Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 276

Peningkatan Kemampuan Menulis Matematika melaalui Model

Pembelajaran Think Talk Write(TTW) pada Materi Turunan

Abdul Aziz Hidayat1), Hery Sutarto, Kartono


Universitas Negeri Semarang
Email: 1)abdulaziz.hidayat@yahoo.co.id

Abstract
The purpose of this study are: (i) To determine whether the ability to write mathematics
students who are taught to the think-talk-write models better than students taught with
conventional learning, (ii) To determine whether the learning model of think-talk-write the
student is able to deliver achieve completeness minmal classical in mathematical writing
skills, (iii) To determine whether there is influence the ability to write mathematics on
mathematics learning achievement. The population in this study is a class XI IPA student of
SMAN Banyumas semester academic year 2011/2012 consisting of 4 classes. This research
sampled are XI IPA 1 as experiments class and XI IPA 4 as control class, sampling with
random sampling technique. Experimental class were learning think-talk-write, while the
control classes were given conventional learning. The results showed that the average
writing skills math class experiment is better than the control class, thoroughness classical
experimental class greater than or equal to a minimum standard classical thoroughness,
ability to write mathematical influence on mathematics learning achievement. The
conclusions are obtained based on the results of research are: (i) The ability to write
mathematics students who are taught to think of learning models-talk-write better than
students taught with conventional learning, (ii) The ability to write mathematics students who
are taught to think of learning-talk models -write to achieve the minimal classical
completeness, (iii) The ability to write mathematics influence mathematics learning
achievement.

Keywords: Think Talk Write, Writing Math Ability.

Pendahuluan
Belajar matematika berbeda dengan belajar bidang studi lain yang bisa dipelajari
dengan hanya menghafal. Dalam mempelajari matematika selain dibutuhkan hafalan
juga diperlukan pemahaman, ketelitian, dan latihan-latihan secara teratur. Matematika
diajarkan bukan hanya untuk mengetahui dan memahami apa yang terkandung dalam
matematika itu sendiri. Mempelajari matematika adalah berkaitan dengan mempelajari
ide-ide atau konsep-konsep yang bersifat abstrak. Untuk mempelajarinya digunakan simbol-
simbol agar ide-ide atau konsep-konsep tersebut dapat dikomunikasikan.
Salah satu materi matematika yang banyak digunakan pada disiplin ilmu yang lain
adalah turunan. Turunan merupakan materi baru yang di dapat siswa di kelas XI. Materi
turunan belum pernah diajarkan pada jenjang pendidikan sebelumnya. Materi ini diajarkan
pada kelas XI di semester genap.
Berdasarkan hasil wawancara dengan guru mata pelajaran matematika kelas XI IPA
dan studi pendahuluan di SMA Negeri Banyumas, menunjukkan bahwa tingkat ketuntasan
belajar untuk materi turunan dari tahun ke tahun tidak lebih dari 50%. Materi turunan dirasa
sebagai materi yang paling susah bagi sebagian besar siswa kelas XI IPA di SMAN
Banyumas. Banyak siswa yang mengerjakan soal matematika tidak runtut langkahnya dan
penjelasannya tidak jelas, ini menunjukkan bahwa kemampuan menulis matematika secara
umum masih rendah. Rendahnya kemampuan menulis matematika diduga menjadi penyebab
rendahnya tingkat ketuntasan belajar untuk materi turunan dari tahun ke tahun.

1
Pengungkapan pikiran atau gagasan matematis akan mudah disampaikan dengan
menggunakan bahasa matematis. Menurut Baroody, sebagaimana dikutip oleh Aryani (2010:
1), menyatakan bahwa ada dua buah alasan mengapa matematika merupakan sebagai alat
komunikasi yaitu: (1) mathematics as a language, dan (2) mathematics learning as social
activity. Sebagai bahasa, matematika tidak sekedar sebagai alat berfikir, alat untuk
menemukan pola, atau menyelesaikan masalah tetapi matematika juga digunakan sebagai alat
untuk menyampaikan berbagai macam ide secara jelas, ringkas, dan tepat. Alasan yang
kedua, mathematics learning as social activity, yakni matematika sebagai aktivitas sosial.
Dalam pembelajaran matematika, interaksi antar siswa, seperti komunikasi guru-siswa
merupakan bagian penting untuk memelihara potensi matematis siswa. Menulis matematika
merupakan salah satu aspek dalam komunikasi matematis yang perlu dikembangkan dalam
pembelajaran matematika. Hal ini dikarenakan, melalui aktivitas menulis proses belajar siswa
dapat dilihat lebih nyata, ide-ide atau gagasan siswa dapat didokumentasikan dalam file, dan
tulisan siswa dapat dijadikan alat evaluasi.
Pembelajaran matematika yang menekankan pada kegiatan menulis matematis dapat
digunakan sebagai sarana untuk melatih siswa dalam mengungkapkan gagasan matematis
secara tertulis. Siswa yang memiliki kemampuan menulis matematis diharapkan mampu
mengungkapkan gagasan-gagasan matematis kepada orang lain dengan jelas, tepat dan
ringkas. Menulis dapat digunakan sebagai sarana untuk membantu memudahkan siswa
mengaitkan pengetahuan yang dimiliki dengan pengetahuan baru yang sedang dipelajari.
Oleh karena itu pembelajaran matematika di sekolah diharapkan dapat mendorong
meningkatkan kemampuan menulis matematis siswa.
Salah satu model pembelajaran matematika yang diduga dapat meningkatkan
kemampuan menulis matematika adalah model pembelajaran think-talk-write (TTW). Model
pembelajaran ini diawali dengan bagaimana siswa memikirkan ide-ide dari apa yang telah
dibaca (tahap think). Kemudian apa yang telah dibangun dalam pemikiran siswa didiskusikan
untuk merefleksikan ide-ide yang telah disepakati (tahap talk). Dan akhirnya siswa
menuliskan rangkuman hasil diskusi dengan bahasa mereka sendiri (tahap write). Keterkaitan
model pembelajaran think-talk-write dengan kemampuan menulis matematika dapat dilihat
dari aktivitas siswa pada fase write.
Masalah dalam penelitian ini adalah : (1) Apakah kemampuan menulis matematika
siswa yang diajar dengan model pembelajaran think-talk-write lebih baik dibanding siswa
yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional, (2) Apakah model pembelajaran think-
talk-write mampu menghantarkan siswa mencapai ketuntasan minimal klasikal dalam
kemampuan menulis matematika, dan (3) Apakah ada pengaruh kemampuan menulis
matematika terhadap prestasi belajar matematika.
Tujuan penelitian ini adalah: (1) Untuk mengetahui apakah kemampuan menulis
matematika siswa yang diajar dengan model think-talk-write lebih baik dibanding siswa yang
diajar dengan pembelajaran konvensional, (2) Untuk mengetahui apakah model pembelajaran
think-talk-write mampu menghantarkan siswa mencapai ketuntasan minmal klasikal dalam
kemampuan menulis matematika, (3) Untuk mengetahui apakah ada pengaruh kemampuan
menulis matematika terhadap prestasi belajar matematika.

Metode
Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimen dengan menggunakan desain
penelitian pre-experimental design yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan
model pembelajaran thin-talk-write terhadap kemampuan menulis matematika. Desain yang
digunakan dalam penelitian ini adalah intact-group-comparison. Pada desain ini terdapat satu
kelompok yang digunakan untuk penelitian, tetapi dibagi dua, yaitu setengah kelompok untuk

2
eksperimen dan setengah untuk kelompok kontrol (Sugiyono, 2010: 111). Paradigma
penelitiannya dapat digambarkan sebagai berikut.

Tabel 1. Desain Penelitian


Perlakuan Kelompok
(X) Sampel
(O)
Pengajaran dengan model pembelajaran think-talk O1
write
Pengajaran dengan pembelajaran konvensional O2

Setengah kelompok pertama dinamakan kelas eksperimen (O1), sedangkan setengah


kelompok kedua dinamakan kelas kontrol (O2) . Pada kelas eksperimen diberi perlakuan (X)
pengajaran dengan model pembelajaran think-talk-write, sedangkan pada kelas kontrol diberi
perlakuan pengajaran dengan model pembelajaran konvensional. Selanjutnya dilakukan tes
kemampuan menulis matematika dan tes prestasi belajar matematika pada kelas eksperimen,
sedangkan kelas kontrol hanya dilakukan tes kemampuan menulis matematika.
Penelitian ini dilaksanakan di SMAN Banyumas pada bulan Maret sampai Mei 2012.
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA SMAN Banyumas semester genap
tahun ajaran 2011/2012. Dari hasil analisis varians satua arah nilai matematika Ulangan
Akhir Semester ganjil menunjukan bahwa tidak ada perbedaan rata-rata nilai UAS
matematika antara kelas XI IPA 1, XI IPA 2, XI IPA 3, dan XI IPA 4. Hal ini menunjukkan
tiap kelas mempunyai kondisi awal yang sama. Karena tiap kelas anggota populasi
mempunyai kondisi awal yang sama maka pengambilan sampel dilakukan dengan teknik
simple random sampling. Dalam simple random sampling diambil 2 kelas yaitu 1 kelas
sebagai kelas kontrol yang akan dikenai model pembelajaran konvensional dan 1 kelas
sebagai kelas eksperimen yang akan dikenai model pembelajaran think-talk-write. Kelas XI
IPA 1 sebagai kelas eksperimen, kelas XI IPA 4 sebagai kelas kontrol dan kelas XI IPA 3
sebagai kelas uji coba instrumen penelitian. Data dikumpulkan dengan cara mengadakan tes
kemampuan menulis matematika dan tes prestasi belajar matematika di kelas kontrol, serta
tes kemampuan menulis matematika pada kelas eksperimen. Tes dilaksanakan di akhir
pembelajaran.
Uji kesamaan rata-rata menggunakan uji t. Kriteria pengujiannya adalah rata-rata
kemampuan menulis matematika siswa yang mengikuti pembelajaran think-talk-write tidak
lebih baik daripada rata-rata kemampuan menulis matematika siswa yang mengikuti
pembelajaran konvensional jika dengan peluang , dan
taraf nyata (Sudjana, 2002: 243).
Seorang siswa dikatakan tuntas jika telah nilainya lebih besar sama dengan 75, rata-
rata kelas dikatakan tuntas jika 85% siswa telah tuntas.

Hasil
Analisis Deskriptif
Hasil analisis deskriptif kemampuan menulis matematika materi turunan setelah
diberi perlakuan pada kelas eksperimen dengan model pembelajaran think-talk-write dan
pada kelas kontrol dengan model pembelajaran konvensional dapat dilihat pada tabel 2.

3
Tabel 2. Analisis Deskriptif Data Kemampuan Menulis Matematika
Statistik Kelas
No. Deskriptif Eksperimen Kelas Kontrol
1 Nilai Tertinggi 100 97
2 Nilai Terendah 48 55
3 Rata-rata 90,42 82,29
4 Standar Deviasi 12,01 9,98

Untuk analisis deskriptif per aspek kemampuan menulis matematika pada kelas
eksperimen dan kelas kontrol dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Analisis Deskriptif Per Aspek Kemampuan Menulis Matematika


Kelas Eksperimen Kelas Kontrol
Statistik
No Deskriptif Written Mathematical Drawing Written Mathematical Drawing
Text Expression Text Expression
1 Nilai Tertinggi 100 100 100 100 100 100
2 Nilai Terendah 55 55 35 65 65 35
3 Rata-rata 93,39 93,39 84,68 87,65 87,35 72,06
4 Standar Deviasi 11,13 11,13 16,78 7,90 8,37 16,10

Uji Kesamaan Rata-rata Kemampuan Menulis Matematika


Dengan menggunakan SPSS diperoleh , dengan
, maka ditolak. Jadi rata-rata kemampuan menulis matematika kelas eksperimen
lebih baik daripada kelas kontrol. Untuk daerah penerimaan dan penolakan pada kurva
distribusi t beserta titik kritis yang dimaksud dapat dilihat pada gambar 1. berikut.

Daerah penerimaan H0
1,67 2,97

Gambar 1. Kurva Uji Kesamaan Dua Rata-rata

Uji Proporsi Ketuntasan Kemampuan Menulis Matematika


Berdasarkan nilai tes akhir kelas eksperimen, banyaknya siswa yang mendapat nilai
lebih dari atau sama dengan 75 sebanyak 27 siswa dari 31 siswa. Ini menunjukkan bahwa
proporsi siswa yang tuntas sebesar 87,1 % , melebihi standar minimal ketuntasan klasikal
sebesar 85 %. Jadi untuk kelas eksperimen telah mencapai ketuntasan klasikal minimal.

Analisis Regresi Linier Sederhana


Menurut perhitungan menggunakan SPSS 16 seperti pada tabel 4.3, menunjukan
bahwa (taraf signifikansi). Maka dalam hal ini ditolak, jadi
dapat disimpulkan bahwa koefisien arah regresi berarti. Ini berarti kemampuan menulis
matematika mempengaruhi prestasi belajar matematika.

4
Tabel 4. Hasil Analisis Uji Keberartian Regresi Linier Sederhana

Persamaan regresi linier sederhana yang diperoleh menggunakan perhitungan SPSS


16 seperti pada tabel 4.4 adalah : , variabel X menyatakan

kemampuan menulis matematika dan variabel menyatakan prestasi belajar matematika.

Tabel 4.4 Koefisien Regresi Linier Sederhana

Jika (kemampuan menulis matematika tidak ada), maka diperoleh nilai


kecenderungan prestasi belajar sebesar . Artinya nilai tidak hanya dipengaruhi oleh
variabel . Dari persamaan regresi yang diperoleh juga menunjukkan bahwa rata-rata prestasi
belajar matematika siswa diperkirakan meningkat/menurun sebesar 0,404 untuk peningkatan
nilai kemampuan menulis matematika.

Pembahasan
Pada saat awal penelitian, terlihat bahwa secara umum kemampuan menulis
matematika siswa masih rendah. Ini dibuktikan dengan salah satu contoh pekerjaan siswa
pada gambar 3. berikut.

Gambar 3. Contoh Pekerjaan Siswa Di Awal Penelitian

5
Pekerjaan ini menunjukkan bahwa kalimat matematika dan perhitungan tidak semua
diselesaikan dengan benar dan penjelasan yang ditulis kurang jelas. Adapun siswa yang
menuliskan perkerjaan seperti ini tidak hanya satu orang tetapi hampir sebagian besar siswa.
Dari pekerjaan ini menggambarkan bahwa kemampuan menulis matematika secara umum
masih rendah.
Setelah diberi perlakuan model pembelajaran think-talk-write, secara umum
kemampuan menulis matematika siswa telah meningkat. Adapun salah satu contoh pekerjaan
siswa di akhir penelitian dapat dilihat pada gambar 4. berikut.

Gambar 4. Contoh Pekerjaan Siswa Di Akhir Penelitian

Pekerjaan ini memperlihatkan bahwa dalam mengerjakan soal siswa telah menuliskan
penjelasan yang logis dan benar, kalimat matematis yang dibuat dan perhitungan dengan
benar tanpa kesalahan serta untuk memperjelas diberi gambar secara lengkap. Di akhir
penelitian hampir sebagian besar siswa menuliskan pekerjaan seperti contoh pada gambar 4.
Hal ini menunjukkan bahwa secara umum kemampuan menulis matematika siswa di akhir
penelitian telah meningkat.

6
Berdasarkan analisis deskriptif terhadap aspek-aspek kemampuan menulis
matematika pada kelas eksperimen meliputi aspek written texts, mathematical expression,
dan drawing, menunjukkan bahwa ketiga aspek tersebut secara umum hasilnya memuaskan.
Namun aspek drawing memiliki rata-rata paling rendah dibanding aspek written texts dan
mathematical expression. Oleh sebab itu dalam pembelajaran perlu adanya penekanan
terhadap aspek drawing.
Melalui model pembelajaran think-talk-write, siswa bekerja sama dengan teman
sekelompoknya untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan dalam Lembar Aktivitas
Siswa. Melalui tugas-tugas yang diberikan dalam Lembar Aktivitas Siswa, siswa akan terlatih
untuk mengembangkan kreativitas mereka dalam menyelesikan masalah-masalah matematis.
Selain itu, melalui aktivitas pada pembelajaran think-talk-write, siswa menjadi terbiasa
bepikir, berdiskusi dan menuliskan hasil diskusinya bersama teman mereka dalam satu
kelompok, sehingga kemampuan menulis matematis mereka meningkat. Dengan adanya
aktivitas diskusi dalam kelompok, siswa tidak merasa jenuh sehingga termotivasi untuk
terlibat aktif dalam pembelajaran.
Pada kelas kontrol yang pembelajarannya menggunakan metode konvensional,
peranan lebih aktif dimainkan oleh guru yang lebih banyak memainkan aktivitas
dibandingkan siswa. Keaktifan siswa dalam proses pembelajaran berkurang karena metode
ini merupakan kegiatan mengajar yang terpusat pada guru. Guru aktif memberikan penjelasan
terperinci tentang materi, mengelola dan mempersiapkan bahan ajar, kemudian
menyampaikan kepada siswa. Sebaliknya siswa berperan pasif tanpa banyak melakukan
kegiatan. Seringkali siswa yang pandai merasa mampu menyelesaikan tugasnya sendiri, siswa
yang kurang pandai hanya menyalin pekerjaan siswa yang lebih pandai serta adanya rasa
takut untuk mengeluarkan pendapat. Hal ini membuat guru kesulitan untuk mengetahui siswa
mana yang kurang mampu menyerap materi pelajaran yang diberikan.
Selama pelaksanaan penelitian, terkadang ada saja kendala yang tidak diduga
sebelumnya baik terhadap siswa maupun peneliti itu sendiri. Sehingga waktu yang sudah
dijadwalkan sebelumnya, tidak dapat terlaksana sesuai rencana, oleh sebab itu peneliti harus
mencari waktu penggantinya. Ketika dalam satu pertemuan banyak siswa yang belum begitu
menguasai materi, maka peneliti mengulang kembali pembahasan materi tersebut pada
pertemuan selanjutnya. Kemudian dari pihak siswa, terkadang ada beberapa siswa yang harus
mengikuti kegiatan lain, sehingga terpaksa tidak mengikuti pemebelajaran matematika.
Selain hal-hal yang telah dijelaskan diatas, peneliti menyadari dengan ukuran kelas
yang besar akan merepotkan guru dalam melaksanakan pembelajaran think-talk-write
terutama dalam hal kontrol, pembibingan dan pengarahan terhadap peserta didik.
Pembelajaran yang dilaksanakan pada kelompok kontrol kurang dapat memotivasi siswa
untuk meningkatkan minat dalam pembelajaran. Dengan demikian perlu adanya penelitian
lanjutan yang dapat mengembangkan penelitian ini.

Penutup
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat diambil simpulan sebagai
berikut: 1) Kemampuan menulis matematika siswa yang diajar dengan model pembelajaran
think-talk-write lebih baik dibanding siswa yang diajar dengan pembelajaran konvensional;
2) Kemampuan menulis matematika siswa yang diajar dengan model pembelajaran think-
talk-write dapat mencapai ketuntasan minimal klasikal; 3) Kemampuan menulis matematika
berpengaruh terhadap prestasi belajar matematika.

7
Daftar Pustaka

Ansari, B.I. 2003. Menumbuhkembangkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi


Matematik Siswa SMU melalui Strategi Think-Talk-Write. Disertasi. Bandung. PPS
Universitas Pendidikan Indonesia.
Aryani, K. 2010. Peningkatan Kemampuan Menulis dan Pemahaman Konsep Matematis
Melalui Pembelajaran dengan Strategi Writing From a Prompt dan Writing in
Performance pada Siswa SMP. Tesis. Bandung. PPS Universitas Pendidikan Indonesia.
Sudjana. 2005. Metoda Statistika. Bandung. Tarsito.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.
Bandung. Alfabeta.

8
Pengembangan Asessment Matematika Online Berbasis Proprofs
di SMA Walisongo Semarang

Achmad Buchori, Ali Shodiqin


Prodi Pendidikan Matematika IKIP PGRI Semarang
e-mail: achmadbuchori@ikippgrismg.ac.id

Abstrak
Achmad Buchori Ali Shodiqin (2012). Pengembangan Asessment Matematika Online
Berbasis ProProfs di SMA Walisongo Semarang.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh media Asessment matematika online yang valid
untuk belajar mandiri siswa pada mata pelajaran matematika. Populasi dalam dalam
penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X semester 2 SMA Walisongo Semarang.
Penelitian ini adalah penelitian pengembangan. Dalam penelitian pengembangan media
assessment online ini dilakukan dengan 4 (empat) tahap yaitu (a) Analisis pendahuluan, (b)
Perancangan, (c) Evaluasi, (d) Revisi. Pengolahan data dengan menggunakan teknik analisis
data deskriptif kualitatif. Sesuai hasil angket tentang pengembangan media assessment online
di peroleh hasil angket tentang pengembangan media online diperoleh kelas eksperimen 1
mempunyai minat belajar sedang dengan skor 87,33, kelas eksperimen 2 mempunyai minat
belajar sedang dengan skor 85,25, dan kelas kontrol mempunyai minat belajar cukup dengan
skor 66,73. Artinya pembelajaran assessment cukup menarik minat belajar siswa. Sedangkan
dari analisi hasil belajar dengan uji satu pihak dan dua pihak diperoleh rata-rata hasil belajar
yang cukup signifikan antara kelas eksperimen dan kelas kontrol
Dari hasil tersebut diperoleh media Asessment matematika online yang valid untuk belajar
mandiri siswa pada mata pelajaran matematika sesuai teori perkembangan Akker dan hasil
belajar siswa.

Kata kunci: Media matematika online,Assessment, Proprofs, Teori perkembangan Akker.

Pendahuluan
Dalam perkembangan dunia pendidikan sekarang ini, pendidik dituntut untuk mampu
mengemas pembelajaran yang menarik dan efisien. Sesuai dengan Visi pendidikan nasional
yaitu mewujudkan sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk
memberdayakan semua warga negara Indonesia agar berkembang menjadi manusia yang
berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah
(Sisdiknas:2003). Ketika zaman selalu berubah maka kita sebagai pendidik harus mampu
mengikuti perkembangan zaman. Salah satunya adalah mampu membelajarkan siswa dengan
pembelajaran online berbasis internet.
Kondisi pembelajaran Matematika di SMA Walisongo Semarang sudah di lengkapi
seperangkat komputer dan internet, akan tetapi belum digunakan untuk pembelajaran online.
Dalam pembelajaran online ada bagian yang sangat penting yaitu asessment online. dalam
Tsauri : 2009 dijelaskan bahwa penilaian yang dilakukan secara online, dapat
menggambarkan keadaan yang senyata-nyatanya. Bagaimana siswa berpikir tentang sesuatu,
dan aktifitasnya dalam kebiasaannya online activity, kehadiran facebook dan twitter
merupakan sebuah konsekuensi seorang guru untuk lebih profesional dan merangkul siswa
secara personal.
Dalam perkembangan asessment online telah hadir proprofs.com yang senantiasa
memberikan kemudahan dalam promosi di bidang ekonomi, pendidikan dan bidang lainnya.
Masih sangat sedikit sekolah-sekolah di semarang yang menggunakan web ini dalam
pembelajaran matematika, padahal di Amerika Serikat dan Canada sangat popular untuk
digunakan dalam proses pembelajaran dan assessment online. Selain mudah penggunaannya

9
proprofs memiliki banyak keunggulan diantaranya: 1). Mampu mengatasi kendala ruang dan
waktu karena bisa dikerjakan dimana saja dan kapan saja. 2). Mampu mengetahui hasil
pekerjaan siswa secara online melalui menu progress and report. 3). Secara online siswa
mampu mencetak hasil pekerjaannya berupa sertifikat. Berdasarkan uraian diatas, maka
peneliti mengambil judul Pengembangan Asessment Matematika Online berbasis ProProfs
di SMA Walisongo Semarang..
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan penelitian adalah:
1. Bagaimana mengembangkan asessment matematika online yang valid untuk belajar
mandiri siswa?
2. Bagaimana sikap dan motivasi siswa terhadap penggunaan assessment online berbasis
proprofs?
3. Bagaimana hasil belajar siswa dalam pembelajaran online berbasis proprofs?
Dari permasalahan yang telah dirumuskan, maka penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mampu mengembangkan asessment matematika online yang valid untuk belajar mandiri
siswa.
2. Untuk mengetahui sikap dan motivasi siswa terhadap penggunaan assessment online
berbasis proprofs.
3. Untuk mengetahui hasil belajar siswa dalam pembelajaran online berbasis proprofs.
Hasil penelitian ini ini diharapkan bermanfaat untuk :
1. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), sehingga dengan dikembangkannya
assessment online sehingga dapat memberikan kontribusi pada dunia pendidikan.
2. Proses pembelajaran, sehingga kegiatan belajar mengajar dapat menjadi menarik dan
menyenangkan dengan adanya asessment online.
3. Sekolah, sehingga dapat memaksimalkan fungsi laboratorium komputer, khususnya
komputer yang telah terhubung dengan internet dalam memfasilitasi mahasiswa lebih
belajar mandiri
Metode
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian pengembangan dengan menggunakan teknik
analisis data deskriptif kualitatif.
2. Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah media pembelajaran assessment online yang
dikembangkan pada pembelajaran matematika yang meliputi isi (content) dan
sistematika penyajiannya.
3. Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X SMA Walisongo Semarang
dengan responden 3 kelas yang ada.
4. Prosedur Penelitian Pengembangan
Adapun langkah-langkahnya yaitu sebagai berikut :
1) Tahap Analisis Pendahuluan
2) Tahap Perancangan
3) Tahap Evaluasi
4) Tahap Revisi

10
Bagian Perancangan

Revisi Bagian
Kedua Penilaian

Revisi
Bagian Versi
Pendahuluan Akhir

Pertama

Gambar 2. Diagram Penelitian Pengembangan

5. Teknik Pengumpulan Data


Angket
Pada umumnya tujuan penggunaan angket atau kuesioner dalam proses pembelajaran
terutama adalah untuk memperoleh data mengenai latar belakang siswa sebagai salah
satu bahan dalam menganalisis tingkah laku dan proses belajar mereka. Angket sering
digunakan untuk menilai hasil belajar ranah afektif. Ia dapat berupa bentuk kuesioner
bentuk pilihan ganda dan dapat pula berbentuk skala sikap. (Sudijono, 2005)
Observasi
Pada penelitian ini, observasi digunakan untuk mengumpulkan data mengenai tingkat
motivasi siswa dalam mempelajari secara mandiri materi pembelajaran pada media
website berbasis blogspot proprofs. Observasi terhadap subjek penelitian dilakukan
selama proses pembelajaran.
Tes Hasil Belajar
Bruce (dalam Djaali dan Muljono, 2004), mengatakan tes dapat digunakan untuk
mengukur banyaknya pengetahuan yang diperoleh individu dari suatu bahan pelajaran
yang terbatas pada tingkat tertentu. Pada penelitian ini, data tes diperoleh dari latihan
soal, tugas pekerjaan rumah, dan tes yang diberikan pada akhir pembelajaran.
6. Teknik Analisis Data
Analisis Data Angket
Pada penelitian ini, untuk mengukur sikap mahasiswa digunakan angket tertutup yang
dianalisis menggunakan skala Linkert. Dalam skala Linkert, pernyataan-pernyataan yang
diajukan, baik pernyataan positif maupun negatif dinilai oleh responden dengan sangat
setuju, setuju, tidak punya pendapat (netral), tidak setuju, dan sangat tidak setuju.
Pada penelitian ini, motivasi siswa diukur menggunakan angket tertutup pilihan ganda
yang datanya dianalisis per butir pertanyaan. Hasil angket tersebut dirangkum dalam
suatu tabel dan dideskripsikan secara persentase ( Nasoetion, 2007). Pada pertanyaan
yang sifatnya terbuka, maka dianalisis dan disimpulkan secara umum.
Analisis Hasil Belajar
Data tes yang diperoleh dari hasil jawaban latihan soal, tugas pekerjaan rumah, dan tes
diolah untuk menghasilkan nilai akhir yang kemudian dianalisis untuk mengetahui

11
kategori hasil belajar mahasiswa. Nilai akhir tersebut diperoleh dengan jalan
menjumlahkan nilai tugas pekerjaan rumah(T), nilai latihan (L), dan nilai tes/ujian (U),
yang masing-masing diberi bobot 20, 30, dan 50, lalu dibagi 100. jika dituangkan dalam
bentuk rumus, yaitu sebagai berikut :

NA = (20(T)+ 30(L)+ 50(U))/100


Keterangan:
NA = Nilai akhir L = Nilai Latihan
T = Nilai Tugas Pekerjaan Rumah U = Nilai Tes/ Ujian
(Modifikasi dari Sudijono, 2005)

Tabel 1. Kategori Hasil Belajar siswa


Nilai Akhir Siswa Kategori
80 100 Baik Sekali
66 79 Baik
56 65 Cukup
40 55 Kurang
30 39 Gagal
(Arikunto, 1991)
Hasil
Pengembangan assessment matematika online yang valid untuk belajar mandiri siswa.
Dalam penelitian pengembangan asessment matematika online kelas X semester 2
SMA Walisongo Semarang , sesuai dengan teori perkembangan Akker (1999) ada 4 (empat)
tahap yaitu:
1. Tahap Analisis Pendahuluan
Pada tahap ini, peneliti telah melakukan analisis materi ruang dimensi tiga yang
disesuaikan dengan kompetensi dasarnya yang disesuaikan dengan kurikulum KTSP,
mengobservasi kondisi laboratorium computer yang dijadikan sebagai tempat penelitian,
dan mempersiapkan prosedur kerjasama dengan BPTIK IKIP PGRI Semarang untuk
mendukung terlaksananya penelitian ini.
2. Tahap Perancangan
Pada tahap ini, peneliti telah melakukan perancangan dan pengembangan assessment
online pada materi ruang dimensi tiga. Adapun langkah-langkah penyampaian materi
pembelajarannya adalah sebagai berikut : informasi materi disertai animasi, pemberian
contoh soal, latihan soal, dan kunci jawaban yang dibuat dengan powerpoint i-spring ,
camtasia studio dan ditekankan pada tes online berbasis proprofs kemudian di upload di
web buchorimath.blogspot.com. materi tersebut diujicobakan, terlebih dahulu materi pada
media tersebut telah divalidasi sesuai dengan lembar validasi yang diisi oleh dosen
pembimbing, pertimbangan dari dosen pengampu mata kuliah komputasi, dan tenaga ahli
(expert review) di bidang desain pembelajaran online yang di wakili oleh Ir. Agung
handayanto, M.Kom sebagai kepala BPTIK IKIP PGRI Semarang dan Febrian Murti
Dewanto, M.Kom sebagai dosen komputasi Prodi Pendidikan Matematika. Setelah
direvisi sebanyak 2 kali oleh validator diperoleh hasil yang cukup baik dilihat dari segi
tampilan dan content (isi) media tes online telah memenuhi syarat untuk di gunakan
sebagai media pembelajaran matematika.

12
Gambar 1
3. Tahap Evaluasi
Pada tahap ini, peneliti telah melakukan pengujian terhadap materi pembelajaran yang
telah dikembangkan pada media tes online dengan cara melakukan kegiatan pembelajaran
di Laboratorium komputer yang mana siswa berinteraksi langsung dengan komputer.
Kemudian, peneliti mengobservasi kegiatan mereka selama proses pembelajaran. Pada
akhir pertemuan, peneliti melakukan evaluasi kepada siswa untuk mengetahui sejauh
mana mereka dapat memahami pelajaran yang disampaikan menggunakan media tes
online berbasis proprofs, dan siswa diberikan angket untuk mengetahui sikap mereka
terhadap pembelajaran matematika yang menggunakan media tersebut.
4. Tahap Revisi
Pada tahap ini, peneliti telah menganalisis hasil evaluasi yang telah dilakukan untuk
dijadikan dasar dalam merevisi materi maupun media pembelajaran. Hasil dari tahap ini
dianggap sebagai hasil akhir yang praktis dan valid sebagai media pembelajaran.

Sikap dan motivasi siswa terhadap pembelajaran matematika secara online.


Hasil angket tentang implementasi media asessment online.
Hasil analisis dengan Uji t Satu Pihak model pembelajaran online dengan blogspot proprofs
dan dengan model pembelajaran konvensional tes pilihan ganda.
Tabel 2.

Soal Dk thitung ttabel


Pilihan Ganda 66 5,637 1,6689
Dari tabel diatas dapat nilai thitung = 5,637 dan ttabel = 1,6689, berdasarkan kriteria pengujian
bahwa Ho diterima jika nilai t < t1- ternyata diperoleh 5,637 > 1,6689. Maka Ho ditolak
kesimpulannya hasil belajar siswa yang mendapat pembelajaran menggunakan model
pembelajaran online dengan blogspot proprofs lebih baik jika dibandingkan dengan hasil
belajar siswa yang mendapat pembelajaran menggunakan model pembelajaran konvensional

13
Hasil analisis Uji t Satu Pihak model pembelajaran online dengan wordpress proprofs
dengan model pembelajaran konvensional tes pilihan ganda.
Tabel 3.

Soal Dk thitung ttabel


Pilihan 67
3,087 1,6679
Ganda

ternyata diperoleh thitung > ttabel yaitu 3,087 > 1,6679. Maka Ho ditolak kesimpulannya
hasil belajar siswa yang mendapat pembelajaran menggunakan model pembelajaran online
dengan wordpress proprofs lebih baik jika dibandingkan dengan hasil belajar siswa yang
mendapat pembelajaran menggunakan model pembelajaran konvensional pada tes pilihan
ganda.

Hasil analisis Uji-t dua pihak model pembelajaran online dengan blogspot proprofs dan
model pembelajaran online dengan wordpress proprofs tes pilihan ganda..

Tabel 4.
Soal Dk thitung ttabel Sig.
Pilihan Ganda 67 2,148 1,9965 0,036

ternyata diperoleh 2,148 > 1,9965, Maka Ho ditolak kesimpulannya terdapat perbedaan
antara hasil belajar siswa yang mendapat pembelajaran menggunakan model pembelajaran
online dengan blogspot proprofs dan hasil belajar siswa yang mendapat pembelajaran
menggunakan model pembelajaran online dengan wordpress proprofs pada tes pilihan ganda.

Penutup
Simpulan
Dari penelitian pengembangan asessment matematika online selama kurang lebih 1(satu)
semester ini, di dapatkan 3 hal meliputi:
1. Diperoleh media assessment matematika online yang valid untuk belajar mandiri siswa
pada materi ruang dimensi tiga sesuai teori perkembangan Akker.
2. Sesuai hasil angket tentang pengembangan media online diperoleh kelas eksperimen 1
mempunyai minat belajar sedang dengan skor 87,33, kelas eksperimen 2 mempunyai
minat belajar sedang dengan skor 85,25, dan kelas kontrol mempunyai minat belajar
cukup dengan skor 66,73. Artinya pembelajaran assessment cukup menarik minat belajar
siswa.
3. Diperoleh rata-rata hasil belajar yang cukup signifikan antara kelas eksperimen dan kelas
kontrol.
Saran
1. Perlu segera dilakukan penelitian lanjutan tentang penggunaan media assessment online
di semua jenjang pendidikan agar menghasilkan media yang lebih baik.
2. Sebaiknya perlu di kembangkan media assessment offline sesuai dengan tuntutan
perkembangan zaman..

14
Daftar Pustaka

Alias, M.; Black. T, R..; dan Gray, D. E. (2002). Effect of Instruction on Spatial Visualization
Ability in Civil Engineering Students, International Education Journal Vol. 3, No. 1,
2002 tersedia: http://iej.cjb.net diakses tgl. 15 Agustus 2012
Azwar, S. (2008). Penyusunan Skala Psikologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Arikunto, S. 1991. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Bumi Aksara, Jakarta.
Arsyad, A. 2003. Media Pembelajaran. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Heinich 2009. Instructional Media and Technologies forLearning with proprofs. Prentice-
Hall, Inc. Upper Saddle River, New Jersey.
Kemdikbud.2012 tentang undang-undang system pendidikan nasional 2005
Nasoetion, N. 2007. Evaluasi Pembelajaran Matematika. Jakarta : Universitas Terbuka.
Nemeth, B. (2007). Measurement of the Development of Spatial Ability by Mental Cutting
Test. Annales Mathematicae et Informaticae 34 pp. 123-128 tersedia:
http://www.ektf.hu/tanszek/matematika/ami. diakses tgl. 15 Juli 2012
Tsauri. 2009. E-learning Berbasis Web sebagai Bahan Belajar Mandiri.
(http://heritl.blogspot.com/2007/07/e-learning-berbasis-web-sebagai-bahan.html
diakses tanggal 07 Agustus 2012).
Sudijono. 2009. Evaluasi Pembelajaran Matematika SMA. Bumi Aksara, Jakarta

15
Keefektifan Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning
Berbantuan Media Mathematics Postcard Terhadap Hasil Belajar
Matematika Peserta Didik Kelas VII

Adib Mahfudli, Kristina Wijayanti, Hery Sutarto


Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Semarang
e-mail: azoel_3005@yahoo.com

Abstract
The studentss difficulty learning, especially in triangle subject matter resulting in low
student learning outcomes. Play Learn and Fun which used in MTs Negeri Jeketro math
class VII tends to cause a commotion so that the results obtained less than optimal learning
and learning is not achieved exhaustiveness. Then a experiment was conducted with CTL
learning model and Mathematics Postcard as media. This experiment aims to determine
whether the results of study of class experiment achieve exhaustiveness classical and find out
whether the results of experiment class better than control class. Population of this
experiment is all students class VII MTs Negeri Jeketro counted 148 students. With cluster
random sampling technic takes two classes as samples. The data collection techniques
performed through the documentation and test. The results showed that the completeness
learn classical of experiment class is 86.05%. Analysis of test data showing the proportion of
exhaustiveness classical experimental class 80%. Similarity of the two test results obtained
on average study of students who were taught using CTL models with Mathematics Postcard
as media are better than the results of study of students learning Learn to Play and Fun with
Students Paper Work.

Keywords: CTL; Learn Play and Fun; Learning Outcomes; Mathematics Postcard..

Pendahuluan
Untuk memaksimalkan hasil belajar peserta didik, guru harus bisa menyesuaikan
proses pembelajaran dengan tingkat kemampuan berfikir peserta didik karena di tiap jenjang
pendidikan, kemampuan berfikir matematika peserta didik juga berbeda. Kemampuan
berfikir Matematika difokuskan pada pemahaman konsep, penalaran dan komunikasi, serta
kemampuan pemecahan masalah peserta didik. Henningsen dan Stein (Sumarmo, 2000)
mengkategorikan kemampuan tersebut pada high-level mathematical thinking and reasoning.
Beberapa aspek berfikir Matematika tingkat tinggi adalah pemecahan masalah matematik,
komunikasi matematik, penalaran matematik, dan koneksi matematik (NCTM, 2000). Aspek-
aspek ini sama dengan kemampuan-kemampuan yang dikembangkan sebagai indikator hasil
belajar peserta didik dalam KTSP yang diterapkan pada pembelajaran Matematika di
Indonesia.
Ada beberapa faktor yang berkaitan dengan rendahnya hasil belajar peserta didik, yang
paling utama adalah rendahnya minat peserta didik untuk mengikuti pelajaran dengan baik
dan bersungguh-sungguh (Tatik, 1997). Faktor lain yang berpengaruh adalah cara mengajar
guru yang tidak tepat. Pemilihan model dan metode pembelajaran yang tidak tepat membuat
materi pembelajaran sulit dimengerti oleh peserta didik. Selain itu sarana dan prasarana
pendukung juga ikut berpengaruh terhadap rendahnya hasil belajar peserta didik. Hasil
belajar sebagai tujuan pembelajaran sangat tergantung pada proses pembelajaran sesuai
pemilihan model pembelajaran yang dipilih guru itu sendiri.
Salah satu model pembelajaran yang menuntut keaktifan peserta didik adalah model
pembelajaran Conextual Teaching and Learning (CTL). Model pembelajaran CTL adalah
model pembelajaran yang menghubungkan pengetahuan peserta didik dengan kehidupan

16
sehari-hari peserta didik. Memberikan contoh dan ilustrasi dengan berbagai benda konkrit
yang sering dijumpai peserta didik bisa menimbulkan pemahaman yang lebih baik, terlebih
untuk peserta didik usia SMP, karena menurut Piaget (dalam Suparno, 2001) pada usia
tersebut (8-11 tahun) mereka masih berada dalam tahap pemikiran operasi konkrit.
Dalam KTSP, penggunaan media pembelajaran pada model pembelajaran CTL
sangatlah penting terutama dalam menyajikan model abstrak pada materi yang akan
disampaikan (modelling). Modelling juga tepat dipakai untuk peserta didik pada tahap
pemikiran operasi konkrit karena dapat membantu mengilustrasikan informasi yang abstrak.
Menurut Supriatna (2009) sebagai media pembelajaran, poster tidak saja penting untuk
menyampaikan pesan atau kesan tertentu akan tetapi mampu pula untuk mempengaruhi dan
memotivasi tingkah laku orang yang melihatnya. Mathematics Postcard merupakan media
pembelajaran yang berbentuk kartu pos dengan desain gambar poster yang menarik sehingga
dapat mempengaruhi dan memotivasi tingkah laku peserta didik dalam pembelajaran.
Kesulitan belajar yang dialami peserta didik di MTs Negeri jeketro terutama pada
materi Geometri materi pokok Segitiga adalah pada pengerjaan soal-soal Segitiga yang
dihubungkan dengan materi lain. Untuk mengatasi masalah ini, Mathematics Postcard
sebagai media pembelajaran yang didesain dengan soal-soal dari kombinasi materi Segitiga
dan materi Matematika lainnya adalah alternatif yang tepat dan dengan model pembelajaran
Contextual Teaching and Learning diharapkan hasil belajar peserta didik dapat mencapai
ketuntasan.
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah (1) apakah dengan model pembelajaran
Contextual Teaching and Learning berbantuan media Mathematics Postcard, hasil belajar
peserta didik dapat mencapai ketuntasan belajar klasikal?, (2) apakah hasil belajar peserta
didik yang diajar menggunakan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning
berbantuan media Mathematics Postcard lebih baik dari hasil belajar peserta didik yang diajar
menggunakan model pembeajaran Learn, Play and Fun berbantuan Lembar Kerja Siswa?.
Tujuan penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui ketuntasan belajar klasikal model
pembelajaran Contextual Teaching and Learning berbantuan media Mathematics Postcard,
(2) untuk mengetahui hasil belajar yang lebih baik antara model pembelajaran Contextual
Teaching and Learning berbantuan media Mathematics Postcard dan model pembelajaran
Learn Play and Fun berbantuan Lembar Kerja Siswa.

Metode
Desain atau jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen. Populasi pada penelitian
ini adalah peserta didik kelas VII MTs Negeri Jeketro sebanyak 148 peserta didik. Teknik
pengambilan sampel yang digunakan adalah cluster random sampling. Sampel penelitian
yang diambil yaitu peserta didik kelas VIID dengan 43 peserta didik sebagai kelas
eksperimen dengan pembelajaran CTL berbantuan Mathmatics Postcard dan kelas VIIC
dengan 44 peserta didik sebagai kelas kontrol dengan pembelajaran Learn Play and Fun.
Teknik pengambilan data dilakukan menggunakan metode dokumentasi dan tes.
Dokumentasi dilakukan dengan mengambil nilai UTS Matematika semester genap kelas VII
MTs Ngeri Jeketro tahun ajaran 2011/ 2012 sebagai data awal penelitian. Sedangkan tes
dilakukan pada kelas sampel setelah dilakukan pembelajaran.
Dari hasil analisis data awal diperoleh kesimpulan bahwa populasi tersebut normal dan
memiliki varians yang sama. Uji kesamaan dua rata-rata menunjukkan bahwa kelas
eksperimen dan kelas kontrol yang dipilih memiliki keadaan awal yang sama.
Tes dilakukan setelah kegiatan pembelajaran. Tes tersebut berupa soal uraian yang
sebelumnya telah diujikan pada kelas uji coba. Dari 20 soal uraian yang diujikan, dipilih 14
soal yang memenuhi kriteria sebagai soal tes. Kriteria tersebut tersebut meliputi validitas
butir soal, reliabilitas tes, taraf kesukaran butir soal, dan daya pembeda butir soal.

17
Hasil
Data hasil belajar yang diperoleh disajikan pada tabel berikut.
Tabel 1. Data Hasil Belajar Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
Banyaknya Banyaknya Siswa Persentase Nilai Rata-
Kelas
Peserta Tes yang Tuntas Ketuntasan rata
Eksperimen 43 37 86,05% 76,3
Kontrol 43 36 83,72% 71,7
Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan uji statistik. Hasil perhitungan uji statistik
disajikan dalam bentuk tabel berikut ini.
Tabel 2. Uji Statistik dan Persentase Ketuntasan Belajar
Nilai
Uji Statistik Eksperimen Kontrol Hasil
Tabel
Normalitas 3,97 1,36 7,81 Normal
Homogenitas 1,88 3,84 Homogen
Uji Ketuntasan
0,991 0,609 1,644 Tuntas
Klasikal
Uji Perbedaan Eksperimen lebih baik
2,205 1,988
Rata-rata daripada kontrol.

Dari data di atas diperoleh bahwa pada kelas eksperimen terdapat 37 dari 43 peserta didik
atau sekitar 86,05% tuntas belajar. Sedang pada kelas kontrol terdapat 36 dari 43 peserta
didik atau sekitar 83,72% tuntas belajar. Uji ketuntasan klasikal menunjukkan bahwa
z hitung ztabel sehingga disimpulkan banyaknya peserta didik kelompok sampel yang
mencapai ketuntasan belajar lebih dari atau sama dengan 80% atau dengan kata lain
ketuntasan belajar klasikal tercapai.
Berdasarkan hasil analisis statistik uji kesamaan dua rata-rata satu pihak diperoleh
bahwa hasil belajar matematika peserta didik yang diajar menggunakan model pembelajaran
Contextual Teaching and Learning berbantuan media Mathematics Postcard lebih baik dari
hasil belajar peserta didik yang diajar menggunakan model pembelajaran Learn Play and Fun
berbantuan Lembar Kerja Siswa karena . Hal ini juga dapat dilihat dari rata-rata hasil belajar
kelas eksperimen yang mencapai 76,3 lebih baik dari rata-rata hasil belajar kelas kontrol yang
hanya 71,7.
Penyebab adanya perbedaan rata-rata hasil belajar peserta didik pada kelas eksperimen
dan kelas kontrol adalah dikarenakan pemberian perlakuan yang berbeda pada kedua kelas
tersebut. Pada kelas eksperimen dikenakan model pembelajaran Contextual Teaching and
Learning berbantuan media Mathematics Postcard, sedangkan kelas kontrol menggunakan
pembelajaran Learn Play and Fun berbantuan media Lembar Kerja Siswa. Kegiatan
pembelajaran yang dilakukan pada kelas eksperimen dan kelas kontrol sebanyak tiga kali
pembelajaran/ tatap muka.
Pembelajaran kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah
konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi
dunia nyata peserta didik dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota
keluarga dan masyarakat (Suprijono, 2010). Menurut Dirjen Dikdasmen (2002) menyebutkan
pendekatan CTL memiliki tujuh komponen utama yaitu : (1) konstruktivisme
(Constructivism), (2) menemukan (Inquiry), (3) bertanya (Questioning), (4) masyarakat
belajar (Learning Community), (5) pemodelan (modelling), (6) refleksi (Reflection) dan (7)
penilaian yang sebenarnya (authentic assessment). Ketujuh komponen pembelajaran

18
contextual tersebut mendorong peserta didik pada kelas eksperimen untuk lebih aktif, kreatif
dan berani dalam mengikuti pembelajaran matematika. Peserta didik dituntut aktif
bekerjasama dalam berdiskusi sehingga mendorong peserta didik untuk bersemangat dan giat
beajar dan memperoleh prestasi yang lebih baik. Kegiatan tanya jawab dalam kelompok juga
dapat memberikan kesempatan bagi peserta didik yang kurang memahami pelajaran untuk
belajar lebih baik. Kegiatan diskusi kelompok pada tiap pertemuan di kelas eksperimen pun
mengalami peningkatan dari pertemuan pertama hingga pertemuan terakhir.
Materi yang dibahas pada pertemuan pertama pada kelas eksperimen adalah pengertian
segitiga, jenis-jenis segitiga dan sifat-sifat segitiga. Pada awal pembelajaran, guru
menampikan beberapa gambar model segitiga kontekstual mealui slide pada LCD. Setelah
memberikan sedikit penjelasan, guru membagi peserta didik menjadi kelompok-kelompok
kecil dan membagikan Mathematics Postcard. Mathematics Postcard dikerjakan secara
berkelompok dengan cara berdiskusi. Guru mengontrol dan mengawasi jalannya diskusi serta
memberikan penjelasan kepada kelompok yang mengalami kesulitan. Setelah itu, tiap-tiap
kelompok mempresentasikan jawabannya yang diwakili satu anggota. Dalam menuliskan
jawaban Mathematics Postcard di depan kelas, alur berfikir peserta didik terlihat kurang
sistematis. Urutan langkah mulai diketahui, ditanya dan jawab belum tersusun rapi dan masih
banyak yang terlewatkan sehingga pada pertemuan ini, guru menegaskan langkah-langkah
yang baik dalam menyelesaikan soal-soal matematika. Selain itu, kegiatan tanya jawab baik
antar peserta didik maupun dengan guru juga belum berjalan maksimal karena masih sedikit
yang berani bertanya dan mengungkapkan pendapat.
Secara umum pertemuan pertama ini pembelajaran belum berjalan secara maksimal
karena guru belum bisa mengorganisasikan waktu dengan baik dan peserta didik belum
terbiasa dengan model pembelajaran tersebut. Hal ini dimungkinkan karena peserta didik
belum terbiasa dengan guru yang baru dan pembelajaran Contekstual Teaching and Learning
(CTL) berbantuan Mathematics Postcard juga tergolong baru bagi peserta didik di MTs
Negeri Jeketro. Pembelajaran yang baru bagi guru dan peserta didik ini memerlukan waktu
untuk penyesuaian.
Pertemuan kedua kelas eksperimen membahas materi tentang keliling segitiga dan
penggunaannya dalam pemecahan masalah. Pada pertemuan kedua ini pembelajaran berjalan
lebih baik dari pertemuan pertama. Peserta didik mulai bisa menyesuaikan dalam
pembelajaran. Peserta didik mulai aktif dalam berdiskusi dan bertanya jawab. Hal ini terlihat
saat peserta didik mengerjakan Mathematics Postcard. Kegiatan diskusi lebih aktif dan
peserta didik mulai berani bertanya dengan teman di kelompoknya maupun dengan guru.
Presentasi yang dilakukan di depan kelas oleh tiap-tiapkelompok yang semula masih
kaku dan canggung sekarang sudah mulai membaik. Motivasi dari guru dan teman-teman
membuat rasa malu peserta didik selama presentasi dapat berkurang. Beberapa kelompok
sudah mampu menyampaikan hasil diskusi dengan baik meskipun terkesan sekedar
membaca. Alur berfikir dalam menuliskan jawaban juga sudah lebih baik dari pertemuan
sebelumnya.
Pertemuan ketiga kelas eksperimen membahas tentang luas daerah segitiga dan
penggunaannya dalam pemecahan masalah. Berdasarkan pengamatan guru, pembelajaran
pada pertemuan ini berjalan tertib dan sesuai dengan harapan. Peserta didik dan guru sudah
bisa bertanggung jawab dengan tugas masing-masing. Kegiatan diskusi dan presentasi
berjalan semakin lancar. Tiap kelompok berani mengungkapkan pendapat dan berani
menanggapi jika ada kesalahan atau kekurangan. Sistematika penulisan jawaban tiap
kelompok dalam menyelesaikan soal Mathematics Postcard yang diberikan sudah jauh lebih
baik. Pada pertemuan ini, guru dapat mengorganisasikan waktu dan mengendalikan kelas
dengan baik.

19
Pada tiap pertemuan di kelas eksperimen, peserta didik diberi kebebasan dalam
menyelesaikan soal untuk mengkonstruksi dan membuat pemodelan sendiri sehingga ada
perbedaan jawaban tiap kelompok. Perbedaan tersebut meliputi variabel yang digunakan dan
urutan langkah pengerjaan soal. Dari tiap pertemuan, penguasaan guru dalam mengorganisasi
waktu pembelajaran semakin baik. Hal ini dimungkinkan karena guru sudah mulai terbiasa
dengan suasana kelas.
Permasalahan kontekstual yang ada pada Mathematics Postcard dan desain gambar
poster yang menarik memberikan motivasi dan semangat tersendiri bagi peserta didik dalam
pembelajaran. Soal yang terkesan sulit, namun dalam pengerjaannya ternyata mudah setelah
diberikan contoh dan penjelasan guru membuat peserta didik berfikir kreatif dalam
menyelesaikan soal dan menyadari bahwa matematika bukanlah ilmu yang sulit. Antusiasme
peserta didik dalam mengerjakan Mathematics Postcard semakin baik pula.
Pembelajaran pada kelas kontrol dilakukan menggunakan model pembelajaran yang
biasa dipakai guru matematika di MTs Negeri Jeketro, yaitu pembelajaran Learn Play and
Fun berbantuan media Lembar Kerja Siswa. Materi yang disampaikan tidak berbeda dengan
pembelajaran di kelas eksperimen.
Materi yang dibahas pada pertemuan pertama adalah pengertian segitiga, jenis-jenis
segitiga dan sifat-sifat segitiga. Pada pertemuan ini, ada sedikit hambatan dalam hal
komunikasi baik antar peserta didik maupun dengan guru karena peserta didik masih merasa
asing. Pada saat guru menjelaskan materi, peserta didik kurang antusias menyimak dan
banyak yang tidak memperhatikan. Peserta didik ramai saat guru menunjuk peserta didik lain
untuk mengerjakan soal menggunakan pesawat kertas. Soal yang diberikan juga belum bisa
diselesaikan dengan baik. Peserta didik cenderung pasif dan tidak mau bertanya atas kesulitan
yang dialami dan hanya bergantung pada penjelasan guru. Kebiasaan seperti ini perlu
dihilangkan sedikit demi sedikit agar peserta didik bisa mandiri dalam belajar serta lebih
kreatif dan tidak bergantung kepada guru. Perhatian peserta didik baru tertuju ke depan saat
pemutaran video lucu untuk keperluan refreshing sesuai model pembelajaran yang diterapkan
dan keadaan kelas terkesan ramai dengan tawa peserta didik dan cenderung gaduh. Setelah itu
guru membagikan LKS dan dikerjakan secara individu lalu dibahas bersama-sama.
Pertemuan kedua kelas kontrol membahas materi tentang keliling segitiga dan
penggunaannya dalam pemecahan masalah. Pada pertemuan ini, pembelajaran berjalan
sedikit lebih baik. Peserta didik mau bertanya dan menanggapi setiap soal yang diberikan
oleh guru. Alur berfikir peserta didik dalam meyelesaikan soal juga sudah sistematis. Akan
tetapi peserta didik mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah
sehingga guru harus menjelaskan materi berulang kali dan alokasi waktu pembelajaran
berjalan kurang sesuai harapan. Alokasi pemutaran video pun terpaksa dikurangi durasinya
guna pengerjakan LKS dan peserta didik terlihat sedikit kecewa.
Pertemuan ketiga kelas kontrol membahas tentang luas daerah segitiga dan
penggunaannya dalam pemecahan masalah. Pada pertemuan ini, pembelajaran dilaksanakan
seperti biasa sesuai langkah-langkah dalam pembelajaran Learn Play and Fun. Tiap materi
yang disampaikan guru diperhatikan peserta didik dengan hikmat. Interaksi dan komunikasi
antar peserta didik dalam menanggapi dan menyanggah soal yang diberikan guru sudah
terjalin dengan baik. Alokasi waktu refreshing dengan pemutaran video sesuai jadwal yaitu
durasi 2 hingga 3 menit sehingga peserta didik tampak tertawa dan tersenyum dengan lega.
Peserta didik mengerjakan LKS dengan tenang dan percaya diri.
Perbedaan perlakuan yang diberikan pada kelas eksperimen dan kelas kontrol
dijabarkan sebagai berikut. Pembelajaran Contekstual Teaching and Learning yang
diterapkan pada kelas eksperimen lebih menekankan pada keaktifan peserta didik, sedang
guru hanya sebagai fasilitator dan motivator, yakni menyediakan sarana belajar berupa
Mathematics Postcard dengan desain yang menarik dan gambar yang sesuai kehidupan

20
sehari-hari peserta didik. Kerja sama peserta didik pada kelas eksperimen terlihat jelas saat
peserta didik mengerjakan Mathematics Postcard secara berkelompok. Tiap peserta didik
saling bertukar pikiran untuk dapat menyelesaikan soal pada Mathematics Postcard tersebut.
Kepercayaan diri dari masing-masing kelompok juga terlihat saat guru menunjuk salah satu
kelompok untuk mempresentasikan jawabannya di depan kelas. Pada kelas kontrol, kerja
sama kurang terlihat karena tiap peserta didik harus mengerjakan Lembar Kerja Siswa secara
individu.
Pada kelas eksperimen peserta didik tampak antusias dengan disajikan gambar-gambar
model segitiga yang kontekstual dan menarik. Guru memberi contoh materi segitiga
menggunakan gambar yang sesuai kehidupan sehari-hari peserta didik sehingga pemahaman
materi dapat lebih melekat pada ingatan peserta didik. Sedangkan pada kelas kontrol, peserta
didik lebih antusias saat guru menunjuk peserta didik mengerjakan soal dengan cara
menerbangkan pesawat kertas dan saat pemutaran film animasi yang menghibur sehingga
ketertarikan peserta didik pada materi pembelajaran itu sendiri masih kurang.
Perlakuan dan tingkah laku yang terjadi selama pembelajaran di kelas eksperimen dan
kelas kontrol yang berbeda mengakibatkan pengelolaan alokasi waktu pembelajaran juga
berbeda. Perbedaan respon yang diberikan peserta didik dari masing-masing kelas juga
mengakibatkan perbedaan lamanya peserta didik memahami materi yang sama. Kelas
eksperimen lebih antusias dalam kegiatan diskusi, sedangkan kelas kontrol lebih antusian
dalam menonton video. Perbedaan-perbedaan inilah yang mengakibatkan adanya perbedaan
hasil belajar antara kedua kelas tersebut. Pada penelitian ini diperoleh simpulan bahwa rata-
rata hasil belajar kelas eksperimen yang dikenai model pembelajaran Contextual Teaching
and Learning berbantuan Mathematics Postcard lebih baik daripada rata-rata hasil belajar
kelas kontrol yang dikenai pembelajaran Learn Play and Fun berbantuan media Lembar
Kerja Siswa.

Penutup
Berdasarkan hasil dan pembahasan, diperoleh simpulan bahwa (1) dengan model
pembelajaran Contextual Teaching and Learning berbantuan media Mathematics Postcard,
hasil belajar peserta didik dapat mencapai ketuntasan belajar klasikal. Dalam hal ini sebanyak
86,05% peserta didik yang diajar menggunakan model pembelajaran Contextual Teaching
and Learning berbantuan media Mathematics Postcard tuntas belajar, (2) hasil belajar
matematika peserta didik yang diajar menggunakan model pembelajaran Contextual
Teaching and Learning berbantuan media Mathematics Postcard lebih baik dari hasil belajar
peserta didik yang diajar menggunakan model pembelajaran Learn Play and Fun berbantuan
Lembar Kerja Siswa. Hal ini dapat dilihat dari uji kesamaan dua rata-rata dan dari rata-rata
hasil belajar peserta didik yang menerapkan model pembelajaran Contextual Teaching and
Learning berbantuan Mathematics Postcard yang mencapai 76,3 lebih baik dari rata-rata
hasil belajar peserta didik yang menerapkan pebelajaran Learn Play and Fun berbantuan
Lembar Kerja Siswa yang hanya 71,7.
Kesimpulan secara umum (general) bahwa pembelajaran dengan model pembelajaran
Contextual Teaching and Learning berbantuan Mathematics Postcard lebih efektif dari
model pembelajaran pembelajaran Learn Play and Fun berbantuan media Lembar Kerja
Siswa untuk pembelajaran materi segitiga terhadap hasil belajar peserta didik kelas VII MTs
Negeri Jeketro tahun pelajaran 2011/ 2012. Jadi sebaiknya guru mencoba menerapkan model
pembelajaran ini dalam kegiatan pembelajaran terutama pada materi pokok segitiga.
.

21
Daftar Pustaka

Dirjen Dikdasmen. 2002. Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning).


Jakarta :Depdiknas.
Supriatna, Dadang. 2009. Pengenalan Media Pembelajaran. Tersedia di
http://www.tkplb.org/documents/etraining-media%20 pembelajaran/2. Pengenalan_
Media_ Pembelajaran.pdf. [diakses 25-5- 2011].
Suprijono, Agus. 2010. Cooperative Learning : Teori & Aplikasi PAIKEM. Yogyakarta:
Pustaka Belajar

22
Pembelajaran dengan Media Software Mathematica melalui Pendekatan
Open-Ended dalam Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan
Pemahaman Kalkulus

Ali Shodiqin, Noviana Dini Rahmawati


Program Studi Pendidikan Matematika FPMIPA IKIP PGRI SEMARANG
Jl. Sidodadi Timur Nomor 24 Dr. Cipto Semarang

Abstrak
Permasalahan yang muncul dalam penelitian ini adalah Bagaimana pelaksanakan proses
pembelajaran dengan media software mathematica melalui pendekatan Open-Ended dapat
meningkatkan kemampuan penalaran dan pemahaman Kalkulus, adakah peningkatan
penalaran dan pemahaman konsep dan adakah peningkatan prestasi belajar mahasiswa
dengan diterapkannya media software mathematica melalui pendekatan Open-Ended.
Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa jurusan pendidikan matematika IKIP PGRI
Semarang tahun ajaran 2011/2012. Sedangkan subjek penelitian ini adalah seluruh
mahasiswa kelas IH pendidikan matematika IKIP PGRI Semarang tahun ajaran 2011/2012
dengan jumlah mahasiswa 41 orang. Pemilihan dan penentuan subyek penelitian ini diambil
dengan teknik sampel bertujuan (purposive sampling).
Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang dilakukan melalui proses
kerja kolaborasi antara dosen matematika dan peneliti. PTK ini bersifat praktis, situasional,
dan kondisional berdasarkan permasalahan yang muncul dalam pembelajaran di kampus.
Prosedur penelitian ini dosen matematika dan peneliti dilibatkan dengan langkah-langkah
sebagai berikut: (1) dialog awal, (2) Perencanaan Tindakan, (3) Pelaksanaan Tindakan, (4)
Observasi dan Monitoring, (5) Refleksi, (6) Evaluasi, (7) Penyimpulan.
Dari hasil penelitian dapat disimpukan bahwa penelitian memberikan implikasi bahwa
penggunaan media software mathematica melalui pendekatan Open-Ended dapat
meningkatkan penalaran dan pemahaman konsep belajar matematika mahasiswa khususnya
pada mata kuliah Kalkulus. Penalaran dan pemahaman konsep Kalkulus dalam pembelajaran
matematika meningkat pada setiap putarannya setelah diberi tindakan. Pembelajaran
matematika dengan menggunakan media software mathematica melalui pendekatan Open-
Ended terbukti dapat meningkatkan penalaran dan pemahaman konsep belajar mahasiswa.
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi dosen untuk meningkatkan
penalaran dan pemahaman konsep dalam pembelajaran matematika. Peneliti berikutnya dapat
melakukan penelitian yang serupa dengan penelitian ini tetapi dalam cakupan materi tertentu
dan menggunakan metode tertentu.

Kata Kunci: Open-Ended, Software Mathematica, Penalaran, Pemahaman.

Pendahuluan
Peningkatan mutu pendidikan merupakan suatu masalah yang menuntut perhatian
karena pendidikan memegang peranan penting bagi kelangsungan hidup manusia.
Peningkatan mutu pendidikan dari tahun ke tahun selalu diupayakan, baik pendidikan pada
tingkat dasar, menengah maupun ditingkat perguruan tinggi. Upaya untuk meningkatkan
mutu pendidikan dipengaruhi oleh kurikulum, buku pelajaran, media pembelajaran, metode
pembelajaran, dan sistem evaluasi. Pembenahan metode pembelajaran selalu dilakukan yaitu
dengan mencari metode pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan bahan ajar. Disamping
itu media pembelajaran dikembangkan untuk memperlancar kegiatan pembelajaran dan
memudahkan mahasiswa untuk memahami materi ajar, khususnya dalam penelitian ini adalah
mata kuliah Kalkulus.
Pada materi pokok ini banyak menuntut mahasiswa untuk dapat mengkonstruksikan
materi yang diperolehnya. Pemecahan masalah turunan fungsi juga memerlukan keaktifan

23
mahasiswa untuk berlatih. Untuk mewujudkan penalaran dan pemahaman konsep serta
meningkatkan hasil belajar mahasiswa diperlukan suatu terobosan baru diantaranya yaitu
pemilihan pendekatan pembelajaran yang tepat sesuai dengan materi turunan fungsi yang
akan diajarkan dan kondisi mental mahasiswa untuk selalu berfikir dalam pemecahan
masalah yang diberikan oleh dosen.
Sesungguhnya terdapat hubungan antara proses berfikir dengan matematika. Seseorang
yang baik dalam matematika akan cederung baik dalam berfikir dan seseorang yang belajar
matematika, maka akan menjadi seorang pemikir yang baik. Selain itu Ruseffendi (1991:
260) menyatakan bahwa matematika timbul karena pikiran-pikiran yang berhubungan
dengan ide, proses, dan penalaran.
Dilihat dari aktivitas matematika yang dilakukan mahasiswa ketika belajar matematik,
Killen (1998) Memberikan suatu argumentasi bahwa: 1) Aktivitas matematika berpotensi
lebih meningkatkan sikap kebertanggungjawaban dan kebebasan berfikir. 2) Matematika
merupakan arena mahasiswa-mahasiswa muda untuk dapat menyelesaikan suatu masalah dan
memperoleh kepercayaan bahwa penyelesaian yang benar bukan karena perkataan dosen,
akan tetapi karena logika nalar mereka yang jelas.
Pemilihan strategi pembelajaran matematika yang berorientasi pada proses pemberian
kesempatan yang besar pada mahasiswa untuk mengkontruksi pengetahuan yang
dipelajarinya. Hal ini disebabkan pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang
mengetahui. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang (dosen) ke
kepala orang lain (mahasiswa). Mahasiswa sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah
diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman-pengalaman mereka (Killen,1998).
Hal tersebut juga diperkuat oleh Anthony (1996) yang mengatakan bahwa keberadaan,
pemilihan dan penggunaan strategi belajar mahasiswa merupakan variabel yang kritis dalam
proses belajar aktif. Dengan penggunaan berbagai macam strategi belajar, pengetahuan yang
diperolehnya lebih mendalam dan berkualitas. Pemilihan strategi belajar secara individual
dapat dihubungkan dengan berbagai faktor, yaitu pengetahuan yang diperoleh sebelumnya
(prior knowledge) keilmiahan tugas-tugas belajar, motivasi dan ketersediaan sumber daya.
Salah satu pendekatan yang dapat meningkatkan penalaran dan pemahaman konsep
mahasiswa seperti di atas adalah pendekatan open-ended dengan media software
mathematica. Pembelajaran matematika tidak hanya memberi tekanan pada keterampilan
menghitung dan kemampuan menyelesaikan soal, akan tetapi sikap dan kemampuan
menerapkan matematika merupakan penopang penting untuk membentuk kemampuan peserta
didik dalam memecahkan masalah sehari-hari. Selama ini peserta didik kurang aktif dalam
pembelajaran, sehingga kemampuan pemecahan masalahnya masih kurang dan tidak
berkembang. Hal tersebut menyebabkan hasil belajar peserta didik, terutama aspek
pemecahan masalah, masih rendah..
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana pelaksanakan proses pembelajaran dengan media software mathematica
melalui pendekatan Open-Ended dapat meningkatkan kemampuan penalaran dan
pemahaman Kalkulus?
2. Dengan menggunakan media software mathematica melalui pendekatan Open-Ended
dalam pembelajaran matematika, adakah peningkatan penalaran dan pemahaman
konsep?
3. Adakah peningkatan prestasi belajar mahasiswa dengan diterapkannya media software
mathematica melalui pendekatan Open-Ended ?

24
LANDASAN TEORI
Media Belajar dengan Software Mathematica
Mathematica merupakan suatu sistem aljabar komputer (CAS, Computer Algebra
System) yang mengintegrasikan kemampuan komputasi (Simbolik, numerik), visualisasi
(grafik), bahasa pemrograman, dan pengolahan kata (word processing) ke dalam suatu
lingkungan yang mudah digunakan. Pertama kali diperkenalkan pada tahun 1988,
Mathematica tersedia pada lebih dari 20 platform komputer, termasuk MS-Windows, MS-
Dos, Macintosh, Unix. Kini Mathematica merupakan tool pilihan dalam pendidikan,
penelitian, bisnis, dan lain-lain.
Mathematica merupakan software aplikasi buatan Wolfram Research yang handal
dengan fasilitas terintegrasi lengkap untuk menyelesaikan beragam masalah matematika.
Kesederhanaan bahasa program inilah yang menjadikan Mathematica dapat digunakan
siapapun tanpa harus terlebih dahulu menguasai suatu bahasa pemprograman tertentu.
Ketika pertama kali diperkenalkan pada tahun 1988, Mathematica langsung
memberikan pengaruh yang mendalam pada perkembangan pemakaian komputer di bidang
matematika, teknik dan rekayasa. Business Week menempatkan Mathematica sebagai salah
satu dari sepuluh produk paling penting tahun ini. Mathematica merupakan suatu sistem
aljabar komputer (CAS, Computer Algebra System) yang mengintegrasikan kemampuan
komputasi (Simbolik, numerik), visualisasi (grafik), bahasa pemrograman, dan pengolahan
kata (word processing) ke dalam suatu lingkungan yang mudah digunakan. Mathematica
tersedia pada lebih dari 20 platform komputer, termasuk MS-Windows, MS-Dos, Macintosh,
Unix. Kini Mathematica merupakan tool pilihan dalam pendidikan, penelitian, bisnis, dan
lain-lain.
Pengertian Pendekatan Open-Ended
Menurut Suherman dkk (2003: 123) problem yang diformulasikan memiliki
multijawaban yang benar disebut problem tak lengkap atau disebut juga Open-Ended atau
soal terbuka. Mahasiswa yang dihadapkan dengan Open-Ended, tujuan utamanya bukan
untuk mendapatkan jawaban tetapi lebih menekankan pada cara bagaimana sampai pada
suatu jawaban. Dengan demikian bukanlah hanya satu pendekatan atau metode dalam
mendapatkan jawaban, namun beberapa atau banyak.
Sifat keterbukaan dari suatu masalah dikatakan hilang apabila hanya ada satu cara
dalam menjawab permasalahan yang diberikan atau hanya ada satu jawaban yang mungkin
untuk masalah tersebut. Contoh penerapan masalah Open-Ended dalam kegiatan
pembelajaran adalah ketika mahasiswa diminta mengembangkan metode, cara atau
pendekatan yang berbeda dalam menjawab permasalahan yang diberikan bukan berorientasi
pada jawaban (hasil) akhir.
Kemampuan Pemahaman Konsep
Konsep dalam matematika merupakan salah satu obyek disamping tiga obyek lain yaitu:
fakta, operasi, dan prinsip. Selain itu, menurut Sudjadi konsep-konsep dalam matematika
pada umumnya disusun dari konsep-konsep terdahulu dan juga fakta-fakta. Sedangkan untuk
menunjukkan sesuatu konsep tertentu digunakan batasan atau definisi (Suradi, 2002). Hal ini
memberikan gambaran bahwa suatu konsep pada umumnya digunakan secara
berkesinambungan untuk menjelaskan konsep-konsep yang lain dalam matematika, karena
sifat matematika adalah hierarkis. Dengan demikian kesalahan konsep yang diterima oleh
mahasiswa akan berakibat fatal untuk mempelajari konsep-konsep berikutnya yang berkaitan
dengan konsep tersebut.
Pemahaman dapat diartikan sebagai pengambilan suatu kesimpulan. Pemahaman
diartikan mempunyai suatu ide tentang persoalan yang dihadapi. Pemahaman merupakan
prinsip umum yang didasari oleh fakta-fakta yang konkret.

25
Pemahaman dalam belajar matematika dapat diamati dari segi afektif dan diukur dari
segi kognitif. Dalam penelitian ini pemahaman dari segi afektif diwakili oleh partisipasi
belajar mahasiswa dan dari segi kognitif oleh hasil belajar siswa. Partisipasi belajar siswa
telah memahami tentang konsep-konsep matematika kemudian ikut aktif dalam kegiatan
pembelajaran. Sebagai tolak ukur keberhasilan strategi belajar, hasil belajar adalah muara
dari kegiatan pembelajaran.
Representasi Pemahaman
Pemahaman dipandang dari segi afektif, berarti pemahaman tersebut hanya diamati
tidak diukur. Aktivitas siswa dalam pembelajaran yang mungkin diamati adalah sikap belajar
siswa. Sikap belajar dapat diamati dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Orang yang
bersikap tertentu, cenderung menerima atau menolak suatu obyek berdasarkan penilaian
terhadap obyek itu, berguna baginya atau tidak (Winkel, 1996: 104). Belajar matematika
memerlukan partisipasi mahasiswa agar belajar menjadi bermakna. Partisipasi ini dapat kita
lihat sebagai salah satu indikasi dari sikap belajar.
Representasi dari pemahaman awal mahasiswa ini dapat menunjukkan sejauh mana
penguasaan konsep yang telah dimiliki oleh mahasiswa, sehingga dosen dapat menyajikan
suatu permasalahan yang dapat memberikan pemahaman baru mengenai konsep-konsep yang
dipelajari untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
Indikator keberhasilan pemahaman konsep antara lain :
a. Kemampuan mahasiswa menjawab pertanyaan oleh dosen secara aktif;
b. Kemampuan menggunakan model matematisasi telah maksimal;
c. Kemampuan dalam menyelesaikan masalah dapat dicapai mahasiswa;
Kemampuan dalam membuat kesimpulan yang meliputi mendefinisikan konsep,
menemukan sifat sifat dari konsep dan memberikan contoh dan non contoh dari konsep
maksimal
Metode
Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang dilakukan melalui
proses kerja kolaborasi antara dosen matematika dan peneliti. PTK ini bersifat praktis,
situasional, dan kondisional berdasarkan permasalahan yang muncul dalam pembelajaran di
kampus. Jenis penelitian ini mampu menawarkan pendekatan dan prosedur baru yang lebih
efektif.
Data kualitatif adalah data yang berbentuk kata, kalimat, skema, dan gambar.
Sedangkan data yang berbentuk angka atau kualitatif yang diangkakan disebut data
kuantitatif. Dalam Penelitian ini metode yang digunakan adalah metode kualitatif digunakan
untuk menganalisa penggunaan media software mathematica melalui pendekatan open-ended
dalam meningkatkan kemampuan penalaran dan pemahaman kalkulus. Pada penelitian ini
dilakukan dalam tiga siklus dimana tiap siklus terdiri dari 4 tahap yaitu (a) Persiapan, (b)
Penerapan Metode, (c) Observasi (d) Analisis dan refleksi untuk rencana berikutnya.

Tempat dan Waktu Penelitian


Tempat Penelitian
Tempat yang digunakan peneliti untuk melakukan penelitian adalah IKIP PGRI
Semarang.
Waktu Penelitian
Penelitan dilaksanakan pada bulan Desember 2011 sampai Januari 2012.

26
Subyek Penelitian
Subyek Penerima Tindakan
Penelitian ini dikenakan pada seluruh mahasiswa kelas IH pendidikan matematika IKIP
PGRI Semarang tahun ajaran 2011/2012 dengan jumlah mahasiswa 41 orang. Pemilihan dan
penentuan subyek penelitian ini diambil dengan teknik sampel bertujuan (purposive
sampling).
Subyek Pelaku Tindakan
Pelaku tindakan ini adalah dosen matematika yang mengampu mata kuliah kalkulus
kelas IH IKIP PGRI Semarang tahun ajaran 2011/2012 dibantu secara aktif oleh peneliti.

Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan berbasis kelas kolaboratif. Dosen
matematika dan peneliti senantiasa berupaya memperoleh hasil yang optimal melalui cara
dan prosedur yang dinilai paling efektif, sehingga dimungkinkan adanya tindakan berulang-
ulang dengan revisi untuk meningkatkan pemahaman dan penalaran konsep belajar siswa
dikelas dalam pembelajaran matematika, khususnya mata kuliah Kalkulus. Penelitian ini
diharapkan dapat menghasilkan pembelajaran matematika yang efektif dan menjamin
diperolehnya manfaat yang lebih baik. Dosen matematika dan peneliti dilibatkan sejak 1)
Dialog awal, 2) Perencanaan Tindakan, 3) Pelaksanaan Tindakan, 4) Observasi dan
Monitoring, 5) Refleksi, 6) Evaluasi, 7) Penyimpulan.

Hasil
Pembahasan terhadap permasalahan penelitian maupun hipotesis tindakan berdasarkan
analisis data kualitatif hasil penelitian dari kerja kolaboratif antara peneliti dengan praktisi
pendidikan serta profil kelas sebelum dan sesudah penelitian yang telah dibuat.
Kerja kolaboratif dimulai dari : 1) Dialog awal, 2) Perencanaan tindakan yaitu : a)
Diskusi tentang materi ajar dan metodelogi pembelajaran, b) Identifikasi masalah yang
diduga mempengaruhi pemahaman konsep belajar mahasiswa dan penyebabnya, c)
Perencanaan solusi masalah, d) Pelaksanaan tindakan.
Pelaksanaan proses pembelajaran yang dilakukan oleh dosen matematika sudah sesuai
dengan apa yang diinginkan, karena sudah menggunakan media software mathematica
melalui pendekatan open-ended. Dalam proses pembelajaran ini mahasiswa diharapkan
paham terhadap materi yang dipelajari. Modifikasi pembelajaran adalah sebagai berikut :
a. Memberitahukan topik, inti materi ajar, dan kegiatan yang akan dilakukan.
b. Mahasiswa dibentuk dalam beberapa kelompok kecil.
c. Membagikan bahan materi ajar kepada setiap mahasiswa.
d. Menyampaikan materi ajar secara sistematis, simpel, dan menggunakan media
software mathematica melalui pendekatan open-ended untuk membantu penalaran
dan pemahaman mahasiswa.
e. Mendorong dan membimbing mahasiswa dalam menyampaikan ide.
f. Merespon setiap pendapat atau perilaku mahasiswa.
g. Membimbing mahasiswa untuk dapat menyimpulkan.
h. Mendefinisikan, menganalisis suatu masalah.
Beberapa tindak mengajar tersebut merupakan tindakan dosen yang merupakan kunci
keberhasilan atau memberikan hasil yang memuaskan dan dipandang memberikan kontribusi
yang cukup bagi keberhasilan usaha meningkatkan penalaran dan pemahaman konsep belajar
matematika mahasiswa.
Penalaran konsep belajar matematika mahasiswa dapat dilihat dari sebagian besar
mahasiswa dapat menyajikan pernyataan matematika, mengajukan dugaan/ ide, melakukan
manipulasi matematika, menyusun bukti terhadap kebenaran solusi dan dapat memberikan

27
kesimpulan yang tepat. Sedangkan, pemahaman konsep belajar matematika mahasiswa dapat
dilihat dari sebagian besar mahasiswa aktif menjawab pertanyaan, mengeluarkan ide, dapat
membuat model matematika, mengerjakan soal latihan, dapat menyelesaikan permasalahan,
kreatif dalam menggunakan media pembelajaran dan dapat membuat kesimpulan.
Menurut Suherman dkk (2003: 123) problem yang diformulasikan memiliki
multijawaban yang benar disebut problem tak lengkap atau disebut juga Open-Ended atau
soal terbuka. Mahasiswa yang dihadapkan dengan Open-Ended, tujuan utamanya bukan
untuk mendapatkan jawaban tetapi lebih menekankan pada cara bagaimana sampai pada
suatu jawaban. Dengan demikian bukanlah hanya satu pendekatan atau metode dalam
mendapatkan jawaban, namun beberapa atau banyak. Mathematica merupakan suatu sistem
aljabar komputer (CAS, Computer Algebra System) yang mengintegrasikan kemampuan
komputasi (Simbolik, numerik), visualisasi (grafik), bahasa pemrograman, dan pengolahan
kata (word processing) ke dalam suatu lingkungan yang mudah digunakan.
Dengan demikian, pembelajaran matematika menggunakan media software
mathematica melalui pendekatan open-ended merupakan pembelajaran yang diawali dengan
memberikan masalah terbuka kepada mahasiswa. Kegiatan pembelajaran harus mengarah dan
membawa mahasiswa dalam menjawab masalah dengan banyak cara sehingga merangsang
kemampuan intelektual dan pengalaman mahasiswa dalam proses menemukan sesuatu yang
baru. Penyelesaian masalahnya dengan menggunakan media software mathematica yang
memudahkan mahasiswa mendapatkan solusi yang benar dan tepat.
Tingkat penalaran konsep sebelum diadakan tindakan masih rendah yaitu kemampuan
menyajikan pernyataan matematika sebanyak 29,27%, kemampuan mengajukan dugaan
29,27%, kemampuan melakukan manipulasi matematika 0%, kemampuan menyusun bukti
terhadap kebenaran solusi 24,39%. Sedangkan tingkat penalaran konsep pada akhir tindakan
kelas adalah kemampuan menyajikan pernyataan matematika sebanyak 95,12%, kemampuan
mengajukan dugaan 87,80%, kemampuan melakukan manipulasi matematika 90,24%,
kemampuan menyusun bukti terhadap kebenaran solusi 87,80%.
Perubahan tindakan yang berkaitan dengan penalaran konsep belajar matematika
mahasiswa sebelum dan sesudah dilaksanakan tindakan kelas selama III putaran mengalami
peningkatan yang ditunjukkan pada tabel 4.1 berikut :

Tabel 4.1
Profil penalaran konsep belajar matematika mahasiswa kelas IH
sebelum dan sesudah penelitian
Sebelum Sesudah Penelitian
Aspek Penalaran
penelitian Putaran I Putaran II Putaran III
Konsep
(41 mhs) (41 mhs) (41 mhs) (41 mhs)
1. Kemampuan
12 25 31 39
menyajikan
mahasiswa mahasiswa mahasiswa mahasiswa
pernyataan
(29,27%) (60,98%) (75,61%) (95,12%)
matematika
12 20 26 36
2. Kemampuan
mahasiswa mahasiswa mahasiswa mahasiswa
mengajukan dugaan
(29,27%) (48,78%) (63,41%) (87,80%)
3. Kemampuan
25 37
melakukan 0 mahasiswa 15 mahsiswa
mahasiswa mahasiswa
manipulasi (0%) (36,58%)
(60,98%) (90,24%)
matematika
4. Kemampuan 10 21 29 36
menyusun bukti mahasiswa mahasiswa mahasiswa mahasiswa

28
Sebelum Sesudah Penelitian
Aspek Penalaran
penelitian Putaran I Putaran II Putaran III
Konsep
(41 mhs) (41 mhs) (41 mhs) (41 mhs)
terhadap kebenaran (24,39%) (51,22%) (70,73%) (87,80%)
solusi

Tingkat pemahaman konsep sebelum diadakan tindakan masih rendah yaitu keaktifan
menjawab pertanyaan sebanyak 31,71%, kemampuan menggunakan model matematika
sebanyak 14,63%, kemampuan menyelesaikan permasalahan sebanyak 29,27% dan
kemampuan menarik kesimpulan sebanyak 31,71%. Sedangkan tingkat pemahaman konsep
pada akhir tindakan kelas adalah keaktifan menjawab pertanyaan sebanyak 78,05%,
kemampuan menggunakan model matematika sebanyak 87,80%, kemampuan menyelesaikan
permasalahan sebanyak 97,56% dan kemampuan menarik kesimpulan sebanyak 82,93%.
Perubahan tindakan yang berkaitan dengan pemahaman konsep belajar matematika
mahasiswa sebelum dan sesudah dilaksanakan tindakan kelas selama III putaran mengalami
peningkatan yang ditunjukkan pada tabel 4.2 berikut:

Tabel 4.2
Profil pemahaman konsep belajar matematika mahasiswa kelas IH
sebelum dan sesudah penelitian
Sebelum Sesudah Penelitian
Aspek Pemahaman
penelitian Putaran I Putaran II Putaran III
Konsep
(41 mhs) (41 mhs) (41 mhs) (41 mhs)
1. Keaktifan 20 26 32
13 mahasiswa
menjawab mahasiswa mahasiswa mahasiswa
(31,71%)
pertanyaan (48,78%) (63,41%) (78,05%)
2. Kemampuan
17 28 36
menggunakan 6 mahasiswa
mahasiswa mahasiswa mahasiswa
model (14,63%)
(41,46%) (68,29%) (87,80%)
matematika
3. Kemampuan 21 30 40
12 mahasiswa
Menyelesaikan mahasiswa mahasiswa mahasiswa
(29,27%)
Permasalahan (51,22%) (73,17%) (97,56%)
4. Kemampuan 21 28 34
13 mahasiswa
Menarik mahasiswa mahasiswa mahasiswa
(31,71%)
Kesimpulan (51,22%) (68,29%) (82,93%)

Prestasi belajar adalah hasil usaha kegiatan belajar yang dinyatakan dalam bentuk
simbol, angka, maupun huruf yang dicerminkan hasil yang dicapai anak dalam periode
tertentu. Dengan adanya prestasi belajar maka akan terdapat proses perubahan dalam
pemikiran serta tingkah laku. Pada proses pembelajaran penguasaan materi ajar yang
dipelajari ditunjukkan dengan nilai tes atau angka yang diberikan oleh dosen.
Setelah dibandingkan dengan hasil sebelum tindakan menggunakan media software
mathematica melalui pendekatan open-ended dan sesudah dilakukan tindakan putaran I,
putaran II, dan putaran III diperoleh peningkatan prestasi belajar.
.
Penutup
Kesimpulan penelitian memberikan implikasi bahwa penggunaan media software
mathematica melalui pendekatan Open-Ended dapat meningkatkan penalaran dan
pemahaman konsep belajar matematika mahasiswa khususnya pada mata kuliah Kalkulus.

29
Penalaran dan pemahaman konsep Kalkulus dalam pembelajaran matematika
meningkat pada setiap putarannya setelah diberi tindakan. Pembelajaran matematika dengan
menggunakan media software mathematica melalui pendekatan Open-Ended terbukti dapat
meningkatkan pemahaman konsep belajar mahasiswa. Hasil penelitian ini dapat digunakan
sebagai masukan bagi dosen untuk meningkatkan penalaran dan pemahaman konsep dalam
pembelajaran matematika

Daftar Pustaka

Anthony, G. 1996. Cllassroom Intructional Factors Affecting Mathematics Students


Strategics Learning Behaviours. Dalam Philip C. Clarkson (editor) Technology in
Mathematics Education, Australia Mathematics Education Research Group of
Australia.
Ardana Kutha, N.K, 2002, Panduan Penggunaan Mathematica, Pelatihan Pemodelan
Mathematika Pengembangan dan Implementasinya dalam Komputer, Buku I II,
Jurusan Matematika Fakultas MIPA IPB Bogor.
Erman, Suherman, dkk. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer (Common
Textbook). Bandung : JICA Universitas Pendidikan Indonesia.
Killen, R. 1998. Effective Teaching Strategi. Lessons from Research and Practice. ( Second
edition). Australia : Sosial Science Press.
Moeleong, Lexy. J. 1994. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Russefendi. 1991. Pengantar Kepada Membantu Guru Menghubungkan Kompetensinya
Dalam Pengajaran Matematika Untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.
Suradi. 2002. Teori Pembentukan Konsep dan Hubungannya dengan Pembelajaran
Matematika. Jurnal Matematika Tahun VIII. Edisi Khusus Hal. 587 591.
Sutratinah Tirtonegoro. 2001. Anak Supernormal dan Program Pendidikannya. Jakarta: Bina
Aksara.
W. S. Winkel. 1996. Psikologi Pengajaran. Jakarta: PT Gramedia Widiasrama Indonesia.

30
Keefektifan Penerapan Model Probing-Prompting pada Materi Garis
Singgung Persekutuan Dua Lingkaran untuk Meningkatkan
Kemampuan Berpikir Kritis Siswa

Amelia Yohanta,,Masrukan, Ary Woro Kurniasih


Jurusan Matematika
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Semarang
diarsa_lova@yahoo.co.id

Abstract
The aims of this research were to know (1) wether learning with probing-prompting in
CTLTC achieve mastery learning, (2) wether critical thinking skill of students that applying
probing-prompting better than critical thinking skill of students that applying expository
learning, and (3) wether probing-prompting implementation can increase students critical
thinking skills. Population of this research was students of SMP Muhammadiyah Wonosobo
Grade VIII. By used cluster random sampling technique, was got class VIIIA as experiment
group used probing-prompting and class VIIIC as control group used expository learning.
The results of this research were (1) learning with probing-prompting in CTLTC achieve
mastery learning, (2) critical thinking skills of students who applying probing-prompting
better than critical thinking skills of students who applying expository learning, and (3)
probing-prompting implementation can improve students critical thinking
skills.Recommendations from researcher are (1) teacher should prepare any ways to avoid
tense situation which is happened during the learning using of probing-prompting, (2)
students should be grouped in heterogeneous groups every meeting to avoid saturation
during the discussion, and (3) Questions should be made with different difficulty, not only
critical thinking questions.

Key Words : Probing-prompting, Common Tangent Line of Two Cycles (CTLTC), Critical
Thinking Skills.

Pendahuluan
Masih banyak siswa tumbuh tanpa menyukai matematika, mereka merasa tidak senang
dalam mengerjakan tugas-tugas dan merasa bahwa matematika itu sulit, menakutkan, dan
tidak semua orang dapat mengerjakannya (Krismanto, 2003). Hal ini keadaan ini ditunjukkan
oleh masih ada siswa yang gagal dalam Ujian Nasional disebabkan nilai matematika mereka
yang tidak memenuhi standar kelulusan. Menurut laporan Pusat Penilaian Pendidikan Badan
Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional dari tahun ajaran 2006/2007
sampai tahun ajaran 2009/2010, masih banyak terdapat peserta yang mendapatkan nilai
matematika kurang dari 5,00 yaitu masing-masing 11,46 %, 17,77 %, 8,96 % , dan 12,57 %
dari banyaknya peserta pada tiap tahun ajaran.
Salah satu penyebab rendahnya nilai Ujian Nasional Matematika seperti tersebut
diatas adalah kurang profesionalnya guru dalam mengelola pembelajaran (Noorshah
sebagaimana dikutip oleh Muflikh, 2010), guru masih mempertahankan paradigma mengajar
dan belum berubah menjadi paradigma membelajarkan siswa (Darlan, 2010). Senada dengan
keadaan ini, Sigurdon sebagaimana dikutip oleh Krismanto (2003), menyatakan bahwa guru-
guru sering dihantui oleh selesai atau tidaknya topik-topik yang harus diajarkan dengan
waktu yang tersedia. Fokus utama dari pembelajaran adalah mendapatkan jawaban yang
benar. Para siswa bergantung kepada guru untuk menentukan apakah jawabannya benar tanpa
mencoba mengkritisi pembelajaran dan menganalisis kesalahannya sendiri terlebih dahulu.

31
Keadaan seperti terurai di atas mengindikasikan kurang berkembangnya kemampuan
berpikir kritis siswa, padahal kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan yang sangat
penting dimiliki oleh seorang siswa dalam mempelajari matematika, bahkan berpikir dengan
kritis memainkan peranan penting dalam berinovasi (Bailin, 1987). Kemampuan berpikir
kritis juga sangat dibutuhkan oleh siswa dalam mempersiapkan diri menghadapi disiplin ilmu
lain dan tingkatan yang lebih tinggi dari materi yang sedang dipelajarinya. Melalui
kemampuan berpikir kritis yang dimiliki, siswa lebih mudah memahami konsep, peka
terhadap permasalahan yang dihadapi dan dapat menyelesaikannya (Inch, 2006).
Glazer (2001: 67) mendefinisikan kemampuan berpikir kritis dalam matematika
sebagai kemampuan dan sikap untuk mempergunakan pengetahuan yang telah lalu, berpikir
matematis, dan strategi-strategi kognitif untuk menggeneralisasi, membuktikan, atau
mempertimbangkan situasi-situasi matematis yang asing dalam suatu metode reflektif.
Berpikir kritis merupakan suatu proses sehingga ada tahap-tahapnya. Tahap-tahap dalam
berpikir kritis menurut Ennis yang digunakan dalam penelitian ini adalah : (a) klarifikasi
dasar (elementary clarification), (b) memberikan alasan untuk suatu keputusan (the basis for
the decison), (c) menyimpulkan (inference), (d) klarifikasi lebih lanjut (advanced
clarification), dan (e) dugaan dan keterpaduan (supposition and integration). Salah satu
kemampuan yang terlihat pada orang yang memiliki kemampuan untuk berpikir kritis adalah
bisa mengajukan pertanyaan dan aktif dalam pembelajaran. Tapi keadaan yang sering terjadi
justru saat guru memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya, seringkali diikuti dengan
keheningan. Beberapa guru mungkin menganggap siswa tidak tertarik atau semuanya sudah
jelas. Padahal banyak kenyataan yang terjadi sebenarnya adalah siswa tidak siap untuk
mengajukan pertanyaan (Silberman, 1996). Hal ini juga terjadi di kelas VIII SMP
Muhammadiyah Wonosobo. Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan guru kelas VIII
SMP Muhammadiyah Wonosobo pada tahun ajaran 2011/2012, dalam pembelajaran tidak
ada siswa yang berani untuk mengajukan pertanyaan, padahal masih belum paham tentang
materi yang dipelajari.
Pengembangan pembelajaran yang mendukung peningkatan kemampuan berpikir kritis
harus memperhatikan bahwa berpikir kritis merupakan suatu proses yang aktif, dimana
seseorang memikirkan sesuatu dengan dirinya sendiri, bertanya sendiri, dan lain-lain,
daripada secara pasif menerima pengetahuan dari orang lain Fisher (2001). Salah satu model
pembelajaran yang dapat mengaktifkan siswa adalah probing-prompting. Probing-prompting
adalah pembelajaran dengan cara guru menyajikan serangkaian petanyaan yang sifatnya
menuntun dan menggali sehingga terjadi proses berpikir yang mengaitkan pengetahuan siswa
dan pengalamannya dengan pengetahuan baru yang sedang dipelajari. Selanjutnya siswa
mengkonstruksi konsep, prinsip,serta aturan menjadi pengetahuan baru, dengan demikian
pengetahuan baru tidak diberitahukan (Suyatno,2009). Probing-prompting mengharuskan
guru untuk menuntun siswa memanggil memori mereka tentang konsep-konsep yang telah
lalu untuk mendapatkan konsep baru dan menemukan kesalahan mereka sendiri dalam
mengerjakan soal dengan serangkaian pertanyaan dari guru. Pada model ini, siswa juga
dibagi menjadi beberapa kelompok untuk mendiskusikan suatu permasalahan atau konsep
yang baru.
Probing-prompting sesuai untuk diterapkan sebagai inovasi dalam pembelajaran
mengenai materi-materi geometri yang memuat konsep dan gambar, salah satunya adalah
materi Garis Singgung Persekutuan Dua Lingkaran (GSPDL). GSPDL dipelajari dalam mata
pelajaran matematika SMP kelas VIII semester genap. Menurut hasil wawancara dengan guru
mata pelajaran matematika kelas VIII SMP Muhammadiyah Wonosobo tahun ajaran
2011/2012, siswa masih mengalami kesulitan dalam memahami materi GSPDL. Kesulitan
yang biasanya dihadapi siswa adalah terbalik mengaplikasikan rumus antara garis singgung
persekutuan dalam dan garis singgung persekutuan luar serta bingung mengaplikasikan

32
rumus pada soal yang tidak biasa mereka kerjakan atau tidak sama dengan contoh soal yang
diberikan saat pembelajaran berlangsung.
Hal ini terlihat dari data laporan hasil Ujian Nasional SMP Muhammadiyah Wonosobo
oleh Pusat Penilaian Pendidikan Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen
Pendidikan Nasional dari tahun ajaran 2006/2007, untuk mata pelajaran matematika pada
tema garis singgung dan kemampuan yang diuji adalah menentukan garis singgung
persekutuan presentase penguasaan materi soal adalah 64,15%, lebih rendah dari presentase
secara nasional yaitu 73,65%. Persentase penguasaan yang rendah tentu sangat
mengkhawatirkan apalagi materi GSPDL juga merupakan materi prasyarat dari materi-materi
selanjutnya terutama yang berkaitan dengan geometri. Siswa juga akan menghadapi aplikasi
dari Garis GSPDL untuk menyelesaikan beberapa jenis soal. Berdasarkan hasil wawancara,
rendahnya persentase penguasaan materi GPSDL disebabkan olah soal ujian nasional yang
muncul berbeda dengan soal yang biasa dikerjakan pada saat pembelajarn berlangsung.
Keadaan ini menunjukkan bahwa kemampuan siswa untuk berinovasi kurang. Menurut Bailin
(1987 : 25) berpikir dengan kritis memainkan peranan penting dalam berinovasi, sehingga
kurangnya kemampuan siswa berinovasi ini mengindikasikan bahwa kemampuan berpikir
kritisnya masih kurang.
Berdasarkan uraian di atas permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah (1)
apakah pembelajaran dengan model probing-prompting pada materi Garis Singgung
Persekutuan Dua Lingkaran mencapai ketuntasan, (2) apakah kemampuan berpikir kritis
siswa yang melaksanakan pembelajaran dengan model probing-prompting lebih baik dari
kemampuan berpikir kritis siswa yang melaksanakan pembelajaran ekspositori, dan (3)
apakah penerapan model probing-prompting dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis
siswa..

Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kuantitatif tipe
kuasi eksperimen (quasi experimental research), dengan mengacu pada rancangan Pretest
and Postest Group Design.
Tabel 1. Rancangan Penelitian
Pretes Perlakuan Postes
Exper Grup T1 X T2
Kontrol Grup Y T2
Keterangan :
T1 : Pretes dengan materi tes Garis Singgung Persekutuan Dua Lingkaran.
T2 : Postes dengan materi tes Garis Singgung Persekutuan Dua Lingkaran.
X : Pembelajaran menggunakan model probing-prompting.
Y : Pembelajaran menggunakan model ekspositori

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII SMP Muhammadiyah
Wonosobo sebanyak 197 siswa yang terbagi menjadi lima kelas. Pembagian kelas dilakukan
secara acak sehingga kemampuan siswa pada tiap kelas relatif sama (tidak ada kelas
unggulan). Seluruh kelas mendapat pembelajaran dengan kurikulum, guru, dan fasilitas yang
sama. Sampel ditentukan dengan menggunakan teknik Cluster Rundom Sampling yang
menghasilkan dua kelas yaitu kelas VIII C sebagai kelas kontrol dan kelas VIII A sebagai
kelas eksperimen. Lokasi penelitian ini di SMP Muhammadiyah Wonosobo yang beralamat
di Jalan Argopeni No. 36 Wonosobo. Penelitian ini dilakukan pada siswa Kelas VIII
Semester Genap Tahun Ajaran 2011/ 2012, yaitu dalam rentang bulan Februari sampai Maret
tahun 2012.

33
Variabel penelitian yang digunakan ada dua yaitu variabel bebas dan variabel terikat.
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model pembelajaran matematika dan variabel
terikat adalah kemampuan berpikir kritis siswa. Metode yang digunakan untuk mengambil
data tentang pada penelitian ini adalah metode tes. Pada kelas eksperimen, tes dilakukan
sebelum dan sesudah perlakuan (pretes dan postes), sedangkan pada kelas kontrol tes hanya
dilakukan sekali yaitu postes saja . Tes diberikan kepada kedua kelas dengan tes yang sama
dan digunakan untuk memperoleh data akhir. Hasil pengolahan data digunakan untuk
menguji kebenaran hipotesis.
Pada penelitian ini materi yang diujikan adalah Garis Singgung Persekutuan Dua
Lingkaran. Bentuk tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah uraian. Setelah melakukan
uji coba instrumen dan menganalisis hasilnya untuk mengetahui validitas, reliabilitas, daya
pembeda, dan taraf kesukaran kemudian diambil soal yang layak digunakan dalam pretes dan
postes.
Data awal yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari dokumen leger guru
mata pelajaran matematika, diambil nilai mentah ulangan akhir semester I kelas VIII A dan
VIII C SMP Muhammadiyah Wonosobo. Data ini kemudian diuji menggunakan uji
normalitas, homogenitas, dan kesamaan rata-rata. Data akhir diperoleh dari nilai pretes dan
postes kelas eksperimen serta nilai postes kelas kontrol, data tersebut kemudian dianalisis
lebih lanjut dengan uji normalitas, uji homogenitas, uji proporsi (uji ketuntasan), uji
perbedaan rata-rata , dan uji t untuk mengetahui peningkatan kemampuan berpikir kritis.

Hasil
Berdasarkan hasil analisis data awal dari nilai akhir semester I siswa kelas VIIIA dan
kelas VIIIC di SMP Muhammadiyah Wonosobo, diketahui bahwa data berdistribusi normal
dan homogen serta dari uji kesamaan rata-rata menunjukkan t tabel t hitung t tabel . Jadi dapat
disimpulkan bahwa kedua sampel memiliki keadaan awal yang sama. Selanjutnya kedua
sampel tersebut diberi perlakuan yang berbeda. Kelas eksperimen yaitu kelas VIIIA diberi
pembelajaran dengan model probing-prompting, sedangkan kelas kontrol yaitu kelas VIIIC
diberi pembelajaran seperti biasanya oleh guru yaitu ekspositori pada materi pokok garis
singgung.
Waktu yang digunakan dalam pembelajaran dari kedua kelompok berbeda, pada kelas
eksperimen (VIIIA) satu pertemuan untuk pretes, tiga pertemuan untuk pembelajaran
menggunakan model probing-prompting, dan satu pertemuan untuk postes, sedangkan pada
kelas kontrol tiga pertemuan untuk pembelajaran seperti keadaan biasa dan 1 pertemuan
untuk postes kemampuan berpikir kritis. Untuk satu kali pertemuan terdiri dari 2 jam
pelajaran yang alokasi waktunya 80 menit.
Pada pertemuan pertama dilaksanakan pretes untuk mengetahui kemampuan berpikir
kritis siswa sebelum dilakukan pembelajaran dengan model probing-prompting. Soal pretes
terdiri dari 5 soal uraian. Pretes berjalan dengan lancar karena seluruh siswa sudah membawa
seluruh peralatan yang dibutuhkan sehingga bisa berkonsentrasi dalam mengerjakan soal tes.
Pada pertemuan kedua, mulai dilaksanakan pembelajaran dengan model probing-
prompting dengan bantuan media microsoft Power Point. Peneliti berusaha membuat slide
pada media Power Point agar menarik dan komunikatif dengan memperhatikan estetika serta
kesesuaian media tersebut untuk membantu mencapai tujuan pembelajaran. Penggunaan
media Power point ini membuat siswa menjadi antusias dalam mengikuti pembelajaran
karena pembelajaran matematika dengan media power point belum pernah siswa lakukan
sebelumnya.Selain itu siswa juga terlihat lebih berkonsentrasi pada materi pembelajaran
karena siswa sudah diberitahukan agar selalu siap menjawab serangkaian pertanyaan yang
diajukan.

34
Pada saat berdiskusi siswa terlihat tertarik saat menemukan fakta yang mereka
temukan bahwa panjang jari-jari, jarak titik pusat dengan titik di luar lingkaran, dan panjang
garis singgung membentuk pasangan bilangan yang sudah akrab dengan siswa yaitu tripel
pitagoras. Siswa tidak enggan untuk bertanya kepada peneliti apabila mengalami kesulitan
dalam memahami jawaban dari serangkaian pertanyaan yang diajukan. Beberapa hal yang
telah dikemukakan diatas mengindikasikan adanya kemampuan berpikir kritis sesuai dengan
pendapat Ennis (2000) yang didukung oleh Silberman (1996: 93), bahwa salah satu
kemampuan yang terlihat pada orang yang memiliki kemampuan untuk berpikir kritis adalah
bisa mengajukan pertanyaan dan aktif dalam pembelajaran.
Selama berjalannya pembelajaran pada pertemuan kedua ini, masih ada beberapa
hambatan yang dialami yaitu salah satunya pada saat mengajukan pertanyaan, peneliti sudah
menyampaikan sebelumnya bahwa pada saat pembelajaran berlangsung akan diajukan
serangkaian pertanyaan lalu siswa ditunjuk secara acak untuk menjawab pertanyaan tersebut
secara individu. Tetapi pada saat pertanyaan diajukan siswa secara spontan menjawab secara
serentak, siswa masih harus diingatkan beberapa kali agar hal yang sama tidak terulang
kembali. Setelah diingatkan siswa bisa terkondisikan dan pembelajaran dapat kembali
berlangsung sesuai yang diharapkan.
Hambatan lain yang dialami adalah pada saat pembagian kelompok, ada beberapa
siswa yang protes karena tidak menyukai pembagian kelompoknya. Namun masalah dapat
segera teratasi saat peneliti menyampaikan penjelasan tentang cara membagi kelompok dan
maksud pembagian kelompok. Hambatan yang terjadi pada saat berdiskusi adalah masih ada
beberapa siswa yang kurang bisa berperan aktif dalam berdiskusi dan kurang dapat bekerja
sama, selain itu apabila menemui kesulitan dalam berdiskusi, siswa langsung bertanya kepada
peneliti tanpa didiskusikan secara mendalam terlebih dahulu dengan teman sekelompoknya.
Hal ini menyebabkan siswa tetap harus diingatkan untuk berdiskusi dahulu bila menemui
kesulitan, baru jika kesulitan itu tidak dapat diatasi siswa dapat bertanya kepada peneliti.
Pada saat memulai tahapan untuk menemukan konsep tentang mencari panjang garis
singgung yang didasarkan pada hasil diskusi, peneliti sengaja mengajukan serangkaian
pertanyaan pada siswa yang kurang memberikan perhatian dalam berdiskusi. Hasilnya
banyak yang menjawab dengan salah, sehingga peneliti harus menggunakan langkah
prompting agar siswa dapat menemukan dan memperbaiki kesalahan siswa sendiri. Namun
hal ini menyebabkan beberapa siswa lain bosan karena siswa yang dibantu berkali-kali
menjawab dengan salah. Oleh karena itu pada saat pembelajaran diakhiri, peneliti
menyampaikan agar siswa lebih memperhatikan terutama dalam berdiskusi agar kejadian ini
tidak terulang kembali. Siswa juga diberi PR yang berisi soal-soal berpikir kritis mengenai
materi garis singgung.
Pada pertemuan ketiga di kelas eksperimen, yaitu saat mempelajari garis singgung
persekutuan luar dua lingkaran, siswa dan peneliti sudah mulai terbiasa dalam melaksanakan
pembelajaran dengan model probing-prompting. Siswa terlihat antusias dan berkonsentrasi
pada materi pembelajaran. Siswa mulai bisa mengendalikan diri untuk tidak menjawab
serangkaian pertanyaan secara serentak, meski beberapa kali masih ada beberapa siswa yang
lupa menjawab dahulu secara serentak sebelum ditunjuk. Diskusi juga sudah berjalan dengan
lebih efektif, siswa yang kemarin tidak memberikan perhatian dalam diskusi, kali ini lebih
dapat berperan aktif atau setidaknya memberikan perhatian dalam diskusi. Beberapa
kelompok sudah memahami bahwa apabila mengalami kesulitan dalam berdiskusi mereka
harus bisa saling membantu dan berdiskusi dahulu sebelum bertanya kepada peneliti. Pada
saat berdiskusi sudah jarang ada yang bertanya karena siswa berkonsentrasi penuh dalam
berdiskusi dan berusaha untuk mendapatkan pemecahannya sendiri. Salah satu indikasi
adanya kemampuan berpikir kritis yang terlihat adalah bertanya dan dalam berdiskusi siswa

35
mengamati hasil diskusi untuk bersama-sama menyimpulkan dan mencari bukti-bukti yang
membenarkan hasil diskusi kelompoknya.
Hambatan yang terjadi adalah pada saat pembelajaran berlangsung keadaan menjadi
agak tegang karena serangkaian pertanyaan yang diajukan harus dijawab secara individu oleh
siswa yang ditunjuk, siswa terlihat takut. Melihat hal ini peneliti kemudian agak mengubah
pertanyaan dengan kata-kata yang santai tapi tetap tertuju pada materi dan kadang
mengatakan hal-hal yang lucu agar ketegangan dapat berkurang tapi peneliti tetap berusaha
mengontrol siswa agar pembelajaran tetap kondusif. Pada akhir pembelajaran PR diberikan
kepada siswa yang berisi soal-soal berpikir kritis mengenai materi yang baru saja dipelajari.
Pada pertemuan keempat yaitu saat mempelajari garis singgung persekutuan dalam dua
lingkaran keadaan yang terjadi hampir sama seperti saat pertemuan ketiga. Hanya saja
peneliti harus berusaha memfokuskan beberapa siswa pada pembelajaran terutama pada saat
penyampaian materi prasyarat karena pembelajaran pada pertemuan keempat ini berlangsung
setelah jam pelajaran olahraga. Beberapa orang mulai lebih bisa mengontrol konsentrasi
mereka setelah pembelajaran mulai masuk pada tahap melukis garis singgung persekutuan
dalam. Pada saat berdiskusi siswa tetap dapat berkonsentrasi dan berperan aktif. Pada akhir
pembelajaran PR diberikan kepada siswa yang berisi soal-soal berpikir kritis mengenai
materi garis singgung persekutuan dalam dua lingkaran.
Pada kelas kontrol pembelajaran dilakukan pembelajaran seperti biasa oleh guru. Guru
menerangkan materi garis singgung persekutuan dua lingkaran secara ekspositori,
memberikan rumus, latihan soal, lalu mengerjakan bersama-sama. Soal yang diberikan untuk
PR adalah soal rutin dan guru meminta siswa untuk mengembangkannya sendiri.
Setelah dilakukan pembelajaran, siswa di kelas kontrol dan kelas eksperimen diberi tes
kemampuan berpikir kritis yang sama. Kemudian tes dianalisis untuk mengetahui keefektifan
penerapan model probing-prompting dan peningkatan kemampuan berpikir kritis.
Keefektifan penerapan model probing-prompting dilihat dari hasil tes kemampuan berpikir
kritis pada siswa kelas VIIIA SMP Muhammadiyah Wonosobo yang melaksanakan
pembelajaran menggunakan model probing-prompting mencapai ketuntasan dengan batas
ketuntasan 65 dan 75% dari jumlah siswa yang ada di kelas tersebut telah tuntas belajar serta
nilai rata-rata hasil tes kemampuan berpikir kritis siswa yang melaksanakan pembelajaran
menggunakan model probing-prompting lebih baik dari nilai rata-rata tes kemampuan
berpikir kritis siswa yang melaksanakan pembelajaran ekspositori. Peningkatan dilihat dari
kemampuan berpikir kritis siswa setelah melaksanakan pembelajaran dengan model probing-
prompting lebih baik dari kemampuan berpikir kritis siswa sebelum melaksanakan
pembelajaran dengan menggunakan model probing-prompting. Hasil analisis dapat
dijabarkan sebagai berikut.
a) Uji Proporsi (Uji Ketuntasan)
Berdasarkan hasil analisis statistik pembelajaran pada kelompok eksperimen dengan
menggunakan model pembelajaran probing-prompting, memenuhi standar kelulusan 75 %
siswa telah mencapai batas ketuntasan minimal yaitu 65. Standar ketuntasan klasikal minimal
terlihat dari hasil uji proporsi satu pihak yaitu Z(0,5-) = Z0,45 = 1,64 dan Zhitung = 1,68. Jadi
Z hitung 1,68 1,64 Z tabel maka H0 ditolak. Dapat disimpulkan bahwa hasil belajar
matematika siswa yang menggunakan model probing-prompting pada materi garis singgung
persekutuan kelas VIIIA SMP Muhammadiyah Wonosobo telah mencapai ketuntasan. Hasil
ini didukung oleh penelitian Fajri (2010) di Mts Al-Muklis Cangkuang Kabupaten Bandung
mengenai peningkatan hasil belajar segiempat dengan menggunakan probing. Pembelajaran
dengan probing mencapai ketuntasan. Seluruh siswa berhasil mencapai batas nilai minimal
yaitu 60 dengan rata-rata nilainya adalah 79.
Berdasarkan hasil postes yang dilaksanakan di kelas eksperimen yaitu kelas VIIIA
sebanyak 33 dari 38 siswa berhasil memperoleh nilai diatas 65. Nilai terendah adalah 54,05

36
dan nilai tertinggi adalah 94,59. Setelah hasil postes dijabarkan dapat terlihat pencapaian
tahap pertama dan kedua berpikir kritis dari Ennis (2000) mencapai 100%. Artinya dari
keseluruhan soal, semua siswa dapat mengerjakan minimal sampai tahap klarifikasi dasar dan
tahap memberikan alasan untuk suatu keputusan. Siswa yang mencapai tahap klarifikasi
dasar, tahap memberikan alasan untuk suatu keputusan, dan tahap menyimpulkan rata-rata
ada 89,47%. Siswa yang mampu mencapai klarifikasi dasar sampai tahap klarifikasi lebih
lanjut rata-rata ada 48,42%, dan siswa yang berhasil mencapai kelima tahap sampai tahap
terakhir yaitu tahap dugaan dan keterpaduan rata-rata ada 46,84%.
b) Uji Perbedaan Rata-rata
Berdasarkan hasil analisis statistik setelah dilakukan pembelajaran pada kelompok
eksperimen dengan menggunakan model probing-prompting dan kelompok kontrol terlihat
bahwa kemampuan berpikir kritis kedua kelas tersebut berbeda secara nyata atau signifikan.
Hal ini terlihat dari hasil uji t yaitu dan karena t hitung t tabel
berarti H0 ditolak, dengan kata lain bahwa kemampuan berpikir kritis siswa kelas VIIIA SMP
Muhammadiyah Wonosobo dengan model probing-prompting lebih baik daripada
kemampuan berpikir kritis siswa kelas VIIIC SMP Muhammadiyah Wonosobo dengan model
pembelajaran ekspositori.
Berdasarkan hasil penjabaran nilai postes kelas kontrol dan kelas eksperimen dapat
dilihat bahwa pada kelas eksperimen siswa yang dapat mencapai tahap pertama dan kedua
berpikir kritis dari Ennis (2000) mencapai 100% sedangkan pada kelas kontrol hanya 35%
saja. Perbedaan tingkat pencapaian tahap kemampuan berpikir kritis juga ada yang terlihat
pada saat pembelajaran, yaitu salah satunya adalah kemampuan bertanya dan menjawab
pertanyaan yang menantang dan sikap ingin mendapatkan informasi sejelas-jelasnya. Di kelas
eksperimen siswa terlihat antusias dalam menjawab serangkaian pertanyaan dari peneliti dan
beberapa siswa berani bertanya jika ada hal yang belum benar-benar siswa pahami sedangkan
di kelas kontrol siswa hanya menerima pembelajaran dari guru, saat diberi kesempatan untuk
bertanya tidak ada siswa yang bertanya.
c) Uji t (Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis)
Peningkatan kemampuan berpikir kritis yang signifikan juga terjadi di kelas
eksperimen. Setelah dilakukan perhitungan diperoleh seluruh Gain (d) bernilai positif, nilai
Md = 68,918, serta t = 56,293. Dengan dk = 38 1 = 37 dan = 0,05, dari daftar nilai t
diperoleh ttabel = 2,68. Dari hasil perhitungan diperoleh thitung = 56,293 > 2,68 = ttabel. Jadi Ho
ditolak, artinya rata-rata kemampuan berpikir kritis kelas eksperimen setelah perlakuan lebih
dari rata-rata kemampuan berpikir kritis kelas eksperimen sebelum perlakuan.
Saat pretes hampir seluruh siswa hanya mencapai tahap pertama berpikir kritis
menurut Ennis yaitu tahap klasifikasi dasar, hanya ada dua orang yang berhasil mencapai
tahap kedua itupun hanya pada soal no 1, tidak ada yang berhasil mencapai tahap ketiga.
Tetapi setelah siswa menerima pembelajaran dengan model probing-prompting seluruh siswa
dapat mencapai minimal sampai tahap yang kedua, bahkan yang mencapai tahap ketiga rata-
rata ada 89,47%, tahap keempat 48,42%, dan tahap kelima 46,84%. Keadaan yang jelas
terlihat adalah keberanian siswa untuk bertanya dan selalu aktif dalam berdiskusi serta
menyimpulkan hasil diskusi mereka. Hal ini didukung oleh Gokhale (1995) yang menyatakan
bahwa pembelajaran kolaboratif melalui diskusi kelompok kecil juga direkomendasikan
sebagai strategi yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis.
Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa hasil belajar siswa yang menggunakan model
probing-prompting dapat mencapai kriteria ketuntasan minimal yang telah ditetapkan oleh
SMP Muhammadiyah Wonosobo yaitu minimal 75% peserta didik dapat mencapai nilai
minimal 65, kemampuan berpikir kritis siswa yang menerapkan model probing-prompting
lebih baik dari kemampuan berpikir kritis siswa yang menerapkan pembelajaran ekspositori
pada materi pokok garis singgung persekutuan, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa

37
model pembelajaran probing-prompting lebih efektif jika diterapkan. Terlihat juga bahwa ada
peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa yang signifikan antara sebelum menerima
pembelajaran dengan menggunakan model probing-prompting dan sesudahnya. Hal ini
menunjukan bahwa penerapan model probing-prompting dapat meningkatkan kemampuan
berpikir kritis siswa pada materi garis singgung persekutuan dua lingkaran..

Penutup
Simpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah pembelajaran matematika dengan
menggunakan model probing-prompting efektif dibandingkan penerapan model pembelajaran
ekpositori di kelas VIII SMP Muhammadiyah Wonosobo pada materi garis singgung
persekutuan dua lingkaran. Uraian dari simpulan tersebut adalah pembelajaran dengan
menggunakan model probing-prompting mencapai ketuntasan, kemampuan berpikir kritis
siswa yang melaksanakan pembelajaran dengan model probing-prompting lebih baik dari
kemampuan berpikir kritis siswa yang melaksanakan pembelajaran ekspositori, dan
penerapan model probing-prompting dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.

Daftar Pustaka

Bailin, S. 1987. Critical and Creative Thinking. Informal Logic, 9(1) : 23-30.
Collison, G., B. Elbaum, et al. 2000. Facilitating Online Learning: Effective Strategies for
Moderators. Online. Tersedia di http://www.ntlf.com/html/lib/suppmat/103chap7.pdf diakses
[22-04-2012].
Darlan, S. 2009. Strategi dan Model Pembelajaran Berorientasi pada Kemampuan Peserta Didik.
Pedagogik Jurnal Pendidikan, 1(6): 1-15.
Ennis, R. H. 2000. An Outline of Goals for a Critical Thinking Curriculum and Its Assessment An
Outline of Goals for a Critical Thinking Curriculum and Its Assessment. Online. Tersedia di
http://criticalthinking.net/goals.html [diakses 25-5-2011].
Fajri. 2010. Analisis Peningkatan Hasil Belajar Segiempat dengan Menggunakan Pembelajaran
Teknik Probing: Studi Deskriptif di Kelas VII MTs Al-Muklis Cangkuang Kabupaten Bandung.
Skripsi. FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia.
Fisher. 2001. Critical Thinking an Introduction. New York: Cambridge University Press.
Glazer, E. 2001. Using Web Sources to Promote Critical Thinking in High School Mathematics.
Online. Tersedia di http://math.unipa.it/~grim/AGlazer79-84.PDF [diakses 15-03-2012].
Inch, E. S., B. Warnick & D. Endress. 2006. Critical Thinking and Communication (5th ed.). New
York: Pearson Education,Inc.
Krismanto. 2003. Beberapa Teknik, Model, dan Strategi dalam Pembelajaran Matematika. Bahan
Ajar Pelatihan Instruktur/Pengembang SMU. Yogyakarta: PPPG Matematika Depdiknas.
McCune, S. L. & V. C. Alexander. 2007. CliffTestPrep FTCE : Professional Education Test. NJ:
Wiley publishing, Inc.
Muflikh. 2010. Matematika Menjadi Momok UN. Malang Post,1 Februari. Hlm. 7
Silberman, Mel. 1996. Active Learning: 101 strategies to teach any subject. Massachusetts: A Simon
& Schuster Company.
Suyatno. 2009. Menjelajah Pembelajaran Inovatif. Sidoarjo: Masmedia Buana Pustaka.

38
Kepedulian Dosen dalam Meningkatkan Kemampuan Pemahaman
Matematis Mahasiswa melalui Strategi Pembelajaran Konflik Kognitif

Andri Suryana
Universitas Indraprasta PGRI Jakarta
andri_itbu@yahoo.com

Abstrak
Banyak mahasiswa gagal atau tidak memberi hasil yang baik dalam pelajaran
matematika karena mereka tidak mengetahui cara-cara belajar yang efisien dan efektif,
mereka kebanyakan hanya mencoba menghafal pelajaran dan memasukan ilmu tanpa ada
penyaringan terlebih dahulu, sehingga tidak paham benar konsep urutannya yang berakibat
timbulnya miskonsepsi. Untuk mengatasi hal tersebut, diterapkanlah strategi pembelajaran
konflik kognitif. Dalam strategi tersebut, mahasiswa diberikan soal yang dapat menimbulkan
konflik kognitif, yang selanjutnya dosen harus mengarahkan mahasiswanya agar dapat
menyelesaikan soal tersebut. Seorang dosen hendaknya peduli terhadap apa yang dihadapi
mahasiswa, misalnya dengan memberikan motivasi, peduli terhadap mahasiswa yang
memiliki kemampuan akademik rendah dengan cara lebih fokus lagi terhadap permasalahan
yang dihadapi dalam belajar matematika. Dengan kepedulian dosen terhadap mahasiswa
melalui strategi pembelajaran konflik kognitif inilah diharapkan dapat meningkatkan
pemahaman matematis mahasiswanya..

Kata kunci: kemampuan pemahaman matematis, strategi pembelajaran konflik kognitif,


kepedulian.

Pendahuluan
Matematika adalah salah satu ilmu dasar yang merupakan tiang topang perkembangan
IPTEK. Matematika selain dapat berkembang secara mandiri, juga berkembang atas tuntutan
keperluan bidang-bidang lain. Oleh karena itu, penguasaan materi matematika bagi
mahasiswa perlu ditingkatkan demi kelangsungan hidup di masa mendatang dan dalam
kebutuhan sehari-hari.
Menurut Dahar (dalam Abdusyakir, 2007), banyak mahasiswa gagal atau tidak
memberi hasil yang baik dalam pelajarannya karena mereka tidak mengetahui cara-cara
belajar yang efisien dan efektif. Mereka kebanyakan hanya mencoba menghafal pelajaran dan
memasukan ilmu tanpa ada penyaringan terlebih dahulu, sehingga tidak paham benar konsep
urutannya. Padahal matematika bukan materi untuk dihafal, melainkan memerlukan
penalaran dan pemahaman yang lebih. Akibatnya, jika diberi tes atau evaluasi, mahasiswa
mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal, walaupun bentuk soal tersebut hampir sama
dengan soal yang pernah dipelajarinya sehingga tidak heran jika banyak orang memandang
matematika sebagai bidang studi paling sulit. Sulit dalam mempelajarinya dan sulit juga
dalam menyelesaikan soalnya.
Materi matematika yang sulit dipahami oleh mahasiswa berpotensi menimbulkan
miskonsepsi. Miskonsepsi biasa terjadi pada mahasiswa mengenai konsep yang sulit, salah
satunya adalah konsep Kalkulus Integral. Menurut Driver (dalam Wilantara, 2003),
miskonsepsi dapat bersumber dari pembelajaran di kampus, pembelajaran di luar kampus,
pengalaman sehari-hari, lingkungan sosial, dan intuisi. Hal ini perlu diluruskan karena
pemahaman yang salah akan menyulitkan mahasiswa untuk mempelajari materi berikutnya.
Oleh karena itu, pembelajaran harus dapat menyentuh bagian yang paling mendasar agar
terjadi perubahan konseptual pada diri mahasiswa tentang materi yang diajarkan.

39
Dalam penyelenggaraan pendidikan, dosen memegang peranan yang sangat penting
karena dosen bertanggung jawab menyebarluaskan gagasan-gagasan baru kepada mahasiswa
melalui proses belajar-mengajar dalam kelas. Mengingat penggunaan matematika diperlukan
di segala bidang, maka pengajaran matematika pada mahasiswa harus benar-benar
dioptimalkan, baik kualitas maupun kuantitasnya.
Dalam proses belajar-mengajar, dosen haruslah memiliki kemampuan dan wawasan
yang luas serta terampil menjelaskan materi. Selain itu, dosen harus memiliki kepedulian
yang tinggi kepada mahasiswanya agar mereka tidak mengalami kesulitan belajar. Dengan
melihat hasil belajar mahasiswa, maka dapat diketahui sejauh mana materi yang dikuasai,
sehingga dosen dapat memberikan bimbingan yang lebih baik melalui sikap kepedulian yang
tinggi terhadap mahasiswa dalam upaya meningkatkan pemahaman matematis
mahasiswanya.
Untuk meningkatkan pemahaman matematis mahasiswa, maka sumber kesulitan
belajar dan kesalahan yang dilakukan mahasiswa harus dapat segera diatasi karena mereka
akan selalu mengalami kesulitan jika kesalahan sebelumnya tidak diperbaiki terutama soal
yang memiliki karakteristik yang sama sehingga dengan menganalisis kesalahan mahasiswa,
dosen dapat mengetahui hasil belajar mahasiswa yang nantinya dapat digunakan untuk
memperbaiki proses belajar mengajar berikutnya.
Salah satu bentuk kepedulian dosen agar mahasiswa dapat meningkatkan pemahaman
matematisnya melalui strategi pembelajaran konflik kognitif. Strategi konflik kognitif akan
menciptakan ketidakseimbangan yang mengantarkan pada ketidakpuasan terhadap konsep
yang sudah ada, dan pada akhirnya mengantarkan kepada kesiapan untuk menerima konsep
baru. Oleh karena itu, penerapan strategi konflik kognitif untuk memfasilitasi perubahan
konsepsi mahasiswa pada konsep Kalkulus Integral. Uraian ini bertujuan untuk mengkaji
bagaimana kepedulian dosen dapat meningkatkan pemahaman matematis mahasiswa melalui
strategi pembelajaran konflik kognitif. Diharapkan dengan cara mengkaji tentang kepedulian
dosen dalam meningkatkan pemahaman matematis mahasiswa melalui strategi pembelajaran
konflik kognitif, dapat menjadi suatu referensi serta wacana bagi para praktisi pendidikan
matematika dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran agar lebih efektif dan efisien
dan hasil belajar matematika menjadi lebih baik.

Pembahasan
Kemampuan Pemahaman Matematis Mahasiswa
Istilah pemahaman terdapat beberapa terjemahan, Sumarmo (1987) menterjemahkan
sebagai understanding. Ansari (2003) mengatakan pemahaman sebagai terjemahan dari
istilah knowledge. Ruseffendi (2006) menyebutkan pemahaman sebagai terjemahan dari
comprehension. Terjemahan dari kata pemahaman oleh para peneliti beragam, itu
menunjukkan pemahaman menjadi salah satu fokus penelitian.
Anderson, et al. (2001) menyatakan bahwa understand is defined as constructing the
meaning of instructional messages, including oral, written, and graphic communication.
Mahasiswa dikatakan memahami sesuatu ketika mereka mampu mengkonstruksi makna dari
pesan-pesan pengajaran seperti komunikasi lisan, tulisan, dan grafik. Mahasiswa memahami
ketika mampu membangun hubungan antara pengetahuan yang baru diintegrasikan dengan
skema dan kognitif yang ada.
Menurut Anderson, et al. (2001), pemahaman terdiri dari tujuh jenis, yakni interpreting
(menginterpretasikan), exemplifying (memberikan contoh), classifying (mengklasifikasikan),
summarizing (meringkas), inferring (menyimpulkan), comparing (membandingkan), dan
explaining (menjelaskan).
Menurut Sumarmo (2000), pemahaman matematik adalah pemahaman yang meliputi:
(1) pemahaman mekanikal, instrumental, komputasional dan knowing how to: melaksanakan

40
perhitungan rutin, algoritma, dan menerapkan rumus pada kasus serupa (pemahaman
induktif); (2) pemahaman rasional, relasional, fungsional dan knowing: membuktikan
kebenaran mengkaitkan satu konsep dengan konsep lainnya, mengerjakan kegiatan
matematik secara sadar, dan memperkirakan suatu kebenaran tanpa ragu (pemahaman
intuitif).
Menurut Kilpatrick, dkk; Hiebert, dkk; Ball (Juandi, 2006:29), pemahaman
matematika (konsep) dalah pemahaman konsep-konsep matematika, operasi dan relasi dalam
matematika. Beberapa indikator dari kompetensi ini antara lain: dapat mengidentifikasi dan
menerapkan konsep secara algoritma, dapat membandingkan, membedakan, dan memberikan
contoh dan contoh kontra dari suatu konsep, dapat mengintegrasikan konsep dan prinsip yang
saling berhubungan.
Mahasiswa dikatakan memahami konsep jika mereka mampu mendefinisikan konsep,
mengidentifikasi dan memberi contoh atau bukan contoh dari konsep, mengembangkan
kemampuan koneksi matematik antar berbagai ide, memahami bagaimana ide-ide matematika
saling terkait satu sama lain sehingga terbangun pemahaman menyeluruh, dan menggunakan
matematika dalam konteks di luar matematika, sedangkan mahasiswa dikatakan memahami
prosedur jika mampu mengenali prosedur (sejumlah langkah-langkah dari kegiatan yang
dilakukan) yang didalamnya termasuk aturan algoritma atau proses menghitung yang benar.
Dari beberapa uraian di atas, pemahaman matematis dibatasi pada aspek-aspek
pemahaman konsep. Indikator untuk pemahaman konsep meliputi kemampuan mahasiswa
menginterpretasikan; mengklasifikasikan objek-objek menurut sifat-sifat tertentu;
menjelaskan; merumuskan dan melakukan perhitungan dalam matematika. Berikut ini
diberikan ilustrasi beberapa contoh soal yang berkaitan dengan masing-masing indikator
pemahaman matematis.

a) Aspek pemahaman konsep untuk indikator mengklasifikasikan objek-objek menurut


sifat-sifat tertentu.
Misalkan dalam materi teknik pengintegralan dalam Kalkulus Integral.
5 x 2 3x 2
x3 2 x2 dx
Tentukan integral dari !
Untuk menyelesaikan soal tersebut, mahasiswa dituntut untuk dapat mengklasifikasikan
bentuk soal tersebut ke dalam jenis-jenis teknik pengintegralan. Apakah soal tersebut
dapat diselesaikan dengan teknik integral substitusi 1, integral Parsial, integral substitusi
2, integral substitusi 3, atau integral fungsi rasional dengan fraksi parsial.
b) Aspek pemahaman konsep untuk indikator merumuskan dan melakukan perhitungan
dalam matematika.
Misalkan dalam materi Aplikasi Integral dalam Kalkulus Integral.
Tentukan volume benda putar jika diputar mengelilingi sumbu-y sejauh 3600pada daerah
yang dibatasi oleh parabola y x , parabola y 2 x , dan garis y 10 dan terletak di
2 2

kuadran I!
Untuk menyelesaikan soal tersebut, mahasiswa dituntut untuk merumuskan terlebih
dahulu bentuk integralnya dengan menggambar, kemudian baru melakukan perhitungan.

Strategi Pembelajaran Konflik Kognitif


Berdasarkan hasil temuannya, Piaget (dalam Dahar, 1989) mengungkapkan bahwa
pengetahuan dibangun dalam pikiran mahasiswa. Oleh karena itu, pengetahuan tidak dapat
dipindahkan begitu saja dari pikiran dosen kepada pikiran mahasiswa, tetapi melalui
pemerolehan yang diawali dengan terjadinya konflik kognitif. Terlebih lagi yang menyangkut
pada pembentukan pengetahuan fisik dan pengetahuan logika matematik. Pengetahuan ini

41
dibangun sendiri oleh mahasiswa melalui pengalaman dengan adanya peristiwa interaksi
antara struktur kognitif awal dengan informasi dari lingkungan.
Konflik kognitif merupakan pertentangan dalam pemikiran seseorang yang disebabkan
oleh adanya perbedaan antara struktur kognitif seseorang dan lingkungan (informasi
eksternal), atau di antara komponen-komponen yang berbeda dari struktur kognitif seseorang
(Lee & Kwon, 2003). Konflik kognitif terjadi pada saat berlangsungnya interaksi antara
konsepsi awal yang telah dimiliki mahasiswa dengan adanya fenomena-fenomena baru yang
ditemui mahasiswa. Fenomena baru dengan konsepsi awal tidak dapat diintegrasikan begitu
saja. Pengintegrasian memerlukan suatu modifikasi atau perubahan struktur kognitif
mahasiswa agar mencapai keseimbangan. Peristiwa ini akan tetap terjadi selama menerima
pengetahuan baru.
Berdasarkan teori perubahan konseptual, konflik kognitif dikenal sebagai faktor
penting dalam perubahan konseptual yang dialami oleh mahasiswa. Konflik kognitif terjadi
bila mahasiswa telah mengalami keraguan atas hipotesis awal yang disusunnya, karena
bertentangan dengan fakta yang ada. Mahasiswa menjadi tidak puas dan ragu atas konsepsi
yang dimilikinya. Konflik kognitif ini harus ditindaklanjuti dengan memberikan dorongan
dan tuntunan agar mereka menemukan sendiri konsep ilmiah.
Untuk menciptakan konflik kognitif, Niaz (1995) memberikan contoh beberapa situasi
yang sekaligus menjadi indikator terjadinya konflik kognitif dalam diri mahasiswa, yaitu:
1) Kejutan yang ditimbulkan oleh munculnya dugaan seseorang yang kontradiksi dengan
persepsinya atau dihasilkan dari timbulnya kegelisahan.
2) Pengetahuan yang penuh teka-teki, merasa gelisah, atau sebuah keingintahuan
intelektualnya.
3) Kekosongan akan pengalaman kognitif, seperti jika seseorang sadar bahwa sesuatu
dalam struktur kognitifnya telah hilang.
4) Ketidakseimbangan kognitif, dimana pertanyaan atau perasaan kosong muncul pada
situasi yang diberikan.

Strategi pembelajaran konflik kognitif berkembang dari model pembelajaran yang


dikenalkan oleh Piaget. Piaget menyatakan bahwa pengetahuan yang dibentuk oleh siswa
tidak terbentuk dengan sendirinya, melainkan melalui suatu proses. Pengamatan yang
dilakukan mahasiswa pada kehidupan sehari-harinya akan membentuk konsep baru yang
menurutnya masuk akal dan dapat diterima. Konsep yang dibentuk inilah yang sering disebut
sebagai konsepsi alternatif. Konsepsi alternatif ini akan dibawa dan digunakan mahasiswa
untuk menyelesaikan masalah ketika pembelajaran. Konsepsi alternatif akan membantu
proses pembelajaran jika konsepsi alternatif tersebut sesuai dengan konsep ilmiah.
Sebaliknya, konsepsi alternatif dapat menghambat proses pembelajaran jika tidak sesuai
dengan konsep ilmiah.
Langkah-langkah pokok yang ditempuh untuk menerapkan strategi pembelajaran
konflik kognitif dalam pembelajaran pada dasarnya terdiri atas 3 tahap sebagaimana yang
disarankan oleh Dreyfus et al dalam Partono (2003), yaitu :
1) Mengidentifikasi konsep mahasiswa sebelum memulai pembelajaran di kelas
(disequilibration).
2) Membangkitkan situasi konflik atau pertentangan dalam struktur kognitif mahasiswa
(reformulasi).
3) Menyiapkan dan member latihan, pertanyaan dan soal, untuk memantapkan konsep
baru yang telah dimiliki mahasiswa tersebut (kesadaran).

Berikut ini diberikan ilustrasi contoh soal yang menimbulkan konflik kognitif pada
materi teknik pengintegralan dengan integral parsial dalam Kalkulus Integral.

42
Apabila diberikan soal sebagai berikut :

1)
xe x dx

2)
x cos xdx

3)
e2 x cos 3x dx
Apabila kita amati soal Nomor 1 dan 2, terlihat bahwa soal tersebut dapat diselesaikan
dengan mudah. Hal ini dikarenakan pemisalan u untuk soal Nomor 1 dan 2 adalah x. Adapun
alasannya adalah x itu dapat diturunkan dan diintegralkan, serta jika diturunkan terus-
x
menerus akan habis (bernilai 0), sedangkan e (untuk soal Nomor 1) dan cos x (untuk soal
x
nomor 2) dapat diintegralkan dan diturunkan sehingga e dx (untuk soal nomor 1) dan
cos xdx (untuk soal Nomor 2) kita misalkan dv . Adapun penyelesaiannya adalah sebagai
berikut.

1)
xe x dx

Penyelesaian :
v e x dx e x
Misalkan u x , maka du dx , dan dv e dx , maka
x
, sehingga :
xe dx uv vdu
x

xe x e x dx
xe x e x c

2) x cos xdx
Penyelesaian :
v cos xdx sin x
Misalkan u x , maka du dx , dan dv cos xdx , maka ,
sehingga :
x cos xdx uv vdu
x sin x sin xdx
x sin x cos x c

Sekarang coba amati soal Nomor 3. Pada soal tersebut, mahasiswa mengalami
2x cos 3x
kebingungan dalam pemisalan u nya. Hal ini dikarenakan e dan apabila diturunkan
terus-menerus tidak akan habis (bernilai 0) meskipun fungsi tersebut dapat diintegralkan dan
diturunkan. Hal inilah yang menimbulkan konflik kognitif. Apabila kita misalkan u nya
2x cos 3x
adalah e atau (salah satu), maka penyelesaiannya tidak selesai. Soal tersebut akan
meminta pemisalan berulang-ulang sampai tak terhingga kalinya. Oleh karena itu, bentuk
soal nomor 3 ini dapat membangkitkan konflik kognitif.

Kepedulian Dosen
Seorang dosen yang peduli selalu mengarahkan energinya untuk peduli terhadap
mahasiswa. Dosen yang peduli memandang mahasiswa lebih penting daripada pelajaran/mata
kuliahnya. Dosen memahami bahwa tugasnya adalah menyediakan sebuah lingkungan bagi
mahasiswanya untuk dapat belajar isi pengetahuan secara spesifik sehingga mereka
berkembang menjadi pribadi-pribadi yang peduli. Dosen yang peduli mengembangkan
hubungan-hubungan dengan mahasiswanya, mendengarkan mahasiswanya, menciptakan

43
sebuah suasana yang hangat, mengetahui mahasiswanya secara individual, memperlihatkan
empati, dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan akademik dan emosional mahasiswanya.
Pengajaran yang peduli melibatkan hubungan-hubungan yang tulus dan bermakna
antara dosen dengan mahasiswanya. Lingkungan belajar yang peduli memungkinkan
mahasiswa merasa aman, belajar dari kesalahan dari apa yang diperbuatnya, serta bekerja
bersama-sama dengan orang lain dalam arti positif, sedangkan dosen dalam kelas bertugas
menghubungkan hal-hal tersebut dengan minat, budaya, dan pengalaman belajar terdahulu
mahasiswanya.
Bulach, Brown, and Potter (1998) menyatakan bahwa perilaku-perilaku yang perlu
dikembangkan oleh dosen untuk menciptakan lingkungan belajar yang peduli adalah
1) Kemampuan untuk mengurangi kecemasan
2) Keinginan untuk mendengarkan
3) Menghargai perilaku-perilaku yang pantas
4) Menjadi seorang teman
5) Menggunakan kritikan positif dan negatif secara tepat

Dengan mengembangkan kepedulian dosen terhadap mahasiswa dalam pembelajaran


matematika, maka akan berdampak positif terhadap psikologi mahasiswa. Mahasiswa akan
memiliki minat dan motivasi belajar yang tinggi, bahkan dapat meningkatkan hasil
belajarnya.

Kepedulian Dosen dalam Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Matematis


Mahasiswa melalui Strategi Pembelajaran Konflik Kognitif
Dosen tidak akan mampu melibatkan mahasiswa dalam kegiatan pembelajaran di kelas
manakala ia belum menyadari siapa sebetulnya yang berperan sebagai subjek dalam
pembelajaran tersebut. Yang paling penting, dosen seharusnya mempunyai kepedulian yang
tinggi dan peka terhadap kebutuhan belajar mahasiswanya. Ia selalu ingin tahu penyebab
ketidak-berhasilan pembelajaran di kelasnya. Seorang dosen harus menumbuhkan kepedulian
dan kemauan untuk mendengar, melihat, dan merasakan apa yang dialami oleh
mahasiswanya selama ini (Kurniawati, dalam http://myaghnee.blogspot.com/).
Dosen harus mencoba sekali saja, mengandaikan ia yang berada dalam posisi
mahasiswa. Setiap hari disuguhi gaya, cara dan model mengajar yang itu-itu juga. Aktivitas
mahasiswa terbatas pada mencatat konsep, rumus-rumus atau rangkuman materi dan contoh
soal, kemudian mengerjakan soal latihan dan menerima sejumlah soal sebagai tugas individu.
Lama-lama mahasiswa merasa seperti robot yang sudah diberi program, tidak mampu
berpikir kritis dan kreatif.
Kepedulian dosen sangat berperan penting terhadap peningkatan kemampuan
pemahaman matematis mahasiswa. Kepedulian dosen terhadap mahasiswa dapat berbentuk
suatu strategi pembelajaran matematika di kelas agar mahasiswa dapat menyerap dan
memahami materi yang disampaikan dosen. Salah satunya adalah melalui strategi
pembelajaran konflik kognitif. Strategi pembelajaran ini dilakukan untuk mengatasi
miskonsepsi. Hal ini karena materi matematika tergolong sulit.
Berikut ini diberikan contoh kasus kepedulian dosen dalam meningkatkan kemampuan
pemahaman matematis mahasiswa melalui strategi pembelajaran konflik kognitif untuk
pokok bahasan Kalkulus Integral.

Misalkan soal yang diberikan adalah Hitunglah


e2 x cos 3x dx !
Sebagaimana telah dibahas pada bagian sebelumnya, bahwa soal seperti ini dapat
menimbulkan konflik kognitif. Berdasarkan teori perubahan konseptual, konflik kognitif
dikenal sebagai faktor penting dalam perubahan konseptual yang dialami oleh mahasiswa.

44
Konflik kognitif terjadi bila mahasiswa telah mengalami keraguan atas hipotesis awal yang
disusunnya, karena bertentangan dengan fakta yang ada. Mahasiswa menjadi tidak puas dan
ragu atas konsepsi yang dimilikinya. Konflik kognitif ini harus ditindaklanjuti dengan
memberikan dorongan dan tuntunan agar mereka menemukan sendiri konsep ilmiah.
Untuk mencari penyelesaiannya, mahasiswa harus memahami konsep, meliputi
kemampuan menginterpretasikan; mengklasifikasikan objek-objek menurut sifat-sifat
tertentu; menjelaskan; merumuskan dan melakukan perhitungan. Ini merupakan indikator dari
kemampuan pemahaman matematis mahasiswa. Mahasiswa ada yang tertantang untuk
mengerjakannya, tetapi ada juga yang menyerah dan menunggu dosen atau teman
membahasnya. Untuk mengatasi masalah tersebut, diperlukanlah sosok dosen matematika
yang peduli terhadap masalah tersebut dengan memberikan dorongan dan tuntunan agar
mereka menemukan sendiri konsep ilmiah serta memberikan motivasi bahkan bimbingan
tanpa memberikan langsung jawabannya. Dosen harus dapat memotivasi mahasiswa bahwa
mereka mampu menyelesaikannya. Bila perlu, dosen mereview materi dasar integral dan
turunan untuk menyelesaikan masalah tersebut agar tidak terjadi miskonsepsi. Adapun
penyelesaian dari soal tersebut adalah

Misalkan :
u e2 x du 2e 2 x dx
1
dv cos 3x dx v cos 3x dx sin 3x
3
maka :
e cos 3x dx uv vdu
2x

1 1
e2 x sin 3x sin 3x 2e 2 x dx
3 3
1 2
e2 x sin 3x e 2 x sin 3x dx
3 3
Misalkan :
u e2 x du 2e 2 x dx
1
dv sin 3x dx v sin 3x dx cos 3x
3
sehingga

e cos 3x dx 3 e sin 3x 3 e sin 3x dx


2x 1 2x 2 2x

1 2
e 2 x sin 3x uv vdu
3 3
1 2 1 1
e 2 x sin 3x e 2 x cos 3x cos 3x 2e 2 x dx
3 3 3 3
1 2 1 2
e 2 x sin 3x e 2 x cos 3x e 2 x cos 3x dx
3 3 3 3
1 2 4
e 2 x sin 3x e 2 x cos 3x e 2 x cos 3x dx
3 9 9

45
13
9 e2 x cos 3x dx e 2 x sin 3x e 2 x cos 3x
1
3
2
9
1 2x 2 2x
e sin 3x e cos 3x
e cos 3x dx 3 9 c
2x
13
9

Berdasarkan penyelesaian di atas, terlihat bahwa pemisalan dilakukan sebanyak 2 kali.


4
e2 x cos 3x dx
Itu pun menggunakan teknik memindahkan 9 ke ruas kiri sehingga dapat
diperoleh hasilnya. Andaikan tidak menggunakan teknik memindahkan ke ruas kiri, maka
dibutuhkan pemisalan yang berulang-ulang. Disinilah peran dosen untuk mengarahkan
mahasiswanya agar dapat menyelesaikan soal tersebut. Dengan kepedulian dosen terhadap
mahasiswa melalui strategi pembelajaran konflik kognitif diharapkan dapat meningkatkan
pemahaman matematis mahasiswa.

Penutup
Strategi pembelajaran konflik kognitif memerlukan kesiapan dari dosen maupun
mahasiswa. Peran dosen untuk peduli terhadap kondisi mahasiswanya melalui kehadiran
strategi pembelajaran konflik kognitif harus lebih disadari dan diberdayakan.
Kepedulian dosen terhadap mahasiswanya melalui strategi pembelajaran konflik
kognitif dapat meningkatkan kemampuan pemahaman matematis mahasiswa. Ini merupakan
salah satu solusi untuk mengatasi miskonsepsi. Situasi seperti ini perlu diciptakan dengan
ditunjang dengan fasilitas yang memadai untuk meningkatkan hasil belajar mahasiswa.

Daftar Pustaka

Abdusyakir (2007). Ketika Kyai Mengajar Matematika. Malang: UIN Malang Press.
Anderson., et al. (2001). A Taxonomi for Learning Teaching and Assessing. New York:
Longman
Ansari. (2003). Menumbuhkembangkan Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Matematik
Siswa Sekolah Menengah Umum Melalui Think Talk Write. Disertasi Doktor pada PPS
UPI Bandung: tidak diterbitkan
Bulach, C., Brown, C., & Potter, L. (1998). Behaviors that create a caring learning
community. Journal for a Just and Caring Education, 4(4), 441-453.
Dahar (1989). Teori-teori Belajar. Jakarta : Erlangga.
Juandi, D. (2006). Meningkatkan Daya Matematik Mahasiswa Calon Guru Matematika
Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Disertasi Doktor pada PPS UPI: tidak
dipublikasikan.
Kurniawati, E. (2009). Usaha guru dalam melibatkan siswa dalam pembelajaran matematika
(antara teori dan pengalaman) [online]. Tersedia:
www.myaghnee.blogspot.com/2009/01/usaha-guru-dalam-melibatkan-siswa-
dalam.html [12 Juni 2012]
Lee at al. (2003). Depelopment of An Instrument for measuring cognitive conflict in
secondary-level science classes. Dalam journal of research in science teaching
[online]. Tersedia: www.rhodes.aegean.gr/ptde/labs/.../cognitive-conflict.pdf [12 mei
2012]

46
Niaz (1995). Cognitive conflict as a teaching strategy in solving chemistry problem: a
dialectic-constructivist perspective. Dalam journal of research in science technology
[online]. Tersedia: www.adsabs.harvard.edu/abs/ [10 mei 2012]
Partono (2003). Pengaruh strategi konflik kognitif dalam pembelajaran fisika terhadap
pemahaman siswa tentang gerak dan gaya. Tesis pendidikan IPA UPI. Tidak
diterbitkan.
Ruseffendi, E.T. (2006). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan
Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika Untuk Meningkatkan CBSA. Bandung:
Tarsito.
Stewart, J. (2003). Kalkulus Jilid 1. Ed. Ke-4. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Sumarmo, U. (1987). Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematik Siswa SMA
Dikaitkan dengan Penalaran Logik Siswa dan Beberapa Unsur

47
Keefektifan Pembelajaran Write-Pair-Share Berbantuan Kartu Kwartet
dalam Materi Pokok PLSV pada Peserta Didik Kelas VII

Anggia Shinta Devi


Universitas Negeri Semarang
Email: anggiashintadevi@gmail.com

Abstract
Many efforts to make learning result to be better. One of them is by applying Write-
Pair-Share (WPS) that in this reasearch appropriated with students condition. Beside
applying WPS, using quartet card game to make variation of giving exerciser are also able to
bring the student being active, to make them more enthusiasm, have motivation and interest
in learning activities which in turn is also useful in making the learning gain be better than
ever. This reasearch ams to prove effectiveness of implementation of WPS assisted quartet
card in PLSV subject matter in VII grade students. Population in this reasearch was a VII
grade students of SMP Negeri 20 Semarang. By using simple random sampling technique
obtained two sample class, namely VII B class as experiment class that implements WPS
assisted quartet card and VII A class as control class that implements exporitory learning.
The result shows student in class that implements WPS assisted quartet card who reached
KKM is more than 75% and learning gain average of student in class that implements WPS
learning assisted quartet card is more than learning result average of student in class that
implements exporitory learning. Student and teacher activity in WPS learning assisted
quartet card are in good criteria and 57.14% of students in class that implements WPS
learning assisted quartet card shows positive attitude towards mathematics. So WPS learning
assisted quartet card is applied effectively in PLSV subject matter in VII grade students.

Key word: effectivity; quartet card; Write-Pair-Share.

Pendahuluan
Menurut Johnson (Akbar 2010) pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran
yang menekankan adanya kerja sama antar peserta didik dengan kelompoknya untuk
mencapai tujuan pembelajaran. Banyak penelitian melaporkan rata-rata hasil belajar peserta
didik yang diajar dengan pembelajaran kooperatif lebih dari rata-rata hasil belajar peserta
didik yang tidak diajar dengan pembelajaran kooperatif. Salah satu diantaranya adalah
penelitian tindakan kelas yang dilakukan oleh Djumadi (2008) pada mata kuliah Konsep
Dasar IPA. Penelitian ini menunjukkan penerapan pembelajaran kooperatif yakni
pembelajaran TPS mampu meningkatkan rata-rata hasil belajar mahasiswa. Penelitian lain
yang dilakukan oleh Tahmir (2006) yaitu mengenai penerapan pembelajaran RESIK
(Realistik Setting Kooperatif) menunjukkan bahwa rata-rata hasil belajar matematika kelas
yang diajar dengan pembelajaran ini lebih baik dibanding kelas yang diajar secara
konvensional. Dengan demikian dapat dikatakan penerapan pembelajaran kooperatif mampu
membuat rata-rata hasil belajar menjadi lebih baik.
Salah satu pembelajaran kooperatif yang dapat diaplikasikan dalam pembelajaran
matematika adalah Write-Pair-Share (WPS). Pembelajaran WPS terdiri atas tiga tahap utama,
yaitu (a) write, peserta didik secara individual menjawab pertanyaan atau masalah yang
dikemukakan guru dengan cara menuliskan jawabannya; (b) pair, peserta didik
mendiskusikan jawaban tersebut secara berpasangan; (c) share, peserta didik
mempresentasikan jawabannya di kelas, dengan bimbingan guru (Ledlow 2001).
SMP Negeri 20 Semarang merupakan salah satu SMP Negeri yang memiliki input
peserta didik dengan nilai UN yang cukup tinggi. Meski demikian guru mengakui bahwa

48
hasil belajar peserta didik dirasa belum memuaskan. Salah satunya pada materi Persamaan
Linear Satu Variabel (PLSV) yang diajarkan di kelas VII yang perolehan rata-rata hasil
belajarnya adalah 58,3 dan ketuntasan klasikal 36% sehingga belum memenuhi KKM.
Padahal pada awal tahun pembelajaran 2011/2012 telah disepakati bahwa KKM untuk mata
pelajaran matematika secara individual 63 adalah dan secara klasikal adalah 75%. Informasi
tersebut diperoleh berdasarkan wawancara dengan guru matematika. Oleh karena itu itu,
diperlukan suatu usaha untuk membuat hasil belajar peserta didik khususnya pada materi
PLSV menjadi lebih baik.
Melalui wawancara terhadap salah satu guru matematika di sekolah ini guru
melaksanakan pembelajaran ekspositori. Pembelajaran ekspositori merupakan kegiatan
mengajar yang terpusat pada guru, guru aktif menjelaskan secara terperinci mengenai bahan
pembelajaran (Dimyati dan Mudjiono 2002). Pemilihan pembelajaran ekspositori ini didasari
asumsi guru bahwa pembelajaran yang melibatkan diskusi kelas hanya akan membuat
suasana kelas menjadi tidak terkontrol dan membutuhkan waktu yang lebih lama dan
mengakibatkan diskusi tidak dapat berjalan dengan baik. Asumsi tersebut timbul berdasarkan
pengalaman mahasiswa yang melaksanakan PPL di sekolah tersebut ketika menerapkan
pembelajaran NHT. NHT adalah pembelajaran yang mengatur peserta didik dalam kelompok
kecil yang terdiri dari 4 peserta didik (Widdiharto 2004). Berdasarkan pendapat-pendapat
tersebut maka pembelajaran WPS cocok diterapkan pada pembelajaran matematika di SMP
Negeri 20 Semarang karena pembagian kelompok dalam pembelajaran WPS lebih efisien
waktu (Pyke 2009).
Menurut Djamarah dan Zein (2002) media, salah satunya adalah media permainan,
juga dapat dimanfaatkan demi tercapainya tujuan pembelajaran. Hasil penelitian tindakan
kelas yang dilaksanakan Hartati (2009) menunjukkan permainan dapat membuat pelajaran
matematika menjadi lebih menarik bagi anak tuna grahita dan membuat nilai ulangan
harian peserta didik semakin baik/meningkat. Begitu pula dengan hasil penelitian
Komariyah dan Soeparno (2010) yang menunjukkan pemanfaatan media permainan kartu
hitung dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik. Dengan demikian dapat pula
dikatakan media permainan dapat membuat rata-rata hasil belajar peserta didik menjadi lebih
baik.
Berawal dari pendapat-pendapat tersebut muncul gagasan untuk menggunakan kartu
kwartet sebagai media permainan. Kartu kwartet adalah seperangkat kartu permainan yang
terbuat dari kertas tebal berbentuk persegi panjang dan memiliki aturan permainan yang
khusus (Budikarianto 2003). Harapannya media permainan ini dapat membuat rata-rata hasil
belajar pada materi PLSV lebih baik dibanding sebelumnya. Tentu saja kartu kwartet yang
digunakan dalam pembelajaran ini dikenai sedikit modifikasi agar sesuai dengan tujuan
pembelajaran. Modifikasi tersebut terletak pada visualisasi kartu dan aturan permainannya.
Modifikasi kartu secara visual terlihat pada isi kartu. Kartu kwartet ini setiap paketnya
terdiri 20-28 kartu berisi soal, yang dapat dimanfaatkan sebagai variasi dalam pemberian
latihan soal dan dilengkapi dengan lembar kerja kartu kwartet agar peserta didik dapat
menuliskan penyelesaian dari soal pada kartu yang dipegangnya sehingga lebih mudah untuk
menemukan kartu-kartu pasangannya. Karena sifatnya yang merupakan alat permainan, kartu
ini diharapkan mampu memunculkan keaktifan peserta didik, menambah semangat, motivasi,
dan minat dalam kegiatan pembelajaran. Karena kartu ini mudah dibuat, bahannya mudah
diperoleh, dan biaya pembuatannya pun murah maka kartu ini dapat digunakan dalam
pembelajaran sebagai media (Harjanto 2006).
Pada materi pokok PLSV peserta didik bukan hanya dituntut mampu melakukan
operasi-operasi hitung, melainkan harus terampil dalam menggunakan algoritma hitung.
Kemampuan untuk dapat hafal algoritma dan prosedur matematika serta cepat dan cermat
menggunakannya dapat dicapai dengan penggunaan metode latihan (Suherman 2003).

49
Metode latihan pada umumnya digunakan untuk memperoleh suatu ketangkasan atau
keterampilan dari apa yang telah dipelajari (Depdiknas 2008). Salah satu aplikasi metode
latihan ini adalah dengan memberikan soal latihan. Oleh karena itu dengan kartu kwartet ini
diharapkan peserta didik mendapat variasi pemberian soal latihan.
Meskipun telah didukung oleh berbagai landasan teori dan penelitian sebelumnya,
untuk mengetahui keefektifan pembelajaran WPS berbantuan kartu kwartet dalam
pembelajaran kelas VII pada materi pokok PLSV tetaplah harus dibuktikan dengan
mengadakan penelitian. Keefektifan tersebut dapat dilihat dari beberapa indikator sebagai
berikut. (1) Sekurang-kurangnya 75% peserta didik memperoleh nilai hasil belajar > 63. (2)
Hasil belajar peserta didik yang pembelajarannya menerapkan pembelajaran WPS berbantuan
kartu kwartet lebih baik daripada hasil belajar peserta didik yang pembelajarannya
menerapkan pembelajaran ekspositori. (3) Minimal aktivitas peserta didik dan guru termasuk
dalam kriteria baik. (4) Lebih dari 50% peserta didik yang pembelajarannya menerapkan
pembelajaran WPS berbantuan kartu kwartet memberikan sikap positif terhadap matematika.
Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut. (1)
Apakah hasil belajar peserta didik kelas VII yang pembelajarannya menerapkan pembelajaran
WPS berbantuan kartu kwartet pada materi pokok PLSV memenuhi KKM secara klasikal
yakni >75% dari banyaknya peserta didik tersebut dapat mencapai nilai >63? (2) Apakah
hasil belajar peserta didik kelas VII yang pembelajarannya menerapkan pembelajaran WPS
berbantuan kartu kwartet pada materi pokok PLSV lebih baik daripada hasil belajar peserta
didik yang pembelajarannya menerapkan pembelajaran ekspositori?
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai
berikut.(1) Untuk mengetahui hasil belajar peserta didik peserta didik kelas VII yang
pembelajarannya menerapkan pembelajaran WPS berbantuan kartu kwartet pada materi
pokok PLSV memenuhi KKM secara klasikal yakni 75% dari banyaknya peserta didik
tersebut dapat mencapai nilai >63. (2) Untuk mengetahui hasil belajar peserta didik kelas VII
yang pembelajarannya menerapkan pembelajaran WPS berbantuan kartu
kwartet pada materi pokok PLSV lebih baik daripada hasil belajar peserta didik yang
pembelajarannya menerapkan pembelajaran ekspositori.

Metode
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah peserta didik kelas VII SMP
Negeri 20 Semarang tahun ajaran 2011/2012. Peserta didik terbagi menjadi tujuh kelas yakni
kelas VII A, VII B, VII C, VII D, VII E, VII F, dan VII G. Penelitian ini merupakan
penelitian eksperimen sehingga membutuhkan kelas eksperimen dan kelas kontrol. Dari
populasi tersebut dengan menggunakan teknik simple random sampling dipilih dua kelas
sebagai kelas sampel yaitu satu sebagai kelas ekperimen (kelas VII B) dan satu kelas sebagai
kelas kontrol (kelas VII A). Di samping kedua kelas tersebut dipilih satu kelas lagi sebagai
kelas uji coba (kelas VII G). Kelas eksperimen dikenai pembelajaran WPS berbantuan kartu
kwartet, sedangkan kelas kontrol dikenai pembelajaran ekspositori. Untuk memperoleh data
penelitian, metode yang digunakan adalah metode dokumentasi, observasi, tes, dan skala
bertingkat.

Tabel 2.1 Desain Penelitian


Kelas Perlakuan Aspek yang diteliti
Eksperimen Pembelajaran WPS Hasil belajar peserta didik
berbantuan kartu kwartet
Kontrol Pembelajaran ekspositori Hasil belajar peserta didik

50
Analisis dalam penelitian ini antara lain analisis data awal dan analisis data akhir.
Analisis data awal dilakukan dengan mengambil nilai tengah semester gasaldari kedua kelas
sampel untuk kemudian dilakukan uji normalitas, uji homogenitas, dan uji kesamaan dua
rata-rata dengan menggunakan uji dua pihak. Uji data awal tersebut dilakukan guna
mengetahui kesamaan kondisi awal kedua kelas sampel sehingga penelitian dapat
dilaksanakan pada dua kelas tersebut. Analisis data akhir dilakukan dengan mengambil nilai
tes hasil belajar untuk kemudian diuji normalitas dan homogenitas untuk menentukan jenis
uji statistik selanjutnya. Jika data tersebut normal dan homogen maka uji hipotesis yang
dilaksanakan antara lain adalah uji proporsi satu pihak (uji pihak kanan), serta uji perbedaan
dua rata-rata dengan menggunakan uji satu pihak (uji pihak kanan)..

Hasil
Berdasarkan analisis data awal, diketahui bahwa populasi berdistribusi normal dan
memiliki varians yang homogen. Hasil uji kesamaan dua rata-rata menunjukkan bahwa kedua
sampel memiliki kemampuan awal yang sama. Analisis data akhir dilakukan setelah
diperoleh nilai tes hasil belajar pada materi pokok PLSV. Hasil analisis deskriptif data akhir
dapat dilihat pada tabel 3.1 berikut ini.

Tabel 3.1 Deskripsi hasil analisis data akhir


Kelas N Rata-rata Varians Fhitung Ftabel
Eksperimen 28 69,1 16,8 7,025 7,81
1,11 1,89
Kontrol 29 61,96 16,7 6,945 7,81

Berdasarkan tabel 3.1 pada kedua kelas sampel x_hitung^2<x_tabel^2 artinya data
pada kedua kelas sampel berdistribusi normal. Jadi nilai tes hasil belajar baik kelas yang
menerapkan pembelajaran WPS berbantuan kartu kwartet maupun kelas yang menerapakan
pembelajaran ekspositori berdistribusi normal. Dari tabel 3.1 juga terlihat Fhitung < Ftabel
maka berdasarkan nilai tes hasil belajarnya kedua kelas sampel homogen.
Oleh karena dari uji normalitas dan uji homogenitas menunjukkan kedua kelas sampel
berdistribusi normal dan homogen, dapat ditentukan uji hipotesis dilakukan dengan
menggunakan statistik parametris. Uji yang dilakukan antara lain uji proporsi yakni uji satu
pihak (uji pihak kanan) dan uji perbedaan dua rata-rata dengan menggunakan uji satu pihak
yakni uji pihak kanan.
Berdasarkan perhitungan uji proporsi yakni uji satu pihak diperoleh simpulan proporsi
peserta didik yang pembelajarannya menerapkan pembelajaran WPS berbantuan kartu
kwartet yang mencapai KKM lebih dari 75%. Hasil analisis tersebut dapat dilihat pada tabel
3.2 berikut ini.

Tabel 3.2 Hasil uji proporsi yakni uji satu pihak (uji pihak kanan)
Kelas N Rata-rata 0 0 zhitung ztabel Kriteria
Eksperimen 28 69,1 63 75% 0,4364 0,1736 H0 ditolak

Berdasarkan uji perbedaan dua rata-rata menggunakan uji satu pihak (uji pihak kanan)
diperoleh simpulan bahwa rata-rata hasil belajar peserta didik kelas yang menerapkan
pembelajaran WPS berbantuan kartu kwartet lebih dari rata-rata hasil belajar peserta didik
kelas yang menerapkan pembelajaran ekspositori. Hasil analisis tersebut dapat dilihat pada
tabel 3.3 berikut ini.

51
Tabel 3.3 Hasil uji perbedaan dua rata-rata menggunakan uji dua pihak
Kelas N Rata-rata thitung ttabel Kriteria
Eksperimen 28 69,1
1,831 1,673 H0 ditolak
Kontrol 29 61,6

Penelitian ini juga menggunakan skala sikap untuk mengetahui bagaimana sikap
terhadap matematika dari peserta didik yang diajar dengan menerapkan pembelajaran WPS
berbantuan kartu kwartet. Hasil dari pengisian skala sikap ini dideskripsikan dalam nilai yang
kemudian diinterpretasikan dalam 3 kategori yaitu peserta didik yang bersikap negatif,
sedang, dan positif terhadap matematika. Berikut ini adalah rekapitulasi karakteristik sikap
peserta didik terhadap matematika. Berdasarkan pengkategorian tersebut terlihat kriteria
keefektifan pembelajaran WPS berbantuan kartu kwartet dalam materi pokok PLSV
terpenuhi yakni lebih dari 50% peserta didik yang pembelajarannya menerapkan
pembelajaran WPS berbantuan kartu kwartet memberikan sikap positif terhadap matematika.

Tabel 3.4 Rekapitulasi karakteristik sikap peserta didik terhadap matematika


Kelas Eksperimen Kelas Kontrol
Karakteristik sebanyak sebanyak
% %
(peserta didik) (peserta didik)
negatif 0 0,00% 0 0,00%
sedang 12 42,86% 20 71,43%
positif 16 57,14% 9 32,14%

Pada tiap pertemuan dilakukan observasi terhadap aktivitas peserta didik baik di kelas
eksperimen maupun kelas kontrol. Berikut ini adalah rekapitulasi persentase aktivitas peserta
didik di kelas eksperimen dan kelas kontrol pada pertemuan pertama hingga terakhir.

Tabel 3.5 Rekapitulasi persentase aktivitas peserta didik


Kelas Eksperimen Kelas Kontrol
Pertemuan ke Persentase Kriteria Persentase Kriteria
1 68,30% Baik 64,30% Baik
2 73,30% Baik 73,20% Baik
3 76,70% Baik 80,40% Baik

Pada tiap pertemuan dilakukan pula observasi terhadap aktivitas guru baik di kelas
eksperimen maupun kelas kontrol. Berikut ini adalah rekapitulasi persentase aktivitas guru di
kelas eksperimen (kelas yang menerapkan pembelajaran WPS berbantuan kartu kwartet) dan
kelas kontrol (kelas yang menerapkan pembelajaran ekspositori) pada pertemuan pertama
hingga terakhir.

Tabel 3.6 Rekapitulasi persentase aktivitas Guru


Kelas Eksperimen Kelas Kontrol
Pertemuan ke
Persentase Kriteria Persentase Kriteria
1 64,29% Baik 66,67% Baik
2 83,93% Sangat Baik 86,11% Sangat Baik
3 91,07% Sangat Baik 88,89% Sangat Baik

52
Berdasarkan tabel 3.5 dan tabel 3.6 terlihat bahwa salah satu kriteria keefektifan
pembelajaran WPS berbantuan kartu kwartet dalam materi pokok PLSV telah terpenuhi yakni
aktivitas peserta didik dan guru pada pembelajaran pertemuan 1, 2, dan 3 termasuk dalam
kriteria baik.
Pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan model WPS berbantuan kartu kwartet
pada pertemuan pertama mengalami beberapa hambatan. Ketika guru memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk menuliskan jawaban dari soal latihan di papan tulis,
peserta didik masih malu menunjukkan jawabannya meskipun peserta didik mampu
mengerjakannya. Oleh karena itu, guru memberikan motivasi agar peserta didik lebih berani
dalam menyampaikan jawabannya. Di samping itu, peserta didik juga belum memahami
penerapan model WPS dalam pembelajaran. Hal tersebut terlihat pada tahap write. Beberapa
peserta didik tidak mengerjakan sendiri lembar kerja kartu kwartetnya melainkan
mengerjakannya dengan berdiskusi. Sedangkan, sebagian peserta didik yang lain terlihat
hanya mengandalkan pekerjaan dari temannya. Hambatan juga terjadi pada waktu permainan
kartu kwartet dilakukan. Permainan ini merupakan hal baru bagi peserta didik maupun guru,
maka butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Guru membutuhkan waktu yang cukup lama
untuk menjelaskan aturan permainan ini hingga peserta didik benar-benar paham.
Hambatan mulai berkurang pada pembelajaran berikutnya. Beberapa peserta didik
sudah berani untuk menuliskan jawaban tanpa ditunjuk oleh guru. Kegiatan pada tahap write
juga lebih teratur, meskipun masih terdapat peserta didik yang hanya mengandalkan jawaban
temannya. Permainan kartu kwartet juga berjalan lebih lancar dari pertemuan sebelumnya
meski masih terkendala kurangnya waktu permainan.

Gambar 3.1 Contoh penyelesaian soal oleh peserta didik

Pada materi pokok PLSV peserta didik bukan hanya dituntut mampu melakukan
operasi-operasi hitung, melainkan harus terampil dalam menggunakan algoritma hitung.
Kemampuan untuk dapat hafal algoritma dan prosedur matematika (gambar 3.1) serta cepat
dan cermat menggunakannya dapat dicapai dengan penggunaan metode latihan (Suherman
2003). Metode latihan pada umumnya digunakan untuk memperoleh suatu ketangkasan atau
keterampilan dari apa yang telah dipelajari (Depdiknas 2008). Salah satu aplikasi metode
latihan ini adalah dengan memberikan soal latihan. Dalam penelitian ini latihan soal dikemas
dalam permainan kartu kwartet. Pengemasan latihan soal ke dalam suatu bentuk permainan
bertujuan agar peserta didik merasa pelajaran matematika lebih menarik dan mampu
membuat hasil belajar peserta didik menjadi lebih baik. Hal tersebut didukung oleh penelitian
tindakan kelas yang dilakukan Hartati (2009) serta Komariyah dan Soeparno (2010).
Pembelajaran WPS berbantuan kartu kwartet ini telah mampu diterima oleh peserta
didik. Hal ini dapat dibuktikan dengan hasil pengisian skala sikap terhadap matematika. Pada
kelas eksperimen terdapat 16 peserta didik yang bersikap positif terhadap matematika.
Sedangkan sisanya menunjukkan kategori sedang.

53
Pembelajaran yang diterapkan pada kelas kontrol adalah pembelajaran ekspositori.
Dalam pembelajaran ini guru menjelaskan materi secara terurut kemudian peserta didik diberi
waktu mengerjakan latihan soal. Setelah selesai mengerjakan soal beberapa peserta didik
diminta untuk mengerjakan soal latihan tersebut di papan tulis lalu guru bersama-sama
dengan peserta didik lain mengoreksi jawaban tersebut dan kemudian guru memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk bertanya mengenai hal-hal yang belum dipahami. Di
akhir pembelajaran guru menegaskan kembali mengenai materi yang dipelajari kemudian
memberi PR kepada peserta didik.
Pembelajaran ekspositori pada awalnya membuat peserta didik lebih tenang dan lebih
mudah diatur karena pusat kendali berada di tangan guru. Hal yang demikian menyebabkan
guru kurang memahami kondisi peserta didik karena baik peserta didik yang sudah
memahami pelajaran dan yang belum memahami pelajaran hanya diam saja. Peserta didik
yang belum paham tersebut enggan untuk bertanya kepada guru. Selain itu peserta didik juga
merasa bosan dengan pembelajaran yang monoton sehingga cenderung tidak menaruh
perhatian pada pembelajaran. Hal ini diperkuat dengan hasil pengisian skala sikap terhadap
matematika. Pada kelas kontrol banyaknya peserta didik yang menunjukkan sikap positif
hanya 9 peserta didik. Sedangkan sisanya menunjukkan sikap sedang.
Berdasarkan perhitungan seperti yang dideskripsikan pada tabel 3.3 diperoleh
simpulan hasil belajar kelas yang menerapkan pembelajaran WPS berbantuan kartu kwartet
lebih baik daripada hasil belajar kelas yang menerapkan pembelajaran ekspositori. Faktor-
faktor yang mempengaruhi hal tersebut antara lain sebagai berikut.
1. Pada kelas yang menerapkan pembelajaran WPS berbantuan kartu kwartet terdapat kerja
sama antar peserta didik (dalam tahap pair). Kondisi ini berdampak positif terhadap hasil
belajar sebab peserta didik merasa lebih nyaman ketika menyelesaikan permasalahan
dengan cara berdiskusi dengan teman sebangkunya. Hal tersebut sesuai dengan yang
diungkapkan oleh Miller dan Peterson (n.d.) bahwa strategi pembelajaran kooperatif
muncul untuk menjanjikan efek positif bagi peserta didik yang tercermin dalam hasil
belajarnya yang lebih baik dibanding sebelumnya. Pada kelas yang menerapkan
pembelajaran ekspositori guru hanya menerangkan dan membahas soal secara klasikal
sehingga membuat peserta didik lekas bosan.
2. Pada pembelajaran di kelas yang menerapkan pembelajaran WPS berbantuan kartu
kwartet, guru merancang diskusi berpasangan dengan teman sebangku untuk
menyelesaikan soal-soal yang terdapat pada kartu kwartet. Akibatnya tiap-tiap anggota
kelompok berpartisipasi aktif dalam diskusi. Hal tersebut sesuai dengan apa yang
disampaikan oleh Djumadi (2008) yakni manfaat diskusi berpasangan ini adalah untuk
menumbuhkan keterlibatan mahasiswa secara aktif dalam mengembangkan pengetahuan.
Vygotsky dalam Asikin (2004) pun berpendapat bahwa interaksi sosial, yaitu interaksi
individu tersebut dengan orang-orang lain yang dalam penelitian ini adalah teman
sebangku, merupakan faktor yang terpenting yang mendorong atau memicu
perkembangan kognitif seseorang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keterlibatan
peserta didik secara aktif dalam kegiatan diskusi dapat membuat rata-rata hasil belajar
peserta didik menjadi lebih baik.
Pembelajaran WPS berbantuan kartu kwartet ini telah mampu diterima oleh peserta
didik. Hal ini dapat dibuktikan dengan hasil pengisian skala sikap terhadap matematika. Pada
kelas eksperimen terdapat 16 peserta didik yang bersikap positif terhadap matematika. Inilah
yang membuat rata-rata hasil belajar kelas eksperimen menjadi lebih baik. Hal tersebut sesuai
dengan yang dijelaskan oleh Depdiknas (2008) bahwa keberhasilan pembelajaran dalam
ranah kognitif dipengaruhi oleh kondisi afektif peserta didik.

54
Penutup
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
Write-Pair-Share berbantuan kartu kwartet efektif diterapkan dalam materi pokok PLSV pada
peserta didik kelas VII. Indikator efektif yang dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut. (a) Peserta didik kelas VII yang diajar dengan menerapkan pembelajaran WPS
berbantuan kartu kwartet memenuhi KKM secara klasikal yakni > 75% dari banyaknya
peserta didik tersebut dapat mencapai nilai >63. Rata-rata hasil belajar yang diperoleh adalah
69,1. (b) Hasil belajar peserta didik kelas VII yang pembelajarannya menerapkan
pembelajaran WPS berbantuan kartu kwartet pada materi pokok PLSV lebih baik daripada
hasil belajar peserta didik yang pembelajarannya menerapkan pembelajaran ekspositori. (c)
Berdasarkan hasil observasi, aktivitas peserta didik dan guru termasuk dalam kriteria baik. (4)
57,14 % peserta didik yang pembelajarannya menerapkan pembelajaran WPS berbantuan
kartu kwartet menunjukkan sikap positif terhadap matematika.

Daftar Pustaka

Akbar, Arizna Putra. 2010. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Metode Student Teams
Achievement Division (STAD) Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran
Komunikasi. Skripsi.
Asikin, M. 2004. Bahan Pelatihan Matematika: Teori-teori Belajar Matematika. Disusun sebagai
bahan pelatihan terintegrasi guru SMP.
Budikarianto, Joko Susilo. 2003. Permainan Kartu Quartet Sebagai Model Kegiatan Berbicara
dalam Bahasa Inggris. Disajikan pada pada simposium guru ke VI tanggal 13 17 Oktober
2003 di Batu Malang Jawa Timur. Online. Tersedia di
http://aguswuryanto.WORDPRESS.com/2010/08/01/Permainan-kartu-%E2%80%9C
quartet%E2%80%9D-sebagai-model-kegiatan-berbicara-dalam-bahasa-inggris/ [diakses 11 mei
2012]
Depdiknas. 2008. Panduan Pengembangan Bahan Ajar. Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan
Dasar dan Menengah. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas.
------------. 2008. Penetapan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Direktorat Jenderal Manajemen
Pendidikan Dasar dan Menengah. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas.
------------. 2008. Pengembangan Perangkat Afektif. Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar
dan Menengah. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas.
-------------. 2008. Rancangan Penilaian Hasil Belajar. Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan
Dasar dan Menengah. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas.
-------------. 2008. Strategi Pembelajaran dan Pemilihannya. Direktorat Tenaga Kependidikan.
Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan.
Dimyati dan Mudjiono. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Djamarah, Syaiful Bahri dan Aswan Zain. 2002. Strategi Belajar Mengajar (Cetakan kedua). Jakarta:
Rineka Cipta.
Djumadi. 2008. Peningkatan Kualitas pembelajaran Konsep Dasar IPA Melalui Penerapan Model
TPS. Varia Pendidikan, Vol.20, No. 1, Juni 2008. Tersedia di
http://jurnal.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html?act=tampil&id=10043&idc=32 [diakses
02/02/2011]
Harjanto. 2006. Perencanaan Pengajaran. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Hartati, Sri. Media Pembelajaran Permainan Kartu Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika
Bagi Anak Tuna Grahita Kelas D1/C SLB/B-C YPAALB Langenharjo Tahun Ajaran
2008/2009. Skripsi. Jurusan Manajemen Universitas Negeri Malang. Online. Tersedia di
http://digilib.uns.ac.id/upload/dokumen/101791109200910 441.pdf [diakses 28/06/2011]

55
Komariyah, Zuhrotul dan Soeparno. 2010. Pengaruh Pemanfaatan Media Permainan Kartu Hitung
Terhadap Hasil Belajar Siswa Materi Ajar Operasi Hitung Campuran Mata Pelajaran
Matematika Kelas III SDN Babat Jerawat I Surabaya. Jurnal Teknologi Pendidikan, Vol. 10
No. 1, April 2010 (63-73). Tersedia di http://www.unesa.ac.id /bank/jurnal/tp-101-7-
Pengaruh_Pemanfaatan_Media_Permainan_Kartu_Hitung_ Terhadap_Hasil_Belajar.pdf
[diakses 28/06/2011]
Ledlow, Susan. 2001. Using Think-Pair-Share in the College Classroom. Online. Tersedia di
www.hydroville.org/system/files/team_thinkpairshare.pdf [diakses 28/06/2011]
Miller, C.K. dan Reece L. Peterson. n.d. Cooperatif Learning. Online. Tersedia di
www.indiana.edu/~safeschl.
Pyke, Garvey.2009. Active Learning is as Easy as Think-Write-Pair-Share. Online. Tersedia di
teaching.uncc.edu [diakses 16/08/2011]
Suherman, Erman. et al. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung:
Universitas Pendidikan Indonesia.
Tahmir, Suradi. 2007. Model Pembelajaran RESIK sebagai Strategi Mengubah Paradigma
Pembelajaran Matematika Di SMP yang Teachers Oriented menjadi Student Oriented. Pelitian
Hibah Bersaing, Nomor: 030/SP3/PP/DP2M/II/2006. Tersedia di http://www.
puslitjaknov.org/data/file/2008/makalah_poster_session_pdf/Suradi_.Model%20Pembelajaran
%20Resik%20sebagai%20Strategi.pdf [diakses 23 Maret 2011].
Widdiharto, Rachmadi. 2004. Model-model Pembelajaran Matematika SMP. Disajikan pada Diklat
Instruktur/Pengembang Matematika SMP Jenjang Dasar Tanggal 10-23 Oktober 2004.
Tersedia di http://p4tkmatematika.org/downloads/smp/.pdf [diakses 10/03/2011]

56
Studi Perbedaan Keefektifan Model Kooperatif Tipe Learning Cycle 5e dan
Tipe Savi terhadap Kemampuan Komunikasi Matematis

Anindya Dwi Wardhani1), Iwan Junaedi, Hardi Suyitno


Jurusan Matematika, FMIPA, Universitas Negeri Semarang, Semarang 50229, Indonesia
email: 1)Ardhanien39@gmail.com

Abstract
The research objective was to compare the effectiveness of cooperative learning model
type LC5E and type SAVI of mathematical communication skills. The population of this
research was students of grade VIII of SMPN 39 Semarang. Samples were taken by random
sampling. Design research using randomized subjects Home posttest only control group
posted design. Statistics which are used ANAVA and Scheffe test further. The instrument
research are mathematical communication test, teacher observation sheet, students activities
observation sheet, and students questionnaires response of the learning. Based on the
obtained proportions of students test the experimental group had reached the throughness of
learning (individual and classical). Activities of students in the experimental group included
in either category. The ability of teachers to manage the learning of the experimental group
was also good. The response of students towards learning in the experimental group
positively. ANAVA test generate the existence of average differences. Scheffe test performed
further experiments showed the most significant one. The conclusions obtained are
cooperative learning model type LC5E more effective than type SAVI of mathematical
communication skills.

Key words: cooperative learning type Learning Cycle 5E; cooperative learning type SAVI;
mathematical communication skills.

Pendahuluan
Pendidikan memegang peranan penting dalam mempersiapkan sumber daya manusia
yang berkualitas dan mampu berkompetensi dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Matematika merupakan ilmu yang mendasari perkembangan teknologi modern
yang mempunyai peranan penting dalam berbagai disiplin ilmu dan memajukan daya pikir
manusia. Penguasaan matematika sejak dini diperlukan untuk menguasai dan menciptakan
teknologi di masa depan. Matematika perlu diberikan kepada peserta didik sejak dini untuk
membekali mereka dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, kreatif, dan
mampu bekerja sama.
Secara umum hasil belajar peserta didik kelas VIII SMP Negeri 39 Semarang sudah
cukup baik, tetapi setelah diadakan observasi ternyata matematika masih menjadi momok dan
mendapat kriteria sebagai mata pelajaran yang jarang digemari oleh peserta didik. Ini terlihat
dari hasil belajar ulangan umum semester 1 yang hampir 50% belum mencapai KKM yang
ditetapkan sekolah tersebut yaitu 70. Setelah dilakukan observasi lebih lanjut terhadap
kegiatan pembelajaran, ternyata salah satu penyebabnya adalah kemampuan komunikasi
matematis peserta didik baik dalam menafsirkan maupun menjawab soal-soal terutama yang
berkaitan dengan aplikasi dari suatu konsep.
Menurut NCTM (2000) dalam Fachrurazi (2011), kemampuan komunikasi matematis
perlu menjadi fokus perhatian dalam pembelajaran matematika sebab melalui komunikasi
peserta didik dapat mengorganisasi dan mensolidkan berpikir matematikanya serta dapat
mengeksplorasi ide-ide matematika. Kemampuan komunikasi menjadi penting ketika peserta
didik melakukan diskusi karena mereka akan berlatih untuk menjelaskan, menggambarkan,
mendengarkan, menyatakan, menanyakan, dan bekerjasama sehingga mereka dapat

57
memahami konsep matematika dengan membangun pengetahuan mereka sendiri dan
dibimbing oleh guru.
Pengembangan kemampuan komunikasi matematis peserta didik dapat dilakukan
dengan menerapkan pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif merupakan model
pembelajaran dengan cara berkelompok untuk bekerja sama saling membantu
mengkonstruksi konsep, menyelesaikan persoalan, atau inkuiri guna mencapai tujuan
pembelajaran. Salah satu tujuan pembelajaran kooperatif adalah mengembangkan
keterampilan sosial peserta didik seperti berbagi tugas, aktif bertanya, menghargai pendapat
orang lain, memancing teman untuk bertanya, dan mau menjelaskan ide atau pendapat dalam
kelompok.
Ragam model pembelajaran kooperatif cukup banyak di antarnya Learning Cycle 5E
(LC5E) dan SAVI. LC5E adalah model pembelajaran yang berpusat pada peserta didik
berupa rangkaian tahap-tahap kegiatan (fase) yang diorganisasi dengan baik sehingga peserta
didik dapat menguasai kompetensi-kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran.
Menurut Lorsbach (2002) dalam Wena (2009:) fase dalam LC5E yaitu engagement,
exploration, explanation, elaboration, dan evaluation. LC5E memfasilitasi peserta didik
untuk belajar secara efektif dan mengorganisasikan pengetahuan yang diperoleh sehingga
dapat bertahan lebih lama. Pembelajaran SAVI adalah pembelajaran yang menekankan
bahwa belajar haruslah memanfaatkan semua alat indera yang dimiliki peserta didik. Istilah
SAVI sendiri adalah kependekan dari: Somatic (belajar lewat gerak tubuh); Auditory (belajar
melalui apa yang didengar); Visualization (belajar melalui apa yang dilihat); dan Intellectualy
yang bermakna belajar haruslah menggunakan kemampuan berpikir (minds on). Belajar bisa
optimal jika keempat unsur SAVI ada dalam suatu peristiwa pembelajaran.
Hasil penelitian Agustyaningrum (2010: 94) menunjukkan bahwa: pembelajaran
matematika menggunakan model pembelajaran Learning Cycle 5E telah mampu membuat
siswa kelas IX B SMP Negeri 2 Sleman memiliki kemampuan komunikasi matematis yang
baik dengan persentase sebesar 69,21% mencapai kategori tinggi (berdasarkan lembar
observasi) dan 70,11% mencapai kategori baik (berdasarkan hasil tes).
Materi ini dipilih dalam penelitian adalah prisma dan limas karena materi ini dianggap
sebagai materi yang cukup sulit terutama dalam menyelesaikan masalah sehari-hari yang
berhubungan dengan prisma dan limas, misalnya untuk menghitung volum air dalam kolam
renang yang berbentuk prisma.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang diangkat dalam
penelitian ini adalah (1) apakah model pembelajaran kooperatif tipe LC5E efektif terhadap
kemampuan komunikasi matematis peserta didik kelas VIII SMP Negeri 39 Semarang? (2)
apakah model pembelajaran kooperatif tipe SAVI efektif terhadap kemampuan komunikasi
matematis peserta didik kelas VIII SMP Negeri 39 Semarang? (3) apakah model
pembelajaran kooperatif tipe LC5E lebih efektif dibandingkan dengan tipe SAVI terhadap
kemampuan komunikasi matematis peserta didik kelas VIII SMP Negeri 39 Semarang?
Tujuan penelitian secara umum adalah untuk mengetahui model pembelajaran kooperatif
tipe LC5E apakah lebih efektif dibandingkan dengan tipe SAVI terhadap kemampuan
komunikasi matematis peserta didik.

Metode
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen
dengan desain posttest-only control design (Sugiyono, 2010). Pada penelitian ini terdapat tiga
kelompok yaitu kelompok eksperimen 1, kelompok eksperimen 2, dan kelompok kontrol.
Pada kelompok eksperimen 1 dikenai pembelajaran dengan model LC5E, kelompok
eksperimen 2 pembelajaran menggunakan model SAVI, dan kelompok kontrol menggunakan
pembelajaran konvensional. Penilaian kemampuan awal dilakukan dengan mengambil data

58
ulangan harian bab sebelumnya yaitu kubus dan balok. Setelah dilakukan pembelajaran
dengan kedua model tersebut maka ketiga kelompok diberikan posttest untuk mengukur
kemampuan komunikasi matematis.
Subjek penelitian ini adalah peserta didik kelas VIII SMP Negeri 39 Semarang yang
terdiri dari lima kelas yaitu kelas VIII A, VIII B, VIII C, VIII D, dan VIII E. Teknik
pengambilan sampel yang digunakan berupa random samping yang menghasilkan peserta
didik kelas VIII C sebagai kelompok eksperimen 1, peserta didik kelas VIII B sebagai
kelompok eksperimen 2, dan peserta didik kelas VIII E sebagai kelompok kontrol.
Variabel yang akan menjadi fokus penelitian adalah kemampuan komunikasi matematis
peserta didik. Teknik pengambilan data menggunakan metode dokumentasi untuk
memperoleh data awal peserta didik, metode tes untuk memperoleh data kemampuan
komunikasi peserta didik setelah dikenai model pembelajaran, metode angket untuk
mengumpulkan data respon peserta didik terhadap model pembelajaran yang telah
diterapkan, dan metode observasi untuk mengetahui aktivitas peserta didik selama proses
pembelajaran berlangsung dan kemampuan guru mengelola pembelajaran. Adapun instrumen
yang digunakan adalah tes komunikasi matematis dalam bentuk uraian, lembar observasi
aktivitas peserta didik, lembar observasi guru, dan angket respon peserta didik terhadap
pembelajaran.
Sebelum peneliti melaksanakan pembelajaran pada kelompok eksperimen, maka terlebih
dahulu dilakukan analisis data awal yaitu uji normalitas, uji homogenitas, dan uji Analisis
Varians (Anava). Analisis data awal dilakukan untuk mengetahui bahwa kelompok sampel
mempunyai kemampuan awal yang sama. Setelah itu, model pembelajaran diterapkan pada
kelompok eksperimen. Pada akhir pertemuan, tes kemampauan komunikasi matemtais
diberikan kepada ketiga kelompok sampel. Hasil tes kemampuan komunikasi matematis
dihitung menggunakan uji Analisis Varians (Anava). Jika terdapat perbedaan, maka
dilanjutkan perhitungan menggunakan uji lanjut Scheffe untuk mengetahui kelompok mana
yang menunjukkan perbedaan paling signifikan. Uji proporsi digunakan untuk mengetahui
ketuntasan klasikal peserta didik kelompok sampel. Dalam penelitian ini ditetapkan
ketuntasan individu sebesar 70 sedangkan ketuntasan secara klasikal sebesar lebih dari sama
dengan 75%.

Hasil
Hasil penelitian
Sebelum kelompok sampel dikenai perlakuan, maka peneliti mengambil data awal
terlebih dahulu berupa nilai ulangan harian bab sebelumnya yaitu materi kubus dan balok.
Setelah dilakukan analisis data awal maka diperoleh perhitungan sebagai berikut.

Tabel 1. Hasil uji normalitas data awal kelompok sampel


No Kelompk 2hitung 2tabel Kriteria
1 Eksperimen 1(VIII C) 6,251 7,81 Berdistribusi normal
2 Eksperimen 2(VIII B) 7,0137 7,81 Berdistribusi normal
3 Kontrol (VIII E) 3,7815 7,81 Berdistribusi normal

Berdasarkan tabel diatas hasil perhitungan uji normalitas kelompok eksperimen 1,


kelompok eksperimen 2, dan kelompok kontrol diperoleh bahwa 2hitung < 2tabel , ini berarti
ketiga kelompok yang akan digunakan sebagai sampel dalam penelitian berdistribusi normal.

59
Selanjutnya, perhitungan uji homogenitas diperoleh bahwa 2hitung = 4,25124 dan 2
tabel dengan = 5% adalah 5,99. Karena 2hitung < 2tabel, maka dapat disimpulkan bahwa
sampel berasal dari kondisi awal yang sama atau homogen.
Dari perhitungan uji anava data awal diperoleh hasil sebagai berikut Fhitung= 0,13065
sedangkan Ftabel dengan = 5% dan dk pembilang = 2 serta dk penyebut = 104 adalah 3,07.
Karena Fhitung < Ftabel, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan rata-rata data awal
dari ketiga kelompok yang akan dijadikan sampel.
Analisis tahap akhir dilakukan setelah kelompok kontrol dikenai pembelajaran dan
diberikan tes komunikasi matematis. Deskripsi hasil tes komunikasi matematis kelompok
sampel disajikan dalam tabel berikut

Tabel 2. Deskripsi Hasil Tes Komunikasi Matematis


Kelompok Kelompok
Statistik Kelompok
No Eksperimen Eksperimen
Deskriptif Kontrol
1 2
1 Banyak peserta 35 36 36
didik
2 Nilai Tertinggi 95 85 85
3 Nilai Terendah 55 57 48
4 Rata-rata 80,54 74,78 68,44
5 Varians 83,72 40,32 85,19
6 Simpangan Baku 9,15 6,35 9,23

Adapun hasil uji normalitas dapat dilihat dalam tabel berikut.

Tabel 3. Hasil Uji Normalitas Tes Komunikasi Matematis Kelompok Sampel


No Kelas 2hitung 2tabel Kriteria
1 Eksperimen 1 5,68 7,81 Berdistribusi normal
2 Eksperimen 2 4,97 7,81 Berdistribusi normal
3 Kontrol 0,27 7,81 Berdistribusi normal

Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa kedua kelas yang telah dijadikan eksperimen
dalam penelitian ini berdistribusi normal.
Analisis homogenitas dalam penelitian ini menggunakan uji Bartlett. Dari hasil
perhitungan diperoleh bahwa 2hitung = 5,76 dan 2tabel dengan =5% adalah 5,99. Karena
2hitung < 2tabel, maka H0 diterima dapat disimpulkan bahwa sampel homogen.
Uji hipotesis ketuntasan belajar untuk mengetahui ketuntasan belajar secara klasikal
menggunakan uji proporsi satu pihak. Dari hasil perhitungan untuk kelas eksperimen 1
diperoleh . Nilai maka H0 ditolak. Sedangkan perhitungan
untuk kelas eksperimen 2 diperoleh . Nilai maka H0
ditolak pula. Berdasarkan perhitungan Anava diperoleh hasil sebagai berikut Fhitung= 18,68
sedangkan Ftabel dengan =5% dan dk pembilang = 2 serta dk penyebut = 104 adalah 3,07.
Karena Fhitung > Ftabel, maka H0 ditolak sehinga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan
rata-rata dari ketiga kelas tersebut. Jika H0 pada Anava ditolak, maka uji lanjut dapat
dilakukan. Uji lanjut dalam penelitian ini berguna untuk mengetahui pasangan nilai mean
yang perbedaannya signifikan. Dalam penelitian ini menggunakan uji Scheffe. Untuk
mengetahui kelompok mana yang mempunyai perbedaan rata-rata nilai tes kemampuan
komunikasi matematis yang signifikan, dapat dilihat pada hasil output analisis perbandingan
simultan (multiple comparison) pada Tabel 4.

60
Tabel 4. Output Multiple Comparisons
Multiple Comparisons
Mean 95% Confidence Interval
Difference Std.
(I) Kelas (J) Kelas (I-J) Error Sig. Lower Bound Upper Bound
*
Eksperimen 2 Eksperimen 1 -5.76508 1.98084 .017 -10.6844 -.8458
*
Kontrol 6.33333 1.96685 .007 1.4488 11.2179
*
Eksperimen 1 Eksperimen 2 5.76508 1.98084 .017 .8458 10.6844
*
Kontrol 12.09841 1.98084 .000 7.1791 17.0177
*
Kontrol Eksperimen 2 -6.33333 1.96685 .007 -11.2179 -1.4488
*
Eksperimen 1 -12.09841 1.98084 .000 -17.0177 -7.1791
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Berdasarkan Tabel 4 rata-rata nilai tes komunikasi matematis peserta didik yang berbeda
secara signifikan adalah Eksperimen 1 dan Kontrol, Eksperimen 2 dan Kontrol, Eksperimen 2
dan Eksperimen 1. Pada Tabel 2 didapat bahwa rata-rata nilai tes komunikasi matematis pada
kelas eksperimen 1 lebih baik dari kelas eksperimen 2 dan rata-rata nilai tes komunikasi
matematis pada kelas eksperimen 2 lebih baik dari kelas kontrol.
Sementara itu presentase keaktifan peserta didik kelompok eksperimen 1 selama
pembelajaran terus mengalami peningkatan pada setiap pertemuan yaitu 64,0% (Pertemuan
I), 70,2% (Pertemuan II), 74,0% (Pertemuan III), 79,0% (Pertemuan IV), dan 81,2%
(Pertemuan V). Begitu pula pada kelas eksperimen 2 persentase Keaktifan peserta didik
cukup baik yaitu 64,8% (Pertemuan I), 68,6% (Pertemuan II), 70,00% (Pertemuan III),
73,00% (Pertemuan IV), dan 76,8% (Pertemuan V). Adapun persentase observasi guru dalam
mengelola pembelajaran pada kelompok eksperimen 1 adalah 75,5% (Pertemuan I), 77,4%
(Pertemuan II), 78,93% (Pertemuan III), 80,67% (Pertemuan IV), dan 82,67% (Pertemuan V)
sehingga dihasilkan rata-rata 79,04% termasuk dalam katergori baik. Sedangkan pada
kelompok eksperimen 2 adalah 75,87% (Pertemuan I), 77,27% (Pertemuan II), 78,8%
(Pertemuan III), 80,47% (Pertemuan IV), dan 82,07% (Pertemuan V) sehingga diperoleh
rata-rata 78,89% termasuk dalam kategori baik.
Rata-rata respon peserta didik kelompok eksperimen 1 pada akhir pertemuan
menunjukkan respon yang positif yaitu sebesar 86,96% dan peserta didik kelompok
eksperimen 2 juga menunjukkan respon yang positif dengan rata-rata presentase angketnya
adalah 86,55%.

Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis tahap awal diperoleh data yang menunjukan bahwa kelas yang
diambil sebagai sampel dalam penelitian berdistribusi normal, mempunyai varians yang
homogen, dan tidak ada perbedaan rata-rata di antara ketiga kelas tersebut. Hal ini berarti
sampel berasal dari kondisi atau keadaan yang sama yaitu pengetahuan yang sama. Kemudian
dipilih secara acak kelas VIII C sebagai kelas ekperimen 1 yang dikenai pembelajaran
kooperatif tipe LC5E, kelas VIII B sebagai ekperimen 2 yang dikenai pembelajaran
kooperatif tipe SAVI, dan kelas VIII E sebagai kelas kontrol yang dikenai pembelajaran
ekspositori.
Berdasarkan hasil uji ketuntasan belajar, kelompok eksperimen 1 telah mencapai
ketuntasan belajar individu sebesar 91% , kelompok eksperimen 2 sebesar 88,89% dan uji
proporsi yang dilakukan menunjukkan bahwa ketuntasan klasikal dari kedua kelompok

61
tersebut lebih dari sama dengan 75%. Aktivitas peserta didik kelompok eksperimen 1 dan
kelompok eksperimen 2 selama pembelajaran berlangsung sudah cukup baik karena adanya
diskusi kelompok yang didukung dengan Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) sehingga
peserta didik terpacu untuk berkomunikasi secara aktif di dalam kelas. Secara umum
pengelolaan guru selama kegiatan belajar mengajar termasuk dalam kategori baik, walaupun
hal itu dicapai melalui saran dan kritik yang diberikan oleh pengamat pada setiap pertemuan.
Begitu pula respon peserta didik terhadap pembelajaran positif dilihat dari angket yang telah
diisi oleh para peserta didik kelompok eksperimen. Jadi, model pembelajaran kooperatif tipe
LC5E maupun tipe SAVI efektif terhadap kemampuan komunikasi matematis peserta didik
kelas VIII SMP Negeri 39 Semarang.
Selanjutnya, dilihat dari Anava tahap akhir diketahui bahwa terdapat perbedaaan pada
ketiga kelompok tersebut sehingga dilakukan uji lanjut Scheffe yang menunjukkan bahwa
kelompok eksperimen 1 dimana peserta didik dikenai model pembelajaran LC5E paling
berbeda signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe LC5E
lebih efektif dibandingkan dengan model pembelajaran kooperatif tipe SAVI terhadap
komunikasi matematis peserta didik kelas VIII SMP Negeri 39 Semarang. Hal ini disebabkan
karena model LC5E mempunyai lima siklus yang menuntut peserta didik untuk dapat
mengeksplorasi pengetahuan secara mandiri sehingga materi yang dipelajari lebih mudah
untuk dipahami. Namun, kendala dari model ini yaitu kekurangan waktu dalam mengerjakan
LKPD dan latihan soal-soal sehingga saran yang dapat diajukan adalah pertanyaan dalam
LKPD dan tugas peserta didik dibuat seminimal mungkin dengan indikator yang ingin
dicapai termuat di dalamnya. Pembelajaran model SAVI berbantuan LKPD sudah cukup
bagus membuat peserta didik lebih mudah memahami materi, tetapi masih terdapat
kekurangan yaitu media visualisasi berupa CD Pembelajaran atau alat peraga. Jadi, sebaiknya
apabila model SAVI ini akan diterapkan kembali pada pembelajaran matematika, guru perlu
menyediakan terlebih dahulu alat peraga manipulatif atau CD Pembelajaran untuk membantu
peserta didik memahami materi yang sedang dipelajari.

Penutup
Berdasarkan hasil penelitian dalam pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut: (1) penerapan model pembelajaran kooperatif tipe LC5E efektif terhadap
kemampuan komunikasi matematis peserta didik kelas VIII SMP Negeri 39 Semarang, (2)
penerapan model pembelajaran kooperatif tipe SAVI efektif terhadap kemampuan komunikasi
matematis peserta didik kelas VIII SMP Negeri 39 Semarang, (3) model pembelajaran
kooperatif tipe LC5E lebih efektif dibandingkan dengan tipe SAVI terhadap kemampuan
komunikasi matematis peserta didik kelas VIII SMP Negeri 39 Semarang. Saran yang dapat
diberikan adalah: (1) LKPD dan tugas peserta didik perlu direncakan secara matang agar
alokasi waktu yang diberikan sesuai dengan kebutuhan peserta didik, (2) guru perlu
menyediakan alat peraga manipulatif atau CD pembelajaran untuk mendukung pembelajaran
dengan menggunakan model SAVI agar hasil belajar peserta didik maksimal.

Daftar Pustaka

Agustyaningrum, N. 2010. Implementasi Model Pembelajaran Learning Cycle 5E untuk


Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Kelas IX B SMP Negeri 2
Sleman. Skripsi. Yogyakarta: FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta.
Anni, C. T. dan Achmad RifaI RC. 2009. Psikologi Belajar. Semarang: UPT MKK
Universitas Negeri Semarang.
Arikunto, S. 2007. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

62
Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka Cipta.
Brenner, M. E. 1998. Development Mathematical Communication in Problem Solving
Groups By Language Minority Students. Bilingiual Research Journal, 22:2,3,&4
Spring, Summer,&fall 1998. Hal:103-128.
Dalyono, M. 2009. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Fachrurazi. 2011. Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan
Kemampuan Berpikir Kritis dan Komunikasi Matematis Siswa Sekolah Dasar. Jurnal
Penelitian. 1:76-89.
Lie, A. 2002. Cooperative Learning. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Meier, D. 2005. The Accelerated Learning Handbooks: Panduan Kreatif dan Efektif
Merancang Program Pendidikan dan Pelatihan. Diterjemahkan oleh Rahmani Astuti.
Bandung: Kaifa.
Mulyasa, E. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Slavin, R. E. 2005. Cooperative Learning: Teori, Riset dan Praktik. Terjemahan oleh Lita.
2009. Bandung: Penerbit Nusa Media.
Sinambela, P. N.J.M.. 2008. Faktor-Faktor Penentu Keefektifan Pembelajaran dalam Model
Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem Based Intruction). Jurnal Penelitian.
1:74-85.
Sudjana. 2005. Metoda Statistika. Bandung: PT Tarsito Bandung.
Sugandi, A., dkk. 2007. Teori Pembelajaran. Semarang: UPT MKK UNNES.
Sugiyono. 2007. Statistika untuk Penelitian. Bandung: AlfaBeta.
Sukardi. 2005. Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya. Jakarta: Bumi
Aksara.
Suyatno. 2009. Menjelajah Pembelajaran Inovatif. Sidoarjo: Masmedia Buana Pustaka.
Wena, M. 2009. Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer Suatu Tinjauan Konseptual
Operasional. Jakarta: Bumi Aksara.

63
Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Model Cognitive
Growth dengan Mengintegrasikan Nilai Karakter Bangsa untuk
Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa

Aprilia Nurul Chasanah


Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Semarang
Email: aprilia.nurul@yahoo.com

Abstract
The purpose of this study is to make math learning tools to enhance students' critical thinking
skills in class VIII are valid, practical, and effective. Software development refers to the
model of Plomp development. The device developed and validated and tested experts. The
results obtained by the development of learning tools that are valid, practical, and effective.
Valid criterion is shown from the average results of the validation expert (Va) of each device
is the Va syllabus = 3.07, Va. RPP = 3.67, Va. LKS = 3.78, Va. LTS = 3.58, Va. SBA = 3 ,
63, and Va TKBK = 3. For practical criterion is shown from the observation of learning
keterlaksanaan (P) = 3.99 in both categories. While the effective criterion is shown based on
the average math student critical thinking skills and better than 50% of students responded
positively to all aspects of the teacher in question and responded positively to the overall
learning device. The device of learning math mathematical models integrating cognitive
growth with the character values that are valid, practical, and can effectively improve
students' critical thinking skills class VIII.

Key words: cognitive models of growth, critical thinking, the development of the learning of
mathematics.

Pendahuluan
Salah satu tujuan diberikannya matematika di jenjang pendidikan dasar dan menengah,
yaitu untuk Mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan pola pikir
matematika dalam kehidupan sehari-hari (Depdikbud, 1994). Selain itu juga diharapkan agar
siswa dapat menggunakan matematika sebagai cara bernalar (berpikir logis, kritis, sistematis,
dan objektif). Kemampuan bernalar tidak terpisahkan dari kemampuan berpikir kritis.
Dengan kata lain kemampuan berpikir kritis merupakan bagian dari penalaran. Hal ini sejalan
dengan pendapat Krulik dan Rudnick (1995) bahwa penalaran mencakup berpikir dasar
(basic thinking), berpikir kritis (critical thinking), dan berpikir kreatif (creative thinking).
Kemampuan berpikir kritis seseorang dalam suatu bidang studi tidak dapat terlepas dari
pemahamannya terhadap materi bidang studi tersebut. Dengan demikian agar siswa dapat
berpikir kritis dalam matematika, maka dia harus memahami matematika dengan baik.
Menurut Suryo (dalam Waluya, 2006) rendahnya prestasi belajar matematika disebabkan di
dalam mengerjakan soal matematika kurang memahami konsep matematika dengan benar,
kurangnya kemampuan dasar, kurangnya bakat khusus yang mendasari belajar tertentu,
maupun kurangnya motivasi siswa.
Hasil dari Trends In International Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 2007
yang dipublikasikan pada 9 Desember 2008 siswa Indonesia pada bidang matematika kelas
VIII berada di peringkat 36 dari 48 negara. Survei yang dilakukan empat tahun sekali ini
mengukur pencapaian siswa kelas IV dan VIII dalam bidang matematika dan sains. Skor rata-
rata yang diperoleh siswa-siswi Indonesia untuk matematika adalah 397, mengalami
penurunan dari skor 4 tahun yang lalu, yaitu 411. Selain itu, bila dibandingkan dengan dua
negara tetangganya, yaitu Singapura dan Malaysia, posisi peringkat siswa Indonesia jauh
tertinggal. Singapura berada pada peringkat ketiga dan Malaysia berada pada peringkat ke

64
dua puluh. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa Indonesia masih
rendah.
Model Cognitive Growth merupakan salah satu pembelajaran yang dapat meningkatkan
kemampuan berpikir kritis. Menurut Piaget dalam (Joyce,1992) model Cognitive Growth
dalam pembelajaran lebih ditujukan dalam meningkatkan kemampuan berpikir (kognitif).
Oleh karena itu, model Cognitive Growth cocok dengan tahap perkembangan pembelajaran
dan meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Peran siswa dalam pembelajaran ini
sangat dituntut untuk menimbulkan tanggapan dan meminta justfikasi dalam menyampaikan
hasil dalam proses pembelajaran. Dengan proses yang demikian, guru juga dituntut untuk
mempersiapkan materi dan mengkondisikan kelas agar terjalin kegiatan pembelajaran yang
sesuai tujuan.
Indonesia akan menghadapi dua tantangan besar yaitu desentralisasi atau otonomi
daerah dan era globalisasi total tahun 2020 (Badan Penelitian dan Pengembangan Kurikulum
Depdiknas, 2010). Kunci sukses dalam menghadapi kedua tantangan tersebut terletak pada
kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul dan berbudaya. Karakter bangsa
merupakan aspek terpenting dalam pembentukan SDM yang berkualitas karena akan
menentukan kemajuan bangsa di masa depan.
Bertitik tolak dari masalah moral bangsa, Indonesia menduduki peringkat keenam
sebagai negara terkorup di dunia. Sekjen Transparency International Indonesia Emmy Hafild
mengatakan, peringkat tersebut diurutkan dari 133 negara yang disurvei. Di antara anggota
ASEAN, kecuali Myanmar, Indonesia merupakan negara nomor satu dalam kondisi terjangkit
korupsi. Sementara Singapura sendiri menempati urutan enam besar yang bersih dari KKN
(Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Untuk negara terbersih, Finlandia menduduki urutan
pertama dalam daftar Corruption Perception Index 2003 yang dipublikasikan
Transparency International (TI) .
Krisis moral tidak hanya menyerang kaum dewasa tetapi anak-anak sudah terwarnai
akan hal itu. Sangat disayangkan sekali jika anak sebagai aset bangsa justru mengalami krisis
moral. Hal ini tentunya akan sangat memegang peran penting terhadap sumbangsih kemajuan
bangsa ke depan. Fenomena tersebut dikuatkan dengan pernyataan dari Kepala Pusat
Intelegensia Departemen Kesehatan (Jannis, 2009) bahwa sebanyak 66% anak-anak sekolah
dasar diperkirakan telah menyaksikan adegan pornografi lewat berbagai media antara lain
sebanyak 24% anak-anak melihat pornografi melalui komik, 18% melalui game, 16% situs
porno, 10% dari VCD/DVD, 8% dari HP, dan 4% dari Koran dan majalah (Pusat Data
Komunikasi dan Informatika, 2009).
Kondisi yang terlihat saat ini, upaya pembangunan jati diri bangsa Indonesia, seperti
penghargaan pada nilai budaya dan bahasa, nilai solidaritas sosial, kekeluargaan, dan rasa
cinta tanah air dirasakan makin memudar. Hal tersebut, disebabkan antara lain, karena belum
optimalnya upaya pembentukan karakter bangsa, kurangnya keteladanan para pemimpin,
lemahnya budaya patuh pada hukum, cepatnya penyerapan budaya global yang negatif, dan
kurang mampunya menyerap budaya global yang lebih sesuai dengan karakter bangsa, serta
ketidakmerataan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. (Arsip Nasional Republik
Indonesia, 2011)
Lingkup sasaran pembangunan karakter bangsa yang telah ditetapkan dalam Kebijakan
Nasional Pembangunan Karakter Bangsa pada tahun 2010 salah satunya meliputi lingkup
satuan pendidikan. Lingkup satuan pendidikan merupakan wahana pembinaan dan
pengembangan karakter yang dilakukan dengan menggunakan (a) pendekatan terintegrasi
dalam semua mata pelajaran, (b) pengembangan budaya satuan pendidikan, (c) pelaksanaan
kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler, serta (d) pembiasaan perilaku dalam kehidupan di
lingkungan satuan pendidikan. (Arsip Nasional Republik Indonesia, 2011) Pembangunan

65
karakter melalui satuan pendidikan dilakukan mulai dari pendidikan usia dini sampai
pendidikan tinggi.
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran eksak yang diajarkan di SD yang saat
ini masih berorientasi pada aspek kognitif saja. Proses belajar dilakukan dengan abstrak,
proses belajar yang pasif dan kaku. Hal ini dapat membunuh karakter anak sehingga anak
tidak kreatif, tidak percaya diri, tertekan, dan tidak belajar sehingga akan sulit dalam
membentuk generasi yang berkarakter. Berdasarkan fakta yang ada maka sangat diperlukan
suatu implementasi pendidikan karakter bangsa dalam pembelajaran matematika . Hal ini
dapat dilaksanakan dengan mengimplementasikan nilai karakter bangsa dalam perangkat
pembelajaran matematika.
Materi yang akan dikembangkan dalam penelitian ini sesuai dengan kebutuhan sekolah
yaitu materi geometri khususnya bangun ruang sisi datar. Hal ini berdasarkan hasil
wawancara dengan guru SMP Negeri 8 Magelang tahun 2012, yang menyatakan bahwa
materi geometri termasuk materi yang diajarkan pada siswa SMP Kelas VIII. Materi tersebut
membutuhkan penangkapan image (bayangan dalam pikiran) dalam bentuk seutuhnya
meskipun materi itu tidak disajikan secara utuh. Materi geometri juga merupakan materi yang
memerlukan kemampuan dalam membayangkan dan menginterprestasikan sesuatu yang
masih abstrak ke dalam gambar di dalam pikiran.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah pengembangan perangkat
pembelajaran matematika model cognitive growth dengan mengintegrasikan nilai karakter
bangsa untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa kelas VIII valid, praktis dan
efektif? Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah pengembangan perangkat
pembelajaran matematika model cognitive growth dengan mengintegrasikan nilai karakter
bangsa untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa kelas VIII valid, praktis dan
efektif.

Metode
Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan, yaitu pengembangan perangkat
pembelajaran matematika model cognitive growth dengan mengintegrasikan nilai karakter
bangsa untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa kelas VIII yang memenuhi
kriteria valid, praktis dan efektif (Nieeven, 2007). Model pengembangan perangkat
pembelajaran dan model pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah model
Plomp. Adapun fase-fase yang akan dilakukan dalam penelitian ini ada lima yaitu fase
investigasi awal (preliminary investigation), fase desain (design), fase realisasi atau
konstruksi (realization atau construction), fase tes, evaluasi dan revisi (test, evaluation, and
revision) dan fase implementasi (implementation).
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam mengembangkan perangkat pembelajaran
sebagai berikut. Fase Investigasi Awal, pada tahap ini dilakukan identifikasi dan kajian
terhadap (1) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Mata Pelajaran Matematika, (2) Materi
Bangun Ruang Sisi Datar, (3) Kompetensi yang harus dicapai siswa. Fase
desain/perancangan , pada tahap ini dilakukan kegiatan-kegiatan: (1) Merancang Silabus, (2)
Merancang Rencana Proses Pembelajaran (RPP), (3) Merancang Lembar Kerja Siswa, (4)
Merancang Lembar Tugas Siswa, (5) Merancang Suplemen Bahan Ajar Siswa yang sesuai
dengan model cognitive growth berbasis nilai karakter bangsa untuk meningkatkan
kemampuan berpikir kritis. Fase Realisasi / Konstruksi, pada tahap realisasi/konstruksi ini
dilakukan kegiatan-kegiatan (1) Membuat Silabus, (2) Membuat Rencana Proses
Pembelajaran (RPP), (3) Membuat Lembar Kerja Siswa (LKS), (4) Membuat Lembar Tugas
Siswa (LTS), (5) Membuat Suplemen Bahan Ajar Siswa (SBAS), (6) Membuat Soal Tes
Kemampuan Berpikir Kritis yang sesuai dan telah dirancang pada tahap sebelumnya. Hasil
kegiatan tahap ini adalah draf 1 perangkat pembelajaran dengan model cognitive growth

66
berbasis nilai karakter bangsa untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis. Fase
Pengujian, Evaluasi, dan Revisi. Pada tahap ini dilakukan langkah-langkah: validasi draf 1,
analisis hasil validasi, revisi, uji coba, analisis hasil uji coba.
Instrumen penelitian yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah Lembar Validasi,
Lembar Pengamatan Keterlaksanaan Pembelajaran, Lembar Angket Respon Siswa, dan Tes
Kemampuan Berpikir Kritis yang masing-masing instrumen ini untuk mengetahui kevalidan,
kepraktisan dan keefektifan perangkat pembelajaran serta model pembelajaran yang
digunakan.
Alur pengembangan perangkat pembelajaran dan pengembangan instrumen
digambarkan sebagai berikut.

Gambar 1 Skema Alur Pengembangan Perangkat Pembelajaran

Keterangan:
Kegiatan
Hasil
Urutan
Alur (jika diperlukan)

Pengembangan perangkat pembelajaran matematika model cognitive growth dengan


mengintegrasikan nilai karakter bangsa untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa
kelas VIII dikatakan valid apabila memenuhi validitas konstruk dan validitas isi. Validasi

67
konstruk menunjukkan konsistensi internal antar komponen-komponen model. Misalnya
untuk pengembangan model pembelajaran, komponen-komponen model yang dikembangkan
adalah: (1) sintaks; (2) sistem sosial; (3) prinsip reaksi; (4) sistem pendukung; dan (5)
dampak langsung dan dampak tidak langsung. Pada validasi konstruk ini dilakukan
serangkaian kegiatan penelitian atau uji coba untuk memeriksa apakah komponen model
yang satu tidak bertentangan dengan komponen lainnya; sintaks model mengarah pada
tercapainya tujuan pengembangan model; dan prinsip sosial, prinsip reaksi, serta sistem
mendukung keterlaksanaan sintaks yang dikembangkan. Sedangkan untuk validasi isi
menunjukkan bahwa model yang dikembangkan didasarkan pada kurikulum atau model
pembelajaran yang dikembangkan berdasar pada rasional teoretik yang kuat. Teori yang
melandasi model pembelajaran diuraikan dan dibahas secara mendalam; sebagai contoh
dalam suatu penelitian pengembangan model pembelajaran matematika beracuan
konstruktivisme memerlukan teori-teori pembelajaran misalnya: teori konstruktivisme,
psikologi kognitif, teori penalaran matematika: induktif-deduktif, dan teori pengembangan
model pembelajaran.
Untuk memenuhi kedua kriteria ini, perangkat pembelajaran matematika disusun
dengan landasan teoritis yang kuat dan semua komponen perangkat dan model pembelajaran
saling berkaitan. Oleh karena itu sebelum menyusun perangkat pembelajaran matematika
model cognitive growth dengan mengintegrasikan nilai karakter bangsa untuk meningkatkan
kemampuan berpikir kritis siswa kelas VIII dikaji teori-teori kemampuan berpikir kritis,
teori-teori tentang Cognitive Growh, teori tentang nilai karakter bangsa, dan teori tentang
pengembangan perangkat pembelajaran. Setelah itu dilakukan penilaian atau validasi dari
validator.
Perangkat pembelajaran matematika model cognitive growth dengan mengintegrasikan
nilai karakter bangsa untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa kelas VIII yang
dikembangkan dikatakan praktis apabila memenuhi dua kriteria yakni (1) apakah validator
mempertimbangkan bahwa perangkat pembelajaran matematika model cognitive growth
dengan mengintegrasikan nilai karakter bangsa untuk meningkatkan kemampuan berpikir
kritis siswa kelas VIII mudah dan dapat digunakan oleh guru dan siswa dan (2) tingkat
keterlaksanaan pembelajaran dengan perangkat pembelajaran matematika model cognitive
growth dengan mengintegrasikan nilai karakter bangsa untuk meningkatkan kemampuan
berpikir kritis siswa kelas VIII termasuk kategori baik. Untuk kriteria efektif, ditentukan dari
tes kemampuan berpikir kritis siswa dan respon positif dari siswa.

Hasil
Berdasarkan hasil validasi pengembangan perangkat pembelajaran matematika model
cognitive growth dengan mengintegrasikan nilai karakter bangsa untuk meningkatkan
kemampuan berpikir kritis siswa kelas VIII menunjukkan kriteria valid. Validasi dilakukan
oleh 3 validator. Validator yang melakukan validasi terhadap perangkat pembelajaran yang
dikembangkan (draf 1) terdiri dari dua dosen matematika Universitas Negeri Semarang yaitu
Dr. Iwan Junaedi, M.Pd. dan Ary Woro Kurniasih, S.Pd., M.Pd. ,serta satu guru matematika
di SMP Negeri 8 Magelang yaitu Theresia Endang S., S.Pd. Validasi dari keenam perangkat
pembelajaran yaitu silabus, RPP, LKS, LTS, Suplemen Bahan Ajar, dan Tes Kemampuan
Berpikir Kritis (TKBK) menunjukkan kriteria valid dengan rata-rata hasil validasi ahli (Va)
masing-masing perangkat yaitu Va silabus = 3,07, Va RPP = 3,67, Va LKS = 3,78, Va LTS =
3,58, Va SBA = 3,63, dan Va TKBK = 3.
Berdasarkan hasil uji coba terhadap pengembangan perangkat pembelajaran matematika
model cognitive growth dengan mengintegrasikan nilai karakter bangsa untuk meningkatkan
kemampuan berpikir kritis siswa kelas VIII termasuk kategori praktis dengan hasil
pengamatan terhadap keterlaksanaan pembelajaran dengan perangkat pembelajaran

68
matematika model cognitive growth dapat terlaksana dengan baik dengan rata-rata hasil
pengamatan keterlaksanaan pembelajaran pada uji coba 1 (P1) = 3,81 dengan kategori baik.
Rata-rata lembar pengamatan keterlaksanaan pembelajaran pada uji coba 2 (P2) = 3,96
dengan kategori baik. Rata-rata hasil pengamatan keterlaksanaan pembelajaran pada uji coba
3 (P3) = 4,21 dengan kategori sangat baik. Rata-rata dari nilai hasil pengamatan
keterlaksanaan pembelajaran (P) adalah 3,99 yang berarti pelaksanaan pembelajaran dengan
perangkat pembelajaran matematika model cognitive growth dengan mengintegrasikan nilai
karakter bangsa untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa kelas VIII termasuk
kategori praktis.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap pengembangan perangkat pembelajaran
matematika model cognitive growth dengan mengintegrasikan nilai karakter bangsa untuk
meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa kelas VIII menunjukkan bahwa perangkat
pembelajaran tersebut efektif. Rata-rata hasil Tes Kemampuan Berpikir Kritis pada uji coba 1
(R1) = 77,58 dengan kategori baik. Rata-rata hasil Tes Kemampuan Berpikir Kritis pada uji
coba 2 (R2) = 87.24 dengan kategori sangat baik. Rata-rata hasil Tes Kemampuan Berpikir
Kritis pada uji coba 3 (R3) = 90.01 dengan kategori sangat baik. Berdasarkan keseluruhan
analisis hasil Tes Kemampuan Berpikir Kritis pada uji coba di atas, diperoleh bahwa terdapat
peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa.
Selanjutnya berdasarkan lembar angket respon siswa menunjukkan bahwa lebih dari
50% siswa memberikan respon positif terhadap semua aspek yang ditanyakan dan guru
memberikan respon positif terhadap keseluruhan perangkat pembelajaran. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa perangkat pembelajaran matematika model cognitive growth dengan
mengintegrasikan nilai karakter bangsa untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa
kelas VIII efektif.

Penutup
Berdasarkan hasil penelitian pengembangan dan pembahasan hasil penelitian maka
dapat dikemukakan simpulan bahwa pengembangan perangkat pembelajaran matematika
model cognitive growth dengan mengintegrasikan nilai karakter bangsa untuk meningkatkan
kemampuan berpikir kritis siswa kelas VIII merupakan perangkat pembelajaran matematika
yang sudah valid, praktis, dan efektif.

Daftar Pustaka

Badan Penelitian dan Pengembangan Kurikulum Depdiknas. Pendidikan Karakter di Sekolah


Menegah Pertama. Jakarta: Depdikbud 2010.
Depdikbud. (1994). Kurikulum Pendidikan Dasar Garis-Garis Besar Program Pengajaran
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Jakarta: Depdikbud.
Jannis. 2009. Kecanduan Pornografi Ancam Anak Indonesia. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI
Joyce, B dan Weil, M. 1992. Models of Teaching. Fourth Edition. London: Allyn and Bacon.
Kementerian Pendidikan Nasional. 2010. Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah
Pertama. Jakarta: BSNP.
Krulik, S dan Rudnick, J.A (1995). The New Sourcebook for Teaching Reasoning and
problem Solving in Elementary School. Massachusetts: Allyn & Bacon A Simon &
Schuster Company.
Nieveen. 2007. Formative Evaluation In Educational Design Research. Dalam An
Introduction To Educational Design Research (Van Den Akker, Bannan, Kelly,
Nieveen, & Plomp).

69
Plomp, Tj. 1997. Educational Design: Introduction. From Tjeerd Plomp (eds). Educational &
Training System Design: Introduction. Design of Education and Training (in Dutch).
Utrecht (the Netherlands): Lemma. Netherland. Faculty of Educational Science and
Technology, University of Twente.
Plomp, Tj dan Wolde, J. van den. 1992. The General Model for Systematical Problem
Solving. From Tjeerd Plomp (Eds.). Design of Educational and Training (in Dutch).
Utrecht (the Netherlands): Lemma. Netherland. Faculty of Educational Science and
Technology, University of Twente. Enschede the Netherlands.
Pusat Data Komunikasi dan Informatika. 2009.Fenomena Krisis Moral. Jakarta: Depinfokom
Waluya, S. B. 2006. Multimedia Pembelajaran. Handout perkuliahan Program Magister
Program Studi Matematika. Semarang: Unnes

70
Keefektifan Pembelajaran Inkuiri dengan Alat Peraga dan LKPD Berbasis
GQM terhadap Pemahaman

Atiek Noor Pradani


Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Semarang
email : dany_170590@yahoo.co.id

Abstract
The objective of this study was to find out the effectiveness of inquiry learning models
with the model tools and worksheet based on GQM for the comprehension about
quadrilateral. The populations in this study were the seventh grade of SMP N 2 Wiradesa in
the academic year 2011/2012 as many as 264 students. By applying random sampling, were
chosen two classes samples consist of experimental class of 38 students who were taught
inquiry learning models using model tools and worksheet based on GQM and control class of
36 students who were taught TPS learning models using model tools. Data collection
methods in this study using the method of documentation, test methods and methods of
observation while the data analysis using the proportion test (z- test) to test the completeness
classical and mean test (t-test) to test the average comprehension of the students.The result
of this study shows that the students in the experiment class have reached the classical
completeness and have also reached the average of the standard grade of KKM. The average
comprehension of the students ability in the experiment class was higher than the average
comprehension of the students ability in the control class and also the classical
completeness percentage of the experiment class students was higher than the classical
completeness percentage of the control class students. Based on the result of the study, we
can conclude that the inquiry learning models application using model tools and worksheet
based on GQM is effective for the students comprehension about quadrilateral.

Key words: comprehension, GQM (Good Questioning and Modelling), inquiry, model tools,
the effectiveness, worksheet.

Pendahuluan
Salah satu karakteristik matematika adalah mempunyai objek yang bersifat abstrak.
Begle, sebagaimana dikutip oleh Hudojo (2003) menyatakan bahwa sasaran atau objek
penelaahan matematika adalah fakta, konsep, operasi (keterampilan) dan prinsip. Depdiknas
RI, sebagaimana dikutip oleh Wardhani (2008) menjelaskan bahwa salah satu tujuan
pembelajaran matematika adalah agar peserta didik memiliki kemampuan memahami konsep
matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep, dan mengaplikasikan konsep atau
algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah. Wardhani
(2008) menjelaskan bahwa pemahaman konsep matematika yang dimaksud pada tujuan
tersebut meliputi fakta, konsep, prinsip, dan skill atau algoritma.
Berdasarkan hasil ulangan harian dan daya serap ujian nasional untuk materi pokok segi
empat menunjukkan bahwa pemahaman peserta didik kelas VII SMP N 2 Wiradesa dikatakan
masih kurang dari yang diharapkan. Hal ini disebabkan belum optimalnya keterlibatan
peserta didik dalam pembelajaran dan pemanfaatan alat peraga. Cara untuk mengatasi hal
tersebut melalui inovasi pembelajaran yaitu menggunakan model pembelajaran inkuiri yang
dapat membuat peserta didik menemukan konsep dan prinsip melalui diskusi yang
menyenangkan. Trianto (2007) menjelaskan bahwa pembelajaran inkuiri merupakan model
pembelajaran yang bermula dari merumuskan masalah, hipotesis, mengumpulkan data,
menganalisis data, serta menyimpulkan berdasarkan petunjuk-petunjuk yang diberikan guru
sehingga peserta didik menemukan konsep dan prinsip yang diharapkan melalui kelompok
maupun secara sendiri-sendiri.

71
Peserta didik dalam pembelajaran ini harus bereksplorasi (menggali
pengetahuan), berelaborasi (melakukan diskusi dengan teman) dan adanya konfirmasi dari
guru untuk menguatkan pendapat yang paling benar dari peserta didik. Selain itu, untuk
membangun pengetahuan matematika yang utuh, kuat dan tahan lama guru perlu menggali
pengetahuan prasyarat peserta didik melalui Good Questioning and Modelling (GQM) yaitu
melalui pertanyaan-pertanyaan (questions) yg bersifat good disertai penggunaan alat peraga
(modelling). Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dituangkan ke dalam Lembar Kegiatan
Peserta Didik (LKPD) agar peserta didik dapat memahami materi dengan baik. Kebenaran
tentang pentingnya pertanyaan yang baik (good questioning) dikuatkan oleh Orton,
sebagaimana dikutip Sugiarto (2010) menyatakan bahwa Good questions are important in
facilitating learning. Penggunaan LKPD juga membantu peserta didik dalam melaksanakan
kegiatan pembelajaran. Menurut Bruner, sebagaimana dikutip oleh Suherman (2003), dalam
proses pembelajaran peserta didik sebaiknya diberi kesempatan untuk memanipulasi benda-
benda (alat peraga). Berdasarkan uraian di atas, dilakukan penelitian tentang keefektifan
model pembelajaran inkuiri dengan alat peraga dan LKPD berbasis GQM terhadap
pemahaman segi empat.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan pemahaman peserta
didik yang diajar menggunakan model pembelajaran inkuiri dengan alat peraga dan LKPD
berbasis GQM dapat mencapai ketuntasan klasikal yaitu minimal 75% dari jumlah peserta
didik yang ada di kelas tersebut telah mencapai nilai minimal 65, mengetahui rata-rata
kemampuan pemahaman peserta didik yang diajar menggunakan model pembelajaran inkuiri
dengan alat peraga dan LKPD berbasis GQM dapat mencapai batas nilai Kriteria Ketuntasan
Minimal (KKM) mata pelajaran matematika yaitu minimal 65, mengetahui rata-rata
kemampuan pemahaman peserta didik yang diajar menggunakan model pembelajaran inkuiri
dengan alat peraga dan LKPD berbasis GQM lebih dari rata-rata kemampuan pemahaman
peserta didik yang diajar menggunakan model pembelajaran TPS (Think Pairs Share)
berbantuan alat peraga dan mengetahui persentase ketuntasan klasikal kemampuan
pemahaman peserta didik yang diajar menggunakan model pembelajaran inkuiri dengan alat
peraga dan LKPD berbasis GQM lebih dari persentase ketuntasan klasikal kemampuan
pemahaman peserta didik yang diajar menggunakan model pembelajaran TPS (Think Pairs
Share) berbantuan alat peraga.

Metode
Populasi dalam penelitian ini adalah peserta didik kelas VII SMP N 2 Wiradesa tahun
pelajaran 2011/2012 sebanyak 256 peserta didik. Sampel dalam penelitian ini diambil secara
random sampling melalui undian dan terpilih peserta didik kelas VII G sebanyak 38 peserta
didik sebagai kelas eksperimen yang menggunakan model pembelajaran Inkuiri dengan alat
peraga dan LKPD berbasis GQM dan peserta didik kelas VII E sebanyak 36 peserta didik
sebagai kelas kontrol yang menggunakan model pembelajaran TPS berbantuan alat peraga.
Variabel bebas bebas dalam penelitian ini adalah model pembelajaran Inkuiri dengan
alat peraga dan LKPD berbasis Good Questions and Modelling (GQM) dan model
pembelajaran TPS berbantuan alat peraga. Variabel terikat bebas dalam penelitian ini adalah
kemampuan pemahaman peserta didik kelas VII SMP Negeri 2 Wiradesa materi pokok segi
empat.
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode dokumentasi,
metode tes dan metode observasi sedangkan metode analisis data menggunakan analisis
instrumen, analisis data awal dan analisis data akhir. Instrumen dalam penelitian ini adalah
berbagai rancangan pembelajaran yang berupa silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran,
LKPD, alat peraga, lembar pengamatan kinerja guru, lembar keaktifan peserta didik dan tes
kemampuan pemahaman.

72
Tes diberikan kepada kedua kelas dengan instrumen tes yang sama untuk mengetahui
kemampuan pemahaman peserta didik materi persegi panjang dan persegi. Penelitian ini
menggunakan soal tes uraian yang sebelumnya telah diujicobakan. Kemampuan pemahaman
peserta didik kemudian diolah untuk menguji kebenaran hipotesis penelitian. Nilai tes ini
diuji ketuntasan pemahaman dengan uji proporsi dan diuji rata-rata pemahaman dengan uji-t.

Hasil
Data hasil tes kemampuan pemahaman matematika kedua kelas disajikan pada
Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Data Hasil Tes Kemampuan Pemahaman Matematika


Sumber variasi Peserta Didik pada Kelas
Eksperimen Kontrol
Mean 74,79 70,53

s
2 73,68 82,88
s 8,6 9,1
N 38 36
Maksimum 93 89
Minimum 58 54

Perhitungan hasil uji normalitas kelas eksperimen dan kelas kontrol terangkum
pada Tabel 2 sebagai berikut.

Tabel 2. Hasil Uji Normalitas Data Akhir


Data Kriteria
Nilai tes kemampuan pemahaman pada
7,08 7,81 Berdistribusi normal
kelas eksperimen
Nilai tes kemampuan pemahaman pada
6,78 7,81 Berdistribusi normal
kelas kontrol
Berdasarkan hasil pada Tabel 2, diperoleh untuk kelas eksperimen dan
kelas kontrol lebih kecil dari yang berarti sampel berdistribusi normal.
Uji homogenitas dilakukan dengan menggunakan uji Bartlett. Hasil uji
homogenitas disajikan pada Tabel 3 sebagai berikut.

Tabel 3. Hasil Uji Homogenitas


Data Kriteria
Nilai tes kemampuan pemahaman 0,125 3,84 Homogen

Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 3, diperoleh . Jadi, dapat


disimpulkan bahwa varians kedua kelompok sama (homogen). Selanjutnya dilakukan uji
hipotesis yang telah ditetapkan yaitu dengan menggunakan uji proporsi dan uji rata-rata.
Uji hipotesis 1 bertujuan untuk mengetahui kemampuan pemahaman peserta didik yang
diajar menggunakan model pembelajaran inkuiri dengan alat peraga dan LKPD berbasis
GQM telah mencapai ketuntasan klasikal atau tidak. Uji ini dilakukan menggunakan uji
proporsi satu pihak kanan. Hasil analisis uji ketuntasan klasikal disajikan pada Tabel 4
sebagai berikut.

73
Tabel 4. Hasil Uji proporsi Satu Pihak (Pihak Kanan)
Data Kriteria
Nilai tes kemampuan
3,1944 1,64 Tuntas secara klasikal
pemahaman

Dari hasil analisis pada Tabel 4 dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemahaman
peserta didik yang diajar menggunakan model pembelajaran inkuiri dengan alat peraga dan
LKPD berbasis GQM dapat mencapai ketuntasan klasikal.
Uji hipotesis 2 bertujuan untuk mengetahui rata-rata kemampuan pemahaman peserta
didik yang diajar menggunakan model pembelajaran inkuiri dengan alat peraga dan LKPD
berbasis GQM dapat mencapai KKM mata pelajaran matematika yaitu lebih dari atau sama
dengan 65. Uji ini dilakukan menggunakan uji rata-rata (uji-t) satu pihak kanan. Hasil analisis
uji rata-rata disajikan pada Tabel 5 sebagai berikut.

Tabel 5. Hasil Uji Rata-Rata Satu Pihak (Pihak Kanan)


Data Kriteria
Nilai tes kemampuan
7,069 1,686 Mencapai KKM
pemahaman

Dari hasil analisis pada Tabel 5 dapat disimpulkan bahwa rata-rata peserta didik yang
diajar menggunakan model pembelajaran inkuiri dengan alat peraga dan LKPD berbasis
GQM dapat mencapai KKM mata pelajaran matematika.
Uji hipotesis 3 bertujuan untuk mengetahui rata-rata kemampuan pemahaman peserta
didik yang diajar menggunakan model pembelajaran inkuiri dengan alat peraga dan LKPD
berbasis GQM lebih baik dari peserta didik yang diajar menggunakan model pembelajaran
TPS berbantuan alat peraga. Uji ini dilakukan menggunakan uji kesamaan dua rata-rata (uji-t)
satu pihak kanan. Hasil analisis uji rata-rata disajikan pada Tabel 6 sebagai berikut.

Tabel 6. Hasil Uji Rata-Rata Satu Pihak (Pihak Kanan)


Data Kriteria
Nilai tes kemampuan Rata-rata kelas eksperimen
2,058 1,668
pemahaman lebih baik dari kelas kontrol

Dari hasil analisis pada Tabel 6 dapat disimpulkan bahwa rata-rata kemampuan
pemahaman peserta didik yang diajar menggunakan model pembelajaran inkuiri dengan alat
peraga dan LKPD berbasis GQM lebih baik dari peserta didik yang diajar menggunakan
model pembelajaran TPS berbantuan alat peraga.
Uji hipotesis 4 bertujuan untuk mengetahui persentase ketuntasan klasikal kemampuan
pemahaman peserta didik yang diajar menggunakan model pembelajaran inkuiri dengan alat
peraga dan LKPD berbasis GQM lebih tinggi dari peserta didik yang diajar menggunakan
model pembelajaran TPS berbantuan alat peraga. Uji ini dilakukan menggunakan uji
kesamaan proporsi (uji-z) satu pihak kanan. Hasil analisis uji proporsi disajikan pada Tabel 7
sebagai berikut.

74
Tabel 7. Hasil Uji Proporsi Satu Pihak (Pihak Kanan)
Data Kriteria
Nilai tes kemampuan Persentase ketuntasan kelas
pemahaman 1,773 1,64 eksperimen lebih baik dari kelas
kontrol

Dari hasil analisis pada Tabel 7 dapat disimpulkan bahwa persentase ketuntasan klasikal
kemampuan pemahaman peserta didik yang diajar menggunakan model pembelajaran inkuiri
dengan alat peraga dan LKPD berbasis GQM lebih tinggi dari peserta didik yang diajar
menggunakan model pembelajaran TPS berbantuan alat peraga.
Kemampuan pemahaman peserta didik pada kelas eksperimen dapat mencapai
ketuntasan klasikal dan mencapai batas nilai KKM mata pelajaran matematika. Selain itu,
terdapat perbedaan rata-rata dan persentase ketuntasan klasikal kemampuan pemahaman pada
kelas eksperimen dan kelas kontrol. Hal ini disebabkan karena pada kelas eksperimen peserta
didik diajar menggunakan model pembelajaran inkuiri yang lebih banyak diberi kesempatan
untuk berpikir dan menganalisis sendiri sehingga peserta didik dapat mengembangkan
keterampilan dan pengetahuan mereka dengan cara mengajukan pertanyaan serta
mendapatkan jawabannya atas dasar rasa ingin tahu dalam penyelidikan menggunakan alat
peraga. Pembelajaran yang seperti ini melatih peserta didik untuk berpikir runtut berawal dari
pengetahuan yang dimilikinya. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Ariefani
(2007) menyatakan bahwa model pembelajaran inkuiri dapat meningkatkan hasil belajar
peserta didik.
Pembelajaran yang dilakukan pada kelas eksperimen, guru hanya berperan sebagai
fasilitator untuk membimbing peserta didik yang memerlukan bimbingan dari guru.
Bimbingan tersebut dapat berupa pertanyaan dan arahan. Hal tersebut berbeda dengan kelas
kontrol yang dalam pembelajaran lebih banyak berpusat pada guru. Akibatnya peserta didik
tidak banyak mendapatkan kesempatan berpikir sendiri sehingga peserta didik kurang dapat
mengembangkan kemampuan berfikir dan mengontrol proses berpikirnya. Selain lebih
banyak diberi kesempatan untuk berpikir, pembelajaran yang dilakukan pada kelas
eksperimen juga menggunaan alat peraga dan LKPD berbasis GQM berisi pertanyaan-
pertanyaan yang baik (Good Questioning) yang akan mempermudah peserta didik dalam
menemukan dan memahami suatu konsep maupun prinsip. Hal ini didukung dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Lestari (2006) menyatakan bahwa pembelajaran dengan
menggunakan alat peraga dan LKPD lebih efektif jika dibandingkan dengan pembelajaran
yang hanya menggunakan alat peraga saja. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh
Sulistyaningsih (2010) menunjukkan bahwa GQM yang diterapkan pada proses pembelajaran
dapat meningkatkan hasil belajar.
Berdasarkan hasil pengamatan pada kelas eksperimen dan kelas kontrol mengenai
kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran pada pertemuan pertama sampai dengan
pertemuan kedua selalu mengalami peningkatan. Dengan adanya peningkatan pada setiap
pertemuan maka proses pembelajaran dapat berjalan dengan maksimal sesuai yang
diharapkan. Hal tersebut dikarenakan pada setiap pertemuan, seorang pengamat selalu
mengamati guru dan mengisi lembar pengamatan sebagai salah satu bentuk evaluasi
pembelajaran untuk selanjutnya dilakukan perbaikan pada pertemuan berikutnya.
Berdasarkan hasil penilaian keaktifan peserta didik yang dilakukan oleh guru
matematika sebagai observer, aktivitas peserta didik untuk setiap pertemuan pada kelas
eksperimen dan kelas kontrol berbeda. Rata-rata persentase keaktifan peserta didik selama
dua pertemuan pada kelas eksperimen lebih dari rata-rata persentase keaktifan peserta didik
pada kelas kontrol. Hal ini dikarenakan pada kelas eksperimen yang dikenai model
pembelajaran inkuiri dengan alat peraga dan LKPD berbasis GQM, peserta didik

75
dikelompokkan menjadi beberapa kelompok heterogen dalam melakukan penyelidikan
menggunakan alat peraga. Masing-masing kelompok terdiri dari 4 orang dengan kemampuan
yang bervariasi, ada peserta didik yang pintar, berkemampuan sedang maupun peserta didik
yang kurang pandai. Peserta didik saling bekerjasama dan diskusi dalam memecahkan
masalah yang diberikan, sehingga terjadi interaksi antar anggota kelompok dengan baik. Hal
ini menyebabkan peserta didik lebih aktif terlibat dalam mengkonstruksi pemahamannya
sendiri dengan bimbingan dari guru berupa arahan dan pertanyaan.
Pelaksanaan pembelajaran kelas eksperimen pada pertemuan pertama menggunakan
model pembelajaran inkuiri dengan alat peraga dan LKPD berbasis GQM, masih terdapat
kekurangan saat pengelompokan masih menimbulkan kegaduhan dalam kelas sehingga
menyita waktu pembelajaran. Disamping itu, mereka juga belum bisa berdiskusi dan
bekerjasama dengan baik dalam menjawab pertanyaan guru dan menyelesaikan LKPD yang
diberikan. Hal ini dimungkinkan karena penerapan model pembelajaran inkuiri tergolong
masih baru bagi mereka. Pada saat presentasi hasil diskusi, masih banyak peserta didik yang
malu dan takut, sehingga guru berusaha memberikan motivasi dan membangkitkan rasa
percaya diri agar peserta didik memiliki keberanian dan lebih aktif dalam pembelajaran. Pada
saat awal peserta didik menyelesaikan soal latihan, peserta didik masih ragu tentang apa yang
harus mereka kerjakan terlebih dahulu sehingga guru memberikan arahan dalam menjawab
soal. Setelah peserta didik mendapatkan arahan, mereka mulai menyadari cara berpikirnya
dan mendapatkan jalan untuk menyelesaikannya.
Pada pertemuan kedua tidak seperti pada hari pertama, dihari kedua sudah ada
peningkatan. Saat pembentukan kelompok tidak gaduh lagi karena kelompok pada hari kedua
sama dengan kelompok di hari pertama sehingga sudah tidak lagi menyita waktu
pembelajaran dan peserta didik sudah tertarik dengan pembelajaran inkuiri. Peserta didik
mulai terbiasa dengan teman lain dalam kelompoknya dan mulai menerima perbedaan yang
ada serta membuat peserta didik justru merasa saling membutuhkan satu sama lain dalam
menyelesaikan masalah dalam pembelajaran. Peserta didik sudah menyesuaikan diri dalam
belajar berkelompok dan berbagi pengetahuan dengan kelompok lain pada saat presentasi
sehingga peserta didik lebih tenang dalam mengerjakan LKPD dan soal latihan. Hal ini
menyebabkan peserta didik lebih berani dan aktif dalam diskusi. Tetapi, guru tetap
berkeliling untuk memeriksa atau memberi arahan dan bimbingan.
Pelaksanaan pembelajaran kelas kontrol menggunakan model pembelajaran TPS
berbantuan alat peraga. Kegiatan pembelajaran banyak berpusat pada guru sehingga
diperlukan motivasi yang lebih kepada peserta didik agar interaksi antara guru dengan peserta
didik berjalan aktif. Peserta didik yang tidak memperhatikan penjelasan dan pertanyaan-
pertanyaan dari guru akan mengalami kesulitan ketika mengerjakan soal latihan. Tetapi,
kegiatan peserta didik dalam mengerjakan soal latihan secara berpasangan sudah baik, hanya
saja peserta didik yang belum memahami konsep cenderung hanya mencocokkan jawaban.
Model pembelajaran inkuiri dengan alat peraga dan LKPD berbasis GQM memiliki
beberapa kelebihan, yaitu (1) peserta didik menjadi lebih aktif dalam pembelajaran; (2)
memberikan lebih banyak kesempatan untuk berinteraksi antara peserta didik dan antara
peserta didik dengan guru sehingga peserta didik lebih mudah menemukan dan memahami
konsep-konsep yang sulit apabila mereka saling mendiskusikan masalah-masalah tersebut
dengan temannya; (3) melatih untuk berpikir runtut berdasar pengetahuannya sendiri dengan
bimbingan dari guru; (4) pembelajaran menjadi lebih menarik menggunakan alat peraga dan
LKPD sehingga peserta didik semangat dan termotivasi dalam kegiatan pembelajaran; (5)
dapat menghindarkan peserta didik belajar dengan hafalan; dan (6) penggunaan LKPD
dapat menstimulus kemampuan peserta didik dalam memahami dan menyimpulkan suatu
materi, melatih peserta didik berpikir kelompok sehingga kemampuan pemahaman peserta
didik semakin meningkat.

76
Selain itu, LKPD ini juga sangat cocok digunakan dalam model pembelajaran inkuiri
karena dapat membantu guru dalam memberikan bantuan secara kelompok serta merangsang
keingintahuan dan memotivasi peserta didik untuk mempelajari materi pada tahap
pemahaman yang diberikan melalui diskusi. Menurut Silver (2006), Tell me and I will forget;
show me and I may remember; involve me and I will understand. Pertanyaan-pertanyaan yang
operasional yang diberikan guru maupun pada LKPD dengan alat peraga akan mempermudah
peserta didik untuk menemukan konsep yang dicari.
Selain kelebihan, model pembelajaran inkuiri dengan alat peraga dan LKPD berbasis
GQM juga memiliki kekurangan, yaitu (1) mengandalkan suatu kesiapan berpikir tertentu
sehingga peserta didik yang mempunyai kemampuan berpikir lambat bisa kebingungan dalam
berpikir secara luas untuk menemukan hubungan antara konsep maupun prinsip; dan (2)
membutuhkan waktu yang relatif banyak untuk membimbing peserta didik menuju kearah
yang dituju sebagai contoh banyak waktu yang dihabiskan untuk membantu seorang peserta
didik dalam menemukan konsep dan prinsip tertentu.
Kekurangan-kekurangan tersebut dapat diminimalisasikan, seperti memberi tugas
kepada peserta didik untuk mempelajari materi tersebut pada pertemuan sebelumnya agar
peserta didik mempunyai sedikit gambaran tentang materi tersebut. Peserta didik yang tidak
dapat mengikuti pembelajaran dikarenakan peserta didik belum terbiasa dengan proses
pembelajaran tersebut. Hal ini dapat diatasi dengan mulai membiasakan peserta didik dengan
pembelajaran yang tidak terfokus pada guru saja. Pembelajaran yang baik juga harus
didukung oleh guru yang kompeten. Oleh karena itu, guru hendaknya lebih mempersiapkan
diri sebelum mengajar di kelas.
Pada penelitian ini, terdapat beberapa faktor pendukung dan faktor penghambat pada
model pembelajaran inkuiri dengan alat peraga dan LKPD berbasis GQM. Faktor-faktor yang
sangat mendukung terlaksananya pembelajaran adalah adanya kerjasama dan bantuan dari
guru mata pelajaran yang bertindak sebagai observer dan keterlibatan peserta didik secara
aktif untuk dapat mengikuti pembelajaran dengan baik. Adapun faktor-faktor yang
menghambat antara lain adalah peserta didik yang kurang mendukung dalam pembelajaran,
diantaranya beberapa peserta didik yang tidak terbiasa dengan pembelajaran secara kelompok
sehingga mereka cenderung pasif dalam mengikuti pembelajaran dan waktu yang tersedia
relatif sedikit untuk dapat mengembangkan pembelajaran serta belum terbiasanya peserta
didik terhadap kegiatan pembelajaran. Oleh karena itu, guru sebaik mungkin mempersiapkan
pembelajaran dengan maksimal, meliputi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang
sesuai dengan karakteristik model pembelajaran yang bersangkutan maupun waktu yang
disediakan, mempersiapkan media yang mendukung pembelajaran dan dapat
mengkondisikan peserta didik dengan baik.

Penutup
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat ditarik simpulan sebagai berikut :
(1) kemampuan pemahaman pada model pembelajaran inkuiri dengan alat peraga dan
Lembar Kegiatan Peserta Didik (LKPD) berbasis Good Questions and Modelling (GQM)
telah mencapai ketuntasan klasikal; (2) rata-rata kemampuan pemahaman peserta didik yang
diajar model pembelajaran inkuiri dengan alat peraga dan LKPD berbasis GQM dapat
mencapai batas nilai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) mata pelajaran matematika; (3)
rata-rata kemampuan pemahaman peserta didik yang diajar menggunakan model
pembelajaran inkuiri dengan alat peraga dan LKPD berbasis GQM lebih dari rata-rata
kemampuan pemahaman peserta didik yang diajar menggunakan model pembelajaran TPS
(Think Pairs Share) berbantuan alat peraga dan (4) persentase ketuntasan klasikal
kemampuan pemahaman peserta didik yang diajar menggunakan model pembelajaran inkuiri
dengan alat peraga dan LKPD berbasis GQM lebih dari persentase ketuntasan klasikal

77
kemampuan pemahaman peserta didik yang diajar menggunakan model pembelajaran TPS
(Think Pairs Share) berbantuan alat peraga.
Berdasarkan simpulan tersebut maka penerapan model pembelajaran inkuiri dengan alat
peraga dan LKPD berbasis GQM efektif terhadap kemampuan pemahaman pada materi segi
empat.

Daftar Pustaka

Ariefani,C.L.2007. Keefektifan Model Pengajaran Inquiry dengan Memanfaatkan Lembar


Kerja Peserta didik (LKPD) pada Mata Pelajaran Matematika Pokok Bahasan Teorema
Pythagoras Semester 1 Kelas VIII SMP Negeri 3 Batang Tahun Pelajaran 2005/2006.
Skripsi. Semarang: FMIPA Universitas Negeri Semarang.
Hudojo,H.2003.Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang: JICA.
Lestari, L. P. 2006. Keefektifan Pembelajaran Dengan Penggunaan Alat Peraga dan Lembar
Kerja Peserta didik (LKPD) Terhadap Hasil Belajar Matematika dalam Pokok Bahasan
Bangun Segi Empat Pada Peserta didik Kelas VII Semester 2 Di SMP Muhammadiyah
Margasari Kabupaten Tegal Tahun Pelajaran 2005/2006. Skripsi. Semarang: FMIPA
Universitas Negeri Semarang.
Silver, C. et al. 2006. Scaffolding and Achievement in Problem-Based and Inquiry Learning:
A Response to Kirschner, Swaller, and Clark. Educational Psychologist : 42(2), 99-107.
Tersedia di http://www.cogtech.usc.edu/.pdf [diakses 8-3-2012]
Sugiarto. 2010. Bahan Ajar Workshop Pendidikan Matematika I. Buku Ajar Jurusan
Matematika FMIPA UNNES.
Suherman, E. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA.
Sulistyaningsih,N.2010. Meningkatkan Hasil Belajar dan Kreativitas Matematis Peserta
Didik pada Materi bangun Segi Empat Melalui Penerapan Pembelajaran Kooperatif
Berbasis Enaktif-Ikonik-Simbolik (EIS) dan Good Questioning and Modelling (GQM) di
Kelas VIIC SMP N 32 Semarang. Penelitian Tindakan Kelas. Semarang: Dinas
Pendidikan Pemerintah Kota Semarang.
Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Surabaya :
Prestasi Pustaka.
Wardhani,S. 2008. Analisis SI dan SKL Mata Pelajaran Matematika SMP/MTs untuk
Optimalisasi Tujuan Mata Pelajaran Matematika. Yogyakarta : PPPPTK

78
Pembelajaran Matematika Model Creative Problem Solving untuk
Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah dan
Disposisi Matematis

Burhanudin1), Masrukan2)
1
SMA Negeri 1 Belik Jl Raya Gunungtiga Belik Pemalang
2
Universitas Negeri Semarang Jl Raya Sekaran Gunungpati Semarang
e-mail: 1)burhanudyn@yahoo.com

Abstrak
Artikel ini mengkaji efektivitas pembelajaran matematika model Creative Problem Solving
(CPS) terhadap kemampuan pemecahan masalah dan disposisi matematis. Dalam hal ini
CPS adalah model pembelajaran yang dilakukan melalui tahap-tahap klarifikasi masalah,
pengungkapan gagasan, evaluasi dan seleksi, serta implementasi. Kemampuan pemecahan
masalah adalah kompetensi strategik yang ditunjukkan siswa dalam memahami, memilih
pendekatan dan strategi pemecahan masalah, dan menyelesaikan masalah dengan indikator
meliputi: (1) kemampuan mengidentifikasi masalah, (2) kemampuan merencanakan
penyelesaian masalah, (3) kemampuan menyelesaikan masalah sesuai rencana, dan (4)
kemampuan menafsirkan solusi. Disposisi matematis adalah kecenderungan untuk berpikir
dan bertindak secara positif dalam menyelesaikan masalah matematis. Indikator disposisi
matematis yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada NCTM (1989) dan
disesuaikan nilai-nilai karakter bangsa meliputi: (1) percaya diri dalam menyelesaikan
masalah, (2) bekerja keras dan pantang menyerah dalam menyelesaikan masalah, (3) kreatif,
(4) rasa ingin tahu, (5) tanggung jawab terhadap tugas yang diberikan. Artikel ini didasarkan
pada hasil penelitian yang dilakukan terhadap siswa kelas X SMAN 1 Belik kabupaten
Pemalang Tahun Pelajaran 2011/2012. Penelitian dilakukan melalui metode eksperimen.
Variabel penelitian meliputi aktivitas belajar siswa, kemampuan pemecahan masalah, dan
disposisi matematis yang disesuaikan dengan nilai-nilai karakter bangsa. Data aktivitas
belajar siswa diperoleh melalui pengamatan. Data kemampuan pemecahan masalah diperoleh
melalui tes, sedangkan data disposisi matematis siswa diperoleh melalui pengisian skala
disposisi matematis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) tercapai ketuntasan belajar
siswa, (2) kemampuan pemecahan masalah pada siswa kelas eksperimen lebih tinggi
daripada kemampuan pemecahan masalah pada siswa kelas kontrol, (3) terdapat pengaruh
aktivitas belajar siswa terhadap kemampuan pemecahan masalah, (4) terjadi peningkatan
kemampuan pemecahan masalah dan (5) terjadi peningkatan disposisi matematis. Hal ini
menunjukkan bahwa pembelajaran model CPS efektif.

Kata kunci: creative problem solving, kemampuan pemecahan masalah,dan


disposisi matematis.

Pendahuluan
Kemampuan pemecahan masalah merupakan salah satu aspek penting yang harus
dikembangkan dalam pendidikan. Karena begitu pentingnya maka kemampuan ini menjadi
fokus dalam pembelajaran matematika (Depdiknas, 2006). Selain itu NCTM tahun 2000
(dalam Lee, 2003) juga menyatakan bahwa untuk menyongsong abad XXI para siswa
seharusnya dibekali dengan kemampuan pemecahan masalah, kemampuan komunikasi
matematis, dan kemampuan melakukan penalaran matematis.
Pembelajaran matematika tidak hanya dimaksudkan untuk mengembangkan
kemampuan kognitif matematis melainkan juga aspek afektif, seperti disposisi matematis.
NCTM (1989) menyatakan bahwa disposition refers not simply to attitudes but to a
tendency to think and to act in positive ways. Hal ini berarti bahwa disposisi bukan sekedar
menunjukkan sikap secara sederhana tetapi merupakan suatu kecenderungan untuk berpikir

79
dan bertindak secara positif. Disposisi matematis siswa terwujud melalui sikap dan tindakan
dalam memilih pendekatan menyelesaikan tugas. Apakah dilakukan dengan percaya diri,
keingintahuan mencari alternatif, tekun, dan tertantang serta kecenderungan siswa merefleksi
cara berpikir yang dilakukannya.
Jika diperhatikan maka tampak adanya kesamaan antara unsur-unsur yang terdapat
dalam aspek disposisi matematis dan nilai-nilai karakter bangsa yang pada saat ini sedang
gencar untuk didorong pelaksanaannya dalam dunia pendidikan. Tabel 1 berikut ini
merupakan perbandingan antara indikator-indikator disposisi matematis dan nilai-nilai
karakter bangsa yang terkait dengan pelajaran matematika.

Tabel 1 Perbandingan antara Indikator Disposisi Matematis dan Nilai-nilai


Karakter Bangsa
Indikator Disposisi Matematis Nilai Karakter Bangsa
- Percaya diri dalam menyelesaikan - Teliti
masalah matematika
- Berpikir fleksibel dalam - Kreatif
menyelesaikan masalah
- Gigih dalam mengerjakan tugas - Kerja keras, pantang menyerah
matematika
- Memiliki keingintahuan (curiosity - Rasa ingin tahu
dalam aktivitas bermatematika

Untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan disposisi matematis


seharusnya siswa didorong untuk belajar secara aktif dan konstruktif melalui kegiatan
pemecahan masalah. Salah satu model pembelajaran yang sesuai pandangan konstruktivis
adalah Creative Problem Solving (CPS). Menurut Karen (dalam Cahyono, 2009), CPS adalah
suatu model pembelajaran yang berpusat pada keterampilan pemecahan masalah, yang diikuti
dengan penguatan kreatifitas. Ketika dihadapkan dengan situasi pertanyaan, siswa dapat
melakukan keterampilan memecahkan masalah untuk memilih dan mengembangkan
tanggapannya. Tidak hanya dengan cara menghafal tanpa dipikir, keterampilan memecahkan
masalah memperluas proses berpikir. CPS merupakan representasi dimensi-dimensi proses
yang alami, bukan suatu usaha yang dipaksakan. CPS merupakan pendekatan yang dinamis,
siswa menjadi lebih terampil sebab siswa mempunyai prosedur internal yang lebih tersusun
dari awal.
Pepkin (2004) menuliskan langkah-langkah CPS dalam pembelajaran matematika
sebagai hasil gabungan prosedur Oech dan Osborn yang meliputi klarifikasi masalah,
pengungkapan gagasan, evaluasi dan seleksi, dan implementasi. Klarifikasi masalah meliputi
pemberian penjelasan kepada siswa tentang masalah yang diajukan, agar siswa dapat
memahami tentang penyelesaian yang diharapkan. Pada tahap pengungkapan gagasan, siswa
dibebaskan untuk mengungkapkan gagasan tentang berbagai macam strategi penyelesaian
masalah. Pada tahap evaluasi dan seleksi, setiap kelompok mendiskusikan pendapat-pendapat
atau strategi-strategi yang cocok untuk menyelesaikan masalah, memodifikasi mana yang
mungkin dan mengeliminasi yang tidak diperlukan dengan tujuan setiap kelompok
menentukan pada satu pilihan. Sementara itu, pada tahap implementasi siswa menentukan
strategi yang dapat diambil untuk menyelesaikan masalah, kemudian menerapkannya
sampai menemukan penyelesaian dari masalah tersebut.
Langkah-langkah pembelajaran model CPS dalam penelitian ini diuraikan seperti pada
Tabel 2 berikut ini.

80
Tabel 2 Langkah-langkah Pembelajaran Model CPS dan Nilai-nilai yang Dikembangkan

Langkah Nilai yang


Kegiatan Pembelajaran
Pembelajaran Dikembangkan
I. Pendahuluan - Mengingat materi atau konsep Rasa ingin tahu
pada pelajaran sebelumnya
- Guru mengajukan masalah yang
menarik dan menantang.
II. Kegiatan Inti
2.1 Klarifikasi - Guru memberikan penjelasan Rasa ingin tahu
masalah kepada siswa tentang masalah
yang diajukan.
2.2 Pengungkapan - Siswa berupaya menemukan, Tanggung jawab,
gagasan mengungkapkan dan mandiri
memodifikasi sejumlah ide atau
strategi yang dapat digunakan.
2.3 Evaluasi dan - Setiap kelompok mendiskusikan Kreatif,
seleksi gagasan yang cocok dan demokratis
menentukan pada satu pilihan
strategi yang paling tepat dalam
menyelesaikan masalah.
2.4 Implementasi - Siswa menggunakan strategi Kerja keras, teliti
yang dipilih untuk dan pantang
menyelesaikan masalah. menyerah

Depdiknas (2004) menyebutkan bahwa pemecahan masalah merupakan kompetensi


strategik yang ditunjukkan siswa dalam memahami, memilih pendekatan dan strategi
pemecahan masalah, dan menyelesaikan model untuk menyelesaikan masalah. Berdasarkan
pengertian tersebut, Shadiq (2009) menguraikan indikator yang menunjukkan kemampuan
pemecahan masalah antara lain adalah sebagai berikut: (1) menunjukkan pemahaman
masalah, (2) mengorganisasi data dan memilih informasi yang relevan dalam pemecahan
masalah, (3) menyajikan masalah secara matematika dalam berbagai bentuk, (4) memilih
pendekatan dan metode pemecahan masalah secara tepat, (5) mengembangkan strategi
pemecahan masalah, (6) membuat dan menafsirkan model matematika dari suatu masalah, (7)
menyelesaikan masalah yang tidak rutin.
Menurut Marshal (dalam Mahmudi, 2010) terdapat beberapa aspek penting dalam
mengevaluasi kemampuan pemecahan masalah. Aspek pertama adalah penguasaan
pengetahuan faktual yang relevan dengan situasi masalah. Aspek ini berkaitan dengan
pemahaman terhadap masalah. Aspek kedua adalah penguasaan pengetahuan prosedural.
Aspek ini berkaitan dengan penggunaan strategi yang sesuai situasi masalah. Aspek ketiga
adalah penguasaan terhadap prosedur matematis untuk mencari solusi masalah. Hal ini
menunjukkan bahwa memahami masalah, melakukan prosedur matematis, dan
mengidentifikasi serta menerapkan strategi yang sesuai untuk menyelesaikan masalah
merupakan aspek-aspek penting yang perlu diperhatikan dalam mengevaluasi kemampuan
pemecahan masalah.
NCTM (1989) menyebutkan bahwa untuk siswa pada kelas 9-12, kurikulum
matematika seharusnya menyertakan dan mengembangkan metode-metode problem solving
sedemikian sehingga para siswa dapat: (1) menggunakan, dengan percaya diri, pendekatan-
pendekatan problem solving untuk melakukan investigasi dan memahami materi matematika,
(2) menerapkan strategi-strategi problem solving secara terintegrasi untuk menyelesaikan

81
masalah-masalah dalam matematika maupun di luar matematika, (3) mengenali dan
merumuskan masalah-masalah matematika maupun di luar matematika, (4) melakukan
pemodelan matematika terhadap permasalahan nyata.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan
masalah adalah kompetensi strategik yang ditunjukkan siswa dalam memahami, memilih
pendekatan dan strategi pemecahan masalah, dan menyelesaikan model untuk menyelesaikan
masalah. Indikator dari kemampuan pemecahan masalah yang digunakan dalam penelitian
ini meliputi: (1) kemampuan mengidentifikasi masalah, (2) kemampuan merencanakan
penyelesaian masalah, (3) kemampuan menyelesaikan masalah sesuai rencana, dan (4)
kemampuan menafsirkan solusi.
Salah satu faktor yang mempengaruhi proses dan hasil belajar matematika siswa adalah
disposisi mereka terhadap matematika. Katz (dalam Mahmudi, 2010) mendefinisikan
disposisi sebagai kecenderungan untuk berperilaku secara sadar (consciously), teratur
(frequently), dan sukarela (voluntary) untuk mencapai tujuan tertentu. Perilaku-perilaku
tersebut diantaranya adalah percaya diri, gigih, ingin tahu, dan berpikir fleksibel. Dalam
konteks matematika, disposisi matematis (mathematical disposition) berkaitan dengan
bagaimana siswa menyelesaikan masalah matematis; apakah percaya diri, tekun, berminat,
dan berpikir fleksibel untuk mengeksplorasi berbagai alternatif penyelesaian masalah. Dalam
konteks pembelajaran, disposisi matematis berkaitan dengan bagaimana siswa bertanya,
menjawab pertanyaan, mengkomunikasikan ide-ide matematis, bekerja dalam kelompok, dan
menyelesaikan masalah.
NCTM (1989) menyatakan bahwa disposition refers not simply to attitudes but to a
tendency to think and to act in positive ways. Hal ini berarti bahwa disposisi bukan sekedar
menunjukkan sikap secara sederhana tetapi merupakan suatu kecenderungan untuk berpikir
dan bertindak secara positif. Disposisi matematis siswa terwujud melalui sikap dan tindakan
dalam memilih pendekatan menyelesaikan tugas. Apakah dilakukan dengan percaya diri,
keingintahuan mencari alternatif, tekun, dan tertantang serta kecenderungan siswa merefleksi
cara berpikir yang dilakukannya.
Indikator dalam disposisi matematis menurut NCTM (1989) meliputi (1) percaya diri
dalam menggunakan matematika untuk menyelesaikan masalah, (2) mengkomunikasikan ide-
ide matematis dan memberikan argumentasi, (3) berpikir fleksibel dalam mengeksplorasi ide-
ide matematis dan mencoba metode alternatif dalam menyelesaikan masalah, (4) gigih dalam
mengerjakan tugas matematika, (5) berminat, memiliki keingintahuan (curiosity), dan
memiliki daya cipta (inventiveness) dalam aktivitas bermatematika, (6) memonitor dan
merefleksi pemikiran dan kinerja, (7) menghargai aplikasi matematika pada disiplin ilmu lain
atau dalam kehidupan sehari-hari, dan (8) mengapresiasi peran matematika sebagai alat dan
sebagai bahasa.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa disposisi matematis adalah
kecenderungan untuk berpikir dan bertindak secara positif dalam menyelesaikan masalah
matematis. Indikator disposisi matematis yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada
NCTM (1989) dan disesuaikan nilai-nilai karakter bangsa meliputi: (1) percaya diri dalam
menyelesaikan masalah matematika, (2) bekerja keras dan pantang menyerah dalam
menyelesaikan masalah matematika, (3) kreatif, (4) rasa ingin tahu, (5) tanggung jawab
terhadap tugas yang diberikan.

Metode
Untuk mengetahui efektivitas model pembelajaran CPS dilakukan melalui metode
eksperimen. Populasi penelitian adalah siswa kelas X SMAN 1 Belik Kabupaten Pemalang
tahun pelajaran 2011/2012 yang terdiri dari lima kelas. Sampel terdiri dari dua kelas, satu
kelas sebagai kelas eksperimen, dan satu kelas sebagai kelas kontrol yang dipilih secara acak

82
(simple random sampling). Adapun variabel yang digunakan meliputi aktivitas belajar siswa,
kemampuan pemecahan masalah, dan disposisi matematis.
Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data meliputi lembar pengamatan
aktivitas belajar siswa, tes kemampuan pemecahan masalah, dan skala disposisi matematis.
Lembar pengamatan digunakan untuk mendapatkan data aktivitas belajar siswa. Skala
disposisi matematis digunakan untuk mendapatkan data disposisi matematis siswa, sedangkan
tes digunakan untuk mendapatkan data kemampuan pemecahan masalah matematis.
Untuk melakukan analisis data dilakukan melalui uji banding, uji beda rata-rata, uji
pengaruh, dan analisis gain. Uji banding dilakukan untuk menguji ketuntasan belajar siswa
yaitu dengan cara membandingkan proporsi siswa yang telah mencapai KKM terhadap
proporsi yang telah ditentukan. Uji beda rata-rata dilakukan untuk mengetahui perbedaan
kemampuan pemecahan masalah antara siswa pada kelas eksperimen dan kemampuan
pemecahan masalah siswa pada kelas kontrol. Uji pengaruh dilakukan melalui analisis regresi
sederhana, yakni untuk mengetahui pengaruh aktivitas belajar siswa terhadap kemampuan
pemecahan masalah.
Sementara itu untuk mengetahui peningkatan kemampuan pemecahan masalah maupun
disposisi matematis dilakukan melalui analisis rata-rata nilai gain yang dinormalisasi ( )
yaitu perbandingan dari skor gain aktual dengan skor gain maksimum. Skor gain aktual yaitu
skor gain rata-rata yang diperoleh siswa dari selisih skor tes awal (Si) dan skor tes akhir (Sf)
sedangkan skor gain maksimum yaitu skor gain tertinggi yang mungkin diperoleh siswa.
( )


Untuk memberikan interpretasi terhadap nilai gain yang didapatkan digunakan acuan
seperti pada Tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3 Interpretasi Nilai Gain.

Nilai gain Kategori


Tinggi
Sedang
Rendah

(Hake, 1998).

Hasil
Ketuntasan belajar siswa sebagai akibat dari proses pembelajaran dengan menggunakan
perangkat pembelajaran model CPS dalam penelitian ini dilihat dari proporsi siswa yang
secara individu nilai hasil tesnya telah mencapai KKM. Adapun proporsi yang ditetapkan
dalam penelitian ini sebesar 75%. Untuk menentukan ketercapaian kriteria ketuntasan
klasikal dilakukan menggunakan uji proporsi melalui uji pihak kanan. Berdasarkan hasil
perhitungan didapatkan nilai Sementara itu dengan didapat harga
. Dengan demikian diketahui bahwa harga lebih besar dari
sehingga ditolak. Hal ini mengatakan bahwa proporsi siswa yang mencapai KKM sudah
melampaui 75%.
Uji beda rata-rata digunakan untuk membandingkan antara rata-rata kemampuan
pemecahan masalah siswa kelas eksperimen dan kemampuan pemecahan masalah siswa kelas
kontrol. Untuk melakukan uji banding tersebut digunakan uji pihak kanan dengan hipotesis
H0 : 1 2 dan H1 : 1 2 dengan 1 adalah kemampuan pemecahan masalah rata-rata
pada siswa kelas eksperimen dan 2 adalah kemampuan pemecahan masalah rata-rata pada
siswa kelas kontrol.

83
Untuk menentukan statistik uji yang akan digunakan terlebih dahulu dilakukan uji
kesamaan dua varians menggunakan statistik F dengan cara membandingkan varians terbesar
dengan varians terkecil. Berdasarkan perhitungan diperoleh nilai F = 2,5. Sementara itu
dengan derajat kebebasan untuk pembilang = 25 dan penyebut = 23 dengan , dari
daftar distribusi F didapat F0,025(25, 23) = 2,00. F hitung lebih besar dari F tabel maka tolak H0,
artinya bahwa dua kelompok data sampel berasal dari populasi yang memiliki variansi yang
tidak sama.
Karena kedua kelompok data sampel berasal dari populasi yang memiliki variansi yang
tidak sama maka untuk melakukan uji banding digunakan statistik

. Berdasarkan perhitungan diperoleh nilai = 2,078. Sementara itu untuk

perhitungan diperoleh nilai sebesar 1,41. Karena maka H0 yang


menyatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah pada siswa kelas eksperimen lebih
rendah atau sama dengan kemampuan pemecahan masalah pada siswa kelas kontrol ditolak.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah pada siswa
kelas eksperimen lebih tinggi daripada kemampuan pemecahan masalah pada siswa kelas
kontrol.
Untuk mengetahui adanya pengaruh aktivitas belajar siswa terhadap kemampuan
pemecahan masalah dilakukan melalui analisis regresi linear sederhana. Dengan
menggunakan program SPSS didapatkan persamaan regresi: . Adapun
besar pengaruh aktivitas belajar siswa terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis
dilihat dari nilai R Square = 0,780. Hal ini menunjukkan bahwa 78% kemampuan pemecahan
masalah matematis siswa dipengaruhi oleh aktivitas belajar siswa yang dalam
pembelajarannya menggunakan model CPS. Sementara sisanya dipengaruhi oleh sebab-sebab
lain. Sementara itu berdasarkan analisis gain untuk mengetahui peningkatan kemampuan
pemecahan masalah dan disposisi matematis diperoleh nilai gain untuk peningkatan
kemampuan pemecahan masalah sebesar 0,65. Sedangkan nilai gain untuk peningkatan
disposisi matematis sebesar 0,31.
Karena kelima kriteria keefektifan yang ditetapkan terpenuhi, yakni (1) tercapai
ketuntasan belajar, (2) kemampuan pemecahan masalah pada siswa kelas eksperimen lebih
tinggi daripada kemampuan pemecahan masalah siswa pada kelas kontrol, (3) terdapat
pengaruh aktivitas belajar terhadap kemampuan pemecahan masalah, (4) terjadi peningkatan
kemampuan pemecahan masalah, dan (5) terjadi peningkatan disposisi matematis maka dapat
disimpulkan bahwa pembelajaran model CPS berbantuan multimedia bersifat efektif.
Efektivitas model pembelajaran tersebut sudah diduga sebelumnya karena dalam model
CPS terdapat beberapa kelebihan. Menurut Treffinger (dalam Pepkin, 2004) model CPS
merepresentasikan proses pembelajaran yang dilakukan secara alamiah dan fleksibel, bukan
suatu usaha yang dipaksakan. Proses alamiah ini menekankan kepada para siswa untuk
membentuk pemahamannya sendiri melalui kegiatan pemecahan masalah kontekstual.
Pengetahuan didapat tidak dengan cara menghafal tanpa dipikir. Dengan demikian siswa akan
menjadi lebih terampil karena mereka mempunyai prosedur internal yang tersusun dari awal.
Dari uraian tersebut tampak bahwa salah satu kelebihan model CPS terletak pada
adanya penekanan kegiatan pemecahan masalah yang terpusat pada siswa. Melalui model
CPS dan pemberian masalah yang menarik dan menantang kemampuan pemecahan masalah
bagi siswa akan tumbuh. Hal ini sesuai dengan pendapat Cooney et al. (dalam Hudojo, 2001)
yang menyatakan bahwa mengajar siswa untuk menyelesaikan masalah-masalah
memungkinkan siswa tersebut menjadi lebih analitik di dalam mengambil keputusan di dalam
kehidupan sebab siswa yang bersangkutan menjadi mempunyai keterampilan tentang

84
bagaimana mengumpulkan informasi yang relevan, menganalisa informasi dan menyadari
betapa perlunya meneliti kembali hasil yang telah diperolehnya..
Sementara itu berdasarkan analisis nilai gain diperoleh nilai gain rata-rata untuk
peningkatan kemampuan pemecahan masalah sebesar 0,65. Berdasarkan interpretasi nilai
gain diketahui bahwa peningkatan disposisi matematis tersebut tergolong dalam kategori
sedang. Selain terjadi peningkatan kemampuan pemecahan masalah, dalam penelitian ini juga
terjadi peningkatan disposisi matematis dengan nilai gain sebesar 0,31. Berdasarkan
interpretasi nilai gain diketahui bahwa peningkatan disposisi matematis tersebut tergolong
dalam kategori sedang, yakni berkisar antara .
Peningkatan disposisi tersebut terjadi karena dalam pembelajaran menggunakan model
CPS menekankan pada kegiatan pemecahan masalah yang menarik dan menantang yang
dapat diselesaikan dengan lebih dari satu cara. Hal ini menyebabkan para siswa menjadi
tertarik dan termotivasi untuk menyelesaikan
masalah. Dengan menghadirkan masalah kontekstual, para siswa juga menjadi lebih
menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan. Hal ini sesuai dengan NCTM (1991)
yang menyatakan bahwa untuk mendorong disposisi matematis dapat dilakukan melalui
pemberian masalah yang dapat diselesaikan melalui beberapa cara. Selain itu, dapat juga
melalui penggunaan matematika untuk menyelesaikan masalah nyata.
Sementara itu keterkaitan antara tahap-tahap kegiatan pada pembelajaran matematika
model CPS dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada tahap klarifikasi masalah, guru
memberikan penjelasan kepada siswa mengenai masalah yang harus dicari solusinya.
Kegiatan ini dapat menumbuhkan rasa keingintahuan siswa mengenai masalah yang
diberikan dan bagaimana cara menyelesaikannya. Pada tahap pengungkapan gagasan, setiap
siswa diminta secara individu memberikan gagasannya mengenai strategi yang dapat
digunakan untuk menyelesaikan masalah. Kegiatan ini dapat memupuk kemandirian dan
tanggung jawab siswa untuk melakukan tugas yang diberikan. Pada tahap evaluasi dan
seleksi setiap kelompok mendiskusikan gagasan yang terkumpul dan menentukan pada satu
pilihan strategi yang paling tepat dalam menyelesaikan masalah. Kegiatan ini selain
memupuk nilai demokratis juga dapat mendorong kreativitas siswa dalam melakukan strategi
penyelesaian masalah dengan melihat berbagai sudut pandang yang berbeda. Sementara itu
kegiatan siswa dalam melakukan perhitungan matematika untuk mendapatkan penyelesaian
masalah pada tahap implementasi dapat mendorong ketelitian siswa, semangat kerja keras,
dan jiwa pantang menyerah.

Penutup
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa model
pembelajaran CPS bersifat efektif. Hal ini didasarkan atas ketercapaian lima kriteria
efektivitas yang ditetapkan, yakni: (1) tercapai ketuntasan belajar, (2) kemampuan
pemecahan masalah pada siswa kelas eksperimen lebih tinggi dari kemampuan pemecahan
masalah pada siswa kelas kontrol, (3) terdapat pengaruh aktivitas belajar terhadap
kemampuan pemecahan masalah, (4) terjadi peningkatan kemampuan pemecahan masalah
matematis, dan (5) terjadi peningkatan disposisi matematis. Terjadinya peningkatan disposisi
matematis ini juga berarti bahwa pembelajaran dengan model CPS efektif dalam upaya
menumbuhkan nilai-nilai karakter bangsa. Hal ini dikarenakan bahwa dalam indikator dari
disposisi matematis dalam penelitian ini telah disesuaikan dengan nilai-nilai karakter bangsa
yang meliputi percaya diri dalam menyelesaikan masalah, bekerja keras dan pantang
menyerah dalam menyelesaikan masalah, kreatif, rasa ingin tahu, dan tanggung jawab
terhadap tugas yang diberikan
Terkait dalam pelaksanaan pembelajaran menggunakan model CPS ini, supaya setiap
kelompok mendapat kesempatan yang sama untuk berhasil dalam memecahkan masalah yang

85
diberikan maka guru perlu menempatkan siswa berkemampuan tinggi pada setiap kelompok
untuk menjadi pemandu dalam kegiatan kelompok tersebut. Selain itu peneliti juga
menyarankan untuk memisah antara tahap kegiatan pengungkapan gagasan dan kegiatan
evalusi dan seleksi secara jelas. Kegiatan pada tahap pengungkapan gagasan sebaiknya
dilakukan siswa secara individual, sedangkan kegiatan secara berkelompok hanya digunakan
untuk kegiatan pada tahap evaluasi dan seleksi gagasan serta tahap implementasi.

Daftar Pustaka

Cahyono, A.N. 2009. Pengembangan Model Creative Problem Solving berbasis Teknologi
dalam Pembelajaran Matematika di SMA Makalah. Seminar Nasional Matematika V
yang diselenggarakan oleh Jurusan Matematika FMIPA UNNES. Semarang, 24
Oktober.
Depdiknas. 2004. Penilaian Perkembangan Anak Didik Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Jakarta: Ditjen Dikdasmen.
-------------. 2006. Standar Isi. Jakarta: Permendiknas No. 22 tahun 2006.
Hake, R.R. 1998. Interactive-Engagement vs Traditional Methods: A Six-Thousand-Student
Survey of Mechanics Test Data for Introductory Physics Courses. Am. J. Phys. Vol. 66
P. 64 -74.
Hudojo, H. 2001. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang:
Pendidikan Matematika FMIPA Universitas Negeri Malang.
Lee, K.S. 2003. A Development of the Test for Mathematical Creative Problem Solving
Ability. Journal of the Korea Society of Mathematical Education Series D: Research
in Mathematical Education, Vol. 7 No. 3 P. 163189
Mahmudi, A. 2010. Tinjauan Asosiasi antara Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
dan Disposisi Matematis. Makalah. Seminar Nasional Pendidikan Matematika HMJ
Pendidikan Matematika FMIPA UNY. Yogyakarta, 17 April.
NCTM. 1989. Prinsiples and standards for school mathematics.
http://fayar.net/east/teacher.web/math/Standards/Previous/CurrEvStds/evals10.htm
(diunduh 9 Desember 2011).
---------. 1991. Prinsiples and standards for school mathematics.
http://fayar.net/east/teacher.web/math/Standards/Previous/CurrEvStds/evals10.htm
(diunduh 9 Desember 2011).
Pepkin, K.L. 2004. Creative Problem Solving in Math.
http://hti.math.uh.edu/curriculum/units/2000/02/00.02.04.pdf (diunduh 18 januari
2012).
Shadiq, F. 2009. Kemahiran Matematika. Yogyakarta: PPPPTK Matematika.

86
Keefektifan Pembelajaran Teams Game Tournament (TGT) Pendekatan
Problem Posing Terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis

Detalia Noriza Munahefi-1), Isti Hidayah, Riza Arifudin


Universitas Negeri Semarang
Email: 1)muna_thalia@yahoo.com

Abstract
The purpose of this research was determining the effectiveness of TGT with problem posing
approach to learning activities and creative mathematical thinking ability and learn to
influence learning activities to creative mathematical thinking ability of students in the
material surface area of cubes, blocks, prisms, and limas. TGT with problem posing
approach is effective if (1) the results of tests creative thinking abilities students using TGT
with problem posing approach has reached 75% completeness, and (2) the average results of
tests creative mathematical thinking ability students with TGT problem posing approach is
better than expository learning. The data was collected documentation, test, observations,
and interviews. The study population was students SMP N 1 Karangawen class VIII. The
study sample consisted of one experiment class and one class of control were selected by
random cluster sampling technique. experiments class using TGT with problem posing
approach, while the control class using expository learning. These results indicate that the
TGT learning with problem posing approach is an effective to creative mathematical thinking
ability and learning activities positively affected to creative mathematical thinking ability.

Keyword: creative mathematical thinking ability, problem posing, teams game tournament
(TGT).

Pendahuluan
Peserta didik melalui pembelajaran matematika diharapkan memiliki kemampuan
berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif serta memiliki kemampuan bekerja sama
(Depdiknas, 2004). Namun bertolak belakang dengan tujuan tersebut, prestasi matematika
peserta didik di Indonesia secara keseluruhan masih tergolong rendah. Berdasarkan data dari
Education for All (EFA) Global Monitroring Report 2011 yang dikeluarkan UNESCO
sebagaimana dikuitp oleh Rahardjo (2011), indeks pembangunan pendidikan Indonesia
berada pada urutan 69 dari 127 negara yang disurvei. Secara empiris berdasarkan hasil
analisis penelitian tentang masih rendahnya mutu pendidikan, salah satunya disebabkan oleh
proses pembelajaran yang masih didominasi oleh pembelajaran konvensional (Trianto, 2007).
Menurut Tran Vui sebagaimana dikutip oleh Shadiq (2009) model pembelajaran
konvensional yang dikenal dengan beberapa istilah salah satunya adalah pembelajaran
ekspositori. Pada pembelajaran ekspositori, kegiatan mengajar yang terpusat pada guru. Guru
yang aktif memberikan penjelasan terperinci tentang bahan pengajaran sedangkan aktivitas
belajar peserta didik terbatas hanya sekadar mendengarkan, mencatat, atau menjawab
pertanyaan yang diberikan kepada guru. Sehingga proses pembelajaran seperti ini hanya akan
mengembangkan kemampuan berpikir tingkat rendah peserta didik dan kurang meningkatkan
kemampuan berpikir tingkat tinggi khususnya berpikir kreatif.
Menurut Johnson & Johnson sebagaimana dikutip oleh Wyk (2010) model
pembelajaran kooperatif adalah suatu metodologi instruksional yang memberikan kesempatan
bagi peserta didik yang beraneka ragam untuk mengembangkan keterampilan dalam
berinteraksi dan bekerja secara berkelompok. Salah satu tipe pembelajaran kooperatif adalah
teams game tournament (TGT). Menurut Slavin (2005) TGT merupakan bentuk pembelajaran
kooperatif yang menggunakan beberapa komponen pendukung yaitu presentasi kelas, tim,

87
game, turnamen, dan rekognisi tim. Jika ditinjau dari prinsip pendukung pengembangan KBK
yang tercantum dalam Depdiknas (2003) pembelajaran kooperatif model TGT merupakan
metode pembelajaran yang efektif dan efisien.
Untuk lebih menunjang aktivitas belajar dan kemampuan berpikir kreatif matematis
maka digunakan pendekatan problem posing. Menurut Stoyanova & Ellerton sebagaimana
dikutip oleh Sriraman & Lee (2011) problem posing adalah kegiatan peserta didik untuk
menggali dan mengembangkan sendiri pengetahuannya dengan menyusun soal sesuai dengan
permasalahan yang diberikan oleh guru. Menurut Brown, Walter, English & Silver
sebagaimana dikutip oleh Song, et all. (2007) problem posing dapat meningkatkan
kemampuan berpikir kreatif.
Menurut Career Center Maine Department of Labor USA sebagaimana dikutip oleh
Mahmudi (2010: 1), pengembangan kemampuan berpikir kreatif perlu dilakukan karena
kemampuan ini merupakan salah satu kemampuan yang dikehendaki dunia kerja. Kreativitas
menurut Solso, Maclin & Maclin (2008) adalah suatu aktivitas kognitif yang menghasilkan
suatu pandangan yang baru mengenai suatu bentuk permasalahan dan tidak dibatasi pada
hasil yang pragmatis (selalu dipandang menurut kegunaannya). Menurut Sriraman & Lee
(2011) untuk mengukur kemampuan kreatif digunakan The Torrance Tests of Creative
Thinking (TTCT). Tiga komponen kunci yang dinilai dalam kreativitas menggunakan TTCT
adalah kelancaran, keluwesan dan kebaruan. Sedangkan menurut Dwijanto (2007) aspek-
aspek kemampuan berpikir kreatif matematis yang diukur adalah kelancaran, keluwesan,
keaslian, dan elaborasi. Kelancaran adalah kemampuan peserta didik dalam menjawab
masalah matematika secara tepat dan tidak bertele-tele. Keluwesan adalah kemampuan untuk
menghasilkan banyak macam pemikiran dan mudah berpindah dari jenis pemikiran tertentu
pada jenis pemikiran lainnya. Keaslian adalah kemampuan menjawab masalah matematika
dengan menggunakan bahasa, cara, atau idenya sendiri. Elaborasi adalah kemampuan untuk
menambahkan atau merinci hal-hal yang detail dari suatu obyek, gagasan atau situasi.
Tujuan penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui bahwa aktivitas belajar peserta
didik dengan pembelajaran TGT pendekatan problem posing lebih tinggi dibanding dengan
pembelajaran ekspositori; (2) untuk mengetahui bahwa pembelajaran TGT dengan
pendekatan problem posing efektif terhadap kemampuan berpikir kreatif matematis peserta
didik dan (3) untuk mengetahui pengaruh aktivitas belajar terhadap kemampuan berpikir
kreatif matematis peserta didik dengan pembelajaran TGT pendekatan problem posing pada
materi pokok luas permukaan kubus, balok, prisma, dan limas.

Metode
Populasi penelitian ini adalah semua peserta didik kelas VIII SMP Negeri 1
Karangawen. Peserta didik kelas VIII SMP Negeri 1 Karangawen tahun ajaran 2011/2012
terbagi menjadi 8 kelas yakni kelas VIII-A, kelas VIII-B, kelas VIII-C, kelas VIII-D, kelas
VIII-E, kelas VIII-F, kelas VIII-G, dan kelas VIII-H. Teknik pengambilan sampel dilakukan
dengan teknik cluster random sampling. Sampel pada penelitian ini terdiri dari satu kelas
eksperimen dan satu kelas kontrol. Kelas eksperimen menggunakan pembelajaran TGT
dengan pendekatan problem posing, sedangkan kelas kontrol menggunakan pembelajaran
ekspositori. Kelas eksperimen pada penelitian ini adalah kelas VIII-G, sedangkan kelas
kontrol adalah kelas VIII-H. Variabel bebas (X) dalam penelitian ini adalah aktivitas belajar
peserta didik kelas VIII SMP N 1 Karangawen. Variabel terikat (Y) dalam penelitian ini
adalah kemampuan berpikir kreatif matematis peserta didik kelas VIII SMP Negeri 1
Karangawen.
Metode pengumpulan data dilakukan dengan dokumentasi, observasi, tes, dan
wawancara. Metode dokumentasi digunakan untuk mendapatkan data awal berupa data nilai
ulangan tengah semester peserta didik kelas VIII SMP Negeri 1 Karangawen. Metode

88
observasi digunakan untuk memperoleh data aktivitas belajar peserta didik dengan mengisi
lembar penilaian aktivitas belajar peserta didik diisi oleh observer pada saat pembelajaran
sedang berlangsung. Lembar tersebut berisi delapan jenis aktivitas belajar pesera didik
menurut Paul D. Dierich sebagaimana dikutip oleh Hamalik (2005) yaitu kegiatan-kegiatan
visual, kegiatan-kegiatan lisan, kegiatan-kegiatan mendengarkan, kegiatan-kegiatan menulis,
kegiatan-kegiatan menggambar, kegiatan-kegiatan metrik, kegiatan-kegiatan mental, dan
kegiatan-kegiatan emosional. Observer diminta memberikan tanda cek () pada kotak skala
nilai sesuai dengan aktivitas yang dilakukan peserta didik. Tiap item memiliki kategori nilai
masing-masing dari 4, 3, 2, 1, atau 0, sesuai pedoman penskoran yang telah diberikan pada
tiap-tiap item. Metode tes digunakan untuk memperoleh data kemampuan berpikir kreatif
matematis peserta didik pada materi luas permukaan kubus, balok, prisma, dan limas.
Perangkat tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes kemampuan berpikir kreatif
matematis dengan soal-soal berbentuk uraian yang sudah diuji validitas dan reabilitasnya.
Metode wawancara dilaksanakan dengan memilih beberapa peserta didik untuk diberikan
pertanyaan-pertanyaan tentang kesulitan yang dihadapi dalam mengerjakan soal-soal yang
mengukur kemampuan berpikir kreatif matematis.
Data kedua kelas (eksperimen dan kontrol) yang diperoleh dari hasil penilaian
aktivitas belajar diolah dengan langkah-langkah sebagai berikut: (1) menguji normalitas data
kedua kelas dengan uji chi-kuadrat; (2) menguji homogenitas varians data kedua kelas; dan
(3) melakukan uji perbedaan rata-rata kedua kelas dengan uji t. Sedangkan data yang
diperoleh dari hasil tes kemampuan berpikir kreatif matematis diolah dengan langkah-
langkah sebagai berikut: (1) menguji normalitas data kedua kelas dengan uji chi-kuadrat; (2)
menguji homogenitas varians data kedua kelas; dan (3) menguji ketuntasan klasikal dengan
uji z (4) menguji perbedaan rata-rata kedua kelas dengan uji t. Untuk mengetahui pengaruh
aktivitas terhadap kemampuan berpikir kreatif matematis digunakan uji regresi.

Hasil
Berdasarkan hasil perhitungan uji perbedaan rata-rata hasil pengukuran aktivitas
belajar peserta didik diperoleh dengan dk = 64 dan taraf nyata 5% maka
diperoleh . Karena maka Ho ditolak. Oleh karena itu
berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa aktivitas belajar peserta didik dengan
pembelajaran TGT dengan pendekatan problem posing lebih tinggi dibanding peserta didik
dengan pembelajaran ekspositori. Hal ini dikarenakan model pembelajaran TGT dengan
pendekatan problem posing mempunyai beberapa kelebihan dalam meningkatkan aktivitas
belajar peserta didik yaitu dibentuknya kelompok belajar pada pembelajaran TGT serta
adanya turnamen yang dapat memotivasi peserta didik untuk bekerja keras dalam memahami
materi yang diberikan oleh guru. Kelompok belajar memungkinkan para peserta didik saling
bertukar pendapat dan tanya jawab satu sama lain, sehingga permasalahan dapat terselesaikan
dengan baik. Sedangkan pada pembelajaran ekspositori, konsep diberikan secara jelas oleh
guru. Selanjutnya guru memberikan contoh soal untuk menjelaskan materi, dilanjutkan
dengan pemberian tugas kepada peserta didik. Guru memberikan kesempatan kepada
beberapa peserta didik untuk mengerjakan di papan tulis. Pada akhir pelajaran peserta didik
diberi tugas untuk dikerjakan di rumah. Dari hasil pengamatan, peserta didik pada
pembelajaran ekspositori terlihat lebih pasif dibanding dengan pembelajaran TGT dengan
pendekatan problem posing. Menurut Mayer sebagaimana dikutip oleh Asmani (2011),
peserta didik aktif tidak hanya sekedar hadir di kelas, menghafal, dan akhirnya mengerjakan
soal-soal di akhir pelajaran, tetapi peserta didik juga harus terlibat aktif baik fisik maupun
mental. Namun demikian peneliti juga mengalami beberapa kendala dalam mengukur
aktivitas belajar peserta didik yaitu keadaan kelas yang belum sepenuhnya peneliti pahami

89
serta peneliti mengalami kesulitan mencari observer, sehingga pengamatan terhadap aktivitas
belajar setiap peserta didik menjadi kurang optimal.
Berdasarkan hasil perhitungan ketuntasan belajar klasikal pada kelas eksperimen
menggunakan uji proporsi pihak kanan didapat . Pada diperoleh
. Karena maka Ha diterima. Jadi berdasarkan data
penelitian dapat disimpulkan bahwa hasil tes kemampuan berpikir kreatif matematis peserta
didik dengan pembelajaran TGT pendekatan problem sudah memenuhi kriteria ketuntasan
minimal mencapai 75% dari banyaknya peserta didik. Sedangkan hasil perhitungan
ketuntasan belajar klasikal pada kelas kontrol dengan menggunakan uji proporsi pihak kanan
didapat . Pada diperoleh . Karena
maka Ho ditolak dan Ha diterima. Jadi berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa hasil tes kemampuan berpikir kreatif matematis peserta didik dengan
pembelajaran ekspositori yang memenuhi kriteria ketuntasan minimal belum mencapai 75%
dari banyaknya peserta didik.
Berdasarkan hasil perhitungan uji perbedaan rata-rata hasil kemampuan berpikir
kreatif matematis peserta didik diperoleh dengan dk = 64 dan taraf nyata
5% maka diperoleh . Karena maka Ho ditolak dan Ha
diterima. Jadi dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kreatif matematis peserta didik
dengan pembelajaran TGT dengan pendekatan problem posing lebih baik dibanding dengan
pembelajaran ekspositori.
Hasil penelitian tersebut memberikan gambaran bahwa pembelajaran TGT dengan
pendekatan problem posing dapat mengembangkan kemampuan berpikir kreatif matematis
peserta didik. Hal-hal yang menyebabkan pembelajaran TGT pendekatan problem posing
efektif dalam mengembangkan kemampuan berpikir kreatif matematis antara lain adalah
peserta didik diberikan kesempatan berdiskusi dengan anggota kelompoknya untuk
memecahkan permasalahan bersama. Anggota kelompok bersifat heterogen yang artinya
dalam satu kelompok terdapat peserta didik dengan kemampuan tinggi, sedang, dan rendah
sehingga peserta didik yang mempunyai kemampuan tinggi dapat menjadi tutor sebaya bagi
temannya. Peserta didik diberikan kartu masalah untuk menyusun soal sesuai permasalahan
pada kartu soal dengan disertai kunci jawabannya. Kartu masalah yang diberikan kepada
peserta didik dapat dijadikan sebagai sarana untuk mengembangkan kemampuan berpikir
kreatif matematis.
Namun berdasarkan data hasil tes kemampuan berpikir kreatif matematis peserta
didik, diperoleh bahwa sebagaian besar peserta didik yang belajar melalui pembelajaran TGT
pendekatan problem posing masih sangat lemah dalam salah satu aspek kemampuan berpikir
kreatif matematis yaitu kemampuan elaborasi. Sedangkan sebagaian besar peserta didik
dengan pembelajaran ekspositori masih sangat lemah pada kemampuan keaslian, elaborasi,
dan keluwesan. Kemampuan elaborasi sebagain besar peserta didik masih sangat rendah hal
ini dapat dilihat dari jawaban peserta didik yang pada soal yang mengukur aspek elaborasi
masih banyak yang salah. Peserta didik kurang mampu memperkaya dan mengembangkan
suatu gagasan atau produk, menambahkan atau memerinci secara detail subyek, gagasan. Hal
ini dikarena peserta terbiasa diberikan soal-soal berbentuk pilihan ganda dengan penyelesaian
singkat.
Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa sebagaian besar peserta didik kurang
mampu menyelesaikan masalah keaslian karena mereka tidak terbiasa menyelesaikan
permasalahan dengan cara mereka sendiri. Sebagian besar peserta didik pada pembelajaran
ekspositori hanya dapat menjawab soal-soal seperti yang dicontohkan oleh guru. Peserta
didik mensintesis ide berdasarkan rumus yang sudah diketahui. Kemampuan keluwesan
sebagian besar peserta didik pada pembelajaran ekspositori juga dinilai masih sangat rendah.

90
Hal ini dikarena pada pembelajaran ekspositori peserta didik hanya mengandalkan materi
pemberian dari guru tanpa berusaha mencari referensi tambahan. Peserta didik tidak dapat
menyelesaikan permasalahan tentang luas permukaan bangun ruang yang terdiri atas
gabungan beberapa bangun ruang.
Model pembelajaran TGT adalah adalah salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang
menempatkan peserta didik dalam kelompok-kelompok belajar yang memiliki kemampuan
yang heterogen dan didukung oleh komponen-komponen pelaksanaan pembelajaran seperti:
presentasi kelas, tim, game, turnamen, dan rekognisi tim. Pada presentasi pada kegiatan
pembelajaran ini adalah guru memperkenalkan materi pelajaran yang akan dibahas, dengan
cara pengajaran langsung ataupun diskusi. Perbedaan presentasi kelas dengan pengajaran
biasa adalah bahwa presentasi kelas tersebut berfokus pada unit TGT. Oleh karena itu para
peserta didik akan menyadari bahwa mereka harus memberi perhatian penuh selama
presentasi, karena hal itu sangat membantu para peserta didik untuk mengikuti turnamen. Tim
merupakan fitur yang paling penting dalam TGT. Tim terdiri dari 5-6 peserta didik yang
mewakili seluruh bagian dari kelas dalam hal kinerja akademik. Fungsi tim adalah
memastikan bahwa semua anggota tim belajar dan mempersiapkan anggotanya agar dapat
mengikuti turnamen dengan baik. Setelah guru mempresentasikan materinya, tim berkumpul
untuk memecahkan permasalahan bersama. Game terdiri atas pertanyaan-pertanyaan yang
kontennya relevan dengan pembelajaran yang sedang dilaksanakan. Game dirancang untuk
menguji pengetahuan peserta didik yang diperolehnya dari presentasi kelas dan pelaksanaan
kerja tim. Turnamen adalah sebuah struktur di mana game berlangsung. Turnamen
berlangsung pada akhir unit setelah guru memberikan presentasi di kelas dan tim telah
melaksanakan kerja kelompok. Kompetisi yang seimbang ini bertujuan agar para peserta
didik berkontribusi secara maksimal terhadap skor tim mereka. Tim akan mendapat
penghargaan apabila skor rata-rata mereka mencapai kriteria tertentu. Langkah pertama
sebelum memberikan penghargaan kelompok adalah menghitung rata-rata skor kelompok.
Menghitung rata-rata skor kelompok dilakukan dengan cara menjumlahkan skor yang
diperoleh oleh masing-masing anggota kelompok dibagi dengan banyaknya anggota
kelompok tersebut.
Dalam pembelajaran TGT dengan pendekatan problem posing pada penelitian ini
terbagi menjadi beberapa tahapan yaitu: pengajaran atau penyampaian informasi, belajar
kelompok, permainan dan rekognisi tim. Peserta didik berusaha memperhatikan dengan
mendengarkan penjelasan dari guru pada tahap pengajaran atau penyampaian informasi.
Karena informasi yang disampaikan oleh guru berkaitan dengan materi yang akan digunakan
pada permainan. Guru memberikan motivasi kepada peserta didik bahwa pada saat
pembelajaran akan diadakan turnamen dan kelompok yang memenangkan turnamen akan
diberikan penghargaan. Sehingga para peserta didik sangat antusias dalam mengikuti
pembelajaran. Pada tahap belajar kelompok, guru membagi peserta didik dalam satu kelas
menjadi kelompok-kelompok kecil yang anggotanya bersifat heterogen. Pembentukan
kelompok-kelompok kecil tersebut dimaksudkan agar para peserta didik memperoleh
kesempatan untuk berdiskusi, bertukar ide. Sehingga secara tidak langsung akan kegiatan
berkelompok tersebut akan memunculkan ide-ide baru yang dapat mengembangkan
kreativitas peserta didik. Dengan didukung media alat peraga dan LKPD, peserta didik dapat
menemukan konsep luas permukaan kubus, balok, prisma, dan limas sedangkan guru hanya
memberikan bantuan pada kelompok yang masih membutuhkan bantuan.
Menurut Vygotski salah satu konsep yang dikembangkan dalam pembelajaran adalah
kemampuan kognitif berasal dari relasi sosial atau interaksi dengan orang lain. Interaksi
sosial akan membantu peserta didik mengenal kekurangan pengetahuan yang dimilikinya.
Peserta didik perlu untuk saling bertukar ide, pendapat, ataupun pengalaman agar
memperoleh pengetahuan yang bermakna. Adanya tutor sebaya dalam pembelajaran TGT

91
dapat membantu kesulitan peserta didik yang kurang mampu dalam menuntaskan masalah
tertentu sehingga peserta didik yang memiliki kemampuan lebih tinggi memberikan sejumlah
bantuan kepada peserta didik selama tahap-tahap awal pembelajaran. Kemudian mengurangi
bantuan tersebut sehingga peserta didik dapat melampaui kapasitas kemampuannya untuk
mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar. Hal tersebut merupakan salah satu
penerapan teknik scaffolding. Menurut Greenfield sebagaimana dikutip oleh Gaffney &
Anderson (2007) scaffolding adalah proses untuk membantu kesulitan peserta didik dalam
menuntaskan masalah tertentu dengan memberikan sejumlah bantuan kepada peserta didik
selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut sehingga
peserta didik dapat melampaui kapasitas kemampuannya untuk mengambil alih tanggung
jawab yang semakin besar.
Guru membagikan kartu masalah di awal tahap permainan. Secara berkelompok
peserta didik menyusun soal-soal yang disertai kunci jawaban berdasarkan kartu masalah dan
materi yang sudah disampaikan. Ada beberapa kelompok yang masih kesulitan menyusun
soal berdasarkan kartu masalah maka guru memberikan sedikit contoh dalam menyusun soal.
Karena keterbatasan soal yang dapat dibuat dari kartu masalah tersebut maka guru juga
memberikan kelonggaran bagi peserta didik untuk menyusun soal berdasarkan ide dan
kreativitas masing-masing kelompok. Setiap kelompok berusaha menyusun soal dengan
penyelesaian yang berbeda-beda. Karena soal-soal yang dibuat akan digunakan sebagai
turnamen maka masing-masing kelompok berlomba-lomba membuat soal sebanyak dan
sesulit mungkin agar tidak dapat dijawab oleh kelompok lain. Berdasarkan hasil wawancara
dengan beberapa peserta didik diperoleh kesimpulan bahwa mereka berusaha menyusun soal
yang sangat sulit agar kelompok lain tidak dapat menjawab pertanyaan sehingga kelompok
mereka dapat memenangkan turnamen tersebut.
Tahap rekognisi tim, dimana anggota tiap-tiap kelompok melaporkan skor yang
diperoleh pada saat turnamen. Para peserta didik dituntut untuk menjunjung tinggi kejujuran.
Sesuai dengan kesepakatan di awal kelompok yang memperoleh skor tertinggi akan
memperoleh penghargaan. Penghargaan yang diberikan kepada peserta didik semata-mata
hanya untuk memberikan motivasi kepada peserta didik agar berusaha untuk memberikan
yang terbaik. Penghargaan merupakan salah satu contoh penguatan positif. Penguatan akan
berbekas pada diri dan mempengaruhi aktivitas belajar peserta didik. Peserta didik yang
mendapat pujian setelah berhasil menyelesaikan tugas atau menjawab pertanyaan biasanya
akan berusaha memenuhi tugas berikutnya dengan penuh semangat (Suherman et al., 2003).
Penguatan yang berbentuk hadiah atau pujian. Sehingga pemberikan hadiah kepada peserta
didik diharapkan akan memotivasi anak untuk rajin belajar dan mempertahankan prestasi
yang diraihnya.
Pembelajaran TGT dengan pendekatan problem posing juga memiliki tujuan agar
peserta didik aktif selama proses pembelajaran berlangsung. Aktivitas belajar peserta didik
dapat terlihat pada saat mereka terlibat dalam diskusi kelompok untuk menyelesaiakan
permasalahan pada LKPD, menyusun soal-soal beserta kunci jawabannya, mengikuti
turnamen dan lain sebagainya. Pembelajaran TGT dengan pendekatan problem posing
merupakan suatu pembelajaran yang mengutamakan aktivitas belajar peserta didik dalam
berkelompok untuk menyusun permasalahan untuk digunakan dalam turnamen, sehingga
memberikan ruang kepada peserta didik untuk memanfaatkan dan memperdayakan semua
potensi yang dimilikinya. LKPD diberikan kepada masing-masing kelompok menuntut
peserta didik menemukan konsep-konsep sesuai dengan tujuan pembelajaran, sedangkan
kartu masalah mungkinkan para peserta didik memperoleh kesempatan mengembangkan
kemampuannya dalam mengeksplorasi masalah-masalah yang diberikan.
Dalam penelitian ini, analisis regresi dilakukan untuk mengetahui seberapa kuat
hubungan antara aktivitas belajar dengan kemampuan berpikir kreatif matematis peserta

92
didik. Berdasarkan perhitungan nilai korelasi aktivitas belajar dengan kemampuan berpikir
kreatif matematis peserta didik kelas eksperimen diperoleh nilai koefisien korelasi
, dengan diperoleh . Karena maka ditolak
dan diterima. Sehingga berdasarkan hasil penelitian, aktivitas belajar mempunyai
hubungan positif yang kuat terhadap kemampuan berpikir kreatif matematis.
Koefisien determinasi yang berarti nilai rata-rata
kemampuan berpikir kreatif matematis 57,96% ditentukan oleh aktivitas belajar peserta didik
dengan persamaan regresi . Dari hasil penelitian ini terlihat bahwa
aktivitas belajar memberikan pengaruh positif yang signifikan terhadap kemampuan berpikir
kreatif matematis peserta didik. Aktivitas belajar yang sangat mempegaruhi kemampuan
berpikir kreatif matematis jika dilihat dari hasil penelitian adalah kegiatan menulis, kegiatan
mental, dan kegiatan emosioanl.

Penutup
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kreatif
matematis pada pembelajaran TGT dengan pendekatan problem posing secara klasikal sudah
mencapai ketuntasan 75% dari banyaknya peserta didik serta kemampuan berpikir kreatif
matematis peserta didik dengan pembelajaran TGT dengan pendekatan problem posing lebih
baik dibanding dengan pembelajaran ekspositori sehingga dapat dikatakan bahwa
pembelajaran TGT dengan pendekatan problem posing efektif terhadap kemampuan berpikir
kreatif matematis peserta didik. Aktivitas belajar mempunyai pengaruh positif terhadap
kemampuan berpikir kreatif matematis.

Daftar Pustaka

Asmani, J. M. 2011. Tujuh Tips Aplikasi PAKEM. Yogyakarta. Diva Press.


Depdiknas. 2003. Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Ekonomi dan
Akuntansi Sekolah Menengah Atas. Jakarta. Depdiknas.
Depdiknas. 2004. Kurikulum 2004. Jakarta. Depdiknas.
Dwijanto. 2007. Pengaruh Pembelajaran Berbasis Masalah Berbantuan Komputer Terhadap
Pencapaian Kemampuan Pemecahan Masalah Dan Berpikir Kreatif Matematik
Mahasiswa. Disertasi. Bandung. Universitas Pendidikan Indonesia.
Gaffney, J. S. & R. C. Anderson. 2007. Two-Tiered Scaffolding: Congruent Processesof
Teaching and Learning. University of Illinois at Urbana-Champaign 51 Gerty Drive
Champaign. Online. Available at
http://www.ideals.illinois.edu/bitstream/handle/2142/17555/ctrstreadtechrepv01991i00
523_opt.pdf?sequence=1 [accessed 27/6/12].
Hamalik, O. 2005. Proses Belajar Mengajar. Jakarta. Bumi Aksara.
Mahmudi, A. 2010. Mengukur Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis. Makalah yang
disajikan pada Konferensi Nasional Matematika XV, UNIMA Manado, 30 Juni - 3
Juli. Online. Available at http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Ali%20
Mahmudi,%20S.Pd,%20M.Pd,%20Dr./Makalah%2014%20ALI%20UNY%20Yogya%
20for%20KNM%20UNIMA%20_Mengukur%20Kemampuan%20Berpikir%20Kreatif
%20_.pdf [accessed 23/7/12].
Rahardjo, M. 2011. Peringkat Pendidikan Indonesia. Kompas, 4 Maret. Hlm. 12. Online.
Available at http://mudjiarahardjo.com/profile/315.html?task=view [accessed 4/1/12]
Shadiq, F. 2009. Model-model Pembelajaran Matematika SMP. Yogyakarta: PPPPTK
Matematika Online. Available at http://mgmpmatsatapmalang. files.wordpress.com
/2011/11/17-model_modelpembelajaranmatematikasmp.pdf [accessed 15/8/12].

93
Slavin, E.R. 2005. Cooperative Learning Teori, Riset dan Praktik. Translated by N. Yusron.
Bandung: Nusa Media.
Solso, R. L., O. H. Maclin. & M. K. Maclin. 2008. Cognitive Psychology (8th edn). Translated
by M. Rahardanto & K. Batuadji. Jakarta: Erlangga.
Song, Sang Hun. et al. 2007. Posing Problems With Use The What If Not? Strategy In Nim
Game. Proceedings of the 31st Conference of the International Group for the
Psychology of Mathematics Education, Vol. 4, pp. 193-200. Seoul: PME. Online.
Available at http://www.emis.de/proceedings/PME31/4/192.pdf [accessed 26/6/12].
Sriraman, B. & K. H. Lee. 2011. The Elements of Creativity and Giftedness in Mathematics.
Rotterdam: Sense Publishers. Online. Available at
https://www.sensepublishers.com/files/9789460914393PR.pdf [accessed 26/6/12].
Suherman, et al. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung.
Universitas Pendidikan Indonesia.
Trianto. 2007. Model Pembelajaran Terpadu dalam Teori dan Praktek. Jakarta. Prestasi
Pustaka Publisher.
Wyk, M. M. 2010. The Effects of Teams-Games-Tournaments on Achievement, Retention,
and Attitudes of Economics Education Students. EABR & ETLC Conference
Proceedings: 31-39. University of the Free State South Africa. Online. Available at
http://www.cluteinstitute.com/proceedings/2010_Dublin_ETLC_Articles/Article%201
31.pdf [accessed 11/7/12].

94
Keefektifan Pembelajaran Kooperatif Listening Team Berbantuan CD
Pembelajaran terhadap Hasil Belajar Siswa

Diah Sylvia Widihastuti


Jurusan Matematika, FMIPA, Universitas Negeri Semarang
e-mail : diah.sylvia@gmail.com

Abstract
The purposes of this research were to know: (1) the average of students learning result that
applying cooperative learning listening team with learning CD in third dimension achieve
KKM, (2) the average of students learning result that applying cooperative learning
listening team with learning CD better than the average of students learning result that
applying cooperative learning without learning CD. The population of this research is all of
students in grade X of SMA N 3 Magelang year 2011/2012 that consist of six class. By used
random sampling technique, chosen class X-3 as experiment class that applying cooperative
learning listening team with learning CD, class X-2 as control class that applying
cooperative learning listening team without learning CD, and class X-6 as specimen class
with no any learning method apply on it. The result of this research show that the average of
learning result in experiment class and control class were 86.13 and 76.07. With 5% of
alpha, the average of learning result both of the sample were achieve KKM and the average
of learning result in experiment class better than control class. The research conclusion
were: (1) the average of students learning result that applying cooperative learning listening
team with learning CD in third dimension achieve KKM, (2) the average of students
learning result that applying cooperative learning listening team with learning CD better
than the average of students learning result that applying cooperative learning without
learning CD.

Key words: learning CD; learning result; cooperative learning listening team.

Pendahuluan
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran penting yang diajarkan pada
pendidikan dasar dan menengah. Tujuan pembelajaran matematika adalah untuk membentuk
kemampuan bernalar pada siswa yang tercermin dalam kemampuan berpikir kritis, logis,
sistematis, dan memiliki sifat obyektif, jujur, disiplin dalam memecahkan suatu permasalahan
(Widdiharto, 2004). Pembelajaran matematika dewasa ini belum menekankan pada
pengembangan kemampuan siswa. Kegiatan pembelajaran hampir selalu berlangsung dengan
metode ceramah tanpa memperhatikan pemahaman siswa pada materi yang sedang diajarkan
(Siswono, 2007).
Menurut Mulyasa, sebagaimana dikutip oleh Pujiati (2008), terdapat berbagai upaya
yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran antara lain: peningkatan
aktivitas dan kreativitas siswa, peningkatan disiplin belajar, dan peningkatan motivasi belajar.
Peningkatan aktivitas dan kreativitas siswa dapat dilakukan dengan penggunaan model
pembelajaran dalam kegiatan pembelajaran. Melalui model pembelajaran guru dapat
membantu siswa mendapatkan informasi, ide, keterampilan, cara berpikir, dan
mengekspresikan ide. Model pembelajaran berfungsi pula sebagai pedoman bagi para
perancang pembelajaran dan para guru dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar,
(Suprijono, 2011).
Terdapat berbagai macam model pembelajaran, salah satunya adalah model
pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan
sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda,
(Jauhar, 2011). Menurut Suherman (2003), ruang kelas merupakan tempat yang baik untuk

95
kegiatan cooperative learning karena siswa diberi kesempatan bekerja dalam kelompok-
kelompok kecil untuk menyelesaikan suatu persoalan. Hal ini dapat meningkatkan sikap
positif siswa terhadap pembelajaran matematika. Sejalan dengan pendapat Johnson &
Johnson, sebagaimana dikutip oleh Abu (1997), cooperative learning experiences
promote more positive attitudes towards the instructional experience than competitive or
individualistic methodologies. In addition, cooperative learning should result in positive
effects on students achievement and retention of information.
Terdapat berbagai metode dalam model pembelajaran kooperatif seperti listening team.
Dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Emmarina (2010), terdapat perbedaan yang
signifikan pada prestasi belajar matematika antara pembelajaran yang menggunakan model
pembelajaran kooperatif listening team dan model pembelajaran konvensional. Efektivitas
pembelajaran matematika menggunakan model pembelajaran kooperatif listening team pada
pembelajaran matematika sebesar 76,30%.
Selain pemilihan model pembelajaran yang sesuai, pemilihan media pembelajaran juga
sangat membantu dalam rangka peningkatan kualitas pembelajaran. Martin&Briggs,
sebagaimana dikutip Jauhar (2011), menyatakan bahwa: media pembelajaran mencakup
semua sumber yang diperlukan untuk melakukan komunikasi dengan siswa, dapat berupa
perangkat keras, seperti komputer, televisi, proyektor, dan perangkat lunak yang digunakan
dalam perangkat-perangkat keras tersebut. Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Bitter
& Hatfield (1993), Hambree & Deasart (1986), Kulik & Kulik (1987), Liao (1992), Niemiec
& Walberg (1992), dan Ryan (1991) membuktikan pemberdayaan teknologi dalam
pembelajaran matematika dapat meningkatkan kualitas pembelajaran (Suherman, 2003).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Rusmining (2011) pada materi dimensi tiga,
dapat disimpulkan bahwa:
kemampuan pemahaman konsep siswa yang menggunakan model pembelajaran
kooperatif tipe NHT berbantuan CD pembelajaran mencapai KKM yaitu sebesar 81,30%.
Rata-rata kemampuan siswa dengam model pembelajaran kooperatif NHT berbantuan CD
pembelajaran juga mencapai KKM sebesar 72. Sedangkan persentase ketuntasan pada siswa
dengan model pembelajaran kooperatif NHT berbantuan CD pembelajaran sebesar 81,30%.
Ketiga aspek diatas jauh lebih besar dibanding siswa dengan model pembelajaran ekspositori,
berturut-turut 62,50%, < 72, dan 62,50%.
Priyanto (2012) dalam penelitiannya yang berjudul Keefektifan Model Pembelajaran
Think Pair Share (TPS) Terhadap Hasil Belajar Peserta Didik Kelas X pada Materi Dimensi
Tiga Berbantuan CD Pembelajaran menyimpulkan bahwa hasil belajar siswa yang dikenai
model pembelajaran TPS berbantuan CD pembelajaran pada sub materi jarak dapat mencapai
KKM dengan persentase ketuntasan dan rata-rata hasil belajar lebih baik daripada siswa yang
dikenai model pembelajaran ekspositori. Persentase ketuntasan siswa dengan model
pembelajaran TPS berbantuan CD pembelajaran sebesar 57,90% dan rata-rata hasil
belajarnya sebesar 77,42 sedangkan untuk siswa dengan model pembelajaran ekspositori
persentase ketuntasannya hanya sebesar 5,56% dan rata-rata hasil belajar yang diperoleh
49,11.
Berdasarkan teori Levie & Levie, sebagaimana dikutip oleh Arsyad (2004), stimulus
visual membuahkan hasil belajar yang lebih baik untuk tugas-tugas seperti mengingat,
mengenali, menghubungkan fakta dan konsep sehingga siswa yang menggunakan media CD
pembelajaran dalam pembelajaran menjadi lebih mudah memvisualisasikan, mengkonstruksi
pemahaman mereka serta mengingat permasalahan-permasalahan dalam ruang dimensi tiga.
Berdasarkan hasil ujian nasional SMA N 3 Magelang tahun 2011 masih terdapat 5,26%
siswa yang mendapat nilai ujian nasional matematika dibawah 7,0 sedangkan persentase
siswa yang mampu mengerjakan soal ujian nasional pada materi jarak dan sudut antara dua
objek dengan benar hanyalah 66,32% untuk tingkat sekolah, 53,43% untuk tingkat kota,

96
52,96% untuk tingkat provinsi, dan 64,78% untuk tingkat nasional (Badan Penelitian dan
Pengembangan Pendidikan, 2011). Ini sangat kurang dari kriteria ketuntasan.
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah (1)
apakah rata-rata hasil belajar siswa dengan pembelajaran kooperatif listening team
berbantuan CD pembelajaran dapat mencapai KKM pada materi pokok dimensi tiga?, (2)
apakah rata-rata hasil belajar siswa dengan pembelajaran kooperatif listening team
berbantuan CD pembelajaran lebih baik daripada pembelajaran kooperatif listening team
tanpa CD pembelajaran pada materi pokok dimensi tiga?.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui (1) rata-rata hasil belajar siswa
dengan pembelajaran kooperatif listening team berbantuan CD pembelajaran dapat mencapai
KKM pada materi pokok dimensi tiga, dan (2) rata-rata hasil belajar siswa dengan
pembelajaran kooperatif listening team berbantuan CD pembelajaran lebih baik daripada
pembelajaran kooperatif listening team tanpa CD pembelajaran pada materi pokok dimensi
tiga.

Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kuantitatif
dengan rancangan postes group design.

Tabel 1. Desain Penelitian

KELAS KONDISI AWAL PERLAKUAN TES


A Q X T1
B Q Y T2
Keterangan:
A : kelas eksperimen
B : kelas kontrol
Q : nilai rapor semester 1 kelas eksperimen dan kelas kontrol. Pada kondisi awal
dilakukan uji normalitas yang digunakan untuk mengetahui kenormalan kedua kelas
dan uji homogenitas yang digunakan untuk mengetahui apakah kedua kelas homogen
atau tidak
X : pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif listening team berbantuan CD
pembelajaran
Y : pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif listening team tanpa CD
pembelajaran
T1 : nilai hasil belajar kelas eksperimen
T2 : nilai hasil belajar kelas kontrol

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X semester 2 di SMA N 3
Magelang tahun ajaran 2011/ 2012. Sampel diambil dengan teknik random sampling dengan
memilih tiga kelas secara acak dari beberapa kelas. Hal ini dilakukan setelah memperhatikan
atas ciri-ciri relatif yang dimiliki. Adapun ciri-ciri tersebut yaitu siswa mendapatkan materi
berdasarkan kurikulum yang sama, siswa yang menjadi obyek penelitian duduk pada kelas
yang sama, siswa diajar oleh guru yang sama, pembagian kelasnya menggunakan sistem
acak, menggunakan buku paket yang sama, dan memperoleh pelajaran matematika dengan
jumlah jam yang sama. Pada penelitian ini, terpilih siswa kelas X-3 sebagai siswa kelas
eksperimen, siswa kelas X-2 sebagai siswa kelas kontrol, dan siswa kelas X-6 sebagai siswa
kelas uji coba.

97
Variabel dalam penelitian ini ada dua yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel
bebas dalam penelitian ini adalah pembelajaran kooperatif listening team berbantuan CD
pembelajaran. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah rata-rata hasil belajar siswa kelas
X semester 2 SMA N 3 Magelang yang dikenai pembelajaran kooperatif listening team
berbantuan CD pembelajaran dan tanpa CD pembelajaran pada materi dimensi tiga.
Penelitian ini dilaksanakan selama empat minggu, yaitu mulai tanggal 1 Mei 2012 dan
berakhir pada 28 Mei 2012.
Pada penelitian ini sub materi pokok yang diujikan adalah Jarak Dalam Ruang Dimensi
Tiga. Bentuk tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah uraian. Setelah melakukan uji
coba instrumen dan menganalisis hasilnya untuk mengetahui validitas, reliabilitas, daya
pembeda, dan taraf kesukaran kemudian diambil soal yang layak digunakan dalam postes.
Tes diberikan kepada kedua kelas dengan tes yang sama dan digunakan untuk memperoleh
data akhir. Hasil pengolahan data digunakan untuk menguji kebenaran hipotesis.
Data awal yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai matematika semester 1.
Data tersebut kemudian diuji dengan uji normalitas, uji homogenitas, dan uji kesamaan dua
rata-rata. Data akhir yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai postes. Data tersebut
kemudian diuji dengan uji normalitas, uji homogenitas, uji rata-rata satu pihak (untuk
menguji hipotesis 1), uji t (untuk menguji hipotesis 2), uji proporsi satu pihak (untuk uji
keefektifan), dan uji kesamaan dua proporsi (untuk mengetahui pengaruh CD pembelajaran).

Hasil
Berdasarkan hasil analisis data awal dari nilai semester 1 siswa kelas X-3 dan X-2,
diketahui bahwa data berdistribusi normal dan homogen. Dari hasil uji kesamaan dua rata-
rata dengan alpha 5% diperoleh t berada pada daerah penerimaan H0 sehingga kedua kelas
tidak terdapat perbedaan rata-rata. Selanjutnya kedua kelompok sampel diberi perlakuan yang
berbeda. Siswa kelas X-3 sebagai siswa kelas eksperimen dikenai pembelajaran kooperatif
listening team berbantuan CD pembelajaran sedangkan siswa kelas X-2 sebagai siswa kelas
kontrol dikenai pembelajaran kooperatif listening team tanpa CD pembelajaran pada materi
pokok dimensi tiga.
Waktu yang digunakan dalam pembelajaran kedua kelompok sampel sama yaitu empat
kali pertemuan. Pertemuan pertama sampai ketiga untuk pelaksanaan kegiatan pembelajaran
sedangkan pertemuan keempat untuk postes. Satu kali pertemuan adalah dua jam pelajaran
yaitu 90 menit.
Pelaksanaan pembelajaran pada kelas eksperimen dengan menggunakan pembelajaran
kooperatif listening team berbantuan CD pembelajaran diawali dengan mengingat materi
prasyarat melalui tayangan CD pembelajaran, kemudian dilanjutkan penyajian sub materi
pokok jarak dalam ruang dimensi tiga. Selanjutnya siswa dibagi dalam 8 kelompok (2
kelompok penanya, 2 kelompok pendukung, 2 kelompok penentang, dan 2 kelompok penarik
kesimpulan) secara heterogen untuk menyelesaikan LKS. Setelah selesainya mengerjakan
LKS, siswa melaksanakan diskusi dengan bimbingan guru. Pada pertemuan pertama, baru
50% - 70% siswa yang mengikuti diskusi dengan tertib sesuai perannya masing-masing.
Selain itu dalam pembentukan kelompok masih menimbulkan kegaduhan. Siswa masih malu
bertanya kepada guru. Hal ini dimungkinkan karena siswa belum terbiasa dengan
pembelajaran kooperatif listening team yang mengutamakan kinerja kelompok.
Pelaksanaan pembelajaran pada kelas kontrol dengan pembelajaran kooperatif listening
team tanpa CD pembelajaran diawali dengan mengingat materi prasyarat melalui tanya
jawab, kemudian dilanjutkan penyajian sub materi pokok jarak dalam ruang dimensi tiga.
Selanjutnya siswa dibagi dalam 8 kelompok (2 kelompok penanya, 2 kelompok pendukung, 2
kelompok penentang, dan 2 kelompok penarik kesimpulan) secara heterogen untuk
menyelesaikan LKS. Setelah selesainya mengerjakan LKS, siswa melaksanakan diskusi

98
dengan bimbingan guru. Pada pertemuan pertama, baru 40% - 60% siswa yang mengikuti
diskusi dengan tertib sesuai perannya masing-masing. Selain itu dalam pembentukan
kelompok masih menimbulkan kegaduhan. Siswa masih malu bertanya kepada guru. Hal ini
dimungkinkan karena siswa belum terbiasa dengan pembelajaran kooperatif listening team
yang mengutamakan kinerja kelompok.
Pelaksanaan pembelajaran pada kelas eksperimen pertemuan kedua tidak seperti
pertemuan pertama. Pada pertemuan kedua sudah ada peningkatan. Terdapat 60 % - 80 %
siswa yang mengikuti kegiatan diskusi dengan tertib dan lebih aktif sesuai perannya masing-
masing. Pembentukan kelompok juga tidak segaduh pada pertemuan pertama. Selain itu
siswa juga sudah tidak malu untuk bertanya kepada guru apabila ada hal-hal yang belum
dimengerti.
Pelaksanaan pembelajaran pada kelas kontrol pertemuan kedua tidak seperti pertemuan
pertama. Pada pertemuan kedua sudah ada peningkatan. Terdapat 55 % - 75 % siswa yang
mengikuti kegiatan diskusi dengan tertib sesuai perannya masing-masing. Pembentukan
kelompok juga tidak segaduh pada pertemuan pertama. Selain itu siswa juga sudah tidak
malu untuk bertanya kepada guru apabila ada hal-hal yang belum dimengerti. Meskipun
secara umum keaktifan siswa kelas kontrol pada pertemuan kedua lebih rendah daripada
siswa kelas eksperimen, namun sudah dapat dikatakan baik.
Pelaksanaan pembelajaran pada kelas eksperimen pertemuan ketiga sudah mengalami
banyak peningkatan. Hampir semua siswa mengikuti kegiatan diskusi dengan tertib dan aktif
sesuai perannya masing-masing. Pembentukan kelompok sudah tidak gaduh. Siswa juga lebih
bertanggung jawab terhadap tugas kelompoknya. Siswa juga lebih percaya diri dalam
mengikuti diskusi kelas. Hal ini disebabkan siswa sudah terbiasa dengan pembelajaran
kooperatif listening team.
Pelaksanaan pembelajaran pada kelas kontrol pertemuan ketiga sudah mengalami
banyak peningkatan. Terdapat 85% - 95% siswa yang mengikuti kegiatan diskusi dengan
tertib dan aktif sesuai perannya masing-masing. Pembentukan kelompok sudah lebih tertib.
Siswa juga lebih bertanggung jawab terhadap tugas kelompoknya. Siswa juga lebih percaya
diri dalam mengikuti diskusi kelas. Hal ini disebabkan siswa sudah terbiasa dengan
pembelajaran kooperatif listening team.
Berikut ini disajikan hasil pengamatan aktivitas siswa pada kelas eksperinen dan kelas
kontrol.

Tabel 2. Hasil Pengamatan Aktivitas Siswa


pada Kelas Eksperimen
Pertemuan ke- Persentase (%) Keterangan
1 71,90 Baik
2 84,40 Sangat Baik
3 93,75 Sangat Baik
Rata-rata 83,35 Sangat Baik

Tabel 3. Hasil Pengamatan Aktivitas Siswa pada Kelas Kontrol


Pertemuan ke- Persentase (%) Keterangan
1 62,50 Baik
2 81,25 Sangat Baik
3 90,60 Sangat Baik
Rata-rata 78,117 Baik

Berdasarkan pengamatan terhadap keterampilan guru untuk kelas eksperimen maupun


kelas kontrol pada setiap pertemuan selalu mengalami peningkatan. Dengan adanya

99
peningkatan pada setiap pertemuan maka proses pembelajaran dapat berjalan dengan
maksimal sesuai yang diharapkan. Hal tersebut dikarenakan seorang pengamat selalu
mengamati guru dan mengisi lembar pengamatan terhadap guru sebagai salah satu bentuk
evaluasi untuk pertemuan berikutnya. Selain itu pengamat juga senantiasa memberikan
masukan positif kepada guru untuk meningkatkan keterampilannya dalam melakukan
pembelajaran. Berikut ini disajikan hasil pengelolaan pembelajaran oleh guru untuk kelas
eksperimen maupun kelas kontrol.

Tabel 4. Hasil Pengamatan Pengelolaan Pembelajaran oleh Guru


pada Kelas Eksperimen
Pertemuan ke- Persentase (%) Keterangan
1 80,90 Sangat Baik
2 85,30 Sangat Baik
3 89,70 Sangat Baik

Tabel 5. Hasil Pengamatan Pengelolaan Pembelajaran oleh Guru pada Kelas Kontrol
Pertemuan ke- Persentase (%) Keterangan
1 79,40 Sangat Baik
2 83,80 Sangat Baik
3 88,20 Sangat Baik

Setelah kedua kelompok sampel diberi perlakuan, keduanya diberi tes hasil belajar
dengan materi, jumlah dan bobot soal yang sama. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan data
tes hasil belajar yang kemudian dianalisis. Setelah dilakukan analisis tenyata diperoleh hasil
yang berbeda pada kedua kelompok sampel tersebut. Hasil analisis dijabarkan sebagai
berikut.
(1) Uji Hipotesis 1
Untuk membuktikan hipotesis penelitian yang pertama digunakan uji rata-rata satu
pihak (pihak kiri). Berdasarkan perhitungan, rata-rata hasil belajar kelas eksperimen sebesar
86,13 dengan simpangan baku 9,32 dan jumlah siswa 29 sehingga diperoleh thitung sebesar
7,01. Dengan taraf nyata 5% dan dk = 29 1 = 28 diperoleh ttabel = t0,95;28 = 1,70. Karena
thitung lebih besar dari ttabel maka H0 diterima. Jadi, rata-rata hasil belajar siswa kelas
eksperimen lebih dari atau sama dengan 74,00.
Rata-rata hasil belajar kelas kontrol sebesar 76,07 dengan simpangan baku 12,14 dan
jumlah siswa 30 sehingga diperoleh thitung sebesar . Dengan taraf nyata 5% dan dk = 30
1 = 29 diperoleh ttabel = = t0,95;29 = 1,70. Karena thitung lebih besar dari ttabel maka H0
diterima. Jadi, rata-rata hasil belajar siswa kelas kontrol lebih dari atau sama dengan 74,00.
(2) Uji Hipotesis 2
Untuk menguji hipotesis penelitian yang kedua digunakan uji perbedaan rata-rata (uji
pihak kanan). Berdasarkan perhitungan diperoleh thitung = 3,56. Dengan taraf nyata 5% dan dk
= 29 + 30 2 = 57 diperoleh ttabel = 1,68. Karena thitung lebih dari ttabel maka H0 ditolak.
Artinya rata-rata hasil belajar siswa pada materi dimensi tiga dengan pembelajaran kooperatif
listening team berbantuan CD pembelajaran lebih baik dari rata-rata hasil belajar siswa pada
materi pokok dimensi tiga dengan pembelajaran kooperatif listening team tanpa CD
pembelajaran.
(3) Uji Keefektifan
Untuk mengetahui keefektifan kegiatan pembelajaran digunakan uji proporsi satu pihak.
Berdasarkan perhitungan data kelas eksperimen, diperoleh zhitung = . Dengan taraf nyata
5% diperoleh ztabel = z0,45 = 1,65. Karena zhitung lebih dari ztabel maka H0 diterima. Jadi

100
hasil belajar siswa yang menggunakan pembelajaran kooperatif listening team berbantuan CD
pembelajaran, proporsi siswa yang mendapat nilai 74,00 paling sedikit 75%.
Berdasarkan perhitungan data kelas kontrol, diperoleh zhitung = . Dengan taraf
nyata 5% diperoleh ztabel = z0,45 = 1,65. Karena zhitung kurang dari ztabel maka H0 ditolak.
Jadi hasil belajar siswa yang menggunakan pembelajaran kooperatif listening team tanpa CD
pembelajaran, proporsi siswa yang mendapat nilai 74,00 kurang dari 75%.
(4) Uji Kesamaan Dua Proporsi
Untuk mengetahui pengaruh CD pembelajaran terhadap hasil belajar siswa digunakan
uji kesamaan dua proporsi (uji satu pihak). Berdasarkan perhitungan diperoleh zhitung = .
Dengan taraf nyata 5% diperoleh ztabel = 1,65. Karena zhitung lebih dari ztabel maka H0 ditolak.
Artinya proporsi siswa dengan nilai yang memperoleh pembelajaran kooperatif
listening team berbantuan CD pembelajaran lebih besar daripada proporsi siswa dengan nilai
yang memperoleh pembelajaran kooperatif listening team tanpa CD pembelajaran.
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa pembelajaran kooperatif listening
team berbantuan CD pembelajaran lebih efektif daripada tanpa CD pembelajaran pada sub
materi pokok jarak pada ruang dimensi tiga. Selain dilihat dari proses pembelajarannya,
keefektifan juga dilihat dari hasil belajarnya. Hasil belajar siswa yang dikenai pembelajaran
kooperatif listening team berbantuan CD pembelajaran lebih baik daripada siswa dengan
pembelajaran kooperatif listening team tanpa CD pembelajaran
Secara umum pembelajaran kooperatif listening team berbantuan CD pembelajaran
lebih baik daripada tanpa CD pembelajaran. Hal tersebut dikarenakan penggunaan CD
pembelajaran dapat menarik minat siswa untuk lebih memperhatikan penjelasan dari guru
sehingga memudahkan meraka dalam mengerjakan LKS secara berkelompok maupun soal-
soal yang diberikan oleh guru.

Penutup
Simpulan dari penelitian ini adalah rata-rata hasil belajar siswa dengan pembelajaran
kooperatif listening team berbantuan CD pembelajaran dapat mencapai KKM dan rata-rata
hasil belajar siswa dengan pembelajaran kooperatif listening team berbantuan CD
pembelajaran lebih baik daripada pembelajaran kooperatif listening team tanpa CD
pembelajaran pada materi pokok dimensi tiga.

Daftar Pustaka

Abu, Rosini B. 1997. The Effects of Cooperative Learning Methods on Achievement,


Retention, and Attitudes of Home Economics Students in North Carolina. Journal of
Vocational and Technical Education, 13(2): 1-2.
Arsyad, Azhar. 2004. Media Pembelajaran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan. 2011. Hasil Ujian Nasional Tahun 2011
Tingkat Kota, Provinsi, dan Nasional.
Emmarina. 2010. Keefektifan Model Pembelajaran Kooperatif Listening Team terhadap
Prestasi Belajar Matematika Siswa Kelas VIII SMP N 7 Palembang Tahun Pelajaran
2009/2010. Skripsi. Palembang: Universitas PGRI. Tersedia di
http://theemmarina.blogspot.com/2011/06/abstrak-emmarina.html [diakses 26-6-
2012].
Jauhar, Mohammad. 2011. Implementasi PAIKEM dari Behavioristik Sampai
Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.

101
Priyanto, Amin. 2012. Keefektifan Model Pembelajaran Think Pair Share (TPS) Terhadap
Hasil Belajar Peserta Didik Kelas X pada Materi Dimensi Tiga Berbantuan CD
Pembelajaran. Skripsi. Semarang: FMIPA Universitas Negeri Semarang.
Pujiati, Irma. 2008. Peningkatan Motivasi Dan Ketuntasan Belajar Matematika Melalui
Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD. Jurnal Ilmiah Kependidikan, 1/1: 1-20.
Rusmining. 2011. Keefektifan Model Pembelajaran Kooperatif NHT Berbantuan CD
pembelajaran Terhadap Pemahaman Konsep Peserta Didik Kelas X SMA N 1 Blora
Tahun Pelajaran 2010/ 2011 pada Sub Materi Pokok Jarak Dalam Ruang Dimensi
Tiga. Sripsi. Semarang: FMIPA Universitas Negeri Semarang.
Siswono, Tatag Yuli Eko. 2007. Pembelajaran Matematika Humanistik yang
Mengembangkan Kreativitas Siswa. Makalah. Surabaya: UNESA.
Suherman, Erman dkk. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung:
UPI.
Suprijono, Agus. 2011. Cooperative Learning Teori dan Aplikasi PAIKEM. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Widdiharto, Rachmadi. 2004. Model-model Pembelajaran Matematika SMP. Makalah.
Yogyakarta: Depdiknas.

102
Keefektifan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe SQ3R Terhadap
Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa SMP Kelas VII

Dian Teguh Firmansyah*, Zaenuri, dan Mulyono


Universitas Negeri Semarang
dian.teguh@gmail.com

Abstract
This study aims to determine the effectiveness of cooperative learning model types Survey
Question Read Recite Review (SQ3R) to mathematical problem solving abilities of students
in the junior high school grade VII of material relationships between angles. The population
in this study is students of grade VII SMP N 1 Pagerbarang school year 2011/2012. The
samples taken by cluster random sampling technique so namely students in class VIIB as
control group and students in class VIIC as experiment group. Design used in this research is
true experimental design posttest only control type. Results showed that the average test
scores mathematical problem solving abilities of students in class taught by cooperative
learning model types SQ3R of material relationships between angles achieve minimal
completeness criteria (KKM) applies in SMP N 1 Pagerbarang, with many students who
achieve KKM is more than equal 75%, and average test scores mathematical problem solving
abilities of students in class taught by cooperative learning model types SQ3R of material
relationships between angles more than the average test scores mathematical problem solving
abilities of students in class taught by expository model. Based on the research results can be
concluded that the cooperative learning model types SQ3R is effective to improve students
problem solving skills students grade VII to the material relationships between angles.

Key words: problem solving abilities, cooperative learning, SQ3R.

Pendahuluan
Berdasarkan studi pendahuluan melalui wawancara dengan guru matematika kelas
VII SMP Negeri 1 Pagerbarang, banyak siswa yang mengalami kesulitan belajar dan
kurangnya kemampuan pemecahan masalah matematika pada materi pokok hubungan antar
sudut. Pernyataan tersebut didukung oleh data nilai ulangan pemecahan masalah siswa kelas
VII pada materi pokok hubungan antar sudut tahun ajaran 2010/2011. Dalam data nilai
ulangan tersebut dari 30 siswa hanya 16 siswa (53,3%) yang mencapai kriteria ketuntasan
minimum (KKM) yang berlaku di SMP Negeri 1 Pagerbarang dan 14 siswa (46,7%) yang
lain tidak mencapai KKM.
Dari informasi yang diberikan oleh guru matematika kelas VII SMP Negeri 1
Pagerbarang, kegiatan pembelajaran matematika di SMP tersebut menggunakan model
pembelajaran ekspositori. Menurut Dimyati (2009) model pembelajaran ekspositori
merupakan model pembelajaran yang berpusat pada guru. Dalam proses pembelajaran
ekspositori materi disampaikan langsung oleh guru dan siswa tidak dituntut untuk
menemukan materi tersebut, jadi siswa cenderung pasif dalam proses pembelajaran. Belajar
matematika tidak hanya mendengarkan guru di depan kelas saja, tetapi memerlukan banyak
membaca, latihan, keberanian dalam bertanya, dan mengemukaan ide. Berkaitan dengan hal
tersebut model pembelajaran kooperatif tipe Survey Question Read Recite Review (SQ3R)
dapat dijadikan alternatif kegiatan pembelajaran untuk menjadikan siswa lebih aktif, sebab
model tersebut bersifat praktis dan dapat diaplikasikan dalam berbagai pendekatan belajar.
Selain itu dalam model pembelajaran kooperatif tipe SQ3R terdapat tahap read dan recite,
yaitu siswa berdiskusi untuk menyelesaikan masalah dengan cara menjawab pertanyaan yang

103
mengarahkannya pada penyelesaian masalah, dengan demikian kemampuan pemecahan
masalah matematika siswa dapat dipacu.
Penelitian ini difokuskan pada keefektifan model pembelajaran kooperatif tipe SQ3R
terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika siswa SMP kelas VII pada materi
pokok hubungan antar sudut. Model pembelajaran kooperatif tipe SQ3R disebut efektif
apabila rata-rata nilai tes kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang diajar
dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe SQ3R pada materi pokok
hubungan antar sudut mencapai kriteria ketuntasan minimal (KKM) dengan banyak siswa
yang mencapai KKM tersebut lebih dari sama dengan 75% dan rata-rata nilai tes kemampuan
pemecahan masalah siswa yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif
tipe SQ3R pada materi pokok hubungan antar sudut lebih dari rata-rata nilai tes kemampuan
pemecahan masalah siswa yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran ekspositori.
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan, maka penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui keefektifan model pembelajaran kooperatif tipe SQ3R terhadap kemampuan
pemecahan masalah matematika siswa SMP kelas VII pada materi pokok hubungan antar
sudut.
Menurut Suherman (2003) pemecahan masalah merupakan bagian dari proses
pembelajaran, siswa dimungkinkan memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan
serta keterampilan yang sudah dimiliki untuk diterapkan pada pemecahan masalah yang
bersifat tidak rutin. Solusi soal pemecahan masalah memuat empat langkah fase
penyelesaian, yaitu memahami masalah, merencanakan penyelesaian, melaksanakan
perencanaan penyelesaian, dan melakukan pengecekan kembali terhadap semua langkah yang
telah dikerjakan (Hudojo, 2005).
Model pembelajaran kooperatif tipe SQ3R adalah model pembelajaran yang
menggunakan strategi membaca dengan menugaskan siswa untuk membaca bahan belajar
secara seksama (Suyatno, 2009). Berkaitan dengan kegiatan membaca menurut Dahar,
sebagaimana dikutip oleh Prabawati (2011), siswa-siswa yang baik bila diberi tugas membaca
akan melakukan elaborasi (pengembangan) terhadap apa yang mereka baca, ini berarti
mereka memikirkan gagasan, contoh-contoh, gambaran mental, konsep-konsep lain yang
berhubungan. Sejalan dengan kegiatan membaca, menurut Slameto (2010), pengertian hanya
dapat diperoleh apabila timbul pertanyaan-pertanyaan dan siswa berusaha sendiri
menjawabnya. Artinya, dengan membaca siswa dapat menjawab setiap pertanyaan yang
muncul untuk memperoleh suatu pengertian.
Dalam penelitian Wijatranti (2009) disimpulkan bahwa pembelajaran matematika
melalui model pembelajaran SQ3R dapat meningkatkan prestasi belajar siswa dan juga
kreativitas belajar siswa. Sejalan dengan hasil penelitian Wijatantri (2009), penelitian
Pujawan (2005) menunjukkan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif dengan
model pembelajaran SQ3R meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar siswa. Hasil
penelitian Sudrajat (2001) menunjukkan bahwa baik pada kelompok siswa cepat maupun
lambat belajarnya, SQ3R mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan
kemampuan siswa berkomunikasi dalam matematika. Hasil penelitian ini cukup memberikan
masukan bahwa SQ3R dapat diandalkan sebagai alternatif belajar yang sumber belajarnya
berbentuk bahan bacaan.

Metode
Populasi pada penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP Negeri 1 Pagerbarang tahun
ajaran 2011/2012. Sampel penelitian diambil dengan teknik cluster random sampling dan
diperoleh dua kelas yaitu kelas VIIB sebagai kelompok kontrol dan VIIC sebagai kelompok
eksperimen. Penelitian ini merupakan studi eksperimen dengan desain penelitian true
experimental design tipe posttest only control. Eksperimen ini dilakukan dengan maksud

104
untuk melihat akibat dari suatu perlakuan, dalam hal ini adalah kemampuan pemecahan
masalah siswa pada kelas yang dikenai model pembelajaran koopeartif tipe SQ3R sebagai
kelompok eksperimen dan kelas yang dikenai model pembelajaran ekspositori sebagai
kelompok kontrol. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi 2 metode yaitu
metode dokumentasi dan metode tes. Metode dokumentasi ini untuk mengumpulkan nilai
kemampuan matematis awal siswa yang menjadi sampel dalam penelitian ini. Metode tes
digunakan untuk memperoleh data tentang kemampuan pemecahan masalah matematika
siswa yang menjadi sampel penelitian setelah dilakukan perlakuan yang berbeda. Tes
kemampuan pemecahan masalah ini diberikan pada siswa kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol. Analisis hasil tes kemampuan pemecahan masalah menggunakan statistika
inferensial yaitu menggunakan uji chi-kuadrat untuk menguji normalitas data, uji F untuk
menguji homogenitas data, uji proporsi, uji rata-rata, dan uji kesamaan dua rata-rata.

Hasil
Ringkasan hasil analisis statistik dari tes kemampuan pemecahan masalah matematika
siswa kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dapat dilihat pada tabel 1 berikut

Tabel 1. Ringkasan analisis hasil tes kemampuan pemecahan masalah


Kelas Banyak siswa (n)
s Banyak siswa
yang mencapai
KKM

Eksperimen 30 50 90 69 11,06 21

Kontrol 30 45 85 64 10,96 19

Untuk mengetahui signifikansi perbedaan rata-rata kemampuan pemecahan masalah


dari kedua kelas tersebut dilakukan analisis lebih lanjut menggunakan uji kesamaan rata-rata.
Sebelum melakukan uji kesamaan rata-rata, dan juga uji ketuntasan perlu dilakukan uji
prasyarat (uji normalitas dan homogenitas).
Uji Normalitas dilakukan untuk mengetahui data berdistribusi normal atau tidak. Uji
normalitas data akhir sampel (nilai tes kemampuan pemecahan masalah matematika pada
materi pokok hubungan antar sudut) menggunakan statistik chi-kuadrat . Berdasarkan
hasil penghitungan diperoleh , sedangkan dengan dk = 4 dan taraf
signifikasi 5% adalah 9,49. Diperoleh sehingga dapat disimpulkan bahwa
data akhir sampel berdistribusi normal. Untuk uji homogenitas berdasarkan penghitungan
diperoleh , sedangkan Ftabel dengan taraf signifikasi 5%, dk pembilang = 29
dan dk penyebut = 29 adalah 2,1. Diperoleh , sehingga dapat disimpulkan
kedua kelas mempunyai varians yang sama atau homogen.
Uji ketuntasan dilakukan melalui dua tahap, tahap pertama yaitu uji ketuntasan rata-
rata kelas. Hasil penghitungan uji rata-rata untuk kelompok kontrol diperoleh
. Harga untuk taraf signifikasi 5% dan dk = 29 adalah 1,70. Jelas
, jadi rata-rata nilai tes kemampuan pemecahan masalah kelompok
kontrol dinyatakan tuntas. Hasil penghitungan uji rata-rata untuk kelompok eksperimen
diperoleh . Harga untuk taraf signifikasi 5% dan dk = 29 adalah 1,70.
Jelas , jadi rata-rata nilai tes kemampuan pemecahan

105
masalah kelompok eksperimen dinyatakan tuntas. Tahap kedua adalah pengujian ketuntasan
klasikal menggunakan uji proporsi satu pihak yaitu pihak kiri. Berdasarkan penghitungan
data akhir kelompok kontrol diperoleh Nilai dengan
adalah 1,64. Jelas , jadi kemampuan pemecahan masalah siswa kelompok
kontrol mencapai ketuntasan klasikal. Berdasarkan penghitungan data akhir kelompok
eksperimen diperoleh Nilai dengan adalah 1,64. Jelas
, jadi kemampuan pemecahan masalah siswa kelompok eksperimen
mencapai ketuntasan klasikal.
Uji kesamaan rata-rata digunakan untuk mengetahui signifikansi perbedaan rata-rata
nilai tes kemampuan pemecahan masalah yang lebih baik antara siswa yang diajar dengan
menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe SQ3R pada materi pokok hubungan antar
sudut (kelompok eksperimen) dan siswa yang diajar dengan menggunakan model
pembelajaran ekspositori (kelompok kontrol). Hasil penghitungan uji kesamaan rata-rata
diperoleh . Harga untuk taraf signifikansi 5% dan dk = 58 adalah 1,67.
Jelas , jadi nilai rata-rata tes kemampuan pemecahan
masalah kelompok eksperimen lebih dari nilai rata-rata tes kemampuan pemecahan masalah
matematika kelompok kontrol pada materi pokok hubungan antar sudut.
Model pembelajaran SQ3R didukung oleh teori belajar Ausubel yang terkenal dengan
belajar bermakna dan pentingnya pengulangan sebelum belajar dimulai (Suherman, 2003).
Belajar bermakna adalah suatu proses belajar yang setiap informasi atau pengetahuan baru
dihubungkan dengan struktur pengertian dan pemahaman yang sudah dimiliki oleh siswa
sebelumnya. Pada pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe
SQ3R, belajar bermakna terwujud dari tahapan-tahapan pada model pembelajaran kooperatif
tipe SQ3R yaitu survey, qustion, read, recite, dan review. Ahli kontrukstivisme Vigotsky juga
berpendapat bahwa proses belajar akan terjadi secara efisien dan efektif apabila seseorang
belajar secara kooperatif bersama orang lain dengan suasana yang mendukung, dalam
bimbingan atau pendampingan seseorang yang lebih mampu atau lebih dewasa (Depdiknas,
2004).
Model pembelajaran kooperatif tipe SQ3R adalah model pembelajaran dengan
menggunakan strategi membaca (Suyatno, 2009). Pembelajaran dimulai dengan
mengidentifikasi poin-poin penting pada yang hendak dipelajari sebagai tahap survey.
Langkah berikutnya siswa menyusun pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan materi
sebagai tahap question. Dalam tahap question siswa dihadapkan dengan masalah-masalah
dalam hal ini adalah pertanyaan sebagai bentuk rasa ingin tahu siswa, hal ini sejalan dengan
pendapat Slameto (2010) yang menyatakan bahwa pengertian hanya dapat diperoleh apabila
timbul pertanyaan-pertanyaan dan siswa berusaha sendiri menjawabnya. Tahap berikutnya
adalah read, dalam tahap ini siswa membaca bahan ajar untuk mencari jawaban setiap
pertanyaan yang telah dibuat, karena model pembelajaran SQ3R merupakan tipe dari model
kooperatif maka dalam menjawab setiap pertanyaan yang telah dibuat siswa dapat berdiskusi
dengan teman sekelompoknya sehingga meningkatkan rasa percaya diri terhadap
kemampuannya untuk menyelesaikan masalah-masalah matematika (Suherman, 2003).
Langkah berikutnya setelah menjawab setiap pertanyaan adalah recite dalam tahap ini siswa
memahami setiap jawaban yang telah ditemukan, dan tahap berikutnya adalah review yaitu
meninjau ulang seluruh jawaban atas pertanyaan yang telah dibuat oleh setiap kelompok.
Model pembelajaran kooperatif tipe SQ3R dalam penelitian ini digunakan untuk
mengajarkan materi pokok hubungan antar sudut. Hubungan antar sudut merupakan materi
yang perlu mendapatkan perhatian khusus dalam aspek kemampuan pemecahan masalah. Hal
ini dikarenakan untuk menyelesaikan soal-soal pemecahan masalah pada materi ini
memerlukan ketelitian dan juga strategi penyelesaian yang cukup rumit, misalnya dalam

106
menyelesaiakan suatu soal harus menggunakan beberapa sifat-sifat sudut yang harus
dikombinasikan secara benar untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Berdasarkan hal
tersebut siswa memerlukan banyak latihan dalam menyelesaikan soal-soal pemecahan
masalah matematika pada materi pokok hubungan antar sudut. Model pembelajaran
koorepatif tipe SQ3R memberikan ruang bagi siswa untuk menyelesaikan masalah-masalah
yang ditemukan oleh siswa itu sendiri dengan berdiskusi bersama kelompoknya melalui
tahapan yang ada pada model pembelajaran ini yaitu tahap read dan recite.
Kegiatan pembelajaran di kelompok eksperimen pada pertemuan pertama mengalami
sedikit hambatan. Pembelajaran yang awalnya terkendali mulai gaduh saat pembagian
kelompok berdasarkan kelompok yang telah ditentukan oleh guru. Terdapat beberapa siswa
yang protes karena kurang suka dengan pembagian anggota kelompoknya, namun masalah
dapat teratasi setelah dijelaskan maksud dari pembagian kelompok tersebut.
Pada saat siswa mulai masuk dalam tahap pertama dalam model pembelajaran SQ3R
yaitu survey dengan bimbingan guru, kegiatan dapat berlangsung dengan baik. Pada
pertemuan pertama materi yang dibahas adalah definisi sudut dan sifat sudut yang berpelurus,
kaitannya dengan tahap survey siswa diminta untuk membuka buku paket Matematika
Konsep dan Aplikasinya dan membaca sekilas poin-poin materi, yaitu definisi sudut dan
sudut yang saling berpelurus. Menurut Feldt & Hensley (2009) tahap survey membantu siswa
mengorganisasi dan mengaktifkan pengetahuan awal untuk memudahkan dalam memahami
materi.
Tahap kedua yaitu menyusun pertanyaan-pertanyaan (question) yang dibuat oleh
siswa, kaitannya dengan materi pada pertemuan pertama ini misalnya bagaimana pengertian
sudut? atau bagaimana sifat sudut yang saling berpelurus?. Menurut Feldt & Hensley
(2009) dengan mengubah judul menjadi pertanyaan akan merangsang rasa ingin tahu dan
dapat membimbing siswa pada saat membaca. Pada tahap kedua ini kondisi kelas masih dapat
terkendali.
Tahap berikutnya yaitu read, pada tahap ini setiap kelompok berdiskusi untuk
menjawab pertanyaan yang telah diabuat oleh anggotanya. Suatu masalah bagi salah satu
siswa dalam kelompok memungkinkan bukan menjadi masalah bagi anggota kelompok yang
lain sehingga dapat terjadi kerjasama antar anggota kelompok. Berkaitan dengan materi pada
pertemuan pertama misalnya definisi sudut menjadi masalah bagi salah satu siswa dalam
kelompok, namun bagi anggota yang lain definisi sudut bukanlah masalah sehingga anggota
kelompok yang lain dapat menjelaskan dengan gaya bahasa mereka sendiri, dengan ini
diharapkan definisi sudut yang sebelumnya menjadi masalah kini bukan menjadi masalah lagi
bagi siswa tersebut. Pada tahap ketiga ini keadaan kelas mulai gaduh kembali akibat diskusi
yang dilakukan oleh setiap kelompok.
Tahap berikutnya yaitu recite, pada tahap ini kelas lebih dapat terkontrol karena pada
tahap ini yang dilakukan oleh setiap siswa adalah memahami setiap jawaban yang ditemukan
dan hanya ada sedikit diskusi. Pada tahap terakhir dalam proses pembelajaran yaitu review,
dalam tahap ini keadaan juga terkendali dengan baik karena kegiatan review dipimpin
langsung oleh peneliti. Kegiatan review yang dilakukan pada pertemuan pertama yaitu
meminta perwakilan setiap kelompok untuk mempresentasikan hasil dari diskusi yang
dilakukan, dan guru meluruskan jika terjadi kesalahan. Pada pertemuan pertama ini siswa
masih enggan dan malu bertanya pada peneliti apabila dirasa ada hal yang kurang meraka
pahami.
Pada pertemuan kedua di kelompok eksperimen siswa mulai bisa menyesuaikan
dengan model pembelajaran yang digunakan. Hambatan-hambatan pada pertemuan pertama
mulai dapat diatasi. Siswa telah lebih siap kegiatan pembelajaran. Siswa juga mulai terbiasa
diskusi kelompok dalam memecahkan masalah. Walaupun banyak siswa yang masih
canggung kepada peneliti namun pada pertemuan kedua ini ada beberapa siswa yang sudah

107
mulai berani menanyakan hal yang belum dipahami. Kesiapan siswa untuk melaksanakan
pembelajaran juga terlihat lebih siap dari pada pertemuan pertama. Untuk pertemuan-
pertemuan berikutnya hambatan yang ada dapat teratasi dengan baik sehingga kegiatan
pembelajaran dapat berlangsung dengan baik.
Terdapat beberapa poin penting yang terjadi selama kegiatan pembelajaran yang
berlangsung pada kelompok eksperimen, misalnya pada saat mengajarkan sifat-sifat sudut
yang terbentuk oleh dua garis sejajar apabila dipotong garis lain seperti pada gambar 1
berikut.

Gambar 1. Garis l sejajar m dipotong garis k

Pada saat mengajarkan materi ini, tepatnya pada tahap question yaitu siswa menyusun
pertanyaan-pertanyaan yang relevan dengan materi ini misalnya, bagaimana sifat sudut yang
sehadap? atau pasangan sudut mana yang dinamakan sudut sehadap?, guru dalam hal ini
peneliti juga mengambil peranan dengan memberikan pertanyaan pada siswa yaitu dengan
mengubah gambar 1 menjadi seperti gambar 2 dan meminta siswa untuk menjawab
pertanyaan yang telah dibuat sesuai dengan gambar yang telah diubah ini.

Gambar 2. Garis r sejajar t dipotong garis s

Gambar 1 yang diubah menjadi gambar 2 diberikan dengan maksud agar siswa benar-
benar dapat memahami materi ini dengan baik, karena untuk menyelesaikan soal-soal
pemecahan masalah pada materi pokok hubungan antar sudut siswa harus mempunyai konsep
yang kuat mengenai sifat-sifat sudut yang terbentuk. Gambar yang diubah membuat siswa
berfikir kreatif untuk menyelesaikan masalah ini karena gambar yang telah diubah berbeda
orientasi dengan gambar-gambar yang ada pada buku yang dimiliki oleh siswa.
Pada saat latihan menyelesaikan soal pemecahan masalah dalam kegiatan
pembelajaran salah satunya pada waktu mengerjakan soal latihan berikut

Tentukan nilai x pada gambar berikut!

Gambar 3. Contoh soal

108
Untuk menyelesaikan soal ini siswa perlu membuat garis bantu, sehingga gambar 3
menjadi seperti gambar berikut
A B

Gambar 4. Contoh soal dengan garis bantu

Pembuatan garis bantu untuk menyelesaikan soal ini diserahkan sepenuhnya pada
siswa sesuai dengan strategi yang dibutuhan siswa untuk menyelesaikan soal ini sehingga
memacu siswa untuk kreatif dan terampil dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah.
Pada kelompok kontrol diterapkan model pembelajaran ekspositori, dalam kegiatan
pembelajaran siswa tidak dibagi dalam kelompok untuk berdiskusi menyelesaikan masalah.
Kegiatan pembelajaran pada kelompok kontrol menekankan pada proses penyampaian materi
secara verbal dari seorang guru kepada siswa, siswa tidak dituntut untuk menemukan atau
membangun pengetahuannya sendiri (Depdiknas, 2008). Misalnya pada pertemuan yang
pertama materi yang dibahas adalah definisi sudut dan sifat sudut berpelurus, guru
menjelaskan langsung pada siswa definsi dari sudut dan sifat sudut yang berpelurus.
Hambatan-hambatan yang ada pada kelompok kontrol hampir sama dengan yang ada pada
kelompok eksperimen yaitu siswa masih canggung dengan peneliti pada pertemuan pertama,
namun pada pertemuan berikutnya rasa canggung pada siswa sedikit demi sedikit mulai
hilang sehingga kegiatan pembelajaran pada kelompok kontrol pertemuan demi pertemuan
semakin membaik.
Setelah kedua kelas diberikan perlakuan yang berbeda selama 6 pertemuan, siswa dari
kedua kelas tersebut diberi tes kemampuan pemecahan masalah yang sama. Pelaksanaan tes
dilakukan pada hari yang sama tanggal 19 maret 2012, kelompok eksperimen pada jam ke 1
sampai ke 2, kelompok kontrol jam ke 3 sampai jam ke 4.
Berdasarkan hasil analisis statistik pada nilai tes kemampuan pemecahan masalah
setelah dilakukan pembelajaran pada kelompok eksperimen dan kontrol terlihat bahwa nilai
tes pemecahan masalah keduanya pada materi pokok hubungan antar sudut berdistribusi
normal dan memiliki varians yang sama atau homogen. Pada pengujian ketuntasan belajar,
diperoleh hasil yang menyatakan bahwa rata-rata nilai tes kemampuan pemecahan masalah
pada kelompok kontrol dan kelompok ekperimen mencapai nilai KKM yang berlaku di SMP
N 1 Pagerbaranag yaitu 65 dan ketuntasan klasikal sebesar 75% juga tercapai oleh kelompok
kontrol dan kelompok eksperimen. Dengan demikian ketuntasan belajar pada kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol terhadap pemecahan masalah siswa pada materi pokok
hubungan antar sudut tercapai.
Untuk menguji keefektifan model pembelajaran yang lebih baik antara model
pembelajaran kooperatif tipe SQ3R dan model pembelajaran ekspositori terhadap
kemampuan pemecahan masalah siswa pada materi pokok hubungan antar sudut pada
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol setelah diberi perlakuan digunakan uji
kesamaan rata-rata satu pihak (uji pihak kanan). Hasil penghitungan menunjukkan bahwa
kelompok eksperimen mendapatkan rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok kontrol, berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa penggunaan model
pembelajaran kooperatif tipe SQ3R memberikan hasil yang lebih baik terhadap kemampuan
pemecahan masalah pada materi pokok hubungan antar sudut dibandingkan dengan
menggunakan model pembelajaran ekspositori.

109
Berdasarkan analisis di atas, dapat diketahui bahwa penerapan model pembelajaran
kooperatif tipe SQ3R dalam pembelajaran dapat meningkatkan kemampuan pemecahan
masalah matematika siswa dibandingkan dengan model pembelajaran ekspositori. Hal ini
disebabkan karena pembelajaran dengan model kooperatif tipe SQ3R ditekankan untuk lebih
mengaktifkan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran melalui kegiatan membaca dan
berdiskusi menjawab pertanyaan, sehingga kemampuan pemecahan masalah matematis
mereka semakin terlatih. Sebagaimana dikemukakan oleh Dahar dalam Prabawati (2011)
siswa-siswa yang baik bila diberi tugas membaca akan melakukan elaborasi (pengembangan)
terhadap apa yang mereka baca, ini berarti mereka memiliki gagasan, contoh-contoh,
gambaran mental, konsep-konsep lain yang berhubungan. Mereka juga akan mengorganisasi
informasi baru itu.

Penutup
Setelah dilaksanakan penelitian mengenai keefektifan model pembelajaran kooperatif
tipe SQ3R dan model pembelajaran ekspositori terhadap kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa kelas VII SMP Negeri 1 Pagerbarang, diperoleh hasil penelitian yang
menunjukkan bahwa Rata-rata nilai tes kemampuan pemecahan masalah matematika siswa
yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe SQ3R pada materi
pokok hubungan antar sudut mencapai kriteria ketuntasan minimal (KKM) dengan banyak
siswa yang mencapai KKM tersebut lebih dari sama dengan 75%, dan rata-rata nilai tes
kemampuan pemecahan masalah siswa yang diajar dengan menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe SQ3R pada materi pokok hubungan antar sudut lebih baik
daripada rata-rata nilai tes kemampuan pemecahan masalah siswa yang diajar dengan
menggunakan model pembelajaran ekspositori. Berdasarkan hasil penelitaian di atas dapat
simpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe SQ3R efektif untuk meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah matematika dibandingkan dengan menggunakan model
pembelajaran ekspositori pada materi pokok hubungan antar sudut.

Daftar Pustaka

Depdiknas. 2004. Materi Pelatihan Terintegrasi Matematika. Tidak dipublikasikan.


Depdiknas. 2008. Strategi belajar dan pemilihannya. Tidak dipublikasikan.
Dimyati & Mudjiono. 2009. Belajar dan pembelajaran. Jakarta. Rineka Cipta.
Feldt, R. C. & R. Hensley. 2009. Recommendation For Use Of SQ3R In Introductory
Psychology Textbooks. Journal Of Education. 129(4): 584-588. Tersedia di
http://go.galegroup.com/ps/i.do?id=GALE%7CA201209723&v=2.1&u=ptn042&it=r&
p=GPS&sw=w [diakses tanggal 02-07-2012].
Hudojo, H. 2005. Pengembangan kurikulum dan pembelajaran matematika. Malang.
Universitas Negeri Malang.
Prabawati, M. N. 2011. Pengaruh penggunaan pembelajaran kontekstual dengan teknik
SQ3R terhadap peningkatan kemampuan pemahaman dan berpikir kritis matematik
siswa SMA. Tesis. Bandung. UPI. Tidak dipublikasikan.
Pujawan, I. G. 2005. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Dengan Metode SQ3R
Dalam Meningkatkan Aktivitas Dan Prestasi Belajar Matematika Siswa SMP. Jurnal
Pendidikan dan Pengajaran. 38(3): 343-358. Tersedia di
http://isjd.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html?act=tampil&id=46896&idc=32
[diakses 31-01-2012]
Slameto. 2010. Belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Jakarta. Rineka Cipta.

110
Sudrajat. 2001. Penerapan SQ3R Pada Pembelajaran Tindak Lanjut untuk Peningkatan
Kemampuan Komunikasi Matematika Siswa SMU. Tesis. Bandung. UPI. Tidak
dipublikasikan.
Suherman, E. 2003. Strategi pembelajaran matematika kontemporer. Bandung. UPI.
Suyatno. 2009. Menjelajah pembelajaran inovatif. Sidoarjo. Masmedia Buana Pustaka.
Wijatranti, D. T. 2009. Pengaruh Pembelajaran Matematika Melalui Metode Survey,
Question, Read, Recite, Review (SQ3R) Terhadap Prestasi Belajar Siswa Ditinjau dari
Kreativitas Belajar Siswa. Skripsi. Surakarta. UMS. Tidak dipublikasikan.

111
Efektivitas Model Reciprocal Teaching pada Pencapaian Kemampuan
Berpikir Kreatif dan Disposisi Matematis

Diana Awwaliyati1), Bambang Eko Susilo, Kartono


Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Semarang
e-mail: 1)dianmathunnes@gmail.com

Abstract
The purpose of this research is to find out the effectiveness of reciprocal teaching model on
achievement of creative thinking ability and mathematical disposition and to obtain the
emperical evidence about the positive influence of the mathematical disposition toward
creative thinking ability. Population in this research is students at SMP 3 Patebon. Sampling
with cluster random sampling technique and elected 7A as experimentation class and 7B as
control class. Design research used is post test only group design. Adoption of data by
observation method, test method and method poll. There are four points obtained from this
research: (1) The average value ability of creative thinking using the reciprocal teaching
model can exceed the minimum criteria of passing grade in creative thinking ability; (2)
creative thinking ability of experimental class is better than control class; (3) mathematical
disposition of experimental class is better than the control class; (4) there is a positive
influence on mathematical model of disposition of reciprocal teaching of creative thinking
ability. In simple linear regression test the researcher obtained equation
and , it means that the influence of mathematical disposition of creative
thinking ability is 78,5%. Can be concluded that the learning of mathematics in the
achievement of creative thinking ability and mathematical disposition with reciprocal
teaching model was effective learning.

Key words: Ability To Think Creatively; Effectiveness; Mathematical Disposition; Reciprocal


teaching Model.

Pendahuluan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 yang mengungkapkan bahwa
matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar sampai
dengan sekolah menengah untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis,
analisis, sistematis, kritis dan kreatif, serta kemampuan bekerja sama. Akan tetapi dalam
sebagian besar pendidikan formal matematika saat ini, pembelajaran matematika sering
memfokuskan pada pengembangan kemampuan berpikir analisis saja, sedangkan kemampuan
berpikir kreatif sering terabaikan. Padahal kreativitas dalam belajar matematika sangat
diperlukan, hal ini dikarenakan permasalahan dalam matematika sangat luas dan bervariasi.
Menurut Daryanto (2009), berpikir kreatif pada hakikatnya adalah berhubungan dengan
penemuan sesuatu,mengenai hal yang menghasilkan sesuatu baru dengan menggunakan
sesuatu yang telah ada (Rahmawati, 2010: 3). Hasil penelitian Holyoak dan Thagard,
Sternberg dalam Edward A. Silver dan Pittsburgh (1997: 2) adalah kreativitas berkaitan erat
dengan, pengetahuan fleksibel yang sering dikaitkan dengan jangka waktu pekerjaan dan
refleksi lebih cepat, wawasan yang luar biasa, dan rentan terhadap pengaruh pembelajaran
serta pengalaman. Dalam analisis Edward A. Silver dan Pittsburgh (1997: 2) juga
mengemukakan bahwa hasil dari kegiatan kreatif adalah kecenderungan untuk berpikir dan
berperilaku kreatif. Munandar (2009: 179) menyatakan keterampilan kognitif kreatif adalah:
berpikir lancar, berpikir fleksibel, berpikir orisinil dan berpikir elaboratif
Pembelajaran matematika tidak hanya dimaksudkan untuk mengembangkan aspek
kognitif, melainkan juga aspek afektif, seperti disposisi matematis. Menurut NCTM (Pearson
Education, 2000) dalam Mahmudi (2010: 6), disposisi matematis mencakup kemauan untuk

112
mengambil risiko dan mengeksplorasi solusi masalah yang beragam, kegigihan untuk
menyelesaikan masalah yang menantang, mengambil tanggung jawab untuk merefleksi pada
hasil kerja, mengapresiasi kekuatan komunikasi dari bahasa matematika, kemauan untuk
bertanya dan mengajukan ide-ide matematis lainya, kemauan untuk mencoba cara berbeda
untuk mengeksplorasi konsep-konsep matematis, memiliki kepercayaan diri terhadap
kemampuannya, dan memandang masalah sebagai tantangan. Hal tersebut sejalan dengan
pendapat Katz (2009) dalam konteks matematika. Dalam konteks pembelajaran, disposisi
matematis berkaitan dengan bagaimana siswa bertanya, menjawab pertanyaan,
mengkomunikasikan ide-ide matematis, bekerja dalam kelompok, dan menyelesaikan
masalah Mahmudi (2010: 5).
Berdasarkan hasil wawancara dengan guru matematika kelas VII SMP Negeri 3
Patebon, suasana belajar mengajar masih menggunakan model konvensional, pembelajaran
masih berpusat pada guru (teacher centered) sehingga menjadikan peserta didik kurang
komunikatif dalam kegiatan belajar mengajar. Guru memberikan contoh kemudian disalin
oleh peserta didik, dan ketika diberikan soal lain peserta didik merasa kesulitan untuk
menyelesaikannya. Peserta didik juga lemah dalam menyelesaikan soal non-rutin berkaitan
dengan menjustifikasi atau membuktikan, menalar, menggeneralisasi, membuat konjektur,
dan menemukan hubungan antara fakta-fakta yang diberikan. Rasa ingin tahu peserta didik
terhadap matematika serta motivasi peserta didik untuk menyelesaikan soal dengan cara lain
juga masih kurang. Secara umum kemampuan berpikir kreatif dan disposisi matematis
peserta didik dalam menyelesaikan masalah matematika masih rendah. Akibatnya sebanyak
50% hasil belajar peserta didik yang belum mencapai kriteria ketuntasan minimal.
Menurut Wahyudin (1999) diantara penyebab rendahnya pencapaian peserta didik
dalam pembelajaran matematika adalah proses pembelajaran yang belum optimal
(Mustikasari 2010: 45). Sebagai upaya memfasilitasi peserta didik agar kemampuan berpikir
kreatif dan disposisi matematis berkembang, yaitu dengan suatu pembelajaran sedemikian
hingga pembelajaran tersebut berangkat dari pembelajaran yang membuat peserta didik aktif
sehingga peserta didik leluasa untuk berpikir dan mempertanyakan kembali apa yang mereka
terima dari gurunya. Menurut Kilpatrick, Swafford, dan Findell dalam Mulyana (2000: 11)
untuk mengembangkan disposisi matematika peserta didik perlu diberikan lebih banyak
kesempatan untuk menguasai matematika, menyadari manfaat ketekunan, dan merasakan
keuntungan dari penguasaan matematika. Pembelajaran matematika dengan model reciprocal
teaching merupakan salah satu alternatif yang berupaya membuat peserta didik dapat secara
aktif terlibat dalam proses pembelajaran matematika di kelas. Reciprocal teaching merupakan
pembelajaran dengan scaffolding, artinya guru adalah agen yang memandu pengajaran
sehingga peserta didik mengembangkan keterampilan berpikir tingkat yang lebih tinggi dari
seorang yang lebih ahli atau melalui teman sejawat yang memiliki kemampuan lebih tinggi
(Nur, 2000: 14). Garderen (2004: 226) menyatakan bahwa pembelajaran reciprocal teaching
diterapkan untuk membangun pemahaman peserta didik dalam mengatasi permasalahan
matematika. Empat komponen penting dari versi lain pembelajaran reciprocal teaching
meliputi: clarifying (mengklarifikasi), predicting (memprediksi), questioning (membuat
soal/pertanyaan) serta summarizing (merangkum).
Pembelajaran matematika tidak hanya terfokus pada kebenaran jawaban tetapi lebih
pada proses matematika seperti menyusun pola matematis dan hubungan, pengujian dugaan,
serta memprediksi jawaban yang benar. Ketika peserta didik mengikuti pembelajaran
matematika mereka didorong untuk mengembangkan kemampuan bermatematika mereka
dengan pengalaman untuk membangun pengetahuan baru yang lebih kompleks. Menurut
NCTM (1989) dalam Nishitani (2011: 2) berpendapat bahwa pandangan kontemporer
percaya bahwa orang yang kreatif dalam matematika cenderung memiliki daya tarik dan
apresiasi terhadap melakukan matematika, dan cenderung berpikir dan bertindak positif.

113
Yang dimaksud kecenderungan tersebut adalah keinginan yang kuat untuk memilih strategi
dalam memecahkan tugas-tugas matematika, percaya diri, motivasi untuk mencari solusi
alternatif, rajin, perasaan menantang, dan kecenderungan untuk mencerminkan cara berpikir
mereka.
Berdasarkan uraian di atas permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah: (1)
apakah rata-rata nilai kemampuan berpikir kreatif peserta didik dengan model pembelajaran
reciprocal teaching dapat melebihi kriteria ketuntasan minimal?; (2) apakah nilai rata-rata
kemampuan berpikir kreatif peserta didik dengan model reciprocal teaching lebih baik dari
peserta didik dengan model konvensional?; (3) apakah nilai rata-rata disposisi matematis
peserta didik dengan model reciprocal teaching lebih baik dari peserta didik dengan model
konvensional?; (4) adakah pengaruh disposisi matematis terhadap kemampuan berpikir
kreatif peserta didik pada model reciprocal teaching ?
Tujuan dari penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui rata-rata nilai kemampuan
berpikir kreatif peserta didik yang diajar menggunakan model reciprocal teaching dapat
melebihi kriteria ketuntasan minimal dalam pada materi luas daerah bangun datar segi empat;
(2) untuk mengetahui nilai rata-rata kemampuan berpikir kreatif peserta didik kelas VII SMP
N 3 Patebon yang diajar dengan model reciprocal teaching lebih baik dibandingkan dengan
peserta didik yang diajar dengan model konvensional; (3) untuk mengetahui nilai rata-rata
disposisi matematis peserta didik kelas VII SMP N 3 Patebon yang diajar dengan model
reciprocal teaching lebih baik dibandingkan dengan peserta didik yang diajar dengan model
konvensional; (4) untuk mengetahui pengaruh positif disposisi matematis peserta didik pada
model reciprocal teaching terhadap kemampuan berpikir kreatif peserta didik kelas VII SMP
N 3 Patebon pada materi luas daerah bangun datar segi empat.

Metode
Penelitian ini adalah penelitian eksperimen, dengan desain Post Test Only Group
Design.

Keadaan awal : nilai matematika semester 1

Kelas Kontrol Kelas Eksperimen

Model Model Reciprocal


Konvensional Teaching

Keadaan akhir : nilai tes Kemampuan berpikir kreatif dan angket disposisi
matematis.
Gambar 1. Desain Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh peserta didik kelas VII semester 2 tahun
ajaran 2011/2012 di SMP Negeri 3 Patebon. Sampel diperoleh dengan menggunakan teknik
Cluster Rundom Sampling yang menghasilkan dua kelas yaitu kelas VII A sebagai kelas
eksperimen dan kelas VII B sebagai kelas kontrol. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah
model pembelajaran matematika dan variabel terikatnya adalah kemampuan berpikir kreatif
dan disposisi matematis peserta didik. Metode yang digunakan untuk mengambil data adalah
metode dokumentasi, metode tes dan metode angket.

114
Data awal yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari dokumen leger guru mata
pelajaran matematika, diambil nilai mentah ulangan akhir semester I kelas VII A dan VII B
SMP N 3 Patebon. Data ini kemudian diuji normalitas dan homogenitasnya menggunakan
SPSS 17.0 diperoleh output nilai Sig.= 0.200= 20%. Jelas dengan =5%, maka Sig = 20% >
5% sehingga disimpulkan nilai awal dari kelas eksperimen dan kontrol berdistribusi normal
(Sukestiyarno, 2011: 73). Sedangkan pada homogenitas nilai Sig. adalah 0,983 = 98,3%.
Karena nilai Sig = 98,3% > 5% maka kelompok eksperimen dan kontrol mempunyai varians
yang sama, artinya data tersebut homogen (Sukestiyarno, 2011: 120). Data akhir diperoleh
dari nilai kemampuan berpikir kreatif dan disposisi matematis peserta didik pada kelas
eksperimen dan kelas kontrol, data tersebut kemudian dianalisis lebih lanjut dengan uji
normalitas, uji homogenitas, uji ketuntasan, uji perbedaan rata-rata , dan analisis regresi
untuk mengetahui pengaruh positif disposisi matematis pada model reciprocal teaching
terhadap kemampuan berpikir kreatif peserta didik.

Hasil
Hasil kemampuan berpikir kreatif setelah diberi perlakuan pada kelas eksperimen
dengan model pembelajaran reciprocal teaching dan kelas kontrol dengan model
pembelajaran konvensional dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Data Kemampuan Berpikir Kreatif


A. Statistik Deskriptif Kelas Eksperimen Kelas Kontrol
Nilai Tertinggi 94 88
Nilai Terendah 53 52
Rata rata 76,6 70,7
Varians 131,3 124,2
Simpangan Baku 11,5 11,1
B. Indikator Berpikir Kreatif Kelas Eksperimen (%) Kelas Kontrol (%)
Kemampuan peserta didik 91 89
dalam menjawab masalah
matematika secara tepat
(fluency).
Kemampuan menjawab 68 59
masalah matematika melalui
cara yang tidak baku
(flexibility).
Kemampuan menjawab 65 59
masalah matematika dengan
menggunakan bahasan, cara
atau idenya sendiri
(originality).
Kemampuan memperluas 83 76
jawaban masalah,
memunculkan masalah baru
atau gagasan baru (elaborasi).

Secara keseluruhan kemampuan peserta didik dalam menjawab masalah matematika


secara tepat serta memperluas jawaban ataupun memunculkan masalah baru baik kelas

115
eksperimen maupun kelas kontrol sudah baik. Namun pada kelas eksperimen maupun kelas
kontrol kemampuan peserta didik dalam menjawab masalah matematika dengan cara tidak
baku ataupun mengunakan idenya sendiri masih rendah hal ini ditunjukkan dengan
prosentase yang masih dibawah 70%. Salah satu cara untuk meningkatkan kedua indikator
tersebut adalah dengan menambah latihan soal yang mengacu pada open-ended. Dengan
latihan soal yang mengacu pada open-ended, maka peserta didik akan terbiasa dengan soal
yang mempunyai banyak cara untuk menyelesaikan soal.
Hasil disposisi matematis pada kelas eksperimen dengan model pembelajaran
reciprocal teaching dan kelas kontrol dengan model pembelajaran konvensional dapat dilihat
pada Tabel 2.

Tabel 2. Data Disposisi Matematis


A. Kategori Disposisi Matematis Kelas Eksperimen (%) Kelas Kontrol (%)
Tinggi 47 43
Sedang 53 56
Kurang 0 0
Rendah 0 0
B. Indikator Disposisi Matematis Kelas Eksperimen (%) Kelas Kontrol (%)
Rasa percaya diri dalam 80 80
pembelajaran matematika dan
dalam menyelesaikan masalah
matematika.
Fleksibel dalam kerja 70 65
matematika yang meliputi
mencari ide matematis dan
mencoba berbagai alternatif
penyelesaian masalah matematis.
Gigih dan ulet dalam 68 65
mengerjakan tugas-tugas
matematika.
Memiliki keingintahuan dalam 72 63
belajar matematika.
Melakukan refleksi terhadap cara 74 70
berpikir dan kinerja pada diri
sendiri dalam belajar matematika
Menghargai aplikasi matematika 90 80
dalam bidang lain dan kehidupan
sehari-hari.

Secara keseluruhan disposisi matematis peserta didik pada kelas eksperimen yang
menggunakan model pembelajaran reciprocal teaching lebih baik daripada peserta didik pada
kelas kontrol dengan model pembelajaran konvensional. Namun dapat dilihat pada indikator
kedua dan ketiga rata-rata kelas eksperimen dan kelas kontrol masih dibawah 70%, hal ini
menunjukkan kemampuan peserta didik dalam mencari ide-ide matematis dan mencoba
berbagai alternatif penyelesaian masalah matematis serta kegigihan dan keuletan peserta
didik dalam mengerjakan tugas matematika masih kurang. Untuk meningkatkan kegigihan
dan keuletan peserta didik pada kelas eksperimen yang menggunakan model pembelajaran
reciprocal teaching guru dapat menambahkan latihan soal yang mengacu pada open-ended.

116
Dengan adanya soal yang mengacu pada open-ended maka peserta didik akan mersa
tertantang untuk menyelesaikan masalah matematika dan akan membiasakan peserta didik
fleksibel dalam melakukan kerja matematik, karena soal yang mengacu pada open-ended
dapat mengembangkan ide-ide untuk mencoba berbagai alternatif lain dalam menyelesaikan
masalah matematika.
Pelaksanaan penelitian dengan menggunakan model reciprocal teaching dilaksanakan
di kelas VII A SMP Negeri 3 Patebon dengan jumlah peserta didik sebanyak 30 orang.
Selama proses pembelajaran peserta didik dibagi menjadi 6 kelompok. Kelompok tersebut
bersifat permanen, artinya selama proses pembelajaran berlangsung peserta didik berada
dalam kelompok yang sama. Pembagian kelompok pada pertemuan pertama dilakukan secara
acak. Setiap kelompok beranggotakan lima orang peserta didik. Pengelompokkan seperti ini
dapat memberikan kesempatan peserta didik untuk saling berineraksi. Peserta didik
diharapkan membantu antar anggota kelompoknya, berdiskusi, dan berargumentasi, saling
berbagi pengetahuan yang dimiliki serta saling mengisi kekurangan masing-masing anggota
kelompok dalam memahami materi yang diberikan. Meski peserta didik belajar bersama,
mereka tidak boleh saling membantu dalam mengerjakan kuis (Slavin, 2005: 12).
Dalam pembelajaran peserta didik lebih aktif dan tidak banyak tergantung kepada guru.
Dalam pembelajaran guru berperan sebagai scaffolding dan juga berperan dalam mengatur
jalannya diskusi dalam belajar kelompok serta memberikan pengantar materi yang sedang
dipelajari. Pada awal pelajaran, guru memberikan penjelasan mengenai materi yang
berkaitan dengan keliling dan luas daerah segi empat sebagai motivasi untuk peserta didik.
guru juga memberikan contoh soal dan penyelesaiannya. Hal ini sebagai contoh atau model
bagi peserta didik dalam melaksanakan pembelajaran. Setelah guru memberikan penjelasan,
kemudian peserta didik memperoleh lembar diskusi kelompok untuk mempelajari materi
yang berkaitan dengan keliling dan luas segi empat, peserta didik berdiskusi untuk
mengklarifikasi materi. Materi yang diberikan untuk setiap kelompok sama. Setiap kelompok
bertanggung jawab terhadap materi yang ditugaskan. Dalam upaya memahami lembar diskusi
kelompok, setiap kelompok disarankan untuk membaca buku acuan atau menanyakan kepada
guru jika mengalami kesulitan sehingga kelompok akan lebih memiliki persiapan dalam
mempresentasikannya. Selain itu peserta didik diajak memprediksi hubungan antar konsep
yang telah dipelajari dengan konsep yang sedang dipelajari melalui serangkaian pertanyaan
pada lembar diskusi kelompok, kemudian menyelesaikan contoh soalnya. Dalam kegiatan
tersebut peserta didik dapat mengembangkan kemampuan berpikir kreatifnya, serta
pengembangan sikap disposisi matematis, yang salah satunya adalah sifat terbuka dan rasa
ingin tahu peserta didik terhadap materi segi empat.
Peserta didik memiliki tanggung jawab terhadap peserta didik lain dan kelompok
lainnya, disamping tanggung jawab terhadap diri mereka sendiri. Usaha untuk menjelaskan
sesuatu kepada rekannya justru akan membantunya dalam melihat sesuatu dengan lebih
jelas. Dalam menyampaikan kembali materi yang telah didiskusikan, peserta didik harus
berbagi tugas dan berbagi tanggung jawab yang sama besar kepada para anggota kelompok.
Peserta didik memperoleh ketrampilan bekerjasama selama belajar dan peserta didik akan
bertanggung jawab secara individual. Tanggung jawab individual seperti ini memotivasi
peserta didik untuk memberikan penjelasan dengan baik satu sama lainnya (Slavin, 2005: 12).
Selama diskusi, guru berkeliling kelas untuk memantau jalannya diskusi dan membantu
kelompok yang mengalami kesulitan. guru memberikan motivasi agar peserta didik aktif
berdiskusi karena hasil pemikiran beberapa peserta didik akan lebih baik daripada hasil
pemikiran satu peserta didik saja.
Setelah waktu diskusi selesai, guru menunjuk satu kelompok untuk mempresentasikan
hasil diskusi di depan kelas. Peserta didik lain menanggapi jika ada kesalahan atau yang
belum jelas tentang materi tersebut. Kemudian dilanjutkan dengan tanya jawab dengan

117
mengajukan soal untuk diselesaikan. Bila dari kelompok yang mempresentasikan mengalami
kesulitan maka kelompok yang lain boleh membantu, jika ada penyelesaian yang berbeda
maka guru mempersilahkan untuk menuliskan jawabannya kedepan dan dibahas bersama.
Dari kegiatan ini peserta didik akan dibiasakan untuk berpikir terbuka serta berani
mengungkapkan pendapapatnya, sehingga akan timbul rasa percaya diri dalam diri peserta
didik. Pada tahap terakhir peserta didik bersama dengan guru merangkum hal-hal penting dari
hasil diskusi yang telah dilakukan bersama, hal ini sangat penting bagi peserta didik yang
kurang aktif, mereka dapat melakukan refleksi atas cara berpikirnya sehingga mereka akan
lebih siap dalam menerima materi selanjutnya.
Setelah mendapat perlakuan yang berbeda yaitu pembelajaran dengan menggunakan
model pembelajaran reciprocal teaching pada kelas eksperimen dan model pembelajaran
konvensional pada kelas kontrol, kedua kelas tersebut diberikan tes akhir yang sama untuk
menguji kemampuan berpikir kreatif peserta didik. Selain itu peserta didik juga diberikan
angket disposisi matematis untuk mengetahui respon dari peserta didik terhadap
pembelajaran matematika. Dari hasil perhitungan dengan bantuan SPSS 17.0 pada uji
ketuntasan belajar disimpulkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan model
pembelajaran reciprocal teaching mencapai ketuntasan belajar dan mempunyai nilai rata-rata
di atas nilai batas minimal ketuntasan. Berdasarkan hasil uji beda rata-rata diperoleh
kesimpulan bahwa rata-rata nilai kemampuan berpikir kreatif peserta didik di kelas
eksperimen tidak sama dengan rata-rata kemampuan berpikir kreatif kelas kontrol. Rata-rata
nilai kemampuan berpikir kreatif kelas eksperimen adalah 76,60 sedangkan pada kelas
kontrol sebesar 70,70. Begitu juga rata-rata nilai disposisi matematis peserta didik di kelas
eksperimen tidak sama dengan rata-rata disposisi matematis kelas kontrol Rata-rata nilai
kemampuan berpikir kreatif kelas eksperimen adalah 75,14 sedangkan pada kelas kontrol
sebesar 69,64. Dari hasil tersebut, maka diperoleh informasi bahwa rata-rata kemampuan
berpikir kreatif dan disposisi matematis peserta didik dengan menggunakan model
pembelajaran reciprocal teaching lebih baik daripada rata-rata kemampuan berpikir kreatif
dan disposisi matematis kelas kontrol yang menggunakan model pembelajaran konvensional
Dalam penelitian ini disposisi matematis dinilai berdasarkan indikator yang sudah
ditetapkan pada tiap poin dalam bentuk angket begitu juga dengan kemampuan berpikir
kreatif peserta didik yang dinilai berdasarkan indikator yang telah ditetapkan dalm bentuk tes
uraian. Dari nilai disposisi matematis dan nilai kemampuan berpikir kreatif peserta didik
kemudian dilakukan perhitungan uji regresi linear sederhana untuk mengetahui apakah
disposisi matematis berpengaruh positif terhadap kemampuan berpikir kreatif peserta didik
atau tidak. Sedangkan dari hasil perhitungan dengan bantuan SPSS 17.0 diperoleh persamaan
regresi sederhananya adalah dan , artinya pengaruh positif
disposisi matematis terhadap kemampuan berpikir kreatif sebesar 78,5%. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa disposisi matematis peserta didik berpengaruh positif terhadap
kemampuan berpikir kreatif peserta didik. Hal ini sejalan dengan pendapat Nishitani dkk
(2011: 14) yang mengemukakan bahwa ada hubungan antara kreativitas matematika dan
disposisi sedemikian hingga dalam hal ini disposisi matematika adalah prasyarat untuk
mencapai kreativitas matematika.

Penutup
Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa (1) hasil belajar peserta
didik yang diajar menggunakan model reciprocal teaching dapat melebihi kriteria ketuntasan
minimal dalam kemampuan berpikir kreatif pada materi luas daerah bangun datar segi empat;
(2) nilai rata-rata kemampuan berpikir kreatif kelas eksperimen dengan model reciprocal
teaching lebih baik dibandingkan dengan kelas kontrol yang menguunakan model
konvensional; (3) nilai rata-rata disposisi matematis kelas eksperimen dengan model

118
reciprocal teaching lebih baik dibandingkan dengan kelas kontrol yang menggunakan model
konvensional; (4) adanya pengaruh positif disposisi matematis peserta didik pada model
reciprocal teaching terhadap kemampuan berpikir kreatif peserta didik. Artinya pembelajaran
matematika dengan model reciprocal teaching dikatakan efektif pada pencapaian
kemampuan berpikir kreatif dan disposisi matematis. Pada model pembelajaran reciprocal
teaching dapat dikembangkan dengan latihan soal yang mengacu pada open-ended untuk
meningkatkan kemampuan berpikir kreatif dan disposisi matematis peserta didik.

Daftar Pustaka

Garderen, D. V. 2004. Reciprocal Teaching As A Comprehension Strategy For


Understanding Mathematical Word Problems. Reading And Writing Quarterly. New
York : Taylor & Francis Group.
Mahmudi, Ali. 2010. Tinjauan Asosiasi antara Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
dan Disposisi Matematis. Makalah: UNY.
Mulyana, Endang. 2000. Pengaruh Model Pembelajaran Matematika Knisley terhadap
Peningkatan Pemahaman dan Disposisi Matematika Siswa Sekolah Menengah Atas
Program Ilmu Pengetahuan Alam. Jurnal Pendidikan. Jurusan Pendidikan
Matematika FPMIPA UPI Bandung. hal 1-13.
Mustikasari, dkk.. 2010. Pengembangan Soal-soal Open-Ended Pokok Bahasan Bilangan
Pechan. Jurnal Pendidikan Matematika, Vol. 4. No.1, hal. 45-60.
Munandar, Utami. 2009. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Rineka Cipta.
Nishitani, I. et al. 2011. Mathematical Creativity and Disposition :Experiment with Grade-
10 Students using Silver Inquiry Approach. University School of Gunma, Bulletin
Part of Natural Science Education. Vol. 59, hal 1-16.
Nur, Mohamad & Prima Retno Wikandari. 2000. Pengajaran Berpusat Pada Siswa Dan
Pendekatan Konstruktivis Dalam Pengajaran. Surabaya: UNESA-UNIVERSITY
Press
Pittsburgh, Edward A. Silver. 1997.Fostering Creativity through Instruction Rich in
Mathematical Problem Solving and Problem Posing. Analyses: USA.
Rahmawati, D. T. 2010. Kompetensi Berpikir Kritis Dan Kreatif Dalam Pemecahan Masalah
Matematika di SMP Negeri 2 Malang. On line at
http://ejournal.umm.ac.id/index.php/penmath/article/viewFile/612/634_umm_scientifi
c_journal.pdf. [8 Juli 2012].
Slavin, R. E. 2005. Cooperative Learning. Bandung: Nusa Media.
Sukestiyarno. 2011. Olah Data Penelitian Berbantuan SPSS. Semarang: UNNES Press.

119
Keefektifan Model Pembelajaran Creative Problem Solving Berbantuan
Mathematics Display terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah

Elmy Melani1), Hery Sutarto, Mashuri


Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Semarang
e-mail : 1)elmy8092@yahoo.co.id

Abstract
The purpose of this study is to determine whether (1) the percentage of clasical passing-
grade in students problem-solving ability in tangent line of the circle that used Creative
Problem Solving (CPS) learning model and mathematics display (MD) is more than 75%; (2)
the percentage of classical passing-grade in students problem-solving ability that used CPS
learning model and MD is greater than the percentage of classical passing-grade in
students problem-solving ability that used PBL learning model; (3) the average of students
problem solving ability that used CPS and MD is more than 76; (4) the average of students
problem-solving ability that used CPS and MD is greater than the average of students
problem-solving ability that used PBL. This experimental study was held in SMPN 5
Semarang in the second semester of 2011/2012 school year and all VIII grade students are
the population of the study. By using random sampling technique, two classes are chosen to
be the samples. Based on data analysis, it can be concluded that through CPS learning model
and MD, students can meet the minimum standard of completion for both classical and
individual methods. In addition, the percentage of classical passing-grade by using CPS and
MD is better than the percentage of PBL learning model and the average of students
problem solving ability by using CPS and MD is better than the average of PBL learning
model.

Key words: CPS; mathematics display; PBL; problem-solving ability.

Pendahuluan
Lembaga evaluasi prestasi pendidikan international (IEA) melalui The Trends in
International Mathematics and Science Study (TIMSS) melakukan sebuah penelitian lanjutan
pada tahun 2007 mengenai kemampuan matematika peserta didik kelas 8. TIMSS
menyatakan bahwa prestasi skor matematika peserta didik SMP kelas 8 (usia 14-15 tahun) di
Indonesia jauh dibawah rata-rata skor matematika peserta didik international yakni 397 dari
598 poin dan berada pada ranking 36 dari 48 negara (TIMSS, 2008: 35). Selain itu, lembaga
IEA lain yakni Program for International Student Assesment (PISA) menyatakan bahwa
pada tahun 2003 skor rata-rata kemampuan pemecahan masalah yang dimiliki peserta didik
kelas 8 di Indonesia adalah 357 di bawah skor rata-rata internasional yaitu 501 (Lemke, 2004:
15). Dari kedua lembaga tersebut terlihat bahwa kemampuan peserta didik dalam
bermatematika masih rendah. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru pengampu di salah
satu SMP di kota Semarang, terdapat kendala pada kemampuan pemecahan masalah peserta
didik materi garis singgung lingkaran.
Untuk mengatasi masalah yang dihadapi peserta didik, diperlukan model pembelajaran
yang tepat sehingga kompetensi yang diharapkan dapat tercapai. Salah satu model
pembelajaran yang dapat digunakan adalah Creative Problem Soving (CPS). CPS adalah
model pembelajaran kooperatif yang melakukan pemusatan pada pengajaran dan
keterampilan pemecahan masalah (Pepkin, 2004: 62). Sintaks CPS yang digunakan adalah
sintaks CPS Pepkin yang merupakan perpaduan antara Osborne dan Oech. Tahapan-tahapan
CPS adalah sebagai berikut: (1) klarifikasi Masalah; (2) pengungkapan pendapat; (3) evaluasi
dan pemilihan; dan (4) implementasi. Keberhasilan pembelajaran tidak hanya didukung oleh

120
model pembelajaran yang tepat, tetapi juga media pembelajaran yang baik. Media memegang
peranan yang penting karena dalam proses belajar mengajar media berfungsi untuk
meningkatkan rangsangan peserta didik dalam kegiatan belajar (Azhar, 2004: 91). Salah
satunya melalui mathematics display. Mathematics display dalam penelitian ini adalah nama
lain dari presentasi matematika. Seels dan Glasgow, sebagaimana dikutip oleh Ali (2009: 11),
mengungkapkan presentasi matematika termasuk dalam kategori media teknologi mutakhir.
Melalui pemanfaatan media teknologi mempunyai pengaruh terhadap daya tarik peserta didik
untuk mempelajari kompetensi yang diajarkan dan meningkatkan motivasi belajar siswa.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (a) apakah kemampuan
pemecahan masalah peserta didik pada model pembelajaran CPS berbantuan mathematics
display dapat mencapai ketuntasan belajar sebesar 75%?; (b) apakah persentase peserta didik
yang tuntas terhadap kemampuan pemecahan masalah pada model pembelajaran CPS
berbantuan mathematics display lebih besar dari persentase peserta didik yang tuntas
terhadap kemampuan pemecahan masalah pada model pembelajaran PBL?; (c) apakah
kemampuan pemecahan masalah peserta didik dengan model pembelajaran CPS berbantuan
mathematics display dapat mencapai batas nilai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) mata
pelajaran matematika sebesar 76?; (4) Apakah kemampuan pemecahan masalah peserta didik
dengan model pembelajaran CPS berbantuan mathematics display lebih baik dari kemampuan
pemecahan masalah peserta didik dengan model pembelajaran PBL?
Sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai
berikut: (a) untuk mengetahui apakah kemampuan pemecahan masalah peserta didik dengan
model pembelajaran CPS berbantuan mathematics display dapat mencapai ketuntasan belajar
sebesar 75%; (b) untuk mengetahui apakah persentase peserta didik yang tuntas terhadap
kemampuan pemecahan masalah pada model pembelajaran CPS berbantuan mathematics
display lebih besar dari persentase peserta didik yang tuntas terhadap kemampuan pemecahan
masalah pada model pembelajaran PBL; (c) untuk mengetahui apakah kemampuan
pemecahan masalah peserta didik dengan model pembelajaran CPS berbantuan mathematics
display dapat mencapai batas Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) mata pelajaran
matematika sebesar 76; (d) untuk mengetahui apakah kemampuan pemecahan masalah
peserta didik dengan model pembelajaran CPS berbantuan mathematics display lebih baik
dari kemampuan pemecahan masalah peserta didik dengan model pembelajaran PBL.
Berdasarkan uraian tersebut, dilakukan penelitian tentang Keefektifan Model
Pembelajaran Creative Problem Solving Berbantuan Mathematics Display Terhadap
Kemampuan Pemecahan Masalah.

Metode
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh peserta didik kelas VIII SMP Negeri 5
Semarang semester II tahun ajaran 2011/2012. Dengan menggunakan teknik simple random
sampling (Sugiyono, 2010: 64) diperoleh sampel yakni peserta didik kelas VIIIC dan VIIID
yang masing-masing kelas terdiri dari 23 peserta didik. Kelas VIIIC sebagai kelas kontrol
yang menerapkan model pembelajaran PBL dan kelas VIIID sebagai kelas eksperimen yang
menerapkan model pembelajaran CPS berbantuan mathematics display. Variabel dalam
penelitian ini dibedakan menjadi 2 yaitu, (1) variabel bebas, yakni model pembelajaran PBL
dan CPS; (2) variabel terikat, yakni kemampuan pemecahan masalah. Desain penelitian
eksperimen ini menggunakan bentuk pre-experimental design.
Untuk menganalisis hasil penelitian dibutuhkan metode dokumentasi dan metode tes.
Metode dokumentasi dilakukan dengan mengumpulkan data mengenai hasil ulangan materi
sebelumnya yang selanjutnya akan dilakukan uji normalitas, uji homogenitas, dan uji
kesamaan rata-rata. Metode tes digunakan untuk mengambil data pada kelas sampel setelah
diberikan perlakuan. Soal yang digunakan untuk metode tes dilakukan uji coba instrumen

121
terlebih dahulu, antara lain uji validitas soal butir test (Arikunto, 2012: 72), uji reliabilitas
(Arikunto, 2012: 109), uji taraf kesukaran (Rudyatmi & Rusilowati, 2010: 83) dan uji daya
pembeda (Zulaeha, 2007: 26).
Selanjutnya pada hasil tes (ulangan) dilakukan uji normalitas, uji homogenitas dan uji
hipotesis. Uji hipotesis yang digunakan untuk uji hipotesis 1 adalah uji proporsi pihak kiri, uji
hipotesis 2 adalah uji perbedaan dua proporsi, uji hipotesis 3 adalah uji rata-rata pihak kanan,
dan uji hipotesis 4 adalah uji perbedaan dua rata-rata (Sugiyono, 2010: 88).

Hasil
Analisis awal data yang diperoleh dari nilai ulangan materi sebelumnya, dilakukan uji
normalitas, uji homogenitas, dan uji kesamaan rata-rata.

Tabel 1. Ringkasan Analisis Awal


Kelas Eksperimen Kelas Kontrol
tabel 5,9915 ; hitung 5,0417 tabel 5,9915 ; hitung = 3,6153
Uji Normalitas 2 2 2 2

Uji Homogenitas F0,025(22,22) = 2,3579; Fhitung = 2,12.


Uji Kesamaan t(0.975)(44) = 2,015; thitung = 1,22
Rata-rata

Untuk uji normalitas menggunakan uji normalitas Chi-Kuadrat dan disimpulkan kedua
data kelas eksperimen dan kelas kontrol berasal dari data yang berdistribusi normal. Uji
homogenitas menggunakan uji F dan diperoleh kedua data yang digunakan berasal dari
populasi yang homogen. Karena data tersebut normal dan homogen maka uji statistik yang
digunakan untuk uji kesamaan rata-rata adalah uji t. Dan diperoleh kesimpulan, rata-rata hasil
belajar kelas eksperimen sama dengan rata-rata hasil belajar kelas control.
Analisis data akhir yang diperoleh dari nilai ulangan kemampuan pemecahan
masalah adalah sebagai berikut.

Tabel 2 Ringkasan Analisis Akhir


Kelas Eksperimen Kelas Kontrol
Uji Normalitas nilai signifikansi 0,2535 nilai signifikansi 0,291
Uji Homogenitas F0,025(22,22) = 2,3579 ; Fhitung = 1,21
Uji Hipotesis 1 z(0,45) = 1,64; zhitung = 0,8427
Uji Hipotesis 2 z(0,45) = 1,64 ; zhitung = 3,8481
Uji Hipotesis 3 t(1-0,05) = 2,0739; thitung = 2,8991
Uji Hipotesis 4 t(1-0,05) = 2,02; thitung = 4,24

Uji normalitas pada analisis data akhir menggunakan SPSS 16 dan disimpulkan kedua
data kelas eksperimen dan kelas kontrol berasal dari data yang berdistribusi normal. Uji
homogenitas menggunakan uji F dan diperoleh kedua data yang digunakan berasal dari
populasi yang homogen. Uji hipotesis 1 menggunakan uji proporsi satu pihak kiri dengan
kriteria tolak Ho jika zhitung 1,64 . Karena zhitung berada pada daerah penerimaan Ho, maka
Ho diterima. Hal ini dapat disimpulkan persentase ketuntasan peserta didik yang dikenai model
pembelajaran CPS berbantuan mathematics display mencapai 75%. Uji hipotesis 2
menggunakan uji kesamaan dua proporsi satu pihak kanan dengan kriteria tolak Ho jika
z hitung z (0,5 ) . Harga zhitung = 3,8481 lebih dari z(0,45) = 1,64. Maka Ho ditolak. Artinya H1
diterima. Dapat disimpulkan persentase ketuntasan belajar peserta didik kelas eksperimen lebih dari
kelas kontrol. Uji hipotesis 3 menggunakan uji rata-rata satu pihak kanan dengan kriteria tolak

122
Ho jika t hitung t (1 ) . Harga t hitung 2,8991 dan terletak pada daerah penolakan Ho. Jadi
hipotesis Ho ditolak. Artinya H1 diterima. Dapat disimpulkan rata-rata kemampuan
pemecahan masalah peserta didik kelas eksperimen lebih dari 76. Uji hipotesis 4
menggunakan uji kesamaan dua rata-rata satu pihak kanan dengan kriteria tolak Ho jika
t hitung t (1 ) . Penelitian memberikan harga t hitung 4,24 dan terletak pada daerah penolakan
Ho. Jadi hipotesis Ho ditolak. Artinya H1 diterima. Dapat disimpulkan rata-rata kemampuan
pemecahan masalah peserta didik dengan model pembelajaran CPS berbantuan mathematics
display lebih dari rata-rata kemampuan pemecahan masalah peserta didik pada pembelajaran
PBL.
Terdapat hal yang menarik bagi peneliti untuk menampilkan hasil pekerjaan peserta
didik. Salah satu permasalahan yang dipaparkan adalah sebagai berikut.
Pada soal nomor 2, peserta didik diminta untuk menentukan panjang tali busur AB.
Diketahui M adalah pusat lingkaran dan OA, OB adalah ruas garis singgung lingkaran.
Panjang ruas garis MO adalah 50 cm dan panjang garis singgung OB adalah 40. Berikut
adalah sebagian hasil pekerjaan peserta didik kelas eksperimen.

Gambar 1 Soal Nomor 2

Gambar 2 Hasil Pekerjaan Peserta Didik Kelas Eksperimen

Gambar 3 Hasil Pekerjaan Peserta Didik Kelas Eksperimen

Dari hasil pekerjaan peserta didik yang ditampilkan, diketahui bahwa tingkat pemikiran
peserta didik pada kelas eksperimen lebih luas. Terbukti peneliti menemukan dua strategi
untuk menentukan panjang tali busur. Pada gambar 2 peserta didik sudah mampu

123
menentukan panjang jari-jari lingkaran tanpa melakukan perhitungan. Kemudian peserta
didik menentukan luas segitiga MAO dan sebagai alas adalah MA dan tinggi OA. Dengan
menggunakan luas segitiga yang sama yakni luas segitiga MAO, peserta didik menentukan
tinggi segitiga yakni AC dan alas MO. Langkah terakhir, peserta didik mengalikan dua
panjang AC sehingga didapat panjang tali busur AB. Sedangkan pada gambar 3, setelah
peserta didik menentukan panjang jari-jari lingkaran dan menentukan luas segitiga MAO,
peserta didik menggunakan prinsip luas layang-layang untuk menentukan panjang tali busur.
Jawaban yang ditampilkan oleh peserta didik tidak hanya satu tetapi dua alternatif
solusi untuk menentukan panjang tali busur. Peserta didik telah menggunakan pengetahuan
yang telah mereka peroleh sebelumnya yakni luas segitiga dan luas layang-layang. Hal ini
telah sesuai dengan tujuan pembelajaran CPS bahwa tidak hanya satu solusi tetapi lebih dari
satu solusi yang mungkin dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah.
Seperti halnya pada kelas eksperimen, di kelas kontrol peneliti menemukan hasil
pekerjaan peserta didik yang menarik. Masih dengan soal yang sama yakni menentukan
panjang tali busur AB. Berikut hasil pekerjaan peserta didik kelas kontrol.

Gambar 4 Hasil Pekerjaan Peserta Didik Kelas Kontrol

Berbeda dengan jawaban yang diberikan oleh beberapa peserta didik pada kelas
eksperimen yang memberikan alternatif jawaban untuk menentukan panjang tali busur AB,
peserta didik kelas kontrol hanya menampilkan satu alternatif saja. Hal ini menggambarkan
bahwa kemampuan peserta didik kelas kontrol kurang berkembang. Pada evaluasi akhir,
peserta didik di kelas eksperimen hanya mampu menampilkan dua alternatif jawaban soal
nomor 2 dan benar. Sedangkan di kelas kontrol, peserta didik tidak memuculkan alternatif
jawaban.
Berdasarkan hasil analisis data melalui uji statistik dapat memberikan gambaran bahwa
pembelajaran dengan model pembelajaran CPS berbantuan mathematics display memberikan
hasil yang lebih baik dalam kemampuan pemecahan masalah daripada model pembelajaran
PBL. Hal-hal yang menyebabkan adanya perbedaan persentase dan rata-rata kemampuan
pemecahan masalah peserta didik yang mendapat perlakuan model pembelajaran CPS
berbantuan mathematics display dengan peserta didik yang mendapat perlakuan model
pembelajaran PBL adalah sebagai berikut: (1) pada model pembelajaran CPS berbantuan
mathematics display, guru menyediakan pengalaman belajar yang dirancang dalam bentuk
kelas yang membantu peserta didik dalam memahami materi dan membangun
pengetahuannya sendiri dengan bimbingan guru. Akibatnya, peserta didik lebih mudah
mengingat materi yang telah dipelajari. Hal ini didukung dengan pernyataan Treffinger
(2005: 342) bahwa CPS dapat digunakan untuk memilih dan mengembangkan solusi dari
permasalahan, bukan dengan mengingat dan menghafal. Di awal model pembelajaran PBL,

124
peserta didik cenderung pasif dalam menerima materi, sehingga kemampuan peserta didik
dalam memahami materi sangat bergantung pada kemampuan individu; (2) melalui
mathematics display, pembelajaran menjadi lebih menarik sehingga peserta didik menjadi
semangat dan termotivasi dalam kegiatan belajar mengajar. Indikator meningkatnya semangat
siswa tersebut adalah keaktifan peserta didik dalam menyampaikan pendapat, hasil diskusi,
dan menangggapi pendapat temannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Azhar (2004: 91)
bahwa media dapat meningkatkan minat peserta didik dan mampu menciptakan kondisi kelas
dengan tingkat aktifitas dan motivasi peserta didik yang tinggi. Pada model pembelajaran
PBL, pembelajaran cenderung kurang membuat peserta didik aktif dalam menyampaikan
gagasan. Proses bertanya pun juga hanya akan didominasi oleh beberapa peserta didik yang
memiliki keberanian cukup besar untuk menyampaikan pertanyaan atau menjawab
pertanyaan guru; dan (3) penerapan model pembelajaran CPS berbantuan mathematics
display dapat membuat peserta didik lebih berpikir secara aktif melalui proses memilih dan
mengevaluasi solusi-solusi yang telah diungkapkan untuk menyelesaikan masalah yang
dihadapi. Pada model pembelajaran PBL, peserta didik menyelesaikan masalah yang dihadapi
secara kelompok dan tidak direpresentasikan di depan kelas. Sehingga peserta didik tidak
mengetahui adanya kemungkinan-kemungkinan solusi lain untuk menyelesaikan masalah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah peserta
didik SMP yang memperoleh model pembelajaran CPS berbantuan matematics display lebih
baik dibandingkan model pembelajaran PBL. Secara umum, penerapan model pembelajaran
CPS berbantuan mathematics display dan model pembelajaran PBL dapat terlaksana dengan
baik sesuai dengan Lesson Plan yang telah disusun. Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh
guru adalah sebagai berikut; (1) saling ketergantungan positif antarpeserta didik, artinya
masing-masing anggota kelas harus merasa saling membutuhkan dalam menyelesaikan
tugas/masalah dari guru. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat kreatif dalam memberikan
tugas yang dapat didistribusi secara merata kepada tiap anggota kelas; (2) kemampuan
individu, artinya setiap individu dalam anggota kelas haruslah memiliki tanggung jawab dan
mau berpartisipasi aktif dalam menyelesaikan tugas guru demi kesuksesan kelas; (3) tatap
muka, artinya tempat duduk tiap anggota suatu kelas diatur sedemikian rupa sehingga setiap
anggota kelas dapat saling bertatap muka secara bebas; (4) kemampuan komunikasi dalam
kelas, yang artinya siswa hendaknya mampu berkomunikasi dalam kelas dengan saling
percaya, frekuensi diskusi yang tinggi, mampu menerima pendapat anggota lain dan
menghindari konflik dengan menyelesaikan perbedaan pendapat secara bijaksana; (5)
evaluasi proses kelas, yang artinya guru selalu memantau dan menilai kinerja kelas dan hasil
kerja kelas; dan (6) pengorganisasian waktu pembelajaran hendaknya dilakukan dengan
efektif dan efisien.

Penutup
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
(1) kemampuan pemecahan masalah peserta didik pada model pembelajaran CPS berbantuan
mathematics display dapat mencapai ketuntasan belajar sebesar 75%; (2) persentase peserta
didik yang tuntas terhadap kemampuan pemecahan masalah pada model pembelajaran CPS
berbantuan mathematics display lebih besar dari persentase peserta didik yang tuntas
terhadap kemampuan pemecahan masalah pada model pembelajaran PBL; (3) kemampuan
pemecahan masalah peserta didik dengan model pembelajaran CPS berbantuan mathematics
display dapat mencapai batas nilai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) mata pelajaran
matematika sebesar 76; (4) kemampuan pemecahan masalah peserta didik dengan model
pembelajaran CPS berbantuan mathematics display lebih baik dari kemampuan pemecahan
masalah peserta didik dengan model pembelajaran PBL.

125
Daftar Pustaka

Ali, M. 2009. Pengembangan Media Pembelajaran Interaktif mata Kuliah Medan


Elektromagnetik. Jurnal Edukasi@Elektro, Maret 2008, 5(1): 11-18. Diunduh di
http://journal.uny.ac.id/index.php/jee/article/viewFile/348/250 tanggal 08 Maret 2012.
Arikunto, S. 2011. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: PT Bumi
Aksara.
Azhar, A. 2004. Media Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Lemke, M., et all. 2004. International Outcomes of Learning in Mathematics Literacy and
Problem Solving: PISA 2003 Result From the U.S Prespective. Washington DC:
National Center for Education Statistics, Institute of Education Sciences, US
Department of Education. Diunduh di
http://nces.ed.gov/2004/download/PISAproblemsolving.pdf tanggal 10 Mei 2012.
Pepkin, K.L. 2004. Creative Problem Solving in Math.
Rudyatmi, E. & A. Rusilowati. 2010. Evaluasi Pembelajaran. Semarang: FMIPA Universitas
Negeri Semarang.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta.
TIMSS. 2008. TIMSS 2007 International Mathematics Report. Boston: TIMSS & PIRLS
International Study Center, Lynch School of Education, Boston College. Diunduh di
http://timssandpirls.bc.edu/timss2007/downloads/
TIMSS2007_InternationalMathematicsReport.pdf tanggal 10 Mei 2012.
Zulaeha, R. 2007. Analisis Butir Soal Secara Manual. Jakarta: Pusat Penilaian Pendidikan
Balitbang Depdiknas.

126
Pembelajaran Bertema dengan Model Project Based Learning
pada Materi Lingkaran

Erni Widiyastuti*), Arief Agoestanto, Rochmad


Mahasiswa Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Semarang Indonesia
e-mail: nasya_say@yahoo.co.id

Abstract
This study is an experiment research aiming to find students learning outcome using theme-
based learning with PBL model is satisfied the class examiner; to find out whether the
students learning outcome using theme-based learning with PBL model is better that the
students learning outcome using expository model; whether studentscreativity taught using
theme-based learning with PBL model increase or not; and how creativity influence the
students learning outcome using theme-based learning with PBL model. The population of
this study is the eight grade students of SMP N 1 Rembang. By using cluster random
sampling technique, two classes are selected to be the sample; they are VIII C and VIII G.
The final data collection of learning outcome and creativity is carried out using test method.
Techniques of data analysis using the z-test, t-test, test-gain, and regression analysis.Based
on the finding, it can be concluded that students learning outcome using theme-based
learning with PBL model is satisfied the class examiner; the average of students learning
outcome using theme-based learning with PBL model is better that the average of students
learning outcome using expository model; the students creativity taught using theme-based
learning with PBL model increases; and there is a positive relationship between creativity
with the students learning outcome using themebased learning with PBL model. This case
means that the higher students creativity, the higher their learning outcome; and otherwise.

Key words: creativity; increases; influences ; learning outcome; theme-based learning with
PBL model.

Pendahuluan
Menurut Trianto (2010: 7) seseorang dikatakan belajar apabila telah terjadi perubahan
tingkah laku karena adanya pengalaman yang didapatnya dari suatu masalah yang
dihadapinya. Dengan kata lain siswa dapat belajar dari suatu masalah. Masalah tersebut dapat
dikemas dalam sebuah tema yang dapat menghubungkan dengan mata pelajaran yang lain
sehingga akan memberikan pengalaman yang bermakna bagi siswa. Pembelajaran bertema
juga mencakup penekanan pada proyek. Proyek yang dimaksudkan dalam hal ini dapat siswa
diberikan suatu permasalahan dengan hasil berupa produk. Proyek ini bertujuan untuk
membangun sendiri pengetahuan siswa dengan sendirinya. Pembelajaran yang dalam
prosenya diberikan suatu permasalahan dengan hasil suatu produk inilah yang disebut sebagai
pembelajaran berbasis proyek (project based learning).
Project based learning (PBL) memberikan kesempatan pada siswa untuk berdiskusi dan
menemukan sendiri jawaban dari permasalahan yang mereka cari (Turgut, 2008: 62).
Thomas, Meregendoller, dan Michaelson (1999) dalam Turgut (2008) mendeskripsikan
bahwa proyek dalam PBL berdasarkan pertanyaan yang menjadi tantangan siswa, mereka
dibuat sebagai peran utama dalam desain proyek, pemecahan masalah, pembuat keputusan
dalam proses pencarian solusi sehingga murid mempunyai kesempatan untuk mengerjakan
menurut pendapatnya sendiri. Pembelajaran dengan model PBL diharapkan dapat
meningkatkan student center dan mengurangi teacher center.
Salah satu ciri dari model PBL adalah melibatkan para siswa dalam masalah-masalah
yang kompleks berkaitan dengan dunia nyata (Muliawati, 2011: 10). Seperti yang
diungkapkan oleh Cord dalam (Rais, 2010: 247) PBL menekankan belajar kontekstual

127
melalui kegiatan-kegiatan yang kompleks. Pemberian penugasan yang menuntut siswa aktif
akan membuat siswa lebih paham dengan permasalahan yang diberikan padanya. Hal ini
ditegaskan oleh Cord dan Waras dalam (Rais, 2010: 246) bahwa pengetahuan dan
ketermapilan yang kuat dan bermakna-guna (meaningful-use) dapat dibangun melalui tugas-
tugas dan pekerjaan yang otentik. Penugasan tersebut akan menyenangkan dan mudah diingat
jika berhubungan langsung dengan lingkungan di sekitarnya dan menyangkut suatu tema
tertentu yang menarik, relevan, dan memperkuat pengetahuan siswa.
PBL menuntut keterampilan siswa dalam menyelesaikan suatu proyek (Muliawati,
2011: 10). Keterampilan tersebut digunakan untuk menciptakan atau menemukan pemecahan
suatu masalah yang belum pernah dikerjakannya sebelumnya dengan mengingat kembali
pengetahuan yang telah dimiliki oleh siswa. Proses penemuan tersebut merupakan salah satu
kreativitas yang ditunjukan oleh siswa. Seperti yang diungkapkan oleh Guilford 3 dalam
(Munandar, 2004: 7) bahwa penelitian dalam bidang kreativitas sangat kurang. Oleh karena
itu perlu kiranya mengadakan penelitian yang menyangkut tentang kraetivitas siswa.
Clark Moustakis dalam (Munandar, 2004: 18) mengatakan bahwa kreativitas
merupakan pengalaman mengekspresikan dan mengaktualisasikan identitas dirinya dengan
diri sendiri, lingkungan sekitar, maupun dengan orang lain. Kreativitas juga dinilai
bagaimana kelancaran, keluwesan, keaslian, dan merinci suatu masalah atau proyek yang
dihadapi (Mariati, 2009: 764).
SMP Negeri 1 Rembang merupakan salah satu sekolah negeri yang terletak di Jl. Gajah
Mada No.3 Kabupaten Rembang. Setelah dilakukan observasi dengan memberikan soal yang
memenuhi indikator kraetivitas, dari 36 siswa di kelas tersebut tidak ditemukan siswa yang
menjawab dengan benar soal tersebut. Dari hasil tes tersebut, kreativitas siswa SMP Negeri 1
Rembang dapat dikatakan dalam kategori kurang sehingga perlu ditingkatkan lagi
kreativitasnya.
Permasalahan pada penelitian ini adalah (1) apakah hasil belajar siswa menggunakan
pembelajaran bertema dengan model PBL tuntas secara klasikal (2) apakah hasil belajar
siswa menggunakan pembelajaran bertema dengan model PBL lebih baik daripada hasil
belajar siswa menggunakan model ekspositori? (3) apakah kreativitas siswa yang diajar
menggunakan pembelajaran bertema dengan model PBL meningkat atau tidak, dan (4)
apakah kreativitas berpengaruh positif terhadap hasil belajar siswa pada pembelajaran
bertema dengan model PBL? Tujuan penelitian ini adalah (1) mengetahui apakah hasil belajar
siswa menggunakan pembelajaran bertema dengan model PBL tuntas secara klasikal (2)
mengetahui apakah hasil belajar siswa menggunakan pembelajaran bertema dengan model
PBL lebih baik daripada hasil belajar siswa menggunakan model ekspositori, (3) apakah
kreativitas siswa yang diajar menggunakan pembelajaran bertema dengan model PBL
meningkat atau tidak, dan (4) apakah kreativitas berpengaruh positif terhadap hasil belajar
siswa pada pembelajaran bertema dengan model PBL.

Metode
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimen.
Materi pokok yang diajarkan pada penelitian ini yakni materi pokok lingkaran.
1. Desain Penelitian
Secara umum, desain penelitian dapat diskemakan sebagai berikut.
E : O1 O2 O3
P : O1 O2 O3
Keterangan:
E = simbol untuk kelompok eksperimen
P = simbol untuk kelompok pembanding
O1 = pre-test

128
O2 = post-test
O3 = tes hasil belajar
(Arikunto, 2007: 210)
2. Teknik Pengambilan Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII semester 2 SMP Negeri 1
Rembang tahun pelajaran 2011/2012. Secara keseluruhan, populasi terdiri dari 281 siswa
yang terbagi menjadi 8 kelas, yakni kelas VIII A, VIII B, VIII C, VIII D, VIII E, VIII F, VIII
G dan VIII H. Sampel dalam penelitian ini diambil dengan teknik Cluster Random Sampling
(Sukardi, 2005). Hal ini dilakukan setelah memperhatikan ciri-ciri antara lain siswa mendapat
materi berdasar kurikulum yang sama, siswa diampu oleh guru yang sama, waktu yang
diberikan juga sama, dan siswa yang menjadi objek penelitian duduk pada kelas yang sama.
3. Variabel yang Akan Diukur
Variabel pada hipotesis pertama adalah adalah nilai hasil belajar siswa. Variabel pada
hipotesis kedua adalah adalah nilai hasil belajar siswa. Variabel pada hipotesis ketiga adalah
nilai kreativitas siswa pada pembelajaran bertema dengan model project based learning.
Variabel bebas pada hipotesis keempat adalah nilai kreativitas siswa pada pembelajaran
bertema dengan model project based learning. Variebel terikat pada hipotesis keempat adalah
nilai hasil belajar siswa pada pembelajaran bertema dengan model project based learning.
4. Teknik Pengambilan Data
Teknik pengambilan data dalam penelitian ini yakni dengan metode tes. Metode tes
digunakan untuk memperoleh data tentang hasil belajar siswa dan kreativitas siswa pada
materi lingkaran. Soal tes ini dalam bentuk uraian. Teknik tes hasil belajar dilakukan setelah
perlakuan diberikan kepada kelas eksperimen dan kelas kontrol dengan tujuan mendapatkan
data akhir. Sedangkan tes kreativitas diberikan sebelum dan sesudah perlakuan diberikan
kepada kelas eksperimen dan kelas kontrol berupa pre-test dan post-test. Tes diberikan
kepada kedua kelas dengan alat tes yang sama dan hasil pengolahan data digunakan untuk
menguji hipotesis penelitian.

Hasil
Berdasarkan uji normalitas data nilai hasil belajar hitung adalah 9,603091031
sedangkan dari tabel dengan dk = 5 dan = 0,05 didapatkan tabel adalah 11,07049775.
hitung < tabel sehingga dapat disimpulkan bahwa data hasil belajar siswa berdistribusi
normal. Berdasarkan uji homogenitas didapat F-hitung sebesar 1,6683 sedangkan dari daftar
distribusi F dengan = 0,05 dan dk pembilang adalah 35, serta dk penyebut 35 didapat
F0,05(35,35) = 1,7571. F-hitung < F-tabel sehingga dapat disimpulkan nilai hasil belajar kelas
eksperimen dan kelas kontrol mempunyai varians yang homogen.
Berdasarkan uji proporsi dengan menggunakan uji-z didapatkan z-hitung 1,6487
sedangkan dari daftar distribusi z dengan peluang 0,45 didapatkan z0,45=1,64. z-hitung > z
tabel sehingga dapat disimpulkan nilai hasil belajar siswa tuntas secara klasikal. Berdasarkan
uji kesamaan dua rata-rata diperoleh t-hitung adalah 2,8964 sedangkan dari daftar distribusi t
dengan peluang 0,95 dan dk 70 didapat t0,95 = 1,9944. t-hitung > t-tabel sehingga dapat
disimpulkan rata-rata hasil belajar siswa kelas eksperimen lebih baik dari pada kelas kontrol.
Berdasarkan uji gain diperoleh nilai t-hitung =7,8331 dan dari daftar distribusi t dengan
peluang 0,95 dan dk 35 didapat t0,95= 2,0301. t-hitung > t-tabel sehingga dapat disimpulkan
terdapat perbedaan yang signifikan antara pre-test dan post-test siswa pada kelas eksperimen.
Berdasarkan analisis regresi diperoleh model regresi dari permasalahan adalah = 49,6582 +
0,4762 X. Berdasarkan uji keberartian regresi didapat F-hitung = 18,748 dan dari daftar
distribusi F dengan = 0,05 jika dk pembilang 1 dan dk
penyebut 34 maka diperoleh F-tabel = 4,13. F-hitung > F-tabel sehingga dapat disimpulkan
bahwa regresi berarti, yaitu dalam hubungan linier nilai kreativitas dapat dipakai untuk

129
meramalkan nilai hasil belajar. Korelasi yang positif antara kreativitas dan hasil belajar
ditunjukkan dengan harga koefisien korelasi sebesar +0,596. Koefisien determinasi sebesar
0,3554 artinya, kreativitas memberikan kontribusi terhadap hasil belajar sebesar 35,54%.

Pembahasan
Pembelajaran pada kelas eksperimen menggunakan pembelajaran bertema denganmodel
Project Based Learning yang siswa belajar secara kontekstual. Pembelajaran yang dilakukan
bukan hanya di dalam ruangan kelas, pembelajaran juga dilakukan di luar ruangan kelas yaitu
di area parkir sepeda SMP Negeri 1 Rembang. Proyek dalam pembelajaran ini dirancang agar
dapat melatih siswa dalam berpikir kritis, kreatif, rasional, dan dapat meningkatkan
pemahaman terhadap materi yang diajarkan serta memberikan pengalaman nyata kepada
siswa (Susanti, 2008: 110).
Instruksi proyek yang dikerjakan oleh siswa telah dijelaskan pada LKS (Lembar Kerja
Siswa) yang telah diberikan kepada masing-masing kelompok. Kelompok-kelompok dibagi
secara heterogen. Setelah mereka selesai mengerjakan proyek beserta laporannya, guru
memberikan kesempatan kepada salah satu kelompok untuk mendemonstrasikan hasil
kerjanya dengan rekan sekelompoknya. Diskusi berjalan dengan baik, siswa saling bertanya
dan menjawab. Dari hasil proyek dan diskusi yang mereka lakukan, mereka dapat menarik
kesimpulan dari materi yang dipelajari dengan sendirinya. Jadi pembelajaran bukan hanya
mementingkan hasil akhir saja, tapi proses mendapatkannya pun sangat penting.
Pada pertemuan pertama, siswa pada kelas eksperimen masih terlihat bingung dengan
model pembelajaran yang diterapkan namun pada pertemuan-pertemuan selanjutnya siswa
telah dapat meneyesuaikan diri dengan pembelajaran yang diterapkan. Siswa harus aktif dan
kreatif dalam menemukan rumus yang akan dicari, peran guru juga tetap penting dalam
membimbing siswa menemukan suatu yang baru. Dalam hal ini siswalah sebagai pusat
pembelajaran, guru hanya sebagai fasilitator dan motivator (Susanti, 2008: 110).
Pada kelas kontrol diberikan pembelajaran ekspositori. Pembelajaran ekspositori lebih
menekankan pada guru sebagai pemberi informasi. Siswa pada kelas kontrol tidak diberikan
proyek dan diskusi kelompok seperti pada kelas eksperimen, jadi materi yang didapatkannya
berasal dari guru bukan atas penemuan mereka sendiri. Kelas kontrol digunakan sebagai
pembanding dengan kelas eksperimen, sehingga akan diperoleh model pembelajaran yang
lebih baik.
Penelitian yang mendukung model project based learning berpengaruh terhadap hasil
belajar diungkapkan oleh Thomas (2000) bahwa project based learning menekankan
pendidikan yang memberika peluang pada sistem pembelajaran yang siswa sebagai pusatnya,
kolaboratif, dan mengintegrasikan masalah-masalah nyata dan praktis, pengajarannya efektif
dalam membangun pengetahuan dan kreativitas siswa. Oleh karena itu, dalam penelitian ini
tidak hanya mencari tahu apakah hasil belajar siswa saja yang meningkat, tapi apakah
kreativitas siswa juga akan meningkat.
Penelitian lain yang mendukung adalah Rais (2010) yang menyatakan bahwa project
based learning menyediakan lingkungan yang kondusif untuk belajar dan membantu
meningkatkan keterampilan siswa sesuai dengan ciri belajar konstruktivis. Rais (2010)
menegaskan bahwa project based learning memberikan ruang gerak bagi siswa untuk
berkreasi dan melakukan kerja proyek dalam usaha menemukan informasi atau ilmu baru dari
berbagai sumber dan alam sekitar. Penelitian lain juga dilakukan oleh Hutasuhut (2010) yang
menyebutkan bahwa penerapan model project based learning dapat meningkatkan hasil
belajar, yang dalam penelitian ini adalah hasil belajar mata kuliah Pengantar Ekonomi
Pembangunan mahasiswa jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Medan.
Setelah kedua kelas diberi perlakuan yang berbeda, nilai hasil belajar dari kedua kelas
sampel tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut.

130
Tabel 1 Rata-rata Nilai Hasil Belajar Matematika
No Kelas Rata-rata nilai hasil belajar
matematika
1 Eksperimen 75,083
2 Kontrol 69,583

Dari hasil uji rata-rata, rata-rata kelas eksperimen telah mencapai ketuntasan ninimal
yaitu 70 dan 85% siswa telah mencapai KKM tersebut.
Dari hasil tes kreativitas yang dilakukan pada kelas ekperimen, didapatkan nilai pretest
ke post-test sebagai berikut.

Tabel 2 Rata-rata Nilai Hasil Belajar Matematika


No Kelas Rata-rata Nilai Kreativitas
Matematika
1 Pre-test 39,41667
2 Post-test 53,38889

Nilai hasil tes kreativitas pun meningkat signifikan dari pre-test ke post-test. Hal ini
menunjukkan bahwa pembelajaran bertema dengan model project based learning dapat
meningkatkan kreativitas siswa SMP Negeri 1 Rembang kelas VIII C. Dari hasil penelitian
yang telah dilakukan diketahui bahwa hipotesis nol (H0) ditolak dan hipotesis alternative (H1)
diterima. Artinya, terdapat korelasi yang positif antara kreativitas dengan hasil belajar siswa
kelas VIII C SMPN 1 Rembang. Besarnya korelasi antara kreativitas dengan hasil belajar
yaitu +0,596. Nilai positif (+) di depan koefisien korelasi menunjukkan bahwa adanya
hubungan linear sempurna langsung antara X dan Y. Jadi nilai X yang besar berpasangan
dengan nilai Y yang besar, sedangkan nilai X yang kecil berpasangan dengan nilai Y yang
kecil pula (Sudjana, 2002: 369).
Penelitian ini menunjukkan bahwa kreativitas memberikan kontribusi terhadap
pencapaian hasil belajar siswa kelas VIII C SMPN 1 Rembang sebesar 35,54%. Penelitian
yang mendukung adalah Nurdin (2006) yang menyatakan bahwa kreativitas belajar
matematika berpengaruh positif terhadap hasil belajar matematika siswa kelas XI-IPA SMA
Negeri 3 Makasar. Penelitian lain yang dilakukan oleh Maher (2004) merancang agar hasil
belajar dapat mendorong kreativitas siswa dalam penilaian tugas.
Berdasarkan kendala-kendala yang peneliti hadapi, maka hal-hal yang harus
ditingkatkan oleh guru sebagai pengajar atau peneliti lain agar hasilnya dapat lebih optimal
antara lain guru harus mempersiapkan pembelajaran dengan matang, meliputi Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang sesuai dengan karakteristik model pembelajaran yang
bersangkutan, mempersiapkan LKS, ataupun media yang lain yang dapat mendukung
pembelajaran dan guru harus memperhatikan efektivitas dan efisiensi waktu yang diperlukan
untuk menerapkan model pembelajaran. Selain itu kreativitas guru juga sangat diperlukan
untuk memotivasi siswa, mengorganisasi siswa dalam kelompok, memilih permasalahan-
permasalahan atau pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, dan mendorong siswa untuk aktif
dan kreatif dalam mengemukakan gagasan. Dengan menerapkan pembelajaran bertema
dengan model project based learning diharapkan pembelajaran akan efektif, serta dengan
persiapan pembelajaran yang matang akan memungkinkan pencapaian proses belajar dan
hasil yang lebih baik.

131
Penutup
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa hasil belajar siswa pada kelas
dengan pembelajaran bertema dengan model project based learning tuntas secara klasikal,
rata-rata hasil belajar siswa pada kelas dengan pembelajaran bertema dengan model project
based learning lebih baik dari pada rata-rata hasil belajar siswa pada kelas dengan
pembelajaran ekspositori. Kreativitas yang ditunjukkan oleh siswa pada kelas dengan
pembelajaran bertema dengan model project based learning meningkat dilihat dari nilai pre-
test dan post-test. Terdapat hubungan yang positif antara kreativitas dengan hasil belajar
siswa pada kelas VIII SMP Negeri 1 Rembang dalam pembelajaran bertema dengan model
project based learning. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi kreativitas siswa, maka hasil
belajarnya akan semakin tinggi, sebaliknya semakin rendah kreativitas siswa, maka hasil
belajarnya pun akan semakin rendah.

Daftar Pustaka

Arifin, Z. 2011. Evaluasi Instruksional Prinsip-Teknik Prosedur. Bandung: PT Remaja


Rosdakarya.
Arikunto, S. 2009. Dasar Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Hutasuhut, S. 2010. Implementasi Pembelajaran Berbasis Proyek (Project-Based Learning)
Untuk Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar Mata Kuliah Pengantar Ekonomi
Pembangunan Pada Jurusan Manajemen FE UNIMED. Pekbis Jurnal, Vol. 2, No.1.
Maher, A. 2004. Learning Outcomes in Higher Education: Implications for Curriculum
Design and Student Learning. Journal of Hospitallity, Leisure, Sport and Tourism
Education, Vol.3, No.2.
Mariati. 2006. Pengembangan Kreativitas Siswa melalui Pertanyaan Divergen pada Mata
Pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan No 063.
Muliawati, L. 2010. Meningkatkan Berpikir Kritis Siswa SMP Menggunakan Pembelajaran
dengan Model Project Based Learning. Skripsi Universitas Pendidikan Indonesia.
Munandar, U. 2004. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Rineka Cipta.
Nurdin. 2006. Pengaruh Variabel-variabel Kognitif terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa
Kelas XI-IPA SMA Negeri 3 Makassar. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan,No.063.
Rais, M. 2010. Model Project Based-Learning Sebagai Upaya Meningkatkan Prestasi
Akademik Mahasiswa. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran, Jilid 43, No.3.
Sudjana. 2002. Metode Statistika. Bandung: Tarsito. Sukardi. 2005. Metodologi Penelitian
Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya. Yogyakarta: PT Bumi Aksara.
Thomas, J. W. (2000). A Review of Research on Project-based Learning, (online),
(http://www.bie.org/research/study/review_of_project_based_learning_2000, diakses
tanggal 29 July 2012)
Trianto. 2010. Mengembangkan Model Pembelajaran Tematik. Surabaya: Prestasi Pustaka.
Turgut, H. 2008. Prospective Science Teachers Conceptualizations

132
Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematik Siswa SMA Melalui
Pembelajaran Menggunakan Tugas Bentuk Superitem

Eyus Sudihartinih,
e-mail: eyus_sudih4rtinih@yahoo.co.id

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menelaah peningkatan penalaran matematik siswa yang
pembelajarannya dengan menggunakan teknik SOLO/Superitem bila dibandingkan dengan
pembelajaran konvensional. Penelitian ini merupakan studi eksperimen pada salah satu SMA
di Bandung dengan desain penelitian Pretes Postes Control Group Design. Subjek populasi
adalah seluruh siswa Sekolah Menengah Atas Kartika Siliwangi 2 Bandung, yang menjadi
sampel adalah siswa kelas X. Sampel diambil dengan teknik Purposive Random Sampling,
sebanyak dua kelas yaitu kelas X-2 dan kelas X-3. Pengumpulan data dilakukan dengan cara
memberikan tes kemampuan penalaran matematik dalam bentuk uraian pada pokok bahasan
geometri dimensi tiga. Hasil penelitian menunjukkan, peningkatan penalaran matematik
siswa yang pembelajarannya dengan menggunakan teknik SOLO/Superitem lebih baik bila
dibandingkan dengan siswa yang pembelajarannya cara konvensional.

Kata kunci: Penalaran Matematik, Superitem

Pendahuluan
Pembelajaran matematika memiliki tujuan yang penting. Adapun tujuan ideal dalam
pembelajaran matematika adalah siswa mampu memecahkan masalah yang dihadapi
berdasarkan penalaran dan kajian ilmiah (Budiharjo, 2006). Selanjutnya Budiharjo juga
mengungkapkan bahwa kecakapan atau kemahiran matematika adalah: (a) pemahaman
konsep, (b) prosedur, (c) penalaran dan komunikasi, (d) pemecahan masalah, dan (e)
menghargai kegunaan matematika.
Sumarmo (2002) mengatakan pendidikan matematika pada hakekatnya memiliki dua
arah pengembangan yaitu untuk memenuhi kebutuhan masa kini dan masa datang. Pada masa
kini pembelajaran matematika mengarah pada pemahaman matematika dan ilmu pengetahuan
lainnya. Masa yang akan datang mempunyai arti lebih luas yaitu memberikan kemampuan
nalar yang logis, sistematis, kritis dan cermat serta berpikir objektif dan terbuka yang sangat
diperlukan dalam kehidupan sehari-hari serta menghadapi masa depan yang selalu berubah.
Dengan demikian pembelajaran matematika hendaknya mengembangkan proses dan
keterampilan berpikir siswa.
Kenyataan menunjukkan bahwa secara umum hasil belajar matematika siswa Indonesia
belum mampu bersaing. Hasil survei Trends in International Mathematics and Sciences Study
(TIMSS) tahun 2003 yang dikoordinir oleh the International for Evaluation of Education
Achievement (IEA), secara umum hasilnya menempatkan Indonesia pada posisi ke-34 dalam
bidang matematika dari 46 negara yang disurvei. Hal ini pun sesuai dengan penelitian
Wahyudin (1999) menunjukkan bahwa kemampuan matematika siswa sangat rendah. Secara
rinci Wahyudin (1999) menemukan lima kelemahan yang ada pada siswa diantaranya adalah
kurang memiliki kemampuan nalar yang logis dalam meyelesaikan persoalan atau soal-soal
matematika.
Secara empirik bahwa siswa-siswa sekolah menengah atas (high school) dan perguruan
tinggi (college) mengalami kesukaran dalam menggunakan strategi dan kekonsistenan
penalaran (logical reasoning) (Numedal dalam Matlin, 1994). Sedangkan menurut Baroody
dalam Dahlan (2004) mengungkapkan bahwa terdapat beberapa keuntungan apabila siswa

133
diperkenalkan dengan penalaran, keuntungan tersebut dapat secara langsung meningkatkan
hasil belajar siswa. Dengan penalaran seseorang akan sangat tajam dalam berpikir dan akurat
dalam memutuskan untuk melakukan suatu tindakan yang sudah diperhitungkannya.
Penalaran juga merupakan pondasi dari matematika. Ross (Lithner dalam Rochmad
2008) menyatakan bahwa salah satu tujuan terpenting dari pembelajaran matematika adalah
mengajarkan kepada siswa penalaran logika. Bila kemampuan bernalar tidak dikembangkan
pada siswa, maka bagi siswa matematika hanya akan menjadi materi yang mengikuti
serangkaian prosedur dan meniru contoh-contoh tanpa mengetahui maknanya (Rochmad,
2008). Selain itu, menurut Wahyudin (1999) jika siswa kurang menggunakan nalar dalam
menyelesaikan masalah, maka akan gagal menguasai matematika dengan baik. Matematika
adalah ilmu pengetahuan yang dapat diperoleh dengan bernalar (Tinggih dalam Suherman
(2001). Menurut Priatna (2004) untuk membangun gagasan ataupun membuktikan suatu
gagasan dalam matematika diperlukan penalaran, yang seringkali pula disertai dengan
kemampuan menyelesaikan masalah.
Untuk meningkatkan penalaran dibutuhkan persepsi dan sikap yang positif terhadap
matematika. Perubahan sikap kearah yang positif terhadap matematika merupakan salah satu
indikator keberhasilan guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Bahkan
Ruseffendi (1991) menyatakan bahwa sikap positif terhadap matematika dapat berkorelasi
positif dengan prestasi belajarnya. Dengan kata lain sikap positif dapat tumbuh bila
matematika yang diajarkan banyak kaitannya dengan kehidupan sehari-hari, pekerjaan rumah
yang diberikan kepada siswa tidak terlalu banyak, penyajian dan sikap gurunya menarik,
materi pelajaran diajarkan sesuai dengan kemampuan siswa dan evaluasi keberhasilan siswa
harus dapat mendorong siswa untuk tertarik belajar matematika dan bukan sebaliknya.
Agar siswa dapat berhasil dalam mempelajari suatu materi maka kesiapan belajar harus
dimiliki (Firdaus, 2004). Kesiapan belajar siswa dapat dipercepat seperti menggunakan
pendekatan spiral dari Bruner (Ruseffendi, 1980). Pendekatan spiral adalah cara yang
digunakan untuk mengembangkan konsep, mulai cara intuitif ke analisis, dari eksplorasi ke
penguasaan dengan memberikan cukup ruang antara tahap terendah dan tahap tertinggi.
Pendekatan spiral relevan dengan karakteristik pembelajaran matematika yaitu belajar dari
yang konkret ke abstrak; dari sederhana ke kompleks; dan konsep-konsep atau prinsip-prinsip
yang berjenjang.
Biggs dan Collis (Alagmulai, 2006) melakukan studi tentang struktur hasil belajar
dengan tes yang disusun dengan bentuk superitem, dalam temuannya mengemukakan bahwa
pada tiap tahap atau level kognitif terdapat struktur respons yang sama dan makin meningkat
dari yang sederhana sampai yang abstrak. Struktur tersebut dinamakan Taksonomi SOLO
(Structure of the Observed Learning Outcome). Menurut Biggs dan Collis (Alagmulai, 2006)
berdasarkan kualitas model respons anak, tahap SOLO anak diklasifikasikan pada lima tahap
atau level. Lima tahap tersebut adalah pre struktural, uni struktural, multi strukutural,
relasional dan abstrak.
Studi tentang tahap SOLO, juga dilakukan oleh Sumarmo (Firdaus, 2004). Hasil
temuannya meningkatkan keyakinan bahwa dalam pembelajaran matematika, penjelasan
pada konsep matematika hendaknya tidak langsung pada konsep atau proses kompleks, tetapi
harus dimulai dari konsep dan proses yang sederhana. Berdasarkan hal tersebut, Sumarmo
dalam Firdaus (2004) memberikan alternatif pembelajaran yang dimulai dari yang sederhana
meningkat pada yang kompleks, pembelajaran tersebut menggunakan tugas bentuk
superitem.
Superitem dirancang untuk menimbulkan penalaran matematis tentang konsep
matematis (Lajoie dalam Romberg, 1995). Itemnya adalah bentuk untuk mendiagnosa empat
macam level kematangan matematis. Pada level empat, paling banyak kematangan level,
pembelajar harus mengucapkan dengan jelas pemahamannya dari konsep matematis salah

134
satunya dalam kata atau simbol. Tugas dapat digunakan untuk mencapai ukuran
perkembangan penalaran dan untuk membantu step pertama dari identifikasi transisi
pembelajaran dalam area isi matematika.
Sebuah superitem terdiri dari sebuah stem (rumusan pernyataan) yang diikuti beberapa
pertanyaan atau item yang semakin meningkat kekompleksannya. Di mana tiap item
mewakili level dalam taksonomi SOLO. Pada level satu diperlukan penggunaan satu bagian
informasi dari stem. Level dua diperlukan dua atau lebih bagian informasi dari stem. Pada
level tiga siswa harus dapat mengintegrasikan dua atau lebih dari informasi yang tidak secara
langsung berhubugan dengan stem. Pada level empat siswa dapat mendefinisikan hipotesis
yang diturunkan dari stem. Karakteristik soal-soal bentuk superitem yang memuat konsep dan
proses yang makin tinggi tingkat kognitifnya tersebut memberi peluang pada siswa untuk
mengembangkan pengetahuannya dan memahami hubungan antar konsep. Selain itu, soal
bentuk superitem diharapkan lebih menantang dan mendorong keterlibatan siswa dalam
pembelajaran. Sebaliknya guru dapat mendiagnostik selama pembelajaran, sehingga
perkembangan prestasi belajar siswa dapat dimonitor lebih dini.
Mengacu pada latar belakang di atas, masalah yang diangkat dalam penelitian ini
adalah:
Apakah peningkatan penalaran matematik siswa yang pembelajarannya dengan
menggunakan teknik SOLO/Superitem lebih tinggi daripada siswa yang pembelajarannya
konvensional?
Sesuai dengan rumusan masalah, tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh
gambaran mengenai peningkatan penalaran matematik siswa yang pembelajarannya dengan
menggunakan teknik SOLO/Superitem bila dibandingkan dengan pembelajaran
konvensional.

Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuasi eksperimen dengan
pre test - post test control group design, yaitu memberikan perlakuan secara sengaja terhadap
kelompok eksperimen yang berupa pembelajaran matematika menggunakan teknik
SOLO/superitem, dan kelas kontrol menggunakan pembelajaran konvensional. Kemudian
hasil dari perlakuan tersebut diamati dan dianalisis. Rancangan tersebut sebagai berikut:
Eksperimen :
Kontrol :
Keterangan :
= Pretes diberikan kepada kelas eksperimen dan kontrol
= Penerapan pembelajaran matematika menggunakan teknik SOLO/Superitem
= Pembelajaran matematika konvensional
= Postes diberikan kepada kelas eksperimen dan kontrol
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa Sekolah Menengah Atas Kartika
Siliwangi 2 Bandung. Selanjutnya yang menjadi sampel adalah siswa kelas X. Sampel
diambil dengan teknik Purposive Random Sampling, sebanyak dua kelas yaitu kelas X-2 dan
kelas X-3. Pengambilan kelas X adalah agar tidak mengganggu kegiatan pembelajaran untuk
persiapan ujian nasional.
Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data penelitian ini berupa tes tertulis
(pretest dan postest) yang berbentuk tes uraian guna mengukur kemampuan penalaran
matematis. Untuk memperoleh data hasil tes yang dapat dipercaya, maka diperlukan tes yang
mempunyai validitas, reliabilitas dan analisis lainnya yang dapat dipertanggungjawabkan.

135
Hasil
Untuk mengetahui kemampuan siswa sebelum dan sesudah pembelajaran dengan
menggunakan teknik SOLO/Superitem dilakukan tes awal dan tes akhir. Soal tes yang
digunakan berbentuk uraian sebanyak 3 soal untuk mengukur kemampuan penalaran
matematis. Soal yang diberikan berkaitan dengan pokok bahasan geometri dimensi tiga kelas
X.
Analisis Data
Skor pretes dan postes kemampuan penalaran matematis siswa kelompok eksperimen
dan siswa kelompok kontrol disajikan pada Diagram 1 berikut.
8.00
Skor Siswa

6.00
4.00
2.00
0.00
Pretes Postes
Eksperimen 0.26 6.10
Kontrol 0.60 5.13

Diagram 1 Rata-rata Skor Pretes dan Postes

Dari Diagram 1 dapat diketahui bahwa rata-rata pretes kemampuan penalaran


matematis konsep kelompok eksperimen adalah 0,26 dan kelompok kontrol 0,60 (skor ideal
12). Perolehan skor rata-rata postes kemampuan penalaran matematis kelompok eksperimen
6,10 sedangkan kelompok kontrol memperoleh 5,13. Secara deskriptif terlihat data skor rata-
rata pretes kemampuan penalaran matematis kelompok eksperimen dan kelompok kontrol
tidak sama, demikian pula dengan skor rata-rata postes kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol secara deskriptif terlihat tidak sama. Oleh karena itu untuk selanjutnya akan
dilakukan uji kesamaan rata-rata.

Tabel 1. Uji Normalitas Skor Pretes dalam Kelompok Eksperimen dan Kontrol
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
K.Eksperimen K.Kontrol

N 31 30
Normal Parameters Mean .0645 0.6000
Std. .81368
Deviation
.24973
Most Extreme Differences Absolute .537 .336
Positive .537 .336
Negative -.398 -.230
Kolmogorov-Smirnov Z 2.992 1.842
Asymp. Sig. (2-tailed) 0.000 .002

Tabel 1 menunjukkan nilai Kolmogorov-Smirnov dari skor pretes kelompok


eksperimen dan kontrol pada 2,992 dan 1,842 dengan nilai asimtotik signifikansinya
masing-masing adalah kurang dari 0,05. Artinya pada taraf signifikansi 5% maka hipotesis
nol yang menyatakan distribusi dari data di atas berasal dari distribusi normal ditolak.
Dari hasil pengujian normalitas tersebut dapat diketahui skor pretes berasal dari
populasi yang tidak berdistribusi normal. Oleh karena itu pengujian kesamaan dua rata-rata
skor pretes kemampuan penalaran matematis menggunakan uji Mann-Whitney. Pengujian
dilakukan dengan uji dua arah pada taraf signifikansi 0,05 untuk menguji hipotesis nol

136
dengan kriteria pengambilan keputusan menurut Sarwono (2008) adalah jika Asymp.Sig.(2-
tailed) < 0,05 maka hipotesis nol ditolak.

Tabel 2. Uji Mann-Whitney Skor Pretes


Test Statistics
Pretes Penalaran Matematis
Mann-Whitney U 289.500
Wilcoxon W 785.500
Z -3.367
Asymp. Sig. (2-tailed) .001

Dari Tabel 2 dapat diketahui hasil Asymp.Sig.(2-tailed) dari uji Mann-Whitney skor
pretes kemampuan penalaran matematis secara beturut-turut adalah 0,001 kurang dari 0,05,
artinya pada taraf signifikansi 5% maka hipotesis nol yang menyatakan tidak ada perbedaan
rata-rata skor pretes antara kelompok eksperimen yang pembelajarannya menggunakan
teknik SOLO/Superitem dan siswa kelompok kontrol yang pembelajarannya secara
konvensional, ditolak. Dengan demikian rata-rata kemampuan awal penalaran matematis
antara kelompok eksperimen dan siswa kelompok kontrol berbeda. Oleh karena itu untuk
mengetahui peningkatan penalaran matematis antara kelompok eksperimen dan kontrol harus
dilakukan analisis terhadap gain ternormalisasi.
Untuk melihat peningkatan penalaran matematis siswa kelompok eksperimen yang
pembelajarannya menggunakan teknik SOLO/Superitem dan siswa kelompok kontrol yang
pembelajarannya secara konvensional maka harus dilakukan analisis terhadap gain
ternormalisasi.
1.00
Skor Gain Siswa

0.50
0.00 Penalaran matematis
Eksperimen 0.50
Kontrol 0.40

Diagram 2 Rata-rata Skor Gain Ternormalisasi

Diagram 2 memperlihatkan bahwa rata-rata gain ternormalisasi skor kemampuan


penalaran matematis siswa kelompok eksperimen adalah 0,50 sedangkan kelompok kontrol
0,40, secara deskriptif terlihat mempunyai rata-rata skor gain ternormalisasi yang tidak sama.
Oleh karena itu selanjutnya akan dilakukan uji perbedaan rata-rata. Namun sebelumnya
dilakukan uji normalitas terhadap gain ternormalisasi terlebih dahulu.

Tabel 3 Uji Normalitas Gain


One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
K.Eksperimen K.Kontrol
N 31 30
Normal Parameters Mean .5283 .3973
Std. Deviation .22482 .14540
Most Extreme Absolute
.086 .170
Differences
Positive .086 .170
Negative -.063 -.146
Kolmogorov-Smirnov Z .477 .931
Asymp. Sig. (2-tailed) .977 .352

137
Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa nilai asimtotik signifikansi uji
Kolmogorov-Smirnov dari gain skor penalaran matematis dalam kelompok eksperimen dan
kontrol lebih dari 0,05. Artinya pada taraf signifikansi 5% hipotesis nol yang menyatakan
distribusi dari data di atas berasal dari distribusi normal diterima. Dengan demikian data
berdistribusi normal.
Setelah dilakukan pengujian normalitas data, persyaratan selanjutnya adalah pengujian
homogenitas varians yang dilakukan dengan menggunakan uji Levene. Adapun kriteria
pengambilan keputusannya menurut Sarwono (2008) adalah jika nilai signifikansi lebih kecil
dari 0,05 maka distribusinya tidak homogen, sedangkan jika nilai signifikansinya lebih besar
dari 0,05 maka distribusi kedua varians homogen. Analisis data yang disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Uji Homogenitas dan Uji t Data Gain Ternormalisasi


Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of
Variances t-test for Equality of Means
95% Confidence
Interval of the
Difference
Sig. (2- Mean Std. Error Lower Upper
F Sig. T Df tailed) Difference Difference
GainT Equal
variances 4.275 .043 2.694 59 .009 .13108 .04865 .03372 .22843
assumed
Equal
variances
2.712 51.572 .009 .13108 .04832 .03409 .22806
not
assumed

Dari Tabel 4 dapat diketahui bahwa gain ternormalisasi skor kemampuan penalaran
matematis memilki nilai signifikansi uji Levene lebih dari 0,05. Artinya pada taraf
signifikansi 5% gain ternormalisasi skor kemampuan penalaran matematis dari populasi yang
berdistribusi normal.
Berdasarkan pengujian normalitas dan homogenitas gain skor dapat diketahui bahwa
gain skor berdistribusi normal dan homogen. Dengan demikian uji kesamaan dua rerata
menggunakan uji-t. Pengujian dilakukan dengan uji satu arah pada nilai signifikansi 0,05
untuk menguji dan tandingannya dengan kriteria pengambilan keputusan menurut
Widhiarso (tidak da tahun) adalah tolak jika Sig.(1-tailed) < 0,05. Adapun hubungan nilai
signifikansi menurut Widhiarso (tidak da tahun) adalah Sig.(1-tailed) = Sig.(2-tailed).
Kriteria pengujian hipotesis dengan taraf keberartian , Tolak jika Sig.(1-
tailed) < 0,05. Adapun hubungan nilai signifikansi menurut Widhiarso (tidak da tahun)
adalah Sig.(1-tailed) = Sig.(2-tailed).
Perhitungan uji t disajikan pada Tabel 4. Perhitungan Hipotesis yang diajukan pada
penelitian ini adalah peningkatan penalaran matematik siswa yang pembelajarannya dengan
menggunakan teknik superitem/SOLO lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya
konvensional. Berdasarkan hipotesis ini dirumuskan hipotesis sebagai berikut.
Ho : =
dengan = rata-rata skor kemampuan penalaran matematis kelompok eksperimen
= rata-rata skor kemampuan penalaran matematis kelompok kontrol
Peningkatan penalaran matematik siswa yang pembelajarannya dengan menggunakan
teknik SOLO/Superitem sama dengan siswa yang pembelajarannya konvensional.
H1 : >

138
Peningkatan penalaran matematik siswa yang pembelajarannya dengan menggunakan
teknik SOLO/Superitem lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya konvensional.
Setelah dilakukan perhitungan yang ada pada Tabel 4 diperoleh nilai Sig.(2-tailed) =
0,009 sehingga Sig.(1-tailed) = 0,0045 kurang dari 0,05. Artinya pada taraf signifikansi 5%
Ho ditolak. Dengan demikian peningkatan penalaran matematik siswa yang pembelajarannya
dengan menggunakan teknik superitem/SOLO lebih baik daripada siswa yang
pembelajarannya konvensional.

Pembahasan
Kemampuan penalaran matematis siswa kelompok eksperimen yang pembelajarannya
menggunakan teknik SOLO/Superitem lebih baik daripada kelompok kontrol yang
pembelajarannya konvensional. Ini terjadi karena superitem mampu mendatangkan penalaran
matematis untuk konsep matematika (Collis & Romberg dalam Romberg, 1995).
Keberhasilan dalam meningkatkan kemampuan penalaran matematis melalui pembelajaran
dengan teknik SOLO/Superitem karena pembelajarannya dimulai dari hal yang kongkret
sampai yang abstrak. Tahap SOLO siswa digunakan sebagai gambaran kemampuan
penalaran siswa dan Romberg (1982) pun menyatakan bahwa SOLO terkait penalaran.
Sedangkan superitem merupakan soal yang dirancang sesuai tahap SOLO siswa, dimana
karakteristik soal-soalnya memuat konsep dan proses yang makin tinggi tingkat kognitifnya
memberi peluang pada siswa dalam mengembangkan pengetahuannya dan memahami
hubungan antara konsep. Hal itu dikuatkan oleh Lajoie dalam Romberg (1995) yang
menyatakan bahwa superitem didesain untuk mendatangkan penalaran matematis tentang
konsep matematika. Dengan demikian latihan dalam bentuk superitem dapat memonitor
pertumbuhan penalaran matematik siswa. Implikasinya terhadap pembelajaran adalah guru
harus menganalisis taksonomi SOLO dari tingkat respons yang tepat, sehingga dapat
mengkategorikan respons siswa dan kemudian memberikan scafolding pada siswa.

Penutup
Peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa melalui pembelajaran
menggunakan teknik SOLO/Superitem pun lebih tinggi daripada siswa yang belajar secara
konvensional. Berdasarkan temuan pada penelitian ini, maka dapat dikemukakan
rekomendasi bahwa dalam soal level relasional dan level abstrak tidak sedikit siswa yang
mengalami kesulitan, sehingga guru harus menyiapkan scafolding dengan memperhatikan
waktu yang tersedia.

Daftar Pustaka

Alagmulai, S. (2006). SOLO, RASCH, QUEST, and Curriculum Evaluation.


[Online].Tersedia:http//www.aare.edu.au/96pap/alags96046.txt[20Maret2006]
Arikunto, S. (1998). Manajemen Penelitian (edisi revisi). Jakarta : Rineka Cipta
Budiharjo. (2006). Penerapan Aspek Penilaian pada Penulisan Soal dan Pengolahan Nilai
Rapor. Makalah pada Bintek Matematika. Semarang: tidak diterbitkan.
Copi (1978) dalam (2008). Penggunaan Pola Pikir Induktif-Deduktif dalam Pembelajaran
Matematika Beracuan Konstruktivisme. [Online]. Tersedia: http://rochmad-
unnes.blogspot.com/2008/01/penggunaan-pola-pikir-induktif-deduktif.html. [27 Mei
2008]
Dahlan, J. (2004). Meningkatkan kemampuan penalaran dan pemahaman matematika siswa
sekolah lanjutan tingkat pertama melalui pendekatan pembelajaran open-ended, studi

139
eksperimen pada siswa sekolah lanjutan pertama negeri di Kota Bandung. Disertasi
pada PPS UPI. Bandung: tidak diterbitkan.
Firdaus, A. (2002). Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa SLTP Melalui
Pembelajaran Menggunakan Tugas Bentuk Superitem. Tesis pada PPS UPI. Bandung:
tidak diterbitkan.
Ipurangi, T. K. (tidak ada tahun). Quality Questioning
Using the SOLO Taxonomy (An online workshop). [Online]. Tersedia:
http://www.tki.org.nz/r/ assessment/atol_online/ppt/solo-taxonomy.ppt[17 Oktober
2008]
Kusumah, Y. (2008). Konsep, Pengembangan dan Implementasi Computer Based-Learning
dalam Peningkatan High-Order Mathematical Thinking. Makalah pada Pengukuhan
Jabatan Guru Besar dalam Bidang Pendidikan Matematika pada FPMIPA UPI.
Bandung: UPI.
Matlin, M. W. (1994). Cognition. Orlando: Hardcourt Publisher.
Meltzer, D. E. (2002). Addendum to: The relationship between mathematics
preparation and conceptual learning gains in physics: a possible "hidden
variable" in diagnostic pretest score. [Online]. Tersedia: http://www.physics
.iastate.edu/per/docs/Addendum_on_normalized_gain.[28 Mei 2008]
NCTM. (2000). Principles and Standard for School Mathematics. Resto, Virginia: The
National Council of Teachers of Mathematics, Inc.
PISA. (2006). Science Competencies for Tomorrows World. [Online]. Tersedia: http://
pisa.oecd.org/dataoecd/30/17/39703267.pdf (22 Nopemeber 08)
Priatna, N. (2003). Kemampuan Penalaran dan Pemahaman Matematik Siswa Kelas 3
SLTPN di Kota Bandung. Disertasi. Bandung: SPs UPI.
Rochmad. (2008). Penggunaan Pola Pikir Induktif-Deduktif dalam Pembelajaran
Matematika Beracuan Konstruktivisme. [Online]. Tersedia: http://rochmad-
unnes.blogspot.com/2008/01/penggunaan-pola-pikir-induktif-deduktif.
html.[27Mei2008]
Romberg, T. A. (1995). A Framework for Authentic Assessment.
Romberg, T.A dkk. (1982). Construct Validity of Set of Mathematical Superitem. [Online].
Tersedia: http://eric.ed.gov/ERICDocs/data/ericdocs2sql/ content_storage_01/
0000019b/80/15/74/6c.pdf . (10 september 2008)
Rusefendi, E. T. (1980). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan
Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung:
Tarsito.
Ruseffendi, E.T. (1991). Penilaian Pendidikan dan Hasil Belajar Siswa Khususnya dalam
Pengajaran Matematika. Bandung.
Sarwono, J. (2008). Statistik itu Mudah, Panduan Lengkap untuk Belajar Konputasi Statistik
Menggunakan SPSS 16. Yogyakarta: Penerbit Andri.
Shadiq, F. (2004). Pemecahan Masalah, Penalaran dan Komunikasi. Makalah pada Diklat
Instruktur/Pengembang Matematika SMA di PPPG Matematika, Yogyakarta [Online].
Tersedia: http://p4tkmatematika.org/downloads/sma/pemecahanmasalah.pdf (24
september 2008)
Suherman, E. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA
FPMIPA UPI.
Sumarmo, U. (2002). Alternatif Pembelajaran Matematika dalam Menerapkan KBK.
Makalah pada Seminar FPMIPA UPI.
TIMSS. (2004). Highlights From the Trends in International Mathematics and Science Study
(TIMSS) 2003. [Online]. Tersedia: http://www.warwick.ac.uk/ ETS/Publications/
Guides/cal.htm.[25 September 2008]

140
Wahyudin. (1999). Kemampuan Guru Matematika, Calon Guru Matematika dan Siswa
dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia. Disertasi pada PPS IKIP Bandung.
Bandung: tidak diterbitkan.
Widhiarso, W. (tanpa tahun). Uji Hipotesis Komparatif (Uji t). [Online]. Tersedia: http://
elisa.ugm.ac.id/files/wahyu./Lebih%20mesra%20dengan%20Uji-t.pdf. [27 Juli 2009]

141
Implementasi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Heads
Together disertai Aktivitas Penemuan Terbimbing terhadap Peserta Didik

Febriana Kartika Sari


Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Email: febrianaks@yahoo.co.id

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah rata-rata hasil belajar peserta didik pada
kelompok yang menggunakan model pembelajaran Numbered Heads Together (NHT)
disertai aktivitas penemuan terbimbing mencapai KKM individu yaitu 70 dan KKM klasikal
yaitu 85% serta untuk mengetahui apakah model pembelajaran Numbered Heads Together
(NHT) disertai aktivitas penemuan terbimbing atau model pembelajaran ekspositori yang
memberikan rata-rata hasil belajar yang lebih tinggi. Populasi pada penelitian ini adalah
peserta didik kelas VIII SMP Negeri 5 Banjarnegara tahun ajaran 2011/2012. Pengambilan
sampel dilakukan dengan teknik random sampling yaitu kelompok eksperimen sebanyak 25
peserta didik yang dikenai model pembelajaran NHT disertai aktivitas penemuan terbimbing
dan kelompok kontrol sebanyak 25 peserta didik yang dikenai model pembelajaran
ekspositori. Berdasarkan hasil tes, diperoleh rata-rata hasil belajar untuk kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol berturut-turut adalah dan . Uji proporsi
menunjukkan bahwa , artinya banyaknya peserta
didik pada kelompok eksperimen yang memperoleh nilai minimal telah mencapai KKM
klasikal yaitu . Berdasarkan uji kesamaan dua rata-rata diperoleh
, artinya rata-rata hasil belajar kelompok eksperimen lebih tinggi dari rata hasil
belajar kelompok kontrol.

Kata kunci: aktivitas penemuan terbimbing; hasil belajar; NHT.

Pendahuluan
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting agar setiap individu mampu bersaing
serta hidup mandiri. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Bab X Pasal 37,
matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang wajib dimuat dalam kurikulum
pendidikan dasar dan menengah.
Berdasarkan wawancara dengan salah satu guru matematika kelas VIII SMP Negeri 5
Banjarnegara tahun 2012, peserta didik mengalami kesulitan pada sub materi luas permukaan
serta volum prisma dan limas. Kesulitan tersebut terjadi karena peserta didik terbiasa
menghafal rumus sehingga peserta didik yang lupa rumus akan kesulitan dalam
menyelesaikan soal. Kesulitan yang dialami peserta didik pada sub materi luas permukaan
serta volum prisma dan limas tersebut berdampak pada hasil Ujian Nasional tahun 2010/2011
yang kurang memuaskan.
Hasil lain wawancara dengan guru tersebut adalah peserta didik belum terbiasa
bekerja sama serta kurangnya rasa percaya diri dari peserta didik. Rasa kurang percaya diri
dari peserta didik membuat peserta didik belum terbiasa bertukar pengetahuan dengan teman
yang lain sehingga hasil belajarnya kurang memuaskan. Berdasarkan hal tersebut, maka
diperlukan pembelajaran yang melatih kerja sama dan melatih kepercayaan diri dari peserta
didik.
Menurut Hudojo (2003), apabila perhatian sudah tertuju kepada keaktifan belajar
peserta didik maka hal ini disebut kegiatan yang berpusat kepada peserta didik. Menurut Nur
& Wikandari (2000), pembelajaran kooperatif atau cooperative learning mengacu pada
metode pengajaran di mana peserta didik bekerja bersama dalam kelompok kecil saling
membantu dalam belajar.

142
Salah satu model pembelajaran kooperatif adalah tipe NHT (Numbered Heads
Together). Menurut Depdiknas (2007), Numbered Heads Together merupakan suatu model
pembelajaran kelompok dengan cara pemberian nomor yang berbeda pada setiap peserta
didik, di mana nomor peserta didik yang nantinya dipanggil oleh guru harus melaporkan hasil
kerja kelompoknya dan peserta didik yang lain diharapkan memberikan tanggapan demikian
seterusnya sampai mendapatkan kesimpulan bersama.
Berdasarkan penelitian Sacca dkk sebagaimana dikutip oleh Bawn (2007), Numbered
Heads Together lebih efektif daripada metode tradisional dalam meningkatkan prestasi
pembelajaran sosial. Selain itu, hasil penelitian Kusumojanto (2009) menunjukkan bahwa
penerapan model pembelajaran Numbered Heads Together juga dapat melatih peserta didik
untuk berani menyampaikan pendapat.
Menurut Fruedenthal sebagaimana dikutip oleh Markaban (2006), mathematics as
a human activity. Education should given students the guided opportunity to reinvent
mathematics by doing it yang sesuai dengan Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang
prinsip pelaksanaan kurikulum di setiap satuan pendidikan yaitu belajar untuk membangun
dan menemukan jati diri, melalui pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan
menyenangkan. Selain itu NCTM juga telah mengemukakan enam prinsip dasar untuk
mencapai pendidikan yang berkualitas tinggi sebagaimana dikutip oleh Walle (2007) yang
salah satunya adalah prinsip pembelajaran. Masih menurut NCTM sebagaimana dikutip oleh
Walle (2007), para peserta didik harus belajar matematika dengan pemahaman serta aktif
membangun pengetahuan baru dari pengalaman dan pengetahuan sebelumnya.
Berdasarkan wawancara juga diperoleh informasi bahwa guru masih menggunakan
model pembelajaran ekspositori sehingga peserta didik kurang aktif dalam pembelajaran,
misalnya saat proses perolehan suatu rumus. Kurang aktifnya peserta didik saat proses
perolehan rumus membuat peserta didik tidak benar-benar memahami darimana suatu rumus
berasal.
Berdasarkan hal di atas maka diperlukan suatu pembelajaran yang memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk beraktivitas dalam upayanya memperoleh
pengetahuan. Salah satunya adalah melalui aktivitas penemuan terbimbing, yaitu suatu
aktivitas peserta didik untuk menemukan suatu pengetahuan dengan bantuan guru melalui
serangkaian pertanyaan yang mengarahkan peserta didik dalam menemukan pengetahuan
tersebut. Aktivitas penemuan terbimbing ini melibatkan interaksi antara guru dan peserta
didik dalam memperoleh pengetahuan yang diinginkan melalui pertanyaan yang disusun oleh
guru, baik disampaikan secara langsung maupun melalui bantuan media. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah rata-rata hasil belajar peserta didik pada
kelompok yang menggunakan model pembelajaran Numbered Heads Together (NHT)
disertai aktivitas penemuan terbimbing mencapai KKM individu yaitu 70 dan KKM klasikal
yaitu 85% serta untuk mengetahui apakah model pembelajaran Numbered Heads Together
(NHT) disertai aktivitas penemuan terbimbing atau model pembelajaran ekspositori yang
memberikan rata-rata hasil belajar yang lebih tinggi.

Metode Penelitian
Penelitian dilaksanakan di SMP Negeri 5 Banjarnegara dengan alamat Jalan Tentara
Pelajar Nomor 04 Banjarnegara. Populasi dalam penelitian ini adalah peserta didik kelas VIII
SMP Negeri 5 Banjarnegara Tahun Ajaran 2011/2012. Sedangkan pengambilan sampel
menggunakan teknik random sampling, menurut Sudjana (2002) populasi diuji normalitasnya
menggunakan uji Lilliefors dan homogenitasnya menggunakan uji Bartlett. Setelah diuji,
terpilih kelompok eksperimen sebanyak peserta didik dan kelompok kontrol sebanyak
peserta didik. Variabel dalam penelitian ini adalah nilai hasil belajar matematika peserta didik
kelas VIII SMP N 5 Banjarnegara pada sub materi luas permukaan serta volum prisma dan

143
limas setelah diberi perlakuan yaitu model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads
Together (NHT) disertai aktivitas penemuan terbimbing.
Metode pengumpulan data terdiri dari metode observasi dan metode tes. Metode
observasi digunakan untuk mengetahui aktivitas peserta didik yang menunjukkan pendidikan
karakter bangsa yang muncul dalam pembelajaran dan pengelolaan pembelajaran oleh guru
pada kelompok eksperimen. Pengamatan guru tersebut bertujuan untuk mengetahui apakah
kegiatan pembelajaran sudah sesuai dengan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran yang telah
disusun sebelumnya. Guru yang dimaksud dalam pengamatan ini adalah peneliti saat
mengajar. Pengamatan dilakukan oleh pengamat pada setiap pembelajaran. Metode tes
digunakan untuk mengevaluasi hasil belajar peserta didik setelah pembelajaran selesai.
Evaluasi dilakukan pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Sebelum tes diberikan
pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, soal-soal tes tersebut diujikan pada
kelompok uji coba terlebih dahulu.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui adanya perbedaan hasil dengan cara memberikan perlakuan kepada satu
kelompok eksperimen yang kemudian membandingkan hasilnya dengan satu kelompok
kontrol yang tidak dikenai kondisi perlakuan. Penelitian dilaksanakan sebanyak tiga kali
pertemuan. Dua pertemuan digunakan untuk menyampaikan materi dengan model
pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT) disertai aktivitas penemuan
terbimbing pada kelompok eksperimen dan model pembelajaran ekspositori pada kelompok
kontrol. Pertemuan terakhir digunakan untuk tes.
Pada penelitian ini, instrumen tes berbentuk tes tertulis yang terdiri dari 12 soal
pilihan ganda dan 6 soal uraian. Tes uji coba dilakukan untuk menguji apakah soal-soal
tersebut memenuhi kualifikasi soal yang layak digunakan, yaitu soal valid dan perangkat tes
tersebut reliabel. Selain dihitung validitas dan reliabilitasnya, soal juga diuji tingkat
kesukaran dan daya pembedanya. Setelah pengujian tersebut, terpilih 7 soal pilihan ganda dan
4 soal uraian yang akan digunakan untuk tes hasil belajar.
Analisis data terdiri dari analisis data nilai mid semester genap dan analisis data nilai
hasil belajar. Analisis data nilai mid semester genap dilakukan untuk mengetahui kondisi
awal dari semua peserta didik dalam rangka pengambilan sampel. Analisis data nilai mid
semester genap meliputi uji normalitas menggunakan uji Lilliefors dan uji homogenitas
menggunakan uji Bartlett. Sedangkan analisis data nilai hasil belajar meliputi uji normalitas
menggunakan uji Lilliefors, uji homogenitas menggunakan uji Bartlett, uji proporsi, dan uji
kesamaan rata-rata dengan uji pihak kanan.

Hasil dan Pembahasan


Pembelajaran pada kelompok eksperimen dilakukan dalam 2 kali pertemuan (4 jam
pelajaran). Pertemuan pertama pada hari Selasa tanggal 1 Mei 2012 jam ke 3-4. 1 jam
pelajaran berlangsung selama 40 menit. Materi yang dipelajari pada pertemuan pertama
adalah luas permukaan prisma dan limas. Pertemuan kedua pada hari Kamis tanggal 3 Mei
2012 jam ke 6-7. Materi yang dipelajari pada pertemuan kedua adalah volum prisma dan
limas. Hasil pengamatan aktivitas peserta didik yang menunjukkan nilai pendidikan karakter
bangsa pada pertemuan pertama adalah dan pada pertemuan kedua. Hasil
pengamatan aktivitas guru pada pertemuan pertama adalah dan pada pertemuan
kedua. Kedua hasil tersebut menunjukkan bahwa pelaksanaan pembelajaran yang
dilaksanakan sudah baik dan sesuai dengan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang
telah disusun sebelumnya.
Pelaksanaan dari model pembelajaran NHT pada kelompok eksperimen berjalan
cukup lancar walaupun mengalami sedikit kendala. Pembagian kelompok dilakukan guru
secara acak. Pengumuman nama anggota kelompok dilakukan pada awal pembelajaran

144
dengan meminta peserta didik menuliskannya di papan tulis. Peserta didik diminta berkumpul
dengan anggota kelompoknya. Kemudian guru membagikan kertas dengan nomor yang
berbeda pada tiap peserta didik dan meminta peserta didik memasangnya. LKPD dibagikan
pada masing-masing kelompok dan guru memberikan waktu pada peserta didik untuk
menyelesaikannya secara berkelompok. Kendala terjadi saat peserta didik mulai ramai dalam
melakukan diskusi kelompok. Namun guru dapat mengatasinya dengan mengingatkan peserta
didik agar tidak ramai.
Diskusi kelompok saat menyelesaikan LKPD untuk menemukan rumus luas
permukaan serta volum prisma dan limas merupakan kegiatan yang di dalamnya terdapat
aktivitas penemuan terbimbing. Peserta didik berdiskusi dan saling bertukar pikiran dalam
menjawab pertanyaan-pertanyaan pada LKPD yang mengarahkan peserta didik dalam
menemukan rumus luas permukaan serta volum prisma dan limas. Setelah waktu yang
diberikan habis, guru meminta salah satu peserta didik mengambil undian nomor peserta
didik yang nantinya diminta untuk melaporkan hasil diskusi kelompoknya.
Kendala yang dihadapi peneliti pada pertemuan pertama adalah mengenai lamanya
waktu dalam mengkondisikan peserta didik pada masing-masing kelompok. Tetapi saat
pembelajaran berlangsung, peserta didik sudah mulai terlihat aktif. Bahkan masuk dalam
kategori sangat baik.
Pembelajaran pada pertemuan kedua sudah lebih baik dibandingkan pada pertemuan
pertama. Bahkan kendala pada pertemuan pertama mengenai lamanya waktu dalam
mengkondisikan peserta didik pada kelompok masing-masing sudah dapat diatasi. Hal
tersebut dikarenakan peserta didik sudah mengetahui anggota kelompok masing-masing yang
telah diumumkan pada pertemuan pertama sehingga pada pertemuan kedua, peserta didik
sudah langsung memposisikan diri dengan anggota kelompok masing-masing. Pengamatan
aktivitas guru dan peserta didik dalam penelitian ini dilakukan selama dua kali pertemuan.
Kedua hasil pengamatan menunjukkan bahwa pelaksanaan pembelajaran sudah sangat baik.
Model pembelajaran ekspositori merupakan model pembelajaran yang lebih
menekankaan pada kemampuan guru dalam menyampaikan materi kepada peserta didik.
Penerapan model pembelajaran ekspositori pada kelompok kontrol diawali dengan penjelasan
guru beserta contoh penyelesaian masalah, kemudian pemberian soal latihan dan pembahasan
oleh guru. pembelajaran pada kelompok kontrol juga dilakukan dalam kali pertemuan (
jam pelajaran).
Pertemuan pertama pada hari Selasa tanggal 1 Mei 2012 jam ke 5-6. Materi yang
dipelajari pada pertemuan pertama adalah luas permukaan prisma dan limas. Pertemuan
kedua dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 5 Mei 2012 jam ke 3-4. Materi yang dipelajari
pada pertemuan kedua adalah volum prisma dan limas. Pembelajaran pada kelompok kontrol
berjalan cukup lancar. Guru mengawali pembelajaran dengan kegiatan apersepsi dengan
memberikan pertanyaan yang menggali pengetahuan prasyarat peserta didik. Kemudian guru
menerangkan materi mengenai luas permukaan serta volum prisma dan limas, sedangkan
peserta didik menyimak penjelasan guru.
Setelah pembelajaran usai, peserta didik diberi tes hasil belajar. Tes pada kelompok
eksperimen dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 8 Mei 2012 jam ke 3-4 dan kelompok
kontrol pada hari Selasa tanggal 8 Mei 2012 jam ke 5-6. Nilai tertinggi pada kelompok
eksperimen adalah , terendah , dan varians . Nilai tertinggi pada kelompok kontrol
adalah , terendah , dan varians . Nilai dari hasil belajar tersebut dianalisis. Rata-
rata nilai hasil belajar pada kelompok eksperimen adalah dan rata-rata nilai hasil belajar
pada kelompok kontrol adalah . Analisis data nilai hasil belajar meliputi uji normalitas,
uji homogenitas, uji proporsi, dan uji kesamaan rata-rata. Untuk uji normalitas dengan uji
Lilliefors, diperoleh nilai . Nilai kritis untuk ukuran sampel dan
adalah . Karena nilai untuk kedua kelompok sampel kurang dari

145
, maka diterima sehingga data nilai hasil belajar untuk kelompok eksperimen
dan kelompok kontrol berdistribusi normal.
Uji homogenitas digunakan untuk mengetahui homogenitas varians dari kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol. Uji homogenitas dilakukan menggunakan uji . Pada
perhitungan uji ini diperoleh varians kelompok kontrol adalah dan untuk
kelompok eksperimen. Jika berarti diterima. Nilai
dan nilai . Jadi, kelompok eksperimen dan kelompok kontrol
mempunyai varians yang homogen.
Uji proporsi dilakukan untuk mengetahui apakah banyaknya peserta didik pada
kelompok eksperimen yang memperoleh nilai minimal mencapai sesuai yang
ditetapkan SMP Negeri 5 Banjarnegara atau tidak. Pada perhitungan uji normalitas data nilai
hasil belajar kelas eksperimen, banyaknya peserta didik yang mencapai KKM adalah
peserta didik. Banyaknya peserta didik kelompok eksperimen adalah dan KKM klasikal
yang ditetapkan sekolah adalah . Nilai dan . Kriteria
yang digunakan adalah tolak jika di mana diperoleh dari daftar
daftar normal baku dengan peluang . Untuk hipotesis
diterima. Karena , maka diterima. Jadi, rata-rata nilai hasil belajar
peserta didik pada kelompok eksperimen telah mencapai KKM klasikal yang telah ditetapkan
oleh SMP Negeri 5 Banjarnegara yaitu sebanyak .
Selain uji tersebut, uji kesamaan rata-rata juga dilakukan terhadap nilai hasil belajar
peserta didik pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Uji kesamaan dua rata-rata
ini dilakukan untuk mengetahui apakah rata-rata nilai hasil belajar peserta didik pada
kelompok eksperimen lebih tinggi daripada rata-rata nilai hasil belajar peserta didik pada
kelompok kontrol. Uji ini menggunakan uji kesamaan dua rata-rata pihak kanan. Pada
perhitungan uji normalitas data nilai hasil belajar kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol, diperoleh dan .
Nilai varians gabungan dari kedua kelompok adalah . Nilai yang diperoleh
diperoleh adalah . Sedangkan nilai dengan derajat kebebasan adalah .
. Kriteria pengujian adalah terima jika . Derajat kebebasannya adalah
adalah . Karena , maka ditolak. Jadi, rata-rata nilai hasil belajar
belajar peserta didik pada kelompok eksperimen lebih tinggi dari rata-rata nilai hasil belajar
peserta didik pada kelompok kontrol.
Lebih rendahnya rata-rata nilai hasil belajar peserta didik pada kelompok kontrol
dibandingkan dengan rata-rata nilai hasil belajar peserta didik pada kelompok eksperimen
disebabkan karena dalam proses pembelajaran pada model ekspositori lebih berpusat pada
guru. Peserta didik kurang terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran, dalam hal ini
adalah menemukan rumus luas permukaan serta volum prisma dan limas. Pembelajaran pada
model ekspositori lebih menekankan pada kemampuan guru dalam menyampaikan materi
belajar. Sedangkan lebih tingginya rata-rata nilai hasil belajar peserta didik pada kelompok
eksperimen dibandingkan dengan rata-rata nilai hasil belajar peserta didik pada kelompok
kontrol disebabkan karena dalam proses pembelajaran pada kelompok eksperimen, peserta
didik diberikan kesempatan untuk bekerja sama secara aktif dalam memecahkan masalah
yang dihadapi bersama kelompoknya.
Kenyataan tersebut sesuai dengan penelitian Sacca dkk sebagaimana dikutip oleh
Bawn (2007), Numbered Heads Together lebih efektif daripada metode tradisional dalam
meningkatkan prestasi pembelajaran sosial. Metode tradisional dijelaskan Bawn adalah
metode yang fokus pada keberhasilan individu. Metode tradisional tidak memberi
kesempatan pada peserta didik untuk belajar dengan berkolaborasi. Pada metode tradisional,

146
percakapan terjadi antara guru dan peserta didik dan tidak terjadi antara peserta didik yang
satu dengan peserta didik yang lain. Penelitian Kusumojanto (2009) juga menunjukkan
bahwa model pembelajaran Numbered Heads Together dapat meningkatkan hasil belajar.
Selain itu, peserta didik pada kelompok eksperimen juga berlatih agar lebih percaya diri
dalam mengemukakan pendapat dan mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya kepada
peserta didik yang lain. Nilai-nilai pendidikan karakter bangsa juga ditanamkan pada peserta
didik dalam kelompok eksperimen seperti disiplin, bersahabat dan toleransi. Peserta didik
pada kelompok eksperimen dilatih untuk disiplin dalam mengikuti pembelajaran dan
menyelesaikan latihan soal serta kuis yang diberikan guru. Selain itu, peserta didik juga
dilatih untuk bekerjasama dengan teman sekelompok walaupun berbeda kemampuan,
toleransi dengan mendengarkan saat teman lain berpendapat, serta tenang saat berdoa dan
mengerjakan tugas.
Aktivitas penemuan terbimbing berjalan cukup lancar. Peserta didik berdiskusi serta
bekerja sama dalam menjawab pertanyaan yang terdapat pada LKPD yang mengarahkan
peserta didik pada jawaban yang benar. Hampir semua kelompok dapat menjawab pertanyaan
dengan benar.
Kelemahan dari model pembelajaran Numbered Heads Together disertai aktivitas
penemuan terbimbing ini adalah kendala waktu. Lamanya waktu pembelajaran karena
ramainya peserta didik. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Kusumojanto (2009), bahwa
dalam pelaksanaan model pembelajaran Numbered Heads Together, suasana di kelas menjadi
lebih ramai. Kenyataan tersebut juga didukung oleh penelitian Wang (2007: 27), yaitu the
researcher observed some of the groups did not work cooperatively very well; especially
some distracted students did their individual work and made class noisy, the classroom
management was sometimes not easy to deal with. Selain karena ramainya peserta didik,
lamanya waktu pembelajaran dikarenakan pembagian kelompok dilakukan pada awal
pembelajaran. Hal tersebut membuat waktu tersita saat peserta didik mengkondisikan diri
pada kelompok masing-masing.

Simpulan
Hasil belajar peserta didik kelas VIII SMP N 5 Banjarnegara yang menggunakan
model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT) disertai aktivitas
penemuan terbimbing pada sub materi luas permukaan serta volum prisma dan limas
mencapai KKM yang ditetapkan sekolah yaitu minimal sebanyak . Selain itu, rata-
rata hasil belajar peserta didik kelas VIII SMP N 5 Banjarnegara yang menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT) disertai aktivitas penemuan
terbimbing pada sub materi luas permukaan serta volum prisma dan limas lebih dari rata-rata
hasil belajar peserta didik yang menggunakan model pembelajaran ekspositori.

Daftar Pustaka

Bawn, S. 2007. The Effects of Cooperative Learning and Engagement. Thesis. United States:
The Evergreen State College. Tersedia di http://archives.evergreen.edu/
masterstheses/Accession89-MIT/Bawn_S%20MITthesis%202007.pdf [diakses 08-01-
2012].
Depdiknas. 2007. Model-model Pembelajaran Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Hudojo, H. 2003. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika (Edisi Revisi).
Malang: JICA.

147
Kusumojanto, D.D. 2009. Penerapan Pembelajaran Kooperatif Model Numbered Heads
Together (NHT) untuk meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Mata Diklat
Manajemen Perkantoran Kelas X APK di SMK Ardjuna 01 Malang. Jurnal Penelitian
Pendidikan, 19(1): 91-108. Tersedia di http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal
/1910991108_0854-8323.pdf [diakses 08-01-2012].
Markaban. 2006. Model Pembelajaran Matematika dengan Penemuan Terbimbing.
Yogyakarta: PPP Guru Matematika. Tersedia di http://
p4tkmatematika.org/downloads/ppp/PPP_Penemuan_terbimbing.pdf [diakses 13-02-
2012].
Nur, M. & P. R. Wikandari. 2000. Pengajaran Berpusat Kepada Siswa dan Pendekatan
Konstruktivis dalam Pengajaran. Surabaya: University Press.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
Sudjana. 2002. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Walle, J.A.V.D. 2007. Matematika Sekolah Dasar dan Menengah. Translated by Suyono.
2008. Jakarta: Erlangga.
Wang, T. P. 2007. The Comparison of the Difficulties between Cooperative Learning and
Traditional Teaching Methods in College English Teachers. The Journal of Human
Resource and Adult Learning, 3(2): 23-30. Tersedia di http://hraljournal.com/Page/
4%20Tzu-Pu%20Wang.pdf [diakses 08-01-2012].

148
Keefektifan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Berbasis
Pendidikan Karakter Berbantuan Media Pembelajaran terhadap Hasil
Belajar Peserta Didik SMP Kelas VII pada Materi Segiempat

Fitra Eka Nurfarid1), Amin Suyitno, Wardono


Mahasiswa Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Semarang
Semarang 50229, Indonesia
Email: 1)faridsanjaya18@yahoo.com

Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah hasil belajar dengan model
pembelajaran STAD berbasis pendidikan karakter berbantuan media pembelajaran pada
materi segiempat khususnya jajargenjang, persegi panjang, dan belahketupat mencapai
ketuntasan belajar, dan apakah rata-rata hasil belajar peserta didik dengan menggunakan
model pembelajaran STAD berbasis pendidikan karakter berbantuan media pembelajaran
lebih tinggi daripada rata-rata hasil belajar dengan menggunakan model pembelajaran
ekspositori. Populasi dalam penelitian ini adalah peserta didik kelas VII SMP N 4 Kudus.
Sampel diambil dengan menggunakan metode cluster random sampling. Hasil belajar
diambil dengan menggunakan metode tes. Teknik analisis data menggunakan uji proporsi
pihak kanan dan uji t. Berdasarkan hasil uji ketuntasan belajar dengan uji proporsi pihak
kanan diperoleh bahwa peserta didik kelas eksperimen telah mencapai ketuntasan belajar
klasikal. Berdasarkan uji perbedaan dua rata-rata dengan menggunakan uji t diperoleh rata-
rata hasil belajar peserta didik kelas eksperimen lebih tinggi daripada rata-rata hasil belajar
peserta didik kelas kontrol. Simpulan yang diperoleh adalah model pembelajaran STAD
berbasis pendidikan karakter berbantuan media pembelajaran mencapai ketuntasan belajar,
dan rata-rata hasil belajar peserta didik dengan menggunakan model pembelajaran STAD
berbasis pendidikan karakter berbantuan media pembelajaran lebih tinggi daripada rata-rata
hasil belajar dengan menggunakan model pembelajaran ekspositori.

Kata kunci: media pembelajaran; hasil belajar; segiempat; STAD.

Pendahuluan
Masalah yang sangat menonjol berkaitan dengan mutu pendidikan ialah rendahnya
prestasi belajar peserta didik, khususnya untuk mata pelajaran matematika. Rata-rata nilai
Ujian Nasional (UN) tahun pelajaran 2010/2011 untuk mata pelajaran matematika pada
jenjang SMP di wilayah Jawa Tengah ialah terendah dari empat mata pelajaran yang diujikan
yaitu 6,29. Selain itu, dari total seluruh peserta UN jenjang SMP sebanyak 59,58% peserta
didik mendapat nilai di bawah 7 dan sisanya yaitu 40,41% peserta didik mendapat nilai di
atas 7 (BSNP: 2011). Keadaan ini sangat kontra produktif dengan kedudukan dan peran
matematika sebagai dasar pengembang ilmu dan pengetahuan, mengingat matematika
merupakan ratunya ilmu pengetahuan (The Queen of Science).
Hingga saat ini matematika merupakan mata pelajaran yang belum difavoritkan oleh
peserta didik. Penyebabnya antara lain mencakup penekanan berlebihan pada penghafalan
semata, penekanan kecepatan berhitung, pengajaran otoriter, kurangnya variasi dalam proses
pembelajaran dan penekanan berlebih pada nilai individu. Apa yang harus dicapai oleh
peserta didik dirasa terlalu berat. Sangat banyak konsep-konsep matematika yang harus
dihafalkan, ditambah lagi menghafalkan rumus-rumus, setelah itu peserta didik dituntut dapat
menggunakannya dalam perhitungan sampai mendapatkan hasil akhir.
Matematika merupakan disiplin ilmu yang mempunyai sifat khas. Objek matematika
merupakan benda pikiran yang sifatnya abstrak dan tidak dapat diamati dengan pancaindra.

149
Objek matematika berkenaan dengan ide-ide/konsep-konsep abstrak yang tersusun secara
hirarkis dan penalarannya deduktif, konsisten dan logis. Keabstrakan matematika karena
objek dasarnya yang berupa fakta, konsep, operasi dan prinsip tersebut bersifat abstrak. Ciri
keabstrakan yang tidak sederhana inilah menyebabkan matematika tidak mudah untuk
dipelajari, sehingga banyak peserta didik setingkat SMP banyak merasa kesulitan dalam
belajar matematika.
Pada hakikatnya matematika bukanlah ilmu yang berisi hafalan rumus dan konsep
belaka, peserta didik tidak hanya sekedar menerima rumus dan konsep dari guru saja, serta
merta menghafalnya tanpa tahu dari mana rumus dan konsep itu didapat. Pembelajaran
konvensional semacam itu akan menyebabkan perhatian peserta didik terhadap mata
pelajaran matematika sangatlah rendah, ini terlihat dari kurang aktifnya peserta didik dalam
pembelajaran serta tidak ada keinginan untuk bertanya walaupun mereka belum menguasai
konsep yang dipelajari. Sebaiknya peserta didik diarahkan untuk dapat menemukan rumus
dan konsep, ditunjukkan hal-hal kongkret yang ada di sekitar mereka, diakui segala upayanya
sehingga memiliki pengalaman tentang pengetahuan matematika secara utuh mulai dari
mendapatkan rumus dan konsep sampai menggunakannya untuk menyelesaikan masalah.
Pembelajaran yang efektif perlu partisipasi aktif peserta didik dan suasana lingkungan
kelas yang mendukung serta berorientasi pada peserta didik. Oleh karena itu, kegiatan
pembelajaran yang akan dilaksanakan harus benar-benar direncanakan untuk meningkatkan
pemahaman peserta didik yang pada akhirnya berdampak pada hasil belajar yang baik.
Tugas guru bukan lagi aktif mentransfer pengetahuan kepada peserta didik di dalam kelas,
melainkan menciptakan kondisi belajar dan merencanakan jalannya pembelajaran dengan
pilihan materi yang cocok dan representatif, sehingga mereka mendapat pengalaman belajar
yang optimal (Marpaung, 2007: 3).
Dalam pembelajaran kooperatif, peserta didik tidak hanya dituntut secara individual
berupaya mencapai sukses atau berusaha mengalahkan peserta didik lainnya, melainkan
dituntut dapat bekerja sama untuk mencapai hasil bersama. Aspek sosial yang menonjol,
yaitu peserta didik dituntut bertanggung jawab terhadap keberhasilan kelompoknya.
Pembelajaran kooperatif memberi peluang kepada peserta didik yang berbeda latar belakang
dan kondisi untuk saling ketergantungan satu sama lain atas tugas-tugas bersama dan melalui
penggunaan struktur penghargaan kooperatif, belajar untuk menghargai satu sama lain
(Ibrahim, 2000: 9).
SMP N 4 Kudus merupakan salah satu SMP potensial yang ada di kabupaten Kudus.
Saat ini SMP N 4 Kudus sedang berusaha menyandang predikat Sekolah Standar Nasional
(SSN). Dari hasil wawancara dengan Akhmad Sayuji, S.Pd. guru mata pelajaran matematika
kelas VII SMP N 4 Kudus, diperoleh data bahwa hasil belajar peserta didik pada materi
segiempat masih rendah. Hal ini terlihat dari banyaknya peserta didik yang belum mencapai
KKM yang ditetapkan yaitu 75. Misalnya saja pada kelas VII-D, terdapat 16 dari 32 peserta
didik yang belum dapat mencapai KKM.
Untuk mengatasi permasalahan di atas, diperlukan model pembelajaran yang
berorientasi serta melibatkan peserta didik secara aktif dalam menggunakan pengetahuan
yang telah dimilikinya untuk membangun pengetahuan yang baru. Media pembelajaran yang
digunakan diharapkan mampu menuntun peserta didik dalam mengembangkan
pengetahuannya sehingga dapat menarik perhatian peserta didik dalam belajar. Penggunaan
model pembelajaran yang kurang tepat dapat menimbulkan kebosanan dan kurang paham
yang pada akhirnya menurunkan perhatian peserta didik dalam belajar.
Students Teams Achievement Division (STAD) merupakan salah satu tipe model
pembelajaran kooperatif. STAD adalah model yang paling sesuai dengan untuk mengajarkan
mata pelajaran yang sudah terdefinisi dengan jelas seperti matematika, berhitung dan studi
terapan (Slavin, 2005: 12).

150
Gagasan utama dari STAD adalah membuat peserta didik dapat saling mendukung dan
membantu satu sama lain dalam menguasai pengetahuan yang diajarkan guru. Jika peserta
didik ingin timnya mendapatkan penghargaan, mereka harus membantu teman satu timnya
untuk menguasai materinya. Tiap peserta didik harus tahu materinya. Tanggung jawab
individual seperti ini membuat peserta didik dapat memberi penjelasan dengan baik satu sama
lain, karena satu-satunya cara bagi tim untuk berhasil adalah dengan membuat semua anggota
timnya menguasai informasi atau kemampuan yang diajarkan (Slavin, 2005: 12).
Penggunaan media pembelajaran terasa sangat penting karena mampu menciptakan
suasana pembelajaran aktif, berpengaruh terhadap perhatian peserta didik, meningkatkan
daya abstraksi, dan pembelajaran lebih bervariasi. Berdasarkan penelitian John and Rising
dalam Sugiarto & Isti Hidayah (2006: 5) mengungkapkan bahwa persentase daya serap pada
suatu pembelajaran yang diperoleh hanya dengan kegiatan mendengarkan adalah kurang
lebih 20%, melihat dan mendengar kurang lebih 50%, dan melihat, mendengar sekaligus
melakukan kurang lebih 75%. Hasil penelitian ini menunjukkan pentingnya suatu media atau
alat peraga yang membuat peserta didik dapat melihat, mendengar serta ikut melakukan
tindakan dalam pembelajaran agar mendapatkan pengetahuan. Penggunaan media
pembelajaran dalam matematika dapat merangsang lebih dari satu indra peserta didik.
Adanya visualisasi dan pertanyaan-pertanyaan yang membangun diharapkan peserta didik
dapat mengkontruk pengetahuannya sendiri.
Pemilihan model pembelajaran STAD berbantuan media pembelajaran berupa LKPD
dan CD pembelajaran dengan program Microsoft Office Power Point 2007 untuk materi
segiempat diharapkan peserta didik mendapatkan pengalaman baru dalam pembelajaran,
sehingga konsep-konsep pokok dalam materi tersebut dapat terserap secara maksimal.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin mengetahui keefektifan model pembelajaran
kooperatif tipe STAD berbasis pendidikan karakter berbantuan media pembelajaran terhadap
hasil belajar peserta didik SMP Kelas VII pada materi segiempat.
Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Mengetahui apakah hasil belajar peserta didik
kelas VII SMP N 4 Kudus pada materi segiempat dengan menggunakan model pembelajaran
kooperatif tipe STAD berbasis pendidikan karakter berbantuan media pembelajaran dapat
mencapai ketuntasan individual minimum 75, dan ketuntasan klasikal 75%. (2) Mengetahui
apakah rata-rata hasil belajar antara peserta didik yang mendapat pembelajaran dengan model
pembelajaran kooperatif tipe STAD berbasis pendidikan karakter berbantuan media
pembelajaran lebih tinggi daripada rata-ratat hasil belajar peserta didik yang mendapat
pembelajaran ekpositori pada materi segiempat.

Metode Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah semua peserta didik kelas VII SMP N 4 Kudus
tahun pelajaran 2011/2012 sebanyak 276 peserta didik yang terbagi menjadi 8 kelas. Sampel
didapat dengan menggunakan teknik cluster random sampling. Kemudian diambil 2 kelas
sebagai sampel penelitian yaitu kelas VII-D sebagai sampel kelas eksperimen yang dikenai
model pembelajaran kooperatif tipe STAD berbasis pendidikan karakter berbantuan media
pembelajaran, kelas VII-H sebagai sampel kelas kontrol yang dikenai model pembelajaran
ekspositori. Selainjutnya dipilih kelas selain kelas eksperimen dan kontrol serta masih masuk
dalam populasi sebagai kelas ujicoba. Dipilihlah kelas VII-F.
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
dokumentasi, pengamatan dan tes. Metode dokumentasi digunakan untuk mendapatkan nama
peserta didik dan nilai ulangan yang menjadi data awal. Metode pengamatan untuk
mendapatkan data aktivitas peserta didik, kinerja guru, kualitas pembelajaran, dan pendidikan
karakter. Metode tes digunakan untuk memperoleh hasil belajar peserta didik setelah
diberikan perlakuan. Nilai tes diuji ketuntasan belajarnya dengan uji proporsi satu pihak

151
(pihak kanan), kemudian diuji rata-rata hasil belajarnya dengan uji-t. Berdasarkan uji
proporsi satu pihak (pihak kanan) dan uji rata-rata dapat ditentukan pembelajaran yang
efektif.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimen.
Desain penelitian yang digunakan seperti tampak pada tabel 1 berikut.

Tabel 1. Rancangan Penelitian


Kelompok
N Pengambila P T
o n Data Awal erlakua es
n Akhir
Eksperimen
1 Y1 X Y
Kontrol 2 Y1 1 2
X Y
2 2

Keterangan
: Kondisi awal kedua kelompok
: Pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD berbasis
pendidikan karakter berbantuan media pembelajaran pada materi segiempat
meliputi jajargenjang, persegi panjang, dan belahketupat.
: Pembelajaran dengan model ekspositori pada materi segiempat meliputi
jajargenjang, persegi panjang, dan belahketupat.
: Tes hasil belajar kedua kelompok pada materi segiempat meliputi
jajargenjang, persegi panjang, dan belahketupat.

Hasil dan Pembahasan


Sebelum penelitian dilaksanakan, terlebih dahulu ditentukan sampel penelitian dari
populasi yang ada. Penentuan sampel dengan cara Cluster Random Sampling. Diperoleh dua
kelas secara acak yaitu kelas VII-D sebagai kelas ekperimen dan kelas VII-H sebagai kelas
kontrol. Selanjutnya dipilih kelas VII-F sebagai kelas Uji Coba.
Penelitian ini diawali dengan menganalisis kemampuan awal peserta didik yang akan
dijadikan kelas eksperimen dan kelas kontrol. Untuk mengetahui keadaan awal kedua kelas,
peneliti menganalisis data nilai ulangan materi segiempat yang sebelum penelitian ini
dilaksanakan sudah diajarkan dan telah diteskan.
Setelah dianalisis, hasilnya menunjukkan bahwa data awal tersebut berdistribusi
normal, kedua kelas homogen, serta tidak ada perbedaan rata-rata yang signifikan antara nilai
hasil ulangan pada materi segiempat antara peserta didik kelas eksperimen dan kelas kontrol.
Sehingga dapat dikatakan bahwa kedua kelas mempunyai kondisi awal yang sama dan
mewakili populasi dengan karakteristik yang sama.
Kemudian kelompok eksperimen diberi pembelajaran dengan model pembelajaran
kooperatif tipe STAD berbasis pendidikan karakter berbantuan media pembelajaran
sedangkan kelompok kontrol diberi pembelajaran dengan model pembelajaran ekspositori.
Model pembelajaran ekspositori dipilih karena model ini sering digunakan dalam pengajaran
di SMP N 4 kudus. Waktu pembelajaran dalam penelitian ini adalah 3 x pertemuan (6 jam
pelajaran).
Penelitian ini diawali dengan pelaksanaan pembelajaran pada kedua kelas dengan
materi segiempat yang meliputi pengertian, sifta-sifat, serta rumus luas dan keliling
jajargenjang, persegi panjang, dan belahketupat. Pada akhir pembelajaran, kedua kelas beri
tes untuk mengetahui hasil belajar peserta didik.
Tes dilakukan pada kelas eksperimen dan kelas kontrol dengan soal dan bobot yang
sama. Soal tes tertulis tersebut berbentuk uraian sebanyak 9 butir soal dengan alokasi waktu

152
80 menit. Soal tes yang digunakan adalah soal yang telah diujicobakan pada kelas uji coba
(VII-F) sebelumnya dengan mengambil soal-soal yang valid dan reliable. Sebuah tes
dikatakan valid apabila tes tersebut dapat tepat mengukur apa yang hendak diukur, sedangkan
sebuah tes dikatakan reliable apabila tes tersebut memberikan hasil yang tetap apabila
diteskan berkali-kali. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa jika suatu tes tersebut valid
dan reliable, maka tes tersebut dapat dikatakan baik sebagai alat pengukur. Dalam penelitian
ini, soal tes yang digunakan pada kelas eksperimen dan kelas kontrol sudah memenuhi syarat
valid dan reliable, sehingga soal tes tersebut dapat dikatakan baik untuk mengukur hasil
belajar peserta didik kelas VII SMP N 4 Kudus.
Setelah itu, diperoleh data akhir nilai hasil belajar peserta didik yang kemudian
dianalisis. Dari hasil analisis data akhir teersebut, diketahui bahwa data berdistribusi normal
dan homogen. Oleh karena itu, statistika yang digunakan adalah statistika parametrik dan
kesimpulan yang diperoleh dari hasil perhitungan statistik dapat digeneralisir ke dalam
populasi.
Uji ketuntasan belajar dengan menggunakan uji proporsi satu pihak (pihak kanan)
dilakukan untuk menguji apakah peserta didik kelas eksperimen mencapai ketuntasan belajar
sedangkan uji perbedaan rata-rata menggunakan uji-t untuk menguji apakah rata-rata hasil
belajar peserta didik kelas eksperimen lebih tinggi daripada rata-rata hasil belajar peserta
didik kelas kontrol.
Berdasarkan hasil analisis data akhir pembelajaran pada kelompok eksperimen
memenuhi standar ketuntasan minimal 75 % peserta didik telah mencapai batas KKM yaitu
75. Ketuntasan klasikal terlihat dari hasil uji proporsi satu pihak (pihak kanan) yaitu
dengan adalah 1,64 dan . Jadi maka
H0 ditolak, artinya hasil belajar peserta didik pada kelas eksperimen yang dikenai
pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD berbasis pendidikan karakter
dan berbantuan media pembelajaran telah mencapai ketuntasan belajar secara klasikal.
Berdasarkan hasil analisis data akhir setelah dilakukan pembelajaran pada kelompok
eksperimen menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD berbasis pendidikan
karakter dan kelompok kontrol menggunakan model pembelajaran ekspositori terlihat bahwa
kemampuan hasil belajar kedua kelas tersebut berbeda secara nyata atau signifikan. Hal ini
terlihat dari hasil uji t yaitu =2,45 dan =2,00 karena berarti H0
ditolak, dengan kata lain bahwa rata-rata hasil belajar peserta didik kelas eksperimen lebih
tinggi daripada rata-rata hasil belajar peserta didik kelas kontrol.
Hal ini dikarenakan pada pembelajaran di kelas eksperimen peserta didik belajar
secara kelompok yang bersifat heterogen serta keberhasilan anggota kelompok menjadi
tanggungjawab semua anggota kelompok tersebut. Dalam kelompok yang berisi peserta didik
dengan kemampuan akademik yang berbeda akan membuat adanya interaksi yang berbentuk
saling menjelaskan antar anggota kelompok, bertukar pikiran, serta mendiskusikan
permasalahan yang diberikan oleh peneliti. Sehingga memberikan inisiatif untuk saling
membantu satu sama lain dan mendorong melakukan usaha yang maksimal dalam memahami
pembelajaran. Hal ini selaras dengan teori belajar Piaget yang menjelaskan bahwa interaksi
sosial dengan teman sebaya dengan melakukan kegiatan seperti bertukar argumen dan
berdiskusi membantu memperjelas pemikiran sehingga pada akhirnya membuat pemikiran
lebih jelas serta logis.
Selain itu, pembelajaran di kelas eksperimen menggunakan media pembelajaran yaitu
LKPD dan CD pembelajar. Terlebih dahulu peneliti memberikan apersepsi sebagai modal
untuk memperoleh pengetahuan baru. LKPD berisi pertanyaan-pertanyaan yang bersifat
menggali pengetahuan peserta didik untuk bereksplorasi. LKPD harus dikerjakan sebagai
tugas dan tanggung jawab setiap kelompok. Sehingga dengan mendiskusikan LKPD tersebut,
peserta didik dibimbing untuk menyusun pengetahuannya sendiri. Jika peserta didik

153
mengalami kesulitan dalam memahami atau menyelesaikan LKPD maka peneliti akan
memberikan arahan seperlunya. Bantuan dari peneliti diharapkan dapat memicu peserta didik
lebih mengeksplor kemampuanya dan pada akhirnya mendapatkan mengetahuan baru. Hal ini
sesuai dengan teori belajar Vygotsky yang menjelaskan bahwa proses pembelajaran akan
terjadi jika peserta didik menyelesaikan tugas-tugas yang belum dipelajari namun masih
berada dalam jangkauan mereka. Pemberian bantuan dalam menyelesaikan tugas dilakukan
pada tahap awal dan berangsur-angsur berkurang sehingga memberi kesempatan anak untuk
mengambil alih tanggung jawabnya sampai penuh.
Untuk mendapatkan pengetahuan baru peserta didik dibantu dengan CD
pembelajaran. Slide yang berisi gambar serta animasi gerak ini akan memudahkan peserta
didik untuk membayangkan obyek matematika yang bersifat abstrak. Gerakan dari gambar
serta diikuti dengan serangkaian pertanyaan yang membangun menunjukan bagaiman suatu
pengetahuan baru terbangun. Sehingga peserta didik dapat mempelajarinya dengan melihat,
mendengar dan membayangkan. Hal ini sesuai dengan teori belajar Bruner yang menjelaskan
bahwa melalui media peserta didik akan melihat secara langsung bagaimana keteraturan dan
pola struktur yang terdapat dalam benda yang sedang diperhatikan.
Pada kelas kontrol diberikan pembelajaran sesuai dengan apa yang biasa digunakan
oleh guru di kelas, yaitu pembelajaran ekspositori. Pada pembelajaran ini peneliti sebagai
pemberi informasi dari materi segiempat meliputi jajargenjang, persegi panjang, dan
belahketupat. Peserta didik menerima pengetahuan langsung dari peneliti. Dengan metode
ceramah yang bersifat satu arah peneliti menyampaikan pengertian, sifat-sifat serta rumus
luas dan keliling jajargenjang, persegi panjang, dan belahketupat. Dalam menemukan
pengetahuan peneliti tidak menggunakan media pembelajaran atau alat peraga apapun
sehingga peserta didik tidak memiliki pengetahuan secara utuh. Peserta didik hanya
menerima materi sampai pada bentuk akhir yaitu serta rumus luas dan keliling jajargenjang,
persegi panjang, dan belahketupat.
Pembelajaran seperti ini akan sulit mengembangkan kemampuan peserta didik dalam
menyelesaikan masalah. Peserta didik hanya menghafalkan pengertian, sifat dan rumus tanpa
tahu bagaimana pengetahuan itu dibangun. Serta kemampuan peserta didik hanya sebatas apa
yang disampaikan peneliti saja, sehingga akan mengurangi kemampuan berfikir. Keaktifan
peserta didik rendah karena kurang adanya komunikasi dua arah dan tidak adanya interaksi
antar peserta didik. Peserta didik yang memiliki kemampuan mendengar dan menyimak yang
rendah akan mengalami gangguan dalam menerima pembelajaran. Hasil ini didukung oleh
penelitian Budi Mulyono (2011) kelas VII SMP Al Islam Gunungpati Semarang mengenai
peningkatan hasil belajar segiempat dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif
tipe STAD. Pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD mencapai
ketuntasan.

Daftar Pustaka

Marpaung, Y. 2006. Metode Pembelajaran Matematika untuk Anak SD/MI N. Makalah


Disampaikan pada Sarasehan Pengembangan Pembelajaran di SD dan TK Fakultas
Ilmu Pendidikan, UNY, Karangmalang, 1 Oktober 2006. Yogyakarta.
Ibrahim, Muslimin dkk. 2001. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: UNESA UNIVERSITY press.
Slavin, Robert E. 2005. Cooperative Learning. Bandung: Nusa Media.
Sugiarto. 2010. Bahan Ajar Workshop Pendidikan Matematika II. Jurusan Matematika Unnes.
Mulyono, Budi. (2011). Keefetifan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD terhadap Hasil
Belajar Matematika Peserta Didik Kelas VII SMP Al Islam Gunungpati Semarang pada
Materi Pokok Segiempat Tahun Pelajaran 2009/2010. Semarang : FMIPA Unnes.

154
Analisis Pengembangan Bahan Ajar Matematika Kelas XI Materi
Statistika Terintegrasi dengan Pendidikan Karakter dan Kewirausahaan

Hagni Hangga Kresna1), YL Sukestiyarno, Supriyono


Pendidikan Matematika. FMIPA. Universitas Negeri Semarang
Jl. Mayangsari Rt 1 Rw 2, kecamatan Ngaliyan, Semarang, 50183/ Perumahan Sekar Gading
Blok D12 kecamatan Gunungpati, Semarang, 50229.
Email: 1)Kresnapandhudewanata@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini berisi mengenai pengembangan bahan ajar modul Statistika SMA kelas XI
terintegrasi dengan pendidikan karakter dan kewirausahaan. Kegiatan penelitian ini terdiri
atas fase-fase sebagai berikut. fase investigasi awal (prelimenary investigation), fase desain
(design), fase realisasi/ konstruksi(realization/construction), dan fase tes, evaluasi dan
revisi (test, evaluation and revision), yang diadobsi dari model pengembangan bahan ajar
oleh Plomp (1997).
Objek pada penelitian ini adalah pengembangan bahan ajar Matematika kelas XI materi
Statistika yang digunakan oleh guru pada sekolah yang di observasi oleh peneliti. Dari bahan
ajar modul yang digunakan tersebut diberikan muatan pendidikan karakter dan
kewirausahaan. Kemudian bahan ajar modul yang dikembangkan oleh peneliti, dilakukan
proses penilaian oleh validator, teman sejawat dan dilakukan uji coba secara terbatas kepada
peserta didik. Data yang diperoleh dari proses penilaian, validator, teman sejawat, dan peserta
didik kemudian dianalisis. Cara menganalisisnya dengan menggunakan analisis deskriptif
persentase. Dari analisis data yang diperoleh maka peneliti dapat menyimpulkan hasil
penelitian yang telah dilakukan. Kesesuaian muatan pendidikan karakter dan kewirausahaan
yang terdapat dalam bahan ajar modul yang telah direvisi yaitu sebesar 79,34 % berdasarkan
penilaian validator guru. Kesesuaian muatan pendidikan karakter dan kewirausahaan yang
terdapat dalam bahan ajar modul yang sudah direvisi berdasarkan penilaian teman sejawat
yaitu sebesar 79,78%. Selanjutnya, kesesuaian muatan pendidikan karakter dan
kewirausahaan yang terdapat dalam bahan ajar modul yang sudah direvisi berdasarkan
penilaian peserta didik yaitu sebesar 78,02%. Dari hasil persentase angket respon peserta
didik, peserta didik yang menjawab pernyataan-pernyataan dari modul yang
dikembangkangkan oleh peneliti adalah sebagai berikut. Dari peserta didik yang menjawab
dengan respon sangat setuju adalah sebesar 43,75%, siswa yang menjawab dengan respon
setuju sebesar 46,25%, dan siswa yang menjawab dengan respon tidak setuju adalah sebesar
8,75%,. Berdasarkan penilaian validator ahli Kesesuaian muatan pendidikan karakter dan
kewirausahaan yang terdapat dalam bahan ajar modul yang telah direvisi yaitu sebesar 92%.
Dari proses di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa bahan Ajar Matematika Berupa Modul
pembentuk karakter dan kewirausahaan peserta didik SMA kelas XI materi statistika
sebagai perangkat praktis adalah valid dan dapat digunakan dalam proses pembelajaran.
Kata kunci: analisis, bahan ajar, statistika, pendidikan karakter dan kewirausahaan,
valid.

Pendahuluan
Kecermatan dalam berpikir sangat diperlukan dalam memahami konsep pelajaran,
khususnya Matematika, sehingga harus dibuat suatu mekanisme untuk memberikan
keterampilan dan konsep yang variatif.
Pendidikan yang dalam hal ini termasuk dalam pelajaran Matematika memiliki peran
yang sangat penting, sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

155
Selama ini, pendidikan informal terutama dalam lingkungan keluarga belum
memberikan kontribusi berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi dan pembentukan
karakter peserta didik terutama dalam pembelajaran Matematika, yang mengakibatkan
peserta didik menjadi kurang mengenal nilai-nilai karakter di dalam pembelajaran, khususnya
pada pelajaran Matematika.
Munculnya sikap cepat bosan, tidak teliti, dan kurang terampil dalam mengerjakan
soal Matematika yang dapat memicu perbuatan curang di kelas pun dapat terlihat dari
belum melekatnya pendidikan karakter yang ada. Dengan turunnya UU no 20 Tahun 2003,
konsep pendidikan karakter begitu mendapat perhatian.
Pada penelitian ini, peneliti akan berusaha untuk menemukan media yang mungkin
dapat digunakan pada pembelajaran Matematika SMA melalui pembelajaran yang
membentuk karakter dan pendidikan kewirausahaan yakni pendidikan karakter terpadu.
Dalam hal ini, waktu belajar di sekolah perlu dioptimalkan dan tugas terstruktur yang
diberikan juga dimanfaatkan dengan baik sehingga dapat meningkatan mutu hasil belajar,
terutama pembentukan karakter peserta didik sesuai tujuan pendidikan yang diharapkan.
Pendidikan karakter secara terpadu di dalam pembelajaran Matematika adalah
pengenalan nilai-nilai, dan penginternalisasian nilai-nilai ke dalam tingkah laku peserta didik
sehari-hari melalui proses pembelajaran Matematika.
Tidak dipungkiri lagi terlihat dari beberapa guru mata pelajaran khususnya
Matematika pada tingkat SMA yang hanya menggunakan media lama dan tidak bersesuaian
dengan apa yang dikehendaki dalam aspek pendidikan berkarakter, mengakibatkan peserta
didik tidak berkembang dalam aspek karakter, serta tidak memiliki inovasi dalam
mengembangkan jiwa kewirausahaan yang timbul dari proses pembentukan karater tersebut.
Untuk mewujudkan harapan diatas maka perlu adanya media bahan ajar yang mendukung
untuk di terapkan kepada peserta didik.
Ide tersebut akan diterapkan dalam penelitian penulis pada populasi peserta didik
SMA pada mata pelajaran Matematika yang di aplikasikan pada materi pokok statistika kelas
XI dalam rangka pembentukan pendidikan karakter yang terintegrasi dengan kewirausahaan.
Materi statistika merupakan materi yang erat kaitannya dengan keadaan di sekitar
peserta didik dan memungkinkan akan dialami pada kehidupan sehari-hari, yang dapat
menjadikan peserta didik mengenal, menyadari atau peduli, dan menginternalisasi nilai-nilai
dan menjadikannya sebagai bekal dasar mencapai tujuan yang lebih besar bermanfaat bagi
kehidupan hidup peserta didik. Mereka dapat belajar tentang cara berpikir kritis serta
mengembangkan nilai-nilai karakter dan kewirausahaan untuk memperoleh pengetahuan
yang esensial dari mata pelajaran.
Produk penelitian ini berupa bahan ajar yang berupa modul sebagai pembentuk
karakter yang terintegrasi dengan kewirausahaan yang termuat dalam mata pelajaran
matematika materi statistika kelas XI dengan menggunakan model pengembangan bahan ajar
berdasar teori Plomp (1997), yang disini peneliti hanya membatasi hingga fase tes, evaluasi
dan revisi.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka muncul permasalahan yaitu Bagaimana
pengembangan bahan ajar Matematika, materi Statistika kelas XI yang terintegrasi dengan
pendidikan karakter dan kewirausahaan sebagai perangkat praktis yang valid?.
Penelitian ini dirancang untuk mencapai tujuan yakni menghasilkan bahan ajar
Matematika materi statistika kelas XI berupa modul pembelajaran yang terintegrasi dengan
pendidikan karakter dan kewirausahaan yang valid.

Metode
Berdasarkan dari rumusan masalah, jenis penelitian yang digunakan adalah
pendekatan kualitatif, atau penelitian kualitatif. Alasan menggunakan pendekatan kuantitatif

156
karena dalam penelitian ini lebih menekankan pada esensi dari objek yang diteliti, pemilihan
objek berdasar pada kualitas bukan kuantitasnya/ jumlah, dan data yang diperoleh merupakan
data yang bersifat deskriptif dalam kondisi alamiah (natural setting). Menurut strauss dan
Corbin (1997), berdasarkan ide-ide tersebut di atas diusulkan sistematika penelitian untuk 3
bulan. Dalam proses ini akan disusun Bahan ajar yang menunjang percepatan pencapaian
tujuan di atas secara terintegrasi untuk mata pelajaran yang telah disebutkan.
Objek pada penelitian ini adalah pengembangan bahan ajar Matematika kelas XI
materi Statistika yang digunakan oleh guru pada sekolah yang diobservasi oleh peneliti. Dari
bahan ajar modul yang digunakan dipilihlah bahan ajar modul yang ditulis oleh Kusrini dari
Departemen Pendidikan Nasional yang berjudul Modul Statistika SMA Kelas XI, yang
kemudian diberikan muatan pendidikan karakter dan kewirausahaan oleh peneliti. Bahan ajar
berupa modul yang dikembangkan oleh peneliti kemudian dilakukan proses penilaian dan uji
cobakan secara terbatas, hingga bahan ajar Modul yang dikembangkan oleh peneliti menjadi
valid.
Variabel dalam hipotesis ini adalah kevalidan Bahan ajar berupa Modul Matematika
yang terintegrasi dengan pendidikan karakter dan kewirausahaan bagi peserta didik SMA
kelas XI materi Statistika.
Pada pengumpulan data modul yang dikembangkan oleh peneliti Pengumpulan data
dilakukan menggunakan observasi langsung dan wawancara. Penskoran dilakukan dengan
mengisi lembar angket yang diisi oleh validator pada setiap indicator.
Kuantitas data dikonversi dalam bentuk numerik. Data yang terkumpul kemudian
diolah dan dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif persentase. Jika skor persentase
pada interval 25% N 43,75%, kriteria tidak sesuai. Jika skor persentase pada interval
43,75% < N 62,5% kriteria kurang sesuai. Jika skor persentase pada interval 62,5% < N
81,25%, kriteria sesuai. Jika skor persentase pada interval 81,25% < N 100%, kriteria
sangat sesuai (Jelita, 2009: 24).

Hasil
Dalam penelitian lanjutan, pengembangan bahan ajar modul Statistika terintegrasi
dengan pendidikan karakter dan kewirausahaan memerlukan desain penelitian, dengan
peneliti membatasi hanya hingga fase evaluasi dan revisi.
Alur fase yang dirancang oleh peneliti untuk membuat Bahan ajar yang di adobsi dari
Model umum untuk pengembangan bahan ajar yang dikemukakan oleh Plomp (1997) yang
pertama adalah fase investigasi awal. Dalam fase investigasi awal (prelimenary
investigation), peneliti melakukan obesvasi untuk menemukan bahan ajar Modul yang
digunakan guru di sekolah yang dipilih oleh peneliti. Sebagai bahan referensi dipilih Modul
statistika yang ditulis oleh Kusrini dari Departemen Pendidikan Nasional yang dipakai di
SMA Teuku Umar Semarang.
Fase kedua adalah fase desain. Pada fase ini peneliti mempelajari dan merancang
materi yang dipersiapkan untuk menyusun Bahan ajar pada mata pelajaran dengan
menambahkan pendidikan karakter dan kewirausahaan pada mata pelajaran Matematika
materi statistika kelas XI, yang bertujuan agar peserta didik dapat mengembangkan potensi
karakter dalam diri ketika mempelajari modul yang dikembangkan oleh peneliti.
Fase ketiga adalah fase realisasi atau konstruksi. Fase ini merupakan perwujudan
hasil dari fase desain yang dilakukan sebelumnya. Dalam fase ini peneliti melakukan
penyusunan dan pembuatan modul yang merupakan hasil dari kumpulan referensi, yang
kemudian dikembangakan dengan memberi muatan pendidikan karakter dan kewirausahaan
dalam materi.
Muatan karakter yang diberikan oleh peneliti pada modul awal sebelum direvisi yaitu
pada Kegiatan Belajar 1 berisi pembahasan tentang mengidentifikasi pengertian statistik,

157
statistika, populasi dan sampel, serta macam bentuk table yang di dalamnya diberikan
muatan pendidikan karakter religius, kejujuran, dan kreatif. Kemudian Pada Kegiatan Belajar
2 berisi pembahasan tentang menyajikan data dalam bentuk tabel dan diagram, yang
didalamnya diberikan muatan karakter tanggungjawab, dan religius. Pada Kegiatan Belajar 3
berisi pembahasan tentang menentukan ukuran pemusatan data yang di dalamnya diberikan
muatan karakter kreterampilan, kreatif, dan religius. Pada Kegiatan Belajar 4 berisi
pembahasan mengenai menentukan ukuran penyebaran data, yang didalamnya diberikan
muatan karakter ketelitian dan kedisiplinan. Disini produk bahan ajar modul Matematika
materi statistika yang bermuatan pendidikan karakter dan kewirausahaan telah siap untuk
diuji cobakan.
Setelah produk bahan ajar modul siap, kemudian dilakukan fase ke-empat, yaitu fase
tes, evaluasi, dan revisi. Pada fase ini dilakukan penilaian bahan ajar modul yang telah dibuat
oleh peneliti dari validator dan teman sejawat. Kemudian hasil penilaian oleh validator dan
teman sejawat tersebut diolah dan dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif
persentase.
Muatan karakter yang dirubah dari modul yang dinilai pada tahap satu, diantaranya
pada Kegiatan Belajar 1, menjadi nilai karakter kewirausahaan dan religius. Kemudian pada
Kegiatan Belajar 2 menjadi ketelitian, kewirausahaan, dan religius, Kegiatan Belajar 3
menjadi karakter ketelitian dan keterampilan. Kegiatan Belajar 4 menjadi karakter ketelitian,
keterampilan dan religius.
Isi materi yang disajikan dalam modul adalah sebagai berikut; Kegiatan Belajar 1
yang membahas penyajian data akan diuraikan mengenai pengertian statistika yang
didalmnya terdapat pengertian dan kegunaan statistik, pengertian populasi dan sampel,
macam-macam data, dan macam bentuk tabel. Pendidikan karakter yang dituju pada kegiatan
pembelajaran 1 adalah pendidikan karakter kewirausahaan dan religius yang akan diuraikan
sebagai berikut; pada pembahasan mengenai pengertian statistik dan statistika, peserta didik
diberikan pemahaman pendidikan karakter kewirausahaan dalam kegiatan jual beli. Dalam
pembahasan mengenai pengertian populasi dan sampel, peserta didik diberikan pemahaman
pendidikan karakter kewirausahaan dalam kegiatan perdagangan. Dalam pembahasan
mengenai macam bentuk tabel, peserta didik diberikan pemahaman pendidikan karakter
kewirausahaan dalam kegiatan produksi untuk menghasilkan barang. Selain itu pendidikan
karakter yang dituju pada Kegiatan Belajar 1 adalah pendidikan karakter religius pada
pembahasan mengenai macam- macam data, peserta didik diberi pemahaman pendidikan
karakter religius dalam pemahaman mengenai keanekaragaman tempat ibadah, serta
pemberitahuan hukum dalam beragama.
Dalam Kegiatan Belajar 2, yaitu membahas macam-macam diagram diuraikan
mengenai; macam-macam diagram (batang, lingkaran, garis), penyajian data dalam bentuk
tabel, ogive, histogram, pengertian populasi dan sampel, macam-macam data, macam bentuk
tabel. Pendidikan karakter yang dituju pada kegiatan pembelajaran 2 adalah pendidikan
karakter ketelitian, kewirausahaan, dan religius yang akan diuraikan sebagai berikut; pada
pokok bahasan diagram batang, peserta didik diberi pemahaman pendidikan karakter
ketelitian dalam melihat data yang berada pada diagram batang. Dalam pembahasan
mengenai diagram garis, peserta didik diberi pemahaman pendidikan karakter kewirausahaan
melalui kegiatan penjualan dalam industri. Dalam pembahasan mengenai diagram lingkaran,
peserta didik diberi pemahaman pendidikan karakter religius melalui perhitungan jumlah
pemeluk agama. Dalam pembahasan mengenai penyajian data dalam bentuk tabel, peserta
didik diberi pemahaman pendidikan karakter ketelitian dalam menyusun dan menyajikan
data. Dalam pembahasan mengenai Ogive, peserta didik diberi pemahaman pendidikan
kewirausahaan melalui kegiatan produksi yang nantinya peserta didik diharapkan dapat
menghasilkan suatu produk dalam kegiatan pembelajaran.

158
Pada pokok bahasan dalam Kegiatan Belajar 3, yaitu membahas ukuran pemusatan,
akan diuraikan mengenai; mean data tunggal dan data kelompok, median data tunggal dan
data kelompok, modus data tunggal dan data kelompok, kuartil, desil, persentil data tunggal
dan data kelompok. Pendidikan karakter yang dituju pada kegiatan pembelajaran 3 adalah
pendidikan karakter ketelitian dan keterampilan yang diuraikan sebagai berikut; pada pokok
bahasan mean data tunggal, peserta didik diberi pemahaman pendidikan karakter
kewirausahaan dalam melihat data keuntungan dan kerugian suatu perusahaan. Dalam
pembahasan mengenai median data tunggal, peserta didik diberi pemahaman pendidikan
karakter ketelitian melalui kegiatan mencari nilai mata pelajaran. Dalam pembahasan modus
data tunggal, peserta didik diberi pemahaman pendidikan karakter keterampilan melalui
pengetahuan hasil keterampilan yang dihasilkan. Dalam pembahasan mengenai mean data
berkelompok, peserta didik diberikan pemahaman pendidikan karakter ketelitian dalam
menghitung data yang disajikan dalam bentuk tabel. Dalam pembahasan mengenai modus
data berkelompok, peserta didik diberi pemahaman pendidikan ketelitian dalam menghitung
nilai modus. Dalam pembahasan mengenai median data berkelompok, peserta didik diberi
pemahaman pendidikan karakter ketelitian dalam menghitung data yang disajikan dalam
bentuk Histogram. Dalam pembahasan mengenai kuartil, peserta didik diberi pemahaman
pendidikan keterampilan dalam mengumpukan dan mencari nilai kuartil. Dalam pembahasan
mean, peserta didik diberi pemahaman pendidikan karakter ketelitian dalam menghitung data
yang disajikan dalam bentuk tabel. Dalam pembahasan mengenai persentil data berkelompok,
peserta didik diberi pemahaman pendidikan karakter religius dalam menghitung frekuensi
umur jamaah dalam suatu peribadatan.
Dalam Kegiatan Belajar 4, yaitu pembahasan ukuran penyebaran data akan diuraikan
mengenai; jangkauan, data tunggal dan data kelompok, jangkauan semi antarkuartil data
tunggal dan data kelompok, ragam data tunggal dan data kelompok, dan simpangan rata-
rata, simpangan baku data tunggal dan data kelompok. Pendidikan karakter yang dituju pada
kegiatan pembelajaran 4 adalah pendidikan karakter ketelitian, keterampilan dan religius
yang akan diuraikan sebagai berikut; pada pokok bahasan jangkauan data tunggal, peserta
didik diberi pemahaman pendidikan karakter kewirausahaan dalam mengembangkan
keterampilan dalam mengumpulkan dan mengolah data. Dalam pembahasan mengenai
simpangan rata-rata data tunggal, peserta didik diberi pemahaman pendidikan karakter
religius melalui kegiatan mencari peribadatan. Dalam pembahasan mengenai jangkauan data
berkelompok, peserta didik diberi pemahaman pendidikan karakter kewirausahaan melalui
transaksi jual beli. Dalam ragam data berkelompok, peserta didik diberi pemahaman
pendidikan karakter keterampilan dalam menghitung data yang disajikan.
Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif
persentase. Adapun hasil analisis dipaparkan dalam hasil penelitian berikut ini; perolehan
persentase skor muatan yang dinilai oleh peneliti dari modul yang dikembangkan oleh
peneliti akan diuraikan sebagai berikut;
Pada penilaian validator guru Matematika kelas XI tahap satu, persentase skor
kesesuaian muatan pendidikan karakter dan kewirausahaan dinilai oleh peneliti yaitu 99,01%.
Selain peneliti, ada juga penilai yang lain yang memberikan penilaian terhadap modul,
diantaranya guru mata pelajaran Matematika kelas XI dan teman sejawat dari program studi
yang sama. Guru matematika SMA 7 Semarang sebagai validator guru penilai 1, guru
matematika SMA Teuku Umar Semarang dipilih dua guru sebagai validator penilai 2 dan 3.
Rata-rata persentase dari penilaian guru tahan pertama adalah 52,12%.
Pada penilaian oleh teman sejawat tahap satu, diperoleh rata-rata persentase dari
penilaian teman sejawat tahap pertama adalah 68,99%. Terdapat beberapa ketidaksesuaian
komponen kelengkapan materi dan tujuan instruksional yang dikembangkan oleh peneliti.
Maka modul perlu direvisi kemudian dilakukan kembali proses penilaian modul.

159
Pada penilaian validator guru Matematika kelas XI tahap dua, diperoleh rata-rata
persentase dari penilaian guru tahap dua adalah 79,34% .
Setelah itu, dilakukan penilaian oleh teman sejawat tahap dua. Diperoleh rata-rata
persentase dari penilaian teman sejawat tahap dua adalah 79,78%.
Tahap selanjutnya dilakukan uji coba terbatas peserta didik. Uji coba terbatas
dilakukan oleh peneliti kepada peserta didik untuk dan mengetahui kesesuaian pendidikan
karakter dan kewirausahaan yang terdapat pada modul yang dikembangkan oleh peneliti
sebagai perangkat praktis dalam pembelajaran. Peserta didik yang dipilih oleh peneliti berasal
dari SMA Teuku Umar Semarang, yang terdiri dari 8 siswa. Rata-rata persentase dari
penilaian peserta didik adalah 78.02%.
Dari hasil penilaian dan pengisian angket respon oleh peserta didik mendapat
persentase skor peserta didik yang menjawab dengan respon sangat setuju adalah sebesar
43,75% , siswa yang menjawab dengan respon setuju sebesar 46,25%, dan siswa yang
menjawabdengan respon tidak setuju adalah sebesar 8,75%.
Pada tahap terakhir, dilakukan penilaian oleh validator ahli. Validator ahli yang
dipilih oleh peneliti berasal dari dosen jurusan Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang, yang terdiri dari 4 orang. Rata- rata dari
hasil penilaian oleh validator ahli mendapat persentase skor 92% dengan kriteria sangat
sesuai untuk setiap muatan modul pendidikan karakter dan kewirausahaan yang
dikembangkan oleh peneliti.

Penutup
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan
yakni produk bahan ajar Matematika materi Statistika kelas XI berupa modul pembentuk
karakter ketelitian, ketrampilan, kewirausahaan, dan religius yang dikembangkan oleh
peneliti yang sudah divalidasi oleh validator dan teman sejawat, sudah dalam kriteria valid
dan dapat digunakan dalam pembelajaran.

Daftar Pustaka

Allyn and Bacon. 1995. Cooperative Learning: Theory, Research, and Paractice. Amerika.
Amudi. 1975. Pengantar Statistik. Medan: Ghalia Indonesia.
Arikunto, S. 2003. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Balitbang Depdiknas. 2002. Kurikulum dan Hasil Belajar. Jakarta: Pusat Kurikulum.
Departemen Pendidikan Nasional. 2006. Daftar Buku Teks Pelajaran yang Memenuhi Syarat
Kelayakan untuk digunakan dalam Proses Pembelajaran Sesuai Peraturan Mentri Pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2005. Jakarta: Pusat Perbukuan Depdiknas.
Echolas. 2002. Kamus Indonesia-Inggris (An IndonesianEnglish Dictionary). Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Ihsan, M. 2006. Prinsip Pengembangan Media Pendidikan - Sebuah Pengantar . Jurnal Pendidikan.
Plomp, T. 1997. Educational Design: Introduction. From Tjeerd Plomp (eds). Educational
& Training System Design: Introduction. Design of Education and Training (in Dutch).
Utrecht (the Netherlands): Lemma. Netherland. Faculty of Educational Science and
Technology, University of Twente.
Putri Muliana Gea, Jelita. 2009. Analisis kesesuaian subjek Dokumen yang menyitir dan yang disitir
dalam tesis Magister (S2) Teknik Arsitektur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara. Skripsi Universitas Sumatera Utara.
Rochmad, 2001. Model Pengembangan Plomp http://rochmad-unnes.blogspot.com/. (Minggu, 13
Mei 2012)

160
Sangarimbun, M. 1989. Teori Kemasyarakatan: Perubahan tingkah laku. Jakarta: Erlangga.
Siregar, N. 2004. Dasar Wacana Argumenatif Dari Hiperteks Ilmiah Untuk Meningkatkan
Pemanfaatannya oleh Komunitas Akademik. Laporan Penelitian Hibah Bersaing UPI Bandung.
Sudjana, N. 198. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Sudjana, 1992. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito.
Sudjana. 2002. Metode Statistika Edisi Enam. Bandung: Tarsito.
Sukestiyarno. 2009. Statistika. Semarang: UNNES Press.
Sukestiyarno, dkk. 2006-2008. Pengembangan Sistem Pembelajaran Berbasis Teknologi dengan
Orientasi Analisis Kebutuhan (SWOT) di Pendidikan Menengah dalam Menunjang Pola
Manajemen Keahlian. Laporan Hibah Pascasarja.
Sungkono, dkk. 2003. Pengembangan Bahan Ajar. Yogyakarta: FIP UNY.
Supartono, 2006. Peningkatan Hasil Belajar dan Kreativitas Peserta didik melalui Pembelajaran
Kimia dengan Pendekatan Chemoentrepreneurship (CEP). Laporan Penelitian Hibah PHK.
Tian Belawati, dkk. 2003. Pengembangan Bahan Ajar. Jakarta: Pusat Penerbitan UT.
Universitas Terbuka. 1997. Panduan Operasional Penulisan Modul. Jakarta: UT.
Vembriarto, St. 1985. Pengantar Pengajaran Modul. Yogyakarta: Yayasan Pendidikan Paramita.
http://blog.codingwear.com/bacaan-99-Pengertian-Pendidikan-Karakter.html. (Senin, 23 April 2012)
http://tal4mbur4ng.blogspot.com/2010/07/kearifan-lokal-guna-pemecahan-masalah.html. (Senin, 2
April 2012)

161
Pembelajaran Savi (Somatic, Auditory, Visual, Intellectual) Berbantuan
Cabri 3D sebagai Upaya Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis
pada Materi Kubus dan Balok

Heni Purwati, Rina Dwi Setyawati


Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA IKIP PGRI Semarang
Jl. Sidodadi Timur No. 24 Semarang
Email: honey_uga@yahoo.co.id

Abstrak
Pembelajaran matematika merupakan usaha membantu peserta didik mengkonstruksi
pengetahuan melalui proses, sebab mengetahui adalah suatu proses, bukan suatu produk.
Dengan demikian perlu diterapkan pendekatan SAVI berbantuan Cabri 3D agar
pembelajaran pada materi kubus dan balok di SMP PGRI 01 Semarang dapat meningkatkan
Kemampuan Komunikasi Matematis peserta didik.
Tujuan dari penelitian ini adalah dengan menerapkan pembelajaran SAVI berbantuan Cabri
3D dapat mengetahui peningkatan kemampuan komunikasi matematis pada materi Kubus
dan Balok pada Siswa Kelas VIII SMP PGRI 01 Semarang Tahun Pelajaran 2011/2012. Data
yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data hasil observasi tentang kemampuan
pengamatan aktivitas siswa, angket penilaian sikap siswa, dan hasil observasi untuk guru.
Dari hasil penelitian, pada siklus I didapat kemampuan komunikatif matematis siswa sebesar
66,25 termasuk cukup komunikatif. Dan pada siklus II didapat kemampuan komunikasi
matematis siswa meningkat menjadi 73, 30. Dari hasil penelitian masih terdapat beberapa
permasalahan antara lain a) guru masih kurang intensif memberikan latihan soal, b)
manajemen waktu kurang optimal, sehingga terkesan tergesa-gesa.
Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, disimpulkan bahwa model pembelajaran SAVI
berbantuan cabri 3D dapat meningkatkan komunikasi matematis peserta didik kelas VIII
SMP PGRI 01 Semarang.

Kata Kunci : SAVI, cabri 3D, komunikasi matematis

Pendahuluan
Tingkat pemahaman matematika pada peserta didik lebih dipengaruhi oleh
pengalaman peserta didik, sedangkan pembelajaran matematika merupakan usaha membantu
peserta didik mengkonstruksi pengetahuan melalui proses, sebab mengetahui adalah suatu
proses, bukan suatu produk. Proses tersebut dimulai dari pengalaman, sehingga peserta didik
harus diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengkonstruk sendiri pengetahuan yang harus
dimiliki (Markaban, 2006: 3).
Kubus dan balok merupakan materi penting yang harus dipelajari dan dipahami oleh
peserta didik. Pembelajaran kubus dan balok yang baik yaitu pembelajaran yang melibatkan
peserta didik aktif dalam menemukan konsep baik secara individu maupun kelompok.
Untuk mempermudah dalam memahami dan mempelajari materi kubus dan balok
guru perlu mencoba menggunakan inovasi dalam metode pembelajaran yang bisa menggugah
peserta didik untuk aktif dan menemukan konsep atau sesuatu yang baru secara mandiri
sehingga apa yang mereka dapat dari jerih payahnya tidak mudah lupa. Dengan berbantuan
program Cabri 3D materi balok dan kubus yang bersifat abstrak bisa dikonkretkan sehingga
peserta didik diharapkan lebih mudah memahaminya.
Rendahnya hasil belajar peserta didik pada materi kubus dan balok di SMP PGRI 01
Semarang disebabkan beberapa hal, antara lain peserta didik tidak aktif dalam kegiatan
pembelajaran. Mereka tidak mencoba untuk bertanya kepada teman atau guru ketika

162
mendapat kesulitan, pembelajaran bersifat konvensional yang hanya terjadi interaksi satu
arah yang berpusat pada guru sedangkan peserta didik hanya diam mendengarkan dan
menghafalkan yang telah diberikan guru. Dengan demikian perlu diterapkan pendekatan
SAVI berbantuan Cabri 3D agar pembelajaran pada materi kubus dan balok di SMP PGRI 01
Semarang dapat meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis peserta didik.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan pada penelitian ini adalah
apakah pembelajaran SAVI berbantuan Cabri 3D dapat meningkatkan Kemampuan
Komunikasi Matematis peserta didik kelas VIII SMP PGRI 01 Semarang Tahun Pelajaran
2011/2012?.

Tujuan Penelitian
Tujuan dilaksanakan penelitian ini adalah: Dengan pembelajaran SAVI berbantuan
Cabri 3D diharapkan dapat meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis peserta didik
kelas VIII SMP PGRI 01 Semarang Tahun Pelajaran 2011/2012.

Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan akan memberi manfaat bagi:
1. Terciptanya pembelajaran yang menyenangkan sehingga peserta didik dapat menangkap
materi yang dipelajari dengan mudah.
2. Meningkatkan kreativitas guru matematika untuk menerapkan metode pembelajaran
yang dapat meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis peserta didik.

Landasan Teori
Pembelajaran dengan pendekatan Somatic, Auditory, Visual, Intellectual (SAVI)
Pembelajaran SAVI menganut aliran ilmu kognitif modern yang menyatakan bahwa
belajar yang paling baik adalah melibatkan emosi, seluruh tubuh, semua indera, dan segenap
kedalaman serta keluasan pribadi, menghormati cara belajar individu lain dengan menyadari
bahwa orang belajar dengan cara yang berbeda.
Menurut Meier (2002: 91-100) unsur-unsur pendekatan SAVI adalah sebagai berikut:
a. Somatic. Belajar somatis berarti belajar dengan indera peraba, kinestetis, praktis
melibatkan fisik dan menggunakan serta menggerakkan tubuh sewaktu belajar.
b. Auditory. Belajar auditori merupakan cara belajar standar bagi semua masyarakat sejak
adanya manusia, yaitu belajar dengan berbicara dan mendengar, menyimak, berbicara,
presentasi, argumentasi, mengemukakan pendapat, dan menanggapi.
c. Visual. . Peserta didik dapat belajar dengan mengamati dan menggambarkan,
mendemonstrasikan, membaca, menggunakan media dan alat peraga.
d. Intellectual. Kata intelektual menunjukkan apa yang dilakukan peserta didik dalam
pikiran mereka secara internal ketika mereka menggunakan kecerdasan untuk merenung
suatu pengalaman dan menciptakan hubungan, makna, rencana dan nilai dari pengalaman
tersebut.
Secara umum, Meier (2002: 106) mengemukakan pembelajaran berdasarkan
pendekatan SAVI meliputi empat tahap, yaitu:
a. Tahap Persiapan, tujuannya adalah menimbulkan minat peserta didik, memberi mereka
perasaan positif mengenai pengalaman belajar yang akan datang, dan menempatkan
mereka dalam situasi optimal untuk belajar.
b. Tahap Penyampaian, tujuannya adalah membantu peserta didik menemukan materi
belajar yang baru dengan cara yang menarik, menyenangkan, relevan, melibatkan panca
indera, dan cocok untuk semua gaya belajar.

163
c. Tahap Pelatihan, tujuannya adalah membantu peserta didik dapat mengintegrasikan,
menyerap pengetahuan dan keterampilan baru dengan berbagai cara.
d. Tahap Penampilan Hasil, tujuannya membantu peserta didik menerapkan dan
memperluas pengetahuan atau keterampilan baru mereka pada pekerjaan sehingga hasil
belajar akan melekat dan hasilnya akan terus meningkat.

Kemampuan Pemahaman Matematis


Komunikasi matematis merefleksikan pemahaman matematis dan merupakan bagian
dari daya matematis. Siswa-siswa mempelajari matematika seakan-akan mereka berbicara
dan menulis tentang apa yang mereka sedang kerjakan. Mereka dilibatkan secara aktif dalam
mengerjakan matematika, ketika mereka diminta untuk memikirkan ide-ide mereka, atau
berbicara dan mendengarkan siswa lain dalam berbagi ide, strategi dan solusi. Menulis
mengenai matematika mendorong siswa untuk merefleksikan pekerjaan mereka dan
mengklarifikasi ide-ide untuk mereka sendiri.
Indikator komunikasi matematis menurut NCTM (1989) dapat dilihat dari: 1)
Kemampuan mengekspresikan ide-ide matematis melalui lisan, tulisan, dan
mendemonstrasikannya serta menggambarkannya secara visual; 2) Kemampuan memahami,
menginterpretasikan, dan mengevaluasi ide-ide matematis baik secara lisan, tulisan, maupun
dalam bentuk visual lainnya; 3) Kemampuan dalam menggunakan istilah-istilah, notasi-notasi
matematika dan struktur-strukturnya untuk menyajikan ide-ide, menggambarkan hubungan-
hubungan dengan model-model situasi.

Program Cabri 3D
Program Cabri 3D merupakan software geometri interaktif. Software ini merupakan
pengembangan dari geometri Cabri II. Teknologi Cabri ini mulai dibuat pada tahun 1985 oleh
Frances Centre National Researche Scientifique (CNRS) dan Joseph Faurier University di
Grenoble (www.cabri.com)
Program Cabri 3D tidak hanya digunakan sebagai software yang mempresentasikan
matematika secara geometri tetapi juga dapat digunakan secara umum untuk membangun
kemudahan bermatematika dengan menciptakan bentuk-bentuk yang lebih menonjolkan
keaslian dari berbagai model. Program Cabri 3D memberikan kemudahan bagi guru dan
peserta didik untuk mengeksplorasi berbagai bentuk dan konsep matematika. Dengan
menggunakan Cabri 3D peserta didik dapat belajar aktif daripada belajar konvensional.
Dengan software ini siswa dapat membuat pilihan mereka sendiri, mencari informasi
tersebut, membuat sesuatu berupa jawaban berdasarkan informasi yang mereka dapatkan
serta dapat langsung mengevaluasi apa yang mereka kerjakan.

Metode Penelitian
Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan penelitian tindakan kelas (PTK) yang dalam bahasa
Inggris dikenal dengan Classroom Action Research (CAR). Penelitian tindakan kelas
merupakan suatu pencermatan terhadap kegiatan belajar berupa sebuah tindakan yang sengaja
dimunculkan dan terjadi dalam suatu kelas secara bersama. Tindakan tersebut diberikan oleh
guru atau dengan arahan dari guru yang dilakukan oleh peserta didik.
Waktu, Tempat, dan subyek Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada materi Kubus dan Balok, dan mulai dilaksanakan
penelitian dari bulan April 2012. Tempat pelaksanaan penelitian di SMP PGRI 01 Semarang.
Subjek yang akan diteliti pada penelitian ini adalah peserta didik kelas VIII A.
Teknik Pengumpulan Data
Metode Wawancara

164
Metode ini dilakukan untuk memperoleh data-data tentang permasalahan yang
dihadapi dalam pembelajaran sebelum pemberian tindakan,
Metode Dokumentasi
Metode ini dilakukan untuk memperoleh daftar nama peserta didik yang termasuk
dalam subjek penelitian, data-data yang berkaitan dengan sekolah mulai dari struktur
organisasi, daftar nama peserta didik yang menjadi subjek penelitian, nilai formatif materi
terakhir sebelum pemberian tindakan dan sebagainya.
Tes Formatif
Tes formatif dilakukan pada akhir pra siklus, siklus I, dan siklus II. Tes formatif pada
siklus I dipakai untuk melihat keberhasilan sementara dalam pembelajaran menggunakan
pendekatan SAVI berbantuan CABRI 3-D. Sedangkan tes formatif pada siklus II adalah untuk
melihat keberhasilan model pembelajaran matematika SAVI berbantuan CABRI 3-D Secara
Berkelompok.
Metode observasi
Metode ini dilakukan untuk memperoleh data mengenai pengelolaan pembelajaran
dengan menggunakan model pembelajaran SAVI berbantuan CABRI 3-D oleh guru dan
aktivitas peserta didik. Pengamatan ini dilakukan setiap siklus untuk membuat kesimpulan
pelaksanaan pembelajaran yang akan direfleksikan diakhir siklus sebagai bahan dasar
pelaksanaan pada siklus berikutnya.

Pengamatan
Penelitian tindakan yang dilakukan berupa penelitian tindakan kelas yaitu penelitian
tentang hal-hal yang terjadi dikelompok sasaran dan hasilnya langsung dapat
diimplementasikan pada kelompok yang bersangkutan dengan ciri utama adanya partisipasi
dan kolaborasi antara peneliti dengan anggota kelompok sasaran. Penelitian ini dilakukan
berdasarkan pra siklus dan siklus, yang terdiri atas dua siklus. Dalam setiap siklus terdiri dari
tiga kali pertemuan, yaitu dua pertemuan implementasi model dan pertemuan ketiga adalah
evaluasi. Setiap siklus terdiri dari empat kegiatan, secara rinci sebagai berikut:
Perencanaan
1). Mempersiapkan RPP dan indikator keberhasilan penelitian.
2). Mempersiapkan fasilitas dan sarana pendukung yang diperlukan di kelas.
3). Mempersiapkan instrumen untuk merekam dan menganalisis proses dan hasil
tindakan.
Pelaksanaan
Kegiatan yang dilaksanakan dalam tahap ini adalah melaksanakan tindakan implementasi
pembelajaran dengan menggunakan pendekatan SAVI berbantuan CABRI 3-D yang
telah direncanakan.
Pengamatan
Dalam tahap ini dilaksanakan pengamatan terhadap pelaksanaan tindakan. Peneliti
melihat kondisi pembelajaran dan mencatat peserta didik dan kelompok yang aktif dalam
pembelajaran.
Refleksi
Data-data yang diperoleh melalui observasi dikumpulkan, dianalisis dan didiskusikan
dengan kolaborator yaitu guru pelajaran matematika dan dicari solusi dari permasalahan
pembelajaran yang telah berlangsung guna perbaikan pada siklus berikutnya.

Teknik Analisis Data


Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif dengan cara
membandingkan hasil belajar peserta didik sebelum tindakan dengan hasil belajar peserta

165
didik setelah tindakan setelah siklus I dan siklus II. Dalam menganalisis data digunakan
rumus sebagai berikut:
Data mengenai hasil belajar diambil dari kemampuan kognitif peserta didik dalam
memecahkan masalah dianalisis dengan menghitung rata-rata nilai ketuntasan belajar.

a. Menghitung rata-rata.
Untuk menghitung nilai rata-rata digunakan rumus:

x
x
N
Keterangan:
x = rata-rata nilai.
x = jumlah seluruh nilai.
N = jumlah peserta didik.

b. Menghitung Ketuntasan Klasikal


Data mengenai hasil belajar diambil dari kemampuan kognitif peserta didik dalam
memecahkan masalah yang diperoleh pada akhir tiap siklus, dianalisis dengan
menghitung nilai prosentase ketuntasan belajar klasikal dengan KKM 55.

%
Siswa yang mendapat nilai 55 100%
Siswa
Ketuntasan belajar klasikal dinyatakan berhasil jika prosentase peserta didik yang
tuntas belajar atau nilai peserta didik lebih besar atau sama dengan 85% dari jumlah
seluruh peserta didik di kelas.

Hasil Penelitian
Hasil Siklus I
Perencanaan
1) Masalah faktual yang terjadi di kelas adalah: rata-rata nilai siswa masih rendah yakni
54,74 dibawah KKM 55 terlihat dari raport tahun lalu.
2) Persiapan tindakan yang dirancang adalah: mempersiapkan perangkat pembelajaran
SAVI berbantuan Cabri 3D, mempersiapkan sarana pembelajaran yang mendukung,
Tindakan
Tindakan pembelajaran yang dilakukan dikelas adalah tindakan pembelajaran SAVI yang
sesuai dengan RPP pembelajaran SAVI.
Pengamatan
1) Dari data pengamatan keterlaksanaan pembelajaran dikelas diperoleh hasil bahwa
pembelajaran SAVI berbantuan Cabri 3D pada siklus I terlaksana dengan baik.
2) Dari data pengamatan diperoleh hasil bahwa rata-rata nilai kemampuan komunikasi
matematis siswa pada siklus I adalah 66,25 tergolong dalam kriteria cukup
komunikatif.
Refleksi
Berdasarkan masukan pengamat terhadap tindakan pembelajaran dikelas, diperoleh
refleksi sebagai berikut:
1) Pada saat kelompok berdiskusi mengerjakan LKS, hampir setiap kelompok
kebingungan dalam mengerjakan LKS dan tidak mau bertanya kepada guru, akan
tetapi justru bertanya kepada kelompok lain. Selain itu siswa kurang aktif
memanfaatkan CD pembelajaran.

166
Saran pengamat: guru sebaiknya berkeliling secara intensif dan membimbing setiap
kelompok dalam diskusi.
2) Pada saat berdiskusi, siswa yang pandai mendominasi dalam pekerjaan LKS,
sehingga tidak terjadi tukar pendapat antar siswa, akibatnya siswa yang tidak
pandai, pasif dan menggantungkan jawaban pada siswa pandai.
Saran pengamat: guru sebaiknya menghimbau kepada siswa pandai untuk
mempersilahkan siswa tidak pandai untuk aktif bertanya kepada siswa pandai.
Saran pengamat: guru sebaiknya merubah pembagian kelompok, distribusi siswa
pandai harus secara merata serta guru sebaiknya menghimbau kepada setiap
kelompok agar berkenan dan tidak malu bertanya dan minta bimbingan kepada
guru.
Hasil Siklus II
Perencanaan
1) Masalah faktual yang terjadi di kelas adalah pada saat kelompok berdiskusi
mengerjakan LKS, hampir setiap kelompok kebingungan dan malu bertanya kepada
guru, sehingga sebagian besar kelompok bertanya kepada kelompok lain.
2) Pada saat berdiskusi, masing masing siswa sudah mulai berani mengemukakan
pendapat dalam mengerjakan LKS, sehingga mulai terjadi tukar pendapat antar
siswa.
3) Keaktifan siswa pada saat tanya jawab ketika presentasi belum terlihat hidup.
4) Solusi yang di tetapkan oleh peneliti adalah
5) Guru berkeliling secara intensif dan membimbing setiap kelompok dalam diskusi.
6) Guru mewajibkan setiap kelompok untuk bertanya ke kelompok presenter.
7) Guru merubah pembagian kelompok, distribusi siswa pandai ditempatkan secara
merata
8) Guru menghimbau kepada setiap kelompok agar aktif bertanya dan minta
bimbingan kepada guru.
9) Guru memanajemen waktu secara optimal
Persiapan tindakan yang dirancang adalah:
Mempersiapkan perangkat Pembelajaran SAVI berbantuan Cabri 3D yang sudah di
revisi berdasarkan masukan pengamat, mempersiapkan sarana pembelajaran,
Tindakan
Tindakan pembelajaran yang dilakukan dikelas adalah tindakan pembelajaran SAVI
berbantuan Cabri 3D yang sesuai dengan RPP pembelajaran SAVI berbantuan Cabri 3D.
Pengamatan
1) Dari data pengamatan keterlaksanaan pembelajaran dikelas diperoleh hasil bahwa
bahwa Pembelajaran SAVI berbantuan Cabri 3D pada siklus II terlaksana dengan
baik.
2) Dari data pengamatan diperoleh hasil bahwa rata-rata skor kemampuan komunikasi
matematis siswa pada siklus II adalah 73,30 tergolong pada kriteria komunikatif.
Refleksi
Berdasarkan masukan pengamat terhadap tindakan pembelajaran dikelas, diperoleh
refleksi sebagai berikut: Manajemen waktu kurang optimal, sehingga terkesan tergesa-
gesa. Saran pengamat: optimalkan manajemen waktu pembelajaran

Pembahasan Setiap Siklus


Pada siklus I, kegiatan perencanaan sebagian besar sudah dilaksanakan pada tahap
pendefinisian, diantara hasil dari pendefinisian tersebut adalah teridentifikasi beberapa
masalah faktual yang terjadi di kelas, yaitu keaktifan siswa pada pembelajaran matematika
rendah dan rata-rata prestasi belajar matematika siswa rendah,. Oleh karena itu, dengan

167
berbagai pertimbangan peneliti menetapkan suatu solusi untuk mengatasi masalah tersebut
yaitu tindakan pembelajaran dikelas yang sesuai dengan RPP Pembelajaran SAVI berbantuan
Cabri 3D.
Persiapan tindakan yang dirancang adalah mempersiapkan perangkat Pembelajaran
SAVI berbantuan Cabri 3D, mempersiapkan sarana pembelajaran yang mendukung, Setelah
persiapan matang, rencana tindakan pembelajaran yang sudah dirancang tersebut
diimplementasikan di kelas, pada saat tindakan dilakukan, peneliti bersama guru mitra dan
pengamat melakukan pengamatan terhadap tingkah laku siswa dalam pembelajaran dan
hasilnya dicatat dalam lembar pengamatan, data dari hasil pengamatan tersebut kemudian
dianalisis.
Dari data pengamatan keterlaksanaan pembelajaran dikelas diperoleh hasil bahwa
pada siklus I, pembelajaran SAVI berbantuan Cabri 3D terlaksana dengan baik, ini artinya
bahwa keterlaksanaan pembelajaran sudah sesuai dengan RPP. Dari data pengamatan
diperoleh hasil bahwa rata- rata kemampuan komunikasi matematis siswa adalah 72,61
tergolong cukup komunikatif, ini berarti ada peningkatan kemampuan komunikasi matematis
belajar siswa bila dibandingkan pada pembelajaran dengan metode sebelumnya. Setelah
diadakan refleksi pada siklus I, peneliti berasumsi bahwa meningkatnya kemampuan berpikir
siswa dan komunikasi matematis siswa benar-benar di akibatkan oleh pembelajaran yang
sesuai dengan RPP Pembelajaran SAVI,
Akan tetapi, dalam rangka untuk mengetahui kestabilan hasil penelitian, peneliti
melanjutkan ke siklus II. Sebelum siklus II, peneliti menganalisis masukan pengamat
terhadap tindakan pada siklus I.
Berdasarkan masukan tersebut, peneliti berusaha merevisi perangkat draf, sehingga
harapannya implementasi pembelajaran yang sesuai draf yang sudah direvisi tersebut lebih
baik daripada sebelumnya (pada siklus I).
Pada siklus II, pada kegiatan perencanaan peneliti menganalisis hasil refleksi pada
siklus I. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya peneliti menetapkan solusi yaitu (1)
mengintensifkan latihan soal (2) meningkatkan keaktifan guru berkeliling dan membimbing
kelompok dalam diskusi (3) memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa kurang
pandai untuk aktif bertanya (4) Mewajibkan setiap kelompok untuk bertanya ke kelompok
presenter (5) merubah susunan setiap kelompok, sedemikian hingga distribusi siswa pandai
merata. (6) memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap kelompok agar aktif
bertanya dan minta bimbingan kepada guru.(7) memanajemen waktu secara optimal.
Persiapan tindakan yang dirancang adalah: mempersiapkan perangkat draf yang sudah
di revisi berdasarkan masukan guru mitra dan pengamat pada siklus I, mempersiapkan sarana
pembelajaran, dan mempersiapkan instrumen penelitian Setelah persiapan matang, rencana
tindakan pembelajaran yang sudah dirancang tersebut di implementasikan di kelas. Pada saat
tindakan dilakukan, pengamatan mengamati tingkah laku siswa dalam pembelajaran dan
hasilnya dicatat dalam lembar pengamatan, data tersebut kemudian dianalisis.
Dari data pengamatan pembelajaran dikelas diperoleh hasil bahwa pada siklus II
terlaksana dengan baik, ini artinya bahwa keterlaksanaan pembelajaran sudah sesuai dengan
RPP yang sudah di revisi berdasarkan masukan guru mitra dan pengamat pada siklus I. Dari
data pengamatan diperoleh kemampuan komunikasi matematis siswa adalah 73,30, Dengan
prosentase jumlah siswa yang tuntas adalah 100 %. Setelah diadakan refleksi pada siklus II,
peneliti yakin bahwa meningkatnya kemampuan komunikasi matematis siswa benar-benar di
akibatkan oleh pembelajaran yang sesuai dengan RPP pembelajaran SAVI berbantuan Cabri
3D yang sudah direvisi.
Dari hasil tersebut, peneliti berasumsi bahwa hasil penelitian sudah mencapai
kestabilan, sehingga peneliti tidak melanjutkan ke siklus III, akan tetapi, dalam rangka untuk

168
menyempurnakan perangkat, peneliti perlu menganalisis hasil refleksi terhadap tindakan pada
siklus II,
Berdasarkan masukan tersebut, peneliti berusaha merevisi perangkat draf, sehingga
harapannya perangkat draf-2 tersebut lebih baik dari pada sebelumnya. Setelah perangkat draf
diujicobakan, di peroleh masukan-masukan dari guru dan pengamat sebagai berikut:

Tabel 4.3. Saran Pengamat Terhadap Perangkat


No Perangkat Saran Perbaikan
1 Silabus KBM nya di sederhanakan lagi
Pendahuluan 10 menit saja, tujuan yang operasional, waktu di
atur dengan efektif, CD sebaiknya ditayangkan dengan
2 RPP
pengulangan, pembagian kelompoknya sebaiknya satu kali
saja pada pertemuan awal.

3 LKS Sebaiknya dikemas dalam bentuk buku

CD Tambahi contoh soalnya, perbanyak gambar realistic yang


4
Interaktif menarik

5 THB Sebaiknya pada soal di berikan gambar realistik

Berdasarkan masukan tersebut, peneliti berusaha merevisi perangkat draf-2 menjadi


draf-3, sehingga harapannya draf-3 lebih baik dari pada draf-2. Hasil revisi draf-2 adalah
sebagai berikut :

Tabel 4.4. Deskripsi Revisi Perangkat draf-2


No Draf-2 (sebelum revisi) Draf-2 (sesudah revisi)
1 Pada silabus KBM nya di Pada silabus KBM nya sudah di usahakan
sederhanakan lagi sesederhana mungkin
2 Pada RPP Pendahuluan 10 menit Pada setiap RPP, Pendahuluan di ubah
saja, tujuan yang operasional, menjadi 10 menit, setiap tujuan sudah di
waktu di atur dengan efektif, CD usahakan operasional, waktu sudah di atur
sebaiknya ditayangkan dengan seefektif mungkin, rencana ada
pengulangan, pembagian pengulangan pemutaran CD, pembagian
kelompoknya sebaiknya satu kali kelompoknya hanya pada pertemuan awal.
saja pada pertemuan awal.
Sebaiknya LKS dikemas dalam
3 LKS sudah dikemas dalam bentuk buku
bentuk buku
Pada CD sebaiknya di tambahi
Pada CD sudah ditambahi contoh soal dan
4 contoh soalnya, perbanyak
gambar realistic
gambar realistic yang menarik
Pada THB sebaiknya pada soal di
5 pada soal sudah di berikan gambar realistic
berikan gambar realistic
.
Simpulan dan Saran
Simpulan

169
Berdasarkan hasil dan pembahasan diatas, disimpulkan bahwa model pembelajaran
SAVI berbantuan Cabri 3D dapat meningkatkan komunikasi matematis peserta didik kelas
VIII SMP PGRI 01 Semarang.
Saran
Sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan dengan materi yang berbeda di sekolah yang sama,
untuk mengetahui kestabilan hasil dari implementasi model pembelajaran tersebut.

Daftar Pustaka

Arend, Bridget. 2009. Encouraging critical thinking in online threaded discussions. The
Journal of Educators Online, 6/1: 1-23.
Costa. A. L. (1985). Developing Mind: A Resource Book for Teaching Thinking (ed). Alexandria:
ASDC.
Inch. E.S, et al. (2006). Critical Thinking and Communication: The Use of Reason in Argument. 5 th
Ed. Boston: Pearson Education, Incl

170
Upaya Peningkatan Aktivitas dan Prestasi Belajar Matematika melalui
Model Pembelajaran Problem Posing pada Siswa SMP Negeri 1 Kajoran
Tahun Pelajaran 2011/2012
Heru Kurniawan
Program Studi Pendidikan Matematika
Universitas Muhammadiyah Purworejo
E-mail: heru.kurniawan2983@yahoo.com
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar matematika
melalui pembelajaran Problem Posing pada siswa kelas VIII E di SMP Negeri 1 Kajoran
tahun pelajaran 20011/2012. Subyek penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII E yang
berjumlah 34 siswa. Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas yang terdiri dari 2
siklus. Masing-masing siklus terdiri dari 4 tahap yaitu perencanaan, pelaksanaan, observasi
dan refleksi. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode tes,
metode observasi dan metode dokumentasi.
Hasil penelitian aktivitas belajar siswa secara individu pada siklus I pertemuan 1 adalah 46%
meningkat menjadi 69% pada siklus II. Pada pertemuan 2 adalah 24% meningkat menjadi
78%, pada pertemuan 3 adalah 69% meningkat menjadi 84%, sedangkan pada pertemuan 4
dari 72% meningkat menjadi 86%. Aktivitas kelompok belajar juga mengalami peningkatan
yaitu pada kelompok 1 dari 53% menjadi 56%, kelompok 2 dari 57% menjadi 63%,
kelompok 3 dari 52% menjadi 60%, kelompok 4 dari 51% menjadi 57%, kelompok 5 dari
50% menjadi 63%. Prestasi belajar juga mengalami peningkatan dari KKM yang telah
ditentukan yaitu 67, prestasi belajar mengalami peningkatan dari 32,35% pada kondisi awal,
meningkat menjadi 44,11% setelah diberi tindakan pada siklus I dan meningkat menjadi
70,58% setelah diberi tindakan pada siklus II pada siswa kelas VIII E SMP Negeri 1 Kajoran
Tahun Pelajaran 2011/2012.

Kata kunci: Aktivitas, Prestasi belajar dan Model Pembelajaran Problem Posing

Pendahuluan
Mata pelajaran Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang sangat penting
untuk dikuasai oleh peserta didik. Hal ini sejalan dengan National Research Council (NRC)
yang menyatakan: Mathematics is the key to opportunity. Matematika adalah kunci ke arah
peluang-peluang. Sejalan dengan hal tersebut, Cockcoft dalam Shadiq (2007: 3) mengatakan
Akan sangat sulit atau tidaklah mungkin bagi seseorang untuk hidup di bagian bumi pada
abad ke-20 ini tanpa sedikitpun memanfaatkan matematika. Bagi seorang siswa, keberhasilan
mempelajari matematika akan membuka pintu karir yang cemerlang. Berdasar pada hal
tersebut, maka pembelajaran matematika saat ini bertujuan untuk: dikaitkan dengan
kehidupan realistik, pemecahan masalah, komunikasi matematika, dan penalaran.
Dari tujuan pembelajaran matematika di atas dapat digaris bawahi bahwa hal yang
sangat penting untuk diperhatikan oleh guru dalam penyajian pembelajaran matematika
adalah pembelajaran realisti, meningkatkan kemampuan bernalar, pemecahan masalah, dan
kemampuan komunikasi. Namun, komponen-komponen tersebut sangat jarang direalisasikan
oleh para guru di kelas. Oleh karena sudah menjadi keharusan bahwa pembelajaran
matematika saat ini harus dapat membangun aktivitas siswa dalam proses belajar mengajar.
Seiring diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan diharapkan guru dapat
meningkatkan prestasi siswa khususnya pada pengajaran matematika dengan berkreasi dan
berinovasi menggunakan berbagai macam strategi pembelajaran yang berkembang saat ini.

171
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian merupakan arah pertama untuk menentukan langkah dalam kegiatan
penelitian. Agar penelitian dapat terlaksana dengan baik sesuai dengan yang diinginkan,
maka tujuan penelitian ini adalah
1. Untuk mengetahui apakah penerapan model pembelajaran Problem Posing dapat
meningkatkan aktivitas siswa secara individu pada kelas VIII E SMP Negeri 1 Kajoran
tahun pelajaran 2011/2012.
2. Untuk mengetahui apakah penerapan model pembelajaran Problem Posing dapat
meningkatkan aktivitas siswa secara kelompok pada kelas VIII E SMP Negeri 1 Kajoran
tahun pelajaran 2011/2012.
3. Untuk mengetahui apakah penerapan model pembelajaran Problem Posing dapat
meningkatkan prestasi belajar matematika siswa kelas VIII E SMP Negeri 1 Kajoran
tahun pelajaran 2011/2012.

Landasan Teori
Model pembelajaran Problem Posing merupakan salah satu pendekatan belajar non
konvensional yang dalam proses kegiatannya membangun struktur kognitif siswa, siswa
diberi kesempatan secara terbuka dan luas untuk mengem-bangkan kreativitas. Problem
Posing mengajarkan dan mewajibkan siswa dalam membuat soal yang sejenis, seperti yang
dibuat oleh guru.
Menurut Brown dan Walter dalam Muhfida (2010) pada tahun 1989 untuk pertama
kalinya istilah problem posing diakui secara resmi oleh National Council of Teacher of
Mathematics (NCTM) sebagai bagian dari national program for re-direction of mathematics
education (reformasi pendidikan matematika). Selanjutnya istilah ini dipopulerkan dalam
berbagai media seperti buku teks, jurnal serta menjadi saran yang konstruktif dan mutakhir
dalam pembelajaran matematika. Problem posing berasal dari bahasa Inggris, yang terdiri
dari Problem artinya masalah, soal/persoalan dan Pose yang artinya mengajukan.
Pengertian Problem Posing menurut Suryosubroto (2009: 203) adalah pengajuan
masalah-masalah yang dituangkan dalam bentuk pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut
kemudian diupayakan untuk mencari jawabannya baik secara individu maupun bersama
dengan pihak lain.
Dalam pembelajaran matematika, Problem Posing (pengajuan soal) menempati posisi
yang strategis. Siswa harus menguasai materi dan urutan penyelesaian soal secara mendetil.
Problem Posing dikatakan sebagai inti terpenting dalam disiplin matematika. Pada
prinsipnya, model pembelajaran Problem Posing adalah suatu model pembelajaran yang
mewajibkan para siswa untuk mengajukan soal sendiri melalui belajar soal (berlatih soal)
secara mandiri.
Pada prinsipnya, model pembelajaran problem posing adalah suatu model
pembelajaran yang mewajibkan para siswa untuk mengajukan soal sendiri melalui belajar
soal (berlatih soal) secara mandiri. Dengan demikian, penerapan model pembelajaran
problem posing adalah sebagai berikut:
a. Guru menjelaskan materi pelajaran kepada para siswa. Penggunaan alat peraga untuk
memperjelas konsep sangat disarankan.
b. Guru memberikan latihan soal secukupnya.
c. Siswa diminta mengajukan 1 atau 2 buah soal yang menantang, dan siswa yang
bersangkutan harus mampu menyelesaikannya. Tugas ini dapat pula dilakukan secara
kelompok.
d. Pada pertemuan berikutnya, secara acak, guru menyuruh siswa untuk menyajikan soal
temuannya di depan kelas. Dalam hal ini, guru dapat menentukan siswa secara selektif
berdasarkan bobot soal yang diajukan oleh siswa.

172
e. Guru memberikan tugas rumah secara indvidual.
Langkah-langkah pembelajaran menggunakan pendekatan Problem Posing menurut
Budiasih dan Kartini dalam Muhfida (2010) adalah sebagai berikut:
a. Membuka kegiatan pembelajaran.
b. Menyampaikan tujuan pembelajaran.
c. Menjelaskan materi pelajaran.
d. Memberikan contoh soal.
e. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya tentang hal-hal yang belum jelas.
f. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk membentuk soal dan menyelesaikannya.
g. Mengarahkan siswa untuk membuat kesimpulan.
h. Membuat rangkuman berdasarkan kesimpulan yang dibuat siswa.
i. Menutup kegiatan pembelajaran.
Pembelajaran dengan Problem Posing ini menekankan pada pembentukan atau
perumusan soal oleh siswa secara berkelompok. Setiap selesai pemberian materi guru
memberikan contoh tentang cara pembuatan soal dan memberikan informasi tentang materi
pembe-lajaran dan bagaimana menerap-kannya dalam Problem Posing secara berkelompok.
Langkah-langkah pembelajaran Problem Posing secara berkelompok adalah sebagai
berikut:
a. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan memotivasi siswa untuk belajar.
b. Guru menyajikan informasi baik secara ceramah atau tanya jawab selanjutnya memberi
contoh cara pembuatan soal dari infor-masi yang diberikan.
c. Guru membentuk kelompok belajar antara 6-7 siswa tiap ke-lompok yang bersifat
heterogen baik kemampuan, ras dan jenis kelamin.
d. Selama kerja kelompok berlang-sung guru membimbing kelom-pok yang mengalami
kesulitan.
e. Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari dengan cara
masing-masing kelompok mempersen-tasikan hasil pekerjaannya.
f. Guru memberi penghargaan ke-pada siswa atau kelompok yang telah menyelsaikan
tugas yang diberikan dengan baik.
Penerapan Problem Posing mempunyai beberapa kelebihan di antaranya sebagaiman
disebutkan oleh Rahayuningsih dalam Ashidiqpermana sebagai berikut.
a. Kegiatan pembelajaran tidak terpusat pada guru, tetapi dituntut aktivitas siswa.
b. Minat siswa dalam pembelajaran matematika lebih besar dan siswa lebih mudah
memahami soal karena dibuat sendiri.
c. Semua siswa terpadu untuk terlibat secara aktif dalam membuat soal.
d. Dengan membuat soal dapat menimbulkan dampak terhadap kemampuan siswa dalam
menyelesaikan masalah.
e. Dapat membantu siswa untuk melihat permaslahan yang ada dan baru diterima sehingga
diharapkan mendapatkan pemahaman yang mendalam dan lebih baik, merangsang siswa
untuk memunculkan ide yang kreatif dari yang diperolehnya dan memperluas bahasan/
pengetahuan, siswa dapat memahami soal sebagai latihan untuk memecahkan masalah.
Aktivitas belajar juga merupakan bagian penting dari suatu proses belajar.
Pembelajaran matematika saat ini harus diupayakan mengedepankan aktivitas belajar siswa.
Aktivitas siswa selama proses belajar mengajar merupakan salah satu indikator adanya
keinginan siswa untuk belajar. Aktivitas siswa merupakan kegiatan atau perilaku yang terjadi
selama proses belajar mengajar. Kegiatan-kegiatan yang dimaksud adalah kegiatan yang
mengarah pada proses belajar seperti bertanya, mengajukan pendapat, mengerjakan tugas-
tugas, dapat menjawab pertanyaan guru dan bisa kerja sama dengan siswa lain, serta
tanggung jawab terhadap tugas yang diberikan.

173
Metode
Dalam penelitian ini subyek yang diteliti adalah siswa kelas VIII E SMP Negeri 1
Kajoran Tahun Pelajaran 2011/2012 sejum-lah 34 siswa. Pemilihan kelas VIII E karena pada
kelas tersebut ban-yak siswa yang belum memahami materi pelajaran matematika.
Metode yang digunakan untuk mengumpulan data adalah sebagai berikut.
1. Metode Tes
Metode ini digunakan untuk mengetahui tingkat prestasi belajar siswa pada tiap siklus.
2. Metode Observasi
Metode observasi dilaksanakan dengan menggunakan lembar ob-servasi yang bertujuan
untuk meng-amati kegiatan yang dilakukan siswa dalam kaitannya dengan prestasi
belajar pada saat proses pembelajaran berlangsung.
3. Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi dilakukan dengan mengumpulkan tugas ke-lompok, hasil tes
presentasi dan ha-sil tes individu.

Prosedur Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK), berguna untuk menerapkan
berbagai teknik, metode atau strategi dalam pembelajaran secara efektif dan efisien. Dalam
penelitian ini dilak-sanakan dalam 2 siklus. Setiap siklus terdiri dari 4 tahapan, yaitu
perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi.

Hasil
Penelitian ini bertempat di SMP Negeri 1 Kajoran yang beralamat di Sangen Kajoran
Magelang. Subyek penelitian adalah seluruh siswa kelas VIII E yang berjumlah 34 siswa.
Penelitian dilakukan selama 2 bulan yaitu pada bulan Mei dan bulan Juni 2012.
Penelitian ini dimulai dengan observasi awal dan wawancara untuk mengetahui
kondisi siswa dan kelas yang akan dijadikan subyek penelitian. Dari observasi awal dan
wawancara tersebut diketahui bahwa secara umum aktivitas dan hasil belajar matematika
siswa masih rendah.
Pada siklus 1 penelitian dilakukan selama 5 kali pertemuan, penyampaian materi
terdiri dari 4 pertemuan dan 1 pertemuan untuk tes akhir siklus. Pada siklus 1, pembelajaran
belum dapat berjalan sesuai harapan. Masih ada beberapa siswa yang kurang memperhatikan
pelajaran. Siswa juga masih kesulitan dalam menyusun soal dan menyelesaikannya belum
sistematis. Hasil observasi pada masing-masing siklus dapat dilihat pada tabel 1 berikut.

Tabel1: Hasil Observasi Keaktifan Siswa Individu pada Siklus I


Peresentase Ketercapaian (%)
No Aktivitas siswa Pertemuan Rata-rata
I II III IV
1. Memperhatikan pelajaran 65 79 91 88 81
2. Selalu mengerjakan tugas yang 100 82 79 92 88
diberikan guru
3. Mampu mengerjakan soal 74 85 59 70 72
secara mandiri
4. Bertanggung jawab dengan apa 100 88 85 100 93
yang telah ia kerjakan
5. Tepat waktu dalam 59 74 79 76 72
mengumpulkan tugas
6. Tidak malu bertanya kepada - 23 29 26 20

174
guru
7. Bertanya tentang materi secara 35 50 56 68 52
kritis
8. Aktif dalam mengajukan - 59 82 73 53
pertanyaan
9. Menjawab pertanyaan secara 47 59 56 65 57
baik
10. Mencatat rangkuman hasil 85 88 94 100 92
pembelajaran
11. Berbicara sendiri 26 15 20 9 18
12. Mengantuk atau tidur 100 100 100 100 100
Rata-rata 58 24 69 72 66

Dari tabel di atas, menunjukan bahwa pada siklus I pertemuan ke-1 sampai ke-4
terjadi peningkatan tetapi banyak siswa yang masih belum aktif dalam proses pembelajaran,
ketrampilan dalam mengerjakan soal masih rendah dan penguasaan materi juga belum
berjalan sesuai yang diharapkan, masih banyak siswa yang dalam proses pembelajaran yang
berbicara sendiri dan mengantuk.
Untuk aktivitas siswa dalam kelompok disajikan tabel 2 berikut.

Tabel Hasil 2: Observasi Aktivitas Siswa dalam Kelompok Pada Siklus I


Nama Rata-rata Aktivitas Siswa tiap Pertemuan Rata-rata tiap
No
Kelompok I II III IV Kelompok
1 Kelompok 1 40 46 58 64 53
2 Kelompok 2 43 53 64 66 57
3 Kelompok 3 48 47 55 58 52
4 Kelompok 4 51 52 50 59 54
5 Kelompok 5 38 44 57 61 50

Pada siklus II penelitian juga dilakukan selama 5 kali pertemuan dan 1 kali untuk tes
akhir siklus II. Peneliti mencoba untuk berinteraksi lebih insentif dengan siswa. Peneliti
menyampaikan materi dengan lebih menyenangkan dan cara menyusun soal secara baik serta
memberikan perhatian pada siswa yang tidak memperhatikan pelajaran dengan cara
memberikan pertanyaan kepada siswa tersebut. Selain itu, peneliti juga memotivasi siswa
untuk berani bertanya bila mengalami kesulitan dalam proses pembelajaran. Upaya yang
dilakukan peneliti memberikan hasil yang positif. Siswa mulai berani menyampaikan materi
yang tidak dipahaminya. Hal itu membuat siswa lebih baik dalam menyusun dan
mengerjakan soal evaluasi. Lihat tabel 3 berikut.

Tabel3: Hasil Observasi Aktivitas Siswa secara Individu pada Siklus II


Persentase Ketercapaian (%)
No Aktivitas siswa Pertemuan Rata-rata
I II III IV
1. Memperhatikan pelajaran 91 97 94 100 95
2. Selalu mengerjakan tugas yang 79 88 85 97 87
diberikan guru
3. Mampu mengerjakan soal secara 59 82 85 100 81
mandiri
4. Bertanggung jawab dengan apa yang 85 94 100 100 95

175
telah ia kerjakan
5. Tepat waktu dalam mengumpulkan 79 82 94 100 89
tugas
6. Tidak malu bertanya kepada guru 29 29 94 44 49
7. Bertanya tentang materi secara kritis 56 70 59 50 59
8. Aktif dalam mengajukan pertanyaan 82 62 59 85 72
9. Menjawab pertanyaan secara baik 56 59 53 62 57
10. Mencatat rangkuman hasil 94 88 91 100 93
pembelajaran
11. Berbicara sendiri 20 88 94 100 75
12. Mengantuk atau tidur 100 100 100 97 99
Rata-rata 69 78 84 86 79

Dari tabel di atas menunjukan bahwa pada siklus II terjadi siswa sudah
memperhatikan pelajaran, dan dalam penguasaan materi, ketrampilan dalam mengerjakan
soal dan kecakapan dalam bertanya sudah mengalami peningkatan. Selain itu siswa sudah
aktif dalam proses pembelajaran.
Sedangkan untuk aktivitas kelompok disajikan table 4 berikut.

Tabel 4: Hasil Observasi Aktivitas Siswa dalam Kelompok pada Siklus II


Rata-rata Aktivitas Siswa tiap Pertemuan Rata-rata tiap
Nama Kelompok
I II III IV Kelompok
Kelompok 1 48 48 61 66 55
Kelompok 2 44 64 72 73 63
Kelompok 3 50 59 66 64 64
Kelompok 4 51 52 62 63 57
Kelompok 5 49 55 75 76 64

Pada siklus II pada umumnya semua kelompok sudah dapat menyusun soal yang
sejenis, dan dapat menyelesaikan soal-soal yang dibuatnya juga sudah cukup sistematis.
Tulisan sudah cukup jelas dan rapi sehingga mudah dipahami. Siswa sudah lebih baik dalam
menyajikan kerja kelompok. Suara sudah cukup keras dan jelas sehingga sudah dipahami
oleh siswa yang lain. Bahkan ada penyaji yang memanfaatkan whiteboard dan spidol
sehingga materi yang disajikan menjadi lebih mudah dipahami oleh siswa yang lain. Penyaji
mampu menarik perhatian siswa yang lain. Hal ini ditunjukan adanya beberapa siswa yang
memberikan tanggapan berupa pertanyaan yang diajukan kepada kelompok penyaji, bahkan
ada siswa yang menyampaikan saran atau perbaikan pada hasil kerja kelompok penyaji.
Dengan demi-kian situasi diskusi di kelas menjadi semarak, walaupun masih ada satu penyaji
yang belum dapat menyajikan dengan baik, namun secara umum penampilan siswa sudah
cukup baik.

176
Pembahasan Antar Siklus
Peningkatan aktivitas siswa secara individu pada tiap siklus dapat dilihat pada gambar
1berikut ini

100
80
60
40 Siklus I
Siklus II
20
0
pertemuan 1 Pertemuan 2 Pertemuan 3 Pertemuan 4

Gambar 1: Peningkatan aktivitas siswa secara individu pada tiap siklus

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa persentase pada siklus I pertemuan 1 adalah
46% setelah diberi tindakan pada siklus II meningkat menjadi 69%. Pada pertemuan 2 siklus
I persentase 24% setelah diberi tindakan pada siklus II meningkat menjadi 78%. Pada siklus I
pertemuan 3 adalah 69% megalami peningkatan setelah diberi tindakan pada siklus II yaitu
84%, sedangkan pada pertemuan 4 siklus I persentase keaktifan siswa 72% setelah diberi
tindakan pada siklus II meningkat menjadi 86%.
Peningkatan aktivitas kelompok antar siklus dapat dilihat pada gambar 2 berikut

70
60
50
40
30 Siklus I

20 Siklus II
10
0
Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4 Kelompok 5

Gambar 1: Peningkatan aktivitas kelompok antar siklus

Pada tabel di atas menunjukkan bahwa aktivitas kelompok mengalami peningkatan


dari siklus 1 ke siklus 2 yaitu pada kelompok 1 dari 53% menjadi 56%. Kelompok 2 dari 57%
menjadi 63%, kelompok 3 dari 52% menjadi 60%, kelompok 4 dari 51% menjadi 57%,
kelompok 5 dari 50% menjadi 63%.
Dari 2 siklus dapat diketahui bahwa rerata prestasi siswa mengalami peningkatan.
Demikian juga dengan jumlah siswa yang mencapai ketuntasan. Secara lengkap prestasi
belajar matematika disajikan pada tabel 5 berikut.

177
Tabel 5: Ketuntasan Prestasi Belajar Siswa
Tindakan Nilai Nilai Rata- Kriteria Capaian Keterangan
Tertinggi Terendah rata Ketuntasan
Kondisi 77 50 60,52 60% 32,35% -
awal
Siklus I 87 53 64,70 60% 44,11% Belum
berhasil
Siklus II 93 63 69,82 60% 70,58% Berhasil

Grafik Pencapaian KKM pada tiap siklus disajikan pada gambar 3 berikut.

17
Mencapai
12 KKM
7
2
Kondisi Awal Siklus I Siklus II

Gambar 3: Grafik Pencapaian KKM pada tiap siklus

Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukan bahwa pada siklus I siswa yang
mencapai target KKM mengalami peningkatan. Tetapi pada siklus I siswa belum mencapai
target yang diharapkan oleh peneliti, yaitu minimal 60% siswa yang mencapai KKM. Pada
siklus II siswa mengalami peningkatan target KKM yaitu 69,82. Dengan persentase tersebut
sudah melebihi batas KKM yang telah ditentukan oleh peneliti yaitu minimal 60%, sehingga
prestasi belajar matematika pada siklus II telah meningkat.
Uraian di atas menunjukkan bahwa dengan penerapan model pembelajaran problem
posing dapat meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar siswa kelas VIII E pada materi
bangun ruang kubus dan balok tahun pelajaran 201/2012.

Penutup
Dari kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini, penulis mem-berikan saran-
saran sebagai berikut.
1. Agar kegiatan pembelajaran da-pat berjalan dengan baik, maka seorang guru hendaknya
selalu aktif dalam melibatkan siswa selama proses pembelajaran.
2. Dalam pembelajaran matematika hendaknya guru memperhatikan pemilihan model
pembelajaran yang sesuai dengan materi yang diajarkan. Model pembelajaran Problem
Posing dapat diguna-kan sebagai alternatif dalam pembelajaran matematika untuk
meningkatkan prestasi belajar siswa.

Daftar Pustaka

Aqib, Zainal., dkk. 2009. Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: Yrama Widya.
Arikunto, Suharsimi. 2006. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Ashidiqpermana. 2011. Problem Posing Dalam Pembelajaran Matematika. Diunduh dari
http://ashidiqpermana.wordpress.com/2011/05/17/ problem-posing-dalam-pembelajaran-
matematika/) pada Rabu, 25 Januari 2012 pukul 17. 00 WIB.
Budiyono. 2004. Statistik Untuk Penelitian. Surakarta: Sebelas Maret University Press.

178
Herdy. 2009. Model Pembelajaran Problem Posing. Diunduh dari
http://herdy07.wordpress.com/2009/04/19/model-pembelajaran-problem-posing/. Pada Senin,
5 Maret 2012. Pukul 14.00 WIB.
Muhfida. 2010. Pengertian Pendekatan Problem Posing. Diunduh dari http://
muhfida.com/pengertian-pendekatan-problem-posing/) Pada Rabu, 25 Januari 2012 pukul 17.
20 WIB
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

179
Keefektifan Group Investigation Berbatuan CD Interaktif Terhadap
Mathematics Anxiety dan Hasil Belajar

Ika Ariani Setianingrum1), Bambang Eko Susilo, Emi Pujiastuti


Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Semarang
Email : 1)Ariansyahariani@yahoo.co.id

Abstrak
Abstract. This research aims to determine the completeness results of research of students in
the class of experiments after being assisted learning model of Group Investigation
Interactive CD, comparing the average results of learning, Mathematics Anxiety, and the
activity of learners in the experimental class and control class and the influence of the
Mathematics Anxiety learning outcomes in classroom experiments. The research population
was a class VIII student of the school year SMPN 1 Brangsong 2011/2012. Sample selection
is done by random sampling so that the selected class as a class experiment VIII-E VIII-F
class as a class and control. Methods of data collection is done by the method of
documentation, tests and questionnaires. From the calculation on the thoroughness of test
results obtained by the experimental class learning z_hitung z_tabel = 2.30 and = 1.64. On
different test results to learn the average values obtained t_tabel t_hitung = 5372 and =
1.6775, the average of different test values obtained Mathemtics Anxiety and t_tabel t_hitung
= 3388 = 1.6775, different test average activity values obtained learners t_hitung = 1864 and
t_tabel = 1.6775. In the simple linear regression calculations derived regression equation Y =
99.058740 - 0.40973X and R ^ 2 = 0.5747. From this research it can be concluded: (1) the
results of experimental research of students the class may exceed minimum criteria for
completeness, (2) the average results of experiments to learn the class better than the control
class, (3) Mathematics Anxiety experimental class is better than the control class; (4) the
average activity of experimental class is better than the control class, (5) a negative effect on
learning outcomes Mathemtics Anxiety of 57.47% on the model of Group Investigation
Interactive CD assisted with regression equation Y = 99.058740 - 0.40973X.

Kata kunci: CD Interactive; Effectiveness; Group Investigation Model; Learning Outcomes;


Mathematics Anxiety.

Pendahuluan
Pada era globalisasi seperti saat ini, pendidikan mendapat perhatian yang lebih dari
pemerintah. Suatu bangsa akan dipandang sebagai bangsa yang maju apabila mutu
pendidikan suatu bangsa telah maju pula. Pendidikan juga berperan sangat besar untuk
mencetak generasi-generasi muda yang siap untuk membuat perubahan zaman ke arah lebih
baik. Sesuai dengan perkembangan zaman, banyak ilmu-ilmu pengetahuan yang makin
berkembang dengan pesat khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Perkembangan IPTEK sangat erat hubungannya dengan perkembangan ilmu matematika.
Peran matematika terhadap ilmu pengetahuan yang lain sangat besar, maka matematika
adalah ilmu yang penting dan memerlukan penanganan yang serius.
Bagi sebagian siswa (SD sampai dengan SMA), pelajaran matematika memang
menjadi momok yang menakutkan. Adapun faktor penyebabnya yaitu (1) faktor dalam diri
siswa, (2) faktor guru, dan (3) faktor lingkungan (Tim MGMP; 2008). Kenyataan ini ternyata
masih terjadi di SMPN 1 Brangsong. Dari hasil wawancara terhadap salah satu guru mata
pelajaran matematika kelas VIII SMPN 1 Brangsong dapat dikatakan bahwa sebagian
peserta didik masih menganggap matematika pelajaran yang menakutkan, selain itu hasil
belajar peserta didik pada pelajaran matematika masih perlu ditingkatkan. Guru perlu
melakukan pembelajaran yang diharapakn dapat membuat hasil belajar peserta didik menjadi

180
lebih baik. Pembelajaran yang dilakukan hendaknya dilakukan dengan lebih bermakna.
Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, tidak hanya
mengetahuinya, maka proses pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang melibatkan
aktivitas peserta didik. Dengan melakukan pembelajaran yang bermakna, hal yang dipelajari
akan lebih melekat dalam ingatan peserta didik daripada peserta didik hanya mengetahui
materi dari penjelasan guru, kemudian mengerjakan soal-soal yang diberikan oleh guru.
Seorang guru harus mampu memilih strategi pembelajaran yang efektif dan efisien
sehingga kegiatan belajar mengajar di kelas dapat berjalan dengan baik untuk menciptakan
interaksi yang baik bagi para peserta didik. Seorang guru harus juga menguasai delapan
keterampilan dasar mengajar yaitu (1) keterampilan bertanya, (2) keterampilan memberi
penguatan, (3) keterampilan mengadakan variasi mengajar, (4) keterampilan menjelaskan, (5)
keterampilan membuka dan menutup pelajaran, (6) keterampilan memimpin diskusi, (7)
keterampilan mengelola kelas, dan (8) keterampilan mengajar kelompok kecil dan
perorangan, Turney dalam Rukmana dan Sunary (2009). Pentingnya seorang guru menguasai
delapan keterampilan dasar mengajar adalah agar seorang guru dapat mengelola kelas dengan
baik sehingga proses pembelajaran dapat berlangsung dengan baik. Seorang guru harus dapat
memilih model pembelajaran yang sesuai dengan materi yang diajarkan, sehingga
pembelajaran dapat berlangsung dengan baik dan kompetensi dasar yang diharapkan dapat
tercapai. Seorang guru juga harus mampu memanfaatkan berbagai media pembelajaran. Salah
satu media yang dapat digunakan dalam pembelajaran adalah CD pembelajaran interaktif,
selain itu alat peraga matematika untuk menciptakan suatu pembelajaran yang efektif dan
efisien. Di samping itu, yang tidak kalah pentingnya adalah seorang guru harus mampu
menguasai materi pelajaran.
Dalam KTSP, peserta didik dituntut untuk aktif dalam kegiatan pembelajaran. Dari
hasil observasi di SMPN 1 Brangsong, ditemukan fakta bahwa minat serta keaktifan peserta
didik kelas VIII pada pelajaran matematika masih kurang. Hal ini dilihat dari proses
pembelajaran yang berlangsung, dalam satu kelas rata-rata hanya 3 sampai dengan 5 peserta
didik saja yang dinilai aktif dalam pembelajaran, peserta didik yang lain hanya mendengar
penjelasan dari guru dan sesekali maju mengerjakan soal karena ancaman nilai. Selain itu,
ditemukan juga semacam kecemasan atau kegugupan peserta didik terhadap pelajaran
matematika (mathematics anxiety), peserta didik gugup ketika mereka kurang siap menerima
pelajaran juga ketika mereka kurang menguasai materi, dan gugup ketika ditunjuk untuk
mengerjakan soal di papan tulis. Model pembelajaran yang digunakan oleh guru di SMPN 1
Brangsong pun pada umumnya adalah model pembelajaran Contextual Teaching and
Learning (CTL) dan metode pembelajaran ekspositori saja. Sarana dan prasarana yang ada di
SMPN 1 Brangsong sebenarnya cukup baik, karena tiap kelas sudah disediakan LCD,
sehingga pembelajaran yang berlangsung hendaknya dilakukan dengan memanfaatkan media
tersebut. Peserta didik sering merasa kesulitan pada materi pokok geometri, hal ini
dinyatakan oleh salah satu guru kelas SMPN 1 Brangsong. Salah satunya adalah materi
lingkaran. Karena hasil belajar peserta didik pada materi lingkaran tahun lalu masih belum
mencapai KKM yaitu 72.
Levine, sebagaimana dikutip oleh Zakaria dan Nordin (2008) mendeskripsikan bahwa
kecemasan matematika (Mathematic Anxiety) merupakan perasaan cemas dan tegang yang
mengganggu ketika mengerjakan operasi matematika. Menurut penelitian yang dilakukan
Sarason, sebagaimana dikutip oleh Slameto (2003) membuktikan bahwa peserta didik
dengan tingkat kecemasan yang tinggi tidak berprestasi sebaik peserta didik dengan tingkat
kecemasan yang rendah. Hal tersebut tentunya berpengaruh terhadap hasil belajar peserta
didik, karenanya perlu adanya upaya dari pendidik agar permasalahan tersebut dapat teratasi.
Upaya tersebut dapat berupa penggunaan model pembelajaran yang relevan, media
pembelajaran, juga cara penyampaian materi yang baik dari guru, diharapkan aktivitas

181
peserta didik sehingga hasil belajar perseta didik dapat lebih baik. Menurut Sharan,
sebagaimana dikutip oleh Slavin (2010), Group Investigation merupakan perencanaan
pengaturan kelas yang umum dimana para peserta didik bekerja dalam kelompok kecil
menggunakan pertanyaan kooperatif, diskusi kelompok, serta perencanaan dan proyek
kooperatif. Group Investigation menekankan pada partisipasi dan aktivitas peserta didik
untuk mencari sendiri materi (informasi) pelajaran yang akan dipelajari melalui bahan-bahan
yang tersedia, misalnya dari buku, pelajaran, atau peserta didik dapat mencari melalui
internet. Peserta didik dilibatkan sejak perencanaan baik dalam menentukan topik maupun
cara untuk mempelajarinya melalui investigasi. Tipe ini menuntut peserta didik untuk
memiliki kemampuan yang baik dalam berkomunikasi maupun dalam group process skill.
Model pembelajaran ini dapat melatih peserta didik menumbuhkan kemampuan berpikir
mandiri. Keterlibatan peserta didik secara aktif dapat terlihat mulai dari tahap pertama sampai
tahap akhir pembelajaran.
Berdasarkan uraian di atas permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah:
(1) apakah hasil belajar peserta didik yang dikenai pembelajaran dengan menerapkan model
pembelajaran Group Investigation berbantuan CD Interaktif memenuhi ketuntasan klasikal;
(2) apakah rata-rata hasil belajar peserta didik yang pembelajarannya menerapkan model
pembelajaran Group Investigation berbantuan CD Interaktif lebih baik daripada rata-rata
hasil belajar peserta didik yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran CTL; (3)
apakah Mathematics Anxiety peserta didik yang pembelajarannya menerapkan model
pembelajaran Group Investigation berbantuan CD Interaktif lebih rendah daripada peserta
didik yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran CTL; (4) apakah peserta
didik yang dikenai pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran Group
Investigation berbantuan CD Interaktif secara klasikal lebih aktif daripada peserta didik yang
menggunakan model pembelajaran CTL; dan (5) apakah ada pengaruh antara Mathematics
Anxiety dengan hasil belajar pada peserta didik yang pembelajarannya menerapkan model
pembelajaran Group Investigation berbantuan CD Interaktif serta seberapa besar pengaruh
tersebut?
Tujuan dari penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui apakah hasil belajar peserta
didik SMPN 1 Brangsong tahun pelajaran 2011/2012 yang dikenai pembelajaran dengan
menerapkan model pembelajaran Group Investigation berbantuan CD Interaktif memenuhi
ketuntasan klasikal pada materi lingkaran; (2) apakah rata-rata hasil belajar peserta didik
SMPN 1 Brangsong tahun pelajaran 2011/2012 yang pembelajarannya menerapkan model
pembelajaran Group Investigation berbantuan CD Interaktif lebih baik daripada rata-rata
hasil belajar peserta didik yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran CTL
pada materi lingkaran; (3) apakah Mathematics Anxiety peserta didik SMPN 1 Brangsong
tahun pelajaran 2011/2012 yang pembelajarannya menerapkan model pembelajaran Group
Investigation berbantuan CD Interaktif lebih rendah daripada rata-rata hasil belajar peserta
didik yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran CTL pada materi lingkaran;
(4) apakah peserta didik SMPN 1 Brangsong tahun pelajaran 2011/2012 yang dikenai
pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran Group Investigation berbantuan CD
Interaktif secara klasikal lebih aktif daripada peserta didik yang menggunakan model
pembelajaran CTL pada materi lingkaran; dan (5) apakah ada pengaruh antara Mathematics
Anxiety dengan hasil belajar pada peserta didik SMPN 1 Brangsong tahun pelajaran
2011/2012 yang pembelajarannya menerapkan model pembelajaran Group Investigation
berbantuan CD Interaktif pada materi lingkaran serta seberapa besar pengaruh tersebut.

182
Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kuantitatif tipe
kuasi eksperimen (quasi experimental research). Adapun desain penelitiannya adalah seperti
tampak pada tabel 1 berikut.
Tabel 1. Desain Penelitian
Kelompok Perlakuan T1 T2
Eksperimen X TE AE
Kontrol Y TK AK
Keterangan:
X : penerapan model pembelajaran Group Investigation berbantuan CD Interaktif
Y : penerapan model pembelajaran CTL
T1 : tes hasil belajar
T2 : pengisian angket untuk mengukur Mathematics Anxiety
TE : hasil tes hasil belajar kelas eksperimen
TK : hasil tes hasil belajar kelas kontrol
AE : hasil pengisian angket Mathematics Anxiety kelas eksperimen
AK : hasil pengisian angket Mathematics Anxiety kelas kontrol

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh peserta didik kelas VIII semester 2 tahun
ajaran 2011/2012 di SMP Negeri 1 Brangsong. Sampel ditentukan dengan menggunakan
teknik Cluster Rundom Sampling yang menghasilkan dua kelas yaitu kelas VIII-E sebagai
kelas eksperimen dan kelas VIII-F sebagai kelas kontrol. Variabel bebas dalam penelitian ini
adalah model pembelajaran dan variabel terikatnya adalah Mathematics Anxiety dan hasil
belajar peserta didik. Metode yang digunakan untuk mengambil data adalah metode
dokumentasi, metode tes dan metode angket.
Data awal yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari nilai mentah ulangan
akhir semester I kelas VIII-E dan VIII-F SMP N 1 Brangsong tahun 2011/2012. Data ini
kemudian diuji normalitas menggunakan rumus chi kuadrat (Sudjana; 2005), didapatkan
hasil = 7.194 dan tabel = 12.6. diterima karena hitung < tabel. Sehingga dapat
disimpulkan data berdistribusi normal. Uji homogenitasnya menggunakan uji kesamaan dua
varian (Sudjana; 2005), diperoleh nilai Fhitung = 1.084 dan Ftabel = 2.010. Karena Fhitung < Ftabel
maka Ho diterima. Sehingga dapat disimpulkan, data homogen (mempunyai varians yang
sama). Data akhir diperoleh dari nilai hasil belajar dan Mathematics Anxiety peserta didik
pada kelas eksperimen dan kelas kontrol, data tersebut kemudian dianalisis lebih lanjut
dengan uji normalitas, uji homogenitas, uji ketuntasan, uji perbedaan rata-rata , dan analisis
regresi untuk mengetahui pengaruh Mathematics Anxiety pada model Group Investigation
berbantuan CD Interaktif terhadap hasil belajar peserta didik.

Hasil
Hasil belajar setelah diberi perlakuan pada kelas eksperimen dengan model
pembelajaran Group Investigation berbantuan CD Interaktif dan kelas kontrol dengan model
pembelajaran CTL dapat dilihat pada Tabel 2.

183
Tabel 2. Data Hasil Belajar dan Mathematics Anxiety

Statistik Deskriptif Kelas Eksperimen Kelas Kontrol


Nilai Tertinggi 91 88
Nilai Terendah 84 65
Rata rata 82.83 76.76
Varians 35.10 22.59
Simpangan Baku 5.92 4.75
Aspek Mathematics Anxiety Kelas Eksperimen Kelas Kontrol
(%) (%)
Fisologis 26 40

Psikologis 35 44.3

Secara keseluruhan Mathematics Anxiety peserta didik pada kelas eksperimen yang
menggunakan model pembelajaran Group Investigation berbantuan CD Interaktif lebih
rendah daripada peserta didik pada kelas kontrol dengan model pembelajaran CTL. Dilihat
dari kedua aspek Mathematics Anxiety (fisiologis dan psikologis), Mathematics Anxiety
peserta didik lebih banyak tampak pada kondisi psikologis. Untuk mengurangi adanya
Mathematics Anxiety pada peserta didik dapat dilakukan dengan melakukan pembelajaran
yang menekankan pada aktivitas sosial antar peserta didik, seperti menyelesaikan suatu
permasalahan melalui kegiatan diskusi. Dengan adanya aktivitas sosial antar peserta didik
selama proses pembelajaran, peserta didik akan lebih leluasa untuk menanyakan dan saling
memberikan masukan tanpa adanya rasa takut ataupun cemas. Selain itu, dilakukan pula
usaha untuk menambah minat peserta didik terhadap materi pembelajaran dengan cara
memanfaatkan media yang menarik, efektif dan relevan. Soal-soal yang dibuat juga berkaitan
dengan benda-benda yang dibahas dalam media pembelajaran.
Pelaksanaan penelitian dengan menggunakan model Group Investigation berbantuan
CD Interaktif dilaksanakan di kelas VIII-E SMP Negeri 1 Brangsong dengan jumlah peserta
didik sebanyak 30 orang. Selama proses pembelajaran jumlah peserta didik dibagi menjadi 6
kelompok secara heterogen sesuai kemampuan akademik. Setiap kelompok beranggotakan
lima orang peserta didik. Pengelompokkan seperti ini dapat memberikan kesempatan peserta
didik untuk saling berinteraksi. Pihak yang belajar adalah partisipan aktif dalam segala aspek
kehidupan sekolah, membuat keputusan yang menentukan tujuan terhadap apa yang mereka
kerjakan. Kelompok dijadikan sebagai sarana sosial dalam proses ini. Rencana kelompok
adalah satu metode untuk mendorong keterlibatan maksimal para peserta didik, Slavin
(2010). Adapun tahapan dalam Group Investigation yaitu: (1) mengidentifikasikan topik dan
mengatur murid ke dalam kelompok; (2) merencanakan tugas yang akan dipelajari; (3)
melaksankaan investigasi; (4) menyiapkan laporan akhir; (5) mempresentasikan laporan
akhir; dan (6) evaluasi.
Selama kegiatan pembelajaran peserta didik lebih banyak bekerja di dalam kelompok.
Keterlibatan peserta didik secara aktif dapat terlihat mulai dari tahap pertama sampai tahap
akhir pembelajaran. Pada awal pelajaran, guru memberikan penjelasan dan gambaran secara
kontekstual mengenai materi yang berkaitan dengan garis singgung persekutuan dalam
maupun luar dua lingkaran sebagai motivasi untuk peserta didik. Guru juga memberikan
contoh soal dan menjelaskan penyelesaiannya sebagai contoh atau model bagi peserta didik
dalam melaksanakan pembelajaran. Setelah itu, peserta didik dibagi ke dalam kelompok

184
diskusi. Guru menyiapkan bebrapa topik yang akan dibahas pada proses pembelajaran.
Peserta didik diminta memilih topik yang akan dibahas selama proses pembelajaran dengan
cara mengambil undian. Kemudian kelompok memperoleh lembar kerja peserta didik sesuai
dengan topik yang didapatkan. Peserta didik diberi waktu untuk merencanakan tugas yang
akan mereka pelajari. Setiap kelompok berdiskusi untuk menginvestigasi permasalahan serta
menyelesaiakan soal yang ada pada lembar kerja peserta didik. Dalam kegiatan ini, peserta
didik dilatih untuk mengembangkan group process skill dan komunikasi antar anggota
kelompok. Peserta didik dapat saling bertanya dan memberikan masukan. Peserta didik tidak
akan merasa takut seperti ketika ingin bertanya kepada guru sehingga diharapkan dapat
mengurangi Mathematics Anxiety peserta didik. Guru secara aktif berkeliling dari satu
kelompok ke kelompok lainnya untuk memberikan penjelasan seperlunya kepada kelompok
yang membutuhkan. Setelah selesai melakukan investigasi kelompok diberi waktu untuk
mempersiapkan laporan akhir yang akan dipresentasikan. Setelah waktu diskusi selesai, guru
menunjuk satu kelompok yang mewakili satu topik untuk mempresentasikan hasil diskusi di
depan kelas. Peserta didik lain menanggapi jika ada kesalahan atau yang belum jelas tentang
materi tersebut. Dalam hal ini, guru berperan untuk memberikan koreksi maupun tambahan
penjelasan apabila ada hasil presentasi yang kurang tepat. Guru juga mengarahkan peserta
didik untuk aktif menanggapi hasil presentasi denagn mengajukan pertanyaan maupun
komentar. Peserta didik dilatih untuk berpikir terbuka serta berani menyampaikan
gagasannya, sehingga akan timbul rasa percaya diri dalam diri peserta didik. Selanjutnya,
peserta didik dengan arahan guru secara bersama-sama merangkum hal-hal penting dari hasil
diskusi selama proses pembelajaran. Guru memberikan kesempatan kepada peserta didik
yang ingin menyampaikan rangkuman dengan kata-katanya sendiri, kemudian dari beberapa
pendapat tersebut guru mengarahkan seluruh peserta didik untuk menarik kesimpulan
terhadap hasil diskusi selama pembelajaran.
Setelah mendapat perlakuan yang berbeda yaitu pembelajaran dengan menggunakan
model pembelajaran Group Investigation pada kelas eksperimen dan model pembelajaran
CTL pada kelas kontrol, kedua kelas tersebut diberikan tes akhir yang sama untuk menguji
hasil belajar peserta didik. Selain itu, peserta didik juga diberikan angket Mathematics
Anxiety untuk mengetahui seberapa besar kecemasan matematika peserta didik setelah
melaksanakan kegiatan pembelajaran. Dari hasil perhitungan uji ketuntasan belajar
menggunakan uji proporsi satu pihak (pihak kanan) (Sudjana; 2005) disimpulkan nilai tes
hasil belajar peserta didik di kelas eksperimen telah mencapai ketuntasan belajar melampaui
85%. Berdasarkan hasil uji beda rata-rata menggunakan uji t (uji pihak kanan) (Sudjana;
2005) terdapat perbedaan yang signifikan antara nilai tes hasil belajar kelas eksperimen dan
kelas kontrol. Rata-rata nilai hasil belajar kelas eksperimen adalah 82.83 sedangkan pada
kelas kontrol sebesar 76.76. Hasil perhitungan terhadap nilai Mathematics Anxiety dengan
rumus yang sama juga didapatkan kesimpulan bahwa terdapat perbedaan Mathematics
Anxiety peserta didik yang signifikan antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Rata-rata
nilai Mathematics Anxiety kelas eksperimen adalah 39.6 sedangkan pada kelas kontrol
sebesar 50.9. Begitu pula terhadap aktivitas peserta didik disimpulkan terdapat perbedaan
aktivitas peserta didik yang signifikan antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Rata-rata
nilai aktivitas peserta didik kelas eksperimen adalah 76,45 sedangkan pada kelas kontrol
sebesar 65.06. Dari hasil tersebut, maka diperoleh informasi bahwa rata-rata hasil belajar dan
aktivitas peserta didik dengan menggunakan model pembelajaran Group Investigation
berbantuan CD Interaktif lebih baik daripada kelas kontrol yang menggunakan model
pembelajaran CTL. Selain itu, rata-rata Mathematics Anxiety peserta didik dengan
menggunakan model pembelajaran Group Investigation berbantuan CD Interaktif lebih
rendah daripada kelas kontrol yang menggunakan model pembelajaran CTL.

185
Dalam penelitian ini Mathematics Anxiety dinilai berdasarkan indikator yang sudah
ditetapkan pada tiap aitem dalam bentuk angket begitu juga dengan aktivitas peserta didik
yang dinilai berdasarkan kegiatan pembelajaran yang termuat di dalam rencana pelaksaan
pembelajaran. Dari nilai Mathematics Anxiety dan nilai hasil belajar peserta didik kemudian
dilakukan perhitungan uji regresi linear sederhana untuk mengetahui apakah ada pengaruh
antara Mathematics Anxiety terhadap hasil belajar peserta didik. Hasil perhitungan dengan
menggunakan rumus regresi linier sederhana diperoleh persamaan regresi sederhananya
adalah dan , artinya ada pengaruh negatif
Mathematics Anxiety terhadap hasil belajar peserta didik sebesar 57.47%. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa Mathematics Anxiety peserta didik berpengaruh negatif terhadap hasil
belajar peserta didik. Hal ini sejalan dengan penelitian Sarason sebagimana yang telah dikutip
oleh Slameto (2003) yang menyatakan bahwa peserta didik dengan tingkat kecemasan yang
tinggi tidak berprestasi sebaik peserta didik dengan tingkat kecemasan yang rendah.

Penutup
Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa (1) hasil belajar peserta
didik yang diajar menggunakan model Group Investigation berbantuan CD Interaktif dapat
memenuhi ketuntasan klasikal pada materi lingkaran; (2) nilai rata-rata hasil belajar kelas
eksperimen dengan model Group Investigation berbantuan CD Interaktif lebih baik
dibandingkan dengan kelas kontrol yang menguunakan model CTL; (3) nilai rata-rata
Mathematics Anxiety kelas eksperimen dengan model Group Investigation berbantuan CD
Interaktif lebih rendah dibandingkan dengan kelas kontrol yang menggunakan model CTL;
(4) peserta didik kelas eksperimen dengan model Group Investigation berbantuan CD
Interaktif lebih aktif dibandingkan dengan kelas kontrol yang menggunakan model CTL; dan
(5) adanya pengaruh negatif Mathematics Anxiety peserta didik pada model Group
Investigation berbantuan CD Interaktif terhadap hasil belajar peserta didik. Artinya
pembelajaran matematika dengan model Group Investigation berbantuan CD Interaktif
dikatakan efektif pada pencapaian hasil belajar dan mengurangi Mathematics Anxiety.

Daftar Pustaka

Rukmana, A. & A. Sunary. 2009. Buku Pengelolaan Kelas. Tersedia di http://makalahk


umakalahmu.net/2009/06/13/8-keterampilan-mengajar/.
Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: PT Rineka
Cipta.
Slavin, R.E. 2010. Cooperative Learning. Bandung : Penerbit Nusa Media.
Sudjana. 2005. Metode Statistika. Bandung: Tarsito Bandung.
Tim MGMP. 2008. Menghilangkan Kesan "Matematika itu Menakutkan". Tersedia di
http://www.mgmpmatsmpkendal.blogspot.com/
Zakaria, E. & N.M. Nordin. 2008. The Effect of Mathematics Anxiety on Matriculation
Students as Related to Motivation and Achievement. Eurasia Journal of Mathematics,
Science & Technology Education, 2008, 4(1): 27-30. Tersedia di www.ejmste.com
[diakses 26-12-2011].

186
Pembelajaran Matematika Berbasis E-Learning dalam Kerangka
Laboratorium Teenzania Materi Trigonometri Kelas X

Iman Subekti1) & Sukestiyarno2)


Email : 1)y_imansubekti@yahoo.com
2)
yarno2009@yahoo.com

Abstrak
Dua faktor yang mempengaruhi rendahnya penguasaan materi trigonometri pada peserta
didik adalah perangkat pembelajaran yang digunakan guru belum jelas validitasnya dan
rencana pembelajaran belum benar-benar dilaksanakan secara konsisten di kelas.
Pembelajaran materi trigonometri di SMA Krista Mitra Semarang saat ini masih
menggunakan cara konvensional dan bersifat hanya menyampaikan teori-teori trigonometri
saja tanpa mengaplikasikannya. Untuk mengatasi hal tersebut dikembangkan pembelajaran
matematika berbasis e-learning (www.teenzania.com) bermuatan pendidikan karakter dalam
kerangka laboratorium Teenzania yang diujicobakan di kelas X SMA Krista Mitra Semarang.
Peneliti menggunakan model 4-D (Four D Model) Thiagarajan yang terdiri dari 4 tahap
pengembangan, yaitu define, design, develop, dan disseminate. Langkah-langkah yang
dilakukan peneliti adalah ; pertama mendefinisikan syarat-syarat yang diperlukan dalam
pembelajaran, kedua merancang prototipe perangkat pembelajaran, ketiga melakukan
validasi, revisi, dan uji coba lapangan. Dalam penelitian ini terdapat tiga variabel yaitu
keterampilan proses, motivasi belajar, dan prestasi belajar. Pengambilan data dengan
pengamatan dan tes, data dioalah dengan analisis deskriptif, uji banding t dan uji pengaruh
regresi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasar penilaian tim validator terhadap perangkat
pembelajaran adalah valid. Sedangkan implementasi perangkat ke lapangan menunjukkan
efektif yang ditandai: semua variabel mencapai ketuntasan, terdapat pengaruh positif variabel
independen terhadap variabel dependen, dan prestasi belajar kelas eksperimen lebih baik
dibanding kelas kontrol. Nilai rata-rata keterampilan proses 78,2 , motivasi belajar = 77,6 ,
prestasi belajar 77,7. Jika guru menghendaki peserta didiknya mampu menguasai materi yang
diajarkan maka guru tersebut haruslah mengembangkan atau menggunakan perangkat
pembelajaran yang baik yang telah teruji validitasnya dan mampu menciptakan proses
pembelajaran yang efektif.

Kata kunci e-learning, perangkat pembelajaran, teenzania.com

Pendahuluan
Beberapa guru cenderung mengajar dengan cara konvensional, monoton, hanya
menggunakan papan tulis dan buku teks yang ada, sehingga kurang bervariasi dan
mengurangi motivasi serta daya tarik atau minat peserta didik untuk mempelajari
trigonometri. Krismanto (2003, 7) mengatakan bahwa pengelolaan pembelajaran untuk
materi trigonometri di lapangan masih banyak dijumpai berbagai kesulitan, baik dari segi
pengelolaan pembelajaran dari guru maupun dari sisi pemahaman peserta didik. Faktor model
pembelajaran yang diterapkan oleh guru juga memiliki andil yang cukup besar. Hal ini sesuai
dengan pendapat Sutrisno (2010) yang mengatakan bahwa kebanyakan guru menggunakan
model pembelajaran yang bersifat konvensional dan kegiatan pembelajaran banyak
didominasi oleh guru, hanya menggunakan metode ekspositori saja, sehingga mengakibatkan
keterampilan proses dan motivasi belajar peserta didik rendah.
Pembelajaran materi trigonometri di SMA Krista Mitra saat ini masih menggunakan
cara konvensional yaitu guru dalam menjelaskan materi hanya dengan menggunakan papan
tulis / white board, spidol dan buku teks. Gambar-gambar segitiga, sudut-sudut serta bidang

187
datar lainnya terlihat kurang menarik saat digambar di papan tulis, ditambah membutuhkan
waktu yang lebih lama saat guru menggambar di papan tulis. Guru menggunakan pola
interaksi satu arah yang membuat peserta didik pasif selama kegiatan belajar mengajar.
Peserta didik merasa kesulitan dalam menangkap materi trigonometri karena cara
penyajiannya yang kurang menarik disamping materi trigonometri tergolong sulit bagi
peserta didik. Pembelajaran seperti ini sangat kurang efektif sehingga membuat siswa kurang
begitu menyukai pelajaran matematika terutama materi trigonometri.
Pembelajaran dengan cara konvensional dapat berdampak pada prestasi belajar
peserta didik yang tidak mencapai KKM. Pada tahun pelajaran 2010/2011 semester II SMA
Krista Mitra Semarang bahwa pada pokok bahasan trigonometri kriteria ketuntasan kelas
tidak tercapai karena banyaknya peserta didik yang mencapai KKM kurang dari 80 % dari
banyaknya seluruh siswa dalam satu kelas. Bahkan rata-rata nilai ulangan materi pokok
trigonometri saat itu hanya 62, padahal nilai KKM mata pelajaran matematika kelas X di
SMA Krista Mitra adalah 65.
Pemanfaatan internet di SMA Krista Mitra belum maksimal, sekalipun dalam kurun
waktu 5 tahun ini jaringan internetnya sudah ada dengan kapasitas bandwidth 2 MB. Di
sekolah ini belum ada sistem e-learning online terpadu menggunakan LMS (Learning
Management System). Guru dan siswa menggunakan internet hanya sebatas men-download
materi saja, itupun persentasenya sangat kecil. Pemanfaatan internet masih didominasi untuk
mengakses situs-situs jejaring sosial seperti facebook, twitter dan sejenisnya. Hal ini sangat
kecil sekali manfaatnya untuk dunia pendidikan, bahkan cenderung mengganggu konsentrasi
belajar siswa. Pihak sekolah mengharapkan kepada segenap civitas akademik untuk
memanfaatkan internet sebagai penunjang pembelajaran untuk menambah wawasan,
meningkatkan mutu pembelajaran dan prestasi belajar.
Peneliti tertantang untuk memperbaiki keadaan di atas dengan menerapkan
pembelajaran matematika melalui e-learning berbasis LMS (Learning Management System)
dalam kerangka laboratorium Teenzania yang diharapkan akan mampu mengubah proses
pembelajaran yang selama ini berlangsung di SMA Krista Mitra Semarang terutama materi
trigonometri dan dapat memperbaiki prestasi belajar peserta didik.
Pemanfaatan teknologi informasi untuk menunjang kegiatan pembelajaran, sekolah
harus membangun sistem e-learning yang diimplementasikan dengan paradigma
pembelajaran online terpadu menggunakan LMS (Learning Management System). E-learning
sekolah dalam penelitian ini diimplementasikan dengan menggunakan LMS Moodle. LMS
adalah perangkat lunak untuk membuat materi pembelajaran online (berbasis web),
mengelola kegiatan pembelajaran serta hasil-hasilnya, memfasilitasi interaksi, komunikasi,
kerjasama antar guru dan siswa. LMS mendukung berbagai aktivitas, antara lain:
administrasi, penyampaian materi pembelajaran, penilaian (tugas, quiz), pelacakan/tracking
& monitoring, kolaborasi, dan komunikasi/interaksi.
Clark (2002) menuliskan enam prinsip yang harus diperhatikan berkaitan dengan
elemen media yang digunakan supaya sebuah program e-learning berlangsung efektif.
Keenam prinsip menyangkut elemen media dalam e-learning yang disebutkan Clark berikut
merupakan dasar-dasar bagaimana mengembangkan media dalam e-learning. Pengembangan
media yang dimaksud di sini menyangkut kombinasi teks, grafik, dan suara untuk
menyampaikan materi pembelajaran. Keenam prinsip tersebut adalah prinsip multimedia,
prinsip contiguity (kedekatan), prinsip modality prinsip redundancy (kelebihan),
prinsip coherence, prinsip personalisasi.
Ide Teenzania berasal dari keberhasilan program Kidzania yang berada di Jakarta.
Kidzania Jakarta adalah sebuah theme park jenis edutainment yang berlokasi di Pacific Place,
Jakarta, Indonesia. Kidzania adalah model laboratorium mini yang dibuat menyerupai kondisi
sesungguhnya. Laboratorium Teenzania pada penelitian ini merupakan suatu pengkondisian

188
pembelajaran matematika materi trigonometri dikorelasikan dengan kenyataan atau peristiwa
kehidupan sehari-hari. Pengkondisian itu berupa penerapan e-learning pada website
www.teenzania.com yang dikembangkan sendiri oleh peneliti dan pembelajaran matematika
yang berfokus pada aplikasi teori trigonometri dalam kehidupan nyata melalui tatap muka,
sebagai contoh peserta didik membuat kerangka jembatan dengan memanfaatkan teori
trigonometri.
Efektif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah : 1) prestasi belajar mencapai
kriteria ketuntasan minimal yaitu 70 , 2) ada pengaruh positif keterampilan proses dan
motivasi belajar peserta didik terhadap prestasi belajar, 3) prestasi belajar peserta didik lebih
baik dibandingkan dengan pembelajaran ekspositori (Sukestiyarno, 2010).
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan penelitian ini adalah (1) Apakah variabel
independent dan dependent mencapai ketuntasan pada pembelajaran trigonometri berbasis e-
learning dalam kerangka laboratorium Teenzania ? ; (2) Adakah pengaruh positif variabel
independen terhadap variabel dependen pada pembelajaran trigonometri berbasis e-learning
dalam kerangka laboratorium Teenzania ? ; (3) Apakah variabel dependen pada kelas
eksperimen lebih baik daripada kelas kontrol ?

Metode
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yang dilaksanakan dengan tujuan
untuk mengetahui efektivitas pembelajaran matematika berbasis e-learning dalam kerangka
laboratorium Teenzania.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh peserta didik kelas X SMA Krista Mitra
Semarang tahun pelajaran 2011/2012 semester genap yang berjumlah 121 peserta didik
terbagi dalam 5 kelas, dan setiap kelas rata-rata berjumlah 24 peserta didik. Teknik
pengambilan sampel dilakukan dengan simple cluster random sampling, yaitu pengambilan
sampel dari populasi secara acak kelompok peserta didik dalam dua kelas, tanpa
memperhatikan strata dalam populasi itu (Sugiyono, 2010: 120-121). Dari dua kelas tersebut
diambil satu kelas sebagai kelas eksperimen dan kelas lainnya sebagai kelas kontrol.
Variabel-variabel yang dianalisis dalam penelitian ini adalah keterampilan proses dan
motivasi belajar sebagai variabel independent serta prestasi belajar sebagai variabel
dependent. Sistem yang dikembangkan merupakan alat bantu pembelajaran. Software
implementasi e-learning yang dicoba dalam penelitian ini adalah berupa website
www.teenzania.com berbasis moodle.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar pengamatan
keterampilan proses peserta didik, lembar pengamatan dan angket motivasi belajar peserta
didik, dan tes tertulis untuk memperoleh data hasil prestasi belajar peserta didik.
Teknik analisis data dalam penelitian ini meliputi ; (1) analisis one sampel t-tes untuk
menguji ketuntasan keterampilan proses, motivasi belajar, dan prestasi belajar dengan
menggunakan SPSS versi 15. Apabila dari hasil pengujian diperoleh nilai signifikansi kurang
dari 0,05 dengan nilai rata-rata > 70, dapat disimpulkan bahwa semua variabel telah
mencapai ketuntasan minimal, (2) analisis regresi (regresi linear/ANOVA untuk menguji
pengaruh variabel keterampilan proses dan motivasi belajar terhadap prestasi belajar selama
mengikuti pembelajaran materi trigonometri berbasis e-learning dengan menggunakan SPSS
versi 15, (3) uji perbedaan (Independent Sample T Test) untuk menguji perbedaan hasil
prestasi belajar kelas eksperimen dengan prestasi belajar kelas kontrol.

Hasil
Data yang diperoleh dari pengamatan keterampilan proses, pengamatan dan angket
motivasi belajar, serta tes prestasi belajar semuanya mempunyai nilai signifikasi 0% sehingga
< 5%, artinya rata-rata ketuntasan keterampilan proses, motivasi belajar, dan prestasi belajar

189
kelas eksperimen ( ) 70 ( nilai KKM ). Hasil nilai rata-rata keterampilan proses = 78,24 ,
motivasi belajar = 79,86 , dan prestasi belajar = 79,6. Hasil di atas dapat dilihat dari Gambar
1 berikut :

Rata-rata Nilai Ketuntasan Belajar


78.24 79.86 79.6
80
78
76 70
74
72 KKM
70
68 Keterampilan Proses
66
64
Motivasi Belajar
Prestasi Belajar

Gambar 1 Grafik Data Ketuntasan Nilai Rata-rata

Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan proses peserta didik dalam


kegiatan e-learning di luar tatap muka menghasilkan nilai rata-rata 73. Skor rata-rata tersebut
masuk dalam kriteria tinggi. Hasil keterampilan proses peserta didik dalam kegiatan
pendahuluan tatap muka menghasilkan nilai rata-rata 74,33. Skor rata-rata tersebut masuk
dalam kriteria tinggi. Hasil penelitian keterampilan proses peserta didik dalam kegiatan
proses pembelajaran dalam kerangka laboratorium Teenzania skor rata-rata 80,14. Sesuai
dengan kriteria skor yang telah dijelaskan maka skor rata-rata 80,14 masuk dalam kriteria
tinggi. Hasil di atas dapat dilihat dari Gambar 2.

Rata-rata Skor Keterampilan


Proses
80.14
82
80 74.33 Keterampilan E-
78 73
76 Learning
74
72 Keterampilan
70
68 Pendahuluan
Keterampilan dalam
Teenzania

Gambar 2 Grafik Hasil Keterampilan Proses

Hasil penelitian menunjukkan bahwa motivasi belajar peserta didik dalam kegiatan e-
learning di luar tatap muka menghasilkan nilai rata-rata 73. Sesuai dengan kriteria nilai maka
nilai rata-rata 73 masuk dalam kriteria tinggi. Hasil motivasi belajar peserta didik dalam
kegiatan pendahuluan tatap muka menghasilkan nilai rata-rata 74,33. Sesuai dengan kriteria
nilai yang telah dijelaskan maka skor rata-rata 74,33 masuk dalam kriteria tinggi. Hasil

190
penelitian motivasi belajar peserta didik dalam kegiatan proses pembelajaran dalam kerangka
laboratorium Teenzania skor rata-rata 80,14. Sesuai dengan kriteria skor yang telah
dijelaskan maka skor rata-rata 80,14 masuk dalam kriteria tinggi. Hasil di atas dapat dilihat
dari Gambar 3 berikut:

Rata-rata Skor Motivasi Belajar


79.33
79.5
79 78
78.5 77.71
78 Motivasi dalam E-
77.5 Learning
77
76.5 Motivasi dalam
Pendahuluan
Motivasi dalam
Teenzania

Gambar 3 Grafik Hasil Motivasi Belajar

Berdasarkan analisis uji pengaruh, telah dapat dibuktikan bahwa keterampilan proses
berpengaruh secara linear terhadap prestasi belajar peserta didik. Menurut Hamalik (2008:
150), hal ini terjadi karena keterampilan proses merupakan pengejawantahan aktivitas dan
kreatifitas siswa dalam proses pembelajaran yang mengarah pada pengembangan kemampuan
fisik dan mental sebagai pendorong untuk mengembangkan kemampuan yang lebih tinggi.
Analisa pengaruh tunggal keterampilan proses peserta didik terhadap prestasi belajar
diperoleh nilai R2 sebesar 0,747 artinya besarnya pengaruh keterampilan proses terhadap
hasil prestasi belajar sebesar 74,7 %. Analisa pengaruh tunggal motivasi belajar peserta didik
terhadap prestasi belajar diperoleh nilai R2 sebesar 0,725 artinya besarnya pengaruh motivasi
belajar terhadap hasil prestasi belajar sebesar 72,5 %.
Analisa pengaruh ganda diperoleh taraf signifikansi 0% < 5% , R2 = 0,790
artinya besarnya pengaruh keterampilan proses dan motivasi belajar secara bersama-sama
terhadap hasil prestasi belajar sebesar 79 % dan ada 21 % dipengaruhi oleh faktor lain.
^
Persamaan regresi ganda Y 6,801 0,605 X1 0,489 X 2 . Terlihat pada persamaan
tersebut bahwa setiap keterampilan proses dan motivasi belajar secara bersama berubah
masing-masing naik satu satuan maka prestasi belajar akan bertambah sebesar 1,094 ( 0,605
+ 0,489). Persamaan tersebut menggambarkan suatu bentuk grafik yang dapat dilihat pada
Gambar 4.

191
Linear Regressi on


PrestasiBelaj ar = -6.80 + 0.61 * Keteram pilanProses
+ 0.49 * Motiv asiBelaj ar
R-Square = 0.79

Gambar 4. Grafik Regresi Linear Pengaruh Keterampilan Proses dan Motivasi Belajar
terhadap Prestasi Belajar

Analisa uji perbedaan dengan menggunakan Independent Sample T Test antara hasil
prestasi belajar kelas eksperimen dan kelas kontrol diperoleh nilai signifikasi 0,001 atau 0,1%
< 5% artinya kedua sampel mempunyai nilai rata-rata ketuntasan yang berbeda yaitu sebesar
11,13 dari rata-rata nilai prestasi belajar kelas eksperimen (79,6) dan kelas kontrol (68,47).
Berarti hasil prestasi belajar kelas eksperimen lebih baik daripada prestasi belajar kelas
kontrol.

Pembahasan
Uji ketuntasan telah dinyatakan menghasilkan bahwa nilai rata-rata ketuntasan belajar
di kelas uji coba perangkat lebih dari 70. Hal ini menunjukkan secara nyata keberhasilan
proses pembelajaran berbasis e-learning dalam kerangka laboratorium Teenzania.
Keberhasilan ini disebabkan karena pembelajaran berbasis e-learning dalam kerangka
laboratorium Teenzania berhasil meningkatkan kemampuan dan kecakapan yang dimiliki
siswa ke arah positif terutama kemampuan keterampilan proses dan motivasi belajar peserta
didik dalam mempelajari materi trigonometri.
Hal lain yang menjadi penyebab keberhasilan pembelajaran berbasis e-learning dalam
kerangka laboratorium Teenzania adalah karena model ini memberi kesempatan lebih luas
pada peserta didik untuk bereksplorasi dan mengaitkan materi pembelajaran dengan
kehidupan sehari-hari.
Pembahasan pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat dapat dijelaskan
sebagai berikut : Romizowski (dalam Uno, 2009: 199) mengelompokkan keterampilan dalam
empat jenis, yaitu keterampilan kognitif, keterampilan reaktif, keterampilan interaktif, dan
keterampilan psikomotorik. Jadi keterampilan tidak hanya pada ranah psikomotorik saja,
tetapi juga dapat menyangkut ranah lain. Dalam penelitian ini, keterampilan yang lebih
ditekankan adalah keterampilan dalam ranah kognitif yaitu keterampilan intelektual. Menurut
Hudojo (1988: 30) Keterampilan intelektual adalah kapabilitas untuk membuat diskriminasi,
menguasai konsep dan aturan serta memecahkan masalah. Belajar ketrampilan intelektual
berarti belajar memahami bagaimana terjadinya sesuatu.
Berdasarkan analisis uji pengaruh, telah dapat dibuktikan bahwa keterampilan proses
berpengaruh secara linear terhadap prestasi belajar peserta didik. Menurut Hamalik (2008:
150), hal ini terjadi karena keterampilan proses merupakan pengejawantahan aktivitas dan
kreatifitas siswa dalam proses pembelajaran yang mengarah pada pengembangan kemampuan
fisik dan mental sebagai pendorong untuk mengembangkan kemampuan yang lebih tinggi.

192
Berdasarkan analisis uji pengaruh, telah dapat dibuktikan bahwa motivasi belajar
berpengaruh secara linear terhadap prestasi belajar siswa. Hal ini sejalan dengan pendapat
Uno (2009: 23) yang menyatakan bahwa motivasi merupakan dorongan dasar yang
menggerakkan seseorang bertingkah laku.
Dorongan ini ada pada diri seseorang yang menggerakkan untuk melakukan sesuatu
yang sesuai dengan dorongan pada dirinya. Dalam konteks ini, dorongan yang dimaksud
adalah dorongan untuk berprestasi. Jika siswa mempunyai dorongan untuk berprestasi, maka
siswa akan tergerak untuk melakukan aktivitas positif yang dapat meningkatkan prestasi
belajarnya.
Hasil uji regresi mengenai pengaruh secara bersama-sama keterampilan proses dan
motivasi belajar terhadap prestasi belajar menunjukkan bahwa keterampilan proses dan
motivasi belajar secara bersama-sama mempengaruhi secara positif terhadap prestasi belajar
peserta didik. Pengaruh positif tersebut terjadi karena ketika motivasi belajar peserta didik
secara mental, dan sosial muncul maka akan berkembang pula kemampuan-kemampuan fisik,
mental, dan sosial mereka sehingga akan meningkatkan prestasi belajar mereka. Jadi
keterampilan proses dan motivasi belajar merupakan dua hal yang saling berkaitan dan saling
memperkuat untuk memperoleh prestasi belajar yang optimal. Namun demikian, jika dilihat
dari besar pengaruh yang dimilikinya ternyata keterampilan proses memiliki pengaruh lebih
tinggi dalam meningkatkan prestasi belajar peserta didik dibanding motivasi belajar. Hal ini
cukup beralasan karena keterampilan proses yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan
tuntutan kualitas proses aktif siswa dalam melakukan suatu kegiatan secara motorik yang
merupakan pengejawantahan fungsi mental yang dilakukan oleh peserta didik dan dirancang
secara sistematis strategi pembelajarannya oleh pengajar untuk memperoleh suatu produk
ketrampilan tertentu secara optimal.
Hasil olah data dengan membandingkan nilai rata-rata kelas uji coba perangkat dan
kelas kontrol menyimpulkan bahwa kelas uji coba perangkat mempunyai nilai rata-rata
ketuntasan lebih tinggi dibandingan nilai rata-rata ketuntasan kelas kontrol. Ini menunjukkan
pembelajaran berbasis e-learning dalam kerangka laboratorium Teenzania yang lebih
menekankan kemandirian peserta didik dalam pemanfaatan internet dan mengkorelasikan
konsep trigonometri dengan kehidupan sehari-hari terbukti lebih baik dari pembelajaran
trigonometri dengan metode ceramah yang selama ini dilakukan. Sedangkan pembelajaran
berbasis e-learning membantu peserta didik dalam menggali informasi-informasi yang
mereka butuhkan khususnya permasalahan yang tidak didapat dalam buku teks. Para siswa
dengan bebas mengeksplorasi dan mengkonstruksi dirinya melalui internet pada umumnya
dan khususnya melalui www.teenzania.com.
Penerapan pembelajaran berbasis e-learning dalam kerangka laboratorium Teenzania
merupakan proses belajar sangat mungkin berlangsung secara optimal karena proses
pembelajaran dapat benar-benar terjadi dengan peserta didik secara langsung
mengkorelasikan teori dengan hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Uno
(2009: 195) menyebutkan ada tiga ciri yang tampak dari orang yang mempelajari suatu
pengetahuan, yaitu (1) adanya obyek (pengetahuan, sikap, atau keterampilan) yang menjadi
tujuan untuk dikuasai; (2) terjadinya proses berupa interaksi antara seseorang dengan
lingukungannya atau sumber belajar (berupa orang atau perangkat pembelajaran); dan (3)
terjadinya perubahan perilaku baru sebagai akibat mempelajari pengetahuan baru. Berkaitan
dengan ketiga ciri tersebut, pembelajaran berbasis e-learning dalam kerangka laboratorium
Teenzania yang dilakukan pada kelas eksperimen mempunyai derajat keterkaitan yang lebih
kuat dibandingkan pembelajaran yang dilakukan pada kelas kontrol.

193
Penutup
Peneliti menyimpulkan bahwa penerapan pembelajaran matematika berbasis e-
learning dalam kerangka laboratorium Teenzania materi Trigonometri kelas X SMA Krista
Mitra Semarang terbukti mampu menciptakan proses pembelajaran yang efektif. Hal tersebut
ditunjukkan dengan hasil penelitian bahwa setiap variabel yang terdiri dari keterampilan
proses, motivasi belajar, dan tes prestasi belajar mencapai ketuntasan, terdapat pengaruh
positif variabel independen terhadap variabel dependen, dan prestasi belajar kelas eksperimen
lebih baik dibanding prestasi belajar kelas kontrol. Karena penelitian ini telah menghasilkan
pembelajaran proses pembelajaran yang efektif, maka penelitian ini telah berhasil
memperoleh tujuan penelitian yang diharapkan.
Berdasarkan hasil tersebut maka dapatlah disaranakan:
1. Guru harus mengubah cara mengajar materi trigonometri dari konvensional menjadi
cara baru dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi siswa dapat
memahami materi dengan mudah dan pada akhirnya memperoleh nilai prestasi belajar
baik.
2. Guru harus memperhatikan dan memonitor siswanya dalam aktivitas e-learning untuk
mengetahui perkembangan penguasaan materi trigonometri.
3. Guru harus mampu mengajarkan penerapan konsep-konsep trigonometri dalam
kehidupan sehari-hari.

Daftar Pustaka

Clark, RE. 2002. Six Principles of Effective E-learning: What Works and Why. The E-
learning Developers' Journal, 2002. (http://www.elearningguild.com/" title="http:
//www. elearningguild. com/"target="_blank"http://www. elearningguild. com).
Hamalik, O. 2008. Psikologi Belajar Mengajar. Bandung : Sinar Baru Algesiodo.
Hudojo, H. 1990. Strategi Belajar Matematika. Jakarta. Depdikbud.
Karso. 1994. Dasar-dasar Pendidikan MIPA. Jakarta : Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah. Bagian Proyek Penataran Guru
SLTP setara DIII.
Krismanto, Al. 2003. Beberapa Teknik, Model, dan Strategi dalam pembelajaran
Matematika. Makalah. Disampaikan dalam rangka pelatihan pengembangan SMU 20
Juli s.d. 10 Agustus 2003. Depdiknas, Ditjen Dikdasmen PPPG Yogyakarta.
Krismanto, Al. 2003. Pembelajaran Trigonometri SMA. Yogyakarta : P4TK Matematika.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : Penerbit Alfa Beta.
Sukestiyarno. 2010. Olah Data Penelitian Berbantuan SPSS. Semarang. Unnes.
Sutrisno, J. 2010. Peranan Multimedia dalam Pembelajaran dan Gaya Belajar Siswa.
http://www.erlangga.co.id
Uno. 2009. Teori Motivasi dan Pengukurannya. Jakarta : Bumi Aksara.

194
Elementary School Mathematics Learning Model by Optimalizing
Environment Usage and Manipulative Instructional Aids as Learning
Sources

Isti Hidayah1), Isnarto, dan Sugiarto


Mathematics Department, Mathematics and Science Faculty, Semarang State University.
Email: 1)isti.hidayah@yahoo.com

Abstract
The purpose of the study was to develop contextual Mathematics learning model which was
able to increase creative, fun, critical, logical performance for the students through
optimalizing environment usage and manipulative instructional aids as learning sources, by
developing lesson plan, students activity sheet, students worksheet, evaluation instrument,
together with environmental setting and the production of prototype manipulative
instructional aids. This construction referred to curriculum study result, environment, and
instructional aids identification result, and also standard of process. The study was
conducted by applying research and development design. Moreover, the subjects of the study
were teachers and fifth year students of MI Al- Islam Mangunsari 02 Gunungpati.
Meanwhile, material sample that was tried out in this study was basic material about
Geometry and Measurement; using time, distance, speed measurement in solving the
problem. The result of try-out class (real teaching) showed: comprehensiveness class
learning 64, 52 %; 77% students with very high motivation, and 23% students with high
motivation; 94% students gave positive responses; and 100% teachers gave positive
responses as well. Based on this study, it had been arranged Teacher Guideline Book, and
Student Book, which covered lesson plans complete with its instruments, such as students
activity sheet, students worksheet, environmental setting and instructional aids. Based on the
result of the study and discussion, it had been concluded that Mathematics learning in
Elementary School could accomplish standard of process by optimalizing environment and
manipulative instructional aids which was adjusted with environmental condition, students
characteristics, and potential condition around. Furthermore, it was suggested that the use of
Guideline book should be adjusted with school circumstances. And also, reflection at the end
of every learning activity and collaboration among school teachers should be educated
culturally.

Key words: optimalizing environment usage, standard process.

Pendahuluan
Mengingat kebhinekaan budaya, keragaman latar belakang dan karakteristik peserta
didik, serta tuntutan untuk menghasilkan lulusan yang bermutu, proses pembelajaran
matematika harus fleksibel, bervariasi, dan memenuhi standar. Proses pembelajaran harusnya
dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta
didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa,
kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta
psikologis peserta didik. Banyak faktor yang menentukan terjadinya proses di atas. Faktor-
faktor itu antara lain komitmen sekolah/yayasan, sumber daya manusianya, sarana prasarana,
peserta didik, dan proses pembelajaran itu sendiri. Bila faktor-faktor tersebut tidak
mendukung apakah proses pembelajaran sudah pasti tidak efektif, dan tidak bisa diupayakan
menuju proses pembelajaran yang efektif? Proses pembelajaran yang memenuhi standar
adalah pembelajaran yang dilaksanakan sesuai rambu-rambu standar proses pembelajaran.
Standar proses meliputi perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran,
penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya

195
proses pembelajaran yang efektif dan efisien (PP Nomor 41 tahun 2007). Bagaimana model
pembelajaran matematika dapat dikembangkan sebagai implementasi amanat Standar
Nasional Pendidikan?

Standar Proses Pembelajaran


Sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan salah satu standar yang harus dikembangkan adalah standar proses.
Standar proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan
pembelajaran pada satuan pendidikan untuk mencapai kompetensi lulusan. Standar proses
berisi kriteria minimal proses pembelajaran pada satuan pendidikan dasar dan menengah di
seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia (PP Nomor 41 tahun 2007).
Standar proses meliputi (1) perencanaan proses pembelajaran, (2) pelaksanaan proses
pembelajaran, (3) penilaian hasil pembelajaran, dan (4) pengawasan proses pembelajaran
untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien. Keempat komponen
tersebut saling terkait, dan sebagai langkah awal adalah pelaksanaan komponen yang pertama
yaitu perencanaan proses pembelajaran. Pelaksanaan pembelajaran merupa-kan
implementasi dari rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Ini berarti aktivitas
menyusun rencana pelaksanaan pembela-jaran juga perlu diingat bahwa RPP yang sudah
memenuhi standar proses, pelaksana-annya otomatis juga memenuhi standar proses.
Pelaksanaan RPP akan memenuhi standar proses bila pelaksaan proses pembelajaran sesuai
dengan apa yang tertuang dalam RPP. Pembelajaran akan dapat berlangsung sesuai
rancangan bila didukung oleh perangkat yang dibutuhkan. Selain buku teks pelajaran, guru
mengguna-kan buku panduan guru, buku pengayaan, buku referensi dan sumber belajar
lainnya; guru membiasakan peserta didik menggunakan buku-buku dan sumber belajar lain
yang ada di perpustakaan sekolah /madrasah.
Pelaksanaan pembelajaran merupa-kan implementasi dari rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP). Pelaksanaan pembela-jaran meliputi kegiatan pendahuluan, kegiatan inti
dan kegiatan penutup.
Kegiatan Pendahuluan
Dalam kegiatan pendahuluan, guru:
a. menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses
pembelajaran;
b. mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan sebelumnya
dengan materi yang akan dipelajari;
c. menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang akan dicapai;
d. menyampaikan cakupan materi dan penjelasan uraian kegiatan sesuai silabus.
Kegiatan Inti
Pelaksanaan kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai KD yang
dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta
didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa,
kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta
psikologis peserta didik. Kegiatan inti menggunakan metode yang disesuaikan dengan
karakteristik peserta didik dan mata pelajaran, yang dapat meliputi proses eksplorasi,
elaborasi, dan konfirmasi.
a. Eksplorasi
Dalam kegiatan eksplorasi, guru:
1) melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas dan dalam tentang
topik/tema materi yang akan dipelajari dengan menerapkan prinsip alam
takambang jadi guru dan belajar dari aneka sumber;

196
2) menggunakan beragam pendekatan pembelajaran, media pembelajaran, dan
sumber belajar lain;
3) memfasilitasi terjadinya interaksi antar-peserta didik serta antara peserta didik
dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya;
4) melibatkan peserta didik secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran; dan
5) memfasilitasi peserta didik melakukan percobaan di laboratorium, studio, atau
lapangan.
b. Elaborasi
Dalam kegiatan elaborasi, guru:
1) membiasakan peserta didik membaca dan menulis yang beragam melalui tugas-
tugas tertentu yang bermakna;
2) memfasilitasi peserta didik melalui pemberian tugas, diskusi, dan lain-lain untuk
memunculkan gagasan baru baik secara lisan maupun tertulis;
3) memberi kesempatan untuk berpikir, menganalisis, menyelesaikan masalah, dan
bertindak tanpa rasa takut;
4) memfasilitasi peserta didik dalam pembelajaran kooperatif dan kolaboratif;
5) memfasilitasi peserta didik berkompetisi secara sehat untuk meningkatkan
prestasi belajar;
6) memfasilitasi peserta didik membuat laporan eksplorasi yang dilakukan baik
lisan maupun tertulis, secara individual maupun kelompok;
7) memfasilitasi peserta didik untuk menyajikan hasil kerja individual maupun
kelompok;
8) memfasilitasi peserta didik melakukan pameran turnamen, festival, serta produk
yang dihasilkan;
9) memfasilitasi peserta didik melakukan kegiatan yang menumbuhkan kebanggaan
dan rasa percaya diri peserta didik.
c. Konfirmasi
Dalam kegiatan konfirmasi, guru:
1) memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan, tulisan,
isyarat, maupun hadiah terhadap keberhasilan peserta didik,
2) memberikan konfirmasi terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi peserta didik
melalui berbagai sumber,
3) memfasilitasi peserta didik melakukan refleksi untuk memperoleh pengalaman
belajar yang telah dilakukan,
4) memfasilitasi peserta didik untuk memperoleh pengalaman yang bermakna dalam
mencapai kompetensi dasar:
Kegiatan Penutup
Dalam kegiatan penutup, guru:
a. bersama-sama dengan peserta didik dan/atau sendiri membuat rangkuman/simpulan
pelajaran;
b. melakukan penilaian dan/atau refleksi terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan secara
konsisten dan terprogram;
c. memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran;
d. merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remedi, program
pengayaan, layanan konseling dan/atau memberikan tugas baik tugas individual maupun
kelompok sesuai dengan hasil belajar peserta didik; menyampaikan rencana
pembelajaran.

197
Pemanfaatan Lingkungan dan Alat Peraga
Proses perkembangan berpikir telah dijelaskan dengan teori perkembangan Piaget.
Sesuai pandangan Piaget (Lawson, 1995), struktur pengetahuan deklaratif merupakan hasil
pembentukan (construction) yang bergantung pada tindakan (interaksi individu dengan
lingkungannya), sehingga individu harus belajar bagaimana mengelola tindakannya (learning
to do). Untuk dapat bertindak, diperlukan pengetahuan prosedu-ral yang dapat menuntunnya.
Jadi proses menemukan konsep atau prinsip melibatkan pengetahuan prosedural
(keterampilan berpi-kir). Pada tahap ketiga dari pentahapan per-kembangan kemampuan
berpikir anak, per-kembangan anak usia 7 tahun sampai awal remaja (12 tahun), pola
berpikir jikadanmaka digunakan dengan media bahasa verbal untuk menamai
(naming), menggambarkan (describing), dan menggo-longkan (classifying) obyek, peristiwa,
dan situasi di lingkungannya. Anak pada usia 7 tahun memulai berpikir melalui pengalaman
empirik, kemudian melakukan proses induk-si untuk menggeneralisasikan hasil observasi
terhadap obyek, peristiwa, dan situasi yang bersifat khusus menjadi lebih umum, interpretasi
ini diberikan oleh Lawson (1995) tentang perkembangan keterampilan berpikir.
Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa untuk membantu anak dalam pengembangan
kemampuan berpikirnya secara optimal, guru harus secara optimal pula dalam menfasilitasi
peserta didik sehingga mereka dapat mengembangkan potensinya secara optimal pula. Guru
memfasilitasi sehingga peserta didik dapat menggunakan benda-benda konkret, mampu
mengamati fakta-fakta sederhana untuk selanjutnya dapat mengambil kesimpulan sebagai
generalisasi dari fakta-fakta yang ada, dan akhirnya dapat menyelesaikan masalah yang
kompleks. Dengan meman-faatkan lingkungan secara kreatif memung-kinkan peserta didik
berinteraksi dengan lingkungan.
Perubahan paradigma baru dalam kegiatan belajar mengajar adalah paradigma
mengajar menjadi belajar. Pembelajaran ber-langsung tidak lagi berpusat pada guru, na-mun
sebaliknya berpusat pada peserta didik. Dalam paradigma baru guru adalah sebagai
fasilitator, pelatih, pembimbing, dan manajer belajar. Dengan paradigma baru diharapkan
sekolah menjadi sebuah komunitas belajar yang dinamis (Solthan, I, 2006:119). Melalui
pendekatan kontekstual diharapkan kesadar-an peserta didik terhadap lingkungan lebih dapat
ditingkatkan serta potensi yang dimiliki peserta dapat berkembang secara optimal. Melalui
pendekatan kontekstual, peserta didik aktif mengkonstruksi guru memahami pikiran peserta
didik untuk mem-bantu peserta didik belajar. Dasar pemikiran pengembangan strategi
pembelajaran terse-but sesuai dengan pandangan konstruktivis yang menyatakan bahwa
setiap individu se-cara aktif membangun pengetahuannya sen-diri ketika berinteraksi dengan
lingkungannya (Matlin, 1994). Dengan demikian ketika peserta didik masuk kelas mereka ti-
dak dalam keadaan kosong, melainkan mere-ka sudah memiliki pengetahuan awal. Berda-
sarkan pada pemikiran tersebut, maka pem-belajaran matematika perlu diawali dengan
mengangkat permasalahan yang sesuai de-ngan lingkungannya (permasalahan konteks-tual).
Jadi konsep dibentuk atau ditanamkan melalui pembahasan masalah nyata. Keha-diran
lingkungan dalam belajar matematika disajikan dalam skema berikut Gambar 1 berikut
(Muchlis, A, 2004).
Pada gambar 1 di bawah nampak jelas, bahwa dalam proses matematika terdapat
unsur lingkungan, persepsi, aktivitas, dan refleksi. Pakar pendidikan matematika di NCTM
memandang, harus ada jaminan bahwa di samping belajar matematika, proses matematika
harus dialami oleh peser- ta didik dengan harapan agar semua proses dijamin
keberlangsungannya di dalam proses pembelajaran matematika. Lesh, Posh, dan Behr (1987)
dalam Asari (2001) menyata-kan terdapat 5 macam representasi konsep matematika, yaitu:
(1) experience-based scripts; (2) model-model manipulatif; (3) gambar atau diagram; (4)
bahasa lisan; (5) simbol tertulis (x + 3= 7) dan kalimat dan frasa bahasa.

198
Axiomatic Mathematics
Formal
Defnitions & proof

Space & Euclidean Calculus Symb


Shape proof olic
Algebra Math
Perce Platonic Reflection emati
ptual- objects Arithmetic cs
platon
ic Real-world Counting, Proce
prototypes Measuring

Percepti Action
on

Environ
ment

Gambar 1. Proses Matematika

Proses belajar dalam paradigma baru, berdiri pada empat pilar, yaitu learning to think
(belajar berpikir) yang diorientasikan pada pengetahuan yang logis dan rasional; learning to
do (belajar berbuat/hidup) yang diarahkan pada how to solve the problem; learning to live
together (belajar hidup bersama), diarahkan pada internalisasi nila-nilai bersama seperti
toleransi, konservasi lingkungan, HAM, dan lain-lain; dan learning to be (belajar menjadi diri
sendiri) yang diarahkan pada bagaimana peserta didik daat tumbuh menjadi pribadi yang
mandiri (Solthan, I, 2006:119). Dengan de-mikian pembelajaran tidak hanya bero-rientasi
pada nilai akademik yang bersifat pemenuhan aspek kognitif, namun juga berorientasi pada
cara peserta didik dapat belajar dari lingkungan, pengalaman, dan kehebatan orang lain,
kekayaan dan luasnya hamparan alam sehingga peserta didik dapat mengembangkan sikap
kreatif dan daya pikir imajinatif. Pembelajaran kontekstual bertu-juan membekali peserta
didik dengan penge-tahuan yang secara fleksibel dapat diterapkan (transfer) dari suatu
permasalahan ke permasalahan lain, dari suatu konteks ke konteks lain. Agar dalam
pembelajaran siswa memahami maka harus mencari makna. Un-tuk mencari makna siswa
harus memiliki ke-sempatan untuk merumuskan dan menga-jukan pertanyaan (Nur, M, 2004)

Metode
Penelitian ini dilakukan dengan desain Research and Development (Gall et al., 2003),
dilakukan dalam 2 tahun. Ta-hun pertama melakukan kajian teoritis dan melakukan
eksplorasi di sekolah, tepatnya MI Al Islam Mangunsari 02 dengan guru dan siswa kelas V
sebagai subyek penelitian, diakhiri dengan penyusunan model pembelajaran dengan
optimalisasi peman-faatan lingkungan dan alat peraga mani-pulatif berdasar kajian teoritis
dan empiris di lapangan. Model pembelajaran dikembang-kan di tahun kedua, dengan
melakukan uji validasi paktisi (guru) terhadap perangkat dan instrumen pendukung;
dilanjutkan uji-coba kelompok kecil; dan ujicoba kelas (real teaching). Materi sampel yang
digunakan untuk keperluan ujicoba adalah Materi Pokok Standar Kompetensi Geometri dan

199
Pengukuran: Menggunakan pengukuran waktu, jarak, dan kecepatan dalam pemecahan
masalah. Keluaran (produk) dari penelitian ini adalah Buku Panduan Guru dan Buku Siswa,
yang keduanya digunakan secara bersamaan..

Hasil
Hasil penelitian di tahun pertama menunjukkan bahwa kemampuan guru da-lam
menyusun rencana pelaksanaan pembe-lajaran matematika merupakan modal yang
menguntungkan sekolah. Walaupun baru pa-da pemanfaatan alat pearaga. Optimalisasi
pemanfaatan lingkungan belum terindikasi dalam RPP. Padahal pemanfaatan ling-kungan
sebenarnya dapat dijadikan sebagai alternatif mengatasi ketersediaan alat peraga yang
notabene harus dibeli atau dibuat dengan harga yang tidak murah. Dan sebaliknya
ketersediaan alat peraga yang sudah diadakan dengan dana yang tidak sedikitpun tidak akan
memberikan manfaat yang optimal bila guru hanya sekedar me-manfaatkan tidak melibatkan
aktivitas peser-ta didik secara optimal. Pemanfaatan alat pe-raga yang dirancang dengan
serangkaian aktivitas peserta didik (siswa) dipadukan dengan lingkungan baru akan
memberikan kontribusi yang optimal, memungkinkan peserta didik melakukan manipulasi
dan berlatih bereksplorasi. Sebaliknya peman-faatan lingkungan dalam pembelajaran Mate-
matika dapat dilakukan dalam bentuk ke-masan informasi atau pesan-pesan yang dikaitkan
dengan materi matematika yang di-pelajari peserta didik, dan dengan meman-faatkan
langsung barang atau benda-benda yang ada di sekitar peserta didik. Integrasi keduanya dapat
dimanfaatkan sebagai alat bantu atau media dalam pembelajaran mate-matika yang mampu
mengembangkan poten-si anak secara optimal, mampu mengem-bangkan kemampuan
bernalar, kritis, kreatif, dan menyenangkan.
Contoh : pemanfaatan lingkungan dalam rencana pelaksanaan pembelajaran matemati-ka
yang merupakan penggalan dari kegiatan pembe-lajaran yang diambil dari salah satu contoh
model pembelajaran matematika dalam RPP, dengan;.
Indikator Pencapaian Kompetensi
a. Menentukan tanda waktu dengan notasi 12 jam yang melibatkan keterangan pagi, siang,
sore, atau malam
b. Menentukan tanda waktu dengan notasi 24 jam
Tujuan Pembelajaran
a. Siswa dapat menuliskan tanda waktu dengan notasi 12 jam yang melibatkan keterangan
pagi, siang, sore, atau malam
b. Siswa dapat menentukan tanda waktu dengan notasi 24 jam

........Guru membahas tentang salam Sela-mat Pagi dan menghubungkan dengan ma-
teri yang akan mereka pelajari.
G : pagi, siang, sore, dan malam adalah tanda waktu
Guru menggambar waktu matahari terbit dan terbenam beserta pukul-pukulnya , siswa
memperhatikan. (lihat gambar 1)
gambar pembagian waktu

200
Gambar 1: gambar pembagian waktu

Beberapa siswa maju ke depan kelas untuk melengkapi gambar tersebut termasuk
pagi, siang, sore, ataupun malam (lihat gambar 2)

gambar pembagian waktu


yang sudah diisi siswa

Gambar 2: gambar pembagian waktu yang sudah diisi siswa

1. Guru membawa siswa agar meng-konstruksi pengetahuannya mengenai


penentuan tanda waktu dengan notasi 12 jam.
Contohnya
Siang hari dari matahari terbit hingga matahari terbenam, lamanya12 jam. Malam
hari dari matahari terbenam hingga mata-hari terbit, lamanya 12 jam. Matahari terbit
pukul enam pagi, ditulis pukul 06.00 pagi. Matahari terbenam pukul enam sore, ditulis
pukul 06.00 sore. Tengah hari pukul dua belas, ditulis pukul 12.00 siang.

Hasil ujicoba kelompok kecil dari implementasi model pembelajaran mate-matika


yang dikembangkan, telah membe-rikan umpan balik untuk penyempurnaan model yang
dikembangkan. Dan dari uji-coba kelas (real teaching) menunjukkan: ke-tuntasan belajar
kelas 64,52%; 77% siswa dengan motivasi sangat tinggi dan 23% siswa dengan motivasi
tinggi; 94% siswa memberikan respon positif; dan 100% guru memberikan respon positif.
Implementasi pembelajaran matematika di kelas V dengan memanfaatkan lingkungan dan
alat peraga manipulatif secara optimal menunjukkan terjadinya pembelajaran yang
berkualitas, siswa gembira, tanpa beban, aktif, berani mengajukan pertanyaan, berani
mengemukakan pendapat, dimana pada pembelajaran-pembelajaran sebelumnya hal tersebut
jarang terlihat atau terjadi. Dengan memanfaatkan alat peraga dan lingkungan sekitar, maka
komponen-komponen dalam standar proses dapat terlaksana dalam pembelajaran. Dan
pemanfaatan alat peraga dan lingkungan akan optimal, bila guru mau dan mampu
memanfaatkan potensi yang tersedia di lingkungan sekitar dengan jeli, hati-hati dan tepat

201
sebagai sumber belajar. Kreativitas guru turut menentukan keberhasilan guru dalam
memanfaatkan lingkungan dan peraga atau benda yang ada di sekitar dalam rangka
mengembangkan standar proses sebagai salah satu standar nasional pendidikan, yang
memang sudah menjadi kewajiban bagi guru..

Kesimpulan Dan Saran


Pembelajaran matematika di sekolah dasar (MI) yang memenuhi standar proses dapat
dilakukan dengan mengawali kegiatan menyusun rencana pembelajaran matematika dengan
memanfaatkan lingkungan dan alat peraga secara terintegrasi baik dalam kemasan pesan-
pesan yang mengkaitkan lingkungan dengan materi yang dipelajari peserta didik maupun
dalam pemanfaatan benda-benda fisik langsung yang tersedia di lingkungan, termasuk
pemanfaatan materi yang ada sebagai bahan pengadaan alat peraga. Pembiasaan hal ini akan
membuat guru semakin kreatif dan peka terhadap lingkungan. Disarankan agar guru
menyadari bahwa pembiasaan tidak akan terjadi dalam waktu singkat. Dan bila pembiasaan
sudah terjadi maka manfaat akan dirasakan. Di samping itu disarankan agar guru memahami
bahwa pemakaian Buku Panduan perlu disesuaikan dengan kondisi sekolah setempat;
Refleksi setiap akhir pembelajaran dan kolaborasi antar guru di sekolah hendaknya
dibudayakan.

Daftar Pustaka

Asari, A.R. 2001. Representasi: Pentingnya dalam Pembelajaran Matematika. Jurnal


Matematika atau Pemb-elajarannya. VII(2).
Gall, M.D., Gall, J.P. and Borg, W.R. 2003. Educational Research, An Intro-duction. Seventh
Edition. Boston: Allyn and Bacon
Lawson, A.E. 1995. Science Teaching and the Development of Thinking. California: Wadsworth
Publishing Company.
Matlin,M.W. 1994. Cognition. Third Edition. New York: Holts, Rinehart & Winston, Inc.
Mukhlis, A. 2004. Tentang Belajar Matematika. Makalah dalam Lokakarya Desain Alat Peraga
matematika SD di Bogor tanggal 14-19 Juni 2004. Diretorat TK dan SD, Dirjendikdasmen.
Nur, M. 2004. Penerapan Ide-Ide Inovatif Pendidikan MIPA dalam Seting Penelitian. Makalah yang
dipresentasikan pada Seminar Nasional Pendidikan MIPA tentang Paradigma Baru Pendidikan
MIPA dalam Rangka Mendukung Pelaksanaan KBK yang diselenggarakan oleh FMIPA
UNNES tangal 28 Februari 2004.
Solthan, I. 2006. Menuju Pendidikan masa Depan, Visi, Misi, dan Program Aksi Memajukan
Pendidikan. Makassar: Penerbit LP3M Intim diknas Kabupaten Bantaeng.
------------, 2007. Lampiran Peraturan menteri Pendidikan nasional Nomor 41 ahun 2007 Tanggal 23
November 2007 tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.

202
Pengembangan Perangkat Pembelajaran Metode Guided Discovery
Bermuatan Karakter Berbantuan CD Pembelajaran Materi Bangun Datar
Kelas V

Isticharoh
SDSN BATURSARI 6
Email: isticharohspd@gmail.com 081326290888

Abstrak
Guided Discovery Learning is a method that is expected to be used by teachers
delivering the material related to the geometry, to bridge the mathematical knowledge
that is still abstract. This research is the development of a device to obtain a valid,
practical and effective learning and charged character. Model development using
Plomp includes 5 phases, namely the initial investigation, design, realization, testing
phase, evaluation, revision and implementasion. SDSN Batursari 6 Class Va as the
experimental class, the class VB SDN Batursari five control classes that have the
same homoginitas. The device developed syllabi, lesson plans, teaching materials,
worksheets, CD Learning and THB. The results showed: (1) Development of the
Guided Discovery method produces a valid learning device. Syllabus expert
validation results the average score of 3.45, RPP Instructional Materials 3.63 3.47,
3.30 LKS, CD Learning average score of 3.56, average 3.52 TPB average good set of
criteria .; (2) the Guided Discovery Learning method proved effective in meeting
thoroughly studied classical 98%, the average achievement of the experimental class over
the control class, activities related to the value of honest character, discipline, curiosity
and social care for 40 students Data obtained 21% in the category has not seen
(BT), 78% started to develop (MB), and 6% in the category of entrenched (MK), (3)
development of learning tools that produce practical tools that RPP execussion 3.38
(very good criterion ), a 3.85 grade teacher response criteria very well, the students
gave a positive response, the way teachers teach is 92.18%. suggested that
mathematics learning with guided discovery method developed also for other math
materials.

Keywords: Guided Discovery, character education, learning CD

Pendahuluan
Pendidikan dasar dan wajib belajar 9 tahun, merupakan salah satu upaya
meningkatkan mutu sumber daya manusia Indonesia. Dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab V Pasal 13 Ayat 1 disebutkan bahwa
pendidikan dasar diselenggarakan untuk mengembangkan kemampuan serta memberikan
pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk hidup dalam masyarakat serta
mempersiapkan peserta didik yang memenuhi persyaratan untuk mengikuti pendidikan
menengah. Dari pernyataan di atas terdapat dua sasaran pada pendidikan dasar yaitu:
membekali peserta didik dengan IPTEK dan IMTAQ untuk hidup di masyarakat,
mempersiapkan peserta didik untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah.
Tujuan pendidikan dasar ini relevan dengan nilai-nilai pendidikan karakter yang
dibahas di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan, kampus maupun dinas pendidikan terkait
sehingga memberikan peluang dimasukkannya nilai pendidikan karakter dalam pembelajaran
matematika. Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang
terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan
sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak (Kemendiknas,
2010:9). Ciri-ciri pendidikan yang dianggap bisa membentuk karakter dan kepribadian,

203
adalah pendidikan yang pembelajarannya dikemas sedemikian rupa sehingga memungkinkan
peserta aktif melibatkan diri dalam keseluruhan proses, baik mental maupun fisik (Maliki,
2010:14). Pembentukan karakter yang kurang diperhatikan misalnya dalam proses
pembelajaran siswa kurang berani untuk bertanya, rasa ingin tahu relatif rendah, rasa kurang
percaya diri dalam memberikan pendapat atau usulan, kurang disiplin dalam mengumpulkan
tugastugas.
Pelajaran matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang dirasa
cukup sulit dan tidak menarik bagi banyak siswa di sekolah. Hal ini berdampak buruk bagi
hasil belajar siswa. Adanya bukti dari hasil evaluasi pelajaran matematika tiap semester
maupun ujian akhir masih sering di bawah standar mata pelajaran lain. Pembelajaran
matematika yang dilakukan guru dalam menyampaikan materi hanya menekankan pada hasil
belajar dan hafalan untuk memenuhi taraf serap kurikulum. Hal ini menyebabkan kualitas
proses dalam pembelajaran itu sendiri cenderung berlangsung satu arah, siswa kurang
aktif, materi pembelajaran matematika kurang menarik dan kurang menantang menyebabkan
siswa malas memperhatikan. Jika kenyataan ini berlangsung lama dalam proses belajar maka
dapat menimbulkan rasa bosan, sehingga pembelajaran kurang efektif.
Strategi guru dalam proses belajar mengajar melalui metode yang digunakan dalam
proses pembelajarannya belum sesuai dengan materi yang akan diajarkan, karena selama ini
lebih cenderung bersifat teacher-centered. Usaha perbaikan pembelajaran di sekolah secara
profesional harus dimiliki oleh guru. Menurut Mulyasa (2004:14) terdapat berbagai upaya
yang dapat dilakukan guru untuk meningkatkan pembelajaran, antara lain: meningkatkan
aktivitas dan kreativitas peserta didik, meningkatkan prestasi belajar dan peningkatan
motivasi belajar siswa (Uno, 2008:1). Motivasi yang kuat muncul pada diri siswa akan
ditunjukkan melalui intensitas kerja kelompok dalam melakukan suatu tugas, terlibat dalam
aktivitas pembelajaran. Motivasi eksternal yang muncul karena pengaruh sarana dan
prasarana dalam belajar termasuk pemilihan media pengajaran. Salah satu media yang dapat
memberikan kontribusi positif dalam pembelajaran, karena dapat merangsang lebih dari satu
indera siswa adalah Compact Disk (CD) pembelajaran. Belajar dengan CD pembelajaran
diharapkan siswa termotivasi dalam mempelajari materi sifat-sifat bangun datar kelas V
semester genap. Serta dengan CD pembelajaran siswa dapat memutar kembali penjelasan
konsep sifat-sifat bangun datar yang belum jelas dan belum dipahaminya.
Pemilihan metode pembelajaran yang tepat akan meningkatkan aktivitas dan hasil
belajar siswa. Berdasarkan beberapa penelitian, metode guided discovery cocok untuk
meningkatkan hasil belajar mata pelajaran matematika. Oleh karena itu pembelajaran metode
guided discovey bermuatan karakter berbantuan CD pembelajaran dapat digunakan sebagai
model pembelajaran dalam upaya mengkondisikan pembelajaran geometri khususnya sifat-
sifat bangun datar pada siswa kelas V menjadi bermakna, kontektual, tidak membosankan,
menyenangkan dan menarik minat siswa. Atas dasar hal ini, peneliti ingin mengembangkan
suatu model pembelajaran,metode guided discovery bermuatan karakter berbantuan CD
Pembelajaran untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada materi sifat-sifat bangu datar.
Untuk seterusnya metode pembelajaran tersebut diberi nama metode guided discovery
bermuatan karakter berbantuan CD Pembelajaran.
Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan masalah penelitian (1) bagaimana
karakteristik perangkat pembelajaran matematika metode Guided Discovery bermuatan
karakter berbantuan CD Pembelajaran materi bangun datar kelas V untuk meningkatkan hasil
belajar? (2) apakah perangkat yang dikembangkan valid, efektif dan praktis sehingga dapat
diterima guru dan siswa ?
Sesuai dengan rumusan pertanyaan penelitian yang telah dituliskan, tujuan penelitian
ini adalah untuk memperoleh perangkat pembelajaran dengan metode guided discovery
bermuatan karakter berbantuan CD Pembelajaran yang valid, dan praktis sehingga dapat

204
diterima guru dan siswa agar efektif dapat meningkatkan prestasi belajar siswa pada materi
sifat-sifat bangun datar. Manfaat penelitian selain diperoleh model pembelajaran yang valid,
praktis, dan efektif dapat meningkatkan prestasi belajar, juga menghasilkan perangkat
pembelajaran yang sesuai dengan materi sifat-sifat bangun datar kelas V yang bermuatan
karakter.

Metode
Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian pengembangan (development research)
yang menekankan pada pengembangan perangkat pembelajaran metode guided discovery
bermuatan karakter berbantuan CD Pembelajaran materi bangun datar kelas V. Perangkat
pembelajaran yang akan dikembangkan dalam penelitian ini maeliputi: Silabus, Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lembar Kerja Siswa (LKS), Bahan Ajar Siswa (BAS),
CD Pembelajaran, dan Tes Prestasi Belajar (TPB).
Subyek Penelitian
Subjek penelitian terbagi menjadi 3 yaitu : (1) Subjek uji coba skala kecil dan skala
terbatas yaitu siswa kelas VB SDSN Batursari 6 Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak.,
(2) Subjek uji pemakaian perangkat kelas guided discovery adalah siswa kelas VA SDSN
Batursari 6 Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak, (3) Subjek uji pemakaian perangkat
kelas kontrol adalah siswa kelas VB SDN Batursari 5 Kecamatan Mranggen Kabupaten
Demak
Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian digunakan untuk meneliti perangkat pembelajaran yang
dikembangkan, maka terlebih dahulu divalidasi oleh validaor ahli. Instrumen penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini meliputi (1) Lembar Penilaian Validator Terhadap Silabus, (2)
Lembar Penilaian Validator Terhadap RPP, (3) Lembar Penilaian Validator Terhadap LKS,
(4) Lembar Penilaian Validator Terhadap BAS, (5) Lembar Penilaian Validator Terhadap CD
Pembalajaran, (6) Lembar Penilaian Validator Terhadap THB, (7) Lembar Observasi
Aktivitas Guru, (8) Lembar Observasi Aktivitas Siswa, (9) Lembar Observasi Pembentukan
Karakter Siswa, (10)Angket Motivasi Belajar Siswa, (11) Angket Keberterimaan Siswa
terhadap Pembelajaran, dan (12) Angket Keberterimaan Guru terhadap Pembelajaran.
Tehnik Pengumpulan Data
Data-data yang akan dikumpulkan dan teknik pengumpulannya adalah sebagai
berikut: (1) Data penilaian validator terhadap perangkat pembelajaran yang disusun atau
dikembangkan, (2) Data nilai karakter siswa, (3) Data keterlaksanaan RPP, (4) Data hasil
belajar siswa, (5) Data respons guru, (6) Data respons siswa, (7) Angket Motivasi belajar
siswa

Tehnik analisis Data


Analisis Validasi Perangkat Pembelajaran
Penilaian yang diberikan oleh validator ahli terhadap perangkat pembelajaran materi
sifat-sifat bangun datar meliputi Silabus, RPP, BAS, LKS , CD Pembelajarn dan soal tes
hasil belajar siswa berdasarkan rata-rata skor. Rata-rata skor dari masing-masing dihitung
dengan cara jumlah rata-rata skor masing-masing perangkat dibagi dengan banyak aspek
yang dinilai pada perangkat tersebut.
Analisis Keefektifan
Penilaian antara hasil belajar yang diperoleh dengan karakter yang diamalkan yaitu
jujur, disiplin, rasa ingin tahu dan peduli sosial. Indikator untuk keefektifan model
pembelajaran adalah:
a. aktivitas siswa dan aktivitas guru selama proses pembelajaran,

205
b. hasil belajar siswa, dan
Kriteria keefektifan sebagai berikut:
1) Aktivitas siswa dan guru selama proses pembelajaran tergolong tinggi dilihat dari
hasil pengamatan dan nilai realibilitas (R).
2) Tuntas secara klasikal dan tuntas secara individu (uji ketuntasan)
3) Lebih dari 50% siswa memberi respon positif,
4) Guru memberikan respon cukup baik terhadap model pembelajaran.
Analisis Kepraktisan
Analisis kepraktisan yaitu: (1) Analisis deskriptif keterlaksanaan RPP dalam
Mengelola Pembelajaran, (2) Analisis deskriptif respons guru terhadap perangkat dan
pelaksanaan pembelajaran, (3) Analisis deskriptif respons peserta didik terhadap perangkat
dan pelaksanaan pembelajaran.

Hasil
Hasil penelitian menunjukkan: (1) Pengembangan perangkat pembelajaran metode
guided discovery menghasilkan perangkat pembelajaran yang valid. Hasil validasi ahli
terhadap perangkat pembelajaran, hasil validasi Silabus 3,45; hasil validasi RPP 3,63; hasil
validasi LKS 3,30; hasil validasi BAS 3,47; hasil validasi CD Pembelajaran 3,56; dan hasil
validasi THB 3,52. (2) Berdasarkan hasil pengamatan aktivitas siswa dan guru pada tahap
implementasi yang disajikan pada tabel analisis aktivitas siswa dan guru dalam pembelajaran
metode guided discovery menunjukkan bahwa aktivitas siswa dan guru baik yakni 83,5 dan
84,2 dari nilai tertinggi 100, Hasil tes siswa pada tahap implementasi kelas guided discovery
menunjukkan siswa tuntas baik secara klasikal lebih dari 89% maupun secara individual 98%
memperoleh skor diatas 6,5 (lampiran 7). Hasil pembentukan karakter siswa jujur, disiplin,
rasa ingin tahu, dan peduli sosial menunjukkan peningkatan dari pertemuan I sampai
pertemuan III diperoleh rata-rata 4 dari nilai tertinggi 100. Dengan demikian dikatakan
bahwa metode guided discovery bermuatan karakter berbantuan CD Pembelajaran efektif. (3)
Selanjutnya berdasarkan respon/tanggapan siswa dan guru yang disajikan pada tabel respon
siswa dan guru terhadap pembelajaran dan perangkat pembelajaran metode guided discovery
(lampiran 7) menunjukkan bahwa lebih dari 50% (84,6%) respon siswa dan (92,18%) respon
guru baik/positif terhadap model pembelajaran yang dikembangkan. Dengan demikian
metode guided discovery bermuatan karakter berbantuan CD Pembelajaran praktis dan dapat
diterima oleh guru dan siswa.
Pembelajaran matematika metode guided discovery bemuatan karakter dimana
diperlukan penanaman nilai- nilai karakter dalam proses pembelajaran disamping juga sangat
diutamakan prestasi belajar yang meningkat. Nilai etika tentang konsep-konsep yang dapat
dinyatakan baik atau buruk dapat mempengaruhi mutu pendidikan (Dede, 2006:3).
Pengamalan karakter akan terlihat pada aktivitas siswa dalam proses pembelajaran. Motivasi
tidak kalah pentingnya dalam berhasilnnya proses pembelajaran. Tella (2007:150) motivasi
sangat signifikan mempengaruhi prestasi belajar siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Gibbs
(Mulyasa, 2008:88) menyimpulkan bahwa prestasi dapat ditingkatkan dengan memberi
kepercayaan, komunikasi yang bebas, pengarahan diri, dan pengawasan yang tidak terlalu
ketat.
Dari hasil penelitian ini terlihat bahwa dengan motivasi yang tinggi disertai
penanaman karakter siswa dalam proses pembelajaran, prestasi belajar mengalami
peningkatan 73% pada saat pre-tes menjadi 89% pada saat pos-tes pada ketuntasan belajar
klasikal, dan 45% ketuntasan individual pada saat pre tes menjadi 98% tuntas individual pada
saat post test, keadaan ini dimungkinkan karena selama ini siswa terbiasa dengan hafalan,
siswa kurang diberi kepercayaan sehingga rasa ingin tahu kurang. Untuk menggali
kemampuan, dan rasa ingin tahu, siswa perlu diberikan metode guided discovery pada

206
kompetensi dasar matematika yang lain agar konsep dapat ditemukan dengan mengurangi
hafalan

Simpulan
1. Pengembangan perangkat pembelajaran matematika bermuatan karakter dengan metode
guided discovery berbantuan CD pembelajaran pada materi sifat-sifat bangun datar kelas
V semester 2 mengacu pada model pengembangan perangkat pembelajaran Plomp.
Karakteristik pengembangan perangkat yang meliputi silabus, RPP, LKS, bahan ajar, CD
Pembelajaran dan penilaian prestasi belajar seluruhnya bermuatan karakter. Penanaman
karakter dilaksanakan pada kegiatan awal dan inti proses pembelajaran.
2. Perangkat yang dikembangkan menunjukkan kriteria valid hal ini dapat dilihat dari rata-
rata skor hasil validasi (a) silabus 3,45; (b) RPP 3,60; (c) LKS 3,30; (d) BAS 3,47; dan (e)
CD Pembelajaran 3,56; (f) TPB 3,52.
Dari pengamatan observer dan pengisian angket oleh guru dan siswa, diperoleh hasil (1)
skor rata-rata keterlaksanaan RPP dalam mengelola pembelajaran adalah 3,60 (dari skor
tertinggi 4), memenuhi kriteria sangat baik, (2) Rata-rata skor respons/keberterimaan
guru yang secara keseluruhan adalah 84,6% (dari skor tertinggi 100%) dengan kriteria
sangat baik, dan (3) persentase siswa yang memberikan respons positif terhadap suasana
pembelajaran, perangkat pembelajaran dan cara guru mengajar adalah 92,18%.
Berdasarkan ketiga kriteria tersebut disimpulkan perangkat pembelajaran yang
dikembangkan praktis.
3. Pembelajaran matematika dengan metode discovery materi sifat-sifat bangun datar adalah
efektif. Efektivitas ditandai dengan: (a) pembeljaran tuntas mencapai 98%,(b) motivasi
belajar siswa dan aktivitas siswa berpengaruh positif terhadap prestasi belajar adalah, (c)
rata-rata prestasi belajar kelas guided discovery lebih baik daripada kelas konvensional,
(d) tes prestasi belajar siswa guided discovery meningkat dari rata-rata nilai pre-tes 73
menjadi pos-tes 89.

Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti menyampaikan beberapa saran sebagi berikut.
a. Kelebihan pengembangan perangkat metode guided discovery
1. Perangkat pembelajaran yang dihasilkan dalam penelitian ini memenuhi kriteria valid
dan praktis, sehingga dapat dipergunakan untuk melengkapi perangkat, sarana atau
sumber pembelajaran di sekolah dan sebagai pertimbangan untuk mengembangkan
nilai-nilai karakter yang lainnya.
2. Penanaman nilai karakter dalam perangkat pembelajaran yang dihasilkan adalah
dengan metode guided discovery dan dengan media CD pembelajaran. Metode dan
media pembelajaran tersebut cukup efektif untuk meningkatkan keaktifan peserta
didik terkait dengan nilai jujur, disiplin, peduli sosial, dan rasa ingin tahu, sehingga
sangat memungkinkan untuk meningkatkan prestasi belajar berkaitan dengan nilai-
nilai karakter lainnya.
b. Kekurangan pengembangan perangkat metode guided discovery
1. Meskipun perangkat pembelajaran yang dihasilkan dari penelitian ini baik, namun
setelah pelaksanaan uji coba di lapangan masih dilakukan beberapa revisi, sehingga
akan lebih baik apabila dilakukan uji coba lagi dengan subjek uji coba yang lebih luas
dengan berbagai kemampuan peserta didik dan membutuhkan waktu yang cukup
lama.
2. Tidak setiap guru mempunyai kemampuan mengajar dengan metode guided discovery
dan tidak semua siswa mampu melakukan penemuan bila bimbingan guru tidak sesuai
dengan kesiapan intelektual siswa.

207
Daftar Pustaka

Atweh, B. and Brady K. 2009. Socially Response-able Mathematics Education:


Implications of an Ethical Approach. Journal of Mathematics, Science and
Technology Education. Vol 5 (3), 267-276.
Crowley, M.L. 1987. The van Hiele Model of the Geometric Thought. Dalam Linquist, M.M. (eds)
Learning ang Teaching Geometry, K-12. Virginia: The NCTM, Inc.
Dede, Y. 2006. Mathematics Educational Values of College Students Towards Eurasia Journal of
Mathematics, Science and Technology Education. Volume 2 No 1
Kemendiknas. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta.
Leng Y., et al. 2010. Stability of the Intrinsic Motivation Inventory (IMI) For the Use of Malaysian
Form One Students in ICT Literacy Class. Eurasia Journal of Mathematics, Science and
Technology Education. Vol 6, 215-226
Maliki, Z. 2010. Pendidikan Karakter: Menuju Pemenuhan Kebutuhan SDM berkepribadian
kompleks. Makalah. Tersedia di: http://www. unitomo.ac.id/components/com_fpss
/images/SeminarKPK/Makalah%20Zainudin%20 maliki%20Pendidikan%20Karakter.doc.
(diunduh 15 Pebruari 2010)
Mulyasa, E. 2004. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Plomp, T. 1997. Educational and Training Sistem Design. Enschede, The Netherlands: University of
Twente.
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Pendidikan . Bandung: Alfabeta.
Suherman, E.,et al. 2003. Common Tex Book Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.
Bandung: Jurusan Pendidikan Matematika UPI Bandung.
Tella, A. 2007. The Impact of Motivation on Students Academic Achievement and Learning
Outcomes in Mathematics among Secondary School Students in Nigeria Journal of
Mathematics, Science and Technology Education. Vol 3 (2), 149-156.
Uno, H. B. 2008. Teori Motivasi dan pengukurannya. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Zeyer,A. 2010. Motivation to Learn Science and Cognitive Style. Journal of Mathematics, Science
and Technology Education. Vol 6 (2), 121-128.

208
Implementasi Pendekatan PMRI dengan Model Pembelajaran TPS
Terhadap Hasil Belajar Siswa

Istiqomah Eka Putranti


Jurusan Matematika FMIPA Unnes, Indonesia
Email: istiqomahep@yahoo.com

Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah rata-rata hasil belajar siswa dengan
pendekatan PMRI dengan model pembelajaran TPS lebih dari rata-rata hasil belajar siswa
dengan model pembelajaran ekspositori dan proporsi siswa dengan pendekatan PMRI dengan
model pembelajaran TPS yang mencapai kriteria ketuntasan minimal sudah memenuhi
ketuntasan secara klasikal. Populasi pada penelitian ini adalah 233 siswa kelas VII SMP
Negeri 2 Wanareja tahun pelajaran 2011/2012. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik
random sampling sehingga terpilih 36 siswa sebagai kelompok eksperimen dengan perlakuan
pendekatan PMRI dengan model pembelajaran TPS dan 37 siswa sebagai kelompok kontrol
dengan perlakuan model pembelajaran ekspositori. Pengambilan data dilakukan dengan
metode tes dan metode observasi. Analisis data hasil belajar siswa meliputi uji normalitas, uji
homogenitas, uji kesamaan dua rata-rata, dan uji proporsi. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa rata-rata hasil belajar yang diberi perlakuan pendekatan PMRI dengan model
pembelajaran TPS lebih dari rata-rata hasil belajar siswa yang diberi perlakuan model
pembelajaran ekspositori. Namun, proporsi siswa kelas eksperimen yang mencapai kriteria
ketuntasan minimal belum memenuhi kriteria ketuntasan secara klasikal.

Kata kunci: hasil belajar; PMRI; TPS

Pendahuluan
Berdasarkan hasil observasi di SMP Negeri 2 Wanareja, pembelajaran matematika
dilaksanakan dengan menggunakan model pembelajaran ekspositori. Dalam mempelajari
matematika siswa mengalami beberapa kesulitan yang mengakibatkan hasil belajar siswa
cenderung rendah. Pada laporan hasil UN matematika SMP Negeri 2 Wanareja tahun 2011
dari Pusat Penilaian Pendidikan (2011) diperoleh data bahwa daya serap siswa untuk
beberapa kemampuan yang diuji masih di bawah rata-rata. Salah satunya pada kemampuan
menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan luas gabungan dua bangun datar, daya serap
siswa hanya 49,79%. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan daya serap siswa pada tingkat
kabupaten dan propinsi yaitu berturut-turut sebesar 45,55% dan 49,45%, tetapi lebih rendah
dari daya serap siswa di tingkat nasional yang mencapai 66,39%. Selain itu, dari data hasil
UTS 2 mata pelajaran matematika diketahui bahwa siswa yang tuntas (untuk KKM )
hanya mencapai 20,18% dari keseluruhan siswa. Berdasarkan hasil ini, diperlukan upaya-
upaya dalam pembelajaran agar hasil belajar menjadi optimal sehingga mencapai ketuntasan
belajar yang ditetapkan.
Menurut Gagne, sebagaimana dikutip oleh Rifai & Anni (2009) terdapat beberapa
prinsip belajar yang merupakan kondisi internal dan kondisi eksternal yang mempengaruhi
belajar. Selain itu, menurut Purwanto sebagaimana dikutip oleh Thobroni & Mustofa (2011),
berhasil tidaknya perubahan perilaku yang merupakan hasil belajar dipengaruhi oleh faktor
individual (faktor kematangan, kecerdasan, latihan, motivasi, pribadi) dan faktor sosial
(keluarga, guru dan cara mengajar, alat pembelajaran, lingkungan, motivasi sosial). Salah
satu upaya yang dapat dilakukan agar hasil belajar siswa optimal adalah dengan melakukan
inovasi dalam pembelajaran di sekolah. Inovasi dapat dilakukan dengan melaksanakan
pembelajaran yang berpusat pada siswa. Pembelajaran yang berpusat pada siswa ini secara

209
otomatis menuntut keaktifan siswa sebagai subjek belajar dalam mengkonstruk pengetahuan
sendiri sehingga pembelajaran menjadi bermakna.
Salah satu pendekatan yang sesuai untuk pembelajaran matematika adalah pendekatan
Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Pendekatan PMRI berkembang dari
pandangan Freudhental bahwa matematika sebaiknya tidak diberikan kepada siswa sebagai
produk jadi, melainkan sebagai suatu proses (Wijaya, 2012). Dalam PMRI, pembelajaran
tidak dimulai dari definisi, konsep-konsep dan diikuti dengan contoh-contoh tetapi diawali
dengan masalah realistik kemudian definisi, konsep-konsep diharapkan ditemukan oleh siswa
melalui matematisasi horisontal dan vertikal (Suharta, 2003). Selain itu, dapat diterapkan pula
model pembelajaran dengan tipe kooperatif Think Pair Share (TPS) yang memberi
kesempatan kepada siswa untuk berpikir sendiri, bekerjasama dengan teman dalam
kelompok, dan berbagi pengetahuan dengan siswa lain dalam diskusi kelas. Perlunya
pembelajaran kooperatif ini didasarkan pada pendapat Vygotsky bahwa interaksi sosial
merupakan faktor terpenting yang memicu perkembangan kognitif seseorang (Sugiarto &
Soedjoko, 2010). Perkembangan kognitif akan optimal jika siswa berusaha untuk
mengembangkan kemampuan berpikir secara independen dan juga melalui interaksi dengan
orang lain. Implementasi PMRI dengan model pembelajaran TPS dalam pembelajaran akan
mewujudkan situasi belajar yang mendukung optimalisasi perkembangan kognitif siswa.
Penggunaan permasalahan realistik, penggunaan model, prinsip penemuan kembali,
interaktivitas yang ada pada implementasi penerapan PMRI dan model pembelajaran TPS ini
diduga mampu mengatasi rendahnya hasil belajar siswa.
Berdasarkan uraian tersebut, maka diperlukan penelitian yang bertujuan untuk: (1)
mengetahui apakah rata-rata hasil belajar siswa yang diberi perlakuan implementasi
pendekatan PMRI dengan model pembelajaran TPS lebih dari rata-rata hasil belajar siswa
yang diberi perlakuan model pembelajaran ekspositori dan (2) mengetahui apakah proporsi
siswa dengan perlakuan implementasi pendekatan PMRI dengan model pembelajaran TPS
yang mencapai KKM sebesar sudah mencapai ketuntasan secara klasikal sebesar
.

Metode
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP Negeri 2 Wanareja tahun
pelajaran 2011/2012 sebanyak 233 siswa yang tersebar di enam kelas. Sebelum pengambilan
sampel, dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas untuk mengetahui keadaan awal
populasi. Selain itu, sebaran siswa di kelas, beban belajar, materi, dan kesamaan kurikulum
yang diterapkan di sekolah juga menjadi beberapa pertimbangan yang diperhatikan dalam
pengambilan sampel. Berdasarkan hasil analisis terhadap keadaan awal populasi, diperoleh
kesimpulan bahwa populasi homogen, maka pengambilan sampel pada penelitian ini dapat
dilakukan secara acak. Pengambilan sampel menggunakan teknik random sampling sehingga
terpilih 36 siswa sebagai kelompok eksperimen dan 37 siswa sebagai kelompok kontrol.
Langkah-langkah yang ditempuh dalam penelitian ini adalah: (1) menentukan sampel
penelitian; (2) menyusun perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian (3) melaksanakan
uji coba instrumen penelitian; (4) melakukan analisis meliputi uji validitas, reliabilitas,
tingkat kesukaran, dan daya pembeda pada hasil uji coba instrumen kemudian menyusun
instrumen tes hasil belajar berdasarkan hasil analisis yang diperoleh; (6) melaksanakan
pembelajaran dengan perlakuan implementasi pendekatan PMRI dengan model pembelajaran
TPS pada kelompok eksperiman dan pembelajaran dengan perlakuan penerapan model
pembelajaran ekspositori pada kelompok kontrol; (7) melaksanakan tes hasil belajar pada
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol; (8) menganalisis data dan menyusun hasil
penelitian.

210
Variabel dalam penelitian ini adalah hasil belajar siswa pada materi segitiga yang
sudah diberi perlakuan pendekatan PMRI dengan model pembelajaran TPS untuk kelompok
eksperimen dan model pembelajaran ekspositori untuk kelompok kontrol. Pengambilan data
dengan metode tes berbentuk soal uraian untuk memperoleh data hasil belajar siswa pada
materi segitiga. Soal yang digunakan pada tes hasil belajar sama untuk kedua kelompok.
Setelah data nilai hasil belajar diperoleh dilakukan analisis dengan uji kesamaan dua rata-rata
(uji pihak kanan) untuk mengetahui perbandingan rata-rata hasil belajar kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol dan uji proporsi (uji pihak kiri) untuk mengetahui
ketuntasan belajar kelompok eksperimen. Dalam penelitian ini, juga dilakukan pengambilan
data dengan metode observasi untuk mengetahui aktivitas PKB siswa dan aktivitas guru
dalam pembelajaran dengan implementasi pendekatan PMRI dengan model pembelajaran
TPS.

Hasil
Penelitian dilaksanakan pada bulan April s.d Mei 2012 dengan jenis penelitian
eksperimen pada dua kelompok sampel yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.
Kelompok kontrol mendapat perlakuan pembelajaran dengan model ekspositori sesuai
dengan model yang biasa diterapkan di kelas, sedangkan kelompok eksperimen mendapat
perlakuan implementasi pendekatan PMRI dengan model pembelajaran TPS.
Pada kelompok kontrol kegiatan pembelajaran dan materi disajikan dalam bentuk
yang telah dipersiapkan secara rapi, sistematis, dan lengkap oleh guru, sehingga anak didik
tinggal menyimak dan mencernanya saja secara tertib dan teratur. Secara garis besar
prosedurnya adalah preparasi, apersepsi, presentasi, dan resitasi. Guru mengajarkan materi
dengan bahan disiapkan. Siswa mendengarkan dan mencatat materi yang disampaikan oleh
guru kemudian mengerjakan latihan-latihan soal yang diberikan. Siswa dipersilakan untuk
menuliskan jawaban untuk soal yang diberikan, kemudian dilakukan pembahasan juga oleh
guru terhadap hasil pengerjaan soal. Pada akhir pembelajaran siswa diminta menyampaikan
apa yang dipelajarinya dalam kalimat sendiri dan diberi PR sebagai bahan latihan di rumah.
Pada pembelajaran di kelas eksperimen digunakan media berupa Lembar Kegiatan
Peserta Didik (LKPD) sebagai alat bantu pembelajaran. Siswa dibagi menjadi beberapa
kelompok yang terdiri dari dua orang. Langkah pembelajaran menggunakan sintak TPS
dengan kegiatan siswa berpikir (think), berkelompok (pair), dan menyampaikan hasil diskusi
kepada teman lain (share). Selain itu, di akhir pembelajaran, siswa juga diberikan kuis
mengenai materi yang telah dipelajari pada setiap pertemuan. Karakteristik PMRI
diintegrasikan dalam pembelajaran berupa penggunaan model, pengaitan konsep,
interaktivitas bersama teman lain, penggunaan konteks permasalahan sehari-hari, dan
konstruksi siswa. Pada pembelajaran, siswa dihadapkan pada permasalahan realistik, bekerja
sendiri dan berdiskusi dalam kelompok dalam mengkonstruksi pengetahuan dari materi yang
dipelajari, dan diberi kesempatan untuk membuat sendiri model untuk membantu
pembelajaran menggunakan bahan yang ada di sekitar siswa atau yang telah dipersiapkan
sebelumnya.
Pembelajaran untuk masing-masing kelompok dilaksanakan sebanyak 3 kali
pertemuan dengan alokasi waktu 2 jam pelajaran untuk setiap pertemuan dengan pembagian
materi yang sama. Setelah penelitian dilakukan, kedua kelompok sampel diberi tes hasil
belajar dengan soal yang sama. Soal tes hasil belajar disusun dengan memperhatikan
indikator dan hasil uji coba yang dilakukan kepada siswa dalam populasi yang tidak termasuk
ke dalam kelompok sampel sehingga memenuhi kriteria yang ditentukan dalam uji validitas,
reliabilitas, tingkat kesukaran, dan daya pembeda. Dari pelaksanaan tes hasil belajar
diperoleh data pada tabel 1 berikut.

211
Tabel 1. Hasil Belajar Siswa
Kelompok Eksperimen Kelompok Kontrol
Banyak siswa 37
36
Rata-rata 67,06 61,11
Nilai terendah 44 47
Nilai tertinggi 86 91
Varians 143,60 112,43
Simpangan baku 11,98 10,46
Siswa tuntas 21 12
Ketuntasan

Analisis yang dilakukan pada data hasil belajar yang diperoleh meliputi uji
normalitas, uji homogenitas, uji kesamaan dua rata-rata, dan uji proporsi. Berdasarkan hasil
uji normalitas terhadap data hasil belajar siswa diperoleh kesimpulan bahwa data berasal dari
populasi yang berdistribusi normal. Dengan demikian, analisis dilanjutkan menggunakan
statistik parametrik. Uji homogenitas menggunakan Uji Bartlet dengan hasil pengujian data
homogen atau memiliki varians yang sama.
Analisis selanjutnya adalah uji kesamaan dua rata-rata dengan menggunakan uji
pihak kanan dengan hasil pada tabel 2 berikut.

Tabel 2. Uji Kesamaan Dua Rata-rata Data Nilai Tes Hasil Belajar
Kelompok

Eksperimen 36 67,056 143,597
127,795 2,247 1,667
Kontrol 37 61,108 112,432

Dari tabel tersebut, untuk dan diperoleh nilai


. Hasil pengujian kesamaan dua rata-rata ini adalah rata-rata kelompok
eksperimen dengan perlakuan pendekatan PMRI dengan model pembelajaran TPS lebih dari
rata-rata kelompok kontrol dengan perlakuan model pembelajaran ekspositori.
Data nilai belajar pada kelompok eksperimen diuji dengan uji pihak kiri. Uji ini
dilakukan untuk mengetahui ketuntasan belajar siswa kelompok eksperimen.
Pada penelitian ini, siswa yang tuntas di kelas eksperimen adalah 21 orang dari 36
siswa yang mengikuti tes. Kriteria ketuntasan secara klasikal adalah . Hasil
uji proporsi diperoleh nilai sehingga diperoleh
kesimpulan siswa yang mencapai kriteria ketuntasan minimal sebesar belum mencapai
.
Hasil pengamatan aktivitas siswa yang berkaitan dengan nilai PKB disajikan dalam
tabel 3 berikut.

Tabel 3. Hasil Pengamatan PKB


Nilai PKB Pertemuan 1 Pertemuan 2 Pertemuan 3
Jujur 86,32% 83,33% 97,22%
Disiplin 62,50% 97,22% 97,22%
Toleransi 43,05% 51,38% 55,55%
Bersahabat/Komunikatif 43,89% 52,77% 62,50%

212
Dari hasil analisis tersebut, implementasi PMRI dengan model pembelajaran TPS
sudah memberikan hasil rata-rata hasil belajar yang lebih dari rata-rata hasil belajar dengan
model ekspositori, tetapi belum mencapai ketuntasan belajar yang ditetapkan di sekolah.
Ada beberapa kelebihan dari implementasi PMRI dengan model pembelajaran TPS
yang tidak terdapat pada pembelajaran ekspositori selama penelititan dilaksanakan. Beberapa
hal tersebut, dapat menjadi penyebab adanya perbedaan hasil belajar antara kelompok
eksperimen dan kontrol.
Pada pendekatan PMRI dengan model TPS, siswa diberikan permasalahan realistik
sebagai titik awal pembelajaran. Siswa dikondisikan untuk mengkonstruksi pengetahuan
sendiri melalui model yang dibangun sendiri dari proses think (berpikir). Proses ini
memberikan pengalaman kepada siswa sehingga siswa melakukan kegiatan belajar yang
bermakna bukan sekedar menghafal.
Setelah itu siswa memiliki kesempatan untuk berdiskusi dengan teman (pair)
sehingga terjadi pula proses interaktivitas sebagaimana disebutkan sebagai karakter PMRI.
Proses ini juga merupakan suatu kegiatan yang dapat menunbuhkan nilai-nilai karakter
seperti toleransi dan bersahabat/komunikatif. Melalui proses diskusi, siswa juga akan terbantu
dalam mengkonstruksi pengetahuan sehingga siswa dapat mengalami proses pembelajaran
pada Zone of Proximal Development dengan bantuan teman kelompok atau guru.
Dari kegiatan berkelompok dan diskusi kelas, siswa juga belajar untuk
mengkomunikasikan (share) jawaban kepada teman dan kelas tentang apa yang ada dalam
pemikirannya. Dalam pembelajaran dengan pendekatan PMRI dan model pembelajaran TPS
ini, guru melakukan penguatan untuk siswa yang memperoleh nilai baik dalam kuis, maupun
poin tambahan bagi siswa yang bersedia menyampaikan pendapatnya dalam diskusi kelas.
Kegiatan ini juga dapat melatih karakter jujur siswa dalam pembelajaran.
Ketuntasan belajar yang belum tercapai dengan implementasi pendekatan PMRI
dengan model pembelajaran TPS bisa terjadi karena beberapa hal yang meliputi kegiatan
sebelum atau selama proses penelitian berlangsung. Salah satunya adalah adanya faktor-
faktor di luar penelitian yang dimungkinkan memiliki pengaruh lebih besar terhadap hasil
belajar siswa. Dalam penelitian eksperimen ini, dicari hubungan kausalitas antara penerapan
pendekatan PMRI dengan model pembelajaran TPS dengan hasil belajar. Dalam hal ini
faktor-faktor seperti pendekatan dan model pembelajaran, guru, alat mengajar diatur oleh
peneliti. Selain faktor tersebut, masih ada faktor lain yang keberadaanya mempengaruhi hasil
belajar, tetapi tidak bisa dikendalikan oleh peneliti seperti faktor individual yang meliputi (1)
faktor kematangan, (2) faktor kecerdasan, (3) faktor latihan, (4) faktor motivasi, dan (5)
faktor pribadi, serta faktor sosial meliputi: (1) faktor keluarga dan (2) faktor lingkungan.
Berdasarkan hasil penelitian Pratidina (2012) tentang keefektifan model pembelajaran
Mind Mapping dengan pendekatan PMRI terhadap hasil belajar, diperoleh hasil belajar yang
tidak memenuhi ketuntasan belajar. Penyebabnya adalah kondisi eksternal dan internal yang
dikemukakan oleh Gagne yang kurang terpenuhi dalam pembelajaran. Setelah melakukan
evaluasi terhadap pelaksanaan penelitian ini, kekurangan yang sama terjadi pada penelitian
ini yaitu kurang terpenuhinya prinsip pengulangan sehingga retensi materi setelah belajar
tidak terjadi dengan baik.
Selain hasil pengambilan data hasil belajar dalam penelitian ini juga diamati aktivitas
siswa yang mencerminkan nilai PKB. Pengamatan aktivitas PKB dimaksudkan untuk melihat
apakah pembelajaran dengan implementasi PMRI dengan model pembelajaran TPS
membawa dampak pengiring terbentuknya nilai-nilai karakter siswa yang diamati yaitu jujur,
disiplin, toleransi, dan bersahabat/komunikatif. Menurut Prabowo & Sidi (2010) PMRI
adalah salah satu pendekatan yang jika dilakukan sebagai upaya sadar dan terencana melalui
pembiasaan dengan konsisten, kontinu, dan konsekuen diyakini akan dapat menumbuhkan

213
dan memahatkan karakter-karakter seperti kemandirian, demokrasi, toleransi, humanisme,
dan kejujuran.
Berdasarkan hasil pengamatan, secara umum aktivitas siswa yang berkaitan dengan
PKB meningkat untuk setiap pertemuan. Persentase siswa yang memenuhi indikator untuk
nilai-nilai PKB yang diamati yaitu jujur, disiplin, toleransi, dan bersahabat/komunikatif
disajikan pada tabel berikut.
Pada hasil pengamatan tersebut, nilai toleransi dan bersahabat/komunikatif meningkat
untuk setiap pertemuan. Hasil ini didukung oleh hasil penelitian Sutrisno (2007) yang
menyatakan bahwa keistimewaan pembelajaran dengan TPS adalah siswa selain bisa
mengembangkan kemampuan individualnya sendiri, juga bisa mengembangkan kemampuan
berkelompoknya. Kemampuan dalam berkelompok menunjukkan terbentuknya karakter
toleransi dan bersahabat/komunikatif sebagai nilai karakter bangsa. Pada nilai PKB jujur,
presentase siswa mengalami penurunan pada pertemuan kedua. Beberapa siswa tidak jujur
dalam menyampaikan hasil PR. Hal ini diketahui dari hasil pencatatan guru terhadap siswa
yang mengatakan mengerjakan PR dibandingkan dengan hasil pengecekan buku catatan
siswa setelah pencatatan dilakukan.
Peningkatan nilai disiplin salah satunya dilihat dari persentase siswa yang
mengerjakan tugas/PR yang diberikan. Siswa mengerjakan tugas sesuai dengan ketentuan
yang diberikan. Selain itu, nilai toleransi dan bersahabat/komunikatif siswa juga terlihat pada
kegiatan diskusi. Siswa sudah bersedia memberikan pendapat dan mencoba menyampaikan
hasil diskusi pembelajaran di depan kelas. Beberapa hal tersebut menunjukkan bahwa dengan
pembelajaran yang menerapkan pendekatan PMRI dan model pembelajaran TPS siswa sudah
menunjukkan partisipasi aktif dalam proses belajar di kelas. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian zel dan Uyangr (2006) yaitu pupils have a positive attitude towards
mathemathics after realistic mathematics education is used.

Penutup
Simpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah rata-rata hasil belajar siswa pada
materi segitiga dengan perlakuan pendekatan PMRI dengan model pembelajaran TPS lebih
dari rata-rata hasil belajar siswa dengan perlakuan model pembelajaran ekspositori. Selain
itu, pada kelompok eksperimen dengan perlakuan pendekatan PMRI dengan model
pembelajaran TPS diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa proporsi siswa yang mencapai
kriteria ketuntasan minimal belum memenuhi kriteria ketuntasan secara klasikal. Hal ini
terjadi dimungkinkan karena adanya faktor-faktor lain yang memiliki pengaruh lebih besar
terhadap hasil belajar siswa selain penerapan pendekatan dan model pembelajaran yang
diterapkan.

Daftar Pustaka

Prabowo A. & P. Sidi. 2010. Memahat karakter melalui pembelajaran matematika.


Proceedings of The 4th International Conference on Teacher Education. Bandung: Join
Conference UPI & UPSI. Bandung, Indonesia 8-10 November 2010.
Pratidina, I. 2012. Keefektifan model pembelajaran Mind Mapping dengan pendekatan PMRI
terhadap hasil belajar. Unnes Journal of Mathematics Education. 1(1):37-44.
Pusat Penelitian Pendidikan. 2011. Panduan pemanfaatan hasil ujian nasional untuk
perbaikan mutu pendidikan. Jakarta: Balitbang Kemdiknas.
Rifai, A. & Anni, C. T.. 2011. Psikologi pendidikan. Semarang: Universitas Negeri
Semarang Press.

214
Sugiarto & Soedjoko, E. 2010. Model-model pembelajaran inovatif. Semarang: Jurusan
Matematika FMIPA Universitas Negeri Semarang.
Suharta, I. G. P. 2003. Pendidikan matematika realistik indonesia (alternatif pembelajaran
matematika yang berorientasi kurikulum berbasis kompetensi). Jurnal Pendidikan dan
Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003.
Sutrisno. 2007. Penerapan pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share terhadap hasil
belajar matematika. Widyatama. 4(4):37-43.
Thobroni, M. & Mustofa, A. 2011. Belajar dan pembelajaran: pengembangan wacana dan
praktik pembelajaran dalam pembangunan nasional. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
zel, D. dan Uyangr, M. U. 2006. Attitudes of 7th class students toward mathematics in
realistic mathemathics education. International Mathematics Forum. 1(39):1951-1959.
Wijaya, A. 2012. Pendidikan matematika realistik suatu alternative pendekatan
pembelajaran matematika. Yogyakarta: Graha Ilmu.

215
Keefektifan Model TGT Berbantuan CD Pembelajaran
untuk Meningkatkan Kepercayaan Diri Peserta Didik

Izzati, Ihda Nurul1), Sugiarto, Suhito


Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Email: 1)ihda_izzati@yahoo.com

Abstract
This study purpose is to determine: (1) completeness study of students in cooperative
learning model type TGT supported by learning CD in the subject matter of the
circumference and area of triangle, (2) study of students in cooperative learning model type
TGT supported by learning CD is better than learning to use cooperative learning model in
the subject matter of the circumference and area of triangle; (3) This treatment can increase
the confidence of the learner. The proportion of one party test shows that the proportion of
learners experimental class meets classical KKM. Test showed that the proportion of
similarity the proportion of students who reach the experimental class KKM individual more
than the proportion of learner control class. Test equality of two average shows that the
confidence level of students after the treatment is more than before. Based on these results,
can be concluded that: (1) The results study of students in the cooperative learning model
type TGT supported by learning CD reach completeness in the subject the circumference and
area of triangle, (2) Cooperatife learning models type TGT supported by learning CD is
better than cooperative learning in the subject circumference and area of triangle, (3) The
level of the learners confidence after treatment increases.

Keywords: Confidence; Effectiveness; Learning result; TGT.

Pendahuluan
Salah satu ciri matematika adalah memiliki obyek abstrak, sehingga banyak peserta
didik menganggap matematika itu sulit. Sifat abstrak itu juga yang menjadi salah satu
penyebab sulitnya seorang guru mengajarkan matematika di sekolah. Untuk mengawali
penyampaian materi matematika yang abstrak melalui konkret dapat berpedoman pada teori
belajar Dienes. Teori Dienes, menekankan pada pembentukan konsep-konsep melalui
permainan yang mengarah pada pembentukkan konsep yang abstrak. Teori belajar Dienes
juga menekankan pada tahapan permainan yang berarti pembelajaran diarahkan pada proses
yang melibatkan anak didik dalam belajar. Hal ini berarti proses pembelajaran dapat
membangkitkan dan membuat anak didik senang dalam belajar. Oleh karena itu, teori belajar
Dienes ini sangat terkait dengan konsep pembelajaran dengan model kooperatif tipe TGT
(Teams Games Tournament) (Somakim,2005).
Terdapat beberapa tahap yang harus dilalui selama proses pembelajaran model
kooperatif tipe TGT. Pertama, peserta didik belajar dalam suatu kelompok dan diberikan
materi yang telah dirancang oleh guru. Peserta didik bersaing dalam turnamen. Selain itu
terdapat kompetisi antar kelompok yang dikemas dalam suatu permainan agar pembelajaran
tidak membosankan. (Slavin,2008). Selain diskusi dalam kelompok, bimbingan dari guru
juga diberikan untuk membantu peserta didik yang masih mengalami kesulitan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan guru matematika kelas VII SMP Negeri 1
Sulang Rembang, hasil belajar yang dicapai peserta didik selama ini masih banyak yang
belum mencapai KKM yang ditetapkan. KKM individu yang ditetapkan sekolah berdasarkan
rekapitulasi KKM dalam KTSP yaitu 70 dan KKM klasikal yaitu 75%. Materi pokok keliling
dan luas daerah segitiga dianggap cukup sulit, karena dari data nilai ulangan harian tahun
2010/2011, 71,4% peserta didik belum tuntas KKM pada materi pokok segitiga. Salah satu

216
faktor yang menyebabkan yaitu karena tingkat kepercayaan diri peserta didik rendah, dimana
peserta didik hanya diam memperhatikan penjelasan dari guru, tidak berani bertanya, tidak
berani untuk menjawab pertanyaan karena merasa takut dan tidak yakin jawabannya benar,
yang akhirnya merasa malu ketika akhirnya ditertawakan oleh teman-temannya. Selain itu,
pembelajaran yang selama ini dilaksanakan dengan metode ceramah. Faktor lain yaitu
kurangnya media yang mendukung dalam proses pembelajaran.
Guru perlu melakukan perbaikan dalam pembelajaran materi pokok keliling dan luas
daerah segitiga untuk mengubah situasi tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan menerapkan
model pembelajaran kooperatif tipe TGT. Penggunaan model kooperatif tipe TGT juga dapat
membantu peserta didik untuk berdiskusi dan saling berkompetisi sehingga tercipta suasana
pembelajaran yang lebih menyenangkan. Selain itu, pembelajaran juga memerlukan
dukungan media. Dalam penelitian ini, media yang digunakan adalah CD pembelajaran.
Proses belajar mengajar yang dilengkapi media CD pembelajaran dalam penyampaian materi
akan lebih terorganisasi, bersemangat dan hidup, serta memudahkan guru dan peserta didik
untuk melakukan proses belajar mengajar, sehingga diharapkan dapat memotivasi peserta
didik untuk belajar. Selain itu, mempelajari materi dan berlatih soal-soal matematika
menggunakan CD pembelajaran memungkinkan peserta didik dapat belajar dan berlatih
dalam suasana menyenangkan, sehingga peserta didik tidak merasa bosan dan tujuan
pembelajaran yang telah ditentukan dapat tercapai.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya, rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah: (1)Apakah hasil belajar peserta didik yang
menggunakan model kooperatif tipe TGT berbantuan CD pembelajaran pada materi pokok
keliling dan luas daerah segitiga dapat mencapai KKM?; (2)Apakah hasil belajar peserta
didik pada pembelajaran menggunakan model kooperatif tipe TGT berbantuan CD
pembelajaran lebih baik daripada hasil belajar peserta didik pada pembelajaran menggunakan
model kooperatif pada materi pokok keliling dan luas daerah segitiga?; (3)Apakah dengan
menggunakan model kooperatif tipe TGT berbantuan CD pembelajaran dapat meningkatkan
kepercayaan diri peserta didik pada materi pokok keliling dan luas daerah segitiga?
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, tujuan dari penelitian ini adalah:
(1) Untuk mengetahui ketuntasan hasil belajar peserta didik pada pembelajaran yang
menggunakan model kooperatif tipe TGT berbantuan CD pembelajaran pada materi pokok
keliling dan luas daerah segitiga. (2)Untuk mengetahui hasil belajar peserta didik pada
pembelajaran yang menggunakan model kooperatif tipe TGT berbantuan CD pembelajaran
lebih baik daripada pembelajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif pada materi
pokok keliling dan luas daerah segitiga. (3) Untuk mengetahui dengan menggunakan model
kooperatif tipe TGT berbantuan CD pembelajaran dapat meningkatkan kepercayaan diri
peserta didik pada materi pokok keliling dan luas daerah segitiga.

Metode
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh peserta didik kelas VII SMP Negeri 1
Sulang Rembang tahun pelajaran 2011/2012. Sampel pada penelitian ini diambil secara acak.
Dari delapan kelas yang ada, kelas VII-E dipilih sebagai kelas eksperimen yang
menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TGT berbantuan CD pembelajaran dan
kelas VII-F dipilih sebagai kelas kontrol yang menggunakan model pembelajaran koperatif.
Variabel dalam penelitian ini adalah model pembelajaran kooperatif tipe TGT berbantuan CD
pembelajaran dan pembelajaran kooperatif sebagai variabel bebas dan hasil belajar peserta
didik dan tingkat kepercayaan diri peserta didik pada materi pokok keliling dan luas daerah
segitiga dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TGT berbantuan CD
pembelajaran sebagai variabel terikat.

217
Metode pada penelitian ini terdiri dari metode dokumentasi, observasi, dan tes.
Metode dokumentasi digunakan untuk mendapatkan data mengenai peserta didik yang
menjadi anggota populasi dan untuk menentukan anggota sampel. Di samping itu, metode ini
juga digunakan untuk mengumpulkan data kemampuan awal dari peserta didik yang menjadi
sampel penelitian. Metode observasi digunakan untuk memperoleh data tingkat kepercayaan
diri peserta didik dan data yang dapat menunjukkan pengelolaan pembelajaran oleh guru dan
aktivitas peserta didik selama pembelajaran berlangsung. Sedangkan metode tes digunakan
untuk mengevaluasi hasil belajar peserta didik setelah proses pembelajaran serta dilakukan
pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Hasil tes tersebut digunakan sebagai data akhir
untuk membandingkan hasil belajar akibat dari perlakuan yang berbeda yang diberikan pada
kelas eksperimen dan kelas kontrol.
Data berupa nilai tes hasil belajar materi pokok keliling dan luas daerah segitiga
kemudian dianalisis melalui uji normalitas menggunakan uji Chi-Kuadrat dan uji
homogenitas menggunakan uji Bartlet. Untuk mengetahui ketuntasan belajar dari
pembelajaran kooperatif tipe TGT berbantuan CD pembelajaran pada materi pokok keliling
dan luas daerah segitiga, digunakan uji proporsi satu pihak dengan hipotesis sebagai berikut.
H0 : = 0,745 (proporsi ketuntasan belajar peserta didik pada kelas eksperimen yang
mencapai KKM pada materi pokok keliling dan luas daerah segitiga kurang dari atau
sama dengan 74,5%).
(proporsi ketuntasan belajar peserta didik pada kelas eksperimen yang
mencapai KKM pada materi pokok keliling dan luas daerah segitiga lebih dari 74,5%).
Kriteria pengujian H0 ditolak jika dengan = 5%

Sedangkan untuk mengetahui model pembelajaran kooperatif tipe TGT berbantuan


CD pembelajaran pada materi pokok keliling dan luas daerah segitiga lebih baik daripada
kooperatif, digunakan uji kesamaan dua proporsi dengan hipotesis sebagai berikut.
. berarti proporsi ketuntasan belajar peserta didik pada kelas eksperimen
lebih kecil atau sama dengan proporsi ketuntasan belajar peserta didik pada kelas
kontrol.
. berarti proporsi ketuntasan belajar peserta didik pada kelas eksperimen
lebih besar daripada proporsi ketuntasan belajar peserta didik pada kelas kontrol.
Kriteria yang digunakan tolak H0 jika .

Untuk mendapatkan skor tingkat kepercayaan diri peserta didik dilakukan


pengamatan oleh dua orang observer yang melakukan pengamatan terhadap sampel yaitu
empat kelompok dari enam kelompok yang ada. Data berupa skor tingkat kepercayaan diri
tersebut kemudian dianalisis melalui uji normalitas menggunakan uji Chi-Kuadrat dan uji
homogenitas menggunakan uji Bartlet. Untuk mengetahui bahwa model pembelajaran
kooperatif tipe TGT berbantuan CD pembelajaran dapat meningkatkan kepercayaan diri
peserta didik, digunakan uji kesamaan dua rata-rata dengan hipotesis sebagai berikut.
. berarti rata-rata tingkat kepercayaan diri peserta didik setelah perlakuan
lebih kecil dari rata-rata tingkat kepercayaan diri peserta didik sebelum perlakuan.
berarti rata-rata tingkat kepercayaan diri peserta didik setelah perlakuan
lebih besar dari rata-rata tingkat kepercayaan diri peserta didik sebelum perlakuan.
Kriteria yang digunakan tolak H0 jika dengan = 5%.

Di samping melakukan analisis secara statistik, peneliti juga menggunakan analisis


berdasarkan hasil pengamatan pengelolaan kelas oleh guru dan pengamatan aktivitas peserta
didik. Pengamatan ini dilakukan oleh seorang observer pada setiap pertemuan baik pada kelas
eksperimen maupun kelas kontrol. Hasil pengamatan pada setiap pertemuan digabungkan

218
kemudian dihitung rata-ratanya sehingga diperoleh rata-rata persentase pengelolaan kelas
oleh guru dan rata-rata persentase aktivitas peserta didik.
Berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya, maka hipotesis dalam penelitian ini
adalah: (1) Hasil belajar peserta didik pada pembelajaran menggunakan model kooperatif tipe
Teams Games Tournament (TGT) berbantuan CD pembelajaran pada materi pokok keliling
dan luas daerah segitiga dapat mencapai KKM; (2) Pembelajaran model kooperatif tipe TGT
berbantuan CD pembelajaran lebih baik dibandingkan pembelajaran kooperatif pada materi
pokok keliling dan luas daerah segitiga; (3) Dengan menggunakan model kooperatif tipe TGT
berbantuan CD pembelajaran pada materi pokok keliling dan luas daerah segitiga
kepercayaan diri peserta didik meningkat.

Hasil
Berdasarkan skor hasil tes pemahaman konsep, banyaknya peserta didik pada kelas
eksperimen yang mencapai ketuntasan individual sebanyak 28 dari 31 peserta didik dengan
kriteria proporsi 74,5%. Berdasarkan penghitungan uji z, diperoleh = 2,02 dan
= 1,64. Karena > , maka H0 ditolak. Hal ini berarti bahwa
proporsi peserta didik kelas eksperimen yang mencapai KKM pada tes hasil belajar materi
pokok keliling dan luas daerah segitiga lebih dari 74,5%.
Pada kelas kontrol, dari 32 peserta didik terdapat 22 peserta didik yang mencapai
ketuntasan individual. Berdasarkan penghitungan uji z, diperoleh = 2,115 dan
= 1,64. Karena > , maka H0 ditolak. Dapat disimpulkan bahwa
proporsi peserta didik kelas eksperimen yang mencapai KKM individual dalam tes hasil
belajar materi pokok keliling dan luas daerah segitiga lebih dari persentase peserta didik kelas
kontrol yang mencapai KKM individual dalam tes hasil belajar.
Berdasarkan perhitungan skor tingkat kepercayaan diri peserta didik diperoleh
dengan = 5% dan dk = 21 + 21 2 = 40, diperoleh .
Karena maka H0 ditolak. Hal ini berarti rata-rata tingkat kepercayaan
diri peserta didik kelas eksperimen setelah perlakuan lebih besar daripada rata-rata tingkat
kepercayaan diri peserta didik sebelum perlakuan.
Hasil pengamatan pengelolaan kelas oleh guru baik pada kelas eksperimen maupun
kontrol dapat dilihat pada tabel 1 berikut.

Tabel 1 Hasil Observasi Kinerja Guru


Kelas Hari, tanggal Persentase Kriteria Rata-rata
Jumat, 4 Mei 2012 56,82% Cukup baik
Eksperimen Kamis, 10 Mei 2012 64,77% Baik 65,15%
Jumat, 11 Mei 2012 73,86% Baik
Senin, 7 Mei 2012 54,76 % Cukup baik
Kontrol Selasa, 8 Mei 2012 64,29% Baik 63,756%
Senin, 14 Mei 2012 72,22% Baik

Berdasarkan hasil pada tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa pengelolaan kelas oleh
guru pada kelas eksperimen dan kelas kontrol telah dilakukan dengan baik, dan rata-rata
pengelolaan kelas oleh guru pada kelas eksperimen lebih tinggi dari kelas kontrol.
Hasil pengamatan aktivitas peserta didik baik pada kelas eksperimen maupun kontrol
dapat dilihat pada tabel 2 berikut.

219
Tabel 2 Hasil Pengamatana Aktivitas Peserta Didik Kelas eksperimen dan Kelas Kontrol
Kelas Hari, tanggal Persentase Kriteria Rata-rata
Jumat, 4 Mei 2012 56,25% Cukup baik
Eksperimen Kamis, 10 Mei 2012 59,,375% Cukup baik 65,92%
Jumat, 11 Mei 2012 82,14% Sangat baik
Senin, 7 Mei 2012 56,25 % Cukup baik
Kontrol Selasa, 8 Mei 2012 59,375% Cukup baik 62,5%
Senin, 14 Mei 2012 71,875% Baik

Berdasarkan hasil pengamatan aktivitas peserta didik, dapat disimpulkan bahwa


persentase keaktifan peserta didik kelas eksperimen lebih dari persentase keaktifan peserta
didik kelas kontrol.
Penggunaan model pembelajaran kooperatif memiiki peran penting dalam
pembelajaran. Dalam pembelajaran kooperatif, peserta didik bekerja sebagai sebuah tim
untuk mengerjakan suatu tugas atau menyelesaikan suatu masalah untuk mencapai tujuan
bersama. Dalam pembelajaran materi pokok keliling dan luas daerah segitiga ini, peserta
didik bekerja dalam sebuah kelompok yang dirancang oleh guru. Di dalam kelompok, peserta
didik dapat saling bertukar pikiran dan saling membantu agar semua anggota kelompok dapat
memahami materi yang diajarkan. Namun pada kenyataannya, masih banyak pesrta didik
yang mengalami kesulitan memahami dan mengerjakan LKPD yang diberikan meskipun
mereka telah melakukan diskusi kelompok, maka peran guru sangatlah penting untuk
membimbing peserta didik dalam berdiskusi.
Peserta didik yang cenderung pasif ketika berdiskusi juga harus mendapat perhatian
lebih dari guru agar peserta didik dapat aktif mengikuti proses belajar mengajar. Perilaku
pasif yang ditunjukkan oleh peserta didik disebabkan karena beberapa faktor, salah satu
faktornya yaitu kurangnya percaya diri peserta didik ketika melakukan kegiatan diskusi.
Perasaan minder dengan teman yang lebih pandai, juga rasa takut salah yang dimiliki peserta
didik ketika menjawab pertanyaan juga masih banyak dialami. Perasaan bosan dan kurang
tertarik dengan pelajaran juga banyak dialami peserta didik apalagi pembelajaran matematika
pada saat jam ke-7 dan jam ke-8. Oleh karena itu, model pembelajaraan kooperatif tipe TGT
dapat menjadi alternatif pilihan untuk digunakan dalam pembelajaran.
Penggunaan media yang tepat dapat membantu proses belajar mengajar di dalam
kelas. Penggunaan media CD pembelajaran untuk mempelajari materi pokok keliling dan luas
daerah segitiga tepat untuk menunjukkan kepada peserta didik bagaimana cara memperoleh
rumus keliling dan luas daerah segitiga segitiga yang selama ini hanya diperoleh peserta didik
dari guru tanpa mengetahui prosesnya. Oleh karena itu, dalam penelitian ini diterapkan model
pembelajaran kooperatif tipe TGT berbantuan CD pembelajaran.
Dari penghitungan pada uji proporsi satu pihak, diperoleh hasil yaitu proporsi peserta
didik kelas eksperimen yang mencapai KKM individual pada materi pokok keliling dan luas
daerah segitiga lebih dari 74,5%. Hal ini menunjukkan bahwa hasil pembelajaran kooperatif
tipe TGT berbantuan CD pembelajaran yang dilakukan pada kelas eksperimen dalam bentuk
tes hasil belajar materi pokok keliling dan luas daerah segitiga telah mampu mencapai KKM
klasikal yang telah ditentukan yaitu 75%.
Berdasarkan uji kesamaan dua proporsi satu pihak diketahui bahwa proporsi peserta
didik kelas eksperimen yang mencapai KKM individual pada tes tes hasil belajar materi
pokok keliling dan luas daerah segitiga lebih dari proporsi peserta didik kelas kontrol yang
mencapai KKM individual. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan model pembelajaran
kooperatif tipe tipe TGT berbantuan CD pembelajaran lebih baik untuk meningkatkan
kemampuan hasil belajar materi pokok keliling dan luas daerah segitiga peserta didik
dibandingkan dengan pembelajaran kooperatif. Sedangkan berdasarkan uji kesamaan dua

220
rata-rata pada skor tingkat kepercayaan diri peserta didik diketahui bahwa rata-rata skor
tingkat kepercayaan diri peserta didik setelah penerapan model pembelajaran kooperatif tipe
tipe TGT berbantuan CD pembelajaran pada materi pokok keliling dan luas daerah segitiga
lebih tinggi dari pada sebelum model pembelajaran kooperatif tipe TGT berbantuan CD
pembelajaran.
Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TGT dalam pembelajaran matematika
memiliki peran penting dalam ketuntasan belajar peserta didik. Pembelajaran kooperatif tipe
TGT mendorong peserta didik bekerja sebagai sebuah tim untuk menyelesaikan suatu tugas,
atau mengerjakan sesuatu untuk mencapai tujuan bersama, dan juga termotivasi untuk
menyelesaikan games dan menjuarai turnamen. Demikian halnya pada pembelajaran materi
pokok keliling dan luas daerah segitiga, peserta didik saling bertukar pendapat dalam
mengonstruksi kemampuan pemahaman materi yang disampaikan. Peserta didik juga saling
membantu agar semua anggota kelompok dapat mencapai tujuan dari pembelajaran. Anggota
kelompok yang berkemampuan tinggi bertanggung jawab untuk membantu anggota
kelompok yang berkemampuan rendah dan sedang. Dari kegiatan games dan turnamen
dimana peserta didik merasa senang, saling termotivasi dan saling berkompetisi, dapat
tumbuh rasa percaya diri dan keyakinan diri bahwa peserta didik bisa dan mampu
menyelesaikan permasalahan yang diberikan.
Pembelajaran kooperatif tipe TGT juga memberikan kesempatan kepada peserta didik
untuk menerima bimbingan secara individual dari guru. Apabila terdapat peserta didik yang
masih mengalami kesulitan dalam memahami suatu materi meskipun telah berdiskusi dalam
kelompoknya, maka guru dapat memberikan bantuan secara individual. Hal ini dilakukan
agar peserta didik tersebut tidak tertinggal dalam pembelajaran.
Sedangkan dalam pembelajaran kooperatif, peserta didik hanya melakukan kegiatan
diskusi kelompok dengan bimbingan guru. Meskipun peserta didik dapat saling tukar
pendapat, mampu menyelesaikan permasalahan yang diberikan, namun beberapa dari peserta
didik kurang antusias dalam pembelajaran. Peserta didik masih merasa bosan dan kurang
adanya tantangan seperti pada pembelajaran kooperatif tipe TGT.
Hasil pengamatan pengelolaan kelas menunjukkan bahwa baik pembelajaran
kooperatif tipe TGT berbantuan CD pembelajaran yang diterapkan pada kelas eksperimen
maupun model pembelajaran kooperatif yang diterapkan pada kelas kontrol telah dikelola
secara baik. Sedangkan hasil pengamatan aktivitas peserta didik menunjukkan bahwa rata-
rata persentase aktivitas peserta didik kelas eksperimen dan kelas kontrol telah memenuhi
kriteria baik. Karena rata-rata persentase aktivitas peserta didik kelas eksperimen lebih tinggi
dari persentase aktivitas peserta didik kelas kontrol, dapat disimpulkan bahwa model
pembelajaran kooperatif tipe TGT berbantuan CD pembelajaran lebih baik dalam
meningkatkan hasil belajar materi pokok keliling dan luas daerah segitiga peserta didik
dibandingkan model pembelajaran kooperatif. Selain itu, model pembelajaran kooperatif tipe
TGT berbantuan CD pembelajaran juga dapat meningkatkan kepercayaan diri peserta didik.

Penutup
Berdasarkan penelitian ini, dapat diperoleh bahwa hasil belajar peserta didik pada
pembelajaran model TGT berbantuan CD pembelajaran pada materi pokok keliling dan luas
daerah segitiga mencapai ketuntasan belajar, pembelajaran model kooperatif tipe TGT
berbantuan CD pembelajaran pada materi pokok keliling dan luas daerah segitiga lebih baik
dibandingkan pembelajaran kooperatif, dan tingkat kepercayaan diri peserta didik setelah
pembelajaran dengan model TGT berbantuan CD pembelajaran pada materi pokok keliling
dan luas daerah segitiga lebih baik dari pada sebelum menggunakan model TGT berbantuan
CD pembelajaran. Jadi dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif tipe TGT
berbantuan CD pembelajaran efektif pada materi pokok keliling dan luas daerah segitiga.

221
Daftar Pustaka

Arikunto, S. 2002. Dasar-dasar Evaluasi Pendididkan. Jakarta : PT Bumi Aksara


Bell, F.H. 1981. Teaching and Learning Mathematics (in Secondary School). New York :
WM. C Brown Company.
Christiana,E & W.N.E Saputra. Meningkatkan Rasa Percaya Diri Siswa Kelas X-3 SMA
Negeri 8 Surabaya dengan Konseling Kelompok Gestalt. FIP Unesa. Tersedia di
http://fip.unp.ac.id/bk/impact/05.Christiana_Meningkatkan_Rasa_Percaya_DiriSiswa.
pdf [diakses 11-2-2012]
Eristi, S.D. 2008. The Effectiveness Of Interactive Instruction CD Designed Through The
Pre-School Students. Jurnal of Theoritical and Applied Information Technology, 4(9) :
832 839. Tersedia di http://www.jatit.org/volumes/research-papers/Vol4No9
/10Vol4No9.pdf [diakses 11-2-2012]
Hudojo, H. 2003. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang : JICA
Universitas Negeri Malang.
Ibrahim, M. dkk. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya : UNESA PRESS.
Purwanti, I. T. 2010. Pelaksanaan Model Quantum Teaching dengan Study Group untuk
Peningkatan Sikap Percaya Diri Siswa dan Prestasi Belajar Fisika Kelas X SMK
Negeri 2 Jurusan Teknik Konstruksi Kayu Kabupaten Sragen. Tesis. Surakarta :
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.
Slavin, R. E. 2005. Cooperative Learning Teori, Riset, dan Praktik. Translated by Yusron, N.
2008. Bandung : Nusa Media.
Somakim, dkk. 2007. Pengembangan Pembelajaran Matematika SD. Jakarta : Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
Sugiyono. 2010. Statistika untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta.
Susanti, F. R. Hubungan Antara Kepercayaan Diri Dengan Penyesuaian Sosial Siswa Kelas
VIII SMP Santa Maria Fatima. Jurnal Psiko-Inovasi, Vol.6 : 21-33. Tersedia di
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/61082133.pdf [diakses 9-2-2012]
VanWyk, M. M. 2010. The Effect Of Teams-Games-Tournaments On Achievment,
Retention, and Attitudes of Economics Education Students. EABR & ETLC
Conference Proceedings. South Afrika : University of the Free State.

222
Pengembangan Model Pembelajaran Matematika Sekolah Menengah
Berbasis E-Learning Sebagai Inovasi Pembelajaran Matematika
di Kota Palembang

Jaidan Jauhari
Universitas Sriwijaya
Email : jaidan_j@yahoo.com

Abstrak
Pembelajaran berbasis Komputer saat ini sudah banyak digunakan di berbagai sekolah baik
sekolah menengah maupun perguruan tinggi. Penggunaan komputer tersebut dapat berupa
penggunaan komputer sebagai alat bantu dalam proses belajar mengajar. Seiring dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi proses belajar mengajar dituntut tidak hanya di
dalam kelas dalam bentuk tatap muka, tetapi orang dapat belajar kapan saja dan dimana saja.
Salah satu model yang dapat dipakai untuk keperluan tersebut adalah model pembelajaran
berbasis e-learning. Tetapi untuk menggunakan model tersebut haruslah tersedia media
tersebut. Untuk guru-guru yang ada di Kota Palembang belum tersedia media dimaksud, oleh
karena itu dalam penelitian ini dilakukan mulai dari pengembangan website forum guru
sampai dengan penggunaan model tersebut dalam pembelajaran, khususnya pembelajaran
matematika.

Kata kunci : e-learning, Model

Pendahuluan
Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi atau yang dikenal
dengan istilah Information and Communication Technology (ICT) dan internet telah
merambah berbagai bidang kehidupan tidak terkecuali bidang pendidikan dan
pengajaran(Hartanto, 2002; Lerouge, 2004; Ali, 2004). Di sisi lain dengan adanya internet
dan ICT proses belajar dapat dilakukan kapan saja tanpa terikat ruang dan waktu (Surjono,
1999).
Menurut Rosenberg (dalam Surya, 2006) terdapat lima pergeseran dalam proses
pembelajaran dengan berkembangnya penggunaan teknologi informasi yaitu, dari pelatihan
ke penampilan, dari ruang kelas ke di mana dan kapan saja, dari kertas ke online atau
saluran, dari fasilitas fisik ke fasilitas jaringan kerja, dari waktu siklus ke waktu nyata.
Dengan kemampuan web/internet yang bisa mengirimkan berbagai bentuk data
seperti teks, grafik, gambar, suara, animasi, atau bahkan video, maka banyak kalangan bisnis
yang memanfaatkan teknologi ini dengan membuat homepage untuk mempromosikan
usahanya, meskipun pada awalnya dimotori oleh perguruan tinggi. Kini hampir semua
lapisan masyarakat (terutama di negara maju) sudah sangat terbiasa dengan web ini, karena
hampir segala jenis informasi bisa diperoleh (Surjono, 1999; Cowie, 2004).
Para pendidik melihat perkembangan web ini sebagai hal yang menguntungkan
karena sangat berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai media penyampaian bahan pengajaran.
Di samping berfungsi sebagai media pengajaran yang mendukung multimedia dan hyperlinks
(atau hypermedia), jika dirancang dengan baik, web juga bisa menjadi media pembelajaran
yang interaktif dan memungkinkan peserta didik melakukan kontrol terhadap
pembelajarannya (Ducastel, 2007; Khan, 1997).
Di samping keuntungan tersebut, ternyata hasil beberapa penelitian menunjukkan
bahwa efektivitas pembelajaran melalui web sama dengan atau bahkan lebih baik dibanding
pembelajaran tradisional. (NCSU, 1998; Richards, 1992; Hiltz, 1993 dalam Surjono 1999).

223
Sedangkan hasil penelitian dari Wilfrid Laurier University (dalam Surjono, 1999), juga
menunjukkan bahwa siswa yang menggunakan web dalam pembelajarannya terbukti dua kali
lebih cepat waktu belajarnya dibanding siswa klasikal, 80% siswa tersebut berprestasi baik
dan amat baik, serta 66% dari mereka tidak memerlukan bahan cetak.
Demikian juga menurut Suradijono (2004) dari studi-studi yang ada, pembelajaran
berbasis komputer (courseware) bila dibuat dengan baik terbukti dapat meningkatkan proses
belajar pada diri seseorang. Pembelajaran berbantuan komputer telah dapat memberikan
nuansa yang berbeda dalam pembelajaran dalam rangka meningkatkan prestasi belajar dan
motivasi (Jauhari, 2009; Herman, 1995; Subardjono, 1992; Nejad, 1992).
Penggunaan web/internet dalam dunia pendidikan yang banyak digunakan
diperguruan tinggi adalah e-learning (Jauhari, 2008; Lewis, 2002). Beberapa perguruan
tinggi menggunakan e-learning sebagai pelengkap atau pengganti tatap muka. Kelas virtual
adalah inti dari atau untuk terselenggaranya aktivitas dalam e-learning (Rubio-Royo, 2003).
Implementasi E-learning di perguruan tinggi pernah anggota penulis teliti melalui
grant Hibah Bersaing tahun 2008 menunjukkan ada pengaruh dalam meningkatkan prestasi
belajar mahasiswa. Namun demikian keberhasilan penggunaan E-learning selama ini baru
digunakan di tingkat perguruan tinggi, sedangkan di sekolah ini belum pernah digunakan dan
kalaupun ada yang sudah menggunakan tapi belum mengintegrasikan sekolah-sekolah yang
ada dan hanya dipakai pada satu sekolah saja.
Di sisi lain saat ini di sekolah-sekolah yang ada di Kota Palembang umumnya sudah
mempunyai fasilitas komputer yang memadai dan terkoneksi dengan internet. Hal ini sangat
mendukung untuk dilaksanakannya pembelajaran berbasis e-learning seperti yang akan
peneliti laksanakan. Dalam penelitian ini akan dikembangkan website forum guru di Kota
Palembang dan penggunaan model e-learning khususnya untuk pembelajaran matematika
disekolah menengah.
Komputer dalam kegiatan akademik memiliki berbagai peran. Menurut Liem (dalam
Rahayu, 1997) Peran-peran tersebut dapat dikelompokkan menjadi :
1. Untuk diajarkan dan diteliti
2. Untuk menunjang kegiatan administratif
3. Untuk alat Bantu pengelolaan dan pengolahan data
4. Untuk media komunikasi dan Untuk alat Bantu pengajaran
Keterlibatan komputer dalam pengajaran mempengaruhi bentuk struktur kegiatan
yang berkaitan dengan pengajaran. Berdasarkan penstrukturan tersebut, peran komputer
dalam pengajaran dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu :
a. Pengajaran tanpa komputer. Pengajar bertanggung jawab penuh menstrukturkan kegiatan
pengajaran.
b. Pengajaran campuran (mixel teaching). Sebagian tugas pengajar diambil ahli oleh
komputer, meskipun pengajar tetap bertanggung jawab untuk menstrukturkan kegiatan
pengajaran.
c. Pengajaran otomatis. Komputer menggantikan tugas pengajar dan menstrukturkan
aktivitas pendidikan secara man (lihat gambar 1)

224
Pengajaran tanpa
komputer
Pengajar Siswa
Pengajaran
campuran
manajemen pengajaran
sekolah/PT otomatis

Komputer

Gambar 1 Keterlibatan Komputer dalam Pengajaran


(Liem dalam Rahayu, 1997)

Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh melalui pemanfaatan komputer sebagai


media dalam pembelajaran diantaranya adalah kelebihannya dalam mempresentasikan grafik
dan gambar sebagai bentuk visual yang dapat diamati dan dipelajari. Beberapa peneliti
pendidikan menyatakan bahwa komputer sangat potensial untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran. (Sugeng, 1998; Liao, 1992; Jensen &Williams, 1993; dalam Herman 2003).
Di samping itu kelebihan media menggunakan komputer adalah pertama, komputer
bekerja berdasarkan program, sehingga memilki keluwesan untuk menyesuaikan dengan
permasalahan yang ditangani. Kedua, komputer mampu memadukan komponen suara (audio)
dan komponen penglihatan (visual). Ketiga, komputer dapat melakukan operasi logika dan
aritmatika, mengolah data dan menyampaikannya bila perlu. Keempat, dengan komputer
dapat dilakukan remediasi tanpa batas atau remidiasi yang berulang-ulang (Willianto dalam
Wagiran, 2008). Selain itu menurut Hamron (dalam Wagiran, 2008), keuntungan komputer
antara lain: (a) cepat, andal dan tepat dalam komunikasi, (b) penyelesaian persamaan secara
non analitis, (c) simulasi dan proses dan eksperimen, (d) penyelesaian masalah secara grafis,
(e) program-program interaktif, (f) dapat dihubungkan langsung melalui interface dengan alat
ukur untuk data perlakuan, serta (g) tugas-tugas dan rekanan yang mudah dipanggil.
Pembelajaran berbasis komputer semakin dikenal dan telah diterapkan secara luas di
sekolah- sekolah mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi (Widyo, 2009; Wahyudi,
2009). Pengembangan perangkat-lunak pembelajaran berbasis komputer dipandang layak dan
penting dilakukan karena memiliki beberapa kelebihan diantaranya: (1) merupakan media
pembelajaran yang sangat efektif serta dapat memudahkan belajar serta meningkatkan
kualitas pembelajaran, (2) dapat meningkatkan motivasi belajar, (3) dapat digunakan sebagai
penyampaibalikan langsung dan segera secara efektif kepada pebelajar, (4) sangat
mendukung pembelajaran individual, (5) melatih pebelajar untuk terampil memilih bagian-
bagian isi pembelajaran yang dikehendaki, (6) memungkinkan pebelajar untuk lebih
mengenal dan terbiasa dengan komputer menjadi semakin penting di masyarakat modern, dan
(7) menjadi lebih menarik karena dilengkapi dengan fasilitas warna, lagu, gambar, grafik dan
animasi sehingga mampu menyajikan pembelajaran secara menarik(Cowie, 2004).
Beragam definisi yang dapat ditemukan dalam berbagai literatur jika membicarakan
definisi Electronic Learning (E-learning), tergantung dari sudut pandang orang yang
memberikan definisi. E-Learning dapat didefinisikan sebagai sebuah bentuk teknologi
informasi yang diterapkan di bidang pendidikan dalam bentuk sekolah maya. Menurut
Hartanto (2002) e-Learning di istilahkan sebagai usaha untuk membuat sebuah transformasi
proses belajar mengajar yang ada di sekolah atau perguruan tinggi ke dalam bentuk digital
yang dijembatani oleh teknologi Internet. Sedangkan Hartley (2001) menyatakan bahwa e-
learning merupakan suatu jenis belajar mengajar yang memungkinkan tersampaikannya

225
bahan ajar ke siswa dengan menggunakan media internet, intranet atau media jaringan
komputer lainnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa e-learning adalah
pembelajaran baik secara formal maupun informal yang dilakukan melalui media elektronik,
seperti internet, intranet, CD ROM, video tape, DVD, TV dan lain-lain.

Metode
Metode penelitian yang dipakai dalam pengimplementasian lingkungan belajar
berbasis E-learning ini adalah riset pengembangan atau development risearch, dengan model
pendekatan sistem (Ysejwin, 1992), yang teridiri dari tiga tahap pelaksanaanya yaitu tahap
pertama melalui fase konsepsi (pembuatan konsep), tahap kedua fase perwujudan dan
terakhir fase pemanfaatan.
Fase konsepsi merupakan tahap mula-mula dimulai pada studi awal dengan
menentukan tujuan umum dan menyiapkan seluruh perangkat pembelajaran. Fase perwujudan
yaitu fase implementasi, kegiatan pada fase ini adalah pengkodean maksudnya adalah kreteria
apa yang dibutuhkan dalam perangkat ajar dan itu harus berhubungan dengan materi suatu
mata kuliah. Fase terakhir adalah fase perwujudan dan fase pemanfaatan yaitu fase penerapan
perangkat, kegiatan dalam fase ini adalah penggunaan perangkat dan penilaian terhadap
perangkat yang dikembangkan.
Pendekatan sistem tersebut selengkapnya seperti pada Gambar 2 berikut.

Studi Awal
Konsepsi

Skenario
Pengajaran

Story-Board

Validasi Fase
Konsepsi

Pengkodean
Pewujudan

Sal ah

Validasi Fase Benar


Pewujudan

Pemanfaatan
Penggunaan
Pemeliharaan

Penilaian

Gambar 2 Pendekatan Sistem Untuk Pengembangan Model Berbasis E-Learning

226
Fase Konsepsi
Fase konsepsi adalah kumpulan pengembangan E-Learning yang jauh dari pekerjaan
menggunakan komputer. Kegiatan tersebut adalah :
a) Studi awal. Kegiatan ini menentukan tujuan umum, pemakai, dan isi materi ajar
umum.
b) Perancangan skenario pengajaran. Kegiatan ini merupakan kelanjutan kegiatan studi
awal.
c) Perancangan alur pengajaran (story-board). Kegiatan ini mendeskripsikan layar-layar
yang akan ditampilkan pada masing-masing perangkat ajar (PA) pada E-Learning
berdasarkan konsep dasar PA dan rancangan PA yang dihasilkan pada perancangan
skenario pengajaran.
d) Validasi fase konsepsi. Kegitan ini memperbaiki hasil akhir fase terhadap kesalahan
yang ada.
Fase Perwujudan
Fase perwujudan merupakan kelajutan fase konsepsi. Fase ini mengimplementasikan E-
Learning berdasarkan hasil rancangan pada fase konsepsi. Kegiatan yang ada pada fase ini
adalah :
1. Pembuatan website Forum Guru dengan menggunakan pemrograman seperti PHP
dan MySQL.
2. Pengimplementasian e-learning. Pada fase ini pertama kali dilakukan pemilihan
perangkat tools yang telah tersedia dan dengan kriteria tertentu. Dalam penelitian
ini learning management system (LMS) yang digunakan adalah MOODLE.
2. Validasi Fase Perwujudan.
Kegiatan ini dilakukan dengan mengistalasi MOODLE.
Fase Pemanfaatan
Fase pemanfaatan, sebagai fase terakhir, merupakan fase penerapan E-Learning sebagai alat
bantu pengajaran. Kegiatan yang ada pada fase ini adalah :
1. Penggunaan perangkat (ujicoba)
2. Penilaian terhadap perangkat
3. Pemeliharaan perangkat

Hasil
Pada tahap awal dalam penelitian ini dilakukan pengembangan terhadap website
Forum guru Ogan Ilir. Setelah perancangan sistem ( website ) dilakukan maka didapatkan
suatu website yang diharapkan lebih memenuhi kebutuhan informasi bagi guru dan
masyarakat umum. Informasi tersebut tersebut terdiri dari informasi tujuan, tentang dan e-
learning. Alamat web tersebut adalah forumgurusumsel.org. Pada tahap ini form E-learning
sudah diimplementasikan, dan telah berisi konten. Form-form yang ada antara lain sebagai
berikut:

227
1. Form Menu Utama (Home)

Gambar 4.Menu Utama Website Forum Guru


2. Menu Tujuan

Gambar 4 Halaman Tujuan

228
3. Halaman Control Panel

Gambar 5 Login Control Panel

4. Halaman E-learning

Gambar 6 Halaman E-learning

5. Login Member E-learning

Gambar 7 Halaman Login Member E-learning

Halaman Peserta

Gambar 8. Halaman Peserta

229
6. Halaman Laporan

Gambar 9 Halaman Laporan

7. Halaman Bagan Pertemuan Mingguan

Gambar 10 Bagan Mingguan

8. Halaman Contoh Materi Kursus Yang Sudah Dimasukkan

Gambar 11 Contoh Materi Kursus Yang Sudah Dimasukkan

Pembahasan
Secara umum penelitian ini telah selesai dan telah dapat menghasilkan website seperti
yang ditargetkan. Website inilah yang akan digunakan sebagai sarana dalam memberikan
informasi kepada guru dan masyarakat umum, serta sebagai media untuk diadakannya
pembelajaran berbasis e-learning. Website yang telah dibuat saat sudah diupload ke web

230
dengan membeli domain khusus dan sewa hosting, alamat webnya adalah
forumgurusumsel.org. Pembelajaran dengan menggunakan e-learning sudah dapat
dilaksanakan, tetapi saat ini belum banyak materi yang dimasukkan ke LMS, baru beberapa
materi. Untuk selanjutnya jika akan melaksanakan pembelajaran dengan e-learning pengajar
tinggal memasukkan materi dan mensetting pembelajaran yang akan dilakukannya.

Penutup
Dari pembahasan-pembahasan sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan :
a. Pengembangan web site forum guru sebagai sarana penyebaran informasi bagi guru-guru
dan masyarakat umum telah dapat dilakukan. Form-form yang tersedia adalah Form
halaman utama, form tentang, form tujuan dan form e-learning
b. Pengembangan lingkungan belajar berbasis e-learning sudah dikembangkan dan dapat
untuk diimplementasikan, jika para pengajar akan menggunakan tinggal meminta login
dan password ke admin. Dan mengisikan serta mengatur materi-materinya.

Daftar Pustaka

Afrianto, D. 1999. Pedoman Penulisan HTML. Jakarta : Gramedia


Ali, M. 2004. Pembelajaran Perancangan Sistem Kontrol PID Dengan Software MatLab.
Jurnal Edukasi@Elektro. Vol 1 No 1. pp 1-9
Anwas, Oos M. 2003. Model Inovasi E-Learning Dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan.
Jurnal Teknodik Vol 12(VII) [On line] http://www.pustekkom.go.id/teknodik/
t12/isi.htm [diakses 1 Maret 2006]
Bouras,C., M. Nani 2008 A Web-based Tool for Building and Accessing Learning Objects
and Online Courses.
Cowie, J. 2004. e-Learning Business Research Methods. Electronic Journal on e-Learning
Volume 2 Issue 1 (February 2004) 51-60
Chuang, C.P. 1991. Effectiveness of microcomputer aided television troubleshooting
instruction using digital image database. Journal of Technical and Vocational
education. issue: 8.
Duchastel, P. 2007. A Web-based Model for University Instruction. Journal of Educational
Technology Systems. Vol.25, No.3, pp221-228.
Drucker, P. (2000). Need to Know: Integrating e-Learning with High Velocity Value Chains.
A Delphi Group White Paper, http://www.delphigroup.com/pubs/
whitepapers/20001213-e-learning-wp.pdf .
Hardjito. 2001. Pola Hubungan Faktor-faktor yang mempegaruhi pemanfaatan : Studi
Survey Motif Pemanfaatan Internet Siswa SMU dan SMK DKI Jakarta, Tesis Tidak
Diterbitkan. Jakarta : Program Pasca Sarjana UI
Hartanto, A. A. dan Purbo, O. W. 2002. E-Learning Berbasis PHP dan MySQL :
Merencanakan dan Mengimplementasikan Sistem E-Learning. Jakarta : Elex Media
Komputindo
Hasan, Iqbal. 2003. Pokok-Pokok Statistik 1 (Statistik Deskriptif). Jakarta : Bumi Aksara
Herman, Tatang. 2003. Pengembangan Multimedia Matematika Interaktif Untuk
Menumbuhkembangkan Kemampuan Penalaran Matemati Siswa Sekolah Dasar.
Makalah Seminar Nasional Pendidikan MIPA : UPI Bandung
Herman, D.S. 1995. Pengembangan Program Berbasis Komputer Untuk Pelajaran
Elektronika. Jurnal Kependidikan.(2), 95-106.

231
Jauhari, Jaidan. 2008. Implementasi E-Learning dalam Pengembangan Lingkungan Belajar
Yang Interaktif di Perguruan Tinggi (Studi Kasus di FKIP Unsri). Laporan Penelitian
Hibah Bersaing Dikti.
Jauhari, Jaidan. 2009. Studi Terhadap Penggunaan Multimedia Interaktif dalam
Pembelajaran MIPA di Indonesia. Makalah disampaikan Pada Seminar Nasional
Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA di UNY Yogyakarta, tanggal 16 Mei
2009
Nejad,M.A. 1992. A comparison and evaluation of the effectiveness of computer simulated
laboratory instruction versus traditional laboratory instruction in solid state
electronics circuitry (Doctoral Dissertation). Ames,IA: Iowa State University.
Oetomo, B. S. D. 2002. E-Education : Konsep, Teknologi dan Aplikasi Internet Pendidikan.
Yogyakarta : Andi Offset
Rahayu, D. M. A. 1997. Perangkat Ajar Solusi Sistem Persamaan Lanjar (SIMPEL). Skripsi
tidak diterbitkan. Bandung : ITB
Rubio-Royo, E. et all. E-Learning in Distance Education and in the New Cooperative
Environments. The European Journal for the Informatics Professional. Vol 4 No 3 pp
39-46
Soekartawi 2003. E-Learning di Indonesia dan Prospeknya di Masa Mendatang. Makalah
disampaikan di Seminar Nasional di Universitas Petra, Surabaya, 3 Februari 2003.
Supardi , Suharyanto, Rahayu DSR. 2008. Developing Web Based Online Learning System
(E-learning) Using Content Management System (CMS). Proceedinggs: The 2nd
International Seminar On Science Education. UPI Indonesian
Suradijono, S.H.R. 2004, Pembelajaran Berbasis Web: Suatu Tinjauan dari aspek Kognitif,
Makalah Lokakarya Metode Pembelajaran Berbasis Web- Departemen Teknik
Penerbangan ITB, Bandung, 1 Oktober 2004.
Surjono, H.D. 1999. Pemanfaatan Internet Untuk Memperbaharui Model Pengajaran di
Perguruan Tinggi. Jurnal Cakrawala Pendidikan. No.4 (XVII): 162-166.
Wahyudi, M & Novianti. 2009. Perancangan Website E-learning Untuk Kursus Komputer
Online Menggunakan Moodle. Studi Kasus Pada Computer Training Center Bina
Sarana Informatika. Prosiding Konferensi Nasional Teknologi Informasi dan
Aplikasinya. Fasilkom Unsri, Nopember 2009
Ysewijn, Pierre. 1996. Courseware Development Methodology. Swiss : Federal Institute for
Technology Laboratory for Computer Aided Instruction

232
Penerapan Model Wallas untuk Mengidentifikasi
Proses Berpikir Kreatif Kelas XI IPA
Materi Pokok Komposisi Fungsi

Jayanti Putri Purwaningrum, Ary Woro Kurniasih, Arief Agoestanto


Mahasiswa Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Semarang
Gedung D7 Kampus Sekaran Gunung Pati Semarang 50229

Abstract
This research is a qualitative research, which aims to identify creative thinking process of
students with the application of Wallas model. Wallas model is a theory of creative thinking
process which includes (1) preparation, (2) incubation, (3) illumination, and (4) verification.
The data was collected with interview-based tasks. The task is called problem possing task.
The results of the task used to determine students in three groups that is creative group, less
creative group and uncreative group for interviewed. Data collection procedures followed
the following phases: (1) validation, (2) exploratory test 1, (3) learning three times, (4)
problem possing task 1, (5) exploratory test 2, (6) interview-based tasks,(7) problem possing
task 2 and (8) a record of research. Subjects are students of class XI IPA 2 SMA N 1
Kedungwuni which consists of fourteen students. From the research conducted, it can be
concluded that that students in each group has different characteristics of creative thinking
process in every step Wallas.

Key Words: Wallas model, problem possing, creative thinking process.

Pendahuluan
Pada Permendiknas Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi dan
Kompetensi Dasar Kurikulum 2006 disebutkan bahwa matematika perlu diberikan kepada
semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan
kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif serta kemampuan
bekerjasama. Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik dapat memiliki kemampuan
memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan
yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif. Salah satu tujuan pembelajaran matematika
dalam Kurikulum 2006 adalah mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi,
intuisi dan penemuan, dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinal, rasa ingin tahu,
membuat prediksi dan dugaan serta mencoba-coba. Kurikulum 2006 tersebut juga
menyebutkan bahwa salah satu prinsip kegiatan belajar mengajar adalah mengembangkan
kreativitas peserta didik. Dengan demikian, kurikulum telah mengisyaratkan bahwa
pentingnya mengembangkan kreativitas dalam pembelajaran matematika. Kreativitas dapat
dipandang sebagai produk dari berpikir kreatif sedangkan aktivitas kreatif merupakan
kegiatan dalam pembelajaran yang diarahkan untuk mendorong atau memunculkan
kreativitas peserta didik.
Menurut Munandar (2009) perkembangan optimal dari kemampuan berpikir kreatif
berhubungan erat dengan cara mengajar. Kemampuan berpikir kreatif anak akan berkembang
atas prakarsanya sendiri bila suasana pembelajaran tidak otoriter dan anak diberi kesempatan
untuk bekerja sesuai dengan minat serta kebutuhannya. Hal ini dikarenakan guru menaruh
kepercayaan terhadap kemampuan anak untuk berpikir dan berani mengemukakan gagasan
baru.
Usaha untuk mengetahui kemampuan berpikir kreatif peserta didik dapat ditinjau
dengan pengajuan masalah. Menurut Siswono (2004), pengajuan masalah dalam

233
pembelajaran intinya meminta peserta didik untuk mengajukan soal atau masalah. Latar
belakang masalah dapat berupa topik yang luas, soal yang sudah dikerjakan, atau informasi
tertentu yang diberikan guru kepada peserta didik. Pengajuan masalah bermanfaat membantu
peserta didik dalam mengembangkan keyakinan dan kesukaan terhadap matematika. Hal ini
dikarenakan ide-ide matematika mereka dicobakan untuk memahami masalah yang sedang
dikerjakan dan dapat meningkatkan kinerjanya dalam pemecahan masalah (Siswono, 2005).
Pada pembelajaran matematika, pengajuan masalah menempati posisi yang strategis.
Pengajuan masalah dikatakan sebagai inti terpenting dalam disiplin matematika dan dalam
sifat pemikiran penalaran matematika. Kilpatrick (dalam Lin, 2004: 258) mengungkapkan
Problem posing is recognize as an important component in the nature of mathematical
thinking.
Haylock (dalam Siswono, 2004) menyatakan bahwa telah dilakukan penelitian
tentang kreativitas matematika yang melihat dari aspek produk pengajuan masalah dengan
menggunakan kriteria kreativitas, yaitu kefasihan, fleksibilitas dan keaslian, bukan pada
aspek proses kreatifnya yang menekankan pada segi kognitif peserta didik ketika mengajukan
masalah apakah memenuhi kriteria berpikir kreatif. Penelitian itu memberikan bukti empirik
hubungan antara berpikir kreatif dan pengajuan masalah matematika. Namun, hasil tersebut
tidak menginformasikan bagaimana kinerja atau proses berpikir pengajuan masalah sebagai
proses berpikir yang kreatif. Dengan demikian, perlu diadakannya penelitian tentang
bagaimana proses berpikir kreatif peserta didik dalam pembelajaran matematika. Penelitian
ini berupaya untuk mengidentifikasi tahap-tahap proses berpikir kreatif tersebut.
Pada abad kedua puluh, model awal proses berpikir kreatif dikembangkan oleh
sosiolog dan ilmuwan Inggris yang bernama Graham Wallas. Pada tahun 1926, Wallas
menulis sebuah buku yang berjudul The Art of Thought dan mengusulkan bahwa proses
berpikir kreatif melibatkan empat hal yang berbeda yang terdiri dari persiapan, inkubasi,
iluminasi dan verifikasi. Hal ini juga dikuatkan oleh Karakas (2010) yang mengungkapkan:

One of the earliest twentieth-century models for the creative proces was
developed by British sociologist and social scientist Graham Wallas. In his
1926 book The Art of Thought, Wallas proposed that the process of creative
thinking involves four distinct stages of control, consisting of:
Preparation, incubation, illumination and verification.

Secara umum, proses berpikir kreatif oleh matematikawan mengikuti empat tahap
yang meliputi persiapan, inkubasi, verifikasi dan iluminasi. Pernyataan tersebut dikuatkan
oleh Sriraman (2004) yang berpendapat bahwa The results indicate that, in general, the
mathematicians creative processes followed the four-stage of preparation-incubation-
illumination-verification.
Menurut Munandar (1999) untuk mengetahui proses berpikir kreatif peserta didik,
pedoman yang digunakan adalah proses kreatif yang dikembangkan oleh Wallas karena
merupakan salah satu teori yang paling umum dipakai untuk mengetahui proses berpikir
kreatif. Model Wallas menyatakan bahwa proses berpikir kreatif meliputi empat tahap yaitu
(1) persiapan, (2) Inkubasi, (3) Iluminasi, dan (4) Verifikasi.
Menurut teori Wallas, pada tahap pertama seseorang mempersiapkan diri untuk
memecahkan masalah dengan belajar berpikir, mencari jawaban, bertanya kepada orang, dan
sebagainya. Pada tahap kedua, kegiatan mencari dan menghimpun data atau informasi data
atau informasi tidak dilanjutkan oleh individu. Tahap inkubasi adalah tahap dimana individu
seakan-akan melepaskan diri sementara dari masalah tersebut, tidak memikirkan masalahnya
secara sadar, tetapi menaruhnya ke alam pra sadar. Tahap ini penting dalam timbulnya
inspirasi. Tahap iluminasi adalah tahap timbulnya inspirasi atau gagasan baru, beserta proses-

234
proses psikologis yang mengawali dan mengikuti munculnya inspirasi atau gagasan baru.
Tahap verifikasi atau tahap evaluasi ialah tahap dimana ide atau kreasi baru tersebut harus
diuji terhadap realitas yang memerlukan pemikiran kritis dan konvergen. Dengan kata lain,
proses divergensi (pemikiran kreatif) harus diikuti oleh proses konvergensi (pemikiran kritis)
(Munandar, 1999).
Pada mata pelajaran matematika terdapat banyak materi yang dalam pelaksanaan
pembelajaran memerlukan adanya kemampuan berpikir kreatif. Salah satu materi pokok
matematika yang dalam pembelajarannya diperlukan adanya kemampuan berpikir kreatif
adalah fungsi komposisi. Pada saat mempelajari materi fungsi komposisi diperlukan
kemampuan berpikir kreatif salah satunya yaitu fleksibilitas untuk memecahkan masalah
matematika. Fleksibilitas yang dimaksud adalah kemampuan seseorang untuk memecahkan
masalah dengan lebih dari satu cara penyelesaian. Menurut Kiesswetter (dalam Mahmudi,
2008: 5) kemampuan berpikir fleksibel merupakan salah satu komponen kreativitas yang
penting, bahkan paling penting, yang harus dimiliki individu dalam memecahkan masalah
matematika. Kemampuan ini sangat berguna bagi peserta didik sebab mereka dapat
memecahkan masalah dengan beragam solusi yang tepat atau sesuai dengan permintaan.
Berdasarkan fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan peserta didik dalam
memecahkan masalah bergantung kepada proses berpikir kreatif masing-masing peserta didik
itu sendiri.

Metode
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian kualitatif. Penelitian ini dilakukan di
SMA N 1 Kedungwuni pada kelas XI IPA 2. Subjek penelitian dipilih berdasarkan pada hasil
Tugas Pengajuan Masalah (TPM). Subyek dipilih pada tiga kelompok kriteria yaitu kreatif,
kurang kreatif, dan tidak kreatif. Pada setiap kelompok diambil (jika ada) siswa dari tingkat
tinggi, sedang, dan rendah. Penentuan berdasarkan pada nilai tes penjajajakan 1 dengan
tingkat rendah adalah nilai 0-71, tingkat sedang adalah 72-84, sedangkan tingkat tinggi
adalah 85-100. Banyak subjek pada masing-masing kelompok minimal sebanyak satu orang.
Prosedur pengumpulan data dalam penelitian adalah sebagai berikut.
a. Validasi, yang dilakukan oleh validator adalah validasi isi. Validasi dinyatakan valid
apabila minimal dua validator menyatakan bahwa tes penjajakan 1 dan 2, tugas
pengajuan masalah 1 dan 2, serta pedoman wawancara valid.
b. Tes penjajakan 1, digunakan untuk menggolongkan peserta didik ke dalam kelompok
tinggi, sedang, dan rendah.
c. Pembelajaran tiga kali, merupakan sarana untuk mengetahui kreativitas peserta didik
dengan tugas pengajuan masalah. Pembelajaran dilaksanakan tiga kali pada materi
pokok relasi, fungsi dan fungsi komposisi.
d. Tugas pengajuan masalah 1, merupakan tugas yang meminta peserta didik untuk
mengajukan soal atau masalah matematika berdasar informasi yang diberikan
sekaligus menyelesaikan soal atau masalah yang dibuat tersebut. Tugas ini diberikan
pada pertemuan ketiga. Kreativitas ditinjau berdasar kefasihan, fleksibilitas dan
kebaruan.
e. Tes penjajakan 2, diajukan untuk memastikan penggolongan tingkat pengelompokan
pada subjek penelitian.
f. Wawancara berbasis tugas, diperlukan untuk mendapatkan informasi yang mendalam
tentang karakteristik proses berpikir kreatif dalam pengajuan masalah berdasar teori
Wallas. Wawancara dilakukan terhadap hasil tugas pengajuan masalah yang
dikerjakan peserta didik.
g. Tugas pengajuan masalah 2, diajukan jika terdapat perubahan dalam pengelompokan
subjek penelitian.

235
h. Catatan lapangan, dimaksudkan untuk melengkapi data yang tidak terekam dalam tes
tertulis dan wawancara yang bersifat penting.

Analisis data dari hasil tes penjajakan 1 dilakukan dengan langkah sebagai berikut.
a. Memeriksa kebenaran yang dihasilkan dengan cara menskor hasil tes tersebut sesuai
dengan pedoman penskoran tes penjajakan 1.
b. Hasil analisis akan menunjukkan sekelompok peserta didik yang dapat digolongkan
pada tingkat rendah, sedang, dan tinggi.
c. Hasil analisis tersebut digunakan sebagai pertimbangan dalam memilih subjek yang
diwawancarai.

Analisis data dari hasil tugas pengajuan masalah 1 dilakukan dengan langkah sebagai berikut.
a. Soal matematika yang dapat diselesaikan oleh peserta didik dianalisis dengan
memperhatikan kebaruan, kefasihan,dan fleksibilitasnya. Analisis dilakukan terhadap
kumpulan soal yang dibuat oleh setiap peserta didik. Kefasihan diartikan sebagai
kemampuan seseorang untuk menghasilkan banyak soal yang berbeda. Fleksibilitas
diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk menghasilkan soal yang dapat
dikerjakan dengan banyak cara. Kebaruan diartikan sebagai kemampuan seseorang
untuk menghasilkan soal yang berbeda antara satu dengan yang lain dalam konsep
ataupun konteksnya.
b. Hasil analisis akan menunjukkan sekelompok peserta didik yang memenuhi semua
kriteria( kreatif), memenuhi 2 kriteria (kurang kreatif), memenuhi 1 kriteria atau tidak
memenuhi semua kriteria (tidak kreatif).
c. Hasil analisis tersebut juga digunakan pertimbangan dalam memilih subjek yang
diwawancarai (Siswono, 2005).

Analisis data dari hasil tes penjajakan 2 dilakukan dengan langkah sebagai berikut.
a. Memeriksa kebenaran yang dihasilkan dengan cara menskor hasil tes tersebut sesuai
dengan pedoman penskoran tes penjajakan 2.
b. Hasil analisis akan menunjukkan sekelompok peserta didik yang dapat digolongkan
pada tingkat rendah, sedang, dan tinggi.
c. Hasil analisis tersebut digunakan sebagai pertimbangan apakah peserta didik tersebut
sesuai dengan tingkat pengelompokkannya atau tidak.

Analisis data hasil wawancara dilakukan dengan langkah sebagai berikut.


a. Reduksi data yaitu kegiatan yang mengacu pada proses pemilihan, pemusatan
perhatian, penyederhanaan, pengabstraksian, dan transformasi data mentah di
lapangan.
b. Pemaparan data yang meliputi pengklasifikasian dan identifikasi data.
c. Menarik kesimpulan (verifikasi) . Verifikasi adalah sebagian dari konfigurasi yang
utuh sehingga mampu menjawab pertanyaan penelitian dan tujuan penelitian
(Siswono, 2005).

Analisis data dari hasil tugas pengajuan masalah 2 dilakukan dengan langkah sebagai berikut.
a. Soal matematika yang dapat diselesaikan oleh peserta didik dianalisis dengan
memperhatikan kebaruan, kefasihan,dan fleksibilitasnya. Analisis dilakukan terhadap
kumpulan soal yang dibuat oleh setiap peserta didik.
b. Hasil analisis akan menunjukkan sekelompok peserta didik yang memenuhi semua
kriteria( kreatif), memenuhi 2 kriteria (kurang kreatif), memenuhi 1 kriteria atau tidak
memenuhi semua kriteria (tidak kreatif).

236
c. Hasil analisis tersebut menunjukkan apakah posisi kekreativitasan peserta didik
tersebut bergeser atau tidak. Sehingga posisi tersebut divalidasi dengan TPM 2.

Hasil
Dari hasil TPM menunjukkan bahwa pada kelompok kreatif terdapat 2 orang dari
tingkat tinggi, 1 orang dari tingkat sedang dan 2 orang dari tingkat rendah. Pada kelompok
kurang kreatif terdapatat 2 orang dari tingkat tinggi, 2 orang dari tingkat sedang dan 3 orang
dari tingkat rendah. Sedangkan dari kelompok tidak kreatif terdapat 1 orang dari tingkat
tinggi dan 1 orang dari tingkat rendah. Banyak hal yang mendasari penggolongan tersebut,
antara lain peserta didik cenderung untuk membuat soal yang sama atau sejenis dengan yang
pernah dipelajari di buku atau yang telah diajarkan gurunya sehingga dari kumpulan soal
yang dibuat oleh peserta didik banyak terdapat soal yang sejenis dengan konsep yang sama.
Selain itu, peserta didik kesulitan dalam membuat soal atau menentukan bilangan yang akan
dibuat untuk soal. Hal ini dikarenakan peserta didik tidak terbiasa membuat soal.
Kriteria produk kreativitas yang jarang ditemui adalah fleksibilitas. Peserta didik pada
umumnya tidak dapat membuat soal yang dapat diselesaikan dengan beragam cara yang
berbeda sebab mereka terbiasa untuk menyelesaikan soal dibanding dengan membuat soal.
Hasil identifikasi identifikasi proses berpikir kreatif dalam pengajuan masalah
matematika dengan penerapan model Wallas peserta didik kelas XI IPA SMA N 1
Kedungwuni materi pokok fungsi komposisi adalah sebagai berikut.

a. Tahap persiapan.
Tahap persiapan pada kelompok kreatif tinggi, kreatif sedang, kreatif rendah dan
tidak kreatif tinggi, peserta didik mampu memahami informasi yang diberikan. Sedangkan
pada kelompok kurang kreatif tinggi, kurang kreatif sedang, kurang kreatif rendah dan tidak
kreatif rendah, tidak semua peserta didik memahami informasi dan petunjuk yang diberikan.
Akan tetapi semua kelompok peserta didik yaitu kelompok kreatif tinggi, kreatif
sedang, kreatif rendah, kurang kreatif tinggi, kurang kreatif sedang, kurang kreatif rendah,
tidak kreatif tinggi dan tidak kreatif rendah dapat menyelesaikan tugas pengajuan masalah
yaitu membuat soal sekaligus penyelesaiannya. Mereka mengaitkan berbagai macam
informasi yang relevan untuk mencari ide dari apa yang pernah mereka ketahui dan pernah
dilakukan sebelumnya untuk menyelesaikan tugas pengajuan masalah.
Pada kelompok kreatif tinggi, kreatif rendah dan kurang kreatif rendah, persiapan
peserta didik juga didukung dengan belajar dari rumah terlebih dahulu atau mengikuti
bimbingan belajar di luar jam sekolah.
b. Tahap Inkubasi.
Tahap Inkubasi pada kelompok kreatif tinggi, kreatif sedang, kreatif rendah, kurang
kreatif tinggi, kurang kreatif sedang, kurang kreatif rendah, tidak kreatif tinggi dan tidak
kreatif rendah yaitu peserta didik cenderung untuk diam dan berhenti sejenak untuk
membayangkan soal yang akan dibuat dengan mengingat materi yang pernah diperoleh untuk
menggali ide baru.
Waktu yang diperlukan peserta didik untuk mendapatkan ide dalam menyelesaikan
TPM berbeda-beda. Pada kelompok kreatif tinggi, kreatif sedang dan kreatif rendah, waktu
yang diperlukan peserta didik untuk mendapatkan ide dalam menyelesaikan TPM tidak lama.
Sedangkan pada kelompok kurang kreatif tinggi dan kurang kreatif sedang, waktu yang
diperlukan peserta didik untuk mendapatkan ide dalam menyelesaikan TPM tidak terlalu
lama. Pada kelompok kurang kreatif rendah, ada peserta didik yang membutuhkan waktu
tidak lama untuk mendapatkan ide atau ada pula peserta didik yang membutuhkan waktu
tidak terlalu lama untuk mendapatkan ide. Sedangkan pada kelompok tidak kreatif tinggi dan
tidak kreatif rendah, waktu yang diperlukan untuk memunculkan ide relatif lama.

237
c. Tahap Iluminasi.
Tahap Iluminasi pada kelompok kreatif tinggi, kreatif sedang, kreatif rendah, kurang
kreatif tinggi, kurang kreatif sedang, kurang kreatif rendah, tidak kreatif tinggi dan tidak
kreatif rendah yaitu peserta didik mendapatkan ide untuk menyelesaikan tugas dan
diterapkan pada soal dan penyelesaian yang akan dibuat. Pada kelompok kreatif tinggi,
kreatif sedang, kurang kreatif rendah, dan tidak kreatif rendah, setelah menemukan ide,
mereka berusaha menerapkannya menjadi soal dan menyelesaikan penyelesaian soal dengan
yakin. Sedangkan pada kelompok kreatif rendah, kurang kreatif tinggi dan kurang kreatif
sedang, tidak semua peserta penyelesaian soal dibuat dengan yakin oleh peserta didik.
Dengan demikian, ada peserta didik yang yakin terhadap penyelesaian soal yang dibuat dan
ada pula peserta didik yang tidak yakin terhadap beberapa penyelesaian yang dibuat. Pada
kelompok tidak kreatif tinggi, peserta didik tidak yakin terhadap penyelesaian soal yang
dibuat.
Pada kelompok kreatif tinggi, semua penyelesaian yang dikerjakan peserta didik
benar. Pada kelompok kreatif sedang, kreatif rendah, kelompok kurang kreatif tinggi, kurang
kreatif sedang, dan kurang kreatif rendah, ada peserta didik yang memiliki penyelesaian
yang benar dan ada peserta didik yang memiliki jawaban yang sebagian besar benar.
Sedangkan pada kelompok tidak kreatif tinggi dan tidak kreatif rendah, penyelesaian yang
dibuat peserta didik sebagian besar benar.
Pada kelompok kreatif tinggi, kreatif rendah, kurang kreatif tinggi, tidak kreatif tinggi
dan tidak kreatif rendah, ketika menerapkan pemikirannya, peserta didik sedikit mengalami
kesulitan pada saat mencari angka yang akan digunakan dalam soalnya. Kemudian, mereka
mengatasi kesulitannya tersebut dengan cara mencoba-coba memasukkan angka-angka
tersebut pada soal yang akan dibuatnya. Atau ketika membentuk pemikirannya (ide), peserta
didik mengalami kesulitan dalam hal menerapkan ide dengan soal dan jawaban yang akan
dibuat. Hal ini disebabkan peserta didik tidak terbiasa untuk membuat soal. Kemudian,
peserta didik mengatasi kesulitannya dengan cara mencoba mengotak-atik angka pada soal
yang akan dibuatnya atau membiarkan soal sekaligus jawaban yang sulit tersebut dan
memutuskan untuk melanjutkan membuat soal sekaligus permasalahan lagi.
Selain itu, ada pula peserta didik yang mengalami kesulitan pada saat membuat soal
yang berasal dari idenya akan tetapi jawabannya tidak ditemukan. Kemudian, mereka
mengatasi kesulitan tersebut dengan merubah soal.
Sedangkan pada kelompok kurang kreatif sedang, tidak semua peserta didik
mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas. Ada peserta didik yang menemui kesulitan
ketika mencari bilangan yang akan digunakan dalam soal yang dibuat dan mengatasi
kesulitannya dengan cara mencoba-coba angka tersebut pada soal yang dibuat atau merubah
soal.Pada kelompok kreatif sedang dan kurang kreatif rendah, peserta didik tidak mengalami
kesulitan pada saat membuat atau mengerjakan soal yang dibuatnya.

d. Tahap Verifikasi.
Tahap verifikasi pada kelompok kreatif tinggi, kreatif sedang dan kreatif rendah yaitu
peserta didik memeriksa ulang soal dan penyelesaiannya setelah selesai mengerjakan TPM.
Pada kelompok kurang kreatif tinggi, kurang kreatif sedang, tidak kreatif tinggi dan tidak
kreatif rendah, peserta didik cenderung tidak memeriksa jawabannya setelah mengerjakan
TPM. Sedangkan pada kelompok kurang kreatif rendah, tidak semua peserta didik
memeriksa jawabannya setelah selesai mengerjakan TPM.
Pada kelompok kreatif tinggi, kreatif rendah kurang kreatif tinggi, kurang kreatif
sedang, kurang kreatif rendah dan tidak kreatif tinggi, ketika menemui kesalahan dalam
mengerjakan soal, peserta didik berusaha untuk memperbaiki soal dengan mengganti angka

238
pada soal tersebut atau merubah soal atau berusaha untuk memperbaiki dengan mengerjakan
kembali soal tersebut sampai benar.

Penutup
Dari penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa peserta didik dalam setiap
kelompok memiliki karakteristik proses berpikir kreatif yang berbeda dalam setiap langkah
Wallas. Pada kelompok tidak kreatif rendah, pada tahap persiapan peserta didik kurang
memahami informasi yang diberikan tetapi mampu menyelesaikan tugas pengajuan masalah.
Selain itu, peserta didik mengaitkan tugas yang dikerjakan pada materi yang pernah diterima
di sekolah. Pada tahap inkubasi, peserta didik cenderung berhenti sejenak dan
membayangkan soal yang akan dibuat. Waktu yang diperlukan untuk memunculkan ide
relatif lama. Pada tahap iluminasi, peserta didik mendapatkan ide yang didapat dan
menerapkannya untuk menyelesaikan soal. Selain itu, peserta didik yakin terhadap
penyelesaian soal yang telah dibuat. Penyelesaian yang dikerjakan sebagian besar benar.
Ketika menerapkan pemikiran yang dibentuknya, peserta didik mengalami kesulitan pada
saat mengerjakan soal yang dibuatnya. Pada tahap verifikasi, peserta didik tidak memeriksa
ulang soal yang dibuat. Hal yang dilakukannya ketika menemui kesalahan dalam
mengerjakan adalah memperbaiki soal jika salah menulis angkanya atau memperbaiki soal
dengan mengganti angka agar soal mudah diselesaikan serta memperbaiki dengan
mengerjakan kembali soal tersebut sampai benar jika salah menghitung
Berdasarkan simpulan di atas dapat diberikan saran-saran sebagai berikut.
a. Pembelajaran matematika pada jenjang pendidikan dasar dan menengah diharapkan
mendorong berpikir kreatif.
b. Perlu dilakukan penelitian lanjutan di SMA N 1 Kedungwuni untuk memantapkan
hasil identifikasi proses berpikir kreatif dengan model Wallas dalam pengajuan
masalah. Penelitian lanjutan ini hendaknya menggunakan alat ukur kemampuan
berpikir kreatif yang beragam dan waktu penelitian yang lebih lama.
c. Perlu menambahkan indikator dalam setiap komponen produk kreativitas pada materi
pokok yang dikaji sehingga diharapkan dapat menggali kreativitas peserta didik
secara detail dan mendalam.

Daftar Pustaka

Lin, Pi Jen. 2004. Supporting Teachers On Designing Problem Posing Tasks Tools of
Assessment to Understand Students Mathematical Learning. Proceedings of 28th
Conference of the International Group for The Psychology of Mathematics Education,
Vol. 3. pp 257-264. Tersedia di http://www.emis.de/proceedings/PME28/
RR/RR117_Lin.pdf (diakses 1 Januari 2012).
Karakas, Scott L,. 2010. Creative and Critical Thinking in the Arts and Sciences: Examples
of Congruence. Tersedia di
http://forumonpublicpolicy.com/spring2010.vol2010/spring2010archive/karakas.pdf
(diakses 13 Januari 2012).
Munandar, S. C. Utami. 1999. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: PT Rineka
Cipta.
Munandar, S. C. Utami. 2009. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: PT Rineka
Cipta.
Sriraman, Bharath. 2004. The Characteristics of Mathematical Creativity. The Mathematics
Educator, Vol. 14. No. 1, 19-34. Tersedia di

239
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=the%20characteristic%20of%20mathemati
cal%20creativity&source=web&cd=1&ved=0CB4QFjAA&url=http%3A%2F%2Fcites
eerx.ist.psu.edu%2Fviewdoc%2Fdownload%3Fdoi%3D10.1.1.161.8861%26rep%3Dr
ep1%26type%3Dpdf&ei=8lcJT-
jvPIPMrQeP29nzDw&usg=AFQjCNGQOniG0DhF317pG3G5IhFi6dqPVg&cad=rja
(diakses 1 Januari 2012).
Siswono, Tatag Y. E. 2004. Identifikasi Proses Berpikir Kreatif Peserta didik dalam
Pengajuan Masalah (Problem Posing) Matematika Berpandu dengan Model Wallas
dan Creative Problem Solving (CPS). Tersedia di
http://tatatgyes.wordpress.com/karya-tulis/ (diakses 19 Desember 2011).
Siswono, Tatag Y. E. 2004. Mendorong Berpikir Kreatif Peserta didik Melalui Pengajuan
Masalah (Problem Posing). Tersedia di http://tatatgyes.wordpress.com/karya-tulis/
(diakses 19 Desember 2011).
Siswono, Tatag Y. E. 2005. Penerapan Model Wallas untuk Mengidentifikasi Proses Berpikir
Kreatif Peserta didik dalam Pengajuan Masalah Matematika dengan Informasi
Berupa Gambar. Tersedia di http://tatatgyes.wordpress.com/karya-tulis/ (diakses 19
Desember 2011).
Siswono, Tatag Y. E. 2005. Upaya Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Peserta didik
Melalui Pengajuan Masalah. Tersedia di http://tatatgyes.wordpress.com/karya-tulis/
(diakses 19 Desember 2011).
----------. Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi dan Kompetensi
Dasar untuk Pelajaran Matematika SMA.

240
Pentingnya Penggunaan Software Matrix Laboratory (Matlab) dalam
Pembelajaran Matematika

Karman Lanani
Dosen Pendidikan Matematika, FKIP, Universitas Khairun Ternate
karmanlanani@gmail.com

Abstrak
Matematika hendaknya dipelajari sebagai disiplin ilmu yang berkaitan (connected), dalam
konteks bermakna yang dikaitkan dengan software MATLAB sebagai solusi menumbuhkan
minat, keaktifan, pengalaman dan kreativitas siswa. Obyek matematika yang meliputi, fakta,
konsep, definisi, operasi dan prinsip skill, dalam pengajarannya dapat memanfaatkan
software MATLAB. MATLAB dikembangkan sebagai bahasa pemrogrman sekaligus alat
visualisasi memiliki banyak kemampuan untuk menyelesaikan berbagai kasus yang
berhubungan langsung dengan matematika. Dalam pembelajaran matematika, Matlab dapat
membantu guru dan siswa untuk mengkomunikasikan konsep matematika seperti matriks,
vector, aljabar linier, statistic, polynomial, analisis fungsi, pencocokan kurva, interpolasi,
limit, differensial, integral, transformasi Laplace, transformasi Fourier, Persamaan
differensial biasa, serta, persamaan differensial parsial. Oleh karena itu penggunaan aplikasi
Matlab dipandang penting untuk dikembangkan guru dlam pembelajaran matematika dalam
rangka membantu peningkatan kemampuan matematika siswa.

Kata kunci: Matrix Laboratory (Matlab)

Pendahuluan
Disadari atau tidak, matematika telah memegang peranan yang sangat penting dalam
kehidupan. Matematika telah memberikan kontribusi mulai persoalan yang sederhana seperti
perhitungan dasar (basic calculation) dalam kehidupan sehari-hari sampai hal yang kompleks
dan abstrak seperti penerapan analisis numerik dalam bidang teknik dan sebagainya. Para
pembaharu pendidikan matematika sepakat bahwa matematika harus dibuat accessible bagi
seluruh siswa (House, 1995). Artinya, matematika hendaknya ditampilkan sebagai disiplin
ilmu yang berkaitan (connected), dan bukan sebagai sekumpulan topik yang terpisah-pisah.
Matematika harus dipelajari dalam konteks yang bermakna yang mengaitkannya dengan
subyek lain dan dengan minat dan pengalaman siswa.
Pembelajaran matematika memilik permasalahn yang cukup serius, salah satu yang
menjadi kendala dalam pembelajaran matematika jika dilihat dari segi materi adalah dimensi
tiga, merupakan salah satu materi yang abstrak dan di luar pengalaman siswa sehari-hari,
sehingga materi ini menjadi sulit diajarkan guru dan sulit dipahami siswa. Visualisasi adalah
salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengkonkritkan sesuatu yang abstrak. Gambar
dua dimensi atau model tiga dimensi adalah visualisasi yang sering dilakukan dalam proses
belajar mengajar. Pada era informatika visualisasi berkembang dalam bentuk gambar
bergerak (animasi) yang dapat ditambahkan suara (audio). Sajian audio visual atau lebih
dikenal dengan sebutan multimedia menjadikan visualisasi lebih menarik (Soekisno,
2008:25).
Masalah lain yang menjadi kendala yang sering dihadapi guru dalam kegiatan
pembelajaran adalah memilih atau menentukan materi pembelajaran atau bahan ajar yang
tepat dalam rangka membantu siswa mencapai kompetensi. Hal ini disebabkan oleh
kenyataan bahwa dalam kurikulum atau silabus, materi bahan ajar hanya dituliskan secara
garis besar dalam bentuk materi pokok. Menjadi tugas guru untuk menjabarkan materi

241
pokok tersebut sehingga menjadi bahan ajar yang lengkap. Selain itu, bagaimana cara
memanfaatkan bahan ajar juga merupakan masalah. Pemanfaatan dimaksud adalah
bagaimana cara mengajarkannya ditinjau dari pihak guru, dan cara mempelajarinya ditinjau
dari pihak siswa.
Saat ini bahan ajar tertulis dalam bentuk buku seperti modul sudah banyak disusun,
namun bahan ajar yang ditampilkan dalam media audio visual yang interaktif dengan
menawarkan banyak kemudahan masih belum banyak yang mencoba mengembangkannya.
Banyak permasalahan yang timbul saat penyusunan bahan ajar berbasis komputer. Tulisan ini
mengharapkan beberapa solusi pemecahan dari permasalahan tersebut, diantara bagaimana
cara menganalisi kebutuhan bahar ajar apa saja yang dibutuhkan dan harus menjadi perhatian
sebelum penyusunan bahan ajar, dan contoh penggunaan beberapa software yang bisa
digunakan dalam penyusunan bahan ajar berbasis komputer.
Di negara-negara maju, komputer telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam proses
pembelajaran di kelas. Namun tidak demikian halnya di Indonesia. Meskipun semakin
banyak sekolah yang dilengkapi laboratorium komputer, pemanfaatan komputer untuk
pembelajaran masih jarang atau bahkan tidak pernah dilakukan. Oleh karena itu, penelitian
terhadap efektivitas penggunaan komputer dalam pembelajaran perlu dilakukan agar
pemanfaatan komputer untuk kepentingan pendidikan, khususnya pendidikan matematika
dapat lebih ditingkatkan. Sesuai dengan pendapat Balacheff dan Kaput (2001: 467) yang
mengingatkan bahwa penelitian terhadap berbagai aspek pembelajaran yang menggunakan
teknologi harus dilakukan, karena transformasi teknologi berkembang sangat pesat.
Aplikasi teknologi adalah salah satu solusi untuk meningkatkan keaktifan dan
kreativitas siswa. Setiap lembaga pendidikan seharusnya menerapkan teknologi dalam setiap
kegiatan pembelajaran, tidak hanya sebagai alat perhitungan matematik saja, tetapi juga
sebagai media pembelajaran yang membantu pengajar dalam menjelaskan suatu konsep
matematika. Meskipun tidak dimaksudkan untuk menggantikan peran dan posisi guru,
aplikasi teknologi dapat membimbing siswa melalui pengembangan topik-topik matematika
melalui software komputer yang semakin beragam, dan bersifat sebagai suplemen atau
pelengkap, sehingga dapat difungsikan sebagai suatu strategi atau pendekatan pembelajaran
alternatif.
Banyak pendidik matematika yang belum mengembangkan media pembelajaran
dengan memanfaatkan software yang ada pada komputer seperti software Matlab,
Mathematica, dan yang lainnya. Padahal dalam menghadapi era globalisasi dan
menyongsong era pasar bebas, diperlukan kemampuan dalam menguasai perkembangan
teknologi pembelajarn, antara lain pemanfaatan software-software komputer sebagai media
pembelajaran matematika. Belum maksimalnya pembelajaran matematika yang
memanfaatkan komputer sebagai media pembelajaran, mendorong penulis sebagai praktisi
pendidikan untuk menganalisis penggunaan software MATLAB sebagai media dalam
pembelajaran berbantuan komputer guna mengembangkan kemampuan matematik peserta
didik, termasuk mahasiswa calon guru matematika.

Metode
Matematika memiliki karekteristik yang unik dengan berbeda dengan mata pelajaran
lain. Karakteristik inilah maka penyusunan bahan ajar matematikapun memiliki pola
tersendiri. Obyek dasar mata pelajaran matematika adalah obyek abstrak, karenanya bahan
ajarnya dituntut sebisa mungkin untuk menvisualisasikan obyek yang abstrak tersebut,
dengan visualisasi ini obyek yang abstrak akan mendapat memperoleh perwakilannya.
Menurut Thohari, bahwa Obyek matematika tersebut meliputi ; fakta, konsep, definisi,
operasi, prinsip dan skill yang diuraiakn sebagai berikut.

242
1. Fakta: berupa konvensi-konvensi atau kesepakatan yang disetujui bersama sebagai
kebenaran, yang diungkap dengan simbol tertentu. Misalnya simbol 3 dipahami sebagai
bilangan tiga, simbol 2+4= dipahami sebagai dua tambah empat dan bisa dinyatakan
dalam hasil tunggal sebuah operasi penjumlahan yaitu bilangan 5. Simbol // bermakna
sejajar, simbol (a,b) sebagai pasangan berurutan atau dalam kalkulus sebagai interval
terbuka. Jika materi Fakta maka sajikan bahan ajar presentasi atau referensi yang
menampilkan konsep yang dimaksud seperti: macam macam bilangan, jenis segitiga, Janis-
jenis binatang memamah biak, tanaman berbiji tunggal.
2. Konsep ; adalah ide abstrak yang dapat digunakan untuk mengolongkan sejumlah obyek.
Apakah obyek tertentu merupakan contoh konsep ataukah bukan konsep.Jenis bahan ajarnya
bisa presentasi atau interaktif belajar mandir dengan menampilkan materi yang dimaksud
dengan memberikan contoh dan bukan contoh secara interaktif untuyk menguji pemahaman
konsep siswa. Seperti konsep Segitiga macam macam segitiga, fungsi dan berbagai jenis
fungsi,variabel, konstanta, matriks, vektor, group, dan ruang metrik
3. Definisi ; adalah ungkapan yang membatasi suatu konsep Trapesium adalah segiempat
yang sepasang sisinya sejajar (definisi analitik). Segiempat yang terjadi jika sebuah segitiga
dipotong oleh sebuah garis yg sejajar salah satu sisinya adl trapesium (definisi generik).
Apakah kompetensi dasar berupa mengemukakan suatu definisi, menjelaskan,
mengklarifikasikan beberapa contoh sesuai dengan definisi? Bujur sangkar ialah empat
persegi panjang yang ke empat sisinya sama panjang. Usahakan sebelum definisi itu ungkap
dahului dengan kegiatamn-kegiatan yang nantinya siswa mempu membuat generalisi dan
definisi itu dengan metode penemuan terbimbing. Bahan Ajar yang harus dipersiapkan jelas
adalah tipe interaktif belajar mandiri atau presentasi yang mengedepankan contoh-contoh
intyeraktif untuk menguji definisi, atau juga aktifitas-aktifitas yang membawa siwa pada
pross pendifinisian konsep.
4. Operasi ; adalah suatu relasi khusus, yang menghubungkan dua anggota himpunan atau
lebih dengan aturan tertentu untuk memperoleh elemen tunggal dari satu atau lebih elemen
yang diketahui Operasi unair, operasi biner pengerjaan hitung, pengerjaan aljabar, dan
pengerjaan matematika seperti penjumlahan, perkalian, gabungan, irisan
komplemen dst. Bahan ajar yang tepat adalah presentasi dan Interaktif, Dimana pola
penekanan adalah pada aktifitas siswa dalam penerapan prinsip prinsip oprasi agar lebih
berkembang, dan menemukan sifat-sifat oprasi misalkan tertutup atau terbuka, dimana
kegiatan dibuat sedemikian hingga menggiring siswa menemukan hal-halbaru dalam konsep
oprasi. Disamping itu latihan interaktif itu juga diharapkan mampu melatih kecepatan dalam
menyelesaiakn suatu oprasi.
5. Prinsip dan skill ; obyek matematika yang kompleks. Prinsip dapat terdiri dari beberapa
fakta, beberapa konsep yang dikaitkan oleh suatu relasi/operasi. Prinsip adalah hub antara
berbagai obyek dasar matematika. Prinsip dapat berupa aksioma, teorema, sifat. Skill adalah
prosedur atau kumpulan aturan-aturan yang digunakan untuk menyelesaikan soal matematika
Contoh penyelesaian persamaan dengan melengkapkan kuadrat sempurna. Penyelesaian
system persamaan denga prinsip Eliminasi. Ini berarti kompetensi dasar yang berupa
menjelasakan langkah-langkah mengerjakan sesuatu sesuai dengan produser tertentu, maka
bahan ajar yang paling tepat adalah presentasi dan media interaktif, dimana penekanan bahan
ajar pada penguasaan skill pengerjaan, pendalam dan pemahaman akan konsep perlu
penekanan, maka bahan ajar yang disusun haruslah berfokus pada latihan dan kegiatan untuk
melakukan aktifitas.Seperti ketrampilan melukis macam-macam segitiga, kemamapuan
menyelesaikan model matematika dengan berbagai skill pendekatan penyelesain.
Karena kegiatan memilih pada dasarnya merupakan proses membandingkan satu
sama lain, mana yang lebih baik dan lebih sesuai dibanding yang lain. Oleh karena itu,
sebelum mengembangkan bahan ajar berbantuan computer tertentu, perlu memahami dengan

243
baik bagaimana karaktristik setiap software yang akan digunakan, termasuk MATLAB ini.
Dengan melihat fakta diatas jelas pembelajaran matematika kedepan harus lebih interaktif
dan banyak menggunakan alat peraga untuk memvisualisasikan ide matematika yang abstrak.
Dalam tulisan ini disajikan penggunaan software MATLAB dalam pembelajaran matematika.

Hasil
Pengantar tentang MATLAB
MATLAB (Matrix Laboratory) adalah suatu program untuk analisis dan komputasi
numerik dan merupakan suatu bahasa pemrograman matematika lanjutan yang dibentuk
dengan dasar pemikiran menggunakan sifat dan bentuk matriks. Pada awalnya, program ini
merupakan interface untuk koleksi rutin-rutin numeric dari proyek LINPACK dan EISPACK,
dan dikembangkan menggunkan bahasa FORTRAN namun sekarang merupakan produk
komersial dari perusahaan Mathworks, Inc.yang dalam perkembangan selanjutnya
dikembangkan menggunakan bahasa C++ dan assembler (utamanya untuk fungsi-fungsi
dasar MATLAB).
MATLAB telah berkembang menjadi sebuah environment pemrograman yang
canggih yang berisi fungsi-fungsi built-in untuk melakukan tugas pengolahan sinyal, aljabar
linier, dan kalkulasi matematis lainnya. MATLAB juga berisi toolbox yang berisi fungsi-
fungsi tambahan untuk aplikasi khusus . MATLAB bersifat extensible, dalam arti bahwa
seorang pengguna dapat menulis fungsi baru untuk ditambahkan pada library ketika fungsi-
fungsi built-in yang tersedia tidak dapat melakukan tugas tertentu. Kemampuan
pemrograman yang dibutuhkan tidak terlalu sulit bila Anda telah memiliki pengalaman dalam
pemrograman bahasa lain seperti C++, PASCAL, atau FORTRAN.
MATLAB merupakan merk software yang dikembangkan oleh Mathworks.Inc.(lihat
http://www.mathworks.com) merupakan software yang paling efisien untuk perhitungan
numeric berbasis matriks. Dengan demikian jika di dalam perhitungan kita dapat
menformulasikan masalah ke dalam format matriks maka MATLAB merupakan software
terbaik untuk penyelesaian numericnya. MATLAB yang merupakan bahasa pemrograman
tingkat tinggi berbasis pada matriks sering digunakan untuk teknik komputasi numerik, untuk
menyelesaikan masalah-masalah yang melibatkan operasi matematika elemen, matrik,
optimasi, aproksimasi dan lain-lain. Sehingga Matlab banyak digunakan pada : (1)
Matematika dan Komputansi, (2) Pengembangan dan Algoritma, (3) Pemrograman modeling,
simulasi, dan pembuatan prototype, (4) Analisa Data , eksplorasi dan visualisasi, (5) Analisis
numerik dan statistic, dan (6) Pengembangan aplikasi teknik.
Lingkungan Kerja Matlab
Window-window pada MATLAB
Ada beberapa macam window yang tersedia dalam MATLAB, yang dapat dijelaskan sebagai
berikut:
a. Command window/editor
MATLAB Command window/editor merupakan window yang dibuka pertama kali setiap kali
MATLAB dijalankan pada window di atas dapat dilakukan akses-akses ke command
MATLAB dengan cara mengetikkan barisan-barisan ekpresi MATLAB, seperti mengakses
help window dan lain-lainnya. Jika perintah-perintah yang sudah diketikkan dan hasil yang
ditampilkan pada layar command window akan disimpan maka dapat dilakukan dengan
menggunkan command diary. Command windows juga digunakan untuk memanggil tool
Matlab seperti editor, debugger atau fungsi. Command Window adalah tempat untuk
menjalankan fungsi, mendeklarasikan variable, menjalankan proses-proses , serta melihat isi
variable.
b. Current Directory ; Window ini menampilkan isi dari direktori kerja saat menggunakan
matlab. Kita dapat mengganti direktori ini sesuai dengan tempat direktori kerja yang

244
diinginkan. Default dari alamat direktori berada dalam folder works tempat program files
Matlab berada.
c. Command History ; Window ini berfungsi untuk menyimpan perintah-perintah apa saja
yang sebelumnya dilakukan oleh pengguna terhadap matlab.
d. Workspace ; Workspace berfungsi untuk menampilkan seluruh variabel-variabel yang
sedang aktif pada saat pemakaian matlab. Apabila variabel berupa data matriks berukuran
besar maka user dapat melihat isi dari seluruh data dengan melakukan double klik pada
variabel tersebut. Matlab secara otomatis akan menampilkan window array editor yang
berisikan data pada setiap variabel yang dipilih user.

Getting Help
Matlab menyediakan fungsi help yang tidak berisikan tutorial lengkap mengenai Matlab dan
segala keunggulannya. User dapat menjalankan fungsi ini dengan menekan tombol pada
toolbar atau menulis perintah helpwin pada command window. Matlab juga menyediakan
fungsi demos yang berisikan video tutorial matlab serta contoh-contoh program yang bias
dibuat dengan MATLAB.

Interupting dan Terminating dalam Matlab


Untuk menghentikan proses yang sedang berjalan pada matlab dapat dilakukan dengan
menekan tombol Ctrl-C. Sedangkan untuk keluar dari matlab dapat dilakukan dengan
menuliskan perintah exit atau quit pada comamnd window atau dengan menekan menu exit
pada bagian menu file dari menu bar.

Variabel Pada Matlab


Matlab hanya memiliki dua jenis tipe data yaitu Numeric dan String. Dalam matlab setiap
variabel akan disimpan dalam bentuk matrik. User dapat langsung menuliskan variabel baru
tanpa harus mendeklarasikannya terlebih dahulu pada command window. Contoh pembuatan
variabel pada matlab:
>> varA = 1000 ; ans var A =1000
>> varB = [45 2 35 45] ; ans var B = 45 2 35 45
>> varC = 'test variabel' ; varC = test variabel
Penamaan variabel pada matlab bersifat caseSensitif karena itu perlu diperhatikan
penggunaan huruf besar dan kecil pada penamaan variabel. Apabila terdapat variabel
lama dengan nama yang sama maka matlab secara otomatis akan me-replace variabel
lama tersebut dengan variabel baru yang dibuat user.
Operator
Beberapa penggunaan operator aritmatika antara dua operand (A dan B) ditunjukkan
pada table berikut ini
Tabel 1 : Penggunaan Operator Aritmatika antara dua Operand (A dan B).
Operasi Bentuk Aljabar Bentuk Matlab Contoh
Perkalian AxB A*B 5*3
Pembagian A:B A /B 8/2
Penambahan A+B A+B 6+7
Pengurangan AB A-B 94
B
Eksponensial A A^B 2^3

Fungsi Matematika lainnya


Beberapa fungsi matematika lainnya yang dapat kita gunakan untuk operasi matematika
antara lain sebagai berikut:
abs(x) : fungsi untuk menghasilkan nilai absolut dari x

245
sign(x) : fungsi untuk menghasilkan nilai -1 jika x<0, 0 jika x=0 dan 1 jika x>1
exp(x) : untuk menghasilkan nilai eksponensian natural, e x
log(x) : untuk menghasilkan nilai logaritma natural x, ln x
log10(x) : untuk menghasilkan nilai logaritma dengan basis 10, x 10 log
sqrt(x) : untuk menghasilkan akar dari nilai x, x
rem(x,y) : untuk menghasilkan nilai modulus (sisa pembagian) x terhadap y

Aplikasi Matlab Dalam Matematika


Dewasa ini proses pembelajaran matematika sudah lebih maju, yakni dengan
menggunakan Matlab sebagai alat komunikasi yang dapat membantu guru dalam
pembelajaran matematika. Matlab dikembangkan sebagai bahasa pemrogrman sekaligus alat
visualisasi yang menawarkan banyak kemampuan untuk menyelesaikan berbagai kasus yang
berhubungan langsung dengan matematika. Dalam pembelajaran matematika, Matlab dapat
membantu guru dan peserta didik untuk mengkomunikasikan konsep matematika. Manurut
Caesarendra, W dan Ariyanto,M (2011 : 121) bahwa beberapa konsep matematika yang dapat
diuraikan dengan menggunakan Matlab diantaranya meliputi ; matriks, vector, aljabar linier,
statistic, polynomial, analisis fungsi, pencocokan kurva, interpolasi, limit, differensial,
integral, transformasi Laplace, transformasi Fourier, Persamaan differensial biasa, (Ordinary
Differential Equation, ODE) serta, persamaan differensial parsial (Partial Differential
Equation (PDE).
Selanjutnya, akan ditunjukkan konsep matematika untuk plot tiga dimensi
(3-D) yang dapat dikomunikasi dengan menggunakan Matlab. Uraian ini bersifat sebagai
contoh penggunaan Matlab dan berupaya memberikan motivasi kepada guru dan peserta
didik untuk dapat mengembangkan kemampuannya terhadap penggunaan software Matlab.

Penggunaan Mesh, Meshc, surf, dan Cylinder


Contoh plot menggunakan Mesh : Ketik perintah dibawah ini dalam M-File
x=-2*pi:0.1:2*pi;% mendefinisikan batas nilai x
y=x;% mendefinisikan batas-batas nilai y
[x,y]=meshgrid(-2*pi:0.1:2*pi);
z=sin(x).*cos(y);% mendefinisikan fungsi 3-D
mesh(x,y,z)
xlabel('x')
ylabel('y')
zlabel('z')
colormap(jet) % memberikan pola warna

0.5

0
z

-0.5

-1
10
5 10
0 5
0
-5 -5
y -10 -10
x

Contoh menggunakan Meshc : Ketik perintah dibawah ini dalam M-File


x=-2*pi:0.1:2*pi;% mendefinisikan batas nilai x
y=x;% mendefinisikan batas-batas nilai y

246
[x,y]=meshgrid(-2*pi:0.1:2*pi);
z=sin(x).*cos(y);% mendefinisikan fungsi 3-D
meshc(x,y,z); xlabel('x'); ylabel('y');zlabel('z')
colormap(cool) % memberikan pola warna

0.5

0
z

-0.5

-1
10
5 10
0 5
0
-5 -5
y -10 -10
x

Contoh Menggunakan Perintah Cylinder


cylinder([1 0])
h = findobj('Type','surface');
set(h,'CData',rand(size(get(h,'CData'))))
title('kerucut')
kerucut

0.8

0.6

0.4

0.2

0
1
0.5 1
0 0.5
0
-0.5 -0.5
-1 -1

Contoh Menggunakan Perintah Cylinder dengan profil kurva r=3sin(t)


t=0:pi/10:2*pi;
[x,y,z]= cylinder(3 + sin(t));
surf(x,y,z)
axis square

247
1

0.8

0.6

0.4

0.2

0
4
2 4
0 2
0
-2
-2
-4 -4

Beberapa contoh diatas jika digambar secara manual membutuhkan keterampilan


tertentu, maka penggunaan MATLAB merupakan solusi pemecahannya.

Penutup
MATLAB adalah suatu paket komputasi numerik sangat kuat dan memungkinkan
untuk digunakan sebagai software alternative dalam pembelajaran matematika. Diharapkan,
bahwa dengan penggunaan Matlab sebagai media pembelajaran matematika mengantarkan
siswa dapat belajar matematika yang lebih cepat, lebih baik dan lebih mudah, serta lebih
berkualitas.
Pembelajaran matematika menggunakan MATLAB sebagai alat bantu komputasi
tentunya tidak menjadi masalah dan akan efektif apabila dilaksanakan dalam ruang
laboratorium komputer yang setiap komputernya sudah terinstal MATLAB. Selain itu waktu,
ruang, dan jumlah komputer yang disediakan juga cukup memadai. Namun dalam
kenyataannya tentu saja waktu, ruang, sarana dan prasarana dalam kelas atau laboratorium
komputer adalah terbatas. Hal ini dapat menjadikan ketidakefektifan proses pembelajaran.
Dengan adanya aplikasi ini, akan dapat mengefisiensikan biaya dan juga waktu dalam
operasional pembelajaran. Selain itu, manfaat dari aplikasi ini adalah memungkinkan siswa
mampu menggali lebih banyak tentang konsep numerik karena eksperimen numerik dapat
dengan mudah dilakukan serta didukung dengan representasi grafik.

Daftar Pustaka

Caesarendra,W.,dan Ariyanto M.,(2011) Panduan Belajar Mandiri MATLAB. Media


Komputindo, Jakarta.
Firmansyah, A. (2007). Dasar-Dasar Pemrograman MATLAB. http:// ilmukomputer.
org/2006/08/25/pengantar-pemrograman-berbasis-aspek/, diakses tanggal, 2 Juni
2012.
Sahid. (2004). Aplikasi Komputer dengan MATLAB. Petunjuk Praktekum MATLAB, Edisi
Revisi, Laboratorium Komputer Jurusan Pendidikan Matematika, UNY.
http://www.limitedbookstore.com/buku/pengantar-komputasi-numerik-dengan-matlab-
drs-sahid-msc.htm, diakses tanggal, 3 Juni 2012.
Sahid, (2007). Pengantar Komputasi Numerik Dengan Matlab.
http://www.belbuk.com/pengantar-komputasi-numerik-dengan-matlab-p-3486.html
Hohari, K. (2010). Mengajar Matematika Secara Interaktif dengan Winplot dan Wingeom.
http://bdksurabaya.kemenag.go.id/file/dokumen/wingeom.pdf, Diakses pada tanggal3
Juni 2012.

248
Penguatan Organisasi Konsep untuk Meningkatkan Hasil Belajar
Mahasiswa pada Mata Kuliah Pengantar Struktur Aljabar 1

Kristina Wijayanti
Jurusan Matematika FMIPA UNNES

Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui apakah hasil belajar mahasiswa pada matakuliah Pengantar Struktur Aljabar 1
dapat ditingkatkan melalui penguatan organisasi konsep. Penelitian ini dikatakan berhasil
jika minimal 15% mahasiswa memperoleh skor lebih dari 80 dan maksimum 35% mahasiswa
memperoleh skor kurang dari 61. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa 5 %
mahasiswa memperoleh skor lebih dari 80 dan 35 % mahasiswa memperoleh skor kurang
dari 61.

Keywords : pemantapan konsep himpunan, bedah teorema, hasil belajar.

Pendahuluan
Robert M. Gagne mengemukakan bahwa ada dua obyek dalam belajar matematika
yaitu obyek langsung dan obyek tak-langsung. Obyek langsung meliputi fakta, konsep,
prinsip, dan skill. Sedangkan obyek tak-langsung antara lain kemampuan memecahkan
masalah sendiri. Matematika yang bersifat deduktif aksiomatik dan berangkat dari hal-hal
yang abstrak cenderung sulit diterima dan dipahami oleh siswa. Konsep-konsep matematika
tersusun secara hirarkis, yang berarti bahwa dalam mempelajari matematika, konsep
sebelumnya yang menjadi prasyarat harus benar-benar dikuasai agar dapat memahami konsep
selanjutnya. Oleh karena itu, penyajian materi perlu mendapat perhatian dari guru.
Salah satu mata kuliah wajib yang diberikan pada program S1 Matematika di
Universitas Negeri Semarang semester 3 adalah Pengantar Struktur Aljabar 1.. Tujuan mata
kuliah tersebut adalah agar mahasiswa memahami beberapa struktur dalam aljabar dan dapat
memanfaatkannya untuk menyelesaikan masalah sederhana dalam aljabar serta mampu
berpikir logis dan bernalar secara matematis dalam menyelesaikan masalah.
Kusno(1990:11.1) menyatakan bahwa mata kuliah Struktur Aljabar yang tergolong
salah satu cabang Matematika Abstrak, pada umumnya lebih sukar dibandingkan dengan
cabang lain yang lebih konkrit. Cabang matematika seperti ini merupakan sarana untuk
melatih diri dalam hal berpikir logis, cermat, dan konsepsional.
Mata kuliah Pengantar Struktur Aljabar 1 sebagai bagian dari Aljabar Modern
merupakan salah satu mata kuliah dengan struktur deduktif aksiomatik yang ketat. Menurut
Birkhoff Mc. Lane(1953:v) the most striking characteristic of modern algebra is the
deduction of theoritical properties of such formal systems as groups, rings, fields, and vector
spaces. Berdasarkan hal ini, topik-topik dalam struktur aljabar sarat dengan definisi dan
teorema. Disini mahasiswa dituntut untuk memahami setiap definisi dan teorema yang
dipelajari juga mampu mengorganisasi konsep-konsep dalam pembuktian teorema.
Untuk mencapai hal tersebut, salah satu syaratnya adalah mahasiswa harus mampu
membuktikan beberapa permasalahan yang diberikan dalam latihan soal.
Pemahaman terhadap definisi serta kemampuan menerapkan definisi tersebut, sangat
erat kaitannya dengan kemampuan dalam membuktikan.

249
Berdasarkan pengalaman mengajar mata kuliah Pengantar Struktur Aljabar 1,
kemampuan mahasiswa dalam membuktikan masih rendah meskipun latihan soal tentang
pembuktian selalu dimunculkan. Kenyataan ini didukung oleh pendapat Fraleigh(1989:iii)
yang menyatakan bahwa Average students are completely lost when found with a set of
excercises all starting with the words prove or show, of course training in proofs is
important.
Pentingnya belajar pembuktian matematika dapat meningkatkan daya kritis dan
reflektif, melalui kegiatan pemecahan masalah diharapkan pemahaman materi matematika
dapat mantap dan kreativitas dapat ditumbuhkan.
Menurut Teori Perkembangan Kognitif dari Piaget(Nur, 1991:3) mahasiswa sudah
berada dalam tahap operasional formal yang ditandai dengan kemampuan berpikir tentang
ide-ide abstrak, menyusun ide-ide, menalar tentang apa yang akan terjadi kemudian. Anak
pada tahap ini jika dihadapkan pada suatu permasalahan dapat merumuskan dugaan-dugaan
atau hipotesis dan kemudian mendeduksikan konsekuensi-konsekuensi berdasarkan dugaan-
dugaan atau hipotesis-hipotesis tersebut. Berdasarkan hal ini, secara teoritis mahasiswa tidak
akan banyak mengalami kesulitan dalam mempelajari Pengantar Struktur Aljabar 1 yang
sarat dengan definisi dan teorema.
Masalah pembuktian merupakan masalah yang pelik dalam matematika. Oleh karena
itu perlu dicari upaya agar kemampuan mahasiswa dalam membuktikan dapat meningkat.
Menurut Soedjadi (1985:45) melalui kegiatan pemecahan masalah diharapkan pemahaman
materi matematika dapat mantap dan kreativitas dapat ditumbuhkan. Oleh karena itu,
kemampuan pemecahan masalah perlu mendapat perhatian utama dalam pendidikan
matematika.
Menurut Kusno(1990:11), Struktur Aljabar termasuk salah satu cabang Matematika
abstrak yang merupakan sarana untuk melatih diri dalam hal berpikir logis, cermat dan
konsepsional. Birkhoff(1953:v) menyatakan bahwa Struktur Aljabar merupakan salah satu
mata kuliah dengan struktur deduktif aksiomatik yang ketat. Beberapa ciri Struktur Aljabar
sebagai bagian dari matematika dikemukakan oleh Soedjadi dan Masriyah(1994:1) adalah
sebagai berikut :
a. matematika memiliki obyek kajian yang abstrak,
b. matematika mendasarkan diri pada kesepakatan-kesepakatan,
c. matematika sepenuhnya menggunakan pola pikir deduktif,
d. matematika dijiwai dengan kebenaran konsistensi.
Sebagai mata kuliah yang mempunyai struktur deduktif aksiomatik yang ketat,
penguasaan terhadap setiap definisi dan teorema yang diberikan sangatlah menentukan. Agar
setiap definisi dan teorema yang dipelajari dapat dipahami dengan benar, diperlukan
kemampuan untuk membuktikan beberapa permasalahan yang terkait dengan definisi
maupun teorema tersebut.
Penguatan organisasi konsep adalah peningkatan kemampuan untuk melakukan
hubungan antar konsep yang merupakan argumen yang logis dalam pembuktian teorema.
Dalam praktiknya, dalam pembuktian teorema diperlukan kemampuan untuk menguraikan
premis dan kesimpulan sehingga diperoleh sejumlah fakta, konsep, prinsip, atau skill yang
merupakan dasar untuk mengorganisasi argumen yang logis dalam pembuktian. Sebagai
contoh adalah teorema berikut.
Setiap grup <G,*> dengan elemen identitas e sehingga x*x = e untuk setiap x di G
adalah abelian.
Uraian premis dan kesimpulan teorema di atas adalah sebagai berikut.
1. <G,*> grup berarti operasi biner * bersifat asosiatif, G mempunyai elemen identitas
untuk *, dan setiap elemen di G mempunyai invers.
2. Untuk setiap elemen x di G berlaku x*x = e.

250
3. Pada G berlaku hukum kanselasi.
4. Elemen identitas di G adalah tunggal.
5. Invers elemen di G adalah tunggal.
6. Jika a, b di G maka persamaan a*x = b dan y*a = b mempunyai penyelesaian tunggal
di G.
7. <G,*> grup abelian berarti operasi biner * bersifat komutatif.

Selain kemampuan di atas, diperlukan juga kemampuan untuk mengidentifikasi


elemen-elemen dalam himpunan yang sangat menentukan dalam langkah pembuktian bahwa
suatu himpunan memenuhi syarat suatu struktur tertentu.
Contoh.
1. Jika G grup abelian, H dan K subgrup G maka HK ={hkh H, k K} subgrup G.
2. Jika G grup abelian dan n bilangan bulat positif maka S = {x Gxn = e} subgrup G.
Cara mengidentifikasi elemen-elemen di HK dan S pada contoh diatas tidaklah sama.
Pada contoh 1, setiap elemen di HK dapat diidentifikasi melalui bentuknya misalnya x
HK berarti x = h1k1 untuk suatu h1 H dan k1 K,
y-1 HK berarti y-1 = h2k2 untuk suatu h2 H dan k2 K,
pq HK berarti pq = h3k3 untuk suatu h3 H dan k3 K.
Pada contoh 2, setiap elemen di S dapat diidentifikasi melalui sifatnya, misalnya x S
berarti x n = e,
y-1 S berarti (y-1)n = e,
pq S berarti (pq)n = e.

Fase-fase yang perlu diperhatikan dalam kegiatan mengajar belajar konsep sebagai berikut.
a. Fase motivasi
Fase ini diperlukan karena suatu konsep yang sifatnya abstrak tidak dapat ditemukan
melalui pengamatan.
b. Fase pengolahan
Pada fase ini diharapkan terjadi penggalian konsep-konsep yang telah dimiliki siswa
dalam kaitannya dengan konsep yang akan dibahas.
c. Fase prestasi
Mahasiswa mengemukakan definisi atau menunjukkan pada skema dan diagram, satu
atau lebih bagian yang mencerminkan konsep yang bersangkutan.
d. Fase umpan balik
Fase ini berperan sebagai konfirmasi terhadap penggolongan yang telah dibuat. Dalam
setiap perkuliahan dilakukan kegiatan sebagai berikut :
a. apersepsi tentang pemahaman konsep-konsep yang telah dibicarakan dengan indikator
mahasiswa dikatakan paham jika mahasiswa dapat menyebutkan, menuliskan, dan
memberi contoh definisi-definisi yang telah dibicarakan,
b. penyajian materi dengan sekaligus memberikan contoh cara membuktikan suatu teorema
dengan penekanan pada penguatan organisasi konsep,
c. menguraikan premis dan kesimpulan dalam teorema yang akan membantu mahasiswa
dalam mengorganisasi argumen yang logis
d. meminta mahasiswa untuk membuktikan teorema/pernyataan dengan menggunakan
tindakan seperti di atas,
e. memberi tugas untuk mengerjakan soal-soal latihan.
Untuk menjawab pertanyaan apakah hasil belajar mahasiswa pada mata kuliah
Pengantar Struktur Aljabar 1 dapat ditingkatkan melalui penguatan organisasi konsep maka
dilakukan penelitian ini.
Indikator hasil belajar mahasiswa dapat ditingkatkan apabila

251
a. sekurang-kurangnya 15 % mahasiswa mendapat skor lebih dari 80
b. paling banyak 35% mahasiswa mendapat skor kurang dari 61

Metode
Subyek penelitian ini adalah mahasiswa semester tiga program studi matematika,
jurusan Matematika, FMIPA, UNNES sebanyak 40 mahasiswa.
Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang dilakukan dalam 2 siklus.
Langkah-langkah dalam setiap siklus adalah sebagai berikut.
a. Perencanaan tindakan
1. Merencanakan skenario pembelajaran
2. Membuat lembar observasi untuk mengamati aktivitas mahasiswa dan dosen
3. Membuat tes untuk mengukur hasil belajar mahasiswa.
b. Pelaksanaan
Pelaksanaan proses pembelajaran meliputi kegiatan berikut ini.
1. apersepsi tentang pemahaman konsep-konsep yang telah dibicarakan dengan
indikator mahasiswa dikatakan paham jika mahasiswa dapat menyebutkan,
menuliskan, dan memberi contoh definisi-definisi yang telah dibicarakan,
2. penyajian materi dengan sekaligus memberikan contoh cara membuktikan suatu
teorema dengan penekanan pada penguatan organisasi konsep. Materi siklus 1
adalah pokok bahasan grup dan sifat-sifatnya, sub grup, dan grup siklik. Materi
siklus 2 adalah pokok bahasan orbit, cycle, grup alternating, koset dan Teorema
Lagrange
3. meminta mahasiswa untuk membuktikan teorema/pernyataan dengan menggunakan
tindakan seperti di atas,
4. memberi tugas untuk mengerjakan soal-soal latihan.
c. Observasi
Tahap observasi dilakukan saat pelaksanaan tindakan sebagai berikut.
1. Mengamati kegiatan mahasiswa dalam proses pembelajaran mata Kuliah Pengantar
Struktur Aljabar 1. Kegiatan mahasiswa yang diamati yaitu keterampilan dalam
bertanya, menjawab pertanyaan, mengeluarkan pendapat, mengidentifikasi elemen
dalam himpunan, dan mengorganisasi konsep-konsep yang diketahui untuk
membuktikan teorema.
2. Pada akhir perkuliahan pokok bahasan grup dan sifat-sifatnya, sub grup, dan grup
siklik diberikan tes siklus 1.
3. Pada akhir perkuliahan pokok bahasan orbit, cycle, grup alternating, koset dan
Teorema Lagrange diberikan tes siklus 2.

d. Refleksi
Refleksi dilakukan berdasarkan hasil observasi dan evaluasi selama proses
pembelajaran berlangsung dengan tujuan untuk mengidentifikasi hasil tindakan pada
siklus 1. Hasil observasi ini merupakan landasan untuk menentukan tindakan pada siklus
2. Pelaksanaan tindakan pada siklus 2 pada dasarnya serupa dengan pelaksanaan pada
siklus 1. Perbedaannya adalah siklus 2 merupakan tindak lanjut dari refleksi siklus 1
dengan harapan hasil pada siklus 2 lebih baik dari siklus 1.
Data yang dikumpulkan adalah hasil tes mahasiswa pada mata kuliah Pengantar
Struktur Aljabar 1 pokok bahasan grup dan sifat-sifatnya, sub grup, dan grup siklik,
orbit, cycle, grup alternating, koset dan Teorema Lagrange. Hasil belajar mahasiswa
dapat ditingkatkan apabila :
1. sekurang-kurangnya 15 % mahasiswa mendapat skor lebih dari 80
2. paling banyak 35% mahasiswa mendapat skor kurang dari 61

252
Hasil
Hasil pengamatan terhadap kegiatan mahasiswa pada siklus I adalah sekitar 40%
mahasiswa terampil bertanya, mengidentifikasi elemen dalam himpunan, menguraikan
premis dan kesimpulan serta mengorganisasi konsep-konsep yang diketahui untuk
membuktikan teorema. Aktivitas menjawab pertanyaan lebih banyak dilakukan oleh
mahasiswa yakni sekitar 60%. Pada siklus II, sekitar 60% mahasiswa terampil bertanya,
mengidentifikasi elemen dalam himpunan, melakukan bedah teorema dan mengorganisasi
konsep-konsep yang diketahui untuk membuktikan teorema. Aktivitas menjawab pertanyaan
dilakukan oleh sekitar 80% mahasiswa.
Hasil belajar mahasiswa pada siklus 1 menunjukkan 57,5% mahasiswa mencapai nilai
kurang dari 61 dan 7,5% mahasiswa mencapai nilai lebih dari 80. Hasil belajar mahasiswa
pada siklus 2 menunjukkan 35% mahasiswa mencapai nilai kurang dari 61 dan 7,5 %
mahasiswa mencapai nilai lebih dari 80. Hasil belajar siklus 2 ini hampir memenuhi
indikator yang ditetapkan yaitu sekurang-kurangnya 15 % mahasiswa mendapat skor lebih
dari 80 dan paling banyak 35% mahasiswa mendapat skor kurang dari 61.

Pembahasan
Berdasarkan hasil tes mahasiswa, hasil belajar pada siklus 1 menunjukkan 7,5%
mahasiswa mendapat nilai lebih dari 80 dan 57,5% mahasiswa mendapat nilai kurang dari 61.
Hal ini berarti hasil belajar pada siklus 1 belum mencapai target sekurang- kurangnya 15%
mahasiswa mendapat nilai lebih dari 80 dan paling banyak 35% mahasiswa mendapat nilai
kurang dari 61. Berdasarkan hasil refleksi, kekurang berhasilan ini mungkin disebabkan oleh
hal-hal berikut.
1.Secara umum, mahasiswa masih mengalami kesulitan untuk mengidentifikasi
elemen dalam himpunan.
Berdasarkan jawaban salah seorang mahasiswa nampak bahwa konsep dapat
dipahami baik. Meskipun identifikasi elemen dalam himpunan dapat dilakukan namun belum
kuat karena hal ini tidak dapat dilakukan pada bagian berikutnya masih pada satu soal yang
sama.
2. Berdasarkan jawaban mahasiswa lain, nampak bahwa konsep dapat dipahami dengan
baik. Namun, identifikasi elemen dalam himpunan tidak dapat dilakukan dengan baik.
Sebagai akibat dari kurang terampilnya mengidentifikasi elemen-elemen dalam
himpunan dan mengorganisasi konsep adalah mereka kesulitan untuk membuktikan struktur
sebuah himpunan.
Dari hasil pengamatan terhadap mahasiswa, kemampuan untuk menjabarkan konsep
yang terkandung dalam teorema cukup baik yang ditunjukkan oleh jawaban dalam
pembuktian, namun kemampuan ini tidak diikuti oleh kemampuan mengorganisasikan
konsep-konsep yang dipahami Akibatnya mereka kesulitan untuk mengambil langkah-
langkah yang harus dikerjakan dalam pembuktian.
Berdasarkan hasil tes mahasiswa, diperoleh hasil belajar pada siklus 2 menunjukkan
7,5% mahasiswa mendapat nilai lebih dari 80 dan 35% mahasiswa mendapat nilai kurang dari
61. Hal ini berarti hasil belajar pada siklus 2 sudah mendekati target sekurang- kurangnya
15% mahasiswa mendapat nilai lebih dari 80 dan paling banyak 35% mahasiswa mendapat
nilai kurang dari 61. Berdasarkan hasil refleksi, keberhasilan ini mungkin disebabkan oleh
hal-hal berikut.
1. identifikasi elemen dalam himpunan dapat dilakukan mahasiswa dengan lebih baik
setelah melalui latihan-latihan yang berulang-ulang.
2. kemampuan mengorganisasikan konsep-konsep yang dipahami mahasiswa lebih
meningkat meskipun belum optimal.

253
Dengan dilaksanakannya pembelajaran melalui penguatan organisasi konsep,
mahasiswa lebih memahami konsep-konsep yang diperlukan dan memahami apa yang harus
dilakukan sehingga berdampak pada proses pembelajaran yaitu terlihat adanya kesiapan
mahasiswa dalam mengikuti perkuliahan. Dengan kesiapan ini, mahasiswa lebih terampil
mengorganisasikan konsep-konsep yang dipunyai.

Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan :
1. Penguatan organisasi konsep meningkatkan hasil belajar mata kuliah Pengantar
Struktur Aljabar 1.
2. Kemampuan mengidentifikasi elemen-elemen dalam himpunan membantu mahasiswa
dalam memahami materi.
3. Kemampuan menguraikan premis dan kesimpulan dalam teorema membantu
mahasiswa dalam mengorganisasi argumen yang logis dalam pembuktian.

Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan bagi pengampu mata kuliah Pengantar
Struktur Aljabar 1 untuk menggunakan pembelajaran dengan penguatan organisasi konsep.
Penguatan organisasi konsep sebaiknya dilakukan sepanjang pembelajaran diikuti penerapan
yang berulang-ulang. Perlu adanya penelitian lanjutan dengan tindakan yang memberi
banyak pengalaman dalam pembuktian seperti dikatakan oleh Fraleigh (1989:3) : It is not
possible for us to give any meaningful outline on how to prove theorems; experience is the
best guide.

Daftar Pustaka

Birkhoff,Mc. Lane. 1953. A Surrvey of Modern Algebra, The Macmillan Company : New
York
Fraleigh, J.B. 1989. A First Course in Abstract Algebra. Addison-Wesley Publishing
Company, Inc. : Reading Massachussetts.
Kusno 1990. Struktur Ajabar . UT:Jakarta.
Mohamad Nur. 1991. Pengadaptasian TOLT dalam seting Indonesia. Pusat Penelitian IKIP
Surabaya : Surabaya
Soedjadi. 1985. Mencari Strategi Pengelolaan Pendidikan Matematika Menyongsong
Tinggal Landas pembangunan Nasional.. IKIP Surabaya.
Soedjadi dan Masriyah. 1994. Dasar Matematika. Pascasarjana IKIP Surabaya : Surabaya

254
Management Mathematical Learning Of International School In SDN - BI
Gemolong Year 2011/2012

Kristini
SMK N 1 PLUPUH SRAGEN
Email: kristin_suwarno@yahoo.co.id

Pendahuluan
Kehadiran pendidikan yang bermutu pra syarat adanya Sumber Daya Manusia (SDM)
yang berkualitas. Pendidikan bermutu adalah pendidikan yang mampu menciptakan suasana
yang PAKEM (Pembelajaran yang Aktif, Kreatif, dan Menyenangkan). Sumber Daya
Manusia yang berkulitas yaitu warga negara yang unggul secara intelektual, anggun dalam
moral, kompeten menguasai IPTEK, produktif dalam karya dan memiliki komitmen yang
tinggi untuk berbagai peran sosial, serta berdaya saing terhadap bangsa lain diera global.
TK- SD Negeri Bertaraf Internasional Gemolong merupakan salah satu sekolah yang
berkelas internasional di daerah Sragen, dengan dasar pendirian UU No 20 tahun 2003 Pasal
50 ayat 3, PP No 19 tahun 2005 Pasal 61 ayat 1, Renstra Depdiknas 2002 2009 Bab V hal
58 dengan menggunakan bahasa pengantar bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, media
pendidikan menggunakan fasilitas teknologi yang modern guna mengoptimalkan potensi
individu yang terdiri dari intelektual, emosi, spiritual, bermartabat individu- sosial kultural
siswa . Sikap yang terkait dengan kehidupan masyarakat lokal, nasional, regional, global juga
diterapkan.
Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi
modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir
manusia, menurut Soedjadi dalam Heruman (2007 : 1) hakekat matematika yaitu memiliki
objek tujuan abstrak, bertumpu pada kesepakatan, dan pola pikir yang dedukatif.
Perkembangan pesat di bidang teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini dilandasi oleh
perkembangan matematika di bidang teori bilangan aljabar, analisis, teori peluang dan
matematika diskrit. Untuk menguasai dan menciptakan teknologi di masa depan diperlukan
penguasaan matematika yang kuat sejak dini.
Pada dasarnya matematika merupakan salah satu pelajaran yang dirasa sulit bagi
siswa sehingga memerlukan perhatian dari kurikulum mengenai sistem yang sesuai agar
semua aspek dalam kegiatan belajar tercapai baik kognitif, afektif maupun psikomotorik.
Sehingga pembelajaran matematika diusahakan bisa di terima dengan mudah dan
menyenangkan serta menggunakan metode pembelajaran yang sesuai dengan materi dan
dapat di terima oleh siswa. Permasalahannya kurikulum pendidikan yang selama ini
dilakukan hanya mementingkan aspek kognitif saja. Sistem yang demikian itu pada akhirnya
tidak mampu mengembangkan kreativitas peserta didik.
Kennedy (2010) menyatakan bahwa pengalaman pembelajaran dan pemilihan metode
pembelajaran merupakan asset yang paling baik untuk meningkatkan kemampuan
menyelesaikan problem, sehingga dengan pengembangan kreatifitas akan memajukan
kemampuan siswa Kegiatan interaksi belajar mengajar matematika juga harus ditingkatkan
efektifitas dan efesiensinya. Sejauh ini pendidikan di SDN BI Gemolong pada pelajaran
matematika masih didominasi siswa perempuan sehingga dalam pembelajaran matematika
perlu perhatian khusus bagaimana cara pengelolaan pembelajaran matematika yang ada di
SDN BI Gemolong tersebut memperhatikan gender, serta menggunakan bahasa matematika
dengan bahasa Inggris juga masih kurang.

255
Kegiatan pembelajaran matematika hendaknya memperhatikan keserasian antara
pembelajaran yang menekankan pada pemahaman konsep, ketrampilan menyelesaikan soal
dan pemecahan masalah serta afektif. Berangkat dari kondisi di atas penelitian ini mencoba
membahas mengenai pengelolaan pembelajaran Matematika Sekolah Bertaraf Internasional
di SDN SBI Gemolong-Sragen.
Fokus penelitian ini, yaitu Bagaimana pengelolaan pembelajaran Matematika Sekolah
Bertaraf Internasional ( Study Di SDN BI Gemolong Tahun 2011/ 2012)? Fokus penelitian
tersebut dijabarkan menjadi empat sub- fokus yaitu 1) Bagaimana perencanaan pembelajaran
matematika Sekolah Bertaraf Internasional di SDN BI Gemolong Tahun 2011/2012?
2) Bagaimana pelaksanaan pembelajaran matematika Sekolah Bertaraf Internasional
di SDN BI Gemolong Tahun 2011/2012? 3) Bagaimana evaluasi pembelajaran matematika
Sekolah Bertaraf Internasional di SDN BI Gemolong Tahun 2011/2012? 4) Bagaimana
tindak Lanjut pembelajaran matematika Sekolah Bertaraf Internasional di SDN BI
Gemolong Tahun 2011/2012?
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengidentifikasi, mendeskripsikan,
menganalisis tentang pengelolaan pembelajaran matematika Sekolah Bertaraf Internasional di
SDN - BI Gemolong Tahun 2011/2012. Secara khusus penelitian mendiskripsikan empat
tujuan yaitu
1) Perencanaan pembelajaran matematika Sekolah Bertaraf Internasional di SDNBI
Gemolong Tahun 2011/ 2012. 2) Pelaksanaan pembelajaran matematika Sekolah Bertaraf
Internasional di SDNBI Gemolong Tahun 2011/2012. 3) Evaluasi pembelajaran matematika
Sekolah Bertaraf Internasional di SDN BI Gemolong Tahun 2011/2012. 4) Tindak Lanjut
pembelajaran matematika Sekolah Bertaraf Internasional di SDN BI Gemolong Tahun
2011/ 2012.
Manfaat penelitian secara umum pada tataran teoritis, dapat menambah khazanah dan
wawasan keilmuwan dunia Matematika, khususnya pada pendidikan matematika. Dan
perkembangan pengelolaan pembelajaran matematika, yang dapat digunakan sebagai acuan
dalam Pengelolaan Pembelajaran Matematika Sekolah Bertaraf Internasional. Secara praktis :
bagi siswa , penelitian ini dapat meningkatkan motivasi belajar siswa dalam pembelajaran
matematika sehingga siswa dapat mendalami materi dan mencapai hasil belajar yang
maksimum, bagi guru, penelitian ini dapat meningkatkan pengetahuan di bidang Pengelolaan
Pembelajaran Matematika Sekolah Bertaraf Internasional, bagi sekolah, penelitian ini dapat
meningkatkan mutu pendidikan siswa dengan efektif di Pengelolaan Pembelajaran
Matematika Sekolah Bertaraf Internasional.

Metode
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif, yaitu suatu penelitian yang
menggunakan data deskriftif yang berupa kutipan data, gambar kata-kata tertulis atau lisan
dari seseorang atau peristiwa yang diamati. Menurut Sutama (2011: 61) penelitian kulitatif
adalah penelitian yang lebih memberikan tekanan kepada pemahaman dan makna, berkaitan
erat dengan nilai nilai tertentu, lebih menekankan pada proses pada pengukuran,
mendeskripsikan, menafsirkan dan memberi makna tidak cukup dengan penjelasan belaka,
serta memanfaatkan multi metode dalam penelitian.
Sedang Sukmadinata (2007: 60) penelitian kualitatif adalah penelitian yang ditujukan
untuk mendiskripsikan dan menganalisis fonomena, peristiwa aktifitas sosial kepercayaan
persepsi dan pemikiran orang secara individu maupun kelompok.
Moleong (2008: 6) berpendapat penelitian kualitatif adalah penelitian yang
bermaksud untuk memahami fonomena tentang apa yang dialami subjek penelitian misalnya
perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll. Secara holistik, dengan cara deskripsi dalam

256
bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode alamiah.
Desain penelitian ini adalah etnografi karena penelitian ini berhubungan dengan suatu
grup atau kelompok masyarakat yang hidup bersama. Lokasi penelitian SDN SBI Gemolong,
kecamatan Gemolong kabupaten Sragen. Waktu penelitian 4 bulan, yaitu mulai bulan Maret
2012 sampai dengan Juli 2012. Sumber Data Penelitian meliputi Informan, dokumen, dan
tempat atau peristiwa. Informan yaitu guru dalam mempersiapkan pembelajaran matematika
di SDN BI Gemolong Sragen, foto atau gambar pembelajaran , kata-kata tertulis atau lisan
dari hasil wawancara kepada Kepala Sekolah, guru, siswa, dan anggota komite sekolah
mengenai pembelajaran Matematika di sekolah Teknik pengumpulan data, yaitu observasi,
wawancara mendalam, dokumentasi. Teknik analisis data menggunakan situs tunggal dengan
analisis kualitatif metode alir. Keabsahan data menggunakan triangulasi metode, pengecekan
dengan anggota, penyusunan data base, dan penyusunan mata rantai semua bukti penelitian.

Hasil
Perencanaan Pembelajaran Matematika
Perencanaan adalah proses penetapan dan pemanfaatan sumber daya secara terpadu
yang diharapkan dapat menunjang kegiatan-kegiatan dan upaya-upaya yang akan
dilaksanakan secara efisien dan efektif dalam mencapai tujuan. Hasil wawancara peneliti
dengan Ibu Asri salah satu guru kelas V di SDN BI Gemolong mengatakan bahwa dalam
merencanakan persiapan pembelajaran antara lain : 1) Ada Kalender pendidikan, 2) Silabus
3) Membuat Prota, 4) Membuat Promes, 5) Membuat RPP yang sesuai dengan karakter
belajar siswa, 6) Alat peraga yang sesuai dengan materi , 7) Buku Jurnal Harian, 8) Persiapan
Ulangan dan 9) Analisis nilai, yang semua perencanaan diterjemahkan dalam dua bahasa
yaitu bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.
Menurut Suparti sebagai waka kurikulum SDN BI Gemolong agar berhasil dalam
merencanakan pembelajaran matematika maka seorang guru harus mempelajari materi yang
akan diajarkan dengan dua bahasa yaitu bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, menyesuaikan
alokasi waktu dengan materi, menyusun RPP yang sesuai dengan karakter belajar siswa dan
alat peraga yang sesuai dengan materi. Perencanaan pembelajaran dilakukan diawal tahun
ajaran, dengan membuat silabus, prota, promes yang kemudian dijabarkan lebih detail pada
RPP dan dievaluasi pada jurnal mengajar
Menurut Bell and Chan (2005) dalam journalnya mengatakan perencanaan adalah
menentukan apa yang akan dilakukan, termasuk merencanakan pembelajaran mengandung
rangkaian-rangkaian putusan yang luas dan penjelasan-penjelasan dari tujuan, penentuan
kebijakan, penentuan program, penentuan metode-metode dan prosedur tertentu, penentuan
kegiatan berdasarkan tujuan yang sudah ditetapkan.
Sehingga antara hasil penelitian dengan penelitian dari Bell and Chan terdapat
kesamaan yakni dalam merencanakan pembelajaran seorang guru harus menentukan langkah
menyiapkan perangkat yang didalamnya menerangkan tujuan, penentuan kebijakan,
penentuan program, penentuan metode-metode dan prosedur dalam pembelajaran
matematika.

Pelaksanaan Pembelajaran Matematika


Pada hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan pembelajaran guru
harus merujuk pada persiapan yang telah dibuat oleh guru sebelumnya. Sehingga guru akan
mampu membimbing dan memotivasi anak dalam belajar. Saat pembimbingan tersebut harus
diperhatikan hal-hal berikut: a. Menyediakan kondisi-kondisi yang memungkinkan setiap
siswa merasa aman. b. Mengusahakan agar siswa-siswa dapat memahami dirinya. c.
Mengembangkan sikap-sikap dasar bagi tingkah laku sosial yang baik. d. Menyediakan

257
kondisi dan kesempatan bagi setiap siswa untuk memperoleh hasil yang lebih baik, dan e.
Membantu memilih jabatan yang cocok, sesuai dengan bakat, kemampuan dan minatnya.
Pada hasil peneliti di SDN BI Gemolong mengatakan dalam pelaksanaan
pembelajaran siswa diharapkan tenang dalam arti siap menerima pelajaran sehingga seorang
guru harus dapat menyesuaikan materi pembelajaran dengan metode dan alat peraga yang
sesuai agar siswa dapat menerima pembelajaran dengan baik. Biasanya siswa di kelas V SDN
BI Gemolong lebih menyukai pembelajaran secara nyata atau dengan metode permainan.
Menurut Tyler (2006), dalam proses pelaksanaan pembelajaran perlu memperhatikan
bagaimana guru menggunakan strategi pelajaran yang efektif. Dengan menggunakan strategi
pembelajaran yang efektif maka anak akan bersikap positif, sehingga akan memaksimalkan
hasil belajar, dan akhirnya siswa lebih kompetitif.
Selain memperhatikan strategi pembelajaran seorang guru dalam menjalankan tugas
pembelajaran guru harus memperhatikan pendidikan karakter anak dan langkah guru yang
harus dijalankan adalah: mengoptimalkan peran guru dalam proses pembelajaran, integrasi
materi pendidikan karakter ke dalam mata pelajaran, mengoptimalkan kegiatan pembiasaan
diri, penciptaan lingkungan sekolah yang kondusif, menjalin kerjasama dengan orang tua dan
masyarakat. Dan menjadi figur teladan bagi peserta didik.
Dalam pendapat Tyler (2006) dan hasil peneliti memiliki kesamaan yaitu
memperhatikan strategi pembelajaran dan mengenali karakter anak serta menciptakan
lingkungan sekolah yang kondusif di harapkan siswa dapat menerima pembelajaran dengan
maksimal. Menjalin kerjasama dengan orang tua siswa. Dalam proses pembelajaran ada
beberapa peran yang harus dilakukan oleh guru yakni: a. Informator, b. Organisator, c.
Motivator, d. Director, e. Inisiator, f. Transmitter, g. Fasilitator, h. Mediator, dan i. Evaluator.
Melalui pembelajaran yang baik dan sesuai dengan persiapan yang dibuat maka akan
menghasil proses pembelajaran yang menarik dan akan membangkitkan gairah belajar siswa
sehingga prestasi belajar anak akan meningkat. Hal ini berkesesuaian dengan pendapat Alison
Castro (2008), yang menyatakan bahwa pengalaman guru dan penguasaan konsep
matematika dalam mengajar dan belajar sangat mempengaruhi kemampuan pedagogi guru
dalam membantu siswa untuk berhasil dalam mengikuti pembelajaran matematika di sekolah.

Evaluasi Pembelajaran Matematika


Pendapat Suparti sebagai kurikulum sekaligus guru kelas IV bahwa evaluasi diberikan
dalam bentuk 1) ulangan harian diberikan setiap akhir KD dapat berupa tes tertulis dan tes
lisan (oral) 2) Quiz diberikan setiap akhir pembelajaran untuk mengetahui ketercapaian
tujuan pembelajaran, dapat berupa games, tes tetulis atau tes lisan 3) Drill berhitung
dilakukan diawal pembelajaran agar siswa lebih mempunyai skill lebih dalam berhitung
Sedang pendapat dari seorang guru di SDN BI Gemolong kelas V mengatakan
bahwa evaluasi belajar di laksanakan setiap habis satu kompetensi dasar ( KD) dan dalam
bentuk lisan atau tulisan kadang kala dilaksanakan pada saat pembelajaran dimana siswa
diminta mengerjakan soal yang baru saja di terangkan, kemudian dinilai serta di beri pujian
agar siswa termotivasi.
Menurut pendapat Daniel dan Monika (2004), mengajar adalah untuk menghasilkan
pengalaman belajar signifikan untuk anak, sehingga matematika harus diajarkan secara
mendasar tentang nilai-nilai yang termuat dalam matematika. Untuk mendapatkan nilai-nilai
matematika tersebut dapat dilakukan dengan evaluasi yang dikembangkan oleh guru. Nilai-
nilai matematika tersebut selain dengan evaluasi dapat juga ditanamkan dengan sikap dan
kepercayaan guru dalam mereformasi matematika kedalam sikap dan mental anak melalui
pembelajaran di kelas.

258
Di sini memiliki kesamaan bahwa evaluasi harus ada walaupun dalam bentuk yang
berbeda.Sedangkan perbedaannya Nilai matematika pada pendapat Daniel dan Monika
(2004) pada nilai mental siswa juga sangat berpengaruh.
Agar soal tes untuk evaluasi sesuai dengan tujuan dan prinsip evaluasi maka soal tes
harus disusun berdasarkan prinsip dasar sebagai berikut: tes harus dapat mengukur apa-apa
yang dipelajari siswa; Tes disusun sedemikian rupa sehingga benar-benar mewakili materi
yang telah dipelajari; Pertanyaan tes hendaknya disesuaikan dengan aspek-aspek tingkat
belajar yang diharapkan; tes hendaknya disusun sesuai dengan tujuan penggunaan tes itu
sendiri; tes disesuaikan dengan pendekatan pengukuran yang dianut dan tes hendaknya dapat
digunakan untuk memperbaiki proses pembelajaran

Tindak Lanjut Pembelajaran Matematika


Dari hasil evaluasi pasti terdapat dua pendapat yaitu keberhasilan dan kegagalan
dalam mencapai tujuan pembelajaran yaitu dilihat dari hasil evaluasi, baik secara tertulis
maupun secara lisan dan bisa juga secara mental siswa. Kesemua hasil yang telah diperoleh
akan ditindak lanjuti.
Pelaksanaan tindak lanjut dalam proses kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan
oleh SDN BI Geolong menurut ibu Asri ada dua langkah yang dilakukan adalah Remidial
teaching dan pengayaan. Untuk anak yang mendapat nilai dibawah KKM diikutkan program
extra lesson, seminggu sekali, untuk meningkatkan hasil belajarnya, atau menujuk siswa yang
mempunyai kemampuan lebih dibidang matematika mengajari siswa yang kurang
(peerbuddy)
Sedangkan kegiatan pengayaan untuk siswa yang mempunyai hasil belajar yang lebih
dan mempunyai minat yang lebih diikutkan dalam program math club. Math club dilakukan
seminggu sekali. Program ini telah dimasukkan dalam RKS, sehingga anak tidak membayar
untuk mengikutinya. Untuk mengikuti program ini dilakukan seleksi diawal tahun ajaran. Pre
test (seleksi) dilakukan diawal tahun untuk mengikuti program math club, pembinaan ini
dimaksudkan untuk persiapan beberapa kompetisi yang terkait dengan pelajaran matematika,
diantaranya: LCC, lomba mapel, dan olimpiade matematika.
Peneliti adalah dalam bentuk remedia bagi yang belum berhasi sedang pengayaan
bagi siswa yang berhasi. Tindak lanjut dilakukan untuk meningkatkan hasil belajar yang lebih
optimal dari proses pembelajaran sebelumnya. Dengan demikian dapat diketahui sampai
sejauh mana pemahaman siswa dari materi pelajaran yang diberikan. Langkah tindak lanjut
dari pelaksanaan pembelajaran matematika dapat dilakukan dengan dua langkah yang
dilakukan adalah remidial teaching dan pengayaan.

Penutup
Simpulan penelitian, Dalam merencanakan program pembelajaran dapat diketahui
melalui penyiapan perangkat pembelajaran meliputi: a.) Merumuskan tujuan pembelajaran.
b.) Merumuskan alat evaluasi/asesmen, baik bentuk, cara, waktu, dan model evaluasi yang
akan dilakukan. c.) Memilih materi pelajaran yang esensial untuk dikuasai dan dikembang-
kan dalam strategi pembelajaran. d.) Memilih strategi pembelajaran sebagai proses
pengalaman belajar siswa.
Dalam pelaksanaan pembelajaran guru harus merujuk pada persiapan yang telah
dibuat oleh guru sebelumnya. Sehingga pada saat pembelajaran berlangsung guru harus
membimbing dan memotivasi anak dalam belajar. Dalam proses pembelajaran ada beberapa
peran yang harus dilakukan oleh guru yakni: a.) Informator, b.) Organisator, c.) Motivator,
d.) Director, e.) Inisiator, f.) Transmitter, g.) Fasilitator, h.) Mediator, dan i.) Evaluator.
Selain itu kondisi dan karakter siswa juga perlu di perhatikan agar hasil yang di inginkan
dapat tercapai.

259
Diakhir kegiatan pembelajaran, guru harus mengadakan evaluasi dengan jenis soal
lesan atau tertulis. Sedang Pelaksanakannya menurut rencana yang telah disusun antara lain
pada saat pembelajaran selesai dalam satu Kdatau disebut ulangan harian, Ulangan tengah
semester dan ulangan semester baik gasal maupun genap. Kadang bisa berupa Quiz dan Drill.
Hasil dari evaluasi dapat digunakan sebagai tolak ukur keberhasilan dalam pembelajaran.
Dari keberhasilan dan kegagalan dalam pelaksanaan pembelajaran akan ditindak
lanjuti dalam bentuk remedial dan pengayaan pada saat proses kegiatan pembelajaran
berlangsung. Pelaksanaan tindak lanjut dalam proses kegiatan pembelajaran yang
dilaksanakan oleh peneliti adalah dalam bentuk remedia bagi yang belum berhasi sedang
pengayaan bagi siswa yang berhasi.
Tindak lanjut dilakukan untuk meningkatkan hasil belajar yang lebih optimal dari
proses pembelajaran sebelumnya. Dengan demikian dapat diketahui sampai sejauh mana
pemahaman siswa dari materi pelajaran yang diberikan. Langkah tindak lanjut dari
pelaksanaan pembelajaran matematika dapat dilakukan dengan dua langkah yang dilakukan
adalah remidial teaching dan pengayaan.

Daftar Pustaka

Anonim, 2000. Pedoman Pelaksanaan KBM. Jakarta. Depdiknas .


___, 2004. Silabus Matematika SMP, Jakarta: Balitbang Dikbud.
____, 2006. Petunjuk Pelaksanaan Penilaian di Sekolah Dasar. Jakarta: Dep diknas
Arifin, 2008. Ilmu Pendidikan Islam Tinjauan Teoretis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan
Interdisipliner Edisi Revisi. Jakarta: Bumi Aksara
Bell and Chan,2005 Principals Leadership and Strategic Planing in Primary Shoolls in
Hong Kong and England a Comparison Journal.
Daniel, 1999, Head Mathematics teachers Beliefs Abaut the Learning and Teaching of
Mathematics Mathematics Education Research Journal, University of western Sydney
macarthur
Farida, 2008. Evaluasi Program dan Instrumen Evaluasi untuk Program Pendidikan dan
Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta.
Halat, Erdogan 2008. Ideas for Teaching and Learning Afyan Kocatepe University:
Turkey.
Handal, 2003, Mathematics Teachers Beliefs and Curriculum reform mathematics
Education Research Journal, Cumberland hight school sydney.
Jihad, Asep. 2008. Pengembangan Kurikulum Matematika.Yogyakarta : Multi Pressindo.
Kennedy, 2010. Classroom Management - Creating a Learning Environment, Setting
Expectations, Motivational Climate, Maintaining a Learning Environment, When
Problems Occur. http://education.stateuniversity.com/pages/1834/Classroom-
Management.html#ixzz0bSPkqhTD
Kennedy,Omondi,Otieno, 2010,Teaching/ learning resources and Academic Performance in
Mathematik in Scondary schools in Bondo District of Kenya Journal from Academy
Internasional of Journal Akoko Secondary School, Kenya
Margaret Walshaw, Glenda Anthony.2008. The Teacher's Role in Classroom Discourse: A
Review of Recent Research Into Mathematics Classrooms Review of Educational
Research. Washington:
Mundia, Lawrence, 2010, Problem in Learning Mathematics: Comparison of Brunei Junior
Hingh Shcool Students in Classes with and without Repeaters Journal of
Mathematics Research, universiti Brunei Darussalam Tel: 673-246-3001 Ext 2036
Email : mundia_ Ljs@yahoo.co.uk

260
Moleong, 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Karya
Nasution, A. Hakim. 2002. Sosiologi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara.
Nasution, 2003. Metode Research( Penelitian Ilmiah). Jakarta : Bumi Aksara
Pidarta, Made 2004. Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Ruseffendi, 2008. . Dasar-dasar Komunikasi dan Keterampilan Dasar Mengajar. Jakarta;
Depdiknas.
Sagala, Syaiful. 2007. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung : Alfabeta.
___________, 2009. Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga Kependidikan. Bandung:
Alfabeta.
Sugiyono, 2006. Metode Penelitian Kuantitatif, kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta
Sukardi, 2010, Evaluasi pendidikan Prinsip dan Operasionalnya, Jakarta Timur, Bumi
Angkasa
Sumardyono, 2004. Matematika Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama sebagai wahana
pendidikan dan pembudayaan penalaran. Surabaya
Sutama. 2011. Metode Penelitian Pendidikan. Surakarta: Fairuz Media
Sutisna, Oteng. 2003 Administrasi Pendidikan Dasar Teoritis untuk Praktek Profesional,
Bandung: Angkasa.
Tyler,Kenneth M and Walton,Tia R, 2006, Cultural considerations in teachers perceptions
of student classroom behavior and achievement Department of Psychology, Center
for Research on the Education of Students Placed At-Risk (CRESPAR), Howard
University, USA Teaching and Teacher Education Volume 22, Issue 8, November
2006, Pages 998-1005
William L Blubough. 2009. A Course For Pre-Service Mathematics Teachers That Focuses
On Mathematics And The Integration Of Technology Mathematics and Computer
Education. Old Bethpage:

261
Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika dengan Pembelajaran
PMRI Peserta Didik Smp N 1 Tunjungan Tahun 2012

Lusiana Saputri1), Wardono, Kristina Wijayanti


Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Semarang.
Email. 1)el.lucya@gmail.com

Abstract
PMRI learning model can be applied to a model of learning. The purpose of this
experimental study was to determine how the mathematical problem-solving abilities of
students who use learning model PMRI compared with mathematical problem-solving
abilities of students with learning expository on basic competencies to calculate the
circumference and area rectangle class VII students SMP N 1 Tunjungan. Population in the
study were students in classes VII semester 2 SMP N 1 Tunjungan. Samples were taken by
random cluster sampling technique as a representative of the population is divided into two
classes. Variable research is mathematical problem solving ability. The research data
obtained from tests after learning problem solving skills with the PMRI and expository. The
success of the learning set is at least 80% of students scored 71. Based on the calculations
we have the ttest = 2.402 and ttabel = 1.668, with = 0.05. Based its value we get ttest > ttabel
thus be concluded that the problem-solving abilities of students of VII SMP N 1 Tunjungan
with PMRI better than problem-solving abilities with expository model of the circumference
and area submateri main square. PMRI learning should be developed and applied to other
subject matter.

Key words: Circumference and Area of Quadrilateral; Models of Learning PMRI; Problem
Solving Ability.

Pendahuluan
Pendidikan berperan penting dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang
berkualitas dan mampu berkompetisi dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
sebagai pendukung utama dalam pembangunan. Menurut Hammam Fithry Ramadhan
(www.pmri.or.id.) hasil yang maksimal dalam pendidikan dapat dicapai dengan
terlaksananya pendidikan tepat waktu dan tepat guna untuk mencapai tujuan pembelajaran.
David W. Carraher and Analucia D. Schliemann (2002) menyebutkan bahwa The idea that
we can improve mathematics education by transporting everyday activities directly to the
classroom is simplistic. Pembelajaran matematika dapat ditingkatkan dengan cara
mengaitkan materi dengan kehidupan sehari-hari peserta didik.
Karakteristik matematika yang diterapkan di sekolah antara lain ( Soedjadi, R, 2007):
(1) matematika memiliki objek kajian yang konkret dan juga abstrak; (2) bertumpu pada
kesepakatan (termasuk penekanan kepada aksioma self evident truth); (3) berpola pikir
deduktif dan juga induktif; (4) konsisten dalam sistemnya (termasuk sistem yang dipilih
untuk pendidikan); (5) memiliki/menggunakan symbol yang kosong dari arti dan juga yang
telah memiliki arti tertentu; (6) memperhatikan semesta pembicaraan (bahkan juga digunakan
untuk pembatasan bahan ajar matematika, sesuai kelas tertentu).
Mengajarkan kemampuan pemecahan masalah akan membuat peserta didik belajar
membaca matematika, belajar mengembangkan dan menggunakan model-model untuk soal-
soal dengan tipe baku dan tidak takut kepada soal-soal yang lebih menantang (Sujono,1988).
Conney dalam Hudojo (1988) menyebutkan bahwa mengajarkan penyelesaian
masalah kepada peserta didik memungkinkan peserta didik itu menjadi lebih analitik di dalam
mengambil keputusan di dalam hidupnya. Karena dalam latihan menyelesaikan masalah,

262
peserta didik dilatih untuk mengumpulkan informasi yang relevan, menganalisis informasi
dan menyadari perlunya meneliti kembali hasil yang telah diperoleh. Menurut Shadiq (2004)
untuk menyelesaikan masalah ada empat langkah penting yang harus dilakukan, yaitu : (1)
memahami masalahnya; (2) merencanakan cara penyelesaian; (3) melaksanakan rencana; (4)
menafsirkan hasilnya.
Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) adalah pendidikan matematika
sebagai hasil adaptasi dari Realistic Mathematics Education yang telah diselaraskan dengan
kondisi budaya, geografi, dan kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam penerapannya, PMRI
sangat memperhatikan bahwa objek kajian matematika adalah abstrak, tidak bisa ditawar,
tetapi juga memperhatikan bahwa perkembangan jiwa anak menuntut adanya langkah-
langkah yang mengantar anak-anak untuk memahami objek yang abstrak tersebut. Langkah-
langkah itu adalah melalui hal-hal konkret dulu setapak demi setapak mengarah ke abstrak
(Suryanto, dkk, 2010).
Van den Heuvel-Panhuizen dalam Marpaung (2010) menyebutkan enam prinsip
PMRI sebagai berikut. (1)Prinsip aktivitas; (2) Prinsip realitas; (3) Prinsip berjenjang; (4)
Prinsip jalinan; (5) Prinsip interaksi; (6) Prinsip bimbingan.
Menurut Dimyati dan Mudjiono (2002) model pembelajaran ekspositori merupakan
kegiatan pembelajaran yang terpusat pada guru. Guru berperan sebagai penyusun program
pembelajaran, pemberi informasi yang benar, pemberi fasilitas belajar yang baik,
pembimbing peserta didik dalam pemerolehan informasi yang benar dan penilai pemerolehan
informasi. Peserta didik berperan sebagai pencari informasi yang benar, pemakai media dan
sumber yang benar dan menyelesaikan tugas sehubungan dengan penilaian guru.
Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah (1)
bagaimana rata-rata nilai tes kemampuan pemecahan masalah peserta didik kelas yang
menggunakan model pembelajaran PMRI dibandingkan rata-rata nilai tes kemampuan
pemecahan masalah peserta didik kelas yang menggunakan model pembelajaran ekspositori?
(2) apakah rata-rata nilai tes kemampuan pemecahan masalah peserta didik setelah proses
pembelajaran dengan PMRI dapat memenuhi KKM individual yaitu peserta didik
mendapatkan nilai 71, dan KKM klasikal yaitu jumlah peserta didik yang mendapatkan
nilai 71 mencapai 80%?
Diharapkan bahwa dari hasil penelitian ini akan memberi masukan demi
meningkatkan kualitas pendidikan matematika secara umum, dan secara khusus membantu
SMP N 1 Tunjungan sebagai sekolah tempat penelitian dengan memberikan informasi dan
referensi bagi guru untuk mengembangkan model pembelajaran matematika.

Metode
Populasi dari penelitian ini adalah peserta didik kelas VII SMP N 1 Tunjungan
semester 2 sebesar 254 peserta didik. Sampel diambil dengan teknik cluster random sampling
sebagai wakil dari populasi sebesar 71 peserta didik yang terbagi atas 2 kelas, satu kelas
sebagai kelas eksperimen yang menggunakan pembelajaran PMRI dan satu kelas sebagai
kelas kontrol yang menggunakan pembelajaran ekspositori. Penelitian ini dilakukan selama 3
minggu dengan 4 kali pembelajaran pada setiap kelas dan 1 pertemuan pelaksanaan tes.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen. Desain penelitian dapat digambarkan
pada Tabel 1 (Sudjana, Nana dan Ibrahim, 1989).

263
Tabel 1. Desain penelitian
Variabel bebas Hasil pengukuran
Kelompok acak
(perlakuan) (variabel terikat)
(R) E (eksperimen) X Y
(R) C (kontrol) - Y

Adapun prosedur penelitian yang dilakukan peneliti adalah sebagai berikut.


(1)Menentukan subyek penelitian, populasi penelitian adalah kelas VII SMP N 1 Tunjungan
semester 2 tahun pelajaran 2011/2012; (2) Mengambil data awal, yaitu nilai ulangan pada
materi sebelumnya untuk diuji normalitas dan homogenitasnya. Hal ini bertujuan untuk
mengetahui apakah anggota dari populasi homogen atau tidak; (3) Memilih sampel dari
populasi yang ada. Sampel penelitian ditentukan dengan teknik cluster random sampling,
yaitu setiap kelompok dalam populasi mempunyai peluang yang sama untuk penentuan
sampel penelitian; (4) Menguji kenormalan dan kehomogenan kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol, sehingga kedua kelompok tersebut benar-benar berangkat dari kondisi
awal yang sama; (5) Menentukan langkah-lagkah pembelajaran yang akan dilakukan dengan
pembelajaran PMRI pada kelompok eksperimen dan pembelajaran ekspositori pada
kelompok kontrol dalam bentuk Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP); (6) Menyusun
kisi-kisi tes uji coba dan menyusun instrumen uji coba; (7) Menerapkan pembelajaran PMRI
pada kelompok eksperimen dan pembelajaran ekspositori pada kelompok kontrol; (8)
Instrumen uji coba diujikan pada kelompok uji coba yang sebelumnya telah diajarkan materi
pokok segi empat; (9)Menganalisis validitas dan reliabilitas, tingkat kesukaran dan daya beda
data hasil tes uji coba; (10)Menentukan soal-soal yang memenuhi syarat untuk dijadikan soal
tes kemampuan pemecahan masalah pada kelas eksperimen dan kelas kontrol;
(11)Memberikan tes yang sama pada kedua kelompok pada akhir pembelajaran; (12) Data-
data yang diperoleh dianalisis dengan statistik yang sesuai; (13) Menyusun laporan hasil
penelitian.
Variabel dalam penelitian yang akan dilaksanakan ini adalah kemampuan pemecahan
masalah matematika peserta didik pada materi belajar segi empat (jajar genjang, persegi
panjang, belah ketupat dan persegi).
Untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah maatematika digunakan tes
kemampuan pemecahan masalah. Validitas tes kemampuan pemecahan masalah dihitung
dengan rumus korelasi product moment dengan = 5% dan rtabel = 0, 329. Dari 12 soal tes uji
coba instrumen diperoleh 10 soal termasuk kategori valid. Reliabilitas soal dihitung dengan
rumus Alpha Cronbach dan diperoleh sebesar 0, 7003172 dengan = 5% dan rtabel = 0,
329.
Data yang dianalisis diperoleh dari nilai hasil tes kemampuan pemecahan masalah
yang dilakukan di akhir penelitian. Analisis data meliputi uji normalitas dengan uji Chi-
Kuadrat. Uji homogenitas dengan uji F, uji perbedaan dua rata-rata dengan uji polled varians
dan uji proporsi untuk menguji ketuntasan belajar. Uji normalitas dan homogenitas dilakukan
untuk menentukan apakah menggunakan statistik parametrik atau non parametrik. Uji polled
varians digunakan untuk menguji hipotesis.

Hasil
Uji normalitas dengan uji Chi-Kuadrat dengan nilai rata-rata 77,324, nilai simpangan
baku 11,247 nilai tertinggi 97.5, dan nilai terendah 57.5, diperoleh 2 hitung = 7,919 dan
2 tabel 2 0,95(7) = 9,488 dengan 5%, dk 7 - 3 4 . Karena 2 hitung < 2 tabel , maka Ho
diterima. Data nilai tes kemampuan pemecahan masalah berdistribusi normal. Uji
homogenitas dengan uji F disajikan dalam Tabel 2 berikut.

264
Tabel 2. Uji homogenitas
Sumber Variasi Kelompok Eksperimen Kelompok Kontrol
Jumlah 2872,5 2617,5
N 36 35
Rata-rata 79,7917 74,7857
Varians 90,8482 153,8130
Standar deviasi 9,5314 12,4021
Fhitung = 1,6931
Ftabel = 1,9678

Dari pengujian di atas telah diperoleh persyaratan normalitas dan homogenitas.

Hasil analisis nilai tes kemampuan pemecahan masalah matematika disajikan


dalam Tabel 3 berikut.

Tabel 3. Hasil analisis nilai tes kemampuan pemecahan masalah matematika


Kelas ttabel thitung
Eksperimen 79,7917 1,6685 2,40155
Kontrol 74,7857

Pendidikan matematika realistik dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif model
pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika peserta didik
SMP (Sugiman, 2010). Berdasarkan hasil pengujian dengan polled varians seperti pada Tabel
1.3, diperoleh thitung > ttabel maka Ho ditolak. Jadi, nilai rata-rata tes kemampuan pemecahan
masalah kelas eksperimen lebih dari nilai rata-rata kelas kontrol. Hal ini berarti kemampuan
pemecahan masalah kelas yang menggunakan model pembelajaran PMRI lebih baik daripada
kelas yang menggunakan model pembelajaran ekspositori.
Dari pengujian statistik terhadap hasil tes kemampuan pemecahan masalah kelas
eksperimen dan kontrol diperoleh kemampuan pemecahan masalah peserta didik pada kelas
eksperimen lebih baik daripada kelas kontrol. Perbedaan ini disebabkan oleh penggunaan
model pembelajaran yang berbeda pada kedua kelas. Pada kelas eksperimen menggunakan
model pembelajaran PMRI dan pada kelas kontrol menggunakan model pembelajaran
ekspositori.
Pada kelas yang menggunakan model pembelajaran PMRI peserta didik belajar
dengan cara diskusi dengan bantuan benda-benda atau peristiwa-peristiwa yang sering
dijumpai peserta didik pada kehidupan sehari-hari, sehingga peserta didik lebih mudah
memahami masalah yang diajukan. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan
David W. Carraher and Analucia D. Schliemann (2002 : 151) yang menyebutkan bahwa
The idea that we can improve mathematics education by transporting everyday activities
directly to the classroom is simplistic.
Pelaksanaan pembelajaran dengan model pembelajaran PMRI dimulai dengan
memberikan masalah kontekstual kepada peserta didik. Karakteristik PMRI yang muncul
adalah menggunakan masalah kontekstual, keterkaitan dan membangkitkan keberanian.
Pemberian masalah kontekstual ini juga sesuai dengan prinsip realitas. Setelah diberi
masalah, peserta didik memecahkan masalah tersebut dengan cara diskusi secara
berkelompok dengan batasan waktu tertentu. Masalah yang diberikan ini dapat membantu
peserta didik untuk menggunakan pengalamannya dan juga untuk mendapatkan pengalaman
baru sehingga kemampuan pemecahan masalah peserta didik dapat menjadi lebih baik. Sesuai
yang diungkapkan Mappa (1994:71) yang menyebutkan bahwa belajar pemecahan masalah
merupakan puncak hierarki Gagne. Pemecahan masalah merupakan proses yang dilalui oleh

265
peserta didik dengan menggunakan aturan yang telah dipelajari sebelumnya untuk
menemukan pemecahan terhadap suatu permasalahan yang baru.
Hasil penelitian ini sesuai dengan yang diungkapkan Dewey dalam Mappa (1994:116)
bahwa pengalaman merupakan jantung kehidupan manusia yang akan mengantarkan ke arah
pertumbuhan dan kedewasaan. Masalah kontekstual yang diberikan kepada peserta didik
menyangkut pengalaman yang sudah pernah diperoleh peserta didik berupa aturan-aturan dan
pengalaman baru berupa masalah lain yang dapat muncul dan dapat diselesaikan dengan
aturan yang sudah dimiliki peserta didik. Jadi dengan model pembelajaran PMRI peserta
didik lebih mudah untuk menggunakan pengalamannya untuk mendapatkan pengalaman yang
baru.
Penggunaan LKPD membantu peserta didik mengkonstruk pengetahuannya sendiri
melalui pertanyaan-pertanyaan yang secara sengaja disusun oleh guru sebagai pembuat
LKPD. Sesuai dengan teori pengetahuan Piaget yang merupakan teori konstruktivisme
dimana pengetahuan itu dibentuk sendiri oleh orang yang menggeluti suatu objek.
Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari seorang guru ke murid bila murid itu sendiri tidak
mau membentuknya secara aktif (Suparno, 2001:125). Bruner menyarankan siswa harus
belajar melalui kegiatan mereka sendiri dengan memasukkan konsep-konsep dan prinsip-
prinsip, dimana mereka harus didorong untuk mempunyai pengalaman dan melakukan
prinsip-prinsip bagi mereka sendiri (Djiwandono, 1989:82).
Diskusi kelompok yang ada dalam model pembelajaran PMRI merupakan upaya
untuk menimbulkan interaksi baik peserta didik dengan peserta didik maupun peserta didik
dengan guru dalam bentuk bimbingan. Hasil penelitian ini didukung oleh teori belajar yang
dikemukakan Vygotsky. Vygotsky menekankan pentingnya memanfaatkan lingkungan dalam
pembelajaran. Lingkungan sekitar siswa meliputi orang-orang, kebudayaan, termasuk
pengalaman dalam lingkungan tersebut (http://masbied.files.wordpres.com).
Proses pembelajaran yang dilakukan sesuai langkah-langkah PMRI, dengan
memperhatikan karakteristik dan prinsip-prinsipnya membuat peserta didik lebih aktif dan
tercipta kerja sama, tanggung jawab dan kerja keras. Peserta didik bersungguh-sunguh untuk
dapat memahami dan memecahkan masalah-masalah yang diberikan guru.
Pelaksanaan pembelajaran ekspositori membuat peserta didik cenderung pasif karena
guru mendominasi pembelajaran. Beberapa cara belajar dalam kelas PMRI tidak terjadi pada
kelas ekspositori seperti proses pemecahan masalah oleh peserta didik sendiri dengan bantuan
benda-benda yang ada di sekitar mereka. Pada kelas dengan model pembelajaran ekspositori,
materi pembelajaran disampaikan oleh guru pada awal pembelajaran dan dilanjutkan dengan
diskusi secara berkelompok. Diskusi yang dilakukan adalah membahas masalah yang
diberikan guru dengan pengetahuan yang telah di dapat dari guru.
Hambatanhambatan yang terjadi pada pertemuan pertama kelas eksperimen maupun
kelas kontrol mulai berkurang pada pertemuan selanjutnya. Kekurangaktifan peserta didik
selama diskusi di kelas masing-masing dapat dikurangi dengan peran aktif guru dalam
memantau dan mengarahkan peserta didik selama diskusi berlangsung. Peserta didik mulai
terbiasa untuk berdiskusi kelompok, saling bertukar pendapat mengeluarkan ide-ide kreatif
sampai menemukan pemecahan dari permasalahan secara kelompok. Beberapa kelompok
sudah mampu menyampaikan hasil diskusi meskipun masih terkesan sekedar membaca, dan
menjawab pertanyaan dari kelompok lain dengan baik.
Metode analisis data kemampuan pemecahan masalah yang semula dirancang
menggunakan uji kesamaan dua rata-rata satu pihak dengan jumlah peserta didik yang sama
pada kedua kelas tetapi pada pelaksanaannya digunakan uji dua rata-rata dengan jumlah
peserta didik yang tidak sama pada kedua kelas karena ada peserta didik yang sudah
dinyatakan keluar dari sekolah.

266
Berdasarkan hasil ketuntasan belajar ditunjukkan bahwa pada kelas eksperimen
dengan jumlah peserta didik yang memperoleh nilai lebih dari atau sama dengan 71 sebanyak
33 peserta didik. Setelah dilakukan uji proporsi dengan besar proporsi yang diharapkan
0,795, diperoleh hasil ketuntasan belajar kelas eksperimen secara klasikal lebih dari 0,795.
Sesuai dengan kriteria ketuntasan yang ditetapkan SMP Negeri 1 Tunjungan untuk mata
pelajaran matematika, dapat dikatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah peserta didik
yang diajar menggunakan model pembelajaran PMRI tuntas pada sub materi pokok keliling
dan luas segi empat.
Angket untuk penilaian karakter bangsa peserta didik pada kelas eksperimen juga
menunjukkan karakter peserta didik termasuk dalam kategori sedang. Indikator dari nilai-
nilai karakter bangsa yang diukur adalah kedisiplinan, kepedulian sosial, kreativitas,
kejujuran, toleransi, kerja keras, rasa ingin tahu, menghargai prestasi, bersahabat/
komunikatif dan mandiri. Dari hasil angket menunjukkan peserta didik merasa lebih ingin
tahu mengenai materi yang dipelajari. Mereka juga menjadi lebih sering mengungkapkan
pendapat mereka dalam suatu diskusi sehingga menjadi lebih percaya diri di depan kelas.
Peserta didik yang semula tidak mau mengerjakan tugas-tugas yang diberikan juga menjadi
lebih rajin belajar dan mau berusaha untuk mengerjakan baik secara kelompok maupun
individu. Suasana pembelajaran dengan model pembelajaran PMRI juga membuat peserta
didik merasa lebih akrab dengan teman-teman mereka di kelas karena sering berdiskusi
dalam kelompok.
Karakter baik ini dikarenakan dalam pembelajaran dengan model PMRI, banyak
memberikan peluang untuk menanamkan kepribadian yang baik pada peserta didik. Hasil ini
sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Marpaung yang memperlihatkan bahwa
karakter dapat diubah ke arah yang positif melalui pendidikan, termasuk melalui
pembelajaran matematika yang didasarkan pada pengalaman psikologi peserta didik
(http://mediafire.com/?gsucrnjcuo3anfo).
Penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah peserta didik
pada kelas dengan pembelajaran PMRI lebih baik daripada kemampuan pemecahan masalah
peserta didik pada kelas dengan pembelajaran ekspositori pada materi pokok segi empat di
SMP Negeri 1 Tunjungan tahun pelajaran 2011/2012.

Penutup
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik simpulan sebagai berikut.
Kemampuan pemecahan masalah peserta didik pada kompetensi keliling dan luas segi empat
menggunakan model pembelajaran PMRI lebih baik dibandingkan dengan menggunakan
model pembelajaran ekspositori. Nilai rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematika
peserta didik yang menggunakan model pembelajaran PMRI sebesar 79,79 sudah memenuhi
KKM-nya yaitu 71 dan sudah mencapai ketuntasan secara klasikal. Karakter bangsa yang
ditunjukkan juga termasuk dalam kategori baik. Artinya, PMRI dapat menumbuhkan karakter
baik pada peserta didik.

Daftar Pustaka

Carraher, David W. & Analucia D. Schliemann. 2002. Is everyday mathematics truly


relevant. Journal for Research in Mathematics Education. THE NATIONAL COUNCIL
OF TEACHERS OF MATHEMATICS, INC. Reston, Virginia
Dimyati, dan Mudjiono. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Depdikbud dan PT Rineka
Cipta.

267
Djiwandono., Sri Esti Wuryani. 1989. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Depdikbud Dikti
P2LPTK.
Hudojo, Herman. 1988. Mengajar belajar matematika. Jakarta: Ditjen Dikti Depdikbud
Mappa, Syamsu dan Annisah Basieman. 1994. Teori Belajar Orang Dewasa. Jakarta :
Depdikbud.
Marpaung, Y. 2010. Karakteristik PMRI (Pendidikan Matematika Realistik Indonesia).
Tersedia di http://www.mediafire.com/?gsucrnjcuo3anfo. Diakses 22 Februari 2012
Moschkovich, Judit N. 2002. Examining everyday and academic mathematical practices.
Journal for Research in Mathematics Education. THE NATIONAL COUNCIL OF
TEACHERS OF MATHEMATICS, INC. Reston, Virginia
Ramadhan, Hammad Fithry. Pendidikan matematika realistik Indonesia (PMRI).
www.pmri.or.id. diakses tanggal 3 Januari 2012
Shadiq, Fajar. 2004. Pemecahan masalah, penalaran, dan komunikasi. Yogyakarta :
Widyaiswara PPPG Matematika. Makalah disampaikan pada Diklat
Instruktur/Pengembang Matematika SMA Jenjang Dasar
Soedjadi, R. 2007. Masalah kontekstual sebagai batu sendi matematika sekolah. Surabaya :
Pusat Sains dan Matematika Sekolah UNESA
Suarjana, I Made. 2007. Menumbuhkembangkan kemampuan pemecahan masalah,
penalaran, dan komunikasi matematik melalui pembelajaran matematika realistik.
Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA. XXXX(4): 942-944. Tersedia di
www.undiksha.ac.id diakses tanggal 10 Maret 2012
Sudjana, Nana & Ibrahim. 1989. Penelitian dan penilaian pendidikan. Bandung: Sinar Baru
Sugiman & Yaya S. Kusumah. 2010. Dampak pendidikan matematika realistik terhadap
peningkatan kemampuan pemecahan masalah siswa SMP. indoMS.J.M.E. 1(1): 41-51
Sujono. 1988. Pengajaran matematika untuk sekolah menengah. Jakarta : Ditjen Dikti
Depdikbud
Suparno, Paul. 2001. Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Yogyakarta : Kanisius.
Suryanto, dkk.2010.Sejarah pendidikan matematika realistik Indonesia. Ditjen Dikti
Kemendiknas
http://masbied.files.wordpres.com. Teori Belajar Konstruktivisme Vygotsky dalam
Pembelajaran Matematika. Diakses tanggal 28 Agustus 2012.
http://www.mediafire.com/?rgsr9ufc3qm1frn, Pendidikan Matematika Realistik Indonesia
(PMRI). makalah Marpaung, diakses 10 Februari 2012.

268
Keefektifan Metode TAI Berbasis Tutor Sebaya
Terhadap Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa

Lutviarini Latifah1), Zaenuri Mastur dan Ardhi Probowo


Jurusan Matematika, FMIPA,Universitas Negeri Semarang, Semarang 50229.
Email: 1)ophtymistych@gmail.com

Abstract
The purpose of this research was to determine the effectiveness of learning by Teams Assisted
Individualization (TAI) based on Peer Tutor method on the activity and results of student
learning on quadrilateral material. The population in this study is student of VII thgrade class
of 4Purwokerto junior high schoolon period 2011/2012. The selection of the sample is done
by random samplingwhich isgottenVII H as the experimental class dan VII F as the
controlling class. Experimental class was taught by TAI based on Peer Tutorsmethod, while
the controlling class was taught with the expository method. Retrieval of data obtained by the
observation method to observe the activities of student learning and test methods for
determining student learning achievement are then analyzed to the thoroughness test and the
average difference test: one side test (right side).The results of this research are (1) The
students achivement of experimental class and controlling class achieved the minimum
completeness criteria, (2) score average of student learning activity of experimental class
betterthan controling class, and (3) the average results of experimental class learning better
than controlling class.

Keywords: learning achievement; learning activities; peer tutor;TAI.

Pendahuluan
Berdasarkan observasi awal di SMP Negeri4 Purwokerto, kegiatan pembelajaran
matematika di sekolah ini dilakukan dengan metode ekspositori. Pada pembelajaran dengan
metode ekspositori, aktivitas siswa cenderung rendah karena pembelajaran masih berfokus
pada guru. Selain itu, banyak siswa malu mengungkapkan kesulitannya, ditandai dengan
rendahnya aktivitas siswa. Aktivitas siswa yang rendah ini berakibat pada rendahnya hasil
belajar siswa. Dari 260 siswakelas VII SMP Negeri 4 Purwokerto diperoleh rata-rata hasil
belajar 70,7 dengan tingkat ketuntasan 65,77%. Oleh sebab itu, jika guru ingin meningkatkan
aktivitas dan hasil belajar siswa, maka guru harus melakukan variasi dalam pembelajaran
dengan menerapkan suatu metode pembelajaran lain agar kegiatan pembelajaran berlangsung
efektif yang ditandai dengan tingginya aktivitas siswa dan hasil belajar siswa memenuhi
kriteria ketuntasan minimal.
Berdasarkan latar belakang di atas, masalah penelitian difokuskan pada keefektifan
metode TAI berbasis Tutor Sebaya terhadap aktivitas dan hasil belajar siswa. Tujuan
penelitian adalah untuk mengetahui efektivitas metode TAI berbasis Tutor Sebaya terhadap
aktivitas dan hasil belajar siswa.
TAI dan Tutor Sebaya merupakan metode pembelajaran yang berpusat pada siswa.
TAIunik karena gabungan dari pembelajaran kooperatif dan pembelajaran individual (Salend
& Washin, 1988).TAI mengadaptasi pada instruksi untuk kebutuhan individu siswa (Tarim &
Akdenis, 2008). Komponen pembelajaran dengan metode TAI yaitu teams, tes penempatan,
materi-materi kurikulum, belajar kelompok, skor tim dan rekognisi tim, kelompok
pengajaran, tes fakta, unit seluruh kelas(Slavin, 2011).Tutor sebaya adalah suatu teknik
pembelajaran yang memiliki dampak positif pada hasil belajar siswa secara akademik
(Belson, 2012). Menurut Suherman (2003) Tutor Sebayamerupakan teknik pembelajaran

269
dimana sumber belajar selain guru yaitu teman sebaya yang lebih pandai yang akan
memberikan bantuan kepada teman-temannya. Menurut Arjanggi & Suprihatin (2010) tujuan
menempatkan tutor sebaya dalam kelompok adalah untuk menciptakan suasana belajar
kelompok yang bersifat kooperatif bukan kompetitif.
Metode pembelajaran TAI dan Tutor Sebaya sesuai dengan teori konstruktivis, teori
Dienes, teori Piaget dan teori Ausubel. Menurut Rifai dan Anni (2011) inti sari teori
konstruktivisme adalah siswa harus menemukan dan mentransformasikan pengetahuannya
sendiri. Dienes berpendapat bahwa agar siswa memahami konsep matematika, mereka harus
diajarkan secara berurutan dari konsep murni, konsep notasi dan konsep terapan (Hamdani,
2011). Sesuai teori belajar bermakna Ausubel, yaitu mengaitkan informasi baru dengan
konsep-konsep yang relevan dan terdapat dalam struktur kognitif seseorang (Sugandi, 2007).
Selain itu secara proses, Piaget mengemukakan tiga prinsip utama belajar yaitu belajar aktif,
belajar lewat interaksi sosial, dan belajar lewat pengalaman sendiri (Sugandi, 2007).
Aktivitas belajaradalah seluruh aktivitas siswa dalam proses
belajar.Diedrich(Sardiman, 2001), membuat daftar yangberisi macam aktivitas siswa yaitu
visual, oral, listening, writting, drawing, motor, mental dan emotional activities. Pengertian
dari hasil belajar sendiri adalah perubahan perilaku secara keseluruhan bukan hanya salah
satu aspek potensi kemanusiaan saja(Sugandi, 2004). Artinya, hasil pembelajaran tidak
dilihat secara fragmentaris atau terpisah, melainkan komprehensif. Perubahansebagai hasil
proses belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai bentukseperti berubah pengetahuannya,
pemahamannya, sikap dan tingkahlakunya, dayareaksinya, daya penerimaannya, dan aspek
lainnya.Beberapa peneletitian membuktikan bahwa metode TAI berpengaruh positif terhadap
prestasi belajar siswa (Murtadlo, 2005) dan Tutor Sebaya berhasil meningkatkan prestasi
belajar siswa lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran dengan metode lainnya (Parwata,
2008). Slavin (2011)juga berpendapat bahwa banyak penganut paham piaget menyerukan
penggunaan pembelajaran kooperatif karena aktivitas/interaksi siswa dalam pengerjaan tugas-
tugas pembelajaran akan mengembangkan pencapaian prestasi siswa.

Metode
Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas VII SMP Negeri 4 Purwokerto
tahun pelajaran 2011/2012 yang terbagi dalam delapan kelas.Kelas VII di SMP Negeri 4
Purwokerto adalah kelas yang homogen dengan alasan siswa mendapatkan materi
berdasarkan kurikulum yang sama, siswa yang menjadi objek penelitian duduk di kelas yang
sama, dan pembagian kelas tidak ada kelas unggulan sehingga siswa memiliki kemampuan
yang setara. Setelah dianalisis maka ditentukan sampelnya dengan menggunakan teknik
random sampling dengan catatan yang diacak adalah kelasnya.Diperoleh 2 kelas sebagai
sampel yaitu kelas VII H sebagai kelas eksperimen dan kelas VII F sebagai kelas kontrol.
Desain penelitian eksperimen ini menggunakan bentuk true experimental design tipe
posttest only control yang dapat dilihat pada tabel1berikut.

Tabel1: DesainPenelitian
R X O1
R - O2

Pada desain ini terdapat dua kelas yang masing-masing dipilih secara random (R).
Kelas pertama diberi perlakuan (X) dan kelas yang lain tidak. Kelas yang diberi perlakuan
disebut kelas eksperimen dan kelas yang tidak diberi perlakuan disebut kelas kontrol.
Pengaruh adanya perlakuan adalah O1 dan O2 (Sugiyono, 2011). Pada penelitian ini kelas
eksperimen diberi perlakuan pembelajaran dengan menggunakan metode TAI berbasis Tutor
Sebaya dan kelas kontrol pembelajaran dengan menggunakan metode ekspositori. Saat

270
pembelajaran berlangsung dilakukan pengamatan aktivitas siswa kemudian dilakukan tes
akhir untuk melihat hasil belajarnya.
Variabel penelitian yang digunakan ada dua yaitu variabel bebas dan variabel terikat.
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah metode pembelajaran matematika dan variabel
terikat adalah aktivitas dan hasil belajar siswa. Metode pengumpulan data yang digunakan
pada penelitian ini ada 3 yaitu metode dokumentasi, metode observasi, dan metode tes.
Metode dokumentasi dilakukan untuk memperoleh data nilai Ulangan Akhir Semester 1
(UAS I) mata pelajaran matematika tahun pelajaran 2011/2012.Berdasarkan hasi analisis data
nilai UAS 1 diperoleh data yang menunjukan bahwa populasi dalam penelitian berdistribusi
normal, mempunyai varians yang homogen, dan tidak ada perbedaan rata-rata dalam populasi
tersebut. Hal ini berarti sampel berasal dari kondisi atau kemampuan awal yang sama
sehingga bisa digeneralisasikan dalam populasi (Purwanto, 2011). Metode observasi
dilakukan untuk menentukan masalah yang ada dalam kegiatan pembelajaran pada sekolah
tersebut dan untuk mengamati aktivitas siswa pada saatpembelajaran berlangsung. Metode
tes digunakan untuk memperoleh data hasil belajar siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol.
Pada penelitian ini kelompok sampel mendapatkan materi yang sama dalam kegiatan
pembelajaran yaitu segiempat dengan sub bab persegi, persegi panjang, jajar genjang dan
belah ketupat. Kegiatan pembelajaran dilakukan selama 4 pertemuan untuk mengamati
aktivitas belajar siswa, kemudian pada pertemuan kelima dilakukan tes untuk mengetahui
hasil belajar siswa pada sampel penelitian tersebut. Soaltes yang digunakan ini telah
diujicoba sebelumnya pada kelas uji coba dan telah dipilih soal-soal yang memenuhi syarat
soal yang baik berdasarkan reliabilitas, validitas, tingkat kesukaran dan daya beda soal
tersebut.
Aktivitas dan hasil belajar siswa kemudian dianalisis untuk menguji kebenaran
hipotesis penelitian. Skor aktivitas belajar siswa di analisis dengan analisis deskriptif,
sedangkan nilai tes akhir diuji ketuntasan belajarnya dengan diuji rata-rata hasil belajarnya
dengan uji t satu pihak yaitu pihak kanan dan uji proporsi dengan uji z satu pihak yaitu pihak
kanan. Nilai tes akhir kemudian dianalisis perbedaaan rata-ratanya dengan uji perbedaan rata-
ratayaitu uji t satu pihak dengan pihak kanan. Pada uji perbedaan rata-rata ini digunakan
rumus :
x1 x2
t .
1 1
s
n1 n2
(Sudjana, 2002).

dengan x1 = rata-rata kelompok pertama, x2 = rata-rata kelompok kedua, n1 =


banyaknya kelompok pertama, n2 = banyaknya kelompok kedua, dan s = simpangan baku
kedua kelompok.
Nilai t kemudian dibandingkan dengan t tabel yaitu dengan = 5%.
Jika maka hasil belajar kelas eksperimen lebih baik dibanding hasil belajar
kelas kontrol. Jika maka berlaku sebaliknya (Sudjana, 2002). Uji perbedaan
rata-rata tersebut dilakukan untuk menentukan metode yang lebih baik berdasarkan rata-rata
hasil belajar yang diperoleh siswa.

Hasil
Hasil tes akhir hasil belajar pada kelas eksperimen dan kelas kontrol memberikan
hasil seperti tampak pada tabel 2 berikut.

271
Tabel 2: RangkumanHasil Tes Hasil Belajar Siswa
Variabel Kelompok Kontrol Kelompok Eksperimen
Rata-rata 73,45 79,99
N Tuntas 29 30
N di Kelas 32 32
Ketuntasan (%) 90,6% 93,8%

Berdasarkan tabel 2 terlihat bahwa rata-rata hasil belajar siswa pada kelas kontrol dan
kelas eksperimen lebih dari 68, pernyataan ini telah dibuktikan secara statistik dengan uji t.
Persentase siswa dengan nilai lebih dari 68 pada kelas kontrol dan kelas eksperimen adalah
lebih dari 75%, pernyataan ini telah dibuktikan secara statistik denganuji z. Berdasarkan hal
tersebut maka hasil belajar kelas kontrol dan kelas eksperimen mencapai kriteria ketuntasan
belajar minimal. Selain uji ketuntasan hasil belajar, kedua sampel tersebut juga diuji
perbedaan rata-rata menggunakan uji t. Hasil uji t diperoleh nilai thitung = 2,41 dan ttabel= 1,99.
Terlihat thitung>ttabel , artinya rata-rata hasil belajar pada kelas eksperimen lebih baik
dibandingkan rata-rata hasil belajar kelas kontrol. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel 1
bahwa rata-rata hasil belajar kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan rata-rata hasil
belajar kelas kontrol.
Hasil pengamatan aktivitas belajar siswa pada kedua sampel memberikan hasil
sebagai berikut seperti tampak pada gambar 1 berikut.

Perbandingan Skor Aktivitas Siswa


60 52
50
50 46.5
41 43 43
36 37 37
40 32
30
20 Kelas VII F
10 Kelas VII H
0

Gambar 1: Perbandingan Skor Aktivitas Siswa

Berdasarkan gambar 1 terlihat bahwa skor aktivitas belajar siswa pada kelas
eksperimen dan kelas kontrol meningkat setiap pertemuan. Perbandingan skor rata-rata antara
kelas eksperimen dan kelas kontrol terlihat pada gambar 1, chart paling kanan yang
memperlihatkan bahwa skor rata-rata aktivitas belajar kelas eksperimen lebih tinggi
dibandingkan skor rata-rata aktivitas belajar kelas kontrol. hal ini menunjukkan bahwa
aktivitas belajar kelas eksperimen lebih baik dibandingkan aktivitas belajar kelas kontrol.
Uraian mengenai hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa kelas eksperimen
mencapai kriteria ketuntasan minimal, skor rata-rata aktivitas siswa kelas eksperimen lebih
baik dibanding skor rata-rata aktivitas belajar kelas kontrol dan rata-rata hasil belajar kelas
eksperimen lebih baik dibanding rata-rata hasil belajar kelas kontrol. Jadi dapat disimpulkan
bahwa pembelajaran pada kelas eksperimen yang menggunakan metode TAI Berbasis Tutor
Sebaya terbukti efektif dalam mencapai aktivitas dan hasil belajar yang baik pada materi
segiempat. Hasil pengujian yang menunjukan keberhasilan penerapan metode TAIBerbasis

272
Tutor Sebaya dibandingkan dengan penerapan metode ekspositori cukup beralasan karena
penerapan metode TAI pada pembelajaran di kelas eksperimen menganut beberapa teori
belajar. Teori-teori belajar yang terkandung dalam pembelajaran dengan metode TAI berbasis
Tutor sebaya adalah teori konstruktivis, teori Dienes, teori Ausuble dan teori Piaget.
Menurut Rifai dan Anni (2011) inti sari teori konstruktivisme adalah siswa harus
menemukan dan mentransformasikan informasi kompleks ke dalam dirinya sendiri. Teori
kontruktivis pada penggunaan metode TAI Berbasis Tutor Sebaya ini tampak pada saat siswa
mengerjakan LKS yang merupakan perangkat bantuan dalam pembelajaran. Siswa tidak
didikte guru melalui materi langsung namun siswa menjawab pertanyaan-pertanyaan pada
LKS yang mengarahkan siswa untuk menemukan pengetahuannya. Berdasarkan gambar-
gambar dan kegiatan yang harus dilakukan pada LKS agar siswa dapat menjawab pertanyaan-
pertanyaan tersebut, siswa dituntut untuk mengalami sendiri penemuan konsep matematika.
Karena menurut Dienes (Hamdani, 2011) konsep matematika akan dipahami dengan baik
oleh siswa jika disajikan dalam bentuk konkret dan beragam. Setelah siswa menemukan
pengalaman nyata (konkret) yang berkaitan dengan materi matematika, siswa akan lebih
mudah mendapatkan gambaran materi yang abstrak.
Pada kelas eksperimen dengan metode TAIBerbasis Tutor Sebaya dikatakan efektif,
hal ini dikarenakan keseimbangan peran guru dan peran siswa atau tutor sebaya. Perencanaan
pembelajaran pada kelas eksperimen menerapkan beberapa teori belajar. Teori Ausuble
(Sugandi,2007) mengungkapkan belajar bermakna adalah mengaitkan informasi baru dengan
konsep-konsep yang relevan dan terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Hal ini tampak
pada tiap pertemuan yaitu saat guru melakukan tanya jawab kemampuan prasyarat melalui
media gambar untuk mengingatkan materi yang berkaitan dengan materi segiempat yang
akan dipelajari. Pada saat pengerjaan LKS, siswa berdiskusi agar dapat menemukan konsep
segiempat melalui penggunaan konsep sebelumnya seperti segitiga serta garis dan sudut. Hal
ini sesuai dengan teori Piaget yang mengatakan bahwa belajar aktif, interaksi sosial, dan
belajar lewat pengalamannya sendiri sangat penting dalam belajar(Sugandi, 2007). Penerapan
metode Teams Assisted Individualization Berbasis Tutor Sebaya yang mengelompokan siswa
secara heterogen menyebabkan interaksi antar siswa lebih berkembang karena telah
diorganisir dengan baik dalam pembentukan kelompoknya. Meski RPP dengan metode
Teams Assisted Individualization Berbasis Tutor Sebaya disusun dengan format Student
Center dengan aktivitas siswa yang lebih banyak dibandingkan dengan aktivitas guru namun
peneliti tidak melupakan besarnya peran guru dalam mengarahkan siswa. Jadi pada kelas
eksperimen peran guru dalam pembelajaran hanyalah sebagai fasilitator untuk mengantarkan
siswa menemukan pengetahuannya sendiri. Hal tersebut dilakukan dengan bantuan individu
saat guru berkeliling mengecek diskusi, serta keputusan guru untuk menempatkan seorang
tutor sebaya dalam setiap guru untuk memperluas jangkauan bantuan individu dari guru.
Pada pembelajaran dengan metode TAI berbasis Tutor Sebaya, guru berhasil
melakukan pengarahan dan pemadatan materi kepada tutor sebaya sebelum pembelajaran
dilaksanakan.Pemadatan materi ini berupa pembelajaran privat agar tutor sebaya mengenal
dan memahami materi terlebih dahulu sehingga bisa memberikan bantuan kepada anggota
kelompoknya. Guru mengumpulkan tutor sebaya setiap H-1 pertemuan untuk membahas
materi yang akan diajarkan pada setiap pertemuan.Pengarahan tersebut berakibat pada
efektifnya peran tutor sebaya dalam diskusi kelompok maupun kelas, sehingga siswa dapat
leluasa mengemukakan kesulitannya dalam belajar. Ketika siswa sudah biasa bertanya dan
mengungkapkan kesulitannya, siswa menjadi tidak canggung lagi untuk bertanya kepada
guru. Terlihat pada pertemuan 4, aktivitas siswa berkategori tinggi karena siswa mulai berani
menunjukan dirinya. Setiap pertemuan aktivitas belajar siswa berkembang tidak hanya
aktivitas fisik namun juga aktivitas mental. Sesuai dengan pendapat Hamdani (2011) yang

273
mengungkapkan syarat berkembangnya aktivitas mental adalah tumbuhnya perasaan tidak
takut, yaitu takut ditertawakan, takut disepelekan atau takut dimarahi jika salah.
Hambatan pada kelas eksperimen adalah keluhan siswa mengenai pembentukan
kelompok, tutor sebaya yang terkadang hanya memberikan jawaban tanpa cara pengerjaan,
serta kecemburuan siswa terhadap tutor sebaya. Namun hal tersebut bisa peneliti hadapi.
Misalnya saat siswa mengeluh pembentukan kelompok yang memakan waktu untuk pindah
dan mengangkat kursi menjadi meja kelompok peneliti atasi dengan menginstruksi siswa agar
pertemuan selanjutnya selalu duduk berdekatan bersama kelompoknya. Kendala tutor sebaya
peneliti tangani pada saat pengarahan H-1 pertemuan, peneliti akan mengarahkan siswa agar
dapat mengajari cara mengerjakan soal bukan memberikan jawaban. Kecemburuan siswa
terhadap tutor sebaya peneliti tangani dengan memberikan peraturan bahwa perwakilan
kelompok yang maju presentasi bukan tutor sebaya. Perbaikan yang terjadi tiap pertemuan
mengakibatkan aktivitas siswa meningkat dan pemahaman siswa terhadap materi dapat
terserap dengan baik.
Pada kelas kontrol dengan penggunaan metode ekspositori dalam pembelajarannya
berhasil mencapai kriteria ketuntasan minimal, meski hasilnya masih kurang dari kelas
eksperimen. Keberhasilan ini dikarenakan pandangan terbuka guru dalam menyikapi
penggunaan metode ekspositori. Guru berkembang untuk memperbaiki pengajarannya setiap
pertemuan sehingga guru dapat menjelaskan secara dengan baik sesuai dengan tingkat
penerimaan siswa dalam memahami konsep baru. Guru dapat berkembang dengan tidak
hanya mengontrol pembelajaran dari depan kelas, namun juga berkeliling memberikan
bantuan individu kepada siswa. Motivasi yang diberikan guru tidak hanya sekedar tujuan dan
manfaat pembelajaran namun melalui permainan angka matematika yang menimbulkan
ketertarikan siswa pada matematika. Peran siswa yang mau mengikuti pembelajaran dengan
melakukan instruksi guru untuk berani maju mengungkapkan pendapatnya dan berani
bertanya saat tidak memahami materi dengan baik. Berdasarkan uraian di atas, guru bisa
menerapkan metode ekspositori secara tepat, karena menurut Suherman (2003) tiap metode
jika digunakan dengan tepat akan menjadi metode yang baik.
Hambatan yang peneliti dapatkan pada kelas kontrol adalah gaduhnya siswa karena
bosan, siswa tidak mau maju untuk mengerjakan soal latihan di papan tulis, siswa tidak
leluasa berdiskusi karena terbatas pada teman sebangku, serta siswa pintar yang kurang
menghargai kelemahan siswa kurang pintar. Hal tersebut dapat di atasi guru dengan
memberikan motivasi langsung untuk menarik perhatian siswa. Melakukan pendekatan
khusus dengan cara mengajari secara langsung pada siswa kurang pintar agar punya
kesempatan maju mengerjakan soal di papan tulis.
Setelah dilakukan pembelajaran, siswa di kelas kontrol dan kelas eksperimen diberi
tes akhir yang sama. Tes akhir hasil belajar yang diberikan oleh peneliti adalah soal yang
dirancang sesuai dengan ketentuan Depdiknas (2008) yang mengatakan pendidikan
matematika bertujuan agar siswa dapat memahami konsep matematika, melakukan penalaran
dan komunikasi matematika, serta dapat memecahan masalah yang berkaitan dengan
matematika. Pemahaman konsep, penalaran dan komunikasi serta pemecahan masalah yang
diungkapkan oleh Depdiknas tersebut telah peneliti aplikasikan ke dalam 35 butir soal tes
akhir tersebut, sehinggasoal tes hasil belajar pada kedua sampel adalah soal tes yang dapat
mengukur hasil belajar siswa. Berdasarkan penjelasan di atas, soal tes akhir tersebut layak
untuk mengukur hasil belajar siswa.
Perangkat pembelajaran dan perangkat penilaian hasil belajar yang mumpuni tersebut
tentu tidak akan memberikan hasil yang memuaskan jika tanpa peran serta yang baik dari
guru dan siswa, pembelajaran kooperatif yang diterapkan pada kelas eksperimen memberikan
kesempatan untuk terciptanya saling ketergantungan positif dalam kelompok
pembelajaranBerdasarkan pembahasan di atas maka hasil dari penelitian ini adalah metode

274
TAI berbasis Tutor Sebaya efektif untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa pada
materi segiempat.

Penutup
Pembelajaran dengan menggunakan metode TAI berbasis Tutor Sebaya dan
pembelajaran dengan menggunakan metode ekspositori mencapai kriteria ketuntasan minimal
yang telah ditentukan yaitu rata-rata nilai hasil belajar siswa lebih dari 68 dan jumlah siswa
dengan nilai 68 lebih dari 75% dari jumlah siswa. Skor rata-rata aktivitas siswa dalam
pembelajaran dengan menggunakan metode TAI berbasis Tutor Sebaya lebih baik dari skor
rata-rata aktivitas siswa dalam pembelajaran dengan menggunakan metode ekspositori. Hasil
belajar siswa dalam pembelajaran dengan menggunakan metode TAI berbasis Tutor Sebya
lebih baik dibanding hasil belajar siswa dalam pembelajaran dengan menggunakan metode
ekspositori. Simpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah metode TAI berbasis Tutor
Sebaya lebih efektif dibandingkan dengan menggunakan metode ekpositori di kelas VII SMP
Negeri 4 Purwokerto pada materi segiempat. Jadi metode TAI berbasis Tutor Sebayaefektif
untuk meingkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa pada materi segiempat.

Daftar Pustaka

Arjanggi R & T. Suprihatin.2010. Metode Tutor Sebaya Meningkatkan Hasil Belajar


Berdasar Regulasi Diri. Makara, SosialHumaniora, 14(2): 91-97.
Belson, S.I. 2012. Peer Tutoring as an Strategy Instructional. Tersedia di
http://sped.wikidot.com/peer-tutoring-as-an-instructional-strategy (diakses 11-02-
2012)
Depdiknas. 2008. Kriteria dan Indikator Keberhasilan Pembelajaran. Tersedia di
file:///C:/Users/accer/Downloads/21-04-B1-Kriteria-dan-Indikator-Keberhasilan-
Pembelajaran.doc (diakses 23-05-2012).
Hamdani. 2011. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: Pustaka Setia.
Murtadlo. 2005. Peningkatan Prastasi Belajar Siswa Berkesulitan Belajar Membaca Menulis
Melalui Pendekatan Kooperatif Tipe TAI (Team Assisted Individualization) DI SD.
JURNAL PENDIDIKAN DASAR, 6(1): 1 60.
Parwata, I N. 2008. Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Teknik Tutor Sebaya
Terhadap Kreativitas dan Prestasi Belajar Matematika Siswa. JIPP, Desember:
1055-1066.
Purwanto. 2011. Statistika untuk Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rifai, A & Catharina Tri Anni. 2011. Psikologi Pendidikan. Semarang: Universitas Negeri
Semarang Press.

Salend, S. J. & B. Washin. 1988. Team Assisted Individualization with Handicapped


Adjudicated Youth.Exeptional Children Publisher: Councel for Exceptional
Children. Oct. 1988. 55(2). Tersedia di http://www.freepatentsonline.com
/article/Exceptional-Children/6722714.html (diakses 23-12-2011)
Sardiman. 2001. Interaksi dan Motivasi Belajar. Jakarta: Rajawali Press.
Slavin. 2011. Cooperative Learning Teori, Riset dan Praktik. Terjemahan Yusron N.
Bandung: Nusa Media.
Sudjana.2002. MetodaStatistika. Bandung: Tarsito.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta.
Sugandi, A. 2007. Teori Pembelajaran. Semarang: Universitas Negeri Semarang Press.

275
Suherman, E., dkk. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung:
JICA.
Tarim, K. & F. Akdeniz. 2008. The effects of cooperative learning on Turkish elementary
students mathematics achievement and attitude towards mathematics using TAI and
STAD methods.EducStudMath, 67:71-91.

276

You might also like