Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 105

OPTIMASI PROSES EKSTRAKSI ANTOSIANIN

PADA BUNGA TELENG


(Clitoria ternatea L.) DENGAN METODE
PERMUKAAN TANGGAP

ABDULLAH MUZI MARPAUNG

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
ABSTRACT

MARPAUNG AM. The Optimation of Anthocyanin Extraction From


Butterfly Pea (Clitoria ternatea L.) Petal Using Response Surface
Methodology.
Under direction of NURI ANDARWULAN and ENDANG PRANGDIMURTI

The Box-Behnken experimental design with Response Surface Methodology has


been used in optimation of extraction process of anthocyanin from butterfly pea
(Clitoria ternatea L.) petal. The extraction process was conducted with no light by
using water. The ratio of fresh petal to water-HCl (pH 4.5) was 1:4 (w/v). The optimum
process was defined as a set of extraction factors by using highest extract volume,
anthocyanin and total phenol content as the selected parameters. The three factors were
blanching time (0 to 12 minutes), extraction temperature (30 to 60 oC) and extraction
time (30 to 120 minutes). The research showed that all factors had significant effect to
volume by following reduced 2-factor interaction model, while anthocyanin content
and total phenol content was effected by following reduced quadratic model. Based on
the models, the most efficient extraction process was 6 minutes for blanching time
followed by 30 minutes of extraction time at 60oC. The antioxidant activity and stability
during storage of the extract was also studied. The research showed that highest
antioxidant activity of butterfly pea flower extract was reached at pH 1 (flavylium
cation) followed by pH 4.5 (hemiketal form) and pH 7 (quinonoidal base). The study of
stability showed that butterfly pea extract was very unstable at pH 12 to 14, both in
room temperature and 4oC storage. The extracts with pH 1 to 11 at 4oC were much
more stable compare to the room temperature. At room temperature, the highest stability
showed by pH 1 and followed by pH 2. At 4 oC the extracts with pH 1 to 2 and 7 to 11
were stable during 28 days storage.

Keywords: anthocyanin, Clitoria ternatea L, extraction, response surface methodology,


antioxidant activity
RINGKASAN

MARPAUNG AM. Optimasi Proses Ekstraksi Antosianin Bunga


Teleng (Clitoria ternatea L) Dengan Metode Permukaan Tanggap
Dibimbing oleh NURI ANDARWULAN dan ENDANG PRANGDIMURTI

Antosianin merupakan pigmen alami yang memiliki banyak manfaat bagi


kesehatan. Pigmen ini dapat dijumpai pada berbagai jenis tanaman. Salah satunya yang
potensial adalah bunga teleng (Clitoria ternatea L). Selain kadar yang relatif tinggi,
bunga teleng memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan dengan sumber antosianin
lain. Di antaranya adalah tanaman ini mudah tumbuh dengan perawatan yang minimal
serta menghasilkan bunga setiap hari sepanjang tahun sehingga dapat berperan sebagai
sumber antosianin yang mudah dan murah bagi masyarakat. Selain itu antosianin bunga
teleng memiliki aktivitas antioksidan yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan
beberapa jenis antosianin yang lain.
Antosianin bunga teleng, sebagaimana antosianin dari sumber lainnya, bersifat
tidak stabil akibat berbagai kondisi pengolahan dan penyimpanan, terutama karena
panas. Oleh karena itu proses pengambilan antosianin pada bunga teleng, khususnya
proses yang melibatkan panas, perlu dipelajari untuk mendapatkan hasil yang optimal.
Optimasi proses ekstraksi yang dipelajari pada penelitian ini menggunakan
metode permukaan tanggap dengan rancangan percobaan Box-Behnken. Rancangan
Box-Behnken merupakan rancangan yang efisien untuk tujuan optimasi proses yang
melibatkan tiga atau lebih faktor. Terdapat tiga faktor yang dipelajari pada penelitian ini
yaitu lama blansir dengan taraf 0 sampai 12 menit, suhu ekstraksi dengan taraf 30 oC
hingga 60oC serta lama ekstraksi dengan taraf 30 menit hingga 120 menit. Selain ketiga
faktor tersebut kondisi proses ekstraksi diatur sebagai berikut. Ekstraksi dilakukan
dalam keadaan gelap, rasio bunga segar dan pelarut adalah 1:4 (b/v). Pelarut yang
digunakan adalah air-HCl dengan pH 4,5. Terdapat tiga respons atau tanggap yang
diukur untuk mendapatkan parameter proses optimal, yaitu volum ekstrak, kadar
antosianin dan kadar total fenol.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua faktor yang dipelajari memberikan
pengaruh signifikan terhadap semua respons. Secara umum dapat dikatakan bahwa
paparan panas hingga taraf tertentu akan meningkatkan volum, kadar antosianin dan
kadar total fenol dari ekstrak bunga teleng. Sementara itu paparan panas yang
berlebihan cenderung menurunkan nilai semua respons. Pengaruh semua faktor terhadap
volum ekstrak mengikuti model persamaan interaksi 2 faktor yang direduksi. Sedangkan
hubungan semua faktor dengan kadar antosianin dan total fenol mengikuti model
persamaan kuadratik yang direduksi. Berdasarkan ketiga model yang menghubungkan
masing-masing respons dengan semua faktor, dapat disusun proses ekstraksi yang
optimal yaitu lama blansir 6 menit, lama ekstraksi 30 menit pada suhu 60 oC. Verifikasi
terhadap model dilakukan dengan 5 kali ulangan proses ekstraksi dengan parameter
optimal, dan hasilnya menunjukkan bahwa model persamaan dapat diterima.
iv

Selain optimasi proses, pada penelitian ini juga dipelajari spektrum warna,
aktivitas antioksidan dan kestabilan warna selama penyimpanan dari ekstrak bunga
teleng yang diperoleh melalui proses ekstraksi optimal.
Uji absorbansi pada ekstrak bunga teleng menunjukkan 2 panjang gelombang
dengan serapan maksimal pada rentang cahaya tampak yaitu pada panjang gelombang
574 nm dan 619 nm. Panjang gelombang pertama menunjukkan absorbansi dari
antosianin dengan bentuk basa kuinonoidal tautomer I dan panjang gelombang kedua
menunjukkan absorbansi basa kuinonoidal tautomer II. Selain itu terdapat pula 1 bahu,
yaitu pada panjang gelombang 539 nm yang merepresentasikan antosianin dengan
bentuk kation flavilium. Uji absorbansi juga menunjukkan bahwa pita II (cincin A
sitem benzoil) pada ekstrak bunga teleng mucul pada panjang gelombang 264 287 nm,
sedangkan pita I (cincin B-sistem sinamoil) muncul pada panjang gelombang 579-574
nm. Berdasarkan uji absorbansi juga dapat diperkirakan bahwa 41,6 % antosianin pada
ekstrak bunga teleng berbentuk terpoliglikolisasi, dan perbandingan antara antosianin
terpoliasilasi dengan yang tidak sebesar 416,8 %. Hasil ini sesuai dengan berbagai
penelitian yang menyebutkan bahwa antosianin pada bunga teleng merupakan
antosianin terpoliglikolisasi dan terpoliasilasi.
Aktivitas antioksidan dari ekstrak bunga teleng yang dipelajari adalah pada pH 1,
4,5 dan 7. Masing-masing mewakili struktur antosianin yang berbeda-beda. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan ekstrak bunga teleng tertinggi
dicapai pada pH 1 ketika antosianin berada dalam bentuk kation flavilium, diikuti pada
pH 4,5 (bentuk hemiketal) dan pH 7 (bentuk basa kuinonoidal). Ini menunjukkan
bahwa aktivitas antioksidan ekstrak bunga teleng memiliki karakteristik yang mirip
dengan sebagian besar sumber antosianin lain, yaitu mencapai nilai yang semakin tinggi
pada pH yang semakin rendah.
Kestabilan warna ekstrak dipelajari selama 28 hari, dengan variasi pH ekstrak
antara 1 hingga 14 dan dua suhu penyimpanan, yaitu suhu ruang dan 4 oC. Kestabilan
warna ekstrak ditentukan dengan mengukur besar serapan cahaya atau absorbansi pada
panjang gelombang maksimal dari masing-masing ekstrak setelah penyimpanan, dibagi
absorbansi pada hari nol. Ekstrak pH 12 hingga 14 bersifat paling tidak stabil, baik pada
suhu 4oC maupun pada suhu ruang. Setelah penyimpanan selama 1 hari ekstrak pH 12
hingga 14 tersebut telah mengalami kehilangan warna hingga 100 %.
Pada penyimpanan di suhu ruang ekstrak bunga teleng relatif hanya stabil pada
pH 1, yaitu dengan sisa absorbansi mencapai 86 % setelah 28 hari penyimpanan. Pada
lama penyimpanan yang sama absorbansi ekstrak pH 2 hanya tersisa 4 %. Pada pH 3
dan yang lebih tinggi kestabilan warna bahkan semakin rendah, dengan kehilangan
warna mencapai 100 % hanya dalam 14 hari penyimpanan.
Secara keseluruhan kestabilan warna ekstrak yang disimpan pada suhu 4 oC jauh
lebih baik. Ekstrak pH 1-2 dan pH 7-11 tetap stabil setelah penyimpanan 28 hari.
Sementara ekstrak pH 3-6 memiliki pola kestabilan yang unik, yakni absorbansinya
sempat turun pada periode awal penyimpanan dan kemudian naik kembali hingga
mencapai absorbansi yang mendekati absorbansi hari nol. Fenomena turun lalu naiknya
absorbansi ekstrak pada pH 3-6 ini masih belum sepenuhnya dapat dijelaskan. Oleh
karena itu dipandang perlu untuk dilakukan penelitian lebih lanjut secara lebih
mendalam dengan melakukan pengukuran absorbansi ekstrak bunga teleng selama
v

penyimpanan baik pada panjang gelombang maksimalnya maupun pada berbagai


panjang gelombang lain yang mewakili karakteristik antosianin.

Kata kunci: antosianin, Clitoria ternatea L, ekstraksi, metode permukaan tanggap,


aktivitas antioksidan
Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam
bentuk apapun tanpa izin IPB
OPTIMASI PROSES EKSTRAKSI ANTOSIANIN
PADA BUNGA TELENG
(Clitoria ternatea L.) DENGAN METODE
PERMUKAAN TANGGAP

ABDULLAH MUZI MARPAUNG

Tugas Akhir
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Profesi pada
Program Studi Magister Profesi Teknologi Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
x

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tugas Akhir : Dr. Ir. Nancy Dewi Yuliana, MSc
Judul Tugas Akhir : Optimasi Proses Ekstraksi Antosianin Bunga Teleng (Clitoria
ternatea L.) dengan Metode Permukaan Tanggap
Nama : Abdullah Muzi Marpaung
NRP : F 252100105

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MS Dr. Ir. Endang Prangdimurti, MS


Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Magister Dekan Sekolah Pascasarjan


Profesi Teknologi Pangan

Dr.Ir. Lilis Nuraida, MSc Dr.Ir Dahrul Syah, MSc. Agr.

Tanggal Ujian :
14 Agustus 2012 Tanggal Lulus :
PRAKATA

Segala puji bagi Allah SWT semata atas segala sesuatu yang telah, sedang dan
akan terjadi pada setiap detail kehidupan ini, khususnya atas perkenan Allah bagi
terselesaikannya tugas akhir ini.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Nuri Andarwulan MS dan Ibu
Dr. Ir. Endang Prangdimurti MS selaku pembimbing, atas masukan dan diskusi yang
inspiratif dan mendalam sehingga tugas akhir ini berkembang menjadi bentuknya yang
sekarang. Terima kasih pula disampaikan kepada ayah, ibu, istri, anak dan keluarga
besar atas doa, kasih sayang, kehangatan dan dukungannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2012

Abdullah Muzi Marpaung


RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pulau Bintan Kepulauan Riau pada tanggal 23 Juni 1967 dari
ayah Parlindungan Marpaung B.Ac dan Ibu Rahma Harahap. Penulis merupakan putera
pertama dari enam bersaudara.
Tahun 1990 penulis lulus dari Jurusan Pengolahan Hasil Pertanian Fakultas
Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada. Setelah selama sekitar 12 tahun
berkarier sebagai profesional di industri makanan, tahun 2003 penulis memulai
usahanya sendiri di bidang pembelajaran sains yang inovatif hingga sekarang. Sejak
tahun 2006 penulis juga aktif menulis sejumlah buku eksperimen sains untuk anak-anak
dan memberikan pelatihan pembelajaran sains berbasiskan eksperimen sains untuk guru.
Mulai tahun 2007, penulis juga menjadi staf pengajar pada Jurusan Teknologi
Pangan Fakultas Ilmu-ilmu Hayati Universitas Swiss German Tangerang.
DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL .................................................................................................... xix


DAFTAR GAMBAR................................................................................................. xxi
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... xxiii
I. PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
A. Latar Belakang.................................................................................................. 1
B. Tujuan............................................................................................................... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 3
A. Taksonomi dan Morfologi Bunga Teleng (Clitoria ternatea L.) ..................... 3
B. Manfaat Kelopak Bunga Teleng....................................................................... 4
C. Senyawa Fitokimia Pada Bunga Teleng dan Perannya Bagi Kesehatan .......... 8
D. Antosianin Pada Bunga Teleng ........................................................................ 11
E. Kestabilan Antosianin ...................................................................................... 14
F. Ekstraksi Antosianin......................................................................................... 19
G. Metode Permukaan Tanggap (Response Surface Methodology)...................... 21
III. BAHAN DAN METODOLOGI ............................................................................ 23
A. Bahan dan Alat ................................................................................................. 23
B. Metode Penelitian ............................................................................................. 24
C. Rancangan Percobaan....................................................................................... 26
D. Metode Analisis................................................................................................ 27
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 31
A. Optimasi Proses Ekstraksi dan Verifikasi Proses Optimal ............................... 31
B. Karakterisasi Ekstrak Bunga Teleng ................................................................ 39
V. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 55
A. Kesimpulan....................................................................................................... 55
B. Saran ................................................................................................................. 55
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................. 57
LAMPIRAN ................................................................................................................ 65
DAFTAR TABEL

Halaman

1 Pemanfaatan bunga teleng untuk pengobatan secara tradisional di berbagai negara 6


2 Manfaat ekstrak bunga teleng bagi kesehatan menurut berbagai penelitian ............ 7
3 Senyawa-senyawa flavonoid pada kelopak bunga teleng......................................... 9
4 Enam jenis antosianidin yang paling umum.............................................................. 12
5 Gugus R pada struktur kimia berbagai jenis ternatin ................................................ 14
6 Berbagai macam proses ekstraksi antosianin bunga teleng....................................... 20
7 Rancangan percobaan Box-Behnken untuk 3 faktor ................................................ 22
8 Faktor dan taraf yang dipelajari di dalam penelitian ................................................. 26
9 Rancangan percobaan dan respons yang diukur di dalam penelitian ........................ 27
10 Data hasil penelitian ekstraksi bunga teleng............................................................ 32
11 Model dan model persamaan yang menghubungkan antara respons dengan
semua faktor yang dipelajari................................................................................... 32
12 Hasil uji korelasi antara volum ekstrak, kadar antosianin dan total fenol ............... 38
13 Hasil verifikasi proses ekstraksi pada kondisi optimum (lama blansir 6 menit,
suhu ekstraksi 60oC dan lama ekstraksi 30 menit) dengan nilai yang diprediksi
sesuai model............................................................................................................ 39
14 Absorbansi warna ekstrak bunga teleng pH 1 hingga 14 selama penyimpanan
pada suhu ruang ..................................................................................................... 49
15 Absorbansi warna ekstrak bunga teleng pH 1 hingga 14 selama penyimpanan
pada suhu 4oC ......................................................................................................... 52
DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Tanaman dan kelopak bunga teleng (Clitoria ternatea L.) ...................................... 3


2 Struktur kimia antosianidin ...................................................................................... 11
3 Struktur kimia enam jenis antosianidin terpenting ................................................... 12
4 Struktur kimia dari Ternatin ..................................................................................... 13
5 Diagram alir optimasi proses ekstraksi antosianin bunga teleng.............................. 25
6 Permukaan tanggap (kiri) dan kontur (kanan) pengaruh lama blansir dan suhu
ekstraksi terhadap volum ekstrak pada lama ekstraksi 120 menit .......................... 33
7 Permukaan respons (kiri) dan kontur (kanan) pengaruh lama blansir dan suhu
ekstraksi terhadap kadar antosianin ekstrak pada lama ekstraksi 120 menit .......... 35
8 Permukaan respons (kiri) dan kontur (kanan) pengaruh lama blansir dan suhu
ekstraksi terhadap kadar total fenol ekstrak pada lama ekstraksi 120 menit .......... 36
9 Oksidasi quercetin menjadi ortho-quinone............................................................... 37
10 Absorbansi ekstrak bunga teleng hasil proses ekstraksi optimal............................ 40
11 Spektrum warna ekstrak bunga teleng pada pH 1 hingga 14. ................................... 42
12 Perubahan struktur antosianin pada berbagai pH ................................................... 42
13 Absorbansi ekstrak bunga teleng pada pH 1 hingga 7............................................ 43
14 Absorbansi ekstrak bunga teleng pada pH 8 hingga 14.......................................... 44
15 Absorbansi ekstrak bunga teleng pada pH 1, 4,5 dan 7 (kiri) dan aktivitas
antioksidannya (kanan) ........................................................................................... 46
16 Spektrum warna ekstrak bunga teleng pada pH 1 hingga 14 selama penyimpanan
pada suhu ruang ...................................................................................................... 48
17 Degradasi warna ekstrak bunga teleng pH 1 dan 2 yang disimpan pada suhu
ruang 50
18 Spektrum warna ekstrak bunga teleng pada pH 1 hingga 14 selama penyimpanan
pada suhu 4oC ......................................................................................................... 51
19 Degradasi warna ekstrak bunga teleng pH 3-6 yang disimpan pada suhu 4oC ..... 53
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman

1 Data hasil panen kelopak bunga teleng ................................................................... 66


2 Kurva baku asam galat ............................................................................................ 67
3 Data absorbansi untuk pengujian antosianin monomerik dan total fenol................ 68
4 Hasil Sidik Ragam atau Analysis of Variance (ANOVA) ...................................... 69
5 Statistika deskriptif kadar air kelopak bunga teleng................................................ 74
6 Korelasi antar 2 Respons ......................................................................................... 75
7 Kurva baku DPPH ................................................................................................... 77
8 Optimasi Proses Pada Software Design Expert 8.0.7.1 ........................................... 78
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Antosianin adalah kelompok pigmen larut air terbesar yang terdapat pada
tumbuhan. Pigmen ini dijumpai pada berbagai bagian tumbuhan, seperti daun, bunga,
buah, batang dan akar. Hingga saat ini terdapat lebih dari 540 jenis antosianin yang
berhasil diidentifikasi (Anderson & Francis 2004, diacu dalam Wrolstad et al 2005).
Jumlah ini kemungkinan akan terus bertambah oleh karena identifikasi jenis antosianin
yang baru masih terus dilakukan.
Manfaat antosianin bagi kesehatan tubuh telah banyak dilaporkan. Selain sebagai
antioksidan yang berfungsi menangkap radikal bebas, antosianin juga berperan di dalam
pemeliharaan jaringan mata (Ghosh & Konishi 2007), antidiabetes, anti inflamasi,
menjaga sistem imun dan mencegah agregasi trombosit (Mukherjee et al. 2008).
Sementara itu Morris (2009) menambahkan bahwa antosianin dapat berfungsi sebagai
analgesik dan memiliki kemampuan mencegah kanker.
Antosianin terdapat pada banyak jenis tanaman pangan, meliputi 27 keluarga
(Gosh & Konishi 2007). Salah satu sumber antosianin yang potensial adalah kelopak
bunga teleng (Clitoria ternatea L.) Penelitian yang dilakukan oleh Vankar & Srivastava
(2010) terhadap 15 jenis bunga menunjukkan bahwa bunga teleng tergolong jenis bunga
yang mengandung antosianin relatif tinggi, dengan kandungan sebesar 227,42 mg/kg
bunga segar.
Bunga teleng secara tradisional telah dimanfaatkan baik sebagai pewarna alami,
sebagai bahan pangan yang berkhasiat, maupun obat. Masyarakat di wilayah Kerala,
India dan Filipina terbiasa mengonsumsi bunga teleng segar (Lee et al. 2011).
Sementara itu, di Thailand bunga teleng kering telah dijual secara komersial. Sedangkan
ekstraknya telah diaplikasikan pada berbagai produk seperti sampo dan lotion.
Sebagaimana kebanyakan pigmen alami, antosianin bersifat tidak stabil. Pada
keadaan netral antosianin berwarna biru, pada keadaan asam berwarna ungu hingga
merah dan pada keadaan basa berwarna hijau hingga kuning. Selain tidak stabil
terhadap pengaruh pH, antosianin juga mudah rusak dikarenakan oleh panas, cahaya,
2

oksigen, enzim, dan gula (Rein 2005). Kestabilan antosianin juga dipengaruhi oleh
konsentrasinya serta keberadaan senyawa lain seperti flavonoid, protein, dan mineral
(Rein 2005).
Penelitian terhadap ekstrak bunga teleng menunjukkan bahwa kandungan
antosianin di dalam ekstrak bunga tersebut mengalami penurunan, baik selama proses
pengolahan maupun selama penyimpanan. Kestabilan antosianin tersebut dipengaruhi
oleh sejumlah faktor, di antaranya suhu proses (Lee et al. 2011), suhu penyimpanan
(Tantituvanont et al. 2008, Wongsangta et al. 2009, Chaovanalikit et al. 2009, Lee et al.
2011), cahaya (Tantituvanont et al. 2008, Lee et al. 2011), pH (Tantituvanont et al.
2008, Chaovanalikit et al. 2009) dan keberadaan ion (Wongsangta et al. 2009).
Sementara itu Lee et al. (2011) juga melaporkan bahwa kestabilan antosianin bunga
teleng dapat ditingkatkan dengan penambahan asam benzoat.
Berkenaan dengan sifatnya yang relatif tidak stabil tersebut, proses ekstraksi
antosianin pada bunga teleng perlu diatur agar diperoleh hasil yang optimal, baik dalam
jumlah maupun stabilitas antosianin yang dihasilkan. Penelitian Tulyathan et al. (1993)
menunjukkan bahwa prosedur ekstraksi kelopak bunga teleng terbaik ialah pada pH 4,5,
lama ekstraksi 70 menit dan rasio bunga kering terhadap pelarut (HCl 0,1 %) 3 : 120
disertai pengadukan.
Untuk mendapatkan optimasi proses ekstraksi yang lebih spesifik, penelitian
lanjutan perlu dilakukan dengan menyertakan faktor-faktor baru yang diperkirakan
memberikan pengaruh terhadap hasil ekstraksi, yaitu suhu dan perlakuan blansir.
Metode permukaan tanggap digunakan sebagai upaya mendapatkan parameter proses
ekstraksi yang spesifik.

B. Tujuan

1. Mempelajari pengaruh waktu blansir, suhu dan lama ekstraksi terhadap


kandungan antosianin dan total fenol pada ekstrak bunga teleng
2. Optimasi prosedur ekstraksi dengan metode permukaan tanggap
3. Mempelajari hubungan struktur kimia antosianin bunga teleng terhadap
aktivitas antioksidannya.
4. Mempelajari kestabilan warna ekstrak bunga teleng selama penyimpanan
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Taksonomi dan Morfologi Bunga Teleng (Clitoria ternatea L.)

Bunga teleng atau disebut juga bunga telang (Clitoria ternatea L.) adalah sejenis
tanaman merambat dari keluarga Fabaceae atau polong-polongan. Tanaman ini
diperkirakan berasal dari Asia Tenggara, kemudian menyebar luas ke wilayah Amerika
Tengah dan Selatan, India dan China. Nama ternatea sendiri berasal dari Ternate,
sebuah pulau di wilayah Provinsi Maluku Utara, Indonesia. Di Indonesia tanaman ini
juga disebut sebagai bunga biru, disebabkan oleh kelopak bunganya yang berwarna biru
(Gambar 1).

Gambar 1 Tanaman dan kelopak bunga teleng (Clitoria ternatea L.)


4

Meski dikenal sebagai tanaman yang memiliki bunga berwarna biru,


sesungguhnya terdapat satu lagi varietas bunga teleng, yakni varietas dengan bunga
berwarna putih. Manfaat bagi kesehatan dari bunga teleng yang berwarna biru, lebih
penting dibandingkan dengan bunga teleng yang berwarna putih (Solanki & Jain 2010).
Nama Clitoria ternatea berasal dari Flos clitoridis ternatensibus yang
diperkenalkan oleh Jacob Breyne pada tahun 1678 (Fantz 1991). Jacob Breyne adalah
seorang ahli botani keturunan Jerman-Polandia yang pernah bekerja untuk VOC
(Vereenigde Oostindische Compagnie) pada abad ke 17. Setelah sistem penamaan
Linnaeus ditemukan dan digunakan secara internasional, nama bunga ini menjadi
Clitoria ternatea L.
Klasifikasi bunga teleng di dalam taksonomi adalah sebagai berikut.
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Division : Spermatophyta
Sub Division : Magnoliphyta
Class : Magnoliopsida
Subclass : Rosidae
Order : Fabales
Family : Fabaceae
Genus : Clitoria
Species : Clitoria ternatea L.

Tanaman ini biasanya ditanam di pekarangan sebagai tanaman hias. Bunganya


sudah mulai bermunculan, sekitar usia 4 hingga 6 minggu setelah bertunas. Jika suhu
sesuai dan kadar air di dalam tanah mencukupi, maka tanaman ini akan terus berbunga
setiap hari di sepanjang tahun. Jika bunga dibiarkan maka akan menjadi buah. Buahnya
berbentuk polong dengan panjang 5 7 cm. Masing-masing polong berisikan 6 hingga
10 biji.

B. Manfaat Kelopak Bunga Teleng

Bunga teleng adalah tanaman yang memiliki banyak manfaat. Seluruh bagian dari
tanaman ini memiliki kegunaan bagi kehidupan manusia, khususnya untuk kesehatan.
Bagian akar, batang, daun dan kelopak bunga teleng merupakan salah satu komponen
5

utama pada pengobatan kuno India yang disebut dengan pengobatan ayurveda. Sistem
pengobatan ini sudah dikenal sejak masa kitab Veda atau Weda ditulis yaitu sekitar
tahun 1700 hingga 1100 sebelum masehi. Ayurveda sendiri bermakna Ilmu pengetahuan
lengkap untuk hidup panjang.

1. Kelopak Bunga Teleng Sebagai Pewarna Alami


Pemanfaatan bunga teleng secara tradisional baik sebagai pewarna pangan dan
non pangan, maupun untuk tujuan kesehatan dapat ditelusuri hingga ke banyak negara.
Sejak berabad lalu masyarakat di Pulau Ambon Indonesia memasak nasi dengan
ditambahkan bunga teleng untuk menghasilkan nasi yang berwarna biru (Rumpf 1747
diacu dalam Fantz 1991). Di Malaysia ekstrak bunga teleng digunakan untuk mewarnai
penganan yang terbuat dari nasi (Lee et al. 2011) yang dikenal dengan nama nasi kerabu
(Eckhardt 2011). Penggunaan ekstrak bunga teleng sebagai pewarna makanan juga telah
lama dilakukan di, Thailand dan Myanmar. Masyarakat di Lembah Manipur, India
menggunakan ekstrak bunga teleng sebagai cat untuk melukis (Sharma et al. 2005). Di
Thailand ekstrak bunga teleng digunakan untuk mewarnai rambut yang berwarna kelabu
(Tantituvanont et al. 2008). Sementara itu masyarakat di wilayah Kerala, India dan
Filipina mengonsumsi bunga teleng sebagai lalapan (Lee et al. 2011).
Meskipun telah sering digunakan sebagai pewarna secara tradisional,
komersialisasi antosianin bunga teleng sebagai pewarna alami makanan belum
dilakukan. Hal ini disebabkan oleh sifat antosianin yang labil terhadap berbagai faktor
(Tantituvanont et al. 2008).

2. Manfaat Kelopak Bunga Teleng Bagi Kesehatan


Manfaat bunga teleng sebagai obat tradisional telah diakui sejak lama oleh banyak
bangsa, khususnya India. Rangkuman manfaat bunga teleng tersebut dari berbagai
referensi disajikan pada Tabel 1.
Pemanfaatan tanaman bunga teleng yang luas di bidang pengobatan tradisional
menarik minat kalangan peneliti di berbagai belahan dunia untuk mempelajarinya secara
lebih mendalam dan spesifik untuk mengungkapkan potensi yang sesungguhnya dari
bunga yang eksotik ini.
6

Tabel 1 Pemanfaatan bunga teleng untuk pengobatan secara tradisional di berbagai


negara

Manfaat Negara Referensi


Mengurangi perih akibat India Agrawal et al. (2007) diacu
gigitan serangga dalam Chahal et al. (2010)
Mengobati penyakit kulit India Agrawal et al. (2007) diacu
dalam Chahal et al. (2010)
Penawar bisa ular India Parrotta (2001) diacu dalam
Patil & Patil (2011), Immanuel
& Elisabeth (2009)
Penawar sengatan India Parrotta (2001) diacu dalam
kalajengking Patil & Patil (2011)
Mengobati infeksi mata Tamil-India, Ragupathy & Newmaster
(2009), Immanuel & Elisabeth
(2009)
Obat sakit kepala Tamil- India Ragupathy & Newmaster
(2009), Immanuel & Elisabeth
(2009)
Mengobati gangguan Tamil- India Immanuel & Elisabeth (2009)
pencernaan
Obat cacar Tamil- India Immanuel & Elisabeth (2009)
Obat gatal Tamil- India Immanuel & Elisabeth (2009)
Obat kutil Tamil- India Immanuel & Elisabeth (2009)
Obat cacing Tamil- India Immanuel & Elisabeth (2009)
Obat sakit disentri Kuba Morton (1983) diacu dalam
Fantz (1991)
Mengobati iritasi mata dan Betawi,
menjernihkan mata Indonesia

Penelitian terhadap komposisi kimia kelopak bunga teleng menunjukkan bahwa


bunga ini kaya akan senyawa fitokimia yang memiliki efek positif bagi kesehatan.
Penelitian secara klinis juga membuktikan bahwa kelopak bunga teleng memiliki
manfaat yang luas bagi kesehatan manusia, sebagaimana tersaji pada Tabel 2.
Penelitian yang dilakukan oleh Uma et al. (2009) menunjukkan bahwa ekstrak air,
metanol dan kloroform dari kelopak bunga teleng mampu menghambat pertumbuhan
beberapa jenis bakteri penghasil extended-spectrum beta-lactamase (ESBL), seperti
Eschericia coli, enterotoxigenic E. Coli (ETEC), enteropathogenic E. Coli (EPEC),
Klebsiella pneumoniae dan Pseudomonas aureginosa. Hasil penelitian ini
7

mengungkapkan potensi ekstrak bunga teleng untuk melawan infeksi yang disebabkan
oleh bakteri yang resisten terhadap antibiotika seperti penisilin.

Tabel 2 Manfaat ekstrak bunga teleng bagi kesehatan menurut berbagai penelitian

Jenis Pelarut Manfaat Referensi


Air Antioksidan Zheng & Wang (2001) diacu
dalam Chahal et al. (2010),
Kamkaen & Wilkinson (2009)
Rao et al. (2009)
Kaisoon et al (2011)
Etanol Antioksidan Kamkaen & Wilkinson (2009)
HCl-Metanol Antioksidan Shankar & Srivastava (2010)
Air Antidiabetes Daisy & Rajathi (2009)
Etanol Menurunkan gula darah pada Sharma & Majumdar (1990) diacu
tikus dalam Patil & Patil (2011)
Air Menurunkan kadar lemak Daisy & Rajathi (2009)
tubuh
Petroleum eter Anti inflamasi Shyamkumar dan Ishwar (2012)
Petroleum eter Analgesik Shyamkumar dan Ishwar (2012)
Air Analgesik Morris (2009)
Air Menjaga sistem imun tubuh Daisy & Rajathi (2009)
Air Mencegah kanker Morris (2009)
Air Mengurangi infeksi saluran Morris (2009)
pernapasan atas
Air, metanol atau Antimikrobia Uma et al. (2009)
kloroform

Daisy et al. (2009) melaporkan bahwa ekstrak kelopak dan daun bunga teleng
menunjukkan kemampuan untuk menurunkan gula darah, hemoglobin terglikolasi, total
kolesterol, trigliserida, urea, kreatinin, dan aktivitas enzim glukosa-6-fosfatase pada
tikus yang diamati selama 84 hari. Pada saat yang sama juga terlihat peran kelopak dan
daun bunga teleng untuk meningkatkan insulin darah, kolesterol HDL, protein,
kandungan glikogen pada liver dan otot rangka serta aktivitas enzim glukokinase. Hasil
ini menunjukkan potensi bunga teleng di dalam membantu penderita diabetes tipe I
yang mengalami kerusakan kerja pankreas sehingga tidak dapat menghasilkan hormon
insulin.
Pada penelitian lain dilaporkan bahwa kelopak bunga teleng mampu
meningkatkan jumlah sel darah putih, sel darah merah, T-limfosit dan B-limfosit pada
tikus percobaan secara signifikan (Daisy et al. 2004 diacu dalam Chahal et al. 2010).
8

Hal ini mengindikasikan peran kelopak bunga teleng sebagai immunomodulator pada
sistem imun tubuh.

C. Senyawa Fitokimia Pada Bunga Teleng dan Perannya Bagi


Kesehatan

Fitokimia adalah semua senyawa alami pada tanaman yang memiliki efek
fisiologis yang positif bagi manusia. Di antara fitokimia yang terpenting adalah
senyawa-senyawa fenol, khususnya dari golongan flavonoid atau polifenol. Senyawa
flavonoid memiliki struktur kimia yang khas, yakni terdiri dari 15 atom karbon yang
tersusun dalam kerangka C6-C3-C6. Berdasarkan perbedaan pada cincin furannya
flavonoid dibagi menjadi 5 kelompok, yaitu antosianin, flavanol, flavanon, flavon dan
flavonol. Manfaat flavonoid bagi kesehatan telah sangat banyak diteliti. Salah satu yang
paling utama adalah kemampuan senyawa-senyawa flavonoid berperan sebagai
antioksidan yang efektif dan penangkap radikal bebas (Andersen & Markham 2006).
Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa di dalam kelopak bunga teleng
dijumpai beragam senyawa flavonoid, yang menjadikan bunga teleng memiliki potensi
besar untuk berkontribusi di dalam pemeliharaan kesehatan manusia. Beberapa senyawa
flavonoid penting yang telah berhasil diidentifikasi pada kelopak bunga teleng
disajikan pada Tabel 3.
Penelitian selama 8 tahun menunjukkan bahwa senyawa kaempferol, myricetin
dan quercetin memiliki kemampuan mencegah kanker pankreas pada perokok
(Nothlings et al. 2007). Sementara itu quercetin juga dilaporkan mampu mengurangi
resiko terkena penyakit kardiovaskuler (Larson et al. 2010), infeksi saluran pernapasan
atas (Nieman et al. 2007 diacu dalam Morris 2009) dan menurunkan tekanan darah
pada penderita hipertensi (Edwards et al. 2007, Larson et al. 2010). Isoquercitrin, jika
digunakan bersama senyawa flavonol lain, secara klinis terbukti mampu mengurangi
sakit yang dialami oleh penderita penyakit pembuluh darah vena atau chronic
venntungous insufficiency (Schaefer et al. 2003 diacu dalam Morris 2009).
Quercetin dan isoquercitrin merupakan substansi antiradang yang efektif dan
memiliki potensi untuk melawan alergi (Rogerio et al. 2007 diacu dalam Morris 2009).
9

Delphinidin dilaporkan memiliki kemampuan untuk mencegah kanker payudara


(Singletary et al. diacu dalam Morris 2009). Menurut Srivastava et al. (2007) yang
diacu dalam Morris (2009) delphinidin dan malvidin mungkin melawan kanker dengan
cara mendorong terjadinya apoptosis.

Tabel 3 Senyawa-senyawa flavonoid pada kelopak bunga teleng

Golongan Senyawa Referensi


Flavonol kaempferol Ranaganayaki & Singh (1979) diacu
dalam Chahal et al. (2010), Kaisoon et
al. (2011)
kaempferol-3- Saito et al. 1985 diacu dalam Chahal
glucoside (astragalin) et al. 2010, Kazuma et al. (2003)
kaempferol-3-O- Saito et al. 1985 diacu dalam Chahal et
robinoside-7-O- al. 2010
rhamnoside (robinin) Chauhan et al. (2012)
kaempferol- 3- Chauhan et al. (2012)
rutinoside
kaempferol-3- Chauhan et al. (2012)
neohesperidoside
kaempferol-3- Kaisoon et al. (2011)
orhamnosyl glucoside Kazuma et al. (2003)
(clitorin)
myricetin
myricetin 3-O--
glucoside
quercetin Saito et al. (1985) diacu dalam Chahal et
al. (2010)
quercetin 3-glucoside Saito et al. (1985) diacu dalam Chahal et
al. (2010), Kazuma et al. (2003)
isoquercitrin Kaisoon et al. (2011)
rutin
Antosianidin delphinidin Anonim (2005) diacu dalam Chauhan et
al. (2012)
petunidin Morris (2009)
malvidin Anonim (2005) diacu dalam Chauhan et
al. (2012)
Antosianin ternatin Terahara et al. (1990) diacu dalam
Chahal et al. (2010)
10

Delphinidin dan petunidin mampu mencegah pertumbuhan sel kanker masing-


masing sebesar 66% dan 53 % (Zhang et al. 2005 diacu dalam Morris 2009). Ternatin
dilaporkan menunjukkan kemampuan menurunkan berat badan lemak pada tikus
(Shimokawa et al. 2007 diacu dalam Morris 2009). Sementara itu, robinin dilaporkan
merupakan senyawa antioksidan yang potensial (Lau et al. 2005 diacu dalam Morris
2009). Pada penelitian lain dilaporkan bahwa astragalin mampu menghambat radang
selular yang ditimbulkan oleh bakteri periodontal sehingga diperkirakan mampu
mencegah periodontosis atau infeksi pada jaringan penyangga gigi (Kou et al. 2008
diacu dalam Morris 2009). Senyawa flavonoid lain, yaitu rutin, dilaporkan memberikan
efek perlindungan terhadap radang lambung pada tikus percobaan dengan cara
menangkap spesies oksigen reaktif yang dihasilkan oleh kerusakan pada lambung
(Hussain et al. 2009)
Selain senyawa-senyawa flavonoid, pada bunga teleng juga terdapat senyawa -
sitosterol yang dilaporkan mampu menginaktivasi virus HIV, influenza, herpes dan
poxvirus (Kotwal 2007 diacu dalam Morris 2009).
Dari sejumlah senyawa flavonoid yang terdapat pada bunga teleng, antosianin
adalah yang paling utama. Antosianin adalah jenis flavonoid yang paling berlimpah
terdapat pada buah dan sayur. Manfaatnya terhadap kesehatan manusia telah banyak
dilaporkan. Sejumlah peneliti melaporkan bahwa antosianin merupakan antioksidan
yang kuat (Rein 2005), disebabkan oleh kemampuannya untuk menyumbang hidrogen
kepada radikal dan membantu mengakhiri reaksi radikal berantai (Rice-Evans et al.
1996). Aktivitas antioksidan ini bergantung kepada jumlah dan susunan gugus hidroksil
dan gula terkonjugasi (Wang et al. 2006 diacu dalam Trost et al. 2009).
Antosianin juga dilaporkan memiliki kemampuan untuk mencegah kanker (Wang
& Stoner 2008), memperlambat penuaan, menghambat penyakit neurologis, inflamasi,
diabetes dan infeksi bakteri (Mazza et al. 2002 diacu dalam Rhone & Basu 2008). Pada
sejumlah penelitian disebutkan bahwa antosianin bunga teleng merupakan antioksidan
yang potensial. Vankar & Srivastava (2010) melakukan penelitian terhadap aktivitas
antioksidasi pigmen antosianin yang diekstrak dari 15 macam bunga. Hasilnya
menunjukkan bahwa aktivitas antioksidasi antosianin bunga teleng merupakan nomor
dua tertinggi setelah bunga jam 4 sore (Mirabilis jalapa) dengan kemampuan
11

menghambat radikal DPPH sebesar 86 %. Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh
Rao et al. (2009) menunjukkan bahwa ekstrak bunga teleng memiliki kemampuan
antioksidasi yang lebih baik dibandingkan dengan ekstrak urang-aring (Eclipta
prostrata L.)
Pigmen antosianin bunga teleng yang diekstraksi dengan pelarut yang berbeda
memiliki aktivitas antioksidan yang berbeda. Hasil ekstraksi dengan air menunjukkan
aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang diekstraksi dengan
etanol (Kamkaen & Wilkinson 2009).

D. Antosianin Pada Bunga Teleng

Antosianin merupakan pigmen warna yang terdiri dari banyak jenis, dengan
rentang warna yang luas meliputi warna merah, ungu, biru, kuning dan tak berwarna.
Secara umum antosianin terdiri dari dua gugus, yaitu gugus antosianidin dan gugus
glikosida. Gugus glikosida pada antosianin dapat berupa glukosa, ramnosa, silosa,
galaktosa, arabinosa dan fruktosa, baik dalam bentuk monoglikosida, diglikosida dan
terasilasi (Kahkonen & Heinonen 2003). Gugus glikosida tersebut umumnya terletak
pada karbon ke 3 dan 5, sedangkan sebagian kecil pada karbon ke 7, 3 and 5
(Macheix et al. 1990 diacu dalam Kahkonen & Heinonen 2003).
Sebagaimana halnya flavonoid yang lain, antosianidin tersusun oleh kerangka C 6-
C3-C6 seperti terlihat pada Gambar 2 (Nakajima et al. 2004). Menurut Rein (2005)

R1
OH

+ B
HO O
R2
A
OH
OH

Gambar 2 Struktur kimia antosianidin


12

terdapat 22 jenis antosianidin yang terjadi secara alami dan enam di antaranya
ditemukan dalam jumlah paling banyak (Tabel 4). Struktur kimia dari keenam jenis
antosianidin tersebut dapat dilihat pada Gambar 3 (Rein 2005). Jenis antosianidin inilah
yang menentukan warna dari antosianin. Semakin banyak gugus hidroksil pada
antosianidin, warna akan semakin biru, sedangkan semakin banyak gugus metoksil,
warna akan semakin merah (Nayak, 2011).

Tabel 4 Enam jenis antosianidin yang paling umum

Nama Pola Substitusi Warna


R1 R2
Cyanidin (Cy) OH H jingga-merah
Delphinidin (Dp) OH OH biru-merah
Malvidin (Mv) OMe OMe biru-merah
Pelargonidin (Pg) H H Jingga
Peonidin (Pn) OMe H jingga-merah
Petunidin (Pt) OMe OH biru-merah
Sumber: Nakajima et al. (2004), Rein (2005)

Antosianidin amat jarang dijumpai di alam secara bebas. Umumnya senyawa ini
berada dalam bentuk terglikosilasi sebagai antosianin (Rein 2005). Reaksi glikosilasi ini
membuat antosianin lebih mudah larut dan stabil di dalam air dibandingkan antosianidin
(Rein 2005).
OH OH OCH3

+ OH OH
HO O
+ +
HO O HO O
OH
OH OH OH
OH OH

Pelargonidin
Cyanidin Peonidin

OH
OCH3
OH OH
OH
+
OH
HO O
OH +
HO O +
OCH3 HO O
OCH3
OH
OH
OH OH
OH
OH
Delphinidin Malvidin Petunidin

Gambar 3 Struktur kimia enam jenis antosianidin terpenting


13

Pada bunga teleng antosianin yang paling banyak ditemukan adalah ternatin,
yang terdiri dari delphinidin sebagai antosianidin aglikon dan gugus glikosida yang
terpoliasilasi. Terpoliasilasi artinya gugus glikosida memiliki dua atau lebih gugus asil
aromatik.. Secara umum antosianin terpoliasetiliasi memiliki kestabilan yang lebih baik
pada berbagai kondisi dan memiliki intensitas warna biru lebih tinggi dibandingkan
dengan yang tidak terpoliasetilasi (Suzuki et al. 2007).

Gambar 4 Struktur kimia dari Ternatin

Hingga saat ini sudah ada 15 jenis senyawa ternatin yang diidentifikasi pada
ekstrak bunga teleng. Ternatin A1, A2, B1, B2, D1 dan D2 berhasil diisolasi oleh
Terahara et al. (1990) yang diacu dalam Wongcharee et al. (2006). Struktur kimia
umum dari ternatin dapat dilihat pada Gambar 4 (Terahara et al. 1990 diacu dalam
Wongcharee et al. 2006). Perbedaan antara jenis ternatin yang satu dengan yang lain
ada pada gugus R (Tabel 5). Lima senyawa ternatin yang lain, yaitu ternatins A3, B4,
B3, B2, and D2 berhasil diisolasi oleh Terahara et al. (1996). Selanjutnya identifikasi
pada bunga teleng muda berhasil mendapatkan 8 macam senyawa antosianin, yaitu
ternatin C1, C2, C3, C4, C5, and D3 and preternatins A3 and C4 (Terahara et al. 1998).
Di antara beragam senyawa ternatin tersebut, ternatin A1 adalah yang paling berlimpah
(Terahara et al. 1990 dalam Wongcharee et al. 2006).
14

Tabel 5 Gugus R pada struktur kimia berbagai jenis ternatin

Jenis Ternatin Gugus R


Ternatin A1 -CGCG or CGCG
Ternatin A2 -CGCG or CG
Ternatin B1 -CGCG or CGC
Ternatin B2 -CGC or CG
Ternatin D1 -CGC or CGC
Ternatin D2 -CGC or -C
Keterangan C = asam p-kumarat, G = Glukosa
Sumber : Terahara et al. (1990) diacu dalam Wongcharee et al. (2006)

E. Kestabilan Antosianin

Sebagaimana halnya dengan pewarna alami lain, antosianin bersifat tidak stabil
terhadap berbagai faktor. Secara umum kestabilan antosianin dipengaruhi oleh struktur
kimianya. Secara alami antosianin terdapat dalam empat bentuk, yaitu kation flavilium
yang berwarna merah, basa kuinonoidal yang berwarna biru, hemiketal dan chalcone
yang tak berwarna. Bentuk kation flavilium adalah yang paling stabil. Beberapa faktor
yang berpengaruh terhadap kestabilan antosianin adalah jenis antosiainidin, konsentrasi,
pH, suhu, cahaya, keberadaan kopigmentasi, ion logam, enzim, asam askorbat dan
oksigen (Rein 2005).
Kestabilan antosianin dapat ditingkatkan melalui kopigmentasi. Di dalam
kopigmentasi molekul antosianin bereaksi dengan komponen alamiah lain pada
tanaman secara langsung atau melalui interaksi yang lemah dan menghasilkan warna
yang lebih kuat dan stabil (Darias-Martin et al. 2002 diacu dalam Rein 2005).

1. Pengaruh jenis antosianidin, gugus glikosil dan gugus asil


Kestabilan antosianin dipengaruhi oleh jenis antosianidinnya. Secara umum
antosianidin yang memiliki gugus hidroksil lebih banyak memiliki kestabilan yang lebih
baik. Dengan demikian, delphinidin adalah yang paling stabil di antara jenis antosiandin
yang lain. Akan tetapi, beberapa penelitian menunjukkan adanya pengecualian-
pengecualian. Di antaranya di dalam larutan buffer pH 3.1 kestabilan cyanidin-3-
glucoside yang memiliki 5 gugus hidroksil lebih baik dibandingkan delphinidin 3-
glucoside yang memiliki 6 gugus hidroksil. Begitu pula dengan peonidin-3-glucoside
15

yang memiliki 4 gugus hidroksil menunjukkan kestabilan lebih baik dibandingkan


dengan petunidin-3-glucoside yang memiliki 5 gugus hidroksil (Cabrita et al. 2000
diacu dalam Rein 2005). Kehadiran gugus metoksil dilaporkan menurunkan kestabilan
antosianin. Petunidin-3-glucoside yang memiliki gugus metoksil pada atom C-5 (gugus
R2 pada Gambar 2) memiliki kestabilan lebih rendah dibandingkan cyanidin-3-
glucoside yang memiliki gugus hidrogen, begitu juga halnya dengan peonidin-3-
glucoside yang lebih stabil dibandingkan malvidin-3-glucoside (Cabrita et al. 2000
diacu dalam Rein 2005). Kembali, terdapat pengecualian juga pada pola ini. Dilaporkan
bahwa malvidin lebih stabil dibandingkan pelargonidin (Mulinacci et al. 2001 diacu
dalam Rein 2005) sedangkan peonidin-3-glucoside lebih stabil dibandingkan
pelargonidin-3-glucoside (Cabrita et al. 2000 diacu dalam Rein 2005).
Keberadaan gugus glikosil meningkatkan kestabilan antosianin. Jadi, antosianin
lebih stabil dibandingkan dengan bentuk aglikonnya yaitu antosianidin. Stabilitas warna
cyanidin lebih baik dibandingkan dengan malvidin, tetapi lebih rendah dibandingkan
dengan malvidin-3-glukosida (Mazza dan Brouillard 1987 diacu dalam Rein 2005).
Jenis gugus glikosil juga memberikan pengaruh terhadap kestabilan antosianin.
Antosianin buah cranberry yang memiliki gugus glikosil galaktosa bersifat lebih stabil
dibandingkan dengan yang memiliki gugus glikosil arabinosa (Starr & Francis 1968
diacu dalam Rein 2005). Antosianin yang memiliki gugus disakarida bersifat lebih stabil
daripada yang memiliki gugus monosakarida (Broennum-Hansen & Flink 1985 diacu
dalam Rein 2005).
Gugus asil juga meningkatkan kestabilan antosianin. Antosianin bunga
Tradescantia pallida, bersifat lebih stabil dibandingkan antosianin anggur concord dan
kol ungu, diperkirakan karena pola asilasi yang beragam (Baublis et al. 1994 diacu
dalam Rein 2005). Antosianin terpoliasilasi lebih stabil dibandingkan dengan yang
termonoasilasi, baik pada pH asam maupun alkali (Asen 1976 diacu dalam Rein 2005).
Ekstrak lobak merah yang mengandung antosianin terdiasilasi dilaporkan bersifat lebih
stabil dibandingkan dengan ekstrak kentang kulit merah yang mengandung antosianin
termonoasilasi (Rodriguez-Saona et al. 1999 diacu dalam Rein 2005). Antosianin
dengan gugus asil-aromatik bersifat lebih stabil dibandingkan dengan yang memiliki
gugus asil-alifatik (Stintzing & Carle 2004 diacu dalam Rein 2005). Sementara itu
16

metoksilasi pada gugus asil mampu meningkatkan kestabilan antosianin terhadap


paparan panas (Sadilova et al. 2006 diacu dalam Nayak 2011).
Mekanisme gugus asil di dalam menstabilkan antosianin diperkirakan karena
gugus ini menghambat terjadinya reaksi hidrasi pada antosianin (Patras et al. 2010 diacu
dalam Nayak 2011).

2. Pengaruh pH
Pada pH rendah, struktur antosianin didominasi oleh bentuk kation flavilium.
Sejalan dengan kenaikan pH terjadi perubahan menjadi basa kuinonoidal. Sementara itu
reaksi dengan air akan mengubah kation flavilium menjadi hemiketal dan chalcone.
Pada pH kurang dari 3, yakni ketika bentuk dominan antosianin adalah kation
flavilium, pigmen ini bersifat lebih stabil terhadap kerusakan akibat oksidasi (Francis
1989 diacu dalam He, 2008).
Pengaruh pH terhadap kestabilan antosianin juga dipengaruhi oleh jenis
antosianin. Penelitian Fossen et al. (1998) terhadap petunin dan cyanidin-3-glucoside
menunjukkan karakteristik yang berbeda di antara kedua jenis antosianin ini. Kestabilan
cyanidin-3-glucoside menurun sejalan dengan kenaikan pH, dan mencapai kestabilan
paling rendah pada pH 6 atau lebih besar. Petunin menunjukkan pola yang serupa
hingga pH 6, akan tetapi kestabilannya meningkat mencapai maksimal pada pH 8.1.
Penelitian terhadap ekstrak bunga teleng dengan ternatin sebagai jenis antosianin
yang paling dominan menunjukkan hasil berbeda. Chaovanalikit et al. (2009)
melaporkan bahwa kestabilan warna ekstrak bunga teleng pH 2-10 yang dipanaskan
pada suhu 80 dan 90oC selama 2 jam hanya menurun secara signifikan pada ekstrak pH
8.

3. Pengaruh suhu
Suhu adalah salah satu faktor utama penyebab kerusakan antosianin. Kecepatan
degradasi antosianin meningkat sejalan dengan kenaikan suhu selama pengolahan dan
penyimpanan (Palamadis & Markakis 1978 diacu dalam Rein 2005). Secara umum
kenaikan suhu menyebabkan kenaikan degradasi antosianin secara logaritmik (Markakis
1982 diacu dalam Rein 2005).
17

Paparan suhu yang lebih tinggi menyebabkan kehilangan antosianin yang lebih
banyak (Tantituvanont et al. 2008). Lee et al. (2011) melaporkan bahwa ekstrak bunga
teleng yang disimpan pada suhu 5, 27, 37 dan 45oC mengalami penurunan warna biru
secara signifikan. Meski demikian laju penurunannya tidak mengikuti kinetika reaksi
orde 1. Penyimpanan pada suhu 5oC adalah yang paling stabil. Setelah 30 hari,
intensitas warna biru pada ekstrak bunga teleng masih tersisa 85 %. Lee et al. (2011)
juga mempelajari pengaruh suhu yang lebih tinggi terhadap kestabilan antosianin pada
ekstrak bunga teleng. Baik suhu 70, 100 dan 160 sama-sama menyebabkan penurunan
intensitas warna biru dengan mengikuti kinetika reaksi orde 1. Penurunan paling parah
terjadi pada suhu 160 C. Setelah pemanasan 20 menit, intensitas warna telah hilang
hingga 100 %.
Penelitian yang dilakukan oleh Tantituvanont et al. (2008) menunjukkan bahwa
ekstrak bunga teleng yang disimpan pada suhu 4oC lebih stabil dibandingkan yang
disimpan pada suhu kamar dan 40oC. Ketidakstabilan warna semakin besar jika ekstrak
disimpan pada pH 7 (netral).
Mekanisme kerusakan antosianin akibat panas mungkin melewati beberapa cara,
di antaranya melalui hidrolisis atau melalui perubahan terhadap kation flavilium.
Kenaikan suhu pada pH 2-4 menyebabkan lepasnya gugus glikosil dari antosianin
melalui hidrolisis ikatan glikosidik, sehingga antosianin berubah menjadi bentuk
aglikonnya yang bersifat tidak stabil (Adams 1973 diacu dalam Rein, 2005). Sementara
itu Francis (1989) diacu dalam He (2008) mengajukan hipotesis bahwa suhu yang lebih
tinggi akan menyebabkan perubahan kation flavilium yang stabil menjadi chalcone
yang tidak stabil, kemudian terbukanya cincin C pada chalcone akan menjadi jalan bagi
proses degradasi lebih lanjut yang menghasilkan substansi berwarna coklat.
Sejumlah peneliti merekomendasikan penyimpanan pada suhu rendah untuk
meningkatkan kestabilan antosianin. Tantituvanont et al. (2008) menyarankan
penyimpanan ekstrak bunga teleng pada suhu 4 oC.

4. Pengaruh oksigen dan oksidator


Kerusakan antosianin akibat panas dapat dikurangi dengan meniadakan oksigen
(Rein 2005). Sebaliknya dengan kehadiran oksigen kerusakan antosianin akibat panas
18

akan semakin parah. Kehadiran oksigen secara bersama-sama dengan suhu yang
meningkat merupakan faktor penyebab paling utama dari kerusakan antosianin
(Nebesky et al. 1949 diacu dalam Rein 2005). Akan tetapi pada penelitian lain
dilaporkan bahwa keberadaan oksigen pada periode awal penyimpanan dingin dapat
meningkatkan kandungan total fenol dan antosianin, sementara pada penyimpanan yang
lebih lama menyebabkan penurunan keduanya (Zheng et al. 2007 diacu dalam Byrnes
2011).
Sama halnya dengan oksigen, bahan pengoksidasi yang lain seperti peroksida dan
Vitamin C dapat merusak antosianin. Iversen (1999) melaporkan bahwa keberadaan
asam askorbat mempercepat terjadinya degradasi antosianin. Menurut Jurd 1972 (diacu
dalam Byrnes 2011), mekanisme degradasi antosianin oleh asam askorbat adalah
melalui kondensasi langsung dari asam askorbat pada posisi C4. Penggabungan ini
mengakibatkan antosianin dan asam askorbat mengalami kehilangan warna. Mekanisme
lain dari degradasi ini diusulkan oleh Iacobucci & Sweeny (1983) diacu dalam Byrnes
(2011), yang menyebutkan bahwa asam askorbat berperan sebagai aktivator oksigen dan
menghasilkan radikal bebas yang akan bereaksi dengan antosianin sehingga antosianin
menjadi kehilangan warna.

5. Pengaruh cahaya
Cahaya memiliki peran yang unik di dalam memberikan pengaruh terhadap
eksistensi antosianin. Cahaya merupakan faktor yang esensial di dalam biosintesis
antosianin, tetapi juga merupakan faktor yang mempercepat degradasi pigmen ini
(Markakis 1982 diacu dalam Rein 2005). Menurut Lee et al. (2011) cahaya
menyebabkan warna ekstrak bunga teleng semakin tidak stabil. Tantituvanont et al.
(2008) melaporkan bawah warna antosianin lebih stabil dalam kondisi gelap dan
paparan cahaya ultraviolet yang terbatas.

6. Pengaruh aktivitas air


Penurunan aktivitas air (Aw) dapat meningkatkan kestabilan antosianin. Pigmen
antosianin dalam bentuk kering menunjukkan kestabilan yang baik. Selain itu
kehilangan warna dapat juga diminimalisasikan melalui penyimpanan pada suhu rendah,
wadah yang gelap dan kemasan yang bebas oksigen.
19

7. Pengaruh faktor lain


Pengaruh bahan pengapsul terhadap kestabilan tepung ekstrak bunga teleng
dipelajari oleh Tantituvanont et al. (2008). Penelitian ini menunjukkan bahwa gelatin
mampu memproteksi antosianin pada ekstrak terhadap sinar UV, sedangkan
Hydroxylpropylmethyl Cellulose (HPMC) tidak. Baik gelatin maupun HPMC tidak
menunjukkan proteksi yang signifikan terhadap degradasi warna akibat panas.
Pengaruh bahan pengawet terhadap kestabilan antosianin telah pula dipelajari.
Penambahan Asam benzoat 0.02 % mampu meningkatkan kestabilan ekstrak bunga
teleng selama penyimpanan (Lee et al. 2011).

F. Ekstraksi Antosianin

Berbagai teknik ekstraksi antosianin pada bunga teleng telah banyak dilaporkan.
Ekstraksi antosianin tersebut ditujukan untuk penelitian lebih lanjut terhadap sifat
fungsional antosianin bunga teleng, ataupun penelitian terhadap kestabilan antosianin
selama penyimpanan. Tidak banyak penelitian yang melaporkan proses ekstraksi untuk
tujuan mengoptimalkan jumlah ekstrak dan kandungan antosianin yang diperoleh.
Umumnya ekstraksi tersebut dilakukan dengan menggunakan pelarut air. Hal ini
disebabkan oleh sifat antosianin bunga teleng yang larut dalam air dengan sangat baik.
Rangkuman cara ekstraksi antosianin pada bunga teleng disajikan pada Tabel 6.
Tahapan blansir atau blansir pada proses pengolahan buah dan sayur dilakukan
untuk berbagai tujuan, di antaranya untuk inaktivasi enzim dan perusakan dinding sel
buah dan sayur sehingga mempermudah keluarnya bahan aktif dari matriks jaringan.
Terdapat dua metode blansir yang umum dilakukan yaitu blansir air panas dan blansir
uap air.
Pengaruh perlakuan blansir sebelum proses ekstraksi pigmen antosianin pada
berbagai sumber tanaman telah banyak dipelajari. Rossi et al. (2003) melaporkan bahwa
perlakuan blansir uap dapat meningkatkan jumlah antosianin pada ekstrak buah
highbush blueberries (Vaccinium coymbosum L.) beku. Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Fang et al. (2006) juga menunjukkan hasil yang sejalan. Perlakuan blansir dapat
meningkatkan jumlah antosianin pada jus bayberry (Myrica rubra Sieb. Et Zucc.)
20

Tabel 6 Berbagai macam proses ekstraksi antosianin bunga teleng

Proses Ekstraksi

Tujuan Ekstraksi Referensi


Bahan Rasio pelarut : Penghan- Penga- Paparan Peme-
Pelarut pH Waktu Suhu (oC)
baku bunga (ml/g) curan dukan Cahaya katan

Kering air 60 tidak diatur - ruang X X V X Uji kestabilan Lee et al. (2011)

air +
Tantituvanont et
Segar methylparaben+prpoylp 40 tidak diatur - ruang V X V X Uji kestabilan
al. (2008)
araben

air, metanol,
Kering chloroform, petroleum 5 tidak diatur 3 hari ruang X V V V Uji sifat fungsional Uma et al. (2009)
ether, heksana
Vadlapudi &
Segar metanol - tidak diatur 2 hari ruang X V V V Uji sifat fungsional
Naidu (2010)
Daisy et al.
Kering Air 10 tidak diatur - 100 X X V V Uji sifat fungsional
(2009)
Sukkhamduang
Kering air- deionisasi 20 tidak diatur 30 menit 80 X X V X Uji kestabilan
et al. (2011)
0,1 % HCl dalam sampai larutan Vankar &
Segar tidak diukur 2 - 3 jam ruang X X X V Identifikasi
metanol jernih Srivastava (2010)

50% metanol + 0,1 % Na


Borat, 50 % metanol + Wongsangta et
Kering tidak diukur 1 jam ruang X X V X Uji kestabilan
0,2 M HCl + 0,1 % Na al. (2000)
Borat

Tulyathan et al.
Kering Asam klorida 120:3 4,5 70 menit - V V X Optimasi proses
(1993)
21

hingga 52-58 %. Heras-Ramirez et al. (2011) melaporkan bahwa perlakuan blansir


secara signifikan dapat meningkatkan jumlah antosianin yang diekstrak dari kulit apel.

G. Metode Permukaan Tanggap (Response Surface Methodology)

Metode permukaan tanggap adalah kumpulan teknik statistika dan matematika yang
digunakan untuk memodelkan respons yang dipengaruhi oleh 2 atau lebih faktor
(variabel bebas) dengan tujuan mengoptimalkan respons yang dimaksud. Kebanyakan
rancangan percobaan empiris mengasumsikan bahwa faktor-faktor hanya
memberikanefek terhadap respons secara individual, dan tidak ada interaksi antara
faktor-faktor tersebut. Metode permukaan tanggap mampu mengevaluasi adanya
interaksi di antara faktor. Metode permukaan tanggap telah digunakan secara luas
dibidang kimia, biologi dan pertanian terapan untuk memrediksikan kondisi optimum
dari suatu sistem (Liyana-Pathirana & Shahidi 2005 diacu dalam Huang et al. 2010).
Jika terdapat hubungan linear antara variabel bebas dengan respons, maka model
ordo 1 dapat digunakan mengikuti persamaan sebagai berikut.

= o+ iXi +

Dengan Y adalah respons, X adalah variabel bebas, o adalah intersep dan i


adalah koefisien linier dan adalah galat.
Jika hubungan antara variabel bebas dan respons berbentuk kurva, maka model
ordo 2 merupakan model yang sesuai dengan persamaan sebagai berikut.

= o+ iXi + iiX i + ijXi Xj +

Dengan Y adalah respons, Xi dan Xj adalah variabel bebas, o adalah intersep dan
i adalah koefisien linier, ii adalah koefisien kuadrat dan adalah galat.
Metode disain yang sering digunakan pada Metode permukaan tanggap adalah
Central Composite Design (CCD) dan Box-Behnken. Metode Box-Behnken hanya
dapat digunakan jika jumlah faktor yang dipelajari minimal 3, sedangkan CCD dapat
digunakan dengan jumlah faktor yang dipelajari 2 atau lebih. Pada penelitian ini akan
digunakan metode Box-Behnken.
22

Dibandingkan dengan CCD, rancangan Box-Behnken lebih efisien dengan


melibatkan lebih sedikit unit percobaan. Pada prinsipnya rancangan Box-Behnken
merupakan kombinasi dari rancangan faktorial 2 taraf dengan rancangan blok tak
lengkap dengan menambahkan center run pada rancangannya. Misalkan hendak
dipelajari 3 faktor a, b dan c terhadap suatu respons, dan -1 mewakili taraf minimal dan
1 mewakili taraf maksimal dari setiap faktor, maka rancangan percobaan Box-Behnken
akan tampak seperti pada Tabel 7.

Tabel 7 Rancangan percobaan Box-Behnken untuk 3 faktor

Ulangan a b c
1 -1 -1 0
1 1 -1 0
1 -1 1 0
1 1 1 0
1 -1 0 -1
1 1 0 -1
1 -1 0 1
1 1 0 1
1 0 -1 -1
1 0 1 -1
1 0 -1 1
1 0 1 1
3 0 0 0

Kode 0 mewakili taraf tengah dari masing-masing faktor. Pada Tabel 7 tersebut
terlihat bahwa untuk 3 faktor maka jumlah percobaan yang diperlukan adalah 15
percobaan. Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik maka jumlah percobaan dapat
ditambah dengan menambah jumlah ulangan perlakuan center point (0,0,0) menjadi
lebih dari 3.
III. BAHAN DAN METODOLOGI

A. Bahan dan Alat

1. Bunga teleng

Bunga teleng diperoleh dari tanaman bunga teleng di pekarangan di Kantor Rumah
Sains Ilma, Jalan TPU Parakan No. 148 Pamulang Tangerang Selatan. Tanaman
ini mulai ditanam pada tanggal 10 Maret 2011 pada lahan seluas 4 m 2.

2. Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini:


a. HCl pekat (Brataco, Indonesia)
b. 1-diphenyl-2-picrylhydrazyl (Merck, Germany)
c. Metanol 96% (Brataco, Indonesia)
d. Akuades
e. Folin-Ciocalteau phenol reagent (Merck, Germany)
f. Asam galat (Merck, Germany)
g. Kalium klorida (Merck, Germany)
h. Natrium asetat (Brataco, Indonesia)
i. Natrium karbonat (AnalaR BDH, England)
3. Alat yang digunakan di dalam penelitian
a. Peralatan kaca laboratorium
b. UV-Vis Spectrophotometer (Genesys 10uv Thermo Electron Corporation,
USA)
c. Moisture Analyzer Sartorius MA-35
d. Water-bath shaker
e. Hot plate
f. Panci kukus
24

B. Metode Penelitian

Penelitian ini terbagi menjadi dua tahap, yaitu optimasi proses ekstraksi antosianin
bunga teleng dan karakterisasi sifat antosianin bunga teleng hasil optimasi.

1. Optimasi proses ekstraksi antosianin bunga teleng


Untuk mendapatkan hasil panen per satuan luas berat hasil panen dibagi dengan
luas lahan. Sebanyak 20 helai kelopak bunga diambil dan ditimbang beratnya satu ber
satu. Rata-rata dan simpangan baku dari berat kelopak bunga dihitung.
Setiap habis dipanen dilakukan pemisahan pangkal. Berat kelopak tanpa pangkal
dihitung satu per satu untuk mengetahui sebaran berat kelopak tanpa pangkal.
Rendemen dihitung dengan cara membagi berat kelopak tanpa pangkal dengan berat
awal dikali 100 %. Kadar air kelopak bunga tanpa pangkal diukur.
Sebanyak 10 gram kelopak bunga teleng tanpa pangkal dimasukkan ke plastik
HDPE ukuran 250 mg. Plastik dikelim dengan menggunakan panas. Kelopak bunga
diblansir dengan uap air suhu 100oC selama 0 12 menit. Sesudah itu bunga teleng
didinginkan dengan cara direndam di dalam penangas es batu.
Bunga dikeluarkan dari kantong plastik dan dimasukkan ke labu Erlenmeyer 250
ml yang dibungkus aluminium foil. Sisa bunga dibilas dengan 40 ml pelarut (air-HCl pH
4,5 dengan suhu yang sama dengan suhu ekstraksi, yaitu 30-60oC). Ekstraksi dilakukan
pada water bath shaker dengan suhu 30 60oC, selama 30 120 menit.
Hasil ekstraksi disaring dengan menggunakan kertas saring whatman 40 (8 M),
dan ditampung di dalam erlenmeyer yang dibungkus aluminium foil. Sisa padatan
diperas secara manual. Cairan yang terpisah dicampurkan dengan hasil penyaringan
sebelumnya. Terhadap filtrat yang diperoleh dilakukan pengukuran volum, kadar
antosianin dan total fenol. Diagram alir optimasi proses ekstraksi disajikan pada
Gambar 5.

2. Karakterisasi sifat antosianin bunga teleng hasil optimasi


Terhadap ekstrak hasil proses optimal dilakukan karakterisasi, yaitu profil serapan
cahaya pada panjang gelombang antara 200 hingga 700 nm, yang mewakili wilayah
serapan cahaya ultraviolet dan cahaya tampak, pengukuran absorbansi atau serapan
25

maksimal ekstrak bunga teleng pada pH 1 hingga 14, aktivitas antioksidan pada
berbagai struktur antosianin dan kestabilan ekstrak bunga teleng pH 1 hingga 14 pada
penyimpanan suhu ruang dan suhu 4oC

Bunga
teleng

Pemisahan Pangkal

Bunga tanpa
pangkal

Blansir uap air 100o C


t : 0 12 menit

Pendinginan
pH 4,5, pelarut 4 ml/g bunga,
Ekstraksi gelap, pengadukan
T : 30-60o C
t : 30-120 menit

Penyaringan

Ekstrak
bunga teleng

Gambar 5 Diagram alir optimasi proses ekstraksi antosianin bunga teleng


.
Aktivitas antioksidan yang dipelajari adalah aktivitas antioksidan ekstrak bunga
teleng pada pH 1 yang mewakili struktur antosianin sebagai kation flavilium, pH 4,5
sebagai hemiketal atau pseudobase dan pH 7 sebagai basa kuinonoidal. Ekstrak bunga
teleng dengna pH 1, 4,5 dan 7 dibuat dengan cara melarutkan 0,1 ml ekstrak dengan 0,9
26

ml larutan buffer. Untuk pH 1 digunakan larutan buffer KCl 0,02 M (sama dengan yang
digunakan untuk analisis antosianin monomerik). Untuk pH 4,5 digunakan larutan
buffer CH3COONa 0,4 M (sama dengan yang digunakan untuk analisis antosianin
monomerik). Untuk pH 7 digunakan larutan buffer Merck yang terbuat dari kalium
dihidrogen fosfat/dinatrium hidrogen fosfat.
Kestabilan warna ekstrak bunga teleng pada pH 1 hingga 14 dipelajari dengan
mengukur absorbansi maksimum pada masing-masing pH setiap 7 hari selama 28 hari.
Larutan pH 1 hingga 14 dibuat dengan melarutkan HCl atau NaOH dalam akuades
sehingga mencapai nilai pH yang diinginkan, yang diukur dengan pH meter. Sebanyak
10 ml sampel dicampurkan dengan 90 ml larutan pH 1 hingga 14, kemudian disimpan di
dalam botol vial coklat pada suhu ruang dan suhu 4 oC (refrigerator). Untuk
mendapatkan panjang gelombang absorbansi maksimal dari masing-masing ekstrak pH
1 hingga 14, sampel dipindai dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 400 nm
hingga 700 nm. Setiap 7 hari absorbansi setiap sampel diuji pada panjang gelombang
maksimalnya. Stabilitas warna dihitung dalam persen yang diperoleh dengan cara
membagi absorbansi pada hari ke n dengan absorbansi pada hari ke 0.

C. Rancangan Percobaan

1. Optimasi proses ekstraksi antosianin bunga teleng

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan Box-
Behnken dengan metode permukaan tanggap (response surface methodology). Faktor
yang dipelajari dan masing-masing tarafnya disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Faktor dan taraf yang dipelajari di dalam penelitian

Batas bawah Batas atas


Faktor Satuan (-1) (1)
Waktu Blansir Menit 0 12
o
Suhu Ekstraksi C 30 60
Lama Ekstraksi Menit 30 120

Jika ada 3 faktor yang dipelajari dengan menggunakan rancangan Box-Behnken,


maka ada 13 variasi yang perlu dicobakan. Selain itu diperlukan minimal 3 kali ulangan
27

percobaan pada center point (0,0,0). Pada penelitian ini digunakan 5 center point,
sehingga jumlah variasi percobaan menjadi 17 (Tabel 9).

2. Karakterisasi sifat antosianin bunga teleng


Aktivitas antioksidan ekstrak bunga teleng pada pH 1, 4,5 dan 7 masing-masing
diuji sebanyak 3 kali (triplo). Pengukuran serapan maksimal ekstrak bunga teleng pada
pH 1 hingga 14 selama penyimpanan dilakukan sebanyak dua kali ulangan (duplo).

Tabel 9 Rancangan percobaan dan respons yang diukur di dalam penelitian

Kadar
Waktu Suhu Lama Volum Kadar
Total
Std Run blansir Ekstraksi Ekstraksi Ekstrak antosianin
Fenol
(menit) (oC) (Menit) (ml) (mg/l)
(mg/ml)
1 1 0 30 75
3 2 0 60 75
7 3 0 45 120
12 4 6 60 120
13 5 6 45 75
5 6 0 45 30
15 7 6 45 75
17 8 6 45 75
9 9 6 30 30
4 10 12 60 75
2 11 12 30 75
11 12 6 30 120
6 13 12 45 30
8 14 12 45 120
16 15 6 45 75
14 16 6 45 75
10 17 6 60 30

D. Metode Analisis

1. Analisis Kadar Antosianin Monomerik (AOAC 2005)

Kadar antosianin monomerik dinyatakan sebagai kadar cyanidin-3-glycoside yang


diukur dengan metode pH Differential. Untuk pengukuran ini diperlukan larutan buffer
28

pH 1 dan 4,5. Larutan buffer pH 1dibuat dengan melarutkan 1,864 g kalium klorida
(KCl) dalam 960 ml akuades. Larutan kemudian diukur dengan pH-meter dan pH diatur
sehingga mencapai nilai 1 dengan menambahkan asam klorida (HCl) pekat. Larutan ini
kemudian dipindahkan ke labu ukur 1 liter dan ditambahkan dengan akuades sampai
total volum mencapai 1 liter, sehingga diperoleh larutan buffer KCl 0,025 M pH 1.

Larutan buffer pH 4,5 dibuat dengan cara melarutkan 32,814 g natrium asetat
(CH3COONa) dalam 960 ml akuades. Larutan kemudian diukur dengan pH-meter dan
pH diatur sehingga mencapai 4,5 dengan menambahkan HCl pekat. Larutan kemudian
dipindahkan ke labu ukur 1 liter dan ditambahkan dengan akuades sampai total volum
sama dengan 1 liter, sehingga diperoleh larutan buffer CH3COONa 0,4 M pH 4,5.
Sebanyak masing-masing 0,2 ml ekstrak diencerkan dengan 1,8 ml larutan buffer
pH 1,0 dan larutan buffer 4,5. Absorbansi kedua sampel ini kemudian diukur pada
panjang gelombang 510 nm dan 700 nm. Selisih absorbansi dihitung dengan rumus
sebagai berikut :
A = (A510 A700)pH 1,0 (A510 A700)pH 4,5

Kadar antosianin monomerik (cyanidin-3-glucoside equivalents dalam mg/L)


diperoleh dengan rumus sebagai berikut :

(A MW DF 1000)/( l)

MW adalah berat molekul cyanidin-3-glucoside (449,2 g/mol), DF adalah faktor


pengenceran, adalah absorptivitas molar dari cyanidin-3-glucoside yang nilainya sama
dengan 26 900, dan l adalah lebar kuvet (1 cm).

2. Analisis Total Fenol (Singleton & Rossi 1965 diacu dalam Kalt et al. 2000)

Penentuan kandungan total fenol dilakukan dengan metode Folin-Ciocalteau


dengan asam galat sebagai standar. Sebanyak 0,2 ml sampel direaksikan dengan 0,8 ml
larutan Natrium karbonat 20 % dan 1 ml larutan Folin-Ciocalteau. Sampel didiamkan
selama 1 jam, kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang 765 nm. Untuk
membuat kurva kalibrasi sebanyak 0,2 ml larutan asam galat pada berbagai konsentrasi
direaksikan dengan 0,8 ml larutan Natrium karbonat 20 % dan 1 ml larutan Folin-
29

Ciocalteau. Kandungan total fenol dihitung sebagai Ekuivalen Asam Galat (EAG)
dengan persamaan sebagai berikut :
Total kandungan fenol (mg/l EAG) = Abs/m + C

Abs adalah Absorbance (A), m adalah kemiringan kurva standar asam galat dan
C adalah konstanta (intersep).

3. Aktivitas antioksidan - DPPH radical-scavenging activity (Sanchez-Moreno


2002 diacu dalam Vankar & Srivastava 2010)

Larutan kontrol dibuat dengan cara melarutkan 1,5 ml larutan DPPH dalam
metanol dengan konsentrasi 0,001396 M dengan 0,5 ml metanol. Absorbansinya diukur
pada panjang gelombang 517 nm. Sebanyak 0,1 ml ekstrak bunga teleng diencerkan
dengan masing-masing 0,9 ml larutan buffer pH 1, pH 4,5 dan pH 7. Kemudian masing-
masing sampel diambil sebanyak 0,1 ml dan ditambahkan dengan 1,5 ml larutan DPPH
dan 0,4 ml metanol. Absorbansinya diukur pada panjang gelombang 517 nm. Aktivitas
antioksidan dalam satuan Mol DPPH/100 ml ekstrak diperoleh dengan rumus sebagai
berikut :
(Akontrol Asampel)/Akontrol X mol DPPH X 106 X DF

Dengan DF adalah faktor pengenceran, Akontrol adalah absorbansi larutan kontrol


dan Asampel adalah absorbansi larutan sampel

4. Analisis Permukaan Tanggap

Untuk mempelajari pengaruh dari masing-masing faktor dalam bentuk permukaan


respons (permukaan tanggap) data diolah dengan menggunakan software Design-
Expert Versi 8.0.7.1.
Pada prinsipnya uji statistika yang dilakukan berdasarkan kepada analisis sidik
ragam atau ANOVA. Taraf signifikan yang dipilih adalah 5 % ( = 0,05). Software
akan menghitung nilai p (p-value) dari masing-masing faktor dan interaksi antar faktor.
Jika nilainya lebih kecil daripada , maka pengaruh dari faktor tersebut adalah
signifikan. Berdasarkan uji signifikansi tersebut, software akan memberikan model
persamaan regresi yang menghubungkan antara respons tertentu dengan semua faktor.
30

Pada rancangan Box-Behnken interaksi antar faktor yang dapat disertakan di dalam
persamaan hanya terbatas sampai interaksi antara 2 faktor.
Berdasarkan model yang diusulkan untuk masing-masing respons software
melakukan analisis untuk mendapatkan proses optimal sesuai dengan kriteria yang
dibuat. Pada penelitian ini kriteria proses optimal adalah yang mampu menghasilkan
ekstrak dengan kadar antosianin, total fenol dan volum yang maksimal. Urutan tingkat
kepentingan (importance) yang perlu dipenuhi oleh proses yang optimal adalah kadar
antosianin, total fenol dan volum.
Untuk menguji kesahihan dari model persamaan yang diusulkan, dilakukan
verifikasi. Verifikasi dilakukan dengan cara melakukan 5 ulangan proses ekstraksi
dengan menggunakan parameter optimum. Jika nilai rata-rata dari kadar antosianin,
total fenol dan volum berada di dalam rentang yang sesuai dengan model persamaan
regresi, maka model tersebut dinyatakan sahih.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Optimasi Proses Ekstraksi dan Verifikasi Proses Optimal

Berat rata-rata kelopak bunga teleng yang dipanen adalah sekitar 0,36 gram,
kemudian berkurang menjadi sekitar 0,22 gram atau 59,51 % dari berat awal setelah
pangkalnya dipisahkan. Data hasil pemanenan bunga teleng dapat dilihat pada Lampiran
1.
Kelopak bunga teleng tanpa pangkal diekstraksi dalam keadaan segar. Tujuan dari
proses ekstraksi adalah mengambil satu atau lebih bahan aktif dari matriks alamiahnya
dengan menggunakan pelarut tertentu. Semakin besar konsentrasi bahan aktif yang
berada dalam pelarut maka semakin baik proses ekstraksi yang dilakukan. Di dalam
penelitian ini proses ekstraksi berjalan optimal jika volum ekstrak, kandungan
antosianin dan total fenol di dalam ekstrak mencapai maksimal. Kandungan antosianin
diukur sebagai monomerik antosianin, sedangkan total fenol dinyatakan dalam bentuk
ekuivalen asam galat. Untuk menghitung total fenol ini kurva baku asam galat perlu
terlebih dahulu ditetapkan (Lampiran 2). Analisis antosianin monomerik dan analisis
total fenol berprinsipkan kepada pembacaan serapan cahaya atau absorbansi pada
panjang gelombang tertentu dengan menggunakan spektrofotometer. Data absorbansi
untuk penghitungan kadar antosianin dan total fenol dapat dilihat pada Lampiran 3.
Data hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 10. Terhadap data tersebut
kemudian dilakukan Anayisis of Variance (ANOVA) atau sidik ragam untuk
menemukan model persamaan yang sesuai yang menghubungkan volum ekstrak, kadar
antosianin dan total fenol dengan lama blansir, suhu ekstraksi dan lama ekstraksi. Hasil
analisis menunjukkan bahwa volum ekstrak dipengaruhi oleh ketiga faktor yang
dipelajari dengan mengikuti model interaksi 2 faktor yang direduksi, sedangkan kadar
antosianin dan total fenol mengikuti model kuadratik yang direduksi (Tabel 11). Uraian
lebih lengkap dari uji statistika ini dapat dilihat pada Lampiran 4. Selain dalam bentuk
persamaan matematika, hubungan masing-masing respons dengan faktor dapat pula
ditampilkan dalam bentuk grafik dua dimensi (kontur) maupun grafik 3 dimensi berupa
permukaan tanggap atau response surface. Untuk mempermudah pembacaan,
32

permukaan kontur maupun permukaan tanggap diberi warna yang berbeda, mulai dari
biru hingga merah. Nilai maksimum yang dapat diperoleh untuk suatu respons
direpresentasikan oleh wilayah yang berwarna merah.

Tabel 10 Data hasil penelitian ekstraksi bunga teleng

Lama Suhu Lama Volum Kadar Kadar


Std Run Blansir Ekstraksi Ekstraksi Ekstrak Antosianin Total fenol
(menit) (oC) (menit) (ml) (mg/l) (mg/ml)
1 1 0 30 75 33,6 14,28 0,57
3 2 0 60 75 39,9 36,40 1,10
7 3 0 45 120 38,3 30,73 0,97
12 4 6 60 120 39,6 25,05 1,21
13 5 6 45 75 39,8 34,65 0,98
5 6 0 45 30 33,8 18,70 0,64
15 7 6 45 75 36,4 37,57 1,02
17 8 6 45 75 36,8 36,15 0,96
9 9 6 30 30 37,8 25,13 0,80
4 10 12 60 75 38,6 28,14 0,90
2 11 12 30 75 39 33,15 0,81
11 12 6 30 120 39 38,13 0,83
6 13 12 45 30 37,3 36,13 0,97
8 14 12 45 120 36,4 37,91 1,05
16 15 6 45 75 37,3 40,41 1,03
14 16 6 45 75 38,6 32,90 1,14
10 17 6 60 30 36,8 34,90 1,10

Tabel 11 Model dan model persamaan yang menghubungkan antara respons dengan
semua faktor yang dipelajari

Lack of
Respons Model p-Value Model persamaan
Fit
Interaksi 2
Volum Y1 = 37,59 + 0,71A + 0,69B + 0,95C - 1,68AB -
faktor 0,0426 0,5266
Ekstrak 1,35AC
direduksi
Kuadratik Y2 = 35,78 + 4,40A + 1,73B + 2,12C - 6,78AB -
Antosianin 0,0135 0,1567
direduksi 2,56AC - 5,71BC - 4,21A2 - 4,27B2
Total Kuadratik Y3 = 1,01 + 0,057A + 0,16B + 0,067C - 0,11AB -
0,0018 0,3444
Fenol direduksi 0,063AC + 0,022BC - 0,13A2
A = lama blansir, B = suhu ekstraksi, C= lama ekstraksi, Y1 = volum ekstrak, Y2 = antosianin, Y3 = total
fenol)
Nilai A, B dan C dalam bentuk kode (dengan nilai mulai -1 hingga 1)
33

1. Volum Ekstrak
Dengan melihat koefisien dari masing-masing faktor pada model persamaan dapat
diketahui faktor mana yang memberikan pengaruh paling besar. Untuk volum ekstrak
terlihat bahwa interaksi antara lama blansir dengan suhu ekstraksi merupakan faktor
yang paling berpengaruh, diikuti oleh interaksi antara lama blansir dengan lama
ekstraksi. Interaksi baik antara lama blansir dengan suhu ekstraksi maupun antara lama
blansir dengan lama ekstraksi memiliki koefisien negatif, artinya volum ekstrak akan
maksimal jika salah satu dari faktor yang berinteraksi memiliki taraf maksimum
sedangkan faktor yang satunya lagi bertaraf minimum. Sebaliknya volum ekstrak akan
mencapai nilai rendah jika kedua faktor yang saling berinteraksi sama-sama memiliki
taraf minimum atau maksimum.
Hal ini menunjukkan bahwa paparan panas, baik yang berasal dari proses blansir
maupun dari proses ekstraksi, diperlukan untuk mendapatkan volum ekstrak yang
tinggi. Akan tetapi jika paparan panas yang diperoleh terlalu banyak, maka volum
ekstrak menjadi lebih rendah. Dengan kata lain volum ekstrak paling maksimal akan
diperoleh jika proses dilakukan tanpa blansir dan diikuti oleh ekstraksi pada suhu tinggi
(60oC) dan waktu lama (120 menit), atau blansir dengan waktu lama (12 menit), dan
diikuti oleh ekstraksi pada suhu rendah (30oC) dan waktu singkat (30 menit),
sebagaimana yang terlihat pada Gambar 6.
Suhu ekstraksio C)
(

Lama blansir (menit)

Gambar 6 Permukaan tanggap (kiri) dan kontur (kanan) pengaruh lama blansir
dan suhu ekstraksi terhadap volum ekstrak pada lama ekstraksi 120
menit
34

Total volum ekstrak berasal dari pelarut dan air yang dikandung kelopak bunga
teleng. Hasil analisis kadar air menunjukkan bahwa kelopak bunga teleng segar
mengandung air sebesar 89,24% 0,54% (Lampiran 5). Pada setiap proses ekstraksi
digunakan pelarut sebanyak 40 ml untuk 10 g bunga segar, sehingga secara teoritis total
cairan yang terdapat pada bahan yang diekstraksi adalah sebanyak sekitar 49 ml. Ketika
larutan ditambahkan kepada bunga segar, proses kapilaritas menyebabkan sebagian air
diserap oleh kelopak bunga, sehingga menjadi tidak mudah untuk dipisahkan. Paparan
panas yang bisa berasal dari proses blansir atau ekstraksi menyebabkan rusaknya
struktur jaringan dan dinding sel sehingga cairan yang semula tersimpan rapi di antara
sel dan di dalam sel mulai bergabung satu sama lain sehingga menjadi lebih mudah
dipisahkan. Antosianin yang merupakan hasil dari metabolisme sekunder pada tanaman
dan terakumulasi di dalam vakuola sel (Tanaka et al. 2008), juga keluar dari sel dan
larut di dalam pelarut sehingga ekstrak berwarna biru dapat diperoleh.
Apabila paparan panas yang diterima oleh kelopak bunga terlalu berlebihan maka
struktur kelopak menjadi sangat lunak, dan menyebabkan terlepasnya pektin yang
merupakan senyawa hidrokoloid paling utama yang terdapat pada dinding sel.
Sebagaimana umumnya hidrokoloid, pectin bersifat mengikat akir sehingga
menghambat pemisahan cairan ekstrak dari padatan. Akibatnya volum ekstrak yang
dihasilkan menjadi sedikit berkurang.

2. Kadar Antosianin
Model persamaan yang menghubungkan antara kadar antosianin dengan semua
faktor yang dipelajari menunjukkan korelasi yang lebih kompleks dibandingkan dengan
volum ekstrak. Yang paling menarik untuk dilihat pada persamaan yang
direpresentasikan pula pada Gambar 7 tersebut adalah pentingnya peranan proses
blansir terhadap kadar antosianin. Kadar antosianin yang tinggi tidak dapat dicapai
tanpa proses blansir. Hal ini menunjukkan bahwa proses blansir tidak semata-mata
berperan di dalam merusak dinding sel, melainkan berperan pula di dalam mekanisme
lain yang membantu untuk mendapatkan antosianin dalam jumlah lebih tinggi.
35

Pada tanaman-tanaman sumber antosianin terdapat enzim-enzim yang diketahui


memiliki karakteristik mendegradasi antosianin seperti peroksidase, fenoloksidase dan
polifenoloksidase (Pifferi & Cultrera 1974 diacu dalam Rein 2005). Selain itu terdapat
pula enzim glikosidase yang memecah antosianin menjadi antosianidin dan gula (Nayak
2011). Antosianidin bersifat sangat tidak stabil dan terdegradasi dengan segera. Enzim-
An t osiani n (mg /l )

Suhu ekstraksio C)
(

Lama blansir (menit)

Gambar 7 Permukaan respons (kiri) dan kontur (kanan) pengaruh lama


blansir dan suhu ekstraksi terhadap kadar antosianin ekstrak
pada lama ekstraksi 30 menit

enzim ini dapat diinaktifkan dengan perlakuan panas seperti blansir. Menurut Mizobutsi
et al. (2010) enzim peroksidase pada perikarpium buah leci mengalami inaktivasi pada
suhu 90oC selama 10 menit atau suhu 100oC selama 1 menit, sedangkan enzim
polifenoloksidase inaktif setelah 10 menit berada pada suhu 60 oC. Proses blansir yang
dilakukan pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan uap air suhu 100 oC
hingga 12 menit. Merujuk kepada referensi tadi, maka proses blansir ini sudah dapat
merusak enzim-enzim yang mendegradasi antosianin. Rusaknya enzim inilah yang
diperkirakan menjadi sebab mengapa kadar antosianin pada ekstrak yang mengalami
tahapan blansir lebih tinggi.
Hasil penelitian yang sejalan dilaporkan oleh Rossi et al. (2003), yang
menunjukkan bahwa kadar antosianin jus blueberry yang diblansir dengan uap air
selama 3 menit lebih tinggi 200 % dibandingkan dengan yang tidak diblansir. Kadar
antosianin yang tinggi pada jus yang diblansir ini disebabkan oleh inaktifnya enzim
polifenoloksidase yang mendegradasi antosianin (Rossi et al. 2003)
36

Meskipun diperlukan untuk pelunakan dinding sel dan inaktivasi enzim, panas
juga menyebabkan degradasi antosianin (Lee et al. 2011, Tantituvanont et al. 2008,
Wongsangta et al. 2009, Chaovanalikit et al. 2009). Pada penelitian ini kerusakan
antosianin terlihat pada rendahnya kandungan antosianin pada ekstrak yang mengalami
paparan panas maksimum selama proses blansir dan ekstraksi.

3. Kadar Total Fenol


Jika proses blansir memberikan pengaruh yang signifikan terhadap tingginya
kadar antosianin, tidak demikian halnya dengan total fenol. Merujuk kepada model
persamaan yang diperoleh seperti direpresentasikan pada Gambar 8 terlihat bahwa total
fenol tertinggi dapat diperoleh melalui proses ekstraksi pada suhu 60oC selama 120
menit tanpa didahului proses blansir. Tanpa proses blansir, maka enzim-enzim yang
mengatalisis terjadinya proses oksidasi fenol masih bekerja aktif. Jika mengalami
oksidasi maka fenol akan berubah menjadi senyawa kuinon, maka seharusnya kadar
fenol menjadi lebih rendah. Akan tetapi, hasil penelitian menunjukkan hasil yang
berbeda.
Tot al fenol (mg /ml
)

Suhu ekstraksio C)
(

Lama blansir (menit)

Gambar 8 Permukaan respons (kiri) dan kontur (kanan) pengaruh lama blansir dan suhu
ekstraksi terhadap kadar total fenol ekstrak pada lama ekstraksi 120 menit

Kemungkinan yang terjadi adalah sebagai berikut. Pada bunga teleng terdapat banyak
macam senyawa fenol seperti antosianin dan antosianidin, quercetin, kaempferol dan
myricetine. Kesemuanya merupakan senyawa fenol yang memiliki lebih dari satu gugus
OH pada cincin benzene nya. Ketika mengalami oksidasi menjadi kuinon, tidak semua
37

gugus OH berubah menjadi gugus O, sehingga di dalam analisis masih dihitung sebagai
fenol.
Uji kadar total fenol pada penelitian ini dilakukan dengan metode Folin-Ciocalteu,
yang berprinsip kepada reaksi antara reagen Folin-Ciocalteu dengan gugus OH pada
fenol membentuk kompleks molibdenum yang berwarna biru. Contoh yang dapat
diajukan untuk mendukung hipotesis ini adalah reaksi oksidasi yang terjadi pada
quercetin. Menurut Timbola et al. (2006), senyawa quercetin teroksidasi menjadi
senyawa ortho-quinone yang masih memiliki gugus OH pada cincin benzenanya
(Gambar 9).

Gambar 9. Oksidasi quercetin menjadi ortho-quinone

Berbeda dengan volum ekstrak dan kandungan antosianin, kandungan total fenol
relatif stabil terhadap panas. Penelitian Xu et al. (2007) menunjukkan bahwa flavonon
glikosida pada buah Citrus paradisi Changshanhuyou mengalami kerusakan jika
dipanaskan pada suhu 120oC selama 90 menit atau suhu 150oC selama 30 menit.
Sementara itu menurut Choi et al. (2011) pemanasan pada suhu 120oC selama 120
menit meningkatkan kadar total fenol dari ekstrak kulit jeruk.

4. Seleksi dan Verifikasi Proses Optimal


Proses ekstraksi disebut optimal jika volum ekstrak, kadar antosinanin dan total
fenol maksimal. Nilai maksimal ini akan dapat diperoleh jika model persamaan di
antara ketiganya mirip dan atau ada korelasi di antara mereka. Model persamaan antara
38

volum ekstrak dengan kadar antosianin dan total fenol adalah berbeda. Volum ekstrak
mengikuti model persamaan linear dengan interaksi 2 faktor, sedangkan kadar
antosianin dan total fenol mengikuti persamaan kuadratik. Selanjutnya untuk
memastikan ada atau tidak adanya hubungan antara dua respons, maka dilakukan uji
korelasi (Lampiran 6), yang rangkumannya disajikan pada Tabel 12. Terlihat bahwa
tidak ada korelasi yang kuat di antara respons.

Tabel 12 Hasil uji korelasi antara volum ekstrak, kadar antosianin dan total fenol

Respons yang diuji Nilai Korelasi


Volum ekstrak dengan kadar antosianin 0,271
Volum ekstrak dengan total fenol 0,596
Kadar antosianin dengan total fenol 0,624

Dengan tidak adanya korelasi yang tinggi di antara ketiga respons, maka nilai
maksimum untuk ketiganya secara bersama-sama tidak dapat dicapai. Untuk itu maka
perlu dilakukan penyusunan prioritas. Kadar antosianin yang paling tinggi dipilih
sebagai yang terpenting, diikuti oleh total fenol dan volum (Lampiran 8). Berdasarkan
prioritas ini diperoleh proses optimum yaitu blansir selama 6 menit, diikuti ekstraksi
pada suhu 60oC selama 30 menit.
Untuk memverifikasi kesesuaian hasil ekstraksi pada kondisi optimum model,
dilakukan proses ekstraksi pada kondisi optimum tersebut sebanyak 5 ulangan. Hasil
verifikasi menunjukkan bahwa karakteristik ekstrak bunga teleng hasil ekstraksi pada
kondisi optimum sesuai dengan nilai yang diprediksi oleh model (Tabel 13).
Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan air pH 4,5 sebanyak 40 ml per 10 gram
bunga segar. Nilai rata-rata kadar antosianin yang diperoleh melalui proses ekstraksi
optimal ini adalah 40,58 mg/liter. Dengan volum ekstrak yang diperoleh yaitu 38 ml,
maka kadar antosianin yang diperoleh dari 10 g bunga segar adalah 1,54 mg atau sama
dengan 154 mg/kg bunga segar. Ekstraksi warna antosianin bunga teleng yang
dilakukan oleh Vankar & Srivastava (2010) menggunakan pelarut methanol-HCl 1 %
menunjukkan kadar antosianin sebesar 227,42 mg/kg. Jika dibandingkan dengan angka
tersebut maka hasil unduhan antosianin melalui proses optimal dari penelitian ini adalah
sebesar 67,8 %.
39

Tabel 13 Hasil verifikasi proses ekstraksi pada kondisi optimum (lama blansir 6 menit,
suhu ekstraksi 60oC dan lama ekstraksi 30 menit) dengan nilai yang diprediksi
sesuai model

Ulangan Volum (ml) Antosianin (mg/L) Total Fenol (mg/ml)


1 38,0 39,55 0,98
2 38,6 41,16 1,16
3 37,2 41,00 1,07
4 37,4 39,05 1,12
5 39,0 42,12 1,03
rata-rata 38,0 40,58 1,07
simpangan baku 0,7668 1,2536 0,0697
CV 2,02% 3,09% 6,50%
Standard error 0,34 0,56 0,03
Confidence interval 95% 0,95 1,56 0,09
Prediksi menurut model 37,32 2,21 36,82 8,78 1,08 0,16

Pada metode yang dilakukan oleh Vankar & Srivastava (2010) kelopak bunga
teleng mengalami proses maserasi berkali-kali sampai kelopak bunga tersebut berwarna
putih, kemudian ekstrak yang diperoleh dipekatkan untuk selanjutnya dilakukan analisis
kadar antosianin. Sedangkan proses ekstraksi yang dilakukan pada penelitian ini hanya
dilakukan satu kali. Ampas yang dipisahkan dari ekstrak masih memiliki warna biru
yang pekat, yang dapat dikembangkan menjadi produk lain. Misalkan jika dikeringkan
maka dapat diperoleh produk semacam teh seduhan yang mengandung antosianin.

B. Karakterisasi Ekstrak Bunga Teleng

1. Spektrum warna ekstrak hasil proses optimal


Spektrum warna ekstrak bunga teleng yang diekstraksi melalui proses optimum
yang terpilih menunjukkan 4 panjang gelombang yang memiliki absorbansi maksimum
dan 1 bahu (Gambar 10). Dua di antaranya berada di wilayah ultraviolet, yaitu panjang
gelombang 264 nm dan 287 nm. Ini menunjukkan bahwa ekstrak bunga teleng memiliki
kemampuan sebagai tabir surya atau pelindung kulit dari cahaya ultra violet. Dua
panjang gelombang maksimal yang lain beserta 1 bahu berada di wilayah cahaya
tampak, yaitu panjang gelombang 574 nm, 619 nm dan 539 nm.
40

Kekhasan struktur flavonoid dapat dikenal melalui adanya 2 pita serapan cahaya
pada wilayah ultra violet hingga cahaya tampak, yang dikenal dengan sebutan Pita I dan
Pita II. Pita II dengan serapan maksimum di antara panjang gelombang 240 285 nm
merupakan representasi dari cincin A, sedangkan Pita I dengan serapan maksimum di
antara 300 500 nm merupakan representasi dari cincin B (Mabry et al. 1970 diacu
dalam Green 2007). Sementara itu untuk antosianin serapan maksimum untuk Pita II
dan Pita I secara berturut-turut adalah 265 hingga 275 dan 465 hingga 560 (Robards &
Antolovich 1997 diacu dalam Green 2007). Pada ekstrak bunga teleng Pita II
kemungkinan besar ditunjukkan oleh panjang gelombang 264 dan 287 nm (cincin A
sistem benzoil) dan Pita I ditunjukkan oleh panjang gelombang 539 dan 574 nm (cincin
B- sistem sinamoil).

264 nm
1

287 nm
0,8
Absorbansi

0,6

0,4
574 nm 619 nm
539 nm

0,2

0
200 250 300 350 400 450 500 550 600 650 700

Panjang gelombang (nm)

Gambar 10 Absorbansi ekstrak bunga teleng hasil proses ekstraksi optimal


41

Jenis antosianin terbesar yang terdapat pada ekstrak bunga teleng adalah ternatin
A1. Jika pada umumnya antosianin satu molekul antosianidin berikatan dengan 1 hingga
3 monosakarida, maka pada ternatin A1 satu molekul delphinidin berikatan dengan 7
glukosa (Terahara et al. 1990 diacu dalam dalam Wongcharee et al. 2006). Antosianin
yang bentuk aglikonnya berikatan dengan lebih dari satu molekul glukosa disebut
dengan antosianin terpoliglikosilasi dan jumlahnya dapat diperkirakan dengan membagi
nilai absorbansi pada panjang gelombang 440 nm dibagi dengan nilai absorbansi
tertinggi pada cahaya tampak (Brouillard et al. 1982 diacu dalam Lee et al. 2011) yang
dalam hal ini adalah 574 nm. Nilai absorbansi pada 440 nm adalah 0,079 sedangkan
nilai absorbansi pada 574 nm adalah 0,19, sehingga persen antosianin terpoliglikosilasi
adalah 41,6%, sedikit lebih kecil dibandingkan penelitian Lee et al. (2011) yang
menghasilkan 43 %.
Salah satu ciri khas antosianin bunga teleng adalah gugus glikosidanya berikatan
dengan dua atau lebih asam aromatik, khususnya asam p-kumarat (Terahara et al. 1990
diacu dalam dalam Wongcharee et al. 2006). Rasio antara antosianin terpoliasilasi
dengan yang tidak dapat diperkirakan dengan membagi absorbansi maksimal pada
panjang gelombang 310 hingga 330 nm dengan absorbansi maksimal pada cahaya
tampak. Ekstrak bunga teleng yang dihasilkan memiliki absorbansi tertinggi direntang
panjang gelombang 310-330 nm sebesar 0,792. Jika dibagi dengan 0,19 yang
merupakan nilai absorbansi pada panjang gelombang 574 nm, maka diperoleh 416,8 %,
yang berarti rasio antara molekul antosianin yang terpoliasilasi dengan yang tidak
sekitar 4,2 : 1. Ini jauh lebih besar dibandingkan hasil penelitian Lee et al. (2011) yang
menghasilkan rasio 236 %.

2. Spektrum warna ekstrak pada pH 1 hingga 14


Ekstrak bunga teleng memiliki warna yang bervariasi mengikuti pHnya, mulai
dari merah pada pH 1 hingga hijau kuning pada pH 14 (Gambar 11). Pada media air
antosianin terdapat dalam empat struktur dengan komposisi tergantung pada pHnya
(Gambar 12). Keempat struktur tersebut adalah kation flavilium yang berwarna merah
dan muncul dominan pada pH 1, basa kuinonoidal yang berwarna biru, pseudo karbinol
atau hemiketal dan chalchone. Dua yang terakhir tidak berwarna dan muncul dominan
42

pada pH 4,5. Menurut Figueiredo et al. (1994) basa kuinonoidal terdapat dalam dua
bentuk tautomer, yang masing-masing muncul dominan pada pH 4 dan pH 7.

Gambar 11 Spektrum warna ekstrak bunga teleng pada pH 1 hingga 14.

R1
R1
OH
O

O O
R2 HO O
R2

O
+ O
O gly -H
gly Basa kuinonoidal (biru) O gly
-H + gly
pH = 7 Basa kuinonoidal (biru)
R1
pH = 4
OH

+
HO O
R2

O
R1 R1
O gly
gly OH OH
Kation Flavilium (merah) OH H
pH = 1 HO O O
HO O
R2 R2

O O

O gly O gly
gly gly
Hemiketal (tak berwarna) cis-Chalcone (tak berwarna)
pH = 4.5 pH = 4.5

Gambar 12 Perubahan struktur antosianin pada berbagai pH

Uji spektrofotometri ekstrak bunga teleng (Gambar 13 dan Gambar 14)


menunjukkan bahwa pada pH 1 dan 2 terdapat 1 puncak absorbansi pada panjang
gelombang 548 nm (kation flavilium). Pada pH 3 - 5 terdapat 2 puncak absorbansi yaitu
43

2,5

pH 1
2
pH 2
pH 3
pH 4
1,5
pH 5
Absorbansi (A)

pH 6
pH 7
1

0,5

0
280 340 400 460 520 580 640 700
Panjang gelombang (nm)

Gambar 13 Absorbansi ekstrak bunga teleng pada pH 1 hingga 7


44

2,5

pH 8
2 pH 9
pH 10
pH 11
pH 12
1,5 pH 13
Absorbansi (A)

pH 14

0,5

0
280 340 400 460 520 580 640 700
Panjang gelombang (nm)

Gambar 14 Absorbansi ekstrak bunga teleng pada pH 8 hingga 14


45

pada panjang gelombang sekitar 574 nm dan 624 nm yang merepresentasikan dua
tautomer basa kuinonoidal. Tautomer pertama mencapai maksimal pada pH 4. Pada pH
6 hingga 13 terdapat 1 puncak yang merepresentasikan tautomer kedua dari basa
kuinonoidal. Tautomer kedua ini mencapai maksimal pada pH 7. Mulai pH 9 serapan
pada panjang gelombang di sekitar 400 nm meningkat, menandakan perubahan warna
sebagian antosianin dari biru menjadi kuning.

3. Aktivitas Antioksidan
Untuk melihat pengaruh struktur antosianin terhadap aktivitas antioksidannya,
dilakukan pengujian aktivitas antioksidan ekstrak bunga teleng pada pH 1, 4,5 dan 7.
Aktivitas antioksidan dinyatakan sebagai jumlah DPPH yang berekasi dengan 100 g
sampel yang diukur melalui penurunan absorbansi pada panjang gelombang 517 nm.
Untuk mendapatkan hubungan antara absorbansi dengan kadar DPPH, maka kurva baku
DPPH perlu terlebih dulu ditetapkan (Lampiran 7).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan tertinggi ditunjukkan
oleh ekstrak bunga teleng pH 1, diikuti oleh pH 4,5 dan 7. Seperti terlihat pada Gambar
15, aktivitas antioksidan ekstrak bunga teleng terlihat berkorelasi positif dengan
besarnya absorbansi warna pada panjang gelombang 500 550 nm, yang merupakan
daerah serapan kation flavilium. Hasil ini sejalan dengan penelitian Kalt et al. (2000)
yang menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan ekstrak lowbush blueberry pada pH 1
lebih tinggi dibandingkan pada pH 4 dan 7.
Uji aktivitas antioksidan dengan menggunakan metode DPPH berprinsip kepada
pengukuran perubahan warna dari DPPH radikal yang berwarna ungu menjadi DPPH
non radikal yang berwarna kuning dengan menggunakan spektrofotometer. Secara
umum reaksinya adalah sebagai berikut.
(DPPH) + (H A) DPPH H + (A)

Ungu kuning

Persamaan tersebut menunjukkan bahwa DPPH radikal yang berwarna ungu


memerlukan ion hidrogen atau proton untuk bereaksi menjadi DPPH non radikal.
46

2,5 140
pH 1 113,37 11,86
pH 4.5 120

Ak tivitas antioksidan
(mMo l DPPH/ 100 g)
2,0
phH 7
100
Ab sorbansi( A)

1,5
80
50,62 9,99
1,0 60 39,77 8,24

40
0,5
20
0,0
0
400 450 500 550 600 650 700
1 4,5 7
Panjang gelombang (nm) pH ekstrak

Gambar 15 Absorbansi ekstrak bunga teleng pada pH 1, 4,5 dan 7 (kiri) dan
aktivitas antioksidasinya (kanan)

Semakin banyak suatu senyawa antioksidan memiliki ion hidrogen atau proton yang
dapat disumbangkan kepada DPPH, maka semakin besar aktivitas antioksidannya.
Pada pH 1 semua antosianin berada dalam bentuk kation flavilium yang memiliki
2 gugus hidroksil dan satu oksigen yang kelebihan proton (Gambar 12) yang
kesemuanya dapat disumbangkan kepada DPPH sehingga diukur sebagai aktivitas
antioksidan. Sejalan dengan kenaikan pH bentuk kation flavilium semakin berkurang
dan diganti dengan bentuk basa kuinonoidal. Pada pH 7 semua antosianin berada dalam
bentuk basa kuinonoidal. Dalam bentuk ini antosianin hanya memiliki satu gugus
hidroksil, sehingga memiliki aktivitas antioksidan yang lebih rendah. Pada pH 4,5
bentuk flavilium kation berubah menjadi hemiketal yang memiliki 3 gugus hidroksil,
sehingga semestinya memiliki aktivitas antioksidan yang kira-kira setara dengan bentuk
flavilium kation. Akan tetapi, perubahan flavilium kation menjadi hemiketal hanya
spesifik terjadi pada antosianin monomerik, dan tidak terjadi pada antosianin polimerik
(Wrolstad et al. 2005). Artinya, pada pH 4,5 tersebut sebagian antosianin polimerik
tetap berada dalam bentuk basa kuinonoidal yang hanya memiliki satu gugus hidroksil.
Aktivitas antioksidasi total dari ekstrak bunga teleng adalah gabungan dari aktivitas
antosianin monomerik, antosianin polimerik serta senyawa fenol lainnya. Aktivitas
antioksidan gabungan ini pada pH 4,5 lebih rendah dibandingkan dengan pada pH 1,
sebagaimana yang ditunjukkan oleh hasil penelitian.
47

Aktivitas antioksidan yang lebih tinggi pada pH 1 tidak selalu terjadi pada semua
jenis antosianin. Penelitian yang dilakukan terhadap antosianin kulit buah leci
menunjukkan bahwa aktivitas antioksidannya lebih tinggi pada pH 3-5 dibandingkan
dengan pH 1 dan 7 (Ruenroengklin et al. 2008). Tampaknya ini berhubungan dengan
konfigurasi kandungan antosianin polimerik dan monomerik yang berbeda-beda untuk
setiap sumber antosianin.

4. Stabilitas Warna Ekstrak Selama Penyimpanan


Untuk menguji kestabilan warna, ekstrak bunga teleng pH 1 hingga 14 dikemas
dalam botol vial gelap dan disimpan pada suhu ruang dan suhu 4 oC selama 28 hari.
Degradasi warna diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang yang sesuai
dengan absorbansi maksimalnya.

a. Stabilitas warna pada suhu ruang


Ekstrak bunga teleng pH 1 hingga 14 yang disimpan pada suhu ruang (Gambar
16) memiliki kestabilan warna antosianin yang lebih rendah dibandingkan dengan yang
disimpan pada suhu 4oC (Gambar 18). Pada sejumlah penelitian disebutkan bahwa suhu
merupakan salah satu faktor yang memengaruhi kestabilan antosianin pada bunga teleng
(Tantituvanont et al. 2008, Wongsangta et al. 2009, Chaovanalikit et al. 2009, Lee et al.
2011), maupun pada tanaman lainnya (Rein 2005, Iversen 1999). Penelitian Vankar &
Srivastava (2010) menunjukkan bahwa kestabilan warna berbagai ekstrak bunga yang
disimpan pada suhu 30oC lebih rendah 7-20 % dibandingkan dengan yang disimpan
pada suhu 25oC. Kenaikan suhu memicu terjadinya hidrolisis glikosidik sehingga gugus
aglikon pada antosianin menjadi tidak stabil. Selain itu kenaikan suhu juga dapat
merusak ion flavilium sehingga warna menjadi pudar.
48

Gambar 16 Spektrum warna ekstrak bunga teleng pada pH 1 hingga 14 selama


penyimpanan pada suhu ruang

Kestabilan warna juga dipengaruhi oleh pH. Ekstrak pH 12 hingga 14 mengalami


degradasi warna total setelah satu hari penyimpanan (Gambar 16). Dalam kondisi
alkalin tinggi antosianin bersifat sangat tidak stabil dan mudah terdegradasi (Rein,
2005). Sementara itu pada data absorbansi di Tabel 14 terlihat bahwa ekstrak pH 3
hingga 11 kehilangan warna secara total setelah penyimpanan selama 14 hari.
Penelitian Chaovanalikit et al. (2009) menyebutkan bahwa warna ekstrak bunga teleng
lebih stabil pada pH rendah.
49

Laleh et al. (2006) melaporkan bahwa kerusakan antosinain pada 4 jenis Berberis
sp. yang diamati meningkat sejalan dengan kenaikan pH. Kenaikan pH tidak selalu
diikuti dengan penurunan kestabilan antosianin. Penelitian Ozela et al. (2007)
menunjukkan bahwa kestabilan antosianin buah Basella rubra pada pH 5 dan 6 lebih
baik dibandingkan dengan pH 4, Sejalan dengan itu Fossen et al. (1998) menyebutkan
bahwa kestabilan antosianin petunin mencapai puncaknya pada pH 8,1.

Tabel 14 Absorbansi warna ekstrak bunga teleng pH 1 hingga 14 selama


penyimpanan pada suhu ruang

Absorbansi (A)
pH maks (nm) Hari ke
0 7 14 21 28
1 548 1,07 1,03 1,01 0,98 0,93
2 548 0,96 0,86 0,65 0,14 0,04
3 566 1,01 0,12 0 0 0
4 572 1,33 0,19 0,05 0 0
5 620 1,57 0,10 0,03 0 0
6 624 1,72 0,08 0 0 0
7 624 1,75 0,08 0 0 0
8 628 1,86 0,08 0 0 0
9 628 1,86 0,11 0 0 0
10 598 1,15 0,16 0 0 0
11 594 1,11 0,15 0,02 0 0
12 594 0,07 0 0 0 0
13 594 0,07 0 0 0 0
14 594 0,06 0 0 0 0

Pengaruh pH terhadap kestabilan antosianin ekstrak bunga teleng pada penelitian


ini tampaknya mengikuti pola yang umum terjadi pada antosianin, yaitu lebih stabil
pada pH rendah. Setelah penyimpanan selama 28 hari intensitas warna ekstrak pH 2
telah berkurang menjadi tinggal 4 %, sedangkan warna ekstrak pH 1 pada lama
penyimpanan yang sama masih tersisa 86 %. Pada pH 1 dan 2 antosianin berada dalam
bentuk kation flavilium. Kation flavilium ini bersifat stabil pada kondisi yang sangat
asam. Kenaikan pH membuatnya berubah menjadi basa kuinonoidal yang tidak stabil
yang segera berikatan dengan air membentuk senyawa yang tak berwarna (Laleh et al.
50

2006). Laju degradasi warna baik ekstrak pH 1 maupun 2 mengikuti persamaan reaksi
ordo 0 (Gambar 17).

b. Stabilitas warna pada suhu 4oC


Seperti terlihat pada Gambar 18, ekstrak bunga teleng yang disimpan pada suhu
o
4 C memiliki kestabilan yang jauh lebih baik dibandingkan dengan yang disimpan pada
suhu ruang, dengan pengecualian ekstrak pH 12 hingga 14,

100
100%
% Absorbansi yang tersisa

80
80% y = -0,032x + 1,031
R = 0,974
60
60%
pH 1
40
40% y = -0,267x + 1,352
pH 2
R = 0,936

20
20%

0
0%
0 7 14 21 28
Lama penyimpanan (hari)

Gambar 17 Degradasi warna ekstrak bunga teleng pH 1 dan 2 yang disimpan pada
suhu ruang. Grafik untuk pH 3-11 tidak ditampilkan karena kerusakan
antosianin sudah mencapai hampir 100 % pada hari ke 7.
51

Gambar 18 Spektrum warna ekstrak bunga teleng pada pH 1 hingga 14 selama


penyimpanan pada suhu 4oC

Pada Tabel 15 terlihat bahwa ekstrak pH 1 dan pH 2 memiliki warna yang stabil
selama 28 hari penyimpanan. Hasil ini menunjukkan bahwa pada penyimpanan suhu
4oC bentuk kation flavilium dari antosianin, baik pada pH 1 maupun 2, bersifat stabil.
Sejalan dengan kenaikan pH, kation flavilium berubah menjadi 2 tautomer basa
kuinonoidal. Basa kuinonoidal yang kedua mencapai jumlah yang maksimum pada pH
52

7. Terlihat pula bahwa ekstrak pH 7 hingga 11 juga relatif stabil selama penyimpanan.
Ini menunjukkan pula bahwa dalam bentuk basa kuinonoidal kedua, antosianin bersifat
stabil selama penyimpanan pada suhu 4 oC. Dengan demikian, terdapat dua bentuk
antosianin yang stabil selama penyimpanan pada suhu 4 oC, yaitu bentuk flavilium
kation dan basa kuinonoidal kedua.
Karakteristik yang unik ditunjukkan oleh ekstrak pH 3, 4, 5, dan juga 6. Sampai
hari ke 14 penyimpanan, ekstrak pH 3 dan 4 mengalami degradasi warna, kemudian
mengalami peningkatan warna pada hari ke 21 dan 28. Sementara itu ekstrak pH 5
mengalami degradasi warna hingga lama penyimpanan 21 hari, baru kemudian
mengalami peningkatan warna. Pengamatan hingga hari ke 28 menunjukkan bahwa
ekstrak pH 6 sepertinya memiliki pola degradasi warna yang tidak sama dengan pH 3
hingga 5. Akan tetapi pengamatan lanjutan yang dilakukan hingga hari ke 35
menunjukkan bahwa ekstrak pH 6 juga memiliki pola sejenis, yaitu mengalami
kenaikan intensitas warna setelah lama penyimpanan 35 hari (Gambar 19). Tampaknya

Tabel 15 Absorbansi warna ekstrak bunga teleng pH 1 hingga 14 selama


penyimpanan pada suhu 4oC

Absorbansi ()
maks
pH (nm) Hari ke
0 7 14 21 28
1 548 1,07 0,99 1,03 1,05 1,04
2 548 0,96 0,98 0,89 0,99 0,95
3 566 1,01 0,81 0,86 0,93 1,07
4 572 1,33 1,05 0,98 1,02 1,30
5 620 1,57 1,46 1,31 0,83 1,44
6 624 1,72 1,45 1,38 1,36 1,35
7 624 1,79 1,78 1,70 1,76 1,76
8 628 1,86 1,90 1,80 1,81 1,81
9 628 1,86 1,82 1,71 1,73 1,70
10 598 1,15 1,15 1,14 1,12 1,11
11 594 1,11 1,09 1,08 1,09 1,06
12 594 0,07 0 0 0 0
13 594 0,07 0 0 0 0
14 594 0,06 0 0 0 0
53

pada periode awal penyimpanan basa kuinonoidal 1 dan 2 yang merupakan bentuk
dominan dari antosianin pada rentang pH 3-6 mengalami perubahan menjadi bentuk
hemiketal yang tidak berwarna. Sebagai hasilnya, warna ekstrak bunga menjadi lebih
pundar atau nilai absorbansi pada spektrofotometer turun. Hal ini disebabkan oleh sifat
basa kuinonoidal yang tidak stabil (Laleh et al. 2006). Akan tetapi, pada periode
penyimpanan yang lebih lama hasil penelitian menunjukkan peningkatan nilai
absorbansi. Peningkatan kembali intensitas warna sesudah mengalami penurunan ini
menandakan terbentuknya kembali basa kuinonoidal dari hemiketal.

100%
% Absorbansi yang tersisa

80% pH 3
pH 4
60%
pH 5
pH 6
40%

20%

0%
0 7 14 21 28 35
Hari

Gambar 19 Degradasi warna ekstrak bunga teleng pH 3-6 yang disimpan pada
suhu 4oC. Grafik untuk pH 1-2 dan 7-11 tidak ditampilkan karena
stabil selama penyimpanan.
54
V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Paparan panas baik melalui proses blansir maupun ekstraksi diperlukan untuk
mendapatkan volum ekstrak bunga teleng yang maksimal, dengan kadar antosianin dan
total fenol yang maksimal pula. Akan tetapi, paparan panas yang berlebihan
mengakibatkan turunnya volum, kadar antosianin dan total fenol pada ekstrak bunga
teleng. Kondisi optimum untuk proses ekstraksi bunga teleng adalah blansir 6 menit,
diikuti dengan ekstraksi pada suhu 60oC selama 30 menit.
Struktur kimia antosianin bunga teleng berpengaruh terhadap aktivitas
antioksidannya. Aktivitas antioksidan tertinggi ditunjukkan oleh struktur kation
flavilium yang merupakan struktur dominan antosianin pada pH 1. Semakin rendah
kadar kation flavilium yang sejalan dengan kenaikan pH ekstrak, semakin rendah pula
aktivitas antioksidannya.
Stabilitas warna ekstrak bunga teleng selama penyimpanan dipengaruhi baik oleh
suhu penyimpanan maupun pH ekstrak. Warna ekstrak bunga teleng memiliki
kestabilan yang jauh lebih baik jika disimpan pada suhu 4 oC dibandingkan dengan jika
disimpan pada suhu ruang.
Kestabilan tertinggi dari ekstrak yang disimpan pada suhu ruang ditunjukkan oleh
ekstrak pH 1, diikuti oleh ekstrak pH 2. Ekstrak pH 3 atau lebih tinggi memiliki
kestabilan warna yang rendah. Jika disimpan pada suhu 4 oC stabilitas warna ekstrak
bunga teleng mencapai 100 persen pada dua rentang pH, yaitu 1-2 dan 7-11. Sementara
itu pada pH 3-6 ekstrak mengalami degradasi warna pada periode awal penyimpanan,
kemudian mengalami kenaikan intensitas warna pada periode akhir penyimpanan.

B. Saran

Keunikan yang terjadi pada ekstrak pH 3 hingga 6 yang disimpan pada suhu 4 oC
perlu dipelajari lebih jauh. Dugaan bahwa terjadi perubahan basa kuinonoidal yang
berwarna biru menjadi bentuk hemiketal yang tak berwarna pada periode awal
penyimpanan, dan pembentukan kembali basa kuinonoidal dari bentuk hemiketal pada
56

periode akhir penyimpanan perlu diuji melalui penelitian yang lebih mendalam.
Pengukuran nilai serapan atau absorbansi perlu diperluas tidak hanya pada panjang
gelombang maksimalnya, melainkan pada berbagai panjang gelombang baik di wilayah
ultraviolet maupun cahaya tampak sehingga perubahan komposisi nilai absorbansi
selama penyimpanan dengan lebih teliti dipelajari. Diharapkan dengan penelitian yang
lebih mendalam ini penjelasan yang lebih lengkap terkait kestabilan warna ekstrak
bunga teleng selama penyimpanan pada pH 3 hingga 6 pada suhu 4 oC dapat
dikembangkan.
DAFTAR PUSTAKA

[Anonim]. 2005. The Wealth of India, Vol. II, New Delhi: Council of Scientific and
Industrial Research:233-234.
Adams JB. 1973. Thermal degradation of anthocyanins with particular reference to the
3-glycosides of cyanidin. I. in acidified aqueous solution at 100 deg. J. Sci. Food
Agri. 24: 747-762.
Agrawal P, Deshmukh S, Ali A, Patil S, Magdum CS, Mohite SK, Nandgude TD. 2007.
Wild Flowers as Medicine. Int. J. Green Pharm. 1(1):12
Andersen OM, Markham KR. 2005. Flavonoid: chemistry, biochemistry and
application. CRC Press. Boca Raton, FL
Anderson OM, Francis GW. 2004. Techniques of pigment identication. Annual Plant
ReviewsPlant Pigments and Their Manipulation. 14:293341.
AOAC. 2005. AOAC Official Method 2005.02. Total monomeric anthocyanin pigment
content of fruit juices, beverages, natural colorants, and wines. pH Differential
Method.
Asen S, Stewart RN, Norris KH. 1972. Copigmentation of anthocyanins in plant tissues
and its effect on color. Phytochemistry. 11:1139-1144.
Baublis A, Spomer A, Berber-Jimenez MD. 1994. Anthocyanin pigments: comparison
of extract stability. J. Food Sci. 59 : 1219-1221,1233.
Broennum-Hansen K, Flink JM. 1985. Anthocyanin colorants from elderberry
(Sambucus nigra L.).3. Storage stability of the freeze dried product. J. Food.
Technol. 20:725:733.
Brouillard R.1982. Chemical structure of anthocyanins. Di dalam: Markakis P, editor.
Anthocyanins as Food Colors. Academic press, New York:1-38.
Byrnes N. 2011. Evaluating the stability of purple corncob extract in tortilla chips.
[Thesis]. Ohio:Graduate Program in Food Science and Technology. The Ohio State
University.
Cabrita L, Fossen T, Andersen OM. 2000. Colour and stability of the six common
anthocyanin 3-glucosides in aqueous solutions. Food Chem. 68:101-107.
Chaovanalikit A, Apichayaluk S, Kongtong S, Chuprathum S. 2009. Effect of pH and
temperature on the stability and visual color of roselle and butterfly pea extracts.
Agric. Sci. J. 40(3):5-8.
Chaovanalikit A, Jaroenvong S, Cha-aim S. 2009. Effect of Pasteurization and pH on
Anthocyanin Content and Shelf-Life of Butterfly pea Juice. Agric. Sci. J.
40(1):433-436.
Chauhan N, Rajvaidhya S, Dubey BK. 2012. Pharmacognostical, Phytochemical and
Pharmacological Review on Clitoria ternatea for Antiasthmatic Activity. Int. J.
Pharm. Sci. Res. 3(2): 398-404
58

Choi MY, Chai C, Park JH, Lim J, Lee J, Kwon SW. 2011. Effects of storage period
and heat treatment on phenolic compound composition in dried Citrus peels
(Chenpi) and discrimination of Chenpi with different storage periods through
targeted metabolomic study using HPLC-DAD analysis.[Abstrak]. J. Pharm.
Biomed. Anal. 54(4):638-45. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21145683. [6
Juni 2012].
Daisy P, Priya N, Rajathi M. 2004. Immunomodulatory activity of Eugenia jambolana,
Clitoria ternatea and Phyllanthus emblica on alloxan induced diabetic rats. J. Exp.
Zool. Ind. 7:269-278.
Daisy P, Rajathi M. 2009. Hypoglycemic Effects of Clitoria ternatea Linn. (Fabaceae)
in Alloxan-induced Diabetes in Rats. Trop. J. Pharm. Res. 8 (5):393-398
Daisy P, Santosh K, Rajathi M. 2009. Antihyperglycemic and antihyperlipidemic effects
of Clitoria ternatea Linn. in alloxan-induced diabetes rats. Afr. J. Microbiol. Res.
3(5):287-291
Darias-Martin J, Martin-Luis B, Carillo-Lopez M, Lamuela-Raventos R, Diaz-Romero
C, Boulton R. 2002. Effect of cafeic acid on the color of red wine. J. Agric. Food
Chem. 50:2062-2067.
Eckhardt R. 2011. A breakfast to dye for. South China Morning Post. 29 Sep 2011.
Edwards RL, Lyon T, Litwin SE, Rabovsky A, Symons JD, Jalili T. Quercetin reduces
blood pressure in hypertensive subjects. 2007. J Nutr. 137:2405-2411
Fantz PR. 1991. Ethnobotany of Clitoria (Leguminosae). Economic Botany. 45(4):511-
520
Fang Z, Zhang M, Sun Y, Sun J. 2006. How to improve bayberry (Myrica rubra Sieb.
et Zucc.) juice color quality: Effect of juice processing on bayberry anthocyanins
and polyphenolics. J. Agric. Food Chem. 54:99106.
Francis FJ. 1989. Food colorants: antocyanins. Crit. Rev. Food Sci. Nutr. 28(4):273-
314.
Ghosh D, Konishi T. 2007. Anthocyanins and anthocyanin-rich extracts: Role in
diabetes and eye function. Asia Pac. J. Clin. Nutr. 16(2):200-208.
Green RC. 2007. Physicochemical properties and phenolic composition of selected
Saskatchewan fruit : bufalloberry, chokecerry and sea buckthorn. [Thesis].
Saskatoon: Department of Applied Microbiology and Food Science, University of
Saskatchewan.
Chahal J, Gupta GK, Bhatia M. 2010. Clitoria ternatea (L.) : Old and new aspects. J.
Pharm. Res. 3(11):2610-2614.
Figueiredo P, Lima JC, Santos H, Wigand MC, Brouillard R, Macanita AL, Pina F.
1994. Photochromism of the synthetic 4',7-dihydroxyflavylium chloride. J. Am.
Chem. Soc. 166:1249-1254.
Fossen T, Cabrita L, Andersen OM. 1998. Colour and stability of pure anthocyanins
infuenced by pH including the alkaline region. Food Chem. 63(4):435-440
59

He J. 2008. Isolation of anthocyanin mixtures from vegetables and evaluation of their


availability and biotransformation in the gastrointestinal tract. [Disertasi]. Ohio:
Graduate School, The Ohio State University.
Heras-Ramirez ME, Quitero-Ramos A, Camacho-Davila AA, Bernard J, Talamas-
Abbud R, Torrez-Munoz JV, Salas-Munoz E. 2011. Effect of blanching and drying
temperature on polyphenolic compound stability and antioxidant capacity of apple
pomace. Food Bioprocess Technol. DOI 10.1007/s11947-011-0583-x.
Huang CL, Liao WC, Chan CF, Lai YC.2010. Optimization for the anthocyanin
extraction from purple sweet potato roots, using response surface methodology. J.
Taiwan Agric. Res. 59(3):143-150.
Hussain MT, Verma AR, Vijayakumar M, Sharma A, Mathela CS, Rao CV. 2009.
Rutin, a natural flavonoid, protects against gastric mucosal damage in experimental
animals. Asian J. Trad. Med. 4(5):188-197.
Immanuel RR, Elizabeth LL. 2009. Weeds in agroecosystems: A source of medicines
for human healthcare. Int. J. Pharmtech Res.1(2):375-385.
Iversen CK. 1999. Black Currant Nectar: Effect of processing and storage on
anthocyanin and ascorbic acid content. J. Food Sci. 64(1):37-41.
Kahkonen MP, Heinonen M. 2003. Antioxidant activity of anthocyanins and their
aglycons. J. Agric. Food Chem.51(3):628-633.
Kaisoon O, Siriamornpun S, Weerapreeyakul, Meeso N. 2011. Phenolic compounds and
antioxidant activities of edible flowers from Thailand. J. Func. Food. 3:88-99.
Kalt W, McDonald JE, Donner H. 2000. Anthocyanins, phenolics and antioxidant
capacity of processed lowbush blueberry products. J. Food Sci. 65:390-393.
Kamkaen N, Wilkinson JM. 2009. The antioxidant activity of Clitoria ternatea flower
petal extracts and eye gel. [Abstrak]. Phytotherapy Res. 23(11):1624-1625.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19367668. [4 Agustus 2012].
Kong JM, Chia LS, Goh NK, Chia T, Brouillard R. 2003. Analysis and biological
activities of anthocyanins. Phytochem. 64: 923-933.
Kotwal GJ. 2007. Genetic diversity-independent neutralization of pandemic viruses
(e.g. HIV), potentially pandemic (e.g. H5Nl strain of influenza) and carcinogenic
(e.g. HBV and HCV) viruses and possible agents of bioterrorism (variola) by
enveloped virus neutralizing compounds (EVNes). Vaccine. Online ahead of
print.
Kou Y, Inaba H, Kato T, Tagashira M, Honma D, Kanda T, Ohtake Y, Amano A.
2008. Inflammatory responses of gingival epithelial cells stimulated with
porphyromenas gingivalis vesicles are inhibited by hop-associated polyphenols.
J. Periodontol. 79:174-180.
Laleh GH, Frydoonfar H, Heidary R, Jameei R, Zare S. 2006. The effect of light,
temperature, pH and species on stability of anthocyanin pigments in four Berberis
species. Pak. J. Nutr. 5 (1): 90-92
60

Larson A, Symons JD, Thunder J. 2010. Quercetin: a treatment for hypertension? A


review of efficacy and mechanisms. Pharmaceuticals 3:237-250.
Lee PM, Abdullah R, Lee KH. 2011. Thermal degradation of blue anthocyanin extracts
of Clitoria ternatea flower. 2011 2nd International Conference on Biotechnology
and Food Science IPCBEE. Vol 7.
Liyana-Pathirana C, Shahidi F. 2005. Optimization of extraction of phenolic compounds
from wheat using response surface methodology. Food Chem. 93:47-56.
Mabry TJ, Markham KR, Thomas MB. 1970. The aglycone and sugar analysis of
flavonoid glycosides. In The Systematic Identification of Flavonoids ; Springer-
Verlag: New York,
Macheix JJ, Fleuriet A, Billot J. 1990. Fruit Phenolics; CRC Press: Boca Raton, FL.
Markakis P. 1982. Stability of anthocyanins in foods. di dalam: Anthocyanins as Food
Colors. Markakis P (ed.). Academic Press Inc., New York. 163-178.
Mazza G, Kay CD, Cottrell T, Holub BJ. 2002. Absorption of anthocyanins from
blueberries and serum antioxidant status in human subjects J. Agric. Food Chem.
50:77317737.
Mazza G, Brouillard R. 1987. Recent development in the stabilization of anthocyanins
in food product. Food Chem. 25 : 207-225.
Mizobutsi GP, Finger FL, Ribeiro RA, Puschmann R, de Melo Neves LL, da Mota WF.
Effect of pH and temperature on peroxidase and polyphenoloxidase activities of
litchi pericarp. Sci. Agric. (Piracicaba, Braz.). 67(2):213-217.
Morris JB, Wang WL. 2007. Anthocyanin and potential therapeutic traits in Clitoria,
Desmodium corchorus, Catharanthus, and Hibiscus Species. Acta Hortic: 381-388
Morris JB. 2009. Characterization of butterfly pea (Clitoria ternatea L.) Accessions for
morphology, phenology, reproduction and Potential nutraceutical, pharmaceutical
trait utilization. Genet. Resour. Crop Evol. 56:425-426.
Morton JF. 1983. Atlas of medicinal plants of middle America, Bahamas to Yucatan.
Charles C Thomas, Springfield, IL:303-304.
Mukherjee PK, Kumar V, Kumar NS, Heinrich M. 2008. The Ayurvedic medicine
Clitoria ternatea From traditional use to scientific assessment. J. Ethnopharm.
120(3): 291-301.
Mulinacci N, Romani A, Pinelli P, Gallori S, Giaccherini C, Vincieri FF. 2001.
Stabilization of natural anthocyanins by micellar system. Int. J. Pharm. 216:23-31.
Nakajima J, Tanaka I, Seo S, Yamazaki M, Saito K. 2004. LC/PDA/ESI-MS Profiling
and radical scavenging activity of anthocyanins in various berries. J. Biomed. and
Biotech.. 5:241-247.
Nayak B. 2011. Effect of thermal processing on the phenolic antioxidants of colored
potatoes. [Disertasi]. Washington: Department of Biological Systems Engineering,
Washington State University.
61

Nebesky EA, Esselen WB, Jr, McConnell JEW, Fellers CR. 1949. Stability of color in
fruit juices. Food Res. 14: 261-274.
Nieman DC, Henson DA, Gross SJ, Jenkins DP, Davis JM, Murphy EA,
Carmichael MD, Dumke CL, Utter AC, McAnulty SR, McAnulty LS, Mayer
EP. 2007. Quercetin reduces illness but not immune perturbations after intensive
exercise. Med. Sci. Sports Exerc. 39:1561-1569.
Nothlings U, Murphy SP, Wilkens LR, Henderson BE, Kolonel LN. 2007. Flavonols
and pancreatic cancer risk: the multiethnic cohort study. [Abstrak]. Am. J.
Epidemiol. 166:924-931. http://aje.oxfordjournals.org/content/166/8/924.long. [4
Agustus 2012].
Ozela EF, Stringheta PC, Chauca MC. 2007. Stability of anthocyanin in spinach vine
(Basella rubra) fruits. Cien. Inv. Agr. 34(2): 115-120.
Palamidis N, Markakis P. 1978. Stability of grape anthocyanin in carbonated
beverages. Semana Vitivinicola 33: 2633, 2635, 2637-2639.
Parrotta JA. 2001. Healing plants of peninsular India. C.A.B.I. publication:382-383
Patil AP, Patil VR. 2011. Clitoria ternatea Lin : An overview. Int. J. Pharm. Res.
3(1):20-23.
Patras A, Brunton NP, ODonnel C, Tiwari BK. 2010. Effect of thermal processing on
anthocyanin stability in foods; mechanism and kinetics of degradation. Trends in
Food Sci. Technol.21:3-11.
Pereira DM, Valento P, Pereira JA, Andrade PB. 2009. Phenolics: From chemistry to
biology. Molecules. 14:2202-2211.
Pifferi PG, Cultrera R. 1974. Enzymic degradation of anthocyanins. Role of sweet
cherry polyphenol oxidase. J. Food Sci. 39: 786-791.
Ragupathy S, Newsmaster SG. 2009. Velorizing the Irulas traditional knowledge of
medicinal plants in Kodiakkarai Reserve Forest, India. J. Ethnobiol. & Ethnomed.
5(10).
Rao DB, Kiran CR, Madhavi Y, Rao PK, Rao TR. 2009. Evaluation of antioxidant
potential of Clitoria ternatea L. and Eclipta prostrate L. Ind. J. Biochem. &
Biophysics. 46:247-252
Rein M. 2005. Copigmentation reactions and color stability of berry anthocyanins.
[Disertasi]. Helsinki : Department of Applied Chemistry and Microbiology,
University of Helsinki.
Rhone M, Basu A. 2008. Phytochemicals and age-related eye diseases. Nutr. Rev.
66(8):465472
Rice-Evans CA, Miller NJ, Paganga G. 1996. Structure - Antioxidant activity
relationships of flavonoids and phenolic acids. Free Rad. & Med. 20(7):933-956.
Robards K, Antolovich M. 1997. Analytical chemistry of fruit bioflavonoids. Analyst.
122: 11R - 34R.
62

Rodriguez-Saona LE, Giusti MM, Wrolstad RE. 1999. Color and pigment stability of
red radish and red-fleshed potato anthocyanins in juice model system. J. Food Sci.
64:451-456.
Rogerio AP, Kanashiro A, Fontanari C, da Silva EV, LucisanoValim YM, Soares EG,
Faccioli LH. 2007. Anti-inflammatory activity of quercetin and isoquercitrin in
experimental murine allergic asthma. Inflamm. Res. 56:402-408.
Rossi M, Giussani E, Morelli R, Lo Scalzoc R, Nani RC, Torreggiani D. 2003. Eect of
fruit blanching on phenolics and radical scavenging activity of highbush blueberry
juice. Food Res. Int. 36:9991005
Ruenroengklin N, Zhong J, Duan X, Yang B, Li J, Jiang Y. 2008. Effects of various
temperatures and pH values on the extraction yield of phenolics from litchi fruit
pericarp tissue and the antioxidant activity of the extracted anthocyanins. Int. J.
Mol. Sci. 9:1333-1341.
Sadilova E, Stintzing FC, Carle R (2006). Thermal degradation of acylated and
nonacylated anthocyanins. J. Food Sci. 71:C504-C512.
Saito N, Abe K, Honda T, Timberlake CF, Bridle P. 1985. Acylated Delphinidin
Glucosides and flavonols from Clitoria ternatea. Phytochem. 24(7):1583-1586.
Sanchez-Moreno C. 2002. Review: Methods used to evaluate the free radical
scavenging activity in foods and biological systems. Food Sci. Technol. Int. 8:121
137.
Sarma AD, Sreelakshmi Y, Sharma R. 1997. Antioxidant ability of anthocyanins against
ascorbic acid oxidation. Phytochem. 45(4):671-674.
Schaefer E, Peil H, Ambrosetti L, Petrini O. 2003. Oedema protective properties of
the red vine leaf extract AS 195 (Folia vitis viniferae) in the treatment of
chronic venous insufficiency. A 6-week observational clinical trial.
Arzneimittelforschung 53:243-246
Sharma HM, Devi AR, Sharma BM. 2005. Vegetable dyes used by the Meitei
community of Manipur. Ind. J. Trad. Know. 4(1):39-46
Sharma AK, Majumdar M. 1990. Some observations on the effect of Clitoria ternatea
Linn. on changes in serum sugar level and small intestinal mucosal carbohydrase
activities in alloxan diabetes. Calcut. Med. J. 87:168-171.
Shimokawa K, Yamada K, Kita M, Uemura D. 2007. Convergent synthesis and in
vivo inhibitory effect on fat accumulation of (-)-tematin, a highly N-
methylated cyclic peptide. Bioorg. Med. Chern. Lett. 16:4447-4449S
Shyamkumar, Ishwar B. 2012. Antiinflammatory, analgesic and phytochemical studies
of Clitoria ternatea Linn flower extract. Intl. Res. J. Pharm. 3(3):208-210.
Singletary KW, Jung KJ, Giusti M. 2007. Anthocyanin-rich grape extract blocks
breast cell DNA damage. J. Med. Food 10:244-251.
Singleton VL, Rossi JA. 1965. Colorimetry of total phenolics with
phosphomolybdicphosphotungstic acid reagents. Am. J. Enol. Vitic. 16:144-158.
63

Solanki YB, Jain SM. 2010. Immunomodulatory activity of ayurvedic plant aparajita
(Clitoria ternatea L.) in male albino rats. Global J. Sci. Front. Res. 10(3):2-8.
Srivastava A, Akoh CC, Fisher J, Krewer G. 2007. Effect of anthocyanin fractions
from selected cultivars of Georgiagrown blueberries on apoptosis and phase in
enzymes. J. Agric. Food Chem. 55:3180-3185.
Starr MS, Francis FJ. 1968. Oxygen and ascorbic acid effect on the relative stability of
four anthocyanin pigments in cranberry juice. Food Tech. 22: 1293-1295.
Stintzing FC, Carle R. 2004. Functional properties of anthocyanin and betalains in
plants, food, and in human nutrition. Trends Food Sci. Technol. 15:19-38.
Sukkhamduang W, Porasuphatana S, Damrongrungruang T, Priprem A. Permeation
study of Clitoria ternatea Linn. extract. The 12th Graduate Research Conference.
Khon Kaen University.
Suzuki H, Nishino T, Nakayama T. Anthocyanin acyltransferase engineered for the
synthesis of a novel polyacylated anthocyanin. Plant Biotech. 24:495-501
Tanaka Y, Sasaki N, Ohmiya A. 2008. Biosynthesis of plant pigments: anthocyanins,
betalains and carotenoids. The Plant J. 54:733-749
Tantituvanont A, Werawatganone P, Jiamchaisri P, Manopakdee K. 2008. Preparation
and stability of butterfly pea color extract loaded in microparticles prepared by
spray drying. Thai. J. Pharm. Sci. 32:59-69
Terahara N, Saito N, Honda T, Toki K and Osajima Y. 1990. Acylated anthocyanins
of Clitoria ternatea flowers and their acyl moieties, Phytochem. 29(3):949-953
Terahara N, Oda M, Matsui T, Osajima Y, Saito N, Toki K, Honda T. 1996. Five new
anthocyanins, ternatins A3, B4, B3, B2, and D2, from Clitoria ternatea
flowers.[Abstrak]. J. Nat. Prod. 1996 Feb; 59(2):139-44.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov-/pubmed/8991946. [6 Jul 2012].
Terahara N, Toki K, Saito N, Honda T, Matsui T, Osajima Y. 1998. Eight new
anthocyanins, ternatins C1-C5 and D3 and preternatins A3 and C4 from young
Citoria ternatea flowers. [Abstrak]. J. Nat. Prod. 61(11):1361-7.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed-/9834153 [6 Jul 2012].
Timbola AK. de Souza CD, Giacomelli C, Spinelli A. 2006. Electrochemical Oxidation
of Quercetin in Hydro-Alcoholic Solution. J. Braz. Chem. Soc. 17(1):139-148.
Trost K, Golc-Wondra, Prosek M.2009. Degradation of polyphenolic antioxidants in
blueberry nectar aseptically filled in PET. Acta Chim. Slov. 56:494502
Tulyathan V, Duangmal K, Thunpittayakul C. 1993. Anthocyanin extractive from blue
pea flowers (Clitoria ternatea L.) [Abstrak]. Thai. J. of Agric. Sci. 26(2):171-183.
Uma B, Prabhakar K, Rajendran S. 2009. Phytochemical analysis and antimicrobial
activity of Clitoria ternatea Linn. against extended spectrum beta lactamase
producing enteric and urinary pathogens. Asian J. Pharm. & Clin. Res. 2(4).
Vadlapudi V, Naidu C. 2010. In vitro bioevaluation of some Indian medicinal plants.
Drug Invent. Today. 2(1):65-68.
64

Vankar PS, Srivastava J. 2010. Evaluation of anthocyanin content in red and blue
flowers. Int. J. Food Eng. 6(4).
Wang L, Stoner GD. 2008. Anthocyanins and their role in cancer prevention. Cancer
Lett. 269:281 290.
Wang H, Cao G, Prior RL. 1996. Total antioxidant capacity of fruits. J. Agri. Food
Chem. 44: 701-705.
Wongcharee K, Meeyoo V, Chavadej S. 2006. Dye-sensitized solar cell using natural
dyes extracted from rosella and blue pea flowers. Solar En. Mat. & Solar Cells.
91(7):551-658
Wongsangta N, Sukkhamduang W, Priprem A, Preeprame S, Nuankaew N. 2009.
Effect of metal ion and temperature on amount of anthocyanins in aqueous solution.
Wrolstad RE, Durst RW, Lee J. 2005. Tracking color and pigment changes in
anthocyanin products. Trends in Food Sci. & Tech. 16: 423-428
Xu G, Ye X, Chen J, Liu D. 2007. Effect of heat treatment on the phenolic compounds
and antioxidant capacity of citrus peel extract. [Abstrak]. J. Agric. & Food Chem.
55(2). http://lib.bioinfo.pl/paper:17227062. [6 Juni 2012].
Zhang Y, Vareed SK, Nair MG. 2005. Human tumor cell growth inhibition by
nontoxic anthocyan ins the pigments in fruits and vegetables. Life Sci. 76:1465-
1472.
Zheng W, Wang SY. 2001. Antioxidant activity and phenolic compounds in selected
herbal. J. Agric. & Food Chem. 49(11):5165:5170
Zheng Y, Wang CY, Wang SY, Zheng W. 2007. Changes in strawberry phenolics,
anthocyanins, and antioxidant capacity in respose to high oxygen treatment.LWT-
Food Sci. Tech. 40:49.
LAMPIRAN
66

Lampiran 1 Data hasil panen kelopak bunga teleng

Untuk keperluan penelitian ini bunga teleng diperoleh dari tanaman yang ditanam
pada lahan seluas 4 m2. Tanaman ini ditanam pada tanggal 11 Maret 2011 dan
digunakan untuk penelitian yang berlangsung antara Desember 2011 hingga Maret
2012.
Selain karakteristik berat kelopak, dihitung pula hasil panen bunga teleng. Jumlah
sampel untuk pengukuran berat adalah 40 helai kelopak bunga teleng, sedangkan hasil
panen dihitung sebagai rata-rata dari 8 kali pemanenan. Data hasil pengukuran adalah
sebagai berikut.

Berat kelopak, g
Dengan pangkal 0,36 0,01
Tanpa pangkal 0,22 0,01
Rendemen, % 59,51 1,33
Kadar air, % 89,24 0,54
Hasil panen, g/m2
Dengan pangkal 26,39
Tanpa pangkal 16,08
67

Lampiran 2 Kurva baku asam galat

Kurva baku asam galat diperlukan untuk menghitungan kandungan total fenol
pada sampel. Untuk membuat kurva baku ini disiapkan 4 larutan asam galat yang
berbeda-beda, kemudian serapan cahayanya diukur pada panjang gelombang 765 nm.
Kemudian dihitung persamaan regresi yang menghubungkan konsentrasi asam galat
dengan absorbansinya. Tabel dan grafik pengukuran absorbansi asam galat serta
persamaan liniernya adalah sebagai berikut :

Konsentrasi Absorbansi
(mg/l) (A)
68 0,405
102 0,629
136 0,966
272 2,222

2.5
y = 0.009x - 0.254
R = 0.998
2.0
Absorbansi (A)

1.5

1.0

0.5

0.0
0 50 100 150 200 250 300

Konsentrasi Asam Galat (mg/L)


68

Lampiran 3 Data absorbansi untuk pengujian antosianin monomerik dan total fenol

Total
Antosianin Monomerik Fenol
Std Run (510nm-700nma (5pH1-pH4,5 (5765nmb
pH 1 pH 4,5
1 1 0,2385 0,1530 0,0855 0,2580
3 2 0,6510 0,4330 0,2180 0,7385
7 3 0,4860 0,3020 0,1840 0,6150
12 4 0,5755 0,4255 0,1500 0,8340
13 5 0,5545 0,3470 0,2075 0,6310
5 6 0,2975 0,1855 0,1120 0,3230
15 7 0,5965 0,3715 0,2250 0,6595
17 8 0,5625 0,3460 0,2165 0,6140
9 9 0,4035 0,2530 0,1505 0,4680
4 10 0,4690 0,3005 0,1685 0,5555
2 11 0,5190 0,3205 0,1985 0,4765
11 12 0,5237 0,2953 0,2283 0,4905
6 13 0,5587 0,3423 0,2163 0,6230
8 14 0,5855 0,3585 0,2270 0,6895
16 15 0,5855 0,3435 0,2420 0,6745
14 16 0,5517 0,3547 0,1970 0,7760
10 17 0,5993 0,3903 0,2090 0,7315
a = rata-rata dari 3 ulangan
b = rata-rata dari 2 ulangan
69

Lampiran 4 Hasil Sidik Ragam atau Analysis of Variance (ANOVA)

Berikut ini adalah hasil ANOVA untuk masing-masing respons sebagaimana yang
disajikan oleh perangkat lunak Design Expert versi 8.0.7.1
Berdasarkan data hasil penelitian, perangkat lunak akan melakukan pengolahan
dan menyarakankan model persamaan yang menghubungkan antara masing-masing
respons dengan semua faktor yang dipelajari. Untuk rancangan percobaan Box-Behnken
model tertinggi yang bisa diprediksi adalah model persamaan kuadratik. Sehingga
model persamaan yang memungkinkan adalah mean (nilai respons sama di semua nilai
faktor), linear, interaksi 2 faktor dan kuadratik.
Langkah selanjutnya adalah memperhatikan nilai p atau p-value dari model yang
disarankan dan lack of fit. Nilai p yang diharapkan untuk model adalah lebih kecil dari
0,05 yang menandakan bahwa persamaan tersebut signifikan atau bermakna, serta sama
dengan atau lebih besar dari 0,05 untuk lack of fit yang menandakan bahwa model yang
disarankan tepat. Jika lack of fit bermakna (nilai p lebih kecil dari 0,05) maka perlu
dikembangkan model yang lain. Jika nilai p untuk model lebih besar daripada 0,05,
maka nilainya dapat diturunkan dengan menghilangkan faktor-faktor yang tidak
signifikan sehingga mencapai nilai lebih kecil dari 0,05.
Selanjutnya perangkat lunak akan menghitung perkiraan koefisien (coefficient
estimate) dari intersep dan masing-masing faktor dan menyusun persamaan matematika
yang menghubungkan suatu respons dengan faktor yang dipelajari berdasarkan
perkiraan estimasi tadi. Persamaan matematika disajikan dalam dua bentuk, yaitu dalam
bentuk coded factor dan actual factor. Dalam bentuk coded factor berarti nilai faktor
disajikan dalam bentuk nilai kode yang memiliki rentang antara -1 hingga 1. Nilai -1
adalah untuk nilai paling rendah dari faktor yang dipelajari, sedangkan nilai 1 adalah
untuk nilai paling tinggi. Misalkan lama blansir yang dipelajari adalah antara 0 hingga
12 menit, maka -1 mewakili 0 dan 1 mewakili 12.
Dengan persamaan ini maka nilai suatu respons pada setiap nilai faktor pada
rentang yang dipelajari akan dapat diperkirakan. Persamaan ini juga dapat disajikan
dalam bentuk grafik 2 dimensi dan 3 dimensi berupa permukaan tanggap (response
surface).
70

1. ANOVA untuk Volum ekstrak


Model yang disarankan adalah interaksi 2 faktor. Akan tetapi, nilai p adalah
0,0521 sehingga model persamaan dinilai tidak bermakna (not significant). Selanjutnya
dilakukan penghilangan faktor yang tidak signifikan, dan yang dipilih untuk dihilangkan
adalah faktor BC (interaksi antara suhu ekstraksi dengan lama ekstraksi) yang memiliki
nilai p paling besar, dan nilai p untuk model menjadi lebih kecil dari 0,05 (bermakna).
Sehingga model yang dipilih untuk volum ekstrak adalah interaksi 2 faktor yang
direduksi (reduced 2 FI).

Response Volum Ekstrak (ml)


ANOVA for Response Surface Reduced 2FI Model
Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III]

Sum of Mean F
Source Squares df Square Value p-value
Prob > F
Model 33,58 5 6,72 3,3910 0,0426 significant
A-Lama blansir (menit) 4,06 1 4,06 2,0509 0,1799
B-Suhu ekstraksi (oC) 3,78 1 3,78 1,9095 0,1944
C-Lama ekstraksi (menit) 7,22 1 7,22 3,6460 0,0826
AB 11,22 1 11,22 5,6672 0,0365
AC 7,29 1 7,29 3,6814 0,0813
Residual 21,78 11 1,98
Lack of Fit 13,93 7 1,99 1,0146 0,5266 Not signficant
Pure Error 7,85 4 1,96
Cor Total 55,36 16

Coefficient Standard 95% CI 95% CI


Factor Estimate df Error Low High VIF
Intercept 37,5882353 1 0,3413 36,8370 38,3394
A-Lama blansir (menit) 0,7125 1 0,4975 -0,3825 1,8075 1
B-Suhu Ekstraksi (oC) 0,6875 1 0,4975 -0,4075 1,7825 1
C-Lama Ekstraksi (menit) 0,95 1 0,4975 -0,1450 2,0450 1
AB -1,675 1 0,7036 -3,2236 -0,1264 1
AC -1,35 1 0,7036 -2,8986 0,1986 1

Persamaan dalam bentuk coded factor (dibulatkan menjadi 2 desimal):


71

Volum ekstrak = 37,59 + 0,71A + 0,69B + 0,95C - 1,675AB - 1,35AC


Persamaan dalam bentuk actual factor (dibulatkan menjadi 2 desimal):

Volume Ekstrak = 25,95 + 1,33A + 0,16B + 0,05C - 0,019AB - 0,005AC

2. ANOVA untuk kadar antosianin

Model yang disarankan adalah kuadratik, dan nilai p untuk modelnya sudah lebih
kecil daripada 0,05, yaitu 0,0291. Akan tetapi, pengamatan terhadap nilai p dari masing-
masing faktor menunjukkan ada satu faktor kuadratik yang memiliki nilai p besar atau
tidak bermakna, yaitu nilai kuadrat dari lama ekstraksi yang nilainya sebesar 0,5368
sehingga diputuskan untuk dihilangkan. Dengan demikian model yang dipilih untuk
kadar antosianin adalah kuadratik yang direduksi (reduced quadratic).

Response Kadar antosianin (mg/l)


ANOVA for Response Surfacep Reduced Quadratic Model
Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III]

Sum of Mean F
Source Squares df Square Value p-value
Prob > F
Model 716,46 8 89,56 5,46259 0,0135 significant
A-Lama blansir (menit) 154,94 1 154,94 9,45065 0,0153
B-Suhu ekstraksi (oC) 23,82 1 23,82 1,4529 0,2625
C-Lama ekstraksi (menit) 35,91 1 35,91 2,1904 0,1771
AB 184,09 1 184,09 11,2285 0,0101
AC 26,22 1 26,22 1,5996 0,2416
BC 130,53 1 130,53 7,9615 0,0224
A2 74,88 1 74,88 4,5675 0,0651
2
B 77,13 1 77,13 4,7044 0,0619
Residual 131,16 8 16,39
Lack of Fit 98,32 4 24,58 2,9938 0,1567 not significant
Pure Error 32,84 4 8,21
Cor Total 847,6 16
72

Coefficient Standard 95% CI 95% CI


Factor Estimate df Error Low High VIF
Intersep 35,77662819 1 1,608921 32,06645 39,48681
A-Lama blansir (menit) 4,400851921 1 1,431548 1,099696 7,702007 1
B-Suhu Ekstraksi (oC) 1,725551425 1 1,431548 -1,5756 5,026707 1
C-Lama Ekstraksi (menit) 2,118671004 1 1,431548 -1,18248 5,419827 1
AB -6,783921933 1 2,024515 -11,4525 -2,11538 1
AC -2,560495663 1 2,024515 -7,22903 2,108043 1
BC -5,712410161 1 2,024515 -10,3809 -1,04387 1
2
A -4,211341551 1 1,970518 -8,75536 0,332681 1,003096
2
B -4,273962369 1 1,970518 -8,81798 0,27006 1,003096

Persamaan dalam bentuk coded factor (dibulatkan menjadi 2 desimal):

Antosianin = 35,78 + 4,40A + 1,73B + 2,12C - 6,78AB - 2,56AC - 5,71BC - 4,21A2 -


4,27B2

Persamaan dalam bentuk actual factor (dibulatkan menjadi 2 desimal):

Antosianin = -73,19 + 6,24A + 2,91B + 0,48C - 0,07AB - 0,01AC - 0,01BC - 0,12 A2 -


0,02B2

3. ANOVA untuk kadar total fenol


Model yang disarankan adalah kuadratik, dan nilai p untuk modelnya sudah lebih kecil
daripada 0,05, yaitu 0,0084. Akan tetapi, pengamatan terhadap nilai p dari masing-
masing faktor menunjukkan ada dua faktor kuadratik yang memiliki nilai p besar atau
tidak bermakna, yaitu nilai kuadrat dari suhu ekstraksi (p = 0,22) dan lama ekstraksi (p
= 0,83) sehingga diputuskan untuk dihilangkan. Dengan demikian model yang dipilih
untuk kadar total fenol adalah kuadratik yang direduksi (reduced quadratic).
73

Response Total Fenol (mg/ml)


ANOVA for Response Surface Reduced Quadratic Model
Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III]

p-value
Sum of Mean
Source df F Value Prob >
Square Square
F
Model 0,41 7 0,06 9,1057 0,0018 significant
A-Lama Blansir (menit) 0,03 1 0,03 4,0069 0,0763
B-Suhu Ekstraksi (oC) 0,21 1 0,21 32,4345 0,0003
C-Lama Ekstraksi (menit) 0,04 1 0,04 5.5723 0,0426
AB 0,05 1 0,05 7,6849 0,0217
AC 0,02 1 0,02 2,4242 0,1539
BC 0,00 1 0,00 0,3051 0,5941
A2 0,07 1 0,07 11,3117 0,0083
Residual 0,06 9 0,01
Lack of Fit 0,04 5 0,01 1,5571 0,3444 not significant
Pure Error 0,02 4 0,00
Cor Total 0,47 16

Factor Coefficient Standard 95% CI 95% CI


Estimate df Error Low High VIF
Intersep 1,008024691 1 0,026821 0,947352 1,068698
A-Lama Blansir (menit) 0,056944444 1 0,028448 -0,00741 0,121298 1
B-Suhu Ekstraksi (oC) 0,162013889 1 0,028448 0,097661 0,226367 1
C-Lama Ekstraksi (menit) 0,067152778 1 0,028448 0,002799 0,131506 1
-
AB 0,111527778 1 0,040231 -0,20254 -0,02052 1
-
AC 0,062638889 1 0,040231 -0,15365 0,02837 1
BC 0,022222222 1 0,040231 -0,06879 0,113232 1
-
A2 0,131496914 1 0,039098 -0,21994 -0,04305 1

Persamaan dalam bentuk coded factor (dibulatkan menjadi 2 desimal):

Total Fenol = 1,00 + 0,06A + 0,16B + 0,07C - 0,11AB - 0,06AC + 0,022BC - 0,13A2

Persamaan dalam bentuk actual factor :

Total Fenol = -0,11 + 0,13A + 0,02B + 0,001C - 0,001AB - 0,0002AC + 0,00003BC -


0,004A2
74

Lampiran 5 Statistika deskriptif kadar air kelopak bunga teleng

Kadar air
Sampel bunga teleng (%)a
1 88,89
2 88,78
3 90,65
4 89,30
5 90,82
6 88,75
7 87,33
8 88,67
9 90,41
10 90,74
11 88,93
12 89,49
13 88,89
14 87,75
15 89,07
16 89,36
Mean 89,24
Standard Error 0,25
Median 89,00
Mode 88,89
Standard Deviation 1,01
Sample Variance 0,01
Kurtosis -0,2527021
Skewness 0,0727412
Range 3,49
Minimum 87,33
Maximum 90,82
Sum 14,2783
Count 16
Confidence Level(95,0%) 0,54
a = rata-rata dari dua ulangan
75

Lampiran 6 Korelasi antar 2 Respons

Korelasi adalah suatu teknik statistika yang digunakan untuk mencari hubungan
antara dua variabel atau lebih secara kuantitatif. Nilai koefisien korelasi berkisar antara
-1 hingga 1. Nilai -1 menunjukkan hubungan yang sempurna antara kedua variabel
dengan arah yang berlawanan. Sementara nilai +1 menunjukkan hubungan yang
sempurna secara satu arah (jika satu variabel meningkat maka variabel lain juga
meningkat). Nilai 0 menandakan tidak adanya hubungan sama sekali antara satu
variabel dengan variabel lainnya. Nilai korelasi lazimnya dinyatakan sebagai R atau r
dan dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

dengan n adalah jumlah sampel, x adalah nilai variabel x untuk sampel ke 1


hingga n, x adalah nilai rata-rata variabel x, y adalah nilai variabel y untuk sampel ke 1
hingga n, adalah nilai rata-rata variabel y, Sxadalah simpangan baku variabel x dan Sy
adalah simpangan baku variabel y.

1. Volum ekstrak Kadar Antosianin

Design-Expert Software

Correlation: 0.486
Color points by 40
Run
17

39
V o lu m e E k s t r a k ( m l)

38

37

36

35

34

33

1 0 .0 0 2 0 .0 0 3 0 .0 0 4 0 .0 0 5 0 .0 0

a n to s ia n in ( m g /l)
76

2. Volum ekstrak Total fenol

Design-Expert Software

Correlation: 0.596
Color points by 40
Run
17

39

V o lu m e E k s t r a k ( m l)
1

38

37

36

35

34

33

0 .4 0 0 0 0 .6 0 0 0 0 .8 0 0 0 1 .0 0 0 0 1 .2 0 0 0 1 .4 0 0 0

T o ta l F e n o l ( m g /m l)

3. Antosianin Total fenol

Design-Expert Software

Correlation: 0.624
Color points by 1 .4 0 0 0
Run
17

1
T o t a l F e n o l ( m g / m l)

1 .2 0 0 0

1 .0 0 0 0

0 .8 0 0 0

0 .6 0 0 0

0 .4 0 0 0

1 0 .0 0 2 0 .0 0 3 0 .0 0 4 0 .0 0 5 0 .0 0

a n to s ia n in ( m g /l)
77

Lampiran 7 Kurva baku DPPH

Aktivitas antioksidan suatu sampel dapat dinyatakan dalam jumlah DPPH yang
bereaksi dengan sampel. DPPH adalah senyawa radikal yang berwarna ungu. Intensitas
warnanya berkorelasi dengan besarnya serapan cahaya pada panjang gelombang 517
nm. Untuk mendapatkan hubungan antara absorbansi dan kadar DPPH maka perlu
dibuat kurva baku sebagai berikut. Sebanyak 4 larutan DPPH dalam metanol dengan
konsentrasi berbeda-beda diukur serapan cahayanya dengan spektrofotometer pada
panjang gelombang 517 nm. Kemudian dihitung persamaan regresi yang
menghubungkan konsentrasi DPPH dengan absorbansinya. Tabel dan grafik
pengukuran absorbansi DPPH serta persamaan liniernya adalah sebagai berikut.

Konsentrasi DPPH (mM) Absorbansi (A)


0,186 2,032
0,1396 1,519
0,09307 1,033
0,0465 0,5
0,0233 0,245

2.5
y = 10.92x
R = 0.999
2
Ab s or b(ans iA)

1.5

0.5

0
0 0.05 0.1 0.15 0.2

Konsentrasi DPPH (mM)


78

Lampiran 8 Optimasi Proses Pada Software Design Expert 8.0.7.1


Constraints
Lower Upper Lower Upper
Name Goal Limit Limit Weight Weight Importance
A:Lama blansir
(menit) is in range 0 12 1 1 1
B:Suhu Ekstraksi (oC) is in range 30 60 1 1 1
C:Lama Ekstraksi
(menit) is in range 30 120 1 1 1
Volume Ekstrak (ml) maximize 33,6 39,9 1 1 1
antosianin (mg/l) maximize 14,28 40,41 10 1 5
Total Fenol (mg/ml) maximize 0,57 1,21 10 1 3

Solutions
Lama Suhu Lama Volume Total
antosianin
Number Blansir Ekstraksi Ekstraksi Ekstrak Fenol Desirability
(mg/l)
(menit) (oC) (menit) (ml) (mg/ml)
1 6,44 45,71 120,00 38,5178 37,79 1,0823 0,2593
2 6,40 45,91 120,00 38,53 37,72 1,0849 0,2593
3 6,33 46,08 120,00 38,5459 37,65 1,0873 0,2592
4 6,04 46,79 120,00 38,6149 37,37 1,0970 0,2582
5 7,81 42,84 120,00 38,3194 38,85 1,0397 0,2472
6 5,92 50,03 120,00 38,7853 36,08 1,1376 0,2413
7 9,28 38,77 120,00 38,2845 40,10 0,9815 0,2097
8 6,17 60,00 30,00 37,3367 36,82 1,0808 0,1973
9 6,06 60,00 30,00 37,3297 36,82 1,0807 0,1972
10 5,96 60,00 30,00 37,3229 36,82 1,0806 0,1969
11 6,17 60,00 30,38 37,3444 36,79 1,0815 0,1968
12 6,09 59,79 30,00 37,3226 36,84 1,0789 0,1955
13 6,09 59,60 30,00 37,3142 36,85 1,0771 0,1939

You might also like