

Dukungan Sosial

Prilaku Kognitif

Bagan 3.2 Kerangka Konsep

C. Hipotesis Penelitian

Hipotesis pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tidak ada hubungan antara ansietas dengan fatigue pada pasien Chronic

Disease yang menjalani hemodialisa di RSUP.DR.M.Djamil Padang tahun

2017.
43

2. Tidak ada hubungan antara depresi dengan fatigue pada pasien Chronic

Disease yang menjalani hemodialisa di RSUP.DR.M.Djamil Padang tahun

2017.

3. Tidak ada hubungan antara dukungan sosial dengan fatigue pada pasien

Chronic Disease yang menjalani hemodialisa di RSUP.DR.M.Djamil Padang

tahun 2017.

4. Tidak ada hubungan antara prilaku kognitif dengan fatigue pada pasien

Chronic Disease yang menjalani hemodialisa di RSUP.DR.M.Djamil Padang

tahun 2017.

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
44

Pada penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif dengan metode

penelitian analitik, yaitu penelitian yang bertujuan mencari hubungan antar

variabel yang diteliti (Dharma, 2011). Hubungan yang diteliti dalam penelitian ini

yaitu antara variabel independen (faktor psikososial dan kognitif yaitu ansietas,

depresi, kualitas tidur, dukungan sosial, dan prilaku kognitif pada pasien Chronic

Kidney Disease) dan variabel dependen (fatigue pada pasien Chronic Kidney

Disease) yang menjalani hemodialisa. Jenis penelitian yang digunakan adalah

cross sectional study yaitu suatu penelitian dimana faktor resiko / penyebab dan

efeknya diambil pada saat bersamaan (Supardi & Rustika, 2013).

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan jumlah anggota dari suatu himpunan yang

ingin diketahui karakteristiknya berdasarkan inferensi atau generalisasi (Supardi

& Rustika, 2013), yaitu seluruh pasien Chronic Kidney Disease yang menjalani

hemodialisa di Unit Hemodialisa RSUP.DR.M.Djamil Padang. Jumlah populasi

diambil dari jumlah rata-rata perbulan pasien yang menjalani hemodialisa di

RSUP DR.M.Djamil Padang tahun 2017, dimana terdapat 102 orang pasien

hemodialisa.

2. Sampel

Sampel adalah sebuah gugus atau sejumlah anggota himpunan yang dipilih

dengan cara tertentu agar mewakili populasi. Pada penelitian ini menggunakan

sampel yang bersifat nonprobability sampling dengan teknik purposive sampling


45

yaitu pengambilan sampel yang dilakukan dengan mengambil responden sesuai

kriteria yang ditentukan peneliti (Supardi & Rustika, 2013). Untuk menentukan

besarnya sampel menggunakan rumus Lemeshow sebagai berikut:

n= N .Z 21/ 2 .P (1 P)
Keterangan: ( N 1).d 2 Z 21/ 2 .P(1 P )
n : besar sampel minimum

N : besar populasi

1 / 2
Z : tingkat kepercayaan = 0,05 (1,96)

P : proporsi / prevalensi fatigue, P = 70 % = 0,7

d : tingkat kesalahan yang dapat ditoleransi (0,05)

102.1,96 2.0,7.(1 0,7) n=


(102 1).0,05 1,96 .0,7(1 0,7)
2 2

n = 78,9 79
46

Jumlah sampel yang didapat berdasarkan rumus diatas adalah 79 responden.

Adapun yang menjadi kriteria dari sampel tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi merupakan persyaratan umum yang harus dipenuhi oleh

subjek penelitian / populasi agar dapat diikutsertakan dalam penelitian (Supardi &

Rustika, 2013). Sampel dalam penelitian ini adalah pasien menjalani hemodialisa

yang memenuhi kriteria inklusi sebagai berikut:

a. Pasien gagal ginjal kronik dengan terapi hemodialisa yang berumur >18

tahun.

b. Pasien yang menjalani hemodialisa minimal 1 bulan / hemodialisa ke 8

c. Pasien bersedia berpartisipasi dalam penelitian serta bersikap kooperatif.

d. Pasien dengan kesadaran composmentis dan dapat berkomunikasi dengan

baik.

e. Pasien yang telah selesai melakukan hemodialisa dengan rentang waktu

istirahat 1 - 3 jam.

2. Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi adalah keadaan yang menyebabkan subjek penelitian yang

memenuhi kriteria inklusi tetapi tidak dapat diikutsertakan dalam penelitian

(Supardi & Rustika, 2013), dalam penelitian ini yang menjadi kriteria eksklusi

sebagai berikut:

a. Pasien yang tidak bersedia menjadi responden


47

b. Pasien dengan riwayat gangguan mental organik

c. Pasien yang dirawat di RS dalam 1 bulan terakhir

d. Pasien yang tinggal sendirian.

C. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Unit Hemodialisa RSUP DR.M.Djamil Padang.

Waktu pengambilan data dilakukan pada tanggal 29 Mei - 1 Juni 2017.

D. Variabel dan Defenisi Operasional

1. Variabel Penelitian

Variabel penelitian ini terdiri atas variabel independen dan variabel

dependen. Variabel independen atau variabel bebas yaitu variabel yang

mempengaruhi. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah faktor psikososial dan

kognitif (ansietas, depresi, kualitas tidur, dukungan sosial dan prilaku kognitif).

Sedangkan variabel dependen atau variabel yang dipengaruhi adalah fatigue /

kelelahan pada pasien CKD yang menjalani hemodialisa.

2. Definisi Operasional

Tabel 4.1 Definisi Operasional

N Variabel Defenisi Alat Ukur Cara Ukur Skala Hasil Ukur


O Operasional Ukur
1 Variabel Gangguan Kuesioner Wawancara Ordinal -Ringan bila
Independen perasaan yang Terpimpin total skor 6-14
: ditandai dengan Hamilton -Sedang bila
- Ansietas perasaan tidak Anxiety total skor 15-27
Rating Scale -Berat >27
senang atau
khawatir yang (HAM-A)
tidak jelas dan
berlebihan
- Depresi Perasaan sedih Kuesioner Wawancara Ordinal -Ringan jika
dan berduka Terpimpin skor 10 -16
yang terjadi Beck -Sedang jika
Depression
48

sedikitnya Inventory skor 17 -29


selama dua (BDI) -Berat jika skor
minggu atau 30 - 63
lebih
-Kualitas Kemampuan Kuesioner Wawancara Ordinal -Kualitas tidur
Tidur setiap orang Terpimpin baik (skor 5)
untuk dapat Pittsburgh -Kualitas tidur
tidur dengan Sleep buruk (skor >
baik melalui Quality 5)
fase tidur REM Index (PSQI)
dan NREM
-Dukungan Dukungan Kuesioner Wawancara Ordinal - Rendah jika
Sosial emosional yang Terpimpin total skor12 - 28
berasal dari Multidimen - Sedang jika
keluarga, teman sional Scale total skor 29-44
bahkan pemberi of Perceived - Tinggi jika
perawatan Sosial total skor 45-
kesehatan yang Support 60
membantu
individu ketika
suatu masalah
muncul
-Prilaku Tingkah laku Kuesioner Wawancara Ordinal -Normal jika
Kognitif yang Terpimpin skor nilai 30 -
diperlihatkan Mini Mental 24
pasien Status -Kemungkinan
hemodialisa Examinatio gangguan
didasarkan pada n (MMSE) kognitif jika
tindakan skor nilai: 23 -
mengenal, 17
memikirkan dan -Mengalami
mengingat gangguan
kembali. kognitif jika
skor nilai:
16 - 0
Variabel Perasaan Kuesioner Wawancara Ordinal -Non Fatigue
Dependen: subjektif yang Terpimpin jika total skor <
Fatigue tidak Fatigue 20 dan
pada Pasien menyenangkan Assessment - Fatigue jika
CKD yang berupa Scale (FAS) total skor > 20
menjalani kelemahan,
HD kelelahan dan
penurunan energi
yang dirasakan
pasien
hemodialisa

E. Instrumen Penelitian
49

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner

yang terdiri dari data responden dan 5 kuesioner yaitu kuesioner ansietas dan

depresi, kualitas tidur, dukungan sosial, prilaku kognitif dan fatigue.

1. Data Responden

Terdiri atas nama (inisial), jenis kelamin, umur, status perkawinan,

pendidikan, lama pasien menjalan hemodialisa, riwayat penyakit, dan tinggal

bersama siapa.

2. Kuesioner Ansietas

Kuesioner ini mengukur tingkat kecemasan dengan Hamilton Anxiety Rating Scale.

Dimana masing-masing kelompok gejala diberi penilaian skor antara 0-4, yang artinya : Nilai

0 = tidak ada gejala sama sekali, Nilai 1 = gejala ringan, Nilai 2 = gejala sedang, Nilai 3 =

gejala berat, Nilai 4 = gejala sangat berat dengan rentang penilaian derajat kecemasan yaitu :

Kecemasan ringan : skor 6 - 14, Kecemasan sedang : Score 15 - 27, Kecemasan berat : Score >

27. Skor maksimal : 52. Sebelumnya kuesioner ini telah dilakukan uji validitas menggunakan

Person Product Moment dengan hasil(r hitung = 0,57-0,84) dan (r tabel = 0,349).

Reliabilitas kuesioner ini menggunakan uji cronbachs alpha dengan hasil

cronbachs alpha 0,85 dan koefisien reliabilitas total 0,79. Nilai uji tersebut lebih

besar dari 0,40 hal ini menunjukan bahwa HRS-A cukup valid dan reliabel

digunakan sebagai instrumen penelitian (Sumanto 2007).

3. Kuesioner Depresi
50

Dapat menggunakan kuesioner Beck Depression Inventory (BDI) dengan 21 item

pertanyaan. Alat ini dapat dengan mudah dinilai, dirancang untuk digunakan dalam

pertanyaan dengan sejumlah jawaban yang telah ditentukan. Nilai 0 = tidak ada gejala, nilai 1

= ada gejala ringan, nilai 2 = ada gejala sedang, dan nilai 3 = ada gejala berat. Penilaian untuk

kuesioner depresi, jika skor 10 16 Memiliki derajat depresi ringan, jika skor 17

29 memiliki derajat depresi sedang dan jika skor 30 63 memiliki derajat depresi

berat. Pengujian validitas dan reliabilitas telah dilakukan sebelumnya dengan hasil

validitas 0,7 dan reabilitas 0,9

4. Kuesioner Kualitas Tidur

Kuesioner yang digunakan untuk mengukur kualitas tidur dapat dilakukan dengan

kuisioner Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) memiliki 9 item pertanyaan. Masing - masing

item pertanyaan terdiri dari satu poin kecuali item nomor lima yang terdiri dari 10 poin.

Kesembilan pertanyaan tersebut mencakup tentang waktu yang diperlukan untuk dapat

mulai tidur (Sleep Latency), lamanya waktu tidur (Sleep Duration), persentase antara waktu

tidur dengan waktu yang dihabiskan pasien diatas tempat tidur (Habitual Sleep Efficiency),

gangguan tidur yang sering dialami sewaktu malam hari (Sleep Disturbance), kebiasaan

penggunaan obat-obatan untuk membantu tidur, gangguan yang sering dialami saat tidur

siang hari dan kualitas tidur secara subjektif.

Penilaian skor kuesioner terdiri atas: a) Kualitas tidur subyektif , dilihat dari

pertanyaan nomor 9 (0 = sangat baik, 1 = baik, 2 = kurang, 3 = sangat kurang). b)

Latensi tidur (kesulitan memulai tidur), dilihat dari total skor dari pertanyaan

nomor 2 dan 5a. Untuk pertanyaan nomor 2 (0 = 15 menit, 1 = 16-30 menit, 2 =

31-60 menit, 3 = > 60 menit), dan pertanyaan nomor 5 a (0 = Tidak pernah, 1 =

Sekali seminggu, 2 = 2 kali seminggu, 3 = >3 kali seminggu. Selanjutnya


51

jumlahkan skor pertanyaan nomer 2 dan 5a, dengan skor akhir (skor 0 = 0, skor 1-

2 = 1, skor 3-4 = 2, skor 5-6= 3). c) Lama tidur malam, dilihat dari pertanyaan

nomor 4 (> 7 jam = 0, 6-7 jam = 1, 5-6 jam = 2, < 5 jam = 3). d) Efisiensi tidur,

dilihat dari pertanyaan nomor 1,3,4. Efisiensi tidur (lama tidur dibagi lama di

tempat tidur) x 100%, untuk lama tidur merupakan pertanyaan nomor 4.

Selanjutnya lama di tempat tidur dikurangi kalkulasi respon dari pertanyaan

nomor 1 dan 3, dengan skor akhir (0 = > 85 %, 1 = 75-84 %, 2 = 65-74 % , 3 = <

65 %), e) Gangguan ketika tidur malam, dilihat dari pertanyaan nomor 5b sampai

5j, dengan nilai skor ( 0 = Tidak pernah, 1 = Sekali seminggu, 2 = 2 kali

seminggu, 3 = >3 kali seminggu). Jumlahkan skor pertanyaan nomor 5b sampai

5j, dengan skor akhir ( 0 = Skor 0, 1 = Skor 1-9, 2 = Skor 10-18, 3 = Skor 19-27),

f) Menggunakan obat-obat tidur, dilihat dari pertanyaan nomor 6 ( 0 = Tidak

pernah, 1 = Sekali seminggu, 2 = 2 kali seminggu, 3 = >3 kali seminggu), g)

Terganggunya aktifitas disiang hari, dilihat dari pertanyaan nomor 7 dan 8, untuk

pertanyaan nomor 7 ( 0 = Tidak pernah, 1 = Sekali seminggu, 2 = 2 kali seminggu,

3 = >3 kali seminggu) dan pertanyaan nomor 8 ( 0 =Tidak antusias, 1 = Kecil, 2 =

Sedang, 3 = Besar). Selanjutnya jumlahkan skor pertanyaan nomor 7 dan 8,

dengan skor akhir (0 = Skor 0, 1 = Skor 1-2, 2 = Skor 3-4, 3 = Skor 5-6 ).

Untuk total skor, jumlahkan semua skor mulai dari komponen 1 sampai 7.

Pada kriteria penilaian dikelompokkan menjadi 2, yaitu kualitas tidur baik dengan skor

5 dan jika > 5 maka kualitas tidur buruk. Uji validitas The Pittsburgh Sleep Quality

Indekx (PSQI) telah dilakukan dalam penelitian Agustin (2012) dengan


52

melakukan uji coba kepada 30 orang responden dengan hasil bahwa bahwa r

hitung (0,410 - 0,831) > r tabel (0,361).

5. Kuesioner Dukungan Sosial

Kuesioner yang digunakan adalah Multidimensional Scale of Perceived Sosial Support.

Yang terdiri dari tiga aspek, yaitu family subscale, friends subscale, significant other subscale,

serta memiliki 12 item dimana masing- masing aspek terdiri dari 4 item. Skor untuk setiap

alternatif jawaban pada Multidimensional Scale of Perceived Sosial Support adalah sangat

setuju bernilai 5, setuju bernilai 4, kurang setuju bernilai 3, tidak setuju bernilai 2 dan sangat

tidak setuju bernilai 1. Tingkat instrumen MSPSS adalah rendah (12 - 28), sedang (29 - 44),

dan tinggi (45 - 60). Berdasarkan hasil uji validitas didapatkan hasil ( r ) adalah 0,420

- 0,770 (Sugiyono, 2006). Sedangkan hasil uji reliabilitas menunjukkan nilai alpha

= 0,879.

6. Kuesioner Prilaku Kognitif

Kuesioner yang digunakan yaitu Mini Mental Status Examination

(MMSE) merupakan suatu skala terstruktur yang dikelompokkan menjadi tujuh

kategori : orientasi terhadap tempat, orientasi terhadap waktu, registrasi, atensi,

konsentrasi, mengingat kembali, bahasa, dan kontruksi visual. Pengumpulan data

tentang fungsi kognitif terdiri dari 11 pertanyaan dengan butir penilaian berjumlah

30. Setiap butir penilaian jika di jawab benar memiliki nilai 1 dan apabila dijawab

salah diberi nilai 0.

Penilaian kuesioner terbagi atas ;normal jika skor nilai 30 - 24,

kemungkinan gangguan kognitif jika skor nilai 23 -17, dan mengalami gangguan
53

kognitif jika skor nilai 16 - 0. Kuesioner Mini Mental Status Examination

(MMSE) oleh Folsen et.al (1975) dalam Raskind et.al (2004), instrumen MMSE

ini sudah baku dan memiliki sensitivitas 100 %, serta spesitifitas 90 %

(Palestin,2006, cit Nursery, 2013).

7. Kuesioner Fatigue

Kuesioner yang digunakan adalah Fatigue Assessment Scale (FAS) yang

terdiri atas 10 pertanyaan yang menanyakan aspek kelelahan fisik serta mental

dan implikasinya pada motivasi dalam melakukan aktivitas. FAS ini tidak

mengukur kelelahan yang dirasakan pada saat pengukuran dilakukan tetapi

mengukur kelelahan yang umumnya dirasakan oleh seseorang. Kuesioner ini

menggunakan lima skala likert yaitu : Tidak pernah (1), Kadang-kadang (2),

Dialami secara teratur (3), Sering dialami (4), Selalu dialami (5). Penilaian pada

kuesioner ini adalah non fatigue jika total skor > 20 dan fatigue jika total skor <

20. Hasil uji validitas dan realibilitas pada kuesioner ini dengan hasil uji

realibilitas menggunakan nilai alpha cronbach diperoleh nilai 0.812

(Zuraida,2014).

F. Etika Penelitian

Masalah etika dalam penelitian, peneliti mengajukan permohonan izin kepada

pihak RSUP.DR.M.Djamil Padang dengan menjelaskan tujuan dari penelitian

yang akan dilakukan dan selanjutnya peneliti melakukan:

1. Informed Concent

Sebelum dilakukan pengambilan data responden, peneliti mengajukan

lembar permohonan kepada calon responden yang memenuhi kriteria inklusi


54

untuk menjadi responden dengan memberikan penjelasan tentang tujuan dan

manfaat penelitian ini. Tujuan data dari Informed Concent adalah upaya subjek

penelitian mengerti maksud, tujuan dampak penelitian.

2. Anomity (tanpa nama)

Untuk menjaga kerahasiaan subjek, identitas responden tidak perlu

mencantumkan nama responden tetapi pada lembar pengumpulan data peneliti

hanya mencantumkan atau menuliskan dengan memberi kode.

3. Confidentiality (Kerahasiaan)

Informasi yang telah diberikan oleh responden serta semua data yang

terkumpul dijamin kerahasiaanya oleh peneliti. Informasi tersebut tidak akan

dipublikasikan atau diberikan kepada orang lain tanpa seizin responden.

4. Justice (Keadilan)

Subjek penelitian harus diperlakukan secara adil baik sebelum, selama dan

sesudah keikutsertaannya dalam penelitian tanpa adanya diskriminasi.

G. Pengumpulan Data

1. Metode Pengumpulan Data

Data primer yaitu data yang berkaitan dengan varibel yang di kumpulkan

melalui angket dan wawancara dengan menggunakan alat ukur kuesioner. Data

primer meliputi faktor psikososial dan kognitif serta fatigue pada pasien CKD

yang menjalani hemodialisa. Data sekunder sebagai pendukung penelitian ini

meliputi data jumlah pasien yangmenjalani hemodialisa di Unit Hemodialisa

RSUP.DR.M.Djamil Padang.
55

2. Langkah-langkah Pengumpulan Data

a) Peneliti mengurus surat izin pengambilan data penelitian dari kampus

dan mengajukan izin penelitian ke RSUP.DR.M.Djamil Padang.

b) Peneliti menemui responden pagi / siang hari sesudah hemodialisa.

c) Peneliti memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud dan tujuan

peneliti.

d) Jika responden mempuyai kriteria inklusi akan ditetapkan sebagai

responden penelitian setelah menyetujui lembar persetujuan (informed

consent) yang diajukan oleh peneliti.

e) Setelah menyetujui lembar persetujuan, dilakukan wawancara dengan

pasien.

3. Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan komputer dan langkah-

langkah sebagai berikut:

a. Memeriksa data (Editing)

Editing adalah memeriksa kelengkapan kuesioner yang telah diisi.

b. Mengkode data (Coding)

Kegiatan merubah data dalam bentuk huruf pada kuesioner tertutup atau

semi tertutup menurut macamnya menjadi bentuk angka untuk pengolahan

data komputer.

c. Memproses data (Entry)


56

Pengetikan kode jawaban responden pada kuesioner kedalam program

pengolahan data.

d. Membersihkan data (Cleaning)

Kegiatan cleaning adalah pengecekan data yang telah dientry untuk

memastikan bahwa data tersebut telah bersih dari kesalahan sehingga data

tersebut benar siap dianalisa.

e. Tabulasi data

Sesudah semua data dibersihkan maka data ditabulasikan dan disajikan

dalam bentuk tabel, data yang telah diolah kemudian akan dianalisa.

H. Analisa Data

1. Analisa Univariat

Analisa univariat adalah analisa masing - masing variabel yang diteliti, baik

variabel independen maupun variabel dependen. Analisa univariat dilakukan

untuk melihat gambaran distribusi frekuensi dari variabel dependen yaitu fatigue

pada pasien Chronic Kidney Disease yang menjalani hemodialisa maupun

variabel independen yaitu faktor psikososial dan kognitif (ansietas dan depresi,

kualitas tidur, dukungan sosial dan prilaku kognitif) pada pasien Chronic Kidney

Disease yang menjalani hemodialisa. Analisa univariat yang digunakan dengan

cara statistik deskripstif.

2. Analisa Bivariat

Analisa untuk melihat hubungan variabel antara variabel independen dan

variabel dependen. Dalam penelitian ini dilakukan pengujian dengan

menggunakan uji statistik untuk melihat hubungan antara variabel, dengan uji
57

statistik Chi-Square dengan derajat kepercayaan 95 % ( = 0,05), jika < 0,05

berarti ada hubungan bermakna variabel dependen dengan variabel independen,

pengujian statistik menggunakan komputer.

You might also like