Manajemen Perdarahan Post Partum

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 15

Manajemen Perdarahan Post Partum

Dalam satu dekade terakhir ini, banyak cara baru ditemukan untuk menanggulangi
perdarahan pasca persalinan, yang diharapkan dapat menekan angka kematian ibu. Dalam
tatalaksana perdarahan pasca persalinan, urutan tindakan yang cepat dan tepat, akan membuat
pasien dapat tertangani dengan baik. Untuk memudahkan tatalaksana, digunakan istilah
singkatan HAEMOSTASIS, yang sekaligus merupakan prinsip tatalaksana perdarahan pasca
persalinan, yaitu hemostasis atau hentikan perdarahan.

H Help. Ask for help. INITIAL MANAGEMENT

A Assess (vital parameters, blood loss) and


resucitate.

E Establish aetiology, ensure availability of


blood, ecbolics (oxytocin, ergometrine, or
syntometrine bolus IV/IM).

M Massage uterus.

O Oxytocin infusion, ergometrin bolus IV/IM, MEDICATION MANAGEMENT


prostaglandins per rectal.

S Shift to the theatre. Exclude retain products NON-SURGICAL


and trauma, bimanual compression, CONSERVATIVE
abdominal aorta compression. MANAGEMENT

T Tamponade balloon and uterine packing

A Apply compression uterus, B-lynch technique SURGICAL CONSERVATIVE


or modified, Lasso-Budiman technique. MANAGEMENT

S Systemic pelvic devascularization: uterine,


ovarian, quadriple, internal iliaca.

I Interventional radiologist, if appropriate,


uterine artery embolization.

S Subtotal/total hysterectomy. LAST EFFORT SURGICAL


NON-CONSERVATIVE
MANAGEMENT
Non surgical conservative management

Pada perdarahan pasca persalinan yang terjadi di suatu tempat dengan fasilitas minimal, seperti
tidak tersedianya dokter ahli obstetri, rumah sakit rujukan yang jauh, penanganan non
pembedahan untuk perdarahan pasca persalinan bukan lagi merupakan pilihan dan sudah
merupakan suatu keharusan.

Non surgical conservative management atau tatalaksana konservatif non pembedahan


untuk perdarahan pasca persalinan adalah tindakan non pembedahan yang dilakukan setelah
tatalaksana medikamentosa gagal mengatasi perdarahan pasca persalinan, pada saat menunggu
tatalaksana lebih lanjut seperti laparotomi atau merujuk pasien ke rumah sakit. Tamponade
intrauterin dengan menggunakan balon adalah tindakan yang tidak invasif dan tindakan yang
paling cepat dan tindakan ini logis untuk dilakukan sebagai langkah pertama bila tatalaksana
menggunakan medikamentosa gagal mengatasi perdarahan pasca persalinan.

Arulkumaran dan kawan-kawan, melakukan systematic review untuk mengidentifikasi


angka keberhasilan pada semua penelitian tentang penanganan perdarahan pasca persalinan
secara konservatif dengan menggunakan balon tamponade intrauterin, penjahitan untuk kompresi
uterus, devaskularisasi pelvis dan embolisasi arteri. Setelah dilakukan eksklusi dari 396
publikasi, 46 penelitian dmasukkan ke dalam systematic review ini. Dari kajian yang telah
dilakukan ini, didapatkan angka keberhasilan 90,7% untuk embolisasi arteri, 84 % untuk balon
tamponade, 91,7% untuk kompresi uterus dengan penjahitan, 84,6% untuk ligasi arteri iliaka
interna atau devaskularisasi uterus.

Penggunaan kassa gulung tamponade intrauterin dalam penanganan perdarahan pasca


persalinan terjadi penurunan setelah 1950 karena efek samping yang ditimbulkannya. Perdarahan
tersembunyi, terjadinya infeksi dan pendekatan yang tidak fisiologis saat aplikasi, kemungkinan
terjadinya trauma saat memasukkan kassa gulung ke dalam uterus, menjadi concern utama
ditinggalkannya teknik ini. Tetapi sejak dilakukan kajian kembali pada awal 1980 dan 1990,
ketakutan terjadinya efek samping seperti di atas tidak terbukti.

Secara prinsip, tamponade intrauterin membutuhkan tekanan intrauterin yang cukup


untuk menghentikan perdarahan. Hal ini dapat dicapai dengan 2 cara:

1. Dengan cara memasukkan balon yang digembungkan didalam kavum uteri, yang akan
memenuhi semua ruang, sehingga akan tercapai tekanan intrauterin yang lebih besar dari
tekanan sistemik arteri. Apabila tidak terjadi laserasi, perdarahan akan berhenti.
2. Dengan cara memasukkan kassa gulung sebagai tampon ke dalam uterus, kemudian
dipadatkan, yang akan menekan pembuluh darah, sehingga perdarahan akan berkurang atau
berhenti.
Tamponade uterus menggunakan kassa gulung, masih merupakan pilihan, jika balon kateter atau
balon yang lain tidak tersedia. Risiko infeksi intrauterin bisa diminimalkan dengan antibiotik
profilaksis.
Metode Sayeba dan modifikasinya

Metode inovatif yang diperkenalkan pada tahun 1997 oleh Profesor Sayeba Akhter, ahli
kebidanan dari Bangladesh, adalah penggunaan kondom kateter hidrostatik intrauterin untuk
penanganan perdarahan pasca persalinan. Bahan yang digunakan adalah kateter Folley no 24,
kondom, blood set (set transfusi) atau infuse set (set infus), cairan garam fisiologis. Benang
chromic atau silk untuk mengikat dan beberapa tampon bola untuk fiksasi. Kateter Folley steril
dimasukkan ke dalam kondom, dan diiikat dengan pangkal kondom menggunakan benang silk
dan ujung luar dari kateter dihubungkan dengan infus set yang berisi cairan salin. Setelah kateter
dimasukkan ke dalam uterus, kondom digembungkan dengan 250 500 ml cairan salin
tergantung kebutuhan dan pada ujung luar kateter diikat dan set infus/set transfusi dikunci begitu
perdarahan berhenti. Intervensi ini dapat dilakukan dengan murah, mudah, cepat dan tidak
membutuhkan petugas kesehatan yang terlatih. Harga bahan yang digunakan juga terjangkau.
Harga kateter folley no 24 adalah $1,5 USD, kondom tidak lebih dari $ 0,2 USD, set infus/set
transfusi $ 1 USD. Cairan harganya $ 0,5 USD per buah. Lain-lain tidak lebih dari $ 1 USD.
Total tidak lebih dari $ 5 USD yang hampir setara dengan Rp. 50.000,00 (Lima puluh ribu
rupiah). Metode ini dinamakan Metode Sayeba untuk mengatasi perdarahan pasca persalinan
sesuai dengan nama penemunya, yaitu Professor Sayeba. Pada penelitiannya, 23 pasien
dilakukan intervensi dengan kondom kateter setelah mengalami perdarahan pasca persalinan.
Dari 23 pasien tersebut, 19 (82%) pasien mengalami perdarahan pasca persalinan primer, 4
(17%) pasien mengalami perdarahan pasca persalinan sekunder. Dari 23 pasien tersebut, 12
(52%) mengalami syok akibat perdarahan yang hebat. Pada kasus ini, kondom kateter segera
diaplikasikan tanpa menunggu penanganan medikamentosa terlebih dahulu. Pada kasus yang
lain, masase fundus dan pemberian uterotonika (methergin dan oksitosin, sedangkan misoprostol
tidak digunakan dalam institusi ini) gagal menghentikan perdarahan pada 10 pasien. Dan pada 1
pasien, teknik kompresi penjahitan uterus yang dikerjakan pada pasien dengan perdarahan pasca
persalinan tidak menghentikan perdarahan. Pada kebanyakan kasus (56,5%), kondom kateter
dipasang dalam waktu 0-4 jam setelah melahirkan. Sedangkan pada 32,7% kasus, dikerjakan
antara 5-24 jam setelah melahirkan. Pada 23 pasien ini, perdarahan berhenti dalam waktu 15
menit. Dilakukan pemantauan selama 48-72 jam. Tidak ada pasien yang membutuhkan
intervensi lebih lanjut, dan tidak ada morbiditas yang serius yang ditemukan. Dibutuhkan 200-
500 ml (rata-rata 336,4 ml) larutan garam fisiologis untuk menggembungkan balon. Rata-rata
3,23 unit darah (berkisar 2-10 unit) dibutuhkan untuk mencapai stabilitas hemodinamik. Tidak
ada pasien yang jatuh ke dalam syok yang ireversibel. Tidak ada infeksi intrauterin dilihat dari
tanda dan gejala klinis, maupun laboratoris dari kultur sensitivitas apusan vagina.

Bahan yang digunakan hampir sama dengan metode Sayeba, tetapi tanpa kateter Folley
no 24. Bahan-bahannya adalah kondom, blood set (set transfusi) atau infuse set (set infus), cairan
garam fisiologis. Benang chromic atau silk atau benang tali pusat untuk mengikat dan beberapa
tampon bola untuk fiksasi. Set infus/set transfusi yang sudah disambungkan dengan cairan,
ujungnya dimasukkan ke dalam kondom, kemudian kondom diikat pada ujung set infus/set
transfusi, kemudian dimasukkan ke dalam kavum uteri, dan kemudian digembungkan dengan
mengalirkan cairan melalui set infus/set transfusi. Kondom ini bisa digembungkan rata-rata 500
cc. Bahkan di literatur lain, disebutkan apabila perdarahan masih terus mengalir, kondom dapat
digembungkan mencapai 2000 cc. Isu tentang kekuatan kondom ini sendiri kadang menjadi
pertanyaan. Menurut Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat, kondom yang
terjual di pasaran sudah melewati quality control, dan memenuhi syarat karakteristik fisik yang
ditentukan. Kondom minimal harus memiliki tensile strength 15.000 pounds psa dan minimal
harus bisa dilakukan elongasi sampai dengan 625% sebelum kemudian robek atau pecah.

Teknik pemasangan kondom hidrostatik intrauterin

1. Penderita tidur diatas meja ginekologi dalam posisi lithotomi.


2. Alat-alat telah disiapkan.

3. Aseptik dan antiseptik genitalia eksterna dan sekitarnya.


4. Kandung kemih dikosongkan.
5. Telah dipersiapkan sebelumnya, set infus/set transfusi yang sudah disambungkan dengan
cairan NaCl/RL, ujungnya dimasukkan ke dalam kondom, kemudian kondom diikat pada
ujung set infus/set transfusi dengan benang chromic/silk atau benang tali pusat.

6. Introduksi kondom ke dalam kavum uteri bisa dilakukan dengan 2 cara, yang pertama
dengan menggunakan spekulum sims / L, bibir serviks bagian anterior dan posterior
dijepit dengan ring forsep, dan kondom yang sudah diikat pada ujung set infus/set
transfusi dimasukkan intra kavum uteri dengan menggunakan tampon tang. Cara yang
kedua, kondom yang sudah diikat pada ujung set infus/set transfusi dimasukkan secara
digital menggunakan jari, cara yang sama dipakai untuk memasukkan kateter folley untuk
induksi.

7. Kemudian kondom digembungkan dengan


mengalirkan cairan dari selang infus, sampai ada
tahanan atau perdarahan berhenti, kemudian
cairan infus ditutup kembali. Cairan yang dimasukkan antara 250 2000 cc.

8. Dimasukkan tampon bola untuk memfiksasi kondom supaya tidak terlepas.

9. Dilakukan observasi tanda vital dan perdarahan pervaginam. Bila tanda vital stabil dan
perdarahan pervaginam berhenti, berarti pemasangan kondom hidrostatik intrauterin
berhasil.
10. Pasien dapat dilakukan observasi atau segera dirujuk atau bila tindakan dilakukan di
Rumah Sakit, dapat dilakukan persiapan kamar operasi untuk laparatomi sebagai rencana
cadangan.
11. Apabila pasien stabil dan perdarahan per vaginam berhenti, kondom hidrostatik
intrauterin menjadi tatalaksana utama, dan dapat dipertahankan selama 24-48 jam, jika
perlu cairan dalam kondom dikeluarkan secara bertahap.

Tes Tamponade

Sampai saat ini, belum ada tes diagnostik yang dapat mengidentifikasi pasien dengan perdarahan
pasca persalinan yang masif, pasien mana yang memerlukan intervensi pembedahan. Tes
tamponade yang diperkenalkan oleh Arulkumaran dan kawan-kawan adalah penggunaan balon
tamponade sebagai tes untuk menilai apakah pasien tersebut memerlukan intervensi pembedahan
atau tidak. Pada pasien yang perdarahannya berhenti dengan intervensi balon tamponade,
intervensi pembedahan lanjutan tidak diperlukan, dan tamponade menjadi prosedur terapeutik
yang utama. Tes tamponade ini tidak hanya menghentikan perdarahan dan menyelamatkan
uterus, tetapi juga memberikan kesempatan untuk memperbaiki dan mengkoreksi koagulopati
konsumtif.

A. Pencegahan Perdarahan Postpartum

Perawatan masa kehamilan

Mencegah atau sekurang-kurangnya bersiap siaga pada kasus-kasus yang disangka akan
terjadi perdarahan adalah penting. Tindakan pencegahan tidak saja dilakukan sewaktu
bersalin tetapi sudah dimulai sejak ibu hamil dengan melakukan antenatal care yang
baik. Menangani anemia dalam kehamilan adalah penting, ibu-ibu yang mempunyai
predisposisi atau riwayat perdarahan postpartum sangatdianjurkan untuk bersalin di rumah
sakit.

Persiapan persalinan

Di rumah sakit diperiksa keadaan fisik, keadaan umum, kadar Hb, golongan darah, dan bila
memungkinkan sediakan donor darah dan dititipkan di bank darah. Pemasangan cateter
intravena dengan lobang yang besar untuk persiapan apabila diperlukan transfusi. Untuk
pasien dengan anemia berat sebaiknya langsung dilakukan transfusi.Sangat dianjurkan pada
pasien dengan resiko perdarahan postpartum untuk menabung darahnya sendiri dan
digunakan saat persalinan.
Persalinan
Setelah bayi lahir, lakukan massae uterus dengan arah gerakan circular atau maju mundur
sampai uterus menjadi keras dan berkontraksi dengan baik. Massae yang berlebihan atau
terlalu keras terhadap uterus sebelum, selama ataupun sesudah lahirnya plasenta bisa
mengganggu kontraksi normal myometrium dan bahkan mempercepat kontraksi akan
menyebabkan kehilangan darah yang berlebihan dan memicu terjadinya perdarahan
postpartum.

Kala tiga dan Kala empat

MANAJEMEN AKTIF KALA III

Untuk membantu proses kelahiran plasenta dilakukan tindakan Penegangan Talipusat Terkendali
(Controlled Cord Traction), hal ini akan mencegah kejadian perdarahan pasca persalinan.
Mengingat Kematian Ibu Bersalin yang terjadi sebagian besar adalah karena perdarahan pasca
persalinan, utamanya disebabkan karena atonia uteri dan retensio plasenta, maka upaya
pencegahan yang baik adalah melakukan penatalaksanaan aktif kala III.

Manfaat penatalaksanaan aktif adalah:


Kala III berlangsung lebih singkat
Penggunaan uterotonika (Oksitosin) dapat segera memperbaiki kontraksi uterus
Jumlah perdarahan relatif lebih sedikit
Menurunnya angka kejadian retensio plasenta (yang disebabkan gangguan kontraksi dan
atonia uteri), yang berarti menurunkan pula morbiditas dan mortalitas ibu karena
perdarahan pasca persalinan

Prinsip penatalaksanaan aktif kala III :

1. Segera jepit dan potong tali pusat


2. Pemberian utero-tonika sebelum plasenta lahir
3. Penegangan Talipusat Terkendali / "Controlled Cord Traction"
4. Masase uterus setelah plasenta lahir
1. Jepit dan potong tali pusat segera setelah bayi lahir

Segera setelah bayi lahir, jepit tali pusat menggunakan klem Kelly atau kocher sekitar 3 cm dari
umbilikus bayi. Urut tali pusat dari klem ke arah ibu. Jepit tali pusat dengan klem kedua pada
jarak 2 cm ke arah ibu dari klem pertama. Lakukan tindakan asepsis diantara kedua klem
menggunakan Povidon iodine (Betadine, Isodine) Pegang tali pusat dengan tangan kiri dan
potong diantara kedua klem, sementara tangan kiri penolong persalinan melindungi bayi dari
gunting.

2. Pemberian uterotonika

Uterotonika diberikan untuk menghasilkan kontraksi yang adekuat. Ada dua jenis uterotonika
yang dapat dipakai yaitu Oksitosin dan Ergometrin. Uterotonika yang dianjurkan adalah
Oksitosin 10 IU secara intramuskuler.

OKSITOSIN ERGOMETRIN

Hormon dengan target organ miometrium, Hormon ini menghasilkan kontraksi yang
bekerja secara spesifik dan efektif dalam sifatnya tetanik atau spastik. Dapat
menimbulkan kontraksi uterus. Pemberian diberikan secara oral, intramuskuler (im)
secara intramuskuler memerlukan waktu 2-3 atau intravena (iv). Pemberian intravena
menit untuk menghasilkan kontraksi uterus memberikan reaksi dalam 45 detik,
yang cukup baik. sedangkan pemberian intra-muskuler
menimbulkan efek memadai setelah 6-7
menit. Masa kerja ergometrin 2 - 4 jam

Keuntungan Keuntungan

Bekerja secara cepat dan menghasilkan Sediaannya cukup banyak dan dapat
kontraksi yang adekuat diberikan melalui berbagai cara
(tergantung indikasi penggunaan)
Efek sampingnya minimal karena bekerja
secara spesifik Harga relatif murah, masa kerja cukup
lama
OKSITOSIN ERGOMETRIN

Kerugian Kerugian

Harus dikombinasikan dengan Ergometrin Efek samping merugikan, mis.


agar segera menghasilkan kontraksi uterus peningkatan tekanan darah (penggunaan
yang kuat dan dapat bertahan lama (Oksitosin pada kasus hipertensi/kelainan jantung
cepat dimetabolisme oleh hati, waktu harus berhati-hati), pusing atau sefalgia,
paruhnya 2 menit) mual/muntah dan dapat menurunkan
produksi ASI.
Harganya lebih mahal dari Ergometrin
Dapat menimbulkan lingkaran konstriksi
Lama kerja oksitosin eksogen, tergantung dari
atau jepitan pada OUI meningkatkan
reaksi hipofise untuk menghasilkan hormon
kejadian plasenta inkarserata
oksitosin endogen, sensitivitas atau ambang
rangsang miometrium yang sangat Tidak stabil pada suhu kamar (perlu
dipengaruhi oleh kondisi ibu bersalin (sediaan penanganan khusus)
kalori, faktor kelelahan otot atau infeksi)
Pemberian secara oral tidak menghasilkan
efek yang segera, sehingga tidak dapat
digunakan pada kasus gawat darurat
akibat gangguan kontraksi uterus

Perlu dosis ulangan bila diharapkan


efektif selama 24 jam

3. Peregangan Talipusat Terkendali (Controlled Cord Traction)

Peregangan talipusat terkendali adalah


tindakan yang dilakukan untuk membantu
proses kelahiran plasenta. Langkah-langkah
utama tindakan ini adalah :
Penolong berdiri di sisi kanan ibu
bersalin
Pasang klem pada tali pusat (kurang
lebih pada 2.5 sentimeter di depan vulva) kemudian letakkan (4 jari) tangan kiri pada
suprasimfisis (di antara korpus depan dan segmen bawah uterus).
Perhatikan kontraksi uterus. Saat terjadi kontraksi, pegang klem dengan tangan kanan,
tegangkan tali pusat, sementara tangan kiri mendorong uterus ke arah dorso-kranial,
hingga plasenta masuk ke lumen vagina
Apabila plasenta belum meluncur keluar, ulangi langkah-langkah menegangkan tali pusat
dengan tangan kanan, sementara tangan kiri mendorong uterus ke arah dorsokranial pada
saat uterus berkontraksi.
Pindahkan tangan kiri pada suprasimfisis, kemudian
tegangkan kembali tali pusat dengan tangan kanan dan tekan
suprasimfisis dengan tangan kiri ke arah dorso-kranial hingga
plasenta meluncur keluar.
4. Masase fundus uteri setelah plasenta lahir (pada Kala
IV)

Setelah plasenta lahir maka kala III telah berakhir, tetapi tugas
penolong persalinan belum selesai karena masih ada risiko
perdarahan yang terjadi. Diantara penyebab kematian ibu melahirkan, salah satu penyebab
utama adalah perdarahan pasca persalinan. Penyebab terbesar kejadian perdarahan pasca
persalinan adalah atonia uteri. Untuk mengurangi kemungkinan atonia ini dilakukan masase
uterus secara aktif untuk menunjang terjadinya kontraksi uterus yang baik.
Masase uterus dilakukan dengan langkah berikut:
Letakkan tangan di atas fundus uteri, lakukan gerakan sirkuler pada permukaan fundus,
sehingga teraba uterus yang mengeras
Perhatikan apakah kontrasi uterus baik atau tidak, lakukan penilaian setiap 12 menit.
Bila uterus melunak lagi, lakukan masase ulang
Ibu dapat dilatih untuk mengenali bagaimana kontraksi uterus yang baik dan kontraksi uterus
yang lemah.
5. Rangsangan puting susu / Inisiasi Menyusu Dini (IMD)

Rangsangan puting susu secara reflektoris akan menyebabkan dikeluarkannya oksitosin


oleh kelenjar hipofise yang akan menambah kontraksi uterus
Rangsangan bisa dilakukan sendiri oleh Ibu, atau dengan menyusukan bayinya.
B. Manajemen Perdarahan Postpartum

Tujuan utama perrolongan pada pasien dengan perdarahan post partum adalah menemukan dan
menghentikan penyebab dari perdarahan secepat mungkin.

Terapi pada pasien dengan hemorraghe postpartum mempunyai 3 bagian pokok :

a. Resusitasi dan manajemen yang baik terhadap perdarahan

Pasien dengan hemorraghe postpartum memerlukan penggantian cairan dan pemeliharaan


volume sirkulasi darah ke organ organ penting. Pantau terus perdarahan, kesadaran dan
tanda-tanda vital pasien. Pastikan dua kateler intravena ukuran besar (16) untuk
memudahkan pemberian cairan dan darah secara bersamaan apabila diperlukan
resusitasi cairan cepat.

Pemberian cairan : berikan normal saline atau ringer lactate


Transfusi darah : bisa berupa whole blood ataupun packed red cell
Evaluasi pemberian cairan dengan memantau produksi urine (dikatakan perfusi
cairan ke ginjal adekuat bila produksi urin dalam 1jam 30 cc atau lebih)

b. Manajemen penyebab hemorraghe postpartum

Tentukan penyebab hemorraghe postpartum :

Atonia uteri

Periksa ukuran dan tonus uterus dengan meletakkan satu tangan di fundus
uteri dan lakukan massase untuk mengeluarkan bekuan darah di uterus dan
vagina. Apabila terus teraba lembek dan tidak berkontraksi dengan baik perlu
dilakukan massase yang lebih keras dan pemberian oxytocin. Pengosongan kandung
kemih bisa mempermudah kontraksi uterus dan memudahkan tindakan selanjutnya.
Lakukan kompres bimanual apabila perdarahan masih berlanjut, letakkan satu tangan
di belakang fundus uteri dan tangan yang satunya dimasukkan lewat jalan lahir dan
ditekankan pada fornix anterior.Pemberian uterotonica jenis lain dianjurkan apabila
setelah pemberian oxytocin dan kompresi bimanual gagal menghentikan perdarahan,
pilihan berikutnya adalah ergotamine.
Retensi Sisa plasenta

Apabila kontraksi uterus jelek atau kembali lembek setelah kompresi bimanual ataupun
massase dihentikan, bersamaan pemberian uterotonica lakukan eksplorasi.
Beberapa ahli menganjurkan eksplorasi secepatnya, akan tetapi hal ini sulit
dilakukan tanpa general anestesi kecuali pasien jatuh dalam syok. Jangan hentikan
pemberian uterotonica selama dilakukan eksplorasi. Setelah eksplorasi lakukan
massase dan kompresi bimanual ulang tanpa menghentikan pemberian uterotonica.
Pemberian antibiotic spectrum luas setelah tindakan ekslorasi dan manual removal.
Apabila perdarahan masih berlanjut dan kontraksi uterus tidak baik bisa
dipertimbangkan untuk dilakukan laparatomi. Pemasangan tamponade uterrovaginal
juga cukup berguna untuk menghentikan perdarahan selama persiapan operasi.

Trauma jalan lahir

Perlukaan jalan lahir sebagai penyebab pedarahan apabila uterus sudah berkontraksi
dengan baik tapi perdarahan terus berlanjut. Lakukan eksplorasi jalan lahir untuk
mencari perlukaan jalan lahir dengan penerangan yang cukup. Lakukan reparasi
penjahitan setelah diketahui sumber perdarahan, pastikan penjahitan dimulai diatas
puncak luka dan berakhir dibawah dasar luka. Lakukan evaluasi perdarahan setelah
penjahitan selesai. Hematom jalan lahir bagian bawah biasanya terjadi apabila terjadi
laserasi pembuluh darah dibawah mukosa, penetalaksanaannya bisa dilakukan incise
dan drainase. Apabila hematom sangat besar curigai sumber hematom karena pecahnya
arteri, cari dan lakukan ligasi untuk menghentikan perdarahan.

Gangguan pembekuan darah

Jika manual eksplorasi telah menyingkirkan adanya rupture uteri, sisa plasenta dan
perlukaan jalan lahir disertai kontraksi uterus yang baik mak kecurigaan penyebab
perdarahan adalah gangguan pembekuan darah. Lanjutkan dengan pemberian product
darah pengganti ( trombosit,fibrinogen).
c. Peranan Uterotonika

Uterotonika. Selama kala tiga, miometrium berkontraksi menyebabkan konstriksi


pembuluh darah yang berjalan di dalam miometrium juga yang menuju ke perlekatan
plasenta sehingga aliran darah berhenti. Kerja ini juga menyebabkan plasenta terlepas dari
perlekatannya di dinding uterus. Dengan tidak adanya kontraksi miometrium, yang secara
klinis dikenal sebagai atoni uterin, dapat mengakibatkan perdarahan yang hebat.
Uterotonika memacu kontraksi otot uterus untuk mencegah atoni dan mempercepat
lepasnya plasenta. Yang termasuk dalam uterotonika adalah oksitosin, metilergonovin,
misoprostol dan karbetosin, sebuah agonis oksitosin.13
Oksitosin merupakan oksitosika utama yang dipakai dalam pencegahan dan
penanganan perdarahan pascasalin, diberikan pada saat penanganan aktif kala tiga sebagai
sebuah tindakan preventif. Oksitosin mengungguli uterotoika lainnya karena efeknya yang
sangat cepat yakni 2 sampai 3 menit setelah suntikan intramuskular, hanya mempunyai
efek samping minimal dan dapat dipakai oleh hampir setiap perempuan.
Jika perdarahan tetap berlangsung dan uterus menjadi atonik, pemberian cairan
cepat harus segera diberikan. Oksitosin 20 unit dalam 1000 ml larutan sodium klorida
normal diinfuskan dengan kecepatan 500 ml/10 menit.12 Untuk mempertahankan kontraksi
uterus oksitosin 40 unit dalam 500 ml larutan kristaloid diberikan dengan kecepatan
125ml/jam.
Keseimbangan cairan masuk dan keluar harus diperhatikan agar tidak terjadi
overload cairan yang bisa mengakibatkan edema paru dan otak yang bisa mengakibat
kejang dan bisa berakibat fatal. Hal ini disebabkan karena oksitosin bersifat antidiuretik
sehingga menyebabkan retensi cairan dalam tubuh. Kateter urin harus dipasang untuk
memonitor fungsi ginjal. Volume urin sebesar 1 ml/kg berat badan per jam atau sekurang-
kurangnya 30 ml/jam bisa dipakai sebagai alat monitor bahwa resusitasi cairan berhasil.
Agar resusitasi cairan berjalan aman, pengukuran tekanan vena sentral perlu
dilakukan. Tekanan vena sentral normal adalah 5 mmHg (range 0-8 mmHg). Tekanan yang
meningkat terlihat pada cairan yang berlebihan, gagal ventrikel kanan,atau emboli paru.
Tekanan vena sentral yang rendah menunjukkan shock hipovolemia yang belum terkoreksi.
Pada saat yang sama harus dilakukan pemeriksaan untuk menyingkirkan
kemungkinan adanya sebab lain seperti adanya robekan jalan lahir atau retensi sisa
plasenta. Perhatian harus ditujukan pada cara mengatasi shock (ABCs) dengan
memberikan oksigen dengan masker dan monitoring tanda vital. Monitoring saturasi
oksigen juga perlu dilakukan. Darah diambil untuk pemeriksaan rutin, golongan darah dan
skrining koagulasi. Ada baiknya dokter menahan darah dalam tabung reaksi untuk
observasi berapa lama darah menjendal. Kegagalan menjendal dalam 8-10 menit
menunjukkan adanya gangguan pembekuan darah.
Metilergonovin maleat atau ergometrin adalah alkaloida ergot yang menghasilkan
kontraksi tetanik dalam 5 menit setelah pemberian intramuskular. Dosisnya adalah 0,25 mg
yang dapat diulang tiap 5 menit sampai dosis maksimal 1,25 mg. Obat ini juga bisa
diberikan secara intramiometrial atau intrvena dengan dosis 0,125 mg. Obat ini
menyebabkan vasospasme perifer dan dapat mengakibatkan kenaikan tekanan darah
sehingga metilergonovin tidak boleh diberikan pada pasien hipertensi. Obat ini juga dapat
menyebabkan rasa mual dan muntah.
Tabel. Penggunaan Uterotonika

Jenis dan cara Oksitosin Methylergometrin Misoprostol


Dosis dan cara pemberian IV : 20 unit dlm 1 L IM atau IV 0,2 mg Oral atau rectal
awal larutan garam (lambat) 400 mg
fisiologis dengan
tetetsan cepat
IM : 10 Unit
Dosis Lanjutan IV : 20 Unit dalam 1 L Ulangi 0,2 mg IM 400 mg 2-4 jam
larutan garam setelah 15 menit setelah dosis
fisiologis dengan Bila masih awal
tetesan 40 tpm diperlukan beri
IM/IV setiap 2-4
Jam
Dosis Maksimal per hari Tidak lebih dari 3 L Total 1 mg atau 5 Total 1200 mg
larutan dengan dosis Atau 3 dosis
Oksitosin
Misoprostol. Misoprostol adalah analog prostaglandin E1, yang pertama kali
diterima oleh Food and Drug Administration (FDA) sebagai obat ukus peptikum. Sekarang
misoprostol banyak digunakan dalam praktek obstetrik karena sifatnya yang bisa memacu
kontraksi miometrium yakni sebagai obat induksi persalinan dan uterotonika penting
untuk mengatasi perdarahan pascasalin karena atoni uteri. Misoprostol lebih unggul
dibanding prostaglandin lain seperti PG E2 atau PG F2 karena sifatnya yang stabil pada
temperatur kamar, murah dan mudah penggunaannya.
Misoprostol rektal dengan dosis tinggi (1000 g) terbukti efektif menghentikan
perdarahan pascasalin yang membandel (refractory). Dari 14 pasien perdarahan pascasalin
yang tidak tidak respons terhadap oksitosin dan metilergonovin dan mendapat 1000 g
misoprostol, pada semuanya perdarahan berhenti dalam 3 menit dan tidak memerlukan
oksitosika tambahan lagi. Dosis yang lebih tinggi, 6500 g pernah diberikan kepada 4
pasien yang tidak respons dengan uterotonika standard dan memperoleh respons yang
cepat.

You might also like