Sanksi Tindakan

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 7

E. Z. Leasa, Penerapan Sanksi Pidana dan .

51
Jurnal Sasi Vol. 16 No. 4 Bulan Oktober Desember 2010

PENERAPAN SANKSI PIDANA DAN SANKSI TINDAKAN


(Double Track System)
DALAM KEBIJAKAN LEGISLASI

Oleh : E.Z. Leasa

ABSTRACT

Policy in particular legislation regarding sanctions in criminal law the most important part
because keberadaannnya meruapakan can provide direction and consideration of what
should be a sanction in a criminal act. Namaun dauble track system so the application of the
legislation menunculkan much confusion, especially the shape and type of sanctions measures
and types of additional sanctions.
The policy establishes a criminal sanction as one means penanggulangi crime is a matter of
choice of many alternatives. Thus the selection and determination of criminal sanctions can
not be removed from rational considerations and policies in accordance with the state and
development of society. In the midst of a wave of sharp criticism and efforts to limit the use of
imprisonment, then the policy of the legislature in determining the use of prison, it is clearly a
central issue viewed from policy formulation at the level of legislation.

Keyword : Application. Criminal Sanctions, Sanctions Action, Policy Legislation

A. LATAR BELAKANG. pidana hampir selalu digunakan untuk


menakut-nakuti atau mengamankan
Perkembangan hukum pidana bermacam-macam kejahatan yang mungkin
dewasa ini di Indonesia, terutama Undang- timbul diberbagai bidang. Fenomena
undang Pidana Khusus atau perundang- semacam ini memberikan kesan seolah-olah
undangan diluar KUHP, terdapat suatu dirasakan kurang sempurna atau hambar bila
kecenderungan penggunaan sistem dua jalur suatu produk perundang-undangan tidak ada
(Double Track Sistem) dalam stesel ketentuan pidananya (sanksi). (Barda
sanksinya yang berarti sanksi pidana dan Nawawi Arief,1996 : 27).
sanksi tindakan diatur sekaligus.(Sudarto Selama ini produk kebijakan legislasi
1986 : 63) Penetapan sanksi dalam suatu sering menampilkan sanksi tindakan yang
perundang-undangan pidana bukanlah terkesan ragu-ragu dan tersembunyi, artinya
sekedar masalah teknis perundang-undangan pandangan para pemegang kebijakan
semata, melainkan merupakan bagian yang legislasi masih berpaham tradisional-klasik
tidak terpisahkan dari substansi atau materi yang hanya merujuk pada konsep KUHP
perundang-undangan itu sendiri. Hal ini dan menganggap sanksi tidakan tidak lebih
mendapat perhatian yang serius mengingat sebagai suatu sanksi perawatan.
berbagai keterbatasan dan kemampuan Pandangan demikian akan menghambat
hukum pidana dalam menanggulangi penanggulangan kejahatan berdimensi baru
kejahatan. (new dimension of criminality) khususnya
Apalagi ada kecenderungan dalam dilakukan oleh korporasi sebagai subyek
produk kebijakan legislasi bahwa hukum hukum pidana karena karakteristiknya
E. Z. Leasa, Penerapan Sanksi Pidana dan . 52
Jurnal Sasi Vol. 16 No. 4 Bulan Oktober Desember 2010

kejahatan tersebut lebih membutuhkan jenis undang-undang yang secara tegas memuat
sanksi yang tidak bersifat retributive belaka. sanksi tindakan tersebut sebagai salah satu
Kebijakan legislasi, khususnya jenis sanksi disamping sanksi pidana.
menyangkut penetapan sanksi dalam hukum Padahal jika konsisten dengan ide-ide dasar
pidana, merupakan bagian penting dalam double track sistem, maka antara kedua jenis
sistem pemidanaan karena keberadaannya sanksi itu baik sanksi pidana maupun sanksi
dapat memberikan arah dan pertimbangan tindakan) tidak saja berkedudukan sejajar
mengenai apa yang seharusnya dijadikan tetapi juga harus dibedakan secara tegas.
sanksi dalam suatu tindak pidana. Terlebih Dengan demikian pada tingkat kibijakan
lagi bila dihubungkan dengan legislasi, kedua sanksi tersebut semestinya
kecenderungan produk perundang-undangan ditempatkan sebagai sanksi yang terpisah
pidana diluar KUHP yang tampaknya ada dan dalam kedudukan yang sejajar pula.
kemajuan dalam stesel sanksinya yang telah
mempergunakan double track sistem, baik
yang ditetapkan secara eksplisif maupun B. PERMASALAHAN
implisif.
Namun demikian, penggunaan Fokus masalah dalam sistem ini
double track sistem dalam perundang- berkisar pada masalah ide-ide dasar sistem
undangan pidana masih banyak dua jalur yang dikenal dengan istilah double
memunculkan kerancuan, terutama bentuk- track system dalam menetapkan jenis dan
bentuk dari jenis sanksi tindakan dan jenis bentuk yaitu berupa sanksi pidana atau
sanksi pidana tambahan. Pada akhirnya sanksi tindakan. Kebijaan legislasi
kerancuan dalam penetapan kedua jenis khususnya menyangkut penetapan sanksi
sanksi dalam hukum pidana tersebut dalam hukum pidana meruapakan bagian
menimbulkan masalah ketidakkonsistenan terpenting karena keberadaannnya dapat
antara perundang-undangan pidana yang memberikan arah dan pertimbangan
satu dengan perundang-undangangan pidana mengenai apa yang seharusnya dijadikan
yang lainnya. sanksi dalam suatu tindak pidana.
Ketidakkonsistenan menetapkan Namaun demikian penerapan dauble
jenis dan bentuk sanksi suatu produk track system dalam perundang-undangan
perundang-undangan mencerminkan tidak banyak menunculkan kerancuan, terutamam
kokohnya landasan yang dipakai sebagai bentuk dan jenis sanksi tindakan dan jenis
dasar double track sistem dalam kebijakan sanksi tambahan. Bertolak dari latar
legislasi selama ini. Penetapan sanksi pidana belakang yang dikemukakan diatas, maka
dan sanksi tindakan dalam produk kebijakan permasalahan pokok dalam penelitian ini
legislasi selama ini, tidaklah konsisten berkisar pada masalah kebijakan perundang-
menganut prinsip double track sistem. Selain undang dalam menetapkan dan merumuskan
penetapan kedua jenis sanksi tersebut pidana penjara maunpun pidana tambahan
tumpang tindih dalam berbagai perundang- guna menunjang usaha dalam menggulangi
undangan, juga ada kecenderungan tindak pidana kejahatan.
memprioritaskan sanksi pidana sebagi Kebijakan menetapkan suatu saksi
primadona, sementara sanksi tindakan pidana sebagai salah satu sarana
sebagai sanksi yang terabaikan dalam menanggulangi kejahatan merupakan
perundang-undang pidana selama ini. persoalan pemilihan dari berbagai alternatif.
Hal ini dapat terlihat jelas bahwa Dengan demikian pemilihan dan penetapan
hanya sejumalah kecil perundang-undangan sanksi pidana tidak dapat dilepaskan dari
yang mencantumkan sanksi tindakan. Dari beragai pertimbangan rasional dan kebijakan
20 (dua puluh) aturan perundang-undangan sesuai dengan keadaan dan perkembangan
pidana diluar KUHP, hanya 5 (lima) masyarakat. Di tengah-tengah adanya
E. Z. Leasa, Penerapan Sanksi Pidana dan . 53
Jurnal Sasi Vol. 16 No. 4 Bulan Oktober Desember 2010

kritikan yang tajam dan gelombang usaha Sedangkan tujuan utama (primair) dari
membatasi penggunaan pidana penjara, pidana menurut teori ini ialah untuk
maka kebijakan legislatif dalam menetapkan memuaskan tuntutan keadilan (to satisfy
penggunaan penjara, itu jelas merupakan the claims of justice).tuntudan keadilan ini
masalah sentral dilihat dari kebijakan yabf sifatnya absolut ini sesuai dengan apa
perumusan pada tingkat legisasi. yang perna ditulis oleh Immanuel Kant
Berdasarkan latar belakang yang dalam bukunya Philosopy of Law sebagai
telah diuraikan diatas, maka permasalahan berikut :
yang perlu dikaji lebih dalam adalah ......Pidana tidak perna dilaksanakan
Bagaimakah Penerapan Sanksi Pidana semata-mata sebagai sarana untuk
dan Sanksi Tindakan (double track mempromosikan tujuan/kebaikan lain,
system) Dalam Kebijakan Legislasi? baik bagi si pelaku itu sendiri maupun
bagi masyarakat tetapi dalam hal harus
dikenakan hanya karena orang yang
bersangkutan telah melakukan suatu
C. PEMBAHASAN kejahatan. Bahkan walupun seluruh
anggota masyarakat sepakat untuk
1. Teori-teori Dalam Hukum Pidana mengahancurkan dirinya sendiri
(membubarkan masyarakat) pembunuh
Kebijakan menetapkan sanksi pidana terakhir yang masih berada dalam
sebagai bagian dari usaha penggulangan penjara harus dipidana mati sebelum
kejahatan tidak dapat dilepaskan dari tujuan resolusi / keputusan pembubaran
negara untuk melindungi segenap bangsa masyarakat itu dilaksanakan. Hal ini
Indonesia dan untuk mewujudkan harus dilakukan karena setiap orang
kesejateraan umum berdasarkan Pancasila seharusnya menerima ganjaran dari
dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam perbuatannya, dan perasaan balas
konsep yang demikan maka kewajiban dendam tidak boleh tetap ada pada
negara di salah satu pihak melindungi dan anggota masyarakat, karena apabila
mensejaterahkan masyarakat dilain pihak tidak demikian mereka semua dapat
juga melindungi dan mensejaterakan si dipandang sebagai orang yang ikut ambil
pelaku kejahatan. Dengan bertolak dari bagian dalam pembunuhan itu yang
pandangan yang demikian maka setiap merupakan pelanggran terhadap
kebijakan legislasi harus pula merupakan keadilan umum
suatu perwujudan kearah tercapinya tujuan
itu. Menurut teori relatif, memidana
Secara tradisional teori-teori bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut
pemidanaan pada umunya dapat dibagi dari keadilan. Pembalasan itu tidak
dalam dua kelompok teori yaitu : mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai
1. Teori absolut atau teori pembalasan sarana untuk melindungi kepentingan
(relativ/vergeldings theorieen), masyarakat. Namun dalam perkembangan
2. Teori relatif atau teori tujuan sekarang bahwa pemberian hukuman kepada
(utilitarian/doelheorieen). pelaku tidak hanya dilihat dari kepntingan
Menurut teori absolut ini pidana masyarakat namun juga kepada kepentingan
dijatuhkan semata-mata karena orang telah pelaku, artinya bila kita biakan tanpa
melakukan sustu kejahatan atau tindak hukuman maka mungkin saja teori absolut
pidana (quia peccatum est). Jadi pidana dapat berlaku ia akan dihakimi oleh pihak
merupakan akibat mutlak yang harus ada yang telah dirugikannya. Oleh karena itu
sebagai suatu pembalasan kepada orang menurut Nigel Walker teori ini lebih tepat
yang melakukan kejahatan tersebut. disebut teori atau aliran reduktif (the
E. Z. Leasa, Penerapan Sanksi Pidana dan . 54
Jurnal Sasi Vol. 16 No. 4 Bulan Oktober Desember 2010

reductive point of law) karena dasar mereka dalam menetapkan pidana yang
pembenaran pidana menurut teori ini ialah tepat untuk seorang pelanggar tertentu.
untuk mengurangi frekuensi kejahatan. Sehubungan dengan pendapat diatas
Menurut Emile Durkheim fungsi sedikitnya ada dua masalah yang
dari pidana adalah untuk menciptakan mengganggu dalam praktek penerapan
kemungkinan bagi pelepasan emosi-emosi pidana penjara selama ini. Masalah-masalah
yang ditimbulkan atau digoncang oleh tersebut antara lain:
adanya kejahatan. Sedangkan aliran-aliran 1. Garis kebijakan umum yang tampak
dalam hukum pidana tidaklah mancari dasar dalam praktek perundang-undangan
hukum atau pembenaran dari pidana, tetapi selama ini untuk pengoperasian pidana
berusaha memperoleh suatu sistem hukum penjara ialah bahwa pidana penjara
pidana yang praktis dan bermanfaat. Secara terutama ditujukan atau diancam terhadap
garis besar aliran-aliran ini juga dibagi tindak pidana berupa kejahatan dan tidak
dalam dua aliran yaitu aliran klasik dan untuk pelanggran. Untuk tindak pidana
aliran modern. Aliran klasik terutama berupa pelanggaran pada umumnya
menghendaki hukum pidana yang tersusun diancam dengan bentuk pidana
sistimatis dan menitik beratkan kepada perampasan kemerdekaan yang lebih
kepastian hukum. Dalam rangka ringan yaitu pidana kurungan. Namun
penyususnan KUHP baru maka kebijakan dalam prakteknya perundang-undangan
yang harus diambil oleh ligislatif dalam selama ini, garis kebijakan umum itu
merumuskan pemberian sanksi juga harus tidak selalui diikuti. Bahwa dalam
melihat kepada rasa keadilan bukan saja prakteknya diperoleh kenytaan bahwa ada
terhadap kepastian hukum. tindak pidana pelanggaran yang juga
diancam dengan pidana penjara. Melihat
kenyataan demikian tentu akan
2. Penerapan Jenis Sanksi Pidana Dalam menimbulkan masalah apakah memang
Kebijakan Legislasi perlu dipertahankan kebijakan umum
yang membedakan jenis pidana dan
Dalam membahas politik hukum pelangaran (tindakan),
maka yang dimaksud dengan hukum disini 2. Kenyataan lainya yang diperoleh ialah
adalah hukumm posetif, yaitu hukum yang bahwa dalam kebijakan legislatif selama
berlaku pada waktu sekarang di Indonesia., ini tidak perna dirumuskan suatu
sesuai dengan asas pertingkatan (hirarki) pedoman atau kretria penjatuhan pidana
hukum itu sendiri, atau dengan istilah yang penjara. Dengan kata lain tidak ada pola
diberikan oleh Logeman, sebagai hukum penerapan pidana
yang berlaku disini dan kini. (Logeman (straftoemetingspatroon) atau motivasi
J.H.A, 1975 : 31) Hukum posetif yang pemidanaan yang cukup rasional untuk
berlaku disini merupakan hukum yang menjatukan pidana penjara.
dibuat atau ditetapkan oleh negara melalui Sehingga bila dilihat dari kebijakan
lembaga negara atau pejabat yang hukum pidana yang rasional apakah
berwewenang untuk menetapkannya. kebijakan yang demikian masih patut
Peranan legislatif dalam hal pemidanaan dipertahankan. Kebijakan legislasi yang
meliputi penentuan kebijakan dasar yang tercermin dalam produk perundang-
tidak hanya mengenai pidana yang tepat undangan selama ini banyak memberikan
untuk tiap-tiap tindak pidana, tetapi juga kesan lebih mengutamakan jenis sanksi
mengenai tipe pidana yang disediakan untuk pidana dalam sistem pemidanaanya. Hampir
kekuasaan pemidanaan lainya dibawah tidak pernah ditemukan suatu peraturan
tingkat (the other sentencing authorities) perundang-undangan yang tanpa
dan kadar kebijakan yang diberikan kepada mencantumkan sanksi pidana didalamnya.
E. Z. Leasa, Penerapan Sanksi Pidana dan . 55
Jurnal Sasi Vol. 16 No. 4 Bulan Oktober Desember 2010

Bentuk-bentuk sanksi pidana yang paling perbuatan (dan akibat perbuatan) si pelaku.
banyak ditetapkan adalah pidana penjara, Sisi lain yang bersifat struktural atau
kurungan dan denda. Sedangkan sanksi fungsional ini misalnya pihak
pidana mati hanya terlihat pada beberapa korban/penderita lainnya dan
perundang-uindangan saja, seperti dalam strukutur/kondisi lingkungan yang
UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, menyebabkan si pelaku berbuat kejahatan.
UU No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak (Barda Nawawi Arief, 1998 : 45).
Pidana Ekonomi, UU No. 22 Tahun 1997 Banyaknya perundang-undangan
tentang Narkotika dan UU No. 31 Tahun pidana yang memuat jenis sanksi pidana
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana sebagai sanksi utamanya, mengindikasikan
Korupsi. bagaimana tingkat pemahaman para
Pencantuman jenis sanksi pidana legislator terhadap masalah-masalah pidana
dapat diidentifikasikan dalam setiap dan pemidanaan. Paling tidak, keterbatasan
perundang-undangan pidana, baik yang pemahaman (Sumber daya Manusia) mereka
berkualifikasi tindak pidana umum dan terhadap masalah-masalah sanksi dalam
tindak pidana khusus. Demikian juga, hal itu hukum pidana turut memepengaruhi proses
terjadi pada perundang-undangan yang penetapan sanksi ketika membahas suatu
substansinya bermuatan hukum administrasi perundang-undangan. Hal ini juga dapat
dan hukum perekonomian, seperti : UU No. menimbulkan inconsistency dalam
23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, UU No. penetapan jenis maupun bentuk-bentuk
10 TAHUN 1995 Tentang Kepabeanan, UU sanksinya antara perundang-undangan yang
No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai, UU No. satu dengan perundang-undangan yang lain.
12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta, UU No. Pemahaman para legislator mengenai
32 Tahun 1997 tentang Perdagangan sanksi pidana masih banyak dipengaruhi
Berjangka Komoditi, UU No. 10 Tahun oleh pandangan lama yang menegaskan
1998 tentang Perbankan, UU No. 5 Tahun bahwa setiap orang yang telah melakukan
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli, kejahatan harus dibalas dengan pidana yang
dan Persainagan Usaha Tidak Sehat, UU No. setimpal. Pandangan yang didasarkan pada
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan aliran klasik dalam hukum pidana ini
Konsumen, dan UU No. 23 Tahun 1999 mendominasi pemahaman mereka sehingga
tentang Bank Indonesia. setiap pembahasan suatu Rancangan
Dilihat dari sudut Kebijakan Undang-Undang (RUU) yang memuat
Kriminal, wajah perundang-undangan ketentuan pidana, jenis sanksi pidana banyak
seperti ini banyak mengandung kelemahan mendapatkan perhatian dalam pembahasan.
kerena pendekatan sanksi yang di pakai Begitu juga subjek hukum yang akan
dalam upaya menanggulangi suatu kejahatan dipertanggung-jawabkan secara pidana,
bersifat terbatas dan terarah pada tidak dapat dipisahkan dengan masalah
dipidananya si pelaku saja. Dengan kata lain penetapan jenis sanksi yang akan.dikenakan
, jenis sanksi bila dilihat dari aspek terhadapnya. Sebagai contoh, pemidanaan
tujuannya lebih mengarah pada pencegahan untuk kejahatan korporasi (corporate crime)
agar orang tidak melakukan kejahatn bukan tidaklah cukup dengan menetapkan sanksi
bertujuan mencegah agar orang tidak pidana saja karena kurang relevan dengan
melakukan kejahatan, bukan bertujuan sifat korporasi itu sendiri sebagi subjek
mencegah agar kejahatan itu tidak terjadi. hukum pidana. Sehubungan dengan sanksi
Jadi lebih bersifat individual. apa yang tepat untuk dikenakan terhadap
Pemidanaan bersifat individual ini korporasi, Sudarto menyatakan bahwa untuk
menurut Barda Nawawi Arief kurang korporasi yang melakukan tindak pidana
menyentuh sisi-sisi lain yang berhubungan dapat dikenakan sanksi pokok denda dan
erat secara struktural atau fungsional dengan
E. Z. Leasa, Penerapan Sanksi Pidana dan . 56
Jurnal Sasi Vol. 16 No. 4 Bulan Oktober Desember 2010

sanksi serta sejumlah (sanksi) tindakan. utuh sehingga sanksi tindakan yang
(Sudarto ,1987 : 47) merupakan jenis sanksi lain dalam hukum
Bila dihubungkan dengan pidana (bukan jenis sanksi pidana)
karakteristik kejahatan yang dilakukan oleh keberadaannya tidak pernah dipersoalkan.
korporasi, bentuk-bentuk sanksi tindakan Pemahaman yang setengah-setengah
harus relevan dengan tujuan pemidanaan ini terhadap pengertian double tarck sistem
yang ingin di capai. Minimnya perundang- ini berakibat pada penetapan bentuk-bentuk
undangan pidana yang memuat jenis sanksi sanksi dalam perundang-undangan pidana
tindakan ini tidak terlepas dari kurangnya yang tidak tegas dinyatakan atau tidak jelas
pemahaman para pembentuk undang-undang sehingga diragukan apakah termasuk sanksi
( dalam hal ini pihak pemerintah / pengusul tindakan. Padahal suatu undang-undang
suatu undang-undang dari lalangan tidak boleh memuat perumusan delik
legislator) terhadap hakikat, fungsi dan (termasuk ancaman sanksinya) yang kurang
tujuan sanksi tindakan tersebut dalam sistem jelas atau harus memenuhi syarat lex certa.
pemidanaan. Akibatnya, jenis sanksi ini Jika dicermati Pasal 75 UU No. 24
tidak begitu popular sehingga kurang Tahun 1997 tentang Penyiaran, tindakan
mendapatkan prioritas pembahasan dan perampasan dan pemusnahan alat-alat
proporsionalitas dalam setiap perundang- penyiaran atas perintah hakim jelaslah
undangan pidana. dimaksudkan sebagai tindakan
Dalam perkembangan praktek pencegahan agar alat-alat tersebut tidak
kebijakan memang ada upaya untuk dipergunakan kembali di kemudian hari,
mengkaji dan membandingkan masalah- baik oleh si pelaku yang sama maupun
masalah stesel sanksi dalam hukum pidana pelaku lainnya.
dengan perundang-undangan pidana negara- Dengan mengutip pendapat dari M.
negara asing, akan tetapi sejauh ini terbatas Sholehuddin, Romli Atmasasmita
pada masalah-masalah aturan hukum menjelaskan lebih lanjut bahwa bentuk
pidananya saja. Padahal yang penting untuk sanksi yang masih kabur dalam perundang-
diperbandingkan bukanlah peraturan- undang tersebut dapat dikategorikan sebagai
peraturan hukum pidananya saja, melainkan jenis sanksi tindakan. Hal ini sejalan dengan
juga prinsip-prinsip filsafat, politik, ekonomi tujuan pemidanaan yang merupakan dasar
yang melandasi peraturan-peraturan teori relatif (teleologis), yaitu : preventive,
tersebut. deterrence, dan reformative, yang ketiga-
Menurut Frans Maramis, berkat tiganya senada dengan pandangan Bentham
jasa aliran kriminologi yang menghendaki tentang Justifikasi penjatuhan pidana yakni :
individualisasi pidana, yaitu agar tiap kejahatan harus dicegah sedini mungkin,
penjahat memperoleh cara penyembuhan pidana untuk mencegah orang lain
sesuai dengan kepribadiannya, maka melakukan kejahatan dan pelaku kejahatan
dimasukkan dalam hukum pidana jenis-jenis sebaiknya diperbaiki atau dibina (Romli
sanksi tindakan (maatregel). Pengaruh Atmasasmita, 1995 : 35). Keseluruhan
kriminologi yang paling besar adalah dalam sistem sanksi dalam hukum pidana tersebut
bidang pemidanaan. (Frans Maramis, 1994 : harus dilandasi oleh ide-ide dasar sebagai
12). salah satu komponennya yang seyogianya
Selama ini dalam proses kebijakan dipamami oleh para pemegang kebijakan
legislasi, para kegislator telah menempatkan legislatif
posisi sanksi tindakan sebagia sanksi nomor
dua. Tampaknya masih ada anggapan bahwa
sanksi tindakan itu merupakan bagian dari
sanksi pidana. Artinya, pengertian istilah .
double track sistem belum dipahami secara
E. Z. Leasa, Penerapan Sanksi Pidana dan . 57
Jurnal Sasi Vol. 16 No. 4 Bulan Oktober Desember 2010

D. P E N U T U P ketika membahas suatu perundang-


undangan. Hal ini agar tidak
Kesimpulan menimbulkan inconsistency dalam
penetapan jenis maupun bentuk-bentuk
1. Bahwa terdapat ketidak jelasan dalam sanksinya antara perundang-undangan
membedakan jenis sanksi pidana yang satu dengan perundang-undangan
khususnya pidana tambahan dengan jenis yang lain.
tindakan sehingga bentuk-bentuk dari
jenis tindakan sering ditempatkan sebagai
sanksi pidana(tambahan) dan begitu pula
sebaliknya.
2. Dalam produk kebijakan legislatif yang
berupa perundang-undanga pidana di
Indonesia belum terinformasikan secara
sistematis, baik dari kalangan pemegang
kebijakan legislasi maupun yudikasi DAFTAR PUSTAKA
sehingga dalam praktek penerapannya
masih tedapat kekaburan menganai batas-
batas jenis sanksi dalam hukum pidana
tersebut. Atmasasmita Romli, 1995, Kapita Selekta
3. Keterkaitan antara pemidanaan, teori Hukum Pidana dan
pemidanaan dan tujuan pemidanaan Kriminologi, Mandar Maju,
dalam konteks penetapan sanksi hukum Bandung.
pidana pada tahap kebijakan legislasi Barda Nawawi Arief,1996, Batas-Batas
belum di pahami secara utuh sehingga Kemampuan Hukum Pidana
jenis dan bentuk-bentuk sanksi dalam Dalam Penanggulangan
perundang-undangan di Indonesia bukan Kejahatan, Makalah Seminar
saja menimbulkan ketidak-konsisten Nasional Pendekatan Non-
perundang-undangan pidana yang satu Penal Dalam Penanggulangan
dengan yang lainnya, tetapi penetapan Kejahatan, Semarang
juga penatapan sanksi itu dirasakan ...................................,1998, Beberapa
kurang objektif dan rasional Aspek Kebijakan Penegakan
dan Pengembangan Hukum
Pidana, PT Citra Aditya,
Saran Bandung,
Frans Maramis, 1994, Perbandingan Hukum
1. Konsep double track system sangat Pidana, Pustaka Sinar
diperlukan untuk kepentingan flelsibilitas Harapan , Jakarta,
atau elasistas pemidanaan. Sesuai dengan Logeman J.H.A, 1975, Tentang Teori Suatu
ide dasar dauble track system maka Hukum Tata Negara Posetif,
sanksi pidana dan sanksi tindakan dalam Iktiar Baru-van Hoeve,
setip perundang-undangan harus Jakarta,
diperlakukan sebagai sanksi yang Sudarto, 1986, Kapita Selekta Hukum
mandiri. Pidana, Alumni, Bandung
2. Paling tidak di butuhkan, pemahaman ..............,1987,Pemidanaan, Pidana dan
(Sumber daya Manusia) para legislator Tindakan dalam Masalah-
terkait dengan masalah-masalah sanksi Masalah Hukum, FH-
dalam hukum pidana turut UNDIP
memepengaruhi proses penetapan sanksi

You might also like