Download as doc, pdf, or txt
Download as doc, pdf, or txt
You are on page 1of 20

MAKALAH SEMINAR

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

NAMA : EKA JATMIKA


NOMOR POKOK : D24110034
PROGRAM STUDI : ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN
JUDUL PENELITIAN : RESPON FISIOLOGIS DAN PROFIL DARAH
DOMBA JANTAN YANG DIPELIHARA
PETERNAK DESA PETIR, KECAMATAN
DRAMAGA, KABUPATEN BOGOR
KOMISI PEMBIMBING : Dr. Ir. Asep Sudarman, M.Rur.Sc
Dr. Sri Suharti S.Pt, M.Si
KELOMPOK ILMU : NUTRISI TERNAK TERAPAN
HARI/TANGGAL :
WAKTU :
TEMPAT : RUANG SEMINAR DEPARTEMEN ILMU
NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN,
FAKULTAS PETERNAKAN IPB
3

RESPON FISIOLOGIS DAN PROFIL DARAH DOMBA JANTAN YANG


DIPELIHARA PETERNAK DESA PETIR, KECAMATAN DRAMAGA,
KABUPATEN BOGOR

Physiological Response and Blood Profile of Rams by Farmer in Petir Village,


Dramaga, Bogor

Jatmika E1, Sudarman A2, Suharti S3

ABSTRACT

Sheep farmer in the Petir village of common sweet potato leaves (Ipomoeae batatas)
animal feed. Sweet potato leaves are given can be increased by improving the physical form
of the enumeration and the substitution of other feed. The purpose of this study is to analyze
the provision of sweet potato leaves are chopped concentrate substitution and substitution of
cassava leaf silage on physiological responses and blood profile of local rams. Treatment of
feed given that the TO (100% sweet potato leaves), T1 (100% potato leaves chopped), T2
(80% chopped potato leaves + 20% concentrate), and T3 (80% chopped potato leaves + 20%
silage cassava leaves). Pshyiological response that were observed are respiration, heart rate,
and rectal temperature. Blood profile that were observed are haemoglobin, hematocrit,
erythrocytes, and leucocyte. The design used was a randomized block design with 4
treatments and 4 groups as replications. Data proccesed with ANOVA and Duncan analysis.
The results showed that treatment of feed is not significant (P>0.05) on rectal temperature,
respiration frequency, heart rate, hematocrit, hemoglobin and erythrocytes. Chopped potato
leaves a significant effect (P <0.05) against the number of leukocytes. The content of saponin
in potato leaves can increased the number leukosytes.

Keywords: potato leaves, chopped, physiological responses, blood profile

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Domba merupakan salah satu hewan penghasil daging yang cukup diminati di
Indonesia. Badan Pusat Statistik (2013) mencatat, impor produk daging domba pada
tahun 2012 mencapai 1 270 ton. Pemenuhan kebutuhan daging domba dalam negeri
dapat dilakukan dengan meningkatkan produksi domba dalam negeri, salah satu
caranya melalui perbaikan kualitas pakan yang digunakan oleh peternak. Peternakan
domba di Indonesia sebagian besar merupakan peternakan rakyat dengan skala usaha
relatif kecil, sebagai usaha sampingan dan sulit untuk mengadopsi teknologi
(Batubara 2014). Salah satu contoh peternakan rakyat yang berada di Kabupaten
Bogor terletak di Desa Petir, Kecamatan Darmaga.

1)
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fapet IPB, D24110034, Semester VIII
2)
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fapet IPB, Dr. Ir. M.Rur Sc.
3)
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fapet IPB, Dr. S.Pt M.Si
4

Desa Petir memiliki potensi yang baik untuk pengembangan peternakan


domba dilihat dari ketersediaan sumber daya manusia yaitu sebagian besar
penduduknya beternak domba dan ketersediaan hijauan. Badan Pusat Statistik Jawa
Barat (2011) mencatat, bahwa kabupaten bogor merupakan sentra produksi ubi jalar
(Ipomoea batatas) tebesar di jawa barat setelah kuningan dan garut dengan produksi
64 882 ton/ tahun. Salah satu sentra ubi jalar di Kabupaten Bogor adalah Kecamatan
Dramaga dengan 62% penduduk bekerja disektor pertanian (BP3K Kecamatan
Dramaga 2013). Melimpahnya produksi ubi jalar menghasilkan hasil ikutan berupa
batang dan daun ubi jalar. Peternak di Desa Petir biasa memberikan daun ubi jalar
sebagai pakan ternaknya. Ubi jalar memiliki batang yang merambat antara 2-3 m,
bentuk daun bulat sampai lonjong dengan bagian ujung berbentuk runcing ( Rukmana
1997).
Penggalian potensi penggunaan limbah pertanian sebagai bahan pakan lokal
sangat diperlukan. Daun ubi jalar memiliki kandungan protein kasar sebesar 17-29 %
(Hong 2003). Namun, pemberian daun ubi jalar secara langsung dapat menyebabkan
ternak kesulitan untuk mengkonsumsinya karena karakteristik batang daun ubi jalar
yang merambat, sehingga perlu dilakukan pencacahan (chopping). Pencacahan
hijauan merupakan salah satu teknologi dalam pemberian pakan ternak, yaitu dengan
cara memotong/mencacah hijauan sepanjang 2 cm sampai 8 cm (Supriyanto 1994).
Pemberian daun ubi dengan teknik pencacahan diharapkan dapat menurunkan
produksi panas dalam tubuh domba. Menurut Utomo & Soejono (1987), pengurangan
ukuran partikel dapat meningkatkan konsumsi dan menurunkan heat increament
karena berkurangnya ruminasi Pakan yang dicacah (chopp) akan lebih mudah
dikonsumsi oleh ternak, dan memungkinkan untuk ditambah dengan bahan suplemen
lain seperti dedak, vitamin, ataupun dapat dijadikan silase (Kushartono 2003).
Berdasarkan Penelitian Mulyaningsih (2006) pemberian pakan hijaun yang
ditambahkan pakan penguat berupa konsentrat akan menghasilkan pertumbuhan dan
perkembangan domba yang baik. Akan tetapi harga konsentrat yang mahal menjadi
salah satu kendala bagi peternak. Salah satu solusinya ialah penggunaan silase daun
singkong dalam pakan. Noveanto (2013) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa
silase daun singkong (Manihot esculenta sp.) dapat mensubtitusi penggunaan
konsentrat sebesar 50%. Silase merupakan suatu teknologi pengawetan hijauan
melalui proses fermentasi. Kandungan protein daun singkong sebesar 21-24% dapat
dipertahankan melalui teknologi silase dan dapat menurunkan kadar HCN
(hidrocyanic acid) daun singkong sebanyak 333.01 mg/kg menjadi 71.04 mg/kg
(Sokerya dan Preston 2003; Noveanto 2013).
Pemberian pakan tanpa memperhatikan bentuk fisik dan kecukupan nutrisinya
dapat mempengaruhi respon fisiologis ternak menjadi tidak normal dan dapat
berpengaruh terhadap turunnya produktivitas. Perubahan respon fisiologis yang
dialami domba dapat mempengaruhi gambaran darahnya (profil darah). Perubahan
profil darah dapat disebabkan faktor internal meliputi umur, status gizi, kesehatan,
siklus estrus, stres, dan suhu tubuh. Sedangkan faktor eksternal yang dapat
mempengaruhi diantaranya infeksi kuman, dan perubahan suhu lingkungan (Guyton
dan Hall 1997). Pengetahuan peternak dalam pemberian pakan yang baik diperlukan
untuk dapat meningkatan produktivitas dan kesehatan ternaknya.
5

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa pemberian pakan berbeda
berupa daun ubi jalar yang di chopp dengan subtitusi silase daun singkong, dan
subtitusi konsentrat terhadap respon fisiologis (suhu rektum, frekuensi respirasi,
denyut jantung) dan profil darah (hematokrit, hemoglobin, butir darah merah, butir
darah putih) domba jantan yang dipelihara peternak Desa Petir Kecamatan Darmaga,
Kabupaten Bogor.

METODOLOGI PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan bulan September 2014 sampai November 2014.


Pemeliharaan domba dilakukan di kandang peternakan rakyat Desa Petir, Kecamatan
Dramaga, Kabupaten Bogor. Analisis sampel darah dilakukan di Laboratorium Nutrisi
Ternak Daging dan Kerja, Fakultas Peternakan IPB, dan Laboratorium Fisiologi
Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

Materi

Ternak
Domba lokal dengan jenis kelamin jantan sebanyak 16 ekor dengan rataan
bobot badan awal 21.55 2,02 kg.

Kandang dan Peralatan


Kandang yang digunakan adalah kandang panggung dengan sekat (individu)
berukuran kurang lebih 90 x 90 x 100 cm yang dilengkapi dengan tempat pakan dan
minum (ember). Thermometer bola basah dan kering dipasang didalam kandang
untuk mengukur suhu lingkungan.
Peralatan lain yang digunakan diantaranya golok, timbangan kapasitas 5 kg,
satu set timbangan digital untuk bobot badan kapasitas 50 kg, peralatan pembersihan
kandang. Untuk pembuatan silase digunakan kantong plastik bening 5 kg, trashbag,
lakban, terpal, dan tali. Untuk pengukuran respon fisiologis digunakan stetoskop,
stopwatch, dan termometer suhu tubuh digital. Sedangkan untuk pengambilan darah
dan analisis profil darah digunakan kapas, jarum vacutainer, tabung vacutainer
dengan EDTA (Ethylene Diamine Tetra Acid), icegel, coolingbox, haemometer Sahli,
pipa kapiler, sentrifuge hematocrit reader, tabung penghisap turk dan hayem,
mikroskop, counting chamber, dan tisu. Sedangkan bahan yang digunakan antara lain
alkohol 70%, HCl 0.1 N, aquadest, larutan turk dan hayem, minyak emersi.

Pakan

1)
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fapet IPB, D24110034, Semester VIII
2)
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fapet IPB, Dr. Ir. M.Rur Sc.
3)
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fapet IPB, Dr. S.Pt M.Si
6

Pakan yang diggunakan adalah hijauan berupa daun ubi jalar (Ipomoea
batatas), konsentrat dan silase daun singkong (Manihot esculenta sp.). Formulasi
konsentrat, pakan yang digunakan, dan komposisi nutrien ransum perlakuan selama
penelitian disajikan pada Tabel 1, Tabel 2, dan Tabel 3.

Tabel 1. Formulasi konsentrat domba yang akan digunakan untuk penelitian


Bahan Pakan % BK PK LK SK TDN Ca P
---------------------------------%---------------------------------
Bungkil Kelapa 30 26.58 6.39 3.27 4.26 23.6 0.050 0.180
Wheat Pollard 15.29 13.53 2.83 0.59 1.50 10.6 0.035 0.170
Bungkil Kacang 25 22.55 11.28 2.68 2.24 20.2 0.130 0.150
Onggok giling 27.08 21.61 0.51 0.09 2.41 21.2 0 0
CaCO3 1.93 1.73 0 0 0 0 0.733 0
Garam 0.2 0.18 0 0 0 0 0.001 0
Premix 0.5 0.45 0 0 0 0 0 0
Total 100 86.64 21 6.62 10.40 75.6 0.949 0.500
Sumber : Sutardi (1981)

Tabel 2. Pakan yang akan digunakan untuk penelitian dalam (%) BK


BK Abu PK LK SK BETN TDN**
Bahan pakan
---------------------------------%------------------------------------
Daun Ubi Jalar* 16.1 6.5 19.3 2.6 16.5 45.4 61.0
Konsentrat 83.7 11.1 21.7 6.9 9.1 51.4 72.3
Silase Daun
24.0 8.1 25.5 6.8 20.7 39.0 71.0
Singkong
Sumbe: Hasil analisis laboratorium Konservasi satwa langka dan Harapan Pusat Studi Bioteknologi
dan Ilmu Hayati IPB 2013 (Noveanto 2013)
*) Sutardi (1979), **) Hasil perhitungan TDN menurut Hartadi et al. (1997)

Tabel 3. Komposisi nutrien ransum perlakuan (%BK)


Perlakuan
Nutrien
T0 T1 T2 T3
Bahan Kering (%) 16.10 16.10 29.62 17.68
Abu (%) 6.49 6.49 7.41 6.81
Protein Kasar (%) 19.29 19.29 19.77 20.53
Lemak Kasar (%) 2.59 2.59 3.45 3.43
Serat Kasar (%) 16.50 16.50 15.02 17.34
BETN(%) 45.40 45.40 46.60 44.12
Total Digestible Nutrient (%) 61.00 61.00 63.26 63.00
T0 = 100% daun ubi; T1 = 100% daun ubi chopp; T2 = 80% daun ubi chopp + 20% konsentrat; T3 =
80% daun ubi chopp + 20% silase daun singkong

Metode
7

Pembuatan Silase Daun Singkong


Silase daun singkong dibuat dari bagian daun dan tangkai atas daun singkong
yang dicacah dengan ukuran panjang +2-3 cm. Daun singkong yang telah dicacah
dilayukan selama + 6 jam pada suhu ruang (27-28 oC). daun singkong yang telah
layu dicampur dengan 5% molasses secara homogen dan dimasukkan ke dalam
plastik dengan cara ditekan-tekan agar udara dalam plastik keluar dan tidak ada udara
didalam plastik. Plastik diikat dan diplester rapat dengan lakban agar tidak ada udara
yang masuk. Penyimpanan dilakukan selama lebih dari 25 hari masa fermentasi untuk
menghasilkan kualitas silase yang optimal.

Pemeliharaan

Domba sebanyak 16 ekor dikandangkan pada kandang individu yang telah


dilengkapi dengan tempat pakan dan minum. Sebelum perlakuan domba dicukur agar
wool seragam, kemudian domba diberikan obat cacing untuk mencegah penyakit
cacing pada ternak. Bobot badan domba ditimbang untuk mengetahui jumlah
pemberian pakan dan pengacakan ternak. Setiap perlakuan terdiri atas 4 ekor domba
sebagai kelompok (berdasarkan bobot badan). Ransum diberikan sebanyak 3.5 %
bahan kering dari bobot badan. Setiap satu minggu sekali dilakukan penimbangan
bobot badan domba. Pemeliharaan dilakukan selama sepuluh minggu dengan dengan
tiga minggu masa adaptasi. Frekuensi pemberian pakan dilakukan sebanyak tiga kali
sekitar pukul 07.30 WIB, 12.30 WIB dan jam 17.30 WIB. Pemberin minum diberikan
secara ad libitum.

Pengukuran Respon Fisiologis

Pengukuran respon fisiologis dilakukan setiap satu kali dalam seminggu.


Respon fisiologis yang diukur meliputi: suhu rektum, frekuensi respirasi dan denyut
jantung. Pengukuran dilakukan sebelum pemberian pakan. Peubah yang diamati
meliputi : Suhu tubuh diukur menggunakan termometer digital yang dimasukan
kedalam rectum. Termometer akan memberi sinyal alarm saat suhu tubuh ternak
tealah terekam. Respirasi diukur dengn cara menempelkan stetoskop pada bagian
dada atau leher sehingga terdengar suara hembusan nafas. Frekuensi respirasi
dihitung selama satu menit dengan bantuan stopwatch. Denyut jantung diukur
menggunkan stetoskop yang ditempelkan pada bagian dada sebelah kiri selama satu
menit. Pengukuran respon fisiologis dilakukan pada pagi, siang dan sore hari..

Profil Darah

Profil darah merupakan komponen dari komposisi darah. Komponen tersebut


diantaranya sel darah merah, hemoglobin, hematokrit, dan sel darah putih. Darah
diambil pada minggu terakhir penelitian. Pengambilan darah dilakukan sebelum
ternak diberi pakan. Darah diambil dibagian vena jugularis domba. Darah diambil
sebanyak 3 ml melalui vena jugularis dengan menggunakan jarum yang langsung
1)
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fapet IPB, D24110034, Semester VIII
2)
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fapet IPB, Dr. Ir. M.Rur Sc.
3)
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fapet IPB, Dr. S.Pt M.Si
8

terhubung pada tabung vacutainer yang berisi EDTA sebagai anti koagulan darah.
Tabung kemudian diberi kode sesuai perlakuan. Tabung dimasukkan ke dalam
cooling box yang telah berisi es batu dan ice gell sebagai pendingin dan selanjutya
dibawa ke laboratorium untuk dianalisis profil darah.

Penghitungan Kadar Hemoglobin dan Nilai Hematokrit

Penentuan kadar hemoglobin dilakukan dengan cara larutan 0,1 N HCl


dimasukan pada tabung sahli hingga tanda tera 0,1 (tera bawah). Sampel darah
dihisap dengan pipet sahli hingga tanda tera 0,02 ml (tera atas). Sampel darah
dimasukkan ke dalam tabung dan ditunggu selama 3 menit hingga berubah warna
coklat kehitaman akibat reaksi HCl dengan hemoglobin membentuk asam hematid.
Larutan ditambah dengan aquades sedikit demi sedikit sambil diaduk sampai warna
larutan sama dengan warna standar haemometer. Nilai hemoglobin dilihat pada kolom
gram % yang tertera pada tabung hemoglobin (Sastradiprajadja & Hartini 1989).
Penentuan nilai hematokrit dilakukan menggunakan metode mikrohematokrit
dengan cara darah dimasukkan ke dalam mikrokapiler hematokrit sampai 4/5 bagian
pipa kapiler. Ujung mikrokapiler disumbat dengan crestaseal. Pipa-pipa kapiler
ditempatkan dalam alat centrifuge, kemudian diputar dengan kecepatan 2500-4000
rpm selama 15 menit. Nilai hematokrit ditentukan dengan menggunakan alat baca
hematokrit reader. Dasar teorinya yaitu darah yang bercampur dengan antikoagulan
dicentrifuge sehingga terbentuk lapisan-lapisan yang terdiri atas butir darah merah
yang diukur dan dinyatakan sebagai % volume dari keseluruhan darah
(Sastradiprajadja & Hartini 1989).

Penghitungan Jumlah Eritrosit dan Leukosit


Sampel darah dihisap dengan menggunakan pipet eritrosit hingga tanda tera
0.5 dengan aspirator. Ujung pipet dibersihkan dengan menggunakan tisu lalu hisap
larutan pewarna Hayem hingga tanda 101. Sedangkan untuk perhitungan leukosit
digunakan pipet leukosit hingga tanda tera 0.5 dengan aspirator, kemudian hisap
larutan pewarna Turk hingga tanda 11. Campuran larutan dan darah dihomogenkan
dengan memutar pipet membentuk angka 8 selama 3 menit. Setelah homogen
teteskan satu tetes sampel ke dalam counting chamber (hemocytometer) yang sudah
ditutup dengan kaca penutup, kemudian diamati dibawah mikroskop dengan
perbesaran 10x.
Jumlah eritrosit dihitung dengan mengamati kotak pada counting chamber
yang berjumlah 25 buah dengan mengambil bagian berikut : satu kotak pojok kanan
atas, satu kotak pojok kiri atas, satu kotak di tengah, satu kotak pojok kanan bawah,
satu kotak pojok kiri bawah. Sedangkan leukosit dalam counting chamber, digunakan
4 kotak pada pojok kanan atas, pojok kiri atas, pojok kanan bawah dan pojok kiri
bawah counting chamber yang berjumlah 16 kotak kecil. Jumlah eritrosit yang
didapat dari hasil penghitungan dikalikan 104 dan jumlah leukosit yang didapat dari
hasil penghitungan dikalikan 50 untuk mengetahui jumlah leukosit 1 pada setiap mm 3
volume darah (Sastradiprajadja dan Hartini 1989).
9

Jumlah Eritrosit = x 104


Jumlah Leukosit = b x 50

Keterangan: = jumlah eritrosit hasil penghitungan dalam counting chamber


b = jumlah leukosit hasil penghitungan dalam counting chamber

Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok


(RAK) dengan 4 perlakuan ransum dan 4 kelompok (berdasarkan bobot badan)
sebagai ulangan. Perlakuan yang diberikan adalah sebagai berikut:
T0 : 100% hijauan tidak di chop
T1 : 100% hijauan di chop
T2 : 80% hijauan di chop + 20% konsentrat
T3 : 80% hijauan di chop + 20% silase daun singkong

Model matematika yang digunakan adalah sebagai berikut (Steel dan Torrie 1993) :
Yij = + i + j + ij
Keterangan :
Yij : nilai pengamatan perlakuan ke-i, blok ke-j
: rataan umum
i : efek perlakuan ke-i
j : efek blok ke-j
ij : galat perlakuan ke-i dan blok ke-j

Data yang diperoleh akan dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA) dan
apabila terdapat perbedaan nyata pada level P<0.05 akan dilanjutkan dengan Uji
Duncan (Steel dan Torrie 1993).

Peubah yang diamati


Respon fisiologis (suhu rektum, frekuensi respirasi, denyut jantung) dan profil
darah (hematokrit, hemoglobin, butir darah merah, butir darah putih).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum
1)
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fapet IPB, D24110034, Semester VIII
2)
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fapet IPB, Dr. Ir. M.Rur Sc.
3)
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fapet IPB, Dr. S.Pt M.Si
10

Pemeliharaan domba dilakukan secara intensif selama 3 bulan di Desa Petir,


Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Domba yang digunakan dalam penelitian
adalah domba lokal dengan jenis kelamin jantan. Kandang yang digunakan adalah
kandang panggung tradisional yang terbuat dari bahan dasar kayu dan bambu. Atap
kandang terbuat dari bahan genteng. Genteng memiliki kelebihan untuk
menghantarkan panas sehingga mempertahankan suhu kandang relatif konstan. Suhu
dan kelembaban didalam kandang diukur dengan menggunakan termometer bola
basah dan bola kering. Suhu merupakan ukuran untuk mengetahui intensitas panas,
sedangkan kelembaban menunjukan jumlah uap air di udara (Yousef 2000). Data
suhu dan kelembaban udara pada lingkungan penelitian tersaji pada Tabel 4.

Tabel 4. Rataan Suhu dan Kelembaban di dalam Kandang


Waktu Suhu (C) Kelembaban (%)
07.00 22.40 0.42 91.90 3.00
10.00 27.80 0.45 84.60 2.88
12.00 29.90 0.74 86.00 2.12
14.00 30.40 1.19 84.40 4.98
17.00 27.30 2.28 88.20 5.67

Rata-rata suhu lingkungan pada pagi dan sore hari lebih rendah dibandingkan
pada siang siang hari. Sedangkan kelembaban udara pada pagi dan sore hari lebih
tinggi daripada siang hari. Data pada Tabel 4 menunjukan bahwa suhu didalam
kandang berkisar 22.4-30.4 C dengan kelembaban yang cukup tinggi mencapai 84.4-
91.9 %. Menurut Yousef (2000), suhu dan kelembaban yang nyaman untuk ternak
domba yaitu berkisar 22-31 C dengan kelembaban dibawah 75%. Suhu di dalam
kandang masih berada pada zona nyaman (thermoneutral zone) untuk domba, akan
tetapi kelembaban didalam kandang yang cukup tinggi berada diluar zona nyaman
untuk domba menurut Yousef (2000). Kelembaban yang cukup tinggi didalam
kandang tersebut dapat diakibatkan oleh faktor lingkungan dan terjadinya penguapan
amoniak dan uap air dari kotoran yang terjebak dalam kandang yang berasal dari
timbunan kotoran dan urin domba.

Respon Fisiologis Domba

Respon fisiologis domba merupakan respon domba terhadap berbagai faktor


baik fisik, kimia maupun interaksi lingkungan sekitar (Yousef 1985). Beberapa faktor
yang mempengaruhi respon fisiologis tersebut diantaranya faktor cuaca, nutrisi dan
manajemen (Awabien 2007). Respon fisiologis yang diamati pada penelitian ini
meliputi suhu rektum, frekuensi respirasi dan denyut jantung. Rataan respon
fisiologis domba pada waktu pengukuran tercantum pada tabel 5.
11

Tabel 5. Rataan respon fisiologis domba pada saat pengukuran

Waktu Pengukuran
Parameter
Pagi Siang Sore
Suhu Rektum (C) 38.57 0.45 39.04 0.35 39.23 0.50
Frekuensi Respirasi (hembusan/
32.39 7.59 68.63 21.29 64.23 26.17
menit)
Denyut Jantung (detak/ menit) 81.54 12.65 95.23 14.54 100.59 15.19

Berdasarkan Tabel 5 suhu rektum domba lebih rendah pada pagi hari dan
meningkat pada siang dan sore hari. Hal tersebut terjadi karena suhu lingkungan pada
pagi hari lebih rendah dibanding pada siang dan sore hari. Semakin tinggi suhu
lingkungan semakin tinggi pula suhu rektum domba. Purwanto et al. (1994)
menyatakan bahwa suhu rektum, suhu permukaan kulit dan suhu tubuh akan
meningkat seiring dengan meningkatnya suhu lingkungan
Frekuensi respirasi domba pada siang hari lebih tinggi dibandingkan pagi dan
sore hari. Domba meningkatkan frekuensi respirasinya dalam upaya mengimbangi
suhu lingkungan yang tinggi. Peningkatan frekuensi respirasi merupakan salah satu
mekanisme pengaturan suhu tubuh. Kecepatan respirasi meningkat sebanding dengan
meningkatnya suhu lingkungan. Pelapasan panas pada suhu tinggi akan efektif
dengan cara pelepasan panas melalui evaporasi, dalam hal ini yaitu dengan
peningkatan laju respirasi, sehingga terjadi peningkatan pelepasan panas melalui
pernafasan (Ali 1999).
Pengaruh faktor peningkatan suhu lingkungan juga meningkatkan denyut jantung
domba. Denyut jantung pada pagi hari lebih rendah dibandingkan pada siang dan sore
hari. Peningkatan denyut jantung tersebut dikarenakan terjadinya peningkatan suhu
pada siang dan sore hari (Tabel 4). Peningkatan denyut jantung domba tersebut
merupakan upaya domba dalam mengimbangi suhu lingkungan yang tinggi, sehingga
suhu tubuh tetap dalam batas normal. Adisuwirdjo (2001), menyatakan bahwa faktor-
faktor yang mempengaruhi denyut jantung yaitu suhu tubuh, semakin tinggi suhu
maka frekuensi jantung juga semakin besar. Peningkatan laju denyut jantung yang
tajam terjadi pada saat peningkatan suhu lingkungan (Edey 1983).

Pengaruh Perlakuan Terhadap Respon Fisiologis Domba

Penggemukan domba bertujuan untuk meningkatkan pertambahan bobot


badan domba secara maksimal, namun kesehatan ternak juga perlu diperhatikan agar
mendapatkan hasil yang optimal. Respon fisiologis merupakan suatu respon seekor
ternak terhadap berbagai faktor baik fisik, maupun kimia. Beberapa faktor yang
mempengaruhi respon fisiologis tersebut diantaranya faktor cuaca, nutrisi dan
manajemen (Awabien 2007). Pengaruh pemberian pakan berbeda berupa daun ubi
jalar yang di chopp dengan subtitusi silase daun singkong, dan subtitusi konsentrat
tercantum pada Tabel 6.

1)
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fapet IPB, D24110034, Semester VIII
2)
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fapet IPB, Dr. Ir. M.Rur Sc.
3)
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fapet IPB, Dr. S.Pt M.Si
12

Tabel 6. Rataan Respon Fisiologis Domba


Perlakuan
Parameter
T0 T1 T2 T3
Suhu Rektum (C) 38.97 0.48 38.71 0.61 39.10 0.50 38.98 0.36
Frekuensi Respirasi
51.01 21.07 46.51 18.62 60.93 28.48 61.89 29.57
(hembusan/ menit)
Denyut Jantung
87.29 14.99 89.51 17.05 95.40 15.88 97.63 14.99
(detak/ menit)
T0 = 100% hijauan (daun ubi atau rumput lapang), T1 = 100% hijauan di chop, T2 = 80% hijauan di
chop + 20% konsentrat, T3 = 80% hijauan di chop + 20% silase daun singkong

Suhu Rektum Domba


Pemberian pakan yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap suhu rektum
domba (P>0.05). Suhu rektum domba rata-rata selama penelitian berkisar antara
38.71-39.1 C seperti yang tersaji pada Tabel 6. Suhu rektum merupakan suatu
indikator yang baik untuk menggambarkan suhu internal tubuh dan menunjukan efek
cekaman lingkungan terhadap domba. Rataan suhu domba penelitian masih berada
pada kisaran normal. Marai et al. (2007) menyatakan bahwa suhu rektum domba
dalam kondisi normal di daerah tropis bervariasi antara 38.3-39.9 C.
Suhu rektum cenderung meningkat pada interval waktu pagi menuju sore
hari. Hal tersebut menunjukan bahwa selama penelitian suhu rektum kurang
dipengaruhi oleh pemberian ransum, akan tetapi dimungkinkan lebih dipengaruhi
oleh kondisi hari. Sudarman dan Ito (2000) dalam penelitiannya menyatakan bahwa
pada saat suhu lingkungan 300C, ternak mempunyai beban panas yang lebih tinggi
bila dibandingkan dengan ternak yang berada pada suhu lingkungan 20 0C. Beberapa
faktor yang mempengaruhi temperatur rektum pada ternak diantaranya temperatur
lingkungan, aktivitas, pakan, minuman, dan pencernaan (Yuwanta 2000).

Frekuensi Respirasi Domba


Respirasi memiliki fungsi utama untuk memasok oksigen kedalam tubuh dan
membuang CO2 dari dalam tubuh (Isnaeni 2006). Hasil analisis ragam menunjukan
bahwa perlakuan yang diberikan tidak berbeda nyata (P>0.05) terhadap frekuensi
respirasi domba. Rataan frekuensi respirasi domba selama penelitian berkisar antara
46-61 hembusan/menit seperti yang tercantum pada tabel 6. Hasil rataan frekuensi
respirasi tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan kisaran frekuensi respirasi normal
sebesar 2632 hembusan/menit (Frandson 1992). Hal tersebut dapat terjadi karena
selama penelitian suhu didalam kandang berkisar 22.40-30.40 C dengan
kelembaban mencapai 84.40-91.90%. Suhu dan kelembaban yang nyaman untuk
ternak domba yaitu berkisar 22-31 C dengan kelembaban dibawah 75% (Yousef
2000).
Suhu dan kelembaban merupakan faktor yang paling berperan terhadap status
fisiologis ternak karena secara langsung dapat berpengaruh terhadap kondisi
fisiologis dan produktivitas ternak. Yousef (2000) menyatakan komponen lingkungan
13

yang pengaruhnya nyata terhadap ternak adalah temperatur dan kelembaban.


Kelembaban yang tinggi dapat mengakibatkan evaporasi terjadi secara lambat,
kehilangan panas terbatas dan dengan demikian mempengaruhi keseimbangan termal
ternak (Chantalakhana dan Skunmun 2002). Suprayogi (2006) menyatakan bahwa
suhu dalam ruangan kandang di Hutan Pendidikan Gunung Walat yaitu 22.64%
dengan kelembaban yang tinggi 96.40% dapat menyebabkan domba-domba
mengalami gangguan respirasi yaitu berupa peningkatan laju respirasi. Hasil rata-rata
respon fisiologis domba selama penelitian masih berada dalam kategori stres panas
rendah. Silanikove (2000), menyatakan bahwa domba yang mengalami stres panas
rendah akan melakukan respirasi sebanyak 40-60 kali/menit.
Hasil analisis ragam menunjukan bahwa perlakuan yang diberikan tidak
berbeda nyata (P>0.05) terhadap frekuensi respirasi domba, namun cenderung
mendekati (P<0.1). Berdasarkan tabel 6 rata-rata frekuensi respirasi domba paling
tinggi ditunjukan oleh domba dengan perlakuan subtitusi konsentrat (T2) sebesar
60.93 28.48 hembusan/menit dan perlakuan subtitusi silase daun singkong (T1) dengan
frekuensi respirasi sebesar 61.89 29.57 hembusan/menit. Hal tersebut dapat terjadi karena
domba dengan perlakuan T2 dan T3 mengkonsumsi protein dalam jumlah yang lebih banyak
dibanding perlakuan lain. Berdasarkan data dari IR Puspitaning yang belum dipublikasikan,
domba dengan perlakuan subtitusi konsentrat (T2) mengkonsumsi protein kasar sebesar
153.24 33.10 gram/ekor/hri dengan TDN ransum 63.26 % dan perlakuan subtitusi silase
daun singkong (T3) yang mengkonsumsi 166.89 13.93 gram/ekor/hari dengan kandungan
TDN ransum 63 %. Konsumsi nutrisi yg tinggi akan meningkatkan proses metabolisme
tubuh sehingga panas tubuh yang dihasilkan akan lebih banyak (Wuryanto et al.
2010). Domba melakukan proses homeostasis untuk mengurangi panas tubuh dengan
cara meningkatkan laju repirasi.
Frekuensi respirasi domba yang paling rendah terdapat pada domba yang
diberi perlakuan T1 yaitu sebesar 46.51 18.62 hembusan/menit. Pencacahan dapat
mengurangi ukuran daun serta batang daun ubi sehingga ternak lebih mudah untuk
mengkonsumsinya. Ukuran partikel daun ubi yang lebih pendek dapat menurunkan
laju metabolisme dalam tubuh ternak sehingga kebutuhan oksigen dalam tubuh tidak
terlalu tinggi. Pengurangan ukuran partikel dapat meningkatkan konsumsi dan
menurunkan heat increament karena berkurangnya ruminasi (Utomo & Soejono
1987).

Denyut Jantung Domba


Pemberian Perlakuan pakan berbeda pada domba tidak berpengaruh nyata
terhadap denyut jantung domba selama penelitian. Rata-rata denyut jantung domba
selama penelitian berkisar antara 87 -97 detak/menit seperti yang tercantun pada
Tabel 6. Hasil rataan denyut jantung tersebut masih sesuai berdasarkan literatur yang
diperoleh. Menurut Frandson (1992) denyut jantung domba normal pada daerah
tropis berkisar antara 60-120 detak/menit. Denyut jantung domba mengalami
peningkatan dari T0 sampai T3. Peningkatan denyut jantung domba cenderung tinggi
pada perlakuan T2 dan T3, yaitu sebesar 95.40 15.88 detak/menit (T2) dan 97.63
14.99 detak/menit (T3). Hal tersebut diduga karena adanya pengaruh dari kandungan

1)
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fapet IPB, D24110034, Semester VIII
2)
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fapet IPB, Dr. Ir. M.Rur Sc.
3)
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fapet IPB, Dr. S.Pt M.Si
14

energi pakan dalam ransum yang mengandung konsentrat (T2) dan HCN
(hidrocyanic acid) yang masih terkandung dalam silase daun singkong.
Sudaryanto (1987) menyatakan bahwa, keberadaan HCN dalam tubuh ternak
akan mengganggu transpor elektron yang dapat menyebabkan terjadinya reduksi
oksigen sehingga pernafasan atau oksidasi sel terganggu. Jantung memiliki fungsi
untuk memompakan darah ke seluruh tubuh. Reduksi oksigen tersebut dapat
mengakibatkan berkurangnya asupan oksigen kedalam jantung, sehingga proses
denyut jantung dan sistem sirkulasi menjadi terganggu. Asam sianida dalam tubuh
akan berikatan dengan hemoglobin membentuk cyanoglobin yang tidak dapat
membawa oksigen. Sehingga oksigen didalam darah akan menurun. Domba akan
meningkatkan denyut jantung dan frekuensi respirasi dalam upaya mengimbangi
ketersediaan oksigen dalam darah. Ternak akan mengalami kondisi hipoksia atau
bahkan asfiksia (keadaan tidak terdapat oksigen dalam jaringan tubuh) apabila darah
tidak mengandung cukup O2 untuk memenuhi kebutuhannya (Ganong 2002).
Kecenderungan peningkatan denyut dapat pula disebabkan karena kandungan
energi dalam pakan. Ransum T2 dan T3 memiliki kandungan energi yang lebih tinggi
dibanding perlakuan lain. Domba pada perlakuan T2 dan T3 banyak melakukan
aktivitas (tanpa kehendak) sehingga meningkatkan gerakan otot. Aktivitas yang tinggi
dapat meningkatkan frekuensi kerja jantung. Hal tersebut selaras dengan pernyataan
Parakkasi (1998), bahwa salah satu penggunaan energi netto adalah untuk hidup
pokok yang diantaranya digunakan untuk aktivitas (tanpa kehendak). Denyut jantung
merupakan bagian dari respon fisiologis ternak yang di pengaruhi oleh suhu
lingkungan, gerakan dan aktivitas otot (Edey 1983).

Pengaruh Perlakuan Terhadap Profil Darah Domba


Selain respon fisiologis ternak, gambaran profil darah juga dapat dijadikan
indikator untuk mengetahui kesehatan ternak. Menurut Colville dan Bassert (2008),
darah merupakan cairan yang diklasifikasikan sebagai jaringan konektif. Fungsi
utama darah didalam tubuh, diantaranya adalah sebagai sistem transportasi, sistem
regulasi, dan sistem pertahanan tubuh. Darah sebagai sistem transportasi berperan
dalam membawa oksigen, karbondioksida, zat nutrisi, hasil sisa metabolisme dan
hormon. Sebagai sistem regulasi darah berperan dalam menjaga homeostasis dan
suhu tubuh, sedangkan dalam pertahanan tubuh berperan dalam melawan benda asing
yang bersifat patogen. Hasil analsis ragam menunjukan bahwa perlakuan pakan yang
diberikan tidak menunjukan perbedaan yang nyata (P>0.05) terhadap kadar
hemoglobin, presentase hematokrit dan butir darah merah (eritrosit) domba, akan
tetapi menunjukan perbedaan yang nyata (P<0.05) terhadap jumlah butir darah putih
(leukosit) . Rataan profil darah domba dapat dilihat pada tabel 7.

Tabel 7. Rataan Profil Darah Domba


15

Perlakuan
Parameter
T0 T1 T2 T3
Hematokrit (%) 31.75 1.89 28.25 3.86 29.50 3.11 30.50 1.00
Hemoglobin (g/dL) 7.85 1.23 7.08 1.04 7.05 1.34 7.80 0.28
Butir Darah Merah
8.53 0.82 8.60 0.92 8.04 1.47 8.47 1.16
(juta/mm3)
Butir Darah Putih (ribu/ a b a a
mm3) 5.11 0.36 6.51 0.42 5.71 1.03 5.58 0.53
T0 = 100% hijauan (daun ubi atau rumput lapang), T1 = 100% hijauan di chop, T2 = 80% hijauan di
chop + 20% konsentrat, T3 = 80% hijauan di chop + 20% silase daun singkong

Berdasarkan Tabel 7 jumlah eritrosit domba pada penelitian berada dibawah


kisaran normal yaitu sebesar 8.53 -8.60 juta/mm3 . Jumlah eritrosit normal pada
domba berkisar 9-13 juta/mm3 (Soeharsono et al. 2010). Rendahnya jumlah eritrosit
dapat dimungkinkan karena kekurangan nutrient. Selain itu dapat pula disebabkan
oleh kandungan saponin di dalam daun ubi. Aditama (2013) melaporkan bahwa daun
ubi alar (Ipomoeae batatas L.) memiliki kandungan senyawa berupa flavonoid dan
saponin. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Sutardi (1995) dalam penelitiannya
yang menyebutkan bahwa daun ubi jalar memiliki daya defaunasi sebesar 92%.
Saponin merupakan bahan surfaktan yang menyerupai sabun yang dapat menurunkan
tegangan pemukaan eritrosit sehingga dapat menyebabkan hemolisis sel (Gunawan
dan Mulyani 2004). Produksi eritrosit dipengaruhi oleh konsentrasi hemoglobin dan
hematokrit di dalam darah. Pada hewan normal, jumlah eritrosit sebanding dengan
kadar hemoglobin dan hematokrit (Widjajakusuma dan Sikar 1986).
Kadar hemoglobin domba penelitian menunjukan kisaran 7.05-7.85 g/dL.
Hemoglobin (Hb) merupakan pigmen eritrosit yang terdiri dari protein kompleks
terkonjugasi yang mengandung besi. Protein Hb adalah globin sedangkan warna
merah disebabkan oleh warna heme. Heme merupakan senyawa metalik yang
mengandung satu atom besi (Guyton dan Hall, 1997). Kadar hemolobin normal pada
domba yaitu sekitar 11-13 g/dL (Soeharsono et al. 2010). Tabel 7 menunjukan bahwa
nilai Hb terkecil ditunjukan oleh perlakuan T1 diikuti perlakuan T2, T3 dan T4.
Rendahnya nilai Hb dapat diakibatkan oleh adanya efek saponin yang dapat berikatan
dengan atom ion berfalensi 2 yaitu Fe2+ membentuk senyawa kompleks yang
mengakibatkan penyerapan Fe terganggu.
Hematokrit menunjukan volume darah lengkap yang terdiri atas sel darah
merah volume/ 100 ml (Price and Wilson 1995). Taiwo dan Ogunsanmi (2003)
menyatakan bahwa nilai hematokrit domba penelitian berkisar 28.25-31.75 %. Nilai
normal hematokrit untuk domba sebesar 36-37% Rendahnya nilai hematokrit dapat
menyebabkan anemia akibat dari banyaknya cairan pada total darah. Penurunan nilai
hematokrit dapat terjadi akibat menurunnya derajat aktivitas tubuh (Guyton dan Hall,
1997).
Sel darah putih atau leukosit merupakan sistem kekebalan tubuh yang aktif
bila terjadi gangguan non spesifik seperti infeksi bakteri dan virus. Leukosit dalam
aliran darah berperan dalam kekebalan tubuh atau immunitas (Guyton 1993).
1)
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fapet IPB, D24110034, Semester VIII
2)
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fapet IPB, Dr. Ir. M.Rur Sc.
3)
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fapet IPB, Dr. S.Pt M.Si
16

Menurut Lawhead dan Baker (2005), jumlah total dan tipe sel darah putih dalam
pemeriksaan hematologi dapat digunakan untuk membantu mendiagnosa keadaan
atau status infeksi pada hewan.
Hasil analisis ragam menunjukan bahwa pemberian daun ubi dengan teknik
pencacahan (chopping) menunjukan perbedaan yang nyata (P<0.05) terhadap jumlah
butir darah putih (leukosit) domba. Jumlah leukosit domba yang diberi perlakuan
100% daun ubi yang dicacah (6.51 0.42 ribu/mm 3 ) lebih tinggi dibandingkan
domba yang diberi 80% daun ubi dengan subtitusi konsentrat (5.71 1.03 ribu/mm 3),
80% daun ubi dengan subtitusi silase (5.58 0.53 ribu/mm 3) dan perlakuan 100%
daun ubi tanpa pencacahan (5.11 0.36 ribu/mm 3). Peningkatan jumlah leukosit
dapat disebabkan oleh kandungan saponin didalam daun ubi jalar. Aditama (2013)
melaporkan bahwa daun ubi alar (Ipomoeae batatas L.) memiliki kandungan senyawa
flavonoid dan saponin. Peningkatan ini dimungkinkan akibat aktivitas saponin pada
daun ubi jalar yang dapat bertindak sebagai imunostimodulator yaitu imunostimulator
yang dapat meningkatkan fungsi dan aktivitas sistem imun sehingga dapat
meningkatkan sistem kekebalan (Cheeke 2000; Baratwidjaja 2006).
Peningkatan saponin sebagai imunostimulator juga dipengaruhi oleh
pencacahan atau pengurangan ukuran partikel pada daun ubi. Pengurangan partikel
dapat memperbaiki laju alir pakan dalam rumen menjadi lebih baik. Tillman (1973)
menyatakan bahwa pengurangan ukuran partikel dapat mengurangi waktu yang
dibutuhkan untuk menghancurkan pakan menjadi ukuran yang lebih kecil untuk
melewati rumen menuju alat pencernaan berikutnya dan menambah luas permukaan
sehingga penyerapan lebih baik. Peningkatan leukosit tertinggi terlihat pada
perlakuan T1 dengan pemberian 100% daun ubi yang dicacah ((6.51 0.42 ribu/mm 3
) diikuti perlakuan 80% daun ubi yang dicacah yaitu pada T2 (5.71 1.03 ribu/mm 3)
dan T3 (5.58 0.53 ribu/mm 3). Semakin banyak jumlah pemberian daun ubi yang
dicacah maka semakin tinggi peningkatan jumlah leukosit akibat pengaruh dari
saponin sebagai imunostimulator.
Berdasarkan tabel 7 jumlah rata-rata leukosit domba penelitian berkisar 5.11-
6.51 ribu/mm3 dan masih berada dalam kisaran normal. Kelly (1984) menyatakan
jumlah leukosit pada domba normal berkisar 4-12 ribu/mm3 . Hasil tersebut
mengindikasikan bahwa domba pada penelitian dalam keadaan sehat. Sel-sel darah
putih di dalam aliran darah bersifat non fungsional dan hanya diangkat kejaringan
ketika dibutuhkan saja. Keadaan normal pada leukosit dapat diartikan tidak terjadinya
gangguan non spesifik terhadap tubuh domba (Musmulyadi 2011).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
17

Pemberian pakan berbeda berupa daun ubi jalar yang di chopp dengan
subtitusi konsentrat dan subtitusi silase daun singkong tidak mempengaruhi respon
fisiologis domba. Kandungan saponin didalam daun ubi dapat berfungsi sebagai
immunostimulator dan meningkatkan leukosit, akan tetapi dimungkinkan dapat
menurunkan jumlah eritrosit, kadar hemoglobin dan nilai hematokrit. Pemberian daun
ubi jalar yang di chopp dengan subtitusi silase daun singkong menunjukan respon
fisiologis dan gambaran darah yang tidak jauh berbeda dengan subtitusi konsentrat.
Subtitusi silase daun singkong dapat dijadikan alternatif pengganti konsentrat yang
dapat diterapkan di Desa Petir, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor.

Saran

Perlu dilakukannya penelitian lebih lanjut mengenai kandungan saponin


didalam daun ubi jalar untuk mengetahui efek terhadap kekebalan didalam tubuh
ternak.

DAFTAR PUSTAKA

Adisuwirdjo, D. 2001. Buku Ajar Dasar Fisiologi Ternak. Purwokerto (ID): Fakultas
Peternakan, Unsoed.
Aditama T. 2013. Formulasi dan studi sfektifitas krim ekstrak etanol daun ubi jalar
(Ipomoeae batatas L.) untuk pengobatan luka bakar pada mencit putih
(Musmusculus albinus) [skripsi]. Surakarta (ID): Universitas Sebelas Maret.
Ali AIM. 1999. Respon fisiologis kambing jantan Peranakan Etawah pada tingkat
konsumsi energi dan protein yang berbeda [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Awabien RL. 2007. Respon fisiologis domba yang diberi minyak ikan dalam bentuk
sabun kalsium [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Baratawidjaja KG. 2006. Sel-sel Sistem Imun. Imunologi Dasar. Ed.3. Hal: 35-58.
Jakarta: Gaya Baru.
Batubara LP. 2014. Pola pengembangan usaha ternak kambing melalui pendekatan
integrasi dengan sistem usaha perkebunan karet dan kelapa sawit. Lokakarya
Nasional Kambing Potong.
[BP3K] Badan Penyuluh Pertanian Perikanan Kehutanan. 2013. Programa
Penyuluhan Pertanian Wilayah Dramga Tahun 2013. Di dalam Laporan
Penyuluh Pertanian. Bogor (ID): BP3K.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Statistik Indonesia 2014. http://www.bps.go.id/.
[20 Juli 2014].
[BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. 2011. Luas Panen, Produktivitas,
Produksi Ubi Jalar di Jawa Barat. Berita Resmi Statistik [Internet]. [diunduh
pada 13 Januari 2015]. Tersedia pada: http://data%20statistik%20ubi

1)
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fapet IPB, D24110034, Semester VIII
2)
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fapet IPB, Dr. Ir. M.Rur Sc.
3)
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fapet IPB, Dr. S.Pt M.Si
18

%20jalar/luas-panenproduktivitas-dan-produksi-ubi-jalar-di-jawa-barat-
1.htm. Jawa Barat (ID): Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat.
Cheeke. 2000. Saponin : Suprising benefits of desert plants. http:www.lpi.oregonstate.
edu/sp-spdp/saponin.htm. (6 Mei 2009)
Colville T, Bassert JM. 2008. Clinical Anatomy & Physiology for Veterinary
Technician. Missouri: Elsevier.
Edey TN. 1983. The Genetic pool of sheep and goats. Dalam : Goat and Sheep
Production in The Tropics. ELBS. Longman Group Ltd, Essex.
Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada
University Pr.
Ganong WF. 2002. Pubertas. Dalam: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta (ID):
EGC, 403-404.
Guyton AC, Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-9. Terjemahan:
Irawati. Jakarta (ID): Penerbit Buku Kedokteran, EGC.
Hong TTT. 2003. Evaluation of sweet potato leaves as a protein source for growing
pigs in central vietnam [tesis]. SLU,Uppsala, Sweden: Departmen of Animal
Nutrition and Management.
Isnaeni W. 2006. Fisiologi Hewan. Jakarta (ID) : Kanisius.
Kelly WR. 1984. Veterinary Clinical Diagnosis. London (UK): Bailliere Tindall.
Kushartono B, Nani I, dan Gunawan. 2003. Pengaruh Umur dan Panjang Cacahan
Rumput Raja (Pennisetum Purpurephoides) Terhadap Efisiensi Bagian yang
Termakan Domba Dewasa. Prosiding Temu Teknis Fungsional Non Peneliti.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor (ID). P : 42-49.
Marai IFM, El-Darawany AA, Fadiel A, Abdel-Hafez MAM. 2007. Physiological
traits as affected by heat stress in sheep. Small Ruminant Research 71:1-12.
Musmulyadi. 2011. Profil darah dan konsentrasi serum protein pada domba yang
diberi daun Moringa oleifera lamnk, Gliricidia sepium dan Artocarpus
heterophhyllus [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Noveanto I. 2013. Kecernaan nutrien, retensi nitrogen, dan sintesis protein mikroba
pada domba yang mendapat substitusi konsentrat dengan silase daun singkong
(Manihot esculenta sp.) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Parakkasi A. 1998. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Jakarta (ID) :
Universitas Indonesia Press.
Price, A. dan Wilson, L. (1995). Patofisiologi. Buku 2. Edisi 4. Penebit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta, hal :1117-1119
Purwanto BP, M Harada dan S Yamamoto. 1994. Effect of environmental temperature
on heat production and its energy cost for thermoregulation on dairy heifers.
Asian-aus. J. Anim. Sci. 7(2):179:182.
Rukmana R. 1997. Ubi Jalar dan Pasca Panen. Yogyakarta (ID): Penerbit Kanisius.
Sastradipradja D, Hartini S. 1989. Fisiologi Veteriner. Bogor (ID): FKH IPB.
Silanikove N. 2000. Effects of heat stress on the welfare of extensively managed
domestic ruminants. J Livestock Production Sci. 67 (12), 118.
Soeharsono, A Mushawwir, E Hernawan, L Adriani, KA Kamil. 2010. Fisiologi
Ternak: Fenomena dan Nomena Dasar, Fungsi, dan Interaksi Organ pada
Hewan. Bandung (ID) : Widya Padjadjaran.
19

Sokerya S, Preston TR. 2003. Effect of grass or cassava foliage on growth and
nematode parasite infestation in goats fed low or high protein diets in
confinement. Livestock Research for Rural Development. 15 (8): 47-54.
Steel, R.G.D. dan J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu
Pendekatan Biometrik. Terjemahan: Bambang Sumantri, Edisi ke-2 cetakan
ke-3. Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka Umum.
Sudaryanto B. 1987. Suplementasi Na2S2O3 ke dalam ransum berbahan dasar daun
singkong pada domba [Tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Suprayogi A, Astuti DA, Satrija F, Supriyanto. 2006. Physiological Status of sheep
reared indoor system under the tropical rain forest climatic zone. Proc.
Seminar ISTAP ke 3. Yogyakarta (ID): Faculty of Animal Science, Gadjah
Mada University.
Supriyanto, 1994. Mesin Pencacah Hijauan Pakan Ternak. Laporan Hasil Rekayasa
dan Rancang Bangun. Balai Besar Pengembangan Alat clan Mesin Pertanian .
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian . Departemen Pertanian .
Sutardi T. 1979. Ketahanan protein bahan makanan terhadap degradasi oleh mikroba
rumen dan manfaatnya bagi peningkatan produktivitas ternak. Proceeding
Seminar dan Penunjang Peternakan. Bogor (ID): Lembaga Penelitian dan
Pengembangan Pertanian.
Sutardi T. 1995. Peningkatan Produksi Ternak Ruminansia melalui Amoniasi Pakan
Serat Bermutu Rendah, Defaunasi dan SuplementasiSumber Protein Tahan
Degradasi dalam Rumen. Laporan Penelitian Hibah Bersaing 1/4 Perguruan
Tinggi Tahun 1995/1996, Bogor (ID): Fakultas Peternakan, IPB.
Taiwo VO and AO Ogunsanmi. 2003. Haematology, plasma, whole blood and
erythrocyte biochemical values of clinically healthy captive-rared grey duiker
(Sylvicarpa grimmia) and West African dwarf sheep and goats in Ibadan,
Nigeria. Isr. J. Vet. Med 58: 5761.
Tillman AD. 1973. Effect of Farms of Non-protein Nitrogen and Methods of
Processing on Their Nutritional Value. Procceding of symposium Effect of
Proccesing on The Nutritional Value of Foods. NAS. Washington (US): 184-
187
Utomo R & Soejono M. 1987. Pengaruh ukuran partikel pakan terhadap kecernaan.
Tahun XI. No. 1. ISSN 0126-4400. Yogyakarta (ID) : Buletin Peternakan
Fakultas Peternakan UGM.
Widjajakusuma R dan SHS Sikar. 1986. Fisiologi Hewan. Bogor (ID): Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Wuryanto IPR, Darmoatmojo LMYD, Dartosukarno S, Arifin M, Purnomoadi A.
2010. Produktivitas. respon fisiologis dan perubahan komposisi tubuh pada
sapi jawa yang diberi pakan dengan tingkat protein berbeda. Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. 2005 sept 12-13 Semarang
(ID): Universitas Diponegoro.
Yousef MK. 1985. Stress Physiology in livestock. Ed ke-1. Florida (US): CRC Pr.
Press. Inc. Boca Raton.
Yousef MK. 2000. Stress Physiology in Livestock Volume III. Florida (US): CRC
Press. Inc. Boca Raton.
1)
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fapet IPB, D24110034, Semester VIII
2)
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fapet IPB, Dr. Ir. M.Rur Sc.
3)
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fapet IPB, Dr. S.Pt M.Si
20

Yuwanta T.2000. Dasar Ternak Unggas. Yogyakarta (ID): Kanisius.

You might also like