Download as pdf
Download as pdf
You are on page 1of 8
KUALITAS KERUPUK KULIT STRATUM PAPILARE DAN RETIKULARE The Quality of Crackers from Papilare and Retikulare Bastari Sabtu’, Soemitro Djojowidagdo’ dan Soeharjono Triatmojo* Program Studi Ilmu Peternakan Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada ABSTRACT The experiment was conducted to study the effect of material kinds of stratum papilare and reticulare and its boiling and braising (ungkep=Jawa) durations on the quality of buffaloes hide crackers. The samples were taken from neck, belly, and butt of adult female buffaloes hide and splitted according to the stratum layer. The stage 1, the hide were boiled with water in 90°C for 30, 60 and 90 minutes; following by cutting and dried under sunshine. Those one third of dried hide were traditional braised into palm oil. The Stage 2, hide remainder were treated for 6, 7 and 8 hours and braised into palm oil at 120°C as the best cooking method. The collected data were analysed by using a block design of variance analyses (RCBD) with 3subsamplings. The results ofstage1 indicated that the boiling durations did noteffect significantly oncontent of protein, collagen, soluble protein for both stratum papilare and reticulare. The developing of hide and crackers productions of formation, colour, taste and cryspy ability was increased, and differed stratum papilare and reticulare after boiled over than 60 minutes, and the highest boiling temperature was 90°C. Stage 2, indicated that the durations of braising in palm oil did not affect significantly on soluble protein, crackers developing, formation, colour, taste and crispy ability of stratum papilare and reticulare, respectively. It was concluded that the physical property, chemical composition and organoleptical measurement of stratum papilare was similar with stratum reticulare. The physical property and organoleptical measurement of crackers were affected by boiling durations and braising in palm oil durations. The best quality was obtained from 60 minutes boiling durations in 90°C, with braising in palm oil for 6 hours in 120°C; Key Words: quality of crackers -- stratum papilare -- stratum reticulare PENGANTAR Kerupuk kulit biasanya dibuat secara tradisional dan dikerjakan atas dasar pengetahuan dan pengalaman yang turun temurun. Kualitas kerupuk kurang mendapat perhatian terutama pada bentuk yang tidak 1) Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana, Kupang-NTT. 2) Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 3) Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 212 AGROSAINS —13(2), Mei 2000 rata, warna coklat kehitaman, dan kulit yang digunakan sebagian besar berasal dari kulit awetan. Umumnya kulit masih direbus dan diungkep pada suhu yang tinggi dan waktu yang lama, pembersihan lapisan epidermis, bulu dan sub kutis tidak dilakukan dengan baik sehingga mempengaruhi bentuk, warna serta pengembangannya. Upaya memperbaiki kualitas kerupuk kulit dapat dilakukan, seperti penggunakan kulit segar sebagai bahan baku, memperbaiki proses perebusan, pengungkepan dan menghilangkan semua lapisan kulityang dapat mempengaruhi kualitas kerupuk serta memanfaatkan setiap stratum (lapisan) kulit untuk meningkatkan nilai_ tambahnya. Kulit segar mempunyai komposisi kimia yang, berbeda dibanding kulit awetan (Samiadi et al.,1995). Pada kulit segar masih terdapat zat-zat gizi lain selain protein fibrus dan protein globular, seperti air, karbo- hidrat, lemak, dan substansi lain (Sharphouse, 1971; Highberger, 1978). Kolagen kulit merupakan komponen protein terbesar pada kulit, bentuknya memanjang dan tersusun dalam bentuk serabut di dalam korium kulit (Roddy, 1978; Miller et al.,1983; Swatland, 1984). Korium kulit terbentuk dari dua stratum yaitu Stratum papilare yang berbatasan dengan lapisan epidermis dan Stratum reticulare yang berbatasan dengan subkutis (Roddy, 1978). Diketahui pula bahwa semakin ke bagian tengah korium, kolagen kulit makin padat. Adanya perbedaan ini diharapkan pengembangan kerupuk pada setiap stratum kulit akan perbeda. Kolagen diubah menjadi gelatin pada pemanasan di dalam air (Highberger, 1993). Biladirebus terlalu lama pada suhu yang tinggi maka akan menjadi semiglutin dan hemikolin (Norrisswreve et al., 1945 dalam Asmara, 1982). Kulit akan membengkak bila direbus karena adanya absorpsi air oleh protein kulit (Lollar, 1978). Pembengkakan dipengaruhi oleh suhu, terutama suhu kerut,dengan menurunnya suhu kerut pembengkakan akan menurun (Nayudamma, 1978; Thornstensen, 1985). Pengungkepan adalah perebusan potongan kulit yang telah dikeringkan ke dalam minyak goreng secara tertutup pada temperatur 110 hingga 120°C dan bertujuan memasukkan minyak ke dalam kulit (Samiadi, 1984). Pengungkepan yang terlalu lama dan suhu yang digu- nakan terlalu tinggi akan mempengaruhi pengembangan kerupuk. Kulit yang direbus dan diungkep pada waktu yang tepat dan pembersihan lapisan epidermis, bulu dan subkutis diharapkan dapat memperbaiki kualitas kerupuk. Bastari Sabtu et al., Kualitas Kerupuk Kulit 213 CARA PENELITIAN Penelitian dibagi dalam dua tahap yaitu penentuan lama perebusan dan penentuan lama pengungkepan. Materi yang digunakan adalah 5 lembar kulit kerbau betina dewasa dengan umur 3,5 - 4 tahun. Alat yang digunakan antara lain Spektrofotometer, alat pengukur volume kulit dan kerupuk, alat perebusan, pengungkepan dan penggorengan. ‘ Sampel kulit diambil dari kulit bagian leher, perut dan ekor belahan kanan dan kiri. Kulit dicuci dan direndam lebih kurang semalam ke dalam air kapur (1% dari berat kulit). Setelah kulit membengkak dibelah menjadi dua berdasarkan stratum (lapisan) kulit yaitu stratum papilare dan stratum retikulare. Buang kapur dilakukan dengan cara mencuci dan merendam ke dalam larutan garam dan sedikit larutan cuka. Setelah itu, kulit dibagi ke dalam kelompok perlakuan perebusan. Penelitian tahap pertama, cuplikan kulit diambil untuk dianalisis kadar protein total, kolagen, protein terlarut dan diukur volumenya. Perlakuan dilakukan dengan perebusan selama 30, 60 dan 90 menit pada suhu 90°C, setelah itu dikeringkan dan diukur volumenya. Perlakuan pengungkepan dilakukan dengan cara tradisi- onal dan pengungkepan selama 6,7 dan 8 jam pada suhu 120°C Setelah itu, kerupuk digoreng dan diukur protein terlarutnya. Kerupuk hasil pengungkepan dan penggorengan diukur volumenya. Rancangan percobaan yang digunakan adalah acak kelompok dengan 3 subulangan dan dianalisis menggunakan analisis variansi. dilanjutkan dengan Uji Duncan bila ada perbedaan. Pengemban; i kulit diukur dengan membandingkan volume kulit segar dengan alt setelah direbus sedangkan pengembangan kerupuk antara kulit kering dengan kerupuk setelah diungkep dan digoreng. Uji organoleptik (bentuk, warna, rasa dan kerenyahan) dilakukan oleh 7 orang panelis dengan 3 kali ulangan dan dianalisis menggunakan uji-H Kruskal- Wallis dan analisis variansi (Steel dan Torrie, 1991). 214 | suhu 120°C 4 AGROSAINS 13(2), Mei 2000 Kulit segar 30x 30cm L direndam dalam larutan kapur i Buang bulu, epidermis, subkutis U Dibelah menjadi 2 lapisan menu- rut stratumnya a Stratum papilare Stratum retikulare et Stee Buang kapur 4 Direbus Suhu +90°C Tit 2aeeko| 30 60 90menit 4 Dipotong 1x15cm L Dikeringkan oe Diungkep Tradisional 4 if: 8jam Digoreng seein eae Te ts = 6 Digoreng Bastari Sabtu et al., Kualitas Kerupuk Kulit 215 HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap I Kadar Kimia Kulit Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama perebusan tidak berpengaruh secara nyata terhadap kadar protein total, kadar kolagen dan kadar protein terlarut baik untuk stratum papilare maupun stratum retikulare. Rerata kadar kimia kulit disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Rerata persentase kadar kimia kulit, persentase pengembang- an kulit dan kerupuk dan skor uji organoleptik untuk setiap stratum kulit pada masing-masing lama perlakuan perebusan (menit) pada suhu 90°C Stratum papilare Stratum retikulare Variabel 90 30 60 90 A. Kadar kimia -Protein Total* 75,95 | 79,16 |80,48 {81,89 -Kolagen? 68,25 | 71,24 |72,59 |73,93 -Protein terlarut 0,26 | 0,27 | 0,28 | 0,28 B. Pengembangan -setelah direbus 34,41¢ 136,48 )37,5% | 35,01) 37,236 (38,21! -setelah diungkep 27,924130,63°4 34,05° | 29,66'|32,51°)37,50° -setelah digoreng 65,32 |70,714 |78,27¢ | 69,208) 73,10' 80,226 C. Uji organoleptik -bentuk -warna 138,94] 169,6°4 236,1° | 158,2‘| 189,4! |251,4° 108,04] 166,34 252,3¢ | 144,38] 192,3' |278,6° -rasa 114,84} 158,24 |244,4° | 143,58] 182,2 |265,1° -kerenyahan 123,54] 157,64)248,1°| 159,6°| 188,6! |261,6° +» dihitung berdasarkan bahan kering «éeett>Superskrip yang sama dalam baris pada kolom stratum kulit yang sama menunjuk kan tidak berbeda nyata (P >0,05) Kadar protein total Berdasarkan statistik, kadar protein kulit yang direbus pada suhu 90°C selama 30 - 90 menit (Tabel 1) tidak berbeda baik stratum papilare 216 AGROSAINS = 13(2), Mei 2000 maupun stratum retikulare. Hasil yang diperoleh relatif lebih rendah dibandingkan kadar protein kerbau lumpur yaitu sekitar 89,60% untuk protein fibrus dan 8,63% untuk protein globular kulit kerbau lumpur jantan (Djojowidagdo, 1988). Perbedaan ini dikarenakan terhidrolisisnya protein selama proses pengapuran sehingga mematahkan struktur protein dan melarutkan sebagian protein. Kadar kolagen Kadar kolagen kulit yang direbus pada suhu 90°C selama 30 - 90 menit tidak berbeda baik stratum papilare maupun stratum retikulare. Kadar kolagen yang diperoleh lebih rendah apabila dibandingkan dengan kadar kolagen kulit kerbau hasil penelitian Nugroho (1988) yaitu sebesar 98,75%. Kadar air dan lemak yang masih tinggi di dalam kulit menyebabkan kadar hidroksiprolin menjadi turun. Kadar kolagen jaringan ditentukan dari kadar hidroksiprolin. Kadar hidroksi- prolin agar dapat dihitung secara tepat, maka air, lemak, lapisan seperti lapisan grain, epidermis, otot serabut elastis terlebih dahulu harus dihilangkan baik pada sampel maupun pada stratum retikulare, sehingga diperoleh kandungan kolagen yang diinginkan (Soeparno, 1992). Kadar protein terlarut Kadar protein terlarut kulit yang direbus selama 30 - 99 menit dan sampai menjadi kerupuk tidak berbeda baik stratum papilare maupun stratum retikulare. Kelarutan protein disebabkan kandungan kolagen menurun dan berubah bentuk menjadi gelatin selama pema- nasan dalam air pada suhu 65°C (Ruantrakool dan Chen, 1986; Swatland, 1984). Kelarutan protein yang diperoleh relatif sama dengan mening- katnya lama perebusan. Menurut Soeparno (1992) semakin tinggi temperatur pemasakan dan atau makin lama waktu pemasakan, makin besar protein yang hilang sampai mencapai tingkat yang konstan sehingga hasil yang diperoleh cukup rendah. Hal ini menunjukkan bahwa kelarutan protein lebih banyak terjadi pada saat pengapuran terutama protein globular. Menurut Lollar (1978) serabut retikular akan kehilangan sebagian nitrogen selama pengapuran, sedangkan serabut elastis dan kolagen tidak. Pengembangan kulit setelah perebusan Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama _perebusan berpenga- tuh sangat nyata terhadap pengembangan kulit dan kerupuk baik stratum retikulare maupun stratum papilare. Rerata pengembangan Lalit dan bernnnk dieaiikan nada Tahel 1 (variahel R) Bastari Sabtu et al., Kualitas Kerupuk Kulit 217 Pengembangan kulit setelah perebusan Persentase pengembangan kulit meningkat setelah perebusan. Pengembangan kulit yang direbus pada suhu 90°C selama 30, 60 dan 90 menit berbeda dan tertinggi dicapai pada perebusan 90 menit baik stratum papilare maupun stratum retikulare. Hal ini menunjukkan bahwa pada kadar kimia kulit yang sama, pengembangan kulit meningkat dengan semakin meningkatnya lama perebusan. Suhu kerut kolagen kulit akan meningkat sesuai dengan pemanasan yang semakin meningkat. Peningkatan suhu kerut menyebabkan peningkatan pengembangan kulit. Pengembangan meningkat karena tekanan osmotik air meningkat. Menurut Thornstensen (1985) apabila terjadi penurunan tekanan osmotik air, maka akan mengurangi tekanan osmotik molekul air untuk melalui membran semi permiabel sel. Proses pengkerutan tergantung dari pemecahan ikatan antar molekul sebagai fungsi temperatur (Nayudamma, 1978). Pengembangan kerupuk setelah pengungkepan Persentase pengembangan kerupuk meningkat setelah dilaku- kan_pengungkepan cara tradisonal. Kulit yang direbus pada suhu 90°C selama 90 menit menghasilkan pengembangan kerupuk yang berbeda dibanding kulit yang direbus selama 30 menit dan tertinggi dicapai pada perebusan selama 90 menit baik untuk stratum Ppapilare maupun stratum retikulare. Perebusan dalam waktu yang lama menye- babkan air yang diabsorpsi oleh molekul kolagen lebih banyak. Air yang menguap pada saat pengeringan akan digantikan oleh minyak pada saat pengungkepan. Tekanan panas minyak di dalam kulit akan menyebabkan berubahnya ikatan silang kolagen dan mengakibatkan terbentuknya gelembung udara. Pengembangan kerupuk setelah penggorengan Persentase pengembangan kerupuk meningkat setelah penggo- rengan. Pada stratum papilare yang direbus selama 30, 60 dan 90 menit menghasilkan pengembangan kerupuk yang berbeda, sedangkan pada stratum retikulare yang direbus selama 90 menit berbeda dibanding yang direbus selama 30 menit. Perbedaan kedua stratum tersebut disebabkan kurang stabilnya suhu penggorengan. Kerupuk yang dihasilkan saat penggorengan sangat ditentukan oleh kerupuk hasil pengungkepan. Panas minyak yang tinggi memberikan tekanan yang lebih besar didalamkulit dan menyebabkan semua ikatan silangnya terputus sehingga kulit akan mengembang lebih besar dibanding pada Proses pengungkepan. Menurut Asmara (1982), suhu penggorengan 218 AGROSAINS = 13(2), Mei 2000 harus tinggi agar supaya terjadi tegangan dipermukaan kerupuk dengan demikian pori-pori kulit akan tertutup sebelum udara yang tersuspensi ke dalam kulit mengalami ekspansi. Uji Organoleptik Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama perebusan berpe- ngaruh sangat nyata terhadap bentuk, warna, rasa dan kerenyahan stratum papilare maupun stratum retikulare. Reratanya disajikan pada Tabel 1 (variabel C). Bentuk kerupuk Stratum papilare yang direbus selama 90 menit menghasilkan bentuk kerupuk yang berbeda dibanding perebusan selama 30 menit, sedangkan stratum retikulare yang direbus selama 90 menit meng- hasilkan bentuk kerupuk yang berbeda dibanding perebusan selama 30dan 60 menit. Hasil tersebut menunjukkan bahwa bentuk kerupuk meningkat setelah perebusan 60 menit dan tertinggi dicapai pada perebusan 90 menit. Perebusan yang semakin lama mendorong ekspansi air dan minyak ke dalam kulit lebih merata dan apabila kerupuk digoreng akan dihasilkan pengembangan yang memiliki gelembung-gelembung udara yang kecil dan merata. Gelembung udara demikian dapat memperbaiki bentuk kerupuk. Di samping itu, tidak adanya sisa-sisa epidermis dan subkutis ikut memperbaiki kenam- pakan kerupuk. Warna kerupuk Stratum papilare yang direbus selama 90 menit menghasilkan warna kerupuk yang berbeda dibanding perebusan selama 30 menit, sedangkan warna kerupuk stratum retikulare meningkat sampai perebusan 90 menit dan menghasilkan warna kerupuk yang berbeda pada masing-masing lama perebusan. Berdasarkan hasil tersebut maka warna kerupuk meningkat setelah perebusan 60 menit untuk kedua stratum. Perebusan yang semakin lama akan meningkatkan pengem- bangan kerupuk. Pengembangan yang baik akan menghasilkan warna kerupuk putih kekuningan. Kerupuk yang bersih dari sisa kapur, lapisan epidermis, bulu dan subkutis menjadikan warna kerupuk agak keputihan. Suhu dan lama perebusan mempengaruhi warna kerupuk. Pemanasan yang lebih cepat dan terus menerus pada permukaan kulit dibanding di dalam kulit menyebabkan permukaan kulit cepat berubah warna menjadi kecoklatan. Bastari Sabtu et al., Kualitas Kerupuk Kulit 219 Rasa kerupuk Stratum papilare yang direbus selama 90 menit menghasilkan rasa kerupuk yang berbeda dibanding perebusan 30 dan 60 menit, sedangkan rasa kerupuk stratum retikulare meningkat pada perebusan 90 menit dan menghasilkan rasa kerupuk yang berbeda pada masing- masing lama perebusan. Hasil kedua stratum menunjukkan bahwa rasa kerupuk meningkat setelah perebusan 60 menit. Peningkatan lama perebusan menyebabkan pengembangan kerupuk semakin baik. Pengembangan kerupuk yang baik akan meningkatkan daya kesukaan. Kulit segar yang digunakan dapat memperbaiki rasa kerupuk karena masih terdapat sisa-sisa protein globular di dalam kulit. Komponen yang berperan dalam pembentukan rasa adalah protein globular, sedangkan protein fibrus tidak memberikan rasa pada kerupuk (Asmara, 1982). Kerenyahan kerupuk Kulit yang direbus selama 90 menit menghasilkan kerenyahan kerupuk yang berbeda dibanding perebusan selama 30 dan 60 menit baik stratum papilare maupun stratum retikulare. Hal ini menunjuk- kan bahwa kerenyahan kerupuk meningkat setelah perebusan 60 menit. Kerupuk yang dihasilkan dari perebusan kulit yang lebih lama menghasilkan pengembangan dengan gelembung-gelembung yang kecil, merata dan rapuh. Asmara (1982) menyatakan bahwa kerupuk yang mengalami pengembangan yang merata akan mempunyai struktur seperti busa. Apabila pengembangan tidak merata, maka sifat rapuh akan berkurang, karena bagian atas tidak mengalami pengem- bangan akan menjadi keras. Kesimpulan Penelitian Tahap pertama 1. Kadar protein total, kolagen dan protein terlarut kulit yang direbus selama 30 - 90 menit tidak berbeda nyata baik stratum papilare maupun stratum retikulare. 2. Pengembangan kulit dan kerupuk serta uji organoleptik meningkat dengan semakin meningkatnya lama perebusan. Rata-ratanya me- ningkat setelah kulit direbus pada suhu 90°C selama 60 menit baik stratum retikulare maupun retikulare dan rata-rata tertinggi dicapai pada perebusan 90 menit. 3. Kulit yang bersih dari lapisan epidemis, bulu, kotoran, pengunaan kulit segar, suhu dan lama penggorengan yang tidak terlalu tinggi dapat memperbaiki pengembangan, bentuk, warna, rasa dan kere- nyahan kerupuk. 220 AGROSAINS 13(2), Mei 2000 Penelitian Tahap Kedua Tabel 2. Rerata persentase kadar kimia kulit, persentase pengem- bangan kerupuk dan skor uji organoleptik untuk setiap stratum kulit pada masing-masing perlakuan lama peng- ungkepan (jam) pada suhu 120°C Stratum papilare _| Stratum retikulare Variabel 6 ‘a 8 6 iq 8 A. Kadar kimia -Protein terlarut 0,25 | 0,26] 0,26 | 0,27) 0,27 | 0,27 B. Pengembangan -setelah diungkep 32,82 |32,04 [31,02 | 35,30 |33,96 |34,54 -setelah digoreng 78,94 |78,18 |78,60 | 81,42 |80,87 |80,03 | C. Uji organoleptik -bentuk 176,1 |188,7 |153,6 | 203,5 |194,1 |195,3 -warna 190,6 |176,9 |168,1 | 203,0 |204,7 |196,7 -rasa 178,9 |166,7 |174,5 | 207,4 |210,1 |195,7 -kerenyahan 185,5 |177,6 |169,4 [2118 201,9 }190,3 Kadar Kimia Kulit Kadar protein terlarut Kadar protein terlarut selama proses yang diungkep pada suhu 120°C selama 6 - 8 jam tidak berbeda (P >0,05) baik stratum papilare maupun stratum retikulare. Kelarutan protein terlihat konstan dengan meningkatnya lama pengungkepan seperti disajikan pada Tabel 3 (variabel A).Sesuai dengan pendapat Kenney et al. (1986) bahwa peningkatantemperatur yang tinggi secara terus menerus menga- kibatkan energi panas yang ada resisten terhadap denaturasi protein karena secara termal protein menjadi lebih stabil. Pengembangan Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama pengungkepan tidak berpengaruh secara nyata terhadap pengembangan kerupuk setelah pengungkepan dan setelah penggorengan baik stratum papilare maupun stratum retikulare. Reratanya disajikan pada Tabel 3 (variabel B). 222 AGROSAINS 13(2), Mei 2000 kerupuk sudah dapat ditingkatkan pada pengungkepan selama 6 jam. Proses pembersihan bulu, lapisan epidermis yang baik menung- kinkan, kenampakan kerupuk sampai lama pengungkepan 8 jam relatif sama. Warna kerupuk yang dihasilkan berkaitan erat dengan hasil yang diperoleh dari penggorengan. Suhu penggorengan yang terlalu tinggi menyebabkan warna kerupuk menjadi kecoklatan. Keadaan jnidisebabkan permukaan kulit lebih cepat menjadi keras sedangkan gelembung yang terbentuk sudah. maksimal, sementara panas minyak yang berlangsung terus menerus mengakibatkan permukaan kulit menjadi kecoklatan. Rasa kerupuk Rasa kerupuk yang diungkep selama 6 - 8 jam tidak berbeda paik stratum papilare maupun stratum retikulare. Hal ini berarti rasa kerupuk yang dihasilkan adalah sama dan pengungkepan selama 6 jam sudah dapat meningkatkan rasa kerupuk. Rasa kerupuk ditentukan oleh pengembangan kerupuk, pengembangan yang semakin baik akan meningkatkan daya kesukaan dan sebaliknya. Kulit segar yang digunakan ikut meningkatkan daya suka, hal ini disebabkan masih tersisanya protein globular diantara gerabut kulit sehingga asa kerupuk tidak pahit seperti halnya kulit awetan. Kerenyahan kerupuk Kerenyahan kerupuk yang diungkep selama 6 - 8 jam tidak ber- beda. Walaupun tidak berbeda,namun ada kecenderungan penurunan kerenyahan kerupuk dengan semakin meningkatnya lama pengung- kepan. Pengungkepan yang semakin lama menyebabkan ada gelem- pung-gelembung yang pecah dan saat digoreng tidak mengembang, lagi. ‘Pembentukan gelembung udara diharapkan tidak begitu besar akan tetapi merata diseluruh bagian kulit, jika terbentuk satu gelembung udara dibagian tengah saja, maka dibagian luar akan terbentuk lapisan yang, tebal sehingga sifat rapuh dari kerupuk akan berkurang (Asmara, 1982). Kesimpulan Penelitian Tahap Kedua 1, Kadar protein terlarut, pengembangan kerupuk, uji organoleptik (bentuk, warna, rasa dan kerenyahan) yang diungkep pada suhu 120°C selama 6 - 8jam tidak berbeda baik stratum papilare maupun stratum retikulare. > Pengembangan, bentuk, warna, rasa dan kerenyahan kerupuk yang watanva Bastari Sabtu et al., Kualitas Kerupuk Kulit 223 3. ee yang eae dari lapisan epidermis, bulu, subkutis, kulit g digunakan, suhu dan lama penggorengan yang tidak teal tinggi ikut memperbaiki k eo sees pengembangan, bentuk, warna , rasa dan KESIMPULAN lasil penelitian tahap pertama dan kedua, dapat disimpulkan: 1. Sifat fisik, kimia dan o1 i t i rganoleptik ke i papilare sama dengan Satin oe | 2. Kualitas fisik dan or; i wulit dij ruhi oleh lama ‘ganoleptik kerupuk kullit di i Ip it dipeng: perebusan dan lama pengungkepan, yang terbaik bila direbus selama lebih dari 60 menit pad: i selama 6 jam pada suhu DOC. |. DAFTAR PUSTAKA Asmara, C.H., 1982. P wet Sisa Sortasi Pabrik , CHL, . Penggunaan Kulit i r Awet Si i Penyamakan Sebagai Bahan Dasar Pembuatan Krecek. Skripsi. Jurusan Pengolahan Hasil Pt i — ertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, UGM, a : jojowidagdo, $., 1988. Kulit Kerbau Lumpur Jantan, Sifat-Sifat da Ly ms in Karakteristiknya sebagai i Cae ya sebagai Bahan Wayang Kulit Purwa, Disertasi. UGM, Highbey ighberger, J.H., 1978. The Chemistry Structure and Macromolecular Caen : ganization of Skins Protein, Chapt. 4, Vol I. of the Chemistry and ‘Y ani Thecnology of Leathe oe ogy of Leather. Robert E. Krieger Publishing Co, Huntington, New Highb ighberger].H., 1993. Recent Advances in Knowledge of the Structure of the Collagen Fibril and i taren 6300: oa the Properties of Tropocollagen Macromolecul. Kenney, PB., R.L. Henrick /PB,RL. son, PL. Cla e ypool and B.R. Temeperature, Time and Solvent on the Solibiie oF Coeun Cole eins. J. Food Sci. 51 : 277 - 280. Soin al Lollar, RM., 1978. Criteria Whi , RM., 1978. Which Defi i fine Tannege. Chay Chemistry and Theenlogy of Leute. Lola. Rber f Krieger Publishing , Huntington, New York. ie Miller, A.T., E. Karmas a - EL and M. Fu Lu., 198 Coll ‘ 5 is 3. Age-Rel. i Ceean of ee Corium : Studies on poesetaral crete ral ize Distribution. J. Food Sci. 48 : 681 - 688. ce 224 AGROSAINS 13(2), Mei 2000 Nayudamma, ¥., 1978. Shrinkage Phenomena. Chapt. 16 Vol. I. of the Chemistry ‘und Theenology of Leather. Robert E. Krieger Publishing Co, Huntington, New York. Ningsih, D., S. Wasito., Soedjadi., Abungamar., 1981. Pembuatan Krecek/ Rambak dari Berbagai Kulit Segar dan Kulit Awet. Laporan_ penelitian. UNSOED, Purwokerto. Nugroho, THS., 1988. Kadar Hidroksiprolin dan Protein Kolagen Kulit Sapi Peranakan Ongole (PO) dan KulitKerbau Lumpur. Skips Fakultas Peternakan, Universitas. Gadjah Mada, Yogyakarta. Roddy, WT, 1978. Histology of Animal Skins. Chapt. 2, Vol.I, of the Chemistry Jad Thecnology of Leather. Robert E. Krieger Publishing Co, Huntington, New York. Samiadi.,. 1984. Teknologi Pengolahan Kulit dan Hasil Sisa Ternak. Fakultas Peternakan UNRAM, Mataram. Samiadi., Hanartani., Bulkaini., D. Kisworo dan Hakim, 1995 Analisa Gigi Kerupuk Kulit yang dibuat Secara Tradisional Di Kabupaten Lombok Barat Laporan Penelitian. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Fakultas Peternakan UNRAM. Sharphouse, J.H., 1971. Types of Hides and Skins and principle uses. Chapt. 4, Part. 1. of Leather Technician Hand Book. Leather Producers ‘Asseciation. 9 st, Thomas Street, London, SE. 1. Soeparno., 1986. Kadar Hidroksiprolin dan Kegunaannya Dalam Menentukan ‘Kolagen Pada Kulit Sapi PO. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan UGM, Yoyakarta. Soeparno., 1992. Hm dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Swatland, HJ., 1984. Structure and development of Meat Animals. Prentice- Hall Inc, Englewood Cliffs, New Yersey. Thornstensen, T.C., 1985. Practical Leather Technology. Robert E. Krieger Publishing Co, Malabar, Florida.

You might also like