Keracunan Barbiturat

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 99

SEVEN JUMP

Mata kuliah : Blok Kepeawatan Gawat Darurat Sistem 1


Tingkat / semester : 3 / VI
Hari / tanggal : Jumat, 15 Juli 2016

SKENARIO KASUS 2

An 18-year old girl was admitted in the medicine depertement in an


unconscious state with no response to deep painful stimuli (Grade III coma).
History as elicited from her attendants was suggestive of oral intake of
phenobarbitone tablets a night before, after which the patient was not arousable in
the morning. There was no history of convulsion, vomiting, urinary incontinence
or tongue bite. Within few hours of admission, patient became febrile and
tachypnoeic with pulse rate 130 min-1, blood pressure 120/70 mmHg and arterial
oxygen saturation 93%. Pupils were of normal size and reaction. Plantar and deep
tendon reflexes were absent. A diagnosis of barbiturate poisoning was made and
patient was shifted to ICU. Shortly after admission, she had tonic clonic
convulsions which subsided after few seconds spontaneously. She became
increasingly tachypnoeic and oxygen saturation started falling. Blood gas analysis
done showed hypocarbia with metabolic acidosis. She was intubated nasally and
ventilated by Evita-2 (Drager) ventilator on intermittent positive pressure
ventilation mode with tidal volume 400 ml, FiO2 -80% and frequency 14 min-1.
Patient was catheterized. Countinuous nasogastric suction was done. Central
venous pressure guided fluid theraphy was started. Continuous temperature
monitoring was done and care was taken to avoid hypothermia. Antibiotics,
phenytoin, ranitidine, low dose dopamine and broncholidator were stared. In
addition, ten table of activated charcoal 500mg (5g) with egg albumin were given
four hourly through Ryles tube. Forced alkaline diuresis was started. One litre of
lactated Ringer solution was rushed and inection sodabicarbonate 50cc was given
intravenously six hourly. Aim was to keep urinary pH between 8-8,5. Her serum

1
potassium was 2.5.eqlt-1 and SGOT and SGPT were 118 IU and 99IU
respectively. Serum proteins were 6g%. Urine was positive for ketone bodies and
serum barbiturate assay was positive. As her consciousness level did not improve,
haemodialysis was planned. Haemodialysis was done using Sresenius
Haemodialyser. Within hours, the patients condition improved and she stared
responding to verbal commands. Her vitals were stable. She was extubated once
reguler spontaneous respiration was restored. Oxygen therapy with ventimask
(FiO2 60%) was instituted. Gradually, the patient was weaned to FiO2 of 28%.
SGOT and SGPT were still elevated (222 IU and 240 IU respectively). Repeat
serum assay now revealed no residual barbiturate. She was discharged home a
week later.

A. TUGAS MAHASISWA
1. Setelah membaca dengan teliti skenario di atas mahasiswa membahas
kasus tersebut dengan kelompok, dipimpin oleh ketua dan sekretaris.
2. Melakukan aktifitas pembelajaran individual di kelas dengan
menggunakan buku ajar, jurnal dan internet untuk mencari informasi
tambahan.
3. Melakukan diskusi kelompok mandiri (tanpa dihadiri fasilitator) untuk
melakukan curah pendapat bebas antar anggota kelompok untuk
menganalisa informasi dalam menyelesaikan masalah.
4. Berkonsultasi pada narasumber yang telah ditetapkan oleh fasilitator.
5. Mengikuti kuliah khusus dalam kelas untuk masalah yang belum jelas
atau tidak ditemukan jawabannya untuk konsultasi masalah yang
belum jelas
6. Melakukan praktikum pemeriksaan fisik antenatal dan sadari.

B. PROSES PEMECAHAN MASALAH

2
Dalam diskusi kelompok mahasiswa diharapkan dapat memecahkan
problem yang terdapat dalam scenario dengan mengikuti 7 langkah
penyelesaian masalah di bawah ini:
1. Klarifikasi istilah yang tidak jelas dalam skenario di atas, dan tentukan
kata / kalimat kunci skenario di atas.
2. Identifikasi problem dasar skenario, dengan membuat beberapa
pertanyaan penting.
3. Analisa problem-problem tersebut dengan menjawab pertanyaan-
pertanyaan di atas.
4. Klarifikasikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut.
5. Tentukan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai oleh mahasiswa atas
kasus di atas. Langkah 1 sampai 5 dilakukan dalam diskusi tutorial
pertama dengan fasilitator.
6. Cari informasi tabahan informasi tentang kasus di atas di luar
kelompok tatap muka; dilakukan dengan belajar mandiri.
7. Laporkan hasil diskusi dan sintetis informasi-informasi yang baru
ditemukan; dilakukan dalam kelompok diskusi dengan fasilitator.
8. Seminar; untuk kegiatan diskusi panel dan semua pakar duduk
bersama untuk memberikan penjelasan atas hal-hal yang belum jelas.

Penjelasan:
Bila dari hasil evaluasi laporan kelompok ternyata masih ada informasi
yang diperlukan untuk sampai pada kesimpilan akhir, maka proses 6 bisa
diulangi dan selanjutnya dilakukan lagi langkah 7.
Kedua langkah di atas bisa diulang-ulang di luar tutorial dan setelah
informasi dirasa cukup dilakukan langkah nomor 8.

3
STEP 1
KATA KUNCI

1. Tablet Fenobarbital

Berdasarkan UU RI No. 5 tahun 1997 tentang psikotropika disebutkan


bahwa psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sistesis
bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif
pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan yang khas pada
aktivitas mental dan perilaku. psikotropika yang mempunyai potensi
mengakibatkan sindroma ketergantungan digolongkan menjadi 4golongan
yaitu:
a. Psikotropika golongan I, yaitu psikotropika yang digunakan untuk
tujuan poengobatan dengan potensi ketergantungan yang sangat kuat
contohnya lisergit, Ekstasi, dan lain-lain.

b. Psikotropika golongan II yaitu psikotropika yang berkhasiat terapi


dapat menimbulkan ketergantungan. contohnya amfetamin, sulfat,
gexamfitan, metamfetamin, dan lain-lain.

c. Psikotsropika golongan III yaitu psikotropika dengan efek


ketergantungan sedang dari kelompok hipnotif sedatif. contohnya
amobarbital, fenobarbital, dan lain-lain.

d. Psikotropika golongan IV yaitu psikotropika dengan efek


ketergantungan ringan . contohnya Diazepam, etiletamfetamin, dan
lain-lain.

Sifat farmakologi fenobarbital merupakan golongan obat barbiturat


yang berkhasiat sebagai hipnotik sedatif yang berefek utama depresi
susunan saraf pusat. Hipnotika adalah zat-zat yang dalam dosis terapi
diperuntukan meningkatkan keinginan tidur dan mempermudahkan
menyebabkan tidur. lazimnya, obat ini diberikan pada malam hari. bila zat
ini diberikan pada siang hari dalam dosis rendah bertujuan untuk
menenangkan, maka dinamakan sedatif (obat-obat pereda). hipnotika atau

4
sedativa termasuk dalam kelompok psikoleptika yang mencakup obat-obat
yang menekan atau menghambat fungsi-fungsi susunan saraf pusat.
dewasa ini hanya beberapa barbiturat yang masih digunakan indikasi-
indikasi tertentu seperti fenobarbital yang masi memiliki sifat
antikonvulsif. Dosis fenobarbital 15-30 mg bekerja sebagai sedativ dan
100mg atau lebih sebagai obat tidur. over dosis barbital dapat
menimbulkan depresi sentral dengan pernafasan berbahaya, koma, dan
kematian. (Setianingsih, 2008)

2. Kejang Tonik Klonik

Kejang jenis tonik-klonik disebut juga Grand Mal. Pada fase awal
kejang ini, akan terjadi kontraksi otot yang tonik-klonik. Terdapat juga
tanda yang dinama sebagai "Ictal Cry" yang disebabkan oleh kontraksi
secara tonik otot respirasi dan juga larinks. Ini dapat diikuti dengan
gangguan pernafasan yang menyebabkan terjadi sianosis. Selain itu terjadi
peningkatan tonus simpatis. Selain beberapa saat terjadi fase tonik, ia akan
diikuti dengan fase klonik. Selepas fase iktal, diikuti dengan fase postictal
yaitu, ditandai oleh otot pasien akan menjadi flasid, tidak respons,
perembesan air liur meningkat dan bingung. Beberapa jam kemudian,
pasien akan sadar kembali.

Pada EEG ketika fase tonik, akan menunjuk gelombang tegangan


volt rendah umum yang meningkat secara progresif yang diikuti dengan
gelombang yang beramplitud tinggi dengan polyspike discharge. Pada fase
klonik, EEG akan menunjuk gelombang amplitud tinggi yang diantara
gelombang itu terdapat slow-wave (spike and wave pattern) (Harrisons,
2008).

5
Gambar 1. Kejang Tonik Klonik

3. Evita 2 (Drager)

Evita 2 adalah salah satu alat terapu ventilasi dengan inovasi dan
kualitas ventilatornya. Drager Medis adalah salah satu pencipta alat ini
yang telah memproduksi system pendukung pernapasa inovatif seperti
perintis pulmotor. Drager Medis menempatkan penekanan pada kebebasan
dalam terapi ventilasi. Perusahan ini mendorong pernapasan spontan untuk
menciptakan kondisi gas-exchange ditingkatkan dan mempercepat
pemulihan.

Evita 2 dura memberikan pemantauan pasien dan ventilator terkait


dengan interaksi pengguna dikurangi seminimal mungkin. Layar resolusi
tinggi penuh warna menampilkan informasi yang komprehensif tentang
status pasien, selalu menunjukkan dua kurva ventilasi dan enam nilai
dipantau, dan konfigurasi layar dapat disesuaikan untuk menunjukkan nilai
yang paling penting untuk ICU tertentu.

6
Gambar 2. Evita 2 (Drager)

4. Hypocarbia

Analisa Gas Darah adalah suatu pemeriksaan melalui darah arteri


dengan tujuan mengetahui keseimbangan asam dan basa dalam tubuh,
mengetahui kadar oksigen dalam tubuh dan mengetahui kadar
karbondioksida dalam tubuh. Defisiensi CO2 dalam darah, disebabkan oleh
hiperventilasi dan akhirnya mengakibatkan alkalosis. Disebut juga
hypocarbia. (penurunan pCO2 dalam darah arteri). darah (hipokarbia)
sebagai kompensasi penurunan bikarbonat darah. Kelelahan otot
pernafasan dapat terjadi bila pernafasan Kussmaul ini berlangsung terus.
Hipokarbia menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah serebral
sehingga aliran darah ke otak akan berkurang. Anoreksia, mual, dan
muntah bisa dijumpai. Bila asidosis metabolik makin berat terjadi depresi
susunan saraf pusat yang menjurus ke arah koma dan kejang. Penurunan
resistensi pembuluh darah perifer dan kontraksi jantung disertai hipotensi,
gagal jantung, edema pulmonum dan rendahnya kadar ambang untuk
terjadinya fibrilasi ventrikel menyebabkan penderita akan meninggal
(Widjijati, 2012)

5. FiO2

FiO2 adalah fraksi atau konsentrasi oksigen dalam udara yang


diberikan kepada pasien. Sedangkan PaO2 adalah tekanan parsial oksigen
yaitu perbedaan konsentrasi antara oksigen di alveolus dan membran. Fi02
harus 100% pada saat pasien diintubasi dan dihubungkan dengan
ventilator untuk pertama kali. Ketika penempatan pipa endotrakea sudah
ditetapkan dan pasien telah distabilisasi, FiO2 harus diturunkan sampai
konsentrasi terendah yang masih dapat mempertahankan saturasi oksigen
hemoglobin , karenakonsentrasi oksigen yang tinggi dapat menyebabkan

7
toksisitas pulmonal. Tujuan utama ventilasi adalah mempertahankan nilai
saturasi 90 % atau lebih. Kadang-kadang nilai tersebut bisa berubah,
misalnya pada keadaan-keadaan yang membutuhkan suatu proteksi
terhadap paru-paru dari volume tidal tekanan dan konsentrasi oksigen
yang terlalu besar. Pada keadaan ini, target saturasi oksigen dapat
diturunkan sampai 85% saat faktor-faktor yang berperan pada penyaluran
oksigen sedang dioptimalkan (Lanken PN, 2007).

6. Fenitoin

Menurut Gilman Fenitoin digunakan untuk mengendalikan


beberapa jenis kejang, serta dapat pula digunakan untuk mengobati dan
mencegah serangan yang mungkin terjadi selama atau setelah operasi pada
otak atau sistem saraf. Fenitoin berada dalam kelas obat yang disebut
antikonvulsan. Ia bekerja dengan menurunkan aktivitas listrik abnormal
dalam otak. Fenitoin digunakan untuk mengendalikan beberapa jenis
kejang, serta dapat pula digunakan untuk mengobati dan mencegah
serangan yang mungkin terjadi selama atau setelah operasi pada otak atau
sistem saraf. Fenitoin berada dalam kelas obat yang disebut antikonvulsan.
Ia bekerja dengan menurunkan aktivitas listrik abnormal dalam otak.
Biasanya diberikan 3 kali sehari. Pemberian fenitoin setiap harinya harus
diberikan pada waktu yang sama untuk menghindari terlewatnya dosis
obat yang harus diminum. Gunakan Fenitoin sesuai petunjuk pemberian
yang telah diarahkan. menggunakan obat Fenitoin yang dapat peningkatan
dosis dalam jangka waktu 7-10 hari. Dosis terapi pemberian oral fenitoin
pada orang dewasa 3-5 mg/KgBB/hari, dengan dosis awal dewasa, 3-5
mg/kg/hari dapat diberikan dalam 2 atau 3 kali pemberian dengan dosis
terbagi, selanjutnya dosis disesuaikan perorangan maksimum 300-400 mg
perhari. Dosis pasien dewasa yang belum pernah diterapi dapat dimulai
dengan dosis 100 mg, dengan pemberian3 kali sehari, lalu dosis kemudian
disesuaikan dengan kebutuhan perorangan. Pada sebagian besar orang
dewasa, dosis pemeliharaan yang direkomandasikan 4-8 mg/kg/hari atau

8
3-4 kapsul sehari (300-400 mg), dan bila perlu dapat dinaikkan menjadi 6
kapsul sehari (Gilman, 2008).

Gambar 3. Fenitoin

7. Dopamin

Dopamin adalah salah satu senyawa katekolamin yang paling


signifikan dalam memainkan peranan sebagai neurotransmiter yang dapat
mempengaruhi fungsi otak (Deng, 2011). Defisiensi dopamin dalam
jaringan otak menyebabkan gangguan neurologis seperti penyakit
parkinson dan schizophrenia.

Obat-obat yang digunakan untuk terapi gangguan tersebut pada


umumnya adalah obat-obat yang memodifikasi transmisi dopamin.
Dopamin dapat meningkatkan rasa senang, motivasi, daya pikir, tidak
mudah lelah dan dapat memberikan rasa nyenyak ketika tidur. Efek ini
hampir serupa dengan efek kokain. Oleh karena itu dopamin dapat
disalahgunakan sebagai hormon untuk meningkatkan kadar dopamin
dalam tubuh. Dalam hal ini maka penting perlu dilakukannya pengukuran
terhadap dopamin (Lucia, 2006). Beberapa metode yang telah digunakan
untuk penentuan dopamin antara lain adalah metode spektrofotometri
(Idris, 2012), spektrofluorometri (Wang, 2001 dan Wang 2003),
immunoassay (Nichkova, 2013), elektroforesis (Perry, 2011) dan
kromatografi (Baranoskwa, 2002).

9
Pada tahun 1990, Farmakope edisi Cina dan USP XXI menjelaskan
bahwa kemiluminense dapat digunakan untuk penentuan dopamin namun
tidak stabil dan mudah teroksidasi (Taghdiri, 2012). Beberapa penelitian
yang telah dilakukan terhadap penentuan dopamin masingmasing memiliki
kelemahan. Pada metode kromatografi, meskipun selektif dan 2 spesifik
namun memerlukan biaya yang sangat mahal, pengerjaannya kompleks
dan rumit. Demikian juga metode fluorometri membutuhkan banyak
sampel dan waktu yang cukup lama (Adenkule, 2010). Oleh karena itu
pada saat ini dikembangkan metode elektrokimia yang mempunyai
keuntungan yaitu waktu analisis yang cepat, dan murah. Zhao (2001) juga
menyebutkan bahwa penentuan dopamin dengan metode elektrokimia
memiliki keunggulan seperti pengerjaannya mudah, dimensi kecil, respon
cepat dan akurasi tinggi dibandingkan dengan metode spektroskopi atau
kromatografi.

8. Tabung Ryle

Tabung ryle adalah berupa tabung karet tipis, yang dimasukan


kedalam lambung, injeksi pentagastrin (yang menghasilkan efek yang
sama dengan gastrin diberikan dan cairan lambung yang disekresi di
aspirasi tabung tersebut dengan interval dan diperiksa atas kandungan
asam hidroklorida dan adanya darah atau sel kanker (Gibson, 2002).

9. SGOT dan SGPT

a. SGOT
SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase) atau juga
dinamakan AST (Aspartat Aminotransferase) merupakan enzim yang
dijumpai dalam otot jantung dan hati, sementara dalam konsentrasi
sedang dijumpai pada otot rangka, ginjal dan pankreas. Konsentrasi
rendah dijumpai dalam darah, kecuali jika terjadi cedera seluler,
kemudian dalam jumlah banyak dilepaskan ke dalam sirkulasi. Pada

10
infark jantung, SGOT/AST akan meningkat setelah 10 jam dan
mencapai puncaknya 24-48 jam setelah terjadinya infark. SGOT/AST
akan normal kembali setelah 4-6 hari jika tidak terjadi infark
tambahan. Kadar SGOT/AST biasanya dibandingkan dengan kadar
enzim jantung lainnya, seperti CK (creatin kinase), LDH (lactat
dehydrogenase). Pada penyakit hati, kadarnya akan meningkat 10 kali
lebih dan akan tetap demikian dalam waktu yang lama SGOT/AST
serum umumnya diperiksa secara fotometri atau spektrofotometri,
semi otomatis menggunakan fotometer atau spektrofotometer, atau
secara otomatis menggunakan chemistry analyzer. Nilai rujukan untuk
SGOT/AST adalah Laki-laki : 0 - 50 U/L Perempuan : 0 - 35 U/L.

Kondisi yang Meningkatkan SGOT

Menurut Riswnato (2009) kodisi yang dapat meningkatkan


SGPT dibedakan menjadi tiga, yaitu :

a. Peningkatan tinggi (> 5 kali nilai normal) : kerusakan


hepatoseluler akut, infark miokard, kolaps sirkulasi,
pankreatitis akut, mononukleosis infeksiosa.

b. Peningkatan sedang (3-5 kali nilai normal) : obstruksi saluran


empedu, aritmia jantung, gagal jantung kongestif, tumor hati
(metastasis atau primer), distrophia muscularis.

c. Peningkatan ringan (sampai 3 kali normal) : perikarditis,


sirosis, infark paru, delirium tremeus, cerebrovascular accident
(CVA).

b. SGPT

SGPT (Serum Glutamic Pyruvic Transaminase) atau juga


dinamakan ALT (Alanin Aminotransferase) merupakan enzim yang
banyak ditemukan pada sel hati serta efektif untuk mendiagnosis
destruksi hepatoseluler. Enzim ini dalam jumlah yang kecil dijumpai

11
pada otot jantung, ginjal dan otot rangka. Pada umumnya nilai tes
SGPT/ALT lebih tinggi daripada SGOT/AST pada kerusakan parenkim
hati akut, sedangkan pada proses kronis didapat sebaliknya.
SGPT/ALT serum umumnya diperiksa secara fotometri atau
spektrofotometri, secara semi otomatis atau otomatis. Nilai rujukan
untuk SGPT/ALT adalah Laki-laki : 0 - 50 U/L Perempuan : 0 - 35
U/L. (Joyce LeFever Kee, Pedoman Pemeriksaan Laboratorium &
Diagnostik, EGC, Jakarta, 2007.)
Kondisi yang Meningkatkan SGPT
Menurut Riswnato (2009) kodisi yang dapat meningkatkan SGPT
dibedakan menjadi tiga, yaitu :
a. Peningkatan SGOT/SGPT > 20 kali normal : hepatitis viral
akut, nekrosis hati (toksisitas obat atau kimia).
b. Peningkatan 3-10 kali normal : infeksi mononuklear, hepatitis
kronis aktif, sumbatan empedu ekstra hepatik, sindrom Reye,
dan infark miokard (SGOT>SGPT).
c. Patofisiologi SGOT/SGPT
SGOT-SGPT yang berada sedikit di atas normal tak selalu
menunjukkan seseorang sedang sakit. Bisa saja peningkatan itu terjadi
bukan akibat gangguan pada liver. Kadar SGOT-SGPT juga gampang
naik turun. Mungkin saja saat diperiksa, kadarnya sedang tinggi.
Namun setelah itu, dia kembali normal. Pada orang lain, mungkin saat
diperiksa, kadarnya sedang normal, padahal biasanya justru tinggi.
Karena itu, satu kali pemeriksaan saja sebenarnya belum bisa dijadikan
dalil untuk membuat kesimpulan (Widjaja, 2009). Sirosis hati B, rasio
albumin/globulin terbalik, Bilirubin meningkat (< dari 5 mg%),
SGOT> SGPT, biasanya meningkat sekitar 2 s/d 4 kali normal, tapi
pada yang sirosis berat SGOT/SGPT dapat normal.
HBsAg+, HBeAg/anti HBe dapat positif. HBV-DNA seringnya
sudah negatif. Sirosis hati C, rasio albumin/globulin terbalik, Bilirubin
meningkat( < dari 5mg%), SGOT > SGPT, biasanya meningkat sekitar
2 s/d 4 kali normal, tapi pada yang sirosis berat SGOT/SGPT dapat
normal. Anti HCV dan HCV-RNA positif. Pada sirosis hati yang sudah
lanjut sering kita mendapatkan kadar SGPT/SGOT normal, hal ini

12
terjadi karena jumlah sel hati pada sirosis berat sudah sangat kurang
sehingga kerusakan sel hati relatif sedikit. Tapi kadar bilirubin akan
terlihat meninggi dan perbandingan albumin/globulin akan terbalik.
Bila kita cermati lebih teliti maka kadar SGOT akan lebih tinggi SGPT
(Joyce LeFever Kee, Pedoman Pemeriksaan Laboratorium &
Diagnostik, EGC, Jakarta, 2007).
d. Faktor Yang Dapat Mempengaruhi Kadar SGOT/SGPT
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh beberapa ahli yang
berhubungan dengan nilai SGOT/SGPT, ada beberapa faktor yang
mempengaruhi kadar SGOT/SGPT, yaitu :
1) Istirahat tidur
Penderita hepatitis yang tidak tercukupi kebutuhan istirahat
tidurnya atau waktu tidurnya kurang dari 7 atau 8 jam setelah
dilakukan pemeriksaan terjadi peningkatan kadar SGOT/SGPT.
2) Kelelahan yang diakibatkan oleh aktivitas yang terlalu banyak atau
kelelahan yang diakibatkan karena olahraga juga akan
mempengaruhi kadar SGOT/SGPT.
(Joyce LeFever Kee, Pedoman Pemeriksaan Laboratorium &
Diagnostik, EGC, Jakarta, 2007).
e. Konsumsi Obat-obatan
Mengkonsumsi obat-obatan tertentu dapat meningkatkan kadar
SGOT/SGPT. Haloten, merupakan jenis obat yang biasa digunakan
sebagai obat bius. Isoniasid, merupakan jenis obat antibiotik untuk
penyakit TBC. Metildopa, merupakan jenis obat anti hipertensid.
Fenitoin dan Asam Valproat, merupakan jenis obat yang biasa
digunakan sebagai obat anti epilepsi atau ayan. Parasetamol,
merupakan jenis obat yang biasa diberikan dalam resep dokter sebagai
pereda dan penurun demam. Parasetamol adalah jenis obat yang aman,
jika dikonsumsi dalam dosis yang tepat. Namun jika berlebihan akan
menyebabkan sirosis (kerusakan hati) yang cukup parah bahkan
sampai menyebabkan kematian. Selain jenis obat diatas adapula jenis
obat lainnya yang dapat merusak fungsi hati, seperti alfatoksin, arsen,
karboijn tetraklorida, tembaga dan vinil klorida. (Joyce LeFever Kee,
Pedoman Pemeriksaan Laboratorium & Diagnostik, EGC, Jakarta,
2007).

13
10. Kalium serum

a. Fisiologi Natrium
Natrium adalah kation terbanyak dalam cairan ekstrasel, jumlahnya
bisa mencapai 60 mEq per kilogram berat badan dan sebagian kecil
(sekitar 10-14 mEq/L) berada dalam cairan intrasel4,8. Lebih dari 90%
tekanan osmotik di cairan ekstrasel ditentukan oleh garam yang
mengandung natrium, khususnya dalam bentuk natrium klorida (NaCl)
dan natrium bikarbonat (NaHCO3) sehingga perubahan tekanan
osmotik pada cairan ekstrasel menggambarkan perubahan konsentrasi
natrium. Perbedaan kadar natrium intravaskuler dan interstitial
disebabkan oleh keseimbangan Gibbs-Donnan, sedangkan perbedaan
kadar natrium dalam cairan ekstrasel dan intrasel disebabkan oleh
adanya transpor aktif dari natrium keluar sel yang bertukar dengan
masuknya kalium ke dalam sel (pompa Na+ K+)2,4,9-10. Kadar
natrium dalam cairan ekstrasel dan cairan intrasel dapat dilihat pada.
Jumlah natrium dalam tubuh merupakan gambaran keseimbangan
antara natrium yang masuk dan natrium yang dikeluarkan. Pemasukan
natrium yang berasal dari diet melalui epitel mukosa saluran cerna
dengan proses difusi dan pengeluarannya melalui ginjal atau saluran
cerna atau keringat di kulit.3-5,11-12. Pemasukan dan pengeluaran
natrium perhari mencapai 48-144 mEq.
Jumlah natrium yang keluar dari traktus gastrointestinal dan kulit
kurang dari 10%. Cairan yang berisi konsentrasi natrium yang berada
pada saluran cerna bagian atas hampir mendekati cairan ekstrasel,
namun natrium direabsorpsi sebagai cairan pada saluran cerna bagian
bawah, oleh karena itu konsentrasi natrium pada feses hanya mencapai
40 mEq/L4. Keringat adalah cairan hipotonik yang berisi natrium dan
klorida. Kandungan natrium pada cairan keringat orang normal rerata
50 mEq/L. Jumlah pengeluaran keringat akan meningkat sebanding
dengan lamanya periode terpapar pada lingkungan yang panas, latihan
fisik dan demam1,4. Ekskresi natrium terutama dilakukan oleh ginjal.

14
Pengaturan eksresi ini dilakukan untuk mempertahankan homeostasis
natrium, yang sangat diperlukan untuk mempertahankan volume cairan
tubuh. Natrium difiltrasi bebas di glomerulus, direabsorpsi secara aktif
60-65% di tubulus proksimal bersama dengan H2O dan klorida yang
direabsorpsi secara pasif, sisanya direabsorpsi di lengkung henle (25-
30%), tubulus distal (5%) dan duktus koligentes (4%). Sekresi natrium
di urine <1%. Aldosteron menstimulasi tubulus distal untuk
mereabsorpsi natrium bersama air secara pasif dan mensekresi kalium
pada sistem renin-angiotensin-aldosteron untuk mempertahankan
elektroneutralitas. (Jurnal Kesehatan Andalas, 2012).
b. Nilai Rujukan Natrium 5,18
Nilai rujukan kadar natrium pada:
serum bayi : 134-150 mmol/L
serum anak dan dewasa : 135-145 mmol/L
urine anak dan dewasa : 40-220 mmol/24 jam
cairan serebrospinal : 136-150 mmol/L
feses : kurang dari 10 mmol/hari
(Jurnal Kesehatan Andalas, 2012).

c. Fisiologi Kalium
Sekitar 98% jumlah kalium dalam tubuh berada di dalam cairan
intrasel. Konsentrasi kalium intrasel sekitar 145 mEq/L dan
konsentrasi kalium ekstrasel 4-5 mEq/L (sekitar 2%). Jumlah
konsentrasi kalium pada orang dewasa berkisar 50-60 per kilogram
berat badan (3000-4000 mEq). Jumlah kalium ini dipengaruhi oleh
umur dan jenis kelamin. Jumlah kalium pada wanita 25% lebih kecil
dibanding pada laki-laki dan jumlah kalium pada orang dewasa lebih
kecil 20% dibandingkan pada anak-anak. Perbedaan kadar kalium di
dalam plasma dan cairan interstisial dipengaruhi oleh keseimbangan
Gibbs-Donnan, sedangkan perbedaan kalium cairan intrasel dengan
cairan interstisial adalah akibat adanya transpor aktif (transpor aktif
kalium ke dalam sel bertukar dengan natrium).19-20 Jumlah kalium
dalam tubuh merupakan cermin keseimbangan kalium yang masuk dan
keluar. Pemasukan kalium melalui saluran cerna tergantung dari
jumlah dan jenis makanan. Orang dewasa pada keadaan normal

15
mengkonsumsi 60-100 mEq kalium perhari (hampir sama dengan
konsumsi natrium). Kalium difiltrasi di glomerulus, sebagian besar
(70-80%) direabsorpsi secara aktif maupun pasif di tubulus proksimal
dan direabsorpsi bersama dengan natrium dan klorida di lengkung
henle.19-20 Kalium dikeluarkan dari tubuh melalui traktus
gastrointestinal kurang dari 5%, kulit dan urine mencapai 90%. (Jurnal
Kesehatan Andalas, 2012).
d. Nilai Rujukan Kalium 5,18
Nilai rujukan kalium serum pada:
serum bayi : 3,6-5,8 mmol/L
serum anak : 3,5-5,5 mmo/L
serum dewasa : 3,5-5,3 mmol/L
urine anak : 17-57 mmol/24 jam
urine dewasa : 40-80 mmol/24 jam
cairan lambung : 10 mmol/L

11. Ekstubasi

Ekstubasi adalah mengeluarkan pipa endotrakheal setelah


dilakukkan intubasi. Tujuan Ekstubasi
Untuk menjaga agar pipa endotrakheal tidak menimbulkan trauma.

Untuk mengurangi reaksi jaringan laringeal dan menurunkan resiko


setelah ekstubasi.

Gambar 4. Ekstubasi

Kriteria Ekstubasi
Kriteria ekstubasi yang berhasil bila :
Vital capacity 10 15 ml/kg BB

16
Tekanan inspirasi diatas 20 cm H2O
PaO2 diatas 80 mm Hg
Kardiovaskuler dan metabolic stabil
Tidak ada efek sisa dari obat pelemas otot
reflek jalan napas sudah kembali (batuk, gag) dan penderita sudah
sadar penuh. Pelaksanaan Ekstubasi
Sebelum ekstubasi dilakukan terlebih dahulu membersihkan rongga
mulut efek obat pelemas otot sudah tidak ada, dan ventilasi sudah
adequate. Melakukan pembersihan mulut sebaiknya dengan kateter yang
steril. Walaupun diperlukan untuk membersihkan trachea atau faring dari
sekret sebelum ekstubasi, hendaknya tidak dilakukan secara terus menerus
bila terjadi batuk dan sianosis. Sebelum dan sesudah melakukan
pengisapan, sebaiknya diberikan oksigen. Apabila plester dilepas, balon
sudah dikempiskan, lalu dilakukan ekstubasi dan selanjutnya diberikan
oksigen dengan sungkup muka. Pipa endotrakheal jangan dicabut apabila
sedang melakukan pengisapan karena kateter pengisap bisa menimbulkan
lecet pita suara, perdarahan, atau spasme laring.
Sesudah dilakukan ektubasi, pasien hendaknya diberikan oksigen
dengan sungkup muka bila perlu rongga mulut dilakukan pembersihan
kembali. Sebelum dan sesudah ektubasi untuk menghindari spsme laring.,
ekstubasi dilakukan pada stadium anestesi yang dalam atau dimana reflek
jalan sudah positif. Napas sudah baik. Untuk mencegah spasme bronchus
atau batuk, ekstubasi dapat dilakukan pada stadium anestesi yang dalam
dan pernapasan sudah spontan. Spasme laring dan batuk dapat dikurangi
dengan memberikan lidokain 50 100 mg IV (intra vena) satu menit atau
dua menit sebelum ektubasi.
Kadang-kadang dalam melakukan ekstubasi terjadi kesukaran,
kemungkinan kebanyakan disebabkan oleh balon pada pipa endotrakheal
besar, atau sulit dikempiskan, pasien mngigit pipa endotrakheal. Ekstubasi
jangan dilakukan apabila ada sianosis, hal ini disebabkan adanya gangguan
pernapasan yang tidak adequate atau pernapasan susah dikontrol dengan
menggunakan sungkup muka pada pembedahan penuh ekstubasi napas.
Pasien dengan lambung penuh ekstubasi dilakukan apabila pasien sudah
bangun atau dilakukan ekstubasi pada posisi lateral. Pada pembedahan

17
maxillofacial daerah jalan napas bila perlu dipertimbangkan untuk
melakukan trakheostomy sebelum ekstubasi. Apabila pasien mengalami
gangguan pernapasan atau pernapasan tidak adequate pipa hendaknya
jangan dicabut sampai penderita sudah yakin baik, baru ke ruang pulih
dengan bantuan napas terus menrus secarra mekanik sehingga adequate.
Ekstubasi perioperatif
Setelah operasi berakhir, pasien memasuki prosedur pemulihan yaitu
pengembalian fungsi respirasi pasien dari nafas kendali menjadi nafas
spontan sesaat setelah obat bius dihentikan segeralah berikan oksigen
100% disertai penilaian apakan pemulihan nafas spontan telah terjadi dan
apakah ada hambatan nafas yang mungkin menjadi komplikasi. Bila
diumpai hambatan nafas, tentukan apakah hambatan pada central atau
perifer. Teknik ekstubasi pasien dengan membuat pasien sadar betul atau
pilihan lainnya pasien tidak sadar (tidur dalam), jangan lakukan dalam
keadaan setengah sadar ditakutkan adanya vagal refleks, bila ekstubasi
pasien sadar, segera hentikan obat-obat anestesi hipnotik maka pasien
berangsur-angsur akan sadar. Evaluasi tanda-tanda kesadaran pasien mulai
dari gerakan motorik otot-otot tangan, gerak dinding dada, bahkan sampai
kemampuan membuka mata spontan. Yakinkan pasien sudah bernafas
spontan dengan jalan nafas yang lapang dan saat inspirasi maksimal. Pada
ekstubasi pasien tidak sadar tidak sadar diperlukan dosis pelumpuh otot
dalam jumlah yang cukup banyak, dan setelahnya pasien menggunakan
alat untuk memastikan jalan nafas tetap lapang berupa pipa orofaring atau
nasofaring dan disertai pula dengan triple airway maneuver standar.
Syarat-syarat ekstubasi:
vital capacity 6-8 ml/kg BB
tekanan inspirasi diatas 20 cm H2O
PaO2 diatas 80 mmHg
Kardiovaskuler dan metabolic stabil
Tidak ada efek sisa dari obat pelemas otot
Reflek jalan napas sudah kembali dan penderita sudah sadar penuh

12. Intubasi

18
Intubasi adalah memasukan pipa kedalam rongga tubuh melalui mulut
atau hidung (Dorland, 2002). Intubasi terbagi menjadi 2 yaitu intubasi
orotrakeal (endotrakeal) dan intubasi nasotrakeal. Intubasi endotrakeal
adalah tindakan memasukan piapa trakea ke dalam trakea melalui rima
glottidis dengan mengembangkan cuff, sehingga ujung distalnya berada
kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea (Hal:
253-256). Intubasi nasotrakeal yaitu tindakan memasukan pipa nasal
melalui nasal dan nasopharing ke dalam oropharing sebelum laryngoscopy
(Morgan GE, 2006).

Gambar 5. Intubasi
Tujuan intubasi adalah memasukan suatu lubang atau pipa melalui
mulut atau melalui hidung, dengan sasaran jalan nafas bagian atas atau
trachea (Gail, 2002). Tujuan dilakukannya intubasi yaitu sebagai berikut:
Mempermudah pemberian anesthesia

Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan


kelancaran pernafasan

Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi lambung (pada keadaan


tidak sadar, lambung penuh dan reflex batuk)

Mempermudah pengisapan sekret trakeobronkial

Pemakaian ventilasi mekanis yang lama

Mengatasi obstruksi laring akut

(Gisele, 2002)

19
a. Indikasi dan Kontraindikasi Intubasi
Indikasi intubasi endotrakeal yaitu mengontrol jalan nafas,
menyediakan saluran udara yang bebas hambatan untuk ventilasi
dalam jangka panjang, meminimalkan resiko aspirsi,
menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan gawat
atau pasien dengan reflex akibat sumbatan yang terjadi, ventilasi yang
tidak adekuat, ventilasi dengan torachoabdominal pada saat
pembedahan, menjamin fleksiblitas posisi, memberikan jarak anestesi
dari kepala, memungkinkan berbagai posisi (misalnya: tengkurap,
duduk, lateral, kepala kebawah), menjaga darah dan sekresi keluar
dari trake selama operasi saluran napas, perawatan kritis:
mempertahankan saluran napas yang adekuat, melindungi terhadap
aspirasi paru, kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan secret
pulmonal. Kontraindikasi intubasi endotrakeal adalah: trauma servikal
yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertevra servical,
sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi (Longnecker,2008).
Intubasi nasotrakeal dapat dilakukan pada pasien-pasien yang
akan menjalani operasi maupun tindakan intraoral. Dibandingkan
dengan pipa orotrakeal, diameter maksimal dari pipa yang digunakan
pada intubasi nasotrakeal biasanya lebih kecil oleh karenanya tahanan
jalan napas menjadi cenderung meningkat. Intubasi nasotrakeal pada
ssat ini sudah jarang dilakukan untuk intubasi jangka panjang karena
peningkatan tahanan jalan napas serta risiko terjadinya sinusitis.
Teknik ini bermanfaat apabila urgensi pengelolaan airway tidak
memungkinkan foto servikal. Intubasi nasotrakeal secara mebuta
(blind nasotrakeal intubation) memerlukan penderita yang masih
bernafas spontan. Prosedur ini merupakan kontraindikasi untuk
penderita yang apneu. Makin dalam penderita bernafas, makin mudah
mengikuti aliran udara sampai kedalam laring. Kontraindikasi lain
dari pemasangan pipa nasotrakeal antara lain fraktur basis crania,
khususnya pada tulang ethnoid, epistaksis, polip nasal, koagulapati,
dan trombolisis (Longnecker,2008).

20
Indikasi intubasi fiber optic yaitu kesulitan intubasi (riwayat sulit
dilakukan intubasi, adanya bukti pemeriksaan fisik sulit untuk
dilakukan intubasi), diduga adanya kelainan pada saluran napas atas,
trakea stenosis dan kompresi, resiko tinggi kerusakan gigi (gigi
goyang atau gigi rapuh), dan intubasi pada keadaan sadar
(Longnecker,2008).
b. Kesulitan Intubasi
Sehubungan dengan manajemen saluran nafas, riwayat sebelum
intubasi seperti riwayat anestesi, alergi obat, dan penyakit lain yang
dapat menghalangi akses jalan nafas. Pemeriksaan jalan napas
melibatkan pemeriksaan keadaan gigi; gigi terutama ompong, gigi seri
atas dan juga gigi seri menonjol. Visualisasi dari orofaring yang paling
sering diklasifikasikan oleh system klasifikasi Mallampati Modifikasi.
Sistem ini didasarkan pada visualisasi orofaring. Pasien duduk
membuka mulutnya dan menjulurkan lidah.
c. Klasifikasi Mallampati:
Mallampati 1 : palatum mole, uvula, dinding posterior oropharing,
pilar tonsil.
Mallampati 2 : palatum mole, sebagian uvula, dinding posterior uvula.
Mallampati 3 : palatum mole, dasar uvula
Mallampati 4 : palatum drum saja
Dalam system klasifikasi, kelas I dan II saluran nafas umumnya
diperkirakan mudah intubasi, sedangkan kelas III dan IV terkadang
sulit.
Selain system klasifikasi Mallampati, temuan fisik lainnya telah
terbukti menjadi predictor yang baik dari kesulitan saluran nafas.
Wilson dkk menggunakan analisis diskriminan linier, dimasukan lima
variable: berat badan, kepala dan gerakan lehergerakan rahang, sudut
mandibula, dan gigi ke dalam system penilaian yang diperkirakan
75% dari intubasi sulit pada criteria risiko = 2. Faktor lain yang
digunakan yntuk memprediksi kesulitan intubasi meliputi:
Lidah besar

Gerak sendi temporo-mandibular terbatas

Mandibula menonjol

21
Maksila atau gigi depan menonjol

Mobilitas leher terbatas

Pertumbuhan gigi depan menonjol

Mobilitas leher terbatas

Pertumbuhan gigi tidak lengkap

Langit-langit mulut sempit

Pembukaan mulut kecil

Anafilaksis saluran nafas

Arthritis dan ankilosis cervical

Sindrom congenital (klippel-feil(leher pendek, leher menyatu),


piere robin (microganthia, belahan langit-langit, glossoptosis),
treacher Collins (mandibulofacialdysostosis)

Endrokrinopati (kegemukan, acromegali, hipotiroid macroglossia,


gondok)

Infeksi (Ludwig angina (abses pada dasr mulut), peritonsillar


abses, retropharyngeal abses, epihlottitis)

Massa pada mediastinum

Myopati menunjukan myotonia atau trismus

Jaringan parut luka bakar atau radiasi

Trauma dan hematoma

Tumor dan kista

Benda asing pada jalan nafas

22
Kebocoran di sekitar masker wajah (edentulous, hidung datar,
besar wajah dan kepala, kumis,jenggot)

Nasogastrik tube

Kurangnya ketrampilan, pengalaman, atau terburu-buru

Kelas 1: sebagian besar glottis terlihat, kelas 2: hanya ekstermitas


posterior glottis dan epiglottis tampak; kelas 3: tidak ada bagian dari
glottis terlihat, hanya epiglottis terlihat; kelas 4: tidak bahkan
epiglottis terlihat. Kelas 1 dan 2 dianggap sebagai mudah dan kelas 3
dan 4 sebagai sulit.
d. Persiapan Intubasi
Persiapan untuk intubasi termasuk mempersiapkan alat-alat dan
memposisikan pasien. ETT sebaiknya dipilih yang sesuai. Pengisian
cuff ETT sebaiknya di tes terlebih dahulu dengan spuit 10 mililiter.
Jika menggunakan stylet sebaiknya dimasukan ke EET. Berhasilnya
intubasi sangat tergantung dari posisi pasien, kepala pasien harus
sejajar dengan pinggang anestesiologi atau lebih tinggi untuk
mencegah ketegangan pinggang selama laringoskopi. Persiapan untuk
induksi dan intubasi juga melibatkan preoksigenasi rutin.
Preoksigenasi dengan nafas yang dalam dengan oksigen 100%
(Morgan, 2006).
Intubasi Nasotrakeal
Intubasi nasal mirip dengan intubasi oral kecuali bahwa NTT
masuk lewat hidung dan nasofaring menuju orofaring sebelum
dilakukan laringoskopi. Lubang hidung yang dipilih dan digunakan
adalah lubang hidung yang pasien bernafas lebih gampang. Tetes
hidung phenyleprine (0,5-0,25%) menyebabkan pembuluh
vasokontriksi dan menyusutkan membrane mukosa. Jika pasien sadar,
local anestesi secara tetes dan blok saraf dapat digunakan.
NTT yang telah dilubrikasi dengan jelly yang larut dalam air,
dimaksukan ke dasar hidung, dibawah turbin inferior. Bevel NTT
berada disisi lateral jauh dari turbin. Untuk memastikan pipa lewat di
dasar rongga hidung, ujung proksimal dari NTT harus ditarik kea rah

23
kepala. Pipa secara berangsur-angsur dimasukan hingga ujungya
terlihat di orofaring. Umumnya ujung distal dari NTT dapat
dimasukan pada trachea tanpa kesulitan dapat digunakan forcep magil.
Penggunaannya harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak
merusakkan balon. Memasukan NTT melalui hidung berbahaya pada
pasien dengan trauma wajah yang berat disebabkan adanya resiko
masuk ke intracranial.

STEP 2
PERTANYAAN KASUS

1. Apa penanganan utama dari kasus tersebut ?

2. Apa efek keracunan fenobarbiturat bagi tubuh ?

3. Pemeriksaan penunjang apa yang belum terdapat pada kasus ?

24
STEP 3
JAWABAN KASUS

1. Penangan utama pada kasus tersebut dilakukan dengan penggunaan tindakan


suporitif yang merupakan bentuk dasar (ABCD) pada pengobatan keracunan.

a. Resusitasi ABCD

1) Airway (A) atau jalan nafas harus dibersihkan dari benda asing,
muntah atau beberapa gangguan lain atau bila diperlukan, suatu alat
yang mengalirkan napas melalui oral atau dengan memasukkan pipa
endotrakea. Pada kebanyakan pasien, penempatan pada posisi
sederhana dalam posisi dekubitus lateral cukup untuk menggerakkan
lidah yang kaku (flaccid) keluar dari jalan napas.

2) Breathing (B) Pernapasan yang adekuat harus diuji dengan


mengobservasi dan mengukur gas darah arteri. Pada, pasien dengan
insufisiensi pernapasan harus dilakukan intubasi dan ventilasi
mekanik. Berikan oksigen untuk pasien dengan depresi pernafasan,
koma, sianosis, dan syok.

3) Circulation (C) Sirkulasi yang cukup harus dikaji tanda vital


kardiovaskuler dengan mengukur denyut nadi, tekanan darah, urin
yang keluar, dan evaluasi perfusi perifer. Alat untuk intravena harus
dipasang dan darah diambil untuk penentuan serum glukosa dan
untuk pemeriksaan rutin lainnya.

4) Dekstrosa pekat (D) setiap pasien dengan keadaan mental yang


berubah harus diberi larutan dekstrosa pekat (D). Orang dewasa
diberikan larutan dekstrosa sebanyak 25 g (50 mL larutan dekstrosa
50% secara intravena. Dekstrosa ini harus diberikan secara rutin,
karena pasien koma akibat hipoglikemia ynag dengan cepat dan
ireversibel akan kehilangan sel-sel otak. Pasien hipoglikemia
mungkin tampak sebagai pasien keracunan, dan tidak ada metode
yang cepat dan dapat dipercaya untuk membedakannya dan pasien

25
keracunan. Pada umumnya pemberian glukosa tidak berbahaya
sementara menunggu hasil pemeriksaan gula darah. Pada waktu ini,
pasien alkoholik atau malnutrisi juga harus diberi 100 mg tiamin
intramuskular untuk mencegah timbulnya sindrom Wernicke.
Antagoais narkotik nalokson (Narcan) dapat diberikan dengan dosis
0,4-2 mg intravena. Nalokson akan memulihkan pemapasan dan
depresi sistem saraf pusat akibat semua jems obat narkotika. Ada
manfaatnya untuk mengingat bahwa obat-obat ini menimbulkan
kematian terutama akibat depresi pernapasan; karena itu, bila
bantuan pernapasan dan pembebasan saluran pernapasan telah
diberikan, nalokson mungkin tidak diperlukan lagi. Antagonis
benzodiazepin flumazenil bermanfaat pada pasien dengan kecungaan
takar lajak benzodiazepin, tetapi tidak boleh digunakan bila terdapat
riwayat kejang atau takar lajak antidepresan trisiklik, dan obat ini
tidak boleh digunakan sebagai pengganti penatalaksanaan saluran
napas secara hati-hati (Elisa, 2011).

2. Efek keracunan fenobarbikurat bagi tubuh dapat menyebabkan efek utama


pada depresi susunan saraf pusat, bila zat ini diberikan pada siang hari dalam
dosis rendah bertujuan untuk menenangkan, maka dinamakan sedatif (obat-
obat pereda). hipnotika atau sedativa termasuk dalam kelompok psikoleptika
yang mencakup obat-obat yang menekan atau menghambat fungsi-fungsi
susunan saraf pusat. dewasa ini hanya beberapa barbiturat yang masih
digunakan indikasi-indikasi tertentu seperti fenobarbital yang masi memiliki
sifat antikonvulsif. Dosis fenobarbital 15-30 mg bekerja sebagai sedativ dan
100mg atau lebih sebagai obat tidur. over dosis barbital dapat menimbulkan
depresi sentral dengan pernafasan berbahaya, koma, dan kematian
(Setianingsih, 2008).

3. Pemeriksaan laboratorium dengan pemeriksaan lengkap (urin, gula darah,


cairan lambung, analisa gas darah, darah lengkap, osmolalitas serum,
elektrolit, urea N, kreatinin, glukosa, transaminase hati), EKG, Foto toraks/

26
abdomen, Skrining toksikologi untuk kelebihan dosis obat, Tes toksikologi
kuantitatif (Mansjoer Arif, 2009).

27
STEP 4
MIND MAPPING

ASKEP:
PENGKAJIAN
DIAGNOSA
INTERVENSI

JURNAL : GLASGOW
COMA SCALE AND
PENCEGAHAN: ITS COMPONENTS
PRIMER ON ADMISSION: ARE
SEKUNDER THEY VALUABLE
PROGNOSTIC TOOLS
TERSIER IN ACUTE MIXED
Keracunan DRUG POISONING?
Barbiturat

LP:
DEFINISI
TRIASE
ANFIS
KEPERAWATAN
ETIOLOGI
PATOFISIOLOGI

28
STEP 5
LEARNING OBJEKTIF

1. Mahasiswa mampu memahami keperawatan gawat darurat system 1


2. Mahasiswa mampu memahami triase keperawatan gawat darurat
3. Mahasiswa mampu memahami tentang keracunan barbiturat
4. Mahasiswa mampu memahami asuhan keperawatan pada klien dengan
keracunan barbiturat

29
STEP 6
INFORMASI TAMBAHAN

A. Identitas Jurnal
1. Judul Jurrnal : Glasgow Coma Scale and Its Components on
Admission: Are They Valuable Prognostic
Tools in
Acute Mixed Drug Poisoning?
2. Nama Jurnal : Critical Care Research and Practice
3. Volume : 2011
4. Halaman : 1-5
5. Penulis : N. Eizadi Mood, M.Sabzgabaee, Gh.
Yadegarfar, A. Yaraghi, M. Ramazani
Chaleshtori
6. Departemen penulis : Poisoning Emergency Departement, Noor
and Ali Asghar Medical Center, Isfahan
University of Medical Sciences, Ostandari
Avenue Isfahan, Iran
7. Tahun Terbit : 2011

B. Pembahasan Jurnal
1. Pendahuluan
Glasglow Coma Scale (GCS) digunakan dibeberapa departemen
darurat sebagai indikator untuk menentukan status dari sistem saraf
pusat tanpa melihat etiologi utama pasien. Keracunan obat dapat
mempengaruhi zat biokimia otak dan menyebabkan kerusakan otak.
Kal ini dapat mengubah tingkat kesadaran juga. GCS telah dilakukan
dengan outcome dan pemulihan evaluasi pasien yang dirawat di ICU
seperti overdosis obat, evaluasi status mental pasien dengan keracunan,
kebutuhan untuk intubasi pada pasien dengan keracunan antidepresan,
dan untuk memprediksi hasil keracunan akut atau kronis.

2. Bahan dan Metode


Penenlitian ini dulakukan di Departemen Darurat Keracunan
Noor University Medical Center, Provinsi Isfahan, Iran. Departemen
ini difasilitasi dengan staf dan dirancang khusus untuk pengelolaan
pasien keracunan di rumah sakit. 152 pasien dengan keracunan obat
campuran di rawat di RS tersebut. Pasien dipindahkan dari tempat lain
dan pasien yang dirawat setelah 24 jam pertama menelan dikeluarkan.
152 pasien kita akan mampu memperkirakan 95% confidence interval

30
untuk skor GCS dengan 0,4 efec size. Proyek ini disetujui oleh Komite
Etika Kelembagaan Isfahan University of Medical Science (IUMS).
Untuk semua pasien, tes biokimia rutin diukur, dan perawatan
biasa dilanjutkan. Staf medis terlatih mencatat data demografi dan
pembacaan klinis pasien. Komosit GCS, termasuk mata, motorik, dan
verbal dikaji. GCS ditentukan berdasarkan tiga komponen: mata (4 =
membuka secara spontan, 3 = membuka perintah verbal, 2 = membuka
rasa sakit, dan 1 = tidak ada membuka mata), verbal (5 = berorientasi,
4 = bingung, 3 = kata yang tidak pantas, 2 = dimengerti suara, dan 1 =
tidak ada respon verbal), dan motorik (6 = mematuhi, 5 = melokalisasi
nyeri, 4 = penarikan, 3 = normal fleksi, 2 = ekstensi abnormal, dan 1 =
tidak ada respon motorik). Semua data lain yang tersedia termasuk
agen beracun, jenis kelamin, dan usia juga dicatat. Hasil diikuti
kemudian berdasarkan grafik dan dikategorikan sebagai tanpa
komplikasi; atau dengan komplikasi dari ringan sampai berat
(membutuhkan intubasi dan dukungan ventilasi). Ada dua pasien
meninggal dan keduanya memiliki komplikasi, mereka termasuk
dalam kelompok komplikasi. Data yang disajikan sebagai rata-rata
SE atau n (%) di mana yang sesuai. Dua sisi berpasangan t-
test dilakukan untuk membandingkan rata-rata skor pada awal dan
setelah perawatan. Regresi logistik diaplikasikan untuk menghitung
rasio odds (OR) dengan 95% confidence interval (CI) untuk
menunjukkan bagaimana prediksi adalah bagian dari GCS (mata,
motorik, dan lisan). Untuk setiap ukuran hasil dan kombinasi
komponen GCS, kami mengidentifikasi titik cutoff optimal. Daerah di
bawah kurva (AUC) dan kesalahan standar dihitung untuk mengukur
informasi prognostik yang disediakan oleh masing-masing kombinasi
komponen GCS. AUCs antara 0,7 dan 0,8 diklasifikasikan sebagai
"diterima" dan antara 0,8 dan 0,9 sebagai "sangat baik"
diskriminasi. Data dianalisis dengan menggunakan SPSS versi 17.0
(SPSS Inc, Chicago, IL, USA) dan MedCalc (MedCalc Software Inc,
Mariakerke, Belgia). Nilai P kurang dari 0,05 dianggap sebagai hasil
yang signifikan secara statistik.

31
3. Hasil
Dalam studi ini, 152 pasien dengan keracunan obat campuran
(MDP) dipelajari. Ada lebih banyak orang (n =54) dibandingkan
perempuan (n = 98). Usia rata-rata adalah 24,89 0,65 tahun, berkisar
14-56 tahun. Pasien dirawat di rumah sakit di awal perjalanan menelan
(161,99 6.65 menit). Obat yang paling sering digunakan adalah
benzodiazepin, obat-obatan penghilang rasa sakit, dan obat
antidepresan. Temuan menunjukkan bahwa 130 pasien (85,5%)
selamat tanpa komplikasi, 20 pasien (13,2%) bertahan dengan
komplikasi, dan dua pasien meninggal (1,3%). Lama rawat di rumah
sakit 26,3% pasien lebih dari 24 jam. Ada perbedaan yang signifikan
dalam nilai rata-rata dari masing-masing komponen serta jumlah GCS
antara pasien dengan dan tanpa komplikasi (P <0,0001). Pasien dengan
komplikasi menunjukkan verbal, mata, motorik, dan skor GCS kurang
daripada yang lain. Untuk variabel mata, verbal, dan motorik, dan area
di bawah kurva ROC, sensitivitas dan spesifisitas pada titik cutoff
terbaik ditentukan dan dibandingkan dengan GCS. Diskriminasi sangat
baik untuk GCS serta semua komponen termasuk motorik, mata, dan
verbal. Tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik antara
semua komponen dalam hal daerah di bawah kurva ROC. Hasil regresi
logistik menunjukkan bahwa kemungkinan komplikasi adalah 44 kali
lebih tinggi untuk pasien dengan skor bermotor kurang dari lima
dibandingkan dengan skor motorik normal. Hal ini juga menunjukkan
bahwa pasien dengan skor lisan sama atau kurang dari tiga memiliki
90 kali risiko komplikasi dibandingkan dengan mereka dengan skor
lisan empat. Sehubungan dengan komponen mata, kemungkinan
komplikasi adalah 52 kali lebih tinggi untuk pasien dengan mata skor
kurang dari dua dibandingkan dengan skor mata normal (skor 3).
Penelitian ini menunjukkan GCS dan komponennya tampaknya
menjadi alat prognostik yang berharga di keracunan obat campuran
yang akut. Temuan pada kemampuan prediksi skor GCS dan
komponen-komponennya dapat membantu dokter untuk lebih
mengidentifikasi pasien yang mungkin mengalami komplikasi.

32
33
STEP 7
LAPORAN PENDAHULUAN

(terlampir)

34
Lampiran 1 Teori dan Analisis Kasus

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Keracunan adalah suatu kejadian apabila substansi yang berasal
dari alam ataupun buatan yang pada dosis tertentu dapat menyebabkan
kerusakan pada jaringan hidup yang bisa menyebabkan cedera atau
kematian. Racun dapat memasuki jaringan hidup melalui beberapa cara
yaitu termakan, terhirup, disuntikkan, dan terserap melalui kulit (Merriam-
Webster, 2014).
Tahun 2013, menurut National Capital Poison Center (Amerika
Serikat) data yang berasal dari 54.534 kejadian, keracunan sebagian besar
77% terjadi karena ketidaksengajaan yang biasanya berasal dari efek
samping oleh pengobatan, pemakaian obat-obatan yang ketergantungan,
dan percobaan bunuh diri. Paparan racun 75% dari angka kejadian terjadi
pada orang-orang yang memakan obat atau menghirup racun, dan 44%
dari jumlah kejadian melibatkan anak-anak yang berusia kurang dari 6
tahun. Menurut BPOM pada tahun 2013, di Indonesia terjadi kasus
keracunan nasional yang disebabkan oleh beberapa macam penyebab yaitu
binatang, tumbuhan, obat tradisional, kometika, pestisida, kimia, NAPZA,
obat, pencemar lingkungan, makanan, produk suplemen, minuman, dan
campuran. Dimana penyebab terseringnya ialah keracunan yang
disebabkan oleh obat-obatan yang dikonsumsi oleh masyarakat luas. Pada
tahun 2008 terjadi 36,500 angka kematian akibat keracunan di Amerika
Serikat angka ini meningkat lebih dari enam kali lipat bila di bandingkan
tahun 1980 dimana hanya terjadi 6,100 kasus kematian akibat keracunan.
Dimana 9 dari 10 kasus kematian akibat keracunan tersebut disebabkan
oleh obat-obatan (Warner et al, 2008).
Pada negara berkembang angka kematian yang disebabkan oleh
keracunan tetap tinggi dikarenakan beberapa faktor, yaitu kurangnya
regulasi terhadap peredaran obat-obatan dan bahan kimia yang beredar di
pasaran, kurangnya pengawasan dan kontrol terhadap peredaran bahan-

35
bahan beracun, kurangnya penegakan hukum yang ada, dan akses yang
mudah untuk mendapatkan obat-obatan dan bahan kimia yang berpotensi
menyebabkan mortalitas dan morbiditas (Khodabandeh F et al, 2012).

B. Rumusan Masalah
Dari pemaparan dan uraian latar belakang masalah di atas, agar
dalam penyusunan laporan ini lebih terarah pembahasannya dan mendapatkan
gambaran secara komprehensif. Maka sangat penting untuk dirumuskan
pokok permasalahannya, yakni:
1. Kalimat atau kata kunci apa saja yang belum jelas dalam kasus ?
2. Pertanyaan apa saja yang mungkin muncul dalam kasus ?
3. Informasi tambahan apa saja yang mungkin muncul dalam kasus ?
4. Bagaimana hasil diskusi dan sintetis informasi-informasi baru yang
ditemukan pada kasus ?

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Adapun tujuan umum penyusunan laporan ini adalah untuk mengetahui
hasil analisis kasus mahasiswa semester 6 terhadap konsep asuhan
keperawatan klien dengan keracunan barbiturat di Mata Kuliah Blok
Keperawatan Gawat Darurat Sistem I.
2. Tujuan Khusus
a. Menentukan kalimat atau kata kunci yang belum jelas.
b. Mengidentifikasi masalah dan membuat pertanyaan penting.
c. Menganalisa masalah dengan menjawab pertanyaan penting.
d. Mencari informasi tambahan guna menunjang analisa kasus.
e. Melaporkan hasil diskusi dan sintetis informasi-informasi yang
baru ditemukan kepada fasilitator

D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang ingin diperoleh dari penyusunan laporan ini
adalah :
1. Bagi Masyarakat atau Klien
Diharapkan penulisan ini akan menjadi tambahan ilmu
pengetahuan yang berhubungan dengan konsep asuhan keperawatan
klien dengan keracunan barbiturat.

36
2. Bagi Penulis
Hasil analisis kasus ini diharapkan dapat memberi informasi
tentang konsep asuhan keperawatan terhadap klien pada Keperawatan
Gawat Darurat Sistem I dengan keracunan barbiturat. Penulis dapat
menambah pengetahuan serta dapat menerapkan ilmu pengetahuan dan
menjadi acuan untuk penulisan selanjutnya.
3. Bagi STIKes Mahardika
Keperawatan sebagai profesi yang didukung oleh pengetahuan
yang kokoh, perlu terus melakukan berbagai tulisan-tulisan terkait
praktik keperawatan yang akan memperkaya ilmu pengetahuan
keperawatan. Penulisan ini diharapkan dapat memperkaya literatur
dalam bidang keperawatan.

BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Konsep Gawat Darurat


1. Jenis Pasien
a. Pasien Gawat Darurat
Pasien yang tiba-tiba dalam keadaan gawat atau akan menjadi
gawat dan terancam nyawanya dan anggota badannya (akan menjadi
cacat) bila tidak mendapatkan pertolongan secepatnya. Biasanya

37
dilambangkan dengan label merah. Misalnya AMI (Acute Miocard
Infark)
b. Pasien Gawat Tidak Darurat
Pasien berada dalam keadaan gawat tetapi tidak memerlukan tindakan
darurat. Biasanya dilambangkan dengan label biru. Misalnya pasien
dengan Ca stadium akhir.
c. Pasien Darurat Tidak Gawat
Pasien akibat musibah yang datang tiba-tiba, tetapi tidak mengancam
nyawa dan anggota badannya. Biasanya dilambangkan dengan label
kuning. Misalnya : pasien Vulnus Lateratum tanpa perdarahan.
d. Pasien Tidak Gawat Tidak Darurat
Pasien yang tidak mengalami kegawatan dan kedaruratan. Biasanya
dilambangkan dengan label hijau. Misalnya : pasien batuk, pilek.
e. Pasien Meninggal
Label hitam (Pasien sudah meninggal, merupakan prioritas terakhir.
Adapun petugas triage dilakukan oleh dokter atau perawat senior yang
berpengalaman dan petugas triage juga bertangguungjawab dalam
operasi, pengawasan penerimaan pasien dan daerah ruang tunggu.
Selain dari penjelasan di atas dibutuhkan pemahaman dampak atau
psikologi pada saat keadaan gawat darurat.

2. Pendekatan ABCDE
Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure (ABCDE)
adalah pendekatan sistematis untuk penilaian pertama dan perawatan
pasien kritis atau terluka. Pendekatan ini berlaku disemua keadaan
darurat. Hal ini dapat digunakan di jalan tanpa peralatan atau dalam
bentuk yang lebih maju, pada saat kedatangan pelayanan medis darurat,
di ruang gawat darurat, di bangsal umum rumah sakit, atau di unit
perawatan intensif (Thim, 2012).

38
Gambar 6. Pendekatan ABCDE tanpa menggunakan peralatan

a. Tujuan dari pendekatan ABCDE adalah (Thim, 2012) :


1) untuk memberikan pengobatan yang menyelamatkan jiwa
2) untuk memecah situasi klinis yang kompleks menjadi bagian-
bagian yang lebih mudah dikelola
3) untuk melayani sebagai algoritma penilaian dan pengobatan
4) untuk membangun kesadaran situasional umum di antara semua
penyedia perawatan
5) untuk membeli waktu untuk membangun diagnosis akhir dan
pengobatan.
b. Pasien yang membutuhkan ABCDE
Pendekatan ABCDE ini berlaku untuk semua pasien, baik
orang dewasa dan anak-anak. Tanda-tanda klinisnya yaitu kondisi
kritis dari penyebab yang mendasari. Pendekatan ABCDE harus
digunakan setiap kali penyakit kritis atau dicurigai cedera. Serangan
jantung sering didahului oleh tanda-tanda klinis yang merugikan dan
pendekatan ABCDE dapat digunakan sebagai upaya untuk mencegah
potensi terjadinya serangan jantung. Pendekatan ABCDE juga
dianjurkan sebagai langkah pertama dalam dalam perawatan post
resusitasi setelah kembalinya sirkulasi spontan (Thim, 2012).
Pendekatan ABCDE tidak dianjurkan pada pasien serangan
jantung. Ketika dihadapkan dengan pasien jatuh, pertama menjamin
keamanan diri, pengamat, dan korban. Kemudian memeriksa serangan
jantung (tidak responsif, pernapasan abnormal atau tidak ada, dan, jika
dilatih, cek ada tidaknya nadi, nadi arteri karotis). Jika korban dalam

39
serangan jantung, meminta bantuan dan mulai resusitasi
cardiopulmonary sesuai dengan pedoman. Jika pasien tidak dalam
serangan jantung, dapat menggunakan pendekatan ABCDE (Thim,
2012).
c. Prinsip ABCDE
Dengan pendekatan ABCDE, penilaian awal dan pengobatan
dilakukan secara bersamaan dan terus menerus. Bahkan ketika kondisi
kritis, penyebabnya mungkin sulit dipahami, dalam situasi seperti itu,
pengobatan yang menyelamatkan jiwa harus dilakukan sebelum
diagnosis pasti telah diperoleh. Perlakuan dini dan pengobatan awal
yang efektif dapat mencegah kerusakan dan memberi waktu sampai
diagnosis pasti keluar. Kemudian pengobatan terfokus dapat
diterapkan (Thim, 2012).
"ABCDE" singkatan Airway, Breathing, Circulation,
Disability, dan Exposure. Pertama, masalah jalan nafas yang
mengancam jiwa yang dinilai dan diperlakukan; kedua, masalah
pernapasan yang mengancam jiwa yang dinilai dan diperlakukan; dan
seterusnya. Menggunakan pendekatan terstruktur ini, tujuannya adalah
untuk cepat mengidentifikasi masalah yang mengancam jiwa dan
pemberian pengobatan untuk memperbaiki mereka (Thim, 2012).
Seringkali, bantuan akan diperlukan dari layanan medis
darurat, spesialis, atau tim respon rumah sakit (misalnya, tim darurat
medis atau tim henti jantung). Pendekatan ABCDE membantu untuk
cepat mengenali kebutuhan bantuan. Responden harus memanggil
bantuan sesegera mungkin dan memanfaatkan sumber daya dari
semua orang yang hadir untuk meningkatkan kecepatan dari kedua
penilaian dan pengobatan. Peningkatan hasil paling sering didasarkan
pada upaya tim. Setelah menyelesaikan penilaian ABCDE diawal,
penliaian harus diulang sampai pasien stabil. Harus diingat bahwa
mungkin diperlukan beberapa menit sebelum efek dari intervensi
terlihat. Dalam kasus kecelakaan, penilaian ulang harus dilakukan
(Thim, 2012).
Ringkasan poin pendekatan ABCDE
Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure
Prinsip-prinsip universal untuk semua pasien

40
Berlaku bila penyakit kritis atau diduga / terbukti luka
Menilai dan mengobati terus menerus dan secara simultan
Perlakukan segera terhadap tanda-tanda yang mengancam jiwa
Live-saving treatment tidak memerlukan diagnosis definitif/pasti
Menilai kembali secara teratur tanda-tanda kerusakan (Thim,
2012).
d. ABCDE
1) A Airway : apakah saluran napas paten ?
Jika pasien merespon dengan suara normal, maka jalan napas
paten. Obstruksi jalan napas dapat parsial atau lengkap. Tanda-
tanda jalan napas sebagian terhalang termasuk suara berubah,
pernapasan berbisik (misalnya, stridor), dan upaya pernapasan
meningkat. Dengan napas sepenuhnya terhalang, tidak ada
respirasi meskipun upaya besar (yaitu respirasi paradoks, atau
"see-saw" sign). Penurunan tingkat kesadaran merupakan
penyebab umum dari obstruksi jalan napas, parsial atau
lengkap. Sebuah tanda umum dari obstruksi jalan napas parsial
dalam keadaan tidak sadar adalah mendengkur (Thim, 2012).
Obstruksi jalan napas tidak diobati dengan cepat dapat
menyebabkan serangan jantung. Semua profesional perawatan
kesehatan, terlepas dari pengaturan, dapat menilai jalan napas
seperti yang dijelaskan dan menggunakan manuver head-tilt dan
chin-lift untuk membuka jalan napas. Dengan peralatan yang
tepat, dianjurkan hisap dari saluran udara untuk menghilangkan
penghalang, misalnya, darah atau muntah. Jika mungkin, benda
asing menyebabkan obstruksi jalan napas harus
disigkirkan. Dalam hal terjadi obstruksi jalan napas lengkap,
pengobatan harus diberikan sesuai dengan pedoman. Singkatnya,
untuk pasien sadar memberikan lima pukulan kembali bergantian
dengan lima menyodorkan perut sampai obstruksi lega. Jika
korban menjadi tidak sadar, meminta bantuan dan mulai resusitasi
cardiopulmonary sesuai dengan pedoman (Thim, 2012).

41
Gambar 7. Head-tilt dan chin-lift untuk membuka jalan napas

2) B : Pernapasan : apakah pernapasan cukup ?


Dalam semua pengaturan, dimungkinkan untuk
menentukan tingkat pernapasan, memeriksa gerakan dinding dada,
kesimetrisan dan penggunaan otot pernapasan tambahan, dan
perkusi dada untuk dullnes unilateral atau resonansi. Sianosis,
distensi vena leher, dan lateralisasi trakea dapat diidentifikasi. Jika
stetoskop tersedia, auskultasi paru harus dilakukan dan jika
mungkin, oksimeter nadi harus diterapkan. Tension pneumothorax
harus dibebaskan segera dengan memasukkan kanula pada ruang
interkostal kedua melintasi linea (jarum
thoracocentesis). Bronkospasme harus ditangani dengan inhalasi.
Jika pernapasan tidak cukup, ventilasi harus dibantu dengan
memberikan bantuan napas dengan atau tanpa perangkat
penghalang. Orang yang terlatih harus menggunakan masker jika
tersedia (Thim, 2012).
3) C : circulation : apakah sirkulasi memadai ?
Waktu pengisian kapiler dan denyut nadi dapat dinilai
dalam pengaturan apapun. Inspeksi kulit memberikan petunjuk
untuk masalah peredaran darah. Perubahan warna, berkeringat,
dan menurunnya tingkat kesadaran adalah tanda-tanda perfusi
menurun. Jika stetoskop tersedia, auskultasi jantung harus

42
dilakukan. Pemantauan Elektrokardiografi dan pengukuran
tekanan darah juga harus dilakukan sesegera mungkin. Hipotensi
merupakan tanda penting klinis yang merugikan. Efek dari
hipovolemia dapat diatasi dengan menempatkan pasien dalam
posisi terlentang dan mengangkat kaki pasien. Akses intravena
harus diperoleh sesegera mungkin dan infus normal salin harus
diberikan (Thim, 2012).
4) D : Disability : berapa tingkat kesadaran pasien ?
Tingkat kesadaran dapat dengan cepat dinilai dengan
menggunakan metode AVPU, dimana pasien dinilai sebagai
alert/peringatan (A), voice responsive/suara responsif (V), pain
responsive/nyeri responsif (P), atau unresponsive/tidak responsif
(U). Atau, Skor Glasgow Coma dapat digunakan. Gerakan Limb
harus diperiksa untuk mengevaluasi tanda-tanda potensi
lateralisasi. Pengobatan segera terbaik untuk pasien dengan
kondisi utama otak adalah stabilisasi jalan napas, pernapasan, dan
sirkulasi. Secara khusus, ketika pasien hanya sakit responsif atau
tidak responsif, jalan nafas harus dipastikan, dengan menempatkan
pasien dalam posisi pemulihan, dan personil yang memenuhi
syarat mengamankan jalan napas. Pada akhirnya, intubasi
mungkin diperlukan. refleks cahaya pupil harus dievaluasi dan
glukosa darah diukur. Penurunan tingkat kesadaran karena gula
darah rendah dapat diperbaiki dengan cepat dengan glukosa oral
atau infus (Thim, 2012).
5) E : Exposure : apakah ada petunjuk untuk menjelaskan kondisi
pasien ?
Tanda-tanda trauma, perdarahan, reaksi kulit (ruam), tanda
jarum, dll, harus diperhatikan. Pakaian harus dilepaskan untuk
memungkinkan pemeriksaan fisik secara menyeluruh yang akan
dilakukan. Suhu tubuh dapat diperkirakan dengan perabaan kulit
atau menggunakan termometer bila tersedia (Thim, 2012).
Pendekatan ABCDE dengan poin penilaian yang penting
dan contoh pilihan penatalaksanaan
Penilaian Penatalaksanaan

43
A Airways Voice Head tilt and chin lift
Breath sounds Oxygen (15 l min1)
Suction

B Respiratory rate (1220 Seat comfortably


Breathing min1) Rescue breaths
Chest wall movements Inhaled medications
Chest percussion Bag-mask ventilation
Lung auscultation Decompress tension
Pulse oximetry (97% pneumothorax
100%)

C Skin color, sweating Stop bleeding


Circulation Capillary refill time (<2 s) Elevate legs
Palpate pulse rate (60 Intravenous access
100 min1) Infuse saline
Heart auscultation
Blood pressure (systolic
100140 mmHg)
Electrocardiography
monitoring
Treat Airway,
D Level of consciousness Breathing, and
Disability AVPU Circulation problems
Recovery position
Glucose for
Alert
hypoglycemia
Voice responsive

Pain responsive

Unresponsive

Limb movements
Pupillary light reflexes
Blood glucose
E Exposure Expose skin Treat suspected cause
Temperature

Catatan: rentang dewasa normal diberikan dalam tanda kurung. Yang


penting, pasien dengan nilai-nilai dalam rentang tertentu mungkin masih sakit

44
kritis. Penilaian dan pengobatan poin dalam huruf miring membutuhkan
peralatan (Thim, 2012).

3. Triase
a. Definisi
Triase (Triage) berasal dari kata perancis yang berarti
menyeleksi. Dulu istilah ini dipakai untuk menyeleksi buah anggur
untuk membuat minuman anggur yang bagus atau memisahkan biji
kopi sesuai kualitasnya. Setelah itu, konsepnya semakin berkembang
dan konsep yang dipakai seperti sekarang ini ditetapkan setelah
perang dunia I. Triase bencana adalah suatu sistem untuk menetapkan
prioritas perawatan medis berdasarkan berat ringannya suatu penyakit
ataupun tingkat kedaruratannya, agar dapat dilakukan perawatan
medis yang terbaik kepada korban sebanyak-banyaknya, di dalam
kondisi dimana tenaga medis maupun sumber-sumber materi lainnya
serba terbatas (Zailani et al, 2009).
Menurut Kathleen et al (2008), triage adalah suatu konsep
pengkajian yang cepat dan terfokus dengan suatu cara yang
memungkinkan pemanfaatan sumber daya manusia, peralatan serta
fasilitas yang paling efisien dengan tujuan untuk memilih atau
menggolongkan semua pasien yang memerlukan pertolongan dan
menetapkan prioritas penanganannya.
Menurut Pusponegoro (2010), triase berasal dari bahasa
Prancis trier bahasa Inggris triage dan diturunkan dalam bahasa
Indonesia triase yang berarti sortir. Yaitu proses khusus memilah
pasien berdasarkan beratnya cedera atau penyakit untuk menentukan
jenis perawatan gawat darurat.
Triage adalah usaha pemilahan korban sebelum ditangani,
berdasarkan tingkat kegawatdaruratan trauma atau penyakit dengan
mempertimbangkan prioritas penanganan dan sumber daya yang ada
(Wijaya, S, 2010).
b. Prinsip Triase
Prinsip-prinsip triase yang utama sekali harus dilakukan adalah:
1) Triase umumnya dilakukan untuk seluruh pasien
2) Waktu untuk Triase per orang harus lebih dari 30 detik

45
3) Prinsip utama Triase adalah melaksanakan prioritas dengan urutan
nyawa > fungsi > penampilan
4) Pada saat melakukan Triase, maka kartu Triase akan dipasangkan
kepada korban luka untuk memastikan urutan prioritasnya
(Zailani, dkk, 2009).
c. Metode Triase
Simple Triage and Rapid Treatment (START) adalah metode
yang telah dikembangkan atas pemikiran bahwa Triase harus
akurat, cepat, dan universal. Metode tersebut menggunakan 4
macam observasi yaitu, bisa berjalan, bernafas, sirkulasi darah,
dan tingkat kesadaran untuk menentukan tindakan dan penting
sekali bagi seluruh anggota medis untuk mampu melakukan Triase
dengan metode ini (Zailani, dkk, 2009). Untuk alur pelaksanaan triase
pada korban bencana massal, dapat dilihat pada grafik berikut :

Grafik 1. Metode Triase

3) Kategori Triase

46
Korban yang nyawanya dalam keadaan kritis dan memerlukan
prioritas utama dalam pengobatan medis diberi kartu merah. Korban
yang dapat menunggu untuk beberapa jam diberi kartu kuning,
sedangkan korban yang dapat berjalan sendiri diberi kartu hijau.
Korban yang telah melampaui kondisi kritis dan kecil
kemungkinannya untuk diselamatkan atau telah meninggal diberi
kartu hitam. Dalam kondisi normal, pasien yang sudah diambang
kematian dapat diselamatkan dengan pengobatan yang serius
walaupun kemungkinannya sangat kecil. Para petugas medis yang
sudah terbiasa memberikan pelayanan medis yang maksimal dan
pantang menyerah terhadap pasien dengan kondisi seperti itu,
mungkin akan dihinggapi perasaan berdosa saat memberikan kartu
hitam kepada korban. Disinilah letak perbedaan antara pengobatan
darurat dengan prinsip terbaik untuk satu orang dan pengobatan
bencana dengan prinsip terbaik untuk semua (Zailani, dkk, 2009).
Untuk lebih jelasnya, kategori triase dapat kita lihat pada tabel
2.1. berikut ini:
Tabel 2.1 Kategori Triase
Prioritas Warna Kode Kategori Kondisi Penyakit/Luka
1 Merah I Prioritas utama Memerlukan pengobatan
pengobatan dengan segera karena
dalam kondisi yang sangat
kritis yaitu tersumbatnya
jalan napas, dyspnea,
pendarahan, syok, hilang
kesadaran
2 Kuning II Bisa Pengobatan mereka dapat
menunggu ditunda untuk beberapa
pengobatan jam dan tidak akan
berpengaruh terhadap
nyawanya. Tanda-tanda
vital stabil
3 Hijau III Ringan Mayoritas korban luka
yang dapat berjalan
sendiri mereka dapat
melakukan rawat jalan
4 Hitam 0 Meninggal Korban sudah meninggal
atau tidak ataupun tanda-tanda
dapat kehidupannya terus
diselamatkan menghilang

47
4) Kartu Triase
Hasil Triase dicatat secara sederhana di kartu triase, kemudian
digantungkan di leher atau di salah satu tangan dan kaki pasien. Triase
bukanlah proses yang dilakukan berulang kali untuk memonitor
apakah terjadi perubahan pada kondisi pasien. Jadi, prosesnya perlu
dilakukan setiap saat pada korban atau berulang-ulang ketika mereka
akan dipindahkan ke lokasi baru, misalnya ditempat bencana, pusat
pertolongan pertama, sebelum diangkut, di pintu masuk rumah sakit,
sebelum operasi/pembedahan, dan lain-lain (Zailani, dkk, 2009).
Triase lapangan dilakukan pada tiga kondisi:
a) Triase di Tempat (Triase Satu)
Triase ditempat dilakukan di tempat korban ditemukan
atau pada tempat penampungan yang dilakukan oleh tim
pertolongan pertama atau tenaga medis gawat darurat. Triase di
tempat mencakup pemeriksaan, klasifikasi, pemberian tanda dan
pemindahan korban ke pos medis lanjutan.
b) Triase Medik
Triase ini dilakukan saat korban memasuki pos medis
lanjutan oleh tenaga medis yang berpengalaman (sebaiknya
dipilih dari dokter yang bekerja di Unit Gawat Darurat, kemudian
ahli anestesi dan terakhir oleh dokter bedah). Tujuan triase medis
adalah menentukan tingkat perawatan yang dibutuhkan oleh
korban.
c) Triase Evakuasi
Triase ini ditujukan kepada korban yang dapat dipindahkan
ke rumah sakit yang telah siap menerima korban bencana masal.
Jika pos medis lanjutan dapat berfungsi efektif, jumlah korban
dalam status merah akan berkurang, dan akan diperlukan
pengelompokkan korban kembali sebelum evakuasi dilaksanakan.
Tenaga medis di pos medis lanjutan dengan berkonsultasi dengan
pos komando dan rumah sakit tujuan berdasarkan kondisi korban
akan membuat keputusan korban mana yang harus dipindahkan
terlebih dahulu, rumah sakit tujuan, jenis kendaraan dan
pengawalan yang akan dipergunakan.

48
No Nama Umur Jenis Kelamin
L P
Alamat Telepon
Pelaksanaan Triase Nama Petugas
Tanggal : Pukul :
AM
PM
Institusi Pengangkutan Institusi Pelayanan Medis
Lokasi Pelasksanaan Triase
V Kesadaran Sadar total. Sadar setelah distimulasi
I Pernapasan /Menit Sulit napas, tidak bernapas
TA Denyut /Menit Teratur, tidak teratur, tidak teraba
L Tekanan Darah / MmHg

S
I
G
NS
Kategori
0 I II III
Gambar 8. Kartu Triase

B. Konsep Keracunan Barbiturat


1. Definisi Keracunan Barbiturat

a) Definisi Keracunan

Racun adalah suatu zat yang ketika tertelan, terhisap,


diabsorpsi, menempel pada kulit, atau dihasilkan di dalam tubuh
dalam jumlah yang relatif kecil dapat mengakibatkan cedera dari
tubuh dengan adanya reaksi kimia. Racun merupakan zat yang
bekerja pada tubuh secara kimiawi dan fisiologik yang dalam dosis
toksik akan menyebabkan gangguan kesehatan atau mengakibatkan
kematian. Racun dapat diserap melalui pencernaan, hisapan,
intravena, kulit, atau melalui rute lainnya. Reaksi dari racun dapat
seketika itu juga, cepat, lambat atau secara kumulatif (Budianto 1997
dalam Galih Aryyagunawan, 2013).
b) Barbiturate

49
Barbiturat merupakan derivat asam barbiturate (2,4,6-
trioksoheksa-hidropirimidin) yaitu obat yang bertindak sebagai
depresan sistem saraf pusat, dan mereka menghasilkan spektrum
efek yang luas, mulai dari sedasi ringan sampai anestesi total.
Mereka juga efektif sebagai anksiolitik, sebagai hipnotik, dan
sebagai antikonvulsan. Mereka memiliki potensi kecanduan, baik
fisik dan psikologis. Asam barbiturate sendiri tidak menyebabkan
depresi SSP, efek hipnotik-sedatif dan efek lainnya ditimbulkan bila
posisi lima ada gugus alkil atau aril (Ganiswara, 2007).
Asam barbiturate (malonil urea) adalah hasil kondensasi asam
malonat dan urea. Asam barbiturate ini ditemukan oleh Adolp von
Baeyer (1864) (Rahardjo, 2008).
c) Keracunan Barbiturate

Dari definisi keracunan dan barbiturate dapat diambil


kesimpulan yaitu keracunan barbiturate merupakan suatu efek obat
yang timbul pada pasien karena beberapa factor seperti salah
penggunaan, salah dosis dan salah pemberian obat dan lain-lain yang
sifatnya dapat di sengaja dan tidak sengaja.
2. Etiologi

Ada berbagai macam kelompok bahan yang dapat menyebabkan


keracunan, antara lain :
1. Bahan kimia umum (Chemical toxicants) yang terdiri dari berbagai
golongan seperti pestisida (organoklorin, organofosfat, karbamat),
golongan gas (nitrogen metana, karbon monoksida, klor), golongan
logam (timbal, posfor, air raksa,arsen) ,golongan bahan organik
(akrilamida, anilin, benzena toluene, vinil klorida fenol).

2. Racun yang dihasilkan oleh makluk hidup (Biological toxicants)


mis : sengatan serangga, gigitan ular berbisa , anjing dan lain-lain.

3. Racun yang dihasilkan oleh jenis bakteri (Bacterial toxicants) mis :


Bacillus cereus, Compilobacter jejuni, Clostridium botulinum,
Escherichia coli dan lain-lain.

50
4. Racun yang dihasilkan oleh tumbuh tumbuhan (Botanical toxicants)
mis : jamur amnita, jamur psilosibin, oleander, kecubung dan lain-
lain.

3. Klasifikasi
Klasifikasi keracunan dapat dibagi berdasarkan:
a. Menurut cara terjadinya keracunan
1) Self Poisoning adalah pasien makan obat dengan dosis
berlebihan tapi menurut pengetahuan dia dosis tersebut tidak
membahayakan. pasien tidak bermaksud bunuh diri, hanya
mencari perhatian saja.
2) Attempted Suicide adalah keadaan pasien yang memang
bermaksud bunuh diri, tetapi dapat berakhir kematian atau
pasien sembuh kembali bila dosis yang dimakan tidak
berlebihan (salah tafsir) dengan dosis yang dipakai .
3) Accidental Poisoning merupakan kecelakaan murni, tanpa
adanya faktor kesengajaan.
4) Homicidal Poisoning adalah keracunan akibat tindakan kriminal,
yaitu seseorang dengan sengaja meracuni orang lain.
b. Menurut alat tubuh yang terkena
Pada jenis ini keracunan dapat digolongkan berdasarkan organ yang
terkena, contohnya :
1) Mempengaruhi sistem sirkulasi darah

a) Jaringan darah (pembuluh darah), menimbulkan shock


disebabkan berkurangnya aliran darah (vasogenic shock)
dan berkurangnya volume, darah pada jaringan sel-sel otak
disebabkan adanya penyempitan pembuluh-. pembuluh
darah.

b) Jantung merendahkan tekanan/denyut jantung (hypotentie


cardiac) terlalu banyak darah mengalir ke jantung atau
terlalu banyak darah dalam jantung (kongesti jantung).

c) Irama detak jantung tidak teratur (cardiac arrhytrnias).

d) Jantung mendadak berhenti (cardiac arrest).

51
2) Mempengaruhi sistem sarap pusat:

a) Rasa sakit

b) Rangsangan sarap sentral yang berlebihan


(hyperexitability), banyak bicara/mengaco (dellirium),
timbulnya kejang-kejang (konvulsi) dan berkurangnya zat
pembakaran (oksigen) dalam darah.

c) Depresi (penekanan) terhadap sarap pusat ditandai dengan


timbulnya kelumpuhan reflek umum, terhentinya alat
pernapasan (asphyxia) dan gangguan metabolisme dalam
sel-sel otak.

d) Gangguan atau kelainan psikis (kejiwaan).

e) Pengaruh terhadap alat pencernaan seperti rongga mulut


(gastro intestinal tracts), seperti rasa mual (nausea), muntah,
rasa sakit daerah lambung (abdominal pain) dan mencret
(diare).

f) Pengaruh terhadap alat perkencingan, seperti gangguan


pengeluaran air kencing/ kencing sedikit-sedikit (urinary
retention) gejala kerusakan ginjal.

g) Kerusakan pada hati (hepar), pingsan disebabkan gangguan


pada hati (hepatic coma).

h) Pengaruh terhadap keseimbangan air dalam elektrolit dalam


tubuh (dehydrasi), yaitu keseimbangan garam (NaCl),
keseimbangan asam dan basa (acidosis dan alkalosis),
gangguan keseimbangan postasium dan kalsium dalam
darah.

i) Luka bakar kimia pada kulit, selaput lendir pada


mulut/tenggorok (moucus membrance) dan selaput lendir
mata. ( Elisa, 2011)

52
Barbiturat juga diklasifikasikan menjadi barbiturat aksi-sangat
pendek (ultrashort-acting), aksi-pendek (short-acting), aksi-menengah
(intermediate-acting), dan aksi-lama (long-acting) tergantung pada
seberapa cepat barbiturat beraksi dan berapa lama efek barbiturat
berakhir. Barbiturat aksi sangat pendek (ultrashort-acting) masih banyak
digunakan untuk anestesi bedah, terutama untuk menginduksi anestesi
meskipun penggunaan barbiturat selama induksi anestesi sebagian besar
telah digantikan oleh propofol. Barbiturat ultrashort acting seperti
thiopental (pentothal) menghasilkan ketidaksadaran dalam waktu sekitar
satu menit intravena injeksi. Obat ini digunakan untuk menyiapkan
pasien untuk pembedahan; anestesi umum lain seperti sevofluran atau
isofluran kemudian digunakan untuk menjaga pasien dari bangun
sebelum operasi selesai. Thiopental dan barbiturat ultrashort-acting
biasanya digunakan dalam pengaturan rumah sakit dan sangat tidak
mungkin untuk disalahgunakan.

4. Manifestasi Klinik

Menurut tanda gejalanya, keracunan barbikuran dibagi menjadi 2 yaitu:

a. Keracunan kronik

Keracunan yang gejalanya timbul perlahan dan lama. Gejala


dapat timbul secara akut setelah berkali-kali dengan dosis relatif
kecil, dan gejala tidak spesifik seperti bingung, dehidrasi dan metabolik
asidosis menyeru-pai sepsis, pneumonia dan gastroenteritis. Mortalitas
dan morbiditas lebih tinggi daripada intoksikasi akut. Keracunan berat
dapat timbul pada kadar salisilat yang lebih rendah. Dengan ciri
khasnya adalah zat penyebab diekresikan 24 jam lebih lama dan
waktunya lebih panjang sehingga terjadi akumulasi.
b. Keracunan akut

Biasanya terjadi secara mendadak setelah makan sesuatu sering


mengenai banyak orang dan gejala yang akan timbul nausea dan
vomitus yang timbul segera setelah termakan, diikuti dengan

53
hiperpnea, tinnitus, ketulian dan letargi. Gejala intoksikasi berat :
koma , kejang, hipoglikemi, hiper-termi bahkan edema pulmonal,
perdarahan pulmonal, arf, oliguria. Edema serebral dan pulmonal
lebih sering terjadi pada intoksikasi akut. Dapat terjadi kematian
akibat kegagalan saraf pusat dan kolaps kardiovaskuler.

5. Patofisiologi

Barbiturat terutama bekerja pada reseptor GABA dimana barbiturat


akan menyebabkan hambatan pada reseptor GABA pada sistem saraf
pusat, barbiturate menekan sistem aktivasi retikuler, suatu jaringan
polisinap komplek dari saraf dan pusat regulasi, yang beberapa terletak
dibatang otak yang mampu mengontrol beberapa fungsi vital termasuk
kesadaran. Pada konsentrasi klinis, barbiturat secara khusus lebih
berpengaruh pada sinap saraf dari pada akson. Barbiturat menekan
transmisi neurotransmitter inhibitor seperti asam gamma aminobutirik
(GABA).Mekanisme spesifik diantaranya dengan pelepasan transmitter
(presinap) dan interaksi selektif dengan reseptor (postsinap).
a. Pada Sistem Saraf Pusat
Barbiturat menimbulkan semua tingkat depresi mulai dari sedasi
ringan sampai koma. Tingkat depresi tergantung pada jenis
barbiturat, dosis yang sampai ke SSP, cara pemberian, tingkat
kepekaan SSP pada waktu pemberian obat, dan ada tidaknya
toleransi. Seluruh SSP dipengaruhi barbiturat, tetapi yang paling
peka adalah korteks serebri dan sistem retikular. Pada dosis sedatif
sudah terjadi depresi daerah motoris dan sensoris korteks. Yang
relatif kebal terhadap barbiturat adalah vasomotor dan pusat
pernapasan di medula oblongata
b. Pada Sistem Kardiovaskular
Menurunkan tekanan darah dan cardiac output, dan dapat
meningkatkan frekwensi jantung, penurunan tekanan darah sangat
tergantung dari konsentrasi obat dalam plasma. Hal ini disebabkan
karena efek depresinya pada otot jantung, sehingga curah jantung
turun, dan dilatasi pembuluh darah. Iritabilitas otot jantung tidak

54
terpengaruh, tetapi bisa menimbulkan disritmia bila terjadi resistensi
Co2 atau hipoksia. Penurunan tekanan darah yang bersifat ringan
akan pulih normal dalam beberapa menit tetapi bila obat disuntik
secara cepat atau dosisnya tinggi dapat terjadi hipotensi yang berat.
Hal ini terutama akibat dilatasi pembuluh darah karena depresi pusat
vasomotor. Dilain pihak turunnya tekanan darah juga dapat terjadi
oleh karena efek depresi langsung obat pada miokard.
c. Sistem Pernafasan
Dosis hipnotik menyebabkan depresi respirasi yang ringan,
sementara pada dosis yang lebih besar, dapat terjadi intoksikasi, yang
menekan pusat pernapasan (medulla oblongata), sehingga respon
terhadap CO2 berkurang, dan mengakibatkan ventilasi paru
berkurang. Keadaan ini menyebabkan pengeluaran CO2 dan
pemasukan O2 berkurang, sehingga terjadilah hipoksia. Selain pusat
pernapasan, respirasi juga terganggu oleh :
1) Edema pulmonum terutama terjadi dengan barbiturat kerja
singkat.

2) Pneumonia hipostatik terutama dengan barbiturat kerja lama.

3) Hiper-refleksia N. vagus yang bisa menyebabkan singulus,


batuk, spasme bronkus dan laringospasme. Ini sering terjadi
pada anastesia bila tidak diberikan pramedikasi sulfas atropin
atau skopolami.

d. Saluran Cerna
Tonus dan amplitudo pergerakan otot usus berkurang sedikit
karena barbiturat. Sekresi lambung hanya sedikit berkurang.
e. Ginjal
Barbiturat tidak mempunyai efek buruk terhadap ginjal yang
sehat. Namun Oliguri dan anuria dapat terjadi pada keracunan akut
barbiturat terutama akibat hipotensi yang nyata.
f. Hati
Pada dosis terapi, barbiturat tidak mengganggu fungsi hepar
yang normal. Namun dapat terjadi kerusakan hepar yang hebat dan

55
disertai dengan dermatitis serta gejala alergi lainnya pada penderita
hipersensitif.
g. Penyalahgunaan Barbiturat
Seperti etanol, barbiturat memabukkan dan menghasilkan efek
yang sama selama intoksikasi. Gejala-gejala keracunan barbiturat
termasuk depresi pernapasan, menurunkan tekanan darah, kelelahan,
demam, kegembiraan yang tidak biasa,iritabilitas, pusing,
konsentrasi yang buruk, sedasi, kebingungan, gangguan koordinasi,
gangguan penilaian, kecanduan, dan pernapasan yang dapat
menyebabkan kematian.
Risiko utama dari penyalahgunaan barbiturat adalah depresi
pernapasan akut. Ketergantungan fisik dan psikologis juga dapat
terjadi pada penggunaan berulang. Efek lain dari keracunan
barbiturat meliputi mengantuk, nistagmus lateral dan vertikal, bicara
cadel dan ataksia, kecemasan menurun, hilangnya hambatan.
Barbiturat juga digunakan untuk mengurangi efek samping atau
penarikan dari penyalahgunaan narkoba. Pengguna narkoba
cenderung memilih barbiturat short-acting dan intermediate-acting.
Yang paling sering disalahgunakan adalah amobarbital (amytal),
pentobarbital (Nembutal), dan secobarbital (Seconal). Kombinasi
amobarbital dan secobarbital (disebut Tuinal) juga sangat
disalahgunakan. Barbiturat short-acting dan intermediate-acting
biasanya diresepkan sebagai obat penenang dan pil tidur. Pil ini
mulai bertindak 15-40 menit setelah mereka tertelan, dan efek
mereka berakhir sekitar lima sampai enam jam.8 Penggunaan
barbiturat dosis besar dapat terjadi pada percobaan bunuh diri atau
kecelakaan.
Intoksikasi berat umumnya terjadi bila menelan sekaligus
barbiturat 10 kali dosis hipnotik. Barbiturat kerja singkat,
kelarutannya dalam lemak lebih tinggi dan lebih toksik dibandingkan
dengan barbiturat kerja lama. Dosis 6 - 10 gram fenobarbital dan
dosis 2 - 3 gram amobarbital, sekobarbital atau pentobarbital dapat
menimbulkan kematian. Kadar fenobarbital terendah dalam plasma
yang pernah dilaporkan bersifat letal kira-kira 60 mikrogram/ml,

56
sedangkan untuk anobarbital dan pentobarbital kirakira 10
mikrogram / ml. ( Idries, 2011 )

57
6. Pathway
SISTEM TUBUH MANUSIA
Keracunan Barbiturat

Sistem saraf pusat Sistem Kardiovaskular Sistem Pernafasan Sistem Pencernaan Sistem Perkemihan Hati

Dosis Berlebih Cardiac Output Intoksikasi Pergerakan tonus oliguri & anuria dosis berlebih
berkurang fatigue kerja ginjal kerusakan hati

Depresi Tekanan Darah Respon Co2


Nyeri Akut Intoleransi
kebutuhan cairan hipersensitif
Aktivitas

Sistem saraf pusat Frekuensi jantung Ventilasi berkurang sekresi lambung tanda alergi
Kekurangan
Tidak sadar berkurang
Volume Tanda infeksi
Cairan
Pengeluaran Co2,
Curah Jantung Pemasukan Co2 Resiko Infeksi
Kebutuhan
7.Kesadaran
Tingkat
Nutrisi Kurang
Resistensi Co2 Pernafasan
Dari Kebutuhan
Tubuh

58
Ansietas Hipoksia
Gangguan Pola Nafas

Penurunan Perfusi Jaringan

59
8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium dengan pemeriksaan lengkap (urin, gula
darah, cairan lambung, analisa gas darah, darah lengkap, osmolalitas
serum, elektrolit, urea N, kreatinin, glukosa, transaminase hati), EKG,
Foto toraks/ abdomen, Skrining toksikologi untuk kelebihan dosis obat,
Tes toksikologi kuantitatif (Mansjoer Arif, 2009).

9. Komplikasi
a) Mempengaruhi sistem sirkulasi darah yang dapat menimbulkan seperti
shock, hypotentie cardiac, cardiac arrhytrnias, cardiac arrest
b) Mempengaruhi sistem saraf pusat yang dapat menimbulkan Depresi,
kejiwaan. gangguan metabolisme dalam sel-sel otak. berhentinya alat
pernapasan (asphyxia) (Elisa, 2011).

10. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan pada keracunan adalah mencegah
penyebaran racun kedalam tubuh. Penatalaksanaan awal pasien koma,
kejang, atau perubahan keadaan mental lainnya harus mengikuti cara
pendekatan yang sama tanpa memandang penyebab jenis racun. Usaha
untuk membuat diagnosis toksikologi khusus hanya memperlambat
penggunaan tindakan suporitif yang merupakan bentuk dasar (ABCD)
pada pengobatan keracunan.
a) Resusitasi ABCD
i. Airway (A) atau jalan nafas harus dibersihkan dari benda
asing, muntah atau beberapa gangguan lain atau bila
diperlukan, suatu alat yang mengalirkan napas melalui oral
atau dengan memasukkan pipa endotrakea. Pada kebanyakan
pasien, penempatan pada posisi sederhana dalam posisi
dekubitus lateral cukup untuk menggerakkan lidah yang kaku
(flaccid) keluar dari jalan napas.
ii. Breathing (B) Pernapasan yang adekuat harus diuji dengan
mengobservasi dan mengukur gas darah arteri. Pada, pasien
dengan insufisiensi pernapasan harus dilakukan intubasi dan
ventilasi mekanik. Berikan oksigen untuk pasien dengan
depresi pernafasan, koma, sianosis, dan syok.

60
iii. Circulation (C) Sirkulasi yang cukup harus dikaji tanda vital
kardiovaskuler dengan mengukur denyut nadi, tekanan darah,
urin yang keluar, dan evaluasi perfusi perifer. Alat untuk
intravena harus dipasang dan darah diambil untuk penentuan
serum glukosa dan untuk pemeriksaan rutin lainnya.
b) Dekstrosa pekat (D) setiap pasien dengan keadaan mental yang
berubah harus diberi larutan dekstrosa pekat (D). Orang dewasa
diberikan larutan dekstrosa sebanyak 25 g (50 mL larutan dekstrosa
50% secara intravena. Dekstrosa ini harus diberikan secara rutin,
karena pasien koma akibat hipoglikemia ynag dengan cepat dan
ireversibel akan kehilangan sel-sel otak. Pasien hipoglikemia
mungkin tampak sebagai pasien keracunan, dan tidak ada metode
yang cepat dan dapat dipercaya untuk membedakannya dan pasien
keracunan. Pada umumnya pemberian glukosa tidak berbahaya
sementara menunggu hasil pemeriksaan gula darah. Pada waktu ini,
pasien alkoholik atau malnutrisi juga harus diberi 100 mg tiamin
intramuskular untuk mencegah timbulnya sindrom Wernicke.
Antagoais narkotik nalokson (Narcan) dapat diberikan dengan
dosis 0,4-2 mg intravena. Nalokson akan memulihkan pemapasan
dan depresi sistem saraf pusat akibat semua jems obat narkotika.
Ada manfaatnya untuk mengingat bahwa obat-obat ini
menimbulkan kematian terutama akibat depresi pernapasan; karena
itu, bila bantuan pernapasan dan pembebasan saluran pernapasan
telah diberikan, nalokson mungkin tidak diperlukan lagi. Antagonis
benzodiazepin flumazenil bermanfaat pada pasien dengan
kecungaan takar lajak benzodiazepin, tetapi tidak boleh digunakan
bila terdapat riwayat kejang atau takar lajak antidepresan trisiklik,
dan obat ini tidak boleh digunakan sebagai pengganti
penatalaksanaan saluran napas secara hati-hati.
i. Eliminasi

61
Tujuannya menghambat penyerapan, kalau dapat
menghilangkan bahan racun atau hasil metabolisme tubuh.
Dapat dikerjakan dengan cara :
1) Emetic yaitu mengeluarkan racun yang tertelan dengan cara
dimuntahkan, memberikan obat pencahar untuk mencegah
absorbspi lanjut oleh usus dan mempercepat defekasi.
contohnya sirup Ipecac pada pasien sadar mengeluarkan
sebagian isi lambung jika diberikan dengan segera setelah
keracunan, tapi menghambat kerja karbon aktif.
Indikasi : Jarang.
Kontraindikasi : pasien pusing, tidak sadar, atau kejang atau
pada pasien keracunan kerosin atau hidrokarbon yg lain, racun
korosif, konfulsan kerja cepat (tricyclic antidepresan, stricnin,
kamper).
Tehnik : Berikan 30 ml sirup diikuti dg 8 gelas kecil
air/800cc , jk diperlukan ulangi setiap 20 menit.
2) Cathartic yaitu menguras isi lambung (Castric Lavage)
dengan menggunakan kateter lambung melalui mulut
memakai air hangat biasa atau larutan khusus untuk
lambung, efektif pada racun yang berbentuk cair atau pil
yang kecil kecil dan sangat efektif jika dilakukan kurang
dari 1 jam setelah keracunan.
Indikasi : Pada keracunan yang dalam jumlah banyak
untuk mengidentifikasi jenis racun dan untuk pemberian carcoal
dan antidotum.
Kontroindikasi : Tidak digunakan pada pasien dengan
penurunan kesadaran dan tidak ada reflek gangguan. Diberi
laksans cara pemberian: magnesium sulfat 10% 2-3 ml/kg atau
sorbitol 70% 1-2 ml/kg. & alkohol.
3) Neutralizer yaitu menetralkan racun dengan memberi obat
antidote khusus dan antidote umum. Contohnya Carbon
aktif dapat mengabsorbsi hampir semua jenis obat dan
racun, kecuali besi, lithium, Na, K, sianida, mineral asam.

62
Indikasi : sebagai pilihan utama pada
keracunan lewat lambung dan usus.
Kontra Indikasi : Tidak boleh diberikan pada pasien
dengan penurunan kesadaran atau kejang jika diberikan
melalui NGT & jalan nafas harus dilindungi dengan ETT.
kemuadian pada pasien dengan obstruksi ileus atau
intestinal.
Cara pemberian : Berikan 60-100 mg oral.
Pengulangan dosis dapat dilakukan untuk meningkatkan
absorbsi racun. Diuresis paksa (forced diuresis atau FD)
pada dugaan racun berada dalam darah dan dapat
dikeluarkan melalui ginjal.
4) Dialisis ( HD/Dialisis Peritoneal) pada keracunan bahan
yang dapat didialisis.
5) Mandi dan keramas pada keracunan bahan yang dapat
masuk lewat kulit.
6) Mengencerkan bahan racun yang terkonsumsi oleh tubuh
dengan cara memberikan air putih yang banyak.
ii. Antidot
Antidot bekerja berlawanan dengan efek racun dengan men
etralisir racun(reaksi antigen-antibodi, khelasi, atau membentuk
ikatan kimia), mengantagonis efek fisiologis racun
(mengaktivasi kerja sistem saraf yang berlawanan, memfasilitasi
aksi kompetisi metabolik atau reseptor substrat tersebut).
Kasus keracunan yang memerlukan antidot spesifik adalah
keracunan asetaminofen, agen antikolinergik, antikoagulan,
benzodizepin, -blocker, CCB, CO, glikosida jantung, agen
kolinergik, sianida, reaksi distonik karena induksi obat, etilen
glikol, fluorida, logam berat, hydrogen sulfida, agen
hipoglikemik, INH, metH-emia, narkotik, simpatomimetik,
Vacor, dan gigitan atau bisa binatang tertentu.
Antidot mengurangi morbiditas dan mortalitas, namun
sebagian besar juga potensial toksik. Penggunaan antidot

63
agar aman membutuhkan identifikasi yang benar keracunan
spesifik atau sindromnya.

C. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
Tanggal Masuk :
Tanggal Pengkajian :
2. Identitas Klien
Nama :
Umur :
Jenis Kelamin :
Alamat :
Diagnosa Medis :
No. RM :
3. Identitas Penanggung Jawab
Nama :

64
Umur :
Jenis Kelamin :
Alamat :
Hub. Dengan Klien :
4. Primary Survey
a. Airway
1) Look (Melihat obstruksi jalan nafas)
Obstruksi jalan nafas : Ada Tidak ada
Jika ada berupa :
Sekret Darah Benda asing Lidah jatuh ke
belakang
2) Listen (Mendengarkan suara jalan nafas)
Gurgling Snoring Crowing
3) Feel (Meraba)
Hembusan udara : Hidung Mulut
Deviasi trakhea :....................................

b. Breathing
1) Look (Lihat pergerakan dada)
Pengembangan dada : Simetris Tidak simetris
Sesak nafas Retraksi intercosta Cuping hidung
Distensi vena leher Jejas di dada Luka terbuka
di dada
2) Listen (Mendengarkan suara pernafasan)
Vesikuler Bronkhovesikuler Bronkhial
Trakheal
Whezzing Ronchi Krekles Stridor
3) Feel ( Meraba )
Krepitasi Nyeri tekan
Perkusi : Sonor, Hipersonor, Dulness

c. Circulation
Nadi : Teraba / Tidak teraba
Nadi :.........x/menit
Irama nadi : Teratur / Tidak teratur

65
Perdarahan : Ya / Tidak
Tempat perdarahan : ..................................
Perfusi/CRT :........detik
Sianosis : Ya Tidak
Tekanan Darah : ................mmHg
Suara Jantung :................................

d. Dissability
Kesadaran : Alert Verbal respon
Pain respon Unresponsible
Kesadaran : Composmentis Apatis Somnolent
Sopor Coma
GCS : ............
Mata : ......., Motorik : ......., Verbal : ...........
Pupil : Isokor Miosis Pin
Medriasis Reaksi terhadap
cahaya : .......................
Papil edema : Ada Tidak ada
Lateralisasi : Ya Tidak

e. Exposure
Jejas : ada tidak ada tempat jelas: ......................
Lesi : ada tidak ada tempat lesi : .......................
Kelainan bentuk : ...........................
Nyeri : ............................................
Folley cateter
..........................................................................................................
Gastric tube
.........................................................................................................
Heart monitoring dan oxymetri
.........................................................................................................

66
5. Secondary Survey
a. Keadaan Umum
1) Tekanan Darah: ....................mm/Hg
2) Nadi : ...........x/menit
3) RR : ...........x/menit
4) Suhu : ..........C

b. Anamnesa


.......................................................................

c. Keluhan


.......................................................................

d. Obat-obatan


.......................................................................

e. Makanan


.......................................................................

f. Penyakit penyerta


..............................................................................

g. Alergi


...........................................................................

h. Kejadian

67


...........................................................................

i. Tubes and finger in every orifice


1) Lubang hidung : ..........................
2) Lubang telinga : ..........................
3) Lubang anus : ..........................
4) Lubang vagina : ..........................
j. Pemeriksaan kulit kepala
1) Inspeksi
Laserasi : ........................
Kontusio : ........................
Luka termal : ........................
Perdarahan : ........................
2) Palpasi
Nyeri tekan : ........................
Fraktur : ........................
k. Wajah
1) Inspeksi
Laserasi : ........................
Kontusio : ........................
Luka termal : ........................
Perdarahan : ........................
2) Palpasi
Nyeri tekan : ........................
Fraktur : ........................
l. Mata
1) Inspeksi
Cornea : ........................
Pupil : ........................
Racon eyes : ........................
m. Hidung
Pembengkakan : ........................

68
Krepitasi / fraktur : ........................
n. Zygoma
Pembengkakan : ........................
Krepitasi / fraktur : ........................
o. Telinga
Keutuhan membran timpani: ........................
Hemotimpanium : ........................
Tanda batle sign : .........................
p. Rahang Atas
Stabilitas rahang : ........................
Krepitasi / fraktur : ........................
Pembengkakan : ........................
Deformitas : ........................
q. Rahang Bawah
Stabilitas rahang : ........................
Krepitasi / fraktur : ........................
Pembengkakan : ........................
Deformitas : ........................
r. Vertebra Servikalis / Leher
1) Inspeksi
Jejas : ........................
Deviasi trakhea : ........................
Pemakaian otot pernafasan tambahan: ........................
2) Palpasi
Nyeri tekan : ........................
Deformitas : ........................
Pembengkakan : ........................
s. Thoraks
Jejas : ........................
Luka terbuka : ........................
Nyeri tekan : ........................
Krepitasi : ........................
t. Paru-paru
Inspeksi : ........................

69
Palpasi : ........................
Perkusi : ........................
Auskultasi : ........................
u. Jantung
Inspeksi : ........................
Palpasi : ........................
Perkusi : ........................
Auskultasi : ........................
v. Abdomen
Inspeksi : ........................
Auskultasi : ........................
Perkusi : ........................
Palpasi : ........................
w. Pelvis
Kestabilan posisi : ........................
Jejas : ........................
Nyeri tekan : ........................
Pembengkakan : ........................
Krepitasi / fraktur : ........................
Deformitas : ........................
x. Ekstremitas
1) Inspeksi
Laserasi : ........................
Perdarahan : ........................
Pembengkakan : ........................
Deformitas : ........................
2) Palpasi
Nyeri tekan : ........................
Krepitasi : ........................
Kekuatan otot : ........................
y. Punggung
Jejas : ........................

70
Pembengkakan : ........................
Deformitas : ........................
Nyeri tekan : ........................
Fraktur : ........................

6. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Laboratorium


....................................................

b. Pemeriksaan Rotgen


...........................................................................

c. Pemeriksaan EKG


.......................................................................

d. Pemeriksaan CT Scan atau MRI




.......................................................................

e. Pemeriksaan USG


.......................................................................

f. Pemeriksaan yang lain




.......................................................................

71
g. Therapy


.......................................................................

72
7. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi
paru akibat akumulasi udara
2. Penurunan perfusi jaringan berhubungan dengan gangguan
transport O2
3. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan denyut
jantung
4. Kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidak mampuan menelan makanan
5. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan
volume cairan aktif
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan
antar suplei dan kebutuhan oksigen, kelemahan
7. Resiko Infeksi berhubungan dengan prosedur invansif
(pemasangan kateter)
8. Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen
tulang, edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi,
stress/ansietas, luka operasi

73
8. Rencana Asuhan Keperawatan
No Diagnosa
Tujuan (NOC) Intervensi (NIC) Rasional
. Keperawatan
1. Gangguan pola Setelah dilakukan tindakan Respiratory Monitoring Respiratory Monitoring
asuhan keperawatan selama 1. Monitor tingkat,
nafas berhubungan 1. Mengetahui perubahan pola
5x24 jam, diharapkan pola kedalaman, dan upaya untuk
dengan penurunan nafas efektif. Dengan kriteria bernapas. napas.
hasil : 2. Monior TD, nadi, RR, suhu.
ekspansi paru akibat
1. Tanda-tanda vital dalam
akumulasi udara batas normal 2. Mengetahui status perkembangan
Airway Management
Tekanan darah : 90/120 1. Posisikan klien senyaman penyakit dan pengobatan.
mmHg mungkin (semifowler).
2. Ajarkan tekhnik relaksasi
Nadi : 60-100 x/menit, Airway Management
dan distraksi nafas dalam.
1. Mengurangi rasa sesak nafas
RR : 18-24 x/menit 3. Berikan terapi oksigen
yang berlebih pada klien.
sesuai kebutuhan klien
Suhu : 35-37oC. 2. Napas dalam dan distraksi dapat
(FiO2 28%).
2. Takipnea hilang memberikan efek menenangkan
sehingga cemas dapat berkurang
3. Dapat membantu mengurangi
rasa sesak pada klien.

2. Penurunan perfusi Setelah dilakukan tindakan Circulatory Management Circulatory Management


asuhan keperawatan selama
jaringan 1. Monitor tanda-tanda vital. 1. Mengetahui status perkembangan

74
berhubungan 5x24 jam, diharapkan penyakit dan pengobatan
menunjukan keefektifan
dengan gangguan 2. Monitor tekakan intrakranial 2. Mengetahui perkembangann
perfusi jaringan. Dengan
transport O2 kriteria hasil: dan respon neurologis. neurologis klien lebih lanjut,
1. Intake output seimbang.
tindak lanjut intervensi.
2. Tekanan systole dan
diastole dalam batas 3. Monitor status cairan. 3. Mengetahui intek output cairan.
normal.
4. Pertahankan parameter 4. untuk mempertanahankan curah
3. Bebas dari aktivitas kejang
4. Komunikasi jelas. hemodinamik. jantung dalam keadaan normal.
5. Catat perubahan pasien 5. Mengetahui hasil
dalam respon stimulus. perekembangan klien tiap
pemeriksaan.
3. Penurunan curah Setelah dilakukan tindakan Cardiac Care Cardiac Care
jantung asuhan keperawatan selama 1. Monitor tanda-tanda vital 1. Mengetahui status kesehatan
berhubungan 5x24 jam, diharapkan 2. Monitor denyut jantung klien
dengan perubahan kebutuhan curah jantung
denyut jantung terpenuhi. 3. Monitor tanda-tanda 2. Mengetahui sirkulasi darah dan
Dengan kriteria hasil : penurunan curah jantung jantung
1. Tanda-tanda vital dalam 3. Mengetahui penurunan dan
batas normal peningkatan curah jantung
RR : 16 - 24x/menit 4. Pemeriksaan EKG 4. Mengetahui irama jantung
Nadi : 60 - 100x/menit
Suhu : 35 - 37oC
TD : 120/90 mmHg
2. Denyut jantung normal
(80-100x/menit)

75
3. Kebutuhan oksigen
terpenuhi
4. Kebutuhan nutrisi Setelah dilakukan tindakan Nutrition Management Nutrition Management
kurang dari 1. Monitor berat badan 1. Mengetahui perkembangan berat
asuhan keperawatan selama
kebutuhan tubuh badan pada klien.
berhubungan 3x24 jam diharapkan klien
dengan ketidak 2. Monitor status gizi dan diet 2. Mengetahui perencanaan tentang
dapat menelan makanan. klien kebutuhan nutrisi yang sesuai
mampuan menelan
makanan Dengan kriteria hasil : dengan klien.
1. BB ideal. 3. Sediakan pilihan makanan 3. Memenuhi kebutuhan status
2. Intek nutrisi terkontrol yang sehat nutrisi sesuai kebutuhan klien.
Nutrition Therapy Nutrition Therapy
1. Berikan makanan yang 1. Membantu klien dalam
lunak (telur albumin, selama (mengunyah) mencerna
4 jam). makanan.
2. Memenuhi nutrisi sesuai
2. Kolaborasi dengan ahli gizi kebutuhan perencanaan klien.
(pemberian nutrisi).
5. Kekurangan volume Setelah dilakukan tindakan Fluid Monitoring Fluid Monitoring
cairan berhubungan asuhan keperawatan selama 1. Monitoring tanda-tanda 1. Mengetahui status kesehatan
dengan kehilangan 3x24 jam, diharapkan volume vital klien
volume cairan aktif cairan terpenuhi. Dengan 2. Monitor intake dan output 2. Mengetahui pemasukaan
kriteria hasil : pengeluaran cairan.
1. Tanda-tanda vital dalam 3. Monitoring tanda dan gejala 3. Mengetahui adanya tanda-tanda
batas normal kekurangan volume cairan dehidrasi seperti turgor kulit,
RR : 16 24x/menit nadi.
Nadi : 60 80x/menit 4. Monitor status dehidrasi 4. Pemberian obat untuk menjaga
TD : 120/90mmHg agar kelebihan haluaran cairan

76
Suhu : 35 37oC dapat diminimalkan.
2. Intake dan output 5. Monitor turgor kulit, 5. Mengetahui efektifitas terapi
seimbang membran mukosa. yang diberikan.
3. Hasil laboratorium (Hb, 6. Anjurkan untuk minum air 6. Untuk menambah cairan tubuh
Ht) dalam batas normal putih sebanyak 2 liter yang hilang.
4. Tidak mengalami perhari
dehidrasi
6. Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan tindakan Management Energy Management Energy
berhubungan asuhan keperawatan selama 1. Bantu klien untuk 1. Dapat melakukan aktivitas
dengan 3x24 jam, diharapkan melakukan aktivitas sehari- seperti biasanya meskipun
ketidakseimbangan intoleransi klien adekuat. hari. dengan bantuan.
antar suplei dan Dengan Kriteria Hasil: 2. Buat jadwal latihan aktivitas 2. Dengan adanya jadwal akan
kebutuhan oksigen, 1. Mampu melakukan secara bertahap. meningkatkan aktivitas.
kelemahan aktifitas sehari-hari 3. Berikan suport dari keluarga 3. Dukungan dari keluarga sangat
(ADLs) secara mandiri. dalam program terapi. penting untuk meningkatkan
2. Keseimbangan aktifitas proses penyembuhan.
dan istirahat 4. Berikan pergerakan/ROM 4. Mencegah terjadi kontraktur
pasif secara bertahap. otot.
5. Kolaborasi dengan 5. Mempercepat proses
fisioterapi. penyembuhan.
7. Resiko Infeksi Setelah dilakukan tindakan Infection Protection: Infection Protection
berhubungan asuhan keperawatan 3x24 jam 1. Monitor tanda-tanda infeksi 1. Mengetahui adanya infeksi pada
dengan prosedur diharapkan klien tidak (calor, dolor, rubor, tumor, klien.
invansif mengalami resiko infeksi functio lasea).
(pemasangan Dengan Kriteria Hasil :
kateter) 1. Tidak timbul tanda dan 2. Ajarkan pasien dan keluarga 2. Mengetahui adanya tanda-tanda
gejala infeksi (calor, dolor, mengenali tanda-tanda infeksi bagi kelurga pasien.
rubor, tumor, functio infeksi (calor, dolor, rubor,

77
lasea).
tumor, functio lasea).
2. Melakukan kebersihan 3. Mencegah terjadinya infeksi
dengan cuci tangan. 3. Ajarkan pasien dan keluarga
cara untuk menghindari
3. Mempertahankan infeksi, terutama pada
lingkungan yang bersih. selang kateter . 4. Membantu pencegahan dari
infeksi
4. Kolaborasi pemberian obat
antibiotik
8. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan Pain Managament Pain Managament
berhubungan asuhan keperawatan selama 1. Lakukan 1. Memberikan
dengan spasme otot, 5x24 jam diharapkan nyeri pengkajian nyeri secara informasi untuk membantu
gerakan fragmen hilang, terkontrol. Dengan komprehensif (P : dalam menentukan
tulang, edema, kriteria hasil : Penyebab, Q : Kualitas dan pilihan/keefektifan intervensi dan
cedera jaringan 1. Klien mampu mengontrol Kuantitas, R : Daerah dan untuk mengetahui skala nyeri
lunak, pemasangan nyeri (tahu penyebab Penyebarannya, S : yang dirasakan pasien
traksi, nyeri dan mampu Seberapa kuat nyeri yang
stress/ansietas, luka menggunakan teknik dirasakan, T : Waktu
operasi nonfarmakologi untuk terjadinya nyeri)
mengurangi nyeri) 2. Kontrol 2. Memberikan
2. Mampu mengenali nyeri lingkungan pasien yang kenyamanan bagi pasien
(skala, intensitas, dapat mempengaruhi nyeri
frekuensi) seperti suhu ruangan,
3. Menyatakan rasa nyaman pencahayaan, dan
setelah nyeri berkurang kebisingan 3. Meningkatkan
3. Berikan relaksasi, memfokuskan kembali
tindakan kenyamanan, perhatian dan dapat
distraksi selama nyeri akut meningkatkan kemampuan

78
seperti, pijatan punggung : koping
membantu pasien
melakukan posisi yang
nyaman: mendorong
penggunaan
relaksasi/latihan nafas
dalam: aktivitas terapeutik
4. Tingkatkan 4. Menejemen energi
klien untuk istirahat klien
5. Evaluasi
keefektifan kontrol nyeri 5. Mengevaluasi hasil
6. Kolaborasi tindakan dan menenukan
dengan dokter untuk intervensi lanjutan
pemberian obat pereda 6. Untuk Mengurangi
nyeri (analgetik) ambang batas nyeri dan
menurunkan adanya nyeri.

79
80
BAB III
PEMBAHASAN KASUS

A. PENGKAJIAN
Tanggal Masuk : Kamis, 30 Juni 2016
Tanggal Pengkajian : Kamis, 30 Juni 2016
I. Identitas Klien
Nama : Nn. x
Umur : 18 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Tidak Terkaji
Diagnosa Medis : Keracunan Barbiturat
No. RM : Tidak Terkaji
II. Identitas Penanggung Jawab
Nama : Tidak Terkaji
Umur : Tidak Terkaji
Jenis Kelamin : Tidak Terkaji
Alamat : Tidak Terkaji
Hub. Dengan Klien : Tidak Terkaji
1. PRIMARY SURVEY
a) CIRCULATION
Nadi : Teraba Tidak terbara
Nadi : 130x/menit
Irama nadi : Teratur Tidak teratur
Perdarahan : Ada Tidak ada
Tempat perdarahan : Tidak terkaji
Perfusi / CRT : Tidak terkaji
Sianosis : Ya Tidak
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Suara Jantung : Tidak terkaji
b) AIRWAY
Look ( Melihat obstruksi jalan nafas )

81
Obstruksi jalan nafas : Ada Tidak ada
Listen ( Mendengarkan suara jalan nafas )
Gurgling Snoring Crowing
Feel ( Meraba )
Hembusan udara : Hidung Mulut
Deviasi trakhea : Tidak terkaji
c) BREATHING
Look (Lihat pergerakan dada)
Pengembangan dada : Simetris Tidak simetris
Sesak nafas Retraksi intercosta Cuping hidung
Distensi Jugularis Luka terbuka Luka di dada
Listen ( Mendengarkan suara pernafasan )
Vesikuler Bronkho vesikuler Bronkhial Trakheal
Stridor Whezzing Ronchi Krekles
Feel ( Meraba )
Krepitasi Nyeri tekan
Perkusi : Sonor Hipersonor Dulness
d) DISABILITY
Kesadaran : Alert Verbal respon
Pain respon Unresponsible
Kesadaran : Composmentis Apatis
Somnolent Sopor Coma
GCS : E1 M1 V1 = 3
Pupil : Isokor Miosis
Medriasis
Papil edema : Ada Tidak ada
Lateralisasi : Ya Tidak

e) EXPOSURE
Jejas : Ada Tidak ada
Tempat jejas : Tidak terkaji
Lesi : Ada Tidak ada

82
Tempat lesi : Tidak terkaji
Kelainan bentuk : Tidak terkaji
Nyeri : Tidak terkaji
Folley cateter
Terpasang cateter
Gastric tube
Terpasang NBT
Heart monitoring dan oxymetri
SPO2 93 %

2. SECONDERY SURVEY
a) Keadaan Umum
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Nadi : 130x/menit
RR : 14x/menit
Suhu : 37,30C
b) Keluhan
Klien mengalami hilang kesadaran.
c) Obat-obatan
Tablet oral fenobarbital
d) Makanan
Tidak terkaji
e) Penyakit penyerta
Kejang (-), inkontinensia urine (-), muntah (-), kejang (-)
f) Alergi
Tidak terkaji
g) Tubes and finger in every orifice
Lubang hidung : Dalam batas normal (simetris), tidak ada
perdarahan.
Lubang telinga : Simetris, tidak ada lesi.
Lubang anus : Tidak terkaji
Lubang vagina : Tidak terkaji

83
h) Pemeriksaan kulit kepala
1) Inspeksi
Laserasi : Tidak terkaji
Kontusio : Tidak terkaji
Luka termal : Tidak terkaji
Perdarahan : Tidak terkaji
2) Palpasi
Nyeri tekan : Tidak terkaji
Fraktur : Tidak terkaji
i) Wajah
1) Mata
Inspeksi
Cornea : Tidak terkaji
Pupil : Ukuran dan reaksi pupil normal berbentuk
sama besar (isokor), tidak ada kelainan
seperti : unisokor, medriasis, pinpon.
Racon eyes : Tidak terkaji
2) Hidung
Pembengkakan : Tidak terkaji
Krepitasi atau fraktur : Tidak terkaji
3) Zygoma
Pembengkakan : Tidak terkaji
Krepitasi dan fraktur : Tidak terkaji
j) Telinga
Membrane timpani : Tidak terkaji
Hemotimpanium : Tidak terkaji
Tanda batle sign : Tidak terkaji

k) Rahang atas
Stabilitas rahang : Tidak terkaji
Krepitasi / fraktur : Tidak terkaji
Pembengkakan : Tidak terkaji

84
Deformitas : Tidak terkaji
l) Rahang bawah
Stabilitas rahang : Tidak terkaji
Krepitasi / fraktur : Tidak terkaji
Pembengkakan : Tidak terkaji
Deformitas : Tidak terkaji
m) Vertebra servikalis / Leher
1) Inspeksi
Jejas : Tidak terkaji
Deviasi trakhea : Tidak terkaji
Otot bantu napas : Tidak terkaji
2) Palpasi
Nyeri tekan : Tidak terkaji
Deformitas : Tidak terkaji
Pembengkakan : Tidak terkaji
n) Torak
Jejas : Tidak terkaji
Luka terbuka : Tidak terkaji
Nyeri tekan : Ttidak terkaji
Krepitasi : Tidak terkaji
o) Paru-paru
1) Inspeksi : Tidak terkaji
2) Palpasi : Tidak terkaji
3) Perkusi : Tidak terkaji
4) Auskultasi : Tidak terkaji
p) Jantung
1) Inspeksi : Tidak terkaji
2) Palpasi : Tidak terkaji
3) Perkusi : Tidak terkaji
4) Auskultasi : Tidak terkaji
q) Abdomen
1) Inspeksi : Tidak terkaji

85
2) Auskultasi : Tidak terkaji
3) Perkusi : Tidak terkaji
4) Palpasi : Tidak terkaji
r) Pelvis
Kestabilan posisi : Tidak terkaji
Jejas : Tidak terkaji
Nyeri tekan : Tidak terkaji
Pembengkakan : Tidak terkaji
Krepitasi / fraktur : Tidak terkaji
Deformitas : Tidak terkaji
s) Ekstremitas
1) Inspeksi
Laserasi : Tidak terkaji
Perdarahan : Tidak terkaji
Pembengkakan : Tidak terkaji
Deformitas : Tidak terkaji
2) Palpasi
Nyeri tekan : Tidak terkaji
Krepitasi : Tidak terkaji
Kekuatan otot : Tidak terkaji
t) Punggung
Jejas : Tidak terkaji
Pembengkakan : Tidak terkaji
Deformitas : Tidak terkaji
Nyeri tekan : Tidak terkaji
Fraktur : Tidak terkaji
3. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a) Pemeriksaan Laboratorium
1) Analisi gas darah : hypocarbia dengan asidosis metabolic
2) Tes urine : positif terdapat badan keton dan serum
barbiturate
3) SGOT 222 IU

86
4) SGPT 240 IU
b) Pemeriksaan Rotgen
Tidak terkaji
c) Pemeriksaan EKG
Tidak terkaji
d) Pemeriksaan CTScan/MRI
Tidak terkaji
e) Pemeriksaan USG
Tidak terkaji
f) Pemeriksaan yang lain
Tidak ada
g) Therapy
Antibiotic, venitoin, ranitidine, dopamine dalam dosis rendah,
10 tablet activated charcor (5 g), 1 liter RL dicampur dengan
soda bikarbonat 50 cc, terapi oksigen ventimask (Fio2 60%).

87
B. Analisa Data

No. Data- data Etiologi Masalah Keperawatan


1. DS: - Keracunan barbiturat Gangguan pola nafas berhubungan
DO: dengan penurunan ekspansi paru
- Klien tidak sadar (Koma) Sistem pernafasan akibat akumulasi udara
- Klien tampak takipnea
- Respirasi 14 X/Menit Intoksikasi
- Tekanan Darah: 120/70 mmHg
- Nadi: 130 X/Menit Respon Co2
- SPO2 93%
- Volume Tidal 400 Ml Ventilasi berkurang

Pengeluaran Co2, pemasukan Co2

Pernafasan

Gangguan pola nafas

2. DS: Keracunan barbiturat Penurunan perfusi jaringan

88
DO: berhubungan dengan penurunan
- Klien tidak sadar Sistem kardiovaskuler kesadaran
- SPO2 93%
- Tekanan Darah: 120/70 mmHg. Cardiac output

Tekanan darah

Frekuensi jantung

Curah jantung

Resistensi Co2

Hipoksia

Penurunan perpusi jaringan


3. DS: - Sistem tubuh manusia Kebutuhan nutrisi kurang dari
DO: kebutuhan tubuh berhubungan
- Klien tidak sadar (Koma) Keracunan barbiturat dengan ketidak mampuan menelan

89
- Terpasang NGT makanan.
Sistem pencernaan

Pergerakan tonus berkurang

Nyeri akut

Sekresi lambung berkurang

Kebutuhan nutrisi kurang dari


kebutuhan tubuh.
4. DS: - Sistem tubuh manusia Resiko Infeksi berhubungan
DO: dengan prosedur invansif
- Klien tidak sadar (koma) Keracunan barbiturat (pemasangan kateter)
- Klien terpasang kateter
- Kalium serum 2,5/eqlt Hati dosis berlebih

Kerusakan hati

90
Hipersensitif

Tanda elergi

Tanda infeksi

Resiko infeksi
5. DS: - Sistem tubuh manusia Intoleransi aktivitas berhubungan
DO: dengan ketidakseimbangan antar
- Klien tidak sadar (koma) Keracunan barbiturat suplei dan kebutuhan oksigen,
- Klien terpasang kateter kelemahan.
- Klien terpasang NGT Sistem pencernaan

Pergerakan tonus

Fatigue

Intoleransi aktifitas

91
C. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru akibat akumulasi udara
2. Penurunan perfusi jaringan berhubungan dengan gangguan transport O2
3. Kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidak mampuan menelan makanan
4. Resiko Infeksi berhubungan dengan prosedur invansif (pemasangan kateter)
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antar suplei dan kebutuhan oksigen, kelemahan.

D. Rencana Asuhan Keperawatan

No. Diagnosa Tujuan (NOC) Intervensi (NIC) Rasional


Keperawatan
1. Gangguan pola nafas Setelah dilakukan tindakan Respiratory Monitoring Respiratory Monitoring
asuhan keperawatan selama 1. Monitor 1. Mengetahui perubahan pola
berhubungan dengan
5x24 jam, diharapkan pola tingkat, kedalaman, dan upaya napas.
penurunan ekspansi nafas efektif dengan kriteria untuk bernapas. 2. Mengetahui status
hasil: 2. Monior TD, perkembangan penyakit dan
paru akibat akumulasi
1. Tanda-tanda vital normal nadi, RR, suhu. pengobatan.
udara. Airway Management
Tekanan darah : 90/120 1. Mengurangi rasa sesak
mmHg Airway Management nafas yang berlebih pada
1. Posi klien.
Nadi : 60-100 x/menit, sikan klien senyaman mungkin 2. Napas dalam dan
(semifowler). distraksi dapat memberikan
RR : 18-24 x/menit

92
2. Ajar efek menenangkan sehingga
Suhu : 36,6oC. kan tekhnik relaksasi dan cemas dapat berkurang
distraksi nafas dalam. 3. Dapat membantu
2. Takipnea hilang mengurangi rasa sesak pada
klien.
3. Beri
kan terapi oksigen sesuai
kebutuhan klien (FiO2 28%).
2. Penurunan perfusi Setelah dilakukan tindakan Circulatory Management Circulatory Management
jaringan berhubungan asuhan keperawatan selama 1. Monitor tanda-tanda vital. 1. Mengetahui status
dengan gangguan 5x24 jam, diharapkan perkembangan penyakit dan
transport O2 menunjukan keefektifan pengobatan
perfusi jaringan. Dengan 2. Monitor tekakan intrakranial 2. Mengetahui perkembangann
kriteria hasil: dan respon neurologis. neurologis klien lebih lanjut,
1. Intake output seimbang. tindak lanjut intervensi
2. Tekanan systole dan 3. Monitor status cairan. 3. Mengetahui intek output
diastole dalam batas cairan.
normal. 4. Pertahankan parameter 4. untuk mempertanahankan
3. Bebas dari aktivitas hemodinamik. curah jantung dalam keadaan
kejang normal.
4. Komunikasi jelas. 5. Catat perubahan pasien dalam 5. Mengetahui hasil
perekembangan klien tiap

93
respon stimulus. pemeriksaan.

3. Kebutuhan nutrisi Setelah dilakukan tindakan Nutrition Management Nutrition Management


asuhan keperawatan selama 1. Monitor berat badan. 1. Mengetahui perkembangan
kurang dari kebutuhan
3x24 jam diharapkan klien berat badan pada klien.
tubuh berhubungan dapat menelan makanan.
Dengan kriteria hasil : 2. Monitor status gizi dan diet 2. Mengetahui perencanaan
dengan klien. tentang kebutuhan nutrisi yang
1. BB ideal.
ketidakmampuan 2. Intek nutrisi terkontrol sesuai dengan klien.
menelan makanan. 3. Sediakan pilihan makanan 3. Memenuhi kebutuhan status
yang sehat nutrisi sesuai kebutuhan klien.
Nutrition Therapy Nutrition Therapy
1. Berikan makanan yang lunak 1. Membantu klien dalam
(telur albumin, selama 4 jam). (mengunyah) mencerna
makanan.
2. Kolaborasi dengan ahli gizi
(pemberian nutrisi). 2. Memenuhi nutrisi sesuai
kebutuhan perencanaan klien
4. Resiko infeksi Setelah dilakukan tindakan Infection Protection: Infection Protection
asuhan keperawatan 3x24 1. Monitor tanda-tanda infeksi 1. Mengetahui adanya infeksi
berhubungan dengan
jam diharapkan klien tidak (calor, dolor, rubor, tumor, pada klien.
prosedur invansif mengalami resiko infeksi. functio lasea).
Dengan kriteria hasil :
(pemasangan kateter).
1. Tidak timbul tanda dan 2. Ajarkan pasien dan keluarga 2. Mengetahui adanya tanda-
gejala infeksi (calor, mengenali tanda-tanda infeksi tanda infeksi bagi kelurga
dolor, rubor, tumor, (calor, dolor, rubor, tumor, pasien.
functio lasea). functio lasea).
3. Mencegah terjadinya infeksi.

94
2. Melakukan kebersihan 3. Ajarkan pasien dan keluarga
dengan cuci tangan. cara untuk menghindari
infeksi, terutama pada selang
3. Mempertahankan kateter .
lingkungan yang bersih.
4. Kolaborasi pemberian obat
antibiotik. 4. Membantu pencegahan dari
infeksi.
5. Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan tindakan Management Energy Management Energy
1. 1.
berhubungan dengan asuhan keperawatan selama
Bantu klien untuk melakukan Dapat melakukan aktivitas seperti
ketidakseimbangan 3x 24 jam, diharapkan aktivitas sehari-hari. biasanya meskipun dengan
bantuan.
antar suplei dan intoleransi klien adekuat.
2. 2.
kebutuhan oksigen, Dengan kriteria hasil : Buat jadwal latihan aktivitas secara Dengan adanya jadwal akan
bertahap. meningkatkan aktivitas.
kelemahan 1.
3. 3.
Mampu melakukan aktifitas Berikan suport dari keluarga dalam Dukungan dari keluarga sangat
program terapi. penting untuk meningkatkan
sehari-hari (ADLS)
proses penyembuhan.
secara mandiri. 4.
4. Mencegah terjadi kontraktur otot.
2.
Berikan pergerakan/ROM pasif 5.
Keseimbangan aktifitas dan secara bertahap. Mempercepat proses
5. penyembuhan.
istirahat
Kolaborasi dengan fisioterapi.

95
E. Kesenjangan Teori dan Kasus
Di dalam kasus, Seorang gadis berusia 18 tahun sampai di
Departemen Kesehatan dalam keadaan tanpa sadar mengalami keracunan
obat bius yaitu barbiturat dengan gejala tidak berespon stimulus nyeri atau
dengan skala 3 koma, Tidak ada riwayat kejang, muntah dan inkontinensia
urine atau lidah tergigit. Beberapa jam kemudian pasien menjadi demam
dan takipnea dengan denyut nadi 130x/menit, tekanan darah 120/70 mmHg,
repirasi frekuensi 14x/menit, SPO2 93%, ukuran dan reaksi pupil normal.
Refleks plantar dan tendon tidak ada.
Sedangkan menurut (Idries, 2011) gejala Seperti etanol, barbiturat
memabukkan dan menghasilkan efek yang sama selama intoksikasi. Gejala-
gejala keracunan barbiturat termasuk depresi pernapasan, menurunkan
tekanan darah, kelelahan, demam, kegembiraan yang tidak biasa,iritabilitas,
pusing, konsentrasi yang buruk, sedasi, kebingungan, gangguan koordinasi,
gangguan penilaian, kecanduan, dan pernapasan yang dapat menyebabkan
kematian.
Risiko utama dari penyalahgunaan barbiturat adalah depresi
pernapasan akut. Ketergantungan fisik dan psikologis juga dapat terjadi
pada penggunaan berulang. Efek lain dari keracunan barbiturat meliputi
mengantuk, nistagmus lateral dan vertikal, bicara cadel dan ataksia,
kecemasan menurun, hilangnya hambatan. Barbiturat juga digunakan untuk
mengurangi efek samping atau penarikan dari penyalah gunaan narkoba.
Diteori juga menyenbutkan Biasanya terjadi mendadak setelah makan
sesuatu sering mengenai banyak orang dan gejala yang akan timbul nausea
dan vomitus yang timbul segera setelah termakan, diikuti dengan hiperpnea,
tinnitus, ketulian dan letargi. Gejala intoksikasi berat : koma , kejang,
hipoglikemi, hiper-termi bahkan edema pulmonal, perdarahan pulmonal, arf,
oliguria. Edema serebral dan pulmonal lebih sering terjadi pada intoksikasi
akut. Dapat terjadi kematian akibat kegagalan saraf pusat dan kolaps
kardiovaskuler.

96
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Racun merupakan zat yang bekerja pada tubuh secara kimiawi dan
fisiologik yang dalam dosis toksik akan menyebabkan gangguan kesehatan
atau mengakibatkan kematian. Racun dapat diserap melalui pencernaan,
hisapan, intravena, kulit, atau melalui rute lainnya. Reaksi dari racun dapat
seketika itu juga, cepat, lambat atau secara kumulatif. (Menurut Budianto
1997 dalam Galih Aryyagunawan, 2013)
Barbiturat merupakan derivat asam barbiturate (2,4,6-trioksoheksa-
hidropirimidin) yaitu obat yang bertindak sebagai depresan sistem saraf
pusat, dan mereka menghasilkan spektrum efek yang luas, mulai dari sedasi
ringan sampai anestesi total. Mereka juga efektif sebagai anksiolitik, sebagai
hipnotik, dan sebagai antikonvulsan. Mereka memiliki potensi kecanduan,
baik fisik dan psikologis. Asam barbiturate sendiri tidak menyebabkan
depresi SSP, efek hipnotik-sedatif dan efek lainnya ditimbulkan bila posisi
lima ada gugus alkil atau aril (Ganiswara, 2007).
Keracunan barbiturat dapat terjadi apabila dikonsumsi dengan dosis
tinggi, atau ada indikasi Attempted Suicide atau bermaksud bunuh diri,
Accidental Poisoning merupakan kecelakaan murni, tanpa adanya faktor
kesengajaan, dan Homicidal Poisoning adalah keracunan akibat tindakan
kriminal, yaitu seseorang dengan sengaja meracuni orang lain ( Elisa, 2011).
Keracunan barbiturat terbagi menjadi akut dan kronik yang dapat
diantisipasi dengan Emetic yaitu mengeluarkan racun yang tertelan dengan
cara dimuntahkan, memberikan obat pencahar untuk mencegah absorbspi
lanjut oleh usus dan mempercepat defekasi. contohnya sirup Ipecac pada
pasien sadar mengeluarkan sebagian isi lambung jika diberikan dengan
segera setelah keracunan, tapi menghambat kerja karbon aktif dengan tehnik
berikan 30 ml sirup diikuti dg 8 gelas kecil air/800cc , jk diperlukan ulangi
setiap 20 menit. Kemudian Cathartic yaitu menguras isi lambung (Castric
Lavage) dengan menggunakan kateter lambung melalui mulut memakai air
hangat biasa atau larutan khusus untuk lambung, efektif pada racun yang
berbentuk cair atau pil yang kecil kecil dan sangat efektif jika dilakukan
kurang dari 1 jam setelah keracunan, dapat diberi laksans cara pemberian

97
magnesium sulfat 10% 2-3 ml/kg atau sorbitol 70% 1-2 ml/kg. & alkohol.
Kemudian Neutralizer yaitu menetralkan racun dengan memberi obat
antidote khusus dan antidote umum. Contohnya Carbon aktif dapat
mengabsorbsi hampir semua jenis obat dan racun, kecuali besi, lithium, Na,
K, sianida, mineral asam. Cara pemberian berikan 60-100 mg oral.
Pengulangan dosis dapat dilakukan untuk meningkatkan absorbsi racun.
Diuresis paksa (forced diuresis atau FD) pada dugaan racun berada dalam
darah dan dapat dikeluarkan melalui ginjal. dan pada kasus keracunan yang
memerlukan antidot spesifik adalah keracunan asetaminofen, agen
antikolinergik, antikoagulan, benzodizepin, -blocker, CCB, CO, glikosida
jantung, agen kolinergik, sianida, reaksi distonik karena induksi obat, etilen
glikol, fluorida, logam berat, hydrogen sulfida, agen hipoglikemik, INH,
metH-emia, narkotik, simpatomimetik, Vacor, dan gigitan atau bisa binatang
tertentu.
Apabila peristiwa keracunan ini tidak segera diatasi, racun dapat
menyebar keseluruh tubuh seperti mempengaruhi sistem sirkulasi darah
yang dapat menimbulkan seperti shock, hypotentie cardiac, cardiac
arrhytrnias, cardiac arrest dan mempengaruhi sistem saraf pusat yang dapat
menimbulkan Depresi, kejiwaan. gangguan metabolisme dalam sel-sel otak.
berhentinya alat pernapasan (asphyxia). ( Elisa, 2011 )
Diagnosa keperawatan yang dapat diambil dari kejadian keracunan
salah satunya adalah Gangguan pola nafas berhubungan dengan penurunan
ekspansi paru akibat akumulasi udara yang dapat intervensi antara lain
monitor tingkat, kedalaman, dan upaya untuk bernapas serta monior dalam
rentang normal.

B. Saran
Makalah ini membahas tentang kegawatdaruratan dengan keracunan
barbiturat. Saran kami sebagai penulis, kepada para pembaca agar terus
memperluas pengetahuan tentang keracunan barbiturat dengan mencari
referensi lain baik dari buku, jurnal terupdate. Diharapkan dari referensi-
referensi tersebut dapat menjadi bahan perbandingan kebenaran informasi

98
oleh para pembaca, sehingga perlunya suatu analisa data hingga pengujian
ilmu, dan mengambil kesimpulan, yang kemudian dapat diaplikasikan di
ruang lingkup dunia kesehatan.

99

You might also like