Naskah Khutbah Jum

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 4

Naskah Khutbah Jumat:

MORAL IDEAL SEORANG PEMIMPIN


Oleh: Mohamad Kholil, S.S., M.S.I.
(Disampaikan di Masjid Jami Al-Ikhlash Dukuhjeruk Kec. Karangampel Kab. Indramayu, 02 Mei 2014)

Khutbah Pertama:






,

,


, .
.

Hadirin sidang Jumat rahimakumulllah,
Beberapa minggu yang lalu, tepatnya pada tanggal 9 April 2014, segenap rakyat dan bangsa Indonesia
telah melaksanakan suksesi Pemilihan Umum untuk memilih para wakil rakyat (anggota legislatif) yang
akan duduk di Parlemen, baik di tingkat Pusat, Propinsi, maupun di tingkat Kabupaten/Kota Madya,
termasuk memilih mereka yang akan menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
mewakili daerahnya masing-masing. Setelah itu, beberapa minggu ke depan, insya Allah pada tanggal
9 Juli 2014, kita akan kembali melaksanakan suksesi kepemimpinan nasional untuk memilih Presiden
dan Wakil Presiden untuk periode 5 tahun mendatang. Tentunya menjadi harapan kita bersama, bahwa
siapapun yang terpilih, entah di wilayah legislatif maupun eksekutif, termasuk juga yudikatif; baik di
tingkat Pusat maupun di Daerah, adalah orang yang benar-benar amanah dan memiliki jiwa sebagai
negarawan, bukan hanya sekedar politisi. Karena antara negarawan dan politisi adalah 2 hal yang
berbeda. Sebagaimana dikemukakan oleh James Freeman Clarke (1810-1888), penulis dan pakar
teologi asal Amerika, bahwa seorang negarawan lebih berpikir tentang bagaimana nasib generasi
mendatang, sementara politisi hanya berpikir bagaimana memenangkan pemilu yang akan datang. Di
atas itu semua, hal yang sesungguhnya paling penting adalah, semoga pemilu demi pemilu yang telah
dan akan selalu kita laksanakan, jangan sampai menjadi pemicu perpecahan dan rusaknya tatanan
persatuan dan persaudaraan di tengah-tengah masyarakat. Seperti diungkapkan oleh KH. Mustofa
Bisri/Gus Mus (Rois Am Syuriyah PBNU) beberapa minggu lalu dalam nasehatnya kepada Pengurus
Besar Nahdhatul Ulama (PBNU), bahwa kita harus lebih berpikir tentang pentingnya jamiyah
(kebersamaan/persatuan) ketimbang hanya memikirkan kepentingan jamaah (kelompok).

Kaum Muslimin yang berbahagia,


Diskursus atau wacana pemikiran seputar pemimpin dan kepemimpinan di era modern, sejak
penghujung abad yang lalu hingga sekarang telah banyak mencuat kembali ke permukaan. Sedikitnya
hal ini disebabkan oleh 2 (dua) faktor. Pertama, banyak pemimpin dalam berbagai bidang dan
tingkatan terlibat masalah pelanggaran moral. Kedua, sebagaimana dikemukakan banyak orang,
mungkin karena usia dunia kita yang semakin menua, sehingga seolah-olah tak kuasa lagi melahirkan
pemimpin-pemimpin besar (great leader) dan berintegritas seperti pada masa-masa silam. Kenyataan
ini juga pernah dikritisi oleh Jeremie Kubicek, seorang pakar teori kepemimpinan dari London, Inggris,
melalui bukunya yang kontroversial (2011), berjudul: Leadership is Dead (Kepemimpinan Telah Mati).
Ia nyatakan dalam bukunya tersebut, bahwa pemimpin sekarang lebih banyak menuntut (getting),
bukan memberi (giving); lebih banyak menikmati, ketimbang melayani; dan lebih banyak mengumbar
janji, dari pada memberi bukti. Hal ini tentunya sangat bertentangan dengan makna dan hakikat
kepemimpinan itu sendiri, sebagaimana diterangkan oleh Syaikh al-Khathib al-Baghdadiy dalam
kitabnya Tarikhu Baghdad (10/187): bahwa diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, Nabi SAW pernah
bersabda:


Seorang pemimpin adalah pelayan bagi masyarakat atau orang yang dipimpinnya. (Penjelasan
serupa juga diterangkan dalam kitab Syarh az-Zarqani dan kitab al-Mawahib al-Laddunniyyah karya
al-Qasthalaniy, dengan keterangan bahwa kualitas sanad hadits tersebut adalah dhaif/lemah).

Hadirin sekalian hadaniyallahu wa iyyakum,


Secara lebih jauh, dalam kajian al-Fiqh as-Siyasi (Fiqih Politik Islam), aspek moral yang seharusnya
menjadi dasar sekaligus tujuan dari setiap kebijakan dan tindakan seorang pemimpin adalah
kemaslahatan masyarakat. Sebagaimana dinyatakan dalam salah satu kaidah kulliyyah (norma
hukum universal):






(bahwa tindakan atau kebijakan pemimpin atas rakyatnya, terikat oleh kepentingan dan kemaslahatan
rakyat yang dipimpinnya). Tegasnya, setiap prilaku dan kebijakan pemimpin wajib diorientasikan untuk
kemashlahatan bangsa dan masyarakat, bukan kemashlahatan diri dan kelompoknya semata.
Senada dengan makna kaidah di atas, Imam as-Syafii rahimahullahu taala juga menyatakan (dalam
Dr. Dhiyauddin al-Husaini, Majalah ar-Ra-id, 01/06/2013):
.


Posisi (tanggungjawab) seorang pemimpin atas rakyatnya adalah sebagaimana posisi (tanggungjawab)
orang yang diberi amanat memelihara anak-anak yatim.

Hadirin sidang Jumat yang dimuliakan Allah,


Kaidah di atas sesungguhnya diturunkan dari moral kepemimpinan Rasulullah SAW sebagaimana
disebutkan dalam al-Quran. Firman Allah SWT dalam QS. at-Taubah [9]: 128 menyatakan :





Sungguh telah datang kepada kalian seorang Rasul dari kalangan kalian sendiri; begitu berat
dirasakan olehnya penderitaan kalian; ia sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagi
kalian; dan ia amat mengasihi dan menyayangi orang-orang mukmin.

Berdasarkan ayat di atas, ada 3 sikap moral kepemimpinan Rasulullah SAW yang perlu dicermati dan
diteladani oleh setiap pemimpin. Pertama, azizun alaihi ma anittum (artinya, amat berat dirasakan oleh
Nabi apa yang menjadi beban penderitaan umat yang dipimpinnya). Dalam istilah modern, sikap ini
disebut sense of crisis, yaitu rasa peka atas kesulitan rakyat yang ditunjukkan dengan kemampuan
berempati dan simpati kepada pihak-pihak yang kurang beruntung. Secara kejiwaan, empati berarti
kemampuan memahami dan merasakan kesulitan orang lain. Rasa empati pada gilirannya akan
mendorong lahirnya sikap simpati, yaitu ketulusan memberi bantuan, baik moral maupun material,
untuk meringankan penderitaan orang yang mengalami kesulitan.
Kedua, harishun `alaikum (artinya, Nabi sangat mendambakan agar umat yang dipimpinnya aman dan
sentosa). Dalam istilah modern, sikap ini disebut sense of achievement, yaitu semangat dan
perjuangan yang sungguh-sungguh, agar seluruh masyarakat yang dipimpinannya dapat meraih
kemajuan dan kemakmuran.
Ketiga, raufun rahim (artinya, sikap mengasihi dan menyayangi). Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang. Demikian pula Rasulullah SAW, juga merupakan manusia yang
sangat pengasih dan penyayang. Maka sudah seharusnya bagi setiap mukmin, terutama mereka yang
dipercaya menjadi pemimpin, meneruskan kasih sayang Allah dan Rasul-Nya itu dengan cara
mencintai dan mengasihi orang lain, khususnya masyarakat yang dipimpinnya. Karena kasih sayang
(rahmat) adalah pangkal dari segala kebaikan. Tanpa kasih sayang, sangat sulit dibayangkan
seseorang bisa berbuat baik. Dalam hal ini, Imam al-Hafizh Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah at-
Turmudzi, atau yang lebih dikenal dengan nama Imam at-Turmudzi, seorang ulama besar ahli hadits,
murid dari Imam al-Bukhari dan Imam Muslim, di dalam kitab kumpulan haditsnya yang berjudul Sunan
at-Turmudzi, ia meriwayatkan sebuah hadits dari Abdullah ibnu Umar RA, bahwa Rasulullah SAW
bersabda:
...
...

Kasih sayangilah orang-orang yang di bumi, maka yang di langit akan mengasihimu.

Kaum Muslimin yang dirahmati Allah,


Seorang mujaddid (ulama pembaharu) abad modern, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha (penulis kitab
tafsir al-Manar, murid dari Syaikh Muhammad Abduh, sekaligus pengembang pemikiran Syaikh
Jamaluddin al-Afghani yang sangat terkenal dengan pertanyaannya yang monumental: limaadza ta-
akhara al-muslimuun wa taqaddama ghairuhum (mengapa kaum muslim begitu terbelakang,
sedangkan umat lain sedemikian maju?), ia menegaskan: bahwa ketiga sikap moral di atas WAJIB
hukumnya bagi seorang pemimpin. Karena tanpa ketiga sikap moral tersebut, seorang pemimpin bisa
dipastikan tidak akan bekerja untuk kepentingan rakyatnya, melainkan hanya untuk kepentingan dirinya
sendiri, keluarga, dan kelompoknya semata. Semoga Allah SWT menganugerahkan kepada kita para
pemimpin yang amanah, yang betul-betul memahami hakikat tugas dan kewajibannnya sebagai
khaadimul ummah (pelayan masyarakat), dan mereka tentunya akan dimintai pertanggungjawaban di
hadapan Allah SWT kelak di akhirat. Amin Yaa Rabbal Alamin. [ ]

) ,
, ,


.(

Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, semuanya
enggan untuk memikul amanat itu lantaran mereka khawatir akan berbuat khianat, lalu dipikullah
amanat itu oleh manusia, sesungguhnya manusia itu amat dzalim lagi bodoh. (QS. al-Ahzab [33] : 72).

,
.
,

.
Khutbah Kedua:
. ,
,
, .
, , . ,
,

.
,

.
,

. ,


.

.

. !
,
,
. ,

You might also like